Oregairu (Indonesia):Jilid 9 Bab 8

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 8: Dan kemudian, Yukinoshita Yukino[edit]

8-1[edit]

Persis setelah malam, angin dingin mulai meniup melalui Destinyland, yang berdiri di salah satu bagian tepi pantainya.

Jika anginnya menjadi terlalu kuat, kembang apinya kemungkinan akan ditunda. Tapi tidak ada pengumuman mengenai itu, jadi kembang apinya mungkin akan digelar seperti yang terjadwal.

Setelah menyelesaikan belanja kami di toko Pan-san, kami mengunjungi sejumlah atraksi-atraksi lain, mengambil foto-foto sebagai bahan-bahan keterangan. Aku sangat ragu sekali tentang apa foto-foto ini sama sekali akan dapat berguna, tapi pada akhirnya, itu tidak seperti ada hal lain yang bisa kami lakukan selama dua hari libur yang kami punyai ini. Dengan itu di pikiranku, ini bukanlah upaya yang benar-benar tak berarti meski foto-fotonya itu, paling banyak pun, hanya bahan keterangan untuk acuan saja.

Terus menerus berjalan dan berdiri membuat keletihan bertumpuk sedikit demi sedikit. Sementara kami sudah kadang-kadang beristirahat, keramaian ini tidak mengizinkan kami untuk bergerak seperti yang kami inginkan, membuat masing-masing dari kami lumayan lelah sekali.

Pada saat sekarang, kami sedang berkeliling berharap untuk menaiki satu atraksi terakhir sebelum paradenya dimulai. Tapi tidak seperti siang tadi, laju semua orang lebih lamban.

Tentu saja, aku berakhir di belakang kelompok itu, sebuah kebiasaan yang dimulai setiapkali aku bergerak bersama-sama dengan suatu kelompok. Tapi berkat itu, aku bisa mendapatkan pandangan-pandangan sepintas akan semua ekspresi lelah kelompok ini, yang secara keseluruhan mulai berhenti berbicara sedikit demi sedikit.

Terutama, secara diagonal di depanku, Isshiki yang sedang berbicara dengan Tobe meninggalkan kesan bagiku.

“…Tobe-senpai, apa kamu ada waktu sebentar?”

“Ooh, ada apa, Irohasu?”

Isshiki berbicara pada Tobe dengan suara kecil, dengan hati-hati menghindari perhatian yang tidak diinginkan, walau suara Tobe itu keras sebagai balasannya. Dia kemudian menarik lengan baju Tobe ke bawah, merasa hal itu bermasalah, dan berbisik ke dalam telinganya.

“…Eh, ente serius?” kata Tobe dengan ekspresi kaget, atau lebih tepatnya, tidak mengenakkan. Setelah membuat suatu tampang pelik dan memandang-mandang ke sekelilingnya, dia menurunkan suaranya dan membisikkan sesuatu. Melihat Tobe yang biasanya bising dengan diam-diam berbisik-bisik seperti itu begitu anehnya tidak wajar.

Setelah percakapan mereka berakhir setelah beberapa patah kata, Isshiki dengan pelan membungkuk pada Tobe dan dia segera bergegas ke depan dimana Hayama dan Miura berada. Kelihatannya dia meminta sesuatu pada Tobe. Mengenai Tobe, dia sedang menarik rambut di belakang kepalanya selagi terlihat bingung.

Setelah sampai ke depan, Isshiki berdiri di samping Hayama dengan Miura yang juga berada di sisinya. Kelihatannya kami akan terus berjalan lurus ke depan sampai kami berhasil keluar dari alun-alunnya.

Hayama, yang tidak tampak lelah, berbincang dengan Isshiki, yang dengan santai datang berbicaranya padanya, sementara Miura berjalan dengan lesu karena letih.

Yang mengikuti di belakang mereka adalah Yuigahama dan Ebina-san yang mengoceh-ngoceh pada satu sama lain, masih bersemangat.

Dan kemudian ada aku. Aku sedang mengekori di belakang mereka, saat ini sedang disetel ke dalam mode sedikit letih.

Yukinoshita, yang posisinya serupa denganku, juga sedang berjalan mengikuti dengan lesu. Bagi seseorang yang tidak yakin akan staminanya sendiri, di sinilah dia, di dalam kerumunan orang ini. Dia yang paling tampak lelah dari kami semua.

Bahkan sekarang dia sedang menyeret dengan berat kaki rampingnya. Dia tiba-tiba memghembuskan nafas dalam.

“Kamu baik-baik saja?”

“Ya.” jawab Yukinoshita dengan singkat. Dia tidak melihat ke arahku, walau aku tidak yakin apa itu karena dia terlalu letih untuk melakukannya, atau apa jarak kami masih agak tegang.

“Ah, sial.” kata Yuigahama saat dia berjalan di depan.

Aku melihat ke arahnya dan jalan yang menuju sampai ke alun-alun yang akan kami lewati itu sudah hampir dipalangi dengan tali untuk paradenya.

Yuigahama dan Ebina-san dengan ribut melesat ke depan dan nyaris hampir tidak bisa melewati tali yang sudah akan ditaruh di sana itu. Baik Yukinoshita dan aku, yang lebih jauh di belakang mereka, sepenuhnya terlambat untuk berancang-ancang.

Kami berdua dipisahkan dari Yuigahama dan yang lain oleh satu jalan. Menyadari bahwa kami sudah tertinggal di belakang, Yuigahama memanggil.

Aku mengangkat tanganku dengan pelan dan menyahut. “Pergi saja dulu. Kami akan menyusul di belakangmu.”

“Baaaiklah!” Yuigahama mengayunkan lengannya dan pergi mengejar Hayama dan yang lain.

Aku melihatnya pergi dan berpaling pada Yukinoshita. “…Oke, kita sebaiknya mulai pergi.”

“Baiklah kurasa.”

Itu bukanlah suatu masalah besar karena kami tahu kemana tujuan mereka. Sedikit jauh karena kami harus mengambil jalan memutar mengelilingi alun-alunnya, tapi itu tidak buruk. Tapi dengan jalannya dipalangi untuk paradenya, sisi kami mendapati kepadatan orang yang bertambah.

Di tambah lagi, hari sudah malam dan cahaya atraksinya sudah menyala dengan cemerlang. Ada sejumlah orang-orang yang berhenti dan bersiap-siap untuk mengambil foto seakan mereka sedang pergi memberi persembahan. Karena itu, kami tidak bisa maju seperti yang kami inginkan.

Itu memakan waktu yang lumayan banyak untuk sampai ke Spride Mountain, atraksi selanjutnya yang ingin kami naiki. Aku melihat sepintas pada pintu masuknya, tapi Yuigahama dan yang lain tidak terlihat dimanapun.

Yukinoshita mencoba melihat sekeliling juga dan berbicara ketika dia menyadari mereka tidak terlihat ada di sekitar tempat itu. “Apa kita sebaiknya memanggil mereka?”

“Kurasa sebaiknya begitu…”

Aku mengeluarkan ponselku dan memanggil satu nomor yang kuketahui dari kelompok mereka. Membutuhkan tiga deringan bagi pihak mereka untuk akhirnya mengangkatnya.

“Yaaa?” Bersama-sama dengan suara Yuigahama terdapat suara-suara ribut lain. Itu semua mungkin suara Hayama dan yang lain.

“Dimana kalian? Kami berdua sudah di sini.”

“Ah, maaf, kami sudah masuk ke dalam.”

“O-Oke…”

Kupikir mereka akan menunggu kami, tapi kurasa tidak… Aku menerima suatu syok ringan.

Merasakan hal tersebut, Yuigahama berkata dengan kalang kabur, “Tidak apa-apa, tidak apa-apa! Kalau kalian mengambil jalur FASTPASS, kita akan segera bertemu. Itu juga tidak begitu ramai sekarang ini, jadi kamu akan super cepat melalui antriannya. Sehingga kami berakhir berbicara tentang apa itu tidak masalah bagi kami untuk pergi dulu dan semacamnya…”

Aku memandang sekilas pada antrian yang menunggu selagi mendengarkan.

Seperti yang dikatakannya, antriannya lebih pendek dari biasanya. Layar dengan waktu menunggunya menandakan sekitar tiga puluh menit. Mempertimbangkan betapa cepatnya antriannya sedang bergerak sekarang, kemungkinannya waktunya akan jauh lebih singkat lagi. Juga, jika kami mengambil jalur FASTPASS mengikuti saran Yuigahama, kami seharusnya bisa dengan mudah bertemu. Terkadang, ada orang yang akan memakainya untuk pergi ke toilet selagi menunggu di antrian, jadi seharusnya tidak ada banyak masalah menggunakannya untuk bertemu dengan yang lain.

“Baiklah.”

“Oke, sampai jumpa nanti.”

Aku menutup teleponnya dan melihat ke arah wajah Yukinoshita. “Kelihatannya kami akan bertemu dengan mereka di dalam.”

Yukinoshita mengangguk balik dan kami menuju ke arah antrian itu.

Jalur FASTPASS tidak dapat dipakai di awal. Ada waktu-waktu yang sudah ditetapkan dimana FASTPASS bisa dipakai dan itu juga diawasi dengan ketat. Itulah sebabnya kami berakhir mengantri di antrian biasa. Tapi bahkan di antrian ini, kami bisa terus berjalan dengan mulus. Ini kemungkinannya karena pengunjung-pengunjungnya bermigrasi ke arah area parade.

“Untuk sekarang, kurasa kita sebaiknya tetap di antrian ini sampai antriannya berhenti bergerak.”

Kami akan berjalan sejauh yang kami bisa di antrian ini. Dari sana, jika kami mengambil jalur FASTPASS seperti menukar lajur lalu lintas, maka kami seharusnya bisa menemukan Yuigahama dan yang lain dengan segera.

Selagi kami menanti di dalam antrian, antriannya maju lebih jauh lagi dan kami sudah bergerak jauh sekali.

Dan kemudian, ada satu kelompok yang kelihatannya adalah murid-murid SMA dari suatu SMA yang mengenakan seragam gakuran Cite error: Invalid <ref> tag; refs with no name must have contentdi depan sedang bertengkar. Ketika pembukaan parade dan kembang apinya, anak-anak muda ini yang sedang menunggu kesempatan mereka akan berlari dengan segenap tenaga mereka sehingga mereka bisa menaiki atraksi-atraksi lagi dan lagi. Kelihatannya bahwa lari mereka itu merupakan penyebab utama pertengkaran itu. Mereka sedang bertengkar mengenai siapa yang pertama dan siapa yang memotong mereka dan semacamnya.

Stafnya segera melesat datang dan mereka semua diminta untuk pergi. Antriannya terus berlanjut secara hening dengan penetapan peringatan tersebut.

Yukinoshita melihat ke arah wajah-wajah orang di depan dan di belakang.

“Kelihatan seperti kita tidak akan bisa memakai teman kita sebagai alasan untuk maju terlebih dulu…”

“Ya. Aku akan mencoba meneleponnya sekali lagi…” Aku mengeluarkan ponselku dan menekan tombol redial. Tapi tidak peduli berapa banyak deringan yang berlalu, tidak ada jawaban. “Dan dia tidak mengangkatnya…”

Sebetulnya nomor Yuigahama itu satu-satunya yang kuketahui… Aku sudah memberikan nomorku pada Hayama sebelumnya, tapi aku tidak pernah mendapat nomornya.

“Apa kamu tahu nomor telepon mereka-mereka yang lain?”

Aku menanyakan Yukinoshita hanya supaya pasti, tapi dia menggelengkan kepalanya. Sudah kuduga… Aku mencoba menelepon beberapa kali lagi selagi kami dengan enggan tetap menanti di antriannya dan dengan antriannya maju ke depan, kami akhirnya bisa melihat lantai dasarnya. Segera setelah kami menuruni jalan bertrotoar itu, kami akan sampai ke tempat untuk menaiki kenderaannya.

“Kalau begini, akan lebih cepat untuk menaiki kenderaannya saja daripada pergi kembali. Toh, mereka mungkin menunggu di pintu keluarnya.”

“…Ba-baiklah kurasa.” sahut Yukinoshita dengan suara yang terdengar gelisah.

Ketika aku memandang ke arahnya, dia dengan diam-diam berpaling.

“…Ada sesuatu yang salah?”

“……”

Aku menanyakannya, tapi dia tidak menyahut.

…Tunggu. Sekarang tunggu dulu sebentar. Tunggu, tunggu. Rasanya aku pernah melihat hal ini beberapa kali sebelumnya… Sedikit kuatir, aku menanyakan Yukinoshita, “Boleh aku memeriksa sesuatu denganmu?”

“Apa itu?” Yukinoshita melihatku dengan ekspresi tegang.

Aku melihat ke arah mata Yukinoshita dan dengan perlahan menanyakannya sementara memperhatikan reaksinya, “Mungkinkah kamu tidak tahan dengan hal-hal semacam ini?”

Kami berdua masih terdiam, kami menatap pada satu sama lain tanpa ekspresi. Dan kemudian, pandangan Yukinoshita dengan mulus beralih ke samping. “…Itu bukan aku tidak tahan.”

Ya, aku ingat dia mengatakan sesuatu yang mengelak seperti itu sebelumnya… Dia mengatakan hal yang sama ketika aku memberitahunya dia tidak tahan dengan anjing.

Ahh, Aku tahu itu benar-benar sesuatu seperti itu. Itu benar-benar pola Yukinoshita yang biasa. Memikirkannya kembali, aku memang mengingat kakinya terhuyung-huyung setelah turun dari SpaMt. Itu bukanlah dia tidak tahan dengan keramaiannya, tapi dia tidak tahan dengan roller coaster.

“Kamu benar-benar perlu mengatakan hal itu jauh-jauh sebelumnya… Kita akan kembali.”

“Aku baik-baik saja.”

“Tapi kamu tidak tahan dengan ini, bukan?” tanyaku.

Yukinoshita mengernyit dan dengan penekanan, berkata, “Aku bilang aku baik-baik saja, bukan?”

“Jangan bodoh. Kamu tidak perlu keras kepala dengan sesuatu semacam ini. Kamu juga tidak perlu memaksakan dirimu.”

Itu karena aku berpikir seperti itu sehingga kata-kataku yang keluar itu lebih keras dari biasanya.

Kemudian, bahu Yukinoshita tersentak dan dia menjatuhkan pandangannya. “…Bukan itu. Kamu benar-benar tidak perlu mengutirkanku. Aku baik-baik saja, sungguh.”

Suaranya terdengar jauh lebih kekanak-kanakan dibanding nada suaranya yang biasa. Tidak, itu cuma karena dia hanya tampak terlihat dewasa, tapi sebenarnya, dia hanyalah seorang gadis yang seusiaku.

Yukinoshita melanjutkan kata-katanya, dengan tergagap dan dengan canggung. “Aku tidak begitu percaya diri pada awalnya, tapi ketika Yuigahama-san berada bersamaku, aku baik-baik saja… Jadi, aku akan baik-baik saja, kurasa.”

Alasan Yukinoshita tidaklah begitu terus terang dan juga tidak begitu berdasar. Dibandingkan dengan tingkah laku logis biasanya, dia benar-benar tidak sedang membicarakan sesuatu yang berhubungan. Namun, ada ketidak-logisan inilah sehingga aku dapat merasa itu adalah apa yang benar-benar dirasakannya. Jika begitu, maka itu adalah sesuatu yang harus kuhormati.

“Yah, kalau kamu bilang begitu…” kataku.

Namun, Yukinoshita tidak mengangkat kepalanya. Meski buruk dengan kenderaan semacam ini, dia benar-benar tidak terlihat seperti dia akan baik-baik saja menaiki ini… Aku menggaruk kepalaku mencari-cari kata yang perlu kuucapkan.

“Yah, lakukan ini saja. Cukup lebih rileks ketika kamu menaiki kenderaannya. Itu tidak seperti kita akan mati atau apa.”

“Ka-kamu benar,” kata Yukinoshita, menunduk ke bawah. Dia kemudian memandang ke atas padaku dengan mata menengadah. “…Kita benar-benar tidak akan mati, bukan?”

Sebetapa gugupnya kamu ini…?

“Jangan kuatir. Setidaknya, tidak dari yang kudengar,” kataku, dan antriannya melaju ke depan dengan Yukinoshita juga ikut berjalan dengan lesu. Setelah melewati lengkungan terakhir, kami sampai ke serambi untuk menaiki kenderaannya.

Itu kemudian giliran kami untuk menaiki kenderaannya.

Pertama-tama, aku menaiki kenderaannya. Selanjutnya Yukinoshita dan dia naik ke dalam kenderaan itu dengan tangan terkepal. Lengannya sedikit bergetar dari tenaga yang berlebihan itu.

Bahkan ketika kenderaannya dengan perlahan mulai melaju, Yukinoshita tidak merilekskan tubuhnya.

Pada akhirnya, suatu lagu indah berputar selagi cerita Br’er Weasal dan Br’er FerretCite error: Invalid <ref> tag; refs with no name must have content atraksi itu terbentang. Robot cerpelai itu dengan sikap robotis bergemerincing saat mengedip. Tapi, Yukinoshita terlalu terpusat akan apa yang ada di hadapannya sehingga dia tidak ada kesempatan untuk memperhatikan ke sekelilingnya.

“Um… Kita masih belum akan jatuh, jadi kamu bisa melepaskan pegangannya.”

“Y-Ya. Itu, memang benar…” Yukinoshita menghela, akhirnya melepaskan cengkramannya pada pegangannya.

“Kamu benar-benar buruk dengan ini, huh…?” tanyaku, tapi aku jujur saja tidak berpikir dia akan setakut ini.

Yukinoshita kemudian membuat suatu senyuman mencela diri . “Ya. Dulu sekali, nee-san… akan melakukan segala jenis hal, jadi…”

“Hm? Oh, kakakmu, huh?”

Orang itu lagi…

Yukinoshita Haruno. Sementara dia itu kakak Yukinoshita, dia juga merupakan seorang iblis manusia super yang melampaui adik kecilnya. Bagaimana sebaiknya aku mengatakan ini, Yukinoshita-san, akhir-akhir ini, kamu tidak terlihat sepenuhnya sempurna lagi… Maksudku, walau kamu masih, begitu jauhnya, lebih baik dari semua orang yang lain.

Seakan percakapan kecil kami sudah menenangkannya, Yukinoshita melihat-lihat atraksi ini. Kodok-kodok bermain-main dengan semburan-semburan air yang membumbung.

Yukinoshita dengan perlahan berkata seakan mengikuti dengan laju lamban kenderaan ini. “Itu dulu ketika aku masih lebih kecil. Setiap kali kami mengunjungi tempat-tempat seperti ini, nee-san akan selalu mengangguku.”

“Aku dapat agak membayangkan itu…”

Haruno-san sudah ikut campur dengan adik kecilnya sekarang, jadi itu masuk akal dia sudah aktif dulu. Mepertimbangakan ini adalah ketika dia masih kecil, ini tidak diragukan lagi level bullynya setiap kali dia bermain-main dengan Yukinoshita.

Ketika aku mengatakan itu, Yukinoshita tergelak. Ini mungkin senyuman pertama yang ditunjukkannya semenjak kami menaiki kenderaan ini.

“Ya. Dia akan menggoyang Ferris wheelnya, menarik tanganku lepas dari pegangannya pada roller coaster, dan melakukan segala hal-hal lain semacam itu. Ada juga suatu kelai dimana dia akan memutar cangkir kopi yang kuhentikan… Nee-san yang dulu benar-benar terlihat seperti dia sangat bersenang-senang…”

Ekspresi Yukinoshita akan perlahan-lahan menjadi tumpul selagi dia berbicara. Hanya mendengarkannya saja bahkan membuat diriku juga merasa patah semangat. Bukankah Haruno-san kurang lebih tersangka atas Yukinoshita menjadi buruk dengan hal-hal itu?

“Nee-san’s selalu seperti itu…” kata Yukinoshita dengan singkat.

Kenderaannya melaju melintasi jalur yang gelap, gelap sekali. Robot gagak akan bernarasi dengan kata-kata berfirasat buruk dan langit-langitnya terbuka, langit malam hari mengintip melalui celah terbuka tersebut. Kenderaannya naik, selagi semua gemerincing dan gemerincing itu. Kami baru saja akan mencapai puncak. Yukinoshita menjadi kaku.

Baru saja ketika aku berpikir kenderaannya akan langsung terjun ke bawah, kenderaannya tiba-tiba berhenti, berbaris secara paralel dengan cakrawalanya.

Kami kemudian dapat melihat bagian luar Destinyland. Atraksi yang menyerupai gunung berapi laut dinyalai dengan terang dengan cahaya merah dan mengepulkan asap serta gerombolan hotel-hotel dengan cantiknya disoroti oleh cahaya-cahaya Natal. Jauh di kejauhan, kami dijumpakan dengan pemandangan malam hari pusat kota baru.

Dan yang tercantik dari semuanya, cahaya-cahaya berlimpah nan berkerlap-kerlip yang meniru langit penuh bintang, dan pemandangan malam hari Destinyland terbentang jauh dan terletak persis di bawah mata kami.

Saat melihat semua itu, Yukinoshita membuat suatu helaan singkat.

“Hei, Hikigaya-kun.”

“Hm?”

Menghentikan pandanganku yang beralih adalah Kastil Tembok Putihnya, yang diterangi oleh warna putih dan biru.

Tapi yang juga diterangi adalah mantel putih murni yang memeluk Yukinoshita, dan raut senyumannya yang sudah di ambang meneteskan air mata.

Saat melihat ke arah sosok tak ternilai, namun hanya sementara itu, nafasku diambil pergi.

Yukinoshita melepaskan tangannya dari pegangannya dan meremas lengan baju mantelku. Persis pada saat tangan kami bersentuhan, itu terasa seakan sesuatu sudah meraih hatiku.

Tidak lama, aku sudah dikunjungi sensasi melayang yang mengenakkan itu, sebuah sensasi yang seakan aku akan terus jatuh selamanya.


“Tolong aku suatu hari nanti, oke?”


Suaranya yang berbicara dengan lembut itu pudar mengiringi angin yang turun, membuatku tidak mampu menjawab.

Itu mungkin saja, kurasa, keinginan paling pertama yang pernah diutarakan Yukinoshita.


× × ×


8-2[edit]

Setelah aku berjalan sedikit dari pintu keluar Spride Mountain, ada sebuah toko.

Aku asal membeli minuman dari sana dan kembali ke jalan tempat aku datang tadi.

Setelah kami turun dari kenderaannya, kaki Yukinoshita terhuyung-huyung jadi dia sedang beristirahat di bangku yang berada persis di luar pintu keluarnya.

Ketika aku sampai kembali ke bangku tersebut, Yukinoshita kelihatannya sudah membeli semacam kantong plastik persegi tipis ketika aku tidak berada di sana dan sedang meletakkannya ke dalam tasnya. Setelah dia menyadari keberadaanku, dia menutup tasnya dan meletakkannya di atas pangkuannya.

“Mari.”

Aku mengulurkan minuman versi Natal dalam botol yang baru saja kubeli dari toko dan Yukinoshita mengambilnya dengan dengan lemah.

“Terima kasih… Berapa harganya?”

“Tidak, tidak apa-apa. Kamu tidak perlu repot-repot. Itu canggung untuk mengambil uang dari orang sakit.”

“Tidak bisa begitu.”

“Ambulans tidak memungut uang, bukan?”

“Namun para pemadam kebakaran mendapat kompensasi yang semestinya.”

“Penduduk yang baik akan melakukannya secara gratis. Aku melakukan hal ini untuk kepuasan diriku, jadi ambil saja.”

“Cuma sofistri saja…”

Dia meremas botolnya dengan kedua tangannya sambil berbicara dengan pasrah. Setelah itu, dia dengan pelan mengusap bagian Pan-san dari botol tersebut dengan jari-jarinya.

“…Sesuatu seperti ini pernah terjadi sebelumnya, bukan?”

“Benarkah?”

Aku membuka kopi yang kubeli dari toko tadi selagi aku berbicara. Yukinoshita dengan pelan memutar pipet dengan motif bambu yang datang dengan botol Pan-san itu.

“Iya. Nee-san juga ada di sana waktu itu.”

“…Aah.”

Kalau aku mengingatnya dengan benar, itu seharusnya yang pertama kalinya aku bertemu Haruno-san. Berbicara tentang itu, saat itu adalah saat ketika aku mendesakkan dengan paksa boneka plushie yang kumenangkan dari game capit itu pada Yukinoshita. Kami bertemu dengan Haruno-san segera setelah itu.

“Aku benar-benar terkejut karena kamu tiba-tiba menyatakan hal-hal akurat mengenai nee-san…”

Dia membuat senyuman ironis yang tiba-tiba seakan dia sedang tertawa saat mengenangnya selagi dia berbicara.

“Itu hanya apa yang kupikirkan setelah melihatnya. Lagipula, dia tidak menutup-nutupinya bahkan ketika dia sedang bersikap kentara sekali mengenainya.”

“Kurasa begitu. Tapi aku rasa itu juga merupakan pesona nee-san. Semenjak dulu, nee-san selalu dicintai oleh banyak orang. Meski dengan kepribadian itu… Tidak, itu karena kepribadian itulah sehingga dia diharapkan banyak hal serta dicintai dan disayangi… Dan dia memenuhi semua hal tersebut.”

Yukinoshita berbicara dengan suara yang entah kenapa antusias dan bergantung dari bagaimana kamu mendengarnya, kamu bisa berpikir bahwa dia sedang dengan bangganya menyombongkan kakaknya. Tapi antusiasme itu dengan segera menguap pergi.

“Aku sendiri bertingkah laku seperti sebuah boneka di belakangnya. Karena itu, aku diberitahu aku gadis yang penurut, baik dan tidak membuat masalah, tapi… Tapi aku tahu… Bahwa mereka sedang mengatakan banyak hal seperti bagaimana aku ini tidak pandai bersosisalisasi dan bagaimana aku ini kurang pesona di balik itu semua.”

Selagi aku membuat sahutan-sahutan mengiyakan singkat pada Yukinoshita, aku menyeruput kopiku lagi. Itu menghangatkan tubuhku, tapi itu terasa teramat pahit.

Penurut, tidak membuat masalah, dan seorang gadis yang baik. Itu semua mungkin kata-kata yang memerangkapnya.

“Aku juga diberitahu itu. Tidak pandai bersosisalisasi dan tidak ada pesona… Sebenarnya, bahkan sekarang aku masih diberitahu hal itu. Oleh Hiratsuka-sensei.”

“Bukankah kamu itu lebih mirip anak kurang ajar atau bandel atau sampah atau semacamnya?”

“Hei? Bukankah yang terakhir itu agak berbeda?”

Ketika aku memberitahunya, Yukinoshita tertawa dengan riang. Tidak lama, itu berubah menjadi suatu senyuman lembut.

“Baik kamu dan nee-san konsisten dengan tindakan kalian dan itulah kenapa aku rasa kamu terlihat seperti itu… Tapi aku hanya tidak tahu bagaimana aku seharusnya bersikap.”

Yukinoshita dengan hening melihat ke atas langit. Dan di atas sana tidak ada bintang, melainkan cahaya oranye yang dipancarkan oleh lampu-lampu. Sejumlah cahaya-cahaya itu berderet satu demi satu dan dibuat menari-nari oleh angin yang bertiup.

“Aku merasa dalam segi itu, Hayama-kun dan aku pastilah serupa. Itu karena kami telah selalu mengamati nee-san.”

Aku terkejut ketika dia tiba-tiba mengangkat nama Hayama. Tapi Hayama adalah seseorang yang telah mengenal kakak beradik Yukinoshita jauh lebih lama daripada aku dan mungkin pada level yang lebih dekat pula.

Itu adalah suatu domain yang masih belum kuketahui.

Hanya saja meski begitu, Yukinoshita Yukino dan Hayama Hayato. Aku sadar bahwa Yukinoshita Haruno selalu berada di tempat di mana mereka berdua akan sampai.

Seseorang yang terus menampilkan kekaguman dan kebenciannya sampai hari ini.

Seseorang yang mencoba untuk lebih dekat dari kekaguman hanya untuk diasimilasikan sampai hari ini.

Persisnya bagaimana Yukinoshita Haruno tercermin di dalam mata mereka berdua?

Dan persisnya bagaimana mereka berdua memandang satu sama lain?

Aku mulai ingin menanyakannya mengenai itu, tapi meski begitu, aku tidak melakukannya. Aku mencuci mulut yang sudah akan mengatakan sesuatu dengan kopi hitam dan melompat ke topik lain.

“Apa… kamu masih ingin menjadi seperti dia?”

Pada suatu waktu selama Festival Budaya, Yukinoshita menyebutkan dia merasa kagum akan dirinya di masa lalu.

“Aku heran. Aku tidak merasa seperti itu sekarang ini, tapi… Aku rasa itu karena nee-san memiliki sesuatu yang tidak kumiliki.”

“Dan kamu menginginkan itu?”

Yukinoshita dengan hening menggelengkan kepalanya.

“Tidak, cuma aku ingin tahu kenapa aku tidak memiliki apa yang dimilikinya. Dan kemudian, aku menjadi kecewa pada diriku sendiri untuk tidak memilikinya.”

Aku merasa seperti aku dapat memahami perasaan tersebut. Impian, keiri-hatian, dan kecemburuan akan akhirnya terhubung pada kekecewaan. Memahami dengan mengamati orang lain itu selalu cuma merupakan kekuranganmu sendiri.

Pandangan Yukinoshita jatuh ke tangannya.

“Itu juga berlaku padamu. Kamu juga memiliki sesuatu yang tidak kumiliki… Kita sedikitpun tidak serupa, kelihatannya.”

“Yah, benar…”

Kami sedikitpun tidak serupa. Dan namun, ada suatu aspek yang hampir setengah hati yang berulang kali membuatku berpikir dengan egois, salah paham, dan menjadi keliru mengenai perasaan diriku sendiri.

“Itulah kenapa, aku merasa aku ingin sesuatu yang lain.”

Setelah dia mengatakan itu, Yukinoshita merapikan kerah mantelnya dan menghadapku secara langsung.

“Itu hanya setelah aku sadar bahwa tidak ada apa-apa yang bisa kulakukan sehingga aku mulai menginginkan sesuatu yang tidak dimiliki nee-san dan kamu… Karena jika aku memiliki itu, aku rasa aku bisa melakukan tindakan menyelamatkannya.”

“Menyelamatkan apa?”

Apa sebenarnya persisnya yang dia perlukan dan apa itu yang bisa diselamatkannya? Aku ingin mengisi kata-kata yang kurang itu sehingga aku menanyakannya.

Namun, Yukinoshita tidak mau memberitahuku.

“…Oh, aku heran, apa itu yah?”

Yukinoshita hanya memasang senyuman, suattu senyuman feminin yang seakan dia sedang mengetesku.

Mungkin jawaban terhadap pertanyaan itu adalah “alasan”nya.

Kenapa Yukinoshita Yukino mencoba menjadi calon selama pemilihan ketua OSIS itu?

Atau kemungkinannya, apa itu yang masih belum dibicarakannya atau yang belum coba untuk kutanyakan?

Di sinilah aku tidak menanyakannya mengenai arti kata-kata tersebut persis pada saat kenderaan itu akan terjun. Dan Yukinoshita tidak menyinggungnya juga. Dia mengatakan sesuatu yang lain dalam pecahan-pecahan kecil seakan untuk menggantikan hal itu.

Itu seperti keinginan keliru yang dimiliki seseorang dimana kamu bisa paham meski kamu tidak membicarakan atau menanyakan apapun.

Aku menegak sisa kopi yang sudah hangat itu. Ketika aku melakukannya, Yukinoshita yang melihat itu dengan mata kepalanya sendiri berdiri.

“Aku merasa jauh lebih baik sekarang, jadi kita sebaiknya mulai berjalan.”

“Ya.”

Aku menyahutnya dan kami menuju ke alun-alun. Rencana setelah ini seharusnya untuk menonton kembang api dari alun-alun.

Paradenya sudah segera akan berakhir. Segera setelah itu terjadi, jalan yang dipalangi akan dibuka.


× × ×


8-3[edit]

Aku memanggil Yuigahama dan mendapat gambaran umum dimana kami akan bertemu darinya.

Yukinoshita dan aku berjalan terus sampai ke depan Kastil Tembok Putih tidak mengatakan apapun yang khusus. Ketika paradenya berakhir, kami bisa berjalan berkeliling dengan lebih bebas dibanding tadi karena jumlah pengunjung di sekitar sudah menurun. Karena Yukinoshita juga mendapat waktu untuk beristirahat, langkah kakinya juga terlihat ringan.

Dan ketika kami sampai ke alun-alunnya, kami melihat ke sekeliling mencari Yuigahama.

“Ah, Hikki, Yukinon. Sebelah sini!”

Yuigahama melambaikan lengannya dengan sebuah ponsel di satu tangan. Kelihatannya dia baru saja akan memanggil kami. Setelah kami berkumpul bersama, Yuigahama segera menepukkan tangannya bersama dan menurunkan kepalanya.

“Maaf! Untuk pergi terlebih dulu dan semacamnya.”

“Tidak seperti itu suatu masalah yang besar.”

Ketika Yukinoshita menjawab dengan senyuman, Yuigahama menepuk dadanya dengan lega.

“Yah, yang lain juga ada di sini, jadi aku merasa tidak enak membuat mereka menunggu kami. Omong-omong, apa kamu mengambil foto paradenya?”

“Ah, yeah! Semuanya terambil!”

Yuigahama bermain-main dengan kamera digitalnya dan menunjukkan layarnya selagi dia berbicara. Untuk sekarang, kami masih ada di sini untuk mengumpulkan bahan-bahan keterangan, jadi aku ingin setidaknya mendapatkan foto-foto dari keseluruhan acara Natal ini.

“Lihat ini, Yukinon. Lihatlah, lihatlah!”

“…Apa kamu keberatan jika aku memeriksa datanya dengan cermat untuk sejenak?”

Ketika Yukinoshita bergugam dengan suara kecil, dia membunyikan lidahnya dan menekan dadanya. Kelihatannya dia lumayan frustasi untuk melewatkan parade Pan-san. Tidak, um, kalau kamu tinggal mengatakannya, kita bisa pergi ke sebelah sana?

Mereka berdua mulai bersemangat dari rentetan hal selagi mereka melihat ke arah kamera digitalnya dan yah, itu bagus, tapi persisnya dimana yang lain?

Sudah hampir waktunya kembang api untuk dimulai.

Dan ketika aku melihat-lihat ke seluruh alun-alun, ada suatu suara dengan kebisingan yang familier.

“Huuuh? Dimana Hayato?”

“Aah, Yumiko. Datang kemari sebentar.”

“Tunggu, Tobe, apa?”

Tobe menarik Miura mengikutinya dan menuju ke arah kami. Dan yang mengikuti mereka dari belakang adalah Ebina-san.

“Eh, aah. Yah, ente tahu, apa yang mau dibilang? Ini macam tempat yang menabjubkan, mungkin? Ebina-san akan lebih suka di sebelah sini, ya?”

“Eh? Tentu, walau dimanapun itu sungguh tidak masalah.”

Itu terasa seperti perisai Ebina-san terhadap pengertian Tobe itu benar-benar kuat…

Omong-omong, dengan mereka di sini, kami sebagian besar sudah berkumpul. Sekarang orang yang tersisa adalah Hayama dan Isshiki… Itu mungkin karena aku sedang melihat ke sekeliling sehingga Yuigahama melakukan hal yang sama dan melihat ke sekeliling tempat itu. Dia kemudian menanyakan Tobe.

“Tobecchi, dimana Hayato-kun dan Iroha-chan?”

“Eh, aah… Yah, mereka akan segera langsung datang ke sebelah sini.”

Tobe sedang mengatakannya dengan agak samar, tapi, yah, untuk kasus orang ini, toh, dia biasanya akan cuma asal mengatakan ini atau itu… Maksudku, namun dia itu orang yang baik dan semacamnya.

Sementara itu, lampu-lampu jalan dan lampu dekorasi di garis sekeliling alun-alunnya meredup. Musik klasik kemudian mulai berputar.

“Sudah mulai.”

Yukinoshita melihat ke arah langit di atas Kastil Tembok Putih setelah dia mengucapkannya. Kelihatannya tempat itu dimana kembang apinya akan meletus. Seperti yang bisa kamu duga dari pemegang paspor setahun, sangat tahu sekali.

Yuigahama dan aku melihat ke arah yang sama dengan Yukinoshita.

Ketika kami melakukannya, cincin cahaya berwarna-warni itu bermekaran dengan berlimpah di langit musim dingin yang tembus pandang. Berbicara mengenai kembang api, itu cenderung merupakan sesuatu yang biasanya dilakukan di musim panas, tapi untuk melihat kembang api bersuar ke langit dengan konstelasi Orion, membentang, dan menghilang itu merupakan suatu hal yang mengejutkannya aneh untuk dilihat.

“Itu agak nostalgik, huh?”

Di sampingku terdapat Yuigahama yang dengan segera berbisik ke telingaku.

Suatu rasa merinding menjalari sumsumku dan ketika aku memalingkan kepalaku, Yuigahama sedang menepuk tangannya selagi dia berseru “oooh” terlihat lupa apa yang baru dikatakannya barusan. Um, kamu tahu, masalahnya adalah bahwa fokusku sudah sepenuhnya terarahkan ke permukaan bumi sekarang ini, jadi aku sama sekali tidak dapat berkonsentrasi pada kembang apinya kamu tahu. Tuntut.

Selagi aku tidak merasa ingin melihat ke atas, aku melihat bentuk fisik yang terlihat familier di dalam lapangan pandangku yang berpindah dari kembang apinya.

Selagi kembang apinya meletus, cahaya yang menghampar menerangi dua orang yang terselubung dalam kegelapan.

Hayama dan Isshiki sedang melihat kembang api dari suatu tempat yang sedikit lebih jauh dari kami.

Bersamaan dengan kerlapan kembang api itu adalah pemendekan jarak di antara mereka berdua. Ketika aku menyadari bahwa itu seperti aku sedang menonton sandiwara bayangan wayang, aku sedang cuma menonton mereka saja.

Letupan cahaya-cahaya terakhir menghujani langit malam itu.

Dan di dalam alun-alun yang diterangi itu terdapat Isshiki yang dengan perlahan menjauhkan dirinya dari Hayama selagi dia menunduk ke bawah. Hayama yang tertinggal melihat ke atas langit selagi Isshiki berjalan ke arah yang berlawanan.

Musiknya berhenti dan kegemerlapan atraksi-atraksi serta cahaya-cahaya lampu jalan yang terpasang itu kembali.

Di dalam kelompok pengunjung-pengunjung yang menghela dengan puas, hanya Isshiki sendiri yang terlihat seperti dia sedang menahan sesuatu selagi dia menekan bibirnya bersama dan dia berlari melewati kami.

“I-Irohasu!?”

Tobe adalah yang pertama untuk menyadarinya ketika dia berlari tepat melewati kami dan dia memanggil pada punggungnya.

“Tunggu dulu, Irohasu!”

Namun, Isshiki terus berlari tanpa berpaling ke belakang dan menghilang ke dalam kepadatan manusia.

“Tunggu dulu sebentar, aku akan pergi mencarinya.”

Tobe berlari pergi dengan panik. Kelihatannya Miura menebak apa yang sedang terjadi setelah melihat itu. Dia melilit-lilit rambutnya dengan jarinya dan membuat suatu helaan dalam.

“Haa… Aku akan pergi juga.”

“Oke, aku juga akan mencarinya.”

Ebina-san mengikuti setelah Miura. Yuigahama kemudian mengangkat tangannya dengan pelan terhadap itu.

“A-Aku juga!”

Tapi Miura menghentikan dia di sana.

“Yui dan uh, Yukinoshita-san? sebaiknya menunggu di sini, oke? Karena dia mungkin akan kembali dan semacamnya. Juga, kalau aku menemukannya, aku akan memanggilmu jadi biarkan Tobe dan Ebina tahu.”

Ketika dia menyapu rambutnya dengan jengkel, dia memanggil Yuigahama dan Yukinoshita. Walaupun dia tidak terlihat begitu tidak termotivasi, dia menyerahkan arahan-arahan yang jelas.

“Ah, oke.”

Ketika Yuigahama menjawab, Miura mengangguk dan mulai berjalan pergi dengan cepat.

Selagi Yukinoshita melihat Miura pergi ke kejauhan, Yukinoshita memiringkan kepalanya.

“Apa ada sesuatu yang terjadi?”

Yah, toh, satu-satunya hal yang dilihat Yukinoshita adalah kembang apinya…

Jika dugaanku benar, maka hanya satu hal yang terlintas di dalam pikiranku memandang duduk perkaranya.

Destinyland selama Natal, kembang api setelah paradenya, di depan Kastil Tembok Putih, waktu yang dibuat hanya untuk mereka berdua saja, dan akhirnya, tingkah laku Tobe.

Mengumpulkan semua itu memiliki nilai satu yakumanCite error: Invalid <ref> tag; refs with no name must have content. Kemungkinannya Isshiki menyatakan cintanya pada Hayama. Itu satu-satunya hal yang terpikirkan.

“…Yah, aku akan pergi juga.”

“Oke, mengerti.”

Yuigahama menjawab dan Yukinoshita memiringkan kepala penuh keraguan lagi dengan kebingungan.

Namun, tempat yang kutuju bukan Isshiki Iroha. Miura mungkin dapat menangani Isshiki dengan lebih cakap. Itu jauh lebih baik baginya untuk pergi dibanding aku.

Tapi cuma ada satu orang lagi yang kupikir aku pasti harus pergi melihatnya.

Bahkan setelah Isshiki meninggalkan Hayama, dia tidak mendekati kami. Itu berarti dia sedang menunggu.

Aku menempuh jalan itu selagi adegan sandiwara itu melintas-lintas di dalam kepalaku.

Dan di dalam kegelapan yang terpisah dari Kastil Tembok Putih itu adalah Hayama.

Pada saat ketika perhatian semua orang terfokus pada Isshiki, Hayama berjalan sedikit ke jalur kecil ini.

Ketika Hayama menyadari keberadaanku, dia membuat senyuman yang kelihatannya sedih.

“…Hei.”

“Yo.”

Hayama bersandar pada pagar alun-alun dan membuat helaan kecil.

“…Kurasa aku melakukan sesuatu yang buruk Iroha.”

“Sungguh egois. Kalau kamu akan merasa bersalah setelahnya, maka kamu seharusnya memacarinya saja daripada menolaknya.”

Ketika aku memberitahunya, Hayama membuat suatu senyuman risau.

“Itu tidak mungkin. Kamu punya kepribadian yang buruk untuk mengatakan itu meski kamu tahu apa yang sedang terjadi.”

“Kurang lebih.”

Aku memiliki banyak kepercayaan diri mengenai poin tersebut. Sudut mulutku berubah menjadi suatu senyuman yang tidak mengenakkan secara refleks.

Meski begitu, Hayama tidak terlihat terlalu tidak senang dan melihat ke arahku dengan mata yang terlihat dilanda dengan kesedihan yang melankolis.

“…Apa kamu tahu? Tentang kenapa Isshiki menyatakan cintanya padaku?”

“Tidak, tidak mungkin aku bisa tahu itu.”

“Begitu ya…”

Tapi cara Hayama mengatakan itu seakan sampai barusan tadi, dia sendiri sedang bersikap dengan suatu cara sehingga Isshiki tidak akan menyatakan cintanya pada dia.

“Apa kamu tahu? Tentang Isshiki, er… perasaannya atau apa.”

“…Ya.”

Suaranya yang menjawab murung. Tidak ada tanda-tanda kesombongan atau keangkuhan di dalamnya. Hanya perasaan menyesal yang tercampur di dalamnya. Jadi begitu kejadiannya…

Hayama adalah seseorang yang tidak bisa mempertahankan suatu hubungan dengan seseorang kecuali dia tetap tidak menyadari perasaan mereka. Ketika perasaan seseorang tidak tersampaikan, maka mereka akan menjauhkan diri mereka dan pergi. Itu bukan sepenuhnya salah Hayama, tapi agar menghindarinya, Hayama harus mengelakkan keseluruhan perasaan tersebut.

Itu adalah sesuatu yang sejelas matahari terbit dari timur selama insiden sewaktu karya wisatanya juga. Dan pada saat itulah aku menjadi merasa bersimpati terhadap pemikiran semacam itu. Aku berakhir memahaminya. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa kusebut kekeliruan. Namun, aku tahu bahwa untuk mengelak sesuatu adalah sesuatu yang akan berubah menjadi melukai orang lain.

“Kalau kamu tahu, maka bukankah itu cuma kurangnya ketetapan hatimu?”

Ketika aku berkata begitu, Hayama dengan pelan menggelengkan kepalanya.

“…Bukan begitu. Aku jujur saja senang mengenai perasaan Isshiki. Tapi bukan begitu. Itu mungkin bukan untukku tapi…”

Suara terhuyung-huyung Hayama tidak masuk akal. Namun, Hayama tidak melanjutkan kata-katanya meski selagi aku menunggu dan melompat ke dalam topik yang berbeda.

“…Kamu lumayan menabjubkan. Cara kamu tinggal mengubah orang-orang di sekelilingmu… Aku yakin Iroha juga seperti itu…”

“Haa? Ada apa dengan pujian mendadak itu?”

Ketika aku mengatakan itu, Hayama membuat suatu tawa kering.

“Haha, bukan begitu… Aku memberitahumu, bukan? Aku bukan pria sebaik yang kamu bayangkan.”

Hayama mengatakan kata-kata yang sama yang diucapkannya padaku waktu itu di sekolah. Dia kemudian melihat ke bawah dan membuat helaan dalam.

“Memujimu… itu demi diriku.”

“Kenapa kamu melakukan itu…?”

Ketika aku melihat ke arah Hayama dengan kebingungan, Hayama dengan perlahan menyipitkan matanya dan menatap padaku.

“Itu mungkin alasan yang sama kenapa kamu terus sesuka hatimu memutuskan bahwa aku orang yang baik.”

“…Itu tidak seperti aku tidak ada alasan sama sekali. Aku hanya mengatakan apa yang kulihat.”

“Sungguh?”

Hayama menyahut dengan suara dingin.

───Ya, bukan itu. Itu adalah sesuatu yang kusadari dulu sekali. Hayama Hayato bukanlah orang baik biasamu itu. Senyuman tipisnya itu merupakan semua bukti yang kamu butuhkan.

Hayama menarik kembali senyuman itu dan berdiri dari pagar yang disandarinya.

“Aku akan pulang ke rumah dulu. Beritahu semuanya untukku.”

“SMS mereka sendiri.”

“…Baik. Sampai jumpa.”

Hayama membuat senyuman getir dan dengan pelan mengangkat tangannya.

Dan kemudian, tanpa berpaling kembali, Hayama Hayato menghilang ke dalam dasar kegelapan tersebut.


× × ×


8-4[edit]

Bagian dalam kereta api yang sedang menuju ke rumah itu hening. Tentu saja, sebagian dari itu karena keletihan yang terkumpul, tapi alasan terbesar untuk keheningan ini adalah karena Tobe yang akan berbicara pada Isshiki mengenai berbagai hal selagi bersikap pengertian menghilang.

Bukan hanya Tobe yang hilang sebab Miura dan Ebina-san juga tidak ada di sini.

Jalur yang mereka bertiga ganti untuk pulang ke rumah adalah dari Jalur Musashino ke Jalur Nishi-Funabashi sementara Yukinoshita, Yuigahama, dan Isshiki mengambil Jalur Keiyou, sebuah rute yang berbeda. Tidak ada banyak perbedaan pada kedua jalur bagiku, tapi itu begitu repot untuk mengganti ke Nishi-Funabashi jadi aku memutuskan untuk memilih Jalur Keiyou.

Walaupun kereta apinya agak padat dan tidak ada tempat duduk yang bisa kamu duduki, itu tidak seberapa dibanding saat jam-jam sekolah dan pulang-pergi kerja. Yuigahama dan Yukinoshita akan terkadang membicarakan tentang sesuatu, tapi selain daripada itu, mereka akan melihat ke luar jendela.

Ketika kereta apinya melaju terus selama kira-kira dua puluh menit, kami sudah hampir akan tiba ke Stasiun Kaihin-Makuhari yang merupakan tempat perberhentian Yukinoshita dan aku.

“Baiklah kalau begitu, aku akan turun di sini.”

Yukinoshita berdiri di depan pintu setelah dia mengucapkannya. Yang mengikutinya adalah Yuigahama.

“Ah, Aku juga turun di sini.”

“Bukankah tempatmu sedikit lebih jauh lagi?”

Ketika aku menanyakannya, Yuigahama mengenggam lengan Yukinoshita.

“Besok hari libur, jadi aku akan menginap di tempat Yukinon hari ini.”

“Ah, begitu.”

Yah, bahkan sebelumnya, Yuigahama cenderung cukup sering menginap di tempat Yukinoshita jadi jika mendapat kesempatan untuk itu, maka dia akan lebih pasti melakukan itu. Hubungan mereka kembali ke bagaimana itu biasanya merupakan sesuatu yang disambut.

Dengan begitu keadaannya, aku harus turun di stasiun ini juga. Tapi jika aku melakukannya, maka Isshiki akan ditinggal sendiriran di dalam kereta api.

“Isshiki, di stasiun mana kamu turun?”

Aku menanyakannya, tapi Isshiki tidak menyahut. Malahan, dia menarik lengan baju jaketku.

Dia kemudian dengan hening menunjukkan kantong oleh-olehnya.

“Senpai. Ini super berat.”

“Itu karena kamu terlalu banyak membelinya…”

Aku mengambil kantongnya selagi aku berbicara. Ketika aku melakukannya, Yuigahama tiba-tiba tersenyum.

“…Uh huh, Aku rasa itu akan lebih baik.”

“Isshiki-san. Pastikan untuk sangat berhati-hati.”

Yukinoshita-san? Bukankah itu agak memaksudkan sesuatu yang lain?

Ketika kami tiba di Kaihin-Makuhari, mereka berdua turun dari kereta api. Isshiki dan aku yang tersisa tetap berada di dalam kereta api untuk tiga stasiun lagi.

Stasiun tempat kami turun adalah pelabuhan Chiba. Dari sana, kami akan mengganti ke monorel. Tidak ada banyak pengunjung yang menggunakannya pada saat ini sekarang, jadi satu-satunya yang menaikinya hanyalah kami.

Kereta monorelnya terus melintas melalui kecemerlangan malam kota. Sensasi melayang yang sama dengan sensasi tetap tertahan pada ketinggian yang tidak terbiasa bagiku ini seperti aku sedang menaiki atraksi lain.

Isshiki bergugam dengan suatu helaan selagi dia menatap ke luar jendela.

“Haa… Aku rasa itu tidak berhasil…”

“…Tidak, kamu seharusnya tahu bahwa menembaknya sekarang ini bukanlah ide yang bagus.”

Hubunganku dengan Isshiki itu pendek dan itu juga berlaku pada Hayama karena itu tidak seperti mereka benar-benar bersahabat. Meski begitu, aku tidak merasa mereka berdua akan bersusah payah menutup jarak mereka seperti itu.

Dengan tatapannya masih terarah pada jendela, Isshiki berbicara selagi melihat ke bawah pada kota.

“…Maksudku, apa lagi yang bisa kulakukan? Aku begitu berapi-api dan semacamnya.”

“Itu mengejutkan. Aku pikir kamu bukan tipe orang yang dapat dikendalikan suasana seperti itu.”

Ketika aku memberitahunya, wajah Isshiki yang tercermin di jendela -itu berubah menjadi suatu senyuman kecil.

“Aku juga terkejut. Aku pikir itu juga akan jauh lebih kaku.”

“…Ya, berpura-pura memiliki pikiran penuh dengan cinta membuatmu agak pintar atau semacamnya.”

Selagi aku mencoba untuk terus berbicara, Isshiki tiba-tiba memalingkan kepalanya dan menyelaku.

“Aku tidak sedang membicarakan tentang diriku… Aku sedang membicarakan tentang senpai.”

“Ha?”

Lagi, dia melemparkan percakapannya ke arah yang berbeda. Aku pikir kami sedang membicarakan tentang Isshiki, tapi ke mana percakapannya terbang? Apa dia sedang membicarakan tentang senpai lain? Dipikir lagi, kenapa aku satu-satunya yang dia panggil senpai, ha…? Apa itu karena dia tidak bisa mengingat namaku?

Selagi aku memikirkan tentang berbagai hal, Isshiki terus menerus melihat ke arahku. Seperti yang kuduga, dia sedang membicarakan tentang aku. Isshiki tertawa dan menampilkan sebuah senyuman.

“Tidak mungkin aku tidak bisa tersentuh setelah aku melihat itu.”

“Melihat apa?”

Ketika aku menanyakannya, Isshiki membetulkan postur tubuhnya dengan serius dan duduk tegak. Dia dengan perlahan melihat ke arah mataku dan berbicara.

“…Aku mulai menginginkan sesuatu yang asli juga.”

Wajahku menjadi merah atas kata-kata tersebut. itu benar. Ketika kami meninggalkan ruang klub pada saat itu, kami kebetulan bertemu dengan Isshiki. Aku secara refleks menekan alisku.

“Kamu mendengarnya…?”

“Suaramu keluar seperti biasanya, kamu tahu.”

Ketika Isshiki dengan santai menjawab, aku balik berkata dengan suara yang menyedihkan.

“…Tolong lupakan itu.”

“Tidak akan… Aku tidak bisa melupakannya.”

Isshiki menjawab dengan ekspresi yang lebih tulus dari biasanya.

“Itulah kenapa aku pikir aku akan mencoba melangkah maju.”

Aku tidak tahu hal asli apa yang diinginkannya. Itu tidak harus hal yang sama seperti ilusi yang kumiliki. Dari awalpun, hal itu mungkin tidak pernah ada. Tapi Isshiki Iroha sudah pasti menginginkan sesuatu. Aku pikir dia itu begitu menabjubkan.

Aku benar-benar tidak bisa memikirkan kata-kata menenangkan yang berarti, tapi aku mencari kata-kata untuk diucapkan pada Isshiki.

“Yah, kamu tahu. Singkatnya itu. Tidak usah menguatirkannya. Toh, tidak seperti itu salahmu.”

Ketika aku melakukannya, Isshiki mengedipkan matanya dengan kebingungan. Setelah itu, dia melesat menjauh untuk membuat sedikit jarak dariku.

“Apa yang kamu lakukan? Apa kamu sedang mencoba memikatku ketika aku patah hati? Maafkan aku, itu masih belum memungkinkan.”

“Bukan itu apa yang kumaksud…”

Persisnya bagaimana dia membuat itu masuk akal…? Apa itu sejenis anagram dari “tidak usah menguatirkannya” atau apa? Ketika aku sedang tercengang, Isshiki terbatuk dan menutup jarak yang dibuatnya.

“Lagipula, ini toh masih belum berakhir. Malah, ini adalah cara yang lebih efektif untuk mendekat Hayama-senpai. Orang-orang akan bersimpati padaku dan orang-orang di sekelilingku juga akan bersikap lebih segan, kamu tahuuu?”

“…Be-benar. Jadi sesuatu semacam itu.”

Itu seperti, yang bisa diduga dari Isshiki, huh…? Ketika aku berbicara dengan baik terkesan dan kaget, Isshiki tertawa selagi dia membusungkan dadanya dan meneruskan dengan bangga.

“Begitulah adanya. Lagipula, meski kamu ditolak, ada hal yang hanya harus kamu lakukan. Dan ada juga hal itu. Mereka akan menjadi lebih sadar akan orang yang mereka tolak kamu tahu? Mereka akan berpikir dia itu kasihan, benar? Itu normal untuk merasa bersalah… Itulah kenapa, kekalahan ini hanyalah bagian dari persiapannya. Itu akan dipakai untuk pendekatan selanjutnya… Dan, um… Aku harus berusaha sebisaku.”

Dia menyelipkan isakan kecil keluar dan air mata terbentuk di matanya.

Kamu tidak boleh memberitahu seseorang yang sedang berusaha sebisanya untuk mencoba sebisa mereka. Komachi berkata “Aku mencintaimu” itu sudah cukup bagus, tapi itu adalah sesuatu yang terbatas untuk adik kecilku. Aku pikir mungkin aku sebaiknya menepuk kepalanya sekali, tapi itu juga hanya untuk adik kecilku.

“Kamu lumayan menabjubkan.”

Satu-satunya hal yang bisa kukatakan itu hanya sebanyak ini. Ketika aku melakukannya, Isshiki melihatku dengan mata menengadah yang basah.

“Itu semua salahmu senpai sehingga aku menjadi seperti ini.”

“…Tidak, itu benar untuk masalah tentang pemilihan ketua, tapi untuk hal-hal lain…”

Tapi tanpa mendengarkannya sampai akhir, Isshiki menggerakan wajahnya dengan lebih dekat dan berbisik ke dalam telingaku.

“Tolong bertanggung jawab, oke?”

Dan kemudian, juniorku membuat senyuman nakal.


Mundur ke Bab 7 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 9

Catatan Translasi[edit]

<references>