Oregairu (Indonesia):Jilid 3 Bab 6

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 6: Awal si Pria dan si Wanita Akhirnya sudah Berakhir[edit]

Ketika aku kembali ke ruang klub dan melihat ke luar jendela, matahari senja sudah perlahan-lahan terbenam ke dalam Teluk Tokyo. Suatu tirai kegelapan sedang ditarik ke arah timur, seakan mencuci bersih warna biru indigo samar itu.

“Tapi sekarang apa yang harus kulakukan, yah…? Aku bahkan memanggang sebuah kue dan segalanya,” kata Yukinoshita dengan suatu helaan selagi dia melihat ke langit persis seperti yang kulakukan.

Dia benar – sudah hampir waktunya sekolah berakhir untuk hari ini. Loncengnya mungkin akan berbunyi persis saat kami memotong kuenya.

Sebagai responnya pada Yukinoshita, Yuigahama memiringkan kepalanya ke samping dengan tampang heran di wajahnya. “Kue? Kenapa ada kue?”

“Kenapa, kamu tanya…? Oh, Aku masih belum memberitahumu. Aku memanggilmu kemari untuk merayakan hari ulang tahunmu, Yuigahama-san.”

“Huh?”

“Yuigahama-san, kamu sudah tidak datang untuk aktivitas klub akhir-akhir ini… jadi er, Aku ingin memberitahumu untuk terus berusaha keras – sesuatu semacam itu,” Yukinoshita yang merona berkata sambil terbatuk kecil. Ahem. “Dan juga, yah… Aku rasa kamu juga bisa menyebutnya sebuah tanda terima kasihku.”

Selagi suara Yukinoshita mengecil, Yuigahama melompat dan memeluknya.

“…Yukinon, kamu ingat hari ulang tahunku.”

Er, daripada mengatakan dia mengingatnya, itu lebih kepada dia hanya menebaknya dari nomor teleponmu.

Tapi Yuigahama sedang perlahan-lahan jatuh ke dalam kelinglungan penuh kebahagiaan, tidak terlalu perduli tentang detil-detilnya.

“Tapi sepertinya hari ini tidak bisa,” kata Yukinoshita selagi dia melepaskan Yuigahama darinya dengan kecanggungan khasnya.

Yuigahama agak melawan, tapi kemudian dia memukulkan tangannya pada telapak tangannya seakan menyadari sesuatu. Melihat kesempatannya, Yukinoshita buru-buru menyelip pergi dari cengkraman Yuigahama.

“Kalau begitu ayo pergi ke tempat lain,” kata Yuigahama. “Di luar sekolah.”

“Eh? Waktu kamu bilang di luar, apa kamu maksud…?” Yukinoshita sedikit ragu-ragu akan usulan yang tiba-tiba itu.

Tapi Yuigahama menenangkannya dengan kata nah, nah dan mengedip dengan cara yang hampir pasti mengatakan serahkan saja padaku. “Aku ada memesan waktu di suatu tempat sebelumnya dan semacamnya, jadi tak usah kuatir, tak usah kuatir. Aku hanya sangat senang sekali kamu membuat kue untukku.”

“Bukan hanya ada kue…”

“Ja-jangan bilang aku dapat hadiah juga?!” Yuigahama melihat ke arah Yukinoshita dengan mata berbinar-binar. Yukinoshita baru saja menghentikan pelukan Yuigahama, tapi Yuigahama sudah menutup jaraknya sekali lagi.

Waswas akan dilompati lagi, Yukinoshita menjawab pertanyaan Yuigahama. “Yah, benar… tapi tidak seperti hanya aku saja yang menyiapkan sesuatu,” katanya selagi dia melemparkanku suatu pandangan menyamping.

“Jadi… itu berarti…”

Dia mungkin telah menebak arti di balik kata-kata Yukinoshita. Yuigahama menghimpun senyuman yang samar dan kesusahan.

“Oh, hahaha. Aku benar-benar tidak pernah menyangka Hikki akan membelikanku hadiah juga. Itu hanya, kamu tahu, sudah agak canggung… sejak hari itu.”

Mata kami bertemu. Tapi kami berdua sama-sama memalingkan pandangan kami.

Ketika Yukinoshita bersama dengan kami, dia bisa berpura-pura tidak menyadari kecanggungannya dan cukup membiarkan keadaannya menggantung.

Tapi sekarang setelah dia melirikku dengan penuh tanda tanya, telah menyadari bahwa sesuatu pasti telah terjadi, aku ingin tahu bagaimana untuk bergegas dan menyelesaikan masalahnya ini. Biasanya, dia sepenuhnya tidak terlibat, tapi anehnya, dia memilih untuk ikut campur sekarang.

Menarik keluar satu bungkusan kecil dari tas sekolahku, aku dengan santai melemparkannya ke arah Yuigahama.

“…nah, itu tidak seperti hanya untuk ulang tahunmu saja atau apa,” sebutku.

“Huh?”

Bahkan selagi aku berdiam dalam suasana yang anehnya mencekik ini, hanya menuturkan sesuatu saja sudah cukup untuk membuat persoalannya bergerak ke arah yang pasti.

“Aku ada berpikir sedikit. Bagaimana aku mengatakannya? Kita akan menyebutnya impas dengan ini, oke? Aku menyelamatkan anjingmu, kamu bersusah payah demiku – itu semua biarkanlah berlalu,” kataku pada Yuigahama, dan kemudian tanpa melihat reaksinya aku meneruskan tanpa berhenti untuk bernafas. “Maksudku, benar-benar tidak ada alasan untukmu untuk mengkhawatirkanku. Aku mendapat kompensasi dari perusahaan yang dimasuki orang yang menabrakku, ditambah lagi si pengacara dan si supir kelihatannya datang untuk meminta maaf. Jadi dari awalpun kamu tidak terlibat di dalamnya. Sama dengan perasaan simpati ataupun keprihatinanmu.”

Setiap kali aku memaksakan sepatah kata dari mulutku, suatu tekanan yang tak tertahankan menghantamku, seakan suatu tangan yang tak terlihat telah meraih cengkramannya pada hatiku. Tapi jika aku tidak mengucapkan apa isi pikiranku, ini tidak akan pernah diizinkan untuk berakhir.

“Selain itu, Yuigahama, itu tidak seperti aku menyelamatkan anjingnya karena kamu.”

Untuk sesaat, Yuigahama melihat ke arahku dengan kesedihan yang dalam di matanya, tapi kemudian dia segera melemparkan pandangannya ke lantai.

“Itu tidak seperti aku ada membuat kebaikan khusus, jadi kamu tidak perlu bersikap baik denganku sebagai balasannya. Tapi, yah, bagaimana aku mengatakannya…? Aku ingin membayarmu kembali untuk semua kekhawatiran yang telah kamu berikan untukku. Dengan ini kita kembali ke titik nol lagi dan kita impas. Kamu tidak perlu menguatirkanku lagi. Jadi kita akan mengakhirinya di sini,” aku menyelesaikannya, sambil membuat helaan berat.

Dadaku terasa ketat.

Jika segalanya diutarakan dengan terang-terangan, maka kita akan bisa mengakhiri segalanya – termasuk kesalah-pahaman yang menyakitkan dan mekanisme pertahanan-diri yang salah arah. Walau, mungkin bahkan inipun adalah suatu kesalah-pahaman yang menyakitkan dan suatu mekanisme pertahanan-diri yang salah arah.

Tidak mampu melirik ke arah ekspresi Yuigahama, aku hanya bisa melihat mulutnya yang terkatup dengan erat.

“…kenapa kamu harus berpikir seperti itu? Aku tidak pernah sekalipun berpikir bahwa aku… bahwa aku merasa bersalah padamu atau bahwa aku sedang bersusah payah demimu atau apa. Aku hanya, aku…”

Suara bisikan pelannya sedang bergetar. Yukinoshita dan aku hanya mendengarnya dengan hening. Bagi kami berdua, yang tidak memiliki kemampuan untuk meresponnya, itu saja semua yang mampu kami lakukan.

Suatu kegelapan yang samar menyembul di sudut ruangan. Tidak akan lama lagi sampai matahari terbenam.

“Wow, ini sudah menjadi sulit dan aku tidak benar-benar mengerti lagi… Aku pikir itu akan lebih sederhana dari ini…”

Suara Yuigahama sedikit lebih riang dari yang sebelumnya. Tapi karena dia telah memaksakan kata-kata keluar dari mulutnya, kata-kata itu melayang di udara, suatu permohonan bantuan bisu.

“Itu tidak sesulit yang mungkin kamu bayangkan.”

Yukinoshita berdiri dengan punggungnya menghadap matahari yang terbenam. Hembusan angin laut meniup masuk dari jendela yang terbuka, membuat rambutnya berayun.

“Hikigaya-kun tidak ingat pernah membantumu, dan kamu tidak ingat pernah mengasihaninya, Yuigahama-san… itu semua salah kaprah dari awal.”

“Yah, benar,” jawabku, dan Yukinoshita mengangguk.

“Memang. Jadi aku percaya pilihan Hikigaya-kun untuk ‘mengakhirinya di sini’ itu benar.”

Karena awalnya itu semua salah kaprah, itu masuk akal bahwa hasilnya juga semua salah kaprah. Tidak peduli perasaan apa yang muncul padaku, jawabannya pasti tidak akan berubah.

Palsu. Itu akan sama saja karena perasaan itu palsu. Meskipun perasaan itu sesuatu yang spesial.

Perasaan yang tumbuh dari kecelakaan yang kebetulan, menjadi objek simpati berkat mengorbankan diri, cinta yang mungkin bisa lahir tidak peduli siapa yang menyelamatkannya – Aku tidak dapat mengakui semua ini sebagai perasaan yang asli.

Jika aku menyelamatkannya tanpa mengetahuinya bahwa siapa dirinya, kemudian dia diselamatkan olehku, tidak peduli bahwa siapa diriku. Kalau demikian, perasaan dan kelembutannya itu tidak diarahkan padaku. Mereka diarahkan pada seseorang yang menyelamatkannya.

Itulah mengapa hal terakhir yang kuinginkan adalah suatu kesalah-pahaman.

Aku sudah cukup dengan egois berpikir aku pantas menerima perlakukan khusus dan sudah cukup dengan egois merasa kecewa.

Aku tidak akan mengharapkan apapun dari awal, juga aku tidak akan mengharapkan apapun setelahnya. Aku tidak akan mngharapkan apapun, bahkan sampai hari aku meninggal.

Sepanjang semua itu, Yuigahama terus terdiam, tapi setelah sejenak dia menggugamkan sesuatu dengan sedih.

“Tapi untuk mengakhirinya di sini… Aku tidak menginginkannya.”

“…kamu bodoh. Jika itu berakhir, kenapa tidak memulainya lagi? Kalian berdua tidak ada yang salah.”

“Huh?” tanyaku tanpa kusengajai sebagai respon akan kata-kata yang tak terduga itu.

Mendengar itu, Yukinoshita menjentikkan rambutnya ke belakang bahunya, dengan suatu ekspresi kalem di wajahnya.

“Tidak peduli siapa yang menyelamatkan siapa, kalian berdua sama-sama korban, bukankah begitu? Kalau begitu, kalian sepatutnya menyalahkan semuanya pada sang pelakunya. Dan jadi…”

Yukinoshita memotong kata-katanya untuk sesaat. Pada momen singkat itu, Yuigahama dan aku menatap satu sama lain.

“Kalian bisa membuat awal yang baru dengan benar… itu tidak di luar kemampuan kalian berdua,” kata Yukinoshita dengan senyuman lembut – tapi juga agak kesepian di bibirnya.

Di tengah-tengah sinar matahari terbenam ini, aku tidak memiliki cara untuk mengetahui apa yang terpantul di balik mata setengah-tertutupnya.

“Aku harus melapor pada Hiratsuka-sensei bahwa kita sudah mengisi kekosongan anggotanya,” kata Yukinoshita seakan tiba-tiba menyadari sesuatu, mendadak berpaling dengan canggung.

Langkah kaki Yukinoshita sedikit lebih cepat dari biasanya. Persis seperti itu, dia berjalan keluar dari ruangannya tanpa sekalipun melihat ke belakangnya.

Sekarang hanya tinggal Yuigahama dan diriku. Aku rasa itu hal yang bagus Yukinoshita dapat mengatakan apa yang ingin dia katakan, tapi dia benar-benar tidak harus meninggalkan kami dalam suasana canggung ini.

Yuigahama melirik ke arahku dari samping, mencari timing yang tepat sendirian, dan kemudian dia berbicara padaku, seakan dengan lembut mencoba untuk memastikan sesuatu.

“Er, um, A-Aku harap aku akan menjalani waktu yang indah di sini.”

Setelah mengucapkan kalimat umum tersebut, dia membungkukan kepalanya dengan satu gerakan singkat.

“Oh, oke…” Aku tidak mengerti waktu indah apa yang sedang dia bicarakan.

Sesuatu masih membuatku gelisah entah kenapa. Itu seperti perasaan diejek oleh Yukinoshita. Berdebat hanya karena mau berdebat itu keahlianku, tapi untuk dipikir talentaku dicuri dariku…

Selagi dia tertawa dengan cara yang tegang, Yuigahama menyodok punggungku tanpa henti.

“…hei, bolehkah aku membuka ini?”

“Lakukan sesukamu.”

Sekarang setelah aku sudah menyerahkannya pada dia, Yuigahama memiliki hak untuk melakukan apa yang dia inginkan padanya. Namun, dia tetap bersikeras meminta izinku dan segalanya. Setelah dia membuka kertas kadonya dengan hati-hati, matanya melebar dan sebuah helaan menyelip keluar darinya.

“Whoa…”

Itu dianyam bersama dengan banyak untaian kulit hitam dan ada satu kepingan nama di tengah. Itu seharusnya terlihat bagus dengan rambut coklat. Itu pilihan yang cukup bagus jika kubilang sendiri. Aku tidak sia-sia dipaksa membeli hadiah untuk hari ulang tahun Komachi selama semua tahun-tahun panjang ini. Aku memiliki reputasi yang lumayan menjadi kaki tangan adikku.

Seakan mengetahui pilihan pakarku itu saja sudah memuaskan baginya, Yuigahama memandang pada hadiahnya dengan mata penuh suka cita.

“Tu-tunggu dulu sebentar,” kata Yuigahama selagi dia berpaling dan menghadapkan punggungnya padaku. Tiga detik bahkan belum berlalu saat dia menyentuh belakang rambutnya dan mengangkat kepalanya. “Ka-kamu rasa terlihat bagus padaku?”

Selagi dia berdiri di hadapanku, memalingkan matanya dengan sedikit malu-malu. Aku dapat melihat kulit hitam itu menghiasi kulit putih di leher Yuigahama. Rambut coklatnya selagi ia memantulkan sinar senja berkontras dengan warna hitamnya dengan suatu cara yang lumayan indah – dan ya, itu memang terlihat sangat bagus padanya.

Namun, ini masihlah agak sulit untuk dikatakan, tapi…

Oh yah, aku lebih baik memberitahunya langsung ketika mengenai sesuatu seperti ini.

“Er… um, itu ikat leher anjing, kamu tahu…”

Namun, aku harus bertanya-tanya mengapa itu terlihat begitu bagus padanya…

“Huh?”

Yuigahama berubah merah terang di depan mataku.

Dia memberungut. “Ka-kamu seharusnya mengatakannya sebelumnya! Bodoh!” teriak Yuigahama selagi dia melemparkan kertas kadonya padaku.

YahariLoveCom v3-243.jpg

Er, tidakkah dia tahu dengan melihatnya saja? Yah, terserahlah, dia bisa menyesuaikan ukurannya…

“Ugh, terserahlah… Aku akan pergi menelepon tempat yang akan kita kunjungi!”

Selagi dia mendengus marah, Yuigahama melepaskan ikat lehernya dan menerjang keluar dari ruang kelas. Tapi ketika dia membuka pintunya, dia berhenti di tempat.

“…terima kasih, idiot.” Yuigahama melemparkan kata-kata perpisahannya padaku tanpa melihat ke arahku, sebelum menghantamkan pintunya. Aku tidak dapat berkata-kata.

“…astaga.”

Selagi aku membuat helaan yang dalam dan berat. Aku melihat sekeliling jendela ruang kelas yang sekarang sudah kosong. Yukinoshita berdiri di sana baru sesaat yang lalu.

Itu bahkan tidak sampai dua meter di antara dimana Yukinoshita berdiri dan tempat duduk yang diduduki Yuigahama dan aku. Namun untuk beberapa alasan, itu sulit untuk melintasi jarak yang menjulang itu, dan aku dapat merasakan suatu garis yang tidak terlihat tergambar disana.

Itu tidak akan lama sebelum kami berdua menyadari apa persisnya yang berdiri di antara kami – atau daripada itu, kamu bisa bilang, kebenarannya.


Mundur ke Bab 5 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Catatan Penulis

Catatan Translasi[edit]