Oregairu (Indonesia):Jilid 4 Bab 6

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 6: Karena Silap, Hikigaya Hachiman tidak Memiliki Pakaian Renang[edit]

6-1[edit]

Aku mendapat sebuah mimpi.

Tangan yang lembut dan mungil menggoyang tubuhku dengan teramat hati-hati. Lewat pandangan samar dari diriku yang sedang tertidur, aku dapat merasakan kehangatan tubuh pada kulitku. Suara yang manis memanggil namaku, terdengar sedikit gugup.

Dalam benakku, itu adalah mimpi yang sangat bahagia.

Tapi aku tahu itu hanyalah sebuah mimpi. Adikku biasanya tidak pernah membangunkanku, dan bahkan orangtuaku jauh lebih mungkin sudah meninggalkan rumah sebelum aku membuka kelopak mataku. Yang selalu membangunkanku dari mimpiku adalah alarm ponselku yang kejam dan tidak manusiawi.

Maka dari itu, hatiku dan tubuhku sama-sama menarik kesimpulan bahwa ini adalah sebuah mimpi.

“Hachiman, sudah pagi. Bangun…” kata suara itu berulang-ulang.

Karena tubuhku digoyang terus menerus, kelopak mataku akhirnya terbuka perlahan. Cahaya pagi itu menyilaukan. Totsuka menyeringai padaku dari balik cahaya tersebut, senyumannya agak takjub.

“Kamu akhirnya bangun… selamat pagi, Hachiman.”

Terdapat jeda yang panjang.

“Ya,” sahutku pada akhirnya.

Pemandangan ini terasa begitu tidak nyata sampai membuatku linglung. Cahaya matahari yang putih bersinar lewat jendela dan burung gereja serta burung sanma[1] berkicau di luar.

“Huh…”

Apa ini adegan pagi-setelah xxx tersebut?ǃ Apa aku sudah melewati yang di balik garis pembatas, garis yang tidak boleh dilewati tersebut?! [2]

Saat aku kelinglungan, Totsuka melepas sprei kasurnya dan mulai melipatnya.

“Kamu tidak akan sempat sarapan kalau kamu tidak bergegas.”

Saat aku menerima info lebih, aku mulai menangkap situasinya. Ya, ternyata aku datang mengikuti perkemahan. Dan di sini aku malah merenungkan kapan persisnya kami mulai hidup bersama.

Setelah aku bergeliat keluar dari kasurku, aku mengikuti tindakan Totsuka tadi dan melipat kasurku. “Mana yang lain?”

“Hayama‐kun dan Tobe‐kun pergi duluan. Kamu kelihatan masih belum mau bangun tadi, Hachiman…” Dia melihatku dengan mata yang agak menyalahkan.

Apa perasaan bersalah yang muncul ini…? Aku tidak pernah meminta maaf seperti seorang rakyat Jepang yang rendah hati karena telat datang ke sekolah atau ke tempat kerja atau semacamnya, tapi hanya sekali ini, aku bersikap seperti GEISHA HARA-KIRI GUNUNG FUJI[3]. Maksudku, kamu tidak bisa mengatakan ‘geisha’ tanpa mengatakan ‘gay’.

“Maaf…” Aku meminta maaf dengan terang-terangan, setelah tadi merenungkan dalam-dalam tindakanku.

Tapi Totsuka masih cemberut. “Tahu tidak, Hachiman, jadwalmu benar-benar kacau selama liburan musim panas.”

“Y‐ya. Er, kurasa.”

“Kamu tidak berolahraga atau semacamnya.”

“Ya, benar. Aku benar-benar tidak ada niat melakukannya. Karna cuacanya panas.”

“Bukankah itu tidak baik untuk tubuhmu? Kamu sebaiknya sedikit berol‐ oh, aku tahu. Ayo kita kapan-kapan main tenis,” saran Totsuka dengan ceria.

“Oh, kamu mau main, huh? Panggil aku kalau kamu mau melakukannya.” aku menuturkan kalimat standar yang selalu orang katakan saat mereka diajak melakukan sesuatu. Ketika kamu berada di pinggiran masyarakat, kurasa orang akan mengajakmu hanya supaya sopan.

Itu seperti, “Oh… jadi kita pergi?” Pak, aku benar-benar berharap mereka tidak melakukannya. Aku tidak perlu itu. Ketika mereka mengajakku, aku akhirnya akan membuat jawaban yang asal-asalan hanya supaya sopan juga.

Hanya sedikit pengetahuan umum: Orang yang mengatakan “panggil aku kalau kamu mau melakukannya” ketika mereka diajak melakukan sesuatu itu hampir tidak akan diajak lagi. Sumberː diriku.

Aku melihat ke arah Totsuka dengan tak sabar, menunggu hukum tersebut untuk bekerja.

“Oke, kamu yang bilangǃ Aku pasti akan memanggilmu!”

Tapi kali ini, kelihatannya aku aman. Jawaban Totsuka yang riang membuatku merasa tenang.

Aku tidak dapat menemukan alasan apapun untuk menolak mentah-mentah ajakan dari seorang lelaki. Maksudku, kalau aku mendapat telepon dari Zaimokuza dengan semacam ajakan, itu lain cerita. Tapi selain melakukan sesuatu untuk Komachi, aku tidak ada rencana lain. Jadwalku begitu kosongnya sampai aku akan menang telak kalau muncul sebuah perlombaan “Seberapa Banyak Waktu Senggang yang Kamu Miliki?”. Aku jarang diajak kemanapun, dan aku sudah pasti tidak pernah mengajak siapapun untuk jalan-jalan denganku selain saya, diriku dan aku.

Aku bersumpah tidak akan pernah mengajak siapapun untuk jalan-jalan denganku semenjak waktu SMP ketika Ooiso-kun menolakku lewat telepon mengatakan dia ada tugas di rumah, tapi ketika aku pergi ke pusat permainan sendirian, aku menemukannya dan Ninomiya-kun di tempat karaoke sebelah. Maksudku, kamu tahu bukan. Menolak orang lain juga menyakitkan. Itu caraku untuk bersikap baik, tahu.

“Baiklah, kalau begitu ayo kita makan dulu?” tanyaku.

“Tentu. Er, uh… aku tidak tahu alamat emailmu, Hachiman…”

Oh, iya. Hal itu terselip dari pikiranku karena aku hanya memakai ponselku sebagai penghabis waktu dan jam alarm, tapi Totsuka dan aku masih belum bertukar alamat email.

Jadi sekarang aku akhirnya bisa mendapatkan alamat email Totsuka, huh…? Dengan terjangan emosi, aku mengeluarkan ponselku dan segera membuka layar kontak.

“Huh?! H‐Hachiman, kenapa kamu menangis?!”

“Oh, tidak kenapa-kenapa. Cuma menguap saja.”

Kelihatannya aku menangis karena terharu.

“Oh, iya. Kamu baru saja bangun. Oke, beritahu aku alamatnya.”

“Ini.” Aku menunjukkannya alamatku.

“Er, uh…”

Totsuka memegang ponselku dengan ponselnya dan menekan hurufnya satu per satu, seakan dia tidak begitu mahir dengan mesin. Aku sedikit kuatir melihatnya menggugamkan hal-hal seperti, “Oh, huh? Apa ini benar? Seperti ini?” dari waktu ke waktu selagi dia terus menekan. Kalau dia salah menyimpan alamat emailku dan pesannya tidak sampai padaku, aku akan merasa sedih tiada akhir.

“Oke, selesai… kurasa. Aku akan mengirim pesan untuk mengetesnya,” kata Totsuka selagi dia sekali lagi mulai menekan ponselnya dengan kecepatan yang menyakitkannya lamban. Sementara itu, dia memiringkan kepalanya dan kemudian mengganguk sekali setelah dia memikirkannya sejenak. “Sudah kukirim.”

“Ohh, terima kasih.”

Beberapa detik setelah dia mengucapkannya padaku, ponselku berbunyi.

Achievement unlocked: Alamat email Totsuka [4]! (Tos dulu!)

Pak, ini hebat sekali. Sekarang aku hanya perlu menyimpan nomornya, pikirku selagi aku membuka pesan yang masuk.

Subjek: halo ini saika

Isi: hachiman, selamat pagi. ini pesan pertamaku. semoga kita menjadi teman yang lebih baik lagi mulai sekarang!

Segera setelah pandanganku jatuh pada untaian kata-kata tersebut, sesuatu yang hebat terjadi pada jantungku. Tanpa peringatan, aku mendadak terbatuk keras.

“Hkkkkk! Gaaaaaah!”

“Hachiman?! A-ada apa?! Apa kamu baik-baik saja?!” Totsuka mulai menepuk punggungku dengan panik.

Waah, meskipun tangannya begitu mungil, tangannya terasa begitu lembut dan hangat…

“A-aku sudah membaik…”

“Baguslah…”

Setelah aku akhirnya sembuh, Totsuka menatap ke arahku seakan dia belum cukup yakin dengan apa yang kukatakan. Untuk mengalihkannya, aku tersenyum padanya dengan ceria. “Oke, ayo kita sarapan sekarang.”

“Oh, oke.”

Aku mendorong punggung Totsuka untuk mendesaknya selagi aku berjalan bersamanya.

Aku cukup yakin dia sedang memikirkan tentang isi pesannya ketika dia memiringkan kepalanya tadi. Talenta berbahasa Totsuka begitu menabjubkan jika dia bisa mengubah pesan yang begitu sederhana itu penuh dengan keimutan. Seseorang beri dia medali.

Omong-omong, waktunya untuk menyimpan pesan ini untuk anak cucuku. Dan juga, waktunya untuk menetapkan nada panggilan khusus untuk setiap kali aku menerima pesan dari Totsuka serta membuat folder cuma-Totsuka-saja pula. Aku sebaiknya membuat backup-nya di komputerku untuk berjaga-jaga.

6-2[edit]

Tidak ada lagi tanda-tanda anak SD di ruang makan dalam rumah tamu tersebut. Hanya Hiratsuka-sensei dan orang-orang biasa yang hadir.

“Selamat pagi.”

“Mm. Pagi,” jawab Hiratsuka‐sensei selagi dia menaruh korannya dengan suara twack keras.

Pak, kamu tidak akan menemukan pemandangan seperti itu sekarang ini. Aku merasa rindu dengan zaman era Showa.[5]

Ketika Totsuka dan aku duduk pada sepasang kursi yang kosong, Yuigahama berada tepat di depan kami. “Oh, Hikki. Selamat pagi!”

“Mmm.”

Yuigahama menyapaku dengan ucapan “selamat pagi” yang umum. Entah kenapa, aku tahu “Yahallo” bukanlah sebuah sapaan pagi. Mungkin kamu mengucapkannya setelah lewat siang hari.

Yuigahama duduk di samping Yukinoshita, yang duduk di samping Komachi. Komachi juga menyapa kami, namun persis setelahnya dia berdiri dan bergegas ke tempat lain.

Kalau Yukinoshita, dia bertukar sapaan dengan Totsuka sebelum memalingkan matanya padaku. “Selamat pagi. Ternyata kamu bangun juga…”

“Hei, jangan melirik ke bawah seakan kamu merasa kecewa. Selamat pagi,” Aku menyahut dengan sapaan kaku. Aku mendapat kesan aku diperingkatkan lebih rendah dari sampah di matanya. Apa lagi yang baru?

Seseorang meletakkan nampan di depanku dengan suara clang.

“Haiii, maaf membuatmu menunggu. Ada satu untuk Totsuka-san juga!”

Kelihatannya Komachi pergi mengambilkan sarapan untuk kami. “Terima kasih.”

Aku berterima kasih padanya seperti yang orang lakukan di McDonald. Singkatnya, orang yang melayanimu berkata, “Ada yang bisa saya bantu?” dan kemudian “Apa mau ditambah kentang goreng?” dan kemudian akhirnya menyelesaikannya dengan sebuah ucapan “Terima kasih”. Terakhir penjelasannya malah menjadi panjang lebar.

“Te-terima kasih… oke, itadakimasu,” kata Totsuka.

Mengikutinya, aku menepuk tanganku bersama. Kami bukan sedang melakukan latihan atau semacamnya – hanya doa biasa sebelum makan. “Itadakimasu.”

Jujur saja sarapannya sangat mirip masakan rumah: nasi putih, sup miso, ikan goreng dan salad, telur dadar, natto, perasa rumput laut, bumbu, dan jeruk untuk penutup. Hidangan ini kurang lebih cocok dengan bayanganku akan sarapan umum hotel.

Bersantap dengan hening, aku segera menyadari bahwa ada kekurangan nasi putih. Aku menghitung bahwa natto dan perasa rumput laut saja butuh dua mangkuk nasi. Ditambah lagi, telur mentah membutuhkan satu mangkuk penuh dari cara mereka menyajikannya pada tempat penginapan tradisional, yang benar-benar menjengkelkan.

Saat aku melirik pada mangkuk nasiku yang hampir kosong, suara Komachi memanggilku. “Onii‐chan, kamu mau tambuh?”

“Ya, tolong.”

Aku menyerahkan mangkukku. Untuk beberapa alasan, Yuigahama yang menerimanya.

“A-Aku akan mengambilkannya untukmu!” Dia mulai mencedok nasi dari wadah kayu tersebut dengan semangat, bersenandung seakan dia merasa ini semua menyenangkaɲ. “Silahkan!”

Oh wow. Dia memberiku segunung nasi yang tidak akan terlihat aneh dalam dongeng rakyat Jepang[6]. Yah, terserahlah. Aku memang berpikir ingin tambuh, jadi aku tidak mengeluh. “Terima kasih…”

Dengan penuh khidmat, aku membiarkan mangkuk tersebut disodorkan pada tanganku dan aku mengangkatnya setinggi dahi untuk berdoa. Hanya setelahnya aku mulai makan untuk yang kedua kalinya.

Tapi (kejutan, kejutan!) kali ini nasinya lezat sekali.

Sekarang setelah semua orang menyantap sarapan mereka, aku menyelesaikan sarapanku dengan menyesap teh. Sama sepertiku, Totsuka memuji kokinya dan meraih teh dengan laju yang agak pelan dan santai.

Selagi kami tanpa kerjaan mengobrol mengenai hal-hal yang terjadi semalam dan apa yang akan terjadi hari ini, Hiratsuka‐sensei mulai melipat korannya. “Sekarang setelah selesai sarapan, ayo kita membahas rencana kita hari ini.”

Dia menegak semulut penuh teh dan melanjutkan.

“Murid SD itu bebas untuk siang ini. Uji keberanian dan api unggun dijadwalkan malam ini. Aku ingin kalian menyiapkannya.”

Aku menghela. “Api unggun, huh?” Aku mengernyitkan wajahku saat mendengar kata yang tidak mengenakkan tersebut.

“Ah, itu saat kamu melakukan tarian rakyat itu,” ujar Yuigahama seakan baru teringat sesuatu.

Saat dia mendengarnya, bohlam Komachi menyala dengan suara ping. “Ohh! Kamu melakukan tarian Bentora Bentora[7]!”

“Aku rasa, maksudmu Oklahoma Mixer[8]… tapi cuma suku kata terakhirnya yang terdengar sama,” kata Yukinoshita, tidak terlihat begitu terkejut maupun tersinggung atas kesalahan tersebut.

Semua hal Bentora Bentora itu – yah. Itu apa yang kamu lakukan ketika kamu berkomunikasi dengan orang luar angkasa tengah malam di taman – dengan kata lain, dengan alien. “Itu tidak begitu berbeda. Pasangan menarimu itu bisa dibilang alien.”

“Tidak bisakah kamu mengatakannya dengan cara yang lebih halus, Hachiman…?” tegur Totsuka.

Tapi dia salah. Ada alasankuǃ

“Nah, Aku pikir memang begitu adanya.” Aku menarik nafas dalam-dalam. “Awalnya bagus. Tapi sekitaran keempat kalinya, gadis itu bilang, ‘Kita tidak perlu benar-benar berpegangan tangan, tahu,” dan kemudian setelah itu semua gadis lain mengikutinya dan kamu akhirnya melakukan Tarian Oklahoma Udara…”

“Hikigaya, matamu busuk… yah, mata itu cocok untuk peran monsternya. Aku akan mengandalkanmu untuk persiapan uji keberaniannya.”

“Jadi apa itu berarti tugas kami menakut-nakuti anak-anak tersebut?”

Yah, itu termasuk ke dalam rencana aktivitas perkemahan sekolah ini. Namun, harus berada di hutan malam-malam itu jauuuh lebih menakutkan.

“Yep. Maksudku, jalurnya sudah ditetapkan dan kita punya satu set kostum-kostum monster yang siap pakai. Yah, kalian sebaiknya mencobanya dulu. Nah, ayo kita pergi sekarang dan aku akan menjelaskan bagaimana kita melakukan persiapannya.”

Hiratsuka‐sensei berdiri. Kami juga membereskan peralatan makan kami dan mengikutinya ke luar.

6-3[edit]

Kami mengajak Hayama dan yang lain saat berjalan ke lapangan.

Lapangan tersebut oval dan mirip lapangan olahraga, hanya saja lapangan itu dikelilingi oleh hutan bukan pagar. Gubuk yang kelihatannya sebuah gudang penyimpanan peralatan terletak di ujung pinggir lapangan.

Setelah Hiratsuka-sensei berceramah pada para lelaki, kami mulai menyiapkan api unggunnya. Totsuka dan Tobe memotong kayu bakar dan membawanya kemari. Hayama menumpuk kayu tersebut, sementara aku menyusunnya menjadi sebuah bentuk yang mirip sebuah sumur.

“Menumpuk kayu sendirian dengan hening seperti ini agak mirip Jenga,” ujarku.

“Huh? Kamu bisa main Jenga sendirian?” tanya Hayama padaku dengan wajah datar.

Tunggu, tidak bisa? Aku pikir sudah pasti Jenga itu sama seperti menyusun menara kartu…

Kalau para perempuan, mereka sedang menggambar garis putih di sekeliling pusat api unggun. Garis ini akan dipakai untuk tarian rakyat tersebut.

Kami memotong kayu bakar, mengumpulkannya dan menumpuknya. Tentu, persiapannya itu sendiri cepat selesai, tapi karena ini semua pekerjaan fisik di bawah terik matahari, itu cukup melelahkan bagi kami.

Aku menyeka keringatku yang bercucuran. “Panas ini membunuhku.”

“Iya…”

Hayama dan aku berbicara seakan kami berdua sedikit muak dengan ini.

“Kerja bagus.” Hiratsuka‐sensei, yang datang untuk memantau laju pekerjaan kami, menyodorkan kami dua kaleng jus.

Persis saat aku menerima ungkapan terima kasihnya‐

“Yang lain sudah menyelesaikan pekerjaannya. Yang perlu kalian lakukan tinggal bersiap-siap untuk uji keberanian sore ini. Kalian bebas sekarang.”

Hanya Hayama dan aku yang tersisa, seakan kami itu antrian terakhir. Yah, kami bebas melakukan apapun untuk sekarang.

Saat aku berjalan kembali ke bungalo, aku memeras otakku memikirkan apa yang akan kulakukan setelah ini.

“Aku akan kembali ke kamarku untuk sekarang, jadi bagaimana denganmu, Hikitani‐kun?”

“Oh, aku juga…” mulaiku, tapi kemudian sebuah pemikiran terlintas di benakku.

Kalau aku kembali ke kamarku seperti ini, aku harus pergi bersama dengan Hayama. Itu bukan sebuah masalah besar atau semacamnya, tapi aku anehnya merasa tidak tahan dengannya. Sebagai contohnya untuk kalian, ini seperti berjalan pulang dari reuni kelas pada arah yang sama dengan seseorang yang tidak begitu akrab denganmu, yang berarti kamu harus memaksa dirimu untuk membuat obrolan yang canggung. Dalam situasi seperti ini, apa yang perlu kamu lakukan untuk menghindarinya? Hanya ada satu jawaban.

“Sebetulnya, aku mau mampir ke tempat lain.”

Terus terang saja, aku tidak mau mampir kemana pun. Itu hanyalah sebuah kebohongan kecil yang dipakai seseorang agar dia tidak segera pulang ke rumah. Beberapa orang tidak paham maksud di balik kalimat tersebut dan berkata, “Huh? Kamu mau kemana? Aku ikut juga!” tapi seorang manusia yang arif akan memilih untuk tidak terus bertanya. Aku rasa Hayama itu salah satu tipe manusia yang arif.

“Baiklah. Kalau begitu aku pergi ke sana dulu,” kata Hayama selagi dia berjalan pergi, sambil mengangkat salah satu tangannya.

Aku membuat sahutan yang tidak jelas dan melihat dia pergi.

Baiklah, apa yang kulakukan sekarang…?

Kalau begini terus, aku akan bertemu dengan Hayama kalau aku kembali ke kamarku, jadi tidak ada gunanya bersusah payah membuat alasan itu untuk berpisah. Pergi ke suatu tempat untuk menghabiskan waktu itu mungkin pilihan yang paling tepat.

Saat aku berjalan selagi pemikiran-pemikiran tak berarti muncul dalam pikiranku, kakiku sesuka hatinya membawaku ke suatu tempat.

Aku mendengar gemercik aliran sebuah sungai kecil.

Oh iya, aku keringatan… air di sekitar sini bersih, dan lagi pula, tidak ada orang yang tinggal di hulu sungai ini. Airnya mungkin cukup jernih jadi aku bisa mencuci wajahku dengan air ini.

Menuju sumber suaranya, aku berjalan mengikuti jalurnya sampai aku tiba ke sebuah sungai kecil. Sungai ini kira-kira sekecil parit yang dangkal. Mungkin ini sebuah anak sungai. Singkatnya, kalau aku berjalan ke hilir, aku mungkin akan menemukan sungai yang lebih besar. Itu akan cocok untuk mencuci wajahku.

Selagi aku melanjutkan langkahku, pepohonan yang lebat dan rimbun itu mulai menyusut sedikit demi sedikit. Suara air mengeras, dan pada penghujung hutan tersebut terdapat sebuah area luas yang menyolok. Ini adalah bagian kering dari palung sungai.

“Ohhh, ini terasa agak nyaman,” Aku hanya dapat bergugam puas pada diriku.

Sungai ini mungkin dua meter lebarnya, tapi arus sungai yang lembut dan adem ini bahkan tidak sampai pahaku, dan arusnya terlihat adem ayem. Airnya terlihat cocok untuk berbenam.

Menatapi pantulan cemerlang air tersebut, aku berjalan menyusuri bantaran sungai dan‐

“Diiiiiingin sekali!”

“Rasanya luar biasa!”

Di dalam hutan yang hening tersebut, aku dapat mendengar suara tinggi berteriak riang.

Ketika aku memalingkan mataku ke arah tersebut, Yuigahama dan Komachi sedang bermain-main di sungai. Bahkan dari jauh, aku dapat melihat mereka memakai pakaian renang. Apa-apaan yang sedang mereka lakukan…?

“Oh, onii‐chan. Hei, hei! Kemari!”

“…huh? Hikki?”

Komachi melihatku saat aku sedang berdebat dengan diriku apa aku sebaiknya kembali. Sekarang setelah dia memanggilku, aku tidak ada pilihan selain menurut.

Sebetulnya, aku benar-benar tidak berkeinginan melakukan hal tersebut, lagipula aku ini seorang pria terhormat, jadi mendekati gadis yang mengenakan pakaian renang tanpa persetujuan mereka itu melanggar prinsipku, tapi sekarang setelah aku dipanggil ke sana aku tidak ada pilihan lain – dan, oh iya, aku harus mencuci wajahku juga. Sial, toh aku tidak ada pilihan lain juga, jadi aku jalani saja sampai akhirǃ

“Apa yang kalian lakukan? Dan kenapa kalian memakai pakaian renang?” tuntutku, setelah berlari ke arah mereka dengan begitu kencangnya sampai aku terengah-engah.

Komachi menangkupkan tangannya dan kemudian‐

“Siram dia!”

Tsunami. Kepalaku basah semua, menyisakan tetesan dari ujung rambutku.

…dingin sekali.

Mendadak, rasa antisipasi di dalam diriku turun jauh. Sialan, jangan katakan sesuatu yang biasanya hanya kamu katakan dalam kamar mandimu…

Untuk sesaat, aku menatap tajam ke arah Komachi dengan mata yang sayu, tapi adik kecilku tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan. “Panas rasanya saat melakukan persiapannya, jadi kami berbenam sebentar” adalah jawaban acuh tak acuhnya pada pertanyaanku sebelumnya.

“Kalau soal pakaian renangnya, Hiratsuka-sensei bilang kami boleh bermain-main di sungai… tunggu, kenapa kamu di sini, Hikki?” Yuigahama menjawab pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan, bersembunyi di belakang Komachi seakan dia merasa malu dengan pakaian renangnya.

“Er, Aku cuma datang untuk mencuci waja‐”

“Siapa peduli?” sela Komachi di tengah-tengah kalimat yang kuucapkan. “Lihat, onii‐ chan! Lihat pakaian renang baruku!”

Dengan tingkah berlebihan, Komachi membuat pose yang benar-benar tak kumengerti maksudnya.

Ujung bikini kuningnya dihias dengan rumbai-rumbai, memberikan kesan tropis selatan. Saat Komachi memercikkan air dengan riang, aku dapat melihat pakaian renangnya berkilauan. Apaan ini, Splash Star[9]? Setelah dia selesai membuat pose-pose untuk sementara ini, Komachi menatapku.

“Jadi apa keputusannya?”

Aku mengerang. “Oh. ya. Kamu orang terimut di dunia.”

“Whoa, asal-asalan sekali.” Komachi merasa amat kecewa.

Maksudku, ayolah, dia punya baju seperti itu di rumah…

Bersungut-sungut melihat reaksiku, Komachi mengerang bosan, tapi kemudian matanya berkelip nakal dan dia diam-diam menyiapkan sesuatu di belakangnya.

“Kalau begitu… bagaimana dengan Yui‐san?”

“Hei! Komachi‐chan! Eek!”

Dengan sentakan mendadak, Komachi menarik Yuigahama, yang bersembunyi di belakang punggungnya. Tidak mampu menghadapi tindakan mendadak ini, Yuigahama terhuyung-huyung di depanku.

Biru cerah adalah hal pertama yang menarik perhatianku. Dia memainkan rambutnya dengan malu-malu dan merapikan rok bikininya. Kulit halus bagai sutranya yang cocok dengan warna biru bikininya, memantulkan sinar matahari. Tetesan air berlinang dari kulit berkilaunya, sisa dari permainan airnya barusan tadi. Mataku menyimpan lengkungan anggun yang menandai tengkuknya, berhenti sejenak pada celah tulang selangkanya, sebelum berkelana ke dadanya yang montok.

Yah, sial. Aku hanya tidak bisa melepaskan pandanganku darinya. Hanya dengan segenap tekadku, aku entah bagaimana dapat melepaskan pandanganku. Setiap kali aku berusaha mengangkat mataku, mataku akan turun dengan sendirinya. Jadi ini ternyata Hukum Ketiga Fisitits… terima kasih, untuk Bewbton‐sensei.

“Er, um… uhhhh…” Selagi dia bergeliat, wajah Yuigahama merah merona dan dia memalingkan wajahnya. Tapi ketika aku tetap terdiam, matanya melirik-lirik ke arahku dengan bimbang.

Kalau dia ingin pendapatku atau semacamnya, maka ini sungguh canggung. Apa-apaan dengan situasi ini? Aku merasa ingin tewas di tempat.

Dengan tenang, aku membuka mulutku, memilih kata-kata teraman, paling tidak menyinggung yang dapat kukatakan. “Yah, uh, terlihat bagus. Cocok denganmu.”

“Oh, oke… terima kasih.” Yuigahama tersenyum malu-malu.

Tapi aku hanya tidak mampu mendorong diriku untuk menatap matanya. Karena aku dapat merasakan wajahku merona. Aku berlutut di tepi air dan menangkup sedikit air. Air yang jernih dan dingin menyegarkan itu menenangkan kulit meronaku.

Selagi aku menggosok wajahku terus menerus, suatu suara yang kukenal mendadak menerjangku.

“Wah wah, apa kamu sedang bersujud di depan sungai?”

“Yang benar saja. Kamu berdoa ke arah tanah suci lima kali sehari…”

Mendengar kata-kata yang dingin dan menusuk itu, secara refleks aku melihat ke atas.

Saat itu, aku lupa untuk bernafas.


6-4[edit]

Persis seperti namanya, Yukinoshita Yukino muncul di depanku bagai jelmaan salju.

Kulit putih berkilau; kaki panjang dan indahnya mulai dari betisnya yang rupawan sampai ke panggulnya; lingkar pinggang yang mengejutkannya ramping; dadanya yang mungil namun masih menarik perhatian itu.

Namun dalam sekejap, dia menyembunyikan pemandangan tersebut di balik kain pareo[10]. Nyaris saja. Aku hampir mati karena kekurangan oksigen barusan.

“Kamu bilang kamu seorang umat Buddha, bukan?”

“Oh, iya…”

Benar, aku umat Buddha. Maka dari itu, aku tidak akan dikalahkan oleh godaan selevel ini. Jangan meremehkan seorang bhiksu pertapa. Namun, aku heran kenapa Buddha bisa memiliki anak.

“Apa ini? Kamu datang juga, Hikigaya?” Seseorang menepuk bahuku.

Ketika aku berpaling ke belakang, Hiratsuka-sensei berada di depanku. Miura dan Ebina-san mengikuti di belakangnya.

Hiratsuka‐sensei mengenakan bikini putih yang memikat, menampilkan kaki panjangnya serta dada besarnya untuk dilihat oleh dunia. Bersama dengan tangan dan kakinya yang luwes serta pusar eloknya, kalian bisa melihat dia memberikan pesona yang tomboi dan atletis.

“Hebat, Hiratsuka‐sensei! Semua orang akan mengira anda berusia sekitaran 30 tahun!”

“…Aku memang masih berusia sekitaran 30 tahun. Tahankan saja, tidak usah mengeluh. Aku cerai-beraikan ususmu[11]!”

“Gaaah!”

Lututku menekuk saat tinju yang menggetarkan buminya menimpa perutku. Bukan itu arti tahankan saja, tidak usah mengeluh. Selagi aku mengerang kesakitan, Miura and Ebina‐ san berjalan melewatiku.

Miura memakai bikini ungu berpendar yang terbuat dari kain lamé[12]. Matanya bersinar dan figur tubuhnya hampir sempurna, pantas untuk seorang ratu. Itu mungkin membutuhkan usaha yang keras untuk mendapatkan kecantikan yang begitu langka, kurasa. Dia melangkah percaya diri, yang dibangun dengan fondasi kerja kerasnya. Keangkuhannya bahkan meningkatkan pesonanya lebih jauh lagi.

Ebina‐san, di sisi lain, malah mengenakan pakaian renang untuk lomba. Pakaian renang biru laut itu, didesain untuk efisiensi, sesuai dengan tubuh langsing Ebina-san dan lengkungan tubuhnya yang agak anggun. Tali bahu yang menyilang pada punggungnya menekankan keindahan belikatnya.

Saat dia berpapasan dengan Yukinoshita, Miura melirik ke samping pada dada Yukinoshita. Seluruh wajahnya berseri-seri dan dia tersenyum.

“Heh, Aku menang…”

Suaranya menyimpan sesuatu yang mirip kegembiraan.

Melihat itu, ekspresi Yukinoshita menjadi agak kebingungan. “Hm? Ada apa dengannya?”

Yukinoshita kelihatannya sama sekali tidak tahu kenapa Miura tersenyum, tapi aku bisa coba menebaknya. “Oh, ohh. Aku paham sekarang…”

Pada saat seperti ini aku mungkin seharusnya menepuk bahunya dan menyemangatinya, tapi, yah, aku merasa agak gugup untuk menyentuh bahu terbukanya. Maksudku, tanganku mungkin akan mulai keringatan.

“Yah, tahu tidak, melihat tampilan kakakmu, aku rasa kamu cuma lambat perkembangannya,” kataku.

“Nee‐san? Apa hubungannya Nee-san dengan itu?” Yukinoshita mengernyit.

Pada saat tersebut, Komachi menyela. “Yukino‐san, tidak apa-apa!” Dia mengacungkan jempolnya. “Itu tidak menentukan nilai seorang wanita – setiap orang ada pesonanya sendiri! Aku berpihak padamu, Yukino‐san!”

“Uh‐huh… terima kasih banyak…” Yukinoshita mengucapkan terima kasih padanya dengan agak malu-malu, meski dia tetap merasa bingung. Tapi setelah dia menenangkan dirinya, dia mulai melafalkan, “Nee‐san, lambat, nilai, pesona…” dengan nada yang pelan, seakan pengulangan tersebut akan memperluas pemikirannya.

“…ah.”

Boom!

Tatapan yang panas berpijar menusukku. Aku berpaling dengan panik. Mama, tolong aku, aku takutǃ

Juga, kenapa dia menatap tajam padaku? Miura yang mengatakan ituǃ

“Aku harus memberitahumu bahwa ini benar-benar tidak mengangguku sedikitpun, tapi seseorang sebaiknya jangan menentukan menang atau kalahnya seseorang dari penampilan luarnya saja, dan jika kamu bersikeras ingin menilai seseorang dari penampilannya, maka kamu mestinya menilainya secara empat mata dan ikut mempertimbangkan keseluruhan proporsi tubuhnya seperti yang dilakukan sebagian besar orang. Itulah kenapa, ini sama sekali tidak mengangguku, ini hanya masalah siapa pemenang yang sebenarnya disini,” kata Yukinoshita dengan berapi-api. Rona merah yang tipis muncul pada pipinya, mungkin karena amarahnya.

Hiratsuka‐sensei menepuk bahunya. “Yukinoshita, masih belum saatnya untuk menyerah.”

Yuigahama ikut berbicara dengan memberikan pujian. “Kamu super cantik, Yukinon, jadi jangan biarkan itu menganggumu!”

“Aku yakin aku mengatakan itu tidak mengangguku…”

Yukinoshita tetap merasa terasingkan dan tersisihkan bahkan ketika mereka berdua mencoba menghiburnya, tapi dia masih terus melirik dada Hiratsuka-sensei dan Yuigahama. “Aku tidak merasa terganggu,” tuturnya dengan lemah, sambil membuat helaan yang hampir tak terdengar.

Ini terlihat dan terasa seperti sebuah pesta mengasihani seorang Yukinoshita Yukino. Dalam usaha untuk membuatnya ceria, gadis-gadis itu memasuki sungai dan mulai mencipratkan air kemana-mana.

Sejumlah orang terlambat muncul ke mari.

“Yo pak, ayo semangat!”

“Oh, Hikitani‐kun, kamu datang.”

Aku mendengus. “Ya, aku jadinya kemari.”

Hayama dan Tobe mengenakan pakaian renang. Pakaian itu, err, pakaian renang biasa. Tidak banyak yang bisa dilihat di sini, kupikir, baru saja akan berpaling. Kemudian, aku menyadari Totsuka berdiri di belakang mereka berdua.

Totsuka muncul di depanku. “Hachiman, kamu tidak ada pakaian renang?”

“T‐Totsuka!”

Dia benar-benar memukau, dari ibu jari kaki mungilnya, pergelangan kakinya, betis dan pahanya, sampai kulit putihnya. Jaket parker putihnya terlihat sedikit kebesaran baginya. Berkat ukurannya dan warna putih menyilaukannya, itu terlihat seakan dia hanya mengenakan kaus putih saja di balik tubuhnya – seksi sekali.

Ketika aku sekilas melihatnya mengepalkan tangan rampingnya di bawah lengan baju tiga per empatnya, jantungku ikut terkepal.

Pria dinilai dari pakaiannya. Namun pesonanya jauh lebih ditonjolkan oleh apa yang tetap tersembunyi.

“Ada apa?”

Terkadang, tidak peka itu sebuah kejahatan. Ketika dia memiringkan kepalanya dengan begitu imutnya dalam pakaian tersebut, jantungku berdetak berkali-kali lipat lebih kencang.

“Er, jaket itu…”

“Oh, ini? Ini karena tubuhku agak lemah. Aku tidak boleh membiarkan tubuhku terlalu dingin,” katanya sambil menarik jaketnya lebih erat pada dadanya.

YahariLoveCom v4-205.jpg

Oh tidak, Aku tidak bisa tidak melihatnya.

“Be-begitu ya… sebaiknya jangan terserang flu saat kamu menikmati waktu senggangmu.”

“Yap, terima kasih!” kata Totsuka selagi dia berlari ke arah sungai.

Ketika aku melirik ke sekelilingku, semua orang sudah mulai bermain-main dalam air.

Gadis-gadis kelihatannya sedang bersenang-senang mencipratkan air ke satu sama lain dan memekik. Mereka juga memegangi semacam balon berbentuk-lumba-lumba yang entah dari mana mereka peroleh.

Para lelaki bertekad untuk menangkap ikan dengan tangan kosong – sesuatu yang mungkin kamu lakukan dalam latihan.

Kalau aku, aku tidak membawa pakaian renang… Aku juga ingin mencipratkan air pada Totsuka…

Berbicara soal pakaian renang, aku hanya ada celana renang yang kupakai untuk kelas berenang sewaktu SMP. Aku tidak pernah berencana untuk bepergian saat musim panas, jadi aku tidak membeli pakaian renang lain setelah aku tamat SMP.

Tidak seperti aku sedang meratapi penyesalanku. Karena aku tidak ada kerjaan, aku memutuskan untuk berteduh di bawah pohon untuk sekarang. Angin yang sejuk berhembus, seakan dibawa oleh gemercik sungai tersebut. Sinar matahari yang menembus dedaunan pohon terasa nyaman pada kulitku.

Biasanya, kamu akan berakhir memainkan jempolmu dalam situasi seperti ini, tapi ketika aku bersama dengan teman sekelasku, semua yang kulakukan dapat menghabiskan waktu.

Pertunjukkan A: Mengamati burung.

Sudah cukup lama berbagai burung bercicit dan terbang di sekitar sini, menandakan bahwa tempat ini adalah lokasi terbaik untuk mengamati burung. Ya, burung itu terbang kesana-kemari, tapi karena aku bukanlah pakar burung, aku gagal mengamati burung. Ribut sekali burung sialan itu.

Pertunjukkan B: Kelereng.

Kamu menyentil kerikil seperti sebuah B-Daman, berusaha untuk menembak targetmu[13]. Pada ronde ketiga jariku mulai sakit jadi aku berhenti. Batunya keras sekali. Ditambah lagi, mentalku tidak cukup keras untuk bermain bergiliran dengan diriku sendiri.

Pertunjukkan C: Mengamati serangga.

Aku heran kenapa semut itu begitu hitam dan begitu besar di musim panas. Aku mendapat perasaan semut itu jauh lebih kuat dibanding semut di musim lain. Apa mereka lagi musimnya atau semacamnya? Yah, tapi semut itu rasanya jijik. Sumberː diriku. Aku heran, kenapa diri SD-ku memakan semut dan peralatan seni lukis? Nak, itu kelereng yang kau pegangǃ Dan itu semutǃ Er, kamu juga tidak seharusnya memakan kelereng.

Namun, anak SD itu makhluk yang kejam. Bagi mereka, “bermain-main dengan semut” itu sama dengan “injak semutnya ATAU tenggelamkan sarangnya ATAU bakar semutnya dengan kaca pembesar”. Oh, dan “bermain dengan kutu kayu” itu sama dengan “buat mereka mengerut dan pakai kutu itu untuk senapan mainanmu ATAU ubah mereka jadi putih dengan kembang api”.

Itulah kenapa, yah, tidak peduli apapun yang kamu lakukan, kamu akhirnya akan menjadi ancaman bagi seluruh makhluk hidup.

6-5[edit]

Karena aku segera bosan mengamati semut, aku bersandar pada sebatang pohon dan mengamati yang lain bermain-main dari jauh.

Yuigahama dan Komachi yang paling banyak bergerak, sementara Miura dan Ebina-san kelihatannya lebih senang berdiri mengenakan pakaian renang menyolok mereka. Kalau aku harus menebak apa yang sedang Hiratsuka-sensei lakukan, aku menduga kuat bahwa dia sedang mengawasi mereka, meskipun dari waktu ke waktu dia membuat ombak yang besar sambil berteriak, “Makan ini!”. Hanya Yukinoshita yang terlihat tidak yakin bagaimana bereaksi terhadap semua sukaria ini, menilai dari caranya berdiri agak jauh dengan canggung.

Itu sulit bagi seorang penyendiri untuk memahami tindakan “membuat dirimu terlihat bodoh” ini. Bagaimanapun juga, kami para penyendiri cenderung tidak mudah terpengaruh oleh suasana. Aku bukannya malu atau semacamnya. Hanya saja aku mempertimbangkan banyak hal sehingga aku tidak bisa bertindak dengan mudahnya, seperti aku tidak mau menganggu atau tidak ingin menyebabkan kejadian yang tidak enak atau tidak ingin menghancurkan suasana dengan melibatkan diriku ke dalamnya.

Tapi kelihatannya Yuigahama sama sekali tidak memperdulikannya, menilai dari betapa semangatnya dia mengguyur Yukinoshita.

Yukinoshita berpaling ke belakang dengan geram, membelah permukaan air bagaikan sebuah shuriken. Dia sukses mengenai dahi Yuigahama.

Saat Yuigahama mengerang, Komachi berlari membantunya, segera membalik situasinya menjadi dua-lawan-satu. Tapi Yukinoshita, 100̤% ̥serius sekarang, menghadapi ketidak-adilan itu dengan cekatan.

Selanjutnya, giliran Miura mengguyurkan air pada Yukinoshita bagaikan Peluru Energi Tiada Henti[14], sambil menyeringai. Meski begitu, gerakan Yukinoshita masih tajam seperti yang bisa diduga darinya.

Hiratsuka‐sensei kemudian muncul, mengacungkan pistol air dan memberikan bantuan padanya. Oke, memakai senjata itu sudah pasti curang…

Yang lain pastilah memikirkan hal yang serupa, karena bahkan Ebina-san dari pihak lawan mengeluarkan pistol air. Sebelum kamu menyadarinya, pertempuran air besar-besaran sudah dimulai. Aku harap mereka tidak terserang flu.

Selagi aku melihat apa yang dilakukan mereka semua, aku mulai mengantuk, hanya untuk mendengar langkah kaki dari jalur didekat sini.

Ketika aku melihat ke sumber suara tersebut, aku menemukan seorang gadis yang kukenal. Dia adalah Tsurumi Rumi.

“Yo,” panggilku padanya.

Rumi mengangguk singkat.

Dia tetap bersikap seperti itu selagi dia duduk di sampingku.

Bersama, tanpa berkata-kata, kami melihat mereka bermain di sungai.

Keheningan itu berlanjut untuk sesaat, tapi kemudian Rumi berbicara seakan dia sudah lelah menunggu. “Hei, kenapa kamu sendirian?”

“Aku tidak membawa pakaian renang. Dan kamu?”

Dia bersenandung dengan ketertarikan samar. Kemudian dia berkata, “Kami bebas sekarang ini. Aku kembali ke kamarku setelah selesai sarapan, tapi tidak ada orang di sana.”

A-Aw…

Aku pernah tertidur di kelas sekali, dan ketika aku terbangun tidak ada orang di sana. Seperti dia, aku heran apa mereka sengaja mengucilkanku. Tidak ada orang yang bersedia membangunkanku saat kami berganti kelas, namun, cuma begitu saja.

Mendapati dirimu mendadak sendirian itu mengejutkannya, yah, mengejutkan. Itu mengejutkan bahkan ketika teman sekelasmu, yang kamu pikir hanya bagian dari latar belakangnya saja, menghilang tanpa peringatan.

Aku sama terkejutnya sepertimu jika kamu membaca manga jilid terbaru yang digambar dengan baik dan bamǃ Tidak ada latar.

Rumi dan aku menatap hampa ke arah sungai untuk sejenak.

Itu membuat Yuigahama melirik ke arah kami. Setelah itu, dia membisikkan sesuatu pada Yukinoshita, dan persis saat kupikir mereka sedang mengobrol, mereka berdua berjalan ke hulu. Mengambil handuk yang diletakkan pada sebuah tikar biru didekat sana dan menggunakannya untuk mengelap badan mereka, mereka kemudian berjalan ke arah kami.

Selagi Yuigahama mengeringkan rambut yang agak basahnya dengan handuk, dia berjongkok di depan kami.

“Um… apa kamu juga ingin bermain dengan kami, Rumi‐chan?”

Tapi Rumi menggelengkan kepalanya dengan keras kepala. Ditambah lagi, dia bahkan tidak mau menatap mata Yuigahama.

“Be-begitu ya…” Yuigahama menundukkan kepalanya, ekspresinya murung.

Menyadari hal tersebut, Yukinoshita berkata padanya. “Sudah kubilang padamu.”

Yah, menolak undangan itu memang refleks pertama dari pertahanan seorang penyendiri. Kalau kamu jarang sekali diundang untuk sesuatu, kamu sebaiknya menduga pasti ada suatu motif di baliknya jika kamu entah kenapa mendadak diundang. Bagaimana kalau kamu diundang ke sebuah pesta hanya untuk menjadi bahan lelucon cerdik seseorang?

Juga, jawaban pengandaian yang umum adalah “Aku akan pergi kalau aku sempat”. Sekitar delapan puluh persen kejadian kamu tidak akan pergi ke sana. Sumber: diriku.

Rumi berpaling padaku, tidak diragukan lagi karena dia takut dengan Yukinoshita. “Hei, tahu tidak, Hachiman.”

“Kamu lupa menaruh honorifik tadi…”

“Huh? Namamu Hachiman, bukan?”

“Ya, tapi bukan itu maksudnya.” Hanya Totsuka yang memanggilku dengan nama depanku saja.

“Hachiman, apa kamu masih berteman dengan teman SDmu?”

“Tidak…” Sama sekali bukan karena diabaikan, hanya saja aku dari awal tidak pernah membentuk hubungan. “Yah, tidak seperti aku benar-benar butuh m'reka, kurasa. Kira-kira semua orang seperti itu. Sebaiknya biarkan saja mereka. Kamu tidak akan bertemu dengan satu pun dari mereka setelah mereka tamat.”

“I-Itu hanya berlaku untukmu, Hikki!” tegas Yuigahama.

“Aku juga tidak pernah bertemu dengan mereka,” kata Yukinoshita tanpa ragu.

Yuigahama menghela pasrah dan kemudian berpaling pada Rumi. “Rumi‐chan, mereka berdua itu cuma unik, oke?”

“Tidak ada yang salah dengan unik. Dalam bahasa Inggris, kamu menyebutnya special. Itu terdengar agak menyanjung kalau kau tanya aku.”

“Dalam bahasa Jepang, kamu menyebutnya aneh…”

Yukinoshita entah kenapa memperlakukanku dengan takjub. Kata special memiliki makna lain, tapi kalau mengenai penyendiri, special terdengar bagus.

Rumi melirik ke arah percakapan kami dengan ekspresi bingung. Kelihatannya dia masih tidak dapat menerima logika kami. Kalau begitu, waktunya menambahkan minyak ke dalam api.

6-6[edit]

“Yuigahama, berapa banyak teman SDmu yang masih kamu temui sampai hari ini?” tanyaku.

Yuigahama menekankan jari telunjuknya pada dagunya dan melihat ke atas langit. “Tergantung seberapa sering dan untuk apa kami bertemu, tapi… kalau hanya untuk jalan-jalan, dua atau tiga orang, kurasa?”

“Dan berapa banyak murid dalam angkatanmu, jika boleh kutanya?”

“Ada tiga kelas dengan masing-masing tiga puluh murid di dalamnya.”

“Sembilan puluh murid, huh. Dari itu, kita bisa mendapatkan peluang tetap berteman lima tahun setelah tamat itu sekitar tiga-sampai-enam persen. Ini Yuigahama yang sedang kita bicarakan, dan dia cantik jadi dia teman semua orang.”

“Kamu berpikir aku cantik…” Yuigahama terkekeh, merona merah.

“Dia tidak benar-benar memujimu, Yuigahama‐san.” Yukinoshita menarik Yuigahama, yang telah pergi ke dunia dongeng untuk sejenak, kembali ke dunia nyata.

Aku memutuskan untuk mengabaikan mereka.

“Kalau orang-orang biasa, mereka bukan teman semua orang, jadi kamu bagi empat,” terusku. “Er…”

“Sekitar 0,75 sampai 1,5 persen. Kenapa kamu tidak masuk SD lagi saja?” Yukinoshita segera menjawab ketika aku kesusahan menghitungnya dalam benakku. Siapa dia, Komputer Obaachan[15]?

Juga, meskipun aku masuk SD lagi, aku yakin aku masih akan melangkah pada jalur yang sama.

“Nah sekarang, kalau kamu jumlahkan akan dapat sekitar satu persen. Peluang tetap berteman lima tahun setelah tamat itu satu persen. Satu persen termasuk kesalahan perhitungan, kurasa. Maka dari itu, kamu dapat mengabaikannya.

Kamu tahu cara membulatkan, bukan? Meskipun selisih antara empat dan lima hanyalah satu, empat selalu dicoret. Pikirkan perasaan Empat-chan sekali-sekali. Kalau kamu memikirkannya dari sudut pandang Empat-chan, itu wajar bahwa satu orang itu tidak berpengaruh. Baik, itu mengakhiri pembuktianku.”

Itu adalah kesimpulan yang sempurna. Tapi Yukinoshita menepuk wajahnya. “Anak muda ini mengarang-ngarang buktinya dari anggapannya yang benar-benar tidak berdasar. Itu noda dalam matematika…”

“Bahkan anak SD sepertiku bisa tahu bahwa itu semua salah…” kata Rumi.

“Oooh kamu pasti be‐ er, um, tidak! Itu semua aneh!” Yuigahama hampir mempercayaiku selama sedetik. Persis seperti yang bisa kalian duga dari seseorang dari jurusan bahasa.

Yah, aku bukan ingin membuat ini menjadi kelas mate yang menyenangkan. “Siapa yang peduli dengan angkanya? Intinya adalah bahwa ini adalah soal sudut pandang.”

“Buktimu tadi mencurigakannya terdengar seperti omong kosong, tapi hanya kesimpulanmu yang terdengar masuk akal… sungguh sebuah teka-teki…” Ekspresi Yukinoshita terbelah antara rasa jijik dengan rasa kagum.

“Hmm… Tapi aku tidak begitu setuju. Maksudku, itu akan mengurangi beban dalam pikiranmu kalau kamu senang dengan satu persen. Toh, akrab dengan semua orang bisa benar-benar melelahkanmu.” suara Yuigahama dipenuhi dengan perasaan yang tulus. Berpaling pada Rumi, Yuigahama tersenyum untuk menyemangatinya. “Jadi kalau kamu berpikir positif, Rumi‐chan…”

Rumi membalas dengan senyum lemah selagi dia mengengam kamera digitalnya. “Ya… tapi ibuku tidak paham. Dia selalu bertanya apa aku akrab dengan teman-temanku. Dia bilang, ‘Foto banyak-banyak saat berkemah!’ dan jadi kamera ini…”

Jadi itu kenapa dia membawa kamera itu, huh. Yah, itu wajar untuk menyimpan kenangan yang dapat bertahan seumur hidup pada perjalanan sekolah atau acara semacam itu. Itu tidak begitu aneh untuk merasa bersemangat dan mencari-cari kesempatan untuk membuat kenangan.

“Begitu ya… dia ibu yang baik. Dia kuatir denganmu, Rumi‐chan,” kata Yuigahama dengan lega.

Tapi suara Yukinoshita yang tidak mengenakkannya dingin segera mengikutinya. “Aku tidak yakin… bukankah itu sebuah tanda bahwa dia ingin memanipulasimu, membuatmu berada dalam kendalinya dan menguasaimu?” Kata-katanya membangkitkan rasa tidak nyaman, sejenis perasaan yang kamu dapat saat ada bahaya di sekitarmu.

Yuigahama tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya, seakan pipinya baru saja ditampar. “Huh…? Ti-tidak mungkin itu benar! Ditambah lagi… caramu berbicara agak‐”

“Yukinoshita,” selaku. “Kamu benar – hal semacam itu memang terjadi. Ibu-ibu membuatmu melakukan hal-hal yang tak perlu, dan ya, seperti bekerja. Dia menegurku karena aku ada di dalam kamarku saat Natal, membersihkan kamarku tanpa menanyakanku dulu dan merapikan rak bukuku. Dia tidak akan mengendalikanmu kalau dia tidak mencintaimu.”

Benar, jadi meletakkan majalah pornoku dengan rapi di atas mejaku adalah caranya mencintaiku. Dan menatapiku dengan amarah tajam tanpa berkata-kata saat aku duduk di kursi biasaku saat makan malam juga termasuk caranya mencintaiku. Mungkin. Kalau aku tidak mempercayainya, jiwaku akan hancur lebur.

Ketika aku mengucapkan isi pikiranku, Yukinoshita mengigit bibirnya dengan kuat dan memandang ke bawah. Tatapannya tertuju pada jarak antara kami dengan dirinya.

“Ya, kamu benar. Begitu biasanya.” Ketika dia mengangkat kepalanya lagi, ekspresinya terlihat agak lebih lembut dari biasanya. Yukinoshita berpaling pada Rumi dan membungkukkan kepalanya. “Aku benar-benar minta maaf. Kelihatannya, aku keliru. Aku mengatakan sesuatu yang tidak sepantasnya.”

“Ah, sama sekali tidak… ini agak sulit dan aku benar-benar tidak paham,” sahut Rumi yang gugup, kebingungan atas permintaan maaf Yukinoshita yang mendadak.

Bukankah ini yang pertama kalinya aku melihat gadis ini meminta maaf dengan tulus? Mata Yuigahama juga melebar. Mendadak, suasananya menjadi sehening kematian, dan bahkan Rumi merasa tidak nyaman.

“Yaaaaah, begitulah, kamu tahu,” kataku. “Kalau begitu, kamu ingin berfoto? Fotoku, maksudku. Itu super langka. Kamu biasanya harus membayar untuk mendapatkannya.”

“Tidak perlu,” jawab Rumi segera dengan wajah datar.

“…oh, oke.” semangatku sedikit mengempis.

Tapi kemudian wajah datarnya mendadak retak sedikit demi sedikit.

“Aku heran apa semua hal buruk ini akan berubah saat aku sudah SMA…”

“Setidaknya, ini semua hampir dipastikan tidak akan berubah kalau kamu berniat terus seperti dirimu sekarang.” Hebat, Yukinoshita‐san! Tidak bersikap lembut pada anak kecil itu setelah kamu selesai meminta maaf padanya!

“Tapi sudah cukup kalau orang di sekitarmu berganti,” ujarku. “Tidak perlu memaksakan dirimu untuk akrab dengan orang lain.”

“Tapi situasinya sulit bagi Rumi-chan sekarang dan kalau kita tidak melakukan sesuatu tentangnya…” Yuigahama melihat ke arah Rumi dengan mata penuh keprihatinan.

Sebagai balasannya, Rumi mengernyit sedikit. “Sulit, katamu… Aku tidak suka itu. Itu membuatku terdengar menyedihkan. Itu membuatku merasa lebih lemah karena aku dikucilkan.”

“Oh,” kata Yuigahama.

“Aku tidak suka itu, kamu tahu. Tapi tidak ada yang bisa kamu lakukan soal itu.”

“Kenapa?” tanya Yukinoshita padanya.

Rumi kelihatannya agak sulit berbicara, tapi dia masih sanggup menemukan kata-kata yang tepat. “Aku… ditelantarkan. Aku tidak bisa akrab dengan mereka lagi. Meskipun aku akrab lagi, aku tidak tahu kapan itu akan mulai lagi. Kalau hal yang sama terjadi lagi, aku rasa aku lebih baik begini saja. Aku hanya‐” Dia menelan. “‐tidak ingin menjadi pecundang…”

Oh. Aku paham.

Gadis ini muak. Muak akan dirinya dan muak akan sekelilingnya.

Kalau kamu mengubah dirimu, duniamu akan berubah, kata mereka, tapi itu semua omong kosong.

Kalau orang lain sudah menilai dirimu, tidak mudah untuk mengubah hubungan kalian sebelumnya dengan menambahkan sesuatu ke dalamnya. Ketika orang menilai satu sama lain, mereka tidak memakai penjumlahan atau pengurangan. Mereka hanya menilaimu dari prasangka mereka buat terhadapmu.

Kenyataannya orang lain tidak melihatmu sebagai dirimu yang sebenarnya. Mereka hanya melihat apa yang ingin mereka lihat, kenyataan yang mereka inginkan.

Kalau seorang pria yang menjijikan pada ujung bawah kasta bekerja keras banting tulang melakukan sesuatu, orang di kasta yang lebih tinggi hanya akan terkekeh dan berkata, “Untuk apa dia berusaha begitu keras?” dan itulah akhirnya. Kalau kamu menyolok karena alasan yang salah, kamu hanya akan menjadi bahan kritikan. Bukan begitu yang terjadi di dunia yang sempurna, tapi entahkah baik ataupun buruk, begitulah yang terjadi pada dunia anak SMP.

Riajuu dicari karena tindakan mereka sebagai riajuu, penyendiri diwajibkan untuk menjadi penyendiri, dan otaku dipaksa untuk bersikap seperti otaku. Ketika orang-orang yang lebih tinggi menunjukkan rasa pengertian untuk mereka di bawah mereka, mereka akan dipuji karena berpandangan terbuka dan besarnya kebaikan hati mereka, tapi kebalikannya tidak akan ditolerir.

Begitulah peraturan menjijikan dalam Kerajaan Anak-anak. Situasi tersebut benar-benar menyedihkan.

Kamu tidak dapat mengubah dunia, tapi kamu dapat mengubah dirimu sendiri. Apa-apaan itu? Kamu tahu kamu sudah dikalahkannya tapi kamu beradaptasi dan menyesuaikan dirimu dengan dunia yang kejam dan acuh tak acuh itu – akhirnya, itu adalah apa yang dilakukan seorang budak. Menyelimutinya dengan kata-kata indah dan menipu bahkan dirimu sendiri merupakan bentuk kebohongan yang paling besar.

Sesuatu yang sangat mirip dengan amarah mendidih dan bergejolak di dalam diriku.

“Kamu tidak ingin jadi pecundang?” tanyaku.

“…ya.” Rumi mengangguk, berusaha untuk menahan isakan yang serak. Bahkan sekarang, air matanya hampir menetes; ini pastilah menyakitkan baginya.

“…Aku harap uji keberanian nanti menyenangkan,” kataku padanya seraya berdiri.

Tekadku sudah bulat.

Aku hanya menjawab pertanyaan yang kutanyakan pada diriku sendiri.

Q. Dunia tidak akan berubah. Kamu dapat mengubah dirimu. Kalau begitu, bagaimana kamu berubah?

A. Jadilah Tuhan dunia baru ini.


Mundur ke Bab 5 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 7

Catatan Translasi[edit]

<references>

  1. Nama inggrisnya Eurasian skylark.
  2. Judul novel Kyokai Senjou no Horizon, Horizon in the Middle of Nowhere atau secara harfiah Horizon on the Borderline (Ufuk di balik perbatasan)
  3. Geisha ini akan bunuh diri di gunung Fuji.
  4. Referensi aslinya adalah kalimat dari game Pokemon. Kalimat “Getto da ze!” muncul setiap kali kamu menangkap Pokemon. Diubah menjadi referensi Steam karena lebih cocok daripada menerjemahkan kalimatnya menjadi “Alamat email Totsuka tertangkap!”
  5. Era Showa adalah Era kaisar Hirohito yang memimpin dari 25 Desember 1926 sampai 7 Januari 1989.
  6. Dalam anime Manga Nippon Mukashi Banashi (Harfiah. ‘Manga Dongeng Rakyat Jepang’), karakternya sering terlihat memakan nasi yang benar-benar banyak.
  7. Referensi dari manga Urusei Yatsura, dimana mereka berdansa dan meneriakkan Bentora, Bentora, Space People untuk memanggil UFO. Cuplikan.
  8. Tarian di samping api unggun, biasanya berpasangan laki-laki dan perempuan. Diajari oleh Rev. Larry Eisenberg di Asilomar, California. Diberi nama Oklahoma Mixer oleh Henry "Buzz" Glass, karena versi sekarang dipelajari di kota Norman, Negara Bagian Oklahoma, AS.
  9. Referensi anime Futari wa Pretty Cure Splash Star, tentang gadis ajaib.
  10. Semacam sarung, Pareo
  11. Slogan Tokiko, pemain utama perempuan dari manga Busou Renkin.
  12. Kain yang ditenun dengan serat metalik, dulu memakai emas atau perak, sekarang sudah beralih ke aluminium atau nilon warna aluminium. Lamé
  13. B‐Daman itu mainan penembak kelereng populer yang diproduksi di Jepang
  14. Salah satu jurus dalam anime Dragon Ball Z.
  15. Komputer Obaachan adalah lagu anak-anak yang populer. Menceritakan seorang nenek yang dapat melakukan apapun.