Bab 4: Tatkala Perjuangan Ini Berakhir

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
The printable version is no longer supported and may have rendering errors. Please update your browser bookmarks and please use the default browser print function instead.

SukaSuka Chapter 4.png

Bagian 1: Hari di Masa Lalu

Pertarungan yang sangat-sangat panjang kini menemui akhirnya. Matahari sudah tenggelam dan terbit tiga kali. Di medan pertempuran, di tempat pernah berdirinya sebuah gunung dengan kokoh, air laut mengalir padanya karena kini telah berubah jadi teluk raksasa. Api neraka melahap pepohonan, yang tak jelas kapan akan padam, menyisakan jejak kematian dan abu hitam.

Lempengan logam yang tak terkira jumlahnya berserakkan. Jika dilihat seksama, orang dengan pengetahuan lebih akan tahu bahwa itu adalah bekas Talisman. Lempengan yang jumlahnya paling banyak adalah Talisman 'refleksi panah', yang khusus dibuat di atelir pusat di Kerajaan Suci. Serpihan tembaga yang mengapung pada ombak berasal dari Talisman 'resistanci penyakit' yang berasal dari Garmond Barat. Tetesan besi cair menyala merah yang dari atas pohon berasal dari Talisman 'pelindung takdir', yang mana telah dijaga ketat rahasianya oleh fraksi penyihir Selenslode hingga beberapa hari lalu. Sekumpulan sihir-sihir terkuat yang ada untuk manusia, yang dibawa dari seluruh dunia, hanya tergeletak di atas tanah, karena sudah digunakan sampai melewati batasnya.

"Ya ampun, ini jauh lebih lama dari yang aku kira." Tidak ada sedikitpun kekuatan tersisa di tubuh si pemuda untuk mengangkat satu jari. Menjatuhkan pedang rusaknya, ia duduk di dekat batu raksasa. "Tidak ada yang bilang aku harus sampai sejauh ini untuk menang."

"Aku yang harusnya berkata begitu, bocah." Suara tidak senang yang keluar dari mulut tetua ini sedikit menggetarkan udara di sekitarnya, seakan menggema dari dasar ngarai yang dalam. "Tapi... mengerahkan segala kekuatan dari kehidupan kecilmu demi sampai sejauh ini... aku akan tetap mengingatmu hanya karena itu saja."

"Itu tidak membuatku senang. Tidak senang diingat olehmu bisa memperpanjang waktu hidupku... tapi, bagaimana bisa kau masih bicara? Kau sudah mati sekarang, kan?"

"Memang. Setelah tubuhku hancur seluruhnya, aku seharusnya sekarang sudah terbenam dalam heningnya kematian. Saling bertukar pikiran denganmu hanyalah gema dariku."

"Ah, begitu. Sekarang aku merasa senang."

Tujuh sihir terlarang, sebelas pedang Percival yang ditempa hingga sampai ke tingkat penghancuran diri, dan bahkan, teknik pedang rahasia yang ia sendiri tidak pantas untuk lakukan. Jika ia masih belum bisa mengalahkannya setelah mengerahkan semua itu, sudah ia kehabisan pilihan.

"... Sedikit terlambat untukku katakan, tapi tadi itu luar biasa. Menahan kekuatan sebesar itu hanya seorang diri, meskipun kau hanya seorang manusia lemah... itu menakutkan. Jika kau menggunakan kekuatan itu untuk melawan manusia, kau seharusnya bisa menyerang dua atau tiga negara dalam satu malam. Tapi... pada akhirnya, kekuatan itu sendiri jadi taruhannya, ya?"

Sebuah substansi mengintai bagaikan kabut menyelimuti si pemuda. Gumplan ini perlahan memekat dan melengket pada tubuhnya, seakan ingin mengikatnya

"Menggunakan sihir terlarang dengan jumlah besar begitu... reaksinya pun pasti akan mengutuk dan menyiksa si pengguna. Merapalkan satu saja sudah bisa menghancurkan tubuh dan jiwanya pun menghilang. Dikalikan dengan tujuh... aku tidak bisa bayangkan rasa sakit mengerikannya."

"Jika pada akhirnya pun aku akan mati, tidak masalah jika aku menggunakan satu ataupun tujuh... lagipula, tidak mungkin aku bisa bertarung lagi, jadi rasa sakit dan penderitaan tidak akan masalah."

"... aku rasa itu tidak layak disebut pembelaan."

"Sudah lama aku diberitahu hal itu, tapi jika monster yang mengatakannya terasa berbeda."

Keluar tawa yang memekik

"Sepertinya jika kau belum siap untuk itu, kau tidak akan menantang dewa, ya? Baik, ini saatnya kita untuk berpisah. Aku akan tidur untuk ratusan tahun."

"Sudah, cepat pergi. Setidaknya tutuplah mulutmu waktu kau mati."

"Baik, baik. Aku hargai permintaanmu sebagai hadiah dari kemenanganmu..." Suara itu pun lenyap, meleleh ke dalam angin bersamaan dengan perasaan teror yang sebelumnya mengisi suasana yang meliputinya.

"... hei, kau sudah mati?" tanya si pemuda, namun tak ada jawaban yang keluar.

Bunyi kertak kering keluar dari kakinya. Ia kerahkan sisa kekuatannya hanya untuk menggerakkan lehernya dan melihat ke bawah, si pemuda melihat sendi-sendinya berubah menjadi batu. Suaranya semakin menjadi-jadi saat warna abu itu memanjat tubuhnya. Lutut. Paha. Punggung. Terus dan terus naik. Tujuh kutukan pembawa maut saling bertumpuk, bercampur dan saling mengikut dengan rumitnya untuk menghasilkan fenomena yang terjadi di depan matanya.

Sekujur tubuhnya hingga ke dada sudah berubah jadi batu, si pemuda tertawa.

"Yah, rencananya aku ingin kembali ke rumah... tapi sepertinya tidak berjalan sesuai rencana."

Ia menatap langit dan mengungkapkan kata-kata terakhirnya, dalam harapan yang hanya sedikit, akan sampai pada orang-orang penting ini, yang pastinya ada di tempat nun jauh, sedang melihat pada langit biru yang sama.

"Maaf, Leila. Hanya ada guru saat kau sampai di rumah. Maaf, Suwon. Kau yang jadi harus menangani keegoisan Leila. Emi... Aku rasa aku tidak punya janji apapun padamu. Aku yakin kau bisa mandiri, tapi tolong hidup bahagia demi diriku."

Dan juga... juga....

Saat ia bicara, tubuhnya terus menjadi batu dengan cepat sekali. Terlalu banyak nama yang ingin ia sebut dalam sisa waktu yang singkat ini. Si pemuda membayangkan banyak wajah dalam pikirannya dan mengeliminasinya hingga tersisa satu.

"Almaria... Aku minta maaf." Nama terakhir yang ia pilih adalah si 'Anak Perempuan', yang menunggu di panti asuhan dalam negeri yang jauh. "Sepertinya aku tidak bisa memakan kue mentega itu."

Suara denting kecil menandakan akhirnya. Yang tersisa hanyalah batu besar dalam bentuk seorang pemuda.













Bagian 2: Si Orang yang Tak Seharusnya Hidup

“Apa yang terjadi?" Itulah kata-kata Naigrat seusai dia mengobati. "Kenapa kamu bisa jadi begini?"

"Hahaha, yah, sepertinya tubuhku sudah jadi lemah. Sudah lama aku tidak memegang pedang, jadi tubuhku tidak kuat."

"Jangan bercanda. Ini tubuhmu sendiri, kamu seharusnya mengerti betul apa yang terjadi."

Wajah Naigrat serius, dan entah kenapa matanya sedikit merah. Juga, Willem merasa suara dia sedikit seperti mengigil. Tampaknya ia tidak bisa menertawakannya jika begini.

"Kalau boleh aku bilang, kamu ini sudah kacau. Hampir semua tulangnya ada retakan kecil yang tidak sembuh sendiri. Banyak tendon[1] kamu yang tidak bisa pulih setelah lemas. Hampir setengah organ-organ kamu tidak berfungsi dengan baik. Aku yakin aliran darahmu juga juga kacau, meskipun aku tidak mahir dalam memahaminya."

Willem sudah mengira hal-hal ini. Meski ia tidak tahu banyak mengenai hal-hal medis, ia sadar kalau kondisi tubuhnya buruk.

"Dengan luka sebanyak ini di dagingnya, aku yakin gigiku saja sudah cukup untuk memotongnya tanpa perlu pakai pisau..."

Ia berharap tidak dengar itu darinya dengan mimik sedih pada roman Naigrat.

"Terus luka-luka ini bukan dari yang kemarin atau hari ini. Kebanyakan luka-luka lama yang jadi semakin parah. Jadi kamu hidup terus selama ini sambil menyembunyikan semua itu?"

"Yah, aku tidak merahasiakannya."

"Kalau kamu bertingkah seolah baik-baik saja dan tidak buka mulut, ya itu sama saja. Bagaimana bisa kamu berjalan dan bergerak dengan biasa dalam kondisi begini..." Naigrat mendesah. "Luka-luka ini... ini akibat menjadi batu, kan?"

"Lebih tepatnya, ini karena cedera dari pertarungan sebelumnya. Lagipula, ini ajaib juga karena aku masih bisa hidup, jadi aku tidak pantas mengeluh."

"Itu bukan alasan untuk kamu menganggap enteng hidup kamu."

"Mungkin..." Willem tadinya akan mengangkat bahu sebelum merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya, jadi ia hanya memasang senyum tipis.

"Jangan memaksakan diri," kata Naigrat saat dia memegang tangannya. jantung Willem sontak berdetak sedikit lebih kencang. "Rasa kamu nanti malah hilang." Ia sudah mengira hal semacam itu darinya.

"Tidak masalah kan kalau aku beritahu anak-anak?"

"Ya, seperti yang aku katakan, aku memang tidak merahasiakannya. Kalau menurutmu memang perlu, ceritakan saja."

“Baiklah, aku pergi sekarang. Kamu tinggal dulu dan istirahat sebentar. Aku yakin kamu sudah tahu, tapi kamu tidak boleh melakukan apa-apa yang bisa memberatkan tubuhmu. Aku bahkan heran kenapa kamu masih bisa hidup."

"Oke. Lagipula aku tidak ingin jadi makan malammu."

"Jangan bercanda. Aku sedang serius."

"Ah... oke."

Naigrat tampak sangat marah, padahal baru saja dia berkata tentang rasanya belum lama tadi. Willem merasa ini agak irasional, namun memilih untuk tidak menggodanya lagi. Ia tahu kalau ini adalah yang terbaik bagi mereka, apalagi ia tahu kalau membalas rasa pedulinya Naigrat dengan candaan bukanlah hal yang sopan.

Dia memilih ruang makan sebagai tempat yang paling pas untuk melakukan pertemuan. Dengan mata dari sekitar dua puluh gadis peri terfokus padanya, Naigrat mendesah.

"Melihatku dengan begitu tidak akan membuat apa yang akan aku katakan jadi menarik..."

"Kami yang akan menilai. Sekarang, kami ingin dengar kebenarannya, terserah menarik atau tidak," kata Aiseia, yang lain pun mengikuti dengan anggukan.

Sadar tidak akan bisa menolak, Naigrat memilih menghela nafas dan mulai menjawab.

"Waktu itu masih musim semi tahun kemarin, sebelum aku dikirim kemari. Aku diutus untuk membantu grup pemburu dari Perusahaan Perdagangan Orlandri.

"Pemburu!"

Berbinar mata beberapa peri karena kekaguman. Bagi mereka pemburu adalah pahlawan yang berani membahayakan diri demi mengejar harta dan cinta, mereka cukup populer di kalangan anak-anak Regul Aire. Yah, biasanya anak laki-laki, tapi...

"Grup pemburu ini biasanya tidak begitu beruntung. Mereka berkali-kali turun ke tanah bawah, tapi tidak pernah sampai mendapat keuntungan besar. Hari itu pun sama. Kami baru saja akan kembali dengan tangan kosong, sampai salah satu anggota salah melangkah dan jatuh ke dalam tanah. Di sana, ia temukan danau bawah tanah beku yang besar. Dan yang tenggelam di dasar danau itu adalah patung batu dari lelaki muda yang tidak bertanda."

"Sama seperti Peti Es!" Salah satu anak meneriakkan judul salah satu kisah dongeng.

"Tapi yang di dalam bukan ratu, melainkan patung. Salah satu rekanku yang bisa melihat sihir memastikan kalau itu bukan patung biasa, tapi manusia sungguhan yang berubah jadi batu karena kutukan. Jadi, tentu, kami tidak bisa meninggalkannya begitu saja.

Butuh waktu dan usaha, tapi akhirnya kami berhasil menghancurkan es yang mengelilingi patung itu dan membawanya ke pulau. Setelah sekitar sebulan di rumah sakit, batu ini mulai lepas dari tubuh laki-laki ini dan ia pun bangun.

Awalnya agak susah. Ia langsung ketakutan ketika melihat Borgle atau Orc, dan ia sama sekali tidak mengerti bahasa kita. Akhirnya kami berhasil bicara, setelah memakai jasa penerjemah khusus dari Perusaan Perdagangan.

Dan pada saat itulah kami tahu. Ia Emnetwyte yang sesungguhnya. Prajurit terakhir yang mengubah setiap ras lain di tanah bawah menjadi musuhnya. Kami tidak tahu kenapa, tapi yang pasti ia sudah tidur di dasar danau beku itu untuk ratusan tahun..."

“Ia sudah di bawah sana untuk waktu lama, tapi tidak pernah dimakan oleh Makhluk Buas?"

"Mungkin karena ia jadi batu. Aku rasa itu yang membuatnya beruntung saat itu."

Kemudian, mereka menemukan cara untuk mengatasi masalah bahasa dengan mudahnya. Di samping es yang membungkusnya, ada banyak Talisman yang memberikan penggunanya kemampuan untuk mengerti setiap bahasa. Dengan itu, si pemuda menceritakan semua dan mulai mengerti kenyataan yang ia hadapi sekarang. Naigrat tidak akan pernah bisa melupakan wajah putus asa atau ratapan derita pemuda itu.

Emnetwyte terakhir. Naigrat dan rekannya memutuskan untuk merahasiakan identitasnya seperti yang ia minta. Dia tidak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya. Ia jadi hidup di Pulau ke-28, meskipun di sana sangat tidak ramah terhadap yang tak bertanda, ia terus bekerja non-stop untuk membayar setiap utang-utangnya. Dia hanya dengar semua itu dari seorang pemburu.

Setelah itu... ia datang kemari. Dalam kurun waktu enam bulan sejak kedatangannya, ia telah tumbuh lebih tinggi, mulai lebih sering tertawa, dan menunjukkan kebaikan-kebaikan pada anak-anak. Namun perasaan gelap dan muram masih ada dalam matanya, yang belum berubah dari saat itu.

"Hanya itu yang aku tahu."

Naigrat telah mencoba mengatakan sebisanya dengan tetap membiarkan mereka berpendapat sendiri. anak-anak itu saling menatap satu sama lain dan berbisik-bisikkan.

"Aku tidak bisa cerita apa-apa lagi. Tapi aku minta satu hal. Mungkin sulit, tapi aku tidak mau ada yang takut padanya atau menganggapnya asing. Itu saja."

Setelah selesai, Naigrat meninggalkan kafeteria. Saat dia jalan di lorong, dia mengira-ngira, apakah dia melakukan kesalahan atau tidak. Emnetwyte adalah ras yang dibenci. Meskipun Willem mungkin tidak ada hubungannya secara langsung, mereka tetaplah jadi yang melepas ke-17 Makhluk Buas, membawa kehancuran pada dunia.

Dia tidak merasa anak-anak akan bersikap sama juga seperti masyarakat lainnya, tapi mungkin reaksi mereka pun akan tetap sama. Itu karena, mereka ada untuk dijadikan senjata yang bisa dipakai kembali hanya untuk melawan Makhluk Buas. Emnetwyte bisa dikatakan yang menjadi biang yang menciptakan takdir ini. Walau begitu, jika mungkin, dia berharap anak-anak tidak akan menolak Willem.

Ia tidak pantas di dunia ini. Jadi dia tidak ingin ia hancur di sini; di tempat yang mungkin jadi satu-satunya wadah untuk ia tersenyum. Willem sendiri tidak begitu peduli, karena ia ingin mencari tahu kenyataan para peri dan bahkan memberi mereka petunjuk mengenai masa lalunya. Tetapi, dia masih belum menyerah pada keinginannya. Mungkin ini egois, tapi dia ingin agar anak-anak tetap di sisi Willem, sama seperti enam bulan ini.

Tiba-tiba saja dia berhenti berjalan. Perasaan tidak enak menjalar ke belakang lehernya. Tidak. Jangan sekarang. Jangan begini, pikirnya. Namun di saat yang sama, dia bisa melihat kalau itu terjadi. Mereka akan melakukan itu. Cepat-cepat dia berbalik dan berlari ke klinik. Baru saja dia akan berbelok...

"Willem! Kami dengar semua tentangmu!"

"Emnetwyte mirip dengan kita, ya!"

"Sangat menarik. Tolong ceritakan lagi mengenai generasiku."

"Um... Aku tidak tahu harus bilang apa, tapi... cepat sembuh, ya!"

Peri-peri memenuhi klinik, mengganggu Willem yang lemah terbaring di kasur dengan luka serius hingga hampir mati, dengan suara mereka yang keras dan penuh enerji.

"..."

Naigrat terpaku di depan pintu dan terkejut untuk sekitar sepuluh detik, kemudian ditambah lagi lima detik karena hal bodoh yang dia pikirkan beberapa menit lalu. Dia harusnya sudah mengira hal ini, tapi kenapa dia perlu khawatir sekali? Dia menenangkan diri selama tujuh detik dengan menghela nafas panjang.

"Kalian..."

Anak-anak berhenti berkicau setelah dengar suara Naigrat dan perlahan menggerakkan leher mereka untuk menghadap pintu.

"Ia pasti sangat lelah sekarang dan butuh istirahat, jadi tolong kecilkan suaranya. Kalian tahu kan..." Naigrat dengan perlahan mengeluarkan senyum lebar. "Apa jadinya anak nakal yang tidak mau dengar?"

Dalam sepuluh detik, anak-anak langsung bertebaran keluar dan lari di lorong.

"Ohh, bisa berhasil, ya" kata Aiseia yang mendekat dari belakang.

"Kalau kamu akan keras-keras juga, aku akan kejar kamu juga, lho."

"Hahaha, tidak akan, kok," jawab Aiseia dengan tawa, kemudian ekspresinya berubah ambigu. Entah ini wajah canda atau serius, Naigrat tidak tahu. "Tapi, aku ingin konfirmasi sedikit sama si Tuan yang Hampir Mati ini. Boleh?"

"... ingin tanya apa?"

Sebelum Naigrat berkata-kata, Willem sendiri sudah menjawabnya. Sudah begini, dia tidak bisa ikut campur. Aiseia bergerak masuk dengan senyumnya yang biasa dan mengambil kursi untuk duduk di samping kasur.

"Pertama, hanya memastikan. Kamu ini Emnetwyte, kan?"

“Mhm, aku rasa mereka disebut begitu baru kali ini. Waktu aku masih di bawah sana, kami tidak punya nama khusus untuk kami sendiri. 'Orang' saja sudah mengarah pada kami, dan ras lain sama saja monster bagi kami."

"Kurang ajar banget, ya?"

"Yah, memang... jadi, apa yang ingin kau tanya?"

Senyum Aiseia berubah jadi serius, kemudian dengan suara pelan, dia bertanya, "Kenapa seorang Emnetwyte begitu peduli pada kami? Aku senang sama yang kamu lakukan, Pak Teknisi Senjata Terkutuk. Tapi setelah kami tahu siapa kamu, aku tidak mengerti kenapa kamu berjuang begitu. Seperti kamu bertarung dengan Kutori dengan tubuh yang sudah bobrok begitu. Kamu tahu kamu membahayakan nyawa, kan? Sampai sejauh itu tanpa ada alasannya... itu terlalu aneh, kan?"

"Baik pada perempuan itu wajar."

"... itu saja?" Wajah Aisesia sedikit lebih cerah dari sebelumnya dan sekarang menggaruk pipi.

"Yah, aku rasa pakar-pakar biologis juga berkata lelaki baik pada wanita itu sudah jadi standar."

Ras Leprechaun tidak memiliki laki-laki, setidaknya sampai saat ini belum pernah ada. Karena mereka berkembang biak secara alami, muncul, dan bukan bereproduksi dengan lawan jenis, tidak adanya laki-laki tidak mempengaruhi kelangsungan hidup ras mereka. Tapi, karena mereka tidak pernah merasakan adanya perbedaan gender, Aiseia mungkin tidak mengerti apa yang Willem maksudkan.

"Hmm, oh. Kau suka kucing?

“Ahh… suka, seperti yang lain."

"Apa kau jadi seperti mau melindunginya waktu lihat itu?"

"Aku rasa... sama seperti yang lain."

"Ya intinya sama saja seperti itu."

"Aku belum paham..."

Willem berpikir untuk sesaat.

"Aku dengar ini sudah sejak lama. Semua yang tampak imut tidak tiba-tiba ada. Semua itu didapat karena insting atau kebutuhan mereka untuk dilindungi dan dicintai. Itu kenapa anak-anak selalu imut, entah mereka manusia atau hewan. Mereka sangat ingin diurus... atau semacam itu."

"... jadi maksudnya kami ini begitu juga?"

"Kalau wujud asli kalian ini hanya 'ruh', maka ruh ini bentuknya bisa berubah-ubah sesukanya, kan? Tapi ruh ini malah mengambil bentuk seperti anak-anak perempuan. Mengerti, kan?"

"Jadi ras kami ini kayak bayi-bayi yang inginnya dimanja terus... kalau kamu memang sukanya sama anak kecil, aku rasa itu wajar."

"Tidak, lah!"

Keduanya tertawa lepas.

Melihat mereka, Naigrat mulai merasa sedikit berlebihan karena khawatir tadi. Pada akhirnya, baik Willem maupun para peri tidak memikirkan semua ini dengan terlalu berlebihan seperti yang dia bayangkan. Mereka semua hanya mengikuti pertimbangan atau insting mereka sendiri. Atau, dengan kata lain, mereka ini sekumpulan orang bodoh. Dan tentunya, mereka bodoh karena mereka tidak bisa tumbuh bijak dengan mudahnya. Mereka bodoh karena mereka bisa terus tertawa dengan bebas.

Ahh... aku sayang kalian semua. Setiap kali Naigrat mengatakannya dengan keras, orang-orang biasanya langsung kelihatan takut, jadi dia hanya bisa meneriakkan hal itu dalam hatinya.










Bagian 3: Si Peri Hilang dan Si Kadal Terbang

…​ Apa yang sedang aku lakukan?

Kutori Nota Seniolis berlari. Dia buru-buru keluar dari gudang, melewati hutan rindang, terus hingga ke pelabuhan, dan ketika sudah tidak ada daratan lagi, dia bentangkan sayap untuk terbang di langit.

Dia sendiri bingung. Tapi dia merasa memang perlu. Karena hanya ini satu-satunya pilihan baginya. Setelah saling bercekcok mulut dengan Willem, dia mengerti kenapa ia ingin melakukannya. Kesalahpahamannya kini membuat dia tak tahan.

Jika membandingkan daya serang persenjataan militer dengan kekuatan Teimerre nanti, kesempatan untuk mereka menang tampak tipis. Karena itu, pihak militer ingin meningkatkannya dengan tumbal. Begitulah situasinya sekarang. Tapi sekarang ada solusi yang lebih baik: tingkatkan daya serang dasar secara permanen.

Dari awal, mereka tahu kalau peri-peri tidak mengerahkan segala potensi yang terpendam dalam Senjata Galian sebagaimana Emnetwyte menggunakannya. Senjata ini pasti telah menurun kualitasnya sedikit, karena memang itu adalah senjata kuno. Apalagi tidak ada panduan dalam penggunaannya, mereka harus mencari tahu sendiri caranya melalui pengalaman. Tentunya, mereka memalsukan pengaktifan senjata ini dengan menggunakan ras peri sebagai korbannya.

Jadi, tentu saja jika seseorang yang tahu cara penggunaannya muncul tiba-tiba, maka situasi pun akan berubah secara menyeluruh. Mereka bisa kembali memikirkannya. Berputar haluan.

Hilangkan pengorbanan.

Namun itu sama saja dengan mengaku kalau cara mereka bertarung selama ini adalah salah. Yang berarti setiap dari mereka gugur dalam kesia-siaan. Ini akan merendahkan, bahkan sampai menganggap segala keputusan dan tekad mereka dalam perjuangan dan siksaan melawan takdir kejamnya sebagai kekonyolan belaka.

"Tidak akan!"

Enam bulan lalu, di hari di mana serangan Teimerre besar telah diprediksi. Saat itu, ketika diumumkan bahwa tidak ada lagi strategi yang efektif selain memaksa Kutori Nota Seniolis mengamuk.

"Saat itu aku sangat takut..."

Dan iya, dia tidak mau mati. Setelah sadar bahwa waktunya terbatas, tak terhitung hal-hal yang ingin dia coba, tujuan yang ingin dia tuntaskan, dan mimpi-mimpi yang ingin dia wujudkan muncul dalam benaknya. Dia menangis dan menangis, lalu mencoba bertingkah kuat.

"Akhirnya aku bisa terima..."

Sekitar dua Minggu lalu, dia bertekad untuk tidak menangis lagi. Akan tetapi, kini, dia merasakan ada sesuatu yang mengisi matanya. Sialan! Tidak... aku tidak bisa.

Semakin dia berusaha melawan, semakin dia berusaha untuk kuat, semakin cepat juga emosinya menumpuk hingga tak terbendung lagi.

Dia memejamkan mata dan berhenti mengepakkan sayap, membuatnya terjun bebas. Siulan angin seakan berteriak pada telinganya. Tepat di bawahnya adalah lautan awan putih.

Sempurna, pikirnya. Kalau dia menembus awan-awan itu, sekujur tubuhnya akan basah dan bekas tangisannya pun akan tersembunyi. Jadi dia melepas dirinya pada gravitasi.

Awan-awan mendekapnya. Pada dasarnya, awan itu seperti kabut tebal di tempat tinggi. Meski terlihat seperti kapas, awan tidak memiliki tekstur, jadi terbang menembusnya pun tidak akan membuat percikkan seperti air. Awan ini hanya sekedar putihnya udara yang kosong dan menyelimuti tubuhnya.

"Ah."

Aduh, pikirnya. Kutori sadar kalau dia lupa hal yang penting. Sekarang musim gugur. Yang berarti sebentar lagi musim dingin. Yang berarti, jika kebasahan, akan merasa sangat-sangat kedinginan.

"Uhh..."

Bagi semacam burung dan peri, terbang di udara butuh banyak kekuatan fisik. Dan sayang sekali untuk Kutori, rasa dingin yang menusuk kerap menguras tenaga itu. Lebih parahnya, tidak ada bebatuan yang bisa menjadi tempat berlabuh sementara.

Pergi ke pulau terdekat? Kembali ke tempat tadi?

Sepertinya sudah tidak ada lagi yang memungkinkan, dia belum ingin pulang dalam waktu dekat. Maka, kembali ke tempat sebelumnya itu satu-satunya pilihan, tapi, dia enggan juga untuk melakukannya.

Aku harus apa...

Dengan kepala yang dahulu menusuk awan, dia berpikir keras. Hanya satu pilihan yang masuk dalam kepalanya, namun dia memutuskan untuk tidak memilihnya, dia terus memaksa dirinya untuk berpikir.

"...hm?"

Di sudut pandangnya, sebuah bayangan hitam tiba-tiba datang.

--- Lima menit kemudian.

Lantai dua dari kapal patroli Tentara Bersayap, 'Baroque Pot'. Adalah ruangan strategi kecil. Sangat kecil. Tentu, sebagai ruang strategi, pasti butuh luas area yang cukup untuk menampung banyak orang. Dan di dalamnya sekarang, hanya ada dua orang yang sudah termasuk Kutori. Lantas kenapa terasa begitu sempit?

Jawabannya simpel: si orang satunya kebetulan seorang Reptrace raksasa yang tingginya dua kali lipat Kutori. Lebarnya mungkin dua kali lipatnya dia, dan beratnya juga mungkin sampai delapan kalinya. Kutori melihat wajah si Reptrace kala dia mengeringkan muka dengan handuk yang dipinjamnya.

"Saya melihat Anda terbang mendekat, jadi... maaf tiba-tiba merepotkan Anda, Opsir Limeskin."

“Jangan segan begitu. Waktu untuk istirahat akan selalu ada untuk prajurit terhormat," si Reptrace berkata begitu seraya menaruh secangkir teh herbal di atas meja. Bagi Kutori agak lucu melihat Reptrace besar begitu membawa cangkir yang imut.

"Terima kasih."

Kutori menyesap dan sadar kalau minumannya terlampau panas setelah lidahnya terasa terbakar.

Dan sangat-sangat pahit.

"Tapi, aku heran kenapa kau mau terbang di awan musim ini. Apalagi sebelum pertarungan penting."

"Ah..." Dia kehilangan kata-kata, terus bicara pada dirinya sendiri, terus berpikir, hingga kemudian bisa memberikan jawaban. "Mengenai pertarungan itu... apa sudah terlambat untuk saya menyatakan takut mati?"

"Hm?"

Si Reptrace menaikkan satu alis mata -- atau begitulah menurutnya. Tentu, Reptrace tidak punya alis mata, jadi itu hanya perasaan, tapi...

"Willem... si Teknisi Senjata Terkutuk..."

"Hm?"

Kutori sadar. Dia sadar kalau si Teknisi Senjata Terkutuk, Willem Kumesh, yang hidup di gudang peri hanyalah tentara dalam kertas, hanya orang yang bertitel palsu. Namun jika dipikirkan dengan sudut pandang lain, ini berarti ia harus terlihat seperti tentara sewajarnya dengan mengikuti dokumen dari militer. Dan berdasarkan dokumen-dokumen itu, atasan langsungnya adalah si Reptrace raksasa yang sedang berdiri di depan matanya ini, Opsir Limeskin.

"Ada cara bertarung yang berbeda dari yang telah kami lakukan sebagai peri. Saya melihat sedikit demonstrasinya, dan saya bisa mengerti dengan jelas hal itu, meskipun agak sukar. Cara bertarung ini jauh lebih tinggi kesempatan untuk memangnya dan lebih efisien dari yang sebelumnya."

"Hmm?"

Kutori melihat pada cangkir tehnya. "Dan saya tidak mau menerimanya. Saya tidak percaya kalau... 'kakak' saya salah... atau sebenarnya tidak perlu mati. Jadi saya tidak mau dengar kata-katanya. Saya sadar tidak punya waktu lagi, jadi saya ingin membuktikannya di medan tempur. Saya ingin membuktikan kalau 'kakak' saya dan semua yang lain sudah benar. Saya merasa harus melindungi cara mereka bertarung. Tapi..."

"Kau takut?"

Dia enggan untuk mengangguk. Mungkin sudah budaya dari Reptrace atau bagaimana, Limeskin selalu menerima perbincangan untuk menjadi tentara dengan sangat serius. Dia tidak tahu segala detail dan semacamnya, tapi sepertinya dia sudah masuk kriteria untuk menjadi seorang tentara, menurut standar si Reptrace. Kalau Kutori mengangguk di sini, ia pasti akan kehilangan hormatnya pada dia. Ia akan menganggap dia sebagai seseorang yang telah kehilangan keberanian dan membuang haknya untuk mencanangkan titel tentara. Namun pada akhirnya, dia tidak bisa berbohong.

"...ya."

"... Oke." Si Reptrace tiba-tiba saja mengeluarkan suara yang seperti keramik yang di gesekkan dari tenggorokannya, yang mana terdengar jelas dalam ruangan mini ini. "Oke. Sepertinya aku harus meminta maaf pada laki-laki itu. Medan pertarungan kami mungkin berbeda, tapi sudah jelas ia adalah petarung sejati."

Ia tertawa, yang mana Kutori sendiri butuh waktu untuk menjawabnya. "K-kenapa? Yang bertarung di sini kita, kan?"

"Mungkin yang bertarung dengan Makhluk Buas ini kita. Tapi hal yang ia tantang di sini adalah angin yang mengalir pada dirimu."

"... angin?"

"Itu hal yang kau sebut 'tekad', atau bisa dikatakan 'kepasrahanmu'."

Merasakan darah mengalir naik ke kepalanya, Kutori meneguk habis teh herbal itu. Tubuhnya jadi sangat panas sampai serasa terbakar dari dalam. Apa saja yang kamu rebus bersamaan untuk mendapat minuman ini? Kenapa sesosok Reptrace yang tidak bisa mengontrol temperatur tubuhnya membuat hal seperti ini? Sejumlah pertanyaan tak bermakna mengisi kepalanya, tapi dia langsung mengenyahkannya untuk sekarang. Ini waktu yang tidak tepat untuk mengkhawatirkan hal remeh begtu.

"... Jadi begitu." Hatinya sekarang terasa lebih ringan. Atau mungkin ini karena ada lubang pada dirinya, tapi keduanya pun tak jauh berbeda. "Saya tidak pantas untuk jadi tentara... Anda sendiri juga sadar, kan, Opsir? Tapi Anda sangat pandai dalam memuji... hingga saya menganggapnya serius."

"Kau ini bicara apa? Tidak ada orang yang punya harga diri yang bisa berbohong, selayaknya matahari, ia tidak akan tenggelam di Utara."

"Tapi saya akan berhenti sekarang... seperti yang Anda katakan..."

"Pasrah dan tekad pada dasarnya salah hal yang sama. Keduanya berupa titik kata untuk mengorbankan sesuatu yang penting demi mencapai tujuan.

"Bukan tekad... entahlah... mungkin yang lebih penting dari itu?"

"Penting tidaknya semua bergantung pada standar yang kau tetapkan. Kalau kau bertekad untuk menyimpan jauh-jauh hal berharga itu, sudah sewajarnya hal itu berharga luar-dalam. Tentu, pasrah pada taktis yang sama juga bernilai sama."

"Saya tidak mengerti."

"Bingung karena kata-kata indah begitu, tidak pas sekali untuk seorang tentara, kalau boleh kubilang," ucapnya dengan tawa kecil aneh.

"Jadi... sekarang, saya harus bagaimana?"

"Lakukan yang kau mau."

"...Saya bertanya karena tidak tahu. Apa kira-kira tindakan yang benar untuk dilakukan?"

"Tidak ada hal yang benar di medan perang. Itu kenapa seorang pejuang harus bisa menguasai angin ini dengan hatinya. Itu demi mendapatkan petunjuk di jalan yang seharusnya tak ada petunjuk."

"...Opsir."

Ini sudah semakin buruk. Dia semakin sulit untuk memahami kata-katanya lagi. Sampai sesaat yang lalu, dia mungkin tidak memproses percakapannya dengan utuh, tapi dia bisa menerimanya. Sekarang sepertinya si Reptrace semakin terbawa dengan cara bicara yang penuh teka-teki. Kutori merasa ia mungkin akan mengatakan sesuatu yang bijak dan mendalam, tapi tidak bisa membuatnya terbantu karena dia tidak bisa mengerti.

"Kau bilang ingin melindungi kebenaran cara bertarung kakakmu?"

"...ya."

"Kalau begitu, sebelum bertarung kau harus menemukan apa arti kebenaran. Kita tidak tahu mengenai cara bertarung pasukan peri. Di antara sejarah yang telah tertumpuk bertahun-tahun lamanya, atau dari perasaan-perasaan yang sembunyi dalam bayangan. Hanya kau yang memiliki kapasitas untuk menemukan kebenaran itu."

"... tidak bertanggung jawab, bukan?" Dia mencoba untuk memasukkan rasa tidak senang dalam suaranya, tapi...

"Angin ini tidak membawa tanggung jawab." Ia menangkis pernyataannya tadi dengan mimik tanpa peduli (mungkin).

Kutori mendesah. Dia merasa ingin menyerah pada banyak hal sekarang ini.

"Anda mungkin akan marah... tapi saya ingin mengakui sesuatu."

"Apa?"

"Sebenarnya, saya tidak pernah mau menjadi pejuang."

Si Reptrace kembali pada tawanya. "Aku tahu. Makannya kau akan bisa jadi pejuang yang hebat."

... sepertinya mereka tidak satu pikiran. Karena tersinggung, dia meneguk lagi satu cangkir teh herbal pahit.












Bagian 4: Langit Berbintang di Balik Langit Berbintang

“Sepertinya dia dalam kapal pengintai dari Tentara Bersayap di dekat Pulau Ke-66."

"...kok dia bisa ada di sana?"

"Aku tidak tahu, tapi dia berkata akan kembali ke rumah. Dia akan naik kapal dulu untuk sementara, sisanya dia akan terbang sendiri."

Dengan sebuah ketukan, Naigrat memutus hubungan dari kristal komunikasi.

"Cara kabur dari rumah yang menarik, ya? Sepertinya dia tidak tahu betapa khawatirnya kita..."

"Iya. Anak-anak yang punya sayap punya banyak cara untuk berekspresi, ya? Aku cemburu. Caraku menghilangkan stress cuma makan saja yang banyak." Perasaan putus asa terukir pada wajahnya ketika dia mendesah. "Mereka sangat menyukaimu. Bukan hanya dia, tapi anak-anak lain juga. Sebagai pengurus mereka, aku akui aku ini sedikit iri."

"Hmm... aku tidak tahu soal itu."

"Kamu belum sadar?" Naigrat menutup mulut dengan kedua tangan karena terkejut. "Kamu ini bodoh, ya? Atau kamu itu tipe yang sembunyi-sembunyi?"

"Maksudnya apa..."

"Hm, kalau boleh dikatakan, itu adalah klasifikasi bagi 'lelaki yang pura-pura tidak tertarik dengan hubungan romantis, tapi diam-diam ingin didekati oleh perempuan'."

... itu sama sekali tidak membuatku mengerti.

"Kalau kamu ini yang tipe orang bodoh, itu berarti kamu benar-benar tidak sadar kalau kamu ini disukai, dan mungkin tidak akan pernah menyadarinya sendiri. Si perempuan akan frustasi seiring dengan usahanya yang terus ada untuk mendekatimu, yang merupakan hal sia-sia. Itu adalah salah satu tipe kesalahan, yakni kesalahan dalam memahami perasaan cinta perempuan, malah menganggapnya perasaan lain

Sedangkan si tipe sembunyi-sembunyi sebenarnya sadar kalau ia disukai, tapi pura-pura tidak tahu. Efeknya sama seperti tipe yang bodoh, tapi mungkin akan timbul rasa bersalah karena terus-terusan berbohong, atau mungkin si perempuan nantinya akan sadar juga kalau kamu cuma pura-pura.. masih bisa untuk ada perkembangan lagi kedepannya. Jadi intinya, kamu tipe yang mana?"

"...ada banyak hal dari penjelasanmu yang sedikit berlebihan sampai-sampai aku tidak tahu harus mulai dari mana." Willem mendesah panjang. "Kalau kau ingin membicarakan masalah fiksi dan percintaan, sebaiknya jangan. Maksudku, aku pun setuju bahwa aku sepertinya disukai oleh beberapa dari mereka."

"Hmm?" Naigrat membuka matanya lebar-lebar. "Itu sedikit mengejutkan. Aku kira kamu tipe karakter yang tidak akan sadar dengan masalah ini."

"Karakter apanya... aku bukan lagi pura-pura atau akting." Willem menggarukkan kepala. "Aku ingin kita serius bicaranya. Cinta ini sesuatu yang tiba-tiba muncul ketika sudah tiba masanya, entah kau sudah atau belum punya pasangan. Kebanyakannya bisa dengan cepat menemukan orang untuk mengisi perasaan itu. Orang terdekat yang merupakan lawan jenis, salah satu idola kita yang jauh, atau orang yang telah kita impi-impikan untuk bertemu. Beberapanya bahkan terus mengejar mimpi sia-sia itu dengan perasaan mereka sampai akhir.

... dan perempuan-perempuan di sini tidak pernah bisa dapat kesempatan untuk melakukan hal-hal itu. Kemudian, aku pun datang. Target mereka pun yang awalnya nol bertambah menjadi satu. Jadi, dengan pemikiran aneh mereka, mereka meyakinkan diri mereka kalau mereka sedang jatuh cinta. Kira-kira seperti itu --- kenapa matamu begitu?"

Ia sadar kalau Naigrat sekarang sedang menatapnya dengan sangat serius.

"Mata ketidakpercayaan akan lelaki tenyata jauh lebih buruk dari yang aku kira."

"Apa... aku yakin aku tidak mengatakan hal yang aneh. Pokoknya, aku merasa sebagian dari mereka menginginkan figur ayah. Tentunya aku senang mereka menyukaiku, tapi hanya sebatas itu saja."

"Jawaban membosankan, ya?"

"Membosankan berarti damai. Tidak ada yang lebih baik daripada itu, kan?"

"Mungkin... memang benar, sih, tapi..." Naigrat menunjuk tepat pada dada Willem. "Sebagai seorang gadis, biar aku katakan ini. Meski aku menghormati tanggapanmu yang dengan filosofis ini, pada akhirnya kamu masih tetap mengabaikan perasaan mereka. Meskipun mereka anak-anak, mereka ini masihlah perempuan yang punya perasaan. Aku tidak suka laki-laki yang tidak bisa mengerti."

Willem berpikir apa Naigrat masih bisa digolongkan sebagai 'gadis' di umurnya sekarang, tapi memilih untuk tidak sampai membahasnya. Setidaknya ia sudah mengerti itu.

"Dan meskipun membosankan, bagi beberapa dari mereka mungkin itu adalah terakhir kali untuk mereka memiliki perasaan seperti itu lagi. Jadi aku ingin kamu untuk menghadapi mereka dengan baik. Aku tidak sedang bercanda di sini; ini permintaan langsung dari lubuk hatiku."

"Tidak bisa." Jawabannya langsung saja. "Kalau percintaan atau apapun itu sangat penting, maka akan lebih pantas untuk tidak memaksanya hingga terburu-buru dalam tempat sempit ini. Regul Aire itu luas. Ada ribuan lelaki tulen di luar sana. Adalah tugas seorang ayah untuk membuat anak perempuanmu dipinang oleh salah satu dari lelaki di luar sana."

Willem butuh waktu untuk memikirkan apa yang baru saja ia katakan. Tentu, ia tidak pernah begitu memerhatikan sekitar dengan kedua matanya, jadi ketika ia berpikir tentang lelaki, yang ada dalam pikirannya adalah orang-orang yang punya kulit hijau atau muka babi atau sisik pada tubuhnya. tapi tunggu... apa mungkin diskriminasi penampilan dan ras sekarang ini sudah tidak ada lagi? Karena kalau kamu hanya melihat sifatnya saja, mungkin di luar sana masih ada laki-laki yang masih lumayan... ia membayangkan sebuah skenario. Bagaimana jika suatu hari Kutori datang ke rumah dan mengenakan sesosok Borgle dan berkata, 'kami sedang dalam hubungan yang serius'? Apa ia masih bisa tetap memberikan senyum?

“Ah!? Kamu kenapa?”

“Oh, maaf. Baru saja terpikirkan, ternyata Grick memang bukan orang yang buruk, kalau kita lihat ia dari sudut pandang itu..."

"Itu tidak ada hubungannya dengan pembicaraan kita!"

Willem memandang ke luar jendela. Tidak ada sebutir pun awan mengalir di udara. Ini malam yang damai.

"Aku ingin keluar. Kalau kau masih mau bicara, kita lakukan saja nanti."

"Tunggu, kamu mau ke mana?"

"Lihat-lihat bintang atau semacamnya. Aku pinjam kuncinya.". Ia melambaikan tangan dengan pelan, kemudian keluar dari ruangan.

"Eh? Hei! Tunggu. Kuncinya!"

Ia pura-pura tidak dengar teriakkan Naigrat di belakang.

Willem berdiri di puncak bukit di dekat ujung Pulau Ke-68 sambil membawa Seniolis yang ia bawa dari gudang. Angin lembut berlalu, udaranya terasa bersih dan menyegarkan, dan bintang-bintangnya berkilap dari kejauhan. Ini adalah malam yang sempurna.

Ia menanggalkan kain yang menutup Seniolis, membeberkannya pada angin. Lalu Willem menyalakan Venenum dengan jumlah sedikit. Sebuah bekas luka menggerogoti dahinya, namun untuk sekarang ia bisa menahannya.

"Mulai perbaikan," gumamnya dan menyentuh sebagian dari serpihan logam bersinar yang ada di tubuh pedangnya. Dengan bunyi kecil, sebagian itu terpisah dari pedang dan melayang di udara hingga berhenti lima langkah dari Willem. Setelah sudah pada posisinya, bagian itu memancarkan suara dering dari saron[2] yang dipukul.

Ia menyentuh bagian logam yang lain. Yang itu pun melayang di udara sebelum berhenti di jarak yang tak jauh. Suara yang dihasilkannya sedikit berbeda dengan yang sebelumnya. Ia terus ulangi proses itu dengan yang lain. Dan yang lain lagi.

Pedang Seniolis legendaris ini berisikan empat puluh satu pecahan logam yang disatukan dengan garis mantra. Dengan memanipulasi garis mantranya, Willem bisa menguraikan pedangnya menjadi serpihan-serpihan. Tak lama, hanya sebuah kristal, yang sebelumnya ada di dalam pedang, yang masih berada di tangannya. Empat puluh satu serpihan tadi mengelilinginya dengan melayang sembari memancarkan cahaya lemah seakan membuat langit berbintang miliknya sendiri.

"Baiklah..."

Pertama, ia lihat keadaan senjatanya secara umum. Beberapa daya tahannya, seperti terhadap racun atau kutukkan, sepertinya bekerja dalam tingkatan lebih tinggi dari biasanya, sementara yang lain seperti terhadap kelumpuhan, sangat sulit bekerjanya. Ini pasti karena lamanya penggunaan tanpa pernah diperbaiki sama sekali. Kebiasaan si pengguna dan tipe pertarungan yang telah pedang ini lalui mungkin jadi yang paling mempengaruhinya selama ini.

Lalu, ia memeriksa beberapa parameter lain. Kalau boleh dikatakan, ini sudah kacau balau. Karena sudah digunakan untuk waktu lama dengan memaksakan sihir masuk ke dalamnya, masalah muncul di mana-mana. Penghalang Venenum besar telah terbentuk di akar sirkuit utama yang mana ada di sekujur pedangnya, ditambah tonjolan-tonjolan yang ukurannya nya berbeda-beda di sekitarnya. Tiga garis mantra telah hancur sepenuhnya, dan hampir semuanya sudah sangat parah kondisinya, ini semua bekerja dengan kondisi efisiensi yang di bawah tiga puluh persen dari biasanya.

"Bagaimana bisa kalian tetap bertarung dengan ini..." gumamnya sambil tertawa.

Willem sedikit menyentuh kristalnya dengan ujung jari, memberikan sedikit Venenum. Itu menyalakan garis mantra yang sebelumnya tak terlihat, yang kemudian garis mantra ini tersedot oleh salah satu serpihan logam. Terdengar kembali deringan logam di udara. Ia mengirimkan lagi Venenum, yang mana menyebabkan garis mantra yang berbeda bersinar dan serpihan logam lain pun berdering.

Ia ulangi prosesnya. Lagi dan lagi. Cahaya dan suara menari-nari di udara sekitar Willem. Satu demi satu, garis mantra yang terbengkalai pun bangun, dan serpihan logam yang mati pun kembali mendapatkan tenaga.

--- ia merasakan seseorang ada di belakangnya.

"Selamat datang, Nona yang Melarikan Diri." kata Willem tanpa membalikkan badannya pada si pendatang.

"... kamu sedang apa?" si orang yang ada di belakang bertanya dengan curiga, tanpa dulu membalas sapaannya.

"Seperti kelihatannya. Sedikit mengurusi partnermu."

"Tunggu dulu. Kamu tidak meminta izin pada penggunanya dulu?"

"Aku ini manajer di sini, kan? Aku hanya butuh izin dari diriku sendiri." Ia terkikih.

"Tawa itu tidak cocok buat kamu."

"Hmm, iya, kah?"

"Aku lebih suka tawaan kamu yang lembut."

"Hmm..."

Belum lama tadi, ia mengatakan pada Naigrat kalau ia sadar pada perasaan perempuan. Ia telah mencoba untuk tetap tenang dengan mengatakan ia akan dengan logis menolak perasaan-perasaan itu. Akan tetapi, barusan, jantungnya sempat berdegup kencang.

"Baiklah, silahkan lanjutkan konsernya."

"Konser?"

"Suara-suara indah itu. Tapi kurang begitu harmoni, sih."

“Aku tidak sedang konser simfoni atau apapun."

"Kalau begitu konser jalanan saja. Aku tidak akan memberi uang, sih..."

"...kau ini pengunjung aneh, ya?"

Willem mengembalikan fokusnya pada kristal yang tergeletak di telapak tangannya. Kutori duduk di samping Willem, saling bersandaran. Sekali lagi, bunyi deringan logam itu mengisi langit malam di sekitar bukit.

"Cahaya ini... dari mana?"

"Kaliyon dibuat dari banyak Talisman yang disatukan dengan garis mantra dalam bentuk pedang. Kau tahu Talisman itu apa?"

"Aku pernah dengar sebelumnya."

Sekarang ini, semua metode yang berhubungan dalam pembuatan maupun perbaikan pedang itu sudah hilang, wajarnya, hilang pula detail-detail kecil dan teknik rahasianya. Yang dia ketahui adalah bahwa sihir-sihir kuat itu atau Keistimewaan bisa dituliskan ke dalam kertas, keramik, atau potongan logam. Mereka yang bisa menguasai serpihan itu mendapatkan fungsi dari sihir yang terkandung padanya... atau semacamnya.

Biasanya, benda seperti itu masih dibawa dari tanah bawah oleh pemburu. Sepertinya, benda itu tidak begitu langka untuk dipindahtangankan di kalangan orang kaya kelas atas.

"Cahaya melayang yang di depan matamu ini... adalah Talisman untuk melindungi lidahmu agar tidak terasa terbakar ketika kau meminum sesuatu yang panas."

"...eh?"

"Yang di sebelahnya bisa memberitahumu jalan menuju Utara sekalipun kau sedang ada di tempat antah-berantah. Yang di atasnya bisa menghalau mimpi buruk saat kau tidur ketika demam. Juga, kami punya yang bisa membuatmu menirukan suara kucing dengan sempurna, yang bisa melindungi kuku jarimu agar tidak tergores, yang bisa membuatmu dapat sisi gambar dengan rasio enam banding sepuluh saat pelemparan koin..."

"Tunggu dulu. Ini Seniolis, kan? Seniolis senjata legenda? Bukan seratus jimat-jimat kecil, kan?"

"Coba bayangkan sebuah makanan. Beberapanya, kalau kita makan secara terpisah, rasanya akan enak dan aman saja. Tapi kalau kau makan semuanya sekaligus, atau dikombinasikan sedemikian rupa, makanan ini bisa menghancurkan perutmu. Ini pun sama.

Kalau kau satukan Talisman-Talisman berbeda dengan garis mantra, maka hasilnya akan berbeda karena ada mekanisme kompleks yang bereaksi. Aku bukan spesialis jadi aku tidak begitu tahu detailnya, tapi insinyur yang ada di atelir pusat berkata seperti itu.

Bicara mengenai Seniolis sendiri, itu merupakan salah satu Kaliyon tertua. Aku dengar senjata ini ada karena kecelakaan yang ajaib di medan perang. Itu kenapa sangat banyak Talisman-Talisman aneh dan tidak jelas."

"Hmm..." Kutori memiringkan lehernya dengan bingung, melihat ke semua Talisman yang melayang. "Aku tidak tahu soal itu. Karena ini senjata legendaris suci dan seterusnya, aku kira ini diturunkan oleh dewa atau semacamnya."

"Yah, sayangnya bukan begitu."

Ketika itu, para Emnetwyte, tentunya, berusaha mati-matian untuk bertahan hidup. Untuk memenuhi tujuan itu, mereka mengerahkan semuanya. Bertarung bukanlah bisnis yang menarik. Akan tetapi, mereka masih tetap mengejar keindahan dan kesempurnaan. Jadi mereka menamai simbol kekuatan yang mereka tunggu-tunggu dengan sebutan Kaliyon, atau pedang suci.

“Aku mengerti.” Kutori terdiam untuk sesaat. Bunyi dering dan cahaya masih menari mengelilingi mereka. "Tadi, aku bicara dengan Pak Opsir Kelas Satu." Perlahan, dia mulai berbicara lagi. "Ia bilang kalau aku tidak mau, aku tidak perlu membuka gerbang menuju tanah peri. Demi menumbuhkan kekuatan dan memantapkan hatiku, ia berani bertaruh mengenai jatuhnya Pulau Melayang Ke-15."

"... Begitu, ya?"

"Apa aku bisa jadi kuat?"

"Kalaupun kau tak mau, aku pastikan kau akan bisa. Lagipula, aku manajermu."

"Aku yakin kamu akan bilang begitu." Willem bisa merasakan punggung Kutori bergerak ketika dia tertawa. "Yah, aku rasa aku akan terus terang saja. Aku tidak ingin jadi kuat."

"Tunggu, tunggu. Bukankah ini saat di mana kau sadar betapa banyak cinta dan dukungan yang kau dapat dari orang-orang sampai kau mengeluarkan perasaanmu yang sesungguhnya sambil menangis?"

"Aku ini sedang jujur. Bisa tolong mengerti?"

Willem berpura-pura tidak mendengar kata-kata ini. Jadi ia sudah menjadi tipe lelaki yang sembunyi-sembunyi seperti yang dikatakan Naigrat tadi, ya? Perasaan bersalahnya sedikit lebih parah dari yang telah ia kira.

"Baiklah, bagaimana kalau begini. Kalau kau bertarung ke sana dan kembali pulang, aku akan mengabulkan satu keinginanmu. Apapun, terserah."

"Eh?" Untuk sesaat, Kutori terkejut. "A-Aku bukannya ingin kamu melakukan sesuatu untukku. Lagian, meskipun kamu bilang 'apapun', palingan kamu tidak akan melakukan apapun yang besar. Misalnya kalau aku bilang 'nikahi aku!' atau semacamnya..."

"Tepat."

"... aku juga tahu. Tapi aku penasaran. Kenapa?"

"Yah, itu hanya bukan hal yang bisa aku lakukan. Seperti kau meminta 'hidupkan kembali orang yang mati' atau basmi semua Makhluk Buas,' itu jelas tidak bisa."

"Menikahiku sama mustahilnya seperti itu?"

"Tentunya."

Anak seumuran itu merasakan ketertarikan pada sesosok yang lebih tua darinya yang bisa diandalkan itu wajar saja. Mungkin itu adalah salah atau bentuk rasa cinta, tapi itu juga merupakan nafsu sementara yang muncul karena tidak adanya pilihan lain. Jadi, mundur dahulu selagi menunggu demamnya turun adalah kewajiban yang perlu dilakukan sebagai orang dewasa.

“Setidaknya tunggu sampai kau tumbuh sedikit lagi."

"Ya, kalau aku punya waktu juga aku bakala---!"

"Kau punya," kata Willem, memotong perkataan Kutori. "Yang akan kau lakukan ini adalah bertarung dan mendapatkan waktu itu, kan?"

"... tapi aku tidak tahu nantinya akan bagaimana."

"Kalau begitu cari alasan yang lebih pas untukmu kembali pulang. Kau tahu? Prajurit yang sudah punya calon pasangan hidup menunggu di rumah atau semacamnya akan memiliki kesempatan untuk bertahan hidup yang tinggi. Mereka memiliki tekad yang kuat untuk hidup betapapun pertarungan yang mereka hadapi."

"Ya, tapi pilihan untuk punya calon pasangan hidup yang menunggu di rumah ini barusan sudah dihancurkan..." sela Kutori dengan mata dingin pada Willem.

"Ah --- yah, kau tahu. Kau tidak bisa mati-matian mengejar masa depan yang tidak realistis. Coba mimpinya yang lebih mudah dilakukan."

"Bukannya salah kalau begitu? Kalau kekuatan ini asalnya dari perasaan, terus kenapa kamu malah membatasinya dengan realita sekarang?"

"... kau pintar ngomong, ya?"

Yang bisa ia lakukan hanya tertawa. Untuk mendapat alasan untuk kembali ke rumah --- tentunya, ini bukan kata-katanya Willem langsung. Ia hanya meminjamnya dari orang lain. Terlebih, ia merasa jadi sedikit munafik, karena setelah seseorang mengatakan hal itu padanya, ia berakhir mengamuk dan tidak bisa memenuhi janjinya untuk pulang. Meski Kutori tidak mengetahui hal itu, sepertinya dia sudah memahami kedangkalan sarannya ini.

"Kalau aku memang sepintar itu, aku ingin kamu berhenti menganggapku sebagai anak kecil."

"Sayangnya aku tidak bisa."

"Kenapa, sih, kamu keras sekali pada aku soal itu?" Ucap Kutori dengan helaan nafas seperti orang dewasa. "...manisan."

"Eh?"

"Kamu tahu, hidangan penutup yang waktu itu kamu buat di kafeteria. Apa kamu masih punya resep lain?"

"Aku rasa ada, beberapa."

"Kalau begitu, bagaimana dengan kue mentega?"

---Ah.

"Itu, kamu pilih itu?"

"Eh?"

"Jangan hiraukan." Itu bukan tidak terkira. Ia sudah merasa pembicaraan ini akan mengarah ke sana. "Aku tahu cara membuatnya. Sebenarnya ini diajarkan oleh guruku. Tapi, ada orang yang sangat lebih baik dariku dalam membuatnya saat itu, jadi aku belum pernah membuatnya sendiri."

"Yah, asalkan tahu saja juga sudah cukup. Salah satu seniorku selalu kelihatan senang ketika makan kue mentega setelah pulang bertarung. Tapi setelah aku sudah bisa menggunakan pedang, sudah tidak ada lagi kue mentega di menu makan malam, jadi aku tidak pernah bisa jadi seperti dia. Makannya, aku minta padamu."

Willem mengambil nafas dalam, dan mengeluarkannya dengan perlahan. "Baiklah," jawabnya, kemudian melanjutkan pekerjaannya."

Setelah beberapa saat, ia selesai melakukan perbaikan, mengembalikan tingkatan resistasi yang ada ke semula, kecuali resistansi terhadap sihir yang masih tetap tinggi. Sisa garis mantra yang berasal dari potongan berbagai fungsi yang sudah tak dipakai kini digunakan lagi untuk memperkuat fondasinya.

Dengan ujung jari, Willem dorong kristalnya. Serpihan logam yang mengelilingi mereka di udara, satu demi satu berkumpul pada kristal itu. Saat setiap fragmennya kembali pada tempatnya semula, keluar suara deringan pelan. Simfoninya berlalu untuk waktu sesaat, lalu seusainya, pedang besar pun kembali ke tangan Willem.

"Oke, oke. Akan kubiarkan kamu makan yang banyak sampai kamu sakit perut. Siap? Kau harus tetap hidup dan kembali pulang."

Ia memberikan. kembali Seniolis pada pemilik palsunya.

"Serahkan saja padaku," kata si gadis dengan senyuman.













Bagian 5: Meski Jika Pertarungan Itu Berakhir

Di bagian terluar seragam tentara mereka, ada zirah ringan yang melapisi. Dan pada punggung mereka, dibawa pedang yang ukurannya sangat besar sampai kelihatan aneh. Ketiga perempuan ini telah selesai dalam persiapan mereka untuk bertarung.

"Oke, aku siap. Dah!" Aiseia melambaikan tangan dengan penuh enerji dengan senyumnya yang khas.

"... hm." Nephren mengangguk pelan.

Kutori sendiri menolak untuk berbalik atau meninggalkan kata perpisahan pada yang di belakang. Bros perak yang ada pada bagian dekat dada seragam tentaranya memancarkan cahaya lembut, seakan ingin mengatakan sesuatu.

Dan dengan begitu, tiga peri terbang ke langit, sosok mereka lambat-laun meleleh ke dalam mentari terbenam..

“... apa kau bodoh?!" Itulah kata pertama yang keluar dari mulut Grick setelah dengar ceritanya. "Kenapa kau makan bersamaku di sini?"

"Kenapa apanya? Aku sudah katakan padamu. Untuk melaporkan situasi sekarang sekaligus berterima kasih."

“Kau bisa lakukan itu kapanpun! Sekarang disebut sekarang karena kalau bukan sekarang ya kapan lagi, kau mengerti!?"

"... hmm, aku ragu kau sendiri mengerti apa yang barusan kau ucapkan."

"Siapa yang membicarakan aku!? Ini tentang dirimu! Tentang dirimu!"

Yah, itu memang benar, tapi...

Bingung terhadap kegusaran si temannya, Willem menyeruput kopi asinnya.

"Omong-omong, kepalaku sudah penuh hanya dengan tahu kalau dibalik damainya Regul Aire, terdapat banyak drama dan pengorbanan tersembunyi. Yah, aku rasa menumpahkan darah di tempat tak terlihat adalah tugas seorang tentara. Kalau kau pikirkan, ini wajar, tapi memikirkannya saja dengan mendengarnya langsung darimu terasa sangat beda. Bagaimana ya... rasa bersalah dari tidak tahu hal ini bisa membuatku rusak... atau mungkin ini perasaanku yang ingin memeluk anak-anak itu sekarang... kenapa wajahmu seram begitu?"

"Bukan apa-apa." ujar Willem saat ia habiskan kopinya dengan mimik yang pasti akan membuat anak-anak menangis.

Grick mendesah. "Aku rasa ini pekerjaan yang lebih mudah dan ringan, jadi aku berikan padamu, tapi... Yah, pada akhirnya pun berhasil, tapi benar juga, kalau aku tidak berpikir dulu dan malah memberikan pekerjaan ini pada orang suram rasanya menyeramkan juga." Ia berhenti sebentar untuk meminum kopi. "Sekarang...kenapa kau di sini?"

"Jadi, pertarungan di Pulau Ke-15 akan dimulai besok, dan akan berlangsung selama beberapa hari, dan setiap kontak mengenai hasil pertarungannya bisa dilakukan tidak lama setelahnya,. Intinya, tidak ada apa-apa yang bisa aku lakukan sekarang."

"Bukan, bukan begitu! Biasanya di saat-saat seperti ini kita akan sangat khawatir sampai-sampai makan atau tidur atau semacamnya saja susah! Lalu kenapa kau malah hidup biasa seperti tidak ada apa-apa yang terjadi!?"

"Khawatir-tidaknya aku tidak akan berpengaruh pada kesempatan menang mereka. Sampai kemarin, aku mengajari mereka semua yang aku bisa dan mengatur pedang mereka semampuku. Tapi, kemungkinan mereka untuk kembali hanya sedikit di atas lima persen. Percuma saja khawatir sekarang."

“Oh, ayolah! Kau tidak bisa begitu saja meragukan kemenangan seseorang!"

"Aku bukan tipe orang yang memalingkan mata dari kenyataan."

"Tapi jangan memalingkan mata dari harapan dan mimpi juga! Kau harus percaya!"

"Setiap orang berusaha karena hidup itu tidak seperti itu... Pokoknya, yakin pada sesuatu justru membuatnya semakin sulit untuk kembali pada kenyataan ketika ada sesuatu yang tidak terkira terjadi. Kalau aku ingin mempercayai mereka, itu berarti aku harus terima apapun hasil akhir yang mereka bawa.*

"Dingin sekali, woi! Aku tidak merasakan ada kehangatan hatimu di kata-katamu!"

"Yah, aku memang bukan dari ras yang cocok untuk jadi pemburu harta."

Grick tertawa kekeke, yang mana Willem potong dengan berdiri.

"Tunggu, kau mau ke mana?"

  • Yah, aku perlu belanja makanan."

"Willem... kau memang benar-benar kembali ke kehidupan biasamu, ya?"

"Tentu. Ada orang yang bertarung demi melindungi gaya hidupku ini."

Grick membisu.

Tepat setelah Willem mengatakan 'dah' dan pergi, "... ah, benar juga." Ia terhenti, mengingat kalau ia ingin menanyakan sesuatu. "Apa kau tahu toko di sini yang menjual mentega murah dan tepung?"

Dan dengan begitu, ia kembali ke gudang ke-4 Perusahaan Perdagangan Orlandri.

"Willem!"

"Kamu dari mana? Kami cari kamu ke mana-mana!"

"Um, lama tidak ketemu, jadi, mau main sama kami?"

"Belakangan kamu belum ngobrol sama kami, gara-gara pingsanlah, dan itulah, jadi kami mau setidaknya hari ini saja main sama kami."

Tangan-tangan kecil menarik lengan bajunya ke segala penjuru, tapi... "Maaf, hari ini aku ada perlu."

'"Ehhh? Suara enggan mereka bersatu dalam teriakkan.

"Aku akan main dengan kalian setelahnya."

Ia langsung menuju ke dapur, tanpa memerhatikan suara sedih yang ditujukan pada punggung Willem.. Dalam benaknya, ia membalik halaman 'Hidangan Penutup yang Populer di Kalangan Anak-Anak' dan mencari kue mentega. Ia hanya sedikit ingat detail-detailnya, karena resepnya belum pernah memberikannya hasil di panti (buatannya selalu dibanding-bandingkan dengan si 'Anak Perempuan'), tapi ia meyakinkan dirinya kalau ini akan berhasil. Masih ada banyak waktu untuk latihan, dan juga, sesendok cinta atau sesuatu yang sejenis pasti memiliki pengaruh besar pada rasanya. Mungkin.

Ayaaaaah.

Tiba-tiba, ia merasa ada seseorang yang memanggilnya dari suatu tempat. "...Almaria?"

Ia berbalik, ia melihat ke langit, tapi tentunya, ia tidak menemukan siapa-siapa. Yang ia dapati hanya awan yang berbentuk seperti sutra tipis, menyebar tanpa batas menembus merah dan merah padam langit.

Apalagi, si pemilik suara itu sudah tidak ada lagi di dunia ni. Dia telah lama hilang, tanpa bisa mengucapkan selamat datang pada si orang yang telah dia tunggu untuk waktu lama , pada si orang yang terus dia masakkan kue mentega padanya supaya janji mereka bisa terpenuhi.

"Maaf, Almaria."

Ia merasa telah melakukan sesuatu yang buruk. Bukan hanya pada dia, tapi juga pada rekan yang bertarung juga dengannya. Pada petinggi yang telah membayangkan kemenangan atas mereka. Kenapa ia tidak mati bersama mereka? Atau setidaknya, kenapa ia tidak akhiri hidupnya sesaat setelah ia bangun dalam dunia ini? Apakah hidup seperti yang aku lakukan sekarang tidak akan merusak janji-janji yang kubuat di masa lalu?

Ia mengerti, tapi...

"Aku minta maaf. Aku sangat minta maaf." Menghadapi surga, ia menunduk memohon ampun.

Ia tidak memiliki tempat di dunia ini. Tapi jika ada seseorang memberinya peran dia pada Willem, maka, demi bisa mengatakan 'selamat datang', ia harus tetap ada di sini. Willem memutuskannya dalam pikiran ketika ia keluarkan apron miliknya.












Catatan Penerjemah

  1. Urat keras yang menghubungkan otot dengan tulang.
  2. Metallophone, alias alat musik yang terbuat dari logam yang dipukul. Karena metalofon ga ada di KBBI, jadi yang mudah aja seperti saron. (walau saron lebih khas lagi sih, dengan Indonesia.)





Bab 3: Hutan di Langit Halaman Utama Bab 5: Sebelum Dunia Ini Berakhir