Difference between revisions of "Tsukumodo Bahasa Indonesia:Jilid 2 Diri"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
m
m
 
(One intermediate revision by one other user not shown)
Line 849: Line 849:
   
   
Seperti biasa, Kishitani dikelilingi oleh beberapa anal.
+
Seperti biasa, Kishitani dikelilingi oleh beberapa anak.
   
 
Sepertinya dia sedang menjelaskan tugas PR kepada mereka. Sejauh yang kutahu, sampai beberapa waktu lalu, nilainya termasuk yang terendah di sekolah ini. Lagipula, dia selalu menjadi rekanku dalam mengerjakan ujian remidial. Selain itu, ia juga selalu menjauhi tugas-tugas seperti ia menjauhi sumber penyakit. Meskipun begitu, dia mengalami kemajuan yang berarti, entah itu di pelajaran atau di olahraga, dan bahkan ia kini mengajari anak-anak yang lain.
 
Sepertinya dia sedang menjelaskan tugas PR kepada mereka. Sejauh yang kutahu, sampai beberapa waktu lalu, nilainya termasuk yang terendah di sekolah ini. Lagipula, dia selalu menjadi rekanku dalam mengerjakan ujian remidial. Selain itu, ia juga selalu menjauhi tugas-tugas seperti ia menjauhi sumber penyakit. Meskipun begitu, dia mengalami kemajuan yang berarti, entah itu di pelajaran atau di olahraga, dan bahkan ia kini mengajari anak-anak yang lain.
Line 1,520: Line 1,520:
 
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
 
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
 
|-
 
|-
| Mundur ke [[Tsukumodo:Jilid 2 Kesunyian|Kesunyian]]
+
| Mundur ke [[Tsukumodo Bahasa Indonesia:Jilid 2 Kesunyian|Kesunyian]]
 
| Kembali ke [[Tsukumodo Antique Shop Bahasa Indonesia|Halaman Utama]]
 
| Kembali ke [[Tsukumodo Antique Shop Bahasa Indonesia|Halaman Utama]]
| Maju ke [[Tsukumodo:Jilid 2 Mata Kematian|Mata Kematian]]
+
| Maju ke [[Tsukumodo Bahasa Indonesia:Jilid 2 Mata Kematian|Mata Kematian]]
 
|-
 
|-
 
|}
 
|}

Latest revision as of 13:17, 10 September 2016

Pernahkah kau berharap kau punya dua badan?

Aku tidak berbicara tentang kembaran ataupun semacamnya. Maksudku adalah "dirimu" yang kedua, yang bisa menggantikan dirimu.

Kalau tidak salah, dulu ada semacam robot-ganda di satu anime terkenal[1] yang sering kutonton waktu kecil.

Untuk menjadi seorang pahlawan super yang misterius, si tokoh utama membuat robot untuk pergi ke sekolah untuk menggantikan dirinya. Robot itu memiliki beberapa kemampuan yang menakjubkan: ia memiliki keinginannya sendiri, dapat bertindak sendiri, lalu dapat membagikan memorinya dengan si tokoh utama.

Kalau kau memiliki yang semacam itu, kau dapat membuatnya mengerjakan PR-mu jika kau sedang lelah, pergi ke sekolah jika kau sedang malas, atau bekerja untuk mendapatkan uang untuk membeli apapun yang kau inginkan.

Aah, akan sangat menyenangkan.

Memang, kelihatannya kau akan menjadi seperti seorang pemilik budak yang kejam, tapi tidak sepenuhnya seperti itu. Lagipula, kalian berdua dapat berbagi pengalaman - entah menyenangkan atau tidak - di hari itu.

Mh? Lalu kerjakan sendiri bagian tidak enaknya, katamu?

...Kalau itu sih sudah beda masalah.

Yah, tak ada gunanya berangan-angan. Memiliki sesuatu seperti itu terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, dan walaupun memang mungkin, pasti akan ada masalah yang mengikuti.


"Aku pulang."

"Ya," kataku sembari menghentikan game yang sedang kumainkan dan berbalik melihat orang yang baru saja masuk kamar.

Dia adalah murid SMA. Dia baru saja pulang dari sekolah, jadi dia masih mengenakan seragamnya dan membawa tasnya. Rambutnya pendek, kulitnya sedikit terbakar matahari, dan badan tegapnya menunjukkan bahwa ia rajin berolahraga.

Jika ada orang ketiga di kamar itu, maka ia tak akan mempercayainya.

Muka dari si murid SMA itu terlihat identik denganku. Tidak mirip, tapi persis sama.

Dan wajah kami bukanlah satu-satunya kesamaan antara kami-ukuran badan kami, model rambut, lebar bahu, berat, warna kulit, panjang kaki, ukuran sepatu-semuanya sama persis.

Kamu bukanlah kembar identik. Bahkan kembaran yang disebut "identik" hanya terlihat mirip, dan sebenarnya tidak identik.

Di sisi lain, penampilan kami, sama persis dilihat dari manapun.

Dia terlihat seperti bayanganku di cermin, karena itu aku memanggilnya "duplikat".

"Berikan tasmu padaku."

Setelah mengambil tas dari duplikatku, aku mengobrak-abrik isinya untuk mencari manga yang baru keluar hari ini. Aku menyuruhnya membelikannya untukku ketika dia ada di perjalanan pulang. Ketika aku mengambil manga itu, tak sengaja aku ikut mengeluarkan selembar kertas, yang lalu jatuh ke lantai.

"Apa itu?"

"Hasil dari ulangan yang sudah saya beritahukan kemarin."

"Kau memberitahukannya padaku kemarin?"

Kulihat kertas itu. Disebelah namaku, Jirou Kishitani, ada angka 100. Nilai sempurna.

"Bagus juga."

"Ulangannya membahas hal-hal yang kita pelajari kemarin. Tidak sulit, kan?"

"Tapi kau, sih, yang belajar."

Namun aku yang mendapatkan nilainya. Heh, sepertinya raportku semester ini nggak akan jelek-jelek amat.

Kubuang kertas itu, lalu melompat ke kasur dengan manga baruku. Duplikatku mengambil kertas itu dan duduk dimana aku tadi duduk.

"Oh? Sudah cukup jauh juga, ya?" katanya ketika melihat ke layar TV.

Seharian ini aku terus-terusan bermain game ketika duplikatku ada di sekolah. Jelas saja sudah ada kemajuan.

Karena kedua orang tuaku berangkat bekerja dari pagi-pagi sekali sampai larut malam, tak akan ada yang mengomeliku karena aku membolos sekolah. Tidak, aku ada di sekolah juga, kan? Atau lebih tepatnya, duplikatku yang ada di sekolah. Tapi toh, dua-duanya sama saja.

"Latih karakterku! Aku mau membaca manga!"

Tsukumodo V2 93.jpg

"Saya tak keberatan, tapi sebaiknya kita berbagi memori sebelum kau mulai membaca manga."

Duplikatku menyebut dirinya sendiri dengan kata "saya", tapi itu hanya ketika dia sedang berdua denganku. Aku juga telah membuat gaya bicaranya sedikit berubah. Akan sangat aneh jika kami berbicara dengan cara yang sama persis. Setelah sedikit pengaturan, aku tak lagi merasa sedang berbicara dengan diriku sendiri dan dapat sedikit bersantai.

Duplikatku naik ke atas kasur, berbaring diatas tubuhku, dan menyentuhkan dahinya ke dahiku.

Orang yang melihatnya pasti akan salah paham. Tapi kami tak melakukan hal yang aneh-aneh; inilah cara bagaimana kami dapat berbagi ingatan antara duplikatku dan aku.

Ketika aku mulai tersadar, aku merasakan sesuatu mengalir ke otakku. Ingatan dari duplikatku hari itu.

Aku melihatnya ada di sekolah dan belajar di kelas. Dia mengejutkan semua orang dengan nilai sempurnanya. Jelas saja-aku tak pernah mendapat nilai sempurna semasa hidupku. Tapi itu juga tak mengherankan, karena aku sama sekali tak pernah mengerjakan PR, apalagi belajar. Rasanya menggelikan sekali ketika melihat reaksi guruku dan murid-murid lainnya.

Ada juga adegan dari aktivitas klubku, dimana dia bermain sepakbola. Aku melihatnya membuat gol yang hebat dalam suatu latih tanding. Si kipernya adalah kakak kelas dari tim utama yang sama sekali tidak kusukai. Dia menggertakkan giginya. Hebat sekali. Setelah itu, duplikatku pergi ke toko buku, membeli manga, dan pulang.

"Wow, kau hebat sekali." Aku harus memujinya setelah melihat hasil ulangan dan permainannya.

Duplikatku mengangkat badannya dan tersenyum masam.

"Bukankah itu pujian untuk dirimu sendiri?"

"Oh, benar juga. Kau adalah aku, kan?"

Aku tak bisa menjelaskan dia ini apa.

Aku hanya bisa bilang kalau dia adalah duplikatku.

Duplikat yang terlihat sama denganku dan mempunyai kemampuan yang sama. Yang melakukan hal-hal seperti pergi ke sekolah, belajar, dan melatih karakter game-ku untukku.

Rasanya seperti ada dua 'aku'.

Tapi meski dia adalah aku, rasanya dia bukanlah aku.

Dia adalah diriku yang harus mematuhi segala perintahku.

Benar-benar alat yang paling memudahkan yang pernah kumiliki.

Aku dapat melakukan apapun yang kumau. Aku tak perlu melakukan apapun yang membosankan atau menyebalkan lagi.

Setelah aku mendapatkan alat itu, hidupku sudah benar-benar utuh.

Adegan manga yang kubaca tidak begitu lucu, tapi aku tak bisa berhenti tertawa.

Oh, ya. Harus menyuruhnya mengerjakan PR hari ini.



"Huaaaaahm," mulutku menganga ketika aku melihat pertandingan itu.

Skornya masih satu sama, dan waktunya tinggal lima menit lagi. Sepertinya akan berakhir seri.

Pemain-pemain yang masih semangat mengejar bola kesana kemari, sedangkan pemain yang malas-malasan seperti aku hanya melihat dari jauh saja.

Latar belakang: Pelajaran olahraga hari ini adalah pertandingan sepakbola.

"Kurusu, ambil bolanya!"

"Oke!"

Bolanya diumpankan ke aku. Aku sudah siap untuk mengumpankan bolanya ke teman setimku yang lain, tapi Kishitani, pemain lawan, mencuri bola dariku dan menggiringnya menuju gawang.

"Kurusu, yang serius lah!"

Meskipun teman-teman setimku mengeluh, aku tak berniat mengejar bolanya. Lawanku adalah anggota klub sepak bola; meskipun aku bisa mengejarnya, aku tak akan bisa mencuri bolanya. Seakan-akan setuju denganku, Kishitani dengan mudah melewati pemain-pemain bertahan, satu demi satu.

"Cih, sombong sekali. Anak itu ada di klub sepak bola dan masih saja dia pamer kemampuan..."

"Anak yang ia kalahkan juga ada di klub sepak bola juga," kata teman setimku Shinjou ketika dia berjalan mendekatiku.

Ia benar - pemain yang menghadapi Kishitani juga anggota klub sepak bola yang sama, tapi ia tetap gagal mengambil bola.

"Hei, percaya atau tidak, perkembangan permainannya meningkat drastis, lho!"

"Benarkah? Maksudku, kelihatannya seperti dia sudah tak punya lawan setara lagi!"

"Sebelumnya dia adalah pemain cadangan yang selalu menerjang sisi lawan seperti orang bodoh, tapi akhir-akhir ini ia menjadi pemain yang hebat! Dia berlatih sendiri, dan terus berlatih ketika semua orang sudah pulang. Sepertinya sesuatu telah membuat dia berubah drastis. Kudengar, bahkan kakak kelas yang ada di tim utama kesulitan mencuri bola darinya."

Ketika para pemain bertahan mulai mengerubunginya, ia mengumpan bolanya ke teman setimnya dengan mudah.

"Bahkan sekarang da sudah mulai menguasai permainan tim - seperti yang barusan."

"Apakah dia baru-baru ini saja mulai bermain bagus?"

"Ya. Dia seperti orang yang berbeda 180 derajat dengan yang sebelumnya."

"Berbeda dengan sebelumnya, ya." kataku sembari melihat Kishitani berlari menuju gawang kami.

Sesaat sebelum waktunya habis, Kishitani menerima umpan dari teman setimnya dan menceploskan bola ke gawang.

"Tim yang kalah beres-beres ya!" kata guruku setelah ia meniupkan peluit tanda akhir pertandingan.


Kembali ke Toko Barang Antik Tsukumodo, Saki menuangkan teh untukku. Ia bertanya, "Jadi, kau sudah menemukan sesuatu?"

"Ya, aku sudah mengurangi daftar tersangkanya cukup banyak."

"Baiklah."

Setelah aku duduk di sebelah Saki, Towako-san masuk dari ruang tengah dan ikut duduk di dekat meja kasir, menungguku bercerita.

Sekitar seminggu yang lalu, Towako-san memberitahuku bahwa seseorang di sekolahku mempunyai Relik.

Ternyata, ketika dia sedang mengunjungi toko barang antik yang asli, ia memperhatikan seorang pengunjung yang mengenakan seragam sekolahku. Si pemilik toko mengatakan kepada Towako-san bahwa orang itu baru saja membeli Relik.

Nama Relik itu adalah Masquerade, dan seperti namanya, bentuknya menyerupai topeng. Ketika topeng tanpa ekspresi berwarna putih itu dipasang ke boneka atau manekin, topeng itu akan mengubahnya menjadi duplikat dari si penggunaa. Tidak hanya penampilannya saja yang sama, namun kemampuan dan sifat-sifat penggunanya juga diturunkan melalui topeng itu.

Si pengguna bisa saja menjadi terlalu malas sehingga kemampuannya untuk berinteraksi dengan masyarakat menjadi hilang. Mungkin dia akan mulai menyuruh duplikatnya untuk melakukan hal-hal yang terlalu sederhana jika terus-terusan menggunakan Masquerade, yang pada akhirnya akan menghancurkan dirinya sendiri.

Pada awalnya, aku ingin membiarkan kejadian ini berlalu karena kupikir seseorang yang menjadi malas bukanlah masalah yang besar, dan justru itu akan menjadi pelajaran bagi orang itu jika dia merusak dirinya sendiri karena kemalasan.

Tapi aku tak bisa melupakannya dari ingatanku, jadi ujung-ujungnya aku terus mengamati teman-teman sekelasku.

Selain emblem sekolah, seragam kami juga punya emblem kelas yang menunjukkan kelas dari murid yang memakainya. Towako-san tidak melihat muka anak itu dengan jelas, tapi kebetulan dia melihat emblem kelasnya. Anak itu ada di kelas yang sama denganku.

Dengan kemampuan Masquerade yang seperti itu, sepertinya akan sulit sekali membedakan duplikat dengan yang asli - lagipula, duplikatnya sama persis dengan yang asli. Meski begitu, aku tetap mencari tanda-tanda perilaku yang mencurigakan.

Dan setelah mengamati kelasku selama seminggu, aku mendapatkan satu kesimpulan:

Kishitani jelas-jelas mencurigakan.



"Aku pulang."

Sapaan duplikatku membangunkan aku dari tidur.

"Ah, maaf. Apakah saya membangunkanmu?"

"Tidak, santai saja. Lagipula aku sudah tidur seharian ini."

Sepertinya tidur siangku sudah menjadi terlalu lama.

Terang saja. Akhir-akhir ini, siklus tidurku berubah, dari malam hari menjadi siang hari.

"Saya ada kabar baik untukmu!" kata duplikatku ketika ia mendekat padaku dengan senyum di mukanya.

"Apa? Katakan padaku."

"Sebaiknya kau melihatnya sendiri!"

Duplikatku menempelkan dahinya ke dahiku dan mulai berbagi ingatan.

Pemandangan sekolah yang biasa. Sekarang, menjawab pertanyaan guruku dengan benar atau mendapatkan nilai tinggi di ulangan sudah bukan hal yang baru.

Apa yang membuatnya segembira itu? pikirku sebelum melihat kegiatan klub sore itu. Aku juga masih tak begitu terkejut: tembakannya yang tepat sasaran, atau berlatih bersama pemain-pemain utama, juga sudah bukan hal aneh.

Tiba-tiba, ia dipanggil oleh pelatih.

"Kau akan masuk tim utama untuk pertandingan besok! Jangan kecewakan aku!"

Meskipun kami masih dalam proses berbagi memori, kepalaku tersentak kebelakang. Duplikatku tersenyum penuh kemenangan.

"Di tim utama untuk pertandingan besok?"

"Benar!"

Ini adalah pertama kalinya aku dipilih masuk tim utama. Karena aku sejauh ini belum pernah bermain di pertandingan sebenarnya, tiba-tiba menjadi pemain tim utama adalah kemajuan pesat. Semua kerja kerasnya terbayar sudah.

"Baiklah, aku akan berangkat ke sekolah besok."

"Eh?" duplikatku terkejut.

"Apa? Kau ada masalah?"

"T-Tidak, tidak ada... tapi apakah kau siap?"

"Kalau kau siap, kenapa aku tidak? Toh, kita ini sama, kan?"

"Ya."

"Baiklah, kalau begitu semuanya sudah diputuskan, saatnya tidur." Aku naik ke kasurku dan menambahkan, "Siap-siap untuk besok! Jangan sampai kau melupakan persiapan seperti biasa."


"Hah...hah...hah..."

Nafasku terengah-engah, badanku nyaris kolaps karena kekurangan oksigen. Aku terlalu gemetar sampai-sampai aku tak mampu berdiri tanpa menyangga badanku dengan tangan di lutut.

"Ambil bolanya!"

Aku menerima umpan dari seorang kakak kelas, tapi aku tak mampu melangkah lagi. Setelah bola melewati garis terluar, peluit ditiup oleh wasit. Entah bagaimana, tapi aku berhasil kembali ke tempat duduk.

"A-Air...," aku mengerang setelah badanku rubuh ke tanah, sambil mengangkat tanganku ke manajer tim.

Namun, si manajer tidak menghiraukan kata-kataku dan memberikan handuk ke pemain lain.

"Hei, ngapain kau? Ambil air!" perintahku pada pemain cadangan yang seangkatan denganku. Ia memberikanku sebotol air, yang langsung kurebut dari tangannya dan meneguk isinya.

Ah, akhirnya. Aku tak mengira bermain di tim utama akan begitu sulit, sial, rasanya seperti mau mati! Aku belum berolahraga lagi selama ini. Yah, aku memang tak melakukan apa-apa akhir-akhir ini, karena semuanya kuserahkan ke duplikatku.

Meskipun duplikatku dapat berbagi ingatan denganku, ternyata kebugaran badan tidak dapat dibagi.

Aku benar-benar tak sabar menunggu pertandingan hari ini...tapi di babak pertama saja tak ada apa-apa yang bisa kulakukan.

"Ada apa, Kishitani?" kata pelatih ketika ia mendekatiku. "Mana kemampuan terbaikmu?"

"M-Maaf, pak. Saya kurang tidur..."

Tidak salah juga, sih. Meskipun aku sudah berniat tidur setelah aku mendengar kabar tentang pertandingan hari ini dari duplikatku, aku sama sekali tak bisa tidur karena aku sudah terlalu lama tidur siang harinya.

"Begitu. Sepertinya kau terlalu tegang karena ini pertandingan pertamamu."

"Maafkan saya."

"Baiklah. Kau akan kuganti untuk babak kedua."

Aku benar-benar lega: Aku sudah tak dapat berjalan selangkahpun. Bermain di babak kedua akan menjadi siksaan buatku.

"Kuberi kau satu kesempatan lagi untuk pertandingan besok. Pastikan kau benar-benar istirahat malam ini, oke? Yah, sepertinya dengan keadaan seperti itu kau akan tidur seperti bayi malam ini."

Besok? Kau ingin membuatku melewati siksaan ini di hari Minggu...?

Badanku menjadi semakin lemas, dan aku tak bisa berdiri sampai akhir pertandingan.


"Bagaimana tadi?" duplikatku langsung bertanya setelah aku kembali.

"Parah sekali! Bangsat..."

Setelah melempar tasku, badanku ambruk ke kasur.

"Sepertinya tidak berjalan mulus, yah?"

"Diam kau. Apakah kau sudah melatih karakter game-ku?"

"Sudah! Sehari penuh."

Aku melihat ke layar dan melihat karakterku telah naik sekitar tiga puluh level. Ia pasti bisa menghajar semua lawannya, mereka seakan-akan tak pernah kelelahan meskipun sudah bertarung sekian lama.

"...Pelatih bilang dia ingin memasukkan aku lagi ke tim utama untuk besok!"

"Oh ya? Tapi itu berita bagus, kan?"

"Kau yang pergi."

"Eh? Bolehkah?"

"Ya. Aku sudah lelah dengan semua ini. Lagipula, sepertinya badanku akan sakit semua besok. Besok, main yang benar, ya? Jangan sampai kau mengacaukan segalanya!"

"Kemampuan saya adalah kemampuanmu juga."

Aku sempat ingin bertanya apakah kata-katanya barusan sarkasme belaka, tapi aku sudah terlalu lelah.

Aku segera tertidur.

Sempat terpikir untuk membagikan ingatan, tapi badanku yang sudah benar-benar lemas membuat pikiran itu musnah dalam sekejap.


"Hei, bagaimana tadi?" tanyaku pada duplikatku setelah ia kembali dari pertandingan.

Aku tak berniat menirunya-aku hanya penasaran. Aku bahkan tak bisa fokus bermain game seharian ini.

"Lumayan, sepertinya."

Duplikatku menunjukkan dahinya padaku. Kusentuhkan dahiku padanya dan mulai menerima ingatan dari pertandingan tadi.

Seperti kemarin, dia memulai pertandingan sebagai penyerang. Pelatih menepuk punggungnya, mengingatkannya untuk bermain lebih baik kali ini. Meskipun itu adalah ingatan dari apa yang sudah terjadi, aku tetap tegang melihatnya.

Pertandingan dimulai.

Aku tak mau mengakuinya, tapi tak sepertiku, duplikatku berlari secepat kilat. Tentu saja, dia sendiri mengatakan padaku bahwa kalau aku tidak kelelahan, pasti aku juga bisa berlari secepat itu.

Dia berhasil menempatkan dirinya untuk menerima umpan dari seorang kakak kelas. Nyaris offside, dia berhasil menerima bola dan berlari ke arah gawang, meninggalkan pemain bertahan lawan di belakangnya.

Tembak! teriakku dalam hati.

Pikiran kami sama; duplikatku menendang bolanya ketika aku berteriak. Bolanya menyentuh jari kiper dan melaju lurus ke jaring gawang.

Kakak kelasku berlari ke duplikatku untuk memberiku selamat dan menepuk punggungku, dan pelatih menganggukkan kepalanya.

Rasanya menyenangkan sekali.

Di akhir pertandingan, kami memenangkan pertandingan 3-1. Duplikatku benar-benar bermain bagus-ia mencetak satu gol dan dua assist.

"Hebat sekali!" pujiku setelah melihat semuanya. "'Lumayan', katamu? Ayolah! Yang tadi itu keren sekali!"

"Seperti yang sudah saya bilang, kata-katamu itu adalah pujian untuk dirimu sendiri!"

"Sepertinya kau benar. Sial! Pasti aku bisa melakukan yang sama kalau saja aku tidak kelelahan..."

"Itu tak penting. Pencapaian saya adalah pencapaianmu juga!"

DIa benar. Mungkin ia bermain hari ini dan aku bermain kemarin, tapi dari yang dilihat orang lain, dua-duanya akulah yang bermain.

Karena kemampuan kami identik, aku juga pasti bisa melakukan hal yang sama kalau aku bermain hari ini. Yah, tapi kalau aku bermain hari ini, pasti aku akan kesulitan bergerak setelahnya.

Lagipula, duplikatku dan aku sudah berbagi ingatan, aku bisa benar-benar mengingat pertandingan hari ini. Aku bahkan dapat mengingat rasanya ketika aku mencetak gol itu.

Tiba-tiba aku meerasa seperti baru saja mencetak gol dan mengangkat tanganku seperti duplikatku hari itu.

"Aduh-adudududuh!"

Nyeri otot di seluruh tubuhku mengingatkanku pada kenyataan. Sebenarnya ini sudah lebih baik; tadi pagi bahkan aku tak bisa berdiri.

"Jangan memaksa dirimu, tidur saja dulu!" kata duplikatku.

"Ya, ide bagus. Aku yakin aku akan mimpi indah malam ini."



Aku benci hari Senin.

Memulai minggu yang baru rasanya benar-benar melelahkan, dan aku kembali menghitung hari-hari yang tersisa sebelum akhir minggu ini.

Aku masuk ke kelas tepat ketika bel berbunyi, rasanya sekarang agak ramai.

Meja Shinjou ada di depanku, dan ketika aku duduk, aku menanyakan padanya "Ada apa ini?"

"Maksudmu itu?" katanya sembari menunjuk sekumpulan gadis-gadis. Suara ramai sepertinya muncul dari sana. "Kishitani mencetak satu gol dan dua assist dalam pertandingan tim utama kemarin. Sekarang cewek-cewek tergila-gila dengannya karena manajer tim menceritakan pada mereka."

Seperti yang Shinjou bilang, Kishitani berdiri di tengah sekumpulan gadis itu, dipuja-puji dari sana-sini dan tersipu malu.

Aku tak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya. Meskipun Kishitani tidak dibenci oleh para gadis, dia tidak begitu disukai karena perangainya yang kasar dan terlalu percaya diri.

Kufokuskan pandanganku padanya.

Tentu saja ia terlihat seperti biasa, seperti manusia normal. Tak mungkin dia adalah duplikat yang dibuat dari Masquerade. Tapi, mungkin saja yang kulihat sekarang ini adalah Kishitani yang asli.

"Menyebalkan," keluh Shinjou dengan nada kesal. Dia sendiri juga anggota klub sepak bola.

"Lalu? Bagaimana denganmu?"

"Satu gol dan satu assist..."

"Hei, bagus juga tuh!"

"...dalam pertandingan antar tim cadangan."

Oh. Hidup memang terkadang kejam.

"Maaf teman-teman—! Tolong perhatiannya sebentar!" si ketua kelas setengah berteriak dari balik meja guru. Segala keributan berhenti dan perhatian kami semua tertuju pada si ketua kelas. "Jam pertama hari ini kita dipersilakan belajar sendiri karena pak guru sedang sakit."

Setelah hening sejenak, sorak sorai membahana di kelas.

"Jadi kupikir lebih baik kita mengganti susunan tempat duduk sekarang saja, tidak perlu menunggu sepulang sekolah. Apakah semua setuju?"

Siap, bos! beberapa murid menjawab seperti anak SD. Sementara yang tidak menjawab juga sepertinya tidak keberatan. Tentu saja, aku lebih memilih untuk tidak melakukannya seusai sekolah.

"Baiklah, kalau begitu tolong kembali ke tempat duduk kalian masing-masing."

Semua anak kembali ke tempat duduknya masing-masing.

"Kita akan mengambil undian untuk menentukan tempat duduk yang baru. Seperti yang telah kuberitahukan sebelumnya, murid yang tidak masuk hari ini akan menempati meja yang tersisa. Oke?"

Si ketua kelas jelas tidak berpura-pura bodoh atau mengharapkan jawaban dari orang yang tidak ada disini.

Ketika aku melihat ke sekelilingku, mataku tertuju pada satu meja yang kosong. Sepertinya ada satu anak yang tidak masuk, tapi aku tak ingat siapa namanya.

"Hei, siapa itu yang tidak masuk? Ada meja kosong disitu." aku bertanya pada Shinjou.

"Heh? Semua PR sudah dikumpulkan, kan? Oh, maksudmu meja itu?" dia mengangguk ketika dia juga melihat meja yang kutunjuk.

Ternyata, bukan cuma aku saja yang bingung dengan satu meja yang kosong. Aku mendengar bisikan beberapa anak, menanyakan siapa yang duduk disitu.

"Meja itu milik anak bernama Sagara. Dia tak pernah masuk lagi, sih."

Setelah dia menyebutnya, aku baru ingat ada nama seperti itu di awal semester ini. Tapi aku sudah lupa, mungkin karena wali kelas kami sudah tak pernah memanggil namanya ketika mengabsen.

"Hanya perasaanku saja atau meja itu memang tidak diperlukan lagi?"

"Kalau begitu sebaiknya kita singkirkan meja itu sebelum memulai undian!"

"Mending kita taruh boneka saja disitu."

Beberapa anak melempar lelucon, disusul dengan tawa terbahak-bahak beberapa anak yang lain.

Tapi tawa mereka dihentikan oleh satu seruan.

"Jaga mulutmu!"

Seisi kelas terdiam, dan pandangan semua orang tertuju pada satu orang yang berteriak barusan.

Kishitani. Ia berdiri ketika berteriak barusan, tapi setelah menyadari bahwa semua mata tertuju padanya, ia duduk lagi tanpa berkata-kata.

"Tak pantas ia berbicara seperti itu!" bisik Shinjou yang menatap Kishitani tajam.

"Apa maksudmu?"

"Sagara berhenti masuk sekolah karena Kishitani, lho."

"Serius?"

"Ya. Semua anak klub sepak bola tahu! Kishitani menyuruhnya macam-macam, seperti menyuruh membelikan minum, dengan alasan itu akan membantu Sagara melatih badannya. Dan dengar-dengar ia melakukan hal-hal yang lebih parah pada Sagara ketika tak ada yang melihat. Tapi sepertinya ia melupakannya tak lama setelah melakukannya, ya? Atau kesuksesannya membuat ia menjadi seperti orang lain? Hah, omong kosong."

Berbeda dengan sebelumnya, ya.

Benar, aku punya pendapat yang serupa dengan Shinjou.

Tapi aku masih tidak benar-benar yakin bahwa sifat Kishitani berubah karena Masquerade.


"Sifatnya?"

Aku kembali bertanya pada Towako-san mengenai kemampuan dari Masquerade setelah kembali ke Toko Barang Antik Tsukumodo.

Lebih tepatnya, aku menanyakan apakah mungkin jika duplikatnya memiliki sifat yang berbeda dengan yang aslinya.

Akhir-akhir ini, banyak orang yang berkata bahwa Kishitani seperti orang yang berbeda, dan karena dia berubah menjadi lebih baik, sebagian besar menganggapnya bukan masalah. Di sisi lain, aku tak bisa berhenti curiga padanya.

"Sederhananya, sifatnya akan sama saja dengan yang aslinya."

"...Oh, begitu..."

"Sepertinya kau tak yakin, ya?"

"Yah, begitulah."

"Tapi, tergantung juga dengan apa yang kau maksud sebagai 'sifat yang berubah'."

"Maksudnya?"

"Begini, pendapatmu tentang seseorang dapat berubah dengan mudah, " kata Towako-san , dan menggeser posisi duduknya sebelum menjelaskan lebih detail. "Kishitani, kan ya? Mari kita pakai ia sebagai contoh. Bayangkan ia mengabaikanmu ketika kau ingin berbicara dengannya, karena dia sedang kesal; apa yang kau pikirkan? Bukankah kau akan berpikir bahwa anak itu adalah anak yang antisosial?"

"Kemungkinan besar begitu."

"Sekarang bayangkan orang lain yang bisa berbicara padanya. Namun, kali ini Kishitani tidak sedang kesal, dan ia merespon orang ini dengan senyuman. Dengan begitum apakah orang itu akan menganggap Kishitani anak yang antisosial?"

"Tidak, sepertinya tidak."

"Pada akhirnya, kemampuan kita untuk menilai sifat seseorang sebenarnya tak begitu baik; penilaian kita akan berubah-ubah tergantung kondisi dan situasi-atau apa yang sudah kamu pikirkan tentang orang itu."

"Sepertinya kau benar juga..."

"Omong-omong, mari kita kembali ke Masquerade. Seperti yang sudah kubilang barusan, sifat duplikat akan sama saja dengan sifat penggunanya. Meskipun orang lain akan terkejut dengan sesuatu yang berbeda yang dilakukan si duplikat, si pengguna akan melakukan hal yang sama persis dalam kondisi dan situasi yang sama. Keduanya akan memiliki kemampuan yang sama, jadi duplikatnya tidak dapat melakukan apa yang tidak bisa Kishitani lakukan, dan ia dapat melakukan semua yang bisa Kishitani lakukan."

Meningkatnya kemampuan bermain bolanya tidak mengherankan buatku. Mungkin Kishitani bisa meningkatkan kemampuannya dengan usaha yang lebih keras.

Yang mengherankan buatku adalah bahwa Kishitani hampir pasti tak akan bisa untuk berusaha lebih keras.

Dulu aku pernah mengikuti ujian remedial dengannya, contohnya.

Alasan mengapa beberapa orang bisa lulus ujian, dan beberapa orang gagal, meskipun mengikuti kelas yang sama dan mengikuti ujian yang sama, adalah hanya pada perbedaan usahanya. Semua anak di sekolahku telah berhasil menghadapi ujian masuk dengan soal yang sama untuk setiap anak. Apa yang terjadi setelahnya sangat bergantung pada usaha masing-masing anak.

Anak-anak yang belajar dan berusaha akan naik rankingnya, sementara yang bermalas-malasan, peringkatnya akan terjun bebas.

Kishitani biasanya masuk ke golongan yang kedua, dan dia jelas-jelas tidak mengeluarkan usaha lebih.

"Menurutmu Kishitani berubah, tapi apakah kau benar-benar tahu seperti apa dia hingga kau bisa menilainya?"

"Tidak, jujur saja aku tidak begitu mengenalnya."

"Kau bilang tadi bahwa ia berhasil masuk ke tim utama dan nilainya menjadi jauh lebih baik, tapi mungkin ada hal lain yang menyebabkan ia berpikir ulang mengenai gaya hidupnya selama ini dan ia akhirnya mulai berubah. Entahlah, mungkin ia jatuh hati dengan gadis lain dan ingin pamer? Kadang-kadang, orang bisa berubah karena alasan yang sepele."

Apa yang dikatakan Towako-san masuk akal. Aku masih bisa menerimanya.

Aku tak tahu apa yang sebenarnya membuatku mencurigainya-yang mana hal itulah yang membuatku tak bisa melupakannya dari pikiranku.

"Coba kupastikan sekali lagi: Masquerade didesain untuk membuat duplikat dari penggunanya dan memiliki sifat dan kemampuan yang sama dengannya?" tanyaku sekali lagi.

"Tepat."

"Semuanya benar-benar persis sama, kan?"

"Benar. Kalau tidak, tak akan ada bedanya memiliki duplikat."

Jelas. Kalau tidak benar-benar sama, maka tak ada gunanya memiliki duplikat.

Mungkin aku terlalu banyak mengawasi gerak-gerik Kishitani yang tiba-tiba berubah, dan semua kecurigaanku padanya tak ada bukti nyatanya.

"Namun," tiba-tiba Towako-san mengatakannya dengan nada serius, "pengalaman yang kita miliki akan memiliki pengaruh pada sifat kita. Kalau si pengguna membiarkan duplikatnya melakukan berbagai hal dan lupa atau malas untuk mensinkronkan ingatan mereka, maka sifat keduanya makin lama akan makin berseberangan, dan pada akhirnya keduanya akan menjadi orang yang berbeda."

"—Sebuah duplikat bukanlah sebuah boneka."


Duplikatku pulang lebih awal dari biasanya.

"Ada apa? Jangan bilang tiba-tiba kau ingin bersantai?"

Aku tak mau mengakuinya, tapi hal itu mungkin saja terjadi, karena dia toh juga duplikatku sendiri.

"Saya tak akan melakukan hal seperti itu! Kecuali kau sendiri yang memintanya. Ah, apa kau menjadi sedikit khawatir karena perintah yang kau berikan padaku hanya pergi ke sekolah? Tidak perlu khawatir, saya tidak akan melanggar perintah yang kau berikan!"

"Ya, tentu saja. Kalau begitu, kenapa kau pulang lebih cepat?"

"Karena kita baru saja menghadapi dua pertandingan dalam dua hari berturut-turut, hari ini tidak ada kegiatan klub. Itu saja."

"Aha. Ada yang terjadi hari ini?"

"Tadi ada pertukaran tempat duduk! Sekarang kita duduk di barisan paling belakang."

"Begitu. Jadi lebih mudah untuk tidur di kelas."

"Kau tak perlu berangkat sekolah jika kau ingin tidur; itulah gunanya ada aku. Kau bisa bersantai saja di rumah."

"Baiklah. Ada lagi yang terjadi hari ini?"

"Sepertinya tidak ada yang perlu diceritakan?"

"Apakah tidak ada yang berbicara mengenai pertandingan kemarin?"

"Ah, saya paham apa maumu. Banyak yang membicarakannya di kelas-manajer kita menceritakannya pada semua orang mengenai kesuksesan kita."

"Hei, aku mau melihatnya."

Sebenarnya aku sudah agak malas berbagi ingatan dengannya, tapi aku jelas tak menolak untuk melihat hal-hal seperti ini.

"Langsung saja ke bagian itu."

"Oke!"

Ingatan duplikatku segera memasuki pikiranku.

Dia dikelilingi oleh gadis-gadis. Mereka memuji-mujiku dan manajer menceritakan semua pencapaian kami.

Manajer berkata bahwa ia akan membuatkan makan siang untukku di pertandingan berikutnya, disusul oleh jeritan dan godaan gadis yang lain. Meskipun ia bilang tak ada maksud apa-apa, sepertinya toh ia tak menolak kupacari.

Menyenangkan sekali. Akhirnya aku mulai dikenal. Akhirnya, aku mendapatkan perhatian. Ya, masa SMA-ku memang seharusnya seperti ini.

"Ya, itu saja sebenarnya. Setelah itu, kita semua bertukar tempat duduk dan kelas berlangsung seperti biasa."

Saat duplikatku menarik dahinya dari dahiku, aku kembali ke kenyataan.

Pujian-pujian dari gadis-gadis itu masih terngiang-ngiang di telingaku. Itulah pertama kalinya aku mendapatkan pengalaman yang seperti ini, namun entah kenapa aku merasa tak puas. Aku merasa bahwa aku melewatkan satu kesempatan berharga. Seharusnya aku masuk sekolah hari ini, dan menikmati pujian itu secara langsung.

Mungkin aneh jika aku mengatakannya pada diriku sendiri, namun tetap saja, aku sedikit iri pada duplikatku.

"Hei, aku akan berangkat sekolah besok."

"Mm? Baiklah, sesuai perintahmu saja."

Aku merasa sedikit kesal. "Kalau ada PR atau sejenisnya, kerjakan sekarang," perintahku pada duplikatku.


Namun, di hari berikutnya, tidak ada seorang pun yang peduli tentang pertandingan tempo hari. Manajer hanya menepuk punggungku, dan mengatakan padaku untuk berlatih dengan keras demi pertandingan berikutnya.

Aku sudah mencoba menyebut-nyebut kemenangan itu, tapi tak seorangpun merespon. Sepertinya, semuanya sudah berlalu. Aku menyesal datang ke sekolah hari ini.

Tapi tetap saja, sudah terlambat untuk bertukar posisi sekarang.

Lagipula, sekali-sekali tak ada salahnya pergi ke sekolah. Beberapa kali aku berpikir untuk melakukannya, supaya tidak melulu bergantung pada pertukaran ingatan.

"Hei, Kishitani, terima bolanya!"

Ups! Harus kembali ke peranku. Sekarang waktunya sepak bola.

Hari itu adalah pertama kalinya aku datang sebagai diriku sendiri-dan bukan duplikatku-di latihan klub dalam waktu yang cukup lama. Sebelumnya, aku hanya disuruh menjadi ball boy, namun kali ini aku diperbolehkan untuk ikut latih tanding dengan beberapa anak lainnya.

Aku menerima bola dari kakak kelas, dan menggiringnya ke arah gawang.

Aku melihat sekilas ke sisi lapangan. Manajer sedang melihat kami.

Baiklah, waktunya mencetak gol!

Pertandingan hari Sabtu lalu gagal total karena aku lama tak berlatih dan gugup karena itu adalah pertama kalinya aku bermain di tim utama, tapi kali ini aku hanya bermain di latih tanding. Tidak masalah.

Aku berhasil menghindar dari pertahanan lawan, siap-siap menembak, dan... kehilangan bola sebelum aku bisa menendangnya.

"Sial!"

"Tenang saja! Aku akan mengumpankannya padamu lagi nanti!" kata seorang kakak kelas sembari menepuk punggungku.

"Umpan kesini!"

Aku melambaikan tanganku, meminta rekan setim untuk memberi umpan kepadaku. Aku hampir saja menerimanya, namun kali ini, pemain lawan berhasil mencuri bolanya sebelum bisa kuterima.

"Tolong berikan umpan yang lebih baik lain kali!"

"Wow, wow! Kau harus bergerak lebih sering, nak! Kalau kau hanya diam seperti itu, kau hanya akan menjadi sasaran empuk!" kata pemain bertahan yang berhasil mencuri bola dariku dengan mimik muka terkejut. "Masalahmu adalah gaya permainanmu sangat tidak konsisten."

"B-Begitu?"

Aku tak pernah memikirkannya, tapi mungkin dia benar - permainanku kadang tidak konsisten. Yah, mungkin memang seperti itu orang yang berbakat.

"Lakukan yang terbaik! Kita butuh pemain baru, jadi kami sangat berharap padamu!"

"Aku mengerti."

"Bermain saja seperti biasanya."

Seperti biasanya, ya. Dia benar. Sebaiknya aku tidak berusaha pamer-yang penting adalah bermain seperti biasa.

"Sini!"

Kali ini aku mencoba bergerak dan berhasil menerima bola. Masih ada jarak yang cukup jauh antara aku dan gawang, tapi aku tak peduli; aku akan menggiring bola sampai ke depan gawang.

"Kishitani, aku kosong!" seorang rekan tim berteriak padaku. Tapi gawang sudah di depan mata. Aku hanya tinggal perlu melewati barisan pertahanan...

Namun, gagal; pemain lawan dengan mudah mencuri bola dariku.

"Sial!"

"Kishitani! Lagi!"

Seorang rekan berhasil mengambil kembali bolanya dan mengumpan padaku sekali lagi.

Baiklah, akan kutunjukkan pada kalian bagaimana tembakanku sebenarnya!

Kutendang bola sekuat-kuatnya. Namun karena posisi badanku kurang pas, aku kehilangan kesetimbangan, dan jatuh dengan pantatku menghajar lapangan terlebih dulu, sementara bola melayang di atas gawang.

Beberapa orang rekan mendekatiku.

"Tak perlu memaksakan diri, Kishitani."

"Lagipula, aku kosong tadi. Kau seharusnya mengumpan bolanya padaku, tak perlu melakukan semuanya sendiri!"

"Seperti yang kubilang: main saja seperti biasanya. Kau terlalu memaksakan diri."

Meski aku sudah meminta maaf, kata-kata tadi membuatku bingung.

Memaksakan diri, katamu? Umpan lebih sering, katamu?

Meskipun aku yakin aku bermain seperti biasa, mereka memiringkan kepala seakan kesulitan memahamiku. Mungkin mereka berkata padaku untuk bermain seprti biasa, tapi aku tak mampu menggambarkan dengan jelas bagaimana aku biasa bermain.

"Maaf - kupikir aku sudah bermain seperti biasa..."

"Tidak sama sekali! Hari ini kau bermain seperti permainanmu dulu - benar-benar memegang sendiri bolanya!"

Dulu? Kapankah itu?

"Ya, atau seperti gaya bermainmu hari Sabtu lalu. Yang itu benar-benar parah."

"Benar, yang hari Sabtu itu jelek sekali. Kupikir ada batasnya seberapa gugup ketika kau bermain pertama kalinya. Staminamu juga cepat sekali habis. Pokoknya, lakukan saja seperti yang kau lakukan akhir-akhir ini."

"Ya. Bagaimana kau bermain seperti biasan ketika latihan akhir-akhir ini."

Bagaimana aku bermain akhir-akhir ini? Akhir-akhir ini? Tapi aku tak pernah datang latihan akhir-akhir ini. Tidak, salah. Aku menjadi pemain utama karena permainanku saat latihan, dan aku bahkan mencetak gol di pertandingan sebenarnya, kan?

Ya. Aku harus lebih yakin pada diriku sendiri. Aku bisa melakukannya.

"Kishitani, terima bolanya!"

Aku menerima umpan lagi. Kali ini aku kehilangan bola karena aku tidak fokus dan tidak bisa menerima bola dengan benar.

"Hei, menerima umpan seperti itu, kan, biasanya mudah buatmu!"

"Biasa" yang seperti apa yang kalian maksud?

"Tembak, Kishitani!"

Lagi, seseorang mengirimkan bola padaku. Kali ini bolanya membentur kakiku pada posisi yang kurang tepat dan menggelinding menjauh.

"Hei, mencetak gola dari umpan barusan, kan biasanya mudah buatmu!"

"Biasa" yang seperti apa yang kalian maksud?

"Kishitani, seperti biasanya!" "Kishitani, main saja seperti gaya mainmu biasanya!" "Kishitani, kau seharusnya bisa lebih baik dari itu!" "Kishitani, kemana kemampuanmu hari ini?" "Kishitani..." "Kishitani..."

Aku tak paham. Bagaimana caraku bermain akhir-akhir ini? Seperti apa cara mainku biasanya?

Aku tak ingat. Lalu bagaimana akhir-akhir ini? Kapan tepatnya aku bermain dengan sangat baik? Hari Minggu. Lalu bagaimana aku bermain hari Minggu lalu? Pikir! Ya...aku mencetak gol. Aku juga memberi beberapa assist. Aku bermain bagus. Semua orang memujiku!

Eh...? Tapi apakah itu aku?

Ya, itu aku.

Tapi entah kenapa, rasanya bukan.

Gak mungkin. Kalau bukan aku, lalu siapa lagi?

Siapa—

"Ah..."


"Ada apa, Kishitani?" kata pelatih sembari menepuk punggungku. "—Kau seperti bukan dirimu sendiri."

Jantungku mencelos.

"P-Pelatih, kapan tepatnya aku seperti diriku sendiri?"

"Eh? Pertanyaan aneh, tapi sepertinya...akhir-akhir ini?"

"Tapi apa maksudnya 'akhir-akhir ini'?!"

"Hei, ada apa? Jangan dipikir terlalu serius. Tenang saja dan coba ingat...misalnya, bagaimana kau bermain hari Minggu kemarin."

Kepalaku pusing. Mataku berkunang-kunang. Kakiku gemetaran. Kenapa semuanya seperti berguncang?

"Aku mau muntah..."

"Kishitani! Kishitani! Kishitani...Kishi...Ki...!..."

Aku hanya bisa mendengar suara-suara itu memudar dan hilang dari pendengaranku.


"Selamat datang. Kau terlambat hari ini." kata duplikatku. Ia telah sabar menantiku di rumah.

Aku terlambat sejam lebih karena aku harus beristirahat di UKS-meskipun sepertinya tak ada gunanya.

"Bagaimna tadi? Apakah kamu menjadi bintang lapangan lagi hari ini? Bagi ingatanmu denganku!" kata duplikatku sambil mendekat padaku, mencoba menyentuhkan dahinya ke dahiku. Aku menolak. "Ada apa?"

"Cukup."

"Hah?"

"Semuanya sudah selesai. Aku tak akan membiarkanmu pergi ke sekolah lagi, dan aku tak akan membiarkanmu bermain sepak bola lagi. Tidak, aku tak akan memakaimu lagi."

Kutarik mukanya untuk mencoba melepas topengnya.

Namun, kulihat dia tersenyum dibalik telapak tanganku.

"Kau yakin?"

Badanku gemetar dan tanganku kaku.

"Apa maksudmu...?"

"Seperti yang kubilang tadi! Apa kau yakin bahwa kau akan berhenti menggunakanku?"

"Tentu saja. Aku tak butuh yang sepertimu."

"Jadi kau tidak masalah jika kau kehilangan posisimu sebagai pemain utama?"

"Kehilangan? Aku akan tetap menjadi pemain utama meski tanpamu. Lagipula, apapun yang kau lakukan, aku juga bisa melakukannya. Lagipula, kita ini sama, bukan?"

"Benarkah?"

"Apa?"

"Aku penasaran, berapa lama waktu yang kaubutuhkan untuk menjadi sehebat diriku? Setelah selama ini kau bermalas-malasan dan membuatku mengerjakan semua tugasmu?"

"Aku..."

"Ketika kau bersantai-santai di rumah, aku berlatih keras, dan mengasah kemampuanku dengan bermain bersama para senior. Meskipun kita bisa berbagi ingatan, kita tak bisa berbagi kemampuan dan kekuatan fisik kita. Apakah kau masih tidak sadar bahwa kita sudah tak sama lagi?"

Sabtu lalu muncul lagi di ingatanku. Aku nyaris tak bisa bergerak karena aku tak pernah berlatih sejak lama. Badanku sudah benar-benar berkarat. Lalu hal yang sama terjadi hari ini: semuanya kacau. Berapa lama waktu yang kuperlukan untuk mendapatkan lagi kemampuanku yang lama, dan kemudian mencapai kemampuan "normal" seperti yang semua orang katakan?

Bisakah aku mendengarkan omong kosong itu setiap hari?

Bahwa aku harus bermain seperti biasa.

Bahwa aku bukanlah diriku sendiri, dan membanding-bandingkan aku dengan sesuatu yang bukan diriku.

"Dan aku tak hanya berbicara tentang sepakbola! Aku sudah belajar keras di sekolah dan mendapat nilai bagus. Berbagi ingatan memang membuatmu tahu paa yang telah kupelajari, tapi apakah kau bisa benar-benar menyusulku? Kalau nilaimu tiba-tiba anjlok, orang-orang pasti akan mengira kau berbuat curang, bukan?"

Duplikatku mungkin benar.

Bagaimana aku akan diperlakukan ketika aku sudah tak mampu lagi melakukan apa yang biasanya normal buatku?

"Aku sudah benar-benar berhasil di sekolah dan di sepakbola, bahkan aku sudah bisa melewati rintangan yang ada gara-gara dirimu! Semua itu tidak mudah! Tapi kau benar, teorinya, memang kita identik, jadi kau akan bisa melakukannya jika kau benar-benar berusaha keras. Tapi kau akan gagal jika kau tidak benar-benar berusaha dengan semua yang kau bisa, meninggalkan manga dan game, dan bahkan mungkin meninggalkan tidur. Apakah kau bisa melakukannya?"

Apakah aku akan bisa melakukannya? Aku?

"Gunakan saja aku! Seperti biasanya. Untuk kenyamanamu sendiri. Atau kenapa tidak biarkan semuanya kulakukan saja? Aku akan pergi ke sekolah untukmu! Tak penting siapa yang pergi ke sekolah, asalkan kita tetap berbagi ingatan."

Atau seperti itu saja? Kalau kita punya wajah yang sama, penampilan yang sama, dan kemampuan yang sama, mungkin tak penting siapa dari kami yang pergi ke sekolah.

"Jangan salah: aku melakukannya demi kebaikanmu sendiri! Akan sangat berbahaya jika kau mencoba melakukan sendiri apa yang sebelumnya bisa kita lakukan bersama! Aku akan mengurus sekolah dan sepakbola seperti biasa, sementara kau bisa melakukan hal-hal yang menyenangkan, seperti membaca manga dan main game. Kita adalah satu. Itulah kita yang 'biasa'."

Duplikatku benar. Itulah kami yang 'biasa'. Itulah yang 'biasa' yang mereka katakan.

"Kalau begitu, lakukan seperti biasa!"

Benar. Lakukan seperti biasa.

"Serahkan saja semuanya padaku!"



Seperti biasa, Kishitani dikelilingi oleh beberapa anak.

Sepertinya dia sedang menjelaskan tugas PR kepada mereka. Sejauh yang kutahu, sampai beberapa waktu lalu, nilainya termasuk yang terendah di sekolah ini. Lagipula, dia selalu menjadi rekanku dalam mengerjakan ujian remidial. Selain itu, ia juga selalu menjauhi tugas-tugas seperti ia menjauhi sumber penyakit. Meskipun begitu, dia mengalami kemajuan yang berarti, entah itu di pelajaran atau di olahraga, dan bahkan ia kini mengajari anak-anak yang lain.

Kishitani yang baru bukanlah fenomena sesaat belaka, jelas-jelas reputasinya sekarang menjadi jauh lebih baik.

Ia jadi terkenal di luar kelas kami, membuat beberapa mantan teman sekelasnya datang dan memastikan gosip-gosip itu dengan mata kepala mereka sendiri. Semuanya pergi dengan reaksi yang sama, terkejut, ketika melihat sendiri bagaimana ia telah berubah.

...Perubahan sifat, ya?

Tak ada cara yang lebih parah untuk menjelaskannya.

Seperti yang sudah Towako-san katakan sebelumnya, aku memang tak begitu mengenal Kishitani. Tapi tetap saja, aku tak bisa tidak curiga, dan meskipun aku telah mengatakan pada diriku sendiri bahwa tak ada hal yang aneh, aku tetap tidak bisa menghilangkannya dari pikiranku.

Aku masih menganggap Kishitani mencurigakan, namun dengan berjalannya waktu, aku tak punya bukti apapun untuk mendukung kecurigaanku.

Namun, bunyi yang memekakkan telinga datang lagi ke kepalaku—


Kishitani berdiri, menutup mukanya dengan tangan.

Karenanya, aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, namun bagian yang tidak tertutup di antara tangannya, sudah cukup bagiku untuk mengenalinya.

Pelan-pelan, ia menarik tangannya, melepaskan sesuatu yang terlihat seperti masker.

Sebuah 'topeng' berada di telapak tangannya.

Sudut pandangku bergeser ke atas sekali lagi.

Muka yang muncul dibalik topeng itu terlihat mirip boneka... Tidak, aku akan jujur saja: muka itu terlihat seperti muka mayat, putih, kaku, dan tanpa ekspresi.


Aku sangat terkejut ketika aku terbangun dari Vision.

Tak seperti Vision yang sebelum-sebelumnya, yang ini terlihat lebih abstrak.

Aku tak mengerti, apakah ada seseorang yang mati di Vision tadi.

Jika menghubungkannya dengan teori Towako-san, adegan tadi mungkin berarti bahwa Kishitani akan kehilangan tempatnya di tengah masyarakat karena kemalasannya.

Tapi kupikir ada hal lain dibaliknya.

Adegan dari Vision barusan, dimana duplikat yang dibuat oleh Masquerade berhasil mengambil alih si pemilik aslinya-Kishitani, telah menambah kekhawatiranku terhadap perubahan sifat Kishitani, meskipun Towako-san telah menolaknya tempo hari.

Pokoknya, aku benar-benar merasa tak nyaman setelah melihat rekaman adegan dari masa depan itu.

Aku harus melakukan sesuatu.


"Hm?"

"Berlatih sepagi ini? Hebat juga kau, Kishitani."

Keesokan harinya, aku menantinya di kelas karena aku tahu ia selalu berlatih pagi hari sebelum kelas dimulai. Lapangan sepakbola di waktu sepagi ini benar-benar memberikan pemandangan yang menenangkan. Kishitani berlari-lari di tengahnya, tanpa bersuara dan tanpa rekan.

"Kau akhir-akhir ini masuk ke tim utama, ya? Sepertinya kau semakin semangat setelah masuk ke posisi seperti itu, ya?"

"Kemampuanku tak begitu bagus, jadi aku bisa saja jatuh ke tim cadangan lagi jika aku bermalas-malasan. Aku tak ingin kehilangan posisiku sekarang, setelah berusaha mendapatkannya sekian lama."

"Aku tak pernah mendengar kata-kata sehebat itu darimu. Sejak kapan kau menjadi sejujur ini?"

"Pola pikirku telah sedikit berubah!"

"Pola pikir? Sepertinya keseluruhan sifatmu sudah berubah!"

"Sifatku? Rasanya, akhir-akhir ini aku sering mendengarnya," balas Kishitani tanpa terlihat terkejut.

Namun, ada sedikit jeda sebelum ia mengatakannya. Biasanya, aku tak akan memperdulikannya, namun dengan keadaan ini, aku menjadi semakin penasaran.

"Sepertinya akhir-akhir ini kau semakin bagus juga di dalam kelas?"

"Eh? Ya begitulah."

"Kapan kau bisa belajar ketika kau berlatih dari sepagi ini, bahkan sore nantipun kau masih berlatih?"

"Yah, aku belajar ketika aku sudah pulang ke rumah."

"Masa?! Bukankah kau sendiri sering bercerita pada kami tentang video game yang kau mainkan itu? Bagaimana kau bisa menaikkan nilaimu dan main video game secara bersamaan? Usahamu begitu keras sampai-sampai seperti ada dua orang yang bekerja secara bersamaan, lho!"

"B-benarkah?"

"Pasti ada trik dibaliknya, kan?"

"Tak ada, kok! Aku hanya main game dan belajar secara bergantian saja."

"Ayolah, kita ini kan kawan. Beritahukan aku rahasiamu!"

Kawan? Benarkah? Aku sendiri nyaris bergidik ketika mengatakannya.

"Ehm," gumamnya sembari melihat ke arah lain.

"Ada apa?"

"Err, apakah kita benar-benar sedekat itu?"

"...Lucu sekali. Tak ada seorangpun yang akan menanyakannya secara langsung, lho."

"Y-ya sepertinya begitu."

"Ingat, kita pernah ikut ujian remidial bersama-sama, bukan?"

"A-Aah, ya aku ingat. Kau harus mengulang lagi ujian itu, kan?"

"Diam. Jadi, apa rahasiamu?"

"T-tak ada sama sekali! Kau mulai menjengkelkan, tahu?"

"Maaf! Aku tak berniat mengganggumu, aku hanya sedikit penasaran."

"Tapi memang tidak ada akal-akalan, kok!" katanya sekali lagi. Dia curiga aku tahu akan sesuatu, dan dia segera berjalan keluar kelas.

"Ah, satu hal lagi."

"Apa?"

"Pemilik toko tempatku bekerja mengatakan padaku ia pernah melihatmu disana. Apa yang kau beli di toko barang antik seaneh itu?"

"!"

Ekspresinya terlalu mudah dibaca meskipun ia memakai topeng.

Aku sudah mencurigainya, tapi aku tak punya bukti kuat sejauh ini.

Namun, reaksinya saja telah membuatku yakin.

Kishitani adalah sang pemilik Masquerade.

Aku hanya tak tahu apakah orang yang ada di depanku adalah orang yang asli atau duplikatnya, tapi tak ada cara untuk mencari tahu. Yang pasti, ia bukanlah "Kishitani yang dulu."

Tiba-tiba, pintu kelas terbuka, dan Shinjou masuk.

"Eh? Kalian masuk pagi-pagi sekali."

"Kau juga."

"Aku? Aku hanya kebetulan dapat tugas piket hari ini."

Kishitani memanfaatkan momen itu dan segera kabur dari kelas.

"Hei, tung...," panggilku kepadanya, namun ia tak menghiraukanku sedikitpun.

"Ada yang salah?"

"Gak...," kataku, berusaha mengabaikan pertanyaan Shinjou setelah ia melihatku dan Kishitani dengan tatapan curiga.

Lalu,

"Tokiya."

Aku berbalik ketika mendengar namaku dipanggil, dan mataku segera terbuka lebar.

"Eh..."

Ternyata yang memanggilku barusan adalah Saki.

"Saki? Kenapa kau...?"

"Siapa itu, Kurusu? Aku tak ingat melihatnya di kelas ini. Apa dia murid sekolah ini?"

"Ah, tidak, dia hanya rekan kerjaku."

"Hei, kau tak pernah bilang kau bekerja dengan gadis secantik itu!"

"Tokiya, bisa aku berbicara denganmu sebentar?"

"'Tokiya'? Wow wow! Kalian memanggil satu sama lain dengan nama pertama? Jadi kau sudah dalam hubungan seperti itu?"

"Jangan ngawur!"

"Hei, hei, tak perlu malu-malu! Anu, kamu..."

"Apa?"

Tsukumodo V2 134.jpg

Shinjou, yang mencoba mendekatinya dengan biasa saja, sedikit tersentak.

"...Uh, ehm, siapa namamu?"

"Saki Maino."

"......Uh, ehm, berapa umurmu?"

"Enam belas."

".........Uh, ehm, jangan-jangan kau adalah..."

".........Bukan."

"............Ehm... ya, tidak, Kurusu...! Apa yang barusan kulakukan padanya...?" Shinjou berbalik padaku dengan mata berlinang. Sepertinya ia tak tahan dengan Saki yang tanpa ekspresi. Tentu saja, Saki tidak marah. Dia hanya bersikap seperti biasa.

"Apakah kau sudah selesai bertanya?"

"Ya."

Setelah menerima tanggapan lemah dari Shinjou, aku meninggalkannya pergi bersama Saki. Kubawa ia ke atap untuk sementara, dimana kami bisa berdua tanpa diganggu.

"Kenapa kau kemari? Kau akan membuat masalah jika kau ketahuan!"

"Tenang saja. Tak akan ada seorangpun yang menyadarinya kalau aku memakai seragam sekolah."

...Benar, dia memang tidak terlihat terlalu berbeda dari murid sekolah biasa, dan meskipun ia memakai pakaian hitam seperti biasa, tapi ia juga memakai blazer seragam sekolahku.

"Blazer ini punya Towako-san."

"Kenapa dia sampai bisa memilikinya?"

"Entah."

"Relik baru, ya..."

"Jangan bodoh."

"Aku tahu! Aku hanya ingin mengatakannya saja. Jadi, untuk urusan apa kau ada disini?"

"Penting!"

"Kenapa kau tak menelponku saja?"

"Sulit dijelaskan lewat telepon," kata Saki sembari mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Aku tak tahu bagaimana ia bisa mendapatkannya, tapi itu adalah foto kelasku. "Anak yang membeli Masquerade tidak ada di foto ini."

"Eh? Tunggu. Jadi apa maksudnya?"

"Seperti yang kubilang tadi. Ketika kutunjukkan foto ini pada Towako-san, ia tak yakin ada si pembeli di foto ini."

"Mungkin ia hanya lupa wajahnya? Toh ia tak pernah melihatnya dengan jelas, kan?"

"Towako-san juga berpikir seperti itu, jadi ia juga bertanya pada pemilik toko barang antik yang satunya-jawabannya tetap sama! Si pembeli jelas tidak ada di foto ini."

"Coba kulihat," kataku sembari merebut foto itu dari Saki. Tentu saja ada Kishitani disitu. "Itu Kishitani."

"Baiklah."

"Apa sudah kau tanyakan padanya sekali lagi?"

"Aku sudah menanyakannya beberapa kali."

...Apa maksudnya semua ini? Jadi Kishitani tidak punya Masquerade? Lalu apa sebenarnya yang membuatku ragu-ragu terhadap dirinya, dan bagaimana dengan semua gosip tentang perubahan sifatnya?

Apakah hanya aku sendiri yang meragukan dirinya, dan memang perubahan sifatnya itu suatu hal yang wajar?

Tidak, tidak mungkin.

Kalau saja memang aku yang salah, bisa saja kuabaikan semua keraguanku dan menganggapnya sebagai salah paham saja.

Tapi aku telah melihatnya.

Aku sudah melihat masa depan melalui Vision.

Masa depan dimana Kishitani melepaskan Masquerade-nya.

Masa depan yang menunjukkan padaku sebuah wajah yang penuh kematian dibalik topeng itu.

"Tokiya... pasti kau salah mengenai orang yang kaucurigai."

"!"

Kulihat sekali lagi foto itu. Kuamati setiap wajah yang ada di situ.

Aku ada didalamnya. Kishitani ada didalamnya. Murid-murid yang lain ada didalamnya. Jelas, ini adalah foto kelas kami.

Tapi—

"Ada apa?"

"...Ada sesuatu yang harus kupastikan."

Aku sendiri tak percaya, tapi tak ada salahnya mencoba.

Kutinggalkan Saki menuju Ruang Guru.




"Hei, apakah ada orang yang datang mencarimu hari ini?" tanya duplikatku ketika ia masuk ke kamar.

Aku menyetop game yang sudah kuulang lima kali dan melihat dirinya.

Aku ingin game yang baru. Kalau saja aku tidak kehabisan uang.

"Kau dengar pertanyaanku barusan?"

Ia menarik kerah bajuku.

Kasar sekali orang ini. Nyaris sama seperti aku yang dulu. Eh, tunggu, dia ini juga diriku, jadi pantas saja.

"Apakah Kurusu datang kemari?"

Kurusu? Siapa itu? Ah, ada satu anak yang namanya seperti itu di kelasku. Lama sekali aku tak mendengar namanya. Apakah dia baik-baik saja? Mm? Sudah lama? Meskipun aku melihatnya setiap hari? Oh, tapi masuk akal, sepertinya-duplikatkulah yang melihatnya. Tentunya sudah cukup lama sejak aku melihatnya langsung.

"Jadi, dia datang, tidak?"

"Kupikir...tidak."

"Jangan mikir, ingat, bodoh! Sepertinya dia mulai mencurigai kita. Dia ada di sekolah pagi ini, namun tiba-tiba ia menghilang. Ternyata dia menanyakan alamat seseorang di ruang guru. Mungkin dia ingin datang kemari dan mengecek apakah aku ada disini."

"......"

"Bisakah kau menjawab pertanyaanku barusan dengan benar, sekarang?"

"Aku tak melihat siapapun. Aku tak berbicara pada siapapun. Aku tak bertemu dengan siapapun."

"Begitu. Baguslah," duplikatku mendesah lega. "Ingat, semua ini berakhir kalau dia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi! Mulai sekarang, jangan pergi keluar ketika aku tak ada disini, oke? Kau tak boleh membukakan pintu untuk siapapun! Dan jangan sampai seseorang mengintip melalui jendela. Paham?"

Keluar? Dipikir-pikir, kapan aku terakhir pergi keluar? Atau tepatnya, kapan aku melihat apa yang terjadi di luar? pikirku sembari melamun dan memandangi tirai jendela yang sudah tertutup, entah sejak kapan.

Lagipula, kapan aku berbicara dengan orang selain duplikatku?

...Ya sudahlah, aku tak peduli. Sama sekali.

Aku paham apa yang dikatakan duplikatku barusan.

Tak seorangpun boleh melihatku ketika siang hari, karena diriku yang sesungguhnya sedang berada di sekolah.

Eh? Kalau aku yang sesungguhnya ada di sekolah, lalu siapakah aku, yang bermain video game di rumah setiap hari?

...Ya sudahlah, aku tak peduli. Sama sekali. Aku tak mau memikirkannya.

Kusingkirkan pikiranku barusan jauh-jauh, dan kembali menghadap layar TV untuk menyelesaikan game-ku untuk kelima kalinya.

Aku tak perlu peduli pada dunia luar.



"Maaf, tiba-tiba aku memanggilmu kemari," kataku ketika berjalan ke atap sekolah bersama Kishitani.

Aku menemuinya di kelas sebelum latihan paginya. Karena dia tak nampak terkejut dan mengikutiku begitu saha, sepertinya dia sudah berharap aku akan menemuinya.

"Jadi? Ada apa, Kurusu?"

Kishitani jelas-jelas curiga denganku.

"Aku pergi ke rumahmu kemarin."

"Apakah itu sebabnya kau tak ada di kelas kemarin?"

"Ya. Tapi apakah tak seorangpun menceritakan padamu bahwa aku pergi ke rumahmu?"

"Rumahku, kan kosong ketika kau datang kesana."

"Tidak. Ibumu ada disana."

"!"

"Ada apa?"

"A-Aah, jadi ibuku ada di rumah? Kupikir ibuku di kantor, lho."

"Omong-omong, aku meminta ibumu memanggilmu."

"Memanggilku? Tapi aku tak ada di rumah pagi itu, kan? Tidak sepertimu, aku ada di sekolah, belajar."

"Omong kosong. Kau tak ada di sekolah kemarin."

"Apa maksudmu? Jelas-jelas aku ada di sekolah ini!"

"Tidak."

"Hei, tunggu! Yang kau katakan hanya omong kosong belaka!"

"Bahkan daftar absen juga tertulis kalau kau tidak masuk!" kulemparkan daftar absen padanya, yang barusan kupinjam dari ruang guru. Kishitani membukanya dan mencari namanya, jelas-jelas terlihat kesal.

"Siapa yang kau pikir tak masuk? Pakai matamu! Di sini tertulis bahwa aku datang!" katanya, memperlihatkan daftar absen itu dan menunjukkan ke namanya.

"Tidak, kau yang harus memakai matamu dengan benar. Itu bukan namamu, kan?" balasku sambil merebut daftar absen itu darinya. "Yang kumaksud adalah orang ini! Lihat!" kutunjukkan padanya satu-satunya baris yang penuh dengan tanda X, yang berarti tidak masuk.


"—Keisuke Sagara."


Kishitani-tidak, Sagara dalam topeng Kishitani terkejut dan membelalakkan matanya.

"Maaf aku berbohong barusan. Aku hanya ingin membuatmu terpojok karena kau sudah benar-benar curiga padaku. Lagipula, aku juga ingin memastikan kalau kau juga memiliki kebebasan. Mari kita jujur-jujuran saja dari sini, oke?"

"A-A-Apa yang kau..."

"Bukankah sudah kubilang tadi kalau kau sebaiknya jujur saja? Kau tak perlu bertindak seakan-akan kau ini Kishitani."

Aku sudah bertanya pada Towako-san, satu hal lagi mengenai Masquerade sehari sebelumnya.

Masquerade membuat duplikat dari si pengguna dengan sifat dan kemampuan yang sama ketika dipasangkan pada boneka atau manekin.

Tapi bagaimana jika manusia yang memakai topengnya?

Aku sama sekali tak mengerti bagaimana sifat serta kemampuan Kishitani dan duplikatnya bisa berbeda jauh.

Aku berusaha mencari alasan-alasan yang lain, seperti misalnya perbedaan pengalaman karena tidak mensinkronkan ingatan, perubahan sifatnya sendiri, bahkan mungkin juga karena semua ini hanya imajinasiku saja.

Namun, aku merasa ada jarak antara si duplikat dan aslinya yang tidak dapat dijelaskan dengan mudah.

Jarak yang begitu lebar hingga dapat dianggap keduanya adalah dua orang yang berbeda.

Lalu, aku mencoba menanyakan pada diriku sendiri: Jika topeng itu dipasang ke boneka yang tak punya pikiran ataupun keinginan, maka duplikat yang terbentuk akan memiliki sifat yang sama seperti si pengguna. Tapi jika topeng itu dipakaikan ke orang yang sudah memiliki sifatnya sendiri, apakah duplikat yang dihasilkan akan memiliki sifat yang sama persis dengan orang yang berniat memanfaatkan topeng itu?

Menurut Towako-san, tak ada jawaban yang pasti. Ia bahkan sempat menyebutkan adanya kemungkinan bahwa sifat dari si pengguna dan targetnya-Kishitani dan Sagara-akan bercampur menjadi sesuatu yang sangat kompleks.

Begitu aku mendapatkan pola pikir yang tepat, aku segera bisa menemukan jawabannya.

Aku tahu seseorang di kelasku telah mendapatkan Masquerade.

Aku tahu bahwa ia tak ada di foto kelas kami.

Dari situ, jelas bahwa anak yang tidak ada di foto telah memakai Masquerade untuk menjadi duplikat Kishitani.

Aku mendapatkan alamat si anak yang menghilang, Sagara, dari guru, lalu aku pergi ke rumahnya. Aku berbicara dengan ibunya, dan beliau mengatakan padaku bahwa seharusnya Sagara ada di sekolah.

Menurut beliau, ia akhir-akhir ini mulai pergi ke sekolah lagi setelah membolos cukup lama karena menjadi korban bullying. Tapi Sagara mengatakan padanya bahwa ia masih belum siap untuk pergi ke sekolah sendirian. Karena itu, ia memutuskan untuk tinggal di rumah kawannya supaya mereka bisa berangkat ke sekolah bersama-sama.

Sepertinya, Sagara sudah berbicara langsung dengan wali kelas kami mengenai ketidakhadirannya di kelas, dan dengan begitu orang tuanya tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi berikutnya.

Tapi ada satu hal yang tidak masuk akal di pikiranku: Mengapa Sagara menjadi duplikat dari orang yang mem-bully dirinya?

"Kalau kau bersikap seperti Kishitani hanya karena kau tak bisa melepaskan topeng itu, aku akan membantumu melepaskannya!"

"...Hehe, hahaha. Hahahaha!" Sagara terbahak-bahak, tak mampu menahan tawanya. "Jadi kau tak terkejut dengan fenomena aneh ini. Sepertinya bahkan kau lebih tahu mengenai hal ini daripada aku?"

"...Lumayan."

"Tapi menurutku, sebaiknya kau tidak sok tahu tentang diriku! 'Hanya karena kau tak bisa melepaskan topeng itu'? Tidak. Aku ingin menjadi seperti ini. Jangan menggangguku!"

"Hmm.. begitu ya.."

Di skenario yang kubayangkan, Kishitani mencuri Masquerade dari Sagara, atau semacamnya, dan lalu membuat Sagara menjadi budaknya. Tapi dari perkataannya barusan, sepertinya Sagara memang ingin menjadi Kishitani. Bahkan, ia barusan mengakuinya sendiri.

"Apa yang ingin kau dapatkan dengan menggantikan Kishitani?"

"...Awalnya, aku ingin membuat duplikat dari Kishitani dan melampiaskan dendamku padanya. Untuk membalas semua yang pernah ia lakukan padaku. Tapi karena sepertinya rencana itu tak terlalu menyenangkan, kuputuskan untuk menjadi duplikatnya dan melakukan sedikit kejahatan."

"Lalu melemparkan semua kesalahan pada Kishitani? Kekanak-kanakan sekali."

"Benar, aku juga berpikiran seperti itu. Aku kecewa dengan diriku sendiri karena tak bisa memikirkan cara balas dendam yang lebih baik. Aku jijik dengan diriku sendiri."

"Lalu kenapa..."

"Itulah mengapa kuputuskan untuk menjadi orang lain."

"!"

"Kuputuskan untuk memakai topeng ini dan hidup sebagai orang lain! Dan aku memilih Kishitani. Kukatakan padanya bahwa aku ingin menjadi seperti dirinya; bahwa aku akan mengurus semua beban hidupnya, seperti sekolah.

Semuanya berjalan lancar setelahnya, sebagian karena aku tahu seperti apa sifat aslinya, dan apa yang dia suka, karena aku harus terus menerus melayaninya ketika aku menjadi korbannya. Tentu saja ia tak percaya pada awalnya, namun ketika penampilanku berubah setelah ia memasang topeng itu padaku, segala keraguannya hilang dalam sekejap. Kami mulai dengan datang ke sekolah secara bergantian. Ketika ia sadar bahwa tak seorangpun bisa menyadari siapa diantara kami yang datang ke sekolah, aku menjadi lebih sering datang ke sekolah sebagai dirinya. Sekarang, ia terus-terusan tinggal di rumah seharian.

Ia bukan yang satu-satunya diuntungkan, sih. Aku juga senang. Aku tak perlu lagi menyesuaikan diriku sendiri dengan orang lain. Ini adalah pertama kalinya aku benar-benar menikmati pergi ke sekolah! Aku dapat nilai yang bagus, aku bermain di tim utama, dan aku menjadi pusat perhatian semua orang. Aku telah terlahir kembali. Hidupku di sekolah akhirnya benar-benar dimulai."

"Salah. Tak ada yang dimulai. Hidupmu sendiri telah berhenti!"

"Kau berbicara tentang hidup Keisuke Sagara, benar? Aku tak peduli jika yang satu itu tetap berhenti. Tidak, mungkin lebih baik jika hidupnya berakhir sekalian. Aku akan hidup sebagai Kishitani. Tapi bukan Kishitani yang lama-sebagai Kishitani yang baru."

"Kau bukan Kishitani."

"Ya, aku adalah Kishitani! Dan aku tetap akan menjadi Kishitani. Siapa yang peduli? Tak seorangpun tahu perbedaannya. Tak seorangpun keberatan. Aku sendiri juga cukup terkenal, sekarang. Semua orang lebih menyukai Kishitani yang baru daripada yang lama!"

"Tapi tetap saja, ini salah."

"Apanya?"

"Semuanya."

"Jadi kau pikir mem-bully-ku sampai aku ketakutan pergi ke sekolah dan terus menerus menutup diri di rumah itu benar?! Tahukah kau betapa hancurnya perasaanku waktu itu?! Jangan coba-coba kau menasihatiku kalau kau sama sekali tak peduli denganku sebelumnya!"

Aku kembali mengingat masa depan yang kulihat melalui Vision.

Ia akan menghilang. Jika aku tak menghentikannya, identitas Sagara akan lenyap dan mati.

"'Relik' membawa bencana kepada kita. Berhentilah menggunakannya."

"'Relik' membawa berkah bagi kita. Aku takkan pernah melepaskannya."

Aku tak akan membiarkan semuanya terlambat.

Memang, aku tak pernah melakukan apapun untuk Sagara selama ini. Tapi, sekarang, aku harus menolongnya.

"Sagara..."

"Jangan memanggilku dengan nama itu lagi. Sagara sudah tak ada lagi. Bocah itu sudah mati!"

Sagara mengangkat kepalan tangannya dan menyerbuku.

Orang yang tak pernah berolahraga sepertiku tak akan bisa melawan pemain sepakbola sepertinya.

"—Kau akan menyesal, Sagara!"

Tsukumodo V2 149.jpg

Tak sepertimu, aku telah merasakan pahit getirnya hidup!

Masalah yang tak memicu Vision-ku untuk muncul, bukanlah masalah!

Aku membalasnya dengan pukulan telak di topeng yang menutupi mukanya.

Sagara terhuyung dan jatuh ke lantai.

"Bangsat...," gumamnya ketika mencoba berdiri, dan tiba-tiba ia memegang mukanya.

Masquerade telah sedikit terlepas karena pukulanku barusan. Muka aslinya mulai nampak. Ia buru-buru mencoba menempelkan topeng itu kembali, tapi topeng itu tak berubah menjadi muka "Kishitani" lagi.

Mencoba menempelkannya dengan tangannya sendiri hanya akan menghasilkan mukanya sendiri.

Sagara sadar dengan hal ini; topeng itu jatuh dari tangannya dan tergeletak di tanah. Kuambil topeng itu dan melihat ke mukanya.

Mukanya yang tak bertopeng begitu pucat dan kosong, nyaris seperti muka mayat.

Tapi, tak dapat diragukan lagi, itu adalah wajah asli dari Keisuke Sagara.



Setelah Sagara mengatakan padaku bahwa topeng itu telah rusak, hidup gandaku segera berakhir.

Aku terbangun dari mimpi itu.

Mengapa aku mengurung diriku sendiri di rumah?

Mengapa aku mempercayakan Sagara untuk melakukan semuanya?

Menjadi tertutup sama sekali bukan diriku yang sebenarnya. Tidak, aku tak menutup diri-aku hanya berlibur sebentar dari sekolah. Itu saja.

Aku kembali ke sekolah keesokan harinya.

Aku yakin pasti beberapa orang mengatakan padaku untuk bersikap seperti biasanya, atau semacamnya.

Tapi biarkan saja-akan kutunjukkan pada mereka seperti apa aku sebenarnya.

Aku tak peduli jika perlu sedikit waktu.

Apa yang bisa dilakukan duplikatku, tak akan sulit kulakukan.

Senyumku mengembang ketika aku mengingat-ingat waktu dimana aku bermain di tim utama, mendapatkan nilai bagus, dan dikelilingi oleh fans-ku.



AKu melihat ke lapangan di bawah dari atas atap sekolah.

Latih tanding sepakbola sedang berlangsung di depan mataku.

Penyerang dari kelas dua yang menggantikan pemain lain berhasil menerima umpan yang sulit dan berhasil menyamakan kedudukan dengan menjebol gawang lawan.

Rekan setimnya mengelilinginya dan memberikan selamat padanya.

"Bagus sekali, Sagara!" seseorang berteriak dengan suara yang cukup keras hingga dapat kudengar dari atap sekolah.

"Apa yang sudah kau katakan padanya?" tanya Saki sembari berdiri di sisiku-dengan memakai seragam sekolah, tentu. Sepertinya, akhir-akhir ini ia suka mengunjungiku di sekolah.

"Ngapain juga kau kesini?"

"Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya berada di SMA. Apakah kau merasa terganggu?"

"Tidak, tak apa-apa. Lagipula, sekali-sekali berganti suasana tak ada salahnya, kan?"

Aku juga tak menolak jika aku harus bersekolah dengannya.

"Jadi?"

"Apa?"

"Apakah kau tidak berpikir bahwa hidupnya akan benar-benar berakhir jika ia tak memakai topeng itu? Kau khawatir ia akan mengurung diri lagi, kan?"

"Masa?"

"Ingat lagi!"

Tapi berbeda dengan kecurigaanku, Sagara justru masih bermain sepakbola dan datang ke sekolah. Ia bersikap seperti laki-laki yang baru. Tidak, lebih tepatnya - seperti laki-laki yang terlahir kembali.

Setelah kehilangan Masquerade, muka Sagara terlihat seperti sedang melihat dunia kiamat. Yah, mungkin dunia ideal dalam dirinya telah berakhir.

Aku harus mengatakan sesuatu padanya.

Kukatakan padanya bahwa Masquerade mungkin dapat membuat duplikat yang sempurna dari satu boneka, tapi jika dipasang pada muka orang, hanya penampilannya saja yang sama.

Awalnya, ia tak bisa memahaminya, tapi setelah ia bisa mengerti, ia bertanya padaku, "Jadi yang membuatku bisa bermain sepakbola sebaik ini, mendapatkan nilai yang bagus, dan menjadi terkenal ini, bukan sifat dan kemampuan Kishitani?"

Aku mengangguk, dan kukatakan padanya bahwa ia bisa menganggap semua balas dendam yang ia lakukan ketika menjadi Kishitani, adalah pencapaiannya sendiri, dan ia masih bisa melakukan semuanya tanpa topeng itu jika ia mau.

"Apakah itu benar?" tanya Saki.

"Entah."

"Jadi...?"

"Tapi tidakkah kau setuju denganku?"

Di bawah sana, Sagara mencetak satu gol lagi.

Meskipun ia membolos untuk sekian lama, dia masih mau belajar dan berlatih sendiri. Yang tersisa hanyalah melawan ketakutannya sendiri. Tentu saja, tidak semuanya berkalan lancar. Dia masih sedikit menjauh ketika ada di kelas. Dia juga masih belum bermain di tim utama, dan hanya kadang-kadang dimainkan sebagai pemain pengganti.

Tapi yang pasti, ia jelas-jelas puas dengan pencapaiannya sejauh ini. Sekarang, orang-orang yang mengenalnya akan berkata bahwa ia bersikap seperti orang yang berbeda, tapi ketika aku melihat rekan-rekan setimnya memberikan selamat padanya, aku yakin akan tiba waktu dimana orang-orang akan menerima Sagara yang sekarang.

"Terkadang, hal-hal bodoh yang kita katakan, pada akhirnya juga mengandung kebenaran. Omong-omong, kembalikan," kata Saki.

"Apa?"

"Fotonya."

"Aah," kukeluarkan foto itu dari sakuku. "Tapi kenapa kau punya foto kelasku?"

"Kau pernah memintaku menggandakannya untukmu, kan? Aku tak sengaja menggandakannya terlalu banyak."

"Lalu, kenapa tak kau buang saja?"

"Aku tak suka membuang-buang foto."

"Tapi kau tak perlu menyimpannya juga, kan?"

"Berikan saja foto itu padaku," katanya sambil merebut foto itu dan mengantonginya. Tanpa sengaja, ia menekuk salah satu ujungnya, dan ia merengut untuk sesaat. Jadi dia tak suka ada lekukan di foto, sama seperti ia tak suka membuangnya?

"Kalau kau ingin fotoku, bilang saja, nanti kuberi kau beberapa!" candaku, berharap ia sedikit terhibur.

Saki diam untuk sesaat. "Aku suka yang i...Tidak, aku tak butuh," dia kembali merespon kata-kataku dengan ekspresi kosongnya yang biasa, dan ia membuang muka.

Cih. Sombong sekali.

Tiba-tiba, suara peluit panjang terdengar dari bawah sana.

Latih tanding sudah berakhir dan manajer tim memberikan handuk pada Sagara. Dia adalah anak perempuan yang, sampai sebelum akhir-akhir ini, mendekati Kishitani.

"Gadis itu cepat sekali mendekatinya."

"Kau salah. Dia hanya bisa merasakan apa yang dirasakan Sagara!"

"Sepertinya itu cara untuk melihat sesuatu dari sisi lain."

"Itulah satu-satunya cara untuk melihat sesuatu."

Sedangkan Kishitani, sudah tak mendapat perhatian dari sang pelatih—

"Pelatih, kumohon biarkan aku bermain! Kau tahu apa yang bisa kulakukan!"

Kishitani sudah kembali lagi ke sekolah. Namun, saat itu, tiba-tiba ia sering datang terlambat, nilainya jeblok, dan ia kehilangan posisinya di tim utama.

"Tolonglah! Aku pasti bisa jika aku mencobanya!"

"Jika aku mencoba", ya? Motto hidup yang sederhana, tapi itu sendiri bisa bermakna ganda.

Yang satu memilih untuk mempercayainya dan tak pernah setengah-setengah dalam usahanya, sementara yang lain hanya memakainya sebagai alasan untuk bermalas-malasan.

"Kenapa kau tak mencoba belajar lebih keras, Tokiya? Mungkin kau juga bisa melakukannya jika kau mencoba."

Karena ucapan Saki benar-benar tepat sasaran, kupakai "topeng" untuk berusaha tetap tenang, dan membalas:

"Aku tak akan mampu bertahan lagi jika aku mencoba dan ternyata gagal, jadi aku tak pernah mencoba."

"Payah."




Mundur ke Kesunyian Kembali ke Halaman Utama Maju ke Mata Kematian