Rokujouma (Indonesia):Jilid 8.5

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Ilustrasi Novel[edit]

Ini adalah ilustrasi yang termasuk dalam Jilid 8.5.


Pasukan Forthorthe Baru[edit]

Part 1[edit]

Di bagian utara wilayah Mastir yang dekat dengan wilayah Pardomshiha, terdapat sebuah padang rumput yang luas bernama Raustor, yang berarti "tempat istirahat sang dewi". Karena sebagian besar wilayah Mastir terdiri dari pegunungan, muncullah mitos bahwa Dewi Fajar mengistirahatkan kakinya di tempat itu, yang menjadi asal-usul nama padang rumput itu.

Karena padang rumput itu dikelilingi oleh daerah pegunungan, padang rumput itu secara otomatis menjadi jalur transportasi utama. Sebagai hasilnya, banyak kota-kota yang berpusat pada perdagangan dibangun di tempat itu, dan pasukan untuk melindungi kota itu pun ditugaskan disana.

Karena itulah, pasukan Forthorthe baru harus bertarung melawan pasukan kudeta di Raustor. Pertarungan itu tidak bisa dihindari jika pasukan Forthorthe baru ingin bisa terus maju hingga sampai menuju ibukota negara itu, Fornorn.

Pasukan Forthorthe baru dibentuk oleh Alaia setelah dia berhasil lolos ke wilayah Pardomsiha yang sudah memiliki ikatan kuat dengan keluarga kekaisaran. Dengan pasukan inti dari keluarga Pardomshiha, mereka bisa mengumpulkan sebanyak 500 orang prajurit. Ada perbedaan besar antara jumlah pasukan mereka dibandingkan dengan pasukan kudeta yang memiliki pasukan kekaisaran lama sebagai anggotanya. Keluarga Wenranka, yang juga loyal terhadap keluarga kekaisaran yang lama, juga memutuskan untuk bergabung dengan pasukan Forthorthe baru, tapi pasukan mereka diprediksi akan dimusnahkan sebelum mereka bisa bergabung dengan pasukan Forthorthe baru.

Namun, pasukan Forthorthe baru bisa membalikkan situasi itu. Meskipun pertarungan pada awalnya menguntungkan bagi pihak yang bertahan, pertarungan pertama pasukan Forthothe baru melawan pasukan kudeta berakhir dengan kemenangan pasukan Forthorthe baru, dan tepat saat itulah pasukan dari keluarga Wenrankan membantu mereka. Pertempuran pun berakhir setelah pasukan Forthorthe baru kembali menang.

Setelah kemenangan kedua mereka, reputasi pasukan Forthorthe baru mulai menyebar dengan cepat bagaikan api yang menjalar ke seluruh penjuru negeri. Sebagai hasilnya, mereka mendapat banyak anggota pasukan baru dan perbekalan.

Dengan bertambahnya jumlah pasukan mereka menjadi sebanyak 3000 orang, Alaia akhirnya mengambil sebuah keputusan, yakni untuk merebut kembali ibukota negara, Fornorn, dan mengalahkan Maxfern. Alaia akhirnya mulai bergerak kembali ke ibukota untuk merebutnya setelah beberapa bulan lalu kabur dari sana.

Dengan itu, pasukan Forthorthe baru dan pasukan kudeta bergerak maju menuju Raustor. Pasukan Forthorthe baru memiliki 3000 orang pasukan dan pasukan kudeta memiliki 4000 orang pasukan saat itu. Pasukan kudeta tidak membawa semua anggota pasukannya ke sana karena mereka harus menempatkan pasukan mereka untuk menjaga titik-titik perbatasan untuk berjaga-jaga jika muncul sebuah keributan dengan kacaunya pemerintahan karena adanya kudeta, yang bisa memancing invasi dari negara lain yang mungkin akan terjadi. Ditambah, rakyat yang sudah menderita selama beberapa bulan di bawah tirani penguasa yang baru ini pun sudah mulai geram.

Meskipun pasukan kudeta tidak bisa mengerahkan seluruh kekuatan pasukannya untuk bertempur, pasukan itu masih unggul dalam hal jumlah dan kualitas. Pasukan Forthothe baru sendiri memiliki jumlah pasukan sebanya 3000 orang, sebagian besar anggota pasukan itu adalah orang-orang yang tidak terlatih dalam pertempuran. Jadi, kenyataannya kekuatan pasukan Forthorthe baru hanya berjumlah sekitar 2500 orang. Sebagai hasilnya, pertempuran yang akan berlangsung nantinya akan terjadi antara 2500 orang melawan 4000 orang.

Dalam keadaan seperti ini, pasukan Forthorthe baru akan kalah jika mereka harus bertempur. Namun, hal itu hanya berlaku jika keadaannya tetap seperti ini.

Clan saat ini sedang berada di dalam salah satu tenda di perkemahan pasukan Forthorthe baru, mengutak-atik gelangnya dan mengubah-ubah gambar-gambar 3D dihadapannya satu demi satu. Gambar-gambar itu menampilkan formasi pasukan.

Karena tenda itu adalah tenda pribadi milik Koutarou dan Clan, Clan tidak perlu kuatir akan adanya salah seorang prajurit yang akan melihat apa yang sedang dilakukannya. Rupanya, saat itu Clan sedang menjalankan alat pemantaunya dan sedang menyelidiki musuh.

"Gimana keadaannya?" tanya Koutarou yang berada di sebelahnya yang juga melihat ke gambar-gambar itu. Clan lalu mulai menjelaskan pada Koutarou.

"Kelihatannya mereka bersiap-siap untuk bertempur di padang rumput itu. Mereka sudah meninggalkan benteng dan mulai menyusun formasi di padang rumput."

"Karena mereka jumlahnya gede, mereka nggak perlu bikin rencana yang macem-macem, ya."

"Yah, ada benarnya kalau kita terlihat seperti kerumunan yang tidak teratur."

Pasukan kudeta sudah meninggalkan benteng di kota dan mengirim hampir seluruh pasukannya ke padang rumput. Kalau mereka tetap tinggal dalam benteng itu, pertahanan mereka akan meningkat, tapi mereka tidak akan bisa menggunakan banyaknya pasukan mereka sebagai alat untuk menyerang. Itulah sebabnya mengapa pasukan kudeta memutuskan untuk meninggalkan benteng dan menghabisi pasukan Forthorthe baru dalam satu serangan. Dengan begitu, jumlah korban yang akan timbul dalam pertempuran akan menjadi lebih sedikit saat mereka menyerang dengan jumlah seperti itu dibandingkan dengan jika mereka berlindung dengan rumitnya di dalam benteng.

"Itu berarti, kalau situasinya terus berjalan kayak gini, kita pasti bakal dapet masalah."

"Itu sudah pasti."

Sambil melihat gambar-gambar yang dikirim oleh alat pemantau, Koutarou dan Clan terus melanjutkan diskusi mereka. Meskipun mereka seharusnya terlihat sebagai ksatria dan pelayannya, saat itu mereka sedang terlihat seperti seorang jendral dan ahli strategi.

"Kalau terus begini, kita pasti akan dihabisi."

"Nggak peduli sekuat apa zirah ini, ini nggak akan cukup buat ngelawan beberapa ribu orang nanti", kata Koutarou sambil memukul zirahnya.

Zirah miliknya dibuat dari semua kemajuan sains Forthorthe, jadi pada zaman itu, zirah itu memiliki kekuatan yang tidak tertandingi, membuat Koutarou tidak akan kalah melawan prajurit biasa. Namun, tidak peduli seberapa kuatnya dia, kalau semua rekan-rekannya dikalahkan sebelum Koutarou bisa mengalahkan musuh-musuhnya, semua akan menjadi sia-sia. Dia tidak bisa bertarung dan hanya bisa bergantung pada kekuatan zirah itu saja.

"Zirah, ya...oh iya, Veltlion", panggil Clan sambil melihat ke arah tangan kiri Koutarou.

"Bagaimana tangan kirimu? Apa sudah bisa bergerak seperti biasa?"

"Hm? Ya, nggak masalah kok. Tanganku baik-baik aja," kata Koutarou sambil mengulurkan tangan kirinya dan melakukan gerakan membuka menutup genggaman tangannya beberapa kali.

Rokujouma V8.5 011.jpg

Saat Koutarou bertarung dengan Clan, zirah di tangan kirinya hancur dan digantikan dengan pelindung tangan milik Kiriha. Clan baru saha memperbaiki bagian yang hancur itu dan menggabungkannya dengan pelindung tangan Kiriha ke dalamnya.

"Apa kau bisa menggunakan api dan listrikmu meskipun pelindung tangannya menjadi seperti tu?"

"Nggak masalah, masih bisa kok"

"Baiklah kalau begitu", balas Clan sambil tersenyum puas dan membetulkan letak kacamatanya. Dia terlihat lega karena tadinya dia sempat khawatir dengan Koutarou, yang kekuatan menyerang dan bertahannya berkurang karena ada bagian zirahnya yang rusak. Ditambah, kalau Koutarou sampai kehilangan fungsi kedap udara karena zirah yang rusak itu, Koutarou pasti akan menemui masalah jika dia harus berada di dalam air atau di luar angkasa.

"Perbaikannya hebat banget, makasih ya, Clan."

"...Aku merasa seperti orang bodoh, memperbaiki sesuatu yang aku rusak sendiri."

"Aku juga kayak gitu kok. Yang penting, kamu udah ngebantu banget."

"Ugh..."

Clan pun tersipu malu saat mendengar itu dan lalu mendehem beberapa kali untuk menyembunyikan rasa malunya sebelum kembali ke topik awal pembicaraan.

"Y-yang lebih penting lagi, apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Kita tidak bisa menghadapi mereka secara langsung. Apa yang harus kita lakukan?"

"Fufu, justru di saat seperti inilah anda mengusulkan sesuatu, benar bukan, Clan-san?"

Sementara wajah Clan masih bersemu merah,seorang gadis lain memanggilnya dari sisi bagian lain tenda. Dialah Lidith Maxfern, keponakan dari Maxfern yang berpisah dari pamannya dan bergabung dengan Alaia.

Karena dia adalah seorang pelajar yang mempelajari alkemi, Lidith memiliki pengertian yang luar biasa. Ditambah, karena dia sudah menjadi asisten Clan, dia mengerti kalau Koutarou dan Clan menggunakan teknologi yang betul-betul maju.

"Ahem, memang seperti itu."

"...Kita bisa menggunakan umpan untuk memancing mereka dari benteng, menyerbu benteng yang kosong itu dan menggunakannya untuk melawan mereka. Dengan begitu, kita memiliki akses untuk menggunakan senjata yang tersimpan di benteng itu dan kita bisa membalikkan perbedaan kekuatan berkat dinding-dinding benteng yang kokoh itu."

"Yang berarti, mereka akan kehilangan perbekalan mereka yang disimpan di benteng itu, dan tanpa cadangan persediaan senjata, mereka terpaksa harus mundur, mungkin?"

Lidith mengerti apa yang ingin dicapai oleh Clan. Clan mendapatkan jawabannya dari AI pendukung perang, dan Lidith sudah mengerti apa maksud strategi itu sebelum Koutarou sendiri mengerti. Dari luar, Koutarou yang membuat strategi, namun sebenarnya Clan dan Lidithlah yang menjadi otak dibalik strategi itu.

"Begitu ya, itu ide yang bagus. Jadi, bagaimana kita akan melakukannya, dengan lebih rinci?"

"Veltlion, malam ini kau akan memimpin para prajurit dan bersembunyi di hutan."

"Kau sendiri bagaimana?"

"Aku akan memimpin pasukan umpan dan memancing pasukan utama mereka menjauh dari kota. Kalau aku berhasil, aku akan menghubungimu dan kau maju menyerang benteng itu."

"Kalau begitu, saya akan menjadi bagian komunkasi."

"Oke, kita jalankan rencana ini. Saya akan melaporkan ini ke Yang Mulia, Alaia. Kalian buat rincian rencananya."

"Aku mengerti."

Koutarou lalu pergi meninggalkan tenda itu sendirian, karena melapor pada Alaia adalah tugasnya. Itu karena saat ini, Koutarou adalah komandan dari pasukan Forthorthe baru.


Part 2[edit]

"Hubungi semua pasukan. Katakan pada mereka, kalau kita sampai terlihat sekarang, semuanya akan menjadi sia-sia. Jalankan dengan hati-hati."

"Baiklah, tuanku", balas salah seorang anggota pasukan sambil memberi hormat pada Koutarou. Dia lalu pergi meninggalkan Koutarou dan menghilang dibalik gelapnya hutan. Setelah itu, Koutarou mulai berjalan lagi, dengan irama langkah yang lebih lambat daripada biasanya.

Saat itu, Koutarou dan yang lainnya sedang berjalan berbaris di tengah malam di dalam hutan.

Koutarou memimpin barisan itu karena dia bisa melihat di dalam gelap berkat zirahnya. Di belakangnya, terdapat 2500 orang pasukan. Berkat penglihatan malamnya, peta yang akurat dan alat pemantau yang membantu mereka, Koutarou dan pasukannya bisa berjalan melewati hutan saat malam tanpa menggunakan penerangan apapun.

Namun, orang-orang pada zaman itu punya kecenderungan untuk menggunakan cahaya lebih daripada yang diperlukan saat gelap. Ada banyak prajurit yang gugup dan ingin menyalakan api, jadi untuk bisa menjaga mereka tetap tenang dan menjaga pasukan itu tetap utuh, kecepatan berjalan mereka lebih lambat dari biasanya. Mereka tidak bisa terburu-buru, karena Clan akan memulai pengalihannya saat fajar tiba.

Bicara soal Clan, saat ini dia, Flair dan Caris berada di sisi lain benteng dan mengerahkan 500 orang dalam posisi yang mencolok. Dengan menggunakan teknologi milik Clan dan sihir milik Caris, mereka membuat pasukan itu terlihat beberapa kali lebih besar. Rencana mereka akan dimulai saat pasukan kudeta termakan umpan itu dan pergi dari benteng.

"Paduka, bolehkah saya menanyakan sesuatu kepada anda?" tanya seorang muda dengan berbisik, yang merupakan bawahan Koutarou. Koutarou pun hanya bisa tersenyum kecut saat mendengar pertanyaan itu.

"Tidak masalah, tapi...saya sudah pernah berkata kalau anda tidak perlu seformal itu."

"Ha...tapi paduka adalah harapan kami."

Pemuda itu berumur beberapa tahun lebih tua dari Koutarou, tapi dia selalu berbicara dengan nada yang penuh hormat. Hal yang sama juga terlihat pada seluruh pasukan Forthorthe baru.

Alasan dibalik hal itu adalah karena pencapaian Koutarou yang sudah tersebar luas diantara rakyat Forthorthe. Mulai dari saat dia melindungi desa petani yang diracuni dan diserang oleh raksasa saat sedang mengadakan festival panen, dan saa Koutarou memukul mundur para pengejar Alaia dan membawa Alaia sampai ke wilayah Pardomshiha dengan selamat. Koutarou memiliki peran besar pada peristiwa-peristiwa itu, dan dalam waktu singkat, rumor tentang seorang ksatria berzirah biru bernama Layous mulai menyebar ke seluruh penjuru kekaisaran.

"Hah..."

Namun, Koutarou sendiri merasa heran dengan situasi ini. Aslinya, dia hanya bertindak sebagai pengganti hingga Ksatria Biru yang asli muncul. Namun, Koutarou dan kelompok Alaia sampai pada wilayah Pardomshiha tanpa bisa menemukan dirinya, dan sekarang mereka sudah mulai menyerang kembali. Apa yang sudah dicapai Koutarou seharusnya merupakan pencapaian dari sang Ksatria Biru, dan karena dia bisa dikatakan sudah mencuri hal itu, apa yang dirasakan Koutarou saat itu betul-betul rumit.

Yang membuat semuanya itu lebih buruk lagi adalah fakta bahwa Koutarou sendiri tidak memiliki kekuatan apapun untuk ditunjukkan. Dia mendapatkan kemampuan untuk melihat aura dari Sanae, zirah dari Theia dan pelindung tangan pembuat api dan listrik dari Kiriha. Ditambah, dia sendiri masih tidak sadar kalau dia dilindungi oleh sihir milik Yurika. Itu semua adalah kekuatan pada dirinya yang diberikan oleh orang lain. Karena itulah Koutarou tidak bisa merasa bangga saat orang-orang lain hormat padanya dan hanya merasa tidak enak.

"...Jadi, apa yang ingin anda tanyakan pada saya?"

Namun, tidak ada sesuatu yang bisa dihasilkan dari mengkhawairkan hal-hal seperti itu. Koutarou tidak bisa mengatakan pada semuanya mengenai hal yang sebenarnya, dan dia senditi juga tidak bisa bergantung pada kekuatannya sendiri untuk bertarung. Sambil mengubah suasana hatinya, Koutarou menyuruh bawahannya untuk melanjutkan bicaranya.

"Kalau begitu saya akan bertanya....paduka, mengapa anda tidak membunuh musuh anda?" tanya si pemuda yang mengutarakan keraguannya terhadap cara bertarung Koutarou.

Saat berada di medan pertempuran sekalipun, Koutarou tidak pernah membunuh seseorang sekalipun. Malah, dia menggunakan kekuatan dari zirah dan pelindung tangannya untuk memukul pingsan musuhnya atau melukai mereka hingga batasan tertentu agar mereka tidak bisa bertindak. Pada zaman itu, tindakan seperti itu dinilai justru membebani orang yang melakukan hal itu.

"Mereka bukanlah musuh kita."

Pertanyaan itu rupanya bukanlah pertanyaan yang baru pertama kali didengar oleh Koutarou. Karena Clan dan Flair pernah menanyakan hal yang sama, Koutarou bisa menjawab tanpa merasa bimbang sedikitpun.

"Hah?"

Jawaban Koutarou pun sama seperti kalimat Ksatria Biru di dalam naskah drama, yang mana di dalam naskah itu sang Ksatria Biru juga tidak membunuh musuhnya, dan bahkan ada adegan yang mempertanyakan tindakannya.

"Mereka bukanlah musuh yang sebenarnya. Mereka semua adalah rakyat Forthorthe. Yang Mulia Alaia pasti akan berduka untuk setiap nyawa penduduk Forthorthe yang telah tiada, apapun alasannya."

Meskipun Koutarou menggunakan kalimat yang sama dengan naskah drama, sebenarnya dia juga merasakan hal yang sama. Dia tidak ingin membuat Alaia, ataupun Theia yang berada nun jauh disana, merasa sedih.

"Dan, ini hanya diantara kita saja, ada makna strategis dibalik tindakan ini."

"Makna strategis?"

"Benar. Kalau kita melukai atau membuat mereka pingsan, akan butuh lebih dari satu orang prajurit untuk membawa orang itu kembali ke markas mereka. Dalam kata lain, dengan tidak membunuh mereka, kita mengurangi jumlah kekuatan mereka lebih banyak lagi."

Ini adalah strategi perang modern yang Koutarou pelajari dari Clan. Dengan membunuh seorang musuh, kekuatan pasukan musuh akan berkurang sejumlah satu orang yang terbunuh itu. Namun, kalau musuh itu hanya dilumpuhkan saja, musuh itu akan memerlukan bantuan rekannya untuk mundur ke markas mereka. Jadi, dengan melukai satu orang, kekuatan serangan bisa berkurang sebanyak lebih dari dua orang. Bahkan dalam peperangan modern, senjata seperti ranjau darat seringkali dirancang untuk melukai daripada membunuh untuk menambah beban pihak lawan. Itulah strategi cerdik yang sedang mereka jalankan.

"Hal itu mungkin benar adanya...tapi, semua tidak berarti jika paduka sendiri berada dalam bahaya!"

Yang dikhawatirkan oleh si bawahan muda itu adalah Koutarou yang seringkali berada dalam situasi yang berbahaya. Ada banyak prajurit yang berpura-pura terluka, dan sebagai akibatnya, Koutarou sering diserang oleh para prajurit yang melakukan itu. Untungnya, berkat kekuatan zirahnya Koutarou masih aman, tapi bawahannya selalu saja merasa was-was. Dia tidak ingin kehilangan simbol harapan pasukan mereka karena hal seperti itu. Untuk bisa menghindari hal itu, si bawahan lebih memilih kalau musuh yang ada sebaiknya dibunuh.

"Tidak perlu khawatir. Saya sudah bersumpah pada Yang Mulia, Alaia, bahwa saya akan melindunginya senantiasa. Dan untuk bisa memenuhi sumpah itu, saya tidak akan pernah mati."

"...Maafkan kelancangan saya, paduka."

"Tidak apa-apa."

Sumpah adalah sesuatu yang begitu berharga bagi seorang ksatria. Setelah Koutarou membawa topik itu, si bawahan tidak punya argumen lagi untuk diperdebatkan. Namun, yang dilakukan Koutarou adalah seperti memakai sumpah itu sebagai perisai untuk mengusir adanya bantahan apapun, yang berarti apa yang baru saja dikatakannya bukanlah sebuah jawaban.

Maaf ya, kalian semua disini juga ikut kuatir sama aku...

Sambil tersenyum kecut, Koutarou meminta maaf kepada si bawahan di dalam hatinya.


Part 3[edit]

Ibukota Forthorthe, Fornorn, merupakan sebuah kota yang besar, meskipun memang terlihat kecil jika dibandingkan dengan kota-kota modern saat ini. Namun, kota itu adalah salah satu kota terbesar yang ada pada zaman itu. Kota itu berfungsi sebagai penanda bahwa Forthorthe adalah negara yang kuat dan keluarga kekaisaran yang menjaga kota itu dari generasi ke generasi adalah orang-orang yang bijaksana.

Namun, saat ini tidak ada satu orang anggota keluarga kekaisaran yang berada di ibukota. Memang, ada istana kekaisaran yang berada di tengah kota, namun orang yang duduk di atas takhta istana itu bukanlah sang kaisar.

Biorbaram Maxfern.

Dia adalah anggota keluarga Maxfern yang terkenal sebagai orang-orang yang berkecimpung di dunia ilmu dan politik, dan dia sendiri pernah mengabdi kepada sang kaisar sebagai seorang menteri. Namun, Maxfern telah membunuh sang kaisar dan memulai kudeta karena ambisinya sendiri.

"Jadi, Raustor telah jatuh ya...", kata suara seorang pria yang menggema di ruang takhta. Meskipun dia sudah lanjut umurnya, suaranya masih terdengar kuat. Badannya pun juga masih kekar, yang cocok dengan suaranya. Rupanya, suara itu berasal dari Maxfern.

"Lebih cepat dari yang kubayangkan", ujarnya dengan sikunya berada di sisi-sisi takhta dan tangannya yang saling menggenggam.[1]

"Ya. Saya kira akan berlangsung sedikit lebih lama, tapi kelihatannya mereka memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang kita bayangkan."

Pria yang membalas perkataan Maxfern adalah seseorang yang sudah tua dengan rambut yang sudah menjadi abu-abu. Jelas terlihat kalau perawakannya ramping, meskipun saat itu dia sedang mengenakan sebuah jubah. Penampilannya memberi kesan yang berlawanan dengan Maxfern.

Dialah kepala dewan penyihir, Grevanas. Dia berada di dalam nama-nama penyihir terhebat Forthorthe dan sudah mengabdi kepada keluarga kekaisaran sejak kaisar yang sebelumnya. Dia juga merupakan penyihir yang terkuat di negeri itu, dan salah seorang dari ketujuh penyihir agung. Namun, dia bersama Maxfern memulai kudeta dan mengkhianati Forthorthe.

"Kelihatannya mereka tertipu dengan umpan yang ada di depan benteng, dan saat mereka mengerahkan seluruh prajurit, benteng itu diserang dari belakang."

"Hebat juga Alaia, bisa menjalankan strategi seperti itu. Meskipun kelihatannya dia tidak bisa membunuh satu ekor lalat sekalipun, dia sudah pergi sejauh itu rupanya..."

Beberapa saat yang lalu, Grevanas mendapat laporan dari salah seorang bawahannya, yang berisikan berita bahwa kota Raustor dan bentengnya telah direbut oleh pasukan Forthorthe baru. Meskipun mereka mendengar berita seperti itu, baik Maxfern maupun Grevanas sama sekali tidak terlihat kecewa. Malah, yang terlihat justru sebalikya. Mereka seperti menyambut keberhasilan Alaia.

"Dan kelihatannya kabar mengenai seorang ksatria yang kuat yang bergabung dengan Alaia itu benar."

"Si Ksatria Biru, benar...?"

"Benar. Kelihatannya dia memainkan peran penting dalam hal ini juga. Selain merencanakan adanya umpan itu, dia juga memasuki benteng itu sendirian dan membuka gerbangnya dari dalam."

"Hahahahaha, bagus sekali, betul-betul hebat, Alaia dan Ksatria Biru!" tawa Maxfern dengan kerasnya memuji Alaia dan Koutarou. Dia kelihatannya tidak peduli kalau dia baru saja kehilangan markas yang penting tanpa perlawanan yang berarti dan membuat musuhnya bisa maju menyerang ke arah selatan.

"Tidak ada kerusakan yang terjadi pada kota, dan hampir tidak ada kematian. Sebagai hasilnya, reputasi pasukan Forthorthe baru pun meningkat tajam."

"Kelihatannya memang begitu. Itu adalah cerita yang akan disukai oleh orang-orang", jawab Maxfern sambil mengangguk pada Grevanas. Sesaat kemudian dia menyipitkan matanya dan menunjukkan raut wajah yang serius.

"...Grevanas, kalau mereka bisa menghasilkan sesuatu seperti itu, itu berarti ALaia sudah melepas segel pada harta nasional keluarga kekaisaran, benar?"

"Yah...kelihatannya mereka sudah menang berulang kali tanpa bantuan pedang suci."

"Apa!?" teriak Maxfern yang kaget sambil menghentakkan sikunya pada takhta dan lalu berdiri. Semua keyakinannya yang terlihat sebelumnya langsung sirna.

"Apa itu benar!? Apa kau yakin soal ini!?"

"Ya. Segel di kuil Dewi Fajar masih utuh, dan tidak ada tanda-tanda bahwa pedang itu sudah dipindahkan. Bawahanku yang berada di lokasi itu sudah memastikan hal itu."

Sambil mendengar laporan dari Grevanas, Maxfern dengan perlahan duduk kembali di atas takhta.

"Tidak kusangka...tidak kusangka Alaia menang sejauh ini tanpa menggunakan pedang suci dari kuil...ini sulit dipercaya..."

"Tapi itulah yang sebenarnya terjadi. Mereka mengalahkan Prajurit Iblis dan menang terus menerus meskipun jumlah kekuatan yang mereka miliki berbeda jauh dengan kita, dan semua itu mereka lakukan tanpa bantuan pedang itu."

"Kelihatannya situasinya menjadi semakin rumit...", keluh Maxfern yang raut wajahnya semakin masam. Pasukan Alaia secara tidak disangka bisa memberikan perlawanan yang begitu baik, dan itulah yang membuat Maxfern terkejut dan cemas.

"Kelihatannya si Ksatria Biru itu lebih hebat daripada yang kukira", komentar Grevanas dengan raut wajah yang masih terlihat sama, namun dengan nada bicara yang terdengar lebih kesal.

"Yang berarti, kita harus mengubah langkah kita selanjutnya."

"Saya rasa apa yang anda katakan memang tepat. Dengan kemenangan ini, saya yakin dukungan bagi Alaia akan meningkat. Para pendukungnya juga sudah mulai muncul dari pasukan kita. Saya yakin kalau ada kemungkinan mereka bisa membangun pasukan yang bisa menandingi pasukan kita."

"Kalau itu sampai terjadi, keinginan kita tidak akan pernah terwujud. Aku peasaran bagaimana kita bisa meningkatkan rasa was-was Alaia dalam situasi ini..."

Grevanas dan Maxfern pun mulai merencanakan langkah mereka selanjutnya. Namun, untuk suatu hal, rencana mereka bukanlah mengenai bagaimana caranya untuk mengatasi pasukan Forthorthe baru, tapi untuk memojokkan Alaia sendiri.


Sumpah dan Lencana Gelar[edit]

Part 1[edit]

Rambut keemasan Charl berayun-ayun saat dia sedang berlari.

"Ksatria Biru! Dimana kau!? Tunjukkan dirimu!" teriaknya sambil terus berlari melewati kerumunan orang-orang yang terlihat bingung. Dibandingkan dengan orang-orang disekitarnya, Charl betul-betul pendek, jadi dia tidak bisa melihat apa yang jauh berada di depannya. Yang bisa dilakukannya saat itu adalah terus berteriak sambill terus mencari.

Saat itu dia berada di benteng di kota Raustor. Beberapa hari lalu benteng itu merupakan markas pasukan kueta, tapi sekarang benteng itu berada dibawah kendali pasukan Forthorthe baru. Mereka telah berhasil mengusir pasukan kudeta dari tempat itu kemarin.

Karena itulah, ada banyak orang di benteng itu. Kalau seseorang berpikir tentang benteng, orang itu pasti akan membayangkan kalau benteng itu dipenuhi dengan ksatria dan prajurit, tapi hal itu tidak sepenuhnya benar. Saat pasukan militer sedang bergerak untuk menjalankan misinya, mereka akan membutuhkan orang-orang untu membawa perbekalan mereka, karena truk atau pesawat tidak ada di zaman ini. Karena itulah, ada banyak relawan dari kota yang membantu pasukan itu dan juga para pedagang yang betul-betul menambah perbekalan yang mengisi benteng itu.

Wajah mereka semua nampak cerah, semangat mereka begitu tinggi dan mereka memiliki tekad yang kuat untuk merebut kembali tanah kelahiran mereka.

Kudeta di negeri itu berawal dari terbunuhnya sang kaisar dan istrinya. Dari kejadian itu, situasi ekonomi dan pemerintahan mulai menjadi kacau. Kehidupan rakyat pun menjadi memburuk hanya dalam beberapa bulan. Namun, berkat kemenangan berulang kali dari pasukan Forthorthe baru, rakyat merasa kalau ada angin perubahan yang datang. Sebagai hasilnya, banyak orang yang mulai bergabung dengan pasukan itu dan memutuskan untuk menyelesaikan krisis nasional ini dengan menyatukan kekuatan mereka.

Dalam benak semua orang, sesuatu yang bisa disebut sebagai harapan itu ada, dan berwujud seorang ksatria muda. Dia tidak mempunyai tandingan di medan pertempuran, namun dia tidak pernah menyombongkan dirinya dan bahkan menunjukkan belas kasih pada musuhnya. Dialah gambaran ideal bagaimana seorang ksatria harus bersikap, dan seorang yang setia melindungi puteri Alaia. Saat orang memanggil namanya, orang akan selalu menaruh hormat sebagaimana mereka memanggilnya sebagai "Ksatria Biru Forthorthe, Layous Fatra Veltlion".

Puteri Charl bisa menemukan si Ksatria Biru itu di tempat latihan para prajurit tepat di sebelah bagian pertahanan benteng.

"Yang Mulia, jika anda mencari Layous-sama, aku melihatnya di tempat latihan."

"Oh! Kau benar! Ksatria Biru bersembunyi sampai kesana!"

"Fufu, aku rasa dia tidak sedang bersembunyi...kelihatannya dia sedang berlatih dengan para prajurit baru."

"Mary, kerja bagus, terimalah pujian dariku!"

"Aha, suatu kehormatan bagi saya, Yang Mulia."

Setelah mendengar keberadaan si Ksatria Biru dari Mary, Charl berlari menuju tempat latihan. Orang-orang pun memberikan Charl jalan saat dia berlari, dan mereka hanya bisa memandanginya sambil tersenyum. Pemandangan dimana seorang anak kecil terlihat ceria bisa memberi semangat bagi siapapun, tidak peduli seberapa tua mereka.

"Ksatria Biru!" teriak Charl dengan lantangnya, namun kelihatannya suaranya tidak terdengar oleh orang yang dimaksud, karena orang itu tidak memperhatikan kehadiran Charl. Rupanya, orang yang dimaksud sedang berlatih dengan Flair, seorang ksatria wanita yang juga dikenal oleh Charl.

"Veltlion, caramu memainkan pedang terlalu bagus. Aku rasa gerakanmu akan lebih sulit dibaca kalau kau melemaskan pundakmu sedikit..."

"Guru saya tegas dalam hal itu...jadi sulit untuk merubah kebiasaan ini."

Karena Flair berasal dari keluarga Pardomshiha, yang terkenal sebagai penghasil ksatria-ksatria hebat dari generasi ke generasi, dia ahli dalam hal berpedang. Untuk bisa mengakomodasi badannya, Flair menggunakan pedang yang tipis dan menyerang titik-titik lemah musuhnya dengan serangan yang cepat dan tajam.

Namun, serangan-serangannya tidak mengenai si ksatria berzirah biru. Ksatria itu sendiri mengenakan zirah yang menutupi hampir seluruh badannya dan menggunakan pedang khas ksatria, sementara Flair sendiri hanya menggunakan zirah yang ringan dan pedang yang tipis. Meskipun perbedaan mobilitas mereka begitu besar, ksatria berzirah biru itu selalu menghindari serangan Flair di saat-saat terakhir. Selain itu, mereka sudah bertarung selama beberapa menit. Si ksatria berzirah biru itu pasti memiliki stamina yang luar biasa banyaknya dan kemampuannya berpedang begitu hebat. Tentu saja, hal yang sama bisa dikatakan pada Flair, yang juga belum terkena serangan sama sekali.

"Ksatria Biru!"

Namun, saat Charl memanggil nama si ksatria, pertarungan itu pun berakhir.

"Yang Mulia?"

Ksatria yang namanya dipanggil itu pun akhirnya memperhatikan keberadaan Charl dan menghadap ke arahnya.

"Kau lengah!"

Tepat pada saat itulah pedang milik Flair mendekat ke arahnya, namun pedang itu berhenti tepat sebelum mencapai leher si ksatria. Kalau pedang itu terus maju, lehernya pasti sudah tertembus pedang itu.

"...Itulah sebabnya aku terus berkata kalau kau terlalu jujur, Veltlion."

"Bagus sekali, Nona Flairhan."

Flair pun tersenyum kecut saat ia menyarungkan pedangnya, dan para prajurit yang telah menyaksikan latihan pertarungan antara mereka berdua pun bersorak. Beberapa bersorak atas kemenangan Flair, sementara beberapa merasa kecewa dan beberapa lagi memuji pertarungan hebat mereka berdua. Keriuhan itu pun memuncak setelah mereka menyaksikan kemampuan kedua komandan mereka sedekat itu.

"K-Ksatria Biru! Ah, ooohhh! Hee~i!"

Charl pun memaksa melewati kerumunan prajurit yang masih bersorak dan akhirnya tiba di area latihan. Dia sudah oleng karena terus didorong-dorong oleh para prajurit di sekitarnya, namun dia dengan cerianya kembali berlari saat dia menemukan si ksatria berzirah biru.

"Akhirnya aku menemukanmu, Ksatria Biru! Kau sudah membuatku berada dalam masalah!"

Setelah akhirnya menemukan orang yang dicarinya setelah berkeliling mencari-cari ke seluruh pelosok benteng, Charl pun tersenyum dengan lebarnya sampai-sampai senyumnya terlihat seperti bersinar.

Koutarou berjongkok setelah mendengar itu dan mereka menjadi saling memandang, dan Charl pun tiba-tiba melimpat dengan cepat layaknya anak panah.

"Ksatria Biru!"

"Yang Muli---a!?"

Rokujouma V8.5 033.jpg

Saat dia berada tepat di depan Koutarou, Charl menjejakkan kakinya dari tanah dan melompat ke arah Koutarou. Itulah caranya mengungkapkan rasa cintanya. Koutarou pun menangkap badannya yang mungil saat dia masih melayang. Karena Charl tidak peduli sama sekali kalau Koutarou selalu memakai zirahnya, kalau Koutarou tidak menghentikannya seperti itu, Charl akan menabrak zirahnya. Berkat kekuatan dari zirah dan kemampuannya untuk melihat aura, Koutarou bisa membuat Charl tidak terluka, tapi yang dilakukan Charl selalu saja membuatnya was-was.

"...Yang Mulia, saya sudah mengatakan ini pada anda. Anda seharusnya datang lebih pelan lagi atau anda akan terluka."

"Ksatria Biru...apa itu artinya kau tidak mau menangkapku lagi?" tanya Charl dengan wajah yang sedih setelah diperingatkan oleh Koutarou. Koutarou pun merasa kalau dialah yang telah berbuat jahat setelah melihat wajah sedih Charl dari dekat.

"Bukan begitu, tapi---"

"Kalau begitu tidak apa-apa. Aku akan melompat dan kau akan menangkapku. Apa ada masalah soal itu?"

"Tidak, tidak masalah."

Percakapan seperti ini sudah terjadi berulang kali, dan selalu berakhir dengan Koutarou yang mengalah. Pada akhirnya, Koutarou tidak bisa menolak perasaan Charl yang begitu jujur dan tulus.

"Yang lebih penting lagi---"

Dan kali ini, Koutarou kembali kalau. Charl mengesampingkan seluruh percakapan mereka sebelumnya dengan 'yang lebih penting lagi', dan lalu melompat ke atas tanah. Dia lalu mengeluarkan sesuatu dan memberikannya pada Koutarou dengan kedua tangannya.

"Ksatria Biru, aku akan memberikan ini sebagai hadiah bagimu."

Di tangan Charl terdapat sebuah perhiasan kecil, yang terbuat dari kayu yang dibentuk persegi dengan tali pengikat dari wol.

"Yang Mulia, apa in?" tanya Flair yang melihat isi tangan Charl dari samping Koutarou sambil tersenyum. Sebagai balasannya, Charl dengan bangganya membusungkan dadanya.

"Ini adalah lencana gelar yang dibuat oleh aku dan kakakku."

"Sebuah lencana gelar ya?"

Setelah diberitahu apa sebenarnya perhiasan itu, Koutarou memeriksa potongan kayu itu, yang mempunyai tulisan yang terbuat dari tinta. Karena Koutarou tidak bisa membaca huruf Forthorthe, dia memiringkan kepalnya dan zirahnya mulai menerjemahkan huruf-huruf yang ada pada potongan kayu itu padanya.

"Lencana Ksatria Biru Forthorthe, Pelindung Super Penting bagi Charl dan Alaia."

Sekilas, bisa diketahui bahwa tulisan itu ditulis oleh anak kecil, tapi Koutarou mengerti kalau mereka sudah membuat lencana itu dengan sungguh-sungguh. Sebuah pita wol berwarna disulamkan pada potongan kayu itu dan menghiasinya. Meskipun lencana itu terlalu sederhana, Koutarou tahu kalau lencana itu dibuat oleh Alaia.

"Aku dan kakak mempersembahkan ini padamu sebagai rasa terima kasih kami atas jasamu."

Charl dan Alaia telah bekerjasama untuk membuat lencana ini setelah Charl berkata ingin membuatnya. Setelah memandangi lencana itu selama beberapa saat, Koutarou akhirnya menyadari itu dan tersenyum pada Charl.

"Terima kasih banyak, puteri Charl. Tolong sampaikan ucapan terima kasih saya pada puteri Alaia juga."

"Kau bisa melakukannya sendiri nanti, Ksatria Biru."

Charl pun tersenyum ceria saat melihat Koutarou yang tersenyum padanya. Dia lalu mengulurkan tangannya ke arah dada Koutarou dan memasang lencana itu.

"Nah. Berbanggalah untuk waktu yang lama, Ksatria Biru."

"Saya akan membuat lencana ini menjadi warisan keluarga, Yang Mulia."

"Bagus!"

Charl, yang polos namun cerdas, tahu kalau tidak ada jaminan bahwa Koutarou akan puas mendapat lencana seperti itu, namun Charl sendiri tidak tahu cara lain yang bisa dilakukannya untuk menunjukkan rasa terima kasihnya. Itulah sebabnya dia memberikan lencana itu pada Koutarou sambil merasa gugup. Untungnya, Koutarou menyukai lencana buatan tangan itu, dan sebagai hasilnya, senyuman Charl menjadi lebih ceria dari biasanya.

"Baik, kalau begitu mari kita pergi."

Setelah merasa puas, Charl memanjat punggung Koutarou, yang masih berjongkok. Setelah Charl berada di atas punggung Koutarou, dia menepuk pundak Koutarou dua kali.

"Kau bisa berdiri."

"Saya mengerti...tapi kemana kita akan pergi?" tanya Koutarou yang memegangi Charl dan bangkit berdiri. Charl lalu menunjuk ke sebuah bangunan ditengah benteng, yang terlihat besar, kokoh dan terbuat dari batu bata. Bangunan penting itu berfungsi sebagai markas dan barak.

"Seperti yang sudah kukatakan. Katakan pada kakakku rasa terima kasihmu secara langsung."

"Jadi, ke tempat puteri Alaia?"

"Ya, kakak membutuhkanmu. Aku sendiri juga punya urusan denganmu, itu sebabnya aku mencarimu."

Sambil berkata demikian, Charl melingkarkan tangannya ke leher Koutarou dan memeluknya erat-erat.

"Begitu rupanya", balas Koutarou yang sudah mengerti dengan situasinya. Alaia memiliki urusan dengan Koutarou, jadi selain memberi Koutarou lencana gelar itu, Charl bertugas untuk membawa Koutarou pada Alaia.

"Bagus. Jadi, seperti yang kau lihat, Flair, aku akan meminjam Ksatria Biru."

"Baik. Veltlion, tolong jaga Yang Mulia."

"Baik."

"Kenapa lama sekali? Ayo kita berangkat."

"B-baiklah, kita berangkat sekarang", jawab Koutarou dengan terbata-bata karena didesak oleh Charl, dan kemudian mereka berdua meninggalkan area latihan. Dengan begitu, Flair dan Mary ditinggalkan oleh mereka berdua di area latihan itu.

"Ayo, cepat! Kakak sudah menunggumu!"

"Saya mengerti, jadi tolong tenanglah!! Ah, awas!!"

Koutarou pun berlari menuju pusat benteng dengan Charl yang berada di punggungnya. Kedua gadis yang ditinggal di area latihan itu hanya bisa memandangi mereka berdua sambil melanjutkan pembicaraan mereka.

Setelah Koutarou dan Charl sudah tidak tampak lagi, Flair tersenyum kecut dan bergumam:

"...Tidak kusangka dia seorang ksatria yang tiada duanya di medan perang. Dunia ini memang penuh dengan misteri."

Saat Flair memandangi Koutarou dan Charl, dia hampir lupa kalau Koutarou adalah ksatria yang berperan besar dalam kemenangan-kemenangan mereka. Intuisi Flair berkata padanya kalau Koutarou tidak memiliki atmosfir seorang ksatria.

Flair hanya bisa merasa heran saat melihat Koutarou bersama Charl, dimana Koutarou tidak terlihat seperti ksatria yang sangat hebat, meskipun sebenarnya dia memang hebat.

Sementara itu, Mary yang berada di sebelah Flair memiliki opini yang sedikit berbeda. Setelah Koutarou dan Charl tidak tampak lagi, dia menoleh ke arah Flair dan tersenyum.

"Tapi, bukankah justru karena itu kita menang?"

"Apa maksudnya?" tanya Flair yang tidak mengerti maksud dari perkataan Mary, yang mana Mary percaya kalau yang terjadi adalah apa yang berlawanan dari apa yang dipikirkan oleh Flair.

"Kalau Layous-sama hanya terus membunuh musuh yang ada, kita tidak akan memiliki bantuan sebanyak ini, dan kita mungkin tidak akan terus menang..."

Koutarou tidak membunuh orang selama pertempuran. Memang, mungkin ada yang mati sebagai hasil pertempuran, tapi Koutarou sendiri tidak pernah membunuh satu orangpun yang mencoba membunuhnya. Dan karena mereka masih menang, semua orang memuji dan meniru Koutarou. Dengan begitu, pasukan Forthorthe baru mencoba untuk tidak begitu banyak membunuh musuh mereka.

Karena mereka tidak membunuh orang tanpa alasan, pasukan Forthorthe baru tidak mendapat ujaran kebencian, dan justru banyak orang yang beralih dan bergabung dengan mereka. Tidak peduli apapun landasan keadilannya, tidak akan ada orang yang mau bekerja sama dengan seseorang yang bisa membunuh keluarga mereka sendiri tanpa mengenal takut.

Sebagai hasilnya, sebagai ksatria yang terkenal di zaman ini, keberadaan Koutarou membuat pasukan Forthorthe baru terus memenangi setiap pertempuran.

"Itu mungkin benar. Tidak peduli seberapa kuat dirimu, itu tidak akan membantu banyak saat perang...", angguk Flair yang merasa kalau semuanya mungkin memang seperti yang dikatakan oleh Mary.

Kalau Koutarou melakukan hal yang sebaliknya, yakni membunuh semua musuhnya, pasukan Forthorthe baru mungkin sudah akan tertekan sekarang. Meskipun dia bisa membunuh ratusan orang sendirian, Koutarou tidak bisa mengalahkan pasukan kudeta sendirian. Tanpa bantuan dari orang banyak, dia tidak akan bisa melindungi Alaia dan Charl. Koutarou akan menjadi sumber ketakutan, dan akan mati tanpa adanya rekan dan bantuan yang menyertainya dalam peperangan.

Memang, membunuh musuh sebanyak mungkin adalah hal yang efektif untuk dilakukan dalam jangka pendek, tapi jumlah itu akan menjadi masalah nantinya. Hal yang sama bisa juga dilihat pada sejarah Bumi, dimana Kerajaan Romawi bisa menjadi contoh. Semua bangsa yang membantai musuh-musuh mereka dengan kekuatan besar untuk memperluas wilayah mereka pada akhirnya akan musnha.

Meskipun hal itu hanya sekedar bayang-bayang belaka, Alaia dan yang lainnya bisa menganggap kalau mereka beruntung Koutarou tidak melakukan hal seperti itu.


Part 2[edit]

Keadaan di dalam bangunan itu lebih hangat daripada di luar. Batu bata yang kokoh menangkap hangatnya udara dan menghambat masuknya angin yang dingin di saat yang bersamaan.

"Ksatria Biru, kakak menunggumu di kamarnya."

"Baik."

Setelah menutup pintu, Koutarou melangkah menuju kamar Alaia dengan Charl yang berada di punggungnya. Bunyi dering besi bisa terdengar setiap kali Koutarou melangkahkan kakinya, yang menggema memenuhi penjuru bagian pintu masuk, tangga panjang yang mengarah ke lantai tiga dan lorong yang panjang di lantai tiga itu.

Koutarou lalu berhenti di depan sebuah pintu yang besar, yang merupakan pintu masuk ke dalam sebuah kamar yang dulu dipakai sebagai ruang komandan benteng itu. Pasukan Forthorthe baru pun melakukan hal yang sama, dan sang komandan pasukan, Alaia, sekarang menggunakan kamar itu. Koutarou sudah pernah mengunjungi ruangan ini beberapa kali, termasuk kemarin dan hari ini.

Sebelum Koutarou bisa mengetuk pintu ruangan itu, pintu itu terbuka dari dalam. Beberapa orang pemerintahan yang membawa tumpukan dokumen keluar dari dalam ruangan itu.

"Yang Mulia!? Suatu kehormatan bisa bertemu dengan anda!"

"Tuan Veltlion! Kami sedang terburu-buru saat ini, jadi kami permisi dulu!"

Saat mereka melihat Koutarou yang ada di depan mereka, mereka dengan sigap membetulkan sikap mereka, tapi itu hanya bertahan sesaat sebelum mereka mulai berlari.

"Mereka kelihatannya sibuk."

"Ya. Kakak juga sudah bekerja terus menerus."

Koutarou lalu mengalihkan pandangannya dari orang-orang itu dan mengintip dari balik pintu. Koutarou bisa melihat Alaia yang berada di balik meja di ujung ruangan itu, dikelilingi oleh berbagai tumpukan dokumen.

"Jangan hanya berdiri dan melihat saja, masuklah. Aku sudah bilang kalau kakak membutuhkanmu."

"Baiklah, tuan puteri", balas Koutarou sambil tersenyum pada Charl dan lalu mengetuk pintu itu beberapa kali. Meskipun pintu itu sudah terbuka, Koutarou merasa kalau dia setidaknya mengetuk dahulu sebelum masuk.

"...Kau sungguh formal."

"Kita tidak datang kesini untuk bermain."

"Justru itu."

"Anda bercanda."

"Ya, siapa yang--Layous-sama!?"

Setelah memeriksa dokumen yang ada, Alaia menoleh untuk melihat siapa yang mengetuk pintu. Saat dia melihat Koutarou dan Charl, matanya menjadi terbelalak karena kaget.

"Puteri Alaia, saya datang kesini untuk memenuhi panggilan anda."

"Eh? Tapi saya tidak ingat sudah memanggil Layous-sama...?" balas Alaia dengan wajah yang terlihat bingung, yang juga membuat Koutarou ikut kebingungan.

"Tapi...puteri Charl datang memanggil saya, dan mengatakan bahwa anda meminta saya untuk datang."

"Charl yang meminta?"

Koutarou dan Alaia lalu menoleh ke arah Charl, yang masih berada di punggung Koutarou. Charl lalu menutup pintu di belakangnya sambil tersenyum.

"Aku tidak pernah berkata kalau kakak memanggilmu."

"Tapi..."

"Aku hanya berkata kalau kakak membutuhkanmu. Kau sudah salah memahaminya."

Dalam kata lain, Charl sudah mengelabui Koutarou untuk datang ke ruangan itu. Charl pun tersenyum riang seakan berkata 'Kena, kau!'

"Charl, Layous-sama adalah orang yang sibuk, kau tahu?"

"Justru itu, kakak!"

Meskipun dia diperingatkan oleh Alaia, Charl tidak terlihat akan mendengarkan peringatan itu dan malah tersenyum pada mereka berdua.

"Yang dilakukan kakak dan Ksatria Biru hanyalah bekerja. Kalian terlihat lebih santai saat kalian kabur dari para pengejar! Kalau kakak tidak istirahat, kakak akan sakit lagi!"

Namun, ternyata alasan dibalik itu sangat serius. Charl mengepalkan tangannya dan melihat ke arah Koutarou dan Alaia dengan raut wajah yang serius saat berkata seperti itu.

"Charl..."

Alaia, yang sudah berniat menegur Charl, membatalkan niatnya setelah mendengarkan alasannya. Dia tidak bisa begitu saja menegur Charl yang sudah peduli terhadap dirinya dan Koutarou.

Jadi itu sebabnya...Sekarang kalau aku pikir lagi, dia memang bilang kalau kita datang ke sini buat main...

Koutarou, seperti halnya Alaia, merasa puas dan lega setelah mendengar alasan Charl, dan di saat yang sama merasa kalau kepedulian Charl tidak seperti halnya anak-anak pada umumnya. Saat Koutarou mengenang kembali masa kecilnya, dia tidak bisa membayangkan dirinya bisa melakukan hal seperti itu.

"Ayo, jangan hanya berdiri disana. Pergilah ke tempat kakakku."

"Baiklah, tuan puteri", jawab Koutarou sambil membetulkan posisi Charl di punggungnya dan lalu melangkah mendekati Alaia. Koutarou ingin menghargai perasaan sang puteri yang begitu tulus dan jujur, dan Alaia sendiri memang terlihat kelelahan. Koutarou yakin kalau Alaia juga memerlukan istirahat.

"Layous-sama....apa tidak apa-apa?"

Namun, Alaia tidak merasa seperti itu, dan justru merasa bersalah karena menganggap adiknya sudah menghabiskan waktu Koutarou yang berharga.

"Tidak apa-apa. Ini juga salah satu tugas seorang pelindung", jawab Koutarou sambil menunjuk ke arah dadanya. Di tempat dimana dia menunjuk, sebuah lencana gelar yang terbuat dari kayu dan wol bisa terlihat.

"Lencana Ksatria Biru Forthorthe, Pelindung Super Penting bagi Charl dan Alaia."

Lencana itu adalah lencana yang dibuat oleh Charl, yang mana Alaia juga dibujuk oleh Charl untuk membantu membuatnya.

"Layous-sama..."

Melihat lencana itu berada di dada Koutarou, sebuah rasa yang begitu hangat menyebar ke seluruh tubuh Alaia. Lencana yang terbuat dari kayu dan wol itu memang hanya mainan anak-anak semata, dan meskipun seorang anggota keluarga kerajaan yang memberikan lencana itu, tidak banyak ksatria yang akan senang menerima lencana seperti itu. Alaia senang karena Koutarou adalah salah satu dari ksatria-ksatria itu.

"...Kalau begitu, mari kita beristirahat sejenak."

Alaia pun merasa kalau dia perlu menghabiskan waktu bersama Koutarou dan Charl.

"Seperti yang dikatakan Charl, saat-saat seperti ini memang lebih melelahkan dari saat kita sedang kabur."

"Kakak! Lihat, Ksatria Biru! Seperti yang aku bilang, benar!?"

"Pengamatan yang luar biasa, puteri Charl."

"Fufun, kau boleh memujiku lebih lagi, wahai ksatriaku."

"Kita tidak bisa menang melawan Charl...fufufu..."

Kalau saja Alaia memperhatikan adanya lencana itu saat dia sedang sendirian dengan Koutarou, Alaia mungkin sudah mengatakan sesuatu yang betul-betul mengejutkan. Itulah yang berada dibenaknya saat Koutarou dan Charl menyiapkan teh untuk mereka bertiga.


Part 3[edit]

Sepanjang waktu minum teh, diantara Charl, Koutarou dan Alaia, Charllah yang berbicara paling banyak.

"....Lalu, Mary menghentikanku dan berkata bahwa menunggangi kuda yang besar itu berbahaya. Lalu aku bertanya padanya, kuda seperti apa yang harus aku tunggangi? Tidak ada kuda lain yang lebih kecil selain kuda itu. Dia jahat, benar?"

Charl membicarakan banyak hal, mulai dari kejadian-kejadian lucu, cerita sedih, kejadian-kejadian terbaru, apa yang ingin dilakukannya nanti dan semacamnya. Dia berbicara sambil menggambarkan berbagai hal dengan gerakan tangannya.

"Charl, kau masih terlalu muda untuk menunggangi kuda."

"Yang Mulia, anda bisa menunggangi seekor kuda poni."

"Ksatria Biru, apa kau baru saja mengejekku?"

"Saya tidak akan berani mengejek Yang Mulia."

"Kalau begitu, biarkan aku menunggangi kuda lain kali. Baru setelahnya aku akan memaafkanmu."

"Baiklah, tuan puteri."

"Bagus."

"Fufu..."

Koutarou dan Alaia mendengarkan cerita-cerita itu sambil menanggapinya sesekali. Memang, cerita-cerita Charl tidak begitu penting, tapi hal seperti itulah yang bisa membuat Koutarou dan Alaia beristirahat.

Mereka bertiga melanjutkan itu selama sekitar satu jam. Setelah membicarakan semua yang ada di pikirannya, Charl terlelap dengan puas diatas pangkuan Koutarou, mempercayakan sepenuhnya badannya pada Koutarou.

"...Kelihatannya dia sudah tertidur."

Koutarou, yang menyadari kalau Charl sudah tidur, berdiri dan membawanya ke sofa di pojok ruangan. Setelah Koutarou membaringkannya, Alaia menyelimuti tubuh Charl dengan selimut.

"...Terima kasih, Layous-sama."

Setelah membetulkan letak kaki Charl yang tidak tertutupi selimut, Alaia berdiri dan memandang ke arah Koutarou dengan pandangan yang penuh akan rasa percaya dan penuh kasih, seolah-olah mereka adalah sebuah keluarga.

"...Tidak apa-apa."

Koutarou hampir tenggelam dalam pandangan itu, namun dia segera teringat akan tugasnya. Setelah menoleh ke arah pintu, dia berbicara pada Alaia dengan nada berbisik agar tidak membangunkan Charl.

"...Baiklah, Yang Mulia, saya rasa ini sudah waktunya bagi saya untuk pamit."

Mereka sudah beristirahat cukup lama. Sudah waktunya bagi mereka untuk kembali melakukan tugas mereka masing-masing. Baik Koutarou maupun Alaia punya banyak hal untuk dilakukan. Alaia sadar akan hal itu, namun dia memilih untuk melakukan yang sebaliknya.

"...Layous-sama, bolehkah saya meminta waktu anda sedikit lebih lama lagi?"

"...Tidak masalah, tapi..."

"...Kalau begitu, silahkan duduk disini."

"...Baik."

Koutarou, yang mengikuti arahan dari Alaia, kembali ke meja teh yang masih terisi dengan cangkir-cangkir teh dan duduk berseberangan dengan Alaia. Karena meja itu berada agak jauh dari sofa, mereka bisa berbicara tanpa perlu kuatir akan membangunkan Charl. Setelah melihat ke arah Charl sekali lagi, Koutarou berbalik ke arah Alaia.

"Dia betul-betul tertidur nyenyak."

"Charl hanya bisa tidur seperti itu saat anda berada didekatnya, Layous-sama", kata Alaia sambil memandang Charl sejenak di saat yang sama dengan Koutarou. Namun, saat Alaia berbalik menghadap Koutarou, raut wajah Alaia terlihat sedih.

"Saya yakin...bahwa Layous-sama mengingatkannya pada ayahnya. Dia bergantung pada anda sama seperti dia bergantung pada ayah. Meskipun dia tidak pernah mengatakannya pada saya karena dia peduli pada saya, saya yakin bahwa dia juga kesepian."

Dia juga kesepian, ya...itu sih udah jelas, ya kan...

Koutarou mengerti makna tersembunyi dibalik kata-kata Alaia, yakni Alaia juga berduka atas kepergian kedua orangtuanya.

Aku lemah. Aku betul-betul nggak bisa ngelakuin apa-apa...

Koutarou sendiri tidak punya kekuatan apa-apa. Sekilas, Koutarou terlihat seperti membantu Alaia dan yang lainnya, tapi apa yang sebenarnya telah membantu mereka adalah kekuatan yang dipinjam. Selain itu, Koutarou tidak bisa menghibur Alaia dan Charl yang masih berduka. Karena dia sudah hidup dalam dunia yang damai sepanjang hidupnya, Koutarou tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menghibur kedua gadis yang orangtuanya telah terbunuh itu.

Koutarou sendiri, dalam hal dirinya sendiri, betul-betul tidak berguna. Dia tidak bisa membantu Alaia maupun Charl, dan itulah yang membuatnya kesal dan sedih.

"Jadi, Layous-sama."

Saat Koutarou sedang berpikir dalam-dalam, kata-kata Alaia menariknya kembali ke kenyataan.

"Setelah perang ini berakhir, saya ingin anda terus membantu kami."

Alaia menghentikan Koutarou karena dia ingin mengatakan itu. Dia tidak bisa mengatakan itu padanya kalau mereka tidak sendirian.

"Yang Mulia..."

Koutarou menjadi bingung mendengar perkataan Alaia. Dia tahu lebih dari siapapun bahwa dirinya betul-betul lemah, dan Koutarou punya tempat dimana dia harus kembali dan melakukan sesuatu.

"Saya tidak akan bisa membantu banyak. Saya yakin anda sudah menyadari hal itu, Yang Mulia", balas Koutarou yang yakin bahwa saat mereka masih berkelana, entah kapan, gadis cerdas ini sudah memperhatikan bahwa dirinya tidak memiliki kekuatan apapun.

"Layous-sama"

Dan itulah yang sebenarnya. Setelah melihat bagaimana Koutarou bertarung dan senjata yang digunakan Clan, Alaia sudah mengerti bahwa hal seperti itulah yang memang terjadi. Kenyataan bahwa Alaia tidak menentang hal itu membuat Koutarou mengerti.

"Saya lemah. Berkat kekuatan banyak oranglah saya bisa bertarung. Namun, bahkan kekuatan itu pun memiliki batasan. Pada akhirnya, saya akan kehilangan kekuatan-kekuatan ini dan kembali menjadi manusia yang lemah. Setelah hal itu terjadi, saya hanya akan memberatkan Yang Mulia."

Kemampuan memanipulasi energi spiritual yang diberikan Sanae padanya sudah menjadi semakin lemah. Sanae sudah membuat jalur dalam badan Koutarou agar Koutarou bisa menggunakan kekuatan itu, tapi setelah terpisah dari Sanae, kekuatan itu menjadi semakin lemah.

Zirah milik Theia pun juga tidak akan bertahan selamanya. Tidak ada tempat di zaman ini dimana mereka bisa menemukan suku cadang untuk memperbaikinya. Clan sudah mengusahakan yang terbaik dengan apa yang dimilikinya saat itu, tapi pada akhirnya dia pasti akan menghabiskan apa yang dimilikinya dan tidak akan bisa meneruskan perbaikannya pada zirah itu.

Hal yang sama berlaku bagi pelindung tangan milik Kiriha dan sihir milik Yurika. Sebentar lagi, Koutarou juga akan mencapai batasnya dan tidak akan bisa mempertahankan kekuatannya saat ini untuk waktu yang lebih lama lagi.

Itulah mengapa Koutarou yakin bahwa dia akan berpisah pada akhirnya dengan Alaia dan yang lainnya, persis seperti Ksatria Biru yang asli. Alasan mengapa kekuatannya bisa bekerja pun sangat berbahaya, dan Koutarou tidak ingin hal itu menjadi sumber pertempuran. Karena Koutarou sendiri tidaklah kuat, dia tidak memiliki pilihan lain.

"Layous-sama, tidak masalah bagi Charl apakah anda kuat atau tidak. Dia mengagumi anda karena siapa anda", jawab Alaia yang mengerti akan semua itu.

Charl tidak bergantung pada Kotarou karena kekuatannya. Dia hanya mencintai Koutarou, itulah sebabnya Charl memberikan lencana itu padanya.

"Dan dia mengagumi anda karena anda masih memiliki lencana itu pada dada anda."

Lencana gelar itu masih tesemat di dada Koutarou. Charl mengagumi Koutarou karena sifatnya yang seperti itu, dan Charl tahu kalau Koutarou mengerti perasaannya.

"Hal yang sama juga berlaku bagi saya. Kalau saya tidak bertemu dengan anda, saya mungkin tidak akan bisa berbicara dan tersenyum seperti ini."

Alaia punya bayangan pemikiran yang sama seperti Charl. Tidak peduli seberapa kuat Koutarou, dukungan moralnyalah yang lebih penting bagi diri Alaia. Ada saat-saat dimana Alaia merasa hancur hati. Namun, setiap kali hal itu terjadi, kata-kata Koutarou dan keberadaannya telah mendukung Alaia. Seorang ksatria yang hanya sekedar kuat saja tidak akan bisa melindungi Alaia. Hal itu hanya bisa terjadi karena siapa Koutarou sebenarnya.

"Tolong, lebih percaya dirilah dengan diri anda sendiri. Layous-sama, kalau anda menjaga sumpah anda sebagai manusia biasa, andalah ksatria yang bisa kami percaya untuk selamanya."

Pedang adalah jiwa seorang ksatria. Namun, sumpah yang ada pada pedang itulah yang lebih penting daripada pedang itu sendiri. Jadi, berdasarkan itu, Koutarou adalah ksatria terkuat di Forthorthe bagi Alaia.

"Yang Mulia...kata-kata anda terlalu baik bagi saya."

Koutarou hampir menangis bahagia karena dia mengerti perasaan Alaia, yang menjelaskan padanya bahwa yang dibutuhkan oleh Alaia dan Charl bukanlah kekuatannya, namun dirinya sendiri. Kata-kata itulah yang menyelamatkan Koutarou saat dia merendahkan diri karena lemahnya dirinya.

"Yang Mulia, saya akan memegang teguh kata-kata itu selama saya hidup."

"Kalau begitu--"

Raut wajah Alaia terlihat bahagia saat dia dengan pelan bangkit berdiri. Baginya, apakah Koutarou akan selalu berada disisinya atau tidak adalah pertanyaan yang sangat penting.

"Tidak, Yang Mulia. Saya tidak bisa melakukan itu."

Namun, Koutarou menggelengkan kepalanya. Hanya itulah yang bisa dijawabnya.

"L-Layous-sama...?"

Alaia kembali terduduk di kursi dengan mata yang terbelalak, yang mulai basah mempertanyakan mengapa Koutarou tidak mau berada disisinya.

"Saya juga memiliki tempat dimana saya harus kembali, dan disana saya memiliki sebuah janji..bukan, sumpah yang harus saya penuhi."

"Sebuah sumpah..."

Ksatria terkuat yang didambakan oleh Alaia dan Charl adalah seorang ksatria yang selalu melakukan yang terbaik untuk bisa memenuhi sumpahnya. Karena itulah Koutarou harus kembali, karena dia sudah membuat banyak janji dan sumpah.

Koutarou sudah memutuskan untuk membuat Theia berhasil menyelesaikan ujiannya, berjanji pada Kiriha kalau mereka akan bersama-sama mencari orang yang dicintai Kiriha, berencana lulus SMA bersama-sama dengan Yurika dan tidak bisa membiarkan Sanae sendirian. Dia juga sudah bersumpah bersama para gadis penjajah, Harumi dan klub drama bahwa mereka akan membuat pementasan drama mereka menjadi sukses.

Karena banyaknya janji dan sumpah itu, Koutarou tidak bisa tetap berada di tempat itu. Kalau Alaia dan Charl mendambakan seorang ksatria terkuat, dan kalau Koutarou adalah sang ksatria terkuat itu, Koutarou harus kembali ke tempat dimana para gadis penjajah itu berada.

"Begitu...rupanya..."

Alaia pun terduduk lemas saat badannya bersandar pada kursi. Kekecewaan nampak jelas pada dirinya. Namun, Alaia mengerti apa yang dikatakan Koutarou. Semua tindakannya sesuai dengan apa yang selama ini telah dilakukannya. Itulah sebabnya mengapa Alaia mencintai Koutarou, dan bagian yang paling dicintainya adalah alasan mengapa Koutarou harus pergi, dan Alaia tidak bisa menghentikannya.

"Maafkan saya, puteri Alaia."

"Tidak apa-apa. Memang orang seperti itulah anda, Layous-sama..."

Alaia berusaha keras menahan dirinya agar tidak menangis dan lalu tersenyum pada Koutarou. Dia betul-betul tidak ingin menjadi beban bagi Koutarou.

"Se...sebagai gantinya, tolong katakan pada saya satu hal."

Alaia menahan kesedihannya dan cintanya pada Koutarou, namun perasaan yang tidak bisa ditahannya muncul sebagai sebuah pertanyaan.

"Apapun yang anda minta."

Koutarou pun berniat menjawab apapun yang ditanyakan oleh Alaia dengan sejujur-jujurnya. Dia tidak ingin berbohong pada Alaia. Mungkin, itulah yang bisa disebut sebagai kesetiaan.

"Tolong maafkan saya karena mengulangi sesuatu yang sudah saya tanyakan sebelumnya."

Alaia lalu menatap lurus ke arah Koutarou dan lalu bertanya:

"Lambang kekaisaran yang terukir pada lempeng dadamu. Penampilan anda, tingkah laku anda dan rasa percaya diri anda. Anda, tanpa saya ragukan lagi, adalah seorang ksatria Forthorthe yang sebenarnya."

"Puteri Alaia...."

Kata-kata itu adalah kata-kata yang ditanyakan Alaia saat mereka berdua pertama kali bertemu. Sudah beberapa bulan berlalu semenjak hari itu, tapi Koutarou bisa mengingat dengan jelas kata-kata itu. Peristiwa itu meninggalkan kesan yang sangat mendalam pada dirinya.

"Tapi...tapi saya tidak mengingat pernah melihat lambang yang terukir pada pedang anda. Darimanakah anda berasal?"

Alaia ingin mengetahui darimana Koutarou berasal, dan kemana dia akan pergi. Kalau Koutarou tidak bisa berada disisinya, setidaknya dia ingin tahu kemana Koutarou akan pergi.

"Saya---"

Koutarou pun ragu saat akan menjawab, bukan karena dia memikirkan apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak, tapi karena bagaimana dia harus menjawab pertanyaan itu tanpa harus membuat Alaia salah paham. Setelah berpikir sesaat, dia melihat ke arah luar jendela dan menatap langit.

"Saya berasal dari sisi lain langit itu....dari dunia bintang..."

Dari balik jendela itu, Koutarou bisa melihat merahnya langit senja dan bintang pertama yang mulai bersinar. Yang dilihatnya bukanlah bumi, namun pandangan Koutarou dan Alaia terpaku kesana.

"....dunia...bintang..."

Hal itulah yang Alaia pikir sebagai hal yang sebenarnya. Setiap kali Koutarou melihat ke arah langit, dia menunjukkan raut wajah yang mengenang sesuatu. Meskipun Alaia sudah merasa yakin kalau memang itu sebabnya, dia tetap terkejut saat mendengar jawaban itu.

"Dan."

Koutarou lalu melepas pedang beserta sarungnya dari pinggangnya dan menunjukkan lambang yang berada pada gagangnya pada Alaia. Sebuah bunga emas bisa terlihat terukir pada gagang itu.

"Pedang ini diberikan kepada saya oleh puteri Theiamillis Gre Mastir Sagurada Von Forthorthe. Lambang pada pedang ini bukanlah lambang keluarga, tapi lambang pribadi puteri Theiamillis."

"Mastir...?"

Raut wajah Alaia pun berubah kebingungan, karena ada bagian dari nama yang diucapkan Koutarou yang membuatnya bingung.

"Itu bukan...tidak ada seorang pun yang bernama Theiamillis dalam keluarga Mastir."

Saat ini, hanya ada dua orang dari keluarga Mastir yang masih hidup, yakni Alaia dan Charl. Karena saat ini juga sebelum keluarga kekaisaran terpecah, hanya Alaia dan Charllah yang memiliki darah kekaisaran. Jadi, puteri kekaisaran ketujuh dari keluarga Mastir, Theiamillis, seharusnya tidak ada.

"Tapi, dia memang ada, 2000 tahun dari sekarang..."

"2000...tahun...?"

Kata-kata yang tidak terduga dari Koutarou membuat Alaia kembali terkejut. Kalau dia menerima jawaban bahwa seorang tuan puteri bernama Theiamillis ada 2000 tahun dari sekarang, itu berarti dia harus menerima satu masalah besar lainnya. Dan dengan nalar yang dimilikinya, Alaia merasa bahwa hal itu tidak mungkin.

"Tepat sekali, puteri Alaia. Saya berasal dari masa depan, 2000 tahun yang akan datang."

Namun, Koutarou mengatakan apa yang dianggap oleh Alaia sebagai suatu hal yang mustahil.


Part 4[edit]

Setelah itu, Koutarou mengatakan pada Alaia segala sesuatunya, detil seperti bagaimana dia bisa datang kesini, tanpa menyembunyikan apapun. Koutarou yakin kalau Alaia pantas menerima hal itu.

Koutarou lalu bercerita bagaimana dia bertemu dengan Theia, bagaimana mereka bertengkar setelah mulai hidup bersama-sama, dan pada akhirnya bekerjasama. Koutarou juga bercerita saat dia bertarung melawan Clan, mereka berdua terlempar ke tempat dan waktu ini secara tidak sengaja. Dia berkata bahwa dia mengganggu pertemuan Alaia dengan sang Ksatria Biru dan sekarang bertindak sebagai pengganti sambil bekerjasama dengan Clan.

Koutarou berhasil menyampaikan seluruh ceritanya pada Alaia walaupun itu sulit. Koutarou sendiri tidak betul-betul mengerti dengan apa yang sudah terjadi, dan Alaia hampir tidak memiliki pengetahuan apapun tentang sains. Saat Koutarou sudah menceritakan segalanya pada Alaia, hari sudah menjadi malam.

"Itulah sebabnya...saya bahkan bukanlah seorang ksatria yang sebenarnya. Saya hanyalah seorang pelajar biasa, tanpa kekuatan apapun. Saya bahkan bukanlah seorang bangsawan. Hanya rakyat biasa."

Untuk menyelesaikan ceritanya, Koutarou mengungkapkan siapa dirinya sebenarnya, bahwa dia tidak memiliki kekuatan sendiri dan hanya meminjam kekuatan-kekuatan itu dari orang-orang lain. Itulah kenyataan pahit yang harus dihadapinya. Koutarou harus mengaku pada orang yang paling dihormatinya bahwa dirinya adalah seseorang yang tidak berharga. Namun, disaat yang sama Koutarou merasa senang bahwa dirinya tidak perlu berbohong lagi pada Alaia.

"Anda salah."

Namun, Alaia justru tersenyum kecut sambil menggelengkan kepalanya.

"Tanpa diragukan lagi, anda adalah seorang ksatria. Perasaan yang dicurahkan oleh Theiamillis pada pedang dan zirah itu adalah perasaan yang sebenanya. Karena kami berdua adalah tuan puteri, saya bisa berkata seperti itu."

Alaia merasa yakin dengan apa yang dikatakannya, meskipun dirinya tidak pernah bertemu gadis bernama Theiamillis itu. Karena mereka berdua adalah tuan puteri, dia bisa mengerti perasaan yang berada pada pedang dan zirah itu. Theiamillis mungkin percaya pada Koutarou seperti halnya Alaia, dan mungkin mencintainya juga. Alaia percaya bahwa lambang bunga emas pada gagang pedang itu dan gelar Ksatria Biru Theiamillis yang terukir pada lempengan dada zirah itu membuktikan hal itu.

"Tuan puteri seperti apa yang akan meminjamkan pedang yang dibuatkan padanya saat hari kelahirannya pada seseorang yang tidak penting? Kalau anda betul-betul seseorang yang tidak penting, dia mungkin akan memberikan pada anda salah satu pedang yang ada disekitar sini."

"Tapi---"

"Dan meskipun bukan itu yang sebenarnya terjadi..."

Alaia mendekapkan tangannya di depan dadanya dan tersenyum pada Koutarou dengan senyuman yang begitu indah, sampai-sampai Koutarou lupa dengan apa yang hendak dikatakannya.

"Saya dan Charl melantik anda menjadi ksatria atas nama keluarga kekaisaran Forthorthe."

Alaia lalu menunjuk pada lencana di dada Koutarou.

"Bahwa anda adalah Ksatria Biru Forthorthe."

Lencana yang berada pada dada Koutarou itu dibuat oleh Charl dan Alaia. Meskipun terlihat seperti mainan, lencana itu memiliki kata-kata yang tertulis seperti demikian:

"Lencana Ksatria Biru Forthorthe, Pelindung Super Penting bagi Charl dan Alaia."

Selama lencana itu berada pada dadanya, meskipun dirinya hanyalah seorang rakyat biasa, Koutarou adalah ksatria sejati, yang telah diakui oleh Alaia dan Charl.

"Berbanggalah. Anda adalah seorang ksatria sejati, yang diakui oleh empat tuan puteri Forthorthe."

Alaia, Charl, Theia dan Clan. Keempat puteri itu mengakui Koutarou sebagai seorang ksatria. Bahkan dalam sejarah Forthorthe hal itu adalah sesuatu yang luar biasa.

"Saya tidak yakin dengan Clan...", balas Koutarou dengan senyuman menyerah. Kalau dia sudah disebut sebagai seorang ksatria oleh tuan puteri seperti Alaia, dia tidak punya pilihan lain selain menerima itu. Lencana gelar yang diberikan oleh Alaia dan Charl pun masih menggantung di dadanya. Hanya Clanlah orang yang tidak diyakini Koutarou sebagai orang yang menganggapnya sebagai ksatria.

"Clan-sama juga mengakui anda sebagai ksatria. Saya tahu akan hal itu."

Alaia teringat saat Koutarou dan Clan melawan raksasa besi, dan saat itu Clan berkata seperti ini:

"Ini adalah perintah kekaisaran. Sebagai ksatria Forthorthe, laksanakanlah tugasmu!"

Saat itu Alaia berada jauh dari tempat dimana Clan berada dan sulit untuk mendengarkannya, tapi Alaia yakin mengingat kata-kata itu. Kata-kata itu tidak akan mungkin diucapkan Clan jika Clan tidak mengakui Koutarou sebagai seorang ksatria.

"...Yang Mulia..."

Koutarou merasa bahagia bahwa seseorang sekelas Alaia telah menaruh rasa percaya yang begitu dalamnya pada dirinya. Satu-satunya hal yang masih mengganggunya adalah kenyataan bahwa dia adalah pengganti sang Ksatria Biru. Kalau saja dia bukan sekedar pengganti, Koutarou pasti sudah melonjak menari.

"Tapi, benar juga...kalau anda sudah membuat janji dan sumpah dengan orang-orang di kampung halaman anda...anda harus kembali pulang."

Alaia sendiri juga meraa senang karena dia merasa Koutarou mengungkapkan segala sesuatunya padanya karena Koutarou mengakui dirinya sebagai tuan puteri sejati. Alaia memang tidak bisa membuat Koutarou tetap berada di sisinya, namun hal itu tetap membuatnya bahagia.

"...Anda percaya dengan cerita yang luar biasa seperti itu, Yang Mulia?"

Koutarou hanya bisa heran melihat tanggapan Alaia. Dia tidak percaya bahwa Alaia akan percaya kalau dirinya datang dari dunia penuh bintang dan menembus waktu.

"Seorang tuan puteri yang tidak percaya pada ksatria yang dilantiknya sendiri tidak pantas untuk memimpin sebuah negeri."

Namun, Alaia hanya bisa percaya pada Koutarou. Kalau bukan karena Koutarou, Alaia tidak akan bisa maju sejauh ini. Itulah sebabnya dia akan mempercayai semua yang dikatakan Koutarou, bahkan jikalau Koutarou berkata bahwa matahari akan menghilang tiba-tiba besok hari.

"....Kata-kata anda terlalu baik bagi saya."

Kalau Alaia begitu percaya padanya, tidak ada hal lainnya yang bisa Koutarou lakukan. Tidak peduli apakah dia ksatria yang asli atau palsu, Koutarou meneguhkan dirinya sekali lagi untuk melindungi Alaia dari Maxfern.

"Hanya...bisakah anda mengatakan pada saya satu hal lagi, Layous--"

Alaia hampir menanyakan pertanyaan terakhirnya pada Koutarou, tapi dia teringat bahwa dia memiliki satu pertanyaan lagi untuk ditanyakan. Alaia lalu tersenyum dan memutuskan untuk menanyakan hal itu lebih dulu.

"Sebelum itu, tuan ksatria, bolehkah saya mengetahui nama anda?"

Sekali lagi, Alaia mengucapkan apa yang telah dikatakannya saat mereka berdua pertama kali bertemu.

Koutarou telah mengatakan pada Alaia bahwa dia bukanlah Ksatria Biru yang asli, dan dia sudah percaya padanya. Itulah yang membuat Alaia sadar bahwa dirinya tidak mengetahui nama asli Koutarou.

"Maafkan ketidaksopanan saya. Nama saya adalah--"

Sebagai jawabnya, Koutarou menjawab dengan kata-kata yang sama dengan yang dikatakannya pada hari itu. Namun, pada saat itulah kata-kata yang diucapkannya menjadi berbeda.

"Nama saya adalah Koutarou. Satomi Koutarou. Saya bersumpah demi pedang ini bahwa saya akan melindungi anda."

Tidak seperti sebelumnya, kali ini Koutarou mengungkapkan namanya yang sebenarnya, namun dia bersumpah demi pedangnya sama seperti sebelumnya dengan perasaan yang jauh, jauh lebih kuat daripada sebelumnya.

"Koutarou-sama...jadi nama anda adalah Koutarou-sama..."

Nama itu adalah nama yang asing yang tidak pernah terdengar di Forthorthe. Karena tidak terbiasa mengucapkan nama itu, Alaia mengulangnya beberapa kali.

"Saya betul-betul meminta maaf karena sudah menggunakan nama palsu hingga saat ini."

"Ada saat dimana saya memanggil diri saya sendiri dengan sebutan Cigna, jadi dengan ini kita seri."

"Hahaha, itu juga terjadi, ya..."

Yang dimaksud adalah saat festival panen, yang terjadi beberapa bulan lalu. Namun, karena ada banyak hal yang terjadi setelahnya, peristiwa itu seakan-akan telah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Namun, peristiwa itu adalah kenangan yang berharga yang tidak akan dilupakan oleh mereka berdua.

"Jadi, Yang Mulia, apakah pertanyaan terakhir anda?"

Koutarou dan Alaia sama-sama tersenyum dengan senyuman yang sama saat mereka berdansa di malam festival itu. Sejak saat itu, perasaan mereka berdua sudah saling terjalin.

"Itu---"

Alaia pun tersenyum dan kembali mendekapkan tangannya di depan dadanya. Dia lalu berbisik pada Koutarou dengan suara yang sangat lembut.

"Kalau saya yang bertemu pertama kali dengan anda...kalau...saya yang meminta pada anda lebih dahulu...apa yang akan anda lakukan, Koutarou-sama?"

Alaia tahu kalau "kalau" itu tidak ada dan belum terjadi, tapi, "bagaimana kalau".

Bagaimana kalau dia sudah bertemu dengan Koutarou lebih dahulu daripada yang lain? Apakah Koutarou akan tetap berada disini, bersama dirinya?

Alaia tahu bahwa ini adalah hal yang percuma untuk ditanyakan, tapi dia tetap ingin menanyakan hal itu. Itulah seberapa besar rasa cintanya pada Koutarou.

"Kalau hal itu yang terjadi...saya mungkin akan melayani anda selama hidup saya."

Itulah yang diyakini oleh Koutarou. Dia tidak keberatan bersumpah setia pada Alaia, karena dia adalah seorang tuan puteri yang begitu luar biasa, yang bisa membuatnya merasa seperti itu. Ditambah, Koutarou juga sudah membuat banyak kenangan bersamanya. Mungkin, dia merasa nyaman bersamanya sama seperti saat dia berada bersama para gadis penjajah.

"Koutarou-sama, tolong temui saya lebih dahulu lain kali..."

Alaia merasa puas, mengetahui bahwa Koutarou akan pergi karena urutan pertemuan mereka. Meskipun bukan karena perasaannya tidak terungkapkan...

"Baiklah, tuan puteri..."

"...Koutarou-sama..."

....Alaia tetap meneteskan air matanya.

Dia telah mengerti segala sesuatunya, dan meski begitu, dia tetap tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menangis.


Sang Kaisar Naga Api, Alunaya[edit]

Part 1[edit]

Seperti halnya di Bumi, berbagai macam makhluk hidup ada di Forthorthe. Namun, makhluk-makhluk hidup itu hanya mirip sekilas saja dengan makhluk-makhluk hidup yang ada di Bumi. Karena pengaruh lingkungan planet itu, makhluk-makhluk hidup di planet itu mempunyai beberapa hal yang berbeda meskipun bentuknya mungkin mirip. Misalnya saja, seekor kuda. Kuda yang ada di Forthorthe mempunyai tanduk dan surainya berada di beberapa titik yang berbeda.

Ada juga makhluk-makhluk besar yang tumbuh hingga lebih dari sepuluh meter. Meskipun jumlahnya semakin berkurang dari tahun ke tahun berkat perubahan cuaca, makhluk-makhluk hidup aktif di bawah permukaan tanah dan kadang-kadang mengancam kehidupan orang banyak.

Namun, makhluk yang paling ditakuti oleh orang-orang banyak dari antara makhluk-makhluk besar itu adalah para naga. Seperti halnya dinosaurus di Bumi, para naga berada di puncak rantai makanan. Naga merupakan reptil berukuran besar yang bertumbuh semakin besar seiring berjalannya tahun, dan dalam beberapa kasus tingginya melebihi sepuluh meter. Ada banyak spesies naga yang dikenal sebagai naga tetua, yang tingginya bahkan mencapai lebih dari 30 meter. Naga-naga sejenis itu bisa menggerakkan badan raksasanya dengan bebas, dan dengan dilengkapi cakar dan taring yang tajam, mereka bisa menghancurkan dan menelan musuh seperti apapun.

Namun, para naga ditakuti bukan hanya karena ukurannya semata, karena ada makhluk-makhluk yang lebih besar dari mereka. Tidak, ada dua alasan lain mengapa para naga begitu ditakuti. Pertama, mereka bisa terbang meskipun mereka memiliki badan yang begitu besar. Kedua, mereka bisa mengeluarkan nafas mereka yang spesial.

Naga memiliki sayap yang besar pada punggung mereka, yang bentuknya mirip dengan sayap pterosaurus di Bumi. Dengan menggunakan sayap itu, mereka bisa dengan bebasnya terbang di angkasa dengan gesitnya meskipun badan mereka begitu besar. Tentu saja, hanya mengandalkan sayap saja tidak akan bisa membuat mereka bisa menerbangkan badan mereka yang besar. Itulah sebabnya mengapa mereka juga menggunakan sihir pada badan mereka. Dalam kata lain, naga juga adalah penyihir, meskipun sihir mereka terbatas.

Ada banyak kasus lainnya dimana naga menggunakan sihir, yang mana kasus seperti itu adalah saat dimana mereka menggunakan nafas spesial mereka untuk menyerang. Berkat badan mereka yang besar, para naga bisa mengeluarkan nafas mereka dalam kecepatan yang luar biasa. Mereka menggunakan kekuatan sihir untuk mengubah kualitas nafas itu dan lalu menggunakannya untuk menyerang. Dalam beberapa kasus, mereka mengeluarkan api, tapi ada juga naga yang bisa mengeluarkan es, gas beracun dan bahkan asam. Ada berbagai jenis serangan nafas yang lainnya, dan ada juga naga yang mengeluarkan nafas yang begitu mengejutkan dari waktu ke waktu. Seiring waktu, orang bisa menebak apa yang akan dikeluarkan naga sebagai senjatanya dari menebak warna naga itu. Kalau warna badannya api, naga itu kemungkinan akan mengeluarkan nafas api, kalau putih, nafas es, dan seterusnya.

Para naga ditakuti berkat kedua kemampuan itu. Adalah hal yang tidak mungkin bagi orang-orang untuk kabur dari mereka berkat kemampuan mereka untuk terbang, dan tidak ada cara untuk berlindung dari serangan nafas mereka. Diantara para naga, ada yang mempunyai pengetahuan dan cinta kedamaian, namun sebagian besar diantara mereka adalah predator yang kejam. Saat berhadapan dengan seekor naga, siapapun pasti akan pasrah menerima takdir mereka. Jadi, sampai perubahan iklim mengurangi jumlah naga yang ada, mereka akan tetap berdiri tegak di puncak rantai makanan.

Sang Kaisar Naga Api, Alunaya, yang berada dalam legenda Ksatria Biru, adalah salah satu dari antara naga-naga itu. Badannya yang besar dan berwarna merah mencapai tinggi lebih dari 20 meter, dan dia bisa terbang bagaikan pesawat jet. Namun, gerakannya tidak sepelan jet, namun segesit dan setangkas burung elang atau rajawali. Selain itu, naga tetua ini bisa menyemburkan api yang begitu panasnya sampai bisa disebut sebagai plasma.

Sebagai hasilnya, saat naga ini muncul di kejauhan, melayang terbang menuju ke ara Raustor, benteng itu pun menjadi penuh dengan keributan. Pasukan Forthorthe Baru sebagian besar terdiri dari para relawan, yang mengigil ketakutan karena mereka tidak mendapat latihan bertempur yang cukup. Mereka semua tahu seberapa menakutkannya seekor naga, dan senjata-senjata zaman itu tidak ada yang bisa menaklukkan satu ekor nagapun. Saat seekor naga muncul, mereka semua harus bersembunyi sampai naga itu pergi seperti saat mereka didatangi oleh badai.

"Veltlion, ini gawat!"

Flair, yang sudah menerima laporan dari para prajurit yang berjaga, mendesak masuk ke kamar Koutarou di barak. Matahari baru saja terbit, dan Koutarou yang baru saja bangun dari tidurnya saat itu sedang berganti pakaian.

"Nona Flairhan!?"

Saat Flair mendesak masuk, bagian atas badan Koutarou masih belum tertutup pakaian, dan Koutarou sendiri baru akan memakai kaus. Flair, yang ternyata malu saat melihat hal itu, seharusnya akan berbalik badan dan lari dari ruangan itu. Namun, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk hal itu, karena dia sendiri sedang panik.

"Naga! Seekor naga datang menyerang! Kalau begini, kita akan hancur sebelum bisa mencapai pasukan kudeta!"

"Naga!? Hal semacam itu--tidak, benar juga, kalau dia datang saat ini, naga itu pasti Alunaya!!"

Koutarou sempat kebingungan saat mendengar bahwa seekor naga telah muncul, namun dia dengan cepat mengingat bahwa peristiwa itu juga ada dalam naskah Theia. Sang Kaisar Naga Api, Alunaya. Naga merah tua yang diperankan oleh Yurika saat drama.[2]

"Bagaimana situasinya!?" tanya Koutarou pada Flair sambil berusaha memakai kausnya dengan cepat. Sekarang bukan saatnya untuk memakai pakaiannya dengan santai, karena dia harus bergegas untuk bersiap menghadapi pertempuran.

"Para prajurit yang bertugas jaga melihat seekor naga merah yang menuju kemari! Mereka tidak bisa memperkirakan seberapa besar naga itu karena jaraknya, tapi dengan kecepatan naga itu, dia akan berada disini sebentar lagi!"

Dari menara jaga, kaki langit terlihat membentang dari jarak berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Kalau naga bisa terbang secepat elang atau rajawali, atau bahkan lebih cepat lagi, naga itu akan mencapai benteng hanya dalam hitungan menit saja.

"Saya mengerti! Anda pergilah lebih dulu, Nona Flairhan, dan siapkan para prajurit untuk menghadangnya! Saya akan segera kesana setelah saya siap!"

"Baik! Cepatlah kesana secepat mungkin!"

Flair lalu dengan cepat keluar dari ruangan itu tanpa mengatakan apa-apa lagi. Tidak ada waktu untuk disia-siakan dengan datangnya seekor naga.

"Kamu ngerti kan, Clan!?"

Setelah mengganti pakaiannya, Koutarou memanggil Clan yang berada di balik pembatas. Sambil melakukan itu, Koutarou berlari ke arah zirah yang berdiri di dekat dinding. Dia lalu menyentuh bagian tangan kanan zirah itu dan zirah itu pun terbuka, seakan menyambut kedatangannya.

"Ya! Aku tahu dia akan datang, tapi waktu kedatangannya sungguh merepotkan!"

Saat itu Clan sendiri juga sedang menyiapkan pakaiannya di balik pembatas. Kalau Alunaya memang sekuat yang dikatakan oleh legenda, para prajurit biasa tidak akan bisa bertahan menghadapinya. Satu-satunya cara efektif untuk menghadang Alunaya adalah bagi Koutarou dan Clan untuk maju ke garis depan.

"Yah, kita baru aja ngerebut bentengnya..." keluh Koutarou dengan gusarnya saat memasuki zirah itu.

Pasukan Forthorthe Baru baru saja merebut benteng Raustor dua hari yang lalu. Saat ini, mereka sedang memindahkan perbekalan dan prajurit untuk pertempuran mendatang. Karena itulah, para prajurit yang ada belum beristirahat dengan cukup setelah mereka berhasil merebut benteng itu. Saat-saat seperti inilah saat yang buruk bagi mereka untuk menerima serangan. Terlebih lagi, musuh yang menyerang mereka adalah hal yang paling ditakuti oleh penduduk Forthorthe, yaitu naga. Kalau naga itu tidak dihalangi, pasti akan ada banyak korban yang berjatuhan.

"Hei, Clan", panggil Koutarou setelah memerintahkan zirahnya untuk memindai musuhnya setelah menutup dan mengunci zirah itu.

"Apa menurutmu zirah ini bisa ngelawan naga itu?"

"Aku tidak yakin", jawab Clan setelah keluar dari balik pembatas. Dia sudah memegang sebuah senapan besar, dan dia mendekati Koutarou setelah mengambil Saguratin yang terletak bersandar dibalik pembatas.

"Populasi naga menurun dengan stabil saat terjadi perubahan iklim, jadi di zaman kita tidak ada rekaman pertempuran apapun dengan naga tetua. Ada rekaman kemenangan pertempuran melawan beberapa naga kecil yang masih bertahan hidup, tapi--"

"Itu nggak akan ngebantu banyak buat ngelawan monster ini, ya..."

Zirah Koutarou membuat gambar 3D di udara dan menampilkan informasi. Dengan menggabungkan informasi dari alat pemantau milik Clan, zirah itu melaporkan detil musuh yang sedang terbang ke arah mereka.

"Panjang 26 meter, terbang dengan kecepatan 198 km/jam. Peringatan, reaksi energi kepadatan tinggi terdeteksi, hati-hati terhadap senjata energi. Distorsi ruang terdeteksi. Hati-hati saat menyerang."

Laporan yang ditampilkan pun hanya memberikan kabar buruk. Menurut kecerdasan buatan pada zirah itu, semua hal mengenai naga itu kecuali kecepatannya berada pada tingkatan pesawat jet tempur. Peluang mereka untuk menang begitu rendah, karena ini bukanlah tipe musuh yang bisa mereka anggap enteng.

"Sayangnya, benar juga", angguk Clan sambil menyerahkan Saguratin pada Koutarou. Raut wajah mereka berdua pun terlihat serius.

"Makasih", balas Koutarou sambil menggantungkan Saguratin di pinggangnya dan melangkah menuju pintu keluar dengan Clan yang berada di belakangnya.

"Ini dia momen kebenarannya."

"Apakah kita bisa kembali ke dunia asal kita atau tidak bergantung pada pertempuran ini."

Clan percaya bahwa Koutarou adalah Ksatria Biru yang sebenarnya, meskipun dia sendiri tidak memiliki sesuatu untuk membuktikannya. Dalam naskah Theia, sang Ksatria Biru menang melawan Alunaya, tapi Clan sendiri tidak tahu apakah dia dan Koutarou bisa melakukan hal yang sama.

Dan jika mereka berdua kalah, sejarah akan berubah dengan hebatnya. Kalau itu sampai terjadi, kemungkinan bagi Koutarou dan Clan untuk bisa kembali ke dunia asal mereka akan menjadi hampir tidak ada sama sekali. Tentu saja, ada kemungkinan bahwa mereka berdua akan mati dalam pertempuran ini dan tidak akan bisa mencoba untuk kembali pulang.

"...Apa nama tuhanmu tadi?"

"Dewi fajar."

"Kalau gitu, tolong doain buat kemenangan kita ke dewi itu."

"Tidak masalah, tapi...kenapa sekarang? Dan mendadak seperti ini?"

Bagi Clan, Koutarou tidak terlihat seperti orang yang religius, jadi bagi Koutarou untuk berdoa meminta pertolongan kepada tuhan adalah sesuatu yang mengejutan bagi Clan.

"Aku ngerasa kaalu kita seharusnya ngelakuin apapun yang bisa kita lakuin, bahkan berdoa sekalipun."

Kalau hanya takdir mereka berdua saja yang dipertaruhkan, Koutarou mungkin tidak akan bergantung pada doa. Namun, karena dia melakukannya untuk melindungi Alaia dan yang lainnya, Koutarou akan melakukan apapun yang bisa dia lakukan, menunjukkan betapa dia betul-betul menghargai Alaia dan rekan-rekannya.

"...Aku mengerti apa yang kau rasakan. Aku akan berdoa untuk kita. Tapi, tolong jaga sikapmu dihadapan para prajurit."

"Ya. Itu sebabnya aku minta tolong padamu, Clan."

"Aku jadi merasa tidak yakin kalau itu artinya kau percaya padaku atau tidak..."

Mereka berdua pun saling tersenyum simpul dan dengan sigap keluar dari dalam barak. Sang Kaisar Naga Api Alunaya akan segera menghampiri mereka.


Part 2[edit]

Setelah Koutarou dan Clan melangkah keluar, sang naga sudah berada cukup dekat untuk bisa dilihat dengan mata telanjang.

"Jadi itu sang Kaisar Naga Api, Alunaya ya..."

"Dia betul-betul besar..."

Mereka berdua pun secara tidak sadar langsung terhenyak begitu melihat wujud raksasa Alunaya.

Dia betul-betul beda dari kostumnya Yurika...

Naga yang sebenarnya berada pada tingkatan yang jauh berbeda dari naga yang ada dalam drama. Koutarou merasa kalau pertempurannya melawan sang naga, yang betul-betul pantas menyandang gelar Kaisar Naga Api, akan begitu sengit.

"Veltlion, sulit untuk memperkirakan kalau senjata-senjata di benteng ini akan berpengaruh pada naga itu."

Ada ballista-ballista dan ketapel yang terpasang pada benteng itu, yang dimaksudkan untuk menahan para penyerang benteng tetap berada pada jarak yang jauh dan untuk menghancurkan senjata-senjata besar sebelum senjata-senjata itu bisa dipakai. Namun, senjata-senjata itu tidak efektif untuk musuh yang bisa terbang.

"Jadi, kita sendiri yang harus ngelakuin, ya..."

"Dan secepat mungkin."

Sesuai dengan namanya, Alunaya bisa mengeluarkan api yang begitu panas. Kalau dia dibiarkan begitu saja, dia bisa membakar habis benteng dan kota itu. Kalau itu sampai terjadi, semua kemenangan yang sudah mereka raih akan menjadi sia-sia. Mereka harus bisa mengalahkan Alunaya sebelum naga itu sampai di benteng itu.

"Kou...tidak, Layous-sama!"

"Ksatria Biru!"

Tepat pada saat itulah Alaia muncul diluar markas, dan disampingnya terdapat Charl, Mary dan Fauna.

"Yang Mulia!? Apa yang anda lakukan di tempat ini!?"

"Dengan makhluk seperti itu berada disini, tidak akan ada bedanya dimana kita berada! Yang lebih penting lagi, Layous-sama, saya ingin anda mengatur posisi para prajurit agar lebih dekat dengan kota!"

Alaia mungkin tidak bisa mencegah sang naga untuk menyerang, namun sebagai anggota keluarga kekaisaran negeri ini, dia tidak bisa begitu saja duduk diam melihat sebuah serangan terjadi. Alaia, yang sadar dengan besarnya kemungkinan jumlah korban yang ada, ingin agar para prajurit melindungi kota - apapun yang bisa membuat para penduduk kota bisa melindungi diri mereka.

"Baik! Saya akan memberitahu Nona Flairhan! Hei!"

"Ya."

Koutarou memanggil ajudannya dan memintanya untuk menyampaikan pesan pada Flair. Sementara itu, Flair sedang sibuk memindahkan para prajurit. Kalau dia mengetahui permintaan Alaia, Flair akan bisa memindahkan para prajurit sesuai permintaan Alaia.

Setelah melihat ajudannya berlari ke arah Flair, Koutarou melihat kembali ke arah Alunaya dengan pandangan serius.

"Clan, zirah ini bisa terbang seberapa jauh?"

"Tidak ada batasan jarak kalau kau menggunakan modul terbang standar, tapi ada batasan untuk bahan bakar untuk roket pendorong daruratnya, jadi kau hanya bisa terbang pada kecepatan maksimum selama kurang lebih sepuluh menit. Tolong hati-hati."

Clan menjawab pertanyaan Koutarou sambil menyiapkan senapan besar yang disandangnya di pundaknya, senapan yang sama yang selalu dia gunakan namun dengan peluru yang berbeda kali ini. Peluru-peluru itu, yang memiliki kemampuan menembus yang tinggi dan bisa meledak saat terkena sasaran, sudah disiapkannya jauh-jauh hari karena Clan sudah tahu bahwa Alunaya pasti akan muncul entah sekarang atau nanti. Karena ledakan yang dihasilkan peluru itu berasal dari peledak yang sudah dibentuk menghadap apapun yang mengenai peluru itu, peluru itu bisa menembus zirah setebal apapun. Clan sendiri tidak yakin kalau peluru-peluru ini cukup untuk menembus sisik-sisik Alunaya, tapi peluru-peluru itu jauh lebih baik ketimbang peluru-peluru biasa.

"Sepuluh menit ya...nggak yakin kalau cukup apa nggak..."

Masalah yang dihadapi Koutarou adalah apakah dia mempunyai waktu yang cukup untuk melawan sesuatu sebesar naga itu. Memang, Koutarou memakai peralatan yang mempunyai teknologi terlampau maju untuk zaman itu, tapi tetap saja, peralatan itu hanya untuk pemakaian pribadi saja. Kemungkinannya untuk menang pun tidak begitu tinggi. Namun, karena Cradle belum diperbaiki sama sekali, dia harus mengalahkan Alunaya dengan senjata apapun yang ada saat itu dan waktu sebanyak apapun yang tersedia baginya.

"Oke!" teriak Koutarou menyemangati dirinya sendiri. Saat ini, sudah tidak ada lagi waktunya untuk bersantai. Situasi yang dihadapinya sekarang bukanlah situasi yang mempertanyakan bisa tidaknya Koutarou melakukannya, karena mau atau tidak, dia harus menghadapinya.

"Puteri Alaia, tolong bawa puteri Charl dengan anda dan bersembunyilah di tempat yang aman."

"Ksatria Biru, apa yang akan kau lakukan?" tanya Charl sambil menengadah ke arah Koutarou dengan pandangan kuatir.

"Kami akan berusaha mencegah naga itu agar tidak sampai mendekat ke sini."

"Tolong serahkan situasi ini pada kami, puteri Charl."

Koutarou dan Clan menjawab Charl sambil tersenyum, karena mereka berdua sudah siap dengan apa yang akan mereka hadapi.

"Ksatria Biru..."

Namun, raut wajah Charl tetap tidak berubah. Berkat intuisinya yang begitu bagus, dia bisa mengetahui bahwa Koutarou dan Clan akan masuk ke dalam pertempuran yang begitu berbahaya.

"Jangan, Ksatria Biru! Kau dan bawahanmu tidak akan bisa menang melawan makhluk itu sendirian! Jangan pergi!" teriak Charl sambil memegang ujung jubah Koutarou sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Yang Mulia, kalau saya tidak pergi, akan ada banyak orang yang mati."

Kasus terbaik yang mungkin terjadi adalah jika mereka bisa mengalahkan Alunaya, namun mereka harus bisa mengulur waktu sebanyak mungkin agar para prajurit bisa memposisikan diri mereka untuk melindungi kota. Kalau mereka berdua tidak bisa melakukan itu, akan ada banyak korban yang berjatuhan.

"Aku tahu itu! Tapi, aku tidak mau kau pergi!"

Air mata mulai muncul dari mata Charl dan dia dengan kuat menggenggam ujung jubah Koutarou. Dia tidak akan pernah melepaskannya maupun membiarkan Koutarou pergi. Charl begitu putus asa karena dia tidak mau Koutarou mati.

"Charl, jangan membuat masalah bagi Layous-sama."

"Kakak!! Apa kakak tidak peduli jika Ksatria Biru sampai mati!?"

Alaia lalu tersenyum pada Charl dan dengan lembut memegang tangan Charl yang masih menahan ujung jubah itu.

"Tentu saja aku peduli", jawabnya sambil melepaskan jari demi jari yang menggenggam ujung jubah itu.

"Namun, Layous-sama sudah bersumpah bahwa dia pasti akan melindungi kita. Kalau dia sampai mati disini, dia tidak akan bisa memenuhi sumpahnya itu. Charl, Ksatria Birumu bukanlah orang yang akan berbohong, benar?"

Alaia sendiri tahu betul betapa berbahayanya pertempuran yang akan berlangsung nanti, karena ada kemungkinan bahwa Koutarou akan mati. Tapi, sebagai seorang tuan puteri, Alaia percaya pada sumpah yang diucapkan oleh ksatrianya. Ditambah, sebagai seorang wanita, dia percaya pada sumpah yang diucapkan oleh pria yang dicintainya. Alaia lalu mengatakan pada dirinya sendiri berulang kali: kalau dia sendiri tidak percaya pada Koutarou, siapa lagi yang akan percaya padanya?

"Kakak...."

Charl, yang sudah mengerti apa yang dirasakan oleh kakaknya, melepaskan jubah yang dipegangnya. Koutarou lalu berbalik tersenyum padanya setelah ia terlepas dari genggamannya.

"Yang Mulia, saya pasti akan kembali membawa kemenangan. Lagipula, saya juga belum mengizinkan anda untuk naik kuda, benar?"

"Sebaiknya begitu! Sebaiknya kau kembali!"

"Ya, tentu saja", angguk Koutarou yang kemudian berbalik menghadap Alaia.

"Saya akan berangkat sekarang, puteri Alaia."

"Saya kesal dengan diri saya yang tidak mengizinkan saya untuk berkata 'Jangan pergi', Layous-sama...", kata Alaia sambil tersenyum dengan berani, meskipun matanya mulai terlihat basah. Meskipun Alaia percaya pada Koutarou, dia pasti tetap merasa kuatir. Nyatanya, dia ingin menghentikan Koutarou untuk pergi lebih daripada siapapun.

"Tidak, justru seperti itulah seharusnya tuan puteri saya harus bertindak."

Namun, Koutarou ingin membalas rasa percaya sang putri dengan cara apapun, tepatnya karena sifatnya yang demikian.


Koutarou dan Clan tengah melayang di udara berkat kekuatan manipulasi gravitasi. Berkat itulah mereka bisa terbang tanpa menimbulkan suara bising apapun seperti yang dihasilkan oleh pesawat jet tempur, dan mereka terbang melintasi langit tanpa suara.

Saat itu, Forthorthe sudah akan melewati akhir musim gugur dan akan memasuki musim dingin. Koutarou dan Clan bisa merasakan cuaca dan angin dingin yang ada, dan karena kecepatan terbang mereka, apa yang mereka berdua rasakan pun semakin dingin. Namun, mereka berdua tidak sempat untuk menggigil, karena mereka berdua sudah berada dihadapan sang naga merah raksasa, Alunaya.

"Kamu pasti sering ngelihat naga di film-film dan semacamnya...dan ngelihat naga beneran kayak gini, rasanya hampir nggak bisa dipercaya."

"Dan fakta bahwa naga itu bisa bergerak dengan cepat dengan badan sebesar itu....kita tidak bisa menganggap enteng ."

Alunaya sendiri juga sudah memperhatikan keberadaan Koutarou dan Clan,karena dia menolehkan kepalanya ke arah mereka berdua dan mengubah arah terbangnya. Meskipun badannya memiliki panjang 20 meter, dia bisa bergerak layaknya burung predator. Clan pernah melihat film-film tentang Ksatria Biru, tapi di dalam film itu Alunaya tidak digambarkan sebesar maupun segesit itu. Baik Koutarou maupun Clan tidak bisa membayangkan ancaman sehebat itu ditengah dinginnya awal musim dingin ini.

"...Aku juga akan membantumu, Ksatria Biru."

Ada satu orang yang mengikuti mereka berdua. Dia duduk diatas tongkat panjang yang bisa terbang dan dia terbang mendekati mereka berdua tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

"Caris..."

Orang itu tidak lain adalah Caris si penyihir, yang menggunakan sihirnya sendiri untuk membuat tongkatnya terbang. Bagi penyihir sepertinya, terbang hanya sebuah masalah sepele.

Saat tatapan mata Caris bertemu dengan Koutarou, Caris tersenyum sementara jubah hitamnya berkibar diterpa angin.

"Tidak kusangka kamu pergi tanpa memberitahuku dulu, kamu pasti tidak percaya denganku."

"Saya tidak akan meminta bantuanmu kalau saya tidak yakin akan menang."

Dulu Caris adalah anggota dewan penyihir yang dipimpin oleh Grevanas. Dia sudah meninggalkan kelompok itu setelah Grevanas mencoba membunuhnya bersama Alaia, tapi Caris sendiri tidak punya kewajiban untuk membantu Alaia maupun Koutarou. Caris sudah membantu Koutarou dan yang lainnya untuk membalas budi saat mereka menyembuhkan dirinya yang sempat sakit, namun Koutarou tidak bisa meminta tolong padanya begitu saja untuk membantu melawan Alunaya.

"Tapi, dengan adanya aku disini, kita mungkin punya kemungkinan yang lebih besar untuk menang."

"...Apa kau yakin?"

"Tidak juga, tapi...setelah ini semua selesai, kamu akan membelikanku banyak sekali makanan yang enak, benar?"

Bagi Caris yang merupakan anak yatim piatu, dewan penyihir sudah menjadi keluarga baginya. Namun, setelah dikhianati, dia sudah tidak punya lagi tempat untuk disebut sebagai rumah dan hal untuk dilindungi.

Dengan begitu, yang hanya dimiliki Caris adalah hari-hari yang sudah dijalaninya bersama Koutarou dan yang lainnya. Bagi Caris yang memiliki masa kanak-kanak yang keras dan kehidupan yang penuh hanya dengan misi dan misi, hari-harinya bersama Koutarou dan yang lainnya adalah kenangan yang indah dan nyaman baginya. Itulah sebabnya mengapa Caris bertarung untuk melindungi mereka, karena mereka bisa menjadi keluarga dan rumah barunya.

"Serahkan saja pada saya, saya akan memohon pada Yang Mulia sesudah kita selesai."

"Oke, sekarang aku jadi semangat", balas Caris yang mengangguk dengan penuh semangat, bertepatan dengan datangnya Alunaya menuju ke arah mereka dan mengeluarkan raungan yang hebat.

RAAAAAAAAAAAAAAAWWRRR

Raungannya begitu keras sampai-sampai membuat udara disekitar mereka bergetar dan membuat mereka secara tidak sadar terperanjat.

"...Tapi yah, kau aneh juga. Tidak kusangka kau mau menghadapi makhluk itu atas keinginanmu sendiri", kata Clan sambil menyemangati dirinya sendiri. Bukannya dia takut, tapi karena lawannya saat itu adalah seekor makhluk legendaris.

Rokujouma V8.5 087.jpg

"Kalian berdua juga mau melawan dia sendirian, benar? Justru kalian berdua yang terlihat aneh bagiku", balas Caris sambil tersenyum kecut dan merasa kalau dia sudah bertindak terlalu gegabah. Lawannya adalah salah satu naga tetua terkuat, yang membuat naga-naga lainnya tidak berani mendekati Forthorthe karena Alunaya ada disitu. Caris sendiri juga percaya bahwa dirinya adalah seorang idiot yang ingin melawan makhluk seperti itu sendirian.

"Cukup bicaranya", kata Koutarou yang terbang lebih dahulu melewati Clan dan Caris. Koutarou sendiri juga merasa ngeri berada di hadapan Alunaya, tapi janji-janji dan sumpahnya mendukungnya untuk terus maju.

"Dia hampir disini."

Berkat kekuatan Sanae, Koutarou bisa melihat niat membunuh Alunaya. Meskipun kekuatan itu sudah semakin melemah seiring berjalannya waktu, Koutarou masih bisa melihat hal-hal seperti itu dengan jelas.

Koutarou menghunus Saguratin dari sarungnya dan mengarahkan ujungnya pada Alunaya, membuat pedang itu memantulkan sinar matahari yang seakan menggambarkan janji-janji dan sumpah miliknya membuat pedang itu bersinar.

"...Kita tidak punya waktu lagi, jadi mari kita sepakat saja kalau kita sama-sama aneh."

"Aku setuju. Kita simpan saja diskusi ini untuk waktu yang lain."

Clan menyiapkan senapannya dan Caris mulai merapal mantra. Di hadapan mereka adalah sang naga raksasa, yang membuat badan mereka merinding saat mereka melihatnya.

"...Saya mohon bantuan kalian."

Namun, di hadapan mereka berdua ada punggung seorang pemuda yang memakai zirah biru.

"Serahkan padaku."

"Aku tahu. Jangan lupa dengan janjimu."

Saat melihat punggung itu, rasa merinding mereka pun mereda dan mereka dipenuhi dengan semangat bertempur yang kuat.

Part 3[edit]

Yang menyerang pertama adalah Alunaya. Sang naga merah itu mengambil nafas dalam-dalam dan lalu menghembuskan api dari dalam mulutnya. Api yang dihasilkan tidak seperti api biasa dari flamethrower, tapi bagai pilar api yang keluar langsung dari mulutnya.

"Berpencar!"

Karena Koutarou bisa melihat niat Alunaya untuk menyerang, dia tahu kemana arah serangannya. Ditambah, berkat sihir Caris yang menghubungkan Koutarou, Clan dan Caris sendiri melalui hubungan mental, mereka bertiga bisa menghindari api itu jauh sebelum api itu menyerang mereka.

RROOOAAAAAAAAAAAAAAARRRR

Walau mereka sudah menjaga jarak dari serangan nafas api itu, mereka masih bisa merasakan panas dan guncangan yang dihasilkan. Nafas api putih yang bersinar itu pun terus melaju hingga mencapai langit dan hilang di kaki langit.

"...Itu bisa dianggap sebagai meriam plasma. Kalau kita sampai terkena itu, kita tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi."

"Pastikan kau tidak memakan itu, Caris."

"Memangnya aku mau!!"

Saking tingginya suhu dari nafas api Alunaya, nafas api itu berubah menjadi plasma. Benda-benda yang diketahui Clan bisa membuat hal semacam itu hanyalah senjata-senjata besar pada kapal luar angkasa. Kekuatan nafas api Alunaya rupanya membuatnya terkesan.

"Ksatria Biru, naga hanya menggunakan sihir untuk terbang dan untuk serangan nafas. Namun, meski mereka dibatasi oleh hal-hal itu, kekuatan mereka sendiri masih begitu mengerikan. Berhati-hatilah!"

Caris tahu kalau api itu dibuat dengan mengubah nafas sang naga melalui sihir. Sebagai penyihir, Caris tahu betul seberapa besarnya simpanan energi sihir sang naga.

"Saya akan maju! Lindungi saya!"

Koutarou menggunakan roket pendorong daruratnya untuk menghindari pilar api itu, lalu mengatur roket itu untuk langsung melesat maju dalam sekejap dan mendekati Alunaya membentuk sebuah lengkungan di langit. Koutarou berusaha mendekati naga itu agar dia bisa menyerangnya dan disaat yang sama membuat sang naga kesulitan menggunakan nafas apinya.

"Grrrrrr......"

Alunaya membalas tindakan Koutarou dengan menolehkan kepalanya dan membuka mulutnya sekali lagi. Dia rupanya berniat membakar Koutarou sebelum Koutarou bisa mendekatinya.

"Tidak akan kubiarkan kau melakukan itu!"

Namun, sebelum Alunaya bisa mengeluarkan nafas apinya, sebuah ledakan kecil terjadi di dekat mukanya. Laras senapan Clan yang berasap menjadi tanda bahwa ledakan itu terjadi sebagai hasil tembakan peluru Clan ke naga itu. Kecepatan rata-rata diantara mereka berdua adalah beberapa ratus kilometer per jam, namun sistem kontrol senjata milik Clan membuatnya bisa membidik dengan tepat pada kecepatan seperti itu.

"RRRAAAAAAAAAAAAAAAAWR!"

Karena guncangan dan api dari ledakan itu, Alunaya kehilangan Koutarou untuk sesaat. Dia lalu menggelengkan kepalanya untuk bisa melihat lagi. Selama momen itu terjadi, Koutarou bisa mendekati naga itu.

"RRRAAAAAAAAAAAAAAAAWRRRRR!"

Namun, Alunaya dengan cepat kembali pulih dan lalu mengayunkan cakarnya yang besar ke arah Koutarou. Serangan yang dihasilkan raksasa sepanjang 20 meter itu memiliki kekuatan seperti mobil yang menabrak sesuatu pada kecepatan tinggi, dan akan menghancurkan Koutarou kalau serangan itu mengenainya dari depan. Karena Koutarou sedang bergerak dalam kecepatan tinggi, menghindari serangan itu akan sulit baginya.

"Maaf, tapi Ksatria Biru yang itu palsu."

Namun, tepat saat cakar raksasa itu menyentuh Koutarou, Koutarou menghilang begitu saja layaknya fatamorgana. Di saat yang sama, Koutarou kedua muncul dari belakang Alunaya dan mengincar leher sang naga.

Koutarou yang pertama adalah ilusi yang dibuat di saat yang sama dengan peluru Clan yang mengenai Alunaya. Sementara Alunaya teralihkan oleh Koutarou palsu, Koutarou asli pergi ke bagian belakang sang naga dan lalu mengayunkan pedangnya.

"Haaaaaaaaaaaah!"

Pedang Koutarou mengenai leher Alunaya, namun pedangnya segera memantul seakan seperti mengenai sebuah tembok. Serangannya yang gagal itu membuatnya ingat saat dia melawan raksasa besi.

"Tidak mempan!? Sisik-sisiknya sangat keras!!"

Meski jarak mereka jauh, pikiran Koutarou langsung tersampaikan pada pikiran Clan dan Caris. Sebagai balasannya, Clan hanya menggelengkan kepalanya.

"Bukan begitu, Veltlion!! Dia dilindungi oleh pelindung yang kuat!!"

Gelang milik Clan yang terhubung pada bidikan senapan telah merekam momen dimana serangan Koutarou mengenai sang naga. Pada hasil rekaman itu, terlihat bahwa pedang Koutarou dipentalkan bahkan sebelum menyentuh sisik sang naga.

"Pelindung!?"

Koutarou kaget dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Clan sementara dirinya sendiri menghindari serangan Alunaya dan mencoba masuk ke titik buta naga itu tanpa berada terlalu jauh darinya. Berada terlalu jauh dari Alunaya akan membuat Koutarou kesulitan baik untuk menyerang dan bertahan.

"Kelihatannya sihirnya bukan hanya untuk terbang dan nafas saja! Itu sihir ketiganya!"

Orang-orang beranggapan bahwa naga hanya menggunakan dua mantra: satu untuk membantu mereka terbang dan satu untuk serangan nafas. Tapi, selain kedua sihir itu, Alunaya juga menggunakan satu mantra lagi untuk melindungi badannya dari serangan.

Namun, mantra itu sebenarnya berasal dari kemampuannya yang berkembang untuk menyeimbangkan badannya sendiri saat melawan aliran udara. Dengan membungkus badannya sendiri dengan pelindung yang aerodinamis, Alunaya bisa terbang dengan kecepatan yang tinggi meski dengan bentuk badan seperti itu. Selain itu, dia juga bisa terbang selama beberapa saat pada ketinggian ekstrim yang memiliki sedikit oksigen.

Meskipun kemampuannya berasal dari hal semacam itu, kemampuan itu cukup ampuh untuk menangkal serangan.

"Begitu rupanya! Jadi itu sebabnya dia tidak terluka dari seranganku juga!"

Meskipun peluru Clan merenggut penglihatan Alunaya selama sesaat, peluru itu tidak melukainya sama sekali. Pelindung Alunaya telah melindungi dirinya sendiri baik dari peluru itu mapun ledakan setelahnya.

"Clan, apa yang akan kita lakukan!? Apa kau punya ide bagus yang lain!?"

Koutarou berulang kali mengelak dari serangan cakar Alunaya sambil berusaha menyerang dari waktu ke waktu, namun semua serangan Koutarou terhalangi oleh pelindung milik Alunaya. Karena keadaannya terlihat tidak akan berubah, Koutarou akhirnya meminta saran dari Clan.

"Pakai tangan kirimu!"

"Tangan kiri!? Maksudnya pelindung tangan Kiriha!?"

"Benar! Meskipun pelindung itu bisa menghalangi serangan fisik, seharusnya pelindung itu tidak bisa menghalangi medan listrik dan magnet! Bidik jaringan syarafnya dari jarak dekat!"

Rencana yang diusulkan Clan adalah dengan menggunakan pelindung tangan yang terpasang di bagian tangan kiri zirah.

Serangan fisik mungkin akan terhalangi oleh pelindung, tapi elektromagnet mungkin bisa menembusnya. Kalau semuanya berjalan lancar, mereka mungkin bisa menyerang Alunaya dengan kejutan listrik dari dalam pelindungnya sendiri, dan meskipun mereka tidak bisa melakukannya, mereka masih bisa membuat Alunaya terpapar medan elektromagnet.

Karena Alunaya masih merupakan makhluk hidup, jaringan syarafnya pasti berjalan dengan menggunakan sinyal listrik. Jika sampai diserang dengan menggunakan medan elektromagnet yang cukup kuat, serangan itu akan membuat Alunaya tidak bisa bergerak sebagaimana mestinya. Kalau mereka bisa membidik bagian otak kecil atau otak besarnya, mereka bahkan bisa membuatnya jatuh pingsan.

Dalam keadaan saat ini, mendekat dan menggunakan pelindung tangan itu pada jarak dekat adalah pilihan terbaik yang mereka punya.

"Baiklah, akan kucoba!"

"Aku akan mencoba senjata optik! Kekuatannya akan menurun, tapi ini mungkin bekerja!" kata Clan sambil membidik Alunaya dengan pembidik pada senapannya. Menurutnya, jika dia menggunakan serangan yang terdiri dari cahaya, serangan itu mungkin akan bekerja.

Pelindung di Forthorthe 2000 tahun yang lalu dirancang untuk menghadang baik serangan fisik maupun cahaya dari laser. Namun, pelindung milik Alunaya belum berkembang untuk bisa menghadang laser, jadi ada kemungkinan kalau laser akan bekerja.

"Mari kita lakukan, Clan!" kata Koutarou seraya mengarahkan ujung pedangnya ke arah Alunaya. Dia lalu memegang pedang itu dengan tangan kirinya dan membuat medan elektromagnet, yang meluas melewati ujung pedang itu dan berubah menjadi tombak tembus pandang. Karena kekuatan medan elektromagnet yang sudah dibuat, elektron mulai berkumpul di ujung pedang itu dan mulai membuat muatan negatif yang begitu besar sampai membuat pedangnya berbinar-binar dan mengeluarkan percikan listrik.

Saat Koutarou akan maju menyerang, beberapa pemuda berzirah biru muncul disekitarnya, dan semuanya terlihat mirip dengannya.

"Apa ini buatanmu, Caris!? Terima kasih!!"

"Akan sulit bagiku untuk menyerangnya dengan sihir, jadi aku akan menangani bagian pertahanan dan pengalihan. Aku serahkan bagian menyerang padamu, Ksatria Biru!"

Delapan Koutarou lagi muncul di sekitarnya, yang merupakan ilusi yang dibuat oleh Caris. Caris tahu kalau sihirnya tidak akan bisa melukai Alunaya, dan bertahan dari serangan cakar dan nafas sang naga akan sulit baginya. Jadi, dia membuat banyak ilusi untuk melindungi Koutarou dengan cara mengalihkan perhatian Alunaya.

"Veltlion, ini dia datang!!" seru Clan yang memperingatkan Koutarou sambil menarik pelatuk senapannya, membuat laras senapannya bersinar dalam sekejap. Yang ditembakkan Clan bukan peluru lagi, tapi sinar yang memiliki jumlah energi yang sangat besar, yakni laser. Kecepatan sinar laser sama dengan kecepatan cahaya, dimana saat seseorang bisa melihat serangan itu, serangan itu pasti sudah mengenai sasarannya. Tidak peduli seberapa cepat Alunaya bisa bergerak, dia pasti tidak akan bisa menghindari serangan itu.

"RRAAAAAAWWWWWRR!"

Laser itu membakar badan sang naga. Seperti yang diduga oleh Clan, pelindung milik Alunaya tidak bisa menghadang sinar laser. Bahkan naga sekalipun tidak bisa menghadang sesuatu yang tidak diketahuinya. Alunaya memutar badannya sambil berteriak kesakitan karena laser yang membakar sisik dan badannya.

"Ternyata berhasil!! Sekarang, Veltlion!!"

Karena laser Clan adalah senjata untuk menghadapi manusia, kekuatannya tidak cukup untuk menembus badan Alunaya. Namun, rasa sakit dan kejutan yang timbul karena badannya terbakar memberikan Koutarou celah untuk menyerang.

"Maaakaaaaaaaaaaan iiiniiiiiiiiiiiii!!"

Koutarou maju menyerang dengan pedang yang sudah akan menusuk dihadapannya. Karena dia sendiri sudah dekat dengan Alunaya, tepat sesaat setelahnya pedang Koutarou mengenai Alunaya. Pedangnya sendiri dipentalkan oleh pelindung, namun medan elektromagnetnya berhasil menembus dan membuat elektron-elektron yang sudah terkumpul menjadi terpencar sesaat, dan langsung terkumpul kembali begitu menembus pelindung itu.

"Bagaimana dengan iniiiiiiii!!"

Tepat saat medan elektromagnet itu mencapai badan Alunaya, Koutarou memusatkan pikirannya pada tangan kirinya, membuat kekuatan spiritualnya yang diperkuat oleh Sanae mengalir pada tangan kirinya dan memperluas medan elektromagnetnya. Sebagai hasilnya, sebuah perbedaan potensial yang besar terjadi antara ujung pedang itu dan badan Alunaya.

Sebuah kilatan putih menghalangi Koutarou untuk melihat hasil serangannya, dan disaat yang sama terdengar suara yang menggelegar memenuhi udara bagaikan suara cambuk yang diayunkan. Suara yang begitu, begitu keras itu berasal dari aliran listrik yang besar yang mengalir ke badan Alunaya karena perbedaan potensial itu.

"ROOAAAAAAAAAWWRRR!!"

Petir buatan yang dibuat dengan pelindung tangan Kiriha itu menyerang Alunaya dan mengalirkan listrik ke sekujur badannya. Serangan itu sangat efektif bahkan untuk melawan Alunaya, karena serangan itu mengenai tempat dimana syaraf-syaraf Alunaya berkumpul. Kecerdasan buatan zirah Koutarou mengarahkan Koutarou untuk menyerang titik itu setelah menganalisa Alunaya. Sebagai hasilnya, Alunaya kehilangan kendali badannya dalam sekejap.

"Uwaaaah!!"

Satu-satunya kesalahan perhitungan yang ada hanyalah Koutarou yang tidak bisa menghindari ayunan ekor Alunaya, karena Koutarou sendiri juga dibutakan sesaat oleh kilat. Meskipun dia masih bisa meihat dimana sang naga ingin menyerang, dia tidak bisa menebak sang naga yang akan mengayunkan ekornya karena refleks.

"Veltlion!!"

Koutarou, yang sudah terkena ayunan ekor itu, terpental dan berputar-putar tanpa kendali, membuatnya kehilangan situasi disekitarnya dan membuatnya sulit untuk menyeimbangkan badannya.

"Serahkan padaku!!" kata Caris yang mulai merapal mantra untuk Koutarou.

"Berkumpullah, roh-roh angin! Tunjukkanlah kekuatan dahsyat kalian! Jadilah pusaran, menarilah dengannya dan perbaikilah iramanya!"

Caris merapal mantra yang menggunakan angin untuk membuat gerakan Koutarou menjadi lebih pelan. Dia harus memulainya dengan cara menghentikan Koutarou agar tidak terus berputar. Sihir Caris berjalan disaat yang sama dengan berjalannya kembali sistem kendali zirah itu. Zirah itu menggunakan gravitasi dan roket pendorong untuk menurunkan laju berputar Koutarou. Karena Caris juga membantu Koutarou, Koutarou akhirnya bisa berhenti berputar dan berhenti jatuh.

"Uh, s-sial, apa....?"

Meskipun badannya sudah berhenti berputar, sayangnya mata Koutarou masih belum berhenti berputar dan dia masih tidak bisa menyeimbangkan badannya. Dia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali agar matanya berhenti berputar-putar. Tepat di saat itu, zirah itu mengeluarkan peringatan.

"Pesan peringatan. Reaksi energi intensitas tinggi terdeteksi. Tolong segera menghindar."

Serangan linstrik sebelumnya rupanya belum cukup untuk mengalahkan Alunaya, yang sekarang sudah pulih dan mulai mengeluarkan api ke arah Koutarou.

"Tolong ya!"

"Baiklah, tuan. Menghindar menggunakan algoritma tidak teratur".

Namun, Koutarou masih belum pulih dari serangan yang diterimanya. Koutarou, yang mengetahui bahwa akan sulit baginya untuk berusaha menghindar dengan sendirinya, menyerahkan urusan menghindar pada zirahnya. Zirah itu pun mulai menambah dan mengurangi kecepatannya secara acak untuk menghindari serangan api. Namun, karena zirah iu tidak bisa melihat niatan menyerang Alunaya seperti Koutarou, dia tidak bisa betul-betul menghindar. Meskipun dia bisa menghindari serangan langsung, Koutarou masih tetap terbakar beberapa kali dari api yang ada.

"Veltlion!"

"Aku tidak apa-apa, jangan kuatir!"

Tapi, akhirnya Koutarou bisa kembali pulih sebelum mendapat luka serius dari serangan api Alunaya, menggunakan matanya untuk membaca kemana Alunaya akan menyerang dan lalu menghindar.

"...Semua ini gara-gara aku lengah sesaat..."

Setelah melewati krisis itu, Koutarou melihat seberapa parah kerusakan yang didapat zirahnya dan menenangkan dirinya. Zirah miliknya sudah mendapat bekas terbakar dan benturan saat dia terkena ayunan ekor Alunaya. Semua serangan itu bisa menjadi serangan yang mematikan baginya.

"Theia...Alunaya yang asli jauh lebih kuat dari yang kamu bayangin...", kata Koutarou yang menggenggam erat gagang Signaltin sambil melihat ke arah badan raksasa Alunaya.


Part 4[edit]

Alaia berdoa sambil menengadahkan wajahnya, melihat pertarungan Koutarou dan yang lainnya.

Koutarou-sama...!

Musuh Koutarou, yang merupakan monster sepanjang 20 meter, baginya tampak seperti kucing yang menantang singa. Tidak peduli seberapa kuat Koutarou, dia tidak akan bisa melampaui perbedaan kekuatannya dengan musuh yang berukuran sepuluh kali lebih besar dari dirinya. Meskipun Clan dan Caris sudah membantunya, hal itu terlihat seperti usaha yang sia-sia.

Kalau terus begini, Koutarou-sama akan mati...!

Perasaan itu pun sedikit mulai sedikit mulai merangkak naik dari dalam diri Alaia. Saat dia merasakan itu, Alaia sadar bahwa dia sedang merasa tidak aman untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

Semenjak dia bertemu dengan Koutarou, Alaia selalu merasa aman. Dia yakin jika sesuatu sampai terjadi padanya, Koutarou akan melindungi Charl dan membantu jalannya negeri ini, dan kepastian itulah yang mendukung dirinya.

Selain itu, setelah kehilangan kedua orangtuanya, Koutaroulah satu-satunya orang yang tahu apa yang dirasakan oleh Alaia dan mengerti perasaannya. Karena dia sudah betul-betul mengerti apa yang dikhawatirkan oleh Alaia, Koutarou bisa mengatakan kalau tindakan yang diambil Alaia adalah hal yang benar, dan itu jugalah yang mendukung dirinya.

Kalau Koutarou sampai mati, dia akan kehilangan kedua hal yang mendukungnya di saat yang bersamaan. Bagi Alaia, hal itu adalah sesuatu yang begitu mengerikan, dan hanya membayangkan hal itu saja membuat tangannya yang putih ramping menjadi gemetaran.

"...Saya seharusnya melepas segel pada pedang itu sebelum ini terjadi..."

Keresahan Alaia membuat kata-kata itu keluar dari bibirnya. Fauna, yang berada disebelahnya, menjadi sedih begitu mendengar hal itu.

"Yang Mulia...itu..."

Sebagai pendeta dari dewi fajar,Fauna tahu betul apa makna dibalik perkataan itu, yang tidak akan mungkin diucapkan oleh Alaia kalau bukan karena perasaannya yang begitu besar pada Koutarou.

"Kau bisa melakukannya, Ksatria Biru! Aku masih bersamamu!"

"Puteri Charl, jangan! Berbahaya kalau anda pergi sejauh itu!"

"Lepaskan, Mary!! Aku tidak mau bersembunyi!! Ksatria milikku dan kakakku sedang berjuang!! Bagaimana bisa kami tidak bersorak mendukungnya!?"

Namun, kata-kata Charl yang begitu kuat membantu Alaia meredakan kekuatirannya.

"Charl...kau sungguh kuat..."

Awalnya, Charl sendiri juga kuatir dan tidak mau Koutarou pergi, tapi setelah merelakannya pergi, keyakinannya bahwa Koutarou akan menang menjadi tidak tergoyahkan.

"Kakak! Tolong berteriaklah untuk Ksatria Biru juga! Kalau kau melakukannya, Ksatria Biru pasti akan bisa kembali pulang dengan selamat!"

Dan agar bisa membuat keyakinannya menjadi nyata, Charl melakukan apapun yang bisa dia lakukan. Memang, yang bisa dilakukan oleh Charl yang masih kecil adalah bersorak, tapi dia begitu ingin menjadi bantuan bagi Koutarou.

Charl...kau mungkin lebih cocok menjadi kaisar daripada saya..., pikir Alaia yang kagum dengan rasa percaya dan bangga Charl yang begitu kuat.

"Kau benar, Charl...saya juga akan bersorak untuknya juga."

Alaia, yang belajar dari Charl tentang bagaimana dia harus bersikap, menjadi percaya bahwa Koutarou akan menang dan lalu bersorak untuknya dari belakang garis pertempuran. Dia bisa melakukan hal yang lain setalahnya.

"Kakak! Kesini!" seru Charl yang tersenyum pada Alaia, menyuruhnya untuk berdiri didekatnya. Alaia pun mengangguk dan berdiri di tempat yang sama dengan Charl.

"Ksatria Biru! Kau bisa melakukannya! Kakak juga bersorak untukmu!"

"Layous-sama! Tetaplah teguh!"

Mereka tidak tahu apakah suara mereka akan sampai pada Koutarou, namun mereka percaya kalau suara mereka akan sampai dan terus berseru. Hanya itulah cara mereka berdua bertarung saat ini.

Para prajurit yang berada di dekat mereka berdua pun mulai mengikuti tindakan mereka dan turut bersorak juga, membuat benteng itu menjadi penuh dengan seruan dan sorakan yang menjadi semakin keras.

Koutarou saat itu sedang bertarung beberapa ratus meter jauhnya dari Alaia dan Charl. Karena adanya suara-suara lain seperti suara angin, suara dari roket pendorongnya, dan raungan sang naga yang menyemburkan api, suara Alaia dan Charl tidak sampai padanya.

"....Aku nggak boleh kalah!! Yang Mulia dan yang lainnya nungguin aku pulang!!"

Namun, ternyata hanya suara sorakan mereka saja yang tidak sampai kepadanya. Perasaan mereka sampai padanya, dan Koutarou sendiri tahu apa yang sedang disorakkan oleh orang-orang di benteng.

Karena dia sudah bermain baseball untuk waktu yang lama, Koutarou tahu kalau mereka sedang bersorak untuknya meskipun dia sendiri tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Fakta bahwa dia bisa mendengar suara sorakan-sorakan itu membuatnya mendapat semangat yang begitu kuat.

"Aku bisa ngelakuin ini! Naga itu pasti udah terluka!" seru Koutarou sambil menatap tajam pada Alunaya dengan semangat barunya sambil mengarahkan ujung pedangnya pada badan raksasa sang naga.

Seperti yang dikatakan Koutarou, Alunaya sudah menjadi semakin lemah. Luka yang didapatnya dari serangan pelindung tangan Koutarou dan laser Clan sudah menumpuk di badannya. Ditambah, staminanya sudah berkurang banyak karena dia terus terbang dengan kecepatan penuh selama beberapa menit. Koutarou, yang bisa merasakan hal itu, membuang jauh-jauh pemikiran bahwa Alunaya adalah musuh yang tidak terkalahkan.

"Veltlion, kau hanya punya sepertiga dari bahan bakar yang tersisa! Seluruh zirahmu juga sudah cukup rusak! Kau tidak bisa bersantai-santai lagi!"

Namun, Koutarou sendiri juga turut terluka sama seperti Alunaya. Karena ukurannya jauh lebih kecil, tentu saja luka dan kerusakan yang diterimanya juga jauh lebih berat. Zirahnya sudah mendapat kerusakan karena terkena serangan api dan cakar. Pertarungan yang sengit itu sudah membuat zirahnya rusak cukup parah. Fungsi-fungsi yang ada pada zirah itu saat ini sedang berusaha menangani kerusakan-kerusakan itu, tapi kalau Koutarou sampai terkena serangan lagi, dia akan berada dalam bahaya.

"Kekuatan sihirku juga sudah menipis. Aku akan membatasi diriku untuk hanya memakai sihir penyembuhan untuk luka serius saja."

Koutarou sendiri juga sudah mendapat luka-luka yang cukup parah, yakni luka ringan berupa luka dari cakar, lebam dan luka bakar, lalu luka serius berupa retak tulang dan pergeseran sendi. Caris sudah menggunakan sihirnya untuk menyembuhkan luka-luka itu, tapi saat ini kekuatan sihirnya sudah menipis dan akan sulit baginya untuk terus menyembuhkan Koutarou.

"Serahkan saja pada saya. Fokus saja pada apa yang bisa kau lakukan."

"Akan kulakukan yang terbaik."

"Maaf, tapi aku tidak punya waktu untuk memikirkan itu."

"Kau sembrono seperti biasanya."

"Dia bukanlah lawan yang bisa saya kalahkan tanpa tidak berlaku sembrono!"

Koutarou kembali bersiap dengan memegang Signaltin dengan kedua tangannya, mengarahkan ujungnya pada Alunaya dan lalu maku menyerang. Delapan Koutarou palsu yang dibuat oleh Caris mengelilingi Koutarou yang asli saat Koutarou melakukan itu. Kesembilan Koutarou itu pun terus bertukar posisi saat mereka menyerang ke arah Alunaya.

"Grrrrrrrrrrr".

Alunaya pun memamerkan taringnya dan berusaha mengancam Koutarou, namun dia tidak mencoba untuk menyerang menggunakan serangan nafasnya karena dia sudah tahu kalau sebagian besar Koutarou yang ada didepannya adalah palsu.

Gawat, dia belajar..., keluh Koutarou di dalam pikirannya setelah melihat ketenangan Alunaya. Dalam pengalaman Koutarou, sebuah pertarungan selalu dimenangkan oleh dia yang selalu bisa tenang dari awal sampai akhir.

"Ksatria Biru, kalau kau ingin menyelesaikan ini dengan cepat, aku punya ide."

Caris, yang merasa kalau Koutarou sudah mulai panik, mengusulkan sebuah ide padanya.

"Tolong katakan."

Alunaya menunggu hingga Koutarou berada cukup dekat dan lalu mengayunkan ekornya yang besar ke arah kesembilan Koutarou. Koutarou, yang saat itu membalas usulan dari Caris, berlindung memakai pedangnya dan membuat zirahnya mengeluarkan suara peringatan.

"Unit penggerak pertama dan ketiga dan juga bagian persendian siku sudah melebihi toleransi maksimum. Memintasi sirkuit, mengatur ulang keseimbangan unit penggerak. Keluaran tenaga tangan kiri berkurang 20%, kebebasan gerak pada sendi siku tangan kanan berkurang 14%. Sebagai tambahan---" lapor zirah itu mengenai kerusakan yang dialaminya sambil menampilkan gambar 3D yang menunjukkan kondisi zirah yang dipenuhi banyak tanda merah.

"Cukup dengan laporan detilnya! Aku tahu kalau aku dalam masalah! Laporkan saja apa yang tidak bisa kupakai!"

"Baiklah, tuanku."

Sesaat setelahnya, tanda-tanda merah di gambar 3D itu menghilang dan hanya menyisakan sebuah tanda kuning di siku tangan kanan.

"Apa kau baik-baik saja, Ksatria Biru!?"

"Veltlion!"

"Saya baik-baik saja!! Jadi, bagaimana idemu, Caris!?"

Semua ilusi menghilang dan hanya menyisakan Koutarou sendiri. Kalau dia menjaga jaraknya dari Alunaya, dia akan diserang dengan serangan nafas api. Akan lebih baik bagi Koutarou untuk terus berada dekat dengannya dan menyerang. Setelah memutuskan itu, Koutarou menggenggam pedangnya dengan tangan kirinya dan membuat sebuah medan elektromagnet. Dia berencana menyerang seperti itu.

"Ada kekuatan sihir aneh yang terkumpul di bagian belakang leher naga itu. Menyerang titik itu mungkin adalah ide yang bagus."

Sesaat lalu, Caris menggunakan mantra untuk mengetahui sihir jenis apa yang digunakan oleh Alunaya. Sebagai hasilnya, dia bisa mendeteksi beberapa sihir yang sedang aktif. Sihir-sihir itu antara lain sihir untuk memperkuat badan Alunaya sendiri yang memenuhi seluruh badannya dan membantunya terbang, sihir pertahanan yang menghadang serangan, dan sihir yang mengubah nafas yang dihembuskannya menjadi pilar api. Caris sudah mengharapkan munculnya tiga jenis sihir itu sebagai hasil mantra yang digunakannya, jadi mengetahui kekuatan ketiga sihir itu akan menjadi sesuatu yang berguna bagi Koutarou.

Namun, pada kenyataannya Caris mendeteksi sihir lain pada saat itu. Caris tidak bisa mengenali sihir jenis apa itu, karena sihir itu memang tidak diketahuinya. Namun, dia tahu dari mana sumber kekuatan sihir itu, yakni bagian belakang leher naga itu. Di titik itu, ada sebuah sihir yang sedang aktif, dan menyerang titik itu mungkin akan mempengaruhi Alunaya. Itu adalah sebuah teruhan, tapi Caris percaya kalau mereka akan memiliki kemungkinan menang lebih besar dengan menyerang titik itu daripada terus bertarung seperti ini.

"Bagian belakang lehernya, benar!?" tanya Koutarou sambil mengatur roket pendorongnya untuk kekuatan penuh agar bisa melesat menuju ke belakang Alunaya dan menyerang lehernya.

"Hati-hati, Ksatria Biru! Dia akan mengeluarkan nafas api!"

"Pada jarak ini!?"

Koutarou mengira bahwa Alunaya tidak akan bisa menggunakan serangan nafas apinya setelah dia mendekat. Jadi, saat Alunaya menarik nafas dan bersiap untuk mengeluarkan nafas api, tentu saja hal itu membuat Koutarou terkejut. Karena Alunaya benci saat Koutarou berada dibelakangnya, dia tentunya akan rela membuat badannya sendiri terbakar untuk bisa melukai Koutarou.

"Serahkan padaku!"

Saat Alunaya sudah membuka mulutnya untuk mengeluarkan api, Clan menembakkan beberapa sinar laser dari senapannya, yang tersebar tidak terlalu jauh dan membakar wajah Alunaya. Hingga saat ini, serangan laser itu pasti akan membuat Alunaya berhenti sesaat, namun tidak untuk kali ini. Alunaya rupanya sudah menduga kalau hal ini akan terjadi dan tetap mengeluarkan nafas apinya sambil bertahan setelah terkena tembakan laser itu.

Nafas api sang naga pun berubah menjadi pilar putih yang bersinar dan mendekat ke arah Koutarou. Kalau saja Koutarou berada pada jarak yang lebih jauh lagi, dia mungkin bisa menghindarinya dengan mudah, tapi pada jarak sedekat ini, hal itu tidak mungkin baginya. Kemudian, tepat saat Koutarou seperti akan habis dilalap oleh pilar api...

"Kalau begitu, aku akan melakukan ini!!"

Sebuah ide baru saja muncul di kepala Koutarou, yaitu mengubah medan elektromagnet yang membungkus pedangnya untuk membungkus dirinya sendiri juga. Di saat yang sama, dia juga mengalirkan seluruh energi spiritualnya ke tangan kirinya, membuatnya melesat lebih cepat layaknya peluru. Kecepatannya yang luar biasa itu membuatnya lolos secara spontan dari serangan pilar api.

"V-Veltlion!? Dasar idiot!! Ba-bagaimana bisa kau bertingkah sesembrono itu!!"

Karena Clan selalu mengawasi keadaan zirah Koutarou, dia tahu apa yang baru saja dilakukan oleh Koutarou, yakni membuat medan elektromagnet yang kuat menggunakan pelindung tangan kirinya dan membuat zirahnya menjadi lebih cepat secara paksa. Namun, dengan melakukan hal itu, zirah itu mengeluarkan berbagai peringatan kerusakan dan seluruh fungsinya berhenti. Meskipun tidak rusak secara keseluruhan, bahkan zirah yang bisa digunakan untuk kegiatan luar angkasa sekalipun tidak akan bisa betul-betul menghadang gelombang magnet dan elektromagnet.

"'Kau salah, Clan!"

Namun, Koutarou tidak berhenti bergerak. Meski seluruh fungsi zirahnya sudah berhenti, pelindung tangan pada tangan kiri Koutarou masih bisa bekerja. Koutarou menggunakan kekuatan itu dan menembakkan badannya sendiri menuju Alunaya.

"Ini yang namanya---"

Dengan pelindung tangan Kiriha yang memimpin serangannya, Koutarou terbang menuju Alunaya. Pedangnya terarah pada bagian belakang leher Alunaya, titik yang dideteksi Caris sebagai tempat berkumpulnya kekuatan sihir. Inilah kesempatan terakhir bagi Koutarou untuk menyerang, karena Koutarou tidak yakin apakah sistem pada zirahnya akan menyala kembali atau tidak.

"---sembrono!!"

Signaltin milik Koutarou mengenai pelindung Alunaya, dan pada momen itu, Koutarou bisa melihat sebuah kristal besar yang menempel pada tengkuk Alunaya. Koutarou lalu menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk melepaskan aliran listrik ke arah kristal itu, yang merupakan satu-satunya benda yang berpendar kebiruan pada tubuh raksasa Alunaya yang berwarna merah.

Dengan munculnya kilatan putih, petir paling besar dalam pertarungan ini mengalir melewati pelindung milik Alunaya dan menyerang kristal biru itu.

"RROOOOOOOOOOOOWAAAAAAAAAAWWRRRRR!!"

Karena Koutarou begitu kelelahan, serangan listrik yang mengandung seluruh tenaganya yang tersisa tidak cukup untuk menghancurkan kristal itu. Namun, setelah terkena serangan itu, Alunaya terlihat mengalami kesakitan yang begitu sangat.

Sambil membengkokkan badannya karena kesakitan, Alunaya megeluarkan raungan kesakitan yang terdengar sampai ke kota dan membuat orang-orang menggigil ketakutan. Setelahnya, Alunaya tidak bisa menjaga badannya tetap berada di udara dan mulai jatuh ke tanah.

"A-apa itu berhasil...?"

Koutarou, yang juga kelelahan, mulai ikut terjun bebas sambil terus melihat ke arah Alunaya. Zirahnya masih belum menyala kembali, dan dia sendiri tidak punya tenaga lagi untuk bisa menggunakan pelindung tangannya. Kalau terus begini, Koutarou akan menghantam tanah dengan kecepatan tetap sebesar 200 kilometer per jam.

"Heh, hehe, ki-kita menang...Yang, Mulia...."

Namun, Koutarou jatuh pingsan sebelum dia membentur tanah. Karena banyaknya luka yang didapatnya, dan karena dia sudah yakin akan kemenangannya, Koutarou menjadi terlalu santai untuk tetap bisa terjaga.


Pedang di Kuil[edit]

Part 1[edit]

Koutarou berhasil bertahan hidup berkat Clan dan Caris yang menemaninya. Caris menggunakan sihirnya untuk memperlambat jatuhnya Koutarou dan Clan menangkapnya di detik-detik terakhir.

"Hhh...betul-betul Ksatria Biru yang bermasalah..."

Clan melempar senapannya agar bisa menangkap Koutarou, dan akhirnya membuat senpannya hancur berkeping-keping. Namun, Clan kelihatannya tidak mempermasalahkan hal itu karena dia terlihat lega melihat Koutarou baik-baik saja.

Koutarou kemudian dibawa menuju ruang perawatan di benteng dan dirawat oleh Lidith, si alkemis, dan Fauna, si pendeta. Namun, meskipun perawatannya sudah selesai, Koutarou tidak kunjung sadar juga. Karena kuatir, Alaia bertanya pada Lidith yang berada disisinya sambil terus memandangi wajah Koutarou.

"Lidith, bagaimana keadaan Layous-sama?"

"Dia terluka diseluruh badannya, tapi tidak ada luka serius. Kelihatannya sihir milik Caris begitu membantu."

Sebagai seorang alkemis, Lidith memiliki pengetahuan mengenai teknik medis paling mutakhir di zaman ini. Alkemis sendiri adalah para mahasiswa yang mempelajari segala hal mulai dari sains dan farmasi hingga teknik medis dan sihir. Sebagai hasilnya, dia bisa memberikan perawatan yang lebih memadai pada Koutarou dibandingkan memakai pengobatan rumah. Pengalaman yang didapatnya saat menjadi asisten Clan pun membantunya juga dalam hal ini.

"Jadi, Lidith, kapan Ksatria Biru akan bangun?" tanya Charl yang turut berada di samping tempat tidur dan memandangi Koutarou bersama-sama Alaia. Dia yakin bahwa Koutarou akan bangun, karena dia percaya kalau Koutarou akan mengizinkannya menunggangi kuda. Namun, tetap saja Charl merasa khawatir, dan dia terus memandangi wajah Koutarou dengan cemberut.

Rokujouma V8.5 117.jpg

"Saya tidak bisa mengatakannya dengan pasti...semuanya bergantung pada Tuan Veltlion."

"Puteri Charl, saya akan melakukan yang terbaik untuk membangunkan Layous-sama secepat mungkin!"

"Oh! Silahkan, Fauna!"

Sebagai pendeta sang dewi fajar, Fauna bisa memanipulasi energi spiritual, dan dia menggunakan kekuatannya untuk mempercepat pemulihan badan Koutarou selama beberapa saat ini. Bisa dikatakan kalau hal yang dilakukannya adalah versi lebih kuat dari pijatan yang dilakukan Sanae. Karena Fauna melatih kekuatan ini sebagai bagian dari penobatannya menjadi pendeta, dia seharusnya bisa mempercepat pemulihan badan Koutarou secepat dua kali lipat dari biasanya.

Ngomong-ngomong, mereka bisa mempercepat pemulihan badan Koutarou dengan menggunakan peralatan medis yang berada dalam Cradle. Namun, dalam situasi seperti ini dimana mereka tidak bisa mendapatkan cukup banyak persediaan obat-obatan dan semacamnya, ada batasan seberapa banyak mereka bisa menggunakan peralatan medis itu. Ditambah, karena luka-luka Koutarou bisa disembuhkan menggunakan metode-metode yang berada pada zaman itu, mereka memilih untuk tidak menggunakan peralatan medis itu.

"Syukurlah...Layous-sama baik-baik saja..."

Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh rekan-rekannya, akhirnya Alaia bisa lepas dari ketegangannya. Alaia bisa merasakan bahwa Koutarou selamat, tidak hanya dari perkataan mereka, tapi juga dari sikap mereka. Alaia lalu tersenyum kecil dan menghapus air mata yang baru saja muncul.

Saat Koutarou dibawa ke benteng dalam keadaan tidak sadarkan diri, Alaia merasa seakan-akan jantungnya berhenti berdetak, rasanya seakan-akan dia telah melihat akhir dari dunia. Pada saat itulah Alaia menjadi semakin yakin betapa berharganya Koutarou baginya. Alaia tidak bisa menenangkan dirinya sampai perawatan Koutarou selesai dan dia bisa mendengar lebih banyak detail sambil memperhatikan sikap para rekannya.

"Dia pria yang betul-betul beruntung. Sulit dipercaya kalau dia baik-baik saja setelah melawan monster seperti itu."

"Dia memang pria yang selalu beruntung. Lagipula--"

Clan langsung menahan kata-katanya, yang kalau dilanjutkan, akan terdengar seperti ini:

Lagipula, dia adalah orang yang sudah aku coba untuk bunuh tapi tidak bisa.

Namun, meskipun itu adalah hal yang sebenarnya, akan menjadi masalah bagi Clan jika dia mengatakannya. Ditambah, memalukan baginya kalau dia sampai mengakui bahwa Koutarou adalah musuhnya. Clan menahan lanjutan kalimatnya di dalam dirinya dan melanjutkan kalimatnya dengan pandangan polos.

"Lagipula, ada banyak orang yang berdoa untuk keselamatan pria ini."

"Dasar. Kalau Ksatria Biru tidak bertahan hidup, akan jadi masalah buatku. Dia masih belum menepati janjinya untuk memberiku sesuatu yang enak untuk dimakan."

Caris, yang tidak menyadari apa yang dipikirkan oleh Clan, mengangguk berulang kali. Sambil menatap ke arah Caris, Clan mengulangi kembali kata-kata yang sudah diucapkannya di dalam benaknya.

Ada banyak orang yang berdoa untuk keselamatannya, ya...Sekarang kalau kupikirkan lagi, hal yang sama juga terjadi disana...

Saat Clan melakukan hal itu, dia mengingat kembali kehidupan Koutarou di Bumi. Koutarou hidup dengan lima orang gadis dalam kamar kos yang kecil. Musuh Clan, Theia, adalah salah satu dari kelima gadis itu, dan kelima gadis itu sendiri adalah musuh Koutarou. Namun, seiring berjalannya waktu, permusuhan diantara mereka mulai mereda dan mereka mulai saling menghargai satu sama lain. Para gadis itu pun kemungkinan besar mengkhawatirkan keadaan Koutarou saat ini. Itulah sebabnya mengapa Koutarou berusaha untuk kembali kesana.

Aku pasti yang keenam...fufufu...

Hal yang sama juga berlaku bagi Clan. Dia telah mencoba untuk membunuh Koutarou, tapi sekarang dia sendiri juga mengkhawatirkannya. Ditambah, Koutarou juga sudah memberi tawaran pada dirinya untuk tinggal bersamanya jika Clan sampai kehilangan tempat untuk hidup.

Koutarou adalah orang yang bodoh, kikuk, dan tidak bisa hidup dengan baik. Para penjajah menyerang secara beruntun, dia menjadi terlibat dalam permasalahan mereka, dan pada akhirnya dia sampai harus terlempar ke ruang dan waktu yang berbeda. Meskipun Koutarou ingin kembali, dia tidak bisa. Kalau saja dia bisa bertingkah sedikit berbeda, hal ini mungkin tidak akan terjadi. Namun, Koutarou yang kikuk tidak bisa melakukan hal itu.

Untungnya, dia orang yang beruntung. Selalu ada seseorang yang mengkhawatirkannya, yang menjadi kekuatan baginya untuk bertahan hidup. Clan, yang tahu akan hal itu, yakin bahwa Koutarou pasti akan bangun. Sementara Koutarou masih tetap Koutarou sendiri, dia tidak akan terus tertidur, dan semua orang suka dengan kekikukannya itu.

"...Dia betul-betul pria yang beruntung..."

Pria ini mungkin satu-satunya pria yang bisa membuat empat orang tuan putri khawatir dengan dirinya...pikir Clan sambil tersenyum melihat Koutarou yang tertidur. Hal itu memang aneh bagi dirinya, tapi sekarang dia bisa mengakui bahwa dia juga khawatir dengan Koutarou.

"Gawat, puteri Alaia!! Flair-sama kembali dengan seseorang yang tidak bisa dipercaya!!" seru Mary yang masuk ke ruang perawatan dengan muka pucat pasi.

Flair menemukan orang itu saat dia pergi untuk memastikan apa yang terjadi pada Alunaya. Berkat serangan Koutarou, Alunaya jatuh ke dalam hutan yang berada di sisi selatan benteng. Untuk bisa memastikan keadaan Alunaya, Flair membawa pasukan kecil dan masuk ke hutan itu. Namun, mereka tidak bisa menemukan Alunaya tidak peduli seberapa lama mereka mencarinya. Mereka menemukan pohon-pohon yang mereka duga hancur saat Alunaya terjatuh, tapi sang naga sendiri tidak mereka temukan. Dengan ukurannya yang besar, sulit untuk dipercaya kalau mereka tidak bisa menemukannya, jadi Flair beranggapan bahwa sang naga sudah kabur dengan cara terbang dan berhenti melanjutkan pencarian. Dalam perjalanan pulang, Flair bertemu dengan seorang pria yang pernah dilihatnya sebelumnya.

Karena orang itu adalah orang yang tidak disangka-sangka, Flair ragu bagaimana dia harus menangani orang itu. Awalnya dia berniat untuk membunuhnya, tapi pada akhirna Flair memutuskan bahwa Alaialah yang sebaiknya memutuskan hal itu, dan lalu membawa orang itu kembali ke benteng Raustor.

"...Kau cukup berani juga, untuk kembali muncul di hadapan kami."

Flair membawa orang itu ke ruang pertemuanyang berada di dekat pintu masuk benteng. Alaia, yang biasanya menunjukkan ekspresi tenang, menunjukkan ekspresi sedingin es begitu melihat orang itu. Clan dan Charl, yang berada di belakang Alaia, hanya bisa diam dan menyaksikan perkembangan situasi saat itu, menyerahkan jalannya situasi pada Alaia dan Flair sepenuhnya.

"Justru itulah sebabnya, 'tuan puteri' Alaia."

Namun, pria itu tidak terlihat gentar sedikitpun oleh tatapan dingin Alaia. Dia justru tersenyum simpul sambil berdiri disana, seakan-akan dia tidak tahu kalau dia sedang berada di tengah-tengah wilayah musuh.

"Betul-betul sikap yang kurang ajar...apa urusanmu datang kesini, ksatria perunggu Dextro?"

Ksatria perunggu, Dextro. Itu adalah nama yang tidak akan bisa dilupakan oleh Alaia dan yang lainnya.

Dextro adalah seorang ksatria dari keluarga Melcemhein, dan gelarnya adalah perunggu. Keluarga Melcemhein sendiri patuh pada Maxfern, dan merupakan bagian dari pasukan kudeta.

Dulu, Dextro mengemban misi untuk mengejar Alaia dan menyerang Alaia dan kelompoknya. Pada saat itu, dia meracuni sumber-sumber air sebagai cara untuk menyerang, yang mana cara itu juga secara tanpa pandang bulu turut menyerang warga desa tempat Alaia dan kelompoknya tinggal sementara. Untungnya, Alaia dan kelompoknya bisa selamat dari bahaya itu, namun Dextro telah terukir dalam ingatan mereka sebagai seseorang yang tidak akan bisa mereka maafkan.

"Sebelum kita bicara, tolong lepaskan benda ini dari badanku. Tidak nyaman rasanya", ujar Dextro sambil menunjuk ke arah borgol yang membelenggu tangan dan kakinya. Karena dia adalah seseorang yang begitu berbahaya, mereka tidak akan membawanya pada Alaia tanpa menahannya seperti ini lebih dulu.

"Yang benar saja. Kami tidak cukup bodoh untuk membebaskanmu", tolak Flair. Alasannya sama dengan alasan mengapa mereka menahannya: Flair tidak mau Alaia kembali berada dalam bahaya.

"Hhh...kau betul-betul keras kepala untuk seorang wanita. Aku tidak akan melakukan apapun yang akan membahayakan nyawaku", ujar Dextro sambil terus menggoyang-goyangkan borgol ditangannya sambil melemaskan bahunya dengan gaya yang berlebihan. Namun, kelihatannya balasan Flair adalah sesuatu yang sudah diduganya, karena setelahnya Dextro sudah terlihat tidak peduli lagi dengan situasinya saat itu dan lalu mulai menjelaskan mengapa dia muncul kembali di hadapan mereka.

"Aku datang kesini untuk mengadakan kesepakatan dengan kalian."

"....Kesepakatan?" tanya Alaia sambil menyipitkan matanya, karena merasa ada yang janggal dengan perkataan Dextro.

"Ya. Aku punya informasi yang menurut kalian penting. Ditambah, ini informasi yang betul-betul darurat. Sebagai ganti dari informasi ini, aku ingin kalian menyetujui syarat yang kuajukan."

"Kami tidak akan mungkin menyetujui kesepakatan itu!" seru Flair yang kembali menolak tawaran Dextro. Flair tidak akan pernah mau membuat kesepakatan dengan seseorang yang begitu hina seperti Dextro, karena apa yang telah menjadi keyakinan Flair sendiri dan juga demi Alaia.

"Apa syarat yang ingin kau ajukan, Dextro?"

Namun, keputusan Alaia ternyata justru berbeda dari Flair.

"Yang Mulia!? Anda tidak bisa terjebak kata-kata manis orang seperti ini!!"

"Flair, kalau kita pertimbangkan mengapa orang ini mau datang kesini dengan sendirinya, kita tidak akan merugi hanya dari mendengar apa yang akan dia katakan."

Alaia tahu betul kalau Dextro adalah orang yang penuh dengan perhitungan, yang sudah mengambil resiko menampakkan dirinya di hadapan Alaia dan yang lainnya. Karena Alaia menghargai nyawa para penduduknya, dia mungkin tidak akan membunuh Dextro, tapi ada kemungkinan bahwa akan ada orang lain yang akan melakukannya. Pada kenyataannya, bahkan Flair sendiri juga memikirkan hal seperti itu. Meskipun dia sudah mengetahui hal itu, Dextro datang untuk membuat kesepakatan, jadi informasi yang dimilikinya pasti sebanding dengan resiko yang dihadapinya.

"Seperti yang kuharapkan dari puteri Alaia. Kau memang beda dari wanita kepala batu ini."

"Dextro, kau sialan!!"

"Tenanglah, Flair", kata Alaia yang berusaha menenangkan Flair dan lalu melangkah mendekati Dextro, berencana mendengarkan apa yang ingin dikatakan olehnya.

"Katakan apa syaratmu, Dextro."

"Aku hanya punya satu syarat. Aku ingin kau melindungi jabatanku, meskipun kau yang memenangkan perang ini."

"Jabatanmu?"

"Ya", angguk Dextro sambil tersenyum.

"Awalnya, aku kira hanya tinggal masalah waktu saja sampai pasukan Forthorthe barumu hancur, tapi sekarang kau bahkan sudah merebut Raustor. Jumlah pasukan kalian masih belum sebanding dengan milik Maxfern, tapi hal itu tidak akan berlaku di masa yang akan datang. Kalau kalian menyebarkan rumor bahwa Ksatria Biru sudah mengalahkan seekor naga, kalian pasti akan bisa mengumpulkan prajurit lebih banyak lagi."

"...Memangnya kenapa?" tanya Flair sambil melotot ke arah Dextro, yang dibalas dengan senyuman mengejek.

"Kukuku, dalam kata lain, ada kemungkinan kalau kalian akan menang dalam perang ini. Menurutku, 50/50."

"...Jadi begitu rupanya..."

Alaia pun sadar mengapa Dextro muncul di hadapan mereka, dan raut wajahnya pun berubah menjadi lebih serius.

"Jujur saja, aku tidak peduli yang mana yang akan menang, tapi kalau kalian yang menang, aku akan berada dalam masalah. Tidak diragukan lagi, kalian pasti akan mengadiliku dan akan menghukumku atas kejahatan perang yang sudah kulakukan. Yang paling buruknya, aku mungkin akan dieksekusi."

"Tentu saja! Itulah yang pantas kau dapatkan setelah semua yang sudah kau lakukan!"

Kalau pasukan kudeta Maxfern kalah, Dextro tidak akan kehilangan jabatannya saja, tapi juga akan mendapat hukuman atas segala perbuatannya. Serangan tanpa pandang bulunya pada desa akan dianggap sudah melewati batas dan dia pasti akan mendapat hukuman yang setimpal. Hukumannya apa yang akan didapatnya memang tergantung dari jalannya pengadilan nantu, tapi kemungkinan besar dia tidak akan bisa menghindar dari hukuman mati. Kalaupun dia beruntung, dia tetap akan menghabiskan sisa hidupnya dibalik jeruji. Apapun yang terjadi nanti, masa depan Dextro akan menjadi suram kalau ternyata pasukan Alaia yang menang.

"Jadi, kau menjual informasi pada kami untuk membeli amnesti lebih dahulu, benar?"

"Tepat sekali, puteri Alaia. Aku tidak peduli apakah Maxfern atau kau yang menang, tapi aku ingin menyelamatkan diriku sendiri. Jadi, tidakkah kau pikir kalau yang terbaik bagiku adalah untuk berada di posisi yang aman, tidak peduli siapa pemenangnya?"

Dengan menjual informasi secara rahasia, Dextro bisa menghindar dari pengadilan jikalau Alaia memenangi peperangan. Dengan melakukan itu, Dextro akan aman jika Alaia atau Maxfern yang menang. Itulah sebabnya mengapa Dextro muncul, sadar akan segala resikonya. Semuanya hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

"Kau berkata bahwa informasi yang kau miliki begitu penting?"

"Tepat sekali. Baik untuk pasukan ini, dan baik untuk anda secara pribadi. Tapi, sebaiknya anda segera memutuskan, karena informasi ini akan menjadi tidak berguna sebentar lagi."

Karena informasi yang akan dijual oleh Dextro adalah informasi yang begitu penting, meskipun mereka tidak membelinya, pada akhirnya mereka akan tahu informasi apa itu. Namun, saat mereka sudah tahu, akan terlambat bagi mereka untuk bertindak. Itulah sebabnya mengapa Dextro meminta agar Alaia mengambil keputusan dengan cepat. Apakah dia akan membiarkan sesuatu sampai terjadi, ataukah dia mencegahnya lebih dulu?

"...Tidak ada pilihan lain. Saya akan menerima syarat yang kau ajukan."

Setelah berpikir sejenak, Alaia memutuskan untuk menerima tawaran itu. Karena Dextro percaya bahwa informasinya senilai dengan nyawanya sendiri, Alaia tidak bisa membiarkan informasi itu terbuang percuma begitu saja. Dalam kata lain, dia percaya dengan perhitungan Dextro.

"Yang Mulia!!"

Tentu saja, Flair menolak keputusan itu. Melepaskan seseorang yang sudah membantai orang-orang tanpa ampun adalah hal yang tidak bisa diterima olehnya.

"Maaf, Flair. Saya percaya bahwa inilah yang terbaik bagi para penduduk", kata Alaia pada Flair sambil menggelengkan kepalanya.

"Yang Mulia..."

"Tolong bersabarlah, Flair."

Alaia juga merasakan hal yang sama dengan Flair, namun tetap saja Alaia percaya bahwa apa yang menjadi keputusannya adalah sesuatu yang penting. Dia tidak bisa begitu saja membahayakan para penduduknya hanya demi sebuah keadilan; hal yang sama yang dirasakannya pada malam dansa di festival panen.

"Kau tidak akan rugi. Itu sebabnya ini disebut sebagai kesepakatan", komentar Dextro sambil mengangguk puas. Seperti yang dikatakannya, Dextro tidak berencana membuat Alaia dan kelompoknya merugi atas kesepakatan itu. Alaia harus melindungi jabatan Dextro karena pertukaran setara yang telah dipilihnya.

"Naga yang dilawan oleh si Ksatria Biru pagi ini...kelihatannya namanya Alunaya...yang penting, dia sebenarnya adalah boneka Grevanas."

"Tidak mungkin!? Apa ini berarti kau mengatakan bahwa Grevanas bisa mengendalikan sesuatu seperti itu!?" ujar Flair yang terkejut mendengar pernyataan Dextro.

Kepala dewan penyihir, Grevanas, adalah salah satu dalang dibalik kudeta yang juga merupakan tangan kanan Maxfern. Namun, meskipun Grevanas adalah orang terkuat dari antara dewan penyihir dan juga salah satu dari para penyihir agung, Flair tidak percaya kalau dia bisa mengendalikan Alunaya.

"Tenanglah, bukan itu masalahnya saat ini. Masalahnya adalah apa yang terjadi setelahnya", kata Dextro yang mencoba menenangkan Flair, dan mulai berbicara sedikit lebih cepat karena dikejar oleh waktu.

"Rencana Maxfern dan Grevanas memiliki tiga tahapan. Pertama, mereka menggunakan naga itu untuk memancing si Ksatria Biru. Bahkan dia sekalipun tidak akan bisa tetap bertahan setelah melawan naga itu", kata Dextro yang mulai menjelaskan sambil melihat ke sekeliling ruangan itu, namun tidak menemukan Koutarou.

Kalau aku mengikuti rencananya, mungkin rencananya tetap akan berhasil, tapi....ya sudahlah, aku rasa mau bagaimana lagi...

Karena Koutarou sudah pasti harus mengatasi situasi itu, Dextro merasa kalau rencana Maxfern sudah berhasil.

"Dalam situasi itu, aku akan memimpin sejumlah pasukan untuk menyerang benteng. Dengan melakukan itu, kami tidak harus melawan si Ksatria Biru. Tapi, aku sudah membuat banyak alasan untuk menunda serangan itu, jadi serangan ini tidak akan terjadi."

"Kenapa kau menundanya?"

"Aku tidak tahu apakah si Ksatria Biru sudah tidak bisa bertarung lagi atau tidak. Aku tidak berani berhadapan dengannya dalam pertempuran, aku pasti kalah."

Pasukan penyerang yang dipimpin oleh Dextro tidaklah besar, karena pasukan itu hanya terdiri dari sejumlah kecil prajurit yang dimaksudkan untuk menyerbu benteng itu pada malam hari dan menghancurkan pasukan itu dari dalam. Karena itulah, kalau mereka sampai berhadapan dengan Koutarou, mereka pasti akan mendapat perlawanan. Dextro sudah merencanakan untuk melakukan penyerangan itu kalau dia bisa mendapat kepastian mengenai keadaan Koutarou, tapi pada akhirnya, dia tidak memiliki informasi yang cukup. Jadi, Dextro membuat berbagai alasan untuk menahan pasukannya agar tidak menyerang, dan bertemu Flair sendirian.

"Karena itulah, hanya akan ada serangan ketiga."

"Dan serangan itu adalah?" desak Alaia. Nada bicaranya menjadi cepat, pertanda bahwa dia seperti dikejar oleh sesuatu. Alaia sudah merasakan ada sesuatu yang mengerikan akan terjadi semenjak nama Ksatria Biru keluar dari mulut Dextro.

"...Karena dia sudah menjadi lengah, meskipun sedikit saja, setelah melawan si naga, Ksatria Biru akan dibunuh."

Tepat saat Dextro selesai berbicara, Alaia sudah langsung berlari, hampir seperti dia sudah lupa dengan adanya Dextro.


Part 2[edit]

Alaia berlari menuju ruang perawatan dimana Koutarou sedang tertidur. Flair, Clan dan Charl turut mengejarnya dan meninggalkan beberapa orang penjaga untuk menjaga Dextro.

"Koutarou-sama!!"

Berlawanan dengan penampilan anggunnya yang biasa, Alaia mendobrak pintu ruangan itu dan melesat masuk ke dalamnya. Tepat di saat itu, dia bisa melihat apa yang telah terjadi di dalam ruang perawatan itu: ruangan itu sudah menjadi kacau dan berantakan.

Ada dua orang yang tergeletak di atas lantai: ahli bedah dari pasukan yang bekerja di benteng ini, dan seorang pengawal yang membantu disana-sini. Mereka masih hidup tapi terluka parah, dan banyak darah mereka yang mengalir keluar dan membuat lantai ruangan itu menjadi merah.

Koutarou terbaring di atas tempat tidur yang berada paling jauh dari pintu masuk, dikelilingi oleh tiga orang pria yang memakai seragam pasukan Forthorthe sambil memegang pedang yang berlumuran darah. Rupanya merekalah yang telah menyerang kedua orang itu, dan sekarang akan menghabisi Koutarou.

"Tidak akan saya biarkan!!"

Alaia, yang langsung menyadari betapa bahayanya situasi dihadapannya, langsung melesat secepat mungkin ke arah Koutarou. Dia begitu ingin menyelamatkan Koutarou, hingga melupakan betapa pentingnya nyawa dan posisinya sendiri bagi Forthorthe. Bagi Alaia, Koutarou mulai menjadi sesuatu yang bahkan lebih penting daripada Forthorthe.

"Yang Mulia!? Sial, tolong bantu aku, Clan!!"

Saat dia melihat Alaia yang berlari ke arah para pembunuh itu, Flair dengan sigap menghunus pisau dari pinggangnya. Dia lalu melempar pisau itu ke arah pembunuh yangpaling dekat dengan Alaia sambil meminta bantuan dari Clan.

"Betul-betul gaduh seperti biasanya!!"

Clan sudah memprediksi adanya situasi ini dan sudah menyiapkan senapannya. Dia dengan cepat membidik dan menarik pelatuk, menembakkan sebuah peluru yang melayang ke arah pembunuh yang berbeda dengan yang diserang oleh Flair.

"Guwah!?"

"Aaaah!"

Pisau Flair dan peluru Clan menghabisi masing-masing satu pembunuh. Melihat kejadian itu, si pembunuh terakhir mengayunkan pedang miliknya untuk menyelesaikan misinya.

"Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaak!!"

Keributan di ruangan itu dan teriakan pedih Alaia membuat Koutarou terbangun dari tidurnya.

"Mm...A-apa!?"

Tepat saat Koutarou membuka matanya, dia memperhatikan pemandangan yang aneh di hadapannya: Alaia yang berlari untuk menghalangi datangnya serangan pedang, dan aroma darah yang memenuhi ruangan itu ditambah empat orang yang sedang terbaring di atas lantai.

"Puteri Alaia!?"

Karena baru saja terbangun, Koutarou tidak bisa mengerti apa yang sedang terjadi. Satu-satunya hal yang bisa dia mengerti adalah, kalau keadaannya terus berjalan seperti ini, Alaia akan terkena tebasan pedang itu dan terbunuh.

"Takkan kubiarkaaaaaaan!!"

Koutarou, yang berniat untuk melindungi Alaia, mengerahkan tangannya sendiri ke arah pedang itu. Dengan diiringi suara dentuman, tangan kiri Koutarou mengenai pedang si pembunuh. Karena tangannya tidak mengenai bagian tajam pedang itu, tangannya tidak terpotong, tapi tinjunya mengenai sisi pedang itu dan meretakkan tulang-tulangnya. Meskipun Koutarou mendapat tambahan luka, sebagai gantinya Alaia tidak terluka. Arah serangan pedang itu pun berubah dan hanya melukai sedikit kaki Koutarou.

"Koutarou-sama!!"

Sesaat setelahnya, Alaia melompat ke atas badan Koutarou dan memeluknya, berusaha sebisanya untuk menjaga Koutarou agar tidak terluka.

"..."

Serangan pertama si pembunuh gagal mengenai sasarannya, tapi dia dengan cepat membetulkan kembali posisinya dan mengincar bagian badan Koutarou yang tidak bisa dilindungi oleh Alaia. Karena ukuran badan Koutarou dan Alaia begitu berbeda, Alaia tidak bisa melindungi seluruh badan Koutarou. Kepala, tangan dan sebagian besar kaki Koutarou masih bisa terlihat. Kalau si pembunuh mengincar bagian-bagian itu, akan mudah baginya untuk membunuh Koutarou meskipun Alaia melindungi badannya.

"Takkan kubiarkan kau melakukannya!" seru Clan sambil menembakkan senapannya. Sebagai hasilnya, pedang si pembunuh terpental dari tangannya, menghancurkan pedang itu dan menggagalkan aksi si pembunuh.

Namun, si pembunuh tidak berhenti sampai disitu saja. Karena tangan kanannya menjadi tidak bisa digerakkan karena benturan dari tembakan senapan Clan, dia menghunus sebuah pisau dengan tangan kirinya dan kembali menyerang Koutarou.

"...Pengalihan yang bagus, Clan."

Namun, hanya itulah yang bisa dilakukan si pembunuh. Ujung pedang Flair sudah terarah pada leher si pembunuh, membuatnya tidak bisa bergerak. Kalau dia bergerak sedikit lagi, Flair sudah pasti akan memenggal kepalanya saat itu juga.

"Dia..."

Baru saat itulah Flair melihat wajah si pembunuh dan menjadi kaget, karena ternyata dia sudah pernah mengenal wajah itu sebelumnya. Si pembunuh rupanya adalah salah seorang pasukan kudeta yang beralih ke pasukan Forthorthe baru sehari yang lalu. Karena Flair yang bertugas menangani pasukan tempur, dia melihat wajahnya saat prajurit itu mendaftar. Flair lalu menyerang si pembunuh dengan gagang pedangnya dan membuatnya pingsan, namun rasa kagetnya belum mereda.

"Kukuku, inilah yang terjadi kalau kau tidak membunuh orang yang mengarahkan senjatanya padamu. Ksatria Biru itu terlalu naif", cela Dextro. Karena dia masih terbelenggu, dia baru saja tiba di ruangan itu. Namun, karena dia sudah mengetahui rencana pembunuhan itu, dia sudah tahu apa yang membuat Flair terkejut.

"...Aku tidak yakin akan hal itu."

"Huh?"

"Coba lihat dari sisi ini, aku sudah pernah mencoba membunuh Veltlion dulu", kata Clan sambil menyandarkan senapannya di bahunya sambil melotot ke arah Dextro, ekspresi yang akan dijuluki Koutarou sebagai licik kalau dia sampai melihatnya.

"Dan karena aku berada disini, raksasa itu bisa dikalahkan....Sekarang siapa disini yang naif? Kau? Atau Veltlion?"

"...Cih", decak Dextro. Raksasa besi yang diperintahkannya untuk melawan Koutarou dihancurkan oleh meriam laser milik Clan. Itulah hasil dari perbuatan Koutarou yang tidak membunuh Clan dan Dextro yang meremehkannya. Ditambah, pencegahan rencana pembunuhan ini adalah berkat tindakan Koutarou yang tidak membunuh Dextro. Jadi, bisa dikatakan kalau Dextrolah yang sebenarnya naif.

"...Teruslah bertindak seperti itu, Veltlion...", gumam Clan dengan suara yang pelan sambil memandangi Koutarou. Meskipun rencana pembunuhan itu sudah berakhir, Alaia masih memeluk Koutarou dengan erat dan gemetaran, yang dibelai dengan lembut oleh Koutarou yang masih terluka. Charl sendiri hanya bisa memandangi mereka berdua dengan pandangan khawatir. Melihat pemandangan itu, Clan bisa meyakinkan dirinya sekali lagi akan keyakinannya...

"...Itulah jalan, yang kau ambil, sang Ksatria Biru..."

...bahwa Koutaroulah sang Ksatria Biru yang sebenarnya.


Part 3[edit]

Koutarou kembali terbangun setelah tiga hari kemudian, sebagai hasil dari obat menjijikkan yang diberikan Lidith padanya, dan juga rasa lelah dan lukanya yang menumpuk.

"Dimana aku....?"

Setelah terbangun, Koutarou memandang ke sekelilingnya. Lampu yang menyala dengan redup tidak menerangi ruang perawatan, tapi kamar Koutarou sendiri di dalam benteng. Karena perawatannya sudah selesai, dia sudah dipindahkan dari ruang perawatan.

"Hm?"

Setelah Koutarou sadar bahwa dirinya sudah berada di kamarnya sendiri, dia baru sadar kalau ada seseorang di sampingnya.

"...Puteri Alaia!?"

Alaia sedang duduk di sebuah kursi disamping Koutarou dan menyandarkan badannya pada tempat tidurnya dan tertidur pulas. Pada meja disebelahnya terdapat wadah yang berisi semacam cairan, perban, seguci air dan banyak hal lain. Setelah melihat itu, Koutarou sadar bahwa Alaia sudah membantu merawat dirinya.

"Puteri Alaia..."

Alaia sendiri sedang menggenggam tangan kanannya dengan kedua tangannya sendiri. Meskipun dia sedang tertidur lelap, dia tetap menggenggam tangan itu dengan erat, seakan tidak ingin melepasnya.

Rokujouma V8.5 141.jpg

"Kayaknya aku udah bikin dia kuatir...", gumam Koutarou dengan pelan sambil membalas menggenggam tangan Alaia.

Alaia seharusnya sibuk dengan tugasnya sebagai seorang tuan puteri, jadi dia seharusnya tidak punya waktu untuk merawat Koutarou. Namun demikian, Alaia sudah meluangkan waktunya dan sekarang tertidur seperti ini. Saking khawatirnya Alaia terhadap Koutarou, Alaia merasa kalau dia perlu melakukan ini.

"Mm, mmm....."

Alaia, yang menyadari kalau Koutarou menggerakkan tangannya, menjadi terbangun dari tidurnya. Dia membuka matanya perlahan-lahan selama beberapa saat, dan setelahnya langsung menegakkan badannya.

"Koutarou-sama!?"

"Selamat pagi, Yang Mulia."

Saat dia melihat Koutarou yang tersenyum, raut wajah Alaia pun berubah dan air mata mulai mengalir keluar dari matanya.

"Syukurlah...anda kembali sadar..."

"Maaf sudah membuat anda khawatir, dan...saya betul-betul merasa terhormat karena sudah dirawat oleh Yang Mulia sendiri."

"Tidak apa-apa! Anda terluka demi diri saya! Sayalah yang seharusnya meminta maaf dan berterimakasih kepada anda!" balas Alaia sambil menghapus air matanya dengan cepat karena dia tidak ingin membuat Koutarou sedih. Namun, air matanya terus mengalir tidak peduli seberapa banyak Alaia berusaha mengusapnya. Meskipun Alaia bisa memalsukan raut wajah dan nada bicaranya, air mata yang menyatakan rasa leganya tidak bisa dia palsukan begitu saja.

"Yang Mulia..."

Koutarou sendiri merasa betul-betul bersyukur melihat Alaia yang bersikap seperti itu, karena bisa mendapat perawatan dari puteri suatu negeri adalah hal yang betul-betul peristiwa yang begitu langka. Satu-satunya hal yang membuat Koutarou sedih adalah karena perasaan Alaia yang seharusnya didapat oleh sang Ksatria Biru yang asli, dan itu membuat Koutarou dipenuhi rasa bersalah.

"...Maaf karena sudah menangis layaknya anak kecil, Koutarou-sama."

Alaia tidak berhenti menangis sampai beberapa selang waktu kemudian. Dengan kembalinya pikirannya yang jernih setelah menangis sejadi-jadinya, senyuman tenang Alaia pun kembali muncul.

"Saya akan mengingat hal itu, karena itu adalah raut wajah yang jarang saya lihat."

"Wah...Koutarou-sama, rupanya anda cukup jahat juga."

"Banyak yang berkata seperti itu."

Sambil memandangi Alaia, yang sedang cemberut, Koutarou teringat dengan Harumi yang berada di Bumi.

"Dasar Satomi-kun jahil."

Saat mereka berdua asyik berbicara, Harumi terkadang akan mengejek Koutarou dengan mengatakan itu. Raut wajah Alaia saat itu terlihat persis saat Harumi mengatakan hal itu.

Puteri Alaia sama Harumi memang kelihatan mirip ya....

Berkat apa yang dirasakannya, Koutarou tidak merasa kesepian selama beberapa bulan ini. Tidak hanya Alaia saja, tapi Charl, Flair dan beberapa orang lainnya mengingatkannya pada teman-temannya di Bumi dengan satu dan lain cara. Sebagai hasilnya, Koutarou tidak pernah merasa kesepian karena dia percaya bahwa dirinya betul-betul beruntung bisa terkirim ke waktu dan tempat ini.

"Ngomong-ngomong, Koutarou-sama", kata Alaia yang sudah berhenti cemberut.

"Bagaimana keadaan anda?"

Dengan kembalinya raut wajahnya yang biasa, Alaia bertanya demikian pada Koutarou sambil melihat badannya dengan pandangan khawatir. Koutarou pun mengangguk sambil tersenyum untuk membalas pertanyaan itu.

"Saya sudah menjadi lebih baik. Masih ada beberapa bagian badan saya yang sakit jika digerakkan, tapi masalah yang paling besar adalah perut saya yang kelaparan."

Saat Koutarou tertidur, perawatan terhadap badannya dilakukan secara terus-menerus. Berkat metode sains Lidith, sihir Caris dan energi spiritual Fauna, Koutarou bisa kembali pulih dengan cepat. Kalaupun dia mencoba bergerak, tidak akan ada bagian badannya yang akan menjerit kesakitan. Selama dia makan sesuatu dan membiarkan waktu terus berjalan, badannya pasti akan kembali pulih dengan sendirinya.

"Wah, wah, Koutarou-sama..."

Alaia langsung tersenyum saat mendengar nada bicara Koutarou. Dia merasa bahwa nada bicara Koutarou yang begitu polos itu lucu untuk menjawab kekhawatirannya terhadap diri Koutarou.

"S-Saya akan segera memberitahu Mary untuk segera menyiapkan makanan, fu, fufufu."

Sambil menertawakan Koutarou, Alaia mencoba merasakan kembali kehangatan yang berada di tangannya.

Saya betul-betul bersyukur....Koutarou-sama baik-baik saja...pikir Alaia yang mengakui perasaannya dengan merasakan kehangatan tangan Koutarou.

Saya...saya betul-betul tidak ingin membiarkan Koutarou-sama mati...

Selama beberapa hari ini, Alaia merasakan betapa berartinya Koutarou baginya. Keputusasaan yang dirasakannya saat Koutarou terluka parah dan dibawa ke benteng, rasa jengkelnya saat dia mendengar adanya pembunuh, perasaan yang tercurah saat dia menghalangi si pembunuh untuk melindungi Koutarou, ketidaksabaran yang dirasakannya saat dia hanya bisa melihat Koutarou tertidur dan rasa lega yang begitu sangat saat dia bisa melihat Koutarou tersenyum kembali.

Semua perasaan itu telah menyokong Alaia. Dia betul-betul tidak ingin Koutarou sampai mati, tidak peduli berapapun harga yang harus dia bayar untuk itu.

Alaia tahu, suatu hari nanti Koutarou akan pergi meninggalkannya. Bagi sang tuan puteri Alaia, pernikahan hanyalah alat politik. TIdak peduli seberapa besar Alaia mencintainya, tidak akan pernah ada kemungkinan bagi Alaia untuk menikahi Koutarou. Namun, karena dia tahu bahwa Koutarou akan terus hidup bahkan setelah mereka berpisah, hal itu bisa menjadi kekuatannya.

Demi hal itu....!!

Alaia pun mengambil sebuah keputusan, dengan tekad yang tak tergoyahkan yang bahkan melampaui keinginannya untuk melindungi negerinya.

"Koutarou-sama, setelah anda betul-betul pulih, saya ingin mengajak anda ke suatu tempat. Bisakah anda ikut dengan saya?"

Selama Koutarou baik-baik saja, Alaia bisa melindungi dunia ini sendirian.

Pada saat ini, Alaia digerakkan oleh perasaan yang begitu kuat itu.


Part 4[edit]

Alaia mengajak Koutarou ke sebuah kuil kosong di pegunungan yang terletak agak jauh dari Raustor. Raustor sendiri berarti tempat istirahat sang dewi. Setelah berkelana melewati waktu dan dunia yang tak terhitung banyaknya, sang dewi fajar mengistirahtkan kakinya di tempat itu.

Dengan legenda itu sebagai dasarnya, Raustor secara alami berkembang menjadi tempat yang dianggap keramat, dan ada banyak kuil yang dibangun untuk dewi fajar. Alaia mengajak Koutarou menuju salah satu dari kuil-kuil itu, yakni kuil tertua yang dirawat langsung oleh keluarga Mastir.

Kuil itu bangunan yang begitu kokoh yang terbuat dari batu. Karena itulah, tampilan kuil itu tetap terlihat sama dengan saat kuil itu baru berdiri sekitar lebih dari 1000 tahun yang lalu. Yang berubah dari tampilan kuil itu hanyalah beberapa tanaman yang tumbuh di bebatuan.

Koutarou dan Alaia pergi ke tempat itu ditemani oleh Fauna, yang merupakan pendeta dewi fajar. Selain itu, dia juga merupakan teman Alaia karena mereka berdua seringkali pergi ke seminar bersama. Karena itulah Alaia mempercayai Fauna dan mempercayakannya untuk mengurus kuil ini.

"Alaia-sama, Layous-sama, silahkan lewat sini."

"Terima kasih, Fauna."

Mereka pun memasuki kuil itu dengan dipimpin oleh Fauna. Karena Alaia dan Fauna sudah pernah kesini beberapa kali, mereka tidak berpikir berlebihan soal tempat itu.

"Ini...."

Namun, hal itu tidak berlaku bagi Koutarou. Saat dia memasuki kuil itu, dia menjadi terheran akan sesuatu. Koutarou sudah diberitahu kalau kuil ini dibangun bagi dewi fajar, dan meskipun dia tidak diberitahu hal itu, Koutarou bisa tahu kalau tempat ini adalah tempat yang suci. Namun, bukan itu yang dirasakan oleh Koutarou, karena apa yang dirasakannya lebih mengarah pada deja vu.

Apa aku pernah kesini sebelumnya....? Apa justru suasananya yang aku ingat...?

Deja vu yang dirasakannya semakin kuat saat Koutarou menuju bagian tengah kuil itu. Koutarou sendiri merasa kalau dia sudah mengenal tempat itu, atau mungkin suasana yang berada di kuil itu.

"Maaf sudah membuat anda menunggu. Inilah tempat yang ingin saya tunjukkan kepada anda."

"....Patung ini..."

Apa yang dirasakan Koutarou berubah menjadi keyakinan saat dia sampai di tempat tujuannya.

Koutarou sampai di sebuah ruangan besar yang terbuat dari batu yang terletak di tengah-tengah kuil. Ada banyak kaca berwarna merah yang berada di atap ruangan itu, membuat warna ruangan itu seperti warna fajar. Di tengah ruangan itu, terdapat sebuah patung batu yang disinari cahaya merah. Karena patung batu itu berdiri di atas sebuah pijakan yang besar, Koutarou menengadahkan kepalanya untuk bisa melihat patung itu.

Di Forthorthe, patung itu menggambarkan sosok sang dewi fajar, yang mana sosoknya digambarkan dengan sosok dewi penciptaan: rupa seorang gadis dengan tangan yang mengatup di depan dadanya dan berdoa. Dalam legenda, sang gadis menangis dalam kesendiriannya dan mengubah air matanya menjadi benang, lalu mulai merajutnya menjadi dunia. Karena itulah, air mata diukir pada wajah patung itu.

Ada beberapa pilar yang berdiri mengelilingi patung itu. Bola-bola transparan terpasang di atas pilar-pilar itu dan disinari oleh cahaya kemerahan dari atas.

Aku...aku kenal sama patung itu sama tempat ini...tapi kenapa? Kenapa aku nggak bisa ingat?

Koutarou merasa heran dengan apa yang sedang dialaminya. Dia bisa mengingat pernah melihat pemandangan ini, gadis itu, sang dewi fajar sebelumnya. Walau begitu, dia tidak bisa mengingat kejadian itu. Kalau membandingkan ingatannya dengan sebuah foto, hasilnya akan seperti kalau sebagaian ingatannya sudah ditutupi oleh suatu gambar yang lain. Koutarou bisa tahu kalau ada sesuatu yang seharusnya ada di foto itu dari apa yang berada di sekelilingnya, tapi dia tidak bisa melihat foto itu. Peristiwa aneh ini membuat Koutarou menjadi gusar karenanya.

"Silahkan maju kesini."

Koutarou masih melamun memandangi patung itu saat panggilan dari Alaia menyeretnya kembali ke dunia nyata. Alaia sudah berada di depan patung itu dan memanggilnya.

"Silahkan pergi ke sana, Layous-sama."

Selanjutnya, Fauna juga ikut memanggil Koutarou dari pintu masuk ruangan itu sambil memandang ke dalamnya. Fauna berniat menyerahkan langkah selanjutnya pada Alaia, karena dia tahu mengapa Alaia membawa Koutarou ke tempat ini. Pertama, karena Faunalah yang bertanggungjawab atas tempat ini, dan kedua, karena dia sendiri adalah seorang gadis. Karena kedua alasan itulah dia memilih untuk membiarkan Alaia dan Koutarou maju sendirian.

"Baiklah, mohon tunggu sebentar."

"...Baik."

Fauna meninggalkan Koutarou perlahan saat Koutarou mendekati Alaia, lalu meninggalkan ruangan itu dan menghilang dari pandangan Koutarou dan Alaia. Sebagai hasilnya, Koutarou dan Alaia hanya berdua saja di depan patung itu.

"Terima kasih banyak, Koutarou-sama."

Setelah hanya tinggal mereka berdua saja di tempat itu, Alaia memanggil Koutarou menggunakan nama aslinya. Semenjak Koutarou mengungkapkan siapa dirinya sebenarnya pada Alaia, Alaia selalu menggunakan nama asli Koutarou saat mereka hanya berdua saja.

"Tidak....jadi, tempat apa ini, Yang Mulia? Dan kenapa kita datang ke tempat ini?"

Pikiran Koutarou dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Karena ingatannya sendiri masih samar-samar, dia ingin tahu lebih banyak tentang tempat itu.

"Ini adalah tempat yang spesial bagi keluarga kekaisaran Forthorthe. Harta negeri ini berada di tempat ini."

"Harta, negara...?"

Setelah mendengarkan Koutarou mengulangi kata-katanya, Alaia tersenyum simpul dan berbalik menghadap pijakan patung itu. Dia lalu meletakkan tangannya pada lempeng keperakan yang ada di pijakan itu. Ada kalimat yang terukir pada lempeng itu:

'Saat bencana yang sesungguhnya melanda negeri ini, serukanlah namamu yang sesungguhnya'

Kalimat itu diukir menggunakan huruf-huruf yang tidak bisa dibaca oleh Koutarou, tapi sistem zirah Koutarou dengan cepat menerjemahkan kalimat itu, yang rupanya ditulis menggunakan bahasa kuno yang digunakan oleh para pendeta dan penyihir.

"Nama saya adalah Alaia. Saya adalah sang salju putih keperakan dari Mastir. Sang puteri mahkota Forthorthe, Alaia Kua Mastir Signaria Tia Forthorthe."

Tepat saat Alaia menyebutkan namanya, cahaya putih mulai keluar dari lempengan itu, yang kemudian menyebar menyelimuti seluruh patung itu dan membuat sang dewi bersinar. Pada akhirnya, lempengan itu bergeser turun dan memperlihatkan apa yang berada dibaliknya.

"Ini...sebuah pedang...?"

Di dalam pijakan itu terdapat sebuah pedang tua. Pedang itu tertancap di pijakan itu sendiri dan pedang itu, beserta pijakannya, mulai bergeser keluar ke arah Koutarou dan Alaia.

Saat pedang itu pertama kali ditancapkan di pijakan itu, pedang itu masih terlihat mengkilap dan berkilau, tapi sekarang baik mata pedang maupun gagangnya sudah menjadi berkarat. Pedang itu sudah kehilangan semua kilau gemilangnya dan sekarang hanya terlihat seperti rongsokan.

"Benar. Pedang ini sudah diwariskan dari generasi ke generasi keluarga kekaisaran. Pedang ini dikatakan diberikan kepada keluarga kekaisaran oleh sang dewi fajar sendiri. Keberadaan pedang ini menjadi bukti kekuasaan keluarga kekaisaran Forthorthe, dan disaat yang sama, kekuatan pedang ini telah melindungi negeri ini dari musuh-musuhnya", kata Alaia yang memberi penjelasan dengan bangganya, namun sesaat kemudian berubah menjadi muram.

"Namun....pedang ini jugalah yang terkadang menjadi sumber dari konflik, dan 200 tahun lalu pedang ini disegel disini."

Pemilik pedang ini dapat disebut sebagai kaisar Forthorthe. Karena itulah ada banyak perang yang meletus untuk memperebutkan pedang ini, dan banyak darah yang tumpah karenanya.

Tepat pada saat itulah kaisar dari beberapa generasi yang lalu menyembunyikan pedang itu. Di saat yang sama, dewan penyihir ditugaskan untuk membuat sebuah segel yang kuat agar pedang itu tidak jatuh ke tangan yang salah. Hanya mereka yang berasal dari keluarga kekaisaran sajalah yang bisa membuka segel pedang itu. Selain itu, bahkan keluarga kekaisaran sekalipun tidak diizinkan untuk menyentuh pedang itu kalau tidak ada bencana hebat yang melanda negeri itu.

"Jadi itu maksud anda dengan harta negeri ini...tapi, maafkan saya, pedang ini tidak terlihat seperti memiliki kekuatan seperti itu..."

Koutarou mengerti cerita Alaia, namun apa yang berada di hadapannya hanyalah sebuah onggokan besi berkarat, yang tidak terlihat istimewa sama sekali.

"Fufufu, memang benar adanya dalam keadaan seperti ini", tawa Alaia dengan pelan sambil menghadap ke arah pedang itu. Dia lalu bersikap seperti patung itu: mengatupkan tangannya di depan dadanya, menutup matanya dan mulai berdoa.

"Dulu, sekarang dan masa yang akan datang, oh ibu dari segala sesuatu, dewi fajar."

Alaia mulai berbicara menggunakan bahasa kuno dengan suara yang merdu. Sesaat setelahnya, sebuah suara yang nyaring bagaikan besi mengenai besi memenuhi seluruh ruangan itu, dan dahi Alaia mulai bersinar.

"Yang Mulia...apa yang..."

Sebelum Koutarou menyadarinya, sebuah lambang pedang muncul di dahi Alaia dan mengeluarkan cahaya.

"Seorang anak dari Forthorthe, pelayanmu yang setia memohon kepada engkau. Sekaranglah waktunya untuk membuka segel ini, dan berikanlah kami kekuatan untuk menghadapi bencana ini."

Alaia menggunakan mantra untuk menghapus mantra yang terpasang pada pedang itu. Mantra itu dan darah birunya adalah kunci untuk menghapus segel itu.

"Angin surgawi. Tanah yang subur. Air samudra. Api gunung. Dengan jiwa saya sebagai sumbernya, ungkapkanlah kekuatan untuk menyatukan segala sesuatunya!"

Cahaya yang bersinar dari Alaia dengan perlahan menyentuh pedang itu, dan bagian yang tersentuh itu perlahan mulai kembali terlihat cemerlang seperti dulu. Karat-karat yang menutupi pedang itu pun hilang, seakan ditiup oleh angin. Pedang yang tadinya berkarat dan usang itu pun kembali bersinar gemilang seperti dahulu. Kotorang dan bekas gesekan yang ada sudah menghilang dan kilauan perak bersinar sebagai gantinya. Kemilau pedang itu begitu indah seakan-akan pedang itu baru saja selesai ditempa.

"Nama saya adalah Alaia! Sang salju putih perak dari Mastir! Oh, pedang suci dari kuil, ukirlah nama saya pada mata anda dan hiduplah kembali!"

Saat Alaia menyerukan itu dengan lantangnya, pedang itu meledak menghasilkan cahaya yang betul-betul putih bersinar, yang merupakan sebagian dari kekuatan pedang itu yang mengalir keluar dan membuat kuil itu berguncang.

Kejadian itu berlangsung selama beberapa detik, dan cahaya itu pun berangsur-angsur mereda, seakan diserap oleh pedang itu sendiri. Namun, meskipun cahaya itu sudah tidak ada, tampilan berkarat pedang itu tidak kembali. Pedang itu masih terlihat cemerlang, berdiri kokoh di atas pijakan dihadapan Koutarou dan Alaia.

"Koutarou-sama."

Alaia lalu memegang gagang pedang itu seakan-akan tidak ada apapun yang sudah terjadi. Setelah dia memegang pedang itu dengan kedua tangannya, dia berbalik menghadap Koutarou.

"Pedang ini diberikan nama dari orang yang membuka segelnya."

Lambang pedang yang berada di dahi Alaia masih dapat terlihat, dan seperti pedang di tangannya, lambang itu memiliki kemilau keperakan. Itulah bukti bahwa Alaialah yang sudah membuka segel pedang itu, yang memberikannya sebuah ikatan antara dirinya dengan pedang itu.

"Karena itulah, pedang ini mendapat nama saya."

Alaia lalu menyerahkan pedang itu kepada Koutarou, dan disaat yang bersamaan, menyebutkan nama pedang itu dengan penuh kebanggaan.

"Nama pedang ini adalah Signaltin, yang berarti pedang putih keperakan."

Ternyata, nama yang disebutkannya adalah nama pedang paling terkenal dalam legenda Ksatria Biru.

Rokujouma V8.5 157.jpg

"Ini...Signaltin..."

Koutarou terkejut saat mendengar nama itu. Dia tahu kalau Signaltin itu ada, tapi dia tidak menyangka bahwa pedang itu akan muncul dihadapannya pada saat seperti ini. Dalam naskah yang ditulis oleh Theia, hanya sedikit bagian yang menerangkan tentang adanya sihir, jadi pedang itu didapat oleh sang Ksatria Biru dengan mudahnya.

"Tolong terima ini, Koutarou-sama."

Alaia berencana memberikan pedang itu kepada Koutarou. Selama Koutarou memiliki pedang itu, Koutarou tidak akan pernah kalah, dan selama Koutarou hidup, Alaia tetap bisa bertahan dalam menjalani hidupnya. Alaia percaya bahwa inilah jalan yang terbaik baik bagi dirinya sendiri maupun bagi Forthorthe.

"T-Tidak, saya tidak bisa menerima sesuatu yang begitu berharga seperti ini..."

Namun, Koutarou tidak bisa menerima sesuatu seperti itu begitu saja. Koutarou tahu kalau pedang itu memiliki kekuatan yang luar biasa setelah melihat ritual yang dilakukan untuk membuka segelnya, itulah sebabnya dia tidak bisa menerimanya begitu saja. Ditambah, pedang ini adalah harta keluarga kekaisaran. Fakta itulah yang membuat Koutarou mengurungkan niatnya untuk menerimanya.

"Tidak apa-apa."

Karena Koutarou bereaksi tepat seperti yang ia duga, Alaia justru tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

Seperti yang sudah saya duga, saya harus menyerahkan pedang ini pada Koutarou-sama...

Karena sudah yakin bahwa apa yang dipilihnya adalah pilihan yang tepat, Alaia lalu mengungkapkan perasaannya.

"Sebagai gantinya, tolong berjanjilah pada saya."

"Eh?"

"Koutarou-sama, saat anda kembali ke dunia anda sendiri, tolong bawalah pedang ini bersama anda."

"Sa-saya tidak bisa melakukan itu, Yang Mulia!!"

Karena permintaan Alaia begitu mengejutkan, Koutarou sampai membelalakkan matanya saking kagetnya, yang lebih besar daripada saat Signaltin muncul.

"Adalah yang terbaik jika anda yang menjaganya. Pedang ini hanya akan menjadi sumber perepecahan. Kami tahu betul bagaimana jika negeri yang bergantung pada kekuatan yang begitu besar sampai bertemu. Itulah sebabnya mengapa pedang ini disegel."

Alaia sendiri justru terlihat kalem, berbeda dengan Koutarou. Dia memandangi Koutarou sebentar dengan pandangan yang lembut, dan lalu melanjutkan bicaranya.

"Dan cara yang paling aman adalah untuk membawanya pergi dari dunia ini. Dengan melakukan itu, negeri ini tidak akan pernah bertarung demi pedang ini lagi."

Seperti halnya Alaia mencoba melindungi Koutarou, Alaia juga mencoba melindungi Forthorthe.

Keberadaan Signaltin sudah menyebabkan beberapa perang saudara. Karena kekuatannya yang hebat, sudah tidak terhitung banyaknya orang-orang yang mencoba merebut pedang ini dan menjadi sang kaisar. Sama halnya dengan teroris pada zaman ini yang mencoba merebut kekuasaan dengan cara menggunakan senjata-senjata yang kuat.

Meskipun konflik yang ada sudah berhenti karena pedang itu disegel di dalam kuil, tidak ada jaminan kalau situasi yang ada akan tetap sama seperti saat ini. Hal yang ideal yang bisa dilakukan adalah untuk menyimpan pedang itu jauh sekali, dimana tidak ada seorang pun yang bisa mendapatkannya. Kesempatan untuk melakukan hal ideal itu muncul di hadapan Alaia, dalam wujud Koutarou yang datang mengarungi waktu dari dunia bintang, dan Koutarou pasti akan melakukannya.

"Kalau Koutarou-sama membawa pedang ini, orang-orang dunia ini akan kehilangan kesempatan untuk merebut pedang ini. Inilah kesempatan yang terbaik bagi kita."

Pedang itu bisa melindungi orang-orang yang dicintainya, menundukkan para penghianat dan membuat Alaia bisa melindungi negerinya untuk jangka panjang. Bagi Alaia, tidak ada tindakan yang lebih berarti lagi dibandingkan ini.

"Jadi...begitu rupanya..."

Itulah alasan sebenarnya mengapa sang Puteri Perak memberikan pedang itu kepada sang Ksatria Biru, dan mengapa sang Ksatria Biru menghilang. Bukan hanya keberadaan sang pahlawan legenda, sang Ksatria Biru saja yang membuat keadaan politk Forthorthe menjadi tidak stabil, tapi juga pedang itu sebagai salah satu sumber ketidakstabilan negeri itu. Itulah sebabnya mengapa sang Ksatria Biru menghilang - untuk menghapus nama sang pahlawan dan pedang yang hebat itu dari Forthorthe.

"Saya mengerti, Yang Mulia. Saya dengan senang hati akan menerima tugas itu."

Setelah menyadari situasinya, Koutarou akhirnya memutuskan untuk menerima pedang itu. Itulah tugas yang harus diembannya sebagai pengganti sang Ksatria Biru, dan dia merasa bahwa dirinya bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik daripada sang Ksatria Biru dengan membawa kembali pedang itu ke Bumi.

"Terima kasih banyak, Koutarou-sama!"

Alaia merasa begitu bahagia saat Koutarou menerima pedang itu. Dengan begitu, semuanya akan berjalan dengan lancar. Itulah harapan Alaia, dan disaat yang sama, hal yang mendorongnya begitu kuat.

"...Koutarou-sama. Mulai dari saat ini, pedang ini akan melindungi anda. Dari musuh seperti apapun dan dari cobaan seperti apapun."

"Kalau begitu, saya akan menggunakan hidup saya dan pedang ini untuk melindungi anda, puteri Alaia..."

Dengan begitu, Koutarou memperoleh Signaltin, dan roda takdir pun terus berputar.


Pada malam setelah Koutarou dan Alaia kembali ke Raustor dengan membawa Signaltin, Alaia berada di ruangannya, menderita vertigo yang begitu sangat.

"Kuh, ummh."

Alaia, yang hampir kehilangan keseimbangannya, menyandarkan badannya ke dinding. Kalau tidak, badannya akan segera jatuh.

"Yang Mulia!"

Fauna, yang berada di ruangan itu, menyadari keadaan Alaia dan langsung berlari ke arahnya untuk menahan badannya. Dia khawatir dengan keadaan badan Alaia yang mungkin akan sakit karena efek membuka segel, dan sudah menemaninya sedari tadi.

"T-terima kasih, Fauna....anda begitu membantu..."

"Tolong tetap seperti ini, Yang Mulia. Saya akan segera menyembuhkan anda."

Fauna lalu membawa Alaia duduk di sofa dan mencoba menyembuhkannya menggunakan energi spiritual. Badan Alaia sendiri sudah menjadi semakin lemah, namun energi spiritual yang dicurahkan Fauna padanya terlihat tidak memiliki pengaruh sama sekali.

"Saya merasa kalau ada beban yang sudah terlepas dari pundak saya. Terima kasih, Fauna."

Namun, beberapa saat setelahnya, wajah Alaia akhirnya sudah tidak menjadi pucat lagi. Karena keadaan pikiran dan badannya sudah pulih, Alaia akhirnya tersenyum dan berterimakasih pada Fauna. Alaia beruntung bisa memiliki teman seperti Fauna pada saat-saat seperti ini.

"Yang Mulia...tidakkah anda memberikan nyawa anda terlalu banyak pada pedang itu, Signaltin?"

Saat itu Alaia sudah menjadi semakin lemah layaknya orang yang sedang menderita sakit. Itu terjadi karena dia menggunakan lebih dari separuh nyawanya sebagai harga untuk menghidupkan kembali Signaltin. Saat dia membuka segelnya, semakin banyak nyawa yang dibayarkan, semakin banyak juga kekuatan yang akan disimpan oleh pedang itu. Karena itulah Alaia memberikan sebanyak mungkin nyawa yang bisa diberikannya pada pedang itu. Lambang di dahinya pun menjadi bukti atas hal itu, yang mana hingga saat ini, separuh jiwanya berada didalam Signaltin.

"Lebih baik begini."

Kesehatan Alaia pun menurun sebagai hasil dari nyawa yang telah diserahkannya, namun raut wajahnya tidak menggambarkan penyesalan sama sekali, justru sebaliknya. Alaia merasa begitu puas karena sudah melakukan sesuatu yang begitu berharga.

"Dengan melakukan ini, saya bisa terus berada di sisi Koutarou-sama."

Alaia sudah ditakdirkan untuk tidak akan pernah berhubungan dengan Koutarou. Namun, dengan adanya Signaltin di sisi Koutarou, jiwa Alaia akan berada di dekat Koutarou untuk selamanya. Karena posisinya saat ini membuatnya tidak bisa mengatakannya secara lantang, hal inilah yang bisa dilakukan Alaia untuk menunjukkan cintanya.

"Puteri Alaia..."

Fauna tidak bisa berkata apa-apa saat menghadapi rasa cinta Alaia yang begitu tenang namun begitu kuat, hingga hanya nama Alaia saja yang bisa diucapkannya.

"Bahkan jika...jika dia kembali ke sisi lain dari waktu yang tak berujung dan jarak yang tak terhitung itu..."

Tidak peduli seberapa banyak waktu atau jarak memisahkan Alaia dari Koutarou, Alaia akan senantiasa berada di sisi Koutarou untuk selamanya.


Sepuas itulah perasaan Alaia saat ini.


Sang Puteri Perak dan Sang Ksatria Biru[edit]

Part 1[edit]

Semenjak Koutarou mendapat SIgnaltin, kemajuan pasukan Forthorthe baru menjadi tak terhentikan.

Rumor dimana Koutarou berhasil mengangkal serangan kaisar naga api, Alunaya, menyebar dengan cepat ke seluruh Forthorthe bagai api yang terus menyambar, membuat lebih banyak orang dan perbekalan berkumpul bagi mereka. Dengan keadaan seperti ini, pasukan Forthorthe baru akan tampil menjadi pemenangnya. Sebagai hasilnya, pasukan-pasukan ksatria yang tadinya ragu untuk bergabung dengan pasukan Forthorthe baru pun akhirnya bergabung satu demi satu, dan membuat kekuatan pasukan kudeta menurun drastis. Kekuatan pasukan Forthorthe baru sekarang sudah lebih dari cukup untuk bisa menandingi pasukan kudeta.

Sementara itu, kekuatan pasukan kudeta terus menurun dengan stabil. Kekhawatiran bahwa mereka akan kalah melawan musuh yang bisa melawan naga dan masih bertahan hidup menyebar luas ke seluruh pasukan kudeta. Sebagai hasilnya, semangat mereka pun menurun dan banyak di antara mereka yang berpindah sisi. Kalau Alunaya, yang telah menghilang, kembali muncul, mereka mungkin bisa membalikkan keadaan ini, namun tidak ada tanda-tanda bahwa hal itu akan terjadi. Karena itulah, situasi pasukan kudeta semakin memburuk.

Meskipun hampir tidak ada perbedaan yang tampak dari antara kedua pasukan itu, pasukan dengan semangat yang lemah tetap akan kalah dalam pertempuran yang sebetulnya bisa dimenangkan oleh pasukan itu. Sementara kekuatan pasukan Forthorthe baru terus meningkat, pasukan kudeta tidak bisa mempersiapkan diri mereka dengan baik dan menghadapi kekalahan demi kekalahan dari seluruh penjuru negeri. Hal itu membuat situasi yang dihadapi pasukan kudeta menjadi semakin buruk.

Sebagai hasilnya, pasukan Forthorthe baru bisa melangkah maju dengan mulus tanpa harus menggunakan Signaltin yang sudah berada di tangan Koutarou. Karena itulah, bertepatan dengan mulai turunnya salju, pasukan Forthorthe baru sudah berada dekat dengan ibukota negeri itu, Fornorn.

Koutarou dan Clan sedang melihat proyeksi 3D yang dibuat oleh gelang Clan, yang menampilkan tampilan kota yang dibangun dari batu-batu bata. Pada masa modern seperti sekarang ini, kota seperti itu akan dianggap sebagai kota yang kuno, tapi pada masanya, kota itu disebut sebagai kota yang indah yang tiada tandingnya. Sebagaimana mestinya sebuah ibukota dari sebuah kekaisaran, desa-desa dan kota-kota lain yang sudah mereka berdua lihat tidak ada bandingannya dengan ibukota itu.

"Jadi, ini ibukotanya, Fornorn ya....besar juga."

"Inilah kota terbesar di benua ini, yang dilengkapi dengan saluran air dan pembuangan, dan bahkan lampu-lampu jalan, dari yang aku dengar."

Populasi kota Fornorn sendiri mencapai lebih dari 100,000 orang. Jika dibandingkan dengan kota-kota bersejarah lainnya di Bumi, Fornorn bisa dikatakan sebagai kota yang besar. Sebelum ditemukannya mesin uap, ada batasan seberapa besar sebuah kota bisa dibandingkan dengan kota pada zaman modern. Karena itulah, jumlah penduduk sebesar 100,000 orang sudah lebih dari cukup untuk membuat Fornorn disebut sebagai kota metropolitan.

Karena kotanya sendiri juga merupakan ibukota begitu besar, pasukan yang disiagakan disana pun tidak kalah banyaknya, yakni sekitar 10,000 orang prajurit yang sudah menanti mereka disana. Kalau pasukan kudeta menggerakkan seluruh kekuatan tempur mereka, jumlah itu bisa berubah menjadi beberapa kali lebih besar. Namun, karena pasukan mereka sedang kewalahan meredam keributan dan menjaga perbatasan, jumlah kekuatan mereka tidak akan melebihi angka 10,000. Tapi tetap saja, jumlah prajurit itu sudah begitu banyak.

"Tapi...aneh juga."

"Bener juga. Kenapa mereka ngga nerjunin prajurit mereka?"

"Siapa yang tahu...tapi akan merepotkan kalau mereka sampai pakai metode bumi hangus..."

Pasukan Forthorthe baru sudah menyiagakan pasukan mereka untuk mengepung bagian kota dari Fornorn, dengan jumlah 8,000 orang, yang nantinya akan mendapat bantuan dan akan naik menjadi hampir 10,000 orang.

Meski begitu, pasukan kudeta tidak terlihat akan mencegah mereka. Meskipun mereka memiliki 10,000 orang prajurit, tidak ada tanda-tanda bahwa para prajurit itu akan diterjunkan, bahkan membentuk posisi berlindung saja pun tidak mereka lakukan.

"Puteri Alaia nggak suka pertempuran kayak gitu."

"Jahatnya, aku juga tidak ingin bertempur seperti itu."

"Maaf, Clan."

"Butuh berapa lama bagimu, untuk mengakui bahwa aku ini adalah seorang tuan puteri?"

"Udah aku bilang, maaf."

Yang dikhawatirkan oleh Koutarou dan Clan adalah apakah pasukan kudeta sudah menyiagakan prajurit mereka di dalam kota. Kalau memang itu yang terjadi, akan ada banyak kerusakan yang terjadi kalau pertempuran sampai terjadi, membuat serangan mereka terhadap Fornorn menjadi sia-sia. Kalau sampai ibukota mereka hancur menjadi abu hanya agar para dalang dibalik kudeta bisa ditangkap, kerusakan yang timbul akan jauh lebih parah dibandingkan dengan saat kudeta terjadi.

"Yang lebih penting lagi, kalau itu tujuan mereka, kita harus nyari cara biar bisa nyerang istana."

"...Yang lebih penting lagi, ya? Hhh...perbaikan Cradle sudah mau selesai. Kalau kita pakai itu, kita bisa menyerang istana dengan memakai Cradle."

"Oke...kumpulin info lebih banyak lagi, Clan. Tolong fokus ke baraknya."

"Aku mengerti. Aku akan kumpulkan informasi lebih dalam sebelum tim pengintaian kembali."

Karena permasalahan itulah Koutarou dan yang lainnya berhati-hati dalam menyerang Fornorn. Mereka harus mempertimbangkan apa yang terjadi setelah perang usai, karena semuanya belum berakhir hanya dengan menekan pasukan kudeta. Itulah hal yang rumit dalam perang saudara: kalau mereka sampai bertempur dengan suatu cara yang bisa membuat kerusuhan lebih besar lagi, perang itu tidak akan pernah berakhir. Baik sejarah Forthorthe maupun Bumi sudah membuktikan hal itu.

"Yang Mulia!!"

Tepat pada saat itu, pemuda yang menjadi ajudan Koutarou melesat masuk ke dalam tenda Koutarou dan Clan. Biasanya, dia tidak akan melakukan hal semacam itu, karena dia akan selalu berhenti di pintu masuk tenda itu. Jadi, kenyataan bahwa dia langsung melesat masuk ke dalam tenda seperti itu menandakan bahwa ada sesuatu yang betul-betul serius yang sudah terjadi.

"Tenanglah dulu, ada apa?" tanya Koutarou pada ajudannya. Koutarou tahu kalau apa yang akan dikatakan si ajudan adalah sesuatu yang penting, tapi dia tidak bisa mengerti mengapa ajudannya panik seperti itu. Agar bisa menenangkannya, Koutarou bertanya dengan nada yang kalem.

"S-sebenarnya, pasukan kudeta telah menyerah!!"

"Apa!?"

"A-Apa!?"

Namun, setelah mendengar laporan itu, baik Koutarou maupun Clan tidak bisa tinggal diam.

Alasan mengapa pasukan kudeta telah menyerah adalah karena para dalang dibalik pasukan itu, Maxfern dan Grevanas, telah menghilang.

Maxfern dan Grevanas telah menghilang sejak beberapa hari yang lalu dan tidak pernah terlihat lagi. Di saat yang bersamaan, para alkemis dan dewan penyihir pun turut menghilang sambil membawa para murid mereka. Mereka semua menghilang meninggalkan pasukan kudeta tanpa meninggalkan perintah apapun. Seperti halnya anak kecil yang sudah bosan dengan mainannya, mereka terlihat sudah tidak peduli lagi.

"...Dan karena kami juga tidak mau bertempur, kami menyerah."

"Meskipun kalian berkata seperti itu, itu semua sulit dipercaya..."

Meskipun pembawa pesan dari pasukan kudeta sudah menjelaskan keadaan mereka, Koutarou tetap keheranan dengan situasi itu. Dia mengerti apa yang dikatakan oleh si pembawa pesan itu, tapi sulit baginya untuk mencerna itu sebagai hal yang sebenarnya.

"Saya bisa mengerti bahwa anda merasa seperti itu, tapi memang itu yang sebenarnya."

Pembawa pesan itu pun juga sama-sama keheranan dengan situasinya saat itu, dan dengan susah payah mencoba membuat Koutarou mengerti akan situasi itu.

"Yang Mulia, saya sudah mengirim pasukan untuk memastikan hal itu, dan semua yang dikatakannya adalah benar. Maxfern dan kelompoknya tidak bisa ditemukan di dalam istana, ditambah fasilitas penelitian alkemis dan menara penyihir juga sudah dikosongkan", kata si ajudan yang mengkonfirmasi bahwa si pembawa pesan memang mengatakan yang sebenarnya.

"Hmmm...saya mengerti. Kelihatannya ini memang situasi yang rumit bagi kedua belah pihak."

"Saya senang anda bisa mengerti."

Meskipun situasinya masih tidak bisa dimengerti, memang itulah situasi yang sedang terjadi: Maxfern dan Grevanas sudah mengabaikan pasukan kudeta dan menghilang begitu saja.

"Clan."

Setelah mengerti situasi yang ada, Koutarou memanggil Clan. Setelah dia mendekat, Koutarou berbisik kepadanya.

"...Ini kenapa sih? Jadinya beda banget sama yang di naskah."

"...Aku sendiri juga tidak tahu. Menurut sejarah, Ksatria Biru bertarung melawan Maxfern dan Grevanas."

Baik dalam naskah Theia maupun sejarah Forthorthe, sang Ksatria Biru bertarung melawan Maxfern dan Grevanas. Meskipun ada berbagai perbedaan tentang bagaimana pertarungan itu terjadi di dalam buku-buku sejarah, kenyataannya mereka pasti akan bertarung.

Walau begitu, meskipun pasukan Forthorthe baru sudah mencapai ibukota, Maxfern dan Grevanas justru tidak bisa ditemukan. Naskah Theia sendiri dibuat berdasarkan buku sejarah yang menyampaikan bahwa pertempuran terakhir terjadi di Fornorn. Ditambah, berdasarkan bagaimana sejarah telah berjalan, tentu saja hal itulah yang seharusnya sekarang terjadi. Karena itulah, akhir seperti yang ada di naskah sudah diharapkan oleh Koutarou.

"...Kalau sejarahnya ternyata beda sama yang di naskah, selanjutnya gimana?"

"...Rasanya aneh, tapi Alaia harus dinobatkan menjadi kaisar, jadi mari kita jalankan itu dahulu."

"...Oke, kita jalanin itu dulu."

Setelah pembicaraan pribadinya dengan Clan, Koutarou kembali berbicara dengan si pembawa pesan.

"Kami akan menerima penyerahan diri pasukan kudeta. Segeralah bersiap untuk membiarkan kami masuk."

"T-terima kasih banyak, Yang Mulia!!" jawab si pembawa pesan dengan cerianya setelah mendengar jawaban Koutarou, karena dia sendiri juga masih bingung dengan situasi saat itu. Ada kemungkinan bahwa Koutarou tidak akan percaya padanya dan curiga bahwa itu adalah jebakan, jadi dia datang ke tempat itu dengan kesadaran bahwa dia akan dibunuh. Itulah sebabnya, saat dia mendengar jawaban Koutarou, dia menjadi begitu lega. Dengan begini, perang pun usai dan dia bisa kembali pulang ke keluarganya. Perasaannya pun berubah menjadi air mata yang mengalir membasahi pipinya.

"Hhh...."

Koutarou pun menghela nafas lega sambil melemaskan pundaknya, membuat Clan yang melihatnya langsung mengernyitkan alisnya.

"Masih terlalu cepat untuk merasa santai, Veltlion."

"Yah, aku tahu, tapi...udah bagus kalau perangnya udah selesai."

"Benar juga. Bukannya aku tidak mengerti apa yang kamu rasakan."

Tidak peduli seberapa banyak dia sudah mengalaminya, Koutarou tidak pernah menjadi terbiasa dengan peperangan. Dia merasa bahwa yang terbaik baginya adalah untuk terus melangkah tanpa harus bertarung lagi. Meskipun perubahan yang akan terjadi pada sejarah masih mengganggunya, Koutarou hanya bisa merasa lega. Hal yang sama juga dirasakan oleh Clan. Meskipun dia sendiri sudah berkata untuk jangan bersantai, dia sendiri juga sebetulnya merasa lega.

Namun, pertempuran belum betul-betul berakhir.

"Veltlion, ini gawat!!"

Suasana di dalam tenda menjadi lebih tenang saat mereka bisa melihat akhir dari perang. Tepat pada saat itulah, Flair melesat masuk dengan wajah yang terlihat pucat pasi.

"Puteri Alaia dan Puteri Charl sudah diculik oleh Maxfern!"

Dengan pesan yang disampaikan oleh Flair, babak pertarungan akhir pun telah dimulai.


Part 2[edit]

Sementara Koutarou dan yang lainnya disibukkan dengan penyerangan ibukota, Maxfern menyerang pasukan Alaia yang terletak di bagian belakang pasukan penyerang dengan diam-diam. Karena keseluruhan pasukan kudeta ditinggalkan di Fornorn, tidak ada seorang pun yang menyangka akan adanya serangan mendadak pada saat seperti ini.

Maxfern menggunakan gerombolan monster aneh bersayap, yang dipanggil oleh Grevanas dan dewan penyihirnya, untuk melakukan serangan itu pada Alaia. Dengan adanya serangan dari langit oleh pasukan yang seharusnya tidak pernah ada, pasukan Forthorthe baru pun menjadi hancur dan baik Alaia maupun Charl diculik.

Mary dan Fauna, yang ada bersama Alaia dan Charl, turut dibawa serta karena mereka berada di dalam tenda yang sama.

Setelahnya, Maxfern meninggalkan pesan yang aneh untuk pasukan Forthorthe baru, yang berisi bahwa Koutarou harus datang ke kastil yang berada di Sariachal tanpa membawa pasukannya.

"Oh ya, tempat seperti apa, kastil yang berada di Sariachal itu?"

Sambil menunggangi kuda, Koutarou bertanya pada Lidith yang berada di dekatnya. Karena nama Sariachal tidak ada di dalam naskah Theia, Koutarou tidak tahu-menahu apapun mengenai tempat itu.

"Sariachal berada di sisi barat laut Fornorn. Itu adalah nama kastil tua yang dulunya adalah milik keluarga Maxfern. Kastil itu menjadi terbengkalai saat Fornorn dibangun, dan sekarang seharusnya kastil itu sudah kosong", jawab Lidith sambil menunggangi kudanya dengan lihai. Karena dia lebih mampu menunggangi kuda daripada Koutarou, dia bisa mengimbangi kecepatan Koutarou sambil terus menjelaskan.

"Tidak diragukan lagi, ini adalah jebakan, Veltlion."

Clan menunggangi kuda bersama Flair di kuda yang lain, dengan Flair yang mengendalikan kuda karena dirinya hanya bisa membuat kuda yang ditungganginya berjalan, betul-betul menunjukkan bahwa Clan sama sekali tidak bisa melakukan kegiatan yang membutuhkan banyak gerak dengan baik. Dia hanya bisa berusaha keras berpegangan pada Clair agar tidak jatuh, dan sambil melakukan itu, dia tetap merasa khawatir pada Koutarou.

"Mereka akan tetap membunuh Alaia-san dan yang lainnya mau bagaimanapun keadaannya nanti. Mereka kemungkinan hanya ingin menyingkirkan diri anda lebih dulu sebelum melakukan itu."

Bagi Maxfern dan Grevanas yang sudah memulai kudeta itu, Alaia dan Charl adalah pengganggu bagi mereka berdua. Membunuh kedua puteri itu akan menjadi jalan yang paling praktis agar kudeta mereka berhasil, jadi Alaia dan Charl pasti akan dibunuh pada akhirnya nanti, tidak peduli apakah Koutarou datang atau tidak.

Saat ini, Koutaroulah yang lebih berada dalam bahaya dibandingkan Alaia dan Charl. Kalau Alaia dan Charl sampai mati, Koutarou sebagai pemimpin pasukan bisa menyerukan serangan balasan yang akan membuat repot para dalang kudeta. Kemungkinan besar pasukan Forthorthe baru justru akan mendapat dukungan yang besar daripada kehilangan dukungan. Untuk bisa menghindari hal itu, akan lebih baik jika kondisi Koutarou, Alaia maupun Charl menjadi tidak pasti antara hidup atau mati. Meskipun mereka betul-betul mati, Maxfern dan Grevanas masih bisa menghindari dukungan para penduduk yang masih berpihak pada Alaia dengan membuat penduduk percaya bahwa sebenarnya orang-orang itu masih hidup.

"Tapi, saya tidak akan membiarkan mereka melakukan itu! Tidak peduli apapun yang terhadi, saya akan menyelamatkan para puteri! Bahkan jika saya harus mati sekalipun!"

Flair terlihat begitu geram saat berkata demikian sambil mencambuk kudanya. Karena dia mempunyai sifat yang selalu serius, kemarahan dan kebenciannya terhadap Maxfern yang telah menyandera tuannya yang begitu terhormat menjadi sangat hebat.

"Tolong tenang, Nona Pardomshiha. Kalau saya sampai membiarkan anda mati, puteri Alaia pasi akan memarahi saya."

"Tapi, Veltlion, tidak ada artinya kita berhati-hati kalau sampai puteri Alaia dan puteri Charl mati!"

Flair pun mempercepat laju kudanya. Baginya, sesuatu yang seharusnya tidak terjadi justru telah terjadi. Sudah tidak ada lagi ketenangan yang bisa terlihat pada gadis yang biasanya terlihat kalem itu.

"Tolong pelankan kuda anda sedikit, Nona Pardomshiha. Kalau terus begini, kuda anda akan kelelahan sebelum kita sampai disana."

"...Ugh, m-maaf..."

Flair pun tersipu malu begitu mendengar saran dari Koutarou, dan lalu memperlambat laju kudanya. Kalau dia memaksakan kudanya berlari terus-menerus, dia tidak akan sampai ke tempat tujuannya, dan kalau Flair sendiri berusaha terlalu keras, dia sendiri juga tidak akan mencapai tujuannya. Karena dia sudah sadar kalau dirinya menjadi panik dengan situasi itu, Flair akhirnya menegur dirinya sendiri dalam benaknya.

"Jadi, apa yang akan kita lakukan, Ksatria Biru?" tanya Caris yang duduk di tongkat sihir terbang yang berada di sebelah Koutarou. Untuk Caris, dia lebih baik terbang dengan tongkatnya daripada menunggangi kuda, dan saat itu dia sedang terbang mundur sambil berhadapan dengan Koutarou.

"Kalau kita terus bergerak seperti ini, kita akan masuk ke dalam jebakan mereka. Ditambah, kita hanya berlima. Ada batasan seberapa jauh kita bisa bertindak."

Ada lima orang yang saat itu sedang berpacu menuju Sariachal: Koutarou, Lidith, Flair, Clan dan Caris. Jumlah orang sebanyak itu tidak akan cukup untuk menyelamatkan bahkan seorang tuan puteri. Karena mereka semua tahu kalau mereka akan melangkah masuk ke dalam jebakan, mereka semua tentunya merasa khawatir, termasuk Caris.

"Yah, saya rasa kita tidak bisa terlalu memikirkan masalah detailnya...Clan."

"Kenapa wajahmu seperti itu?"

Clan langsung merasa kuatir begitu melihat wajah Koutarou yang menjadi serius. Pada saat-saat seperti ini, Koutarou akan selalu mengatakan sesuatu yang nekat.

"Anda tidak mendapat ide yang aneh lagi, benar?"

"Bisa jadi. Clan, kita tidak bisa pilih-pilih dalam situasi seperti ini. Kita harus menggunakan segala macam cara yang ada untuk bisa menyelamatkan puteri Alaia dan yang lainnya."

"...Apa anda yakin?" tanya Clan sambil menunjuk ke arah para gadis yang lain dengan matanya. "Cara apapun" berarti menggunakan semua perlengkapan yang ada di dalam Cradle, yang berarti sama saja dengan mengatakan pada Flair dan yang lainnya siapa mereka berdua sebenarnya. Tingkatan situasi itu berada pada tingkatan yang jauh berbeda dari terlihat saat terbang dan menggunakan senjata yang canggih. Dengan melakukan itu, kemungkinan mereka berdua untuk tidak bisa kembali ke dunia asal mereka menjadi sangat tinggi.

"Ya. Akhir semua ini sudah dekat, dan seperti yang Caris katakan, ada batasan seberapa jauh kita bisa bertindak."

"...Aku mengerti", balas Clan dengan menganggukkan kepalanya. Meskipun ada resiko dibalik keputusan itu, Clan percaya bahwa keputusan Koutarou sudah tepat. Mereka bisa percaya pada Flair dan yang lainnya, dan mereka memang hanya membawa sedikit orang. Mereka berdua lebih memilih resiko identitas mereka terbongkar daripada kehilangan Alaia dan Charl.

"Dan tolong siapkan itu juga, mungkin kita akan memerlukannya."

"I-Itu juga!? Aku masih mengaturnya, dan--"

"Sudah saya bilang, kita tidak bisa begitu mempermasalahkan detilnya" balas Koutarou sambil mengeluarkan senyuman sinis, yang hanya ditunjukkannya pada Clan saat dia mengatakan lelucon yang kasar. Namun, kali ini senyuman itu nampak berbeda, dan Clan pun sadar saat melihat senyuman itu.

"...Veltlion, apa sebenarnya anda betul-betul sangat marah?"

Bagi Clan, Koutarou terlihat seperti bersikap dengan tenang, namun Clan bisa merasakan murka yang begitu besar yang berada dibalik senyuman itu. Maxfern dan Grevanas sudah mengusik sesuatu yang tidak seharusnya.

"Tidak, saya tenang", jawab Koutarou sambil memegang lencana gelar di dadanya.

"...Tenang ya....Hhh, kelihatannya ini tidak akan berakhir dengan baik..."

Sekarang, Clan menjadi yakin kalau Koutarou sedang marah. Dia bertingkah dengan tenang agar orang-orang disekitarnya tidak khawatir padanya.

Begitu rupanya, memang tidak mungkin aku bisa menang melawan orang yang tidak masuk akal seperti dia...

Koutarou pasti merasakan hal yang sama saat Clan bertarung melawannya. Setelah menyadari alasan dibalik kekalahannya, Clan bisa merasakan kalau pertarungan yang sudah menanti mereka akan begitu sengit.


Part 3[edit]

Setelah dibawa ke kastil tua Sariachal, Alaia dan yang lainnya dikurung di dalam penjara bawah tanah. Namun, setelah menghabiskan beberapa jam di dalam penjara, mereka dibawa ke taman kastil itu.

Taman kemana mereka dibawa terlihat begitu tandus. Karena letaknya yang berada diantara gerbang masuk dengan kastil, taman itu dulunya memiliki banyak sekali tanaman dan patung-patung yang berwarna, yang menyambut setiap mereka yang bertamu ke kastil itu. Namun, karena kastil itu sudah lama tidak digunakan, tidak ada orang yang mengurus taman itu dan taman itu pun menjadi hancur. Semua tanamannya sudah mengering, patung-patung yang ada sudah retak di sana-sini, dan air mancur yang ada sudah terisi oleh pasir. Itulah keadaan taman sepanjang 100 meter yang sudah menjadi hancur dan tandus itu.

Alaia dan yang lainnya dibawa ke dalam taman itu dan diikat ke tiang-tiang kayu yang ditancapkan ke tanah. Tali yang mengikat mereka begitu kuat, membuat Alaia dan yang lainnya tidak bisa melepaskan ikatan mereka untuk bisa kabur. Dalam situasi seperti itu, sulit untuk bisa tetap tenang, terlebih lagi bagi Charl yang masih kecil.

"...Apa yang akan terjadi pada kita selanjutnya?" tanya Charl dengan gugupnya. Fauna dan Mary yang melihat hal itu pun berusaha menyemangati Charl.

"Kita akan baik-baik saja! Tidak mungkin para penjahat itu bisa melakukan apapun!"

"Betul sekali, Layous-sama pasti akan menyelamatkan kita!"

Hanya itulah yang bisa dilakukan oleh mereka yang sudah tidak bisa bergerak lagi.

"Aku tahu! Aku tahu itu! Tapi..."

"Charl...kau takut karena Layous-sama pasti akan datang, benar?"

Alaia sendiri tahu betul seberapa sedihnya Charl saat itu, karena mereka berdua tahu betul bahwa Koutarou pasti akan datang menyelamatkan mereka berdua, dan itulah yang membuat mereka takut.

"Kakak! Ksatria Biru itu idiot, jadi dia pasti akan datang! Dan dia pasti akan terbunuh saat mencoba menyelamatkan kita!"

"Charl..."

Koutarou tidak akan bisa melakukan apapun jika Alaia dan yang lainnya disandera, karena Koutarou pasti akan menghadapi bahaya apapun demi mereka, dan kemungkinan besar akan mati karenanya. Itu adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari, dan kenyataan itulah yang membuat mereka takut.

"Tidak apa-apa, Charl. Layous-sama pasti akan menang. Ksatria Biru kita tidak akan mati dengan mudahnya", kata Alaia yang melanjutkan bicaranya pada Charl, seakan meyakinkan dirinya sendiri.

Namun, kenyataannya Alaia justru mempercayai hal yang sebaliknya. Koutarou pasti akan datang, dan akan merelakan dirinya sendiri terbunuh tanpa bertarung sedikitpun. Alaia tahu betul orang seperti apa Koutarou itu, dan karena itulah Alaia mencintainya. Namun, dia tidak bisa mengatakan hal itu pada adiknya, yang gemetar ketakutan, bahwa Koutarou akan dibunuh.

Rokujouma V8.5 183.jpg

Tolong, jangan datang, Koutarou-sama...saya rela, apapun alasannya...

Alaia hanya bisa berdoa, menahan keinginannya untuk menangis dan berusaha untuk terus tersenyum di hadapan Charl.

"Tidak perlu khawatir, puteri Alaia, puteri Charl. Selama Ksatria Biru mematuhi kami, kami tidak perlu membunuhnya."

"Maxfern!"

Sebelum mereka sadar, Maxfern sudah muncul di dekat Alaia dan yang lainnya. Biorbaram Maxfern, perdana menteri Forthorthe selama beberapa periode. Namun, dia jugalah yang sudah membunuh orang tua Alaia dan memicu perang di negeri itu. Di hadapan orang seperti itu, Alaia sekalipun tidak bisa menyembunyikan amarahnya. Senyuman Alaia pun seketika menghilang dan dia melotot ke arah Maxfern dengan kegeraman yang amat sangat.

"Kau penuh dengan kebohongan..."

"Itu tidak benar", balas Maxfern menepis tatapan tajam Alaia dengan menunjukkan apa yang bisa dianggap sebagai senyuman tulus. Namun, sudah jelas kalau senyuman itu hanya sekedar tipuan.

"Selama Ksatria Biru menyetujui permintaan kami, tidak akan mungkin baginya untuk bisa melukai kami. Seekor singa tidak punya alasan untuk menghancurkan seekor semut."

Pada saat itu, Maxfern dipenuhi dengan rasa percaya diri yang begitu aneh. Dia merasa begitu yakin dengan kemenangannya, dan terlihat tidak tertarik dengan nyawa Koutarou. Nada bicara dan perliakunya menunjukkan betapa besarnya rasa percaya dirinya.

Kenapa dia bisa begitu percaya diri...?

Alaia merasakan ada sesuatu yang mengerikan mengenai hal itu dan tidak bisa berkata apa-apa tentang keresahan itu.

"Maxfern-sama, kelihatannya ksatria yang anda maksudkan sudah tiba."

Di dekat Maxfern, mantan kepala dewan penyihir, Grevana, menunjuk ke arah gerbang yang berada di sisi lain taman.

"Jadi kau datang, Ksatria Biru...fufufu, dia memang ksatria yang patut dicontoh. Betul-betul hebat...", tawa Maxfern sambil melihat ke arah yang ditunjuk oleh Grevanas. Saat yang telah dinantikannya akhirnya telah tiba.

"Ksatria Biru!"

"...Ah...Koutarou-sama...mengapa..."

Di hadapan pintu gerbang yang sudah terbuka itu, berdiri seorang ksatria berzirah biru. Alaia tahu bahwa ksatria itu adalah Koutarou, bahkan dari jauh sekalipun.

Koutarou datang ke tempat itu sendirian. Setelah turun dari kudanya, Koutarou melihat ke sekeliling taman itu. Pada saat itu, pandangan Koutarou dan Alaia bertemu sesaat, dan Koutarou menunjukkan senyum tenangnya sekilas sebelum kembali serius. Koutarou tahu bahwa saat itu bukanlah saat baginya untuk bahagia.

"Jangan, Layous-sama!! Ini jebakan!!"

Koutarou melangkah dengan pelan tapi pasti, lurus ke pusat taman itu. Melihat Koutarou seperti itu, Alaia bisa mengerti tekad seperti apa yang dipegang Koutarou saat dia datang ke tempat ini.

"Jangan pedulikan kami!! Maxfern akan tetap membunuh kami!!"

Meski dia mengetahui hal itu, Alaia tetap berteriak, berusaha sebisanya untuk menghentikan Koutarou.

"Jangan khawatir, saya akan segera menyelamatkan kalian semua."

Namun, Koutarou tidak berhenti juga. Dia terus melangkah tanpa kehilangan iramanya dan sekarang sudah sampai ke tengah taman itu.

"...Saya lihat kalau dia sudah membawa itu."

Setelah Koutarou berada cukup dekat, Maxfern memandanginya sejenak sebelum mengeluarkan senyuman sambil mengelus jenggotnya.

"Kelihatannya seperti itu. Saya bisa merasakan kekuatan sihirnya."

Grevanas si penyihir juga melihat Koutarou tidak hanya dengan matanya saja, tapi juga dengan sihirnya. Dia bisa merasakan kekuatan sihir yang begitu besar yang memenuhi badan Koutarou. Semua itu rupanya berjalan sesuai apa yang direncanakan oleh Maxfern dan Grevanas.

"Tolong pastikan kalau itu memang yang sebenarnya atau tidak dengan segera."

"Baiklah, tuanku."

Grevanas lalu mengangkat tangannya, dan sebagai gantinya, sebuah makhluk yang aneh pun muncul. Makhluk itu mempunyai badan layaknya binatang buas yang berdiri tegak, dengan kepala yang mirip dengan reptil dan sayap pada punggungnya. Penampilannya yang aneh seakan menandakan bahwa makhluk itu terdiri dari beberapa makhluk yang dicampur menjadi satu. Rupanya, makhluk itu adalah makhluk yang dipanggil oleh Grevanas dan dewan penyihirnya dari dunia yang berbeda yang disebut sebagai Hell.

"Serang dia!" seru Grevanas sambil mengayunkan tangannya ke arah Koutarou. Monstre itu pun mulai mengepakkan sayapnya dan lalu terbang. Rupanya sayapnya bukan hanya sekedar hiasan.

"A-apa itu!?"

Koutarou baru menyadari keberadaan monster itu saat monster itu terbang. Bahkan Koutarou sekalipun bisa kehilangan kata-kata karena kaget dengan wujud makhluk itu. Namun, Koutarou sudah melihat berbagai macam makhluk aneh lainnya semenjak dia tiba di Forthorthe: kuda yang bertanduk, kadal yang mempunyai sayap, bahkan seekor naga pun baru saja dilihatnya. Sebagai hasilnya, dia sudah menjadi tidak begitu kaget dengan adanya makhluk-makhluk aneh.

"Begitu rupanya, itu makhluk yang menculik Yang Mulia dan yang lainnya!"

Koutarou sudah mendengar tentang monster aneh itu, yakni si setan, dari prajurit yang bertugas mengawal Alaia. Gerombolan makhluk yang berjalan tegak dan terbang melintasi langit yang menculik Alaia dan yang lainnya. Deskripsi dari para prajurit itu cocok dengan makhluk ini.

"Tapi, dia bukan sesuatu yang tidak bisa kukalahkan!"

Karena berbagai situasi itulah, Koutarou bisa menghunus pedangnya tanpa terperanjat sedikitpun.

Dibandingkan sama naga itu, setan ini bukan apa-apa! Lagian, aku punya pedang ini!

Pedang yang dihunusnya adalah Signaltin, kekuatan barunya yang telah diberikan kepadanya oleh Alaia.

"Hyaaaaaaah!!"

Setan itu pun menjerit dengan kerasnya, mengepakkan sayapnya lalu melesat menyerang Koutarou.

"Maju sini!!"

Koutarou pun membalas berteriak dan mengarahkan pedangnya pada setan itu. Pedang itu pun merasakan keinginan Koutarou untuk bertarung dan mulai menembakkan cahaya putih yang begitu murni.

Gelombang ini...gitu rupanya, ini dari puteri Alaia...

Koutarou bisa merasakan kehangatan dari cahaya itu, yang rupanya sudah pernah dirasakannya. Kehangatan itu pernah dirasakannya saat mereka berdansa, dan saat mereka berpegangan tangan disaat dirinya terluka.

"Kau sangat tidak beruntung--"

Koutarou begitu yakin bahwa saat cahaya itu masih ada, dia tidak akan kalah, karena tidak mungkin baginya untuk kalah sementara Alaia berada disisinya untuk melindunginya.

"---aku sedang sangat marah hari ini!!"

Koutarou mengayunkan pedangnya dengan seluruh kekuatannya ke arah wajah si setan. Dia mengincar serangan balasan sementara si setan melesat menyerang ke arahnya dengan mulutnya yang terbuka lebar.

"Hyaaaaaaaah!! Gugegegegege!!"

Namun, gerakan si setan begitu gesit. Dia dengan tangkas mengayunkan sayap dan ekornya dan menghindar dari seranga Koutarou. Sebagai hasilnya, serangan Koutarou hanya mengenai sedikit ekor si setan.

"Meleset!?"

"Gegege, gegege."

Si setan yang dengan cepat kabur ke langit meremehkan Koutarou dan mengejeknya, seakan mengatakan bahwa serangan Koutarou tidak akan pernah mengenainya.

"...Hebat juga."

Koutarou melihat ke arah si setan sambil merasa kagum. Namun, kekagumannya bukan tertuju pada kegesitan si setan, melainkan pada sesuatu yang lain.

"Huhyah!? Gyaooo!?"

Tepat pada saat itulah si setan sadar ke arah mana Koutarou sedang melihat, yakni ekornya sendiri. Anehnya, sebagian ekornya sudah menghilang.

"Gugaaaaaa, hyaaaaaaaaaah!!"

Ditambah, bagian yang menghilang semakin bertambah. Sebagian ekor itu berpendar putih, dan kemilaunya membuat ekor itu menghilang. Kemilau putih itu pun akhirnya mulai merambat ke badan si setan dan menyebar ke seluruh tubuhnya.

"Guga, Aaaaaaa, Gugyaaaaaa!! Ga--"

Jeritan si setan tiba-tiba berhenti. Dia tidak bisa menjerit meskipun dia ingin. Kemilau itu sudah mneyelimuti seluruh tubuhnya, menyisakan kepalanya saja. Setan itu pun berusaha untuk menjerit ketakutan, tapi tanpa tenggorokannya, tentu saja dia tidak bisa melakukannya. Pada akhirnya, kepalanya pun menghilang, menyisakan onggokan abu. Saat onggokan abu itu mulai jatuh ke tanah, onggokan itu pun lenyap ditiup oleh angin.

Maxfern, yang menyaksikan semua itu, dengan girangnya berbalik ke arah Grevanas.

"Grevanas, apa setan itu mati?"

"Tidak."

Berlawanan dengan Maxfern, Grevanas terlihat tenang dan mulai menjelaskan apa yang terjadi.

"Saat seekor setan dipanggil ke dunia ini, dia membuat sebuah badan dengan mengeraskan kekuatan sihir. Pedang itu menghapus kekuatan sihir itu dan mengirim paksa setan itu kembali ke Hell."

"Dengan paksa mengirimnya kembali ke Hell hanya dari sebuah goresan...menarik sekali."

"Tentu saja, dia bisa saja mati sebagai hasilnya..."

"Entah apa yang terjadi, kekuatan pedang itu begitu luar biasa! Betul-betul diluar perkiraan."

"Benar. Kelihatannya itu memang pedang yang asli."

Meskipun prajurit setan mereka dikalahkan, baik Maxfern maupun Grevanas tidak terlihat gentar sama sekali, justru terlihat gembira karenanya.

"Apa maksud kalian melakukan itu pada saya? Saya sudah datang tepat seperti yang kalian minta", seru Koutarou pada Maxfern. Karena dia tidak tahu apa yang diincar oleh Maxfern, Koutarou memutuskan untuk maju dengan hati-hati.

"Maaf tentang itu, Ksatria Biru. Saya tidak tahu apakah anda adalah si Ksatria Biru yang asli atau tidak. Maafkan saya mengenai sambutan yang tidak sopan itu."

"...Jadi, anda Maxfern?"

Koutarou tidak tahu seperti apa wajah dari Maxfern. Meskipun dia sudah diberitahu oleh Lidith bahwa Maxfern adalah seorang pria paruh baya dengan jenggot yang panjang, baru kali itulah Koutarou bertemu dengannya secara langsung.

"Benar sekali. Sayalah Biorbaram Maxfern, dia yang akan menjadi raja dunia ini", kata Maxfern yang memperkenalkan dirinya dengan gagahnya. Sikapnya yang gagah itu memang pantas untuk diberi gelar seorang kaisar, kalau bukan karena sifatnya yang serakah.

"Raja dunia ini....anda cukup berani juga. Apa anda pikir anda benar-benar bisa menjadi raja dunia ini?"

"Tentu saja. Itu sebabnya saya meminta anda untuk datang."

"Saya...?" tanya Koutarou dengan heran.

Apa dia pikir dia bisa jadi raja dunia hanya dengan membunuhku? Itu....

Maxfern sudah memanggil Koutarou untuk datang agar dia bisa membunuh Koutarou dengan menggunakan Alaia sebagai sandera - itulah yang dipikirkan oleh Koutarou. Tapi, kalau seseorang bisa menjadi raja hanya dengan membunuh seorang murid SMA, dunia ini akan menjadi sesak dengan banyaknya raja yang muncul - pemikirian itulah yang tidak bisa dimengerti oleh Koutarou.

"Tidak mungkin..."

Namun, tepat pada saat itulah raut wajah Alaia berubah. Koutarou masih belum mengerti apa yang diinginkan oleh Maxfern, tapi Alaia sudah mengerti.

"Maxfern, apa jangan-jangan semua yang kau lakukan ini hanya untuk itu!?"

"Oh, tentu saja! Seperti dari yang kuharapkan dari sang puteri perak, yang dikenal dengan kebijaksanaannya! Kelihatannya puteri Alaia sudah mengerti akan segala sesuatunya! Fuhahahahaha!!"

Alaia betul-betul terperanjat, sementara Maxfern tertawa dengan nyaringnya. Maxfern lalu mengangkat tangannya dan berusaha meraih ke arah Koutarou sambil berkata:

"Baiklah, Ksatria Biru, mari kita selesaikan urusan kita! Setelah urusan kita selesai, saya akan menyerahkan sang puteri kepada anda!"

Suaranya saat itu seperti mencemooh Koutarou dan Alaia.

"Sekarang, serahkan pedang itu!! Pedang suci itu akan membuat si empunya menjadi raja dari dunia!!"

Dan sikapnya saat itu tampak seperti berusaha menggenggam dunia di dalam tangan kanannya yang terjulur.


Part 4[edit]

Tujuan Maxfern sejak awal bukanlah untuk mengambil alih kekaisaran Forthorthe, melainkan Signaltin, atau lebih tepatnya, pedang suci yang mengandung kekuatan dewi fajar didalamnya yang dikatakan bisa membuat dia yang memilikinya menguasai takhta kekaisaran. Harta nasional keluarga kekaisaran, yakni pedang suci itu, dikatakan bisa menebas jalan menuju masa depan bagi yang memlikinya dan membawa sang pemilik untuk bisa duduk di atas takhta. Dengan mendapat pedang itu, Maxfern bisa menjadi raja atas dunia.

Namun, segel yang digunakan untuk mengurung pedang itu terlalu kuat, dan bahkan kekuatan gabungan dewan penyihir pun tidak bisa menghancurkan segel itu.

Jadi, pada awalnya Maxfern mengancam untuk membunuh Alaia dan Charl untuk membuat sang kaisar membuka segelnya. Namun, bahkan sang kaisar tidak mau melakukannya. Bahkan meskipun nyawa kedua anak perempuannya dalam bahaya, dia tidak mau membantu ambisi Maxfern untuk menggunakan pedang suci itu untuk menguasai dunia.

Dengan begitu, Maxfern mengubah rencananya. Segel pedang suci itu hanya bisa terbuka jika negeri itu berada dalam krisis yang betul-betul hebat. Itulah yang membuat Maxfern membunuh kaisar dan istrinya dan juga memulai kudeta untuk menciptakan krisis itu. Kudeta itu bukanlah tujuan akhirnya, melainkan caranya.

Selanjutnya, Maxfern membiarkan Alaia, yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, untuk melarikan diri. Alaia dan yang lainnya tidak pernah benar-benar bisa kabur dengan sendirinya, karena Maxfern sudah membuatkan jalan bagi mereka untuk kabur.

Jadi, saat keponakan Maxfern, Lidith, membiarkan Alaia kabur, Maxfern merasa ingin memeluk dan memuji keponakannya itu, karena tindakan Lidith adalah apa yang betul-betul diharapkannya.

Semenjak saat itu, Maxfern sudah mengawasi Alaia, dan disaat yang bersamaan, memastikan bahwa Alaia selalu merasa berada dalam bahaya. Maxfern akan mengirim orang-orang untuk mengejar Alaia, dan bahkan meracuni desa dimana Alaia sedang bersembunyi. Tujuannya melakukan itu adalah untuk membuat Alaia percaya bahwa krisis yang dihadapinya adalah krisis nasional yang sebenarnya.

Itulah mengapa misi yang didapat oleh Caris adalah hanya untuk mengawasi Alaia, dan juga sebab mengapa Dextro tidak diizinkan untuk membunuh Alaia secara langsung. Semua itu hanya untuk membuat Alaia percaya bahwa itu adalah krisis nasional agar Alaia membuka segel pedang suci itu.

Namun, Maxfern membuat satu kesalahan perhitungan, yakni munculnya Koutarou, sang Ksatria Biru.

Semenjak Koutarou muncul, rencana-rencana Maxfern selalu menjadi gagal. Para pengejar Alaia berhasil dikalahkan, racun yang disebar menjadi diobati, dan raksasa besi pun berhasil dikalahkannya. Serangan pasukan kudeta pada markas pasukan Forthorthe baru selalu berakhir dengan kegagalan, dan tidak mungkin bagi mereka untuk menghentikan kemajuan pasukan Forthorthe baru. Terlebih lagi, keberadaan Koutarou memberi Alaia harapan, dan Alaia menjadi percaya bahwa selama Koutarou ada, negeri itu bisa diselamatkan, meskipun Maxfern ingin agar Alaia percaya bahwa pedang suci itulah yang sebenarnya dibutuhkannya.

Dengan begitu, Maxfern mengubah rencananya sekali lagi. Dia memutuskan bahwa agar Alaia merasa berada betul-betul dalam bahaya adalah dengan mengancam nyawa Koutarou sendiri.

Maxfern menerima laporan dari mata-mata yang disusupkannya ke dalam pasukan Forthorthe baru bahwa Koutarou dan Alaia adalah pasangan kekasih, atau sesuatu yang dekat dengan itu. Kalau nyawa Koutarou berada dalam bahaya, Maxfern menduga bahwa Alaia akan membuka segel pedang suci itu baik demi negeri itu dan juga demi Koutarou. Mengirim Alunaya dan para pembunuh yang mengincar Koutarou adalah demi tujuan itu juga.

Sebagai hasilnya, segel pedang suci itu pun terbuka, dan sekarang pedang itu sudah ada di dalam jangkauan tangannya. Meskipun pada awalnya dia membenci Koutarou, sekarang Maxfern merasa begitu berterimakasih padanya.


Part 5[edit]

Tepat pada saat Maxfern menuntut Signaltin dari Koutarou, Alaia berseru dengan sedihnya, nyaris seperti berteriak.

"Kau membunuh ayah dan ibu hanya untuk itu!? Kau memulai kudeta, membunuh banyak orang , dan memojokkan saya, hanya untuk membuka segel pedang itu!?"

Bagi Alaia, situasi seperti itulah yang membuatnya jatuh ke dalam keputusasaan. Semuanya sudah berjalan sesuai dengan rencana Maxfern. Perjuangan keras pasukan Forthorthe baru, banyaknya jumlah orang yang meninggal dan bahkan hati Alaia, semuanya sudah diperalat oleh Maxfern hanya untuk membuat Alaia membuka segel pedang suci itu.

"Benar sekali!! Kalau tidak, saya tidak akan pernah bisa mendapatkan pedang itu!! Dan saya tidak akan pernah bisa menjadi raja dunia!! Saya sudah melayani keluarga kekaisaran selama bertahun-tahun, hanya untuk bisa mendapatkan kesempatan itu!! Semua itu adalah untuk ini, puteri Alaia!!"

Inilah momen paling penting dalam kehidupan Maxfern, dimana dia sudah menunggu kesempatan ini selama bertahun-tahun. Kalau dia bisa mendapatkan Signaltin, semuanya akan berjalan sesuai dengan apa yang sudah dia rencanakan. Maxfern bisa menikmati kehidupan yang abadi yang didapatkannya dari kekuatan pedang itu, atau mulai menaklukkan dunia. Kalau dia bisa mendapatkan pedang itu, kemungkinan hal-hal yang bisa dilakukannya menjadi tidak terbatas. Maxfern sudah tidak merasakan ketakutan lagi, karena didalam bayangannya, masa depannya sudah terbentang dihadapannya, jauh dan tidak terbatas.

"...Tidak disangka, anda mengincar pedang ini..."

Keinginan Maxfern rupanya datang sebagai sebuah kejutan bagi Koutarou, karena di dalam daskah drama Theia, tujuan Maxfern hanyalah untuk mengambil alih negeri itu. Namun, kenyataany yang terjadi rupanya betul-betul berbeda dengan apa yang ada di naskah, sejak awal.

"Sekarang, berikan pedang itu pada saya, Ksatria Biru. Kalau kau melakukannya, saya akan melepaskan puteri Alaia dan yang lainnya kepada anda. Ini seharusnya bukanlah tawaran yang buruk bagi anda juga", kata Maxfern yang mulai melangkah dengan santainya ke arah Koutarou. Maxfern sudah begitu yakin bahwa tidak mungkin bagi Koutarou untuk menolak tawaran itu.

"Kalau kau mau, saya bisa membiarkan Forthorthe tidak tersentuh selam beberapa ratus tahun. Selama saya punya pedang itu, saya pasti punya waktu untuk melakukannya."

"Cih..."

Koutarou pun mulai ragu. Haruskah dia menyerahan pedang itu dan menyelamatkan Alaia serta yang lainnya? Atau, haruskah dia mengalahkan Maxfern dan menyelamatkan Forthorthe? Dia hanya bisa memilih satu dari kedua pilihan itu.

"Jangan, Koutarou-sama!! Meskipun apa yang kau lakukan adalah untuk kami, kau tidak bisa memberikan pedang itu kepada Maxfern!!"

Alaia rupanya memilih pilihan kedua, persis seperti apa yang dipilih oleh kaisar sebelumnya. Namun, jika begitu, Alaia dan yang lainnya pasti akan dibunuh.

Kalau Koutarou memilih pilihan pertama, kedamaian akan kembali ke Forthorthe untuk sementara waktu. Namun, jika pedang itu memang memiliki kekuatan seperti yang dibayangkan oleh Maxfern, keturunan Alaia dan Charl nantinya pasti akan ditindas oleh Maxfern.

Hasil akhirnya akan menjadi sama, perbedannya hanyalah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai kepada akhir itu.

"Tapi, Yang Mulia--"

"Kalau anda adalah ksatria saya, tolong jadikan impian saya menjadi nyata!! Tolong bunuh Maxfern dan setidaknya selamatkan diri anda sendiri!!"

"Benar, Ksatria Biru!! Kau harus hidup!! Hiduplah, dan lindungilah Forthorthe!!"

"Bungkam mereka, Grevanas!!"

"Baik."

Grevanas lalu memberi isyarat pada para bawahannya yang berada didekatnya. Mereka lalu membentuk sebuah lingkaran mengelilingi sebuah kristal yang besar dan mulai merapal mantra. Sesaat kemudian, sesuatu pun muncul.

Sesuatu yang begitu besar melesat turun ke tanah dengan kecepatan yang luar biasa, dan tepat sebelum benda itu menyentuh tanah, benda itu mengibaskan sayapnya yang besar, memperlambat dirinya, dan lalu mendarat. Namun demikian, suara mendaratnya tetap terdengar luar biasa hebatnya.

Dialah sang kaisar naga api, Alunaya, yang dengan badannya yang sebesar 20 meter mampu membuat baik bumi maupun udara bergetar hebat.

"Ini naga raksasa waktu itu!?"

"Kakak!"

Meskipun Alaia dan Charl sudah berusaha untuk tetap tegar hingga saat ini, mereka tidak bisa berbuat apa-apa begitu badan raksasa Alunaya muncul di hadapan mereka. Yang bisa dilakukan para gadis yang sedang dibelenggu itu hanyalah menahan nafas mereka di hadapan kebrutalan berwujud naga itu.

"Jadi, kau datang lagi, monster...", kata Koutarou yang mengangkat Signaltin mengikuti intuisinya. Melihat itu, Maxfern langsung menghentikan Koutarou.

"Hati-hati, Ksatria Biru, jangan sampai kau melakukan sesuatu yang bodoh. Kalau kau melakukan sesuatu yang tidak seharusnya, Alunaya akan menggigit kepala para puteri ini dengan gigi-giginya yang tajam."

"Grrrrr."

Seakan mendengar apa yang baru saja dikatakan Maxfern, Alunaya menggeram dan lalu membuka mulutnya yang besar. Kalau dia sampai menutup mulut itu, Alaia dan yang lainnya akan langsung habis tercabik seketika. Karena Koutarou sadar akan betapa besar kekuatannya, ancaman ini memberikan dampak yang besar baginya.

"Kuh", keluh Koutarou sambil menurunkan pedangnya.

"Bagus, bagus sekali. Selama kau patuh, mereka tidak harus mati."

Maxfern pun mulai berjalan lagi, hingga akhirnya dia tiba di depan Koutarou.

"Koutarou-sama..."

Alaia hanya bisa menggigit bibirnya melihat Koutaoru dari jauh. Seperti yang sudah diduganya, Koutarou tidak akan membiarkan mereka dalam keadaan seperti itu, dengan tindakannya yang menghunus pedangnya sebagai bukti dari hal itu. Kenyataannya, Koutarou bisa langsung menebas Maxfern di tempat dimana dia berdiri saat ini, namun Koutarou tidak bisa melakukannya. Dia pasi lebih memilih untuk menyerahkan pedang itu pada Maxfern. Sudah tidak ada lagi cara untuk mencegah Koutarou melakukan hal itu.

Maxfern pun berhenti di depan Koutarou dan dengan santainya mengulurkan tangan kanannya, dengan senyum penuh kemenangan menghiasi wajahnya.

"Nah, Ksatria Biru, tolong pedangnya."

"...Kau menang, Maxfern", kata Koutarou yang terlihat jengkel sambil mengangguk, sebelum ikut mengulurkan tangan kanannya dan menyerahkan Signaltin kepada Maxfern.

"Ooooooooh, akhirnya pedang ini ada di tanganku, pedang suci ini!!" seru Maxfern sambil mengangkat pedang itu setelah menerimanya, yang tampak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru.

"Kami sudah berada dalam posisi!! Maju, Veltlion!!" kata Clan yang berasal dari alat komunikasi Koutarou.

"Kau terlambat, Clan!!"

Tepat pada saat dia mendengar suara Clan, Koutarou mengepalkan tangannya dan mengayunkannya pada Maxfern, dengan tujuan untuk merebut kembali Signaltin. Waktu bagi Koutarou untuk melakukan serangan balasan akhirnya tiba.

"Mau bagaimana lagi! Karena ada Alunaya, kami harus merubah posisinya!"

"Aku nggak mau denger alasannya!!"

"A-apa!?"

Karena masih terfokus dengan pedang di tangannya, Maxfern tidak bisa menghindari tinjuan dari Koutarou, yang mengenai dagunya dan membuatnya jatuh berputar hingga tak sadarkan diri. Koutarou lalu dengan cepat berusaha mengambil kembali pedang yang berada pada Maxfern.

"Saya tidak akan membiarkan itu terjadi."

Namun, sebelum Koutarou bisa meraih pedangnya, Grevanas mengeluarkan mantranya, yang berasal dari tongkat yang memiliki sihir spesial yang dimasukkan ke dalamnya. Sihir yang dipakainya pun tidak perlu menggunakan gerakan ataupun rapalan mantra untuk bisa dijalankan, melainkan hanya memerlukan penggunanya untuk hanya memikirkan suatu mantra untuk mengaktifkannya. Panah sihir yang dibuat Grevanas pun menghujani area di dekat Maxfern, membuat Koutarou tidak bisa mendekat dan membuat Maxfern mendapat kesempatan untuk bisa bangun dan lepas dari Koutarou.

"Sial, segera bunuh Alaia dan yang lainnya!!"

Maxfern, yang menjadi sangat marah setelah mendapat serangan dadakan dari Koutarou, langsung mengeluarkan perintah untuk membunuh Alaia dan yang lainnya sebagai pembalasan dendam. Memang, nyawa seorang puteri terlalu mahal untuk menjadi bayaran balasan atas sebuah tinju, namun bagi Maxfern, yang merasa bahwa dirinya sudah menjadi raja dunia, hal itu tidak bisa dimaafkan.

"Lakukan!"

Grevanas pun memerintahkan bawahannya untuk membunuh Alaia. Lingkaran yang mereka bentuk di sekitar kristal itu mengirimkan perintah itu pada Alunaya.

ROAAAAAAAAAR

Perintah itu pun dengan cepat sampai pada Alunaya, membuat naga itu mengeluarkan raungan yang keras yang mengguncang udara di sekitarnya. Naga itu lalu membuka mulutnya dan mulai menyerang Alaia dan yang lainnya yang masih terikat.

Namun, sebelum taring naga itu menyentuh Alaia dan yang lainnya, sebuah ledakan besar terjadi di kaki naga itu. Ledakan yang tidak terduga itu membuat Alunaya kehilangan keseimbangannya dan membuatnya terjatuh. Benturan yang dihasilkannya menyaingi ledakan itu, membuat jalan bebatuan tempat Alunaya terjatuh menjadi hancur.

"Uwah!?"

Berkat ledakan itu, Alaia dan yang lainnya berhasil selamat dari taring Alunaya, namun bukan berarti mereka semuanya selesai dengan baik. Pecahan-pecahan jalan bebatuan itu terbang ke arah Koutarou.

"Sialan, itu berlebihan, Clan."

Koutarou jatuh terduduk setelah terkena batu sebesar sepuluh senti. Berkat pelindungnya, dia hanya jatuh terduduk. Kalau tidak, sesuatu yang lebih buruk pasti sudah terjadi.

"Aku harus bagaimana!? Naga itu tiba-tiba muncul, jadi aku tidak bisa membetulkannnya lagi!!"

Ledakan itu rupanya berasal dari bom yang sudah dipasang oleh Clan. Dengan menggunakan alat buatannya sendiri untuk membuatnya menjadi tidak terlihat, Clan memasang bom itu sementara Koutarou mengalihkan perhatian Maxfern dan yang lainnya.

Setelah ledakan itu terjadi, Flair dan yang lainnya yang menggunakan alat yang sama dengan Clan mengambil kesempatan itu untuk menyelamatkan Alaia dan yang lainnya. Itulah rencana penyelamatan yang dibuat oleh Koutarou dan Clan.

"Veltlion, kami sudah menyelamatkan puteri Alaia dan yang lainnya!!"

Rencana itu pun berhasil, membuat Alaia dan yang lainnya yang tadinya terikat menjadi bebas. Koutarou bisa melihat kalau mereka sudah berkumpul di sudut pandangannya.

"Bagus!"

Hal yang perlu dilakukannya sekarang adalah merebut kembali Signaltin dan mengalahkan Maxfern. Koutarou pun berusaha bangkit sambil menyemangati dirinya sendiri.

"Koutarou-sama, awas!!"

Teriakan Alaia bisa terdengar melewati taman kastil tua itu. Sesaat setelahnya, Maxfern muncul di hadapan Koutarou dengan Signaltin yang sudah diangkatnya di atas kepalanya, siap untuk diayunkan.

"Semuanya tidak akan berjalan sesuai dengan apa yang kau inginkan, Ksatria Biru!"

Tidak seperti Koutarou yang terkena pecahan-pecahan batu, Maxfern aman dari hal itu. Dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatannya saat melihat Koutarou terjatuh.

"Maxfern!!"

Koutarou, yang baru saja akan berdiri, terlihat lengah dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Kalau begini, aku yang mati!!

Karena sadar akan bahaya yang dihadapinya, Koutarou dengan cepat memberi perintah pada zirahnya.

"Naikkan pelindungnya! Kekuatan penuh!"

"Baiklah, tuanku. Menjalankan pemasangan darurat medan distorsi."

Zirah itu pun menjalankan perintah Koutarou dan memasang pelindung di sekitarnya, membuat segienam-segienam putih muncul berderet diantara Koutarou dan Maxfern dan menghalangi serangan Maxfern.

Sesaat setelahnya, segienam-segienam itu menghadang serangan Maxfern. Namun, Koutarou kembali terjatuh dari guncangan serangan itu. Di saat yang sama, sistem zirah itu mengeluarkan peringatan.

"Peringatan. Fungsi medan distorsi sudah berhenti. Kerusakan yang ada sudah berada di atas batas toleransi."

"Dari satu serangan!?"

Segienam-segienam itu pun langsung menghilang seketika. Hanya dengan satu serangan, Maxfern sudah menghancurkan pelindung zirah itu. Bahkan zirah yang bisa bertahan dari segala macam serangan sudah tidak berkutik lagi dihadapan Signaltin.

"Kelihatannya pertarungannya sudah selesai, Ksatria Biru", kata Maxfern sambil kembali mengangkat pedangnya. Dengan Koutarou yang kembali terjatuh dan kehilangan pelindungnya, jika Maxfern mengayunkan Signaltin, Koutarou pasti akan langsung terbelah.

"Tidak, masih belum!"

Koutarou berkonsentrasi pada tangan kirinya, menggunakan kekuatan spiritualnya untuk membuat sebuah bola api besar dan melemparkannya pada Maxfern.

"Hal seperti itu bukan tandingan bagi pedang ini!!"

Maxfern lalu kembali mengayunkan pedangnya tanpa merasa terkejut sedikitpun. Signaltin dengan mudahnya memotong bola api itu dan terus melaju ke arah Koutarou.

"Jadi itu juga tidak mempan!?"

Koutarou sudah menggunakan semua kekuatan spiritualnya untuk membuat bola api itu. Namun, Signaltin menghapus semua usaha Koutarou dengan mudahnya. Dengan semua kekuatan serangan maupun bertahan Koutarou tidak berhasil menghadapi Maxfern, Koutarou sudah tidak bisa lagi melawan Maxfern.

Maaf, Yang Mulia...meskipun aku udah janji aku bakal ngelindungin anda, kelihatannya aku cuma bisa sampai sini...

Kematian sudah tidak bisa dihindarinya dengan semakin dekatnya pedang itu datang ke arahnya, dan Koutarou sudah siap menyambut itu.

"Tapi!!"

Namun, walau begitu, Koutarou tetap melawan Maxfern. Meskipun dia dilukai dan sampai terbunuh, Koutarou ingin bisa melukai Maxfern sebisanya dan mengulur waktu sebanyak mungkin agar Alaia dan Charl bisa kabur.

Meskipun dia tidak bisa menghindari kematian, Koutarou ingin memenuhi sumpahnya sampai ke detik-detik terakhir. Saat itulah, Koutarou betul-betul menjadi sang Ksatria Biru yang sesungguhnya.

"Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak!!" seru Alaia dengan kerasnya.

Bagi Alaia, apa yang ada dihadapannya tampak seperti gerakan lambat. Koutarou tahu bahwa dirinya akan mati, tapi masih berusaha melawan Maxfern sementara Signaltin masih terayun ke arahnya. Namun, pemandangan itu terganti dengan kenangan-kenangan saat Alaia bertemu Koutarou dan waktu yang mereka berdua habiskan bersama-sama.

Koutarou akan mati, dan yang lebih parahnya, dia akan mati karena Signaltin, yang Alaia buka segelnya untuk melindungi Koutarou. Bagi Alaia, hal itu sama seperti dirinya sendiri yang telah membunuh Koutarou. Dia tidak bisa menerima kenyataan itu.

Tidak mungkin Alaia bisa menerima hal itu.

Nyawa Alaia sudah menjadi bagian dari Signaltin dan akan selalu melindungi Koutarou, terus berada disisinya. Itulah sumpah Alaia sendiri, dan juga satu-satunya keinginannya karena dia tidak bisa hidup dengan bebas.

"Koutarou-samaaaaaaaaaa!!"

Namun, tidak peduli seberapa keras Alaia berteriak, waktunya telah tiba. Signaltin mendekati Koutarou dan menyentuh rambutnya. Di saat itu, Alaia sudah dipenuhi dengan keputusasaan.

"Wahahahaha, mati, matilaaah, Ksatria Biru!! Terimalah hukuman karena sudah melawan raja dunia!!" tawa Maxfern yang terus mengayunkan pedang itu dengan seluruh kekuatannya.

Semua orang saat itu percaya bahwa Koutarou akan terbelah menjadi dua.



Akan tetapi..



Signaltinlah yang terbelah menjadi dua.



Tepat saat Signaltin menyentuh badan Koutarou, pedang itu hancur sambil mengeluarkan dering yang keras, membuat Koutarou menjadi tidak terluka. Wujud Signaltin saat itu menjadi tampak seperti pedang yang dibuat dari bubur kertas dan lem.

Tidak ada seorangpun yang bisa percaya dengan apa yang sudah terjadi. Tentu saja, yang paling terkejut di antara mereka semua adalah Maxfern.

"Tidak mungkin ini bisa terjadi!! Tadi, tadi pedang ini punya kekuatan yang besar!!"

Maxfern begitu terkejut melihat Signaltin yang sudah hancur, yang sudah kehilanan kemilaunya dan berubah menjadi pedang berkarat. Padahal, beberapa saat lalu pedang itu masih memiliki kemilau keperakan yang begitu indah.

"Bukankah aku harusnya menjadi raja dunia!? Bukankah pedang ini punya kekuatan dewi fajar didalamnya!? Dia seharusnya bisa menghancurkan kejahatan yang ada di dalam manusia!! Ada apa ini, Grevanas!? Ini cuma barang rongsokan!!"

Maxfern, yang sudah gemetar karena murka, melempar sisa-sisa Signaltin, yang kemudian pecah begitu menyentuh tanah dan hanya meninggalkan gagangnya saja. Gagang pedang itu sendiri juga sudah penuh dengan retakan, seakan-akan sentuhan sedikit saja akan membuatnya ikut hancur.

"S-saya juga tidak mengerti! Pedang itu tiba-tiba kehilangan kekuatannya..."

"Sekarang semuanya jadi sia-sia, Grevanas!!" teriak Maxfern dengan marahnya pada Grevanas, dengan wajah yang memerah karena murka. Bahkan Grevanas yang tadinya tenang sekarang sudah terlihat gentar dengan situasi yang ada saat ini.

"...Signal...tin..."

Hanya Koutarou yang terlihat tenang di tengah peristiwa yang mengejutkan ini. Dia lalu mengambil gagang pedang itu dan melihat ke arah Alaia.

"...."

Tidak seperti orang-orang lain, Alaia menutup matanya dan menundukkan wajahnya, mengabaikan apapun yang ia dengarkan. Dia tidak ingin melihat saat-saat dimana Koutarou terbunuh, tidak ingin mendengar teriakan terakhir Koutarou. Karena Alaia begitu terfokus untuk melakukan itu, dia tidak sadar bahwa Koutarou selamat.

"...Jadi...ini yang sebenarnya terjadi...pedang ini, Signlatin...jadi ini rupanya..."

Lambang pedang di dahi Alaia saat itu sedang bersinar dengan terangnya, seakan-akan menunjukkan bahwa lambang itulah Signaltin yang sebenarnya.

"Puteri Alaia."

Setelah mengerti semuanya, Koutarou memanggil Alaia. Sementara baik musuh dan teman-teman mereka masih kebingungan dan situasi yang ada menjadi tertahan, itu tidak mengubah fakta bahwa mereka masih berada dalam wilayah musuh. Agar bisa lepas dari situasi ini, pertolongan Alaia menjadi penting.

"Eh...?"

Saat mendengar suara Koutarou, Alaia perlahan-lahan membuka matanya. Awalnya, dia merasa kalau suara itu mungkin hanya khayalannya saja. Namun, saat dia membuka matanya untuk melihat, dia bisa melihat bahwa Koutarou berdiri disana.

"Koutarou-sama?"

"Tolong maafkan saya karena sudah membuat anda khawatir, Yang Mulia."

"Koutarou-sama, b-bukankah anda, terbunuh, baru saja...?"

Koutarou, yang seharusnya sudah terbunuh, masih hidup. Pemandangan yang misterius dan tidak terduga itu membuat Alaia mengedipkan matanya beberapa kali. Dia merasa bahagia dan kebingungan disaat yang bersamaan karena dia masih belum mengerti situasinya, membuatnya tidak tahu harus bersikap seperti apa.

"Kelihatannya Signaltinlah yang hancur."

"Pedangnya...ah..."

Alaia lalu melihat ke tangan Koutarou, dimana dia bisa melihat gagang Signaltin yang digenggam Koutarou. Tepat pada saat dia melihat pedang yang hancur itu, Alaia teringat dengan bagaimana rupa pedang itu saat pedang itu pertama kali terlihat di dalam kuil.

Begitu rupanya...kalau saya adalah bagian dari pedang itu, pedang itu juga adalah bagian dari saya. Kalau begitu, sumpah saya berarti--

Alaia pun menjadi bersemangat begitu mengerti apa makna dibalik semua itu.

"Mari kita berangkat, Yang Mulia. Saya akan menggunakan hidup saya dan pedang ini untuk melindungi anda."

"Saya percaya pada anda, Koutarou-sama. Dan saya juga akan melindungi nyawa anda."

Mereka berdua saling mengangguk sebelum memasang kuda-kuda. Koutarou mengarahkan ujung pedang yang sudah tidak ada itu pada Maxfern, sementara Alaia mengarahkan kedua tangannya ke arah Koutarou.

Melihat mereka berdua melakukan itu, Maxfern mengeluarkan ejekan.

"Apa yang akan kalian lakukan dengan rongsokan itu? Apa kalian sudah menjadi gila karena pedang itu hancur?"

Kalau Maxfern memerintahkan Grevanas dan dewan penyihirnya untuk menyerang sekarang, hasil pertarungannya mungkin akan berbeda. Namun, karena rasa kagetnya, Maxfern mengabaikan tindakan Koutarou dan Alaia, karena dia sudah yakin bahwa mereka berdua sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi.

"Kau tidak bisa menebasku karena pedang ini kelihatannya hancur."

"Apa!?"

Koutarou tersenyum saat dia melihat Maxfern yang kaget, dan lalu mulai berlari menyerang ke arahnya. Gerakan larinya yang membawa gagang pedang itu membuatnya terlihat seperti membawa pedang yang betul-betul kuat, dan di saat itulah Alaia mulai mengucapkan sesuatu.

"Dulu, sekarang dan masa yang akan datang, oh ibu dari segala sesuatu, dewi fajar."

Yang diucapkannya adalah apa yang diucapkannya saat di kuil untuk membuka segel. Saat Alaia meneruskan ucapannya, lambang pedang di dahinya mulai bersinar semakin dan semakin terang, menyelimuti seluruh badannya dan akhirnya keluar dari seluruh badannya.

"Seorang anak dari Forthorthe, pelayanmu yang setia memohon kepada engkau. Sekaranglah waktunya untuk membuka segel ini, dan berikanlah kami kekuatan untuk menghadapi bencana ini."

Cahaya itu mengarah ke pecahan-pecahan pedang yang berada di atas tanah. Setelah cahaya itu menyinari semua pecahan itu, pecahan-pecahan itu mulai melayang di udara, dan berkumpul di gagang pedang yang dipegang oleh Koutarou.

"Angin surgawi. Tanah yang subur. Air samudra. Api gunung. Dengan jiwa saya sebagai sumbernya, ungkapkanlah kekuatan untuk menyatukan segala sesuatunya!"

Pecahan yang terkumpul itu pun mulai membentuk kembali sebuah pedang mulai dari bagian dekat gagang dan terus sampai ujungnya. Tepat pada saat Koutarou sudah dekat dengan Maxfern, pedang itu sudah kembali ke bentuk asalnya.

"Nama saya adalah Alaia! Sang salju putih perak dari Mastir! Oh, pedang suci dari kuil, ukirlah nama saya pada mata anda dan hiduplah kembali!"

Koutarou lalu mengangkat pedang itu ke atas kepalanya, dan di saat yang sama, pedang itu mendapatkan kembali kemilau keperakannya dan mulai memancarkan sihir putih murninya. Pedang yang telah hancur itu, yang tadinya hanyalah rongsokan penuh karat, kembali diberi nama dan mendapatkan kembali kekuatannya.

Pedang suci Signaltin.

Karena sekarang perasaan Koutarou dan Alaia telah menjadi satu, pedang itu dipenuhi kekuatan yang lebih banyak lagi dibandingkan sebelumnya.

"Tidak mungkin! Pedang yang hancur dan kembali utuh itu tidak mungkin! Dia tidak mungkin mendapatkan kembali kekuatannya!"

"Karena anda bukan seorang ksatria, anda tidak akan pernah mengerti mengapa pedang ini bersinar, meskipun hal itu sederhana!!"

Yang terpenting bukanlah pedangnya. Tidak masalah apakah pedang itu rusak atau tidak, melainkan, apa yang ditempatkan kedalam pedang itu, itulah yang penting. Faktanya, kekuatan di dalam pedang itu sendiri juga bukan suatu masalah.

Koutarou bisa merasakan kehangatan yang memancar dari pedang itu, yang akan melindunginya dan semua kehidupan di dunia ini.

"Saya tidak bisa menerimanya!! Hanya karena saya tidak terlahir sebagai ksatria!!"

Namun, Maxfern tidak memperhatikan hal itu. Dia terlalu terfokus pada garis keturunannya, dan fakta bahwa pedang itu hancur dan kehilangan kekuatannya. Kalau saja dia memperhatikan apa yang penting, pedang itu mungkin akan menuruti keinginannya.

"Dengan ini, semuanya selesai, Maxfern!"

"Sialan! Dasar sialan!!"

"Maxfern-sama!!"

Koutarou lalu mengayunkan pedangnya dan berusaha menyerang Maxfern, namun tepat di saat itu, Koutarou bisa merasakan ada niat menyerang yang menyelubungi seluruh tempat dimana dia berdiri saat itu. Koutarou langsung melompat mundur menggunakan intuisinya saat merasakan itu, dimana sesaat setelahnya, sebuah cakar besar berayun di tempat dimana dia berdiri sebelumnya.

"Alunaya!!"

Rupanya, serangan itu berasal dari sang kaisar naga api, Alunaya, yang tadinya terjatuh karena ledakan dari Clan tapi sekarang sudah berdiri dan menyerang Koutarou.

"Bunuh mereka, Grevanas!! Jangan biarkan mereka kabur hidup-hidup!!" seru Maxfern dengan amarah yang begitu besar dan mata yang memerah, yang menginginkan agar Koutarou dan yang lainnya mati.

"Tolong hentikanlah semua ini, paman! Apa yang akan bisa paman dapatkan dari terus bertempur seperti ini!?"

"Diam, diam! Kau akan kubunuh juga!"

"Paman..."

Bahkan keponakan Maxfern sekalipun, Lidith, sudah tidak dianggapnya lagi. Sebesar itulah kemarahan yang berada di dalam diri Maxfern, sampai-sampai membuat badannya gemetaran.

Maxfern tidak bisa menerima bahwa pedang suci itu tidak menerima dirinya, orang yang seharusnya akan menjadi raja dunia, dan juga Koutarou yang sudah menggunakan pedang itu. Membiarkan hal-hal itu terus ada akan sama saja dengan mengakui bahwa keberadaannya sendiri sebagai tidak bermakna - bahwa usahanya selama ini adalah sia-sia. Itulah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh Maxfern yang angkuh.

"Pasukan, kejar mereka!"

Berlawanan dengan Maxfern yang penuh dengan angkara murka, Grevanas dengan kalem memerintahkan pasukannya untuk menyerang. Saat Grevanas melakukan itu, gerombolan setan pun muncul dengan jumlah yang lebih dari 100 ekor. Rupa mereka bermacam-maca, tapi mata mereka semua dipenuhi niatan untuk membunuh. Tidak hanya itu, beberapa raksasa besi yang pernah dilawan Koutarou sebelumnya bisa terlihat dari antara para setan itu.

Inilah pasukan Maxfern saat ini, bukan, bukan lagi pasukan, tapi gerombolan monster. Dalam usahanya untuk mengejar kekuatan, Maxfern beralih menggunakan makhluk-makhluk aneh, yang mana makhluk-makhluk itu mencerminkan dirinya sendiri. Maxfern sendiri telah menjadi monster dalam rupa manusia.

Gerombolan monster itu pun menyerang Alaia dan ketujuh gadis lainnya.

"Yang Mulia!! Semuanya!!"

Koutarou dengan cepat bergerak untuk menyelamatkan mereka.

"Oh, tidak. Lawanmu ada disini!!"

ROAAAAAAAAAAAAAR!!

Namun, Alunaya berdiri menghalangi Koutarou. Setelah menggeram, Alunaya memamerkan taringnya dan mengancam Koutarou, membuatnya tidak bisa menolong para gadis itu.

"Kuh!"

"Kukuku, Ksatria Biru, meskipun kau tidak terkalahkan, para perempuan itu tetaplah manusia biasa. Apakah mereka bisa bertahan cukup lama sampai kau tiba ke arah mereka? Wahahahahaha!!" tawa Maxfern mengejek Koutarou.

Dengan Signaltin ditangannya, Koutarou memang kuat. Dia bahkan bisa mengalahkan naga raksasa itu. Namun, tidak peduli apakah dia menang atau kalah, pertarungan antara Koutarou dan naga itu akan memakan banyak waktu hingga selesai. Selama mereka bertarung, Maxfern akan membunuh semua gadis itu.

"...Kau terlalu naif, Maxfern."

Namun, Koutarou justru tersenyum. Meskipun Maxfern tertawa mengejeknya, Koutarou tidak terlihat gentar sedikitpun.

"Apa!?"

"Maaf saja, tapi kelihatannya semua tidak akan berjalan seperti yang kau rencanakan."

Koutarou tahu bahwa gadis-gadis itu bukanlah orang-orang lemah yang akan tumbang tanpa melawan.


Part 6[edit]

Saat gerombolan setan itu menyerang, para gadis itu mengikuti arahan Flair dan membentuk formasi dengan tenang.

Di depan ada Clan dan Flair, yang menjadi tameng pelindung karena kemampuan tempur mereka. Clan masih menggunakan senapannya seperti biasa, namun senjata yang dipegang oleh Flair berbeda dari biasanya.

"Anda tahu cara menggunakan senjata itu, benar?"

"Ya! Keseimbangannya sedikit berbeda, tapi karena saya selalu menggunakan pedang yang tipis, perbedaannya tidak terlalu jauh!"

Flair sedang memegang sebuah pedang yang terbuat dari cahaya. Mata pedang yang bercahaya, yang mirip dengan lampu neon itu terhubung dengan gagang pedang yang terbuat dari metal. Inilah beam saber dengan mata pedangnya yang sangat panas, terbuat dari partikel logam berat dalam medan elektromagnet yang membentuk sebuah pedang. Flair mendapat dua pedang itu dari Clan dan memegang satu di setiap tangannya, dan lalu mulai menyerang setan-setan yang datang menyerang.

"Seperti ini?"

Flair menahan serangan si setan dengan satu pedang dan menyerang menggunakan pedang yang lain. Suhu tinggi dari mata pedang itu dengan mudahnya memotong badan setan itu dan membakarnya. Jika digabungkan dengan kemampuan Flair sendiri, dia akan tampak seperti tornado kecil bersinar yang memotong para pasukan setan.

"Bagus sekali! Tolong teruskan seperti itu!"

Sementara itu, Clan menembak para setan yang tidak bisa dijangkau oleh Flair dengan pedangnya. Dengan begitu, Flair bisa menyerang dengan lebih berani lagi, dan jika Flair akan terkena serangan, Clan akan menghalangi serangan itu untuk melindungi Flair. Medan pelindung yang melindungi Clan begitu kuat dan bisa menangkis serangan cakar para setan.

Dibelakang tameng pelindung yang juga bertugas menyerang adalah Lidith si alkemis dan Caris si penyihir.

"Caris, sudah waktunya untuk serangan beriktunya!"

"Baik, aku siap!"

Lidith dan Caris bekerjasama untuk menyerang para setan dengan skala besar menggunakan serangan skala besar, dan juga untuk melawan para raksasa besi.

Lidith meminjam komputer strategi dan alat pemantau milik Clan untuk membidik banyak sekali musuh. Karena Caris dan Lidih terhubung melalui sihir, informasi bidikan itu pun juga tersampaikan kepada Caris. Dengan menggunakan informasi itu, Caris bisa menyerang musuh yang tidak bisa dilihat oleh dirinya sendiri. Karena Lidith memprioritaskan musuh yang masuk ke dalam jarak serangan Caris, para setan yang menyerang langsung ditembak jatuh tanpa bisa berbuat apa-apa.

Ini adalah strategi yang bisa dijalankan berkat Lidith. Biasanya, tidak ada orang yang bisa menggunakan komputer strategi di zaman ini, namun setelah menjadi asisten bagi Clan, Lidith sudah mempelajari bagaimana cara menggunakan komputer itu. Berkat itulah Lidith dan Catis bisa mengeluarkan serangan gabungan antara sains dan sihir.

"Caris, raksasanya!"

"Aku tahu! Aku, sedang memasangnya!...Oke, ledakkan!"

"Meledakkan!"

Sebuah raksasa besi jatuh bersamaan dengan munculnya suara ledakan. Kerusakan pada raksasa itu tidak besar, yakni hanya sebuah penyok dan bekas terbakar di sekitar dadanya. Namun, itu saja sudah cukup untuk menaklukkan raksasa itu. Ini juga adalah salah satu serangan gabungan dari Lidith dan Caris.

Setelah pertarungan pertama mereka melawan raksasa besi, Clan sudah menyiapkan sebuah peledak khusus, yang mana peledak itu bisa dipasang pada target sebelum diledakkan dan ledakannya tidak begitu besar. Namun, ledakan itu berubah menjadi gelombang kejut yang bisa menghancurkan sesuatu di dalam target tersebut. Karena sudah tahu bagaimana struktur raksasa besi itu, Clan mengincar kristal yang menjadi sumber tenaga mereka. Meskipun zirah raksasa-raksasa itu terbuat dari besi yang tebal, di dalamnya terdapat hanya sebuah kristal. Dengan cara itu, menghancurkan kristal itu menjadi mudah.

Caris akan menggunakan sihirnya untuk memasang peledak itu pada si raksasa dan lalu Lidith akan menggunakan komputer untuk meledakkannya. Bahkan para raksasa itu tidak berdaya melawan serangan seperti ini. Meskipun pertarungan pertama mereka melawan raksasa itu begitu sulit, saat ini mereka sudah bisa melawan para raksasa itu dengan mudahnya.

Di belakang Caris dan Lidith adalah Fauna si pendeta dan Alaia. Fauna bertugas untuk menggunakan kekuatan spiritual untuk menyembuhkan dan meningkatkan kekuatan fisik semuanya. Dengan begitu, keempat orang yang berada di depan bisa bertarung tanpa harus kelelahan. Alaia sendiri bertugas untuk memberi perintah dan membantu menggunakan sihir.

"Saya mulai mengerti bagaimana caranya menggunakan sihir, Fauna."

"Anda hebat. Ini sudah sangat hebat bagi seseorang yang baru pertama kalinya menggunakan sihir, Alaia-sama!"

Alaia tidak mempunyai pengetahuan dalam menggunakan sihir, tapi dia sedang menerima kekuatan sihir dari Signaltin melalui lambang di dahinya. Alaia lalu mengendalikan kekuatan itu menggunakan bahasa yang digunakan untuk ritual yang dipelajarinya dalam seminar untuk membuat sihir. Sebagai pemula, dia tidak bisa membantu dalam menyerang, tapi dia bisa membantu dalam memperkuat dan bertahan. Dengan dibantu kepiawaiannya dalam memberi perintah, Alaia menggunakan kekuatan barunya untuk mendukung semuanya.

Lalu, yang berada di paling belakang adalah Charl dan Mary.

"Tolong tetap disini, puteri Charl."

"Aku tahu, aku tahu."

Charl yang masih kecil tidak punya tugas apapun, hanya berdiri saja. Kalau dia berjalan kesana kemari, dia akan menjadi penghalang bagi yang lain dan akan membuat mereka khawatir. Karena dirinya sendiri sudah cukup bijak untuk seseorang seusianya, Charl mengerti akan hal itu dan tetap diam dari barisan itu.

"...Uhm, Yang Mulia, saya merasa kalau saya tidak berguna."

"Jangan sedih, Mary. Aku pun juga sama."

Tugas dari Mary si pelayan adalah untuk melindungi Charl. Meskipun dirinya sudah mempelajari seni bela diri, Mary belum cukup mampun untuk ambil bagian dalam pertempuran sesungguhnya. Sebagai hasilnya, dia ditempatkan di belakang untuk melindungi Charl. Namun, tugasnya itu ternyata cukup penting, karena keselamatan Charl akan berpengaruh pada semangat tempur semuanya. Rupanya, tugas yang dikeluhkan oleh Mary adalah tugas yang paling penting diantara semuanya.

Tepat seperti yang dipikirkan oleh Koutaoru, kedelapan gadis itu tidak terbunuh dengan mudahnya. Sebaliknya, mereka sudah memberikan serangan balasan dan mengurangi jumlah musuh yang ada. Meskipun mereka sudah mendapat perlengkapan dan senjata dari Clan, mereka bisa bertahan dengan gigih melawan gerombolan monster itu.

"Grevanas, kenapa mereka masih ada! Mereka hanya gadis-gadis!"

"Tapi, Maxfern-sama, senjata mereka--"

"Diam! Saya tidak mau mendengar alasan!"

Situasi itu membuat Maxfern marah. Tidak ada hal yang berjalan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dia sudah mendapat pedang yang diincarnya hanya untuk kehilangan pedang itu. Dia sudah mencoba membunuh musuh-musuhnya, tapi tidak berhasil. Semuanya sudah berjalan dengan lancar sampai orang-orang itu tiba di kastil itu, tapi tepat saat orang-orang itu datang keberuntungan Maxfern pun habis. Situasi ini sudah menjadi mimpi buruk bagi Maxfern.

"Kelihatannya rencanamu sudah hancur, Maxfern. Saya rasa anda hanya penjahat kelas teri."

Koutarou pun bersiap dengan pedangnya sambil terus mengawasi Alunaya dan meledek Maxfern. Tujuannya tidak lain adalah untuk membuat Maxfern terfokus padanya dan mengurangi tekanannya pada para gadis. Kenyataannya, Koutarou takut kalau sampai Alunaya mengeluarkan nafas apinya kepada para gadis.

"Diam! Kalau begitu, setidaknya kau akan kubunuh!! Lakukan, Grevanas! Bunuh si Ksatria Biru!!"

Seperti yang Koutarou rencanakan, Maxfern akhirnya terfokus padanya. Mungkin dia tidak perlu menghasut Maxfern sejak awal, karena Maxfern betul-betul membenci Koutarou yang bisa menggunakan pedang yang tidak bisa digunakannya.

"Baiklah."

Grevanas lalu memerintahkan prajuritnya untuk mengganti sebagian prajurit yang menyerang para gadis untuk menyerang Koutarou, dan Grevanas sendiri menggunakan tongkatnya untuk mengendalikan Alunaya untuk terus menyerang Koutarou.

"Semuanya sesuai rencana...tapi kalau begini terus aku yang bakal mati. Waktunya pindah tempat."

Koutarou, yang menyadari bahwa dia akan segera terdesak, menghindari serangan api Alunaya lalu mengaktifkan roket pendorongnya dan terbang. Dia sudah memutuskan bahwa akan berbahaya baginya untuk bertarung di darat dengan banyaknya penyihir dan setan yang mengincarnya.

ROAAAAAAAAAAAAR

Alunaya pun mengejar Koutarou setelah mengeluarkan raungan. Dengan mengepakkan sayapnya yang besar, badan raksasa Alunaya pun terbang di udara. Sayap dan sihir yang menyelubungi seluruh badannya membuatnya bisa terangkat dan terbang layaknya burung. Sekitar sepuluh setan mengikuti Alunaya di belakangnya.

Alunaya sedang dikendalikan oleh Grevanas sementara bawahan Grevanas mengendalikan para setan. Dalam kata lain, anggota dewan penyihir sedang mengerahkan kekuatan penuh untuk menghancurkan Koutarou. Meskipun itu yang direncanakan oleh Koutarou, itu jugalah bahaya terbesar yang dialaminya selama ini.

"Kalau aku terpaksa bertahan, aku yang bakal kalah! Kalau gitu--!"

Medan pelindung zirahnya masih belum pulih, jadi dalam kondisi seperti ini akan berbahaya baginya untuk menerima serangan secara terus-menerus. Koutarou dengan cepat memutuskan untuk menyerang dengan Signaltin, dengan incaran seragannya adalah Alunaya. Dia harus mengalahkan naga itu dan membuat jalur kabur yang aman.

"Semuanya! Tolong pinjamkan kekuatan kalian!"

Kata-kata itu secara tidak sadar diucapkan oleh Koutarou, karena semua kekuatan yang ada padanya adalah pinjaman. Dulu, dia menyedihkan kenyataan itu, namun sekarang Koutarou merasa bahwa itulah yang terbaik. Koutarou sadar, kalau dirinya sampai berubah seperti Maxfern, semuanya tidak akan berarti tidak peduli seberapa besar kekuatan yang dia miliki.

Tidak peduli apakah Koutarou sendiri memiliki kekuatan selama dia bisa mencapai tujuannya dengan bekerjasama dengan orang lain. Koutarou juga menyadari bahwa bekerjasama itulah yang terpenting. Satu-satunya alasan mengapa Koutarou berada disini adalah semua bentuk kerja sama yang telah terkumpul.

"...Saya ingin anda mengatakan itu pada saya sebagai yang pertama."

"Puteri Alaia!?"

Saat pertarungan akan dimulai, suara Alaia sampai ke telinga Koutarou. Suara itu bukanlah suara biasa yang dihantarkan lewat udara, melainkan melalui kemilau pada Signaltin. Koutarou langsung menoleh ke arah taman, dimana dia bisa melihat Alaia sedang menyatukan tangannya di depan dadanya dan berdoa sambil melihat ke arahnya. Beberapa saat lalu, apa yang dilakukan Alaia akan terlihat sangat berbahaya. Namun, dengan jumlah musuh yang sudah berkurang, kemungkinan dirinya akan terkena serangan pun turun.

"Koutarou-sama, saya akan bertarung dengan anda."

"Apa yang anda--"

Sebelum Koutarou bisa bertanya pada Alaia, seekor setan muncul dihadapan Koutarou. Koutarou memutuskan untuk tidak melanjutkan pertanyaannya dan langsung mengayunkan Signaltin pada setan itu.

Pada saat itu, sebuah kemilau yang kuat memancar dari Signaltin, yang jika dilihat, seperti merasakan niatan Koutaoru untuk menyerang. Setan itu pun terbelah dari cahaya yang memancar dari pedang itu bahkan sebelum pedang itu menyentuhnya. Sesaat setelahnya, Signaltin menembus melewati si setan, tanpa hambatan sama sekali, layaknya membelah ilusi. Namun, setan itu sendiri berubah menjadi debu dan menghilang.

"Koutarou-sama, bertarunglah dengan cara apapun yang anda mau. Saya akan membantu anda dari sini."

"Oh, jadi itu maksud anda! Mohon bantuannya, puteri Alaia!"

"Baik!"

Fenomena ini dibuat oleh Alaia rupanya dibuat oleh Alaia, yakni dengan menggunakan lambang di dahinya untuk mengatur energi yang dikeluarkan oleh Signaltin. Biasanya, Signaltin akan mengeluarkan kekuatan sihir dala jumlah tertentu secara terus menerus, tapi dengan mengendalikannya secara langsung, Alaia bisa mengatur kapan Signaltin harus melepaskan energi itu. Dengan begitu, jumlah energi yang digunakan tidak akan berubah karena energi sihir yang digunakan dilepaskan dalam rentetan. Memang, bukan peningkatan kekuatan yang besar, tapi kekuatan sihir yang digunakan menjadi lebih efisien.

"Saya akan maju, puteri Alaia!"

"Saya akan melindungi anda! Berkonsentrasilah pada apa yang ada didepan anda, Koutarou-sama!"

"Saya mengerti!"

Koutarou lalu maju menyerang setan yang paling dekat. Karena Alaia mempercepat lajunya untuk sementara waktu, jarak antara Koutarou dan setan itu langsung menjadi pendek hanya dalam sekejap. Jika si setan itu ingin menghindar, dia sudah tidak sempat lagi. Signaltin mulai memancarkan sinar sekali lagi dan setan itu pun terpotong bahkan sebelum dia sempat bergerak.

"Hyaaaaaaah!"

"Kah kah!"

Dua setan maju menyerang Koutarou secara bersamaan, dengan yang satu berkepala serangga dan yang satu lagi berkepala bebek. Mereka mengincar punggung Koutarou dengan cakar mereka yang tajam, dengan niatan untuk merobek-robeknya.

Namun, para setan itu terkena gelombang kejut kecil sebelum cakar mereka bisa menyentuh Koutarou. Gelombang itu hanya memiliki kekuatan yang cukup untuk sedikit melukai mereka, tapi bisa membuat mereka berhenti. Karena sayap mereka sedang terbentang, mereka dengan mudahnya terkena gelombang kejut itu. Sementara mereka sedang terhenti, Signaltin pun terayun ke arah mereka.

Signaltin memotong mereka berdua tanpa suara, membuat badan mereka terpisah antara kekuatan sihir dan debu. Serangan kombinasi antara Koutarou dan Alaia itu tampak begitu menakjubkan.

"Saya bisa melakukannya! Dengan ini, saya bisa melakukannya!"

Karena Alaia yang bisa mengendalikan Signaltin dengan akurat, pedang itu menjadi jauh berbeda dengan sebelumnya. Kekuatan serangnya meningkat drastis, dan kekuatan sihir yang tersisa bisa digunakan untuk mempercepat gerak Koutarou, bertahan dan hal-hal lainnya. Sebagai hasilnya, Koutarou bisa menaklukkan para setan itu sendirian. Hanya butuh beberapa detik baginya sebelum sekitar sepuluh lebih setan habis dikalahkan menjadi jumlah yang bisa dihitung dengan jari.

ROOAAAAAAAAAAAAAR!

Dengan musnahnya sebagian besar pasukan setan, giliran Alunaya yang maju menyerang Koutarou. Sementara itu, sisa-sisa pasukan setan yang tersisa pun mundur. Maxfern dan yang lain yakin bahwa para setan sudah tidak bisa berkutik melawan Koutarou.

"...Waktunya babak utama."

Koutarou tidak menggunakan kuda-kuda yang biasa dia pakai untuk menghadapi para setan, melainkan menggenggam pedang itu dengan kedua tangannya dan mengacungkan Signaltin.

"Koutarou-sama, saya akan mengawasi keadaan disekitar anda. Tolong urus Alunaya."

"Baiklah, tuan puteri."

Sementara Koutarou bertarung dengan Alunaya, ada kemungkinan bahwa para setan akan kembali menyerang. Jadi, dengan adanya Alaia yang mengawasinya, Koutarou bisa berkonsentrasi penuh pada Alunaya.

"Kita hampir menang! Anda bisa melakukannya, Koutarou-sama!"

"Baik, tuan puteri!!"

Sambil berseru, Koutarou menyiapkan pedangnya dan terbang lurus dengan kecepatan penuh. Dia bisa merasakan niatan menyerang Alunaya yang semakin luas, yang berarti dia akan menyerang dengan ekornya atau nafas api. Kalau Koutarou tetap diam, dia akan menjadi sasaran empuk, dan kalau mendekat, akan sulit bagi Alunaya untuk mengeluarkan serangan sebesar itu.

Alunaya ternyata menyerang menggunakan ekornya, yang terayun dari samping layaknya cambuk raksasa yang sampai membuat udara di sekitarnya bergetar.

"Aku nggak bisa nahan itu!"

Koutarou membuat gerakan menghindar yang terlalu besar untuk menghindari serangan ekor itu. Tanpa medan pelindungnya, satu serangan saja akan berakibat fatal baginya, dan tanpa bantuan ilusi dari Caris, Koutarou harus mengutamakan keselamatannya dibandingkan yang lain.

"Biarkan saya membantu."

Namun, Alaia meningkatkan kecepatan Koutarou untuk mengganti jaraknya yang hilang saat Koutarou melakukan manuver itu, dan membuat Koutarou bisa maju menyerang kembali ke arah Alunaya dengan kecepatan yang sama dengan sebelumnya.

"Majuuuuuuuu!!"

Alunaya memiliki medan pelindung yang kuat yang melindunginya. Meskipun Signalin memiliki kemampuan untuk menghapus sihir, apakah itu akan cukup untuk menembus medan pelindung itu? Satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah untuk mencoba.

ROOAAAAAAAAAAAAAAR!!

Signaltin dengan hebatnya menembus medan pelindung Alunaya, mengakibatkan salah satu sisiknya lepas karena serangan itu dan membuatnya berteriak kesakitan.

"Berhasil!? Tapi terlalu pendek!!"

Karena Alunaya bukan makhluk yang dipanggil melalui sihir, badannya tidak terbuat dari sihir. Itulah sebabnya Alunaya tidak hancur menjadi debu seperti para setan, dan luka di badannya hanyalah sisiknya yang terlepas.

"Jadi aku bisa melukainya, tapi pedangnya tidak akan melukainya begitu banyak ya...", gumam Koutarou sambil menghindari cakar Alunaya.

Dengan badannya yang sebesar 20 meter, Alunaya sulit untuk dilukai menggunakan pedang sekecil itu. Hasil yang sama juga berlaku kalau Koutarou menggunakan senjata yang ada pada zirahnya. Hal itu sama seperti menantang sebuah tank hanya dengan menggunakan senapan.

"Apa aku harus bergantung sama ini kayak tadi?"

Pelindung tangan Kiriha, jika digabungkan dengan kemampuan Signaltin untuk menembus medan pelindung, akan menjadi lebih efektif. Dan jika serangan itu ditambahkan lagi dengan senjata yang ada pada zirah, Koutarou setidaknya bisa menambah luka pada sang naga.

"Kalau saja dia punya titik lemah..."

"Titik lemah? Saya rasa dia punya..."

Berkat Alaia, Koutarou menjadi ingat dengan kristal di tengkuk naga itu, dan bahwa dia bisa membuat Alunaya mundur setelah menyerang kristal itu.

"Ada titik semacam itu. Ada kristal sihir yang terletak di bagian belakang leher Alunaya."

"Begitu rupanya...kalau begitu kristal itu akan menjadi incaran yang bagus untuk pedang ini. Dengan menghapus sihirnya, kita mungkin bisa mengubah arah pertarungan ini."

"Saya akan mencoba menyerangnya!"

Koutarou lalu menyiapkan Signaltin dan menjalankan roket pendorongnya. Karena bahan bakar roket itu akan segera habis, akan lebih baik baginya untuk segera mencoba hal yang mungkin bisa bekerja, persis seperti sebelumnya.

Koutarou mencoba menggunakan kegesitannya untuk bisa berada di punggung Alunaya, namun tidak seperti dulu, saat ini dia sendirian. Tanpa adanya celah dari Alunaya, akan sulit bagi Koutarou untuk mengitari badannya, dan tanpa adanya bantuan dari Caris, Koutarou hanya membuang-buang waktu saja.

"Apa yang harus aku...aku nggak punya waktu buat nunggu bantuan dari Caris..."

Clan dan yang lainnya masih bertermpur dengan para setan di bawah sana. Meskipun jumlah setan yang ada sudah berkurang drastis, yang bisa dilakukan oleh mereka hanyalah membiarkan Alaia untuk membantu Koutarou. Mereka tidak bisa mengirim bantuan lebih banyak lagi, dan tidak ada cukup waktu untuk menunggu Clan dan yang lainnya menyelesaikan pertempuran mereka.

"Awas, Koutarou-sama!!"

"Haaah!"

Persis setelah Alaia memperingatkan Koutarou, nafas api Alunaya melintas tepat di sebelah Koutarou. Saking dekatnya Koutarou dengan nafas api itu, sebagian rambutnya sampai terbakar.

"Tolong berhati-hatilah, Koutarou-sama! Anda akan mati kalau anda sampai terkena itu!"

"Maaf, saya sedang melamun...tunggu dulu?"

Setelah memastikan kalau nafas apinya meleset, Koutarou mendapat sebuah ide yang gila, dan lalu menyampaikannya pada Alaia.

"Yang Mulia, apakah saya bisa memotong melewati nafas api itu?"

Alaia langsung terdiam begitu mendengar ide dari Koutarou.

"....Bisa jadi, tapi jika gagal, tidak ada kesempatan kedua."

Nafas api Alunaya adalah nafas biasa yang diubah menggunakan sihir. Dalam kata lain, Signaltin mungkin bisa menghapusnya. Ditambah, saat Alunaya mengeluarkan nafas api itu, di saat itulah dia menunjukkan celahnya. Alunaya harus diam untuk mengeluarkan nafas apinya dan sebagian wilayah pandangannya menjadi tertutup oleh api. Dengan menerima serangan nafas api itu dengan sengaja sambil menggunakan Signaltin untuk menghapusnya, Alunaya tidak akan bisa melihat Koutarou.

Namun, kalau Koutarou gagal, kalau dia sampai salah memperkirakan waktunya atau mengenai sisi yang salah, dia akan habis dilalap api. Alaia, yang mempertimbangkan resiko itu, tidak bisa menyetujui ide itu.

Setelah mendengar jawaban Alaia, Koutarou tersenyum dan memanggil namanya.

"Puteri Alaia."

"Ada apa?"

"Yang mana yang lebih anda percaya? Nafas api itu? Atau saya?"

"...Kou..."

Alaia menjadi terdiam dibuatnya.

"K-K-Koutarou-sama!! Anda mengganti topiknya!! Itu curang!!"

Alaia hanya bisa membalasnya dengan nada yang tinggi sambil mengkritknya. Baginya, pertanyaan itu hanya memiliki satu jawaban.

"Dasar Koutarou-sama bodoh!!"

Alaia tidak menjawab pertanyaan itu, tapi justru meledek Koutarou layaknya anak kecil.

"Sikap anda jelek sekali, Yang Mulia...Clan, apa kamu punya saran?" balas Koutarou sambil tersenyum dan lalu bertanya pada Clan menggunakan alat komunikasinya, karena dia juga ingin mendengar pendapat si ilmuwan.

"...Tentu tidak, bodoh. Kalau ada yang bisa kukatakan, nafas api itu bisa dikatakan terbuat dari plasma, jadi kalau kau menggunakan medan elektromagnet, kau bisa melindungi dirimu sedikit, tolol."

Kenyataannya, Clan akan menyarankannya untuk berhenti. Namun, karena dia sudah mengetahui kepribadian Koutarou, Clan tahu bahwa Koutarou sudah memutuskan untuk melakukan hal itu saat dia menanyakan hal itu kepadanya. Jadi, Clan menyerah dan memberikannya saran mengenai medan elektromagnet. Namun, saran itu pun tidak begitu menjamin, dan kalau yang melakukan hal itu adalah orang selain Koutarou, Clan pasti akan menyuruh mereka untuk berhenti.

Saat plasma terkena medan elektromagnet, sebuah pergerakan yang kompleks pun terjadi. Dengan begitu, plasma yang berasal dari nafas itu akan menjadi terpencar dan medan elektromagnetnya akan menjadi semacam tameng. Hal yang sama juga terjadi pada medan magnet Bumi yang menjadi pelindung terhadap angin matahari. Namun, kalau momentumnya terlalu besar, efeknya tidak akan terlalu besar. Itulah yang kemungkinan akan terjadi saat berhadapan dengan nafas api Alunaya, tapi hal itu lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa.

"Baik, saya akan mencobanya", kata Koutarou sambil tersenyum mengejek dan mengarahkan Signaltin ke wajah Alunaya.

"Koutarou-sama, tolong pikirkanlah lagi."

"Yang Mulia, saya masih belum mendengar jawaban anda."

"Uh."

Alaia menjadi ragu untuk menjawab, dan setelah terdiam selama beberapa detik, akhirnya dia menggumam:

"...Tolong kembalilah dengan selamat, Ksatria Biru Forthorthe."

"Baiklah, tuan puteri."

Namun, pada akhirnya Alaia tidak benar-benar menjawab pertanyaan itu.

Saat Koutarou dan Alunaya sedang terpisah jauh, Alunaya akan sering menggunakan nafas apinya karena dia tahu seberapa kuat Koutarou dalam jarak dekat. Karena itulah, tidak sulit bagi Koutarou untuk memancingnya mengeluarkan nafas api itu.

Alunaya membuka mulutnya dan mulai menarik nafas. Setelah memastikan itu, Koutarou mengatur dirinya agar tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh. Keseimbangan jaraknya memang cukup sulit, karena kalau dia berada terlalu dekat, Alunaya akan mengganti serangannya. Tapi kalau dia berada cukup jauh, Koutarou tidak akan bisa menggunakan nafas api itu untuk menutupi serangannya. Koutarou harus menemukan tempat yang tepat dengan jarak yang tepat juga.

"Sekarang, Koutarou-sama!"

Setelah memastikan kalau Alunaya menggunakan kekuatan sihirnya, tepat sebelum dia mengeluarkan nafas apinya, Koutarou mengatur roket pendorongnya untuk kekuatan penuh dan maju menyerang naga itu. Selama dia bisa melewati jarak itu, sisanya akan mudah baginya. Itulah sebabnya mengapa Koutarou memilih untuk menghabiskan bahan bakarnya disini.

Sesaat setelahnya, Alunaya mengeluarkan nafasnya, yang begitu putih dan panas. Api yang bahkan jauh lebih panas dari permukaan matahari itu menyerang Koutarou.

Rokujouma V8.5 241.jpg

"Makan iniiiiiiiiiiiiiiii!!"

Dengan menggunakan roket pendorongnya untuk mengatur sudut serangannya, Koutarou mengarahkan Signaltin maju untuk menusuk, layaknya payung. Di saat yang sama, dia membuat medan elektromagnet dan bersiap menghadapi plasma yang tidak bisa dihapus oleh Signaltin.

Koutarou terbungkus oleh cahaya yang putih bersih. Kekuatan sihir dari Signaltin menyelimuti seluruh tubuhnya sementara sekitarnya ditutupi oleh api. Namun demikian, meskipun pedang itu bisa menghapus plasmanya, pedang itu tidak bisa melakukan hal yang sama terhadap udara yang sudah menjadi panas. Suhu disekitar Koutarou pun meningkat drastis dan membuatnya merasa seperti dimasukkan ke dalam oven.

"Kuh."

Untungnya, zirahnya bisa bertahan dari suhu setinggi itu, berkat waktu yang sudah dijalaninya dan fakta bahwa zirah itu memang diperuntukkan untuk penggunaan di luar angkasa. Sistem zirah itu melaporkan beberapa erro sementara zirahnya sendiri mulai berubah warna karena suhu tinggi yang diterimanya, namun tidak ada perubahan besar yang terjadi pada fungsi-fungsi zirah itu.

Koutarou lalu menukik keluar dari api itu dan memutar ke punggung Alunaya. Karena Alunaya tidak bisa melihat Koutarou karena nafas apinya sendiri, dia tidak memperhatikan pergerakan Koutarou. Sebagai hasilnya, Alunaya mempertunjukkan punggungnya yang tidak terlindungi pada Koutarou.

"Terimaaaa iniiiiiiiiiiiiii!!"

Dan tanpa memperlambat roket pendorongnya, Koutarou melesat langsung ke bagian kepala Alunaya, dengan kristal biru yang berada di tengkuk naga itu sebagai incarannya.

Signaltin menembus medan pelindung Alunaya dan menyerang kristal itu. Dengan sihir yang berada di dalam kristal itu dihapuskan, kristal itu pun hancur dan pecahannya terbang.

ROOOOAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAR!

Pada saat itulah, Alunaya menjerit kesakitan. Suaranya yang keras luar biasa membuat dunia seakan bergetar.

"Apa itu berhasil!?"

"Koutarou-sama!!"

Saat Koutarou terus melihat, Alunaya mulai ditarik oleh gravitasi dan jatuh ke atas tanah. Tepat pada saat kristal itu hancur, Alunaya kehilangan kendali atas badannya sendiri. Saat dia mulai jatuh, Alunaya berusaha mengepakkan sayapnya untuk bisa mengendalikan badannya, tapi pada akhirnya, naga itu terjatuh ke atas tanah.


Part 7[edit]

Maxfern hanya bisa melongo melihat Alunaya yang terjatuh ke atas taman. Namun, setelah beberapa saat, dia mulai tertawa diam-diam. Tawanya yang bagaikan iblis dari dalam neraka terdengar mengerikan, membuat siapa saja yang mendengarnya akan menjadi gemetar ketakutan.

"Ku, kuku, kukukuku, bagus....betul-betul bagus...meskipun kau punya pedang suci itu, tidak kusangka kau bisa mengalahkan Alunaya..." Saat tawanya menyebar ke seluruh penjuru taman, para setan yang masih menyerang kelompok Alaia berkumpul dan melindungi Maxfern. Di sekitarnya juga terdapat para bawahannya yang setia, yakni para alkemis, dan juga Grevanas beserta dewan penyihirnya. Mereka akan setia mengikuti Maxfern hingga akhirnya.

"Menyerah sajalah, Maxfern."

Setelah mendarat, Koutarou mendekatinya hingga beberapa meter saja. Namun, kelompok yang melindungi Maxfern tidak terlihat akan menyerang. Antara mereka takut dengan Koutaoru, atau tidak diperintahkan untuk menyerang. Yang manapun yang terjai, mereka tidak mengganggu percakapan antara Koutarou dan Maxfern. Kedelapan gadis yang selamat dari bahaya pun melihat situasi itu dari belakang Koutarou.

"Anda kalah."

"...Itu benar. Saya akan mengakui itu. Anda menang, Ksatria Biru."

Yang mengejutkan, Maxfern terlihat menerima kekalahannya. Setelah tidak mendapat pedang yang diincarnya, senjata utamanya, Alunaya, berhasil dikalahkan, semua rencananya digagalkan, dan yang tersisa pada dirinya hanyalah beberapa pengikutnya saja dan gerombolan monster, bahkan sampai kehilangan Forthorthe dari genggamannya, Maxfern sudah tidak punya cara lain lagi untuk membalikkan situasi ini.

"Namun!! Saya tidak berniat untuk mengakui bahwa anda yang memiliki negeri ini, atau dunia ini, Ksatria Biru!! Dunia ini adalah milikku!! Saya tidak akan menyerahkannya kepada siapapun!!"

Sebelum ada yang menyadarinya, para setan sudah memegang botol dengan cairan hitam didalamnya. Namun, mereka tidak berniat untuk melakukan apapun pada Koutarou dan yang lainnya, tapi justru akan terbang ke langit.

"Lakukan, Grevanas!"

"Maxfern-sama, apakah kita harus bertindak sejauh ini?"

"Diam!! Apa kau bisa menerima bahwa apa yang sudah kita lakukan sejauh ini adalah sia-sia!?"

"S-saya tidak berkata demikian, tapi..."

Grevanas, yang sedari tadi menuruti perintah Maxfern dengan tenang, mulai terlihat ragu. Koutarou, yang menyadari hal itu, merasa bahwa ada sesuatu yang salah.

"Kalau begitu, lakukan seperti yang kuperintahkan!!"

"Saya mengerti..."

"Apa yang kau rencanakan, Maxfern!?" tanya Koutarou dengan nada serius. Rasa curiga yang dirasakannya menjadi semakin kuat, membuatnya merasa bahwa sesuatu akan segera terjadi, tapi entah apa. Koutarou tidak bisa terus berdiam diri.

"Seperti yang sudah kukatakan, Ksatria Biru! Saya tidak berniat memberikan kepadamu negeri ini, ataupun dunia ini!"

"Jadi itu rupanya niatmu, Maxfern!!"

Pada saat itulah Alaia angkat bicara, dengan wajah yang menunjukkan rasa terkejut dan ketakutan. Dia tahu apa yang direncanakan oleh Maxfern, apa yang telah diperintahkannya kepada para setan itu.

"Cairan hitam itu, itu racun yang dulu kau gunakan, benar!?"

"Benar sekali!! Bagus sekali, anda memang hebat, puteri Alaia!!"

Botol-botol yang dibawa para setan itu membawa virus berbahaya yang sama yang digunakan Dextro pada sebuah desa. Virus itulah yang telah dikumpulkan, dipelajari dan dibuat oleh para alkemis. Maxfern berencana membuat para setan membawa virus itu ke langit dan menyebarkannya ke seluruh penjuru Forthorthe.

"Apa kau berniat menghancurkan Forthorthe!?"

Saat dia mengerti tujuan Maxfern, Koutarou menjadi menggigil karena takut. Penyebaran virus itu tidak hanya akan menghancurkan Forthorthe saja, tapi juga bisa menyebar ke seluruh penjuru benua atau bahkan dunia itu.

"Hahahaha, bukankan itu cara bagaimana sebuah negeri ditaklukkan!?" tawa Maxfern mengejek Koutarou. Kegilaan bisa terlihat di matanya, dan sesaat kemudian, senyumnya menghilang, matanya memerah dan seluruh wajahnya berubah menunjukkan kegilaannya.

"Negeri dan dunia ini adalah milikku!! Pedang itu mungkin milikmu, tapi aku tidak akan pernah memberikanmu dunia ini!! Lebih baik aku berikan pada mereka yang berada dalam kegelapan daripada kuberikan padamu!!"

Maxfern begitu dipenuhi oleh kebencian dan iri yang besar terhadap pedang suci yang tidak memilihnya, dan juga pada Koutarou yang dipilih oleh pedang itu. Kalau pedang suci itu memilih Koutarou sebagai raja dunia, maka Maxfern akan menghancurkan dunia ini dan membuat terpilihnya Koutarou menjadi sia-sia, demi menolak pilihan pedang suci itu.

"Kukuku, Hahahahaha!! Tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang! Dunia akan berakhir! Dan kau, Ksatria Biru, kau akan berkuasa di atas takhta dari mayat!!"

"Maxfern, kau bangsat!!"

Dengan tawa Maxfern yang memenuhi taman itu, para setan itu pun terbang tinggi, membawa botol yang penuh dengan virus. Jumlah mereka ada sekitar lebih dari 50 setan, dan Koutarou tidak bisa melawan mereka semua sambil menjaga botol itu tetap aman.

"Clan, kamu nggak ada ide!?"

"Aku tidak bisa memikirkan sesuatu secara langsung seperti ini! Kalau satu saja botol-botol itu pecah, sesuatu yang buruk akan terjadi. Tidak mungkin kita menjaga mereka tetap aman..."

Cara seperti itu tidak ada. Kalau satu saja botol itu sampai pecah, virus itu akan menyebar ke area ini, dan sesaat setelahnya akan menyebar ke Fornorn. Ibu kota itu akan menjadi penuh dengan mayat, dan virus itu akan terus menyebar dengan Fornorn sebagai pusatnya.

"Paman! Tolong hentikan itu!"

"Diam, Lidith! Aku tidak mau kau memanggilku paman setelah kau memilih Ksatria Biru!"

"Maxfern!! Semua ini tidak ada artinya!"

"Memang betul, puteri Alaia, memang betul!! Tujuanku adalah menghapus artinya!!"

Sudah tidak ada lagi cara yang tersisa selain membua Maxfern memanggil kembali para setan itu. Namun, karena sudah kehilangan kewarasannya, Maxfern tidak akan pernah mau. Hal yang diinginkannya sekarang adalah membalas dendam pada sang dewi yang sudah salah menilainya.

"Sudah tidak bisa lagi, Veltlion! Forthorthe akan hancur!"

Clan bisa membuat obat untuk virus itu, namun negeri itu harus hancul lebih dulu sebelum dia bisa mengobati semua orang. Waktu yang ada terlalu sedikit, dan situasinya jauh lebih berbeda daripada saat menyelamatkan sebuah desa.

"Ksatria Biru! Tolong lakukan sesuatu! Kau pasti bisa melakukan sesuatu, benar!? Tolong katakan kalau ada jalan!"

"Puteri Charl...", balas Koutarou yang hanya bisa menggertakkan giginya.

Sialan, apa aku cuma bisa nonton doang!?

Kenyataannya, Koutarou ingin berkata pada Charl bahwa dia bisa melakukan sesuatu, tapi dia tidak bisa, karena dia tidak tahu harus berbuat apa.

"Caris-chan, apa kau tidak bisa menggunakan sihirmu untuk melakukan sesuatu?"

"Tidak mungkin. Mereka sudah menyebar jauh, jadi aku tidak bisa melakukan apa-apa."

"Flair-sama, apa yang harus kita lakukan?"

"Maafkan saya, Mary. Saya tidak tahu."

Setan-setan itu terbang satu demi satu di hadapan Koutarou yang lainnya, seakan menunjukkan bahwa seperti inilah dunia mereka akan berakhir.

Ini pertama kalinya aku ngelihat sesuatu yang serem kayak gini...nggak, tunggu dulu, apa bener ini yang pertama?

Pada saat itulah, sebuah keraguan masuk ke pikiran Koutarou. Dia merasa bahwa dia pernah melihat pemandangan ini sebelumnya.

Kapan itu? Kapan aku pernah ngelihat ini? Ingatan yang mana?

Dengan putus asa, Koutarou berusaha menelusuri ingatannya, yang mungkin menjadi kunci untuk menyelesaikan masalah ini. Saat ini, Koutarou ingin mencoba apapun yang bisa dia lakukan.

"Ah..."

Sebentar kemudian, Koutarou akhirnya kembali mengingat apa yang ingin diingatnya, yakni saat dia bertarung melawan Clan. Saat Clan akan meluncurkan serangan terakhirnya, Koutarou mendengar sebuah suara entah darimana, dan si empunya suara itu menunjukkan kepadanya monster-monster yang aneh, yang terbang ke langit membawa botol hitam, dan--

"Clan!"

Mata Koutarou pun berbinar dan dia langsung bergegas ke arah Clan, memegang pundaknya lalu mengguncang-guncangnya. Koutarou betul-betul sudah tidak peduli dengan sekitarnya begitu sudah mendapatkan solusinya.

"A-ada apa!?"

Karena tiba-tiba digoyang-goyangkan seperti itu, mata Clan berputar-putar dibuatnya.

"Kita gunakan itu! Kau tahu, itu!"

"Tolong tenang dulu, apa yang kau bicarakan!?"

"Maksudku, bom yang mengirim kita ke sini!! Pakai itu buat ngeledakkin setan-setan itu sama botolnya, sekaligus!!"

Bom itu, yakni peluru super repulsi ruang waktu, adalah senjata terhebat yang dibuat oleh Clan. Jika ditembakkan, peluru itu bisa membuat apapun yang berada dalam jarak ledakannya terlempar dari jagad raya. Koutarou ingin agar Clan menggunakan peluru itu untuk melempar baik setan-setan dan botol-botol itu keluar dari dunia ini.

"B-benar, kalau begitu, kalau begitu!! Tapi, peluru itu masih dalam pengaturan, kita tidak tahu kemana--"

"Tolol!! Sekarang bukan waktunya!! Buruan tembak sebelum telat!!"

"Aku mengerti, aku mengerti!! Cradle!! Segera bersiap untuk menembakkan peluru super repulsi ruang waktu!"

"Baiklah, tuan puteri."

Tepat disebelah Clan yang berteriak dengan putus asa, sebuah lubang hitam muncul dengan ukuran yang lebih besar dari ukuran yang biasanya untuk mengeluarkan senjata. Sebuah kerucut berujung bulat muncul dari lubang hitam itu, yakni hulu ledak peluru itu. Clan membuat dua peluru misil, dimana yang satu sudah dihancurkan oleh Koutarou, dan yang kedua adalah yang sekarang akan ditembakkannya. Kenyataannya, dia ingin menggunakan peluru itu untuk kembali pulang, tapi Clan sudah tidak punya pilihan lagi sekarang.

"Tembak kalau udah siap, Clan!"

"Paling tidak, biarkan aku lakukan pemeriksaan terakhir!"

"Nggak usah!"

"Baik, baik, aku mengerti! Hhh!!"

Peluru repulsi itu sudah diisi penuh dengan energi. Karena Koutarou sudah berkata untuk menggunakan segala macam cara, Clan sudah mengisinya jauh sebelumnya.

"Sudah terlambat, tidak peduli apapun yang kalian rencanakan! Duduk saja dan pasrahlah!" ujar Maxfern dengan sombongnya. Dia tidak tahu apa yang direncanakan oleh Koutarou atau apa yang akan ditembakkan oleh Clan. Karena dia sudah yakin bahwa sudah terlambat bagi mereka untuk melakukan apapun, Maxfern membiarkan mereka mencoba apapun yang mereka mau.

"Apa yang anda lakukan, Koutarou-sama? Apa yang harus kami lakukan?"

Namun, lain halnya dengan Alaia. Dia bisa merasakan sesuatu yang serius dari tindakan Koutarou dan Clan dan meminta petunjuk dari mereka berdua.

"Menunduk! Sebentar lagi akan ada ledakan besar!"

"Aku sudah selesai memasukkan koordinat target dan parameternya!! Target sudah terkunci! Ini dia,Veltlion!!"

"Tembak!!"

"Semuanya, merunduk!!"

"Tembaaaaaaak!!"

Para gadis menuruti perintah Alaia dan menundukkan badan mereka. Sesaat setelahnya, sebuah misil yang berukuran sebesar badan Alaia keluar dari lubang hitam itu. Mesin misil itu lalu mengeluarkan api dan terbang menuju para setan yang berada di atas Maxfern.

Bener juga, memang seperti ini yang aku lihat...

Pemandangan misil yang terbang itu bertumpuk dengan tepat dengan apa yang diingat Koutarou.

Misil itu mengejutkan Maxfern dan bawahannya.

"Apa!? Grevanas, apa itu!?"

Maxfern, yang kaget melihat sesuatu yang tidak diketahuinya terbang ke arahnya, bertanya pad Grevanas. Dia yakin bahwa benda itu adalah benda sihir atau semacamnya.

"Saya tidak tahu! Itu mungkin sebuah senjata, tapi sesuatu seperti itu tidak mungkin mengalahkan semua--"

Grevanas dengan cepat memulai penjelasannya, namun dia tidak bisa menyelesaikannya. Misil itu terbang lebih cepat daripada penjelasannya, dan mengaktifkan hulu ledak super repulsi ruang waktu di koordinat yang ditentukan.

Sesaat setelahnya, sebuah kilatan besar terjadi dan gerombolan setan itu terbungkus dalam sebuah kubus raksasa, yang tidak hanya membungkus mereka saja tapi juga Maxfern, orang-orang disekitarnya dan juga kastil itu.

Kubus itu hanya muncul selama beberapa saat saja, dan kemudian menghilang dalam sekejap, dengan membawa serta semua yang berada di dalamnya, baik para setan, botol yang dibawa oleh mereka, Maxfern dan bawahannya, beserta kastil yang ada di belakang mereka. Setelah kubus itu menghilang, kubus itu meninggalkan sebuah lubang besar, dan sebuah gempa bumi disertai gemuruh terjadi yang seakan mengguncang seluruh dunia.

"Uwaaaaaaaaaaa!!"

"Kyaaaaaaaaaaa!!"

Koutarou dan para gadis pun berteriak. Medan pelindungnya bisa menghalangi gelombang gemuruh itu, tapi tidak dengan gempa buminya. Semuanya berusaha dengan keras untuk tetap bertahan di atas tanah. Kalau tidak, mereka pasti akan jatuh dan terluka karena guncangan yang luar biasa itu.

"...A-apa semuanya sudah berakhir?"

Namun, karena itu bukan gempa bumi asli, guncangannya pun segera mereda. Koutarou dengan cepat bangkit dan melihat sebuah lubang berbentuk kotak yang berada di tanah. Sudut-sudut tajam pada lubang itu bisa menggambarkan seberapa besar kekuatan peluru super repulsi ruang waktu itu.

"Apa, kita berhasil...?"

"Kita berhasil, Veltlion!! Mereka semua sudah hilang!!"

Para setan itu sudah tidak terlihat lagi, dan juga botol-botol yang mereka bawa. Semuanya sudah terlempar ke luar jagad raya, membuat Forthorthe selamat dari krisis.

"Tidak, belum selesai, Veltlion! Lihat itu!"

Namun, pada saat itulah Flair menunjuk ke arah langit dengan wajah yang terlihat panik.

"Gawat!! Kelihatannya ada satu yang selamat!!"

Seekor setan bisa terlihat di arah dimana Flair menunjuk, masih terbang dengan goyah setelah terkena gelombang kejut itu. Dia juga masih membawa botol itu di tangannya. Untungnya, setan itu yang terkena sebagian besar gelombang kejut itu karena botolnya tidak hancur.

"Kita tidak bisa membiarkan yang itu kabur!! Cepat--"

Dan tepat saat Koutarou akan terbang untuk mengejarnya...

"Koutarou-sama, dia jatuh!!"

"Apa!?"

Setan yang terbang dengan gemetaran itu pun tiba-tiba terjatuh. Luka yang didapatnya sewaktu terkena gelombang kejut itu pastilah cukup berat, dan akhirnya dia kehabisan tenaga.

"Gawat, botolnya akan pecah!!"

Tentu saja, botol itu pun turut jatuh bersama dengan si setan. Kalau sampai pecah, virus di dalamnya akan menyebar dan menyebabkan bangkitnya mimpi buruk yang lain.

Gawat, aku nggak sempat!

Meskipun mereka tahu kalau akan ada sesuatu yang buruk kalau sampai botol itu pecah, tidak ada di antara mereka yang bisa meraihnya. Setan itu sudah terlalu jauh dan Koutarou tidak bisa sampai ke sana tepat waktu. Sudah tidak ada lagi hal yang bisa mereka lakukan.

"Tidak usah khawatir."

Tepat di saat itulah, sesuatu yang besar menghalangi sinar matahari dan membuat Koutarou dan yang lainnya berada dalam bayangan. Koutarou, yang melihat ke atas, terkejut dengan apa yang dilihatnya.

"Alunaya!? K-kau masih hidup!?"

"Kau harusnya bersyukur karena aku masih hidup."

Sesaat setelahnya sebuah garis cahaya keputihan bisa terlihat melintasi langit, yakni nafas api yang dikeluarkan Alunaya.

Suhu yang sangat tinggi dari api itu membakar habis si setan, beserta botol dan juga isinya.



Laut Emas dan Salju Perak[edit]

Part 1[edit]

Alaia dimahkotai sebagai kaisar dan upacara penganugerahannya diadakan saat musim dingin, yang berjarak beberapa hari setelah tahun baru.

Dengan terlemparnya Maxfern dan Grevanas keluar jagad raya, kudeta pun berakhir dengan sendirinya.

Semuanya berasal dari insiden yang dibuat oleh Maxfern dan Grevanas, dan setelah insiden itu diselesaikan, tidak ada lagi orang yang berdiri melawan keluarga kekaisaran. Pasukan kudeta pun menyerah, dan Alaia beserta yang lainnya akhirnya kembali ke istana kekaisaran.

Bulan setelahnya menjadi bulan yang penuh dengan kesibukan. Sistem politik yang runtuh harus diperbaiki, dan pasukan kekaisaran harus dipulihkan setelah perang sipil yang terjadi agar negara-negara tetangga tidak dapat merencanakan hal yang tidak-tidak. Meskipun kudeta telah berakhir, Forthorthe tetaplah sebuah negeri, jadi ada banyak hal yang harus dilakukan. Dengan dibantu oleh yang lainnya, Alaia menyelesaikan tugas demi tugas yang ada.

Sekitar sebulan setelah berkahirnya perang, negeri itu mulai pulih kembali, dimana sebagian besar kekacauan yang ada sudah menjadi stabil dan industri yang kacau karena perang sudah mulai berjalan kembali. Alaia, yang merasa bahwa inilah kesempatan baginya, mengumumkan penyerahan mahkota bagi dirinya kepada para penduduk untuk memberikan mereka harapan. Sebagai hasilnya, seluruh Forthorthe merayakan hal itu sekuat mungkin semenjak berdirinya negeri itu.

"...Luka yang dibuat oleh perang masih belum pulih. Setelah satu bulan, akhirnya negeri ini mulai pulih kembali. Namun, saya tidak merasa pesimis. Saya bisa kembali berada disini berkat bantuan dari semua orang. Jadi, tidak mungkin luka negeri ini tidak akan pulih, karena semua orang saling membantu untuk menyembuhkannya. Itulah yang saya yakini."

Alaia sedang memberikan pidato di lapangan istana kekaisaran, dimana terdapat banyak orang yang berkumpul untuk menyaksikan penyerahan mahkota untuknya. Di atas kepala Alaia, terdapat sebuah mahkota yang indah yang terbuat dari platinum dan dihiasi oleh berbagai permata. Itulah bukti bahwa dirinya adalah kaisar dari Forthorthe.

Hari inilah hari dimana Alaia menjadi seorang kaisar. Hari inilah hari dimana Kekaisaran Suci Forthorthe kembali menggerakkan roda sejarahnya. Roda itu akan terus berputar, dan 1000 tahun dari sekarang, Forthorthe akan memasuki zaman luar angkasa dan akan menjadi kekaisaran galaktik. Lalu, 1000 tahun kemudian, seorang gadia akan beranjak dari tempat ini menuju tepi luar angkasa dalam sebuah kapal tempur berwarna biru. Hari inilah langkah pertama menuju hari itu, dan disaat yang sama, sebuah akhir pun mendekat.

Alaia turun dari podium setelah menyelesaikan pidatonya dan menghela nafas.

"Fiuh..."

Setelah melakukan itu, dia mengambil nafas dalam-dalam beberapa kali. Dengan badannya yang lemah, hari penganugerahan mahkota cukup membebani dirinya.

"Kerja bagus, Yang Mulia."

Sementara Alaia masih terus mengambil nafas, Fauna mendekatinya, menaruh tangannya di dada Alaia dan raut wajah Alaia yang terlihat sakit pun menjadi lebih santai.

"Fauna, saya senang anda berada disini."

"Tolong rawatlah badan anda. Yang Mulia, tidak, Baginda, badan anda sekarang bukanlah milik anda sendiri."

"Terima kasih, Fauna. Tolong terus bantu saya."

Sebagai bayaran untuk membangungkan Signaltin, kesehatan Alaia menjadi memburuk. Karena itulah Fauna menggunakan energi spiritual dari waktu ke waktu untuk menyembuhkannya. Ini adalah rahasia di antara mereka berdua, bahkan Charl, adik Alaia sendiri, tidak tahu.

"Kakak!"

Dan Charl sekarang sedang berlari menuju Alaia, dengan Mary yang berada di belakangnya.

"Jangan, Yang Mulia, pelankan sedikit! Baju anda akan lepas!"

"Tidak apa-apa! Kau terlalu kuatir, Mary."

Seperti halnya Alaia, Charl sedang memakai pakaian formal untuk upacara itu. Namun, dia tidak memperdulikan itu saat dia berlari dengan cerianya. Sementara itu, Mary kuatir kalau-kalau pakaian itu akan sobek atau lepas.

"Kakak!"

Charl lalu melompat ke arah Alaia. Karena dia sudah memasuki masa pertumbuhan, Charl sudah bertumbuh dengan cukup pesat dalam waktu singkat. Sebagai hasilnya, Alaia goyah saat menangkap Charl. Namun, karena Flair dengan santainya membantu Alaia, dia tidak terjatuh.

"Terima kasih, Flair."

"Tidak apa-apa, baginda. Ini sudah menjadi tugas saya", balas Flair sambil tersenyum lembut pada Alaia dan Charl.

Belakangan ini, Flair menjadi lebih feminim. Ini mungkin terjadi karena perang yang telah berakhir. Karena dia memiliki rasa tanggung jawab yang paling besar, Flair selalu bersikap waspada semenjak kudeta dimulai. Dengan berakhirnya semua itu, kepribadiannya yang sebenarnya akhirnya mulai muncul kembali.

"Jadi, menagapa kau begitu terburu-buru, Charl?"

"Ksatria Biru tidak ada disini! Kakak, apa kau melihatnya?"

Charl rupanya berlari seperti itu karena dia sedang mencari Koutarou. Karena dia merasa bosan setelah mengikuti proses upacara, Charl memutuskan untuk bermain dengan Koutarou. Namun, Koutarou tidak bisa ditemukan olehnya dimanapun, dan Charl memutuskan untuk bertanya pada Alaia jika Alaia mengetahui keberadaannya.

"Lidith, tugas apa yang sedang dilakukan oleh Layous-sama saat ini?"

"Tuan Veltlion tidak mendapat tugas apapun hari ini", balas Lidith sambil menggelengkan kepalanya saat Alaia bertanya padanya. Sat itu, Lidith yang sedang bertugas menjadi asisten pribadi Alaia, sedang menggunakan sebuah jubah panjang yang menunjukkan identitasnya sebagai seorang bangsawan. Kalau dalam zaman modern sekaran g ini, bisa dikatakan bahwa Lidith adalah semacam sekretaris bagi Alaia. Lidith sendiri ingin menjadi seorang perdana menteri, jabatan yang sama seperti pamannya dahulu. Lidith ingin memperbaiki segala sesuatu yang diperbuat oleh pamannya yang telah salah melangkah saat menjabat dahulu.

"Aneh sekali, dia baru saja disini beberapa saat yang lalu..."

Alaia bisa mengingat kalau dia melihat Koutarou saat kepala pendeta memahkotai dirinya, karena dia secara diam-diam ingin Koutarou melihatnya dengan mahkota, jadi Alaia yakin dengan hal itu.

"Hmmm...apa kau tahu, Caris?" tanya Charl pada Caris. Rupanya Caris dan Charl sudah menjadi seakrab Koutarou dan Charl sendiri, jadi Caris menjadi orang yang mudah diajak bicara oleh Charl.

"Aku tidak melihatnya di ruang makan", jawab Caris sambil menggelengkan kepalanya yang masih mengunyah roti di tangannya.

Caris sekarang adalah salah seorang dari sedikit penyihir yang masih tersisa di Forthorthe. Dengan menghilangnya para penyihir istana beserta Grevanas, para penyihir yang tersisa hanyalah mereka yang saat itu sedang menjalankan misi. Caris saat itu bertugas sebagai pemimpin mereka, yakni kepala penyihir istana.

Alaia membuat kebijakan dimana dia tidak akan membuka lowongan lagi bagi para penyihir, karena dia harus mengurangi jumlah penyihir yang ada setelah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Grevanas. Alaia berencana untuk membuat sebuah negeri yang tidak bergantung pada kekuatan spesial atau orang-orang spesial, yang nantinya akan membuat jabatan penyihir istana menghilang. Namun, Caris merasa bahwa itulah yang terbaik, karena baginya, jika sihir tidak dibutuhkan lagi, maka itu adalah bukti bahwa kedamaian sudah tiba. Caris ingin melanjutkan hidupnya dengan menikmati makanan yang enak setiap harinya. Agar itu bisa terjadi, maka kedamaian pun harus ada untuk waktu yang lama.

"Hmmm...Ksatria Biru, kemana dia pergi...apa dia betul-betul tidak mau membiarkanku naik kuda lagi..."

Kemana.

Saat Alaia mendengar kata itu dari Charl, intuisinya membuatnya teringat akan sesuatu.

"Dari waktu yang tak berujung dan dari jarak yang tak terhitung."

Saat itu juga Alaia langsung mulai berlari.

"Kakak!?"

Charl langsung mengejar mengikuti Alaia, karena dia tahu bahwa Koutarou ada di tempat kemana Alaia akan berlari.

"Koutarou-sama!!"

Jawaban yang didapatkannya bukan berasal dari logika, hanya dugaan saja. Namun, Alaia harus berangkat, karena jika tidak, dia merasa bahwa dia tidak akan pernah bisa melihat Koutarou lagi. Dengan begitu, Alaia pun mulai berlari, mempercayakan badannya pada perasaan yang kuat yang berada dalam dirinya dan menggerakkan kakinya secepat yang ia bisa, membuatnya melupakan upacara penganugerahan mahkota yang baru saja dijalaninya.

Sementara itu, Koutarou berdiri diatas sebuah bukit kecil di daerah pedesaan Fornorn. Yang menemaninya saat itu adalah Clan, dan seekor naga merah tua sebesar 20 meter.

"Begitu rupanya, jadi kalian berdua juga akan berangkat pulang."

"Ya. Kami sudah melihat seluruh pemandangan yang ada di negeri ini."

Sang kaisar naga api, Alunaya, disambut di Forthorthe sebagai tamu negeri.

Rupanya, Alunaya berada di bawah pengaruh sihir Grevanas, yang berasal dari kristal biru di lehernya, dan dipaksa untuk bertarung. Kendali itu pun lepas saat Koutarou menghancurkan kristalnya. Itulah sebabnya dia menyelamatkan semua orang dengan nafas api terakhirnya. Alunaya bukanlah naga yang berbahaya, melainkan naga yang damai.

Setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, Alaia yang begitu merasa berterima kasih pada Alunaya mengundangnya sebagai tamu negeri. Berbagai makanan segar dan minuman dibawa kepada Alunaya setiap harinya, bahkan pemain musik dan pemain drama turut diundang dan memainkan pentas baginya. Itulah cara Alaia berterimakasih pada Alunaya, dan di saat yang sama juga meminta maaf atas apa yang telah dilakukan oleh Maxfern dan Grevanas padanya. Alunaya menerima permintaan maaf itu dan telah menjadi sahabat Forthorthe.

Rokujouma V8.5 267.jpg

Namun, setelah upacara penganugerahan mahkota, Alunaya memutuskan untuk pergi. Karena naga dan manusia punya cara hidup masing-masing, dan Alunaya sendiri punya hal untuk dilakukan, dia tidak bisa berada disini selamanya.

"Kemana kau akan pergi sekarang, Alunaya-san?"

"Ke rumah yang baru. Dunia ini sudah menjadi semakin dingin, membuat kami menjadi semakin sulit untuk hidup disini. Itulah sebabnya kami memutuskan untuk pergi ke dunia yang lain. Para naga yang lainnya sudah menunggu kepulanganku."

"Dunia yang lain...jadi begitu rupanya."

Itulah alasan mengapa naga mulai menghilang dari Forthorthe sedikit demi sedikit. Bukan karena mereka mati, melainkan karena mereka pindah ke dunia yang lebih nyaman bagi mereka. Naga yang masih tinggal di dunia itu hanyalah naga dengan tingkat kepintaran yang rendah, naga yang tidak mau mendengar saran dari naga lain dan naga yang tidak mau pindah.

Kenyataan itu memang mengejutkan, tapi Koutarou dan Clan tahu betapa kuatnya Alunaya. Ditambah, karena mereka berdua sendiri juga berasal dari dunia yang lain, mereka berdua bisa menerima apa yang dikatakan oleh Alunaya.

"Kemana kalian berdua akan pergi?"

"Kami akan kembali ke masa depan."

"Masa depan!? Fuhaha, pantas saja kalian memiliki aroma yang aneh. Begitu rupanya, jadi ini aroma masa depan."

Hal yang sama pun berlaku bagi Alunaya, yang bisa menerima dengan mudahnya fakta bahwa Koutarou dan Clan berasal dari masa depan. Karena mereka adalah sesuatu yang asing bagi dunia itu, mereka bertiga terhubung oleh keadaan itu.

"Tapi. Kalau kalian tidak berasal dari zaman ini...aku harus berterimakasih juga kepada kalian."

Alunaya yakin bahwa rasa terima kasihnya pada penduduk Forthorthe adalah dengan menghancurkan botol berisi virus. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Koutarou yang bukan dari dunia ini. Karena Alunaya punya rasa balas budi yang begitu kuat, dia merasa bahwa dia harus berterimakasih pada Koutarou dengan suatu cara.

"Tidak usah berterima kasih. Kalau Forthorthe tidak selamat, kami tidak akan bisa kembali ke dunia asal kami."

"Kukuku....kalau beigtu, anggaplah ini sebagai tanda persahabatan", balas Alunaya sambil tertawa kecil, dan kemudian matanya mulai bersinar kehijauan. Setelahnya, sebuah lambang kepala naga terukir di punggung tangan Koutarou. Namun, Koutarou tidak merasakan sakit apapun, karena lambang itu dibuat oleh Alunaya dengan menggunakan sihir, yang ternyata mirip dengan lambang di kepala Alunaya.

"Ini..."

"Lambang ini terhubung denganku. Kalau kau membutuhkan bantuanku, sampaikanlah keinginanmu pada lambang itu. Aku pasti akan datang, tidak peduli seberapa jauh kita terpihsa atau seberapa banyak waktu telah berlalu."

"Kau tidak perlu melakukan sesuatu seperti ini."

"Memang benar. Tapi kalau begitu, panggillah aku untuk bermain-main sebelum kau meninggal."

"Apa memanggilmu untuk alasan seperti itu tidak apa-apa?"

"Seperti yang sudah kukatakan, itulah tanda persahabatan kita. Kukuku...dengan begitu!"

Alunaya mengembangkan sayapnya yang besar sambil tertawa dan mulai mengepakkannya beberapa kali. Itu sudah cukup untuk membuat rambut Koutarou dan Clan berkibar karena angin hempasannya.

"Aku rasa sudah waktunya bagiku untuk pergi. Senang bisa bertemu denganmu, Ksatria Biru."

"Sama-sama. Jaga dirimu baik-baik, kaisar naga api Alunaya."

"Pembantu, semoga kau juga tetap sehat."

"Kau salah, Veltlionlah si pembantu."

"Kukuku, kalian memang orang-orang yang menarik."

Alunaya mengepakkan sayapnya yang besar dan terbang melintasi langit dalam sekejap. Matahari yang mulai terbena menyinari badan merah sang naga, membuatnya terlihat seperti sedang dilalap oleh api. Alunaya terus terbang dan menghilang dibalik kaki langit tanpa menoleh ke belakang sekalipun, membuktikan kehebatan namanya bahkan saat ia pergi dengan meninggalkan kesan yang gagah dan agung.

"...Aku rasa udah waktunya buat kita pulang, Clan."

"Benar. Kita sudah cukup lama tinggal disini."

Setelah mereka tidak bisa melihat Alunaya lagi, Koutarou dan Clan melangkah menuju kapal luar angkasa Clan, Cradle, yang sudah dibawa ke bukit itu.

"Tapi, tetep aja pada akhirnya si Ksatria Biru yang asli nggak pernah muncul..."

"Tapi, sejarah kurang lebihnya sudah diperbaiki. Dengan begini kita bisa kembali ke waktu dan tempat kita yang seharusnya."

"Aku harap begitu...."

Koutarou dan Clan berjalan beriringan dengan santainya. Awalnya, mereka hanya ingin bisa kabur dari zaman ini, namun sekarang mereka merasa enggan untuk itu, membuat langkah mereka semakin melambat. Mereka ingin menikmati pemandangan yang ada di zaman ini sedikit lebih lama lagi, untuk bisa menikmati angin yang berhembus sedetik lebih lama lagi.

"Ngomong-ngomong, gimana kita bisa pulang? Kalau aku nggak salah, kamu udah dapet petunjuk?"

"Saat ini, Cradle tidak akan bisa terbang ke angkasa. Jadi aku memutuskan bahwa kita bisa menggunakan kapal itu sebagai tempat tidur sungguhan[3] dan tidur sampai suku cadang yang kita perlukan untuk memperbaiki kapal sudah dibuat."

"Bahkan kalau kita tidur, kita pasti mati sebelum sampai ke waktu itu. Suku cadang-suku cadang itu nggak dibuat sebelum 2000 tahun lagi, ya kan?"

"Tidak apa-apa. Dengan membekukan waktu di dalam Cradle, waktu akan berhenti bagi kita, tapi akan terus berjalan di luar itu. Tentu saja, aku harus mengaturnya lebih dulu."

"...Karena aku nggak ngerti, aku serahin semuanya sama kamu ya."

"Baik, baik. Selalu saja aku yang harus mengerjakan semuanya..."

Saat mereka pertama kali tiba di zaman ini, mereka berdua dulunya mencoba untuk saling membunuh. Namun, sekarang rasanya seperti mereka telah berteman sejak lama. Hubungan mereka pun berubah dengan sangat setelah mereka tiba disini, seiring dengan banyaknya waktu yang telah berlalu.

Hal itu tidak berlaku hanya untuk mereka berdua saja. Karena mereka telah menjadi akrab dengan orang-orang yang berada pada zaman ini, keputusan untuk meninggalkan orang-orang itu membuat mereka berdua merasa kesepian. Langkah mereka berdua pun semakin melambat, menunjukkan rasa sayang mereka pada orang-orang zaman ini.

"Ngomong-ngomong...apa tidak apa-apa, kau tidak menyampaikan salam perpisahan pada Alaia-san dan yang lainnya?"

"Yap. Kalau aku ngelakuin itu, aku pasti bakal ragu buat pulang."

"Aku mengerti bagaimana perasaanmu. Aku yakin aku juga pasti akan mengundurkan waktu untuk kita kembali, dan pada akhirnya kita tidak akan pernah kembali..."

"Jadi kamu bisa juga jadi imut dan baik kayak gitu juga."

"A-Apa-apaan maksudmu itu!? Haaa...ampun deh..."

Waktu bagi mereka berdua untuk pergi pun telah tiba. Itulah saat-saat yang telah ditunggu-tunggu oleh mereka berdua.

Namun, meninggalkan ikatan yang telah mereka buat adalah hal yang sangat menyedihkan bagi mereka.


Part 2[edit]

Agar mereka berdua bisa tidur selama 2000 tahun, mereka perlu sebuah tempat yang tidak akan diganggu selama 2000 tahun. Tidak ada banyak tempat seperti itu, namun untungnya, Clan tahu kemana harus mencari tempat itu.

Alaia pertama kali mengumpulkan pasukan untuk merebut kembali Forthorthe di sebuah benteng kecil di wilayah Pardomshiha, yang mana daerah itu akan menjadi dikenal sebagai "Wilayah spesial Veltlion" pada 2000 tahun yang akan datang, dan dijaga dengan sangat ketat. Setela perang, Alaia memberikan wilayah itu pada Ksatria Biru, dan wilayah itu dijadikan sebagai wilayah spesial yang bahkan keluarga kekaisaran sendiri pun tidak boleh mengganggunya.

Dalam wilayah itu, Koutarou dan Clan akan bisa tidur tanpa terganggu selama 2000 tahun. Baik penelitian maupun penggalian tidak akan diizinkan di tempat itu. Meskipun ada rumor yang beredar mengenai penelusuran wilayah itu pada perayaan 2000 tahun memperingati penobatan Alaia, tapi pada akhirnya tetap tidak ada yang terjadi di wilayah itu.

Koutarou dan Clan sekarang akan menuju wilayah spesial itu dengan menggunakan Cradle. Meskipun kapal itu tidak bisa terbang ke luar angakasa, beberapa perbaikan darurat masih bisa membuatnya terbang di langit. Mereka berdua bisa mencapai wilayah spesial itu sebelum matahari betul-betul terbenam.

"Veltlion, pergilah ke kokpit setelah kau melepas zirahmu."

"Baik, aku segera kesana kalau udah selesai."

Setelah Koutarou masuk ke dalam Cradle, dia berpisah dengan Clan yang menuju ke kokpit, dan lalu pergi ke hangar. Tugasnya sebagai pengganti Ksatria Biru pun berakhir, dan Koutarou sudah tidak perlu memakai zirah itu lagi. Dia pun berniat melepaskannya dan membuat badannya menjadi ringan.

Setelah masuk ke hangar, Koutarou berjalan ke tempat yang diperuntukkan untuk perbaikan baju luar angkasa. Alat di tempat itu mulai bergerak secara otomatis, dan setelah memastikan baju apa yang sedang dipakai oleh Koutarou, alat itu mulai menggerakkan tangan-tangan mekanisnya dan meletakkannya di tempat perbaikan. Setelahnya, zirah itu pun terbuka dan Koutarou keluar dari dalamnya.

"Praktis banget."

Setelah keluar dari zirah itu, Koutarou berbalik ke tempat perbaikan itu, dimana dia bisa melihat banyak kerusakan pada zirah biru itu. Bengkokan, bekas cakaran, bekas terbakar dan banyak lagi. Semua kerusakan itu mengingatkan Koutarou akan pertarungan-pertarungan sengit yang telah dijalaninya.

"Kamu udah kerja keras banget....makasih banget ya", gumam Koutarou sambil mengetuk pelan lempengan dada zirah itu sebagai bentuk penghormatannya. Setelah setengah tahun hampir memakai zirah itu setiap saat, Koutarou menjadi merasa sayang dengannya.

"Saya merasa terhormat, tuanku."

"Bener-bener deh, kamu memang hebat", balas Koutarou sambil tersenyum setelah mendengar balasan dari sistem zirah itu, lalu melepas lencana gelar dari kayu di lempengan dada zirah itu dan kedua pedang dari pinggangnya. Ketiga benda itu adalah sesuatu yang tidak ingin dia tinggalkan begitu saja di dalam hangar.

"Oke."

Koutarou lalu memakai lencana itu dan memasang kedua pedang itu pada badannya dan melangkah menuju pintu keluar hangar. Di saat yang bersamaan, dia bisa merasakan lantai yang dipijaknya bergetar dan mendengar gemuruh yang keras.

"Jadi, kita udah lepas landas ya..."

Semua itu berasal dari Cradle yang sudah terangkat dari tanah. Setelah beberapa saat, getaran itu berhenti dan gemuruh yang didengarnya di hangar pun juga berhenti. Setelah terangkat sedikit dari atas tanah, kapal luar angkasa itu tidak bergetar sama sekali. Sekarang, yang tinggal dilakukannya adalah terbang dengan tenang menuju "Wilayah spesial Veltlion".

"Namun, saat dia akan meninggalkan hangar, sebuah suara yang keras kembali terdengar. Kali ini, suara itu berasai dari sebuah panggilan suara dari panel di dekat pintu masuk hangar, dan sesaat setelahnya Clan muncul dari panel itu.

"Veltlion. Rombongan perpisahannya sudah datang", kata Clan yang diiringi dengan terbukanya lubang palka di sisi buritan kapal dengan perlahan.

"...Rombongan perpisahan?"

Hal pertama yang dilihat Koutarou lewat lubang palka itu adalah salju yang sudah mulai turun. Selanjutnya, dia melihat sebuah padang rumput yang bergoyang ditiup angin dan disinari mentari senja.

Dan saat palka itu sudah terbuka seluruhnya, Koutarou bisa melihat kemilau perak dan emas.

"Koutarou-sama!!"

"Ksatria Biru!"

Itulah Alaia dan Charl, yang masih memakai pakaian formal mereka dari upacara penobatan. Angin yang berhembus di padan rumput itu meniup rambut mereka berdua, dan sinar matahari membuat rambut mereka berkilau. Cradle saat itu sudah berada pada ketinggian yang sudah cukup tinggi, tapi Koutarou tidak akan pernah salah mengenali mereka berdua maupun melupakannya.

"Kaisar Alaia! Puteri Charl!"

Koutarou berpegangan pada pegangan di dekat palka dan berteriak pada mereka berdua yang berada dibawahnya. Saat mereka mendengar itu, wajah mereka pun menjadi senang dan mereka melambaikan tangannya.

Gitu rupanya...jadi mereka datang buat ngelihat kepergianku...

Koutarou begitu terhenyak sampai dia tidak bisa berkata-kata lagi, dan hanya bisa terus memandangi mereka berdua yang masih terus melambai ke arahnya. Namun, saat dia melihat ke arah mereka berdua, pandangannya menjadi kabur karena matanya yang mulai basah karena air mata. Dia langsung mengusapnya agar bisa melihat mereka berdua dengan jelas, namun pandangannya kembali kabur dengan segera. Koutarou akhirnya menyerah untuk melakukan itu dan lalu berteriak:

"Selamat tinggal! Kaisar Alaia! Puteri Charl!"

Kenapa aku nggak bisa ngomong sesuatu yang lebih bagus lagi? Koutarou begitu gusar dengan kebodohannya. Yang bisa dikatakannya hanyalah perpisahan yang begitu sederhana, tapi sebenarnya, dia memiliki rasa syukur, persahabatan dan kesepian yang ingin disampaikannya pada mereka berdua.

"Jangan menangis, Ksatria Biru!! Kau laki-laki, benar bukan!!"

Namun, apa yang ingin disampaikan oleh Koutarou rupanya sudah tersampaikan pada mereka berdua. Mereka berdua pun menghapus air mata mereka dan terus melihat dengan penuh semangat saat Koutarou menjadi semakin jauh dari mereka berdua.

"Ksatria BIru!! Bermainlah denganku kalau kita bertemu lagi!! Jaga dirimu baik-baik!!"

Charl sudah menangis sedari tadi saat dia mengerti bahwa Koutarou akan kembali pulang. Namun, sekarang dia berusaha dengan keras untuk tetap tersenyum sambil menyampaikan salam perpisahan padanya. Sudah tak terhitung banyaknya air mata yang mengalir deras membasahi pipinya, tapi Charl tidak peduli dengan hal itu. Dia terus melambaikan tangannya yang mungil pada Koutarou, dengan setiap lambaian diiringi dengan jatuhnya air mata yang bagaikan mutiara dari pipinya.

"Koutarou-samaaaaa!!"

Selanjutnya, Alaia merentangkan tangannya dengan lebarnya sambil berusaha meraih Koutarou, seakan mencoba memeluknya sementara Koutarou semakin dan semakin jauh darinya. Sambil melakukan itu, Alaia membuka mulutnya dan berusaha untuk menyampaikan kata-kata terakhirnya bagi Koutarou.

Tepat pada saat itu, roket pendorong Cradle pun menyala, dan suara gemuruh yang keras bisa terdengar saat mesin kapal itu membuat tenaga dorong yang begitu besar.

"............, .............., .........."

Karena itulah, kata-kata Alaia tidak sampai pada Koutarou. Namun, meskipun suaranya tidak sampai kepada dirinya, Koutarou tahu bahwa apa yang dikatakannya adalah salam perpisahan.

"............, ............., ................."

Alaia terus menggerakkan bibirnya, diiringi air mata-air mata yang terus mengalir keluar sambil terus berusaha menggapai Koutarou. Perasaannya yang begitu tulus sudah pasti tersampaikan padanya.

Betapa bersyukurnya dirinya kepada Koutarou.

Betapa sedihnya dirinya saat dia tahu hari perpisahan antara mereka telah tiba.

"Kaisar Alaia....Puteri Charl..."

Itulah sebabnya Koutarou terus melambaikan tangannya kepada mereka berdua yang terus mengecil seiring berjalannya waktu. Hanya itulah caranya untuk bisa menyampaikan perasaanya pada mereka berdua saat ini.

Roket pendorong kapal itu menghasilkan angin yang begitu kuat yang meniup seluruh padang rumput itu, dan dengan ditemani matahari terbenam yang menyinari padang rumput itu, padang rumput itu seakan berubah menjadi lautan emas. Lalu, salju keperakan pun mulai turun dengan perlahan. Kontras antara warna emas dan perak itu menjadi pemandangan yang begitu indah dan menawan.

Alaia dan Charl masih berdiri disana, terus melambaikan tangan mereka diiringi angin yang mengibarkan rambut mereka. Hanya lambaian tangan itulah yang bisa mereka berdua lakukan, karena kata-kata maupun raut wajah mereka sudah tidak bisa sampai pada Koutarou.

Sambil melihat mereka berdua dari lubang palka itu, Koutarou juga melambaikan tangannya. Bahkan setelah dia tidak bisa membedakan mereka berdua dari pemandangan disekitarnya, dia terus melambaikan tangannya, dan terus melakukan itu.

Ikatan yang telah terjalin selama beberapa bulan itu tidak akan bisa terputuskan dengan mudahnya. Karena Koutarou tahu bahwa perasaan mereka telah terhubung, karena Koutarou tahu bahwa mereka berdua pun terus melambaikan tangan mereka, Koutarou terus melambaikan tangannya.


Di hadapannya, Koutarou bisa melihat lautan emas dan salju putih keperakan.



Dan dengan begitu, dengan diselimuti cahaya yang hangat dan indah, legenda sang Ksatria Biru pun berakhir.



Adegan Terakhir untuk Dirimu[edit]

'Sang Puteri Perak dan sang Ksatria Biru, Babak 2'

Drama yang dipentaskan di gedung olahraga SMA Kisshouharukaze telah mencapai adegan terakhir, dan akhir drama itu pun akan dimulai. Para pekerja diblaik layar yang sudah bekerja keras selama ini sedang bekerja sekuat tenaga untuk mempersiapkan adegan terakhir ini agar terlihat sebagus mungkin.

"Dimana Harumi-chan!?"

"Dia udah diposisinya! Bisa dilanjut sekarang!"

"Lightingnya udah diganti jadi warna sore belum!? Jangan sampai salah!!"

"Sudah!"

"Dimana Satomi-kun!?"

"Dia udah di atas!"

Mereka semua bekerja keras untuk menjadikan adegan ini sebagai akhir yang sempurna.

Tirai adegan terakhir pun akan segera diangkat. Harumi, yang berperan sebagai Puteri Perak, sedang berdiri di sisi panggung.

"Aneh....apa yang terjadi denganku..."

Harumi tidak bisa menyembunyikan kegugupannya menjelang adegan terakhir drama yang sebentar lagi akan dimulai. Dia lalu meletakkan tangannya di dadanya dan mengambil nafas dalam-dalam beberapa kali, namun hal itu tidak cukup untuk meredakan kegugupannya. Perasaan yang kuat mulai muncul dari dalam dirinya dan Harumi berusaha keras untuk mengendalikan perasaan itu.

"Aku harus melakukannya seperti biasanya..."

Harumi tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Saat latihan, dia tidak pernah mengalami masalah apapun saat melakukan adegan ini, karena bisa bersama dengan Koutarou membuat pikirannya menjadi tenang.

"Mengapa aku menjadi gugup bertemu dengan Satomi-kun...rasanya tadi tidak seperti ini..."

Tapi sekarang, entah mengapa, Harumi merasa gugup untuk berhadapan dengan Koutarou di atas panggung. Saat dia membayangkan dirinya yang berhadapan dengan Koutarou, perasaannya menjadi kacau balau. Hal itu terjadi bukan karena mereka sedang berkelahi, dan bukan karena Harumi sendiri telah berubah perasaannya. Namun demikian, meski semuanya masih tetap sama, Harumi tidak bisa bertindak seperti sebelumnya.

"Apa yang harus kulakukan...d-dramanya sudah dimulai..."

Beberapa saat lalu, Harumi merasa aman dengan adanya Koutarou, tapi sekarang yang terjadi jusru kebalikannya, seakan perasaannya sudah diputarbalikkan dan membuatnya merasa tidak aman.

"Maaf, aku agak terlambat!"

Tepat di saat itu, Theia, yang berperan sebagai sang Puteri Emas, muncul. Pada adegan terakhir ini, sang Puteri Perak dan sang Puteri Emas akan berpisah dengan sang Ksatria Biru. Adegan itu akan dimainkan oleh Koutarou, Harumi dan Theia.

Theiamillis-san...dia sudah menjadi perannya...

Harumi merasa kagum dengan Theia saat dia melihat air mata yang mengalir di pipi Theia. Theia sudah menyesuaikan perasaannya dengan apa yang akan diperankannya bahkan sebelum dia naik ke atas panggung, dan itulah yang membuat Harumi kagum.

Kalau aku menggunakan rasa ini, aku bisa....

Dan di saat yang sama, Harumi menyadari bahwa jika dia mempercayakan dirinya pada perasaan yang menyelimuti dirinya, dia juga bisa tampil dengan baik.

Di dalam naskah, sang Puteri Perak mengucapkan salam perpisahannya pada sang Ksatria Biru, tapi dia percaya bahwa dia bisa menemui sang Ksatria Biru kembali. Jadi, Harumi percaya bahwa dia bisa menggunakan perasaan itu untuk menyampaikan kegugupannya dengan baik.

"Baik..."

Setelahnya, Harumi mulai membaik. Meskipun masih gugup, dia merasa bahwa dia bisa kembali berakting.

"Harumi-chan, Theia-chan, silahkan naik! Kami akan angkat tirainya!"

Tepat pada saat itulah ketua klub drama memberikan tanda mulai kepada semua orang yang terlibat.

Tirai pun mulai terangkat dan cahaya kemerahan menyinari latar padang rumput panggung. Di sisi yang berlawanan dari panggung itu terdapat sebuah pijakan besar, dan Koutarou sedang berdiri di atasnya. Inilah adegan dimana sang Ksatria Biru melihat kebawah ke arah mereka berdua dari puncak sebuah bukit.

"Ah..."

Dan tepat saat Harumi menengadah untuk melihat Koutarou, semua kegugupan di dalam dadanya pun lenyap, persis seperti Alaia pada hari itu.

Saat Harumi dan Theia muncul di atas panggung, Koutarou merasa seperti melihat Alaia dan Charl yang asli.

Harumi tidak memiliki rambut putih keperakan, dan Theia tidak semungil Charl. Pakaian yang mereka kenakan pun begitu berbeda dengan pakaian Alaia dan Charl saat itu. Namun, saat dia melihat ke arah mereka berdua dari tempat tinggi seperti ini, Koutarou menjadi teringat dengan hari itu. Kenangan yang begitu kuat itu membuat Koutarou merasa bahwa jika dia membiarkan apa yang dirasakannya keluar, dia bisa kembali ke hari itu.

"Layous-sama!!"

"Ksatria Biru!!"

Dan rasa itu pun menjadi semakin kuat saat dia mendengar suara mereka.

"Koutarou-sama!!"

"Ksatria Biru!!"

Harumi dan Theia mulai bertumpuk dengan Alaia dan Charl. Bahkan nama Layous pun mulai terdengar seperti namanya sendiri saat suara itu sampai ke telinganya.

Apa..yang lagi aku lihat...?

Entah itu ilusi yang dibuat oleh kenangan Koutarou sendiri, atau Signaltin, yang saat itu bergantung di pinggangnya, menjawab perasaannya saat itu, tidak ada seorang pun yang tahu.

"Kaisar Alaia! Puteri Charl!"

Hal yang diketahui Koutarou adalah kata-kata yang diucapkannya, dan tangannya yang saat itu sedang melambai tidak berasal dari arahan naskah, melainkan dari dirinya sendiri.

Gitu rupanya...aku bener-bener, bener-bener cinta dengan mereka....

Dan saat Koutarou mengakui perasaannya sendiri, pemandangan di hadapannya pun berubah dengan sangat.

Sebelum Koutarou sadar, panggung itu telah berubah menjadi padang rumput yang asli, memantulkan cahaya merah matahari senja yang memiliki kemilau emas, diiringi angin yang bertiup. Yang dilihatnya saat itu bukanlah pemandangan semata, karena dia bisa merasakan angin dan mencium aroma rumput yang sama seperti hari itu.

Rokujouma V8.5 289.jpg

Salju yang putih bersih turun dari langit, disinari matahari senja yang menghasilkan kemilau perak dan menciptakan kontras yang begitu indah dengan padang rumput keemasan itu.

"Selamat tinggal! Kaisar Alaia! Puteri Charl!"

Koutarou menjadi tidak yakin dengan dimana dirinya saat itu. Apa dia berada di panggung? Dalam mimpi? Atau, apa dia betul-betul kembali? Dia sudah bertemu dengan orang-orang yang dia pikir tidak akan pernah ditemuinya.

"Jangan menangis, Ksatria Biru!! Kau laki-laki, benar bukan!!"

Air mata pun mulai mengalir dari mata Koutarou. Charl sedang mengeluhkan hal itu, tapi Koutarou tidak bisa menahan air mata itu.

"Ksatria BIru!! Bermainlah denganku kalau kita bertemu lagi!! Jaga dirimu baik-baik!!"

Charl menangis sambil melambaikan tangannya, persis seperti pada hari itu.

Tepat sekali, Koutarou meninggalkan Charl seperti ini.

"Koutarou-samaaaaa!!"

Dan Alaia memanggil Koutarou dengan suara dan senyuman yang dikenangnya, sambil merentangkan tangannya dan berusaha meraih Koutarou, seakan mencoba memeluknya sementara Koutarou menjadi semakin dan semakin jauh darinya. Alaia pun melanjutkan seruannya sambil melakukan itu.

"Meskipun kita terpisah oleh waktu yang tak berujung dan jarak yang tak terhitung---"

Itulah kata-kata yang dihapus oleh roket Cradle, yang tidak pernah sampai kepada Koutarou, dan sekarang kata-kata itu akhirnya sampai kepadanya. Koutarou menjadi betul-betul terkejut, dan terus menyimak apa yang dikatakan oleh Alaia, sambil mengukir kata-kata itu dalam-dalam di hatinya.

"---rasa ini akan terus ada bersamamu!"


Itulah pesan dari masa lalu yang telah menempuh waktu dan jarak yang begitu luar biasa banyaknya.


Dan sementara Koutarou dan yang lainnya masih berada di atas panggung, drama itu pun berkahir dengan hujan tepuk tangan yang begitu meriah.



Setelah 2000 tahun, Koutarou akhirnya tahu apa yang dikatakan oleh Alaia pada hari itu.



Kata Penutup[edit]

Lama tidak berjumpa semuanya, saya si pengarang, Takehaya.

Kali ini saya berhasil menerbitkan Rokujouma no Shinryakusha!? jilid 8.5 "Sang Puteri Perak dan sang Ksatria Biru, Babak 2" kepada kalian semua. Saya bersyukur kepada semua orang yang sudah membelinya.

Isi jilid ini adalah lanjutan dari jilid 7.5. Isinya sama dengan naskah drama yang ditulis Theia di jilid 7, dan bagian kedua dari legenda Ksatria Biru, atau bisa dikatakan sebagai Koutarou arc.

Ada beberapa hal menarik dalam jilid ini, tapi salah satu yang terbaik mungkin adalah kemunculan naga. Naga ini bisa dikatakan klise dalam cerita-cerita fantasi, tapi dalam novel dengan elemen-elemen fiksi ilmiah, keberadaan mereka tidak bisa dijelaskan begitu saja. Jadi, para naga harus bisa dibuat begitu meyakinkan dalam batasan-batasan konteks tertentu. Karena itulah, naga menjadi bagian paling sulit untuk ditulis dalam novel ini.

Dalam biologi, makhluk seperti naga punya badan yang tidak bisa dijelaskan. Ada dua hal yang tidak bisa dijelaskan itu, yakni mereka bisa terbang dengan badan mereka yang besar, dan mereka bisa menyemburkan api.

Ada beberapa contoh makhluk-makhluk besar di Bumi yang bisa terbang, misalnya Pterosaurus. Spesimen sebesar 10 meter pun sudah ditemukan untuk makhluk itu, jadi ada anggapan bahwa naga seukuran itu juga pasti bisa terbang, tapi nyatanya tidak demikian. Pterosaurus sendiri memiliki berat yang ringan, yaitu 20 sampai 30 kilo. Meskipun ukurannya besar, berat mereka hanya seberat anjing dewasa, dan itulah yang membuat mereka bisa tebang. Tapi kalau soal naga, orang pasti tidak bisa menganggap mereka memiliki berat dibawah 100 kilo. Dengan badan sekuat dan sebesar itu, berat mereka pasti mencapai berton-ton. Dan kalau kita lihat naga di dalam video game, mereka pasti punya berat lebih dari 20 ton. Dengan beigtu, tidak mungkin mereka bisa mengepakkan sayap mereka untuk bisa terangkat dari tanah.

Poin lainnya, dimana naga bisa menyemburkan api, adalah satu lagi alasan mengapa mereka tidak nyata. Di Bumi, ada makhluk-makhluk yang bisa menyemburkan zat-zat kimia dengan suhu yang tinggi, namun suhunya hanya berada pada sekitar 100 derajat Celsius.[4] Kalau mereka bisa menyemburkan itu, berarti makhluk itu juga harus bisa tahan dengan suhu sebesar itu, jadi 100 derajat Celsius pasti menjadi batasnya. Bagian dari makhluk itu juga harus bisa menciptakan panas sebesar itu, dan sisa badannya harus bisa tahan terhadap panas itu. Jadi, pertanyaannya adalah apakah makhluk-makhluk seperti itu bisa berevolusi dengan alami. Kalau dipikir-pikir, sudah pasti kemungkinannya rendah sekali. Ditambah lagi, ada naga yang bisa menyemburkan berbagai macam hal, mulai dari badai es, gas beracun, sampai listrik. Dalam dunia fantasi, banyak sekali jenis naga yang muncul. Jadi, kalau kita asumsikan bahwa setiap naga secara alami berevolusi ke tahap yang berbeda, dan lalu secara tidak sengaja mereka muncul di zaman yang sama itu agak sedikit dipaksakan.

Jadi, karena aku kebingungan dengan hal ini, aku memutuskan untuk membuat semua naga itu menjadi penyiir. Badan mereka tidak jauh berbeda dengan dinosaurus, tapi mereka terlahir dengan kekuatan sihir yang besar. Dengan kekuatan itu, mereka akan bisa terbang dan menyemburkan nafas mereka yang spesial dan berbahaya. Dengan begitu aku tidak perlu kuatir soal masalah biolohi, karena penyihir sudah ada dalam cerita ini. Dan dari sini, aku sampai kepada kesimpulan bahwa makhluk-makhluk cerdas bisa menggunakan sihir seperti biasa.

Dalam fantasi yang baisanya, aku yakin bahwa tidak masalah kalau naga punya kelenjar api atau listrik. Tidak masalah kalau tuhan dari dunia itu menciptakan mereka seperti itu. Setelah Rokujouma selesai, mungkin aku akan mencoba menulis fantasi yang biasa. Aku mulai merasa kalau fantasi akan menarik untuk ditulis. Tentu saja, itu akan terjadi nanti sekali. Mungkin.


Dan karena aku sudah kehabisan tempat, aku rasa sampai disini saja kata penutup kali ini.

Aku ingin berterimakasih yang sebesar-besarnya bagi mereka di bagian editorial, Poco-san yang selalu menggambar ilustrasi yang imut, teman-temanku yang selalu mengajakku pergi minum saat aku sedang kehabisan ide, dan kepada kalian yang sudah membeli buku ini.


Semoga kita bertemu kembali di kata penutup jilid 9.


Oktober 2011, Takehaya.



Ke Halaman Utama
  1. Bayangkan pose legendarisnya Gendo Ikari dari Evangelion series
  2. Di animenya, di episode terakhir, Alunaya dibuat berwarna biru
  3. Cradle artinya adalah tempat tidur untuk bayi, yang bisa diayun-ayunkan
  4. Makhluk yang dimaksud adalah Brachinus sp.