Date A Live (Indonesia):Jilid 1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
The printable version is no longer supported and may have rendering errors. Please update your browser bookmarks and please use the default browser print function instead.
DAL v01 cover.jpg



DAL v01 000b.jpg

DAL ID v01 000c2.jpg

DAL ID v01 000d.jpg

DAL ID v01 000e.jpg

DAL ID v01 000h.jpg

DAL ID v01 contents.jpg



Date A Live Tohka Dead End



DAL v01 000g.jpg

Prolog: Perjumpaan Tak Terduga -restart-

—Ia menahan nafas.

Benar-benar pemandangan yang sulit dipercaya.

Seakan-akan satu bagian dari kota ini baru saja lenyap ditelan.

Yang menggantikannya adalah sebuah lubang yang luar biasa besar, mungkin meteorit jatuh saja tidak dapat membuatnya.

Sosok sekelompok manusia beterbangan di langit.

Benar-benar tidak masuk akal, bahkan melebihi imajinasi terliarnya.

Namun, Shidou bahkan tidak menyadari semua keabnormalan ini.

—Karena ada sesuatu yang lebih luar biasa lagi di hadapan mata Shidou.


Seorang gadis.

Sesosok gadis, berbalut gaun yang dilingkupi cahaya asing, berdiri disana.

"Ah—"

Diiringi suara pelannya, desah nafasnya perlahan menghilang.

Keberadaan gadis itu begitu menakjubkan sampai-sampai membenamkan keberadaan benda lain disekitarnya.

Seperti logam, tapi juga seperti kain, gaun yang terbuat dari bahan aneh yang menarik mata.

Tersemat pada gaun tersebut, rok yang memancarkan cahaya, saking indahnya dapat membuat orang kehilangan kesadaran.

Akan tetapi, kecantikan gadis itu sendiri membayangi itu semua.

Rambut panjangnya yang berwarna gelap, bagaikan kobaran awan hitam, terpilin di sekitar bahu dan pinggangnya.

Dengan dinginnya menatap angkasa, kedua matanya memiliki warna yang aneh dan sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Sosoknya, yang mungkin saja bisa membuat iri seorang Dewi, terbelit keletihan, tatkala dia diam berdiri dengan bibir terkatup.

Pandangan sang pemuda;

Perhatiannya;

Bahkan hatinya;

—Pada momen itu, semuanya terambil alih.

Pemandangan itu...

Benar-benar;

Sangat;

Luar biasa indah.


"—Siapa..."

Terkesima, Shidou berbicara untuk pertama kalinya.

Meski kelancanganku ini akan membuat suara dan mataku hancur, itu pikirnya.

Gadis itu perlahan mengalihkan pandangannya turun.

"... namamu?"

Suaranya, memuat pertanyaan tersebut dari lubuk hatinya, berkumandang.

Namun.

"—Aku tidak punya hal semacam itu"

Dengan tatapan sedih, gadis itu menjawab.

“——”

Pada saat itu.

Mata mereka berdua bertemu—kisah Itsuka Shidou[1], dimulai.




Bab 1: Gadis Tanpa Nama

Bagian 1

“Ahhh...”

Perasaan saat bangun tidur memang benar-benar yang terburuk.

Lagipula, ketika kau terbangun dan menemukan adikmu sedang semangat menari samba sambil menginjak-injak perut atau dada atau kepalamu, selain sekelompok orang-orang tertentu, siapapun tidak akan menyenanginya.

10 April, Senin.

Kemarin adalah hari terakhir libur musim semi, jadi hari ini masuk sekolah.

Sambil mengusap matanya yang masih mengantuk, Shidou berkata dengan suara yang direndah-rendahkan:

“Ahh, Kotori. Imouto[2]-ku yang lucu.”

"Ohhhhh!?"

Saat itulah dia akhirnya menyadari kalau Shidou sudah terbangun. Sang imouto dengan kaki yang masih menginjak perut Shidou—Kotori, membalikkan kepala sambil merapikan seragam SMP-nya.

Rambut panjangnya, terbagi menjadi dua ikatan, berayun-ayun, selagi dia memandang Shidou lewat mata bundarnya yang sebesar biji ek.

Anehnya, meskipun dia baru saja tertangkap basah menginjak seseorang di pagi-pagi buta, ia tidak membalas dengan “Sial!” atau “Ah ketahuan!”. Malah kelihatannya, dia terang-terangan terlihat gembira karena Shidou telah bangun.

DAL v01 009.jpg

Oh, dan dari posisi Shidou, celana dalamnya terlihat dengan memukau.

Dan itu bukan hanya terlihat sekilas saja. Tidak tahu malu juga ada batasnya.

“Ada apa? Onii-chan[3] yang lucu!”

Kotori menjawab, tanpa sedikitpun niat untuk memindahkan kakinya.

Kalau kau penasaran, sebenarnya Shidou tidak lucu.

“Eh, pergi dari atasku. Berat.”

Kotori mengangguk dalam-dalam dan melompat dari tempat tidur.

Perut Shidou terkena hantaman seperti terpukul benturan tubuh.

“Gfhu!”

“Ahahaha, gouf! Itu kan Mobile Suit tipe darat[4]. Ahahahaha!”

“...”

Shidou sambil terdiam menarik selimut ke atas kepalanya.

“Ahh! Hei~! Kenapa tidur lagi!?”

Kotori mengeraskan suaranya, pelan-pelan menggeser-geser tubuh Shidou.

“Sepuluh menit lagi...”

“Gaak boleeh~! Cepat bangun!”

Setelah duduk dan meringis karena rasa pusing setelah menggelengkan kepalanya, Shidou membuka mulutnya sambil mengerang.

“C-Cepat Lari...”

“Eh?”

“... sebenarnya, aku sudah terjangkit ‘Virus kalau aku tidak tidur selama 10 menit lagi aku akan menggelitiki imouto-ku tanpa ampun’, nama lainnya. T-virus..."

“A-Apa!?”

Kotori sama terkejutnya dengan orang yang baru saja menemukan pesan rahasia dari alien.

“Lari... selagi aku masih bisa mengendalikan diri...”

“T-Tapi, bagaimana dengan onii-chan!?”

“Jangan khawatirkan aku... selagi kau aman-aman saja...”

“Gak mungkin! Onii-chan!”

“Gaaaahh!”

“Kyaaaaaaaaaaa!”

Shidou menyibak selimutnya, dengan liar menggerakan kedua tangannya dan meraung, membuat Kotori kabur sambil berteriak ketakutan.

“... hah”

Sambil menghela nafas, ia menyelimuti dirinya lagi. Ia melihat jam, masih belum pukul enam.

“Masih jam segini sudah membangunkan...”

Saat menggerutu, ia tiba-tiba mengingat sesuatu.

Pikirannya yang setengah tertidur perlahan-lahan tersadarkan, muncul ingatan dari malam sebelumnya.

Kedua orangtuanya telah berangkat melakukan perjalanan untuk keperluan bisnis kemarin.

Karena itulah Shidou untuk sementara bertanggung jawab atas urusan dapur, maka dari itu Shidou, yang susah bangun tidur, meminta Kotori untuk membangunkannya.

“Ah...”

Ia merasa bersalah, seakan sudah melakukan sesuatu yang jahat, ia terburu-buru bangkit dari tempat tidur.

Merapikan rambutnya yang acak-acakan dan menahan kantuk, Shidou dengan lesu berjalan keluar dari ruangan.

Pada saat itu, cermin kecil yang tergantung di dinding menarik perhatiannya.

Seorang anak lelaki dengan poni yang hampir menutupi pandangannya, mungkin karena ia sudah cukup lama tidak potong rambut, menjatuhkan pandangan bodoh pada Shidou.

“...”

Berbarengan dengan penglihatannya yang semakin kabur, wajahnya juga terlihat sedikit menua. Sambil mengeluh, ia menuruni tangga dan memasuki ruang tamu.

“... huh?”

Pemandangan yang sedikit lain dari biasanya menyambutnya.

Meja kayu yang ada di tengah ruang tamu sekarang dimiringkan ke samping, seperti menjadi barikade. Di baliknya, terlihat kepala dengan twin-tail yang sedikit gemetaran.

"..."

Melangkah diam-diam, Shidou mendekati sisi meja.

Pastinya, Kotori sedang duduk di situ memeluk lututnya dan gemetar ketakutan.

"Graaaaahh!"

"Kyaa! Kyaaaaaaa!"

Saat Shidou memegangi bahunya, Kotori meneriakkan pekikan putus-asa bersamaan dengan melemasnya kaki-tangannya.

“Tenang, tenang! Ini diriku yang biasa.”

"Gyaaaa! Gyaa... ah? O-onii-chan?"

"Yap, yap."

"Kamu... Gak seram lagi?"

“Udah gak apa-apa sekarang. Aku, teman Kotori.”

“Oh, ohhhhhh.”

Setelah Shidou berbicara dengan nada lucu, wajah tegang Kotori perlahan-lahan rileks.

Bagaikan tupai rubah liar yang telah membuka hatinya.

"Maaf, maaf. Aku akan membuat sarapan sekarang."

Setelah melepas tangan Kotori dan berdiri, Shidou menaruh meja kembali ke posisi asalnya dan pergi menuju dapur.

Karena bekerja di perusahaan elektronik besar yang mereka bangun bersama, kedua orang tua Shidou sering bepergian dari rumah.

Pada saat-saat itulah, Shidou selalu bertanggung jawab untuk menyiapkan makanan, jadi ia sudah terbiasa. Malah kenyataannya, ia yakin ia dapat menggunakan peralatan memasak lebih baik dari ibunya.

Ketika Shidou sedang mengambil beberapa telur dari kulkas, ia mendengar suara TV dari belakang. Sepertinya Kotori sudah menenangkan diri dan menyalakan TV.

Kalau dipikir-pikir, sepertinya Kotori punya kebiasaan harian, makan sambil menonton pojok horoskop atau ramalan.

Yah, kebanyakan acara ramalan biasanya muncul di akhir acara utama, dan tentu saja hanya spekulasi belaka. Setelah memeriksa seluruh channel, Kotori mulai menonton sesuatu yang sepertinya sebuah acara berita yang membosankan.

「—Pagi hari ini, di pinggiran Kota Tenguu—」

"Nn?"

Tidak sengaja ia mendengar isi acara berita yang biasanya tak berguna dan sekadar BGM[5] saja, Shidou mengangkat sebelah alis.

Alasannya sederhana. Dari suara jernih sang penyiar, ia mendengar nama jalan yang tidak asing.

"Nnn? Tempat itu lumayan dekat. Ada kejadian apa?"

Mencondongkan badan dari balik counter, ia menyipitkan mata dan menatap TV.

Di layar, tampil gambar jalan yang hancur bukan main.

Gedung-gedung dan jalanan telah kandas menjadi puing-puing.

Kehancuran itu menyaingi benturan sebuah meteorit, atau bahkan serangan udara.

Shidou mengernyitkan alisnya, dan melepas nafas yang ditahannya lalu berkata:

“Ahhhh... Spacequake ya.”

Seakan sudah jemu mendengarnya, ia menggelengkan kepala.

‘Gempa ruang’ mengacu pada fenomena berguncangnya sebuah daerah luas.

Itu adalah istilah umum yang diberikan pada letusan, gempa, kelenyapan, dan hal lainnya yang terjadi tanpa alasan jelas pada waktu dan tempat yang tidak pasti.

Seperti halnya monster raksasa, menghancurkan jalanan untuk alasan yang tidak jelas, fenomena-fenomena yang tidak masuk akal.

Peristiwa pertamanya terjadi sekitar tiga puluh tahun lalu.

Terjadi tepat di tengah-tengah Eurasia—daerah yang memuat banyak negara seperti Uni Soviet, Cina, dan Mongolia terhapus dalam satu malam.

Bagi generasi Shidou, hanya melihat gambar-gambar di textbook saja sudah merasa risih.

Seakan-akan semua yang ada di permukaan tanah dikorek lepas, tanpa meninggalkan sisa apapun.

Korban jiwa tercatat sekitar 150 juta orang. Itu adalah bencana terbesar dan paling mematikan dalam sejarah manusia.

Dalam 6 bulan berikutnya, insiden-insiden serupa terjadi dengan skala yang lebih kecil di seluruh penjuru dunia.

Shidou tidak dapat mengingat jumlah kejadian pastinya, tapi sekitar lima puluh kali.

Di pedaratan, kutub, samudera, bahkan di pulau-pulau kecil, kasus-kasus seperti itu sudah dikonfirmasi.

Tentu saja, Jepang bukan pengecualian.

Enam bulan setelah Bencana Langit Eurasia itu, daerah dari Tokyo bagian Selatan sampai Perfektur Kanagawa telah berubah menjadi lingkaran daratan hangus, seolah dihilangkan dengan sebuah penghapus.

Benar—termasuk daerah yang Shidou tinggali sekarang.

“Tapi dulu sempat berhenti terjadi untuk sementara, kan? Kenapa jumlah kejadiannya bertambah lagi?”

“Akupun mau tahu...”

Pada pertanyaan Shidou, Kotori, masih menatap TV, memiringkan kepala.

Setelah kejadian di Kanto Selatan sebelumnya, spacequake sempat tidak terdeteksi untuk sementara.

Akan tetapi, lima tahun lalu, dimulai dari pinggiran Kota Tenguu yang baru dibangun ulang, fenomena misterius ini kembali bermunculan di sana-sini.

Tambah lagi, kebanyakannya terjadi—di Jepang.

Tentu saja manusia tidak duduk diam saja tanpa melakukan apapun selama selang dua puluh lima tahun itu.

Dimulai tiga puluh tahun lalu dari daerah-daerah yang telah selesai dibangun ulang, shelter[6] bawah tanah telah tersebar dengan laju yang luar biasa cepat.

Bersamaan dengan adanya kemampuan untuk mengamati pertanda akan terjadinya spacequake, sebuah tim penanggulangan bencana dari Pasukan Bela Diri[7] yang berlisensi telah terbentuk.

Tujuan mereka adalah untuk bepergian ke daerah-daerah bencana dan membangun kembali fasilitas dan jalan-jalan yang hancur, tapi cara kerja mereka hanya dapat dijelaskan sebagai sihir.

Bagaimanapun juga, jalan-jalan yang hancur lebur, dalam jangka waktu yang sangat singkat, dapat dipulihkan seperti keadaannya semula.

Pekerjaan mereka digolongkan sebagai Top Secret sehingga tidak ada informasi yang disebarkan ke publik, namun ketika kau melihat gedung runtuh dibetulkan hanya dalam satu malam, mau tak mau kau akan merasa seperti baru melihat trik sulap.

Akan tetapi, biarpun perbaikan tersebut dapat terselesaikan dengan sangat cepat, bukan berarti bahaya yang ditimbulkan spacequake itu kecil.

“Bukankah kelihatannya di daerah sekitar sini banyak terjadi spacequake? Terutama tahun lalu.”

“... hmm, kelihatannya begitu, huh. Mungkin sedikit terlalu cepat...”

Kotori bergumam, sambil menyandarkan tubuhnya ke lengan sofa.

“Terlalu cepat? Apa yang terlalu cepat?”

“Nnn..., gak kenaha-aha.”

Kali ini Shidou-lah yang memiringkan kepalanya.

Bukan karena apa yang Kotori katakan, namun karena setengah kalimatnya terdengar sedikit tidak jelas.

“...”

Diam-diam, ia memutari counter, dan berjalan menuju sisi sofa yang disandari Kotori.

Mungkin Kotori telah menyadarinya, selagi Shidou mendekat, dia perlahan-lahan memalingkan wajahnya.

“Kotori, coba lihat ke arah sini sebentar.”

“...”

“*Tei!*”[8]

"Guhh!"

Kotori memegangi kepala dengan tangannya, dan berbalik tersentak. Suara yang aneh terdengar dari dalam mulutnya.

Melihat apa yang ada di dalam mulutnya seperti yang ia kira, Shidou mengeluh pendek, “Sudah kuduga”.

Meskipun saat itu tepat sebelum sarapan, Kotori sudah menikmati permen favoritnya, Chupa Chups, di mulutnya.

“Hey! Aku sudah bilang kan jangan buka permen sebelum makan?”

"NNNnnn! NNNnnnnn!"

Ia berusaha merebut permennya dengan menarik stiknya, ia lihat Kotori mencoba melawan sambil memasang muka masam.

Wajah Shidou menegang sambil melihat-lihat tempat yang harus ia pukul, karena ia sebenarnya benar-benar tidak ingin memukul orang dengan wajah semanis itu.

“... benar-benar deh. Sebaiknya kau habiskan sarapanmu!”

Pada akhirnya Shidou-lah yang mengalah. Ia mengelus kepala Kotori, dan kembali ke dapur.

“Ohh! Aku sayang Onii-chan!”

Shidou membalasnya dengan ayunan tangan dan kembali pada pekerjaannya.

“... kalau dipikir-pikir, hari ini upacara pembukaan SMP-mu, kan?”

“Yap betul~”

“Berarti kau pulang saat makan siang, ya... Kotori, kau minta apa untuk makan siang?”

Setelah Kotori berpikir sejenak “Hmmmm”, ia menggelengkan kepala, lalu tiba-tiba berdiri.

"Deluxe Kids Plate!"

Itu adalah nama menu makan siang untuk anak-anak yang ditawarkan di restoran keluarga dekat situ.

Shidou menegakkan badan, dan setelah itu, menunduk menyesal.

“Toko ini tidak menyediakan itu.”

"Ehh~"

Sambil menghisap lolipop, Kotori menyahut dengan suara kecewa.

Shidou mengeluh keras-keras lalu mengangkat bahunya.

“Ya sudah lah, kesempatan ini cuma sekali-kali saja jadi ayo kita makan siang di luar.”

“OHHHH! Benarkah!?”

“Ya. Kalau begitu, kita bertemu di restoran keluarga yang biasa sepulang sekolah.”

Shidou berkata, dan Kotori mengusap-usap kedua tangannya dengan bersemangat.

“Jangan menarik kata-katamu! Janji! Kamu harus ada disana meskipun ada gempa bumi atau kebakaran atau terjadi spacequake atau bahkan kalau restoran itu diduduki teroris!”

“Tidak. Kalau ada teroris di sana kita tidak bisa makan.”

“Kamu harus ada di sana!”

“Iya, iya, aku tahu.”

Mendengar Shidou mengatakan hal itu, Kotori dengan bersemangat mengangkat kedua tangannya ke atas sambil berteriak “Whoooo~”

Shidou bahkan tidak pikir-pikir lagi apakah ia terlalu royal atau tidak. Yah, untuk hari ini saja.

Dari malam ini kedepannya mereka harus menyantap makanan di rumah untuk sementara, tapi hari ini adalah perayaan pembuka untuk mereka berdua. Berfoya-foya sedikit seharusnya tidak masalah.

Yah, lagipula menu lunch anak-anak seharga 780 yen tidak bisa dibilang foya-foya juga.

"Nnnnn..."

Shidou sedikit meregangkan badannya, dan membuka jendela kecil di dapur.

Langit sudah cerah. Sepertinya hari ini akan jadi hari yang menyenangkan.

Bagian 2

Sekitar jam 8.15 pagi, Shidou sampai di gedung SMA-nya.

Setelah memeriksa daftar kelas yang ditempel di koridor, ia memasuki ruangan kelas di mana ia akan menghabiskan satu tahun berikutnya.

“Kelas 2-4, huh?”

Semenjak spacequake tiga puluh tahun lalu, daerah dari Selatan Tokyo sampai Prefektur Kanagawa—dengan kata lain, lahan kosong yang tercipta dari spacequake tersebut, telah dibangun ulang sebagai kota percobaan menggunakan berbagai metode baru.

Sekolah negeri di mana Shidou terdaftar, Raizen High School, adalah salah satu contohnya.

Dilengkapi dengan fasilitas yang dapat dibanggakan, sulit dipercaya bahwa sekolah negeri ini baru saja dibangun beberapa tahun lalu, maka kondisinya sendiri masih hampir sempurna. Tentu saja, sebagai sekolah yang dibangun di daerah bekas bencana, sekolah ini dilengkapi dengan shelter bawah tanah tipe terbaru.

Karena alasan-alasan inilah maka jumlah pendaftarnya cukup tinggi, bagi Shidou, yang mendaftar hanya dengan alasan “dekat dengan rumah”, ia perlu berusaha cukup keras.

"Mmmm...."

Sambil bergumam kecil, ia memeriksa keadaan kelas.

Masih ada sedikit waktu sebelum homeroom, tapi sudah ada banyak orang yang berkumpul.

Ada orang-orang yang gembira karena berada di kelas yang sama, ada yang duduk sendirian dan terlihat bosan, dan orang-orang dengan berbagai reaksi lainnya... tapi kelihatannya tidak ada wajah yang Shidou kenal.

Selagi Shidou menggerakan kepalanya untuk memeriksa bagan tempat duduk yang tergambar di papan tulis,

"—Itsuka Shidou."

Tiba-tiba, dari belakangnya, suara yang pelan berbicara dengan nada monoton.

"Huh...?"

Ia tidak mengenali suara itu. Penasaran, iapun berbalik.

Seorang gadis yang ramping berdiri di sana.

Gadis itu memiliki rambut yang pas mencapai bahu serta wajah seperti boneka.

Mungkin tidak ada orang yang lebih cocok dengan deskripsi ‘seperti boneka’ selain dirinya.

Meski dia terlihat berwibawa layaknya makhluk buatan yang dibuat sedemikian tepatnya, pada saat yang sama, wajahnya tidak menunjukkan emosi apapun.

“Eh...?”

Shidou melirik-lirik ke sekelilingnya, lalu memiringkan kepalanya.

“... aku?”

Ia tidak menemukan Itsuka Shidou lain di sekitarnya, jadi ia menunjuk dirinya sendiri.

“Ya.”

Tanpa ada emosi tertentu, gadis itu langsung menjawab, sedikit mengangguk ke arah Shidou.

“Ke, kenapa kau tahu namaku...?”

Shidou bertanya, dan gadis tersebut, seraya bingung, memiringkan kepalanya.

“Kamu tidak ingat?”

"... um."[9]

"Oh."

Shidou dengan ragu-ragu menjawab, dan gadis tersebut, kelihatannya sangat kecewa, memberikan komentar pendek dan berjalan ke arah bangku di dekat jendela.

Setelah itu, dia duduk di bangku tersebut, mengambil sesuatu yang terlihat seperti buku petunjuk teknis yang tebal, dan mulai membaca.

“Sebenarnya... apa yang terjadi?”

Shidou menggaruk wajahnya dan memberengut.

Bagaimanapun kelihatannya, sepertinya dia mengenal Shidou, tapi apa mereka pernah bertemu di suatu tempat sebelumnya?

”*Tou!*”

"Gefhuu!"

Ketika Shidou sedang tenggelam dalam pikirannya, ada yang menepuknya dengan keras di punggungnya.

“Apa yang kau lakukan, Tonomachi!?”

Ia langsung tahu siapa pelakunya, dan berteriak sambil mengelus punggungnya.

“Hey, kau kelihatannya cukup bersemangat, sexual beast Itsuka.”

Teman Shidou, Tonomachi Hiroto, sebelum menunjukkan rasa senangnya karena berada di kelas yang sama, seakan memamerkan rambutnya yang dicat dan tubuhnya yang berotot, melipat tangan dan sedikit menekukkan tubuhnya ke belakang sambil tertawa.

"... Sex... Apa kau bilang?"

Sexual beast, dasar jahanam. Aku baru sebentar tidak berjumpa denganmu dan kau sudah cukup jantan rupanya. Sejak kapan kau jadi dekat dengan Tobiichi, bagaimana caranya huh?”

Sambil melilitkan lengannya ke sekitar leher Shidou dengan menyeringai, Tonomachi bertanya.

“Tobiichi...? Siapa itu?”

“Ayolah, jangan berlagak bodoh. Baru saja kalian asyik berbincang-bincang, iya kan?”

Tonomachi mengarahkan dagunya ke bangku di dekat jendela.

Disana, duduk gadis tadi.

Sepertinya dia menyadari tatapan mereka, gadis itu melirik dari balik buku, melihat ke arah mereka.

"..."

Nafas Shidou tertahan di lehernya selagi ia dengan canggung memalingkan matanya.

Sebaliknya, Tonomachi tersenyum dan melambaikan tangan dengan sok kenal.

“...”

Gadis itu, tanpa menunjukkan reaksi tertentu, mengarahkan pandangannya kembali ke buku di tangannya.

“Nah, lihat, dia selalu seperti itu. Dari semua gadis, dia yang paling susah, dia sebanding dengan dinginnya tanah di kutub, atau Perang Dingin atau Mahyadedosu[10]. Bagaimana kau bisa membuat dia terbuka?”

“Huh...? Ap-Apa yang kau bicarakan?”

“Hah, kau benar-benar tidak tahu?”

“... hmm, apa dia benar-benar ada di kelas kita tahun lalu?”

Setelah Shidou mengatakan ini, Tonomachi melipat tangannya dengan pose “Aku tidak percaya”, memasang ekspresi terkejut. Dia seseorang yang suka meniru reaksi orang Barat.

“Ayolah man, dia Tobiichi, Tobiichi Origami. Si super-jenius yang dibangga-banggakan sekolah kita. Kau tak pernah mendengar itu?”

“Tidak, ini pertama kalinya aku mendengarnya tapi... dia benar-benar sehebat itu?”

“‘Hebat’ saja tidak dapat mengutarakan dirinya. Nilainya selalu berada di peringkat teratas, dan pada ujian Try Out baru-baru ini dia mendapat hasil yang gila dan langsung melesat ke peringkat teratas se-nasional.”

“Haaah? Kenapa orang seperti itu ada di sekolah negeri?”

“Tidak tahu. Mungkin kondisi keluarga?

Mengangkat bahunya tinggi-tinggi, Tonomachi lanjut berbicara.

“Tambah lagi, itu belum semuanya. Nilai mata pelajaran Olahraga-nya juga superior, dan selain itu dia juga cantik. Di Best Thirteen Most Wanted Girlfriends Ranking tahun lalu dia berakhir di peringkat ketiga seingatku. Bukannya kau melihatnya?”

“Aku bahkan tidak tahu ada yang semacam itu. Lagipula, best thirteen? Kenapa angkanya aneh begitu?”

“Karena anak yang menyelenggarakannya adalah rank ketiga-belas.”

“... aaah.”

Shidou tertawa pelan.

“Ngomong-ngomong, Most Wanted Boyfriends Ranking sampai best 358 lho.”

“Sebanyak itu!? Semakin kebawah semakin parah kan? Apa penyelenggaranya yang menetapkan angka itu juga?”

“Ahh. Orang itu tidak kenal menyerah.”

“Kau peringkat berapa Tonomachi?”

“Nomor 358”

“Kau penyelenggaranya!?”

“Alasan kenapa aku bisa mendapat peringkat itu: ‘Sepertinya dia terlalu bergairah’, ‘Dia terlalu berambut’, dan ‘ujung kakinya bau’.”

“Sudah kuduga, itu rank terparah!”

“Yah, dibawah itu adalah untuk orang-orang yang tidak ada vote-nya. Paling tidak dengan Minus Point aku berhasil memenangkan kategori tersebut.”

“Kau terlalu memaksa! Dengan rank seperti itu, akan lebih baik kalau kau menyerah.”

“Jangan khawatir Itsuka. Kau masuk peringkat dengan nama Mr. Anonymous dan mendapat satu suara dengan peringkat ke-52.”

“Tanggapanmu salah!”

“Yah dengan alasan-alasannya: ‘dia tidak terlihat tertarik dengan wanita’, dan ‘sejujurnya, dia kelihatan seperti seorang homo’.”

“Itu palu besi kematian berupa fitnah yang tidak masuk akal!”

“Tenanglah. Dalam Fujoshi[11] Selected Best Couple, kau dan aku berhasil menempati top ranking sebagai pasangan.”

“Aku sama sekali tidak senang dengan itu semuaaaaa!”

Shidou berteriak. Pada dasarnya ia sedikit khawatir karena menjadi bagian dari pasangan tersebut.

Namun, kelihatannya Tonomachi tidak peduli sama sekali (atau malah, dia kelihatannya sudah terbiasa dengan hal itu), lalu dia melipat tangannya dan kembali ke topik semula.

“Yah bagaimanapun, tidak berlebihan untuk bilang kalau dia adalah orang paling terkenal di sekolah. Itsuka, keacuh-tak-acuhanmu bahkan mengagetkan Tonomachi yang hebat ini.”

“Kau sedang menirukan karakter apa, hah?”

Ketika Shidou mengatakan ini, bel peringatan yang ia sudah terbiasa mendengarnya sejak tahun pertamanya berbunyi.

"Ups."

Kalau dipikir-pikir, ia belum memastikan tempat duduknya.

Shidou mengikuti susunan tempat duduk yang tertera di papan, dan menaruh tasnya di sebuah bangku dua baris dari jendela.

Lalu, ia sadar.

"... ah"

Seakan dipermainkan takdir, tempat duduk Shidou bersampingan dengan tempat duduk sang peringkat teratas.

Tobiichi Origami telah menutup dan memasukan bukunya ke dalam meja sebelum bel peringatan selesai berbunyi.

Dia lalu duduk menatap lurus kedepan, dengan postur yang seindah mungkin seakan telah terukur dengan penggaris.

"..."

Ia merasa sedikit canggung, Shidou memalingkan matanya ke arah papan tulis seperti yang dilakukan Origami.

Seakan menunggu timing tersebut, pintu kelas terbuka dengan suara berderak. Dari sana seorang wanita pendek dengan kacamata berbingkai tipis muncul dan berjalan ke belakang meja guru.

Di sekeliling, murid-murid berbisik heboh.

“Ternyata Tama-chan...”

“Ah, Tama-chan.”

“Yang benar? Yeahhh!”

—Singkatnya, semuanya membicarakan hal-hal yang baik.

“Baiklah, selamat pagi semuanya. Untuk satu tahun kedepannya, saya akan menjadi guru homeroom kalian, nama saya Okamine Tamae.”

Guru IPS, Okamine Tamae—panggilannya Tama-chan,—berbicara lambat dan membungkuk hormat. Mungkin ukurannya kurang pas, kacamatanya sedikit tergelincir, dan dia buru-buru menahannya dengan kedua tangan.

Wajahnya yang kekanak-kanakan dan postur kecilnya yang bahkan tidak lolos untuk menempati generasi yang sama dengan murid-muridnya, ditambah tingkahnya yang santai, telah meraih ketenaran yang luar biasa di kalangan murid.

"...?"

Di antara murid-murid yang penuh gairah, ekspresi Shidou menjadi kaku.

Duduk di samping kiri Shidou adalah Origami, yang sedang melihat ke arah Shidou dengan seksama.

"..."

Untuk sesaat, mata mereka bertemu. Shidou buru-buru memalingkan pandangan matanya.

Kenapa dia menatap Shidou—tidak, bukan berarti dia sedang melihatnya, bisa jadi sesuatu dari balik dirinya, tapi untuk saat itu Shidou tidak bisa menenangkan diri.

“... a, ap-apa yang sebenarnya sedang terjadi...?”

Ia diam-diam bergumam, dengan tetesan keringat mengaliri wajahnya.




Setelah itu, kurang lebih tiga jam telah berlalu.

“Itsuka~. Kau tidak punya kerjaan, kan? Mau cari makanan?”

Upacara pembukaan telah berakhir, dan ketika para murid sedang menyelesaikan persiapan mereka dan meninggalkan ruangan kelas, Tonomachi, dengan tasnya yang diselempangkan di bahu, memulai percakapan.

Selain pada saat test, sekolah jarang berakhir pada pagi hari. Di sana-sini, beberapa kelompok teman sedang membahas kemana akan pergi untuk makan siang.

Shidou hampir saja bermaksud mengangguk, namun “ah” ia berhenti.

“Maaf. Aku sudah punya rencana hari ini.”

“APHA? Gadis kah?”

“Ahhh, yah... iya.”

"Tidak mungkin!!"

Tonomachi membuat gerakan membentuk V dengan tangannya sambil mengangkat satu lutut, membuat reaksi mirip Glico[12].

“Apa yang sebenarnya sudah terjadi libur musim semi kemarin!? Kau masih belum puas setelah berhasil berbicara akrab dengan Tobiichi, bahkan sekarang janji untuk makan siang dengan seorang gadis!? Bukankah kita sudah bersumpah untuk menjadi Penyihir[13] bersama-sama?”

“Tidak, aku tidak ingat sumpah semacam itu... lagipula, cuma dengan Kotori.”

Jawab Shidou, dan Tonomachi menghela nafas lega.

“Dasar, jangan membuatku kaget!”

“Kau yang tiba-tiba mengambil kesimpulan sendiri.”

“Meh, kalau Kotori-chan berarti tidak masalah. Aku boleh ikut?”

“Mm? Ahh, kupikir oke saja...”

Tepat saat Shidou selesai menjawab, Tonomachi menempatkan sikunya pada meja Shidou, dan berbicara dalam suara rendah.

“Hey hey, Kotori-chan sekarang kelas 2 SMP, kan? Tidak apa-apa kan kalau dia mendapat pacar atau semacam itu sekarang?”

"Huh?"

“Uhm, aku tidak punya maksud tersembunyi dibalik ini tapi, apa pendapat Kotori-chan mengenai laki-laki sekitar 3 tahun seniornya?”

“... sebenarnya, lupakan. Jangan berani-berani kau coba datang.”

Shidou menyipitkan matanya, dan dengan jengkel mendorong wajah Tonomachi yang sedang mendekat.

“Haha. Lagipula, aku tidak sekurang-ajar itu, sampai mengganggu persaudaraan kalian kalian yang menyenangkan. Aku mencoba untuk bermain sesuai aturan.”

“Kau selalu bicara terlalu banyak dari yang seharusnya kau ucapkan.”

Memegangi pipinya, Tonomachi memasang tampang yang tak diduga sambil berbicara.

“Tapi hey, tidakkah kau pikir Kotori-chan super cantik? Bisa tinggal di bawah atap yang sama dengannya benar-benar luar biasa.”

“Kalau kau benar-benar punya imouto, kurasa kau akan berubah pendapat.”

“Ah... Kau seringkali mendengar kabar seperti itu. Jadi benar kalau orang-orang dengan imouto tidak punya fetish[14] seperti itu?”

“Ya, mereka bukan gadis. Mereka cuma makhluk yang disebut ‘imouto’.”

Shidou menekankan kuat hal itu, dan Tonomachi tersenyum patuh.

“Ternyata benar-benar begitu, huh?”

“Begitulah. Kalau kau coba memikirkan sesuatu yang benar-benar tidak seperti seorang gadis, mungkin kau sedang memikirkan seorang imouto.”

“Kalau begitu, kakak perempuan?”

“...Onnashi?”[15]

“Wooow, kota khusus perempuan!”

Sambil tertawa, Tonomachi merespon.

—Saat itulah.


UUUUUUUuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu—————


"Huh!?"

Jendela-jendela di ruangan kelas bergemeretak diiringi suara sirene yang tidak enak didengar yang bergaung di seluruh jalanan.

“Ap-Apa yang terjadi?”

Tonomachi membuka jendela dan melihat keluar. Dikejutkan oleh bunyi sirene tersebut, burung-burung gagak yang tak terhitung jumlahnya terbang ke langit.

Murid-murid yang tinggal di ruangan kelas semuanya menghentikan pembicaraan mereka dan menatap, dengan mata terbelalak.

Mengikuti sirene tersebut, suara mekanis yang memiliki jeda setelah setiap kata, mungkin agar lebih mudah dimengerti, berbunyi.

“Ini bukan, latihan. Ini bukan, latihan. Gempa pendahulu, telah terdeteksi. Diperkirakan, terjadinya, Spacequake. Penduduk sekitar, harap bergerak, ke shelter terdekat, secepatnya. Diulang kembali—"

Seketika itu, ruangan yang diam membatu terisi dengan suara terkejut para murid.

—Peringatan Spacequake.

Dugaan mereka semua telah dipastikan.

"Oi oi... Serius?"

Tonomachi menyuarakan dengan suara kering sambil bercururan keringat.

Namun, kalau berbicara mengenai ketegangan dan kegelisahan, Shidou dan Tonomachi beserta murid-murid lainnya di ruangan kelas masih dapat dikatakan relatif tenang.

Paling tidak, tak ada murid yang panik.

Setelah kota ini rusak parah disebabkan Spacequake tiga puluh tahun lalu, anak-anak seperti Shidou telah dilatih berkala dalam latihan evakuasi sejak taman kanak-kanak.

Tambah lagi, ini adalah SMA. Terdapat shelter bawah tanah yang dapat memuat seluruh murid.

Shelter-nya ada di sana. Kalau kita tetap tenang dan berlindung di sana, semua akan baik-baik saja.”

“Be-benar, kau benar.”

Tonomachi mengangguk pada kata-kata Shidou.

Secepat mungkin namun tanpa berlari, mereka meninggalkan ruangan kelas.

Koridor telah dipenuhi murid-murid, yang sedang membentuk barisan menuju shelter.

—Shidou mengernyitkan alis.

Ada satu orang yang bergerak berlawanan arah dari barisan tersebut—seorang siswi sedang berlari menuju pintu masuk.

“Tobiichi...?”

Benar, melesat melewati lorong dengan roknya yang terkepak-kepak adalah sang Tobiichi Origami.

“Hey! Apa yang kau lakukan! Shelter-nya ada di arah yang berlawanan—”

“Tidak apa-apa.”

Origami berhenti sejenak, mengatakan itu saja, dan sekali lagi melesat.

“Tidak apa-apa... apa yang...?”

Kebingungan, Shidou membalikkan kepala dan memasuki barisan murid bersama Tonomachi.

Ia sedikit mengkhawatirkan Origami, tapi mungkin hanya sesuatu yang ketinggalan dan dia pergi mengambilnya.

Kenyataannya, meskipun peringatan telah dibunyikan, tidak berarti spacequake akan langsung terjadi. Kalau dia cepat kembali maka dia akan baik-baik saja.

“T-Tolong tenang! Semuanya, baik-baik saja, jadi pelan-pelan! Ingat ‘okashi’, O-Ka-Shi! Osanai, kakenai, sharekoube[16].

Dari depan terdengar gaung suara Tamae, yang sedang mengarahkan para murid.

Di saat bersamaan, tawa cekikikan kecil terdengar dari para murid.

“... entah kenapa, melihat seseorang yang lebih gugup dariku membuatku lebih tenang.”

“Ahh, sepertinya aku mengerti yang kau maksud.”

Shidou tertawa ringan, dan Tonomachi menjawab dengan ekspresi serupa.

Dihadapkan dengan guru yang kelihatannya tak bisa diandalkan seperti Tama-chan, bukannya membangkitkan kegelisahan, kenyataannya ketegangan di kalangan para murid telah menurun.

Dan kemudian, Shidou mengingat sesuatu, mencari-cari di kantongnya dan mengambil handphone-nya.

“Hm? Ada apa, Itsuka?”

“Tidak. S’bentar dulu.”

Sambil menghindari pertanyaan tersebut, ia memilih nama ‘Itsuka Kotori’ dari call history dan menghubunginya.

Namun—tidak tersambung. Setiap kali ia mencoba, hasilnya sama saja.

“... sial. Apa dia berhasil evakuasi?”

Kalau dia masih belum meninggalkan sekolah mungkin akan baik-baik saja.

Masalahnya bisa jadi dia sudah meninggalkan sekolah dan sedang berangkat menuju restoran keluarga.

Sebenarnya, pasti ada shelter umum di dekatnya, jadi seharusnya tidak akan ada masalah... tapi untuk alasan tertentu Shidou tidak dapat mengabaikan firasat buruknya.

Entah mengapa dalam benaknya tiba-tiba muncul bayangan sosok Kotori yang sedang menunggu Shidou seperti anak anjing penurut, tanpa mengindahkan kenyataan bahwa peringatan telah dibunyikan.

Di dalam kepalanya, kata-kata Kotori, “Janji!” berputar-putar dan bergema.

“M-memang kami sudah berjanji pasti akan bertemu di sana biarpun Spacequake sekalipun terjadi, tapi... dia sekalipun tidak mungkin sebodoh itu... Oh, iya, aku punya itu.”

Handphone Kotori seharusnya punya layanan GPS yang terpasang.

Mengutak-atik Handphone-nya, ia menampilkan peta kota di layar, di mana terlihat ikon penanda berwarna merah.

“...”

Setelah melihatnya, tenggorokan Shidou terasa tersumbat.

Ikon yang menunjukkan lokasi Kotori tepat berada di depan restoran keluarga yang dijanjikan.

“Idiot yang satu itu...”

Dengan sumpah serapah itu ia menutup cell phone-nya tanpa mengembalikan layar ke keadaan semula, dan keluar dari barisan murid.

“O-Oi, kau mau ke mana, Itsuka!?”

“Maaf! Aku lupa sesuatu! Kau duluan saja!”

Menjawab Tonomachi ketika menghadap arah berlawanan, ia berlari menuju pintu masuk melawan alur barisan.

Setelah itu Shidou buru-buru mengganti sepatunya dan, terlihat hampir jatuh kedepan, ia melesat keluar.

Melewati gerbang sekolah, ia jatuh menuruni bukit di depan sekolah.

“... kalau sudah begini, seharusnya kita evakuasi seperti biasa saja...!”

Berlari sekencang yang ia bisa, Shidou berteriak keras.

Terhampar di pandangan Shidou sebuah pemandangan yang sangat menyeramkan.

Jalan raya tanpa mobil yang bergerak, sebuah kota tanpa adanya tanda-tanda manusia.

Di jalanan, di taman, bahkan di toserba, tidak ada satu orangpun yang tertinggal.

Masih tertinggal jejak keberadaan orang-orang yang tadinya ada di sini sampai beberapa waktu yang lalu, namun sosok nyata orang-orang tersebut telah menghilang. Bagaikan adegan dari film horor.

Semenjak bencana tiga puluh tahun lalu, kota Tenguu inilah yang dengan hati-hati dibangun ulang sembari menangani spacequake dalam kegelisahan. Jangankan tempat umum, bahkan persentase keluarga biasa yang memiliki shelter adalah yang tertinggi di seluruh negeri.

Karena spacequake yang sering terjadi belakangan ini, orang-orang dengan cepat ber-evakuasi.

Tapi meski begitu...

“Kenapa si idiot itu bersikeras menunggu di sana...!”

Ia melepaskan teriakan, lalu membuka handphone-nya masih sambil berlari.

Ikon yang menunjukan posisi Kotori tetap berada di depan restoran keluarga itu.

Sambil memutuskan bahwa hukuman untuk Kotori adalah serentetan sentilan jari di dahi, ia lanjut menggerakkan kakinya dengan kecepatan tinggi menuju restoran keluarga tersebut.

Ia tidak mengatur nafasnya atau semacam itu. Ia hanya berlari tanpa henti menuju restoran keluarga secepat yang ia bisa.

Kakinya sakit, dan ujung-ujung jarinya mulai mati rasa.

Kepalanya terasa pusing, tenggorokannya mulai terasa lengket, dan suara gemeretak dapat terdengar dari dalam mulutnya.

Akan tetapi, Shidou tidak berhenti. Hal-hal seperti bahaya atau keletihan tidak menemukan jalan menuju pikirannya, yang telah terisi dengan satu pikiran akan keinginan untuk tiba ke tempat Kotori berada.

Tapi—

“...?”

Saat berlari, Shidou melirik ke atas. Ia pikir ia melihat sesuatu yang bergerak di ujung penglihatannya.

“Apa... benda-benda itu...”

Shidou mengernyitkan alisnya.

Ada tiga... atau mungkin empat. Di langit, benda-benda yang terlihat seperti manusia sedang melayang.

Tapi, Shidou langsung berhenti mempedulikan hal itu.

Alasannya—

“Uwahhhh...!?”

Shidou secara naluriah melindungi matanya.

Jalanan di depannya tiba-tiba diselimuti cahaya menyilaukan.

Yang diikuti oleh ledakan yang memekakkan telinga, dan gelombang udara yang dahsyat menerpa Shidou.

“Ap—"

Shidou secara refleks menutupi wajah dengan tangannya dan menambah kekuatan pada kakinya namun itu sia-sia.

Tekanan angin bagaikan topan raksasa meniupnya sehingga kehilangan keseimbangan dan ia terjatuh ke belakang.

“Ap... Apa yang terjadi...?”

Selagi mengusap dan mengedipkan matanya, ia berusaha menopang tubuhnya untuk bangkit.

“—Huh—?”

Melihat pemandangan yang terbentang di seluruh pandangannya, Shidou melepaskan suara penuh keterkejutan.

Bagaimanapun juga, jalanan tepat di hadapannya sesaat yang lalu, dalam waktu yang singkat ketika Shidou menutup matanya—

tanpa sisa sedikitpun, telah ‘lenyap’.

“Ap-apa ini, apa yang sebenarnya terjadi, ini...”

Ia bergumam, kebingungan.

Tidak peduli metafora apapun yang kau gunakan, itu tidak akan menjadi sebuah lelucon.

Seakan-akan sebuah meteorit baru saja jatuh mendarat.

Tidak, lebih tepatnya, seakan-akan semua yang ada di permukaan tanah telah lenyap sepenuhnya.

Jalanan di hadapannya telah terkorek keluar menyerupai bentuk mangkok dangkal.

Dan, di pinggiran jalan yang telah menjadi seperti sebuah kawah—

Ada sesuatu seperti bongkahan logam yang muncul ke permukaan.

“Apa...?”

Karena pengaruh jarak, ia tidak bisa mengamati detail kecilnya tapi—ia melihat sesuatu yang menyerupai bentuk singgasana yang biasa diduduki raja dalam game-game RPG.

Namun, bukan itu yang penting.

Di sana ada gadis yang memakai gaun aneh, yang kelihatannya sedang berdiri di singgasana dengan kakinya di atas sandaran lengan.

“Gadis itu—kenapa dia ada di tempat seperti itu?”

Ia hanya dapat melihat samar-samar, tapi ia dapat memastikan rambut hitam panjangnya dan rok yang memancarkan sinar misterius. Ia sepertinya tidak salah memastikannya sebagai seorang gadis.

Gadis itu sambil lalu mengamati lahan tersebut, lalu tiba-tiba berbalik menghadap Shidou.

“Un...?”

Dia menyadari keberadaan Shidou... Mungkin. Masih terlalu jauh jadi Shidou tidak bisa memastikannya.

Selagi Shidou ragu-ragu akan hal tersebut, gadis itu membuat gerakan lebih lanjut.

Dengan gerakan mengayun, dia terlihat mengambil pegangan yang terlihat dari balik singgasana, dan perlahan-lahan menariknya keluar.

Benda itu adalah—dengan bilah yang lebar, sebuah pedang besar.

Menyemburkan sinar bagaikan ilusi layaknya pelangi, atau layaknya bintang, sebuah pedang yang aneh.

Gadis itu mengayunkan pedangnya, dan jejak jalur yang dilaluinya meninggalkan sedikit berkas cahaya.

Dan kemudian—

“Eh...!?”

Gadis itu menghadap Shidou, dan disertai suara gemuruh, mengayunkan pedang itu secara horizontal.

Ia instan merendahkan kepalanya. Tidak, lebih tepatnya, lengan Shidou, yang tadinya menopang tubuhnya, kehilangan kekuatan, dan sebagai hasilnya membuat posisi bagian atas tubuhnya terjatuh.

“Ap—”

Pedang tersebut mengikuti jalur yang melewati tempat dimana kepala Shidou tadinya berada.

Tentu saja, itu bukan jarak yang secara fisik dapat dijangkau pedang tersebut.

Namun, hal tersebut benar-benar—

“...Haaah—”

Dengan mata terbuka lebar, Shidou membalikkan kepalanya ke belakang.

Rumah-rumah, pertokoan, pohon-pohon di sisi jalan, marka jalan dan semuanya yang ada di belakang Shidou dalam sekejap diratakan pada ketinggian yang sama.

Sedetik kemudian, bergema suara kehancuran bagaikan gemuruh guntur dari jauh.

“Hiiii...!?”

Hal tersebut telah berada di luar pemahaman Shidou. Gemetaran, jantungnya terasa sesak.

—Apa maksud semua ini?

Satu-satunya hal yang ia mengerti adalah jika saja kepalanya tidak merendah barusan, sekarang ini ia sudah senasib dengan pemandangan di belakangnya, terpotong rata.

“Ja-jangan bercanda...!”

Bagaikan menyeret tubuh yang seakan terpotong di pinggangnya, Shidou merayap mundur. Secepat mungkin, sejauh mungkin, aku harus meninggalkan tempat ini...!

Akan tetapi.

“—Kau juga... ya”

“...!?”

Suara penuh kejemuan terdengar dari atas kepalanya.

Pandangannya, yang sesaat lebih lambat, mengikuti arah pikirannya.

Di depan matanya berdiri seorang gadis yang sampai sesaat yang lalu tidak ada di sana.

Benar, gadis yang sama dengan yang berdiri di tengah-tengah kawah barusan.

“Ah—”

Tanpa sengaja, Shidou bersuara.

Dia kira-kira seumur Shidou, atau mungkin sedikit lebih muda.

Dibalik rambut hitamnya yang mencapai lutut adalah wajah yang memiliki baik kecantikan dan wibawa.

Di tengahnya, sepasang mata yang memancarkan sinar misterius, hampir seperti kristal-kristal yang merefleksikan berbagai sinar berwarna ke segala arah.

Dia berpakaian aneh sekali. Menyerupai bentuk seperti gaun seorang putri, terbuat dengan material yang tidak jelas apakah dari kain atau logam. Tambah lagi, celah jahitan, bagian dalam, rok dan sebagainya, tersusun dari lapisan cahaya misterius yang tidak terlihat seperti materi fisik.

Dan di tangan itu, dia sedang memegang pedang besar yang panjangnya kira-kira menyamai tingginya sendiri.

Kejanggalan situasi tersebut.

Keanehan penampilannya.

Keunikan dari keberadaannya.

Yang manapun dari hal-hal tersebut sudah cukup untuk menarik perhatian Shidou.

Tapi.

Ya, akan tetapi.

Yang mencuri pandangan Shidou tidak mengandung ketidak-murnian seperti hal-hal tersebut.

“——”

Seketika itu.

Rasa takut akan kematian, bahkan kebutuhan untuk bernafas, telah ia lupakan, selagi matanya terpaku pada sang gadis.

Seluar-biasa itulah kiranya.

Gadis tersebut, sangat luar biasa... cantik.

"—Siapa..."

Terkesima, Shidou berbicara untuk pertama kalinya.

Meski kelancanganku ini akan membuat suara dan mataku hancur, itu pikirnya.

Gadis itu perlahan mengalihkan pandangannya turun.

"... namamu?"

Suaranya, memuat pertanyaan tersebut dari lubuk hatinya, bergema di udara.

Namun.

"—Aku tidak punya hal semacam itu"

Dengan tatapan sedih, gadis itu menjawab.

“——”

Setelah itulah. Mata Shidou dan sang gadis bertemu untuk pertama kalinya.

Pada saat bersamaan, sang gadis tanpa nama, dengan kemurungan yang sangat, sambil membuat ekspresi yang seakan ingin menangis, menarik pedangnya lagi dengan suara ‘kachiri’.

“Tunggu, tunggu, tunggu!”

Karena bunyi kecil tersebut, gemetarannya telah berlanjut. Shidou memekik putus asa.

Tapi gadis tersebut hanya melemparkan pandangan kebingungan pada Shidou.

“... apa?”

“A-Apa yang kau rencanakan...!?”

“Tentu saja—membunuhmu secepatnya."

Mendengar sang gadis menjawab dengan sangat datar, wajah Shidou membiru.

“Ke-Kenapa...!”

“Kenapa...? Bukannya sudah jelas?”

Dengan wajah yang penuh kejemuan, sang gadis melanjutkan.

“—Lagipula, bukannya kau datang untuk membunuhku juga?”

“Huh...?”

Diberikan jawaban yang tak diduganya, mulut Shidou terbuka lebar.

“... tidak mungkin aku akan melakukan itu.”

“——Apa?”

Gadis itu menatap Shidou dengan campuran keterkejutan, kecurigaan, dan kebingungan.

Namun, sang gadis seketika itu menyipitkan mata dan berpaling dari Shidou, menengadah ke arah langit.

Layaknya dipandu olehnya, Shidou juga berbalik melihat ke atas—

“Aap...!?”

Matanya terbelalak lebih lebar dari sebelumnya, nafasnya tersendat di tenggorokannya.

Bagaimanapun juga, ada beberapa manusia yang berpakaian aneh sedang terbang di langit—dan tambah lagi, dari senjata-senjata di tangan mereka, sejumlah besar sesuatu yang mirip misil diluncurkan ke arah Shidou dan sang gadis.

“W-Waaaaaaaaaah!?”

Ia berteriak secara naluriah.

Namun—bahkan setelah beberapa detik telah berlalu, Shidou masih memegang kesadarannya.

“Eh...?”

Tercengang, suaranya terlepas.

Misil yang diluncurkan dari angkasa melayang tanpa bergerak di udara beberapa meter di atas gadis tersebut, seperti sedang dipegangi oleh tangan-tangan tak terlihat.

Gadis itu dengan jengkel menghela nafas.

“... hal seperti ini sia-sia saja, kenapa mereka tidak pernah bisa belajar.”

Seraya berkata, sang gadis mengangkat tangan yang tidak memegang pedang, dan mengepalkannya kuat-kuat.

Saat dirinya melakukan hal ini, misil yang tak terhitung jumlahnya remuk, seakan diremas dengan paksa, dan meledak di tempat mereka berada.

Bahkan jangkauan ledakkannya sangat kecil. Seakan seluruh daya hancurnya telah tersedot ke dalam.

Ia entah bagaimana dapat mengerti kekalutan yang dialami orang-orang yang melayang di langit tersebut.

Namun, mereka tidak menghentikan serangan mereka. Satu demi satu, misil-misil ditembakkan.

“—Hmpf”

Gadis itu mengeluh pelan lagi, memasang wajah yang seperti akan meneteskan air mata kapan saja.

Ekspresi wajah yang sama dengan pada saat dirinya mengarahkan pedang pada Shidou sebelumnya.

“——”

Melihat ekspresi tersebut, Shidou merasa jantungnya berdebar bahkan lebih kuat daripada saat ia hampir kehilangan nyawanya tadi.

Benar-benar pemandangan yang sangat aneh.

Siapa gadis itu, ia tidak tahu. Siapa orang-orang di langit itu, ia juga tidak tahu.

Akan tetapi, fakta bahwa gadis tersebut lebih kuat dari orang-orang yang melayang di udara itu, ia mengerti sejauh itu.

Karena itulah ia samar-samar memikirkan pertanyaan ini:

Dia adalah yang terkuat.

—Lalu kenapa dia memasang ekspresi seperti itu?

"... lenyap, lenyap. Semuanya dan segalanya... Lenyaplah...!"

Sambil mengatakan itu, dia menghunuskan pedang yang memancarkan sinar yang sama misteriusnya dengan matanya, ke langit.

Penuh keletihan, penuh kesedihan, dengan sembarangan dia mengayunkan pedang.

Untuk sesaat—angin berhembus.

“...w-wah...!”

Gelombang udara yang dahsyat menyerbu daerah tersebut, diiringi tebasan yang melayang menuju langit sesuai jejak ayunan pedang.

Orang-orang yang melayang di udara buru-buru menghindarinya, dan mundur dari posisi mereka.

Namun pada momen berikutnya, dari arah lain, sebuah sorotan cahaya laser dengan tenaga luar biasa ditembakkan ke arah sang gadis.

“...!”

Ia refleks menutupi matanya.

Seperti yang diduga, sinar laser tersebut seperti mengenai dinding tak terlihat di udara di atas sang gadis dan terhenti. Bagaikan kembang api menyala di langit malam, sinar tersebut tersebar ke seluruh arah, berkilau dengan indahnya.

Namun, sebagai kelanjutan dari sinar laser tersebut, sesuatu mendarat di belakang Shidou.

“A-Apa yang sebenarnya terjadi...”

Sejak beberapa saat yang lalu, Shidou masih belum bisa mengerti semua yang sedang terjadi.

Ia merasa seperti sedang melihat lamunan yang buruk.

Akan tetapi—setelah melihat sosok yang baru saja mendarat, tubuh Shidou menjadi kaku.

Sosok yang sedang memakai mesin, atau semacamnya.

Dari atas sampai bawah terlapisi body suit yang asing adalah seorang gadis.

Dia membawa mesin thruster besar di punggungnya, dan sebuah senjata dengan bentuk seperti tas golf di kedua tangannya.

Alasan mengapa tubuh Shidou diam membeku adalah sederhana. Ia mengenali gadis itu.

“Tobiichi—Origami...?”

Ia menggumamkan nama yang diberitahukan Tonomachi padanya pagi ini.

Gadis dengan penampilan mekanik yang terlalu berlebihan itu adalah teman sekelasnya, Tobiichi Origami.

Origami mendelik sekilas ke Shidou.

“Itsuka Shidou...?”

Sebagai balasannya, dia memanggil nama Shidou.

Meskipun dirinya terkejut, ekspresinya tidak berubah. Namun, hanya sedikit saja, suaranya mengandung nada kebingungan.

“... huh? ap-Apa-apaan pakaian itu—”

Ia sebenarnya sadar kalau itu pertanyaan yang bodoh, tapi saat itu ia sudah terlanjur mengatakannya.

Kewalahan dengan semua yang telah terjadi, ia sudah tidak tahu apa yang harus dikhawatirkannya.

Akan tetapi, Tobiichi langsung memalingkan pandangan dari Shidou, menuju sang gadis bergaun.

Bagaimanapun juga,

“—Fmph”

Gadis tersebut mengayunkan pedangnya dengan cara yang sama seperti sebelumnya ke arah Origami.

Origami dengan cepat menyentak tanah, menghindari bidang dimana pedang tersebut diayunkan, dan mendekati gadis itu dengan kecepatan menakjubkan.

Dari ujung depan senjata di tangan Origami, muncul sebuah pedang yang terbuat dari cahaya.

Sasarannya adalah sang gadis, Origami mengayunkannya dengan seluruh kekuatan.

“—Ugh”

Gadis tersebut mengernyitkan alisnya sedikit, lalu menghentikan serangan tersebut dengan pedang di tangannya.

—Pada saat itu.

Dari titik di mana sang gadis dan Tobiichi bersilang pedang, terbentuk gelombang udara yang dahsyat.

“Wa-W-Waaaahhhhhhhh!?”

Dengan teriakan memilukan, ia membungkukkan tubuh dan entah bagaimana berhasil menahannya.

Origami ditangkis, lalu perlahan-lahan keduanya berpisah jarak dan saling melotot dengan senjata mereka yang teracu.

DAL v01 053.jpg

“...”

“...”

Menghimpit Shidou di tengah-tengahnya, tatapan tajam dari si gadis misterius dan Origami saling bertemu.

Saat itu dapat dikatakan situasi yang kritis. Mereka sedang berada pada kondisi dimana pemicu sekecil apapun dapat membuat pertarungan tersebut dilanjutkan kembali.

“...”

Shidou di sisi lain merasa tidak tenang.

Dengan keringat yang terbentuk di dahinya, dan pikiran untuk melarikan diri dari tempat ini, ia perlahan menyeret tubuhnya secara horizontal di atas permukaan tanah.

Namun, pada momen tersebut, tiba-tiba handphone di dalam sakunya berbunyi dengan melodi cemerlang.

“——!”

“——!”

Dan hal tersebut menjadi pemicunya.

Sang gadis dan Origami menyentak tanah di saat hampir bersamaan, berbentrokan tepat di depan Shidou.

“Gyaaaaaaah!”

Menghadapi tekanan angin yang terlalu kuat, Shidou tanpa ampun terlempar, dan pingsan setelah membentur dinding.


Bagian 3

“—Bagaimana situasinya?”

Mengenakan kemeja dan seragam militer berwarna merah membara yang tergantung di bahunya seperti jubah, seorang gadis muda memasuki bridge dan menanyakan pertanyaan tersebut.

“Komandan”

Laki-laki yang sedang berdiri di samping kursi komandan memberi salam hormat yang sama sempurnanya dengan di buku kemiliteran.

Gadis yang dipanggil komandan tersebut hanya melihat sepintas, lalu menendang lutut sang lelaki.

“Oww!”

“Lupakan salamnya dan jelaskan situasinya.”

Sambil mengatakan hal itu pada sang lelaki yang memasang ekspresi kesakitan, atau mungkin sebaliknya, bahagia, ia duduk di kursi kapten.

Lelaki tersebut segera berdiri tegak.

“Siap. Serangan dimulai segera setelah Spirit muncul.”

“AST?”

“Begitulah kelihatannya.”

AST, Anti Spirit Team.

Mengenakan armor mekanik untuk memburu Spirit, menangkap Spirit, membinasakan Spirit; melebihi manusia, namun belum se-level dengan monster; mereka adalah wizardpenyihir zaman modern.

Dengan kata lain—kenyataannya, bahkan dengan taraf kemampuan superhuman saja masih belum cukup untuk bertarung serius dengan Spirit.

Kekuatan Spirit ada pada taraf yang berbeda.

“—Kami sudah memastikan sepuluh orang. Pada saat ini kami sedang mengawasi salah satunya, yang sedang bentrok dalam pertarungan.”

“Perlihatkan tampilannya.”

Atas kata-kata sang komandan, rekaman real-time[17] ditampilkan pada monitor raksasa di bridge.

Pada jalan lebar sekitar dua blok dari pusat kota, terlihat dua gadis sedang bertarung sambil mengayunkan senjata-senjata besar.

Seiringan bentrokan senjata, kilatan cahaya berhamburan, permukaan tanah menjadi retak, dan bangunan-bangunan runtuh. Sulit untuk membayangkan kalau pemandangan ini merupakan bagian dari kenyataan.

“Dia cukup handal. Tapi, yah, dengan Spirit sebagai lawannya dia mungkin tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

“Memang seperti yang anda katakan, tapi kenyataannya kita juga tidak bisa berbuat apa-apa.”

“...”

Sang komandan mengangkat kakinya, dan dengan tumit sepatu boots-nya menginjak kaki lelaki tersebut.

"Guhgii!"

Mengabaikan lelaki itu yang memasang wajah luar biasa bahagia, sang komandan pelan-pelan menghela nafas.

“Aku mengerti bahkan tanpa kau memberitahuku. Aku juga bosan cuma bisa melihat saja.”

“Jadi, apa yang anda maksud adalah...”

“Ya. Rounds[18] akhirnya sudah memberikan persetujuan mereka. Rencana sedang dimulai sekarang.”

Dengan kata-kata tersebut, suara para anggota crew di bridge menelan ludah dapat terdengar.

“Kannazuki.”

Sang komandan dengan santai bersandar ke punggung kursi, dan mengangkat tangan kecilnya dengan jari kedua dan jari ketiga terangkat lurus. Seperti meminta batang rokok.

“Siap.”

Lelaki itu dengan sigap mencari di sakunya, dan mengambil sebuah lolipop kecil. Ia dengan cepat namun hati-hati melepas bungkusnya.

Lalu, ia berlutut disamping komandan, dan mengatakan “silahkan” saat menempatkan lolipop itu di antara jari-jari komandan.

Sang komandan memasukkannya ke dalam mulutnya, dan batangnya mulai bergerak naik-turun.

“... ahh, kalau dipikir-pikir, ke mana ‘senjata rahasia’ kita? Dia tidak menjawab panggilanku tadi. Aku ingin tahu apa dia masuk ke shelter sebagaimana mestinya?”

“Coba saya selidiki—dan, huh?”

Lelaki itu memiringkan kepalanya, kebingungan.

“Ada masalah apa?”

“Err, itu.”

Sang lelaki menunjuk ke arah gambar. Komandan menggerakkan pandangannya ke sana—"ah", dia membuat suara pendek.

Di sisi pertarungan antara sang Spirit dan sang anggota AST, terbentang sosok lelaki berpakaian seragam sekolah.

“... Timing yang sempurna. Cepat pungut dia.”

“Dimengerti.”

Lelaki itu menunduk hormat.




Bab 2: GameTraining Start

Bagian 1

—Sudah lama ya.

Di dalam kepalaku, berkumandang suara yang sepertinya pernah kudengar sebelumnya.

—Akhirnya, akhirnya kita bertemu lagi, ×××.

Suara yang penuh nostalgia, penuh kehangatan.

—Aku senang sekali, tapi, sebentar lagi saja. Tunggulah sebentar lagi saja.

Kau siapa, tanyaku, tapi tidak ada jawaban.

—Aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku pasti tidak akan membuat kesalahan lagi. Karena itulah...

Di sana, suara misterius itu terputus.


Bagian 2

“...Haa!”

Shidou tersadar,

“Uwahh!”

dan berteriak keras.

Yah tentu saja. Bagaimanapun juga, seorang wanita yang tidak dikenalnya sedang menahan kelopak matanya dengan jari-jarinya, selagi di matanya bersinar cahaya yang datang dari sesuatu yang kelihatannya adalah sebuah penlight[19] kecil.

“......nn? Sudah bangun.”

Wanita itu, anehnya dengan wajah yang mengantuk, berkata dengan suara yang monoton seperti melamun.

Dia sepertinya sedang memeriksa gerakan bola mata Shidou yang tak sadarkan diri, jadi wajahnya sangat dekat dengannya. Samar-samar ia dapat mencium bau wangi, mungkin bau shamponya.

“S, S-S-S-S-Siapa kau?”

“......nn, aah.”

Wanita itu, masih setengah melamun, bangkit berdiri, dengan ekspresi suram menyapu poninya ke samping.

Karena jarak yang cukup telah terbentuk di antara mereka, sekarang ia dapat melihat wanita itu sepenuhnya.

Dia memakai apa yang sepertinya adalah seragam militer, dan umurnya sekitar 20 tahun. Rambut acak-acakannya, mata yang dihiasi lingkaran-lingkaran hitam, dan boneka beruang yang dipenuhi bekas goresan yang entah kenapa melongok keluar dari kantung seragam militernya, merupakan ciri khasnya.

“......saya adalah Petugas Analisis di sini, Murasame Reine. Sayangnya, sang Petugas Medis sedang keluar. ......tapi jangan khawatir. Meskipun saya tidak punya lisensi perawat, setidaknya saya bisa menangani perawatan sederhana."

“...”

Mau tidak mau ia khawatir.

Karena, wanita yang dipanggil Reine ini jelas-jelas terlihat lebih tidak sehat dibanding Shidou.

Pada kenyataannya, sejak awal tadi, seakan-akan sedang membuat lingkaran kecil dengan kepalanya, tubuhnya terhuyung-huyung tidak tegak.

Shidou, sekarang dengan tubuhnya terangkat, teringat dengan apa yang Reine baru saja katakan.

"—di sini?"

Ia bertanya, sambil melihat sekelilingnya.

Shidou telah tertidur di sebuah pipe bed sederhana. Mengelilinginya adalah sebuah tirai putih yang berfungsi sebagai pemisah. Itu adalah sebuah ruangan yang mirip klinik sekolah.

Namun, langit-langitnya sedikit tidak pada tempatnya. Beberapa pipa polos dan kabel-kabel dapat terlihat.

“Di-dimana aku, tempat ini...”

“......ah, tempat ini adalah ruang medis <Fraxinus>. Kamu tak sadarkan diri jadi kami membawamu kesini.”

“<Fraxinus>...? Lalu aku tak sadarkan diri..., ah—”

Benar, Shidou telah terseret dalam pertarungan antara sang gadis misterius dan Origami, dan telah jatuh tak sadarkan diri.

“...um, uhm, boleh aku bertanya sesuatu? Terlalu banyak terjadi hal-hal yang tidak kumengerti...”

Shidou bertanya sambil menggaruk kepala.

Tetapi, Reine tidak merespon, dengan diam berbalik dari Shidou.

“Ah—Tunggu..."

“......ikuti saya. Ada seseorang yang ingin saya perkenalkan padamu. ...…saya tahu kamu punya banyak pertanyaan, namun saya tidak pandai dalam menjelaskan sesuatu. Kalau kamu mau penjelasan spesifik, kamu perlu bertanya kepada orang tersebut.”

Seraya berkata, dia membuka tirai. Di luar tirai terdapat ruangan yang sedikit lebih luas. Berderet sekitar enam tempat tidur, dan di bagian belakang ruangan terdapat beberapa peralatan medis yang asing.

Reine berbalik menuju apa yang nampaknya adalah pintu keluar, dan terhuyung-huyung mencapainya.

Dia kemudian tersandung, dan dengan bunyi *bong*, membenturkan kepalanya di dinding.

“! Ka-Kau tidak apa-apa?”

“......muuu.”

Dia tidak sampai jatuh. Reine merintih, lalu bersandar pada dinding.

“......aah, maaf. Akhir-akhir ini saya kurang tidur.”

“S-Sudah berapa lama sejak terakhir kali kau tidur?”

Shidou bertanya, dan Reine, setelah berpikir sejenak, mengangkat tiga jari.

“Tiga hari. Tentu saja kau akan mengantuk.”

“......mungkin sekitar tiga puluh tahun?”

“Satuannya terlalu jauh berbeda!”

Shidou bahkan sudah bersiap-siap kalau-kalau dia menjawab sekitar tiga minggu, tapi jawaban ini benar-benar tidak terduga.

Dan jelas-jelas itu melewati usianya dari yang terlihat.

“......uhm, memang benar kalau saya tidak bisa mengingat terakhir kali saya tidur. Saya punya semacam insomnia akut.”

“Be-begitukah...”

“......oh. Ahh, permisi, ini sudah waktunya saya minum obat.”

Reine tiba-tiba mencari-cari di sakunya, dan menarik sebuah toples tablet.

Dia lalu membuka toplesnya, dan menuangkan tablet-tablet itu ke mulutnya seolah meminumnya.

“Hey!”

Tanpa keraguan sedikitpun, sejumlah besar tablet di mulut Reine kemudian *gruk gruk gruk glek*, dan mereka berdua tanpa sadar memulai sebuah adegan komedi.

“......ada apa, kamu berisik.”

“Berapa banyak yang kau makan! Dan lagipula, obat apa itu!?”

“......semuanya pil tidur.”

“Kau bisa mati! Leluconmu tidak lucu!”

“......lagipula obat-obat itu tidak terlalu ampuh juga.”

“Tubuh macam apa yang kau punya!”

“......yah rasanya manis dan enak jadi tidak apa-apa.”

“Kau pikir itu Ramune[20]!?”

Setelah laga sahut-menyahut tersebut, Shidou menghela nafas dalam-dalam.

“......bagaimanapun juga, kemarilah. Ikuti saya.”

Reine mengembalikan toples kosong tersebut ke sakunya, dan sekali lagi mulai berjalan dengan langkah-langkah berbahaya, membuka pintu ruang medis.

“...”

Shidou terburu-buru memakai sepatunya, dan meninggalkan ruangan untuk mengejarnya.

“Apa-apaan ini...”

Diluar ruangan, adalah sebuah konstruksi menyerupai koridor sempit.

Dinding dan lantai berwarna pucat dengan gaya mekanis itu entah kenapa membuat Shidou teringat akan bagian dalam kapal tempur luar angkasa yang muncul di opera-opera antariksa, atau koridor kapal selam dari film-film.

“... apa yang sebenarnya sedang kulakukan?”

Shidou, sudah tidak tahu lagi ini dan itu, perlahan-lahan mulai menggerakan kakinya.

Hanya mengandalkan punggung Reine yang berjalan sempoyongan dengan langkah-langkah yang tidak kokoh, di koridor yang mirip latar film tersebut, bergema bunyi langkah kaki.

Setelah berjalan beberapa lama.

“......di sini.”

Pada akhir perjalanan, di depan pintu dengan panel elektronik kecil di sampingnya, Reine berhenti seraya berkata.

Pada momen berikutnya, panel elektronik itu mengeluarkan bunyi ‘bip’ pelan, dan pintu tersebut dengan mulus bergeser terbuka.

“......di sini, silahkan masuk.”

Reine melangkah kedalam. Shidou mengikuti di belakangnya.

“...ini...”

Ia melihat pemandangan yang ada di sisi lain pintu tersebut.

Untuk menjelaskannya dengan kalimat sederhana, itu adalah sebuah tempat seperti bridge kapal. Di depan pintu yang baru saja dilewati Shidou, terhampar lantai dengan bentuk setengah oval, dan berada di tengahnya sebuah kursi yang sepertinya adalah kursi kapten.

Tambah lagi, mengikuti tangga-tangga di kedua sisinya yang melandai turun ke lantai yang lebih rendah, dimana para anggota crew terlihat sedang mengoperasikan beberapa console yang terlihat rumit. Ruangan itu redup secara keseluruhan, dan monitor yang tersebar di sini-situ memancarkan cahaya yang secara paksa menunjukkan keberadaan mereka.

“......saya membawanya ke sini.”

Reine yang seakan pusing mengayunkan kepalanya selagi berbicara.

“Kerja yang bagus.”

Lelaki tinggi yang berdiri di samping kursi kapten menunduk pelan seperti seorang butler. Dia memiliki rambut bergelombang dan hidung yang tidak terlihat seperti seorang Jepang. Dia seperti lelaki muda dengan tampang yang sepertinya bisa muncul di novel-novel BL.

“Salam kenal, Saya adalah Wakil Komandan di sini, Kannazuki Kyouhei. Senang bertemu denganmu.”

“I-Iya...”

Sambil menggaruk-garuk pipinya, ia menunduk ringan dengan kepalanya.

Untuk sesaat, Shidou sangka Reine tadinya berbicara dengan lelaki ini.

Akan tetapi—ia salah mengira.

“Komandan, Petugas Analisis Murasame telah kembali.”

Kannazuki memanggil, dan dari kursi kapten yang punggungnya sedang membelakangi mereka, terdengar suara memberengut, sementara kursi tersebut berputar balik.

Dan kemudian.


“—Aku menyambutmu. Selamat datang, di <Ratatoskr>.”

Suara seseorang yang disebut ‘komandan’ tersebut terdengar terlalu menawan, dan disaat figur gadis muda yang memakai seragam militer merah menyala di bahunya terlihat jelas.

Rambutnya terikat 2 pita hitam besar. Dia memiliki perawakan yang kecil, mata bundar seperti biji ek, dan Chupa Chups di mulutnya.

Shidou mengernyit. Karena, bagaimanapun juga kau melihatnya—

“...Kotori?”

Benar, tidak peduli jika kau mengamati wajahnya, atau suaranya, atau aura yang mengelilinginya, meskipun ada beberapa perbedaan, gadis itu tidak diragukan lagi adalah imouto Shidou yang manis, Itsuka Kotori.


Bagian 3

“—Itsuka, Shidou.”

Saat bergumam dengan suara pelan sehingga tidak seorangpun dapat mendengarnya, wajahnya muncul di benak Origami.

Tidak salah lagi, dia adalah anak pada waktu itu. Tidak mungkin ingatan Origami salah.

Sedikit mengecewakan, tapi mereka hanya pernah bertemu satu kali itu saja, jadi tak bisa disalahkan kalau dia tidak mengingat Origami. Sejak memasuki SMA ia sudah mencoba berbagai cara untuk mendekatinya, namun semuanya berakhir dengan kegagalan.

Dan sekarang, bahkan ada persoalan yang lebih menggelisahkan.

“Kenapa, dia ada di tempat seperti itu?”

Ia tidak dapat mengerti mengapa dia keluar ke jalanan setelah peringatan spacequake telah dibunyikan.

Tambah lagi—dia pastinya telah melihatnya.

Origami, dengan perlengkapan khususnya—dan Spirit itu.

"Sersan Kepala Tobiichi, persiapan telah selesai!”

“...”

Karena suara teknisi yang tiba-tiba tersebut, wajah Origami yang menatap ke bawah tersentak ke atas.

Ia lalu dengan segera memusatkan pikirannya pada sebuah perintah.

Perintah tersebut mengarungi wiring suit yang menyelimuti tubuh Origami, sampai pada thruster parts di punggungnya, dan mengaktifkan Realizer yang tertanam.

Berbalut perlengkapan yang bentuknya tidak terlihat cocok untuk terbang itu, tubuh Origami sedikit melayang di udara.

Angkatan Darat Bela Diri Jepang[21] - Pangkalan Tenguu.

Dalam hangar[22] yang ditempatkan di salah satu sudutnya, sambil mengikuti instruksi teknisi tersebut Origami mendarat di dock pribadinya seperti sedang duduk, mengembalikan senjata-senjatanya ke tempatnya, dan terakhir, sambil menarik nafas dalam-dalam, mematikan semua Realizer-nya.

Bersamaan dengan itu, bobot perlengkapan dan tekanan yang tidak ia rasakan sesaat yang lalu, semua terhempas ke tubuhnya sekaligus.

Terdengar suara mesin yang menyala di belakangnya, dan thrusters yang dibawanya terlepas.

Namun, sampai sekitar tiga menit kemudian, baru Origami dapat beranjak dari tempat itu.

Hal ini selalu terjadi setelah menggunakan CR-Unit. Kembali dari seorang superhuman menjadi orang biasa, tubuh akan terasa luar biasa berat.

Combat Realizer Unit. Biasa disebut CR-Unit

Itu adalah nama yang diberikan pada perlengkapan taktis yang menggunakan teknologi ajaib, Realizer, yang diperoleh manusia setelah spacequake besar tiga puluh tahun lalu.

Dengan mengambil hasil kalkulasi komputer, dan memutarbalikkan hukum-hukum Fisika, kemudian memanifestasikannya di dunia nyata.

Singkatnya, meskipun ada beberapa batasan, ini adalah teknologi yang mengubah imajinasi menjadi kenyataan. Disebut-sebut sebagai sistem yang menghasilkan ‘sihir’ melalui cara ilmiah.

Pada saat yang sama, ini adalah satu-satunya cara bagi manusia untuk bertempur melawan Spirit.

“Buka jalan! Tandu lewat!”

Sebuah sahutan terdengar dari arah kanan.

Menggerakkan hanya matanya, Origami melihat seorang anggota squad yang terbalut wiring suit yang sama dengannya di atas tandu tersebut.

“... sial, sial, gadis itu...! Sumpah, akan kubunuh dia...!”

Anggota squad di tandu tersebut sedang menahan sebuah perban berembesan darah di kepalanya dan mencaci-maki dengan kesal saat dia dibawa pergi.

“...”

Sepertinya tidak ada masalah kalau dia bisa mengumpat dengan gencar seperti itu. Kehilangan ketertarikannya, Origami memindahkan tatapannya kembali.

Kenyataannya, kalau pengobatan dilakukan menggunakan Realizer medis, selama itu bukan luka yang benar-benar serius, luka tersebut dapat dipulihkan seketika. Ketika Origami mematahkan kakinya sebelumnya, sehari setelahnya ia sudah bisa berjalan lagi.

“——”

Sambil menarik napas panjang, Origami melirik sedikit ke atas.

Ia mengingat kembali pertarungan hari ini.

—Malapetaka yang akan menghancurkan dunia, Spirit.

Keabnormalan yang membuat bahkan kelompok superhuman seperti Origami tidak dapat berharap untuk menyentuhnya.

Muncul entah dari mana, menghamburkan kehancuran tanpa alasan, monster yang setingkat dengan bencana alam.

“...”

Pada akhirnya, pertarungan hari ini berakhir dengan Lostmenghilangnya sang Spirit, meskipun lebih kelihatan seolah Spirit tersebut yang memutuskan untuk menutup tirai.

Lost bukan berarti Spirit itu sudah tewas.

Makna sebenarnya adalah Spirit tersebut meloloskan diri melalui dimensi lain.

Meskipun tercatat seolah tindakan AST-lah yang mengusir Spirit, Origami serta semua anggota yang terlibat langsung dalam pertarungan tahu.

Sang Spirit tidak merasakan ancaman sedikitpun dari mereka, dan ketika sang Spirit lost, itu murni karena kemauannya saja.

“… tsk.”

Ekspresinya tidak berubah sama sekali.

Namun, Origami menggigit keras gigi belakangnya.

“Origami”

Suara yang datang dari dalam hangar memecah pemikiran Origami.

“...”

Tanpa bersuara, ia berbalik menghadap suara tersebut. Tubuhnya mungkin masih belum terbiasa, karena kepalanya terasa sangat berat.

Basic realizer yang terpasang pada wiring suit, sekali dinyalakan, dapat memperluas territory seseorang sampai beberapa meter di sekitarnya.

Territory ini adalah esensi dari CR-Unit. Seperti yang namanya nyatakan, itu adalah ruang di mana angan-angan sang pengguna dapat menjadi kenyataan.

Territory mempunyai kemampuan untuk memperingan benturan dari luar, bahkan juga membuat gravitasi di dalam dapat diatur semaunya. Selama territory ini terbentang, para anggota AST dapat menjadi manusia super.

Karena itu sebagai gantinya, untuk sementara waktu setelah menggunakan CR-Unit, sulit untuk menggerakan tubuh dengan bebas.

“Kerja yang bagus.”

Di sana, memakai wiring suit yang sama dengan Origami, berdiri seorang wanita yang sedang pada pertengahan usia 20-annya dengan tangan di pinggang.

DAL v01 073.jpg

Kapten Kusakabe Ryouko. Perwira yang mengepalai AST di mana Origami berada.

“Kau benar-benar hebat mengusir Spirit itu sendirian. ...tadi aku mengomeli Tomonara dan Kagaya habis-habisan. Apa coba yang mereka pikirkan, kabur dan menyerahkan Spirit itu pada Origami seorang diri.”

“Saya tidak mengusirnya.”

Origami menjawab. Ryouko mengangkat bahu.

“Yah, aku akan melaporkannya seperti itu pada atasan. Kalau kita tidak menunjukan hasil sedikitpun pendapatan kita akan berkurang.”

“...”

"Ayolah, jangan memasang wajah seperti itu. Aku memujimu kok. Pada situasi ini, di mana bangku ace masih kosong, kau melakukan usaha yang bagus. Lagipula, kalau kau tidak ada disana, jumlah orang yang akan tewas bukan hanya satu atau dua.”

Fuuuu, dia menghela nafas.

“Tapi hey,”

Ryouko menajamkan mata, menggenggam kepala Origami dan memutarnya ke arahnya.

“Kau sedikit kelewatan.—Kau benar-benar mau mati ya?”

“...”

Pandangan tajamnya masih terfokus pada Origami seraya Ryouko melanjutkan.

“Kau ini, mengerti atau tidak lawan seperti apa yang kau hadapi? Yang benar saja, dia itu monster. Badai topan yang punya otak.—mengerti? Sebisamu, cegah kerusakan sampai seminimal mungkin, semampumu, buat dia lost secepat mungkin. Itulah tugas kita. Jangan melompat ke dalam bahaya dengan sia-sia.”

“—salah.”

Origami menjawab sambil menatap Ryouko tepat di matanya, dan sekali lagi membuka bibirnya sedikit.

“Untuk mengalahkan para Spirit, itu adalah tugas AST.”

“...”

Ryouko memberengut.

Sebagai kapten AST, dia seharusnya mengerti nama Anti Spirit Team lebih dari pada Origami.

Karena dia mengerti, dia menyatakan hal itu.

—Kita tidak bisa berbuat lebih dari mencegah kerusakan.

Namun, meskipun ia mengerti akan hal itu, Origami mengulanginya lagi.

“—Saya akan, mengalahkan para Spirit."

“...”

Ryouko menghela nafas, dan melepas tangannya dari kepala Origami.

“... aku tidak berencana untuk mendengar pemikiranmu pribadi. Berpikirlah sesukamu.—Tapi, kalau kau sampai terlihat akan melawan perintah ketika berada di medan perang, kau akan dikeluarkan dari team.”

"Dimengerti."

Origami memberi jawaban pendek, bangkit dengan tubuhnya yang akhirnya sudah terbiasa, dan berjalan pergi.


Bagian 4

“—Jadi, yang di sini adalah monster yang kami sebut Spirit, dan yang ini adalah AST. Mereka adalah Anti Spirit Team dari Angkatan Darat Bela Diri Jepang. Kau sudah melibatkan diri ke situasi yang cukup mengkhawatirkan, tahu? Kalau kami tidak menjemputmu, kau mungkin sudah mati dua atau tiga kali. Jadi, menuju hal berikutnya—”

"Se-sebentar!"

Shidou mengeraskan suaranya, mencoba menahan Kotori yang telah memulai penjelasan kilatnya.

“Ada apa? Setelah semua kerepotan yang komandan ini lalui untuk memberikan penjelasan langsung padamu. Kalau kau mau menangis, lakukanlah dengan sedikit lebih terhormat. Karena sudah seperti ini, aku setidaknya dapat memberikanmu perlakuan spesial untuk menjilat bawah kakiku.”

Sedikit mengangkat dagunya, dengan tatapan yang sepertinya merendahkan Shidou, sungai dampratan yang tidak-seperti-Kotori mengalir keluar dari mulutnya.

“Be-benarkah!?”

Suara penuh kegembiraan tersebut datang dari yang berdiri di samping Kotori, Kannazuki. Kotori langsung menjawab “bukan kau” dan menyikut ulu hatinya.

“Gah...!”

Menonton perbincangan tersebut, Shidou membuka mulutnya dalam keterkejutan.

“...Ko-Kotori... Itu kau? Kau baik-baik saja?”

“Ara, apa kau lupa wajah adikmu sendiri, Shidou? Aku tahu kau payah dalam mengingat, tapi aku tidak sampai mengira akan separah ini. Mungkin ide bagus untuk memesan tempat di rumah pensiunan sekarang juga.”

Setitik peluh mengaliri wajah Shidou.

Ia mencubit pipinya. Sakit.

Imouto Shidou yang cantik tidak seharusnya berhenti memanggilnya ‘onii-chan’.

Menggaruk belakang kepalanya, Shidou berbicara dengan suara kebingungan.

“...entah kenapa, aku sangat bingung seolah-olah isi kepalaku sudah menjadi Crocodile Panic[23]. Apa yang sebenarnya terjadi? Selain itu, di mana aku? Siapa orang-orang ini? Dan juga—”

Kotori, mengangguk “oke, oke”, mengangkat telapak tangannya dan menghentikan Shidou.

“Tenanglah. Kalau aku tidak bisa mengerti apa yang kau katakan, bagaimana bisa aku menjawabnya.”

Sambil mengatakan ini, Kotori menunjuk layar di bridge.

Di sana, gadis berambut hitam yang Shidou temui sebelumnya, juga orang-orang berbalut armor mekanik, sedang ditampilkan.

“Uhmm... kau bilang... Spirit?”

Shidou bertanya sambil menggaruk pipinya. Ia mengingat kata yang Kotori gunakan di penjelasannya sebelumnya.

Muncul begitu saja di dunia, monster yang tak dikenal asal-usulnya.

“Ya. Dia adalah makhluk yang aslinya tidak berasal dari dunia ini. Hanya dengan muncul di dunia ini saja, tanpa kemauannya atau semacam itu, daerah sekitarnya akan tersapu habis.”

Dengan suara bang, Kotori menyatukan kedua tangannya, kemudian membukanya, menggambarkan sebuah ledakan.

Shidou menggerenyit, tangannya masih berada di pipinya.

“...maaf, hal ini sedikit terlalu luas jadi sulit aku mengertinya.”

Mendengar ini, Kotori mengangkat bahunya, “kau masih belum mengerti setelah semua ini?”, dan mengeluh.

“Apa yang kubicarakan adalah spacequake, atau lebih tepatnya fenomena yang kita sebut demikian, adalah buah dari kedatangan Spirit seperti gadis tersebut di dunia kita.”

“Ap...”

Shidou tanpa sadar mengernyitkan alisnya.

Gempa di ruang terbuka. Spacequake.

Fenomena yang sangat tidak masuk akal yang menggerogoti kehidupan manusia, menggerogoti dunia.

Dan alasan dibaliknya, adalah karena gadis itu—?

“Yah... skala kehancurannya bervariasi. Bisa sebatas beberapa meter saja, atau bisa sebesar—kira-kira sampai taraf membuat lubang raksasa di benua.”

Kotori membuat lingkaran besar dengan tangannya.

Dia mungkin sedang berbicara mengenai spacequake pertama tiga puluh tahun lalu—yang dikenal dengan sebutan Bencana Langit Eurasia.

“Keberuntungan sedang ada di sisimu, Shidou. Kalau saja skala ledakan kali ini sedikit lebih besar, kau mungkin sudah terhempas seketika.”

“...”

Seperti yang dia katakan. Bahkan sekarang, tubuh Shidou meringkuk ketakutan.

Melihat Shidou seperti ini, Kotori setengah memejamkan matanya.

“Dan lagipula, kenapa juga kau pergi keluar ketika peringatannya sedang berbunyi? Kau idiot ya? Kau mau mati?”

“Bukan bukan itu... itu karena kau, lihat ini.”

Shidou menarik handphone-nya keluar dari saku, dan menunjukkan data posisi Kotori. Seperti yang dikiranya, ikon Kotori berhenti di depan restoran keluarga.

“Hm? Ahh, itu.”

Namun, Kotori mengambil handphone-nya sendiri keluar dari sakunya.

“Ahh...? Kenapa kau membawa, itu.”

Shidou melihat bolak-balik antara layar handphone-nya dan handphone yang Kotori pegang tepat di depan matanya. Karena Kotori berada di tempat ini, ia yakin sepenuhnya kalau dia telah menjatuhkan handphone-nya di depan restoran keluarga.

Kotori mengangkat bahunya, dan melepas keluhan panjang.

“Aku sudah bertanya-tanya kenapa kau pergi keluar ketika peringatan sedang berbunyi, jadi ini alasannya. Kau pikir aku ini sebego apa, dasar kakak bodoh.”

“Ta-tapi... ehh, kenapa ini—”

“Sederhana saja. Alasannya karena kita sekarang ini ada di depan restoran keluarga itu.”

“Huh...?”

“Baiklah. Kurasa lebih cepat kalau aku menunjukannya padamu.—Matikan filternya.”

Mengikuti perintah Kotori, bridge yang redup itu seketika menjadi terang.

Namun, sebenarnya bukan lampunya yang dinyalakan. Lebih tepatnya, sepertinya sebuah tirai yang mengkubahi langit-langit tiba-tiba dilepas.

Nyatanya, langit biru terbentang di sekeliling mereka.

“Ap-Apa ini...”

“Tolonglah jangan ribut-ribut. Pemandangan di luar adalah seperti yang kau lihat.”

“Pemandangan diluar adalah... ini.”

“Mhmm. Di mana kita sekarang ini berada adalah 15000 meter di atas Kota Tenguu. Menurut lokasi, tanpa sengaja ini berakhir tepat di sekitar restoran keluarga tempat kita berencana untuk bertemu.”

“Di mana kita, berada...”

“Yup. <Fraxinus> ini adalah pesawat udara.”

Seraya melipat tangannya, Kotori menyeringai *fufun*. Dia terlihat seperti anak kecil yang membanggakan mainan favoritnya. Tidak—kalaupun begitu, mungkin lebih mirip dengan seorang ibu yang sedang memperkenalkan anaknya yang diasuh dengan penuh kesabaran.

“Pe-pesawat...? Apa-apaan itu. Kenapa kau ada di dalam tempat semacam ini?”

“Karena itulah, bukankah aku sudah bilang dengarkan penjelasanku secara berurutan? Bahkan ayam saja bisa mengingat sampai tiga langkah[24].”

“Uuuu...”

“...tapi, tak habis pikir kalau tempat ini sampai bisa ditemukan pencari jejak handphone, kita benar-benar tidak memperhatikan hal itu. Kita melengahkan pertahanan setelah menambahkan Invisible dan Avoid menggunakan Realizer. Kita harus memikirkan penanggulangannya nanti.”

Sambil menggumamkan kata-kata yang Shidou tidak mengerti, Kotori menempatkan tangan di dagunya.

“A-apa yang kau bicarakan?”

“Ahh, jangan khawatirkan itu. Aku tidak mengharapkanmu untuk mengerti itu lagipula, Shidou. Bagaimanapun juga, kau punya otak yang bahkan kalah dengan kepiting bulu jika dihargai per-gramnya.”

“...”

“Komandan. Miso kepiting tidak terbuat dari otak melainkan usus.”

Setetes keringat mengaliri wajah Shidou saat Kannazuki mengatakan itu dengan suara yang mantap.

“...”

Kotori menggerakan jari-jarinya, memberi isyarat padanya untuk mendekat, dan Kannazuki menunduk ringan.

Dan kemudian, *pa*, stik lolipop yang sudah habis ditusukkan ke matanya.

“Nuaaaaghh!”

Sambil mencengkeram matanya, Kannazuki terguling kebelakang.

“K-kau baik-baik saja?!”

Dia tidak kelihatan seperti sedang berakting. Shidou mengeraskan suaranya karena khawatir.

Namun, tepat saat ia bermaksud untuk berlari mendekat, ia menghentikan kakinya.

Kannazuki, yang terjatuh ke lantai, menarik sapu tangan dari dalam sakunya, dan dengan ekspresi bahagia, dengan tenang membungkuskannya ke stik lolipop yang baru saja Kotori tusukkan padanya.

“Maaf, apa saya membuatmu khawatir? Tidak apa-apa, ini adalah bentuk penghargaan dalam bidang pekerjaan kami!”

Sambil mengatakan ini, Kannazuki segera bangkit, berdiri tegak sempurna.

Bidang pekerjaan macam apa itu, Shidou tidak mau mengetahui lebih dalam detilnya.

“Kannazuki.”

“Siap.”

Kotori mengangkat dua jari, dan Kannazuki mengambil dan mengulurkan dua permen pengganti padanya.

“Nah, kembali ke topik. AST. Itu adalah satuan yang berspesialisasi dalam bidang Spirit.”

Sembari berbicara, Kotori menunjuk sekelompok orang yang ditunjukkan di layar.

“... satuan yang berspesialisasi dalam bidang Spirit... apa spesifiknya yang mereka lakukan?”

Mendengar pertanyaan Shidou, Kotori mengangkat alisnya seakan jawabannya sudah jelas.

“Sederhana. Kalau Spirit muncul, maka mereka akan datang terbang dan menanganinya.”

“Menanganinya...?”

“Intinya, memusnahkannya.”

“...!”

Sebenarnya apa yang Kotori katakan tidak membuatnya terkejut.

Hanya saja—Shidou diserang oleh sebuah sensasi seakan hatinya sedang diremas.

“M-memusnahkan...?”

“Yup.”

Acuh tak acuh, Kotori mengangguk.

Shidou menelan ludah. Suara detak jantungnya sangat kencang.

Ia sudah mengerti apa yang mereka bicarakan. Spirit. Dia memang keberadaan yang membahayakan.

Tapi—tak peduli apapun, sampai sejauh itu, membunuhnya.

Tiba-tiba, Shidou melihat wajah gadis itu dibenaknya.


(—Lagipula, bukannya kau datang untuk membunuhku juga?)


Makna dibalik kata-kata yang diucapkan gadis itu, ia akhirnya mengerti.

Begitu juga dengan makna dari wajah yang terlihat seakan air mata akan membanjir keluar darinya pada saat kapanpun.

“Yah, kalau kau melihatnya dengan cara biasa, kalau dia mati mungkin itulah yang terbaik untuk kita.”

Nampaknya tanpa emosi tertentu, Kotori berbicara.

“Ke-Kena...pa?”

“Kenapa, kau bertanya?”

Dengan ekspresi meringis, Shidou bertanya seperti sedang mengeluh, dan Kotori dengan wajah bijaksana menempatkan tangannya di dagu.

“Tak ada yang aneh dengan itu kan? Dia itu monster. Hanya dengan muncul di dunia ini dia menyebabkan spacequake. Dia adalah racun paling jahat dan paling mematikan!”

“Tapi, bukannya kau sudah bilang sebelumnya? Kalau spacequake tidak ada urusannya dengan keinginan Spirit.”

“Itu benar. Setidaknya, sudah diyakini secara luas kalau ledakan dari pertama kali memasuki dunia ini tidak ada relasinya dengan keinginan Spirit itu sendiri.—Tapi, sudah ada bekas-bekas kehancuran dan korban spacequake dari hasil pertarungan dengan AST setelahnya.”

“... tapi bukannya itu karena orang-orang dari AST itu yang menyerangnya?”

“Yah, bisa begitu juga. —Namun, itu tidak lebih dari sekadar dugaan saja. Bisa juga, seandainya AST tidak melakukan apa-apa, sang Spirit dengan senang hati memulai aktivitas destruktifnya.”

“Itu... mungkin tidak akan terjadi.”

Kotori memiringkan kepala keheranan mendengar pendapat Shidou.

“Apa buktimu?”

“Seseorang yang menghancurkan jalanan untuk bersenang-senang... tidak mungkin dapat membuat wajah seperti itu.”

Hal seperti ini mungkin terlalu samar dan lemah untuk dikatakan sebuah bukti namun... entah kenapa, Shidou mempercayai itu dari lubuk hatinya.

“Jadi itu mungkin bukan berdasarkan keinginan mereka kan? Tapi tetap saja—”

“Baik mereka menyebabkannya dengan sengaja atau tidak bukanlah masalahnya. Bagaimanapun juga, kenyataannya sang Spirit-lah yang menyebabkan spacequake tersebut. Bukannya aku tidak mengerti yang kau maksud, tapi kau tidak mungkin membiarkan keberadaan berbahaya yang se-level bom nuklir itu begitu saja hanya karena kau kasihan padanya. Hari ini memang berakhir dengan ledakan kecil saja, tapi kita tidak bisa yakin kalau yang berikutnya bukan bencana level Eurasia.”

“Tetap saja... membunuhnya...”

Shidou dengan keras kepala membantah, dan, menggumamkan “ya ampun”, Kotori mengangkat bahu.

“Kalian baru saja bertemu selama beberapa menit, dan tambah lagi dia adalah seseorang yang hampir membunuhmu, tapi kau masih membelanya. …masakah, kau jatuh hati padanya?”

“B-bukan. Aku hanya berpikir kalau misalnya ada jalan lain.”

“Jalan lain ya, huh.”

Mendengar kata-kata Shidou, Kotori melepas desahan panjang.

“Kalau begitu coba kita dengar, apa ada jalan lain yang kau pikirkan?”

“Itu—”

Kata-katanya berhenti.

Dalam pikirannya, ia sudah mengerti sepenuhnya apa yang telah Kotori ucapkan.

Makhluk menyimpang yang meninggalkan kerusakan mendalam pada dunia hanya dengan kemunculannya—Spirit.

Keberadaan seperti dirinya harus dimusnahkan secepat mungkin.

Namun, hanya untuk sekilas.

Shidou telah menyaksikannya. Wajah sang gadis, yang kelihatannya tangisan akan segera terlimpah keluar darinya.

Shidou telah mendengarnya. Suara sang gadis, penuh kesedihan.

—Ahh, ini semua salah, itulah yang ia pikirkan.

“...bagaimanapun juga.”

Dari mulut Shidou, kata-kata mulai mengalir secara natural.

“Kalau... kita tidak berbicara baik-baik dengannya sekali saja... kita tidak akan tahu.”

Rasa takut menghadapi kematian di muka pada saat itu masih terukir di kedalaman tubuhnya.

Jujur saja itu adalah rasa takut yang membuat seseorang ingin lari.

Akan tetapi, Shidou tidak bisa meninggalkan gadis itu begini saja.

Karena dia—sama seperti Shidou.

Mendengar kata-kata Shidou, bibir Kotori membusur membentuk senyum nakal.

Seolah dia sedang berkata “Aku sudah menunggu kata-kata itu”.

“Begitu ya. —Kalau begitu, biarkan aku membantumu.”

“Huh...?”

Saat mulut Shidou menganga terbuka, Kotori membentangkan lengannya lebar-lebar.

Reine, dan Kannazuki, dan seluruh crew di bawah, dan juga pesawat udara ini—<Fraxinus>, sepertinya dia sedang menunjukkan semua ini.

“Aku bilang, kami akan mendukungmu untuk hal tersebut. Seluruh kekuatan <Ratatoskr> akan digunakan untuk mendukung Shidou.”

Dengan gerakan yang elegan, Kotori menaruh jari-jari di lututnya.

“Ap-Apa yang kau bicarakan. Aku tidak—”

“Biarkan aku menjawab pertanyaan pertamamu. Mengenai siapa kami.”

Seperti ingin mencela pertanyaan Shidou, Kotori mengeraskan suaranya.

“Oke? Jalan untuk menangani seorang Spirit pada dasarnya terbagi menjadi dua metode utama.”

“Dua...?”

Shidou bertanya, Kotori mengangguk dalam-dalam, dan kemudian mengangkat jari telunjuknya.

“Yang pertama, adalah penanganan yang diambil AST. Metode pemusnahan melalui adu kekuatan.”

Mengikutinya, jari tengahnya juga ikut naik.

“Yang satu lagi... menggunakan metode percakapan dengan para Spirit. —Kami adalah <Ratatoskr>. Kami adalah sebuah organisasi yang dibentuk dengan tujuan menangani spacequake tanpa membunuh para Spirit, melalui percakapan.

“...”

Shidou mengernyitkan alisnya sambil berpikir. Mengenai apa sebenarnya organisasi ini, dan mengapa Kotori ambil bagian dalam organisasi seperti itu, ada banyak pertanyaan dalam benaknya, tapi—untuk sekarang, ia menanyakan apa yang paling ditanya-tanyakan dalam pikirannya.

“... lalu, kenapa organisasi seperti itu akan mendukungku?”

“Kau punya dasar pemikiran yang salah. Pada dasarnya, organisasi yang disebut <Ratatoskr> ini adalah organisasi yang dibentuk untuk Shidou.”

“Ha, haaaa...!?”

Shidou mengalami kesulitan yang mencengangkan dalam berekspresi, dan berkata dengan suara histeris.

“Sebentar. Sekarang aku lebih bingung lagi dari sebelumnya. Untukku?”

“Ya. —yah, mungkin lebih tepat dibilang kalau ini adalah organisasi untuk mendirikan pondasi bagi peran Shidou dalam bernegosiasi dengan Spirit dengan tujuan menyelesaikan masalah para Spirit. Bagaimanapun juga, ini adalah organisasi yang tidak akan ada jika Shidou tidak ada.”

“Tu-tunggu. Apa maksudmu? Apa semua orang ini dikumpulkan untuk alasan itu? Atau lebih penting lagi, kenapa aku!”

Shidou bertanya, dan sambil memutar-balikan permen di mulutnya, Kotori bergumam.

“Mm, yah, Shidou itu spesial.”

“Itu bukan penjelasaaaaaaaaan!”

Tidak tahan lagi, ia berteriak.

Namun Kotori tersenyum menantang, dan membuat gerakan mengangkat bahu.

“Yah, kau akan mengerti alasannya seiring waktu. Bukankah ini bagus? Aku bilang kalau kami, seluruh anggota dan semua teknologi kami, akan mendukung tindakanmu. Atau—apa kau berencana untuk berdiri di tengah-tengah Spirit dan AST tanpa persiapan sendirian? Kau akan mati, pastinya.”

Kotori menyipitkan matanya dan berbicara dengan suara dingin. Tanpa sadar, Shidou menahan nafas.

Benar yang dikatakan Kotori. Shidou hanya melantunkan idealisme dan harapannya, tapi tidak memiliki kemampuan apapun untuk membuatnya menjadi kenyataan.

Banyak sekali hal-hal yang ingin ia katakan sampai-sampai semuanya bisa membanjir dari dalam tenggorokannya, tapi ia entah bagaimana dapat menahannya, dan menanyakan hanya apa yang akan membuat laju pembicaraan maju.

“... jadi untuk itu, metode percakapan, apa saja intinya yang perlu dilakukan?”

Senyum tipis terbersit di wajah Kotori.

“Mengenai itu.”

Dia kemudian menempatkan tangannya di dagu.

“Buat Spirit itu—jatuh cinta.”

Sambil menyeringai, dia dengan bangga mengatakan itu.

......

Setelah agak lama.

“...ha?”

Setetes keringat menuruni wajah Shidou saat ia memberengut.

“... maaf, aku tidak sepenuhnya paham.”

“Seperti yang kukatakan, berteman dengannya, bicara dengannya, goda dia, kencani dia, dan buat dia tergila-gila karena cinta.”

Mendengar Kotori mengatakan ini seakan sudah biasa, Shidou membenamkan kepalanya di tangannya.

“...uhm, dan kenapa hal itu dapat menyelesaikan problem spacequake?”

Kotori menaruh satu jari di dagunya dan dengan “mmmm” membuat postur berpikir.

“Kalau kita menginginkan sebuah solusi untuk spacequake tanpa menggunakan kekerasan, maka kita perlu membujuk Spirit tersebut kan?”

“Kelihatannya benar.”

“Untuk itu, bukankah lebih cepat untuk membuat Spirit itu menyukai dunia ini? Oh, dunia ini sangat menakjubkan~, kalau mereka seperti itu, maka bahkan seorang Spirit-pun tidak akan mengamuk begitu saja.”

“Begitu ya.”

“Lalu, yah, bukankah sering dikatakan? Kalau kau sedang jatuh cinta maka seluruh dunia akan terlihat indah. —Karena itu, kencani dia, dan buat Spirit itu jatuh hati padamu!”

“Tidak, ada yang salah dengan logikamu.”

Jelas sekali kalau logikanya sudah di luar jendela. Ketika cucuran keringat membanjiri wajah Shidou, ia berkomentar.

“A-Aku tidak bisa menjalani hal semacam itu...”

“Diam kau fried chicken.”

Shidou mencoba menyuarakan komplain, namun Kotori menutupinya dengan suara kuat yang tidak memperbolehkan pilihan untuknya.

“Aku tidak akan membiarkan AST untuk membunuh para Spirit~, pasti ada jalan lain~, tapi aku tidak suka cara <Ratatoskr>~...? Kalau kau ingin bersikap naif setidaknya jangan berlebihan kau kumbang bombardier. Apa yang dapat kau lakukan sendirian? Ketahuilah kemampuanmu sendiri.”

“Ugghh...”

“—Aku tidak perlu persetujuan dari dasar perutmu. Tapi, kalau kau tidak mau membunuh para Spirit... maka kau tidak punya ruang untuk memilih metodenya.”

Entah mengapa, senyum jahat terbersit di wajah Kotori.

Kenyataannya, memang benar yang dikatakannya.

Tanpa kekuatan atau dukungan, bahkan jika Shidou ingin berbicara dengan gadis Spirit itu sekali lagi saja, hal itu tidak akan jadi kenyataan.

Metode AST sudah di luar pertanyaan—bahkan grup Kotori mungkin ingin menangkap Spirit untuk keperluan pribadi mereka, hanya itulah alasan yang dapat ia pikirkan.

Tetapi—adalah kenyataan kalau tidak ada jalan lain.

“..., aku mengerti.”

Shidou dengan getir mengangguk, dan senyum Kotori mewarnai wajahnya.

“—Yoroshiku. Melihat data sampai sekarang, kali berikutnya seorang Spirit muncul adalah setidaknya satu minggu kemudian. Kita akan segera memulai latihan besok.”

“Huh...? Latihan...?”

Shidou bersuara, tak bergeming.


Bagian 5

Tibalah hari berikutnya.

“Kemari.”

“Eh?”

Tiba-tiba.

Tangan Shidou digenggam oleh Origami, dan ia bersuara penuh kebingungan.

“Ah, tu-tunggu...”

Kursinya terjatuh diiringi suara benturan, dan ia diseret keluar dari kelas oleh Origami.

Di belakangnya, mulut Tonomachi ternganga lebar, dan entah mengapa sekelompok gadis sedang membuat keributan *kyaa, kyaa*.

Sembari memikirkan rumor yang akan mulai menjalar ke sekitarnya, Shidou mengikuti Origami. Yah, setidaknya itu lebih baik ketimbang diperlakukan sebagai best couple bersama dengan Tonomachi, ia menghibur diri.

11 April, Selasa.

Itu adalah keesokan hari sesudah Shidou menjalani pengalaman yang aneh dan tidak realistis.

Pada akhirnya, setelah itu Shidou dipindahkan ke ruangan lain di mana ia diberikan penjelasan mendetil mengenai situasi tersebut yang berlangsung sampai malam oleh seorang lelaki yang tidak dikenalnya (sejujurnya, ia tidak sepenuhnya mengingat bagian-bagian akhirnya), dan setelah menandatangani berbagai formulir ia akhirnya diperbolehkan untuk pulang ke rumah.

Tanpa mandi ia melompat ke atas ranjangnya, dan sebelum ia menyadarinya, hari sudah pagi.

Ia menyeret tubuhnya yang lesu ke sekolah, dan bertahan melewati pelajaran sambil menggosok-gosok mata mengantuknya, dan akhirnya pelajaran terakhir berakhir—itu yang sedang ia pikirkan pada saat insiden itu terjadi.

Tanpa berkata-kata, Origami menaiki tangga sampai dia mencapai pintu menuju atap yang terkunci rapat, dan akhirnya melepaskan tangannya.

Suara keramaian murid-murid yang meninggalkan sekolah terasa sangat jauh.

Biarpun ada orang-orang kurang dari sepuluh meter jauhnya, tempat ini terasa seperti ruang yang sepi, terisolir.

“Eh, uhmm...”

Meskipun ia tidak memiliki perasaan apapun terhadap Origami, entah kenapa, dibawa ke tempat seperti itu oleh seorang gadis, ia merasa canggung. Pandangan Shidou melayang kemana-mana.

Namun, tanpa basa-basi,

“Kemarin, kenapa kamu ada di tempat seperti itu?”

Dia berbicara sambil melihat tepat ke mata Shidou.

“Yah, kemarin kelihatannya adikku masih ada di jalanan setelah peringatannya berbunyi, jadi aku mencarinya...”

“Begitu.—Kau bertemu dengannya?”

Shidou menjawab, dan dengan ekspresinya yang tidak berubah, bahkan tanpa menunjukan kekagetan, Origami membalas.

“—A-Ah... ya.”

“Begitu. Syukurlah.”

Setelah mengatakan ini, bibir Origami lanjut bergerak.

“—Kemarin, kamu melihat saya.”

“Ah, ya...”

“Jangan beritahu siapa-siapa.”

Saat Shidou baru saja ingin mengiyakan, Origami berkata dengan suara memerintahkan.

Aku ingin tahu bagaimana dia akan bereaksi jika aku menjawab “Kalau kau tidak mau semua orang tahu sebaiknya kau turuti yang kukatakan, hehehe”, rasa penasaran berbahaya semacam itu terbaca di wajah Shidou.

Tapi seperti yang diduga, Shidou tidak punya keberanian sebesar itu. Ia perlahan menundukkan kepala kedepan.

“Tambahan, bukan hanya tentang saya—tapi semua yang kamu lihat dan dengar. Lebih baik kamu melupakan itu semua.”

Dia pastinya... berbicara mengenai Spirit itu.

“... maksudmu gadis itu?

“...”

Origami hanya memandang Shidou sambil terdiam.

“H-Hey... Tobiichi, gadis itu—”

Ia sudah mendengar tentang Spirit dari <Ratatoskr>, tapi Shidou tetap bertanya.

Pada akhirnya, itu cuma dari sudut pandangan Kotori dan organisasinya. Jika dari orang-orang seperti Origami yang bersilang pedang dengannya, ia pikir bisa jadi mereka memiliki pola pikir yang berbeda.

“Itu adalah Spirit.”

Origami memberikan jawaban pendek.

“Itu sesuatu yang harus saya kalahkan.”

“... s-spirit itu, apa dia orang jahat...?”

Shidou mencoba melemparkan pertanyaan ini.

Saat ia melakukannya, hanya samar-samar, namun ia rasa ia melihat Origami menggigit bibirnya.

“—Orang-tua saya, lima tahun lalu, dibunuh oleh Spirit.”

“... ap—”

Jawaban tak terduga itu menghalangi kata-kata Shidou.

“Saya tidak mau lagi ada orang-orang seperti saya.”

“... be, gitukah—”

Shidou menaruh tangan di dada.

Ia mencoba bagaimanapun caranya untuk menenangkan detak jantungnya yang berdebar sangat kencang.

Akan tetapi, tiba-tiba gagasan yang mengkhawatirkan tiba-tiba muncul di pikirannya. Sambil menggaruk pipinya, ia menanyakan Origami, yang sampai sekarang masih menatap lurus padanya.

“Kalau kupikir-pikir lagi, Tobiichi... mengenai Spirit itu, dan hal-hal semacam itu, tidak apa kalau kau berbicara tentangnya...? Yah, memang aku yang bertanya tentang hal-hal itu...”

“...”

Origami terdiam sejenak.

“Tidak apa-apa.”

“Be-begitu ya?”

“Kalau kamu merahasiakannya.”

“... dan kalau tidak?”

“...”

Lagi-lagi, sejenak dia berhenti berkata-kata

“Akan bermasalah.”

“Begitu... gawat juga. ...aku janji, aku tidak akan memberitahu siapa-siapa.”

Dengan anggukan, Origami mengiyakan.

Pada akhir perbincangan mereka, Origami memindahkan pandangannya dari Shidou, dan menuruni tangga.

“... fuuu...”

Setelah ia tidak dapat melihat punggung Origami lagi, Shidou bersandar pada dinding dan menghela nafas. Meskipun yang mereka lakukan cuma berbicara, ia merasakan kegelisahan yang sangat.

“Orang-tuanya, dibunuh oleh Spirit—ya.”

*Dong*, ia membenturkan kepalanya di dinding, dan bergumam.

Para Spirit disebut-sebut sebagai malapetaka yang akan menghancurkan dunia. Hal seperti itu—mungkin begitulah kenyataannya.

“... mungkin aku memang naif ya...”

Origami dan Kotori, meskipun arah mereka sangat berbeda, mereka bergerak dibawah kepercayaan mereka yang teguh.

Namun bagaimana dengan Shidou?

Kata-kata tajam yang ia katakan di depan Kotori kemarin, dapatkah ia mengatakan hal yang sama pada Origami?

“...”

*Haaa*, ia melepas nafas. Ia tidak berpikir kalau tindakannya salah, tapi ia memiliki perasaan yang berliku-liku.

Lalu, baru saja Shidou ingin menuruni tangga.

“Kyaaaaaaaaaaaaaaa—!!”

Dari arah koridor, ia mendengar jeritan seorang siswi.

“...!? A-Ada apa?”

Dengan terburu-buru ia meloncati tangga dan menengok, ia melihat banyak murid telah berkumpul di koridor.

Di tengah-tengahnya, ia melihat seorang wanita yang memakai jas putih pingsan di lantai.

“Ap-Apa yang terjadi?”

“Se-sepertinya dia guru baru, dan... tiba-tiba dia jatuh...!”

Aku bertanya, dan seorang siswi di dekat segera menjawab.

“Aku tidak mengerti, tapi sekarang ayo panggil perawat—”

Saat Shidou mulai berbicara, wanita berjas putih yang pingsan itu memegang kakinya.

“W-Waaaah!?”

“......jangan khawatirkan saya. Saya hanya tersandung.”

Seraya berbicara, wanita itu pelan-pelan mengangkat wajah yang tadinya menempel dengan lantai.

“K-kau...!”

Poni panjang dan lingkaran-lingkaran mata yang tebal. Dia sedang memakai kacamata, tapi tidak mungkin Shidou dapat melupakan keunikan wajah tersebut.

“......hn? Ahh, kamu kan—”

Wanita itu—Petugas Analisis <Fraxinus>, Murasame Reine, perlahan-lahan membangkitkan diri dari lantai.

“Ap-apa yang sedang kau lakukan di tempat ini...?”

“...... kamu tidak bisa menebak dengan melihat saja? Saya sudah menjadi guru. Lebih tepatnya saya akan mengajarkan Fisika, dan juga mengambil posisi asisten guru homeroom untuk kelas 2-4.”

Sambil menunjukkan kartu nama yang tertera di dadanya, Reine menjawab. Tanpa sengaja, boneka beruang penuh goresan itu melongok dari kantung dada yang berada tepat di atasnya.

“Tidak, tidak mungkin aku dapat menebak hal itu!”

Ia menyahuti—pada saat itu Shidou sadar kalau, anehnya, pandangan di sekelilingnya telah tertuju ke arah mereka.

“Ah... se-sepertinya orang ini baik-baik saja.”

Ia mengulurkan tangannya dan membantu Reine berdiri.

“......nn, maaf merepotkan.”

“Tidak apa-apa. Ayo bicara sambil berjalan.”

Sambil memperhatikan sekelilingnya, Shidou mengusulkan.

Menyamai langkah Reine, mereka berjalan dengan susah payah.

“Uhm—Petugas Analisis Reine?”

“......nn, ahh, ‘Reine’ saja tidak apa.”

“Huh?”

“......saya juga akan memanggilmu dengan namamu. Orang bilang koordinasi dan kerja sama dibangun dari kepercayaan.”

Reine mengangguk beberapa kali, dan memandang wajah Shidou.

“Uhm, kamu... Shintarou, bukan?”

“Terlalu jauh!”

Tidak ada yang namanya rasa saling percaya di antara mereka.

“......nah sekarang Shin, ini mungkin mendadak.”

“Apa-apaan kau langsung meneruskan saja?! Atau lebih penting lagi kau bahkan memberiku nama panggilan yang aneh!”

Sahutan itu meledak ke muka. Namun, Reine melanjutkan seakan-akan dia tidak mendengar kata-kata Shidou.

“......persiapan untuk latihan pengembangan diri yang Kotori bicarakan kemarin sudah selesai. Saya tadi sedang mencari-cari kamu. Pas sekali, sekarang mari berangkat ke gudang lab Fisika.”

Apapun yang Shidou katakan sekarang akan sia-sia saja, jadi ia menyerah untuk membalas, dan setelah mengeluh kuat, ia bertanya kembali.

“Apa sebenarnya yang akan kulakukan pada latihan ini? Uhm... Reine-san.”

“......hm. Saya dengar ini dari Kotori, Shin, sepertinya kamu tidak pernah berhubungan dengan gadis-gadis kan sebelumnya?”

“......”

—Adikku sayang, mengapa kau menyebarkan sejarah perjalanan kakakmu dengan perempuan (nol) ke orang lain?

Urat nadi kemarahan muncul di wajah Shidou saat ia memberi anggukan ambigu.

“......bukan berarti saya mencoba menyalahkanmu. Memang sangat baik untuk memiliki nilai moral yang kuat. ...Tapi, itu tidak akan membantu saat kamu mencoba menggoda seorang Spirit.”

“Ugh...”

Sembari memberengut, ia mengerang.

Mungkin itu ketika mereka berjalan lewat dekat ruangan staf, ketika

“... ah?”

Shidou melihat sesuatu yang aneh dan berhenti.

“......ada apa?”

“Tidak, itu...”

Pada arah mana ia sedang melihat, guru homeroom Tama-chan sedang berjalan—mengikuti di belakangnya, bayangan mungil dengan rambut terbagi dua lalu berbalik badan.

“Ah!”

Sepertinya dia menyadari pandangan Shidou, lalu bayangan mungil itu—ekspresi Kotori tiba-tiba berseri-seri.

“Oniii-chaaaaaaan!”

Saat itu juga, seakan terhisap ke arahnya, Kotori mendaratkan serangan mendadak pada perut Shidou.

“Hagaa...!”

“Ahahaha, kamu bilang hagaa! Si Pak Mayor! Ahahahaha!”[25]

“Ko-Kotori...!? Kenapa kau ada di sekolah ini...”

Shidou bertanya sambil mencoba melepaskan diri dari Kotori yang menempel pada perutnya, dan dari belakang Kotori, bu guru Tama-chan terburu-buru menghampiri.

“Ah, Itsuka-kun. Adikmu datang, jadi kami baru saja mau menyiarkannya.”

“A-ahh...”

Kalau dilihat baik-baik, Kotori sedang memakai sandal untuk tamu, dan mengenakan kartu pengunjung di bagian dada seragam SMP-nya. Kelihatannya dia memasuki sekolah setelah melalui semua keperluan formalitas dengan benar.

“Oh, sensei, terima kasih!”

“Dengan senang hati.”

Sensei membalas tersenyum pada Kotori yang sedang semangat melambaikan tangannya.

“Aah, benar-benar imouto yang lucu.”

“Haa... yeah.”

Selagi setetes peluh mengaliri wajahnya dan dengan senyum pahit, Shidou memberikan balasan yang ambigu.

Setelah tersenyum dan melambai “dadah” pada Kotori, sensei berjalan pergi menuju ruangan staf.

“... jadi, Kotori.”

“Nn, apaa?”

Sembari melebarkan mata bundarnya, Kotori memiringkan kepala.

Tingkah laku itu milik imouto-nya yang manis seperti yang Shidou kenal.

“Kau... hal-hal malam tadi, <Ratatoskr>, atau Spirit—”

“Kita bicarakan mengenai itu nanti saja.”

Nada bicaranya sama seperti biasanya, tapi untuk alasan tertentu terasa seperti adanya penekanan, maka Shidou terdiam.

Lalu, dari belakang Shidou, suara pelan Reine berkumandang.

“......kamu lebih cepat, Kotori.”

“Mhm, karena aku meninggalkan <Fraxinus> di tengah perjalanan.”

Padahal dia baru saja bilang untuk membicarakan itu nanti, dia alamiah mengucapkan nama pesawat itu.

Merasa kalau ini sedikit tidak masuk akal, Shidou menaruh satu tangan di dahinya.

Melihat hal tersebut dengan senyum riangnya, Kotori melangkah maju di koridor seakan memandu Shidou.

“Ngomong-ngomong, hey, onii-chan. Ayo?”

Sembari mengatakan ini, Kotori menarik tangannya.

“Wh... Whoa, aku tahu, jadi pelan-pelan.”

Hari ini adalah hari dimana ia sering sekali ditarik gadis-gadis. Selagi berpikir dengan santainya mengenai hal semacam itu, mereka sampai di tujuan.

Gedung timur sekolah lantai empat, gudang laboratorium Fisika.

“Ayo, masuk, masuk~♪”

“Jangan mengucapkannya seperti ‘hai-ho’[26]!”

Didorong Kotori, Shidou menggeser pintu terbuka.

Seketika itu juga, ia mengernyit dan mengucek matanya.

“...hey.”

“......apa?”

Reine merespon kata-kata Shidou sambil memiringkan kepala.

“Apa-apaan ruangan ini?”

Gudang laboratorium Fisika bukanlah tempat yang biasa dimasuki murid-murid, dan kenyataannya, Shidou tidak pernah tahu apa isinya.

Meskipun begitu, ia jelas-jelas menyadari.

—Kalau ini bukanlah gudang laboratorium Fisika.

Bagaimanapun juga, penglihatan Shidou terisi dengan sejumlah komputer, layar, dan berbagai alat elektronik yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya.

“......semua itu peralatan ruangan ini?”

“Kenapa kau menjawab dengan sebuah pertanyaan! Dan lagipula selain itu, bukannya ini gudang lab Fisika? Apa yang terjadi pada sensei yang bertanggung jawab untuk tempat ini!”

Betul. Mulanya, ini seharusnya adalah tempat satu-satunya selain toilet dimana sang guru tua yang baik hati dan polos Chousoka Beshiyouichi (nama panggilan ‘batu kerikil[27] sejak lahir’) dapat bersantai.

Sekarang, sosok sang guru Chousoka Beshiyouichi tidak terlihat di manapun.

“......ahh, dia. Hmm.”

Reine menempatkan tangannya di dagu dan mengangguk kecil.

“...”

“...”

“...”

“...”

Dengan demikian, beberapa detik telah berlalu.

“......ah yah, berdiri disana tidak akan merubah apapun. Silahkan masuk.”

“Apa setelah ‘hmm’ hah!?”

Benar-benar kemampuan mengabaikan yang luar biasa. Kemampuan yang perlu dipelajari orang-orang Jepang masa kini.

Reine memasuki ruangan terlebih dahulu, dan duduk di kursi yang ditempatkan di bagian terdalam ruangan.

Selanjutnya, Kotori memasuki ruangan dari samping Shidou.

Lalu, dengan tata cara yang seakan sudah terbiasa, dia melepas ikatan rambutnya dari pita-pita putih dan mengencangkannya kembali dengan pita-pita hitam yang diambilnya dari kantung.

“—Fuuh.”

Setelah dia melakukannya, kelihatannya aura Kotori tiba-tiba berubah.

Dia lalu dengan lesu mengendurkan kerah seragamnya, dan tersungkur ke kursi dekat Reine dengan suara gedebuk keras.

Dan kemudian, dari tas yang dibawanya, Kotori menarik keluar apa yang terlihat seperti binder kecil.

Di dalamnya, berderet dengan indahnya sebagai satu set, berbagai macam tipe Chupa Chups.

Benda itu adalah tempat permen yang sering dibicarakan orang.

Kotori memilih satu, menaruhnya di mulut, dan memberikan tatapan yang seakan merendahkan Shidou, yang masih berdiri di pintu masuk ruangan.

“Sampai kapan kau akan berdiri saja, Shidou? Apa kau mencoba menjadi orang-orangan sawah? Menyerahlah. Dengan wajahmu yang terlihat bodoh, aku tidak pikir kau akan bisa mengusir gagak-gagak. Ah, tapi karena wajahmu sangat menjijikan mungkin sebaliknya manusia tidak akan mendekatimu.”

“...”

Melihat adiknya yang telah berubah menjadi seorang permaisuri hanya dalam sekejap, Shidou menempatkan tangan pada dahinya.

Mengganti pitanya mungkin telah mengalihkan pola pikirnya.

Sama halnya dengan membalikkan pion-pion Reversi[28], kemiripan yang mengesankan dengan Jekyll & Hyde[29].

“... Kotori, yang mana karaktermu yang sebenarnya...?”

“Kau kasar sekali. Kau tidak akan populer dengan wanita kalau begitu terus. —Ahh, karena itu rupanya kau masih perjaka. Maaf karena aku mentah-mentah melontarkan hal yang sudah jelas itu.”

“... hey.”

“Menurut statistik, lebih dari setengah pria yang mencapai 22 tahun tanpa dapat mengencani seorang gadis berakhir sebagai perjaka seumur hidup.”

“Itu berarti aku masih punya sisa lebih dari lima tahun! Jangan menyepelekan diriku di masa depan!”

“Orang-orang yang cuma bisa bicara mengenai kemungkinan-kemungkinan atau waktu sisa yang mereka miliki, pada akhirnya yang mereka katakan cuma ‘Aku akan berusaha keras mulai besok’.”

“Guh...”

Sadar kalau ia tidak dapat menang dalam argumen, ia menggertakkan gigi dan menutup pintu.

“......sekarang, ngomong-ngomong Shin, latihan akan segera dimulai. Silahkan duduk di sini.”

Sambil mengatakan ini, Reine menunjuk sebuah kursi yang terletak di antara mereka berdua.

“...oke.”

Shidou sudah mengerti kalau semua keluhannya akan sia-sia saja, maka ia mengikuti arahan mereka dan duduk di bangku tersebut.

“Sekarang, ayo segera kita mulai penyiks... *uhuk**uhuk*, ayo mulai latihannya.”

“Kau baru saja bilang penyiksaan bukan.”

“Itu imajinasimu saja. —Reine.”

“......ahh.”

Kotori berbicara, dan Reine menyetujui sambil menyilangkan kakinya.

“......apapun tujuanmu, untuk ikut serta dalam rencana kami, kamu harus paling tidak memenuhi syarat tertentu.”

“Apa itu?”

“......singkatnya, kamu harus lebih terbiasa berurusan dengan wanita.”

“Berurusan dengan wanita... ya?”

“......ahh.”

Reine mengangguk. Entah mengapa, kelihatannya dia hampir tertidur begitu saja.

“......bukan hanya untuk mematahkan pertahanan si target saja, namun untuk merebut hati mereka, mengarahkan percakapan adalah hal yang esensial. Biarpun kami dapat memberikan arahan kemana harus pergi dan apa yang harus diucapkan... tapi kalau orangnya sendiri gugup maka tidak akan ada hasilnya.”

“Percakapan dengan seorang gadis... tidak mungkin sesusah itu.”

“Oh benarkah itu.”

Kotori tiba-tiba menggenggam kepala Shidou, dan mendorongnya dengan paksa ke dada Reine.

“......!?”

“......nn?”

Reine melepas suara aneh.

Pipinya diserang dengan sensasi hangat dan lembut, dan mengikutinya adalah wewangian, yang seakan melebur isi otaknya, berputar-putar di hidungnya. Shidou segera mendorong tangan Kotori dan sambil tersentak mengangkat wajahnya.

“...ap, ap-ap-ap-apa yang kau lakukan...!”

“Hmm, tidak bisa ya.”

Kotori dengan gaya meledek mengangkat bahu.

“Kau mengerti sekarang kan? Kalau sesuatu seperti ini saja mengacaukan detak jantungmu tidak bagus kan.”

“Tidak, jelas sekali contoh seperti ini aneh kan!?

Namun Kotori tidak berniat untuk mendengarkannya, selagi dia menggelengkan kepala dalam kekecewaan.

“Benar-benar, kau ini bocah perjaka yang menyedihkan ya. Ya ampun, apa aku baru saja berpikir kau ini sedikit manis?”

“Be-berisik.”

“......yah, tidak apa-apa kan? Justru karena itu juga kita datang ke sini.”

Selagi mengatakan ini, Reine menyilangkan tangannya. Dadanya yang biasa saja sudah mencengangkan sekarang terlihat lebih mencolok lagi.

Atau lebih tepatnya, mereka sedang ‘menunggangi’ tangannya.

“...”

Untuk beberapa alasan tertentu melihatnya membuat dirinya merasa malu, jadi tanpa sadar ia melirik ke mana-mana.

—Latihan agar terbiasa dengan perempuan.

Di kepala Shidou, kata-kata yang diucapkan Reine terlintas.

Tambah lagi, kurang-lebih semua itu mengenai bagaimana menghindari rasa gugup dalam situasi erotis... atau semacam itu.

Kotori dan Reine, apa yang sebenarnya mereka rencanakan untuk dilakukan Shidou di sini—

“Telan ludahmu. Menjijikan tahu.”

Sambil menaruh sikunya di meja, Kotori mengucapkan itu dengan mata setengah terbuka.

“...! T-tidak bukan seperti itu Kotori! A-aku tidak...”

“......uhm, kita akan segera mulai bukan?”

Memotong pembicaraan di antara Kotori dan Shidou, Reine menaikkan kacamatanya.

“Haa—, t-tunggu, aku belum mempersiapkan diri...”

Dengan suaranya yang gemetar karena gugup, Shidou meluruskan punggungnya.

Tanpa memedulikannya Reine bergumam “......nn”, dan seperti beberapa saat yang lalu tubuhnya mendekat ke Shidou.

Dibandingkan dengan kejadian sebelumnya saat mereka berkontak tanpa pemberitahuan dahulu, jantungnya berdenyut jauh lebih cepat.

—Ahh, apa? Apa yang akan dilakukannya...!?

Dengan jantungnya berdenyut seperti ini ia bahkan tidak dapat bergerak. Sambil membuat ekspresi seperti karakter utama dalam shoujo manga[30] tahun 80an, Shidou memejamkan matanya rapat-rapat.

Namun, tidak peduli berapa lama ia menunggu, tidak terjadi apa-apa.

Ia membuka mata dan melihat-lihat, ternyata Reine cuma menyalakan power monitor di meja.

“Eh...?”

Selagi Shidou melihat dengan tatapan kosong, huruf-huruf <Ratatoskr> yang didesain dengan lucu terlihat di layar.

Selanjutnya, bersamaan dengan nada musik pop, gadis-gadis cantik dengan berbagai warna rambut bermunculan satu persatu, lalu menari-nari sebuah logo yang kelihatannya adalah judulnya, Koishite, My•Little•Shidou[31].

“I-ini kan...”

“......yup. Inilah yang disebut dengan dating simulation game.”

“Ini galge?!”

Shidou menyahut hampir-hampir menjerit.

“Ya ampun, apa yang kau bayangkan? Sepertinya cuma kemampuan berfantasimu yang kelas-satu, dasar menjijikan.”

DAL v01 113.jpg

“... ti, tidak, i-itu...”

Sambil terbata-bata... entah bagaimana ia berhasil menenangkan detak jantungnya dengan berdeham.

“A-aku cuma, ragu kalau yang seperti ini bisa dibilang latihan...”

Dalam diam, Kotori memandanginya dengan mata yang seakan sedang melihat sesuatu yang jorok.

Ia berharap setidaknya dia mengatakan sesuatu. Keheningan ini, keheningan ini sungguh menyakitkan.

“......uhm, tolong jangan bilang begitu. Ini baru tahap pertama dari latihan. Tambah lagi, ini bukan barang yang dapat kamu cari di toko-toko, ini dibuat oleh seluruh anggota <Ratatoskr>. Game ini secara realistis membuat ulang situasi-situasi yang dapat terjadi di kehidupan nyata. Ini paling tidak dapat membuatmu siap. Ngomong-ngomong, ini untuk 15+.”

“Ahh... jadi bukan 18+”

Shidou mengucapkan itu tanpa maksud tertentu namun, Kotori memandanginya dengan tatapan yang menyimpan rasa kasihan.

“Kau benar-benar rendahan.”

Lalu, Reine menggaruk kepala.

“......Shin, bukankah kamu masih 16 tahun? Kamu seharusnya tidak boleh bermain game 18+ kan?”

“Bukannya ini sedikit berbeda dengan apa yang kau katakan beberapa saat lalu?!”

Ia berteriak, tapi baik Kotori maupun Reine tidak terlihat akan menanggapinya.

“......nn, kalau begitu ayo mulai.”

“Oke oke... heh.”

Meskipun merasa kalau ada yang tidak masuk akal, Shidou mengambil controller dengan tangannya seperti yang diperintahkan.

Bermain galge di saat adikmu dan seorang guru menontoninya, hukuman macam apa ini, itu pikirnya.

Membaca sepintas monolog sang protagonist, alur game terus berjalan.

Lalu, layar tiba-tiba menjadi gelap.



”Pagi, onii-chan! Lagi-lagi hari yang cerah ya!”

Bersamaan dengan kata-kata tersebut, CG[32] yang indah ditampilkan di layar.

Gadis yang pendek, mungkin adik sang protagonist, digambar dengan komposisi yang sedikit miring.

Atau lebih tepatnya, dia sedang menginjak protagonist dalam tidurnya.

Dengan celana dalamnya terlihat sepenuhnya.

“Gak mungkiiiiiiiin!!”

Selagi mencengkeram controllernya, Shidou mengeraskan suaranya.

“......ada apa Shin. Ada masalah?”

“Bukannya kau bilang ini mensimulasikan situasi yang bisa terjadi di kehidupan nyata?!”

“......itu benar, apa ada yang aneh?”

“Aneh atau tidak, situasi kacau seperti ini tidak... mungkin...”

Ia berhenti di tengah-tengah, dahi Shidou mulai berkeringat.

Ia menyadarinya entah kenapa, pengalaman yang sangat serupa sepertinya baru terjadi kemarin pagi.

“......ada apa?”

“...lupakan, bukan apa-apa.”

Ia merasa kalau ada yang benar-benar tidak beres, Shidou kembali melanjutkan game.

Setelah ia sedikit memajukan alur teks, beberapa kata-kata muncul di tengah layar.

“Hmm...? Apa ini?”

“Mm, itu adalah pilihan-pilihannya. Kau memilih tindakan protagonist selanjutnya lewat salah satu pilihan ini. Sesuai dengan apa yang kau lakukan affection point-mu akan berubah jadi berhati-hatilah.”

Seraya berkata, Kotori menunjuk bagian kanan bawah layar. Di sana, terdapat sebuah objek seperti meteran dengan cursor-nya menunjuk ke posisi nol.

“Hmm... Begitu ya. Jadi tidak apa-apa kalau aku cukup memilih salah satu kan?”

Shidou mengalihkan mata dari meteran affection points ke pilihan-pilihan itu.

①”Pagi, aku cinta kamu Ririko.” Dengan kasih sayang memeluk imouto.

②”Aku sudah bangun. Atau lebih tepatnya kau sudah membangunkanku sepenuhnya.” Menyeret imouto ke tempat tidur.

③”Kena kau, idiot!” Memegang kaki yang menginjakmu, dan mengunci pergelangan kakinya.

“... Apa-apaan tiga pilihan ini! Bagian mana yang sesuai kenyataan! Aku tidak pernah melakukan yang manapun!”

“Terserahmu lah, batas waktunya hampir habis.”

“Huh...?!”

Seperti yang Kotori bilang, angka yang ditampilkan di bawah pilihan-pilihan itu pelan-pelan mengecil.

“... sepertinya aku harus melakukannya.”

Shidou mengucapkannya setengah menggerutu, dan memilih yang paling normal dari pilihan-pilihan itu, ①.

"Pagi, aku cinta kamu Ririko."

Dengan penuh kasih sayang kupeluk imouto-ku, Ririko.

Saat aku melakukannya, wajah Ririko langsung dipenuhi rasa jijik, dan dia mendorongku menjauh.

”Eh... hey, apa yang, bisakah kamu berhenti melakukannya? Dasar menjijikkan.”

Meteran Affection Point-nya turun drastis ke minus lima puluh.

“Harusnya ini mirip kenyataan kan!”

Sambil membanting controller ke lututnya, Shidou berteriak.

“Ahhhh, bodoh. Biarpun itu adikmu sendiri, jelas-jelas itu yang akan terjadi kalau kau tiba-tiba memeluknya. —Benar-benar deh, untung saja ini cuma game, kalau ini terjadi di kehidupan nyata, pasti sudah ada lubang angin yang menawan di perut Shidou."

“Lalu apa yang harus kulakukan!”

Shidou menjerit atas perlakuan yang sangat tidak masuk akal ini, dan Kotori bertingkah seakan dia tidak mendengarnya.

Sambil mengeluh, dia menyalakan LCD screen di depannya.

“Ah...? Apa yang kau lakukan?”

“Meskipun ini cuma latihan, perlu ada sedikit ketegangan.”

Di layar, pemandangan yang ia ingat ditampilkan. Itu adalah pintu masuk menuju Raizen High School

Di sana, dari pandangan kamera, berdiri seorang laki-laki setengah baya sedang memakai seragam SMA.

“...kenapa orang itu?”

“Dia anggota crew kami.”

Sambil mengatakan ini, Kotori menarik sesuatu seperti mic entah dari mana dan berbicara ke arahnya.

“—Ini aku. Shidou menggagalkan satu pilihan. Lakukan.”

“Huh?”

Lelaki di gambar itu menunduk hormat.

“Ha...? Ap-apa?”

Shidou mengernyitkan mata, dan lelaki di gambar itu menarik selembar kertas dari kantungnya. Ia lalu memampangkannya di depan kamera.

Ketika ia melihatnya, Shidou merasa shock seakan jantungnya telah berhenti.

“I-itu kan—”

Melihat reaksinya, senyuman yang memperlihatkan kalau dia sangat menikmati ini muncul di wajah Kotori.

“Betul. Itu adalah puisi oleh Shidou muda, karena dipengaruhi manga, ia menulis: ‘Etude, persembahan untuk dunia yang rusak ini’.”

“Ke... ke-ke-ke-ke-ke-ke-ke-kenapa kau punya itu...?!”

Tidak diragukan lagi, itu adalah puisi yang telah Shidou tulis di buku catatannya saat SMP. Namun sebelum masuk SMA, puisi itu jadi terasa memalukan baginya dan ia seharusnya sudah membuangnya.

“Fufu, dulu kupikir itu akan berguna suatu hari nanti jadi aku memungutnya kembali.”

“A, a-ap-apa yang kau rencanakan...!”

Sambil tersenyum lebar, Kotori memerintahkan, “Lakukan.”

“Siap.”

Dengan jawaban pendek, sang lelaki dengan sopan memasukkan puisi tersebut ke dalam rak sepatu terdekat.

Dengan begini, beberapa murid yang datang ke sekolah besok akan berakhir membaca puisi yang telah Shidou tulis dengan sepenuh jiwanya.

“Ap... apa yang kau lakukan!”

“Jangan banyak cingcong, kau ini memalukan. Kalau kau berbuat kekacauan ketika berhadapan dengan seorang Spirit maka itu tidak akan berakhir dengan hal semacam ini saja. Tidak perlu dipertanyakan mengenai Shidou sendiri, tapi ada kemungkinan juga kalau kami ikut terseret masuk ke dalam persoalan. —Maka dari itu, untuk memberimu sense ketegangan, aku memberikan penalty ini.”

“Itu terlalu beraaaaat! Lagipula, kalau begini bukannya cuma aku yang dirugikan?!”

Shidou berteriak, dan Reine memberinya anggukan, menempatkan tangannya di dagu.

“......memang betul, apa yang Shin katakan ada benarnya.”

“! Be-betul kan!”

Mendengar bantuan yang tidak diduganya, wajah Shidou berseri. Namun,

“......kalau begitu, ketika Shin salah membuat pilihan, kita juga harus menghadapi semacam penalty.”

Sambil mengatakan ini, perlahan-lahan dia mulai melepas jas putihnya.

“Tung... apa yang kau lakukan?!”

“......yah, bukankah kamu bilang tidak adil kalau kamu saja yang mendapat malu? Jadi ketika Shin membuat kesalahan dalam sebuah pilihan saya akan melepas satu stel pakaian seperti ini.”

Dia berkata, dan tanpa kelihatan malu sedikitpun dia menyilangkan tangan.

“Bukan itu yang kumaksuuuuud!”

“Apalah katamu, lanjutkan game-nya.”

Kotori dengan tidak sabar menendang kursi.

Dengan wajah hampir menangis, Shidou menyerah dan menghadap layar.

Tapi, kalau pilihan-pilihan yang muncul nanti semuanya seperti ini, ia tidak punya keyakinan kalau ia dapat dengan aman menyelesaikannya.

“... hey Kotori, untuk bahan pembelajaran, bisa aku coba semua pilihannya untuk kesempatan terakhir ini?”

“Uwah, bertindak pengecut dan berpikir layaknya orang awam, benar-benar memalukan.”

“Be-berisik, ini pertama kalinya aku memainkan yang semacam ini jadi beri aku keringanan!”

“Yang benar saja, baiklah. Cuma satu kali ini saja. —Kalau begitu, save disini.”

"O-Oke..."

Setelah Shidou selesai save, ia me-reset game dan kembali ke pilihan pertama.

“...”

Dengan tampang cemberut ia melototi semua pilihannya... benar-benar kelihatannya tidak ada yang layak untuk dipilih.

Tapi sepertinya ③ tidak terlihat dapat meningkatkan affection points-nya. Dengan menyingkirkan pilihan itu, ia memilih ②.

”Aku sudah bangun. Atau lebih tepatnya kau sudah membangunkanku sepenuhnya.”

Bangun sambil terhuyung-huyung, aku menyeret Ririko ke dalam tempat tidur dan menarik selimut menutupinya.

”Ah..., ap-apa yang kamu lakukan!”

”Mau bagaimana lagi. Karena Ririko sendiri semuanya jadi seperti ini.”

”!! Tidak, berhenti!! Tidaaaaak!”

”Tidak apa tidak apa tidak apa.”

Layar menjadi gelap.

Perkembangan selanjutnya terjadi seketika.

Sang imouto, ambruk dalam tangisan. Sang protagonist, dipukuli ayahnya. Suara jernih borgol tangan. Sang protagonist, tertawa sendirian di dalam ruangan gelap.

Dengan CG tersebut sebagai latar belakangnya, musik yang sedih disertai credits mulai masuk.

“Apa-apaan iniiii!”

Tanpa bisa menahan diri, Shidou berteriak.

“Kalau kau tiba-tiba melakukan hal semacam itu ya jelas-jelas saja kau akan berakhir menjadi peleceh seksual.”

“Berarti ③ jawaban yang benar?!”

Shidou me-reset game, dan untuk ketiga kalinya kembali ke pilihan pertama, dan kali ini memilih ③.

”Kena kau idiot!”

Kupelintir kaki adikku, mengunci pergelangan kakinya—atau lebih tepatnya, aku mencobanya.

”Naif.”

Dia memelintirkan tubuhnya, meloloskan diri dari peganganku, dan seperti itu, mengayunkan kakinya ke punggungku dan memegang kakiku dengan posisi Sharpshooter yang sempurna.

”Ghufu...?!”

Setelahnya, akibat cedera yang didapat pada saat itu, sang protagonist menderita kelumpuhan di bagian bawah tubuhnya dan terpaksa hidup terperangkap di atas kursi roda. —Dengan demikian, game berakhir.

“Hey, pada akhirnya bukankah ① pilihan yang benar!? Dan biasanya imouto-mu tidak mungkin bisa melakukan gerakan seperti itu kan!”

“Hmpf.”

Segera setelah Shidou mengatakan ini, Kotori mencengkeram kerahnya dan menghempaskannya ke lantai, langsung menangkap kakinya dan melakukan Sharpshooter.

“Ghi...!?”

“Hmph, ghi? Setidaknya teriaklah dan panggil ibumu.”

Sambil berkata ini, dia melepaskan Shidou dan dengan terlihat segar meluruskan rambutnya.

“H-hey kau, di mana kau mempelajari gerakan—”

“Itu kecakapan seorang lady.”

Dengan tegas dia mengatakannya.

Bayangan Shidou akan seorang lady tiba-tiba berubah menjadi bayangan seorang pro-wrestler yang menonjolkan otot-ototnya.

“Ugh..., lalu bagaimana dengan ini, pada akhirnya apa pilihan yang benar?”

“Ya ampun, kau bahkan menanyakan jawabannya pada si pembuat? Menyedihkan sekali.”

Selagi berbicara, Kotori mengambil controller dari Shidou, me-reset game dan melanjutkannya sampai pilihan pertama.

Ia lalu lanjut terdiam menatap layar tanpa memilih apapun.

“...? Apa yang kau lakukan? Kalau kau tidak cepat-cepat—”

Sebelum Shidou selesai berbicara, angka yang ditampilkan di bawah pilihan menjadi nol.

”Mmm... sepuluh menit lagi...”

”Ayo! Cepat bangun!”

Dengan begitu, percakapan yang sangat normal ditampilkan di layar.

Meteran affection point tidak naik ataupun turun.

“Ap...”

“Tidakkah kau pikir ada yang salah kalau memilih dari pilihan-pilihan aneh seperti itu?”

Sambil tertawa meledek, Kotori mengembalikan controller pada Shidou.

“Aku akan membuat pengecualian khusus dan membiarkanmu melanjutkan dari route ini, jadi cepat lanjutkan. Oh, tambah lagi mulai dari pilihan selanjutnya akan ada penalty.”

“Guh..., grr...”

Sementara ia merasakan emosi yang tidak dapat dipahaminya sendiri, Shidou menggenggam controller.

Ia melanjutkan game, seorang guru perempuan dengan lingkar dada lebih dari 100cm kebanggaannya muncul di layar.

Meskipun itu sudah tidak realistis, Shidou tidak mengacuhkannya dan melanjutkan.

Lalu,

”Kyaa!”

Bersama dengan sebuah teriakan, sang bu guru tersandung entah oleh apa dan jatuh dengan posisi di mana wajah sang protagonist terdorong masuk ke dalam dadanya.

Seperti yang diperkirakan, controller terlempar ke atas meja.

“Tidak, mungkin! Hal semacam...”

Ia mulai berbicara, tapi sekali lagi Shidou merasakan keringat dingin, dan dengan kesal memungut controller lagi. Ia merasa kalau kejadian semacam ini, meski situasinya berbeda, telah terjadi beberapa waktu yang lalu.

“Ada yang salah, Shidou?”

“... tidak ada.”

Terdiam, ia lanjut bermain.

Dengan demikian, sekali lagi sebuah pilihan muncul.

①”Setelah kejadian seperti ini... sensei, saya mulai menyukaimu.” Dengan lembut memeluknya.

②”I-ini dewa susuuu!” Menggenggam payudaranya.

③”Kesempatan!” mengubah posisi melakukan armbar.

... sekali lagi, di antara pilihan itu tidak ada yang terlihat masuk akal.

“Jadi begini rupanya...!”

Shidou erat-erat mengepalkan tinjunya. Ini pasti mengikuti pola yang sama dengan sebelumnya.

Menunggu sampai hitungan di bawah pilihan-pilihan menjadi nol, seperti yang diduganya beberapa teks muncul di layar.

”..., kyaaaah! Apa yang kau lakukan!? Mesum! Dasar mesum!”

Sang bu guru menjerit, affection point-nya berkurang 80 point.

“Apaan ini!”

Shidou berteriak, dan Kotori hanya menggeleng menghina.

“Kalau kau menikmati dadanya selama itu tanpa mencoba melarikan diri, respon seperti ini sepertinya sudah jelas.”

“Lalu apa yang seharusnya kulakukan!?”

“Apa kau tidak membaca teks sebelum pilihan itu? Dia adalah guru pembimbing Klub Judo, Goshogawara Chimatsuri. Kau harus menahan gerakannya, dan mengalihkan perhatiannya dari dadanya ke pergumulan itu.”

“Bagaimana aku bisa tahu hal ituuuuu!”

“—yah, kekalahan adalah kekalahan. Lakukan.”

“Siap.”

Lelaki di kamera sekali lagi mengambil sepotong kertas dari kantungnya, dan menunjukannya ke kamera.

Itu adalah gambar kasar seorang karakter disertai setting-nya yang mendetil.

“I... Ini kan!”

“Betul. Ini adalah naskah original character yang Shidou buat di masa lalu.”

“Gyaaaaaaaaaaaaaah?!”

Biarpun Shidou berteriak kencang, lelaki tersebut memasukkan kertas tersebut ke dalam rak sepatu yang dipilih secara acak.

“Hentikan hentikan hentikaaaaaaan!”

Shidou memegangi kepalanya dan menjerit, sementara Reine mulai bergerak-gerak dengan suara kosak-kasik.

“..., Reine-san!”

Ia sampai lupa. Dia sudah bilang kalau setiap kali Shidou mendapat penalty, dia akan melepas satu stel pakaian lagi.

Yah, karena Shidou adalah bocah SMA yang masih waras, tentu saja bohong kalau ia tidak akan senang... tapi, entah kenapa, ia sedikit merasa kerepotan.

Untung saja, Reine masih memakai banyak setelan pakaian di tubuhnya. Apabila ia memastikan agar tidak salah memilih lagi maka—

“... nn”

Tepat ketika Shidou memikirkan ini, Reine perlahan-lahan memindahkan tangan ke balik punggungnya, melakukan sesuatu yang menyebabkan suara ‘klik’, lalu menggerakkan tangannya ke dalam bajunya dan menggersak-gersakkannya sedikit, lalu menarik bra-nya dari leher.

“Kau mulai dari situ!?”

Shidou menyahut, Reine menelengkan kepala ke samping.

“......apa ada masalah?”

“Tidak, tapi bukannya jelas-jelas urutannya terbalik?! Atau lebih tepatnya, kau tidak perlu melepas bajumu lagi!”

“......hmm? Bukankah itu tidak adil? Saya masih bisa lanjut...”

“Kau cuma mau melepasnya kan, benar kan!?”

Shidou mengeraskan suara, dan sekali lagi dengan suara *gan* kursinya ditendang.

“Aku tidak peduli mengenai itu tapi cepatlah. Lihat, karakter selanjutnya sudah muncul.”

Seraya berkata, Kotori menunjuk layar.

“Guh...”

Tanpa pilihan lain, Shidou lanjut bermain.

Kali ini, yang ditampilkan di layar adalah sebuah adegan dengan seorang gadis yang kelihatannya setahun-pelajaran dengan sang protagonist, yang bertabrakan dengannya di sudut koridor, jatuh dengan indahnya sementara kaki-kakinya membentuk M dan celana dalamnya terlihat jelas.

“—!”

Setelah mencari-cari dalam ingatannya, Shidou mengepalkan tinjunya, dan berkata dengan suara kencang.

“Tidak ada! Yang ini, yang ini pastinya tidak pernah terjadi!!”

“......begitukah? Meskipun begitu saya pikir tanpa kita duga hal seperti ini dapat terjadi...”

Itulah yang Reine katakan, tapi ia pastinya tidak pernah mengalami yang seperti ini sebelumnya. Shidou dengan yakin menggelengkan kepala.

Tapi, lagi-lagi kursinya ditendang.

“Ini bukanlah game di mana kau mencoba memilih apakah sebuah situasi itu realistis atau tidak. Lakukan dengan sebaiknya. Kalau kau membuat kesalahan di pilihan berikutnya.—lihat ini.”

Selagi mengatakan ini, Kotori mengoperasikan komputer di depannya.

“... ah?”

Shidou mengernyitkan mata selagi sebuah animasi ditampilkan di layar.

—Latar tersebut adalah kamar Shidou. Di sana, Shidou sedang berdiri setengah telanjang.

“I... ni kan...”

Wajah Shidou berubah pucat.

Bagaimanapun juga, ini adalah—

Secret Skill●Instant Lighting Blaaaaaaaaaast!

Di tampilan itu, Shidou membuat pose dengan kedua tangannya menyatu di depan pinggang, dan dengan seluruh kekuatannya tiba-tiba mendorongnya ke depan.

Kotori memasang wajah yang terlihat seakan dia tidak mungkin menikmati hal lain lebih dari yang sekarang ini.

“Betul, ini, sebelumnya saat Shidou sedang menjaga rumah sendirian... *pu*, ketika dia sedang melatih serangan penghabisan original-nya di kamar... *kuku*, video ini...”

Tak bisa lagi menahan diri, Kotori berkata selagi tawanya tumpah.

“TidaaaaaaaaaaaAAAaaaaaaaaaaaAaaaaAAaaaaaaak—!”

Shidou melepaskan teriakannya yang paling menakjubkan pada hari ini.

“Kotori! Jangan yang ini! Tolong, apapun selain yang ini!”

“Fufu, sebaiknya kau pastikan agar membuat pilihan yang tepat lain kali. ...ahh, kalau kau menyerah di tengah-tengah, aku akan meng-upload-nya ke sebuah site video”

“......”

Dengan wajah yang terlihat ingin menangis, Shidou menggenggam controller sekali lagi.




Bab 3: Namamu adalah......

Bagian 1

“Bagaimana dengan itu!”

Masih menggenggam controller dengan tangan kirinya, Shidou mengangkat tangan kanannya yang terkepal ke udara.

Sudah sepuluh hari, termasuk hari libur, sejak mulainya latihan sepulang sekolah itu bersama Kotori dan Reine.

Shidou akhirnya melihat layar Happy Ending game itu.

… tapi yah, ia bahkan tidak ingin menghitung berapa kali luka lamanya digali kembali selama masa-masa itu.

“......nn, sudah cukup lama waktu termakan, tapi kita katakan saja kalau tahap pertama sudah clear.”

“Dan, kelihatannya dia sudah melihat semua CG-nya , jadi menurutku itu bisa dibilang bukti kelulusannya. … tapi walaupun begitu, pada akhirnya ini baru menghadapi gadis-gadis virtual.”

Memandang Credits Roll dari belakang Shidou, keluhan dapat terdengar dari Reine dan Kotori.

“Yah kalau begitu, untuk latihan berikutnya... ayo kita lanjut ke perempuan sebenarnya. Waktu kita sempit bagaimanapun juga.”

“......hm, apa dia akan baik-baik saja?”

“Tidak apa-apa. Kalaupun ia gagal, satu-satunya yang dikorbankan hanyalah kepercayaan masyarakat terhadap Shidou.”

“Apa yang barusan kau katakan dengan santai begitu!”

Shidou dari tadi telah mendengar percakapan mereka dalam diam, namun ia tidak dapat mengendalikan diri dan menyela.

“Uggh, apa kau menguping? Kau masih punya hobi yang buruk ya. Dasar mesum, peeping tom[33].

Kotori memberengut sambil menutupi mulut dengan tangannya dan mengatakan itu.

“Itu tidak bisa dibilang menguping atau apapun itu kalau kalian berbicara tepat di depanku!”

Shidou menyahut, dan Kotori dengan berkata “Yah apalah” dan mengangkat tangannya membuatnya diam.

Entah kenapa, itu membuat Shidou merasa sepertinya ialah yang telah mengatakan sesuatu yang aneh.

“Jadi, Shidou. Mengenai latihan berikutnya...”

“... sebenarnya aku sangat tidak bersemangat sekarang ini tapi, apa?”

“Coba kita lihat... kira-kira siapa yang cocok.”

“Ah?”

Shidou memiringkan kepala ke samping, sementara Reine mulai mengoperasikan konsol di depannya. Di barisan layar di atas meja, muncul berbagai gambar dari bagian dalam gedung.

“......kamu benar, ayo mulai dari yang aman dulu, bagaimana kalau seseorang seperti dia?”

Selagi mengatakan ini, Reine menunjuk ke bagian kanan dari sebuah gambar, pada bu guru Tama-chan.

Untuk sesaat, Kotori mengangkat alisnya—

“—Ahh, aku mengerti. Tidak apa-apa, ayo kita mulai dengan dia.”

Segera itu juga, sebuah senyum jahat muncul.

“......Shin. Latihan selanjutnya sudah ditetapkan.”

“La-latihan seperti apa itu?”

Sambil menahan kegelisahannya, Shidou bertanya, dan untuk membalas pertanyaannya, Reine menjawab.

“......ahh. Pada kejadian sebenarnya, ketika Spirit muncul, kamu diharuskan untuk menyembunyikan miniatur intercom ini di telingamu, dan kamu akan berhadapan dengan masalah-masalah yang ada dengan mengikuti instruksi kami. Kami ingin memperlakukan latihan ini selayaknya kejadian sebenarnya, dan berlatih dengan ini satu kali.”

“Jadi, apa yang perlu kulakukan?”

“......untuk saat ini, pergilah menggoda bu guru Okamine Tamae.”

“Huh?!”

Menaikkan alisnya, ia berteriak.

“Apa ada masalah?”

Seakan menikmati reaksi Shidou, Kotori berkata sambil menyeringai.

“Tentu saja...! Tidak mungkin aku bisa...!”

“Kau harus menghadapi lawan yang lebih sulit ketika kejadian nyatanya kau tahu?”

“—I-itu, benar, tapi...!”

Shidou menjawab, dan Reine menggaruk kepalanya.

“......saya pikir dia cocok sebagai lawan pertamamu. Kemungkinan besar, meskipun kamu menembaknya dia tidak akan menerimanya, dan kelihatannya dia tidak akan menyebarkan berita itu juga. ...yah, kalau kamu menentang itu tidak peduli apapun maka tidak apa-apa untuk menggantinya dengan seorang siswi...”

“Uuuu...”

Adegan yang tidak menyenangkan muncul dalam pikiran Shidou. Siswi yang Shidou panggil kembali ke ruangan kelas dan mengumpulkan teman-teman perempuannya. “Hey hey, Itsuka-kun baru saja, menembakku~” “Ehh~, yang benar~? Biarpun dia menunjukkan muka yang sepertinya tidak tertarik pada gadis-gadis, dia cukup berani ya.” “Tapi tidak mungkin untuknya kan~” “Ya, tidak mungkin. Bagaimanapun, dia terlihat sangat suram~” “Ah~, seperti yang kau bilang~, ahahahaha.”

...sepertinya trauma baru telah terlahir.

Mengenai itu, kalau Tamae, kelihatannya tidak ada kemungkinan terjadinya adegan tersebut. Tidak peduli seberapa muda dia terlihat, dia seorang wanita dewasa. Dia mungkin akan mengesampingkannya sebagai candaan seorang murid.

“Jadi, apa yang akan kau lakukan? Pada kejadian nyatanya, kegagalan sama dengan kematian, jadi tidak peduli yang manapun yang kau pilih kami berencana untuk memberimu hanya satu kesempatan.”

“...sensei saja.”

Kotori dengan begitu bertanya, dan selagi keringat dingin membasahi punggungnya, Shidou menjawab.

“......bagus.”

Dengan anggukan ringan, Reine mengambil sebuah alat kecil dari laci meja, dan mengulurkannya pada Shidou. Dia kemudian mengeluarkan apa yang kelihatannya adalah sebuah receiver dengan mike serta headphone yang terpasang padanya dan menempatkannya di atas meja.

“Apa ini?”

“......coba pasang di telingamu.”

Melakukan seperti yang disuruh, ia memasukkannya ke dalam telinga kanannya.

Setelah ia melakukannya, Reine memegang mike, dan seperti sedang berbisik, menggerakan bibirnya.

「......bagaimana segini, apa kamu bisa mendengar saya?」

“Uwoh!?”

Tiba-tiba suara Reine bergema di telinganya. Dengan tersentak, bahu Shidou gemetar dan ia terlompat.

「......bagus, tersambung dengan baik. Apa volume-nya sudah oke?」

“A-ah... ya, kurasa...”

Shidou menjawab, dan Reine segera memakai headphone yang diletakan di atas meja.

“......nn, oke. Tidak ada masalah di sisi kami juga.”

“Eh? Apa itu bisa menangkap apa yang aku baru katakan? Tapi tidak ada yang terlihat seperti microphone di sisiku ini...”

“......benda itu dilengkapi dengan microphone yang sangat sensitif. Noise dari latar disaring secara otomatis, sehingga hanya mengirim suara-suara yang penting pada kami.”

“Haaah...”

Shidou menghela nafas terkagum, selagi Kotori mengeluarkan apa yang terlihat seperti alat mungil lainnya dari meja.

Dengan satu jentikan jarinya, begitu saja benda itu melebarkan sayapnya dan menari di udara bagaikan seekor serangga.

“A-apa itu?”

“......coba lihat.”

Selagi mengatakan ini, Reine mengoperasikan komputer di depannya dan memperbesar sebuah gambar.

Ditampilkan di dalamnya adalah gudang laboratorium Fisika yang ditempati Kotori, Reine, dan Shidou.

“Jadi ini...”

“Kamera ultra-small dengan sensitifitas tinggi. Kami akan mengikutimu lewat benda ini. Pastikan jangan salah mengiranya nyamuk dan menghancurkannya.”

“Huh... semua ini menakjubkan.”

*bam*, bokongnya ditendang.

“Apalah, cepat pergi kau kura-kura lamban. Target ada di koridor lantai tiga gedung timur sekolah. Tempat itu dekat.”

“......baik.”

Sadar kalau apapun yang ia katakan tidak akan berguna, Shidou mengangguk lemah.

Kalau ia menunda-nundanya lagi, ada kemungkinan mereka akan mengganti target ke orang lain. Shidou entah bagaimana dapat mengendalikan kakinya yang enggan bergerak dan meninggalkan gudang laboratorium Fisika.

Lalu, melihat ke kiri-kanan di dasar tangga—ia melihat punggung Tamae di koridor.

“Sen—”

Di tengah-tengah, suaranya tersumbat.

Mereka berada pada jarak dimana jika berbicara keras suaranya akan mencapainya... namun ia ingin menghindari perhatian dari murid-murid yang masih ada di sekolah dan guru-guru lainnya.

“... sepertinya aku tidak punya pilihan lain.”

Dengan berlari pelan-pelan, Shidou mengejar dibalik punggung Tamae.

Setelah beberapa meter, sepertinya dia menyadari langkah kaki Shidou, karena Tamae berhenti dan berbalik.

“Oh, Itsuka-kun? Ada apa?

“... u-um—”

Meskipun wajah itu ia lihat hampir setiap hari, kalau ia memperlakukannya sebagai target untuk digoda maka instan saja meningkatkan kegugupannya. Shidou berbicara terbata-bata tanpa sengaja.

「—Tenangkan dirimu. Jangan lupa, ini latihan. Kalaupun kau gagal, kau tidak akan mati.」

Di telinga kanannya, suara Kotori berlalu.

“Biarpun kau mengatakan itu...”

“Eh? Kenapa?”

Bereaksi pada gerutuan Shidou, Tamae menelengkan lehernya.

“Ah, bukan apa-apa...”

Mungkin kesal karena Shidou tidak dapat memajukan laju percakapan sama sekali, sekali lagi sebuah suara masuk melewati intercom-nya.

「Dasar tidak berguna. —Untuk sekarang ini cari aman saja, coba beri dia pujian.」

Mendengar kata-kata Kotori, ia mengamati Tamae dari kepala hingga kaki, mencari sesuatu yang dapat dipuji.

Tapi, tunggu dulu.... Shidou berhenti sejenak untuk berpikir. Di buku petunjuk yang ia baca beberapa hari yang lalu, memuji penampilan luar seorang wanita secara langsung akan membuat perasaannya risih. Pada kasus ini, memuji baju atau aksesoris merupakan bentuk pujian tidak langsung terhadap penampilan wanita tersebut.

Memantapkan pikirannya, ia membuka mulut.

“N-ngomong-ngomong, pakaian sensei... terlihat manis.”

“Eh...? Be-begitukah? Ahaha, kamu membuat saya malu.”

Wajah Tamae terbanjiri kesenangan selagi dia tersenyum sambil menggaruk belakang kepalanya.

—Ohh? Bukankah ini respon yang cukup bagus? Shidou sedikit mengepalkan tangannya.

“Ya, cocok sekali dengan sensei!”

“Fufu, terima kasih. Sebenarnya ini salah satu favorit saya.”

“Gaya rambut sensei juga sangat bagus!”

“Eh, benarkah?”

“Ya, dan lagi, kacamata sensei juga!”

“Ah, ahahahaha...”

“Dan buku daftar kehadiran itu juga sangat luar biasa keren!”

“Uhm... Itsuka-kun...?”

Di saat sensei semakin dan semakin salah tingkah, wajahnya berangsur-angsur membentuk senyuman pahit.

「Si botak ini terlalu banyak bicara, dasar botak kinclong!」

Di telinga kanannya, ia dapat mendengar Kotori yang takjub.

Tapi meskipun ia diberitahu begitu, ia tidak punya ide lain apa yang harus dikatakan selanjutnya. Untuk sementara waktu, mereka berdiri terdiam.

“Uhmm... apa itu saja yang kamu mau bicarakan dengan saya?”

Tamae memiringkan kepalanya.

Mereka mungkin berpikir kalau tidak ada banyak waktu yang tersisa, maka kali ini suara mengantuk terdengar di telinga kanannya.

「......ya sudah. Kalau begitu, tolong ulangi saja kata-kata yang saya ucapkan padamu.」

Ia sangat berterima kasih padanya. Shidou menelengkan kepalanya ke depan sedikit, menandakan kalau ia mengerti.

Maka, tanpa berpikir sama sekali, ia mengucapkan ulang informasi yang ia dengar sebagaimana terdengar.

“Um, sensei.”

“Ada apa?”

“Aku, akhir-akhir ini menganggap kalau datang ke sekolah itu sangat menyenangkan.”

“Begitukah? Bagus sekali bukan?”

“Ya. …itu terjadi semenjak sensei menjadi guru homeroom kami.”

“Eh...?”

Terkejut, mata Tamae terbuka lebar.

“Ap-apa yang kamu bicarakan, uhm. Kenapa tiba-tiba bicara seperti ini.”

Sambil mengatakan itu, Tamae memasang wajah tidak nyaman.

Shidou melanjutkan, mengulang kata-kata Reine.

“Sebenarnya, sejak lama, aku—”

“Ahaha... tidak boleh. Saya menghargai perasaanmu, tapi kamu tahu, saya seorang guru.”

Sambil menepuk buku absensi, Tamae memberikan senyuman pahit.

Seperti yang dapat diperkirakan dari seorang guru, seorang dewasa. Kelihatannya dia sudah berencana untuk menolaknya tanpa ragu.

「......hm. Bagaimana kita harus menyerangnya.」

Reine, yang dari tadi terus menerus menguntai kalimat-kalimat, menghela nafas pelan.

「......kalau saya ingat-ingat, dia 29 tahun ini ya. —Kalau begitu Shin, coba katakan ini.」

Reine memberikan instruksi untuk kalimat berikutnya. Tanpa berpikir panjang sama sekali, Shidou menggerakan mulutnya.

“Aku serius. Aku benar-benar mau—”

“Uhmm... ini membuat saya tidak nyaman.”

“Aku benar-benar mau, menikahi sensei!”

—*tuing

Di saat kata ‘menikah’ keluar dari mulut Shidou, raut wajah Tamae terlihat sedikit berubah.

Dan kemudian setelah keheningan sejenak, suara kecil terdengar.

“... benarkah?”

“Eh..., ah, haa... yah.”

Terbata-bata karena perubahan suasana yang begitu mendadak, Shidou menjawabnya, dan Tamae tiba-tiba mengambil satu langkah kedepan dan menggenggam lengan baju Shidou.

DAL v01 145.jpg

“Benarkah? Ketika Itsuka-kun berada pada usia yang layak untuk menikah, saya sudah melebihi 30 tahun kamu tahu? Tetapi, apa tidak apa-apa? Perlu kita menemui orang tua kita sekarang juga? Setelah kamu lulus sekolah tinggi, apa kamu akan tinggal bersama dengan saya?

Seperti orang yang berbeda saja, matanya bersinar dan berbinar-binar, dan dengan nafas tidak teratur Tamae semakin mendekat pada Shidou.

“Uh...uhm, sensei...?”

「......hm, kelihatannya yang tadi itu terlalu efektif.」

Di saat Shidou tersandung-sandung mundur ke belakang, Reine berkata sambil mengeluh.

“Ap-apa yang terjadi?”

Dengan suara yang tidak akan mencapai Tamae, ia bertanya pada Reine.

「......yah, wanita●single●29 tahun, untuk orang seperti itu kata-kata ajaib ‘pernikahan’ adalah seperti mantera yang mematikan saja. Selagi teman-teman sekelasnya dulu mulai membentuk keluarga mereka satu persatu, orang tuanya mulai menekannya, dan dinding usia 30 tahun semakin dekat dengannya, dia sedang berada di posisi yang tidak aman. ...tapi meskipun begitu, dia terlihat sedikit terlalu nekat.」

Dengan suara sedikit kebingungan yang jarang baginya, Reine berkata.

“O-oke kalau begitu, tapi apa yang harus kulakukan untuk yang ini...!”

“Hey Itsuka-kun, apa kamu punya sedikit waktu sekarang? Kamu masih belum cukup umur untuk menandatangani formulir pernikahan, jadi untuk sekarang ini ayo kita buat perjanjian darah. Kita mungkin bisa meminjam pisau ukir dari ruangan seni. Jangan khawatir, saya akan memastikan agar tidak sakit.”

Sambil memojokkan Shidou, kata-kata berhamburan keluar dari mulut Tamae, Shidou mengeluarkan suara seperti pekikan.

「Ah, kalau sampai terjebak lebih dalam lagi bisa jadi menyebalkan untuk kita tangani. Kau sudah menyelesaikan misimu, jadi minta maaf dengan alasan yang cocok lalu kaburlah.」

Shidou menelan ludah, dan setelah memantapkan pikirannya, membuka mulutnya.

“Ma-maaf! Aku pikir aku belum siap untuk sejauh itu...! Tolong anggap saja ini tidak pernah terjadi...!”

Sambil menyahut Shidou melarikan diri.

“Ah, I-Itsuka-kun!?”

Mendengar suara Tamae memanggilnya dari belakang, ia tetap berlari.

「Fiuh~, sensei punya karakter seperti itu rupanya.」

Tawa santai Kotori dapat terdengar. Selagi kakinya masih bergerak, Shidou mengeraskan suaranya.

“Jangan main-main denganku...! Kenapa kau tertawa begitu—”

Tepat saat ia mulai berbicara.

“sant...!?”

“...!”

Karena ia sedang terfokus pada intercom-nya, Shidou bertubrukan dengan seorang murid yang baru saja muncul dari pojokan, dan terjatuh.

“......ma-maaf, kau baik-baik saja?”

Seraya berkata, ia bangkit berdiri. Dan...

“Eh...?!”

Shidou merasa seakan jantungnya diperas. Bagaimanapun juga, di sana adalah nona Tobiichi Origami itu.

Dan lagi, tidak hanya itu saja. Ketika dia terjatuh, kelihatannya ia mendarat dengan punggungnya, dan terjadi begitu saja dia menghadap Shidou dengan kakinya terbuka membentuk huruf M. ...warna putih.

Ia tanpa sadar memalingkan pandangannya. Namun, Origami tidak terlihat panik sama sekali,

“Tidak apa-apa.”

Dia berkata, dan bangkit berdiri.

“Ada apa?”

Kemudian, Origami bertanya pada Shidou.

Tapi kelihatannya dia tidak bertanya mengapa Shidou lari di lorong. Mungkin saja—benar, mungkin mengenai kenapa Shidou menundukkan kepala kebawah dengan tangan di dahi.

“... tidak, jangan khawatirkan itu. Aku hanya terkejut karena menemui situasi yang kupikir sangat tidak mungkin terjadi...”

Benteng pertahanan terakhirnya tumbang. Kemampuan simulasi <Ratatoskr> benar-benar menakutkan. Entah kenapa, hampir-hampir kelihatannya game tersebut dibuat dengan cukup baik.

“Oh.”

Sambil mengatakan itu saja, Origami mulai melangkah melewati koridor.

Pada saat itu, suara Kotori berdering di telinga kanannya.

「—Ini kesempatan yang sempurna, Shidou. Ayo lanjutkan latihan kita dengannya.」

“H-Huh!?”

「Mungkin lebih baik kalau kita bisa mendapatkan data dari seseorang yang sebaya, dibanding seorang guru. Dan lagi, meskipun dia bukan Spirit, dia anggota AST yang penting. Tidakkah kau pikir dia akan menjadi referensi yang cukup bagus? Sejauh yang kukira, dia tidak kelihatan seperti tipe yang akan menyebarkan rumor-rumor ke sekitar juga.」

“Kau..., kau main-main denganku?”

「Tidakkah kau mau bicara dengan Spirit itu?」

“...”

Shidou menahan nafasnya, dan menggigit bibir bawahnya.

Setelah mempersiapkan diri, ia melepas suaranya terhadap punggung Origami.

“To-Tobiichi.”

“Apa?”

Origami berbalik dengan timing yang terlihat seakan sedang menunggu Shidou memanggilnya.

Shidou sedikit terkejut, namun ia menenangkan pernafasannya dan membuka bibirnya. Sepertinya dikarenakan pengalaman tadi dengan kasus Tamae, ia jauh lebih tenang dari sebelumnya. Benar, kalau ia tidak berlebihan, maka akan baik-baik saja, yang penting ia tidak berlebihan.

“Pakaianmu, terlihat manis.”

“Seragam sekolah.”

“... benar.”

「Kenapa kau memilih pakaiannya dasar kau undur-undur!」

Meskipun itu cuma nama serangga ia merasa seakan ia sedang menderita ledekan yang luar biasa menyakitkan. Misterius!

—Karena yang tadi itu berhasil pada sensei...! Dengan maksud seperti itu, ia menggelengkan kepalanya sedikit.

「......perlukah kami membantu?」

Mereka mungkin merasa tidak sabar, karena sekali lagi Reine menawarkan pertolongan.

Meskipun ia masih merasa gelisah, ia tidak punya kepercayaan diri untuk bisa melanjutkan percakapan seorang diri. Shidou mengangguk kecil.

Mengikuti kata-kata yang ia dengar di telinga kanannya, ia melepaskan suara.

“Hey, Tobiichi.”

“Apa?”

“Aku, sebenarnya... aku sudah tahu tentang Tobiichi sejak beberapa waktu yang lalu.”

“Oh.”

Masih dengan kalimat-kalimat pendek, Tobiichi melanjutkan dengan kata-kata yang tidak dapat dipercaya.

“Saya juga, tahu tentangmu.”

“—!”

Meskipun ia merasa sangat terkejut di dalam dirinya, ia tidak dapat bersuara. Kelihatannya jika ia mengatakan apapun selain instruksi Reine, maka kemajuan ini akan hancur seketika.

“—Begitukah. Aku senang. …juga, dapat berada di kelas yang sama pada tahun kedua membuatku sangat senang. Sepanjang minggu ini, aku selalu memandangimu saat pelajaran.”

Uwaah, bahkan Shidou berpikir kalau tadi itu memalukan. Kalau dibayangkan, rasanya kalimat tersebut adalah apa yang akan seorang penguntit katakan.

“Oh.”

Namun, Origami,

“Saya juga memandangimu terus.”

Menatap lurus pada Shidou, dia berkata.

“...”

Ia menelan ludah. Shidou merasa canggung karena sebenarnya tidak pernah melihat ke arah Origami selama sama sekali selama pelajaran.

Untuk menenangkan debaran cepat jantungnya, ia mengulangi kata-kata yang memasuki telinganya.

“Benarkah? Ah, tapi sebenarnya, bukan itu saja. Sepulang sekolah aku biasanya tinggal di kelas dan mencium bau pakaian olahraga Tobiichi.”

“Oh.”

Sudah kuduga apa yang dijawabnya setelah ini adalah *dong*, itu yang ia pikirkan, namun ekspresi Origami tidak berubah sama sekali.

Melainkan,

“Saya juga melakukannya.”

“......!?”

—Melakukannya juga, dengan punya siapa!? Dengan punyanya sendiri bukan!? Kalau memang seperti itu bilanglah!

Wajah Shidou dibanjiri keringat.

Dan juga, bukankah kalimat-kalimat dari Kotori dan Reine sedikit aneh?

Namun dengan isi kepalanya yang berputar-putar, sudah tidak mungkin bagi Shidou untuk melanjutkan percakapan dengan kata-katanya sendiri.

“—Begitukah? Kelihatannya, kita cocok satu sama lain.”

“Ya.”

“Jadi, kalau tidak apa-apa, maukah kau nge-date denganku—tapi bukannya ini berkembang terlalu cepat tidak peduli bagaimana kau melihatnya!”

Ia tidak lagi peduli dengan latihan atau apapun itu. Tidak tahan lagi, ia berbalik dan berteriak.

Dari sudut pandang Origami, ia adalah orang aneh yang baru saja menembak lalu tanpa alasan men-tsukkomi[34] dirinya sendiri.

「......yah, saya tidak habis pikir kamu benar-benar akan mengucapkannya.」

“Bukannya kalian yang bilang padaku untuk mengucapkannya begitu saja!”

Setelah meneriakkan kekesalannya, ia mengeluh dan berbalik ke arah Origami.

Origami tanpa ekspresi seperti biasanya... tapi mungkin bayangannya saja, dibandingkan dengan beberapa waktu lalu, hanya sedikit, matanya terlihat sedikit lebih terbuka lebar.

“Ah, uhm, yang tadi... maaf, tadi itu—”

“Boleh saja.”

“...............hah?”

Shidou bersuara dungu. Ia benar-benar terpaku. Mulutnya terngangap dengan lemah, dan kakinya melemas. Intinya, seluruh tubuhnya terkejut.

—Sebentar, apaan ini. Apa yang gadis ini katakan baru saja?

“Ap-apa?”

“Saya bilang, boleh saja.”

“Ap, ap-ap-ap-ap-ap-ap-apa?”

“Saya mau saja nge-date denganmu.”

“...?!”

Keringat merembes keluar di wajah Shidou. Ia perlahan menempatkan tangan di samping kepala, tenang, tenang, ia memberitahu dirinya sendiri.

Tidak mungkin. Kalau kau berpikir mengenai ini secara normal tidak mungkin. Tidak ada gadis yang OK untuk memacari seorang lelaki dimana jumlah percakapan yang mereka lakukan dapat dihitung dengan jari.

… yah, mungkin tidak mustahil, tapi ia sama sekali tidak mengira jawaban semacam ini dari Origami.

—Tunggu. Alis Shidou berkedut. Mungkin, Origami salah mengerti sesuatu.

“Ah, aah... itu tadi maksudnya berjalan-jalan denganku ke suatu tempat kan?”

“...?”

Origami memiringkan kepalanya sedikit.

“Apa itu yang kamu maksud?”

“Eh, ah, tidak... uhm, Tobiichi, kau pikir apa yang kumaksud...?”

“Saya kira maksudmu hubungan intim.”

“...!”

Tubuh Shidou gemetaran seakan kepalanya baru saja disambar petir.

Entah karena alasan apa, mendengar kata ‘hubungan intim’ datang dari mulut Origami terasa sangat imoral.

“Saya salah?”

“T-tidak... kau tidak salah... tapi.”

“Oh.”

Origami merespon seakan tidak terjadi apa-apa.

Pada momen selanjutnya, Shidou menyesali keputusannya.

—Kenapa, kenapa tadi aku bilang hal semacam “kau tidak salah”! Tidak, aku masih bisa melakukannya, aku masih bisa mengubahnya menjadi sebuah kesalahpahaman!

Akan tetapi.


UUUUUUUuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu—————


“!?”

Pada saat itu, tanpa pemberitahuan dahulu, bunyi sirene bergaung di sekitar mereka.

Hampir pada saat bersamaan, Origami mengangkat wajahnya sedikit.

“—Kondisi darurat. Sampai jumpa."

Seraya mengatakan itu, dia berbalik dan lari sepanjang lorong.

“H-hey—”

Kali ini ketika Shidou memanggil, dia tidak berhenti.

“Ap-apa yang harus kulakukan, mengenai ini...”

Tidak lama, ia mendengar suara melalui intercom.

「Shidou, ini spacequake. Untuk sekarang ini kami akan mengembalikanmu ke <Fraxinus>. Cepat kembali dengan segera.」

“J-jadi, Spirit ya...?”

Shidou bertanya, dan satu momen kemudian, Kotori melanjutkan.

「Ya. Prediksi lokasi di mana ia akan muncul adalah—di siniRaizen High School.」


Bagian 2

Waktu menunjukan pukul 5.20 sore.

Mereka bertiga yang telah berpindah ke pesawat udara <Fraxinus> yang melayang di atas kota selagi berada di luar penglihatan murid-murid yang mulai berevakuasi, mengamati berbagai informasi yang ditampilkan di layar.

Setelah berganti ke pakaian militer mereka, Kotori dan Reine berulang kali saling bertukar kata dan mengangguk penuh arti, namun Shidou tidak benar-benar mengerti apa maksud dari angka-angka yang ada di layar.

Satu-satunya yang dapat ia mengerti adalah—di bagian kanan dari layar, sebuah peta yang terpusat pada gedung SMA Shidou ada di sana.

“Begitu ya, mm.”

Duduk di kursi kapten, bertukar kata dengan para crew sambil menjilat Chupa Chups, Kotori menaikkan ujung bibirnya sedikit.

“—Shidou.”

“Apa?”

“Aku akan mengirimmu untuk bekerja sesaat lagi. Bersiap-siaplah.”

“...”

Kata-kata Kotori membuat tubuh Shidou terpaku.

Yah, ia sudah membayangkan kalau ini akan terjadi, dan ia seharusnya sudah meneguhkan diri juga.

Tetapi meskipun begitu, ia tidak dapat menyembunyikan kegugupannya sekarang ketika sudah waktunya untuk kejadian yang sebenarnya.

“—Apa anda sudah membiarkannya ikut serta dalam pertarungan sebenarnya, komandan?”

Berdiri di samping kursi kapten, selagi menatap layar, Kannazuki tiba-tiba bertanya.

“Lawan kita adalah seorang Spirit. Kegagalan sama dengan kematian. Apa dia sudah melalui cukup latiha—ghu.”

Di tengah-tengah kalimatnya, tinju Kotori tenggelam ke dalam ulu hati Kannazuki.

“Berani-beraninya mempertanyakan keputusanku, kau sudah jadi orang hebat ya Kannazuki!?. Sebagai hukuman, sampai kusuruh berhenti kau akan berbicara layaknya seekor babi.”

"Pu-Puhii."

Entah kenapa, kelihatannya sudah terbiasa akan hal itu, Kannazuki menjawab.

Melihat adegan ini, Shidou menyeka peluh yang telah muncul di permukaan wajahnya.

“... tapi, Kotori, aku pikir Kannazuki-san ada benarnya...”

“Ara, Shidou, kau mengerti bahasa babi? Sudah sepantasnya dari seseorang yang se-level dengan babi.”

“Ja-jangan menyepelekan babi! Babi itu tidak seperti anggapanmu, binatang yang luar biasa, tahu!”

“Aku tahu itu. Mereka menyukai kebersihan dan mereka kuat. Bahkan dikatakan kalau mereka punya kepandaian lebih dari anjing. Karena itulah untuk rekanku yang mahir Kannazuki, atau untuk kakakku yang terhormat Shidou, dengan seluruh rasa hormat aku memanggil kalian babi. Babi. Dasar kalian babi!”

“... Gugu.”

Kedengarannya dia tidak menggunakan kata itu sebagai panggilan dengan rasa hormat.

Namun, Kotori mungkin yang paling mengerti pertanyaan Kannazuki dan kebimbangan Shidou. Stik permennya teracu lurus ke atas, dan dia mengisyaratkan ke arah layar.

“Shidou, kau cukup beruntung kau tahu.”

“Eh...?”

Mengikuti pandangan Kotori, ia melihat ke arah layar.

Seperti yang diduga, angka-angka dengan makna yang tidak diketahuinya menari-nari di seluruh layar, tapi—pada peta di kanan, ia melihat sesuatu yang berbeda dari sebelumnya.

Di dalam gedung sekolah Shidou, terdapat sebuah ikon merah tunggal, dan mengelilinginya, banyak ikon kuning kecil diperlihatkan.

“Yang merah adalah si Spirit, dan yang kuning adalah AST.”

“... dan, apa yang menguntungkan dari ini?”

“Lihat pada AST. Lihat bagaimana mereka belum bergerak sama sekali?”

“Ahh... kelihatannya begitu.”

“Mereka menunggu Spirit itu keluar.”

“Kenapa? Tidakkah mereka akan menyerbu ke dalam?”

Shidou memiringkan kepala, dan Kotori mengangkat bahunya tinggi-tinggi.

“Setidaknya pikir dulu sedikit sebelum berbicara. Aku benar-benar malu padamu, bahkan jamur saja masih sedikit lebih cerdas dibandingkan denganmu.”

“Be-beraninya kau!”

“Pada dasarnya, CR-Unit tidak diciptakan untuk bertarung di ruang kecil. Bahkan kalau kau membentangkan territory, akan ada banyak penghalang dan koridor-koridornya sempit, jadi di dalam gedung mobilitasmu pastinya akan berkurang, belum lagi pandanganmu juga akan terhalangi.”

Seraya mengatakan ini, Kotori menjentikkan jarinya. Merespon terhadap hal tersebut, gambar di layar berubah menjadi rekaman Real-Time sekolah.

Sebuah lubang berbentuk mangkok dangkal muncul di halaman sekolah, dan di sekelilingnya jalan-jalan dan bahkan sebagian gedung sekolah terpotong dengan rapi. Benar-benar seperti apa yang Shidou saksikan pada hari itu.

“Setelah muncul di halaman, kelihatannya dia telah memasuki gedung sekolah yang setengah hancur itu. Tidak sering kau seberuntung ini, karena sekarang kau dapat membuat kontak dengan Spirit tersebut tanpa gangguan dari AST.”

“... ohhh, begitu.”

Ia mengerti logikanya.

Namun, kata-kata Kotori membuat Shidou mempertimbangkan sesuatu, lalu dia menyipitkan matanya.

“... Seandainya Spirit itu muncul di luar seperti biasanya, bagaimana seharusnya aku mendekatinya?”

“Menunggu sampai AST benar-benar dikalahkan, atau menyerbu di tengah-tengah pertempuran, kira-kira seperti itu.”

“...”

Shidou mengerti lebih dalam lagi dari sebelumnya betapa harus berterima-kasihnya ia pada situasi sekarang ini.

“Nn, kalau begitu ayo cepat bergerak. —Shidou, kau belum melepas intercom-nya kan?”

“Ah, ya.”

Ia menyentuh telinga kanannya. Seperti yang diduganya intercom yang ia gunakan sampai beberapa waktu lalu masih terpasang.

“Oke kalau begitu. Kamera akan mengikutimu, jadi kalau kau berada dalam masalah, buat sebuah isyarat, dan ketuk intercom dua kali.”

“Mm... aku mengerti. tapi...”

Shidou mengernyitkan mata, dan melihat ke arah Kotori dan Reine, yang sedang berada pada posnya sendiri di bagian bawah bridge.

Berdasarkan sugesti mereka selama latihan, mereka benar-benar anggota pendukung yang tidak bisa diharapkan.

Mungkin menyadari apa yang ia sedang pikirkan dari ekspresinya, Kotori membuat senyum menantang.

“Jangan khawatir Shidou. Ada banyak orang-orang yang dapat diandalkan dalam crew <Fraxinus>.”

“Be-benarkah?”

Dengan wajah ragu-ragu Shidou menjawab, dan Kotori mengibaskan jasnya dengan suara *zraat* dan bangkit berdiri.

“Seperti,”

Dan dengan bergairah, ia menunjuk ke salah satu crew di bagian bawah bridge.

“Setelah mengalami pernikahan lima kali, Romance Master●<Bad MarriageTerlalu Cepat Loyo> Kawagoe!"

"Tapi itu artinya dia bercerai empat kali bukan!?”

“Dengan kepopulerannya yang membanggakan dengan para Filipin di toko-toko pada malam hari, <PresDir> Mikimoto”

“Itu pastinya lewat daya tarik uang bukan!?

Rival cintanya menemui kesialan satu persatu. Wanita jam dua pagi●<Nail KnockerBoneka Jerami> Shiizaki!”

“Dia pastinya punya semacam kutukan pada dirinya!”

“Lelaki dengan seratus mempelai●<Dimension●BreakerDia Yang Melewati Batas Dimensi> Nakatsugawa!"

“Mereka mempelai yang punya komponen sumbu-z[35] kan!?

“Karena cintanya yang mendalam, sekarang hukum tidak lagi membiarkannya mendekati kekasihnya kurang dari 500 meter●<Deep●LoveDalam Masa Percobaan> Minowa!"

“Kenapa cuma ada orang-orang semacam ini disini!”

“... semuanya, sebagai anggota crew, tentu saja mereka mempunyai kemampuan nyata.”

Dari bagian bawah bridge, suara bergumam Kotori dapat terdengar.

“Me-meskipun kau bilang begitu...”

“Apalah, cepat dan pergi dengan segera. Kalau Spirit itu keluar maka AST akan mengerumuninya.”

Shidou baru mulai komplain, dan Kotori dengan bersemangat menendang bokong Shidou dengan suara *bong*.

“... ow, ka-kau...”

“Tidak apa-apa tidak perlu cemas. Kalau Shidou orangnya, meskipun mati satu-dua kali, kau bisa segera memulai new game.”

“Jangan main-main denganku, memangnya aku apa, tukang ledeng?[36]

Mamma Mia[37]. Kakak yang tidak mempercayai adiknya tidak akan hidup bahagia kau tahu.”

“Aku tidak mau mendengar itu dari adik yang tidak mau mendengarkan kakaknya.”

Bercampur dengan keluhan, Shidou mengatakan itu, dan dengan penurut melangkah menuju pintu bridge.

Good luck.

“Yeah.”

Kepada Kotori yang mengangkat jempolnya, ia perlahan melambaikan tangan sebagai balasan.

Jantungnya masi berdebar-debar, akan tetapi—tidak mungkin ia akan melarikan diri dari kesempatan ini.

Untuk mengalahkan mereka, atau untuk membuat mereka jatuh cinta, atau untuk menyelamatkan dunia.

Hal-hal besar semacam itu tidak ia pertimbangkan sama sekali.

Yang ada hanyalah—ia ingin berbicara sekali lagi dengan gadis itu.


Transporter yang ditempatkan di bagian bawah <Fraxinus> kelihatannya memakai realizer untuk memindahkan/mengambil benda-benda selama jalur lurus ke tujuan tidak terblokir apapun.

Pada mulanya ada suatu sensasi seperti terserang mabuk laut, namun setelah beberapa kali ia sudah kurang lebih terbiasa dengannya.

Setelah memastikan kalau pemandangan sekelilingnya telah berubah dari <Fraxinus> menjadi bagian belakang gedung SMA yang suram, Shidou dengan ringan menggelengkan kepalanya.

“Nah sekarang, pertama aku harus—”

Saat ia mulai berbicara, kata-katanya terhenti.

Itu karena, layaknya lawakan yang buruk, dinding gedung di depan mata Shidou telah dibelah terbuka, dan ia sedang melihat langsung ke isi dalamnya.

“Melihat hal seperti ini sungguhan, benar-benar sulit dipercaya...”

「Nah, sempurna, masuki gedung dari sana.」

Dari intercom yang terpasang di telinga kanannya, suara Kotori dapat terdengar.

Shidou bergumam “... dimengerti” sambil menggaruk pipinya, dan masuk ke dalam gedung sekolah. Kalau ia membuang terlalu banyak waktu Spirit itu bisa keluyuran keluar, dan sebelum itu, kemungkinan kalau Shidou ditemukan oleh para AST dan ditempatkan dalam ‘perlindungan’ juga ada.

「Sekarang, ayo cepat. Nobi[38] Respon dari Spirit itu berasal dari tiga lantai di atas tangga di sampingmu, di kelas ke empat dari depan.」

“Baik...”

Shidou mengambil nafas dalam, dan melesati tangga terdekat.

Sebelum satu menit berlalu, ia sampai di depan ruang kelas yang dimaksud.

Tanpa membuka pintu, ia tidak dapat memastikan sosok di dalamnya, namun hanya dengan berpikir kalau ada Spirit di dalamnya tentu saja membuat jantungnya berdering bagaikan bunyi alarm.

“Eh—ini, kelas 2-4. Bukankah ini kelasku?”

「Ara, begitukah. Nyaman untukmu, bukan? Tidak bisa dibilang kalau lokasi itu menguntungkan, tapi mungkin itu jauh lebih baik ketimbang tempat lain yang benar-benar baru bagimu.」

Kotori mengatakan itu. Tapi sebenarnya, belum lama sejak ia memasuki tahun ajaran ini, jadi bukan berarti ia sudah familiar dengan kelas ini.

Bagaimanapun juga, ia harus membuat kontak dengan Spirit itu sebelum dia bertingkah. Shidou menelan ludah.

“... hey, selamat sore, apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?”

Dengan suara pelan, ia mengulang sapaan itu berkali-kali.

Memantapkan pikirannya, Shidou membuka pintu ruangan kelas.

Kondisi ruangan kelas itu, diwarnai merah matahari terbenam, terproyeksikan ke dalam retinanya.

“——”

Satu momen berlalu.

Kata-kata santai yang ia sudah ia persiapkan dalam pikirannya tersapu begitu saja.

“Ah—”

Baris ke empat dari depan, deretan kedua dari jendela—tepat di meja Shidou, gadis berambut hitam dengan gaun aneh yang membungkus tubuhnya sedang duduk dengan satu lutut terangkat.

Matanya yang memancarkan cahaya bagai ilusi sedang dalam kondisi sayu setengah terbuka, menatap papan tulis sambil melamun.

Setengah tubuhnya diterangi matahari terbenam, gadis itu, sampai pada taraf yang dapat mencuri kemampuan berpikir siapapun yang melihat padanya untuk sesaat, sangat misterius.

Namun, pemandangan itu yang tadinya sudah mendekati kesempurnaan, runtuh seketika.

“—Nu?”

Gadis tersebut menyadari invasi Shidou, kemudian ia membuka matanya sepenuhnya dan melihat ke arahnya.

“...! H-hey—”

Sambil mencoba menenangkan jantungnya, Shidou mengangkat tangannya... atau bermaksud demikian.

—Hyun.

Ia pikir gadis itu dengan santai mengayunkan tangannya, dan sebersit cahaya hitam menyentuh dan melewati pipi Shidou.

Sesaat setelahnya, pintu ruang kelas pada mana tangan Shidou sedang berpegangan, dan juga jendela-jendela di koridor di belakangnya, pecah dengan suara membahana.

“...!?”

Tiba-tiba menghadapi ini, ia langsung membeku di tempat. Ia mencoba menyentuh pipinya, dan sedikit darah mengalir.

Namun, ia bahkan tidak diperbolehkan untuk diam terpaku.

「Shidou!」

Suara Kotori mengguncang gendang telinganya sampai terasa sakit.

Sambil membuat ekspresi muram, gadis itu mengayunkan tangannya ke atas kepala. Di atas telapak tangannya, apa yang terlihat seperti gumpalan cahaya bulat bersinar dengan warna hitam.

“Tung...”

Lebih cepat dari teriakannya, ia bergegas ke belakang dinding dan menyembunyikan badannya.

Sekejap kemudian, berkas cahaya berhamburan melalui dimana Shidou baru saja berdiri, dengan mudahnya meledak keluar dari dinding luar gedung sekolah dan memanjang ke kejauhan.

Bahkan setelah itu, berkas-berkas cahaya hitam terus menerus ditembakkan.

“Tu-tunggu! Aku bukan musuhmu!”

Dari koridor yang sudah mulai sedikit berangin, ia bersuara.

Kelihatannya suara Shidou tersampaikan, karena dengan demikian berkas-berkas cahaya tersebut berhenti ditembakkan.

“... Haa, boleh aku masuk...?”

「Dari yang dapat kulihat, dia tidak sedang bersiap-siap untuk menyerang. Kalau dia mau, seharusnya mudah baginya untuk meledakkan dinding itu sekaligus dengan Shidou. —Di sisi lain, membuang waktu dan membuatnya jengkel juga tidak baik. Ayo masuk.」

Shidou bergumam, seakan sedang berbicara pada dirinya sendiri, dan Kotori menjawab. Kameranya mungkin sudah memasuki ruang kelas itu.

Menelan ludahnya, Shidou berdiri di depan pintu masuk ruang kelas yang sekarang tanpa daun pintu itu.

“...”

Gadis itu sedang menatapnya dengan seksama. Seakan bertanya-tanya jika serangan akan datang, pandangan tersebut terisi dengan keraguan dan kewaspadaan.

“T-tenanglah untuk se—”

Mengangkat kedua tangannya untuk menunjukkan kalau ia tidak punya rasa permusuhan, ia melangkah masuk ke ruang kelas.

Namun,

“—Berhenti.”

Pada saat yang sama suara gadis itu berdering— *pshh*, lantai di depan kaki Shidou dihanguskan sebuah berkas cahaya. Shidou buru-buru membekukan gerakannya.

“...”

Gadis itu dengan hati-hati memperhatikan Shidou dari kepala hingga kaki, dan membuka mulutnya.

“Kau siapa.”

“...Ahh, aku—”

「Tunggu sebentar.」

Di saat Shidou baru mau menjawab, entah mengapa Kotori menghentikannya.


Layar di bridge <Fraxinus> sekarang ini sedang menampilkan potret wajah Spirit tersebut, gadis yang terbalut gaun yang terbuat dari cahaya itu.

Wajahnya yang menawan, dihiasi pandangan menusuk, sedang menatap tajam pada sisi kanan kamera—terhadap Shidou.

Di sekitarnya, sekumpulan parameter mulai dari kata-kata [Affection Level] terdapat di sana. Reine sedang menggunakan Realizer untuk menganalisis secara numerik dan menampilkan status mental sang gadis.

Oleh AI yang dibangun dalam <Fraxinus>, percakapan diantara mereka berdua ditampilkan tanpa jeda waktu di bawah layar dengan bentuk teks.

Jika dilihat sekilas, tampilan itu terlihat sangat serupa dengan game yang Shidou gunakan untuk berlatih.

DAL v01 171.jpg

Anggota Crew pilihan sedang melihat layar galge yang ditampilkan di monitor raksasa tersebut dengan keseriusan absolut.

Benar-benar pemandangan yang surealis.

Lalu—Kotori tiba-tiba mengangkat alis.

「Kau siapa.」

Di saat Spirit tersebut mengatakan kata-kata ini pada Shidou, layar itu berkedip-kedip, dan suara sirene membahana di seluruh bridge.

“I-ini—”

Di tengah suara bingung seseorang dari crew, sebuah jendela tampilan terbuka di tengah layar.



① ”Aku Itsuka Shidou. Aku datang untuk menyelamatkanmu!”

② ”Aku cuma orang lemah yang kebetulan lewat saja, tolong jangan bunuh aku.”

③ ”Sebelum menanyakan nama seseorang, sebutkan namamu dulu.”

“Pilihan—”

Batang permen Kotori naik tegak lurus.

Realizer analisis yang dioperasikan Reine, setelah terhubung dengan AI <Fraxinus>, mendeteksi perubahan-perubahan seperti detak jantung sang Spirit atau gelombang otak lemah, dan langsung menampilkan pola respon yang semungkinnya di layar.

Waktu-waktu pilihan ini ditampilkan hanya terbatas pada saat status mental sang Spirit sedang tidak stabil.

Dengan kata lain, dengan pilihan yang tepat, seseorang dapat membangun hubungan baik dengan sang Spirit.

Namun, jika seseorang membuat kesalahan—

Kotori segera mendekatkan mulutnya ke mike, menghentikan Shidou sebelum mengutarakan jawabannya.

“Tunggu sebentar.”

「—?」

Suara seperti nafas tertahan dapat terdengar dari balik speaker. Ia pastinya bertanya-tanya mengapa Kotori menyuruhnya berhenti.

Mereka tidak dapat membiarkan Spirit itu menunggu selamanya. Kotori berbalik pada para anggota crew dan memerintahkan.

“Pilihlah opsi yang kau pikir benar! Dalam lima detik!”

Semuanya secara bersamaan, para anggota crew mengoperasikan konsol di depan mereka. Hasil dari semua itu dengan segera tampil di layar di hadapan Kotori.

Jawaban paling umum adalah—nomor ③.

“—Sepertinya kita semua memiliki pendapat yang sama.”

Kotori berkata, dan para crew mengangguk bersamaan.

“① terlihat sebagai pilihan yang pasti jika dilihat sekilas, namun ketika lawan memiliki keraguan jika kita adalah musuh, mengatakan hal seperti itu akan terlihat mencurigakan. Dan sepertinya juga sedikit menjijikan.”

Sambil berdiri tegak, Kannazuki berbicara.

“......② tentu di luar pertanyaan. Sesaat terbukanya kesempatan kecil untuknya meloloskan diri, itulah akhir dari semua ini.”

Selanjutnya, dari bagian bridge yang lebih rendah, Reine berbicara.

“Itu benar. Sampai situ, pilihan ③ masuk akal secara logis, dan kalau semua berjalan lancar kita bahkan mungkin dapat mengendalikan alur pembicaraan.

Kotori menunduk pelan, dan sekali lagi menarik mike mendekat.


“... H-hey, apa yang kau barusan bilang...”

Setelah menghentikan kalimatnya selagi tertusuk tatapan tajam gadis tersebut, Shidou sedang berdiri di tengah-tengah atmosfer yang tidak menyenangkan.

“... aku akan bertanya sekali lagi. Kau siapa.”

Gadis itu berkata, seakan kesal, pandangan matanya semakin menajam.

Lalu, pada waktu itu, akhirnya suara Kotori sampai pada telinga kanannya.

「Shidou. Kau bisa mendengarku? Jawab sesuai dengan yang kuberitahukan.」

“O-oke.”

「—Sebelum menanyakan nama seseorang, sebutkan namamu dulu.」

“—Sebelum menanyakan nama seseorang, sebutkan namamu dulu. ...wagh”

Segera setelah ia mengatakannya, wajah Shidou menjadi pucat.

“Ap-apa yang kau suruh aku katakan...”

Namun, sudah terlalu terlambat. Di saat dia mendengar suara Shidou, air muka gadis itu berubah, kali ini mengangkat kedua tangannya dan membuat bola-bola cahaya.

“...”

Ia buru-buru menyentak lantai, terjatuh ke samping kanan.

Semasa kemudian, sebuah bola cahaya hitam terlempar ke tempat di mana Shidou tadinya berdiri. Sebuah lubang besar menganga di lantai yang kelihatannya telah menembus habis sampai lantai dua atau tiga.

“... Uwaa...”

「Ehh? aneh.」

“Bukan itu yang seharusnya kau katakan..., apa kau mencoba membunuhku...?”

Membalas Kotori yang sepertinya memang sedang bingung, Shidou membangkitkan tubuhnya sambil memegang kepalanya.

Kemudian—

“Ini yang terakhir. Kalau kau tidak punya keinginan untuk menjawab, aku akan menganggapmu sebagai musuh.”

Dari atas meja Shidou, gadis tersebut berkata. Dengan panik, Shidou segera membuka mulut.

“A-aku Itsuka Shidou! Aku murid di sini! Aku tidak punya maksud jahat!”

“...”

Shidou berbicara selagi mengangkat kedua tangan, dan dengan mata yang curiga gadis tersebut turun dari meja Shidou.

“—Jangan bergerak. Sekarang ini, kau ada dalam jangkauan seranganku.”

“...”

Menandakan kalau ia mengerti, Shidou mengangguk selagi mempertahankan postur tersebut.

Dengan langkah-langkah pelan, gadis itu mendekati Shidou.

“... nn?”

Lalu, sedikit membungkukkan pinggangnya, dia menatap wajah Shidou untuk sejenak, dan “Nu?”, dia menaikkan alis.

“Hey, bukankah kita pernah bertemu satu kali sebelumnya...?”

“Ah... ahh, bulan ini—kukira, tanggal sepuluh. Di kota.”

“Ohh.”

Sepertinya dia mengingatnya, gadis itu pelan-pelan menepuk tangannya, lalu kembali ke postur sebelumnya.

“Aku ingat sekarang. Kau yang mengucapkan hal aneh itu.”

Melihat sedikit perlawanan menghilang dari mata sang gadis, untuk sesaat ketegangan Shidou berkurang.

Namun,

“Gi...!?”

Sesaat kemudian, poni Shidou dijambak dan mukanya dipaksa menghadap ke atas.

Gadis itu memiringkan wajah seolah melihat ke dalam mata Shidou, selagi ia melepas pandangannya.

“...kalau kuingat, kau bilang kau tidak punya maksud untuk membunuhku? Hmmf— Aku sudah tahu maksudmu. Beritahu aku, apa yang kau inginkan. Apa kau berencana menyerangku dari belakang setelah aku lengah?”

“...”

Shidou mengangkat alisnya sedikit, menggigit keras-keras gigi belakangnya.

Bukan karena ia takut terhadap gadis tersebut.

Kata-kata Shidou—Aku tidak datang untuk membunuhmu; kata-kata seperti itu, gadis tersebut tidak dapat mempercayainya sama sekali.

Hal itu dikarenakan dia telah dihadapkan pada lingkungan di mana dia tidak dapat mempercayainya.

Ia merasa kesal, dan tidak tahan.

“—Manusia itu...”

Tanpa sadar, Shidou menyuarakan.

“... tidak semuanya mencoba membunuhmu.”

“...”

Mata gadis itu terbelalak, selagi dia melepas tangannya dari rambut Shidou.

Dan untuk sejenak, dengan tatapan bertanya-tanya dia menatap wajah Shidou, lalu membuka bibirnya secelah kecil.

“... begitukah?”

“Ah, begitulah.”

“Orang-orang yang aku temui, mereka semua bilang kalau aku harus mati.”

“Tidak mungkin... hal seperti itu.”

“...”

Tanpa mengatakan apapun, gadis itu menggerakan tangannya ke belakang.

Dia setengah menutup matanya dan mengatupkan bibirnya—memasang wajah yang menandakan kalau dia masih belum bisa mempercayai apa yang Shidou katakan.

“... kalau begitu aku akan bertanya. Kalau kau tidak punya keinginan untuk membunuhku, lalu untuk alasan apa kau ada di sini sekarang?”

“Uh, itu—err.”

「Shidou」

Tepat saat Shidou mulai terbata, suara Kotori menggema di telinga kanannya.


“—Pilihan lagi ya.”

Kotori menjilat bibirnya, selagi melihat pilihan yang ditampilkan di tengah layar.


① ”Tentu saja, aku datang untuk menemuimu.”

② ”Apapun itu, tidak masalah kan.”

③ ”Cuma kebetulan.”


Tampilan di hadapannya segera mengumpulkan pendapat-pendapat dari para anggota crew. ① yang paling umum.

“Yah, untuk pilihan ②, setelah melihat reaksinya terakhir kali sepertinya mustahil. —Shidou, untuk sekarang ini katakan saja kalau kau datang untuk bertemu dengannya.”

Kotori berbicara ke arah mike, dan terlihat di layar, Shidou membuka mulutnya selagi berdiri.

「A-agar dapat menemuimu.」

Gadis itu membuat ekspresi kosong.

「Menemuiku? Kenapa?」

Di saat gadis tersebut menelengkan kepala dan mengatakan ini, sekali lagi pilihan-pilihan terpampang di layar.


① ”Aku penasaran denganmu.”

② ”Agar kita dapat saling mencintai satu sama lain.”

③ ”Aku punya sesuatu yang ingin kutanyakan padamu.”


“Nn... apa yang harus kita lakukan.”

Kotori meraba dagunya, dan tampilan di hadapannya menunjukkan ② sebagai jawaban.

“Lebih baik untuk melancarkan serangan langsung di sini, komandan. Tunjukkan pada gadis itu kejantanannya!”

“Kalau kau tidak mengucapkannya dengan jelas lady ini tidak akan mengerti!”

Dari bagian bawah bridge, suara-suara para crew berkumandang.

Kotori berbumam “hmm” lalu menyilangkan kakinya.

“Yah, sepertinya tidak mengapa. ① atau ③ mungkin akan menimbulkan pertanyaan lain sebagai responnya. —Shidou. Coba ②, agar kita dapat saling mencintai satu sama lain.”

Ia mengucapkan perintahnya ke arah mike. Pada saat itu, bahu Shidou mulai gemetaran.


“Ah... itu, begini lho.”

Setelah menerima perintah itu dari Kotori, Shidou ragu-ragu dalam berkata dan pandangannya melayang kemana-mana.

“Apa, kau tidak bisa mengatakannya? Atau kau muncul di hadapanku tanpa alasan? Atau mungkin—”

Mata sang gadis sekali lagi mulai terlihat berbahaya. Shidou terburu-buru menyelamatkan diri dan menyuarakan.

“A-agar... kita dapat... saling mencintai satu sama lain?”

“...”

Di saat Shidou mengatakan ini, gadis itu menyilangkan kedua tangan dan membuat gerakan membelah horizontal.

Dalam sekejap, tepat di atas kepala Shidou sebuah pedang angin melewatinya—membelah dinding ruangan kelas tembus ke luar. Beberapa helai rambut Shidou terpotong dan menari-nari di udara.

“Uwaa...!?”

“... aku tidak mau mendengar leluconmu.”

Sambil membuat ekspresi yang sangat melankolis, gadis itu berkata.

“...”

Shidou menelan ludah.

Di saat itulah, ketakutan yang ia rasakan sampai sekarang ini menghilang, dan jantungnya berdegup kencang.

—Ahh, itu dia, ekspresi itu.

Ekspresi ini, yang benar-benar Shidou benci.

Seakan menganggap dirinya tidak dicintai sama sekali, ekspresi yang menunjukkan hilangnya kepercayaan pada dunia.

Tanpa sadar, rahang Shidou gemetar.

“Aku datang ke sini..., untuk... berbicara denganmu.”

Shidou berkata—dan seolah tidak mengerti yang ia maksud, gadis itu mengangkat alis.

“... apa maksudmu?”

“Itu saja. Aku, mau, berbicara denganmu. Aku tidak peduli apa topiknya. Bahkan kalau kau tidak menyukainya dan mengacuhkanku, tidak apa-apa. Tapi, aku ingin agar kau tahu satu hal. Aku—”

「Shidou, tenanglah.」

Mencoba memperingatinya, Kotori berkata. Namun, Shidou tidak dapat dihentikan.

Bagaimanapun juga, sampai sekarang, gadis ini tidak punya seorang-pun yang akan mengulurkan tangan untuknya.

Bagaimanapun juga, dengan satu kalimat saja dia bisa berada dalam situasi yang benar-benar berbeda, namun tidak seorangpun akan mengucapkan kalimat tersebut padanya.

Bagi Shidou, ia punya ayahnya, ibunya, dan ia juga punya Kotori.

Tapi, gadis ini tidak punya siapa-siapa.

Karena itulah—Shidou harus mengatakannya.

“Aku tidak akan—menolak keberadaanmu.”

Shidou mengambil langkah berat ke depan, dan sambil melafalkan dengan jelas per kata, ia berkata demikian.

“...”

Gadis itu mengangkat alis, dan memalingkan pandangannya dari Shidou.

Lalu, setelah hening sejenak, dia membuka mulutnya dengan gugup.

“... Shido. Kau bilang kau Shido?”[39]

“—Ya.”

“Kau benar-benar tidak akan menolak keberadaanku?”

“Yeah.”

“Benar-benarkah?”

“Benar-benar.”

“Benar-benar-benarkah?

“Benar-benar-benar.”

Shidou menjawab tanpa jeda, maka gadis itu mengelus rambutnya, dan berdiri sambil menyuarakan apa yang kedengarannya sebuah isakan, memalingkan wajahnya ke belakang.

“—Hmpf.”

Mengangkat alisnya dan tersenyum mengejek, dia menyilangkan tangannya.

“Siapa yang sedang kau coba tipu dengan kata-kata itu baaka baaka[40]

“Seperti yang kubilang, aku—”

“... tapi kau tahu, tadi itu.”

Selagi membuat ekspresi yang rumit, gadis tersebut melanjutkan.

“Aku tidak tahu apa isi kepalamu, tapi kau manusia pertama yang dapat kuajak bicara baik-baik. … untuk mendapat informasi mengenai dunia ini kau mungkin ada gunanya.”

Setelah mengatakan ini, dia mendengus sekali lagi.

“... h-huh?”

“Aku bilang aku tidak keberatan kalau hanya berbicara denganmu. Tapi itu untuk mendapat informasi saja. Mm, itu penting sekali. Informasi itu benar-benar sangat penting.”

Selagi berbicara—memang hanya sedikit, namun ekspresi gadis tersebut terlihat sedikit lebih halus.

“Be-begitukah...”

Sambil menggaruk wajahnya, Shidou menjawab demikian.

Dengan begini... yah untuk saat ini kontak pertama dapat dikatakan sukses.

Selagi Shidou berdiri sambil bertanya-tanya, di telinga kanannya suara Kotori terdengar.

「—Kerja yang bagus. Lanjutkan saja seperti itu.」

“A-Aahh...”

Lalu, gadis itu mulai perlahan-lahan mengitari ruang kelas dengan langkah-langkah panjang.

“Tapi, coba saja bertindak mencurigakan. Akan kubuat sebuah lubang angin di badanmu.”

“... oke, aku mengerti.”

Mendengar jawaban Shidou, gadis itu perlahan membunyikan langkah kakinya di ruang kelas.

“Shido.”

“A-Apa?”

“—Kalau begitu aku tanya. Apa sebetulnya tempat ini? Ini pertama kalinya aku melihat tempat seperti ini.”

Dengan mengatakan ini, dia berjalan mengelilingi sambil menyodok-nyodok meja yang roboh.

“Ehh... ahh, ini sebuah sekolah—ruangan kelas, yah, tempat di mana murid-murid sebaya denganku datang untuk belajar dan mengkaji. Kami duduk di meja-meja itu, seperti ini.”

“Apa?!”

Mata gadis tersebut membesar karena terkejut.

“Semua ini diisi manusia? Jangan bercanda. Pastinya hampir ada 40 orang.”

“Tidak, itu kenyataannya.”

Selagi mengatakan ini, Shidou menggaruk pipinya.

Ketika sang gadis muncul, peringatan evakuasi biasanya sudah berbunyi di jalan-jalan. Manusia-manusia yang gadis ini lihat mungkin hanya AST. Mereka mungkin juga tidak berjumlah banyak.

“Hey—”

Ia bermaksud memanggil nama gadis tersebut—tetapi kata-kata Shidou tertahan di tenggorokannya.

“Nu?”

Mungkin menyadari kondisi Shidou, gadis itu mengernyitkan alis.

Dan kemudian, setelah menempatkan tangannya di dagu untuk sementara, sementara berpikir,

“... begitu ya, agar dapat berbincang dengan seseorang, aku perlu itu ya.”

Dengan demikian, dia mengangguk,

“Shido. —Kau mau panggil aku apa?”

Sambil duduk di salah kursi di dekatnya, dia berkata.

“... huh?”

Tidak mengerti apa yang dia maksud, Shidou bertanya.

Setelah menyilangkan tangannya sembari menyuarakan “hmpf”, dia melanjutkan dengan nada arogan.

“Beri aku nama.”

“...”

Setelah hening sejenak.

—Serius bangeeeeeeeeeet!!

Shidou menjerit dalam hati.

“A-aku!?”

“Yeah. Lagipula aku tidak berencana untuk bicara dengan orang lain. Tidak masalah.”


“Uwahh, lagi-lagi masalah yang berat muncul.”

Duduk di kursi kapten, Kotori menggaruk wajahnya.

“......hmm, apa yang harus kita lakukan.”

Dari bagian bawah bridge, Reine mengangguk sebagai respon untuk hal itu.

Di dalam bridge, sirene tidak berbunyi, dan pilihan-pilihan-pun tidak muncul di layar.

Kalau AI menampilkan nama-nama acak begitu saja, akan ada terlalu banyak yang ditampilkan.

“Tenang Shidou. Jangan terburu-buru dan mengucapkan nama yang aneh.”

Mengatakan ini, Kotori berdiri, dan mengeraskan suaranya terhadap para crew

“Semuanya! Segera pikirkan nama untuknya dan kirimkan ke terminal-ku!”

Setelah mengatakan ini ia menjatuhkan pandangannya pada layar. Beberapa anggota crew telah mengirimkan beberapa nama.

“Ahem... Kawagoe! Bukankah Misako nama salah satu bekas istrimu!”

“Ma-maaf, saya tidak bisa memikirkan nama lain...”

Dari bagian bawah ruang kendali, suara penyesalan seorang lelaki dapat terdengar.

“... benar-benar, coba lihat... Urarakane? Kimimoto, bagaimana kau melafalkannya?”

“Clarabelle!”

“Dengan ini aku melarangmu mempunyai anak untuk seumur hidupmu.”

Ia menunjuk pada lelaki anggota crew yang menyahut tersebut.

“Maaf! Anak tertua saya sudah di sekolah dasar!”

“Anak tertua?”

“Ya! Saya punya tiga!”

“Dan ngomong-ngomong nama mereka adalah?”

“Dari yang tertua, Pureful, Fullmonty, Seraphim!”

“Cepat ganti nama mereka dalam waktu satu minggu, lalu pindahlah dari distrik sekolah mereka.”

“Perlukah melakukan sampai sejauh itu!?”

“Coba pikirkan perasaan anak-anak yang diberikan nama-nama aneh itu dasar ikan gobi.”

“Tidak apa-apa kan! Akhir-akhir ini semuanya juga melakukan hal yang sama!”

*Gong Gong*, suara redam terdengar di seluruh bridge.

Shidou sepertinya sedang mengetuk intercom.

Terlihat pada layar, gadis itu menyilangkan tangannya, dan sedang menepuk-nepuk sikunya dengan tak sabaran.

Kotori segera mengamati layar. Tidak ada nama yang membantu. *Haaa*, ia menghela nafas kuat-kuat.

Rekan-rekannya benar-benar tidak punya selera rupanya. Dengan kecewa, Kotori menggelengkan kepala.

Ia melihat penampilan sang gadis yang menawan. Sebutan yang cocok dengannya pastinya sesuatu yang elegan dan berwibawa dalam style zaman dahulu. Ya, seperti—

“Tome.”

「Tome! Namamu adalah Tome!」

Segera setelah Shidou mengatakan hal itu, cahaya berwarna merah murni menyala di dalam ruang kendali, dan bunyi kencang *pii pii* mulai berdering.

Pattern blue, target tidak senang!”

Salah satu crew menyuarakan sembari terlihat panik.

Pada saat itu, meteran Affection Point yang terlihat di layar besar telah turun drastis.

Mengikutinya, di depan kaki Shidou di layar, *zugagagagagagagan!*, bola-bola kecil dengan berentetan menghujani bagaikan machine gun.

「Uwahhhhhhh!?」

“......Kotori?”

Suara bertanya Reine.

“Huh? Aneh. Kupikir itu nama bergaya kuno yang bagus.”


“... aku tidak tahu kenapa, tapi kelihatannya kau sedang mempermainkanku ya.”

Selagi urat nadi bermunculan di dahinya gadis tersebut berkata.

“...! Ma-maaf... tunggu sebentar.”

Kalau dipikir baik-baik, Tome jelas-jelas di luar perhitungan. Selagi berjongkok dan menatap asap yang membumbung dari lantai, Shidou memaki kesembronoannya. Maaf untuk semua wanita berumur di seluruh negeri, namun itu bukan nama yang cocok untuk gadis masa kini.

Lagipula pertama-tama, ia tidak pernah berpikir kalau ia akan menjadi seorang bapak wali lewat pertemuan mendadak ini. Tidak peduli seberapa kuat ia mencoba menahan debar jantungnya, ketika ia berpikir pandangannya mulai berputar-putar. Bagaimanapun juga, tidak mungkin ia tiba-tiba mendapat ide mengenai nama gadis. Nama, nama, nama... ia mengingat-ingat nama-nama perempuan yang ia tahu. Tapi ia tidak punya banyak waktu. Selagi ia melakukannya wajah sang gadis menunjukkan ketidak-senangan.

“——To-Tohka.”

Dari mulut Shidou yang kebingungan keluar nama itu.

“Nu?”

“Ba-bagai... mana?”

“...”

Setelah hening sejenak—

“Oh, baiklah. Itu lebih baik daripada Tome.”

Melihatnya Shidou membuat senyuman pahit dan menggaruk belakang kepalanya.

Namun... rasa bersalah yang lebih lagi terbentuk di balik pikirannya.

Bagaimanapun juga, itu karena pertemuan pertama mereka adalah pada tanggal 10[41] April, benar-benar nama yang sederhana.

“... apa yang baru saja kulakukan...”

“Kau mengatakan sesuatu?”

“Ah, ti, tidak...”

Terburu-buru ia mengayunkan tangannya. Gadis itu terlihat sedikit penasaran, namun tidak bertanya lebih lanjut.

Dengan segera, ia menderap menuju Shidou.

“Kalau begitu—Tohka, bagaimana cara menulisnya?”

“Ahh, itu—”

Shidou melangkah mendekati papan tulis, memegang sebatang kapur, dan menulis “十香”

“Hmm.”

Dengan anggukan kecil, gadis itu meniru Shidou dan menyusuri papan tulis dengan jarinya.

“Ah, kalau kau tidak menggunakan kapur nanti kata-katanya...”

Ia baru saja mulai berbicara, namun menghentikan kata-katanya. Tempat di mana tersentuh oleh jari sang gadis telah tersayat rapi, dan dua huruf 十香 tertulis dengan kasar.

“Ada apa?”

“... tidak, tidak ada.”

“Begitu ya.”

Dengan mengatakan itu, gadis itu menatap kata-kata yang ia tulis untuk sejenak, dan memberi anggukan kecil.

“Shido.”

“A-apa?”

“Tohka.”

“Eh?”

“Tohka. Namaku. Bagus sekali bukan?”

“Ah, ahh...

Entah kenapa tadi itu agak... membuatnya malu. Dalam satu dan lain sebab.

Sedikit memalingkan matanya, Shidou menggaruk pipinya.

Namun, gadis itu—Tohka, sekali lagi menggerakkan bibirnya.

“Shido.”

… bahkan Shidou sekalipun mengerti maksud Tohka.

“To-Tohka...”

Shidou memanggil nama itu, dan dengan terlihat puas ujung-ujung bibir Tohka tersungging naik.

“...”

Hatinya melonjak.

Kalau ia pikir-pikir lagi, ini pertama kalinya, ia melihat senyum Tohka.

Lalu, pada saat itulah,

“—...?”

Tiba-tiba, gedung sekolah mengalami sebuah ledakan yang luar biasa dan bergetar.

Ia segera menyokong tubuhnya dengan tangan pada papan tulis.

“Ap-apa yang...!?”

「Shidou, menunduk!」

Di telinga kanannya suara Kotori bergema.

“Eh...?”

「Cepatlah!」

Tidak tahu ini dan itu, Shidou melakukan seperti yang diperintahkan dan tiarap di lantai.

Momen berikutnya, *gagagagagagagaga—*, terdengar suara keras, menghancurkan jendela ruang kelas semuanya sekaligus, dan membuka lubang peluru yang tak terhitung banyaknya pada dinding di belakangnya. Bagaikan adegan dalam pertarungan mafia saja.

“Ap-apa-apaan ini...!”

「Sepertinya serangan dari luar. Mungkin untuk memancing Spirit keluar. —Ahh, atau mungkin itu untuk meruntuhkan gedung sekolah, dan dengan demikian menghancurkan tempat di mana sang gadis dapat bersembunyi.」

“Ha..., konyol sekali...!”

「 —Tapi tetap saja, ini diluar dugaanku. Mereka memikirkan taktik agresif macam begini.」

Lalu, Shidou mengangkat wajahnya.

Tohka memiliki ekspresi yang terlihat sama persis dengan ketika dia berhadapan dengan Shidou sebelumnya, menatap keluar jendela yang pecah.

Tanpa perlu dikatakan lagi, peluru tidak berguna melawan Tohka, bahkan pecahan kaca tidak dapat menyentuhnya.

Namun, wajah tersebut terlihat terlihat begitu menderita.

“—Tohka!”

Tanpa sadar, Shidou meneriakkan nama itu.

“...”

Sembari tersentak, pandangan Tohka pindah dari luar ke Shidou.

Bahkan sekarang, suara tembakan yang melanda terus berbunyi, namun serangan pada ruang kelas 2-4 untuk sementara telah berhenti.

Sembari menyiapkan diri menghadapi serangan, ia membangkitkan tubuhnya. Lalu, Tohka dengan murung menurunkan pandangannya.

“Cepatlah lari, Shido. Kalau kau ada bersamaku, kau akan terserang oleh sesamamu manusia.”

“...”

Shidou terdiam, dan menelan ludah..

Tentu saja, ia harus melarikan diri. Namun—

「Ada dua pilihan. Lari, atau tinggal.」

Ia mendengar suara Kotori. Setelah ragu-ragu sejenak,

“... bagaimana bisa aku melarikan diri, di saat-saat seperti ini...”

「Kau benar-benar idiot.」

“... katakan sesukamu.”

「Itu pujian. —Aku akan memberimu saran bagus. Kalau kau tidak mau mati, tetap berada sedekat mungkin dengan Spirit itu.」

“...oke.”

Membentuk garis lurus dengan bibirnya, Shidou duduk di hadapan kaki Tohka.

“Huh—?”

Mata Tohka terbelalak.

“Apa yang kau lakukan? Cepatlah—”

“Aku tahu...! Tapi sekarang ini waktunya untuk percakapan kita. Hal semacam itu, jangan khawatirkan. —Kau mau informasi mengenai dunia ini kan? Kalau itu sesuatu yang bisa kujawab, tidak peduli berapa banyakpun pertanyaan yang kau punya akan kujawab semuanya.”

“...!”

Tohka memasang wajah terkejut untuk sejenak, dan kemudian duduk, menghadap Shidou.

Bagian 3

“——”

Dengan tubuhnya terselimuti sebuah wiring suit, Origami sedang memegang sebuah gatling gun raksasa dengan kedua tangannya.

Mempersiapkan diri lalu menekan pelatuknya, jumlah peluru yang tak terbayangkan berpencar menghantam bangunan sekolah.

Karena territory-nya sedang terbentang, ia kurang lebih tidak merasakan rekoil yang ditimbulkan, tapi pada dasarnya itu adalah sebuah gatling gun radius lebar yang biasanya dipakai di kapal-kapal tempur. Menghadapi serangan bertubi-tubi dari berbagai arah, bangunan sekolah berangsur-angsur penuh dengan lubang.

Namun—ini bukanlah perlengkapan anti-Spirit yang menggunakan realizer. Senjata ini tidak lebih dari perlengkapan untuk menghancurkan bangunan itu dan memaksa Spirit itu keluar.

「—Bagaimana? Apa Spirit itu sudah keluar?」

Dari intercom di dalam headset-nya, suara Ryouko dapat terdengar.

Ryouko berada tepat di samping Origami—namun di tengah-tengah deru tembakan suara aslinya tidak mungkin terdengar.

“Saya masih belum bisa memastikannya.”

Tanpa menghentikan serangan, ia membalas.

Sambil menembakan senapannya, Origami membuka mata lebar-lebar dan mengamati gedung sekolah yang sedang meruntuh.

Mereka berada pada jarak yang normalnya siapapun tidak mungkin bisa melihat apa-apa, namun Origami saat ini dengan territory yang terbentang dapat membaca kata-kata pada kertas yang tertempel di papan buletin di sisi gedung sekalipun.

Kemudian—Origami menyipitkan matanya sedikit.

Kelas 2-4, ruang kelas Origami.

Oleh karena serangan-serangan mereka, dinding luarnya sudah runtuh seluruhnya—ia melihat sosok target, sang Spirit.

Namun—

「... nn? Itu kan—」

Ryouko berkata dengan nada ragu.

Karena, di dalam ruang kelas itu, selain Spirit itu, seorang manusia, kelihatannya seorang pemuda, terdeteksi. —Mungkin seorang murid yang terlambat menyelamatkan diri.

“Si-siapa itu. Apa dia sedang diserang—?”

Sambil mengernyitkan alisnya Ryouko menyuarakan.

Namun, seakan ia tidak mendengarnya, Origami tetap menatap ruang kelas itu.

Ia merasa kalau sosok remaja di sisi Spirit tersebut tidak asing baginya.

“——!”

Mata Origami terbuka lebar.

Karena bagaimanapun juga—pemuda itu adalah teman sekelas Origami, Itsuka Shidou.

“—Origami?”

Dari sampingnya, Ryouko memanggilnya dengan suara kebingungan.

Namun Origami tidak menjawab, begitu saja ia memberikan sebuah perintah dalam pikirannya.

Perintah pada realizer yang menyelimuti tubuhnya, untuk kecepatan tertinggi.

“Apa yang kau lakukan, Origami!?”

「—Itu berbahaya. Hindari bertindak sembarangan seorang diri.」

Seperti yang diduga, mereka menyadari keanehan itu. Transmisi dari Ryouko dan headquarter datang pada waktu yang hampir bersamaan.

Namun Origami tidak dapat dihentikan. Ia segera menjatuhkan gatling gun-nya, mengambil Anti-Spirit Laser Blade untuk jarak dekat <No Pain> dari pinggangnya, dan melesat menuju sekolah.


Bagian 4

Berada di dalam ruang kelas menghadapi hujan peluru, sambil menatap dan berbicara dengan seorang gadis.

… pastinya, ini pertama kalinya ia mendapat pengalaman seperti ini dalam hidupnya.

Mungkin disebabkan kekuatan Tohka, peluru yang tak terhitung jumlahnya, seakan menghindari mereka berdua, menghujamkan diri pada konstruksi sekolah.

Namun meskipun demikian, melihat peluru-peluru melesat di depan matanya bukanlah pengalaman sehari-hari. Ia merasa kalau saja ia bergerak meskipun hanya sedikit ia akan tertembak, karena itulah Shidou diam dalam posisi itu saja sambil melanjutkan pembicaraan.

Isi percakapan tersebut bukanlah sesuatu yang spesial.

Tohka menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah sempat dia tanyakan pada siapapun, dan Shidou menjawabnya. Hanya bincang-bincang sederhana seperti ini saja sudah cukup agar Tohka tersenyum puas.

Sebenarnya sudah berapa lama kiranya mereka telah berbicara —ketika itulah di dalam telinga Shidou, ia mendengar suara Kotori.

「—Angka-angka parameter-nya sudah stabil. Kalau bisa, coba tanyakan pertanyaan juga Shidou. Kita benar-benar butuh informasi dari para Spirit.」

Setelah diberitahukan hal ini, Shidou berpikir sebentar lalu membuka mulutnya.

“Hey—Tohka.”

“Ada apa?”

“Sebenarnya... kau ini makhluk apa?”

“Mu?”

Pada pertanyaan Shidou, Tohka mengernyit.

“—gak tahu."

"Gak tahu? ..."

“Itu kenyataannya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa mengenai itu. —Aku tidak tahu berapa lama yang lalu, tapi dulu aku tiba-tiba terlahir disana. Begitulah. Ingatanku samar-samar dan tidak jelas. Aku tidak tahu apa-apa mengenai makhluk macam apa aku ini.”

“Be-begitukah...?”

Shidou berkata sambil menggaruk pipinya, dan Tohka mendengus “hmpf” dan menyilangkan tangannya.

“Begitulah. Aku lalu tiba-tiba terlahir di dunia ini, dan saat itu grup mecha-mecha itu sudah beterbangan di langit.”

“G-grup mecha-mecha...?”

“Orang-orang menyebalkan yang terbang kemana-mana itu.”

Sepertinya ia sedang berbicara tentang AST. Tanpa sadar Shidou tersenyum kecut.

Lalu, dari intercom, sebuah suara elektronik ringan seperti suara ketika kau mendapatkan pertanyaan dalam acara kuis berbunyi.

「Ini kesempatanmu, Shidou!」

“Huh...? Untuk apa?”

「Meteran mood Spirit itu sudah berada di atas 70. Kalau kau mau bertindak sekaranglah waktunya.」

“Bertindak... apa yang harus kulakukan?”

「Nn, benar. Untuk sekarang... coba saja ajak dia nge-date?」

“Hah...!?”

Mendengar kata-kata Kotori, Shidou tanpa sengaja mengencangkan suaranya.

“Nn, kenapa Shido?”

Untuk merespon suara Shidou tadi, Tohka melihat padanya.

“—! Tidak usah pedulikan itu.”

“...”

Meskipun ia sudah buru-buru mencoba menutup-nutupinya, Tohka menatap Shidou dengan tatapan penasaran.

「Cepat ajak dia. Toh cara paling baik untuk menambah keintiman adalah dengan berusaha habis-habisan seperti ini.」

“... meskipun kau bilang gitu, saat dia muncul biasanya ada AST itu...”

「Justru karena itulah. Kesempatan berikutnya dia muncul, aku mengandalkanmu untuk melarikan diri dengannya ke dalam sebuah gedung besar. Akuarium atau teater atau department store, yang manapun tidak masalah. Kalau ada fasilitas bawah tanah malah lebih bagus lagi. Kalau kau melakukannya, para AST mungkin tidak akan langsung masuk begitu saja」

“...M-mm.”

“Kenapa dari tadi kau bisik-bisik. …! Rencana untuk melenyapkanku rupanya?”

“B-bukan, bukan! Kau salah paham!”

Ia buru-buru menghentikan Tohka, yang mana matanya sudah menajam dan bola-bola cahaya muncul di ujung jarinya.

“Kalau begitu beritahu. Apa yang kau katakan?”

“Guh...”

Ia mengerang selagi keringat mengaliri wajahnya, suara yang mendesaknya bergema di telinga kanan Shidou.

「Ayolah, cepat lakukan saja. Date! Date!

Pada saat itu para anggota crew di bridge sepertinya juga tergairahkan, dari sisi lain intercom, gemuruh sorakan date dapat terdengar.

Da●te

Da●te

Da●te

“Argh iya aku tahu!”

Shidou menyerah dan berteriak.

Kenyataannya, bukannya ia tidak mengerti alasan Kotori, ia tahu kalau memang penting untuk mengatur panggung pertemuan berikutnya... tapi yah, kau tahu lah, ia sedikit malu.

“Hey, Tohka.”

“Nn, ada apa?”

“U-uhm... la-lain kali.”

“Nn?”

“Maukah kau pergi... date denganku?”

Tohka memasang ekspresi hampa.

“Apa itu date?”

“I-itu...”

Entah kenapa ia merasa sangat malu, maka ia memalingkan pandangan dan menggaruk pipinya.

Lalu, pada saat itu, di telinga kanannya, suara Kotori yang sedikit lebih keras dari sebelumnya masuk.

「—Shidou! AST sedang bergerak!」

“Huh...!?”

Dengan suara yang mungkin dapat didengar Tohka di depannya, namun Shidou tidak peduli dan berteriak.

Dalam sekejap—di luar ruang kelas yang dari tadi mengeluarkan aura berasa terbuka, Origami muncul.

“—!”

Dalam sekejap, emosi Tohka menjadi kelam, dan dia mengulurkan tangannya ke arah sana.

Lalu, tanpa buang waktu, dari mesin yang terkesan kasar di tangannya muncul sebuah pedang cahaya, ketika Origami menyerbu Tohka.

Percikan-percikan bagaikan suasana di toko las berhamburan ke sekitar.

“Ku—”

“—Kasar sekali!”

Tohka berseru, melempar Origami dengan tangannya yang menghentikan pedang cahaya itu.

“...”

Sedikit menggertakkan giginya, Origami terlempar kebelakang. —Namun, dia segera membetulkan posturnya, dan mendarat dengan anggunnya di lantai yang penuh dengan lubang peluru.

“Tch—kau lagi.”

Sembari sedikit menggoyangkan tangannya yang menghentikan pedang tadi, Tohka berkata, penuh dengan kebencian.

Origami melirik sekilas Shidou, lalu menarik nafas lega.

Namun dia segera menyiapkan senjata asing itu dan melemparkan pandangan dingin pada Tohka.

“...”

Melihat keadaannya itu, Tohka melirik Shidou, lalu menancapkan tumitnya pada lantai di bawah kakinya.

“—<SandalphonRaja Pembantai>!”

Sekejap itu juga, lantai ruang kelas melendung, dan dari situ tiba-tiba membumbung sebuah singgasana.

“Ap...”

「Shidou, mundur! Biarkan <Fraxinus> menjemputmu segera. Kalau bisa cobalah agar kalian berdua pergi bersama-sama!」

Shidou berdiri sadar tak sadar, lalu mendengar teriakkan Kotori.

“Meskipun kau bilang begitu...”

Tohka menarik pedang dari belakang singgasana, dan menikamkannya pada Origami.

Deru angin dari satu ayunan tersebut, dengan mudahnya mengangkat tubuh Shidou, dan melemparkannya ke luar sekolah.

“Uwahhhhhhh!?”

Nice!

Pada saat yang sama suara Kotori melengking, tubuh Shidou terselimuti perasaan tak berbobot.

Selagi merasakan sensasi melayang yang aneh, Shidou dipungut kembali oleh <Fraxinus>.




Bab 4: Date Dadakan

Bagian 1

“... yah memang, sudah pastinya mereka akan menutup sekolah pada kejadian-kejadian seperti ini...”

Shidou menapaki jalanan curam yang memanjang dari depan sekolah sambil menggaruk belakang kepalanya.

Itu adalah hari setelah ia menamai si Spirit Tohka.

Shidou telah berangkat sekolah seperti biasa, dan setelah melihat gerbang yang tertutup rapat dan bangunan sekolah yang telah hancur menjadi timbunan puing-puing, ia mengeluh atas kebodohannya.

Ia sendiri ada di sana ketika sekolah dihancurkan, jadi harusnya siapapun akan berasumsi kalau sekolah akan ditutup... namun ketika menghadapi kejadian yang begitu tidak riil seperti itu, mungkin saja pikirannya tanpa sadar melepaskan diri dari kenyataan.

Tambah lagi, ia telah menghabiskan semalaman kemarin dalam meeting dengan yang lainnya, mengulas ulang rekaman percakapannya dengan Tohka dan membahasnya kembali, karena itu kapasitas mentalnya mungkin telah berkurang karena kurang tidur.

“Haah... mungkin aku belanja sebentar kali ya.”

Seraya melepas sebuah keluhan, ia berbalik ke arah yang berlainan dengan jalan ke rumah.

Pada kenyataannya mereka telah kehabisan telur dan susu, dan pulang ke rumah begitu saja terasa aneh baginya.

Namun—baru saja beberapa menit berlalu, Shidou berhenti lagi.

Tersandar marka ‘Dilarang Masuk’ di jalan sana.

“Oh, jalanan ditutup...?”

Tapi andai kata marka tersebut tidak ada di sana, sudah jelas sekali jalanan tersebut tidak bisa dipakai.

Aspal yang terkoyak hingga hancur berantakan, dinding-dinding beton yang roboh, dan bahkan gedung multi-tenant juga runtuh.

Seakan baru saja terjadi perang di sini.

“—Ah, ini kan...”

Ia ingat tempat ini. Tempat ini merupakan bagian dari zona spacequake di mana ia pertama kali bertemu Tohka.

Sepertinya para Petugas Restorasi belum menanganinya, pemandangan kehancuran itu tetap tidak berubah dari sepuluh hari yang lalu.

“......”

Ketika ia mengingat wujud sang gadis dalam pikirannya, ia mengeluh pelan.

—Tohka.

Seorang Spirit—gadis pembawa malapetaka—dia yang tak bernama sampai kemarin.

Kemarin, setelah berbicara dengannya lebih lama dari yang pernah ia lakukan sebelumnya, dugaan Shidou telah ditegaskan.

Gadis itu benar-benar memiliki kekuatan yang tak bisa dibayangkan.

Sampai pada titik di mana semua organisasi di dunia akan setuju kalau ia adalah ancaman.

Pemandangan yang terlihat di hadapannya adalah bukti dari itu.

Hal semacam ini benar-benar tidak bisa didiamkan saja.

“...do...”

Namun di saat bersamaan, tidak mungkin dia akan menggunakan kekuatan tersebut dengan ceroboh, layaknya monster yang nekat, tanpa ampun.

“...i, do...”

Shidou membenci wajah murung yang diperlihatkan gadis itu. Ia tidak bisa membiarkannya sama sekali.

“Hey, Shido...”

… ya, pikiran-pikiran tersebut terus berputar-putar di dalam kepalanya, jadi sebelum ia menyadarinya, ia berakhir menapaki jalan kembali ke arah gerbang sekolah.

“... jangan abaikan aku!”

“—Huh?”

Sebuah suara terdengar—dari sisi lain area yang ditutup.

Shidou memiringkan kepala kebingungan.

Bagaikan membelah udara yang dingin, suara itu begitu indah.

Seperti suara yang pernah ia dengar di suatu tempat... tepatnya, di sekolah pada hari sebelumnya.

… sebuah suara yang tidak ia kira akan terdengar di waktu dan tempat seperti ini.

“U-Umm—”

Shidou memfokuskan pandangannya ke arah tersebut sambil membandingkan suara yang baru ia dengar dengan suara dalam memorinya.

Dan kemudian, seluruh tubuhnya membeku.

Dia ada tepat di depan matanya.

Seorang gadis sedang sedikit bersandar di puncak bukit-bukit reruntuhan tersebut, mengenakan gaun yang jelas-jelas tidak cocok dengan keadaan sekitarnya.

“T-Tohka!?”

Betul, kecuali pikiran atau mata Shidou sedang menipunya, gadis itu tak diragukan lagi adalah Spirit yang ia temui di sekolah pada hari sebelumnya.

“Sadar juga akhirnya, ba~ka ba~ka.”

Wajahnya, yang kecantikannya cukup untuk membuat seseorang gemetar, diwarnai ketidak-senangan. Dia menendang tumpukan puing-puing yang kemudian berbunyi *tong*, dan mendekati Shidou menyusuri aspal yang setengah utuh.

Mungkin karena menghalanginya, Tohka menendang marka ‘Dilarang Masuk’ sambil menggerutu dan sampai di depan Shidou.

“A-apa yang kau lakukan, Tohka...?”

“... nu? Apanya yang apa?”

“Kenapa, kau ada di tempat seperti ini...!?”

Shidou melirik ke belakangnya seraya berteriak, dan menangkap pandangan berbagai orang seperti sekelompok wanita yang sedang berbicara dan penduduk sekitar yang sedang berjalan-jalan dengan anjingnya.

Tidak ada seorangpun yang berlindung di shelter. Artinya, tanda peringatan spacequake belum berbunyi.

Pada dasarnya, ini artinya baik <Ratatoskr> maupun AST belum menyadari goncangan awal sebelum Spirit muncul.

“Meskipun kau tanya kenapa...”

Bagaimanapun, orangnya sendiri kelihatannya tidak peduli dengan situasi yang aneh ini sama sekali. Dia melipat lengannya, sepertinya tidak tahu kenapa Shidou meributkan hal ini.

“Bukannya kau yang mengajakku, Shido? Itu lho... date.”

“Ap—”

Bahu Shidou gemetaran mendengar pernyataan santainya.

“K-kau ingat...?”

“Hm? Apa, kau pikir aku idiot atau apa?”

“Bukan, bukan itu maksudku...”

“—Hmmf, apalah. Yang penting Shido, ayo cepat kita mulai date itu. Date date date date.”

Tohka terus mengulang date date dengan intonasi yang unik. [42]

“A-aku mengerti! Aku mengerti, jadi berhenti mengulang kata itu!”

“Eh, kenapa? …...ah, Shido, jangan bilang kau memanfaatkan kenyataan kalau aku tidak tahu artinya, lalu mengajariku kata yang tidak sopan dan mesum?”

Selagi pipinya bersipu merah menyala, Tohka mengangkat alis.

“—! Ti-tidak, tidak! Itu kata yang benar-benar murni!”

Ia menggaruk pipinya seraya berkata demikian.

Itu sedikit bohong sebenarnya. Selama kita masih membicarakan manusia, itu adalah sebuah kata yang dapat bermakna sangat kotor.

Shidou berbalik dengan tatapan tidak nyaman.

Para wanita itu sedang tersenyum lebar, melihat padanya seakan mereka sedang melihat sesuatu yang menawan.

Yah, terlihat juga keraguan yang tercampur dalam pandangan mereka, dikarenakan penampilan aneh Tohka.

“... nu?”

Tohka kelihatannya telah menyadari pandangan-pandangan itu juga. Dia menyembunyikan diri di balik Shidou, dan mengamati mereka dengan tajam.

“... Shido, siapa mereka? Musuh? Perlu kubunuh?”

“Hu... huh!?”

Bahu Shidou gemetar setelah mendengar Tohka tanpa pikir panjang mengucapkan pikiran berbahaya semacam itu dengan tiba-tiba.

“Jangan, jangan, jangan, kenapa kau bilang begitu? Mereka cuma wanita-wanita biasa.”

“Apa yang kau bicarakan, Shido? Mata yang berapi-api itu... bukankah mereka seperti burung pemangsa? Tidak mungkin mereka tidak mengincarku. … mereka bisa jadi masalah nantinya kalau kita membiarkan mereka. Kupikir lebih baik musnahkan mereka sebelum itu terjadi.”

… yah, memang benar kalau mata mereka bersinar-sinar, tapi...

Pertama-tama ia harus memikirkan topik pembicaraan baru.

“Jangan khawatir. Sudah kubilang bukan? Tidak banyak manusia yang akan menyerangmu.”

“... hmph.”

Meskipun Tohka masih belum menurunkan kewaspadaannya, setidaknya dia sudah tidak terlihat akan menyerang sewaktu-waktu.

“Apalah. Jadi, tentang date itu—”

“A-a-ayo pergi dari sini dulu pertama-tama. Oke?”

Shidou mengatakan itu pada Tohka, yang terus melanjutkan tanpa malu-malu, dan dengan buru-buru berjalan.

“Nu. Hey, Shido, kita pergi ke mana!”

Tohka berjalan mengikutinya, dan mengeraskan suara dengan tidak senang selagi berjalan di sampingnya.

Bersama Tohka, Shidou memasuki sebuah gang belakang yang sepi, dan akhirnya menghela nafas lega.

“Jadi kau sudah menenangkan diri rupanya. Dasar, orang aneh. Ada apa sebenarnya?”

Tohka menyipitkan mata dalam kekecewaan.

“Tohka... apa yang terjadi setelah semua itu kemarin?”

Ada setumpuk hal-hal yang ingin ia tanyakan, tapi yang pertama keluar dari mulutnya adalah yang satu itu.

Bibir Tohka bergerak sembari memberengut.

“Tidak ada apa-apa kok, seperti biasa saja. Mereka mengayunkan pedang yang tidak membelah apapun, menembakkan meriam yang tidak mengenai apapun. —Lalu pada akhirnya, tubuhku menghilang dengan sendirinya.”

“... menghilang?”

Shidou menelengkan kepalanya, kebingungan.

Kalau diingat-ingat, Kotori dan yang lainnya juga menduga seperti itu, tapi mereka tidak mengerti benar bagaimana cara kerjanya sama sekali.

“Cuma berpindah dari dunia ini ke suatu ruang lain.”

“A-ada yang semacam itu? ...tempat seperti apa itu?”

“Aku tidak tahu pasti.”

“... apa?”

Shidou mengernyit mendengar jawabannya.

“Segera setelah aku pindah ke sana, dengan sendirinya aku memasuki kondisi layaknya tidur. Dari yang bisa kuingat, rasanya seperti melayang-layang di ruang gelap. —Sejauh yang kurasakan, seperti tertidur saja.”

“Lalu, apa kau datang ke dunia ini setelah bangun?”

“Bukan begitu juga.”

Tohka menggelengkan kepala dan melanjutkan.

“Biasanya, aku tidak pernah bisa memilih kapan untuk datang ke sini, aku cuma dikirim secara tidak beraturan dan berakhir di sisi ini. Yah, kurasa seperti dibangunkan tiba-tiba.”

“......”

Shidou menahan nafas.

Ia mengerti bahwa spacequake terjadi ketika para Spirit muncul di dunia, tapi kalau apa yang Tohka katakan benar, berarti mereka muncul di sini bukan karena keinginan mereka.

Kalau begitu kejadiannya, bukankah spacequake benar-benar seperti kecelakaan belaka?

Memaksakan tanggung jawab pada Tohka—kepada para Spirit—itu terlalu tak beralasan tidak peduli bagaimanapun kau melihatnya.

Pada saat itu, satu pertanyaan lagi melintasi pikiran Shidou.

Ada satu bagian dari cerita Tohka barusan yang kurang pas.

“... apa maksudmu ‘biasanya’? Apa hari ini berbeda?”

“......”

Pipi Tohka berkedut sedikit, mulutnya melengkung sembari memberengut, dan dia memalingkan pandangannya sambil memiringkan kepala.

“Hmph, ma-mana aku tahu.”

“Jawab yang benar. Bisa jadi itu sesuatu yang sangat penting.”

Namun Shidou terus mendesak.

Begitulah—kalau Tohka telah datang ke dunia ini dengan kemauannya sendiri hari ini, maka itu mungkin alasan mengapa tidak ada spacequake.

Akan tetapi entah mengapa, pipi Tohka sedikit bersipu kemerah-mudaan, dan tatapannya tajam.

“Kau memaksa sekali. Pembicaraan ini sudah selesai.”

“Tidak, tapi—”

Shidou mulai berbicara, namun Tohka menyentak tanah dengan satu kaki.

Aspal yang diinjaknya langsung mencuat naik, dan kilatan cahaya memancar darinya.

“Whoa...!?”

Cahaya itu menyentuh Shidou, lalu berpencar bagaikan kembang api dengan suara gemercik.

“—Ayo, cepat beritahu apa arti date.”

Tohka berkata dengan tidak sabar.

“... muu.”

Menghadapi nada bicara yang tidak kenal kompromi itu, Shidou tidak dapat berbuat apa-apa selain terdiam.

Kalau ia menanyakannya lebih lanjut, hasilnya bisa jadi adalah berkas cahaya sama seperti kemarin.

Shidou menghabiskan sedikit waktu bergumam sendiri sebelum berbicara.

“... itu ketika seorang lelaki dan gadis pergi ke luar dan mencari kesenangan bersama-sama... menurutku begitu.”

“Cuma itu?”

Tohka menatapnya, seakan ternganga akan betapa antiklimaksnya hal yang ia ucapkan.

“Y-ya...”

Meskipun ia bilang begitu, ia masih kebingungan karena ia juga belum pernah pergi dalam sebuah date.

Yakni, ia tahu beberapa hal dari manga dan drama, namun sejauh itulah pengetahuannya.

Tapi Tohka menggerutu dengan tangannya terlipat di depan dadanya.

“... jadi intinya, kemarin Shido bilang mau main bersama, kita berdua?”

“... y-yah... iya... kurang lebih.”

Karena satu dan lain hal yang tadi itu 20% lebih memalukan ketika ia mengatakannya mentah-mentah. Ia menjawabnya sambil menggaruk pipinya dengan canggung.

“Begitu.”

Ekspresi Tohka sedikit berseri selagi mengangguk, dan dia mengambil langkah lebar untuk keluar dari gang tersebut.

“H-hey, Tohka—”

“Apa, Shido? Bukannya kita akan bersenang-senang?”

“—! K-kau mau...?”

“Bukannya kau bilang kau mau?”

“Ah... yah, itu benar, tapi...”

“Kalau begitu cepat. Kalau tidak aku nanti berubah pikiran.”

Tohka berkata sembari lanjut berjalan.

Dan kemudian, Shidou menyadari isu yang fatal.

“To-Tohka! Pakaianmu itu tidak beres...!”

“Apa?”

Mata Tohka terbelalak karena keterkejutan yang sangat ketika Shidou mengatakan itu.

“Memangnya apa yang salah dengan AstralDress-ku? Ini adalah pelindungku dan teritoriku[43] Aku tidak akan memaafkan cercaanmu.”

“Kau terlalu mencolok seperti itu...! Bahkan AST akan menyadarinya!”

“Nu.”

Sepertinya setelah sadar kalau begitu memang akan merepotkan, Tohka memasang wajah tidak senang.

“Apa yang harus kulakukan, kalau begitu?”

“Uhm, kau harus mengganti pakaianmu, tapi...”

Sepercik keringat mengaliri pipi Shidou. Tidak ada pakaian perempuan di sini, dan membawa Tohka sampai ke sebuah toko akan jadi menyusahkan juga.”

Juga, dompetnya tidak sepenuh itu.

Selagi ia mencari-cari ide dalam isi otaknya, Tohka dengan tidak sabar berbicara.

“Pakaian seperti apa yang bagus? Beritahu itu saja.”

“Eh? Ah...”

Meski dia bertanya pakaian seperti apa, ia tidak bisa segera menjawabnya.

Namun, saat itulah, seragam yang tidak asing melewati ujung penglihatannya.

“Ah...”

Seorang siswi yang tidak dikenalnya sedang menapaki jalan dengan wajah mengantuk.

Mungkin dia seorang murid yang karena suatu alasan, juga tidak mendengar kabar kalau sekolah ditutup, sama seperti Shidou.

“Tohka, yang itu. Pakaian seperti itu sepertinya boleh.”

“Nu?”

Tohka melihat ke arah yang ditunjuk Shidou, dan menempatkan tangannya di dagu.

“Hmm, begitu. Jadi yang seperti itu bisa, huh?” kata Tohka.

Dia lalu mengangkat jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya dengan rapat secara bersamaan.

Lalu, sebuah bola cahaya hitam muncul dari ujung jarinya, tertuju pada siswi tersebut.

“Tunggu, apa yang mau kau lakukan!?”

Dengan panik, Shidou menepuk tangan Tohka.

Saat itulah, tembakan fotosfer dari jari Tohka, menyerempet rambut siswi tersebut, dan mengenai dinding di belakangnya.

Suara pelan *gong* berbunyi, dan pecahan-pecahan kecil dinding tersebut tersebar kemana-mana.

“Hii...!?”

Bahu sang siswi gemetar karena kejadian yang tiba-tiba tersebut, dan dia dengan ketakuan melihat ke sekitarnya.

Akan tetapi seakan menyimpulkan kalau itu disebabkan karena ia setengah tertidur, dia memiringkan kepalanya kebingungan dan pergi.

“Apa yang kau lakukan? Kau membuatku meleset.”

“Bukan itu yang seharusnya kau katakaaaaaaan! Itu harusnya kata-kataku!”

“Aku bermaksud melumpuhkannya dan melepas pakaiannya, tapi...”

Tohka menelengkan kepalanya seakan bertanya kalau ada yang salah dengan itu.

Shidou menghela nafas dalam-dalam dari dasar perutnya, dan menopang dahi dengan tangannya.

“Dengar, Tohka. Kau tidak boleh menyerang orang-orang. Kau tidak boleh sama sekali.”

“Kenapa tidak?”

“... tidakkah kau merasa sebal ketika AST menyerangmu? Dengar aku—kau tidak boleh melakukan hal yang tidak disukai orang-orang.”

“...hmmf.”

Bibir Tohka terkatup rapat karena tidak puas ketika Shidou mengatakannya.

Alih-alih tidak setuju dengan apa yang ia katakan, sepertinya dia tidak senang dengan cara Shidou berbicara padanya seakan ia sedang berbicara kepada seorang anak kecil.

“... aku mengerti. Aku akan mengingatnya.”

Dengan ekspresi tersebut, Tohka menyetujui.

Selanjutnya, dia mengangkat wajahnya sedikit sepertinya mengingat sesuatu, dan berkata,

“—mau bagaimana lagi. Sepertinya aku harus mengurus pakaianku sendiri, bagaimanapun caranya.”

Dengan begitu, dia menjentikkan jari-jarinya.

Tepat setelah dia melakukannya, gaun yang dipakainya mulai lenyap di udara... atau seperti itulah kelihatannya, akan tetapi seakan menggantikannya, partikel-partikel cahaya berkumpul menyelimutinya, mengelilingi tubuhnya dan membentuk siluet baru.

Setelah beberapa detik, Tohka berdiri di sana, memakai seragam Raizen High School yang dikenakan siswi tadi.

“Ap... ap-apaan ini?”

“Aku melepas AstralDress-ku dan membuat pakaian baru. Tapi aku cuma membuat dari yang kelihatannya saja jadi detilnya mungkin sedikit beda, namun seharusnya tidak masalah.”

Ucap Tohka dengan bangga, sambil melipat tangan, dan berkata ‘hmmf’.

“Kalau kau bisa melakukan yang semacam itu seharusnya lakukan dari awal tadi!”

Shidou berseru, dan Tohka mengibaskan tangannya seraya berkata ‘iya, iya’.

“Yang penting, kita mau kemana?”

“M-mengenai itu—”

Shidou menyentuh telinga kanannya untuk meminta bantuan.

Lalu, ia akhirnya sadar. Sekarang ini, Shidou tidak memasang intercom di telinganya.

Dan tentu saja, tidak ada kamera yang melayang di sekitarnya.

Bagaimanapun juga, para crew Kotori dari <Fraxinus> belum mendeteksi keberadaan Tohka sama sekali.

Dengan kata lain, mereka benar-benar sendirian.

Shidou merasa sedikit pusing.

Tekanan ini membuat perutnya sakit.

Ada perbedaan besar ketika Kotori dan Reine tidak ada di belakangnya untuk memberikan masukan-masukan bagus.

“Ada apa, Shido?”

“... tidak kenapa-napa.”

Shidou mengambil nafas dalam-dalam beberapa kali, dan mulai berjalan dengan kaku. Segera setelahnya, Tohka berbicara.

DAL v01 223.jpg

“—Shido. Kau berjalan terlalu cepat. Pelan-pelan sedikit.”

“... a-ah, maaf...”

Ia mengatur langkahnya setelah diperingatkan. Kecepatan langkah mereka berbeda pada dasarnya, jadi sudah sewajarnya kalau Shidou berada lebih di depannya... entah mengapa terasa aneh.

Begini rupanya rasanya berjalan-jalan bersama seseorang.

Bagi Shidou, yang belum pernah pergi ke manapun dengan seorang gadis dalam hidupnya, ini adalah sensasi yang baru (ngomong-ngomong, Kotori yang melompat dan berjingkrak di depan Shidou tidak bisa dijadikan referensi).

Berpikir seperti itu—Shidou melirik Tohka yang berjalan di sisinya.

Apa yang ia lihat bukanlah monster yang dapat membelah langit dan bumi dengan satu ayunan pedang, namun sebaliknya hanyalah seorang gadis biasa.

Selagi mereka meninggalkan gang tesebut dan memasuki jalan besar di mana terbaris berbagai toko-toko di sisinya, Tohka mengernyitkan alis dan dengan gugup memandang ke sekitarnya.

“... a-apa-apaan orang sebanyak ini. Apa mereka sedang merencanakan perang besar-besaran!?”

Kelihatannya dia dikagetkan dengan jumlah orang dan mobil yang tidak bisa dibandingkan dengan yang biasanya dia lihat. Sambil waspada di segala arah, Tohka berkata dengan suara serius.

Lalu, di ujung jari-jemari kedua tangannya, total sepuluh bola cahaya kecil muncul. Shidou buru-buru menghentikannya.

“Seperti yang kubilang! Tidak ada yang mengincar nyawamu di sini!”

“... benarkah?”

“Benar.”

Shidou berkata demikian, dan Tohka dengan seksama memandang ke sekeliling lagi, untuk saat ini memadamkan bola-bola cahaya itu.

Lalu—tanpa diduga, kewaspadaan yang mewarnai wajah Tohka meluntur.

“Huh...? Hey Shido, bau apa ini?”

“... bau?”

Ia memejamkan matanya dan mencium bau di sekelilingnya, dan seperti yang dikatakan Tohka, ada bau harum tertinggal di udara.

“Ahh, mungkin dari arah sana.”

Sembari mengatakan ini, ia menunjuk ke sebuah toko roti di sebelah kanan.

“Hohoo.”

Mengatakan itu, Tohka memandang ke arah tersebut.

“... Tohka?”

“Nu, kenapa?”

“Mau masuk?”

“......”

Shidou bertanya, dan jari-jari Tohka bergerak sedikit selagi mulutnya melengkung memberengut. Lalu, dengan timing yang menakjubkan, *guurururu*, perut Tohka keroncongan. Kelihatannya bahkan Spirit sekalipun dapat merasa lapar.

“Kalau Shido mau aku tidak akan menolak untuk masuk.”

“... aku mau. Aku benar-benar mau masuk.”

“Kalau begitu, aku tidak punya pilihan kan!”

Dengan sangat girang, Tohka merespon, dan dengan semangat membuka pintu toko roti tersebut.



“......”

Bersembunyi di balik bayang-bayang dinding, Origami menatap dengan seksama pasangan lelaki-gadis yang sedang berbicara di depan toko roti, dan tanpa mengubah ekspresinya satu milimeter sekalipun ia menghela nafas perlahan.

Ia tadinya pergi ke sekolah hanya untuk mendapatinya tutup, dan dalam perjalanan pulang ke rumah, ia melihat Shidou sedang berjalan bersama dengan seorang siswi.

Itu saja sudah menjadi situasi yang luar biasa serius. Seperti kekasih saja, ia diam-diam mulai membuntuti mereka.

Namun—ternyata ada masalah yang lebih besar lagi dari itu.

Siswi itu, Origami mengenalnya.

“—Spirit.”

Diam-diam ia berbisik.

Benar. Monster. Keabnormalan. Malapetaka yang akan menghancurkan dunia.

Makhluk yang bukan manusia itu, yang semestinya dimusnahkan oleh grup Origami, sedang mengenakan satu stel seragam dan berjalan di samping Shidou.

“......”

Namun kalau ia dengan tenang memikirkannya, hal seperti itu tidak mungkin terjadi.

Sebelum seorang Spirit muncul, sebagai pendahulu, sebuah goncangan awal dengan tingkat yang abnormal akan terdeteksi. Tidak mungkin Squad observasi AST meloloskan itu.

Namun, kalau begitu peringatan spacequake seharusnya sudah berbunyi seperti hari sebelumnya, dan sebuah perintah juga seharusnya sudah tersampaikan pada Origami.

Origami mengeluarkan handphone-nya dari tas dan membukanya. Tidak ada pesan.

Kalau begitu, maka gadis itu ternyata bukanlah seorang Spirit, namun hanya seseorang yang memiliki kemiripan belaka.

“... tidak mungkin seperti itu.”

Dengan pelan, bibirnya bergerak. Tidak mungkin Origami salah mengenali wajah sang Spirit.

“......”

Origami menekan beberapa tombol di handphone-nya, membuka halaman address dan menghubungi sebuah nomor.

Lalu.

“—AST, Sersan Kepala Tobiichi. A-0613.”

Ia mengucapkan jabatan dan kode ID-nya. Ia lalu berkata langsung pada intinya.

“Kirimi saya satu mesin observasi.”


Bagian 2

“Ah, Reine~. Kalau kau tidak mau berikan padaku.”

“......nn, boleh. Ambillah.”

Kotori mengulurkan garpunya, dan menusukkannya ke raspberry di piring di depan Reine. Ia lalu pelan-pelan mengangkat garpu tersebut ke mulutnya, menikmati sensasi manis dan asam yang ditimbulkan.

“Mmm, nyam. Kenapa kau tidak suka ini, Reine?”

“......asam kan?”

Sambil mengatakan ini, Reine meminum apple tea yang mengandung banyak gula sekali teguk.

Sekarang ini, mereka berdua sedang berada di sebuah café di jalan besar Tenguu.

Kotori sedang mengenakan pita putih dan seragam SMP-nya, sedangkan Reine memakai cutsew[44] dan denim berwarna terang.

Kotori telah berangkat ke sekolah seperti biasanya namun, dikarenakan spacequake kemarin, sekolah Kotori mengalami kerusakan, jadi sekolah ditutup.

Bagaimanapun juga, langsung pulang ke rumah setelah itu akan terasa janggal, jadi ia memanggil Reine untuk menikmati snack time.

“......oh, ini kesempatan bagus, beritahu saya.”

Reine membuka mulut sepertinya teringat akan sesuatu.

“A~pa?”

“......maaf kalau ini pertanyaan yang terlalu mendasar, tapi Kotori, kenapa kamu memilihnya sebagai negosiator dengan Spirit itu?”

“Mm...”

Mendengar pertanyaan Reine, Kotori memberengut.

“Kau tidak akan bilang ke siapa-siapa?”

“......saya janji.”

Dengan suara rendah, Reine mengangguk. Melihat ini, Kotori menyetujui dan menjawabnya. Murasame Reine adalah wanita yang akan menepati apa yang dikatakannya.

“Sebenarnya, aku tidak sedarah dengan Onii-chan. Latar yang benar-benar mirip galge kan.”

“......Hrm?”

Tanpa terlihat geli ataupun terkejut, Reine menelengkan kepalanya sedikit. Dia segera memproses kata-kata Kotori dan membuat pose yang sepertinya menanyakan ‘apa hubungannya dengan pertanyaan saya?’.

“Karena itulah aku menyukaimu, Reine~”

“......”

Reine memasang wajah kebingungan.

“Abaikan~. ...lalu, coba kulanjutkan. Aku ingin tahu berapa umurku waktu itu, masa-masa yang tidak kuingat, tapi onii-chan ditinggal oleh ibu aslinya, dan keluarga kami mengadopsinya, atau semacam itu kiranya. Sudah lama sekali jadi aku tidak benar-benar ingat, tapi kelihatannya dia cukup merepotkan ketika pertama kalinya kami mengadopsinya. Dia berada pada taraf di mana kelihatannya dia bisa bunuh diri begitu saja.”

“......”

Entah mengapa, alis Reine bergerak terkejut.

“Ada apa?”

“......tidak, silahkan lanjutkan.”

“Nn. Yah, tidak ada yang bisa kami lakukan. Untuk seseorang yang bahkan belum berumur sepuluh tahun, seorang ibu pastinya adalah keberadaan yang esensial, jadi bagi onii-chan mungkin itu adalah kejadian yang menyangkal keberadaannya seutuhnya. —Tapi yah, sepertinya setelah sekitar satu tahun kondisinya sudah stabil.”

Setelah menghembuskan nafas keras-keras, ia melanjutkan.

“Mungkin karena itu, onii-chan anehnya menjadi sensitif dengan rasa keputusasaan di dalam diri orang-orang.”

“......keputusasaan?”

“Mm. Seperti saat semua orang mencela seseorang—berpikir kalau seseorang tidak akan pernah disayangi orang lain. Yah. pada dasarnya sebagaimana dirinya dulu. Kalau ada seseorang dengan ekspresi melankolis semacam itu, meskipun itu orang asing sekalipun, ia bisa jadi langsung menolongnya tanpa pikir panjang.”

‘Begitulah’, itu yang diutarakan pandangan Kotori selagi tertuju ke bawah.

“Jadi kupikir, ‘kalau dia’. —Satu-satunya yang terpikirkan olehku yang bisa menghibur Spirit itu adalah onii-chan.”

Kotori berkata demikian, dan Reine merespon ‘...begitu’ lalu merendahkan pandangannya.

“......tapi, yang ingin saya dengar bukanlah alasan emosional semacam itu.”

“......”

Terhadap kata-kata Reine, alis Kotori bergerak terkejut.

“Jadi, apa maksudmu?”

“......benar-benar merepotkan kalau kamu berpura-pura tidak tahu begitu. Saya tidak percaya kalau kamu tidak mengerti.—Dia itu sebenarnya apa?”

Reine adalah penganalisa terbaik <Ratatoskr>. Dengan menggunakan realizer khusus, jangankan struktur material, lewat penyebaran temperatur dan ukuran gelombang otak, dia dapat kurang lebih memahami seluk-beluk emosi seseorang.

—Bahkan kemampuan tersembunyi dan ciri khusus seseorang.

Kotori melepas keluhan yang cukup keras untuk dapat didengar.

“Yah, pada waktu aku mempercayakan onii-chan pada Reine aku kurang lebih sudah tahu kalau ini akan terjadi~”

“......ahh, maaf tapi saya sudah menganalisanya sedikit. …saya pikir aneh untuk melibatkan orang biasa dalam strategi ini tanpa alasan yang kuat.”

“Mm, aku tidak keberatan~. Lagipula seiring waktu mungkin ini akan menjadi hal yang diketahui semua pihak juga~”

Berbarengan dengan suara pintu yang terbuka dan suara pelayan yang menyerukan ‘Selamat datang’, Kotori mengangkat bahu.

Ia lalu mengambil sedotan yang tersandar di dalam gelas di depannya, dan menyedot blueberry juice yang tersisa dalam satu tarikan.

Lalu—

“Ppfuuuuuugh!?"

Melihat pasangan yang baru saja memasuki toko duduk di booth di belakang Reine, jus yang telah disedotnya tadi ke dalam mulutnya tersembur keluar dengan kekuatan yang mencengangkan.

“......”

Entah bagaimana, kelihatannya pasangan itu tidak sadar, Reine yang duduk di hadapan Kotori, menjadi korban moro reflex[45] Kotori. Singkatnya, dia jadi basah kuyup.

“Maaf, Reine...”

“......nn.”

DAL v01 233.jpg

Dengan pelan, Kotori meminta maaf, dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa, Reine mengambil sapu tangan dari kantungnya dan menyeka wajahnya.

“......ada apa, Kotori?”

“Mmm... kupikir aku melihat sesuatu yang tidak logis atau malah tidak realistis.”

“......apa itu?”

Merespon pertanyaan Reine, Kotori tanpa mengucapkan apapun menunjuk ke belakang Reine.

“...?”

Reine membalikkan kepala—dan tiba-tiba berhenti bergerak.

Beberapa detik kemudian, kepalanya berputar kembali ke posturnya semula, lalu dia mendekatkan apple tea ke mulutnya.

Lalu, *pfuugh*, dia menyemburkan teh itu ke arah Kotori.

“......benar-benar sangat mengagetkan.”

Mungkin itu cara Reine memperlihatkan kekagetannya.

Namun itu memang sudah sewajarnya. Bagaimanapun juga, di belakang Reine, kakak Kotori, Itsuka Shidou, sedang duduk bersama dengan seorang gadis.

Bukan itu saja. Gadis yang dikatakan itu adalah yang disebut oleh grup Kotori sebagai sebuah malapetaka, seorang Spirit.

“Eeeeh... apa yang terjadi.”

Kotori mengusap wajahnya dengan sapu tangan yang diberikan Reine padanya, seraya ia bertanya dengan suara yang dipelankan.

Ngomong-ngomong, di sapu tangan Reine terdapat gambar beruang tepat di tengahnya. Berkat noda-noda dari blueberry juice dan apple tea, sekarang penampilannya terlihat seperti Kikaider[46]

Ia mencari-cari di sakunya dan melihat handphone-nya. Tidak ada pesan dari <Ratatoskr>. Artinya, mereka belum menyadari gangguan apapun dari waktu Spirit tersebut muncul.

Namun, tidak diragukan lagi dialah sang Spirit, Tohka. Tidak mungkin ada banyak gadis secantik itu.

“Apa ada cara bagi para Spirit untuk muncul tanpa kita sadari?

“......bagaimana kemungkinannya kalau dia cuma orang yang mirip?”

Kotori memikirkan kata-kata Reine sejenak.

Tapi ia langsung menggelengkan kepalanya.

“Kalau begitu kasusnya, berarti onii-chan sedang kencan dengan seorang gadis normal. Kalau kau bertanya mana yang lebih mungkin antara hal itu dengan kemunculan seorang Spirit secara diam-diam... yang kedua itu masih unggul tipis kemungkinannya.”

“......begitu.”

Benar-benar komentar yang kejam, namun Reine menerimanya begitu saja.

“......tapi kalau memang begitu ini jadi merepotkan. Saya ragu Shin bisa menghadapi Spirit itu sendirian.”

“Nn...”

Lalu, di saat mereka berdua menempatkan tangan di mulut sambil mengeluh, mereka mendengar percakapan dari dua orang di belakang Reine.

“Huh, jadi tinggal memilih makanan dari buku ini?”

“Ya, betul.”

“Roti jamur. Gak ada roti jamur?”

“Uhh kupikir itu agak... lagipula, bukannya kau terus memakan itu di toko roti tadi?”

“Aku mau makan itu lagi. Apa-apaan serbuk tadi itu... benar-benar membuat ketagihan... kalau benda itu sembarangan diedarkan di dunia pasti akan terjadi bencana... orang-orang akan gemetaran karena sindrom penarikan [47] dan tak diragukan lagi akan memulai perang memperebutkan jamur.”

“Gak mungkin.”

“Muu, apalah. Ayo kita mulai pencarian rasa baru.”

“Iya iya... tapi aku cuma punya sisa 3000 yen.”

“Nu? Apa itu?”

“Aku bilang karena kau terus-terusan beli makanan jadinya uangku habis!”

“Muu, dunia yang keras. Baiklah, sepertinya tidak ada jalan lain. Tunggu sebentar, aku akan mengumpulkan uang.”

“Tu...tunggu! Kau berencana apa!”

Mendengar percakapan itu, Kotori mengeluh panjang.

Setelah mengambil pita hitam dari sakunya, ia mengikat rambutnya.

Itu adalah cara Kotori untuk merubah pola pikirnya. Sekarang ini, Kotori telah bertransformasi dari adik kecil Shidou yang manis menjadi mode komandannya.

Lalu, membuka handphone-nya, ia tersambung ke <Ratatoskr>.

“...ahh, ini aku. Ini darurat. —Laksanakan kode strategi F-08●Operation <Hari Libur Tenguu>. Semua awak, segera menuju pangkalan kalian.”

Mendengar ini, wajah Reine berkedut.

Menunggu sampai panggilan telepon Kotori selesai, dia mengeraskan suaranya.

“......kamu serius mengenai ini, Kotori?”

“Ya. Ini situasi di mana kita tidak bisa memberinya perintah apapun. Tidak ada jalan lain.”

“......begitu. Kalau sudah seperti ini—berarti ini bagian Route C. ...Hmm, kalau begitu saya akan bergegas. Saya akan bernegosiasi dengan pihak toko ini secepat mungkin.”

“Mohon bantuannya.”

Sembari mengatakan ini, Kotori mengambil Chupa Chups dari sakunya dan memasukkannya ke mulut.


Bagian 3

“......”

Membandingkan antara digit-digit yang tertulis di struk di tangannya dengan isi dompetnya, Shidou mengeluh. Tidak banyak yang tersisa, namun untungnya jumlah tersebut masih bisa ia bayar.

“Ayo, kita pergi Tohka.”

“Nn, sekarang?”

Tohka berkata, memandang heran. Shidou buru-buru berdiri seperti sedang terburu-buru. Kalau mereka tinggal di sini lebih lama maka jalan terbuka untuk mereka hanyalah untuk mencuci piring atau kabur setelah makan.

Selagi Shidou berjalan menuju meja kasir depan, Tohka menyusulnya juga. Dia tidak lagi memancarkan aura kegarangan terhadap pelanggan di sekitarnya. Kelihatannya dia kurang lebih sudah membiasakan diri dengan orang-orang yang berlalu-lalang.

Untuk saat ini, Shidou merasa lega, ia menaruh struk bersama dengan tiga lembar uang kertas yang merupakan 90% sisa uangnya di meja kasir.

“Aku mau bayar.”

Shidou berkata pada sang karyawati yang berdiri di meja kasir—

“...!?”

Ia mengernyit kuat, dan termundur ke belakang.

Itu karena, karyawati yang berdiri di sana adalah...

“......terima kasih atas kedatangannya.”

Ia mengenal wanita dengan lingkaran hitam tebal di bawah matanya itu yang terlihat sangat mengantuk.

“Ap, ap-ap-ap-ap-ap...”

“Nn? Ada apa Shido, ada musuh!?”

Tohka membalikkan wajahnya yang bergetar ke arah Shidou yang terlihat kebingungan.

“B-bukan, bukan itu...”

Ia dengan lemas menidakkan pertanyaan Tohka.

Lalu, Shidou menatap pekerja yang memakai seragam yang luar biasa manis itu dengan sebuah boneka beruang bertengger di bahunya, mata-mata mengantuknya bercahaya.

Untuk sesaat, ia pikir ia merasakan sorotan yang seakan mengatakan ‘kalau kamu memberitahu siapapun kalau saya bekerja di sini saya akan membunuhmu’, tapi ia kemudian sadar kalau ada makna yang berbeda di baliknya.

“......ini kembalian dan struknya.”

Pada saat Shidou kaget tadi, Reine dengan sigap menyelesaikan transaksi. Ia mengulurkan struk sambil mengetuk permukaannya.

Di bagian bawah struk tersebut, tertulis ‘Kami akan membantumu. Lanjutkan date-mu sewajarnya’.

Dengan kata lain, sorotan barusan dimaksudkan agar Shidou tetap melanjutkan date tanpa membiarkan Tohka tahu kalau mereka saling mengenal... mungkin.

“T-tak usah dipedulikan.”

Shidou berkata pada Tohka, sambil mengantungi struk tersebut di sakunya.

Tatapan tajam Reine kembali ke pandangan melamunnya seperti biasa.

Dia lalu mengambil selembar potongan kertas berwarna-warni dari laci mesin kasir dan mengulurkannya pada Shidou.

“......ini ada tiket undian dari pusat perbelanjaan. Setelah anda meninggalkan toko ini, kalau anda mengikuti jalan ke kanan anda akan sampai ke tempat pengundian. Jika anda berminat, silahkan dikunjungi.

Tambah lagi setelah menjelaskan lokasinya secara detail, bagian terakhir tadi diucapkannya dengan sangat jelas.

Shidou menggaruk pipinya. Daripada ‘jika anda berminat’, dia sepertinya memberitahunya agar benar-benar memakainya.

Kalau memang begitu, tanpa menekankan hal itupun semua akan baik-baik saja.

“Shido, apa itu?”

Karena Tohka sedang mengamati tiket undian itu dengan ketertarikan yang kuat.

“Kau mau pergi ke sana?”

“Shido mau ke sana?”

“... ya, aku tidak sabar lagi.”

“Kalau begitu ayo.”

Tohka dengan ceria meninggalkan toko dengan langkah-langkah lebar.

Setelah membungkuk sedikit pada Reine, Shidou menyusulnya.


“—Kerja bagus, Reine.”

Bersembunyi di balik bayang-bayang meja kasir, Kotori berdiri setelah memastikan kepergian mereka berdua dari toko.

“... saya tidak terbiasa dengan ini, terima kasih.”

Reine mengangkat ujung seragam yang banyak rendanya itu, dan berkata dengan suara monoton.

Itulah kode strategi F-08●Operation <Hari Libur Tenguu>.

<Ratatoskr> sudah mempertimbangkan setiap kemungkinan, dan telah mengumpulkan lebih dari 1000 kode strategi. Ini adalah salah satu dari kemungkinan-kemungkinan itu.

Kalau ada kasus dimana Spirit lolos dari pengawasan, dan bertemu langsung dengan Shidou—crew <Fraxinus> akan membaur dengan orang-orang di jalanan dan mendukung Shidou dari balik bayang-bayang.

Untuk alasan ini, seluruh crew telah menghabiskan minimal satu bulan berlatih akting.

“Cocok denganmu. Imut sekali.”

Sambil menjilat permen, Kotori berkata, lalu ia segera menarik handphone-nya dan menghubungi sebuah nomor.

“Ahh, ini aku. Mereka baru saja meninggalkan toko. … Mmm, cobalah senatural mungkin sebisamu. Kalau kau gagal, kau akan dikuliti.”

Mengabarkan informasi dan penalti itu dengan singkat, ia memutuskan hubungan.

“Grup dua sepertinya sudah stand by. —Mari kita lihat, kita sebaiknya kembali ke <Fraxinus>. Meski kita tidak bisa menghubungi mereka lewat suara, kita setidaknya harus menonton videonya.”

“......ya, mari kita lakukan.”

Mendengar kata-kata Reine dari belakangnya, ujung-ujung bibir Kotori melengkung naik.

“Nah sekarang—datepertarungan kita dimulai.”


“Uhm, undian... sepertinya yang itu.”

Setelah Shidou dan Tohka meninggalkan toko dan menapaki jalan, mereka melihat sebuah tempat dengan sebuah meja panjang di mana terlihat banyak tanda silang merah dan roda undian besar yang ditempatkan di atas meja itu.

Di sana ada dua lelaki memakai happi coat[48], yang satu sedang berdiri di dekat roda undian dan satu lagi menyerahkan hadiahnya. Di belakang mereka, berjejer barang-barang yang terlihat seperti hadiah-hadiahnya macam sebuah sepeda dan karung beras. Sudah ada beberapa orang yang membuat barisan.

“...”

Shidou menggaruk pipinya.

Ia cuma mengingat samar-samar... tapi selain orang-orang yang memakai happi coat itu, ia sepertinya ingat pernah melihat wajah-wajah para pelanggan di barisan itu dalam <Fraxinus> juga.

“Oooh!”

Tapi tidak mungkin Tohka akan mengkhawatirkan hal semacam itu. Menggenggam tiket undian yang diterimanya dari Shidou (atau lebih tepatnya, karena kelihatannya dia benar-benar menginginkannya jadi Shidou memberikannya), matanya bergemilang.

“Ayo, kita mengantri.”

“Mm.”

Lalu, Tohka mengangguk, dan mereka masuk ke belakang barisan.

Memandang pelanggan di depan yang sedang memutar roda tersebut, kepala dan mata Tohka ikut berputar seiringan dengan gerakan roda.

Lalu singkatnya, tiba giliran Tohka. Meniru pelanggan sebelumnya, Tohka mengulurkan tiket ke petugas, dan menaruh tangannya di roda undian. Kalau dilihat baik-baik, petugas itu adalah <Bad MarriageTerlalu Cepat Loyo> Kawagoe.

“Aku tinggal memutar benda ini?”

Setelah mengatakan itu, dia memutar roda undian. Beberapa detik kemudian, bola untuk hadiah hiburan keluar dari roda undian tersebut.

“... sayang sekali. Bola merah cuma menang tisu sa—”

Saat Shidou mulai berbicara, Kawagoe membunyikan bel di tangannya keras-keras.

“Hadiah Utama!”

“Oooh!”

“H-huh...?”

Shidou mengernyitkan alisnya namun... melihat petugas lain di belakang Kawagoe menarik keluar sebuah spidol merah dan mewarnai bola emas yang tergambar di samping tulisan ‘Hadiah Utama’ di papan hadiah, ia menghentikan suaranya.

“Selamat! Hadiah utama adalah tiket berpasangan menuju Dreamland!”

“Ooh, apa itu Shido!”

“... taman bermain? Aku belum pernah mendengarnya...”

Dengan ragu-ragu Shidou menjawab Tohka yang telah menerima tiket tersebut dengan perasaan gembira.

Segera sesudahnya, Kawagoe mendekatkan wajahnya dan tanpa keraguan,

“Ada peta yang tergambar di tiket, jadi pastikan untuk mengunjunginya! Anda harus berangkat sekarang juga!”

“... o-oke...”

Mundur selangkah seolah sedang ditekan, ia melihat ke bagian belakang tiket. Memang ada sebuah peta yang tergambar. Dan tempat itu sangat dekat.

“Memangnya ada taman bermain di dekat sini...?”

Shidou menelengkan kepalanya, tapi yah, ini perintah dari <Ratatoskr>. Pasti ada sesuatu di sana.

“... mau lihat-lihat, Tohka?”

“Mhmm!”

Tohka sedang penuh dengan antusiasme, jadi tidak ada salahnya pergi ke sana dan melihat-lihat.

Tempatnya ternyata benar-benar dekat. Dari tempat pengundian berjarak beberapa ratus meter menyusuri sebuah gang. Di kedua sisinya masih berderet bangunan-bangunan, siapapun tidak akan mengira di tempat seperti itu dibangun sebuah taman bermain.

Namun—

“Oooh! Shido! Ada kastil! Kita ke sana!?”

Tohka mengekspresikan kegirangan yang melebihi sebelumnya, saat dia menunjuk ke depan.

Sambil berpikir betapa tidak masuk akalnya ini, Shidou mengangkat pandangannya dari balik tiketnya dan mengarahkan wajahnya ke depan.

“...”

Seketika itu juga, Shidou membeku di tempat.

Memang, meskipun kecil, terdapat sebuah kastil bergaya barat. Di papannya tertulis ‘Dreamland’.

… dan di bagian bawahnya, tertulis ‘Istirahat●Dua Jam 4000 yen~ Menginap●8000 yen~'.

Dengan kata lain, itu adalah love hotel yang hanya bisa dimasuki orang dewasa.

“A-ayo pergi Tohka...! Aku tidak sengaja salah belok tadi!”

“Nu? Bukan yang itu?”

“Ya betul. A-ayo, kita pergi.”

“Tidak bisakah kita mampir ke sana juga? Aku mau masuk.”

“...! Nggak nggak nggak. Jangan hari ini! Oke!?”

“Muuu... oke.”

Ia merasa bersalah karena membuat Tohka kecewa, tapi tempat itu tidak mungkin bagaimanapun juga. Shidou memutar badan untuk membelalak pada Kotori yang mungkin sedang menonton keseluruhannya dari langit, sebelum berbalik lagi.


“Ya ampun, jauh-jauh pergi ke sana cuma untuk berbalik? Benar benar chicken, bahkan untuk kakakku sekalipun.”

Duduk di kursi komandan <Fraxinus>, Kotori mengangkat bahu sambil mengeluh.

“......yah, apa lagi yang kamu harapkan. Kejam juga tiba-tiba melakukan itu.”

Duduk di bagian bawah bridge, Reine berkata sambil mengoperasikan sebuah alat.

Angka-angka yang diperlihatkan di layar berdasarkan analisisnya jauh lebih stabil dibanding sebelumnya. Meskipun masih belum cukup untuk dianggap pacar, angka-angka tersebut menunjukkan kalau Tohka menganggap Shidou sebagai teman yang bisa dipercaya.

Yah, karena itulah mereka mencoba pola yang agak drastis.

“Meskipun mereka tidak benar-benar sampai ke ujungnya, kalau mereka melakukan sesuatu seperti ciuman saja maka skakmat sudah.”

Saat mengatakan ini, stik permennya bergerak ke sana-sini, lalu ia membuang napas dari hidungnya.

“......apa yang perlu kita lakukan selanjutnya.”

“Nn, coba kita lihat. Ayo kita coba ‘bergandengan’ dan ‘labirin satu jalan’.”


“Haa... haa.”

Meskipun mereka tidak berlari, entah mengapa ia sesak napas. Di saat mereka keluar ke jalan dengan berbagai toko dan bangunan yang berderet, ia memperlambat langkahnya.

“Apa kau tidak enak badan, Shido?”

“Bukan, bukan itu...”

“Lalu ada apa?”

Tohka menelengkan kepala dan bertanya.

“... untuk sejenak tadi, pikiranku melayang ke imouto-ku di langit sana.”

“Di langit?”

Tohka memasang wajah sedikit terkejut.

“Ahh. Dia imouto yang manis sekali dulu...”

Tidak habis pikir dia punya kepribadian ganda seperti itu, keluhnya.

“Begitukah...”

Melihat Tohka yang tiba-tiba memancarkan aura kelam, Shidou akhirnya tersadar. Caranya berbicara barusan, seakan-seakan Kotori sudah meninggal saja.

“Ahh bukan itu Tohka, itu—”

Kata-kata Shidou berhenti.

“Silahkan ambil satu.”

Tiba-tiba, seorang gadis mengulurkan sebungkus tisu saku di depan matanya.

Ia mengulurkan tangannya dan menerimanya, dan gadis tersebut mengangguk sedikit sebelum pergi.

“Shido? Apa itu?”

“Ahh, ini disebut tisu saku—”

Sambil mengatakan ini, Shidou memelintir lehernya.

Tisu saku yang dibagi-bagikan di jalan biasanya adalah untuk promosi. Namun, pada bungkusan sepaket tisu ini, selain ilustrasi pasangan yang sedang bergandengan tangan dan kata-kata ‘Jika kau bahagia, bergandengan tangan-lah’, tidak ada apa-apa lagi selain itu. Apa ini dari semacam organisasi relijius?

Lalu, selagi ia bertanya-tanya, dari toko elektronik di sebelah kanannya ia mendengar suara yang dikenalnya dari suatu tempat.

Di banyak TV set yang berbaris di etalase, sebuah acara aneh sedang disiarkan.

“Ap...!?”

Shidou mengernyitkan alis dan menyuarakan.

Ada sejumlah banyak komentator seperti yang ada pada acara-acara informatif yang disiarkan di siang hari, namun setiap dari mereka semua adalah wajah-wajah yang dikenalnya dari <Fraxinus>.

「Siapapun yang tidak bergandengan tangan pada date pertamanya bukanlah orang yang pantas.」

「Benar, kalau kau memang laki-laki, hal itu jelas harus dilakukan」

“......”

Lalu, selagi Shidou terdiam, jumlah pasangan di sekitarnya bertambah dengan tingkat yang tidak wajar.

Apa lagi, mereka semua dengan intimnya berpegangan tangan, dan dari waktu ke waktu mengatakan ‘enak sekali bergandengan tangan!’ atau ‘rasanya hati kita ikut terhubung!’ dan hal semacam itu, seperti disengaja.

Merasa sedikit pusing, Shidou menaruh tangan di dahinya.

—Sepertinya memang itu rupanya.

Ia mengeluh dengan sangat.

Setelah beberapa lama, Shidou menaruh bungkus tisu tadi di sakunya, dan mencoba menenangkan detak jantungnya, berbalik untuk menatap Tohka.

“H-hey, Tohka...”

“Nn, apa?”

Tohka menelengkan kepalanya sambil bertanya-tanya. Shidou menelan ludah, dan mengulurkan tangannya.

“Uhm, kau mau... bergandengan?”

“Tangan? Kenapa?”

Tanpa maksud tertentu, seolah-olah sebuah tanda tanya polos sedang melayang di atas kepalanya, Tohka bertanya.

Entah kenapa, itu membuatnya merasa justru lebih malu dibanding ditolak mentah-mentah.

“... benar juga. Kenapa ya?”

Kenyataannya, itu bukanlah sesuatu yang dapat dijelaskannya. Selagi ia memalingkan muka, Shidou menarik tangannya—

“Nn.”

—kembali, tetapi tangan Tohka menggenggam tangannya.

“...”

“Nu? Kenapa dengan wajahmu itu. Kau yang tadi bilang untuk bergandengan, Shido.”

“A-ahh.”

Setelah menggelengkan kepalanya perlahan, mereka mulai berjalan.

“Mm, tidak buruk juga, bergandengan tangan.”

Sambil mengatakan ini Tohka tersenyum, dan dia sedikit memperkuat pegangannya.

“... y-ya.”

Ia sadar hanya dengan menyentuh tangan kecil, lembut, dan sedikit lebih dingin itu, wajahnya langsung memerah.

Sebisa mungkin, ia mencoba menghindari memikirkan rasanya, sembari berjalan memikirkan hal-hal lain.

Lalu, setelah berjalan maju untuk beberapa saat, ia melihat marka kuning dan hitam di depan yang menandakan sebuah area dalam pembangunan. Orang-orang berhelm sedang sibuk bekerja.

“Mm... kita tidak bisa lewat sini huh. Yah, mari...”

Shidou berbelok ke kanannya, namun kali ini di jalan itu ditempatkan sebuah tanda dilarang masuk.

“Ah?”

Sambil berpikir kalau ini mencurigakan, ia dengan enggan berbalik ke arah dari mana ia datang.

Tapi, kali ini, jalan yang mereka baru saja tapaki sejauh ini, diblokir sebuah marka.

“......”

Bagaimanapun juga ini terlalu tidak natural. Shidou memicingkan mata pada wajah-wajah para pekerja.

Ia cukup yakin, ia mengenal beberapa wajah-wajah mereka. Mereka adalah para crew <Fraxinus>.

Kehabisan kata, Shidou berputar menuju bukit, dan meliat jalanan yang terbentang di sisi kirinya.

Satu-satunya jalan yang dapat mereka ambil hanyalah itu.

“... jadi mereka menyuruh kami lewat sini huh.”

“Nu? Ada apa Shido?”

“Ti, tidak. …sekarang ini, ayo coba arah sini?”

“Mm, oke.”

Sembari memasang wajah seolah berjalan seperti ini saja sudah menyenangkan, Tohka menyetujui.

“Kalau begitu, ayo pergi Shido!”

“I-iya...”

Dengan sikap yang canggung, Shidou melangkah menuju jalan di sebelah kiri.




Bab 5: Tirani SandalphonSang Pembantai

Bagian 1

Waktu menunjukan pukul 6 petang.

Sinar mentari sore terpencar ke bangunan-bangunan di depan Stasiun Tenguu, mewarnainya oranye.

Dari sebuah taman kecil di mana dapat terlihat pemandangan yang sangat brilian ini, dua orang, seorang lelaki dan seorang gadis, sedang berjalan.

Tidak ada yang istimewa dengan sang lelaki. Dia hanyalah murid SMA biasa.

Namun, untuk sang gadis—

“... fuuu”

Kusakabe Ryouko membasahi lidahnya sambil menyipitkan mata.

“Ada kecocokan sebesar 98.5%. Benar-benar terlalu tinggi untuk dianggap sebuah kebetulan.”

Spirit.

Malapetaka yang menghancurkan dunia ini.

Gadis yang membumihanguskan daratan 30 tahun lalu serta menyebabkan kebakaran besar 5 tahun lalu, dan berada di kategori yang sama dengan bencana-bencana terburuk.

Namun, yang terlukis di retina Ryouko sekarang ini hanyalah sosok seorang gadis manis.

“Izin untuk menembak?”

Dengan pelan—atau lebih tepatnya, suara yang teramat dingin, terlempar ke punggung Ryouko.

Ia tidak berbalik. Itu suara Origami.

Dilengkapi dengan wiring suit dan thruster unit yang sama seperti Ryouko, tangan kanannya menggenggam Anti-Spirit Rifle yang lebih panjang dibanding tinggi tubuh Origami, <Cry●Cry●Cry>.

“... belum. Tetap siaga. Para atasan mungkin masih berdiskusi.”

“Oh.”

Tanpa terlihat lega, ataupun kecewa, Origami mengangguk.

Saat ini, bersiap siaga dalam radius satu kilometer dari taman di mana seorang Spirit berada, Ryouko dan anggota AST lainnya yang berjumlah total sepuluh orang, berpencar menjadi lima pasangan.

Kenyataan akan adanya dua orang adalah salah satu alasan agar mereka bergerak berpasangan.

Lebih jauh lagi dari daerah perkotaan dibanding taman tersebut terdapat sebuah lahan kosong yang sedang dalam pembangunan. Pada siang hari biasanya ada banyak truk dan mesin derek dan sebagainya, tapi pada jam-jam segini suasana sudah mereda.

Beberapa jam lalu, ketika sudah dipastikan kalau gadis yang ditemukan oleh Origami adalah seorang Spirit, izin untuk mengoperasikan CR-Units segera diberikan.

Namun, orang-orang seperti Menteri Pertahanan dan Kepala Staf masih dalam pertemuan membicarakan tindakan yang akan diambil.

Pertanyaan utamanya adalah untuk menyerang, atau tidak.

Karena ini adalah kemunculan tanpa terdeteksinya spacequake, peringatan spacequake tidak berbunyi.

Ini berarti tidak ada satupun penduduk yang berevakuasi, jadi jika Spirit itu mengamuk sekarang, akan ada kerusakan-kerusakan parah.

Di sisi lain, tidak baik untuk memancing Spirit tersebut dengan cara membunyikan peringatannya sekarang. Ini situasi yang serius.

Akan tetapi—

“Ini kesempatan bagus.”

Origami, dengan suara datarnya seperti biasa, berkata.

Seperti yang dikatakannya, ini kesempatan bagi mereka.

Karena saat ini, pada Spirit itu tidak ada AstralDress yang bermanifestasi di tubuhnya.

Pelindung luar yang, seperti halnya territory Ryouko, melindungi dan menjadikan sang Spirit bentuk kehidupan tertinggi, yang terkuat, tak tertandingi, sekarang ini tidak terbalut di tubuhnya.

Kalau sekarang, ada kemungkinan serangan mereka dapat mengenainya.

Tapi itu tidak lebih dari kemungkinan belaka, dan sekarang ini yang dibutuhkan adalah cara yang pasti untuk memberikan serangan fatal dengan satu tembakan tunggal. Itulah alasan mengapa Origami memegang anti-spirit rifle spesial itu.

Sang pengguna meneriakkan pekikan, lintasan memperdengarkan dengkingan, dan target menyuarakan jeritan kematian.

Demikianlah, <Cry Cry CryC C C>.

Tanpa territory terbentang, rekoilnya akan menghancurkan pergelangan tangan sang penembak, benar-benar senapan gila.

Bagaimanapun juga, Ryouko tidak pernah membayangkan akan adanya insiden yang membutuhkan senapan itu.

“... para petinggi-petinggi yang ‘gak jelas itu seharusnya memberikan izin untuk menyerang saja pada situasi seperti ini.”

“Akan jadi merepotkan kalau tidak.”

Ryouko berkata, dan Origami menjawabnya dengan segera.

“... yah, itu masalahnya kalau kau berada di tempat kejadian. Tapi, makna dari kasus ‘Spirit mengamuk setelah izin menyerang diberikan namun tidak dapat diatasi dalam satu serangan’ melawan kasus ‘Spirit membabi-buta tanpa diketahui kemunculannya~’ sebenarnya cukup berbeda kalau kita berbicara mengenai tanggung jawabnya.”

“Memang merepotkan tapi begitulah cara mereka membuat keputusan.”

“Yah, ada banyak orang yang lebih peduli dengan kedudukan mereka dibandingkan dengan nyawa sekelompok orang lainnya.”

Seraya mengatakan ini, ia mengangkat bahu.

Ekspresi Origami tidak berubah sedikitpun, tapi entah kenapa sepertinya dia merasa kecewa.

Lalu—pada saat itu, sebuah suara berpadu dengan noise mencapai telinga Ryouko.

“Ya ya, ini point alpha, bagaimana keputusan akh— eh?”

Ryouko terbelalak mendengar informasi yang tersampaikan melalui ear-piece-nya.

“—Dimengerti.”

Sembari mengatakan itu saja, ia menutup koneksi.

“... aku terkejut. Mereka memberikan ijin menembak.”

Jujur saja, ini sedikit di luar dugaan. Ia sudah menyangka akan diberi perintah lain, untuk diam di tempat.

Tunggu—kemarin, perintah untuk menyerang sekolah juga adalah tindakan agresif yang biasanya tidak akan diberikan. Mungkin ada perombakan susunan di kalangan petinggi.

Yah, Ryouko cukup melakukan tugasnya. Spesifiknya, kali ini adalah—memberitahu seorang anggota dengan tingkat keberhasilan terbesar untuk menekan pelatuk.

“—Origami, tembaklah. Di antara para personil sekarang ini, kaulah yang paling cocok. Kegagalan tidak akan ditolerir. Pastikan untuk menghabisinya dengan satu tembakan.”

Menghadapi kata-kata itu.

“Dimengerti.”

Seperti yang diduga, Origami menjawab tanpa emosi tertentu.


Bagian 2

Di taman yang diwarnai oleh senja, hanya Shidou dan Tohka yang dapat terlihat.

Sewaktu-waktu suara mobil atau pekikan burung gagak dapat terdengar dari kejauhan, akan tetapi itu merupakan tempat yang tentram.

“Ohh, pemandangan yang menakjubkan!”

Sejak beberapa saat yang lalu, Tohka sedang bersandar di pembatas besi dan memandang jalanan kota Tenguu yang diwarnai senja.

Mengikuti route yang ditunjukkan oleh para crew <Fraxinus> dengan luwes, mereka tiba di taman ini, di mana terbentang pemandangan menakjubkan kota ini, tepat saat matahari mulai tenggelam.

Ini bukanlah pertama kalinya Shidou datang kemari. Sebetulnya ini semacam tempat rahasia yang disukainya.

Yang memilih tempat ini sebagai tujuan... mungkin Kotori.

“Shido! Bagaimana benda itu berubah wujud!?”

Tohka menunjuk ke sebuah kereta jauh di sana dan bertanya dengan mata berkaca-kaca.

“Sayangnya kereta tidak bisa berubah.”

“Ah, jadi itu tipe yang bergabung-gabung?”

“Yah, memang saling bersambungan sih.”

“Ohhhh”

Tohka anehnya memberi anggukan puas, lalu berputar menghadap Shidou, bersandar di pembatas.

Tohka, dengan matahari senja sebagai latar belakang, kecantikannya tak terkatakan, bagaikan sebuah lukisan.

“—Tapi”

Seolah menganti topik, Tohka dengan gumaman ‘nnnnn’, meregangkan badan.

Lalu, tiba-tiba, mukanya rileks menyunggingkan senyuman riang.

“Enak sekali, date ini. Aku benar-benar, uhm, menikmatinya.”

“......”

Tadi itu serangan yang tidak terduga. Meskipun ia tidak bisa melihatnya sendiri, wajah Shidou mungkin sekarang ini menyala merah.

“Ada apa, wajahmu memerah, Shido.”

“... cuma gara-gara matahari senja.”

Seraya mengatakan ini, ia menunduk.

“Benarkah?”

Tohka membungkuk ke arah Shidou, dan seraya melirik ke atas, menatapnya.

“——”

“Sudah kuduga, merah kan. Apa semacam penyakit?”

Pada jarak di mana ia dapat merasakan nafasnya, Tohka berkata.

“B... i-itu, bukan...”

Selagi memalingkan matanya—di dalam kepala Shidou, kata itu, date, berputar-putar.

Dari manga dan film-film ia tahu akan hal itu.

Jika sebuah pasangan mengunjungi tempat yang luar biasa di akhir date mereka, maka bisa saja—

Begitu saja, mata Shidou bergerak menatap bibir halus Tohka.

“Nu?”

“—!”

Tohka belum berkata apa-apa, tapi Shidou rasa sepertinya dia sudah membaca pikiran kotornya, dan ia lagi-lagi memalingkan pandangannya dan beranjak mundur.

“Ada apa sih, sibuknya.”

“Be, berisik...”

Sambil menyeka keringat dari dahinya dengan lengan bajunya, Shidou lekas melirik wajah Tohka.

Sepuluh hari yang lalu, dan sampai kemarin, ekspresi melankolis di wajahnya sudah cukup menghilang. Membuang nafas pendek dari hidungnya, ia maju selangkah mendekati Tohka lagi.

“—Benar kan? Apa ada yang mencoba membunuhmu?”

“... nn, semuanya ramah. Jujur saja, bahkan sekarang aku masih belum bisa percaya.”

“Ah...?”

Shidou memelintirkan lehernya, dan Tohka menyunggingkan senyum kecut dengan hawa yang mencerca diri sendiri.

“Ada begitu banyak manusia yang tidak menolakku. Yang tidak mencela keberadaanku. —Grup mecha-mecha itu... err, apa sebutannya. A...?”

“Maksudmu AST?”

“Ya, mereka. Kelihatannya lebih realistis jika semua orang di jalan adalah bawahan mereka, dan mereka semua bekerja sama untuk menipuku.”

“Hey hey...”

Benar-benar pemikiran yang menggelikan namun... Shidou tidak dapat menertawakannya.

Karena bagi Tohka, itu normal.

Untuk disangkal terus menerus, adalah hal yang normal.

Benar-benar—menyedihkan.

“... kalau begitu, aku juga sebuah pion AST?”

Shidou bertanya, dan Tohka dengan bersemangat menggelengkan kepalanya.

“Tidak, Shido pasti uhm... seseorang yang keluarganya disekap dan diancam.”

“A-apa-apaan peran seperti itu...”

“... jangan membuatku berpikir kalau kau ini musuh.”

“Eh?”

“Bukan apa-apa.”

Ia bertanya, kali ini Tohka yang memalingkan muka.

Seolah untuk merubah paksa ekspresinya, dia menggosok-gosok mukanya dengan tangannya, lalu berputar balik.

“—Tapi benar, hari ini luar biasa, luar biasa berarti. Dunia ini bisa begitu baik, begitu menyenangkan, begitu indah... aku bahkan tidak bisa membayangkan ini sebelumnya.”

“Begitu, ya—”

Di bibir Shidou terbersit celah membentuk senyuman selagi ia membuang nafas.

Akan tetapi, seolah membalas ekspresi Shidou, Tohka mengernyitkan alis selagi menyunggingkan senyuman pahit.

“Orang-orang itu—pemikiran AST itu, kupikir aku sedikit mengerti sekarang.”

“Eh...?”

Shidou menyipitkan mata sambil bertanya-tanya, di saat Tohka memasang ekspresi yang sedikit sedih.

Itu sedikit berbeda dari ekspresi melankolis yang dibenci Shidou—melainkan ekspresi yang terpadu dengan sedikit perasaan muram, hanya dengan melihatnya saja seakan dapat meremas perasaan seseorang.

“Setiap kali... aku datang ke dunia ini, aku menghancurkan sebagian dari hal yang begitu mengagumkan.”

“——”

Alur nafas Shidou terhambat.

“T-tapi, itu tidak ada hubungannya dengan kemauanmu sendiri kan...!?”

“... nn. Kemunculanku, akibat dari itu, aku tidak bisa mengendalikannya.”

“Kalau begitu—”

“Tapi bagi penduduk dunia ini, kehancuran yang terjadi tidak berubah. Alasan mengapa AST mencoba membunuhku, aku akhirnya... mengerti.”

Shidou tidak dapat langsung menjawabnya.

Sosok sedih Tohka membuat dadanya sangat sesak sampai-sampai ia tidak dapat bernafas sebagaimana mestinya.

“Shido. Lebih baik kalau—aku tidak pernah ada, rupanya.”

Sembari mengatakan ini—Tohka tersenyum.

Itu bukanlah senyuman polos yang dilihatnya siang hari ini.

Bagaikan seorang pasien yang menyadari akhir yang sudah dekat—senyuman yang lemah, menyakitkan.

Dengan sebuah tegukan, ia menelan ludah.

Tanpa disadarinya tenggorokannya terbakar. Sambil merasakan sedikit rasa sakit saat air meresapi tenggorokannya, ia entah bagaimana berhasil membuka mulutnya.

“Tidak... begitu...”

Dengan tujuan menaruh lebih banyak tenaga pada suaranya, Shidou erat-erat mengepalkan tinjunya.

“Maksudku... tidak ada spacequake hari ini kan! Pasti ada sesuatu yang berbeda dari biasanya...! Kalau kita bisa mencari tahu apa itu...!”

Akan tetapi, Tohka perlahan menggelengkan kepalanya.

“Kalaupun kita menemukan jalan semacam itu, itu tidak merubah kenyataan bahwa aku dikirim ke sini di waktu yang tidak beraturan. Berapa kali jumlah kemunculanku mungkin tidak akan berkurang.”

“Kalau begitu...! Tidak apa-apa kan kalau kau tidak kembali ke sana lagi sama sekali!”

Shidou berteriak, dan Tohka mengangkat kepala, matanya terbelalak.

Seolah-olah dia bahkan tidak memikirkannya, atau mempertimbangkan ide itu sebelumnya.

“Seperti itu—tidak...”

“Apa kau sudah mencobanya!? Satu kali pun!?”

“...”

Tohka mengatupkan bibirnya dan terhenyak dalam keheningan.

Sambil menekan dadanya, seakan mencoba menahan debaran jantungnya yang tidak seperti biasanya, Shidou sekali lagi membasahi tenggorokan dengan ludahnya.

Tadi itu memang keceplosan saja namun—kalau itu sesuatu yang mungkin, maka spacequake seharusnya tidak terjadi lagi.

Menurut penjelasan Kotori, gelombang energi dari saat Spirit ditransportasikan dari dimensi lain ke dunia inilah yang menyebabkan spacequake.

Dengan demikian, jika Tohka tiba-tiba ditarik ke dunia ini tanpa memperhitungkan kemauannya sendiri, maka lebih baik dia tinggal di sini saja dari awal.

“T-tapi, kau tahu, ada banyak hal yang tidak kuketahui.”

“Hal semacam itu, aku akan mengajarimu semuanya!”

Pada kata-kata Tohka, jawaban spontan.

“Aku perlu tempat tidur, dan makanan.”

“Aku... akan usahakan sesuatu untuk itu!”

“Hal-hal yang tidak diduga bisa saja terjadi.”

“Kalau memang terjadi maka akan kucoba berpikir mengenai hal itu!”

Untuk sejenak, Tohka terdiam, lalu membuka bibirnya sambil berbicara terbata.

“... benar-benar tidak apa-apa, kalau aku terus hidup?”

“Ya!”

“Tidak apa-apa bagiku untuk tinggal di dunia ini?”

“Yep!”

“... yang akan mengatakan itu cuma Shido, cuma kau. Jangankan AST, bahkan manusia yang lainnya, mereka pastinya tidak akan menerima makhluk berbahaya sepertiku di tempat tinggal mereka.”

“Memangnya aku peduli tentang itu...!! Kenapa dengan AST!? Kenapa dengan yang lainnya!? Tohka! Kalau mereka menolakmu! Maka melampaui semua itu, Aku akan menerimamu!

Ia berteriak.


Menghadapi Tohka, Shidou dengan tegas mengulurkan tangannya.

Bahu Tohka sedikit gemetar.

“Jabat tanganku! Untuk sekarang ini—begini saja tidak apa-apa...!”

Tohka menunduk, dan untuk beberapa saat terbungkam, seolah sedang berpikir, lalu pelan-pelan mengangkat muka, perlahan mengulurkan tangannya.

“Shido—”

Lalu.

Pada momen di mana tangan mereka bersentuhan.

“——”

Ujung-ujung jari Shidou tiba-tiba tersentak.

Ia tidak tahu mengapa tapi—ia merasakan hawa dingin yang teramat sangat.

Bagaikan adanya sebuah lidah yang menjilati sekujur tubuhnya, perasaan yang tidak nyaman.

“Tohka!”

Tanpa sadar, dari lehernya ia meneriakkan nama itu.

Dan sebelum Tohka dapat menjawab.

“...”

Dengan kedua tangan, ia mendorong Tohka dengan seluruh kemampuannya.

Tohka yang ramping tidak dapat menahan dorongan tiba-tiba itu, lalu ia terguling kebelakang seperti di sebuah manga.

Tidak sampai sesaat setelahnya.

“———Ah”

Di suatu daerah antara dada dan perutnya, Shidou merasakan sebuah hantaman dahsyat.

“Ap—apa yang kau lakukan!”

Berbalut pasir, Tohka mengomel, akan tetapi sulit bagi Shidou untuk menjawabnya.

Ia tidak dapat bernafas.

Sulit untuk menjaga kesadaran dan posturnya.

Bagaimanapun juga, sesuatu, terasa, tidak baik.

“Shido?”

Tohka berkata, terpaku.

Untuk mencari tahu alasannya, ia menggerakan tangan kanannya yang gemetar ke sisinya.

Ada yang aneh.

Bagaimanapun juga, di situ tidak ada apa-apa, t



"Ah—"

Lewat penglihatannya yang diperkuat oleh territory, Origami mendengar suaranya ini keluar dari tenggorokannya saat ia melihat sosok Shidou yang tumbang.

Untuk beberapa saat tubuhnya menjadi kaku, selagi ia berbaring tengkurap di tanah datar yang sudah dipersiapkan untuk pembangunan gedung-gedung apartemen baru, sambil memegang Anti-Spirit Rifle <Cry Cry CryC C C> yang teracu.

Beberapa detik sebelumnya.

Origami mengaktifkan Realizer pada <Cry Cry CryC C C>, menambahkan lapisan serangan pada peluru khusus yang terisi, membidik dengan sempurna dan menekan pelatuknya.

Tidak ada kemungkinan untuk meleset.

—Kalau saja Shidou tidak mendorong Spirit itu jauh-jauh.

Peluru yang Origami tembak—alih-alih mengenai Spirit, menembus dengan sempurna tubuh Shidou.

“——”

Kali ini, ia tidak bersuara.

Ia dapat merasakan jarinya, jari yang menekan pelatuknya, bergemetaran seiring waktu.

Bagaimanapun juga, baru saja, saya baru saja, Shidou—

“—Origami!”

“——”

Suara Ryouko mengembalikan kesadarannya.

“Kau boleh menyesal nanti! Aku akan memarahimu mampus-mampusan nanti! Tapi sekarang ini—”

Mengatakan ini, Ryouko melihat sekilas ke arah taman sambil ketakutan.

“Pikirkan caranya supaya kau tidak mati...!”



“Shido...?”

Ia memanggil namanya, namun tidak ada jawaban.

Itu memang sudah semestinya. Di dada Shidou, terdapat sebuah lubang besar, bahkan melebihi tangan terbuka lebar Tohka.

Pikirannya kalut, ia tidak mengerti.

“Shi—, do”

Tohka berjongkok di samping kepala Shidou dan menyentuh-nyentuh pipinya.

Tidak ada jawaban.

Tangan yang dijulurkan pada Tohka baru beberapa saat yang lalu berlumuran darah sepenuhnya.

“U, wa, aa, aaa—”

Beberapa detik kemudian, isi kepalanya mulai mengerti situasi tersebut.

...ia mengenal bau terbakar yang menyelimuti mereka ini.

Grup yang selalu mencoba membunuh Tohka—AST.

Serangan yang sangat tajam. Mungkin—gadis itulah.

Kalau ia terkena serangan itu dalam kondisinya sekarang tanpa AstralDress-nya, Tohka sekalipun tidak mungkin berakhir tanpa cacat.

Lebih lagi untuk Shidou yang sama sekali tidak berdaya.

“——”

Tohka merasakan kepeningan yang sangat, saat ia menempatkan tangannya menutupi mata Shidou, yang masih menatap langit, dan perlahan menutupnya.

Lalu, ia melepas jaket seragam yang dipakainya, dan dengan lembut menutupi mayat Shidou.

Sambil terhuyung, Tohka berdiri, dan menengadahkan kepalanya ke langit.

—Ahh, ternyata.

Tidak mungkin. Rupanya memang tidak mungkin.

Untuk sesaat—Tohka pikir tidak apa-apa baginya untuk tinggal di dunia ini.

Kalau ada Shidou, mungkin apapun juga dapat teratasi, begitu pikirnya.

Mungkin akan sulit dan merepotkan, namun mereka mungkin bisa melakukannya, begitu pikirnya.

Namun.

Ahh, namun,

Memang tidak mungkin, rupanya.

Dunia ini—memilih untuk menolak Tohka rupanya.

Dan penolakan itu terjadi dengan cara terendah, cara terburuk yang dapat dibayangkannya—!

“—<Adonai MelekGaun Spiritual●Kesepuluh>[49]   ...”

Dari kedalaman tenggorokannya, nama itu dipaksanya keluar. AstralDress. Mutlak yang terkuat, Territory milik Tohka.

Sekejap itu juga, dunia ini, bergemuruh.

Pemandangan di sekitarnya lumat dan berputar-balik, membungkus tubuh Tohka, dan membentuk sebuah gaun yang anggun.

Dan kemudian membran yang ada di dalam rok tersebut menyala dengan brilian—sang malapetaka telah turun.

*krakk, krakkk*

Langit-pun berderak.

Seolah mengekspresikan ketidak-senangan terhadap Tohka, yang tiba-tiba memanifestasikan AstralDress-nya.

Tohka menggerakkan pandangannya sedikit ke bawah.

Di sebuah bukit yang datar menyerupai puncak gunung yang terpotong, orang-orang yang baru saja menyerang Shidou ada di sana.

Orang-orang yang tidak cukup jika dibunuh begitu saja, ada di sana.

Tohka menghentakkan tumitnya ke tanah.

Sekejap itu juga, sebuah tahta singgasana yang menyimpan pedang raksasa muncul dari tanah.

Dengan suara *boom*, Tohka menyentak tanah, mendarat di sandaran tangan singgasana itu, dan menarik pedang dari sisi belakangnya.

Lalu.

“aaaaa”

Suaranya bergemetar.

"aaaaaaaaaaaaaaa"

Langit seolah bergoncang.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA———!!"

Bumi seolah menderu kencang.

Seolah ia membuat pikirannya sendiri mati rasa, seolah mencoba membuat dirinya sendiri letih.

“Berani-beraninya kau.”

Matanya basah.

“Berani-beraninya kau berani-beraninya kau berani-beraninya kau berani-beraninya kau berani-beraninya kau berani-beraninya kau”

Tohka menaruh kekuatan pada tangan yang memegang pedang itu, dan melampaui ruang di hadapan matanya.

“Ap—!?”

“——”

Tanpa memberikan kesempatan bahkan untuk mengedipkan mata, Tohka telah berpindah ke bukit yang ia lihat.

Di depannya adalah seorang wanita dengan mata terbelalak kaget, dan seorang gadis dengan ekspresi datar.

Di saat bersamaan ia melihat wajah yang dikesalinya, yang dibencinya, Tohka meraung.

"<Sandalphon> — [HalvanhelevPedang Terakhir]!!"

Saat itu juga, retakan menjalar di seluruh singgasana di mana Tohka tadinya berpijak, berhamburan menjadi potongan-potongan kecil.

Lalu berbagai pecahan singgasana itu menyatu dengan pedang yang dipegang Tohka, memperbesar lebih lanjut lagi siluetnya.

Dengan panjang melebihi 10 meter, pedang yang teramat sangat besar.

Namun, Tohka begitu saja dengan enteng menggetarkannya sekali, lalu mengayunkannya ke arah dua perempuan itu.

Cahaya yang berkilatan di mata pedang bertambah kuat, dan seketika itu juga merobek daratan di bawahnya, memanjang dari jalur tebasan pedang tersebut.

Momen berikutnya, sebuah ledakan membahana menghancurkan daerah sekitarnya.

“Ap...!”

“—Gu”

Sambil melompat ke kiri dan kanan dengan tepat waktu, mereka berdua meneriakkan suara penuh rasa takut.

Namun itu memang sudah sewajarnya. Bagaimanapun juga, hanya dengan satu serangan itu, Tohka membelah lahan kosong itu menjadi dua bagian sepanjang jangkauan mata pedangnya.

“Kau..., monster—!”

Wanita yang tinggi berteriak, mengayunkan sesuatu yang terlihat seperti pedang yang terkesan kasar pada Tohka.

Tetapi tidak mungkin benda seperti itu bisa mengenai Tohka, selama ia mengenakan AstralDress-nya. Hanya dengan mengarahkan pandangannya, ia menghancurkan serangan itu.

“Tidak mungkin—”

DAL v01 276-277.jpg

Wajah sang wanita diwarnai keputusasaan.

Namun tanpa menunjukkan ketertarikan padanya, Tohka memandang ke arah gadis satu lagi.

“—Ah, ah. Kau, kau rupanya.”

Perlahan, bibirnya terbuka.

“Sahabatku, teman terbaikku, Shido, yang membunuhnya, adalah kau.”

Tohka mengatakan ini, dan meski hanya sedikit, untuk pertama kalinya, ekspresi sang gadis berubah.

Namun, hal seperti itu tidaklah penting lagi.

Tidak ada di dunia ini, keberadaan yang dapat menghentikan Tohka setelah memanggil [HalvanhelevPedang Terakhir].

Memandang rendah gadis tersebut dengan mata yang diwarnai kegelapan murni, ia menggila dengan perlahan.

“—Bunuh hancurkan  bunuh   hapuskan bunuh  semuanya. Mati akhirimati lenyaplah  mati  .”


Bagian 3

“Komandan...!”

“Aku tahu. Jangan ribut-ribut. Kau bukan monyet di musim kawin kan.”

Sambil memutar-mutar permen di mulutnya, Kotori menjawab rekannya yang sedang panik.

Bridge <Fraxinus>. Di monitor tengah Shidou yang terkapar dengan tubuh yang sudah tidak utuh, serta tampilan pertarungan sang Spirit, Tohka, sedang ditampilkan.

Ia dapat mengerti kegelisahan para crew.

Situasi ini benar-benar, sangat, luar biasa, tidak ada harapan.

Sirene spacequake akhirnya mulai berbunyi, namun sebelum para penduduk berevakuasi seluruhnya, pertarungan antara Tohka dan AST sudah berlangsung.

Paling tidak semua ini berlangsung di daerah konstruksi yang tak berpenduduk—namun sebuah serangan tunggal dari Tohka dengan mudahnya menghancurkan optimisme tersebut.

Sebuah kekuatan transenden dengan daya hancur luar biasa sampai-sampai membuat Tohka sebelum ini terlihat imut dibandingkan dengan yang sekarang.

Satu serangan belaka telah membelah daerah konstruksi tersebut menjadi dua, membentuk sebuah jurang yang dalam di tengahnya.

Dan juga—kematian mendadak Itsuka Shidou, yang seharusnya adalah senjata terakhir <Fraxinus>.

Grup Kotori telah ditempatkan pada situasi terburuk yang dapat dibayangkan.

Namun,

“Yah, ia memang kurang elegan, namun kurasa ksatria kita bisa dianggap lulus. Aku tidak akan tahan melihatnya, andaikan sang putri terkena serangan itu.”

Dengan nada yang tidak terlalu serius Kotori berkata, dan stik permennya bergerak.

Para anggota crew melontarkan pandangan ketakutan terhadap Kotori.

Yah, mau bagaimana lagi. Sekarang ini ia baru saja kehilangan kakaknya.

Namun bagaimanapun di antara mereka, hanya Reine dan Kannazuki yang menunjukan reaksi yang berbeda.

Reine sedang mengamati pertarungan Tohka, mengambil data, seakan semuanya normal saja.

Tetapi, Kannazuki lain cerita. Raut mukanya memerah, dan air liur merembes keluar dari mulutnya.

Kalau dilihat-lihat, wajahnya kelihatan seperti sedang memikirkan “Ahh... membuat lubang seperti itu di badanku... *tlek tlek*. Sepertinya menakjubkan. Pasti, pasti menakjubkan. T-tapi tidak akan ada gunanya kalau aku mati.”

“Haah.”

“Hauu!?”

Kotori meluncurkan sebuah tendangan pada tulang kering Kannazuki, lalu berdiri.

Kemudian, dia berdeham “hmpf” dengan hidungnya, dan dengan mata setengah tertutup mengumumkan.

“Berhentilah membuang waktu dan kembalilah ke pekerjaan kalian. Tidak mungkin kan ini akhir dari riwayat Shidou?”

Benar.

Dari sinilah dimulai tugas Shidou yang sebenarnya.

“K-Komandan! Ini...!”

Salah satu crew dari bridge bagian bawah sedang menatap bagian kiri layar—tampilan sesuatu di taman, dan meneriakkan suara penuh keterkejutan.

“—Sudah tiba rupanya.”

Sembari merubah posisi permennya, mulutnya melengkung membentuk sebuah senyuman.

Di tampilan tersebut, terkapar di taman, diselimuti seragam sekolah, tubuh Shidou sedang diperlihatkan namun—seragam sekolah itu, tiba-tiba mulai terbakar.

Akan tetapi seragam itu menghilang bukan karena produk buatan Spirit, ataupun karena sinar matahari yang menyebabkannya terbakar.

Melainkan karena, yang terbakar bukanlah seragam itu.

Seragam itu terbakar dan terjatuh, memperlihatkan tubuh Shidou yang berlubang rapi.

Dan kemudian, para anggota crew <Fraxinus> sekali lagi meneriakkan suara terkejut.

“L-lukanya—”

Benar, lukanya. Bagian yang membentuk lubang menganga, sedang terbakar.

Bara api menyala terus sampai luka Shidou tidak dapat terlihat lagi—lalu berangsur-angsur padam.

Lalu setelah lidah api tersebut selesai menjalar, di sana terdapat tubuh Shidou yang pulih dengan sempurna.

Dan kemudian—

「—ng,」

Shidou terlihat terkapar di dalam layar tersebut.

「P.........panaaaaaaaaaaass!?」

Melihat api yang masih membara di perutnya, dia melompat.

Menepuk perutnya dengan tatapan panik, ia memadamkan api tersebut.

「—H-huh?Aku... kenapa?」

Seluruh bridge membahana.

“Ke... Ko-Komandan, apa yang—”

“Sudah kubilang bukan? Kalaupun Shidou mati sekali-dua kali, dia bisa segera memulai New Game.”

Sembari menjilat bibirnya, Kotori menjawab crew-nya.

Seluruh crew secara bersamaan melontarkan pandangan bertanya-tanya, namun ia tak mengacuhkannya.

“Cepat jemput dia. —Satu-satunya yang dapat menghentikan gadis itu hanyalah Shidou.”


Bagian 4

—Ia tidak mengerti.

Sambil menepuk perutnya berkali-kali, Shidou mengernyitkan alis.

Ada lubang besar di blazer dan kemeja yang dikenakannya, dan dasinya pun setengah robek.

Tapi sekarang ini Shidou tidak peduli dengan penampilannya yang memalukan.

Ada hal lain yang butuh perhatiannya.

“Kenapa—aku masih hidup...?”

Sekali lagi menyentuh perutnya, ia bergumam.

Sebelumnya, ia mendapat firasat buruk, dan tiba-tiba mendorong Tohka.

Momen berikutnya, sebuah lubang menganga di perutnya—dan ia pingsan.

Memang ada sebuah lubang di pakaiannya, dan noda dari banyaknya darah masih tertinggal. Kelihatannya itu bukan mimpi.

“Oh benar—Tohka...!”

Serangan itu tidak diragukan lagi ditujukan untuk Tohka.

Bagaimana keadaan Tohka. Ia memandang ke sekelilingnya, mencari sosok tersebut.

Lalu, dari sebuah bukit yang lebih tinggi dari taman dimana Shidou berada, sebuah cahaya hitam melesat—lalu mengikutinya, terdengar suara ledakan yang luar biasa serta goncangan yang menyebar.

“Uwahh...!?”

Terkejut seketika, ia ambruk ke tanah, tersapu oleh angin.

“A-apa, yang...!”

Sambil berteriak, ia melihat ke tempat itu—tubuh Shidou-pun kaku.

Pemandangan yang ia lihat, dibandingkan dengan sebelum ia kehilangan kesadaran, sudah berubah menjadi sangat berbeda sepenuhnya.

Di arah tersebut terdapat daerah konstruksi, serta pegunungan dan lain-lain yang tidak tersentuh sama sekali sejak perubahan bentang daratan tiga puluh tahun lalu—

Tempat itu sudah hancur bukan main, seakan baru saja menjadi sasaran serangan udara.

Tidak—sedikit berbeda. Sepertinya, seolah-olah sebuah pedang raksasa telah menyayatnya tak terhitung berapa kali, meninggalkan banyak tepi tajam.

“Apa...”

Saat ia bergumam, tercengang,

“Nuahhh...!”

Shidou merasakan tubuhnya menjadi tak berbobot.

Ini bukanlah pertama kalinya ia merasakan perasaan ini. Ini adalah sistem perpindahan <Fraxinus>.

Di saat Shidou memahami perasaan itu, pandangannya sudah beralih dari taman di bukit ke dalam <Fraxinus>.

“Ke sini!”

Crew <Fraxinus> yang menunggunya berkata dengan suara tegas.

“I-iya...”

Masih sedikit bingung, Shidou diarahkan ke dalam bridge.

Dan ketika ia tiba di bridge,

"—Bagaimana rasanya setelah bangun, Shidou?”

Di kursi kapten di bagian atas bridge, dengan sebuah stik Chupa-Chups bergerak ke sana kemari, Kotori berbicara.

“... Kotori.”

Shidou perlahan mengetuk telinganya yang berdering, lalu mengernyit.

“... aku kurang mengerti situasinya. Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Nn, Shidou diserang oleh AST, jadi sang putri mengamuk dan bermaksud menghabisi para AST.”

Sembari mengatakan ini, dia mengisyaratkan agar Shidou melihat secara diagonal ke atas—pada layar besar di bridge.

“Ap...”

Di sana tampak Tohka, mengayunkan sebuah pedang besar dan menyayat-nyayat perbukitan itu, serta sosok-sosok AST yang berusaha melawan.

Tidak—itu bukanlah usaha yang bisa dikatakan sebuah perlawanan.

Tidak satupun serangan yang dikeluarkan AST dengan semangat intens mereka mengenai Tohka.

Di sisi berlainan, ayunan Tohka, baik itu serangan langsung ataupun cuma goncangan akibat serangan, dengan mudahnya melontarkan para wizard itu jauh-jauh dan menghancurkan formasi mereka, seakan territory mereka tidak pernah ada.

Benar-benar berat sebelah—parade dari sang raja.

“Dia benar-benar kehilangan kendali. Sepertinya dia tidak bisa mengampuni kematian Shidou.”

Mengatakan ini, Kotori mengangkat bahu.

“..., apa maksudnya...! Oh iya! Lebih penting lagi, kenapa aku masih hidup!?”

Shidou berteriak, dan Kotori menyeringai jelas-jelas seperti mengetahui sesuatu.

“Yah, mari kita bicarakan itu kemudian nanti. Sekarang ini ada hal lain yang perlu kau lakukan.”

Sambil memandang sosok Tohka, Kotori berkata.

“Hal lain—yang perlu kulakukan?”

“Ya. Kita tidak mau adanya korban Spirit.”

“..., tentu saja, bukan!?”

Shidou berteriak, dan Kotori menyipitkan mata seperti sedang menikmatinya.

“Oke, bagus sekali, Tuan Ksatria. —Pergilah. Untuk menghentikan sang putri.”

Kotori berpaling dari Shidou setelah mengatakan ini, lalu mengeraskan suaranya.

“Balikkan <Fraxinus>! Maju ke arah medan pertarungan! Bergerak sampai tingkat galat[50] dibawah 1 meter!”

”Dimengerti”

Beberapa anggota crew yang kelihatannya adalah juru kemudi merespon bersamaan.

Lalu, bersamaan dengan suara mendengung, <Fraxinus> bergoncang sedikit.

“Ko-Kotori!”

“Nn, ada apa Shidou?”

“Kau bilang hentikan Tohka—apa hal seperti itu mungkin!?”

“Apa yang kau bicarakan? Ini bukan masalah kemungkinan, ini masalah apakah kau akan melakukannya, Shidou.”

Kotori mengangkat alis, dengan wajah tertegun.

“A...aku!?’

“Tentu saja. Kapan lagi kau akan memantapkan pikiranmu. —Ini mustahil untuk siapapun kecuali Shidou.”

“Ba-bagaimana caranya aku...!”

Selagi keringat mengaliri wajahnya, Shidou bertanya, dan Kotori menarik Chupa Chups keluar dari mulutnya.

Dan kemudian, bersamaan dengan sebuah senyuman nakal tersungging di wajahnya,

“Kau tidak tahu? Hanya ada satu cara untuk menyelamatkan seorang putri yang terkena kutukan.”

Sambil mengatakan ini, bibir yang dikuncupkannya serta permennya bertemu dalam sebuah ciuman.


Bagian 5

Situasi tersebut adalah kemungkinan terburuk yang dapat terjadi.

Sepuluh anggota AST yang hadir semuanya telah ikut dalam pertarungan, namun jangankan melukai sang Spirit, mereka bahkan tidak dapat berharap untuk mendekatinya.

Tidak—bahkan sebelum itu, tidak ada satupun selain Origami yang dipedulikan sang Spirit.

Bagaimanapun juga, tidak ada singa yang berjalan sambil mempedulikan para semut.

“Uwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahh—!!”

Sambil meneriakkan sebuah raungan bagaikan tangisan bercampur air mata, sang Spirit mengayunkan pedangnya yang besar sekali ke bawah.

“...”

Origami mengaktifkan thruster-nya, memutar tubuhnya dan melarikan diri ke langit, menghindari serangan tersebut.

Akan tetapi—gelombang udara yang ditimbulkan tekanan pedang itu menembus territory-nya dan menghantam tubuh Origami.

“Guh—”

Untuk sesaat saja, ia teledor.

“—AAAAAAAAAAAAAAHH!"

Sang Spirit meraung.

Lalu dengan segenap kekuatannya dia memutar bahunya dan pedang tersebut membelah angin, sekali lagi terayun ke arah Origami.

「—Origami!!」

Ryouko berteriak. Tapi—sudah terlambat.

Pedang sang Spirit menyentuh territory Origami.

—Sekejap itu.

“——”

Origami sadar kalau keputusan yang diambilnya sangat naif.

Ia sudah mencoba untuk mengira-ngira kekuatannya dari gelombang udara itu namun—ia salah. Kekuatan tersebut jelas-jelas berada di dunia yang berbeda.

Jangankan membandingkannya dengan diri sendiri, mencoba memikirkan strategi untuk menghadapinya saja sudah merupakan sebuah penghujatan; palu besi dari sang raja yang kejam.

Jika membicarakan waktu, itu berlangsung dalam 1.5 detik semata.

Territory-nya.

Yang seharusnya memiliki kemampuan absolut, kastil perlindungan Origami.

“———”

Tanpa bunyi apapun, tanpa suara apapun, dihancurkan.

Tubuh Origami terlontar dari langit ke permukaan tanah.

“Aa—”

「Origami!」

Suara Ryouko terasa sangat jauh.

Mungkin dikarenakan territory-nya sudah lenyap, beban di otaknya terasa terangkat, namun sebagai gantinya seluruh tubuhnya terasa sakit luar biasa. Tidak hanya satu-dua tulangnya yang patah. Darah membasahi wiring suit dari luka-luka yang tidak ia ketahui letaknya, menimbulkan perasaan tidak nyaman. Kepalanya yang tiba-tiba terasa berat, bagaikan mengingat kembali apa itu gravitasi, bergerak meski hanya sedikit.

Di penglihatannya yang kabur, sosok sang Spirit yang berdiri di langit adalah satu-satunya hal yang dapat ia lihat dengan jelas. Memegang pedang dengan ekspresi teramat sedih, sosok mungil sang gadis.

“——Usai sudah.”

Sang Spirit mengangkat pedang itu, dan terdiam.

Mengelilingi Spirit itu, muncul partikel cahaya yang tak terhitung jumlahnya, semuanya memancarkan sinar hitam, dan berkumpul di mata pedang tersebut seperti tersedot ke arahnya.

Meski tanpa penjelasan apapun, ia mengerti.

Bahwa di balik satu serangan ini adalah kekuatan penuh sang Spirit.

Kalau ia menerima ini dalam kondisinya sekarang, tanpa territory-nya, maka tak diragukan lagi ia akan mati. Ia harus melarikan diri entah bagaimana caranya.

Namun, tubuhnya terasa berat dan sakit, ia bahkan tidak dapat mencoba menggerakannya.

Ryouko dan semua anggota AST lainnya sudah tidak bisa bertarung lagi. Tidak ada lagi keberadaan apapun yang dapat menghentikan sang Spirit.

Ia menanti pedang tersebut sampai memancarkan sinar kelam.

Sang Spirit menaruh kekuatan pada tangan yang memegang pedang itu.

Lalu—pada saat itulah.


"TooohkaaaaaaaaaaAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaa—!!"

Dari angkasa.

Bahkan lebih tinggi dari sang Spirit.

Teriakan seperti itu terdengar.

“Eh—”

Meskipun hidupnya sedang terancam, Origami masih menyuarakan suara terkejut itu.

Karena bagaimanapun juga, teriakan tersebut adalah milik lelaki yang baru Origami tembak beberapa waktu lalu.



“Sang putri sedang melayang rupanya... kalau begitu Shidou, ayo turun di sini. Parasut? Kau tidak memerlukan itu. Kita tidak terlalu tinggi, lagipula, ketika kau mendekatinya, kami akan menahanmu di udara. —Ahh, nng, jangan khawatir, jangan khawatir. Yah cuma terbatas di bawah <Fraxinus> sih. ...Eh? Kalau kau melenceng dari lintasan? Mmm... yah, akan ada sebuah bunga cantik yang mekar di tanah nanti, berwarna merah terang tentunya.”

Setelah memberitahu Shidou ‘cara untuk menghentikan Tohka’, Kotori melihat sekilas monitor sambil mengatakan itu. Lalu ia tertawa kecil.

“T-tunggu! Ini saja sudah cukup sulit, lalu kenapa...!”

“Yah kau tahu, jika tingkat kesuksesannya kurang lebih sama, maka sudah jelas kan kalau cara yang lebih menyenangkan adalah yang lebih baik.”

“Hanya kau yang akan menikmatinyaaa!”

“Menyebalkan sekali. Bawa dia.”

“Siap!”

Kotori berkata, dan entah dari mana dua orang berotot muncul, dan menahan kedua tangan Shidou.

Dengan begitu, Shidou ditarik ke luar.

“Ahh, kurang ajar, ingat saja kau Kotoriii!”

“Iya-iya. Aku akan mengingatnya kok, jadi semoga perjalananmu menyenangkan.”

Mendengar suara itu, Shidou diseret ke geladak yang ditempatkan di bagian bawah lambung pesawat,

“Semoga berhasil”

dan tanpa diberi waktu untuk komplain, dilempar ke udara.

“Gyaaaaaaaaaaaaaaaaaaahh—!?”

Udara tajam menghantam seragam sekolah yang menyelimuti tubuhnya begitu juga dengan wajahnya.

Merasakan sensasi gravitasi nol yang tak berujung Ia tidak lagi takut akan hal-hal semacam roller coaster.

Lalu—sambil ketakutan luar biasa sampai-sampai kesadarannya seolah akan melayang, Shidou melihat sebuah bayangan tunggal.

“—!”

Sambil melebarkan kaki-tangannya untuk menstabilkan diri, ia memfokuskan pandangannya yang kabur pada gadis tersebut.

Dan kemudian.

"TooohkaaaaaaaaaaAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaa—!!"

Dengan segenap kekuatan yang dapat dikumpulkannya, ia meneriakkan nama itu.

Tidak sampai sedenyut kemudian, gaya gravitasi yang menarik tubuhnya mencair menjadi perasaan tanpa bobot.

Mungkin dukungan dari <Ratatoskr>. Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa ia masih terjun kebawah, tapi kalau begini—

“——”

Tohka sepertinya sudah menyadari suara Shidou; tanpa mengayunkan pedang raksasa itu, ia menghadap ke atas.

Pipi dan ujung hidungnya merah terang, dan matanya-pun basah. Benar-benar penampilan yang sangat menggelikan.

Matanya lalu bertemu dengan Tohka.

“Shi-dou...?”

Sepertinya belum paham akan situasi ini, Tohka berbisik.

Seiring berkurangnya kecepatan jatuhnya, Shidou menaruh tangan di kedua bahu Tohka. Dengan bantuan Tohka yang berdiri di udara, ia akhirnya berhenti.

“Y-Yo... Tohka.”

“Shido... ini, benar-benar, kau...?”

“Aah... yeah, begitulah.”

Shidou berkata, dan bibir Tohka gemetar.

“Shido, Shido, Shido...!”

“Mmm, ap—”

Saat ia mulai menjawab, di ujung pandangan Shidou terbersit cahaya menyilaukan.

Pedang yang diberhentikan Tohka di udara memancarkan sinar hitam murni yang mengubah daerah sekitarnya menjadi kegelapan.

“A—apa-apaan ini...”

“...! Ah tidak...! Kekuatannya—”

Di saat bersamaan Tohka mengernyitkan alis, cahaya memancar keluar dari mata pedang bagaikan petir, menghujam bumi.

“To-Tohka, apa yang—”

“Aku tidak bisa lagi mengendalikan [HalvanhelevPedang Terakhir]...! Kita harus melepaskannya ke suatu tempat...!”

“Di mana maksudmu ‘suatu tempat’!?”

“——”

Tanpa mengatakan apapun, Tohka memandang ke arah tanah.

Mengikuti pandangannya, ia melihat Origami terbaring di sana, terlihat seakan dapat tewas kapanpun juga.

“...! Tohka, kau...! J-jangan lepaskan ke sana!”

“L-lalu beritahu aku apa yang harus kulakukan! Ini sudah mencapai kondisi kritis!”

Tanpa mengatakan itu sekalipun, pedang yang dipegang Tohka sekarang meluncurkan pancaran-pancaran petir hitam ke sekitarnya. Bagaikan tembakan senapan mesin, rentetan petir itu mencakar bumi.

Lalu, di saat itulah, Shidou teringat akan kata-kata Kotori.

“... Tohka. E-erm, tenang dan dengarkan aku.”

“Kenapa! Sekarang bukan saatnya—”

“Mengenai itu! Sepertinya... ada kemungkinan... untuk mengatasinya!”

“Apa yang kau bilang!? Apa yang harus kulakukan!?”

“A-aahh. Ehm—”

Namun, Shidou tidak bisa langsung mengucapkannya dari mulutnya.

Karena bagaimanapun juga, metode yang diberitahukan Kotori kepadanya terlalu tidak bisa dimengerti dan tidak logis dan tidak sesuai konteks—

“Cepat!”

“...!”

Shidou memantapkan diri dan membuka mulutnya.

“I-itu, ehm...! Tohka! C-cium, aku...!”

“—Apa!?”

Tohka mengernyit.

Tapi itu sudah sewajarnya. Dalam situasi mendesak ini, ia mengatakan hal seperti itu. Tidak heran kalau dia menganggapnya lelucon yang bodoh.

“Ma-maaf, lupakan saja. Coba kita pikirkan cara—”

“Apa itu cium!?”

“Ha...?”

“Cepat beritahu aku!”

“... ci-ciuman itu err, ketika dua bibir bertemu—”

Di tengah kata-kata Shidou.

—Tanpa keraguan sedikitpun, Tohka mendorong bibir merah mudanya ke bibir Shidou.

“———!?”

Matanya terbelalak sampai batasnya, sambil menyuarakan sebuah bunyi tidak jelas.

Bibir Tohka, sedemikian halus dan lembabnya, pula memancarkan bau manis sampai-sampai rasa sentuhan itu menyebabkan seluruh isi otaknya mengumandangkan surga dan neraka. Bohong ternyata kalau ciuman itu rasa lemon. Ciuman Tohka berasa seperti parfait yang dinikmatinya pada makan siang tadi.

Sesaat kemudian.

—Terbentuk retakan-retakan pada pedang Tohka yang menjulang ke angkasa, yang kemudian remuk, membaur dengan udara.

Mengikuti hal tersebut, lapisan cahaya yang membentuk bagian dalam gaun yang membungkus tubuh Tohka begitu juga dengan roknya menghilang, menyerupai ledakan.

“Ap—”

Tohka berteriak kebingungan.

“...!?”

Tapi lebih terkejut lagi Shidou.

Bukan karena menghilangnya pedang dan pakaian Tohka. Itu sudah ia dengar sebelumnya dari Kotori, meskipun ia setengah meragukannya.

Melainkan, karena Tohka berbicara saat mereka masih berciuman, jadi bibir yang masih bersentuhan bergetar, membuatnya kalut dalam kekacauan yang tidak lagi dapat diungkapkan dengan perbendaharaan kata Shidou.

—Tubuh Tohka melemas, terjatuh ke tanah.

Dalam kesadaran Shidou yang menipis, meski sedikit ragu-ragu, ia memeluk Tohka sebelum tubuhnya jatuh. Meski dengan lemah dan malu-malu.

Dengan kepala di bawah, bibir dan tubuh menyatu, keduanya turun.

AstralDress Tohka berubah menjadi partikel cahaya, meninggalkan jejak.

Bisa dibilang ini mirip dengan sebuah adegan dalam cerita fantasi.

Namun, Shidou tidak sadar dengan hal tersebut.

Perlahan jatuh sambil menyangga Tohka—dengan tubuhnya di bawah, mereka mendarat di tanah.

Mereka tetap menyatu satu sama lain seperti itu untuk sementara waktu,

“Fwaah...!”

Untuk mengambil nafas, bibir Tohka lepas darinya, dan dia mengangkat tubuhnya.

“Ma..., ma-ma-ma-ma-ma-ma-maaf Tohka! Aku diberitahu kalau cuma ini jalan satu-satunya...!”

Shidou segera melompat ketika Tohka bangkit dari atas badannya, melompat ke belakang dan di saat bersamaan meringkuk, berakhir dengan posisi dogeza[51].

Yah, tepatnya Tohka-lah yang memberikan ciuman itu, tapi entah kenapa ia merasa bukan itu masalahnya.

Tapi, setelah beberapa detik berlalu, dia tidak menginjak kepala Shidou ataupun memakinya.

“...?”

Merasa ada yang aneh, ia mengangkat kepala.

Tohka duduk begitu saja dengan tatapan misterius di wajahnya, sambil menyentuh bibir dengan jarinya.

Tapi, daripada itu—

“Fwaah...!?”

Wajah Shidou menyala merah terang seolah hampir mimisan, lalu ia membatu.

AstralDress yang dikenakannya hancur menjadi potongan dan serpihan, meninggalkan Tohka dalam keadaan setengah telanjang yang bisa membuat malu orang yang melihatnya.

“—!”

Reaksi Shidou sepertinya membuat Tohka menyadari ini. Dia buru-buru menutupi dadanya.

“T-t-t-tidak Tohka, aku cuma—”

“J-jangan lihat, bodoh...!!”

Meskipun tidak tahu apa makna dari ciuman, sepertinya dia punya rasa malu yang normal. Sambil tersipu, Tohka membelalak.

“Ma-maaf...!”

Dengan gugup, Shidou menutup mata.

“Begitu saja tidak cukup! Kau mengintip, ya kan!?”

“Ka-kalau begitu apa yang harus kulakukan...!”

Shidou berkata, dan setelah beberapa saat, seluruh tubuhnya sekali lagi terasa hangat.

DAL v01 299.jpg

“Eh—”

Tanpa sengaja, matanya yang terpejam kemudian terbuka.

Di hadapan matanya adalah rambut hitam murni Tohka, serta bahu telanjangnya.. Intinya—tubuh mereka menyatu dalam pelukan.

“... sekarang, kau tidak bisa melihat.”

“A-aahh...”

Benar-benar tidak apa-apa? Selagi memikirkan itu, dan tanpa bisa menggerakan tubuhnya, ia diam begitu saja.

Setelah beberapa lama.

“... Shido.”

Tohka samar-samar bersuara.

“Ada apa?”

“Kau mau... mengajakku nge-date lagi...?”

“Baiklah. Kalau untuk itu, aku akan mengajakmu kapanpun.”

Shidou mengiyakan dengan sepenuh hati.




Epilog - Kehidupan Bersama Spirit[52]

Bagian 1

"—Sekian."

Bertempat di ruangan komunikasi khusus <Fraxinus> yang hanya boleh dimasuki oleh Komandan Kotori.

Menghadap meja bundar yang terletak di tengah ruangan redup tersebut, Kotori menyelesaikan laporannya.

Laporan tersebut menyinggung penangkapan sang Spirit.

Mengelilingi meja bundar tersebut, termasuk Kotori, hawa keberadaan lima orang dapat terasa.

Namun—pada kenyataannya, satu-satunya yang ada di <Fraxinus> hanyalah Kotori. Anggota lainnya menghadiri pertemuan itu melalui speaker yang ditempatkan di meja bundar tersebut.

「...jadi kekuatan anak itu bukan main-main, rupanya.」

Berbicara dengan suara yang sedikit teredam yakni sang boneka berbentuk kucing buruk rupa yang duduk di samping kanan Kotori.

Yah, suara itu sebenarnya datang dari speaker yang berada tepat di depan boneka itu, namun dari sudut pandang Kotori terlihat seolah kucing jelek itulah yang sedang berbicara.

Karena yang lainnya tidak mendapat rekaman video langsung dirinya, Kotori mengatur ruangan ini sesuka hatinya.

Jadinya, ruangan paling dalam dari <Fraxinus> ini telah menjadi ruangan yang anehnya menyerupai dunia khayalan.. Hampir seperti Mad Tea Party dari cerita Alice in Wonderland.

“Karena itu sudah saya bilang, kalau Shidou orangnya semua akan berjalan lancar.”

Kotori dengan bangga melipat tangan, dan kali ini sang tikus dengan wajah menangis di sebelah kirinya berbicara dengan pelan.

「—kalau hanya berdasarkan pernyataanmu saja, masih belum ada cukup kredibilitas. Lagipula, kamu tidak bisa berharap kami akan percaya begitu saja mengenai kekuatan membangkitkan diri... ataupun kemampuan menyerap kekuatan para Spirit.」

Kotori mengangkat bahu.

Yah, tak ada yang bisa ia lakukan mengenai itu.

Menjalankan berbagai observasi dan alat-alat analisis untuk memastikan kemampuan Shidou sudah memakan waktu sekitar lima tahun.

Dan meskipun begitu, pada waktu itu <Fraxinus> sedang dibangun dan para crew sedang dikumpulkan. Jika berbicara mengenai penempatan waktu, semua itu terjadi dengan timing yang sempurna.

「Bagaimana dengan kondisi Spirit itu?」

Kali ini suara tersebut datang dari samping si kucing jelek, dari anjing biru yang terlihat sangat bodoh dengan air liur yang menggantung di mukanya.

“Kami sudah mengawasi kondisinya sejak dijemput <Fraxinus>—dan kondisinya sangat stabil. Bahkan satu retakan sekalipun tidak terdeteksi di ruang-waktu. Seberapa besar pastinya kekuatan yang tersisa masih perlu kami analisa lebih lanjut, namun paling tidak, sudah tidak lagi pada tingkat di mana ‘kehadirannya saja akan menghancurkan dunia’.”

Kotori berkata, dan dari keempat boneka-boneka itu, tiga di antaranya menahan nafas mereka bersamaan.

「Jadi, setidaknya dalam kondisi sekarang ini, Spirit itu dapat berada di dunia ini tanpa ada masalah?」

Dengan suara yang terdengar jelas penuh semangat, si kucing jelek berbicara. Kotori menatapnya dengan pandangan jijik sambil dengan kalem menjawab ‘ya’.

「Tambah lagi, akan sulit baginya untuk Lostmenghilang ke dimensi lain menggunakan kekuatannya sendiri.」

「—Lalu, bagaimana dengan kondisi anak itu? Dia sudah menyerap segitu banyak kekuatan Spirit. Apa terjadi hal-hal yang tidak biasa?」

Kali ini, si tikus menangis bertanya.

“Untuk saat ini belum ada keabnormalan yang terdeteksi. Baik pada diri Shidou maupun pada dunia ini.”

「Bagaimana mungkin? Dia itu malapetaka yang akan menghancurkan dunia! Menyegel kekuatan itu di dalam diri seorang manusia, tanpa ada keabnormalan yang terjadi...」

Si anjing bodoh berkata.

“Bukankah kami mendapat ijin untuk menggunakan dia justru karena sudah dipastikan kalau tidak akan ada masalah yang timbul?”

「...apa sebenarnya dia itu? Dengan kemampuan seperti itu... seperti seorang Spirit saja.」

Bukan cuma muka boneka itu saja, tapi dia sendiri memang seorang idiot rupanya. Kotori mengeluh dalam hati dan dengan penuh tanggung jawab membuka mulutnya.

“—Kemampuannya untuk bangkit kembali sudah saya jelaskan sebelumnya. Mengenai kemampuan menyerapnya, kami sekarang ini sedang menyelidikinya.”

Kotori berkata, dan untuk beberapa lama para boneka terdiam.

Lalu beberapa detik kemudian, boneka hewan yang belum berbicara sampai sekarang, seekor tupai yang memeluk biji kenari, dengan pelan berkata.

「—Bagaimanapun juga, kerja yang bagus, Komandan Itsuka. Anda sudah memperoleh hasil yang sangat baik. Saya menantikan hal-hal hebat dari anda di masa depan.」

“Siap.”

Untuk pertama kalinya, Kotori menegakkan posturnya, dan menaruh tangan di depan dada.


Bagian 2

“... fwaaah.”

Semenjak insiden itu, Sabtu dan Minggu berlalu, sekarang hari Senin.

Dalam gedung sekolah yang selesai dibangun kembali oleh para Pasukan Restorasi, sejumlah besar murid sudah berkumpul.

Di antara mereka, Shidou melamun sambil mengeluh, dan memandang langit-langit kelas.

—Hari itu.

Shidou langsung pingsan setelah apa yang terjadi, dan setelah ia membuka matanya, ia mendapati dirinya sedang berbaring di klinik <Fraxinus>.

Lalu, ia menjalani pemeriksaan medis berkala di fasilitas tersebut—namun semenjak tak sadarkan diri waktu itu, ia belum melihat Tohka sama sekali. Bahkan ketika ia meminta untuk berbicara dengan Tohka, satu-satunya jawaban yang ia dapat adalah Tohka sedang menjalani pemeriksaan, jadi sampai pada akhirnya pun ia tidak dapat melihatnya sekalipun.

“... aah.”

Seolah-olah sepuluh hari merepotkan yang berlalu semenjak bertemu Tohka adalah mimpi, hari-hari biasa yang sederhana ini—jujur saja, terasa sangat kosong dan tak bernyawa.

Tapi... ada satu hal, satu hal yang terbersit di pikiran Shidou melebihi semua itu.

Hari itu. Shidou jelas-jelas berciuman dengan Tohka.

Saat itu, AstralDress yang dipakai Tohka telah melebur dan menghilang—dan di saat bersamaan, ia merasa seperti ada sesuatu yang hangat yang mengalir ke dalam tubuhnya.

—Perasaan apa itu sebenarnya?

“...”

Dalam diam, ia menyentuh bibirnya.

Tiga hari sudah berlalu, akan tetapi ia merasa sensasi itu masih tinggal. Shidou sedikit tersipu.

“... benar-benar menjijikan. Apa yang kau lakukan Itsuka?”

“! T-Tonomachi. Kalau kau ada di situ setidaknya biarkan kehadiranmu terasa.”

Tiba-tiba diajak bicara, kepala Shidou kembali ke posisi semula.

“... udah kok, dalam jumlah sewajarnya. Kenyataannya aku bahkan memanggilmu. Kalau kau membiarkanku kesepian aku bisa mati, tahu.”

Sambil mengatakan ini, dia mengangkangi bangku kosong di depan dan menaruh sikunya di meja Shidou.

“Tidak, aku tidak sadar. Ngomong-ngomong, sana kembali ke bangkumu. Sebentar lagi homeroom akan dimulai.”

“Tidak apa-apa. Tama-chan juga akan sedikit telat juga.”

“Ya ampun... dia masih guru kita. Kau harus berhenti menyebut panggilan yang kedengaran seperti nama kucing atau mungkin anjing laut itu.”

“Haha, tapi lucu sih, jadi gak apa-apa kan? Meskipun usia kita jauh, tapi dia masih ada dalam strike zone-ku.”

“Aah... cobalah melamarnya. Dia mungkin akan menerimamu.”

“Huh? Apa maksudmu?”

Lalu, saat itu juga pintu ruangan kelas tergeser-buka dengan suara berderak, dan bahu Shidou sedikit gemetar.

—Seketika itu juga, seisi ruangan kelas menjadi riuh.

Tapi itu wajar saja. Bagaimanapun juga, Tobiichi Origami datang ke sekolah terbalut perban di mana-mana.

“...!”

Ia mau tak mau menahan nafas.

Jika menggunakan Realizer, sebagian besar cedera dapat dipulihkan dengan segera. Tapi setelah tiga hari penuh dan masih tersisa sedemikian banyak perban, cederanya pasti cukup parah juga.

“......”

Diiringi tatapan-tatapan dari seisi kelas yang tertuju pada Origami, dia berjalan menuju arah Shidou dengan langkah-langkah tak beraturan sampai tiba tepat di depannya.

“H-hey, Tobiichi, syukurlah kau bai—”

Ia mulai berbicara dengan canggung, akan tetapi tiba-tiba Origami menghilang dari pandangan Shidou.

Sesaat kemudian, Shidou sadar kalau Origami sedang membungkuk dalam-dalam.

“T-Tobiichi...!?”

Seisi kelaspun ribut, semua mata tertuju pada Shidou dan Origami.

Namun, seolah tidak peduli dengan semua itu, Origami melanjutkan.

“—Maaf. Meskipun itu bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan hanya dengan sebuah permintaan maaf.”

Dari yang ia dengar sebelumnya—serangan yang ditujukan pada Tohka ditembakkan oleh Origami. Dia mungkin meminta maaf untuk hal tersebut.

“Ap... Itsuka, apa yang kau lakukan pada Tobiichi...?”

“Aku nggak ngapa-ngapain. Lagipula kalaupun iya, bukannya aku yang harusnya minta maaf!?”

Shidou menjawab Tonomachi yang melemparkan pandangan curiga.

Iya ataupun tidak, mustahil untuk menjelaskan situasinya secara detil. Shidou menghadap Origami lagi.

“A-aku memaafkanmu, karena itu angkat kepalamu...”

Shidou berkata, tanpa diduga Origami dengan patuh menegakkan diri.

“Tapi—”

Lalu, momen berikutnya, dia menggenggam ujung dasi Shidou.

“—!?”

Ekspresi dinginnya tidak berubah sedikitpun, Origami mendekatkan wajahnya.

“Jangan selingkuh.”

“......Huh?”

Mulai dari Shidou, semua mata yang menontoni tindakan Origami berubah menjadi titik-titik[53]

Seakan menyamai timing tersebut, bel yang menandakan mulainya homeroom-pun berbunyi.

Sambil memberi tatapan sekilas pada Origami dan Shidou dengan rasa tertarik, para murid kembali ke tempat duduk mereka masing-masing.

Namun, Origami sendiri tinggal, menatap dengan seksama wajah Shidou.

Lalu, sang dewi penyelamat pun tiba.

“Selamat pagiii, semuanyaaa. Homeroom dimulai.”

Setelah membuka pintu, ibu guru Tama-chan melangkah masuk ke ruangan kelas.

“...? T-Tobiichi-san, kamu sedang apa?”

“......”

Origami dalam diam melihat Tamae sekilas, kemudian melepaskan tangan dari dasi Shidou dan kembali ke tempat duduknya.

Tapi tetap saja, tempat duduknya tepat di samping Shidou. Shidou tidak dapat membuang nafas lega.

“O-oke, apa semuanya sudah duduk?”

Merasakan kegelisahan dalam ruang kelas, Tamae berkata dengan suara yang riang berlebihan.

Lalu, dia menepuk tangannya seperti baru mengingat sesuatu, dan mengangguk pada diri sendiri.

“Oh iya, sebelum kita mengambil absensi hari ini, saya punya kejutan! —Ayo masuk!”

Setelah mengatakan ini, dia memanggil ke arah pintu yang baru saja dimasuki dirinya sendiri.

“Mm.”

Lalu—menjawabnya, suara seperti itu terdengar.

“Ap...”

“—”

Pada saat bersamaan rahang Shidou dan Origami menganga.

“—Mulai hari ini aku pindah ke kelas ini, namaku Yatogami Tohka. Salam kenal, mohon bantuannya.”

Memakai seragam sekolah, Tohka masuk dengan senyum raksasa di wajahnya.

Menghadapi si cantik yang dapat membuat orang sakit mata hanya dengan melihatnya saja, seisi kelaspun kembali ramai.

Tanpa menghiraukan pandangan-pandangan yang tertuju padanya, Tohka mengambil sebatang kapur, dan dengan tulisan tangan seadanya menulis “Tohka” di papan tulis. Dia lalu mengangguk pada dirinya sendiri seakan terlihat puas.

“Ke... kau, kenapa kau...”

“Nu?”

Tohka berputar menghadapi sumber suara tersebut. Dirinya melepaskan kemilau yang aneh, sebuah cahaya bagaikan ilusi.

“Ooh, Shido! Aku merindukanmu!”

Dia lalu memanggil nama Shidou dengan suara kencang, dan berjingkrak ke samping bangku Shidou—tepat di mana Origami berdiri beberapa saat yang lalu.

Sekali lagi, Shidou menjadi pusat perhatian kelas.

Kasak-kusuk. Dari sekitarnya, terdengar teori-teori mengenai hubungan di antara mereka berdua termasuk hubungan antara hal ini dengan apa yang terjadi dengan Origami sebelumnya.

Peluh menetes di dahi Shidou ketika ia berkata dengan suara kecil yang tak dapat didengar murid lainnya.

“T-Tohka...? Kenapa kau ada di sini?”

“Nn, pemeriksaan dan sebagainya sudah selesai. —Ternyata lebih dari 99% kekuatanku sudah menghilang.”

Mengikuti Shidou, Tohka berkata dengan suara kecil.

“Yah—berakhir dengan baik untukku. Aku tidak lagi menyebabkan dunia ini menangis hanya dengan kehadiranku semata. Lalu, yah, adikmu sudah banyak melakukan ini-itu.”

“D-dan nama keluargamu...?”

“Siapa namanya, wanita mengantuk itu yang memberiku nama itu.”

“Ya ampun...”

Shidou menggaruk kepalanya dan menyandarkannya ke atas meja.

Ia lega karena Tohka diperbolehkan untuk bebas, tapi seharusnya ada cara-cara lain selain begini.

Tapi, dengan wajah polosnya,

“Ada apa, Shido. Kau terlihat lesu. —Ahh, mungkinkah, kau kesepian saat aku tidak ada?”

Dia mengucapkan hal semacam itu dengan sangat serius.

Tambah lagi, dengan volume yang cukup keras bagi orang-orang di sekitar untuk mendengarnya.

Keributan di ruang kelas mencapai klimaksnya.

Tidak pernah ia merasa setidak-nyaman ini seumur hidupnya, Shidou entah bagaimana berhasil mengeluarkan suara.

“Apa... jangan mengatakan hal aneh seperti itu.”

“Hmpf, dinginnya. Padahal kau mengejar-ngejarku gila-gilaan dulu.”

Sambil mengatakan ini, dia menaruh tangan di kedua pipinya, dan memasang tampang malu.

”—!?”

Ia tahu atmosfirnya sudah berubah. Bahkan ada orang-orang yang bertukar pesan dari balik bayang-bayang meja mereka. Kalau sudah seperti ini, tidak akan lama sampai seluruh sekolah mengenal nama Shidou.

Shidou mencoba lagi dengan suara yang lebih keras.

“J-jangan, Tohka! B-bicara seperti itu bisa membuat semua orang salah mengerti!”

“Nu? Kau bilang itu salah pengertian? Padahal itu pengalaman pertamaku...”

”——,......!?”

Critical hit. Sepertinya, Kotori dan Reine sudah mengajarinya pengetahuan yang tidak-tidak.

Mengabaikan perintah sang ibu guru, seluruh kelas mengamuk.

Lalu, tiba-tiba—wajah Tohka bergerak ke kanan, mendekati Shidou.

“Eh...?”

Di hadapan mata Shidou yang membatu, sepertinya sebuah pena melintas secara horizontal di udara dengan kecepatan yang mencengangkan.

“Uwah!?”

Terkaget, ia mencari sumbernya. Di sana, masih dengan postur seperti baru melempar sebuah pena, adalah Origami dengan tatapan dinginnya.

“... Nu?”

“...”

Tohka dan Origami. Pandangan keduanya bertemu.

“Nu, bagaimana bisa kau ada di sini?”

“Itu kata-kata saya.”

Situasi itu menjadi kritis dalam sekejap.

—Namun, keduanya tidak terlihat seperti ingin bertarung di sini.

Tapi sudah sewajarnya. Yang satu telah kehilangan hampir seluruh kekuatannya, dan yang satu lagi, sedang cedera serta tanpa perlengkapan.

“O-oke! Berhenti! Ayo akhiri di sini! Oke! Jangan bertengkar!”

Ibu guru Okamine buru-buru memotong pembicaraan di antara mereka berdua, dan sepertinya berhasil menjinakkan situasi itu.

Namun.

“Sekarang, tempat duduk Yatogami-san—”

Sang guru mulai mencari-cari untuk tempat duduk Tohka, namun

“Tidak perlu. —Minggir.”

Tohka melontarkan pandangan tajam pada murid di samping Shidou—di sisi berlawanan dari Origami.

“Hi-hiiii!"

Menghadapi tekanan tersebut, siswi itu terjatuh dari tempat duduknya.

“Nn, maaf.”

Setelah mengatakan itu, Tohka duduk tenang, dan melihat ke arah Shidou.

Tapi meskipun melakukan itu, pandangannya tidak bertemu dengan Shidou melainkan dengan Origami.

“...”

“...”

Keduanya dalam diam saling mendelik satu sama lain.

Shidou sangat senang karena Tohka dapat melanjutkan kehidupan di dunia ini. Ia juga bersyukur pada Kotori dan crew-nya yang sudah berbuat banyak.

Juga, ia sejujurnya merasa lega karena Origami berhasil bertahan hidup.

Tak salah lagi, inilah yang dapat disebut dengan penyelesaian terbaik.

Tapi, ini...

“Uuuuuuugh...”

Dihujani tatapan-tatapan aneh dari kedua sisi, Shidou memegangi kepalanya.




Penutup

Senang bertemu dengan anda, sudah cukup lama, saya Tachibana Koushi.

Apa Date●A●Live Tohka Dead End sesuai dengan selera anda?

Ide awal saya untuk serial ini adalah ‘tidakkah fantastis jika para anggota organisasi rahasia tertentu semuanya memainkan sebuah galge dengan serius?’.

Seperti, seorang bishoujo[54] dua-dimensi terlihat di layar besar di bridge, sang komandan, keringat menitik di wajahnya membuat pilihan, sang gadis memberi respon yang kurang baik lalu “Ap... apa...!?” *bip, bip! Emergency, emergency! atau semacamnya. Bertahanlah Rodry! Meteran Affection-nya hanya berkurang sedikit! Medic! Mediiiiic!

Dengan itu sebagai basisnya, setelah mencoba berbagai cita rasa, inilah hasilnya. Saya senang jika anda menikmatinya.

Masih belum dipastikan berapa jilid serial ini akan berlangsung, tapi cerita ini akan terus berlanjut. Halaman berikutnya berisi pratinjau lanjutannya, jadi silahkan dibaca.

Juga, serial saya yang lain Soukyuu no Karma juga berlanjut, jadi kalau karya ini menarik perhatianmu, saya akan senang jika anda meliriknya juga.

Nah sekarang, karya ini dibentuk melalui usaha keras banyak orang.

Pertama pastinya sang ilustrator Tsunako-san. Saya sudah terkagum-kagum dari tahap character design. Apa-apaan dengan jumlah dan kualitas macam itu. Serius, benar-benar pada tingkat di mana saya mau mempublikasikan seluruhnya.

Kalau serial ini laris mungkin kesempatan itu akan datang... iya kan, hmm (kedip).

Mulai dari editor saya dan semuanya yang terlibat, terima kasih atas kerja kerasnya.

Saya tersadar akan sebuah fakta yang mendasar, bahwa sebuah buku tidak bisa dibuat semata-mata oleh satu orang saja.

Lebih dari apapun, saya mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya pada anda, yang sudah membeli buku ini.

Yah, lalu berikutnya... erm, sampai bertemu lagi di jilid kedua serial ini dan jilid kedelapan Karma.


Tachibana Koushi




DAL v01 preview.jpg

Referensi

  1. Ejaan official untuk nama depan sang karakter utama adalah Shido, namun pelafalannya mendekati Shidou.
  2. Imouto, bahasa Jepang dari ‘adik perempuan’
  3. Onii-chan, bahasa Jepang dari ‘kakak laki-laki’
  4. GOUF adalah tipe mobile suit (umumnya untuk pertarungan di darat) yang muncul di serial Gundam, Kotori berkata ‘ahahaha, gufu datta, 陸戦用 da!’, kami tidak tahu penerjemahan yang lebih baik untuk kalimat ini.
  5. BackGround Music
  6. Shelter, tempat perlindungan sementara untuk keperluan evakuasi bencana atau perang.
  7. Jietai/Japan Self-Defense Force
  8. Orang Jepang punya kebiasaan untuk menyuarakan sesuatu pada gerakan-gerakan memukul atau melompat dan semacamnya.
  9. Penyuaraan saat mengangguk atau semacamnya.
  10. Mahyadedosu adalah skill tingkat tinggi monster Joker dalam Dragon Quest, di versi Inggrisnya disebut C-C-Cold Breath.
  11. Fujoshi, otaku perempuan penggemar Boys Love
  12. Glico adalah perusahaan besar dengan logo seperti ini.
  13. Ada pepatah yang berasal dari 2ch yang mengatakan bahwa jika kau masih perawan sampai umur 30, kau akan menjadi seorang Penyihir.
  14. Obsesi terhadap benda-benda, bagian-bagian tubuh atau situasi-situasi yang tidak biasanya dianggap seksual.
  15. Kota perempuan-Onnashi (女市), adalah pemisahan radikal dari ‘kakak perempuan’ - Ane(姉), Tonomachi mengatakan ‘Onnashi’ dalam arti ‘kakak perempuan , dan karena Shidou tidak pernah mendengar kosakata itu, ia salah melafalkan dengan ‘kota perempuan’.
  16. ”Okashi” adalah istilah cepat untuk mengingat teknik evakuasi seperti pada kebakaran. ‘Okashi’ berkepanjangan ‘osanai’(jangan mendorong), ‘kakenai’(jangan berlari), ‘shaberanai’(jangan berisik), namun di sini Tamae-sensei mengucapkan ‘Sharekoube’(tulang) untuk yang terakhir.
  17. Mendefinisikan hal-hal tertentu(biasa berupa rekaman televisi atau radio) yang berlangsung pada saat bersamaan dengan kejadian aslinya.
  18. Rounds berarti ‘dewan’ dalam organisasi-organisasi tertentu
  19. Senter dengan bentuk mirip seperti pen, penlight berbeda dengan pena senter (pena untuk menulis yang dipasangi senter)
  20. Ramune adalah merk soft drink Jepang dengan berbagai rasa.
  21. Rikujojietai - Japan Ground Self-Defense Force.
  22. Tempat penyimpanan mesin (biasanya untuk pesawat terbang)
  23. Mesin game arcade di mana pemain memukul kepala buaya-buaya yang keluar dari lubang-lubang yang ada.
  24. Ada pepatah yang mengatakan bahwa ayam melupakan banyak hal setelah mengambil tiga langkah, jadi dia sedang mencoba mengatakan kalau Shidou punya jangka perhatian/ingatan yang lebih rendah dari seekor ayam
  25. Yang dikatakan di sini mengacu pada Mike Haggar, karakter fiktif dari serial game Final Fight.
  26. Kotori mengucapkan ‘hairo’(masuk) dengan sedikit pemanjangan, membuatnya terdengar seperti hai-ho, yang adalah cara bicara 7 kurcaci dalam cerita dongeng.
  27. Peralatan Doraemon berupa topi yang jika dipakai akan membuat siapapun tidak menyadari keberadaanmu di situ.
  28. Nama asli dari permainan Othello.
  29. Jekyll adalah nama tokoh fiktif yang memiliki kepribadian ganda (Hyde).
  30. Manga untuk perempuan, serial cantik.
  31. Koishite, fall in love
  32. Computer Graphics
  33. Istilah untuk menyebut orang mesum, biasanya yang suka mengintip.
  34. Bagian dalam Komedi Jepang yang intinya berperan untuk mengkritik orang lain. [1]
  35. Z-dimension adalah dimensi ketiga setelah x dan y, ngomong-ngomong percakapan ini mengacu pada ‘wanita dua dimensi’
  36. Mario dari serial video game Nintendo
  37. Slogan Mario.
  38. ’Nobi suruwa’, mungkin mengacu pada kebiasaan Doraemon dalam mengomeli Nobita.
  39. Saat sang Spirit menyebut nama Shidou, namanya ditulis dengan huruf Katakana, cara pelafalannya pun mendekati ‘Shido-’, dengan demikian untuk penerjemahan kedepannya ‘Shido’ dipakai apabila sang Spirit yang memanggilnya.
  40. Baka, berarti ‘bodoh’
  41. Tanggal sepuluh dilafalkan sebagai ‘Tohka’ (十日), sama dengan pelafalan nama Tohka(十香) yang diberikan Shidou
  42. Tohka melafalkan date lebih seperti ‘Deht’
  43. Tohka mengatakannya dengan konteks yang sedikit berbeda dari territory yang dihasilkan Realizer. Penulisan ‘teritori’ disini bukanlah hasil ketidak-konsistenan.
  44. Pakaian yang dibuat menyerupai blus namun dibuat dengan bahan jersey (Jersey sendiri lebih sering dipakai sebagai bahan T-shirt)
  45. Moro Reflex adalah gerakan refleks yang terjadi pada bayi ketika ia terkejut atau takut. Di sini, sebagai akibat dari moro reflex, Kotori yang terkaget menyemburkan minuman yang ada di dalam mulutnya
  46. Kikaider adalah nama tokoh dalam serial tokusatsu Jepang yang berjudul sama.
  47. withdrawal symptom, gejala-gejala yang muncul ketika seseorang yang kecanduan terhadap sesuatu berhenti mengkonsumsinya
  48. Happi coat, pakaian tradisional Jepang yang biasanya dipakai pada saat festival-festival dan memiliki lambang tertentu di bagian belakang, bisa berupa lambang toko atau organisasi tertentu.
  49. 神威霊装, kamui reisou.
  50. Galat atau kesalahan (error) adalah selisih antara nilai sejati (sebenarnya) dengan nilai hampirannya (yang mendekati), dengan kata lain <Fraxinus> dikemudikan mendekati koordinat target (Tohka) dengan tingkat kesalahan kurang dari 1 meter.
  51. Dogeza - posisi berlutut di tanah, lalu membungkuk dalam-dalam sampai dahi menyentuh tanah, biasa dilakukan sebagai tanda permohonan maaf sebesar-besarnya
  52. 精霊のいる風景
  53. Merujuk pada emoticon seperti ‘poker face’
  54. Bishoujo: gadis cantik.