Oregairu (Indonesia):Jilid 7 Bab 5

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 5: Seperti yang dapat kalian lihat, Yuigahama Yui sedang berusaha keras[edit]

Yo! Namaku Hachiman! Aku sudah akan pergi ke Tokyo!

Setelah mengutarakan kalimat itu, tujuanku sekarang ini adalah berangkat ke Tokyo jadi kami bisa menaiki Shinkansen.

Aku bangun lebih awal dari biasanya jadi aku bisa berangkat lebih pagi. Ketika aku bertemu dengan orang tuaku sebelum pergi, mereka memintaku untuk membawa pulang oleh-oleh, ini juga termasuk daftar permintaan Komachi. Tapi kamu tahu, papa, sekarang ini aku masihlah anak di bawah umur jadi aku tidak bisa membelikanmu sake bahkan jika aku mewakilimu untuk membelinya. Namun, aku akan dengan senang hati untuk mengambil uang yang dimaksudkan untuk membelikanmu sake dari tanganmu!

Jaraknya singkat dari Chiba ke Tokyo. Sebenarnya, kamu bisa katakan Chiba adalah perfektur terdekat ke Tokyo. Dengan kata lain, sebagai perfektur terdekat ke ibu kota negara ini, nilai Chiba setara dengan ibu kota jadi kamu dapat juga menyebutnya sebuah ibu kota. Menabjubkan. Chiba sangatlah menabjubkan.

Kamu dapat sampai ke Tokyo dengan sekali jalan jika kamu mengambil Jalur Cepat Sobu. Alternatif lain adalah Jalur Keiyou. Chiba sangatlah cepat.

Namun, kedua serambi untuk Jalur Cepat Sobu dan Jalur Keiyou di Stasiun Tokyo memiliki pelayanan yang buruk. Untuk kasus Jalur Sobu, selagi kereta yang kamu naiki melalui terowongan, kamu akan berpikir "apa-apaan, apa kita lagi menggali minyak atau apa?". Untuk kasus Jalur Keiyou, kamu akan berpikir "kamu tidak bisa benar-benar lagi menyebut tempat ini Stasiun Tokyo bukan?". Begitulah perbedaan dalam posisi mereka. Sangat jauh. Chiba sangatlah jauh.

Untuk kasus ini, Shinagawa akan menjadi alternatif yang lebih sesuai sekalipun sedikit lebih jauh ketika ingin menaiki Shinkansen.

Seberapa terpencilnya kamu, Tokyo, untuk sebegitu jauhnya dari Chiba? Apa itu berarti Kyoto yang terletak lebih jauh lagi merupakan sebuah kawasan yang terkucil sepenuhnya?

Aku dengan santai menaiki kereta lokal di stasiun terdekat dan mengganti kereta ke Jalur Ekspres Sobu High dari Tsudanuma.

Aku dengan panik menaiki keretanya detik-detik sebelum keretanya akan berangkat dan menghela lega ketika pintunya tertutup. Aku senang aku bisa mencapainya tepat waktu dan baru saja aku akan membuat wajah penuh kelegaan, bidang penglihatanku berpapasan dengan mata yang memantulkan cahaya biru air.

“…”

“…”

Kita berdua saling membisu.

Pihak yang lain melambaikan rambut poni birunya dan melihat ke luar.

Kawasaki Saki. Aku dengan sungguh-sungguh mengutarakan nama yang akhirnya aku ingat kembali.

Benar, aku ingat rumahnya cukup dekat dari rumahku. Distrik sekolah SMPnya berbeda karena interposisi jalan rayanya, tapi stasiun terdekatnya adalah stasiun di daerah ini. Karena kita akan mengganti kereta dari jalur cepat, kita pada akhirnya akan menaiki kereta yang sama dari jalur yang sama.

“…”

Kawasaki mencuri-curi pandang ke arahku. Ketika mata kita bertemu lagi, dia mendadak memalingkan kepalanya ke samping dan melihat ke luar.

Apalah…

Aku melewatkan waktu yang tepat untuk menyapanya dan haruskah aku memilih untuk beranjak dari posisi ini, pihak lain akan mengetahuinya dan aku akan disergap dengan perasaan seorang pecundang, jadi aku tidak sedang dalam situasi untuk bisa bergerak.

Pada akhirnya, Kawasaki dan aku bersandar di pintu sambil saling berdempetan selama empat puluh lima menit sampai kita tiba ke Stasiun Tokyo.

Ketika aku turun dari kereta itu, terlihat murid-murid Sekolah Menengah Atas Sobu yang tiba disini dalam seragam mereka tersebar di seluruh stasiun ini.

Kelihatannya semua orang telah bertemu sebelumnya dan menemani satu sama lain kesini. Hmph, untuk tidak dapat datang kemari ke Tokyo sendirian membuat kalian terlihat seperti segerombolan anak-anak desa. Ayolah sekarang, belajar dariku. Aku datang kemari sendirian, kamu tahu? Jika begini terus bukankah aku bisa mengejar mimpiku dan membuatnya menjadi kesuksesan besar di Tokyo nantinya?

Aku menaiki tangga tak berakhir dari serambi kereta tersebut dan akhirnya sampai ke permukaan. Ketika aku bilang permukaan, aku masih berada di dalam ruangan dan masih belum dapat melihat matahari, bintang, langit biru, dan bulan. Inilah apa yang mereka katakan hutan beton.

Di ibu kota yang kering ini, orang-orang berkerumun disana-sini. Aku sudah merasa nostalgia dengan Chiba. Aku mau pulang.

Kami menerjang ke dalam gelombang manusia itu, tujuan kita adalah serambi Shinkansen. Namun, gelombang manusia ini berada pada level dimana aku akan dimarahi pada saat aku ketinggalan dari kelompokku.

Pada mulut tempat masuk ke Shinkansen itu terdapat murid dari sekolahku yang jumlahnya mengemparkan dan ditambah lagi kita sedang berada di Stasiun Tokyo, sebuah tempat keramaian (hotspot) bagi orang-orang, tempat itu sangatlah ribut. Untuk stasiun jenis ini dan untuk pria penyendiri bernama Hachiman, jika dia harus mengatakannya ke dalam bahasa Inggris, situasi ini akan dinamakan Stasiun Hotch Potch.[1]

“Hachiman!”

Dari kelompok murid-murid tersebut datang suara yang memanggil namaku. Aku tidak memiliki banyak teman sekelas yang memanggilku dengan sebutan Hachiman jangankan orang-orang yang memanggilku Hikigaya dengan tepat.

Dan satu-satunya orang yang menuangkan semua perasaan kasih sayang pertemanannya ke dalam nama yang diberikan kepadaku adalah…

“Hachiman… Ibu kota dari Timur benar-benar membuatku bernostalgia, Berani kukatakan. Ini adalah tempat kelahiran jiwaku. Tahan. Tahan.”

…Oh iya, orang ini juga memanggilku Hachiman.

Zaimokuza membatuk dengan cara yang ganjil dan dengan perlahan mendekatiku.

“Perlu sesuatu?”

“Humu, tidak ada apa-apa. Hanya saja DSku sedang kehabisan baterai cukup cepat. Aku hanya mencari cara-cara untuk menghabiskan waktu.”

“Macam benar saja. Daripada itu, apa-apaan dengan semua barang itu? Berencana untuk mengasingkan dirimu ke pegunungan?”

Melihat sekilas, Zaimokuza sedang membawa sebuah tas ransel membengkak di punggungnya. Apa lah yang dia lempar ke dalamnya?

Zaimokuza menepuk tas di punggungnya dan mendorong kacamatanya ke atas dengan jari tengahnya.

“Memang. Aku akan melatih permainan pedangku di Kuramayama.”

“Kuramayama huh. Kamu memilih tempat yang cukup jauh.”

Tentu saja, Kuramayama adalah salah satu dari banyak tempat populer dan karena tempat itu semacam terpisah dari Kyoto, tempat itu juga merupakan kawasan yang sulit untuk didatangi saat berjalan-jalan.

“Memang. memang. Yah, itu bukanlah keputusan yang aku buat untuk diriku sendiri, tapi sebuah kesempatan untuk berlatih dengan tuan-tuan Tengu dapat bertindak sebagai sedikit hiburan.”

“Kamu juga berencana ke Kibune? Toh, aku yakin jauh lebih nyaman dalam caranya sendiri untuk tidak harus menentukan tujuanmu sendiri, bukan?”

“Tidak, kamu tahu. Aku benar-benar memberitahu mereka keinginanku juga. Di dunia ini, dimana ada sesuatu yang dapat kamu sebut sebuah “toko yang ingin kami kunjungi”. Jangan pedulikan itu, Aku lebih suka jika kamu menyisihkan settingan yang aku buat dan memberiku cercaan. Agak sedikit kesepian.”

Zaimokuza cemberut dan memprotes. Nah, maksudku, mengomentari tentang penyakit settingan sekolah menengahmu itu hanya akan menghabiskan waktu dan kamu barangkali hanya membiarkannya keluar dari telingamu yang satu lagi. Aku tidak dapat memberimu pelayanan sebanyak itu sekarang.

“Jika kamu ingin ke suatu tempat, yah pergi saja. Kita akhirnya keluar ke sini dan begitulah, bersenang-senanglah.”

“Humu. Kemana kamu akan pergi, Hachiman?”

“Siapa tahu, ada beberapa hal yang terjadi. Kami masih belum memutuskan kemana kami akan pergi pada hari ketiga.”

“Hari ketiga adalah hari bebas berkeliaran, aku yakin. Rufun, kamu bisa menemani kami membeli barang-barang di ‘toko yang ingin kami kunjungi’ jika kamu mau.”

“Terdengar bagus dan semacamnya tapi…”

Berpergian bersama Zaimokuza itu, kamu tahulah, tapi itu tidak seperti aku sama sekali menentang untuk pergi berbelanja. Namun, ada juga permintaan tertunda Klub Servis yang harus kami selesaikan pada hari ketiga. Akan lebih baik jika aku tidak membuat rencana terlebih dahulu.

“Sepertinya sudah akan waktunya untuk berkumpul.”

“Waktunya sololah itu. Memang! Baiklah kalau begitu Hachiman, sampai bertemu lagi di Kyoto.”

“Tidak, Aku rasa kita tidak akan bertemu…”

Setelah kita pergi ke jalan kita masing-masing, aku mencari-cari tempat dimana kelasku akan berkumpul.

Jika aku mencari dekat di sekitar ujung gerbong, seharusnya ada tanda yang menunjukkan grup apa dimana. Ketika aku memantau area tersebut, aku menemukan wajah familier di sudut yang ribut.

Itu adalah Hayama dan rombongannya.

Oh menyebalkan! Pasti itu kelasku disana.

Grup-grup kecil membentuk garis yang mengelilingi grup Hayama, grup intinya. Mereka harus tetap disana karena mereka berada di dalam grup sirkuler mereka. Aku mengaktifkan jurus bayanganku. Ketika aku menggunakannya, jurus itu menyebabkan sekelilingku tidak memperhatikanku tapi baru-baru ini, kelihatannya sekelilingku telah naik level ke titik dimana mereka akan melukaiku dalam cara: ‘Kamu tahu orang itu, dia akan ikut campur dalam urusanmu bahkan sebelum kamu menyadarinya.’ Aku kelihatannya semakin sering diperhatikan dan ini dengan jelas berarti auraku sedang bertambah.

Tak lama berselang, sudah tiba saatnya.

Grup-grup yang tersebar disana-sini dengan cepat berkumpul ke satu tempat dan membentuk barisan yang cantik.

Setelah pemanggilan absen kelas-kelas, kami lalu diizinkan masuk. Diikuti dengan sebuah gerakan berbaris. Apa ini hari olahraga atau semacamnya?

Kami juga melakukan pemanggilan absen dalam grup kami untuk mengecek kehadiran semua orang. Dari sana, aku akhirnya bisa bertemu dengan Totsuka. Kesempatan bertemu di luar angkasa![2]

“Hachiman!”

Kali ini, adalah yang betulan… Begitu menenangkan…

“Pagi, Totsuka.”

“Ya, pagi, Hachiman.”

Aku bertukar beberapa sapaan dengan Totsuka dan selagi kami berbincang, grup kami telah berkumpul di serambi Shinkansen. Kereta yang akan kita naiki sudah tiba.

Setiap kelas menaiki gerbong mereka masing-masing yang ditentukan kepada masing-masing kelas.

Tempat duduk dalam Shinkansen disusun dengan cara yang sangat tidak biasa.

Disusun di setiap baris ada lima tempat duduk, dibagi dalam tempat duduk berdua dan bertiga. Susunan ini menyulitkan grup empat orang untuk menentukan dimana mereka harus duduk. Kamu dapat membagi pas menjadi grup berdua, tapi dalam kasus satu kelompok dengan tiga orang ditambah seorang penyendiri, si penyendiri akan sendirian dicegat dari tempat duduk bertiga disamping lorong kereta. Atau untuk kasus hanya bertiga, satu orang akan dipilih menjadi tiang manusia dan terjebak sendirian. Pada kasus pertama, dibiarkan sendirian akan membuatnya terasa nyaman untuk semuanya, tapi untuk kasus yang terakhir, orang yang menjadi muak diam dari awal akan mulai berbincang dengan yang dua lagi di seberang lorong kereta, melahirkan keadaan dimana tidak ada orang yang senang.

Begitulah si Shinkansen yang melahirkan tragedi semacam itu, tapi untuk karya wisata ini, sangatlah bijak untuk memilih bagaimana kita harus memosisikan diri kita.

Totsuka denganku sedangkan Hayama dengan Tobe.

Dipikir-pikir dengan grup berempat ini, itu merupakan cara yang benar untuk membagi tempat duduk kami.

Tapi, ini adalah acara kelas. Ini berarti berbagai faktor rumit akan terlibat ke dalamnya. Hal pertama yang orang-orang akan lakukan adalah meninjau penataan tempat duduk sebelum memutuskan bagaimana mereka akan mengatur tempat duduk mereka sendiri. Kami semua sudah menaiki keretanya tapi orang-orang masih melihat kesana-kemari mencari tempat untuk diduduki. Ini adalah sebuah situasi “Aku akan kalah dalam pertempuran ini jika aku tidak bertindak dulu sebelum mereka…”.

“Oooh sial. Shinkansen ataupun pesawat, itu sesuatu yang akan membuat semangatmu terpompa!”

Di dalam interior gerbong yang ribut tak lama sebelum keberangkatan kami, Tobe memandang sekeliling sambil berjalan dengan cepat melewati lorong keretanya.

“Aku belum pernah naik pesawat sebelumnya, yo.”

“Pertama kali buatku naik Shinkansen sini.”

Mengikuti si mulut-bocor Tobe adalah Ooka dan Yamato. Kelihatannya, mereka memutuskan untuk tetap bersama karena mereka toh berkumpul di stasiun. Juga ada sepasang dua pria di grup mereka yang datang pas di belakang mereka.

Ditambah itu, grup lain maju melalui lorong keretanya. Itu adalah grup tiga gadis sobat-sobatan dan seorang penyendiri: Miura, Yuigahama, Ebina, dan Kawasaki.

“Kursi di jendela sana sepenuhnya bagus buatku.”

Kata-kata paling awal yang keluar dari mulut si gadis berambut-pirang berbornya mengutarakan keinginannya. Menjawab kata-kata tersebut, si gadis berambut-adonan coklat mulai mengkoordinir grupnya.

“Oke, kalau begitu aku akan ambil kursi disamping lorong. Bagaimana dengan Hina dan yang lain??”

Ketika dia mengalihkan diskusinya kepada dia, si gadis, berambut bob hitam termenung sejenak sebelum memalingkan kepalanya ke arah si rambut poni.

“Hmm… Saki, jendela atau dekat lorong… dimana menurutmu yang akan memenangkannya?”

“Sebenarnya tidak ada masalah dimana aku… huh?”

Saki terperangah akan pertanyaan ganjil itu ketika Ebina terlihat seperti dia akan mengeluarkan air liurnya.

“Ebina, mulutmu. Tutup mulutmu.”

Miura mendorong rahang Ebina keatas. Yuigahama membuat tawa tegang saat dia melihat percakapan mereka.

Grup empat gadis itu meneruskan percakapan mereka, tidak ada yang berbeda dari biasanya. Senang kamu bisa mendapat beberapa teman, benar Kawasaki. Adik laki-lakimu bisa melinangkan air mata sekarang ini.

Entahkah dia sadar bahwa pengaturan tempat duduknya tidak akan berakhir dalam waktu dekat, Hayama berjalan lewat dan memanggil dengan suara kalem yang terdengar seperti tidak tertuju pada orang-orang tertentu.

“Kenapa tidak terserah saja kita duduk dimana? Toh kita bisa berpindah-pindah sewaktu di tengah perjalanan.”

Saat dia mengatakannya, dia memilih kursi yang terdekat darinya. Dia telah memilih tempat duduk dekat jendela yang merupakan tempat tengah dari tempat duduk bertiga.

“Oh, kamu benar soal itu!”

Yang melanjutkan setelah Hayama adalah Tobe. Dia berpindah ke sebelah Hayama.

“Oke, Aku duduk di dekat jendela kalau begitu.”

Ketika Miura mengatakannya, dia bermanuver sekeliling menuju kursi jendela di seberang Hayama. Sebuah penampilan yang pantas untuk Miura; tanpa sedikitpun penolakan dari para penonton, dia bergerak sesuai kemauannya sendiri ke tempat duduk yang dia inginkan.

“Ayolah. Yui, Ebina.”

Dan lalu, dia menyilangkan kaki panjangnya memberikan kesan keindahannya, menepuk pada tempat duduknya, sebuah isyarat bagi mereka berdua untuk datang kesana. Ada apa dengan undangan itu, itu terlihat seperti sepenuhnya keren.

“Yumiko duduk disana, Tobecchi duduk disini, dan…”

Yuigahama bergugam dengan suara kecil yang tidak dapat didengar siapapun dan sedang memikirkan berbagai hal. Sebelum dia dapat menyusun pemikirannya, Ebina mendorongnya maju dari punggungnya.

“Oke, oke, Yui duduk di sebelah sana. Aku akan duduk disini.”

“Wa— Hina!”

Mengabaikan komplain Yuigahama, Ebina mencengkram tangan Kawasaki dan menunjuk ke arah di depan tempat duduknya.

“Kawasaki akan duduk tepat disini.”

“Tunggu, aku bisa duduk di tempat yang lain…”

Pada saat itu, Kawasaki membuat tampang yang berkata lain sambil mengelengkan kepalanya, tapi ketika Ebina menyentak tangannya, Kawasaki duduk, tidak dapat melawan. Dia begitu mencengangkannya lemah terhadap tekanan, gadis ini.

"Tak usah khawatir, Tak usah khawatir! ♪"

Ebina, yang tersenyum akan ini, telah dengan tegas mendiktekan urutan tempat duduk mereka yang tersisa. Sebagai hasilnya, Miura, Yuigahama, dan Ebina terbaris di sisi ini sedangkan di sisi lain ada Hayama, Tobe, dan Kawasaki, membentuk sebuah sextet.

Setelah tidak mampu menangkal usaha untuk membuatnya duduk di tempat duduk di sebelah Tobe, Kawasaki memancar dengan ketidak-senangan dan sedang menyiapkan postur dengan dagu di tangannya, bersiap-siap untuk tertidur. Eeeh, um, Tobe sudah takut sekali disini, jadi tolong bisakah kamu sedikit lebih ramah? Apa kamu bisa benar-benar menyebut ini sebuah komedi roman?

Setelah mengetahui tempat duduk Hayama dan kawan-kawan, Oooka dan Yamato, bersama dengan dua orang lain di grup mereka, memposisikan mereka di tempat duduk berempat di seberang lorong.

Ketika ini terjadi, seluruh kelas terlihat seperti mereka telah memutuskan tempat duduk yang mana yang mau mereka duduki.

Sementara aku melihat hasil dari situasi kita sekarang ini, seseorang menarik lengan bajuku dengan perasaan segan. Totsuka sedang memandang-mandang kedepan dan belakang dan akhirnya melihat ke arahku.

“Hachiman, apa yang harus kita lakukan?”

Menerima hantaman penuh dari tatapan polos itu, aku mengalihkan mataku karena rasa malu. Pada waktu yang sama, aku memutuskan untuk mencatat situasi di dalam gerbong ini.

“Yah…”

Dalam situasi seperti ini, orang-orang yang sendirian akan cepat-cepat lari ke tempat duduk di sudut-sudut dan itu adalah sebuah ritual bagi orang lain untuk menganggap area itu sebagai tempat pengasingan. Maka dari itu, orang-orang yang gagal untuk membuat langkah pertamanya akan tidak terelakkan lagi terpaksa untuk mencari tempat-tempat kosong lain di kereta itu.

Kali ini, Hayama cepat dalam memilih posisi secara langsung di tengah-tengah menyebabkan tempat duduk bagian depan dan belakang cukup lenggang.

“…Yah, kelihatannya bagian depan masih lenggang, jadi aku kira kita duduk disana saja.”

“Ya, ayo duduk disana.”

Saat aku mulai bergerak, Totsuka mengikuti di belakangku tanpa pertanyaan. Tidak akan aneh sama sekali jika dia terlibat di dalam semacam kejahatan karena kepolosan ini. Aku harus melindunginya. Saat aku mengenggam perasaan itu ke dadaku, aku menuju ke tempat duduk bertiga di depan.

Karena tempat duduk paling depan akan sangat ramai, kami memilih barisan yang agak terpisah dari sana. Aku meletakkan barangku ke rak diatas. Aku tidak punya banyak barang jadi masih ada banyak tempat yang tersisa di rak. Yah, menaruh barang di rak tidak akan sia-sia tidak peduli barangnya hanya satu ataupun dua benda.

“Mari.”

Aku menjulurkan tanganku ke arah Totsuka, menandakan kepadanya untuk memberikan barangnya sehingga aku bisa menaruhnya ke dalam rak, tapi Totsuka memiringkan kepalanya dengan heran dan dengan perlahan menjulurkan tangannya, menyalami tanganku untuk alasan tertentu.

Tangannya sangat lembut dan sangat kecil dan sangat haluuuuuuuus…

“Er, Maksudku bukan itu, tapi barangmu…”

Coreng itu, itu bukan salaman tangan. Astaga, tangannya sangat halus dan menyegarkan.

“…Ah. M-Maaf!”

Totsuka menyadari kesalah-pahamannya dan melepaskan tanganku dengan panik. Dengan wajah yang sepenuhnya merona, dia melihat kebawah dan dengan sebuah suara kecil yang mengatakan “terima kasih…”, dia menyerahkan barangnya padaku.

Aku mengambil tasnya dan menaruhnya ke dalam rak. Pada saat ini, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluk Totsuka pada keadaannya sekarang ini. Aku mau membawanya pulang~![3]

Setelah aku menyarankan pada Totsuka, yang malu akan kesalah-pahamannya, untuk mengambil tempat duduk disamping jendela, aku juga duduk di tempat dudukku.

Saat aku melakukannya, melodi dari bel penanda keberangkatan berbunyi.

Berangkat pada hari yang cerah![4]


× × ×


Aku terbangun dari tidur nyenyakku.

Mungkin itu karena aku meninggalkan rumah agak kepagian, tapi kelihatannya aku dipukul dengan keras oleh rasa kantuk.

Selagi aku berbaring, sebuah suara terkikih datang dari arah tempat duduk dekat lorong di sampingku.

“Kamu kebanyakan tidur.”

“Blueah! Terkejut aku…”

Aku tidak bisa tidak duduk tegak ketika suatu suara mengejutkan memanggilku.

“Ada apa dengan reaksi itu… Benar-benar tidak sopan…”

Dengan ekspresi cemberut dan tidak senang, Yuigahama melotot padaku.

“Maksudku, semua orang akan panik jika seseorang memanggilmu pas setelah kamu baru bangun…”

Telah membiarkan wajah tertidurmu dilihat oleh orang lain benar-benar memalukan, jadi tolong hentikan itu. Aku secara naluriah menyapu mulutku untuk melihat apakah aku ada mengiler.

Seakan aku sedang melakukan sesuatu yang aneh, Yuigahama berkotek sedikit.

“Jangan khawatir. Kamu sedang tertidur dengan sangat tenangnya dengan mulutmu terkunci.”

Baguslah. Macam benar saja. Itu memalukan.

Sebetulnya mengapa dia duduk disini…? Tangan nasib telah menentukan bahwa Totsukalah orang yang akan berada disampingku… Dan ketika aku melihat-lihat mencari Totsuka, sebuah gugaman sewaktu tertidur dapat terdengar dari arah tempat duduk dekat jendela.

Tapi, Totsuka terbangun karena suara yang ditinggikanku, merintih sedikit dan dia menggosok matanya dengan pelan.

Kuh! Sungguh kesilapan besar! Dalam situasi ini, aku seharusnya telah menyelipkan cincin pada jari manis kiri Totsuka yang tertidur dan sesaat setelah dia bangun, dia akan mengucek matanya hanya untuk menyadari cincin tersebut diikuti dengan proposalku. Aku telah melalui cobaan-cobaan berat hanya untuk menyiapkan strategi ini yang kuberi nama “Ketika dia(pr) terbangun… berlian merupakan benda yang senantiasa berkilau”! Hikigaya Hachiman, kesilapan seumur hidupku! Aku seluruhnya kehilangan kesempatanku untuk menikah!

Menutup mulutnya dengan tangannya untuk menutupi uapan kecilnya, Totsuka melirik ke sekeliling untuk memahami situasinya.

“…Maaf, Aku sepertinya ketiduran.”

“Nah, tidak ada masalah. Kamu bisa tidur sedikit lagi jika kamu mau. Ketika kita sampai kesana, aku bisa membangunkanku, er, mau memakai bahuku?”

Lututku dan lenganku juga tersedia.

“T, tidak mungkin! Kenapa tidak kamu yang tidur sedikit lagi Hachiman, aku akan membangunkanmu!”

Ha ha ha, kamu begitu imut, aku mendapat perasaan bahwa banyak hal lain yang akan terbangun, kamu tahu.

Jika kita berdua tidak bisa menentukan apakah mau tidur atau tidak, mengapa tidak kita berdua pergi tidur bersama-sama saja? Atau begitulah jenis suasana yang sedang kami buat saat Yuigahama menghela.

“Tidak, tidak, kalian dua, kalian berdua tidur kebanyakan. Karya wisatanya baru mulai dan jika kalian sudah seperti ini, apa yang mau kalian lakukan nanti?”

“Itu benar, kita seharusnya lebih bersenang-senang.”

Ketika Yuigahama mengatakannya, Totsuka terlihat sedikit lebih termotivasi. Benar, baru hari pertama. Terlalu awal dalam acaranya untuk ketiduran karena lelah.

Itu yang aku pikir, tapi kelihatannya orang ter'sebut', Yuigahama, sudah agak sedikit lelah.

“Sebetulnya apa yang terjadi padamu? Apakah sesuatu terjadi di sebelah sana?”

Ketika ditanya, Yuigahama merosot ke bawah.

“Yah, kamu lihat… Yumiko dan Hayato bertingkah sama seperti biasanya… tapi karena Kawasaki sedang dalam suasana hati yang buruk, Tobe terlihat sepenuhnya ketakutan dan mungkin tidak dapat terlibat ke dalam percakapan.”

“Oh, begitu… Bagaimana soal Ebina?”

“Dia cuma bertindak seperti dirinya… Atau malahan, dia agak lebih bersemangat daripada biasanya karena karya wisata ini, jadi dia jadi lebih parah…”

Oke, mendengar dari nada bicaramu, aku telah mendapat gambaran tentang apa keadaannya.

Tobe juga parah. Kemungkinannya karena Kawasaki tidak begitu senang dengan si mulut-keras Tobe dan toh Tobenya juga seorang pengecut, si preman Kawasaki pastilah seseorang yang tidak pandai dihadapinya. Ditambah itu, Ebina juga bersembunyi di dalam bentengnya yang berada pada level yang sama dengan Death Star[5]. Tidak mungkin bagi Tobe untuk menembus benteng itu karena ketidak-mampuannya untuk memakai kekerasan.

Dalam semua kasus tersebut, Sangat tidak memungkinkan untuk adanya perkembangan apapun di dalam Shinkansen ini. Kelihatannya kamu sudah ditakdirkan seperti ini dari awal karena memilih posisi itu, eh.

Bagi orang yang hanya hadir hanya untuk kehadirannya, tidak peduli situasi apapun, peran itu tidak akan berubah. Apa yang perlu diatur bukanlah lingkungannya, tapi hubungan antar-manusia orang tersebut.

“Seandainya mereka berdua sendirian bersama-sama…”

“Aku ragu mereka akan bisa sampai kemanapun bagaimanapun itu.”

“Betul…”

Totsuka, yang mendengarkan percakapan kami, menepuk tangannya.

“Ah, Tobe dia…”

“Huh? Apa kamu tau sesuatu, Sai?”

“Uh huh. Aku mendengarnya di desa Chiba selama musim panas.”

“Oh, begitu. Maksudku, aku juga mendengar tentangnya sendiri baru beberapa saat yang lalu. Aku hanya berharap mereka berdua bisa bergaul dengan satu sama lain. Jika Sai tau sesuatu, mengapa tidak membantu saja?”

“Selama aku bisa membantu. Aku harap rencananya berjalan baik.”

Bahkan dengan jaminan Totsuka selagi dia tersenyum, masalahnya masih terbukti agak susah.

Meskipun aku mungkin bukan orang yang meyakinkan untuk mengharapkan kebahagiaan kepada orang lain, itu tidak tentu berarti sifatku mengharapkan ketidak-beruntungan mereka. Itu adalah sesuatu seperti perasaan mengharapkan orang-orang yang aku tidak senangi lebih menderita tapi aku tidak akan bertindak sejauh itu untuk Tobe.

Tapi, ketika aku memandang ke arah Yuigahama yang mengangguk-angguk dan bergugam di sampingku selagi melamun, aku tidak dapat tidak merasa bahwa aku juga perlu memikirkan sesuatu.

Sambil menyilangkan lengannya dan menganggukkan kepalanya, Totsuka mengeluarkan suara “ah” pelan.

“Apakah kamu terpikir sesuatu?”

Ketika aku bertanya, Totsuka menunjuk ke luar jendela.

“Hachiman, lihat, itu Gunung Fuji.”

“Oh, sepertinya kita hampir sampai. Mari kulihat.”

“Kamu tidak bisa lihat dari sana, bukan?”

Totsuka menggeliat sedikit ke jendela dan menyisyaratkanku kesana. Kelihatannya dia mau aku bergeser sedikit lebih dekat. Aku menerima tawarannya dan melempar diriku ke arah jendelanya.

Wajah Totsuka super dekat. Saat aku mendekat ke jendela, Totsuka yang terlihat kusam menggeliat di ruang sempit itu dan dengan pelan memalingkan kepalanya. Meski begitu, matanya masih melihat ke arah Gunung Fuji, seakan dia sedang mencoba untuk menuntunku. Di dalam ruang sempit ini, helaannya akan dengan cepat mengaburkan kaca jendelanya.

Hooh, jadi ini Gunung Fuji… Kelihatannya juga sudah hampir waktunya untuk Gunung Fujiku untuk datang…

Ketika aku cemas karena takut Gunung Fujiku meletus, sesuatu memeluk bahuku.

“A-Aku juga mau lihat!”

Yuigahama menekan punggungku dan menyangga dirinya dengan lengannya menggunakan bahuku seakan sedang menaikiku.

Hawa dingin tiba-tiba menjalari sumsumku. Tiba-tiba dipegang seperti ini mengejutkanku. Penggunaan parfum yang moderat tertinggal di udara dari gerakannya.

Sentuhan tubuh seperti ini jelas tidak adil…

Namun, aku tidak punya cukup ketenangan untuk melepaskan diri dan menjauh darinya, jadi aku tidak ada pilihan lain selain meneruskan postur kaku, sedang berdiriku.

“…”

Yuigahama tetap diam untuk sesaat ketika terpesona akan pemandangannya. Nafas tipisnya telah menemukan jalannya menuju telingaku.

“Oooh~. Gunung Fuji sangat cantik~. Okelah.”

Telihat puas setelah mendapat pendangan sekilas, Yuigahama akhirnya melepaskan dirinya dari punggungku dan duduk kembali ke tempat duduknya.

“Trims, Hikki.”

“…Ya.”

Walaupun aku berhasil menjawab dengan kalem, kenyataannya, jantungku sedang berdebar macam orang gila. Mengapalah dia melakukan hal macam ini, pret la. Kamu dengar? Tindakan polos semacam itu biasanya untuk membuat laki-laki salah paham, dengan efektif mengirim mereka ke dalam kuburan mereka, kamu tahu? Jika kamu mengerti, lain kali, tolong hati-hati dengan "sentuhan tubuh", "duduk di tempat duduk seorang laki-laki selama lonceng istirahat atau lepas sekolah”, “meminjam sesuatu dari seorang laki-laki sekalipun kamu melupakan sesuatu”, dan segala hal yang berhubungan dengan itu selagi kamu melanjutkannya.

Dan, untuk tujuan menutupi fakta bahwa pipiku sudah sepenuhnya merona, aku berpaling pada Yuigahama untuk menegurnya.

“Kamu tahu…”

“A-Aku akan pergi ke sana sekarang, oke!”

Saat Yuigahama mengatakan itu, dia berdiri dengan panik dan pergi dengan langkah kali cepat.

Dia melarikan diri… Aku tidak dapat tidak frustasi, jengkel, kesal padanya, tapi pada cara yang sama kejadian itu kuanggap tidak beruntung, aku malah lebih merasa lega.

Kelihatannya apa yang terjadi barusan tidak akan berakhir dengan baik jadi aku tidak dapat tidak menghela.

Ketika aku menghela, aku dapat mendengar suara seperti seekor burung kecil yang datang dari antara lenganku.

“U-um… Hachiman, apakah kamu… sudah mau siap?”

Ketika melihatnya, aku masih dalam postur yang terlihat seperti aku sedang mendorong Totsuka. Totsuka memasang ekspresi keruh di matanya seakan postur itu agak sedikit canggung.

“W-Whoops!”

Ketika aku hampir terjatuh ke tempat dudukku karena panik, punggungku terhempas ke pegangan besinya.

“Urrgh…”

“Ha-Hachiman, apa kamu baik-baik saja!?”

“Ya, tak usah kuatir, tak usah kuatir.”

YahariLoveCom v7-119.jpg

Setelah aku melambaikan tanganku dan memberitahu Totsuka bahwa aku baik-baik saja, aku memegang punggungku. Punggungku tidak sakit sama sekali tapi kehangatan yang tertinggal memberiku perasaan tidak enak.


× × ×


Perjalannya kira-kira dua jam dari Tokyo dengan Shinkansen.

Kami turun di Stasiun Kyoto dan kami berjalan menuju stasiun bus sambil terbenam ke dalam hawa dingin musim gugur.

Selama musim gugur, Kyoto terasa dingin.

Kelihatannya cuacanya akan bertambah dingin lagi selama musim ini.

Disebabkan medan geografis Kyoto yang mirip dengan sebuah basin, musim panas terasa panas sementara musim dingin terasa dingin. Namun, perbedaan cuaca ini dapat dikatakan menghasilkan keindahan alam empat musim yang sekali-kali muncul di Kyoto.

Pada musim semi, bunga sakura yang berwarna pink muda akan bermekaran di lereng pegunungan.[6] Pada musim panas, tumbuh-tumbuhan hijau segar merupakan pemandangan yang mengesankan dan melihat sungai-sungai Kawogama dapat menyegarkan mata.[7] Pada musim gugur, pegunungan akan diwarnai dengan warna merah cerah musim gugur.[8] Akhirnya, pada musim dingin, salju yang menari-nari saat jatuh ke bumi menciptakan selimut salju di atas pegunungan.[9]

Kita sudah akan mencapai akhir musim gugur dan sebentar lagi, akan tiba waktu musim dimana salju akan mulai berhamburan jatuh dari langit.

Kelihatannya jadwal hari ini adalah mengunjungi Vihara Kiyomizu.[10]

Masing-masing kelas menaiki bus satu per satu.

Bus disini memiliki susunan tempat duduk yang sama seperti Shinkansen. Hayama dan Tobe duduk bersama dan pada barisan tempat duduk yang sama duduklah Miura dan Yuigahama. Pada barisan di depan mereka terlihat pasangan Oooka dan Yamato diikuti oleh pasangan Kawasaki dan Ebina. Tentu saja, poin terpenting disini untuk diingat adalah bahwa Totsuka dan aku akan duduk bersama.

Namun, kelihatannya tidak akan ada juga perkembangan yang akan terlihat diantara Tobe dan Ebina di dalam bus. Tidak seperti Shinkansen, kamu memiliki kebebasan yang lebih sedikit dalam memilih tempat dudukmu dan ditambah lagi, Vihara Kiyomizu cukup dekat. Tempatnya berada dalam jarak berjalan yang berarti bahwa busnya akan lebih cepat sampai ke tujuan dibandingkan Shinkansen.

Kami terus melewati jalan yang terbentang dari area kota, berputar, dan tiba ke lereng sebuah bukit.

Bus kami berhenti di sebuah lapangan parkir besar dan terbuka yang telah dipenuhi dengan bus pariwisata. Dari sini, kami akan menaiki bukit dan menuju ke Vihara Kiyomizu.

Puncak musim gugur sudah jauh lewat, akan tetapi masih ada jumlah turis yang mengemparkan. Hal itu untuk menyatakan, area Vihara Kiyomizu biasanya dipadati karena tempat itu merupakan salah satu dari hotspot turis paling menonjol di Kyoto.

Foto kelompok diambil di belakang gerbang Deva.[11] Sayangnya, ini adalah acara rute umum jadi aku tidak bisa melewatkannya. Orang-orang yang bersahabat dengan satu sama lain menguatkan persatuan mereka di dalam grup mereka sedangkan para penyendiri mempertanyakan raison d'etre[12] mereka.

Ada tiga gaya utama untuk di pilih dari sini.

Yang pertama adalah gaya menempatkan jarak.

Itu adalah sebuah gaya yang memiliki laju pembelajaran cepat, jadi kamu bisa bilang itu diperuntukkan pada para pemula. Namun, sesederhana apapun itu, pengaruh yang dimilikinya benar-benar sangat mengerikan. Kamu dapat membuat jarak dari satu sampai lima murid maksimumnya, tapi kamu dapat dipastikan akan menerima luka yang luar biasa. Yakni, sebagian besar luka akan dialihkan kepada orang tuamu yang melihat buku tahunanmu. Dan juga pada dirimu di masa depan yang akan mengenang kembali ke masa lalunya. Direkomendasikan untuk dengan cepat membuang buku tahunan dan foto kenang-kenanganmu, tapi jika setengah-hati dalam tindakan pencegahanmu seperti membuangnya ke dalam tong sampah rumahmu akan lebih dari mungkin berbuah pada ditemukannya barang tersebut oleh ibumu. Dia akan menyimpan fotonya diam-diam dari anaknya dan menangis sendirian karena berbagai alasan. Maka, itu adalah sebuah gaya yang beresiko.

Yang kedua adalah gaya gerilya.

Rencananya adalah untuk bercampur dengan teman kelasmu yang cerewet dan bertingkah seakan kamu familier dengan mereka semua sambil memasang senyuman kaku dan dibuat-buat di mukamu, dibuktikan dengan garis tawa[13] yang muncul dari sudut mulutmu. Metoda kamuflase ini berhasil dalam menghindari difoto saat kamu sendirian, tapi detik-detik sebelum foto itu diambil, orang-orang akan berkata “orang itu hanya dekat-dekat saat mau difoto bukan? (lol)” dan hatimu akan dibebani dengan kemungkinan efek yang tertinggal setelah pertempuran itu.

Yang ketiga adalah gaya bertempur jarak dekat.

Kamu dengan berani menutupi jarak antara kamu dan teman kelasmu dan mengikutinya dalam jarak hampir nol. Sebagai hasilnya, kamu akan berada dalam bayangan seseorang, tertutup sebagian oleh orang di depan. Benar, kamu tidak akan mendapatkan foto penuh akan dirimu, tapi karena paling tidak sebagian dirimu terfoto , fotonya akan menjadi memori yang lumayan dan ibumu tidak akan perlu khawatir setelah melihatnya. Fotonya tidak akan terambil sebagaimana seharusnya, tapi ada sedikit keindahan di dalamnya juga untuk tidak terfoto secara sempurna. Namun, haruskah kameramennya merasa bersemangat saat itu, dia akan menyarankan “aah, orang yang di depan, bisakah kamu geser sedikit karena kamu menghalangi orang di belakangmu?” dan ini adalah sesuatu yang patut diwaspadai.

Aku ambil gaya bertempur jarak dekat kali ini dan mengamati areanya untuk mencari tempat yang bagus. Hmph, untuk saat-saat seperti ini, pria dengan tubuh besar seperti Yamato akan terbukti berguna disini.

Aku mendesak jalanku menembus teman sekelasku, memasuki bayangan Yamato, dan mengambil posisi diantara orang di depan dan sebuah tempat khusus yang ditutupinya.

Suara jepretan kamera terdengar berkali-kali. Dengan terambilnya foto kelas sebagaimana seharusnya, sudah waktunya bagi kelas itu untuk bergerak sebagai satu kelompok.

Kami memanjat undakan batu itu dan ketika kami lewat dari bawah gerbang itu, kami dilanda oleh pagoda berlantai lima itu. Karena kita berada pada tempat yang tinggi, kami dapat melihat garis-garis kota-kota di Kyoto, meninggalkan kekaguman dalam diri kami.

Disana sudah ada kerumunan turis dan murid yang melewati pintu masuk pengunjung. Kami akhirnya sampai ke pintu masuknya, tapi kelihatannya akan memakan waktu sedikit lebih lama untuk masuk… Sekarang ini, masih ada kelas yang tak terhitung banyaknya menunggu di barisan pintu masuk itu.

Aku berbaris dengan tenang dan melamun sampai sebuah suara memanggilku.

“Hikki!”

Yuigahama, yang tidak berada dalam barisan, datang ke sampingku.

“Ada apa? Pergi berbaris atau kamu akan didorong keluar dari barisan. Itulah persisnya bagaimana kehidupan bekerja.”

“Kamu berlebihan… Toh, barisannya tidak terlihat akan bergerak dalam waktu dekat. Aku sebenarnya menemukan sesuatu yang lebih menarik jadi ayo kita pergi kesana.”

“Mungkin nanti.”

Aku tidak cukup mampu untuk melakukan multitugas. Aku adalah seorang manusia yang ingin menyelesaikan masalah di depanku sebelum melanjutkan ke permasalahan lain. Kamu dapat juga bilang bahwa aku lebih suka meninggalkan hal-hal yang menyusahkanku belakangan.

Seakan Yuigahama tidak menyukai apa yang kukatakan, dia melotot padaku dengan ekspresi sombong dan bergugam.

“…Apakah kamu lupa tentang pekerjaan kita?”

“Aku setidaknya mau melupakan tentang pekerjaannya selama perjalanan kita…”

Namun, karena keinginan tertulusku tidak sampai padanya, Yuigahama mencengkram jas sekolahku.

“Aku sudah memanggil Tobecchi dan Hina jadi cepat, cepatlah!”

Aku diseret jalan pada lengan jasku dan tujuannya adalah sebuah kuil kecil yang terletak di samping dari pintu masuk pengunjung utamanya.

Pas setelah kamu berjalan melewati gerbang utamanya, kuil ini akan segera memasuki bidang penglihatanmu tapi ketika dibandingkan dengan vihara utamanya, kuil ini tidak memberikan begitu banyak kesan yang kelihatannya merupakan sebab mengapa kuil itu diabaikan. Aku merasa kuil ini tidaklah begitu langka di sekitar sini. Malahan, karena ada begitu banyak vihara Buddhis dan kuil di sekitar sini, jika mereka tidak segera mengesankanmu, kamu tidak akan pergi dengan kesan yang tertinggal akannya.

Satu-satunya hal yang mungkin berbeda dari satu vihara ke vihara lain adalah pria tua antusias yang berusaha untuk menarik perhatian dengan berbagai cara.

Jelajahi bagian dalam kuil ini. Rupanya, kamu akan diberkati dengan rahmat Tuhan jika kamu memasuki bagian dalam yang gelap gulita dan datang kembali.

Saat Yuigahama mengatakannya, Ebina dan Tobe sudah melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada pria tua yang hadir untuk penjelasannya. Omong-omong, Miura dan Hayama juga ada disana.

“Mengapa mereka disini juga?”

Aku bertanya dengan suara kecil jadi mereka tidak dapat mendengarnya dan Yuigahama dengan pelan menggerakkan bibirnya ke telingaku.

“Jika aku hanya memanggil mereka berdua, akan kelihatan agak aneh.”

“Hm, benar…”

Memang, jika hanya mereka berdua, mereka akan dengan abnormalnya mulai sadar akan situasinya. Tobe akan menjadi terlalu diremukkan oleh kegugupan dan terutama Ebina akan menjadi lebih waswas.

“Ayo, ayo, mari kita masuk.”

Yuigahama terus mendesak dan setelah melepaskan sepatu kami, kami membayar 100 yen. Anda benar-benar mengambil uang kami?

Aku mengintip ke dasar tangga dan memang, tempatnya gelap. Jika dungeon dari RPG memang ada, maka ini lah seharusnya bagaimana suasananya.

“Mmkei, Yumiko dan Hayato bisa masuk dulu. Yang lain akan ikut di belakangmu.”

“Kita tidak ada banyak waktu, jadi lebih baik jika kita memperpendek interval antar gilirannya.”

Dalam respon pada saran Yuigahama, Hayama memberikan jawaban yang penuh dengan nalar wajar. Melihat bahwa kami sama sekali melewatkan barisannya dan malah datang kemari, itu adalah pilihan yang benar. Ya, yah, itu adalah pilihan yang benar tapi pilihan yang paling benar akan meliputi “kami akan mengikutimu perlahan pas di belakangmu”, Aku rasa… Dari Hayama, jawaban itu agak tanggung, tapi kelihatannya tidak ada yang memperdulikannya.

“Ya, kamu benar.”

Ebina setuju dengan pendapat Hayama. Oh astaga, sekarang kelihatannya hanya aku saja yang berpikir tentang Hayama, sungguh memalukan!

“Yaa, ini seharusnya tidak akan memakan terlalu banyak waktu jadi kita tidak perlu terlalu khawatir. Benar, Ebina. Hayato juga.”

Ebina melipat lengannya dan memiringkan kepalanya, tapi Tobe tiba-tiba tertawa sambil menyisir ke atas rambut panjangnya.

“Betul. Tapi, untuk jaga-jaga sebaiknya kita lebih cepat saja.”

Setelah Hayama menjawab dengan senyuman getir, Miura mencengkram tangannya.

“Baiklah kalau begitu, ayo cepat pergi Hayato. Toh itu kelihatan sepenuhnya menarik. Kami akan pergi duluan kalau begitu.”

Begitulah yang dinyatakan Miura sambil menemani Hayama menuruni tangganya.

“Oh sial, jika segelap ini, aku tidak bisa tidak super terpompa untuk ini.”

“Uhmm… Hah, gelap gulita… Hayato dan Hikitani seharusnya masuk ke dalam sana bersama-sama…”

Meninggalkan kata-kata meresahkan tersebut, Tobe dan Ebina juga memasuki interiornya. Itu sangat bagus… Aku senang ada cukup jarak antara Hayama dan aku…

“Okei Hikki, Ayo kita masuk.”

“Ya.”

Kami menuruni anak tangganya dan ketika kami berputar di sudut ruangannya, kegelapan menyeliputi kami. Ketika kami maju beberapa langkah, cahaya sepenuhnya menghilang dari bidang penglihatan kami.

Kami tidak bisa melepaskan pegangan tangan bertasbih itu. Jika kami melepaskan tangan kami, itu mungkin-mungkin saja bagi kami untuk juga kehilangan arah kita.

Tidak peduli entah kita menutup ataupun membuka mata kita, kegelapan pekat itu tidak akan berubah. Ini adalah jangkauan kegelapan dari neraka terdalam. Saat kami maju inci-per-inci membuat kemajuan langkah demi langkah, kami memastikan bahwa ada tanah untuk dipijaki dengan kaki kami dan jika kamu melihatnya dari samping, kamu akan mendapatkan kesan bahwa kami sedang mengimitasi para pinguin.

Bagi indera penglihatan yang menghilang, organ lain akan melakukan tugasnya dan mengompensasi untuknya dengan menjadi lebih tajam.

Suara Miura dan yang lain dapat terdengar beberapa langkah di depan.

Rapalan berulang-ulang Miura terdengar seperti doa umat Buddha kacau yang hanya membuatnya lebih menakutkan.

“…Oh astaga. Begitu gelap, disini sangat gelap, sangat gelap, saaangat gelap, begitu gelap.”

“Ini sungguh menabjubkan.”

Seakan dia sedang merespon padanya atau mungkin dia hanya berpikiran sederhana, Hayama melontarkan responnya.

“Whooa, disini super gelap, kayak sepenuhnya buruk, itu terjadi, kegelapannya sedang berjalan penuh MAKS—“

Tobe sedang membuat banyak suara seakan dia sedang berusaha untuk menyemangati dirinya. Terlebih lagi, seseorang merespon padanya dengan kata “Aku tahu, bukan—“. Selama sedetik disana, aku berpikir itu adalah suara seekor Bulbasaur, tapi itu mungkin adalah suara Ebina.[14]

Bukan hanya indera pendengaranku yang bertambah tajam.

Indera perasaku juga mulai bertambah sensitif.

Kami terus maju sambil meraba-raba permukaan pegangannya melihat kemana kami akan berjalan.

Hawa ketenangan. Karena kita tidak beralas kaki, telapak kaki kami dihantam dengan rasa dingin. Detik-detik saat rasa dingin yang menjalar ke atas kulit kami dan rasa mengigilnya tidaklah sesederhana hanya dengan menghubungkannya pada rasa dingin. Itu adalah rasa takut yang sesungguhnya. Hal-hal yang tidak dapat kami lihat, hal-hal yang tidak dapat kami pahami, hal-hal yang tidak dapat kami jelaskan, dan hal-hal yang tidak dapat kami kenali semuanya dihubungkan pada rasa takut dan rasa gelisah.

Diliputi dengan perasaan yang tidak terbiasa bagi kami, kami maju terus ke depan sambil memegang tasbih besar yang dililit di sekeliling pegangan tangannya. Tiba-tiba, tanganku mendarat pada sesuatu yang hangat. Aku tidak bisa tidak terkejut dan berhenti di tempat. Dan ketika aku berhenti, sesuatu menabrakku dengan pelan dari belakang.

“Waah! Ah, sori. Aku tidak dapat melihat apa-apa disini.”

Pemilik suara ini adalah Yuigahama. Dia tidak dapat melihat apa-apa, jadi dia menyentuh punggung dan lenganku untuk memastikan aku ada disana.

“Nah, salahku. Aku sendiri tidak bisa benar-benar melihat apapun di dalam kegelapan ini…”

Yah, toh kami berada di dalam kegelapan total. Tidak banyak yang bisa kita lakukan. Saat kita terjebak di dalam kegelapan avidya[15] ini, kami dihantam dengan kegelisahan dan tindakan mencengkram baju seseorang dan memegang tangan satu sama lain adalah tindakan penanggulangan, jadi aku tidak akan mempertanyakannya. Tidak usah kuatir, belakangan ini, aku berpegangan tangan dengan Komachi, jadi aku se-sepenuhnya, sepenuhnya tidak akan resah akannya atau semacamnya, seperti super dapat kutahan dengan mudahnya.

“Hikki, kamu begitu diam jadi kupikir kamu hilang atau semacamnya.”

“Aku biasanya memang lebih sering hilang daripada tidak.”

Berkat itu, pengalamanku luar biasa banyak. Terlebih lagi, kecepatan pada saat aku menuju ke rumah dan pertahanan mentalku dua-duanya juga super tinggi. Setelah aku mengatakannya dengan santai, tiba-tiba aku mendengar sebuah tawa yang ditahan, kemungkinan suatu tawa yang tidak dapat ditahan lagi atau mungkin suatu tawa yang getir.

Itu menjadi isyarat untuk meneruskan lagi langkah ke depan kami. Meski sudah melangkah maju, beban yang menangkap jasku tetap sama sepanjang waktu.

Kami berputar-putar tak terhitung banyaknya dalam perjalanannya dan akhirnya, sesuatu terbang ke bidang penglihatan kami yang gelap gulita.

Itu adalah suatu sinar putih yang pekat dan remang. Kelihatannya batu itu memendarkan cahaya.

Ketika kami berjalan ke batu itu, aku akhirnya bisa melihat wajah Yuigahama.

“Aku rasa, kita seharusnya mengucapkan keinginan kita saat kita memutari batu ini.”

“Hmm.”

Tidak ada yang benar-benar ingin kuminta. Pendapatan stabil, keselamatan keluarga dan kesehatan kelihatannya sudah semua yang kuinginkan bagiku. Oh, itu sudah banyak.

Namun, memohon pada dewa dan Buddha untuk hal-hal yang dapat kita lakukan tidak terlihat benar. Biasanya, hal-hal itu bisa didapatkan lewat kerja keras, jadi dalam hal ini, lebih baik untuk memohon sesuatu yang tidak bisa kamu dapatkan bukan?

Yang terbaik dari semuanya, kamu selalu bisa mencoba memberi sesuatu kepada seseorang atau mungkin mencoba untuk mencuri sesuatu dari seseorang.

“Apa kamu sudah memutuskan apa yang ingin kamu mohonkan?”

Suara Yuigahama menyapu semua pemikiran tidak berguna di dalam kegelapan itu.

“Ya.”

Aku menjawab balik, tapi aku tidak benar-benar memutuskan pada apapun... Mari ku lihat, aku rasa aku akan cukup berdoa untuk kesuksesan Komachi pada ujian seleksi penerimaan murid baru.

“Okei, ayo berputar mengelilinginya bersama.

Aku berputar mengelilingi meja bundar Tiongkok dengan batu diatasnya bersama Yuigahama. Yuigahama menyipit dan mengejamkan matanya, terlihat luar biasa serius.

Setelah kami selesai memutari batu itu, Yuigahama menepuk tangannya dua kali. Bodoh, itu apa yang kita lakukan di kuil-kuil.

“Okei, ayo kita pergi!”

Yuigahama tiba-tiba penuh dengan motivasi untuk alasan tertentu, terbukti dari ekspresi penuh sukacitanya, dan sambil mendorongku dari belakang, kami memasuki kegelapannya sekali lagi.

Namun, setelah berjalan sebentar, kami dapat melihat tanda pintu keluar seakan batu itu dipasang sebagai klimaks dari suatu cerita.

Saat kami menaiki tangganya, cahaya yang menyeliputi kami sangat terasa nostalgia.

Bersama dengan orang-orang di depan kami, kami melihat ke arah sinar matahari dan menghela lega.

Semuanya menaiki tangga dan ketika kami sampai ke luar, kami meregangkan tubuh kita dengan kuat.

“Bagaimana? Terasa seperti kamu terlahir kembali, benar?”

Si pria tua resepsionis menanyakan pertanyaan dengan intonasi Kansai. Yakni, pada Tobe.

“Waah, sepenuhnya terasa seperti aku pergi melintasi cakrawala, ente tahu—. Jadi ini apa yang ente sebut terlahir kembali, eh?”

Menabjubkan, dia tidak terlihat berbeda sedikitpun dari sebelum dia memasuki kuilnya.

Aku melihat jamku tapi belum banyak waktu yang berlalu. Kira-kira paling sedikit sudah lima menit berlalu.

Aku tidak cukup bodoh untuk percaya lima menit sudah cukup waktu bagiku untuk terlahir kembali. Aku tidak akan terlahir kembali meskipun aku melakukan perjalanan ke India atau memanjat ketinggian Gunung Fuji. Misalpun aku terlahir kembali, itu tidak berarti aku dapat mengubah semua hal-hal yang sudah terkumpul sampai sekarang. Tidak peduli perubahan jenis apapun yang dijalani hatiku, evaluasi sekelilingku akan diriku, kegagalan masa laluku, dan hal-hal yang tidak dapat kuperbaiki tidak akan berubah.

Ada yang namanya sejarah bagi manusia. Manusia dibentuk dari pengalaman yang diperoleh dari kehidupan saat waktu terus berputar dan berputar. Untuk terlahir kembali berarti terlepas dari sejarah itu; peghapusan total. Namun, itu tidak akan mungkin pada dunia nyata. Itulah mengapa satu-satunya hal yang dapat kamu lakukan adalah terus menjalani kehidupan, menanggung bekas luka di tubuhmu dan memikul beban dosa-dosamu pada pundakmu, tanpa berharap untuk reinkarnasi..

Permohonanmu untuk mengulang hidup dari awal lagi tidak akan didengar oleh siapapun.

Tepatnya sudah berapa kali Tobe mengalami kegagalan sampai sekarang? Jika kegagalannya sebanyak kegagalanku dan masih mampu mempertahankan optimisme dan keterus-terangan itu, maka dia pantas untuk dihormati.

Tapi, mungkin bukan begitu yang terjadi padanya.

Sebenarnya, aku mau itulah yang terjadi padanya… Aku tidak mau pria riang, mampu menyesuaikan diri ini untuk memiliki sejenis keberanian atau trauma. Aku tidak mau dia menjadi pria yang melalui semua masa lalu tersebut dan dapat tertawa dari dalam lubuk hatinya, terlihat keren dalam prosesnya…

“Ah, tunggu, bahaya ini! Semua orang mungkin sudah pergi duluan!”

Yuigahama berkata dengan panik ketika dia melihat ke arah pintu masuk pengunjungnya.

“Whaa, kita punya banyak waktu.”

Begitulah yang Tobe katakan tapi itu mungkin agak keliru. Dari jauh, kamu dapat melihat para murid dalam seragam hitam dengan perlahan mulai maju.

“Ayo, cepat!”

Oleh desakan Yuigahama untuk segera pergi, kami berjalan dengan cepat menuju barisannya untuk berkumpul.


× × ×


Kami berhasil kembali ke kelompok kelas kami sebelum mereka sudah masuk ke dalam vihara utamanya. Dari sana, kami memasuki vihara utamanya melalui pintu masuk depan. Objek atraksi seperti Dewa Rezeki[16] dan sandal besi dengan tongkat peziarah[17] dipasang sebagai pajangan. Tempat itu dipenuhi oleh banyak orang jadi sangat sulit mendapatkan kesempatan untuk meraba objeknya.

Setelah ini adalah serambi Vihara Kiyomizu yang terletak lebih jauh ke dalam.

Bahkan di dalam jarak lingkup Vihara Kiyomizu pun, itu memang merupakan tempat yang paling populer. Bukan hanya murid tapi juga para turis yang ingin mendapatkan foto kenang-kenangan dari tempat itu.

“Waah, menabjubkan…”

Yuigahama yang terkagum-kagum melihat pemandangannya meletakkan tangannya di pagarnya. Itu adalah tontonan yang berisikan pegunungan dan isi Kyoto yang digarisi dengan warna khas musim gugur. Bagaimana pemandangan ini terlihat ketika dipandang dari atas ribuan tahun yang lalu? Meskipun mungkin bentuk kotanya sudah berbeda, sensasi menyenangkan ini yang bisa kamu dapat dari memandang pemandangannya dari puncak tinggi ini kemungkinannya tidak berubah.

Kyoto adalah sebuah kota dimana hal-hal yang berubah dan hal-hal yang tidak berubah hadir dalam harmoni.

Aku dapat memahami mengapa mereka memilih kota ini sebagai tujuan karya wisatanya, meski hanya sedikit.

Aku menatap pemandangannya seperti orang terbius sampai orang yang ada di sampingku, Yuigahama, memanggilku.

“Ah, aku tahu. Hikki, mari kita ambil foto!”

Dia dengan buru-buru mengambil keluar kamera digitalnya dari kantongnya. Kamera kecil, pink ini tanpa diragukan lagi sangat berala-Yuigahama.

“Foto? Roger, berikan kemari.”

“Huh?”

Dengan ekspresi kebingungan, Yuigahama menyodorkanku kameranya. Aku mundur beberapa langkah, memosisikan diriku, dan memfokuskan bidikannya pada Yuigahama.

“Oke, peanuts.”

Aku lalu menekan tombolnya. Sesaat sebelum suara jepretan berbunyi, Yuigahama dengan panik membuat gelagat peace terbalik yang lemah.

“Lihat ini, berkat lengan kamera menabjubkanku, aku mendapatkan foto yang bagus.”

Ketika aku mengatakannya, aku menyodorkan kembali kameranya kepada Yuigahama yang dengan segera pergi mengecek fotonya. Kamera digital sungguh memudahkan karena kamu dapat melihat fotonya sesaat setelah kamu memotret fotonya. Tapi pertimbangkan ini: jika kamu mengacaukan sebuah foto, kamu akan perlu memotretnya lagi.

“Benar? Ah, kamu memotret foto yang imut, tunggu bukan! Maksudku, apa-apaan yang kamu katakan barusan!?”

“Kamu tidak tahu? Warga Chiba biasanya mengatakannya ketika mereka sedang akan berfoto…”

“Kamu tidak perlu repot-repot berbohong…”

Itu tidak sepenuhnya bohong, tapi aku hanya berpikir itu keren kalau jadi sebuah demam baru atau semacamnya. Oke, semuanya, ketika kita berfoto, ayo semuanya bilang peanuts!

“Maksudku bukan itu… Maksudku, ini adalah kesempatan yang langka jadi ayo kita berfoto bersama-sama.”

Menjadi begitu terus terang akan permintaannya membuatnya sulit untuk ditolak. Lagi pula, dari awalpun sebenarnya tidak ada alasan untuk menolak permintaannya. Aku rasa aku bisa menggeliat keluar darinya dengan berkata bahwa jiwaku akan dicuri oleh kameranya, tapi, yah, itu sama seperti yang dia bilang, ini adalah kesempatan langka. Karena aku tidak membawa kameraku sendiri, satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah memakai kamera orang lain untuk berfoto.

“Yah, aku tidak ada masalah berfoto. Aku akan pergi meminta seseorang untuk memotretkannya untuk kita.”

“Kita tidak usah melakukan itu karena kita bisa saja melakukan ini.”

Ketika dia mengatakannya, Yuigahama berdiri di sampingku. Dia lalu menghadapkan lensa kameranya ke arah kami dan memosisikannya, siap untuk menekan tombol jepretnya.

“Aku rasa kita perlu lebih berdekatan sedikit kalau tidak kita tidak akan muat…”

Dengan perlahan, jarak antara aku dan Yuigahama menghilang. Pas setelah dia mendekat, lengan kami berkaitan.

“Ayo kita mulai. Okei, cheese!”

Datang dari tombol jepretannya adalah sebuah suara elektronik yang sangat kecil.

Mataku berkeliaran di arah yang berlawanan dari Yuigahama. Berkat itu, mataku mungkin terlihat lebih busuk dari biasanya. Fotonya berada pada level fotografi roh.

Tiba-tiba, Yuigahama melepaskan lenganku.

Setelah dia mundur dua langkah dan membuat suara kecil pada lantai kayu di serambi itu, dia memalingkan kepalanya ke arahku.

“Trims.”

“Kamu benar-benar tidak perlu berterimakasih padaku atau semacamnya.”

Itu benar, memotret selembar foto hanyalah sesuatu yang biasa-biasa saja.

Ketika aku melihat ke sekeliling, dimana-mana ada orang-orang tak terhitung banyaknya yang berdiri berdampingan berpose di depan kamera mereka. Jenis pemandangan ini mungkin relatif normal bagi anak sekolah menengah atas sekarang ini. Itu hanya selembar foto kenang-kenangan jadi tidak perlu heboh akannya. Hampir setiap orang akan siap untuk berfoto dan foto dengan lelaki dan perempuan tidaklah begitu langka juga. Malahan, jenis foto itu kira-kira lebih termasuk pada hal-hal yang normal.

Aku hanya terlalu memikirkannya.

“Hei, Yumiko, Hina, ayo kita ambil foto!”

Yuigahama menarik Miura dan Ebina jadi mereka dapat berfoto. Selembar foto bertiga yang bahagia.

“Hayato dan kalian yang lain juga, ayo berfoto!”

Ketika dia memanggil Hayama dan kawan-kawan di dekatnya, semuanya bercampur baur bersama. Tobe, Oooka, dan Yamato juga berkumpul seakan suara Yuigahama adalah isyarat untuk melakukannya.

“Oooh, yaa, ayo kita berfoto.”

“Aah, kamu benar… Tapi, agak ramai.”

Hayama melihat pada teman sekelasnya dan membuat tawa susah.

“Ah, kalau begitu mengapa tidak kita bentuk kelompok-kelompok kecil...”

Yuigahama membuat sebuah saran pada kelompok itu, tapi kelihatannya sarannya tidak mencapai satupun dari telinga mereka saat Hayama berjalan ke arahku, ingin menyodorkanku kameranya.

“Bisakah kamu ambil fotonya?”

“…Tentu.”

Setelah aku menjawab dan mengambil kameranya, sebuah baris langsung terbentuk di belakangnya.

“Ambil punyaku juga.”

“Hikitani, bisakah ente ambil selembar buatku juga~”

“Punyaku juga.”

“Aah. Punyaku juga!”

Tolong tunggu sejenak. Aku hanya bilang aku akan memotret selembar foto dengan kamera Hayama, bukan…?Kamera Miura, Tobe, Ebina, Oooka, hei, hei, masih ada lagi setelah itu?

Ditugaskan dengan lebih banyak kamera lagi setelah itu, aku menerima dengan helaan sisa kamera orang-orang di akhir barisan itu.

“Sori. Hachiman, bisakah kamu ambil foto dengan kameraku juga?”

“Oh ya, serahkan saja padaku!”

Ini adalah satu-satunya foto unik untuk kuambil. Selembar foto penuh dengan semangatku. Aku akan memotret foto terhebat dengan jiwaku terpaku ke dalamnya! Sebuah refleksi dari jiwa tertinggal, penuh iri-hatiku juga boleh menetap juga. Oh astaga, sungguh sebuah foto yang mengecewakan dan mendalam.

“…Ah, Hikki, sori. Bisakah kamu ambil pakai kameraku juga…”

Yuigahama yang terlihat sedikit keok datang untuk menyodorkanku kameranya.

Aku rasa dia ingin memotret foto berdua dengan hanya Tobe dan Ebina jadi itulah mengapa dia membuat saran itu… Hal ini dapat diduga saat berkeliling dengan teman sekelas. Belum lagi jika seseorang mengusulkan untuk berfoto kelompok dengan semuanya, maka itu akan sulit untuk dibalikkan.

Ketika aku mengambil kameranya, aku meninggalkannya sedikit kata-kata.

“Baiklah. Yah, cukup lakukan yang terbaik besok.”

“Ya…”

Dengan respon yang singkat, Yuigahama pergi kembali ke kelompok yang menunggu di pagar serambi itu. Aku mempersiapkan diriku untuk memotret foto-foto.

Namun, ini masihlah jumlah kamera yang menggelikan. Jumlah kamera yang diberikan kepadaku hampir mencapai dua digit.

Yaay, itu seperti, aku super populer atau semacamnya.

Dipikir lagi, setelah satu foto, mengapa tidak kalian manusia-manusia cukup mengirim ke satu sama lain gambar-gambarnya melalui chat atau mengunggahnya ke Facebook, sialan? Saat-saat seperti ini adalah saat ketika kalian seharusnya memakai misteri yang dinamakan Internet.

“Yah, aku akan mulai dan memotret beberapa foto... Oke, peanuts.”

Oke, oke, peanuts, peanuts… Aku terus melanjutkan memotret lebih banyak foto lagi.

Selagi aku memotret foto yang tak terhitung banyaknya, terkadang, aku tidak dapat tidak memperhatikan ekspresi penuh warna Yuigahama. Dia sedang berusaha untuk menikmati setiap momen sepenuhnya dan dalam setiap foto hal ini ditampilkan entahkah melalui ekspresinya ataupun gerakannya. Aku benar-benar senang kamera digital ini memiliki fungsi fokus otomatis untukku. Kalau tidak, aku mendapat firasat foto-fotonya akan kabur dengan berbagai cara.

Miura berpose seakan dia sudah begitu familier foto dirinya diambil, caranya membuat sebuah ekspresi dalam setiap jepretan tidak pernah berubah tidak peduli pose apapun yang dia ambil.

Hayama bertingkah secara alamiah, tidak membuat pose mencolok khusus dan memberikan kesan diri biasanya yang sudah terbiasa dilihat oleh orang-orang. Dia terlihat cukup bagus sepanjang waktu.

Dalam kasus Tobe, dia juga bertingkah alami dan yah, pose berlebihan macam di majalah yang dibuatnya tanpa diragukan lagi sangat berbau Tobenya sendiri. Mungkin Gaia sedang berbisik padanya untuk lebih berkilau lagi.[18]

Di sisi lain, Ebina sedang tersenyum sepanjang waktu. Itu adalah sebuah senyuman yang baru-baru ini terbiasa kulihat. Hanya saja ketika dia sedang menjadi bintang utama sebuah foto, aku merasakan rasa takut yang benar-benar tapi samar-samar entah dari mana.

Kami mengikuti jalan yang terbentang dari vihara utamanya untuk observasi.

Murid-murid terus maju sebagai satu kelompok ke Kuil Jishu.

Kuil Jishu terletak di halaman Vihara Kiyomizu. Sebagai dewa yang terkenal akan perjodohan baik dan pengabul cinta, tempat itu adalah tempat populer bagi pengunjung. Hal pertama yang orang muda akan lakukan ketika mengunjungi Vihara Kiyomizu adalah, tanpa diragukan lagi, mengunjungi kuil ini.

Dalam kasus ini, bagi murid-murid dalam karya wisata mereka, hal itu sudah dijamin. Di dalam daerah sekeliling kuil itu terdapat orang-orang yang menjerit-jerit dan berbincang-bincang jadi disana sangatlah ribut.

Pertama, pas setelah mereka selesai mengunjungi kuilnya, setiap orang akan memanggil keluar keberanian mereka dan membeli sebuah jimat dan sebuah slip keberuntungan.

Aku tidak memiliki benda tertentu yang ingin kubeli, jadi aku mengaktifkan “Teknik Spesial - Mengikuti di belakang mereka dengan diam-diam”. Maksudku, aku tidak keberatan membeli satu buatku, tapi pada dasarnya, slip keberuntungan ini cenderung menjadi atraksi dimana kamu akan memamerkan hasilmu kepada orang lain, kamu tahu? Itulah mengapa hal itu bukanlah sebuah kebiasaan tetap untukku.

Aku diam-diam menyelinap masuk dengan orang-orang grup itu dan setelah mengobservasi kelasku, atraksi nomor satu terpopuler tidak diragukan lagi adalah “Batu peramal keberuntungan cinta”.

Ketika aku pergi untuk melihatnya sekilas, terlihat gadis yang tak terhitung banyaknya bangkit untuk menantangnya. Teman-teman dekat mereka bertindak seperti satpam untuk mencegah orang-orang merintangi tantangannya dan sesaat setelah jalurnya sudah diamankan, di penantang akan berteriak “Oke, mari ku mulaii—“ dan memulainya.

Sedikit lebih jauh dari batu peramal keberuntungan cinta terdapat batu lain dan jika kamu bisa mencapainya dengan aman dari satu batu ke batu yang lain dengan matamu terpejam, maka cintamu akan terkabul. Itu kira-kira sama dengan kejadian ada hadiah yang besar dan “jika kamu bisa melakukan ini, kamu akan mendapatkan 1.000.000 yen!” [19]

Terlebih lagi, dalam cara yang sama kamu perlu bantuan seseorang untuk memotong semangka[20], mendapatkan bantuan dengan cintamu pastinya akan mengikuti alur yang sama.

Dilihat lebih dekat, seorang wanita berpakaian jas lab putih di atas setelannya telah berhasil mencapai batu yang satu lagi dan sedang dihujani dengan tepuk tangan. Guru wali kelas kita sungguh mengagumkan…

Mengikutinya adalah gadis sekolah menengah atas yang menunggu giliran mereka satu per satu dan para laki-laki akan mengintip kesana untuk melihat mereka. Jika seorang gadis yang mereka sukai sedang memulai tantangannya, pikiran mereka akan berkata “Sial, gadis itu ada seseorang yang dia sukai…? Entah itu aku bukan ya” selagi jantung mereka berdetak dengan laju yang abnormal. Tunggu, aku pikir aku sama bersalahnya dengan pemikiran kita yang sama. Memiliki ekspektasi bukanlah sesuatu yang buruk. Selama tidak ada yang membuat kehebohan akannya, tidak akan ada yang menderita.

Berdampingan dengan para laki-laki berdebar-debar yang berharap untuk memahami lebih dari situasinya, ada juga laki-laki yang berpikir mereka akan pergi mengeceknya sendiri dari kejauhan. Dan dari situ, kamu bisa sedikit merasakan sifat manis para lelaki.

Atau begitulah seharusnya sampai aku melihat Tobe, yang berbaris dengan normal tapi kelihatannya kekurangan rasa sopan.

“Oh men, serius, Aku akan melakukannya dalam sekali coba!”

Dengan sebuah deklarasi yang diperuntukan untuk memikat dunia disekelilingnya, Oooka dan Yamato, yang bersama-sama di halaman viharanya, menyemangatinya, bertepuk tangan untuk memeriahkan suasananya. Merespon sama bersemangatnya dengan pose guts[21], Tobe memejamkan matanya dan dengan perlahan berjalan seperti zombie menuju tujuannya.

“Sial, aku tidak tahu kemana aku pergi! Eeh? Beneran, apakah aku seharusnya berjalan lurus dari sini? Ya?”

Dia meminta nasehat dari Oooka dan Yamato tapi mereka menjawab dengan candaan.

“Jalan lurus, jalan lurus.”

“Tobe, di belakangmu!”

“Fuah!? Belakang!?”

Saat dia mengatakannya, dia secara refleksif berpaling.

“Tidak ada artinya berpaling karena matamu terpejam…”

Hayama menghela keok selagi bergugam. Halaman vihara itu berkumandang dengan tertawaan, sebuah suasana yang sungguh menyenangkan.

Itu bagus semua orang sedang bersenang-senang. Ebina tidak ada alasan untuk khawatir karena mereka memang memiliki hubungan yang baik.

Saat aku menatap tiga idiot itu seperti orang terbius, Yuigahama terlihat seakan dia sudah menarik kesimpulan yang sama saat dia menepuk bahu Ebina.

“Hina, mereka kelihatannya sedang bergaul dengan sangat baik, jadi bukankah itu cukup?”

“Ya, aku rasa begitu… Tapi aku tidak akan menurunkan kewaspadaanku sampai akhir.”

Ebina merespon sambil melihat ke bawah. Dari sisiku, aku tidak bisa mengartikan apa yang tersembunyi di balik sepasang mata yang mengintai di belakang lensa itu. Satu-satunya hal yang dapat kupahami adalah betapa berbedanya nada suara Ebina.

Yuigahama menghadap Ebina, yang jarang sekali terlihat dalam semangat serendah itu, dengan tatapan bingung.

“Eh? Apa maksudnya itu…?”

Seakan untuk menginterupsi kata-kata itu, Ebina mengangkat kepalanya dengan wajah amat bersemangat, melambai-lambaikan tinju terkepalnya dan berteriak dengan suara parau.

“Ayo! Kita sebaiknya pergi sejauh yang kita bisa dalam perjalanan ini!”

Kemana kamu akan pergi—?

Ah, pada akhirnya, Tobe kelihatannya menerima sedikit bantuan dari Hayama pas ketika dia hampir akan terjatuh.

Ketika semua kehebohan akan batu peramal keberuntungan cinta mereda, teman sekelas kita sedang mempersiapkan diri mereka untuk membuka segel slip keberuntungan mereka.

“Sep, Aku mendapatkannya!”

Miura membuat pose guts gagah yang mengalir dengan kegembiraannya. Ketika Yuigahama mengintip ke arah telapak tangan Miura, dia meninggikan suaranya dalam keterkejutan.

“Whoa! Itu menabjubkan Yumiko!”

“Kamu dapat keberuntungan besar huh~”

Ebina juga menemukan jalannya ke Miura dan menepuk tangannya.

“Oh astaga, apa itu yang dikatakan orang tentang ini? Meskipun demikian, itu hanyalah sebuah slip keberuntungan, kamu tahu? Kamu sepenuhnya tidak harus menganggapnya dengan serius atau semacamnya, kamu tahu?”

Selagi Miura mempertahankan ketenangannya saat dia mengatakan hal itu, caranya melipat slipnya dengan senang dan menyelipkannya ke dompetnya seakan itu adalah sesuatu yang penting membuat gadis muda yang sedang jatuh cinta ini sangat imut.

“Tapi ente tahu, itu lo itu. Sementara slipnya mungkin tertulis demikian, keberuntungan besar bukanlah sesuatu sebagus itu, ente tahu? Itu hanya berarti kita semua yang tersisa akan mendapat slip yang lebih jelek.”

“Ah?”

Yang menyerobot ke dalam percakapan adalah Tobe dan apa yang didapatnya untuk itu adalah lototan mematikan dari Miura. Dia benar-benar menakutkan, beneran.

Tentu saja, Tobe juga menciut dan mulai mengatakan sesuatu seperti “Oh ya, keberuntungan besar juga agak langka” karena kekhawatiran akan keselamatannya.

Kamu terkadang mendapat orang-orang seperti itu, kamu tahu? Jenis orang yang mencoba untuk menginjak kegembiraan seseorang dan dengan sengaja mencoba membuatnya marah. Dulu ketika aku pergi ke Nikko[22] dalam perjalanan di sekolah dasarku, aku mengatakan hal yang sama dan dibenci seperti orang-orang yang lain.

Tapi, jika kamu mengasumsikan bahwa mendapat slip keberuntungan besar adalah puncak keberuntunganmu, maka apa yang dia bilang tidaklah jauh dari kebenaran.

Jika keberuntunganmu jatuh seperti spiral setelah mendapat slip keberuntungan besarmu, maka kebalikannya seharusnya sama juga.

“Aww, aku dapat slip keberuntungan buruk…”

Ebina mengomplain dengan suara sedih.

“Oh, ente tahu, itu lo itu. Mulai saat ini, hanya hal-hal baik yang akan terjadi, ente tahu?”

Setelah mengejek Miura karena mendapatkan slip keberuntungan besar, seakan dia menyadari logikanya tadi, dia mengomentari slip keberuntungan buruk Ebina.

Yah, yah, meskipun kita tidak ada disini, pria ini sedang melakukannya dengan cukup baik, bukan?

…Kurasa aku harus sedikit lebih bijak dan melanjutkan kata-katanya.

“Jika kamu mendapat slip keberuntungan buruk, maka lebih tinggi, lebih baik, benar? Macam, kamu tahu, jadi slipnya bisa terlihat sedikit lebih beriman atau semacamnya.

Itu berbau superstisi terutama melihat tempat religius yang kita kunjungi tapi, yah, itu adalah sebuah legenda yang banyak kuketahui tentangnya.

Sepertinya, karena semburanku yang mendadak, Tobe dan Ebina melihat sekeliling dengan gelisah mencari asal dari suaranya. Tidak, tidak, itu bukanlah pesan ilahi dari Tuhan, itu aku. It’s a-me Wario[23]. Tapi dipikir lagi, aku bukan Wario.

Mereka berdua akhirnya menyadari keberadaanku dan aku berkata lagi.

“Lebih baik jika slipnya lebih tinggi ke atas. Kenapa tidak kamu ikatkan?”

Ketika aku memandang ke arah Tobe dan mengatakannya, Tobe, terlihat seperti dia memahaminya, menjulurkan tangannya ke arah Ebina.

“Oh, b-benar. Kenapa tidak ente berikan kemari?”

“T-Trims. Itulah laki-laki.”

Ebina menyodorkan slip keberuntungannya pada Tobe. Tapi, jika “itulah laki-laki, (dia sangat berguna)” adalah arti sebenarnya, maka aku perlu merasa berduka untuk si laki-laki ini.

Aku membuat pandangan ke samping pada Tobe yang sedang mengikat slip keberuntungannya sambil menjinjit, dan meninggalkan Kuil Jishu dengan perasaan sudah menyelesaikan suatu pekerjaan.

Satu-satunya hal yang tersisa adalah menjalani jalur pengunjungnya.

Saat aku berjalan entah kemana, ada sebuah jalur yang menghubungkan tempat suci dalam dari Vihara utamanya dan pemandangan dari serambinya ke bawah menuju air terjun Otowa.

Air terjun mengalir itu berkontribusi pada asal nama Vihara Kiyomizu dan juga disebut sebagai air kemukjizatan.

Terdapat jumlah orang yang menggemparkan sedang berbaris menuju air terjun itu yang mengalir pada tiga jalur.

Ada banyak barisan yang disekat berulang-ulang[24], terbentang disepanjang area itu. Hei, hei, itu seperti mereka sedang berbaris di Disney Land disini. Apa tidak ada fastpass?

Saat aku berdiri tegak syok melihat kekacauan yang terjadi di depan mataku, aku menerima hantaman cepat di kepalaku.

“Jangan pergi duluan sendirian!”

“Apaa, kita tidak perlu bergerak sebagai satu grup hari ini, jadi apa masalahnya…”

Sementara aku menggosok bagian yang dihantam Yuigahama, aku melihat ke arahnya dan dari belakang datang Miura dan kawan-kawan.

“Oh, kelihatannya airnya mengalir eh. Disana bahkan ada tiga.”

Terima kasih untuk kesan sederhananya, Tobe.

“Itu air terjun Otowa.”

Ketika Hayama merespon dengan tingkah sembrono, Yuigahama membuka buku panduannya dengan satu tangan dan mulai membaca.

“Umm, prestasi sekolahmu, cintamu, dan usia panjangmu akan diberkati kelihatannya.”

…Oh begitu, itu menjelaskan mengapa Ibu Hiratsuka sedang berbaris dengan sebuah botol Daigoro di tangannya. Kamu mengambil terlalu banyak airnya pulang…

Dipikir lagi, apa itu benar? Aku tidak melihat itu tertulis dimanapun di papan pengunjung air terjun Otowa. Semua yang dapat kulihat adalah pernyataan “semua tiga alirannya memiliki air yang sama!” tertulis disana, kamu tahu?

Dan kemudian, tanpa begitu banyak komplain dari siapapun, semua orang berbaris. Aku memastikan diriku ikut berbaris, tentu saja.

Akhirnya sampai giliran kami setelah menunggu lima belas menit di barisannya. Omong-omong, guru itu diberikan peringatan untuk mencoba mengambil terlalu banyak air pengabul cinta.

Semua orang berbincang dengan suka cita sambil menyesap air dari pencedok yang mereka ambil.

Yuigahama, yang berada di depanku, sudah bertekad untuk menuju air terjun tengah. Dia menjulurkan pencedok panjangnya dan mencedok sedikit air dari air terjunnya. Dia mengangkat pencedoknya ke mulutnya dan setelah dengan hati-hati mengesampingkan rambut di telinganya, dia menyesap airnya. Tenggorokan putihnya bergerak meneguk.

“Ah, ini menabjubkan. Ini sungguh segar…”

Setelah dia selesai meminumnya, dia menghela lega. Air terkenal ini sudah diwariskan dari generasi terdahulu. Rasa airnya disokong oleh sejarah panjangnya. Namun, itu pada dasarnya adalah mata air dan dimasukkan ke dalam pertimbangan musim kita sekarang ini, kesejukan airnya pastilah terasa enak saat airnya menuruni tenggorokan gatalmu.

Ketika aku mengambil pencedoknya, aku menuju rak sterilisasinya.

“Mari, Hikki.”

Yuigahama menghentikanku di setengah jalan dan menyodorkanku pencedok yang dia gunakan.

“Tidak, itu agak sedikit… uh, sesuatu semacam itu…”

Sering sekali, dia akan menampilkan perencanaan telitinya sebagai seorang gadis dan terkadang dia secara alamiah akan bertingkah bodoh. Sebagai hasilnya, penilaianku akan menjadi buram.

Tapi, kelihatannya dia benar-benar hanya ingin memberiku pencedoknya atas itikad baiknya.

Ketika Yuigahama mengerti arti dari tindakannya, pipinya merona merah terang.

“Ah…”

“Ya…”

Yah, itulah bagaimana itu.

Setelah aku mengambil pencedok yang sudah kusterilisasi, aku mencedok air dari air terjun terdekat dan meminumnya dalam sekali teguk. Airnya dingin dan enak.

“K-Kamu tidak perlu membesar-besarkannya…”

…Itu masalah besar untukku. Lagipula, jika aku minum dari pencedokmu, kemungkinannya aku tidak akan merasakan apapun.


Mundur ke Bab 4 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 6

Catatan Translasi[edit]

  1. Artinya stasiun campur aduk. Implikasinya di stasiun itu ada begitu banyak (campuran) suara manusia (ribut). Jadi terdengar kacau
  2. A chance meeting in space! (Meguriai uchuu!) adalah subtitle dari Film Gundam Ketiga (1982).
  3. Slogan Ryuuguu Rena dari 'Higurashi no Naku Koro ni'.
  4. Single oleh Yamamuchi Tomoe, lagu itu menjadi himne pada rel kereta api Jepang.
  5. referensi Star Wars
  6. Kiyomizu Musim Semi
  7. Kawogama
  8. Kiyomizu Gugur
  9. Kiyomizu Dingin
  10. Denah Vihara Kiyomizu.. Kalau ada waktu mungkin kutranslasi gambar ini..hehe
  11. Gerbang Deva
  12. alasan atau tujuan terpenting untuk keberadaan seseorang atau sesuatu.
  13. lipatan yang terbentuk di samping mulut dan sudut luar matamu
  14. Referensi Jepang yang tak bisa diterjemahkan. Nama resmi Bulbasaur di Jepang adalah Fushigidane dan dalam bahasa Jepang, daripada menyebutna "bulba" atau "bulbasaur" dalam versi Amerika, Bulbasaur disebut "dane" dalam versi Jepang. Ebina merespon Tobe menggunakan kata "dane~" yang pada dasarnya membenarkan siapapun yang diresponnya dan maka dari itu, terdengar seperti seekor Bulbasaur bagi Hachiman.
  15. Bahasa sansekerta yang berarti ketidak-tahuan, delusi, yang merupakan sejenis kegelapan batin di dalam agama Buddha
  16. http://traveljapanblog.com/wordpress/wp-content/uploads/2008/10/img_1864.jpg
  17. http://img.4travel.jp/img/tcs/t/pict/lrg/29/28/73/lrg_29287310.jpg?20130603020852
  18. Sebuah slogan khas di majalah busana pria MEN's KNUCKLE. http://www.inahostudio.com/neta/datewaru/mens/pc/0711-06.jpg
  19. Sebuah acara televisi tua dimana peserta akan melalui tantangan yang susah dan berat. Jika mereka berhasil, mereka akan dihadiai dengan 1.000.000 yen.
  20. Biasanya di pantai, dengan mata terpejam
  21. Angkat kedua tanganmu tinggi-tinggi Pose guts
  22. Salah satu kota tujuan turis di Jepang
  23. Slogan Mario dengan sedikit pengubahan (Btw, Wario itu antagonis Mario)
  24. Macam ular, macam antri di roller coaster