Hyouka Bahasa Indonesia:Jilid 1 Bab 6

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

6 – Masa Lalu Klub Sastra Klasik yang Gemilang[edit]

Akhir Juli, dan liburan musim panas sudah dimulai. Seperti biasanya, hari ini aku naik sepadaku menuju SMA Kamiyama. Butuh 20 menit berjalan kaki untuk mencapai sekolah dari rumahku, tapi aku juga tidak tahu butuh berapa lama untuk mencapai sekolah menggunakan sepeda. Sambil beristirahat, aku mampir untuk membeli sekaleng kopi hitam dari sebuah mesin penjual otomatis. Aku lalu mengikuti tepian sungai dan berbelok di rumah sakit sebelum akhirnya sampai di depan SMA Kamiyama. Dan disana, aku berdiri terkagum.

Liburan musim panas seharusnya sudah dimulai.

Tapi lapangan olahraga dipenuhi dengan peralatan dan siswa yang berpakaian seragam musim panas. Aku bisa mendengar music yang dimainkan berbagai alat music tiup, gitar listrik, dan seruling bambu. Meskipun Blok Kelas Khusus agak jauh dari sini, aku tahu disana juga ada banyak siswa. Mereka semua, pastinya, disini utuk mempersiapkan Festival Kanya. Sisi enerjik dari SMA Kamiyama baru mulai lebih aktif sekarang karena memasuki liburan musim panas. Kerumunan orang bergerombol seperti sekelompok semut seakan berkata “Oke, semuanya, festival akan segera datang! Sekarang setelah kelas-kelas yang menyebalkan sudah menyingkir, ayo berjuang!”

Aku memandangi orang-orang yang penuh energy ini sambil melihat ada seseorang yang berlari ke arahku. Fukube Satoshi, berbaju casual dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek, sambil membawa tas gendong kecil yang terlihat sporty di punggungnya.

“Hey,”

“Maaf, nungguin?”

Aku dengan gembira mendengarkan Klub Acapella latihan bernyanyi di lapangan tengah, dan Satoshi membuatku harus menoleh dengan suara yang mengerikan. Aku berpikir untuk memutar sepedaku dan pulang, namun aku berubah pikiran dan berlanjut berjalan ke arahnya dan bergerak seperti akan menendangnya.

“Woah, Houtarou! Kenapa tiba-tiba kau anarkis?”

“Memangnya kau bisa bicara begitu! Apa kamu tidak punya malu, tidak tahu kapan tidak boleh mengganggu ketenangan orang?”

Satoshi mengangkat kedua bahunya.

Sepertinya memang dia tidak punya.

“Maaf, maaf, kumpul Klub Kerajinan Tangan nya agak ngaret”

“Memangnya apa sih yang kalian bicarakan?”

“Kami akan merajut Karpet Mandala seperti milik orang Buddha untuk Festival Kanya. Tapi kami menemui beberapa masalah, jadi kita kumpul untuk membicarakan kemungkinan yang lainnya tadi.”

Well, Kau sudah bekerja keras. Tidak hanya kamu, tapi juga Toogaito, atau bahkan seisi sekolah untuk hal ini.

“Jadi, Kau sudah menyiapkan catatanmu?”

Saat aku bertanya datar, Satoshi hanya melempar balik pertanyaan itu padaku.

“Bagaimana denganmu? Bukan hal yang biasa kau lakukan kan. Sudah ada yang kau pikirkan?”

Aku merasa agak malu untuk menjawab pertanyaannya, jadi ku jawab, “Yaa begitu deh”

“Oh? Jarang-jarang nih. Biasanya kau akan mencoba mencari alasan dan menghindari pertanyaan semacam itu… Yah terserahlah, aku ambil sepedaku dulu, jadi tunggu disini sebentar.”

Kemudian Satoshi dengan seenaknya membuatku menunggu sementara dia berlari menuju tempat parkir sepeda.


Untuk kenapa aku menunggu Satoshi disini ketika semestinya aku sedang tidur seakan tidak ada hari esok selama Libur Musim Panas yang berharga, kita harus kembali ke satu minggu yang lalu, hari dimana kami hampir saja menemukan kebenaran tentang Sekitani Jun, yang seharusnya tertulis di Volume pertama buku antologi “Hyouka”, hanya untuk menemukan bahwa volume tersebut tidak ada. Karena kami tidak bisa maju tanpa volume pertama itu, aku memberitahu diriku untuk tidak bekerja keras untuk mencari jawabannya. Tapi ternyata sudah terlambat, karena aku tanpa sadar sudah menyebrangi sungai Rubicon[1].

Aku tahu tidak ada gunanya membujuk Chitanda untuk melepaskan kasus ini, jadi aku mengajukan jalan tengah. Kalau kita akan menginvestigasi masa lalu, hanya kita berdua tidak cukup. Seperti kata pepatah, “3 berarti ramai”. Mungkin agak sulit baginya, tapi aku menjelaskan padanya kalau kita memiliki kemungkinan yang lebih baik dalam menyelesaikan kasus ini dengan bantuan Satoshin dan Ibara.

Setelah itu, Chitanda mengangguk setuju.

“Kurasa kita tidak punya pilihan lain kalau begitu.”

Meskipun ia meminta untuk menjaga rahasia ini hnaya diantara kami berdua di Café Pineapple Sandwich, aku akhirnya mengecewakannya. Aku tidak tahu apakah karena Chitanda benar-benar menyadari bahwa dia akan membutuhkan semua bantuan yang bisa dia dapat, atau karena dia tidak lagi menganggap penting petunjuk yang ia dapatkan sebelumnya, atau bisa juga karena nona kita ini hanya senang bertindak semaunya; pokoknya, ia mengadakan pertemuan mendadak dengan Klub Sastra Klasik esok harinya.

Disana, Chitanda mengulangi apa yang dia katakan padaku dan menutupnya,

“Saya sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada paman saya 33 tahun yang lalu.”

Ibara langsung menerima tantangan itu.

“Ilustrasi halaman depannya menarik. Kalau kita bisa memecahkan kasus ini dan menemukan latar belakang ceritanya, aku bahkan bisa menggunakannya sebagai materi untuk publikasi di Klub Penelitian Manga.”

Satoshi menambahkan, “Kisah Fiksi Heroik dipecahkan oleh junior mereka 33 tahun kemudian, ya? Aku juga kebetulan sedang meneliti hal-hal dari periode itu.”

Dan setuju dengan kedua tangan terangkat. Sementara aku tidak ada keinginan untuk bicara, karena aku juga tidak punya kekuatan veto, aku memnutuskan untuk bicara saja mumpung kami sedang membicarakan kasusnya.

“Karena kita juga masih mencoba memutuskan apa yang akan kita tulis untuk essai antologi kita, kenapa tidak kita gunakan saja cerita Chitanda untuk mengisi halamannya… um, maksudku, supaya sekali dayung dua tiga pulau terlewati… maaf, maksudku, menulis sesuatu yang bermakna didalamnya?”

Usulan Menghemat-Energi milikku, meskipun lumayan kelihatan jelas, diterima dengan suara penuh. Kemudian, Investigasi insiden Klub Sastra Klasik SMA Kamiyama 33 tahun yang lalu menjadi prioritas Klub Sastra Klasik.


Satoshi mengendarai sepeda gunung. Karena dia mengenakan celana pendek, kau bisa melihat otot-otot yang kokoh, yang tidak sesuai dengan posturnya yang pendek, pada kakinya. Untuk seseorang yang lebih tertarik pada bahasa, satu-satunya olahraga yang aku ketahui ia tertarik adalah bersepeda. Ngomong-ngomong, sepedaku adalah semacam sepeda kumbangm jadi tidak banyak yang bisa dijelaskan.

Kami bersepeda sepanjang pinggir sungai dan menjauh dari jalan raya. Perlahan-lahan jarak antara rumah-rumah digantikan oleh sawah-sawah yang luas. Demi bersembunyi dari teriknya matahari, kami berhenti di sebuah toko tembakau, aku mengambil handuk kecil dari tasku untuk menyeka keringat yang terus menerus menetes.

Oh, keringat sehat.

Bukanlah sesuatu yang bakal pernah aku katakan. Malahan, aku heran kenapa orang harus bergerak untuk mencapai tempat tujuan mereka. “Revolusi Informasi belum berhasil. Kawan-kawan, kalian harus terus berjuang!”

“Satoshi, apa kita sudah dekat?”

Satoshi menaruh kembali sapu tangannya ke dalam kantong dan menjawab, “Yup. Kita hampir sampai. Kalau mengikuti kecepatanmu tentunya.”

Dia lalu tersenyum.

“Kau akan kaget kalau kau melihat rumah mereka. Keluarga Chitanda merupakan salah satu pemilik perkebunan terbesar di Kota Kamiyama.”

Kurasa aku menantikannya kalau begitu. Aku akan sangat senang untuk mendengar bagaimana mereka melakukan bersih-besih di musim semi mereka di tempat seluas itu. Setelah kembali menyeka keringat dengan handuk, aku meletakkan kakiku di pedal dan melanjutkan perjalanan.

Ketika kami mulai beranjak, Satoshi mengambil alih di depan dan menunjukkan jalan. Setelah melewati beberapa lampu merah, kami sampai di sebuah jalanan lurus yang panjang, dimana sepeda kami bisa berjajar. Sepanjang jalan ini tidak ada apa-apa selain lading perkebunan dan sawah di kedua sisi jalan.

Satoshi memutar pedalnya dan mulai bersenandung dengan riang. Tersenyum adalah semacam wajah resminya, tapi hari ini dia terlihat lumayan senang. Aku memutuskan untuk bertanya, “Satoshi,”

“Ya?”

“Kau lagi senang ya?”

Satoshi menoleh padaku dan menjawab ceria, “Tentu saja. Karena aku suka bersepeda. Lihatlah langit yang biru! Dan awan yang putih! Tidak peduli seberapa biasanya mereka terlihat, rasa gembira ketika melihatnya sambil bersepeda dengan kecepatan tinggi seperti…”

Aku segera menyela niat Satoshi untuk bercanda.

“Kupikir kehidupan SMAmu biasa saja.”

Tiba-tiba terlihat suram, Satoshi menjawab, “Oh… maksudmu soal Warna Mawar itu…”

Ingatan yang bagus, terutama karena terakhir kali kita membicarakannya hampir tiga bulan yang lalu. Entah kenapa Satoshi melambat dan melihat ke depan sambil berkata, “Kau tahu, kurasa kehidupan SMA ku lumayan berwarna bagai mawar.”

“tidak, rasanya lebih mirip shocking pink.”

“Haha, itu juga bagus. Kalau begitu, kehidupanmu berwarna abu-abu.”

“Kau sudah pernah mengatakannya padaku.”

Karena suaraku hampir sama sekali tidak meninggi, Satoshi tidak menertawakannya.

“Masa? Jangan salah paham ya, aku tidak bermaksud untuk mengejekmu waktu bilang kehidupan SMA mu berwarna abu-abu.”

“…”

“Contohnya, kalau hidupku warna shocking pink, maka tidak ada yang akan bisa mewarnainya seperti warna mawar. Aku tidak akan membiarkannya.”

Aku langsung mengejek wajahnya yang tersenyum.

“Masa? Kupukir sudah diwarnai.”

“Tentu saja belum!”

Kata Satoshi dengan jawaban, yang secara mengejutkan, tegas dan melanjutkan, “Belum, Houtarou. Aku sudah sibuk dengan panitia OSIS dan Klub Kerajinan Tangan, menurutmu aku akan bilang begitu? Kau pasti bercanda. Mau membantu mengatur jadwal kegiatan untuk Festival Kanya , atau merajut karpet Mandala, aku menikmati setiap momennya. Kalau tidak, memangnya siapa yang akan mengorbankan bersepeda yang menyenangkan atau Liburan Musim Panas Cuma untuk pergi ke sekolah?”

“Tidak ada orang seperti itu?”

“Ada waktu dimana seseorang harus meminjamkan kemampuan dan hadir demi kepentingan masyarakat yang lebih besar. Meski begitu, kau tipe yang tidak akan tergerak ‘kan? Untuk orang yang ‘berwarna abu-abu’ sepertimu, seandainya seorang pemimpin bilang ‘semua orang berwarna seperti mawar’, kau akan melambaikan tanganmu dan bilang ‘jangan ajak aku’.”

Setelah mengatakan itu semua dalam satu tarikan napas, dia mulai sedikit tenang dan melanjutkan, kalau aku mau benar-benar mengejekmu, aku akan menyebutmu tidak berwarna.”

Satoshi terdiam setelah mengatakan itu. Aku merenungkan jawabannya sambil membiarkan kulitku terbakar matahari.

“…”

Dan membuat wajah suram.

“Aku tidak akan bilang aku ingin jadi sepertimu atau sejenisnya, tahu.”

“Bukan, bukan itu maksudku.”

Satoshi meninggikan suaranya dan tertawa. Dia lalu mengatakan, “Lihatlah, Houtarou, kita sudah sampai di kediaman keluarga Chitanda!”


Sesuai dengan penggambarannya, ‘Kediaman’ Chitanda dibangun di tengah-tengah padang sawah yang luas. Dibangun dalam bentuk bungalo bergaya Jepang dikelilingi oleh pagar. Suara air mengalir menandakan adanya kolam di tamannya, yang dikelilingi oleh pepohonan pinus yang dipangkas dengan baik. Dan di depan pintu gerbang besar yang terbuka, terlihat orang-orang sedang melakukan ritual menyiramkan air[2]. “Bagaimana? Lumayan hebat ‘kan?”

Kata Satoshi sambil membusungkan dadanya, meskipun aku bukan ahli arsitektur atau gardening Jepang. Meski aku tidak tahu seberapa hebatnya kediaman ini, aku merasa ada kesan anggun dan berwibawa dari kediaman tersebut.

Saat kami sedang mengagumi kompleks tersebut, aku melirik jam tanganku. Kami lumayan tepat waktu… Tidak, sepertinya kami agak telat.

“Ayo, Chitanda dan Ibara sudah menunggu,”

“Oh, iya… ngomong-ngomong, Houtarou,”

“Apa lagi sekarang?”

“Bukannya kita harusnya menunggu pelayan-pelayan untuk datang menjemput kita?”

Aku memutuskan untuk mengabaikannya. Aku melangkah ke beranda depan dan membunyikan bel.

“…Ya~”

Setelah menunggu beberapa saat, pintunya dibuka oleh Chitanda sendiri. Flu musim panasnya sepertinya sudah sembuh karena ia berbicara dengan suara yang biasanya lagi. Ia membiarkan rambutnya yang panjang menjuntai ke bahunya tanpa mengikatnya, dan memakai baju terusan berwarna hijau muda.

“Maaf membuat kalian menunggu.”

Aku mendengar Satoshi berdecak, seakan kecewa karena tidak ada pelayan yang menyambut kami.

Setelah melepas sepatu kami di pintu masuk yang di beton, Chitanda memandu kami melewati koridor yang terbuat dari kayu.

“Dimana kalian memarkir sepeda kalian?”

“Kita boleh parker dimana?”

“Dimana saja boleh”

Lalu kenapa bertanya?

Tak lama kemudian, kami dipandu menuju sepasang pintu geser tradisional, dan angin sepoi yang sejuk keluar setelah membukanya. Karena langit-langitnya tinggi, ruangannya terasa sejuk dan menyegarkan. Ukuran ruangannya sekitar… 15 meter persegi. Besar.

“Kalian terlambat.”

Ibara sudah datang. Sepertinya ia ada sedikit urusan di sekolah sebelumnya, karena ia datang sambil mengenakan seragam. Ada meja berwarna coklat gelap yang memantulkan cahaya temaram, dan di atasnya berserakan lembaran-lembaran kertas. Pasti catatannya Ibara. Dia lumayan bersemangat soal ini.

“Duduklah dimanapun kalian suka.”

Aku duduk dihadapan Ibara setelah dipersilahkan. Setelah Chitanda duduk di tengah, tempat duduk sisanya diduduki oleh Satoshi. Adalah pemandangan yang jarang untuk melihat seseorang dengan tas ransel duduk di dalam ruang tamu bergaya tradisional Jepang[3]. Membuka tasnya, Satoshi mengeluarkan berlembar-lembar kertas. Ibara terlihat sangat siap sambil memainkan pulpennya, sementara Chitanda menumpuk lembaran kertas diatas meja.

“Baiklah…”

“Mari kita mulai pertemuan penyelidikan kita.”

Kami semua membungkuk dan memberi salam.


Tentu saja, pertemuan ini dipimpin oleh Chitanda, karena ia-lah ketua klubnya.

“Mari kita konfirmasi agenda pertemuan hari ini. Semuanya dimulai dari kenangan saya. Lalu, saat kita menemukan bunga rampai Hyouka, saya menyadari apapun yang terjadi dengan Klub Sastra Klasik 33 tahun yang lalu ada hubungannya dengan kenangan saya ini. Tujuan pertemuan hari ini adalah untuk menebak apa yang terjadi 33 tahun yang lalu. Selanjutnya, fakta apapun yang telah dikonfirmasi akan digunakan sebagai materi untuk esai dalam bunga rampai Klub Sastra Klasik tahun ini.”

Meskipun Ibara lebih tertarik pada desain ilustrasi cover Hyouka, ia tidak terlihat begitu kecewa dengan proklamasi dari Chitanda. Mungkin ia menyadari ilustrasi itu ada hubungannya dengan insiden itu sendiri, atau Chitanda sudah memberitahunya?

“Selama seminggu terakhir ini, kita sudah mengumpulkan berbagai bahan untuk diteliti, dan karenanya kita akan melaporkan penemuan kita dan menyimpulkan kesimpulan yang paling mungkin.”

Eh? Memangnya pertemuan hari ini soal itu? Terakhir kali aku dengar, Chitanda hanya memberi tahu kami untuk membawa materi apa saja yang bisa kami temukan. Aku tidak ingat ada soal membuat kesimpulan… Tapi karena Satoshi dan Ibara tidak terlihat kaget sedikit pun, ini berarti memang aku yang tidak memperhatikan. Sial, sepertinya aku harus melewatinya entah bagaimana, tapi perutku masih terasa tidak enak.

Tanpa membawa selembarpun agenda bersamanya, Chitanda menatap kami satu per satu dan menjelaskan dengan lancar, “Kita akan bergiliran melaporkan penemuan kita, diikuti oleh pertanyaan dari anggota yang lain, membuat hipotesa, dan meninjau ulang hipotesa yang dikeluarkan. Tidak boleh bertanya selama melaporkan… ini untuk mencegah kata-kata kita bercampur aduk. Kalau begitu, sekarang kita dengarkan laporan pertama.”

Oh, ia pemimpin yang lumayan bagus. Siapa yang tahu, ia mungkin memiliki bakat untuk hal seperti ini.

Tidak, bukan, dia memang memberi tahu aku kalau dia tipe orang yang akan mencari tahu keseluruhan system, jadi tidak mengejutkan kalau dia begitu ahli dalam aturan memimpin pertemuan.

“Bisakah kita mulai laporan pertama… oh?”

“Chi-chan, memangnya siapa yang akan lapor pertama?”

“Umm, siapa ya?”

… Dan ia bicara aneh lagi. Aku heran apakah ia hanya mudah dimengerti atau keteraturannya hanya terbatas pada tindakannya sendiri. Aku bicara pada Chitanda yang kebingungan.

“siapa saja boleh. Bagaiman kalau kamu mulai duluan?”

Karena biasanya pemimpin yang mulai bicara pertama kali, kan? Toh, bukannya Chitanda juga tidak akan melaporkan apapun. Dan karena ia yang menentukan cara melaporkannya, sekalian saja ia juga yang memulai pertama dan membaut pertemuan berjalan lancar. Ia mengangguk dan berkata, “Oh, kamu benar. Kalau begitu, sekarang… kita akan melaporkan satu persatu berurutan sesuai arah jarum jam dimulai dari saya.”

Ia mulai membagikan catatannya di atas meja setelah berkata begitu.

Hanya selirik dan aku tahu kalau ini adalah sumber dari penyelidikan ini, kata pengantar dari “Hyouka volume 2”. Jadi begitu, ia mulai dari awal mulanya ya? Walau aku tidak akan bilang kalau ini adalah gayanya yang biasa. Aku sekali lagi membaca paragraph yang pernah aku lihat sebelumnya.



Kata Pengantar

Dan akhirnya, kami melakukan Festival Kebudayaan lagi tahun ini.


Telah setahun berlalu, sejak Sekitani-senpai meninggalkan kami.

Selama tahun ini, Senpai telah menjadi legenda dan menjadi seorang pahlawan. Sebagai hasilnya, Festival Kebudayaan akan berlangsung 5 hari seperti biasanya.

Akan tetapi, sembari legenda itu menyebar, aku berpikir dalam. Apakah orang-orang sepuluh tahun dari sekarang akan tetap mengingat sang pejuang yang pendiam dan pahlawan yang baik hati? Yang ditinggalkan senpai hanyalah bunga rampai ‘Hyouka’ ini, yang ia pilihkan sendiri namanya.

Sebagai pengorbanan dari konflik itu, bahkan senyuman senpai akan berakhir pada arus waktu menuju keabadian.

Tidak, mungkin lebih baik jikalau kita tidak mengingatnya. Karena kisahnya sama sekali tidak dimaksudkan sebagai kisah pahlawan.

Sekali subjektivitasnya dihilangkan, cerita ini akan menjadi sastra klasik karena melampaui semua perspektif sejarah.

Akankah datang sebuah waktu dimana kisah kami menjadi cerita klasik untuk seseorang di masa yang akan datang?


13 Oktober 1968, Kooriyama Youko



Berdeham, Chitanda mulai menjelaskan, “Ini diambil dari bunga rampai ‘Hyouka’. Untuk mengetahui artikel seperti apa yang diterbitkan Hyouka setiap tahunnya, seseorang harus membaca kata pengantarnya dan menemukan topik apa saja yang dibahas. Sayangnya, meskipun begitu, paragraf ini adalah satu-satunya yang menyebutkan tentang insiden 33 tahun yang lalu. Mungkin saja sebenarnya dituliskan di tempat lain, tapi kita tidak memiliki jilid pertamanya… Lalu, saya sudah meringkas poin-poin utama dari kata pengantar ini di dalam catatan disini,”

Ia lalu membagikan fotokopi untuk halaman kedua.



1. “Senpai” telah pergi. (dari mana?)

2. “Senpai” menjadi seorang pahlawan 33 tahun yang lalu, dan telah menjadi legenda setahun kemudian


3. “senpai” adalah seorang “pejuang yang pendiam” dan “pahlawan yang baik hati”

4. “Senpai” memberi nama bunga rampai ini ‘Hyouka’

5. Terjadi sebuah konflik dan terjadi pengorbanan (senpai=korban?)

“Wow.”

Oke, barusan itu singkat dan langsung ke poin-nya. Aku tidak bisa menahan untuk menghela napas dalam heran, tapi kalau dipikir-pikir, meskipun Chitanda merupakan gumpalan Rasa Ingin Tahu itu sendiri, ia juga seorang siswa teladan. Kalau ia tidak tahu bagaimana cara meringkas, ia tidak akan bisa mendapat nilai setinggi itu.

Setelah memastikan semua orang sudah membaca catatannya, Chitanda melanjutkan dengan penjelasannya.

“Pertama-tama, ‘Senpai’ disini, dengan kata lain, paman saya, mengundurkan diri dari SMA Kamiyama. Tingkat pendidikan terakhirnya adalah tingkat SMP. Saya berharap kalian semuanya mengerti yang saya katakana.”

Meskipun ini pertama kalinya aku mendengar Chitanda menyebutkan bahwa Sekitani Jun mengundurkan diri dari SMA Kamiyama, aku tidak begitu terkejut. Lagipula, tidak sulit menebaknya dari kalimat pembuka kata pengantar tadi: “sejak Sekitani-senpai meninggalkan kami”.

Meskipun demikian, Chitanda mungkin tidak tahu alasan kenapa pamannya mengundurkan diri dari sekolah… tidak, ia benar-benar tidak tahu. Seandainya ia tahu, dia pasti sudah menyebutkan soal itu. Kalau dipikir-pikir, waktu di Café Pinapple Sandwich, ia memang menyebutkan kalau keluarga Sekitani dan Chitanda sudah menjauh.

“Kedua, kata pengantar ini melebih-lebihkan tentang bagaimana waktu telah berlalu. Poin yang ketiga menarik; selain menyebutkan senpai sebagai baik hati dan pendiam, beliau juga digambarkan sebagai seorang ‘pejuang’ dan ‘pahlawan’. Apa yang beliau perjuangkan? Poin kelima hanya mengiyakan bahwa ‘Senpai’ berjuang dalam suatu konflik dan menjadi pahlawan, dan sebagai akibatnya dijadikan korban. Untuk poin yang keempat… walaupun saya penasaran soal ini, poin ini tidak relevan dengan masalah yang dihadapi sekarang. Ini menutup laporan saya, apakah ada pertanyaan?”

Karena tidak begitu melenceng, aku tidak banyak Tanya.

Meskipun normalnya si Eksentrik (alias Satoshi) mengacungkan tangan dalam kelas, dalam perkumpulan seperti ini dimana hanya ada sedikit orang dan semua orang saling mengenal satu sama lain. Jadi sebagai gantinya, Ibara-lah yang langsung mulai bertanya, “Hm, kenapa kalimat ‘Karena kisahnya sama sekali tidak dimaksudkan sebagai kisah pahlawan’ ini tidak dipertimbangkan?”

Satoshi tentu saja tahu jawabannya. Walaupun dia ingin bicara, dia menahan diri dan melihat ke arahku. Dia bisa lumayan sopan kalau situasinya menuntut demikian, tidak ingin menyela Chitanda saat ia menjawab.

Disisi lain, karena Chitanda lah yang ditanya, ia segera menjawab, “Kalimat itu hanya ide si penulis, karena orang yang berbeda akan memiliki pandangan yang berbeda pula tentang apa yang disebut sebagai cerita kepahlawanan.”

“Lagipula,”

Setelah menunggu Chitanda menyelesaikan penjelasannya, Satoshi langsung menambahkan, “Kalimat itu mungkin bermaksud kalau ceritanya tidak seromantis cerita pahlawan, tapi lebih mirip pertarungan kotor. Jadi aku rasa kalimat ini tidak hanya merupakan ide saja.”

Ibara terlihat terbujuk dengan penjelasan tersebut.

Tidak ada pertanyaan lain yang diajukan.

“Sekarang, akan saya mulai hipotesis saya.”

Chitanda tidak terdengar percaya diri, tidak juga terdengar tidak yakin, tapi hanya seperti biasanya. Ia tidak memegang memo apapun sambil memulai, “Paman saya sepertinya terlibat dalam suatu konflik, dan setelah itu, ia mengundurkan diri dari sekolah. Saya kurang begitu yakin, tapi menurut saya konflik tersebut yang mendorong pengunduran diri paman saya. Ada satu poin lagi yang perlu dipertimbangkan selain kelima poin yang saya sebutkan: kalimat pembuka ‘telah setahun berlalu sejak’.

“Dengan kata lain, paman saya meninggalkan sekolah setahun sebelum Festival Kanya, artinya ketika Festival Kanya sebelumnya. Ngomong-ngomong, saya mendengar dari seorang teman yang bersekolah di SMA Swasta Kamiyama kalau ada insiden di Festival Kebudayaan mereka tahun kemarin.”

Satoshi berkata dengan riang, “Kalau tidak salah disebut Kerusuhan di Festival Kebudayaan. Kios-kios diancam dan laporan penjualan menghilang.”

Chitanda mengangguk.

Ada pepatah yang mengatakan, selama system masih ada, akan ada yang menentangnya. Apakah itu Festival Kebudayaan, Festival Olahraga ataupun Upacara Kelulusan, ada akan orang-orang yang menentang acara-acara tahunan seperti itu. Satu hal lagi, mohon lihat halaman 24 dari Buku Pegangan Siswa SMA Kamiyama.”

Meskipun ia berkata begitu, tidak ada yang bisa mengeluarkan Buku Pegangan Siswanya. Tentu saja, memangnya ada yang akan selalu membawanya kemana-mana?

“…Apa ada yang salah?”

“Sayangnya kami meninggalkan buku pegangan kita di rumah. Jadi apa yang tertulis disitu?”

“…Jangan-jangan kalian tidak selalu membawanya bersama kalian? Oh, lupakan saja. Umm, bunyinya begini, ‘dilarang keras melakukan tindak kekerasan’. Jadi inilah teori saya,”

Tanpa mengubah nada suaranya, Chitanda melanjutkan, “Ada gangguan yang tidak diharapkan pada Festival Kebudayaan pada tahun itu, dan kemungkinan paman saya meresponnya dengan kekerasan fisik. Meskipun beliau menjadi pahlawan, beliau harus bertanggung jawab atas tindakannya menggunakan kekerasan. Akibat tragisnya setelah itu membuat adik kelasnya menulis eulogi atas kepergiannya.”

Hmmm…


Aku dan Satoshi bicara berbarengan.

“Salah,”

“Maaf, Chitanda.”

Ibara lalu menoleh, bukan ke arah Chitanda tapi pada kami, heran atas apa yang sedang kami pikirkan.

“Apa teorinya salah? Bisakah kalian memberitahu alasannya?”

Chitanda bicara dengan pelan dan melihat ke arahku dengan ekspresi serius. Aku hanya mengangkat bahuku dan membalas, “Kau bilang ada orang-orang yang akan menentang system dan menyebabkan kerusuhan di Festival Kebudayaan. Tapi ini akan mengharuskan agar kios-kios memiliki penjualan yang tinggi agar menarik seseorang untuk mencuri dari mereka. Lagipula, apa kau ingat apa yang aku katakan waktu kau mengajukan supaya kita menerbitkan bunga rampai?”

Chitanda memutar matanya perlahan.

“Kamu bilang terlalu banyak yang perlu dilakukan.”

“Bukan, bukan itu. Yang lain.”

“Yang lain? Umm… Kamu juga bilang tiga penulis itu berlebihan, tapi sekarang kita punya empat.”

… Apakah aku harus memujinya atas ingatan nya yang luar biasa itu? Tidak akan. Aku mengakui kemampuannya dalam mengingat hal-hal seperti ini, tapi Chitanda, secara teknis, waktu aku mengatakan itu, anggota kami masih tiga orang.

“Apa lagi?”

“…Kamu mennyebutkan alternatif lain selain menerbitkan bunga rampai, seperti,”

Akhirnya ia sampai pada poin utama. Ia menepukkan tangannya di depan dada dan berkata, “Mendirikan kios pameran, dan saya berkata,”

“Kau bilang sendiri kalau kios-kios pameran itu biasanya dilarang. Aku juga mengingatnya. Kalau begitu, tidak ada ruang untuk menghasilkan uang di Festival Kanya. Menurutmu orang bisa menemukan barang berharga yang bisa dicuri dalam acara seperti itu?”

Seakan tidak percaya dengan argument seperti itu, Chitanda memiringkan kepalanya dekat dan berkata, “Tapi ada kemungkinan begitu.”

“Apa?”

“Walau mungkin tidak ada nilai uangnya, saya rasa ada nilainya bila dilihat dari aspek lain.”

Ugh.

…Oke, yang ia katakana ada benarnya. Kalau ia mengatakannya seperti itu, tidak ada lagi yang bisa kukatakan.

Satoshi tertawa.

“Kau benar-benar tidak pintar dalam hal begini ya, Houtarou. Kau tidak bisa meyakinkan Chitanda-san seperti itu.”

“Masa’? Kalau begitu bagaimana dengan pendapatmu?”

“Sesuatu yang aku tahu tidak akan disanggah paling tidak.”

Satoshi lalu pura-pura berdehem dan memulai, “ ‘Untuk setiap system ada kelompok orang yang menentangnya’; itu cara yang menarik untuk membahasakannya, Chitanda-san. Kemungkinan besar perkataan ini benar. Tapi bentuk perlawanannya bergantung pada gaya pada jaman tersebut.”

“Walaupun benar adanya kalau ada waktu-waktu dimana insiden terjadi selama Festival Kebuadayaan, kebanyakan, pelakunya bertindak demi tujuan materialistic. Tapi tidak bisa dikatakan ‘tidak ada gangguan’ ketika motifnya tidak materialistic. Kau perlu ingat kalau kejadian ini terjadi 33 tahun yang lalu, jadi untuk mengatakan bahwa keuntungan materialistic dari gangguan yang terjadi adalah hampir tidak mungkin.”

Gaya pada jaman tersebut? Maksudnya gaya perlawanannya?

Apa yang ingin dia katakana sebenarnya? Aku bisa merasakan adanya maksud lain darinya. Begitupula Ibara dan Chitanda, yang memandang Satoshi kebingungan.

“…Kenapa begitu?”

Ibara mendorong Satoshi untuk melanjutkan saat ia bertingkah sok penting dalam diam. Dia mengangguk puas dan berkata, “Kau mungkin tidak mengerti kalau aku mengatakan 33 tahun yang lalu, tapi bagaimana kalau aku menggunakan kata-kata ‘tahun 1960-an’?”

Satoshi terlihat lumayan gembira. Biasanya aku tidak akan membuang begitu banyak tenaga untuk bersaing dengannya untuk mendapat pengetahuan seperti itu, tapi rasanya menyedihkan sekali melihatnya dalam mood yang bagus sambil menyombongkannya. sayangnya, aku tidak banyak tahu soal sejarah.

“Bagaimana, Mayaka? Kau bisa menebaknya?”

Ibara mungkin tidak tahu juga. Ia membuat pose menyerah sambil mengepalkan kedua tangannya.

“Maaf, Fuku-chan, aku tidak bisa memikirkan kemungkinan apapun.”

“Masa’? Bagaimana kalau Gedung Parlemen Nasional di Tokyo?...Mau tambahan petunjuk? Apa plakat dan demonstrasi mengingatkan kalian pada sesuatu?... Aku bicara soal pergerakan pelajar disini.”

“Hah?”

Kami saling melihat dalam kebingungan.

Saat aku berpikir candaan macam apa yang sedang dilakukannya, Satoshi tidak terlihat muram sedikitpun. Jadi aku membalasnya, “Satoshi, kenapa kita tiba-tiba dapat pelajaran Sejarah Jepang modern, sih? Kalau kau mau mengadakan acara kuis, kita bisa melakukannya setelah kita mengatasi masalah ini.”

Tapi Satoshi tetap membuat ekspresi serius dan berkata, “Justru, aku sedang mengatasi masalahnya. Dengar ya, berdasarkan teori Chitanda-san, kekerasan di wiliyah kampus seperti yang disebutkannya adalah hal yang lumayan biasa terjadi pada tahun 1960an. Waktu itu adalah era dimaan terjadi banyak konflik antara yang pro-pembangunan dan anti-pembangunan, jadi seseorang mungkin memanfaatkannya sebagai pelampiasan dan meniru aksi mereka. Ini bukan hanya sekedar tren.”

“… jangan mengatakannya seakan kau melihatnya sendiri.”

“Kan sudah pernah kubilang, aku sedang meneliti periode ini.”

Satoshi memperlihatkan senyuman ‘tak terkalahkan’ kebiasaannya kepadaku.

Hmm, meski tanpa pelajaran Sejarah Modern singkat dari Satoshi, aku kurang lebih sudah mengetahuinya. Tidak tidak wajar untuk semacam insiden terjadi selama Festival Kebudayaan 33 tahun yang lalu. Walau aku tidak mempunyai cara untuk mengetahui apakah hal itu benar tanpa semacam kemampuan penyelidikan (aku juga tidak peduli), tetapi, mengesampingkan candaan Satoshi, teori semacam itu bukanlah tidak mungkin.

“Hmm, Begitu ya… memang benar saya tidak mempertimbangkan kejadian dijaman itu…”

Chitanda seperti mulai tergoyahkan oleh serangan Satoshi di titik kelemahannya. Teorinya sekarang seperti nyala lilin yang diterpa angin.

Meskipun begitu, Ibara angkat suara dengan antusias menyusul Chitanda, “Maaf, Chi-chan,”

“…Ada apa?”

“Kurasa teori Chi-chan tidak akan valid begitu aku melaporkan temuanku. Berikutnya giliranku, jadi kalau bisa, aku akan melanjutkan setelahmu…”

Kalau boleh jujur, aku agak kesal. Kenapa Ibara, kau semestinya tidak angkat suara? Tapi Chitanda tersenyum dengan ramah dan berkata, “Tidak, toh teori saya ternyata tidak cocok setelah ditinjau.”

Sikap yang patut dihormati.

“Saya menarik hipotesis saya untuk sementara. Sekarang mari kita dengar dari Ibara-san, apakah kalian semua setuju?”

Tidak ada yang menentangnya. Adalah tepat membiarkan Chitanda menjadi moderator. Setelah Citanda mengenyampingkan teorinya sendiri, sekarang giliran Ibara untuk menyakinkan kalau teori semacam itu benar. Merupakan orang yang bijak, Ibara mungkin akan bicara dengan cara yang mudah dimengerti.

“Kalau begitu, Ibara-san, silahkan dimulai.”



Salinan yang diberikan Ibara pada kami, bagaimana aku harus mengatakannya ya, ditulis dengan cara yang sepenuhnya berbeda yang mudah dimengerti. Jenis huruf dan tipografinya terlihat buram, dan kata-katanya sulit dibaca kata hurufnya kurang lengkungan. Di kertas B5 tertulis kalimat berikut:


Dengan kata lain, kami, ‘Massa’, dapat melanjutkan kebebasan kami dan kegiatan Anti-Birokrasi tanpa hambatan. Meskipun ini sama sekali bukanlah ketundukan pada kekerasan.


Terlepas dari Persengketaan Besar-besaran Juni lalu, berkat dukungan heroik ketua Klub Sastra Klasik, Sekitani Jun, terhadap fragmatisme kami yang berani, pemandangan saat ‘Pemegang Kekuasaan’ mempermalukan diri mereka sendiri ketika perhitungan mereka justru menjadi senjata makan tuan, masih segar dalam ingatan kami.

“Ini adalah salah satu dari bunga rampai Klub Studi Manga dulu. Judulnya ‘Kesatuan dan Salut Volume 1’, walau hanya ada 2 volume yang diterbitkan. Seperti buku Chi-chan, ini juga diterbitkan pada 32 tahun yang lalu. Aku rasa, kalau ‘Hyouka’ menyebutkan insiden ini, maka aku bisa menemukan sesuatu dengan mencari di perpustakaan. Seperti yang kukira, tidak banyak klub yang bertahan lebih dari 30-40 tahun. Awalnya aku piker Klub Studi Manga belum ada saat itu, tapi aku malah menemukan ini… Hebat, bukan?”

Aku tidak tahu apakah penemuan bunga rampai itu yang hebat atau bunga rampai nya yang hebat. Kesatuan dan Salut… apa judul semacam ini yang digunakan pada jaman itu? Entah kenapa terdengar mencurigakan. Dan gaya prosa yang mereka gunakan! Ini justru lebih terdengar seperti yang akan digunakan oleh Klub Sastra Klasik.

Disisi lain, jelaslah kenapa teori Chitanda dijatuhkan. Singkatnya, Festival Kebudayaan SMA Kamiyama dilaksanakan setiap bulan Oktober, tapi paragraf ini menyebutkan bahwa insidennya terjadi di bulan Juni. Jadi itulah sebabnya teorinya ditolak.

Ibara mengeluarkan notebook memo bergaya kuliahan dari kantung seragamnya dan melanjutkan, “Maaf, aku belum menulis ringkasan seperti Chi-chan, jadi akan kubacakan saja. Pertama, ‘kami, Massa’ telah dituduh sebagai anti-pembangunan. Terjadi ‘prasengketan[4]’ di bulan Juni tahun sebelumnya. Mereka dibantu oleh Sekitani Jun, dan berakhir pada semacam pragmatism sebagai akibatnya. Ini menyebabkan masalah bagi ‘Pemegang Kekuasaan’. Sisa paragrafnya mungkin menarik, tapi sepertinya tidak mengandung hal yang relevan tentang insiden tersebut.”

Aku tidak merasa keberatan dengan laporannya, tapi memangnya apa ‘prasengketan’ itu? Aku menelusuri perbendaharaan kata di kepalaku dan tetap tidak menemukan apapun. Meskipun dari awal memang perbendaharaan kata yang kumiliki tidak sebanyak itu.

Ketika aku sibuk memikirkan apa yang dimaksud ‘prasengketan’, Chitanda melanjutkan pertemuannya, “Apakah laporannya sudah selesai?”

“Iya”

“Kalau begitu, ada pertanyaan?”

Aku langsung bertanya, “Apa maksudnya ‘prasengketan’?”

Satoshi lalu segera bertanya balik padaku, “Memangnya prasengketan apa?”

Dasar, kupikir kau tahu. Dia lalu mengambil salinan ‘Kesatuan dan Salut’ dan menunjukkan kata yang dimaksud padaku.

“Maksudnya ini, ‘persengketaan’.”

Jadi dia memang tahu maksudnya apa. Tanpa melihat ke salinan yang aku punya, dia langsung melanjutkan, “itu harusnya dibaca ‘persengketaan’, seperti dalam ‘persengketaan bersenjata’, konflik yang menyakitkan.”

Tapi Satoshi seperti tidak mengajariku apa-apa. Meskipun dia melihat ke arahku, dia lebih terdengar seperti sedang mengkritikku dengan keras karena salah mengucapkan kata tersebut, tapi aku menyadari dia menggunakan aku untuk mengoreksi Ibara juga. Apakah dia ahli atau tidak dalam melakukannya, Satoshi bisa lumayan pengertian. Walaupun aku tidak ada maksud untuk membantu, aku dengan keras kepala meneruskan, “Yaa, walau aku cuma punya kosa kata yang aku tabung 15 tahun, aku belum pernah melihat kata itu.”

“Tentu saja. Biasanya kata ‘konflik’ dan ‘perselisihan’ yang akan digunakan, tapi ‘persengketaan’ sepertinya kata yang lebih populer digunakan di jaman itu. Kita masih melihat kata ini digunakan di jaman sekarang, tapi kebanyakan digunakan oleh Yakuza.”

Begitu, kalau dipikir-pikir… kata-kata seperti “akan pergi” untuk mengatakan “menghajar orang”. Penggunaannya terdengar kuno dan elegan, tapi tidak pas.

Satoshi lalu berdehem keras dan menambahkan, “… tapi dalam bunga rampai ini, rasanya lebih seperti tiruan.”

Ibara langsung bereaksi dengan suara ibara yang berapi-api, “Apa maksudmu ‘tiruan’?”

Ditanya seperti itu, Satoshi mengerang pelan. Dia biasanya percaya diri dengan bualannya, sehingga jarang sekali bisa melihat gelisah seperti itu sambil ia menjawab pelan, “Bukan, aku bukannya mau bilang kalau materi mu tiruan,”

“Tentu saja bukan! Hmm, bagaimana aku harus mengatakannya ya? Pada dasarnya, pengarang dari paragraf ini tidak ikut dalam aksi apapun. Dia tipe orang yang akan menonton pertandingan olahraga tingkat universitas yang spektakuler dan menulis betapa terkesannya dia oleh permainannya, dan seperti itulah paragraf ini ditulis. Tapi ini bukan tiruan, hanya…”

Aku bertanya, “Jadi, tadi itu tentang apa?”

“Ah, bukan apa-apa, hanya imaginasiku saja. Maaf soal itu Chitanda-san, apa kita bisa lanjut?”

Sang ketua mengangguk dan semua orang setuju.

“Kalau begitu, apakah ada pertanyaan lain?”

Sepertinya tidak ada yang punya pertanyaan lain. Saat ia hendak menyatakan teorinya, Ibara terlihat agak gugup sembari ia mencari hipotesis dalam catatannya dengan panik.

“Hmmm, Oh iya. Ini hipotesisku. Meskipun ini akan menyanggah teori Chi-chan, kalian semua akan mengerti begitu kalian mendengarnya.”

Kami semua terdiam setuju. Karena bulan Juni dan Oktober berjarak terlalu jauh.

“Pengarangnya menyebutkan kalau para pengikut fragmatisme menyebabkan rencana Pemegang Kekuasaan menjadi bumerang. Hasilnya adalah ketua Klub Sastra Klasik berhenti sekolah sebagaimana yang disebutkan dalam ‘Hyouka’.

“Sekarang, apa yang dimaksud dengan kegiatan fragmatik yang menyebabkan beliau harus berhenti sekolah? … Pandanganku sama dengan Chi-chan disini, dengan kata lain, kekerasan. Kalau kejadian yang baru-baru terjadi, maka mungkin saja melibatkan pemecahan kaca-kaca, tapi Fuku-chan mungkin akan mengatakan sesuatu kalau begitu. Korbannya adalah… Pemegang Kekuasaan. Sedangkan untuk anti-pembangunannya, ya sesuatu yang sering aku dengar adalah melawan pemerintahan, jadi mungkin semacam itulah. Sisanya sederhana, ketua Klub Sastra Klasik memimpin mereka dan melawan para guru, lalu…”

Ia mengenggam tangannya erat dan membentuk tinju.

Buk memukul mereka. Walau kita tidak tahu apakah mereka diserang atau tidak, mereka mungkin melakukan hal yang serupa. Tentu saja, mereka bukan sengaja melakukannya. Paragraf pertama yang aku tandai itu penting, pada dasarnya parafraf itu ingin menekankan kebebasan mereka. Karena suatu alasan kebebasan itu terancam, dan untuk mempertahankannya, ketua Klub Sastra Klasik tidak punya pilihan lain selain melakukan perlawanan.”

Ibara menyelesaikannya dengan menutup buku catatannya dan memandang semua hadirin.



“Hmmm… ini terdengar mengesalkan.”

Sang ketua, yang seharusnya mencerna apa yang baru saja ia dengar, menyuarakan pemikirannya dengan nyaring. Aku mengangguk setuju.

“Mengesalkan? Apanya?”

Chitanda menjawab, “Ibara-san, poin utama mu berkisar seputar bagaimana para guru mengancam kehidupan para siswa, dan menyebabkan mereka menggunakan kekerasan untuk melawan ancaman tersebut, bukan?”

Ibara berpikir sebentar sebelum menjawab, “Ya, benar.”

“Akan tetapi, bagaimana sebaiknya saya mengatakannya ya, walau saya bisa memahami beberapa bagian, secara garis besarnya saya belum begitu paham.”

Meskipun aku mengerti beberapa bagian dari yang kau katakan, secara garis besar aku juga tidak mengerti apa yang baru saja kau katakan. Tetapi memang tidak sepenuhnya tidak bisa dimengerti. Pada dasarnya Chitanda bermaksud mengatakan kalau teori Ibara tidak begitu persuasif. Aku menambahkan jawaban Chitanda, “Teorimu terlalu abstrak. Selain itu, dibaca lebih jauh lagi dan kau hanya akan membaca scanning artikelnya.”

“Kau benar. Memang seperti itu, tapi…”

Meskipun ia mengakuinya, Ibara tetap tidak sepenuhnya mundur.

“Tunggu, maksudmu ada kontradiksi?”

Sepertinya ia ingin mempertahankan teorinya melebihi Chitanda tadi.

Sayangnya, aku memang menyadari adanya kejanggalan.

“Iya.”

Aku bicara dengan posisi duduk yang tegak. Tidak ada hubungannya dengan suasana tegang dalam menyanggah orang lain, hanya saja kakiku mulai terasa kesemutan, itu saja.


“Sederhananya begini, kau sendiri menyangkal teori Chitanda yaitu Insidennya terjadi di bulan Juni, bukan saat Festival Kebudayaan di bulan Oktober. Tapi, kalau kita mempercayai baik ‘Hyouka’ dan ‘Kesatuan dan Salut’, maka insidennya terjadi di bulan Juni, sementara kejadian dikeluarkan dari sekolahnya berlangsung pada bulan Oktober ketika Festival Kebudayaan diselenggarakan. Tapi teori Chitanda tidak menyebutkan apapun soal itu. Dan tidakkah kau merasa aneh mereka akan menunggu 4 bulan untuk mengeluarkan seseorang setelah terlibat dalam perilaku kekerasan?

Akan beda lagi ceritanya kalau kasusnya ia mengajukan banding selama periode ini, aku menambahkan dalam pikiranku.

“Tapi itu,” balas Ibara, walaupun sepertinya ia sudah mengerti.

“Bisa saja ‘Hyouka’ yang salah. ‘Kesatuan dan Salut’ dengan jelas menyebutkan bulan ‘Juni’ sementara Hyouka hanya menyebutkan ‘telah satu tahun berlalu sejak’. Insidennya terjadi di bulan Juni diikuti oleh DO dari sekolah dibulan yang sama, sementara Festival Kebudayaannya berlangsung di bulan Oktober. Tidak terdengar terlalu buruk kan?”

Jarak empat bulan ya… ini memang terdengar seperti pendapat yang dipaksakan dari Ibara…

Saat aku dalam keraguan, Chitanda dan Satoshi mengatakan penilaian mereka terhadap teorinya secara berurutan.

“Saya rasa kita tidak bisa mengabaikan interval waktu sepanjang itu.”

“Aku setuju. ‘Festival Kebudayaan’ disebut tepat sebelum kalimat ‘satu tahun sejak’, jadi kurasa kejadian dikeluarkan dari sekolahnya berlangsung pada bulan Oktober.”

Terhadap anggukanku dalam diam, keduanya mengatakan pendapat mereka.

Tiga lawan satu, Ibara memperlihatkan ekspresi tidak senang.

“Uhhh… Kalian terlalu perhatian pada detil.”

Walaupun reaksi manis seperti itu tidak begitu cocok dengan gayanya, reaksinya sedikit mengendurkan suasana yang tegang. Satoshi mencoba untuk mencairkan suasana dengan berkata dalam gaya yang santai, “Tapi paling tidak cara pendekatanmu itu bagus, menurutku.”

Chitanda juga melepaskan ekspresi super serius nya dan tersenyum setuju.

“Memang. Tinjauan ulang tidak perlu terlalu keras.”

Aku juga berpikir begitu. Bagaimana aku mengatakannya ya, rasanya seperti melihat peta ditengah-tengah labirin yang berkabut, atau merasa kesal karena suatu hal tidak berjalan seperti yang kita inginkan. Jika saja ‘Hyouka’ dan ‘Kesatuan dan Salut’ dipertimbangkan, maka teori Ibara tidak akana terasa begitu terbatas. Yang tersisa sekarang adalah Data Satoshi dan Aku menyimpulkan semuanya. Dan jika terjadi kontradiksi yang fatal, yang harus aku lakukan hanyalah memikirkan solusi sebelum giliranku tiba.

Kalau dipikir-pikir, catatanku isinya apa ya? Yang aku tahu hanya kita perlu mengumpulkan catatan bersama-sama, tapi aku belum membaca catatanku sendiri dengan seksama.

“Kalau begitu, giliranku selsai sampai disini ‘kan?”

Chitanda mengangguk pada pertanyaan Ibara.

Mengikuti arah jarum jam, selanjutnya adalah Satoshi. Pada aba-aba Chitanda, Satoshi mulai membagi-bagikan catatannya. Dia lalu tiba-tiba berhenti dan berkata dengan riang, “Oh iya, aku lupa bilang. Beberapa catatanku menyanggah hipotesis Mayaka.”


Salinan yang kami terima adalah salinan dari “SMA Kami Bulanan”. Yang mengingatkanku, Toogaito mengatakan kalau mereka mendekati terbitan ke 400 mereka. Kalau mereka menerbitkan rata-rata 10 nomor setiap tahunnya, maka itu berarti mereka telah berdiri hampir selama 40 tahun. Aku seharusnya menyadari kalau mereka pasti punya bulletin nomor lama dari 33 tahun yang lalu… salah satu artikelnya ditandai dengan lingkaran.

Hanya sebuah bagian kecil dari salinan tersebut yang berhubungan dengan apa yang sedang kami diskusikan, tapi itu cukup jelas untuk menyanggah teori Ibara. Itu adalah dasar dari rasa percaya diri Satoshi ketika dia bicara tadi. Mungkin dia mencoba mempertahankan konsistensi dengan pembicara lainnya… Melirik Ibara, ia memperlihatkan ekspresi yang agak rumit yang tidak terlihat senang ataupun tidak senang. Tentu saja begitu, karena Satoshi memulai pembicaraannya dengan mengomentari teorinya dan bukan teori Chitanda. Meskipun Satoshi mungkin hanya meniru Ibara ketika dia mengatakan kalau catatannya menyanggah hipotesis pembicara sebelumnya. Tentu saja, ini adalah satu dari candaan-candaannya.


▼Mengikuti gangguan di Blok Ruang Kelas Khusus minggu lalu, yang meninggalkan noda pada kehormatan dan kebanggaan dari klub-klub kesenian di SMA Kamiyama, dua pelakunya telah di-skors dari sekolah, dengan lima lainnya diberikan peringatan serius. ▼ Tentu saja, tetap ada kehormatan bahkan diantara pencuri. Untuk Klub Studi Film, mereka mengatakan mereka tidak akan tinggal diam dan menerima hukuman keras ini, sementara Klub Fotografi bersikeras bahwa mereka 100% benar sejak awal. Meskipun tulisan ini tidak akan melangkah begitu jauh dan menyatakannya disini. ▼ Untuk masalah yang tersisa adalah bahwa konflik ini diselesaikan dengan kepalan tangan. Mengabaikan usaha-usaha yang diambil untuk menyelesaikan masalah ini dengan dialog, orang-orang tertentu dari garis keras berpikir sudah memutuskan untuk mengambil pilihan yang mudah namun menyedihkan, kekerasan. ▼ Kami mendorong anggota-anggota kelas 3 dari Klub Studi Film untuk menyesali pemukulan tidak masuk akal mereka terhadap Sachimura Yukiko-san (Klub Teater baru, kelas 1-D), yang bertugas sebagai mediator selama proses negosiasi. Saat ini Sachimura-san sedang dirawat inap ketika kami menerbitkan ini. ▼ Gerakan legendaris dari dua tahun yang lalu tidak akan membuahkan kekerasan seperti itu. Meskipun kami semua dibuat marah oleh apa yang terjadi baru-baru ini, kita tidak boleh membiarkan ini menghancurkan solidaritas kita, dan kita mesti gigih dengan aksi penolakan simpatik kita. ▼ hanya dengan begitulah kita dapat hidup dengan mengetahui bahwa kita sudah menjunjung tradisi dan kehormatan kita.

Satoshi mulai menjelaskan dengan wajah tenang,

“Temuanku berasala dari bulletin lama dari ‘SMA Kami Bulanan’. Aku menemukan ini tertidur di arsip perpustakaan, jadi aku memutuskan untuk membacanya untuk mengisi waktu setelah pulang sekolah. Tapi, bulletin ini tidak menyebutkan secara langsung tentang insiden 33 tahun yang lalu, dan hanya inilah yang dikatakannya berkaitan dengan kejadian tersebut. Sejujurnya, aku rasa kita jadi berputar-putar karena tulisan ini. Meskipun disebut bulletin lama, hanya setengahnya dapat terbaca dan disimpan dengan buruk. Salinannya dipenuhi coretan disana-sini, apa boleh buat. Jadi, ini poin-poin utamanya:”


Ο Insidennya tidak diselesaikan dengan kekerasan

Ο Insidennya mempengaruhi seisi sekolah

Ο Ditengah-tengah insiden, ‘kami’ bersatu

Ο Aksi protes simpatik terjadi sepanjang insiden


“Poin pertama dan poin terakhir mungkin saling berlawanan, tapi keduanya berkaitan dengan hal yang sama. Karena insidennya tidak diselesaikan dengan kekerasan, disinilah teori Mayaka membutuhkan perbaikan. Kedua poin di tengah hampir sama. Meskipun tidak sepenuhnya pasti apakah ‘kami’ ini mewakili seisi sekolah, rasanya cukup aman untuk menganggap kalau ini tidak begitu berarti.”

Benarkah?

Aku tidak begitu puas dengan penjelasan tersebut. Seperti merasakannya, Satoshi menambahkan, “Katakanlah seperti ini. Kalau ‘kami’ berarti seisi sekolah, maka tentu saja seluruh siswa ikut terlibat. Kalaupun bukan, kata ‘kami’ masih berarti ‘kami’ memutuskan untuk mendukung siapapun yang terlibat. Benar?”

Oh, begitu.

“Itu tadi menutup laporanku. Ada pertanyaan?”


Hening lagi. Chitanda bertanya lagi, hanya untuk jaga-jaga, “… Apakah ada pertanyaan?”

Oh iya. Seperti baru saja terpikirkan sesuatu, aku mengacungkan tangan.

“Satoshi, ‘Gerakan Legendaris’ yang disebut disini, apakah sama sekali berbeda dengan insiden yang sedang kita bicarakan? Rasanya mencurigakan kalau hanya dengan membaca artikel ini saja.”

Aku hanya bertanya untuk memastikan sesuatu. Seperti yang kuduga, Satoshi menggelengkan kepalanya.

“Tidak tahu. Tidak ada bukti yang menyatakan apakah insiden tersebut adalah insiden yang kita bahas.”

“Tidak tahu, katamu…”

Meskipun dia terdengar tenang, jawabannya terdengar gegabah. Walau pengetahuannya dalam dan luas , dia bisa agak tak acuh dengan bagaimana ia menggunakannya…

“Kalau begitu informasimu bisa dibilang tidak berguna dong,”

“Iya? Sudah kukira begitu.”

“Apa maksudmu sudah kau kira begitu!?”

Ibara menyelang, “Ada bukti yang mendukungnya, sih.”

“Masa’?”

“Insiden yang kita selidiki menyebabkan kericuhan yang lumayan besar ‘kan? Kita mengetahuinya dari bunga rampai kedua klub. Insiden ini dan ‘Gerakan Legendaris’ adalah kejadian yang berbeda, karena walaupun keduanya mirip, salah satunya dengan jelas diberi label ‘legendaris’ disini, ‘kan?”

Satoshi menepukkan kedua tangannya.

“Oh, benar. Jadi itulah sebabnya artikelnya berkata demikian. Kau hebat sekali, Mayaka.”

Tidak, kurasa kau bahkan tidak mencoba memikirkannya sama sekali sebelumnya. Begitu rupanya, apa yang dikatakan Ibara memang masuk akal. Jika kita tidak bisa menentukan apakah dua benda sama atau tidak, maka kita hanya perlu mengasumsikan bahwa keduanya memang berbeda sejak awal, tentu saja dengan asumsi yang logis seperti yang diperlihatkan Ibara. Selain itu, aku tidak akan membuang-buang energi bersusah payah hanya untuk mencari buktinya. Aku melambaikan tanganku menyatakan kalau aku menerima penjelasan itu.

Tidak ada pertanyaan lagi yang diajukan.

“Kalau begitu, mari kita dengan hipotesis nya,”

Namun, Satoshi tersenyum pahit setelah ditanya.

“Aahh, hipotesis ya?”

“Apa ada yang salah?”

“Chitanda-san, aku bukan bermaksud mengganggu ketertiban pertemuan ini, tapi aku sama sekali tidak bisa membuat teori apapun. Walaupun aku memang bilang kalau kita akan melakukan penelitian kita masing-masing, yang aku temukan hanyalah bunga rampai ini… yang bisa aku lakukan Cuma memperbaiki teori Ibara saja. Lagipula,”

Aku tahu Satoshi akan mengeluarkan salah satu mottonya: Kesimpulan tidak bisa…

“Kesimpulan tidak bisa dibuat dari database saja.”


Pada akhirnya, Satoshi tidak mengeluarkan teori sama sekali. Apa boleh buat, aku juga bukannya mengharapkan banyak darinya.

Walau sekarang masalahnya ada padaku. Sial, sekarang aku menyesal karena tidak membaca materi penelitianku. Aku memang sudah punya teori sendiri dalam pikiranku, jadi aku mengabaikan keraguan dalam hatiku dan melanjutkan pertemuannya.

“Kalau begitu, Oreki-san, kamu bisa mulai kapan saja.”

Aku mengangguk dan menyebarkan salinan catatan, sambil melirik pada catatanku sendiri ketika aku melakukannya. Seperti materi Satoshi, salinanku tidak mengandung banyak yang relevan dengan insiden yang kami bahas. Hanya berisi sebuah daftar dari fakta membosankan; informasi itulah yang aku teliti.


1967

Peristiwa di Jepang dan Dunia

■ Produk Bruto Nasional Jepang melampaui 45 triliun yen menjadi ekonomi terbesar ke-3 di dunia kapitalis. Pada 1968, diperkirakan akan melompati Jerman Barat naik ke peringkat 2.

■ Petir menyambar sekelompok siswa SMA Fukashi dari Kota Matsumoto, Prefektur Nagano, saat mereka melakukan pendakian di Gunung Nishino, menyebabkan 11 orang meninggal dunia.

■ Aktivisme mahasiswa meningkat di Universitas Waseda dengan para mahasiswa ikut serta dalam aksi besar-besaran

Peristiwa di SMA Kamiyama

⃝ April: dalam sebuah pidato oleh Pak Kepala Sekolah Eida Tasuku: “Kita tidak boleh membiarkan diri kita berpuas diri dan menjadi sekolah yang tidak mengikuti perkembangan. Pendidikan adalah untuk menumbuhkan bakat. Pendidikan tingkat menengah seharusnya untuk menumbuhkan bakat-bakat yang dipersiapkan untuk menghadapi pendidikan tinggi.” Secara tidak langsung menyebutkan perubahan kendali sekolah.

⃝ 13 Juni: “Panitia Pertimbangan Festival Kebudayaan” diadakan rapat setelah kelas.

⃝ Juli: Tur Observasi di Amerika. (dipimpin oleh Manninbashi-sensei)

□ 13-17 Oktober: Festival Kebudayaan.

□ 31 Oktober: Festival Olahraga

□ 15-18 November: Jalan-jalan kelas 2 – Takamatsu, Miyajima dan Akiyoshidai.

⃝ 2 Desember: Sehubungan dengan kecelakaan lalu lintas berturut-turut yang terjadi akhir-akhir ini, siswa dikumpulkan untuk meningkatkan kesadaran akan keselamatan berlalu lintas.

⃝ 12 Januari: Gudang peralatan olahraga rusak sebagian akibat salju yang lebat.

□ 23-24 Januari: Pelajaran ber-ski untuk kelas 1.


“Houtarou, jangan-jangan ini..."

Aku menjawab dengan ekspresi kecut, “Yup, diambil dari buku ‘SMA Kamiyama: Berjalan Bersama selama 50 tahun'. Seperti yang sudah kalian lihat...”

Setelah melihat bagaimana ketiga orang ini mempresentasikan materi mereka, kalau seandainya aku meniru mereka, aku harus merangkum hasil temuanku.

......

... Tapi hampir tidak ada yang perlu aku rangkum.

Toh aku juga waktu membawa bahan ini tanpa banyak pertimbangan. Kalau dilihat-lihat, bahan ini memang tidak begitu berarti.

Beberapa saat selanjutnya habis olehku yang kebingungan tentang apa yang harus kulakukan selanjutnya. Karena ini hanyalah sebuah permintaan dari seorang murid perempuan, yang juga tugas klub, tidak berencana untuk bersikap formal karenanya. Gayaku lebih condong ke “Maaf kawan, aku tidak ada ide,” dan membiarkan Chitanda dan Ibara mengatasi selebihnya.

Tapi bahkan pilihan ini agak terlalu abu-abu buatku.


“Maaf. Sebelum lanjut, aku mau ke toilet dulu.”

Chitanda tidak bisa menahan untuk tertawa kecil.

“Ya, tentu saja.”

“Kau grogi?” kata Satoshi seperti sedang mencoba menenangkanku, tapi aku tidak berniat membiarkannya melakukan itu. Chitanda berdiri dan menunjukkan jalan. Sambil mengikutinya, aku memasukkan salinan bahan bahasanku dalam saku.

Aku mulai berpikir sembari dibimbing menuju kamar mandi yang besar.

4 salinan esai. 4 bahan pembahasan.

Dan perdebatan yang mengikutinya.

Apa jawaban yang menghubungkan semua itu? Apa yang terjadi 33 tahun yang lalu?

Aku larut dalam proses berpikir...

Dan akhirnya sampai pada kesimpulan.


“Maaf ya, karena aku berpikir ke arah yang beda, aku tidak membuat hipotesis. Jadi bisa tidak kalau aku langsung ke kesimpulan, toh aku yang terakhir bicara?”

Mendengar usulanku, Satoshi tersenyum iseng.

“Houtarou, kau sudah terpikir sesuatu?”

“Berhenti membaca pikiranku... Pokoknya, akan kujelaskan dengan singkat.”

“Saya,”

Chitanda mengambil napas dalam sebelum melanjutkan, “Saya rasa itu tidak cukup. Kalau ada orang yang dapat membuat hipotesis tanpa ada kontradiksi, orang itu adalah kamu, Oreki-san,”

......

D, duh, aku tidak tahu soal itu.

“Mari kita dengar teorimu, Oreki-san.”

“Yeah, cepat beri tahu kita.”

“Aku lumayan menanti-nanti nih, setelah semua diskusi barusan.”

Mereka sudah membuat keputusan sendiri tanpa melibatkanku... Walau aku tidak merasa tertekan, lumayan sulit juga untuk bicara ketika begitu banyak orang memelototiku. Oke, sekarang aku mulai dari mana? Aku berpikir sebentar dan berkata, “Baiklah, aku akan pakai pendekatan 5W1H. Kapan, Dimana, Siapa, Kenapa, Bagaimana, dan Apa... tidak ada yang ketinggalan ‘kan?”

Chitanda mengangguk.

“Bagus. Pertama, ‘kapan’. Kita tahun insidennya terjadi 33 tahun yang lalu, tapi kita tidak tahu apakah terjadi di bulan juni atau oktober. Jika ‘Kesatuan dan Salut’ benar, maka insidennya terjadi bulan Juni, sementara berdasarkan deskripsi di ‘Hyouka’, sepertinya terjadi di bulan Oktober. Tapi, karena kedua sumber cukup bisa diandalkan, kupikir insidennya terjadi bulan Juni, sementara ‘senpai’ dikeluarkan dari sekolah di bulan Oktober.”

Terlihat tidak puas, Ibara mengangkat sebelah alisnya, karena baruan saja aku menunjukkan kontradiksi dalam teorinya. Aku mengabaikannya dan melanjutkan, “Selanjutnya, ‘dimana’. Tidak ada masalah untuk menjawab ini: SMA Kamiyama. ‘Siapa’, berdasarkan ‘Kesatuan dan Salut’, kita tahu tokoh utamanya adalah Sekitani Jun, Ketua Klub Sastra Klasik. Biarkan aku memperluasnya disini, tokoh utamanya sebenarnya adalah seluruh badan siswa, Sekitani hanyalah salah satu dari banyak protagonis.”

Walapun aku lumayan yakin tidak ada yang salah sejauh ini, mataku kadang melirik catatanku saat aku bicara. Sejauh ini baik-baik saja, sekarang waktunya masuk menu utama.

“’Kenapa’. Kalau semua siswa terlibat, maka otomatis lawan mereka adalah staf pengajar. Mengutip dari Ibara, ‘kemandirian’ mereka terancam.

“Dan penyebab insiden itu adalah Festival Kebudayaan itu sendiri.”

Setelah aku mengatakan kesimpulanku, semua orang melihat ke arahku dengan mata penuh tanya. Aku merasa seperti bakal kena serangan jantung kapan saja.

“... Apa itu disebutkan sebelumnya?”

“Walaupun tulisannya menyebutkan ‘dikeluarkan dari sekolah’ ketika Festival Kebudayaan, artikelnya tidak bilang apapun soal ada hubungannya dengan Festival Kebudayaan.”

Aku menggeleng kepala.

“Tidak, justru sangat ada hubungannya. Kesimpulanku berasal dari percakapan antara para siswa dan staf pengajar, yang akhirnya Festival Kebudayaan dilakukan di bulan Oktober seperti biasa.”

Satoshi memelototi buku ‘SMA Kamiyama: Berjalan Bersama selama 50 Tahun’ dan berkomentar, “Maksudmu adalah ‘Panitia Pertimbangan Festival Kebudayaan’ ini ‘kan? Tapi kenapa kau berpikir ini penyebabnya? Meski tanpa panitia itu, bukankah mereka bakal tetap melakukan Festival Kebudayaan tahunan?”

“Tidak, kau salah. Karena aku sudah susah-susah menyalin buku ini, lihatlah baik-baik.”

Selain Satoshi, Chitanda dan Ibara mengikuti melirik salinan mereka, dan, “Setiap kegiatan ditandai dengan lingkaran atau kotak!”

“... Aku mengerti! Kotak-kotak ini menandakan kegiatan rutin, sementara lingkaran menandakan kegiatan spesifik di tahun itu!”

“Tidak sepenuhnya salah. Kau mungkin akan menemukan beberapa kegiatan yang tidak sesuai dengan dengan kegiatan-kegiatan rutin di tahun-tahun lainnya.”

Aku lalu mengganti salinan buku ‘SMA Kamiyama: Berjalan Bersama selama 50 tahun’ dengan Hyouka dan melanjutkan, “Kenapa ada komite untuk mempertimbangkan Festival Kebudayaan 33 tahun yang lalu? Ini adalah respon terhadap desakan dari para siswa berkaitan dengan kegiatan itu sendiri. Kenapa para siswa ingin panitia semacam ini dibentuk? Petunjuknya bisa ditemukan di dalam Hyouka,”

Aku mengambil sebuah pulpen dan menggarisbawahi beberapa kalimat.

“Disini, ‘Tahun ini, senpai telah menjadi legenda dan menjadi seorang pahlawan. Sebagai akibatnya, Festival Kebudayaan akan berlangsung lima hari seperti biasanya.’ Tidakkah kalian menemukan ada yang aneh dengan kalimat ini?”

Karena tidak ada yang bicara, aku melanjutkan, “Kita tahu Festival Kebudayaan akan berlangsung seperti biasanya, tapi kenapa pengarangnya menambahkan sesuatu yang begitu sepele? Ini artinya perhatian kita seharusnya bukan pada ‘berlangsung seperti biasanya’ melainkan pada kata-kata ‘lima hari’.”

“... Kau ini membicarakan apa sih? Aku tidak mengerti. Aku tidak begitu mengikuti apa yang sebenarnya ingin kau katakan, Oreki. Memangnya ada apa dengan kata-kata itu?”

“Maksudku pencapaian si pahlawan disini adalah bahwa Festival Kebudayaan nya bisa dilangsungkan selama lima hari. Ayo kita lihat lagi buku ‘Berjalan Bersama selama 50 tahun’ dan perhatikan pidato pak kepala sekolah di bulan April. Kalau kau hanya sekadar membacanya saja, pidato ini hanya sekadar pesan untuk menyemangati para siswa untuk fokus pada pembelajaran akademik mereka. Tapi aku ingin kalian mencari makna lain.

“Festival Kebudayaan sekolah kita dilaksanakan selama hari kerja. Untuk lima hari penuh. Ini sangat panjang dibandingkan dengan sekolah lainnya. Oleh karena itu, Festival Kebudayaan menjadi simbol kegiatan klub-klub di sekolah kita. Bagaimana kalau pak kepala sekolah saat itu menginginkan agar para siswa lebih fokus belajar ketimbang kegiatan klub mereka... ini berarti Festival Kebudayaan nya akan diperpendek. Itulah penyebab dari insiden ini – ‘kenapa’nya.”

Aku menghela napas dan menyadari bahwa aku mulai haus. Aku ingin segelas Teh barley… Tapi sebelum aku selesai bicara, aku harus puas dengan menelan ludah dan melanjutkan.

“Sekarang, ‘bagaimana’. Berkat dukungan heroic dari ketua Klub Sastra Klasik, para siswa menjalankan sebuah pragmatism yang berani. Terakhir, ‘apa’. Dipicu oleh keputusan sekolah, para siswa memutuskan melakukan ‘aksi protes damai’ tanpa kekerasan. Hasilnya, Panitita Pertimbangan Festival Kebudayaan dibentuk dan Festival Kebudayaan tetap belangsung selama 5 hari. Dalam arti yang lebih spesifik, tidak ada kekerasan yan menyebabkan hasil tersebut. Tapi hal yang sama tidak bisa dikatakan untuk konteks yang lebih luas. Aku tidak begitu yakin, tapi aksi protes damai bisa berupa… mogok makan, demonstrasi, dan bolos dari pelajaran. Aku yakin Satoshi lebih familiar dengan hal begitu. Pada akhirnya, karena tekanan dari para siswa yang meningkat, sekolah terpaksa melunakkan keputusan mereka untuk memperpendek durasi Festival Kebudayaan. Namun harga yang harus dibayar adalah sang ‘Pahlawan’ Sekitani Jun harus keluar dari sekolah.”

Aku menambahkan satu hal lagi.

“Masalah kenapa ada jarak waktu antara insidennya dan drop-out dari sekolah, tebakanku adalah karena Sekitani Jun adalah tokoh utama dalam pergerakan siswa di bulan Juni, kalau dia dikeluarkan dari sekolah pada waktu itu juga, ini akan menyebabkan kericuhan yang lebih besar. Jadi pengeluarannya dari sekolah ditunda sampai semangat orang-orang mereda setelah Festival Kebudayaan selesai.”

Aku menghela napas pendek setelah aku menyelesaikan penjelasanku. Phew. Aku bisa merasakan udara panas musim panas kembali.

Ini kurang lebih mengakhiri penjelasanku.

Seseorang bertepuk tangan cuek. Satoshi.

“Wow, tadi itu luar biasa, Houtarou. Aku mengerti sekarang.”

Ibara mulai mengoreksi catatannya dalam diam. Walau dia terlihat agak tidak senang, tapi memang dia biasanya seperti itu.

Dan untuk Chitanda.

Seperti anak kecil yang senang setelah menonton pertunjukan sirkus, nona kita itu membuka mulutnya dan berkata, “Itu tadi menakjubkan, Oreki-san! Kamu sudah menghasilkan kesimpulan sehebat itu hanya dengan bahan-bahan yang kita miliki disini… Aku tidak salah sudah meminta bantuanmu!”

Bahkan aku juga akan merasa senang kalau dipuji. Aku bisa merasakan aku mulai merasa malu.

Kelihatannya sekarang kami sudah memecahkan masalah Chitanda dan menciptakan beberapa bahan untuk ditulis dalam buku antologi. Sejak bertemu Chitanda di penghujung bulan April, semua masalah yang merepotkan ini akhirnya akan berakhir.

Sebagai ketua, Chitanda mesti melanjutkan perannya dan bertanya, “Apakah ada pertanyaan lebih lanjut?”

Karena tidak ada pertanyaan lagi, Chitanda mengangguk dalam dan mengakhiri, “Kalau begitu, kita akan menerbitkan buku antologi kita tahun ini berdasarkan kesimpulan dari Oreki-san. Rinciannya akan dibicarakan di lain hari. Untuk sekarang, pertemuan ini selesai… Terima kasih[5].”

Kami saling berpamitan.


Chitanda menunjukkan aku jalan ke pintu masuk untuk pulang. Dari senyumannya, aku bisa melihat betapa puasnya dia dengan kegiatan hari ini.

“Saya benar-benar berterima kasih.”

Katanya dan membungkuk dalam.

“Aku tidak melakukannya sendirian,”

Balasku sambil memakai sepatu. Satoshi, yang sudah duluan keluar sebelum aku, memberi isyarat agar aku bersegera. Karena aku tidak familier dengan jalanan disini, aku tidak punya pilihan lain selain membiarkan Satoshi menunjukkan jalan.

“Kalau begitu, sampai jumpa lagi di sekolah,”

“Yeah, sampai jumpa…”

Aku melambaikan tangan untuk mengatakan selamat tinggal ke kediaman Chitanda.


Karena aku sudah pergi, aku tidak tahu apa yang dilakukan Chitanda setelahnya.

Setelah aku berangkat, dia berdiri di gerbang dengan ekspresi seakan dia baru menyadari sesuatu, sehingga aku tidak tahu apa yang ia bisikkan pada dirinya sendiri waktu itu.

Dia mungkin mengatakan sesuatu seperti,

“Tapi… kenapa aku menangis waktu itu?”



Catatan Penerjemah dan Referensi[edit]

  1. Saya tidak tahu apa sudah disebutkan sebelumnya. ‘menyebrangi sungai Rubicon’ berasal dari idiom bahasa Inggris “Crossing the Rubicon”, yang artinya “melalui titik yang tidak ada jalan kembali/ tidak bisa ditarik lagi”. Crossing the Rubicon diambil dari sejarah Itali dimana pasukan militer yang dipimpin Caesar yang menyebrangi Sungai Rubicon demi mengejar Pompeius – saya tidak hapal nama lengkapnya – waktu itu diberlakukan larangan pada pasukan militer untuk menyebrangi sungai Rubicon untuk mencegah perang internal di kekaisaran Romawi.
  2. Uchimizu, semacam ritual dimana orang-orang menyiramkan/ menyipratkan air ke jalanan atau taman untuk mengurangi debu dan mendinginkan jalan terutama di hari-hari musim panas. Selengkapnya bisa lihat di Wiki 
  3. Tokonoma. Ruangan dalam desain rumah tradisional jepang yang biasanya digunakan untuk menyambut tamu. Dalam tokonoma biasanya dipajang benda-benda seni seperti lukisan, kaligrafi, ikebana, dan bonsai.
  4. Dalam bahasa jepang terdapat banyak kanji yang rumit sehingga sering kali terjadi kesalahan pengucapan. Ibara disini salah mengucapkan kata yang berarti 'perselisihan' yang tertulis di dalam bunga rampai Klub Manga Klasik. sebagian makna dasar kanjinya hilang karena telah diterjemahkan karena kesulitan dalam menemukan padanan katanya dalam bahasa indonesia
  5. Dalam teks bahasa Jepangnya ditulis ‘Otsukaresama deshita’ yang biasanya diucapkan oleh orang jepang pada satu sama lain selepas bekerja atau melakukan sesuatu. Salah satu budaya pekerja Jepang.



Kembali ke Halaman Utama Maju ke Bab 7