Gekkou (Indonesia):Jilid 1 Mimpi Buruk yang Indah

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Mimpi Buruk yang Indah[edit]


Di ruang staf setelah jam tutup.


"Aku ingin kau mengantarku pulang," pinta Tsukimori setelah berganti pakain ke seragam sekolahnya.


"Mengantarmu pulang...?" Aku mengulanginya secara hati-hati seperti burung beo.


"Kau tahu, aku selalu merasakan tatapan seseorang padaku dalam perjalanan dari kafe ke stasiun kereta..."


Dia menggigil.


"Bukankah kau hanya menjadi paranoid?" Aku ingin mengatakan itu pada awalnya, tapi aku mempertimbangkan kembali karena hal itu sangat mungkin dalam kasusnya. Lagi pula, dia tidak diragukan lagi menarik perhatian. Sebaliknya, aku menyarankan, "Kalau begitu kau harus berkonsultasi pada polisi, bukannya aku."


"Lemah, Nonomiya! Dasar lemah! Ayo, jadilah seorang pria dan lindungi dia!"


Mirai-san, yang rupanya mengikuti percakapan kami, menggebrak meja didekatnya. Staf didekatnya berbalik, terkejut, dan melihat apa yang sedang terjadi.


"Aku tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi aku tidak memiliki keyakinan pada kekuatanku. Bahkan jika dia akan diserang oleh penguntit, paling-paling aku hanya bisa pasrah dipukuli."


"Kau tidak membual sama sekali! Dan jika kau seorang pria, kau harus berani melawan semua, bahkan jika kau harus mempertaruhkan nyawamu!"


"Aku berpikir bahwa kau bisa menjadi pengawal yang lebih baik dariku, Mirai-san."


"Bodoh! Aku seorang wanita muda yang lembut, kau tahu? Aku juga perlu dilindungi."


Aku mengangkat bahuku dengan tinggi dan melihat wajah-wajah staf yang lain. Mereka hanya bisa menjawab tatapanku dengan senyum miring karena mereka takut, tapi pemikiran mereka sama denganku.


"Sangat lucu, memang."


"Heh, apakah wajahmu terlihat seperti kau ingin mengeluh? Nonomiya?"


Mirai-san mendekat dengan mata melotot.


"Mirai-san, biarlah. Jika Nonomiya-kun menolak begitu keras, maka apa boleh buat. Aku akan berusaha yang terbaik untuk pulang ke rumah sendirian ...," Tsukimori mendesah dan berjalan dengan susah payah menuju pintu masuk.


Tepat sebelum dia menutup pintu—



"..................haah..."



—Dia mengeluarkan suatu desahan yang terdengar di seluruh ruang staf.


Semua tatapan terfokus padaku seketika, masing-masing dengan tatapan mencela. Memang, seorang teman dekat bisa menjadi musuh dekat.


"Antar dia pulang, Nonomiya-kun," kata manajer pada akhirnya, berpihak dengan Tsukimori seperti yang lain.


Didukung oleh ini, seluruh staf mulai mengkritikku. Aku diserang dari segala sisi. Kalah jumlah. Aku benar-benar terlihat seolah menjadi orang jahat.


"Baik, baik, aku mengerti! Aku akan mengantarnya pulang, oke?" Aku mengerang dan melompat keluar dari ruang staf yang tidak nyaman untuk mengejar Tsukimori.


Yang mengejutkan, aku dapat menyusulnya segera setelah meninggalkan café.


Tsukimori bersandar pada tiang telepon di depan kafe, menunggu di bawah lampu jalan seperti “ratu malam”.


"Aku tahu kau akan datang."


Dia melihatku dan tersenyum seperti bunga mekar—mengungkapkan kepadaku bahwa tindakanku bukanlah hal yang tidak terduga.


Aku menatap langit malam untuk menekan emosi mendidihku. Bulan sabit tersenyum padaku malam ini.


"Kau tidak adil."


"Apa maksudmu?"


"Apa yang kau rencanakan?"


"Itu tidak sopan, kau tahu? Sebagai seorang gadis, aku sangat takut untuk berjalan sendirian di malam hari, kau tahu?"


"Lalu kenapa kau tidak meminta ibumu menjemputmu, atau meminta orang lain di antara staf untuk mengantarmu pulang, atau menghubungi polisi?"


"Seperti biasa, kau tampaknya tidak tahu bagaimana hati seorang gadis bekerja. Aku ingin kau mengantarku pulang."


Dia tertawa seolah-olah dia bersenandung dan mengaikatkan lengannya pada lenganku. "Shampoo?" Aku bertanya-tanya dalam hati ketika aku bisa merasakan aroma manis bunga darinya.


"Ayo."


Dari pengalamanku sejauh ini yang telah kupelajari, seseorang tidak bisa lepas dengan mudah ketika Tsukimori telah memimpin, tetapi juga ada fakta bahwa aku, yang hanya bisa dengan enggan menerima arahannya, pasti tidak punya sifat penurut.


Oleh karena itu, ada jarak beberapa meter di mana lenganku menekan dadanya, dan itu adalah penghinaan paling besar bagiku.


Meskipun begitu, aku berada dalam keadaan tanpa harapan, karena sesaat aku berpikir seperti itu. Walaupun Youko Tsukimori mungkin adalah wanita paling buruk di muka bumi, dada lembutnya tidaklah bersalah.


"Aku tidak akan lari, jadi tolong hentikan ini," aku memohon padanya dengan suatu desahan, dan akhirnya dia melepaskan lengannya.


"Sayang sekali. Ketika akhirnya kita telah menciptakan suasana yang bagus."


Tsukimori cemberut, tapi langkahnya tetap ringan.


Ketika melihat rambut hitam menari di belakangnya, aku mendesah keras.


Tentu saja, tapi langkah kakiku memang berat.



Kami menaiki kereta yang menuju ke luar kota dan melewati empat stasiun sambil merasakan guncangan kereta. Ketika kami turun di tempat tujuan, kami berada di zona perumahan pinggiran kota.


"Aku tinggal di sana. Beberapa menit berjalan kaki dari sini."


Tsukimori menunjuk suatu bukit. Aku segera menduga bahwa kita akan kelelahan mendakinya, karena ada lereng dan tangga yang bisa terlihat di sana. Pemandangan itu sendiri telah membuatku putus asa.


"Jangan cemberut seperti itu. Berpacaran denganku berarti kau harus melewati ini sepanjang waktu, kau tahu?"


"Aku merasa kasihan dengan pacarmu."


"Jangan khawatir. Kau akan terbiasa dengan itu dalam waktu singkat."


Tsukimori berjalan pergi tanpa peduli tentang semangatku yang menurun. "Lihat, bintang-bintang malam ini indah," katanya, terdengar santai.


Karena aku tidak ingin berbalik pulang setelah datang sejauh ini, aku mengikutinya dengan enggan.


Itu adalah daerah perumahan yang tenang dan cukup "berkelas".


Lampu jalan berada dalam jarak yang cukup dekat, tapi tetap terasa gelap mencekam di sekitar kami. Aku harus mengakui bahwa menggigilnya Tsukimori yang ia perlihatkan sebelumnya mungkin lebih dari sekedar akting.


Seperti yang kuduga, aku benar-benar kelelahan pada saat kami berhenti. Tsukimori, yang sudah terbiasa, tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan, membuatnya terlihat lebih menjengkelkan dari biasanya bagiku.


"Kita sampai," kata Tsukimori dan berdiri di depan pintu masuk.


Suatu bangunan putih besar. Mungkin lebih tepat disebut istilah "rumah besar".


Karena ayahnya adalah kepala suatu perusahaan desain konstruksi, itu adalah desain yang cukup mewah, dibangun dari sekumpulan tetrahedron* yang secara sistematis disatukan, memberikan nuansa geometris secara keseluruhan. Aku akan mengangguk paham jika seseorang mengatakan kepadaku bahwa itu adalah rumah seorang fisikawan.

[Tetrahedron adalah suatu bangun terbuat dari benda padat yang memiliki 4 bentuk segitiga di muka. Kamus Oxford.]

Tidak ada cahaya di dalam, mungkin ibunya sedang tidak di tempat.


Ketika aku dengan penasaran memperhatikan rumahnya, Tsukimori menarik lenganku.


"Mumpung kau di sini, bagaimana jika kau masuk ke dalam?"


Ajakannya sangat mencurigakan dan pasti meragukan.


Aku tahu, akan merepotkan jika seseorang mengetahui bahwa aku berkunjung ke sini. Terlebih lagi, jika orang-orang di sekolah mengetahui bahwa tidak ada orang lain yang berada di dalam rumah pada saat itu, rumor yang muncul mungkin akan melebihi imajinasiku. Terutama bagi Kamogawa... Aku bahkan tidak ingin berpikir tentang hal itu.


Sekarang aku yakin semua adalah aktingya untuk membuatku masuk ke dalam rumah. Ini tentu akan memojokkanku jika rencananya berhasil.


"Ide bagus. Aku cukup haus, bisa aku meminta minum?"


Meskipun demikian, aku menerima tawarannya karena itu adalah kesempatan yang sangat langka.


Meskipun aku telah, tentu saja, menunda untuk mencurigainya karena kurangnya bukti, aku tidak berencana untuk berhenti. Kecurigaan karena resep membunuh masih membara dalam pikiranku.


Awalnya aku menduga bahwa kemajuan baru akan datang jika bergaul dengannya, dan mengetahui lebih banyak tentangnya, tapi semua usahaku tetaplah sia-sia. Semakin aku berhubungan dengannya, semakin aku tidak mengerti sifat asli dia. Aku tidak tahu bagaimana membedakan antara lelucon dan pernyataan serius. Dengan kata lain, dia selicin belut.


Oleh karena itu, aku telah sampai pada kesimpulan bahwa mungkin lebih baik mendekati ibunya. Dari apa yang aku lihat di pemakaman, ibunya tidak serumit Tsukimori. Seharusnya tidak perlu menyelidiki Tsukimori untuk mencari tahu tentang hubungan dengan ayahnya.


Aku mengikuti Tsukimori ke dalam rumah. Tidak ada suara yang terdengar dari dalam.


Ketika melepas sepatuku di pintu masuk, aku bertanya: "Jam berapa ibumu pulang?"


"Apakah kau menyukai wanita yang lebih tua?" goda Tsukimori sambil tertawa.


"Setidaknya lebih baik darimu," jawabku-dengan wajah sungguh-sungguh, sebagai percobaan.


"Itu mengejutkan, bahkan jika itu dimaksudkan sebagai lelucon."


Tsukimori menggeleng saat mengambil beberapa sandal untuk kami.


Tampaknya aku telah “memimpin”.


"Ibuku telah pergi keluar dan akan pulang telat. Hari ini adalah kesempatanmu!"


"... kesempatan macam apa itu, ya?"


Aku mendorong kepalanya menjauh, karena dia semakin mendekat untuk melirik wajahku.


Dan Tsukimori kembali “memimpin”.


"Aku hanya ingin memperkenalkan diri padanya selagi aku di sini."


"Oh, terdengar bagus bagiku. Apakah kau akhirnya menyukaiku?"


"Aku tidak mengerti bagaimana kau mengartikan kata-kataku, tapi biarkan aku meyakinkanmu bahwa kau salah."


Aku mengikutinya ke ruang tamu.


"Aku akan membawa sesuatu untuk diminum. Silahkan duduk di sofa."


Tsukimori menghilang ke ruang sebelah, dan menyalakan lampu di sana. Setengah dari sistem dapur yang lengkap memasuki pandaganku.


Aku membiarkan pandanganku menyapu seluruh ruang tamu.


Seperti kelihatannya di luar, kediaman Tsukimori juga tampak cukup baik dari dalam: ada sofa kulit dengan kilauan kuning, dan meja kaca berbentuk aneh yang bahkan seorang amatir bisa mengidentifikasi sebagai meja desainer. Selain itu, aku menemukan suatu LCD TV yang sangat besar dan peralatan audio mewah. Rumor itu benar: mereka adalah keluarga yang cukup kaya.


Bagaimanapun juga, aku kecewa karena tidak ada yang spesial selain itu, misalnya suatu benda yang akan menjadi petunjuk hubungan Tsukimori dengan ayahnya.


Yah, adalah hal yang wajar jika tidak ada benda yang terlalu aneh ditempatkan di ruang tamu, di mana banyak orang masuk dan keluar. Sayangnya, meskipun begitu, aku juga tidak memiliki alasan yang memperbolehkan diriku sendiri melihat kamar lain. Aku tidak bisa melawan perasaan, bahwa aku telah kehilangan kesempatan langka untuk masuk ke dalam rumahnya.


Aku masih terhanyut dalam kekecewaan ketika Tsukimori kembali dengan nampan berisi minuman.


"Aku harap kau menyukai teh hitam?"


"Sempurna."


Aku berniat untuk pergi setelah mengosongkan cangkirku. Tidak ada gunanya tinggal terlalu lama. Namun, Tsukimori rupanya membaca niatku: "Anggap rumah sendiri! Besok adalah hari Sabtu, jadi tidak perlu terburu-buru, benar?"


"Apa kau gila? Aku seorang pria, kau tahu?"


Seolah membuat dirinya sebagai pelampiasan kekecewaanku, kata-kataku menjadi sedikit keras. Aku menyadari bahwa aku bertindak cukup egois, sebetulnya dia tidak bisa disalahkan karena aku berharap terlalu tinggi.


"Itu malah mendukung argumenku! Seorang laki-laki harusnya tidak pernah meninggalkan seorang gadis yang cemas sendirian."


"Tapi ini adalah rumahmu sendiri."


"Apakah kau percaya penguntit peduli rintangan seperti itu?"


"Bagaimana aku tahu cara penguntit berpikir? Lagi pula, cerita itu terdengar cukup mencurigakan bagiku."


"Sayang sekali," Tsukimori mendesah pelan. "Kau benar-benar tidak membiarkanku memiliki kesempatan, Nonomiya-kun."


"Itu seharusnya kalimatku. Kau memaksaku sepanjang waktu!" Aku segera menolak. Aku tidak dapat menerima bahwa lawanku mendahuluiku untuk mengatakan apa yang telah terus-menerus berada dalam pikiranku.


Sesaat kemudian, dia berbisik dengan suara yang terlalu keras untuk suatu monolog: "... Aku bertanya-tanya, apakah aku harus berkonsultasi dengan Mirai-san tentang Nonomiya-kun ..."


Aku hampir menyemprotkan teh hitamku.


"... apakah itu ancaman?"


Aku menatap dengan mata benci pada Tsukimori.


"Ini tidak dapat dihindari. Aku hanya ingin menerima nasihat baik dari seorang wanita yang lebih tua seperti Mirai-san. Tidak ada yang aneh tentang hal itu, ya kan?"


Tsukimori menutupi setengah wajahnya di bawah bantal seolah-olah untuk menghalangi tatapanku.


"Berkonsultasi dengan Mirai-san tentang masalah cinta, seperti bertanya pada setan tentang jalan mana yang menuju ke surga."


"Itu lelucon yang bagus."


Tsukimori membenamkan hidungnya di bantal dan tertawa.


"Ini bukan hal yang patut ditertawakan. Ini masalah paling serius daripada hidup dan mati!"


Aku hampir sakit kepala ketika membayangkan Mirai-san dengan riang menggodaku. Aku pasti harus mengatakan selamat tinggal pada kehidupan kerjaku yang sibuk namun damai, karena dia akan bertanya padaku tentang Tsukimori tanpa henti.


"Aku tidak keberatan rekan-rekan kita di kafe mengetahui tentang kita. Aku tidak suka memiliki rahasia."


"Kau yang tidak keberatan."


Tsukimori mungkin telah terbiasa menjadi pusat perhatian, tapi aku tidak. Memikirkan diriku menjadi perhatian semua orang saja, sudah membuatku merinding.


Peran nyaman sebagai penonton sangat cocok bagiku. Setiap orang memiliki kualitas mereka sendiri.


"Terus terang, aku akan senang untuk mencoba mendapatkanmu dengan terbuka."


"Lagi pula, kau tampaknya lihai dalam membuat orang lain berada di pihakmu, ya kan?" Aku mengatakannya dengan penuh sindiran.


"Suatu sifat bawaanku?" balas Tsukimori tanpa kesulitan.


"Tidak mungkin. Kau adalah seorang dalang, seorang aktor dan, jika kita mengambil intinya..... seorang yang licik. Hanya saja, semua orang tertipu oleh penampilan cantikmu dan tidak memperhatikan duri mematikanmu."


"Kau pikir aku cantik? Aku sedang berada di awan ke sembilan*!"

[Awan kesembilan, sering juga disebut awan ketujuh, adalah ungkapan ketika seseorang sangat bahagia. Ungkapan ini berdasarkan 10 tingkat klasifikasi awan, di mana awan ke-9 adalah yang terdekat dengan awan puncak. Kamus Oxford.]

"Di mana 'duri mematikan'nya?"


"Perhatikan hal-hal yang tidak benar bertentangan dengan prinsipku."


Dilihat dari wajah seriusnya, dia tidak bermaksud bercanda. Kemungkinan besar dia bahkan tersinggung.


Tapi anehnya, aku juga menyadari bahwa gadis se"menarik" dirinya mungkin benar-benar perlu nyali seperti baja.


"Apa kau ingin secangkir lagi?" Tsukimori tersenyum dengan anggun dan sedikit mencondongkan kepalanya, dengan teko teh porselen di tangannya.


"Baiklah."


Aku mengulurkan cangkir tehku kepadanya, melambaikan “bendera putih” dalam pikiranku.


Aku telah memilih untuk menonton skema jahatnya sedikit lebih lama lagi.



Tiga puluh menit kemudian.


"Ibumu cukup terlambat," aku memanggil Tsukimori, yang duduk di seberangku.


"Ya, dia bilang dia akan terlambat."


"Kalau begitu, kapan dia akan pulang?"


"Hm ... sekitar jam sepuluh, aku kira?"


"Itu tiga puluh menit dari sekarang, ya."


Aku mulai merasa tidak nyaman karena berbagi waktu dan ruang yang sama, hanya kami berdua, tapi aku bersedia menunggu setengah jam lagi dan berbaring di sofa.


Tsukimori bergumam, "Yah, dua puluh empat jam dari sekarang, tepatnya."


Aku segera bangkit dari sofa dan menatapnya. Dia dengan santai membaca suatu majalah fashion.


"Apa maksudnya?"


"Dia pergi ke acara tamasya perusahaan dan akan kembali besok."


"—Kau menipuku?"


Aku terkejut oleh dalamnya suaraku sendiri.


"Aku dengan jujur bilang, bahwa dia akan terlambat."


"Bagaimana itu disebut jujur!? Aku pulang," kataku, berdiri dan menuju pintu masuk. Aku mereasa kesal pada diriku sendiri karena termakan umpannya.


Tiba-tiba, sesuatu yang lembut menyelimuti lenganku. Tsukimori telah memelukku.


"... tolong, jangan tinggalkan aku sendiri. Aku takut!"


Sikap memohonnya dan sentuhan lembut di lenganku membuatku goyah.


Kerapuhan tidak biasa yang ia tunjukkan kepadaku lebih dari cukup untuk mengaktifkan naluriku untuk melindinginya—bahkan jika itu adalah kesengajaannya untuk merayuku.


Tapi pikiran rasionalku mendidinginkan kenyataan yang luar biasa ini, dan menjagaku untuk tidak membuat keputusan yang salah.


"Pesonamu tidak akan berhasil padaku! Terlebih lagi, ini tidak adil. Aku belum setuju untuk berpacaran denganmu."


Dua remaja berduaan di bawah satu atap – suatu keadaan yang sangat menarik. Sebagai anak laki-laki di usia remaja, aku tentu saja tertarik pada apa yang akan terjadi dalam situasi seperti ini, terlebih lagi jika gadis tersebut adalah Youko Tsukimori.


"Aku tidak keberatan jika itu kau."


Seperti yang diharapkan, ia mencoba untuk menangkapku dengan tatapan menggoda dan kata-kata manis.


Seandainya aku mengenal Youko Tsukimori dalam keadaan lain, aku pasti akan kalah oleh rayuannya.


"Aku merasa terhormat, tapi aku tidak punya niat seperti itu!"


Namun, tidak seperti Nonomiya yang berada di “dunia hipotesis”, Nonomiya yang ada di dunia nyata tahan terhadap pesonanya. Karena, aku takut bahwa ternyata diriku mengharapkan perkembangan hubungan yang mengarah ke hal-hal romantis dengannya.


Kecemasan itulah yang tetap menjaga akal sehatku.


Apa yang Youko Tsukimori rencanakan?


Saat itulah aku merasa bahwa aku telah melihat sekilas maksud sebenarnya di balik permintaan untuk berpacaran dengannya.


Mungkin, Tsukimori tidak bermaksud untuk menyingkirkanku, tapi untuk membuatku di bawah kendalinya?


Dia sangat menyadari daya tariknya, dan tahu bagaimana cara menggunakannya secara efektif. Aku mampu mengamati fakta itu lebih dari cukup akhir-akhir ini. Jadi, mungkin dia sedang mencoba untuk menjadikanku semacam bonekanya yang setia? Dia yakin bahwa aku tidak akan membocorkan rahasianya dalam kasus itu, ya kan?


Tentu saja, asalkan dia benar-benar telah menyadari bahwa aku tahu dan memiliki resep membunuh.


Selain itu, aku harus keluar dari sana secepat mungkin. Bahkan jika asumsiku benar dan terkonfirmasi oleh Tsukimori, itu hanya masalah waktu sampai aku menyerah kepadanya.



Karena kata-katanya mungkin bohong, tapi daya tariknya adalah fakta.



Seperti yang lainnya, aku akan menjadi korban dari racunnya. Aku tahu dengan pasti bahwa segera setelah itu terjadi, racun akan menyebar perlahan tapi pasti, dan melumpuhkan keinginanku untuk menolak.


Aku menghempaskan tagannya, dan bergegas menuju pintu masuk, tapi Tsukimori bergegas menyusulku dalam irama yang sama. Kali ini dia menempel dari belakang, dan menahanku.


Kehangatannya, kelembutannya, aroma memikatnya... semua bercampur menjadi suatu pesona yang menipu indra dan menikam dari belakang.


"...tidak peduli apa yang kau rasakan terhadapku..."


Napas lembutnya menyentuh tengkukku. Aku tahu bahwa aku harus melarikan diri, tapi aku tidak bisa bergerak sedikit pun.


"... sentuh aku ... lakukan apapun yang kau inginkan padaku ..."


Kata-kata memikatnya memasuki kepalaku melalui gendang telinga dan berubah menjadi sinyal-sinyal listrik yang melumpuhkan, dan menyebar ke seluruh tubuhku. Kakiku telah kehilangan kekuatan untuk melawan seorang gadis SMA.


Dia dengan lembut mendorongku ke sofa, dan bersandar padaku. Lampu di belakang Tsukimori menciptakan nuansa mistik yang kontras di wajahnya. Dia menempatkan kepalanya di bahuku dan meletakkan tangannya dengan lembut di dadaku, seolah-olah ingin merasakan detak jantungku. Leher putih rampingnya terlihat olehku tepat di depan dagu.


Sementara aku masih kehilangan kata-kata, dia berbisik ke telingaku, "Tolong. Aku ingin kau melakukannya."


Bagiku, perkataan itu terdengar seperti pengampunan misterius dari seorang Santo.


Sesaat kemudian, ia menggigit pelan tengkukku yang tak berdaya.


Sensasi lembut dari bibir merahnya menyebabkan bahuku terguncang keras. Aku tidak pernah mengalami dorongan seperti ini sebelumnya, itu mirip seperti gelitikan, tetapi berbeda.


Tubuhku hampir saja tidak terkendali. Dalam upaya untuk mendorongnya menjauh, aku menyelipkan tanganku di antara kami berdua, dan mendorongnya ke atas. Tidak mau dipisahkan, ia menolak dan memutar tubuhnya. Tanganku hanya menyentuh dada lembutnya, tertusuk pada bagian tubuhnya yang halus, kemudian terlepas.

Gekkou-122.jpg

Pada saat itu, Tsukimori mngeluarkan erangan tertahan dan menggeliat, sembari masih berada diatasku.


Itu luar biasa. Akal sehatku sepenuhnya lenyap oleh reaksi sensitifnya yang tak terduga.


Naluriku mengambil alih, aku bertukar tempat dan duduk diatasnya. Aku meletakkan satu tangan di tengkuk putihnya dan menelusuri bibir merahnya dengan jari-jariku. Aku menghirup aroma bunga yang intensif darinya, mencium tulang selangkanya dan menempatkan lututku di antara pahanya.


Dia bereaksi dengan indah setiap kali aku menyerangnya. Aku menyadari bahwa darah yang mengalir dalam pembuluhku terisi dengan kenikmatan.



Sekarang --- Youko Tsukimori berada di bawah kendaliku.



Perasaan gembira ini jauh melampaui normal. Bahkan aku, seorang pemikir dingin, akan berteriak dengan girang, seperti yang diperintahkan perasaanku padaku.


Sementara dengan panik menekan dorongan untuk tidak terburu-buru, aku terus membelai Tsukimori. Aku ingin kenikmatan ini bertahan selama mungkin.


Namun, aku tiba-tiba dilanda kejutan yang membuat jantungku berdetak. Aku menyadari reaksinya tidak biasa.


"—Kau gemetar."


Tsukimori berkedip beberapa kali, dan matanya yang bergairah telah kehilangan fokus.


"...Benarkah?" tanyanya dengan gerakan bibir lembut , suaranya penuh gairah.


Dia sendiri tidak menyadarinya, tapi seluruh tubuhnya gemetar .


Perasaan bersalah yang tadinya kusingkirkan ketika rasionalku telah menghilang, kini tiba-tiba bermunculan dalam diriku seperti percikan air.


"... kita seharusnya tidak melakukan hal ini. Ayo kita berhenti," Aku berkata sambil mengangkat tubuhku.


"Gemetarnya” Tsukimori terlihat seperti "penolakan" bagiku.


Aku berhenti bukan karena aku adalah orang yang baik tetapi, di sisi lain, aku juga tidak menyukai menaklukkan gadis yang tidak ikhlas, untuk kepuasanku sendiri.


Aku takut, polos dan sederhana. Takut memikul dosa terhadap dirinya yang tidak bisa diubah.


Dia masih berbaring telentang di sofa, menatapku dengan mata bertanya-tanya. Di balik seragam kusutnya, aku bisa melihat kulitnya yang seputih salju. Aku mengalihkan pandanganku secara refleks.


"Mengapa? Bukankah aku mengatakan bahwa ini tidak masalah?"


"Tapi kau gemetar."


"Itu karena kegembiraan!"


"Menurutku tidak."


"Memang begitu!"


Sesaat berikutnya, Tsukimori mengatakan sesuatu yang tidak bisa kupercaya.



"Lagi pula, ini pertama kalinya bagiku!"



"Jadi mau bagaimana lagi," tambahnya.


Tidak ada kata-kata.


Aku mendorongnya dan berdiri seolah-olah mundur.


"Kenapa?!" Aku berteriak, menyalurkan semua kebingunganku ke dalam sepatah kata. Itu adalah satu-satunya hal yang bisa kulakukan.


"Setiap orang memiliki pengalaman pertama," jawab Tsukimori dengan tatapan mirip gadis suci.


"Tapi seharusnya tidak seperti itu!"


"Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda."


"... lakukan sesukamu, asalkan jangan mengganggu orang lain. Tapi kali ini akulah yang akan menjadi pasanganmu, kau mengerti?"


"Ya, kau benar, aku tidak tahu apakah aku akan dapat memuaskanmu karena ini adalah pengalaman pertamaku...," dia khawatir.


Dia pasti bercanda.


"Ah, tapi aku yakin bahwa aku akan mengembangkan keterampilan yang luar biasa, semakin banyak kita melakukan itu. Kau tahu bahwa aku cepat belajar, kan? Baik itu di sekolah maupun di tempat kerja."


Namun, Tsukimori terlihat serius.


"Bukan itu masalahnya!!"


Kapan terakhir kali aku merasa gelisah seperti ini? Aku tidak ingat. Terima kasih banyak untuk pengalaman berharga ini, Tsukimori.


"Mengapa kau selalu... selalu sembrono!"


"Aku pun terkejut."


"Jangan bertindak seolah kau tidak peduli!"


"Seseorang pernah berkata bahwa gadis yang sedang jatuh cinta, tak terkalahkan;. Mungkin itu lebih benar daripada yang aku pikirkan. Lagi pula, aku merasa mampu melakukan apa saja sekarang," dia mengangguk setuju.


"Tolong, jangan hanya berpikir tentang dirimu sendiri..." aku menghela napas. "Lagi pula, apa yang orang lain katakan terhadap dirimu nanti? Bukankah kau berpacaran dengan banyak laki-laki selama ini?"


Bukannya aku mempercayainya begitu saja.


Seorang gadis seperti Tsukimori seharusnya memiliki banyak kesempatan untuk kehilangan "itu"* dalam hidupnya. Bukankah dia hanya bermain-main denganku?

[Biarkan Ciu menebak.... Errr, “itu” berarti virginity.]

"... Aku tidak ingin memberitahumu," dia mengalihkan pandangannya ke samping.


"Kau tidak bisa mengatakan itu setelah melakukan ini padaku, ya kan? Aku punya hak untuk tahu."


"Aku tidak peduli."


"Jangan seperti anak kecil."


"Aku yakin kau melihatku sebagai seorang gadis pelacur!"


Tsukimori mengerutkan bibirnya.


Sekarang dia dengan anehnya terdengar seperti gadis kecil yang dewasa sebelum waktunya. Ke mana gadis mempesona yang menggodaku pergi? "Baik! Aku tidak akan bertanya lagi jika kau tidak ingin memberitahuku."


Aku pikir tidak ada gunanya menanyainya dalam keadaan keras kepala.


"... Apa kau benar-benar ingin agar aku memberitahumu?"


"... Ya, sekarang!"


Astaga. Seperti biasa ia sulit dibaca.


Tsukimori mengambil napas dalam-dalam dan membulatkan tekad.


"Aku akan jujur. Aku telah berpacaran dengan beberapa anak laki-laki sebelumnya."


"Sudah kuduga."


"Hei, tidak senyaman yang kau bayangkan, kau tahu. Biarkan aku meyakinkanmu: Aku mungkin telah berpacaran dengan banyak anak laki-laki, tapi aku tidak pernah memberikan diriku kepada siapa pun. Aku bahkan tidak membiarkan mereka menyentuhku seperti yang kau lakukan. Jujur."


"Kau ingin aku mempercayai itu?"


"Mereka semua adalah orang baik dan benar-benar mencintaiku."


"...Baguslah..."


"Tapi setiap kali menjalaninya, aku merasa ada yang aneh. Entah kenapa, aku tahu bahwa tidak satu pun dari mereka adalah pasangan yang ditakdirkan untuk kumiliki," katanya dengan mata sedikit tertunduk, berkubang dalam kenangan.


"Lalu kenapa aku?"


"Karena kau tampak berbeda dari yang lain! Pada awalnya, tentu saja itu hanya intuisi yang tak berdasar. Pada awalnya, aku ingin berpacaran denganmu tanpa berpikir terlalu dalam, seperti yang aku lakukan terhadap laki-laki lainnya. Karena membuat seseorang mau berpacaran denganku, itu adalah urusan mudah."


"Itu tidak terdengar seperti sesuatu yang orang seusiaku biasa katakan. Ayolah, berapa usiamu sebenarnya?"


Tampaknya Tsukimori menganggap sikap apatisku lucu. Dia tertawa geli.


"Tapi aku tidak menyangka bahwa kau akan menolakku."


"Maaf karena tidak sesuai dengan harapanmu."


"Tidak, justru sebaliknya! Berkat itu, aku mendapatkan ledakan antusiasme secara tiba-tiba. Kau malah membuatku tertarik!"


"... Aku kira, begitulah hidup berjalan. Kenyataan tidak pernah sesuai dengan yang kau inginkan."


Kegembiraan Tsukimori memiliki efek berlawanan pada suasana hatiku. Dia membuatku teringat bahwa apa pun yang aku lakukan padanya, hasilnya selalu berkebalikan dengan dugaanku dan justru membuatku kerepotan.


"Memang ... Aku bertanya-tanya mengapa segala sesuatu tidak pernah sejalan seperti yang kau inginkan dalam hidup."


Kali ini, aku yang tidak bisa menahan tawa, ketika melihat dia mengatakan itu dengan wajah serius.


"Jika orang berkelas tinggi sepertimu tidak mendapat apa yang kau inginkan, lantas bagaimana dengan kami, para manusia biasa.”


Kekhawatiran yang muncul dari seseorang yang memiliki segala sesuatu, terlihat sangat konyol bagiku.


"Kau hanya menilaku berlebihan, sungguh."


"Tapi kau layak dinilai tinggi, dari sudut pandang normal."


"Kalau begitu, mengapa aku tidak bisa membuatmu menjadi milikku?"


Dia memicingkan mata kepadaku seolah-olah mengintip ke dalam hatiku.


"... Siapa yang tahu? Ini teka-teki bahkan untukku," aku menjawab dengan samar, dan berpaling. Untuk alasan yang jelas, aku tidak akan pernah mengatakan padanya, karena resep membunuh itu mengganjal pikiranku.


"Jahat."


"Panggil aku sesukamu."


"Tapi aku menyukaimu, Nonomiya-kun, bahkan jika kau kejam dan jahat terhadapku," tawa Tsukimori saat menyisir rambutnya. Itu adalah sikap yang anggun. "Bagaimana aku menjelaskannya ya ...? Sangat menyenangkan berbicara denganmu."


Dia dengan hati-hati memilih kata-katanya, yang membuatku menyadari bahwa dia sedang berusaha keras untuk menyampaikan perasaannya secara tepat.


"Kau bisa mengatakan bahwa kita ... mencoba untuk ‘mengalahkan’ satu sama lain? Percakapan kita terasa sangat menarik dan menyenangkan bagiku, karena tak terduga. Aku hanya tidak memiliki waktu yang cukup untuk berbicara denganmu."


Kata-katanya membungkamku, dan membuatku menatapnya. Aku terkejut bahwa dia berpikir sama sepertiku.


Simpati yang kuat dapat berubah dengan mudah menjadi rasa kedekatan.


Memang, pada saat itu juga, Youko Tsukimori menjadi seorang gadis yang istimewa bagiku.



"Aku membayangkan bahwa hari-hariku akan dipenuhi dengan kegairahan jikalau aku berpacaran denganmu, aku menyadari bahwa kau pasti adalah pasangan hidupku. Jadi aku tidak perlu ragu. Kau lah yang ku anggap sebagai orang yang ditakdirkan untukku;. Aku ingin agar kau memiliki ‘pengalaman pertamaku’."


Gawatnya, dia tampak lebih menarik sekarang, dan aku baru saja menyadarinya. Aku pernah mendengar bahwa subjektivitas membentuk suatu fungsi filter ke otak, dan membuatmu menafsirkan segala sesuatu sesuai dengan kehendakmu.


"Aku tidak pernah tahu bahwa aku begitu berani."


"Dan aku berharap, aku tidak pernah tahu bahwa kau begitu sinis."


Aku mengangkat bahu tinggi-tinggi untuk berpura-pura. Tentu saja, aku sama sekali tidak tenang. Justru sebaliknya: aku terganggu. Kau bisa mengatakan bahwa, aku kesulitan berurusan dengan perubahan radikal dalam perasaanku.


Aku sebelumnya selalu menganggap segala situasi secara obyektif, dengan upaya maksimal untuk bertahan melawan Tsukimori dan eksistensinya yang mengejutkan. Kalau tidak, aku akan menjadi korban dari daya tariknya seperti orang lain.


Namun sekarang, subjektivitas telah tercampur ke dalam pandanganku, aku tidak bisa lagi tetap tenang. Naluriku yang telah terbangun, mengatakan kepadaku untuk menikmati ‘buah’ tak berdaya di depan mataku.


"Aku pergi."


Kali ini aku benar-banar harus pergi, atau aku akan berakhir dengan menyesali tindakanku sendiri.


"Apa kau tidak ingin memeriksanya?"


Aku mendengar suara Tsukimori di belakangku ketika aku berjalan menuju pintu ruang tamu.


"Memeriksa apa?"


"—Apakah ini benar-benar pengalaman pertamaku, ataukah tidak."


Aku merasakan dorongan untuk berbalik, tapi aku memilih untuk tetap berjalan menuju pintu.


Dia pasti menunjukkan padaku suatu senyum jahat yang sangat cocok dengan dugaanku, dan menghancurkan tekad baruku.


"Tolong lupakan apa yang terjadi hari ini. Aku bukanlah diriku saat ini."


"Aku tidak mau," ia menyatakan.


"Ini untuk kepentingan kita bersama."


"Ini adalah kenangan berharga dari 'pasangan hidup' yang akhirnya kutemukan."


"Aku terkejut, ternyata kau dapat menggunakan ungkapan itu dengan ceroboh. Katakan itu sepuluh tahun lagi."


"Aku tidak menggunakan kata itu sembarangan. Apakah kau tahu bahwa setiap gadis mencari 'pasangan hidup'nya sesaat setelah dia dilahirkan?"


"Yah, aku menyesali semua kekacauan ini."


Dengan kata perpisahan itu, aku membuka pintu. Pada saat yang sama, aku mendengar langkah kaki bergegas ke arahku bergema di lantai.


"Apakah kau benar-benar akan meninggalkanku?"


... Tidak ada gunanya menggunakan kata-kata kesepian seperti itu.


"Tentu saja."


"Meskipun aku sangat ingin kau tinggal disini?"


...Tidak ada gunanya menggunakan kata-kata memohon seperti itu.


"Yah, aku ingin pulang secepat mungkin."


"Kau benar-benar sulit untuk ditangani, Nonomiya-kun," katanya, sembari mendesah.


Aku spontan berbalik dan memelototinya. "Aku tidak ingin mendengar kata-kata itu darimu!"


Tsukimori tertawa terbahak-bahak saat melihat sikap engganku.


...Tolong, biarkan aku pergi.


"Selamat tinggal."


"Sampai jumpa."


Meskipun aku sengaja menghentak lantai untuk mengekspresikan kemarahanku, aku tanpa sengaja melihat lambaian selamat tinggal darinya yang terkesan lemah dan sedih. Merupakan suatu kebohongan jika mengatakan bahwa aku tidak merasakan apa-apa saat menutup pintu depan.