A Simple Survey (Indonesia):Jilid 2 Arena08

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Arena 08: Membasuh Darah dengan Darah[edit]

Pulau tempat kami bermain seperti nyaris tenggelam ke dalam lautan yang begitu gelap, seperti gelapnya langit malam.

Pulau ini dikenal sebagai Pulau Mayat.

Puluhan tahun lalu, pulau ini berkembang dengan pesat karena adanya tambang batubara, tapi seiring berjalannya waktu, penduduknya terus berkurang, hingga akhirnya ditinggalkan sama sekali. Komplek-komplek perumahan vertikal yang dibangun asal-asalan dibiarkan dan tidak diruntuhkan, jadi mereka ikut menua bersama pulau, dan satu demi satu hancur dengan sendirinya. Baja tulangan yang mencuat di sana-sini, serta tangga darurat yang setengah menggantung menjadi penanda betapa tidak amannya tempat ini.

Tempat ini terasa lebih mirip reruntuhan kota tua daripada pulau yang tak berpenghuni.

Tak ada sahutan atau teriakan yang akan terdengar, dan lautan yang mengelilingi pulau ini juga mencegah siapapun kabur dari pulau ini.

Tempat yang sempurna untuk permainan ini.

Seorang gadis kelinci memegang megaphone murahan di satu tangan sedang berbicara, dan pria-pria berbaju overall kerja berdiri di kedua sisi gadis itu.

“Apakah kalian semua punya kunci di pergelangan tangan kanan kalian?”

Aku mendengar suara dentingan logam. Sebuah karet gelang yang mirip dengan yang biasanya tergantung di kunci loker kolam renang, terlilit di pergelangan tanganku dan sebuah kunci terikat dengannya.

“Aturannya sederhana. Masing-masing kunci bernilai 100 juta yen. Ketika permainan berakhir di pagi hari, kalian akan diberi hadiah sesuai dengan jumlah kunci yang kalian punya. Namun, kunci yang kalian miliki di awal permainan tidak termasuk. Silahkan mengambil kunci pemain lain dengan negosiasi, ancaman, atau dengan paksa.”

Sudah jelas bahwa permainan ini dapat berakhir dengan mudah jika semua pemain saling menukarkan kuncinya.

Namun, triknya disini adalah, semakin banyak kunci yang kita punya, akan semakin banyak hadiah kita.

Kami akan mendapat lebih banyak jika kami tak hanya menukarkan kunci-kunci kami. Dan jika kau bisa merebut kunci-kunci dari orang yang punya paling banyak kunci, kau bisa menang lebih banyak dari yang lain, terlepas dari apapun yang terjadi sebelumnya.

Dan…

Kemungkinan besar, enam pemain yang berkumpul di pulau ini berada dalam kondisi yang begitu buruk hingga uang 100 juta yen saja tidak cukup.

Mungkin mereka butuh 200 juta yen atau 110 juta.

Yang pasti, permainan ini sengaja dibuat sehingga bertukar kunci saja tidak akan cukup.

Mereka yang menonton permainan ini dari tempat yang aman ingin melihat kami para pemain terpaksa untuk membuang kesempatan aman yang diberikan kepada kami. Kekejaman mereka benar-benar tidak tanggung-tanggung.

Tapi aku tak peduli.

Kami semua ada di dalam situasi yang sama.

Aku tak punya alasan untuk bermain aman.

“Baiklah, semuanya, ambil undian ini.”

Masing-masing dari kami mengambil undian yang dibuat dari sumpit yang kasar. Seolah-olah ingin memamerkan hadiah di acara gameshow, si gadis kelinci menarik selembar kain yang digunakan untuk menutup sesuatu.

“Benda-benda berikut ini akan membantu kalian dalam permainan ini. Menurut undian yang kalian ambil, Tanaka-san mendapat dua pistol, Tetsuyama-san mendapat penyembur api (flamethrower), Tatsukawa-san mendapat stun gun, Hikarikawa-san mendapat derek bergerak (mobile crane) 15-ton, Harumura-san mendapat pisau, dan...ohh! Hayashino-san mendapat hadiah utamanya! Hadiah untuk Hayashino-san adalah Karen-chan!!”

“…Apa?”

Aku meringis. Tidak hanya karena aku tak mengerti apa yang kudapat, tapi aku juga tak suka namaku dipanggil berkali-kali. Aku tak ingin menarik perhatian di awal-awal permainan ini.

Menjawab pertanyaanku, si gadis kelinci menunjukkan jempolnya ke antara dadanya.

“Yang kaudapat adalah aku!!”

“Tunggu, tunggu, tunggu, tunggu, tunggu!!” teriak seseorang. Orang yang mendapat derek bergerak. “Maksudmu ia mendapatkan salah satu panitia acara?! Bukankah itu berarti ia mendapatkan keuntungan yang terlalu besar!?”

“Ini tidak ada hubungannya dengan keuntungan atau kerugian. Mengundi sendiri, pada dasarnya tidak adil. Dan mengapa kau masih mengeluh bahkan setelah mendapatkan derek bergerak itu?”

“T-Tapi…”

“Ini hanyalah awalnya.” Kata si gadis kelinci bernama Karen, sembari tersenyum. “Kalau kau tak suka, tukar saja dengan punya pemain lain setelah permainan dimulai. Dan itu berarti, tentu saja, bukan tidak mungkin kami akan menyerangmmu untuk mencuri derek itu.”

“…”

Perhatian semua pemain lalu tertuju pada kami. Si gadis kelinci sepertinya sengaja melakukannya.

Bahkan jika akhirnya kami saling bunuh-membunuh, ada aturan yang harus diikuti.

“Baiklah, semuanya. Hmm… Permainannya akan dimulai 20 menit lagi. Silahkan berjalan-jalan di sekitar pulau ini sambil menunggu.”

Tentu saja, yang ia maksud adalah kami harus bersembunyi sebelum permainan dimulai.

Kami saling bertukar pandang sebelum pemain-pemain lain berlari ke arah yang berbeda-beda. Kemungkinan besar mereka akan bersembunyi entah di mana dan menunggu ada kesempatan.

Satu-satunya pemain yang belum beranjak, aku melirik si gadis kelinci.

Ketika yang lain mendapat senjata mematikan seperti penyembur api, pistol, atau kendaraan berat, aku justru mendapat seorang gadis.

“…Jadi, apa yan bisa kau lakukan?” tanyaku.

Karen mengayunkan lengan dan kakinya untuk melakukan semacam gerakan aneh sebelum berkata, “Aku bisa mengalahkan dinosaurus dengan tangan! Aku bisa memecah gunung dengan tendanganku!! Dan kekuatan superku adalah melakukan tiga hal sekaligus!”

Apakah dengan mendapat undian sial itu berarti pemain lain akan datang dan membunuhku? Mungkin aku harus menyerang mereka sesegera mungkin, membuat mereka terkejut, daripada terus menunggu.

Setelah melihat kalau aku jelas-jelas tidak senang dengan senjata yang kudapat, si gadis kelinci berkacak pinggang.

“Baiklah, baiklah. Sekarang waktunya bicara serius. Kita tak punya banyak waktu lagi sebelum permainan dimulai. Di mana kita akan bersembunyi?”

“Pulau ini terbagi menjadi tiga area: tambang batubara, kota tua, dan pelabuhan. Jalan masuk menuju tambang kemungkinan besar sudah ditutup dengan pelat baja ketika tambang berhenti beroperasi. Semua gudang-gudang pelabuhan sudah runtuh, aku tak mengingat pernah melihat gedung apapun di situ. Ini akan jadi masalah. Kau mengerti apa maksudku?”

“Kita tak bisa kabur dari derek bergerak.”

“Tepat.”

Lagipula, derek itu adalah monster seberat 15 ton. Meskipun dikendarai di kecepatan 50 km/jam, orang-orang yang ada di jalan tak bisa melawannya. Dan sudah jelas apa yang akan terjadi kalau kau sampai dikejar-kejar olehnya.

“Itu berarti kita perlu pergi ke kota tua. Kalau kita bersembunyi di lantai atas gedung bertingkat, derek itu tak bisa melindas kita.”

“Bukankah kita bisa bersembunyi di tambang?”

“Memaksa masuk ke lubang tambang dengan tempat berjalan serta penyangga yang sudah berkarat bukan ide yang bagus. Kalau terpeleset, kita bisa jatuh dan meluncur turun sampai 100 meter ke bawah.”

Akhirnya kami menuju ke kota tua.

Karena ini adalah pulau tak berpenghuni, tidak ada satupun lampu yang menyala. Kegelapan malam memenuhi segala penjuru. Entah di mana, di dalam kegelapan itu, bersembunyi para penyerang yang memegang senjata mematikan. Kegilaan ini membuat malam ini semakin terasa kelam.

Pastilah banyak orang yang bekerja di sini waktu tambang itu masih berproduksi karena rumah-rumah di sini benar-benar tersusun rapat. Hanya ada beberapa centimeter yang tersisa antar tiap bangunan, sepertinya orang dapat berpindah ke rumah sebelah hanya dengan melompati jendelanya.

Beberapa bangunan telah rubuh karena degradasi alami yang berjalan seiring waktu, dan di beberapa tempat, rubuhnya satu bangunan memberi efek domino. Reruntuhannya bahkan tersisa bertumpuk-tumpuk di tengah jalan, jadi kota yang seharusnya tertata rapi ini telah menjadi semacam labirin.

Benda-benda yang ditemui sehari-hari tercecer di sekitar reruntuhan. Dengan debu yang menutupinya, barang-barang itu terlihat seperti bongkahan-bongkahan tanah reklamasi.

Kuambil sebuah tas yang tergeletak di tanah, di atasnya tertulis nama Perusahaan Konstruksi Imada. Kulempar tas itu ke Karen.

…Perusahaan Konstruksi Imada, hm?

“Kumpulkan beberapa pecahan beton seukuran telur dan masukkan ke tas itu.”

“…Untuk apa?”

“Kita tak punya senjata, jadi aku ingin menyiapkan sesuatu sebelum permainan dimulai.”

Apa yang muncul di pikiranmu ketika kau berpikir tentang proyektil? Senapan? Busur? Kalau kau sekedar perlu sesuatu dari jaman dulu, yang kauperlukan hanya sabuk kulit dan beberapa batu kecil. Kalau kau membuat sabuk berbentuk U, menahan sebuah batu di dalamnya, dan mengayunkannya sekencang mungkin, batunya akan terlempar dengan gaya sentrifugal, dan kau mendapat apa yang disebut pengumban. Senjata itu cukup mematikan.

Namun…

Aku pernah mendengar beberapa suku yang bisa membunuh hewan liar dari jarak 100 meter atau lebih, tapi bahkan untuk setengah jarak itu saja akan sulit buatku. Sekarang sudah malam dan targetku akan bergerak kesana kemari. Seberapa jauh aku bisa melempar batu itu dan dari seberapa jauh aku bisa melukai seseorang, adalah dua hal yang berbeda.

“Kau lumayan cerdas juga.”

“Undang-Undang Pengendalian Pedang dan Senjata Api ditulis dengan rapi, tapi ia tak bisa mencegah akses terhadap benda yang ada di mana-mana. Kau pegang tas itu. Ayunkan tas itu seperti pentungan kalau diperlukan.”

“Apa itu yang kau kumpulkan? Pemberat pancing?”

“Sekedar untuk jaminan saja.”

Aku melangkah ke salah satu gedung yang nyaris runtuh dan bergerak ke lantai dua sehingga derek bergerak tidak bisa menyerang. Aku ingin berada cukup rendah, jadi aku masih bisa melompat ke bawah kalau terpaksa.

“Apa yang kau lakukan?”

“Mencari sesuatu untuk menyalakan api.”

“…Gelap-gelap begini?”

“Sekarang satu-satunya kesempatanku. Ini masih waktu persiapan. Kalau permainan sudah dimulai, menyalakan api sama saja dengan bunuh diri.”

Kutemukan kompor portabel yang sudah berkarat. Kaleng gasnya tentu saja sudah dilepas, tapi aku berhasil menyalakan api dengan mengganjal pemantik dengan kain bekas.

Setelah mengerjakan beberapa trik lagi, persiapanku sudah selesai.

“Kau benar-benar memikirkannya, ya.”

“Kita harus segera bergerak. Aku tak ingin berada di dekat tempat api tadi menyala.”

Kita melompat dari jendela gedung itu ke jendela gedung sebelahnya.

Aku bersembunyi dalam gelap dengan si gadis kelinci.

“…Sebentar lagi seharusnya akan dimulai.”

Barang-barang kami semua telah disita, jadi aku tak punya jam tangan, tapi aku bisa perkirakan berdasarkan waktu yang kupakai untuk perjalanan dan persiapan.

Kulihat Karen yang masih mengenakan baju kelincinya itu.

“Omong-omong, aku lupa bertanya. Apakah ada jaminan kalau kau takkan mengkhianatiku di tengah permainan?”

“Tidak ada,” kata Karen datar. “Pistol mungkin meledak, derek bergerak bisa saja macet, dan aku sendiri juga punya risiko. Apakah aku harus menjelaskan semua ini?”

“…”

“Hm? Apakah kau sedang berpikir untuk membungkamku sekarang, kalau-kalau aku mengkhianatimu nanti?” katanya. “Kau bisa saja melakukannya, tapi itu berarti kau akan benar-benar tak memiliki senjata lagi. Meski kalau kau pikir kau bisa melawan yang lainnya seperti itu, aku takkan menahanmu.”

Si gadis kelinci benar. Apa yang ia katakan sama sekali tidak salah.

Tapi bagaimana bisa ia tetap objektif pada saat-saat seperti ini?

Apakah ia tidak takut kehilangan nyawanya sendiri?

“Apa yang akan kau lakukan? Menurutku, kau harus segera menentukan pilihanmu.”

“…Aku akan memakaimu untuk sementara ini.”

“Begitukah?”

Suar yang menyala terang melesat terbang ke langit di kejauhan sana.

Permainan telah dimulai.

Permainan bunuh-membunuh di Pulau Mayat, dimana kami akan membasuh darah dengan darah, telah dimulai.


Seiring dengan mulainya permainan, Karen dan aku masih bersembunyi di lantai dua di kompleks perumahan.

Ini karena kami mendengar suara mesin tepat di bawah sana.

derek bergerak seberat 15 ton.

Suara seperti itu mungkin tidak jarang di kota, tapi ini adalah pulau tak berpenghuni yang diselimuti kegelapan. Suaranya terdengar jauh lebih kencang dari pada biasanya. Suaranya begitu kencang sampai aku berpikir apakah orang yang ada di tambang mungkin bisa mendengarnya.

“Bagaimana menurutmu?” tanyaku.

“Mungkin ia sedang mencari-cari. Ia berputar di daerah yang sama lagi dan lagi dan lagi, jadi ia tidak sedang mengejar seseorang.”

Kupikir ia tidak salah, tapi kita berdua tidak bisa terus berada di sini.

“Ayo pergi.”

“Oh, sekarang? Terburu-buru hanya akan menyebabkan kesalahan. Masih ada 7 jam sampai subuh. Lebih baik pelan-pelan membangun kekuatan daripada memaksa dirimu untuk-…”

“Aku tak ingin membiarkan pemain yang lain melakukannya,” balasku cepat dalam suara yang lirih. “Dua pistol, satu penyembur api, satu derek bergerak, satu stun gun, satu pisau, dan kau. Cuma itu yang kita tahu. Tapi ini semua akan berubah seiring berjalannya waktu. Aku tak ingin berada di situasi dimana lawan yang seharusnya hanya memiliki pisau tiba-tiba bisa menembakku.”

Si gadis kelinci sudah menyebutkan nama para pemain sebelum permainan dimulai, tapi aku tidak ingat siapa saja mereka. Setelah berada dalam permainan yang keji ini, nyawa manusia seolah tak ada nilainya lagi.

Lalu Karen dan aku mulai bergerak.

Kalau kita turun ke bawah, derek bergerak itu bisa menggilas kita. Untungnya, rumah-rumah di sini hanya berjarak beberapa centimeter dan hampir semua kaca jendelanya pecah, jadi kita bisa dengan mudah lompat dari rumah ke rumah.

“Bagaimana kau menemukan pemain lain yang tak punya derek bergerak yang suaranya sekencang itu?”

“Apakah kau tak bisa melakukan sesuatu?”

“Kalau kau mau, aku bisa menunjukkan kemampuanku membaca pikiran!! Oh, atau kau lebih suka membaca peruntungan lewat tarot?”

Aku hanya bisa mendesah.

Tapi aku sendiri juga tak punya rencana soal itu.

“Rute jalan antara kota tua, pelabuhan, dan tambang jumlahnya terbatas, jadi cara yang sederhana adalah membuat jebakan di jalan.”

Pulau itu adalah pulau kecil, tapi akan makan waktu lumayan banyak untuk berjalan mengelilinginya. Dan pemain lain akan terus bergerak, jadi bukan tidak mungkin kita tidak bertemu satu sama lain.

derek bergerak suaranya lumayan keras, jadi tidak masalah. Namun, sepertinya aku harus membunuh pemain yang lain kalau aku bertemu mereka, kalau tidak, mungkin aku takkan bertemu mereka lagi.

Atau…

Alih-alih mencari mereka, bisakah aku membuat jebakan supaya mereka datang kepadaku?

Segera setelah ide itu muncul di kepalaku…

“Angkat tangan.”

Segera setelah kami berdua mendengar suara seorang perempuan, Karen dan aku langsung bersembunyi di belakang dua pilar penyangga yang berjajar. Perempuan itu mungkin hanya memeriksa kondisi rumah ini, tapi aku tak ingin mengorbankan nyawaku untuk asumsi yang terlalu optimis seperti itu. Dan aku tahu senjata apa yang dipakai orang yang mengatakan kata-kata seperti itu.

Dua buah pistol.

Aku mendengar suara langkah kaki.

Seseorang memasuki ruangan ini.

“Sudah terlambat untuk bersembunyi. Asal kau tahu saja, bahan enamel di pakaian kelinci itu terlalu mengkilap. Mungkin itu kenapa derek itu terus berjalan di sekitar daerah ini.”

Aku tak tahu apa yang dia mau.

Kalau dia hanya ingin menembakku dan mengambil kunciku, tentu dia sudah menembak. Atau ia tak ingin pengemudi derek mendengar suara tembakan?

Karen melihatku dari balik pilar tempat ia bersembunyi.

Aku memberi perintah padanya dengan kode jari.

Tapi aku tak memintanya menyerang. Kalau ia menyerang, ia akan langsung diserbu timah panas. Dan perempuan itu tidak akan membiarkan kami tetap hidup dalam kondisi seperti ini.

Sekarang.

Pertanyaan pentingnya adalah apakah gadis kelinci yang tersenyum menyeramkan itu akan menuruti perintahku atau tidak.

Mungkin saja ia akan langsung mengkhianatiku ketika ia mulai merasa terancam dan bergabung dengan si perempuan dengan dua pistol itu.

Lalu…

“Iya, iya. Aku mengerti.”

Ia berjalan keluar dari balik pilar sembari memasang muka cemberut seperti anak kecil yang disuruh ibunya ketika sedang bermain video game.

Ia melakukannya dengan mudah sampai-sampai aku kaget, padahal aku sendiri yang menyuruh gadis itu.

“Oh? Jadi kau bisa menggunakan gadis ini seperti itu,” ejek perempuan dengan dua pistol itu.

Si gadis kelinci tersenyum dan berkata, “Itu yang ia minta padaku.”

“Apakah kau pikir aku takkan menembakmu karena kau adalah panitia permainan ini?”

“Mungkin kau akan menembakku. Dan aku akan mati kalau kau melakukannya.”

Apa yang sedang ia pikirkan?

Kupikir orang-orang yang merancang permainan ini bukanlah orang yang waras, tapi ini lebih gila daripada yang kuperkirakan.

Si perempuan dengan dua pistol sepertinya juga menyadari betapa anehnya lawan bicaranya.

Tapi…

“Seperti yang kuperkirakan, tidak, lebih baik lagi malah. Kau lumayan juga untuk dijadikan partner,” kata si perempuan.

“…”

“Kau keluar juga dari balik pilar itu. Pistolku kaliber 9 mm. Kalau kau menggunakan gadis ini sebagai tameng, aku tak bisa menembakmu.”

Aku hanya menuruti perintahnya.

Ini adalah pertama kalinya aku berbicara dengan pemain lain.

“Apa yang kau inginkan?” tanyaku.

“Mengalahkan musuh terkuat kita.”

“Menurutku yang paling berbahaya di sini adalah kau dan dua pistolmu.”

“Tidak. Pistol ini bukan senapan anti-materiel. Sebuah pelat tipis bisa membelokkan peluru 9mm. Aku ingin mengalahkan derek bergerak itu sebelum ia bisa melindungi dirinya seperti itu.”

Dan segera setelah musuh terkuat itu berhasil dikalahkan, tak ada yang bisa menghentikan perempuan itu.

Penyembur api juga terlihat berbahaya, tapi jenis yang menggunakan tangki yang dikenakan di punggung punya jarak pakai maksimum sekitar 10 meter. Lebih dari itu akan memanggang penggunanya sendiri. Pistol perempuan itu bisa ditembakkan dari jarak 150 meter, jadi ia bisa dengan mudah membunuh pemain yang menggunakan penyembur api. Kalau ia mengatur bidikannya dan menembak sedikit ke atas, ia bisa menembaknya.

Tapi…

Memang benar bahwa aku tak punya harapan untuk menang kalau kita tak melakukan sesuatu terhadap derek bergerak itu. Segera setelah ia menemukan cara untuk melindungi kursi pengemudinya dengan sesuatu seperti pelat logam, ia tak akan terkalahkan.

Aku berharap dua musuh terkuat ini akan saling membunuh, tapi sepertinya aku sendiri yang dikorbankan.

“Apa yang bisa kita lakukan?”

“Peluruku jumlahnya terbatas. Tepatnya, aku punya 30 peluru dibagi di dua pistol ini. Akan sangat sulit untuk menembak si pengemudi sambil dikejar-kejar derek. Tapi,” tambah perempuan itu, “Aku punya peluang lebih besar kalau aku bisa fokus menembak saat derek bergerak itu mengejar target lain. Aku tidak berpengalaman menembak, jadi aku tak yakin bisa membunuhnya dalam satu atau dua tembakan. Tapi aku pasti bisa melakukannya sebelum peluruku habis.”

“Dan kau ingin kami memancingnya keluar?”

“Aku tak bisa meminta pemain lainnya.” Wanita itu menggerakkan salah satu selongsong pistolnya ke arah Karen dan aku. “Tapi kalian berbeda. Kami semua cuma punya satu nyawa, tapi kalian punya dua. Kita bisa memanfaatkan itu.”

“…Begitu.”

Karen bisa mengkhianatiku kapan saja, jadi aku tak yakin apakah ia akan mengikuti instruksiku hingga permainan berakhir. Tapi kalau kita kalah dari derek bergerak, aku bisa meninggalkan Karen dan kabur ketika operator derek terfokus pada si wanita dengan dua pistol.

Dan yang lebih penting, kalau aku menolak wanita ini, aku akan ditembak. Wanita ini butuh Karen sebagai umpan, bukan aku. Dia mungkin akan mengancam Karen setelah membunuhku.

“Kupikir aku tak punya pilihan lain selain mengikuti keinginanmu.”

“Kalau itu keputusanmu, kita berdua bisa melakukannya,” kata Karen, tetap tersenyum.

Ia tidak keberatan dengan rencana wanita itu.

“Tapi kalau kita ingin memasang jebakan, kita butuh bantuanmu,” kataku pada wanita itu.

“Maksudmu?”

“Karen bukan pemain, jadi ia tak punya kunci yang bernilai 100 juta yen. Dengan kata lain, ia tak perlu dibunuh. Ia perlu umpan lain jika kau ingin derek itu mengejarnya.”

“Sekali lagi, apa maksudmu,” kata wanita itu sembari mengayunkan pistolnya.

Sepertinya pistol itu membuatnya benar-benar percaya diri, tapi pistol itu jugalah yang kuinginkan.

“Berikan Karen satu pistolmu. Itu syaratku.”

“…Kau serius?”

“Kau bilang aku punya dua nyawa, kan? Yah, tidak seperti pemain lain, kau punya dua senjata. Meski jika kau menyerahkan satu, kau masih punya keuntungan dibanding pemain lainnya.”

Dan pistol itu adalah senjata yang paling kuat. Kalau derek itu melihat Karen membawa pistol, ia mungkin akan melihat Karen sebagai ancaman, lalu menyingkirkannya, atau ia akan mencoba merebut senjatanya. Yang pasti, ia takkan bisa mengabaikannya.

Wanita itu mengamati Karen dan aku dengan penuh kehati-hatian.

“Bukankah itu berarti aku dan kalian akan saling menembak ketika pistolnya kuberikan pada kalian?”

“Kalau begitu ambil pelurunya sebelum kauserahkan pistol itu. Kita hanya butuh umpan. Orang di dalam derek tidak akan tahu apakah pistolnya ada pelurunya atau tidak.”

“Baiklah. …Jangan bergerak.”

Ia akan jadi satu-satunya yang punya pistol berpeluru.

Wanita itu setuju karena ia tetap memiliki keuntungan.

Tapi…

“(Karen.)”

Entah itu revolver atau semi-otomatis, semua pistol punya satu karakteristik yang sama ketika semua pelurunya akan dikeluarkan. Tahukah kau apa itu?

Jawabannya sederhana.

Kau butuh kedua tanganmu untuk melakukannya.

“(Serang pada aba-abaku. Aku akan menyerang sebelah kanan; kau sebelah kiri.)”

Suara langkah kaki yang cepat bergema di ruangan itu.

“Eh? Ah…”

Si wanita yang kebingungan itu buru-buru membidikkan pistolnya, tapi yang ia pegang adalah yang tidak berpeluru. Yang berpeluru masih ada di kantongnya. Keragu-raguannya karena ia tak tahu harus membidik musuh yang di kiri atau kanannya memberikan jeda yang bahkan lebih besar.

Jeda itu membuat kami bisa mengatasi kecepatan pistol yang bisa membunuh hanya dengan satu gerakan jari telunjuk.

Karen memegang tas yang berisi pecahan beton.

Pentungan dadakan itu membuat bunyi yang keras ketika ia memecahkan kepala si wanita berpistol.


Kuambil kedua pistol dari genangan berwarna merah darah dan kulempar satunya ke Karen.

Aku pernah baca di suatu buku kalau manusia menemukan rasa aman dalam suatu bentuk simetri dan menganggapnya indah. Apakah hal ini ada hubungannya atau tidak, yang pasti penampakan seorang wanita dengan sebelah kepalanya hancur sangatlah tidak enak dilihat.

Karen menggunakan tas yang berisi beton itu untuk mengelap darah dari pistol.

“Oh, wow. Kita sudah punya senjata yang terbaik. Apakah itu berarti kita yang terkuat?”

“Kita tak bisa duduk bersantai-santai. Kalau yang lain tahu ada dua orang yang memiliki pistol, mereka semua akan menjadi musuh kita. Aku tak ingin mereka memutuskan untuk bekerja sama melawan kita.”

“Sekarang setelah kita punya pistol, bagaimana dengan tas beton itu?”

“Lebih banyak pilihan lebih baik. Kalau mereka berpikir tas ini adalah satu-satunya senjata kita, mereka mungkin akan lengah.”

“Siapa target kita selanjutnya?” tanya Karen.

Kunyalakan pengaman pistolku dan menjawab, “Penyembur api.”

“Oh? Bukan derek bergerak?”

“Ia musuh terberat kita, tapi aku tak yakin dua pistol cukup. Sebuah penyembur api akan membuat pekerjaan kita lebih mudah. Lagipula, derek itu menggunakan bahan bakar juga, kan.”

Kalau sekedar untuk membunuh orang, penyembur api adalah senjata terbaik. Aku tak ingin melawannya dengan sekedar pipa besi atau pengumban yang dibuat asal-asalan. Tapi kita punya pistol sekarang. Selama kita masih memilikinya, kita dapat dengan mudah membunuh pemain yang membawa flamthrower.

“Tapi penyembur api punya jarak 10 meter, kan? Kalau derek berjalan pada kecepatan penuh, bukankah akan terlambat begitu kita mencapai jarak kerja penyembur api?”

“Aku takkan memakainya seperti itu,” kataku sambil terfokus pada suara mesin dari luar jendela. “Tangkinya terisi dengan bahan bakar, jadi kita bisa menggunakannya seperti bom dengan memasang penyembur api di tanah. Kalau kita bisa memancing derek itu, kita bisa melihatnya meledak dari jarak yang aman.”


Kita tak punya petunjuk lain. Kita menghabiskan waktu dengan berputar-putar di sekitar pulau dan bertemu dengan pemain yang membawa penyembur api di gunung yang dekat dengan tambang.

Kupikir kita bisa menghabisinya dengan satu atau dua peluru, tapi kita menggunakan jauh lebih banyak dari itu. Mungkin kita terlalu fokus untuk berada pada jarak aman.

“Aku cuma punya dua peluru lagi.”

“Aku cuma punya satu!”

Si gadis kelinci bernama Karen mengeluarkan peluru terakhir dari pistolnya dan melemparkannya padaku.

Awalnya kita punya 30 peluru dibagi dua, jadi hampir semua peluru terbuang sia-sia.

“Kita harus segera ambil penyembur api dari mayat itu. Orang lain pasti mendengar suara tembakan.”

“Bagaimana kalau kita menggunakannya untuk melawan pemain lain?”

“Kita perlu isi tangkinya sebanyak mungkin untuk memastikan derek itu meledak.”

Selain itu, aku tak ingin menggunakannya tanpa peralatan khusus seperti seragam pemadam api. Sedikit saja angin pada arah yang salah akan membuat kulitku terbakar. Meskipun apinya tidak menyentuhku secara langsung, angin panasnya dapat melebur bajuku ke kulit.

“Apakah kita akan menunggu derek itu di sini?”

“Tempat terbuka seperti ini tidak bagus untuk dijadikan jebakan. Dan tidak ada tempat yang tinggi untuk melihat dengan aman. Akan lebih baik untuk membuat jebakannya di kota tua.”

Aku sudah membawa pistol dan pengumban, jadi kuberikan penyembur apinya kepada Karen.


Kita berdua memasuki kota tua.

Tempat terbaik untuk memasang jebakan adalah di gerbang masuk kota. Begitu banyak bangunan dibangun di tempat sekecil itu, jadi celah untuk keluar masuknya derek bergerak sangat terbatas.

“Banyak retakan, memang, tapi tetap saja ini aspal. Kau tak bisa menggali lubang untuk membuat jebakan.”

“Kita cuma perlu menumpuk beberapa pecahan beton yang bisa digilas derek itu. Kalau kita bisa menyembunyikan penyembur api di baliknya, maka kita akan punya ranjau darat.”

“Bagaimana kau membuatnya meledak?”

“Dengan mengatur saklar pengapiannya…”

Kata-kataku terhenti ketika cahaya yang terang benderang membutakan mataku.

Panggung tempat kami bermain adalah pulau tak berpenghuni tanpa listrik atau air.

Hanya ada satu kemungkinan.

“Derek itu!!” teriak Karen.

“Jangan pasang sekarang! Bawa dulu tangkinya!!”

Tempat ini adalah salah satu tempat yang mudah dilewati derek, jadi bisa saja ia menjebak kami berdua. Dikejar-kejar suara alat berat, Karen dan aku melompat masuk ke salah satu gedung terdekat.

Lalu derek itu menghajar pintu tempat kami masuk.

Kaca di pintu depan memang sudah pecah terlebih dulu, namun sekarang seluruh bagian pintunya luluh lantak. Pecahan dan bongkahan dari pintu terbang ke dalam gedung. Aku buru-buru masuk lebih jauh ke dalam. Bemper derek itu teru mendekat sembari mendorong reruntuhan bagian depan gedung ke dalam. Ia terlihat seperti palu gada yang luar biasa besarnya.

Segala pecahan dan bongkahan terlempar ke arah kami layaknya air bah.

Namun kemudian derek itu berhenti. Satu pilar persegi tidak langsung rontok. Beberapa potong baja tulangan bengkok dan menyembul keluar, tapi selain itu, pilar tersebut masih tegak berdiri. Derek 15 ton berhenti di tempatnya.

“!”

Aku segera mengangkat pistolku, namun derek itu langsung mundur, begitu cepat hingga bannya berdecit.

“Cepat! Ke atas!!” teriak Karen dari tangga darurat, tangannya memegang tangki penyembur api.

Ia benar, nyawaku akan terancam kalau derek itu menyerang lagi. Aku harus segera menjaga jarak.

Kami berdua berlari memanjat tangga darurat dan tiba di lantai dua gedung itu.

Masih memegang tangki, Karen berkata, “Kalau ia masih ingin menghancurkan gedung ini, bukankah ini kesempatan kita? Kalau kita lempar tangki ini dari jendela, mungkin kita bisa menjatuhkannya tepat di atas derek itu.”

“Tidak…Tunggu. Suara apa itu?”

Suara mesin derek itu terdengar cukup keras bahkan dari luar kota tua ini, tapi suaranya sedikit berbeda.

Aku menengok ke luar jendela tanpa berpikir dua kali.

Aku sedikit lengah karena kupikir derek itu takkan bisa menghancurkan lantai dua gedung ini.

Tapi sesuatu yang tak kuduga terjadi.

Sesuatu yang luar biasa besar menubruk tembok luar lantai dua ini tanpa ampun.

Aku terjatuh setelah ditubruk beberapa pecahan tembok, tapi mungkin yang membuatku ambruk adalah kekagetanku sendiri. Aku dan Karen merangkak menjauh dari jendela (atau lebih tepatnya, apa yang barusan masih berupa jendela).

Kabut debu membutakan mata kami.

“Ya ampun!! Coba lihat itu.”

“Ia mengayunkan sesuatu di ujung lengan derek itu? Jangan-jangan ia mengikat beberapa rangka baja sekaligus untuk membuat semacam bola penghancur?”

Kurasa lantai sudah mulai miring. Jarang-jarang gedung yang terbuat dari beton seperti ini terasa begitu mengerikan.

Suara gemuruh kembali terdengar.

Tubrukan berikutnya akan datang.

Aku melihat kesana kemari, berharap menemukan jalan untuk melompat ke gedung sebelah. Tapi aku tak menemukan apa-apa. Aku tak mampu berdiri dalam kondisi seperti ini. Dengan benturan yang begitu kuat, beberapa potongan yang besar terlepas dari tembok dan terbang ke arah kami. Kalau saja kami tak menghindar, mungkin badan kami akan langsung hancur lebur.

Retakan menjalar pada plafon di atas kami, lalu potongan plafon yang lebih besar daripada tikar jatuh ke lantai.

“Ehm…”

“Apa?”

“Kalau derek itu mengayunkan lengannya, bukankah itu berarti pusat gravitasinya lebih tinggi daripada biasanya? Ia perlu kaki khusus untuk menahan posisinya ketika lengannya bergerak. Itu berarti ia tak bisa bergerak sekarang. Bukankah itu berarti kita bisa mendekatinya sekarang?”

Kalau kita tak berbuat apa-apa, ia akan menghantam gedung ini untuk ketiga kalinya.

Kalau seperti ini terus, gedung biasa saja akan segera hancur. Apalagi gedung yang sudah ditelantarkan bertahun-tahun seperti ini, yang ketahanan gempanya juga tidak meyakinkan.

Menapakkan kaki dan berlari memangmudah, tapi dalam kondisi dimana semuanya bergetar seperti ini, itu sama saja bunuh diri.

Kalau saja ada cara untuk menghabisi orang yang mengemudikan derek ini tanpa harus bergerak.

“…Aku punya ide yang berbahaya.”

“Apa itu?”

“Setelah bola penghancur itu menghantam gedung ini, menurutmu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menariknya dari reruntuhan?”

“Mungkin…sekitar 10 detik, tapi apa yang bisa kita lakukan dalam waktu 10 detik? Itu tidak cukup untuk berdiri dan melompat dari jendela, apa lagi turun tangga ke bawah.”

“Kita bisa tempelkan penyembur api ini ke bola penghancur. Bola penghancur itu pasti akan berputar mendekati pengemudinya waktu lengan derek bergerak, jadi kita bisa meledakkannya di saat yang tepat.”

“…Kau serius?”

“Mengikatnya dengan tali akan butuh waktu lama, tapi 10 detik seharusnya cukup untuk mengaitkannya dengan semacam gantungan dan kawat.”

Dengan bola penghancur buatan itu meluluhlantakkan tempat ini, baja tulangan yang bengkok-bengkok bisa dipakai sebagai pengait. Dengan sedikit persiapan, aku bisa mengaitkan tangki ini ke bola itu.

“Sepertinya lumayan gila,” kata Karen.

“Ini sama seperti keputusan pertamanku.”

“?”

“Kalau aku tak berani melawan dua pistol dan menyerahkanmu begitu saja, pasti akhirnya aku akan terpojok. Sekedar mencari aman takkan bisa menyelamatkanku. Setidaknya, di permainan ini, aku harus mengambil resiko untuk bisa menang.”

Hantaman ketiga akan segera datang.

Kalau mengenaiku, badanku akan langsung tidak berbentuk lagi.

Tapi ini kesempatan terakhir dan kesempatan terbaikku.


Bau gosong dan api jingga.

Kenyataannya, permainan yang menggunakan nyawa manusia seperti ini tidak disusun seperti kisah di TV. Dengan kata lain, permainan ini tidak disusun dengan anggapan di mana musuh berikutnya akan lebih kuat dari yang sekarang.

Menurutku, musuh terkuatku adalah wanita dengan dua pistol.

Setelah pistol, penyembur api, dan derek dikalahkan, aku telah menghabisi musuh-musuh terkuat.

Sisanya tinggal pemain pemegang pisau dan stun gun.

Tentu saja mereka tak sebanding dengan musuh-musuh sebelumnya.

Situasi sudah terbalik. Dengan musuh-musuh terkuat sudah dikalahkan, sekarang saatnya aku memburu pemain-pemain lain dan menghabisi mereka semua.


“Semua tidak berjalan sesuai rencana!” teriakku.

Suara tembakan kembali terdengar. Tapi bukan kami yang menembaknya. Seisi pulau ini pasti bisa mendengarnya. Tentu saja, ini mengubah segalanya. Aku melompati reruntuhan gudang untuk bersembunyi di baliknya bersama si gadis kelinci.

Aku mendengar suara.

Mayat seorang laki-laki berguling-guling dan berhenti di sebelahku.

Ia memegang pisau di satu tangan, tapi ia sama sekali tak bergerak.

“Berarti tinggal stun gun. Atau pemain yang satu lagi bisa menukar senjatanya?”

“Hayashino-san… apakah kau lupa di awal permainan tadi? Yang mendapat stun gun adalah seorang gadis.”

Tapi tak mungkin senjata seperti itu bisa meninggalkan lubang di tubuh manusia.

Satu-satunya yang mungkin adalah…

“Bangsat. Jangan-jangan ada senjata tua yang ditinggalkan di salah satu gedung di sini?”

“Sepertinya begitu. Kalau mesiunya basah, ia takkan bisa dipakai, tapi selama tak mengenai udara luar, mesiu bisa disimpan bertahun-tahun.”

Aku tak yakin apa yang dilakukan musuh terakhirku ini adalah langkah yang tepat. Tak ada yang tahu apakah senjata itu memang ditinggalkan bertahun-tahun di pulau ini atau jebakan yang dipasang panitia permainan. Tetap saja, menggunakan senjata tua sepertinya hanya mengundang bahaya.

Meski begitu, dengan mengambil resiko itu, lawan terakhirku ini berhasil mendapatkan senjata yang kuat.

Gadis kelinci mendekatiku dan berkata, “Dilihat dari mayat itu, yang ia punya adalah senapan laras panjang, bukan shotgun.”

“Aku tak yakin ia bisa menembak target yang jauh tanpa menggunakan teropong, tapi kita sendiri cuma punya tiga peluru. Kalau kita tak segera menghabisinya, suara tembakan malah akan menunjukkan posisi kita.”

“Bagaimana dengan pentungan? Ada banyak batu kecil yang bisa kita pakai di sini.”

“Kita bisa saja ditembak ketika sedang mengayunkan pentungan. Dan dari awal sebenarnya pentungan itu hanya untuk pengalih perhatian. Tidak mudah untuk membunuh orang dengan satu pukulan.”

Kita tak tahu berapa peluru yang dimiliki lawan, tapi kalau persediaannya banyak, kita benar-benar dipersulit.

Mencari senjata baru berarti harus bergerak di ruang terbuka. Namun dengan berdiam di satu tempat, lawan akan lebih mudah mengurung dan menembak kami, sedangkan kami sendiri tak bisa menembaknya dengan mudah.

Aku bisa mendengar senapan yang ditembakkan sesekali ke tanah dan reruntuhan di sekitar kami. Ia sedang mencari kami, alih-alih berusaha membunuh kami. Dan melihat ia berani melakukannya, berarti ia punya banyak peluru. Kalau ia tahu berapa sisa peluru yang kami miliki, ia tentu akan berusaha segera menghabisi kami.

…Kita sudah terpojok.

Aku menghela nafas di balik reruntuhan.

Aku bertanya pada si gadis kelinci, “Hadiah permainan ini ditentukan dari kunci yang diperoleh, bukan orang yang dibunuh, kan?”

“Ya, kenapa?”

“Mungkin akan cukup sulit, tapi sepertinya aku harus bertaruh.”


Suara ledakan dan debu bertebaran di dermaga yang gelap.

“Uhuk.”

Tatsukawa Shouko, gadis yang mendapat undian stun gun dan sekarang menggunakan senapan berburu yang ia temukan di daerah kota tua, terbatuk-batuk setelah menghirup debu yang beterbangan ke arahnya.

Ia sesekali menembak ke arah musuhnya, berharap musuhnya mulai panik, tapi ia pasti menembak sesuatu yang lain karena reruntuhan itu tiba-tiba meledak.

“Uhuk, uhuk. Apa itu? Apa aku menembak tangki bensin kapal?”

Lalu…

Saat Tatsukawa melihat ke arah reruntuhan dengan teropong senapannya, ia melihat kaki seseorang yang terbaring dekat reruntuhan yang menyala terbakar.

“…Apakah ledakan tadi membunuhnya?”

Sekedar berjaga-jaga, ia menembakkan dua atau tiga peluru lagi ke arah yang sama, tapi tak ada respon. Ia tak yakin lawannya masih bersembunyi di tengah reruntuhan yang terbakar itu.

“Jadi aku berhasil? Oh, itu dia, itu dia.”

Ia melihat lengan seseorang di celah di reruntuhan. Ia tak tahu apa yang terjadi dengan sisa tubuhnya. Hanya lengannya yang terlihat di sana.

Dan satu kunci terlihat pada karet yang terpasang pada pergelangan tangannya.

Dan beberapa kunci lain yang ada di telapaknya yang tergenggam.

“Ia sudah mendapat segini banyak. Sepertinya menunggu sampai akhir adalah pilihan yang tepat.”

Dua pistol, derek bergerak, dan penyembur api.

Ketika pemain lainnya mendapatkan senjata yang kuat, Tatsukawa hanya mendapat stun gun. Pemain-pemain lain mungkin kasihan padanya.

Tapi ia berhasil melihat sisi positifnya.

Aturan permainan ini tidak mengharuskan ia bertarung dengan senjata awalnya saja.

Ia sudah mengira para pemain lain pasti akan memburu pemain yang membawa senjata paling berbahaya dan meninggalkan sisanya belakangan. Tak ada yang mengincar Tatsukawa. Ia menyisir kota tua dan berhasil mendapatkan senjata yang mematikan.

Ia tahu ia takkan bisa melakukannya kalau ia mendapat senjata yang bagus saat pengundian.

Semua pasti akan mengejarnya, dan ia tak bisa bergerak bebas.

“Satu, dua, tiga… Oh, ini punya semua pemain lainnya! Dasar bodoh. Ia sudah mengumpulkan semuanya dan dia membiarkanku mengambil semuanya di akhir permainan.”

Ia masih punya cukup banyak waktu sampai batas akhir permainan di saat fajar nanti.

Tapi ia sudah punya semua kuncinya, dan pemain-pemain yang lain sudah mati.

Tak ada alasan untuk melanjutkan permainan.

“Tunggu. Dia kan yang mendapat gadis kelinci itu sebagai senjata, tapi apakah dia juga mati? Hey! Mana panitianya!?”

“Hai.”

Seperti pelayan restoran yang siap menerima pesanan, gadis kelinci itu muncul dari tempatnya bersembunyi.

Tatsukawa Shouko sedikit curiga, tapi…

“Oh? Bukankah kau memanggilku?”

“…Hm? Oh, aku mengerti. Pemilikmu kalah di permainan ini, jadi kau bukan milik siapa-siapa lagi sekarang.” Tatsukawa dengan santai mengayunkan lengan laki-laki itu, lalu melemparnya begitu saja. “Omong-omong, aku sudah punya semua kuncinya. Aku sudah menang. Tak ada gunanya melanjutkan, jadi hitung saja kuncinya dan segera berikan hadiahnya padaku.”

“Hmm. Tapi batas waktunya sampai fajar tiba.”

“Aku tak mau tinggal di tempat penuh debu ini sedetik lebih lama dari yang kuperlukan.”

“Aku salut kau berani menggunakan senapan itu. Tidakkah kau takut ia akan meledak dan menghancurkan kepalamu?”

“Hah. Hal seperti itu bisa terjadi!?”

Entah karena sudah merasa yakin akan menang atau takut kehilangan segalanya karena ia meledakkan dirinya sendiri menjelang akhir permainan, Tatsukawa buru-buru melempar senapan berburunya.

Si gadis kelinci masih tersenyum dan berkata, “Apa kau yakin ingin aku menghitung semuanya sekarang?”

“Lakukan saja secepatnya.”

“Mengerti.”

Si gadis kelinci mengecek satu persatu kunci-kunci logam yang terikat pada karet gelang yang diulurkan Tatsukawa.

Masih tersenyum, ia berkata, “Ehmm, kau tidak punya kunci yang valid menurut peraturan. Karena itu, kau tidak mendapat hadiah.”

Seketika itu, Tatsukawa Shouko tak mengerti apa yang baru saja ia dengar.

“Apa!? Tapi…tak mungkin! Aku punya semua kuncinya!!”

“Begini, Tatsukawa-san. Seperti yang sudah kubilang di awal, kunci yang sejak awal kaupegang tidak dihitung sebagai hadiah.”

“Aku tahu! Lalu bagaimana dengan kunci-kunci lainnya itu!?”

“Oh, ini?” si gadis kelinci membuang kunci-kunci itu layaknya sampah. “Kunci-kunci ini adalah tiruan yang dibuat dari timbal leleh yang dituang ke cetakan kunci. Pemberat pancing lumayan mudah didapat dan timbal sendiri punya titik leleh yang rendah.”

“A-Apa…?”

“Oh, lengan itu? Itu milik laki-laki pemegang pisau yang kau tembak. Kebetulan sekali ia membawa pisau, jadi tak sulit mengerjakannya.”

Tatsukawa Shouko kebingungan, tapi secercah pikiran muncul di kepalanya.

Tatsukawa memanggil si gadis kelinci ini untuk mengakhiri permainan karena ia pikir pemain lainnya sudah mati dan ia punya semua kuncinya. Batas permainan seharusnya adalah pagi hari, jadi kalau ia belum menemukan semua kunci aslinya…

“Permainan ini belum usai, bodoh,” kata suara laki-laki di sampingnya.

Tapi sebelum Tatsukawa bisa menengok, Hayashino, yang memegang kunci-kunci asli, tanpa ragu menarik pelatuk pistolnya, mengosongkan tiga peluru dari dalamnya.

Tepat tiga tembakan terdengar dan badan Tatsukawa roboh.


Akhirnya semuanya benar-benar berakhir.

Cahaya yang menyilaukan menyelimuti seluruh pulau, seolah-olah kegelapan yang sebelumnya tak pernah ada. Nampaknya sejumlah lampu sorot telah dipasang di pulau ini. Sinarnya sama sekali tak terasa hangat, tapi terangnya seolah-olah mengembalikanku ke dunia nyata, seperti lampu studio setelah film berakhir.

Sejumlah besar pria dan wanita dalam overall kerja muncul entah dari mana.

Si gadis kelinci tersenyum dan berkata kepadaku,

“Bagus sekali.”

“Aku hanya beruntung. Kalau saja ia tahu kunci-kunci itu palsu, kalau saja ia tahu lengan itu bukan milikku, kalau saja kunci-kunci palsu itu meleleh, atau kalau saja ia lebih hati-hati dan tetap memegang senapan itu, aku pasti sudah ia habisi. Tidak bisa dibilang aku berhasil melakukan segalanya sendiri.”

“Bukan itu maksudku.”

Aku tahu apa yang ingin ia katakan.

Hari ini, akhirnya aku memutuskan untuk membunuh seseorang dengan tanganku sendiri.

Meskipun aku berhasil di sini, aku takkan bisa kembali menjadi seperti dulu.

“Kau memenangkan 500 juta yen. Bagaimana kau mau dibayar?”

“Tunai.”

“Berlian akan lebih mudah dibawa.”

“Sudah kubilang, aku mau tunai.”

Tanpa menurunkan senyum sedikitpun, si gadis kelinci menjentikkan jarinya. Beberapa orang di sekitarnya mulai menghubungi seseorang.

“Omong-omong, bolehkah aku bertanya, untuk apa 500 juta ini?”

“Oh, bukan apa-apa,” jawabku. “Aku hanya perlu tempat berpijak untuk memulai balas dendamku. Balas dendam terhadap orang sepertimu.”

Kau lihat itu, Imada?

Aku bukan lagi orang yang hanya omong doang. Aku benar-benar bisa membunuh.

Perusahaan Konstruksi Imada adalah salah satu kontraktor gelap terbesar yang membangun arena-arena permainan seperti ini, tapi dengan sedikit kekayaanku yang baru saja kudapat, mungkin aku bisa mampir ke kantor mereka.