Sword Art Online Bahasa Indonesia:Jilid 7 Bab 2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 2[edit]

-* Beep, beep *

Dengan suara elektronik singkat seperti itu AmuSphere mati.

Perlahan Asuna membuka matanya. Bahkan sebelum matanya terfokus pada langit-langit di kamarnya yang gelap, Asuna sudah merasa kedinginan, udara lembab menempel di kulitnya.

Meskipun ia mengatur pengatur suhu ruangan (air conditioner) pada mode penghangat ringan, sepertinya dia lupa untuk mematikan timernya dan alhasil menjadi mati selama FullDive. Temperatur di kamar seluas 10 tatami tersebut hampir sama dengan suhu di luar. Mendengar suara pelan, dia berputar menuju jendela besar dan menyadari begitu banyak embun air pada kacanya yang gelap.

Sambil menggigil Asuna bangkit perlahan dari tempat tidur. Ia memanjangkan jarinya menuju kontrol pada control panel yang tertanam dan menekan sensor sentuhnya. Hanya dengan gerakan tersebut, disertai dengan suara mesin yang pelan, gorden tertutup, udara panas bertiup dari pengatur suhu ruangan dan lampu LED di langit-langit memancarkan cahaya oranye muda.

Satu paket teknologi interior yang dikembangkan oleh RECTO telah ter-install di kamar Asuna. Kamarnya telah direnovasi selama ia berada di rumah sakit, namun dengan alasan tertentu Asuna tidak menyukai sistem nyaman tersebut. Segala sesuatu di kamarnya dikontrol oleh jendela menu dalam hal ini seperti di dunia virtual, namun untuk alasan tertentu rasanya sedikit ‘dingin’ begitu hadir di dunia nyata. Ia merasa seperti selalu di batas pandangan anorganik dari sensor yang ter-install di sepanjang dinding dan lantai.

Boleh jadi alasan dia merasa seperti itu karena dia sering mengunjungi Kirito, dalam hal ini rumah Kirigaya Kazuto. Kehangatan rumah tradisional Jepang berbeda dengan suasana ‘dingin’ yang ia miliki. Hal yang sama juga ia alami di rumah kakek-nenek dari pihak ibunya. Ketika ia bermain di sana saat musim panas, dia selalu duduk pada beranda yang bermandikan sinar matahari dan mengayunkan kakinya sembari menikmati es serut buatan neneknya. Namun, telah lama kakek dan nenek dari pihaknya ibunya meninggal dan rumah tersebut telah dirubuhkan beberapa waktu yang lalu--.

Menghela nafas perlahan, Asuna mengenakan selopnya dan bangkit berdiri. Tiba-tiba ia merasa sedikit pusing, jadi dia melihat ke arah bawah sebentar, sadar betul akan berat yang menahannya di dunia nyata.

Tentu saja, perasaan berat tersebut terstimulasi di dalam dunia fantasi. Namun di dunia itu, jiwa dan raga Asuna dapat membumbung tinggi ke langit hanya dengan hentakan pelan di lantai. Berat di dunia nyata tidak hanya secara fisik, berat itu juga mengandung begitu banyak aspek yang tidak bisa disingkirkan sekeras apapun kamu mencoba. Meskipun ingin berbaring di tempat tidur, waktu makan malam sudah dekat. Bila dia terlambat semenit saja, ibunya akan memiliki hal lain yang akan dikeluhkannya.

Sembari berjalan dengan susah payah menuju lemari, pintunya terbuka tanpa menunggunya menggerakkan tangan. Melepaskan sweaternya yang nyaman, dengan malas ia melemparnya ke atas tempat tidurnya. Dia menggantinya dengan rok bersih berwarna hitam-ceri dan duduk di dekat meja rias. Kaca tiga sisi terbuka dengan otomatis diikuti dengan lampu yang menyala di atasnya.

Bahkan di rumahnya, ibu Asuna tidak mengijinkannya tampil dengan dandanan selebor. Asuna mengambil sisir dan dengan cepat merapikan rambutnya yang berantakan selama FullDive.

Tiba-tiba Asuna teringat pemandangan yang ia lihat ketika berada di rumah Kirigaya di Kawagoe. Lyfa/Suguha mengatakan bahwa ia dan Kirito bertanggung jawab untuk menyiapkan makan malam pada hari itu. Kazuto dengan mata mengantuk dipaksa turun ke lantai bawah oleh Suguha. Berdua mereka berdiri bersebelahan, Suguha memotong sayuran sementara Kirito memanggang ikan. Ibu mereka kembali pada saat itu, dan menikmati bir sambil menonton TV. Dengan bersemangat mereka berbincang-bincang sambil menyiapkan santapan dan ketika makan malam telah siap, mereka bertiga mengatakan “Mari makan” bersamaan.

Menghela napas panjang sambil gemetar, Asuna menahan air matanya, meletakkan sisir dan bangkit berdiri.

Lampu di belakangnya mati tanpa menunggu ia menutup pintu sambil ia berjalan keluar kamarnya menuju koridor yang gelap.

Pelayan Sada Akiyo baru membuka pintu depan ketika Asuna berjalan menuruni tangga semi-sirkular dan mencapai lantai pertama. Dia telah menyiapkan makan malam dan bersiap untuk pulang.

Asuna menghadap wanita pendek 40 tahun tersebut dan menyapanya.

“Anda telah bekerja keras, Sada-san. Aku berterimakasih atas pekerjaan anda setiap hari. Aku minta maaf aku menunggu sampai sekarang untuk mengatakannya.

Pada hal ini, Akiyo menggelengkan kepalanya dengan mata melebar sambil menganggap hal tersebut tidak ada dan dengan segera manyapa kembali.

“Ti, Tidak apa-apa, nona. Inilah pekerjaan saya”

Selama beberapa tahun, Asuna telah menyadari bahwa hal ini akan sia-sia namun ia tetap mengatakannya. Dia mendatanginya dan dengan pelan bertanya.

“Apa ibu dan kakak sudah kembali?”

“Sepertinya Kouichirou-sama tidak akan pulang sampai nanti. Nyonya besar sudah ada di ruang makan.”

“... Jadi begitu, terimakasih. Aku minta maaf telah mengganggu anda.”

Asuna menggangguk padanya, dan Akiyo membungkuk sekali lagi sebelum ia membuka pintu dan bergegas pulang ke rumah.

Asuna ingat bahwa Akiyo memiliki 2 anak di sekolah menengah pertama dan sekolah dasar. Meskipun ia tinggal di Setagaya, dia akan sampai di rumah pukul 7:30 setelah berbelanja bahan makanan. Masa-masa yang sulit untuk anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Sekali waktu Asuna mengatakan pada ibunya untuk mengijinkan Akiyo meninggalkan makan malam yang telah selesai di sini, namun ibunya hanya mengabaikannya.

Mendengar suara metalik dari tiga pintu yang terkunci. Asuna berputar dan menyeberang aula masuk untuk menuju ruang makan.

Bersamaan ketika dia mendorong untuk membuka pintu tebal dari pohon ek, suara pelan namun tegas mencapai gendang telinga Asuna.

“Kamu terlambat.”

Melihat jam di dinding, waktu tepat menunjukkan pukul 6:30. Baru saja Asuna hendak mengatakan hal tersebut, suara ibunya kembali terdengar.

“Tolong datang di meja makan lima menit lebih cepat.”

“... Maaf”

Bergumam perlahan, Asuna melangkah di atas karpet, mendekati meja dan duduk pada kursi dengan sandaran yang tinggi dengan mata sedih.

Di tengah-tengah ruang makan seluas 20 tatami terdapat meja panjang dikelilingi delapan kursi. Kursi kedua dari pojok timurlaut adalah kursi Asuna. Kakaknya Kouichirou duduk di sebelah kirinya dan ayahnya duduk di ujung timur, namun saat ini kedua kursi tersebut kosong.

Ibu Asuna- Yuuki Kyouko duduk berada diagonal dari sisi kirinya, membaca buku ekonomi sembari menikmati sherry favoritnya di salah satu tangannya.

Dia cukup tinggi untuk seorang wanita. Meskipun kurus, tampilannya yang begitu tegap menghapus itu semua. Rambutnya dicat dengan warna coklat pirang tertata di sisinya dengan potongan rapi sepanjang rahangnya.

Meskipun wajahnya cukup cantik, hidung dan garis rahang, begitu juga dengan kerutan dalam dekat mulutnya menghasilkan kesan yang sangat dingin. Mungkin kesan tersebut yang ingin ia ciptakan. Dengan kata-kata yang tajam dan sikap politik yang sengit, dia mengalahkan pesaing-pesaingnya dan meraih gelar profesor di usianya yang ke 49 tahun lalu.

Sembari Asuna duduk, Kyouko menutup buku bersampul tebal, meletakkan serbet di lututnya dan mengambil pisau dan garpu sebelum akhirnya melihat Asuna.

Asuna melihat ke bawah, bergumam “Selamat Makan”, dan mengambil sendok.

Untuk sementara, hanya suara alat-alat makan yang terdengar di ruang makan.

Menunya adalah salad sayuran dengan blue cheese, scafata di fave, ikan goreng dengan saus herb, roti gandum... hal seperti itu. Makanan sehari-hari ditentukan oleh kalkulasi nutrisi dari Kyouko, namun tentu saja bukan dia yang memasaknya.

Sambil menikmati makan, Asuna berpikir sejak kapan makan dengan hanya mereka berdua menjadi penuh ketegangan.

Tidak, mungkin sudah seperti itu sejak lama. Ia ingat ketika betul-betul dimarahi saat ia menumpahkan supnya atau tidak memakan sayurannya. Itu terjadi di masa lalu, Asuna tidak pernah tahu bahwa makan dapat begitu menyenangkan.

Sambil makan dengan kaku, pikirannya melayang menuju rumahnya di dunia lain. Tiba-tiba suara Kyouko menariknya kembali ke dunia nyata.

“... Apa kamu menggunakan mesin itu lagi?”

Asuna memandang sekilas ibunya, dan mengangguk.

“... Iya. Karena yang lain setuju untuk bertemu dan mengerjakan tugas bersama.”

“Hal-hal seperti tugas, kamu tidak akan belajar apapun kalau tidak mengerjakannya sendiri.”

Kyouko tidak akan mengerti meskipun ia mengatakan bahwa ia mengerjakannya sendiri. Asuna menundukkan kepalanya dan mengganti topik pembicaraan.

“Tempat tinggal mereka cukup jauh. Di sana, kami bisa bertemu kapan saja.”

“Menggunakan mesin seperti itu tidak bisa disebut pertemuan. Dari awal, tugas adalah sesuatu yang harusnya kamu kerjakan sendiri. Kamu cuma bermain kalau mengerjakannya dengan teman-teman.”

Menyentuh gelas sherry-nya, Kyouko berbicara lebih cepat.

“Dengar baik-baik, kamu tidak punya waktu untuk bermain. Karena kamu sudah dua tahun tertinggal dari anak-anak yang lain, harusnya kamu berusaha lebih keras untuk menebus dua tahun itu.”

“... Aku belajar dengan baik. Bukannya kartu laporan semester kedua sudah di-print dan kuletakkan di meja ibu?”

“Aku sudah melihatnya, tapi hasil evaluasi dari sekolah seperti itu tidak bisa dijadikan bahan pertimbangan.”

“Sekolah... seperti itu?”

“Dengar baik-baik Asuna. Di semester ketiga, kamu akan diajari guru pribadi di luar sekolah. Bukan yang populer akhir-akhir ini dengan internet, mereka akan datang ke rumah ini.”

“Tunggu... Tunggu sebentar, kenapa tiba-tiba ibu...”

“Coba lihat ini.”

Protes Asuna dihentikan Kyouko tanpa memberikan celah untuk alasan dan ia mengambil PC Tablet dari atas meja. Asuna mengerutkan dahi ketika ia melihat layar dari PC Tablet yang diberikan ibunya.

“... Apa ini... Contoh untuk... tes untuk murid pindahan?”

“Itu tes untuk perpindahan murid tahun ketiga di sekolah yang dikelola salah satu teman ibu, itu satu-satunya kesempatan yang ibu dapat setelah membujuknya dengan berbagai cara. Itu tidak seperti sekolahmu yang dikumpulkan bersama-sama, itu benar-benar sekolah. Disana menggunakan sistem kredit, jadi kamu hanya butuh setengah tahun untuk memenuhi syarat kelulusan. Dengan begitu, kamu bisa melanjutkan ke Universitas di bulan September.”

Asuna menatap Kyouko dengan tercengang, meletakkan PC Tablet di atas meja dan mengangkat tangan kirinya untuk menghentikan ibunya yang semakin lama semakin bersemangat.

“Tunggu, tunggu sebentar. Aku benar-benar merasa terganggu ibu memutuskan ini sepihak. Aku benar-benar menyukai sekolahku sekarang. Banyak guru-guru yang bagus di sana, aku bisa belajar dengan benar bila aku di sana. Tidak perlu harus pindah.”

Mendengar kata-kata itu, Kyouko menghela dengan tegas, menutup matanya, memiringkan gelasnya yang berlingkar emas dan berdiri tegak. Tindakan ini adalah tindakan khas Kyouko, dan merupakan teknik berbicara yang biasa dia gunakan untuk membiarkan musuh-musuhnya mengetahui keunggulannya. Bahkan banyak pria gemetar ketika dia melakukan tindakan ini di sofa ruang guru. Hingga suaminya Shouzou berusaha menghindari pandangan Kyouko ketika di rumah.

“... Ibu sudah menyelidiki dengan seksama.”

Kyouko berbicara dengan nada dikdatis.

“Tempat yang kamu datangi sekarang bahkan tidak bisa disebut sekolah. Kurikulumnya berantakan dan standar pelajarannya sangat rendah. Guru-gurunya dikumpulkan bersama, tidak mungkin mereka punya sejarah mengajar yang layak. Daripada fasilitas akademik, tempat itu lebih tepat disebut rumah sakit gila.”

“Itu... Pernyataan seperti itu...”

“Mereka membuatnya terlihat bagus dan menyebutnya fasilitas untuk mendidik murid-murid yang tertinggal karena peristiwa itu, tapi kenyataanya, sekolah itu hanya tempat untuk mengawasi semua anak-anak yang mungkin akan menimbulkan masalah di masa depan. Fasilitas seperti itu penting untuk mereka yang telah membunuh satu sama lain di dunia gila itu, tapi kamu tidak perlu ke sana.”

“...”

Asuna bahkan tidak mampu merespon perkataan yang sangat sepihak ini.

Sekolah yang ia ikuti sejak musim semi terakhir berada di Nishitokyo, dan sekolah tersebut dibangun dengan benar-benar tergesa-gesa dalam waktu dua bulan semenjak pengumuman proyek tersebut. Tujuannya adalah untuk membimbing anak-anak yang pendidikannya tertinggal selama 2 tahun akibat terjebak dalam game kematian «Sword Art Online». Semua pemain SAO yang berusia dibawah 18 tahun memiliki izin masuk bebas, dan bila lulus kamu dapat mendaftar ujian masuk universitas. Perlakuan terlalu baik tersebut menerima kecaman untuk sementara.

Akan tetapi, Asuna sendiri mengerti ketika ia mengikuti sekolah tersebut bahwa hal tersebut bukanlah keuntungan sederhana semata. Semua murid-murid diwajibkan mengikuti konsultasi satu kali dalam seminggu, dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang secara jelas merupakan tes untuk perilaku anti-sosial. Berdasarkan jawabanmu, kemungkinan kamu dapat dikirim kembali ke rumah sakit untuk didiagnosa bahkan diminta untuk meminum obat. Jadi pernyataan Kyouko bahwa tempat tersebut adalah «Rumah Sakit Jiwa» tidaklah tanpa alasan.

Meskipun begitu, Asuna menyukai sekolah itu. Tidak peduli apa yang pemerintah dan kementrian pikirkan, guru-gurunya adalah mereka yang secara sukarela dan tanpa pamrih menghadapi murid-muridnya. Tidak perlu untuk murid-murid dengan sengaja menyembunyikan masa lalu mereka, dan lebih penting lagi dia dapat berkumpul bersama teman-teman dekatnya. Dengan Lisbeth, Silica, beberapa rekan-rekannya di baris depan, dan tentu saja –- Kirito.

Asuna menggenggam erat garpunya dan menggigit bibirnya, dan berusaha melawan gejolak dalam hatinya untuk menceritakan kepada ibunya segalanya dari awal hingga akhir.

Dia melawan gejolak untuk memberitahu ibunya, “Aku adalah salah satu dari orang-orang «yang telah membunuh satu sama lain» seperti yang ibunya sebutkan. Aku telah hidup dengan membunuh dengan pedangku setiap hari, dan aku tidak merasa sedikitpun penyesalan dari hari-hari itu.”

Kyouko melanjutkan pembicaraannya, tidak menyadari perjuangan di hati Asuna.

“Apabila kamu mengikuti tempat seperti itu, kamu tidak akan bisa melanjutkan ke universitas dengan baik. Pikirkan baik-baik, kamu sudah berumur delapan belas tahun. Tetapi, di mana kamu saat ini, kamu tidak tahu kapan kamu akan bisa melanjutkan ke universitas. Kamu harus pergi ke pusat pemeriksaan untuk pemeriksaan minggu depan. Apa kamu tidak khawatir sama sekali?”

“Hal seperti melanjutkan ke universitas... Tidak ada masalah kan kalau masuk beberapa tahun berikutnya. Lagi pula, melanjutkan ke universitas bukan hanya satu-satunya jalan hidup...”

“Tidak.”

Kyouko menolak dengan dingin kata-kata Asuna.

“Kamu punya kemampuan. Kamu tahu bagaimana sulitnya yang harus ibu lalui untuk menarik keluar kemampuan itu. Tapi kamu sia-siakan dua tahun di game aneh itu... Ibu tidak akan mengatakan ini kalau kamu hanya anak biasa. Akan tetapi, kamu tidak seperti itu. Tidak menggunakan bakatmu sepenuhnya dan membiarkannya membusuk adalah sebuah dosa. Kamu punya kualifikasi dan kemampuan untuk pergi ke universitas sempurna dan mendapatkan pendidikan kelas atas. Maka kamu harus melakukannya. Kamu bisa tetap di universitas dan terus belajar atau menggunakan kemampuanmu untuk pemerintahan atau swasta, ibumu ini tidak akan ikut campur sampai situ. Akan tetapi, ibu tidak akan mengijinkanmu untuk menyerahkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi.”

“Aku tidak punya hal seperti bakat alami.”

Akhirnya Asuna dapat menyela selama pidato panjang Kyouko.

“Jalan hidup seseorang harus ditentukan dirinya sendiri, iya kan? Di masa lalu, aku juga berpikir melanjutkan ke universitas yang bagus dan mendapatkan pekerjaan yang baik adalah segalanya dalam hidup. Tetapi, aku sudah berubah. Meskipun aku tidak bisa menjawabnya sekarang, aku yakin aku akan menemukan sesuatu yang ingin aku lakukan. Aku ingin tetap di sekolah yang sekarang untuk tahun berikutnya dan mencari tahu apa yang aku inginkan.”

“Itu hanya membatasi pilihanmu. Tidak peduli berapa tahun kamu di tempat seperti itu, tidak akan ada jalan yang bisa kamu pilih. Akan berbeda kalau kamu pindah sekolah. Universitas di atasnya juga terkenal, jadi kalau kamu dapat hasil yang baik disana, kamu bisa pindah ke universitas tempat ibu. Dengar baik-baik, Asuna. Ibu tidak ingin kamu berjalan di jalan yang salah. Ibu ingin kamu punya karir yang bisa kamu banggakan ke siapapun.”

“Karirku... Jadi, bagaimana dengan orang yang dikenalkan kepadaku bulan Januari kemarin? Meskipun aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan, orang itu bicara seperti dia sudah jadi tunanganku. Bukannya ibu yang membatasi hidupku?”

Asuna tidak mampu lagi meredam getaran di suaranya. Meskipun dia mengerahkan semua kekuatannya di tatapannya. Kyouko dengan tenang meminum dari gelasnya.

“Pernikahan adalah bagian dari karirmu. Apabila kamu tidak menikahi seseorang yang bebas secara materiil, kamu akan menyesalinya di beberapa tahun kemudian. Hal-hal yang kamu katakan ingin lakukan menjadi mustahil. Pada aspek tersebut, Yuuya sangatlah sempurna. Akhir-akhir ini, bank lokal yang dijalankan oleh keluarga kita lebih meyakinkan daripada bank besar dengan persaingan konstan antar golongan. Ibu juga sangat menyukai Yuuya. Bukankah dia anak yang terus-terang?”

“... Sepertinya ibu tidak belajar sama sekali. Yang memulai insiden yang menyebabkanku dan banyak orang lain menderita dan membuat RECTO berada pada krisis finansial, bukannya dia Sugou Nobuyuki yang dipilih ibu?”

“Diam kamu.”

Roman muka Kyouko berubah, dan dia mengibaskan tangan kirinya seperti hendak mengusir serangga yang mengganggunya.

“Aku tidak ingin dengar lagi tentang orang itu... Awalnya, yang sangat menyayangi dan ingin mengadopsinya menjadi putranya adalah ayahmu. Dari awal, dia memang tidak pernah ahli dalam menilai orang lain. Tidak jadi masalah, meskipun Yuuya tidak begitu mengesankan, dengan begitu kita bisa tenang menerimanya.”

Memang betul, ayah Asuna, Shozou tidak pernah memperhatikan orang-orang yang berada di sekitarnya. Dia mengabdikan seluruh tenaganya untuk menjalankan perusahaan, bahkan setelah dia menyerahkan jabatannya sebagai CEO, dia tetap mengabaikan keluarganya demi mengatur kerjasama dengan penanam modal asing. Shozou sendiri mengatakan ia sangat mengagumi cita-cita, kemampuan Sugou untuk mengembangkan dan memanage, dan semuanya terjadi karena ketidakmampuannya bahwa dia tidak menyadari kepribadian sebenarnya dari Sugou.

Akan tetapi, Asuna mengerti salah satu alasan Sugou Nobuyuki menjadi makin agresif sejak sekolah menengah pertamanya dikarenakan desakan kuat dari orang-orang di sekitarnya. Terlebih, sebagian kecil dari desakan itu pasti berasal dari kata-kata Kyouko.

Asuna menelan kembali keluhannya dan dengan kaku berkata.

“Bagaimanapun juga, aku sama sekali tidak mau berhubungan dengan orang itu. Aku akan memilih sendiri pasangan hidupku.”

“Tidak apa-apa, selama dia cocok denganmu, siapapun yang terkenal tidak masalah. Tetapi, aku katakan ini lebih dulu, anak seperti itu– murid dari fasilitas seperti itu tidak termasuk.”

“...”

Dari kalimat itu, dia merasakan Kyouko dengan pasti menunjuk orang tersebut, sekali lagi Asuna tercengang.

“... Apa mungkin.. Ibu menyelidikinya? Tentang dia...”

Dia bergumam dengan suara gemetar, namun Kyouko tidak menyangkal atau mengangkuinya, malahan dia hanya mengganti topik pembicaraan.

“Kamu harus mengerti, ibu dan ayahmu menginginkan kebahagiaan untukmu. Kami sudah mengharapkan itu semenjak kamu di taman kanak-kanak. Meskipun kamu mengalami sedikit kemunduran, kamu pasti bisa pulih. Selama kamu bekerja keras dengan serius. Kamu bisa mengumpulkan karir yang brillian.” Itu bukan masalahku, itu masalahmu, Asuna menggerutu pada dirinya sendiri.

Asuna dan kakaknya Kouichirou adalah aspek dari «karir brillian» Kyouko. Kouichirou masuk pada universitas kelas satu dan mendapatkan hasil sukses di RECTO. Seharusnya Asuna mengikutinya, namun ia terjebak dalam hal yang tidak dapat dielakkan seperti insiden SAO, dilanjutkan dengan kejatuhan image perusahaan RECTO karena kasus Sugou, menyebabkan Kyouko seperti memiliki cela dalam hidupnya.

Sword Art Online Vol 07 -055.jpeg

Asuna kehilangan kekuatan untuk melanjutkan perdebatan, meletakkan peralatan makannya pada piring yang masih setengah tersisa dan berdiri.

“... Tentang berpindah, akan aku pikirkan lagi.”

Dia hanya mengatakannya untuk saat ini, namun Kyouko dengan datar membalas,

“Batas waktunya minggu depan. Isi informasi yang dibutuhkan dan print tiga lembar kopi pada meja belajar sebelum waktu itu.”

Asuna memandang ke bawah, berputar dan berjalan menuju pintu. Awalnya dia hanya ingin kembali ke kamarnya, namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, dia berputar menghadap Kyouko dan berkata.

“Ibu.”

“...Ada apa?”

“Apa ibu masih merasa malu tentang orang tua ibu yang telah meninggal, menyesal karena ibu berasal dari keluarga petani dan bukan dari keluarga terkenal yang mempunyai sejarah?”

Mata Kyouko melebar karena terkejut untuk sesaat, diikuti dengan kerutan dalam di dekat alis dan mulutnya.

“... Asuna! Kesini kamu!”

Meskipun ia masih dapat mendengar suara tajam itu, Asuna menutup pintu dan menghalangi kata-kata tersebut. Dengan segera ia menaiki tangga seperti ingin melarikan diri dan membuka pintu menuju kamarnya.

Asuna merasakan kegelisahan yang tak tertahankan, dia berjalan lurus menuju kontrol panel kamarnya dan menonaktifkan AI gabungan. Hanya seperti itu, dia melompat ke atas tempat tidurnya, dan membenamkan wajahnya di kasur yang besar, tidak memperdulikan kerutan pada blus mahalnya.

Dia tidak ingin menangis. Sebagai seorang swordswoman, dia telah memutuskan untuk tidak meneteskan air mata kesengsaraan ataupun kesedihan. Akan tetapi, kebulatan tekadnya tak mampu membendung ketidakbahagiaan yang terus berkembang tanpa batas di dalam hatinya.

Swordswoman macam apa kamu, ejekan sebagian dari hatinya. Kamu mampu sedikit menebaskan pedang di dalam game, kekuatan apa yang kamu miliki di dunia nyata? Asuna menggigit bibirnya dan bertanya pada dirinya sendiri.

Bertemu dengan anak laki-laki itu di dunia tersebut, seharusnya dia sudah berubah. Seharusnya dia sudah berhenti mengikuti secara buta nilai-nilai yang diberikan orang lain dan bertempur untuk hal yang ia percayai.

Akan tetapi, dilihat dari luar, apa bedanya dia dengan sebelum datang ke dunia itu? Dia masih bersikap seperti boneka dan menunjukkan senyum palsu di hadapan saudara-saudaranya, dia tidak mampu menolak jalan yang dipaksakan orangtuanya. Bila ia mampu percaya pada dirinya sendiri di dunia virtual, lalu kenapa dia harus kembali ke dunia nyata?

“Kirito... Kirito.”

Tanpa sadar, dia mulai memanggil nama itu berulang kali.

Kirito– Kirigaya Kazuto, mampu tetap mempertahankan tekad kuat yang ia dapat di SAO bahkan setelah kembali ke dunia nyata selama lebih dari setahun. Seharusnya dia juga menghadapi tekanan yang begitu kuat, namun dia tidak pernah menunjukkan hal itu di wajahnya.

Di masa lalu, ketika ia menanyakan Kirito apa yang ia ingin capai di masa depan, dengan malu-malu Kirito tersenyum dan menjawab dia ingin menjadi seorang produser daripada hanya sebagai seorang pemain. Terlebih lagi, bukan sesuatu seperti software untuk game, dia ingin mengganti teknologi FullDive saat ini yang begitu constraint-ridden dan memproduksi tampilan yang lebih akrab antara mesin dan manusia. Untuk mencapainya, ia telah mengunjungi forum-forum luar negeri, belajar dengan aktif dan bertukar pendapat.

Asuna merasa Kirito akan berusaha menggapai tujuan itu tanpa keraguan. Bila memungkinkan, dia ingin berada di sisinya dan bersama mengejar mimpi yang sama. Secara teliti dia mencari tahu apa yang harus dia pelajari dan berharap mereka dapat melanjutkan di sekolah yang sama pada tahun berikutnya. Akan tetapi, sepertinya jalan itu telah terputus. Pada akhirnya dia tidak dapat menahannya, perasaan lemah menyerang Asuna.

“Kirito-kun...”

Dia berharap dapat langsung bertemu dengannya. Meski bukan di dunia nyata, dia ingin sendiri bersamanya di rumah itu, menangis mengungkapkan seluruh isi hatinya dan menceritakan segalanya. Namun, dia tidak bisa. Pemikiran bahwa yang Kirito cintai bukanlah Yuuki Asuna yang lemah, melainkan salah seorang pejuang terkuat Asuna «The Flash», menjadi belenggu berat dan menghantui dirinya.

?Asuna... sangatlah kuat... Jauh lebih kuat dariku...?

Dia teringat kata-kata yang Kirito bisikkan di dunia itu. Asuna mungkin akan menarik dirinya dari hati Kirito bila dia menunjukkan kelemahan.

Hal itu terlalu menyeramkan. Asuna berbaring, dan tanpa sadar tertidur sebentar. Dia melihat dirinya dengan sarung pedang berhiaskan perak tergantung di pinggangnya, bergandengan dengan Kirito, berjalan di suatu tempat dengan sinar matahari menembus pepohonan. Akan tetapi, Asuna yang lain terkunci di tempat yang gelap, hanya mampu memandang dengan diam kebahagiaan mereka berdua.

Di dalam mimpi manis namun menyedihkan tersebut, Asuna sangat berharap dia kembali ke dunia tersebut.