Hyouka Bahasa Indonesia:Jilid 2 Bab 2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

2 – “Pembunuhan di Desa Terbuang Furuoka”[edit]

Setelah kembali ke Ruang Geologi setelah kembali dari menonton preview, Satoshi bicara.

“Irisu Fuyumi lumayan terkenal, tahu?

“Masa’? Jadi, apa dia punya tiga wajah di kepalanya atau semacamnya?”

“Yah, aku tidak tahu soal itu, tapi aku tidak akan terkejut kalau memang begitu. Sebelumnya aku pernah mengatakan ini, tapi Irisu berasal dari salah satu klan yang menyaingi empat Klan-klan Eksponensial”

Klan-klan Eksponensial mengacu pada para Jumonji, Sarusuberi, Chitanda, dan Manninbashi, yang nampaknya merupakan empat keluarga bersejarah panjang yang paling berpengaruh di Kota Kamiyama. Ngomong-ngomong, sebutan yang agak anek untuk mereka ini sepertinya diciptakan oleh Satoshi sendiri, karena aku hanya mendengar Satoshi yang menggunakannya.

Satoshi menunjuk pada jalanan di luar jendela.

“Keluarga Irisu adalah yang menjalankan Rumah Sakit Rengou disana.”

Bangunan yang ditunjuk oleh Satoshi sepertinya memang merupakan Rumah Sakit Rengou. Merupakan rumah sakit swasta dengan fasilitas yang setara dengan rumah sakit yang dikelola oleh Palang Merah Jepang. Karena hanya berjarak 5 menit berjalan kaki dari SMA Kamiyama, setiap murid yang yang terluka atau sakit akan berakhir di bangsal mereka. aku mengerti, jadi itulah kenapa Irisu Fuyumi terkenal.

Walaupun aku mulai teryakinkan, Satoshi tidak berhenti sampai disitu.

“Tapi tidak hanya itu yang membuat irisu Fuyumi terkenal. Ia punya nama panggilan lain.”

“Masa’?”

“Jadi bagaimana, Houtarou, mau mencoba menebaknya?”

Sementara aku tidak punya niatan untuk mengikuti permainan, aku memutuskan untuk memikirkannya setelah ditanya. Kalau Satoshi yang menanyakan pertanyaan semacam itu, maka nama panggilan bergaya Ibara seperti Iri-chan dapat dicoret. Karena ia punya aura anggun yang dingin, sesuatu yang dapat membuat teman sekelasnya gemetar, maka…

“Theresa[1].”

Satoshi tersenyum lebar.

“Hebat! Kau sebenarnya hampir tepat. Lebih tepatnya ‘The Empress[2]’. Pikirkan saja, dipercayai oleh ‘Sang Permaisuri’ untuk menyelesaikan sesuatu, tidakkah itu terdengar hebat?”

Sang Permaisuri, nama julukan lain yang berlebihan lagi. Sampai ia dianugerahi nama seperti itu…

“Apa dia seorang dominatrix[3]?”

Ibara, yang berbicara dengan Chitanda untuk satu dan lain hal, sekarang menoleh dan menyela, “Itu sih ratu, bukan permaisuri.”

Ia kemudian berpaling lagi. Aku mengagumi kemampuannya untuk mengejek seenaknya.

“Begitu. Terus, kenapa ia dijuluki ‘Sang Permaisuri’?”

“Well, dia cantik, bla bla bla, plus dia pintar membuat orang melakukan perintahnya dengan sikap yang tenang. Ia selalu seakan-akan dapat mengendalikan orang-orang disekitarnya dengan mudahnya.”

“Sungguh?”

“Taruhlah kejadian di pertemuan dengan OSIS yang aku sebutkan sebelumnya sebagai contoh. Irisu-senpai dapat melihat akar permasalahan antara ketiga anggota yang berdebat, dan mengarahkan mereka untuk secara bergantian menyebutkan point mereka, yang pada akhirnya menghasilkan resolusi.”

Kedengarannya hebat. Ia mampu menyimpulkan masalah hanya dari mendengarkan. Ia sepertinya tipe orang pemimpin. Tapi karena itu, situasinya berkembang kea rah yang tidak aku sukai. Aku tidak punya niatan untuk melakukan apapun untuk siapapun, tapi berakhir melakukan pekerjaan untuknya.

Saat aku menyilangkan lenganku, Satoshi mengetuk meja dengan jarinya. Pada saat ia menghentikan ketukan beriramanya, aku melihatnya tersenyum lebar lagi.

“Selain itu,”

“Selain itu apa?”

“Karena kita sedang membicarakan ‘Sang Permaisuri’ dan hal lainnya, bagaimana kalau kita memberikan simbol untuk kita sendiri juga?”

“Sebuah simbol?”

Untuk sesaat, aku dipermainkan oleh Satoshi. Tidak lama kemudian, ia melanjutkan, “Pertama-tama, Mayaka adalah ‘Justice[4]’.”

‘Permaisuri’ dan ‘Keadilan, ya? Sebagai orang yang logis dan hampir tidak percaya dengan takhayul, aku juga tahu ia membicarakan tentang kartu tarot. Satoshi berbicara dalam suara yang dapat didengar oleh Ibara, jadi aku diam saja untuk mengamati perkembangan situasinya.

Seperti yang kuduga, Ibara menimpali tajam dari seberang ruangan, “Dan kenapa aku harus jadi pelindung keadilan?”

Satoshi berbalik untuk menghadap kearahnya.

“Bukan pelindung keadilan. Kau tertukar dengan ‘Judgment’. Orang-orang dari tipe keadilan cenderung keras terhadap diri sendiri bukan?”

Dia terlihat telah meredakan amarahnya. Sementara aku sama sekali tidak tahu apa arti kartu keadilan, penggambaran Satoshi cukup cocok dengan Ibara. Saat aku berpikir seperti itu, Ibara menoleh dan melotot ke arahku.

“Apanya yang lucu?”

“Oi! Kamu harusnya protes ke Satoshi, bukan padaku.”

“Walaupun Fuku-chan sedang membicarakan aku, toh kamu juga tidak begitu mendengarkan, jadi kamu seharusnya tidak berkomentar juga!”

… cara pembenaran yang hebat.

Rasa ingin tahunya terpicu, Ibara bangkit dari tempat duduknya, dan begitu juga Chitanda. Para anak perempuan itu lalu berjalan kea rah kami. Ibara mencondongkan dadanya yang rata kea rah Satoshi dan bertanya, “Lalu, Fuku-chan menjadi apa kalau begitu?”

“Aku? Hmm, aku adalah ‘Si Bodoh’, rasanya… bukan, mungkin lebih cocok ‘Si Penyihir’. “Si Bodoh’ adalah Chitanda-san.”

Betapa merupakan kelancangan yang tak berotak memanggil orang lain bodoh. Tetapi Chitanda terlihat tidak meresponnya dengan buruk. Hanya untuk alasan keamanan, Satoshi menambahkan, “Aku tidak bermaksud lancang, pastinya. Tapi aku yakin Chitanda-san memahami yang aku katakan.”

Chitanda perlahan membuka mulutnya.

“Ya, saya mengerti. Kalau dipikir-pikir, saya memang sesuai dengan penggambaran ‘Si Bodoh’, saya tidak berpikir itu menghina, tapi… Fukube-san, kamu memang cocok dengan kesan ‘Si Penyihir’.”

Sepertinya mereka membicarakan makna tersembunyi dari setiap kartu tarot. Sementara Chitanda dan Satoshi saling mengerti apa yang dikatakan yang lain adalah tentang kartu tarot, aku benar-benar diluar lingkaran mereka. Meskipun Ibara juga terlibat dalam percakapan, ia juga mungkin tidak mengerti artinya.

“Kalau begitu, bagaimana dengan Oreki-san?”

Satoshi segera membalas, “Itu mudah, ‘Strength’.”

“? Mengapa begitu? Kupikir dia lebih seperti ‘The Star’…”

“Tidak, tanpa diragukan lagi, ‘Kekuatan’ sangat cocok dengannya.”

Dia tersenyum sementara aku perlahan menyadari kalau dia sedang mengolok-olok ku. Chitanda memiringkan kepalanya sambil mencoba berpikir, tetapi tetap tidak dapat memahami yang dikatakannya. Baik aku dan Ibara pun tidak bisa berkata apa-apa.

“Tapi kenapa?”

“Yah, ‘The Star’ juga cocok dengannya.”

Satoshi sedemikian rupa mengelak dari pertanyaannya. Chitanda sekarang memiringkan kepalanya dari kiri ke kanan, tapi untungnya, ia tidak bilang, “saya sangat penasaran” kali ini. Aku bersandar lebih jauh ke belakang sambil memberengut.

“…Hmph. Toh, kau juga bukan sedang memujiku.”

“Oh, tidak, sama sekali bukan begitu!”

Ia tersenyum singkat lagi. Benar-benar orang yang menyebalkan.

Topiknya lalu berganti menjadi hal lain. Walaupun hari ini cukup tidak produktif, secara efisiensi, toh tidak begitu banyak energi yang terbuang. Aku yakin besok juga akan sama.



Keesokan harinya.

Seluruh anggota Klub Sastra Klasik berkumpul di ruang klub – meskipun kita hanya memiliki empat orang anggota. Target hari ini adalah untuk membuang waktu… maaf, maksudku, untuk meninjau ulang misteri sebuah pembunuhan. Memikirkan bahwa diriku ini akan menyempatkan diri untuk datang ke sekolah di liburan musim panas yang agung, aku sudah jadi sedikit aktif akhir-akhir ini, candaku pada diriku sendiri. Ditimbang-timbang, ini semua adalah salahnya Chitanda…… sejujurnya, aku tidak ingin datang, tapi, menebak niatanku, Satoshi menelponku dan mengatakan kalau aku tidak datang, nona paling baik hati di klub kami akan secara pribadi langsung datang ke rumah untuk menjemputku, dengan semangat pula.

Untuk suatu alasan, Chitanda terlihat cukup senang karena ia tersenyum lebar, yang bertolak belakang dengan aku yang menghela napas disebelahnya. Disisi lain, Satoshi dan Ibara mulai mendiskusikan agenda hari ini,

“Sepertinya memang kita mesti mendatangi TKP.”

“Tapi itu di Kota Furuoka. Apa kita akan benar-benar pergi ke sana? Meskipun bisa dicapai menggunakan bus, kita masih harus cukup lama naik kereta.”

“Seorang detektif tidak melakukan pekerjaan di lapangan, ya? Dibilang begitu juga, tempatnya hanya 20km dari sini, kita pakai sepeda juga oke.”

“Daripada ‘bekerja di lapangan’, rasanya lebih mirip dengan investigasi lapangan biasa polisi dari pada pekerjaan detektif......”

Dua puluh kilometer?! Yang benar saja. Kupikir yang harus kita lakukan hanya mendengarkan dugaan dari para detektif dari kelas 2-F.

Tapi bagaimana kami akan mendengarkan mereka? Kami jarang bertemu dengan siapapun dari kelas 2-F, jadi akan sangat canggung bagi adik kelas seperti kami untuk tiba-tiba pergi dan menanyakan pendapat mereka. Selain itu, kami sama sekali tidak tahu siapa yang harus kami dengarkan terlebih dahulu. Saat aku sedang memikirkan apa yang harus kami lakukan, aku melihat Chitanda terlihat cukup tenang.

“Chitanda. Apakah akan ada sesuatu yang terjadi hari ini?”

Karena ditanya, ia mengangguk.

“Sungguh? Apa?”

“Irisu-san akan mengirim seorang perwakilan untuk memandu kita untuk bertemu dengan kru film.”

Seorang perwakilan? Itu artinya semua ini sudah direncanakan. Kalau dipikir-pikir, ini masuk akal.

“Memangnya kapan kamu merencanakan ini dengannya?”

Chitanda berbicara seakan sedang membongkar rahasia,

“Sebenarnya...... saya menggunakan browser.”

Browser?

“Berhentilah menggunakan cara menyebut yang aneh. Katakan saja kamu berkomunikasi lewat internet, zaman sekarang itu sudah bukan hal yang aneh lagi ‘kan?”

“Sebentar, Houtarou. Secara teknis, dia menggunakan world wide web, bukan internet.”

Aku mengabaikan protes Satoshi dan melanjutkan,

“Jadi, apa yang kamu lakukan lewat internet?”

“Aku masuk chat-room khusus murid di website SMA Kamiyama.”

“Kamu salah mengatakannya, Chitanda-san. Yang benar, mengakses chatroom melalui website.”

Chitanda mengabaikan Satoshi dan melanjutkan,

“Dan saya berkomunikasi dengan Irisu-san disitu. Dia mengatakan dia mungkin tidak dapat datang sendiri, tapi dia sudah mengatur tempat untuk kita bertemu dengan teman sekelasnya, dan akan mengirimkan seorang pemandu untuk membawa kita pada mereka.”

Hmm, persiapannya lumayan juga. Meskipun sepertinya agak menyusahkan, paling tidak sebagai seorang permaisuri, dia tidak hanya duduk di singgasananya dengan kaki terbentang tidak melakukan apapun.

Chitanda menengadah melihat jam di atas papan tulis. Baru jam 1 lewat.

“Waktu pertemuannya sebentar lagi. Dia mestinya datang sebentar lagi.”

Seakan diberi isyarat, pintu lalu terbuka pelan.


Orang yang memasuki Ruang Geologi itu adalah seorang anak perempuan, yang lebih pendek dari Chitanda namun lebih tinggi dari Ibara, tingginya seperti rata-rata kebanyakan anak perempuan. Secara keseluruhan, ia berbadan kecil. Kalau dicari sesuatu yang lain dari penampilannya, adalah rambut pendeknya, yang hanya menutupi belakang lehernya. Walaupun aku bukan ahli dalam fashion, paling tidak aku tahu potongan rambut dewasa seperti itu cukup jarang bagi anak perempuan seumurannya. Dilengkapi dengan bibirnya yang tipis, dia memberikan kesan orang yang sopan.

Setelah masuk, ia membungkuk dalam memberi hormat pada kami.

“Apakah ini ruangan Klub Sastra Klasik?”

Chitanda segera menjawab, “Ya, itu benar… apakah Anda dari kelas 2-F?”

“Ya. Nama saya Eba Kurako. Senang bertemu dengan kalian.”

Dia membungkuk lagi sesopan dan sedalam sebelumnya terlepas dari fakta bahwa kami adalah adik kelasnya. Gadis bernama Eba itu lalu mengangkat kepalanya untuk menatap kami dan berbicara dalam gaya bicara pebisnis.

“Hari ini aku telah dipercayai oleh Irisu untuk mengantar kalian untuk menemui salah satu anggota divisi pembuatan film proyek kelas kami… apakah kalian sudah siap?”

Kami toh tidak perlu menyiapkan apapun. Aku berdiri untuk menyatakan aku siap pergi, dan yang lainnya melakukan hal yang sama. Eba mengangguk dan berkata, “Kalau begitu, mari kita pergi.”

Kami dengan patuh meninggalkan Ruangan Geologi setelah perkataannya. Walaupun kami hanya akan mendengarkan pendapat orang lain, aku memiliki firasat buruk soal ini, karena kami hanya mengikuti arus begitu saja.

Suara kelompok brass meniup instrumen mereka terdengar dari koridor. Saat aku berpikir rasanya melodinya terdengar familiar, aku menyadari bahwa lagu yang dimainkan adalah lagu tema untuk Lupin III. Bersenandung seiring musik, Satoshi berjalan ke sampingku seakan mengeraskan musiknya dan berkata, “Dia seperti seorang butler, ya?”

Maksudnya Eba? Kalau dipikir-pikir, memang cocok.

Musiknya sedikit menjadi samar terdengar ketika kami menuruni tangga. Eba lalu berhenti dan berbalik.

“Silahkan bertanya jika ada yang ingin ditanyakan.”

Berbicara dalam nada yang santai, Ibara-lah yang mulai menanyakan pertanyaan pertama yang dipikirkannya.

“Hari ini kami akan berbicara dengan siapa?”

“Namanya Nakajou Junya.”

Aku menatap Satoshi bertanya apakah ia mengenal orang ini, yang kemudian ia menggelengkan kepalanya. Bukan orang yang terkenal, kalau begitu.

“Apa tugas orang itu?”

“Dia adalah asisten sutradara dari bagian pembuatan film, jadi dia adalah yang paling tahu tentang adegan-adegan yang sudah diambil.”

Chitanda lalu bertanya, “Waktu Anda bilang bagian pembuatan film, apakah itu berarti ada bagian-bagian lain yang terlibat dalam pembuatan film-nya?”

Eba mengangguk.

“Proyek ini dibagi pada tiga bagian. Bagian pembuatan film adalah mereka yang pergi ke Narakubo untuk syuting di lokasi. Dua bagian yang lain adalah bagian peralatan dan bagian pemasaran.”

“Kalau begitu, para aktornya ada di bagian…”

“Bagian pembuatan film, yang juga bagian paling besar karena beranggota 12 orang. Lalu diikuti oleh bagian peralatan 7 orang, dan bagian pemasaran 5 orang.”

Itu merupakan jumlah yang banyak. Sejujurnya, aku cukup terkesan dengan mereka.

Chitanda lalu menanyakan pertanyaan yang wajar.

“Bagaimana dengan Anda, Eba-senpai?”

Seperti sebelumnya, Eba segera menjawab.

“Aku tadinya bukan bagian dari proyek… karena aku tidak begitu tertarik.”

Aku tersenyum, karena itu juga merupakan tipe jawaban yang akan kukatakan.

Kami lalu sampai di lorong yang menghubungkan Blok Kelas Khusus dengan gedung blok kelas biasa. Seperti namanya blok kelas biasa terdiri dari ruang-ruang kelas biasa. Aktivitas yang berkaitan dengan Festival Kebudayaan SMA Kmiyama lebih sedikit dibagian ini. Tidak seperti di Blok Kelas Khusus, terdapat lebih banyak ruang kelas yang kosong disini.

Eba berhenti di depan salah satu ruang kelas yang sepertinya kosong itu. Melihat papan nama kelasnya, kelas ini adalah ruang kelas 2-C. tapi Irisu mestinya murid kelas 2-F. melihat wajah-wajah kami, Eba menjelaskan, “Aku diberitahu bahwa akan lebih baik untuk berdiskusi di ruang kelas yang lebih tenang. Karena kelas 2-C tidak akan mempertunjukkan apapun, tidak ada yang akan mengganggu kalian selama kalian berdiskusi.”

Ia lalu membuka pintunya.

Itu adalah ruangan seperti ruang kelas pada umumnya. Terdapat meja-meja, kursi-kursi, meja guru dan papan tulis, tidak ada yang lain.

Duduk di depan kelas, adalah seorang lelaki dengan tangan disilangkan. Ia terlihat seperti tipe-tipe berotot dengan tanganya yang menonjol. Dia juga memiliki alis yang tebal dan dagu yang berjanggut, meski sepertinya dia telah bercukur… orang ini pasti si asisten sutradara, Nakajou Junya. Setelah melihat kami, dia berdiri dengan tenang dan bicara dengan suara yang kencang.

“Jadi kalian ini yang katanya mengerti misteri?”

Katanya.

Aku tergoda untuk bilang kalau kami tidak begitu mengerti apa-apa, tapi karena aku tidak begitu tertarik untuk mengejek orang lain… karena kami hanya diam, Eba menjadi juru bicara kami.

“Ya. Orang-orang ini adalah orang-orang yang berkemampuan yang Irisu temukan. Jadi tolong bersikap lebih hormat.”

Ia lalu berbalik dan mengenalkan Nakajou pada kami.

“Orang ini adalah Nakajou Junya.”

Nakajou mengangkat dagunya naik. Caranya menyalami kami.

Chitanda melangkah ke depan untuk memperkenalkan diri.

“Saya Chitanda Eru dari Klub Sastra Klasik.”

Ia lalu memperkenalkan kami satu per satu dengan aku sebagai orang yang terakhir kali diperkenalkan. Eba lalu memandu kami untuk duduk diseberang Nakajou. Saat kami semua duduk, Eba berkata, “Saya permisi dulu. Selanjutnya saya serahkan pada kalian.”

Dan meninggalkan ruangan. Ia tidak ikut bergabung? Jadi dia benar-benar memainkan peran sebagai butler dari Irisu.

Ditinggalkan, kami sekarang berhadapan dengan Nakajou. Ayo kita mulai kalau begitu.


Nakajou menyilangkan tangannya sambil perlahan memulai, “Maaf membuat kalian terlibat dalam semua ini. Karena proyek ini dimulai dari minat, sayang sekali kalau kami tidak menyelesaikannya. Jadi kami harus mencari bantuan.”

Begitu, karena minat, ya?

“Aku yakin kalian telah mendengar semuanya dari Irisu. Semuanya sesuai dengan apa yang dikatakannya.”

Orang yang lumayan terang-terangan. Sebelumnya aku sedikit khawatir tentang bagaimana senior menganggap adik kelas yang mengkritisi teorinya, tapi melihat bagaiman Eba dan Nakajou bersikap, mereka tidak merepotkan untuk ditangani.

Duduk disebelahku, Satoshi memasukkan tangannya ke dalam tas talinya, dan mengeluarkan sebuah buku bersampul kulit dan bolpen, dan membuka buku catatan itu seakan menyatakan bahwa dialah juru catatnya.

Walaupun tidak apa-apa bagi Nakajou untuk langsung mulai, tapi sebagian besar dari kami belum mengerti situasinya. Pertama-tama, Ibara memutuskan untuk memulai dengan basa-basi.

“Pasti gawat sekali, senpai, karena naskahnya tidak selesai. Saya terkejut saat mendengarnya.”

Nakajou mengangguk berlebihan.

“Benar sekali. Kami sudah sampai sejauh ini. Tidak pernah terpikir hal seperti ini dapat terjadi.”

“Apakah proses pembuatan filmnya sulit?”

“Untuk acting, sesekali kami masih bisa improvisasi, toh kami merasa senang melakukannya. Bagian yang sulit sebenarnya adalah perjalanannya, karena butuh satu jam untuk mencapai lokasi menggunakan kereta dan bus, dan kami hanya bisa syuting di hari Minggu. Aku masih heran kenapa kami memilih tempat itu sebagai lokasi pembuatan film.”

Aku melihat Ibara menyipitkan matanya.

“Kalau begitu kenapa memilihnya?”

“Hmm? Lokasinya? Yah, seseorang mengatakan bahwa tempatnya menarik untuk dikunjungi. Memang benar kami mendapatkan pemandangan yang luar biasa yang tidak akan kami temukan di tempat lain, dan itu bagus, tapi aku masih berpikir bahwa tempatnya terlalu jauh.”

Jadi Irisu berkata benar saat ia bilang bahwa ia tidak terlibat dalam tahap perencanaan film. Kalau aku harus memilih untuk apakah pergi ke tempat yang bolak-balik membutuhkan 2 jam, aku pasti akan menolak.

Mungkin menyadari pembicaraannya tidak mendekati topik utama, Satoshi mengalihkan pandangannya dari buku catatan dan bertanya, “Aku dengar daerah Narakubo adalah desa yang ditinggalkan. Apakah bisa dicapai menggunakan bis?”

“Kami pergi ke sana menggunakan minibus. Mobil yang kami sewa dari sebuah hotel tempat kerabatku bekerja.”

“Jadi tempatnya tidak terlarang bagi orang luar?”

“Kami harus mengakalinya untuk bisa masuk karena tempat itu masih dijalankan oleh perusahaan penambangan. Kami punya orang yang mengenal seseorang dari perusahaan tersebut, meskipun yang kami lakukan hanya meminta apakah kami dapat memasuki daerah tersebut.”

“Apakah hanya bisa pergi ke sana di hari Minggu?”

“Meskipun Narakubo adalah desa yang ditinggalkan, fasilitas pertambangannya masih bekerja. Suara yang dihasilkan dari pertambangan hanya akan mengganggu saat syuting. Belum lagi mobil yang sesekali lewat dengan kecepatan tinggi, jadi tidak ada jaminan keselamatan bagi kami, dan lain-lain… apakah ini ada hubungannya dengan kasus kalian?”

Satoshi tersenyum.

“Tidak, hanya ingin tahu. Aku mendapat hal baru.”

Jangan dihiraukan, Nakajou-senpai, Satoshi memang orang yang seperti itu. Aku berkata begitu dalam hati.

Selanjutnya adalah Chitanda.

“Bagaimana keadaan penulis naskah, Hongou-san, sekarang?”

“Hongou? Walau aku tidak tahu jelasnya, kudengar dia sedang sakit. Aku tidak bisa menyalahkannya juga, ‘kan?”

Jawab Nakajou sambil mengangkat alisnya. Anggaplah Irisu benar, Hongou mungkin selalu berada dibawah banyak tekanan dari semua orang di kelas 2-F yang menyebabkannya jatuh sakit. Mungkin sulit bagi mereka bahkan untuk berpikir untuk menyalahkannya atau meminta permohonan maaf darinya, yang merupakan apa yang terlihat dari perilakunya.

Kemungkinan besar tidak merasakan sentiment tersebut sama sekali, Chitanda melanjutkan pertanyaannya.

“Apakah Hongou-san orang yang sangat rapuh?”

Nakajou menggerakkan alisnya cepat dan mengeram dalam.

“Aku tidak pernah memandang seperti itu, sih. Daripada dibilang rapuh secara mental, dia lebih rapuh secara fisik.”

“Jadi dia memiliki fisik yang lembut?”

Penggambaran macam apa itu? Aku spontan berbicara tanpa berpikir.

“Maksudnya dia gampang jatuh sakit.”

“Benar sekali. Dia sering tidak masuk sekolah sekarang, dan dia bahkan tidak bisa datang ke tempat syuting.”

Nakajou menunjukkan sedikit penyesalan ketika mengatakannya. Logisnya, kau tidak begitu membutuhkan penulis naskah untuk hadir dalam pembuatan film. Jika terjadi hal yang tidak sesuai dengan naskah, mereka hanya perlu menyesuaikan saja, dan semua orang akan tahu apa yang harus dilakukan meskipun tidak ada Hongou… karena dari awal naskahnya sudah ditulis.

Terpikir soal ini, aku bertanya, “Apakah naskah Hongou-senpai mendapat penerimaan yang buruk dari kelas?”

Nakajou menunjukkan ekspresi marah.

“Tidak ada yang berpikir begitu. Seperti yang kukatakan sebelumnya, tidak ada yang menyalahkannya atas apa yang sudah terjadi.”

“Jadi Senpai sungguh-sungguh soal apa yang Senpai katakan sebelumnya?”

“Jangan konyol. Apa yang sebenarnya ingin kau katakan? Semuanya, termasuk aku tentunya, mengakui peran Hongou dan tahu seberapa penting keterlibatannya dalam proyek ini.”

Tapi Hongou roboh sebelum ia bisa menyelesaikan pekerjaannya. Kalau begitu, maka seperti yang Chitanda katakan, Hongou mungkin orang yang sedikit terlalu rapuh.

Untuk mengganti fokus dari atmosfir yang tidak menyenangkan, Ibara berdehem dan bicara, “Ngomong-ngomong, senpai,”

“Ya?”

“Sementara kami tahu bahwa naskahnya tidak menyebutkan siapa pembunuhnya, bagaimana kalau itu adalah semacam trik dalam pembuatan film, apakah ada seseorang yang telah diberikan peran tersebut tanpa disebutkan dalam naskah?”

Usulan yang berani. Tapi kalau itu benar, semuanya akan lebih mudah dan peran kami sebagai pengamat jadi tidak dibutuhkan. Nakajou menyilangkan tangannya lagi sambil berusa mengingat dari memorinya.

“…Hmm.”

“Jadi?”

“Aku tidak ingat yang seperti itu… Tidak, tunggu… kalau tidak salah, ia mengatakan ‘berjuanglah’ atau yang semacam itu pada Kounosu …”

Siapapun bisa bilang begitu. Ibara pasti memikirkan hal yang sama, saat kekecewaannya muncul di wajahnya sebentar, walau segera ia tekan dan bertanya, “Kalau begitu, apakah sudah coba menanyakan pada aktor-aktornya? Tentang apakah mereka diberi peran itu atau tidak?”

“Sudah, dan mereka semuanya bilang mereka tidak dengar soal itu.”

Ia lalu menggigit bibirnya.

“Kalau begitu bagaimana dengan peran detektifnya?”

“Itu juga.”

Haah

Ayolah, kau bisa melakukannya, Ibara. Ia lalu bertanya, “Kalau ini bagaimana? Pernahkah disebutkan apakah trik dalam pembuatan film ini trik fisik atau psikologis?”

Nakajou terlihat bingung pada pertanyaan tersebut.

“Apa bedanya?”

Saat aku penasaran reaksi seperti apa yang akan Ibara berikan, mata kami bertemu pandang. Ia lalu menggelengkan kepalanya perlahan dengan campuran antara rasa kesal dan putus asa pada wajahnya. Kalau saja Nakajou tidak disitu, dia mungkin sudah tidak mempedulikan etika lagi dan menghela napas nyaring.

Kami lalu menanyakan beberapa pertanyaan, tapi akhirnya Nakajou sepertinya tidak memiliki informasi yang penting. Lagian, jika saja dia memiliki informasi yang berguna, tidak akan ada masalah. Disamping itu, kami terlalu kurang persiapan dan tidak punya pertanyaan yang dapat mengubah perhatian menjadi sesuatu yang penting. Sebagai seorang penghemat energi, ini merupakan kesalahan besar bagiku. Jika aku harus melakukan sesuatu, lakukan dengan cepat. Aku harus mulai mengajukan pertanyaan yang tepat dalam urutan yang benar.

Namun Nakajou bicara sambil terlihat puas.

“Apakah sudah selesai?”

Ibara menjawab, “Kalau yang Senpai maksud pertanyaan dari kami, maka ya, kami sudah selesai.”

Kenapa aku merasakan sarkasme nya ditujukan pada kedua pihak?

Setelah kami mendapatkan koleksi informasi, Satoshi menutup bolpennya. Pada isyarat itu, Chitanda bertanya tenang, “Anda Nakajou-san, benar? Menurut Anda apa yang ingin dilakukan Hongou Mayu-san dengan naskahnya?”

Menyadari kita telah memasuki topik utama, Nakajou tersenyum lebar.

“Baiklah, tolong jangan terlalu keras padaku dan dengarkan pendapatku.”

“Silahkan dimulai.”

Aku berpikir apakah Nakajou seharusnya merasa senang disaat seperti ini. Saat dia menjilat bibirnya dan mulai bicara, ternyata dia dapat bicara cukup banyak juga.


“Kalau dipikir-pikir, teknik pengambilan gambarnya mungkin menimbulkan kritik, tapi menurutku penonton tidak perlu terlalu memperhatikannya dan memandangnya sebagai penguat plot. Lagipula, drama yang baik harus selalu detektif yang mencari tahu siapa pembunuhnya lebih dulu dari siapapun, memaksa pembunuhnya untuk mengatakan bagaimana dan kenapa ia melakukannya. Walaupun, aku tidak bisa mengambil alih apa yang Hongou lakukan, kalau kau Tanya aku, kupikir dia lemah dalam menulis cerita yang menarik. Kami bahkan tidak tahu siapa karakter utamanya.

Alangkah baiknya kalau Kaitou-lah yang mati. Kalian mungkin tidak tahu soal ini, tapi Kaitou lumayan banyak disukai. Orang-orang dari bagian property bilang mereka lumayan terkesan dengan bagaimana dia terlihat mati dalam adegan. Seperti yang diharapkan dari orang terkenal, untuk dapat memberikan penampilan seperti itu. Meskipun menjadikan protagonist sebagai pembunuh bukan ide yang begitu bagus, tapi tidak mustahil juga. Jadi menurutku, pembunuhnya adalah Yamanishi, karena ia punya banyak teman juga.”

“Secara umum, tema sekelas kita dapat menjadi lumayan obsesif dalam beberapa hal. Termasuk menulis cerita misteri, dimana mereka akan berdebat kalau bagian ini bukan misteri, atau bagian itu rasanya janggal. Tapi filmnya hanya akan berdurasi satu jam. Jika mereka memasukkan setiap aspek fiksi misteri ke dalamnya, kami tidak akan dapat memasukkan semuanya tepat waktu. Dan aku yakin kalian semua sudah menyadarinya, sulit melihat detil apapun dengan jelas pada layar sekecil itu. Jadi aku pikir film ini lebih mirip cerita drama. Kita masih bisa menggunakan judul “Pembunuhan di Desa Terbuang Furuoka” atau yang seperti itu, hanya untuk mengundang penonton untuk menontonnya. Aku yakin itu yang dipikirkan Hongou juga.”

Entah bagaimana aku harus mengatakannya. Aku melamun dalam setengah jalan Nakajou berbicara. Aku bukan maniak cerita misteri. Aku sering membeli buku novel untuk dibaca di waktu luang, dan kadang-kadang ada genre misteri diantaranya, tapi hanya itu. Selain itu, aku menemukan hal aneh soal Nakajou menyatakan bahwa penonton tidak akan mempedulikan tentang teknik pembuatan film.

… Tapi kalau dipikir-pikir, orang-orang seperti apa yang akan menonton film buatan kelas 2-F?

Mungkin akan ada orang-orang dari Klub Studi Fiksi Detektif, tidak diragukan lagi, tapi berapa banyak dari orang-orang ini yang pernah membaca fiksi detektif? Ini bukan spekulasi yang tidak berdasar, karena pernah ada sebuah kuesioner konyol yang dibagikan oleh kelompok mading, SMA Kami Bulanan yang menyelidiki “Literasi dari siswa-siswa SMA Kamiyama”. Mengingat bagaimana Satoshi membacanya dengan antusias, aku ingat hasilnya menunjukkan 40% dari seluruh badan siswa pernah membaca paling tidak satu novel. Dan dari 40% itu, berapa banyak dari mereka yang sudah membaca fiksi detektif sampai bisa tahu bagaimana cara mengetahui trik yang muncul akibat pembuatan film?

Dari sudut pandang ini, mungkin teori Nakajou memang memiliki dasar.

Sambil menyilangkan kaki dan tangannya, Nakajou melanjutkan, “Tapi, rasanya tidak menarik kalau tidak menampilkan bagaimana pembunuhnya membunuh Kaitou. Dan bahkan Irisu sampai meminta bantuan dari kalian… karena kalian memiliki minat pada misteri dan sebagainya ‘kan? Jangan tersinggung ya, tapi kurasa aku sudah menemukan cara untuk membumbui filmnya, sendiri.”

Seperti yang sudah kukatakan, kau salah paham. Kami adalah Klub Literatur Klasik, bukan Klub Studi Fiksi Detektif… pokoknya, kalau akhirnya kami tidak bisa menyelesaikan masalah, maka kesalahpahaman ini akan hilang.

Nakajou mulai menjadi lebih semangat dalam berbicara.

“Naskahnya mengandung sebuah elemen penting – sebuah ruangan terkunci. Kaitou mati alam sebuah ruangan yang tidak memiliki jalan keluar lain. Jadi masalahnya adalah: bagaimana cara pembunuhnya membunuh Kaitou?

“Jawabannya mudah: pembunuhnya masuk dari satu-satunya jalan masuk yang tersedia untuknya.”

Mengangkat alisnya, Ibara bertanya, “Bagaimana?”

Nakajou tertawa.

“Jangan berlagak tidak tahu. Dia masuk lewat jendela tentunya.”

… Jendela?

Aku mengingat kembali film yang kami lihat kemarin. Hanya potongan-potongan film yang tersisa di kepalaku. Meskipun adegan yang disebutkan Nakajou cukup dramatis, aku bahkan tidak bisa mengingat latar belakang tempat kejadian perkara.

Tidak punya pilihan lain, aku bicara.

“Satoshi, minta peta.”

Terlihat senang, dia memberi hormat.

“Siap! Tunggu sebentar,”

Dan memasukkan tangannya kedalam tas tali miliknya untuk mengambil secarik kertas – sebuah sketsa kasar dari peta teater.

Berdasarkan ceritanya, Kaitou mati di area Panggung Kanan. Karakter yang lain masuk melalui koridor sebelah kanan. Aku juga ingat seseorang berlari kembali untuk mengambil kunci utama untuk membuka pintu. Jadi dari sudut pandang orang-orang yang ada di koridor kanan, Panggung Kanan adalah ruangan terkunci.

Setelah itu, Katsuda mencoba memasuki Panggung Kiri melalui belakang panggung, yakin bahwa Panggung Kanan dapat diakses melalui koridor kiri melalui jalan tersebut. Tapi dia menemukan bahwa jalan tersebut ditutup oleh papan kayu, jika aku tidak salah ingat.

……

Pertama-tama, adalah aneh bagi Nakajou untuk menyebut ruangan tersebut ruangan terkunci.

Ruangan tersebut tidak bisa disebut murni ruangan terkunci, karena tidak ada yang dapat masuk ataupun keluar sebuah ruangan terkunci untuk membunuh. Meskipun sulit untuk dilihat dari visual film, peta membuatnya lebih jelas. Apakah tidak ada jalan keluar lain selain jendela?

Aku menunjuk pada pintu yang menuju ke aula utama dan bertanya, “Bagaimana dengan jalan masuk ini?”

Nakajou segera menjawab, “Tidak dapat dibuka.”

“……?”

“Pintunya disegel dengan paku, jadi kupikir tidak ada apa-apa disana.”

Aku terheran. Lalu, aku melihat Ibara terlihat tidak senang, mungkin ia menujukan ekspresi itu padaku. Bukan salahku kalau tidak ada yang memberi tahu ku soal jalan masuknya dong!

Irisu kemarin berjanji kalau naskah Hongou akan memberikan penonton cukup kesempatan untuk menyelesaikan misterinya. Tapi kalau diingat-ingat, bagian pembuatan film mungkin tidak diberi tahu tentang pembuatan petunjuk penting apapun. Jadi mereka tidak diberi tahu apapun…Saat aku merasa kecapekan, Satoshi tersenyum sambil membubuhkan tanda silang di atas jalan masuk yang menuju aula.

Mengenyampingkan soal Satoshi, dengan jalan masuk aula tidak dapat diakses, tersisa 4 jalan keluar dari ruangan terkunci. Pintu dan jendela pada Panggung Kanan dan Panggung Kiri. Pintu kedua ruangan tersebut tertutup, jadi yang tersisa adalah jendela.

“Saat Anda bilang jendela… jendela mana yang Anda maksud?”

Nakajou tertawa dengan hidungnya pada pertanyaan Ibara.

“Yang ini, tentunya.”

“Jendela di Panggung Kanan, ya? Tapi kenapa yang itu?”

“Mudah saja, karena jendela Panggung Kiri dihalangi oleh sebuah lemari kostum.”

Jadi karena itu. Satoshi terus tersenyum sambil mencoret jendela Panggung Kiri juga.

Merupakan usaha yang sia-sia bagi kami untuk melaju seperti ini. Sebagai seorang penghemat energi, aku tidak suka membuang-buang usaha yang tidak berarti, jadi aku menyatukan semuanya dan bertanya, “Senpai, ada terlalu banyak faktor yang tidak jelas dari filmnya sendiri. Tentu saja, ini mungkin ada hubungannya dengan kualitas layarnya sendiri. Jadi bisakah Anda memberi tahu kami apakah ada ruangan-ruangan lain selain kedua ruangan yang kita bicarakan yang juga tidak bisa diakses? Tidak masalah apakah ruangan terkunci atau bukan.”

“’Gitu? Sebentar,”

Nakajou mulai berpikir sedikit setelah ditanya.

“…Ah, iya, ruang kendali bagian dalam di koridor kiri tidak bisa dimasuki, karena gagang pintunya rusak dan kami tidak bisa memasukkan kuncinya… Dan semua ruangan yang menghadap ke Utara, semua ruangan disebelah koridor kiri dipeta, jendela-jendelanya ditutupi papan kayu untuk menghadang salju pada musin dingin, jadi tidak bisa dilepas.”

“Itu saja?”

“Ya, cuma itu.”

Nakajou mengatakannya dengan jelas.

Walaupun aku masih curiga, kredibilitas adalah hal yang berharga, jadi sepertinya aku harus percaya padanya soal ini. Pada saat inilah Chitanda, yang dari tadi terdiam, bertanya, “Apakah Hongou-san mengetahui fakta-fakta ini juga? Karena dia tidak pergi bersama kru pembuatan film…”

Ia benar, itu memang penting. Jika Hongou hanya menulis naskahnya berdasarkan peta yang diketahuinya tanpa mengetahui kondisi di lapangan, dia mungkin menjadikan salah satu dari rute-rute yang tidak dapat diakses itu sebagai jalan keluar.

Jawaban Nakajou langsung menghancurkan kekhawatiran tersebut.

“Begitu Narakubo dipilih sebagai setting tempat dengan Hongou sebagai penulis naskah, dia pergi kesana sendiri untuk melihat-lihat.”

“Kapan itu?”

“Hmm, dia mungkin pergi di bulan Juni… bukan, di akhir bulan Mei.”

“Maaf sudah menyelang, silahkan dilanjutkan.”

Nakajou mengangguk dan melanjutkan omongannya, yang merupakan topic utama.

“Dengan kata lain, pembunuhnya masuk dan keluar melalui jendela di Panggung Kanan. Yang karenanya, kita akan bisa mengambil adegan saat pembunuhan Kaitou terjadi dengan pintu yang terkunci. Bagaimana?”

Bagaimana?

Maksudmu bagian pembunuhnya tidak masuk melalui pintu melainkan melalui jendela?

“Oh, aku mengerti!”

Chitanda adalah satu-satunya yang menepuk lututnya ketika menyadarinya.

Aku tidak bisa membawa diriku untuk menyangkal Nakajou-senpai, yang sangat bersemangat. Di saat-saat seperti ini, aku akan mengandalkan Ibara melakukannya menggantikan ku.

“Tapi Nakajou-senpai, kalau begitu jadinya misteri yang kurang bagus.”

Sementara Nakajou tidak menampakkan kekecewaan setelah dikritik langsung seperti itu, dia merendahkan suaranya hingga cukup rendah.

“Kalian mungkin melihatnya seperti itu dan berpikir bahwa pasti ada rute lain. Selain itu… ah iya, kalian juga mungkin tidak begitu mengenal Hongou. Dia bukan ahli dalam cerita misteri, jadi dia mungkin justru menerapkan teknik hebat lain.”

Mengatakan kami tidak begitu mengenal Hongou bukan cara yang meyakinkan untuk membujuk kami. Ini… aku bermaksud untuk diam saja dan mendengar apa yang ingin dia katakan, tapi aku terbawa suasana dan berkata, “Jadi, Senpai, apakah mungkin untuk mengenali pembunuhnya?”

“Mengenali?”

“Jika Hongou-senpai menerapkan teknik semacam itu, apakah mungkin untuk menyimpulkan siapa pembunuhnya?”

Nakajou sepertinya tidak siap menghadapi pertanyaan ini, dia menyilangkan tangannya dan larut berpikir. Merasa percaya diri, Ibara mendaratkan serangan pamungkas.

“Selain itu, setelah adegan dimana semua orang memasuki tempat kejadian perkara, bukankah kameranya menampilkan jendela juga?”

“Iya.”

“Kalau kita melihat adegan itu, jendela itu harusnya menunjukkan jejak seseorang merangkak melewatinya. Berdasarkan teori Anda, ini menjadi tidak mungkin.”

Diluar jendela di tempat kejadian perkara…

Sekarang aku ingat, ada adegan yang memperlihatkan rerumputan liar yang lebat setinggi orang tumbuh diluar jendela. Aku mengerti. Seandainya seseorang merangkak melewati jendela, rerumputannya akan menunjukkan tanda-tanda terpotong atau bengkok.

Karena Nakajou terlihat bingung. Ibara harus menjelaskan lebih jauh padanya. Meskipun Nakajou tidak menyerah.

“Itu bukan masalah.”

Masa’?

Aku mengambil alih peran Ibara setelah mendengar kelitannya.

“Bagaimana bisa? Kami berpikir itu cukup jelas.”

“Mungkin saja Hongou menyebutkan itu dalam buku catatannya tapi lupa memasukkannya ke dalam naskah.”

“… Kalau itu yang terjadi, maka semuanya selesai. Apa yang ingin dikatakan Ibara adalah tidak ditemukan adanya jejak si pelaku, dan Anda mengatakan ini karena kecerobohan Hongou. Bukankah itu terlalu berlebihan?”

Nakajou mengerang.

Tapi dia ternyata keras kepala. Dia mengangkat kepalanya seperti memikirkan sesuatu dan meninggikan suaranya dan berkata, “ Itu dia, rumputnya!”

“… Ada apa dengan rumputnya?”

Dengan kembalinya rasa percaya dirinya, dia bicara dengan tensi yang tinggi, “Waktu kamu bilang jendelanya tidak bisa digunakan, itu karena rerumputan diluar tidak menunjukkan bekas dipotong atau bengkok ‘kan?”

Ibara mengangguk dengan awas.

“Kalau begitu kau pasti salah paham. Seperti yang kubilang sebelumnya, Hongou pergi ke Narakubo di bulan Mei. Rumputnya mungkin belum tumbuh besar waktu itu, jadi Hongou pasti bermaksud jendelanya bisa digunakan ketika dia melihatnya.”

Oh terdengar Satoshi berdecak kagum. Seandainya ada orang yang bisa akrab dengan Nakajou, orang itu mungkin adalah Satoshi, karena dia mungkin akan bilang “Itu hal masuk akal pertama yang kau katakan hari ini”.

Ibara ingin berespon, tapi tidak menemukan kata-kata yang tepat. Aku tertawa dalam hati sambil berpikir dia lumayan juga. Memperhitungkan waktu Hongou mengunjungi lokasi dan menyimpulkan bahwa ia mungkin membuat pembunuhnya untuk kabur melalui jendela, tapi ternyata rutenya tidak dapat digunakan pada waktu pembuatan film.

Dia mungkin lumayan, tetapi…

Melihat kami tetap diam dan terlihat terbujuk, Nakajou melanjutkan.

“Jadi di pengambilan film berikutnya, kita hanya perlu memangkas rumputnya dan mengulang adegan saat tubuh korban ditemukan. Kenapa aku tidak menyadarinya lebih awal? Kita bisa melakukannya!”

Dari sudut pandang pihak luar, Nakajou terlihat memuncak semangatnya… aku memutuskan untuk tidak menembalinya, karena hanya akan membuang-buang energi.

Melihat percakapannya telah selesai, Chitanda tersenyum pada Nakajou dan berkata, “Terima kasih telah memperdengarkan teori Anda pada kami. Kami dapat memberikan ulasan untuk teori Anda pada Irisu-san dengan tepat.

Nakajou mengangguk puas. Dia terlihat sangat bersemangat seakan dia siap untuk langsung menulis naskah sendiri.


Beberapa menit kemudian, kami di Ruangan Geologi.

Grrr… Ibara membuat ekspresi yang tidak butuh banyak penjelasan.

“Apa kita setuju dengan itu? Apakah itu bahkan bisa dipakai?”

Sepertinya bantahan cukup mengejutkannya. Sulit untuk setuju dengan teknik yang diajukan, ataupun menerapkan teknik tersebut. Katakanlah begitu, alas an Nakajou mengenai rumput itu cukup masuk akal. Untuk Ibara, hal ini menutup lubang yang tersisa dalam pendapat Nakajou dan membuatnya sangat frustasi.

“Yah, secara fisik memang mungkin.”

Satoshi juga terdengar tidak puas saat dia mengatakannya pelan.

Sementara Chitanda,

“……”

Ia terus memandangku lekat selama beberapa waktu. Karena aku merasa tidak nyaman, aku memanggilnya.

“Ada apa, Chitanda?”

“Ah, ya,”

Awalnya Chitanda terlihat ragu, namun memutuskan untuk mengatakannya.

“Oreki-san, apakah kamu berpikir bahwa niatan sebenarnya dari Hongou-san adalah apa yang dijelaskan oleh Nakajou-san?”

“… Sebelum aku menjawab pertanyaan itu, bagaimana menurutmu sendiri?”

Menghadapi pertanyaan yang aku kembalikan padanya, ia terlihat ragu untuk bicara. Lumayan jarang untuk melihat seseorang yang sikap dan perasaannya begitu mudah dibaca. Sementara ketenangannya tidak runtuh secara dramatis, mata dan mulutnya mengatakan semuanya. Dan aku berkata padanya, “Kau tidak menyukainya?”

“Bukannya saya tidak suka! Tapi…… saya rasa itu tidak menyakinkan.”

Bukankah itu hanya cara lain untuk bilang kalau kau tidak menyukainya?

Sikap Nakajou, bagaimana aku mengatakan ini, terasa menekan. Dia bersikeras mempertahankan sudut pandangnya dan tidak mau menyerah, juga menutup semua kesempatan kami untuk membantahnya. Seberapa semangatnya pun dia, jika pendapatnya tidak meyakinkan, maka itu tidak meyakinkan. Jika kami tidak merasa menyukainya, maka kami tidak bisa menyukainya.

Walaupun aku tidak punya niatan untuk meniru Nakajou, aku tetap menyilangkan tangan dan bilang, “Yah, bukan berarti tidak mungkin. Walaupun teori Nakajou mungkin tidak akan bisa dipraktikkan. Mungkin ini akan menjelaskan kenapa secara tidak sadar kita merasa teorinya berantakan.”

Bukannya Chitanda, orang pertama yang bereaksi adalah Ibara, sambil ia menggertak, “Teorinya tidak bisa dipraktikkan? Bukankah itu berlainan dengan perkataanmu sebelumnya?”

Ia menekanku untuk menjawab. Apakah dia sebegitu inginnya meruntuhkan teori Nakajou?

Aku member isyarat pada Satoshi. Tanpa bertanya, dia langsung mengerti apa yang aku maksud dan memberikan petanya padaku. Aku membentangkannya di atas meja supaya para gadis itu bisa melihatnya.

Lalu aku bicara dengan data yang datar.

“Meskipun teori Nakajou sederhana, setelah melihat filmnya kalian akan melihat teori tersebut cukup konyol. Alasannya sederhana, karena secara fisik teori itu sulit dilaksanakan. Ibara, kalau saja waktu itu kamu bilang teori itu tidak mungkin secara fisik, dia tidak akan bisa mengatakan apa-apa.”

Ekspresinya yang masam membenarkan perkataanku.

Dilain pihak, Chitanda, yang sekarang penuh rasa ingin tahu, mencondongkan tubuhnya ke arahku, membuatku menggeser kursiku ke belakang sedikit.

“Jadi maksudnya tidak mungkin dilakukan dari tempat lain?”

“Aku tidak akan bilang itu tidak mungkin… Apakah kamu ingat apa yang ditanyakan Ibara pada Nakajou? Tentang apakah Hongou pernah bilang menerapkan suatu trik dalam pembuatan film.”

Chitanda mengangguk jelas.

“Ya, saya ingat. Mayaka-san bertanya ‘Pernahkah disebutkan apakah trik dalam pembuatan film ini adalah trik fisik atau trik psikologik?’”.

“Benar sekali. Dengan kata lain, jika trik nya bisa dipecahkan secara fisik, maka tidak perlu ada trik psikologik apapun.”

Satoshi tiba-tiba tertawa mendengar ini.

“Hahaha, bertele-tele sekali, Houtarou. Persis seperti yang diharapkan dari ‘Detektif yang ditunjuk’!”

Teman yang jahat, meskipun dia tahu aku tidak ingin memainkan peran seperti itu. Walau memang caraku mengatakannya memang bertele-tele. Aku bercermin pada apa yang dikatakanny dan mengatakannya secara langsung kali ini, “Dengan kata lain, kalau kita berada diposisi si pelaku, kita akan menyadari bahwa tidak mungkin kita dapat menggunakan jendelanya.”

Aku menunjuk pada tempat kejadian perkara dipeta, atau untuk lebih rinci, jendelanya.

“Siapapun diantara para pemeran untuk masuk melalui jendela itu, mereka harus melakukannya dari luar teater. Tapi…

Tidaklah mungkin bagi siapapun untuk mengendap-endap di siang bolong setelah berpisah dengan yang lainnya di teater. Kau hanya perlu melihat untuk mengerti, tidak peduli siapapun yang pergi ke tempat kejadian, mereka akan terlihat oleh yang lain saat melakukannya. Ditambah lagi langkah kaki mereka akan dapat terdengar. Aku sih tidak akan mengambil risiko seperti itu.”

“Hmm,”

Satoshi mengusap dagunya.

“Aku mengerti. Jika aku mau membunuh seseorang, aku tidak akan memperlihatkan diriku didepan begitu banyak orang, sehingga teori yang diajukan Nakajou tidak dapat dikerjakan. Mungkin dapat dilakukan pada malam hari, tapi adegannya dibuat pada siang hari. Secara fisik, itu menjadi sedikit terlalu memaksa.”

“Kira-kira begitu lah.”

Saat aku membalas, Chitanda menghela napas.

“Saya mengerti sekarang. Saya rasa alas an kenapa teori Nakajou tidak dapat dilakukan karena dia keliru antara adegan yang kita lihat dalam film dengan bagaimana dalam imaginasinya, yang dia mendasarkan teorinya. Saya piker aneh bahwa dia menyimpulkan pembunuhnya menyelinap melalui jalan keluar alternatif hanya karena mungkin ada seseorang bersama Kaitou didalam ruangan.”

Meskipun begitu, seseorang masih terlihat sangat tidak puas. Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Ibara.

“Mungkin yang dikatakan Oreki memang benar, tapi kita tidak tahu apakah Hongou-senpai menyadari hal ini.”

Yang dikatakan Ibara ada benarnya. Jika saja kami bisa bertanya pada Hongou, semuanya dapat dipecahkan… Tapi kami tidak bisa melakukan itu, atau kami tidak akan berada disini berusaha menggunakan akal kami. Tetap, aku tidak bisa membiarkan pertanyaan tersebut tidak terjawab.

“Kita tidak punya cara untuk mengetahui seberapa jauh Hongou tahu, tapi kita bisa menebaknya secara tidak langsung,”

Pada saat inilah seorang tamu muncul di Ruang Geologi. Adalah ‘pemandu’ kami, Eba, yang berdiri diluar pintu dengan tanpa niatan untuk masuk.

“jadi, apa kesimpulan kalian?”

Satoshi menjawab dengan senyuman sarkastik, “Kami mencapai kesimpulan,”

“Dengan kata lain?”

“Kami memutuskan untuk menolak teori yang diajukan Nakajou-senpai”

Saat Eba bergumam “Begitu” tanpa terlihat terlalu kepikiran, Chitanda membungkukan kepalanya dalam.

“Kami turut menyesal.”

“Tidak perlu. Bukan salah kalian… kalau begitu, aku akan mengantar kalian menemui orang yang kedua besok.”

Besok? Kita melakukan ini lagi besok?... Bagaimana dengan liburan musim panasku?

Setelah menanyakan apa yang ingin ditanyakannya dan mendengar apa yang ingin didengarnya, Eba segera pergi. Aku memanggilnya, lalu ia berhenti dan berputar balik bingung.

“Ya?”

Responnya entah kenapa terasa dingin. Aku mengabaikannya dan bertanya, “Saya ingin tahu apakah mungkin jika kami dapat membaca naskahnya? Skenario yang digunakan untuk pembuatan filmnya.”

Eba memandangku seperti sedang menilai sesuatu dan berkata, “Skenarionya seperti apa yang telah kamu lihat dalam film. Apakah kamu benar-benar membutuhkannya?”

“Ya… kami perlu tahu seberapa banyak perhatian yang Hangou-senpai curahkan ke dalam naskahnya.”

Ia mengangguk kecil dan berkata akan dia bawakan.

Setelahnya, meskipun kami melanjutkan membicarakan tentang Nakajou, topiknya berangsur-angsur melenceng dari memecahkan kasusnya sendiri. Kami akhirnya tidak berhenti membicarakan tentang kesan kami terhadap Nakajou dan hasratnya, dengan hasil observasi hari ini dikesampingkan.

Kalau kau menanyakan kesanku akan nakajou, aku rasa perkataan Irisu “hanya mereka yang memiliki kemampuan yang dibutuhkan yang dapat melakukan pekerjaan yang diberikan” sangat cocok dengannya.

Catatan Penerjemah dan Referensi[edit]

  1. Maria Theresa
  2. Ini merupakan salah satu arcana mayor dalam kartu tarot. Lebih lengkap lagi silahkan dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Kartu_Tarot
  3. Untuk anak baik yang tidak tahu apa yang dimaksud dominatrix, dominatrix merupakan nama lain dari sadistic yang merupakan salah satu perversi seksual.
  4. Kartu ke-11 arcana mayor



Kembali ke Halaman Utama Maju ke Bab 3