Hyouka Bahasa Indonesia:Jilid 2 Bab 3

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

3 – Gangguan yang Tak Terlihat[edit]

Keesokan harinya.

Karena kemarin aku agak malas bergerak, aku mendapat telpon dari Chitanda pagi-pagi sekali. Isinya instruksi dari ketua klub memintaku untuk datang apapun yang terjadi. Karena aku tidak punya alasan yang bagus untuk menolak permintaan yang dikatakan sedemikian halusnya, aku akhirnya pergi ke sekolah juga. Yah, melompat turun dari kapal ditengah pelayarannya juga tidak praktikal, dan aku juga tidak punya niatan seperti itu.

Saat aku keluar rumah, aku melihat sebuah surat internasional dalam kotak surat kami. Karena surat tersebut diajukan kepada ayahku, aku tidak membukanya. Aku bahkan tidak perlu melihatnya untuk menebak siapa pengirimnya: Oreki Tomoe, kakak perempuanku.

Kakakku tidak puas hanya dengan tinggal di negara ini, tapi berhasrat untuk berkeliling dunia. Dia harusnya berada di suatu tempat di Eropa Timur sekarang. Berkali-kali, kakakku membuatku terlibat dalam banyak hal-hal yang merepotkan. Meskipun hal-hal merepotkan itu sama sekali berbeda dengan tipe kerepotan yang Chitanda buat aku terlibat. Tetapi karena suratnya kali ini bukan ditujukan padaku, ini mungkin berarti aku lebih mudah terpengaruh oleh Chitanda yang jujur dan terang-terangan daripada oleh kakakku, yang tentu saja bukan hal yang buruk.

… Atau mungkin tidak.

Mari kita sampingkan hal itu, sekarang kami berada di Ruang Geologi.

Kami tidak melakukan apapun sebelum kedatangan Eba. Seperti biasanya, aku duduk di sisi yang teduh dan mulai membaca novel bersampul tipis milikku. Hanya karena aku menonton film misteri bukan berarti aku akan dengan sengaja member novel misteri. Novel yang kubaca hanya novel biasa yang aku beli dari toko buku biasa.

Diseberangku adalah Chitanda, yang berdiri dekat jendela, tidak terganggu oleh matahari musin panas yang membakar sambil melihat ke lapangan di bawah. Ia pasti memiliki ketahanan terhadap suhu panas, karena kulitnya tidak terlihat menggelap sama sekali walaupun berdiri dibawah matahari begitu lama… Ia hanya berdiri disitu menatap lapangan di bawah, atau untuk lebih jelasnya, ia mungkin telah menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya diantara orang-orang yang tengah melakukan persiapan untuk Festival Kebudayaan. Tapi hanya matanya yang penasaran yang berbinar-binar, artinya, dia, juga, merasa bosan.

Ibara, sebaliknya, jauh dari merasa bosan. Sebagai orang yang bertanggung jawab atas pengumpulan bunga rampai ‘Hyouka’, hari ini juga ia sibuk menulis catatan soal itu. Beberapa saat yang lalu aku menanyakan apa yang sedang ditulisnya padahal tugas yang tersisa hanya tinggal mencetak manuskripnya. Dia menatapku seram dan berkata, “ Kalau manuskripnya bisa langsung dikirim ke penerbit begitu saja, tidak akan perlu ada pengeditan!”

Pertahankanlah kerja bagusmu kalau begitu.

Sedangkan Satoshi, dia sedang membaca novel sama sepertiku. Karena tangannya menutupi sampul buku, aku tidak tahu apa yang sedang dibacanya. Meskipun tersenyum sudah merupakan ekspresi ‘default’nya, dia tidak melakukannya saat sedang membaca. Dibilang begitu, adalah aneh untuk melihat Satoshi yang tanpa ekspresi.

Saat aku berpikir seperti itu, ekspresinya berangsur-angsur kembali seperti biasa. Menaruh bukunya, dia mengangkat wajahnya dan melihat sekelilingnya.

“Ngomong-ngomong, berapa banyak novel detektif yang pernah kalian baca sebelumnya?”

Ibara berhenti menulis mendengar pertanyaan tersebut dan menoleh.

“Fuku-chan, apa yang sebenarnya ingin kau katakan?”

“Setelah mendengarkan Nakajou-senpai kemarin, aku jadi berpikir. Meskipun caranya mendeduksi lumayan seperti yang biasa dilihat di novel-novel detektif, tebakannya meleset jauh. Jadi aku pikir aku harus membaca lebih banyak novel detektif untuk membantu kita mencari kesimpulan lebih baik.”

Hmm. Memang, meskipun argumen Nakajou awalnya terdengar inovatif, setelah memikirnya semalam, teorinya sama saja dengan acara detektif yang biasa ditayangkan di TV. Tidak jarang bagi Satoshi untuk menghubung-hubungkan ditempat yang tidak terpikirkan.

“Hmm, aku sih membaca sejumlah novel-novel detektif biasa,”

“Jadi biasa itu seberapa banyak? Makanya aku bertanya,” Kata Satoshi sambil tersenyum, yang padanya Ibara balas tersenyum pahit.

“Kalau aku, hmm, biasa itu berarti membaca Agatha Christie dan Ellery Queen, yang seperti itu.”

Apa itu biasa saja? Meskipun paling tidak aku tahu nama-nama pengarang tersebut… Satoshi juga memiringkan kepalanya.

“Dari pada biasa, membaca sebanyak itu sudah bisa dibilang ahli. Buku-buku itu ‘kan lebih mirip dengan literatur klasik sesuai dengan Klub Sastra Klasik?... hanya itu? Kalau pengarang Jepang?”

“Walau ada banyak pengarang dari Jepang, aku toh tidak membaca sebanyak itu. Aku membaca beberapa genre misteri rel kereta api, tapi hanya itu. Walaupun aku agak tertarik dengan novel-novel misteri, tapi ada banyak pengarang yang karyanya tidak begitu aku suka.”

Sepertinya semakin banyak membaca kau semakin mengenalnya, ya? Kau lah menunjukkan minat waktu dibilang kelas 2-F membuat film misteri. Aku rasa diantara kami berempat, Ibara adalah yang paling ahli dalam fiksi detektif.

“Bagaimana denganmu, Houtarou?”

Aku menutup buku yang sedang kubaca dan menjawab, “Aku tidak membaca buku-buku itu,”

“Apa kau sengaja tidak membaca cerita-cerita detektif? Kebiasaanmu membaca buku tidak begitu bagus, tahu?”

Oh, biarkan saja aku.

“Aku pernah membaca beberapa novel bersampul kuning seperti yang ini, hanya itu.”

Dengan tidak serius aku memberinya jawaban yang sesuai.

“Ohh… artinya, kau hanya membaca karya pengarang Jepang ya? Kau kaku ya,”

Dia membalasku cepat. Sepertinya jawabanku cukup menjawab pertanyaannya. Seperti biasa, Satoshi memiliki pengetahuan yang luas yang tidak berguna.

Satoshi sekarang menengok pada Chitanda, yang menggelengkan kepalanya pelan,

“Saya tidak membacanya sama sekali.”

“Eh?”

Dia terdengar kaget. Yah, aku juga kaget, karena berdasarkan kecenderungannya untuk mencari jawaban untuk setiap teka-teki yang ia temui, aku mengira ia pasti lumayan tertarik dengan fiksi detektif. Satoshi mencoba untuk memastikan itu.

“Tidak satupun?”

“Saya rasa saya mungkin tidak begitu tertarik pada novel-novel misteri setelah membaca beberapa. Dan sudah beberapa tahun sejak terakhir kali saya menyentuhnya.”

Daripada dibilang tidak membaca novel detektif apapun, ia menolaknya setelah membacanya. Fakta bahwa nona kami ini lemah dengan novel detektif meskipun ia kerap menemui situasi-situasi seperti dalam novel detektif, terdengar lumayan kontradiktif. Itu seperti seorang pebisnis yang tidak suka membaca novel bisnis. Tapi kalau dipikir-pikir, itu tidak sepenuhnya aneh.

“Sungguh? Tapi Chi-chan, bukankah kau senang waktu kita menonton film misteri kelas 2-F?”

Chitanda tersenyum lembut.

“Saya hanya senang karena Irisu-san mengundang kita untuk menunjukkan pada kita sesuatu yang ia dan teman-temannya buat… bukan berarti saya suka menonton film-film misteri.”

Begitu, masuk akal lah.

Itu berarti, hanya tinggal satu orang. Pada akhirnya, semua orang harus mendapat kesempatan untuk ditanyai.aku bertanya pada Satoshi, yang terlihat seperti sudah mengerti semuanya dan mengangguk-angguk puas, “Jadi, bagaimana denganmu?”

“Aku?”

“Kurasa kau pasti sudah membaca semua novel detektif dari seluruh dunia, baik klasik maupun modern?” Aku bertanya sambil bercanda, yang Satoshi membantahnya ringan. “TIdak, belum.”

Hmm?

Ibara mulai tersenyum dari ujung bibirnya.

“Oh, aku tahu apa yang Fuku-chan suka baca,”

Satoshi menggantung kepalanya malu. Sepertinya keingintahuan Chitanda terpicu.

“Eh? Jadi apa itu? Fukube-san, ini bukan rahasia, bukan?”

Dengan kata lain, kalau itu rahasia, Chitanda tidak akan bertanya lebih jauh. Aku tahu ini berdasarkan pengalaman, bahwa nona kita ini masih punya rem untuk keingintahuannya.

Sementara itu, Satoshi tidak bisa berkata apa-apa.

“Aku…”

Apa sih? Sudahlah, katakan saja.

Saat aku berpikir seperti itu, Ibara yang membocorkannya.

“Fuku-chan adalah Sherlockian berat!”

…Oh, aku mengerti.

Seorang Sherlockian adalah sebutan bagi fans Sherlock Holmes. Walaupun aku tidak begitu tahu detilnya, aku dengar orang-orang ini bahkan telah melakukan penelitian tentang bulldog yang dipelihara oleh patner Holmes. Penelitian itu serius dan bukan sekedar permainan anak-anak atau untuk hiburan. Walaupun, untuk Satoshi mungkin adalah sedikit gabungan dari keduanya.

“Apa itu Sherlockian?”

“Uh, begini,”

Sementara Ibara mencoba menjelaskan pada Chitanda yang jelas tidak tahu, Satoshi mengoreksinya dengan suara yang pelan.

“Fans berat ridak disebut Sherlockian, tapi seorang Holmesian…”

Apa bedanya sih?


Saat kami menggoda Satoshi, Eba tiba di depan pintu dan membungkuk sopan seperti biasanya.

“Aku menyesal untuk memberitahukan ini, kami tidak bisa meminjam kelas yang kosong hari ini, jadi kami ingin meminta agar pertemuan hari ini dilakukan di ruang kelas 2-F, kalau kalian tidak keberatan, karena ruangannya mungkin sedikit berantakan.”

Aku tidak mengerti kenapa dia harus meminta maaf untuk hal itu.

“Kalau begitu, ayo pergi ke ronde ke-2 dari Pertemuan Deduksi kita,”

Setelah mendengar suara Satoshi yang begitu ceria, kami beranjak keluar ruangan. Meski, kupikir agak berlebihan menyebutnya Pertemuan Deduksi.

Aktivitas dari berbagai macam klub hari ini pun sama ramainya, karena terdengar suara musik gabungan berbagai instrumen dan suara orang bernyanyi. Nadanya terdengar tidak asing. Ternyata itu adalah lagu tema Mito Koumon. Musiknya terdengar elegan, tapi juga tidak begitu tepat.

Sambil kami berjalan, Eba memberi kami pembekalan singkat terlebih dahulu.

“Orang yang akan kalian temui hari ini adalah Haba Tomohiro, dari bagian peralatan.”

Aku menoleh pada Satoshi, yang dia menggelengkan kepalanya. Sepertinya si Haba ini bukan orang terkenal juga. Kemarin adalah bagian pembuatan film, jadi hari ini adalah bagian peralatan ya? Kami sepertinya sedang mengikuti suatu pola. Eba melanjutkan dengan tenang, “Sekalipun dia tidak diberikan peranan khusus dari awal, dia memutuskan untuk turut campur… secara aktif melibatkan dirinya sendiri dalam berbagai jenis detil kecil. Apakah ada hal lain yang ingin kalian tanyakan?”

Ibara, menyadari suatu hal, bertanya, “Umm, kalau Haba-senpai ini dengan aktif terlibat dalam proses pembuatan film, kenapa dia tidak diberi peran berakting?”

Heh, aku tahu. Memang, orang seperti itu mestinya berdiri di depan kamera. Eba berbalik untuk menghadap Ibara dan mengangguk.

“Dia dilewat.”

“Artinya,”

“Peran-perannya diputuskan melalui voting suara. Dia tidak mendapat cukup suara.”

Sekarang aku mengerti. Aku akhirnya buka suara.

“Jadi kenapa kita menemui orang ini?”

Dengan kata lain: Apakah seseorang yang memutuskan untuk ikut campur… secara aktif melibatkan diri dalam sebuah proyek akan menerima pendapat dari kami, pihak luar? Eba memperlihatkan ekspresi kesulitan yang tidak biasa.

“Saya juga ragu soal pemilihannya… tapi Irisu-lah yang memilihnya, jadi dia pasti punya alasannya sendiri. Kalau kalian bertanya padaku, mungkin ada hubungannya dengan dia yang merupakan orang yang paling mengenal fiksi misteri diantara semua kru. Paling tidak, itulah yang dikatakan, olehnya sendiri.

Karena aku tidak tahu harus merespon apa, aku memutuskan untuk memaksakan tersenyum padanya.

Meskipun begitu, Satoshi sudah menekankan bahwa Irisu “Sang Permaisuri” ahli dalam membuat orang melakukan sesuatu untuknya. Jika dia benar, maka seperti yang telah dikatakan Eba, Irisu memiliki alasan mengapa ia menunjuk Haba. Dari awal juga, ini hanya salah satu masalah yang Irisu buat kami terlibat, jadi bukannya kami tidak menduga ia merencanakannya. Sementara aku sedang berpikir, Satoshi menunjukkan ekspresi ketidakpuasan.

“Kemana perginya Irisu-senpai? Dia sama sekali tidak menunjukkan dirinya sejak saat itu.”

Kalau dipikir-pikir, dia benar. Kami belum melihatnya sejak kemarin lusa. Meski, Eba langsung menjawab pertanyaan kami.

“Dia mengatakan dia akan mencari pengganti penulis naskah sementara kalian menemukan kesimpulan yang benar. Dia juga memiliki masalahnya sendiri.”

Kami sampai di lorong yang menghubungkan antara Blok Kelas Khusus dan Blok Kelas Umum.

Sebelum kami sampai di ruangan kelas 2-F, Chitanda membuka mulutnya lembut.

“Eba-san,”

“Ya?”

“Apakah Anda dekat dengan Hongou-san?”

Eba terlihat bingung sejenak. Meskipun ia tidak terlihat khawatir, aku dapat merasakan ia sedang berusaha menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab.

“…Kenapa kamu bertanya?”

“Saya hanya ingin tahu,” Chitanda tersenyum pada Eba dan berkata, “Saya tidak bisa berhenti memikirkan kira-kira orang seperti apa yang menulis naskahnya. Dia sepertinya orang yang sangat serius.”

Sekarang kami sampai di depan ruang kelas 2-F. Eba menghentikan langkahnya, berputar, dan perlahan berkata, “Hongou adalah teman baikku. Dia orang yang tulus, perhatian, dan memiliki rasa tanggung jawab yang kuat, juga baik dan lembut. Tapi apakah ada yang bisa kamu dapatkan dari ceritaku ini?...Kesampingkan itu, Haba sedang menunggu kalian di dalam.”

Dia balik kanan dan lalu pergi tanpa memperkenalkan kami pada Haba.


Seperti yang telah dijelaskan Eba―Kelas 2-F lumayan berantakan. Terdapat tas-tas ransel yang digunakan dalam film, juga prop lain yang belum digunakan berserakan dimana-mana. Pada papan tulis terdapat tulisan yang berantakan yang sepertinya merupakan jadwal pengambilan gambar, dengan kalimat yang panjang ditulis diatasnya menggunakan kapur warna kuning yang terbaca “Hari Minggu minggu depan = Deadline Paling Akhir!” Meja-meja dan kursi-kursinya pun berantakan , dan untuk pertama kalinya aku menyadari seberapa besar krisis yang sedang dihadapi oleh kelas ini dengan proyek mereka. Saat aku berpikir apakah ini juga merupakan bagian dari rencana Irisu untuk kami menemui Haba disini, kami memasuki ruangan kelas yang berantakan.

Dipojok kelas dimana sinar matahari tidak masuk berdiri seorang siswa laki-laki. Berkacamata, dia sedikit kurus untuk ukuran badannya. Saat melihat kami, dia mengangkat tangannya dengan melodramatic dan berkata, “Jadi kalianlah para pengamat yang dikirim oleh Irisu. Senang bertemu dengan kalian, namaku adalah Haba Tomohiro.”

Seperti kemarin, Chitanda sekali lagi memperkenalkan kami mulai dari dirinya. Haba mengulang nama kami berkali-kali seakan hendak mengingatnya sebelum memberi isyarat pada kami untuk duduk.

Walaupun aku tidak tahu bagaimana Haba bersikap sehari-harinya, mood-nya sepertinya sedang bagus hari ini. Mengenakan ekspresi yang puas sambil melihat kami duduk, dia mengangguk.

“Aku dengar kalian cukup bagus dengan misteri, paling tidak dibanding dengan kelas kami, yang hampir tidak ada orang yang familiar dengannya.”

Sepertinya orang-orang di kelas 2-F telah diberitahu informasi yang salah. Bahkan Chitanda telah menyadari ini dan menyatakan, “Kami dari Klub Sastra Klasik.”

Mata Haba melebar.

“Oh ya, Klub Sastra Klasik. Berarti kalian lumayan familiar dengan buku-buku dari ‘Zaman Keemasan’, ya? Wow.”

Dia sepertinya semakin salah paham. Memang, Klub Sastra Klasik memang merupakan sebuah klub yang tidak jelas kegiatannya, tidak mengejutkan kalau disalahartikan sebagai klub yang familiar dengan novel misteri.

Saat Haba masih bergumam ‘Wow’, dia mengeluarkan selembar kertas A4 dan menempatkannya di atas meja di depannya. Itu adalah peta teater yang terlihat dalam film. Padanya tertulis nama-nama resmi dari setiap ruangan juga posisi semua jendela, dan sebuah nama designer yang tidak intelek “Nakamura Aoi” atau yang semacam itulah. Bahkan lorong yang ditutup juga ditandai dengan baik.

Satoshi buka suara tanpa berpikir.

“Senpai, ini apa!?”

“Hmm? Kamu tidak dikasih lihat ini sebelumnya?”

Tanpa berkata satu katapun, Satoshi mengeluarkan peta yang ia gambar sendiri.

Haba mengerang, “…Ini membuat semuanya lebih mudah,”

“Umm, dari mana Anda mendapatkan peta ini? Tanya Ibara, yang padanya Haba menjawab, “Bangunan ini dibangun oleh pemerintah Kota Furuoka, jadi aku hanya mencarinya dibalai kota. Deduksi hanya bisa dilakukan dengan peta ini,”

Dia lalu tersenyum.

Pada peta Haba, ditandai posisi mayat, juga posisi semua orang sebelumnya. Ia sebegini antusiasnya bukanlah hal buruk, karena aku juga ingin mengetahui informasi itu.

Haba terlihat lebih semangat lagi sambil dia melanjutkan, “Tapi, untuk seorang penulis atau pembaca cerita misteri, sebuah cerita misteri yang ditulis amatir seperti Hongou tidak akan cukup untuk memuaskannya,”

Dia terdengar cukup percaya diri. Chitanda bertanya, “Apakah Hongou-san tidak ahli dengan cerita misteri?”

“Ya. Dia belum pernah membaca satupun sebelum pembuatan film ini.”

“Tapi kudengar dia memang melakukan penelitian,”

Sudut bibirnya naik membentuk senyuman.

“Semuanya cerita lama. Lihat disana, buku-buku itu adalah yang dia baca semalaman,”

Dia menunjuk ke satu arah sudut kelas dengan dagunya, memperlihatkan buku-buku yang ditumpuk. Sekilas, semuanya sepertinya novel. Chitanda menyandarkan tubuhnya ke depan dan bertanya, “Umm, apakah kami boleh melihat-lihat buku-buku itu?”

Haba terlihat tidak suka pada ketertarikan Chitanda yang terarah pada tempat yang tidak diduga. Aku juga ingin tahu apa yang direncanakannya, meskipun rasa keingintahuannya mudah dibaca. Tanpa menunggu jawaban, ia bangkit dari tempat duduknya dan pergi untuk mengambil satu buku.

Melihat tumpukan buku disebelah peta, Satoshi berkata dengan suara yang terdengar tertarik, “Ahh, terjemahan versi Nobahara… Edisi terbarunya lagi.”

Buku-buku itu adalah cerita Sherlock Holmes yang baru saja kami bicarakan. Bagian cover-nya di-emboss dengan rapi dengan jenis huruf yang terlihat seperti tulisan tangan tercetak pada kertas berwarna putih yang mengkilat, menggoda pembaca untuk langsung membaca cerita Sherlock Holmes begitu membelinya. Ibara memandang bukunya lalu berkata dengan nada yang dingin, “Jadi dia hanya membaca Holmes untuk meneliti misteri?”

Haba menjawab, “Ya. Makanya aku menyebutnya amatir.”

…Jadi orang yang membaca Holmes itu hanya amatir ya? Pertanyaan yang cukup berani. Dan dia mengatakannya didepan Satoshi, seorang Sherlockian (meskipun dia lebih senang menyebut dirinya Holmesian). Akan tetapi, Satoshi tersenyum tanpa terlihat terlalu terganggu.

“Aku sering mendengarnya.”

Hmm.

Mengambil buku pertama dari gunungan buku itu, Chitanda mulai melihat-lihat per halaman. Kami benar-benar harus kembali ke topic utama… aku tidak tahu apakah ia menyadari kegusaranku atau tidak; kemungkinan besar sih tidak. Tangan Chitanda berhenti pada salah satu halaman.

“Oh.”

“Ini apa?”

“Ada semacam tanda-tanda aneh disini. Coba lihat,”

Ia memperlihatkan padaku halaman yang dibukanya, dan aku langsung tahu itu adalah daftar isinya tanpa membaca kata-katanya. Memang, terdapat penandaan sebelum judul setiap cerita pendek. Meskipun aku tidak berpikir tanda-tanda tersebut ‘seaneh’ yang dipikirkan Chitanda.




“Dan yang ini juga,”


Setelah melihatnya, aku segera menepis ketertarikan Chitanda.

“Apanya yang sebegitu aneh dari catatan itu? Itu mungkin hanya catatan-catatan penanda yang dibuat oleh Hongou.”

“Begitu…?”

Meskipun ia terlihat tidak begitu percaya, ia memutuskan untuk mengesampingkannya dulu. Pada waktu ini, Satoshi terlihat seperti menggumamkan sesuatu, saat aku hendak bertanya padanya, pandangan kami bertemu dan menggerakkan badannya mengisyaratkan dia juga tidak tahu, dan mengalihkan perhatiannya ke peta.

“Mari kesampingkan dulu itu.”

Mengetukkan jari-jarinya di meja, Haba berbicara.

“Daripada itu, ayo kita mulai penarikan kesimpulannya,”

Haah. Sepertinya dia sudah tidak sabar untuk memulai menarik kesimpulannya sendiri. Dan lagi, aku juga ingin ini cepat berakhir dan selesai. Jadi aku pegang tangan CHitanda untuk menghentikannya mengambil buku lain, dan hanya ketika itulah ia menyadari bahwa Haba menunggu, dan dengan berat hati meletakkannya kembali di atas tumpukan buku yang menggunung.

“Saya mohon maaf. Silahkan dimulai.”

Haba mengangguk dan mengambil pulpen dari kantung bajunya. Mungkin barang yang dibutuhkan untuk melanjutkan pelajaran, jadi perhatikan, kawan-kawan.

“Baiklah kalau begitu. Aku sendiri merasa misteri ini tidak begitu sulit. Bahkan, bisa digolongkan sebagai misteri yang mudah dipecahkan.”

Dia berhenti sebentar untuk melihat reaksi kami. Aku tidak bereaksi, ngomong-ngomong, dan aku juga tidak tahu reaksi seperti apa yang diberikan oleh yang lainnya.

“Pertama, pembunuhan ini bukanlah direncanakan, atau lebih tepatnya, hanya setengah direncanakan. Jadi bukan tipe kasus ‘seperti yang direncanakan’. Kasusnya hanya terjadi karena kondisinya memenuhi syarat untuk pembunuhnya menjalankan rencananya. Apakah kalian mengerti?”

Pembukaan yang tidak buruk. Tidak, sejujurnya, bukan itu yang sebenarnya aku pikirkan. Begitu, karena dia menyebutkannya, entah apapun teknik yang digunakan dalam film, filmnya tidak akan dapat menggambarkan rencana yang mendetil tanpa membuat bingung. Untuk mengapanya,

“…. Apa alasannya?”

Chitanda baru saja menanyakan hal yang luar biasa. Haba terlihat agak kurang senang karena dia diselang segera setelah memulai, tapi segera menjawab dengan ekspresi yang ceria, “Alasannya, seandainya semuanya direncanakan, Kaitou akan diminta untuk pergi ke sisi kanan teater. Sebagai gantinya, apa yang kita lihat adalah dia mengambil kuncinya secara acak dan pergi ke sisi itu dengan sendirinya. Jadi aku yakin pembunuhnya hanya memanfaatkan kondisi ini. Yah, seharusnya sih tidak begitu jauh dari sebenarnya, karena banyak contoh-contoh seperti ini dalam misteri pembunuhan.”

Meskipun banyak contoh seorang menggunakan trik untuk membuat seseorang memilih kartu yang persis sama dengan yang dia ingin diambil, sepertinya bukan itu yang terjadi kali ini. Jadi sejauh ini Haba masuk akal.

Haba lanjut menunjukkan pulpennya ke bagian Panggung Kanan di peta, ruangannya diberi tanda ‘mayat ditemukan’.

“Seperti yang kalian semua ketahui, ini adalah pembunuhan di ruang tertutup. Jalan keluar yang tersedia dari ruangan adalah disini, disini, dan disini. Dua diantaranya ditutup dan tidak dapat digunakan, sementara yang lainnya terkunci ketika mayatnya ditemukan. Juga ada dua jendela, dengan satunya disegel sementara yang lainnya tertutup rerumputan tinggi diluar, yang tidak menunjukkan adanya orang yang melaluinya. Dengan kata lain, pembunuh Kaitou tidak keluar melalui cara yang normal,”

Dia sekarang sampai ke titik dimana Nakajou berhenti, yang padanya dia tersenyum.

“Dibilang begitu, pembunuhnya sudah tidak ada ruangan setelah Kaitou terbunuh, situasi ruang tertutup seperti pada umumnya. Kalian mungkin belum memikirkan ini sebelumnya, sebuah situasi ruangan tertutup biasanya tercipta pada saat mayat ditemukan. Atau untuk lebih jelasnya, saat semua orang sudah memasuki ruangan dan mayatnya ditemukan. Sekarang, bagaimana ini tercipta? Cukup berpikir mengikuti penulis fiksi-fiksi detektif zaman dulu dan sekarang.

“Mari mulai dari cara yang paling sederhana. Pembunuhnya mungkin memilih unutk mengambil kunci master dan menggunakannya untuk memasuki tempat kejadian perkara, dan lalu mengembalikannya ke tempat semula.

“Tapi ini sangat tidak menarik. Akan terjadi keributan kalau ini yang sebenarnya terjadi. Amatir seperti Hongou pun tidak akan menggunakan cara ini. Jadi mari melihat fakta-fakta yang ada.

“kunci-kuncinya ditemukan di kantor teater. Untuk sampai ke kantor itu, kita harus melewati lobby. Dan siapapun yang melewati akan terlihat oleh Sugimura yang berada di ruang peralatan lantai 2, atau paling tidak menarik perhatiannya. Jadi apabila pembunuhnya ingin mengambil kunci master, dia akan berharap untuk tidak terlihat oleh Sugimura. Tidak masuk akal untuk pembunuhnya mengambil risiko semacam itu.

“Sekarang, bagaimana kalau seandainya Sugimura yang mengambil kuncinya? Itu juga tidak mungkin, karena dia juga berisiko terlihat oleh Senoue, Katsuda, dan Yamanishi.”

Hmm, dia lumayan bijak dengan kesimpulannya, ya? Kalau saja dia bisa melakukan yang sama dengan sikapnya.

“Sekarang, fakta bahwa lobby tidak dapat dimasuki tanpa dilihat orang lumayan penting, karena berarti tidak hanya Panggung Kanan, tetapi seluruh koridor tidak bisa dimasuki si pembunuh dari lobby. Apakah kalian tahu apa makna dibalik ini?” Dia bertanya sambil mengangkat wajahnya dari peta. Seperti seorang guru menunggu muridnya untuk menjawab pertanyaannya, dia memandang kami satu per satu.

…Oh! Ibara menyadari pandangan mereka bertemu.

Setelah hening sejenak, ia memberikan jawaban singkat.

“Pembunuhnya menggunakan suatu trik fisik?”

Kilasan kekecewaan terlihat di wajah Haba.

Walaupun, dia kembali ke sikap semangatnya lagi.

“Benar sekali.”

Apa sih masalah dia? Apakah dia tidak senang seseorang menebak pertanyaannya dengan benar? Dia terlihat agak kurang hati-hati dan blak-blakan soal itu.

“Memang, jika pembunuhnya menggunakan suatu trik untuk mengunci pintunya dari luar ruangan. Tapi itu juga tidak masuk akal. Karena pembunuhnya tidak akan bias keluar dari koridor kanan, yang memiliki efek ‘ruangan tertutup bagian luar’ kedua. Dengan kata lain, tidak mungkin menciptakan ruangan tertutup dari luar.”

“Orang mungkin berpendapat bahwa ruangan tertutup ini diciptakan oleh tidak lain tidak bukan, korban sendiri. Mungkin korbannya tidak langsung terbunuh, dan memutuskan untuk mengunci dirinya sendiri untuk melarikan diri dari pembunuhnya, dan akhirnya mati disitu. Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa ‘ruangan tertutup luar’ ini masih ada.

“Kalau begitu, kemungkinan lain apalagi yang ada? Ini termasuk pembunuhnya tidak ada ketika si korban mati, atau pembunuhannya masih terjadi ketika korban ditemukan. Gampangnya, korbannya dibunuh dengan suatu mekanisme, atau dia dibunuh dengan cepat tanpa sepengetahuan siapapun. Apa kalian mengerti sekarang?”

Ya, aku mengerti.

Meski, ada juga orang-orang yang tidak mengerti, terutama Chitanda, yang hamper tidak pernah membaca fiksi detektif. Dia mengangkat tangannya dengan segan.

“Umm, maaf, tapi bisakah Anda menjelaskan lebih jauh?”

Haba terlihat cukup senang dengan permintaan Chitanda, dan mengangguk sambil mulai menjelaskan dengan ceria, “Mekanisme pada dasarnya berarti, ruangannya dipasangi semacam perangkap, yang akhirnya membunuh Kaitou. Contohnya, bias saja sebuah bowgun atau jarum beracun. Segera terbunuh tanpa sepengetahuan orang lain berarti Kaitou masih hidup saat pintunya dibuka, dan pembunuhannya terjadi pada saat yang singkat itu ketika semua orang pergi untuk memastikan apakah Kaitou masih hidup atau tidak.”

Chitanda mengeluarkan lenguhan tidak enak.

“Pokoknya, kedua kemungkinan ini ditolak juga mereka punya kekurangan yang sama, apa kau tahu apakah itu?”

Haba menoleh pada Ibara seakan mendorong Ibara untuk menjawabnya. Ibara mengangkat alisnya menunjukkan ia tahu apa yang dimaksudkan Haba. Dia tidak perlu menjawab tapi tetap memutuskan untuk menjawabnya.

“Ya, kondisi mayatnya, bukan?”

“…Benar sekali. Memang menarik bicara dengan orang yang mengerti.”

Meskipun dia bertingkah tidak masuk akal, aku agaknya mengerti apa yang dia lakukan, dan aku tertawa dalam pikiranku. Haba berdehem dan berkata, “Kondisi mayatnya, dengan kata lain, teori bahwa Kaitou tangannya terpotong dan dibunuh oleh suatu mesin atau terbunuh segera setelah ruangannya dimasuki, ditolak. Pertama, mesin semacam itu untuk membunuhnya dan dengan kekuatan semacam itu, akan langsung ditemukan. Kedua, karena tenaga yang kuat akan dibutuhkan untuk membunuhnya, tidak mungkin membunuhnya secara diam-diam dibawah batang hidung semua orang.

“Ini artinya…

“Adalah sulit untuk memasuki ruang tertutup yang diciptakan oleh Hongou dari depan.”

Haba menyelesaikan penjelasannya, duduk menekankan punggungnya kedalam kursi dan mengambil napas. Dia segera melanjutkan sikap sangat percaya dirinya dan menengok padaku.

“Kamu, Oreki-kun, kan? Bagaimana pendapatmu tentang kesimpulan ini?”

Pada saat itu, aku ingin sekali bilang padanya, hebat sekali, bisakah kita pergi sekarang? Tapi aku tahu Haba dengan sengaja menyimpan bagian terbaik dari kesimpulannya di akhir.dia mungkin memiliki jawaban terstandar yang dia siapkan terlebih dahulu apapun yang aku katakan. Tapi karena aku tetap diam, dia memperlihatkan senyuman terpaksa, seperti mengisyaratkanku dalam mencoba untuk membuat alurnya mengalir, Cepat dan katakan kau tidak tahu!

Seperti yang kukira, dia tertawa mengejek dan meninggikan suaranya.

“Tidak, tidak bisa begini. Tapi bukan tidak mungkin, kan?”

Dia lalu berdiri perlahan dan berjalan ke salah satu tas ransel yang terlihat di film, lalu memasukkan tangannya ke dalam tas dan membawanya seperti itu ke arah kami.

“Seperti yang kalian ketahui, aku dari bagian peralatan. Aku bertanggung jawab untuk membeli peralatan yang dibutuhkan dalam pembuatan film. Kamilah yang membuat ‘darah’ Kaitou juga ‘tangannya yang terpotong’.”

Benda yang dia tarik keluar dari dalam tas adalah tepat seperti yang aku kira.

Tali.

“Hongou bisa lumayan ceroboh dalam persiapannya. Contohnya, meskipun dia bermaksud untuk menggunakan banyak darah dalam adegan itu, kru pengambilan gambar panik saat kami menemukan bahwa persediaan darah palsu kami tidak cukup. Tetap saja, dia meminta kita untuk secara khusus menyediakan tali. Dia memberitahu kami karena seseorang akan membutuhkannya untuk turun, jadi kami akan butuh tali yang kuat. Jadi aku bertanya apakah tali keamanan standar bisa digunakan, dan dia mengiyakannya. Apakah kalian menyadari apa yang dia ingin lakukan dengan ini?” katanya sambil kembali ke tempat duduknya, menaruh tali itu di atas meja. Dia mendorong dadanya ke depan dengan percaya diri sambil melanjutkan, “Biar aku beri kalian petunjuk. Terlepas dari penampilannya yang kecil, Kounosu sebenarnya adalah anggota klub panjat tebing.”

Dia menatap kami semua sekilas. Ibara mungkin mengerti. Satoshi mempertahankan senyumnya sambil melihat buku catatannya, tapi dia mungkin tidak mengerti. Chitanda hanya terlihat bingung, jadi dia jelas tidak mengerti.

Pokoknya, melihat kami tidak mengatakan apa-apa, Haba bicara dalam suara yang sekan dia memberitahukan sebuah rahasia yang luar biasa.

“Dengan kata lain, jika pembunuhnya tidak dapat masuk dari lantai satu, maka dia hanya perlu masuk dari lantai 2. Itu adalah jalan akses yang tersisa. Lorong kanan di lantai dua diisi oleh Kounosu, dan bukan kebetulan dia ditempatkan disitu. Kalau aku harus menebak, ini mungkin karena dia berasal dari klub memanjat tebing.”

“Trik yang digunakan Hongou sebenarnya lumayan sederhana: pembunuhnya untuk turun melalui jendela di lantai dua menggunakan tali, membunuh Kaitou tanpa diketahui siapapun, dan kembali ke atas menggunakan tali yang sama.”

“Umm, jadi pembunuhnya masuk dari Panggung Kanan di lantai atas, ‘kan?”

“Ya iya lah. Kalau pembunuhnya masuk dari rute lainnya, pintu yang terkunci tidak ada artinya... Sekarang aku yakin kalian semua sudah mengerti. Karena film-nya belum memiliki judul, kalau harus diberi, maka perlu dijuduli ‘Gangguan yang Tak Terlihat’.”

Haba memajukan dadanya seakan menyatakan. Nah, bagaimana?

Meskipun apa yang dikatakannya dalah kebenaran yang tidak terelakkan, dia berkata, “Sekarang biar aku dengar apa pemikiran kalian.”

Dia menanyai kami apa yang kami pikirkan soal itu, kah? Kami saling bertukar pandang dengan satu sama lain. Wajah Ibara terlihat seperti menyuruhku untuk memberinya pelajaran; aku memutuskan untuk mengabaikannya, aku tidak punya niat untuk membuang energi percuma hanya untuk membantahnya seperti yang kami lakukan pada Nakajou kemarin. Sementara Nakajou sangat bergairah, Haba sangat percaya diri. Aku menoleh ke arah sebaliknya dan bertemu pandang dengan Chitanda. Aku menyadari apa yang ingin dia katakan dan memberinya anggukan setuju.

Balas mengangguk, dia menoleh dan berkata pada Haba, “Kami rasa itu adalah deduksi yang sangat bagus.”

Meskipun Haba mungkin sudah berpikir bahwa responnya adalah hal yang sewajarnya, ia hanya mengatakannya untuk kesopanan.

“Oh, kau terlalu memujiku,”

Dia lalu menoleh pada Ibara dengan tersenyum.

“Bagaimana denganmu?”

Sial, dia mencoba untuk memprovokasinya. Tapi Ibara, meski merasa frustasi, memutuskan untuk mengangguk pada respon Chitanda.

Haba sepertinya telah selesai mengatakan apa yang ingin dia katakan. Merasakan waktunya sudah tiba, aku lanjut bicara.

“Kesimpulan yang hebat, Haba-senpai. Kami bisa memberikan tinjauan yang baik untuk Irisu-senpai... semoga hari Anda menyenangkan.”

Haba mengangguk puas. Aku berdiri setelah selesai. Kami masing-masing memberikan salam dan bergerak meninggalkan ruang kelas 2-F.

Sebelum pergi, Chitanda melihat ke arah buku-buku Sherlock Holmes di kursi dan berkata, “Maaf, Haba-san, tapi apakah Anda keberatan kalau kami meminjam buku-buku ini?”

Meskipun itu adalah permintaan yang aneh, karena Haba sedang senang, ia setuju.

“Itu buku-bukunya Hongou. Pastikan kalian mengembalikannya seperti semula,”

Jangan seenaknya meminjamkan barang milik orang lain. Kataku dalam pikiranku.

Ibara dan Satoshi juga meninggalkan ruangan. Ketika aku hendak menutup pintu, aku membalikkan kepalaku ke dalam ruangan untuk bertanya.

“Haba-senpai,”

“Hmm? Ada apa lagi?”

“Tidak, bukan hal yang penting. Saya hanya kepikiran apakah Anda sudah melihat filmnya atau belum. Saya pikir efek tangan Kaitou-senpai yang terpotong itu dibuat lumayan bagus.”

Setelah itu Haba menggelengkan kepalanya dan tersenyum pahit.

“Sejujurnya, aku belum menonton filmnya.”

Jawaban itu sudah cukup bagus untukku.


“Ya ampun, dia membuatku marah,” kata Ibara, begitu kami kembali ke ruang Geologi. Karena kami bisa merasakan amarah yang tersembunyi dalam kalimat yang singkat itu, aku tidak berniat untuk mengoloknya.

Satu-satunya orang yang bisa melakukan itu pastilah Satoshi.

“Ada apa? Kau sepertinya terkejut dengan sikap provokatif senpai.”

Ibara menggelengkan kepalanya pelan.

“Kalau kita bicara soal orang yprovokatif, aku selalu terprovokasi olehmu setiap kali,”

Gambarannya cocok dari segi yang aneh. Meskipun Satoshi dikenal menjalani hidupnya tanpa banyak merasa takut, aku belum pernah mendengarnya dikatakan sebagai orang yang provokatif. Karena aku pasti berpikir ia akan merasa cara Haba membawa dirinya menyebalkan, paling tidak. Melihat kami tidak menangkap maksud perkataannya, ibara mendengus dan melanjutkan, “Apa yang tidak aku suka adalah caranya memperlakukanku seperti orang bodoh.”

“Mayaka orang bodoh, ya…”

“Selain itu… tidak hanya aku saja, kita semua, bahkan Hongou-senpai dan murid kelas 2-F lainnya diperlakukan serupa. Hanya karena aku tidak puny alasan yang bagus untuk merah, bukan berarti aku tidak marah.”

Daripada dibilang marah, ia jengkel karena karena ia tidak menemukan alasan yang bagus untuk marah, ya…

Bagiku, Haba hanyalah menunjukkan kepercayaan dirinya, meski bagi Ibara itu tidak lain hanya lah menunjukan kesombongan, seperti yang ia katakan, Haba memandang remeh semua orang. Memang, ada garis tipis yang memisahkan kesombongan and kepercayaan diri. Bahkan mungkin keduanya itu adalah satu hal yang sama. Tapi untuk merasa marah karena itu, aku rasa Ibara lumayan cocok dengan penggambaran kartu ‘Justice’ and tersenyum pada diriku sendiri.

“Dia bahkan mengejek Sherlock Holmes! Apa kau tidak marah soal itu, Fuku-chan?”

Ia terdengar sangat memaksa. Tapi Satoshi hanya menggerakkan pundaknya dan menerimanya dengan baik.

“Tidak juga.”

“Kenapa!?”

“Yaa, memang benar kalau Sherlock Holmes itu bacaan tingkat pemula untuk pembaca misteri. Waktu aku mendengar Hongou-senpai melakukan penelitian untuk fiksi misteri, hal pertama yang aku pikir akan dia lirik adalah Sherlock Holmes. Apa kau tidak memikirkan hal yang sama, Mayaka? Jadi, jangan marah, ok?” Katanya sambil menepuk pundak Ibara. Daripada sikap Haba yang arogan, ia sebenarnya lebih marah gara-gara sikap tidak hormatnya pada Sherlock Holmes... Yaah, melihat Ibara terlihat tenang setelah mengatakan apa yang ingin ia katakan, aku tidak perlu melibatkan diri.

Sekarang ke masalah utama, aku bergerak dalam tempat dudukku dan berkata, “Jadi, gimana sekarang? Apa kita berikan usulan Haba ke Sang Permaisuri?”

Termasuk Chitanda, yang sedang melihat buku Sherlock Holmes yang ia buka, ketiganya menoleh padaku.

Yang pertama adalah Satoshi, yang berkata dengan sedikit keraguan dalam pikirannya, “Ya kenapa tidak? Kalau boleh jujur, kesimpulannya hampir tidak menarik, tapi dia bilang Hongou-senpai secara khusus meminta menggunakan tali. Mengesampingkan detilnya, kurasa mungkin dia menebaknya dengan benar.”

Ibara mengikuti, mengangguk setuju tanpa disangka-sangka, “Aku juga tidak melihat masalah apapun dengan usulannya... tidak ada kontradiksi dalam deduksinya, ataupun ketidaksesuaian dengan naskahnya. Aku tidak akan menolaknya hanya untuk ingin menolaknya.”

‘setuju’ memiliki dua suara sekarang. Bagaimana dengan suara ketiga?

Saat kami melihat kearah Chitanda, entah kenapa dia terlihat tidak enak. Tidak bisa duduk tenang, ia melebarkan matanya dan membuka mulutnya, tapi tidak bisa berkata apa-apa.

“Ada apa, Chitanda?”

“Eh... saya, saya tidak bisa setuju, entah kenapa.”

Hmm.

Ibara bertanya dengan cara yang ramah, yang tidak akan pernah bisa aku lakukan, “Chi-chan, kenapa?”

Chitanda terlihat makin kesusahan.

“Umm, sebenarnya, saya juga kurang yakin. Tapi, saya merasa itu bukanlah maksud sebenarnya dari Hongou-san... Ahh, saya tidak bisa menerima deduksi ini. Meskipun berbeda dengan perasaan kebingungan yang terasa dari deduksi Nakajou kemarin, saya pokoknya tidak bisa menerimanya!”

Selama kita tidak mendengarnya dari pengarangnya sendiri, kalau Chitanda tidak mengerti, maka kami juga tidak mungkin bisa mengerti. Sepertinya Chitanda menentang deduksinya. Tiba-tiba saja, Chitanda mengalihkan matanya ke arahku seperti tawon. Be-berhentilah melihatku dengan mata seperti itu!

“Bagaimana denganmu, Oreki-san? Apakah kamu berpikir deduksi itu benar?”

Ugh. Aku tidak pernah berpikir aku akan menarik begitu banyak perhatian. Padahal aku bermaksud untuk mengatakan sesuatu yang santai. Aku bergeser dalam tempat dudukku dan mengayunkan kakiku, dan menggelengkan kepala sedramatis mungkin.

“Tidak, kurasa tidak.”

Ibara langsung menebakkan respon padaku, “Kenapa, Oreki?!”

…Double standar yang lumayan darimu. Merasa kasihan, aku menjawab, “Karena usulan Haba tidak bisa dikerjakan. Seandainya suatu pembunuhan benar-benar terjadi di teater itu, persiapan semacam itu mungkin bisa bekerja. Tapi mustahil untuk film itu.”

Satoshi mendorongku dengan senyuman biasanya.

“Dengan kata lain?”

“Dengan kata lain, itu berlainan dengan apa yang sudah kita lihat didalam film. Kesampingkan dulu soal peta dan coba ingat film yang kita tonton kemarin lusa. Apa yang kita lihat diluar jendela Panggung Kanan?”

Aku lumayan terheran bahwa bahkan aku pun bisa mengingatnya, mempertimbangkan aku tidak begitu memerhatikan ketika menonton filmnya. Setelah memberi tahu mereka untuk mengabaikan petanya, tidak sulit juga bagi mereka untuk mengingat fimnya.

Satoshi memimpin dengan mengangguk.

“Ah, iya. Jendela itu.”

“Benar sekali. Bangunannya tidak pernah diperbaiki selama bertahun-tahun, bahkan Katsuda-senpai yang terlihat kekar kesulitan membuka jendela itu. Aku yakin kalian semua ingat suara berderit yang keluar ketika dia berusaha untuk mendorongnya terbuka, menunjukkan bahwa lumayan susah untuk membukanya.

Kalau seandainya mereka mengambil gambar adegan memperlihatkan pembunuhnya masuk melalui jendela, maka mereka harus mengatur agar Kounosu-senpai turun dari lantai atas menggunakan tali, dan supaya tidak mengenai rerumputan, dia harus membuka jendela itu sambil mempertahankan posisinya bergelantungan. Itu lumayan sulit untuk dilakukan, karena membuka jendela seperti itu butuh waktu, belum lagi suara yang dikeluarkan. Dan kalau tidak dibuka dengan benar, bahkan kacanya mungkin akan pecah. Selain itu, bagaimana menurutmu Kaitou-senpai akan bertindak? Apakah dia akan berdiri diam saja disitu dan menonton? Tentu saja tidak.

“Kalau Hongou tidak mengunjungi lokasinya sendiri ketika menulis naskahnya, maka cara ini mungkin tidak masalah untuk digunakan, memikirkan dia mungkin tidak tahu soal keadaan jendelanya. Usulan Haba didasarkan hanya pada petanya tanpa menonton filmnya sendiri.”

“Oh, jadi itulah kenapa kamu menanyakan Haba-san apakah dia sudah melihat filmnya!” Chitanda meninggikan suaranya saat dia bicara dengan kencang. Dia mendengar pembicaraanku dengan Haba? Aku selalu saja terkagum dengan inderanya yang luar biasa.

“Benar. Kalau dia sudah melihat filmnya, maka dia akan tahu bahwa tidak mungkin memasuki ruangannya dari lantai atas.

“Faktanya adalah Hongou sudah ke lokasinya sendiri dan membuat naskahnya berdasarkan pengamatannya. Nakajou bilang begitu. Kalau Hongou benar-benar berniat menggunakan jendelanya seperti yang digambarkan Haba, dan kita asumsikan Irisu benar soal Hongou yang sangat peduli detil, maka dia akan meminta bagian pembuatan film untuk menyiapkan pelumas untuk digunakan di jendela untuk adegan penemuan korban. Aku tidak percaya dia akan mengabaikan begitu saja cacat semacam itu pada gedungnya.”

“Pendeknya, aku tidak bisa setuju dengan deduksi Haba. Bagaimana?”

Aku bahkan tidak perlu bertanya. Aku bisa menebak Satoshi berpikir penjelasanku benar, sementara Ibara menunjukkan ekspresi ia tidak begitu ingin setuju.

“Kalau begitu,” sebuah suara dari belakangku berkata, “Ini berarti hari ini pun kalian belum mencapai kesepakatan, benar?”

Saat aku berbalik, aku menemukan Eba berdiri disana tanpa menyadarinya.

Dia pasti sangat menantikan memecahkan misteri ini. Meskipun dia tidak menunjukkannya saat mengatakan, “Kalau begitu aku menantikan untuk membawa kalian menemui orang ketiga besok.”

“Oh… ya, terima kasih. Kami mengharapkan bantuan Anda.”

Chitanda membungkuk tepat setelah selesai. Eba menggelengkan kepalanya, dan menambahkan hal lain seakan itu tidak penting.

“Tapi besok adalah hari terakhir. Kalau masalahnya masih belum terselesaikan sampai malam lusa nanti, maka naskahnya tidak akan bisa dibuat tepat waktu untuk pembuatan filmnya.”

Hari ini hari Rabu. Begitu, kami ada dalam jadwal yang ketat.

Saat kami merasakan kegelisahan, Eba megendurkan ekspresinya dan membungkukkan kepalanya dalam.

“…Akulah yang menantikan bantuan kalian.”


Catatan Penerjemah dan Referensi[edit]




Kembali ke Halaman Utama Maju ke Bab 4