Difference between revisions of "Oregairu (Indonesia):Jilid 4 Bab 1"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Line 458: Line 458:
 
“Itu hampir sama saja!” teriak Yuigahama, membenamkan kepalanya dalam tangannya.
 
“Itu hampir sama saja!” teriak Yuigahama, membenamkan kepalanya dalam tangannya.
   
Oh men… Fokusku teralihkan dan aku menjadi terbawa suasana Yuigahama<ǃ--and got swept up in Yuigahama’s pace-->. Aku sudah dengan sengaja mencoba untuk mempertahankan jarak di antara kami untuk mencegah kesalahpahaman, jadi ini cukup menguatirkan.
+
Oh men… Fokusku teralihkan dan aku menjadi terbawa suasana Yuigahama<!--and got swept up in Yuigahama’s pace-->. Aku sudah dengan sengaja mencoba untuk mempertahankan jarak di antara kami untuk mencegah kesalahpahaman, jadi ini cukup menguatirkan.
   
 
Tapi jalan-jalan dengan Totsuka ke suatu tempat itu sebuah rencana hebat. Hari ini aku melihat ke arahnya secara langsung namun merasa itu tidak mungkin untuk memanggilnya. Astaga! Aku pengecut! Aku lemah! Sampah!
 
Tapi jalan-jalan dengan Totsuka ke suatu tempat itu sebuah rencana hebat. Hari ini aku melihat ke arahnya secara langsung namun merasa itu tidak mungkin untuk memanggilnya. Astaga! Aku pengecut! Aku lemah! Sampah!
Line 514: Line 514:
 
|-
 
|-
 
|}
 
|}
  +
 
==Catatan Translasi==
 
==Catatan Translasi==
 
<references> </references>
 
<references> </references>

Revision as of 15:22, 29 November 2015

Bab 1: Dan Begitulah Cara Hikigaya Hachiman Menghabiskan Liburan Musim Panasnya

1-1

“Wh-whoa…” suatu suara mengerang pelan.

Seakan mencoba untuk meredam suara itu, suatu kipas elektrik mendengung dan menggelengkan kepalanya dari satu sisi ke sisi lain. Komachi dengan pelan menggelengkan kepalanya dari satu sisi ke sisi lain dengan kecepatan yang persis sama.

“Onii-chan, ini tidak bisa. ini sama sekali tidak bisa dipakai…” Dengan penuh kehati-hatian, Komachi meletakkan kertas tulis yang menguning itu ke atas meja. “Aku tahu kamu salah satu tipe-tipe itu, onii-chan, tapi laporan ini hanya tidak bisa… tidak bisa.”

“Diamlah, kamu yang mau menyalin laporanku. Tidak suka, tidak usah lihat.” Aku merampas kertasnya dari tangan Komachi, sebagian karena aku geram dia menolaknya dengan begitu bukan mainnya dan sebagian karena aku merasa malu bahwa seseorang sedang melihat pada sesuatu yang kutulis dulu sekali.

“Oke, oke, aku bilang maaf. Aku akan cukup memakai bagian yang bisa kupakai, jadi biarkan aku melihatnya,” lantun Komachi. “Yah, walau, kelihatannya aku nyaris bisa memakainya,” dia menambahkan dengan agak tidak perlunya selagi dia mengambil laporannya dari tanganku sekali lagi dan mulai menyalinkan beberapa catatan.

Ini adalah PR liburan musim panas sialan itu yang sedang beraksi.

Di SD, kelihatannya kamu diberikan buku pelajaran kecil yang dinamakan “Teman-teman Liburan Musim Panas”, tapi tidak seperti itu lagi mulai dari SMP. Dengan kata lain, kamu tidak ada teman selama liburan musim panasmu. Jika aku harus mengatakannya dengan cara yang terdengar keren, itu pastilah Friend/Zero. Tidak ada banyak huruf di dalamnya, jadi itu bagus untuk desain berseni.

SMP yang telah kumasuki – dan yang sedang dimasuki Komachi sekarang ini – tidak memberi banyak PR: lembar soal untuk Bahasa Inggris dan Matematika, buku soal kanji tambahan untuk Bahasa Jepang dan sebuah projek penelitian ilmiah, ditambah sebuah esai atau sebuah resensi buku.

Selagi aku melirik ke arah Komachi, yang tangannya telah berhenti bergerak selagi dia mengerang dengan hening, aku menegak sedikit Kopi MAX yang didinginkan. Kemanisan khas dari susu kental manis ini bergelung di sekitar kerongkonganku dan melesat tepat ke kepalaku. Bagian yang itu tidak bisa ditiru oleh sebuah kopi susu. Aku juga merekomendasikan untuk menaruh es serut ke dalamnya.

Bahkan orang dewasa dengan selera dewasa terkadang akan menyukai sesuatu yang manis. Kopi satu-satunya adalah Kopi MAX.

Di dalam kepalaku, aku memutuskan pada sebuah kalimat stealth marketing[1] untuk demam terbaru ini. Yah, karena aku tidak mendapatkan uang dari itu, itu sebetulnya bukan stealth marketing.

Yang tersebar di sepanjang meja adalah buku-buku teks yang bercampur baur. Kebiasaan buruk menyebarkan semua buku-buku teks seseorang sekaligus, khas dari seorang anak yang tidak sanggup belajar, itu terpamer di sini dalam segala kejayaannya.

Aku menarik keluar selembar kertas yang terkubur di dalam gundukan semua buku-buku teks tersebut dan segera membacanya. “Tugas Liburan Musim Panas Kelas Sembilan” tercetak dengan huruf balok pada PR liburan musim panas yang ditugaskan pada Komachi. Isinya, yah, persis seperti yang tertulis pada judulnya.

Pandanganku jatuh pada salah satu kalimat di dalamnya. “Hei, itu tidak harus sebuah resensi buku, jadi kenapa tidak membuat esai biasa saja?”

“Huuuh?” Komachi melihat ke atas dan kemudian setengah berdiri dari kursinya, melirik pada apa yang ada di tanganku.

“Coba lihat ini. Dia bilang resensi buku dan juga ‘sebuah esai tentang pajak’.”

Sering sekali, anak-anak yang tidak pandai dalam resensi buku cenderung tidak berniat untuk membaca bukunya terlebih dulu. Anak yang buruk dalam membaca tidak terelakan lagi juga akan buruk dalam menulis. Komachi pastilah salah satu tipe-tipe tersebut. Dia biasanya tidak membaca buku, dan dia sama sekali tidak cukup banyak menulis selain mengetik pesan teks.

Untuk anak seperti itu, sebuah esai biasa yang tidak diperlukan untuk membaca apapun sebelumnya mungkin memberikan rintangan yang lebih sedikit.

“Ahaaaa,” Komachi tertawa dengan gugup. “Aku tidak tahu satupun tentang pajak…”

“Tahan pemikiran itu. Aku ingat menulis tentang itu di SMP,” kataku selagi aku mencari-cari kotak kardus di atas meja.

Kotak ini adalah, sederhananya, kotak kenanganku. Kotak ini mengandung semua esai-esai lamaku, album-album dan projek-projek penelitian yang ditumpuk bersama oleh ibuku ke satu tempat. Komachi telah berkata dia ingin meniru resensi bukuku, jadi inilah dia.

Aku menemukan sesuatu yang menyerupai apa yang sedang kucari setelah mengubrak-abriknya. “Apa ini?”

“Tunjukkan padaku, tunjukkan padaku!” Komachi meloncat ke arahku dengan satu lompatan, melilitkan dirinya di sekeliling lenganku. Dan hanya dengan begitu saja, dia merebut kertas tulis itu dariku.

Dalam Topik Pajak

Kelas 9, Ruang 2 Hikigaya Hachiman

Sistem pajak progresif [2] itu jahat.

Tidak peduli sebanyak apapun yang seseorang peroleh, sebagian besar darinya disikat pergi sebagai pajak tanpa kompensasi yang setara. Semakin banyak seseorang memerolehnya, semakin banyak buah hasil jerih payah seseorang diambil pergi sebagai pajak, dan sebagai balasannya seseorang sama sekali tidak mendapatkan apapun.

Dengan kata lain, untuk bekerja adalah untuk menerima kekalahan.

Jika pajak progresif diniatkan untuk menyetarakan kebahagiaan, maka aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak menyebutnya bodoh. Dari awal pun tidak ada yang namanya kebahagiaan yang setara. Memikirkan kebahagiaan manusia dalam bentuk uang itu pada dasarnya dangkal dan kurang dalam pemahaman manusia. Keuntungan dalam menerapkan “sistem pajak riajuu progresif” yang membebankan pajak pada orang berdasarkan jumlah teman dan pacar mereka patut dipertimbangkan mulai dari sekarang ini juga.

Segera setelah Komachi membaca bagian pertamanya, dia melipat kertas tulis itu menjadi kecil. Kemudian dia membuat helaan pendek. “Aku akan menulis resensi buku…” tuturnya dengan tampang malu-malu pada wajahnya.

“Be-begitu ya… Aku minta maaf.”

“Aku yang seharusnya meminta maaf…”

Kipas elektrik itu berderik selagi kipas itu bergetar, menghasilkan dengungan pelan seperti sebuah mesin.

Jangkrik-jangkrik mulai mengerik, seakan tiba-tiba mengingat eksistensi mereka sendiri.

“Ya-yah, kalau begitu, bagaimana dengan ini?” kataku pada akhirnya. “Aku akan membantumu dengan projek penelitianmu. Oke?”

“Oke, tapi aku tidak akan menantikan sesuatu yang menabjubkan,” kata Komachi selagi dia berpaling ke catatannya sekali lagi.

Dari awal pun tidak ada gunanya PR atau tugas jika kamu tidak mengerjakannya sendiri, tapi aku tidak sedang membantu Komachi seperti ini hanya karena dia imut. Jika hanya itu alasannya, aku tidak akan ada pilihan selain membantunya dengan resensi buku itu juga.

Dia menghela. “Kamu harus membuatku menyelesaikan ini dengan benar. Aku bahkan harus mengikuti ujian seleksi masuk… Aku tidak akan punya waktu untuk ujian tryout persis setelah liburan!”

“Itu karna hal-hal biasanya akan menumpuk.”

“Ya, bukankah aku sendiri menumpuk itu semua dengan bagus?”

“Jadi menumpukkan buku-buku yang belum dibaca sudah seperti permainan menumpuk sekarang, huh…”

Jika ini Tetris, dia pasti sudah akan Game Over sekarang.

Itulah Komachi, dan namun di sinilah dia, tepat di ambang mengikuti ujian seleksi masuk SMAnya.

“Apa kamu serius ingin mengikuti ujian masuk SMAku? Cuma tanya saja.”

Ini seharusnya benar-benar tidak perlu dikatakan lagi, tapi adik kecilku itu bloon – menabjubkan dan mengesankannya bloon.

“Aku serius, sumpah. Aku tidak akan menyalin esaimu jika aku tidak serius, onii-chan,” jawab Komachi dengan keseriusan penuh dan mutlak. Bukannya aku benar-benar peduli, tapi ini benar-benar bukan sikap yang akan kamu gunakan ketika kamu menjadi benalu dari pertolongan orang lain.

Terserahlah, jika dia sendiri sudah memutuskan apa yang ingin dilakukannya, tidak masalah. Masalahnya terletak pada nilai Komachi.

“Tapi men, kamu benar-benar mengincar sesuatu yang terlalu tinggi,” ujarku. “Rangking kelasmu berada di sekitaran 100.”

“Ya, tapi aku ingin pergi ke sekolah yang sama denganmu, onii-chan.”

Rahangku jatuh tanpa kusadari. Untuk sesaat yang melengahkan ini, adik kecilku, yang biasanya memperlakukanku tanpa rasa hormat sedikitpun, menunjukkan cinta menghangatkannya padaku untuk sekilas. Sudut mataku menjadi panas dan setetes terancam untuk jatuh dari atas surga.

“Kalau aku pergi ke sekolah yang sama denganmu dan berkata aku itu adik kecilmu, aku akan terlihat seperti gadis yang super baik jika dibandingkan denganmu! Karena kamu itu sampah di mata semua orang, mereka menganggap aku itu super manis setelah aku memasuki SMP! Aku diperlakukan seperti seorang malaikat! Aku benar-benar malaikat!”

Itu sulit untuk menemukan alasan yang lebih parah dari alasannya untuk masuk.

“…oh, begitu ya.”

Malaikat apa yang sedang dibicarakannya? Dia itu devil's crush [3], sumpah. Komachi itu benar-benar iblis.

“Yah, terserahlah. Kamu hanya bisa melakukannya jika kamu mencobanya.”

“Yap. aku akan berusaha sebisaku,” balas Komachi selagi dia mulai menggerakkan pensil mekanisnya sekali lagi.

Itu sebuah resensi buku, jadi kenapa dia langsung mulai menuliskan sesuatu pada kertasnya merupakan sebuah misteri. Baca buku sialannya itu dulu. Apa dia salah satu tipe-tipe itu? Tipe-tipe yang dengan sombongnya menyatakan, “Itu sampah jadi aku berhenti sebelum OPnya muncul” atau “Itu ampas jadi aku berhenti pada bagian pertama episode itu” setiap kali suatu anime baru dimulai?

Aku berpaling ke arah rak buku dan mencari Kokoro. Jika aku mengingatnya dengan benar, seorang pelukis manga terkenal menggambar sampul depannya ketika edisi yang baru keluar, yang merupakan alasan kenapa aku membelinya. Karena semua yang diperlukan supaya penjualannya menjadi baik adalah pengantian sampul, sekitar sembilan puluh persen dari apa yang menarik perhatianku adalah novel ringan, jujur saja. Yah, walau tidak seperti Sōseki itu pengarang novel ringan.

Aku membiarkan jari jemariku menyusuri deretan punggung buku-buku. Pada saat itu, pandanganku jatuh pada sutu buku yang dinamakan Sains adalah Sihir ~Jadilah Jantung Suatu Pesta Mulai Hari Ini~. Itu adalah sebuah buku yang cukup tua yang tertanggal kembali ke masa-masa muda ayahku sebagai seorang karyawan berpangkat rendah yang merana .

Tidak ada makhluk hidup yang menjalani kehidupan yang terkungkung, sampai-sampai kamu mungkin bisa mengatakan bahwa setiap orang yang dimasukkan ke dalam masyarakat berhirarki adalah jiwa-jiwa bebas. Aku yakin ayahku pasti sudah mempersiapkannya dengan susah payah terlebih dulu untuk berjaga-jaga bila seseorang berkata padanya di pesta akhir tahun: “Oi, Hikigaya. Ceritakan pada kami sesuatu yang menarik” atau “Buat trik sihir, buat trik sihir.” Kalau aku, aku tidak perlu menguatirkan satupun dari itu semua: Dari awalpun aku tidak pernah diundang, dan meskipun aku diundang aku tidak akan pernah benar-benar berbicara jadi aku tidak akan pernah diajak datang untuk yang kedua kalinya. Toh, pesta akhir tahun itu sebenarnya mengenai apa? Mereka tidak harus melupakan itu dengan mudahnya. Dan mereka tidak harus melupakanku juga, tolong. (Tolong?!)

Omong-omong, karena itu mulai terlihar seakan aku ingin memakai buku itu untuk laporan penelitian Komachi, aku mengucapkan selamat tinggal padanya. Kemudian aku menarik Kokoro keluar, yang berada pada rak di bawah.

“Mari, baca ini untuk sekarang dan kemudian pergi menulisnya,” kataku selagi aku menyerahkannya pada dia.

Dengan erangan yang dipanjang-panjangkan, Komachi mengambil buku tersebut dengan enggan dan mulai membacanya. Setelah aku memastikan bahwa dia sudah melakukannya dengan semestinya, pandanganku jatuh pada buku Sains adalah Sihir bla bla bla sebelumnya.

Ketika aku mencoba membacanya sepintas, satu-satunya trik pesta di dalamnya adalah hal-hal seperti “jika kamu menusuk sebatang rokok dengan tusuk gigi, abunya tidak akan jatuh ketika kamu menyalakannya” atau “jika kamu mencelupkan secarik uang kertas ke dalam gelas penuh dengan miras dan menyalakannya, hanya alkoholnya yang akan terbakar, bukan uangnya”. Ketika kamu memikirkannya dengan benar-benar, kamu tidak akan punya kesempatan untuk memakai trik-trik pesta itu meskipun kamu mengingat itu semua.

Tapi referensi sains aneh yang diselipkan di sini-sana itu anehnya sangat menarik, dan sebelum aku menyadarinya aku sudah membacanya dengan sungguh-sungguh – hal sama yang terjadi ketika kamu sedang membereskan ruanganmu.

Segera setelah realisasi itu menghantamku, aku dapat mendengar dengkuran pelan dan ritmis. Ketika aku menatap dengan tajam ke arah Komachi, kepalanya sedang terkulai, menandakan dia sudah tertidur. Tentu sulit menjadi seorang murid dengan ujian yang penting.

Aku mengatur kekuatan kipas elektrik itu dan kemudian dengan lembut meletakkan selimut handuk yang telah diletakkan di atas sofa pada bahu Komachi.

Lakukanlah yang terbaik, Komachi.


× × ×


1-2

Bulan Juli sudah berakhir; di luar, jangkrik-jangkrik sedang bernyanyi dalam paduan suara dengan keras.

Aku heran apa aku patut mengerjakan pekerjaan rumah untuk sejenak supaya mengurangi beban kerja Komachi. Dengan pemikiran itu dalam pikiranku, aku pergi keluar untuk berbelanja. Aku pikir aku mungkin sebaiknya juga mencari-cari terbitan-terbitan yang berguna untuk projek penelitiannya selagi aku berbelanja. Newton atau Sains atau MU atau semacamnya akan bagus.

Berkat cuaca panasnya, udara panas yang berkilauan membumbung dari aspal jalan. Pada awal sore ini, satu-satunya suara yang dapat didengar di kota adalah suara mengerik jangkrik-jangkrik dan suara mesin-mesin mobil yang melintas. Aku berpapasan dengan sangat sedikit otang di jalan. Itu terlihat seakan orang-orang yang hidup di sekitaran sini dalam area perumahan tidak berpikir untuk bepergian ke luar pada saat-saat panas seperti ini.

Sial, aku akan bernasib lebih baik untuk keluar rumah ketika matahari sudah terbenam sedikit. Sudah begitu lama semenjak terakhir kali aku keluar dari rumah, jadi pemikiran itu tidak terpikirkan olehku.

Tujuanku untuk liburan musim panas tahun ini adalah untuk tidak menginjakkan satu langkahpun ke luar. Pikirkan saja: alasan kenapa liburan musim panas yang dipanjangkan itu sendiri ada karena cuaca panasnya. Kondisi yang telah ditetapkan ini tidak dapat diabaikan. Ini buktiku: di Hokkaido di mana musim dingin begitu dingin dan bahkan musim panas terasa sejuk, liburan musim panasnya sangatlah pendek sementara malah liburan musim dinginnya yang dipanjangkan. Oleh karena itu, dapat dibuktikan bahwa liburan mana yang dipanjangkan itu ditentukan berdasarkan kondisi cuaca.

Yang dimaksudkan oleh itu adalah bahwa tujuan dari liburan musim panas adalah untuk melindungi tubuh seseorang dari cuaca panasnya, dan jika seseorang menuruti maksud mulanya, maka pergi ke luar itu tidak diizinkan. Berjalan-jalan selama liburan musim panas itu zona legal abu-abu[4], kamu tahu?

Sebagai seorang murid teladan yang mematuhi peraturan dan adat istiadat, aku telah menghabiskan waktuku terkunci di dalam rumah dengan patuh. Oh, jangan sebut itu “Pertapa Dunia Nyata” atau apa. Sebenarnya, kamu boleh menyebutnya itu jika kamu mau. Aku sudah terbiasa dengan jenis fitnah itu semenjak SMP.

Meski begitu, aku akan bepergian ke luar sejenak jika itu demi adik kecil imutku. Aku akan melakukannya atas dorongan cinta yang dipaksakan padaku.

Ketika aku dengan susah payah pergi ke depan stasiun, wajar saja, ada lebih banyak orang di sekitarnya. Aku menunggu sejenak di halte bus, dan kemudian selama sepuluh menit penuh aku diguncang-guncang selagi bus tersebut melintas menuju Kaihin-Makuhari. Supermarket di dekatnya akan cukup lumayan untuk membeli barang-barang seperti sembako, tapi jika aku akan membeli sebuah buku, pusat keramaian kota yang baru saja didirikan dengan toko bukunya yang sedikit lebih besar itu akan lebih memudahkan.

Lingkungan di Kaihin-Makuhari membanggakan suasana yang lumayan hidup dan hiruk-pikuk selama masa-masa musim panas. Festival Summer Sonic digelar di sana, diiringi dengan kembang api selama pertandingan baseball pro malam hari. Olahraga lautnya juga sangat banyak karena tempat itu paling dekat dengan laut. Masalahnya adalah tidak peduli bagaimana kamu memandangnya, aku hanya dapat berpikir pada prinsipnya keramaian-keramaian itu begitu menjengkelkan.

Ketika kamu memasuki pusat salah satu keramaian-keramaian yang menjengkelkan itu, kamu menghapus keberadaanmu. Ada sebuah penjelasan untuk kenapa itu disebut “menghapus”.

Dengan ini, maksudku bahwa terperangkap di dalam kerumunan manusia itu bahkan lebih terkucilkan daripada saat sendirian. Singkatnya, penyendiri tidak hanya ditentukan oleh kepadatan penduduk di sekeliling mereka – ada pula suatu hal yang dinamakan jiwa individual. Tidak peduli sedekat apapun tubuhmu dengan orang lain, kamu tidak akan terpuaskan jika kamu tidak dapat mengakui persamaan kalian.

Kerumunan orang yang berjalan dengan teman-teman dan keluarga mereka – atau kalau tidak, pacar mereka – berjalan dengan menyakitkannya lambat. Apa itu karena mereka memperhatikan sisi jalannya sepanjang waktu? Mungkin itu karena mereka terlalu terasyikkan ke dalam percakapan sampai mereka berhenti memperhatikan laju berjalan mereka? Atau mungkin mereka hanya ingin mengulur waktu mereka dengan satu sama lain, meskipun hanya untuk sedikit lebih lama?

Gah! Berhenti memakan begitu banyak jalan pejalan kakinya! Sialan trio di sebelah sana itu! Apa mereka salah satu tipe-tipe itu? Menerapkan strategi 3-4-3, ya? Sungguh posisi bertahan yang sekuat batu.

Dengan gesit, aku menyalip melewati sisi trio tersebut, menyalurkan kegesitan seorang fantasista [5]. Persis setelah itu, empat gadis berseragam SMA mencegat usahaku untuk lewat, memakai posisi bertahan mirip catenaccio. Tapi karena mereka sedang tertawa dengan terbahak-bahak dan bermain-main dengan ponsel mereka selagi mereka berbincang-bincang, langkah mereka lamban dan lambat. Aku juga menyalip mereka tanpa merasa kesulitan.

Boleh kuberitahu pada kalian apa yang kurang? Hanya ini! Gelora, keanggunan, ketekunan, keelokan, wawasan, harga diri!

Dan yang paling penting dari semuanya-

KALIAN BEGITU LAMBAT SEKALI! [6]

Daaaaan itulah jenis-jenis ampas yang kugugamkan di dalam kepalaku selagi aku mendahului orang-orang kota yang riang dan berjalan seenaknya itu dengan gerakan pesatku sendiri. Dengan kekuatan imaginasi, seorang penyendiri yang melawan ombak dan badai tanpa teman atau pacar disisinya dapat mengubah dunia menjadi sebuah taman hiburan sesuka hatinya. Seorang pria yang berjalan sendirian kira-kira akan memikirkan tentang hal-hal semacam ini sepanjang waktu. Itu cukup menghibur, kuberitahu saja.

Terasyikkan dalam latihan mental yang melibatkan mengikisi jiwa selagi terperangkap dalam pusaran perang, aku memutar kakiku ke arah area perbelanjaan, yang termasuk Plena Makuhari, dimana toko-toko dan sekumpulan toko-toko khusus yang berbeda-beda tersebut terletak.

Selagi aku sedang berjalan kelimbungan, sebuah baju kaos berwarna hijau berpendar masuk ke dalam pandangan. Aku pernah melihat baju kaos itu sebelumnya. Itu baju yang sama yang biasa kupakai untuk kelas pendjas.

Itu berarti dia adalah seseorang dari SMA yang sama denganku, huh? Lebih baik memastikan aku tidak terlihat olehnya… pikirku, sudah hampir akan mengalihkan pandanganku, tapi bola mataku tidak menghiraukan pemikiranku dan aku berakhir melihat tepat pada tubuh orang tersebut.

Itu adalah, untuk meletakkannya ke dalam sepatah kata, takdir.


× × ×


1-3

Dia memiliki rambut yang rapi nan sehalus sutera serta tangan dan kaki yang memantulkan cahaya matahari yang cemerlang. Selagi dia menyesuaikan sarung raket di punggungnya, dia membuat helaan lembut yang lenyap di udara, membawa datang hembusan angin.

Dia adalah Totsuka Saika. Dia tidak menyadariku, dia malah tanpa bersuara melihat ke belakang bahunya seakan terpaku akan sesuatu di belakangnya. Whoa whoa, apa dia itu si cantik yang melihat ke belakang? [7]

Memang, kupikir dia adalah sebuah ilusi yang dibentuk oleh udara panas berkilauan yang membumbung dari aspal jalan.

Pada saat tersebut, kerumunan yang kupikir begitu sialannya menjengkelkan menghilang entah ke mana. Itu seperti Totsuka dan aku adalah satu-satunya dua orang di dunia ini. Dicengkram oleh terjangan emosi, rahangku mengendur.

Aku sepenuhnya yakin aku akan menemukannya tidak peduli kemana dia pergi. Hal itu, kupercayai dengan segenap hatiku.

“Totsukuuuuh-” Ucapan itu menghilang di dalam tenggorokanku. Malahan, helaan aneh ini yang menyelip keluar. Keluarga di sekelilingku memberiku tatapan aneh dari jauh dan bergegas pergi.

Aku menatap ke arah Totsuka dengan hening. Itu karena seseorang sedang berlari ke arah Totsuka, melambai dengan semangat di belakangnya. Laki-laki itu mengenakan baju kaos yang serupa, dan sebuah raket yang menyerupai punya Totsuka tersandang pada punggungnya.

Ketika aku melihat betapa akrabnya mereka, aku tidak sanggup untuk memanggil Totsuka. Oleh karena itu, helaan menggelikan itu menyelip keluar dariku.

Orang itu menepukkan tangannya bersama dengan pelan di depan Totsuka, mungkin karena dia terlambat pada janjian mereka. Sebagai balasannya, Totsuka menggelengkan kepalanya dengan santai. Bahkan dari jauh, aku dapat dengan jelas melihat senyuman malu-malunya.

Mereka berdua bertukar beberapa patah kata dan berangkat menuju ke toko bersama. Setelah aku selesai melihat mereka menghilang ke kejauhan, aku sekali lagi mulai berjalan pergi menuju Plena Makuhari.

Untuk sejenak, aku menggerakkan kakiku tanpa berpikir, hampir seperti sebuah robot.

…Begitu ya. Jadi Totsuka ada aktivitas klub. Itu masuk akal bahwa dia akan memiliki teman yang terlibat di dalam klub juga. Benar. Ini musim panas, jadi tentu saja dia akan ada aktivitas klub. Apa mampir ke suatu tempat pada perjalanan pulang itu biasa untuknya? Pasti. Itu masuk akal bahwa dia akan memiliki teman di antara rekan-rekan tenisnya dan itu masuk akal bahwa dia akan tersenyum pada mereka.

Aku heran persisnya kapan aku mulai berpikir bahwa dia hanya akrab denganku. Pada SD dan SMP, orang-orang yang berbicara padaku akrab dengan semua orang dan memiliki teman yang berlimpah… meskipun aku berpikir mereka adalah temanku, mereka tidak akan berpikir serupa dan meskipun mereka itu teman baikku, aku tidak akan menjadi teman baik mereka – hal semacam itu terjadi sepanjang waktu.

Sial, aku sedang bergetar dengan begitu hebatnya sampai kakiku berubah menjadi jeli. Aku mungkin akan terasa enak jika kamu menambahkan penyedap.

Entah bagaimana, aku berhasil berjalan sampai ke tangga eskalator, yang kemudian aku tumbang pada pegangan tangannya. Meski aku sedang linglung, tangga eskalator itu membawaku naik secara otomatis.

Aku sedang menuju ke atas ketika itu terjadi. Aku menemukan wajah yang familier pada tangga eskalator yang menuju ke bawah.

Hanya ada satu orang yang kukenal yang cukup tolol untuk mengenakan sebuah mantel di pertengahan musim panas. Pada saat ini, aku lebih memilih berpura-pura aku tidak mengenalnya.

Dua orang dengan Zaimokuza itu adalah yang disebut-sebutnya rekan bermain game, yang entah bagaimana dia sedang membuat percakapan yang akrab dengan mereka. Ini adalah kutipan dari percakapan mereka:

“Arcana Chance.” (Terjemahan: Mau main game “Arcana” di arcade?)

“Affirmatif.” (Terjemahan: Tentu.)

“Chance.” (Terjemahan: Sama.)

“As Chance.” (Terjemahan: Bagaimana kalau kita pergi ke arcade “As”?)

“Pengorbanan.” (Terjemahan: As begitu jauh jadi tidak.)

“Admiral Letih.” (Terjemahan: Aku lelah jadi itu akan begitu melelahkan.)

“Sampah.” (Terjemahan: Kalian tidak ada dedikasi.)

“Pengorbanan Total.” (Terjemahan: Lepaskan sajalah.)

“Pengorbanan Chance.” (<- Aku tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan.)

Aku berhenti memperhatikan mereka. Kelihatannya mereka sedang berbincang dengan sebuah bahasa yang hanya dimengerti mereka. Aku gagal memahami untuk apa berbicara dengan hanya kata-kata kunci. Mereka terlampau mengandalkan ambiguitas bahasa Jepang.

Itu akan buruk bagi mereka jika aku menghancurkan kesenangan mereka, dan ditambah lagi aku berpikir itu juga akan buruk bagiku jika orang-orang berpikir aku berteman dengan mereka, jadi aku berpura-pura untuk tidak menyadari keberadaan Zaimokuza. Tapi persis pada saat kami berpapasan dengan satu sama lain, mata tajam Zaimokuza jatuh padaku, dan kami saling bertatap mata untuk sejenak.

“Oh?”

“…haaaaah.”

Persis saat dia menuturkan sesuatu, aku tanpa membuang-buang waktu memalingkan wajahku dan menguap ke atas langit-langit. Itu adalah cara bertele-tele untuk mengatakan, “Aku sedang menguap sekarang ini jadi aku tidak menyadari keberadaanmu.” Jurus menghindari interaksi ini adalah keahlianku.

Tentu saja, eskalator itu tidak akan berhenti untuk siapapun. Dengan satu gerakan cepat, jarak antara Zaimokuza dan aku menjauh, dan hanya dengan begitu saja adegan itu berakhir.

Eskalator itu membawaku sampai ke lantai tiga, dan selagi aku melintas bersama-sama dengan arus manusia, aku berjalan sampai ke dalam toko buku. Tanpa bahkan melihat-lihat ke dalamnya, aku tahu bagaimana rak-raknya disusun. Buku-buku komik ada di kanan pintu masuk dan novel-novel ringan diletakkan di tengah-tengahnya. Area yang terputus dari lorong itu dikhususkan untuk novel-novel, dan rak di belakangnya dikhususkan untuk literatur. Heh, sempurna.

…sekarang dimanakah buku-buku sainsnya?

Karena aku biasanya tidak membaca buku-buku semacam itu, aku tidak dapat menemukan lokasinya di dalam peta batinku. Yah, kurasa orang-orang hanya melihat apa yang menarik bagi mereka, jadi mereka tidak terlalu menyadari apa yang terjadi di luar itu. Tidak mungkin aku bisa menanyakan pegawai tokonya mengenai itu, jadi aku memutuskan untuk mencari ke sekeliling toko itu sendiri. Kamu tahu, itu bukan seperti aku tidak ada keberanian untuk bertanya padanya atau apa; aku hanya sedang bersikap baik dengan tidak menganggunya untuk sesuatu yang begitu sederhana.

Karena tokonya tidak sebesar itu, kelihatannya tidak akan memakan banyak waktu untuk berjalan dari satu bagian ke bagian lain.

“…”

Selagi aku sedang berjalan berkeliling, aku merasakan tatapan seseorang padaku. Apa ini Pengutilan G-Men, huh[8]?

Aku tidak melakukan kesalahan apapun! Buku yang sedikit mesum ini untuk sesuatu yang lain! Untuk projek penelitian liburan musim panas! Aku tidak mempercayai hal-hal mesum! Ketika aku berpaling ke belakang, mempersiapkan alasanku, mataku bertemu dengan seseorang yang tidak kusangka akan berjumpa.

Dia mengenakan kemeja cardigan di atas bahunya dan celana ketat panjang di bawa roknya, mungkin untuk melindungi dirinya dari sinar matahari. Dia terlihat kurang keras dibandingkan dirinya yang mengenakan seragam, tapi aksesoris-aksesoris kecilnya seperti arloji dan tas tangannya dijahit dengan begitu indahnya, mempertahankan penampilan rapi dan apiknya.

Dia adalah Yukinoshita Yukino. Dia adalah ketua Klub Servis, yang dimana aku merupakan salah satu anggotanya. Dia memang tinggal di sekitar sini, jika aku mengingatnya dengan benar. Jadi gadis ini bepergian ke toko buku juga, huh?

“…”

“…”

Kami menatap pada satu sama lain untuk sekitar dua detik tanpa mengatakan satu patah katapun. Lamanya sudah lebih dari cukup untuk mengenali seseorang.

Yukinoshita dengan sembunyi-sembunyi mengembalikan buku yang sedang dipeganginya pada rak dan kemudian dengan cepat melangkah keluar dari toko ini.

Diabaikan.

Dia mengabaikanku dengan begitu spektakuler. Astaga, ini bahkan bukan mengabaikan – itu rasa jijik bisu. Baru saja itu rasa jijik yang dapat dibandingkan dengan Deklarasi Potsdam. Ini mencetak sejarah

Meskipun kami menatap mata satu sama lain dan jarak di antara kami tidak lebih dari satu meter, dia sama sekali mengabaikanku. Setiap kali aku diabaikan oleh teman sekelasku, mereka melakukanny dengan begitu imutnya. Itu karena aku mengabaikan diriku sendiri juga. Wow, itu juga lumayan kejam.

…yang penting, itu sifat khas Yukinoshita. Aku dapat mengatakan sebanyak itu.

Tersenyum masam meskipun aku tidak mau melakukannya, aku mengitari rak buku tempat Yukinoshita baru berdiri tadi. Ketika aku melemparkan pandanganku ke sana, kelihatannya itu bagian foto album. Jadi gadis ini mengejutkannya feminin, melihat pada foto album aktor atau idola favoritnya atau semacamnya, pikirku selagi aku melihat raknya sepintas, tapi satu jenis album yang menonjol keluar adalah album kucing dari semua album yang ada. Beli sajalah seekor kucing.


× × ×


1-4

Aku memilih sejumlah buku di toko buku itu dengan santai, dan setelah aku selesai mencari-cari buku-buku yang berguna untuk projek penelitian itu, aku menyelesaikan belanjaku. Kantung plastiknya terasa seakan beratnya ribuan batu. Aku heran apa aku berbelanja sedikit terlalu banyak karena ini liburan musim panas dan semacamnya.

Sebelum liburan musim panas dimulai, kamu mendapatkan rencana-rencana besar selama empat bulan penuh di dalam kepalamu seperti membaca semua karya Shiba Ryotaro, menamatkan sebuah game yang masih setengah jalan, mendapatkan pekerjaan sampingan atau mengadakan sebuah perjalanan sendirian. Tapi segera setelah liburan musim panas dimulai, kamu akan berpikir macam tidak apa-apa, masih ada sebulan. Tidak, tidak, dua minggu masih cukup waktunya. Oh, aku masih bisa bersenang-senang dengan waktu seminggu lagi… tunggu. Tinggal tiga hari lagi? Waktu cepat sekali berlalu.

Ketika aku meninggalkan bangunan itu, aku sekali lagi terpapar oleh sinar matahari. Walau matahari sudah mulai terbenam, hari masihlah begitu terik, dan sebuah tiupan yang lembab dan hangat berhembus. Sekarang sedang puncak musim panas, tapi di sekitar sini, dimana tanahnya semua digali dan sekumpulan pencakar langit berjejeran, riuh derikan jangkrik terasa begitu jauh sekali. Selagi aku berjalan ke arah halte bus, aku menyesuaikan genggamanku pada kantung plastiknya karena tanganku bercucuran keringat.

Namun, hanya membeli semua ini saja sudah cukup untuk memastikan aku dapat berbaring membaca buku untuk beberapa lama. Untuk dapat membaca sebuah seri panjang dalam sekali duduk itu adalah salah satu hal-hal hebat mengenai liburan musim panas. Aku merekomendasikan Delfinia Senki, The Twelve Kingdoms dan Seirei no Moribito.

Bermalas-malasan dengan seseorang dan membuat kehebohan besar mengenainya itu bukanlah tujuan utama dari liburan musim panas. Ide cemerlang siapa itu untuk melemparkan ide “Musim panas = Pantai/Kolam Renang/Barbeque/Festival Musim Panas/Kembang Api!” seakan itu tafsiran yang benar?

Membaca di sebuah ruangan yang sejuk sendirian; meneriakkan, “Inilah kehidupan!” ketika kamu barusan selesai mandi dan melahap buah-buahan dan es krim sendirian; menatapi ke atas Segitiga Musim Panas pada saat tengah malam sendirian; menyalakan obat nyamuk bakar dan menatapinya dengan perhatian penuh sendirian; mendengarkan suara genta angin dan ketiduran sendirian – ini semua merupakan kenangan musim panas yang menabjubkan.

Musim panas paling baik dijalani sendirian. Sendirian itu hal yang bagus. Toh, cuacanya panas.

Hari ini adalah hari lain dimana dunia terus berputar tanpa memerdulikanku.

Maksudku, aku memiliki firasat nyata bahwa dunia ini akan tetap berputar dengan semestinya meskipun Hikigaya Hachiman tidak ada. Aku mengingat ketenangan yang tentram dari itu semua.

Suatu sosok yang tak tergantikan itu menakutkan. Maksudku, jika kamu kehilangannya, kamu tidak bisa mendapatkannya kembali. Kegagalan juga tidak diizinkan.. Itu adalah titik tanpa jalan kembali.

Dan jadi, jika dibandingkan, aku cukup menyukai hubungan yang sedang kubangun sekarang ini, yang bahkan tidak bisa disebut hubungan. Jika sesuatu terjadi, aku bisa memutuskannya dengan enteng dan tidak akan ada yang terluka.

Tanpa mengatakan atau melakukan apapun yang membuat orang kesal, aku dapat menangani-

“Ah, Hikki?”

Suara itu memotong lalu lalang pertengahan musim panas ini. Itu benar-benar hanya sebuah bisikan, tapi itu mencapai telingaku karena aku sedang memikirkan mengenai dia.

Hampir secara otomatis, tubuhku bergeser ke samping, membuat jalan bagi dua orang yang berpapasan denganku, yang salah satunya adalah Yuigahama Yui. Diiringi dengan gaya rambut bakso biasanya, dia memamerkan penampilan musim panas yang paling klasik: sebuah baju kamisol hitam, kemeja kardigan rajutan berwarna putih, celana pendek dan sepasang sandal gladiator[9] pada kakinya.

“Hei…” Aku menyapanya dengan pelan sebagai balasannya.

“Yap, sudah lama sekali!” Yuigahama menyeringai lebar.

Dia pastilah sedang berjalan-jalan dengan temannya karena wajah seseorang dapat terlihat tepat di belakangnya. Dia adalah Miura Yumiko. Dia dari Kelas F, tapi dia juga sang Ratu dari Neraka Berapi-api yang berada tepat di paling puncak sistem kasta sekolah SMA Sobu. Kurang lebih semua pria teramat takut dengannya.

Dia mengenakan sepotong gaun one piece mini elegan yang membiarkan punggungnya terlihat, dan sepatu mule[10] yang dipakainya pada kakinya itu menggesek tanah. Matanya yang melirik ke arahku berwarna hitam pekat dari mascara dan eyeliner serta eyeshadownya, membuat tampangnya terlihat seperti Orestes Destrade. Kenapa, apa dia ada pertandingan hari ini?

“Huh, Hikio.”

Dia hanya benar empat huruf depannya saja…

Walaupun aku tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa dia sedang benar-benar mengolokiku dari caranya menyapaku, sebenarnya bukan begitu adanya. Lebih sering daripada tidak, para lelaki dan perempuan di atas kasta sekolah itu tidak memiliki rasa dengki terhadap orang-orang di bawah mereka. Kamu tidak merasa dengki ketika dari awalpun kamu tidak merasa tertarik. Orang-orang secara alamiah bersikap acuh tak acuh terhadap hal-hal yang tidak mereka pedulikan.

“Yui, aku akan menelepon Ebina sekarang,” kata Miura, dan tanpa menunggu jawaban Yuigahama, dia pergi beberapa langkah dari Yuigahama dan menuju ke tempat berteduh. Karena dia tidak tertarik denganku, tidak ada alasan baginya untuk memiliki urusan apapun denganku.

YahariLoveCom v4-033.jpg

Itulah hal baik mengenai anak-anak populer yang kehidupannya terlepas dari kehidupanmu. Kedudukan sosial seseorang itu sepenuhnya terkait-kait untuk menghindari konflik. Banyak kerumitan yang timbul dari perselisihan antar kelas. Konflik lahir terutama karena orang-orang yang hidup dalam dunia yang berbeda dimasukkan ke dalam satu latar. Jika orang-orang sepenuhnya dipisahkan, mereka bahkan tidak akan pernah bertemu dari awal.

Persis setelah Miura bersandar pada dinding dan mulai berbicara pada teleponnya, Yuigahama membuka mulutnya seakan memastikan sesuatu. “Aku sedang berjalan-jalan dengan Yumiko dan beberapa orang lain hari ini… bagaimana denganmu, Hikki?”

Itu memakanku beberapa saat untuk merespon. “Um, berbelanja?”

Dengan penuh kehati-hatian, aku memperlihatkan kantung plastikku sehingga aku bisa menatapinya. Sudah begitu lama semenjak aku terakhir kali berbicara dengan seseorang selain keluargaku, jadi aku tidak bisa menghimpun kata-kata untuk melengkapi kalimat tersebut.

“Oh, oke. Kamu tidak jalan-jalan dengan seseorang?”

“Tidak.”

“Huh? Kenapa? Ini liburan.”

Kenapa, tanyanya? Itu membuat merinding bagaimana persamaan ‘liburan = jalan-jalan’ terlintas padanya dengan begitu mudahnya. Apa dia itu salah satu gadis-gadis dengan sindroma ‘depresi jika jadwal kegiatanku tidak penuh’? Kata-kata itu dengan cepat terlintas dalam kepalaku, tapi kata-kata itu gagal mencapai mulutku.

“Liburan itu untuk istirahat.”

Entah bagaimana aku berhasil merangkai bersama empat kata penuh. Baiklah, kemampuan berbicaraku sudah perlahan-lahan muncul kembali padaku. Karena ketidak-sabaranku, aku mencoba mengucapkan dua kalimat kali ini, tapi aku harus mencegah diriku untuk tidak tertawa bodoh.

“…um, apa ada sesuatu yang salah?” tanya Yuigahama dengan agak kuatir.


× × ×


1-5

Dia mungkin menguatirkan tentang ketidak-mampuanku untuk mengucapkan sesuatu yang masuk akal. Tapi tunggu dulu! Jika dia benar-benar sekuatir itu tentangku, dia sepatutnya memulainya dengan tidak menanyakan orang tersebut apakah ada sesuatu yang salah.

“Tidak begitu,” kataku.

Ekpresi meragukan Yuigahama tidak berubah.

…yah, supaya adil, tingkah laku aku mungkin sedikit berbeda dari biasanya. Aku sedang waspada dengan Yuigahama Yui saat itu. Sekarang setelah kami menekan tombol ulang dalam hubungan kami, mungkin itu tepat untuk mengatakan bahwa aku tidak tahu bagaimana untuk mempertahankan perasaan jarak di antara kami.

Mencoba untuk mengingat kembali percakapan biasa kami, aku memilih untuk menutupinya selembut mungkin. “Aku menjadi seperti itu ketika cuacanya panas,” kataku pada akhirnya. “Maksudku, rahangku mengendur dan semacamnya. Rel kereta api memuai dan, macam, anjing juga benar-benar memuai. Kamu tahu tentang pemuaian?”

“Itu tidak ada hubungannya dengan anjing. Oh, tapi anjing kami benar-benar merentangkan tubuhnya dan semacamnya.”

“Kalau begitu itu memang ada hubungannya dengan anjing…” Itu mengingatkanku akan sesuatu. “Siapa nama anjingmu lagi? Hebat dalam pukulan beresiko… Sab… Saburo?”

“Namanya Sable!”

Jadi namanya Sable, huh? Oh, iya, Saburo itu nama pemain baseball. Dia kembali ke Chiba Lotte Marines tahun ini, jadi aku menantikan hal-hal hebat darinya.

Omong-omong, jadi anjing sering merentangkan tubuh mereka, begitu. Tidak hanya tubuh mereka tapi juga lidah mereka. Juga, Chiba-kun[11] benar-benar kelewatan melakukannya, menjulurkan lidahnya sepanjang tahun. Dia perlu menarik kembali lidahnya atau lidahnya akan kering.

“Dipikir-pikir lagi, Hikki, kenapa kamu tidak tahan dengan musim panas meski kamu lahir di musim panas?” tanya Yuigahama padaku.

Aku meletakkan tanganku pada mulutku. “Aku heran, bagaimana kamu bisa tahu aku lahir di musim panas?” jawabku, dengan sedikit angkuh. “Apa kamu seorang penguntit?”

“Apaan itu?! Meniru Yukinon?! Kamu agak berhasil melakukannya!” Yuigahama tertawa terbahak-bahak. Tapi kalau Yukinoshita ada disini, tewas kami.

Tapi aku berhasil melakukannya, huh? Hasil dari latihan di depan cermin setiap kali aku masuk ke kamar mandi sedang membuahkan hasil. Men, apa yang sedang kulakukan dengan hidupku?

“Tapi serius, bagaimana kamu bisa tahu itu? Itu menyeramkan.”

“Nah, kamu memakainya sebagai kalimat kode-kodean ketika kita pergi ke karaoke hari itu.”

“Ka-kamu tolol! Aku tidak memakai kalimat kode apapun! Aku tidak sedang berusaha untuk secara tidak langsung memberitahu Totsuka hari ulang tahunku!”

“Kamu sedang mengincar Sai-chan?!” teriak Yuigahama ngeri.

Ay'lah, pada siapa lagi aku akan memakai kalimat kode-kodean?

“Yah, kamu pasti tahu bagaimana rasanya waktu kamu lahir di musim panas. Satu-satunya masa kamu dimanjakan orangtuamu adalah masa kamu baru lahir, jadi aku dibesarkan dengan AC dan tidak pernah belajar bagaimana menahan cuaca panas. Alhasil, aku tidak ada daya tahan terhadap itu.”

“Aha. Aku paham itu.” Untuk beberapa alasan, dia mengangguk dengan wajah berbinar-binar.. Itu mengangguku bahwa dia benar-benar mempercayai sesuatu yang sudah jelas sekali asal-asalan kukarang. “Jadi omong-omong, ulang tahunmu sudah akan tiba, Hikki, jadi ayo kita gelar pesta ulang tahun!”

“Tidak. Ditolak. Hentikan.”

“Cepat sekali kamu menolakku! Dan kamu melakukannya tiga kali!”

“Maksudku, lihat… biasanya, itu teramat memalukan sekali bagi seorang gadis untuk menggelar pesta ulang tahun bagi seorang lelaki yang sudah SMA, jadi menyerah sajalah.”

Lebih dari apapun, aku tidak tahu ekspresi seperti apa untuk ditunjukkan jika sesuatu seperti itu terjadi. Apa aku seharusnya tersenyum? Dulu waktu SMP, aku telah berlatih membuat reaksi kaget yang berlebih-lebihan, berpikir bahwa yang lain sudah mempersiapkan sebuah pesta kejutan untukku, tapi aku sudah berhenti sepenuhnya setelah menyadari bahwa tidak ada kemungkinan hal tersebut bisa terjadi.

“Ah, jika kamu tidak mau pesta, kalau begitu ayo kita semua jalan-jalan bersama, oke?”

“Siapa yang kamu maksud dengan ‘semua’?”

Jika aku tidak membuat semuanya jelas sebelumnya, aku akan dalam masalah besar. Ada suatu kali ini sesaat setelah aku memasuki SMA dimana aku diundang untuk berjalan-jalan dengan orang-orang yang jauh lebih suka mengoceh dariku. Aku berakhir hampir tidak mengenal siapapun di sana. Ditambah lagi, itu adalah acara paling pertama setelah kelas dimulai, jadi kamu segera disajikan hidangan penyendiri jika kamu tidak berbicara, tanpa diizinkan hidangan pendamping. Dalam kehidupan pelajar, “ayo kita semua jalan-jalan bersama” adalah kode untuk Fumie[12]. Pertama-tama, kamu antara ada diundang atau tidak, dan jika kamu memang bagian dari kelompok yang diundang, kamu akan diperingkatkan berdasarkan hubunganmu dengan yang lain.

“Yukinon dan Komachi-chan dan Sai-chan, kurasa?” usul Yuigahama.

Aku paham itu. Jadi Zaimokuza disingkirkan, huh. Yah, itu wajar dia akan berakhir seperti itu. Aku juga akan menjadi yang pertama menyingkirkannya.

Aku tidak menjawab untuk beberapa detik.

Kemudian Yuigahama berkata, “Ji-jika kamu tidak suka itu, kalau begitu… kita bisa pergi berdua…”

Dia melirik ke arahku, memainkan jari jemarinya selagi dia melirikku. Ketika aku melihat caranya melihat ke arahku, detak jantungku meningkat. Mataku melesat ke samping dan aku mengangkat kepalaku. “Tidak seperti aku benar-benar menentangnya. Malah aku sangat menyetujuinya, terutama bagian Totsuka!”

“Persisnya sesuka apa kamu dengan Sai-chan?!”

“A-Aku sama sekali tidak menyukainya! Aku hanya agak terpikat dengannya!”

“Itu hampir sama saja!” teriak Yuigahama, membenamkan kepalanya dalam tangannya.

Oh men… Fokusku teralihkan dan aku menjadi terbawa suasana Yuigahama. Aku sudah dengan sengaja mencoba untuk mempertahankan jarak di antara kami untuk mencegah kesalahpahaman, jadi ini cukup menguatirkan.

Tapi jalan-jalan dengan Totsuka ke suatu tempat itu sebuah rencana hebat. Hari ini aku melihat ke arahnya secara langsung namun merasa itu tidak mungkin untuk memanggilnya. Astaga! Aku pengecut! Aku lemah! Sampah!

“Jadi apa yang mau kamu lakukan?” tanyaku.

“Pertunjukan kembang api!” jawab Yuigahama dengan wajah berbinar-binar. “Ayo kita pergi ke pertunjukan kembang api!”

“Aku bisa melihat kembang api lautnya dari rumah. Aku tidak mau bersusah payah pergi ke luar.”

“Sungguh egois!” Dia mengacungkan jarinya padaku dengan menunding. Yuigahama membuat erangan yang dipanjang-panjangkan, dan kemudian berpikir untuk sejenak. “Kalau begitu bagaimana dengan uji keberanian!”

“Aku takut dengan hantu, jadi tidak.”

“Itu alasanmu?!”

Maksudku, lokasi berhantu di Chiba itu tidak main-main, umumnya… ketika aku menemukannya di internet di tengah malam aku jujur saja tidak bisa tidur. Ada Ojagaike atau Tokyo Wan Kannon atau Kuburan Yahashira. Ada tanda-tanda sebuah eksekusi di depan suatu universitas tertentu dan ada suatu tempat dimana sinyal radio menghilang. Meskipun Totsuka melilitkan lengannya padaku karena suatu kebetulan yang membahagiakan, ada kemungkinan besar aku-lah yang ketakutan.

Meskipun aku telah menolaknya, Yuigahama meneruskan, tak mengenal takut. “Yah baiklah kalau begitu, bagaimana dengan pantai…? atau mungkin kolam renang?”

“…er, uh, itu agak, kamu tahu. Itu terlalu memalukan, jadi sebaiknya kita jangan kesana.”

“Ya… Aku juga akan agak merasa malu…” Yuigahama mengigil dan melihat ke bawah, merona. Oh ayolah, jangan usulkan itu jika itu memalukan. Walau, itu memang mengurangi rasa maluku.

“Tidak ada lagi?”

“Aku tahu! Berkemah!”

“Banyak serangganya, jadi itu tidak akan mungkin terjadi. Hanya serangganya saja membuat itu tidak mungkin, jujur saja. Maaf.”

“Kamu begitu pilih-pilih! Dan kamu malas! Aku nyerah! Kamu tolol, bodoh!” Yuigahama menggali dalam-dalam kosakatanya yang cetek untuk mencercaku. Dengan satu huff, dia memalingkan punggungnya ke arahku dengan geram dan mulai berjalan pergi dengan marah.

“…kamu tahu, kita tidak harus melakukan sesuatu yang semuanya berbau musim panas. Cukup sesuatu yang biasa saja.”

Kaki Yuigahama berhenti di tempat. Ketika dia berpaling ke belakang bahunya, semua amarahnya sudah terhanyut pergi, digantikan oleh tanda sebuah senyuman yang samar.

“Ohh… baiklah. ‘ke, Aku akan meneleponmu nanti.”

“Uhh, itu berakhir menjadi tidak jelas,” ujarku padanya.

Yuigahama sudah telah berpaling kembali dan berlari dengan cepat ke arah Miura, Miura, yang memiliki ekspresi luar biasa bosan di wajahnya, terlihat begitu tidak senang, tapi dia kelihatannya amat ceria ketika Yuigahama menepuk kedua tangannya bersama untuk meminta maaf. Dia menyodok kepala Yuigahama dengan bersenda-gurau, dan kemudian mereka berdua mulai berjalan pergi bersama-sama.

Setelah aku melihat mereka pergi, aku beranjak pulang.

Gumpalan awan raksasa yang terbentang di atas kepalaku sedang berubah menjadi warna merah tua. Hembusan dingin mulai bertiup. Itu persisnya yang kubutuhkan untuk mengobati wajah meronaku. Aku memutuskan untuk berjalan ke rumah bersama dengan udara sejuk yang dibawa oleh angin sore.

Petang merupakan campuran biru nila dan merah tua. Masih akan perlu beberapa saat sebelum aku dapat melirik apa yang terbentang di baliknya, kelihatannya.


Mundur ke Resensi Buku Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 2

Catatan Translasi

  1. Marketing secara tidak langsung. Stealth Marketing
  2. Pajak progresif adalah pajak yang sistem pemungutannya dengan cara menaikkan persentase kena pajak yang harus dibayar sesuai dengan kenaikan objek pajak. Dalam sistem perpajakan di Indonesia, paling tidak, terdapat 2 (dua) jenis pajak yang menerapkan sistem pajak progresif, yaitu (i) Pajak Penghasilan; dan (ii) Pajak Kendaraan Bermotor.
  3. Game pinball. Devil's Crush
  4. Zona antara legal dan ilegal
  5. Kata Italia untuk gelandang playmaker dalam sepak bola
  6. kutipan dari Straight Cougar dalam anime s-CRY-ed
  7. Jepangnya 見返り美人 (lit inggris. ‘beauty looking back over her shoulder’), yang merupakan referensi pada sebuah lagu enka. Enka adalah salah satu aliran musik pop Jepang yang menyerupai musik tradisional Jepang.
  8. Referensi pada drama panjangg Jepang G-Men '75, seri detektif.
  9. Sandal Gladiator
  10. Sepatu Mule
  11. Chiba-kun itu maskot Prefektur Chiba.
  12. Fumie (bahasa Jepang: 踏み絵, fumi 'menginjak' + e 'gambar') adalah citra Yesus atau Maria yang, oleh para petinggi keagamaan pada masa pemerintahan Shogun Tokugawa di Jepang, diharuskan untuk diinjak oleh orang-orang yang dicurigai sebagai penganut agama Kristen sebagai bukti bahwa mereka bukanlah anggota dari agama terlarang itu. Fumie