Gekkou (Indonesia):Jilid 1 Di Kafe

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Di Kafe[edit]


Tiba-tiba Tsukimori datang ke mejaku dan berkata, dengan senyum hangat seperti sinar matahari bersinar melalui daun pohon dan suara lembut layaknya angin musim panas sepoi-sepoi:


“Bagaimana kalau kita pergi, Nonomiya-kun?”


Waktu seakan berhenti di kelas yang bising. Setidaknya, seperti itulah yang aku pikirkan.


Semua orang menunda apa yang mereka lakukan dan melihat pada kami. Usami adalah orang pertama yang menggerakkan waktu yang semula membeku.


“…Eh? Youko-san? Apa kau pergi bersama dengan Nonomiya? Kenapa? Eeh?”


Kebingungan membuatnya tampak seperti burung-burungan muncul pada jam kukuk yang berbunyi setiap satu jam sekali.


“Aku ingin berkunjung pada kafe tempat Nonomiya-kun bekerja, karena aku dengar sangat nyaman di sana. Dan seperti yang kau tahu, aku cukup sibuk akhir-akhir ini, jadi aku sedikit lelah dan ingin santai di sana sambil menikmati secangkir teh. Yah, itu sebabnya ‘aku meminta’ Nonomiya-kun!”


Tsukimori jelas-jelas mempertimbangkan bahwa kami sedang diawasi oleh teman-teman sekelas.


“Apakah itu benar, Nonomiya?”


Sudah kuduga bahwa aku akan menjadi target berikutnya untuk ditanyai.


“Itu.”


Hingga, aku, entah bagaimana, berhasil tidak mengungkapkan kekesalanku.


“Mungkin aku harus ikut denganmu…”


Aku hampir pingsan setelah mendengar gumamannya. Tsukimori saja sudah cukup bermasalah—aku tidak bisa menangani keduanya pada saat yang sama.


“Bukankah kegiatan klub menunggumu?”


Usami mengikuti klub voli. Dia berbakat dengan kekuatan lengan yang tidak sesuai dengan tubuh kecilnya: spike-nya* membuat para pria terlihat tua. Aku ingat betul bahwa aku sangat lega karena berada pada tim yang sama dengannya ketika menjalani pelajaran Penjaskes. Dan aku menyaksikan spike-nya dengan mata-kepalaku sendiri

[Spike adalah pukulan yang mengakibatkan bola melewati sedikit di atas net, sehingga sulit untuk diantisipasi, lantas melaju ke bawah pada area lawan. Kamus Oxford.]

“A-Aku akan melewatkan kegiatan klub!”


“Jangan. Bukankah kau bilang bahwa baru-baru ini kau hampir saja ditunjuk menjadi pemain reguler? Sangatlah bodoh untuk melewatkan kegiatan klubmu selama periode yang begitu penting.”


Usami melipat bibirnya sampai menjadi garis lurus, dan menggerutu dengan kening berkerut.


“Mari pergi bersama-sama lain kali, Chizuru. Aku akan mengingat di mana letak kafe itu untukmu. Oke?”


Tsukimori menegurnya secara lembut seperti merawat adik, dan Usami hanya bisa mengangguk dengan patuh sambil mengatakan, “Oke.”


Satu masalah terselesaikan. Kemudian, aku harus menyingkirkan masalah yang tersisa.


“Benar-benar hanya kau yang datang, kan? Jika banyak yang ikut, aku harus menolak karena itu hanya akan menyebabkan pihak kafe kerepotan.”


Sangat mendesak. Aku menunjukkan kepada Tsukimori bahwa aku hanya akan memberikan izinku jika dia mematuhi syarat itu.


“Jangan khawatir, teman sekelas kita begitu baik, mereka tidak akan menimbulkan masalah pada siapa pun,” Dia memastikan dengan senyum anggun, “Sampai jumpa besok, semuanya.”


Dia dengan elegan melambaikan tangannya pada teman-teman sekelas.


Mereka tentu tidak akan melewatkan kesempatan ini. Orang-orang, di antaranya adalah Kamogawa, dan gadis-gadis yang mengagumi Tsukimori... semuanya menampakkan kekecewaan mereka dengan begitu jelas. Akan tetapi, tidak satu pun dari mereka berpikir untuk mengkhianati kepercayaan sesosok malaikat bernama Youko Tsukimori.


Akan tetapi sama saja, aku tidak cukup mampu untuk melakukan sesuatu terhadap situasi yang dia telah sebabkan. Aku tidak punya pilihan selain dengan enggan pergi bersamanya.



Tsukimori berjalan dengan langkah ringan menuju gerbang depan.


“Apa maksudmu?” Aku bertanya pada punggungnya yang indah, tanpa menyembunyikan perasaan kesalku.


Tsukimori berbalik, sambil mengibarkan rambut panjangnya di udara.


“Aku penasaran tentang kafe tempatmu bekerja,” Katanya, tanpa menyembunyikan rasa senangnya.


“Jawab aku! Kau seharusnya tahu bahwa aku tidak suka menarik perhatian orang lain.”


“Itulah sebabnya aku mencoba untuk mencegah keributan, bukankah begitu?”


“Itu tidak mengubah fakta bahwa kita benar-benar menarik perhatian orang sekelas.”


“Yah, sialnya demikianlah yang terjadi.”


“Dan salah siapa itu…?” Aku terganggu dengan perilaku blak-blakannya yang begitu berani. “Siapa yang bilang padamu bahwa aku bekerja di suatu kafe?”


“Aku mendengarnya dari rumor!”


“Jangan bohong.”


Aku terkenal sebagai pekerja paruh waktu di suatu tempat, tetapi aku tidak pernah mengatakan kepada siapa pun di sekolah bahwa aku bekerja di suatu kafe.


“Apa yang akan kau lakukan?”


“Kau pikir siapa aku, Nonomiya-kun? Tidaklah aneh sedikit pun memiliki keinginan untuk mempelajari lebih lanjut tentang orang yang kusenangi, bukan? Inilah yang kau sebut dengan hati seorang gadis polos.”


“Kau mengaku sebagai seorang gadis polos? Menggelikan. Biar kutegaskan, kau sama sekali tidak terlihat sebagai sosok yang tidak berbahaya.”


Aku menyeringai.


“Kau tahu, terkadang aku lelah menjadi seorang gadis yang terlihat dewasa. Aku masihlah berusia 17 tahun. Selain itu, aku baru saja kehilangan ayahku, jadi kupikir kau seharusnya lebih lembut padaku, Nonomiya-kun,” Tsukimori cemberut. Aku terkejut bahwa dia juga bisa menampakkan ekspresi kekanak-kanakan seperti itu.


Akan tetapi, sampai saat ini. Tentu saja aku merasa kasihan padanya, tetapi pada akhirnya, itu bukanlah urusanku.


“Sampai besok.”


Aku mempercepat langkahku dan memperlebar jarak antara diriku dan Tsukimori.


“Mau ke mana kau? Itu gerbang belakang.”


“Tidak sepertimu, aku bepergian dengan sepeda, bukannya naik kereta api. Jika kau dapat mengimbangi kecepatanku, aku rela terlibat masalah, bahkan aku sendiri yang akan menuntunmu ke kafe?” Aku sengaja berkata dingin padanya. Aku tidak mau repot-repot untuk menyesuaikan diri dengan sifat orang lain. Dan aku sama sekali tidak peduli dengan orang yang masuk “daerah kekuasaanku” tanpa izin.


“Ya, mari kita pergi dengan itu. Aku hanya berharap punggungku tidak akan sakit karena naik kendaraan itu, tetapi....yah, aku selalu ingin melakukannya walaupun hanya sekali.”


Namun, Tsukimori ternyata adalah orang yang begitu berbahaya, dan itu jauh dari apa yang aku duga sebelumnya. Sebelum aku menyadarinya, ia sudah berjalan di sampingku.


“… Apa yang sedang kamu pikirkan?”


“Aku selalu ingin melakukan itu setidaknya sekali! Mengendarai sepeda berdua.”


“Kapan aku bilang bahwa aku memberimu ijin?”


“Jangan khawatir. Aku seharusnya tidak terlalu berat.”


“Bukan itu masalahnya.”


Aku sangat kesal. Dia tidak sungkan-sungkan, dan aku pun juga memutuskan untuk mengungkapkan pikiranku tanpa ragu.


“Aku mengakui bahwa aku harus lebih lembut kepadamu, karena kau baru saja kehilangan ayahmu. Namun, aku tidak merasa ‘menari mengikuti iramamu’ seperti yang dilakukan orang lain, tidak sedikit pun. Tidak semua orang menaruh perhatian padamu, ingat itu. Setidaknya, sekarang aku tahu sifat aslimu, aku mungkin masih merasa simpati, tetapi aku tentunya tidak baik terhadapmu,” Aku pun menegur dia.


“Mmm! Begitulah Nonomiya-kun-ku seharusnya,” Tsukimori mengangguk dengan cepat, sembari menampilkan ekspresi puas di wajah putihnya. “Aku suka sikap tak malu-malu itu.”


Perkataanku sebaliknya menjadi bumerang bagiku. Padahal aku ingin mengusirnya, malahan dia semakin tertarik padaku.


Melihat aku kehabisan kata-kata, dia sesekali menunjukkan senyum seperti kakak perempuan.


“Maukah kau memberiku kesempatan? Aku sadar sekarang bahwa pengakuanku kemarin agak tergesa-gesa! Sama sepertimu yang tidak tahu betapa sungguh-sungguhnya diriku, aku pun juga belum mengenalmu dengan baik. Aku pikir, kita berdua perlu memperdalam pemahaman satu sama lain. Tidak terlambat untuk membuat keputusan setelah saling kenal satu sama lain, kan?”


Pendapatnya cukup adil.


Tetapi ketika aku melihat kembali apa yang telah terjadi sejauh ini, kupikir, aku tidak akan mempercayai perkataannya begitu saja.


Aku mengintip ke mata Tsukimori.



Apa yang dia pikirkan?



Dia tidak menghindari tatapanku sedikit pun. Pada mata almond-nya yang besar, aku bisa dengan jelas melihat bayanganku sendiri.


Itulah aku, yaitu pria yang akhirnya menyerah. Aku mengalihkan dia dari pandanganku, dan menaiki sepeda.


“—Naiklah.”


“Terima kasih!”


Aku mendengar suara cerianya.


Setelah dia membonceng, aku pun berangkat. Dia adalah cahaya, seperti yang ia katakan sendiri.


“Berjanjilah bahwa tidak akan melakukan apa pun yang akan membuatku jadi pusat perhatian seperti yang terjadi hari ini.”


“Aku akan berusaha.”


“Tidak, bukan hanya berusaha, berjanjilah.”


“Nonomiya-kun, anginnya terasa begitu nyaman. Naik sepeda bersama-sama bahkan lebih baik daripada yang kubayangkan.”


Aku melihat bayangan kami di cermin jalan. Tsukimori memegang rok ke bawah dengan tangan kanannya, membungkus lengan kirinya di sekitar tubuhku, dan tersenyum memesona saat menonton pemandangan kota yang melewati kami.


Aku benar-benar tidak sanggup mengeluh lagi untuk seorang gadis yang memercayakan tubuhnya padaku, aku hanya menjawab: “…Kau beruntung.”


Aku terus mengendarai sepeda sambil melampiaskan semua ketidakpuasan yang tak terucap, dan juga ketidaksenangan sembari mengayuh pedal.


Entah karena dengki atau iri hati, aku merasakan beberapa tatapan intensif dari siswa lain dalam perjalanan pulang. Jelas salah siapa ini, karena aku belum pernah mengalaminya ketika bersepeda sendirian.


Aku naik sepeda dengan Youko Tsukimori yang membonceng di belakang.


Ini adalah salah satu kenangan manis yang layak disebut memori masa remaja. Aku, di tengah-tengah periode dalam hidup, mungkin seharusnya berbangga diri pada peristiwa semacam itu, karena banyak orang yang iri padaku.


Terus terang, aku cukup bangga memiliki rasa superioritas tertentu. Aku pun percaya bahwa tidak ada orang lain memiliki sesuatu yang begitu berharga duduk di kursi belakang sepedanya.


Nah, paling tidak aku bisa menikmati ini sementara waktu, sembari mengingat tentang kepribadiannya yang merepotkan, dan juga........ tentu saja...... resep membunuh miliknya.


Selama beberapa jam berikutnya, aku pasti akan berubah menjadi mainannya, jadi aku perlu bersiap secara emosional.


Aku telah menerima permintaan Tsukimori. Alasannya sederhana.... aku tertarik padanya.


Sebut saja dia adalah milikku untuk saat ini, atau hanya pilihan: Aku menikmati percakapan mendebarkan dengannya.



Aku bersalin untuk mengenakan seragam pelayanku di ruang pegawai; aku mengenakan celana panjang hitam yang sempit, kemeja putih yang dikancingkan sampai leher, rompi hitam yang membungkus itu semua, menyelipkan jari-jari kakiku pada sepatu kulit, dan yang terakhir, aku membalutkan celemek agak panjang di sekitar pinggulku. Setelah memeriksa penampilanku di depan cermin untuk sekedar memastikan, aku pun menuju ke dapur.


Begitu aku memasuki dapur, hidungku tergelitik dengan bau biji kopi yang aromatik — itu adalah aroma yang kusuka.


Alasan mengapa aku memilih untuk bekerja di Kafe “Victoria” bergaya Inggris ini adalah, karena kopi terbaik disajikan di sini.


Setelah melihatku, rekan-rekan menyapaku.


“Pak Kujirai?” aku menyapa seorang pria berpunggung lebar yang sedang menggiling kopi dengan penggiling manual. Pria kokoh berkacamata itu pun berbalik padaku dengan senyum hangat. Aku melanjutkan, “Aku akan bertanggung jawab untuk melayani meja saat ini, tetapi bolehkah aku berganti menjadi staf dapur?”


“Apakah ada yang salah?”


“Aku punya suatu masalah pribadi, aku takut, tetapi sebenarnya, teman sekelasku datang hari ini.”


“Eh? Kenapa kau ingin mengganti tempat tugasmu?”


“Yah, aku tidak akan bisa menemani teman sekelasku. Dan selain itu, tidakkah cukup memalukan ketika ditonton saat bekerja?”


Mana mungkin aku biarkan dia menonton diriku yang sedang bekerja! Aku tahu bahwa penolakanku sedikit kekanak-kanakan, tetapi ini adalah pertahanan terakhir setelah gagal total saat melawannya.


Ada seseorang di seberang manajer toko yang bereaksi tajam terhadap kata-kataku.


“Hei, Nonomiya! Apa dia cowok atau cewek?” Tanya seorang wanita yang berpakaian seperti juru masak kue, sembari menempatkan beberapa buah pada parfait tepat di sampingku. “Jika itu cowok, aku akan bertukar denganmu. Asalkan dia tipeku, tentu saja aku mau!”


Seluruh staf meringis seolah-olah mereka baru saja menelan obat pahit, ketika menyadari bahwa kebiasaan buruk Mirai-san muncul lagi.


Nama lengkapnya adalah Mirai Samejima. Mirai-san adalah pegawai tertua di antara orang-orang lain di Victoria, dan bahkan manajer sangat menghormatinya.


Menurutnya, dia masih kuliah di universitas, tetapi melihat bagaimana perilakunya yang terkesan lebih penting daripada manajer pada beberapa hari—tidak, katakanlah “setiap hari”—dia membuatku berpikir bahwa usianya lebih tua daripada seorang mahasiswi.


“Maaf mengecewakanmu, Mirai-san, temanku yang datang hari ini adalah seorang gadis!”


“Hmph. Yah, fakta bahwa kau membawa cewek juga membuatku cukup tertarik.”


Dengan gerakan terampil, Mirai-san dengan cepat menyelesaikan parfait-nya dan setelah melempar sepotong cokelat blok ke dalam mulutnya, dia menaruh itu pada konter di mana dia bisa melihat keadaan semua meja.


“Mana? Ayo, tunjukkan.”

Gekkou-075.jpg

Dia memberikan ekspresi wajah cemberut pada seisi toko sembari mengunyah-ngunyah potongan cokelat di dalam mulutnya. Anggota pegawai lain juga tidak melewatkan kesempatan ini, dan mereka mengamati suasana kafe dari belakang Mirai-san.


Aku berharap seorang pelanggan akan protes karena tidak nyaman terhadap sikap mereka yang suka mengintip orang lain, tetapi bahkan orang yang seharusnya menegur mereka—yaitu si manajer toko—juga ikut-ikutan mengintip dengan wajah berkilauan penuh rasa ingin tahu.


Aku pun menyerah, dan mengaku: “Itu dia,” Aku menunjuk ke arah Tsukimori yang telah mengambil tempat duduk di dekat jendela, dan duduk di sana seperti seorang wanita terdidik.


Sorakan muncul dari mulut para staf. Reaksi positif dari orang-orang itu begitu terang-terangan. Aku sudah menduga bahwa ini akan terjadi, dan itu membuatku terlihat seperti orang idiot.


“Sialan! Cantiknya! Terlalu bagus untukmu, Nonomiya!”


Mirai-san rupanya kesal terhadap sesuatu, dan dia memelesatkan jurus tinju besinya ke perutku.


“…apakah ada yang tahu kenapa aku layak dipukul?”


Pertanyaanku yang gemetaran hanya ditanggapi dengan tatapan-tatapan menyedihkan.


“Kau selalu bertindak seolah-olah tidak acuh tentang masalah percintaan, tetapi ternyata kau melakukan sesuatu secara diam-diam, dasar kau lintah darat!”


Rupanya, Mirai-san mengira Tsukimori dan aku berpacaran.


“…akhir-akhir ini Mirai-chan dan pacar barunya kurang akrab, kau tahu,” Manajer berbisik ke telingaku.


“Hanya masalah waktu sampai mereka benar-benar berpisah, ya kan?”


“…Mungkin,” Ia mengangguk setelah mundur satu langkah.


Mirai-san bisa dikategorikan sebagai wanita cantik jika dia lebih tenang. Faktanya, ia sering kali didekati oleh lawan jenis. Namun disayangkan, penampilannya dirusak oleh kepribadian keras kepalanya, itu juga alasan mengapa hubungannya tak pernah bertahan lama. Paling tidak, aku tahu bahwa dia selalu gagal dalam hal asmara.


“Mhh!? Saruwatari!? Kau sedang dimabuk cinta atau apa?!”


“A-aku tidak! Aku tidak sedang dimabuk cinta atau apa pun!”


“Maka, kau lebih baik tetap seperti itu!”


Korban hari ini adalah Saruwatari-san. Tendangan tajam Mirai-san mendarat langsung di pantatnya.


Pada saat hubungan dengan pacarnya tidak berjalan baik, atau ketika dia putus dari seorang pria, suasana hatinya akan memburuk.


Dan kami di Victoria memanggil Mirai-san si wanita berhumor payah dengan sebutan “binatang buas”. Sayangnya, tidak ada pahlawan yang menyamar di kafe kami. Begitu binatang buas itu mengamuk, tidak ada solusi selain menghadapi badai.


“Pak Kujirai, aku pergi untuk melayani meja.”


“O-Oke, tolong yah.”


Bagaimanapun juga, kebijaksanaan adalah bagian yang lebih baik daripada keberanian.


Dapur pun bergema dengan teriakan orang payah yang menjadi mangsa seekor binatang buas.



Café kami tidaklah terlalu besar, ada delapan meja dan enam kursi. Para pegawai terdiri dari total 5 orang, dua di antaranya melayani pelanggan sementara yang lain bekerja di dapur. Akan tetapi, aku sangat menyukai suasana santai dan nyaman tempat ini.


Suasana kafe bergaya Inggris ini didukung oleh meja dan kursi antik yang sesuai. Berbagai dekorasi yang terpasang tampaknya dipilih oleh istri sang manajer yang berasal dari Inggris. Tepatnya, nama kafe ini diambil dari nama depan istrinya.


Victoria terletak di lantai pertama bangunan sewaan bertingkat dekat stasiun, dan memiliki interior yang seharusnya menyenangkan wanita, pengunjungnya kebanyakan adalah wanita muda seperti karyawan dan mahasiswi.


Ketika aku datang untuk mengambil pesanannya, Tsukimori mengamatiku dari kepala sampai kaki.


“Pakaian garcon-mu* terlihat bagus.”

[Garcon adalah pelayan di restoran Perancis. Kamus Oxford.]

“Pelayan” adalah cara yang tepat untuk merujuk para pegawai di sini, mengingat bahwa kafe ini dirancang dalam gaya Inggris, tetapi “garcon” tampaknya lebih umum di Jepang.


Aku pun menilai bahwa itu adalah hal yang terlalu sepele untuk dibenarkan, aku hanya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum, “Terima kasih,” dan menambahkan, “dan kafe berjalan dengan baik karenamu.”


Tsukimori tersenyum kembali padaku dan menjawab “Terima kasih.”


Aku berkata dengan cukup jujur. Seorang gadis cantik di kafe selalu membuat kesan yang bagus.


“Para pegawai cukup bersemangat, bukan?”


Dia memindahkan tatapannya menuju dapur.


“Kau bisa mendengar keributan dari sini? Itu pasti adalah suatu masalah bagi toko di industri pelayanan.”


Aku meletakkan segelas air dan handuk basah di atas meja.


“Tetapi, kelihatannya menyenangkan.”


“Aku kira begitu, kadang kala aku pun mulai menangis sesekali. Bagaimanapun juga, aku memiliki keyakinan pada kopi, dan hidangan kami tidaklah begitu buruk.”


“Aku mengerti. Aku ingin secangkir kopi yang sedap itu. Dan tolong tambahkan gula yang kau anjurkan untuk pesanan.”


“Lalu bagaimana dengan hidangan tambahan yang kami sarankan, misalnya pai apel buatan pemilik?”


Saat Tsukimori mengangguk, aku membungkuk dengan hormat dan berkata “Tentu.”


Aku meneruskan pesanan pada staf dapur.


“Kau sungguh seorang pria tak ramah.”


Bukannya membuat makanan, Mirai-san malah mengerutkan dahinya padaku.


“Kau pikir begitu? Sebenarnya aku mencoba untuk menjadi lebih ramah ketika aku melayani tamu.”


“Kapan itu terjadi? Bagiku, tidak ada bedanya. Serius, apa yang dia sukai dari orang sepertimu?”


Alisnya terangkat, dia dengan ragu-ragu membahas tentang Tsukimori.


“Aku lupa mengatakannya, tetapi dia bukan pacarku.”


“Dia bukan pacarmu?”


“Tidak. Hanya teman sekelas.”


“Kalau begitu ceritakan, apa yang diinginkan oleh gadis cantik, yang hanya teman sekelas, darimu.”


“Bukan aku, tetapi kafenya. Ternyata dia adalah penggemar kafe.”


Karena tidak ada manfaat sama sekali untuk menceritakan kebenaran, aku hanya membuat-buat cerita lain.


“Itu saja? Membosankan.”


“Seperti biasa, kau begitu egois. Aku sangat yakin bahwa kau akan kesal jika dia benar-benar pacarku.”


“Itu karena aku jujur! Sejak awal, aku berpikir bahwa pasti ada sesuatu yang salah pada orang-orang yang senang dengan kebahagiaan orang lain. Orang-orang yang senang melihat orang lain gembira hanyalah golongan munafik yang merencanakan sesuatu.”


“Pendapat yang bagus penuh dengan prasangka, aku mengakui itu.”


Meskipun penampilanku seperti ini, aku bukanlah orang yang suka meremehkan berbagai hal. Bahkan, dalam pikiranku, aku harus setuju dengan pernyataannya–atau memang seperti itulah sifatku yang tersembunyi?


Aku cenderung suka bertanya pada Mirai-san, siapakah yang “jujur” dari sudut pandangnya, dan siapakah yang “aneh” bagi orang lain. Pendapat Mirai-san adalah sesuatu yang sering kupertimbangkan kebenarannya.


“Mirai-san, bolehkah aku bertanya sesuatu?”


“Mh? Apa itu?”


“Apa yang kau pikirkan tentang seseorang yang tidak berduka atas kemalangan yang menimpanya?”


“Kedengarannya mencurigakan bagiku,” Jawabnya cepat seperti tembakan. “Kemalangan disebut begitu karena membuatmu sedih, kan? Jika kau tidak menjadi sedih, maka kau tidak bisa menyebutnya kemalangan.”


“Aku mengerti,” Kali ini aku benar-benar memberikan kesepakatanku pada perkataannya.


Aku lekas melirik Tsukimori.


Entah karena lelah menunggu, atau hanya tertarik pada dekorasi kafe, dia kini sedang melihat-lihat sekeliling toko. Rupanya, keramik berbentuk kucing putih dan kerajinan gelas berbentuk kucing hitam itu menarik perhatiannya; dia berdiri dan mengamatinya dari dekat.


Apakah ada seorang pun di kafe ini yang menduga bahwa ia sebenarnya adalah gadis malang yang baru saja kehilangan ayahnya?


Kuyakin tidak ada.


Seseorang tak pernah bisa mengamati kekacauan emosi ekstrem dalam dirinya. Dia akan selalu tampil tenang dan matang.


Aku tidak tahu apakah dia sengaja mengendalikan perasaannya, atau dia bukanlah tipe orang yang menunjukkan suasana hatinya, tetapi bagiku, ia tidak terlihat sedih sama sekali.


Tentu saja, aku pun sempat berpikir bahwa dia tidak mau mengganggu ketenangan orang-orang di sekitarnya dengan menunjukkan ekspresi memendam kepiluan. Atau, mungkin saja itu adalah reaksi normal dari seorang gadis yang baru saja mengalami bencana di dalam hidupnya. Bagaimanapun juga, almarhum tidak akan kembali, dan berkabung selamanya tidak bisa disebut baik untuk kesehatan.


Akan tetapi, itu hanyalah potongan-potongan teoriku. Apakah memang perasaan seorang gadis bisa berubah dalam waktu yang begitu singkat? Terutama jika itu adalah perasaan kesedihan?


Aku teringat kata-kata Mirai-san.


Memang. Tampaknya mencurigakan.



Makanan penutup mampu memuaskan selera Tsukimori.


“Ini lezat,” Dia memuji sembari dengan bahagia menghabiskan kopi dan pai apel tanpa menyisakan apa-apa.


Aku menuju ke mejanya untuk membersihkan piring kotor.


“Apakah semuanya sudah sesuai dengan keinginanmu?” Aku bertanya, lantas Tsukimori memelesatkan sekilas tatapan tidak senang padaku.


“Apa kau menyuruhku pergi?”


“Aku paham, rupanya kau cepat tanggap.”


“Aku benar-benar suka kafe ini.”


Dia menebarkan senyum, seolah-olah dia hendak bersenandung setiap saat.


“Aha. Senang mendengar itu. Akan tetapi jangan lupa bahwa ada banyak kafe yang berbeda di dunia ini. Kau harus mencobanya juga.”


“Aku benar-benar suka kafe ini,” Ulang Tsukimori dengan senyum dan kata-kata yang sama persis.


“Aku paham, kadang-kadang kau tidak cepat tanggap,” Aku hampir mengulangi perkataanku juga.


Tiba-tiba Tsukimori berdiri dan berjalan lebih jauh ke dalam toko, ternyata dia menuju dapur. Ketika aku mengikutinya dengan penasaran, dia memberikan salam pada para staf dan tersenyum layaknya bunga yang mekar.


“Senang bisa bertemu dengan kalian.”


Cukup jelas bahwa ucapan riangnya membuat para pegawai kebingungan. Ternyata mereka semua cukup bersemangat ingin mengenalnya. Yah, kecuali Mirai-san yang masih tidak terpengaruh.


“Saya Youko Tsukimori, teman sekelas Nonomiya-kun,” Dia memperkenalkan dirinya dengan sikap sopan.


“Ah, ya, Nonomiya-kun mengatakannya kepada kami,” Jawab manajer dengan hormat meskipun usianya lebih tua dari Tsukimori.


“Saya harus mengatakan bahwa tempat ini adalah suatu kafe kecil yang menarik.”


“Terima kasih banyak!”


Manajer tersipu sedikit, tergerak oleh senyum berseri-serinya.


“Saya sangat cemburu pada kalian semua—“


Para pegawai menatapnya dengan heran. Seorang gadis, yang tampaknya memiliki apa pun, bisa cemburu pada mereka.



“—Karena kalian memiliki hak istimewa untuk bekerja di kafe yang sangat bagus.”



Youko Tsukimori tampak jelas menakjubkan, layaknya bianglala yang menyala di senja. Meskipun itu mungkin karena latar dari matahari terbenam. Pada saat itu, semua orang terpesona dengan aura luar biasa yang dipancarkannya.


“Aku bahkan tidak bisa membayangkan betapa besar kebahagiaan bekerja di tempat yang indah seperti ini.”


Aku adalah satu-satunya orang di ruangan ini yang paling tahan terhadap dirinya, aku tersenyum kecut pada sikap gadis itu yang seperti bintang. Aku juga mengerti bahwa dia menjadi pusat perhatian karena sifatnya yang suka melebih-lebihkan.


Namun, perkataan manajer selanjutnya menghapus senyum di bibirku.


“…Um, namamu adalah Tsukimori-san, kan?”


“Ya.”


“Apakah kau ingin bekerja di sini?”


“Pak Kujirai—“


Aku tidak bisa diam. Aku ingin mencegahnya melakukan kesalahan besar. Faust*, kau sedang tawar-menawar dengan Mephistopheles*!

[Faust (Johann Faust) adalah nama seorang ahli astronomi sekaligus ahli nujum asal Jerman yang hidup pada abad ke 16. Sedangkan Mephistopheles adalah nama roh jahat. Dikisahkan, Faust tawar-menawar dengan Mephistopheles untuk menjual jiwanya. Kamus Oxford.]

Namun, seseorang memegang bahuku dan menahanku. Ada aroma cokelat di udara.


“Lihat saja,” Kata Mirai-san dengan senyum nakal. Di sini kita memiliki setan yang lain.


“Err, sebenarnya, ada tempat kosong saat ini. Dan karena kau adalah teman sekelasnya Nonomiya-kun, kita tidak perlu khawatir tentang latar belakangmu. Jadi, jika kau ingin, kami akan dengan senang hati menyambutmu, Tsukimori-san.”


Anggota staf lain menganggukkan kepala mereka dengan setuju.


Mereka seperti sekelompok orang yang terkena hipnotis. Mereka pasti telah terpesona oleh iblis dan kehilangan akal sehatnya.


“Aku sangat senang tentang tawaranmu, tetapi… bisakah Anda benar-benar menerimaku? Sejujurnya, saya belum pernah bekerja di mana pun sebelumnya,” Jawab Tsukimori dengan ragu-ragu setelah bimbang untuk sementara waktu.


“Tidak, tidak, jangan khawatir! Setiap orang harus memulai pengalamannya di suatu tempat. Selain itu, aku yakin bahwa kau, sebagai seseorang dengan sikap yang luar biasa, cocok untuk jenis bisnis ini!”


Tentu, sambutannya pada para pelanggan akan menjadi daya tarik yang luar biasa! Bagaimanapun juga, para pelanggan adalah kumpulan orang yang hanya bisa melihat sisi dangkal dari sifat seseorang.


“Jika Anda begitu yakin dengan kemampuan saya, saya dengan senang hati akan menerima tawaran Anda,” Jawab Tsukimori dengan senyum cerah.


Semua orang menyambut hangat dengan senyuman juga. Hanya aku satu-satunya yang menampilkan wajah masam, sembari merasa sangat jauh dari keberuntungan.


Karena aku tahu benar.


Aku tahu benar bahwa ada karakter berani dan tekun di balik penampilannya, yang menunjukkan seorang gadis cantik berkarakter sangat baik, dan begitu dicintai oleh semua orang.


Dalam kasus terburuk, cemerlangnya Tsukimori dapat memancarkan daya tarik tersendiri. Dan sekarang aku telah belajar bahwa dia juga tahu bagaimana cara menggunakan kelebihannya itu dengan benar.


“Kenapa pria begitu lemah terhadap gadis-gadis cantik?” Bisik Mirai-san ke telingaku setelah dia menarik bahuku, melalui meja konter di antara kami berdua.


“Pertanyaan yang bagus. Bagaimanapun juga, orang-orang di kafe ini semuanya ‘lemah’ terhadapmu,” Jawabku dengan santai.


“Rasanya aneh ketika kau memberikan pujian padaku. Akan tetapi, itu bukanlah perasaan yang buruk. Biarkan aku mengelus kepalamu sebagai hadiah.”


Telapak tangan Mirai-san mendekati kepalaku, tetapi aku menolak dengan ekspresi murung. “Aku merasa tidak nyaman. Tolong jangan membuatku semakin bingung.”


“Tak perlu tidak ramah! Jika kau ingin, aku bahkan mungkin memberikan salah satu potongan cokelatku?”


“Apakah tidak masalah bagimu? Bukankah kau keberatan menjadi rekan kerja Tsukimori?"


“Kau ingin aku keberatan, bukan?”


“Yah, keberatanmu mungkin bisa mengakhiri suasana penyambutan ini.”


“Tidak bisa. Tidak ada alasan untuk keberatan dalam suasana seperti ini.”


“Kenapa?”


Aku terkejut bahwa Mirai-san memperbolehkan lelucon seperti ini berlanjut.


“Karena sangat lucu melihatmu begitu terang-terangan memprotes, padahal biasanya kau bertindak begitu dingin!!”


Mirai-san tertawa.


“…Apakah kau menyadari betapa mengerikan kepribadianmu?”


“Kau lebih buruk dariku, kan? Jika intuisiku tidak salah, Tsukimori bukanlah tipe wanita yang bisa ditangani oleh pria tak berdaya sepertimu.”


“Jangan ganggu aku. Aku tidak berencana untuk mendekatinya."


“Kau mungkin berpikir begitu, tetapi bagaimana dengan dia?”


Mirai-san menyipitkan mata dan mengintip wajahku dari jarak dekat dengan tatapan penasaran.


“Asal tahu saja, kali ini tidak ada gunanya meninjuku lagi.”


“Yeah yeah. Aku tak sabar untuk menanti beberapa hari ke depan.”


Tanpa peduli dengan penolakan kuatku, Mirai-san melambaikan tangannya dan berjalan kembali ke dapur.


Rasanya seperti, hanya masalah waktu sampai dia mendapatkan “angin” dari hubungan aneh antara aku dan Tsukimori—apa sih namanya? intuisi wanita ya?


Aku berkata pada diriku sendiri, bahwa aku harus memastikan agar Tsukimori tidak akan mengatakan hal-hal yang tidak perlu pada Mirai-san.


“Aku bekerja di sini sekarang.”


Gadis itu, Tsukimori, mendekatiku dengan riang meskipun sudah membuatku pusing tujuh keliling hari ini.


“Ini masih belum terlambat. Bisakah kau pikirkan ulang?”


Balasanku terkesan dingin, tetapi hatiku jauh lebih dingin.


“Terima kasih karena telah mengkhawatirkan diriku. Akan tetapi, karena manajer itu begitu baik untuk menawarkanku posisi ini, maka aku akan berusaha!”


Dia dengan manis mengepalkan tangannya, penuh percaya diri.


“Aku tidak khawatir. Aku terganggu.”


“Aku tidak sabar untuk bekerja denganmu, rekan.”


Senyum Tsukimori tidak “retak” sama sekali.


Mirai-san telah menyebutkan bahwa aku bukanlah orang yang bisa menanganinya.


Aku terus berusaha mempelajari gadis ini dengan akurat.



Keesokan harinya di kelas.


Tiba-tiba, Tsukimori datang ke mejaku dan berkata dengan senyum hangat layaknya sinar matahari yang menembus dedaunan pohon, dan suara lembut bagaikan angin musim panas yang berembus pada Usami:


“Aku telah bekerja di kafe tempat Nonomiya-kun bekerja.”


Seakan-akan, waktu berhenti di kelas yang bising. Setidaknya, Usami sungguh—seperti jam yang sudah habis baterai.


“…Eh? Youko-san? Kau bekerja bersama dengan Nonomiya? Kenapa? Eeh?”


Kebingungan membuatnya tampak seperti burung-burungan yang muncul dari jam kukuk setiap satu jam sekali.


Rasanya seperti déjà vu kemarin.


“Manajer toko memintaku untuk membantu mereka karena kekurangan staf. Aku sedikit cemas karena, yah, aku belum pernah bekerja di mana pun sebelumnya. Akan tetapi, manajer meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja,” Jelas Tsukimori dengan tidak dibuat-buat.


“Kau seharusnya bicara! …Kaulah yang membuatnya mengatakan itu.”


Itu aku, secara refleks, aku memuntahkan kata-kata yang tidak bisa mereka pahami.


“Mungkin aku harus bergabung denganmu…”


“Jangan melewatkan klubmu. Kau harus melakukan yang terbaik dan menjadi pemain reguler.” Aku bisa memprediksi arah pembicaraan ini, jadi aku menghentikanmu sebelum semuanya terlambat.


“Kenapa kau tidak mampir pada akhir pekan ini, Chizuru? Aku tidak bisa menemanimu karena masih ada banyak hal yang harus aku pelajari, tetapi masih ada Nonomiya-kun. Benarkan, Nonomiya-kun?”


Aku melototi wajahnya yang tersenyum selama beberapa detik. Dia memiringkan kepalanya sedikit, dan bertanya “Hm?” dia pun terus mempertahankan senyum yang tak kunjung memudar.


“Yah, kau akan selalu diterima di kafe kami, Usami.”


Aku bersumpah kepada diri sendiri untuk mengeluh kepada Tsukimori sesudahnya.


“Baik! Aku akan mampir! Pasti akan mampir!”


Usami bergembira dengan anggun, matanya berbinar. Reaksi langsungnya membuat suasana hatiku yang tadinya suram, kini bergairah kembali.


Akan tetapi, ada satu masalah serius. Dilihat dari penampilan teman-teman sekelasku, jelas bahwa mereka akan menyerang kafe pada akhir pekan ini. Dan kali ini, tampaknya cukup sulit untuk menghentikan mereka semua.


“Dengar, semuanya! Nonomiya memberikan kita beberapa penjelasan!!”


Kamogawa datang menepuk pundakku dengan senyum lembut menjijikkan. Di belakangnya berdiri sekelompok orang dengan senyum menjijikkan yang sama di wajah mereka. Mereka adalah aliansi para cowok, dan mereka menuntut keadilan dari orang yang telah mencuri idola mereka.


Itu memuakkan.


“Aku akan protes pada Tsukimori,” Aku bersumpah dengan pasti.