Oregairu (Indonesia):Jilid 5 Bab 2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 2: Seperti biasa, Nama Kawasaki Saki Tidak Bisa Diingat[edit]

2-1[edit]

Suatu awal sore pada liburan musim panas.

Jumlah orang yang menaiki kereta api kelihatannya lebih sedikit dari biasanya.

Aku menaiki kereta api yang melewati beberapa stasiun dan turun di stasiun Tsudanuma. Aku melewati palang tiket dan berbelok ke kanan. Dari sana, aku memasuki gelombang manusia yang kecil dan terus berjalan.

Pada Seminar Sasaki dari Institut Tsudanuma, les musim panas digelar yang menargetkan siswa kelas dua SMA. Murid yang berharap bisa menembus ujian seleksi masuk mereka sudah mulai bersiap-siap memulai les musim ini.

Meski begitu, kami masih siswa kelas dua. Suasana santai yang menyeliputi sekelilingnya menandakan bahwa masih ada waktu untuk bersantai-santai.

Kalau kita sudah kelas tiga, akan ada percikan dan listrik yang melayang kesana kemari. Bahkan ada masa dimana kamu akan diusir dari ruang kelas karena tertidur di tengah-tengah pelajaran.

Setelah itu, kamu akan dibawa ke suatu tempat yang menyerupai ruang-tamu dan diteriaki oleh guru lesnya, dan di tengah-tengahnya tutornya akan berkata, “…Apa kamu ingin ganti les?” dengan nada menegur; Setidaknya, itu apa yang mereka katakan pada internet.

Ruang kelasnya yang merupakan kelas tingkat universitas-swasta menargetkan siswa SMA kelas dua nyaris kosong.

Lesnya lima hari seminggu. Kurikulumnya ditetapkan untuk mengajarkan bahasa Inggris dan bahasa Jepang Modern selama lima hari dan pelajaran IPS yang tidak wajib.

Beberapa hari yang lalu, aku sudah menyelesaikan semua les IPS, jadi mulai sekarang, jadwalku akan terdiri dari les bahasa Inggris dan les bahasa Jepang Modern.

Karena tidak ada orang yang menyadari masuknya diriku ke dalam ruang tersebut, aku mengambil tempat duduk yang paling dekat dengan pintu masuk.

Itu biasa bahwa beberapa tempat duduk akan ditetapkan sebagai tempat duduk VIP, jadi adalah sebuah fakta bahwa kelompok yang paling menyolok akan menempatinya. Karena terlibat dengan mereka hanya akan mendatangkan penderitaan, tempat dudukku itu antara tempat duduk paling depan atau di tengah-tengah. Tempat duduk yang seharusnya diincar para penyendiri adalah tempat duduk di ujung karena tempat duduk itu jarang dilihati orang. Yah, mungkin akan sulit untuk melihat papan tulis, tapi kamu akan bisa berkonsentrasi dengan mudah di kelas; sebenarnya, itu karena tidak ada orang yang berbicara padamu sehingga kamu harus berkonsentrasi. Dipikir lagi, itu sebuah nilai tambah.

Aku segera mengeluarkan buku teks dan catatanku. Aku mengistirahatkan pipiku pada tanganku sambil melamun sampai les dimulai.

Aku menunggu dengan sabar sampai jam yang ditetapkan sambil mengamati sekelompok teman menghabiskan waktu mereka mengikuti obrolan yang kelihatannya menyenangkan.

Musim panas depan, suasana damai ini mungkin akan hilang.

Sama halnya dengan ujian masuk SMA.

Mereka yang berhasil mendapatkan rekomendasi akan diejek oleh pendengki sementara mereka yang lolos dikutuk dari balik bayang-bayang. Aku mendapat firasat yang sudah hampir pasti bahwa hal yang sama akan terjadi bahkan setelah kita menjadi siswa kelas tiga. Dan kemudian empat tahun selanjutnya, siklus ini pasti akan mengulang lagi ketika kamu mencari pekerjaan. Sifat manusia tidak akan berubah tidak peduli sudah tiga ataupun tujuh tahun berlalu.

Tapi sekarang ini, apa yang sebaiknya kupikirkan bukanlah masa lalu, tapi apa yang ada di depanku. Jadi untuk memulainya, aku harus memikirkan tentang ujian masuk universitas.

Mereka yang mulai lebih awal akan memusatkan perhatian mereka pada ujian tersebut sejak musim panas ini dan terlihat serius. Tujuan mendesak yang pertama adalah ujian SBMPTN. Fokus pada tujuanmu dan serius belajar… Fokus pada tujuanmu dan serius belajar… Fokus pada tujuanmu… Saat aku mengulang simulasi tersebut dengan mata melamun, seseorang muncul di sudut pandanganku. Seakan berteriak dengan geram, “Tololǃ Ledakan itu menghalangi pandanganku pada musuh!” Aku segera tersadar.

Rambut biru tuanya yang diikat menjadi satu menjuntai pada punggung panjangnya. Sosok tingginya terlihat lentur dan menarik perhatian orang. Dia mengenakan kaus T-shirt yang panjang dengan lengan baju yang menutupi tiga-per-empat lengannya, celana pendek denim, dan celana ketat serta sebuah ransel tersandang dengan enteng pada bahunya. Dia berjalan dengan acuh tak acuh memakai sandalnya yang menggesek lantai.

Ketika gadis itu berjalan lewat di depanku, dia berhenti. Mendapati tindakannya tersebut tidak wajar, aku mengarahkan mataku padanya.

“…Jadi kamu juga mengikuti kelas ini.”

Suatu suara yang mengantuk berbicara padaku dengan tatapan yang dingin. Di bawah matanya yang terlihat galak terdapat sebuah tahi lalat.

Dia terlihat amat familier. Siapa dia lagi…?

“Aku mungkin sebaiknya memberitahumu sekarang. Terima kasih.”

YahariLoveCom v5-039.jpg

Aku tidak tahu kenapa dia berterima kasih padaku, tapi kelihatannya dia tidak salah orang. Itu bukanlah kejadian yang umum bagi seorang penyendiri untuk diajak bicara. Kecuali itu sesuatu yang penting, tidak ada orang yang berbicara pada penyendiri.

“Kamu tahu waktu kamu memberitahuku mengenai beasiswa itu? Aku berhasil mendapatkannya. Hubunganku dengan Taishi juga berjalan baik.”

Nama “Taishi” terdengar familier, tapi tidak mengenakkan. Setelah mencari daftar “Aku pasti tidak akan memaafkannya”-ku, aku mendapatkan satu hasil dengan nama Kawasaki Taishi. Hoho, bukankah itu si serangga beracun yang sedang mencoba untuk mendekati Komachi?

Jadi orang ini berhubungan dengannya?

Setelah aku melihat rambut biru tuanya, aku menyadari sesuatu.

Golongan Darah Biruǃ[1] Kawa… Kawagoe? Kawashima? Kawaragi…? Oke, aku rasa apapun jadi. Dia adalah Kawaentahapa-san!

Untuk sejenak kupikir dia itu GaGaGa Bunko[2] melihat betapa birunya dia…

“Uh, ya, tentu. Namun, itu kamu yang berhasil mendapatkan beasiswanya.”

Untuk sekarang, aku mengikuti percakapannya dan kemudian namanya muncul di dalam benakku. Namanya adalah Kawasaki Saki.

“Kurasa, tapi Taishi terus berbicara mengenaimu… Terserahlah. Yang penting, aku berterima kasih padamu,” kata Kawasaki, cuma memberitahuku itu seakan itu adalah kewajibannya dan pergi.

Itu adalah percakapan yang singkat, tapi Kawasaki Saki memang gadis seperti itu. Dia memilih untuk sendirian dan tidak mendekati siapapun dan menghasilkan sedikit aura kepremanan.

Seorang gadis seperti itu berbicara padaku atas kehendaknya sendiri. Rasanya seperti sikapnya sudah menjadi agak lembut. Tertarik dengan perubahan itu, aku mendapati diriku mengikutinya dengan mataku.

Dia mengambil tempat duduk tiga baris di belakangku, mengeluarkan ponselnya, dan menggerakkan jarinya. Menilai dari sikapnya, dia mungkin sedang mengetik pesan.

Dan di sanalah, Kawasaki membentuk sebuah senyuman.

…Huh, jadi dia juga bisa membuat ekpsresi semacam itu. Maksudku, biasanya dia akan acuh tak acuh dan terlihat antara benar-benar agresif atau benar-benar menakutkan. Tapi omong-omong, itu adalah wajah yang tidak bisa kamu lihat di sekolah. Dipikir lagi, aku tidak ingat pernah melihatnya di sekolah juga. Itu aturan dasar bagi sesama penyendiri untuk tidak ikut campur dengan satu sama lain.

Saat aku melihatnya sambil berpikir aku sedang melihat sesuatu yang langka, mata kami bertemu.

Kawasaki yang seluruhnya merona melotot keras padaku. Oh astaga, ada apa dengan orang itu? Menakutkan sekaliǃ Aku menggelengkan kepalaku seakan “bahuku terbeku seluruhnya!” dan kemudian berusaha untuk menghilangkan diriku dari tatapan Kawasaki.

Lupakan itu, dia sama sekali tidak melembut. Kamu berada di tempat les, astaga, setidaknya tenang sedikit. Isi kepala kosongmu[3] itu.

2-2[edit]

Setelah pelajaran bahasa Inggris usai, ada jeda sejenak. Aku menuruni tangga dan membeli sekaleng KOPI MAX dari mesin penjual otomatis. Aku berjalan kembali ke ruang kelasku sebelumnya sambil menyesapnya.

Kalau mengenai mereka yang sama-sama mengikuti pelajaran yang sama denganku, masing-masing dari mereka sedang melakukan urusan mereka sendiri; mereka bermain-main dengan ponsel mereka, membaca buku, atau menatapi buku teks untuk pelajaran bahasa Jepang Modern nanti.

Sebagian besar orang biasanya cenderung ingin sendirian dan dalam situasi kali ini, penyendiri termasuk ke dalam golongan mayoritas berbeda dengan sekolah kami yang biasa.

Situasi ini juga berbeda pada les sekolah yang kumasuki ketika aku masih SMP.

Les sekolah dulu ujung-ujungnya hanya sebuah tambahan untuk sekolah siang harimu dan itu hanya membuatnya lebih jelas bahwa mereka yang tidak diterima dimanapun dalam sekolahnya tidak akan diterima dimanapun juga. Dan karena hubungan semua orang terus terbawa ke les, itu amatlah menjengkelkan untuk berada di dalam sana.

Karena itulah, kamu menjadi mati-matian ingin naik ke kelas yang lebih tinggi. Semakin tinggi kelas yang kamu masuki, semakin tenang pula kelas itu serta cakupan pelajaran dan kemampuan belajar siswa juga akan semakin meningkat.

Sekarang kupikir-pikir lagi, mungkin orang hanya bergaul dengan orang lain sehingga mereka dapat membenarkan keberadaan mereka di kelas yang lebih rendah.

Mereka menghentikan semua usaha mereka menggunakan teman mereka sebagai alasan dan mencari pertemanan sebagai dalih untuk tetap berada di perairan yang hangat. Panutan ini membangkitkan situasi seperti pasangan ingin sama-sama memasuki SMA yang sama atau mengubah level kemampuanmu dan menurunkan standarmu ketika kamu memilih sekolah yang ingin kamu masuki.

Dulu, percakapan di dalam kelas yang sampai ke telingaku membuatku merinding.

Kalau kamu benar-benar memikirkan orang itu, maka kamu seharusnya dari awal jangan menghalangi dan juga jangan memanjakannya. Kamu sebenarnya hanya memilih cara yang paling mudah sehingga kamu bisa bersantai-santai saat melanjutkan kehidupan malasmu setiap hari.

Ditambah lagi, kalau kamu mendapat kabar angin bahwa kamu putus dalam waktu dua bulan setelah memasuki SMA yang sama, kamu bukan hanya akan menderita sakit di salah satu sisi perutmu saja, apalagi sisi sebelahnya; kamu sudah akan menderita peritonitis. Dan di sanalah dimana kamu akan mencoba mencari alasan dengan berkata kamu masih terlalu muda, bukan?

Mungkin itu karena mataku terlalu tajam melihat semua ini dari sisi pengamat. Aku tidak pernah percaya sedetikpun pada pertemanan yang pura-pura atau cinta semacam itu. Aku tidak yakin kepada jenis kebaikan penuh pengorbanan-diri yang dipakai untuk berdalih atau jenis kebaikan yang penuh dengan penipuan.

Jadi mengenai hal tersebut, sistem les itu bagus.

Tidak banyak intervensi pada siswa dan juga antar siswa juga saling acuh tak acuh. Dengan menghilangkan semua proses yang tidak berguna pada pembelajaran, mereka dapat merancang sistem efisiensi yang optimum. Les sekolah yang kumasuki sewaktu SMP itu agak menyakitkan karena betapa akrabnya siswa dengan guru lesnya… Toh, sebagian besar orang dipanggil dengan nama depan mereka sementara cuma aku yang dipanggil dengan nama belakangku…

Tentu saja, guru les dan siswa dapat bersahabat baik dengan satu sama lain jika mereka mau. Seperti sistem tutor—singkatnya mahasiswa yang bekerja paruh-waktu—yang bertindak sebagai staf pendukung siswa. Kelihatannya, mereka tidak hanya membantu pelajaranmu saja, tapi juga berperan sebagai konsultan pribadi dan konsultan karir. Itu seperti menyambut luas semua orang yang ingin berakting dalam film hubungan guru-murid dalam masa ujian yang menyentuh hati.

Pada dasarnya, les sekolah memiliki suasana yang kalem dan keras. Kamu juga cenderung merasakan hawa dinginnya pula terkadang. Suasana itu nyaman bagiku.

Orang-orang seperti riajuu (hah) dapat ditemukan dimana-mana. Kalau aku menggambar peta melihat distribusi habitat mereka, level distribusinya sudah setingkat dengan distribusi kutu kayu dan kecoak. Aku benar-benar tidak paham kenapa mereka ingin menjadi sesuatu yang sudah begitu memenuhi bumi ini.

Astaganaga, kerumunan itu… Karena ini musim panas-lah mereka menjadi begitu aktif. Itu apa yang membuat mereka terlihat seperti serangga juga. Dan karena aku benci serangga, ini adalah musim yang menyakitkan.

2-3[edit]

Aku diterjang oleh perasaan lesu yang tidak biasa ketika pelajaran usai, mungkin bukti aku telah berkonsentrasi selama 90 menit tadi.

Tidak seperti rasa lelah yang menyenangkan yang kamu dapat setelah berolahraga, rasa lelah setelah belajar terasa seperti jiwamu perlahan-lahan terbebani. Semua glukosa di dalam kepalaku sudah habis dikonsumsi dan kalau bukan karena KOPI MAX yang kuminum tadi, aku pasti akan merasa lebih parah. TONE Coca-Cola Bottling Company sudah pasti harus memproduksi beberapa produk sebagai kolaborasi dengan siswa yang ikut ujian; produk itu mungkin akan laris manis.

Sekarang setelah lesku hari ini telah usai, aku mulai bersiap-siap untuk pulang.

Penyendiri paling bersemangat ketika sudah waktunya pulang.

Untungnya, Tsudanuma itu cukup maju untuk sebuah distrik hiburan. Ada banyak toko buku dan pusat permainan. Itu adalah distrik yang tidak akan membuat anak SMA manapun merasa bosan.

Saat aku berpikir aku ingin mampir kemana sewaktu pulang, terdengar ketukan pada ujung mejaku.

Aku melihat ke arah ketukan tersebut dan Kawasaki Saki sedang berdiri di sana dengan tampang galak. Apa? Kalau kamu butuh sesuatu, katakan saja. Apa orangtuamu itu burung pelatuk?

“…Apa kamu perlu sesuatu?”

Karena dia membuat aura “Dengarkan aku, sialan!”, aku memutuskan untuk bertanya apa urusannya dengan patuh. Ketika aku melakukannya, Kawasaki dengan ragu menghela kecil. Astaga, kalau kamu ada masalah denganku, jangan bicara padaku. Mana yang kamu mau?

“Hei, apa kamu senggang?”

“Uh, sebenarnya aku ada sedikit urusan.”

Secara otomatis aku melontarkan kalimat klise yang kupakai ketika menolak sesuatu. Tindakan mempertahankan status quo dengan menolak ajakan itu sudah kira-kira menjadi instingku sekarang ini. Ini tindakan yang masuk akal pada masyarakat zaman sekarang yang serupa dengan “jangan mengangkat panggilan dari nomor yang tidak dikenal”.

Sebagian besar kejadian, orang akan segera mundur dan berkata, “Ohhh, baiklah, uh huh.” Itu apa yang mereka lakukan, tapi fakta bahwa mereka begitu mudah menyerah menandakan bahwa ajakan mereka itu hanya tanda sopan santun mereka. Malahan, mereka kelihatan amat lega ketika ajakan mereka ditolak. Astaga, lebih berhati-hatilah, oke? Aku rasa ada saat-saat dimana lebih baik untuk tidak mengajak seseorang karena merasa kasihan.

Tapi kelihatannya Kawasaki tidak mengajakku supaya sopan. Sebenarnya, aku bahkan tidak yakin apa wanita ini tahu bagaimana bersikap sopan. Dia agak blak-blakan terutama karena dia tidak merasa takut dengan Yukinoshita ataupun Hiratsuka-sensei.

Mata lesu Kawasaki menyipit. “Urusan seperti?”

“Uh, yah, kamu tahu, urusan… Seperti, dengan adikku.”

Tanpa pilihan lain aku menyebut nama Komachi. Kawasaki mengangguk singkat. “Oh benarkah. Bagus. Apa kamu keberatan ikut bersamaku sebentar?”

“Huh?” sahutku singkat untuk meminta penjelasan.

Kawasaki menjawab dengan letih, “Aku benar-benar tidak ada urusan denganmu, tapi Taishi ada. Dia ada di Tsudanuma sekarang.”

Huh, begitu ya. Jadi itu artinya dia mengirim pesan pada adiknya tadi. Dia pastilah mengidap semacam brother complex kalau dia tersenyum seperti itu saat menulis pesannya. Oh, tapi dia kelihatannya juga mengidap complex mengenai branya juga. Kalau branya kebesaran, branya hanya menawarkan sedikit keimutan. Itu apa yang dikatakan adik ratakuǃ

“Maaf, tapi aku tidak ada alasan untuk menyisihkan waktuku untuk adik—.”

“Namun adikmu bersamanya.”

“Apa, oke, kemana kita pergi? Apa mereka dekat dari sini? Apa kita bisa sampai kesana dalam lima menit dengan berjalan kaki? Apa kita sebaiknya lari?”

Katakan itu dari awal.

“Tahu tidak…”

Dia membuat tampang jijik untuk sejenak, tapi aku tidak memperhatikan Kawasaki dan segera berdiri. Aku meninggalkan kelas dengan Kawasaki mengikuti di belakangku.

“Di Saizeriya tepat di luar tempat ini. Tahu dimana itu?”

“Jangan remehkan aku. Aku tahu segala hal mengenai Saizeriya, terutama Saizeriya di samping Jalur Sobu.”

Malah, aku bahkan tahu dimana lokasi toko Saizeriya yang pertama berdiri. Awal Saizeriya bermula di Motoyawata. Walaupun mereka tidak membuka toko di sana lagi, mereka memasang papan tanda di sana.

Itu benar-benar membuatku ingin menulis pada tanda tersebut bahwa kantor “Tora no Ana” dan pusat distribusinya sebenarnya ada di Motoyawata.

Aku keluar melalui pintu masuk institut tersebut menuju jalan yang menyesakkannya panas. Bahkan tidak ada sedikitpun angin yang berhembus selagi sinar matahari terik terlihat kabur oleh hawa panas yang tercurah padaku.

Waktu di antara jadwal les. Dengan orang yang datang dari stasiun dan orang yang menuju stasiun, kepadatan manusia di lingkungan ini meningkat drastis.

Kawasaki dan aku nyaris tidak mengatakan apa-apa selagi kami menyusuri jalan kami melalui celah pada gelombang manusia. Aku biasanya bertindak sendirian, jadi aku telah menjadi agak ahli dalam mencari jalur kosong untuk dilewati. Mulai saat ini adalah waktunya Siluman Hikki untuk beraksiǃ[4]

Kelihatannya, Komachi dan serangga beracun itu ada di Saizeriya di dekat sini.

Memudahkan sekali. Ada pisau, garpu, dan sekumpulan senjata mematikan yang siap kupakai. Bahkan lebih baik lagi, aku bisa menggosok wajahnya dengan Milano Doria[5] yang amat panas setelah menghantamkannya pada wajahnya seperti kue pie. Aku hanya perlu meletakkan kalimat ini di atasnya, *Para staf dengan nikmat menerima makanannya dan semuanya akan baik-baik saja. Mereka akan memaafkanku atas semua yang kulakukan dengan kalimat itu. Dan setelahnya, aku bisa menghabisinya dengan mengoleskan saus tartar pada lukanya.

Aku bisa merasakan Soul Gemku berubah hitam pekat[6]. Whoa, tidak bagus. Kalau begini terus, aku akan menjadi seorang gadis ajaib. Ayo kupikir tentang hal-hal menyenangkan saja… Jadi kapan “Gadis Ajaib Totsuka ☆ Saika” akan mulai ditayangkan?

Perasaanku hampir meledak saat aku menunggu lampu lalu lintas dan Kawasaki yang berada selangkah di belakangku membuka mulutnya. “Omong-omong, Yukinoshita juga mengikuti les musim panas.”

“…Ohh, begitu ya.”

Mendengar namanya membuatku telat bereaksi.

Kalau aku tidak salah ingat, Yukinoshita seharusnya mengincar fakultas MIPA di universitas negeri. Kawasaki kelihatannya mengikuti kelas les itu juga. Yah, pada musim ini, itu wajar kalau kamu masih belum memutuskan sekolah mana yang ingin kamu masuki. Satu-satunya alasan aku mengincar sastra di universitas swasta adalah karena aku benar-benar hancur dalam matematika. Selagi kita membicarakannya, satu-satunya pilihanku di masa depan adalah menjadi bapak rumah tangga.

“Aku juga berpikir begitu sebelumnya, tapi itu benar-benar sulit untuk mendekatinya.”

Kamu sama saja… Kamu sadar bukan bahwa kamu selalu memancarkan aura menakutkan yang ditakuti perempuan dan yang bahkan juga ditakuti oleh lelaki, bukan?

“Kenapa kamu memelototiku?”

“Tidak ada apa-apa…”

Dia menyipitkan mata acuh tak acuhnya dan menatapku dengan tajam. Dengan panik aku berpaling. Aku hanya merasa itu mudah untuk membayangkan bagaimana Yukinoshita dan Kawasaki akan bersikap di dalam kelas. Walaupun mereka akan menarik perhatian semua orang, tidak ada satu orang pun yang akan mendekati mereka.

Sikap itu amat khas pada mereka, tapi aku rasa situasi yang mendasarinya sepenuhnya berbeda.

Sifat agresif Kawasaki muncul dari kemampuan berkomunikasinya yang buruk, tapi kurasa masih ada sesuatu lagi di balik itu. Itu pola stereotip dimana dia terlalu sedikit berbicara. Aku rasa dia hanyalah seorang pembicara yang buruk. Kalau kamu melihat cintanya pada adiknya, kamu setidaknya bisa mengetahui sebanyak itu.

Di sisi lain, Yukinoshita tidak pernah benar-benar mencoba bersikap agresif. Hanya saja dia sendiri merupakan jelmaan dari agresif. Manusia yang lebih unggul itu begitu mempesona. Mereka membuat orang merasa lebih rendah dan memancing kecemburuan dari orang lain. Hal-hal itulah yang menyebabkannya terkucilkan dari sekelilingnya dan dihadapkan dengan rasa dengki. Tapi lebih parahnya, Yukinoshita itu tipe orang yang menghadapi kedengkian itu sepenuhnya dan menghancurkannya berkeping-keping.

Jika tindakan Kawasaki itu adalah cara untuk melindungi dirinya dengan intimidasi, maka tindakan Yukinoshita itu selalu untuk membalas dendam.

Lampu lalu lintas berubah hijau.

Ketika aku berjalan maju, Kawasaki meninggikan suaranya dengan segan. “…Hei. Bisakah kamu mengucapkan terima kasih padanya untukku? Aku tidak pernah bisa menemukan waktu yang tepat untuk memberitahunya sampai sekarang.”

“Beritahu dia sendiri.”

“Yah, aku ingin, tapi itu rasanya, agak canggung.”

Mendapati itu aneh bahwa suara Kawasaki terdengar agak segan, aku melihat ke arahnya. Dia menundukkan kepalanya dan berjalan maju sambil melihat ke atas tanah. “Selalu ada orang yang tidak dapat kamu sukai meskipun itu bukan salah mereka, bukan?”

“Ya.”

Ya. Itu tentu benar.

Itulah kenapa kompromi terbesar yang bisa kamu lakukan adalah untuk tidak ikut campur dengan satu sama lain. Keputusan untuk tidak melibatkan dirinya adalah cara untuk saling menguntungkan.

Akrab dan bersahabat, berbincang sambil tersenyum, berjalan-jalan bersama dan bersenang-senang bersama; itu semua bukan cuma cara untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Mereka melakukan ini semua untuk membentuk jarak yang sesuai dengan orang lain sehingga mereka tidak akan dibenci, tindakan yang kurasa pantas dipuji.

Mungkin seperti ini cara Kawasaki memandang Yukinoshita.

Kamu tidak ada pilihan selain menerimanya, tapi kamu masih tidak bisa mendekati orang itu. Itu karena kamu paham bahwa tidak ada hal bagus yang akan muncul saat salah satu dari kalian mengambil langkah itu untuk dia, bahwa kamu yakin kalian hanya akan menyakiti satu sama lain. itulah kenapa kamu menjaga jarakmu. Ini bukan melarikan diri atau mencoba untuk menghindar, tapi sebuah tindakan realistis untuk menangani situasi ini; untuk menunjukkan rasa hormat.

“Juga, aku rasa untuk sementara ini kami tidak akan bertemu. Kalau aku tidak bertemu dengannya di les, maka lain kali aku berjumpa pasti sewaktu sekolah dimulai, benar? Kelas kita juga berbeda. Tapi kamu bisa berjumpa dengannya untuk klub atau semacamnya, bukan?”

“Tidak, aku rasa aku juga tidak akan berjumpa dengannya sampai sekolah nanti.”

Paling tidak, kami tidak akan dengan sengaja bertemu satu sama lain. Ketika aku memikirkannya, hubunganku dengan Yukinoshita persis itu. Kecuali kami dipaksa, kami tidak akan mendekati satu sama lain. Walau aku juga tidak tahu nomornya.

Setelah kita berjalan melewati persimpangan tersebut, kami menuruni tangga yang mengarah ke bawah bangunan. Langkah kaki menggema dengan pelan.

“Dan meskipun kami bertemu, kami tidak akan benar-benar membicarakan tentang sesuatu.”

“Benar. Kami juga tidak mengatakan apapun.”

“Tepat sekali.”

Sebenarnya, kalau kamu berbicara denganku, aku akan menjawab balik dengan baik, kamu tahu? Malahan, aku itu luar biasa sopan sampai orang akan merasa jijik. Tapi jika aku tahu orang yang kuajak bicara adalah seorang penyendiri seperti Kawasaki, kami itu setali tiga uang sehingga membuatku merasa lebih mudah untuk bersikap seperti yang kuinginkan.

Saat kita terus melangkah turun, kami sampai ke lantai pertama di bawah tanah.

Setelah memasuki toko itu melalui pintu otomatisnya, Komachi terlihat duduk di meja persis di samping bar minuman. Ketika dia melihatku, dia melambaikan tangannya. “Ohh, onii-chan.”

“Ohh.” Aku menyahut singkat dan duduk di sampingnya. Di depanku terdapat seorang siswa SMP dengan nama yang menyerupai Sano Yakuyoke Daishi[7]. Ketika mata kami bertemu, dia membungkukkan kepalanya.

“Hei onii-san, maaf menganggumu.”

“Jangan panggil aku onii-san. Akan kubunuh kamu.”

“Hei, kamu sedang cari masalah dengan adikku?”

Kawasaki telah duduk di depanku tanpa bersuara dan sedang memancarkan amarah.

Astaga, dia menatapku dengan mata setajam pisauǃ Manusia yang mengidap brother complex amat menjijikan. Orang yang sangat mencintai saudara kandungnya itu benar-benar menjijikan. Luar biasa menjijikan.

Selagi Taishi menenangkan Kawasaki yang sedang menggeram untuk mengancamku, aku membunyikan loncengnya dan segera membuat pesananku.

Aku memesan minuman untuk dua orang. Karena Kawasaki begitu menakutkan, aku menghentikan rencanaku untuk menghantam wajahnya dengan Milano Doria.

Seperti yang mereka lakukan di dunia bisnis, aku mengambil kopiku dan menyesapnya sebelum mulai berbisnis.

“Jadi, bukankah kamu mencariku untuk sesuatu?”

“Ya. Masalahnya, aku ingin bertanya padamu mengenai beberapa hal mengenai SMA Sobu.”

“Uh, tanya kakakmu sana.”

Kawasaki memasuki sekolahku dan dia bahkan sekelas denganku. Aku harus memastikan itu, kalau tidak, aku mendapat firasat aku akan melupakannya.

“Aku benar-benar ingin mendengar apa yang lelaki lain pikirkan mengenai sekolah itu!”

Entah kenapa, Taishi sedang mengepalkan tangannya. Kenapa dia terlihat begitu bersemangat…?

Tapi dia boleh-boleh saja melontarkan segala jenis pertanyaan padaku, tapi jawaban yang bisa kuberikan benar-benar tidak begitu hebat.

“Tidak ada yang terlalu spesial mengenai sekolah kami. Aku rasa itu tidak begitu berbeda dengan SMA lainnya. Aku rasa acara sekolah kami mungkin berbeda sedikit, seperti betapa menyoloknya Festival Budaya kami atau level klub kami.”

Aku tidak benar-benar tahu pasti karena aku tidak pernah melihat SMA lain sebelumnya, tapi itulah kesanku mengenainya. Setidaknya, jika kita membatasi sekolah tersebut pada sekolah berstandar, berkurikulum penuh, maka seharusnya tidak begitu masalah mencakup begitu banyak sekolah ke dalam satu kategori umum. Mengabaikan sekolah dengan kurikulum yang khusus, sebagian besar sekolah tidaklah begitu berbeda. Malahan, bayanganku mengenai SMA sebelum dan setelah aku memasukinya nyaris sama.

Satu-satunya kesalahan perhitunganku adalah keharusanku untuk memasuki Klub Servis.

“Mm? Tapi kalau standar nilai rata-rata ujian sekolah berbeda, bukankah suasana sekolah juga akan berbeda?” Komachi memiringkan kepalanya dengan penasaran.

“Yah, aku rasa nilai rata-rata yang lebih tinggi mengarah pada jumlah preman sekolah yang lebih sedikit. Walau itu tidak akan mengubah mereka yang mengagumi preman.”

Aku mengalihkan pandanganku ke arah diagonal dariku. Ketika Kawasaki menyadarinya, dia melotot balik. “Dan kenaapa kamu melihat ke arahku…? Aku tidak mengagumi mereka.”

Oh, apa aku salah? Hanya saja, aku tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa kamu akan mengatakan sesuatu seperti, “Jangan wajahnya, incar badannya, badannya”[8] Jadi…

Aku mengosongkan tenggorokanku seakan untuk menyembunyikan fakta bahwa aku tertekan oleh pelototan Kawasaki dan memulainya dari awal. “Baiklah, jadi intinya, satu-satunya yang berubah adalah rasio orang dari SMPmu dengan orang di SMA. Sehingga, semua orang mencoba untuk bersikap seperti ‘anak SMA’ dan itu benar-benar menjengkelkan.”

“Oh, bersikap seperti seorang ‘anak SMA’, huh?” Taishi memiringkan kepalanya atas ketidak-pahamannya mengenai apa yang kumaksudkan.

“Aku tidak tahu apa yang kamu harapkan, tapi intinya, semua orang hanya bersikap seakan mereka sudah mendekati sosok “anak SMA” ideal mereka yang sering dilihat mereka pada karya fiksi. Sebagian besarnya hal-hal tidak berarti seperti itu.”

Aku yakin aturan tak tertulis seperti, “Seseorang harus bersikap seperti seorang anak SMA” itu ada.

    Peraturan Siswa SMA

Satu. Seorang siswa SMA akan memiliki pacar. Dua. Seorang siswa SMA akan dikelilingi oleh banyak teman dan akan konyolnya ribut. Tiga. Seorang siswa SMA akan bersikap seperti seorang “anak SMA” dalam drama dan film. Mereka yang menentang pasal-pasal tersebut di atas akan merobek perut mereka.

    Atau sesuatu seperti itulah.

Kalau aku harus mengatakannya, itu mirip dengan bagaimana orang mengagumi kode samurai Shinsengumi — terutama kode Hijikata Toshizou— untuk kemiripan-samurai mereka bukan karena mereka adalah samurai.

Kalau kamu ingin menggabungkan idealisme dengan realitas, maka kamu harus mampu melakukan hal yang mustahil.

Contohnya, lelaki bersusah payah untuk bisa populer dengan menghibur gadis dengan pesan, mentraktir mereka setiap kali ada kesempatan, dan membuat mereka terpesona dengan bertingkah seribut mungkin. Tapi sebenarnya, mereka hanyalah orang yang pendiam.

Atau bahkan mungkin gadis yang ingin akrab dengan orang lain dengan mengikuti tren busana yang sedang marak-maraknya (hah), menghadiri pesta hanya supaya jumlahnya pas, dan mendengarkan lagu J-POP populer terbaru. Tapi sejujurnya, hobinya itu jauh lebih pantas dan cocok dengan seorang gadis yang lemah lembut.

Tapi meskipun begitu, mereka akan berusaha keras untuk melakukan itu. Semua mereka lakukan agar mereka tidak menyimpang dari “normal”. Mereka tidak ingin disingkirkan karena bersama “semua orang” itu bernilai.

“Ooph… kurasa aku mendengar hal yang tidak ingin kudengar…” Taishi membuat ekspresi yang murung setelah mendengar apa yang kukatakan.

“Yah, ini hanya sudut pandang dari seseorang yang aneh. Kalau kamu benar-benar ingin akrab dengan seseorang, maka kamu sebaiknya bersiap-siap untuk mengorbankan sesuatu.”

Itu sangat sulit untuk hidup berbeda dari orang lain, tapi hidup sama seperti orang lain juga sama sulitnya. Hidup itu sulit.

“Oh ups. Kelihatannya minuman kalian semua sudah hampir habis.”

Komachi menyenandungkan sebuah melodi untuk menyantaikan suasana yang berat ini dan mengambil gelas semua orang. Kelihatannya dia ingin pergi menambah minuman kami. Melihat itu, Kawasaki berdiri. “Aku juga ikut. Aku rasa kamu tidak akan bisa membawa semuanya.”

Komachi menerima sarannya dengan ucapan terima kasih dan mereka berdua berjalan menuju bar minuman.

Aku melihat mereka pergi untuk sekilas.

Setelah itu, Taishi mendongakkan wajahnya seakan dia mengingat sesuatu. Dia mencuri-curi pandang ke arah Kawasaki dan Komachi dan kemudian sedikit mendekatkan dirinya padaku.

“A-Ahem… Mungkin agak sedikit aneh menanyakan ini,” kata Taishi, mencondongkan dirinya ke depan sambil berbisik. “Tapi bagaimana dengan gadis di sana? Apa mereka manis? Seperti Yukinoshita-san, dia super cantik, bukan?”

——Hoho, jadi ternyata dia ingin membahas soal ini. Jadi sikap mengebu-gebunya di awal itu karena dia ingin menanyakan hal ini.

Ketika dia mengajukan pertanyaan itu padaku, aku memikirkannya sejenak. Yah, kalau aku harus mengatakannya, memang benar kelihatannya ada banyak gadis di sekolah kami…

Sebenarnya, dalam kehidupan sekolahku, kesan yang kudapat hanyalah “gadis manis” dan “wajah lucu yang meninggalkan sejuta kesan”. Itulah kenapa aku tidak ingat banyak mengenai gadis biasa.

“Kamu benar, memang di sana ada banyak gadis mannis. Ada satu kelas IPS Internasional dan kelas itu terdiri dari 90% gadis. Jadi itu singkatnya ada banyak gadis. Maka dari itu, persentase gadis yang cantik juga meningkat.”

“Ohh! Bagaikan bermimpi!”

Ada apa dengan slogan yang hanya akan diucapkan oleh Bandai itu? Tepatnya, Bermimpi dan Berkreasi. Namun, aku harus terus terang dengannya.

“Tapi tahu tidak, Taishi…” Aku melanjutkan kata-kataku dengan cara yang pelan, namun bisa dimengertinya. “Kamu tahu apa yang dikatakan ibu sepanjang waktu. Kamu mungkin saja menyukai gadis yang manis, tapi itu tidak berarti dia juga menyukaimu.”

“Ma-mataku telah terbuka!” Taishi membelalakan matanya seakan dia tersambar oleh petir dan telah mendapatkan pencerahan sehingga semangat awalnya menghilang entah kemana.

“Yang penting adalah kamu tahu kapan harus menyerah. Kalau sudah kamu kejar tapi tak dapat juga, maka menyerah saja. Perjalanan seribu mil dimulai dengan menyerah merupakan mentalitas yang penting untuk dimiliki[9]."

Kini, aku juga ingin menyarankan, “Kenali musuhmu, kenali dirimu, dan kamu akan menyerah dalam ratusan pertempuran[10].”

“Lagipula, apa kamu rasa kamu bisa akrab dengan seseorang seperti Yukinoshita?”

“Itu benar… Setidaknya, aku rasa aku tidak bisaǃ Orang itu agak menakutkan!”

Pendapat yang amat jujur. Aku ingin menghadiahinya beberapa jenis kampak. Daripada disebut bunga yang tidak bisa didapat, Yukinoshita lebih cocok disebut bunga yang mekar di Pegunungan Guiana[11].

Bagi orang yang tidak mengenal Yukinoshita dengan baik, dia itu agak menakutkan, terlalu suka mendominasi, dan mungkin bahkan terlihat arogan.

Itulah bagaimana aku memandangnya pada awalnya… Walau, itu, um, kalau kesempatan pertama kami untuk bertemu itu di dalam klub.

“Kuh, SMA Sobu… Tempat yang menakutkan, harus kubilang…” Taishi entah kenapa merinding dan berubah pikiran.

Karena itu sedikit menjengkelkanku, aku memutuskan untuk menghabisinya. “Lingkunganmu mungkin akan berubah, tapi itu tidak berarti kamu akan berubah. Berpikir bahwa sesuatu akan berubah setelah kamu masuk SMA itu hanyalah sebuah ilusi. Kamu sebaiknya berhenti bermimpi sekarang.”

Pertama-tama, akan kuhancurkan ilusi kelirumu ituǃ[12] Haha, oke, yah, dulu entah kapan aku juga memiliki harapan seperti itu. Tapi kehidupan SMA semacam itu hanyalah utopia yang terasa jauh sekali[13]. Memberitahunya mengenai kenyataannya sekarang adalah sebuah bentuk kebaikan.

“Hei, jangan terlalu menindasnya,” kata Komachi, baru saja kembali dari bar minuman. Dia meletakkan gelas-gelasnya di atas meja dan menyodok kepalaku.

Saaaaaalahǃ Aku tidak menindasnya. Aku hanya mengerjainya, itu saja. Aku bersungut-sungut seperti anak SD yang mencari-cari alasan di dalam hatiku. Dipikir lagi, aku benar-benar bisa membayangkan anak-anak itu mengatakan hal semacam itu.

“Kamu tidak perlu menganggap serius kata-katanya, Taishi. Yang penting… pikirkan saja bagaimana lulus dulu.” Kawasaki duduk di samping Taishi, menyesapi gelasnya, dan mengatakannya.

Tubuh Taishi menyentak sekilas dan dia mengerang. “Urgh…”

“Apa dia kesulitan?”

“Jujur saja, dengan nilainya dia nyaris bisa lulus. Itulah kenapa aku terus memberitahunya untuk belajar…” Kawasaki mewakili Taishi untuk menjawab pertanyaanku. Ceramah tambahan itu membuat Taishi menundukkan kepalanya.

“Uuuugh…”

Untuk membuatnya merasa lebih baik, Komachi menyemangatinya. “Tidak apa-apa, Taishi-kun. Meskipun kamu akhirnya tidak di SMA Sobu tapi di SMA yang sepenuhnya berbeda dariku, aku masih akan menjadi temanmuǃ Tidak peduli apapun yang terjadi, kita akan selalu berteman!”

“Ti-tidak peduli apapun yang terjadi, kita akan selalu berteman… Te-tentu…”

“Yep, teman selamanya. Kita akan jadi teman sesama primata♪!”

Berakhir sudah… Aku sama sekali tidak masalah sebagai abangnya, tapi sebagai sesama lelaki, aku dapat bersimpati padanya. Itu menyedihkan melihatnya tersudutkan seperti itu.

“Yah, kamu tahu, bagaimana kalau kamu memasang target? Kalau ada sesuatu yang bisa mendorongmu untuk bekerja keras, maka kamu akan bisa berusaha lebih keras,” kataku.

Taishi mengangkat kepalanya. “Target?”

“Ya. Ini bukan sesuatu yang bisa kubanggakan, tapi kalau aku, aku berusaha amat keras sekali ketika aku berpikir bahwa aku akan memasuki sekolah yang tidak akan dimasuki orang-orang SMPku. Setiap tahunnya, hanya satu orang dari SMPku yang memasuki SMA Sobu.”

“Benar-benar tidak ada yang bisa dibanggakan sama sekali…” Kawasaki tersenyum getir. Itu hanya karena kamu sedang minum kopi, bukan?

“Kalau aku, itu karena onii-chan memasuki SMA itu!”

“Ya, ya, kami tahu, kami tahu.”

Aku mengabaikan usahanya mencari kesempatan untuk menebar pesona dan Taishi memasang tampang serius dan melihat ke arah Kawasaki. “Nee-chan, apa kamu juga punya target?” tanyanya.

Dia meletakkan cangkirnya. “Aku… lupakan tentang aku, oke?” Dia memikirkannya sejenak, tapi kemudian memalingkan wajahnya.

Tapi aku ada gambaran mengenai alasannya. Kalau itu disampaikan pada Taishi, aku yakin itu juga akan membantu membuatnya termotivasi…

“…Yah, kalau kamu ingin mengincar sekolah negeri atau nasional dengan uang sekolah yang murah, SMA kami cukup hebat dalam segi itu.”

“Hei, jangan katakan hal-hal yang tidak perlu!” Kawasaki melototiku dengan gelisah. Tapi wajahnya yang memerah karena malu itu sama sekali tidak berdampak padaku. Bodoh. Mata lemah seorang brocon tidak pantas untuk ditakuti.

Taishi kelihatannya mendengarkan kata-kataku dan mengangguk. “Oh oke…”

Aku yakin ada segala jenis alasan.

Tidak hanya bagi Kawasaki Saki, tapi bahkan untuk semua orang.

Dimana ada orang yang hanya asal menetapkan pilihannya saja, ada juga orang yang hanya bisa memutuskan satu pilihan saja.

Tidak semua jawaban itu menyegarkan dan positif. Jika seseorang memutuskan pada sesuatu tidak peduli cara pengecut dan negatif apapun yang mereka pakai, aku rasa itu tidak masalah.

“Sudah kuputuskan. Aku akan memasuki SMA Sobu!” ujar Taishiki padaku dengan ekspresi yakin.

“Yah, usahakan yang terbaik,” Aku memberitahunya perasaan tulusku… Tapi setelah memikirkannya lebih jauh lagi, Komachi juga mengincar SMAku.

“…Kalau kamu berhasil, aku akan membuatmu merasa senang. Dan dengan senang, maksudku senang dalam pertandingan Sumo.”

“Kamu kelihatan siap untuk membunuhku, kamu tahu!?”

Kawasaki menatapku dengan tatapan keras untuk membela Taishi yang ketakutan. Setelah itu, aku melihat ke arah bon tagihannya.

“Jadi apa kalian sudah selesai? Sudah hampir waktunya kami pulang.”

Aku melihat ke arah jam dan sudah hampir waktunya makan malam. Aku mengeluarkan uang 1.000 yen dari dompetku, meletakkannya ke atas meja dan berdiri dari tempat dudukku.

Taishi menjawab ya dan berdiri lalu membungkuk padaku.

“Onii-san! Terima kasih banyak.”

“Oh, hentikan itu… Karena peluangmu untuk pernah bisa memanggilku onii-san baru saja lenyap.”

“Itu apa yang kamu maksud!?”

Melihat percakapan kami dari samping, Komachi menepuk dagunya dengan jari telunjuknya dan memiringkan kepalanya.

“Hmm? Tapi kalau Saki-san menikah dengan onii-chan, tidak aneh baginya untuk memanggilmu onii-san, bukan?” kata Komachi, dengan blak-blakan.

Kawasaki berdiri dengan kalang kabut. “A-Apa kamu bodohǃ? Ada apa dengan adikmu ituǃ? Ti-Tidak mungkin itu bisa terjadi!”

Aku dapat mendengar suaranya dari balik punggungnya selagi dia meninggalkan toko. Memastikan dia tidak dapat mendengarku, aku bergugam dengan senyuman getir. “Tepat sekali. Aku tidak akan menikahi siapapun kecuali dia itu orang yang akan mengurusku.”

YahariLoveCom v5-063.jpg

“Itu dia lagiǃ Pembelaan sampah onii-chan!”

“Hei hentikan itu, jangan sebut itu pembelaan.”

Sama sekali bukan itu. “Mencari orang untuk mengurusku” disebut front absolut.

Hari ini juga.

Semua masih tenang pada front absolut. [14]

Mundur ke Bab 1 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 3

Catatan Translasi[edit]

<references>

  1. Referensi Evangelion
  2. Penerbit Oregairu
  3. Referensi Nichinoken, tempat les
  4. Referensi pada Momoko “Stealth Momo” Touyoko yang sering mengucapkan kalimat ini.
  5. Gratin Doria
  6. Referensi Puella Magi Madoka Magica
  7. Sano Yakuyoke Daishi – Nama lain Kawasaki Daishi yang merupakan sebuah kuil.
  8. Kalimat yang diucapkan Junko Mihara dari Kinpachi-sensei 3-B, sebuah drama televisi.
  9. Perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah, artinya jangan mudah putus asa, jangan pernah berhenti, pantang menyerahlah kawan.
  10. Kenali musuhmu, kenali dirimu, dan kamu akan memenangkan ratusan pertempuran. Sun Tzu. Artinya, informasi dan pengetahuan itu penting.
  11. Terletak di Venezuela, dan juga tempat air terjun Angel (Angel Falls), air terjun jatuh-bebas tertinggi di dunia, berada.
  12. Kamijou Touma dari Toaru Majutsu no Index
  13. Utopia adalah dunia dimana segalanya itu sempurna~~
  14. Referensi novel "All is quiet on the Western Front", kisah mengenai Perang Dunia Pertama pada Front Barat yang ditulis oleh veteran Jerman pada Perang Dunia Pertama.