Rokujouma no Shinryakusha!? (Indonesia): Jilid 8.5 Bab 4

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Pedang di Kuil[edit]

Part 1[edit]

Koutarou berhasil bertahan hidup berkat Clan dan Caris yang menemaninya. Caris menggunakan sihirnya untuk memperlambat jatuhnya Koutarou dan Clan menangkapnya di detik-detik terakhir.

"Hhh...betul-betul Ksatria Biru yang bermasalah..."

Clan melempar senapannya agar bisa menangkap Koutarou, dan akhirnya membuat senpannya hancur berkeping-keping. Namun, Clan kelihatannya tidak mempermasalahkan hal itu karena dia terlihat lega melihat Koutarou baik-baik saja.

Koutarou kemudian dibawa menuju ruang perawatan di benteng dan dirawat oleh Lidith, si alkemis, dan Fauna, si pendeta. Namun, meskipun perawatannya sudah selesai, Koutarou tidak kunjung sadar juga. Karena kuatir, Alaia bertanya pada Lidith yang berada disisinya sambil terus memandangi wajah Koutarou.

"Lidith, bagaimana keadaan Layous-sama?"

"Dia terluka diseluruh badannya, tapi tidak ada luka serius. Kelihatannya sihir milik Caris begitu membantu."

Sebagai seorang alkemis, Lidith memiliki pengetahuan mengenai teknik medis paling mutakhir di zaman ini. Alkemis sendiri adalah para mahasiswa yang mempelajari segala hal mulai dari sains dan farmasi hingga teknik medis dan sihir. Sebagai hasilnya, dia bisa memberikan perawatan yang lebih memadai pada Koutarou dibandingkan memakai pengobatan rumah. Pengalaman yang didapatnya saat menjadi asisten Clan pun membantunya juga dalam hal ini.

"Jadi, Lidith, kapan Ksatria Biru akan bangun?" tanya Charl yang turut berada di samping tempat tidur dan memandangi Koutarou bersama-sama Alaia. Dia yakin bahwa Koutarou akan bangun, karena dia percaya kalau Koutarou akan mengizinkannya menunggangi kuda. Namun, tetap saja Charl merasa khawatir, dan dia terus memandangi wajah Koutarou dengan cemberut.

Rokujouma V8.5 117.jpg

"Saya tidak bisa mengatakannya dengan pasti...semuanya bergantung pada Tuan Veltlion."

"Puteri Charl, saya akan melakukan yang terbaik untuk membangunkan Layous-sama secepat mungkin!"

"Oh! Silahkan, Fauna!"

Sebagai pendeta sang dewi fajar, Fauna bisa memanipulasi energi spiritual, dan dia menggunakan kekuatannya untuk mempercepat pemulihan badan Koutarou selama beberapa saat ini. Bisa dikatakan kalau hal yang dilakukannya adalah versi lebih kuat dari pijatan yang dilakukan Sanae. Karena Fauna melatih kekuatan ini sebagai bagian dari penobatannya menjadi pendeta, dia seharusnya bisa mempercepat pemulihan badan Koutarou secepat dua kali lipat dari biasanya.

Ngomong-ngomong, mereka bisa mempercepat pemulihan badan Koutarou dengan menggunakan peralatan medis yang berada dalam Cradle. Namun, dalam situasi seperti ini dimana mereka tidak bisa mendapatkan cukup banyak persediaan obat-obatan dan semacamnya, ada batasan seberapa banyak mereka bisa menggunakan peralatan medis itu. Ditambah, karena luka-luka Koutarou bisa disembuhkan menggunakan metode-metode yang berada pada zaman itu, mereka memilih untuk tidak menggunakan peralatan medis itu.

"Syukurlah...Layous-sama baik-baik saja..."

Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh rekan-rekannya, akhirnya Alaia bisa lepas dari ketegangannya. Alaia bisa merasakan bahwa Koutarou selamat, tidak hanya dari perkataan mereka, tapi juga dari sikap mereka. Alaia lalu tersenyum kecil dan menghapus air mata yang baru saja muncul.

Saat Koutarou dibawa ke benteng dalam keadaan tidak sadarkan diri, Alaia merasa seakan-akan jantungnya berhenti berdetak, rasanya seakan-akan dia telah melihat akhir dari dunia. Pada saat itulah Alaia menjadi semakin yakin betapa berharganya Koutarou baginya. Alaia tidak bisa menenangkan dirinya sampai perawatan Koutarou selesai dan dia bisa mendengar lebih banyak detail sambil memperhatikan sikap para rekannya.

"Dia pria yang betul-betul beruntung. Sulit dipercaya kalau dia baik-baik saja setelah melawan monster seperti itu."

"Dia memang pria yang selalu beruntung. Lagipula--"

Clan langsung menahan kata-katanya, yang kalau dilanjutkan, akan terdengar seperti ini:

Lagipula, dia adalah orang yang sudah aku coba untuk bunuh tapi tidak bisa.

Namun, meskipun itu adalah hal yang sebenarnya, akan menjadi masalah bagi Clan jika dia mengatakannya. Ditambah, memalukan baginya kalau dia sampai mengakui bahwa Koutarou adalah musuhnya. Clan menahan lanjutan kalimatnya di dalam dirinya dan melanjutkan kalimatnya dengan pandangan polos.

"Lagipula, ada banyak orang yang berdoa untuk keselamatan pria ini."

"Dasar. Kalau Ksatria Biru tidak bertahan hidup, akan jadi masalah buatku. Dia masih belum menepati janjinya untuk memberiku sesuatu yang enak untuk dimakan."

Caris, yang tidak menyadari apa yang dipikirkan oleh Clan, mengangguk berulang kali. Sambil menatap ke arah Caris, Clan mengulangi kembali kata-kata yang sudah diucapkannya di dalam benaknya.

Ada banyak orang yang berdoa untuk keselamatannya, ya...Sekarang kalau kupikirkan lagi, hal yang sama juga terjadi disana...

Saat Clan melakukan hal itu, dia mengingat kembali kehidupan Koutarou di Bumi. Koutarou hidup dengan lima orang gadis dalam kamar kos yang kecil. Musuh Clan, Theia, adalah salah satu dari kelima gadis itu, dan kelima gadis itu sendiri adalah musuh Koutarou. Namun, seiring berjalannya waktu, permusuhan diantara mereka mulai mereda dan mereka mulai saling menghargai satu sama lain. Para gadis itu pun kemungkinan besar mengkhawatirkan keadaan Koutarou saat ini. Itulah sebabnya mengapa Koutarou berusaha untuk kembali kesana.

Aku pasti yang keenam...fufufu...

Hal yang sama juga berlaku bagi Clan. Dia telah mencoba untuk membunuh Koutarou, tapi sekarang dia sendiri juga mengkhawatirkannya. Ditambah, Koutarou juga sudah memberi tawaran pada dirinya untuk tinggal bersamanya jika Clan sampai kehilangan tempat untuk hidup.

Koutarou adalah orang yang bodoh, kikuk, dan tidak bisa hidup dengan baik. Para penjajah menyerang secara beruntun, dia menjadi terlibat dalam permasalahan mereka, dan pada akhirnya dia sampai harus terlempar ke ruang dan waktu yang berbeda. Meskipun Koutarou ingin kembali, dia tidak bisa. Kalau saja dia bisa bertingkah sedikit berbeda, hal ini mungkin tidak akan terjadi. Namun, Koutarou yang kikuk tidak bisa melakukan hal itu.

Untungnya, dia orang yang beruntung. Selalu ada seseorang yang mengkhawatirkannya, yang menjadi kekuatan baginya untuk bertahan hidup. Clan, yang tahu akan hal itu, yakin bahwa Koutarou pasti akan bangun. Sementara Koutarou masih tetap Koutarou sendiri, dia tidak akan terus tertidur, dan semua orang suka dengan kekikukannya itu.

"...Dia betul-betul pria yang beruntung..."

Pria ini mungkin satu-satunya pria yang bisa membuat empat orang tuan putri khawatir dengan dirinya...pikir Clan sambil tersenyum melihat Koutarou yang tertidur. Hal itu memang aneh bagi dirinya, tapi sekarang dia bisa mengakui bahwa dia juga khawatir dengan Koutarou.

"Gawat, puteri Alaia!! Flair-sama kembali dengan seseorang yang tidak bisa dipercaya!!" seru Mary yang masuk ke ruang perawatan dengan muka pucat pasi.

Flair menemukan orang itu saat dia pergi untuk memastikan apa yang terjadi pada Alunaya. Berkat serangan Koutarou, Alunaya jatuh ke dalam hutan yang berada di sisi selatan benteng. Untuk bisa memastikan keadaan Alunaya, Flair membawa pasukan kecil dan masuk ke hutan itu. Namun, mereka tidak bisa menemukan Alunaya tidak peduli seberapa lama mereka mencarinya. Mereka menemukan pohon-pohon yang mereka duga hancur saat Alunaya terjatuh, tapi sang naga sendiri tidak mereka temukan. Dengan ukurannya yang besar, sulit untuk dipercaya kalau mereka tidak bisa menemukannya, jadi Flair beranggapan bahwa sang naga sudah kabur dengan cara terbang dan berhenti melanjutkan pencarian. Dalam perjalanan pulang, Flair bertemu dengan seorang pria yang pernah dilihatnya sebelumnya.

Karena orang itu adalah orang yang tidak disangka-sangka, Flair ragu bagaimana dia harus menangani orang itu. Awalnya dia berniat untuk membunuhnya, tapi pada akhirna Flair memutuskan bahwa Alaialah yang sebaiknya memutuskan hal itu, dan lalu membawa orang itu kembali ke benteng Raustor.

"...Kau cukup berani juga, untuk kembali muncul di hadapan kami."

Flair membawa orang itu ke ruang pertemuanyang berada di dekat pintu masuk benteng. Alaia, yang biasanya menunjukkan ekspresi tenang, menunjukkan ekspresi sedingin es begitu melihat orang itu. Clan dan Charl, yang berada di belakang Alaia, hanya bisa diam dan menyaksikan perkembangan situasi saat itu, menyerahkan jalannya situasi pada Alaia dan Flair sepenuhnya.

"Justru itulah sebabnya, 'tuan puteri' Alaia."

Namun, pria itu tidak terlihat gentar sedikitpun oleh tatapan dingin Alaia. Dia justru tersenyum simpul sambil berdiri disana, seakan-akan dia tidak tahu kalau dia sedang berada di tengah-tengah wilayah musuh.

"Betul-betul sikap yang kurang ajar...apa urusanmu datang kesini, ksatria perunggu Dextro?"

Ksatria perunggu, Dextro. Itu adalah nama yang tidak akan bisa dilupakan oleh Alaia dan yang lainnya.

Dextro adalah seorang ksatria dari keluarga Melcemhein, dan gelarnya adalah perunggu. Keluarga Melcemhein sendiri patuh pada Maxfern, dan merupakan bagian dari pasukan kudeta.

Dulu, Dextro mengemban misi untuk mengejar Alaia dan menyerang Alaia dan kelompoknya. Pada saat itu, dia meracuni sumber-sumber air sebagai cara untuk menyerang, yang mana cara itu juga secara tanpa pandang bulu turut menyerang warga desa tempat Alaia dan kelompoknya tinggal sementara. Untungnya, Alaia dan kelompoknya bisa selamat dari bahaya itu, namun Dextro telah terukir dalam ingatan mereka sebagai seseorang yang tidak akan bisa mereka maafkan.

"Sebelum kita bicara, tolong lepaskan benda ini dari badanku. Tidak nyaman rasanya", ujar Dextro sambil menunjuk ke arah borgol yang membelenggu tangan dan kakinya. Karena dia adalah seseorang yang begitu berbahaya, mereka tidak akan membawanya pada Alaia tanpa menahannya seperti ini lebih dulu.

"Yang benar saja. Kami tidak cukup bodoh untuk membebaskanmu", tolak Flair. Alasannya sama dengan alasan mengapa mereka menahannya: Flair tidak mau Alaia kembali berada dalam bahaya.

"Hhh...kau betul-betul keras kepala untuk seorang wanita. Aku tidak akan melakukan apapun yang akan membahayakan nyawaku", ujar Dextro sambil terus menggoyang-goyangkan borgol ditangannya sambil melemaskan bahunya dengan gaya yang berlebihan. Namun, kelihatannya balasan Flair adalah sesuatu yang sudah diduganya, karena setelahnya Dextro sudah terlihat tidak peduli lagi dengan situasinya saat itu dan lalu mulai menjelaskan mengapa dia muncul kembali di hadapan mereka.

"Aku datang kesini untuk mengadakan kesepakatan dengan kalian."

"....Kesepakatan?" tanya Alaia sambil menyipitkan matanya, karena merasa ada yang janggal dengan perkataan Dextro.

"Ya. Aku punya informasi yang menurut kalian penting. Ditambah, ini informasi yang betul-betul darurat. Sebagai ganti dari informasi ini, aku ingin kalian menyetujui syarat yang kuajukan."

"Kami tidak akan mungkin menyetujui kesepakatan itu!" seru Flair yang kembali menolak tawaran Dextro. Flair tidak akan pernah mau membuat kesepakatan dengan seseorang yang begitu hina seperti Dextro, karena apa yang telah menjadi keyakinan Flair sendiri dan juga demi Alaia.

"Apa syarat yang ingin kau ajukan, Dextro?"

Namun, keputusan Alaia ternyata justru berbeda dari Flair.

"Yang Mulia!? Anda tidak bisa terjebak kata-kata manis orang seperti ini!!"

"Flair, kalau kita pertimbangkan mengapa orang ini mau datang kesini dengan sendirinya, kita tidak akan merugi hanya dari mendengar apa yang akan dia katakan."

Alaia tahu betul kalau Dextro adalah orang yang penuh dengan perhitungan, yang sudah mengambil resiko menampakkan dirinya di hadapan Alaia dan yang lainnya. Karena Alaia menghargai nyawa para penduduknya, dia mungkin tidak akan membunuh Dextro, tapi ada kemungkinan bahwa akan ada orang lain yang akan melakukannya. Pada kenyataannya, bahkan Flair sendiri juga memikirkan hal seperti itu. Meskipun dia sudah mengetahui hal itu, Dextro datang untuk membuat kesepakatan, jadi informasi yang dimilikinya pasti sebanding dengan resiko yang dihadapinya.

"Seperti yang kuharapkan dari puteri Alaia. Kau memang beda dari wanita kepala batu ini."

"Dextro, kau sialan!!"

"Tenanglah, Flair", kata Alaia yang berusaha menenangkan Flair dan lalu melangkah mendekati Dextro, berencana mendengarkan apa yang ingin dikatakan olehnya.

"Katakan apa syaratmu, Dextro."

"Aku hanya punya satu syarat. Aku ingin kau melindungi jabatanku, meskipun kau yang memenangkan perang ini."

"Jabatanmu?"

"Ya", angguk Dextro sambil tersenyum.

"Awalnya, aku kira hanya tinggal masalah waktu saja sampai pasukan Forthorthe barumu hancur, tapi sekarang kau bahkan sudah merebut Raustor. Jumlah pasukan kalian masih belum sebanding dengan milik Maxfern, tapi hal itu tidak akan berlaku di masa yang akan datang. Kalau kalian menyebarkan rumor bahwa Ksatria Biru sudah mengalahkan seekor naga, kalian pasti akan bisa mengumpulkan prajurit lebih banyak lagi."

"...Memangnya kenapa?" tanya Flair sambil melotot ke arah Dextro, yang dibalas dengan senyuman mengejek.

"Kukuku, dalam kata lain, ada kemungkinan kalau kalian akan menang dalam perang ini. Menurutku, 50/50."

"...Jadi begitu rupanya..."

Alaia pun sadar mengapa Dextro muncul di hadapan mereka, dan raut wajahnya pun berubah menjadi lebih serius.

"Jujur saja, aku tidak peduli yang mana yang akan menang, tapi kalau kalian yang menang, aku akan berada dalam masalah. Tidak diragukan lagi, kalian pasti akan mengadiliku dan akan menghukumku atas kejahatan perang yang sudah kulakukan. Yang paling buruknya, aku mungkin akan dieksekusi."

"Tentu saja! Itulah yang pantas kau dapatkan setelah semua yang sudah kau lakukan!"

Kalau pasukan kudeta Maxfern kalah, Dextro tidak akan kehilangan jabatannya saja, tapi juga akan mendapat hukuman atas segala perbuatannya. Serangan tanpa pandang bulunya pada desa akan dianggap sudah melewati batas dan dia pasti akan mendapat hukuman yang setimpal. Hukumannya apa yang akan didapatnya memang tergantung dari jalannya pengadilan nantu, tapi kemungkinan besar dia tidak akan bisa menghindar dari hukuman mati. Kalaupun dia beruntung, dia tetap akan menghabiskan sisa hidupnya dibalik jeruji. Apapun yang terjadi nanti, masa depan Dextro akan menjadi suram kalau ternyata pasukan Alaia yang menang.

"Jadi, kau menjual informasi pada kami untuk membeli amnesti lebih dahulu, benar?"

"Tepat sekali, puteri Alaia. Aku tidak peduli apakah Maxfern atau kau yang menang, tapi aku ingin menyelamatkan diriku sendiri. Jadi, tidakkah kau pikir kalau yang terbaik bagiku adalah untuk berada di posisi yang aman, tidak peduli siapa pemenangnya?"

Dengan menjual informasi secara rahasia, Dextro bisa menghindar dari pengadilan jikalau Alaia memenangi peperangan. Dengan melakukan itu, Dextro akan aman jika Alaia atau Maxfern yang menang. Itulah sebabnya mengapa Dextro muncul, sadar akan segala resikonya. Semuanya hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

"Kau berkata bahwa informasi yang kau miliki begitu penting?"

"Tepat sekali. Baik untuk pasukan ini, dan baik untuk anda secara pribadi. Tapi, sebaiknya anda segera memutuskan, karena informasi ini akan menjadi tidak berguna sebentar lagi."

Karena informasi yang akan dijual oleh Dextro adalah informasi yang begitu penting, meskipun mereka tidak membelinya, pada akhirnya mereka akan tahu informasi apa itu. Namun, saat mereka sudah tahu, akan terlambat bagi mereka untuk bertindak. Itulah sebabnya mengapa Dextro meminta agar Alaia mengambil keputusan dengan cepat. Apakah dia akan membiarkan sesuatu sampai terjadi, ataukah dia mencegahnya lebih dulu?

"...Tidak ada pilihan lain. Saya akan menerima syarat yang kau ajukan."

Setelah berpikir sejenak, Alaia memutuskan untuk menerima tawaran itu. Karena Dextro percaya bahwa informasinya senilai dengan nyawanya sendiri, Alaia tidak bisa membiarkan informasi itu terbuang percuma begitu saja. Dalam kata lain, dia percaya dengan perhitungan Dextro.

"Yang Mulia!!"

Tentu saja, Flair menolak keputusan itu. Melepaskan seseorang yang sudah membantai orang-orang tanpa ampun adalah hal yang tidak bisa diterima olehnya.

"Maaf, Flair. Saya percaya bahwa inilah yang terbaik bagi para penduduk", kata Alaia pada Flair sambil menggelengkan kepalanya.

"Yang Mulia..."

"Tolong bersabarlah, Flair."

Alaia juga merasakan hal yang sama dengan Flair, namun tetap saja Alaia percaya bahwa apa yang menjadi keputusannya adalah sesuatu yang penting. Dia tidak bisa begitu saja membahayakan para penduduknya hanya demi sebuah keadilan; hal yang sama yang dirasakannya pada malam dansa di festival panen.

"Kau tidak akan rugi. Itu sebabnya ini disebut sebagai kesepakatan", komentar Dextro sambil mengangguk puas. Seperti yang dikatakannya, Dextro tidak berencana membuat Alaia dan kelompoknya merugi atas kesepakatan itu. Alaia harus melindungi jabatan Dextro karena pertukaran setara yang telah dipilihnya.

"Naga yang dilawan oleh si Ksatria Biru pagi ini...kelihatannya namanya Alunaya...yang penting, dia sebenarnya adalah boneka Grevanas."

"Tidak mungkin!? Apa ini berarti kau mengatakan bahwa Grevanas bisa mengendalikan sesuatu seperti itu!?" ujar Flair yang terkejut mendengar pernyataan Dextro.

Kepala dewan penyihir, Grevanas, adalah salah satu dalang dibalik kudeta yang juga merupakan tangan kanan Maxfern. Namun, meskipun Grevanas adalah orang terkuat dari antara dewan penyihir dan juga salah satu dari para penyihir agung, Flair tidak percaya kalau dia bisa mengendalikan Alunaya.

"Tenanglah, bukan itu masalahnya saat ini. Masalahnya adalah apa yang terjadi setelahnya", kata Dextro yang mencoba menenangkan Flair, dan mulai berbicara sedikit lebih cepat karena dikejar oleh waktu.

"Rencana Maxfern dan Grevanas memiliki tiga tahapan. Pertama, mereka menggunakan naga itu untuk memancing si Ksatria Biru. Bahkan dia sekalipun tidak akan bisa tetap bertahan setelah melawan naga itu", kata Dextro yang mulai menjelaskan sambil melihat ke sekeliling ruangan itu, namun tidak menemukan Koutarou.

Kalau aku mengikuti rencananya, mungkin rencananya tetap akan berhasil, tapi....ya sudahlah, aku rasa mau bagaimana lagi...

Karena Koutarou sudah pasti harus mengatasi situasi itu, Dextro merasa kalau rencana Maxfern sudah berhasil.

"Dalam situasi itu, aku akan memimpin sejumlah pasukan untuk menyerang benteng. Dengan melakukan itu, kami tidak harus melawan si Ksatria Biru. Tapi, aku sudah membuat banyak alasan untuk menunda serangan itu, jadi serangan ini tidak akan terjadi."

"Kenapa kau menundanya?"

"Aku tidak tahu apakah si Ksatria Biru sudah tidak bisa bertarung lagi atau tidak. Aku tidak berani berhadapan dengannya dalam pertempuran, aku pasti kalah."

Pasukan penyerang yang dipimpin oleh Dextro tidaklah besar, karena pasukan itu hanya terdiri dari sejumlah kecil prajurit yang dimaksudkan untuk menyerbu benteng itu pada malam hari dan menghancurkan pasukan itu dari dalam. Karena itulah, kalau mereka sampai berhadapan dengan Koutarou, mereka pasti akan mendapat perlawanan. Dextro sudah merencanakan untuk melakukan penyerangan itu kalau dia bisa mendapat kepastian mengenai keadaan Koutarou, tapi pada akhirnya, dia tidak memiliki informasi yang cukup. Jadi, Dextro membuat berbagai alasan untuk menahan pasukannya agar tidak menyerang, dan bertemu Flair sendirian.

"Karena itulah, hanya akan ada serangan ketiga."

"Dan serangan itu adalah?" desak Alaia. Nada bicaranya menjadi cepat, pertanda bahwa dia seperti dikejar oleh sesuatu. Alaia sudah merasakan ada sesuatu yang mengerikan akan terjadi semenjak nama Ksatria Biru keluar dari mulut Dextro.

"...Karena dia sudah menjadi lengah, meskipun sedikit saja, setelah melawan si naga, Ksatria Biru akan dibunuh."

Tepat saat Dextro selesai berbicara, Alaia sudah langsung berlari, hampir seperti dia sudah lupa dengan adanya Dextro.


Part 2[edit]

Alaia berlari menuju ruang perawatan dimana Koutarou sedang tertidur. Flair, Clan dan Charl turut mengejarnya dan meninggalkan beberapa orang penjaga untuk menjaga Dextro.

"Koutarou-sama!!"

Berlawanan dengan penampilan anggunnya yang biasa, Alaia mendobrak pintu ruangan itu dan melesat masuk ke dalamnya. Tepat di saat itu, dia bisa melihat apa yang telah terjadi di dalam ruang perawatan itu: ruangan itu sudah menjadi kacau dan berantakan.

Ada dua orang yang tergeletak di atas lantai: ahli bedah dari pasukan yang bekerja di benteng ini, dan seorang pengawal yang membantu disana-sini. Mereka masih hidup tapi terluka parah, dan banyak darah mereka yang mengalir keluar dan membuat lantai ruangan itu menjadi merah.

Koutarou terbaring di atas tempat tidur yang berada paling jauh dari pintu masuk, dikelilingi oleh tiga orang pria yang memakai seragam pasukan Forthorthe sambil memegang pedang yang berlumuran darah. Rupanya merekalah yang telah menyerang kedua orang itu, dan sekarang akan menghabisi Koutarou.

"Tidak akan saya biarkan!!"

Alaia, yang langsung menyadari betapa bahayanya situasi dihadapannya, langsung melesat secepat mungkin ke arah Koutarou. Dia begitu ingin menyelamatkan Koutarou, hingga melupakan betapa pentingnya nyawa dan posisinya sendiri bagi Forthorthe. Bagi Alaia, Koutarou mulai menjadi sesuatu yang bahkan lebih penting daripada Forthorthe.

"Yang Mulia!? Sial, tolong bantu aku, Clan!!"

Saat dia melihat Alaia yang berlari ke arah para pembunuh itu, Flair dengan sigap menghunus pisau dari pinggangnya. Dia lalu melempar pisau itu ke arah pembunuh yangpaling dekat dengan Alaia sambil meminta bantuan dari Clan.

"Betul-betul gaduh seperti biasanya!!"

Clan sudah memprediksi adanya situasi ini dan sudah menyiapkan senapannya. Dia dengan cepat membidik dan menarik pelatuk, menembakkan sebuah peluru yang melayang ke arah pembunuh yang berbeda dengan yang diserang oleh Flair.

"Guwah!?"

"Aaaah!"

Pisau Flair dan peluru Clan menghabisi masing-masing satu pembunuh. Melihat kejadian itu, si pembunuh terakhir mengayunkan pedang miliknya untuk menyelesaikan misinya.

"Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaak!!"

Keributan di ruangan itu dan teriakan pedih Alaia membuat Koutarou terbangun dari tidurnya.

"Mm...A-apa!?"

Tepat saat Koutarou membuka matanya, dia memperhatikan pemandangan yang aneh di hadapannya: Alaia yang berlari untuk menghalangi datangnya serangan pedang, dan aroma darah yang memenuhi ruangan itu ditambah empat orang yang sedang terbaring di atas lantai.

"Puteri Alaia!?"

Karena baru saja terbangun, Koutarou tidak bisa mengerti apa yang sedang terjadi. Satu-satunya hal yang bisa dia mengerti adalah, kalau keadaannya terus berjalan seperti ini, Alaia akan terkena tebasan pedang itu dan terbunuh.

"Takkan kubiarkaaaaaaan!!"

Koutarou, yang berniat untuk melindungi Alaia, mengerahkan tangannya sendiri ke arah pedang itu. Dengan diiringi suara dentuman, tangan kiri Koutarou mengenai pedang si pembunuh. Karena tangannya tidak mengenai bagian tajam pedang itu, tangannya tidak terpotong, tapi tinjunya mengenai sisi pedang itu dan meretakkan tulang-tulangnya. Meskipun Koutarou mendapat tambahan luka, sebagai gantinya Alaia tidak terluka. Arah serangan pedang itu pun berubah dan hanya melukai sedikit kaki Koutarou.

"Koutarou-sama!!"

Sesaat setelahnya, Alaia melompat ke atas badan Koutarou dan memeluknya, berusaha sebisanya untuk menjaga Koutarou agar tidak terluka.

"..."

Serangan pertama si pembunuh gagal mengenai sasarannya, tapi dia dengan cepat membetulkan kembali posisinya dan mengincar bagian badan Koutarou yang tidak bisa dilindungi oleh Alaia. Karena ukuran badan Koutarou dan Alaia begitu berbeda, Alaia tidak bisa melindungi seluruh badan Koutarou. Kepala, tangan dan sebagian besar kaki Koutarou masih bisa terlihat. Kalau si pembunuh mengincar bagian-bagian itu, akan mudah baginya untuk membunuh Koutarou meskipun Alaia melindungi badannya.

"Takkan kubiarkan kau melakukannya!" seru Clan sambil menembakkan senapannya. Sebagai hasilnya, pedang si pembunuh terpental dari tangannya, menghancurkan pedang itu dan menggagalkan aksi si pembunuh.

Namun, si pembunuh tidak berhenti sampai disitu saja. Karena tangan kanannya menjadi tidak bisa digerakkan karena benturan dari tembakan senapan Clan, dia menghunus sebuah pisau dengan tangan kirinya dan kembali menyerang Koutarou.

"...Pengalihan yang bagus, Clan."

Namun, hanya itulah yang bisa dilakukan si pembunuh. Ujung pedang Flair sudah terarah pada leher si pembunuh, membuatnya tidak bisa bergerak. Kalau dia bergerak sedikit lagi, Flair sudah pasti akan memenggal kepalanya saat itu juga.

"Dia..."

Baru saat itulah Flair melihat wajah si pembunuh dan menjadi kaget, karena ternyata dia sudah pernah mengenal wajah itu sebelumnya. Si pembunuh rupanya adalah salah seorang pasukan kudeta yang beralih ke pasukan Forthorthe baru sehari yang lalu. Karena Flair yang bertugas menangani pasukan tempur, dia melihat wajahnya saat prajurit itu mendaftar. Flair lalu menyerang si pembunuh dengan gagang pedangnya dan membuatnya pingsan, namun rasa kagetnya belum mereda.

"Kukuku, inilah yang terjadi kalau kau tidak membunuh orang yang mengarahkan senjatanya padamu. Ksatria Biru itu terlalu naif", cela Dextro. Karena dia masih terbelenggu, dia baru saja tiba di ruangan itu. Namun, karena dia sudah mengetahui rencana pembunuhan itu, dia sudah tahu apa yang membuat Flair terkejut.

"...Aku tidak yakin akan hal itu."

"Huh?"

"Coba lihat dari sisi ini, aku sudah pernah mencoba membunuh Veltlion dulu", kata Clan sambil menyandarkan senapannya di bahunya sambil melotot ke arah Dextro, ekspresi yang akan dijuluki Koutarou sebagai licik kalau dia sampai melihatnya.

"Dan karena aku berada disini, raksasa itu bisa dikalahkan....Sekarang siapa disini yang naif? Kau? Atau Veltlion?"

"...Cih", decak Dextro. Raksasa besi yang diperintahkannya untuk melawan Koutarou dihancurkan oleh meriam laser milik Clan. Itulah hasil dari perbuatan Koutarou yang tidak membunuh Clan dan Dextro yang meremehkannya. Ditambah, pencegahan rencana pembunuhan ini adalah berkat tindakan Koutarou yang tidak membunuh Dextro. Jadi, bisa dikatakan kalau Dextrolah yang sebenarnya naif.

"...Teruslah bertindak seperti itu, Veltlion...", gumam Clan dengan suara yang pelan sambil memandangi Koutarou. Meskipun rencana pembunuhan itu sudah berakhir, Alaia masih memeluk Koutarou dengan erat dan gemetaran, yang dibelai dengan lembut oleh Koutarou yang masih terluka. Charl sendiri hanya bisa memandangi mereka berdua dengan pandangan khawatir. Melihat pemandangan itu, Clan bisa meyakinkan dirinya sekali lagi akan keyakinannya...

"...Itulah jalan, yang kau ambil, sang Ksatria Biru..."

...bahwa Koutaroulah sang Ksatria Biru yang sebenarnya.


Part 3[edit]

Koutarou kembali terbangun setelah tiga hari kemudian, sebagai hasil dari obat menjijikkan yang diberikan Lidith padanya, dan juga rasa lelah dan lukanya yang menumpuk.

"Dimana aku....?"

Setelah terbangun, Koutarou memandang ke sekelilingnya. Lampu yang menyala dengan redup tidak menerangi ruang perawatan, tapi kamar Koutarou sendiri di dalam benteng. Karena perawatannya sudah selesai, dia sudah dipindahkan dari ruang perawatan.

"Hm?"

Setelah Koutarou sadar bahwa dirinya sudah berada di kamarnya sendiri, dia baru sadar kalau ada seseorang di sampingnya.

"...Puteri Alaia!?"

Alaia sedang duduk di sebuah kursi disamping Koutarou dan menyandarkan badannya pada tempat tidurnya dan tertidur pulas. Pada meja disebelahnya terdapat wadah yang berisi semacam cairan, perban, seguci air dan banyak hal lain. Setelah melihat itu, Koutarou sadar bahwa Alaia sudah membantu merawat dirinya.

"Puteri Alaia..."

Alaia sendiri sedang menggenggam tangan kanannya dengan kedua tangannya sendiri. Meskipun dia sedang tertidur lelap, dia tetap menggenggam tangan itu dengan erat, seakan tidak ingin melepasnya.

Rokujouma V8.5 141.jpg

"Kayaknya aku udah bikin dia kuatir...", gumam Koutarou dengan pelan sambil membalas menggenggam tangan Alaia.

Alaia seharusnya sibuk dengan tugasnya sebagai seorang tuan puteri, jadi dia seharusnya tidak punya waktu untuk merawat Koutarou. Namun demikian, Alaia sudah meluangkan waktunya dan sekarang tertidur seperti ini. Saking khawatirnya Alaia terhadap Koutarou, Alaia merasa kalau dia perlu melakukan ini.

"Mm, mmm....."

Alaia, yang menyadari kalau Koutarou menggerakkan tangannya, menjadi terbangun dari tidurnya. Dia membuka matanya perlahan-lahan selama beberapa saat, dan setelahnya langsung menegakkan badannya.

"Koutarou-sama!?"

"Selamat pagi, Yang Mulia."

Saat dia melihat Koutarou yang tersenyum, raut wajah Alaia pun berubah dan air mata mulai mengalir keluar dari matanya.

"Syukurlah...anda kembali sadar..."

"Maaf sudah membuat anda khawatir, dan...saya betul-betul merasa terhormat karena sudah dirawat oleh Yang Mulia sendiri."

"Tidak apa-apa! Anda terluka demi diri saya! Sayalah yang seharusnya meminta maaf dan berterimakasih kepada anda!" balas Alaia sambil menghapus air matanya dengan cepat karena dia tidak ingin membuat Koutarou sedih. Namun, air matanya terus mengalir tidak peduli seberapa banyak Alaia berusaha mengusapnya. Meskipun Alaia bisa memalsukan raut wajah dan nada bicaranya, air mata yang menyatakan rasa leganya tidak bisa dia palsukan begitu saja.

"Yang Mulia..."

Koutarou sendiri merasa betul-betul bersyukur melihat Alaia yang bersikap seperti itu, karena bisa mendapat perawatan dari puteri suatu negeri adalah hal yang betul-betul peristiwa yang begitu langka. Satu-satunya hal yang membuat Koutarou sedih adalah karena perasaan Alaia yang seharusnya didapat oleh sang Ksatria Biru yang asli, dan itu membuat Koutarou dipenuhi rasa bersalah.

"...Maaf karena sudah menangis layaknya anak kecil, Koutarou-sama."

Alaia tidak berhenti menangis sampai beberapa selang waktu kemudian. Dengan kembalinya pikirannya yang jernih setelah menangis sejadi-jadinya, senyuman tenang Alaia pun kembali muncul.

"Saya akan mengingat hal itu, karena itu adalah raut wajah yang jarang saya lihat."

"Wah...Koutarou-sama, rupanya anda cukup jahat juga."

"Banyak yang berkata seperti itu."

Sambil memandangi Alaia, yang sedang cemberut, Koutarou teringat dengan Harumi yang berada di Bumi.

"Dasar Satomi-kun jahil."

Saat mereka berdua asyik berbicara, Harumi terkadang akan mengejek Koutarou dengan mengatakan itu. Raut wajah Alaia saat itu terlihat persis saat Harumi mengatakan hal itu.

Puteri Alaia sama Harumi memang kelihatan mirip ya....

Berkat apa yang dirasakannya, Koutarou tidak merasa kesepian selama beberapa bulan ini. Tidak hanya Alaia saja, tapi Charl, Flair dan beberapa orang lainnya mengingatkannya pada teman-temannya di Bumi dengan satu dan lain cara. Sebagai hasilnya, Koutarou tidak pernah merasa kesepian karena dia percaya bahwa dirinya betul-betul beruntung bisa terkirim ke waktu dan tempat ini.

"Ngomong-ngomong, Koutarou-sama", kata Alaia yang sudah berhenti cemberut.

"Bagaimana keadaan anda?"

Dengan kembalinya raut wajahnya yang biasa, Alaia bertanya demikian pada Koutarou sambil melihat badannya dengan pandangan khawatir. Koutarou pun mengangguk sambil tersenyum untuk membalas pertanyaan itu.

"Saya sudah menjadi lebih baik. Masih ada beberapa bagian badan saya yang sakit jika digerakkan, tapi masalah yang paling besar adalah perut saya yang kelaparan."

Saat Koutarou tertidur, perawatan terhadap badannya dilakukan secara terus-menerus. Berkat metode sains Lidith, sihir Caris dan energi spiritual Fauna, Koutarou bisa kembali pulih dengan cepat. Kalaupun dia mencoba bergerak, tidak akan ada bagian badannya yang akan menjerit kesakitan. Selama dia makan sesuatu dan membiarkan waktu terus berjalan, badannya pasti akan kembali pulih dengan sendirinya.

"Wah, wah, Koutarou-sama..."

Alaia langsung tersenyum saat mendengar nada bicara Koutarou. Dia merasa bahwa nada bicara Koutarou yang begitu polos itu lucu untuk menjawab kekhawatirannya terhadap diri Koutarou.

"S-Saya akan segera memberitahu Mary untuk segera menyiapkan makanan, fu, fufufu."

Sambil menertawakan Koutarou, Alaia mencoba merasakan kembali kehangatan yang berada di tangannya.

Saya betul-betul bersyukur....Koutarou-sama baik-baik saja...pikir Alaia yang mengakui perasaannya dengan merasakan kehangatan tangan Koutarou.

Saya...saya betul-betul tidak ingin membiarkan Koutarou-sama mati...

Selama beberapa hari ini, Alaia merasakan betapa berartinya Koutarou baginya. Keputusasaan yang dirasakannya saat Koutarou terluka parah dan dibawa ke benteng, rasa jengkelnya saat dia mendengar adanya pembunuh, perasaan yang tercurah saat dia menghalangi si pembunuh untuk melindungi Koutarou, ketidaksabaran yang dirasakannya saat dia hanya bisa melihat Koutarou tertidur dan rasa lega yang begitu sangat saat dia bisa melihat Koutarou tersenyum kembali.

Semua perasaan itu telah menyokong Alaia. Dia betul-betul tidak ingin Koutarou sampai mati, tidak peduli berapapun harga yang harus dia bayar untuk itu.

Alaia tahu, suatu hari nanti Koutarou akan pergi meninggalkannya. Bagi sang tuan puteri Alaia, pernikahan hanyalah alat politik. TIdak peduli seberapa besar Alaia mencintainya, tidak akan pernah ada kemungkinan bagi Alaia untuk menikahi Koutarou. Namun, karena dia tahu bahwa Koutarou akan terus hidup bahkan setelah mereka berpisah, hal itu bisa menjadi kekuatannya.

Demi hal itu....!!

Alaia pun mengambil sebuah keputusan, dengan tekad yang tak tergoyahkan yang bahkan melampaui keinginannya untuk melindungi negerinya.

"Koutarou-sama, setelah anda betul-betul pulih, saya ingin mengajak anda ke suatu tempat. Bisakah anda ikut dengan saya?"

Selama Koutarou baik-baik saja, Alaia bisa melindungi dunia ini sendirian.

Pada saat ini, Alaia digerakkan oleh perasaan yang begitu kuat itu.


Part 4[edit]

Alaia mengajak Koutarou ke sebuah kuil kosong di pegunungan yang terletak agak jauh dari Raustor. Raustor sendiri berarti tempat istirahat sang dewi. Setelah berkelana melewati waktu dan dunia yang tak terhitung banyaknya, sang dewi fajar mengistirahtkan kakinya di tempat itu.

Dengan legenda itu sebagai dasarnya, Raustor secara alami berkembang menjadi tempat yang dianggap keramat, dan ada banyak kuil yang dibangun untuk dewi fajar. Alaia mengajak Koutarou menuju salah satu dari kuil-kuil itu, yakni kuil tertua yang dirawat langsung oleh keluarga Mastir.

Kuil itu bangunan yang begitu kokoh yang terbuat dari batu. Karena itulah, tampilan kuil itu tetap terlihat sama dengan saat kuil itu baru berdiri sekitar lebih dari 1000 tahun yang lalu. Yang berubah dari tampilan kuil itu hanyalah beberapa tanaman yang tumbuh di bebatuan.

Koutarou dan Alaia pergi ke tempat itu ditemani oleh Fauna, yang merupakan pendeta dewi fajar. Selain itu, dia juga merupakan teman Alaia karena mereka berdua seringkali pergi ke seminar bersama. Karena itulah Alaia mempercayai Fauna dan mempercayakannya untuk mengurus kuil ini.

"Alaia-sama, Layous-sama, silahkan lewat sini."

"Terima kasih, Fauna."

Mereka pun memasuki kuil itu dengan dipimpin oleh Fauna. Karena Alaia dan Fauna sudah pernah kesini beberapa kali, mereka tidak berpikir berlebihan soal tempat itu.

"Ini...."

Namun, hal itu tidak berlaku bagi Koutarou. Saat dia memasuki kuil itu, dia menjadi terheran akan sesuatu. Koutarou sudah diberitahu kalau kuil ini dibangun bagi dewi fajar, dan meskipun dia tidak diberitahu hal itu, Koutarou bisa tahu kalau tempat ini adalah tempat yang suci. Namun, bukan itu yang dirasakan oleh Koutarou, karena apa yang dirasakannya lebih mengarah pada deja vu.

Apa aku pernah kesini sebelumnya....? Apa justru suasananya yang aku ingat...?

Deja vu yang dirasakannya semakin kuat saat Koutarou menuju bagian tengah kuil itu. Koutarou sendiri merasa kalau dia sudah mengenal tempat itu, atau mungkin suasana yang berada di kuil itu.

"Maaf sudah membuat anda menunggu. Inilah tempat yang ingin saya tunjukkan kepada anda."

"....Patung ini..."

Apa yang dirasakan Koutarou berubah menjadi keyakinan saat dia sampai di tempat tujuannya.

Koutarou sampai di sebuah ruangan besar yang terbuat dari batu yang terletak di tengah-tengah kuil. Ada banyak kaca berwarna merah yang berada di atap ruangan itu, membuat warna ruangan itu seperti warna fajar. Di tengah ruangan itu, terdapat sebuah patung batu yang disinari cahaya merah. Karena patung batu itu berdiri di atas sebuah pijakan yang besar, Koutarou menengadahkan kepalanya untuk bisa melihat patung itu.

Di Forthorthe, patung itu menggambarkan sosok sang dewi fajar, yang mana sosoknya digambarkan dengan sosok dewi penciptaan: rupa seorang gadis dengan tangan yang mengatup di depan dadanya dan berdoa. Dalam legenda, sang gadis menangis dalam kesendiriannya dan mengubah air matanya menjadi benang, lalu mulai merajutnya menjadi dunia. Karena itulah, air mata diukir pada wajah patung itu.

Ada beberapa pilar yang berdiri mengelilingi patung itu. Bola-bola transparan terpasang di atas pilar-pilar itu dan disinari oleh cahaya kemerahan dari atas.

Aku...aku kenal sama patung itu sama tempat ini...tapi kenapa? Kenapa aku nggak bisa ingat?

Koutarou merasa heran dengan apa yang sedang dialaminya. Dia bisa mengingat pernah melihat pemandangan ini, gadis itu, sang dewi fajar sebelumnya. Walau begitu, dia tidak bisa mengingat kejadian itu. Kalau membandingkan ingatannya dengan sebuah foto, hasilnya akan seperti kalau sebagaian ingatannya sudah ditutupi oleh suatu gambar yang lain. Koutarou bisa tahu kalau ada sesuatu yang seharusnya ada di foto itu dari apa yang berada di sekelilingnya, tapi dia tidak bisa melihat foto itu. Peristiwa aneh ini membuat Koutarou menjadi gusar karenanya.

"Silahkan maju kesini."

Koutarou masih melamun memandangi patung itu saat panggilan dari Alaia menyeretnya kembali ke dunia nyata. Alaia sudah berada di depan patung itu dan memanggilnya.

"Silahkan pergi ke sana, Layous-sama."

Selanjutnya, Fauna juga ikut memanggil Koutarou dari pintu masuk ruangan itu sambil memandang ke dalamnya. Fauna berniat menyerahkan langkah selanjutnya pada Alaia, karena dia tahu mengapa Alaia membawa Koutarou ke tempat ini. Pertama, karena Faunalah yang bertanggungjawab atas tempat ini, dan kedua, karena dia sendiri adalah seorang gadis. Karena kedua alasan itulah dia memilih untuk membiarkan Alaia dan Koutarou maju sendirian.

"Baiklah, mohon tunggu sebentar."

"...Baik."

Fauna meninggalkan Koutarou perlahan saat Koutarou mendekati Alaia, lalu meninggalkan ruangan itu dan menghilang dari pandangan Koutarou dan Alaia. Sebagai hasilnya, Koutarou dan Alaia hanya berdua saja di depan patung itu.

"Terima kasih banyak, Koutarou-sama."

Setelah hanya tinggal mereka berdua saja di tempat itu, Alaia memanggil Koutarou menggunakan nama aslinya. Semenjak Koutarou mengungkapkan siapa dirinya sebenarnya pada Alaia, Alaia selalu menggunakan nama asli Koutarou saat mereka hanya berdua saja.

"Tidak....jadi, tempat apa ini, Yang Mulia? Dan kenapa kita datang ke tempat ini?"

Pikiran Koutarou dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Karena ingatannya sendiri masih samar-samar, dia ingin tahu lebih banyak tentang tempat itu.

"Ini adalah tempat yang spesial bagi keluarga kekaisaran Forthorthe. Harta negeri ini berada di tempat ini."

"Harta, negara...?"

Setelah mendengarkan Koutarou mengulangi kata-katanya, Alaia tersenyum simpul dan berbalik menghadap pijakan patung itu. Dia lalu meletakkan tangannya pada lempeng keperakan yang ada di pijakan itu. Ada kalimat yang terukir pada lempeng itu:

'Saat bencana yang sesungguhnya melanda negeri ini, serukanlah namamu yang sesungguhnya'

Kalimat itu diukir menggunakan huruf-huruf yang tidak bisa dibaca oleh Koutarou, tapi sistem zirah Koutarou dengan cepat menerjemahkan kalimat itu, yang rupanya ditulis menggunakan bahasa kuno yang digunakan oleh para pendeta dan penyihir.

"Nama saya adalah Alaia. Saya adalah sang salju putih keperakan dari Mastir. Sang puteri mahkota Forthorthe, Alaia Kua Mastir Signaria Tia Forthorthe."

Tepat saat Alaia menyebutkan namanya, cahaya putih mulai keluar dari lempengan itu, yang kemudian menyebar menyelimuti seluruh patung itu dan membuat sang dewi bersinar. Pada akhirnya, lempengan itu bergeser turun dan memperlihatkan apa yang berada dibaliknya.

"Ini...sebuah pedang...?"

Di dalam pijakan itu terdapat sebuah pedang tua. Pedang itu tertancap di pijakan itu sendiri dan pedang itu, beserta pijakannya, mulai bergeser keluar ke arah Koutarou dan Alaia.

Saat pedang itu pertama kali ditancapkan di pijakan itu, pedang itu masih terlihat mengkilap dan berkilau, tapi sekarang baik mata pedang maupun gagangnya sudah menjadi berkarat. Pedang itu sudah kehilangan semua kilau gemilangnya dan sekarang hanya terlihat seperti rongsokan.

"Benar. Pedang ini sudah diwariskan dari generasi ke generasi keluarga kekaisaran. Pedang ini dikatakan diberikan kepada keluarga kekaisaran oleh sang dewi fajar sendiri. Keberadaan pedang ini menjadi bukti kekuasaan keluarga kekaisaran Forthorthe, dan disaat yang sama, kekuatan pedang ini telah melindungi negeri ini dari musuh-musuhnya", kata Alaia yang memberi penjelasan dengan bangganya, namun sesaat kemudian berubah menjadi muram.

"Namun....pedang ini jugalah yang terkadang menjadi sumber dari konflik, dan 200 tahun lalu pedang ini disegel disini."

Pemilik pedang ini dapat disebut sebagai kaisar Forthorthe. Karena itulah ada banyak perang yang meletus untuk memperebutkan pedang ini, dan banyak darah yang tumpah karenanya.

Tepat pada saat itulah kaisar dari beberapa generasi yang lalu menyembunyikan pedang itu. Di saat yang sama, dewan penyihir ditugaskan untuk membuat sebuah segel yang kuat agar pedang itu tidak jatuh ke tangan yang salah. Hanya mereka yang berasal dari keluarga kekaisaran sajalah yang bisa membuka segel pedang itu. Selain itu, bahkan keluarga kekaisaran sekalipun tidak diizinkan untuk menyentuh pedang itu kalau tidak ada bencana hebat yang melanda negeri itu.

"Jadi itu maksud anda dengan harta negeri ini...tapi, maafkan saya, pedang ini tidak terlihat seperti memiliki kekuatan seperti itu..."

Koutarou mengerti cerita Alaia, namun apa yang berada di hadapannya hanyalah sebuah onggokan besi berkarat, yang tidak terlihat istimewa sama sekali.

"Fufufu, memang benar adanya dalam keadaan seperti ini", tawa Alaia dengan pelan sambil menghadap ke arah pedang itu. Dia lalu bersikap seperti patung itu: mengatupkan tangannya di depan dadanya, menutup matanya dan mulai berdoa.

"Dulu, sekarang dan masa yang akan datang, oh ibu dari segala sesuatu, dewi fajar."

Alaia mulai berbicara menggunakan bahasa kuno dengan suara yang merdu. Sesaat setelahnya, sebuah suara yang nyaring bagaikan besi mengenai besi memenuhi seluruh ruangan itu, dan dahi Alaia mulai bersinar.

"Yang Mulia...apa yang..."

Sebelum Koutarou menyadarinya, sebuah lambang pedang muncul di dahi Alaia dan mengeluarkan cahaya.

"Seorang anak dari Forthorthe, pelayanmu yang setia memohon kepada engkau. Sekaranglah waktunya untuk membuka segel ini, dan berikanlah kami kekuatan untuk menghadapi bencana ini."

Alaia menggunakan mantra untuk menghapus mantra yang terpasang pada pedang itu. Mantra itu dan darah birunya adalah kunci untuk menghapus segel itu.

"Angin surgawi. Tanah yang subur. Air samudra. Api gunung. Dengan jiwa saya sebagai sumbernya, ungkapkanlah kekuatan untuk menyatukan segala sesuatunya!"

Cahaya yang bersinar dari Alaia dengan perlahan menyentuh pedang itu, dan bagian yang tersentuh itu perlahan mulai kembali terlihat cemerlang seperti dulu. Karat-karat yang menutupi pedang itu pun hilang, seakan ditiup oleh angin. Pedang yang tadinya berkarat dan usang itu pun kembali bersinar gemilang seperti dahulu. Kotorang dan bekas gesekan yang ada sudah menghilang dan kilauan perak bersinar sebagai gantinya. Kemilau pedang itu begitu indah seakan-akan pedang itu baru saja selesai ditempa.

"Nama saya adalah Alaia! Sang salju putih perak dari Mastir! Oh, pedang suci dari kuil, ukirlah nama saya pada mata anda dan hiduplah kembali!"

Saat Alaia menyerukan itu dengan lantangnya, pedang itu meledak menghasilkan cahaya yang betul-betul putih bersinar, yang merupakan sebagian dari kekuatan pedang itu yang mengalir keluar dan membuat kuil itu berguncang.

Kejadian itu berlangsung selama beberapa detik, dan cahaya itu pun berangsur-angsur mereda, seakan diserap oleh pedang itu sendiri. Namun, meskipun cahaya itu sudah tidak ada, tampilan berkarat pedang itu tidak kembali. Pedang itu masih terlihat cemerlang, berdiri kokoh di atas pijakan dihadapan Koutarou dan Alaia.

"Koutarou-sama."

Alaia lalu memegang gagang pedang itu seakan-akan tidak ada apapun yang sudah terjadi. Setelah dia memegang pedang itu dengan kedua tangannya, dia berbalik menghadap Koutarou.

"Pedang ini diberikan nama dari orang yang membuka segelnya."

Lambang pedang yang berada di dahi Alaia masih dapat terlihat, dan seperti pedang di tangannya, lambang itu memiliki kemilau keperakan. Itulah bukti bahwa Alaialah yang sudah membuka segel pedang itu, yang memberikannya sebuah ikatan antara dirinya dengan pedang itu.

"Karena itulah, pedang ini mendapat nama saya."

Alaia lalu menyerahkan pedang itu kepada Koutarou, dan disaat yang bersamaan, menyebutkan nama pedang itu dengan penuh kebanggaan.

"Nama pedang ini adalah Signaltin, yang berarti pedang putih keperakan."

Ternyata, nama yang disebutkannya adalah nama pedang paling terkenal dalam legenda Ksatria Biru.

Rokujouma V8.5 157.jpg

"Ini...Signaltin..."

Koutarou terkejut saat mendengar nama itu. Dia tahu kalau Signaltin itu ada, tapi dia tidak menyangka bahwa pedang itu akan muncul dihadapannya pada saat seperti ini. Dalam naskah yang ditulis oleh Theia, hanya sedikit bagian yang menerangkan tentang adanya sihir, jadi pedang itu didapat oleh sang Ksatria Biru dengan mudahnya.

"Tolong terima ini, Koutarou-sama."

Alaia berencana memberikan pedang itu kepada Koutarou. Selama Koutarou memiliki pedang itu, Koutarou tidak akan pernah kalah, dan selama Koutarou hidup, Alaia tetap bisa bertahan dalam menjalani hidupnya. Alaia percaya bahwa inilah jalan yang terbaik baik bagi dirinya sendiri maupun bagi Forthorthe.

"T-Tidak, saya tidak bisa menerima sesuatu yang begitu berharga seperti ini..."

Namun, Koutarou tidak bisa menerima sesuatu seperti itu begitu saja. Koutarou tahu kalau pedang itu memiliki kekuatan yang luar biasa setelah melihat ritual yang dilakukan untuk membuka segelnya, itulah sebabnya dia tidak bisa menerimanya begitu saja. Ditambah, pedang ini adalah harta keluarga kekaisaran. Fakta itulah yang membuat Koutarou mengurungkan niatnya untuk menerimanya.

"Tidak apa-apa."

Karena Koutarou bereaksi tepat seperti yang ia duga, Alaia justru tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

Seperti yang sudah saya duga, saya harus menyerahkan pedang ini pada Koutarou-sama...

Karena sudah yakin bahwa apa yang dipilihnya adalah pilihan yang tepat, Alaia lalu mengungkapkan perasaannya.

"Sebagai gantinya, tolong berjanjilah pada saya."

"Eh?"

"Koutarou-sama, saat anda kembali ke dunia anda sendiri, tolong bawalah pedang ini bersama anda."

"Sa-saya tidak bisa melakukan itu, Yang Mulia!!"

Karena permintaan Alaia begitu mengejutkan, Koutarou sampai membelalakkan matanya saking kagetnya, yang lebih besar daripada saat Signaltin muncul.

"Adalah yang terbaik jika anda yang menjaganya. Pedang ini hanya akan menjadi sumber perepecahan. Kami tahu betul bagaimana jika negeri yang bergantung pada kekuatan yang begitu besar sampai bertemu. Itulah sebabnya mengapa pedang ini disegel."

Alaia sendiri justru terlihat kalem, berbeda dengan Koutarou. Dia memandangi Koutarou sebentar dengan pandangan yang lembut, dan lalu melanjutkan bicaranya.

"Dan cara yang paling aman adalah untuk membawanya pergi dari dunia ini. Dengan melakukan itu, negeri ini tidak akan pernah bertarung demi pedang ini lagi."

Seperti halnya Alaia mencoba melindungi Koutarou, Alaia juga mencoba melindungi Forthorthe.

Keberadaan Signaltin sudah menyebabkan beberapa perang saudara. Karena kekuatannya yang hebat, sudah tidak terhitung banyaknya orang-orang yang mencoba merebut pedang ini dan menjadi sang kaisar. Sama halnya dengan teroris pada zaman ini yang mencoba merebut kekuasaan dengan cara menggunakan senjata-senjata yang kuat.

Meskipun konflik yang ada sudah berhenti karena pedang itu disegel di dalam kuil, tidak ada jaminan kalau situasi yang ada akan tetap sama seperti saat ini. Hal yang ideal yang bisa dilakukan adalah untuk menyimpan pedang itu jauh sekali, dimana tidak ada seorang pun yang bisa mendapatkannya. Kesempatan untuk melakukan hal ideal itu muncul di hadapan Alaia, dalam wujud Koutarou yang datang mengarungi waktu dari dunia bintang, dan Koutarou pasti akan melakukannya.

"Kalau Koutarou-sama membawa pedang ini, orang-orang dunia ini akan kehilangan kesempatan untuk merebut pedang ini. Inilah kesempatan yang terbaik bagi kita."

Pedang itu bisa melindungi orang-orang yang dicintainya, menundukkan para penghianat dan membuat Alaia bisa melindungi negerinya untuk jangka panjang. Bagi Alaia, tidak ada tindakan yang lebih berarti lagi dibandingkan ini.

"Jadi...begitu rupanya..."

Itulah alasan sebenarnya mengapa sang Puteri Perak memberikan pedang itu kepada sang Ksatria Biru, dan mengapa sang Ksatria Biru menghilang. Bukan hanya keberadaan sang pahlawan legenda, sang Ksatria Biru saja yang membuat keadaan politk Forthorthe menjadi tidak stabil, tapi juga pedang itu sebagai salah satu sumber ketidakstabilan negeri itu. Itulah sebabnya mengapa sang Ksatria Biru menghilang - untuk menghapus nama sang pahlawan dan pedang yang hebat itu dari Forthorthe.

"Saya mengerti, Yang Mulia. Saya dengan senang hati akan menerima tugas itu."

Setelah menyadari situasinya, Koutarou akhirnya memutuskan untuk menerima pedang itu. Itulah tugas yang harus diembannya sebagai pengganti sang Ksatria Biru, dan dia merasa bahwa dirinya bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik daripada sang Ksatria Biru dengan membawa kembali pedang itu ke Bumi.

"Terima kasih banyak, Koutarou-sama!"

Alaia merasa begitu bahagia saat Koutarou menerima pedang itu. Dengan begitu, semuanya akan berjalan dengan lancar. Itulah harapan Alaia, dan disaat yang sama, hal yang mendorongnya begitu kuat.

"...Koutarou-sama. Mulai dari saat ini, pedang ini akan melindungi anda. Dari musuh seperti apapun dan dari cobaan seperti apapun."

"Kalau begitu, saya akan menggunakan hidup saya dan pedang ini untuk melindungi anda, puteri Alaia..."

Dengan begitu, Koutarou memperoleh Signaltin, dan roda takdir pun terus berputar.


Pada malam setelah Koutarou dan Alaia kembali ke Raustor dengan membawa Signaltin, Alaia berada di ruangannya, menderita vertigo yang begitu sangat.

"Kuh, ummh."

Alaia, yang hampir kehilangan keseimbangannya, menyandarkan badannya ke dinding. Kalau tidak, badannya akan segera jatuh.

"Yang Mulia!"

Fauna, yang berada di ruangan itu, menyadari keadaan Alaia dan langsung berlari ke arahnya untuk menahan badannya. Dia khawatir dengan keadaan badan Alaia yang mungkin akan sakit karena efek membuka segel, dan sudah menemaninya sedari tadi.

"T-terima kasih, Fauna....anda begitu membantu..."

"Tolong tetap seperti ini, Yang Mulia. Saya akan segera menyembuhkan anda."

Fauna lalu membawa Alaia duduk di sofa dan mencoba menyembuhkannya menggunakan energi spiritual. Badan Alaia sendiri sudah menjadi semakin lemah, namun energi spiritual yang dicurahkan Fauna padanya terlihat tidak memiliki pengaruh sama sekali.

"Saya merasa kalau ada beban yang sudah terlepas dari pundak saya. Terima kasih, Fauna."

Namun, beberapa saat setelahnya, wajah Alaia akhirnya sudah tidak menjadi pucat lagi. Karena keadaan pikiran dan badannya sudah pulih, Alaia akhirnya tersenyum dan berterimakasih pada Fauna. Alaia beruntung bisa memiliki teman seperti Fauna pada saat-saat seperti ini.

"Yang Mulia...tidakkah anda memberikan nyawa anda terlalu banyak pada pedang itu, Signaltin?"

Saat itu Alaia sudah menjadi semakin lemah layaknya orang yang sedang menderita sakit. Itu terjadi karena dia menggunakan lebih dari separuh nyawanya sebagai harga untuk menghidupkan kembali Signaltin. Saat dia membuka segelnya, semakin banyak nyawa yang dibayarkan, semakin banyak juga kekuatan yang akan disimpan oleh pedang itu. Karena itulah Alaia memberikan sebanyak mungkin nyawa yang bisa diberikannya pada pedang itu. Lambang di dahinya pun menjadi bukti atas hal itu, yang mana hingga saat ini, separuh jiwanya berada didalam Signaltin.

"Lebih baik begini."

Kesehatan Alaia pun menurun sebagai hasil dari nyawa yang telah diserahkannya, namun raut wajahnya tidak menggambarkan penyesalan sama sekali, justru sebaliknya. Alaia merasa begitu puas karena sudah melakukan sesuatu yang begitu berharga.

"Dengan melakukan ini, saya bisa terus berada di sisi Koutarou-sama."

Alaia sudah ditakdirkan untuk tidak akan pernah berhubungan dengan Koutarou. Namun, dengan adanya Signaltin di sisi Koutarou, jiwa Alaia akan berada di dekat Koutarou untuk selamanya. Karena posisinya saat ini membuatnya tidak bisa mengatakannya secara lantang, hal inilah yang bisa dilakukan Alaia untuk menunjukkan cintanya.

"Puteri Alaia..."

Fauna tidak bisa berkata apa-apa saat menghadapi rasa cinta Alaia yang begitu tenang namun begitu kuat, hingga hanya nama Alaia saja yang bisa diucapkannya.

"Bahkan jika...jika dia kembali ke sisi lain dari waktu yang tak berujung dan jarak yang tak terhitung itu..."

Tidak peduli seberapa banyak waktu atau jarak memisahkan Alaia dari Koutarou, Alaia akan senantiasa berada di sisi Koutarou untuk selamanya.


Sepuas itulah perasaan Alaia saat ini.


Kembali ke Bab 3 Ke Halaman Utama Selanjutnya ke Bab 5