Madan no Ou to Vanadis Bahasa Indonesia

You can speak in English or in Indonesian. / Anda dapat menggunakan bahasa Inggris maupun Indonesia.

Moderators: Fringe Security Bureau, Senior Editors, Senior Translators, Alt. Language Translator/Editor, Executive Council, Project Translators, Project Editors

Post Reply

bagaimana pendapat anda mengenai seri ini?

menarik
4
100%
biasa aja
0
No votes
mehh
0
No votes
 
Total votes: 4

User avatar
mizaki
Mikuru's Master
Posts: 22
Joined: Sat Aug 10, 2013 5:09 am
Favourite Light Novel:

Madan no Ou to Vanadis Bahasa Indonesia

Post by mizaki »

Madan no Ou to Vanadis (Raja Panah Sihir dan Vanadis), light novel yang ditulis oleh Tsukasa Kawaguchi, ilustrasi oleh Yoshi☆o (volume 1 sampai 8 ) dan mulai volume 9 di ilustrasikan oleh Yanai Nobuhiko(柳井伸彦). Diterbitkan oleh MF Bunko J, serial ini sudah diterbitkan hingga volume 9.
singkat cerita, saya tertarik ingin menerjemahkan novel ini ke dalam bahasa indonesia
saya sudah menerjemahkan bab 1 volume 1, tp sebelumnya lanjut lebih jauh, saya ingin meminta saran/masukan teman-teman sekalian karena ada bbrp hal yg cukup membingungkan.

tl;dr
ini terjemahan prologue dengan bab pertama

=========================================================

prolog
Spoiler! :
Ujung pedang terhunus ke depan.
Dan yang memegang pedang tersebut adalah seorang gadis cantik. Dengan rambut perak terurai sampai ke pinggul, dia melihat ke bawah, ke arah seorang pemuda, dari atas kuda yang ditungganginya.
“Buang busurmu.”
Sang pemuda menurutinya, meletakkan busur yang digenggam ke tanah.
Sama sekali tidak memiliki niat untuk melawan, dia sudah kehabisan anak panah.
Di sekeliling mereka terbaring mayat yang tak terhitung lagi jumlahnya. pedang dan tombak patah menancap ke tanah seperti nisan, ditambah dengan angin yang membawa bau darah yang pekat.
“Namaku Eleanora Viltaria, namamu?”
Suara manis perempuan tadi seakan menyingkirkan bau darah.
Meskipun iris matanya yang berwarna merah menyimpan rasa ketertarikan, dia terlihat sangat berkharisma.
Pemuda menjawab, sekaligus terpesona.
“...... Tigrevurmund Vorn.”
Setelah puas menanyai pemuda tadi beberapa pertanyaan, gadis tadi mengembalikan pedangnya ke tempatnya.
Dan, sang gadis tersenyum manis ke arah pemuda tersebut.
“Mulai saat ini, kau milikku.”


chapter 01
Spoiler! :
Chapter 1 - Pertemuan dengan Vanadis

“Tigre-sama.”
Suara gadis yang sudah biasa dia dengar mulai mencapai telinganya, dan dia juga merasa tubuhnya diguncang.
Karena langit cerah yang menyinari melalui jendela, dia mulai sadar kalau pagi telah tiba.
Hanya saja, dia masih mengantuk.
“Sebentar lagi...... Sebentar lagi.”
“Bisakah saya bertanya berapa lama lagi “sebentar lagi” itu?”
“Tidak ada rencana untuk berburu hari ini, jadi sampai tengah hari......”
“Sudahlah, bangun saja.”
Sang gadis memarahinya.
Selimutnya ditarik dengan paksa, pundaknya diguncang dengan keras.
Disaat dia mulai membuka matanya, dari jarak dekat dia melihat wajah gadis yang merah padam karena gusar.
Gadis tadi mempunyai wajah yang sedikit kekanak-kanakan, sama sekali tidak memiliki kekuatan mengintimidasi, bahkan ketika sedang marah. Rambut cokelat kastanya dengan gaya twin-tail. Tubuhnya yang kecil dibalut seragam hitam dengan lengan panjang dan rok panjang hingga ke kaki, ditambah apron sehingga yang memberikan kesan bersih. Seperti inilah penampilan seorang pelayang terlihat.
“Ah...... selamat pagi, Teita.”

Image

Dengan suara setengah mengantuk, Tigre memanggil nama pelayan muda yang setahun lebih muda darinya. Melihatnya sudah mulai bangun, Teita melepaskan tangannya.
“Semua pasukan sudah selesai dengan persiapan masing-masing, dan sedang menunggu kedatangan Tigre-sama.”
Tigre terlihat bingung, dan memikirkan ulang apa yang baru saja dikatakan Teita.
Darah langsung mengalir ke wajahnya saat menyadari semuanya.
“......... Gawat!”
Tigre terjatuh dari tempat tidurnya disaat Teita sedang melipat pakaiannya, kemudian Teita meletakkan seember air di dekat Tigre.
“Terima kasih, sudah menyiapkan semuanya seperti biasa.”
“Saya sudah menduga akan seperti ini kejadiannya. Saya akan menyiapkan sarapan, basuh wajah anda dan ketika sudah selesai, datanglah.”
Kegusaran sudah tidak terlihat lagi di wajahnya, Teita tersenyum cerah, memegang ujung roknya sembari sedikit menunduk ke depan memberikan salam, dan meninggalkan kamar dengan anggun.
Tigre mencuci wajahnya, rasa dingin yang menyegarkan membasuh rasa mengantuk yang tersisa. Tigre bergegas keluar dari kamarnya sambil mengenakan pakaiannya, dan merapikan bajunya sambil berlari di koridor.
“Tidak ada waktu lagi...... apakah bisa sampai tepat waktu?”
Awalnya Tigre ingin menuju ke ruang makan, walaupun pada akhirnya dia menuju ke kamar kecil di ujung koridor.
Ruangan ini cukup kecil, bahkan tiga orang dewasa tidak bisa duduk bersamaan di dalamnya. Di seberang pintu masuk terdapat rak yang tersusun dengan indah, di sana tersimpan sebuah busur.
Senar pada busur terlihat masih prima, dan siap untuk digunakan kapan saja.
Satu kata yang tepat untuk menggambarkan busur tersebut, “hitam”.
Gagang, senar, keseluruhan dari busur tersebut berwarna hitam pekat, tanpa cahaya ataupun kemilau di dalamnya.
Busur ini seolah diambil langsung dari dalam kegelapan.
--- Ada perasaan menekan setiap kali melihat busur ini.
Busur dengan aura misterius yang berbeda dengan busur lainnya, merupakan warisan keluarga Vorn. Konon sudah digunakan pendahulunya sebagai pemburu.
Almarhum ayah Tigre meninggalkan pesan terakhir mengenai busur ini.
“Hanya disaat kamu benar-benar membutuhkan busur ini, kamu boleh menggunakannya. Jangan gunakan jika tidak.”
Setelah mendengar pesan ayahnya, Tigre merasakan perasaan mencekam yang sulit untuk dikatakan dari busur tersebut, dan memutuskan sebisa mungkin untuk tidak menyentuhnya.
Tigre berdiri tegak, mengatur kembali nafasnya, meletakkan kepalan tangannya ke dada. Kemudian memberikan salam kepada pendahulunya melalui busur ini, yang diturunkan secara turun menurun.
Setelah selesai, Tigre meninggalkan ruangan tadi dengan tenang, dan menuju ruang makan.
Tigrevurmund Vorn berusia enambelas tahun pada tahun ini. Lahir dalam keluarga bangsawan dari Kerajaan Brune. Dia mengambil alih peran sebagai kepala keluarga setelah ayahnya wafat karena penyakit.
Nama yang memang susah untuk diucapkan sudah diturunkan oleh leluhurnya yang mendapatkan status sebagai Earl dari Kerajaan Brune. Tigre sendiri merasa namanya panjang dan cukup merepotkan untuk dipanggil, karena itu dia meminta kepada orang-orang terdekat untuk memanggilnya dengan “Tigre”.
Tigre memasuki ruang makan, di mana dia mencium aroma yang menggugah selera.
Di atas meja makan yang sederhana, terdapat daging yang dibungkus oleh telur goreng, roti gandum hitam, susu, sup jamur dan bahan lainnya, cukup panas dan masih terdapat sedikit uap dari sup tersebut.
Teita menunggu Tigre di samping meja.
“Sup saja sudah cukup.”
“Tidak bisa begitu.”
Untuk masalah makanan, Teita sama sekali tidak bisa diajak kompromi.
“Bagaimana kalau perut anda sampai berbunyi di hadapan semua orang? Memalukan sekali.”
Dengan tangan yang diletakkan pada pinggang, Teita menatap tajam mata Tigre. Tatapan yan penuh intensitas, sama sekali tidak seperti pelayan. Tatapan Teita sekarang terlihat lebih menyeramkan dibanding pada saat Teita membangunkan Tigre.
Paham bahwa dia tak akan bisa memenangkan pertarungan ini, Tigre langsung menyerah dan mulai makan.
Menuang susu ke atas roti, kemudian mengambil piring dan menyantap telur, dan menghabiskan sup dengan sekali tegak.
“Terima kasih atas makanannya.”
Tigre berdiri sambil mengucapkan terima kasih. Kemudian Teita, dengan serbet dan sisir di tangannya, langsung berjalan mendekati Tigre.
“Masih ada sedikit sisa makanan di sekitar bibir anda.”
Walaupun terdengar sedikit marah, Teita membersihkan bibir Tigre dengan serbet.
“Rambut anda juga masih acak-acakan.”
Teita mengangkat tangannya dan mulai menyisir rambut kemerahan Tigre dengan perlahan.
“Lihat, bahkan kerah baju anda tidak rapi.”
Setelah meletakkan sisir dan serbet ke meja, tangannya menggapai kerah baju Tigre dan merapikannya. Tigre dengan tenang menerimanya.
“......... Tigre-sama.”
“Ya?”
Entah mengapa, suara Teita terdengar lebih feminin, dan Tigre memanggil Teita dengan lembut. Tigre menganggap Teita yang setahun lebih muda darinya, sebagai adik kandungnya sendiri.
“Kenapa, kenapa Tigre-sama harus pergi ke medan perang?”
Ekspresi Tigre mendadak menjadi serba sulit, dan tangannya memainkan rambut merahnya sendiri. Ada kalanya Teita menanyakan pertanyaan yang sulit untuk dijawab seperti ini, dan biasanya Tigre selalu kesulitan menjawabnya.
“ini perintah dari Yang Mulia, sebagai kepala keluarga, sebagai Earl Vorn, sudah seharusnya aku mengabdi pada Kerajaan.”
“T-tapi......”
Memandangi Tigre dengan mata seakan ingin menangis, Teita melanjutkan argumennya.
“Bukan perkara mudah bagi kita bahkan untuk mengumpulkan seratus prajurit.....”
Walaupun Tigre seorang aristokrat, tapi dia termasuk golongan yang kecil.
Dan, walaupun keluarga Vorn tidak dalam situasi untuk dianggap ‘miskin’, mendeskripsikan mereka dengan ‘sederhana’ mungkin lebih tepat. Seperti inilah gambaran keluarga bangsawan Vorn.
Alsace, daerah terpencil yang jauh dari pusat Kerajaan Brune. Selain wilayahnya yang kecil, sebagian besar wilayah Alsace dikelilingi oleh hutan dan pegunungan, oleh sebab itu tidak banyak yang bisa diperoleh sebagai pendapatan daerah.
Gaya hidup Tigre sangat jauh dari gambaran seorang ‘bangsawan’ yang dikelilingi oleh kemewahan dan keagungan.
Rumahnya sejak awal memang tidak terlalu besar, bukti bahwa Teita seorang diri sudah cukup untuk melakukan pekerjaan rumah sehari-hari, sudah cukup untuk menggambarkan kondisi rumah keluarga Vorn.
“Lagi pula, saya dengar kalau musuh kali ini merupakan Kerajaan Zhcted. Kalau memang begitu bukankan seharusnya Tigre-sama tetap tinggal di sini? Alsace dengan Kerajaan Zhcted hanya dipisahkan oleh gunung.”
“Mungkin memang begitu, tapi tempat ini merupakan desa terpencil, bahkan Zhcted tidak berpikir untuk menyerang wilayah ini.”
Bagi Tigre, fakta bahwa tempat ini tidak akan berubah menjadi medan perang merupakan hal yang bagus.
“Te-Terlebih lagi...... bukannya mereka selalu mengolok-olok kemampuan memanah Tigre-sama?”
“Itu karena mustahil melakukan tugas militer yang istimewa dengan sebuah busur.”
“Itu tidak terlalu penting!”
Tetap bersikeras dengan suara nyaring, Teita kemudian membenamkan wajahnya ke dada Tigre.
“Saya hanya berharap...... anda tidak memaksakan diri, tidak ada cedera yang menimpa anda, dan tolong kembali dengan keadaan sehat.”
Tigre dengan lembut memeluk tubuh pelayan yang mengkhawatirkannya.
“Jangan khawatir, pada pertempuran pertamaku dua tahun lalu, bukannya aku bisa kembali tanpa terluka?”
“Pada saat itu, Urz-sama......”
Teita menelan kembali kata-katanya, Urz adalah ayah Tigre yang tewas dua tahun lalu.
Tigre mengelus rambut Teita untuk menenangkannya.
“Pada pertempuran kali ini, pasukanku ditempatkan di belakang pasukan utama, cukup aman. Walaupun terjadi sesuatu, aku akan memikirkan jalan keluarnya.”
Tigre menggunakan jarinya untuk menghapus air mata di sudut mata Teita. Teita hanya mengangguk.

"Be-benarkah begitu, Tigre-sama? Anda selalu bangun kesiangan, jangan melakukannya lagi di medan pertempuran.”
“Dari cara kamu mengatakannya seolah-olah aku selalu bangun kesiangan.”
“Menang benar, saat di mana Tigre-sama bangun tepat waktu hanya ketika berburu, bukan begitu?”
Argumen Tigre dimentahkan oleh kenyataan yang mengecewakan.
Walau begitu, Tigre mengerti kalau Teita hanya menyemangatinya dengan sepenuh hati, dan sekali lagi, Tigre memeluk Teita.
Teita hanya membiarkan Tigre memeluk dirinya.
Kehangatan tubuhnya bisa dirasakan melewati pakaiannya, dan aroma harum samar-samar bisa dirasakan dari rambut kastanya miliknya.
Lebih lama dari ini akan sangat menyakitkan.
Tigre melepaskan pelukannya, walaupun sebenarnya ragu ingin melepaskannya.
“Kalau begitu aku pergi dulu, Teita.”
Menghapus air mata dengan lengan bajunya, Teita tersenyum.
“Serahkan urusan rumah padaku, jaga diri anda baik-baik, Tigre-sama.”




Tigre membawa busur dan tempat anak panah di pundaknya dan meninggalkan rumah, dia melihat prajurit sudah membentuk formasi, menunggu kedatangannya.
Seorang pria tua dengan perawakan kecil dan mengenakan rompi kulit berjalan ke arah Tigre, dan memberikan salam.
“Tuan muda, semuanya sudah berkumpul, perlengkapan juga sudah siap.”
“Kerja yang bagus, Batran.”
Pria ini adalah ajudan Tigre. Dibandingkan dengan Tigre yang masih muda, pria ini jauh lebih berpengalaman dalam perang, dalam kesatuan ini, dia dan Tigre yang sudah terlatih menunggangi kuda.
Sedangkan untuk yang lainnya, mereka adalah prajurit yang dilengkapi rompi kulit dengan pedang di pinggang dan memegang tombak di tangan.
“Aku yakin sudah mengumpulkan jumlah yang cukup.”
Tigre menghela nafas, dan beberapa prajurit berpengalaman dengan setengah bercanda berkata,
“Tuan muda, tak ada yang perlu di khawatirkan, walaupun sudah tiga tahun sejak pertempuran terakhir kita, kita tetap melatih tubuh kita setiap hari dengan bercocok tanam, dan tubuh kita sudah semakin kuat.”
“Membantah perintah Yang Mulia, sama seperti membantah perintah istri, jadi apa boleh buat.”
“Kata-katamu boleh juga, tapi mengapa tidak sekalian membawa istrinya? Beberapa raungan darinya pasti bisa menakuti bahkan seribu hingga dua ribu pasukan, kan?”
Prajurit kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Lebih baik menyerah saja soal itu, istrinya ini tak membeda-bedakan musuh dan teman.”
Batran menengahi dengan olokan darinya, dan Tigre menyudahi pembicaraan ini dengan mengangkat bahu.
--- Sepertinya moral tidak menjadi masalah di sini.
Setelah menunggu tawa prajurit berkurang, Tigre memberi hormat. Kemudian dia menaiki kuda yang dibawa oleh Bartan, dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi di udara, kemudian memberi aba-aba.
“Tujuan kita adalah dataran rendah Dinant, kita akan bergabung dengan pasukan Lord Massas di perjalanan.”
Pasukan infantri mengangkat bendera perang setinggi mungkin.
Mereka membawa dua jenis bendera, bendera dengan warna dasar biru dengan lambang bulan sabit dan meteor sebagai bendera keluarga Vorn. Satu lagi adalah Bayard (Bendera Kuda Merah) – simbol dari Kerajaan Brune, kuda merah dengan rambut hitam.
“Berangkat!”



Ini pertama kali Kerajaan Brune dan Zhcted berperang dalam dua puluh tahun terakhir.
Penyebab konflik kali ini adalah hujan lebat, yang menyebabkan sungai yang menjadi perbatasan kedua Kerajaan meluap.
Masalahnya, masing-masing pihak dengan cepat menuduh korban banjir dari kerajaan lain dengan mengatakan “ini semua karena mereka yang di sana tidak merawat sungai dengan baik”, yang menjadi pemicu perselisihan.
Kedua kerajaan saling menerima petisi dari korban banjir, menetapkan pendirian masing-masing dengan mengatakan “ada yang salah dengan cara mereka mengatasi banjir”, yang makin menghembuskan api permusuhan, dan akhirnya berakhir dengan peperangan.
Akan tetapi, kalau hanya ini, tidak perlu sampai memanggil Tigre ke medan pertempuran.
“Pasukan musuh kurang lebih berjumlah 5,000 pasukan, melawan pasukan kita yang berjumlah lebih dari 25,000 pasukan, benar-benar kabar yang menggembirakan.”
Berbicara dengan nada sarkasme, ksatria tua bernama Massas Rodant duduk di samping Tigre, dia adalah teman dari ayah Tigre, dan sering merawat Tigre.
“Apa benar kalau ini merupakan pertempuran pertama bagi putra Yang Mulia?”
Tigre yang menunggang kuda bersebelahan dengan Massas, bertanya pada Massas.
“Sepertinya memang begitu, sudah seperti rahasia umum kalau Yang Mulia sering memanjakan Pangeran.”
Tubuh Massas yang sedikit buncit, terbungkus oleh baju zirah dan topi baja, memegangi janggutnya dengan ekspresi kurang senang.
“Konflik kali ini juga, sudah seperti perkelahian anak-anak, yang akhirnya di tengahi orang tua, bukan sesuatu yang akan mengubah nasib kedua negara secara drastis. Mungkin ini semua demi Yang Mulia -- Pangeran Regnas, kita hanya dekorasi untuk pertarungan pertamanya...... lebih tepatnya, untuk membantu Pangeran Regnas mendapatkan beberapa pengalaman.”
Sang raja pasti menginginkan kemenangan gemilang untuk pertempuran pertama putra kesayangannya.
Raja telah mengirim beberapa Knight bawahannya langsung, begitu pula dengan pasukan milik aristokrat yang membawahi wilayah di sekitar Dataran Dinant, juga mendapat panggilan perang.
Termasuk Aristokrat kecil seperti Tigre dan Massas.
jika semua sudah berkumpul, semua menjadi 25,000 lebih pasukan.
Massas memimpin tiga ratus pasukan. Diantara mereka, hanya ada lima puluh pasukan kavaleri.
Walaupun bukan jumlah yang sedikit, tapi jumlah tersebut benar-benar tenggelam diantara 25,000, begitu juga dengan Tigre. Karena alasan itu mereka berdua ditempatkan pada formasi paling belakang.
“Hal yang wajar mencoba mengungguli lawan dengan jumlah dalam perang. Pangeran Regnas juga akan menjadi Raja suatu saat nanti. Yang Mulia sama sekali tidak salah melakukan ini.”
Tigre menepuk pundak sang ksatria tua untuk menghiburnya.
Walaupun mungkin bukan itu tujuannya, dia mengatakan itu juga untuk meyakinkan dirinya sendiri.
“Itu benar, kita sebagai bangsawan kecil seharusnya cukup diam saja di belakang. Masuk ke medan perang, mendapatkan penghargaan jasa di medan perang, ada banyak orang yang ingin maju...... oh ya Tigre, apa kau sudah dengar cerita tentang Vanadis?”
Saat mendengar istilah tadi, Tigre teringat tentang sebuah rumor dan menganggukkan kepalanya.
“Tujuh Vanadis dari Zhcted?”
“Benar, kelihatannya pasukan musuh dipimpin oleh salah satu dari tujuh Vanadis. Dia masih muda, enam belas tahun, belum pernah kalah dan terus mendapatkan kemenangan demi kemenangan. Terkenal karena kemampuan pedangnya yang luar biasa, dia berdiri di bagian paling depan, menghabisi semua musuh di depannya, terkenal dan ditakuti sebagai Meltis (Penari Balet Pedang), atau Silvfrau (Kilat Perak Putri Angin).
Kerajaan Zhcted dipimpin oleh seorang raja, dan tujuh Vanadis.
Tanah Zhcted terbagi atas tujuh wilayah provinsi, tiap provinsi di pimpin oleh seeorang perempuan yang terkenal sebagai Vanadis.
--- Seumuran denganku, ya.
Anehnya, Tigre justru mengagumi panglima musuh yang sama sekali belum dikenalnya. Dia masih seumuran dengan Tigre dan sudah meraih banyak kemenangan dan sekarang sedang memimpin 5,000 pasukan.
Dalam Kerajaan Brune, tempat di mana Tigre dilahirkan, wanita tidak diizinkan untuk menjadi prajurit, karenanya kaum bangsawan tidak memiliki dorongan untuk mengirimkan putri mereka.
Bahkan dalam perang kali ini, Tigre belum menjumpai seorang Knight wanita.
Mungkin karena alasan inilah sumber ketertarikan Tigre.
“jadi, siapa nama yang dimiliki Vanadis ini?”
“Kalau ingatanku tidak salah, dia bernama Eleanora Viltaria. Rumor mengatakan kalau dia memiliki kecantikan luar biasa, batu permata sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan kecantikannya.”
“Apa dia memang secantik itu?”
“Bagus kalau kau bersemangat mendengar tentang wanita cantik, tapi ingat supaya tidak berlebihan. Kalau tidak, Teita bisa cemburu.”
Jenggot abu-abu Massas bergoyang mengikuti tawanya, dan Tigre dengan cemberut menjawab.
“Mengapa nama Teita tiba-tiba muncul? Dia seperti adik perempuan ―― “
“Sejak kalian kecil, orang-orang mengatakan kalau kalian berdua seperti kakak laki-laki pemalas dengan adik perempuan yang bisa diandalkan.”
Mendengar perkataan Massas, Tigre tidak bisa berkata apa-apa lagi. Menggaruk rambut merahnya, Tigre mengganti topik pembicaraan.
“Kalau seorang Vanadis benar-benar panglima hebat seperti yang didesas-desuskan, berarti kita akan memasuki pertempuran yang berat, bukan begitu?”
“Mungkin memang begitu, tapi perbedaan dalam jumlah terlalu besar, tak peduli sehebat apa seorang Vanadis, sulit baginya untuk membalikkan keadaan ini.”
Tak peduli seberapa pemberani dan hebat seorang Vanadis bertarung, seharusnya tidak akan bisa membalikkan keadaan melawan musuh dengan pasukan lima kali lebih banyak. Walaupun Tigre ingin mengutarakan pendapatnya, entah mengapa dia tidak bisa mengatakannya dengan mudah.
Perasaan tidak menyenangkan apa ini? Tigre merasakan sensasi panas di punggung lehernya.
Bukan pertama kali Tigre pernah merasakan sensasi seperti ini.
Seperti pada saat berburu, dikepung oleh kawanan serigala karena kecerobohan sendiri ―― atau pada saat dia Tigre bertemu dengan seekor naga ketika berada di gunung.
Atau ketika dia bangun di pagi hari ketika Teita datang dan bagian bawah tubuhnya tidak tertutupi.
Yang manapun itu, hampir tidak pernah ada sesuatu yg baik apabila dia merasakan perasaan ini.
“Jangan murung begitu.”
Apa yang Tigre pikirkan terlihat jelas di wajahnya, dan Massas melihatnya dengan penuh kekhawatiran.
“Apa kau mengkhawatirkan sesuatu? Kau tidak terlihat seperti dirimu yang apa adanya?”
“Apa adanya...... ada kata yang lebih tepat lagi, kamu bisa mengatakan kalau aku tenang dan menghanyutkan.”
“Tidak apa-apa kalau kau ingin mengelaknya dengan kata-kata yang sulit. Aku sendiri, masih sangat ingat hari itu dengan jelas seperti semalam. Dua tahun lalu, ketika kau mengambil alih peran Urz.”
“Aku, apa aku mengatakan sesuatu?”
“Ketika perwakilan dari berbagai desa dan kota bertanya padamu bagaimana cara mengelola Alsace, bukannya kau menjawab mereka semua dengan “yah, kita akan cari bersama-sama jalannya”, kalau bukan apa adanya, jadi apa lagi?”
Tigre tidak menjawab dan hanya mengangkat bahunya.
Hanya saja, Massas tidak berhenti sampai di sana.
“Ketika Urz masih bersama kita, dia selalu memujimu sebagai seorang yang “tenang dan tabah, meskipun sedikit optimis. Dia bisa membuat keputusan yang baik, dan memiliki tubuh yang kuat”. Bukankah itu kata-kata seorang ayah yang selalu menyokong anaknya?”
“Meski begitu, aku juga mempunyai kepercayaan diri terhadap yang kulakukan.”
Hanya ketika Massas selesai bicara, Tigre mulai berbicara.
Memang benar tidak ada masalah besar yang terjadi di Alsace.
Meski perlahan, aset mereka mulai tumbuh. Perwakilan desa yang tercengang dengan pernyataan sederhana Tigre saat itu, menjadi akrab dengan Tigre sejak saat itu.
“Lagipula, bukannya kamu bisa bangun pagi sendiri di hari kamu akan berburu? Tanpa bantuan Teita tentu saja.”
“......Bukan, masalah itu......”
“Aku sudah mendengarnya dari Teita...... kalau kau mempunyai dua atau tiga hari libur, kau langsung mengambil busur dan anak panahmu dan langsung menuju ke hutan atau gunung untuk berburu.”
Tigre seketika menjadi lemas terdiam, dia tidak bisa membantah ini.
“Lupakan kata-kataku tadi. Kau sudah melakukan tugasmu sebagai gubernur dengan cukup baik, kau bisa memastikannya dengan melihat wajah wajah mereka.”
Massas melihat segerombolan prajurit dari balik pundaknya.
Semangat mereka rendah karena disebar ke bagian belakang formasi, tapi tak ada seorangpun yang mengutarakan ketidakpuasan atau kemarahannya.
“Tigre, tugas kita adalah memastikan mereka agar bisa pulang dengan selamat, bukan memikirkan cara untuk memenangkan peperangan ini. Aku tidak tahu kau sedang memikirkan apa, tp jangan terlalu khawatir.”
“Terima kasih atas perhatiannya.”
Tigre mengekspresikan rasa terima-kasihnya kepada Massas.
Seperti yang Massas katakan, tak ada gunanya memikirkan terlalu dalam perihal pertarungan ini.
Walau mengesalkan, tapi mereka hanya dipanggil sebagai dekorasi untuk Pangeran.
Tak ada yang mengharapkan mereka untuk memberikan kontribusi dalam peperangan ini, Tigre dan Massas juga tidak mengharapkan seseorang akan menggunakan prajurit mereka.
Beberapa hari kemudian, Tigre dan Massas tiba di Dataran Dinant.
Dua puluh ribu pasukan utama, pasukan baris depan sudah berjajar di kaki gunung. Lima ribu pasukan lainnya bersiap di bagian belakang, di kaki gunung, atau di sekeliling Pangeran Regnas. Tigre dan Massas merupakan bagian dari formasi belakang.
Kelihatannya perang akan berakhir sebelum mereka bertarung.




Sebelum fajar, di bawah langit hitam, seribu pasukan kavaleri bergerak dalam keheningan.
Mereka melumuri pedang dan tombak mereka dengan lumpur untuk menyembunyikan kemilau dan refleksi yang akan memberitahukan posisi mereka, membuat kuda mereka menggigit papan, dan membungkus kaki kuda mereka dengan kain. Tingkat kewaspadaan yang luar biasa.
Dengan cara ini, mereka masih belum ditemukan oleh musuh, dan telah tiba di sisi gunung.
Jika mereka berhasil memanjat tanjakan kecil, mereka bisa melihat pasukan musuh ―― barisan belakang pasukan Brune berkemah malam ini. Percikan api unggun bisa terlihat menari di kegelapan malam.
“ --- Mari beristirahat sebentar dan lakukan persiapan.”
Gadis berambut perak yang berdiri di hadapan pasukan kavaleri tersenyum kecil. Para prajurit melakukan apa yang ditawarkan gadis tersebut dan mulai beristirahat, mengambil kembali papan kayu dan pakaian dari kuda mereka.
Tak lama kemudian, pengintai yang pergi terlebih dahulu, sudah kembali.
Mendengar dari pengintai jika musuh sedang tertidur lelap dan tidak menyadari kehadiran mereka, sang gadis berbalik dan melihat ke arah pasukannya. Menarik pedang dari pinggangnya, dia mengangkatnya tinggi-tinggi di udara, lembut berhembus.
“Musuh di depan kita berjumlah lima ribu, lima kali lebih besar dari jumlah kita. Mungkin memang barisan belakang, tapi kalau memang di sini panglima tertinggi berada, cukup masuk akal menganggap adanya beberapa tokoh elit di sini.”
Hanya saja, mata merah dari gadis dipenuhi oleh semangat berperang, lalu mengatakan.
“Aku akan pergi. Aku akan menang. Akankan kalian mengikutiku?”
Dalam keheningan, para prajurit mengangkat pedang dan tombak mereka ke udara.
Sang gadis mengarahkan pandangannya ke tenda musuh, memacu kudanya, dan mengayunkan pedangnya ke depan.
“Serang!”
Angin mengibarkan bendera mereka, Zirnitra (Bendera Naga Hitam). Simbol Kerajaan Zhcted, naga hitam yang menyemburkan api hitam, menghiasi bendera.
Angin berhembus mengikuti gerakan mereka. Pasukan kavaleri menggenggam pedang atau tombak di tangan mereka, pemanah menarik busur mereka. Mereka semua mengikuti seorang gadis, mempercepat kuda mereka ke atas bukit.
Penjaga akhirnya menyadari gemuruh tanah karena pasukan berkuda menyerang tenda mereka.
Hanya saja, itu semua sudah terlambat.
“Musuh---“
Gadis tadi, seakan tidak membiarkan jeritan lawan keluar, langsung menebas leher penjaga dengan sekali serang.
Dengan langit yang perlahan mulai terang sebagai latar belakang, seorang gadis memimpin seribu pasukan menyerang barak musuh. Pasukan Brune tenggelam dalam kepanikan, tidak sedikit prajurit yang langsung membuang senjata mereka, lari menyelamatkan diri.
Walaupun ada prajurit yang memberikan perlawanan dengan gagah berani, akan tetapi perbedaan kekuatan mereka terlalu mencolok.
Kekuatan gadis yang menggenggam pedang dan memimpin seribu pasukan terlalu hebat.
Dengan sekali serang, sekelompok pasukan Brune terbunuh, atau tanpa ampun diterjang dengan kudanya. Meski begitu, tidak ada setetes darah yang menempel padanya.
Tiap kali pedangnya menyebabkan angin berderu, mayat kembali jatuh ke tanah, dan terus bertambah.
Gadis dengan rambut perak yang bergoyang terus merangsek masuk ke barak musuh dan menebas mereka, dengan pasukan kavaleri yang mengikuti di belakangnya.
Pada titik ini, kemenangan dan kekalahan sudah hampir bisa dipastikan.



Telinganya terus berdengung.
Teriakan, pekikan, jeritan kematian, suara pedang yang beradu satu sama lain, deru langkah kuda terus begema di telinganya.
“...... Uwaa.”
Dia terbangun.
Terbentang di hadapannya langit biru pagi hari.
Mendorong dan memindahkan beban yang menimpanya, Tigre mulai bangkit.
Ketika suara dengung di telinganya hilang, Tigre mulai mendengar rintihan yang terdengar samar-samar, dan juga hembusan angin. Dia juga bisa mendengar suara bendera mereka yang berkibar meski telah robek, juga suara rumput yang dipijak seseorang.
Butiran debu diterbangkan oleh angin, dan bau darah mulai mencapai penciumannya.
“Apa aku kehilangan kesadaran......”
Dengan terhuyung-huyung, dia mulai berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Dan apa yang pertama kali dijumpainya adalah, mayat yang bisa dilihat sepanjang mata memandang, bukit kematian.
Rerumputan sudah ternoda oleh darah, dan tanah yang dipenuhi oleh ratusan, bahkan ribuan mayat yang berserakan di sana sini. Dorongan ingin muntah seketika menyerang dirinya, seketika itu juga dia menutup mulut dengan tangannya. Tigre kemudian menyadari tangannya sudah dilumuri oleh darah.
--- Darah?
Dia memeriksa wajah dan kepalanya, tapi kelihatannya tidak ada tanda-tanda terluka.
“Darah orang lain.”
Tigre masih bisa bertahan hidup karena dia tertimpa oleh tumpukan mayat, mungkin karena itu dia bisa lolos dari pengamatan musuh.
“Batran! Tuan Massas!”
Dia memanggil nama orang kepercayaannya dan prajut tua yang sangat dekat dengannya, tetapi tetap tidak ada jawaban.
Tigre mencoba memanggil nama-nama prajurit yang dibawanya, tapi seperti yang diduga, tidak ada respon.
“Semoga mereka berhasil kabur.”
Kemanapun dia memandang, yang terlihat hanya mayat, di antara tumpukan mayat, hanya ada pedang dang tombak patah, atau potongan bendera robek.
Penglihatan terbatas karena kabut pagi yang membatasi jarak pandang. Meski begitu tidak ada sesuatu yang bergerak dalam jarak pandang Tigre, entah itu kawan ataupun lawan.
Kemarahan dan kebencian terhadap musuh tidak terpancar dalam hatinya. Lebih dari itu, dia merasa sangat lelah.
“Pertempuran yang benar-benar buruk......”
Kira-kira sebelum fajar, pasukan Brune menerima serangan mendadak, bukannya dari depan, mereka dibuat bingung oleh serangan musuh dari belakang, dan setelahnya barisan depan juga menerima serangan. Inilah awal keruntuhan dua puluh lima ribu pasukan Brune.
--- semalam, sebelum tengah malam, pasukan kami sudah memastikan posisi pasukan musuh berada tepat di depan kita. Dengan kata lain, Zhcted membagi pasukannya menjadi dua. Serangan dua sisi dengan menyerang barisan belakang terlebih dahulu.
Tigre seketika merinding.
Taktiknya sederhana, bahkan anak kecil bisa memikirkannya.
--- Mengerikan, mereka dengan tenang mengeksekusi rencana tersebut melawan musuh dengan jumlah pasukan lima kali lebih besar dari mereka.
Mereka membawa lebih sedikit pasukan, dan masih harus dibagi dua. Pasukan mereka harus memiliki pergerakan yang benar-benar bagus, jika tidak, mereka akan menerima kekalahan menyesakkan.
--- Meski begitu, mereka melakukannya dengan baik sekali.
Pasukan Brune runtuh.
Terseret oleh kerumunan orang yang kabur, Tigre tidak mungkin mengambil alih komando dan kemudian terjatuh dari kudanya, yang menyebabkan dirinya kehilangan kesadaran.
Sepertinya pasukan Tigre hanyut oleh aliansi mereka sendiri.
“Meski begitu......”
Tigre teringat sesuatu, meski hanya sesaat. Dia melihat gadis dengan rambut perak yang menggunakan pedang dan memimpin pasukan musuh, menebas pasukan Brune satu per satu.
“Jadi itu seorang Vanadis......”
Putri Perang, juga dikenal dengan Vanadis, Tigre mengingat kembali kata-kata Massas.
Kurang pantas rasanya jika hanya mengatakannya cantik. Tigre mengacak-acak rambut merahnya ketika memikirkan hal tersebut.
Untungnya, busurnya jatuh di dekatnya.
Setelah mengambilnya, dia mengecek tegangan senar busurnya sekaligus menghilangkan rasa khawatirnya.
“...... Seharusnya tidak ada masalah.”
Tigre merasa lega, jika busurnya bengkok, atau tegangan pada busurnya berkurang, busurnya sudah tidak berguna lagi.
Masih ada empat anak panah tersisa pada tempatnya.
Tigre mengarahkan pandangannya ke angkasa, dan menghitung jarak berdasarkan posisi matahari.
“Barat di sebelah sana.”
Dari medan pertempuran ini, pergi ke barat akan menuju Kerajaan Brune, dan Timur menuju Kerajaan Zhcted.
Menahan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya, Tigre perlahan berjalan ke arah barat. Menyadari ada sesuatu yang bergerak pada jarak pandangnya, dia langsung berhenti.
Seorang prajurit Zhcted mempercepat laju kudanya ke arah Tigre, sambil mengacungkan pedangnya.
Tigre mengambil anak panahnya, kemudian menarik busurnya.
Kudanya menginjak dan melangkahi mayat yang terbaring di tanah, dan semakin mendekat ke arah Tigre. Ketika jarak di antara mereka menyusut menjadi tiga puluh alsin (kira-kira tiga puluh meter), prajurit tiba-tiba berteriak.
“Sisa prajurit Brune, akan kuambil lehermu!”
Tigre tetap diam, dia menarik anah panahnya. Kemudian dengan tenang melepaskan anak panahnya.
Samar-samar.
Dia bisa mendengar suara anak panah yang menembus leher prajurit Zhcted.
Ketenangan dan kecepatan yang luar biasa.
Tubuh prajurit Zhcted tidak lagi bisa bereaksi, dia mengalami kejang dan bergerak tiba-tiba ke samping, sebelum akhirnya jatuh ke tanah.
Kehilangan penunggangnya, kuda mengeluarkan ringkikan melengking. Sebelum Tigre bisa mendekatinya, kuda tersebut berlari menjauh.
“Aku menyerah...... mungkin ini memang bukan hariku.”
Tigre menghela nafas, bertanya-tanya apakah masih ada kuda di sekitar yang bisa digunakan untuk pulang.
Dengan susah payah, Tigre melanjutkan pencariannya, belum ada sepuluh langkah dia harus berhenti lagi.
“Musuh?”
Tiga ratus alsin (kira-kira tiga ratus meter) di depan, dia melihat sekelompok prajurit Zhcted. Jika mereka mengetahui keberadaan Tigre, mereka akan langsung menangkapnya.
“...... Tujuh orang.”
Tigre terlahir dengan mata yang bagus, mata yang semakin terlatih dengan berburu. Jarak tiga ratus alsin sudah cukup baginya untuk mengenali wajah seseorang.
Tigre mengecek ulang anak panahnya, masih tersisa empat lagi.
Walaupun dia yakin dengan kemampuan memanahnya, Tigre tetap tak bisa menjatuhkan dua orang sekaligus dengan satu anak panah. Jika mereka semua menyerangnya seperti prajurit barusan, tak ada lagi yang bisa dilakukannya.
--- Semoga mereka temanku.
Sambil berdoa, Tigre terus mengamati prajurit tadi, dan Tigre tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Vanadis......”
Ketika pasukan Zhcted melancarkan serangan fajar, dialah orang yang memimpin di depan.
Tigre sangat terpukau olehnya hingga hampir lupa bernafas.
Dia gadis muda yang seumuran dengannya. Rambut peraknya terurai hingga ke pinggul, tidak tertutup oleh baju zirah dan berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Dalam pupil matanya yang merah terpancar suatu kebanggaan.
Lengannya yang halus, sesuai untuk gadis seusianya, anehnya pedang yang digenggamnya terlihat sangat cocok untuknya.
--- Tuan Massas pernah berkata kalau seorang Vanadis memiliki kecantikan yang khas.
Apa masih perlu mengatakan apa itu benar? Kecantikannya memang khas, atau bahkan bisa dibilang langka. Semakin dia melihat, semakin dia setuju.
Akhirnya, Tigre kembali menghadapi kenyataan sambil menggelengkan kepalanya, menyingkirkan khayalan liar. Tigre kembali mengamati Vanadis dengan tenang.
Prajurit yang lain terlihat seperti pengawal Vanadis, kuda mereka maju seakan melindungi sang Vanadis.
--- Kalau aku menghabisi Vanadis.
Para prajurit Zhcted akan menerima kehilangan besar. Saat ini pasti terjadi pengejaran dalam skala besar terhadap prajurit Brune yang kabur.
“...... Jika aku berhasil menghabisinya, mustahil bagi prajurit Zhcted untuk melanjutkan pengejarannya.
Jika Massas, Batran dan prajurit yang berasal dari Alsace lainnya berhasil kabur, maka kesempatan mereka untuk pulang dengan selamat akan semakin besar.
Semangat bertarung tumbuh dari dalam dirinya. Tangan yang menggenggam busur dipenuhi dengan kekuatan.
“Aku akan mencobanya.”
Tigre mengeluarkan anak panahnya dan menariknya.
Terus menarik anak panahnya, kemudian Tigre tanpa sadar menyebutkan nama Dewi.
“Eris, Dewi angin dan badai.”
Bunyi senar busur yang ditarik terus memenuhi telinganya.
Di tanah ini, jangkauan maksimum untuk sebuah busur kurang lebih dua ratus lima puluh alsin (kira-kira dua ratus lima puluh meter).
Ini hanya sebatas perhitungan jarak, sejauh mana anak panah bisa terbang.
Namun jika seseorang ingin memberikan luka serius pada target, maka jaraknya harus lebih dekat lagi.
Pada saat ini, Vanadis masih berjarak tiga ratus alsin (kira-kira tiga ratus meter) dari Tigre.
Meski begitu, Tigre tetap melepaskan anak panahnya.
Anak panahnya terbang membelah angin, dan menancap dalam pada kepala kuda yang dinaiki ajudan yang berada di samping Vanadis.
Pada saat kuda terkapar ke tanah, ajudan yang menaikinya juga ikut terlempar ke tanah. Tigre melepaskan anak panah ke-dua, dan kembali menembus dahi kuda lainnya.
“Bagus.”
Setidaknya dua orang pengawal Vanadis sudah jatuh, jalan sudah terbuka.
Jalur untuk meraih Vanadis berambut perak dan pupil merah kini sudah terbuka.
“Inilah pertarungan sebenarnya.”
Saat tangannya meraih anak panah, nafasnya kian berat dan panas.
Bahkan ketika berada dalam pedalaman gunung yang bahkan tidak disinari matahari, ketika menghadapi seekor Suro (Naga Bumi) setinggi lebih dari empat puluh chet (kira-kira empat meter), Tigre tidak mengalami kegugupan seperti yang dia rasakan saat ini.
--- Walaupun prajurit lain ingin melindunginya, kuda mereka yang roboh beserta penungganggnya yang jatuh terhempas akan menghalangi mereka. Butuh waktu bagi mereka untuk mengendalikan situasi.
Walaupun waktu itu hanya sekejap.
Tapi itu sudah cukup untuk Tigre.
--- Dalam situasi seperti ini, apa yang akan dilakukannya, apa dia akan menunduk atau langsung turun dari kudanya, atau mungkin keduanya?
Di sisi kiri dan kanannya terdapat pengawal, karenanya tidak mungkin dia bergerak ke kiri dan kanan. Ada jalan ke belakang, tapi hanya beberapa langkah, sulit mengatakannya sebagai jalur menghindar. Dan di depannya terdapat kuda yang roboh beserta pengawalnya yang terhempas jatuh, sulit untuk melompati mereka tanpa ruang berlari untuk melakukan lompatan tinggi.
Walaupun memungkinkan, dia tidak mempunyai waktu untuk sembunyi setelah turun dari kudanya.
Tigre sekali lagi mengamati Vanadis, dan kemudian diserang oleh perasaan yang mencekam.
Sang Vanadis tersenyum.
Dia menatap Tigre, dengan perasaan senang.
“Kuh!”
Tigre tanpa sadar meggertakkan giginya, hampir saja dia tertelan oleh tekanan seorang Vanadis. Tigre kemudian mengambil sisa dua anak panah, satu dia gigit dengan mulutnya, satunya lagi mulai dia tarik dengan busurnya.
Tapi apa yang terjadi selanjutnya adalah pemandangan yang tidak dapat dipercaya.
Kuda yang ditunggangi Vanadis, dengan lembut melompat tinggi di udara.
Melompati bawahannya yang terjatuh.
Kurang lebih mencapai dua puluh chet (kira-kira dua meter).
Bagi Tigre, sayap terlihat hampir tumbuh pada punggung kuda tersebut. Kuda tersebut tidak terlihat seperti ‘melompat’, tapi lebih mendekati ‘terbang’.
“Apa, itu tadi......?”
Seluruh tubuh Tigre bergetar karena rasa takut, dia mulai bertanya-tanya apa penglihatannya mulai salah.
Kuda dengan penunggangnya, seharusnya tidak bisa melompat setinggi dua puluh chet tanpa ruang untuk berlari terlebih dahulu.

Image

Akan tetapi, seorang Vanadis, dengan ketenangan seolah tidak terjadi apa-apa, mempercepat laju kudanya ke arah Tigre.
--- Jangan takut!
Dia mengatakan pada dirinya sendiri. Aku mungkin hanya berhalusinasi.
Tigre menatap sang Vanadis, dan melepaskan anak panah ketiganya.
Anak panah membelah angin, menuju kening sag Vanadis ― tetapi dimentahkan oleh cahaya perak.
“...... Tidak mungkin.”
Mulutnya ternganga, Tigre hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Anak panah yang terbang dengan kecepatan tinggi dari jarak beberapa ratus alsin, bisa ditangkis dengan pedangnya.
Tigre berpikir, hanya pahlawan dari legenda yang bisa melakukan hal seperti ini, sama sekali bukan hal yang bisa dilakukan oleh orang biasa.
Tigre menarik anak panah terakhirnya.
Dia memiliki kepercayaan diri yang tinggi dengan kemampuannya. Musuhnya datang mendekatinya seorang diri, dan jarak keduanya juga kurang dari tiga ratus alsin.
--- Jangan sampai meleset.
Tigre membidik dan melepaskan anak panah terakhirnya ke arah kening, sama seperti sebelumnya ― akan tetapi, kembali bisa dimentahkan dengan cara yang sama.
Sementara itu, kuda yang ditunggangi Vanadis tidak mengurangi kecepatannya bahkan untuk sesaat. Dia berlari mendekati Tigre dengan ganas dan akan tiba dalam sepuluh detik.
“Inikah akhirnya?”
Dia sudah menggunakan seluruh anak panahnya, dan tidak memiliki senjata lain, berlari dengan kaki menghindari kuda juga tidak mungkin.
Menggenggam busurnya dengan erat, Tigre berdiri tegak, mengumpulkan seluruh tenaga pada kakinya. Setidaknya dia tak ingin terlihat menyedihkan.
Sang Vanadis tiba di hadapan Tigre, dan menghentikan laju kudanya.
Rambut perak gadis ini tidak ternodai oleh darah maupun pasir.
Kulitnya yang putih mengingatkan Tigre akan salju yang terus menerus turun di pegunungan di kampung halamannya.
Penampilan yang bersih, bentuk hidung yang bagus, bibir lembab yang mempesona, bagaikan ukiran yang paling indah. Hanya saja, iris matanya yang merah dipenuhi oleh semangat, mengingatkan bahwa dia masih seorang manusia.
Dia menghunus pedangnya ke hadapan Tigre.
“Buang busurmu.”
Tigre tidak mempunyai pilihan lain selain menurutinya. Sang Vanadis mengangguk puas dan berbicara sambil tersenyum.
“Kau memperlihatkan kemampuan yang bagus.”
Tigre tidak langsung mengerti kata-kata yang ditujukan padanya.
--- Apa dia memujiku......? Orang yang melepaskan anak panah ke arahnya?
Tigre lebih merasa bingung dari pada senang.
“Namaku Eleanora Viltaria, namamu?”
“Tigrevurmund Vorn.”
“ Aristokrat? Gelarmu?”
Dalam beberapa kerajaan seperti Zhcted dan Brune, seseorang yang lahir dengan nama keluarga biasanya berasal dari golongan aristokrat. Hanya sebagian kecil orang yang memiliki nama keluarga tapi tidak berasal dari keluarga bangsawan manapun.
Ketika Tigre mengatakan bahwa dia adalah seorang Earl, sang Vanadis terlihat makin senang.
“Baiklah Earl Vorn.”
Ketika memasukkan kembali pedangnya ke sarung pedang, Eleanora dengan riang berkata.
“Mulai saat ini, kau milikku.”
Saat dibuat tercengang oleh perkataannya, pengawal sang Vanadis akhirnya tiba.
Meskipun mereka mengepung dan mengarahkan pedang dan tombak mereka ke arah Tigre, mereka terkejut ketika Eleanora melambaikan tangannya.
“Lim, bawa dia denganmu. Dia tawananku, jangan memperlakukannya terlalu kasar.”
Prajurit yang bernama Lim hanya mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Karena seluruh kepalanya dilindungi oleh helm, Tigre tidak bisa membaca ekspresi wajahnya.
“Cepat naik.”
Lim melihat ke arah Tigre dari atas kudanya, berbicara dengan nada rendah dari balik helm. Tigre bisa merasakan kemarahan dari suaranya dan bisa mengerti alasannya.
Lim adalah salah satu prajurit yang terlempar jatuh karena kuda yang ditungganginya di bunuh oleh Tigre.
--- Apa dia meminjam kuda dari prajurit lain? Apa dia di atas prajurit lain?
“Boleh aku mengambil busurku?”
Tigre bertanya, sambil menunjuk ke arah busur yang tergeletak di tanah.
“Busur ini sangat penting bagiku.”
Tigre memperlihatkan tempat penyimpanan anak panahnya yang kosong, menunjukkan sikapnya yang tidak menyimpan rasa permusuhan. Lim mengulurkan tangannya ke arah Tigre dari atas kudanya.
“Baiklah, tapi aku yang memegangnya.”
Ketika Tigre menyerahkan busurnya kepada Lim dan menaiki kudanya, dia meletakkan tangannya di atas pinggul Lim.
Lim tiba-tiba menggerakkan lehernya, bagian belakang helmnya menghantam wajah Tigre dengan keras.
“Apa yang kau lakukan.”
Tigre menahan protesnya sambil menekan hidungnya yang memerah. Eleanora tertawa, bahunya sampai bergetar.
“Lim, dia tawananku, jangan terlalu kasar.”
“...... Baiklah.”
Lim menuruti perintahnya, walaupun ketidakpuasan jelas terpancar dari suaranya.
“Kalau kau melakukan sesuatu yang mencurigakan, kau akan kulempar langsung dan menginjakmu sampai mati.”
Tigre hanya bisa menghela nafas, sebagian alasannya karena kemarahan Lim terhadapnya, dan juga karena merasa khawatir dengan masa depannya.
Berbalik ke arah pasukannya, Eleanora berbicara dengan gembira.
“Meskipun pertarungannya membosankan, aku cukup menikmati saat-saat terakhir. Baiklah, mari kembali.”
Perang Dinant, berakhir dengan kemenangan telak bagi Kerajaan Zhcted.
Korban yang jatuh dari pihak Zhcted tidak sampai seratus orang, sementara lebih dari lima ribu prajurit Brune tewas, dan korban luka dua kali lebih banyak dari korban tewas.
Akan tetapi, kehilangan yang di derita Brune lebih dari itu. Kerajaan Brune menyembunyikan sesuatu, fakta yang sangat sulit disembunyikan tak peduli bagaimanapun mereka mencobanya.
Pewaris tahta kerajaan, Pangeran Regnas, gugur dalam perang.
Last edited by mizaki on Thu Sep 11, 2014 7:07 am, edited 2 times in total.
User avatar
mizaki
Mikuru's Master
Posts: 22
Joined: Sat Aug 10, 2013 5:09 am
Favourite Light Novel:

Re: Madan no Ou to Vanadis Bahasa Indonesia

Post by mizaki »

sprti yang saya sebutkan di post pertama, ada bbrp hal yg membuat bingung

pertama, novel ini banyak memakai british noble rank seperti Duke, Marquess, Earl, Viscount, Baron dengan Knight
apa perlu di terjemahkan? saya sendiri membiarkan noble rank tetap dalam english a.k.a ga di terjemahkan, contoh : Duke Thenardier, Marquis Greast, dll


kedua, mana penulisan yang benar dalam bahasa indonesia *hammer
- musuh membawa 5,000 pasukan
- musuh membawa lima ribu pasukan
sejauh ini saya menggunakan yang ke dua

itu dulu, thx sblmnya :D
User avatar
riztupoki
Edit-Translator [101-AETB]
Posts: 73
Joined: Wed Apr 16, 2014 2:18 am
Favourite Light Novel: Date A Live, Highschool DxD.
Location: Bangka Island

Re: Madan no Ou to Vanadis Bahasa Indonesia

Post by riztupoki »

Saya rasa noble rank itu tidak usah di TL, di footnote aja biar ada penjelasannya.
No more.
User avatar
mizaki
Mikuru's Master
Posts: 22
Joined: Sat Aug 10, 2013 5:09 am
Favourite Light Novel:

Re: Madan no Ou to Vanadis Bahasa Indonesia

Post by mizaki »

makasi buat masukannya gan :D
iya, noble rank itu mau di terjemahkan pun susah nyari artinya yg pas, jd dibiarkan aja...


mau namatin volume 1 ini dulu
btw, ada yg mau bantu buatin page bahasa indonesia nya nnti *peace
User avatar
riztupoki
Edit-Translator [101-AETB]
Posts: 73
Joined: Wed Apr 16, 2014 2:18 am
Favourite Light Novel: Date A Live, Highschool DxD.
Location: Bangka Island

Re: Madan no Ou to Vanadis Bahasa Indonesia

Post by riztupoki »

Coba PM ke Tony Yon ato gak coba dahulu buatinnya.
No more.
User avatar
mizaki
Mikuru's Master
Posts: 22
Joined: Sat Aug 10, 2013 5:09 am
Favourite Light Novel:

Re: Madan no Ou to Vanadis Bahasa Indonesia

Post by mizaki »

okeh, nnti ane coba pm ke juragan tony yon deng :D
User avatar
mizaki
Mikuru's Master
Posts: 22
Joined: Sat Aug 10, 2013 5:09 am
Favourite Light Novel:

Re: Madan no Ou to Vanadis Bahasa Indonesia

Post by mizaki »

akhirny ada yg mulai :D

Code: Select all

http://www.baka-tsuki.org/project/index.php?title=Madan_no_Ou_to_Vanadis_(Indonesia)

edit, masukanny ditunggu :D
User avatar
Alvarex
Reader
Posts: 3
Joined: Fri Sep 12, 2014 6:08 am
Favourite Light Novel: To aru majutsu no Index cs, Campione, Oda Nobuna no Yabou, Shinmai Maou, Rakudai Kishi, and many other on harem genre
Location: Bangka, Indonesia

Re: Madan no Ou to Vanadis Bahasa Indonesia

Post by Alvarex »

Thanks, mizaki. Mohon kerjasamanya dan sekalian promosi buat rekrut :D
User avatar
mizaki
Mikuru's Master
Posts: 22
Joined: Sat Aug 10, 2013 5:09 am
Favourite Light Novel:

Re: Madan no Ou to Vanadis Bahasa Indonesia

Post by mizaki »

sama-sama gan :D
btw page nya mau kurapikan dulu dikit
User avatar
Ashura7z
Edit-Translator [101-AETB]
Posts: 1
Joined: Fri Oct 03, 2014 9:33 pm
Favourite Light Novel: All fantasy LN
Location: Surabaya, Indonesia

Re: Madan no Ou to Vanadis Bahasa Indonesia

Post by Ashura7z »

Helo ... maaf gw abis ngedit-ngedit tapi ga ngomong ^_^
Aku ingin sesuatu yang bisa menghilangkan kebosananku
User avatar
mizaki
Mikuru's Master
Posts: 22
Joined: Sat Aug 10, 2013 5:09 am
Favourite Light Novel:

Re: Madan no Ou to Vanadis Bahasa Indonesia

Post by mizaki »

Ashura7z wrote:Helo ... maaf gw abis ngedit-ngedit tapi ga ngomong ^_^
semangat kakak :D
User avatar
Valkyrious
Astral Realm

Re: Madan no Ou to Vanadis Bahasa Indonesia

Post by Valkyrious »

Wah sepi banget ya...

Halo disini Madan Wikia Administrator, mau lihat gimana progressnya soal translasi bahasa Indonesia.

Kalo ada yang mau diskusi tentang Madan no Ou To Vanadis bisa kontak saya di link yang sudah tersedia ya :3

Lagi kerja keras di wiki soalnya harus baca terus edit tiap hari T_T
User avatar
mizaki
Mikuru's Master
Posts: 22
Joined: Sat Aug 10, 2013 5:09 am
Favourite Light Novel:

Re: Madan no Ou to Vanadis Bahasa Indonesia

Post by mizaki »

Valkyrious wrote:Wah sepi banget ya...

Halo disini Madan Wikia Administrator, mau lihat gimana progressnya soal translasi bahasa Indonesia.

Kalo ada yang mau diskusi tentang Madan no Ou To Vanadis bisa kontak saya di link yang sudah tersedia ya :3

Lagi kerja keras di wiki soalnya harus baca terus edit tiap hari T_T
ayo kita lanjut lagi :D
kebetulan bbrp bulan ini agak sibuk
Post Reply

Return to “Indonesian”