Date A Live (Indonesia):Jilid 2 Bab 3

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 3: Kebajikan yang Luar Biasa Menyedihkan[edit]

Bagian 1[edit]

“Hei, Tohkaa~…”

Dengan suara penuh kebimbangan, *tok tok* Shidou mengetuk pintu.

Sayangnya… tidak ada jawaban.

“Tohka… tolonglah, dengar dulu apa yang ingin kukatakan.”

Kembali ia berkata seraya mengetuk pintu.

Kemudian— *dong!* terdengar sebuah bunyi keras dan seisi rumah pun berguncang.

“... uh!”

Mendengar suara yang datang tiba-tiba itu, bahunya tersentak kaget.

Dan dari arah pintu yang diketuk Shidou, terdengar suara gumam.

“... fuun. Jangan ganggu aku… Cepat pergi sana, baaka baaka.”

Dengan jawaban itu situasi tersebut berakhir. Tohka bersungut-sungut dengan sangat.

“Haaah… Apa yang harus kulakukan…?”

Shidou pun mati kutu, ia mengeluh dengan murung sambil memijat alis dengan jari-jarinya.

Sekarang ini Shidou sedang berada di depan sebuah pintu yang terdapat di bagian paling dalam lantai dua kediaman Itsuka, di pintu tersebut tertempel sebuah kertas bertuliskan ‘Tohka’.

Sudah 5 jam semenjak [Yoshinon] kembali ke dunia sana.

Setelah itu, walaupun ia dijemput oleh <Fraxinus> dan pulang ke rumah dengan selama, ia mendapati Tohka yang telah mengunci diri dan menolak untuk keluar dari kamar.

「—Shidou. Ada waktu sebentar? Ada yang mau kupastikan.」

Dari intercom di telinga kanannya terdengar suara Kotori.

“Ah…? Apa lagi, sekarang bukan waktu yang tepat—”

「Shidou, tadi kau benar-benar sudah mencium Yoshinon kan?」

“... eh, hah? Kenapa tiba-tiba menanyakan ini…?

Mendengar pertanyaan mendadak tersebut, Shidou berkata dengan suara melengking.

「Jawab saja, tadi bibir Shidou dan Yoshinon bersentuhan. Aku tidak salah kan?」

“... i, iya…”

「Fumu…」

“La-lalu apa ada yang salah dengan itu? Kubilang ya, tadi itu cuma kecelakaan—”

「Aku tahu. Daripada itu, aku memujimu karena sudah berhasil mencapai tujuan kita.」

“... lalu kenapa?”

Setelah Shidou bertanya, seraya menggerutu [uumu] menjawab:

「—kelihatannya, walaupun kau menciumnya, kau belum bisa menyegel kekuatan Spirit-nya sama sekali.」

Sesudah diberitahu itu, mata Shidou terbelalak.

Benar. Bahkan setelah mencium [Yoshinon], dia masih saja menggunakan kekuatan Spirit-nya.

「Yah, memang affection level-nya masih belum setinggi Tohka pada waktu itu dan tentu saja mustahil untuk menyegel seluruh kekuatannya, tapi biar bagaimanapun juga— tidak sedikit pun dari kekuatannya tersegel, ini cukup mengkhawatirkan. Kalau dibahas secara numerik, aku mengira bahkan pada taraf ini sekalipun, paling tidak kekuatannya akan tersisa setengah atau bahkan sepertiganya.」

Seusai berkata, sekali lagi dia berbicara pada diri sendiri.

「... entah Yoshinon punya kekuatan spesial tersembunyi, atau—」

“Oi, oi, Kotori. Kupikir kasus Yoshinon juga masalah besar tapi… err.”

Sambil berkata, Shidou mengarahkan pandangan pada pintu kamar Tohka.

Kotori yang sepertinya menebak apa yang Shidou pikirkan segera menjawab.

「—Ahh, mengenai Tohka, ya. Bagaimana keadaannya?」

“Seperti yang kau lihat… Aku coba berbicara dengannya, tapi tidak ada hasil.”

「Begitu ya. Melihat data numeriknya, sepertinya kekuatannya muncul untuk sesaat, meskipun kemudian mengalir kembali ke passpersimpangan dan tersegel untuk sekali lagi. Tapi— lebih baik kau cepat-cepat perbaiki mood-nya.」

“Perbaiki mood-nya… bagaimana?”

「...... Shin. Kalau tidak apa-apa, boleh saya yang urus masalah ini?」

Setelah Shidou bertanya, ia mendengar suara mengantuk yang aneh dari intercom— Reine.

“Eh…?”

「...... kelihatannya dia merasa terganggu. Kalau tidak salah, besok hari Sabtu. Apa tidak masalah siang besok saya membawa Tohka? Coba kita lihat… biarkan kami pergi keluar untuk belanja?」

“Aku tidak keberatan tapi mendadak begini, apa maksud semua ini?”

Beberapa saat setelah Shidou bertanya, Reine mengeluh.

「...... melihat kondisi ini, lebih baik kalau Shinorang yang bersangkutan tidak ikut ambil bagian. Ini adalah sisi sensitif dari hati wanita. Camkan itu.」

“Ha, haaa…”

Shidou pun, menggaruk pipi dengan perasaan bingung.


Bagian 2[edit]

“...... begitulah, Tohka. Saya bermaksud keluar untuk belanja, kamu mau ikut?”

Hari berikutnya, tanggal 13 Mei, 10 pagi.

Seperti yang dia katakan kemarin, Reine mengunjungi kediaman Itsuka dan mengucapkan kalimat tersebut di depan kamar Tohka.

Sekarang ini ia tidak mengenakan jas putih atau seragam militernya. Sebuah boneka beruang penuh bekas cakar terlihat melongok keluar dari kantung baju di dadanya, dia mengenakan pakaian menyerupai jersey dengan bawahan berwarna gelap. Di bahunya pun terlihat sebuah tas, mengindikasikan bahwa dia berencana pergi belanja.

Namun Tohka masih sama seperti kemarin, dan dari balik pintu bergema suara jengkelnya.

“Berisik, biarkan aku sendiri…...!”

Kedengarannya dia masih marah. Shidou yang berdiri di samping Reine mengeluh.

“Sejak kemarin dia seperti ini terus.”

“...... hmm.”

Reine menaruh tangan di dagu, menandakan kalau dia sedang berpikir.

Kemudian dari dalam tas, dia mengeluarkan sebuah terminal komputer pribadi, dan mulai memainkannya dengan tangannya yang lain.

Sesudah melihat layar terminal, dia menutupnya dan melangkah maju mendekati pintu.

“...... Tohka.”

“Kubilang tinggalkan aku sendiri……! Aku—”

“...... saya berencana makan di luar setelah belanja. Bagaimana?”

Mendengar Reine berkata demikian, tanpa diduga Tohka terdiam.

Kemudian setelah sepuluh detik.

*Griit* Pintu kamar tersebut terbuka, dan dari dalamnya muncul wajah gusar Tohka.

Mungkin dia belum berganti pakaian sejak kemarin; dia masih mengenakan seragam sekolahnya. Tambah lagi bajunya masih basah. Ngomong-ngomong, mungkin dia belum tidur, ada lingkaran hitam di bawah matanya. Andaikan dia berjalan bersebelahan dengan Reine, orang-orang mungkin akan mengira mereka sebagai kakak-adik.

“Ap…?”

Shidou terbelalak kaget.

“Re-Reine-san…? Sebenarnya apa yang telah kau lakukan…?”

“...... tidak ada. Hanya saja tingkat kelaparan Tohka sedang tinggi. Saya pikir sudah waktunya sebelum dia mencapai batas.”

“Begitu ya… eh? Semalam aku coba memanggilnya untuk makan malam tapi dia tidak keluar…”

“...... yah, mungkin karena dia tidak mau melihat mukamu.”

“...”

Dan dengan begitu saja kata-kata yang kejam tersebut dilemparkan padanya.

Sayangnya, itulah kebenarannya. Tohka, setelah akhirnya keluar, saat melihat Shidou *puih* dia memalingkan wajah, dan berjalan pergi dengan langkah-langkah berat.

“Ayo cepat kita berangkat!”

“...... un, mari. Sejak tadi pagi juga hujan terus. Jangan lupa membawa payung.”

Sambil berkata, Reine melakukan kontak mata dengan Shidou, seolah berkata “Serahkan pada saya”.

“... to-tolong ya.”

Satu-satunya yang bisa dilakukan Shidou hanyalah mengantar mereka keluar.

Dan dengan demikian ia berdiri di sana selama beberapa menit.

“Err…”

Tapi, ia segera sadar kalau ia membuang waktu. Dengan pelan ia mencubit pipi untuk menyadarkan diri kemudian menuruni tangga.

“Sekolah juga libur kan… sepertinya siang ini aku pergi belanja juga.”

Ia sudah berencana pergi belanja sepulang sekolah kemarin, namun karena berbagai macam hal ia batal pergi.

Shidou buru-buru berganti pakaian, lalu beranjak meninggalkan rumah sambil membawa payung.

“Payung— yah, kubawa saja untuk berjaga-jaga, Kotori juga masih tidur.”

Membuka payung seraya berkata demikian, Shidou menjejakkan kaki di jalanan berhujan.

—kemudian, ia bertanya-tanya sudah berapa lama ia berjalan.

“... uh!?”

Di tengah perjalanan menuju pusat perbelanjaan, ia melihat punggung seseorang yang dikenalnya. Shidou pun menghentikan langkahnya.

Orang itu, ia mendapati seseorang dengan telinga kelinci terpasang pada tudung berwarna hijau.

“Yo-Yoshinon…?”

Shidou mengangkat alis sementara nama tersebut keluar dari mulutnya.

Ya, daerah tersebut hancur oleh spacequake kemarin, dari sisi lain plang dilarang masuk yang dipasang di sana, terlihat sosok Spirit [Yoshinon].

Shidou bersembunyi di balik dinding, mengamati [Yoshinon].

“Sirenenya… tidak berbunyi… sama seperti Tohka waktu itu ya.”

Ngomong-ngomong, pertama kalinya ia bertemu dengan [Yoshinon] sirenenya pun tidak berbunyi. Mungkinkah, karena dia adalah Spirit yang sering datang ke dimensi ini dari dunia sana.

“... tapi, sebaiknya apa yang kulakukan sekarang…?”

Sekarang setelah menemukannya, tidak mungkin ia mendiamkannya— namun ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat.

Setelah Shidou mempertimbangkan pemikirannya sejenak— ia menekan tombol-tombol handphone-nya.

Sebentar ia mendengar nada dering, terdengar suara mengantuk dari receiver handphone-nya.

「... fuaa~i… halo…? Onii-chan…?」

Jelas sekali suaranya menandakan dia baru bangun. Dan tentu saja, di sana adalah imouto Shidou, Kotori.

“Ou. Pagi, Kotori.”

「Unn— slamat pagi. Ada apa…?”

“... ini darurat. Aku menemukan Yoshinon.”

「......」

Saat Shidou mengatakan itu, dari sisi lain handphone-nya, *pak! pak!*, terdengar suara pipi yang dipukul dengan sepenuh tenaga.

Seusai itu sebuah suara berwibawa, yang dikenal sekaligus asing baginya, berkumandang.

「—jelaskan detil situasinya.」

“O-oke.”

Sembari merasa sedikit terungguli karena perubahan mendadak itu, Shidou menjelaskan situasi saat itu dengan sederhana.

「... begitu rupanya. Kemunculan tanpa tanda-tanda lagi ya? Merepotkan juga— Jadi, kehadiran Shidou belum diketahui Spirit tersebut, betul?」

“Aaahh… sepertinya begitu. Apa yang harus kulakukan?”

「Kau bawa intercom?」

“Eh? Aah— iya untuk jaga-jaga.”

Shidou perlahan meraba sakunya untuk memastikan keberadaan sebuah alat kecil di sana.

Sejak kasus Tohka, ia disuruh membawanya untuk berjaga-jaga andai kata terjadi masalah.

「Bagus. Pakailah. Jangan sampai Spirit tersebut hilang dari pandangan dan tunggu perintah.」

“Eh? Tun—”

—— *pat. tuut, tuut, tuut* Sambungan terputus.

“Tu-tunggu perintah katamu…”

Mendengar perintah yang tak bertanggung jawab itu, Shidou mengerutkan dahinya.

Karena tidak ada lagi yang dapat ia lakukan, sambil terdiam ia memasang intercom di telinganya dan mengintip kondisi [Yoshinon].

Setelah lima menit berlalu, dari intercom ia mendengar suara imouto tersayang.

Nampaknya dia sudah selesai bersiap-siap dalam waktu yang singkat, kemudian berpindah ke <Fraxinus>.

「—kau bisa mendengarku? Shidou.」

“... ya, kedengaran.”

「Kita tidak bisa membiarkannya sendirian terus. Untuk sekarang, ayo temui dia dulu.」

“... dimengerti.”

Setelah mengambil nafas, dengan mantap ia berjalan mendekati [Yoshinon].

Sekarang pun [Yoshinon] belum menyadari kehadiran Shidou, kalang kabut dia mencari-cari di tanah.

“... oke, aku akan memanggilnya.”

「Eeh.— Tu-tunggu sebentar.」



Dipicu oleh Shidou yang mendekati sang Spirit, tampil sebuah jendela di monitor utama bridge.

① Saat ingin berbicara padanya, bergulinglah lalu menghadap ke atas dan perlihatkan perutmu, untuk menandakan bahwa kau tidak punya rasa permusuhan terhadapnya.

② Segera peluk dengan erat, ungkapkan rasa kasih sayang.

③ Untuk menunjukkan bahwa kau tidak bersenjata, bicaralah setelah menelanjangi diri.

Metode untuk menghindari memprovokasi Spirit itu ditunjukan dalam tiga pola.

“Tch, sayang Reine tidak ada di sini, mau bagaimana lagi.”

Kotori, setelah melihat sekilas bangku kosong di bagian bawah bridge, mendecakkan lidah.

Saat ini, Reine semestinya sedang membawa Tohka berbelanja. Mereka juga tidak bisa mengambil resiko meninggalkan Tohka dan membuat mood-nya jatuh lebih dalam lagi.

“—seluruhnya, pilih!”

Bersamaan dengan perintah tersebut, dari tampilan di tangan Kotori, muncul pilihan-pilihan para crew.

—nomor ①,②,③. Jumlah suara yang terkumpul hampir sama untuk seluruh pilihan.

“Cih, tidak ada pilihan yang beres.”

Saat Kotori bergumam frustasi, berkumandang suara-suara dari bagian bawah bridge.

“Pasti no. ①! Bagi binatang, menunjukkan perut adalah pertanda menyerah! Dia pasti akan merasa lebih aman!”

“Menggelikan! Sudah jelas pilihan no. ② adalah penentu! Kelinci akan mati kalau mereka kesepian!”

“Itu cuma seorang gadis yang memakai hood kelinci— bukan kelinci betulan! Daripada itu komandan, pilih no. ③! Untuk menunjukkan kalau kita tidak punya maksud tersembunyi— telanjang, tidak ada jalan lain selain telanjang!”

“Diam kau nenek-nenek tua! Kau cuma mau melihat murid SMA telanjang kan!”

“Ap…, sembarangan sekali bicaramu! Kau tidak tahu apa!? Untuk membujuk manusia primitif yang datang ke dunia modern, cara paling efektif adalah dengan telanjang bulat!”

“Omong kosong macam apa itu! Apapun katamu, no. ②! Pilih no. ②!”

“Bukan, pasti no. ①!”

“Telanjang! Telanjang!”

“... diam!”

*Brak!*, suara console yang digebrak, para crew yang sedang memanas pun diomeli.

Kemudian ditengah keheningan bridge, perlahan ia mengambil mike dan—

“—Shidou, sebelum berbicara padanya, buka bajumu.”

Dengan tenang, ia berkata.

Kemudian dari bagian bawah bridge, sejumlah anggota crew wanita, serta anehnya, satu anggota crew lelaki, melakukan guts pose.

Akan tetapi—

「Apa katamu!」

Di saat bersamaan, teriakan Shidou berkumandang lewat speaker.

「...!?」

[Yoshinon] di layar, *tlek* tersentak kaget.



“...! Gawat.”

Segera setelah Shidou menyuarakan teriakannya, [Yoshinon] berbalik menghadapnya sambil gemetar.

Wajahnya jadi pucat dan bunyi gemeratak terdengar dari giginya, seluruh tubuhnya mulai gemetar ketakutan.

“...... hi, i…… u”

Dengan demikian, wajahnya menandakan seolah akan menangis kapanpun juga lalu dia segera mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.

Jantung Shidou menjadi sesak seakan sedang dikepal sebuah tangan maya.

Ia ingat gerakan itu. Kemarin, [Yoshinon] juga melakukan ini saat memanggil boneka raksasa itu.

“Tu…, Tunggu! Tenang!”

Tapi, walaupun ia bilang begitu, mustahil bagi mereka untuk saling berkomunikasi.

Kotori mungkin juga menyadari gerakan [Yoshinon]. Dia pun berteriak.

「Shidou! Kalau masih sempat —pilih no. ①! Perlihatkan perutmu dan bergulinglah!」

“Hu,—Haaah…...!?"

「Cepat!」

Tidak ada jalan lain.

Maka Shidou melempar payungnya, ke tanah yang basah oleh hujan, *jressh*, ia melempar diri dan berguling.

“Aku menyerah, aku menyerah.”

“...!?”

Seketika itu, saat [Yoshinon] bermaksud mengayunkan tangan ke bawah, dia memasang wajah terkejut.

Lalu, takut-takut, dia menurunkan tangan ke tempatnya semula dengan perlahan, dan mulai mengamati kondisi Shidou saat itu.

“... a-apa kita… berhasil?”

「— mungkin, coba bicara dengannya, jangan sampai memancing-mancingnya.」

Dibilang begitu, Shidou yang masih berbaring di atas tanah, perlahan mengangkat leher.

“Yo, yo…”

“......”

Bahkan saat ia mencoba berbicara padanya, [Yoshinon] terus menatapnya dengan penuh waspada.

“Ba-bagaimana kabarmu hari ini…?”

“......”

“Hu-hujannya deras sekali ya…”

“......”

Tidak ada jawaban sama sekali.

“... kalau begini, apa yang harus kulakukan?”

Shidou memiringkan kepala.

Mungkin cuma perasaannya saja, tapi — ia dapat melihat tangan kiri [Yoshinon] barusan.

Artinya, dia sedang tidak memakai boneka.

Di saat Shidou mengangkat alisnya penuh keraguan, sekali lagi bergema suara Kotori yang menahannya.

Di layar <Fraxinus>, sekali lagi muncul pilihan-pilihan. ① Berjalan mendekatinya sambil berbicara...

② Untuk mempersiapkan diri, mundurlah sebentar.

③ Tanyakan mengapa dia tidak memakai bonekanya.

“Hmmm…”

Setelah melihat hasil akhir pilihan para anggota crew yang tampil di layar kecil di tangannya, Kotori bergumam pendek.

Yang paling banyak adalah no. ③. Sepertinya semuanya menyadari bahwa dia sedang tidak memakai bonekanya.

Dan tentu saja ini adalah perihal yang ingin ditelusuri Kotori pula.

“Shidou, pilih no. ③. Mungkin saja dia kehilangan bonekanya dan sedang mencarinya sekarang. Lagipula sudah waktunya untuk memancing reaksinya, coba tanyakan mengenai boneka itu.”



“... dimengerti.”

Setuju dengan hal tersebut, ia membuka mulut.

“Aah… kau, apa mungkin, kau sedang mencari bonekamu…?”

“...!”

Segera setelah Shidou mengucapkan itu, [Yoshinon] membuka mata lebar-lebar.

Dan saat ia berpikir demikian, [Yoshinon] berlari mendekatinya dan tiba-tiba memegangi kepala Shidou, seolah ingin menanyakan sesuatu dia goncangkan kepalanya keras-keras.

“...! …!?”

“Au, ououououou…! Tung-, hentikan.”

Dengan begitu, [Yoshinon] dengan sigap menarik tangan dari kepala Shidou.

Shidou pun bangkit seraya menatap sang gadis, lalu mencoba bertanya lagi.

“Sepertinya… kau memang sedang mencarinya ya.”

Maka [Yoshinon] terus menganggukkan kepalanya dalam-dalam.

Sesudah demikian, dia menatap Shidou dengan mata yang penuh kegelisahan. Seolah menanyakan keberadaan boneka itu.

“... uh, ma-maaf. Aku juga tidak tahu…”

Demikian Shidou berkata, wajah [Yoshinon] mengekspresikan seakan dunia akan segera berakhir, lalu kehilangan kekuatannya dia merosot ke tanah.

Dan dengan begitulah dia menundukkan kepalanya, “ue…..., e…...” kemudian suara ratapan pun mulai merembes keluar.

“Er, errr……”

Akan merepotkan kalau dia sampai mengamuk, tapi ini sendiri juga sudah merepotkan. Shidou kalang kabut memandang ke sana-sini.

「—Tenanglah, Shidou.」

Lalu, suara tulus Kotori tersampaikan ke gendang telinganya.

Menerima reaksi [Yoshinon], jendela pilihan muncul di layar untuk ketiga kalinya.



① “Orang itu, aku akan membuatmu melupakannya” tarik perhatiannya sebagai orang yang dapat diandalkan.

② “Ayo sama-sama, kita cari bonekamu.” tarik perhatiannya sebagai pria yang baik hati.

③ “Sebenarnya selama ini akulah boneka itu!” tarik perhatiannya sebagai pria humoris.

“Seluruhnya, pilihlah!”

Ketika Kotori memerintahkan, jumlah keseluruhannya ditampilkan di layar ukuran kecilnya.

Jumlah vote paling banyak ada pada no. ②, diikuti no. ①. Dan cuma satu suara pada no. ③.

“Yah, no. ② pilihan yang paling aman. … ngomong-ngomong siapa yang memilih pilihan macam-macam no. ③.”

“... apa itu pilihan yang buruk?”

Dari belakang, terdengar suara gumam Kannazuki yang sedang berkecil hati.

“......”

Kotori tidak mengacuhkannya dan menarik mike-nya mendekat.

“Shidou, temani dia mencari boneka itu.”

Lalu dari belakang, terdengar “Aaah, pura-pura tidak dengar ya, boleh juga…!”, namun ia mengabaikannya.



“Er, erm begini, Yoshinon.”

“...!”

Di saat Shidou mengangkat suara, tubuh [Yoshinon] kembali tersentak kaget.

Dan ketika itulah dia segera mengayunkan tangannya, genangan air di sekitarnya melayang, membentuk peluru-peluru yang meledak di dekat tempat Shidou sedang duduk.

“U… uwaah!?”

Tanpa pikir lagi, tubuh Shidou tersentak.

“Ma-maaf! Aku tidak bermaksud menakutimu!”

Bermaksud memeriksa situasinya, dengan berhati2 ia melihat ke arah Yoshinon (...... kalau mereka sampai bertatapan mata, Yoshinon pasti memalingkan pandangannya), ia memperbaiki postur seraya sedikit menundukan kepalanya.

Kemudian untuk menandakan bahwa ia tidak akan melawan, ia mengangkat kedua tangannya, lalu lanjut berkata-kata.

“Itu… Ka-kalau boleh… boleh aku membantumu mencari boneka itu?”

“...!”

Ketika Shidou mengatakan itu, [Yoshinon] membuka mata lebar-lebar terkejut.

Setelah beberapa detik, untuk pertama kalinya wajahnya sangat berseri-seri, *um um* dia mengayunkan kencang kepalanya naik-turun.

Setelah Shidou menghela nafas, “Oke”, akhirnya ia bangkit berdiri dari tanah yang basah.

Pinggulnya agak basah tapi, yah, sekarang bukan saatnya untuk memikirkan hal itu.

“Ermm… jadi, mengenai itu, di mana dan kapan kau kehilangan bonekamu?”

Ketika ditanyai, seakan ragu-ragu menjawab, mata [Yoshinon] jelalatan ke mana-mana, akhirnya dia membuka bibir berwarna merah sakuranya.

“... Ke, marin…”

Lalu, dia menarik telinga boneka yang terpasang di hood-nya menutupi wajahnya, sementara menyembunyikan matanya dia lanjut berbicara dengan canggung.

“Orang-orang… menakutkan itu, ketika saya sadar… kami… diserang..., dia hilang…”

“Err…? Kemarin, kau diserang AST ya?”

Saat Shidou berkata demikian, [Yoshinon] mengayunkan kepalanya secara vertikal.

“Begitu rupanya, setelah itu ya…”

Seusai berbicara, ia menjulurkan kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk melihat-lihat sekelilingnya.

Baik bangunan yang runtuh maupun jalan yang retak, ia melebarkan jangkauan pandangannya sebisa mungkin. Ini akan jadi pekerjaan yang sulit.

Dan seolah menjawab reaksinya itu, dari telinga kanannya tersampaikan pesan dari <Fraxinus>.

「—Kami akan mengirimkan kamera sebanyak mungkin. Cobalah berkomunikasi dengannya sebisa mungkin selama mencari.」

Menandakan bahwa ia mengerti, Shidou mengetuk pelan intercom itu, dan sekali lagi matanya tertuju pada [Yoshinon].

“Oke… sekarang, ayo kita cari, Yoshinon.”

“...!”

[Yoshinon] setuju— setelah bergumam sebentar, dia mengencangkan suara.

“Sa, saya…”

“Eh?”

“Saya… bukan, Yoshinon,... saya Yoshino. Yoshinon… nama, teman saya…”

“Yoshino…?”

Ketika Shidou menjawab dan mengulangi namanya, gadis itu— Yoshino mencoba melarikan diri.

“Ah… tunggu!”

Mungkin, dia kaget mendengar suara itu, bahu Yoshino tersentak lagi.

Seketika itu juga rintik-rintik hujan yang mengelilingi Yoshino tiba-tiba berubah menyerupai jarum dan melayang menuju Shidou.

“Uwaaaah!?”

Sambil panik ia menurunkan kepala di tempat, dan entah bagaimana berhasil menghindarinya.

Tidak masalah kalau cuma sedikit. Tapi, kalau lebih banyak lagi yang ditembakkan ke tubuhnya, Shidou mungkin sudah menjadi kaktus.

“Te-tenanglah! Ini aku, aku!”

Maka Yoshino membalikkan badan sambil tersentak, dan sesudah melihat wajah Shidou dia menarik nafas dalam-dalam.

Shidou berdiri seraya berbicara dengan takut-takut.

“Ka-kalau mau, pakai ini… biarpun kau sudah kehujanan, ini lebih baik daripada tidak sama sekali kan?”

Ia mengambil payung yang terlempar sebelumnya, dan memberikannya pada Yoshino.

“? ? ?”

“Aah, begini cara pakainya.”

Ia memegang tangan Yoshino ketika dia memiringkan kepalanya dengan penasaran, lalu menegakkan payung itu.

Sebab itu, Yoshino terkejut karena rintik hujan tidak lagi menyentuhnya, dia menengadah dengan mata yang berputar-putar takjub.

Payung vinil transparan tersebut melontarkan kembali percikan hujan yang menerpa di atasnya, sembari memancarkan sinar terang.

“...! …!”

Yoshino dengan semangat, mengepakkan tangan yang bebas dari payung.

“I, iya, kau suka? Pakailah, pakailah!”

Dan setelah Shidou berkata, Yoshino mengarahkan pandangannya pada Shidou seolah menanyakan dirinya.

“Ah…? Aku?”

Yoshino mengangguk berulang kali.

“Aah, tidak masalah. Tidak apa-apa, pakai saja.”

Setelah sebentar melihat ragu-ragu antara payung itu dan Shidou.

“Teri… ma, ka… sih”

Maka setelah Yoshino menundukkan kepala, mereka melanjutkan pencarian boneka itu.

「Keren juga.」

Dari telinga kanannya, ia mendengar suara ledekan Kotori.

“Be-berisik.”

「—Yah, sebenarnya kalau Spirit itu mau, baju basah bisa langsung dikeringkannya. Bahkan kalau kita kesampingkan itu, tidak sulit baginya untuk main hujan sambil membuat sebuah lapisan pelindung yang tidak terlihat.」

“Be-begitukah?”

… yah, itu bukan masalah yang penting. Ia hanya tidak tahan melihat gadis kecil basah kuyub oleh hujan.

Perlahan Shidou menyeka wajahnya yang basah, dan memulai pencarian.


Bagian 3[edit]

“—Gimana? Sudah ketemu bonekanya?”

“Belum. Kami belum menemukannya.”

Seusai Kotori menanyakan pertanyaan itu, ia mendengar jawaban seorang crew di bagian bawah bridge.

Waktu menunjukan pukul 12.30 siang. Sudah hampir dua jam sejak Shidou dan Yoshino memulai pencarian mereka. Kalau mereka terus mencari dibawah terpaan hujan ini, tubuh mereka akan kedinginan dan, mereka akan mulai letih.

Meskipun sebenarnya mereka dapat mengirim petugas departemen mekanik <Ratatoskr>— akan berbahaya apabila terlalu banyak orang yang dikirim ke dalam pencarian tersebut, bisa jadi mereka membuat Yoshino takut kemudian mereka akan kehilangan segalanya. Walaupun seandainya dia tidak takut terhadap mereka, ada kemungkinan kesan baiknya yang seharusnya hanya terhadap Shidou, jadi terbagi-bagi ke berbagai arah.

“Bagaimana foto-fotonya?”

Pandangan Kotori berpaling ke sisi kanannya, lalu para crew yang sedang mengutak-atik mesin mereka, tanpa menoleh, menjawab.

“Resolusinya sedikit kasar tapi… sepertinya kami bisa mengatasinya.”

“Coba tampilkan di monitor.”

Maka Kotori berkata, di salah satu bagian dari monitor bridge <Fraxinus>, terproyeksi gambar-gambar lokasi dari waktu pertarungan antara AST dan Yoshino kemarin.

Karena kameranya sendiri menjaga jarak saat mengambil foto-foto tersebut agar tidak terseret ke dalam pertempuran, kualitasnya agak rendah dibandingkan dengan biasanya.

“Dia tidak memegang boneka itu— terlihat di foto saat dia lostmenghilang.”

Sesaat kemudian, tampilan foto diperbesar, menunjukan close-up yoshino.

“—Putar balik, sebelum AST mendaratkan serangan, kami dapat memastikan keberadaan boneka itu di mulut Angel-nya. Sepertinya perkiraan kita bahwa boneka itu hilang saat serangan itu benar.”

“Jadi, mana keberadaan boneka yang penting itu?”

“Karena asapnya menebal, saya tidak bisa menegaskan hal ini tapi… saya bisa memastikan bayangan boneka itu saat jatuh, sepertinya kasus terburuk terbakarnya boneka karena serangan itu sudah kita hindari.”

“... fumu”

Kotori bertopang dagu.

“Tepat setelah Yoshino lostmenghilang, apa tidak ada foto lain berisi kondisi sekelilingnya?”

“Sa-saya coba lihat dulu.”

Dan, saat itulah speaker menyala *riinnnnn*, bunyi seperti itu terdengar olehnya.



“Yoshino?”

“…...!”

Sudah hampir tiga jam sejak mereka memulai pencarian boneka itu.

Sembari Shidou menyisir rambut basahnya, ia melihat Yoshino di sampingnya yang masih mencari boneka itu.

Sepertinya ia mendengar gema suara yang teramat-sangat lucu.

Seolah takut, bahu Yoshino sekali lagi terlonjak—mungkin dia sudah terbiasa dengan suara Shidou, kali ini dia tidak membuat dan menembakkan peluru air.

“... kamu lapar?”

Ketika Shidou bertanya, muka Yoshino memerah dan *pun pun* menggelengkan kepalanya ke kiri-kanan.

Namun, pada saat itu, perutnya berbunyi.

“...……!”

Kelihatannya Spirit sekalipun juga bisa lapar.

Ia dengar bahwa bagi makhluk hidup yang disebut Spirit, yang diperlukan untuk kelangsungan hidup hanyalah kekuatan Spirit-nya, tapi… kalau diingat-ingat, setelah kekuatan Tohka disegel dia menjadi rakus sekali.

“... apa yang harus kulakukan.”

Walaupun ia tidak tahu sejak kapan Yoshino mulai mencari boneka itu, tapi karena sekarang sudah lewat tengah hari, aneh kalau mereka tidak lapar. Perut Shidou sendiri juga agak lapar.

Dengan jarinya, Shidou mengetuk pelan intercom-nya, terdengar suara Kotori yang sudah mengira topik yang ingin dikemukakannya:

「—Iya ya, bagaimana kalau kalian istirahat sambil makan siang?」

“Un… sebaiknya begitu.”

Setelah sedikit meregangkan badan ia berkata pada Yoshino.

“Yoshino, ayo kita istirahat?”

Setelah Shidou berkata, Yoshino menggelengkan kepala. Kemudian perutnya berbunyi lagi.

“......!”

Maka, setelah Yoshino merenung sejenak, dengan ragu-ragu akhirnya dia setuju.

“Oke, kalau begitu…”

Sesudah berkata demikian, Shidou menyusun ulang pikirannya.

Untuk berjaga-jaga ia membawa dompetnya, tapi kalau ia sebasah ini, susah juga untuk memasuki toko.

Shidou menaruh tangan di muka sebentar, sebelum kemudian mengetuk intercom-nya.

“... hei, Kotori. Tempat kami beristirahat, bisa di rumah kita?”

Dan tepat sesudah ia berkata. Kotori mengeluarkan suara terkejut yang berlebihan.

「Wow. Sudah cukup lama kita tidak bertemu dan kau sudah berani rupanya. Berhati-hatilah kalau kau berencana menyerangnya.」

“... oi.”

「Iya iya aku mengerti. … yah, tidak ada pilihan tempat lain, aku akan mengizinkanmu khusus untuk kali ini.」

“Oke.”

Shidou menjawab pendek, kemudian berbicara pada Yoshino.

“Kalau begitu… ayo pergi.”

Yoshino masih sambil terdiam, mengangguk kecil.


Bagian 4[edit]

“……muu”

Selagi Tohka mengelus perutnya dan mengeluh, ia mengikuti Reine berjalan menelusuri kota di bawah terpaan hujan.

Ia merasa sedikit kurang nyaman karena belum makan sama sekali dari kemarin siang, juga karena kurang tidur.

Namun, alasan dibalik kegelisahannya bukanlah karena kurang tidur atau perut kosongnya, Tohka bagaimanapun juga dapat mengerti hal ini.

“………”

Tohka menggertakkan gigi, dan *crak* menendang tanah yang basah.

Namun sekalipun ia melakukan hal semacam itu, tidak mungkin perasaan beraduk-aduk yang menjengkelkan di dasar perutnya akan berakhir begitu saja.

Dan Reine yang sedang berjalan di depannya tiba-tiba berhenti melangkah. Tohka berhenti sesaat sebelum hampir bertubrukan dengannya.

“...... bagaimana kalau kita makan siang dulu. Di sini tidak apa-apa?”

Persis di hadapan mereka, sebuah bangunan dengan papan nama penuh warna. Kalau ia tidak salah, tempat ini adalah sebuah restoran keluarga.

Tohka mengangguk dalam-dalam.

“Un… sebaiknya begitu. Perutku kosong sekali rasa-rasanya aku bisa mati.”

“...... kalau begitu, ayo kita masuk.”

Sesudah keduanya melipat payung dan memasuki toko itu, mengikuti pelayan toko, mereka menempati bagian ujung dari no smoking area.

Dengan segera, mereka melihat-lihat menu dan memesan.

Sementara menunggu pesanan mereka datang, untuk menenangkan perut, ia menghabiskan air yang ditaruh sang pegawai di meja dalam satu tegukan.

“...... Tohka.”

Reine, menghadap Tohka dengan sepasang mata berhiaskan kantung mata yang tebal.

“Apa?”

“...... sebelum makanan kita sampai, saya mau bicara sedikit denganmu…… boleh?”

“Nu… yah, aku tidak keberatan tapi… kita membicarakan apa?”

Tohka, seraya menandakan perhatiannya, mengangkat badan dari meja dan mengangguk.

Wanita bernama Murasame Reine ini… sulit ditebak karena dia selalu terlihat sedang memikirkan sesuatu—dan karena kebiasaan itulah, rasanya dia dapat melihat ke balik segala sesuatu—hal ini terasa agak menjengkelkan.

Entah dia sadar atau tidak mengenai pikiran Tohka saat itu, Reine yang tetap terlihat setengah melamun mengambil sesuatu semacam mesin dan membukanya di atas meja.

“Apa itu?”

“...... aah, tidak perlu dipikirkan.”

Sambil berkata, dengan tangan yang lain, *klik klik*... Reine dengan santai mengoperasikannya.

Dia menatap seksama terminal tersebut, Tohka penasaran namun berhasil mengabaikannya, ia mengembalikan pandangannya pada Reine.

Lalu, Reine mengarahkan matanya kembali pada Tohka dan membuka mulut.

“...... yah, saya tidak pandai bercakap-cakap jadi langsung saja ke intinya. Tohka, alasan kenapa kamu mengambek—ah, lebih baik lagi seandainya kamu bisa—bisa beritahu saya kenapa kamu mengambek dan asal muasalnya?”

“—kuh.”

Mendengar kata-kata Reine, Tohka tanpa sengaja menahan nafas.

“Uh, aku benar-benar tidak—”

“...... sepertinya, kamu tidak bisa memaafkan Shin yang menemui perempuan lain ya.”

Shin. Nama panggilan yang dipakainya untuk memanggil Shidou.

“Ap, kenapa Shido jadi dibawa-bawa…”

“...... oh ya, jadi tidak ada hubungannya dengannya?”

“.........”

Tohka menaruh siku lengannya di meja, lalu menggaruk kepalanya seakan menyerah.

Dan setelah mengeluh keras, ia berkata dengan suara penuh derita.

“... aku tidak mengerti.”

“... tidak mengerti apa?”

Reine menelengkan kepalanya ke samping seraya menjawab. Dan Tohka yang tertunduk, mengangkat wajahnya.

“Umu… Akupun tidak tahu kenapa perasaanku jadi seperti ini.”

Ia terlihat bingung saat ia lanjut berkata-kata.

“Kemarin… Shido, meninggalkanku di sekolah dan—dia mencium, atau apalah sebutannya, gadis itu.”

Cium. Hanya satu kata itu saja, menyebabkan rasa sakit di dadanya.

“...... aah, begitu ya kelihatannya.”

“Sebetulnya tidak masalah... dengan siapa dan di mana Shido bertemu dan berciuman bukanlah urusanku. Tidak seharusnya aku mencari-cari kesalahan mengenai itu. … tapi, ketika aku melihatnya, rasanya—Bagaimana ya mengungkapkannya? Agak—ya, menjengkelkan.”

“...... fumu.”

“Ketika aku sadar apa yang sudah terjadi… aku mulai berteriak. Tambah lagi… Tepat sesudah itu, kelinci itu bilang kalau gadis itu jauh lebih berharga baginya dibandingkan diriku… aku merasa sedih, dan takut, sampai-sampai aku tidak bisa berbuat apa-apa, dan tidak bisa mengerti apapun yang terjadi… Aku bahkan tidak mengerti makna dibalik ini… ini pertama kalinya hal seperti ini terjadi.”

Dan sekali lagi ia mengeluh keras-keras.

“Sepertinya… ada yang salah dengan diriku?

“...... tidak, kamu tidak sakit atau semacamnya. Responmu itu normal dan sehat.”

“Be-begitu ya?”

“...... aah, tidak perlu khawatir. Tapi—sebaiknya kita selesaikan kesalahpahaman itu terlebih dahulu.”

“Salah paham…?”

“...... aah, mengenai ciuman itu, itu benar-benar tidak disengaja, dan… itu tidak berarti gadis itu lebih penting daripada Tohka bagi Shin.”

Setelah Reine berkata, dia melirik mesin itu, selagi Tohka mengangkat muka.

“Uh, be-benarkah…?”

“...... itu benar.”

“Ta-tapi Shido…”

“...... kalau dia tidak menganggapmu sebagai seseorang yang berharga baginya, kamu pikir dia akan membahayakan dirinya sendiri hanya untuk menyelamatkanmu?”

“—Ah…”

Setelah dibilang begitu, Tohka kehilangan kata-kata.

Ia benar-benar sudah lupa mengenai pusaran emosi tak terlukiskan yang mengganggu perut dan hatinya.

—Kemarin, bukankah Shidou melindungi Tohka? Sama seperti bulan lalu?

Dan tambah lagi, walaupun dia tahu dia mungkin akan mati karena tembakan sang pembunuh.

Tohka, sambil mendekapkan tangan di dada, menelan ludah.

“..., aku—”

Aku bodoh sekali.

Tohka mengerang, kemudian menggaruk kepalanya lagi.

Setelah itu, ia langsung bangkit berdiri dari bangku.

“...... Tohka?”

“Maaf, bisa kita undur janji belanja kita hari ini ke lain waktu?”

Tohka menggigit bibir sebelum melanjutkan ucapannya.

“... aku harus, minta maaf pada Shido.”

Setelah menaruh dagu di kepalan tangannya, Reine mengangguk kecil.

“...... pergilah.”

“Terima kasih.”

Tohka menjawab singkat dan meninggalkan restoran keluarga itu sambil mengambil payung di tangan, ia pun berlari ke jalan di bawah guyuran hujan.



“...... fumu. Yah, satu masalah selesai…... mungkin?”

Reine bergumam sendirian, ia melihat sepintas nilai-nilai grafik yang ditampilkan di terminal kecilnya.

Kenyataan bahwa tubuh dan pikiran Tohka akan terganggu oleh insiden ini sudah diperkirakan.

Walaupun dia mengambek seperti anak manja… kalau Tohka benar-benar perhatian pada Shidou, dia tidak akan sampai membenci gadis yang ditemuinya.

Dilihat dari sisi manapun, ‘perasaan jengkel’ terlihat tidak pas. Ketakutan dan kegelisahan yang tidak terkatakan… mungkin lebih cocok dibilang begitu.

Karena itu, tanpa perlu memperbaiki mood-nya sekalipun, membuat Tohka sadar tidaklah sesulit itu.

Yah—tapi, akan lebih baik kalau dia dapat menyadarinya sendiri.

Kenyataan itu—Shidou telah melindunginya, dan makna apa yang ada dibaliknya, dan ketika tiba waktunya, ketika dia menemukan jawaban itu, dia akan mengerti perasaannya yang sebenarnya.

“...... yah, cemburu juga salah satu sisi baik dari rasa kasih sayang.”

Ia bergumam seraya menutup terminal.

“...... tapi, kita harus berhati-hati. itukasih sayang juga bisa menjadi, emosi yang mampu menghancurkan dunia.”

Lalu,

“—Maaf menunggu lama! Ini paket nasi double cheese burger dengan porsi besar fried chicken, paket tiram goreng, mix grill, margarita, dan spaghetti bolognese-nya. Dan hati-hati dengan hot plate-nya.”

“...... nn?”

Dan setelah kemunculan tiba-tiba pegawai toko itu, santapan berkalori tinggi Tohka berjejer di atas meja.

“Selamat menikmati.”

Pegawai tersebut menundukkan torso-nya 45 derajat untuk memberi hormat laksana sudah terbiasa melakukannya, kemudian beranjak pergi.

Reine yang ditinggal sendiri, menggaruk pipinya menghadapi santapan yang berlimpah itu.

“...... ini… meresahkan”


Bagian 5[edit]

“Hmm… ada telur, ah, ada ayam juga. Ada sisa nasi di rice cooker juga… Sepertinya cukup untuk membuat Oyakodon.[1].”

Ia mengira-ngira menu apa yang akan dihidangkannya berdasarkan isi kulkas, dan setelah mengambil bahan-bahan yang diperlukan, ia sedikit melirik ke arah ruang keluarga.

Di sana Yoshino sedang melihat-lihat ke sekelilingnya dengan penasaran sementara duduk di sofa.

Setelah Shidou pulang tadi, ia langsung mengganti baju, tapi pakaian Yoshino masih jas kelinci yang sama seperti sebelumnya. Seperti yang dikatakan Kotori, meskipun baru saja kehujanan, dia tidak basah sedikitpun.

Sama seperti gaun bercahaya milik Tohka, itu mungkin yang disebut Astral Dress atau apalah.

“Bisa tunggu sebentar. Aku akan selesaikan dengan cepat.—Ah, kalau kau tidak ada kerjaan, nonton TV saja.”

“...?”

Shidou berkata sembari mengupas dan memotong daun bawang, Yoshino menelengkan kepalanya penasaran.

“Nn, di sana ada remote—ya ya, sekarang tekan tombol di kiri atas.”

Berdasarkan petunjuk Shidou, Yoshino menekan tombol remote.

Menyusul hal tersebut TV menyala beserta dinding yang terkena pancarannya, kemudian 「wahahahahahaha!」suara itu berkumandang.

“——!"

Seketika itulah tubuh Yoshino meringkuk, air yang menggenang di wastafel menjulang naik, berubah menjadi peluru-peluru dan ditembakkan ke layar TV.

“Ap…”

「Idiot, sudah kubilang jangan buat dia takut.」

Di telinga kanannya, terdengar kritikan Kotori.

Dan ngomong-ngomong Yoshino, dia membuka mata yang tertutup rapat sebelumnya, dan menundukkan kepala ke arah Shidou dengan panik

“Ti-tidak… Jangan kuatirkan itu. Maaf membuatmu takut.”

Sesudah Shidou membuat senyum pahit, ia melanjutkan memasak.

Ia memanaskan panci berisikan air, kemudian memasukkan irisan daging ayam dan daun bawang. Setelah mendidih barulah ia memasukkan telur yang telah dikocok.

Setelah itu ia menuangkannya ke atas mangkuk berisikan nasi. Terakhir ia menaburkan peterseli Jepang di atasnya, selesai sudah.

Berhubung ia sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah seperti ini, bahkan tidak sampai 10 menit baginya untuk selesai memasak.

“Ini, sudah selesai. Ayo cepat isi perut jadi kita bisa pergi mencari Yoshinon, oke.”

Selagi berbicara, ia memegang mangkuk dengan kedua tangannya dan berjalan menuju ruang keluarga.

Ia menaruh satu di depan Yoshino dan tepat di seberangnya ia menempatkan porsinya sendiri, kemudian ia memasuki dapur lagi untuk mengambil sebuah kursi, beberapa sumpit, dan sebuah sendok untuk berjaga-jaga, sebelum kembali ke ruang keluarga.

“Nah, kalau begitu, itadakimasu.”

Shidou menepuk tangannya seraya berkata, Yoshino meniru gerakannya kemudian menundukkan kepala.

Lalu Yoshino menggenggam sendok dengan tangannya, mengambil satu sendok oyakodon andalan Shidou, dan memasukannya ke dalam mulut.

“………!”

Maka sesudah Yoshino melakukan itu, matanya terbuka lebar dan *brak brak* dia mulai menghantam meja.

“Nn?”

Namun ketika Shidou menghadap ke arahnya, dia memalingkan pandangan karena malu.

Setelahnya, Yoshino terlihat ingin mengatakan sesuatu padanya, akan tetapi dia malah memasang wajah malu dan sulit mencari kata-kata, *guh* dia mengacungkan jempol pada Shidou.

“I-iya…”

Shidou memasang senyum pahit, dan membalas dengan acungan jempol. Kelihatannya dia menyukainya.

Sepertinya dia cukup lapar, Yoshino membuka mulut kecilnya dengan sekuat tenaga, dan mulai melahap.

Dan—dengan memperkirakan saat-saat Yoshino menyelesaikan makanannya, Kotori mulai berbicara.

「Apa kalian masih mau beristirahat? Kalau bisa, aku masih mengharapkan lebih banyak informasi dari Spirit. Berhubung ini kesempatan bagus, kenapa tidak kau coba tanyakan sesuatu padanya?」

“Tanyakan sesuatu?”

Dan setelah Shidou bertanya balik, Kotori langsung menyarankannya untuk melemparkan beberapa pertanyaan.

“... aah, baiklah.”

Shidou yang sudah menghabiskan mangkuknya menghela dengan puas, kemudian mengarahkan pandangannya pada Yoshino.

“Hei… Yoshino. Ada beberapa hal yang aku mau tahu—boleh aku bertanya?”

Yoshino memiringkan kepalanya penasaran.

“Itu… kau kelihatan sangat menyayanginya. Boneka itu—Yoshinon, seperti apa keberadaannya bagimu…?”

Yoshino begitu mendengar pertanyaan itu, membuka mulutnya dengan takut-takut.

“Yoshinon, adalah… seorang teman…. Juga, seorang... pahlawan.”

“Pahlawan?”

Setelah ditanya lagi, Yoshino mengangguk.

“Yoshinon adalah… impian saya…kepribadian ideal yang, saya... dambakan. Tidak seperti saya… tidak lemah, seperti saya… tidak ragu-ragu… dia kuat, dan keren…”

“Diri yang kau dambakan… ya.”

Shidou menggaruk pipinya, dan teringat kembali saat ia bertemu Yoshino di dalam department store.

Yah, memang Yoshino yang sekarang dibandingkan dengan Yoshino yang berbicara melalui perantara boneka itu, baik dari nada bicara dan sikapnya, terasa seperti orang yang berbeda. Namun—

“Padahal… aku lebih suka Yoshino yang ini lho…”

Pada saat-saat di mana Tohka muncul, ia teringat banyaknya lelucon si boneka, ia tersenyum pahit.

Memang, Yoshino saat itu berbicara dengan riang gembira tapi—Shidou tidak bisa menanggungnya.

Walaupun sulit untuk mendengar ucapannya, walaupun dia bersikap canggung, Yoshino dengan jujur telah menjawab pertanyaannya, dan itu perasaan yang menyenangkan baginya.

Akan tetapi di momen Shidou mengucapkan kalimat itu, wajah Yoshino *pshh*, bersipu kemerahan. Dia kemudian membungkuk dan memakai hood-nya untuk menutupi wajahnya.

“Yo-Yoshino…? Ada apa?”

Shidou berkata sambil mencoba mengintip, Yoshino menurunkan tangan yang memegang hood itu dan, perlahan mengangkat wajahnya.

“... itu, karena, ini pertama kali… ada yang… bilang, seperti itu…”

“Be-begitukah…?”

Yoshino mengangguk kuat-kuat.

Yah… dari mulanya dia adalah seorang Spirit yang berkesempatan kecil untuk berbincang-bincang dengan orang lain. Mungkin karena alasan seperti itulah.

「Shidou, apa yang barusan… itu sudah kau perkirakan sebelumnya?」

Dan, dari seberang sana Kotori melemparkan pertanyaan semacam itu.

“H-ha? Perkirakan apa…?”

「... lupakan. Kalau memang tidak, oke lah.」

“Ha-hah…?”

Adiknya mengatakan sesuatu yang di luar pengertiannya, Shidou mengernyit.

「Jangan dipedulikan. Sekarang ini tidak ada masalah—hanya saja, mengejutkan sekali kau bisa setenang ini, kurasa ‘latihan dibawah satu atap’ sudah mulai menunjukkan hasilnya.」

“... mungkin yah.”

Shidou menjawab setengah-setengah. Memang benar ia cukup tenang sampai tingkat tertentu, tapi ia tidak dapat membedakan entah ini hasil dari latihan itu atau bukan.

Namun, ia tidak dapat meladeni mereka yang dari sana. Shidou kembali menaruh pandangan pada Yoshino dan mengutarakan pertanyaan berikutnya.

“Jadi—err, Yoshino, kelihatannya biarpun kau diserang AST, kau jarang melawan, dengan alasan apa kau melakukan itu?”

Ditanya seperti itu… Yoshino kembali menunduk.

Bersamaan dengan genggamannya pada ujung gaun sebelah dalam yang terbuat dari cahaya sama seperti Astral Dress Tohka, dia berkata dengan suara yang terdengar seolah akan menghilang.

“... saya… tidak mau, disakiti. Saya juga, tidak suka… hal yang menakutkan. Tentu saja, mereka juga… tidak mau ditakuti, tidak mau disakiti. Karena itu, saya…”

Suara yang sangat kecil dan lemah, apa yang coba dikatakannya bisa saja dengan mudahnya terlewatkan oleh Shidou.

Tapi karena itulah—mendengar kata-kata itu, Shidou, merasakan gelombang yang menusuk hatinya.

“..., Yoshino… kau… dengan alasan seperti itu—”

Tetapi, Shidou tidak menyelesaikan kalimatnya.

Walaupun dengan tubuh yang gemetar, Yoshino lanjut berbicara.

“Tapi… saya… lemah, dan pengecut. Karena itu, kalau saya sendiri… tidak bisa apa-apa. Sakit… saya takut…, saya tak bisa apa-apa, saya akan dibunuh… pikiran saya, jadi… kacau… kemudian, pasti saya… akan berbuat jahat… pada semuanya…”

Separuh jalan dia berbicara, suaranya mulai terisak.

Setelah menahan isakannya, dia melanjutkan.

“Karena, itu… Yoshinon… adalah, pahlawanku…. Kalau Yoshinon… bersamaku, ketika aku ketakutan… dia bilang… ‘tidak apa-apa’.... Lalu, semuanya… benar-benar, akan baik-baik saja. Karena itu… karena, itu.”

“.........”

Shidou tanpa sadar menggigit bibirnya. Kedua tangannya terkepal begitu kuatnya, sampai-sampai darah bisa menyembur keluar.

Kalau ia tidak melakukannya—ia tidak akan bisa menanggungnya.

Yoshino. Gadis kecil ini. Begitu baik—dan begitu menyedihkan.

Baik itu <Rasa Sakit> ataupun <Ketakutan>, sudah pasti dia tidak menyukainya.

Memikirkan lawan, yang sudah mengincarnya berkali-kali dengan rasa permusuhan, maksud jahat, serta niat untuk membunuh, akan tetapi tetap saja—dia putuskan untuk tidak menyakiti mereka. Dia memilih hal tersebut? Hal sesulit itu?

Yoshino—lemah?

Kepala Yoshino gemetar oleh karena penilaian dirinya sendiri—tidak mungkin dia itu lemah.

Aah, akan tetapi, —menyedihkan, benar-benar kebajikan yang luar biasa menyedihkan.

“——”

Tanpa berpikir lagi Shidou bangkit berdiri dari kursinya.

Mengitari meja dan berlutut di sisi Yoshino—begitulah, dengan lembut ia mengusap kepala Yoshino.

“..., ah… e, err—”

“Aku.”

“——, …?”

“Aku akan—menyelamatkanmu.”

Begitu katanya, Yoshino memandang kebingungan. Tanpa mempedulikan itu, Shidou melanjutkan.

DAL v02 189.jpg

“Aku pasti, akan menemukan Yoshinon. Kemudian… mengembalikannya padamu. Bukan cuma itu. Aku akan membuatnya tidak perlu lagi melindungimu. Kau tidak perlu lagi mengalami semua hal yang <menyakitkan> atau <menakutkan> itu. Aku tidak akan membiarkan semua itu mendekatimu. Aku akan—menjadi pahlawanmu.”

Seraya mengusap kepala Yoshino di balik hood-nya, ia mengatakan kalimat yang diluar karakternya.

Namun—ia tidak berhenti sampai di situ saja.

Sebab, dalam kebaikan hati Yoshino, ada hal penting yang kurang.

Satu-satunya masalah tersebut adalah: walaupun dia punya belas kasihan layaknya seorang suci, belas kasihan tersebut tidak akan dikembalikan kepadanya.

Kalau seperti itu alasannya, maka tidak ada jalan lain kecuali mendapatkannya lewat bantuan orang lain.

Ini bukan lagi mengenai apa yang akan terjadi pada sang Spirit atau apapun itu, hal seperti itu tidak lagi relevan bagi Shidou.

Bagi Yoshino. Anak sebaik ini, tanpa ada yang menolongnya, hal itulah, yang tidak dapat dibenarkannya.

Benar—itulah yang ada di benaknya.

“…? …?”

Untuk sesaat, Yoshino memandang sambil bertanya-tanya, tapi setelah sepuluh detik berlalu, dia akhirnya membuka mulut.

“…Te…rima, kasih…”

“… iya.”

Ia agak senang mendengar Yoshino mengatakan hal itu. Ia mengangguk kecil.

Namun, pada waktu Yoshino bersuara, tanpa sengaja mata Shidou tertuju pada bibir menawan itu… Shidou yang merasa tidak enak memalingkan pandangannya.

“...? Shidou, san…?”

Yoshino memiringkan kepalanya sembari menatap Shidou.

“Tidak, err, itu. … mengenai yang sebelumnya, maaf.”

“Eh…?”

“Tidak… maksudku… waktu aku, menciummu.”

Lebih tepat dikatakan kalau bukan kebiasaan Shidou untuk membuka topik seperti ini… tapi ini bisa jadi hal yang penting bagi seorang gadis. Ia mengatakannya dengan maksud meminta maaf.

Akan tetapi Yoshino tidak bereaksi apa-apa dan menatapnya penuh kebingungan, sekali lagi dia memiringkan kepala.

Seolah-olah, dia tidak mengerti apa yang dikatakan Shidou.

“... apa itu, cium?”

“Eh? Aah, itu… bibir yang bersentuhan, seperti ini…”

Walaupun Shidou menjelaskan kepadanya, Yoshino memasang wajah tidak mengerti sama sekali, kemudian menyondongkan wajahnya pada wajah Shidou.

“Apa, seperti... ini?”

“...!”

Mereka berada pada jarak di mana andaikan ia membawa mukanya sedikit lebih dekat saja, bibir mereka akan bersentuhan.

Jantungnya hampir melompat di situasi berbahaya ini, namun Shidou mengingat latihan satu atapnya dengan Tohka, dan entah bagaimana berhasil berpura-pura tenang.

“Uh, ah, aah… ya, seperti ini.”

Namun Yoshino bergumam pelan, dan sekali lagi berkata dengan suara halus.

“... saya, tidak ingat, jelas.”

“... eh?”

Mendengar jawaban itu, Shidou mengernyit.

Kemudian—saat itulah.

“Shido…! Maaf, aku—”

Tiba-tiba pintu terbuka dan Tohka yang telah meninggalkan rumah pagi-pagi, sambil susah-payah mengambil nafas, memasuki ruang keluarga.

Selanjutnya, dia melihat sosok Shidou dan Yoshino yang saling berhadapan dan akan berciuman kapanpun juga, *pik*, sekujur tubuhnya kaku.

“Eh…?”

Sesudah itu, Shidou memasang wajah linglung.

“To—Too, To-To-To-To-To-To-To-To-To-To-To-To-To-Tohka…!”

Mukanya banjir oleh keringat.

“... hi…”

Yoshino sepertinya merasakan keanehan, dia berbalik, dan mengeluarkan suara pelan.

Tapi itu mungkin tidak bisa diapa-apakan lagi. Seharusnya bagi Yoshino, Tohka adalah musuh menyeramkan yang merebut bonekanya darinya—dan di luar itu, dari dalam diri Tohka yang terdiam di sekitar jalan masuk ke ruang keluarga, membanjir keluar aura tekanan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Dan pas-pasan sekali barusan, sebuah suara bising terdengar dari intercom di telinga kanannya, menandakan situasi darurat.

“.........”

Sambil terdiam, Tohka menyunggingkan senyum yang luar biasa lemah lembut, dan dengan begitu memasuki ruang keluarga.

  • biku*, sensasi seperti itu terkirimkan ke tangan Shidou. Kelihatannya juga tubuh Yoshino sedang gemetar.

“To-Tohka, ini…”

Kondisi pikirannya seolah menyerupai seorang pria yang baru tertangkap basah melakukan hubungan gelap di tempat kejadian perkara, Shidou dengan panik menggerakkan kedua tangannya.

Akan tetapi Tohka melewati mereka berdua, meninggalkan ruang keluarga dan bergegas menuju dapur, dia lalu mengambil semua makanan dan minuman dari kulkas dan lemari, dengan begitu dia keluar ke koridor.

Dari arah pintu, *dakdakdakdakdakdak* suara langkah kaki terdengar—dan saat Shidou pikir suara itu mencapai lantai dua, kali ini *BRAK*, terdapat suara bantingan pintu.

… kelihatannya, dia berencana mengurung diri lagi.

Tambah lagi, kali ini dia sudah siap siaga dengan suplai makanan yang cukup.

“Er, err…”

「... ini malah jadi hal yang menyebalkan.」

Dari telinga kanannya, ia mendengar suara bercampur keluh kesah.

“A-apa yang harus kulakukan sekarang…?”

「Untuk sekarang ini, kau cuma bisa membiarkannya. Walaupun Shidou mencoba bicara padanya, efeknya malah akan terbalik dari yang kita inginkan.」

“Be-begitukah…”

Ia berkata, seraya melirik pada Yoshino yang sedang duduk di sampingnya.

Tetapi, entah kapan itu terjadi, sosok Yoshino yang seharusnya ada di sofa tiba-tiba lenyap.

“Ha…? Yoshino?”

「—kelihatannya, dia lostmenghilang ke dunia sana saat Tohka sedang mendekatinya. Setelah bonekanya diambil olehnya, hal itu pasti sebuah pengalaman traumatis baginya.」

“... begitu.”

Fuu, ia menelan ludah dan menghela nafas—dan mengernyit karena mendapatkan prasangka buruk.

Sepertinya Yoshino ingat Tohka merebut bonekanya.

Kendatipun begitu… dia bilang dia tidak mengingat ciuman dengan Shidou.

Tidak, kemarin pun dia sama sekali tidak terlihat mempedulikannya, mungkin dia tidak punya emosi tertentu terhadap tindakan seperti ciuman. Para Spirit memiliki tingkat pengetahuan dan penilaian yang berbeda, tergantung dari persoalan yang ada, ada kemungkinan seperti itu.

Tapi—pada reaksi Yoshino, ada sesuatu yang membuatnya agak tidak nyaman.

Shidou menyentuh dan meraba bibirnya.

“Hei, Kotori. … ada hal yang membuatku kuatir. Bisa kau selidiki ini untukku?”

「Apa?」

Shidou menyuarakan pertanyaan yang muncul di benaknya.

「... fuun. Baiklah, aku akan minta Reine menyelidikinya setelah dia kembali.」

“Oke, tolong ya.”

Dan, setelah Shidou berkata, Kotori melanjutkan laksana teringat akan sesuatu.

「... ah, benar juga. Aku lupa mengatakan ini karena interupsi Tohka, kami punya kabar baik.」

“Ah?”

「Dari penyelidikan foto-foto yang kami lakukan, kami sudah memastikan keberadaan boneka itu.」

“Benarkah!? Di mana?”

「Mengenai itu—」

Ketika Kotori memberitahukan tempat keberadaannya, pipi Shidou berkedut.



“U…ugah!”

Dalam kamar di bagian terdalam lantai dua di mana Tohka menerjang masuk, sambil melahap makanan yang dibawanya masuk dalam jangkauan tangannya, ia menyerukan teriakan-teriakan tersebut. Yah dilihat dari perspektif orang lain, benar-benar cara makan orang stres.

“Apa ini… apa ini…! Gu, muguuuuu…!”

Sementara Tohka tidak ada di rumah, Shidou mengundang gadis kecil dari beberapa hari yang lalu itu.

Itulah satu-satunya yang terjadi, tidak ada hal yang mengundang amarah Tohka sama sekali.

Shidou adalah sahabat baik Tohka. Dan sahabat itu mengundang teman baru.

Tidak perlu diragukan lagi, metode interaksi yang benar bagi Tohka seharusnya adalah berbaikan dengan Shidou dan meminta maaf atas apa yang terjadi beberapa hari lalu, setelah itu, “Selamat datang, maaf mengenai apa yang terjadi kemarin.”, katakan itu dan memegang tangan sang gadis kecil.

Tetapi—ia tidak dapat melakukannya.

Pada saat ia melihat Shidou dan sang gadis berduaan di ruangan itu, <perasaan tidak enak> itu menjalar di sekujur tubuhnya, dan membuatnya mustahil untuk tinggal di tempat tersebut.

“Uuuuuuuuuuuuu…!”

Tohka menghabiskan makanan satu per satu, lalu jongkok di tempat.

“... Shido—”

—Minta maaf pada Shidou. Berbaikan dengan Shidou.

Perasaan itu bukanlah kebohongan.

Tetapi… karena <perasaan tidak enak> yang beraduk-aduk dalam dadanya, ia tidak dapat melakukannya.

Dengan postur duduk di lantai sembari memeluk lutut, Tohka merintih penuh kepedihan.


Catatan Penerjemah dan Referensi[edit]

  1. Masakan nasi dengan topping telur dan ayam, biasanya telur dimatangkan menggunakan panasnya nasi yang sudah matang, http://en.wikipedia.org/wiki/Oyakodon