Suzumiya Haruhi ~ Indonesian Version:Jilid4 Bab01

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 1


Pagi harinya, aku dibangunkan oleh jurus pembunuh melucuti-selimut adikku, bersama dengan kucing tiga-warna yang meringkukkan diri di dalam selimut di sebelahku. Inilah adikku, seorang assassin pagi-hari yang membawakan perintah Ibu dengan patuhnya.

"Ibu bilang kamu sebaiknya sarapan."

Tersenyum, adikku mengangkat kucing marah dari kasur dengan kedua tangan, dan menggosokkan hidungnya ke belakang telinga si kucing.

"Shami juga! Waktunya makan!"

Shamisen, yang sudah menjadi piaraan rumah kami setelah Festival Budaya, menguap dengan wajah kosong dan menjilat cakar depannya. Kucing jantan tiga-warna yang asalnya banyak bicara sudah benar-benar hilang suaranya, dan menetapkan status dirinya di rumah hanya sebagai piaran kami saja. Dia menjadi kucing biasa yang bisa ditemukan dimana saja -- seolah-olah aku berhalusinasi bahwa kucing ini pernah berbicara bahasa manusia, baru kepikiran sekarang. Kucing itu hebat dan tidak rewel: jarang mengeong, hampir tidak pernah, seakan-akan dia sudah lupa bahasa kucing bersamaan dengan bahasa manusia. Entah bagaimana dia menjadikan kamarku tempat tidurnya, dan lalu diam saja pada kunjungan berkala adikku, yang sedang keranjingan merawat Shamisen.

"Shamiii, Shamiiii. Waktunya makan!"

Bernyanyi dengan lirik yang tidak pas dengan lagunya, adikku keluar kamar sambil memeluk si kucing. Merinding karena udara dingin pagi, aku memelototi wajah jam sebentar. Akhirnya aku susah payah berdiri, membuang rasa sayang pada kasur hangatku.

Setelah itu, aku ganti pakaian, cuci muka, dan turun ke ruang makan, menelan sarapan dalam 5 menit, dan keluar rumah lebih dulu dari adikku. Hari ini cuacanya dingin lagi, kemajuan yang baik.

Sampai saat ini, segalanya sudah berjalan seperti biasa.


Aku sedang menanjaki landaian yang biasanya ketika belakang-kepala yang kukenal terlihat olehku. Sosok sejauh sepuluh meter atau lebih di depanku itu adalah Taniguchi, tak diragukan lagi. Biasanya, orang ini meloncat dan melompat riang gembira di jalan tanjakan, tapi hari ini dia jelas berjalan pelan. Setelah beberapa saat, aku menyusulnya.

"Hey, Taniguchi!"

Bakalan lebih baik buat berinisiatif nepuk pundaknya sekali-kali, aku berpikir seperti itu, dan memang melakukannya.

"....Hmm, Kyon?"

Suaranya dalem banget. Tentu saja; Taniguchi menggunakan masker putih.

"Kenapa? Kena flu?"

"Eh....?" Taniguchi terlihat lelah. "Flu-lah, kayak yang loe liat. Jujur aja, gue pengen ga masuk, cuman bokap cerewet soal itu."

Dia sehat banget kemaren, terus tiba-tiba kena flu, ternyata.

"Yang bener aja? Gue kemaren juga ga enak badan! *Uhuk* *Uhuk*"

Oke, jangan bikin gue bingung, hanya karena gue ga biasa lihat Taniguchi batuk dan kelihatan lemah. Tapi apa dia mau sakit ya kemarin? Gue cuman bisa liat si ceroboh kayak biasanya.

"Hmm... masa? Gue ga pura-pura keliatan sehat kok."

Taniguchi memiringkan kepalanya, dan aku memberikan senyum curiga.

"Loe lagi seneng pamer-pamer soal kencan Malam Natal itu, kan? Yah, cepetan sehat, sebelum kencannya! Jarang banget kesempatan itu datang lho!"

Namun, Taniguchi semakin memiringkan kepalanya.

"Kencan? Apa-apaan? Bego. Gue ga punya rencana soal Malam Natal!"

Kata tanya "Apa?" seharusnya muncul dariku. Terus kenapa lagi tuh pacarmu yang dari SMA Wanita Kouyouen? Apa loe baru diputusin malem kemaren?

"Hey, Kyon, apaan sih yang loe omongin? Gue ga tau apa-apa soal ini!"

Taniguchi marah menutup mulutnya, dan berbalik untuk berjalan lagi. Setiap gejala dingin sepertinya sudah mulai muncul efeknya, dan lemahnya itu tidak menunjukan kepura-puraan. Apalagi, menduga dari kondisinya, rencana kencannya pastinya apes, dan dia tentu saja kecapaian. Dengan pengakuan sombong sebelumnya, tentu saja merobek hancur hatinya waktu bertemu aku langsung. Oh gitu, gitu ya.

"Jangan cemberut gitu!"

Aku mendorong punggung Taniguchi.

"Gimana kalo gabung ke Pesta Hotpot? Loe masih bisa gabung kok sekarang!"

"Hotpot apaan? Pesta apaan yang loe omongin? Gue ga ingat pernah denger yang begituan...."

Oh, masa? Shocknya hebat banget hingga apapun yang gue omongin bakal bikin dia torek untuk beberapa waktu, tebakku. Biarkan gue yang menggenggam tangan loe kalo gitu. Semuanya bakal beres dengan aliran waktu yang tak berakhir. Gue ga bakalan nyebut masalah itu lagi, gue janji.

Taniguchi melanjutkan menyereti dirinya, dan akupun melanjutkan pendakian pelan-pelanku bersama dia.

Masih tidak mungkin aku menyadari yang sebenarnya waktu itu.


Aku lengah: flu sudah menyebar jadi wabah ke seluruh Kelas 1-5 tanpa kusadari. Aku datang ke ruang kelas sebelum bel berbunyi, tapi masih ada beberapa kursi kosong, dan seperlima muridnya sudah kena demam mode pakai masker putih. Penjelasan yang ada adalah mereka semua memesan dua kali masa inkubasi dan masa serangan flu.

Aku lebih terkejut lagi menemukan kursi dibelakangku kosong dari pelajaran pertama.

"Ga bisa dipercaya..."

Apa Haruhi absen sakit? Apa flunya begitu parah dan merajalela tahun ini? Ga bisa dipercaya ada patogen hidup yang berani nyerang tubuhnya, belum lagi hal yang ga bisa dipercaya banget kalau Haruhi bisa dijatuhin sama kuman atau virus. Penjelasan yang paling masuk akal yaitu Haruhi sedang nyiapin rencana jahat baru yang baru aja dia rencanain. Mungkin bakalan ada yang lain selain hotpot?

Suasana kelasnya suram, dan itu bukan karena tak adanya AC. Tiba-tiba banyak sekali yang absen. Bahkan terlihat seperti total populasi Kelas 1-5 entah bagaimana berkurang.

Dan memang benar kalau aku tidak merasakan keberadaan meluap-luapnya Haruhi dari belakang. Tapi disaat bersamaan, aku juga merasa kalau suasananya berubah tak terpahami.

Lalu dimulailah pelajaran yang kuikuti malas-malasan, setelah itu, diikuti dengan mulus oleh istirahat makan siang.

Waktu aku sedang mengambil kotak makan siang beku di tasku, Kunikida mendekat dengan makan siang di satu tangan dan duduk di belakangku.

"Sepertinya kamu lagi istirahat. Ga papa kan saya duduk disini?"

Kata Kunikida selagi membuka serbet bungkusan Tupperware. Setelah menjadi teman sekelas di SMA, jadi setengah kebiasaan untuk makan siang dengan orang ini. Aku mencari teman makan siangku yang lain, Taniguchi, tapi dia tidak ada di ruang kelas; mungkin dia pergi ke kantin sekolah.

Kuputar miring bangkuku.

"Entah gimana flu udah jadi populer banget. Untung aja gue ga keserang, walau gitu."

"Hmm?"

Kunikida meletakan perlahan Tupperwarenya di atas serbet terbentang dan memperhatikan isinya, lalu dia menunjukan tampang heran kepadaku. Menggerakkan sumpitnya seperti capit kepiting, Kunikida berkata.

"Gejala flu tersebar udah keliatan seminggu lalu! Ga keliatan seperti influenza, tapi lebih bagus kalau influenza. Abisnya udah ada obat tertentu sekarang-sekarang ini."

"Seminggu lalu?"

Aku berhenti memotong-motong telur dadar-campur-bayamku, dan bertanya lagi.

Kayaknya ga mungkin deh ada orang lain yang nyebarin virus minggu kemarin. Ga ada yang absen, dan ga ada yang batuk-batuk pas pelajaran sejauh yang gue ingat. Anak-anak Kelas 1-5 keliatan sehat, ato bisa jadi Penyakit Setan yang udah beroperasi rahasia di luar pandangan gue?

"Apa? Sedikit banyak ada kok yang absen. Apa kamu ga sadar?"

Gue kagak. Apa bener begitu?

"Ya iyalah. Ternyata makin parah mulai minggu ini. Tolong jangan karantina semua anak kelas satu tapinya. Libur musim dingin bakalan kepotong kalo gitu, saya yakin."

Kunikida memasukan lebih banyak lagi nasi furikake ke mulutnya.

"Taniguchi juga ga enak badan beberapa hari ini. Prinsip bapaknya itu nyembuhin penyakit dengan semangat, dan dia ga bisa absen kecuali panas tubuhnya lebih dari 40 derajat. Kuharap dia melakukan sesuatu sebelum flunya makin parah."

Aku menghentikan gerak sumpitku.

"Kunikida. Sori, tapi gue pikir Taniguchi udah mau mati mulai hari ini."

"Oh engga, ga mungkin. Dia udah kayak gitu sejak awal minggu ini, ya kan? Dia istirahat pas pelajaran olahraga kemarin."

Aku jadi semakin bingung.

Tunggu, Kunikida. Apa sih yang loe omongin? Sejauh yang gue ingat, di pelajaran olahraga kemarin, Taniguchi semangat banget main bola, kayak makan steroid aja. Gue ga mungkin salah, gue kan ngelawan dia, dan banyak banget ngeslide-tackle dia. Gue sih ga dongkol gara-gara dia dapat pacar, tapi kalau gue tau apa yang bakal terjadi hari ini gue mungkin bakalan mikir dua kali sebelum ngetackle dia.

"Yang bener? Iya gitu? Aneh banget!"

Kunikida memiringkan kepalanya seakan-akan dia mengambil wortel dari panganan Kinpiragobou.

"Apa saya salah liat ya?"

Dia mengatakan itu dengan nada easy-going.

"Hmm, yah ntar kita liat aja pas Taniguchi balik."

Apa sih yang terjadi hari ini? Taniguchi dan Kunikida ngomong kayak mereka diselumuti kabut tebal, dan bahkan Haruhi absen! Jangan-jangan ini itu pertanda buruk buat kejadian-kejadian yang nyusahin seluruh umat manusia kecuali Haruhi. Indra keenamku yang hampa mulai menyuarakan sirenenya, dan rasa aneh mulai merayap di belakang leherku.


Aku memang benar.

Naluriku memang tidak boleh diremehkan. Tidak diragukan lagi yang tadi itu pertanda. Apa yang naluriku tidak katakan yaitu siapa yang akan kesulitan. Seluruh umat manusia kecuali Haruhi... yah, ga juga sih. Mengagetkan seperti kelihatannya, hanya seorang yang sadar dan terganggu oleh kejadian ini. Kecuali si malang ini, seluruh umat manusia tidak merasa terganggu. Itu karena tidak mungkin mereka akan merasakan permulaan dari insiden ini. Takkan mungkin seseorang bisa merasakan sesuatu diluar persepsi orang itu sendiri. Bagi mereka, dunia tidak berubah sama sekali.

Jadi siapa dong yang keganggu?

Jawabannya sudah jelas.

Gue!

Aku diam terkelu oleh kebingungan, dan akhirnya ditinggalkan oleh dunia.

Ya, akhirnya aku tahu.

Istirahat makan siang tanggal 18 Desember.

Pertandanya muncul berbentuk fisik, dan pertanda itu membuka pintu ruangan kelas.


Wow! Beberapa cewek duduk di depan ruangan dekat pintu bersorak senang. Sorakan itu ternyata karena mengenali teman kelas yang baru masuk. Dari celah di antara orang-orang berpakaian sailor, aku melihat sekilas orang itu yang berada di tengah perhatian.

Dengan tas tergantung di satu tangan, orang itu memberikan senyum ke teman-temannya yang mendekat.

"Iya, saya baik-baik saja sekarang. Saya merasa lebih baik setelah dapat suntikan dari rumah sakit tadi pagi. Tidak ada kerjaan dirumah, saya sadar lebih baik pergi ke sekolah aja, walau cuman untuk pelajaran sore."

Senyum lembut menjawab pertanyaan bahwa flunya sudah sembuh. Mengakhiri percakapan pendek yang ceria, dengan rambut setengah-panjang bergoncang, orang itu perlahan... berjalan -- ke arah -- kami.

"Uppss, waktunya pergi!"

Kunikida menggigit sumpitnya dan berdiri. Untukku, seolah-olah kemampuan bersuara pita suaraku telah dirampas semuanya, atau bahkan seolah-olah aku lupa untuk menyedot oksigen dengan bernafas. Aku hanya menatap orang itu. Aliran waktu seperti tak terbatas, tapi ternyata, dia hanya berjalan beberapa langkah. Ketika langkah kaki berhenti, orang itu berdiri di sampingku.

"Ada apa?"

Sambil melihat kepadaku, dia berkata ungkapan basi dengan nada bingung.

"Kamu kelihatannya kayak baru lihat hantu aja! Atau ada sesuatu di mukaku?"

Lalu dia beralih ke Kunikida, yang sedang membereskan Tupperwarenya.

"Oh, biarin saya gantungin tas aja. Tolong lanjutin makan siangnya. Saya sudah makan sebelum datang. Pas makan siang, kamu boleh pinjam tempat dudukku."

Seperti yang sudah dikatakannya, dia menggantung tasnya di gantungan pinggir meja, dan berbalik anggun ke lingkaran teman-temannya yang sudah menunggu.

"Tunggu."

Sepertinya suaraku jadi melengking.

"Kenapa kau disini?"

Orang itu berbalik, dan menusukku dengan pandangan dingin.

"Apa maksudmu? Apa aneh kalau saya disini? Atau maksudmu bakalan lebih baik kalau saya sakit lebih lama? Apa maksudmu dengan itu?"

"Bukan itu. Aku tak perduli kamu sakit flu atau tidak. Bukan itu..."

"Kyon."

Kunikida menoel pundakku dengan khawatir.

"Kamu aneh banget hari ini! Kyon lagi ngomong aneh-aneh hari ini."

"Kunikida, apa loe ga mikir apa-apa pas loe liat orang ini?"

Tak bisa menahan diri lagi, aku berdiri dan menunjuk dengan jariku orang itu, yang sedang melihat padaku seakan-akan sedang menyaksikan teka-teki.

"Loe juga tau kan siapa dia, ya kan? Orang ini seharusnya ga disini!"

"...Kyon, ga sopan lupa wajah teman sekelas hanya karena ga masuk bentar! Apa maksudmu kalau seharusnya saya ga disini? Dari dulu kita selalu di dalam satu kelas, ya kan?"

Ga mungkin gue bisa lupa! Percobaan pembunuhan ini! Kalaupun gue lupa wajah orang yang mau bunuh gue, setengah tahun terlalu pendek.

"Oh gitu."

Orang itu menebarkan senyum di wajahnya, seperti dia baru kepikiran soal rencana super jahil.

"Kamu sempat tidur habis makan siang ya? Kau yakin ga mimpi buruk? Pasti begitu. Ayolah! Bangun!"

"Bener kan?" Dengan senyum lebar pada wajah cantiknya, orang itu beralih pada Kunikida meminta persetujuan. Dia mengambil penampilan gadis yang kesannya sudah tergores di otakku dan tidak bisa dilepas.

Kilas balik ingatan lalu. Ruangan kelas bermandikan matahari terbenam -- bayangan memanjang di lantai -- dinding tanpa jendela -- ruang terdistorsi -- pemegangan pisau -- seuntai senyum -- pasir-kristal yang hancur tercerai-berai...

Dibinasakan setelah kalah bertarung dengan Nagato, dia tadinya ketua kelas yang asli, yang kelihatannya, sudah pindah sekolah ke Canada.

Yang berdiri disini adalah Asakura Ryouko.


"Bakalan lebih segar kalau cuci muka. Kamu punya saputangan? Saya bisa pinjami punyaku."

Asakura memasukan tangannya ke saku roknya, dan aku menghentikannya dengan tanganku. Siapa yang tahu kalau dia mengeluarkan lebih dari saputangan?

"Tidak terimakasih. Mendingan, bilang padaku apa yang terjadi. Semuanya. Terutama, bilang padaku kenapa kau nyimpan tasmu di kursi Haruhi? Ini kan bukan kursimu, ini kursi Haruhi."

"Haruhi?"

Asakura menjalin alisnya, dan bertanya pada Kunikida.

"Haruhi itu siapa? Apa ada orang yang punya panggilan itu?"

Kunikida menjawab pertanyaan yang mengakhiri semua harapan.

"Ga tahu. Haruhi-san... Gimana cara nulisnya?"

"Haruhi ya Haruhi!"

Mulutku komat-kamit dengan sensasi linglung.

"Apa kalian semua lupa dengan Suzumiya Haruhi? Kok bisa sih kalian lupa orang kayak gitu?"

"Suzumiya Haruhi... Yah, Kyon."

Dengan suara menenangkan, Kunikida memberitahu.

"Ga ada orang kayak gitu di kelas kita! Omong-omong, sejak penempatan tempat duduk terakhir, kursi ini jadi punya Asakura-san. Apa kamu bingung sama kelas lain? Hmm, saya ga pernah dengar Suzumiya sebelumnya. Seharusnya sih bukan anak kelas satu..."

"Saya juga tidak tau."

Dengan suara kucing jinak, Asakura berbicara seolah-olah mendesakku untuk mendapatkan perawatan.

"Kunikida-kun, bisa periksa kolong mejaku? Disudut seharusnya ada buku nama kelas."

Kurebut buku notes yang Kunikida keluarkan. Pertama aku membuka halaman Kelas 1-5, dan melarikan jariku ke daftar nama perempuan.

Saeki, Sanaka, Suzuki, Seno...

Tak ada satu namapun antara Suzuki dan Seno. Nama Suzumiya Haruhi menghilang dari buku nama kelas. Sapa yang loe cari? Cewe itu dari pertamanya aja emang ga ada! Teriak halaman itu keras-keras, dan aku menutup buku nama dan mataku.

"...Kunikida, gue mau minta tolong."

"Ya?"

"Cubit pipi gue. Gue pengen bangun."

"Yang benar?"

Dia mengeluarkan seluruh tenaganya. Sakit. Tapi aku tidak bangun. Kubuka mataku, aku masih bisa melihat Asakura berdiri di sana, melengkungkan bibirnya menjadi busur.

Apa sih yang terjadi?

Tiba-tiba aku sadar kalau kami sudah jadi pusat perhatian di kelas. Mata-mata itu melihat terfokus kepadaku, seolah-olah mereka melihat anjing tua yang menderita penyakit canine distemper. Sial! Kenapa? Gue kan ga salah ngomong!

"Sial!"

Aku bertanya dua pertanyaan kepada orang-orang disekitarku berulang-ulang.

Dimana Suzumiya Haruhi?

Bukannya Asakura Ryouko pindah sekolah?

"Ga tau."

"Engga, dia ga pindah kok."

Jawaban yang kudapat tak berbau bagus sama sekali. Seperti ditandai, jawaban mereka mempengaruhiku sampai ke batas pusing dan mual. Aku masih bisa berdiri hanya dengan meletakkan tanganku di meja terdekat. Beberapa bagian warasku sepertinya mulai runtuh.

Asakura meletakkan tangannya di pergelangan tanganku, dan memandang tajam khawatir kepadaku. Aroma manis rambutnya bagai narkotik bagiku.

"Sepertinya kamu harus pergi ke UKS. Kejadian kayak gini biasanya terjadi pas kamu ga enak badan. Pasti itu masalahnya! Apa kamu mulai kena flu?"

Enak aja!

Ingin aku berteriak keras. Gue bukan yang aneh! Situasinya yang aneh!

"Lepasin tanganmu!"

Kudorong tangan Asakura, dan lari keluar ruang kelas. Perasaan tidak enak di kulitku merembes masuk ke dalam otakku. Muncul flu tiba-tiba, percakapan yang terasa jauh dengan Taniguchi, hilangnya nama Haruhi dari buku nama, kemunculan Asakura... Apa? Haruhi hilang? Ga ada seorangpun yang ingat dia? Ga bisa itu! Bukannya dunia ini memutari dia? Bukannya gadis itu SI Karakter Blacklist di Skala Alam Semesta?

Hampir-hampir tersandung, kupompa kakiku kuat-kuat, dan melangkah maju di koridor hampir merangkak.

Hal pertama yang muncul di pikiranku adalah wajah Nagato. Dia pasti bisa menjelaskan situasinya kepadaku. Lagipula, dia Nagato Yuki, pendiam tapi sang mahakuasa android alien. Setiap saat dia bisa membereskan semuanya. Bukan berlebihan kalau aku bisa bertahan berkat Nagato.

Gue punya Nagato!

Dan dia akan menyelamatkan orang sepertiku dari keadaan buntu ini!

Kelas Nagato sudah terlihat. Tanpa harus berlari, aku sampai beberapa detik kemudian. Tidak bisa berpikir apapun, aku membuka pintu dan mencari gadis mungil berambut pendek.

Ga disini.

Tapi terlalu cepat untuk menyerah. Tiap makan siang dia mungkin biasanya ada di ruang klub sedang baca buku. Walaupun dia tidak di ruangan kelas, tidak bijak menyimpulkan kalau Nagato hilang juga.

Orang yang kupikirkan selanjutnya yaitu Koizumi. Ruang klub sastra, terletak di sayap lama, jauh dari sini. Bangunan itu bahkan lebih jauh dari ruang kelas dua Asahina-san. Akan lebih cepat untuk pergi pergi ke Kelas 1-9 satu lantai dibawah. Koizumi Itsuki, jangan kemana-mana! Tak ada keadaan apapun yang membuat aku sangat ingin melihat wajah penuh senyumnya.

Aku lari berderap-derap di sepanjang koridor, turun melompati tiga anak tangga sekaligus, dan langsung menuju Kelas 1-9 di sudut gedung sekolah, sambil berdoa bahwa cowok supranatural itu ada disana.

Lewat Kelas 1-7, lewat Kelas 1-8, dan Kelas 1-9 seharusnya ada disi...

"Apa? Kok bisa?"

Aku berhenti, akhirnya mulai sadar, dan mengecek sekali lagi plat yang tergantung di dinding. Di sebelah kiri Kelas 1-8 ada Kelas 1-7. Di sebelah kanan Kelas 1-8 ada...

Jalan menuju tangga darurat saja.

Tidak ada yang lain. Tidak ada bekas pada apapun.

"Di semua kejadian ini siapa yang bisa nyangka kalo....?"

Bukan saja ga ada Koizumi.

Seluruh anak kelas 1-9 hilang.


Aku benar-benar tidak bisa apa-apa sekarang.

Siapa yang bisa menyangka kalau ruang kelas yang kemarin ada jadi tidak ada hari ini? Bukan cuma satu orang yang hilang, satu kelas terhapus, dan gedungnya pun mengecil. Pekerjaan buru-buru sebagaimanapun, tidak akan mungkin menyelesaikannya dalam satu malam. Kemana perginya anak-anak Kelas 1-9?

Syok hebat sudah melonggarkan persepsi waktuku. Hanya Tuhan yang tahu berapa lama aku membeku ditempat, sebelum aku mendapatkan kesadaranku kembali dengan jotosan ringan di punggungku. Di awan-awan aku mendengar suara guru biologi, yang terlihat seperti marshmallow memeluk beberapa buku teks.

"Ngapain kamu disini? Pelajaran sudah dimulai! Kembali ke kelasmu!"

Pastinya aku melewatkan suara lonceng tanda istirahat berakhir. Koridor sekolah sudah kosong dari orang, dan yang bergema hanya suara guru yang meninggi dari ruang Kelas 1-7.

Aku mulai jalan sempoyongan. Waktunya memastikan tanda-tanda sudah habis. Kejadian-kejadian ini sudah direncanakan. Orang-orang yang seharusnya tidak ada malah muncul, dan orang-orang yang seharusnya ada malah hilang. ngeganti Haruhi, Koizumi dan semua murid Kelas 1-9 hanya dengan Asakura itu benar-benar berat sebelah!

"Apa-apaan ini?"

Kalau aku tidak mulai gila, dunia yang sudah gila.

Siapa sih yang ngelakuin ini?

Apa elo, Haruhi?



Berkat semua itu, aku benar-benar tidak mendengarkan pelajaran sore. Semua bunyi dan suara masuk dan keluar dari pikiranku, dan semua informasi gagal untuk ditanamkan ke sel-sel otakku. Sebelum aku sadar, pelajaran pun sudah selesai, dan sekolah sudah usai.

Aku ketakutan, tidak terlalu pada Asakura yang mencorat-coret dengan pensil mekaniknya di belakangku, tapi lebih pada Haruhi dan Koizumi tidak ada di sekolah. Bahkan minta konfirmasi ke orang lain membuatku jengkel sendiri melebihi batas. "Ga tau tuh." Setiap kali aku mendengar kalimat ini, aku semakin tenggelam ke rawa tak berdasar. Aku bahkan tidak punya tenaga untuk melepaskan pantatku dari kursi.

Taniguchi langsung pulang dengan Kunikida, yang merasa sedikit cemas padaku. Asakura keluar ruang kelas sambil tertawa ceria dengan beberapa gadis. Dia melihatku sebelum keluar, pandangan yang menunjukan perhatian pada teman kelas yang depresi, dan kepalaku puyeng karenanya. Mencurigakan. Semuanya.

Hampir diusir pergi oleh orang yang lagi piket, aku akhirnya berjalan keluar ke koridor, dengan tas di tangan.

Lagian, disini bukan tempat gue abis pelajaran.

Dengan hati berat aku menuruni tangga dan sampai ke lantai satu. Di sana, titik terang muncul di depan mataku, dan aku lari cepat ke sana.

"Asahina-san!"

Apa ada pemandangan yang lebih indah dari itu? Berjalan ke arahku dari sisi lain adalah dewiku, obat pelepas stress mataku. Apa yang menambah kegembiraan yaitu ada sosok Tsuruya-san disebelah gadis cantik glamor berwajah baby-face itu. Gembira berlebihan menghancurkan kemampuan merasakanku.

-- Aku mungkin seharusnya lebih sedikit hati-hati.

Aku lari ke dua senior dengan kecepatan mengagumkan, dan mencengkram keras pundak Asahina-san, yang mana dia melebarkan matanya padaku.

"He-eh!"

Rasa kaget tergambar di wajahnya, tapi mulutku tetap saja berbicara.

"Haruhi hilang! Kelas si Koizumi jadi Ruang Kelas Amblas! Aku belum nemu Nagato, tapi Asakura ada, dan sekolah jadi tempat aneh! Kau masih Asahina-sanku, kan?"

Bruk! Itu adalah suara tas dan peralatan kaligrafi Asahina-san jatuh ke lantai.

"Eh? Ah, he... Eh. Yah... Tapi..."

"Jadi kau masi Asahina-san yang dari masa depan?"

"...Masa depan? Apa maksudmu? Dan, tolong... lepaskan saya."

Dasar perutku bergejolak. Asahina-san melihatku seperti impala yang dijinakkan yang sudah melihat jaguar liar. Matanya penuh berisi rasa takut, dan itulah apa yang paling kutakutkan.

Saat aku terpaku, aku merasakan tanganku diputar keatas. Suara krak mengejutkan keluar dari tulang sendiku. Aw!

"Tunggu bentar, anak mudha!"

Tsuruya-san memegang erat-erat tanganku dengan teknik dari seni beladiri kuno.

"Jangan seenak'e nyamperi orang! Liat tuh, Mikuru-ku gemetaran dhari kepala sampe kaki!"

Suaranya tertawa, tapi kilasan matanya setajam pedang. Aku melihat Asahina-san. Dia mundur dengan mata berkaca-kaca.

Suaranya tertawa, tapi kilasan matanya setajam pedang. Aku melihat Asahina-san. Dia mundur dengan mata berkaca-kaca.

"Kamu anak kelas satu dhari Fans Club Mikuru? Adha tatacara buat segalanya, anak mudha. Terburu-buru ndak bikin aku terkesan."

Dingin psikis yang banyak kurasakan hari ini merambat turun di tulang punggungku.

"Tsuruya-san..." Masih terkunci dalam posisi udegarami, kukeluarkan suaraku.

Tsuruya-san melihat tepat ke wajahku, seolah-olah aku ini benar-benar orang asing.

Tsuruya-san, kau juga...?

"Hei, kok bisa kamu tau namaku? Omong-omong, kamu sopo? Kenalan Mikuru to?"

Aku melihat hal terakhir yang ingin kulihat. Ketakutan di belakang Tsuruya-san, Asahina-san melihatku baik-baik, dan menggeleng-gelengkan kepalanya cepat sekali.

"S...Sa...Sama sekali ga tau dia. E..Eh. Mungkin dia kira saya orang lain..."

Merasa seperti mendapatkan raport gagal total tahun ini, tepat ketika tahun pertamaku sebentar lagi habis, mataku jadi kabur. Aku akan diam saja kalau orang lain berkata buruk kepadaku, tapi kata-kata Asahina-san adalah syok terbesar bagiku, setelah sepupuku, yang kutaksir dulu waktu masih kecil, lari dengan laki-laki lain.

Tentunya aku tak salah lihat kalau kupanggil Asahina-san Asahina-san, kecuali Asahina-san ini Asahina-san dari waktu yang lain... Oh, gue ngerti! Ada satu cara buat ngebuktiin Asahina-san ini benar-benar Asahina-san yang gue tahu, ya ngga?

"Asahina-san."

Aku menunjuk dengan tangan bebasku ke dadaku. Aku cuman bisa bilang aku sudah gila. Mulutku bergerak sendiri dengan kalimat seperti ini,

"Seharusnya ada tanda lahir berbentuk bintang di sekitar sini di dadamu. Apa kau punya itu? Kalau ga keberatan, biarkan aku ngecek--"

Aku dipukul dengan pukulan sekuat tenaga.

Dengan tinju Asahina-san.

Asahina-san, tercengang dengan kalimat yang kusemburkan, langsung memerah. Air mata menggenangi matanya, dan dengan perlahan-lahan, gerakan seperti pemula dia melancarkan pukulan langsung ke mukaku. "...Hik" suara isak tangis keluar dari tenggorokannya sewaktu dia pergi berlari.

"Hei, Mikuru! Ah, yo weis lah. Dan kau, anak mudha, cek selalu bau busuk otaku-mu itu! Mikuru-chan itu lumayan pemalu, lho! Kalau kamu berani ngapa-ngapain lagi ke dhia, kamu akan merasakan amukan rambut-berdhiriku!"

Memberi cengkraman kuat tak bersahabat yang terakhir pada pergelanganku, Tsuruya-san mengambil tas dan perlengkapan kaligrafi di lantai, menahannya di dadanya, dan lari mengejar Asahina-san.

"Hei, tunggu bentar-- Mikuru--"

"..."

Mengamati mereka, terbius, angin dingin musim dingin tertiup di dalam kepalaku.

Tadi itu berakhir sudah, ga diragukan lagi.

Apa bisa gue bertahan hidup besok? Kalo berita soal gue bikin Asahina-san nangis nyebar di sekolah, bakalan lebih dari sedikit orang yang bakal menyerangku. Kalo keadaannya terbalik, gue pun bakalan ngelakuin hal yang sama. Mungkin gue harus nyiapin surat wasiat.



Berangsur-angsur aku kehilangan akal. Aku menelepon Haruhi, hanya untuk mendengar "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif." Aku tidak punya nomor telepon rumahnya, dan namanya sudah terhapus bersih dari buku nama. Aku menimbang untuk kerumahnya, tapi kalau dipikir lagi aku belum pernah kesana. Tidak adil rasanya karena Haruhi sudah kerumahku, tapi sudah terlambat untuk memikirkan itu sekarang.

Mengesampingkan hilangnya Kelas 1-9, aku pergi ke kantor staff untuk bertanya apakah Koizumi atau Haruhi sedang libur sakit entah kemana. Hasilnya datar negatif. Tidak ada murid di kelas manapun dengan nama Suzumiya Haruhi. Tidak ada murid pindahan di sekolah ini atau mau pindah ke sekolah ini dengan nama Koizumi Itsuki. Atau kurang lebih begitu yang kudengar.

Aku sudah bertemu dengan kebuntuan.

Kemana ini arahnya? Apa ini game Dimana Haruhi yang diatur sama Haruhi? Apa ini itu game yang goalnya nemuin kemana perginya si Hilang Haruhi? Tapi buat apa game ini?

Pikirku sambil berjalan. Berkat satu tinju Asahina-san, kepalaku mendingin sedikit. Ga ada gunanya ngebakar jenggot sendiri. Di situasi kayak gini, gue harus tenang. Tenang.

"Plis, tolong dong." Bisikku.

Cuman ada satu tempat tujuan sekarang. Tempat itu adalah fondasi terakhir, garis pertahanan yang benar-benar terakhir. Kalau ini juga hancur, maka semuanya bakalan berakhir. Game over.

Ruang klub sastra, terletak di blok ruang klub yang biasanya disebut Blok Tua.

Kalau Nagato ga ada disitu juga, apa yang harus gue lakukan?

Dengan sengaja kulambatkan langkahku, setapak demi setapak menuju ruang klub menghabiskan waktu yang ada. Setelah beberapa menit, berdiri di depan pintu kayu yang tua dan usang, kuletakkan tanganku di dada, mengkonfirmasi detak jantungku. Pengoperasiannya jauh dari normal, tapi lebih baik dari saat istirahat makan siang. Mungkin indera perasaku jadi kebas gara-gara banyak terkena rentetan anomali. Aku terdesak ke sudut. Tidak ada jalan lain di depanku selain menerobos kabut kegelapan, dengan skenario terburuk di pikiranku.

Aku mangkir mengetok pintu, dan membuka pintu lebar-lebar.

"...!"

Lalu aku melihat.

Sosok mungil duduk di kursi darurat, dengan buku terbuka di sudut meja panjang di depannya.

Dia adalah Nagato Yuki, menatapku langsung melalui kacamatanya, dengan wajah heran tergambar, mulut terbuka tiba-tiba.



"Kau disini..."

Kugumamkan desahan setengah pasrah, setengah lega, dan menutup pintu di belakangku. Nagato tidak mengatakan apapun seperti biasa, tapi aku tidak bisa berlega diri dan bergembira. Nagato yang kukenal tidak mengenakan kacamata, semenjak insiden dengan Asakura. Namun, Nagato yang ini mempunyai kacamata yang persis sama dengan yang dia punya dulu. Aku berpikir tentang itu yang kedua kalinya, tapi Nagato memang lebih keren tanpa kacamatanya. Memang aku lebih suka saja.

Terlebih lagi, ekspresinya tidak pas sama sekali. Kenapa dengan wajahnya tuh, kayak anggota Klub Sastra yang sedang lengah diterjang siswa cowok aja, seseorang yang sama sekali ga dia kenal? Apa maksud kagetnya itu? Bukannya itu tuh ciri-ciri Nagato yang jauh banget dari emosi kayak gituan?

"Nagato..."

Dengan kejadian dengan Asahina-san masih segar di ingatanku, aku bisa menahan diri untuk mau-menerkam badan bagian atasku, dan berjalan ke meja.

"Apa?"

Balas Nagato tanpa bergerak sesentipun.

"Bilang padaku. Apa kau tau aku?"

Dia merapatkan bibirnya, dan menekan bagian tengah kacamatanya. Lalu datang sunyi yang lama.

Aku sedang berpikir untuk menyerah, dan mencarikan untukku biara untuk menjauhkan diri dari dunia fana ini, saat jawaban datang.

"Saya tau kamu."

Nagato meletakan pandang di sekitar dadaku. Harapanku membuncah. Nagato ini mungkin Nagato yang aku tahu.

"Bahkan, aku juga tau sedikit soal kamu. Bisa dengerin aku bentar?"

"..."

"Kamu bukan manusia, tapi android organik yang dibuat alien. Kamu ngebawa kekuatan hebat kayak sihir beberapa kali, kayak waktu alat pukul mode-homerun itu, invasi ke Ruang Kamadouma..."

Segera setelah aku mulai bicara, rasa sesal mulai merambat di benakku. Nagato tampaknya membuat muka aneh. Mata dan mulutnya terbuka, dan tatapannya berkelana di sekitar pundakku. Aura di sekitarnya terasa seperti dia takut untuk memandang langsung ke mataku.

"...Itulah kamu yang kukenal selama ini. Apa itu benar?"

"Maafkan saya."

Jawaban Nagato membuatku ragu apa telingaku bekerja benar atau tidak. Kenapa pake acara minta maaf? Kenapa Nagato ngomong begini?

"Saya ga tau. Saya tau kamu itu anak Kelas 1-5. Saya ngeliat kamu dari waktu ke waktu. Tapi, saya ga tau lagi yang lain kecuali itu. Buat saya, sekarang ini pertama kalinya saya ngomong sama kamu."

Fondasi terakhir ternyata berupa rumah yang dibangun dari pasir yang goyah, longgar, hancur dan lebur.

"...Jadi kau bukan alien? Nama Suzumiya Haruhi ga bikin kau sadar?"

Nagato memiringkan kepalanya bingung, meresapi kata-kata "alien" di bibirnya.

"Engga," balasnya.

"Tunggu bentar!"

Kecuali Nagato, siapa lagi yang bisa kuandalkan? Aku seperti bayi mungil yang ditinggalkan orangtuanya. Kesempatanku untuk tetap waras hanya dengan membuat dia berbuat sesuatu. Bila keadaan terus begini, aku bisa gila.

"Ga mungkin!"

Oh tidak, aku kehilangan kesabaranku lagi. Pikiranku kebingungan, dengan hujan meteor yang tiga warna utamanya berterbangan gila, aku memutari meja, dan mendekati sisi Nagato.

Jari pucat itu menutup buku. Buku hard-cover tebal. Aku tidak sempat menangkap judulnya. Nagato berdiri dari kursinya, dan mundur satu langkah seakan-akan mundur dariku. Dua matanya, seperti batu Go yang baru digosok, berputar-putar ragu.

Aku meletakkan tanganku ke pundak Nagato. Aku kehilangan ketenangan diri untuk melihat kebelakang kegagalan yang sudah kulakukan dengan Asahina-san. Aku fokus total untuk tidak melepas Nagato. Kalau tak kucengkram dia seperti itu, semua temanku akan kabur melalui sela-sela jariku, takutku. Aku tak ingin kehilangan siapapun lagi.

Dengan tanganku merasakan kehangatan tubuhnya melalui seragam sekolahnya, aku berbicara pada sisi wajahnya yang terbingkai oleh rambut pendeknya, sewaktu dia memalingkan wajahnya dariku.

"Kumohon ingatlah! Dunia berubah pas kemarin berubah jadi hari ini. Haruhi udah diganti sama Asakura! Siapa yang ngeganti pemain? Entitas Gabungan Benak Data? Asakura dihidupin kembali, jadi kamu pasti tau sesuatu! Kamu dan Asakura dari cetakan yang sama, kan? Rencana kotor apa pula ini, hah? Kalaupun kamu pake kata-kata susah, kamu seharusnya bisa ngejelasin--"

Seperti yang biasa kau lakukan, aku mau melanjutkan, tapi aku merasakan cairan timah menyebar di perutku.

Reaksi apa ini...kok sama dengan manusia biasa?

Mata Nagato tertutup rapat, dan sipu merah mulai menyebar di pipi keramik pucat itu. Rintihan, seperti desahan kecil, keluar dari bibir terbuka sedikitnya, dan akhirnya aku sadar gemetar pundak pekanya di tanganku, seperti anak anjing diterpa udara dingin. Suara bergetar terdengar olehku.

"Jangan..."

Aku sadar. Untuk beberapa saat sekarang ini, punggung Nagato tertempel di dinding. Dengan kata lain, aku mendorong paksa Nagato tanpa sadar. Apa yang udah gue lakukan? Gue kayak perampok, ya ga? Kalau seseorang nyaksiin ini, pastinya tanganku bakalan diborgol, dan dihakimi massa. Kalau dilihat secara objektif, aku ini tiada lain tiada bukan hanya seorang bangsat yang menyerang gadis lembut nan rapuh ketika hanya berdua di ruang klub sastra.

"Maafkan aku."

Menaikan tanganku, aku merasa tenaga habis keluar dariku.

"Aku ga bermaksud nyerang kamu. Aku hanya pengen konfirmasi aja..."

Lututku terasa lemah. Aku menarik kursi lipat kearahku, dan merobohkan diri kedalamnya seperti moluska setelah didaratkan. Nagato tak bergerak sedikitpun, masih menyandar di dinding. Bisa dikatakan beruntung dia tidak kabur keluar dari ruangan.

Kusapu mataku ke sekeliling ruangan sekali lagi, dan menyadari dengan satu kali pandangan bahwa ruangan ini bukan pangkalan rahasia Brigade SOS. Di ruangan ini berjejer rak-rak buku dan kursi-kursi lipat, dan sebuah PC diatas meja darurat panjang. PC itu bukan model mutakhir yang Haruhi rampas dari Kelompok Riset Komputer dengan pemerasan, tapi model yang tiga generasi lebih tua. Kalau dibandingkan, perbedaan kekuatan memprosesnya seperti phaeton dua-kuda dan sebuah maglev.

Meja Komandan, yang tadinya ada prisma dengan kata "Komandan" tertulis disana, tak ditemukan dimanapun, seperti yang sudah ditebak. Kulkas dan rak gantungan baju kostum juga absen. Tidak ada papan permainan yang dibawa Koizumi. Tidak ada maid. Tidak ada cucu Santa. Tidak ada apa-apa.

"Sial!"

Kutahan kepalaku dengan tanganku. Game over! Kalo ini itu serangan psikologis seseorang, selamat atas gema kesuksesannya! Gue bakal ngasih dia kehormatan terbaik. Jadi siapa dibelakang percobaan ini? Haruhi? Entitas Gabungan Benak Data? Musuh ga kedeteksi di dunia ini? ...

Itu berlangsung selama sekitar lima menit. Berusaha keras mencerahkan suasana hatiku, malu-malu kuangkat kepalaku.

Nagato, masih menempel di tembok, menatapku dengan mata-ebony-nya. Kacamatanya sedikit miring. Satu-satunya rasa syukurku pada surga yaitu mata Nagato tidak menunjukan rasa takut atau ngeri, tapi berkilau seperti mata seorang adik perempuan yang bertemu kembali dengan kakaknya yang seharusnya mati di jalanan ramai kota secara kebetulan. Paling tidak sepertinya dia tidak akan melaporkan kejadian ini. Di tengah-tengah kepanikan seperti itu, hal ini adalah satu-satunya sumber kelegaan kecil.

Kenapa kamu ga duduk? Aku memulai bicara, tapi menyadari kalau aku sudah menduduki kursi Nagato. Perlu gue kasih kursinya, atau gue ambilin kursi lain buat dia? Oh, dia mungkin ga mau duduk dekat denganku.

"Sori."

Dengan sekali lagi permintaan maaf, aku berdiri. Mengambil satu kursi yang bersandar dan masih terlipat, aku pindah ke tengah ruangan. Menilai jarak yang cukup dari Nagato, kubuka lipatan dan menduduki kursinya, dan lanjut menahan kepalaku dengan tanganku.

Ini tadinya hanya sebuah klub sastra kecil. Satu hari di bulan Mei, Haruhi menyeretku kesini seperti robot industri yang mengamuk, dan kami bertemu dengan Nagato untuk pertama kalinya. Ruangan yang kulihat pertama kali persis seperti ini. Waktu itu, ruangan ini hanya berisi meja, kursi, rak buku dan Nagato. Semenjak saat itu, macam-macam barang tambahan mulai bermunculan, semua karena Haruhi sudah mengumumkan, "Mulai sekarang ruang ini adalah ruang klub kita!" Barang tambahan itu diantaranya pemanas portabel, ketel, teko tanah liat, kulkas, kompu...

"Bentar."

Aku melepas tanganku dari kepalaku.

Tunggu bentar. Apa aja yang ada disini tadi?

Rak gantung, pemanas air, teko teh, cangkir teh, radio kaset tua...

"Bukan itu."

Cari barang-barang yang tadinya ga ada sebelum jadi markas Brigade SOS, yang ada setelah itu, dan yang ada sekarang di ruangan ini!

"PC!"

Modelnya tentu saja beda. Hanya kabel power yang menjalari lantai, jadi kemungkinan besar tidak terkoneksi internet. Namun, hanya barang ini yang menarik perhatianku. Cuma ini jawaban buat permainan "Cari yang Beda".

Nagato masih berdiri. Matanya terus menatapku lama sekali, seakan-akan aku pantas diwaspadai. Tapi ketika aku menolehkan mukaku padanya, pandangannya langsung jatuh menatap lantai. Semakin diperhatikan, aku benar-benar melihat warna merah merona di pipinya. Woi... Nagato. Ini bukan kamu! Kamu ga pernah ngebiarin matamu ngeluyur kemana-mana dan mukamu jadi merah kebingungan!

Mungkin tidak ada gunanya, tapi aku pura-pura tidak gelisah sewaktu berdiri, supaya tidak membuatnya waspada.

"Nagato,"

Aku menunjuk belakang komputer.

"Aku bisa main komputer bentar?"

Ekspresi Nagato pertama terkejut, lalu berubah bingung sedikit demi sedikit, sewaktu matanya menatap cepat kepadaku dan komputer beberapa kali. Dia menarik nafas dalam-dalam.

"Tunggu sebentar."

Dengan kikuk dia membawa kursinya kedepan komputer, menekan tombol utamanya dan duduk.

Untuk masuk ke OS-nya, perlu waktu yang sama dengan waktu mendinginkan sekaleng kopi panas, yang baru dibeli, ke suhu yang kucing bisa minum. Setelah suara seperti tupai menggigiti akar pohon akhirnya berhenti, dengan tangkas Nagato menggerakkan mouse, yang kukira untuk memindahkan atau menghapus file. Mungkin ada sesuatu yang tidak ingin orang lain lihat. Aku mengerti perasaannya. Aku juga tidak ingin orang lain melihat folder MIKURU.

"Silahkan."

Nagato berkata dengan suara kecil tanpa melihat padaku, meninggalkan kursinya dan berdiri berjaga menyandar tembok.

"Sori ngerepotin."

Setelah duduk di kursi, cepat-cepat kupandang tajam monitor, dan mengerahkan semua teknik yang kukuasai untuk mencari folder MIKURU dan file situs Brigade SOS. Rasa putus asa mulai menekan pundakku.

"...Ga ada."

Walaupun setelah semua yang sudah kulakukan, aku tidak bisa menemukan hubungannya. Bukti eksistensi Haruhi tidak bisa ditemukan dimanapun.

Aku ingin tahu data apa yang Nagato sembunyikan sebelumnya, tapi aku bisa merasakan pandangan mengawasi dari belakang. Suasananya seperti dia yakin untuk langsung mencabut steker segera ketika data yang tak-boleh-dilihat mau ditemukan.

Aku berdiri dari kursiku.

Komputer itu mungkin tidak ada petunjuk apapun. Apa yang ingin kulihat hanya galeri foto Asahina-san atau situs Brigade SOS. Aku berharap melihat pesan petunjuk dari Nagato, seperti waktu Haruhi dan aku dikurung di Dimensi Tertutup. Harapanku langsung gugur tiada ampun.

"Maaf dah bikin ribut."

Aku minta maaf dengan suara lelah, dan berbalik menuju pintu. Gue mau pulang. Terus langsung tidur.

Lalu sesuatu yang mengejutkan terjadi.

"Tunggu."

Nagato mengeluarkan secarik kertas kusut dari celah di lemari buku, dan ragu-ragu berdiri di depanku. Dengan melihat ikatan dasiku, dia berkata.

"Kalau mau..."

Dia mengulurkan tangannya.

"Ambil ini."

Kertas yang diberikan padaku adalah formulir registrasi kosong untuk jadi anggota klub.



Yah.

Paling tidak aku harus bersyukur aku sudah mengalami semua kejadian aneh-aneh sampai sekarang. Kalau tidak, aku bakalan, tak diragukan lagi, lari kesana-kemari mencari penasihat.

Melihat situasinya, antara aku yang jadi gila melebihi orang gila, atau dunia ini sudah keluar jalur, tapi sekarang aku hampir bisa mencoret kemungkinan yang pertama. Aku selalu yang waras, dan aku menyatakan diriku sebagai komentator tsukkomi berkepala dingin untuk semua yang ada di bawah Matahari. Hei, gue bahkan bisa ngasi komentar ke dunia ga jelas ini, kayak gini: Nandeyanen?/Apa-apaan?

"..."

Aku terdiam, gaya Nagato. Entah bagaimana, jadi sedikit lebih dingin. Ada batasnya untuk semua keberanian palsuku.

Nagato sudah jadi gadis berkacamata pecinta-buku. Asahina-san jadi senior asing. Koizumi tak pernah pindah sekolah ke SMA North, mungkin masih belajar entah dimana.

Apa-apaan semua ini?

Apa itu maksudnya gue harus mulai dari awal lagi? Kalo gitu, bukannya salah musim? Kalo emang direset, seharusnya balik ke awal banget... yaitu balik ke hari pertama sekolah, ya kan? Gue ga tahu siapa yang neken tombol reset, tapi cuman ngerubah setting lingkungan sementara waktu tetap mengalir itu yang ada cuman bingung doang, tau ga! Lihat aja gue, benar-benar bingung tujuh keliling. Tadinya gue kira peran begituan itu udah dipesan cuman buat Asahina-san!

Terus dimana cewek itu sekarang? Dimana orang bedul itu, kabur dengan hidup nyamannya, pas gue ada di sini, di tempat dingin?

Dimana Haruhi?

Dimana elo?

Tunjukin muka loe, sekarang! Ini cuman jail ato apaan?

"...Sial. Kenapa juga gue harus cari elo?"

Atau, loe emang ga ada, Haruhi?

Berhenti becandanya, napa!? Gue ga tau kenapa gue mikir kayak gini, tapi ceritanya ga bakal bisa terus jalan kalau loe ga ada! Benar-benar ga beralasan buat ngasi emosi pilu ke gue! Maksud loe apa?

Sambil membayangkan budak profesional membawa batu-sangat-besar melintasi landaian untuk membangun mausoleum, aku melihat langit sedikit mendung yang dingin dari koridor penghubung.

Formulir registrasi klub bergemeresik di sakuku.



Ketika aku kembali ke tempat tidurku, Shamisen dan adikku lah yang menyambutku. Adikku, dengan tawa polosnya, membawa tongkat dengan bola bulu kumal diujungnya. Shamisen, berbaring di tempat tidur, sudah beberapa kali dipukul di kepalanya dengan tongkat itu. Shamisen memicingkan matanya seperti merasa terganggu, dan terkadang dia mengangkat cakarnya melawan serangan adikku.

"Oh, met datang~"

Adikku melihat mukaku dengan senyuman.

"Makan malam bentar lagi siap. Maem malem-da-nya, Shami~"

Shamisen juga mengangkat kepalanya, tapi kemudian menguap lebar, dan malas-malasan membalas serangan bulu rumput lanjutan.

Ah, masih ada satu harapan lagi.

"Hey."

Aku merampas tongkat bulu rumputnya, dan memukul lembut kening adikku.

Ketika aku kembali ke tempat tidurku, Shamisen dan adiku lah yang menyambutku.

"Kamu ingat Haruhi? Kalau Asahina-san? Nagato? Koizumi? Bukannya kita main baseball bareng, dan muncul di film, kan?"

"Apa~, Kyon-kun? Ga tau deh~"

Lalu mengangkat Shamisen dengan tanganku.

"Kapan kucing ini ada dirumah? Siapa yang bawa dia kesini?"

Mata bulat adikku semakin membulat.

"Humm... Bulan kemarin. Kau yang bawa, Kyon-kun, ya kan? Ingat? Kau dapet dia dari teman yang pindah ke luar negeri. Ya kan, Shami~?"

Merebut kucing tiga-warna dari tanganku, adikku menggosokkan pipinya kepadanya dengan mesranya. Shamisen, yang menyipitkan matanya, melihat padaku dari jauh dengan ekspresi aku-dah-nyerah.

"Siniin kucingnya."

Aku merebut si kucing kembali. Kumis Shamisen bergetar, kelihatannya terganggu dengan perlakuan seperti barang dagangan. Sori, ntar gue kasi hadiah makanan kering.

"Aku pengen ngomong sama dia. Cuman berdua aja. Jadi, keluar sana. Sekarang!"

"Hei, saya juga pengen ngomong sama dia. Ga adil ah, Kyon-kun! Eh... Kamu ngomong sama Shami? Eh? Yang benar?"

Tanpa menjawab lebih jauh, aku mengangkat adikku di pinggangnya, dan menjatuhkannya di luar kamar. "Jangan buka pintunya! Apapun alasannya!" Aku menutup pintu setelah memberi peringatan keras.

"Mah~, otak Kyon-kun dah jadi mie!"

Aku bisa mendengar adikku menuruni tangga, mengucapkan sesuatu yang mungkin memang benar.

"Jadi, Shamisen."

Aku duduk bersila, dan mulai berbicara dengan kucing tiga-warnaku yang berharga yang sedang duduk di lantai.

"Oke, tadinya gue bilang ke elo untuk ga ngomong apapun yang terjadi. Tapi sekarang ga masalah. Malah, bakalan bikin gue nyaman sekarang kalau loe ngomong. Jadi, Shamisen. Ngomong sana. Apa aja boleh. Filosofi, ilmu alam, lo yang pilih. Bahkan yang susah-susah. Tolong ngomong!"

Shamisen melihat padaku dengan wajah bosan. Seakan-akan bosan dengan omong kosongnya, Shamisen mulai menjilat bulunya.

"...Loe ngerti ga sih yang gue bilang? Apa maksudnya loe ga bisa ngomong, tapi bisa ngedengerin dan ngerti apa yang gue bilang? Gimana kalo loe ngangkat cakar kanan berarti Benar, dan cakar kiri berarti Salah?"

Dengan telapak terbuka, aku menoelkan tanganku ke hidungnya. Shamisen mencium ujung jari sebentar, tapi seperti yang sudah diduga, dia kembali menjilat bulunya, tanpa bicara sesuatu ataupun menunjukan tanda mengerti.

Normal, kayaknya.

Kucing ini berbicara hanya ketika kami merekam film, dan itupun hanya sebentar. Ketika kami selesai merekam film, kucing ini kembali jadi kucing biasa. Kucing biasa yang bisa ditemukan dimanapun, dan hanya bisa berhubungan dengan kata-kata seperti makan, tidur, dan main.

Gue tau satu hal. Di dunia ini, ga ada kucing yang bisa ngomong.

"Bukannya itu normal?"

Kecapaian, aku jatuh terlentang, dan merentangkan tangan dan kakiku. Kucing ga bisa ngomong. Jadi kejadian anehnya pas Shamisen bisa ngomong, bukan sekarang. Atau benar waktu itu?

Aku hanya ingin jadi kucing. Lalu aku bisa berhenti mikir tentang apapun, dan hidup dengan insting dasar.

Aku tetap di posisi tersebut, sampai adikku kembali memberitahu bahwa makan malam sudah siap.


Balik ke Prolog Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 2