Hyouka Bahasa Indonesia:Jilid 2 Bab 1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

1 – Ayo Menonton Preview Film![edit]

Ada pepatah yang bilang bahwa semua manusia diciptakan setara. Pada waktu yang sama, dikatakan juga bahwa tidak ada orang yang dilahirkan sempurna. Jika pepatah-pepatah ini benar adanya, maka tatanan surga tidak bisa diterapkan. Karena nilai yang diyakini seseorang akan berubah bergantung daerah tempat mereka berasal, seseorang tidak dapat membuang seluruh nilai mereka. Jangankan terlahir sempurna, hanya lahir dengan satu bakat saja sudah cukup sulit. Sementara orang-orang pada umumnya akan merasa iri dan cemburu pada para genius di sekitar mereka, bagiku bakat mereka hanyalah bagian dari kehidupan sehari-hari kita, jadi aku tidak mengerti apa yang sebenarnya diributkan.

Saat ini adalah penghujung liburan musim panas. Aku sedang membicarakan topik itu dengan temanku Fukube Satoshi, yang mengangguk setuju dengan pemikiranku.

“Benar sekali. Selama 15 tahun hidupku, aku sepertinya bukan tipe orang yang punya bakat sama sekali. Ada perkataan yang bilang bakat yang luar biasa munculnya lambat, tapi itu lebih mirip bekerja keras untuk mengasah kemampuan, daripada bakat. Jadi kupikir, berharap memiliki suatu bakat itu mimpi yang jauh buat kita.”

“Yah… para genius, genius untuk suatu alasan. Kalau kita orang biasa bisa mendapatkan bakat mereka, maka kita tidak perlu merasa iri pada mereka.”

“Oh, sekarang kau mengharapkan hidup orang biasa, Houtarou? … kalau kau, maka…”

Satoshi lalu dengan santai menambahkan, “Kurasa kau sebenarnya cukup berbakat.”

Aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Saat aku memperlihatkan wajah bingung, Satoshi terkekeh dan bilang, “Aku tahu benar bahwa aku bukan orang yang berbakat, tapi hal yang sama tidak bisa dikatakan padamu, Houtarou.”

“Apa?”

Karena cara bicaranya biasanya dipenuhi candaan, aku berpikir sebentar untuk menerima bagian yang baik dari apa yang dia katakan. Aku punya dua bantahan yang bisa kubuat, pertama-tama, “Kalau harus ku bilang, aku pikir terlalu cepat bagimu untuk menyebut dirimu sebagai orang biasa. Bukankah kau lumayan bagus dalam mengumpulkan banyak pengetahuan?”

Satoshi mengangkat bahunya.

“Yah, mungkin begitu, walau terdengar seperti menyombongkan diri. Tapi aku tidak akan mengatakan bahwa aku segitu hebatnya sampai bisa memenangkan acara kuis. Pengetahuan yang aku dapat, tidak seluas itu.”

Masa’?

Terserahlah, bantahan kedua, “Kalau aku bukan orang biasa, maka tidak mungkin aku bisa mengamati orang-orang.”

“Kalau begitu aku tidak akan bilang apa-apa lagi. Walaupun, aku masih punya beberapa bantahan tentang kau tidak punya bakat.”

“Memangnya dimana kau pernah melihatku menggunakan bakatku?”

“Hmm, dimana, ya?”

Setelah pura-pura berpikir, dia menunjuk ke arah Sekolah Menengah Atas Kamiyama.

“Disitu.”

“Di sekolah?”

“Bukan, di Ruang Geologi, alias ruang klub literatur klasik… kau benar-benar hebat dalam memecahkan insiden ‘Hyouka’. Kalau boleh jujur, aku tidak pernah mengira kau sehebat itu. Itulah sebabnya aku merasa keberatan tentang kamu tidak berbakat berdasarkan hal itu,” katanya sambil tersenyum, sebaliknya, aku terlihat getir.

Insiden Hyouka. Itu bukanlah sebuah peristiwa kriminal, bukan juga perdata. Hyouka adalah nama seri antologi essai yang diterbitkan oleh Klub Klasik, sebuah organisasi misterius dimana aku dan Satoshi adalah anggotanya. Alasan kenapa antologinya dinamai seperti itu tidak bisa dijelaskan dengan singkat, dan untuk alasan yang bagus juga. Gara-gara alasan seperti itu, aku terlibat dalam berbagai kejadian menyusahkan. Dan Satoshi mengomentari peranku dalam kejadian seperti itu.

Dia melanjutkan, “Orang yang memecahkan semuanya itu adalah kau.”

“Sekarang kau melebih-lebihkan, aku cuma beruntung.”

“Beruntung, ya? Aku bukan berbicara tentang bagaimana kau melihat dirimu sendiri, tapi bagaimana aku melihatmu.”

Dia bisa mengatakan kata-kata yang sombong begitu dengan nada yang tenang. Karena aku sudah terbiasa dengan cara bicaranya, aku hampir sama sekali tidak merasa kesal.

Selain sudah berteman lama, Fukube Satoshi juga adalah rival yang baik. Sebagai laki-laki, tubuhnya pendek, dan penampilannya yang kelihatan lemah dapat dengan mudah disangka perempuan kalau dilihat dari jauh. Akan tetapi, dia sebenarnya lumayan bersemangat, terutama dalam mengejar apa yang menarik baginya. Sampai dia rela memprioritaskannya daripada hal-hal yang menurut orang lain merupakan ‘hal yang dibutuhkan’. Dia selalu terlihat tersenyum dan membawa sebuah tas bertali. Sambil dia mengayun-ayunkan tas itu, dia bertanya, “Ngomong-ngomong, jam berapa sekarang?”

“Lihat saja jam-mu sendiri.”

“Jamnya ada di dalam tas, repot sekali harus mengeluarkannya,” katanya dan menepuk tasnya. Satoshi berpikir, memakai jam tangan terlalu merepotkan, dia lebih senang melihat jam melalui handphone-nya.

“Aku yang merasa direpotkan, tahu.”

“’Jika aku tidak harus melakukannya, aku tidak akan melakukannya. Jika aku harus melakukannya, cepat lakukan dan selesaikan.’ Bukan?”

Satoshi tersenyum sambil mengejek motto-ku. Aku melihat jam-ku dan mengoreksinya, “Yang benar, ‘jika aku harus melakukannya, lakukan secepat mungkin.’… baru jam sepuluh lewat.”

“Memangnya kau harus mengingat setiap katanya? Toh itu bukan semacam motto yang mengagumkan. Wow, sudah jam sepuluh? Kita sebaiknya buru-buru. Chitanda-san mungkin bisa memaafkan kita karena terlambat, tapi Mayaka-lah yang aku takuti.”

Dengan itu, aku setuju. Ibara Mayaka bisa sangat menakutkan saat sedang marah. Aku tidak tahu apa Satoshi mengetahui ini atau tidak, tapi aku punya perasaan bahwa Chitanda Eru juga tidak jauh berbeda. Saat Satoshi mempercepat lajunya, aku mengikutinya. Setelah menyebrangi zebra cross, kami sampai di depan gerbang sekolah. Hari ini adalah hari biasa di SMA Kamiyama, dimana banyak siswa datang ke sekolah meskipun ini masih dalam masa liburan.

Halaman sekolah dipenuhi oleh siswa baik yang memakai baju seragam maupun pakaian biasa. Musik dari klub musik yang sedang bermain dapat terdengar. Di samping halaman sekolah terdapat semacam monument besar yang sedang diberdirikan, mungkin semacam atraksi dari suatu klub. Meskipun dalam masa liburan musim panas, SMA Kamiyama dipenuhi oleh siswa yang penuh energi, karena semuanya sedang bersiap untuk Festival Kebudayaan.

Jumlah seluruh siswa yang bersekolah di SMA Kamiyama berjumlah sekitar 1000 orang. Sekolah ini sedang menjalankan kurikulum untuk ujian masuk universitas sambil membiarkan klub-klub beraktivitas dengan ceria. Kalau kalian mengesampingkan Festival Kebudayaan yang diagung-agungkan, SMA Kamiyama hanyalah sekolah SMA biasa seperti yang lainnya. Ada tiga gedung sekolah, Blok Utama yang berisi ruang kelas biasa, Blok Kelas Khusus dengan ruang-ruang kelas khusus untuk pelajaran tertentu, dan gedung olah raga. Ruang Klub Klasik terletak di Ruang Geologi di lantai 4 Gedung Kelas Khusus.

Diantara suara nyanyian Klub Paduan Suara dan Klub Acapella dari halaman tengah, kami mempercepat langkah. Seperti yang dikatakan Satoshi, motto-ku adalah, “Jika aku tidak harus melakukannya, aku tidak akan melakukannya. Jika aku harus melakukannya, lakukan secepat mungkin.” Singkatnya, aku adalah ‘penghemat energi’. Gaya hidup seperti ini sangat berbeda dengan mereka yang mengerahkan seluruh tenaganya ke dalam kegiatan-kegiatan seperti Festival Kebudayaan. Walaupun sekarang aku sedang tidak ingin memikirkan hal-hal seperti itu.

Dari pintu masuk, kami menuju koridor yang mengarah ke blok kelas khusus. Sebuah lukisan panjang dari suatu klub bisa terlihat ditempatkan di sisi tangga untuk dikeringkan saat kami menaiki tangga, melewati 4 anak tangga sekali langkah, yang sangat melelahkan. Karena saat ini adalah penghujung musim panas, aku mengeluarkan sapu tanganku untuk menyeka keringatku sambil memasuki Ruang Geologi.

Kami langsung disambut oleh seseorang yang berteriak, “Kalian terlambat!”

Berdiri tegak di tengah ruangan seperti dewa pelindung tidak lain tidak bukan adalah Ibara, orang yang bertanggung jawab mengawasi penerbitan buku antologi Klub Klasik ‘Hyouka’, yang sudah aku kenal dalam waktu lama.

Ibara Mayaka. Sementara kami tidak begitu akrab dengan satu sama lain, entah kenapa kami tidak bisa menghindari untuk bertemu terus. Walau ia sudah berubah dari sejak sekolah dasar, dia masih memiliki wajah yang kekanak-kanakan meskipun telah menjadi siswa SMA. Lain dengan penampilannya, ia lumayan keras. Selain tiada ampun terhadap kesalahan oran lain, ia jauh lebih keras terhadap dirinya sendiri. Alasan atas kemurkaannya sederhana, seperti yang sudah disetujui bahwa kami seharusnya berkumpul disini jam 10 pagi ini.

Tetap dalam pose dewa pelindungnya, Ibara bicara, “Fuku-chan, jelaskan alasanmu.”

Senyum Satoshi menjadi kaku saat dia bicara, “Yah, kami tidak bisa memakai sepeda hari ini…”

“Kamu seharusnya sudah tahu itu ‘kan!”

Ngomong-ngomong, meski kita bebas pergi ke SMA Kamiyama dengan sepeda selama liburan musim panas, karena tempat parkiran sepeda-nya saat ini sedang dalam perbaikan, jadi tidak bisa digunakan.

“Yang benar saja, Fuku-chan! Kamu masih belum memberikan naskahmu!”

Satoshi merentangkan tangannya sembari mencoba protes, “Tu, tunggu dulu, Mayaka! Bukankah Houtarou juga terlambat?”

Ibara menoleh padaku, dan setelah bertemu mata denganku, mengalihkan pandangannya lagi ke Satoshi.

“Siapa peduli soal Oreki,”

… Double Standards[1], ya

Alasan Ibara sangat memperhatikan Satoshi adalah karena ia menyukainya. Dan yang bersangkutan sama sekali tidak berusaha untuk menyembunyikannya. Disisi lain, Satoshi terus-terusan menghindari pendekatan darinya sampai hari ini. Untuk sejak kapan mereka memulainya, aku sendiri tidak tahu.

Terlepas dari itu, Klub Klasik terbentuk oleh empat anggota: aku, Satoshi, Ibara, dan juga sang ketua, Chintanda Eru, meski sekarang Chitanda tidak ketahuan rimbanya.

“Itu double standard namanya!”

“Kamu bicara apa sih? Tidak ada yang seperti itu kok.”

Aku menyela perdebatan tak berarti mereka dan berkata, “Hei, Ibara. Chitanda juga tidak ada.”

“Bagaimana mungkin aku pilih kasih… Hah? Chi-chan? Benar juga, dia masih belum datang. Aku jadi khawatir.”

“Begitu, aku mengerti, itu memang bukan double standard,” Satoshi bergumam.

“Benar. Itu triple standards namanya.”

Tidak biasanya, Ibara membalasnya sambil tersenyum.

Seakan diberi aba-aba, sebuah siluet dengan tanpa suara membuka pintu dan memasuki ruangan. Ternyata Chitanda.

Chitanda Eru. Dengan rambut hitam panjangnya dan sosok yang terlihat rapuh, dia memancarkan aura seorang lady yang anggun. Dan itu memang sebuah fakta, karena dia adalah putri Klan Chitanda, yang memiliki tanah perkebunan yang sangat luas di sudut Kota Kamiyama. Akan tetapi, berlawanan dengan keanggunannya adalah matanya yang besar. Bagiku, matanya itu adalah yang paling mewakilinya. Jika Ibara penampilannya yang kelihatan seperti anak kecil, maka Chitanda seperti anak kecil karena keingintahuannya yang sangat besar pada setiap misteri yang dia temui. Namun, dia adalah orang yang pintar terlepas dari sifat kekanak-kanakannya, yang membuatnya semakin sulit untuk dihadapi.

Jam menunjukan jam sepuluh lebih tigapuluh menit. Chitanda membungkuk dalam dan berkata, “Saya benar-benar minta maaf karena terlambat.”

Chitanda hampir tidak penah terlihat tidak rapi seperti ini. Meski tidak sangat tepat waktu, adalah jarang untuk melihatnya terlambat. Ibara pasti memikirkan hal yang sama karena dia bertanya tanpa menyalahkannya, “Apa terjadi sesuatu?”

“Iya. Sedikit. Saya tadi sedang berbincang panjang.”

Pembicaraan apa? Kami tidak mengerti kalau kau tidak menjelaskannya dengan rinci. Katakanlah begitu, Chintanda melanjutkan perkataannya sebelum aku dapat bertanya.

“Saya akan menjelaskannya nanti tentang pembicaraan apa yang saya maksud.”

Apa maunya? Aku punya perasaan tidak enak soal ini.

“Hmmm… Baiklah, mari kita mulai kalau begitu.”

Alasan Klub Klasik berkumpul hari ini adalah untuk melakukan pertemuan sehubungan dengan publikasi antologi klub ‘Hyouka’, yang termasuk didalamnya desain apa dan jenis huruf apa yang digunakan, bagaimana menyusun artikelnya, dan kertas apa yang akan digunakan. Sementara sebenarnya akan lebih baik kalau aku mengusulkan agar Ibara saja yang mengurus semuanya, dia mungkin tidak akan menyetujuinya, karena dia berdalih bahwa karena kami semua sudah menyumbang uang dan naskah, maka adalah adil bahwa kami semua juga ambil bagian dalam menyatukan antologinya. Aku tidak begitu ingin melakukannya, tapi toh aku tidak punya kegiatan lain selama liburan musim panas.

Ibara mengeluarkan beberapa sampel kertas dari tasnya dan mulai berbicara.

“Ini kertas kualitas paling tinggi yang bisa kita beli dengan anggaran kita, sementara ini yang paling murah. Mereka sangat berbeda, dan tidak cuma penampilannya, tapi juga tampilan tintanya di kertas…”

Saat dia mulai menjelaskan, Chitanda dan Satoshi mendengarkan dengan antusias. Sementara aku merasa seperti yang buta peniup lesung[2], paling tidak aku berusaha mendengarkan agar Ibara tidak marah.


Rapat editorialnya selesai lebih cepat dari yang aku kira, hanya berlangsung kurang dari satu jam. Ibara telah menuliskan barang-barang yang telah disetujui dalam buku catatannya, yang selanjutnya akan dia serahkan pada penerbit. Menjadi supervisor pengeditan benar-benar terdengar merepotkan, jadi aku menepukkan kedua tanganku berterima kasih atas kerja kerasnya.

Sekarang sudah siang. Meskipun kami sudah boleh pulang, kami memutuskan untuk tinggal dulu dan makan siang, dengan hanya membeli makan siang kotakan dari minimarket. Saat aku mengeluarkan makan siang kotakanku yang harganya tidak sampai 400 yen dari tas selempangku, ketiga lainnya mengikuti.

Sambil membuka plastik tipis pembungkus onigirinya, Satoshi bertanya tanpa menujukannya pada siapapun.

“Jadi, kapan antologinya bakal terbit?”

Orang yang semestinya tahu bagaimana menjawab pertanyaan tersebut tentu saja adalah Ibara, yang menggeretu seperti mengatakan “Memangnya aku ingat tepatnya kapan” dan berkata, “Kita mestinya mendapat contoh barangnya awal Oktober, tapi kita tidak akan dapat barangnya sampai menjelang Festival Kebudayaan.”

Sekarang adalah akhir Agustus. Tinggal seminggu sebelum liburan musim panas berakhir. Akan jadi merepotkan untuk meneruskan menulis saat sekolah mulai lagi bulan September nanti. Sebagai seorang penghemat energi, aku tidak suka meninggalkan pekerjaan tidak selesai karena tidak efisien. Sudah pasti lebih baik menyelesaikannya secepat mungkin. Paling tidak, kami masih punya cukup banyak waktu.

Suara Chitanda membuka tutup kotak makan siangnya dapat terdengar. Untuk anak perempuan seumurannya, kotak makan siang biasanya kecil dan berisi makanan yang sesederhana makanan kecil. Meskipun kotak makan siangnya memang kecil, isinya terlihat lumayan mengenyangkan: rebusan fuki[3], omelet manis, dan daging cincang. Sebelum mengeluarkan sumpitnya, dengan santai ia bertanya, “Ngomong-ngomong, apakah diantara kalian ada yang punya kegiatan sore ini?”

Karena aku bukanlah orang yang punya kesibukan, aku memang punya waktu luang. Jadi, aku menggelengkan kepala, begitu juga Ibara.

“Aku harus membawa catatan ini ke penerbit, tapi baru nanti malam.”

Satoshi berpikir sebentar,

“Aku berpikir untuk mampir ke Klub Kerajinan Tangan untuk melihat apa ada yang bisa aku bantu. Aku sudah lumayan lama belum memegang alat jahit lagi. Selain itu, sudah lama aku tidak nimbrung sama anggota OSIS. Tapi kenapa tidak?”

Dengan kami bertiga berpemikiran sama, Chitanda terlihat seperti orang paling bahagia yang masih hidup. Melihatnya tersenyum, aku mendadak punya firasat buruk. Meskipun aku tidak akan mengatakan bahwa ini berdasarkan pengalaman, aku hanya takut dengan masalah, itu saja.

Sambil ia meletakkan sumpitnya, ia berkata dengan semangat, “Kalan begitu, mari menonton preview!”

Preview?

Aku sama sekali tidak tahu apa yang dibicarakannya. Apakah sesuatu terjadi diluar sepengetahuanku? Tanpa berpikir, aku menoleh pada Satoshi, yang hanya menggelengkan kepalanya untuk mengatakan bahwa dia juga tidak tahu apa-apa. Sama halnya dengan Ibara, yang terlihat bingung.

“Chi-chan. Preview apa yang kamu maksud? Film?”

“Benar… Umm, sebenarnya bukan film juga, lebih seperti film rekaman.”

Film rekaman? Pasti maksudnya adalah film buatan sendiri.

“Milik Klub Studi Film?”

Chitanda menggelengkan kepalanya.

“Bukan.”

“Kalau begitu, Klub Studi Film Buatan Sendiri?”

Berhentilah bertingkah bodoh, Satoshi. Aku dan Ibara memandang dingin pada wajah tersenyumnya, walau dia tetap tersenyum seperti biasanya dan berkata, “Aku yakin ada! Kalau Klub Klasik saja ada, pastinya Klub Studi Film Buatan Sendiri juga pasti ada!”

Satoshi segera menghalau candaannya, sesuai dengan motto-nya “Candaan itu dibuat spontan, seperti halnya kesalahpahaman harus langsung dibereskan.” Kalau dia bilang ada, maka mungkin klub itu memang ada. Ini bukan hal yang mengejutkan, karena SMA Kamiyama memiliki bermacam-macam klub dari rumpun seni.

Tapi tetap saja Chitanda menggelengkan kepala.

“Bukan itu juga. Ini film pameran kelas yang dibuat kelas 2-F.”

“Wow, pameran kelas.”

Ibara mengangguk kagum.

Memang. Bahkan dari kelasku, 1-B, tidak ada yang membuat pengajuan untuk melakukan sesuatu untuk Festival Kebudayaan di bawah nama kelas, karena semua orang sudah dilelahkan oleh aktivitas dalam klub masing-masing. Selain itu, mengadakan pameran akan jadi tugas yang lumayan besar. Kalau dipikir-pikir, ini akan membuat Satoshi lumayan hebat, sambil dia sibuk di Klub Klasik, Klub Kerajinan Tangan, dan OSIS.

“Beberapa anak kelas 2-F dari berbagai klub olahraga memutuskan mereka juga mau berpartisipasi dalam Festival Kebudayaan. Karena saya mengenal seseorang dari kelas kelas 2-F, saya diundang untuk melihat preview film mereka untuk bertanya soal pendapat saya tentang film mereka. Bagaimana? Apakah kalian tertarik?”

“Ya. Aku ikut!”

Satoshi setuju bahkan tanpa berkedip. Lagipula, setiap hal yang menarik baginya akan menghasilkan reaksi semacam itu.

Ibara menaikan alisnya sedikit dan bertanya, “Seperti apa filmnya?”

“Umm, saya dengar filmnya film misteri.”

Jawaban itu sudah cukup untuk memuaskan Ibara.

“Kedengarannya menarik. Baiklah, aku juga ikut.”

“Kukira kau tidak suka film artistik, Mayaka,”

“Aku bukan tidak menyukainya… Lagipula, yang ini dibuat oleh orang-orang yang tertarik film.”

Memang, tidak akan ada yang berpikir ingin menonton film yang dibuat oleh orang-orang yang hanya ‘ingin berpartisipasi dalam Festival Kebudayaan’.

Sekarang, bagaimana denganku?

Kalau boleh jujur, aku tidak begitu tertarik dengan film. Aku tidak pernah merasa ingin menonton sebuah film, apakah itu film independen atau film blockbuster. Untuk mengapa alasannya, aku juga tidak begitu tahu. Mungkin berhubungan dengan menonton film terlalu memakan waktu, aku dikatai kehilangan separuh kesenangan dalam hidupku gara-gara itu. Aku tidak benci menonton mereka, dan ada beberapa film yang aku sukai juga…

Pokoknya, kurasa aku pulang saja.

Sebelum aku dapat bicara, Chitanda dengan riang membuka mulutnya.

“Kalau begitu sudah diputuskan! Kita semua akan pergi menonton!”

“Tidak, aku…”

“Sebenarnya, selain saya sendiri, saya diminta untuk membawa tiga orang lagi. Saya pikir dengan kalian bertiga di Klub Klasik ini; jumlahnya pas sekali.”

Ia bahkan tidak mendengarkan.

Tersenyum jahil, Satoshi menunjukkan ibu jarinya padaku dan berkata,

“Chitanda-san, Houtarou sepertinya ingin mengatakan sesuatu.”

“Oreki-san, kamu juga ikut ‘kan?”

Ugh.

“…. Iya ‘kan?”

Argh.

Kenapa sih aku tidak pernah bisa menemukan cara untuk menghadapi Chitanda setiap kalinya? Tidak peduli respon seperti apa yang aku siapkan sebelumnya, ia akan membuatku tetap pergi. Tentu aku bisa saja memilih untuk menolak ajakannya tanpa merasa bersalah, tapi masalahnya aku tidak menemukan alasan untuk menolak.

Aku mengangkat bahuku menyerah. Terserahlah, toh walaupun aku pulang aku tidak ada kegiatan apa-apa.


Gorden ruang Audio/Visual tertutup, menghalangi sinar matahari terbenam dari luar, membuat ruangan menjadi gelap.

Dari kegelapan itu, seorang siswi tiba-tiba muncul. Penyebab ilusi seperti itu mungkin ada hubungannya dengan pakaian biru navy yang dikenakannya, yang menyatu dengan kegelapan.

Chitanda menyapanya.

“Saya telah datang sesuai permintaan.”

Ia berjalan ke arah kami, hanya pada saat itulah aku bisa melihat sosoknya.

Tingginya sama dengan Chitanda, mungkin sedikit lebih tinggi, namun badannya ramping. Matanya sedikit tinggi dan kecil, dan wajahnya terlihat seperti orang berpendidikan baik dan memiliki etika yang sempurna. Tidak begitu salah untuk mengatakan bahwa ia cantik, tapi buatku ia terlihat lebih ‘tegas’ ketimbang cantik. Walaupun tidak terlihat seperti setahun lebih tua dari kami, ada aura keseriusan mengesankan yang memancar darinya. Daripada seorang siswi SMA, ia rasanya lebih mirip polisi atau guru… tidak, lebih seperti petugas wanita Tentara Angkatan Pertahanan, dengan pangkat tidak kurang dari Mayor. Bicara dengan suara lembut yang membuat tenang, ia berkata, “Ah, kau sudah datang.”

Dia menatap masing-masing kami, dan melanjutkan, “Selamat datang. Aku berterima kasih karena kalian bersedia meluangkan waktu untuk datang.”

Chitanda pelan-pelan memperkenalkan kami satu per satu.

“Ini adalah Ibara Mayaka-san, Fukube Satoshi-san, dan Oreki houtarou-san. Seperti saya, mereka semuanya adalah anggota Klub Klasik.”

Gadis itu sepertinya memasang wajah yang ambigu saat kami diperkenalkan. Aku tidak bisa menduga apakah ia tersenyum atau terlihat murung. Namun ia segera kembali ke ekspresinya sebelumnya dan membungkuk pada kami.

“Senang bertemu dengan kalian… Namaku Irisu Fuyumi.”

Saat ia memperkenalkan diri, Satoshi langsung bereaksi dan meninggikan suaranya terkagum.

“Ah, sudah kuduga, Anda adalah Irisu-senpai[4]! Saya memang merasa pernah melihat Anda entah dimana!”

“Namamu Fukube Satoshi, bukan? Maaf, tapi, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”

“Senpai menghadiri rapat Komite Pengorganisasian Festival Kebudayaan di akhir Juni, bukan?”

“Aku tidak begitu ingat, apa terjadi sesuatu?”

Terlepas dari apakah ia benar-benar lupa atau hanya pura-pura, Irisu menjawab seperti itu. satoshi melanjutkan dengan semangat, “Saya melihat cara Senpai menyelesaikan perseteruan antara Klub Musikal dan Klub Drama. Sejujurnya, saya benar-benar terkagum! Sejak saat itu, saya selalu berpikir saya ingin bertemu Senpai paling tidak satu kali saja!”

“Ah, sekarang aku ingat.” Balasnya langsung. “Aku tidak melakukan apapun yang spesial waktu itu.”

“Tidak, sungguh, Anda hebat waktu itu. Sekarangpun saya masih ingat; tiga kali Anda mendesak ketua panitia untuk segera mengendalikan rapat supaya para anggota dapat mengajukan pendapatnya tanpa interupsi. Alhasil, perseteruannya terselesaikan dalam waktu kurang dari lima menit. Saya memberikan salut pada Anda dari dasar hati, karena waktu itu Anda terlihat seperti ketua yang sebenarnya.”

Jika Ibara bukanlah tipe orang yang suka memberi pujian, maka merupakan hal yang jarang bagi Satoshi untuk memuji seseorang dengan berlebihan seperti itu. Sekarang, disini bagian menariknya, bagaimana Irisu Fuyumi akan bereaksi terhadap pujian seperti itu? Aku memasang telinga dengan penasaran.

Tetapi terlepas dari tatapan kagum dari Satoshi, ia hampir tidak menunjukkan reaksi apapun dan berkata, “Begitu?”

“Irisu-san memang pernah berkata kalau Anda memang tidak begitu tertarik dengan apa yang terjadi di sekolah, bukan?” Tanya Chitanda, yang padanya Irisu mengangguk.

“Fukube-kun menjadi anggota komite sebagai perwakilan saya sebagai ketua klub, jadi rapat itu mungkin memang terjadi. Jadi saya mohon untuk tidak terlalu terkejut dengan perkataannya.”

“Begitu. Aku tidak begitu kaget sih.”

Satoshi telihat murung saat ia mengatakannya. Ibara lalu bertanya pada Chitanda, “Chi-chan, bagaiman kau mengenal Senpai?”

“Irisu-san?... Keluarga kami cukup dekat satu sama lain. Irisu-san sering mengasuh saya waktu saya masih kecil.”

Jadi Klan Chitanda punya orang-orang teman bergaul yang bisa disebut sebagai teman masa kecil, itu tentu saja kemewahan yang tidak bisa dijangkau Klan Oreki. Mereka memang keluarga terkemuka. Kalau dipikir-pikir, apa Klan Irisu juga seterkenal itu? Aku sendiri juga tidak begitu yakin. Toh, mungkin tidak ada hubungannya dengan Irisu sendiri.

“Ok,”

Irisu mengembalikan topik pembicaraan, dan memperlihatkan pada kami benda yang ia pegang di tangannya. Benda berbentuk persegi itu sepertinya adalah kaset video.

“Sebenarnya, kalian semua diundang kesini untuk menonton kaset ini. Seperti yang aku yakin telah kalian dengar dari Chitanda, video ini adalah sebuah film yang dibuat oleh kelasku. Harapanku adalah agar kalian menonton filmnya dan memberikan umpan balik yang jujur.”

“Kami menantikannya.”

Begitu kata Chitanda.

Benar-benar seperti preview film sungguhan. Tapi untuk apa? Saat pertanyaan itu muncul di kepalaku, aku bertanya, “Apakah hanya itu yang harus kami lakukan?”

Irisu melihat kearahku dengan dengan tatapannya yang suram. Merasakan tekanan dari tatapannya, aku melanjutkan, “Hanya menonton, dan lalu memberikan umpan balik?”

“Memangnya seaneh itu?”

“Meski seandainya kami benar-benar memberikan kritik, Senpai tidak akan membuatnya ulang bukan? Tentunya sebuah preview bertujuan utama untuk promosi, dimana kau meminta orang-orang untuk menyebarkan kabar tentang filmnya, bukan?”

Entah kenapa, irisu mengangguk puas.

“Sebuah pertanyaan yang bagus. Memang, hanya menonton film ini saja tidak ada gunanya. Aku akan menjawab pertanyaanmu, tetapi akan lebih jika kalau kalian dapat menonton filmnya terlebih dahulu. Bagaimana?”

Hmm, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi karena jawabannya yang efisien, aku tidak mengatakan apa-apa lagi.

Setelah melihat aku setuju, Irisu melanjutkan, “Kami belum memberikan film ini sebuah judul. Untuk sekarang, judulnya sesuai dengan judul pengerjaannya ‘misteri’. Ketika videonya berakhir, ada sesuatu yang ingin kami tanyakan pada kalian, untuk itu kami ingin kalian menonton videonya terlebih dahulu.”

Sekarang giliran Ibara yang bicara.

“Jika itu adalah film misteri, lalu apakah itu film detektif?”

“Tidak akan salah menyebutnya begitu.”

“Kalau begitu, apakah kami boleh membuat catatan selama menonton?”

“Tentu saja. Silahkan tulis sebanyak mungkin detil yang kalian lihat.”

Bilang begitu pun, kami meninggalkan semua barang-barang kami di Ruang Geologi. Saat Ibara hendak bertanya apakah kami bisa kembali untuk mengambil tas kami, Satoshi bicara.

“Kalau begitu aku yang akan mencatat.”

Dan dengan wajar mengeluarkan sebuah buku catatan dari tas tali yang selalu dia bawa… aku tidak tahu dia membawa benda itu juga didalamnya.

Irisu melihat ke jam tangan berdesain simpel miliknya dan berkata, “Sekarang, ayo kita mulai. Silahkan duduk.”

Seperti yang dikatakan, kami duduk di kursi yang terdekat dari kami. Satoshi membuka buku catatannya sementara Irisu berjalan menuju ruang kendali. Sebelum melewati pintu besi, ia berbalik dan berkata, “Selamat menikmati”.

Saat ia menutup pintu, suara berderik terdengar. Sebuah layar putih perlahan-lahan turun dihadapan kami. Kami segera duduk tegap dan bersandar sekebelakang mungkin.

Ngomong-ngomong, Irisu tidak cukup mempersiapkan preview ini. Paling tidak, seharusnya ia menyediakan popcorn untuk kami makan.

Sebuah film yang bahkan judulnya belum ditentukan seharusnya tidak ada. Akan tetapi sebuah gambar muncul dihadapan kami. Gambar tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah gambar SMA Kamiyama yang kami semua terbiasa melihatnya. Gambar tersebut menunjukan sebuah ruang kelas dengan meja-meja dan kursi-kursi berjejer rapi. Pemandangan diluar jendela menunjukkan saat itu adalah sore hari.

Seorang narator mulai bicara dengan suara laki-laki yang kering dan kasar.

“Semuanya dimulai saat sekelompok siswa kelas 2-F SMA Kamiyama memutuskan untuk ikut serta dalam Festival Kanya untuk membuat kenangan tentang kehidupan SMA mereka. jadi, mereka mengadakan pertemuan pada suatu hari untuk memutuskan apa yang akan dilakukan.”

Ngomong-ngomong, “Festival Kanya” merupakan nickname dari Festival Budaya SMA Kamiyama, meskipun kami di Klub Klasik tidak menyebutnya demikian. Untuk alasannya, hal itu merupakan cerita panjang yang berbeda.

Sekelompok murid lalu muncul di layar. Ada total 6 orang, mereka duduk di sekeliling meja yang saling berhadapan. Ini pasti adegan pertemuan yang disebutkan narrator barusan. Kamera lalu menampilkan satu persatu masing-masing orang sementara si narrator memperkenalkan mereka dengan nama mereka.


Yang pertama adalah “Kaitou Takeo”, seorang siswa laki-laki yang berotot yang terlihat seperti anggota suatu klub beladiri. Dengan bangga dalam kelompok, dia adalah yang paling tinggi dari keenam siswa.

Yang kedua adalah “Sugimura Jirou”, seorang siswa yang terlihat kurus dan satu-satunya murid laki-laki yang menggunakan kacamata. Mungkin karena kamera yang mengarah kepadanya, dia tidak bisa diam.

Yang ketiga adalah “Yamanishi Midori”, seorang anak perempuan dengan kulit yang gelap dan rambut yang di-cat berwarna coklat menjuntai hingga ke bahunya. Meski hanya beberapa detik jeda antara berbagai gambarnya yang diambil, rambutnya terlihat seperti sudah bertambah panjang.

Selanjutnya adalah “Senoue Mamiko”, seorang anak perempuan yang pendek dengan ukuran keliling yang sedikit lebar. Daripada dibilang gembul, mungkin sebenarnya karena wajahnya yang bulat.

Mengikuti dibelakangnya adalah “Katsuda Takeo” seorang anak laki-laki yang berwajah lumayan tampan. Meskipun rambutnya di-cat warna kemerahan, dia sepertinya lebih ke tipe siswa yang serius.

Terakhir, “Kounosu Yuri”, seorang anak perempuan berpakaian sederhana yang terlihat cukup santai meski kamera sedang menghadapnya. Ia adalah yang paling pendek dari semua anak perempuan yang ada disitu.


Setiap nama-nama mereka diperkenalkan, Satoshi cepat-cepat menulisnya di buku catatannya. Sebagian besar ejaan namanya hasil menebak karena tidak ditampilkan di layar.

Setelah perkenalan, adegan selanjutnya menayangkan Sugimura yang berkacamata berbicara.

“Bagaimana kalau kita mengunjungi daerah Narakubo?”

Ugh, dapat terdengar suara mengerang. Aku tahu apa yang dia rasakan, karena si actor membacakan dialognya dalam ekspresi yang datar.

“Daerah Narakubo?” tanya Yamanishi, yang panjang rambutnya berubah-ubah mengikuti pergantian adegan. Katsuda yang berkepala merah membalas, “Rasanya aku pernah dengar soal daerah itu, daerahnya ada di Kota Fukuoka, kalau tidak salah.”

“Benar sekali. Itu daerah bekas desa tambang. Daerah itu muncul pada masa gencarnya pertambangan, meskipun sekarang hampir tidak ada orang disana.”

Semuanya dialog yang datar, tapi memang sudah kuduga. Chitanda telah mengatakan bahwa mereka semuanya berasal dari klub olahraga yang ingin berpartisipasi dalam Festival Kebudayaan. Tidak mungkin mengharapkan mereka untuk tampil seperti Klub Drama.

Kaitou yang berbadan proporsional mengangkat tangannya untuk bicara.

“Penelitian di desa yang diabaikan, ya? Kedengarannya menarik.”

“Akan sangat baik jika kita kesana meski hanya sekali, karena desa itu memang punya daya tarik yang membuatnya patut dikunjungi. Sebuah desa dengan sejarah setara dengan masa hidup seseorang, itu kedengarannya menarik.”

Dialog Yamanishi yang ini sedikit lebih baik karena ia menaruh emosi didalamnya. Itu mungkin memang perasaannya tentang desa itu. sementara itu, Senouchi yang berwajah bulat membalas dengan penampilan yang sama bagusnya, “Materinya mungkin kedengaran menarik, tapi itu reruntuhan yang diabaikan, bukan? Aku kurang begitu suka tempat seperti itu.”

Konousu, yang terus berwajah murung dari tadi, memotong, “Aku tahu cara mencapai Narakubo… tempatnya jauh didalam pengunungan. Kalau kita berjalan dari pemberhentian bus paling dekat, kita akan sampai disana dalam sekitar satu jam.”

“Eh~”

Yamanishi terdengar tidak begitu senang. Dia mungkin karakter yang banyak mengeluh. Disisi lain, Katou terlihat cukup santai.

“Kita pasti bisa kalau hanya satu jam, kita bisa menggunakan sepeda kesana, bahkan piknik selama disana.”

“Kalau begitu sudah diputuskan. Pertunjukkan kita di Festival Budaya nanti adalah penelitian pada sejarah daerah Narakubo.”

Sugimura lalu memberikan pendapat tak setuju, mengatakan bahwa hanya mempresentasikan tentang sebuah desa yang ditinggalkan tidak cukup menarik. Dia didukung oleh Yamanishi yang lebih suka untuk pergi ke tempat lain. Senoue menyarankan hal itu bisa diatasi dengan cara mempresentasikan ceritanya dari sudut pandang yang menarik. Saat ditanya bagaimana melakukannya, Sugimura menyarankan untuk menyajikannya seperti cerita petualangan tapi ditolak karena terlalu kuno. Kounosu lalu menyarankan untuk menyorot aspek mistis dari area tersebut yang langsung disetujui karena menarik. Meskipun Sugimura mendebat bahwa akan butuh lebih banyak penelitian karena hampir tidak ada cerita hantu dari daerah itu. Setelah itu adalah serangkaian adegan saling menimpali yang canggung antara teman sekelas saat mereka berdebat panas tentang ide mana yang bisa dipakai dan yang mana yang ditolak. Itu adalah alur utama dari adegan awal ini. Sambil layar menggelap, sang narrator berbicara lagi.

“Satu minggu kemudian, kelompok pun pergi ke daerah Narakubo di kota Furuoka.”


Saat filmnya kembali muncul perlahan, pemandangan sekolah digantikan oleh pemandangan hutan pegunungan di tengah cuaca musim panas. Tidak diragukan lagi, ini adalah daerah Narakubo.

Aku tahu dimana Kota Fukuoka berada. Sekitar 20 km di utara dari Kota Kamiyama. Kota yang dulunya makmur karena kekayaan timah dan logam lainnya dalam tambang-tambang disekitarnya. Tapi seperti kota-kota lain yang hanya bergantung pada satu industri, daerah itu sudah masuk masa sulit sejak tambangnya tidak menghasilkan lagi. Tapi bagaimana dengan daerah Narakubo?

Itu adalah topic yang sedang dibicarakan oleh Ibara dan Satoshi.

“Fuku-chan, kamu pernah dengar tentang Narakubo?”

Secara tidak mengejutkan, Satoshi tentu saja mengetahuinya.

“Yup, dulunya merupakan daerah penambangan utama untuk Pertambangan Furuoka. Meskipun mencapainya menyusahkan, tapi karena ketinggiannya tempatnya lumayan kaya.”

Dia lalu menyebutkan daftar beberapa nama penyanyi enka terkenal.

“…mereka adalah artis yang berhasil diundang untuk tampil di daerah itu.”

Ibara terlihat sedikit terkejut. Begitu juga aku, karena nama-nama yang dia sebutkan lumayan terkenal.

“Tapi,”

Saat Satoshi hendak melanjutkan, Chitanda memotongnya singkat.

“Sudah hendak mulai,”

Saat gambarnya bergerak sepanjang hutan yang lebat, tampaklah sekelompok siswa. Tentu saja, mereka mengenakan pakaian santai yang pantas untuk cuaca yang panas. Setiap orang membawa ransel sendiri, meskipun kami tidak tahu apa yang ada didalamnya.

Yamanishi berdiri tegak dan berkata, “Panas. Kita sudah berjalan selama beberapa waktu, apa kita sudah sampai?”

Sugimura menjawab, “Hampir. Sekitar 5 menit lagi, sepertinya.”

“Itu yang kau katakana 5 menit yang lalu. Sial, panas sekali. Aku sudah lelah.”

“Ya bukan kamu saja yang merasa kepanasan, makanya cepatlah dan terus berjalan.”

Begitu kata Kaitou. Dan mereka mulai berjalan kembali, dengan kamera mengikuti mereka.

Daerah Narakubo memang terlihat seperti terletak jauh di dalam pegunungan. Walaupun ada tanda-tanda aktivitas manusia di sepanjang jalan, daerahnya sebagian besar ditutupi oleh hutan. Diantara semak belukar, kau dapat sesekali melihat jalan-jalan Kota Furuoka di kaki gunung. Meskipun jalannya diaspal, terlihat tanda-tanda kerusakan.

Aspal di tempat pejalan kaki di sisi jalan terlihat seperti akan lepas dalam ukuran sebesar-besar kepalan tangan. Entah karena kondisi berjalan yang buruk, kameranya terus menerus bergoyang selama bergerak. Kalau aktornya dikatakan amatir, begitu juga dengan juru kameranya. Bahkan orang awam sepertiku pun bisa melihat bahwa pekerjaan kameranya tidak biasa, menghasilkan visual yang sulit dicerna.

Sudut pandangnya lalu berubah ke sudut lain dari belakang rombongan. Tidak lama, Sugimura, yang memimpin rombongan, meluruskan kacamatanya dan menunjuk ke depan.

“Kita sudah sampai. Itu Narakubo!”

Semua orang mengikuti arah pandang Sugimura, termasuk kamera, dan terlihat lembah didalam gunung. Di atas lembah itu adalah sebuah reruntuhan.

Untuk seseorang yang hidup disebuah kota modern, bahwa reruntuhan semacam itu ada dalam jarak 20 kilometer dari tempat tinggalku terasa tidak nyata. Banyak rumah-rumah rusak bertebaran dengan kaca jendela yang rusak dan atap yang runtuh. Sebagian rumah bahkan dapat dikatakan runtuh. Jika tempat ini adalah tambang biji besi, maka rumah-rumah ini adalah rumah pada penambang. Menyangkal segala tanda keberadaan manusia, rumah-rumah ini sekarang dikelilingi lapisan belukar merambat yang tebal. Sebuah papan tanda dapat terlihat di bangunan yang tadinya sebuah toko, semakin memperjelas kesunyian dari kota yang terlantar. Aku mengerti, perkataan Sugimura bukanlah bualan, tempat ini memang patut dikunjungi.

Kamera dengan cepat menyorot pemandangan. Mungkin ada hubungannya dengan keamatiran juru kamera, atau itu mungkin dilakukan untuk menutupi akting payah dari para actor. Pokoknya, visual selanjutnya cukup intens.

Bahkan para aktornya terlihat terpesona oleh pemandangan tempat itu. ketika kamera menghadap ke arah mereka melihat, dapat terdengar seseorang berbisik “Wow”. Aku rasa perkataan itu tidak ada di naskah.

Tapi kemudian, percakapan yang dinaskahkan dilanjutkan lagi.

“Jadi begitu. Ini tempat yang bagus untuk mengumpulkan bahan,” kata Katsuda, yang mengambil kamera langsung jadi[5] dari kantongnya dan mulai memotret. Senoue mengeluarkan sebuah buku catatan dan mulai menulis. Setelah istirahat singkat, Kaito mulai memberikan instruksi dengan suara yang keras, “Yang penting, kita perlu mencari tempat untuk bermalam. Kita akan mulai penelitiannya setelah itu.”

“Kalau begitu, bagaimana kalau disana?”

Kounosu menunjuk ke arah salah satu reruntuhan di Narakubo. Saat kamera bergerak ke arah yang ditunjuknya, sebuah bangunan besar dapat terlihat, sepertinya sebuah teater.

“Kita harusnya selamat dari hujan kalau disana.”

“Begitu. Kalau begitu, ayo pergi!”

Keenam orang itu kemudian berjalan menuruni lereng, dan adegan menghilang perlahan.

Setelah kembali muncul, kini layar menampilkan pintu masuk menuju teater. Rombongan itu berdiri di depan kedua pintu kaca gedung dan menengadah melihat bangunan. Kamera lalu menyorot ke atas ke arah dindingnya yang kotor. Melihat ke atas dengan miring, teater ini terasa surreal.

Kamera lalu kembali menyorot rombongan, dimana Kaito membuka pintu kaca, dan setiap orang mengikutinya memasuki teater. Yang terakhir masuk adalah Kounosu, dengan matanya melihat ke bawah. Dia bergumam, “Entah kenapa, aku merasakan firasat buruk.”

Dia lalu memasuki teater, dan ketika keenam orang memasuki kegelapan didalamnya, adeganpun berakhir.

Satoshi dan Ibara meninggikan suara mereka tanpa diduga. Satoshi terlihat senang, sementara Ibara terlihat tidak senang.

“Aha, misteri rumah tua, ya?”

“Hmph, Cuma misteri rumah tua?”


Adegan berikutnya dimulai dari dalam mansion… maaf, maksudku teater. Karena tidak akan ada listrik di desa yang ditinggalkan, bagian dalam gedung menjadi gelap. Dibandingkan dengan siluet bangunan-bangunan di luar, yang dapat terlihat jelas dibawah sinar matahari musim panas, sulit untuk melihat di dalam gedung, meskipun tidak sedemikian buruknya sampai tidak bisa melihat wajah actor-aktornya. Lantainya terbuat dari bebatuan, karena langkah kaki mereka terdengar mengetuk ketika berjalan.

“Banyak debunya…” gumam Yamanishi sambil menyapu debu dari pakaiannya dan memainkan rambutnya. Pandangan yang buram mungkin ada hubungannya dengan tempatnya memang berdebu. Berjalan disampingnya, Katsuda, menengadah dan berkata, “Sepertinya gedungnya masih cukup kokoh.”

Senouchi, masih memegang buku catatan di tangannya, menoleh dan bertanya pada Sugimura. “Mereka membangun teater yang lumayan meski di pegunungan seperti, ya?”

“Tambang bijihnya lumayan menguntungkan sih. Dulunya, paling tidak. Dan justru karena tambangnya berlokasi jauh didalam pegunungan makanya mereka memutuskan untuk membangun tempat seperti ini untuk menghibur diri.”

“Ah…” bisik Satoshi, yang memiliki minat terhadap hal sepele seperti itu, dan berkata padaku, “Sekarang, mereka mengatakan sesuatu yang menarik.”

Dari awal memang kami tidak mengharapkan akan ada percakapan yang menarik juga.

Kaitou lalu menjejakkan kakinya, menciptakan suara yang bergema ke seluruh aula. Saat aku bertanya-tanya apa yang terjadi, kamera memperbesar tampilan sesuatu didekat kaki mereka, yang sepertinya memantulkan sedikit cahaya yang ada. Benda itu terlihat seperti pecahan kaca.

“Pun kita bermalam disini…”

Kaito mengangkat alisnya dan melanjutkan, “Mungkin disini tidak aman, dengan pecahan kaca berserakan begini.”

Kamera lalu bergerak berkeliling. Sekalipun sulit untuk melihat, kalau bangunan ini benar sebuah teater, maka sekarang mereka ada di lobby masuk. Dari situ, orang dapat melihat lantai dua, juga dua baris tangga dan sebuah ruangan. Sekali lagi, kamera bergerak ke atas untuk menunjukkan lantai dua. Sepertinya lobby itu dikelilingi oleh sebuah atrium. Sugimura dan Katsuda lalu berbicara berurutan.

“Kalau begitu kita harus menemukan tempat yang cocok untuk tidur.”

“Kau benar, sebelum hari menjadi gelap.”

Mengangguk setuju, Kaitou melihat ke sekeliling lalu berkata, “Kalau begitu ayo kita berpencar. Apakah ada peta yang bisa kita gunakan?”

“Bagaimana dengan yang ini?”

Kaounosu memberi mereka isyarat untuk datang ke samping dari pintu masuk, dan filmnya dipotong ke adegan selanjutnya.

Adegan selanjutnya menunjukkan peta teater yang sedang Kounosu lihat. Padahal tempatnya gelap dan susah melihat, seseorang harusnya menyorotkan senter ke arah peta.

“Aha, sebuah peta!”

Satoshi berseru gembira dan mulai menyalin peta itu ke buku catatannya. Meskipun detilnya sulit dibaca, karena layarnya besar, kata-katanya masih terbaca. Karena petanya disorot selama sekitar 30 detik, Satoshi dapat selesai menyalin tepat waktu.

Peta Teater

Seperti yang ditunjukkan dalam peta, teaternya terdiri atas dua lantai. Didepan pintu masuk adalah lobby masuk, tempat rombongan berada sekarang. Disebelah lobby adalah kantor. Masuk lebih dalam adalah dinding dengan rentetan pintu, yang mengarah menuju sebuah aula, dan tentu saja sebuah panggung diujungnya. Di kedua sisi aula ada dua lorong, dengan dua ruang kontrol disetiap sisi. Diujung kedua lorong tersebut adalah bagian belakang panggung. Di sisi kanan dari aula penonton adalah “Panggung Kanan”, dan disebelahnya kirinya adalah “Panggung Kiri”.

Dua deret tangga di kedua sisi lobby menuju ke lantai dua. Tangga di sisi kanan mengarah ke ruang pencahayaan, dengan peralatan untuk pencahayaan disisinya untuk menerangi panggung. Di atas kantor adalah ruang peralatan, dan berhadapan dengan ruang pencahayaan adalah ruang audio. Karena kedua tangga menuju ke tempat yang sama, ruang peralatan dapat dicapai dari kedua sisi.

Petanya juga sesuai dengan yang seharusnya dilihat rombongan.

Layarnya lalu menyorot ke arah Kaitou saat dia berbicara.

“Kalau begitu, ayo berpencar dan melihat ke dalam.”

“Apa tidak akan bahaya?” tanya Katsuda.

“Disini tidak ada apa-apa selain reruntuhan, apanya yang berbahaya?” tanya Kaitou.

Senoue lalu bertanya, “Tapi, kalau kita akan memasuki ruangan-ruangannya, bukankah kita akan membutuhkan kunci?”

Kounosu menjawab menggantikan Kaitou, “Itu tidak akan jadi masalah. Biasanya ada…”

Dia lalu memasuki kantor disebelah lobby. Ajaibnya, pintu kantornya sendiri tidak terkunci. Kamera mengikuti Kounosu memasuki kantor, dimana dia mencari-cari dua sampai tiga kali, sebelum melihat kotak kunci yang menggantung di dinding.

“Ini dia.”

Dia lalu keluar dari ruang kantor dengan satu set kunci, meninggalkan satu set yang lain didalam kotak, dimana kamera tetap terfokus padanya. Meskipun pencahayaannya gelap, pada gantungan kunci tertulis jelas “Master Key”.

“Dengan ini, kita harusnya bisa berkeliling di dalam gedung.”

Kounosu kembali ke aula dan menunjukkan rentengan kunci itu pada Kaitou, yang mengangguk dan mengambil satu kunci dari set kunci tersebut.

“Kalau begitu, masing-masing mengambil satu kunci dan cari apa ada ruangan yang bisa kita pakai. Tidak masalah kalaupun kita harus berada diruangan yang terpisah-pisah. Terus, cari juga ruangan yang aman untuk menyalakan api atau bebas dari bahaya lain.”

Setiap orang lalu mengambil satu kunci dari rentengan yang dipegang Kounosu, dan tidak lama kemudian, semua kunci telah diambil.

“Tahu tidak,” Satoshi bicara sambil tersenyum, “Secara realistis, siapa yang bakal berpikir buat berpencar dan bergerak sendirian di situasi seperti itu?”

“Bukannya memasuki rumah yang ditinggalkan di tengah reruntuhan saja sudah lumayan tidak realistis? Jadi apa salahnya dengan adegan ini?”

Satoshi tersenyum semakin lebar, “Tidak. Tidak ada yang salah kok. Soalnya kalau mereka tidak berpencar, kita tidak akan punya misteri. Kita dijanjikan begitu sih.”

“Dengan kata lain,”

“Sesuatu akan segera terjadi. Aku bertaruh satu cheese dog[6] denganmu kalau nanti waktu mereka semua kumpul, mereka bakal kekurangan satu orang.”

Duduk disebelah Satoshi, Ibara melihatku dengan tatapan yang menakutkan. Dia mungkin ingin mengatakan, Berhenti ngomongin hal-hal ‘gak penting dan tonton saja filmnya! …Walaupun bukan aku yang memulai pembicaraannya.

Adegan lalu menunjukkan masing-masing anggota melihat peta untuk menemukan ruangan yang cocok dengan kunci mereka, dan menghilang satu per satu kedalam kegelapan. Yang pertama adalah Kaitou, lalu diikuti oleh Sugimura, Yamanishi, Senoue, Katsuda dan Kounosu. Tidak ada seorangpun yang tinggal di lobby. Layar lalu terus menunjukkan lobby yang kosong untuk beberapa saat sebelum adegan dipotong.


Dalam kegelapan, sang narrator berbicara kembali,

“Disinilah insiden terjadi.”

“Sudah kuduga,” kata Satoshi.

Diam! Ibara memelototi kami lagi.


Adegan selanjutnya dibuka di lobby masuk.

Lagi, tidak ada siapapun disitu.

Kounosu adalah yang pertama kembali dari tangga disebelah kanan.

Dia diikuti oleh Yamanishi, yang keluar dari lorong disebelah kiri.

Katsuda juga muncul dari lorong sebelah kiri, yang selanjutnya menanyakan pada kedua orang yang lebih dulu sampai darinya. “Jadi, bagaimana?”

Yamanishi menjawab dengan ekspresi yang suram, “Penuh dengan pecahan kaca. Tidak bisa digunakan tanpa sesuatu untuk menyapunya.”

Kounosu juga menggelengkan kepalanya.

“Begitu. Disini juga sama saja.”

Senoue lalu turun dari tangga sebelah kiri. Sambil mendekati mereka, dia membuat tanda ‘X’ dengan kedua tangannya untuk memberi tanda bahwa pencariannya juga tidak berhasil.

Katsuda menengadah, dan kamera dengan datar mengikuti pandangannya. Dari situ, perlatan dapat dilihat dari atrium. Setelah menunjukkan jendela dari ruangan itu untuk waktu yang tidak biasanya lama, Katsuda dapat terdengar berseru ke atas, “Sugimura, bagaimana bagianmu?”

Sugimura mengeluarkan kepalanya dari jendela dan berseru, “Walau ternyata cukup nyaman didalam, tidak banyak yang bisa kita pakai untuk membuat api.”

“Begitu. Yah, paling tidak, turunlah dulu.”

“Ok.”

Sugimura langsung turun ke bawah. Sekarang ada lima orang di lobby. Sepertinya semuanya sudah disana kecuali satu orang. Rupanya, ‘korban’nya telah ditentukan. Yamanishi berbicara.

“Mana Kaitou-kun?”

Katsuda menggelengkan kepalanya.

“Karena kita sudah berkumpul, kita cari saja dia. Rasanya dia pergi ke sana, bukan?”

Dia menunjuk ke arah lorong kanan. Semuanya mengangguk. Dengan Katsuda memimpin, rombongan memasuki lorong kanan, dengan kamera mengikuti mereka. semakin dalam mereka pergi, cahaya semakin redup, dan tidak lama kemudian, tidak ada yang bisa dilihat.

Seseorang menyalakan senter dan menerangi sebuah pintu didepan lorong, yang dibuka oleh Katsuda. Itu adalah ruang kendali, dengan barisan cermin dan setumpuk kostum berserakan dimana-mana. Tidak ada siapapun.

“Aneh,”

“Mungkinkah dia di area belakang panggung?”

Menyetujui pendapat itu, mereka pergi semakin jauh ke dalam lorong, yang semakin gelap.

Senternya lalu dinyalakan kembali, dimana sebuha pintu yang mengarah ke Panggung Kanan ditunjukkan dengan tanda ‘Staff Entry Only’ padanya. Katsuda mencoba memutar gagang pintu, tapi pintunya tidak terbuka.

“Ada apa?”

“Tidak bisa dibuka. Mungkin terkunci.”

“Apa yang harus kita lakukan?”

“… Ada rentengan kunci lain di kantor, bisakah seseorang mengambulkannya?”

Tanpa tahu siapa yang dituju, seseorang pergi berlari. Suara langkah kaki yang saling tindih dapat terdengar; suaranya terdengar seperti dua orang berlari untuk mengambil kuncinya. Adegan selanjutnya menunjukkan pintu yang sedang dibuka kuncinya, dan rombongan masuk setelah membuka pintu.

Di dalam Panggung Kiri adalah sebuah jendela. Karena gordennya terbuka, cahaya matahari dari luar dapat masuk. Dan di tengah ruangan yang disinari cahaya matahari, seseorang terbaring di lantai. Tentu saja, itu adalah Kaitou.

“Kaitou!”

Sugimura menghambur ke arahnya, diikuti oleh Katsuda. Sugimura berlutut dihadapan Kaitou dan mencoba mengangkat Kaitou, saat dia merasakan sesuatu di telapak tangannya. Kamera bergerak untuk menunjukkan apa yang ada ditelapak tangannya. Sementara sulit untuk melihat dengan cahaya yang begitu sedikit, sepertinya telapak tangan sugimura lumayan terkotori. Dia bergumam, “Darah…”

Seseorang berteriak. Kamera berputar untuk menghadap ketiga anak perempuan yang berdiri didekat pintu. Yamanishi kehilangan kata-kata sambil menutupi mulutnya, Senoue saling menggenggamkan tangannya, sementara Kounosu mengepalkan tangannya. Noda darah mengalir keluar dari perut Kaitou yang roboh, yang matanya tertutup. Begitu karena aktingnya yang payah akan ketahuan jika matanya terbuka. Kamera lalu menyorot ke bagian samping Kaitou, yang menunjukkan tangannya terpotong. Mungkin semacam prop. Pencahayaan yang gelap membantu menaikan ketegangan sambil kamera perlahan-lahan memperlihatkan didalam tangan yang terpotong adalah kunci yang Kaitou bawa bersamanya.

“Ahh…”

Seseorang menarik napas terkejut saat melihat adegan itu. Chitanda.

Kembali ke filmya, Katsuda berteriak, “Kaitou! Sial! Seseorang, tolong!”

Dia segera berdiri dan berlari menuju jendela untuk mencoba membukanya, yang di desain untuk terbuka dengan cara ditarik ke atas. Tetapi karena jendela tersebut sudah tidak digunakan selama bertahun-tahun lamanya, jendela tersebut sepertinya tidak dapat terbuka. Katsuda menekankan tangannya ke kusen jendela dan menggunakan seluruh tenaganya untuk menariknya ke atas, yang menciptakan suara berderik yang keras. Setelah akhirnya membuka jendela, dia menjejalkan tubuhnya ke jendela dan melihat keluar. Kamera menunjukkan apa yang ada diluar jendela – tidak ada apapun kecuali rumput liar yang tumbuh lebat.

Katsuda kembali ke dalam dan berlari menuju panggung. Layarnya tiba-tiba gelap karena beranjak dari ruang dengan pencahayaan ke panggung yang gelap; jelas mengikuti Katsuda, yang langsung berlari menuju Panggung Kiri, dimana dia berhenti. Pintu yang menghubungkan Panggung Kiri dan lorong kiri dihalangi oleh papan-papan kayu.

“Tidak mungkin…”

Layar pun memudar dalam gelap.


Lalu, Film pun berakhir sampai disitu.


“……”

Kami menunggu untuk beberapa waktu, tapi layarnya tidak menyala lagi.

“Hah? Sudah selesai?” bisik Ibara dengan nada yang kesal.

“…… Sepertinya begitu.”

Seakan diberi tanda, setelah respon Satoshi, suatu suara mesin terdengar, diikuti dengan layarnya ditarik ke atas. Seperti mencoba menghentikan layar dari menghilang, dengan menyedihkan Chitanda menggapaikan tangannya kedepan.

“Eh? Eh? Tapi ‘kan belum selesai!”

“Mungkin mereka mengalami gangguan teknis?” aku katakana padanya, tapi sebuah suara dari belakang langsung menjawab, “Tidak, itu tidak benar.”

Saat kami menoleh, Irisu sudah keluar ruang kendali dan berdiri di belakang kami, memegang kaset video di tangannya.

“Rekamannya memang berakhir disini.”

Dia mengatakannya dengan suara yang tenang. Tentu saja dia akan mengetahui dengan tepat kapan rekamannnya akan berakhir. Satoshi bertanya, “Jadi, apakah itu akhir ceritanya, jika disitulah Anda memaksudkan untuk mengakhirinya?”

“Tentu saja tidak.”

Kalau begitu, itu artinya rekaman ini tidak lengkap. Aku tidak pernah dengar ada sebuah preview film dimana orang-orang diundang untuk menonton sebuah film yang belum selesai.

Bergumam pelan, aku bertanya, “Maukah Anda menjelaskan apa yang sedang terjadi? ‘Preview’ ini tidak akan berakhir sampai disini, bukan?”

Irisu terus menerus menatapku sambil mengangguk.

“Tentu saja tidak. Tapi sebelum itu, aku ingin mendengar sesuatu dari kalian semua… Apa pendapat kalian tentang film yang baru saja kalian tonton? Secara sinematografi[7]?”

Kami saling menatap satu sama lain. Aku tidak tahu kalau Chitanda, tapi aku yakin kami bertiga berpikiran sama. Ibara menjawab mewakili kami, “Kalau boleh jujur, kami pikir filmnya dibuat dengan kasar.”

Sudah jelas jawabannya akan begitu.

“Itulah yang aku pikirkan juga… Kalian mungkin sudah tahu ini, tapi Festival Kanya adalah sebuah festival terutama bagi klub-klub seni. Tidak ada tempat untuk kegiatan kelas per kelas. Bagaimanapun, kelas kami tidak puas dengan hal itu. Kami tidak dapat mengumpulkan bantuan orang-orang yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, karena mereka sudah sibuk dengan kegiatan klub mereka masing-masing, meskipun begitu, kami masih memutuskan untuk membuat sesuatu sendiri. Kami hanya ingin menunjukkan pada orang-orang hasil dari semangat dan kerja keras kami.”

Ia menjelaskan kenyataan yang begitu pahit dalam cara yang datar tanpa emosi.

Tapi, apakah mereka puas hanya dengan itu? saat aku sedang berpikir, Irisu berbicara kembali.

“Aku pikir ini sudah cukup bagus, karena semuanya menikmati apa yang sedang dilakukan dan membuat sesuatu oleh mereka sendiri. Walaupun hasil akhirnya akan berakhir jadi bahan tertawaan, mereka tidak akan terlalu memusingkannya, karena mereka mudah merasa puas. Aku tahu ini cukup konyol, jadi aku minta kalian untuk menutup mata soal betapa kasarnya mereka membuat film ini.”

“Jadi tidak masalah film ini dibuat dengan kasar atau tidak?”

Irisu mengangguk untuk menjawab pertanyaan Ibara.

“Itu bukan hal yang berlebihan untuk diminta, bukan? Jika film ini dibuat dengan baik, mereka juga akan merasa puas pada level yang berbeda. Tapi esensi dari target mereka tetap sama… Sekarang, apa yang kalian pikir akan terjadi jika suatu bencana terjadi saat pembuatan film?”

Setelah berpikir untuk beberapa saat, Satoshi menjawab, “Film tidak akan selesai.”

“Tepat sekali. Dan kami tidak akan merasa puas dengan itu. Akan tetapi, kami tidak bsa menyelesaikan filmnya. Seperti yang telah kalian lihat, lokasi film dibuat lumayan unik, dan kami hanya dapat pergi kesana untuk shooting selama liburan musim panas.”

“Apakah Anda mengalami masalah dengan sinematografinya?” Tanya Chitanda cemas.

“Sementara itu juga sebuah masalah, aku yakin mereka akan dapat memecahkannya. Dengan mempertimbangkan dana bepergian dan kemajuan naskah kami, jadwal kami untuk shooting di lokasi adalah dua kali. Menurut rencana kami, kami seharusnya pergi sekali lagi hari minggu ini untuk menyelesaikan filmnya.”

“Tetapi sesuatu terjadi?”

Dihadapkan pada perkataanku yang dingin, Irisu berespon dengan jujur, “Ya, kami tidak pernah mengira memberikan tugas pada seorang amatir yang tidak berkemampuan akan menciptakan beban. Ketika kami semua memutuskan untuk membuat film, telah disetujui bahwa ini akan menjadi film misteri. Meskipun demikian, kami tidak memiliki satu orangpun yang mampu menulis naskah semacam itu. hanya satu orang diantara kami yang memiliki pengalaman menulis cerita; namanya adalah Hongou Mayu. Dia memiliki pengalaman menulis manga[8], jadi kami mempercayakan padanya untuk membuat sebuah naskah untuk film berdurasi 1 jam.”

Untuk seseorang yang tidak pernah menulis cerita sebelumnya, aku tidak tahu seberapa berat tugas seperti itu, meskipun aku menyadari Ibara mengangkat alisnya. Ia juga mempunyai pengalaman menulis manga, jadi ia mungkin bersimpati terhadap Hongou.

“Hongou luar biasa. Dia mampu membuat naskah meskipun tidak pernah membaca novel-novel misteri sebelumnya. Akan tetapi, dia sudah sampai batasnya, dan saat dia menulis sampai bagian yang kalian lihat tadi, dia roboh.”

Roboh, artinya dia sakit. Chitanda menghela napas dan bertanya, “Apa yang terjadi padanya?”

“Gastritis[9] akibat stress, sebuah bentuk dari depresi. Meskipun bukan sesuatu yang parah, tidak memungkinkan baginya untuk melanjutkan tugasnya, jadi kami mencari seorang penulis pengganti.”

Terdengar seperti pengganti di medan perang.

“Anda tidak akan benar-benar meminta kami untuk melakukannya, bukan?”

Mengambil alih peran penulis naskah untuk mereka?

Irisu tertawa ringan dan berkata, “Oh, tidak. Kami tidak akan merepotkan kalian sejauh itu. Aku hanya mengundang kalian ke sebuah preview, dan ingin menanyakan sebuah pertanyaan pada kalian… Siapa pembunuhnya menurut kalian?”



Kalau dipikir-pikir, dalam film sepertinya tidak ada tokoh yang mirip karakter detektif walaupun merupakan film misteri. Itu mungkin salah satu alasan kenapa film tersebut tidak mengalami kemajuan. Alasan keduanya mungkin karena setiap actor diberi waktu tampil yang sama, menyebabkan penontonnya tidak dapat menentukan siapa yang akan menjadi detektifnya. Bagaimapun… saat aku masih terlalu tidak yakin, Ibara-lah yang pertama kali menjawab.

“Tapi Senpai, pastinya dalam film ada adegan yang dapat kita gunakan untuk menentukan siapa pembunuhnya sebelum kita dapat menebak?”

Irisu menggelengkan kepalanya dan berkata, “Kamu tidak perlu khawatir tentang itu. Hongou bilang dia sudah menuliskan garis besar penyelesaiannya sebelum dia roboh, dan kami seharusnya dapat memfilmkan bagian itu tepat waktu.”

Satoshi bertanya lebih jauh, “Tapi jika itu naskah yang ditulis oleh seorang pemula dalam fiksi detektif, pasti dia akan meninggalkan petunjuk-petunjuk sebelum sampai pada penyelesaiannya, kalau tidak, akan terlihat lumayan janggal.”

“Itu juga sudah diatasi. Dia mampu memasukkan semua yang dapat dihasilkan akalnya. Dia bilang dia pernah melakukan penelitian tentang fiksi detektif. Aku yakin dia mengikuti baik 10 Perintah Knox dan Chandler’s serta 20 Aturan Van Dine[10].”

Chitanda terlihat bingung saat disebutkan tentang 10 Perintah; mungkin aku juga.

“10 Perintah? Seperti ‘Janganlah menyebut nama Tuhan, Allahmu, dengan sembarangan’?”

Kenapa dia harus mengutip perintah minor begitu dari semua perintah yang ada? Satoshi menjawab pertanyaan Chitanda dengan percaya diri, “Bukan, itu 10 Perintah-nya Musa. Kita sedang membicarakan 10 Perintah Ronald Knox untuk Fiksi Detektif, aturan seperti ‘tidak boleh ada orang Cina yang muncul dalam cerita’. Hongou-san pasti sudah mempelajari aturan-aturan itu untuk memastikan perlakuan yang adil – memberikan penonton kesempatan yang sama untuk memecahkan misterinya.”

Memangnya kenapa orang Cina tidak boleh muncul dalam cerita? Apakah penampilan mereka, tidak peduli seberapa menghiburpun, ada hubungannya dengan politik atau isu-isu lainnya? Dan lagi, aturan-aturan ini sering muncul dalam fiksi ilmiah juga… walaupun kupikir tidak ada hubungannya dengan perlakuan yang adil. Aku penasaran apakah akan kutemukan jawabannya kalau aku mencari tahu soal Knox?

Sementara aku sedang memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini, Irisu menyimpulkan, “Dengan kata lain, semua petunjuk sudah ditampilkan… jadi siapa pembunuhnya menurut kalian?”

Meminta kita untuk mencari tahu siapa pembunuh di sebuah desa yang dibuang yang berada jauh didalam pegunungan ya? Ini kedengaran tidak masuk akal.

Satoshi, Ibara, dan Chitanda saling bertukar pandang.

“Siapa, aku? Sepertinya sulit. Kesimpulan tidak dapat dibuat oleh database.”

“Kau benar. Aku tidak yakin aku bisa memecahkannya sendirian… meskipun aku mencurigai beberapa hal.”

“Um, apakah Kaitou-san dipastikan sudah mati dalam cerita?”

Setelah menanyakan semua pertanyaan yang ingin mereka tanyakan, mereka semua menoleh melihat ke arahku secara bersamaan. Aku dapat merasakan punggungku turun sedikit saat semua tatapan mereka tertuju padaku. Aku mencoba mengalihkan maaku dari tatapan mereka dan berkata, “… Apa?”

“Tidak ada apa-apa. Aku cuma berpikir ini mungkin sebuah pekerjaan untuk Houtarou.”

Satoshi tersenyum sinikal seperti biasa.

“Pekerjaan apa maksudmu?”

“Detektif, tentunya.”

Aku sangat dapat membayangkan ekspresi seperti apa yang kubuat, yang dengan cepat dijelaskan oleh Satoshi.

“Kau terlihat seperti tidak menyukainya.”

Aku mengangguk dalam diam. Sebagai seorang murid SMA biasa dan penghemat energi kelas berat, adalah tidak mungkin bagiku untuk melibarkan diri dalam apapun yang tidak biasa. Aku merasa tidak nyaman oleh pengharapan yang terlalu tinggi. Sebagai respon terhadap ekspresiku,

“Itu mungkin berarti kamu tidak begitu memperhatikan filmnya,” Chitanda menyela dengan suaranya yang ditinggikan, “Jadi bagaimana kalau kita tonton sekali lagi?”

Dia serius?

Seakan mengerti pemikiranku, Irisu menyela dan berkata, “Aku hanya meminta pendapatmu. Kamu tidak perlu terlalu serius soal ini.”

“Begitu? Kalau begitu, kurasa Yamanishi-lah pembunuhnya.”

Chitanda memutar kepalanya ke arahku dan bertanya, “Bagaimana bisa?”

“Karena sikapnya buruk?”

“Oreki!”

Ibara memarahiku dengan suara yang tajam, walaupun aku hampir sama sekali tidak merasa terintimidasi. Ibara hanya menakutkan ketika kau benar-benar melakukan kesalahan yang serius, tapi tebakanku tidak begitu salah disini.

“Kalau begitu, Katsuda, dia lumayan berotot.”

Satoshi menghela napas dan menyilangkan tangannya.

“Hmm, kau sepertinya tidak begitu antusias soal ini? Bahkan aku jadi ingin bilang ‘Berhenti mengatakan hal-hal aneh’.”

Sebenarnya tidak begitu aneh, tapi tidak tepat, karena mereka tidak terlihat teryakinkan. Aku memutuskan untuk memastikan sesuatu dengan Irisu.

“Bisakah saya menanyakan sesuatu?”

“Silahkan.”

“Kenapa Anda meminta orang luar seperti kami? Kalau pertanyaan ini dijawab oleh siswa kelas 2-F, pastinya akan ada seseorang dari kelas 2-F yang menjawabnya juga?”

Sama dengan sebelumnya, Irisu mengangguk dan menjawab, “Kami sendiri telah mendiskusikan pertanyaan ini, meskipun begitu kami ingin mendapat lebih banyak masukan dari luar. Tidak peduli teori apa yang kami ajukan, kami tetap tidak tahu jawabannya. Seperti yang aku katakana sebelumnya, hanya mereka dengan keahlian sesuai yang dapat melakukan pekerjaan yang diminta.”

“Bahkan Anda sekalipun?”

“Sayangnya, tidak. Lebih dari siapapun, aku juga ingin menemukan siapa pembunuhnya. Selain itu, aku harus mengurusi pembuatan film, jadi aku tidak punya cukup waktu.”

“Kalau begitu, kenapa tidak membuat sesuatu yang baru saja selain misteri?”

Rasanya mulai seperti pemeriksaan silang. Untuk pertama kalinya, Irisu menurunkan matanya, meskipun ia masih mempertahankan suaranya yang tegas.

“Aku tidak hadir di tahap perencanaan sebenarnya, karena aku berada di Hokkaido selama tiga minggu yang lalu. Aku hanya mendengar masalahnya dari sang sutradara setelah kembali ke Kamiyama, and itu hanya kemarin lusa aku menyetujui untuk mencoba dan menyelesaikan masalah ini. Jika saja aku ikut terlibat dari awal, aku tidak akan setuju untuk membuat film misteri.”

Kalau begitu, tidak ada hubungannya denganmu, bukan? Kamu hanya melakukannya karena kasihan terhadap teman sekelasmu kan… meskipun itu yang aku pikirkan, tentu saja, aku tidak bisa mengatakannya.

Jadi aku modifikasi sedikit pertanyaanku.

“Kedua, kenapa kami? Aku tahu Anda mengenal Chitanda, tapi sepertinya dari awal Anda bermaksud agar kami semua datang. Ada sekitar 1000 murid di SMA Kamiyama, kenapa Anda secara khusus memilih Klub Klasik?”

“Sudah jelas aku mengenal Chitanda secara pribadi,”

Kami datang mungkin karena itu, sebab ia tahu Chitanda mungkin akan tertarik dengan ini. Irisu lalu bertemu pandang denganku dan melanjutkan, “Terlebih lagi, ada kamu.”

“Saya?”

Itu adalah jawaban yang mengejutkan. Aku dapat merasakan Chitanda, Satoshi, dan Ibara melihat ke arahku. Meskipun ujung-ujungnya masalah peruntungan, mereka yang terlibat dalam menyelidiki insiden “Hyouka” semuanya sepertinya terkejut dengan bagaimana insiden itu diselesaikan. Tapi bagaimana bisa ‘orang luar’ seperti Irisu mengetahuinya?

Irisu perlahan menjelaskan alasannya, “Aku sudah mendengar banyak tentangmu dari tiga orang: yang pertama adalah Chitanda ini, yang kedua adalah seseorang dari luar sekolah, sementara yang ketiga dari Toogaito Shouji. Aku yakin kamu pernah bertemu dengannya sebelumnya.”

“Siapa?”

“Oreki! Bagaimana bisa kau melupakannya?! Dia adalah ketua Klub Majalah Dinding!”

Oh! Dia. Sekarang aku ingat. Setelah namanya disebut, tiba-tiba aku merasa ciut.

Toogaito adalah siswa kelas 3 yang aku sempat ‘berpapasan’ dengannya. Pendek cerita, aku berhasil mendapatkan pengetahuan tentang sebuah rahasia kotornya dan menggunakannya untuk mengancamnya. Bukan sesuatu yang begitu ingin kuingat. Irisu seperti dapat membaca pikiranku saat ia berkata, “Jangan khawatir. Toogaito tidak berpikiran buruk tentangmu.”

Kalau begitu, tolong sampaikan aku bersyukur atas jiwa baiknya.

“Ketika aku menyadari tidak ada orang lain yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan ceritanya, aku segera memikirkan tentangmu. Kalau kamu, kamu mungkin bisa memainkan peran ‘detektif’.”

“……”

“Itu hebat, Houtarou! Bakatmu diakui!”

Aku melotot ke arah Satoshi untuk ledekannya dan mengembalikan pandanganku ke arah Irisu dan menghela napas. Aku? Seorang detektif? Aku memberikan jawaban yang jujur.

“Saya merasa lumayan tidak nyaman dengan ekspektasi seperti itu terhadap saya.”

Herannya, Irisu dengan cepat menyerah.

“Kamu benar.”

Ia menghela napas dan melanjutkan, “Aku hanya bertaruh saat memutuskan untuk mengundangmu menonton preview ini, dengan harapan masalahnya dapat diselesaikan secepat mungkin. Tapi aku memang naïf… aku minta maaf karena telah menyusahkanmu.”

Ia membungkuk setelah mengatakannya.

“Apakah ada hal lain yang ingin kamu tanyakan?”

Dalam kekaguman atas semangatnya, pun aku masih punya pertanyaan, aku kehabisan kata-kata.

Setelah memastikan tidak ada pertanyaan lagi, Irisu dengan cepat menutup pembicaraan.

“Kalau begitu, dengan ini preview selesai. Terima kasih telah datang.”


Akan tetapi, ceritanya tidak berakhir disini. Aku telah benar-benar lupa kehadiran seseorang. Tentu saja, tidak lain tidak bukan adalah Chitanda Eru, penjelmaan ‘Keingintahuan’ itu sendiri, yang akan melakukan apapun untuk memecahkan semua misteri yang ada di alam semesta.

Saat Irisu hendak berbalik, Chitanda memanggilnya, “Mohon tunggu dulu!”

“… Ada apa?”

“Um… lalu, bagaimana ceritanya akan berakhir? Apa yang akan terjadi selanjutnya?”

Irisu berkata sambil berbalik, “Kami tidak tahu, kami sedang mengusahakannya. Tapi kamu harus siap menerima kalau proyek ini tidak akan pernah selesai.”

“Itu akan sangat buruk.”

Sangat buruk?... Yah, Irisu juga merasa tidak senang. Chitanda lalu mengemukakan alasannya.

“Irisu-san, jika yang Anda katakana itu benar, maka akan sangat disayangkan kalau filmnya tidak dapat diselesaikan. Saya tidak ingin hal itu terjadi.”

Irisu juga tidak menginginkannya….

“Selain itu, selain itu,”

Aku mulai mengangkat alisku khawatir. Ini buruk, sesuatu akan terjadi. Irisu mungkin membuat pilihan yang tepat saat memilih Chitanda untuk menyelesaikan masalahnya.

“Kenapa sang penulis naskah Houngou Mayu-san, setelah dipercayakan dengan peran itu, memutuskan bahwa peran tersebut begitu penting – dia mengerjakannya sampai ia roboh? … saya benar-benar penasaran soal ini.”

Berdiri disebelahku, Satoshi bicara.

“Houtarou, mau ‘detektif atau apa kek, tidakkah kau pikir kita tidak punya cukup data untuk menyelesaikan masalah ini?”

“Memang.”

“Itu artinya kita hanya perlu untuk mengumpulkan petunjuknya sendiri ‘kan?”

Itu tidak segampang kedengarannya.

Tapi setelah mendengar itu, dan ini mungkin rencana Satoshi dari awal, Chitanda dengan cepat berbalik ke arah kami dengan bersemangat dan berkata, “Oreki-san, ayo kita lakukan! Kita harus menemukan apa peninggalan Houngou-san!”

“Houngou masih hidup.”

Irisu dengan tenang mengoreksinya, walau aku tidak tahu apakah nona kita ini mendengarnya.

Satoshi berbicara lagi.

“Mayaka, sejauh mana progress antologinya? Apakah menurutmu kita bisa mengambil libur seminggu untuk menyelesaikan kasus ini?”

Ibara menjawab dengan wajah masam, “ Satu-satunya yang tidak maju-maju adalah kau, Fuku-chan. Bisa dibilang tugas yang aku pegang sudah aku selesaikan.”

“Y-yah, tidak usah mempersoalkan hal sepele.”

Ibara lalu menambahkan seperti bergumam, “ Aku juga ingin melihat film ini selesai. Terlepas dari sinematografinya yang buruk, aku tidak mengira gambar-gambar dari desa yang ditelantarkan bisa terlihat begitu menakjubkan.”

Sedangkan bagiku.

Aku benar-benar tidak pandai menghadapi Chitanda. Karena sudah sampai sini, kalaupun aku menolak, aku tidak akan bisa kabur darinya. Jika aku mencoba kabur, aku hanya akan menghabiskan banyak energi, yang akan sangat mubazir. Dan aku benci membuang-buang energi.

Tapi, kali ini…

Aku benar-benar tidak mau menerima tawaran Irisu untuk memainkan peran ‘detektif’. Terlepas dari motto-ku menghemat energi, kali ini alasanku berbeda. Aku tidak tahu apakah ketiga orang yang lain menyadarinya atau tidak, tapi meskipun mereka menyadarinya, aku memutuskan untuk mengabaikan mereka saat dengan dingin aku berkata, “Katakan kita menerima tantangan ini. Bagaimana kalau kita gagal? Apakah kita semua harus membungkuk meminta maaf kepada murid kelas 2-F yang tidak puas?”

Pertama-tama, kita bukan anggota Klub Studi Fiksi Detektif. Kita anggota Klub Klasik, sebuah klub yang aktivitasnya tidak diketahui. Bagiku, aku sangat yakin bahwa memecahkan insiden ‘Hyouka’ adalah karena mujur. Sementara Irisu menjanjikan sedikit balasan, kenapa kita harus menanggung beban untuk mengurusi proyek kelas 2-F?

Chitanda merasa seakan disiram seember air dingin saat mendengar kata-kata yang pedas ini. Ibara hendak menyanggah, dan hampir membuka mulutnya.

Pada waktu yang sempurna ini Irisu memutuskan untuk mengajukan kompromi.

“Kalau begitu, kami tidak akan memintamu untuk memainkan peran ‘detektif’. Karena ada juga orang-orang dalam kelasku yang menginginkan peran tersebut. Bagaimana jika kami memintamu untuk berperan sebagai ‘pengamat’ dan memutuskan apakah kesimpulan mereka masuk akal?”

Seorang pengamat, ya? Kalau hanya memutuskan apakah seseorang pembunuhnya atau bukan, maka peran itu akan sama dengan hakim dan juri. Jika begitu, beban kami akan cukup lebih ringan.

Sebagai seorang penghemat energi, keinginanku untuk menolak tawaran ini meningkat, meskipun mungkin tidak cukup untuk meyakinkan Chitanda, yang matanya mulai berkaca-kaca.

Jadi, dengan malas aku buka suara, “Kami dapat melakukan itu, saya pikir.”

Mendengar itu, Chitanda tersenyum kembali, sementara Ibara menyilangkan tangannya, Satoshi mengacungkan jempolnya, dan Irisu menundukan kepalanya dalam kekaguman. Sial, lagi-lagi aku diseret ke dalam sesuatu yang menyusahkan. Ya sudah, aku mendesah dalam hati dan berpikir, jika yang harus kami lakukan hanya duduk dan mendengarkan, maka aku dapat melakukannya.


… Ngomong-ngomong, untuk sekejap, setelah mengangkat kepalanya, Irisu terlihat seperti ia telah dengan sukses mencapai sesuatu. Apa hanya imaginasiku saja?



Catatan Penerjemah dan Referensi[edit]

  1. Dapat diartikan sebagai ‘PILIH KASIH’ dalam bahasa Indonesia. Dalam terjemahan bahasa inggris diterjemahkan sebagai ‘double standards’. Ini merupakan idiom bahasa inggris yang berarti lebih memperhatikan atau memiliki sekumpulan prinsip yang membuat satu kelompok atau orang lebih tinggi posisinya dimata kita daripada orang atau kelompok lain meskipun sebenarnya posisi mereka sama. Disini digunakan untuk mengekspresikan bagaimana Ibara yang menyukai Fukube lebih memperhatikan Fukube dan tidak peduli pada Oreki. Sengaja tidak penerjemah ubah ke dalam bahasa Indonesia karena Oreki membuat plesetan dari idiom ini.
  2. Oreki mengatakan peribahasa "枯れ木も山の賑わい" yang secara harfiah berarti ‘bahkan pohon yang mati menyumbang kesuburan pada tanah gunung’, artinya ‘bahkan barang yang terlihat tidak berguna punya manfaat/ fungsinya sendiri’. Dalam peribahasa Indonesia artinya paling dekat dengan ‘yang buta peniup lesung’.
  3. http://id.wikipedia.org/wiki/Petasites_japonicus
  4. Suffix yang sering digunakan untuk memanggil orang yang memiliki posisi atau profesi yang setara dengan kita namun lebih tua dari kita.
  5. Kamera langsung jadi adalah model kamera yang dapat memproses foto sendiri di dalam badan kamera setelah dilakukan pemotretan. Kamera langsung jadi lebih sering dikenal sebagai kamera Polaroid, padahal sebenarnya Polaroid adalah merek perusahaan dagang yang pertama kali mengeluarkan kamera langsung jadi. Lebih lengkap di http://id.wikipedia.org/wiki/Kamera_Polaroid
  6. You’ll be surprised :D http://en.wikipedia.org/wiki/Cheese_dog
  7. http://id.wikipedia.org/wiki/Sinematografi
  8. Komik jepang
  9. Secara umum dikenal sebagai maag atau tukak lambung.
  10. 10 Prinsip Knox adalah prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam menulis cerita bergenre detektif yang dibuat oleh Ronald Knox, seorang penulis cerita misteri. Sedangkan 20 Aturan Van Dine dapat dikatakan sebagai penjabaran lebih jelas dari 10 Prinsip Knox, 20 Aturan Van Dine juga menjabarkan tentang prinsip-prinsip dasar penulisan cerita misteri detektif.



Kembali ke Halaman Utama Maju ke Bab 2