Hakomari (Indonesia):Jilid 1 Ke-27755 kali

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Ke-27755 kali (1)[edit]

“Ayolah, tidak adakah yang berbeda dariku hari ini? Tidak ada?”

Kokone berjalan ke arahku terlihat sama seperti biasa. Dia sudah menanyakan pertanyaan itu pada suatu waktu di masa lalu. Apa ya jawaban yang benar?

“...kau menggunakan maskara.”

“Ooh! Kuacungi jempol, Kazu-kun!”

Sepertinya aku benar.

“...jadi, bagaimana menurutmu?”

“Yah, kau kelihatan manis,” aku mengatakan tanpa ragu. Dan sekali lagi, jawaban yang benar. Aku tidak benar-benar serius, tapi Kokone puas setelah mendengar kata ‘manis’ dan mengangguk sambil tersenyum.

“Mhm, mhm. Bagus, kau punya prospek yang bagus. Hey, kau – orang dengan kepribadian munafik! Kau seharusnya mengikuti contoh yang ditunjukannya.”

Dia melipat tangannya penuh kepuasan dan menoleh pada Daiya.

“Aku lebih suka menggigit lidah daripada mengatakan hal itu.”

“Ah, seluruh dunia akan mendesah lega. Silahkan lakukan.”

“Tidak, bukan lidahku – yang kumaksud adalah lidahmu.”

“Haha! Jadi kau ingin berciuman mesra denganku? Tolong jangan terbawa ketertarikanmu padaku~”

Tanpa menyadari keadaanku, mereka berdua mulai saling mengejek dengan kecepatan cahaya seperti biasa.

Beberapa saat sesudahnya, Daiya membicarakan hal tentang murid pindahan.

Ayolah cepat datang, Otonashi-san.



“Aku Aya Otonashi. Aku tidak tertarik kepada siapapun selain Kazuki dan si ‘pemilik’.”

Ruang kelas menjadi ribut pada saat ini.

Umm, Otonashi-san? Kau itu murid pindahan, tentu, kau bisa membuat jarak dengan teman sekelasmu di hari pertama. Tapi aku sudah ada di kelas ini selama hampir setahun, jadi hal itu tidak akan bekerja bagiku, kau tahu kan?

“Apa yang dia maksud engan ‘pemilik’? Siapa yang dimiliki? Apakah yang dimaksudnya ‘orang yang memiliki Hoshino’?”

“Bukannya itu <<pacar>> nya?”

“Kalau begitu Kazuki-kun punya seorang <<pacar>> dan si murid pindahan Otonashi-san mencarinya? Kenapa?”

“Kurasa ada sesuatu hal antara dia dan Otonashi-san. Mungkin mereka berpacaran... jadi dia berpacaran dengan keduanya?!”

“Tepat! Pasti begitu! Versi ini lebih lucu, jadi yang ini saja!”

“Jadi sambil memiliki perasaan yang rumit antara cinta dan benci pada Hoshino, dia mengejarnya dan pindah ke sekolah kita. Aku yakin begitu.”

“Itu artinya Hoshino sudah... memikat hati gadis secantik dia?! Sialan!!”

Teman sekelah kami terus meneruskan sesuai keinginan mereka sambil menghiraukan kami berdua, orang yang sebenarnya terlibat. Dari mana mereka bisa berfikiran seperti ini?

“Jadi, Hoshino sebenarnya cuma... mempermainkanku...”

“Apa?! Kau yang satunya?!”

“Tidak... aku mungkin cuma ektra... yang ketiga, tidak, mungkin ada lebih banyak lagi.”

“Ap...si brengsek itu!”

Kokone pura-pura menangis sementara Daiya menggunakan kesempatan ini untuk berteriak dengan cara yang tidak biasanya. Geez, kenapa mereka berdua cuma bisa bekerja saa disaat seperti ini...

“...Merepotkan,” Otonashi-san bergumam. “Karenamu, mereka sekarang menjadi lebih tertarik padaku daripada menghindariku.”

Err... kenapa jadi salahku?



Tepat sesudah jam pelajaran pertama, Otonashi-san dan aku berlari keluar ruang kelas. Meski sebagian dari teman sekelasku secara alami menyemangatiku, aku juga merasakan beberapa pandangan haus darah dari beberapa anak cowok – tapi sekarang tidak ada waktu mengkhawatirkan hal seperti itu.

Kami tiba di tempat biasanya – dibelakang sekolah.

Kami tidak perlu masuk kelas lagi.

“Aku mengerti. Bekerjasama denganmu artinya aku secara otomatis akan terseret pada jaringan hubunganmu. Jeez... itu tidak praktis.”

Tidak, aku cukup yakin kalau masalahnya adalah aa yang kau katakan pada mereka.

“Tapi ini pertama kalinya dalam pengulangan 27.755 kali ini menolak mereka memiliki efek yang negatif. Ini benar-benar menyenangkan!”

“Umm, aku tidak tahu apa kau seharusnya menganggap ini menyenangkan...”

“Jangan seperti itu. Bagiku pun pengalaman baru itu agak menggembirakan. Juga, keadaanya berubah cukup banyak hanya karena kita mulai bekerja sama. Itu perubahan yang menggembirakan.”

“Apa yang kau maksud?”

“Mungkin akan ada petunjuk baru yang dulunya tidak kuperhatikan saat aku sendirian.”

Dari sisi itu, jelas ada artinya bekerja sama, tapi...yah...

Anehnya, dia mungkin memang benar. Lagipula, dia tidak tahu bagaimana kelas 1-6 bekerja sebelum hari ini. Dia tidak bisa membandingkan hari ini dengan hari sebelumnya. Sebagai contoh, dia tidak tahu kalau perasaan cintaku pada Mogi-san berkembang di antara hari ini dan kemarin – dengan kata lain, saat berada dalam ‘Rejecing Classroom’.

“Tapi apa yang harus kita lakukan, secara rinci?”

“...mengenai hal itu, Kazuki. Aku mempertimbangkannya lagi dan sampai pada kesimpulan kalau kau masih merupakan kunci ke ‘Rejecting Classroom’.”

“Eh? Kau masih mencurigaiku?”

“Bukan itu. Biarkan aku bertanya padamu: bagaimana kau bisa mempertahankan ingatanmu?”

“Eh...entah?”

“Itu sebuah misteri kan? Tentu aku bisa merasakan beberapa perbedaan antara dirimu dan yang lain, tapi bukankah masih aneh kalau kau satu-satunya yang bisa mempertahankan ingatanmu?”

“Ya... tentu saja.”

“Karenanya, aku mengira kemampuanmu itu juga dipengaruhi tujuan si ‘pemilik’.”

“E...rr...?”

“Kau lambat seperti biasanya. Dengan kata lain, mungkin itu juga demi kepentingan si ‘pemilik’ yang membuatmu dapat mempertahankan ingatanmu.”

Itu adalah tujuan dari ‘Rejecting Classroom’ yang membuatku tetap memiliki ingatan?

“Itu tidak mungkin. Aku tidak selalu dapat mempertahankan ingatanku, benar kan? Kalau bukan karenamu, aku mungkin akan terus kehilangan ingatanku seperti yang lain.”

“Memang sih, kau bisa mengatakannya sebagai kekurangan dalam hipotesisku. Akan tetapi, mungkin juga kalau kemampuan mempertahankan ingatanmu serusak pembuatan masa lalu oleh dunia ini. Kau bisa menjelaskan kejadian itu kalau kau mempertimbangkan kontradiksi ini: masa lalu tidak bisa sepenuhnya dibuat ulang kalau kau bisa mempertahankan ingatanmu.”

Itu mungkin memang tepat. Tapi untuk suatu alasan itu tidak logis bagiku.

“Dari awal, apa artinya membiarkanku mempertahankan ingatanku?”

“Bagaimana aku tahu?” Dia menjawab dengan terus terang. “Tapi aku tahu perasaan apa yang paling sering menggerakan orang-orang.”

“Apa?”

Otonashi-san menatap dalam ke dalam mataku dan berkata.

“Cinta.”

“...’cinta’...?”

Pandangan menakutkan di wajahnya membuatku tidak bisa segera menghubungkan kata itu dengan arti yang sesungguhnya. Aah, ‘’cinta’’?

“Otonashi-san, kau imut juga.”

Otonashi-san memandangangku dengan pandangan dingin.

“Apa maksudmu? Cinta yang cukup kuat sama sekali tidak berbeda dengan kebencian.”

“Sama dengan kebencian?” Aku terkejut. “...me-mereka benar-benar berbeda!”

“Mereka sama. ...Tidak, mereka ‘’memang’’ berbeda. Cinta adalah perasaan yang lebih buruk dari kebencian karena orang-orang biasanya tidak menyadari kekotorannya. Itu cuma menjijikan.”

Menjijikan, huh...

“Itu bukan masalah sekarang. Kazuki, adakah seseorang yang terpikirkan olehmu?”

“Maksudmu seseorang yang jatuh cinta padaku kan? Tidak mungkin, tidak—“

Aku hampir mengatakan tidak ada yang seperti itu, saat tiba-tiba aku ingat.

Ada satu orang.

Kalau dia tidak bercanda saat dia menyatakannya padaku di telepon—di sini ada satu kandidat.

“Sepertinya kau memikirkan sesorang.”

“......”

“Ada apa?”

“...err, yah. Gadis yang jatuh cinta padaku tidak harus merupakan tersangkanya kan?”

“Tentu saja tidak. Bukti ini saja tidak cukup untuk menyimpulkan apakah orang itu pelakunya atau bukan. Akan tetapi, tidak ada alasan untuk tidak menyelidiki kemungkinan ini.”

“Tidak... yah... tidak mungkin dia tersangkanya.”

“Apa yang membuatmu sangat yakin kalau dia bukan si ‘pemilik’?”

Aku cuma tidak ingin dia menjadi pelakunya. Aku sadar akan hal itu.

“Kita punya waktu yang tidak terbatas selama kita ada di dalam ‘Rejecting Classroom’ ini. Kita sebaiknya menggunakan setiap kesempatan untuk mendekati si ‘pemilik’.”

“...tapi sejauh ini kau belum sukses menggunakan cara ini kan?”

“Kau agak tidak sopan ya hari ini? Tapi kau benar. Akan tetapi, kita punya petunjuk baru kalau kemampuan mempertahankan ingatanmu adalah bagian dari desain si ‘pemilik’. Aku belum pernah menyelidiki sambil memikirkan hal itu sebelumnya. Kita mungkin akan bisa mendapatkan informasi baru dengan jalan ini.”

“Tapi—“

“Bukankah seharusnya kau semakin ingin membersihkan semua kecurigaan padanya kan kalau dia adalah seseorang yang ingin kau percayai?”

Benar. Kata-katanya tepat sekali.

Aku pasti juga memiliki keraguan pada orang itu, yang membuatku tidak ingin menyelidikinya.

“......Aku mengerti. Aku akan membantumu.”

“Kau seharusnya tidak hanya membantuku; justru, seharusnya kau yang memimpin.”

Dia benar. Aku lah yang ingin keluar dari ‘Rejecting Classroom’.

...Tetap saja...ada sesuatu menggangguku dengan cukup kuat untuk beberapa saat ini. Ada sesuatu yang tidak cocok.

“Baiklah, ayo berangkat.”

“Tu-tunggu sebentar.”

“Kenapa kau ragu-ragu?! Kesabaranku mulai menipis tahu!”

Apa yang menggangguku adal— ah, aku mengerti.

Saat aku mengenali asal dari perasaan aneh ini, telingaku mulai terasa memanas.

“Mh? Ada apa, Kazuki? Wajahmu merah.”

“Ah, tidak, cuma, kau—“

Kenapa dia mulai memanggilku <<Kazuki>> bukan <<Hoshino>>?

“Apa? Apa yang sedang kau bicarakan? ...Hey, kenapa wajahmu menjadi semakin merah?”

“...Ma-maaf. Lupakan.”

Kapan dia mulai memanggilku dengan nama depan? Bahkan orangtuaku tidak memanggilku seperti itu.

Kurasa wajahku menjadi semakin merah sekarang.

“...? ...Baiklah, kurasa? Bagaimanapun, ayo segera berangkat.”

<<Otonashi-san>> berbalik memunggungiku dan mulai berjalan.

“Y-Yeah...”

Apakah aku juga sebaiknya membalas dengan memanggilnya selain dengan <<Otonashi-san>>? Kalau aku mengikuti contohnya, aku harus memanggilnya... <<Aya>>?

...Tidakdtidaktidak! Aku tidak bisa! Aku tidak bisa! Itu jelas tidak boleh!!

Setidaknya menjadi <<Aya-san>>... tidak, itu masih tidak bisa diterima. Tapi <<Otonashi-san>> terlalu kaku. Aku sebaiknya menggunakan sesuatu yang mudah diucapkan dan sedikit lebih kasual.

“Ah...”

Ada satu kemungkinan yang muncul dalam pikiran. Itu juga agak memalukan untuk diucapkan, tapi karena aku sudah menggunakan nama itu beberapa kali, seharusnya bisa.

“......Maria.”

Saat aku menggumamkan nama ini dengan lirih, <<Otonashi-san>> berhenti dan berbalik. Matanya terbelalak.

“Uwa! Ma-Maaf!!” Aku meminta maaf secara secara insting sesudah melihat reaksi tajamnya yang tidak terduga.

“...Kenapa kau meminta maaf? Kau cuma sedikit membuatku terkejut.”

“...Jadi kau tidak marah?”

“Kenapa aku harus marah? Panggil aku sesukamu.”

“Ba, baiklah...”

Otonashi-san... tidak, mulut ‘Maria’ mengendur.

“Tapi tetap saja, kau memilih Maria dari semuanya... Heh.”

“Ah, yah... kalau kau tidak menyukainya...”

“Aku tidak peduli. Aku cuma meyakinkanku sekali lagi.”

“Err... apa yang kau yakinkan?”

Untuk suatu alasan, Maria tersenyum lembut.

“Kalau kau, Kazuki, adalah orang yang menarik.”



Aku menggeledah sesuatu.

Kami sudah kembali ke ruang kelas, dan sekarang aku menggeledah barang bawaan gadis yang sepertinya tertarik padaku.

Tentu saja aku melakukannya bukan karena aku ingin, dan aku juga merasa sangat rapuh.

Kelasnya saat ini sedang dalam pelajaran olahraga. Maria memutuskan kalau daripada berbicara langsung padanya, kami sebaiknya menggunakan kesempatan ini untuk mencari petunjuk di barang bawaannya.”

Karena aku diam-diam juga berfikiran sama, aku mematuhinya meski tetap merasa rapuh.

Ngomong-ngomong, pencarian in sepertinya hanya akan berhasil kalau akulah yang melakukannya. Maria sudah mencari di antara barang bawaan semuanya berkali-kali. Melihat dari hasilnya sekarang, dia belum menemukan hal yang berguna, yang menurutku pantas saja. Maria tidak akan menemukan perubahan yang signifikan karena dia cuma mengetahui kami selama satu hari.

“huu..”

Gadis itu menggunakan garis bersih dan berwarna untuk memberi susunan pada buku catatannya. Dan catatannya juga ditulis rapi dengan huruf kecil dan bulat. Dan dia juga menggunakan berbagai warna di sini. Dan di sisi kiri salah satu halaman adalah gambar seekor kucing. Dan di sini ada gambar lain di halaman berikutnya di tempat yang sama. Kucing yang sama ada di halaman berikutnya... saat itu aku menyadari kalau ini adalah gambar rentetan. Saat aku mencoba membalik-baliknya, kucing itu terbang dengan sebuah roket yang dibuatnya dari kaleng kecil. Aku mulai tersenyum sebelum pandangan marah Maria menghentikanku.

Dari semuanya, aku menemukan banyak barang ke-cewek-an. Warna barang-barang miliknya kebanyakan pink atau putih. iPod nya berisi J-Pop. Dompetnya tidak ada di dalam tas, jadi mungkin dia membawanya bersama kemanapun dia pergi.

“Oh!”

Aku menemukan telepon genggam yang dihias dengan rapi- sebuah harta karun penuh dengan informasi pribadi.

Aku berharap menemukan beberapa petunjuk, tapi telepon gengam nya dikunci jadi aku tidak bisa mencari lebih jauh. ...di sisi lain, aku lega aku tidak bisa melakukannya.

Aku mengecek wadah make-up di samping kaca genggam berwarna pink. Ini kurasa foundation, yang ini lipstik berwarna, yang ini eyeliner, ini adalah gunting yang digunakannya untuk merapikan alisnya, dan akhirnya sebuah benda yang tampaknya agak baru... Maskara, kurasa.

“—“

Oh?

Ada yang aneh.

“Apa kau menemukan sesuatu, Kazuki?”

“......Aku belum yakin...”

Aku mengobrak-abrik isi dalam wadah make-up nya sekali lagi. Aku tidak merasa ada yang spesial di sini.

“Maria, apa ada sesuatu di tempat make-up ini yang menarik perhatianmu?”

“Tidak? Aku sudah menyelidikinya sebelumnya, tapi aku tidak menemukan hal yang spesial—“

Wajahnya membeku di tengah kalimat.

“—tunggu, tidak mungkin. Dia seharusnya tidak memilikinya. Tidak mungkin aku tidak menyadarinya dalam lebih dari 27.755 kali pengulangan ini. Tapi... kenyataannya—“

“Eh? Apa kau menemukan sesuatu?”

“...Kazuki. Sesudah melihat hal ini, kau seharusnya sudah merasakan sesuatu.”

“...eh? ...mhh, yah, aku pikir menggunakan make-up tidak cocok dengan kesan dirinya.”

“Ya ampun!”

Wajah maria berubah masam.

Aku kembali mencari di dalam tasnya petunjuk yang lain. Di dalamnya, aku merasakan sesuatu yang tidak asing dan mengeluarkannya.

“Ah—“

Semuanya mulai bergerak...

Saat aku melihat bungkus yang tidak asing itu, ingatanku kembali muncul ke permukaan.


<<Apakah mungkin kau akan menerima perasaanku kalau aku menggunakan cara pendekatan yang lain?>>

<<Aah, okay. Jadi aku hanya perlu terus mencoba sampai berhasil kan?>>

Tidak mungkin.

Tidak mungkin.

Tidak mungkin.

Aku tidak akan mempercayai omong kosong semacam itu.

Ini cuma kebetulan. Ini pasti cuma kebetulan, tapi ingatan yang muncul dipikiranku terlalu gila sebagai hasil khayalanku—

“—Maria, apa makanan favoritmu?”

“...Kenapa kau menanyakan hal ini sekarang?” Maria menatap ke arahku dan mengernyit. “...Hey, ada apa, Kazuki? Kau telihat tidak baik!”

“...Kau tahu, makanan favoritku adalah Umaibo.”

Aku menunjukkan benda yang barusan kuambil dari dalam tas.

Itu adalah sebungkus Umaibo.

“Terutama aku suka sekali dengan rasa Corn Potage. Tapi aku belum pernah mengatakannya pada siapapun karena tidak ada yang peduli. Aku sering makan Umaibo di kelas, tapi aku tidak setia, atau semacamnya, dalam hal rasa, dan makan berbagai macam rasa yang berbeda setiap kali. Seharusnya tidak ada yang tahu kalau aku paling suka Umaibo rasa Corn Potage!”


<<Tapi kau tidak begitu suka rasa Teriyaki Burger?>>

<<Rasa apa yang paling kau sukai?>>


Aku berdoa kalau aku cuma salah dan melihat ke pembungkus makanan itu lagi.

Tidak peduli berapa kalipun aku melihatnya tidak ada yang berubah.

Itu bukan rasa Teriyaki Burger. Itu adalah Umaibo rasa Corn Potage.

Meski cuma kebetulan kalau dia memiliki Umaibo dengan rasa Corn Potage di tasnya – bayangan dari ingatan yang barusan-kembali itu tidak bisa dipungkiri.

Dia adalah – si ‘pemilik’.

“Kazuki.”

Mariamencengkeram erat pundakku. Kukunya menusuk dagingku dan membawaku kembali ke kenyataan.

“Dia pastilah si ‘pemilik’. Kita sudah sampai di tujuan kita... yah, belum sih.”

Sesudah Maria mengatakan kata-kata itu dengan kegetiran yang sangat, aku bertanya, “Apa maksudmu?”

“Seseorang yang membuat kesalahan bodoh seperti itu tidak mungkin menipuku selama 27.755 kali ‘Pindah Sekolah’.”

“Tapi Maria, kau bilang kau tidak tahu siapa si ‘pemilik’ kan?”

“Itu tidak benar. Aku mungkin telah menemukan identitasnya beberapa kali, tapi aku tidak bisa mengingat kalau dia si ‘pemilik’.”

“Eh? Kenapa tidak?”

“Aku tidak yakin, tapi kurasa itu adalah fungsi yang lain dari ‘Rejecting Classroom’. Hal itu masuk akal. ‘Rejecting Classrom’ bekerja selama si ‘pemilik’ sendiri percaya kalau dia berada dalam pengulangan yang tidak pernah berubah. Tapi kalau seseorang tahu kalau dia adalah si ‘pemilik’, prasyarat ini akan hancur. Karenanya, segera sesudah seseorang mengetahui kalau dialah si ‘pemilik’, ingatan itu akan dihapus.”

“...Tapi kita tahu siapa si ‘pemilik’ kali ini.”

“Tentu saja. Tapi itu bukanlah alasan untuk senang,” Maria berkata dengan nada jengkel. “Kalau kita tidak melakukan sesuatu mengenai hal itu kali ini, kita akan kehilangan petunjuk ini lagi.”

Jadi begitu. Kecuali kita dapat mengalahkan si pemilik di putaran ini, kita akan melupakan semua yang kita temukan saat pengulangan ini dan pencarian kami akan pelakunya sekali lagi akan dimulai dari awal.

Maria terlihat kesal dan menggigit bibirnya. Hanya punya satu kesempatan untuk mencapai sesuatu mungkin sangat menyebalkan, karena dia mulai terbiasa bisa mengulang semuanya.

“...Tapi Maria, hidup adalah kontes yang diputuskan dalam satu putaran kan? Tidak peduli seberapa kecil masalahnya, tidak ada tombol ulang untuk kembali ke save point terakhir.”

Aku sendiri agak menyukai kalimat itu, tapi Maria menatapku dengan pandangan dingin.

“Apa tujuan yang ingin dicapai dari kalimat penyemangat yang salah arah itu?”

Dia bahkan mendesah.

“Ma-maaf... hanya saja kau kelihatan agak jengkel.”

Saat mendengar permintaan maafku, Maria sedikit rileks.

“Yah, tentu saja. Tapi bukan karena situasi kita tidak menguntungkan.”

“...tapi lebih karena?”

“Apa kau tidak mengerti? Meski aku berulangkali menemukan kalau dia adalah si ‘pemilik’, ‘Rejecting Classroom’ belum berhenti. Apa kau tidak mengerti apa yang kumaksud?”

Aku memiringkan kepalaku.

Aku tidak tahu kata-kata itu ditujukan padaku, pelakunya atau dirinya sendiri, tapi Maria lalu mengtakan beberapa kata dengan kejengkelan yang luar biasa:

“Aku sudah kalah dari si ‘pemilik’ berkali-kali.”



“Kokone.”

“Oh, si jagoan cinta, Kazuki Hoshino, sudah datang!”

Seperti biasa, Kokone bercanda menggodaku.

Saat ini adalah istirahat makan siang. Maria dan aku berakhir membolos semua kelas pagi berdua, jadi semunya mulai mengoda kami. Tapi untung karena Maria diam sepenuhnya, teman-teman sekelas kami berhenti menggoda kami dengan cepat. Pandangan ingin tahu mereka masih ditujukan pada akmi sih. Yah, itu sudah dapat diduga.

“Dengar, Kokone. Sebenarnya—“

Aku berhenti. Karena wajah Kokone berubah dari lembut menjadi serius, dan dia menarik lengan bajuku.

Setelah melirik pada Maria, Kokone membawaku keluar ruang kelas.

“Kazu-kun, tolong jangan menghindari pertanyaanku dan berikan jawaban yang jujur.”

Tepat di samping pintu, Kokone melepaskan lengan bajuku dan kemudian kemabali berbicara.

“Apa sebenarnya hubunganmu dengan otonashi-san?”

“...Kenapa kau bertanya?”

Aku mengatakannya, meski aku tahu jawabannya. Kokone memandang ke bawah, dan tidak berhasil menjawab.

“Aku tidak bisa menjelaskan hubunganku dengan Maria dengan mudah.”

Kokone tetap terdia, masih menatap ke lantai.

“Tapi aku mencintai orang lain dan bukan Otonashi-san.”

Kokone terbelalak saat dia mendengar kata-kataku.

“Jadi—“

Tapi Kokone tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia mengalihkan pandangannya – yang aku segera sadari.

Dia memandang ke dalam ruang kelas dan mencari seseorang.

Matanya berhenti mencari.

Dan sekarang terfokus pada — Kasumi Mogi.

Ditanggal 1 Maret aku belum jatuh cinta pada Mogi-san. Dan selama pengulangan ini, ke 27.755 kali, aku belum berhubungan dengannya sama sekali.

“Kokone, sebenarnya, ada hal yang aku ingin kau lakukan. Yaitu—“

“Yeah. Kau tidak harus mengatakannya. Kupikir percakapan kita sampai sekarang sudah memperjelas semuanya bagiku,” Kokone berkata sambil tersenyum. “Ruang kelas memasak sesudah sekolah – apa itu cocok untukmu? Aku akan mengatakan semuanya di sana saat itu!”

Kenapa ruang kelas memasak, aku heran sejenak – tapi benar juga, Kokone adalah anggota klub home economic.

“Kita mungkin satu-satunya yang akan berada di sana hari ini.”

Saat aku mengangguk, dia menatapku sekali lagi. Aku tidak bisa menerka pemikiran apa yang tersembunyi dibalik wajahnya.

“Kazuki.”

Maria, yang tadinya mengamati kami dari balik pintu, memanggilku. Itu mungkin tanda bagiku untuk mundur.

Aku mengatakan pada Kokone “nanti,” dan bermaksud berbalik.

“Ah, tunggu sebentar!”

Kokone menghentikanku. Aku berhenti bergerak dan menatap ke arahnya lagi.

“Um, boleh aku bertanya? Ah, tapi kau tidak harus menjawabnya tentu saja...”

“Apa?”

“Siapa orang yang kaucintai, Kazu-kun?”

Aku langsung menjawabnya.

“Mogi-san!”

Saat dia mendengarnya, Kokone memandang ke bawah dan menyembunyikan wajahnya. Tapi aku sudah menyadari ekpresinya.

Kokone tersenyum.



Sekolah telah berakhir.

Kami mendengar seseorang menjerit dari ruang kelas memasak. Saat kami masuk, kami segera menyadari kalau semuanya sudah menjadi kacau.

Kami melewatkan kesempatan emas ini.

Sesuai rencana, Kokone Kirino dan Kasumi Mogi ada di ruang kelas memasak. Tidak, lebih tepatnya — Kasumi Mogi dan apa yang sebelumnya Kokone Kirino ada di sana.

Ruang kelas memasak berlumuran darah.

Pelakunya memegang sebuah pisau berlumuran darah.

“Kazu-kun.”

Meski dia telah menyadari kehadiranku, ekspresinya tetap sama.

“...Ke-kenapa—“

Aku tidak mengerti. Kenapa dia melakukan hal semacam itu?

Berlumuran dara, Mogi-san menatap ke arahku. Dia tanpa ekspresi seperti biasanya. Tapi aku menyadari cahaya yang berkelip di matanya dan menyalahkanku.

Aah, yeah. Benar. Aku juga patut dipersalahkan akan situasi ini.

“Mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati”

Mogi-san terus menerus menggumamkan sesuatu mirip seperti kutukan.

Aku tidak ingin mendengarnya. Aku cuma ingin menutup telingaku. Tapi aku bahkan tidak bisa melakukannya. Aku kehilangan kendali akan diriku segera setelah aku melihat tubuh Mogi-san yang berlumuran darah. Kata-katanya memasuki telingaku. Aku berusaha keras untuk tidak memahami arti kata-kata itu. Tapi tidak ada artinya – kata-kata itu menghujaniku seperti longsoran, mereka turun menjatuhiku dan menutupi tubuhku yang lumpuh.

Mogi-san berkata.

Dia mengatakan kata yang mempersalahkanku.

“Mati!”


Sebelumnya Ke-0 kali Kembali ke Halaman Utama Selanjutnya Ke-27,755 kali