Bagian 3: Si Peri Hilang dan Si Kadal Terbang

From Baka-Tsuki
Revision as of 18:43, 16 May 2018 by Sakamiyo (talk | contribs)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

…​ Apa yang sedang aku lakukan?

Kutori Nota Seniolis berlari. Dia buru-buru keluar dari gudang, melewati hutan rindang, terus hingga ke pelabuhan, dan ketika sudah tidak ada daratan lagi, dia bentangkan sayap untuk terbang di langit.

Dia sendiri bingung. Tapi dia merasa memang perlu. Karena hanya ini satu-satunya pilihan baginya. Setelah saling bercekcok mulut dengan Willem, dia mengerti kenapa ia ingin melakukannya. Kesalahpahamannya kini membuat dia tak tahan.

Jika membandingkan daya serang persenjataan militer dengan kekuatan Teimerre nanti, kesempatan untuk mereka menang tampak tipis. Karena itu, pihak militer ingin meningkatkannya dengan tumbal. Begitulah situasinya sekarang. Tapi sekarang ada solusi yang lebih baik: tingkatkan daya serang dasar secara permanen.

Dari awal, mereka tahu kalau peri-peri tidak mengerahkan segala potensi yang terpendam dalam Senjata Galian sebagaimana Emnetwyte menggunakannya. Senjata ini pasti telah menurun kualitasnya sedikit, karena memang itu adalah senjata kuno. Apalagi tidak ada panduan dalam penggunaannya, mereka harus mencari tahu sendiri caranya melalui pengalaman. Tentunya, mereka memalsukan pengaktifan senjata ini dengan menggunakan ras peri sebagai korbannya.

Jadi, tentu saja jika seseorang yang tahu cara penggunaannya muncul tiba-tiba, maka situasi pun akan berubah secara menyeluruh. Mereka bisa kembali memikirkannya. Berputar haluan.

Hilangkan pengorbanan.

Namun itu sama saja dengan mengaku kalau cara mereka bertarung selama ini adalah salah. Yang berarti setiap dari mereka gugur dalam kesia-siaan. Ini akan merendahkan, bahkan sampai menganggap segala keputusan dan tekad mereka dalam perjuangan dan siksaan melawan takdir kejamnya sebagai kekonyolan belaka.

"Tidak akan!"

Enam bulan lalu, di hari di mana serangan Teimerre besar telah diprediksi. Saat itu, ketika diumumkan bahwa tidak ada lagi strategi yang efektif selain memaksa Kutori Nota Seniolis mengamuk.

"Saat itu aku sangat takut..."

Dan iya, dia tidak mau mati. Setelah sadar bahwa waktunya terbatas, tak terhitung hal-hal yang ingin dia coba, tujuan yang ingin dia tuntaskan, dan mimpi-mimpi yang ingin dia wujudkan muncul dalam benaknya. Dia menangis dan menangis, lalu mencoba bertingkah kuat.

"Akhirnya aku bisa terima..."

Sekitar dua Minggu lalu, dia bertekad untuk tidak menangis lagi. Akan tetapi, kini, dia merasakan ada sesuatu yang mengisi matanya. Sialan! Tidak... aku tidak bisa.

Semakin dia berusaha melawan, semakin dia berusaha untuk kuat, semakin cepat juga emosinya menumpuk hingga tak terbendung lagi.

Dia memejamkan mata dan berhenti mengepakkan sayap, membuatnya terjun bebas. Siulan angin seakan berteriak pada telinganya. Tepat di bawahnya adalah lautan awan putih.

Sempurna, pikirnya. Kalau dia menembus awan-awan itu, sekujur tubuhnya akan basah dan bekas tangisannya pun akan tersembunyi. Jadi dia melepas dirinya pada gravitasi.

Awan-awan mendekapnya. Pada dasarnya, awan itu seperti kabut tebal di tempat tinggi. Meski terlihat seperti kapas, awan tidak memiliki tekstur, jadi terbang menembusnya pun tidak akan membuat percikkan seperti air. Awan ini hanya sekedar putihnya udara yang kosong dan menyelimuti tubuhnya.

"Ah."

Aduh, pikirnya. Kutori sadar kalau dia lupa hal yang penting. Sekarang musim gugur. Yang berarti sebentar lagi musim dingin. Yang berarti, jika kebasahan, akan merasa sangat-sangat kedinginan.

"Uhh..."

Bagi semacam burung dan peri, terbang di udara butuh banyak kekuatan fisik. Dan sayang sekali untuk Kutori, rasa dingin yang menusuk kerap menguras tenaga itu. Lebih parahnya, tidak ada bebatuan yang bisa menjadi tempat berlabuh sementara.

Pergi ke pulau terdekat? Kembali ke tempat tadi?

Sepertinya sudah tidak ada lagi yang memungkinkan, dia belum ingin pulang dalam waktu dekat. Maka, kembali ke tempat sebelumnya itu satu-satunya pilihan, tapi, dia enggan juga untuk melakukannya.

Aku harus apa...

Dengan kepala yang dahulu menusuk awan, dia berpikir keras. Hanya satu pilihan yang masuk dalam kepalanya, namun dia memutuskan untuk tidak memilihnya, dia terus memaksa dirinya untuk berpikir.

"...hm?"

Di sudut pandangnya, sebuah bayangan hitam tiba-tiba datang.

--- Lima menit kemudian.

Lantai dua dari kapal patroli Tentara Bersayap, 'Baroque Pot'. Adalah ruangan strategi kecil. Sangat kecil. Tentu, sebagai ruang strategi, pasti butuh luas area yang cukup untuk menampung banyak orang. Dan di dalamnya sekarang, hanya ada dua orang yang sudah termasuk Kutori. Lantas kenapa terasa begitu sempit?

Jawabannya simpel: si orang satunya kebetulan seorang Reptrace raksasa yang tingginya dua kali lipat Kutori. Lebarnya mungkin dua kali lipatnya dia, dan beratnya juga mungkin sampai delapan kalinya. Kutori melihat wajah si Reptrace kala dia mengeringkan muka dengan handuk yang dipinjamnya.

"Saya melihat Anda terbang mendekat, jadi... maaf tiba-tiba merepotkan Anda, Opsir Limeskin."

“Jangan segan begitu. Waktu untuk istirahat akan selalu ada untuk prajurit terhormat," si Reptrace berkata begitu seraya menaruh secangkir teh herbal di atas meja. Bagi Kutori agak lucu melihat Reptrace besar begitu membawa cangkir yang imut.

"Terima kasih."

Kutori menyesap dan sadar kalau minumannya terlampau panas setelah lidahnya terasa terbakar.

Dan sangat-sangat pahit.

"Tapi, aku heran kenapa kau mau terbang di awan musim ini. Apalagi sebelum pertarungan penting."

"Ah..." Dia kehilangan kata-kata, terus bicara pada dirinya sendiri, terus berpikir, hingga kemudian bisa memberikan jawaban. "Mengenai pertarungan itu... apa sudah terlambat untuk saya menyatakan takut mati?"

"Hm?"

Si Reptrace menaikkan satu alis mata -- atau begitulah menurutnya. Tentu, Reptrace tidak punya alis mata, jadi itu hanya perasaan, tapi...

"Willem... si Teknisi Senjata Terkutuk..."

"Hm?"

Kutori sadar. Dia sadar kalau si Teknisi Senjata Terkutuk, Willem Kumesh, yang hidup di gudang peri hanyalah tentara dalam kertas, hanya orang yang bertitel palsu. Namun jika dipikirkan dengan sudut pandang lain, ini berarti ia harus terlihat seperti tentara sewajarnya dengan mengikuti dokumen dari militer. Dan berdasarkan dokumen-dokumen itu, atasan langsungnya adalah si Reptrace raksasa yang sedang berdiri di depan matanya ini, Opsir Limeskin.

"Ada cara bertarung yang berbeda dari yang telah kami lakukan sebagai peri. Saya melihat sedikit demonstrasinya, dan saya bisa mengerti dengan jelas hal itu, meskipun agak sukar. Cara bertarung ini jauh lebih tinggi kesempatan untuk memangnya dan lebih efisien dari yang sebelumnya."

"Hmm?"

Kutori melihat pada cangkir tehnya. "Dan saya tidak mau menerimanya. Saya tidak percaya kalau... 'kakak' saya salah... atau sebenarnya tidak perlu mati. Jadi saya tidak mau dengar kata-katanya. Saya sadar tidak punya waktu lagi, jadi saya ingin membuktikannya di medan tempur. Saya ingin membuktikan kalau 'kakak' saya dan semua yang lain sudah benar. Saya merasa harus melindungi cara mereka bertarung. Tapi..."

"Kau takut?"

Dia enggan untuk mengangguk. Mungkin sudah budaya dari Reptrace atau bagaimana, Limeskin selalu menerima perbincangan untuk menjadi tentara dengan sangat serius. Dia tidak tahu segala detail dan semacamnya, tapi sepertinya dia sudah masuk kriteria untuk menjadi seorang tentara, menurut standar si Reptrace. Kalau Kutori mengangguk di sini, ia pasti akan kehilangan hormatnya pada dia. Ia akan menganggap dia sebagai seseorang yang telah kehilangan keberanian dan membuang haknya untuk mencanangkan titel tentara. Namun pada akhirnya, dia tidak bisa berbohong.

"...ya."

"... Oke." Si Reptrace tiba-tiba saja mengeluarkan suara yang seperti keramik yang di gesekkan dari tenggorokannya, yang mana terdengar jelas dalam ruangan mini ini. "Oke. Sepertinya aku harus meminta maaf pada laki-laki itu. Medan pertarungan kami mungkin berbeda, tapi sudah jelas ia adalah petarung sejati."

Ia tertawa, yang mana Kutori sendiri butuh waktu untuk menjawabnya. "K-kenapa? Yang bertarung di sini kita, kan?"

"Mungkin yang bertarung dengan Makhluk Buas ini kita. Tapi hal yang ia tantang di sini adalah angin yang mengalir pada dirimu."

"... angin?"

"Itu hal yang kau sebut 'tekad', atau bisa dikatakan 'kepasrahanmu'."

Merasakan darah mengalir naik ke kepalanya, Kutori meneguk habis teh herbal itu. Tubuhnya jadi sangat panas sampai serasa terbakar dari dalam. Apa saja yang kamu rebus bersamaan untuk mendapat minuman ini? Kenapa sesosok Reptrace yang tidak bisa mengontrol temperatur tubuhnya membuat hal seperti ini? Sejumlah pertanyaan tak bermakna mengisi kepalanya, tapi dia langsung mengenyahkannya untuk sekarang. Ini waktu yang tidak tepat untuk mengkhawatirkan hal remeh begtu.

"... Jadi begitu." Hatinya sekarang terasa lebih ringan. Atau mungkin ini karena ada lubang pada dirinya, tapi keduanya pun tak jauh berbeda. "Saya tidak pantas untuk jadi tentara... Anda sendiri juga sadar, kan, Opsir? Tapi Anda sangat pandai dalam memuji... hingga saya menganggapnya serius."

"Kau ini bicara apa? Tidak ada orang yang punya harga diri yang bisa berbohong, selayaknya matahari, ia tidak akan tenggelam di Utara."

"Tapi saya akan berhenti sekarang... seperti yang Anda katakan..."

"Pasrah dan tekad pada dasarnya salah hal yang sama. Keduanya berupa titik kata untuk mengorbankan sesuatu yang penting demi mencapai tujuan.

"Bukan tekad... entahlah... mungkin yang lebih penting dari itu?"

"Penting tidaknya semua bergantung pada standar yang kau tetapkan. Kalau kau bertekad untuk menyimpan jauh-jauh hal berharga itu, sudah sewajarnya hal itu berharga luar-dalam. Tentu, pasrah pada taktis yang sama juga bernilai sama."

"Saya tidak mengerti."

"Bingung karena kata-kata indah begitu, tidak pas sekali untuk seorang tentara, kalau boleh kubilang," ucapnya dengan tawa kecil aneh.

"Jadi... sekarang, saya harus bagaimana?"

"Lakukan yang kau mau."

"...Saya bertanya karena tidak tahu. Apa kira-kira tindakan yang benar untuk dilakukan?"

"Tidak ada hal yang benar di medan perang. Itu kenapa seorang pejuang harus bisa menguasai angin ini dengan hatinya. Itu demi mendapatkan petunjuk di jalan yang seharusnya tak ada petunjuk."

"...Opsir."

Ini sudah semakin buruk. Dia semakin sulit untuk memahami kata-katanya lagi. Sampai sesaat yang lalu, dia mungkin tidak memproses percakapannya dengan utuh, tapi dia bisa menerimanya. Sekarang sepertinya si Reptrace semakin terbawa dengan cara bicara yang penuh teka-teki. Kutori merasa ia mungkin akan mengatakan sesuatu yang bijak dan mendalam, tapi tidak bisa membuatnya terbantu karena dia tidak bisa mengerti.

"Kau bilang ingin melindungi kebenaran cara bertarung kakakmu?"

"...ya."

"Kalau begitu, sebelum bertarung kau harus menemukan apa arti kebenaran. Kita tidak tahu mengenai cara bertarung pasukan peri. Di antara sejarah yang telah tertumpuk bertahun-tahun lamanya, atau dari perasaan-perasaan yang sembunyi dalam bayangan. Hanya kau yang memiliki kapasitas untuk menemukan kebenaran itu."

"... tidak bertanggung jawab, bukan?" Dia mencoba untuk memasukkan rasa tidak senang dalam suaranya, tapi...

"Angin ini tidak membawa tanggung jawab." Ia menangkis pernyataannya tadi dengan mimik tanpa peduli (mungkin).

Kutori mendesah. Dia merasa ingin menyerah pada banyak hal sekarang ini.

"Anda mungkin akan marah... tapi saya ingin mengakui sesuatu."

"Apa?"

"Sebenarnya, saya tidak pernah mau menjadi pejuang."

Si Reptrace kembali pada tawanya. "Aku tahu. Makannya kau akan bisa jadi pejuang yang hebat."

... sepertinya mereka tidak satu pikiran. Karena tersinggung, dia meneguk lagi satu cangkir teh herbal pahit.












Bagian 2: Si Orang yang Tak Seharusnya Hidup Halaman Utama Bagian 4: Langit Berbintang di Balik Langit Berbintang