Sword Art Online Bahasa Indonesia:Jilid 1 Bab 22

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 22[edit]

Pertarungan berlanjut selama sejam

Rasanya bagai selamanya telah berlalu sebelum pertarungan akhirnya selesai. Saat tubuh raksasa monster raja pecah menjadi serpihan yang tak terhitung, tiada satupun yang memiliki energi untuk bergembira. Semuanya entah terduduk lemas di lantai obsidian atau terbaring sempurna dengan napas terengah-engah.

Apa ini---selesai...?

Ya---ini selesai---

Setelah kami bertukar pikiran itu, rasanya «sambungan» antara aku dan Asuna juga putus. Kelelahan tiba-tiba menggelayuti tubuhku dan aku berlutut ke lantai. Aku dan Asuna lalu duduk dengan dengan punggung saling bersender, dan merasa seakan kami takkan mampu melakukan apa-apa untuk beberapa saat. Kami berdua masih hidup---tapi bahkan ketika aku memikirkan ini, aku tak bisa begitu senang dengan keadaan. Terlalu banyak yang tewas. Setelah 3 kematian pertama di awal pertempuran, efek suara suram dari pecahnya orang terus bergema dengan kecepatan tetap dan aku memaksa diriku berhenti menghitung setelah yang keenam.

“Berapa banyak ---yang tewas...?

Klein, yang duduk di kiriku, bertanya dengan suara berdenging. Agil yang terlentang di lantai di sebelahnya dengan lengan dan kaki tersebar keluar, juga menghadap kesini.

Aku mengayunkan tangan kananku untuk membuka peta dan lalu menghitung titik-titik hijau di sana. Aku menguranginya dengan jumlah orang yang hadir saat kami pertamakali berangkat.

“---14 tewas.”

Aku tak dapat mempercayai angka ini meski aku telah menghitungnya sendiri.

Mereka semua berlevel tinggi, ksatria ahli yang telah mengalami pertempuran yang tak terhitung. Bahkan jika kami tak bisa kabur atau sembuh seketika, kami seharusnya masih bisa menghindari tewasnya begitu banyak orang jika kami bertarung dengan menempatkan keselamatan terlebih dahulu—itulah yang kami semua pikir, tapi---

“...Mustahil...”

Suara Agil tak menandakan keceriaannya yang biasa. Sebuah kesuraman yang menjatuhkan jiwa menekan tengkuk orang-orang yang selamat.

Kami hanya tiga perempat jalan kesana---masih ada 25 lantai yang masih harus dibereskan. Tapi meski ada ribuan pemain disini, hanya beberapa ratus yang masih serius untuk menyelesaikan permainan. Jika tiap lantai menghasilkan korban sebanyak yang ini, maka sangat mungkin---hanya satu orang yang akan menghadapi raja terakhir.

Jika itu yang terjadi, yang terakhir berdiri mungkin adalah orang itu...

Aku menggeser pandanganku lebih jauh kedalam ruangan. Diantara semua orang yang duduk di lantai, sebuah sosok berbaju merah terus berdiri tegak. Orang itu adalah Heathcliff.

Tentu saja dia tidak tak tersayat. Saat aku memusatkan diri padanya, kursor muncul untuk menunjukkan HP-nya, dan aku dapat mengatakan dia telah kena beberapa hantaman. Dia telah menahan sabit tulang itu, yang aku dan Asuna harus bersusah payah menahannya, sendirian hingga saat terakhir. Takkan aneh bila dia runtuh karena kelelahan, terlepas dari HP-nya.

Tapi aku tak bisa merasakan tanda-tanda kelelahan sedikitpun dari sosok tenangnya. Ini ketahanan yang sulit dipercaya. Ini bagaikan---dia bagaikan sebuah mesin bertarung...

karena pikiranku masih melayang-layang karena kelelahan, aku terus menatap sisi dari wajah Heathcliff. ekspresi sang legenda tetap tenang. Dia dengan hening memandangi pada anggota-anggota KoB dan pemain-pemain lainnya. Matanya hangat dan penuh kasih sayang---seakan—

Seakan dia tengah memandangi segerombolan tikus putih yang bermain namun tak akan bisa keluar dari kandangnya.

Tepat saat itu, kurasakan sebuah getaran merambat ke sekujur tubuhku.

Pikiranku jernih seketika. tubuhku menjadi dingin, mulai dari ujung jemari, menyebar ke segala arah hingga pusat otakku. Ini firasat nan aneh. Fikiran mustahil mulai mengakar di pikiranku bagai sebuah benih dan kecurigaan tumbuh darinya.

Ekspresi di mata Heathcliff, ketenangan yang ditunjukkannya, bukan mata yang menenangkan sahabat-sahabatnya yang terluka. dia tak berdiri di tingkat yang sama dengan kami. Wajahnya tengah memberikan pengampunan dari sebuah tempat nan jauh di atas kami---ini wajah seorang dewa...

Kufikirkan mengenai kecepatan reaksi tak manusiawi yang Heathcliff tunjukkan saat duel kami. Ia jauh melebihi kecepatan manusia. Tidak, aku salah soal itu; ia jauh melebihi batas yang diset SAO untuk para pemainnya.

Tambahkan kelakuannya yang biasa di atas itu: Ia seorang pemimpin dari guild terkuat, namun dia tak pernah memberikan perintah apapun dan hanya menonton pemain lainnya mengurus segala hal. Mungkin itu bukan karena dia mempercayai bawahannya—mungkin dia menahan-nahan dirinya karena dia tahu hal-hal yang tak diketahui pemain-pemain biasa.

Dia adalah semacam makhluk yang tak terikat aturan-aturan permainan kematian ini. Tapi dia bukanlah seorang NPC. Tak mungkin sebuah program dapat membuat wajah yang begitu penuh ampunan.

Jika dia bukan NPC maupun pemain biasa, maka hanya ada satu kemungkinan tersisa. Tapi bagaimana caranya aku membuktikan ini? Tak ada caranya untuk itu... tidak satupun.

Tidak, ada satu cara. Cara yang hanya bisa kucoba disini sekarang juga.

Aku melihat batang HP Heathcliff. Ia telah banyak berkurang dari pertarungan keras ini. Tapi HPnya tak berkurang hingga ke setengahnya. Ia hanya sedikit, sedikit diambang daerah biru.

Tak ada yang pernah melihat HP orang ini jatuh ke daerah kuning. Ia memiliki pertahanan luar biasa yang tak dapat dibandingkan dengan seorangpun. Saat dia bertarung denganku, wajahnya berubah saat HPnya mendekati titik tengah. Itu bukan rasa takut akan berubahnya HP-nya menjadi kuning.

Itu adalah—kemungkinan besar---

Aku perlahan mengeraskan genggaman pada pedang di tangan kananku. Aku menarik kaki kananku ke belakang dengan gerakan sekecil mungkin. Kubengkokkan pinggang kebelakang sedikit dan mengambil kuda-kuda rendah. Heathcliff tak menyadari apapun gerakanku. Pandangan hangatnya tengah diarahkan hanya pada anggota guildnya yang kelelahan.

Jika tebakanku salah, aku akan dilabeli kriminal dan akan dihukum tanpa ampun. Jika itu yang terjadi...maafkan aku...

Aku melirik Asuna yang duduk di sebelahku. Dia menengadahkan kepalanya di saat yang bersamaan dan mata kami bertemu.

“Kirito...?”

Sebuah wajah terkejut menggelayuti Asuna, dan mulutnya menganga tak bersuara. Tapi saat itu, kaki kananku sudah menendang tanah kebelakang.

ada sekitar 10 meter antara aku dan Hethcliff. Aku melesat menuju dia dengan kecepatan penuh dengan tubuhku hampir menyentuh tanah dan mencapainya seketika. Lalu aku memutar pedangku dan menusuk ke atas. Ini adalah skill dasar pedang satu tangan <<Rage Spike>>. karena ini skill lemah, ini seharusnya tak membunuh Heathcliff meski membuat hantaman kritis. Tapi jika tebakanku benar—

Pedang menusuk masuk dari kiri, meninggalkan seberkas cahaya biru nan terang. Heatcliff bereaksi dengan kecepatan yang mengejutkan dan ekspresi terkejut nampak di wajahnya. Dia langsung mengangkat tamengnya untuk menahan.

Tapi aku sudah melihatnya melakukan gerakan itu berulang kali selama pertarungan kami dan aku mengingatnya dengan jelas. Pedangku larut menjadi seberkas cahaya, mengubah arah di tengah jalan, dan menggesek ujung tamengnya sebelum terus menusuk menuju dadanya.

Tapi tepat sebelum pedang menghantamnya, ia dihentikan tembok tak terlihat. Sebuah dentuman kuat menjalar melalui lenganku. Seberkas percikan cahaya ungu berkilat dan sebuah pesan dengan warna sama muncul---sebuah pesan sistem muncul diantara kami.

[Objek Abadi]. Ini bukan sebaris status yang dapat dimiliki makhluk lemah seperti kami, para pemain. Apa yang ditakutkan Heathcliff selama pertarungan itu pasti adalah tersingkapnya pengaman dewa ini pada semuanya.

“Kirito, apa yang kau---“

Asuna yang berteriak karena terkejut pada serangan tiba-tibaku dan berlari setelahku, tiba-tiba berhenti dan terpaku di tempat setelah melihat pesan itu. Aku, Heathcliff, Klein dan seluruh pemain lainnya di sekitar kami juga terpaku sempurna. Pesan sistem perlahan memudar dalam kebekuan ini.

Kurendahkan pedangku dan melompat ke belakang sedikit, memperlebar jarak antara aku dan Heathcliff. Asuna mengambil beberapa langkah ke depan dan berdiri di sebelahku.

“Keabadian yang dianugrahkan sistem---bagaimana ini mungkin---Pemimpin guild...?”

Heathcliff tak merespon bahkan setelah mendengar suara bingung Asuna. Dia hanya menatapku dengan wajah penuh amarah. Dengan kedua pedang di tanganku, aku membuka mulutku dan berkata:

“Inilah kebenaran dibalik legenda. HP-nya dilindungi sistem dan takkan jatuh ke dalam daerah kuning tak peduli apa yang terjadi padanya. Status keabadian---selain NPC, hanya admin sistem yang bisa memilikinya. Tapi permainan ini tak memiliki admin satupun, kecuali mungkin satu orang...”

Aku berhenti berbicara di titik ini dan menatap ke atas ke langit.

“...Aku selalu berfikir setelah kedatanganku di dunia ini...dimana sih dia melihat kami saat dia memanipulasi dunia ini. Tapi aku lupa satu kebenaran sederhana, yang bahkan seorang anak kecilpun seharusnya tahu.”

Aku menatap lurus pada si paladin merah dan melanjutkan:

“<<Tak ada yang lebih membosankan selain menonton orang lain memainkan permainan>>. Bukankah begitu?.....Kayaba Akihiko?”

Ada keheningan yang menyentak, seakan semuanya baru saja membeku.

Heathcliff tengah menatapku dengan wajah tanpa emosi. Pemain-pemain di sekitar kami tak bergerak bahkan satu ototpun. Tidak, lebih pas kalau dibilang mereka tak dapat bergerak.

Asuna mengambil satu langkah maju dari sisiku. matanya tak mengandung sedikitpun emosi, seakan mereka kehampaan tak berdasar. Dia membuka mulutnya sedikit dan berbicara dengan suara kering dan lirih hampir tak terdengar.

“Pemimpin....apa ini....benar?”

Heathcliff mengabaikan pertanyaannya. dia malah membengkokkan kepalanya sedikit dan menanyaiku:

“..Untuk sekedar referensi, bisakah kau menceritakan padaku bagaimana kau bisa tahu?”

“...Pertama kali aku merasa sesuatu tak beres adalah saat pertarungan kita, karena kecepatanmu pada saat terakhir itu terlalu cepat, itu saja.”

“Seperti yang sudah kuduga. Itu adalah kesalahan paling besar dariku. Aku begitu kewalahan oleh kecepatanmu sehingga akhirnya menggunakan bantuan sistem melebihi batas normalnya.”

Begitu Heathcliff mengangguk, wajahnya akhirnya menyingkap ekspresi lainnya; bibirnya bergerak perlahan membentuk senyum pahit.

“Awalnya aku berharap mencapai lantai 95 sebelum ini diuangkap.”

Senyumnya berubah menjadi penuh kuasa sambil perlahan menyapu pandangannya ke para pemain. lalu, sang paladin merah berkata dengan percaya diri:

“---Ya. Aku adalah Kayaba Akihiko. Aku juga raja terakhir permainan ini yang menunggu kalian di lantai teratas.

“...Kau memiliki selera yang aneh. tak terpikirkan bahwa pemain terkuat tiba-tiba jadi raja terakhir yang paling kuat.”

“Apa kau tak berfikir ini skenario yang menarik? Awalnya aku berfikir bahwa tersingkapnya ini akan memantik gelombang kejut ke seantero Aincrad, tapi tak pernah kupikir aku akan diketahui pada ¾ jalan permainan ini. Aku tahu kau adalah faktor yang paling tak bisa diprediksi dari permainan ini, tapi tak pernah membayangkan bahwa kau memiliki potensi semacam ini.”

Sebagai pencipta permainan ini yang telah memenjarakan pikiran 10 ribu pemain, Kayaba Akihiko tersenyum begitu berbeda dengan yang dimiliki Heathcilff sang Paladin. Tapi sosok tak tertandingi dan kokoh itu entah mengapa mirip dengan avatar tak beremosi yang turun pada kami dua tahun lalu.

Kayaba melanjutkan dengan senyum pahit:

“...Aku sudah mengira kaulah pemain yang akan menghadapiku di akhir. Dari 10 skill unik, <<Dual Blade>> diberikan pada pemain dengan kecepatan reaksi tertinggi, yang akan kemudian berperan sebagai pahlawan melawan raja terakhir, tak peduli dia menang atau kalah. Tapi kau telah menujukkan padaku kekuatan melebihi perkiraan, baik itu kecepatan maupun pandanganmu. Yah...Kupikir bahwa perkembangan yang tak diperkirakan sebelumnya adalah bagian dari esensi RPG online...”

Pada saat ini, salah satu pemain yang membeku bangkit perlahan. Dia salah seorang pemimpin KoB. Matanya yang tampak menyala berisi pederitaan tersiksa.

“Kau...kau...berani-beraninya kau mengambil kesetiaan---harapan kami...dan...dan...mengotori mereka sehancur-hancurnya---!”

Dia mengangkat Halberd raksasanya ke udara dan meluncurkan dirinya dengan sebuah teriakan. Bahkan tak ada waktu untuk menghentikannya. Kami hanya bisa menonton begitu dia mengayunkan senjatanya ke bawah pada Kayaba—Tapi Kayaba selangkah lebih cepat. Dia mengayunkan tangan kirinya dan dengan cepat memanipulasi jendela yang muncul; Orang itu langsung berhenti di tengah udara dan jatuh ke tanah dengan suara keras. Sebuah garis batas hijau menyala di sekitar batang HP-nya, mengindikasikan paralisis. Tapi, Kayaba tak berhenti disitu dan terus menggerakkan tangannya.

“Ah...Kirito...!”


Aku berbalik dan melihat Asuna bertekuk di tanah. Bukan hanya dia, tapi seluruh pemain selain aku dan Kayaba juga tertunduk ke tanah, melenguh dari posisi yang tak biasa.

Setelah menyarungkan pedangku, aku berlutut untuk memegangi tubuh bagian atas Asuna dengan lenganku, dan menggenggam tangannya, Lalu aku balik menghadap kayaba.

“...Apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan membunuh kami semua untuk menyembunyikan kebenaran...?

“Tentu saja tidak. Aku takkan pernah melakukan hal-hal yang sangat tak beralasan semacam itu.”

Ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

“Tapi karena keadaan telah mencapai titik ini, Aku tak punya pilihan lain. Akan memajukan jadwalku dan menunggu kedatanganmu di «Scarlet Jade Castle» di lantai atas, Adalah memalukan bahwa aku mesti keluar KoB, sebagaimana juga pemain garis depan lainnya, yang telah aku kembangkan dengan hati-hati untuk bertarung melawan mob-mob di lantai 90 keatas. Tapi aku percaya kalian semua seharusnya memiliki kekuatan yang cukup untuk mencapai lantai atas. Tapi...sebelum itu...”

Kayaba tiba-tiba berhenti berbicara dan menghadapkan matanya, yang penuh dengan kehendak yang meluap-luap, untuk terpusat padaku. Dia lalu menarik pedangnya dengan lembut ke lantai obsidian, dan sebuah suara logam yang tajam nan jelas bergema di udara.

“Kirito, karena kau telah menyingkap identitasku yang sebenarnya, aku akan menghadaihimu sebuah kesempatan: Kau bisa bertarung satu lawan satu dengan ku, disini sekarang juga. Tentu saja aku akan menghilangkan status abadiku. Jika kau menang, permainan akan langsung selesai, dan seluruh pemain bisa keluar. Apa jawabmu...?

Begitu dia mendengarnya, Asuna mulai menekan lenganku, mencoba sekerasnya untuk menggerakkan badannya yang lumpuh sambil menggelengkan kepalanya.

“jangan, Kirito...! Dia mencoba langsung menghabisimu...sekarang juga...Untuk sekarang kau harus mundur...!”

Instingku berkata itu jalan terbaik. Orang ini adalah admin yang bisa memanipulasi sistem. Meski dia bilang ini akan menjadi pertarungan yang adil, tak ada cara untuk mengetahui apakah dia entah bagaimana memanipulasi sistem atau tidak. Pilihan terbaik adalah mundur untuk sekarang dan mendatangkan sebuah rencana balasan bersama yang lainnya.

tapi...

Apa yang dikatakan orang itu? Bahwa dia membesarkan KoB? Bahwa kami pasti mencapai...?

“Benda yang penuh sampah...”

Tanpa sadar aku bergumam denagn suara nan kering.

Orang ini mengunci pikiran 10 ribu orang dalam dunia yang diciptakannya, dimana dia sudah membunuh 4 ribu dengan gelombang elektromagnetik. Dia menonton para pemain berusaha dengan bodoh dan kasihannya berdasarkan cerita yang disusun. Ini pasti pengalaman paling menyenangkan yang ada bagi seorang Game Master.

Aku memikirkan masa lalu Asuna, yang terbagi denganku di lantai 24. Aku mengingat airmata yang ditumpahkannya saat dia memelukku. Orang di depan mataku telah menciptakan dunia ini untuk kesenangannya sendiri dan menyakiti hati Asuna dalam jumlah tak terhitung, membuatnya berdarah hebat, tak mungkin bagiku mundur dari ini.

“baiklah. Ayo kita bereskan ini.”

Aku mengangguk pelan.

“Kirito...!”

Pada jeritan Asuna yang tertahan, aku menjatuhkan pandanganku pada sosok di lenganku. Nyeri menusuk hatiku seakan dadaku ditusuk sampai belakang, tapi entah bagaimana aku bisa memaksakan sebuah snyuman.

“Maaf. Tapi aku tak bisa...kabur sekarang...”

Asuna membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi lalu menyerah di tengah-tengah dan mencoba sebisanya untuk tersenyum.

Setetes airmata mengalir ke di pipinya.

“Kau tak berencana...mengorbankan dirimu, kan...?”

“Tentu saja...Aku pasti menang. Aku akan menang dan mengakhiri dunia ini.”

“OK. Aku akan percaya padamu.”

Bahkan jika aku kalah dan tewas, kau harus terus hidup---meski aku ingin mengatakan itu, tetap saja aku tak bisa mengeluarkannya. Aku hanya bisa memegangi tangan kanan Asuna dengan erat sebagai gantinya.

Setelah aku melepaskan tangannya, aku membaringkan tubuh Asuna ke bawah di lantai obsidian lalu bangkit berdiri. Aku perlahan menghampiri Kayaba yang tengah memandangi kami tanpa suara dan mengeluarkan kedua pedangku dengan suara tajam.

“Kirito! Hentikan---!”

“Kirito---!”

saat aku membalikkan kepala terhadap sumber suara, kulihat Klein dan Agil berteriak dan berusaha sekerasnya untuk bangkit. Aku pertama-tama memusatkan pandanganku pada Agil dan mengangguk perlahan padanya.

“Agil, terima kasih atas dukungannya pada pemain-pemain kelas petarung hingga saat ini. Aku tahu kau menghabiskan sebagian besar uang yang kau dapat untuk membantu pemain-pemain di lantai-lantai tengah.”

Aku tersenyum pada si raksasa yang matanya terbuka lebar sebelum menggeser pandanganku.

Si ksatria berkatana, dengan bandana sederhana dan pipi penuh janggut, gemetaran di lantai seakan dia masih berusaha mencari kata-kata untuk diutarakan.

Aku menatap lurus pada mata nan dalamnya dan mengambil napas dalam-dalam. Kali ini, tak peduli seberapa keras aku mencoba, aku tak bisa mengendalikan suaraku yang bergetar.

“Klein, waktu itu...Aku benar-benar menyesal....meninggalkanmu. Aku selalu menyesalinya.”

Begitu aku menyelesaikan baris pendek ini dengan suara parauku, sesuatu berkilar di sudut mata teman lamaku, dan airmata langsung mengaliri satu demi satu.

Dengan airmata yang masih memancar dari matanya, Klein menggeliat untuk bangkit sambil berteriak keras dengan suara parau yang hendak pecah:

“Sialan kau....! Kirito! Jangan meminta maaf! Jangan meminta maaf sekarang! Aku takkan memaafkanmu! Hingga kau mengundangku makan-makan di dunia nyata, aku pasti takkan memaafkanmu!!”

Aku mengangguk pada Klein, yang terus berteriak.

“Ya, aku janji. nanti aku akan mengunjungimu di dunia lain.”

Aku mengangkat tangan kananku dan memberinya jempol.

Akhirnya aku membalikkan pandanganku pada gadis yang membuatku mengatakan kata-kata yang telah terkubur dalam-dalam di hatiku selama dua tahun.

Aku memandangi wajah Asuna yang tersenyum dan dibanjiri airmata---

Aku menggumamkan permintaan maaf kepadanya dalam pikiranku dan membalikkan badan. Aku menghadapi Kayaba, yang masih memiliki wajah penuh kuasa mutlak, dan membuka mulutku:

“...Maaf soal ini, tapi aku punya satu hal untuk ditanyakan.”

“Apa itu?”

“Aku tak punya keinginan kalah, tapi jika aku mati---bisakah kau mencegah Asuna bunuh diri, bahkan bila hanya untuk masa yang pendek?”

Kayaba mengangkat alis karena terkejut, tapi dengan tenang mengangguk pada permintaanku.

“Baiklah. Aku akan menyetnya sehingga dia takkan bisa meninggalkan salemburg.”

“Kirito, jangan!! kau tak, tak bisa melakukan ini---!!”

Asuna menjerit penuh airmata di belakangku. Tapi aku tak berbalik ke belakang. Aku menggeser kaki kananku mundur, kubawa pedang kiriku maju sambil merendahkan pedang kanan, dan selesai menyiapkan kuda-kudaku.

Kayaba memanipulasi jendela dengan tangan kirinya dan menyamakan batang HP kami pada tingkat yang sama. tingkat yang tepat sebelum zona merah, dimana satu pukulan yang kuat bisa menentukan pertarungan.

Setelah itu, pesan sistem [Chance to Mortal Object] muncul di atas kepanya. Kayaba lalu menutup jendela-jendela, menarik keluar pedangnya yang dia tancapkan ke tanah, dan mengangkatnya di belakang tameng berbentuk salibnya.

Pikiranku sepenuhnya tenang dan jernih. Pikiran-pikiran semacam ‘maaf, Asuna’ menguap tak berbekas begitu aku menajamkan insting bertarung dalam diriku menjadi ujung pisau.

Jujur saja, aku tak tahu tentang kesempatan menangku. Jika kita hanya berbicara soal skill-skill pedang, maka dia tak lebih baik dariku berdasarkan pertarungan terakhir. Tapi itu hanya jika dia tak menggunakan ‘Bantuan lebih’. dimana hanya dia bisa bergerak sementara aku sepenuhnya beku di tempat.

Ini semua tergantung pada harga diri Kayaba. Berdasarkan kata-katanya, dia berencana mengalahkanku hanya dengan kekuatan «Holy Sword». Jika itu benar, maka kesempatanku bertahan melalui ini adalah mengalahkannya sebelum dia menggunakan kemampuan khusus manapun.

Jarak antara aku dan Heathcliff menegang. Rasanya seakan udara itu sendiri yang bergetar di bawah tekanan kehendak membunuh yang kami pancarkan. Ini bukan lagi sebuah pertarungan, melainkan menyabung nyawa. Ya benar---Aku akan---

“Membunuhmu...!!”

Aku meluncur ke depan dengan teriakan tajam.

Kuayunkan pedang kanan mendatar begitu jarak mendekat. Kayaba dengan mudah menahannya dengan tamengnya. Ada sejumlah percikan dan wajah kami diterangi untuk sedetik.

Sepertinya suara benturan logam menandai dimulainya pertarungan kami; Senjata kami langsung mempercepat diri kedalam kecepatan yang mematahkan rem dan mengisi ruang diantara kami.

Pertarungan ini adalah yang teraneh, namun pertarungan paling manusiawi dari semua pertarungan yang kulalui hingga saat ini. Kami berdua sudah saling menunjukkan skill-skill kami. Terlebih lagi, inilah orang yang merancang «Dual Blade», sehingga dia dengan mudah membaca kombinasi skill biasa. Itulah mengapa dia bisa menahan semua seranganku selama pertarungan terakhir kami.

Aku tak bisa mengandalkan kombinasi yang diberikan sistem; Aku harus mengandalkan kemampuan dan instingku sendiri untuk mengayunkan pedangku. Tentu saja aku tak dapat menerima bantuan sistem dengan cara ini, tapi aku masih bisa menggerakkan lengaku dengan kecepatan tinggi dengan bantuan indraku yang makin peka. Aku bahkan bisa melihat bayangannya, dan tampak bagai ada lusinan pedang di tanganku. Tapi---kayaba menahan mereka semua dengan ketepatan yang mencengangkan. Dia juga langsung membalas begitu aku menunjukkan kelengahan sekecil apapun. Keadaan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berubah.. Aku berkonsentrasi pada mata Heathcliff sebagai usaha membaca bahkan sekeping pikiran dan reaksi musuh. Akhirnya kami saling bertukar pandang sebagai hasilnya.

Tapi Mata perunggu Kayaba---Heathcliff dingin dan sunyi. Tiada sesepora perasaan manusia yang ditunjukkannya kali terakhir.

Tiba-tiba sebuah rasa dingin mengaliri punggungku.

Lawanku adalah seseorang yang tanpa ampun membunuh sekitar 4.000 orang. Bisakah seorang manusia biasa melakukan hal semacam itu? Kematian 4.000, kutukan dari yang 4.000, dia bisa menanggung tekanan itu dan tetap tenang sempurna---Dia bukan seorang manusia, dia seekor monster.

“Aaaaaaah!”

Aku menjerit untuk menghapus kepingan kecil ketakutan yang muncul dari dasar pikiranku. AKu terus mempercepat gerakanku dan menghujaninya hantaman yang tak terhitung per detik. Tapi wajah Kayaba tak menunjukkan perubahan. Dia menahan seluruh seranganku dengan tameng salib dan pedang panjangnya dengan kecepatan yang tak dapat dilihat mata telanjang.

Apa dia hanya mempermainkanku---!?

Ketakutanku menjelma jadi ketegangan. Apa mungkin Kayaba hanya bertahan karena dia sebenarnya bisa menyerang balik kapanpun dia mau dan percaya diri bahwa dia bisa bertahan dari bahkan sebuah hantaman langsung dariku?

Kecurigaan mengambil alih pikiranku. Dia bahkan tak pernah memerlukan bantuan lebih dari awal.

“Sialan...!”

Tapi---bagaimana dengan ini---?!

Aku merubah pola serangku dan mengaktifkan «The Eclipse», skill tingkat tertinggi Dual Blade.

Bagaikan ujung gerhana yang menelan, pedangku mengirimkan 27 serangan beruntun pada Kayaba—

Tapi---kayaba telah menungguku menggunakan skill kombo yang dirancang sistem. Wajahnya memunculkan ekspresi untuk pertama kalinya sejak pertarungan dimulai. ekspresi yang sangat berlawanan dengan yang ditunjukkannya terakhir kali--- itu adalah senyum seseorang yang yakin atas kemenangan.

Aku menyadari kesalahanku begitu aku melancarkan serangan pembuka kombo ini. di saat-saat terakhir ini aku malah bergantung pada sistem, bukan pada diriku sendiri. Tapi sudah mustahil bagiku untuk menghentikan skill, dan begitu serangan berhenti, aku akan berada pada keadaan diam sesaat. Terlebih lagi, Kayaba membaca seluruh pukulanku, dari awal kombo hingga serangan terakhir. Begitu aku melihat Kayaba mengayunkan tamengnya dengan kecepatan yang membutakan, menangkis pedang-pedangku dengan pengetahuan dimana tiap pukulan akan mendarat, aku bergumam dalam pikiranku:

Maaf—Asuna...setidaknya kau harus—terus hidup---

Serangan ke-27 mengenai bagain tengah tameng, memancarkan hujan percikan. Lalu, dengan diiringi jeritan berdentang logam, pedang di tangan kiriku pecah.

“Yah, ini adalah selamat tinggal---Kirito-kun.”

Kayaba mengangkat pedangnya tinggi-tinggi diatasku yang terbengong-bengong. Sebuah sinar merah gelap terpancar dari pedang. Pedang merah darah itu diayunkan ke bawah padaku---

Di saat itu, sebuah suara kuat dan bergetar bergema dalam kepalaku.

Aku—akan melindungi---Kirito!!

Bayangan seseorang masuk diantara pedang merah Kayaba dan aku dengan kecepatan yang mengejutkan. Rambut panjang dan coklat chestnut menari di angin di depan mataku.

Asuna---bagaimana bisa---!?

Dia berdiri di depanku meski seharusnya dia tak bisa bergerak karena lumpuh. Dia dengan berani membusungkan dadanya dan membentangkan lengannya lebar-lebar.

Sebuah ekspresi terkejut terlihat di wajah Kayaba. Tapi tak ada yang bisa menghentikan serangannya sekarang. Semuanya bergerak seakan dalam gerak diperlambat begitu pedang panjang itu membelah jalannya ke bawah, melalui bahu Asuna dan terus hingga ke dada sebelum akhirnya berhenti.

Aku mengulurkan kedua tanganku pada Asuna begitu dia jatuh kebelakang padaku. dia terlentang dalam lenganku tanpa suara.

Begitu pandangannya bertemu denganku, Asuna tersenyum lemah. Bar HP-nya---habis.

Waktu berhenti.

Matahari yang terbenam. Padangnya. Angin sepoi-sepoinya. Cuaca yang agak dingin.

Kami berdua tengah duduk di sepuncak bukit dan melihat ke bawah ke danau yang berkilauan dengan warna merah keemasan dari matahari yang terbenam.

Suara daun-daun bergesekan. Suara burung-burung yang kembali ke sarangnya,

Dengan lembut, Dia memegangi tanganku, lalu menyenderkan kepalanya pada bahuku.

Awan-awan berlalu. Lalu bintang-bintang mulai bermunculan satu demi satu, berkemilau di langit petang.

Kami saling bertatapan dengan dunia yang terus merubah warnanya sedikit demi sedikit.

“Aku agak lelah. Bisakah aku beristirahat di pangkuanmu sebentar?”

Aku menjawab dengan sebentuk senyuman.

“Ya, tentu saja. Beristirahatlah dengan tenang---“

Asuna di tanganku sekarang tersenyum tepat seperti waktu itu, matanya berisi cinta tak terbatas. Tapi berat dan kehangatan waktu itu sudah habis menghilang.

Sedikit demi sedikit, tubuh Asuna dengan perlahan ditelan seberkas cahaya emas. Sinar-sinar kecil cahaya mulai runtuh dan menjauh.

“Ini lelucon kan....Asuna...ini...ini...”

Aku bergumam dengan suara penuh getaran. Tapi cahaya yang tak berperasaan semakin terang dan semakin terang lalu---Setetes airmata mengalir dari mata Asuna, yang bersinar sesaat sebelum menghilang. Bibirnya bergerak sedikit, perlahan, seakan dia memaksakan suara terakhirnya keluar darinya.

M a a f

K a u m e l a k u k a n y a n g t e r b a i k

Tubuhnya mulai melayang---

Cahaya yang membutakan meledak dalam tanganku, berubah wujud menjadi berjuta-juta poligon-poligon yang melayang di udara.

Dan tubuhnya tak berbekas sedikitpun.

Aku menjerit dalam sunyi dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengumpulkan cahaya-cahaya yang terpencar kembali ke tanganku. Tapi poligon-poligon emas terbang ke udara seakan ditiup angin, dimana mereka berpencar dan menghilang. Dengan begitu saja, dia telah meninggal.

Ini bukanlah sesuatu yang seharusnya terjadi. Ini tak mungkin terjadi. Ini seharusnya tidak. Seharusnya---. Aku berlutut di tanah seakan aku hendak runtuh, begitu poligon terakhir melayang turun ke telapak kananku lalu menghilang.