Kamisu Reina Indo:Jilid 1 Shizuka Wakui

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
The printable version is no longer supported and may have rendering errors. Please update your browser bookmarks and please use the default browser print function instead.

Shizuka Wakui

Bagian 1

Ketika membiarkan pengucapan bahasa inggeris yang salah dari guru bahasa inggris kami yang berumur lebih dari 50 tahun masuk kuping kanan keluar kuping kiri selama 3 detik, aku melihat peristilahan dalam kamus Koejien elektronik.


Prinsip Konservasi Massa [kb]

Suatu prinsip dalam ilmu fisika yang menyatakan bahwa jumlah massa dari suatu sistem tertutup akan konstan meskipun terjadi berbagai macam proses didalam sistem tersebut. Ditemukan pada tahun 1774 oleh Antoine Lavoisier.

Prinsip [kb]

  1. sebuah asas kebenaran, hukum, atau landasan berpikir yang dianggap benar.
  2. sebuah kualitas esensial atau dasar atau elemen yang menentukan sifat yang terkandung didalamnya atau karakteristik perilaku.


Cara kerja dunia begitu sederhana. Terdapat banyak asas dan kualitas esensial, tersebar diseluruh dunia, tapi jika kamu membaginya lebih jauh lagi kedalam bagiannya yang paling penting, jumlah mutlak dari kualitas yang jelas pun menyusut jadi ke angka yang semuanya itu melainkan besar.


Apa kamu tahu bahwa banyak hukum dan prinsip-prinsip hanyalah pengulangan tertambah dari prinsip inti yang sudah ada?


Biasanya, kamu pada akhirnya berada di tempat yang sama tak peduli dari sisi manapun kamu mendekati sifat benda. Itulah alasan kenapa ajaran orang-orang yang sudah menguasai suatu cara kerapkali berbareng meskipun cara-cara mereka berbeda.


Dengan kata lain, jika kamu mengerti beberapa prinsip inti itu, kamu mulai melihat bagaimana mekanisme dunia bekerja.


Prinsip inti adalah esensi dari benda. Mengerti mereka dan kamu dapat menggunakan mereka dimanapun kamu ingin dan membentuk baru, hukum yang tak tergoyahkan. Inti menarik semua yang ada disekeliling mereka seperti magnet.


Tapi tak seorang pun lagi yang benar-benar mengetahuinya; mereka semua tumbuh menjadi manusia dangkal, senantiasa hanya melihat di permukaannya dibanding apa yang didasar inti. Mereka membiarkan yang lain mempengaruhi diri-diri mereka sendiri karena mereka memahami hanya dari permukaannya saja. Mereka tidak bisa mengingat sifat benda asli dalam diri mereka sendiri. Orang-orang yang malang. Semua yang dibutuhkan untuk memperoleh inti-inti itu adalah memilih buku yang bagus. Oh, ataukah ada syarat berlaku yang perlu dipenuhi, yang juga aku perbuat? aku lebih mengasihani mereka kalau begitu. Mereka seperti karakter manga yang saling bertarung, tak sadar apa yang mereka lakukan. Walaupun mereka bertarung tak jelas juntrungannya melainkan kebutuhan penulis. Meskipun konflik mereka hanya figmen, dan keberadaan mereka hanya untuk tujuan bertarung.


Dan, salah satu kebenaran itu dikatakan dengan nama “konversi massa.”


Kebalikan dengan namanya, itu tidak terbatas untuk massa; jumlah dari segalanya menuju ke angka tertentu yang tidak menaik tidak pula menurun. Semuanya konstan, baik massa, energy, gairah seks, jumlah jiwa – apapun itu.


Pelajaran telah berakhir ketika aku terserap dalam pemikiran, memandang ke kamus elektronikku. Kelas akhirnya selesai. Aku punya hal yang lebih baik daripada melakukan ini. tapi aku tak bisa menyimpang dari sikap normalku dan membolos sekolah. Aku tak boleh membiarkan orang lain mengetahui apa yang aku perbuat; jika aku kelihatan mencurigakan, kemungkinan besar seseorang akan menyadari itu. Sebelum orang lain, khususnya –


“Huuh, selesai juga hari ini! Shizuka, mau pergi bareng ke suatu tempat hari ini?” Sebelum orang lain, cowok supel itu, Kazuaki, mungkin menyadari. Karena kita menghabiskan waktu sangat lama bersama dari kecil.


“Aku akan pulang,” aku menjawab ke kursi samping.


“Ayolah…kaku banget,” teman masa kecilku berkata sambil mengkisutkan bibir. Issh…dia tidak berubah.


“Aku punya sesuatu yang harus diurus, kamu ‘ngerti.”


“Kamu selalu ngomong begitu akhir-akhir ini… kamu tak mencoba menghindariku, ‘kan?” Kazuaki bertanya sambil mengerutkan dahinya. Ya ampun, dia benar-benar tidak berubah.


“Tidaklah!”


“Oh ya…,” dia bergumam sedih.


“Kamu kenapa tidak pulang bareng duo C2 saja kalau kamu merasa kesepian?”


“Tidak ada apa-apa antara aku dan –“ dia menyangkal dengan muka sedikit memerah.


“Senpai~!”


“H-Hozumi-chan…jangan berisik, malu tau…”


Sanggahannya terpotong dari jauh oleh suara dua orang cewek. Dengan kehadiran dua cewek berwajah lugu, aku melambaikan tanganku ke Kazuaki.


“Dadah.”


“Ah…”


Jangan melihatku seperti itu; aku tidak meninggalkanmu karena aku ingin. Setelah aku membereskan hal ini, aku akan pergi bersama kapanpun kamu mau.


Tapi itu harus menunggu, oke?


Sebenarnya, dunia dalam bahaya.


Tak peduli oleh lambaian para siswa yang berjalan pulang, aku melihat sekeliling dalam angan-angan. Dunia sedang dalam bahaya.


Mungkin itu berlebihan. Tapi setidaknya, bahaya sedang mendekat dan membesar di sekitar sini. Aku berharap aku salah (yang mana sudah jelas, tentu saja, tapi aku ingin menjadi salah) tapi dengan berita tentang 3 siswa di SMA Shikura yang melakukan bunuh diri, kekhawatiranku terbukti benar. Kita benar-benar dalam bahaya.


Dan disinilah kita kembali pada hal yang berhubungan dengan prinsip inti dan konservasi massa.


Dahulu aku sepenuhnya seorang cewek biasa; aku barangkali telah mencapai masa pubertas lebih dulu dari orang lain, dan sudah banyak menerima pengakuan, dan terutama jalan bareng dengan Kazuaki daripada cewek lain, tapi terlepas dari hal itu, aku dulu benar-benar seorang cewek normal.


Aku sedang memakai kata lampau disini karena aku merasa kalau ini tak lagi benar.


Ada sejumlah kebenaran (inti). Dengan mulai mengetahui ini, aku mengetahui bagaimana aku seharusnya melihat sesuatu.


Tidak butuh waktu lama untukku mendapat jawaban pada suatu pertanyaan tertentu. kita semua memiliki perasaan. Gembira, marah, sedih, senang.


Sekarang, mari kita menerapkan hukum konservasi massa pada keadaan ini. emosi adalah energi, yang, terutama dalam keadaan cinta dan kebencian, menyimpan panas yang ekstrem. Kita menggunakan energi emosional dengan mengubahnya kedalam energi yang menjaga kita tetap bergerak. Namun, tidak semua dari perasaan kita selalu dikonversi dan digunakan. Terus kemana perginya energi saat kita tak mampu menekan perasaan kita? Terlebih lagi, kemana perginya energi itu ketika kita mati – yang harusnya berjumlah besar saat dihadapkan dengan kematian brutal – ketika tak mungkin digunakan? Kemana energi itu hilang?


Dengan pertanyaan itu di dalam benak, aku mulai memperhatikan.


Tak lama, aku menemukan jawabannya: energi tersebut tidak menghilang sama sekali. Jawabannya ternyata sangat kelihatan, berada di sisi lain. Perasaan yang kuat, misalnya, yang sering kebetulan perasaan dendam, timbul di sisi kita dari waktu ke waktu. Itu sangat mudah diamati saat kamu menjernihkan dirimu dan memunculkannya.


Lihat, ada satu. Ada akumulasi dari energi emosional yang terkonversi. Dalam kebanyakan kasus, akumulasi itu berbentuk seperti sesosok manusia.


Ngomong-omong, kembali ke bahaya dunia yang sedang dihadapi.


Setelah menyadari energi humanoid (berbentuk manusia) itu. Aku mengamati perubahan aneh akhir-akhir ini.


Awalnya, energi-energi humanoid itu tak mampu bergerak sendiri. Dan sangat tidak berbahaya untuk orang-orang yang tidak memperhatikan mereka; mereka hanya akan berdiam di satu tempat dan menyebarkan jaring mereka untuk mempengaruhi apapun yang terjerat oleh mereka.


Namun, belakangan ini, mereka merubah perilaku dan mulai bercahaya seperti fatamorgana. Seakan-akan takut sesuatu atau dalam kegembiraan yang luar biasa? Aku tak tahu. Yang aku tahu, entah bagaimana, kalau itu tidak normal dan itu adalah pertanda sesuatu akan terjadi.


Aku tidak tahu apa yang akan diperbuat energi humanoid itu, bagaimana itu akan berakibat pada kita, apa yang akan terjadi, tapi terdapat satu fakta :


Tiga siswa mati di SMA Shikura.


Tapi itu tak penting. Memang, sangat menyedihkan mereka telah meregang nyawa, akan tetapi ancaman yang besar mungkin menunggu kita, bahkan kehilangan seperti itu tidaklah berarti.


Tiga orang telah mati. Bagaimana jika... Bagaimana jika itu adalah sebuah pertanda?


Seandainya, bicara secara hipotesis, fenomena itu terjadi secara keadaan alami, aku mungkin akan menyerah dan membiarkan hal itu merenggut mereka. Disamping itu, kita tinggal berlindung dan menunggu ancamannya lewat.


Namun - bagaimana jika ada seseorang yang menarik tali dibalik layar?


Bukannya aku memperselisihkan masalah itu dengan etis, tidak. Bagaimana jika kita tidak sedang berhadapan dengan fenomena acak tetapi salah satu yang dengan bebas timbul karena seseorang? Bagaimana jika ada seseorang yang mampu menggunakan kekuatan itu kapanpun dia mau? Bagaimana jika ada seseorang yang mampu mengontrol semua energi humanoid itu yang mungkin menyebar di seluruh dunia?


Itulah yang menakutiku.


Lagipula, jika seandainya kekhawatiranku terbukti benar dan itu memang insiden buatan manusia. Maka dia bisa mengancam kehidupan semua orang didunia.


Dunia dalam bahaya.


Seseorang berencana menghancurkan kita semua; seseorang seperti iblis berada diantara kita; aku harus mencari orang itu.


Karena itu aku sudah mengamati lebih dekat energi-energi Humanoid disekelilingku sejak lama.


{Volcano naik ke lantai 2 minus hitam untuk memakan makanan pemanasan dan terjatuh}


{Aku ingin makan daging keberuntungan yang membuat mati 10 kali tapi menghidupkan kembali 100 kali}


{Aku lempar sebuah penerima telepon ke dalam kantong 4 dimensi karena tong sampah sudah penuh}


{Petualangan tiada tara Hutch si lebah madu adalah kehidupan yang berharga}


Selagi berkerlap-kerlip, energi tersebut mengeluarkan signal pada gelombang berbeda yang, selama tidak terkonversi ke bahasaku, membuat tak masuk akal sama sekali.


Namun, aku bisa mendengar perbedaan kekuatan bunyi.


Perlahan tapi pasti, suara mereka (?) Lebih nyaring dan kerlipan mereka semakin kuat. Mungkin aku semakin mendekati si penjahat.


Terakhir kali, perilaku abnormal mereka berhenti ketika aku sedang menyelidiki. Tapi aku tak mendapat firasat itu akan terjadi lagi. Aku mungkin mampu menemukan dia dalam waktu dekat.


- Si pesulap tak kasat mata yang dapat dengan mudah mematikan tiga nyawa.


--- Itu benar... Aku hendak bertemu dengan lawan yang mengerikan. Baru saja menyadari fakta ini, kakiku terbenam kedalam semen dan langkahku semakin melambat.


Selain itu... Bagaimana aku tahu kalau korban - korbannya hanya berjumlah tiga orang? Satu-satunya alasan kenapa aku menghubungkan kematian mereka dengan anomali yang terjadi pada energi humanoid karena mereka semua bunuh diri dan terjadi beruntun di sekolahku. Aku tidak tahu apakah mereka berhubungan dengan anomali yang aku amati.


Sebaliknya, kamu pun bisa bilang kalau mungkin ada banyak korban tak ditemukan yang tidak bisa aku kaitkan dengan ancaman ini.


Kalau dipikir-pikir, angka kematian menaik akhir-akhir ini. Hei, bagaimana jika sebagiannya itu disebabkan oleh kriminal yang hendak aku jumpai? Itu memungkinkan; bukan hanya membunuh seseorang dengan energi humanoid tidak akan meninggalkan bukti, itu tidak akan diperhatikan pula.


Apa yang akan aku perbuat, bertemu dengan seseorang seperti itu?


Betul, aku dapat mempersepsikan energi-energi humanoid. Tapi hanya itu. Juga, aku cuma seorang gadis biasa yang mungkin telah mencapai pubertas lebih dulu dari orang lain, dan sudah menerima banyak pengakuan, dan terutama jalan bareng dengan Kazuaki daripada gadis lain. Mungkin.


Bagaimana seorang gadis sepertiku hendak melawan kriminal kejam seperti itu? Membujuknya? Dapatkah perkataan ku membujuknya? Apakah dia membiarkan hidup orang yang mengetahui rahasianya?


Kaki ku berhenti sepenuhnya.


Tapi -


Tapi jika dia menyentuhkan tangannya yang mematikan ke Kazuaki...


Kakiku yang terkubur terangkat dari semen dan aku mulai melangkah maju kembali.


Aku ketakutan... Sungguh, tapi


Aku tidak punya pilihan lain.


{Cincin jagung dengan pelangi bersinar di latar belakangnya}


{Setelah mandi di Nattou, mobil perjalanan Watanabe -san menembus melewati waktu saat terbang melalui udara}


{Seorang pelayan wanita klub-berkuasa membawa sayatan-sayatan daging Nagatacho bergoyang-goyang}


Suaranya menjadi semakin nyaring.


Kata-katanya sama sekali tidak jelas seperti sebelumnya, tapi berat kata-katanya telah berubah. Dengan ketegangan berderak mereka menggema dalam tubuhku, menusuk-nusuk otakku seperti gerakan pensil mekanik.


Suatu dendam? Aku berpikir sambil memperhatikan inti dari energi humanoid. Suatu tipe energi yang biasanya hanya akan berpindah kepada orang yang terjerat oleh jaring mereka mengalir padaku.


Aku merasa mual. Seperti hari terburuk ku saat menstruasi.


Aku ingin mundur sekarang juga, tapi itu tak boleh. Ada seseorang yang aku harus temui. Aku harus bertemu dengan dia (perempuan).


...Huh? Dia (perempuan)?


Kenapa aku tahu jenis kelaminnya ?


Aku berusaha dan berjalan sempoyongan ke taman di depanku. Kecuali beberapa anak-anak dengan orang tuanya dekat arena pasir, tak ada seorangpun selain diriku.


Tak ada seorangpun.


Aku berdiri dihadapan bangku tua, lapuk terbuat dari kayu. Aku tidak tahu apa yang ingin dikatakan. Lagian aku tidak tahu apakah benda itu memiliki kemampuan berbahasa. Namun, aku tidak bisa hanya berdiri disini, sehingga aku mencoba berbicara kepada benda itu.

"Hei, apa yang sedang kamu lakukan disini ?"

Dia mengangkat kepalanya.


"Ah -" aku merintih kaget.


Bentuknya benar-benar begitu sangat cantik.


Tapi yang lebih mengejutkanku adalah fakta bahwa aku -


"Reina... Kamisu."


- Tahu nama fenomena itu.


Bagian 2

"Dokter, aku pikir aku akan membatalkan sesi pertemuan kita." Dokter Mihara menatapku, sedikit keheranan, dan bertanya "Kenapa ?"


"Aku cuma datang kesini karena membutuhkan bantuan saat itu, bukan begitu?"


Dia memberiku anggukan kecil.


"Jadi kamu tidak memerlukan bantuan lagi ?"


"Ya, aku tidak perlu. Depresi rasa tak tenang yang dulu telah menghilang, dan begitu pula keenggananku untuk berbicara kepada orang lain," aku menjelaskan dan menambahkan hal yang aku alami tempo hari saat menunggu disini, "Dan aku tidak buru-buru keluar ruangan ini sambil berteriak."


Beberapa kerutan kelihatan di kening dokter.


"Siapa," dia berbicara setelah jeda sebentar "Yang kamu bicarakan ?"


"Aku sedang membicarakan cowok yang sering datang kesini sebelum aku. Kalau aku ingat dengan benar, Dia mengenakan seragam dari sekolah kami. Dia menabrak ku waktu itu, bukankah begitu? Siapa tuh ya namanya?"


"...Aku rasa aku tidak bisa berbicara denganmu tentang klienku yang lain."


"Bahkan namanya saja? Terserahlah. Kalau dipikir, aku belum melihatnya belakangan ini."


Sikapnya menggelap dengan jelas.


"Dia tidak akan... Datang kembali."


"Begitukah...?"


"Iya," dia mengangguk.


Aku ragu mereka menghentikan pengobatan mentalnya dalam keadaan seperti itu; apa sesuatu telah terjadi? Melihat bagaimana dia lari berteriak, pasti ada alasan kenapa dia tidak ingin datang kesini lagi.


Tapi aku mempunyai firasat aneh tentang hal ini.


Lagian, cowok itu adalah siswa SMA Shikura. Mengingat bahwa dia berada dalam pengobatan mental, itu lebih dari mungkin dia mempunyai alasan untuk bunuh diri, maka mungkin dia diantara ketiga korban bunuh diri.


Menilai dari sikap dingin dokter Mihara, dia pasti tahu kebenarannya. Aku menahan diri kembali bertanya, bagaimanapun, karena kepribadiannya tak akan mengizinkannya menjawabku.


"Singkatnya, kamu bilang kamu mau membatalkan sesi pertemuan kita?" Dia berujar, kembali ke topik, "Menurutku, terlalu dini untuk itu."


"Aku tahu, dokter. Kalau lukaku belum sembuh; aku juga bukan aku yang dulu."


"Bukan itu masalahnya," dia membantah. "Luka ini akan mengiringimu menjalani seluruh hidupmu, dan Kamu tidak bisa lagi kembali ke dirimu sebelumnya yang tak menderita luka.."


"Terus dimana masalahnya?" Aku bertanya.


"Aku tidak sepenuhnya percaya kalau kamu benar-benar sembuh dari goncangan."


"Kalau memang seperti itu, tidak juga aku harus terus datang kesini sepanjang hidupku, ya kan?"


Dokter berjeda untuk beberapa saat. "Tetap saja... Tetap saja itu terlalu dini."


Aku sedikit berang; apakah dia menganggap kalau aku aneh?


Oleh karena itu, aku memprotes: "Dokter, mari kita saling terus terang. Kami bukan keluarga kaya. Tagihan untuk terapi psikologi ini menguras cukup dalam uang kami!"


"......" Dia terdiam selagi aku menyebut kondisi keuanganku.


"Mungkin kamu benar aku belum sepenuhnya sembuh dari goncangan, tapi aku percaya diri bahwa dengan bantuan dari keluargaku dan beberapa teman yang aku punya-seperti Kazuaki-aku akan mampu menjadi lebih baik."


"Aku tidak setuju. Bagaimanapun, aku merasa kamu masih membutuhkan seorang ahli sepertiku."


"Kenapa?" Aku bertanya, agak jengkel.


"... Baiklah, biarkan aku menjelaskan kekhawatiranku: aku merasa kalau kamu mempunyai kecenderungan ber-delusi."


“…Kecenderungan delusi?” aku bertanya menanggapi kata-katanya yang tak terduga. Aku kesulitan melihat apa yang dia singgung.


“Ya. Aku tidak tahu seberapa berkembangnya kecenderungan itu saat kamu pertama kali datang kesini karena kamu tidak membuka dirimu kepada orang lain… tapi aku pikir kalau kecenderungan delusi itu semakin menguat saat kamu memperoleh kembali vitalitasmu.”


“Hah? Maksudmu aku membuang akal sehatku untuk berusaha menerimanya?” tanyaku.


“Aku tak bisa memastikan. Aku menduga, entah bagaimana, bahwa untuk melindungi dirimu dari luka dalam yang kamu derita, kamu terpaksa untuk merubah berbagai hal yang bila tidak akan menyebabkan kerusakan lebih, termasuk rasa menilai sesuatu.”


“…Dengan kata lain, kamu mau bilang kalau aku masih menutup diriku?”


“Aku tidak sepenuhnya setuju dengan nuansa itu… tapi bisa di bilang begitu. Seperti yang aku bilang, bukan hal buruk untuk berubah. Masalahnya adalah arah perubahanmu. Tentu saja, aku pikir itu lebih baik daripada tetap terluka, tapi aku tidak menganggap itu sebuah solusi.”


Setelah perlahan mencerna kata-katanya, aku memprotes: “Jangan bercanda.”


“Wakui-san…”


“Aku masih aneh, hah? Itu tidak benar! Aku sudah normal kembali!” aku berteriak, membangkitkan amarah yang mengalir. “Cukup! Aku Muak dan lelah! Ini terakhir kalinya kamu melihatku!”


Bersama perkataan ini, aku berdiri dan berpaling darinya.


“Wakui-san!”


Mengabaikan perkataan yang dia ucapkan padaku, aku meninggalkan kantornya.


Sudah tidak ada jalan kembali.


Hari selanjutnya aku berangkat ke sekolah seperti biasa.


Daguku berada dimeja, aku dengan antusias menunggu bel berbunyi. Karena lambatnya gerakan jarum jam, aku berpikir kembali saat di sesi terapi kemarin.


Aku pikir aku terlalu histeris. Aku minta maaf untuk dokter Mihara. Dia hanya mengatakan pendapat jujurnya, tidak lebih.


Begitu perkataannya, aku bilang pada diriku sambil aku mengingat kembali kata-katanya kemarin.


Berdelusi? Aku?


Aku mengakui, pendapat tetapku tentang keberadaan energi-energi humanoid barangkali kelihatan delusi dari sudut pandang akal-sehat-yang terpengaruh sesuatu. Namun, aku telah secara seksama menjabarkan dasar logika untuk teori ini; aku benar. Apapun, aku sudah satu langkah didepan orang yang sepantar.


Lagi pula, Tak apa begini: aku belum memberitahu dokter tentang energi-energi humanoid.


Aku seorang pasien; seorang yang sakit mental. Karena aku sadar akibat yang ditanggung, aku sengaja menyimpan darinya sehingga dia tidak akan salah paham.


Itu berarti kalau… dia memandang aku ber-delusi kendati tanpa bercerita tentang energi-energi humanoid tersebut?


… Omong kosong. Aku normal. Tak peduli anggota badan manapun yang kamu lihat, aku terlihat sangat normal dan jauh-dari-tersiksa.


Tapi, tapi! Kamu memperlakukan ku seperti seorang yang sakit mental!


Kembali kesal, aku tendang Kazuaki yang duduk disebelah ku.


“Auw!”

Blo’on! Kenapa kamu menjerit…?


Akibatnya, seluruh mata di kelas-termasuk guru-melihat ke Kazuaki. Berpura-pura tak tahu, aku melihat ke buku catatanku dan mulai menulis huruf sembarangan.


“Untuk apa itu…?!” keluhnya lirih, cemberut padaku penuh malu, setelah perhatian semua orang kembali ke pelajaran.


“Tak ada alasan.”


“Jadi kamu tipe orang yang tidak perlu alasan untuk memukul seseorang, hah? Shizu-chan… Hiks, hiks.”


“’Hiks, hiks’, ehh? Siapa yang cewek sih diantara kita?”


Tiba-tiba, bel berbunyi dan mengakhiri percakapan lirih kami. Seperti rutinitas, kita berdiri, membungkuk ke guru, dan duduk.


Beberapa saat kemudian, guru kelas kami memasuki ruang kelas dan mengakhiri homeroom dengan omong kosong. Urusanku di sekolah sudah selesai hari ini.


Segera setelah aku berdiri dan bilang, “Dadah,” Kazuaki mendekati ku:


“Shizuka, Ingin pulang bareng?”


“Maaf, tapi ada sesuatu yang harus aku lakukan lagi.”


Taman itu terletak di arah berlawanan dari stasiun kereta yang kami gunakan saat pulang kerumah. Terlihat patah semangat, Kazuaki bergumam,”…Ah Hah.”


“…lagi-lagi, Kazuaki, aku sungguh tidak menghindarimu,” aku memastikan.


“Aku tahu!”


“lantas jangan memerengut.”


“Tapi pertemuan itu lebih penting dari ku, bukan?”


Terkejut, aku kehilangan kata-kata.


“Yah…itu benar, tapi…”


“Aah, erm, tak apa, tak apa. maaf menggerutu.”


Memang, dia sedikit menggerutu. Tetap saja, aku berkata apa yang harus aku katakan: “…Maaf kalau aku tak bisa jalan bareng denganmu.”


Itu cukup untuk menampilkan senyuman di wajahnya. Ya ampun, dia orang yang polos.


“Sampai ketemu, Kazuaki,” aku berujar selagi aku melambaikan lambaian padanya. Dia balik melambai, tersenyum.


Menuruni lorong. Aku menuju kearah loker sepatuku.


Langkahku perlahan-lahan meningkat.


Aku ingin kesana, dengan cepat, dan melihat dia.


Apakah aku berharap melihatnya? Hmm? Setidaknya, terasa berbeda dari pergi berbelanja barang obral murah yang sudah lama ditunggu. kalau aku harus mengungkapkan perasaanku sekarang ini… mungkin seperti pergi untuk pertama kalinya ke tempat pacarmu? sekalipun kamu hanya merasakan perasaan negatif seperti gugup, takut dan malu, kamu tidak merasa buruk sedikitpun. Seperti itu.


“Um-“ namun sebuah suara tiba-tiba menggangguku.


Aku mendongak untuk memastikan suara siapa itu dan mengenali salah satu dari duo C2, Hozumi Shiiki, menuruni tangga.


“Kalau tidak salah Hozumi-chan dari C2,” aku menanggapi.


“…Apaan tuh ‘C2’?”


“Nama grup cewek mu. Ah sudahlah, lupakan.”


“Omong-omong,” aku meneruskan, “Ada perlu apa? aku sedang buru-buru.”


“Aku, em…aku ingin berbicara sesuatu denganmu, tentang Toyoshina-Senpai.”


Kazuaki Toyoshina.


Cukup terlihat jelas dari sikap biasanya, Hozumi-chan-gadis yang pendek tapi montok (D cup, aku bertaruh!) jatuh hati pada Kazuaki. Seperti, Tergila-gila padanya. Kamu tak akan percaya kalau seorang cewek kalem kayak dia akan sangat agresif ketika menyangkut Kazuaki. Meskipun hanya ketika di dukung oleh orang lain di duo C2, Yoshino Mitsui.


Hm, masalah ini cukup menarik untuk menghabiskan beberapa menit. Lagian aku belum mengatur waktu pertemuanku dengan dia. Aku tak yakin apakah konsep waktu ada untuk dia.


“Oke, ayo kita berbincang.”


“Terima kasih,” dia membalas. “Kita cari tempat yang lebih bagus untuk berbincang.”


“Ok, bagaimana kalau kantin?” Hozumi-can mengangguk dan mengikutiku.



Sambil menunggunya mulai bicara, aku meneguk dari gelas kertas dan menikmati rasa dari jus jeruk. Hozumi-chan belum berbicara satu kata pun sedari dia duduk meski dia yang memintaku kesini.


Hm… Haruskah aku mengharapkan obrolan yang agak serius disini?


Aku pikir dia tahu aku telah menyadari perasaannya pada Kazuaki, dan aku pikir dia juga tahu kalau aku tak bisa membantunya pada masalah itu.


Aku yakin kalau dia berencana membicarakan tentang hal itu, tapi mungkinkah aku salah?


Selagi aku mulai memandangnya lebih dekat, Hozumi-chan menurunkan pandangannya tersipu malu. Dia tidak sampai se-agresif seperti biasanya apakah karena Yoshino-chan tidak bersamanya? Ataukah dia agresif hanya untuk mencari perhatian Kazuaki?


“…Emm…” dia akhirnya berbicara.


“Hm?”


“Apakah kamu, Wakui-san dan Toyoshina-senpai hanya teman masa kecil?”


Sudah menduga pertanyaan seperti itu, aku tak bergerak.


“Oh ya ampun, kamu kan bisa bertanya ke Kazuaki.”


“Sudah.”


“Hm? Ah, ya, dia lebih mudah di dekati dibanding aku, bukan? Apa yang dia bilang? Ah , tidak, tidak usah. Aku tahu. Tapi aku mengerti… jadi kamu menyadari bahwa kami mungkin saja memberi jawaban yang berbeda padamu dari pertanyaan itu.”


“…” dia tetap diam.


“Terlepas apa masalahnya, apakah kita terlihat sekedar teman masa kecil?”


Hozumi-chan berpikir sejenak, “Tidak, kamu tidak…”


Aku menggangguk menjawabnya.


“Kamu benar. Teman masa kecil semata tidak akan memilih SMA yang sama hanya untuk tetap bersama, tidak juga akan memohon kepada gurunya untuk menempatkan mereka bersebelahan satu sama lain, tidak pula sangat senang saat saling memainkan rambut satu sama lain.”


“…Dan siapa?”


“Apa kamu sangat ingin tahu?”


Hozumi-chan memalingkan matanya ke bawah dan terdiam kembali.


Aku kembali meneguk jus jeruk ku, sengaja meminumnya pelan-pelan karena aku tidak tahu berapa lama dia akan terus terdiam.


Sebelum aku menaruh gelas kertas yang kosong ke meja dia melanjutkan.


“…Bagaimana aku harus bersikap?” Hozumi-chan berbisik patah semangat.


“Apanya yang bagaimana? Apa kamu menahan diri untuk dia…? tidak, kamu sudah menyadari dari awal. Kamu menahan diri karena aku, ‘kan?”


Setelah beberapa saat ragu, dia akhirnya mengangguk.


“Tidak usah pikirkan aku,” aku berujar.


Terkaget, Hozumi-chan mendongak padaku.


“Apa-apaan wajah itu? Tidak menyangka aku berkata begitu?”


“T-Tapi… kalian saling mencintai tak peduli bagaimana kamu melihatnya…”


Tak peduli bagaimana kamu melihatnya? Juga saat kamu melihat kami?”


“Mungkin…”


“Kamu tidak yakin? Meskipun kita sedang membicarakan tentang cowok yang selalu kamu pikirkan?”


“…Ya,” dia menjawab dengan jujur.


“Aku mengerti. Itu berarti bahwa kamu, Hozumi-chan, mempunyai pemikiran yang berbeda dibanding pemikiran orang lain yang melihat kita sebagai sepasang kekasih.”


“Hah…?”


“Aku tidak tahu pemikiran Kazuaki tentang hal ini, tapi menurutku aku tidak tahu bagaimana menjelaskan hubungan kami.”


“Kamu tidak…?”


“Mm.”


Hozumi-chan terdiam sebentar untuk berpikir tentang alasan kenapa aku mengatakannya seperti itu. Akhirnya, dia menjawab.


“Apakah itu berarti kalau aku tidak harus menahan diriku demi kamu?” dia bertanya.


Setelah berjeda sebentar, aku menjawab, “Tentu saja.”


“Bagus…” dia berucap dengan senyuman yang jelas, yang dia coba sembunyikan, “Aku selalu merasa tak nyaman padamu.”


“Aku tahu kalau kamu merasa seperti itu,” aku mengakui sambil aku memegang gelas kosong didepan bibirku, “Tapi jangan membenciku untuk hal itu. Aku tak bisa kan hanya bilang ke kamu ‘tuk mengabaikan aku dan menggodanya sepuas-puasnya, benar?”


“…Ya,” Hozumi-chan berkata, wajahnya terlihat-suram kembali.


“Ah, aku tidak bermaksud menyinggung, oke?... sebenarnya, aku lebih suka Kazuaki menemukan orang lain ketimbang aku.”


Dia terlihat kaget oleh fakta itu. Ya ampun…Akankah wajahnya diam sebentar?


“Aku tidak tahu apakah akan datang waktu dimana aku bisa menjawab perasaannya padaku. Mungkin tidak, dan aku akan selalu membuatnya menunggu. Oleh karena itu, aku berpikir demi dia aku meninggalkannya untuk cewek seperti kamu, Hozumi-chan,” aku menjelaskan dan dia mendengarkan.


Sambil menaruh dan mengambil gelas tanpa alasan yang jelas, aku melanjutkan, “Dia mestinya tahu kalau aku bukan satu-satunya cewek yang ada. Karena dia… senantiasa memperhatikanku.”


Hozumi-chan terdiam, wajahnya murung. Setelah beberapa saat, dia mendongak dan menatap dalam di mataku.


“Aku tidak akan… menahan lagi!” dia berkata dengan suara tegas namun tetap tenang.


Sedikit goyah oleh tatapan tegasnya, aku memalingkan mataku sedikit.


“Dan aku baru saja memberitahumu kalau itu tak apa, bukan?” Aku menjawab-dengan suara lebih pelan dari yang sebelumnya.


Masih terpaku pada wajahku, dia mengangguk,”…Aku mengerti.” Dia mengeluarkan desahan kecil. “Terima kasih atas waktunya. Sampai jumpa…”


"Ya, sampai jumpa.”


Hozumi-chan mengambil tasnya, dan setelah membungkuk, pergi tanpa menoleh kembali.


Sambil aku memandang gelas kertasku yang kosong, aku bertanya pada diriku sendiri:


Hei Shizuka, Apa kamu serius?


Aku bertanya-tanya? Aku memikirkan diriku. Aku pikir begitu...tapi entah bagaimana aku tidak sepenuhnya nyaman dengan apa yang sudah aku ucapkan. Aku merasa seperti aku sedang berusaha meyakini diriku apel yang terpetik memang yang benar.


Aku menatap bangku di depan ku yang masih keluar dari meja. Hozumi-chan.


Dia cewek yang baik. Tidak ada keraguan tentang itu. Bahkan aku harus mengakui kalau dia cantik. Setiap cowok normal akan terpikat seketika olehnya kalau dia mau.


Terus memangnya kenapa?


Dia cewek baik, terus kenapa? Dia cantik, terus kenapa?


Apakah itu membuatnya cocok untuk Kazuaki?


Aku mencoba membayangkan bukan aku melainkan dia yang berdiri disamping Kazuaki.


…Tidak, aku tidak bisa. Aku tidak bisa membayangkan itu.


Biarpun begitu… ada sesuatu yang aku syukuri darinya.


Berterima kasih kepadanya aku bisa tetap tenang seperti ini-karena dia tidak menjajaki kedalam perasaanku yang sesungguhnya terhadap Kazuaki.


Suatu sensasi kesemutan menjalar di kepalaku seperti kerumunan semut. Aku merasa mual padahal perutku sangat baik-baik saja.


Aku – -meremukkan gelas kertas di tanganku.



Obrolan dengan Hozumi-chan mempengaruhiku, serius, tapi tidak alasan untuk merubah rencanaku; aku menuju kepadanya.


Aku tidak tahu kapan dan dimana dia menunggu, tapi aku tahu kalau dia disana. Energi-energi humanoid berkerlap-kerlip kembali, nekat mencoba merasuki tubuh seseorang.


{Tak bisa dimaafkan, tak bisa dimaafkan. Website baru mu tak bisa dimaafkan.}


{Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, giant melawan Yakult}


{Aku tahu rahasiamu! Kamu melepas celanamu saat pergi ke toilet!}


Bertambah lebih berbahaya – perkataan mereka mulai masuk akal di diriku. Aku perlahan mulai melihat perasaan asli dari pesan-pesan tersembunyi mereka.


Suatu rasa sakit kesemutan menjalar di tubuhku.


Aku secara alami menyadari bahwa berbahaya memahami bahasa mereka. Memahami mereka sama saja mampu berkomunikasi dengan mereka, dan saat berkomunikasi dengan mereka perlu membuka diriku kepada mereka untuk lamanya waktu percakapan. Mereka tidak akan melepaskan kesempatan itu.


Aku berusaha mengabaikan mereka seperti aku akan menolak orang yang menyebarkan tisu gratis.


Aku hanya perlu menghindari kontak dengan mereka, cuma itu. Aku cuma perlu menolak fakta kalau mereka tidak lagi berbentuk kasar seperti manusia lagi, melainkan siluet manusia sekarang.


Mengabaikan mereka dengan sekuat tenaga, aku sampai di taman yang sama waktu itu. Dia duduk di bangku yang sama seperti sebelumnya.


Hal yang pertama aku tanyakan kepadanya, yang cantiknya tak terjangkau akal, adalah: “Hei, apa karena kamu aku sekarang bisa melihat bentuk energi-energi humanoid?”


“’Kamu’”, katanya tidak menjawab pertanyaanku.


Rupanya, dia tidak menanggapi ku, tapi mengulang kata yang biasa aku pergunakan untuk menyebutnya. “Panggil aku Reina. Sebagai balasannya, aku pun akan memanggilmu Shizuka. Oke?”


“Aku tidak keberatan…” aku menjawab dengan hati-hati.


“Jadi Shizuka, apa kamu mempertimbangkan tawaranku?” Hah, pertanyaan ku diabaikan.


Tawaranmu, hah...Tidakkah kamu pikir itu terlalu sepihak? Kamu mengatakan apa yang ingin kamu katakan dan tiba-tiba menghilang begitu saja. Lagian, aku tak mengerti apa yang kamu maksud dengan, “Apakah kamu ingin ikut dengan ku?”


“Serius…?”


“Serius,” jawabku sambil menghela nafas.


“Sekalipun kamu mempunyai semacam kemampuan?” dia bertanya dengan heran.


“Ya, aku menduga kita memperoleh kemampuan dengan jalan yang berbeda. Saat kamu mendaki gunung dari jalan yang berbeda, kamu tetap sampai di tempat yang sama, bukan?”


Reina berjeda sebentar dan akhirnya mengangguk.


“Aku mengerti, itulah kenapa kamu memanggil mereka ‘energi humanoid.’”


“Mengerti?”


“Ya. sebab ada nama yang lebih mudah dan lebih mengena, bukan? ‘Roh’”


“Aku akui kalau aku pun memikirkan nama itu saat pertama kali mengenali bentuk mereka. Namun, ada diskrepansi (ketidak cocokan) antara pendefinisian ku tentang kata ‘roh’ dan bagaimana aku mendefinisikan ‘energi humanoid,’ meskipun itu mungkin karena akal sehatku yang mengekangku. Aku tidak bisa memberi nama fenomena ini dengan nama membosankan seperti ‘Roh’. Sekarangpun, jujur saja, mereka akan tetap jadi energi humanoid untukku. Apa kamu mengerti?”


“Aku mengerti. Tapi kamu mesti ingat kalau mereka bukan energi humanoid untuk orang lain. Tentu saja, Roh adalah jawaban untuk sejumlah orang juga.” Dia menjelaskan.


“…Maaf, aku kebingungan.”


“Dengan kata lain, istilah ‘energi humanoid’ mungkin caramu sendiri menyebut mereka, tapi dengan menamai mereka seperti itu, mereka mengambil peran menjadi energi-energi humanoid.


“…Kayak sebuah jeruk menjadi sebuah jeruk dengan kesadaran kita akan nama tersebut…?


“Hmm, itu agak ribet, aku pikir, kamu mestinya mengambil contoh yang mudah dijelaskan. Seperti… Tuhan, apakah kamu percaya Tuhan, Shizuka?”


“Aku, Aku kira tidak.”


“Ok, itu berarti bahwa kamu mungkin berterima kasih pada keberuntunganmu sendiri saat kamu beruntung, benar? Tapi saat kita menciptakan istilah ‘Tuhan’, kamu akan berterima kasih bukan pada keberuntunganmu, tapi Tuhan yang mengawasimu – dan itu suatu pesan yang sepenuhnya berbeda, bukan?”


“…Ya, aku pikir aku mengerti kemana arah pembicaraanmu, tapi itu bukan contoh yang bagus. Yang bagus misalnya, ‘udara’ hanya bisa eksis sebagai ‘udara’ jika kamu tahu namanya. Itu maksudmu, kan?”


Lagian, kita tidak bisa melihat udara kecuali bila kita telah mendengarnya, sebab itu tidak dapat dilihat dan juga tidak jelas.


“Aku terkesan, Shizuka. Kamu cepat tangkap!”


“Tahan dulu pujiannya. Ngomong-omong, bolehkah aku menanyakan beberapa pertanyaan?”


“Tentu, kalau aku bisa menjawabnya,” katanya, menerima permintaanku.


“Bagus, dimulai dari – “ aku mengajukan pertanyaan yang sangat ingin aku tanyakan, “- Siapa kamu?”


Kelihatan tak mampu menangkap maksud pertanyaanku, Reina memiringkan kepalanya.


“Kenapa kamu bertanya?”


“Kamu bukan manusia, tapi kamu bukan juga suatu energi humanoid.”


“Tapi kamu sudah tahu namaku, bukan?”


“…Reina Kamisu.” Sambil aku menyebut namanya, aku mengerti apa yang dia maksudkan.


“Yap, aku Reina Kamisu. Itu dan bukan yang lain.


Benar, aku sudah menamai inti dari fenomena ‘Reina Kamisu.’


“…Baiklah, aku tidak akan lagi menanyakan itu. Tapi… kenapa kamu berhubungan denganku?”


“Sepertinya ada kesalahpahaman di sisimu. Kamu penggagas hubungan kita, bukan?”


“…Benar. Lalu kenapa kamu membuat penawaran itu untukku?”


“Karena kamu memiliki kekuatan, Shizuka.”


“Kekuatan apa?”


“Kamu memiliki kemampuan untuk merasakan ‘energi humanoid,’ meminjam penamaan kamu.”


“Aku tahu itu. Apa yang aku tidak ketahui adalah kekuatan seperti apa dari kemampuan menerjemahkan ini.”


Reina tetap terdiam sebentar, berpikir, hingga dia menjawabku dengan sebuah senyuman:


Itu adalah kekuatan untuk menyelamatkan dunia.


Terkejut, mataku melebar. Padahal, kecurigaan dasarku adalah bahwa keberadaan Reina menimbulkan ancaman bagi kedamaian, dan itulah kenapa aku berhubungan dengannya.


Jika aku harus mempercayai perkataannya…


“-Maka apa yang kamu lakukan – menggerakkan energi humanoid – adalah bagian dari menyelamatkan dunia?”


“Ya.”


“Aku tidak ingin mendengar kebohonganmu! Aku tahu bahwa perbuatanmu menghasilkan beberapa korban jiwa!”


'Beberapa’,” dia tersenyum. “Apakah menyelamatkan beberapa orang sepadan dengan menyelamatkan dunia?


“…Itu berarti maksudmu…?”


“Kamu mungkin mengetahuinya.”


Dengan kata lain, Reina telah mengorbankan beberapa orang untuk menyelamatkan orang lain?seperti rakyat dalam peperangan yang dimulai hanya untuk menangkap diktator tunggal? Seperti seekor gajah diantara kawanan hewan yang lapar dibunuh oleh yang lain untuk bertahan hidup?


Selagi melawan kekalutan yang meningkat, Reina tersenyum kepadaku dan melanjutkan:


“Aku tahu semuanya, Shizuka.”


Perkataan dia selanjutnya menambah kekalutan dalam diriku.


Kamu memperoleh kemampuan itu setelah insiden itu, bukan?

Bagian 3

Aku mengenakan pakaian kesukaanku, gaun putih.


Ujung jumbai-jumbai gaunku melayang di udara selagi aku berputar-putar.


Apa aku tidak cantik?


Untuk siapa aku mengenakan gaun ini?


Untuk kamu, tentu saja, dan untuk ku, untuk perasaanku kepadamu.


Aku ingin menjadi cantik untukmu, selalu yang paling cantik.


Tapi suatu hari nanti aku akan melepaskan gaun putih ini.


Dan kamu yang akan menelanjangiku.


-Atau begitulah aku berharap.


Tapi sekarang –


Aku masih mengenakan gaun itu, dan aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya.


Karena kesukaanku, gaun putih penuh dengan noda.


Tapi tetap aku masih mengenakan gaunnya.


Aku masih mengenakan sebuah gaun tak-putih.


Aku masih mengenakan sebuah gaun tak-putih kepadamu untuk ditelanjangi.


Hingga akhirnya sudah sangat terlambat untuk kembali.


Bagian 4

Sial!… ini tidak berfungsi.


‘Selada’ yang aku tabur kemarin tidak berfungsi. Seperti Reina bilang… jika aku tidak berubah, kekuatanku akan tetap terbatas.


Agar mendapatkan kekuatan sebenarnya, aku harus melompati dunia ini dan melampaui batas kewajaran semua eksistensi dan melewati beberapa delta.


Istirahat, ruang kelas. Bangku, bangku, meja, energi humanoid yang bergelaparan, kazuaki.


“Kazuki, berbicara denganku sebentar?” Ucapku ke Kazuaki yang sedang berbicara dengan Kiichi-kun, temannya.


“Hm? Ada masalah apa, Shizuka?” Kiichi-kun dengan sopan meninggalkan kita berdua. Mm, maaf tapi terima kasih.


“Ok, dengar baik-baik. Dunia akan meledak.”


“Shizuka…?”


“Seperti kataku, dunia penuh sesak. Ada sebuah level kritis dalam setiap sistem, bukan? Kamu mengerti itu, kan?”


“…Iya… hei, em, aku sudah bilang ini pada istirahat sebelumnya, tapi kamu tidak terlihat baik hari ini, Shizuka.”


“Itu tak masalah. Lupakan aku untuk saat ini. Cukup dengarkan,” aku mendesaknya.


“Aku pikir itu masalah, tapi baiklah…”


“Energi humanoid …tidak, aku membenci melakukan ini, tapi mari kita sebut mereka ‘roh’ karena lebih mudah. Seperti yang kamu tahu, Kazuaki, ada benda tak terhitung yang tidak bisa dilihat oleh mata. Gila, sangat banyak untuk selera ku. Dan supaya sadar akan mereka, kita harus memberi mereka nama yang pantas… tunggu, itu bukan masalahnya juga sekarang, ya kan? Pokoknya, roh-roh itu ada, oke?”


“…Oke.”


“Roh-roh itu terus meningkat jumlahnya. Jumlahnya terus membesar dan mereka mulai memenuhi dimanapun kamu lihat, bahkan disekitar kita. Sebenarnya, ada satu di pojok. Tentu, beberapa roh mengangkasa sebagaimana mestinya, tapi kebanyakan tidak. oleh karena itu, kita bisa menetapkan kalau roh-roh dalam pertumbuhan yang konstan. Benar, siklus hidup ini makanya sebanding dengan produksi oksigen. Bersamaan dengan setiap hembusan nafas, tanaman juga menghembuskan karbon dioksida tapi jumlah oksigen yang di produksi berkat fotosintesis lebih besar. Jadi mereka dengan efektif memproduksi oksigen yang sudah ditetapkan. Seperti itu.”


“Oke…”


“Kamu tahu apa yang terjadi kalau mereka tetap bermukim? Dunia akan berubah terbalik. Bagian depan dan belakang akan berbalik. Apakah kamu mengerti? Kamu ‘ngerti, kan? Ini sebuah pemberontakan! Oleh roh-roh tersebut! Itu masuk akal kalau dunia akan condong ke sisi yang memegang banyak energi. Dapatkah kamu membayangkan akibatnya? Dunia akan kacau balau: kita akan jatuh dari permukaan dunia, kehilangan bentuk kita, berubah menjadi makhluk tak jelas, terpencar ke segala arah. Mungkin. Tentu saja aku tidak tahu detailnya, tapi kita juga tidak tahu akibat persisnya dari meledak dan terbakarnya bumi kita dengan bahan peledak, ya kan? Dengan kata lain, satu-satunya yang bisa aku sampaikan dengan pasti adalah bahwa kesudahan dunia sama sekali tidak diinginkan. Menurutmu apa yang seharusnya aku lakukan? Apa, apa menurutmu kalau aku seharusnya mencegah hal itu bagaimanapun caranya?”


“…Shizuka,” Kata Kazuaki sambil dia menatap dalam kepadaku. Terima kasih tuhan; dia menanggapiku dengan serius.


Kazuaki memberi Kiichi-kun sebuah lirikan, “Aku minta maaf, Kiichi, tapi Shizuka dan aku pulang lebih awal hari ini.”


Terkejut, Kiichi-kun menjawab, “Hah…? Ah, T-Tak apa, Kazuaki, bukan hal yang penting kok, serius.”


“Bilang pada mereka kalau aku mengantar Shizuka pulang karena dia kurang sehat.”


Mengabaikan pertanyaanku, dia menarik lenganku.


Kazuaki menyentuh lenganku.


Sel-sel lenganku mulai mengurai dan membusuk satu per satu. Ini menyakitkan. Tak tertahankan, dendam kesumat dan kebencian yang tak terhingga menusuk-nusuk diriku.


“Kazuaki…Apakah kamu sudah lupa?”


Dia secara refleks melepaskan tanganku, menyaksikan ku dengan mata yang terbelalak. Setelah beberapa saat, dia meminta maaf dalam suara yang hampir tidak aku dengar.



Kazuaki tidak berbalik, jadi aku hanya mengikutinya tanpa kata.


Sembari kita menyusuri jalan pulang. kita memasuki jalur kereta yang kita gunakan setiap hari. Hampir tidak ada orang karena bukan waktu sibuk, hah? Ada seseorang yang berdiri meskipun banyak bangku kosong. Ah, itu sesosok energi humanoid. Betapa membingungkannya. Kalau dipikir-dipikir, bagaimana ya aku membedakan antara manusia dan energi-energi humanoid? Hah? Bagaimana aku terbiasa menjalani hal itu? Aku tak mengingatnya.


Kita turun dari kereta, tapi ketika aku mencoba melewati tempat tiket, aku menabrak pembatas karena mesin tidak bereaksi pada tiket berlangganan ku. Ada apa ini? apakah ini juga perbuatan jahat energi humanoid? Itu mungkin saja. Aku taruh tiket berlangganan ku diatas sensor kembali, dan kali ini pembatasnya terbuka. Fuuh, itu benar-benar membingungkan.


Aku tetap bersama Kazuaki.


Kanan, kiri, kanan, kanan, kiri – kita belok terus belok dan belok.


Akhirnya, kita tiba di sebuah taman, tapi bukan taman dimana aku bertemu dengan Reina. Ini sangat kecil, taman biasa dengan dengan bangunan taman yang berkarat.


“…Apakah kamu masih ingat tempat ini?” Kazuaki tiba-tiba bertanya, berbalik kepadaku.


Meskipun dia tadi sangat diam dalam perjalanan kesini, dia tersenyum lembut menyeringai. Karena aku tidak memberi reaksi apapun, dia meneruskan:


“Ini taman dimana kita pertama kali bertemu, saat itu kita berumur 2 tahun. Yah, aku tidak mengharapkanmu untuk mengingat saat itu, tapi kamu ingat kalau kita dulu bermain disini, bukan?”


“…”


Tentu saja aku ingat.


Namun, Aku bimbang berucap sesuatu karena aku tidak bisa memahami maksud dari membawaku kesini dan memberitahuku hal itu.


“Saat kita kecil, kamu lebih tinggi dariku dan kamu akan selalu mengusikku. Jujur saja, ada hari dimana aku sangat takut kepadamu sampai-sampai aku tidak ingin melihat mu, Shizuka!” dia tertawa.


Aku melihat ke sekeliling. Memang, ini adalah taman dimana dulu kita bermain bersama. Aku sering bermain dengan Kazuaki dalam arena pasir disana, atau ayunan yang disana, atau dengan tiang olahraga itu. Arena bermain panjatan dan perosotan sudah tidak ada sekarang, tapi terlepas dari hal itu, taman ini tetap tempat kenangan masa muda yang kita pikir adalah kerajaan kami sendiri.


“Itu adalah masa-masa yang indah, bukan?” Kazuaki meneruskan, masih tersenyum lembut.


Senyumannya menyebabkan dalam diriku – kebencian.


Aku tetap terdiam, bagaimanapun, karena itu bukan salahnya. Dia tidak bisa disalahkan. Terasa aku ingin muntah karena tusukan di perutku.


Oleh karena itu, aku memutuskan memberitahu Kazuaki apa yang harus dia ketahui.


“Kazuaki, dengar…”


“Ya!” Jawabnya cepat seperti sebuah tembakan – dengan sentuhan kesabaran yang lembut.


“Kamu sangat berarti untuk ku, Kazuaki.” Aku memulai, kelihatannya menampik kekhawatirannya. Matanya melebar. “Aku pikir setiap orang mempunyai peran tertentu dalam kehidupan. Sebagai contoh, Presiden dari suatu republik tertentu melindungi dunia dengan kekuasaan tertingginya, sementara Sang perdana menteri dari suatu negara kepulauan tertentu harus mematuhi presiden itu. Bunda Teresa harus mengabdi di Calcutta, Columbus yang menginjakkan kakinya di Amerika, dan Madam Curie yang menemukan polonium dan radium. Dan aku…aku harus menyelamatkan dunia.”


“Bagaimana kamu melakukan hal itu…?”


“Aku akan memastikan bahwa dunia tidak berbalik ke sisi mereka dengan melepaskan kekuatan didalam energi humanoid dan mengurangi jumlah mereka. Mungkin jatuh korban ketika mereka berkerlap-kerlip sebentar setelah kekuatan mereka dilepaskan, tapi itu kejahatan yang diperlukan. Jangan salah sangka kepadaku – hati nuraniku menusuk-nusukuku karena ini, tapi aku tidak bisa berhenti. Aku harus bertindak; ini peranku karena aku tahu apa yang harus dilakukan.”


“…Anggaplah itu adalah hal yang benar untuk dilakukan – “


“Kazuaki. Aku ‘ngerti kalau ide tersebut kelihatan konyol pada awalnya, tapi ini adalah hal yang benar untuk dilakukan.


Dia memalingkan pandangannya ke tanah. Setelah beberapa saat berpikir, dia mengoreksi dirinya:


“Biarpun aku kira kalau itu harusnya hal yang benar untuk dilakukan – kenapa juga kamu yang perlu bertanggung jawab atas tugas ini, Shizuka? Serahkan saja tanggung jawabnya kepada orang lain. Kamu berkata kalau kamu tahu bagaimana menyelamatkan dunia, tapi Shizuka… kita semua tahu negara-negara tersebut menderita kemiskinan, dimana anak-anaknya lahir untuk mati begitu cepat, para wanita terpaksa melacur menjangkiti AIDS, dan orang-orang lemah mati sakit disebabkan oleh lingkungan yang buruk dan kekurangan pengobatan. Kita semua tahu itu, tapi tetap kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk memperbaiki masalah ini, kecuali mungkin untuk beberapa koin yang kita donasikan. Ini adalah dunia dimana kita hidup didalamnya. Akan selalu ada orang-orang yang mencari penyelamat. Bila kita menjawab setiap dan segala panggilan meminta tolong, kita akan terperangkap dalam satu titik, hidup hanya demi menyelamatkan orang lain. Pikirkan apakah itu patut dipuji? Yah, memang. Terus apa? Apa kamu pikir gaya hidup dimana kamu mengorbankan dirimu untuk orang lain adalah tepat? Mungkin iya, tapi aku tidak ingin gaya hidup seperti itu. Aku akan memilih mengabaikan panggilan meminta tolong mereka – sama seperti kita menolak pesan iklan yang kita dapat."


“…Bukankah aku sudah bilang kepadamu alasannya dari awal, Kazuaki?”


“…”


Kamu sangat berarti untukku.


Benar, Kazuaki hidup di dunia ini.


Dia memandang ke bawah kembali.


“…Keren memang kalau kamu berpikir seperti itu, sungguh, tapi…”


“…Tak apa, Kazuaki. Ungkapkan saja kekhawatiran yang ingin kamu katakan.” Aku bisa bilang kalau Kazuaki tidak melihat bahaya dunia yang dihadapi. Dia hanya melihat masalah yang dia pikir sedang aku hadapi.


Dia perlahan menaikkan kepalanya untuk menatapku, hampir bermuka masam.


Meskipun begitu –


“Sadarlah, Shizuka! Kamu bicara yang tidak sesuai dengan kenyataan.”


Meskipun begitu, aku mempunyai keyakinan.


Lagian, ada seseorang yang membenarkan pandanganku.


“Kenyataan.”


“…Iya, kenyataan! Kamu telah melalui banyak penderitaan, itu memang benar, tapi lihatlah...misalnya taman ini – tempat ini pun adalah kenyataan, oke? Segalanya tidaklah begitu buruk.”


Ah, sekarang aku mengerti… itulah kenapa dia membawaku kesini. Tapi Kazuaki…


Maksudmu berubah menjadi sebuah bumerang.


Apalagi, kenyataanmu bukanlah masalah untukku. Kenyataan untukku ialah bahwa dunia dalam bahaya, dan satu-satunya yang mampu menyelamatkannya adalah dia dan aku.


“Diantara hal-hal yang telah kamu katakan padaku tadi, Kazuaki, ada satu hal yang aku sukai.”


“Hm…?”


“’Lakukan apa yang kamu pikir benar untuk dilakukan.’”


“Ya…” dia mengangguk dan terus menutup mulutnya.


Kita sudah saling mengenal satu sama lain sejak kecil. dia tahu kalau aku susah dibujuk. Aku yakin, namun – Kazuaki tidak akan menyerah.


“Oke, kalau begitu aku akan melakukan hal yang benar juga!”


Sembari berujar, dia mendekati ku.


Aku tahu apa yang akan dia perbuat. Aku bisa dengan mudah membayangkan apa yang tersirat dari wajah tegangnya; kita belum melakukan sesuatu karena tidak bersama-sama begitu lama.


Lehernya tepat didepan mata ku. Aku benar-benar lupa kalau dia sudah bertambah besar dariku.


Aku sedikit mendongakkan kepalaku memandang ke wajahnya.


Dia sedikit menurunkan kepalanya menatap ke wajahku.


Akhirnya, dia – mendekap ku.


“Aku mencintaimu!” bisiknya ke telingaku, seakan-akan menekankan kalau aku satu-satunya yang harus tahu. “Aku mencintaimu lebih dari siapapun, Shizuka!”


Aku bahagia.


Aku sangat bahagia.


Dia tidak sedang berusaha menghentikanku dengan gombalan cinta. Dia tidak cukup bagus dengan gombalan itu.


Dia semata-mata tidak dapat menahan untuk mengatakannya, memilikku dalam dekapannya. Hanya itu hal yang dia dapat pikirkan.


Kazuaki tuh sangat jujur, polos, setia...tidak memberikanku pilihan selain mengawasinya, membuatku ingin bersama dengannya –


Meskipun gaun putih ku telah ternoda.


Meskipun dia tidak bisa melupakan noda itu.


Dia berani melompat. Mempertaruhkan hidupnya.


Tentu saja, aku berada disisinya. Aku ingin dia menang taruhan.


Akan tetapi tetap –


“…Jangan sentuh aku.”


-Aku tak bisa.


Lengan disekitarku mengendur seketika. Malahan, aku memeluk diriku dengan erat, mengubur kuku-kuku tanganku ke dalam lengan ku.


Aku senang kalau aku lebih pendek dari Kazuaki sekarang; aku tinggal sedikit menurunkan pandanganku untuk menghindari melihat wajahnya.


Tubuhku sakit seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum. Aku melawan dorongan untuk memunculkan isi dari kepala ku yang sakit. Gambaran masa lalu terus muncul di kepalaku, mencabik-cabik diriku, menghancurkanku, melumatku, menghamburkanku.


“Aku minta maaf…” bukan aku melainkan Kazuaki yang berucap.


Kenapa kamu meminta maaf? Hentikan! Akulah yang pantas disalahkan. Akulah yang lemah. Akulah yang tak mampu pulih. Ini salahku. Salahku. Salah. Salah. Salah.


“Maaf membuatmu menangis…”


Bingung, aku sentuh pelupuk mata dan akhirnya menyadari kalau aku benar-benar menangis.


“Bukankah ini aneh? Aku ingin berakibat sebaliknya. Mendekapmu semestinya menghentikan tangisanmu. Aku gagal melakukan itu, bukankah aku… aku tidak sanggup melakukan itu…”


Aku sangat berusaha untuk menahan air mataku. Aku tak boleh membuatnya berkata hal semacam itu. Tapi… tak bisa.


“Aku bodoh. Aku pikir entah bagaimana akan menyelesaikan masalah bila aku datang kesini…aku pikir segalanya akan berubah menjadi lebih baik… sangat begitu simpel.”


“…Dengar, Kazuaki…” ucapku, mencoba (dan kemungkinan gagal) untuk tak menangis.


“Hm?”


“Ada sesuatu..yang aku tidak beritahu kepadamu.”


Aku mengangkat kepalaku, merasa kalau aku perlu.


“Aku tak pernah memberitahumu detail insiden itu, kan…? Aku tidak ingin menyakitimu…jujur saja…taman ini…tempat penuh kenangan ini – “


“-Adalah tempat aku diperkosa.”


Berhenti. Kazuaki berhenti sepenuhnya.

Dia benar-benar terdiam yang aku mulai mencurigai bahwa aku seorang diri yang tersisa di dunia, disingkirkan dari aliran waktu.


-seorang diri di dunia? Hah, itu penjelasan yang akurat. Aku yakin kalau impresi bukan sebuah ilusi melainkan sebuah kenyataan.


“…Mengerikan,” Kazuaki bergumam.


Dia tidak berucap kata itu untukku, tidak pula dia tujukan kepada orang-orang yang melecehkanku. Itu pun tidak ditujukan kepada Tuhan, sebab dia tidak menyakini itu.


Aku yakin kengeriannya tidak ditujukan pada apapun yang spesifik.


“Itu benar-benar…mengerikan!”


Kazuaki tidak mengetahui bahwa realitas menyerang kapanpun kamu mengharapkannya sedikitpun, tak peduli bila itu adalah sebuah tempat kenangan.


Realitas memperlakukan sama antara orang suci dan pendosa, menyerang mereka secara otomatis, acak, tanpa pertimbangan dan pemilihan apapun.


Kazuaki tidak tahu itu.


Tidak, dia mungkin telah mengetahuinya, tapi dia tidak memercayai kalau aturan ini akan berlaku juga pada kita.


Dunia bisa melawan seseorang dengan tanpa arti.


Namun, tidak dalam kasusku.


“Aku harus pergi,” aku berujar.


“…Pergi kemana?” dia berkata.


“Ke taman lain yang seharusnya aku kunjungi.”


“Hah?”


“Aku harus bertemu Reina Kamisu.”


Ada maksudnya dunia melawan ku


Iya kan, Reina?


Bagian 5

Aku sudah bilang Reina Kamisu kalau aku akan mengikutinya.


Dia menyambut ku dengan tangan terbuka, tampak sangat senang dengan keputusanku. Tentu saja, salah satu alasan kebahagiaanya adalah meningkatkan efektifitas, tapi aku pikir dia pun senang akhirnya memiliki teman disisinya dalam pertarungan yang tak berujung.


Aku tidak tahu berapa lama dia telah bertarung sejauh ini, tapi melenyapkan satu demi satu energi humanoid (yang mana terus bertambah sementara ini) seperti mengumpulkan pasir gurun sebutir demi sebutir.


Aku paham. Mungkin dia sedang menunggu untuk seseorang sepertiku yang akan membantunya menyelamatkan dunia. Tidak, dia tetap menunggu. Seandainya jumlah orang yang membantunya terus meningkat, maka menyelamatkan dunia akan berhenti menjadi harapan hampa.


Aku melihat sekeliling kamarku.


Ini akan menjadi terakhir kalinya aku disini; emosi yang mendalam mengisi hatiku. Meski ini bukan kamar yang keren – yang didalamnya ada perabotan seperti meja dari ibuku dan benda seperti boneka aneh – tapi disini aku tertawa dan menangis terus tertawa dan menangis.


Haruskah aku meninggalkan surat untuk orang tuaku dan Kazuaki?


…Tidak usah, mereka akan mengelirukan itu sebagai kata-kata terakhir atau suatu hal. Padahal itu mungkin benar di mata mereka.


Aku membuka kunci laci paling atas dan mengambil kalung salib.


Reina Kamisu bilang kepadaku kalau aku perlu memakai sesuatu yang sangat berharga untukku. Ketika aku tanya alasannya, dia menjelaskan kalau aku memerlukannya sebagai tanda penyesalan. Aku bisa melihat bahwa aku mungkin secara tidak sengaja terjebak disisi lain dunia kecuali bila ada sesuatu yang merantaiku disisi ini. untuk menjadi seperti Reina, aku mungkin akan memerlukan sesuatu seperti itu.


Aku kenakan kalungnya.


Aku tidak akan goyah lagi.


Aku menuruni tangga dan mengenakan sepatuku di pintu masuk.


“Shizuka, mau kemana?” ibuku bertanya dari dapur tanpa memperlihatkan badannya.


“Pergi agak jauh.”


Bersama kata-kata ini, aku membuka pintu.


Kini, energi humanoid dan manusia terlihat hampir sama untukku tapi aku masih bisa membedakan mereka entah bagaimana. Energi-energi itu tidak mempunyai niat dan tujuan, sehingga mereka praktis menetap di satu tempat; mereka bergumam sesuatu meskipun mereka sendirian, dan ketika mereka berbicara sendiri, ekspresi wajah mereka tidak berubah sedikitpun.


Berjumpa dengan beberapa energi humanoid-berwujud makhluk saat aku menuju ke tempat dia menunggu.


{Kenapa kamu mencampakkan ku, Takeshi! Kamu bilang padaku kamu cinta kepadaku!}


{Aku tidak memiliki satupun teman, aku tidak perlu hidup.}


{Seandainya aku tidak menatap cewek sekolah yang montok itu, aku dan keluarga yang mengendarai mobil lain tidak harus mati. Kecelakaan yang bodoh!}


Diantara mereka ada seorang pria paruh baya:


{Kenapa kamu memecatku! Apa kesalahan yang aku perbuat!}


Nampaknya, dia bunuh diri setelah kehilangan pekerjaannnya.


“Helo,” ucapku, untuk pertama kali tertuju ke energi humanoid. Bunuh diri setelah seseorang gagal dalam pekerjaan bukanlah hal yang biasa, tapi wajahnya agak mirip ayahku.

{Kamu bisa… melihatku?}


“Aku bisa. Aku juga bisa mendengarmu.”


{Aku mengerti… kamu tidak seharusnya berbicara kepadaku. Atau mungkin… tidak membahayakan untuk seorang wanita muda sepertimu?}


“Aku yakin tidak. Derajat kita sangat berbeda.”


{Derajat, kamu bilang… dengan kata lain, kamu pikir alasan kenapa aku melakukan bunuh diri kelihatan murahan dan klise untukmu?}


“Semacam itulah. Maksudku, kamu hanya akan mendapat penghasilan yang lebih sedikit bila kamu dipecat, dan cuma itu, kan?”


Energi humanoid paruh baya melihat ku penuh kesedihan. Tidak, dia (?) mempunyai tampang penuh kesedihan melekat diwajahnya setiap saat.


{Ini tidak sesimpel itu, wanita muda.}


“Lalu apanya yang tidak sesimpel itu?”


{Aku buruk dalam menjelaskan sesuatu, sehingga aku tidak akan mampu meyakinkanmu, tapi pekerjaan adalah segalanya bagiku. Meskipun begitu, aku diberitahu sudah tak berguna untuk perusahaan. Apakah kamu mengerti apa yang aku maksud?}


“Aku mengerti, tapi aku belum terlalu yakin.”


{Aku menduga seperti itu. Tapi ada satu hal yang aku ingin kamu mengerti: tidak ada tempat untuk orang tua sepertiku. Bahkan tidak didalam keluarga yang aku nafkahi. Meskipun demikian, aku sangat percaya kalau aku dibutuhkan, bahwa aku roda dalam keluarga dalam perusahaan tempat aku bekerja.}


“Tapi kamu bukan lagi salah satu roda.”


{Tepat sekali. Dan aku tidak akan lagi bisa menjadi bagian dari apapun lagi.}


“Kupikir aku kurang lebih mengerti. Tetap saja… seseorang mengakhiri hidup karena itu adalah hal bodoh.”


Dia menurunkan pandangannya dan menjawab,


{Ya… mungkin kamu benar.}


Kupikir kemudian aku melihat senyum samar diwajahnya.


Dan dia berputar-putar ke kiri dan kekanan.


“Seperti yang kusangka. Kamu sudah mati, bukan?”


{Apa maksudmu…?}


Aku menemukan dia.


“Bukankah kamu mengingatku?”


{Tidak…}


Aku seharusnya sudah tahu; energi humanoid adalah inti dari energi kita, dan karena itu hanya memiliki kenangan yang paling penting.


“Ketika kamu masih hidup, kamu pernah menabrak ku saat kamu terburu-buru keluar dari ruangan psikiater kita.”


{jadi begitu…maaf.}


“Oh, tak usah dipikirkan. Ngomong-ngomong, siapa namamu?”


{Atsushi Kogure…}


“Aku mengerti, Atsushi-kun ya.”


{Siapa namamu..?}


“Namaku? Aku Shizuka Wakui.”


{Ada urusan apa denganku, Shizuka-san?}


“Tidak ada, sebenarnya…kalau pun ada, aku agak merasa nostalgia.”


{Aku mengerti… tolong tinggalkan aku sendiri, kalau begitu?}


“Dingin banget, Hm…oke, lantas bolehkah aku bertanya satu hal?”


{Boleh…tapi aku tidak akan bisa menjawabmu karena aku tidak bisa mengingat apapun}


“Benarkah? Bagaimanapun aku akan bertanya. Kamu menabrakku – aku sudah bilang ke kamu, kan?”


{Ya…}


Apa lagi yang kamu teriakan saat terburu-buru keluar dari ruangan?


Matanya melebar seketika. Aku terkejut – energi humanoid tidak merubah ekspresi mereka.


{Aku tidak tahu.}


Itu bohong. Lagipula, dia lebih memberi penekanan pada kata-katanya dibanding sebelumnya.


{Aku tidak tahu!} dia berteriak, nampaknya merasakan keraguanku.


Atsushi-kun berkata sudah jangan lagi setelah itu.



Setelah berganti kereta beberapa kali, aku akhirnya turun dari kereta di stasiun terdekat dari sebuah danau tertentu yang telah aku kunjungi dahulu.


Selama perjalanan, aku sekali lagi teringat kehadiran dimana-dimana dari energi-energi humanoid. Aku takut dunia bisa berbalik kapan saja.


Melihat sekelompok gadis sekolah yang riang, aku merasa sedikit cemburu pada mereka. Mereka tidak perlu melihat ini dan tidak perlu mengetahui betapa tipisnya es yang kita pijak. Keseimbangan sama rapuhnya dengan melakukan triple axel pada ice rink diatas es ultra-tipis.


Setelah memastikan posisi danau dipeta yang tergantung di stasiun, aku pergi ke tempat tujuanku.


Selagi aku berjalan, aku mengingat kembali perkataan Reina.


Air bekerja secara sempurna karena terhubung ke seluruh dunia.


Untuk menemukan danau yang sesuai, aku harus mencari di google ‘tempat untuk melakukan bunuh diri’. Maksudku, ‘bunuh diri…? ‘Njir, ini bukannya aku ingin mati.


Setelah berjalan selama 40 menit, aku sampai di danau. Aku bisa saja menggunakan sebuah taksi (aku tidak peduli dengan uang dari sekarang, lagian) tapi aku tidak ingin menyebabkan kesalahpahaman yang merepotkan.


“Kamu terlambat.”


Reina sudah disana duluan, menungguku dengan senyuman cantik yang tidak terjangkau akal.


“Maafkan aku.”


Tapi aku bisa kemari kapanpun aku mau, bukan? Lagipula kamu tidak bilang kepadaku kemana aku harus pergi.


Aku memandang danau didepanku.


Ah, aku mengerti. Tidak heran kalau ini menjadi tempat yang terkenal untuk bunuh diri. Betapa banyak jumlah energi-energi humanoid. Sebenarnya, ada banyak sekali, sehingga mereka telah bercampur baur menjadi makhluk yang sama sekali berbeda. Itu seperti dalam lukisan tua Youkais. Beberapa kepala mengulur kepada ku, mengamati ku dengan seksama. Mereka terlihat seperti buah anggur bagiku, dengan wujud kepala-kepala yang berkumpul tersebut seperti buah anggur.


Aku mengerti. Dengan banyaknya mereka, ada suatu gelombang untuk setiap orang yang datang kesini, menarik mereka ke dalam kematian. Tentu saja, orang-orang yang kesini melakukan itu dengan niat bunuh diri; tapi sebetulnya seseorang mengakhiri hidup tidaklah begitu mudah. Ketakutan dan keterikatan hidup yang timbul saat menghadapi kematian membantu mencegah bunuh diri.


Namun, dengan keadaan danau ini, sudah sangat terlambat setelah mereka datang kesini.


Energi-energi humanoid tersebut mengeksploitasi hati yang hampa dari pengunjung yang berniat bunuh diri, memendekkan pemikiran logis mereka dan menarik mereka ke dalam kematian.


“Shizuka, ada beberapa tempat seperti ini di dunia.”


“Dan kita harus menghilangkan tempat-tempat itu satu per satu, iya kan?”


“Mmm,” dia menggelengkan kepala, “Itu tidak mungkin.”


“Kenapa…?”


“Ini sesederhana seperti masalah banyak melawan beberapa. Kita memiliki terlalu sedikit kekuatan. Setelah sebuah tempat berubah seperti ini, tak bisa dibersihkan.”


Aku melihat ‘mereka’ lagi.


Aku mengerti. Setelah bercampur bersama, saling melengkapi satu sama lain, mereka berubah menjadi monster. Haruskah aku melangkah masuk dan menghapus mereka, mereka akan membawaku ke dalam juga dan masih berusaha memperoleh kembali bentuk mereka yang dulu. Sebuah mekanisme itu mirip suatu lubang hitam yang terbentuk di tempat ini.


Tempat ini tidak bisa dibersihkan lagi.


“Ah-“


Aku mengerti sekarang. Aku memahami semuanya. Ini dia. Inilah yang terjadi saat sisi dunia kita berbalik.


Hubungan proporsional kita dalam kekuatan ditiadakan oleh sisi ini, dengan demikian kita terbawa oleh mereka. Jiwa kita dilahap, tubuh-tubuh kita menjadi berlubang dan membusuk. Itulah hasil kita disetir.


“…Kita harus menghentikan peningkatan tempat ini, kan?”


“Ya”, Reina mengangguk merespon kesadaranku. “Itulah misi kita.”


Aku memerengut ke monster di depan kita. Semua makhluk mirip anggur itu tak berekspresi tapi tetap tak bersahabat.


Mereka adalah – musuhku.


Aku menekan kalung salibku dengan erat.


“Reina, satu hal terakhir.”


“…Satu hal terakhir?” dia tersenyum.


“…Kamu benar. Ini baru dimulai.”


“Memang! Lalu, apa yang ingin kamu ketahui?”


“Kamu bilang bahwa semua orang punya peran tertentu, kan?”


“Iya.”


“Dan itu tugasku untuk menyelamatkan dunia,” tambahku.


“Ya, hanya yang terpilihlah yang bisa melakukan itu.”


“Jadi, aku terpilih karena aku memperoleh kekuatanku.”


Dan –


“- Aku memperoleh kekuatanku karena insiden itu.


Reina menggangguk dengan senyuman.


Ya, aku mengerti. Aku mengerti sekarang.


Tak pernah masuk akal bagiku: Kenapa aku harus begitu menderita? Tentu saja aku bukan orang suci, tapi aku pikir aku hidup dengan cukup rendah hati untuk mendapatkan tiket ke surga. Jadi kenapa insiden itu terjadi padaku dari sekian banyak orang? Itu tak pernah masuk akal.


Tentu, realitas menyerang siapapun – tanpa pertimbangan apapun tapi menyerang dengan racun mematikan.

Tapi tetap, aku tak berdaya gagal memahami kenapa ini terjadi padaku.


Tetapi sekarang aku berucap dengan keyakinan:

Ya, ada suatu alasan kenapa aku harus begitu menderita. Itu sederhana –


-Itu diperlukan untuk menyelamatkan dunia.


“Kamu benar, Shizuka,” dia berujar dengan senyuman hangat.


Itu adalah cobaan yang dibebani kepadamu sehingga kamu bisa memenuhi misimu!


Ya! Aku menemukan kebenarannya!


Maksudku, selainnya tidak akan adil. Itu tidak adil bila seandainya aku satu-satunya yang tidak beruntung.


Terlebih lagi, bila tidak ada arti yang layak dalam insiden itu, penderitaanku akan sia-sia belaka.


“Ya, kalau begitu ayo, Reina! Kita mulai permainannya!”


“Ya!”


Ya, tidak ada alasan untuk goyah lagi.


Aku tinggal mengumpulkan keberanian dan melompat ke dalam danau –


Waktunya pergi ke panggung baru ku –


Selagi aku memegang kalung salibku, aku melomp –


“—Ah –“


Selagi – aku – memegang – kalung – ku –


Suara, seseorang.


<-TSCHHHHHHHHHHHHHH–


Bekas luka.

Tubuh.

gaun putih.


“-Tidak.”


Shizukamenangis.


“-Tidak ada!”


-TSCHHHHHHHHHHHHHH–


“Nih…hadiah natal.”


“Oh! Terimakasih, Kazuaki! Boleh aku buka?”


“Tentu.”


“Wow! Indah sekali! Tapi bukankah ini mahal?”


“Tidak seberapa.”


“Bukankah ini sebuah berlian ditengah salibnya?”


“Ya, itu berlian…”


“Hei, kalau begitu harganya mahal, pembual!”


“D-Diam… biarkan aku pamer sedikit!”


-TSCHHHHHHHHHHHHHH–


“Kenapa ini harus terjadi padaku dari sekian banyak orang? Kenapa?”

“Apakah ada artinya semua ini?”


-TSCHHHHHHHHHHHHHH–


Aku tidak akan berhenti menangis.

Kazuaki tidak akan berhenti terlihat pilu.


“Kenapa ini harus terjadi padaku dari sekian banyak orang? Kenapa?”


“Apakah ada artinya semua ini?”


Aku meratap seperti ini, menyentuh-nyentuh dirinya, sampai dia akhirnya membuka mulut, dan berujar:


“-Tidak.”


“-Tidak ada!”


“Tidak ada artinya, Shizuka! Jika ada, ini karena penyerangmu tak bisa menahan dorongan seksual mereka. Kamu kebetulan bertemu mereka, dan kamu kebetulan terlihat cukup bagus untuk mereka. Tapi itu bukanlah alasan yang kamu inginkan, kan?”


“Realitas memperlakukan sama antara orang suci dan pendosa, menyerang mereka secara otomatis, acak, tanpa pertimbangan dan pemilihan apapun. Kamu harus menerima itu, Shizuka.”


Realitas memperlakukan sama antara orang suci dan pendosa, menyerang mereka secara otomatis, acak, tanpa pertimbangan dan pemilihan apapun.


Ya, sekarang aku ingat –


Itu bukan berasal dari keyakinan ku sendiri –


Itu adalah pendapat jujur dan benar dari Kazuaki.


-TSCHHHHHHHHHHHHHH–


“Ada apa, Shizuka?” cewek yang begitu sangat cantik menanyakanku.


Kalungku basah kuyup bersama keringatku.


“Reina Kamisu – “


“Ya?"


“Siapa kamu?”


Reina Kamisu menahan napasnya.


“…Ada apa tiba-tiba?” tanyanya.


Itu adalah cobaan padaku sehingga aku bisa memenuhi misiku.


“…Kenapa dengan itu?”


“Kenapa dengan itu, kamu tanya? Jangan pura-pura! Seolah-olah hal itu bisa menjadi benar!”


Seolah-olah suatu alasan akan muncul dengan mudah!


Kehilangan kata-kata, Reina Kamisu hanya menatapku dalam sikap kebingungan.


“Aku memahami semuanya. Aku mencari suatu alasan. Suatu alasan untuk penderitaanku. Itulah kenapa aku memunculkan logika energi-energi humanoid itu dan mencoba mencari perlindungan disitu.”


Dia dengan diam-diam mendengarkanku.


“Semua orang tahu kalau aku sedang berusaha lari dari kenyataan. Baik itu Mihara-sensei atau Kazuaki, atau semuanya. Mereka tahu aku melarikan diri. Lagi pula. Logika ku hanya masuk akal pada diriku sendiri. Tapi, tapi kenapa –“


“-Kenapa kamu bisa memahami aku!”


“Itu aneh! Kenapa seseorang sepertimu, Reina Kamisu, tiba-tiba muncul begitu mudah untuk memastikan teoriku? Aku tidak sepenuhnya mempercayainya sampai kamu menampakkan diri, iya kan? Kenapa… kenapa kamu muncul begitu –“


“Yah,” dia memulai. “Karena itulah apa yang kamu inginkan, Shizuka,” katanya, sedikit mencibir bibirnya. “Kamu mencari sebuah eksistensi sepertiku. Orang ketiga yang akan mengubah delusimu menjadi kenyataan. Diberi nama Reina Kamisu.


Reina Kamisu tersenyum. Dengan sebuah senyuman nan begitu cantik yang tak mungkin pernah ada.


Akhirnya, aku mengingat kembali – apa yang Atsushi Kogure teriakan saat dia terburu-buru keluar dari ruangan psikiater kami.


Dan Atsushi-kun – -sudah tak ada lagi.


“Ah…ah…”


Aku memegang kalung salibku dengan erat.


Tolong aku. Tolong aku, Kazuaki.


“Apakah kamu berniat membunuhku?" Dia menatapku dengan heran saat aku bertanya seperti itu.


“Kenapa aku harus?” dia membalas.


“M-Maksudku, itu benar kan bahwa kamu yang menggiring siswa SMA Shikura untuk melakukan bunuh diri, bukan begitu?


Dia mengangkat tangannya ke dagunya dan menjawab setelah jeda sebentar, “Mungkin.”


“…Mungkin?”


“Aku sebenarnya tidak melakukan apa-apa.”


“Itu tidak-“


“Tidak benar? Lantas bagaimana denganmu?” dia tiba-tiba bertanya.


“Hah?”


“Akankah kamu mampu terus hidup bila aku menghilang sekarang?”


Ah –


Aku paham apa yang dia maksud.


Reina adalah suatu fenomena.


Hanya suatu fenomena.


Cepat atau lambat, kita menyadari kalau dia tidak benar, kemudian kita kehilangan dia.


Setelah kita kehilangan dukungan kalau Reina adalah milik kita, kita semua roboh oleh diri kita sendiri.


“…Kalau begitu tetaplah disisiku!”


“Aku selalu berada disisimu. Selama kamu tidak menutup matamu dariku. Aku akan selalu bersamamu. Tapi…bisakah kamu menerimaku ketika aku hanyalah suatu fenomena?


Bersama dengan kata-kata ini, Reina Kamisu menghilang.


Tidak, dia tidak menghilang. Aku hanya menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak eksis.


Kamisu Reina selalu berada disini.


Aku berdiri sendirian ditepi danau.

Aku berdiri sendirian, tanpa suatu alasan untuk penderitaanku.

Aku berdiri sendirian, masih terus menderita.


Tiba-tiba, aku ingat pemikiranku sebelumnya.

-sudah sangat terlambat setelah kamu datang kesini.

Aku menaikkan kepalaku menatap ke danau.


Baiklah –


Monster dengan puluhan serta ratusan wajah sedang menungguku.