Bagian 2: Gadis-Gadis Gudang

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search


Kutori Nota Seniolis adalah seorang peri. Tahun ini umurnya lima belas dan menjadikan dia sebagai perempuan tertua yang ada di gudang, plus menjadi tentara peri yang sudah matang. Saat dia sudah dipastikan mampu dengan 'Senjata Galian'[1] dia diberikan pedang Seniolis, yang namanya kini dia pikul.

Cahaya biru muda mengisi rambut dan matanya, namun dia tidak begitu menyukai warnanya, karena dua alasan. Pertama, seperti halnya rambut peri-peri lain, terlalu mencolok saat berjalan di khalayak umum. Kedua, dan yang jadi poin utama, jadi tidak cocok dengan pakaian berwarna cerah.

“... Mereka ini sedang apa, sih?"

Kutori yang duduk di samping jendela ruang baca melihat ke luar dan menggumamkannya. Lahan terbuka kecil dari hutan membentang di depan matanya. Para peri muda sedang bersama seorang pemuda berbadan tinggi yang dengan antusias mengejar-ngejar sebuah bola. Willem yang kini sudah membaur dengan kehidupan di gudang meski memiliki perbedaan umur, jenis kelamin, dan bahkan ras, baru disadari oleh Kutori sekarang.

Hidangan penutup kemarin telah berperan sebagai katalisnya. Ketika si anak tau kalau ia yang membuatnya sendiri, kecurigaan mereka padanya pun langsung roboh seketika. Lalu, tanpa Kutori sadari, mereka pun akrab dengannya, dan permainan bola yang kini dilihatnya adalah bukti itu.

“Dasar… ia ini apa-apaan, sih?"

Waktu mereka bertemu untuk pertama kali, Willem dianggap Kutori sebagai seorang yang misterius; Ia sangat baik padanya, yang hanya orang asing dan menjengkelkan juga diselubungi bayangan kelam.

Terlebih, ia tinggal di kota penuh monster, sementara ia sendiri tak bertanda.

Di kala mereka bertemu lagi, salah satu anak, Panival, telah menimpanya di hutan. Setelah dipikir-pikirnya lagi, Willem juga sudah ditimpa oleh Kutori setelah dia terjun. ​Semoga ia tidak suka yang begituan… dia memikirkan kemungkinan itu untuk sesaat, tapi kemudian merasa malu dan menghilangkan pikiran itu dari kepalanya.

Dan terakhir… ia selalu baik pada anak-anak. Mau anaknya berisik, mengganggu, merepotkan, memaksa masuk ke dalam kamarnya, ia tetap bicara dengan senang pada mereka tanpa sedikitpun ada keluhan atau kekesalan dari mukanya dan bahkan sikapnya pun masih sama pada Kutori yang datang tak lama setelah mereka.

Sikap yang sama? Kata-kata itu merasuki pikiran Kutori, menyangkut hingga menghentikan jentera pikirannya. Apakah Willem memandang semua sama? Apakah ia menganggap Kutori Nota Seniolis yang sudah lima belas tahun, matang, dewasa, dan penuh tanggung jawab, sama seperti anak-anak sepuluh tahun yang belum dewasa itu? Dia tidak mau menerimanya.

Terlebih, ia -- Willem Kumesh, si Teknisi Senjata Terkutuk Kelas Dua -- tidak begitu jauh umurnya dari Kutori. Walaupun aura misteriusnya bisa menipu, dia menebak-nebak kalau umur Willem masih kurang dari dua puluh. Dengan begitu, perbedaan angka usia di antara mereka mungkin hanya tiga-empat tahun, sehingga mereka pun terkadang masih melakukan kesalahan-kesalahan kecil karena labil. Dengan umur itu tidak sepatutnya ia menganggap dia sebagai anak-anak.

Atau mungkin itu semua karena perbedaan tinggi mereka. Namun, masalah masih tetap runyam. Kutori Nota Seniolis sekarang ini menyandang gelar sebagai peri tertinggi dari setiap peri yang ada di gudang. Dia memperkirakan kalau dari sudut pandang Willem yang lebih tinggi, dia masih kelihatan hampir sama tingginya dengan peri lain. Menyandingkan dia dengan Naigrat yang lebih tinggi tentunya tidak akan menyelesaikan apapun. Apalagi--

“Kamu lihat-lihat apa, hei?"

“Ah!” Karena tiba-tiba dapat pelukan dari belakang, sontak Kutori pun berteriak dengan suara tak biasa.

“Hei, jangan begitu!"

“Haha, maaf maaf. Kamu dari tadi diam saja, sih."

"Alasan yang aneh…”

Seusai menyingkirkan tangan yang mengalungi lehernya, dia berbalik melihat Aiseia berdiri dengan senyum biasa.

Aiseia Myse Valgalis juga merupakan peri. Di umur empat belas tahun, seperti Kutori, dia sudah dianggap sebagai tentara peri yang sudah matang dan juga sudah dipastikan sanggup dengan Senjata Galian. Seperti Kutori, nama belakangnya, Valgalis melambangkan pedangnya. Rambutnya seperti padi yang sudah matang dan bermata coklat kayu sipit. Pada wajahnya selalu tertampilkan ekspresi senyum hangat dan ramah.

“Ia cowok yang populer ya… baru datang tapi kayak sudah tinggal lama di sini. Tahu tidak? Permainan bola yang mereka lagi mainkan itu ia yang ajarkan… bisa langsung banyak orang yang memainkannya, dan bahkan anak-anak yang olahraganya payah pun bisa ikut."

"Hmm… begitu.”

“Kamu penasaran ya? Sama cowok itu?"

“Yah…”

Semua yang ada dalam gudang ini sangat wajar saja untuk penasaran pada Willem. Ke manapun ia pergi, ia selalu kelihatan mencolok.

“Topi barumu."

Perubahan topik pembicaraan saat melamun membuat Kutori terkejut hingga hampir jatuh dari kursi.

“Kamu betul-betul merawatnya, ya? Sampai-samapi kamu simpan di lemari dan tidak kamu pakai-pakai, kondisinya juga bersih dan masih bagus."

“B-Bukan begitu! Topi itu cocok saja untuk jadi alat penyamaran waktu aku tinggalkan pulau… aku tidak perlu memakainya di sini! Kamu juga kenapa, sih, membicarakannya sekarang?"

Dengan seringaian lebar Aiseia melihat Kutori. "Hmm?"

“Apa?!”

“Tidak, tidak. Cuma, reaksi kamu tadi berkata banyak, lho."

“Jangan aneh-aneh. Orang ya reaksinya begitu kalau kaget."

"Masa?"

Saat Aiseia terus menginterogasi dia, segulung kertas tiba-tiba menghantam kepalanya.

“Tolong tetap tenang di ruangan membaca."


Nephren Ruq Insania berdiri dengan wajah khasnya yang tanpa ekspresi. Tentunya, dia peri juga, tapi tidak seperti mereka berdua, umur Nephren hanya tiga belas tahun dan belum jadi tentara peri yang matang sampai musim panas tahun ini. Rambutnya kelabu dengan mata hitam arang. Posturnya lebih pendek jika dibandingkan dengan peri lain, sampai bisa-bisa dia tenggelam dalam kerumunan anak-anak. Wajah ekspresi khasnya selalu tertata rapi setiap waktu; Kutori belum pernah melihat dia senyum ataupun marah.

Setelah melihat ke sekeliling, Kutori melihat kalau ruangan membaca hanya diisi oleh tiga orang yang berdiri di dekat jendela.

“M-Maaf…”

Nephren duduk di kursi sebelah Kutori yang lagi meminta maaf. "Jadi, ia orangnya bagaimana?”

“Katanya suruh tenang…”

“Boleh saja selama suara kita pelan.”

“Jadi boleh, nih ya, kita bicara terus? … kamu tertarik juga sama ia, Ren?"

“Tidak begitu." Dia menatap ke luar jendela. “Aku hanya merasa ia orangnya misterius.”

Kutori jadi merasa sedikit lega karena tahu bukan hanya dia yang menganggap Willem begitu. Jika ia hanya sebatas orang baik dan riang, mereka tidak akan begitu penasaran. Ia sangat dekat dengan anak-anak, tapi juga ia seperti membatasi hubungannya. Ia kelihatan senang, tapi kelihatan kesepian jua. Ia berbaur dengan kehidupan dalam gudang, tapi terkadang melamun sendiri, seakan pikirannya ada di tempat nun jauh.

Jadi Kutori tertarik dengannya. Dia jadi penasaran dengannya.

“... Kutori, tinggal berapa hari lagi?"

Pada pertanyaan ambigu itu, dia tau betul apa yang dimaksud Aiseia. Dia menggunakan kalender di kamarnya untuk tetap ingat, jadi tentu dia bisa menjawabnya.

"Sepuluh hari."

“Hmm… kira-kira bakal cukup atau tidak ya…?”

“Kalian membicarakan apa?"

"Tentunya masalah tenggang waktu kita untuk memenuhi mimpi-mimpi cinta Kutori!" Kepala Kutori menghantam meja karena kaget.

"Kutori, tolong tenang di ruang membaca."

“M-Maaf -- bukan begitu! Kamu ini bicara apa, Aiseia!?"

“Ahaha, jangan malu begitu. Banyak, lho, peri yang hidupnya tidak sampai lewat pubertas, bisa merasakan cinta itu sungguh beruntung sekali, tahu."

“A-Aku tidak menganggapnya seperti itu."

“... Oke. Aku akan cari cerita pernikahan berbeda ras. Bisa saja ceritanya beguna."

“Ren!? Aku tidak butuh, kok!"

“Kutori, tolong tenang di ruang membaca."

"Kamu tahu yang bikin aku teriak-teriak!”

Sesaat dia pun mencoba tenang. Di luar, bolanya dilempar tinggi oleh seseorang, kembali turun, membentuk lengkungan luas di langit.

“... Serius, aku tidak butuh apa-apa, sudah cukup, ya. Aku sudah berhasil menyerah pada banyak hal… tidak mau aku menumbuhkan penyesalan lagi sekarang." Ucap Kutori dengan suara lembut yang sukar terdengar.

“Begitu ya." Aiseia mengerahkan satu tawaan sedih yang terakhir, lalu memandang ke luar tanpa bicara apa-apa lagi.

Nephren mengangguk pelan, lalu tanpa bersuara, kembali membaca buku di tangannya.

Seminggu kemudian.

Willem mulai merasakan perasaan yang tidak enak mengenai pekerjaannya. Saat ia berjalan di lorong untuk mencari alasan kenapa ada yang tidak beres, suara langkah kaki terdengar mendekat dari belakang.

“Willem!!”

Dua kaki menghantam punggungnya, momen kedua kaki tersebut diperkuat dengan lompatan yang sangat tepat momentumnya.

Meskipun besar tubuh mereka jika dibandingkan sangat berbeda jauh, serangan anggun tadi hampir memaksa Willem mencium tanah. Sebelum ia kembali berdiri lagi, tangan-tangan kecil dengan cekatan melingkari lehernya sebaga teknik untuk mengunci.

"Kena!"

“Ahh! Bukan, bukan! Bukan itu yang aku maksud!"

“Hasil akhirnya membenarkan maksudnya."

“Betul, asalkan ia tidak bisa kabur, maka bukan masalah."

"Ya masalah, dong! Kita, kan, yang mau minta tolong sama ia."

"Memaksa sebelum meminta adalah sebuah strategi dasar."

“Itu sih kalau mau membunuh!"

"Bunuh! Bunuh! Bunuh!"

“Kamu harusnya tidak mengulangi kata-kata yang itu!"

Pundaknya dipelintir dengan nyaman ditambah suara tulang-tulang yang bersinggungan, dan Willem langsung memahami situasi sekarang. Si bocah-bocah penuh semangat mengelilinginya.

"Halo, kalian butuh sesuatu?"

"Ya, ya. Kami ada urusan denganmu."

"Kami ingin membaca buku, ayo ikut!"

“S-S-Sudah kubilang jangan mengunci sendinya kalau mau minta tolong!" Willem sangat setuju dengan ungkapan si anak itu.

“Kalian ingin aku membacakan buku-buku berat? Maaf, tapi aku bukan pembaca dan penulis terbaik."

"Eh? Kamu teknisi, 'kan? Kamu pintar, 'kan?"

“Oh, aku super pintar. Aku bisa membaca literatur kuno dari 500 tahun yang lalu dengan mudah!"

Anak-anak pun tertawa pada kata-katanya yang dianggap guyonan dan menarik lengan baju Willem.

“Kami juga bisa membacanya. Kami cuma mau kita duduk sama-sama."

"Ya, soalnya ini cerita dari jaman dulu, jadi serem kalau cuma kami doang."

“Yah aku tidak takut atau apa, anak-anak ininya saja."

“H-Hey, jangan sok dewasa!"

Seperti biasa, anak-anak mengoceh sebebasnya sambil terus menyeret Willem ke suatu tempat.

"Cerita dari jaman dulu?"

"Cerita dari Emnetwyte!"

Tiba-tiba Willem merasa pening karena mendengar nama itu. Perasaan dejavu menghantuinya, dan pikirannya mulai tenggelam kembali ke masa lalu. Pemandangan di sekitarnya, yakni gudang di Pulau Ke-68, berubah menjadi panorama panti lama. Visinya ini membangkitkan ingatannya dulu, si anak tertua yang diurus di sana, sedang mengurusi anak-anak lain.

Willemmm!!

Ayah, kamu mengacau lagi?

Suara yang Willem tidak ingin ingat pun terdengar dalam kepala. Ia sadar bahwa ia melupakan sesuatu yang penting: alasan kenapa ia memutuskan untuk tinggal di Pulau menjijikkan itu, Pulau Ke-28. Sangat tidak nyaman di sana. Hidup sulit. Tidak ada yang mau menerima karena tak bertanda. Tak ada orang yang memberikannya tempat yang bisa ia sebut rumah.

Namun karena itulah ia tinggal di sana. Ia tidak perlu ada di mana-mana. Meskipun ingin kembali ke rumah, harapan itu tidak akan pernah terwujud. Setelah tinggal di tempat sampah pulau itu, ia tidak pernah lupa kenyataan itu. Ia hanya terus memikirkan kenyataan pahit setiap harinya.

Namun tempat ini kelihatan terlalu mirip. Ia selalu meyakinkan dirinya kalau ini bukanlah rumah. Ia tidak seharusnya memakai seragam tentara hitam yang tidak muat ini. Tanda di lencana pada pundaknya tidak berarti. Ia hanya akan tinggal di sini selama beberapa bulan. Jadi semua akan baik-baik saja. Ia tidak akan lupa atau mengkhianati tempat itu.

"Willem?"

Sebuah suara mengembalikannya ke masa kini.

"Ah, aku baik-baik saja. Hanya kurang tidur semalam. Jadi ini cerita Emnetwyte yang mana?"

“Pada zaman duluuuu sekali, mereka ada di sana! Di tanah bawah sana!"

Anak-anak mulai bersuara. Pada buku bergambar yang mereka baca sebelumnya, tertulis kalau makhluk menyeramkan yang dikenal dengan Emnetwyte mengisi tanah. Dan karena mereka, para Orc terpaksa tinggal di tanah gersang, hutan-hutan berharga milik Elf dibakar, para Reptrace dipaksa keluar dari air tempat tinggal mereka, kedamaian para Lucantrobos dirusak, harta para Naga dijarah habis. Dan ketika para Pendatang turun untuk memberi hukuman pada mereka, Emnetwyte langsung bertindak sendiri dan membunuh dewa-dewa. Hingga akhirnya, mereka memanggil keluar '17 Makhluk Buas' dari suatu tempat dan meledakkan diri, membawa setiap hal yang ada di tanah bersama mereka.

"Serem, ya?"

Waktu diceritakan begitu, ceritanya tentu menyeramkan. Itu membuatmu terheran-heran kenapa Emnetwyte bisa jadi monster bengis seperti itu.

"Yah ini hanya buku bergambar, jadi bisa saja salah, lho."

“Tapi katanya ini realita."

"Semua juga katanya begitu."

Anak-anak pun saling melihat satu sama lain.

“Tapi kalau begitu, apa cerita soal Brave juga bohongan?"

"Aku harap bukan," gumam si perempuan berambut ungu. Yang lain pun mengangguk setuju.

“Mungkin ada bagian yang benarnya… memang apa salahnya kalau Brave tidak ada?"

Untuk kedua kalinya, anak-anak itu saling memandang muka.

“Karena… kami juga anggota Brave?"

Willem tidak mengerti. Mereka takut pada Emnetwyte, namun mereka mau menjadi simbol ras itu. Memang, saat itu Brave merupakan semacam senjata juga. Mungkin karena itulah anak-anak ini, yang merupakan senjata jua, merasa dekat dengan para ksatria kuno itu.

“Ngomong-ngomong, um… Pak Willem." Salah satu anak dengan kalemnya berkata, "Itu tidak sakit?"

Setelah dengar pertanyaan itu, rasa sakit di pundaknya tiba-tiba saja kembali, mengingatkan padanya kalau ia belum lepas dari kuncian pada sendinya.












Referensi Penerjemah[edit]

  1. Dug Weapon. Di animenya disebut Dug Weapon secara langsung, sih. Tapi Senjata Galian pun ga buruk. Gimana?



Bagian 1: Si Nadir Dangkal Halaman Utama Bagian 3: Gudang Peri