Sakurasou no Pet na Kanojo (Indonesia):Jilid 1 Bab 2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Apa yang Sebaiknya Kulakukan?[edit]

Bagian 1[edit]

Pagi hari Kanda Sorata dimulai sangat awal.

Sekarang bahkan belum pukul 6:30 pagi.

Bahkan sebelum handphone yang dia gunakan sebagai pengganti jam alarm berbunyi, entah itu adalah pantat si kucing putih Hikari yang membangunkannya, atau pukulan langsung dari si kucing hitam Nozomi, atau serangan ke perut dari si kucing belang Kodama, Sorata akan dipaksa bangun dari dunia mimpi dan dibawa kembali ke dunia nyata.

Berikutnya adalah lagu bertempo cepat, sebuah lagu tema perang RPG yang dia sukai ketika masih di SMP.

Untuk membangunkan dia sepenuhnya di pagi-pagi buta, dia telah memasang nada ini sebagai suara alarm di bulan April tahun ini. Hanya dengan mendengarkan sebagian saja, dia selalu mendapat perasaan bahwa dia bisa melakukan apapun.

Setelah mencuci wajahnya, dia menuju ruang makan, diikuti oleh ketujuh kucing yang menunggu sarapannya.

Setelah Sorata menyiapkan makanan kucing, kucing-kucing tersebut melahapnya seakan hidup mereka bergantung pada hal itu. Selama waktu ini, Sorata juga akan mengunyah sepotong roti panggang dan meneguk susu.

Semua hal ini adalah sesuatu yang tidak bisa lebih normal lagi.

Satu-satunya hal yang berbeda adalah setiap kali dia membuka kulkas, dia akan merasa sedikit kemurungan.

Di bagian depan kulkas adalah jadwal tugas. Banyak magnet berwarna-warni menghiasinya, dan di situ terdapat kalimat yang tidak dapat dia abaikan.

“—Tugas Mashiro, Kanda Sorata.”

Warna merah selamanya merah.

Sebuah bukti yang permanen.

Sekalipun dia benar-benar terluka secara emosional, Sorata tetap membawa laptop yang dia pinjam dari Misaki, dan berjalan menuju dapur. Dia membuka sebuah website yang berisi metode untuk membuat bento yang mudah[1] dan mulai menyiapkan bahan-bahannya.

Menu hari ini adalah tuna goreng, bayam, campuran sayuran segar dengan ham, dan yang terakhir tumis wortel dengan kecap. Ini mirip dengan makan malam sebelumnya. Mashiro juga setuju untuk memakannya. Mashiro tidak terlihat tidak menyukai makanan berminyak untuk alasan apapun.

Sementara dengan cepat menyiapkan bento, Sorata mengunyah sepotong roti panggang lainnya.

Semenjak saat ini dan berikutnya, dia akan melirik cepat ke layar laptop, hanya untuk memastikan instruksi persiapan bento, dan, sementara menunggu, juga akan melihat-lihat beberapa blog pembuat game untuk melewatkan waktu.

Tentu saja, dia tidak lupa untuk bercakap-cakap dengan Ryunosuke, yang sedang berkeliaran di ruang chat yang berbeda.

“— Sorata, apa menurutmu tentang ‘isyarat kematian’?”

“— Apa kau membicarakan sesuatu seperti ‘setelah perang ini berakhir, lamarlah dia’[2]?”

“— Kau benar. Sekalipun ada banyak teladan, di dunia fantasi, mereka menggunakan kekuatan tekad yang menentang akal sehat. Karakter yang tidak sengaja mengatakan hal yang salah akan selalu menghadapi takdir kematian. Kadang-kadang mereka tewas dengan brutalnya, tapi ada juga yang meninggal dengan elegan. Aku penasaran, apakah mereka menyadari isyarat kematian tersebut?”

“— Tidak, kelihatannya sama sekali tidak.”

Sekalipun Ryunosuke adalah orang yang aneh, dia bukan seseorang yang membuat orang lain tidak bahagia. Itulah kesan yang Sorata dapat setelah bercakap-cakap dengannya.

“— Semakin kita menggambarkan sebuah cerita fiksi yang mendekati masyarakat saat ini, semakin kita dapat mengerti keberadaan masyarakat dan kekuatan tekad. Tapi tetap saja, ada isyarat kematian. Apakah ini hanya pengarang atau penulis naskah yang ingin menggambarkan sifat manusia yang menyedihkan?”

“— Kau baru saja benar-benar mendeskripsikan sisi merepotkan dari percakapan ini, eh.”

“— Kalau begini, ini akan membuat topik ‘apakah dunia yang baru hidup dalam isyarat kematian’.”

“— Lalu, apakah topik ini akan makan waktu lama? Ikan tuna-ku hampir gosong.”

“— Baiklah kalau begitu, aku tidak punya pilihan lain. Kita akan ngobrol lain kali, teman.”

“— Ah, ya, kau benar. Kita di kelas yang sama tahun ini, ‘kan?”

“— Kelas hanyalah sesuatu yang diputuskan secara acak; hal itu tidak memiliki arti apapun.”

“Ryuunosuke telah meninggalkan percakapan.”

Pada saat yang sama, makanan untuk bento telah siap. Sorata dengan cepat menempatkan makanan tersebut ke dalam dua kotak bento, satu untuknya dan yang lain untuk Mashiro.

“Hm, kelihatannya enak.”

Sorata mencoba beberapa potong untuk mencicipinya; semua masakannya terasa enak.

“Jika aku menginginkannya, aku benar-benar bisa melakukannya. Ah, sial, aku jadi sedikit senang.”

Sorata membual tentang dirinya sendiri. Tapi tiba-tiba dia diseret kembali ke kenyataan dan hal itu memberinya perasaan hampa.

“Tunggu, apa yang sedang kulakukan…? Aku bukan seorang Yamato Nadeshiko[3] yang membuatkan bento untuk pacarnya!”

Sampai akhir tahun lalu, Sorata selalu mendapatkan makan siangnya dari ruang makan atau dari penjual di tepi jalan, jadi dia dapat tidur 30 menit lagi. Satu-satunya alasan kenapa dia bangun begitu awal adalah karena Mashiro.

Itu terjadi dua minggu yang lalu:

Dalam sekejap mata, ini sudah menjadi hari kedua dari semester baru dan sedang dalam jam pelajaran siang.

Ketika istirahat makan siang, Sorata pergi untuk memeriksa Mashiro, tapi dia menemukan gadis itu duduk sendirian di ruang kelas.

Sorata tidak punya pilihan selain mengajaknya ke ruang makan untuk memesan makanan, tapi mereka malah semakin menarik perhatian keramaian. Mashiro sangat pemilih, dan karena itu membuang semua makanan yang tidak dia sukai ke piring Sorata. Gara-gara itu, lebih banyak lagi rumor aneh yang menyebar. Sangat sulit untuk makan dengan tenang.

Dan ada orang yang menambahkan minyak ke api tersebut.

“Eh, bukankah mereka berdua dari Sakurasou?”

“Bodoh! Jangan lihat langsung ke mata mereka!”

“Ini pertama kalinya aku melihat mereka. Wah, hebat, mereka benar-benar bergerak. Dan mereka sedang makan.”

“Ah! Sial! Jika kita tidak menjauh dari mereka, kita juga akan terinfeksi Virus Sakurasou!”

Dengan begitu, mereka diperlakukan seperti monster aneh. Dan itu membuat Sorata tidak nyaman.

Sekalipun Sorata tadinya berpikir ‘ayo bawa Shiina ke penjual pinggi jalan kalau begitu’, hanya memikirkan gadis itu makan di toko makanan membuatnya menyerah bahkan sebelum mencobanya.

Jadi selama sisa waktu makan siang, hal itu menjadi perkembangan yang menyedihkah di mana Sorata memastikan apa yang Mashiro ingin makan, dan akhirnya memasaknya di pagi harinya.

Sorata tidak benar-benar menikmati memasak, jadi sudah jelas dia tidak terampil dengan hal ini. Di Sakurasou, Jin adalah seorang yang perfeksionis, dan Misaki, yang bagus hampir dalam semua hal, juga cukup terampil dengan hal ini. Bahkan Chihiro tahu lebih banyak masakan ketimbang Sorata. Jika seseorang memposisikan ranking Sorata dalam hal kemampuan memasak di Sakurasou, itu akan lebih cepat untuk mulai menghitungnya dari bawah.

Awalnya, Sorata mencari Misaki, yang menyiapkan bento baik untuk Jin dan dirinya sendiri.

“~Nah, bersama dengan bento-nya Kouhai-kun, ayo membuat bento ala Russian roulette! Hanya satu orang yang akan mendapatkan nasi dengan mustard, membawa mereka ke neraka! Istirahat makan siang yang menggetarkan dan menakutkan akan memulai prolognya sekarang juga!~”

Dia dengan gembira mengatakan hal ide mengerikan ini yang bahkan tidak terdengar seperti candaan. Sorata memutuskan untuk menganggap hal ini seakan tidak pernah terjadi.

Sudah jelas, hidup tidak pernah mudah dari awalnya.

“Jika kau membuat masakan, maka lakukan saja. Itu membuatku muak bahwa kau di satu saat bersemangat, dan menyedihkan di waktu berikutnya.”

Chihiro, yang entah bagaimana muncul di ruang makan, mengambil semua sayuran yang tersisa.

“Bagaimana bisa kau mengatakan seorang murid memuakkan?! Jika kita mulai menelusuri kembali, bukankah ini semua salahmu?! Sensei menyerah menjadi seorang wali dan mendorong semua tanggung jawab padaku!”

“Kurasa ada pepatah yang mengatakan: ‘Ketika kau muda, kau harus melalui kesulitan.””

Chihiro mengambil sepotong tuna goreng dan memasukkannya ke mulutnya.

“Ah! Tunggu!”

“Wow, rasanya enak sekali. Kanda, kuserahkan bagianku padamu juga.”

“Bagaimana bisa kau tetap begitu tebal muka?!”

Pada saat ini, orang lain masuk.

“Huh? Apa yang terjadi~~Apa yang terjadi~~Kau seharusnya melibatkanku juga~~”

Misaki menyanyikan lagu misterius, dan bergegas turun dari lantai dua.

“Tuna! Ada bau ikan tuna!”

Misaki yang energinya telah terisi di pagi-pagi sekali, berlari menuju ruang makan seperti seekor kucing. Dia meluruskan punggungnya dan kecepatan yang mengagumkan dia memasukkan semua tiga sajian ke dalam mulutnya.

“Kenapa semua begitu serampangan pagi ini?! Hei!”

“~Nyam. Bento milikku dan Jin hari ini diputuskan adalah ini!~”

“Aku tidak tanya apakah kau menginginkannya!”

“Jangan mengatakan sesuatu yang egois.”

Chihiro menyerahkan kotak bento di rak dan Sorata secara reflek menerimanya.

Misaki di sisi lain memasukkan sajian ke dalam bento-nya dengan gerakan terlatih.

Karena Sorata telah bersiap-siap bila dia gagal, dia telah menyiapkan tambahan untuk berjaga-jaga, dan itu cukup untuk dimakan lima orang. Ini membuatnya sedikit tidak senang. Dia membuat terlalu banyak.

“Apa yang kalian lakukan pagi-pagi sekali?”

Jin, yang jarang sekali menyambut pagi di Sakurasou, juga terbangun.

Dia melihat ke ruang makan dan dengan diam menilai situasinya. Setelahnya dia berkata:

“Yah, tidak buruk sesekali seperti ini.”

“Kouhai-kun bisa menikah kapan pun, ‘kan?”

“Yeah.”

Sorata dengan tidak senang menjawab sambil mengemas bento Chihiro.

Dia memeriksa waktunya. Bahkan belum jam tujuh.

Sekarang sudah akhir April. Setelah memasuki minggu keempat, mungkin karena menjadi terbiasa dengan membuat masakan, dia dapat menyiapkan bento lebih cepat dari yang dia bayangkan. Kemarin, ketika dia selesai menyiapkan bento, sudah sampai pukul setengah delapan, waktunya untuk membangunkan Mashiro.

Hari ini, akan tetapi, masih ada banyak waktu untuk bersiap-siap

Sorata tiba-tiba memikirkan sesuatu dan mengulurkan tangannya ke komputer.

Mencari dengan ‘Shiina Mashiro’ sebagai kata kuncinya.

“Apa, apa? Apa kau sedang menonton anime ecchi[4] atau hentai[5]?”

Misaki mendekatkan wajahnya ke layar.

“Aku tidak bisa mendapatkan energi sebanyak itu di dinihari.”

Pencarian internet dengan segera memunculkan hasil pencarian.

Ada seratus ribu halaman.

Hampir semuanya dalam bahasa Inggris.

“~Oh, Mashiron. Benar juga, kurasa aku belum pernah melihatnya sebelumnya.~”

Sorata meng-klik di hasil yang pertama.

Itu adalah website resmi museum seni luar negeri.

Jin dengan penasaran mendekat ke layar juga, meninggalkan Chihiro yang sedang minum kopi sebagai satu-satunya yang ada di ruang makan.

“Ini dalam bahasa Inggris, jadi aku tidak benar-benar bisa membacanya, huh? Bukan begitu?”

Setelah mesin pencarian di situs tersebut menampilkan hasil yang berkaitan dengan nama Mashiro, layar menjadi cerah secara tiba-tiba.

Itu adalah sebuah website dengan desain sederhana.

Latar belakang hijau menampilkan sebuah lukisan.

Menampilkan satu-satunya lukisan di dinding Museum Seni.

Begitu Sorata melihatnya, seluruh bulu kuduknya berdiri. Seakan-akan semua syaraf-syarafnya ingin terbang keluar dari tubuhnya.

Misaki memberi pujian yang bukan berupa kata-kata atau kalimat dan Jin menelan air liurnya.

Kesadaran Sorata tertarik ke layar kecil itu.

“Kenapa ini terjadi?”

Tenggorokkannya yang kering tanpa sadar mengeluarkan perkataan itu.

Sorata tidak dapat mengerti apakah lukisan itu bagus.

Akan tetapi, dia terpikat kuat oleh lukisan tersebut, yang bertema abstrak dan simbolis.

Tidak ada cara untuk menggambarkannya dengan kata-kata.

Kau dapat melihat cahaya, mendengar suara dan bahkan melihat angin. Lukisan itu seperti itu.

Jika kau menggulung layar ke bawah, kau dapat melihat komentar yang menilai lukisan itu. Syukurlah, ada terjemahan bahasa Jepangnya.

“—Pemahaman dan kemampuan Shiina, yang memungkinkan dia untuk mengekspresikan hal-hal seperti cahaya, suara, dan angin yang tidak dapat dilihat oleh mata, benar-benar patut dikagumi. Ini adalah pemahaman tentang dunia yang unik, tidak dapat diekspresikan dengan logika. Shiina Mashiro telah menggunakan lukisan sebagai jalan masuk ke dalam kota keajaiban. Tingkat pengetahuan kita tidak lagi ada apa-apanya untuknya.”

Misaki memuji lukisan Shiina sebanyak-banyaknya.

Ini kali pertama Sorata melihat seseorang memuji sampai seperti ini.

Dia kemudian merasa tidak dapat tenang, dan mematikan komputer dengan sedikit kasar.

“Kanda, kurasa sekarang waktunya?”

Karena suara Chihiro, dia tiba-tiba teringat.

“Ah! Sial!”

Setelah menyiapkan handuk panas, dia mendorong Misaki, yang sedang menyenandungkan lagu aneh lainnya, ke pinggir, dan berjalan menuju lantai dua.

“Hei, Shiina! Sekarang sudah siang! Sekalipun aku berkata begitu, tetap saja sia-sia, jadi tolong cepatlah dan bangun!”

Setelah dua detik, masih tidak ada reaksi.

Sorata membuka pintu dan melangkah masuk ke kamar.

Hari ini tidak ada lagi tanda-tanda Mashiro ada di atas tempat tidur. Dia sedang tidur di bawah tumpukan baju dan celana dalam di bawah mejanya. Rambut acak-acakannya menyembul keluar sedikit.

Sorata membangunkannya sambil menggunakan handuk panas untuk menekan rambut yang menentang gravitasi.

Mashiro tetap tidak bangun.

Dari pengalamannya, dia tahu bahwa kelihatannya ini akan memakan waktu lima menit lagi.

Kamar tersebut benar-benar dalam keadaan kacau balau, sekalipun sudah dibersihkan kemarin sebelum dia pergi tidur.

Komputernya juga dalam keadaan menyala.

Tempat Sorata berdiri adalah satu-satunya tempat yang rapi di kamar itu.

Pada saat ini, mata Sorata berhenti pada secarik kertas ukuran B4.

Itu adalah kertas cetakan yang berisi sketsa asli sebuah manga.

Melihat lebih dekat, ada banyak sketsa di seluruh kamar.

Sampai hari ini, Sorata berpikir akan lebih baik untuk tidak ikut-ikutan urusan orang lain, tapi rasa ingin tahunya hari ini mengalahkan pengendalian dirinya.

Mungkin ini karena ia baru saja melihat lukisan Mashiro di website museum seni.

Dia melihat secarik kertas yang pertama dan menyusun sisanya sambil lalu.

Dia menyusun halamannya secara berurutan.

Ada tiga puluh dua halaman seluruhnya, dengan satu halaman sebagai penutup.

Dia melihat setiap halaman sesuai urutan.

Sentuhan seninya bagus, benar-benar hebat. Tidak peduli dari sisi pandang manapun karakter tersebut digambar, tetap saja tepat. Mashiro telah membuat sketsa yang sangat indah, menampilkan seni yang meluap-luap.

Skenarionya juga menarik. Karena karakter dan latar belakang yang dibuat secara begitu saja, membuat sebuah gaya yang sangat jarang dilihat.

Sorata membaca setiap halaman secara cermat. Dia sampai di halaman terakhir dan akhirnya kolom terakhir berakhir.

Sorata menyusun sketsa-sketsa tersebut dan dengan ringan meletakkannya di meja samping.

“…Itu membosankan.”

Begitu membosankan hingga mengejutkan Sorata.

Ceritanya begitu tanpa isi sehingga dapat membuat orang-orang berpikir itu adalah sebuah lelucon.

Itu adalah sebuah manga shoujo.

Seorang gadis tak menarik jatuh cinta pada seorang laki-laki yang tidak menarik. Tanpa plot dan sebagainya, hasilnya adalah sebuah cerita ‘ayo pacaran’.

“Tidak, mungkin ini adalah sebuah jenis skenario, lalu kenapa?!”

Itu adalah jenis manga kosong yang dapat membuat seseorang ingin menjerit.

“Pagi.”

Mashiro perlahan-lahan merangkak keluar dari bawah mejanya.

Di bagian atas badannya, dia mengenakan gaun tidur berlengan pendek dengan pola kotak, dan di bagian bawahnya kosong, seakan mencoba memberi tahu orang lain bahwa bagian itu telah meninggalkan celana pendeknya di dalam mimpi. Kaki Mashiro yang ramping dan putih salju membuat Sorata mulai kehilangan kesabarannya.

“Shiina! Kenakan sesuatu di bawahnya juga! Apa kau mencoba menggodaku?!”

Ujung dari gaunnya hanya sedikit mencapai paha atasnya. Setiap kali Mashiro, yang tertidur sampai dia terhuyung-huyung, berayun, ujung dari gaunnya akan mengikuti gerakannya juga. Ada kelebatan sesuatu kekosongan yang intim tapi di saat yang sama bagian yang paling sensual terlewat dari mata. Perasaan dag-dig-dug membuat Sorata terpaku; dia tidak dapat mengalihkan pandangannya.

Dengan langkah-langkah goyah, Mashiro berjalan menuju meja rias, mata setengah tertutup, dan duduk.

Dia sama sekali tidak terganggu sedikitpun dengan gerak-gerik Sorata.

Dia berpikir dalam hatinya: “Jika aku bisa bertahan terhadap hal ini dan melewati kekhawatiranku seperti ini, aku dapat menjadi makhluk suci.”

Sambil menyisiri rambut Mashiro, dia terus berpikir sendiri: “Jadi, bagaimana jika aku menjadi makhluk suci?” Dengan sebuah pengering rambut, Sorata menggunakan kekuatan penuh memaksa rambut gadis itu untuk takluk padanya.

“Misaki bilang.”

“Jangan bilang sesuatu begitu tiba-tiba! Itu menakutiku!”

“Dia bilang kalau tanpa celana, Sorata akan lebih senang.”

“…Seperti yang kubilang, kau tidak boleh tertipu olehnya! Otak Senpai itu kacau.”

“Misaki adalah orang yang hebat.”

Mashiro kembali setengah tertidur.

“Jika aku adalah seekor serigala, aku sudah akan memakanmu.”

Tepat setelah Sorata mengatakan hal itu, mata mereka bertemu di cermin.

“Kau selamat dengan aman sampai saat ini,” kata Sorata.

“Karena di sini tidak ada serigala.”

“Tidak, serigala adalah sebuah kiasan. Itu artinya pada pria, pemuda, dan laki-laki secara keseluruhan.”

“Lalu tetap saja tidak ada serigala.”

“Apakah kau di sekolah khusus perempuan sebelumnya? Apakah ini pertama kalinya kau di sekolah campuran?”

“Sorata adalah yang pertama.”

“Hah?”

“Laki-lakiku yang pertama.”

“Lalu, bukankah kau seharusnya mengubah caramu berekspresi?! Ketika kau mengatakan hal tersebut seperti itu, kedengarannya seperti aku telah melakukan sesuatu! Kenyataannya, aku belum melakukan apapun, dan malahan aku merasa tidak dapat berbuat apa-apa sekarang!”

“Aku merasa beruntung bahwa itu adalah Sorata.”

“Kau, kau, apa yang kaubicarakan?!”

“Karena kau telah melakukan banyak hal untukku.”

“Ba-bangun dari kantukmu! Cepat, ganti bajumu!”

“Aku sudah bangun.”

Sorata menyerahkan satu set seragam dan pakaian dalam bersih kepada Mashiro.

Dia tidak dapat melihat gadis itu tepat di matanya.

Tepat sebelum dia akan keluar dari kamar, Mashiro mulai melepaskan gaunnya.

“Tunggu sampai aku keluar sebelum kau berganti pakaian! Aku akan benar-benar menyerangmu!”

Sorata menutup pintu.

Dia mengabaikan apapun yang Mashiro katakan tadi.

Dia menyandarkan tubuhnya ke dinding.

Dia sudah kelelahan sejak pagi-pagi sekali.

“Apa yang akan terjadi di masa depan…”

Tidak ada yang menjawab.

Tidak ada yang tahu.

Mungkin bahkan Tuhan sendiri tidak tahu.

Shiina benar-benar berbakat.

Tepat seperti yang komentar yang tertulis.

“— Tingkat pengatahuan kita tidak ada apa-apanya untuknya.”

Itu benar-benar adalah sebuah komentar dari seseorang dengan penilaian yang hebat.

Dia tepat dan benar-benar melihat Mashiro seutuhnya.

“Ini benar-benar bukan sebuah lelucon.”

Dia menghel nafas. Kemudian Mashiro keluar dari kamarnya. Sorata masih belum terbiasa dengan gadis itu mengenakan seragam sekolah.

“Um…”

Mashiro memanggil Sorata, yang biasanya berjalan menjauh tanpa satu kata pun, dengan suaranya yang seperti biasanya.

“Hm?”

“Apakah itu benar-benar membosankan?”

“Hah?”

“Manga-ku.”

Tidak tahu cara yang benar untuk menjawabnya, yang bisa Sorata lakukan hanyalah tertawa pahit. Manga tersebut memang dibuat oleh Mashiro.

“Ternyata kau sudah bangun tadi…”

“Itu benar-benar membosankan, bukan?”

Tidak terdapat emosi dalam suaranya dan tak ada ekspresi wajah.

“~Kouhai-kun! Apakah Mashiro bangun~?”

Karena itulah dia merasa sangat beruntung bahwa Misaki bergegas turun dari lantai dua dan menyela mereka. Misaki juga telah berganti ke seragam sekolahnya.

“Kita akan terlambat ke sekolah.”

“Ya.”

Merasakan nafas lemah dari belakang punggungnya, Sorata berjalan menuju lantai pertama. Semuanya telah menunggu di situ.

Setelah Mashiro menghabiskan roti panggangnya, penghuni Sakurasou, yang biasanya menuju ke sekolah secara terpisah, berangkat bersama.

“Akasaka, kuserahkan rumah ini padamu kalau begitu.”

“Bagaimana bisa kau memintanya untuk mengurus rumah ini?! Dia adalah muridmu!”


Bagian 2[edit]

Setelah waktu yang tak terbatas, pelajaran Bahasa Modern di jam pelajaran ketiga akhirnya selesai.

Tepat sebelum gurunya, Shiroyama Koharu, meninggalkan kelas, dia menjitak Sorata dengan bindernya; Sorata terbangun.

“Jangan terang-terangan tidur padahal kau duduk di barisan depan.”

Dia, guru bahasa Jepang Moderen yang lulus pada tahun yang sama dengan Chihiro, memiliki penampilan dan gaya bicara seorang kakak perempuan bodoh. Karena dia itu menerima kritikan dari beberapa gadis, sementara dia didukung oleh beberapa pemuda.

Dia selalu bersama-sama dengan Chihiro di sekolah dan mereka berdua terkenal. Koharu yang tidak dapat diandalkan akan selalu mengikuti Chihiro ke mana-mana, membuat murid-murid beranggapan bahwa Chihiro adalah “seseorang yang dapat diandalkan”. Tapi Sorata tidak setuju.

“Lagu tidur Sensei begitu enak, aku tidak dapat menahannya dan…”

“Kau adalah satu-satunya orang di seluruh tingkatan kelas yang tidak menyerahkan survei karir dan kau berani mengatakan sesuatu yang secara sengaja begitu keterlaluan. Aku akan melaporkanmu kepada Chihiro.”

Koharu menggembungkan pipinya dengan tidak senang dan berjalan keluar dari kelas.

Sorata tidak memiliki energi bahkan untuk melihatnya pergi dan hanya ambruk di mejanya.

“Aku begitu capek...”

“Kanda-kun, kau benar-benar pemurung. Bisa tidak kau tidak mengatakan sesuatu yang begitu negatif di depanku? Itu akan membuatku tidak bersemangat juga.”

Pernyataan itu dibuat oleh teman sekelas Sorata, Aoyama Nanami, yang berada di kelas yang sama dengannya sejak akhir tahun. Sama seperti nada bicaranya, gadis itu memiliki penampilan yang membuatnya menonjol dari antara orang banyak. Dia memiliki pendirian dan gaya seorang murid unggul, dan jika dia adalah seekor kucing, dia adalah seekor Abyssinian[6]. Tingginya sekitar 158 cm. Dan beratnya: Tidak diketahui. Menurut laporan Jin, tiga ukuran badannnya adalah 81, 58, 83.

Nomor tempat duduknya adalah satu. Dan setelah itu adalah Akasaka, Asano, Ikuta, Ogikuba, Kawasaki, dan akhirnya nomor tujuh, Kanda Sorata. Pengaturan tempat duduk dari kelas ini adalah ukuran 6x6, dan dia berakhir dengan duduk di barisan depan, tepat di dekat Nanami. Penempatannya sama dengan setahun yang lalu.

Nanami melihat Sorata dengan mata yang menunjukkan padanya bahwa gadis itu masih memiliki banyak hal yang dikeluhkan.

“*haah*”

“Menghela nafas dilarang!”

“Ruang kelas adalah tempat di mana aku memiliki kesempatan langka untuk menenangkan diri, jadi tolonglah mencoba untuk berempati.”

“Itu sudah yang ketiga-puluh enam kalinya sekarang.”

“Hah?”

“Menghela nafas.”

“Aoyama, apa kau seorang maniak penguntit?”

“Akan kutebas kau.”

“Orang-orang di sini tidak akan pernah mengatakan sesuatu seperti menebas orang lain.”

“A-aku tahu.”

Termasuk Aoyama, yang datang dari Osaka, asrama SMA Suimei dihuni murid-murid dari seluruh negeri. Hampir setengah dari kelas terbentuk oleh murid-murid yang berasal dari kota lain yang hasil ujian mereka yang bagus.

Jika Nanami berbicara seperti biasa, logatnya akan sangat jelas dan itu sama seperti setahun yang lalu juga. Tapi karena dia ingin menyempurnakan intonasinya, dia harus berhati-hati dengan logatnya dan menutupinya. Karena tujuannya adalah untuk menjadi seorang Seiyuu[7] dan intonasi adalah dasar dari segala dasar. Selama tahun ini, ketepatan pola percakapannya tidak berubah banyak, tapi dia masih belum terbiasa untuk mengucapkan kalimat kata-per-kata tanpa logatnya. Di akhir minggu, dia akan menerima pelajaran dari kelas pelatihan dekat kantor pajak dan kelihatannya dia sedang dalam pelatihan di banyak area lain.

“Kalau begitu aku akan menghajarmu”, Sorata menyarankan.

“Kau tidak perlu mengatakan kalimat tersebut lagi!”

“Bagaimanapun cara mereka mengatakannya, para gadis tidak benar-benar tahu bagaimana menggunakannya.”

“Berisik. Bukankah kau lupa untuk menyerahkan survei karirmu?”

“Menuliskannya adalah masalah fakta, seperti namamu, bahwa kau adalah Aoyama Nanami dari bagian drama benar-benar mendapatkan rasa hormatku.”

“Kau berani memandangku rendah.”

Sorata dipelototi. Rasa hormat yang dia katakan sudah jelas kebenaran.

“Kalau begitu, berapa lama Kanda-kun berencana untuk tinggal di Sakurasou?”

“Akulah yang ingin tahu.”

“Jika kau tidak cepat-cepat, akan sangat terlambat.”

Dari yang dirasakan, ini sudah terlalu telat. Ingatan terperangkap dalam sebuah kurungan seperti seekor panda dan menarik perhatian orang lain di kantin, masih segar dalam ingatan. Saat ketika dia bersama Mashiro, memastikan hubungan Sorata dengan Sakurasou, dan itu menjadi berita yang menyebar di sekolah. Tidak aneh bahwa Sorata ingin menghela nafas.

“Aku sudah memberikanmu peringatan.”

Satu-satunya alasan kenapa dia masih berhubungan dengan kelas adalah karena orang-orang seperti Nanami yang bersama Sorata sejak tahun pertama dan dengan begitu setidaknya berbicara dengannya. Dia ingin berterima kasih pada mereka.

Bagaimanapun juga, Sorata menempelkan kedua telapak tangannya, dan memberi hormat pada Nanami.

“Apa? Kau sedang bermain-main denganku?”

Sakurasou v1 p109.jpg

Mata sedingin es Nanami menatap Sorata.

“Tidak, aku hanya mencoba mengungkapkan rasa terima kasihku.”

“Jika kau melakukan terlalu banyak hal untuk alasan yang tidak jelas, berhati-hatilah jika orang-orang berkata ‘tidak heran dia berasal dari Sakurasou’.”

Itu akan sangat buruk jika seperti itu. Tapi Sorata hanya dapat tetap memberi hormat.

Nanami tetap menatap Sorata dengan mata sedingin es yang sama.

“Apa yang kau lihat?”

“Tidak, aku hanya sedang berpikir mungkin aku bisa meminta sesuatu padamu.”

“Apa gunanya untuk memintaku sesuatu seperti ini?”

“Hanya bercanda. Aku dengan jelas mengingat apa yang perlu kuminta padamu.”

“Pura-pura jadi orang bodoh seperti apa kau?!”

“Biasanya, aku akan berpura-pura bodoh. Jika aku melakukan tsukkomi terlalu banyak, mentalku tidak akan seimbang.”

“Siapa peduli dengan mentalmu? Apa yang kau perlu dariku?”

“Misaki-senpai ada permintaan untukmu.”

“Mendengarmu mengatakan itu, apakah itu artinya pekerjaan barunya sudah selesai?”

“Hanya animasinya.”

“Bagaimana hasilnya?”

“Otak orang itu benar-benar bermasalah. Hasilnya benar-benar bagus, begitu bagus hingga membuatku merinding.”

“…Aku mengerti. Yaah, aku benar-benar ingin mengisi suaranya… Aku benar-benar ingin, tapi…”

Ada keinginan menolak dalam nada suara dan bicaranya.

“Jika kau tidak mau melakukannya, tolak saja dan itu akan baik-baik saja.”

“Tidak, aku benar-benar ingin melakukannya. Ini sama seperti waktu yang lalu, jika aku tidak di sini, sepertinya tidak akan ada kesempatan lain seperti ini.”

Nanami adalah bagian dari kru untuk produksi DVD animasi Misaki yang membuat penjualan mega besar atas seratus ribu copy-nya. Tentu saja, dia juga meminta tolong pada para kakak kelas dari bagian drama di departemen universitas.

“Itu hanya sedikit…”

“Hanya sedikit apa?”

“Aku ragu aku benar-benar bisa mengaturnya. Tidakkah itu akan menarik banyak perhatian?”

“Jika Misaki-senpai telah meminta Nanami, kenapa tidak?”

“Sebenarnya aku tidak tahu bagaimana caranya untuk berkomunikasi dengan Kamiigusa-senpai dan aku tidak tahu apa yang sedang disutradainya. Bisakah kau menerjemahkannya untukku?”

“Sejak kapan aku menjadi seorang penerjemah?”

“Kau tidak datang?”

“Tidak, aku akan datang.”

“Kalau begitu, kau bisa menjadi penerjemahnya.”

“Yeah, yeah. Apa yang kaukatakan itu benar. Aku akan menyampaikan balasan padanya, oke?”

“Yeah, jika kau tidak keberatan.”

“Aku akan langsung mengontaknya sekarang.”

Sorata mengeluarkan handphonenya untuk mengirim SMS dan —

“— Aku cinta padamu!”

Pesan Misaki diikuti dengan musik militer seorang prajurit yang dipromosikan. Sorata membalasnya.

“— Ayo putus.”

Setelah itu, dia benar-benar mengabaikannya. Prajurit tersebut dipromosikan lagi. Tapi itu hanya akan membuang-buang uang untuk meng-SMS dia lagi, jadi dia berhenti membalasnya.

Nanami melihat Sorata seakan dia memiliki sesuatu untuk dikatakan.

“Dendam apalagi yang masih ada terhadapku?”

“Bagaimana kabar Hikari?”

“Jauh lebih baik. Bahunya tumbuh dengan baik.”

Dia menunjukkan foto di handphonenya.

“Entah bagaimana kelihatannya dia telah bertambah besar.”

Sorata telah menghabiskan hampir setahun dengan si kucing putih Hikari.

Semenjak bertemu dengannya sekitar pertengahan Juni tahun lalu, dia telah terbiasa dengan sekolah dan asrama.

Saat itu setelah jam sekolah dan ada beberapa ekor kucing bersama Hikari dibuang di luar gerbang sekolah. Beberapa murid berkumpul di sekitar, mengatakan hal seperti ‘lucu sekali!’ dan ‘kasihan’, tapi tidak ada seorangpun berinisiatif untuk menolong kucing-kucing itu.

Tanpa sengaja, Sorata lewat dan Nanami sedang bersamanya.

Membuat kucing yang terbuang sebagai topik pembicaraan kerumunan itu bukanlah sesuatu yang membuat Sorata senang. Untuk mengenyahkan perasaan tak nyaman, dia membawa pulang mereka semua ke asrama.

Saat itu, dia tidak pernah membayangkan bahwa hal itu akan membuat sekolah menendangnya keluar dari asrama.

“Berikan ini padaku.”

Tanpa persetujuan Sorata, dia menggunakan infrared dari handphonenya dan mencuri gambar itu.

“Dia milikku awalnya.”

“Dan…”

Nanami menoleh, seakan dia masih ada sesuatu untuk dikatakan. Topik tentang kucing mungkin hanya umpan.

“Ya?”

“Si murid baru.”

“Apa dia di sekolah?”

“Ya.”

“Bagaimana?”

“[…]”

“Kenapa kau tidak bicara?”

“Aku tidak tahu harus mengatakan apa.”

“Dia imut, ‘kan?”

“Ya.”

“Dia benar-benar imut, ‘kan? Aku melihatnya sekilas beberapa saat yang lalu.”

“Dalam keadaan normal itu bisa seperti demikian.”

“Dan untuk Sorata?”

“Seperti pertemuan yang tak diketahui.”

“Ya. Aku mengerti.”

Nanami menggeser kepalanya menjauh karena bosan.

“Aku sedang mencoba mengatakan bahwa itu buruk.”

“Kenapa kau perlu menjelaskannya?”

Nanami melihat ke arah koridor. Matanya tiba-tiba berkilat terkejut.

Sorata, yang sedang membaringkan diri di meja, melihat ke atas.

Seorang pemuda yang namanya belum dia ingat melihat ke arahnya.

“Oi, Kanda, seseorang mencarimu.”

Karena ‘ketenaran’ Sakurasou, dia mengingat nama Sorata.

Mashiro berjalan menuju Sorata dari belakang punggung pemuda itu.

Sorata tanpa sengaja berseru ‘ah!’, dan duduk dengan waspada.

Hanya dengan melangkah masuk ke ruang kelas, Mashiro mengubah suasana di sekitarnya.

Kerumunan berkumpul dalam keributan dan membuat ruang kosong antara Sorata dan Mashiro.

Untuk yang tidak mengenal gadis itu, mereka hanya akan berpikir bahwa dia adalah murid pindahan yang sangat imut.

Keberadaan Mashiro telah menjadi berita dalam tahun itu selama empat bulan. Tidak hanya karena dia seorang seniman muda berbakat, dia juga memiliki atmosfer yang tidak biasa yang tidak pernah dialami orang lain sebelumnya. Dengan begitu, setiap orang tertarik. Terlebih lagi, dia tinggal di Sakurasou.

Walau begitu, alasan kenapa tidak ada seorangpun yang menanyakan Sorata apapun tentang Mashiro mungkin karena perasaan ‘kau tidak diperbolehkan untuk membicarakan tentang dia’ yang dipancarkan Sorata.

Mashiro melihat Sorata.

“Sorata, aku lapar.”

“Ah? Apa yang kaubicarakan?”

“Aku ingin makan Baumkuchen.”

“Kenapa kau perlu mengatakannya padaku?”

“Kau tidak punya?”

“Tentu saja tidak!”

“Tapi Rita akan selalu memberikanku sebuah.”

“Siapa itu?!”

“Sayang sekali.”

Perut Mashiro membuat suara ‘kruuk, kriuuk’ yang lucu dan dia bersiap meninggalkan ruang kelas.

Dia berhenti di pintu dan dengan enggan menatap Sorata.

“Aku tadinya mempercayaimu.”

Tatapan murid-murid yang lain seakan seperti jarum-jarum yang menusuki Sorata.

Mashiro berjalan dengan lesu, dengan punggungnya yang menunjukkan kesedihannya.

Jika ini berlanjut, Sorata akan dianggap sebagai laki-laki yang dingin dan tak berperasaan terhadap perempuan, dan masa depannya selama dua tahun dalam kehidupan SMA-nya akan tenggelam dalam keputusasaan. Sudah cukup buruk dengan dirinya tinggal di Sakurasou.

“Oke! Oke! Aku mengerti! Aku yang salah!”

Sorata menarik Mashiro dan bergegas keluar dari kelas.

“Tunggu! Kanda! Jam pelajaran keempat dimulai!”

Ketika Nanami mengingatkannya, bel berbunyi. Dan perut Mashiro berbunyi pula.

“Aku akan segera kembali sebisa mungkin, jadi buatkan alasan apa saja untuk menolongku!”

“Jangan meminta sesuatu seperti itu dariku!”

Sorata telah memutuskan untuk membolos jam pelajaran keempat, untuk membawa Mashiro ke tempat penjualan makanan ringan.


Awan besar mengapung di langit biru.

Hanya Sorata dan Mashiro yang ada di lantai teratas kelas selama pelajaran.

Sorata berbaring di atas bangku panjang. Mashiro duduk di sebelahnya, memotongi Baumkuchen dan memakannya sepotong demi sepotong.

Seseorang dapat mengatakan bahwa ini melampaui ilusi, melampaui imajinasi, melampaui logika.

Awalnya dia berpikir bahwa kesulitan-kesulitan hanya ada di awalnya, Mashiro akan mulai terbiasa dengan kehidupan dan peraturan baru. Harapan Sorata begitu naif.

Dia tiba-tiba memikirkan apa yang telah terjadi selama dua minggu ini.

Jika dia membiarkan gadis itu menggunakan mesin cuci dan menoleh sebentar, Mashiro akan memasukkan seluruh isi kotak bubuk pencuci dan seluruh tempat akan berakhir dengan buih dan busa. Benar-benar sulit untuk membersihkannya. Sorata benar-benar berharap dia dapat menghilangkan deterjen dari bubuk pencuci saat itu.

Jika dia meminta dia membersihkan kamar mandi, gadis itu akan berakhir basah kuyup. Sorata tidak dapat mengerti apakah dia membersihkan kamar mandi atau dia yang dibersihkan.

Jika dia keluar untuk berbelanja seorang diri, Mashiro akan tersesat seakan itu adalah hal yang biasa. Untungnya, Chihiro telah memasangkan handphonenya dengan GPS. Akan tetapi, gadis itu bahkan tidak menjawab ketika Sorata menelpon, jadi pada akhirnya tetap saja Sorata harus menjemputnya pulang.

Dan masih ada banyak lagi situasi-situasi yang dapat menyebabkan sakit kepala.

Masalah terbesar dari semuanya, bagaimanapun, Mashiro tidak memiliki rasa kesadaran diri sendiri.

Dia pikir dia tidak berbeda dari orang-orang pada umumnya.

Juga, karena itulah tidak mungkin untuk meminta gadis itu mengingat hal-hal atau membuatnya terbiasa.

Setiap hari Sorata akan menemukan kebenaran yang baru, dan masalah hanya semakin bertambah dan tidak pernah berkurang.

“Shiina, apa pelajaranmu yang keempat?”

“Olahraga.”

“Tidak apa-apa membolos?”

“Aku hanya bisa mempelajari dasarnya jika itu adalah bola voli.”

“Kenapa? Kau tidak merasa enak badan? Atau kau terluka?”

“Jari-jariku bisa terluka.”

Sekalipun jawabannya bukanlah sesuatu dalam bidang yang dimengerti Sorata, entah bagaimana terdengar sangat meyakinkan.

Pencipta dari semua pekerjaan seni mengagumkan itu, adalah jari-jari putih dan ramping Mashiro.

“Tapi kurasa bermain bola voli tidak apa-apa, sebenarnya.”

“Dan?”

“Tapi guruku bilang tidak.”

“Kedengarannya serius.”

“Ya. Sekalipun bola voli terdengar serius, aku tetap tidak bisa.”

Sorata ingin berkata dia tidak bermaksud begitu, tapi dia tetap diam saja.

“Rita yang kau sebutkan tadi, siapa dia?”

“Teman.”

“Temanmu di Inggris?”

Mashiro dengan lembut menganggukkan kepalanya.

“Teman sekamar.”

“Kau pasti memberinya banyak masalah, ya?”

“Aku suka Rita.”

“Kenapa kau tidak pernah menyocokkan percakapan kita?!”

Sorata meluruskan punggungnya dan duduk.

“Shiina, kau benar-benar tahu bagaimana menggambar.”

“Tidak begitu.”

“Tidak. Kau benar-benar tahu bagaimana caranya menggambar. Aku melihat lukisan yang karenanya kau mendapat penghargaan. Sekalipun aku tidak begitu mengerti seni, aku benar-benar terpikat oleh keindahan dan kemenarikkannya.”

“…”

“Jika mempelajari seni, bukankah akan lebih baik jika kau tetap di luar negeri?”

“Ya.”

“Lalu, kenapa kau kembali ke Jepang?”

Mungkin sama baiknya jika dia kembali kemari ketika dia ingin belajar di sebuah universitas.

Tidak, jika dia benar-benar ingin mengembangkan kemampuannya, akan lebih baik jika dia tetap tinggal di luar negeri.

Mashiro mengambil potongan terakhir Baumkuchen, menaruhnya di mulut dan minum milk tea kalengan dengan sebuah sedotan.

Kelihatannya topik ini berakhir seperti ini.”

— Lalu, di saat yang sama ketika Sorata berpikir begitu…

“Aku ingin menjadi seorang mangaka[8].”

Mashiro mengatakannya dengan sangat jelas.

Bukan ‘Aku berharap menjadi seorang mangaka’ atau ‘Aku menargetkan menjadi seorang mangaka sebagai tujuanku”.

Tapi dia ingin “menjadi” seorang mangaka.

“KENAPA?!”

Suara Sorata begitu kencang hingga bahkan dirinya sendiri terkejut.

Menjadi seorang mangaka. Jawaban ini adalah salah satu dari banyak kemungkinan setelah melihat sketsa-sketsa tersebut pagi ini. Tapi tadinya kemungkinan hal itu sekitar satu persen. Dia masih berpikir itu adalah hal yang mustahil, jawaban yang tidak mungkin.

Dalam jangkauan pemahaman Sorata, ini benar-benar tidak bisa diterima.

Mashiro memiliki kemampuan untuk begitu menarik perhatian di dunia seni, dan bakat yang melampaui konsep kehebatan yang Sorata tahu.

Bahkan juri kontes seni juga berkomentar bahwa dia adalah seorang jenius.

Bukankah itu cukup? Mashiro telah memiliki hal-hal yang tak peduli bagaimana orang normal menginginkannya, mereka tidak akan bisa mencapainya. Untuk membuktikan dirinya sendiri, dapat dikatakan bahwa dia memiliki bakat unik yang tidak seorang pun miliki. Lalu, kenapa dia ingin menjadi seorang mangaka?

“Apa artinya kau ingin keduanya?”

Mashiro menggelengkan kepalanya untuk menunjukkan ketidaksetujuannya.

“Kau hanya ingin menjadi seorang mangaka?”

Kali ini dia menganggukkan kepalanya sebagai gantinya.

“Maaf, aku tidak bisa mengerti.”

Seperti yang dia katakan, Sorata mengangkat tangan dalam posisi menyerah dan berbaring seperti itu.

“Kalian berdua! Kalian benar-benar berani membolos di siang bolong!”

Orang yang membuka pintu di atas atap dengan kekuatan penuh adalah Chihiro.

Dia berdiri di samping kepala Sorata di mana dia sedang berbaring dan melipat lengan di depan dadanya. Chihiro melihat ke bawah ke arahnya.

“Tunggu, Sensei, tolong jangan terlalu mendekat! Aku akan melihatnya!”

Chihiro mengenakan rok ketat, jadi tidak akan mudah untuk melihatnya.

“Senang hanya karena melihat celana dalam, aku benar-benar iri padamu!”

“Aku pasti akan berubah menjadi batu jika aku melihat celana dalam Sensei!”

Sorata mulai panik.

“Berhenti mengatakan hal-hal bodoh. Kembali ke kelasmu secepatnya.”

Setelah menghabiskan milk tea-nya, Mashiro berdiri dari bangku.

Dia berjalan menuju sekolah seorang diri.

“Kanda juga.”

“Sensei, bisa aku menanyakan sesuatu?”

“Ya?”

“Orang seperti apa Shiina?”

Garis pandangannya mengejar bayangan punggung yang tidak dapat dilihatnya lagi. Sorata menatap ke pintu.

Chihiro yang menolehkan kepalanya pada Sorata, terlihat seperti dia ingin mengetes pemuda itu.

“Aku sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dia pikirkan.”

“Mau bagaimana lagi kita. Karena ketika kau belajar untuk tertawa, menangis dan merasa marah, Mashiro sudah mulai belajar menggambar.”

“Apakah latar belakang keluarganya seperti itu?”

“Ayahnya cukup berbakat untuk menjadi seorang dosen di Universitas Seni Inggris. Hanya saja lukisannya tidak begitu terkenal. Ibunya lulusan dari universitas seni juga, jadi kau bisa bilang mereka adalah sebuah keluarga ‘seniman’. Mereka semua ada di Inggris sekarang.”

“Walau begitu, dia seharusnya tidak separah itu ‘kan?”

“Siapa yang tahu. Jika aku belajar untuk menggunakan gambarku sebagai cara untuk mengekspresikan diriku sebelum aku belajar caranya mengekspresikan diriku dengan suara dan emosi, mungkin dia tidak begitu sulit untuk dimengerti.”

Chihiro mengatakan semua ini dengan enteng dan itu membuat pikiran Sorata menjadi macet.

Dengan kata lain: Shiina Mashiro hanya berbeda dengan orang lain.

Dia hidup di dunia seni. Kelihatannya seperti itu.

“Apakah karena dia tidak tahu bagaimana caranya tertawa?”

“Hal itu juga adalah bakat.”

“Lalu, apakah menggunakan bakatnya untuk menggambar manga adalah bagus?”

“Itu adalah masalah Mashiro; aku tidak tahu.”

“Tapi…”

“Aku tahu apa yang ingin kaukatakan, tapi lalu kenapa? Jika dia bisa sukses menjadi seorang mangaka yang hebat, bukankah itu juga bagus?”

“… Tidak sulit membayangkan kedua orang tuanya menentang, ya ‘kan?”

“Sampai saat ini, tidak. Karena dia tidak mengatakan kepada mereka alasan sebenarnya dia datang ke Jepang. Di permukaan, dia kelihat belajar ke luar negeri untuk menyatukan hal-hal di Jepang dalam karyanya.”

“Wow~. Benar-benar orang dewasa yang tidak bertanggung jawab. Apa yang terjadi jika mereka mengetahuinya?”

“Itu bukanlah sesuatu yang seharusnya kau ikut campuri. Ini adalah masalah antara Mashiro dan keluarganya. Tunggu, bukan. Ini seharusnya masalah Mashiro seorang diri. Sekalipun aku memang membantunya untuk ke Jepang, sisanya bukanlah sesuatu yang berhubungan denganku, termasuk pertanyaan tentang dia bisa atau tidak menjadi seorang mangaka.”

“Santai sekali.”

“Berhenti mengkhawatirkan masalah orang lain, serahkan saja survei karirmu.”

“Oh, jadi kau masih mengingatnya.”

“Jika kau tetap tidak menyerahkannya, aku akan diomeli oleh wali kelasmu.”

Sorata benar-benar berharap dia bisa melupakan begitu saja tentang hal itu.

Untuk mengelak dari pandangannya, Sorata menatap ke langit. Potongan-potongan besar awan putih telah berhamburan dan menghilang.

“Haruskah aku memiliki sesuatu yang ingin kulakukan?”

Chihiro berkata ‘hm!’ dan mulai tertawa.

“Sekalipun ini hanyalah sebuah inspeksi sukarela, tapi setelah melihatmu, kurasa lebih ada artinya sekarang.”

“Ah? Maksudmu semula tidak ada artinya?”

“Itu pasti untuk menggali murid-murid itu yang menulis ‘bagaimanapun, lulus dulu’, eh? Untuk memberikan rasa persaingan di antara guru-guru.”

“*haah*…”

“Kau akan tahu ketika menjadi seorang dewasa. Setelah ‘bagaimanapun’ jika itu adalah ‘minum bir dulu’, maka itu akan cukup.”

Pada saat yang sama, bel yang menandakan akhir dari pelajaran keempat berhenti berbunyi.

Chihiro terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu tapi membatalkannya dan meninggalkan atas atap sebagai gantinya.

“~Di masa depan~”

Masih tetap belum diputuskan sekarang.

Tidak ada kemajuan untuk hari ini juga.

Walau begitu, Sorata masih mencarinya dengan sepenuh hati.

“Ya sudahlah, ayo makan dulu.”


Bagian 3[edit]

Selama Golden Week[9] yang telah Sorata tunggu-tunggu, dia tidak pergi ke manapun untuk bersenang-senang atau pulang ke rumahnya di Fukuoka. Sebagai gantinya, dia menghabiskan waktunya dengan rekaman suara Misaki dan mengurusi Mashiro. Hari-hari berlalu dengan cepat dan hari terakhir liburan telah tiba. Itu adalah tanggal 5 Mei – Hari Anak-anak. Sudah pukul sepuluh malam. Sorata mandi dengan santai, merasakan pikiran yang kosong. Ketika dia keluar dari kamar mandi, sebuah kebun kubis muncul di hadapannya. Bola-bola hijau berbaris di sepanjang sisi-sisi koridor seperti cahaya pemandu di lorong.

“Aku pasti benar-benar kelelahan,” kata Sorata, menutup matanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ini terlalu awal baginya untuk berhalusinasi. Akan tetapi, ketika dia membuka matanya, hal-hal tidak terjadi seperti yang dia inginkan: Kebun kubis itu masih di situ.

“Apakah alien-alien melakukan serangan mereka pada akhirnya? Bumi sudah tamat.”

Dia tidak dapat mempercayai bahwa alien akan melakukan hal-hal menyebalkan dan kekanakan seperti ini. Alien-alien itu mungkin adalah manusia kubis yang berasal dari planet kubis. Mungkin tidak – hanya ada satu orang yang akan melakukan hal bodoh seperti ini di seluruh jagat raya. Pelakunya adalah orang aneh yang dibanggakan Sakurasou – Kamiigusa Misaki. Ada peristiwa yang mirip dengan yang terjadi setahun yang lalu. Ketika hari Halloween, Sakurasou telah dihiasi dengan labu oranye yang muncul entah dari mana. Selama masa ini, Misaki mengenakan kostum khusus sepanjang hari. Contohnya, dia akan berpakaian sebagai seorang penyihir di sekolah dan bertengkar dengan guru BP hampir setiap hari. Ketika hari Natal, dia akan menanam pohon cemara di halaman yang dihiasi dengan banyak lampu. Orang-orang dewasa di lingkungan sekitar akan datang dan mengeluh; sementara anak-anak akan berteriak kegirangan ketika melihat pemandangan itu. Dia bahkan mengenakan rok mini dan kostum Santa pada hari itu, membagikan hadiah di mana saja di jalanan dengan gembira, bahkan kepada orang asing. Kenangan ini muncul kembali di ingatannya satu demi satu. Baik di Tahun Baru, perayaan Hinamatsuri[10], hari festival budaya, atau festival olahraga, dia akan bersemangat tinggi dan melakukan apapun yang ingin dilakukannya tanpa mempedulikan masalah yang dia akibatkan untuk orang lain – Sorata telah membantunya untuk membereskan akibat dari banyak masalah yang gadis itu bawa selama setahun itu.

“Tapi kenapa kubis?”

Sejauh yang Sorata tahu, perayaan dengan kubis bukanlah kebiasaan Hari Anak. Cahaya pemandu dari kubis-kubis itu langsung memanjang ke kamar Jin. Mengikuti kubis-kubis itu ke kamar Jin, Sorata berdiri di depan pintu dan mengetuknya, akan tetapi, tidak ada balasan.

“Aku masuk.”

Pintunya tidak terkunci dan Sorata masuk dengan mudah – Dia telah memasuki kerajaan kubis. Bahkan lebih banyak lagi kubis yang memenuhi kamar, aroma kubis-kubis mengganggu inderanya. Ranjang, meja, lemari buku yang diwarnai hitam yang menjadi ciri khas kamar Jin sekarang menghilang semua. Kerajaan Jin sepenuhnya diserbu oleh kubis hijau.

“Ya ampun.”

Dia tidak dapat melihat pelakunya di balik negara hijau ini; dia hanya dapat melihat sebuah kotak kayu besar yang dipakai untuk menyimpan barang-barang di atas ranjang. Mendekati kotak tersebut, dia dapat samar-samar mendengar suara nafas tidur. Dia tahu apa isinya bahkan tanpa perlu memeriksanya.

“Misaki-san. Apa yang kaulakukan di kamar orang lain?”

“Pertanyaan itu seharusnya diarahkan padamu. Apa yang sedang kaulakukan di kamarku?”

Hampir menjerit, Sorata memutar kepalanya dan melihat Jin sedang berdiri di belakangnya dengan tidak sabar.

“Ini bukan salahku.”

“Aku tahu. Ini ulah Misaki,” kata Jin, menghela nafas berat, menempelkan salah satu telapak tangannya ke wajahnya.

“Aku sudah memperkirakan sejak awal bahwa Misaki akan melakukan sesuatu seperti ini tahun ini. Ternyata aku benar.”

“Apakah ada kebiasaan di Hari Anak untuk menggunakan kubis sebagai hiasan?”

“Pasti ada kebiasaan seperti ini di alam semesta yang besar dan luas ini, kurasa,” Jin membalas dengan tidak tertarik sambil memasuki kamarnya.

“Apakah hal seperti ini terjadi tahun lalu?”

“Ya. Ketika aku memasuki kamar, aku melihat Misaki menghiasi dirinya sendiri dengan krim menungguku di dalam,” kata Jin, enggan menceritakan kisahnya

“Aku turut bersimpati dengan tragedimu.”

Jin berjalan ke sebelah Sorata, melirik ke kotak yang ada di atas ranjangnya.

“Apakah sekarang hari ulang tahunmu, Jin-senpai?”

“Aku takut ‘ya’.”

“Kalau begitu sekarang aku mengerti. Tapi kenapa kubis?”

“Mungkin hijau adalah warna yang indah? Siapa yang tahu apa yang Misaki pikirkan?”

“Bukannya kalian teman sejak kecil?”

Jin terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu, namun kemudian dia menahannya, hanya mengeluarkan tawa kering. Jin dan Sorata kemudian melihat ke kotak bersama.

“Um. Aku akan permisi pergi sekarang.”

Jin meletakkan tangannya di bahu Sorata.

“Tidakkah kau membantu senpai-mu yang telah menjagamu sekian lama?”

“Kau tidak pernah menjagaku sedikit pun!”

“Tidak. Aku pernah. Aku mentraktirmu makan siang.”

“Itu hanya sekali! Lepaskan aku!”

Jin mencengkeram bahu Sorata sampai bahu Sorata sakit.

“Kau tega membiarkanku menyentuh barang berbahaya ini sendiri. Apa kau gila?”

“Kaulah yang gila karena menyeret orang lain ke hal ini. Itu tidak akan meledak, kurasa. Tidak apa-apa!”

“Kau hanya mengira-ngira! Itu hanya perkiraan!”

“Kalau begitu, aku yakin itu tidak akan meledak! Setidaknya dari sudut pandang secara fisik.”

“Kau begitu tidak bertanggung jawab berkata begitu! Maksudmu itu akan meledak secara mental?”

Mereka dapat membayangkan apa isi di dalamnya, jadi tak satu pun dari mereka berdua ingin membukanya.

“Jika itu adalah hadiah ulang tahun, jadi tolong terima dengan rasa syukur! Tidak, tolong terima dengan keberanian dan ketetapan hati!”

“Sorata, kau adalah jenis orang yang bahkan menolong anak-anak kucing atau Mashiro, tapi tidak pernah aku. Benar-benar menyedihkan. Aku mempercayaimu selama ini, kau tahu.”

“Instingku berbunyi! Mereka mengatakan padaku bahwa aku akan melihat sesuatu yang seharusnya tidak kulihat jika membukanya! Mereka mengaum di jantungku sekarang!”

“Lupakan. Jika itu yang kaukatakan, ayo lakukan dengan cara lain.”

“Apa yang kaupikirkan?”

Jin melonggarkan tangannya yang ada di bahu Sorata, tapi Sorata tidak melarikan diri. Jin kemudian dengan cepat dan kuat membuka pintu kotak.

“Wuah! Apa yang kaulakukan?!”

“Haha. Siapa yang mengatakan padamu untuk terperangkap dengan begitu mudahnya?”

“Ini adalah kalimat yang biasanya dikatakan orang jahat!”

Adalah insting manusia untuk melihat hal yang tidak ingin mereka lihat. Misaki berada di dalam kotak. Untuk sekilas, pandangannya menggelap. Ketika dia berpikir sesuatu yang buruk terjadi, dia menyadari Jin telah menutupi kepalanya dengan handuk, mencegahnya untuk melihat apa yang ada di depannya.

“Sorata, sebaiknya kau tidak melihatnya.”

Meskipun hanya lirikan sekilas, gambar tersebut masih tercetak di retinanya. Misaki, tidur dengan nyamannya, sedang memegangi sebuah kubis. Hanya ada pita merah manyala yang menutupi seluruh tubunya. Buah dadanya, paha montoknya, terlihat semua. Yang paling mengejutkan adalah bagian-bagian tubuh dan bibirnya dilapisi dengan glossy lipstick yang menonjolkan keseksiannya.

“Ah. Eh? Apa yang terjadi dengan perang luar angkasa?” Misaki berkata dalam tidurnya, terbangun perlahan.

Sorata melihat dari celah handuk. Ketika Misaki melihat Jin, dia melesat dengan pancaran cahaya yang abnormal.

“Jin, selamat ulang tahun!”

Seakan menangkap sasarannya, Misaki melesat keluar dari kotak. Dalam sepersekian detik, Jin menghindari tangkapan Misaki. Misaki kemudian bertubrukan dengan beberapa kubis sebagai hasilnya, tapi dia kemudian bangkit kembali dengan segera seperti seekor burung phoenix.

“Jin, selamat ulang tahun!”

Misaki melesat lagi, namun Jin menarik seprai dan dengan cepat membungkus gadis itu menggunakan kecepatan lintasannya.

“Itu menyakiti mataku! Tolong hentikan!”

“Ya ampun, Jin, kau tidak perlu begitu malu-malu. Aku telah begitu mengusahakan ini untuk merayakan ulang tahunmu. Kenapa kau tidak merasa senang?”

“Tolong rayakan ulang tahunku dengan kebiasaan bumi.”

“Um. Aku akan permisi sekarang,” kata Sorata, menemukan waktunya yang tepat untuk menyelip ke dalam percakapan mereka.

Ini sudah waktunya untuk kembali ke dunia normal. Jika dia berada di kerajaan kubis lebih lama lagi, pikirannya mungkin akan rusak.

“Oh, tunggu! Apa kau ingin melarikan diri? Sorata?”

“Sudah cukup!”

“Kubis-kubis ini hanya dapat dimakan dengan lahap oleh staff. Kau akan membantu, ‘kan?”

“Aku tidak termasuk dalam staff! Aku harus pergi!”

Pada saat ini, Mashiro masuk.

“Sorata.”

“Uh. Ada apa?”

Mashiro telah mandi sebelum Sorata, akan tetapi rambutnya masih basah, menguarkan aroma manis. Sekalipun dia mengenakan piyama, dia seharusnya sudah memakai celana dalamnya sebagaimana mestinya. Ini mungkin berhubungan dengan usaha Sorata dalam mengajarinya setiap hari.

“Ada sesuatu yang ingin kumintai tolong darimu.”

“Tentu. Ayo kalau begitu!”

Menyentakan lepas Jin, Sorata dengan gesit meninggalkan kamar.

“Kalian berdua teman sejak kecil seharusnya berakrab-akrab kadang-kadang! Semoga beruntung!”

“Hei, Misaki, berhenti menarikku! Tolong kenakan pakaianmu sekarang! Itu bisa jatuh kapan saja!”

“Aku adalah hadiah ulang tahun. Aku akan kerepotan jika kau tidak menerimanya!”

Sebelum Jin bisa melakukan hal lainnya, Sorata telah meninggalkan kamar dan menutup pintu. Dia mengucapkan doa singkat untuknya sesudahnya. Masih terhanyut dalam kegembiraannya melarikan diri dari bahaya, Sorata menangkap Mashiro dan dengan cepat menaiki tangga. “Aku selamat,” pikir Sorata ketika memasuki kamar Mashiro.


“Lepas baju,” kata Mashiro dengan tatapan yang sangat serius.

Sorata membeku di tempat. Dia berkedip berkali-kali.

“Lepas baju.”

Sayangnya, dia tidak salah mendengarnya. Untuk menahan emosinya, Sorata mengalihkan matanya ke tempat lain di sekitar kamar. Di atas lantai ada setumpuk pakaian, pakaian dalam, dan sketsa-sketsa. Baik di lantai satu maupun di lantai dua, semuanya seperti neraka dengan caranya masing-masing.

“Oke. Biar kudengar alasanmu.”

“Aku ingin melihatmu telanjang.”

“Aku menanyakan apa alasanmu ingin melihatku telanjang.”

“Ceritanya panjang.”

“Apakah itu sikap yang seharusnya ketika kau meminta pertolongan seseorang?”

“Tunggu sebentar.”

Mashiro mengambil sebuah memo dari meja.

“Saran dari Ayano.”

“Siapa itu Ayano? Jangan mengatakannya seakan-akan itu saran dariku!”

“Editor.”

“Oh, jadi kau punya seorang editor sekarang.”

Mata Mashiro mengiakan yang diucapkan Sorata.

“Aku berpartisipasi dalam kompetisi pendatang baru tahun lalu.”

“Apa kau mendapat hadiah?”

“Aku kalah.”

Mudah untuk mengetahui jawabannya, karena Mashiro belum menerbitkan apapun.

“Ayano yang melihat karyaku berkata bahwa itu bagus.”

“Oh, aku mengerti sekarang. Tapi sikap macam apa yang kaulakukan sekarang?”

“Aku akan mengikuti kompetisi lagi tahun ini.”

“Bisakah kau tetap mengikutinya ketika kau sudah mempunyai seorang editor?”

“Kelihatannya begitu.”

“Oke.”

Akan lebih baik untuk memperoleh ketenaran dengan memenangkan sebuah penghargaan daripada menerbitkan barang dengan nama yang tak seorang pun tahu. Dari sudut pandang penerbit, hal terpenting adalah untuk menghasilkan karya popular yang meningkatkan penjualan. Tentu saja mereka ingin melatih orang baru yang berbakat.

“Jadi, apa yang dikatakan editor tersebut?”

“Apa maksudmu?”

“Aku bicara tentang saran yang baru saja kaukatakan padaku!”

“Apakah kita masih harus melanjutkannya?”

“Itu bahkan belum dimulai! Tolong jangan melupakannya!”

Mashiro melihat ke memo tersebut.

“Ini adalah saran yang Ayano berikan padaku.”

“Jadi kita benar-benar memulainya dari awal lagi?”

“Jika emosi yang halus…”

“Ya.”

“…akan menyulitkanmu…”

“Ya.”

“…maka lakukan…”

“Apa?”

“…hal yang ekstrim.”

“Oke.”

“Inilah yang dikatakannya.”

“Jadi karena inilah kau mau menggambar tubuh telanjang laki-laki? Ada beberapa manga perempuan yang hal-hal di dalamnya lebih menegangkan… Tapi itu bukanlah cerita yang panjang, ya ‘kan?”

“Tujuan hari ini adalah tubuh Sorata.”

“Itu cara genit yang sia-sia, kau tahu?”

“Lepas baju.”

Mashiro mencengkeram keliman kemeja Sorata.

“Aku menolaknya.”

Sorata menepisnya.

“Aku telah memberikan alasanku.”

“Itu karena aku tahu aku merasakan bahaya di hadapanku! Kau mau aku menjadi seorang model?!”

“Yang telanjang.”

“Ngomong-ngomong: Maksudmu telanjang seluruhnya? Itu akan memalukan.”

“Tidak apa-apa.”

“Bagaimana bisa tidak apa-apa?”

“Aku tidak akan merasa malu.”

“Tapi aku iya!”

“Aku tidak akan meledekmu.”

“Apa yang ingin kauledek memangnya?”

“Kau menolaknya bagaimanapun juga?”

“Mau tidak mau.”

Setelah Sorata menghela nafas, Mashiro meletakkan tangannya di piyamanya.

“Shiina-san, apa yang kaulakukan?”

“Aku akan melepaskan bajuku juga. Bagaimana dengan ini?”

“Bukan itu masalahnya!”

“Semuanya akan baik-baik saja jika kau melepaskannya sejak awal.”

“Oh, tolong jangan katakan dengan nada ‘kau terlalu malu’, oke? Dan tolong jangan lepas bajumu sendiri tanpa pikir panjang! Gadis muda tidak bisa memperlihatkan tubuh telanjang di depan orang lain begitu mudahnya!”

“Sorata spesial untukku.”

“Aku tidak akan bertanya kenapa aku spesial pada saat ini! Apa kau akan mengatakan sesuatu secara sembarangan lagi? Aku hanya orang yang memberimu baumkuchen, ‘kan?!”

“Benar.”

“Kubilang berhenti berkata seperti itu! Kau membuatku menderita dengan nilai diriku. Juga, tolong jangan melepaskannya!”

Mashiro berhenti.

“Apa kau mau melepas bajumu untukku?”

Ada pilihan pertama manusia untuk menelanjangi orang lain atau ditelanjangi.

“Mana mungkin ada perintah semacam ini… Baiklah. Aku akan melepaskannya, tapi aku tidak akan melepaskan celana dalamku! Ini penawaran terakhirku!”

“Aku akan melepaskannya untukmu.”

“Logika macam itu?! Otakmu pastinya tidak berfungsi! Dengar, oke? “Jangan” lepaskan!”

“[…]”

“Kenapa kau terlihat seakan kau tidak puas?”

“Karena apa yang akan terjadi adalah yang paling penting.”

“Kau tidak akan menggambar hal itu di manga, ‘kan?”

“Kau tidak punya kepercayaan diri.”

“Di mananya aku tidak memiliki kepercayaan diri?”

Sorata, yang hanya berpikir untuk mengakhiri hal ini secepat mungkin, melepaskan kausnya dan celana olahraganya di kamar, hanya mengenakan sepotong celana boxer saja.

“Um… Bukannya kau bisa menggambar tubuh telanjang laki-laki lewat foto atau gambar?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Aku tidak akan mengetahui teksturnya.”

“[…]”

“[…]”

“Aku tidak akan bisa merasakan teksturnya.”

“Tolong biarkan aku kembali ke pedesaan.”

Sorata mengambil kausnya dan mengenakannya kembali dengan panik, akan tetapi Mashiro mencengkeram kerah kaus untuk menghentikannya.

“Mengetahui teksturnya adalah hal penting. Itu menghembuskan nyawa ke dalam gambar.”

Mashiro menatap Sorata dengan terus terang, yang anehnya menenangkan pikiran Sorata. Bagaimanapun, ini adalah suatu karya bukannya keisengan. Gadis itu serius, dan tidak sedang mengerjainya.

“Oke, oke. Akan kulakukan! Bagaimana aku melakukannya?”

“Berbaringlah.”

Mashiro menunjuk pada ranjang. Sekalipun Sorata masih sedikit enggan, dia tahu bahwa ranjang tersebut belum pernah ditiduri Mashiro karena gadis itu tidur di bawah meja. Karena itu, dia naik ke ranjang, berbaring, dan menunggu instruksi lebih lanjut. Sebagai hasilnya, di luar perkiraannya, Mashiro menekuk lututnya dan mengangkangi tubuh Sorata.

“Apa yang mau kaulakukan?”

“Jangan bergerak.”

Jari Mashiro yang kurus dan panjang mulai mengelus otot-otot abdomennya, membuatnya menggelenyar dingin. Bersamaan dengan getaran aneh yang membuat otot-otot luarnya menegang dan kaku itu, bagian dalamnya mengendur.

“Terasa keras dan kaku.”

Tubuh Mashiro sangat lembut. Lewat piyamanya yang sangat tipis, Sorata dapat merasakan bokong dan pahanya. Temperaturnya naik di tempat yang menyentuh tubuhnya. Dia merasa sangat nyaman dengan keringat yang keluar karena panas tersebut. Dia ingin bersentuhan lebih lagi dengan tubuh gadis itu, terutama dengan tangannya. Hasrat jahatnya mulai memenuhi hatinya, tapi ketika dia bertemu mata dengan Mashiro, hasratnya dengan cepat menjadi tenang seperti balon yang kehilangan udara. melihat wajah serius gadis itu, Sorata menyerah untuk mengucapkan kata-kata yang ingin dia katakan. Jemari Mashiro melintasi leher Sorata ke dagu. Sorata sepenuhnya berada di bawah kekuasaannya. Setelah itu, Mashiro menggerakkan tubuhnya lebih dekat padanya. Dia menempatkan dagunya di dada Sorata, menatapnya.

“Jantungmu masih berdetak.”

“Karena aku masih hidup.”

“Detak jantungmu kelihatannya bertambah cepat.”

“Salah siapa memangnya?”

“Peluk aku.”

“Tidak.”

“Kau tidak berguna.”

“Baiklah. Aku mengerti!’

Sorata mengulurkan tangannya ke sekitar punggung Mashiro, menyentuhnya dengan lembut awalnya.

Sakurasou v1 p142.jpg

“Tolong tekan lebih keras.”

Sorata menekan lebih keras dengan bahunya, tubuhnya gemetar karena gugup. Bahunya dapat merasakan pinggang Mashiro – terasa sangat kurus. Dia mulai khawatir jika dia diminta untuk mempererat, pinggangnya bisa saja patah.

“Sudah cukup sekarang.”

Sorata melepaskan tangannya. Mashiro duduk, menatap langsung ke wajah Sorata.

“Apa kau senang sekarang?”

“Mana mungkin!”

Sorata dapat melihat sebagian dadanya lewat kerahnya yang terbuka. Karena itu, Sorata cepat-cepat mengalihkan matanya dengan panik.

“Ada apa?”

“Kau seharusnya mempunyai sedikit kesadaran diri. Pertahanan dirimu terlalu lemah.”

Mashiro melihat dadanya.

“Bukankah kau menyukainya?”

“Jika aku senang karena dadamu, aku bisa tidur dengan papan cucian baju sepanjang malam.”

Gagal untuk mengerti apa yang dimaksudnya, Mashiro tidak memberikan respon.

“Sorata, apa kau pernah bercinta sebelumnya?”

“[…]”

“Sorata?”

“Kau menakutiku! Tentu saja tidak! Bahkan berciuman. Aku bahkan tidak pernah bergandengan tangan dengan seorang gadis, walaupun perutku sudah diduduki oleh seseorang!”

“Sayang sekali jika belum. Bentuk tubuhmu sangat bagus.”

“Logika apa itu? Ini hanya karena aku pernah bermain sepak bola ketika aku masih di SD dan di SMP.”

“Bagaimana dengan sekarang?”

“Tidak. Bukankah itu sudah jelas?”

Setelah memasuki SMA, aku tidak bergabung dengan klub manapun, langsung pulang ke rumah setelah sekolah.

“Apa kau punya cedera?”

“Tidak.”

Sorata terdiam, sementara Mashiro mulai berpikir.

“Kalau begitu, kau bisa memulainya lagi.”

“Ada banyak alasan lain selain karena cedera.”

“Aku tidak mengerti.”

Sorata kebingungan dilihat dengan mata sepolos itu. Dia mengalihkan pandangannya, mencari sesuatu yang dapat dia lihat, tapi dia tidak dapat menemukannya. Wajah Mashiro yang terlihat sedang mencari jawaban jelas-jelas mencerminkan ketidakmampuannya untuk membicarakan apa yang pantas dalam situasi yang berbeda. Dia bahkan tidak bisa merasakan bahwa Sorata ingin menggantik topik pembicaraan. Mau tak mau, Sorata hanya dapat mengatakan padanya hal yang sebenarnya.

“Karena itu bukan tujuanku.”

Selama sembilan tahun yang dilewati tanpa disadari, dia tidak benar-benar memiliki tujuan pasti untuk dikejar. Ketika dia di SMP, dia merasa hebat dengan berpatisipasi di kompetisi turnamen antar area atau wilayah, tapi dia bukanlah seorang pemain yang sangat berkemampuan, sehingga dia sulit membayangkan dapat lebih baik atau berpatisipasi dalam kompetisi yang lebih besar. Ketika dia masih di SD, dia dapat membayangkan dirinya berpatisipasi dalam sebuah kompetisi di lapangan hijau sepak bola di bawah cahaya stadion. Tapi sejak dia lulus dari sekolah SD, dia tidak memimpikan hal ini lagi.

“Kau bisa bilang aku telah mencapai batasku, dan dengan begitu hasratku telah memudar.”

Dia tidak akan merasakan penyesalan karena kalah dalam sebuah pertandingan. Dan dia dapat bersantai-santai termenung, sekalipun ketika masih kecil, dia bisa menangis ketika kalah dalam pertandingan. Anggota tim olahraga di Suikou begitu kuat. Walau begitu, tim sepakbola masih menargetkan pertandingan nasional, dan tim baseball-nya menargetkan Koushien[11]. Dia tahu bahwa ada artinya untuk mempercayai diri sendiri dan melakukan yang terbaik, tapi dia hanya tidak dapat memunculkan kembali hasratnya lagi. Jadi dia menyerah akan hal itu. Dia ingin mencari sesuatu yang tidak akan temukan batasnya dan percaya bahwa dia dapat menantangnya – Seperti murid-murid di kelas yang sama dengannya yang berjuang keras di lapangan olahraga setiap harinya. Selama itu, Sorata tidak bergabung dengan klub manapun. Dan perlahan-lahan dia kehilangan setahun penuhnya tanpa mencapai apapun.

“Lupakan. Aku mengatakan sesuatu yang aneh lagi.”

Perkataan yang diucapkannya tidak berarti bagi Mashiro. Mashiro hanya dapat melihat puncak dari Bumi: Dia tidak dapat mengerti orang biasa yang mencoba mendaki gunung-gunung tersebut.

“Begitukah?” Mashiro membalas dengan singkat. Membuka buku sketsa yang telah dia siapkan, dia duduk di atas tubuh Sorata, membuka halaman yang dimaksudkan untuk menggambar Sorata dan mulai menggambar.

“Shiina? Apakah aku harus tetap seperti ini?”

“[…]”

“Ini adalah cara terburuk dalam mengabaikan seseorang. Hei!”

“[…]”

Dia terlihat seakan dia tidak mendengar suara Sorata. Dia memiliki kelakuan yang berbeda dari yang sebelumnya, berkonsentrasi di dunia menggambarnya sendiri.

“Shiina, apa kau pernah punya pacar?”

“[…]”

“Itu sudah sangat jelas, ‘kan~”

“[…]”

“…Sayang, sangat disayangkan. Hidupku terlalu tragis. Permainan hukuman apa ini? Tolong. Aku ingin menangis sekarang.”

Setelah beberapa saat, Mashiro tiba-tiba berdiri, menyalakan computer dan duduk di depan meja. Dia kemudian mulai menggambar di layar dengan tablet.

“Pasti seperti ini rasanya diperlakukan tidak senonoh. Kenapa aku dilahirkan?”

Sambil menghela nafas, Sorata memakai kembali bajunya dan mengintip ke layar dari belakang punggung Mashiro. Setiap kali tangan Mashiro bergerak, seorang karakter laki-laki akan dengan mengagumkannya tergambar di layar. Dia tidak menggambar ulang, seakan dia tahu di mana tempat-tempat seharusnya berada. Caranya menggerakkan tangan bagaikan sihir bagi Sorata. Tiba-tiba dia merasa Mashiro sedikit-demi sedikit meninggalkan dia. Gadis itu ada di hadapannya, dalam jarak di mana tangannya dapat menjangkaunya, tapi jarak yang dia rasakan terasa seperti tanpa batas. Untuk mengenyahkan perasaan aneh ini, Sorata mengambil sketsa yang bertebaran. Isinya berbeda kali ini, tapi suasananya secara keseluruhan sama. Isinya tentang murid wanita SMA yang sangat normal jatuh cinta dengan murid pria SMA yang sangat normal, memiliki percakapan yang sangat membosankan dan memulai kisah cinta mereka.

“Um. Apa ini sebenarnya?’

Kelihatannya tidak ada perkembangan. Karakternya terlalu biasa, yang merupakan hal fatal dalam manga. Ekspresi mereka seharusnya lebih berlebihan dan tegas. Suasana yang kurang bersemangat sama sekali hanya membuat manga ini membosankan. Jika gambarnya tidak memiliki nyawa, itu tidak akan dapat menyampaikan perasaan. Tidak ada seorangpun akan mengambilnya setelah mereka membacanya. Ini bukanlah sebuah manga, tapi hanya sekedar gambar. Pembaca tidak membaca manga karena ilustrasinya yang bagus, tapi karena manga itu sendiri. Ini adalah apa yang Sorata pikirkan setidaknya. Jadi, jika isinya terlalu membosankan, tidak ada seorangpun yang akan menghabiskan waktu untuk membacanya. Akan sulit untuk mendapatkan penghargaan atau mulai menerbitkan karya pada tahap ini. Ketika Sorata berpikir demikian, dia mengangkat kepalanya dari sketsa, tak sengaja menemukan Mashiro yang menatap langsung padanya.

“Apakah mereka membosankan?”

“Sejujurnya: Ya.”

Meskipun dia ragu-ragu, apakah dia seharusnya hati-hati dengannya atau tidak, dia terpaksa untuk mengatakan padanya secara terang-terangan. Dia telah memberikan sarannya dengan terus terang. Tidak ada gunanya berbohong padanya sekarang.

“Ayano juga berkata begitu.”

Begitu Sorata merasa dia tidak seharusya memperpanjang hal ini, dia perlahan mengembalikan sketsa tersebut.

“Kau bisa membuangnya.”

“Memang tidak apa-apa? Ini bagaimanapun naskah.”

“Aku punya salinannya. Lagipula, itu hanya sketsa.”

“Ah?”

Sketsa adalah struktur dasar dari manga. Dibuat dengan pensil dan akan digunakan dalam diskusi dengan editor untuk memutuskan apa yang akan diambil.

“Jika kau menggambarnya seperti sketsa akhir, akan tidak efisien.”

“Ini karena aku tidak terlalu terbiasa menggambar dengan komputer. Aku masih berlatih.”

“Tapi kenapa tidak kertas?”

“Ayano bilang, kalau aku menggunakan kertas, akan ada terlalu banyak garis. Menggambar akan menjadi terlalu berat.”

“Apakah itu karena menggambarnya terlalu bagus?”

“Tidak. Itu karena aku tidak terlalu terampil menggambar orang.”

Sorata tidak dapat mengerti kenapa dia tidak terampil. Garis-garis yang dia gunakan untuk menggambar karakter di layar bahkan lebih sedikit daripada yang dia lihat sebelumnya, terlihat seperti gaya manga yang cukup terampil. Kekuatan gambar Mashiro seharusnya berada di peringkat atas industri. Selain itu, ada banyak manga dengan gambar yang lebih jelek di luar sana. Walau begitu, gadis itu masih mengatakan dia masih belum bagus dalam hal ini. Sorata mau tak mau berpikir jika ada yang salah di kepala gadis itu. Perasaan mengalihkan matanya menerpanya kembali: Mashiro yang sedang menggambar menyelinap darinya dengan cepat. Ini bukan salah paham: Mashiro sedang langsung menuju ke tujuannya, kecepatannya di mata Sorata sama dengan kecepatan cahaya. Tidak mungkin Sorata dapat mengejarnya. Sekalipun mereka berada di kamar yang sama, Mashiro tidak dapat disangkal berada di tempat yang berbeda dari dirinya. Misaki, Jin, dan Ryuunosuke juga, sedang menuju ke tujuan mereka masing-masing. Satu-satunya yang berdiri di tempat awal hanyalah dirinya. Rasa perih datang entah dari manadi dalam dadanya, membuatnya nyeri. Sorata meninggalkan Mashiro tanpa sadar dan duduk di ranjang. Karena terkadang rasa kesepian dan takut telah bergolak di perutnya. Merasa bingung, Sorata berkata pada Mashiro: “Ngomong-ngomong, kenapa kau memilih manga?”

“[…]”

Dia sama sekali tidak mendapatkan respon sedikitpun. Tidak hanya karena dia terlalu berkonsentrasi dengan pekerjaannya sehingga gadis itu tidak mendengar suaranya, tapi juga dia telah melupakan keberadaan Sorata. Keheningan mengisi ruangan untuk sementara, dengan hanya suara goresan cepat dari pena gambar yang dengan nyamannya menggema di telinganya, mencuri kemampuannya untuk berpikir. Dia tidak dapat memikirkan apapun; hanya menatap kosong punggung Mashiro untuk beberapa saat.

“Karena menarik.”

Sebuah suara pertanda keheranan meluncur dari mulut Sorata atas jawaban yang terlambat ini.

“Eh?”

Mashiro memutar kepala ke arahnya.

“Karena menarik.”

“Tidak bisakah kau hanya menggambar lukisan?”

“Menggambar lukisan tidak menarik.”

“Tidak baik berkata mengatakan seperti itu.”

“Itulah yang sebenarnya.”

“Um…jika kau tidak keberatan, maka tolong berikan aku kemampuan senimu.”

“Tentu.”

“Bagaimana itu mungkin terjadi?”

“Itulah yang kaukatakan.”

Dia sudah pasti mengenai hal ini.

“Sorata yang menginginkan sesuatu yang tidak dia inginkan.”

Perkatan tersebut tepat mengenai Sorata. Dia tidak tahu apa yang ingin dia lakukan. Sekalipun dia memiliki sebuah kemampuan, kemampuan tersebut hanya akan memburuk di tangannya. Mashiro dengan segera menolehkan kepalanya kembali dan melanjutkan pekerjaannya. Seakan mereka tidak berbicara beberapa saat yang lalu. Punggung gadis itu terlihat acuh terhadapnya. Seakan dia tertolak. Meski demikian, itu bukanlah yang sebenarnya. Itu karena Sorata penakut dan pemalu sehingga membuatnya berada dalam posisi yang buruk. Mashiro tidak mempunyai sedikitpun perasaan ataupun pemikiran. Hanya Sorata yang menyesali permintaannya untuk membuat bakat gadis itu menjadi miliknya. Dia benar-benar seorang yang brengsek. Dia bergumam dengan mulutnya. Dia membenci dirinya yang tidak mengenali dirinya sendiri.

“Sorata.”

“Apa?”

“Kau tidak boleh mengenakan bajumu.”

“Ah?”

“Kita masih akan melanjutkannya.”

“Tunggu sebentar. Apa yang kauingin kulakukan sekarang?”

“Itu benar-benar…”

“…Benar-benar apa?”

“…Benar-benar sulit untuk dikatakan.”

“Jadi jangan memintaku melakukannya!”

“Aku tidak akan membiarkanmu tidur malam ini.”

“Seharusnya kau mengucapkan kalimat ini dengan lebih seksi!”

“Tak akan kubiarkan kau tidur malam ini.”

“Itu sama saja!”

Bagian 4[edit]

Seperti yang Mashiro katakan, dia tidak membiarkan Sorata tertidur. Sorata diperintahkan melakukan banyak hal di ranjang atau menjadi percobannya untuk pose-pose yang berbeda, sampai jam lima pagi ketika Mashiro pergi tidur. Karena hal ini maka Sorata dapat melihat sekilas seperti apa Shiina ketika dia tertidur. Dia merasa itu adalah sebuah keajaiban bahwa gadis itu dapat merangkak ke bawah meja. Sebelum saat-saat terakhir dia tertidur, dia masih menggambar manga di meja. Kemudian, dia perlahan mengantuk, dan akhirnya berguling dari kursinya dengan kecepatan instingnya. Setelah itu, untuk menghindari cahaya menyinarinya, dia akan menggunakan kekuatan terakhirnya untuk merangkak di lantai ke tumpukan baju dan pakaian dalam. Dia tidak benar-benar tidur karena keinginannya sendiri tapi lebih seperti kebiasaan seekor hewan, bekerja hingga kelelahan dan jatuh tertidur. Dia bahkan tidak punya kekuatan untuk merangkak ke ranjang tapi menggunakan tetes terakhir HP-nya[12] di gambarnya. Karena inilah caranya tidur begitu kacau. Melihat Mashiro bergelung dan tidur, Sorata menurunkan bahunya.

“Kau seharusnya tidak tidur di depan seorang laki-laki. Kau tanpa pertahanan.”

Gadis itu tidur dengan wajah yang sangat tenteram. Dia menyembunyikan kepalanya tapi tidak bokong dan kakinya. Sorata menutupinya dengan seprai, dan dia membuat suara menyebalkan seakan dia merasa gatal. Sekalipun Sorata ingin melemparkan sepatah dua patah kata keluhan, itu terlalu menyedihkan untuk dirinya berbicara sendiri. Sorata hanya dapat keluar dari kamar, menyeret tubuhnya yang berat. Udara pagi yang segar mengisi koridor Sakurasou. Sorata tidak memiliki kekuatan yang tersisa untuk merasakan udara ini sayangnya. Terhuyung-huyung menuruni tangga, dia tahu hari liburnya telah berakhir dan dia harus mulai sekolah lagi besok. Akan tetapi, Sorata masih berpikir untuk kembali ke kamarnya untuk tidur. Jika ada orang yang tahu apa yang telah terjadi padanya, mereka pasti akan bersimpati padanya. Pada saat ini, dia dapat tidur sepanjang hari, pikir Sorata, tapi segera dihentikan, ketika dia mendengar sebuah suara. Pikirannya yang bingung mengatakan bahwa itu mungkin seorang pencuri, tapi dia terlalu lelah untuk waspada. Sorata hanya mengikuti suara tersebut dan pergi ke ruang keluarga.

“Tidak. Aku telah mengulangnya berkali-kali: Misaki tidak dapat menyelesaikan sesuatu dengan grup lain. Dia adalah orang yang akan melakukan segala sesuatunya sesuai pikirannya, termasuk memotong adegan dan menggambar. Ya. Aku tidak bermaksud membuatnya sibuk sendiri. Tidak masalah jika kau mau berkomunikasi dengannya secara langsung. Akan tetapi, aku bukan manajernya atau semacamnya. Tolong jangan telepon aku lagi untu hal ini!”

Jin berteriak dari depan meja. Menutup teleponnya dan meletakkannya di meja, bersandar pada sandaran kursi. Mata Jin mengambang ke mana-mana, menemukan Sorata pada akhirnya.

“Kenapa wajahmu seletih itu?”

“Shiina tidak membiarkanku tidur.”

Sorata menguap lebar. Tertular olehnya, Jin juga menguap.

“Aku tidak membayangkan aku akan mengobrol obrolan dewasa denganmu secepat ini.”

“Aku tidak memiliki minat sepertimu. Aku hanya membantunya dalam pembuatan manga.”

“Apa? Tidakkah kau merasa dangkal ketika mengatakan ini? Kau murid SMA yang sehat.”

“Jangan menyinggungnya. Itu hanya membuatku semakin depresi.”

Mata Jin juga memancarkan keletihannya.

“Bagaimana dengan pesta ulang tahunmu?”

“Terima kasih telah melarikan diri. Aku ditinggalkan di situ untuk mengikuti festival kubis: Makan kubis, memuntahkannya kemudian, dan lalu memakan kubis lagi. Toilet sekarang menjadi rekanku yang manis. Ketika sudah lewat pukul empat, aku mulai merasa bentuk bulat dari toilet terlihat seksi.”

“Kau sakit berat.”

“Kubis-kubis yang tersisa akan dimakan besok… Oh, itu hari ini. Aku harus membawanya ke murid-murid di sekolah.”

Mengeluarkan tawa kering, Jin dapat membayangkan seperti apa kelihatannya membawa bungkusan besar kubis dengannya ke sekolah. Sorata mau tak mau akan terkena imbasnya, jadi dia ingin menolaknya sekarang.

“Telepon apa tadi?”

“Itu dari produser perusahaan anime yang bilang ingin membiarkan Misaki membuat anime dengan naskah yang lebih baik. Walau begitu, jelas-jelas dia ingin karya tersebut menjadi miliknya dan mengangkat namanya.”

“Tapi kenapa dia menelpon di jam segini?”

“Itu hal yang biasa dalam industri ini,” kata Jin, matanya menandakan bahwa Sorata sebaiknya duduk.

Sorata duduk satu tempat duduk jauhnya dari Jin. Dia begitu ingin tidur, tapi mau tak mau dia mengobrol dengan Jin ketika melihatnya.

“Apa yang terjadi?”

“Bagaimana aku mengatakannya… Sekalipun Shiina kacau, dia benar-benar kuat.”

“Kenapa kau menyinggung ini sekarang?”

“Maksudku bukan bakatnya dalam menggambar, tapi tentang konsenterasinya dalam bekerja. Perasaan itulah yang kurasakan.”

“Aku mengerti. Jadi kau merasakan kegelisahan ketika ini muncul di depanmu.”

“[…]”

Dia tidak ingin mengakuinya, jadi dia hanya diam saja.

“Kelihatannya hanya aku yang tidak cakap berbuat apapun di Sakurasou.”

Misaki membuat anime, Jin menulis naskahnya. Ryuunosuke bekerja sebagai programmer, Mashiro menggambar manga. Bagaimana dengan Kanda Sorata? Apa yang dia mampu? Dia tidak tahu ingin menjadi apa atau melakukan apa.

“Kau salah.”

“Eh?”

“Aku tidak menulis naskah karena aku yakin itu adalah tugas hidupku.”

“Begitukah?”

“Aku hanya memulainya karena sedikit minat. Kemudian, ketika aku benar-benar mulai melakukannya, aku merasa itu semakin menarik. Aku perlahan merasa sangat bagus, semakin serius dan serius. Mungkin perasaan inilah yang memberiku dorongan untuk melanjutkannya. Aku tidak sejago Mashiro dan Misaki, tapi mungkin ketika waktunya tiba, atau ketika sebuah pikiran melesat di kepalaku, aku akan berusaha sebaik mungkin, meskipun aku tidak akan mempertanyakan kenapa aku melakukannya. Yaah. Hanya itu saja.”

“Aku bahkan tidak seperti itu.”

“Hanya karena kau mengeremnya. Sama seperti bagaimana kedai ramen mulai belajar membuat mi dingin Cina di musim panas, kau hanya perlu melakukan apa yang kausuka.”

“Minta maaflah pada semua kedai ramen di negeri ini.”

“Tentu saja mie dingin Cina jika kau ingin mulai melakukan sesuatu.”

“Di mana logikanya?”

“Kau benar-benar orang aneh. Aku kadang-kadang tidak bisa mengerti dirimu.”

“Kurasa aku sangat normal dibandingkan dengan yang lainnya di Sakurasou.”

“Ketika kau bertemu masalah orang lain, kau akan bertindak sangat cepat seakan itu adalah sebuah tindakan refleks. Tapi ketika kau bertemu masalahmu sendiri, kau selambat kura-kura.

“Itu tidak benar.”

“Ya, itu benar. Orang banyak akan berpura-pura tidak melihat apapun ketika mereka bertemu kucing buangan. Kau tidak. Juga, ketika kau mengurus Mashiro selama bulan ini sekalipun kau dipaksa melakukannya. Kau akan bangun lebih awal untuk membuatkannya makan siang dan memberinya baumkuchen yang dia mau. Kau pasti akan melakukan apapun untuk membantunya. Jika aku adalah kau, aku tidak akan menghabis-habiskan usahaku sepertimu. Sorata, kau seperti seorang pahlawan yang hidup untuk membantu orang lain.

“Ini karena tidak ada seorangpun yang akan membantu yang lainnya!”

“Tapi…,” nada suara Jin menurun, “…kau meminta alasan. Kau akan menyeret orang lain dalam masalahmu sebelum kau memutuskan sesuatu sehingga kau dapat menyalahkan mereka ketika kau gagal. Aku tahu itu sakit rasanya jika kau tidak melakukannya, seakan itu semua kesalahanmu jika kau gagal. Tidak ada jalan keluar.”

“Bukan ini maksudku.”

“Jika bukan, tolong tinggalkan Sakurasou, Sorata.”

Perkataan Jin yang mendadak membuat jantung Sorata berdebar kuat. Bisa dikatakan itu tepat mengenai sasaran. Untuk menenangkan dirinya sendiri, Sorata segera menemukan alasan: “Shiina dan kucing-kucing masih ada di sini. Mau bagaimana lagi.”

“Aku akan membantumu menemukan majikan kucing yang baru dan mengambil tugas mengurus Mashiro.”

Dia tidak dapat mengelakkannya dengan berkata: “Kau bercanda, ‘kan?” Mata Jin yang setajam silet menembus Sorata, tidak membiarkannya mengalihkan pandangannya. Kedua mata tajam itu mengatakan bahwa Sorata tidak dapat melarikan diri.

“Dengan begitu, semua masalah akan terselesaikan, bukan?”

Jin mengangkat bahunya seperti sedang bercanda.

“Tidak, tapi…”

“Kau tahu, aku sebenarnya menyukaimu.”

“Aku tidak bisa percaya pengakuan pertama di hidupku akan datang dari mulut seorang cowok.”

“Kau mau berakrab dengan Misaki yang merepotkan itu, berhubungan baik dengan Ryuunosuke dan bahkan tidak menunjukkan rasa benci pada orang sepertiku yang dibenci para laki-laki pada umumnya. Kau mengatasi masalah Mashiro dengan baik juga. Selain itu, kemampuan respon jawabanmu sangat bagus.”

“Yaah, ayo bentuk duet lawak.”

“Ayo membuatnya sebagai mimpi untuk kehidupan kita selanjutnya, kawanku.”

Jin tersenyum, tapi Sorata tidak bisa. Jin tidak mengatakan kata-kata yang dia butuhkan. Dia telah bersiap untuk kata-kata yang menunggunya.

“Jika kau tidak bisa memutuskan apa yang akan kaulakukan, aku akan membantumu, tapi setidaknya pilih di mana kau akan tinggal! Jika kau ingin kembali ke asrama normal, silakan.”

“[…]”

“Kau tahu apa yang harus kukatakan. Aku tidak bercanda. Jika kau pergi, aku akan mengurus Mashiro dan kucing-kucing.”

“Um…”

“Jadi, buat keputusanmu sendiri: Tinggal atau pergi. Jangan membuat orang lain sebagai alasanmu. Jika kau bisa melakukannya, maka kau akan dengan mudah menemukan tujuanmu. Ini adalah pilihan A atau B yang mudah.”

Setelah berkata begitu, Jin bangkit berdiri. Sorata tidak dapat mengangkat kepalanya. Dia hanya memandangi meja, tubuhnya tidak bergerak seinci pun. Suara langkah kaki Jin meninggalkannya, meskipun entah kenapa keberadaannya tidak menghilang bersamanya. Sorata kehilangan keinginannya untuk tidur. Memang benar dia ingin meninggalkan Sakurasou dan kembali ke asrama normal dan membiarkan Jin mengurus Mashiro dan kucing-kucing mengingat Sorata tidak lagi memiliki alasan untuk tetap di Sakurasou dengan demikian. Bukankah ini hal yang membahagiakan? Dia begitu menginginkannya. Tidak ada alasan untuk ragu-ragu. Tapi kenapa napasnya menjadi sulit sekarang? Seakan dia terbenam ke dalam rawa-rawa, dia terseok-seok, mencoba menggerakkan kaki dan tangannya yang berat, akan tetapi dia tidak dapat menemukan arah jalan keluar di manapun. Tidak dapat menahannya lagi, Sorata merebah pada meja bundar. Rasanya membuat depresi dan menyakitkan. Waktu berdetak perlahan.

“Sorata.”

Tiba-tiba sebuah suara transparan mencapainya. Nada suaranya lemah namun jelas. Dia menyadari keberadaan yang dia rasakan bukanlah Jin tapi Mashiro. Tidak dapat bergerak bahkan kepalanya, Sorata hanya berbaring di situ, matanya tertutup.

“Apa kau akan pergi?”

“Itu adalah rencanaku sejak semula untuk pergi,” Sorata memeras suara, menggenggam dirinya yang lalu dengan erat.

Mashiro meninggalkan ruang keluarga dalam diam tanpa meninggalkan apapun, bahkan sepatah kata pun.

“Apa-apaan ini?”

Dia meninju meja dengan tangan yang gemetar, memberinya rasa sakit samar yang menyebar dari belakang tangannya. Saat itu juga, Sorata bangun, namun dia kembali terkapar ke dalam golakan pusaran pikirannya sendiri. Bahkan rasa sakit meninggalkannya. Yang tersisa adalah rasa lengket mirip rasa bersalah, sekalipun dia tidak dapat mengingat namanya.


Catatan Penerjemah dan Referensi[edit]

  1. Bento: Bekal makanan
  2. Jika seorang prajurit pergi perang, ada kemungkinan dia akan tewas, jadi lebih baik untuk melamar setelah “isyarat kematian” selesai, atau itu akan lebih menyakitkan bagi yang hidup.
  3. Yamato Nadeshiko: Gambaran ideal wanita Jepang.
  4. ””Ecchi””: jenis tontonan semi porno karena dengan aktivitas seksual minimal.
  5. ””Hentai””: jenis tontonan porno dengan aktivitas seksual maksimal.
  6. ””Abyssinian””: Kucing khas Australia. Dapat dilihat di here.
  7. ””Seiyuu””: Aktor atau aktris pengisi suara di anime.
  8. ””Mangaka””: Pembuat manga(komik Jepang).
  9. ””Golden Week””: Hari libur nasional di Jepang.
  10. ””Hinamatsuri””: Hari perayaan khusus untuk anak perempuan yang dirayakan setiap tanggal 3 Maret.
  11. ””Koushien””: Pertandingan baseball (bola kasti) nasional bergengsi tingkat SMA se-Jepang.
  12. ””HP””: Health Point, istilah dalam dunia game yang digunakan sebagai indikator nyawa karakter game.