Boku Wa Tomodachi Ga Sukunai:Jilid1 Legenda Momotaro

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Legenda Momotaro [1][edit]

 

Waktu sampai di ruang klub, aku melihat seorang pelayan sedang berdiri di dalam.

“Whoa?!”

Aku terkejut; tanpa kusadari aku memberinya sapaan hampa.

“Anda sudah bekerja keras di sekolah, Aniki.”

......Dia adalah anggota baru klub kami, Yukimura Kusunoki.

Dia mengenakan pinafore[1] yang dilipat, dan rok pendek.

Aku ga kuat menahan diri untuk tidak melirik paha putih di bawah rok itu. Tenangkan dirimu Kodaka Hasegawa! Dia itu cowok......!

......Tapi serius, pakaian itu benar-benar cocok dipakai Yukimura......

“Uwah menjijikan. Barusan Kodaka ngeliatin Yukimura......”

Dari dalam ruang klub, Sena menatapku sambil mengatakan hal tersebut.

Yozora sedang duduk di sofa di seberang Sena.

“......Kenapa Yukimura berpakaian seperti pelayan?”

Akhirnya aku mengingat apa yang ingin kutanyakan sejak tadi.

Boku wa tomodachi ga sukunaiVol1 chp9.jpg

“Ini adalah bagian dari latihan untuk menjadi seorang pria sejati.”

Balas Yozora seakan-akan itu adalah hal yang sudah jelas.

“Berpakaian seperti pelayan adalah latihan?!”

Yukimura membalas.

“Yozora-anego[2] mengatakan bahwa bagi seorang pria sejati, tidak perduli apa yang dia kenakan, kejantanannya tidak akan bisa disembunyikan. Hari dimana saya mengenakan pakaian feminin ini namun kejantanan saya membengkak dan memancar dari jiwa saya, akan menjadi hari dimana saya menjadi pria sejati. Meskipun ini adalah cobaan yang sulit, saya akan melakukan yang terbaik!”

“Jadi ini karanganmu lagi ya......!”

“Kamu bilang ini cuma karangan? Aku serius kok.”

Yozora menampik ucapanku.

“Bagi pria sejati, meski dia berpakaian seperti pelayan, aura kejantanannya akan tetap memancar keluar......Yukimura, bayangkan Kodaka memakai gaun pelayan.”

“Jangan bayangin yang aneh-aneh!!!!!”

Meski mereka kumarahi dengan keras, tapi Yukimura tetap memejamkan matanya dan mulai membayangkan.

“Buhaha, menjijikan, itu menjijikan!”

Sena, yang juga ikut membayangkan diriku memakai gaun pelayan, meledak tertawa.

“Aniki mengenakan gaun pelayan.”

…………..

……

*Bo*

......Kenapa Yukimura malah tersipu-sipu?

Dia membuka matanya.

“Memang benar, bahkan jika Aniki mengenakan gaun pelayan, dia masih terlihat seperti seorang berandalan.”

“Mana mungkin di dunia ini ada berandalan berbusana gaun pelayan?! Dan udah kubilang sebelumnya, aku bukan berandalan! Harus berapa kali kubilang supaya kalian mengerti?!”

Yozora mengabaikan bantahanku.

“Yukimura, akhirnya kamu memahami sulitnya cobaan ini. Kamu harus berjuang untuk bisa mencapai level itu.”

“Baik. Saya akan bekerja keras dengan Aniki sebagai tujuan saya.”

“Dari awal pun kamu ga perlu bekerja keras......”

Kataku lelah sambil duduk di sofa.

Dan kemudian, Yukimura menuangkan segelas kopi untukku.

Tanpa kusadari, hatiku menjadi terasa senang.

“......Asik kan, punya pelayan di ruang klub?”

Yozora, seolah-olah bisa membaca pikiranku, berbisik padaku.

“Yah, ga harus Yukimura juga......Tidak, lupakan.”

Kalau harus memilih antara Yozora, Sena, dan Yukimura untuk menjadi pelayan, ga perduli asumsi apa yang kalian punya, Yukimura tetap menjadi pilihan yang paling tepat.

“Ngomong-ngomong soal pelayan, siapa yang membawa gaun pelayannya?”

“Itu punyaku.”

“Punyamu Yozora......? Jangan bilang kamu suka cosplay?”

“Enggak. Aku membelinya dari ‘Yafoo!Auction’ buat jaga-jaga kalau nanti kubutuhkan.”

“Memangnya kapan kamu bakal butuh gaun pelayan......?”

“Ok, cukup segitu dulu pembahasan soal gaun pelayannya.”

Yozora mengganti topik.

“Tiba-tiba aku jadi ingat bagaimana Daging membacakan sepenggal dialog dari eroge beberapa waktu lalu.”

“*Busu*?!”

Sena menyemburkan kopi yang sedang diminumnya.

“K, kumohon, tolong lupakan soal itu!”

Mengabaikan permohonan tulus dari Sena yang berlinang air mata, Yozora melanjutkan.

 

“Kemampuan ini sangat penting agar bisa mendapat teman- kemampuan berakting!”

 

......Aku punya firasat kalau lagi-lagi dia akan mengatakan hal yang mengerikan.

“Eh, akting?”

“Ya. Kalau kamu pandai berakting, kamu bisa ngobrol dengan riang sama orang yang diam-diam kamu benci. Kita akan terlihat seolah-olah akrab dengan orang itu. Dan kalau nanti kita butuh bantuan darinya, segalanya akan jadi lebih mudah.”

Memang benar-benar mengerikan.

Orang pertama yang menolak omong kosong Yozora, anehnya, adalah Yukimura.

“Tapi Anego, salah satu nilai utama seorang pria sejati adalah selalu jujur pada dirinya sendiri tak perduli apapun yang terjadi. Berakting untuk menyembunyikan dirinya yang sebenarnya bukanlah hal yang akan dilakukan oleh seorang pria sejati.”

“Kamu masih muda, Yukimura.”

“Tolong jelaskan pada saya.”

“Kamu belum pernah mendengar pepatah ini sebelumnya? ‘Untuk memahami sesuatu, seseorang harus terlebih dahulu memahami tindakannya’”

“......Memangnya ada pepatah kaya gitu?”

Tapi Yukimura terlihat seperti mendapat pencerahan dari apa yang Yozora katakan barusan.

“Jadi begitu rupanya. Meski saya masih belum matang, tapi jika saya terus meniru tindakan pria sejati, suatu hari nanti saya pun akan menjadi seorang pria sejati. Anda luar biasa, Anego. Saya paham sepenuhnya sekarang.”

Yukimura terlalu gampang dikelabui.

Lalu bagaimana dengan Sena-

“......Akting......Itu ide yang bagus.”

“Kenapa kamu malah setuju sama dia?”

Aku ga menyangka Sena, yang selalu bertindak seolah-olah dunia berputar dengan dia sebagai pusatnya, akan tertarik untuk berakting agar bisa mendekati orang lain.

“Ketika kamu memerankan sebuah peran, ada kemungkinan kamu akan menemukan potensi tersembunyi dalam dirimu. Dari situ kamu bisa menjadi orang yang lebih hebat lagi. Ini yang pernah dikatakan oleh Midzuki.”

“Midzuki?”

“Udah jelas kan kalau maksudku itu Midzuki dari ‘Tokimeki 7’. Presiden klub drama.”

“Karakter dari game!”

Kataku sambil menatap Sena.

“......Tapi, kalau kupikir-pikir, kalau kita bisa berakting sampai pada level dimana kita bisa dengan tenang mengontrol ekspresi dan tindakan kita, mungkin aja kita bisa mengurangi kesalahpahaman orang lain pada diri kita......”

......terus?

Kelihatannya kami semua tertarik dengan ide Yozora.

“Baiklah kalau begitu. Kita putuskan kegiatan klub untuk hari ini adalah berlatih akting!”

Yozora mengumumkannya dengan bersemangat.

“Untuk berlatih akting......berarti kita harus memerankan drama?”

“Tentu saja.”

“Naskahnya?”

“Sudah kusiapkan. Menurutku akan lebih baik kalau kita mulai dengan cerita yang sudah kita kenal. Makanya aku membawa ini.”

Yozora mengambil beberapa naskah drama dari tasnya dan membagikannya pada kami semua.

“Fu, ternyata kamu sigap juga Yozora.”

Ada ekspresi kekaguman yang jarang terlihat di wajah Sena.

Kulihat judul naskahnya.........’Momotaro’.

“......Memang sih kami semua udah familiar sama cerita ini...”

“Tapi di umur kita yang sekarang, apa kamu ga malu memerankan ‘Momotaro’?”

Protes diriku dan Sena; Yozora dengan tenang menatap kami dan berkata,

“Sebenarnya kalian berdua ga punya hak buat menolak. Tapi kalau kalian memang ga suka, kita masih bisa memerankan drama yang satu lagi.”

“Yang mana?”

“’Bintang Hitam Suci’.”

“A, Aku suka Momotaro! Makna ceritanya benar-benar dalam, sampai-sampai orang dewasa pun bisa menikmati kisah yang mengagumkan ini!”

Kata Sena sambil terpaksa tersenyum.

Yukimura pun menganggukkan kepalanya.

“Pilihan yang bagus, Sena-anego. Saat ini kebanyakan teori mengatakan kalau legenda Momotaro mengambil latar Jepang di jaman dahulu kala, ketika masa peperangan antara Dinasti Yamato dan Kibi no Kuni. Kemungkinan besar karakter Momotaro diilhami dari putra Kaisar Kourei Tennou yang terkenal, Pangeran Hiko Isaserihi Kono Mikoto, yang saat itu aktif di medan perang. Meski tidak ada bukti yang kuat, tapi pada periode Muromachi-”

“Stop, Yukimura! Aku bisa melihat kalau kamu paham betul tentang hal ini.”

Yozora menghentikan Yukimura sebelum dia melanjutkan lebih jauh; Yukimura, yang sedikit terbawa suasana dengan penjelasannya, terlihat agak sedih.

Jangan-jangan Yukimura penggemar sejarah?......

Tiba-tiba saja pertanyaan ini muncul di benakku.

“Hey, tapi kalau kita mau memerankan Momotaro, kita kekurangan orang nih.”

Karakter dalam cerita Momotaro terdiri dari Momotaro sendiri, anjing, monyet, burung pegar, kakek, nenek, raksasa, dan satu karakter yang punya peran penting dalam sebuah drama- narator.

Sudah jelas kalau kami berempat yang hadir disini tidak cukup untuk memerankan semua karakter.

“Tenang. Aku udah memperhitungkan hal ini dan melakukan penyesuaian dengan naskahnya.”

“Eh......Jadi maksudmu, kamu menulis ulang naskahnya?”

“Ya. Ga gampang memang; Tapi aku bangga dengan hasil pekerjaanku ini.”

“Yaah, asalkan kamu ga kelewat menyimpang dari cerita aslinya, aku ga keberatan......”

“Bagus. Ayo kita mulai kalau begitu.”

Mengikuti arahan Yozora, kubuka naskah dramaku.

Di halaman pertama tertera daftar karakter.

 

“Karakter”

-          Momotaro

-          Nenek

-          Raksasa

-          Pohon

 

“Karakternya sedikit banget?!”

“Ini gara-gara jumlah aktor yang kita punya terbatas.”

“Terus ‘Pohon’ ini maksudnya apa?!”

“Aku membuang terlalu banyak karakter, jadinya kutambahin satu.”

“Drama ini ga butuh karakter pohon!”

“Oke, sekarang kita tentuin pemerannya.”

Yozora melanjutkan tanpa menggubris komplain dariku.

“Supaya adil, kita pakai undian.”

Yozora mengambil selembar kertas dan membuat kertas undian sederhana.

Kami semua masing-masing mengambil satu untuk menentukan peran kami.

 

“Karakter”

-          Momotaro = Sena Kashiwazaki

-          Nenek = Yukimura Kusunoki

-          Raksasa = Yozora Mikadzuki

-          Pohon = Kodaka Hasegawa

 

“Dari awal perasaanku memang udah ga enak; Aku yang jadi pohon......”

“Fu fu, Aku yang jadi karakter utama. Ga heran sih. Dan kurasa peran raksasa memang cocok banget diperankan Yozora. Biar kuhajar kamu nanti!”

Sena tertawa puas.

“Fu, tertawalah selagi masih bisa Daging.”

Yozora membalas kesal.

“Ayo cepetan dimulai kalo gitu. Aku yakin semuanya udah familiar sama ceritanya, jadi ga perlu ada pengenalan cerita lagi.”

Kami menggeser sofa dan meja ke sudut ruangan. Bagian tengah ruangan berubah menjadi panggung kosong, dan drama pun dimulai.

“Kodaka, kamu kan pohon, jadi kamu berdiri di sana dari awal sampai akhir.”

Sena menyuruhku berdiri dekat dinding.

“…………”

Ingin rasanya aku mengatakan sesuatu, tapi aku memilih untuk menahan diri dan melihat naskah drama ku.

Baris pertama adalah dialog Momotaro.

“......Kok aku yang pertama kali ngomong?”

Tanya Sena keheranan. Meski begitu, dia tetap mengikuti arahan naskahnya, berdiri di tengah panggung, dan membacakan dialog miliknya.

“Co, coba kita lihat......Pada suatu ketika, ada seorang nenek yang hidup sendirian. Suatu hari ketika dia sedang mencuci pakaian di sungai, tiba-tiba dari hulu sungai turunlah buah persik sebesar keranjang nasi. Sang nenek membawa persik itu pulang, memotongnya, dan dari dalam persik itu keluarlah diriku.”

“Ini sudut pandang orang pertama dari Momotaro!”

“Ini kan sama aja kaya novel-novel yang menggunakan sudut pandang orang pertama, dengan karakter utama yang melakukan narasinya. Dengan begini jumlah aktor yang kita butuhkan berkurang satu. Ideku hebat kan.”

Yozora mengatakannya dengan bangga.

“Tidak, tunggu sebentar. Kalau kamu ngebuang naratornya, terus ngapain kamu nambahin ‘Pohon’......Bukannya lebih baik kalau aku dijadikan narator?!”

Setelah mendengar keluhanku, Yozora menempelkan tangan ke mulutnya dan menatapku.

“......Apa? Itu ga terpikir olehmu?”

Dan kemudian dengan kesal Yozora membalas,

“...Kalau kita membiarkan pohon-nya bicara terus, lama-lama keseimbangan dunia bisa hancur. Lanjut.”

Dia sama sekali tidak menghiraukanku.

“Karena aku lahir dari dalam buah persik, aku diberi nama ‘Momotaro’. Aku hidup bersama dengan sang nenek dan tumbuh dewasa. Dan akhirnya, hari itupun tiba.”

“Momotaro, di pulau ada raksasa yang melakukan tindak kejahatan. Menakutkan sekali.”

Yukimura, berperan sebagai nenek, berjalan masuk ke panggung. Seakan-akan sama sekali tidak punya niat untuk berakting, dengan kaku dia membacakan dialognya.

Meski begitu si nenek berpakaian gaun pelayan......

“Fu, ga perduli itu Yozora atau makhluk lainnya, akan kuhabisi semuanya!”

Akhirnya Momotaro membacakan dialog pertamanya (sebelumnya hanya narasi). Meskipun Sena membacakan dialognya dengan penuh perasaan, dia tidak terlihat ingin benar-benar mengikuti arahan naskah.

“Baiklah kalau begitu. Semoga beruntung.”

......Dan itulah akhir dari peran si nenek. Dia bahkan belum memberikan kibidango[3]-nya ke Momotaro......

Dengan goyah Yukimura berjalan ke arahku.

“Bagaimana pendapat anda tentang akting saya, Aniki?”

“.........”

Aku ga tahu mesti ngomong apa, jadi aku memilih diam.

“Luar biasa, Aniki! Anda sudah menjadi satu dengan karakter Pohon. Saya masih harus belajar banyak.”

Dia menatapku kagum dan berjalan keluar dari panggung.

Sena kembali ke tengah panggung dan membacakan dialognya.

“Setelah pamit dengan nenek, aku pergi meninggalkan desa dan memulai perjalanan menuju Pulau Raksasa. Dalam perjalanan, aku melihat ada anjing, monyet, dan burung pegar yang sudah mati. Tapi aku tidak memperdulikannya dan mempercepat langkahku.”

“Apa-apaan nih?!”

“Anjing, monyet dan burung pegar adalah apa yang muncul di benak orang ketika mereka mendengar nama ‘Momotaro’. Aku ga bisa begitu aja membuang mereka dari cerita ini. Ini yang disebut sebagai bentuk penghormatan kepada cerita aslinya.”

Yozora menjelaskan dengan sungguh-sungguh.

......Memunculkan mereka sebagai mayat- ‘penghormatan kepada cerita asli’ macam apa ini?

“Banyak hal yang terjadi, dan akhirnya aku tiba di Pulau Raksasa. Semua raksasa di pulau ini datang menyerangku, tapi aku membantai mereka semua tanpa kesulitan. Dan akhirnya, aku berhasil mencapai bagian terdalam dari istana raja raksasa.”

......Cepet amat......

“Akhirnya, aku berdiri di hadapan raja raksasa.”

Pada momen ini, Yozora berjalan masuk ke panggung.

“Akhirnya kamu muncul juga Yozora! Bersiaplah! Kalau aku membunuhmu, semua harta di pulau ini akan jadi milikku!”

Teriak Momotaro yang benar-benar terlihat seperti tokoh antagonis. Yozora menatap balik Sena dengan enggan.

Dan kemudian Yozora memulai akting nya yang emosional dan natural,

“Mengapa? Bagaimana bisa kamu melakukan tindakan kejam dan tidak manusiawi ini dengan sangat tenang? Kami, yang dibuang oleh Dinasti Yamato, adalah yang terakhir dari ras kami. Bukan hanya kalian manusia membuang kami ke tempat ini, tapi sekarang kalian pun ingin mengambil nyawa kami juga...! Dengan semua kekejaman ini, justru kalianlah raksasa yang sebenarnya. ”

Dialog si bos Raksasa......keren banget!

“Eh......Kok jadi begini ceritanya......”

Sena dengan ragu melanjutkan perannya.

“Di, Diam! Bukannya kamu juga membunuh warga yang tidak bersalah?!”

“Omong kosong! Warga yang kamu sebut barusan adalah prajurit yang dikirim untuk menjarah emas yang susah payah dikumpulkan leluhur kami! Yang kami inginkan hanyalah hidup dalam kedamaian!”

“Eh, beneran? Tidak, diam! Keberadaan raksasa itu sendiri sudah merupakan sebuah dosa! Aku, Momotaro akan mengayunkan pedang keadilan dan menaklukkan kalian para raksasa jahat! Kita akan lihat kepada siapa sebenarnya keadilan akan berpihak!”

“Dengan kejam kalian hidup di bumi hijau ini......dan kalian mengklaim kalau keadilan ada di pihak kalian! Apa tidak ada keadilan di dunia ini? Kalau begitu biarlah aku menjadi si iblis, dan aku akan memusnahkan semua mahkluk yang hidup! Majulah, wahai kau anjing dinasti. Namaku adalah Kokuten no Mikoto, kaisar Kibi no Kuni yang terakhir, akulah yang akan membawa kehancuran ke dunia ini!”

“Yozora tunggu sebentar! Dilihat dari sisi manapun, justru raksasanya yang baik! Dan lagi, nama raksasanya ga pernah disebut di dalam naskah!”

Sena akhirnya meledak marah; Yozora tertawa dan berkata,

“Waktu menulis naskahnya, kupikir ga ada serunya kalau aku menulis cerita sederhana dimana yang baik menang dan yang nakal kalah; Akhirnya kubuat beberapa perubahan. Kalau untuk namanya, baru aja kepikiran tadi.”

“Itu ga adil. Cuma kamu yang kebagian dialog-dialog keren. Kan aku yang jadi Momotaro?!”

“Mananya yang ga adil?......Di dunia ini ga ada batasan jelas antara baik dan jahat. Sejarah hanyalah alat bagi sang pemenang. Dengan kata lain, hanya pemenang dalam pertarungan ini lah yang bisa mengatakan kalau dirinya bertarung demi keadilan!”

Sambil mengatakan hal itu, tiba-tiba saja sebuah atlas yang digulung muncul di tangan Yozora. Dia memukulkannya ke kepala Sena.

Kulihat naskahku. Di halaman terakhir ditulis ‘Dan kemudian, Momotaro dan Raksasa memulai duel mereka. Yang bisa membuat lawannya menangis terlebih dulu dialah pemenangnya, dan itu menandakan dialah protagonisnya.’ Cuma itu yang tertulis.

Terus gimana dengan latihan aktingnya?

“Ow! Tunggu, ini ga adil, cuma kamu yang punya senjata!”

Melihat Sena yang memprotes dengan berlinang air mata, Yozora memukulnya lagi.

“Keberatan ditolak! Aku akan membalas saudara-saudaraku yang sudah kamu bunuh!”

BokaBokaBokaBokaBoka!

“Aah, cukup!”

Sena menggulung naskah drama nya dan melawan balik. Namun kekuatan naskah yang cuma di-staples tidak sebanding dengan buku atlas yang berat. Naskahnya hancur seketika.

“Tunggu, ow, sakit! Uuh! Aan! Uuuu...Idiot--!”

Akhirnya Sena berhasil kabur dari panggung.

Dengan santai Yozora berdiri di tengah panggung; senyum jahat terlihat di wajahnya.

“......Tunggu saja, manusia...... Aku telah mengakhiri hidup Momotaro; selanjutnya adalah giliran dunia kalian!...... Fufufufufufufu…. Buhahahahahahahhaahaha………!............ Tamat!”

Yozora kembali ke nada bicaranya yang biasa dan berkata,

“Jadi, apa pendapat kalian tentang drama yang melelahkan ini......”

Aku membalas,

“Tidak buruk. Toh kita ga menampilkannya di depan umum.”

Dengan tenang Yozora berkata,

“Tapi drama ini asik juga. Kita harus membuatnya menjadi kegiatan rutin Klub Tetangga!”

Cuma Yozora sendiri yang menyeka keringat di dahinya dengan perasaan puas; di saat yang sama ekspresi dongkol muncul di wajahku dan Sena.


Translation Notes[edit]

  1. Pakaian tak berlengan sejenis apron/celemek. Lebih detailnya bisa dilihat di Google.
  2. Mirip dengan Aniki, tapi untuk perempuan.
  3. Dango yang dibuat dari tepung millet.


Mundur ke Untuk Kesedihan yang Ternodai Kembali ke Halaman Utama Maju ke Samurai Berandalan Kembali ke Sekolah Ibunya