Madan no Ou to Vanadis (Bahasa Indonesia) :Volume 6 Chapter 1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Chapter 1 - Utusan[edit]

Seekor rusa jantan berjalan dengan santai di atas punggung bukit ditemani angin gersang yang berhembus di sekitar gunung.

Tanduk dengan bentuk yang aneh tumbuh di atas kepala makhluk tersebut. Makhluk tersebut terlihat lebih besar dan mengerikan.

Bagi penduduk yang tinggal di kaki gunung, makhluk ini sangat ditakuti. Di siang hari, makhluk ini dengan leluasa menginjak-injak ladang mereka serta memakan hasil panen, kemudian kembali menghilang ke dalam hutan.

Mereka tidak bisa menghentikannya. Mereka yang berani mengusir makhluk ini dengan menggunakan, akan diserang dengan tanduknya dan mendapatkan luka yang mengerikan. Kumpulan pemburu musiman sudah dikirim untuk memburu makhluk tersebut, tapi rusa ini memiliki penciuman yang sangat tajam, serta kekuatan kaki luar biasa. Makhluk ini bisa melihat perangkap dan ketika pemburu mendekat, makhluk ini berlari sambil melompat menyeberangi jurang, melompati tebing, serta dengan mudah menuruni lereng curam untuk menghindari para pemburu. Dan hasilnya, mereka belum bisa menangkapnya bahkan setelah tiga hari tiga malam berlalu.

Akan tetapi ada seorang pemuda dengan membawa sebuah busur untuk menjatuhkan rusa tersebut.

Dia terlihat belum melewati 20 musim dingin, dan memiliki perawakan sedang. Tapi jika seseorang melihat lengannya, mereka bisa melihat kalau pemuda tersebut tidak kekurangan latihan. Ada kekuatan yang terlihat ekspresi dibalik rambut merahnya dan tatapan fokus mengamati rusa tersebut.

Ada jarak sekitar tiga ratus alsin dari tempat pemuda tersebut bersembunyi di bebatuan di bawah tebing. Bukan jarak untuk sebuah busur biasa. Apabila ditanya, para pemburu musiman akan menggelengkan kepalanya dan menyarankan untuk mendekat di jarak enam puluh, atau tujuh puluh langkah. Terlebih lagi, pemuda itu membidik sesuatu dengan melawan gravitasi, menembak dari tempat yang rendah ke tempat yang lebih tinggi. Angin sepoi-sepoi berhembus ke bawah, dari punggung bukit menuju ke lereng. Dengan begitu, pedekatannya bisa tersamarkan dari penciuman mangsanya. Meski begitu, apabila dia meleset, kesempatan baik seperti ini akan terbuang sia-sia.

Semua itu dipahami betul oleh pemuda tersebut, tetapi dia tidak gentar. Tetap tenang, menarik busurnya dengan natural, gerakan yang terlahir dari latihan yang tak kenal lelah.

Angin berhenti berhembus untuk sesaat, pemuda tersebut langsung melepaskan panahnya setelah menyadarinya. Panah tersebut membentuk lengkungan indah kemudian menancap di leher rusa tersebut.

Tembakan yang penuh presisi, busur tersebut seakan ditarik oleh sesuatu. Akan tetapi, makhluk tersebut tidak mengeluarkan jeritan, rusa itu justru berlari ke arah yang berlawanan dari tempat sang pemuda.

Melihat ini, pemuda tersebut akhirnya menunjukkan kekhawatiran. “Tak sia-sia dia memiliki tubuh besar...”

Setelah keluar dari tempat persembunyiannya, sang pemuda menyiapkan satu anak panah lagi kemudian berjalan menaiki lereng. Panah itu bukan ditujukan untuk rusa tadi, baginya, pemburuan sudah berakhir dengan sekali tembakan. Panah tersebut disiapkan untuk hal-hal yang tidak terduga yang mungkin terjadi.

*Patata* Pemuda tersebut mendengar suara kepakan sayap yang mendekatinya, kemudian makhluk sebesar kucing gemuk terbang mendekatinya.

Akan tetapi makhluk tersebut sama sekali bukan kucing, melainkan seekor naga — reptil dengan sisik perunggu, dan warna tubuh kehijauan dari ujung kepala hingga ekor, ditambah sayap yang menyerupai sayap kelelawar. Naga tersebut terbang dengan bebas, sama sekali tidak mempedulikan pemuda yang merupakan teman seperjalanannya.

Jika berada pada permukaan tanah yang datar, mungkin dia bisa mengimbangi kecepatan naga tersebut. Tapi sekarang dia berdiri di permukaan yang penuh dengan bebatuan, pemuda itu hanya bisa tersenyum pahit melihat naga yang mulai meninggalkannya.

Mengatur nafasnya kembali, kemudian pemuda tersebut mengamati sekeliling dengan seksama.

Dan kemudian tercengang dengan apa yang dilihatnya.

Tempat dia bersembunyi tadi hanya tanah gersang yang dipenuhi bebatuan, tetapi di balik punggung bukit terhampar hutan yang luas, dipenuhi dengan pepohonan dan nuansa hijau yang pekat.

“Yah, bukan berarti aku tidak bisa menemukannya... tapi memang akan lebih sulit mencarinya.”

Dia ragu untuk turun kebawah, dia juga tidak bisa meninggalkan gunung begitu saja. Penduduk desa tidak akan percaya jika dia hanya mengatakan ‘rusa tersebut sudah kutangani’. Dia membutuhkan bukti.

“Dan aku juga harus menemukan Lunie...”

Lunie, tentu saja seekor naga yang baru saja meninggalkannya. Untungnya, pemuda itu tahu kalau dia tidak perlu khawatir. Meski kecil, tetap saja seekor naga. Tak ada makhluk di hutan ini yang berani menyerangnya. Meskipun sekarang keberadaannya entah di mana, kelihatannya naga tersebut pergi mengejar rusa yang terluka tadi.

Pemuda tersebut menuruni tanah yang landai, kemudian berhati-hati ketika akan melewati semak belukar, bisa saja ada ular yang bersembunyi di sana, dia juga tidak mau pakaiannya robek terkena ranting pohon. Setelah melewati semak belukar, udara dingin menyelimutinya ketika dia melangkah di dalam hutan yang hijau. Cahaya matahari menyinari belukar, pepohonan, bahkan ular yang berada di hutan ini.

Memang, ada beberapa hal yang lebih berbahaya dibandingkan melintasi hutan yang dipenuhi semak belukan serta akar menjalar.

Di saat dia melangkah dengan waspada, *patata* suara kepakan sayap kembali terdengar. Dia berhenti dan seperti yang diduga, Lunie keluar dari dalam hutan pekat yang gelap. Menyadari kehadiran sang pemuda, anak naga tersebut melakukan putaran indah di udara, kemudian kembali lagi ke tempat dia muncul sebelumnya.

Sang pemuda mengejar naga tersebut dan kurang dari lima langkah, dia sudah berdiri di hadapan bangkai rusa. Nafasnya akhirnya terhenti, darah yang mengalir dari luka di lehernya membasahi kulitnya dengan warna merah darah. Meskit begitu pemuda tersebut sama sekali tidak mengendurkan kewaspadaannya — ada banyak cerita mengenai hewan sekarat yang murka menggunakan kekuatan terakhirnya untuk berdiri dan menyerah pemburu yang membunuhnya. Jika melihat jarak diantara punggung bukit dan hutan, masih ada kemungkinan binatang buas lain akan datang karena mencium aroma darah.

Tapi Lunie sama sekali tidak menghiraukan kewaspadaan pemuda tersebut, dengan sengaja menjatuhkan badannya di atas bangkai rusa sambil dan rasa tidak sabar menatap pemuda tersebut. ‘Cepatlah’, sepertinya ingin mengatakan hal tersebut.

Sang pemuda menyeringai, tapi tidak terburu-buru untuk mendekat. Perlahan dia merangkak mendekati bangkai rusa, memastikan kalau tidak ada lagi binatang buas yang mendekat. Pada saat dia benar-benar yakin tidak ada yang mendekat barulah dia mengembalikan anak panah yang dipegangnya ke tempatnya kemudian mendekati bangkai tersebut.

“Kerja bagus, Lunie,” sang pemuda mengatakan itu sambil tersenyum.

Pemuda tersebut bernama Tigrevurmud Vorn.

Mereka yang akrab memanggilnya dengan panggilan Tigre.

Tahun ini, dia berumur 17 tahun. Setengah tahun telah berlalu sejak dia meninggalkan tanah kelahirannya, Alsace, untuk tinggal di LeitMeritz, yang terletak di negeri tetangga, Zhcted.

Pada mulanya Tigre berniat untuk membawa rusa tersebut ke desa, tetapi menyerah setelah menyadari besarnya hewan terebut, bisa dikatakan jauh lebih besar dari rusa pada umumnya.

Jadi dia menggantung hewan tersebut menggunakan tali yang telah dipersiapkan sebelumnya dan menyembelih hewan tersebut.

Tidak seperti biasanya, Lunie berputar-putar di dekat kaki Tigre, tapi Tigre sendiri tidak tertipu. Naga itu melakukannya supaya bisa dengan mudah mengambil isi perut yang terjatuh dari bangkai rusa, Lunie terlihat ingin sekali melakukannya.

“Yah, sepertinya aku hanya bisa membawa kulit rusa ini.” Tigre juga perlu membawa tanduknya yang berbentuk tak lazim sebagai bukti buruannya, dan itu juga bukan sesuatu yang kecil untuk dibawa. Jadi, meski sedikit disayangkan, Tigre paham bahwa selain bagian yang bisa dimakan, dia harus meninggalkan sisanya. “Tulang — juga bisa dibawa sebagai bukti tapi, tidak, terlalu berat. Daging... sepertinya juga tidak bisa membawa semuanya...”

Tiba-tiba, Tigre menyadari ada sesuatu yang mengenai celananya. Setelah melihat kebawah, dia kaget melihat Lunie yang menikmati isi perut rusa sedang mengusapkan wajahnya yang penuh darah di celananya — mungkin ini caranya untuk mengatakan ‘lagi dong’. Yah, apa boleh buat, dengan menghela nafas, Tigre mengeluarkan belati, dan mengiris beberapa potong daging untuk anak naga yang kelaparan.

Pada saat Tigre selesai, matahari sudah mencapai puncaknya. Karena ukurannya yang besar, pengambilan tanduk merupakan proses yang paling banyak memakan waktu. Dia mengikat kulit rusa dengan melingkarinya dengan potongan daging dan lemak yang bisa dibawa dengan tali, kemudian memasukkannya ke dalam kantong yang dia bawa. Kemudian, Tigre mencuci tangannya dengan air, dan mulai menyalakan api unggun. Setelah selesai, dia pun mengali tanah untuk menguburkan sisa-sisa bangkai rusa.

Saat Tigre menggali tanah, Lunie yang puas menikmati daging rusa, tertidur pulas di samping api unggun.

Setengah tahun lalu, ketika musim semi tiba, Tigre mulai tinggal di LeitMeritz. Di sana, udara dingin masih berhembus, sebagai tanda bahwa musim dingin di Zhcted telah tiba, meskipun terlambat jika dibandingkan dengan tanah kelahirannya, Brune.

Tigre menunggu salju di pengunungan di Zhcted mencair sebelum mendakinya, berharap untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri tanah tempat dia tinggal sekarang, merasakan dengan tangan dan kakinya langsung kedalaman dan ketinggian tanah yang ditempatinya sekarang — setidaknya itulah yang dikatakan Tigre, sebenarnya dia hanya ingin menikmati pengalaman menegangkan berburu di daerah yang belum dia kenal.

Menariknya, selama kehidupannya di LeitMeritz, baik sebagai tawanan perang ataupun sebagai tamu kehormatan, Lunie sama sekali tidak tertarik dengan Tigre. Tapi Lunie cukup manja dengan gadis pelayan yang ikut bersama ke LeitMeritz — Titta. Meski begitu, anak naga ini ngotot ingin ikut bersama ketika Tigre pergi berburu, dia bahkan sampai duduk di atas kuda yang ditunggangi Tigre ketika pergi berburu, ingin tetap ikut apapun ceritanya.

Lantas, bagaimana tanggapan Vanadis berambut perak sebagai pemilik Lunie, ketika ditanya mengenai perilaku aneh Lunie?

“Anak ini mungkin bosan setengah mati terus terkurung di tempat yang dikelilingi oleh dinding batu, kalau kau tidak keberatan bawa saja dia sekalian...”

Dia bahkan sempat melontarkan lelucon, “Tapi, jangan kembali ke alam liar ya...”

Meskipun pada awalnya ragu, tapi mustahil menolak permintaan Elen. Apalagi setelah melihatnya ekspresi Elen ketika menggendong Lunie, ekspresi penuh kasih sayang dan rasa menyesal karena ketidakmampuannya untuk memuaskan keinginan naga tersebut untuk terbang bebas di angkasa. Tigre sadar, Elen tidak jauh beda dengan naga tersebut, manusia yang tidak bisa menjalani hidup dan melakukan sesuatu yang diinginkannya.

Dengan begitu, Tigre mempunyai alasan untuk mempelajari geografis LeitMeritz, tentu saja dia ke sini bukan hanya untuk berburu. Pada akhirnya, Tigre membawa Lunie dengannya. Dan naga tersebut melebihi semua perkiraan Tigre — yah, setidaknya sebagai rekan seperjuangan, seperti perburuan rusa berusan. Tapi pada waktu lainnya Lunie tidak bertindak seperti itu. Pada awalnya, Tigre menduga dia akan dianggap sebagai bebatuan di jalan oleh Lunie setelah mereka tiba di gunung.

Situasi yang cukup disesali, tapi meski begitu, Tigre tidak berusaha untuk terlalu akrab dengan Lunie. Pada akhirnya, Tigre bukan berurusan dengan manusia. Lunie mungkin masih kecil, tapi tetap saja seekor naga.

— Aku masih tak mengerti kenapa anak ini sampai mengikutiku. Mungkin lebih baik kalau aku menjaga jarak.

Itulah yang dipikirkan Tigre ketika melihat Lunie yang tertidur pulas di dekat api unggun.

Tigre mengamati sekitar sambil menyantap daging rusa, kali ini lamunannya beralih pada kejadian yang terjadi baru-baru ini.

Tigre terlahir sebagai Earl dari Alsace yang terletak di utara Brune. Dia mewarisi gelar tersebut, sekaligus stigma sebagai aristokrat golongan rendah di Brune pada umur yang masih belia, 14 tahun, ketika ayahnya wafat karena penyakit.

Tetapi, hidupnya berubah sejak pertempuran pada musim panas lalu.

Di Dataran Dinant, pasukan Zhcted dan Brune bertempur karena permasalahan sungai yang melintasi perbatasan, dan Brune kalah pada pertempuran tersebut. Tigre memimpin seratus orang di pertempuran tersebut, dan di sana dia bertemu dengan jendral yang memimpin pasukan Zhcted — wanita berambut perak, Eleanora Viltaria yang terkenal dengan sebutan MeltisPenari Pedang dan SilvfrahlPutri Angin Cahaya Perak, satu dari tujuh Vanadis Zhcted.

Tigre mencoba untuk membunuhnya namun gagal, tapi Elen yang menyukai kemampuan memanah yang Tigre membawanya sebagai tawanan perang.

Imbas dari perang tersebut, rivalitas antara Duke Ganelon dan Duke Thenardier — dua aristokrat paling berpengaruh di Brune — mencapai puncaknya, dan Alsace ikut terseret dalam api peperangan yang berkobar. Setelah mendengar kabar tersebut dari pelayan ayahnya, Tigre meminjam pasukan dari Elen untuk menyelamatkan tanah kelahirannya, dan pada akhirnya berhasil menuntaskan dendamnya kepada Thenardier setelah melalui berbagai pertarungan sengit.

Bahkan setelah itu semua, tidak ada akhir yang benar-benar bahagia. Tigre hanya bisa santai sejenak, dan setelahnya akan tetap menjadi tawanan Elen. Untunglah Regin, putri raja Brune turun tangan menyelesaikan ini. Menurut perjanjian, Tigre bisa kembali ke tanah airnya setelah tiga tahun menetap sebagai tamu kehormatan di Zhcted. Untuk sekarang, hanya inilah yang bisa dilakukan, dengan janji bahwa dia kembali setelah tiga tahun, Tigre mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang yang telah banyak membantunya di Brune dan pergi ke negeri seberang, Zhcted, dengan ditemani seorang pelayannya, Titta.



Setengah tahun telah berlalu, musim semi tak terasa berlalu dengan cepat, musim panas pun tak lama lagi akan berakhir. Musim panas di Zhcted memiliki kesan tersendiri bila dibandingkan dengan Brune.

Sejauh ini, kehidupannya di LeitMeritz tidak bisa dibilang mudah, Tigre sudah memperkirakan itu, bahkan sebagian sudah dia rasakan. Tigre harus mempelajari bahasa setempat, menulis, serta mengenal lebih dalam mengenai kebudayaan lokal.

Tidak sedikit juga tokoh berpengaruh di Zhcted yang ingin bertemu dengan Tigre, walaupun sebagian besar dari mereka lebih memilih untuk mengirimkan utusannya daripada bertemu langsung dengan Tigre, Tigre sendiri menyadari, penting untuk menjalin hubungan baik dengan mereka. Tentu saja, dia tidak boleh tampil memalukan karena hal tersebut akan mencemari nama Ellen yang telah memberinya tempat untuk tinggal, dan dia tak membiarkan hal tersebut sampai terjadi.

Yang menjejali Tigre berbagai macam pelajaran adalah ajudan Elen, Limlisha. Topiknya cukup luas, mulai dari pemerintahan maupun militer — dan pembahasan mengenai pemerintahan cukup beragam, mulai dari internal pemerintah maupun hubungan dengan pihak luar.

Lim juga sering meminta Tigre untuk ikut membantu tugas-tugasnya. Meskipun sedikit mengeluh, tapi dia tetap melakukannya. Hal yang dia pelajari selama membantu tugas Lim bisa saja berguna untuk membangun Alsace sewaktu dia kembali nanti.

Lim juga tidak terlalu kaku, terkadang dia mengizinkan Tigre berburu dengan dalih ‘tinjauan’ atau ‘pemeriksaan’.


Akhirnya matahari telah terbit.

Tigre memadamkan api unggun dengan menutupinya dengan lumpur, memanggul tas dipundaknya dan bersiap-siap. Tanduk rusa di tangan kanan dan busur di tangan kiri, dan di sampingnya, Lunie terbang dengan suara kepakan sayap *patata* yang khas. Mereka akhirnya tiba di desa yang terletak di kaki gunung pada sore harinya. Tigre memperlihatkan tanduk dan kulit rusa untuk meyakinkan dan menenangkan hati mereka. Tetapi, mereka yang gagal membunuh rusa tersebut, hanya bisa terbelalak.

“Ternyata dia berhasil membunuhnya ya...”

Kepala desa, orang yang memimpin perburuan sebelumnya hanya bisa mengatakan hal tersebut.

Pemuda tersebut pergi mendaki gunung tiga hari yang lalu, seorang diri. Menolak tawaran penduduk desa untuk menjadi pemandunya.

“Untuk perburuan seperti ini, lebih baik aku pergi sendiri.” Tigre mengatakannya sambil menatap gunung dari desa tersebut. “Lagipula dengan membawa banyak orang, rusa tersebut akan lebih mudah mengetahui keberadaan kita dan kita akan makin sulit mencarinya. “

Tigre mengatakannya bukan karena sombong, dan setelahnya Tigre mengorek berbagai macam informasi dari kepala desa dan pemburu setempat mengenai keadaan geografis gunung tersebut.

Perasaan kepala desa bercampur aduk melihat ini. Di satu sisi dia berpikir ini hal yang wajar bagi seorang ksatria. Di sisi lain dia merasa pemuda tersebut masih berusia 17 tahun, apa benar-benar bisa diandalkan?

Namun hasil yang ditunjukkan Tigre melampaui perkiraan mereka. Mendaki gunung seorang diri dan kembali dengan kemenangan.

Tigre berhasil melakukannya, di mana sebelumnya enam orang — termasuk kepala desa — gagal melakukannya setelah lima hari pemburuan. Pemuda tersebut tidak tampak menceritakan dengan bangga mengenai kemampuannya dan keberhasilannya dalam pemburuan ini.

Daripada itu, Tigre lebih memilih meminjam kamar yang bisa dipakainya untuk satu malam, yang memang dijanjikan kepala desa sebelumnya.

Ketika Tigre bangun di pagi harinya, matahari belum terbit. Memang masih terlalu dini untuk disebut ‘pagi’ — bahkan mereka yang bercocok tanam sepertinya belum turun dari tempat tidurnya.

“Maaf membangunkanmu pada saat seperti ini.” Tigre memanggil kepala desa yang masih tertidur pulas untuk berpamitan kepadanya.

Kepala desa seperti terkejut, bahkan terlihat sedikit kecewa. “Jika memang memungkinkan, tinggallah di desa kami yang indah ini satu hari lagi. Kita akan mempersiapkan pesta sederhana untuk merayakan keberhasilan anda.”

Kepala desa bertanya sekali lagi. Tigre mengungkapkan rasa terima kasihnya, namun tetap menolaknya secara halus, dalam keadaan senyap Tigre pun pergi meninggalkan desa. Kuda berlari di bawah langit yang cerah, meski tidak bisa dibilang cepat dengan Tigre dan Lunie yang duduk di atasnya.

“Sayang sekali...” Tigre bergumam di dalam hati sambil menatap langit biru. “... Aku juga tidak ada urusan mendesak.”

Tentu saja Tigre mengeluhkan tentang penawaran kepala desa yang baru saja dilewatkannya. Andai ini Alsace, Tigre akan menerimanya dengan senang hati, tapi di sini dia memikirkan posisi Elen. Elen sendiri sepertinya tidak keberatan dengan hal itu, tapi Elen sendiri tidak akrab dengan semua bawahannya, terutama dengan mereka yang memiliki perasaan tidak suka terhadap Tigre.

Tigre sendiri tidak peduli jika mereka mengkritiknya, tapi dia tidak bisa membiarkan mereka melakukannya kepada Ellen.



Matahari sudah terbenam ke barat ketika Tigre dan Lunie tiba di ibukota LeitMeritz. Mereka masuk melalui jalan samping yang diperuntukkan bagi mereka yang bekerja di kastil. Semua mata memandang Tigre yang masih di atas kuda bersama Lunie ketika mereka melewati jalanan kota yang ramai.

“Tigre-sama!” Ketika mereka melewati gerbang, suara yang sudah sering didengarnya merasuki telinganya. Yang memanggil nama pemuda tersebut adalah Titta, gadis dengan warna rambut kastanya yang diikat kebelakang, berlari ke arah mereka. Titta mengenakan pakaian yang biasa dikenakannya, pakaian terusan hitam dengan lengan panjang dan rok yang panjang hingga ke lutut, ditambah apron putih di luar terusan tersebut. Kelihatannya Titta mengganti model rambutnya yang lama, Tigre juga menganggap model rambut tersebut cocok dengannya.

Melihat sosok Titta, reaksi Lunie lebih cepat dibanding Tigre, *patata* Lunie langsung terbang ke pelukan Titta. Tigre hanya bisa tersenyum melihat ini.

“Aku kembali, Titta.”

Setelah menangkap Lunie, Titta memeluk dan membelainya dengan manja. Ketika melakukan hal tersebut, Titta berjalan mendekati Tigre.

“Selamat datang, Tigre-sama.”

“Kau baik-baik saja? Kau tak harus menggendongnya seperti itu jika Lunie terlalu berat.”

“Terima kasih perhatiannya, tapi Lunie tidak seberat yang diduga, tapi pakaianku mungkin jadi kotor.” Itulah yang dikatakannya, meskipun Titta kesulitan menggendong Lunie, hal itu sama sekali tidak terlihat. Bahkan, cara Titta membelai anak naga tersebut bagai seorang ibu yang membelai bayinya.

Gadis berusia 16 tahun, sama seperti Tigre, dia juga lahir dan besar di Alsace. Pada awalnya Tigre mengkhawatirkan Titta, yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri, tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Titta memahami kekhawatiran Tigre, namun Titta dengan mudah membaur dengan pelayan di kastil, hanya butuh beberapa hari saja dan mereka semua sudah menyayangi Titta.

Ellen hanya bisa menyeringai ketika mendengar hal tersebut, sambil mengatakan.

“Kau memang sesuatu, tapi Titta juga tidak jauh berbeda, adaptasinya boleh juga.” Mendengarkan hal tersebut membuat Tigre merasa lega.

“Oh, ya Tigre-sama, ada hal penting yang ingin dibicarakan Eleanora-sama dan Limlisha-san.”

“Hal penting yang ingin dibicarakan denganku?”

“Benar, Eleanora-sama memintaku untuk memberitahukan hal ini langsung setelah anda kembali.”

Setelah mendengarkan Titta yang mengulang kembali pembicaraannya dengan sang Vanadis, Tigre turun dari kudanya sambil berpikir di dalam hati. Hal ini memang aneh, dia baru saja kembali, bahkan belum menemui siapapun. Terlebih lagi dia diminta langsung menghadap Elen setelah kembali.

Kalau begitu, ada hal yang sangat penting, tidak biasanya Elen seperti ini.

“Apa mereka akan memperingatkan anda untuk tidak terlalu sering jalan-jalan?” Tanya Titta.

Titta tidak terlalu serius menanyakannya, pertanyaan tersebut hanya dimaksud untuk meringankan suasana, Tigre membelai rambut gadis tersebut sambil menerka.

“Hmm, mungkin saja...” Tigre memang mempunyai kebiasaan seperti itu, pernah pada suatu hari Tigre mengobrol dalam waktu yang lama dengan Rurick, padahal pada saat itu dia sedang menuju ruang administrasi. Kebiasaannya ini sering mendapat teguran dari Lim dan pegawai yang bekerja di kasti ini. “Baiklah, aku akan langsung ke sana, terima kasih, Titta.”

Setelah menyerahkan kuda dan anak naga kepada Titta, Tigre langsung menuju kantor administrasi. Langit senja kemerahan, koridor menjadi semakin redup karena hanya disinari oleh obor yang terbuat dari cendana. Tapi dia tahu, Elen pasti berada di ruangan itu sekarang. Dia berjalan mendekati pintu, kemudian mengetuknya dengan pelan. Dan seperti yang diduga, tak lama kemudian dia mendengar suara dari dalam ‘masuklah’.

Ketika membuka pintu, Tigre melihat pemandangan yang sudah biasa dilihatnya. Ruangan dengan ukuran sedang, meja yang terbuat dari cendana hitam dengan berbagai jenis buku yang menumpuk di atasnya. Dan dua orang gadis yang sibuk mengerjakan berbagai dokumen.

Yang pertama, gadis dengan rambut perak sepanjang pinggul, mengenakan pakaian berbahan sutra berwarna biru. Mata merahnya terpancar semangat yang menggebu, dan tak jauh tempatnya duduk, dia menyandarkan pedangnya di dinding. Gadis tersebut memiliki paras yang sangat cantik, sulit membayangkannya sebagai gadis yang sangat ahli menggunakan pedang yang bahkan sanggup berhadapan dengan beberapa pria sekaligus. Terlebih lagi, gadis tersebut merupakan pemimpin wilayah ini, pemimpin LeitMeritz, dan merupakan salah satu dari tujuh Vanadis di Zhcted, gadis berusia 17 tahun, Eleanora Viltaria.

Dan yang satunya merupakan gadis yang memiliki rambut emas, Limlisha—Lim, Tigre dan Elen memanggilnya demikian—, yang juga merupakan wanita kepercayaan Elen. Memiliki perawakan tinggi, masih berusia 20 tahunan, dan cukup cantik. Dia terlihat tenang saat berurusan dengan berbagai dokumen yang ada di hadapannya, sangat berlawanan dengan Ellen.

“Kelihatannya kau kembali dalam keadaan sehat.”

Setelah memperhatikan Tigre dari bawah hingga ke atas, ekspresi Elen terlihat lebih tenang, Lim menyambutnya dengan senyuman yang sedikit terbentuk di bibirnya.

“Aku kembali” Tigre mengatakannya sebelum menutup pintu, kemudian mengambil kursi untuk duduk.

Mata Ellen berbinar-binar. “Bagaimana dengan perburuan rusa tersebut?”

Tigre memberikan sedikit penjelasan mengenai apa yang terjadi di desa dan pegunungan tersebut sementara itu Lim sedang menyiapkan anggur untuk tiga orang. Pada dasarnya, permintaan tersebut memang berasal dari Elen dan Lim. Elen mengirim Tigre ke desa tersebut untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang menimpa desa setelah mereka memberitahukan masalah mereka kepada Ellen.

Menghentikan pekerjaannya untuk sementara, mereka bertiga bersulang untuk merayakan keberhasilan Tigre, dan setelah menyelesaikan penjelasannya, Tigre mengganti topik pembicaraan.

“Aku dengar dari Titta kalau ada hal penting yang harus dibicarakan denganku.” Setelah mendengarnya, kedua wanita saling menatap satu sama lain, dan tatapan Elen mengarah pada cangkir yang digenggamnya, terlihat sedang memikirkan apa yang harus dia katakan. Tak lama kemudian, dia mengangkat lagi wajahnya.

“Tigre, apa kau pernah mendengar Asvarre?”

Pertanyaan yang sama sekali tidak disangka jelas mengagetkan Tigre, tapi dia pulih dengan cepat. “Negara yang berada di barat laut jika dilihat Brune, di seberang laut sebelah barat. Negara yang termasyur karena ekonomi agraris, tapi beberapa generasi yang lalu, mereka memiliki ratu yang memimpin ekspedisi perluasan hingga sampai ke benua ini.”

Sebenarnya, hal yang diketahui Tigre mengenai Asvarre masih bisa dihitung dengan satu tangan, dan itu semua, dipelajarinya dari Mashas. Tapi berada jauh di seberang lautan, Alsace jelas tidak memiliki hubungan dengan negara tersebut. Mengenai Asvarre, Tigre menganggapnya seperti negeri dalam dongeng—hanya kisah tentang ratu yang memimpin ekspedisi yang paling berkesan buatnya.

Sekali lagi, kedua wanita saling bertukar pandangan, pandangan gelisah untuk lebih tepatnya.

Setelah menghabiskan isi cangkirnya, Elen kemudian berbicara. “Seseorang mengharapkan kehadiranmu di Asvarre.”

Alis mata Tigre menggerut mendengarnya. Tapi dia tidak seterkejut itu sampai tidak bisa berkata apa-apa. Dari cara bicaranya, sepertinya ini permohonan yang hampir mustahil untuk ditolak. Dan tak banyak orang yang bisa membuat seorang Vanadis kebingungan seperti ini. “Jadi siapa yang memintaku?”

“Yang Mulia Raja.” Lim menjawab dengan tenang.

Mata Tigre terbelalak mendengarnya.

Viktor, raja dari Zhcted. Tigre pernah bertemu dengannya sekali, ketika dia mulai tinggal di Zhcted berdasarkan persetujuan dengan Brune. ini merupakan formalitas yang tidak bisa dihindari oleh tamu resmi negara, terlebih lagi jika tamu tersebut akan tinggal selama tiga tahun, ditambah lagi, Tigre mendengar dari Ellen kalau sang raja ingin bertemu langsung dengannya.

Meski dikatakan penting, pertemuan tersebut berlangsung sangat singkat. Sang raja memuji kehebatan Tigre dan menjaminnya kebebasan penuh selama berada di Zhcted—dan pertemuan pun berakhir.

Dalam pertemuan yang sikjat tersebut, Tigre merasakan keagungan dan wibawa yang menekan yang memancar dari seorang pria yang duduk di singgasana. Tapi hal yang meninggalkan kesan paling dalam bagi Tigre adalah tatapan mata sang raja. Tatapan mata Viktor tenang, tetapi dingin dan sangat mengintimidasi. Bahkan sampai membuat seseorang membayangkan hutan gelap yang sangat dalam, yang tidak disinari cahaya matahari selama ratusan tahun, seperti tanah tanpa tanda kehidupan.

Akan tetapi, segala kesan mengenai sosok yang berkuasa di suatu negara tidak bisa diceritakan kepada siapapun, Tigre hanya bisa menyimpan dan menguburnya di dalam hati.

Sejujurnya, kesan Tigre mengenai sang raja tidak terlalu bagus. ‘orang tua yang penuh kharisma’ itulah kesimpulan yang bisa dia berikan mengenai raja dari Zhcted.

Dan sekarang orang itu memerintahkannya untuk pergi ke Asvarre.

“Jadi, apa yang beliau inginkan?”

“Intinya, dia memintamu menjadi utusan rahasia.”

Elen sudah meletakkan cangkirnya di meja dan sedang menyilangkan tangannya, dengan ekspresi sulit di wajahnya.

“Tigre, apa yang kau ketahui mengenai situasi di Asvarre sekarang?”

“Yah, banyak orang yang tinggal di sana, mereka bernyanyi, menari, dan berburu sepanjang hari, kan?”

“Benar, dan mereka juga membantai rakyatnya sendiri dengan kapak dan pedang.” Tigre sebenarnya sudah menduga akan menjadi pembicaraan seperti ini, namun tetap saja, sepertinya memang tak mungkin ini akan menjadi topik pembicaraan yang menyenangkan.

Lim meletakkan cangkirnya yang belum habis di meja, kemudian mengambil kertas dari laci yang berada di bawah meja.

“... Sepertinya saya memang tidak pernah menceritakan Asvarre, kalau begitu aku akan menceritakannya sesingkat mungkin.”

“Terima kasih, ibu guru.” Tigre mengatakannya sambil sedikit menggoda.

Elen tertawa. “Tolong ya, ibu guru.”

Lim hanya bisa menghela nafas, kemudian mulai menggambar peta sederhana di atas kertas. “Sampai setengah tahun lalu, raja Zechariah masih menduduki singgasana di Asvarre. Pada saat itu, ada informan yang mengatakan kalau dia berencana menginvasi Brune, namun berhubung kesehatannya yang semakin memburuk, dia memutuskan untuk mundur untuk sementara sambil mengamati keadaan.”

Nafas Tigre seakan menyangkut di tenggorokan ketika mendengarnya. Tigre memang sudah menduga bagaimana posisi Brune pada masa perang saudara setengah tahun lalu, bagai seekor kambing yang dikepung kawanan serigala. Memang, Sachstein berhasil dipukul mundur oleh Roland, dan Tigre sendiri sukses mengusir Muozinel. Tapi, andai saat itu Asvarre juga ikut menyerang... hanya Dewa yang tahu apa yang akan terjadi.

“Tak lama setelah perang saudara di Brune berakhir.” Lim melanjutkan ceritanya. “Raja Zechariah menghembuskan nafas terakhirnya. Saya tidak tahu persis bagaimana ceritanya, beberapa mengatakan dia wafat karena kecelakaan, ada juga yang mengatakan dia diracuni.”

Raja dari Asvarre memiliki enam orang anak. Putra sulungnya, Germaine, yang sekarang menduduki takhta. Dan kegilaan pun dimulai.

“Beberapa hari setelah upacara penobatan, Germaine mengundang semua saudaranya dan langsung mengeksekusi mereka dengan tuduhan pengkhianatan.”

“Heh, ada juga yang mengatakan mereka dieksekusi beberapa hari kemudian.” Elen mengatakannya dengan marah, kemudian menambahkan penjelasan dari Lim dengan pemikirannya. “Sepertinya Germaine orang yang sangat arogan, dan juga paranoid. Aku rasa dia menyembunyikan sifat aslinya ketika ayahnya masih hidup, namun ketika duduk di singgasana, dia memutuskan untuk melakukan sesuatu.”

Bagi Tigre, ini merupakan topik yang sangat menjijikkan. Namun dia mengangguk kepada Lim, memintanya untuk melanjutkan cerita.

“Hanya saja, dua orang berhasil lolos dari genggaman Germaine — pangeran kedua, Elliot, dan putri pertama, Guinevere.”

Ringkasan detail yang selanjutnya diceritakan Lim kira-kira seperti ini: Setelah berhasil meloloskan diri, Elliot mulai melakukan relovusi kepada kakaknya. Meskipun pengangkatannya merupakan wasiat raja, banyak aristokrat yang mengecam tindakan Germaine yang membantai saudaranya sendiri, dan revolusi berhasil dilakukan. Germaine terpaksa meninggalkan kastil dan lari menyelamatkan diri.

“Sekarang Asvarre terbelah menjadi dua —“ Lim berhenti sejenak. “tidak, mungkin bisa kita asumsikan tiga bagian. Germaine menyewa tentara bayaran dari Sachstein untuk menyokong kekuatannya, sementara Elliot kurang lebih melakukan hal yang sama dengan membawa perompak ke pantai untuk menambah kekuatannya. Asvarre dalam keadaan yang sangat kacau.”

“Bagaimana dengan putri Guinevere?” agak aneh Lim tidak menyebutkannya, jadi Tigre bertanya.

“Rumor mengatakan dia tidak memihak salah satu dari mereka, dan lebih memilih mundur menjalani hidup yang lebih tenang. Kemungkinan besar, dia tidak akan melakukan apa-apa sampai konflik diantara kedua kakaknya selesai.” Ujar Lim.

“Dan sampai saat ini, Zhcted menyokong kubu Elliot.” Elen menambahkan.

“Ah benar, itu juga.” Lim berkata demikian. “Baiklah, kita sudahi dulu pembicaraan mengenai Asvarre.” Lim pun mengeluarkan kertas yang lain, dan mulai menggambarkan peta benua ini. Zhcted terletak di tengah, Asvarre di barat di seberang lautan, Muozinel di selatan dan Brune sedikit ke barat daya.

“Tigrevurmud” Nada Lim seperti seorang guru yang memberikan pertanyaan kepada muridnya. Itu berarti jika Tigre memberikan jawaban yang salah, maka sang guru akan mengomelinya. “Menurutmu, siapa ancaman terbesar bagi Zhcted pada saat ini?”

“Aku rasa, Muozinel.”

“Tepat.” Lim menegaskan, tanpa senyum, meskipun jawaban yang diberikan sudah tepat.

“Situasi Asvarre seperti yang kita bicarakan barusan. Dan Brune, luka yang ditimbulkan akibat perang saudara belum sepenuhnya pulih. Minimal, butuh waktu dua atau tiga tahun untuk pulih.”

Tak perlu dikatakan lagi, kekuatan besar selanjutnya adalah Muozinel. Meskipun gagal dalam usaha mereka menginvasi Brune setengah tahun lalu, kenyataannya hanya angkatan laut mereka yang bisa dikatakan hancur. Angkatan darat mereka—infantri maupun kavaleri—terlebih dahulu mundur sebelum melakukan pertempuran penentuan, dengan begitu bisa meminimalisir kerugian mereka.

Sekaran Muozinel memiliki pedang untuk diarahkan kepada Zhcted—Tigre mendapat bantuan dari Zhcted dalam usahanya memukul mundur pasukan Muozinel. Terlebih lagi, sekarang Zhcted memiliki Agnes, wilayah yang sebelumnya dimiliki Brune, sebagai wilayah mereka. Dan menjadi wilayah yang harus dilewati Muozinel terlebih dahulu jika ingin menyerang Brune. Dengan begitu, Muozinel hanya bisa menyerang lewat laut, namun mustahil mengingat angkatan laut mereka mengalami kerusakan yang parah; bahkan mereka tidak bisa menahan serangan musuh dari laut, apalagi melakukan invasi. Jadi mereka hanya bisa duduk diam melihat Brune pulih.

“Cepat atau lambat, akan tiba saatnya perang antara Zhcted dan Muozinel. Namun kapan, tak ada yang tahu. Bisa tiga, atau sepuluh tahun mendatang.”

Setelah mengatakan itu, Elen memandangi dinding di belakangnya dan bendera yang menghiasi dinding tersebut.

Pedang perak dengan latar hitam untuk LeitzMeritz, dan naga hitam untuk Zhcted.

“Peta kekuatan untuk kedepannya akan sangat bergantung pada Asvarre — apa mereka ingin bekerjasama dengan Muozinel, atau kita.”

Setelah mendengarkan perkataan Elen, Tigre akhirnya mengerti. Jika Asvarre memutuskan untuk bekerjasama dengan Zhcted, maka Zhcted bisa memusatkan seluruh kekuatan mereka untuk menghadapi Muozinel. Namun jika Asvarre lebih memilih menjadikan Muozinel sebagai rekan, maka Zhcted akan terkepung oleh kekuatan dari barat dan selatan, dan jelas harus membagi konsentrasinya menghadapi keadaan genting tersebut.

“Seperti yang kita bahas sebelumnya, pihak kami lebih memilih kubu Elliot, namun dia pribadi lebih memilih Muozinel. Kalau begitu, kita sebaiknya menyokong kubu Germaine saja.”

“Jadi, utusan rahasia yang dimaksud...”

Elen terlihat sangat menyesal. Melihatnya kesulitan untuk mengatakan sesuatu, Lim berbicara menggantikan Vanadis berambut perak. “Tigrevurmud, saya rasa tadi sudah kita bahas bahwa ini permintaan Yang Mulia, bukan Eleanora-sama.”

“Aku tahu. Tak mungkin Elen memintaku melakukan hal ini.” Tigre berkata dengan tegas untuk menenangkan mereka, dan berhasil. Saat itu juga tensi dalam ruangan berkurang beberapa kali lipat. Kedua wanita tersebut akhirnya bisa tersenyum sedikit. Elen bisa sedikit bernafas lega sambil sedikit menundukkan kepalanya untuk meminta maaf.

“Tigre, maaf.”

“Tidak perlu, Elen.” Ujar Tigre. “Lebih penting lagi, apa yang ingin dicapain Raja Viktor dengan mengirimku?” Tigre tidak memiliki gambaran tentang apa yang terjadi Asvarre sekarang. Dia bahkan belum pernah ke sana, sama sekali belum. Jadi sulit untuk menebak apa maksud dan tujuan raja.

“Dari sudut pandang tertentu, kau bisa mengatakan kalau dia ingin merekrutmu.” Elen mengatakannya sambil menyerahkan cangkirnya yang sudah kosong kepada Lim. “Pada dasarnya sama seperti menjual jasa, memberikanmu kehormatan dan kejayaan sebagai timbal balik untuk jasamu, bukankah hal seperti itu lazim terjadi di Brune?”

Tigre sedikit memiringkan kepalanya—sepertinya dia belum bisa menerima ini. “Tapi aku bukan warga Raja Viktor, aku warga Brune, tamu yang akan kembali ke Brune tiga tahun mendatang, bukan begitu?”

“Justru karena itulah dia menginginkanmu. Coba pikir—apa kau benar-benar berpikir bisa hidup dengan tenang di sini dan kemudian kembali ke Brune tiga tahun mendatang? Jika ditanya padaku, aku akan mengangkatmu sebagai penasehat militer, dengan begitu kau tak akan bisa pergi dari tempat ini bahkan setelah tiga tahun.”

Setelah mendengarkan perkataann jujur dari Elen, Tigre hanya bisa merenungkannya dalam hati. Memang benar, tak bisa disangkal lagi bahwa dia merupakan sosok yang memiliki nilai jual.

“Setelah mendapatkan gelar SilvrashPenembak Bintang dari panglima tertinggi musuh, dan [LumiereKnight of the Moonlight] dari rajamu sendiri, kamu merupakan seseorang yang akan menempati posisi penting setelah kembali ke Brune. Jika melihat dari sudut pandang raja, menjual jasa padamu merupakan tindakan tepat.” Lim menambahkan setelah mengisi kembali anggur di cangkir Elen.

Sang Vanadis kemudian membuka laci mejanya dan mengeluarkan sepucuk surat, dua buah cincin, dan gulungan yang cantik.

Gulungan tersebut memiliki panjang setengah lengan orang dewasa, dan ditutupi oleh kain gelap. Pada tutupnya, terdapat segel dari raja yang diukir menggunakan emas.

“Ini berisi pesan rahasia untuk Pangeran Germaine, cincin tersebut merupakan bukti identitasmu sebagai utusan langsung raja. Tapi yang ingin kuserahkan padamu adalah ini—surat dari Raja.” Setelah menerima surat tersebut, Tigre membacanya dengan perlahan, perkataan seorang raja tidak bisa dihiraukan, tidak satu kata pun.

Isinya dimulai dengan salam biasa, dengan raja yang memberikan pujian atas keberaniannya di Brune dan merayakan perdamaian yang baru saja terbentuk antara Zhcted dan Brune, sebelum masuk ke intinya.

—Anda merupakan bukti dari persahabatan yang erat antara Zhcted dan Brune, dan diharapkan mampu mewakili kedua negara di hadapan Pangeran Germaine. Tak ada orang lain selain anda yang pantas untuk mengemban tugas ini.

Yang tertulis di bawah ini merupakan instruksi sejauh mana kita akan menyokong Pangeran Germaine, dari segi finansial maupun jumlah pasukan yang akan kita kirim, dan juga sampai kapan kita akan melakukannya. Anda diperbolehkan melakukan sesuatu apabila ada kemungkinan yang memaksa anda untuk menyimpang dari rencana semula, namun harap segera kembali bilamana situasi sudah berada di luar kendali—

Tigre sedikit takjub, jadi dia ingin menggunakanku sebagai alat tawar.

Di bagian akhir surat, dijelaskan bagaimana cara memasuki Asvarre. Tigre akan melakukan perjalanan dari LeitMeritz menuju Legnica, dan di sana dia akan bertemu dengan orang yang diutus raja untuk menemaninya ke Asvarre. Tigre terlihat heran dengan detail yang tertulis pada surat ini, yang bahkan menuliskan jalan mana saja yang harus dilalui.

Mengisyaratkan bahwa Brune dan Zhcted mendukung Pangeran Germaine—raja yang sangat cerdik, sangat cerdik, Tigre sampai berpikir seperti itu.

Setelah membacanya, Tigre menatap Elen dengan perasaan gelisah. “Apa pihak Brune sudah diberitahu?”

Elen menggelengkan kepalanya. “Aku meragukannya.”

Lim juga sependapat. “Kalau memang begitu, seharusnya Ratu Regin yang memerintahkan langsung kepadamu, Tigrevurmud”

Lim benar, pada kenyataannya, Tigre merupakan tamu kehormatan, Tigre tidak memiliki kewajiban untuk mematuhi perkataan Raja Viktor. bahkan di akhir surat pun tertulis—

“Saya, Raja dari Kerajaan Zhcted, memohon padamu—“

— Yang berarti ini bukan sebuah perintah, melainkan sebuah permohonan.

Akan tetapi, Tigre sama sekali tidak bisa gegabah. Bagaimanapun juga, ini sebuah permintaan dari seorang raja.

“... Selain diriku, apa memang tidak ada lagi yang bisa menjalankan misi ini?”

“Sebenarnya Zhcted tidak kekurangan orang yang mumpuni. Tapi bagi raja, dia tidak akan mengatakan akan bermurah hati padamu tanpa meminta sesuatu darimu, setidak-tidaknya melakukan hal seperti ini.”

Tigre mencoba untuk merenungkan ini untuk beberapa saat, kemudian mengangkat bahunya dan menyerah. Saat itu juga, Lim menegurnya dengan suara pelan, dan melanjutkan penjelasannya.

“Begini, melakukan sesuatu seperti memberantas bandit gunung tidak akan mengharumkan namamu. Namun peranmu dalam perang saudara di Brune telah mendemonstrasikan keberanianmu, begitu juga nilaimu, itu sudah cukup.”

“Memang ada beberapa cara untuk mendapatkan kehormatan dari raja, namun kebanyakan akan menuntutmu berhubungan langsung dengan raja, seperti menjadi penasehat raja. Dan tentu saja itu akan menempatkanmu pada posisi genting—sebagian besar aristokrat kami pasti akan mengecam keras warga Brune yang mencampuri urusan dalam negeri kami, dampaknya tentu akan menurunkan wibawa seorang raja, jadi pilihan terbaik adalah menunjukmu sebagai utusan.” Elen mengatakannya sambil menghela nafas.

Memang benar, Tigre sudah menyadarinya. Keuntungan dengan mengirimkannya persis seperti yang dituliskan pada surat yang dikirim Raja Viktor—dan tak ada seorang pun dari Zhcted yang lebih baik darinya.

“... Dan begitulah kira-kira, dengan asumsi kalau raja tidak memliki niat buruk padamu.” Elen bersandar di kursinya.

Sikap Ellen yang santai membuat Tigre jauh lebih tenang, dan tersenyum. “Seingatku, aku tidak pernah melakukan sesuatu yang memancing amarahnya.”

“Jika suatu kerajaan memiliki sosok yang sangat hebat di medan perang, apa kamu tidak merasa kalau kehadirannya saja membuat suatu negara menjadi waspada? Lim bertanya dengan tenang seperti biasa, namun serius. “Di sini, ada banyak pihak yang tidak menyukai kehadiranmu, Tigrevurmud... Meskipun saya tidak mengatakan kalau raja termasuk diantaranya.”

“Tetap saja, negosiasi ini sangat penting bagi Zhcted, kegagalan berarti bencana — aku tidak mengerti kenapa raja menyerahkan tugas ini padaku jika dia memiliki kebencian kepadaku?”

Elen mengerutkan alisnya ketika berbicara, ketidakpuasan jelas terlihat di wajahnya. “Yah, ada kemungkinan kamu akan dijadikan kambing hitam apabila misi ini gagal.”

“Tentu saja, raja mengharapkan keberhasilan, namun gagal, menyingkirkanmu sekarang akan menghapus kekhawatiran terhadapmu di masa depan. Dan tergantung situasinya, bisa saja kesalahan akan dilempar kepada Brune.” Elen mengayunkan kepalan tangannya ke meja dan *BANG*, mengabaikan Lim yang memperhatikannya. “Apa kau tidak merasa aneh? Jika aku yang menjadi raja, aku akan mengadakan jamuan makan malam untukmu dengan menunjuk seseorang menjadi tuan rumah, pada saat tuan rumah mengalihkan perhatian semua undangan barulah aku mengajukan permohonanku.”

Benar juga, Tigre sependapat. Tigre dan raja hanya pernah berjumpa sekali—dan dengan segala hormat mereka bukan teman. Setidaknya, ada pesta yang digelar untuk meningkatkan hubungan mereka.

“Sebenarnya mudah untuk mengetahui kalau kau sama sekali belum pernah ke Asvarre. Mengirimmu ke sana sama saja seperti menyuruh anak kecil yang belum mengetahui mana kanan atau kiri pergi ke desa sebelah untuk membeli sesuatu. Belum lagi keberadaan sosok yang diutus raja untuk menemanimu, kami sama sekali tidak tahu apa-apa tentangnya. Situasi ini seakan berteriak ‘ini mencurigakan’!”

Memang benar, sulit untuk berpikir raja menyerahkan tugas ini kepada Tigre karena kemampuannya.

“Tapi Raja Viktor sama sekali tidak mengungkapkan apa yang dipikirkannya tentangku kan?”

Elen dan Lim mengangguk.

“Aku hanya bisa memikirkan tiga alasan mengapa tugas ini diserahkan kepadamu. Yang pertama adalah menawarkan jasa kepadamu dengan memberikanmu kehormatan sebagai diplomat. Yang kedua mungkin untuk menghancurkanmu dengan menempatkanmu pada situasi dimana kau tidak bisa melakukan apa-apa. Dan yang terakhir, mengukur kemampuanmu.”

“Mengukur kemampuanmu?”

“Singkatnya, dia ingin tahu apa kau hanya memiliki kemampuan di medan perang, atau memiliki kemampuan lain. Aku sama sekali tidak bisa menebak apa dia menginginkanmu, atau dia berniat menghancurkanmu. Apapun itu, yang jelas dia ingin menggunakanmu.”

Vanadis berambut perak sedikit tertawa, dan pun Tigre sedikit menggerutu karenanya. Tak ada satupun dari tiga kemungkinan tersebut yang melegakan perasaannya.

“Dan kalau pun dia memiliki tujuan lain.” Elen berbicara dengan nada pelan, namun serius. “Kemungkinan besar dia menggunakanmu untuk melihat bagaimana reaksi Vanadis—termasuk diriku—dan Ratu Regin akan bertindak.”

“Elen, apa yang harus ku—“

“Tigrevurmud.” Lim memanggilnya dengan suara keras, memotong pembicaraannya. “Mohon jangan menanyakannya kepada kami.”

Elen hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan pahit. “Apa pun keputusanmu, aku akan menghormatinya dan melakukan semua yang bisa kulakukan untuk membantumu. Tapi, kau harus memutuskannya sendiri, Tigre.”

“Maaf.”

Tigre bisa saja menolak, tapi itu jelas akan menurunkan penilaian raja terhadapnya, dan pasti akan berdampak pada Elen dan Brune. Tigre kembali melihat peta, dan memikirkan kembali apa yang baru saja mereka diskusikan. Dia tidak menyukai Pangeran Germaine, yang rencananya akan didukung oleh Zhcted. Tapi andai rivalnya, Elliot yang naik takhta, persekutuannya dengan Muozinel akan menjadi ancaman bagi Zhcted dan Brune, apalagi Brune berbatasan langsung dengan Asvarre.

Belum lagi memikirkan persahabatan negaranya dengan Zhcted.

Demi tanah airku, apa aku harus mendukung negari asing yang lalim?

Dengan mengirimkan bantuan kepada Germaine, bisa saja memintanya memperbaiki caranya memerintah. Tapi Tigre bukan Raja Kerajaan Zhcted, dia sadar bahwa perkataannya tidak berarti apa-apa.

Tapi dia harus segera memutuskannya, setelah menghela nafas, Tigre mengajukan pertanyaan lain. “Orang seperti apa Pangeran Elliot?”

“Rumor mengatakan kalau dia juga tak jauh beda dengan kakaknya. Yah, setidak-tidaknya dia tidak membantai saudaranya sendiri.”

“Tapi tadi kau bilang kalau dia mengundang perompak untuk memperkuat barisannya, kalau begitu pasukannya sama saja dengan sekumpulan bandit, bukan begitu?”

“Sepertinya Raja Viktor memang ingin aku lenyap dari dunia ini, memintaku pergi ke tempat seperti itu seorang diri.”

“Jadi kau menolaknya?”

“Aku pergi saja. Kapan lagi ada kesempatan untuk mengunjungi Asvarre.” Tigre mengatakannya dengan serius, dia juga tidak ingin membebani Vanadis yang seumuran dengannya. “Tapi bukankah cara ini berbelit-belit? Memintaku menjadi utusan rahasia, pada saat bersamaan menyatakan dukungannya kepada Pangeran Elliot secara terbuka?”

“Mendukung kedua belah pihak bukan taktik yang aneh lagi. Lyudmila juga seperti itu selama perang saudara Brune.”

“Apa?” Tigre bertanya, tidak memahami apa maksud Elen. “Aku rasa Mira orang yang cukup blak-blakan.”

Mira yang dimaksud tentu saja Lyudmila Lurie, MicheliaPutri Salju dari Gelombang Beku satu dari tujuh Vanadis dan orang yang memerintah Olmutz, wilayah yang terletak di selatan Zhcted.

“Kau lupa ya, pada awalnya dia sekutu Duke Thenardier, karena itulah dia memimpin pasukan untuk menyusahkan kita. Dia terus menekan kita bahkan pada saat kita memilih mundur. Untuk memenuhi kewajibannya kepada Duke Thenardier, dia bahkan bertarung denganku.” Ekspresi Elen terlihat kesal ketika mengatakannya, sepertinya Tigre tidak sadar Elen seperti ini karena Tigre terdengar seperti membela Mira, bahkan menyebutkan namanya dengan akrab.

“Tapi dia sampai mempertaruhkan nyawanya demi melindungi Eleanora-sama dari pembunuh pada saat itu.” Lim mengingatkan Elen.

“Ya-Yah, dia melakukannya untuk membuatku merasa berhutang budi padanya! Elen terlihat mengelak. “Mungkin saat itu dia memang tidak memikirkannya sampai sejauh itu, tapi kalau diperlukan, dia pasti akan mengungkit masalah itu kembali.”

“Hal itu wajar dilakukan dalam negosiasi.” Lim kembali mengingatkan Elen.

Elen mengabaikan Lim, dan mengarah ke Tigre. “Pada saat pertarungan dengan Muozinel, dia tidak datang untuk langsung menolongmu, kan? Dia mengamati situasi dulu, kan? Itu tidak bisa dibilang menolongmu, dia hanya menunggu saat di mana kau benar-benar membutuhkannya. Dan dia baru memutuskan hubungan dengan Duke Thenardier saat itu juga, jangan lupa!”

Selanjutnya, Elen langsung menegak semua isi cangkirnya.

Tigre akhirnya sadar, satu sisi dari karakter Lyudmila mungkin sudah merekat dalam pikiran Elen, sehingga dia tidak merasa ada yang salah dengan ucapannya. Mungkin karena perselisihannya dengan Lyudmila, tak mengherankan Elen sampai marah.

Berbicara tentang Mira, kira-kira apa tanggapannya terhadap permintaan ini?

Sejak Tigre menetap di LeitMeritz, Lyudmila Lourie sudah tiga kali datang berkunjung, dan dia datang dengan alasan yang berbeda-beda. Pertama, menanyakan perkembangan pembangunan jalan di Pegunungan Vosyes serta situasi Brune. yang kedua, sekedar menunjukkan hubungan baik dengan Elen. Dan yang terakhir, mengajak Tigre bergabung dengannya.

Tiap kali Elen menerima laporan kedatangan Mira, dia pasti berkata ‘katakan padanya, jangan datang lagi’. Tapi siapa yang berani mengatakan itu kepada seorang Vanadis. Dan tentu saja Elen mengatakannya dengan setengah bercanda. Dia tetap membutuhkan informasi yang biasa dibawa Lyudmila Lourie mengenai perkembangan Muozinel, rivalitas bukan alasan untuk melewatkan pertukaran informasi yang berharga.

Dalam setiap kunjungannya, Lyudmila tak lupa untuk menjumpai Tigre. Pertama, dia menjanjikan sejumlah uang untuk menggodanya, namun gagal. Selanjutnya, dia hanya berbincang-bincang dengan Tigre. Mira bahkan mengajaknya untuk pergi berburu bersama, namun langsung ditolak Elen.

Jika hal ini ditanyakan kepada Mira, dia mungkin menyetujuinya dengan memberikan jawaban ambigu, kemudian mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya secara diam-diam, dan pada saat yang menentukan akan menolaknya dengan tegas.

Mungkin ini hanya permulaan dari berbagai permintaan sulit di kemudian hari.

Tigre tidak menyukai tugas ini, tapi tetap bisa melihat manfaatnya. Kalau begitu, segala bentuk keluhan lebih baik disimpan untuk dirinya sendiri.



Setelah melihat pintu yang digunakan Tigre untuk keluar tertutup kembali, Elen menghela nafas untuk kesekian kalinya.

“Apa benar tidak apa-apa?” Lim bertanya.

“Kita memang tidak punya pilihan lain kan?” Elen menjawab dengan ketus.

Ellen setuju untuk melepasnya pergi Asvarre. Ini cukup aneh — sebenarnya Elen sudah menyiapkan beberapa cara untuk membujuk Tigre andai tadi dia menolak. Tapi untunglah Tigre memberikan jawaban yang meyakinkan. Seharusnya Elen lega mendengarnya, hatinya terasa sangat berat.

“Lim, maaf ya untuk yang tadi.” Ellen tersenyum sambil mengatakan maaf. ‘Tadi’ yang dimaksud Elen mengacu pada saat Lim menghentikan Tigre yang akan meminta pendapat kepada Ellen. “Aku... mungkin tak akan pernah bisa menjawabnya.”

Di lubuk hatinya yang terdalam, Elen ingin sekali mengatakan ‘jangan pergi’. Tapi untuk menolak permintaan raja, mereka membutuhkan beberapa alternatif. Cara lain untuk mendekatkan hubungan Zhcted dan Asvarre, atau mungkin orang yang bisa menggantikan Tigre, tapi mereka tidak mempunyai alternatif tersebut. Mengenai permintaan raja, memang tidak ada orang yang lebih baik selain Tigre, Elen pun akan sangat kesulitan jika diminta mencari pengganti yang sepadan.

Pada saat perang saudara di Brune, Elen berhasil meyakinkan raja dengan mengatakan kalau dia memang tidak punya pilihan selain bertempur. Dan hasilnya pun manis, Zhcted memperoleh Agnes di selatan, Elen pada akhirnya mendapatkan pelayanan Tigre, Elen dan Tigre bersama-sama memerintah Alsace.

Namun pada saat ini, Ellen tidak mempunyai cara—atau apapun yang bisa meyakinkan raja . Pada akhirnya seorang Vanadis pun harus tunduk kepada raja.

Meskipun ingin, Elen tidak bisa mengatakan untuk tetap di sini. Elen hanya bisa mendukung Tigre.

Elen mengalihkan pandangannya ke jendela, menatap pemandangan di luar. Angin sepoi-sepoi berhembus di penghujung musim panas, melewati permukaan tanah, dan malam sebentar lagi akan tiba, matahari mulai tidak terlihat di ufuk barat. Bintang bintang juga mulai menampakkan dirinya, meskipun Elen belum bisa melihatnya.

“Ketika dia datang ke sini, bunga snowdrop masih mekar ...”

Ketika musim dingin, bunga snowdrop memang tumbuh di Zhcted, dan mereka juga penanda datangnya musim semi. Namun musim semi tak terasa berlalu begitu saja, Elen sibuk dengan tugasnya sebagai pemimpin LeitMeritz, dan Tigre menggunakan sebagian waktunya untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Dan sekarang, musim panas pun akan segera berakhir.

Elen menggelengkan kepalanya sambil menghela nafas. Dengan pikiran yang lebih jernih, Elen berbalik ke arah Lim, dengan senyuman di wajah. “Karena dia sudah memutuskan untuk pergi, paling tidak kita harus memudahkan jalannya. Aku mengandalkanmu, Lim. Ini permintaan raja, jadi orang lain tidak boleh menjelekkannya.”

“Baiklah.” Lim akhirnya memperlihatkan senyumannya yang langka, suaranya terdengar jelas seperti biasanya. Namun sepertinya dia sedang cemas memikirkan sesuatu, hal itu terpancar pada mata turquoise miliknya. “Akan tetapi banyak sekali hal yang membuatku khawatir, menjadi duta rahasia di negeri asing, dan hanya ditemani oleh satu orang...”

“Mari percaya padanya.” Elen mengatakannya dengan jelas, perkataan dan tatapan matanya penuh dengan rasa percaya diri. Dia telah menyaksikan banyak keajaiban yang dilakukannya. Ya, mereka bisa mengatakan itu hanya keberuntungan, tapi tanpa kemampuan, mustahil menciptakan keajaiban tersebut, Tigre memiliki kemampuan seperti itu.”

Memang kedengaran berlebihan, tapi itu karena Elen juga merasakan kecemasan yang sama seperti Lim, apa boleh buat kalau Elen sampai seperti ini. Elen bahkan sangat mengharapkan Tigre menolak permintaan tersebut.

“Tigre akan pulang dengan kemenangan. Kita akan mengantarnya dengan senyuman, dan kita juga menyambutnya dengan senyuman yang sama. Hanya itu yang bisa kita lakukan, kita tidak bisa mengadakan pesta untuknya merayakan pengangkatannya sebagai duta kerajaan, karena tugas ini pada dasarnya bersifat sangat rahasia, atau memberikannya hadiah karena statusnya sebagai warga Brune.”

“Benar.” Lim sedikit lega karena atasannya sedikit mengurangi kegelisahannya.

Dengan begitu, mereka kembali menjutkan pekerjaan masing-masing. Tapi Elen tiba-tiba teringat sesuatu ketika melihat berbagai macam dokumen.

Apa kami sudah semakin akrab?

Meskipun Elen sangat sibuk, dan Tigre terus berada dalam pengawasan ketat, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Ketika hari sedang bagus, mereka bersantai di atap, bahkan beberapa kali menyelinap keluar kastil untuk berkeliling di jalanan kota. Pada saat istirahat, mereka bersantai dengan teh dan cemilan bersama Lim dan Titta. Mungkin terdengar sepele, namun kenangan yang sangat berharga.

Mereka bahkan pernah berdansa bersama di kota.

Menurut tradisi Zhcted, festival seperti ini selalu dimulai dengan semua orang menari dan bernyanyi bersama, kemudian apabila pasangan terbentuk, mereka akan menari dengan pasangannya. Pada mulanya, cara ini digunakan pria untuk memilih calon pengantinnya, namun kebiasaan itu sudah lama ditinggalkan, dan sekarang hanya meninggalkan cerita dan tarian itu sendiri.

Ketika Tigre dan Elen mendengar asal mula tarian tersebut, wajah mereka berdua memerah seketika, tapi tetap bergandengan tangan bahkan setelah tarian selesai. (Tentu saja tidak ada yang tahu, mereka terlalu malu untuk menceritakannya kepada orang lain.)

Mereka tidak pernah sampai melewati batas, karena mengerti posisi masing-masing. Hatinya terasa hangat ketika Vanadis berambut perak mengingat saat-saat mereka melewati hari bersama.



Ruangan Tigre terletak di dasar kastil. Tidak seperti di luar dimana pegawai yang bekerja di kastil masih lalu lalang bahkan setelah matahari terbenam, di sini relatif lebih tenang. Salah satu pertimbangan Elen, sebagai tamu, Tigre menarik lebih banyak perhatian dibandingkan pada saat dirinya masih menjadi tawanan perang.

Tempat ini tidak bisa dikatakan mewah, tapi dengan permadani berwarna hijau gelap, perapian, ditambah meja dan kursi dari kayu oak, memberikan nuansa tenang pada ruangan ini. Ruangan ini juga dilengkapi beberapa perabot, di sudut kamar, terdapat kabinet yang berisi anggur, ditambah meja panjang.

Setelah masuk, Tigre langsung menyalakan lilin, dan membunyikan lonceng yang terletak di atas meja.

Tak lama berselang, suara langkah kaki terdengar mendekati pintu, langkah kaki Titta.

“Tigre-sama, apa saya bisa masuk?”

“Tak perlu sekaku itu, hanya ada aku di sini.” Tigre mengatakannya dengan nada lembut.

Pintu terbuka, dan pelayan dengan rambut kastanya masuk dan memberi salam dengan membungkukkan tubuhnya, dan menjulurkan lidahnya kepada Tigre. “Saya sudah terbiasa seperti ini, lagi pula, sekarang kita jauh dari kampung halaman.”

Ketika mereka masih di Alsace, mereka tidak terlalu formal. Tigre lebih memilih memanggil langsung daripada menggunakan lonceng, dan Titta, akan menanyakan langsung keperluan Tigre sebelum masuk, mereka tidak repot memikirkan formalitas. Tapi ini bukan Alsace, banyak orang yang tidak menyukai Tigre yang terlalu akrab dengan sosok seperti Ellen, Lim, dan Rurick. Suka atau tidak, mereka harus lebih memperhatikan formalitas di sini.

“Jadi.” Titta bertanya setelah menerima mantel yang dikenakan Tigre. “Apa anda sudah selesai berbicara dengan Eleanora-sama?”

Raut wajah Tigre terlihat suram. “Apa kau punya waktu Titta, ada yang ingin kubicarakan mengenai masalah itu.”

Titta mengangguk, meski terlihat bingung.

Melihat reaksi Titta, Tigre pergi mengambil anggur dan dua buah gelas. Tigre tahu ini akan membuatnya khawatir, tapi bagaimanapun, dia ingin Titta mengetahuinya.

Setelah menyuruhnya duduk, Tigre menuangkan anggur. Yang pertama untuk Titta, kemudian gelasnya sendiri.

Tigre menegak semua isi gelasnya.

Kemudian memulai pengakuannya.

“Aku harus pergi untuk sementara waktu, aku mengandalkanmu untuk merawat tempat ini.”

Titta sampai terbelalak, pandangannya menatap ke dasar gelas yang ada di hadapannya, anggur merah yang berwarna seperti darah memantulkan kesedihannya.

“Bukan untuk berburu, kan?”

Titta benar, jika hanya berburu atau inspeksi ke desa sekitar, Tigre tidak akan berbicara seperti ini. Tigre sudah melakukan apa yang dia bisa untuk tetap terlihat tenang, tapi sepertinya memang tak mungkin untuk benar-benar menyembunyikan kekhawatirannya yang akan pergi ke negeri asing. Terlebih kepada Titta, yang sudah mengabdi padanya untuk waktu yang lama.

Tigre juga tidak bersemangat untuk menutupinya, kemudian tatapannya bertemu dengan Titta.

“Aku tahu kau tidak akan bercerita kepada siapa-siapa, meski begitu aku ingin ini tetap menjadi rahasia kita.”

Setelah mendapatkan persetujuan dari Titta, Tigre mulai bercerita tentang rencana perjalanannya ke Asvarre.

“Aku tidak bisa menceritakan detailnya, yang pasti ini masalah yang sangat menyusahkan. Ketika aku pergi, aku ingin Titta mengatakan pada orang yang mencariku, kalau aku pergi ke Silesia. Ujar Tigre. “Oh ya... tolong rawat Lunie selama aku pergi.”

“Saya mengerti soal Lunie, tapi ‘ke ibukota’?” Titta menggelengkan kepalanya, kebingungan.

“Jangan khawatir, Lim dan Elen yang akan membuat detail ceritanya, kau hanya perlu mengikuti mereka.” Tigre meyakinkan Titta. “Meski pada awalnya aku memikirkan alasan sakit untuk menghidari orang-orang.”

“Itu tidak seperti diri anda, Tigre-sama. Maksudku, itu bukan perkataan orang yang pergi berburu di tengah musim dingin dengan hanya menggunakan mantel bulu. Saya rasa, saya tidak bisa membohongi semua orang dengan alasan seperti itu.” Titta menunjukkan keteguhan hatinya, meski terdengar ironis. Tigre hanya bisa mengacak rambutnya karena sudah kehabisan kata-kata.

Melihat ini, Titta tersenyum. “Tigre-sama, seberapa jauh kah Asvarre berada?”

“Aku juga tidak tahu, ini juga baru pertama kali aku akan ke sana. Yang aku tahu, dari tempat ini aku perlu pergi ke arah barat laut, kemudian pergi ke Asvarre dengan kapal.”

“Kapal... Laut.” Titta terlihat kaget. Tigre dan Titta sama-sama belum pernah melihat kapal, ataupun laut. Yang bisa mereka lakukan hanyalah membayangkannya berdasarkan syair yang dinyanyikan oleh penyanyi pengembara, atau melalui cerita dari seniman musafir yang mengembara jauh hingga ke Celeste, kota di Asvarre.

Titta sedikit menggigit bibirnya, dan mengepalkan tangan di atas apron karena berusaha menahan perasaan tak menyenangkan dalam dirinya. Mengambil gelas yang ada di hadapannya, dan menghabiskan seluruh isinya dalam sekali tegak—

Titta berdiri setelah menghela nafas, dan meletakkan gelasnya kembali ke meja. Matanya menatap Tigre.

“Saya tidak tahu seberapa penting misi ini, tapi anda harus kembali dengan selamat, Tigre-sama.”

Tigre juga meletakkan gelasnya di meja, berdiri dan memeluk Titta dengan lembut, Tigre bisa merasakan aroma dari rambut Titta ketika memeluk Titta.

Kau sudah semakin tinggi...

“Aku akan kembali.” Tigre mengatakannya sekali lagi. “Aku pasti pulang.”



Tigre berangkat sebelum fajar. Dia berangkat bukan sebagai Tigrevurmud Vorn, tapi sebagai prajurit LeitMeritz biasa. Tigre sudah mengucapkan salam perpisahan kepada Titta, tapi tidak dengan Elen.

Aku ingin mengucapkan salam kepada Rurick dan lainnya sebelum pergi.

Pergi seperti ini memang meninggalkan beberapa penyesalan, tapi sebagai utusan rahasia, keberangkatannya harus dirahasiakan sebisa mungkin. Rurick sendiri mungkin sudah menyadarinya.

Tigre juga keluar melalui gerbang belakang, dan di sana, seekor kuda sudah menunggunya — kemungkinan besar disiapkan Lim.

Mengusapkan matanya yang masih mengantuk, Tigre meletakkan busur hitamnya di pelana dan memasukkan kotak yang berisi anak panah ke kantong bawaannya, dengan boneka beruang yang tergantung di kantong tersebut.

Boneka tersebut diperoleh dari Lim tadi malam, ketika dia memeriksa seluruh bawaannya untuk memastikan kalau dia sudah membawa semua yang diperlukan.

“Baiklah, keluarkan dulu semua.” Lim terdengar sedikit menyeramkan, Tigre pun hanya bisa menurut dan meletakkan satu persatu di atas meja. Makanan dan air untuk beberapa hari, batu api, belati, sebotol minyak, dan dompet yang penuh dengan koin perak dan perunggu.

Ada juga surat yang ditulis Ellen untuk sahabatnya, Alexandra Arshavin, Vanadis dari Legnica. Elen menulisnya dengan tergesa-gesa, dan memberi instruksi kepada Tigre untuk menemui sahabatnya ketika dia melewati Legnica.

“Sasha akan memberikanmu pedoman tambahan, jadi tak masalah jika kau terlambat satu atau dua hari—kau harus menemuinya, mengerti?” dan Ellen memberikan surat tersebut kepada Tigre.

Terakhir, dua buah cincin dan gulungan yang berisi pesan rahasia dari raja. Permukaan gulungan tersebut ditutupi oleh kain hitam, serta tahan air.

Setelah memeriksa satu-per-satu, Lim memintanya untuk menunggu sebentar, dan keluar dari ruangan.

Tak lama, Lim kembali, dengan membawa beberapa perlengkapan: sekantong herbal, satu botol obat oles, tali yang terbuat dari plastik dan jerami, jarum, benang, bahkan cermin seukuran tangan.

“Bawa ini juga.”

Lim mengatakannya sambil membantu Tigre memasukkan semuanya ke tas yang dibawanya, Tigre kelihatan sedikit heran.

“Apa tidak terlalu banyak?” Sebenarnya yang diberikan oleh Lim juga merupakan kebutuhan dalam perjalanan, awalnya Tigre tidak berpikir untuk membawanya, dan akan membelinya ketika dia tiba di Legnica.

“Dan apa yang akan kamu lakukan kalau terjadi sesuatu sebelum kamu tiba di Legnica?”

Pertanyaan Tigre langsung dimentahkan, Tigre tahu Lim bermaksud baik, jadi dia tidak mempermasalahkannya lagi.

Namun Tigre tanpa berhati-hati, mengatakan apa yang ada di pikirannya sekarang. “Rasanya kamu seperti ibuku saja.”

“I-Ibu...?!” Raut wajah tanpa ekspresi Lim runtuh, matanya terbuka lebar memandangi Tigre dengan cemas. Melihat reaksi yang tak terduga seperti ini, Tigre memilih mundur.

“Maaf jika tadi membuatmu kurang senang. Ibu Titta juga seperti ini—dia memeriksa barang bawaanku dengan teliti setiap kali aku pergi keluar kota.” Tigre berhenti sebentar. “Kamu mengingatkanku padanya.”

“Aku mengerti. akan tetapi, kamu harus lebih berhati-hati lagi.” Ujar Lim. Kelihatannya dia sudah kembali tenang setelah beberapa saat, tapi Tigre masih merasa tidak enak memanggil gadis berusia 20 tahun dengan sebutan ‘ibu’.

“Kalau begitu, bawa ini juga denganmu.”

Lim meletakkan sesuatu di tangan Tigre. Di tangan Tigre, bukan di atas meja — sebuah boneka beruang kecil.

“Jimat keberuntungan. Ibu selalu memberikannya kepada anaknya yang akan pergi jauh, jadi bawalah. —meskipun aku tidak ingat pernah memilik anak sebesar dirimu.” Lim mengatakannya dengan tergesa-gesa, Tigre pun melihat Lim dan boneka beruang tersebut secara bergantian. Mungkin kalau ruangan ini sedikit lebih terang, Tigre bisa melihat wajah Lim yang memerah.

Kalau mau jujur, memang sedikit kalau harus menggantung boneka beruang ini pada tasnya. Namun dia tak sampai hati melepasnya jika memikirkan perasaan Lim.

Tigre melompat ke atas kuda, dan mulai berjalan beberapa langkah. Kemudian tiba-tiba berbalik badan, menatap ke atas dinding kastil. Keadaan masih gelap, dinding kastil membentuk bayangan hitam dalam kegelapan. Tapi dia merasa seseorang sedang memperhatikannya.

Memfokuskan pandangannya, dia bisa melihat sedikit gerakan.

Siapa?

Bukan tentara—tentara yang berjaga pasti membawa obor pada saat seperti ini. sepertinya juga bukan penyelinap, Tigre merasa orang tersebut tidak berusaha menyembunyikan keberadaannya.

Tiba-tiba angin berhembus kencang.

Angin tersebut tidak datang dari sebelah kanan maupun kiri. Tapi berhembus langsung dari atas dinding kastil, mengacak rambutnya dan memaksanya untuk berkedip.

Di tengah hembusan angin, Tigre melihat sesuatu meluncur ke arahnya, berkelip ketika memantulkan cahaya bulan. Benda tersebut kira-kira seukuran serangga, tapi tidak meluncur terlalu cepat. Tigre langsung bereaksi dan menangkapnya.

Koin perak, dan jika dilihat lebih seksama, tertulis sesuatu di koin tersebut.

‘Semoga berhasil’

Ketika memandang ke atas sekali lagi, sosok tersebut sudah tidak ada.

Tigre melihat koin tadi sekali lagi, kemudian memasukkannya ke saku, menyimpannya dengan penuh perhatian. kemudian Tigre melanjutkan perjalanannya, tak lama kemudian, sosoknya sudah menghilang dalam kegelapan.

Dia tahu sosok yang berdiri di atas tadi. Vanadis yang dapat mengendalikan angin.

Dia tidak bisa mengantarnya secara terbuka, pada akhirnya menggunakan cara tadi.

Rasa kantuknya sudah tak terasa lagi, terbang bersama angin yang bertiup barusan. Tigre merasakan kehangatan, dan semangat yang berkobar.

Aku akan kembali dengan selamat.

Dia akan mempersembahkan hasil yang memuaskan kepada Elen.

Dia sudah memutuskannya, terus memacu kudanya pada saat fajar hampir tiba.




Kembali ke Ilustrasi Menuju ke Halaman Utama Lanjut ke Chapter 2