Golden Time:Volume1 Chapter1 (Indonesia)

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Golden Time (Indonesia) 1: Chapter 1

Chapter 1[edit]

Golden Time vol01 015.jpg

Tada Banri berlari sembari menangis.

Jalanan Tokyo pada pukul satu dini hari, kendati berada di “Kota Tokyo”, yang gelap gulita dimana tidak ada tanda-tanda kehidupan, tidak ada secercah cahaya memancar keluar dari jendela. Hari ini, selama satu hari (atau lebih tepatnya, kemarin), Walaupun ini bulan April, namun cuacanya sangat panas, dia hanya memakai kaos oblong dan meminum es kopi, bergumam pada dirinya sendiri “Ini karena pemanasan global.” Kini ia merinding karena gelisah dan kedinginan. Ia pun menarik lengan jaket hoodie berbahan kain flanelnya sampai ke ujung jari, langkahnya yang terburu-buru membuat suara kepakan dari sandal yang ia pakai di kakinya, lagipula, jika ia bisa pergi ke jalan utama semuanya pasti akan baik-baik saja… Seharusnya akan baik-baik saja. Dia menginginkan itu terjadi. Dengan berat hati ia berlari.

“Seorang pemuda yang tahun ini usianya bertambah menjadi sembilan belas tahun seharusnya tidak berlari melewati jalanan malam hari dengan penuh air mata…”, Aku rasa, Aku mengerti perasaan Banri. Jika Aku berada diposisinya, mungkin Aku juga akan menangis.

Dia datang ke ibukota bersama ibunya yang telah berkorban demi anaknya yang akan memulai hidup mandirinya, ibunya membantu membereskan furniture, alat-alat dapur, gas, air, listrik, dan sebagainya. Ibunya telah melewati berbagai macam formalitas ringan disana dan disini, dan pada sore ini (sungguh, cepatnya!) Beliau akan kembali ke rumah menaiki kereta cepat Hikari.

Dan pada akhirnya, dia telah benar-benar memulai malam pertamanya hidup mandiri. Hanya saja, malam ini mencegahnya untuk datang ke upacara penyambutan murid baru besok. Tengah malam, seiring berawalnya hari baru, dia tidak bisa tidur karena kekhawatirannya, dia melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang penduduk Tokyo untuk mengenalkan diri: dia masuk ke toko yang satu lalu ke toko yang lainnya… tapi ia tersesat. Lebih buruknya, entah kapan, dan dimana, dia kehilangan kunci rumah barunya. Saat ia sadari, kuncinya sudah tidak berada di kantong celananya.

Langkah Banri seketika terhenti dan ia berjalan mundur tiga langkah. Dia melihat peta daerah sekitar yang terpajang di sudut trotoar. “Simpan”, dia berbicara pada dirinya sendiri saat dia mendekati dan mencari lokasi dari gedung apartemen dimana dia tinggal, “Motomachi”, menunjuk rute menggunakan telunjuknya “Disini kau rupanya”. Lagipula, sesampainya dia di depan gedung apartemen, dia langsung bergegas kembali ke toko yang tadi ia hampiri, untuk mencari kuncinya.

Tapi… ahh, cukup.

Jika suara ini bisa menggapai Banri, akan kukatakan padanya, “Lihat baik-baik petanya. ‘Motomachi’ itu adalah ‘Motomachi’ di daerah lain!” Tidak, lebih baik Aku katakan, “Kau meninggalkan kuncinya di apartemenmu, Kau lupa mengunci pintu! Kuncinya berada di kamarmu!” Sayang sekali, Aku tidak bisa melakukannya.

Selama ini, apa yang bisa Aku lakukan hanyalah berdoa untuknya agar Banri dapat kembali ke apartemennya entah bagaimana dan dapat segera tidur, dan semoga dia bisa melewati upacara penyambutan murid baru tanpa masalah. Bukankah sangat penting, meluangkan satu hari dari hidupmu untuk menghadiri upacara penyambutan murid baru? Meskipun Aku--- sudah menjadi arwah penasaran, Aku bisa mengerti itu.

Aku tidak percaya kalau arwah seorang manusia, walau sudah meninggalkan tubuh aslinya, masih bisa bertahan di dunia ini dan terus memantau seseorang. Dunia ini adalah dunia yang tak terlihat, dan Aku hanya bisa mencari tahu.

Aku, bisa disebut sebagai, hantu.

Namaku dulunya adalah Tada Banri.

Sekarang tidak ada seorangpun yang mendengar suaraku, tidak ada yang melihatku.

Aku hanya terus memantau Tada Banri yang baru ini, yang masih terus melanjutkan hidupnya, walaupun aku, arwahnya, sudah tidak lagi di tubuhnya.

“Anak muda, jam segini apa---, apa yang terjadi---“

Secara tiba-tiba, Tada Banri menolehkan kepalanya kedepan dan sesorot cahaya menyoroti wajahnya, membungkamnya seperti seekor rusa didepan lampu mobil.

“Ahh, anu… Aku, Aku tersesat…”

“Apa kau punya KTP, passport, atau apapun yang bisa membuktikan siapa dirimu?”

“Eh, ah, huh…”

Dia telah masuk ke interogasi seorang polisi untuk pertama kali dalam hidupnya. Ini akan menjadi malam yang panjang. Apakah ini sebuah kutukan? Apakah ini adalah sebuah berkah dari Tuhan? Kau tidak tahu kemana Banri akan melangkah.

* * *

Semuanya terjadi secara bersamaan, keadaan dari masalahnya adalah salah satu dari “Kecemasan Hebat”, pikir Banri sambil melihat sekeliling.

Lagipula, cuacanya, sangat bagus.

Hembusan dedaunan mekar bunga cherri dari langit biru yang cerah menari berputar-putar dengan indahnya, seperti mereka ingin menghabiskan waktu mereka sespektakuler mungkin. Gedung auditorium, terletak di antara sekumpulan kantor tua berwarna abu-abu, terlihat seperti menyambut momen ini.

Pemandangannya terlihat seperti sesuatu dalam lukisan. Langit April dengan semerbak daun cherri. Para pemuda berkumpul untuk upacara pembukaan. Pria dan wanita memakai pakaian dan sepatu kulit yang baru, senyum yang cerah memancar ke seluruh ruangan, menunggu masa kuliah. Banri merasa ingin mencoba untuk memotong kegelapan yang menyolok mata di sudut lukisan ini, dimana sekarang dia berada.

Aliran perbincangan yang bersahabat lewat begitu saja dihadapannya. Pintu masuk ruang auditorium ini berada di bagian atap. Untuk sesaat, Banri dan yang lain mempunyai pakaian dan sepatu kulit baru yang sama, di tangan mereka terdapat amplop yang tertulis nama universitas mereka. Dengan mata yang berkantung mata karena kekurangan tidur, dia tidak terlihat seperti khasnya mahasiswa baru. Berewok kanannya melingkar ke arah yang aneh dan beberapa rambut di dekat telinganya masuk ke dalam, menggelitik, dan mengganggunya.

Dia tidak bisa tidur sampai jam tiga pagi. Dia telah mengalami sebuah kecelakaan tadi malam.

Dia mempunyai sebuah rencana, di saat malam buta, dia keluar untuk membeli sesuatu, tersesat di jalan yang lingkungannya tidak ia kenal (hal yang agak kelu), menghabiskan waktunya karena seorang polisi, menjelaskan keadaannya dan dituntun kembali ke apartemennya, dengan susahnya dia tertidur, tapi karena kegugupannya, dia terbangun jam enam pagi. Tapi ini lebih baik daripada terlambat tidur, pikirnya, sembari perlahan ia mengeluarkan bajunya, dia mencairkan nasi yang ibunya taruh di pendingin, lalu memakannya untuk sarapan. Setelah itu, ia mandi, dan mengeringkan rambutnya sambil duduk di kasur. Dia tidak selesai melakukannya. Tubuhnya tersegarkan oleh air shower, seprei bermerek baru yang nyaman, dia berbaring walaupun tidak menginginkannya. Tanpa dia sadari, dia menutup matanya. “Eh… Apa yang barusan aku lakukan… Sialan…”, ucapnya saat dia sadar ini sudah lewat jam sembilan. Upacara pembukaannya akan dimulai jam sepuluh pagi.

Tersentak dia bangun layaknya sebuah boneka, dia jatuh ke dalam kepanikan saat dia melihat cermin, rambut yang baru ia basuh sekarang using karena tertidur, tapi dia tidak punya cukup waktu untuk membasuhnya lagi. Dia menggunakan pengering sebisanya, menggunakan seragam, lalu beranjak pergi dari apartemen. Saat itu, dia bahkan lebih dari di ambang kematian. Dia terlambat menaiki dua kereta yang seharusnya terjadwal, ia menggunakan kaos kaki yang berbeda di kaki kanannya. Tanpa ia sadari, dia memakai kaos kaki se mata kaki yang biasa ia gunakan. Tentu saja, dengan sepatu barunya yang kaku, saat dia duduk, dia merasa aneh disekitar mata kakinya. Dia merasa tak berdaya.

Dia berlari dari stasiun, bagaimanapun dia tiba di pintu masuk univesitas tepat waktu. Mengambil tempat duduk, dia merasa seperti mahasiswa baru yang sempurna saat pengunjung yang lain disambut, namun dia merasa dikucilkan di saat yang penting. Itu semua bukan karena ia kurang tidur.

Ini semua karena, dia menyadari, hanya dialah yang tak punya teman.

Bahkan dia tidak mencoba untuk menarik perhatian: tempatnya terlalu berisik setiap saat karena orang-orang mengobrol. Itu karena semuanya mempunyai teman untuk diajak bicara. Jika mereka berasal dari gabungan SMA, mereka telah membentuk kelompok, pria dan wanita bersama, dan jika tidak, mereka biasanya dudk berdampingan dengan orang tuanya. Biasanya.

“Hari ini orang tua tidak hadir ke upacara pembukaan universitas!” “mungkin bisa jika di Toudai, tapi itu terlalu berlebihan jika disini. Mungkin semua orang akan berpikir kalau aku anak mamih!” “parah sekali!” “orang tua tidak seharusnya hadir di upacara pembukaan universitas!” Setelah Banri mengeluh, ibunya telah pulang ke rumah kemarin. “Yeah, aku membawa ini jikalau ada masalah…” ucapnya, lalu ia menaruh sepasang surat izin upacara ke dompetnya, layaknya benda yang penting. Dia tidak seharusnya terlalu serius mengharapkannya untuk tidak datang. Tapi saat ia merengek tidak jelas, “aku tidak ingin kau datang”, di benaknya itu hanyalah hubungan normal orang tua dengan anaknya.

Dan sekarang, setelah berada di sini, merasa putus asa, tapi dari semuanya, dia merasa sangat bersalah kepada orang tuanya. Hal ini membebaninya. Dia bahkan tidak menyapa. Ibunya telah pergi menuju pintu masuk Yaesu sebelah utara, menghilang saat Banri ingin melihatnya.

Tanpa menyadarinya, dengan sedihnya dia mengeluh sambil masih berdiri di pintu masuk, melihat sepasang orang menuruni tangga, tertawa bersama.

Dari dimana ia berdiri, dia tidak melihat seorangpun yang sendirian. Dia menggaruk matanya dengan jari tengahnya. Mungkin matanya membengkak, atau mungkin kurang tidur, tapi matanya gatal-gatal. Seseorang yang melupakan sapu tangannya tentu saja tidak membawa obat tetes mata.

Keadaan tidak terlihat baik--- yeah, bahkan sejak awal hari ini rasanya keadaan akan terus meemburuk.

“Kau mau naik kereta? Atau jalan kaki?”

“Mengapa bingung pergi ke stasiun? Itu membuatku lelah. Aku lebih memilih jalan kaki.”

Di depan mata Banri yang tak berdaya, dua orang berjalan dengan seragam, mengendurkan dasi mereka.

Dari gedung auditorium, satu jam kemudian, dia harus pergi ke orientasi mahasiswa baru sesuai dengan jurusan yang ia ambil sendirian. Setelah mengetahuinya, berdasarkan peta yang telah dibagikan, tempatnya hanya berjarak satu stasiun dari subway. Walaupun ini pertama kalinya ia di ibu kota, itu bukan berarti dia baru saja merayap keluar dari lingkunan liar, tidak juga, dia hanya gerogi setengah mati apa yang akan dia lakukan. Apa yang membuat Banri bingung adalah gerombolan yang meninggalkan ruang auditorium, entah mengapa mereka terbagi menjadi dua kelompok.

Mungkin saja, orang-orang yang menuju ke Utara akan pergi ke stasiun. Dan yang menuju ke Selatan akan berjalan kaki. Dengan cuaca yang bagus, dia ingin berjalan kaki, tapi rute jalan kaki tidak tertera di peta. Kejadian tadi malam masih ia ingat, dia tidak ingin tersesat sendirian lagi di jalan. “Tapi mulai sekarang, aku harus menemukan jalanku kemana saja…” “Tapi…” Banri berdiri di sana sambil bergumam, walau masih ragu, akhirnya ia memutuskan dan pergi berjalan kaki.

Dia memutuskan untuk terus berdekatan dengan orang yang memilih untuk berjalan kaki. “Mulai dari sini, kita adalah trio!”, dia berbisik kepada punggung dari dua orang yang ada di depannya. Keduanya memakai seragam hijau tua, sama seperti Banri.

Masih kurang percaya diri untuk berbicara, Banri mengikuti mereka dan menyamakan kecepatan mereka. Meskipun keadaan terasa agak sedikit tidak nyaman, sesungguhnya kelas dan jurusan mereka akan menyatukan mereka bersama sebagai teman. Dia ingin mengatakan “Sejujurnya, di upacara pembukaan aku putus asa mengikuti kalian berdua”, dan mereka akan menertawakannya. Usaha Banri masih belum disadari, keduanya berjalan dengan cepat. Dari jauh segerombolan mahasiswa baru mengalir keluar dari gedung auditorium, ke jalanan, di mana, seperti sungai mengalir bersamaan, mereka hanyut kedalam gerombolan orang-orang kota yang lewat. Jika kau terlalu jauh, kau akan berakhir di antara mahasiswa baru dan pegawai. Saat,

“Ah, hari ini agak panas, ya gak? Beli es krim yuk?.”

“Ayo”

Pria di sebelah kanan berkata dengan berhasrat. Menatap pada punggung kepala pria itu, alis Banri naik tanpa berpikir.

“Ayo. Mari kita pergi ke toko di depan sana? Aku mau makan es krim.”

Apa kau benar-benar ingin makan es krim sekarang? Upacara pembukaannya baru saja berakhir, dan kau ingin es krim dari toko di tengah jalan ke orientasi, saat waktunya terbatas? Dia menatap punggung pria yang di sebelah kanan. “Lupakan itu.” Kau yang di kanan, katakan! Apa yang akan terjadi saat orang itu memakan es krimnya, dia bodoh.

“Kalau begitu aku juga mau. Di sana mungkin ada toko 7-Eleven.”

“Yeah, di sana ada 7-Eleven. Tapi dimana tepatnya yah?”

Mereka tidak mendengar pesan bisu Banri. Setelah melewati gerombolan penyebrang jalan, keduanya belok ke jalan kecil. Sekarang adalah saat yang tepat untuk mengucapkan selamat tinggal pada mereka, dan bergabung dengan mahasiswa baru yang lain. Banri seharusnya melakukan itu, tapi dia malah bimbang. Pergi bersama-sama lurus ke depan, tidak mudah untuk membedakan antara mahasiswa baru dengan pegawai, jadi tanpa pikir panjang dia pergi mengikuti keduanya ke jalan kecil. “Ah ah ah.” Menghiraukan Banri, yang mencoba dengan hati nuraninya untuk menggugupkan mereka, kedua orang tersebut malah berkata seperti ini, “Hmm, 7-Eleven, 7-Eleven. Apa di sana? Atau di situ?” Keduanya tetap bersikap dingin dan tenang saat mereka berada di jalan yang tidak mereka kenal. Mungkin mereka ingin menyingkirkan dia… di antara keraguan tersebut, dia berbelok ke kanan dan kiri, menyimpang dari jalan yang benar.

“Ah, bagaimanapun juga, itu bukan toko 7-Eleven.”

Mereka berada di depan toko Family Mart.

Keduanya masuk ke dalam toko tanpa ragu-ragu, masih belum merasakan kehadiran Banri, yang berdiri tegak di sana mengedipkan matanya dengan cepat karena gelisah. Bingung apa yang akan dia lakukan selanjutnya, dia mengikuti mereka, menjaga jarak di antara mereka. Dia memalingkan punggungnya, mencoba agar terlihat seperti sedang menatap majalah, sedangkan kedua orang itu masih memilih-milih di kulkas es krim. Setelah sepuluh detik, dia merubah pikirannya, “Aku juga mau makan.” Agar terlihat normal, dia sadar, dia harus melakukan sama seperti mereka. Setelah melirik ke samping untuk memastikan keduanya telah pergi ke depan kasir dengan es krim di tangan mereka, memasang wajah polosnya, dia mengintip ke kulkas es krim. Tidak membuang waktu untuk memilih, dia mengambil apa yang pertama ia sentuh, “Ah… lagipula aku juga suka es krim…” memasang wajah yang aneh saat kedua orang itu sedang membayar, dia mengantri di belakang mereka. Akan tetapi,

“Tapi tentu saja, sekarang kita harus ke orientasi, dan memakan es krim akan menjadi masalah besar. Kita tidak punya banyak waktu, mungkin kita harus merubah pikiran kita.”

“Yah, mungkin itu memang benar. Haruskah kita pergi sekarang? Permisi pak, silahkan duluan, kami akan pergi.”

“Ehh!?”

Keduanya memberikan gilirannya kepada Banri dengan sangat sopan dan menaruh es krimnya kembali ke kulkas es krim. Kasir yang bekerja sampingan itupun tidak merasa terganggu. “Selanjutnya”, dia bilang, menyuruh Banri untuk maju. Tidak mengerti apa yang telah terjadi, dia ogah-ogahan menyerahkan es krimnya, mengeluarkan dompetnya, dan kekurangan uang kecil, akhirnya mengeluarkan uang 10.000 yen. “Pertama kembalian yang besar”, lima ribu, enam ribu, tujuh ribu. “Lalu yang kecil”, cling cling cling. Terlalu lama menerima uang kembaliannya, dan pada saat itu, kedua orang tadi sudah meninggalkan toko.

---Kampret! Apa yang harus kulakukan?

Terkejut kaku, berkata “tidak, terima kasih” untuk kantong kresek, dia mengambil es krimnya, dan menaruh kembali dompetnya, Banri meninggalkan toko dengan buru-buru. “Kemana jalan yang mereka lewati?”, dia tidak bisa menemukan kedua orang tersebut. “Tenangkan dirimu sekarang, aku masih belum tersesat”, dia mengingatkan dirinya. “Kami datang dari arah ini, dan mungkin, melewati jalan itu. Aku tahu itu, tidak masalah.”

Saat dia melihatnya, dia sadar bahwa es krim yang ia beli adalah Gari-Gari-Kun. bodo amat, mari makan. Aku harusnya khawatir setelah ini. Banri menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan rasa panik, lalu ia membuka kemasan es krimnya. Bilah berwarna soda itu menjadi keras karena terlalu beku, “Aku harus menunda memakan es krim ini”, dia menyadarinya.

Dia mengambil nafas dalaaaaam-dalaaaam.

“…Apa ini? …Apa yang aku lakukan…”

Benar-benar bodoh.

Saat dia menyadari hal itu, orientasi yang-sepertinya-penting itu akan dimulai sekitar tiga puluh menit. Tanpa dia tahu dimana dia sekarang, dia memakan es krim sendirian di depan toko. Sesosok orang idiot, yang telah jatuh ke dalam situasi yang membingungkan, tercermin di dalam kaca yang ada di mesin foto-ID di sebrang jalan dari toko.

Dia memakai sebuah jaket abu-abu tua, dengan amplop besar berwarna hijau muda. Dia memegang sebuah es loli berwarna biru muda. Rambutnya jatuh ke pipinya yang kemerahan, lebih ringan dari yang diharapkan. Namun, saat menggigit es krimnya, penampilannya terlihat lebih tenang dari apa yang telah mereka lihat sebelumnya. Bahkan pada saat-saat seperti ini, “Wow. Jika aku melihat pada diriku sendiri, aku agak…” pikir Banri, meletakkan tangannya ke dagunya, tapi

“…Apaaa?”

Dia sadar kalau apa yang tercermin di sana tidak bergerak bersamaan dengannya. Dia seperti orang yang benar-benar bodoh, dia membalikkan badan.

Apa yang tercermin di mesin foto-ID bukanlah dirinya.

Mengenakan seragam yang warnanya sama, memegang amplop yang sama di sampingnya dan memakan es krim yang sama, itu adalah orang lain. Mata mereka bertemu, lalu saling menatap sejenak. Meskipun begitu, Banri melebarkan matanya lagi dan melihat ke orang yang melakukan sama sepertinya. Tidak ada kemungkinan lain, orang itu adalah mahasiswa baru di universitas yang sama. Mengabaikannya akan terasa tidak wajar. Eh, apakah kita melakukan hal yang sama? Ah, apa mungkin kita berada di universitas yang sama? Dengan mengucapkannya dia ingin menjaga keadaan nyaman.

“…Huh? Ah? Aa’ku ya?”

Mulutnya tidak berfungsi dengan benar, kedinginan karena es krimnya, dan hanya erangan rancu yang keluar dari mulutnya.

Namun, dengan bahasa tubuh, menunjuk pada dirinya sendiri lalu ke orang lain, dia mengerti alur pembicaraannya,

“Ho…gu…”

Orang itu juga, saat putus asa mencoba menelan sebuah es krim sebesar mulut, melirik kembali ke wajah Banri. Menahan ujung jarinya ke mulutnya lalu mengunyah,

“…Yeah…, sebenarnya, aku… jalan ke universitas, aku tidak mengetahuinya…”

Suaranya lebih kecil dari yang diperkirakan.

Tanpa pikir panjang, Banri memberikan tatapan bagus panjang ke wajah orang lain. Walaupun hanya untuk sejenak, berprasangka tentang orang itu adalah hal yang tidak bisa dimaafkan, toh orang itu punya wajah yang lebih meyakinkan. Dia juga sedikit lebih tinggi dari Banri, rambutnya tertata rapi, jaketnya terlihat pas dengannya.

“Aku berpikir aku akan mengikuti seseorang, jadi itulah mengapa aku akhirnya berjalan tepat di belakangmu. …Dan saat kau ada di sana, aku berpikir, ‘Apa yang harus kulakukan sekarang? …Yah, mengapa tidak? …Mengapa tidak bergabung saja?’”

“Dan dari situ…” pria itu mengayunkan batang es krimnya, menunjuk sesuatu.

Tanpa berpikir, Banri tertawa. “Apa?!”, ucap pria itu, suaranya kini keluar lebih keras dan alami.

“Lalu, kita benar-benar melakukan hal yang sama, kita berdua. Aku juga tidak tahu jalannya, dan aku mengikuti orang lain dari gedung auditorium sampai aku berada di sini! Dan akhirnya tertinggal di belakang, ‘Apa yang akan kulakukan?’, Aku berpikir.”

“…Huh? Benarkah?”

“Benar. Aku tidak tahu jalannya sama sekali.”

Masih memegang es krim mereka, tidak tahu apa yang mereka lakukan, mereka menatap satu sama lain untuk beberapa saat. Dan pada akhirnya, mereka berakhir dengan saling menertawakan satu sama lain. Bukankah mereka hanya sepasang orang aneh? Mereka merasa sebuah penutup berat yang dimasukkan ke dalam perut mereka, telah hilang terbawa oleh tawa mereka.

“Entah bagaimana, sebuah pertemuan yang tak terduga antara orang yang sama. Namaku Tada Banri. ‘Tada’ artinya ‘banyak ladang’, dan kukira namaku aslinya terdiri dari ‘Man’ dan ‘ri’, bukannya ‘Manri’, tapi malah ‘Banri’. Aku belajar hukum. Kau bisa memanggilku Banri.”

“Oh baguslah, aku juga belajar hukum. Namaku Yanagisawa Mitsuo. Yang artinya ‘pohon willow yang tebal di tepi rawa’, dan ‘di tengah cahaya’. Tidak usah bicara terlalu formal denganku, ‘Yana’ juga boleh. Apa kau datang kemari langsung dari SMA?”

“Aku terlambat satu tahun. Bagaimana denganmu, Yana-ssan?”

Yana-ssan? Tunggu, setahun lebih tua?! …Benarkah? Kau tidak terlihat seperti itu--- Ahh, sudahlah. Aku langsung dari SMA… tapi, kupikir, ah, apa aku boleh bicara santai saja?”

“Tentu saja. Maksudku, kau bahkan tidak perlu bertanya.”

“Aku dari Shizuoka. Mulai tadi malam aku hidup sendirian. Darimana kau?”

“Aku juga tinggal di dekat sini, tapi sendirian.”

“Yeah, merdeka! Kita sama! Mari berteman!”

Seolah-olah sedang bersulang, Banri mengangkat Gari-Gari-Kun yang telah ia makan setinggi matanya. Yanagisawa juga mengangkatnya sama sepertinya, dan akhirnya mereka berdua menyelesaikan masalah mereka dalam satu hembusan nafas. Membuang batang es krim, mereka beranjak pergi, dan akhirnya tidak lama mereka bisa kembali ke jalan utama.

Jika sendirian, semua ini, rasanya seperti perjalanan yang berat, tapi bersama-sama mereka tidak terlalu khawatir. Dibandingkan dengan jalanan penduduk yang tanpa hawa kehidupan disekeliling pada saat malam, kali ini mereka bisa Tanya kepada seseorang. Saat dia sendirian, dia bahkan tidak bisa membayangkan melakukan hal seperti itu.

Tertawa sendiri, dia memberika sebuah lirikan panjang ke Yanagisawa yang sudah ia kenal.

“Sayangnya, karena sampai sekarang tidak ada seorangpun yang bisa diajak bicara, aku jadi agak khawatir. Aku melihat orang lain sudah berteman, dan rasa kesepianku menjadi lebih parah.”

“Ah, aku juga berpikir begitu. Khususnya untukku, perasaan menjadi orang yang dikucilkan adalah sesuatu yang tidak kurasakan sejak lama: sejak aku SD, aku selalu berada di sekolah yang berafiliasi.”

“Kau masuk ke sekolah berafiliasi sejak sekolah dasar?”

Mengangguk, Yanagisawa dengan cepat menggumamkan nama-nama sekolahnya. Walaupun Banri bukan dari Tokyo, dia masih bisa mengenali sekolah swasta yang bergengsi itu. Untuk empat tahun kedepan, keduanya akan berada di universitas swasta ini, tapi sekolah itu memang lebih unggul di dalam berbagai bidang.

“Apa? Benarkah? Bagaimana bisa kau tidak masuk ke universitas di sana? Jika kau tetap mengikuti escalator kau akan sukses… Apa yang kukatakan? Barusan aku…”

Secara reflek, Banri terdiam, menghentikan dirinya sebelum keceplosan. Dia salah. Dia memang bodoh sekali. Mungkin bukannya dia tidak mau, tapi dia tidak bisa meneruskan. Tiba-tiba diangkat dari lubuk kesepiannya, kegembiraannya menyelinap keluar tak terkendali.

“Ma, maafkan aku…! Apa yang kukatakan tadi salah… Aku minta maaf, kita baru saja mengalami hari yang hebat… Ah, perasaanku menjadi sangat aneh…”

Semua maaf ini sungguh memalukan. Melihat ke wajah Banri, yang mana menahan mulutnya diam, matanya berkeliaran tanpa tujuan,

“Sama sekali tidak, aku sama sekali tidak keberatan. Yah, jika kuceritakan, ini akan menjadi cerita yang panjang.”

Yanagisawa melambaikan salah satu tangannya di depan dagunya yang bagus. Gerak isyaratnya “Mari bicarakan hal ini sedikit demi sedikit dilain waktu”, tersampaikan ke Banri dengan baik. “Sedikit-sedikit, lain waktu.” Akan kukatakan padamu jika kita mempunyai waktu kosong. Tentunya, berkunjung lagi nanti, OK? Kau bahkan bisa mendapatkan Bubuzuke. ---Ah!

Pelan-pelan, dia mundur menjauhi Yanagisawa. “Eh, apa?”, Yanagisawa menatap senyum Banri yang terlihat aneh, yang mana membuatnya terlihat seperti orang bodoh.

Banri berpikir itu sudah hilang dan selesailah. Tadi malam, dia tersesat di daerah sini, dia telah mencari di internet. Di antara beberapa tips untuk mahasiswa yang di tulis di sebuah situs, ada sebuah tips hubungan-manusia: ‘Perhatikanlah dengan baik untuk menghindari kekerabatan yang terlalu pada pertemuan pertama! Mungkin di sana terdapat jebakan!’ …Apa yang harus dia lakukan di situasi di mana dia harus memberikan perhatian khusus? Merasa tidak berdaya, dia menampar dirinya sendiri sekali seperti seorang pencerita komik.

“Aku benar-benar bodoh, jebakan bodoh… yang telah membuat Yana-ssan merasa tidak enak, setelah dia menerima banyak masalah sebelum menjadi temanku…”

“Huh? Ada apa? Apakah mungkin kau terganggu dengan apa yang barusan terjadi? Itu bukan masalah besar. Ini bukanlah cerita yang sudah lama, …yah, sepertinya kau khawatir karena hal yang lain, jadi aku akan menjelaskannya dengan singkat. Aku telah menyebabkan berbagai masalah mengenai lawan jenis di sekolah afiliasi. Aku muak, dan aku membutuhkan kebebasan. Aku menginginkan kehidupan baru sebagai seorang mahasiswa, jadi aku mengambil ujian di universitas luar dengan kehendakku sendiri.”

“Ini bukanlah masalah yang besar, sungguh”, ungkap Yanagisawa sambil menggaruk alis menonjolnya. Setelah memikirkannya,

“…Hyuuu…!”

Banri tidak bisa bersiul, jadi dia mengatakan ini sebagai gantinya.

Perlahan mundur setengah jalan ke tempat dia berada sebelumnya, melipat tangannya di depan dadanya, melambaikan jemarinya sementara bahunya berguncang, ia bermaksud mengekspresikan “Kau hebat!” sebisanya, dalam batas yang dapat ia terima.

“Huh… lawan jenis?”

…Jika kegembiraannya tetap berada di tingkat ini, maka tidak akan ada masalah. Tapi, kenyataannya, Banri bahkan ingin lebih membara. Lawan jenis!? Keren sekali! Berdebat dengan perempuan memang super keren! Cinta segitiga? Hubungan gelap? Cinta terlarang!? Biar kudengar ceritanya! Maksudku, bagikan keberuntunganmu! Buatlah seorang perempuan marah! Dapatkan kekuatan itu! Lompatan Super! …di dalam hatinya terdapat sebuah getaran,

“Jadiiii, jika seseorang sekeren Yana-ssan, hal-hal semacam itu akan menimpa mereka!? Jadi apakah kau bertengkar dengan pacarmu? Eh, eh, apakah aku menjengkelkan!?”

Dia berhenti di situ.

“…Tidak, kau tidak.”

“Jangan pergi membuat alasan!”

Dengan setengah langkah yang cepat, dia berdiri tepat di samping Yanagisawa.

“…Tidak, tapi, tidak masalah membicarakan itu. Dan lagipula… dia bukanlah pacarku.”

“Bukan… Bukan pacarmu!? Apa yang kau katakan!?”

Bukan!? Dan, selagi mempersilahkan Banri mendekatinya, Yanagisawa dengan serius mengangguk agak aneh. Lalu,

“Ini bukanlah hal bagus, sama sekali tidak. Ini adalah… benar. Jadi bisa disebut,”

Terhenti oleh cahaya merah di seberang jalan, dia melihat ke sedikit jarak dan berbalik menghadap Banri.

“…sebuah bencana…, seperti itu.”

“Meskipun demikian apa yang,” dia mencoba mencari tau lagi, dan seperti sebuah keberuntungan, di saat itu cahayanya berubah menjadi hijau.

Di seberang jalan ini, sebuah taksi diparkir. Banri, dengan Yanagisawa berdampingan, barusaja menyebrang di depannya saat lampunya hijau. “Wham!” Pintu taksi itu terbuka. Turun ke aspal, lonjakan dari sebuah sepatu hak tinggi, suara keras bergema seperti palu.

Mereka melihat ke sana dengan reflex.

Banri megap-megap. Dengan cepat, semua pikirannya lenyap tersapu.

Hembusan mekar bunga ceri memang bagus untuk dilihat, tapi ini, ini keterlaluan.

Hampir seperti bergegas maju keluar dari taksi, datanglah sekarangan bunga besar dari bunga mawar merah. Bersinar kejam berlawanan dengan langit biru, sangat sangat sangat merah.

Penglihatan Banri teraarah kepadanya, selayaknya dibangkitkan di atas kepala secara diagonal oleh orang itu.

“…Whop!?”

Dengan sekuat tenaga, dia menampar sisi wajahnya. “Sakit tau!”, dia berteriak, “Tidak! Itu dingin!”, dia berteriak lagi, tapi akhirnya tidak ada lagi suara.

Sebuah semprotan dari tetesan air dingin menciprati benda disekitar. Benar-benar tercengang, Banri jatuh ke tanah. Bagian depan baju dan celana barunya menyentuh tanah, dan ia melihat lebih banyak percikan air yang berkilauan terbang berjatuhan. Dia berada di tempat yang salah di saat yang salah.

Yanagisawa lah, yang telah diserang. Yanagisawa mendapat tamparan di wajah dari atas dan samping, tiga kali, empat kali, oleh sebuah karangan bunga segar, mawar yang sangat merah. Setiap waktu, beberapa dari kelopak bunga yang indah melayang pergi, jatuh seperti percikan darah.

Dan akhirnya, pukulan akhir! Dari atas kepala, rangkaian bunganya jatuh tepat, mengenai dada Yanagisawa yang tumbang.

Banri tak bisa berkata-kata.

Yanagisawa juga.

Kelopak mawar melayang dengan jelas, menutupi indera mereka dengan manisnya wewangian dari nectar. Di tengah dari serangan udara merah, “…Aku telah membuang durinya.”

Menunjukan sebuah senyuman lebar, senyuman “sempurna”, bahkan nafas wanita itu sangat tenang.

Siapa wanita itu, apa wanita itu, pertanyaan semacam itu telah lenyap seperti kabut di pagi hari. Di sana wanita itu, layaknya putih salju bercahaya, berkilau seolah-olah lembut ditaburi dengan tetes air --- kelopak mawar yang sangat merah seperti sebuah aura tentangnya, selayaknya ratu bunga mawar.

“Selamat atas penerimaanmu! Itulah yang ingin kusampaikan.”

“Ini tidak mungkin”, Yanagisawa menggerutu dengan suara kecil, memegang bunga mawar di tangannya. Seperti dia tidak ingin menerima kenyataan, dia menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Banri, yang masih orang luar yang tercengang, malah mengarahkan matanya ke senyumannya.

Kulitnya sungguh sempurna, bersinar seperti sutra terbaik. Rambutnya sungguh sempurna, coklat tua, bergelombang tanpa menyimpang dari jalur. Tampangnya sungguh sempurna, kepalanya agak miring ke samping. Memakai sepotong dress berenda berwarna putih salju, leher dan telinganya disoroti oleh mutiara, dengan sepatu hak tinggi yang mewah dan tas kecil ungu tua di lengannya, di berbagai sudut, wanita ini sungguh sempurna. Orang semacam itu bisa hidup dan bernafas sungguh misteri, dia benar-benar unrealistis sempurna. Bahkan suaranya sangat jelas seperti dentuman lonceng.

“Bodohnya kau, Mitsuo.”

Mendadak kejam, dia memandang rendah ke arah Yanagisawa dari bawah bulu matanya yang panjang dan tebal. Lipstick nya berkilau sama kuat dan merah mengkilap seperti mawar, sama seperti kelopak bunga, dia tetap tersenyum dengan sempurna.

“Apa kau pikir kau bisa membodohiku dengan menyusup ke universitas lain? Apa kau benar-benar berpikir kau bisa lolos? Tidak ada jalan. Kau tidak bisa membodohiku dengan trik seperti itu. Untuk Mitsuo yang melarikan diri dari kesempurnaanku, masa depan sempurna kita, sungguh tidak mungkin.”

Mitsuo - - - Dia memanggil Yana-ssan ku, tidak, dia bahkan bukan milikku, Yanagisawa adalah namanya.

Masih tercengang dan terpaku ke tanah, percakapan mereka tadi masuk ke pikiran Banri. Dia mungkin adalah wanita pembuat masalah yang bukan pacarnya, mungkin, setidaknya.

“Mitsuo adalah milikku selaaaaamanya.”

“Sa…Salaaaaaahh!”

“Kau milikku. Jangan lakukan perlawanan tak berguna lagi. Jadi, sampai jumpa!”

Wanita itu beranjak pergi kembali ke taksi, yang mana masih parkir di sana. Sebelum masuk ke mobil, dia menyadari sebuah kelopak bunga tersangkut di rambutnya. Dia menariknya pelan-pelan dengan ujung jarinya dan menaruhnya di telapak tangannya, lalu meniupnya ke arah sini --- maksudku ke Yanagisawa, layaknya sebuah ciuman. Kelopaknya melayang di udara, menempel sekali di hidung Banri, namun akhirnya angin menghembuskannya.

Meninggalkan pergi keduanya dan mawar di belakang jalan, taksinya pergi.

“Wha,”

Dia menatap ke Yanagisawa.

“Whaaaaaaa!”

Masih memegang karangan bunga mawar, rambutnya terurai, Yanagisawa mengeluarkan sebuah teriakan panjang. Banri berhasil berdiri lebih dulu, dan mengulurkan tangannya ke dia,

Yana-ssan, tenangkan dirimu! Siapa dia!? Maksudku, apa yang telah terjadi?”

Banyak orang yang menatap mereka, Banri menyadarinya. Sebagian besar, orang-orang melihat ke Yanagisawa. Dia masih duduk di tanah, memegang sebuah karangan bunga mawar yang sangat besar, telihat sedikit tidak cocok dengan streetscape biasa tentunya. Dia seperti seorang penjelajah waktu keluar dari semacam opera soap yang terkenal dari bubble era. Bersama-sama melewati jalan, sekelompok dari murid baru dan pegawai melihat ke sini. Tatapan menandakan terkejut dengan senyum samar. Beberapa dari mereka menunjuk dengan jarinya dan tertawa.

Hey, lihat. Wow, menakjubkan. Apa yang terjadi dengan lelaki mawar itu? Dengan amplop itu dan semuanya, dia salah satu dari mahasiswa baru di universitas kita. Sangat misterius! Apa yang dia lakukan? Bukankah itu memalukan? Terdapat banyak bisikan dan gumaman di sekitar.

Sedikit kurang yakin, Yanagisawa berdiri. Lalu, seperti dalam sebuah serangan terakhir, kelopak bunga yang lepas terhembus jatuh dari kepalanya. Melihat kelopak-kelopak itu jatuh ke kakinya, melihat ke karangan bunga mawar yang ia tahan di dadanya,

“Be..Berakhir… kehidupan mahasiswaku… dalam satu hari, ini berakhir…! Hahaha…ahahaha!”

Yanagisawa memberikan sebuah tatapan kacau dan mendorong satu tangannya ke sakunya. Dan lalu ‘Whee!’, menarik keluar sebuah kelopak yang tersangkut di sana, dia melemparkannya. ‘Tidak bisa terus begini’, pikir Banri, bahunya bergetar. Sejauh masalah ini mengganggu kepalanya, dia merasa muak akan ini.

“Sabar, Yana-ssan, kau benar-benar harus menenangkan dirimu! Terlebih, lihat… kita harus datang ke orientasi tepat waktu!”

“Apa aku harus membawa bunga-bunga ini ke orientasi!? Ini memalukan, berdiri layaknya mengacungkan jempol, dan lalu, untuk empat tahun kehidupan mahasiswa, apa yang harus kulakukan!? Lagian, apa maksud mereka ‘Pria Mawar’! Sama seperti hal nya 'Ham Man'...!"

“Yah yah, ah, tolong terima ini: Selamat atas penerimaanmu di universitas.”

Beberapa mahasiswi baru melihat mereka saat mereka lewat, dan mata mereka bertemu. Secara mendadak tanpa dipikirkan dahulu, Banri menarik beberapa mawar dari karangan bunga dan menawarkannya ke gadis-gadis tersebut. Kemudian, daripada bilang “Eh, ini untukku?”, mereka malah dengan senang hati menerima bunga dari mereka. Melihat hal ini, beberapa gadis lain berkata, “Orang itu membagikan mawar?” “Kau bercanda! Aku juga mau satu!” dan akhirnya mereka berdatangan.

Ini mungkin akan berhasil, pikirnya.

“Itu benar! Aku membagikan mawar! Selamat atas diterimanya kamu di universitas! Aku Pria Mawar, silahkan ambillah mawar ini!”

“…Apa yang kamu lakukan Banri?”

Yana-ssan, kau juga harus membagikannya. Ah, ini silahkan.”

Menarik mawar itu satu persatu, mereka membagikan mawar itu ke lebih banyak orang.

“Jika semua mahasiswa baru pergi ke orientasi, membawa mawar, ingatan yang mereka kenang bukan hanya ‘Di hari upacara pembukaan, ada orang aneh yang membawa mawar’, tapi kenangannya akan menjadi ‘Di hari upacara pembukaan, mahasiswa baru menerima bunga mawar’, apa aku salah? Untuk alasan itu, Yana-ssan juga, ayo, akan kita bagikan sejuta bunga mawar ke kamu dan kamu dan kamu dan kamu! Ya, ya, silahkan ambil, masih ada banyak! Selamat atas diterimanya kamu di universitas!”

Bahkan si Aunt Squad, yang tidak terlihat seperti mahasiswa baru, menangis “Mereka sangat indah!” dan “Ini gratis!”, dan mendekat dengan gembira. “Kami minta dong?”, senyum mereka tertuju ke kami.

“…Silahkan ambil!”

Bahkan Yanagisawa tersenyum putus asa, menunjukkan giginya saat menyeringai sembari membagikan mawar dari tangan ke tangan.

“Kau benar! Jika aku sengaja keluar dari pintu gerbang, Kouko pasti akan menemukan caranya. Bahkan jika dia tahu, kita akan terpisah. Kita akan hidup di dunia kita sendiri. Sampai akhir hayat, aku akan kembali dan melanjutkan ke sekolah sehingga aku bisa diterima di sini. Untuk sekarang, aku tidak akan bimbang! Aku tidak akan menjadi apa yang Kouko inginkan! Hidupku sebagai mahasiswa belumlah berakhir! Ambillah mawar ini!”

Mereka punya sekitar lima belas menit sebelum orientasinya dimulai.

* * *

Kaga Kouko

Sepertinya itulah namanya.

Dia telah bertemu dengan Yanagisawa Mitsuo sejak tahun pertamanya di SD. Di hari itu, Kouko sangat lembut, gadis kecil yang sering diganggu, itulah mengapa ia harus dilindungi. Karena itulah, dia malah jadi lengket dengan segenap kekuatannya, mengatakan bahwa Yanagisawa adalah si ‘Pangeran impiannya’.

“Dari kejadian itu dan seterusnya, mimpi Kouko hanya ada satu. 'Menikah dengan Mitsuo!' …sungguh, menakutkan.”

“Menakutkan? Mengapa? Bukankah itu cerita yang sangat romantis? Sebuah janji masa kecil… terikat oleh takdir dengan teman masa kecilmu… seperti itu. Itu bagus, sungguh. Maksudku, gadis itu sangat cantik, dilimpahi oleh cinta, seperti aktris.”

“Kau tidak mengerti. Kau benar-benar tidak mengerti seperti apa dia!”

Suaranya agak menaik, tapi gadis yang duduk di depan mereka langsung melirik ke Yanagisawa. Mengecilkan suara mereka, keduanya bergumam “Maaf”, dan sedikit menundukkan kepala mereka. Mereka telah berbisik dengan suara yang terlalu kencang.

Orientasi mahasiswa hukum baru bukannya berada di tempat seperti gedung fakultas, tapi berada di sebuah kelas yang luas dengan tempat duduk tersusun berbaris seperti sebuah tangga. Di atas panggung, seorang anggota dari departemen Kegiatan Siswa berbicara ke mikrofon, “Kau mempunyai tugas untuk bertingkah…” “Setiap usaha untuk mencegah kecelakaan…” dan sebagainya, saat ia membacakan beberapa point penting seperti merokok, minum-minuman keras dan sebagainya.

Sebuah wewangian manis melayang menyusuri ruangan lebar, datang dari mawar merah di tangan mayoritas mahasiswa.

“…Apakah kau tidak mengerti dari awal? Hanya karena aku tidak masuk ke universitas yang sama dengannya, dia menjebakku di upacara pembukaan, menyerangku wajahku dengan karangan bunga mawar besar, dan setelah ia selesai mempermalukanku, dia memberikanku sebuah senyum besar indah dan pergi, wanita itu.”

“Dia adalah masalah, wanita itu benar-benar,” dia mengulang dengan suara kecil seperti debuah gerungan.

“Sejauh Kouko khawatir, dia membuat scenario hidupnya naik dan memanggilnya ‘orang sempurna’. Dia hanya melekat padaku seperti ini adalah sebuah scenario di kehidupan sempurnanya. Setiap aku mencoba melakukan sesuatu,”

Yanagisawa menengok ke wajah Banri. Dia memisahkan rambut depannya ke samping, tak bisa diterima mengecilkan matanya, hampir juling, memajukan dagunya, dan dengan nada yang aneh,

“ 'Mitsuo! Itu tidak benar!' 'Mitsuo! Itu bukanlah apa yang kurencanakan!' 'Mitsuo! Fafafafafaa! '…Seperti itulah dia. Tidak ada jalan keluar.”

Itu lucu, tapi tidak semuanya seperti dia.

“Wajahnya bukan seperti itu. Malah seperti ini,”

Banri menarik dagunya, mengedipkan bulu matanya ke atas dan ke bawah sembari melihat ke depan, menggerakkan bahunya perlahan bolak-balik, dan menyisir poninya… dengan lembut,

“ 'Aku… telah membuang durinya… n… ' wiggle~… bukankah seperti ini?”

Yanagisawa memberikan tatapan dingin dan menggelengkan kepalanya.

“Apa itu? Tidak, dia sama sekali bukan seperti itu. Tentu saja, apa yang kau tahu dari hanya sekali bertemu? Dia seperti, ' Fuaaa! Mitsuo! Nfuaaa! ' Fuafua ‘nya!’ lakukan Fuafua! Jangan Fafa! Faa! Mitsuooo! Faaaa! ' “

“Eh, bukankah itu seperti orang gila? Apa yang kulihat adalah ‘Oh memalukan… Mitsuo… h’.”

“Tidak, tidak, dia sama sekali tidak seperti itu! Dia lebih seperti ini! ' Faffaa! Faaaaan! Mitsuo! Faan! ', tapi juga,”

Yanagisawa mungkin ingin memperagakan ekspresinya lebih banyak, nadi di depan kepalanya tampak, dia menaikkan dirinya sedikit dari tempat duduknya, memutarbalikkan dirinya, dan akhirnya,

“Kau di sana! Hentikan semua bisikanmu!”

“…”

Dari panggung bicara, sebuah jari menunjuk ke dia dengan peringatan. Yanagisawa tersentak, dengan canggung menjadi kaku, dan diam-diam kembali duduk ke tempat duduk yang lebih tidak nyaman, di bangku kayu seperti kursi. Pipinya memerah, dia menundukkan kepala sembari mengatakan “Maafkan saya…” dan seperti itu dia merendahkan diri. Bahkan hati Banri sakit karena tatapan tajam yang datang dari sekitar kelas. Situasi ini bahkan terlihat lebih memalukan daripada serangan dengan bunga.

Dia diam-diam melirik ke wajah Yanagisawa yang memerah itu, yang mana juga melirik ke Banri, “Jangan katakan apapun”, Yanagisawa mengaba-aba dengan hanya menaruh jarinya di depan mulutnya. Dan lalu daripada menimbulkan masalah dengan berbisik lagi, dia menulis sesuatu dengan pensil di pinggir salah satu selebaran mereka.

'Bagaimanapun, aku akan menjauh dari Kouko selama empat tahun!'

'Aku tidak akan menyerah hanya karena penghinaan-penghinaan itu! Aku akan menikmati kehidupanku sebagai mahasiswa!'

'Horree untuk sebuah kehidupan baru!!!'

'Kebeeeeeeeebasan!!!'

Dan dari samping kau bisa melihatnya menyeringai. Gigi putih lurusnya membuat busur yang sempurna. Yana-ssan pasti datang dari sebuah keluarga dan tempat yang bagus, pikir Banri. Lalu, mengambil pensilnya, daripada menulis sebuah jawaban, dengan seringai besar, dia menggambar sebuah kucing yang berteriak “YA!!!”.

Beralih ke penjelasan tentang kelas dan kuliah yang diperlukan untuk kelulusan, kursus khusus yang diperlukan oleh mereka yang ingin pindah ke sekolah hukum, kursus khusus yang diperlukan untuk ujian pelayanan sipil, semua jenis tes kualifikasi khusus dan sebagainya, mereka mendengar segala macam penjelasan penting, dan orientasi hari itu berakhir pada sekitar tengah hari. Saat dia mendengar "Larangan merekrut untuk klub akan dicabut mulai sore ini," Banri melihat ke Yanagisawa dan mata mereka bertemu.

Untuk benar-benar menikmati kehidupan mahasiswa, kau harus mempunyai klub. Setidaknya, Banri juga berpikir begitu. Memilih sebuah klub adalah, sepenuhnya, kebutuhan yang paling penting, pikirnya. Hal ini terjadi jika ditemani oleh Yanagisawa, dia baru saja berdiri dari tempat duduknya.

“Mitsuo! Faafafafa! Faufaufaa!

“…Eh!?”

Dengan tiba-tiba sebuah suara datang dari belakang mereka. Banri dan Yanagisawa melihat ke belakang dengan serempak. Banri melihat jari-jemari putih ditempatkan dengan kuat di atas kepala Yanagisawa. …Krak…, hanya kepala Yanagisawa yang diputar balik, seperti kepalanya memang akan diputar jatuh dari badannya.

Faufaufaufaufaaaaaa …Apakah aku seperti ini?”

Wajah Yanagisawa memucat, seperti darahnya telah disedot dari kepalanya. Menggapai sebuah meja yang berada tepat di belakang dan sedikit di atas mereka, kedua tangannya memegang kepalanya, di sana melayang senyum sempurna Kaga Kouko. Sendirian di antara nuansa tenang biru dan abu-abu, bersinarlah putih dengan gaun dua-potong berenda, di sanalah dia.

Sepanjang waktu - - - dia telah berada di belakang mereka. Mungkin.

“Ke-Ke-Ke-Ke…” bibir Yanagisawa merinding.

“Kenapa… Kenapa kau… apa yang kau lakukan di sini!?”

“Untuk menghadiri orientasi, tentunya. Sudah sewajarnya aku berada di sini.”

Menatap ke wajah Yanagisawa, yang merinding sepenuhnya sampai ke hidungnya, memucat tepat di depannya, Kouko tersenyum, bibir merahnya bergerak perlahan. Tentu saja, gigi putih yang cantik bersinar di antara bibirnya.

“Aku mengatakannya padamu sebelumnya, bukan? Kukatakan, ‘Sampai jumpa lagi’. Apa kau tidak mendengarku? Atau mungkin… Fafafafafaa!

Dengan sikap seperti prihatin, jari Kouko yang cantik perlahan menggosok rambut Yanagisawa.

“…apa yang kau dengar…?”

Tangannya dengan galak menyapu, dan mungkin karena frustasi,

“Untuk apa itu tadi?”

Kouko, masih tersenyum tapi dengan suara yang dingin, tajam setajam pisau, menekuk tangannya. Berpose menyerang dengan dagunya sedikit terangkat, dia menatap rendah ke Yanagisawa. Mata hitamnya yang besar bersinar seperti permata hitam, memantulkan bayangan dari bulu mata panjangnya. Dalam semua ini, sepertinya dia sama sekali tidak memperhatikan Banri.

“Jangan kau tanyakan itu! Apa yang kau lakukan di dunia ini!? Mengapa kau di sini di orientasi ini!?”

“Aku menuruti keinginanmu dan mencocokkannya dengan keinginanku! Aku juga mendaftar di sini.”

Fa…”

“Sekarang itulah wajah gembira. Untuk empat tahun ke depan, kita akan belajar bersama.”

Yanagisawa menahan nafasnya, menggerakkan tangannya di rambutnya tiga kali, dan karena sekarang rambutnya jadi berantakan, saat dia melihat ke arah Kouko, dia seperti setan kemarahan dari prajurit yang dikalahkan.

“…R, rencanamu, bagaimana dengan itu…!? Di dalam rencanamu untuk masa depan, bukankah kau ingin pindah untuh belajar Literatur Prancis, menghabiskan tiga tahun waktu belajarmu berada di Prancis!? Bukankah kau memutuskan untuk membangun karirmu sendiri dalam bisnis fashion!?”

Menghela napas kecil, Kouko meluncurkan jari-jarinya yang mengilap mencapai bawah di mana dadanya mengembang keluar.

“Sebuah perubahan kecil tentu saja diperlukan, tapi itu tidaklah sulit. Kehidupan mahasiswa tanpamu di sisiku akan menjadi tak berarti. Aku telah berpikir bahwa kau dan aku akan pergi ke universitas bersama, mengambil kelas bisnis jadi kita bisa meneruskan bisnis ayahku. Tapi jangan khawatir. Itu tidak masalah buatku jika suamiku mempunyai bisnisnya sendiri atau bekerja sebagai hakim perusahaan. Mitsuo, kau menghianatiku, berencana untuk mengambil ujian di luar. Di saat aku menemukanmu, tentu saja aku terkejut… tapi, daripada membuat pernyataan untuk memaksamu berhenti, kupikir akan lebih baik untuk mengikutimu. Jadi aku mengambil hampir seluruh ujian masuk yang kau ambil juga.”

“…Bagaimana bisa, sekolah pilihanku, bisa diketahui… aku mengatakan wali kelasku agar menjaganya sebagai sebuah rahasia, dan juga… aku tidak mengatakannya pada teman-temanku, tidak pada siapapun bahwa aku mengambil ujian ini…”

“Tahun ini mereka selesai membangun gedung fakultas kedokteran. Apa kau tahu? Itu dinamakan Kaga Memorial Building.”

“Itu bukanlah masalah mendengar sebanyak mungkin sekolah yang kau pilih.” Kata Kouko, sekali lagi menunjukkan ekspresi tenang, bibir santainya tersenyum lebar. Secara horizontal di poninya, sebuah bando sutra berwarna biru dengan pola warna merah-jingga membingkai dahi putihnya yang bulat. Dari siluetnya, berikut sepanjang dagunya yang kecil, dan terus sampai ke leher rampingnya yang panjang, ia bahkan bisa sangat lebih berbeda dari mahasiswi lain yang lewat di belakangnya. Dia terlalu modern.

Dia memiliki fitur yang berbeda, yang tidak bisa digambarkan dengan cara lain tapi ini berbentuk indah.

“Apa kau tidak bahagia, Mitsuo? Bahwa aku memberimu seluruh hatiku.”

--- Lebih dari apapun, ekspresi dari kepercayaan-dirinya yang berseri-seri membuatnya lebih cantik dari gadis yang lain, Banri menyadarinya. Apalagi, dia masih belum menyadari kehadiran Banri.

Yanagisawa, membuat mimik wajah seperti dia memakan sesuatu yang pahit, kembali menatap ke Kouko, tercengang.

“Benar? Kau bahagia, kan? Jawab aku, Mitsuo.”

“…Tidakbahagia…”

“Sangat bahagia, kan?”

“…Selamanya tidakbahagia…”

“Kenyataanya. Kau bahagia, kan?”

“Kubilang, tidak bahagia! Kau orang yang mengganggu! Meskipun aku telah mengambil ujian di luar sehingga aku bisa menjauh darimu, kau datang dan mengacaukan segalanya! Itu bukanlah sesuatu yang membuatku bahagia!”

Tiba-tiba, Kouko terlihat menyadari keberadaan Banri. Dia mendadak tersenyum dengan senang ke Banri, yang mana masih berdiri di samping Yanagisawa.

“Jangan pikirkan dia. Dia merasa kurang sehat. Mitsuo adalah, bisa disebut, terkenal karena itu.”

Tsu, n, de, re.

Heh.

Dia menyadap pelan di dekat mulutnya dengan kuku dicat-krem, dan mengangkat sedikit bahu kecilnya. Seperti seorang aktris di panggung, dia memberikan kedipan mata berlebihan. Banri tidak tahu bagaimana ia harus bereaksi,

“Yah, hmm, ...Namaku adalah Tada. Apa yang harus kukatakan… yah, senang bertemu denganmu… heh!”

Membungkuk longgar, dia bernada ke depan. Mendorong Banri ke samping, Yanagisawa memilih cara primitif untuk melarikan diri, dengan mencoba untuk berlari menjauh. “Oh! Mitsuo melarikan diri!”, dengan itu Kouko berlari mengejarnya, hak tingginya bordering dengan jelas, berlari menaiki tangga. Wujud indah Kouko tampat menonjol, menarik perhatian banyak mahasiswa, yang lalu berbalik menghadap satu sama lain dan berbicara sesuatu. Di sana ada beberapa, yang tahu kalau bunga mawar yang indah di tangan mereka sebenarnya hadiah darinya. Er, di sana pasti ada beberapa orang yang melihat serangannya di penyebrangan.

“…maksudku…”

Lalu dia menyadari, bahwasanya, ia sendirian lagi.

Ditinggal di ruang kuliah, Banri melihat sekeliling. Argument Yanagisawa dan Kouko telah terlihat, dan beberapa tatapan masih tertuju pada Banri. Malu-malu, dia dengan cepat menaruh perlengkapan menulis yang tercecer di kursi, ke amplop mereka.

Yana-ssan telah meninggalkan semuanya…”

Mengumpulkan cetakan selebaran dari hal-hal penting yang berada di bawah lengannya, kurikulum, dan berbagai hal milik Yanagisawa yang telah melupakan ini, Banri meninggalkan ruang kuliah dengan langkah panjang menaiki tangga. Lagipula mereka telah bertukar nomor telepon dan alamat e-mail mereka, jadi mengembalikan itu besok bukanlah sebuah masalah.

Meninggalkan melalui salah satu dari banyak pintu menuju koridor, dia bergabung dengan segerombolan mahasiswa baru lainnya. Rencana untuk pergi keluar, perkenalan pertama, suara dan tawaan di sini dan di sana bergema seperti sebuah ledakan kecil. Gedung sekolahnya sudah tua. Cahaya yang datang dari perlengkapan neon menjadi kuning, ada penyangga di sana-sini untuk memperkeras dinding terhadap gempa bumi, dan untuk beberapa alasan jendelanya memiliki grillwork besi terpasang di sana. Dikatakan bahwa pada satu waktu perguruan ini telah menjadi tempat demonstrasi mahasiswa kejam, dan hal ini pasti sisa-sisa waktu itu.

Membawa amplop berharga milik dua orang di sisinya, Banri perlahan menuruni tangga. Di sudut khusus merokok dari lobi, beberapa mahasiswa baru (itu diragukan apakah mereka sudah berumur dua puluh atau belum), masih pakai seragam, tapi sudah nongkrong. Melirik ke samping, melihat ke arah mereka meniup asap rokok, mengikuti orang di depannya, Banri juga meninggalkan gedung.

Momen yang sangat.

“Mahasiswa baru, selaaaaaamaaaaaaaat!”

“…Apa…!?”

Dengan keributan besar, di depan matanya berdesir badai confetti. Ada kerumunan besar mahasiswa, lebih banyak dari sekedar mahasiswa baru.

Apa yang mulai membuat Banri dan mahasiswa baru lainnya berkedip karena keributan ini adalah, karena anggota besar dari klub American football, bersorak, dan berdiri di barisan pertama dari siswa lainnya. Tubuh besar mereka memadatkan seragam mereka, menyanyikan nama tim mereka dengan cara khas, mereka memegang orang yang mereka lihat dan mengangkatnya di atas kepala dengan mudah.

“Hey kau, mahasiswa baru, se-la-mat! Terbanglah!”

“Jangan saya, jangan saya, tidak! Maafkan aku!”

Matanya telah bertemu dengan seseorang yang memakai helm, Banri menundukkan kepalanya untuk seruan dan terburu-buru berlari menuruni tangga pintu masuk. Di depan matanya, di atas kepalanya,

“Apa kau tidak tertarik dengan pembaca cerita komik? Kami mengadakan acara langsung untuk siswa!”

“Waa, waa, waa ♪ Datang dan lakukan Klub Glee ♪”

“Hey kau, kau terlihat seperti orang yang suka berkemah! Klub penelitian berkemah di sebelah sini!”

“Upacara penyambutan Klub Komedi Mahasiswa akan diadakan jam dua! Tentunya ini gratis, dan di sana akan ada minuman!”

Di antara selebaran yang diajukan kepadanya, tangan mengajaknya kemari, dan juga segerombolan senyum girang, jalan Banri telah terhalangi lagi dan lagi. Di ambang kehancuran di dalam kekacauan yang ramai, semua mahasiswa baru, mengayunkan kepala bodoh mereka seperti kepala merpati yang makan, sedang di bujuk untuk berbaris di depan bilik klub. Kau tidak bisa mengatakan kalau kampus tengah kota itu sangat luas, tapi setiap klub muncul di sana sekarang telah memulai pertemuan merekrut anggota klub mereka, dengan kostum, musik dan semua yang ada.

Di sana ada sebuah grup dengan jaket unviersitas dengan nama perguruan tinggi mereka, yang mana untuk beberapa alasan memakai pakaian renang dan memanggul tangki oksigen. Di sana ada pegulat pro dalam sebuah bangunan ring kecil sementara, gadis berok mini lacrosse dengan kemeja polo, setiap dari mereka sangat cantik seperti seorang model, dan beberapa orang lain yang tidak dapat dikenali, yang mana menjual minuman dingin dari pendingin aneh untuk 50 yen perbuahnya. “Informasi tentang santai mengambil perkuliahan! Semuanya dicetak di sini!”, bersorak segerombolan orang seperti-reporter, mengayunkan sesuatu seperti koran, dengan Mass Communications Research Society tertulis di ikat pinggang mereka.

Bahkan tubuh tak berseragam yang lain berkumpul, tennis, dan lalu judo, yang mana bersama dengan klub American Football tiba-tiba tersemangati oleh cheerleaders. Ilmu berpedang dan panahan juga ada. Orang-orang dengan gaun dan tuxedo pasti adalah klub Menari Ballroom. Sebuah pesta menyenangkan berseragam dalam seragam sekolah warna hitam, mereka susah dicapai.

Terdapat orang yang agak bungkuk dan pendek, agak bermuka-imut, tanpa ada aspirasi Banri berdiri terdiam. Untuk ini, hanya klub dengan aspek budaya yang memanggilnya. “Keretanya pasti akan selalu tepat waktu!” …Klub Penelitian Jalur Kereta? “Kenapa tidak pergi ke pantai dua kali setahun?!” …Klub Penelitian Kebudayaan Manga? “Minggu pagi adalah kekacauan!” …Klub Penelitian Anime. Dan orang aneh, “Klub Penelitian Hanya Novel Detektif Misteri”, dan “Klub Penelitian Labirin”, dan bahkan, yang satu ini agak menangkap imajinasinya, “Klub Penjelajah Stuktur Raksasa”. Apa bisa “Di Mount Takao, bahkan kau bisa berjabat tangan dengan pendeta gunung” benarkah?

Dia kembali ke dirinya dan menemukan bahwa segunung selebaran telah ditawarkan ke tangannya. Tersapu oleh ombak kekacauan dari mahasiswa dari seluruh kelas yang berkumpul bersama, Banri tidak bisa hanya tinggal diam, dan berakhir di tengah alun-alun. Dia ingin untuk memilih klub mana yang cocok dengan Yanagisawa, tapi di kerusuhan ini, kekacauan ini, dia tidak tahu apakah dia bisa benar-benar kabur.

“Bukankah kau seorang mahasiswa baru?! Kami adalah klub upacara the, tapi anak muda juga akan disambut super-baik!”

“Ah, terima kasih…”

“Lalu sekarang, minum minum! Minum minum minuum!” minum minuum! Minum minum minum! Minum minum-num-num minum minum-num-num-num minum minum minuum!”

“…Y, ya ma'am!”

Diterima, daripada tidak bisa diterima, semangkok teh hijau, dia mencicipinya saat mencoba agar kerumunan tidak menggoyang sikunya. Gah, dia meminum minuman pahit dan mengembalikan mangkuknya. Jalan untuk minum! Ya, pria baik! bertepuk tangan, klub teh tersebut berpindah ke target selanjutnya, minum minuum! mereka menyerang.

Punggung tangannya mungkin telah menjadi hijau saat dia membersihkan mulutnya. Pada saat itu - - - sebuah peluit kencang menyerang telinganya. Dia terlihat terkejut. Dari sisi lain dari kampus, sebuah grup, bermain musik Latin dengan intens, ritme untuk berdansa, telah memisahkan segerombolan orang, membelah melalui kerumunan. peluit samba mulai menggila. Mereka merapikan rambut mereka, miliknya atau wigs, manik-manik mencolok ditenun menjadi cornrows dan gimbal sangat panjang, laki-laki dan perempuan sama-sama mengenakan baju ketat berwarna hijau terang pas kencang. Mereka semua mempunyai alat musik di tangan mereka. Bernyanyi dengan suara keras, mereka seperti parade.

Menakjuban--- mulutnya telah terbuka lebar.

Telinganya memecah dan tubuhnya bergetar dari suara dari peluit tersebut, mata Banri terbuka lebar. Perguruan tinggi memang keren. Dia tidak mengira akan sekeren ini. Dari titik ini, dengan pasti, kehidupan akan menjadi sangat keren.

Irama membangkitkan yang cepat ini, memainkan tubuhnya dan membuatnya merasa seperti kehilangan instingnya. Dia merasa yakin. Di tempat ini, pasti, dia bisa menjadi seseorang yang baru. Hari-hari yang ia sia-siakan untuk mengejar visi dirinya yang hilang benar-benar telah berakhir.

Konfeti menari. Selembaran yang tak terhitung berkibar di udara. Deretan drum. Teriakan lelaki yang serak. Suara perempuan dengan tawa mereka yang melengking-tinggi. Meriah, mempesona, kekacauan musim semi. Irama parade mengejutkannya dengan gila, berdenyut dengan kasar. Dia menutup matanya, gelap, tak bisa melihat apapun lagi.

Tada Banri.

Jika kau membuka matamu, kau mungkin akan melihat dirimu terlahir kembali. Dirimu terbangun di kamar baru, bertemu dengan teman baru, dan tertidur di kamar baru tersebut.

Sebelum membuka matanya lagi, dia mencoba untuk membayangkan sesuatu seperti membuat keinginan. Dia pasti bisa melihat sebuah dunia baru yang indah dengan mata barunya. Menyenangkan, menggembirakan dan memuaskan, bahkan jika ia menyalahkan kesendirian dan kesunyian itu --- semua itu bercahaya seperti emas, seperti mempesona sepanjang waktu.

Mari hidup seperti itu setiap hari. Sangat banyak orang untuk dijumpai, sangat banyak orang untuk dicintai, sangat banyak orang untuk hidup bersama di dunia ini. Banri merayakan benih dari kehidupan baru, dan mengharapkan ini dari sebuah musim yang disebut musim semi.

Jika dia bisa hidup seperti itu, maka pasti tidak lama dia akan bisa jatuh cinta.

Dia menginginkan cinta.

Seseorang, dia sangat ingin menyukai seseorang, yang tidak orang lain bisa memasuki hatinya. Tentu saja mungkin itu hanyalah sepatah hasrat, mungkin, tapi Banri yang hanyalah orang biasa, itu tidak bisa dihindari. Dia ingin untuk berjumpa dengan seorang gadis. Dia ingin mempertaruhkan semuanya untuk cinta. Dia tidak peduli jika perempuan itu bukanlah seorang pasangan yang cocok seperti milik Yana-ssan.

Dia ingin menyerahkan dirinya ke takdirnya saat ini. Menyelam ke dalam arus kesibukan dari dunia ini, seseorang yang harus kau temui, seseorang yang harus kau cari, genggamlah dia dengan tanganmu, Tada Banri!

Dengan matanya yang masih tertutup, dia menghembuskan sebuah nafas besar,

“3, 2, 1… Siap…”

Pergilah!, pikirnya, dan membuka matanya

Ayolah, menghadapi kenyataan!

Dentaman drum dimana-mana.

“…Eh!? Whoa!?”

Bersinar didepan matanya --- disana ada segerombol penari memakai zamrud hijau mengkilap. Semua penari berkumpul di sekitar Banri, dan melangkah maju dengan menakjubkan. Dia menutup matanya, dengan penuh gairah, tersesat dalam lamunan, dan seiring waktu ia menyadari, barisan kedua dari grup parade, regu samba yang mempesona telah mengelilinginya. Atau malahan, Banri hanya berdiri terdiam di jalan dari semua penari, dan paradenya tidak bisa jalan melewatinya.

“Maafkan saya, maafkan saya”, meminta maaf sembari mencoba untuk meerobos mereka, tangan dan kaki berjalan sesuai irama menghalangi jalannya. Membengkok maju dan mundur dengan putus asa mencoba untuk tidak mengganggu koreografi mereka, langkah penari menusuk di antara kakinya, dalam rangka untuk menghindari terkena seseorang dia tidak punya pilihan lain selain menyamakan langkah mereka. Sedikit demi sedikit, menendang kakinya, menyenggol pinggulnya, lalu dalam putus asa,

“Heeeeeeeeeyyy!”

Meregangkan kedua tanganya, jari telunjuk menunjuk ke langit, dia membuat pose berani, berteriak dengan sepenuh hati.

Pada waktu yang sama, seseorang berputar dibelakangnya, hiasan kepalanya mengenai tepat di belakang kepala Banri. Crack! Pukulan knockout ringan, ia akan jatuh kikuk tepat di wajah --- atau begitulah pikirnya sesaat.

Lenganya dipegang dengan kencang, lalu ditarik.

Seolah-olah diseret keluar bersama-sama dengan kakinya yang terpelintir, Banri ditarik keluar dari barisan penari.

Tersandung beberapa langkah, ia jatuh ke kaki siswa lain,

“Bukan ‘Hey!’ darimu, amatir. Apa yang kau lakukan?”

“…Ah…”

Dia melihat orang itu.

“Mahasiswa baru?”

Dia mengangguk.

Pemandangan itu sungguhlah nyata.

Orang yang menolong Banri --- memakai sebuah kimono putih dengan corak bunga putih. sebuah sabuk obi cerah berwarna merah. Dan sebuah Amigasa (Topi berbentuk seperti bulan sabit). Dengan topi dikencangkan dengan kabel merah di bawah dagunya, wajahnya hampir setengah tertutup. Apa yang bisa matanya lihat tertuju pada: lipstik, warna merah gamblang. Seperti sebuah adegan dari drama, dalam sudut dari seorang pengembara gagal dan hampir mati di jalan, Banri telah ditemukan oleh dewi penyelamat terlihat seperti dia berasal dari Edo period.

“Berasal dari jurusan apa kau?”

“h… jurusan hukum. Saya Tada Banri.”

“Aku Linda”

Linda.

Kenyataanya bergeser lagi. Dia pikir dia telah diselamatkan dari samba oleh seseorang dari Edo Period, dan ternyata orang tersebut adalah orang asing---

“Namaku Hayashida, itulah mengapa Linda. Aku mahasiswa tingkat dua. Sampai jumpa.”

---Ah, orang Jepang.

“Errr…!”

Sesaat dia berdiri, dia dengan tidak sukarela memanggil Linda. Saat dia berbalik, dibawah topinya sebuah wajah putih bisa terlihat dalam waktu yang cepat. Bertentangan dengan perkiraanya karena kata-kata kasar, dia terlihat seperti orang baik.

“…Um, lipstikmu… Itu sangatlah cantik…”

Dia mengatakanya sebelum ia menyadarinya. Sungguh tidak biasa kata-kata yang ia lontarkan tanpa berfikir. Dia telah mengatakannya tanpa sadar. Itu adalah apa yang muncul di pikirannya, disaat mendadak.

“Menjijikan!”, dia akan pergi dengan kata tersebut tapi Linda memberikannya sebuah senyum indah dibawah topinya. Dan lalu, mengayunkan tubuhnya gemulai, perut langsing dengan irama yang intens, dia meninggalkan Banri dan berbalik ke arah golongan parade yang penuh warna.

Saat diriya di ambang menghilang ke dalam kerumunan, dia berbalik untuk sesaat. Dia bisa melihat lengan kimononya berayun saat gadis itu memberikannya ciuman.

Itu membuat Banri merasa lemas, dan dia secara tidak sukarela menampar satu tangan ke hatinya yang terserang.

Dua kali dalam sehari, dia telah menerima sebuah ciuman dari lawan jenis… salah satu darinya memang bukan tertuju untuknya. Tapi,

“…Wow…!”

Telah melupakan masa depannya yang kesepian untuk sesaat, musim semi ini terlihat seperti akan menjadi lebih menarik.


Mundur ke Prologue Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Chapter 2