Hyouka Bahasa Indonesia:Jilid 2 Bab 5

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

5 – “Ayo Coba yang Ini”[edit]

Setelah pertemuan dengan Sawakiguchi, kami berharap Eba akan datang berkunjung, tapi sampai akhir dia tidak datang juga. Akan jadi hal yang merepotkan bagi kami berempat jika dia tidak menyampaikan kepada Irisu bahwa kami telah menolak deduksi Sawakiguchi. Aku penasaran apa yang menyebabkannya tidak datang..

Ketika matahari terbenam, bahkan para siswa SMA Kami yang paling energik sekalipun akan segera berbondong-bondong untuk pulang ke rumah, seperti halnya kami berempat yang mulai membereskan ruangan klub. Yah, aku yakin akan ada cara untuk menghubungi mereka jika ada hal yang tidak diinginkan terjadi, karena Chitanda kenal baik dengan Irisu.

Ketika Chitanda akhirnya bangun dari tidurnya, ia sangat malu ketika menyadari ia begitu mabuk sehingga ia tertidur dengan wajah yang amat merah. Ia kelihatannya belum sepenuhnya sadar, karena ketika kami berjalan menuju gerbang sekolah, ia berjalan agak sempoyongan. Kuharap ia pulang ke rumah dengan selamat.

Chitanda yang ditemani oleh Mayaka meninggalkan sekolah, saat aku dan Satoshi berjalan beriringan untuk setengah perjalanan ke rumah.Ketika kami melewati gerbang sekolah, Satoshi mengayunkan tas tangannya sambil bergumam.

“Jadi akhirnya kita menolak semua teori mereka. Apa yang akan terjadi dengan filmnya?”

Tidakkah itu amat jelas? Selama tiga hari tidak satupun yang menemukan solusi untuk masalah ini.

Jadi satu-satunya solusi adalah tidak menyelesaikan filmnya.

Setelah mendengar jawaban itu, Satoshi tersenyum dan mengangkat alis.

“Jawaban yang tidak menyenangkan. Jadi pada dasarnya itu adalah rumput di musim panas – hanya itu yang tersisa dari mimpi milik seorang prajurit jaman dulu? Atau barangkali, semua Naniwa adalah mimpi demi mimpi . Jika Chitanda tadi terbangun dari mimpi yang seperti itu, dia barangkali akan membuat masalah[1].”

“Apa yang akan kau lakukan sekarang?”

“Aku? Mulai sekarang aku akan sibuk. Aku tidak punya waktu untuk menolong kelas lain memecahkan masalah mereka.”

Kami berjalan di tengah-tengah barisan siswa yang pulang ke rumah. Di bawah langit yang kemerahan, angin sepoi sepoi yang dingin bertiup. Musim panas benar-benar akan berakhir.

Pada persimpangan jalan pertama dari sekolah,Satoshi menunjuk arah di mana kami akan berpisah.

“Aku punya hal lain untuk dikerjakan, sampai jumpa.”

Dia berlalu begitu saja.

Karena aku kini sendiri, sepertinya aku akan pulang ke rumah saja.

Filmnya mungkin tidak akan selesai.. Aku mengingat-ingat pertemuan dengan orang-orang dari kelas 2-F selama empat hari ini.

Nakajou – memiliki semangat berapi-api untuk menyelesaikan filmnya, tetapi tidak terbiasa untuk menyelesaikan teka-teki.

Haba – Percaya diri dan bangga dengan pengetahuan luasnya tentang misteri, dengan keyakinan bahwa deduksinya yang benar.

Sawakiguchi - menyebut metodenya disusun berdasarkan fakta, tetapi akhirnya jadi terlalu melenceng dari fakta.

Mereka semua sudah mencoba yang terbaik. Meskipun mereka mungkin tidak pandai, congkak, atau tidak hati-hati, semangat mereka untuk menyelesaikan filmnya tidak dapat disembunyikan. Meskipun kami dari klub Sastra Klasik diberi tanggung jawab untuk menilai, pada akhirnya kami menolak deduksi mereka bertiga. Alasannya sederhana, yaitu karena mereka salah.

Yah, kurasa itu tidak bisa ditolong lagi. Aku bersimpati pada mereka, tetapi ini bukan salah kami. Mungkin terdengar kejam, tetapi aku tidak cukup berbaik hati untuk memadamkan api yang menyala di seberang sungai. Itulah sebabnya kenapa aku dulu menolak untuk dilibatkan dalam hal ini. Ketika aku mendekati jalan di perumahan, aku segera dapat melihat rumahku. Setelah aku pulang sebaiknya aku segera tidur. Seperti Satoshi, aku tidak punya keinginan untuk membebani diriku dengan masalah milik kelas lain. Penyebab dari tidak selesainya film adalah kurangnya perencanaan dari para kru. Mereka seharusnya tidak membuat project seperti itu sejak awal. Aku menarik tas punggung yang merosot dari bahuku, dan mendongak ke langit.

Ketika tatapanku kembali ke bawah, aku menyadari seseorang menunggu di depan rumahku.

Orang yang berdiri di depan ujung persimpangan dimana terdapat rambu lalu lintas bertuliskan “stop” adalah Irisu Fuyumi dengan seragam sekolahnya. Ketika aku menyadari keberadaaannya, ia berjalan beberapa langkah ke arahku dan berkata, “Apakah kau tidak keberatan untuk meluangkan waktu untuk minum teh denganku?”

Ajaibnya, aku kemudian mengangguk setuju.

Aku yang berada dalam situasi yang tidak biasa yaitu menemani Irisu, mendapati diriku berjalan menemaninya menyusuri tepi sungai. Ketika aku ragu dan berpikir mungkinkah ada cafe di dekat sini, aku melihat sebuah tempat dengan tirai berwarna coklat kemerahan dan sebuah lentera elektrik di depan. Itu bukan kelihatan seperti cafe trendi tempat siswa menghabiskan waktu mereka sepulang sekolah. Irisu menyibak tirai dengan cara yang teramat sopan dan mempersilahkanku masuk ke dalam. Ketika aku masuk, aku menyadari bahwa di tepi tirai terdapat ukiran berbentuk tulisan yang menunjukkan nama tempat ini: “Hifumi”.

Tempat ini adalah sebuah tea house yang nampak elegan, dengan tatami[2] dan aroma dari daun teh yang dimasak memenuhi tempat ini. Tempat ini tidak punya counter untuk resepsionis, dan semua meja dikelilingi oleh cubicle[3]. Semua meja beralaskan tatami. Irisu duduk dengan sopan tanpa membuat seragam sekolahnya kusut, dan memesan secangkir teh hijau dari seorang waiter yang mengenakan apron.

“Kau ingin memesan apa?”

“......”

“Ada apa?”

“Tidak, ketika anda mengajakku untuk minum secangkir teh, aku tidak pernah berpikir kalau kita akan datang ke tea house yang sebenarnya. Baiklah, aku ingin memesan teh hijau dingin saja.”

Aku memilih sebuah minuman yang pantas dari menu, kemudian Irisu tersenyum pahit.

“Aku yang traktir, silahkan memesan apapun yang kau suka.”

Aku melihat kembali ke menu setelah Irisu mengatakan hal itu, tetapi aku justru menjadi lebih bingung lagi. Harga minuman di menu lebih mahal dari harga rata-rata makan malam di tempat biasa.

Meskipun aku ingin tahu mengapa Irisu mengundangku kesini, tetapi karena ia diam saja, aku memutuskan untuk ikut diam. Meskipun demikian, Irisu menunggu dengan sabar.

Setelah beberapa lama, teh hijau dan teh dingin pesanan kami datang dengan beberapa manisan. Setelah menghirup sedikit teh di gelasnya, Irisu berujar.

“Jadi, teori Nakajou ternyata salah?”

Aku mengangguk.

“Haba juga?”

“Ya.”

Dia bertanya sambil menarik napas, “Lalu bagaimana dengan Sawakiguchi?”

Itu bukan salah kami, tapi,

“... Menurutku teorinya tidak akan bisa berhasil.”

Saat itu Irisu menatap dalam ke mataku, yang membuat waktu terasa begitu lama. Untuk sekitar sedetik, yang kurasa lebih seperti setengah semenit, aku terdiam karena tatapannya.

Irisu menarik napas dalam.

“Jadi begitu.”

“Bukankah itu malang sekali? ”

Aku menghirup sedikit tehku setelah mengatakan hal itu. Rasa minuman ini memang sebanding dengan harganya... Mungkin aku seharusnya mengatakan itu, tapi pada kenyataannya aku tidak dapat merasakan apapun. Irisu kedengarannya tidak seperti menyalahkan kami, atau terdengar marah... Mungkin karena kepribadian kami yang tidak cocok.

Irisu menatap ke arah cangkir tehnya. Beberapa lama kemudian ia berkata.

“Malang adalah kata yang sangat aneh untuk digunakan. Yang bernasib malang seharusnya adalah aku atau teman-temanku, bukan kau.”

Seperti yang dikatakannya, yang merupakan pendapatku juga selama tiga hari terakhir… Tapi kenapa aku menganggap diriku sendiri bernasib malang?

“Tidak, itu benar-benar malang. Karena kami tidak bisa menyelesaikannya.”

Irisu tersenyum sambil berkata lembut.

“Kau bersimpati dengan kami?”

“Hanya terbawa emosi saja.”

Aku mengambil salah satu manisan dengan sebuah tusuk gigi dan memasukkannya ke dalam mulutku, rasa manis seketika mengalir ke dalam mulutku. Ini hal yang biasa terjadi ketika memakan sesuatu yang manis setelah meminum teh hijau.

Tetap tenang seperti biasa, Irisu berujar, “Aku ingin bertanya sesuatu padamu. Siapa yang menolak deduksi Nakajou?”

Sekarang bagaimana aku menjawabnya? Tetapi ekspresi Irisu nampak seperti dia telah mengetahui jawabannya, sehingga aku tidak perlu berbohong.

“... Itu aku.”

“Jadi, aku menduga kau juga yang telah menolak deduksi Haba dan Sawakiguchi?”

“Benar.”

“Di mana letak kesalahan mereka?”

Karena dia bertanya padaku, aku pun menjelaskannya. Mengenai pertimbangan terhadap panjang rumput, jarak pandang dari anggota lain, ruang terkunci yang pertama, ruang terkunci yang kedua, gedung yang terbengkalai, arti dari kata “misteri”, instruksi Hongou... Aku kurang lebih menjelaskan secara singkat apa yang telah terjadi dalam tiga hari terakhir kepada Irisu yang mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Sesekali ia meminum tehnya, aku tidak bisa membaca apa yang sedang ia pikirkan sekarang.

“Karena itulah mengapa kami tidak bisa menerima teori Sawakiguchi-senpai.”

Ketika aku selesai menjelaskan, aku menyadari cangkir tehku kini setengah kosong. Irisu berkata singkat, “Jadi begitu.” Dan ia terdiam.

Setelah agak lama, ia mengusap cangkir tehnya dan berbicara.

“Dulu, ketika aku meminta kau untuk mengambil kasus ini, kau mengatakan padaku bahwa kau merasa tidak enak ketika diberi kepercayaan seperti itu , tetapi selama tiga hari terakhir ini, apa yang telah kau lakukan jauh melebihi harapanku. Kau bisa mematahkan deduksi mereka dengan begitu baik, sesuai yang kupikirkan.”

Apa yang ia maksud dengan sesuai yang ia pikirkan? Apakah itu tentang semua deduksi ketiga orang itu salah?

Aku sadar bahwa aku menatap tajam ke arahnya, tetapi Irisu tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia terganggu. Alih-alih balas menatap tajam atau membuang pandangan, ia justru berkata dengan nada datar. “Pada akhirnya, ketiga orang itu tidak cocok untuk tugas ini. Tidak peduli betapa bersemangatnya mereka, aku sadar bahwa sejak awal mereka tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalahnya.”

“Tentu saja aku tidak mengatakan bahwa mereka tidak berguna. Nakajou adalah figur seorang pemimpin, Haba adalah ahli di lapangan, dan Sawakiguchi adalah orang yang membuat suasana ceria. Mereka bertiga memiliki keahlian yang penting. Meskipun mereka berbakat untuk masing-masing keahliannya, tetapi aku percaya bahwa mereka tidak bisa berhasil dalam tugas yang aku berikan.

“Kalau bukan karenamu, aku pasti akan mengadaptasi salah satu teori mereka dan tidak akan menyadari efek lanjutan yang akan terjadi ketika proses pembuatan film berlangsung, yang pada akhirnya akan menyebabkan kegagalan pada project ini.”

Sebuah pernyataan yang dingin dan terdengar kejam.

Irisu tidak pernah memiliki harapan untuk salah satu dari mereka.

Lalu siapa yang ia harapkan?

Irisu menjauhkan tangannya dari cangkir teh dan duduk tegak. Mata itu menatap lurus kepada seseorang yang tidak lain adalah aku. Aku memiliki firasat bahwa dia tidak datang kesini untuk meyakinkanku, tetapi untuk menjatuhkanku.

“Selama tiga hari terakhir, aku telah memikirkan bagaimana kau telah membuktikan kemampuanmu. Menurutku, jika ada sesuatu yang disebut kritikus detektif, maka sebagai seseorang yang telah berhasil mengkritik detektif lain dengan amat baik, kurasa kau cukup pantas menjadi detektif. Aku percaya bahwa harapanku tidak salah. Kau adalah orang yang spesial.

“Jadi, sekali lagi aku meminta padamu, Oreki-kun. Maukah kau membantu kelas 2-F dan menunjukkan kepada kami jawaban yang benar terhadap misteri ini?”

Setelah ia selesai mengatakan itu, ia menundukkan kepalanya.

Aku merasa seolah-olah sedang dilihat sebagai karya seni bernilai tinggi milik seorang seniman yang telah meninggal. Kepalaku dipenuhi berbagai pikiran. Itu bukan kemampuan milik siapapun, itu kemampuanku seorang. Ia sedang memintaku.

Tapi apakah aku harus percaya hal seperti itu? Selama ini aku selalu menganggap diriku sebagai orang biasa tanpa bakat apapun. Bahkan dengan kasus-kasus yang melibatkanku atas desakan Chitanda dimana aku menyelesaikannya lebih dulu dari Satoshi dan Ibara, itu hanya keberuntungan. Pada dasarnya, aku hampir tidak berbeda dengan mereka. Tetapi Irisu tidak setuju. Kata-katanya bahkan mengejutkanku lebih daripada kata-kata yang paling mengancam sekalipun.

Kemampuan, huh? Akibat dari permintaan Irisu, untuk sesaat, aku mulai meragukan eksistensiku sendiri...

Meskipun Irisu dengan sabar menunggu jawabanku, karena aku terlihat tidak bisa memberikan jawaban, ia berkata dengan tenang, “Ini tidak seperti kami membebanimu dengan tanggung jawab atau semacamnya. Jangan terlalu tegang.”

“......”

“Akan kuceritakan sesuatu padamu. Jangan terlalu memikirkannya. Ini cuma sesuatu yang aku tahu.

“Ada seorang pemain cadangan di sebuah tim olahraga. Setiap hari ia akan berlatih keras, berharap suatu saat ia akan masuk ke tim utama. Yang menyebabkan ia bertahan begitu lama adalah cintanya pada olahraga dan ambisi yang tinggi untuk mencapai sesuatu atas namanya sendiri.

“Namun tahun demi tahun berlalu dan ia masih menjadi pemain cadangan. Tim akan mengganti pemain berbakat yang lama dengan pemain berbakat yang baru, hal ini merupakan hal yang wajar.

“Di antara mereka terdapat seorang pemain yang amat berbakat yang kemampuannya setingkat dengan pemain kelas atas di sana. Tentu saja kemampuan si pemain cadangan masih berada jauh di bawah kemampuan pemain berbakat ini. Kemudian, ada sebuah turnamen, dimana pemain berbakat ini terlihat begitu menonjol, dan akhirnya terpilih sebagai MVP[4] di turnamen itu. Ketika diwawancarai, ia ditanya mengenai apa rahasia dari kesuksesannya. “Dia pun menjawab, ‘aku hanya beruntung.’

“Tetapi bagi si pemain cadangan, jawaban ini terasa begitu menyakitkan.”

Irisu menatapku sekali lagi. Aku bisa merasakan diriku kehausan, tetapi teh di cangkirku telah habis. Dinginnya cangkir teh merambat ke tanganku.

Ia telah menyampaikan maksudnya, sepertinya ‘Sang Permaisuri’ akhirnya telah membuka selubungnya. Tapi apakah aku harus mengatakan sesuatu?

...Kemudian aku mendengar ia melanjutkan, “Itu artinya semua orang harus mengenali bakatnya... Kalau tidak, akan terasa menyakitkan bagi orang lain yang tidak memilikinya.”

Aku tidak tahu apakah dingin yang kurasakan berasal dari minumanku.

Aku tidak merasa memiliki inferiority complex[5]. Pandanganku terhadap diriku sendiri berasal dari pengamatan objektif yang berlangsung lama.

Tetapi Irisu bersikeras bahwa aku tidak menyadari berharganya kemampuanku dengan ucapan yang meyakinkan. Irisu bukan satu-satunya yang berpikir demikian. Satoshi, Chitanda, Ibara dan banyak orang lainnya telah mengatakan hal yang sama padaku. Apakah mereka juga telah mengamatiku cukup lama? ...Mungkin aku harus mempercayainya.

Bahwa aku memiliki kemampuan spesial.

Sementara aku memikirkan hal barusan, aku mengangguk perlahan. Namun butuh waktu lama hingga akhirnya aku berbicara, dan selama waktu itu, Irisu menunggu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.



Catatan Penerjemah dan Referensi[edit]

  1. Satoshi mengutip puisi dari Matsuo Basho dan Toyotomi Hideyoshi. Keduanya menyimpulkan bahwa film yang tidak selesai tidak lebih dari mimpi belaka.
  2. alas lantai yang terbuat dari kayu berbentuk persegi panjang, biasanya terdapat di rumah tradisional Jepang.
  3. sekat berbentuk persegi sebagai pemisah
  4. singkatan dari Most Valuable Player, pemain yang dipilih sebagai pemain terbaik sebuah turnamen setelah melalui berbagai pertimbangan.
  5. gejala kejiwaan dimana seseorang merasa dirinya selalu lebih inferior dari orang lain.



Kembali ke Halaman Utama Maju ke Bab 6