Oregairu (Indonesia):Jilid 1 Bab 4

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Meski Begitu, Kelas Berjalan Seperti Biasanya[edit]

Bel berakhirnya jam pelajaran keempat pun berbunyi. Mendadak, suasana kelas menjadi lebih santai. Sebagian murid sudah berhamburan keluar membeli jajanan di kantin, sementara, sebagiannya mencari-cari kotak bekal mereka di dalam laci meja. Lalu sisanya, ada yang pergi ke kelas lain. Selama istirahat makan siang, ruang kelas kami memang selalu dipenuhi kehebohan. Dan tak ada tempat yang bisa kutuju jika hujan begini. Biasanya, aku punya tempat bagus untuk menikmati makan siangku, tapi mana aku mau kalau makan sambil basah-basahan.

Karena terpaksa, akhirnya kumakan saja roti yang kubeli dari toko kelontongan ini sendirian. Kalau cuaca sedang hujan begini, biasanya jam istirahat kuisi dengan membaca novel atau manga, tapi ternyata, buku-buku itu ketinggalan waktu aku membacanya di ruang klub kemarin. Ya sudahlah, nanti saja kuambil kalau sudah cukup istirahatnya.

Aku jadi ingat kalau kalimat, Melakukan sesuatu di akhir festival, berbeda dengan, Melakukan sesuatu saat festival telah berakhir.[1]

Lelucon yang bahkan aku sendiri tak menganggapnya lucu. Yah, memang sebanyak itulah waktu senggang yang kupunya saat istirahat. Walau selalu kepikiran macam-macam, sebenarnya cukup wajar bila aku menghabiskan waktuku ini untuk diriku sendiri, makanya, terkadang aku selalu membuat kesimpulan untuk berbagai hal.

Saat aku sudah di rumah, banyak hal yang bisa kulakukan bila sendirian. Contohnya, aku sering beryanyi keras-keras dengan penuh semangat. Dan ketika adikku datang, biasanya akan kualihkan seperti, Motto! Mott— ...selamat datang. Tentu saja, aku tak pernah bernyanyi di dalam kelas.

Sebenarnya aku pun sering memikirkan banyak hal. Bisa dibilang, para penyendiri itu ahli dalam pemikiran. Seperti yang kita tahu, manusia itu makhluk berakal, dan setiap manusia pasti akan berpikir. Namun di antara mereka, ada para penyendiri yang tak mau membuang waktunya untuk memikirkan manusia lain, sehingga pemikiran yang mereka miliki secara alami menjadi kian mendalam dan lebih ilmiah.

Alhasil, para penyendiri punya pola pikir yang sangat berbeda dibanding manusia lain. Karenanya, di saat tertentu, para penyendiri kerap melontarkan konsep maupun gagasan yang berada di luar nalar manusia biasa.

Sulit untuk menyampaikan banyaknya informasi dengan keterbatasan komunikasi verbal yang dimiliki oleh para penyendiri. Fenomena tersebut mirip dengan sistem operasi sebuah komputer.

Butuh cukup waktu dalam mengunggah sejumlah besar informasi pada server untuk mengirim sebuah surel, hal yang sama juga dialami oleh para penyendiri yang kurang pandai berkomunikasi. Seperti itulah keadaannya. Menurutku, hanya karena lemahnya salah satu penunjang, bukan berarti itu jadi hal buruk. Mengirim surel bukan satu-satunya keutamaan dari sebuah komputer. Padahal masih ada Photoshop dan Internet, ya 'kan?

Pembahasan ini kini malah berubah menjadi penilaian yang didasarkan hanya pada salah satu faktor saja. Yah, walau aku menggunakan perumpamaan sebuah komputer, tapi aku bukan orang yang ahli dalam hal tersebut.

Biarpun begitu, aku ini ahli dalam memainkan game yang dianggap sulit oleh para anak lelaki di kursi depan kelasku ini. para anak lelaki yang kumaksud yaitu mereka yang dengan sengaja membawa PSP ke sekolah. Kalau tidak salah, mereka itu Oda dan Tahara.

"Makanya, pakai hammer saja!"

"Enggak ah, gunlance sudah lebih dari cukup, kok."

Mereka tampak sedang bersenang-senang. Padahal aku juga memainkan game itu, dan kalau boleh jujur, aku juga mau bergabung bareng mereka.

Di masa lalu, para penyendiri adalah orang yang bisa memonopoli manga, anime maupun game untuk diri mereka sendiri. namun keadaannya sekarang, beberapa media telah berubah menjadi wadah yang mengharuskan para penyendiri untuk berkomunikasi dengan sesamanya.

Sayangnya, akibat tampangku yang pas-pasan ini, maka ketika kucoba bergabung dengan mereka, aku malah dianggap resek juga cupu. Ya sudah, mau bagaimana lagi?

Sewaktu SMP dulu, pernah kulihat ada beberapa orang yang sedang membahas soal anime, jadi kucoba untuk ikut bergabung dalam pembicaraan mereka, namun terlihat jelas kalau mereka langsung bungkam ketika melihatku. Itu hal yang sungguh kejam buatku... di saat itulah aku berhenti mencoba bergabung dalam keramaian itu.

Dan aku tak pernah menjadi lelaki yang berusaha ingin membuat orang-orang agar mengikutsertakan diriku, karena itu justru lebih buruk. Sewaktu kami bermain sepak bola ataupun bisbol saat pelajaran Olahraga, dua anak lelaki yang cukup populer akan melakukan suten untuk menentukan siapa yang hendak dipilih. Dan aku selalu kebagian pilihan terakhir. Saat kuingat kembali diriku yang masih berumur sepuluh tahun, saat kukenang betapa gugupnya aku sewaktu mereka mau memilih anggota tim... hal itu hampir bisa membuatku menangis, serius.

Aku bukanlah orang yang sering sakit-sakitan, tapi itu sebabnya aku mulai payah dalam hal olahraga. Aku menyukai bisbol, namun aku tak bisa menemukan orang yang mau bermain denganku... Jadi sewaktu masih kecil, aku selalu bermain dengan tembok atau berlatih penguasaan lapangan seorang diri. Aku benar-benar telah terbiasa bermain bisbol sendirian; aku sempat berpura-pura ada para pemain khayalan di lapangan ataupun di area pemukul.

Namun ada pula orang-orang di kelas ini yang pandai dalam komunikasi semacam itu.

Contohnya, orang-orang yang kini sedang berada di deretan kursi belakang kelas.

Ada dua anak dari Klub Sepak Bola, tiga anak dari Klub Basket, dan tiga anak perempuan. Hanya dengan sekali lihat pada suasana hidup di sekitar grup tersebut, cukup untuk memberi tahu kalau posisi mereka berada di puncak pergaulan kelas. (omong-omong, Yuigahama juga bagian dari grup itu.)

Bahkan di dalam grup tersebut, terdapat dua orang yang bersinar lebih terang dibanding yang lainnya:

Hayato Hayama.

Itulah nama anak yang berada di pusat grup tersebut. Ia adalah pemain andalan dari Klub Sepak Bola, sekaligus kandidat kapten tim selanjutnya pada semester depan. Ia bukanlah seseorang yang senang kulihat dalam waktu yang lama.

Dengan kata lain, ia lelaki tampan yang penampilannya dibuat-buat. Mati saja sana.

"Enggak, deh, hari ini aku enggak bisa. Aku ada latihan."

"Masa enggak bisa izin sehari, sih? Hari ini double scoop di Baskin-Robbins sedang diskon, lo~~ aku mau beli yang rasa chocolate-cocoa."

"Bukannya dua-duanya itu cokelat? (Hehe)"

"Eh? Ya jelas beda, lah! Lagi pula, sekarang aku benar-benar lapar, nih."

Dan anak yang meninggikan suaranya tadi adalah rekan Hayama, Yumiko Miura.

Rambut pirangnya ditata ikal melingkar, dan bila dilihat dari caranya berseragam yang tak beraturan hingga ke pundaknya itu, kita pasti berpikir kalau ia bangga akan hal tersebut. Haruskah ia berdandan seperti PSK atau semacamnya? Dan roknya begitu pendek sampai-sampai sulit menebak maksud dari caranya berbusana.

Ia punya tubuh yang bagus juga wajah yang cantik, tapi kelakuan konyol dan penampilan hebohnya kian menegaskan ketidaksukaanku padanya. Atau bisa saja, aku cuma takut pada dirinya. Kita tak pernah bisa tahu apa yang bakal ia katakan pada kita.

Namun (setidaknya dari yang kuamati) Hayama tak merasa takut terhadap Miura, malah ia seperti seseorang yang senang diajaknya bicara. Itu sebabnya aku tak paham akan jalan pikiran para raja dan ratu dari lapisan pergaulan ini. Tak peduli bagaimana kita melihatnya, perempuan itu jelas menjadi orang menyenangkan hanya sewaktu berbicara dengan Hayama saja. Andai aku yang bicara dengannya, bisa-bisa aku dibunuhnya dengan sekali tatap.

Yah, konon, kita tak perlu punya alasan untuk berbicara dengan orang lain, jadi itu bukanlah masalah.

Sementara itu, Hayama dan Miura masih saja saling bersenda gurau.

"Maaf, tapi untuk hari ini aku enggak ikut dulu."

Ujar Hayama; ia tampak kembali berkumpul dengan teman-temannya. Miura menatapnya dengan pandangan kosong. Lalu Hayama pun melantangkan sebuah pengumuman dengan senyum yang begitu mengembang di wajahnya.

"Soalnya, target kami tahun ini adalah Kokuritsu!"

Eh? Kokuritsu... bukannya Kunitachi? Jadi ia tak sedang membahas Kunitachi, bagian dari Tokyo yang bisa ditempuh lewat jalur Chuuou, tapi malah Kokuritsu? Jadi maksudnya turnamen nasional?

"Bwaha..."

Di dalam hati aku tertawa. Melihat ia bersikap sebangga itu, berpura-pura seolah mengatakan hal keren, itu benar-benar... benar-benar... aku tak sanggup menahannya lagi. Itu buruk sekali.

"Tapi tetap saja, Yumiko. Kalau terlalu banyak makan nanti kau bakal menyesal."

"Asal tahu saja, sebanyak apa pun aku makan, aku enggak akan jadi gemuk. Ahh, kurasa aku harus ke sana, terus makan yang banyak. Ya 'kan, Yui?"

"Ahh, iya, Yumiko memang punya penampilan menarik... tapi sekarang aku sedang ada janji, jadi aku harus—"

"Dengar sendiri, 'kan? Hari ini aku mau makan yang banyaaak sekali!"

Saat Miura mengatakannya, tawa pun meledak di sekelilingnya. Tawa itu terdengar kosong, seperti tawa yang biasanya ditambahkan pada acara komedi. Hanya sekadar tawa yang keras, tak lebih; aku pun hampir bisa melihat caption bar yang terpampang hingga ke bawah layar.

Bukannya aku mau mendengarkan pembicaraan mereka atau semacam itu, tapi suara mereka terlalu nyaring sampai dengan mudah bisa kudengar. Kini aku jadi ingat, baik otaku maupun riajuu, bila bergerombol, mereka selalu bicara dengan suara keras. Aku masih mendiami kursiku yang terletak di tengah ruangan tanpa ada orang di sekelilingku, biarpun begitu, suara semua orang di kelas ini begitu ramai... seolah aku ini sedang berada di pusat badai.

Hayama lalu mengembangkan senyum yang menandakan kalau ialah pusat perhatian, yang juga disukai semua orang.

"Pokoknya sudah kuperingatkan, ya. Jangan terlalu banyak makan sampai perutmu meledak."

"Ku-bi-lang. Tak jadi masalah, walau sebanyak apa pun makanku! Aku enggak akan jadi gemuk. Ya 'kan, Yui?"

"Ahh, penampilan Yumiko memang mengagumkan. Kakinya pun sungguh indah. Tapi, aku harus..."

"Ehh, masa, sih? Tapi bukankah anak yang bernama Yukinoshita itu juga punya kaki yang memesona?"

"Ah, benar juga. Yukinon juga punya kaki yang cukup memesona..."

"..."

"...ah, eh, maksudku, jelas Yumiko yang lebih keren!"

Yuigahama segera berusaha menyelamatkan dirinya sewaktu Miura mengerutkan alis matanya. Apa-apaan itu?! Rasanya seperti melihat seorang ratu yang ditemani dayangnya. Namun sepertinya persetujuan Yuigahama tadi tak terlihat cukup untuk menenangkan suasana hati sang ratu. Miura memicingkan matanya, dan ia terlihat tak senang.

"Yah, lagi pula, menurutku itu enggak akan jadi masalah. Kalau mau menunggu hingga usai latihan, kita bisa pergi bareng."

Mungkin Hayama sempat merasakan suasana tegang tadi, tapi dengan mudahnya ia memotong pembicaraan itu dengan kalimat barusan. Sang ratu lalu sumringah sambil tersenyum.

"Oke, SMS aku kalau sudah selesai, ya!"

Yuigahama diam-diam mengelus dadanya karena lega.

Huh, itu terlihat begitu menyakitkan. Apa kita sedang kembali ke abad pertengahan atau semacamnya? Jika kita memang harus berusaha sekeras itu agar punya kehidupan pergaulan yang baik, maka aku lebih memilih hidup menyendiri, jadi terima kasih.

Kemudian, Yuigahama dan aku saling bertatap mata. Saat ia melihatku, Yuigahama tampak seolah sudah membulatkan tekad, ia pun lalu menarik napas dalam-dalam.

"Eng... aku... aku harus pergi makan siang, jadi..."

"Oh, ya? Kalau begitu sekalian titip belikan aku teh lemon saat kau kembali nanti, ya. Aku benar-benar lupa bawa minum hari ini. Kau tahu sendiri, 'kan? Bekal yang kubawa itu roti, jadi sulit kalau enggak dibarengi sama minum teh."

"A-ah, ta-tapi aku mungkin enggak bisa kembali sampai jam kelima, jadi bisa-bisa jam makan siangnya sudah selesai, dan juga, eng... kau tahu, lah..."

Saat Yuigahama mengatakannya, wajah Miura pun langsung menegang.

Miura tampak seperti habis digigit oleh salah satu peliharaanya sendiri. Mungkin selama ini Yuigahama tak pernah sekalipun membantah ucapan Miura, namun baru hari ini ia tak memerhatikan apa yang Miura ucapkan.

"Eh? Tunggu, tunggu, ada apa ini? Kau sadar, enggak, Yui? Belakangan ini kau sering sekali telat pulang. Entah hanya perasaanku atau kau sepertinya enggak mau lagi kumpul-kumpul bareng kita?"

"Ah, yah, soalnya, eng... aku masih ada urusan dan yah, urusan pribadi juga, sih, jadinya, aku benar-benar minta maaf, tapi, eng..."

Yuigahama jadi benar-benar kebingungan saat berusaha menanggapinya. Ya ampun, memangnya ia karyawan yang habis dicecar pertanyaan oleh bosnya, apa?

Meski begitu, tanggapan Yuigahama tadi sepertinya punya efek yang sebaliknya. Dan Miura pun mengetuk-ngetuk kukunya ke meja dengan gaya yang menjengkelkan.

Dalam emosi tiba-tiba sang ratu, seisi kelas langsung jatuh dalam keheningan. Bahkan Oda dan Tahara (atau siapalah namanya) mengecilkan suara PSP-nya hingga di volume terendah. Hayama beserta komplotan lainnya dengan canggung menundukkan pandangan matanya ke lantai.

Yang terdengar hanyalah suara menggema dari kuku-kuku Miura yang mengetuk-ngetuk di atas mejanya.

"Yah, mana mungkin aku tahu soal urusanmu itu, ya 'kan? Kalau ada yang ingin kausampaikan, katakan saja. Kita ini teman, 'kan? Kau juga tahu sendiri, menyembunyikan sesuatu dari teman itu enggak baik. Aku benar, 'kan?"

Yuigahama segera menundukkan kepalanya.

Kata-kata Miura terlontar begitu saja dan apa adanya. Pada kenyataannya, ucapannya tadi tampak hanya ingin mempertegas arti persahabatan di antara dirinya dan Yuigahama. Mereka memang berteman, mereka memang bersahabat, jadi mereka boleh saling berbagi apa pun sesuka mereka. Tepatnya, itulah yang Miura maksudkan. Namun di balik kata-katanya barusan juga tersirat makna, Jika kau enggak mau berbagi denganku, berarti kita bukan teman. Melainkan, musuh. Ini merupakan Inkuisisi Spanyol yang terulang kembali.

"Maaf..."

Yuigahama masih menundukkan kepalanya sambil takut-takut memohon maaf.

"Bukan, bukan, bukan itu yang mau kudengar. Ada sesuatu yang tadi mau kausampaikan padaku, 'kan?"

Tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa berkata apa-apa saat dihadapkan pada pernyataan tersebut. Miura tak punya niat untuk mengobrol, bahkan ia tak mengajukan satu pun pertanyaan. Ia hanya ingin Yuigahama meminta maaf kemudian menyerang perempuan itu.

Tindakan yang sangat konyol. Jika ia mau saling bunuh seperti itu, setidaknya lakukan sewaktu tak ada orang.

Aku kembali menghadap ke depan, dan mulai memakan rotiku sembari mengutak-utik telepon genggamku. Aku mengunyah sedikit roti, kemudian kuteguk minumanku. Tapi entah kenapa... serasa ada yang mengganjal di kerongkonganku, dan itu bukanlah roti.

...memangnya ada apa, sih?

Jam makan siang harusnya jadi waktu yang menyenangkan. Memikirkannya malah seperti tokoh yang ada di manga Kodoku no Gourmet.

Jangan salah sangka. tak sedikit pun aku berniat menolong perempuan itu. Tapi ketika perempuan yang kita kenal hampir mau menangis di hadapan kita, itu bisa membuat perut teraduk-aduk dan selera makan langsung hilang. Aku hanya ingin menikmati makan siangku...

Dan juga, diserang seperti itu adalah hakku. Aku tak bisa begitu saja menyerahkan hakku pada orang lain.

Ah, dan satu hal lagi.

...aku benar-benar tak suka perempuan bispak itu.

Kursiku berderak, lalu dengan gagahnya aku bangkit dari kursiku.

"Hei, kau—"

"Berisik!"

—hentikan. Itulah yang mau kuucapkan. Tapi sebelum aku sempat mengatakannya, Miura sudah memancarkan tatapan iblis ke arahku.

"...tahu, tidak, kapan hujannya berhenti? Ka-kalau saja tadi aku bawa payung, ya, hahaha."

Ya Tuhan! Memangnya ia ular anaconda, apa?! Aku terpaksa menoleh ke belakang hanya untuk meminta maaf saja!

Aku pun kembali duduk karena depresi. Miura tampak sudah melupakan keberadaanku dan berlanjut memandang rendah kepada sosok Yuigahama yang telah berkecil hati.

"Asal kautahu, aku berkata begini itu demi kau, Yui. Tapi sikap plin-planmu itu benar-benar membuatku kesal."

Ia bilang itu semua demi Yuigahama, tapi ujung-ujungnya itu justru soal perasaan Miura semata. Kalimat yang diucapkannya tadi malah bertentangan dengan dirinya sendiri. Tapi Miura tak merasa kalau ini adalah hal yang bertentangan. Karena ia adalah ratu dari grup ini. Dan di dalam sistem feodal seperti ini, sang penguasa punya kekuasaan mutlak.

"...maaf."

"Begitu lagi?"

Dalam emosi yang bercampur antara marah dan pasrah, Miura menghela panjang napasnya. Hal yang begitu saja sudah cukup untuk membuat Yuigahama semakin berkecil hati.

Duh, sudahlah, hentikan saja. Apa ia tak begitu peduli dengan orang-orang yang menonton kejadian ini? Aku tak tahan lagi dengan suasana penindasan ini. Bisakah ia berhenti membuat orang-orang terpaksa menonton drama remaja yang dimainkannya ini?

Sekali lagi kuhimpun sedikit keberanian yang kupunya. Maksudku, bukan berarti mereka bisa tambah membenciku. Aku bisa menghadapi pertarungan ini tanpa risiko apa pun, jadi ini bukanlah situasi yang buruk bagiku.

Sewaktu aku berdiri dan menghadap ke belakang kelas, Yuigahama melihatku dengan mata berkaca-kaca. Dan seolah ia menunggu waktu yang tepat, Miura lalu bicara dengan dinginnya.

"Hei, Yui, kau sedang lihat ke mana? Kau tahu, dari tadi yang kaulakukan itu cuma meminta maaf saja."

"Ia bukan orang yang pantas kaumintakan maaf, Yuigahama."

YahariLoveCom v1-145.png

Suara yang menggema di seisi ruangan itu bahkan lebih dingin dan kejam dibanding suara Miura sebelumnya. Semua yang mendengarnya pun gemetar ketakutan. Suara itu bagai badai yang berhembus dari Kutub Utara, sekaligus begitu indah layaknya aurora.

Perempuan itu berdiri di sudut kelas, di depan pintu masuk, meski begitu, tatapan semua orang langsung tetuju ke dirinya seakan ia adalah pusat dari seluruh dunia.

Tak ada seorang pun di planet ini yang mampu bersuara seperti itu selain Yukino Yukinoshita.

Mendadak jadi lumpuh, kusadari diriku sudah dalam posisi setengah berdiri. Dibandingkan dengan hal tadi, upaya intimidasi Miura sebelumnya tampak seperti permainan anak kecil saja. Lagi pula, kalau Yukinoshita yang jadi lawannya, kesempatan untuk merasa takut saja kita takkan punya. Itu sudah di luar dari rasa takut, pada intinya, yang tertinggal hanyalah perasaan kalau kita baru saja melihat sesuatu yang begitu indah.

Kemudian, semua anak di kelas pun langsung terkesima pada perempuan itu. Di satu sisi, suara ketukan kuku Miura pada meja bahkan menghilang, dan ruang kelas pun jadi sunyi senyap. Tapi sesegeranya, suara Yukinoshita mulai memecah keheningan yang ada.

"Yuigahama. Kau sungguh terlalu, menyuruhku untuk menunggumu di suatu tempat dan hingga sekarang belum kunjung datang di waktu yang dijanjikan. Bukankah paling tidak kau mengirim pesan padaku terlebih dahulu bahwa kau akan telat?"

Mendegar itu, Yuigahama jadi tampak lega dan tersenyum. Ia mulai menuju ke arah Yukinoshita.

"...ma-maaf. tapi, eng, sebenarnya aku enggak punya nomor ponsel-mu..."

"...begitukah? Kurasa kau benar. Baiklah, aku tak sepenuhnya menyalahkanmu di sini. Kali ini kumaklumi saja."

Yukinoshita sepertinya tak peduli dengan yang sedang terjadi di sini, dan terus saja berbicara sesuka hatinya. Rasanya sedikit melegakan melihat ia dengan santainya beranjak pergi.

"Tu-tungu dulu! Kami ini sedang bicara!"

Miura tampak telah lepas dari kelumpuhannya, dan mengarahkan kegeramannya pada Yukinoshita dan Yuigahama.

Sang Ratu Api naik pitam, dan kobaran apinya semakin memanas.

"Ada apa? Aku tak punya banyak waktu untuk meladenimu. Aku masih belum menikmati makan siangku."

"Ha-hah? Kau sendiri yang tiba-tiba muncul, tapi malah enggak sadar dengan ucapanmu? Aku ini sedang bicara dengan Yui!"

"Bicara? Bukankah yang kaulakukan tadi hanya membentak? Itukah yang kaumaksud dengan bicara? Yang tampak bagiku, kau hanyalah berusaha membuat dirinya ketakutan dan memaksakan pendapatmu secara sepihak padanya."

"Ap—?!"

"Maaf, aku tak menyadari sebelumnya. Kuakui kalau aku tak begitu paham mengenai cara hidupmu, jadi jangan salahkan aku jika yang kaulakukan tadi kuanggap sama seperti primata yang berusaha mengintimidasi sesamanya."

Bahkan Sang Ratu Api pun membeku di hadapan Sang Ratu Es.

"Ooo..."

Miura menatap ke arah Yukinoshita, kemarahannya sudah tampak jelas terlihat. Yukinoshita sendiri justru mengalihkan pandangannya seolah tak peduli.

"Kau boleh mengeluh sesukamu dan bertingkah layaknya sang penguasa istana, tapi tolong lakukan itu di ranah pribadimu sendiri. Karena jika tidak, maka drama murahanmu itu akan hancur seiring memudarnya riasan di wajahmu."

"...eh, kau ini bicara apa? Aku sama sekali enggak paham."

Berbicara layaknya orang yang tak mau dianggap kalah, akhirnya Miura pun langsung kembali duduk di kursinya. Rambut ikal melingkarnya berayun-ayun sewaktu ia mulai menggebu-gebu mengetik di ponsel-nya.

Tak seorang pun mencoba bicara pada gadis itu dalam suasana seperti ini. Bahkan Hayama sekalipun yang biasanya pandai dalam menjaga suasana, hanya bisa menguap seolah berusaha membuyarkan kecanggungan yang ada.

Dan setelah kejadian itu berakhir, Yuigahama masih berdiri terpaku. Ia cengkeram erat keliman roknya dan seakan sedang ingin mengucapkan sesuatu. Yukinoshita mungkin sudah mengira maksud dari Yuigahama itu, karenanya, ia pun mulai beranjak pergi dari ruang kelas,

"Aku pergi dulu."

"Nan-nanti aku menyusul..."

"...lakukan apa yang mau kaulakukan."

"Baik."

Mendengarnya, Yuigahama lalu tersenyum. Namun cuma ia seorang saja yang tersenyum.

Hei, hei. Suasana macam apa ini... situasi begini benar-benar terasa tak nyaman, dan rasanya sesak kalau berlama-lama di sini. Dan tanpa kusadari, lebih dari separuh teman sekelasku sudah mulai pergi dari ruangan ini, dengan alasan kalau mereka haus atau sedang ingin ke kamar kecil. Yang masih tersisa hanyalah Hayama, Miura dan grupnya, serta beberapa anak yang masih diliputi rasa penasaran.

Kurasa aku harus mengambil kesempatan ini untuk mengikuti arus besar yang menuju pintu keluar! Serius, andai suasana di sini menjadi tambah kelam, bisa-bisa aku akan kehabisan napas kemudian mati.

Setenang mungkin aku mulai berjalan ke arah pintu dan berpapasan dengan Yuigahama. Dan di saat itu juga kudengar sebuah bisikan kecil.

"Terima kasih, sudah mau berdiri demi aku."


— II —


Ketika kutinggalkan ruang kelas, kulihat ada Yukinoshita di luar. Ia telah bersadar di tembok dekat pintu, melipat tangannya, dan memejamkan matanya. Mungkin dikarenakan aura teramat dingin yang dipancarkannya, hingga tak ada seorang pun berada di sekitarnya. Rasanya sunyi sekali.

Karenanya, aku dapat mendengar pembicaraan yang tengah berlangsung di ruang kelas.

[...eng, maaf. Kau tahu, aku jadi agak resah sewaktu enggak bisa mendekatkan diri sama orang lain... yah, anggap saja kalau aku selalu merasa was-was... mungkin kau jadi jengkel karena hal itu.]

[...]

[Eng... bagaimana bilangnya, ya? Aku memang selalu begitu. Bahkan dulu sewaktu aku dan teman-temanku bermain pura-pura jadi Ojamajo, aku ingin dapat peran Doremi atau Onpu, tapi anak lain juga menginginkannya, ujung-ujungnya aku malah dapat peran Hazuki... mungkin karena aku dibesarkan di komplek apartemen yang dipenuhi banyak penghuni, jadinya kupikir itulah sikap yang paling tepat...][2]

[Aku enggak paham kau bicara apa.]

[Ya-yah, begitulah, haha. Aku juga enggak begitu paham apa yang sedang kubicarakan... hanya saja, ketika aku melihat Hikki dan Yukinon, aku jadi menyadari sesuatu. Enggak ada seorang pun yang dekat dengan mereka, tapi mereka masih bisa bersenang-senang... mereka mengutarakan pemikiran masing-masing, dan anehnya, meski sering berselisih paham, mereka tampak cocok.]

Sesekali bisa kudengar suara mirip isakan dari dalam kelas. Setiap kali itu terdengar, bisa kulihat bahu Yukinoshita tersentak. Ia buka sedikit kelopak matanya dan berusaha mengetahui keadaan kelas hanya dengan melihat saja. Sungguh konyol, apanya yang bisa dilihat kalau dari sana? Jika ia memang cemas, ya masuk saja ke dalam. Perempuan ini sungguh tak jujur akan perasaannya sendiri, dasar...

[Setelah melihat hal itu, aku mulai berpikir kalau usahaku untuk selalu berusaha mendekatkan diri dengan semua orang itu ternyata salah... maksudku, Hikki tetaplah seorang Hikki. Sewaktu istirahat ia habiskan waktunya untuk membaca sambil terkikih-kikih... memang menjijikkan sih, tapi ia terlihat menikmatinya.]

Menjijikkan, katanya... dan saat Yukinoshita mendengarnya, ia langsung cekikikan.

"Kupikir hanya di ruang klub saja kau berkelakuan aneh begitu, tapi rupanya di ruang kelasmu pun kau tetap sama. Sungguh perilaku yang menjijikkan, sebaiknya kau hentikan itu."

"Kalau kau memang menyadarinya, ya beri tahu aku, dong..."

"Mana mungkin aku mau. Siapa pula yang sudi menegurmu saat kau bersikap semenjijikkan itu?"

Kucoba untuk lebih berhati-hati mulai dari sekarang. Aku takkan membaca 'light novel' bersama 'sang dewi iblis' lagi di sekolah.

[Jadi kupikir, mungkin aku enggak mesti berusaha sekeras itu dan lebih santai menghadapinya... atau semacam itu, lah. Bukan berarti aku membencimu, Yumiko. Setelah ini... kita masih bisa... akrab lagi, 'kan?]

[...hmm. Ya, sudah. Terserah saja. Aku juga enggak masalah.]

Kudengar suara Miuna menutup ponsel-nya.

[...sekali lagi maaf. Terima kasih.]

Dengan berakhirnya hal itu, pembicaraan di dalam ruang kelas lalu terhenti, dan kudengar suara ketukan sepatu Yuigahama yang berjalan mendekati kami. Seakan itu sebuah sinyal, Yukino pun berhenti bersandar dan menegakkan badannya.

"...apa kubilang. Kau mampu melakukannya, 'kan?"

Untuk sesaat, aku sempat terkejut oleh sekilas senyuman yang tersungging di wajah Yukinoshita.

Itu memang sebuah senyuman, tulus dan sederhana, tanpa menyiratkan ejekan, sarkasme ataupun penyesalan.

Meski begitu, senyuman itu segera sirna, dan ekspresi Yukinoshita kembali seperti sedia kala, ekspresi yang dingin. Sewaktu kupandangi senyumannya, Yukinoshita pun segera berjalan dan beranjak ke sisi lain ujung lorong, tanpa memerhatikanku sama sekali. Mungkin ia hendak menuju ke tempat yang ia janjikan bersama Yuigahama.

...baiklah, apa yang harus kulakukan di sini? Aku mulai berjalan menjauh, tapi di saat bersamaan, pintu ruang kelas pun terbuka.

"Eh? Ko-kok Hikki bisa ada di sini?"

Tubuhku jadi benar-benar membeku, tapi aku masih bisa mengangkat tangan kananku sambil memberinya salam dengan harapan supaya bisa kabur dari situasi ini. Saat menatap Yuigahama, kulihat semakin lama wajahnya semakin memerah.

"Kau mendengarnya, ya?"

"De-dengar apa, ya...?"

"Kau tadi mendengarnya, 'kan? Kau tadi menguping, 'kan?! Menjijikkan! Penguntit! Maniak! Eng, eng... sangat menjijikkan! Enggak kusangka! Benar-benar menjijikkan. Kau memang... sangat menjijikkan."

"Tunggu sebentar! Biar kujelaskan!"

Maksudku, aku yang begini pun bisa merasa sedih kalau dihujani cacian sebanyak itu. Dan tak perlu ia tegaskan bagian terakhirnya itu dengan wajah serius. Sial... rasanya kini aku benar-benar terluka.

"Huh... sudah telat penjelasannya. Memangnya kaupikir ini salah siapa? Dasar bodoh."

Yuigahama lalu menjulurkan lidahnya yang berwarna sakura itu di depanku, dan ia segera berlari setelah memprovokasiku dengan sikap menggemaskannya itu. Memangnya ia anak SD, apa? Jangan lari-lari di lorong.

"Salah siapa... itu salah Yukinoshita, 'kan?"

Aku jadi berbicara sendiri. Aku memang sendirian, jadi itu hal yang wajar.

Saat kuperhatikan jam yang menempel dinding, kulihat hanya sedikit saja waktu istirahat yang masih tersisa. Jam makan siang yang begitu mendahagakan itu baru saja berakhir. Mungkin aku harus membeli Sportop untuk menghilangkan dahaga ini, baik yang ada di kerongkonganku maupun di hatiku.

Sewaktu aku menuju ke mesin penjual minuman, tiba-tiba saja terlintas sesuatu

Otaku punya komunitasnya sendiri, jadi mereka bukanlah penyendiri.

Dan untuk menjadi seorang riajuu, kita harus selalu peka terhadap jenjang sosial dan pemilahan kekuasaan, karenanya, hal tersebut sangatlah sulit.

Jadi pada akhirnya, akulah satu-satunya yang tetap sendiri. Tak perlulah Bu Hiratsuka mengisolasi diriku, karena sebenarnya, aku pun sudah terisolasi di kelasku sendiri. Maka dari itu, tak ada gunanya pula sampai capek-capek mengisolasiku di Klub Layanan Sosial.

...kesimpulan yang begitu mengecewakan. Kenyataan memang terlalu kejam.

Satu-satunya yang terasa manis dalam hidupku hanyalah rasa dari Sportop ini.



Catatan Penerjemah[edit]

  1. Dalam LN aslinya Hachiman membandingkan antara kalimat 後の祭り, ato no matsuri dengan 祭りの後, matsuri no ato, yang merupakan sebuah ungkapan, yang jika dalam Bahasa Indonesia mirip seperti ungkapan 'nasi sudah menjadi bubur', yang menandakan sesuatu yang sudah terlambat.
  2. Mengacu pada serial Ojamajo Doremi.
Mundur ke Bab 3 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 5