Shinigami ni Sodaterareta Shoujo wa Shikkoku no Ken wo Mune ni Idaku (Indonesia) Jilid 1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Ilustrasi[edit]



Prolog[edit]

"Nenek, bacakan yang ini!"

Seorang anak laki-laki mengambil buku gergambar dari rak, dan menyerahkannya pada neneknya, Camilla, yang sedang merajut di kursi. Cahaya hangat dari perapian menerangi wajah bocah yang tersenyum itu.

“- Kamu ingin baca ini lagi? Mikhail, kamu sangat suka buku ini ya."

Camilla berhenti merajut, dan mengambil buku bergambar dari telapak tangan mungil bocah itu. Ini adalah buku favorit Mikhail , dan dia telah membacanya ratusan kali. Pinggiran buku yang lusuh adalah buktinya. Terutama pada sampul buku, di mana gambar di atasnya telah benar-benar pudar.

Namun, Camilla dapat dengan jelas mengingat gambar sampulnya: Sebuah pedang hitam pekat terhujam di atas bukit, dan seseorang melihat ke kejauhan.

——Kisah Pahlawan Dubedirica. Itulah judul buku bergambar ini.

"Ya, aku suka buku ini! Dari semua buku bergambar yang aku punya, karakter utama ini adalah yang terkuat!”

Mikhail melambaikan anggota tubuhnya dengan napas terengah-engah, seolah-olah dia menirukan karakter utama dari buku bergambar itu. Sosoknya yang imut membuat Camilla tersenyum.

Tidak peduli di era mana pun, anak laki-laki akan selalu mengagumi pahlawan.

"Baiklah kalau begitu, Mikhail. Kemarilah."

Camilla memanggilnya, dan Mikhail duduk di pangkuannya dengan tenang. Anak-anak lebih hangat daripada orang dewasa, dan Camilla bisa merasakan kehangatan ini melalui punggung cucunya.

"Cepat, cepat!"

Mikhail mengayunkan kakinya, dan mendesak Camilla saat dia melihat ke atas. Camilla menjentikkan rambut peraknya, dan membuka halaman pertama buku bergambar itu.

“Dahulu kala, ada seorang gadis yang dibesarkan oleh Dewa Kematian-”

Ini adalah kisah yang terjadi di masa lalu.

Sebuah kisah tentang seorang gadis bernama Pahlawan Kegelapan. 

Semua cerita dimulai dengan awal yang sederhana.

Jauh di dalam hutan yang jauh dari peradaban manusia, pohon-pohon menjulang tingggi meraih langit, dan kanopi dedaunan mengubah hutan menjadi gelap seperti malam. Selain itu, kabut yang selalu ada menggantung di atas hutan ini, seolah-olah untuk menutupi keberadaan hutan itu sendiri. Tidak jelas kapan itu dimulai, orang-orang memberi nama hutan itu, didorong oleh rasa takut di hati mereka.

—— Hutan Tanpa Kembali.

Jika kau tersesat di sini, semuanya sudah berakhir. Tidak peduli seberapa tajamnya perasaan arahmu, kau tidak akan pernah bisa keluar. Itulah alasan namanya. Dari waktu ke waktu, ada pemberani yang tidak takut dengan legenda ini dan pergi menjelajahinya, tetapi tidak ada yang pernah kembali.

Dan sekarang, tidak ada yang berani memasuki Hutan Tanpa Kembali ini.

Di jantung hutan ini, terdapat menara yang terbuat dari batu hitam halus. Menara ini tertutup lumut dan tanaman merambat, masih memiliki atmosfer yang megah. Selain menara itu, ada enam pilar hitam yang diukir dengan pola rumit yang mengelilingi menara.

Namun, tiga dari pilar itu setengah hancur. Jelas dari kerusakan pilar-pilar itu bahwa ketiga pilar ini telah runtuh sejak lama. Pilar-pilar lain diselimuti retakan dan rusak parah. Tidak akan mengejutkan jika pilar-pilar itu runtuh kapan saja.

Kuil ini dinamai oleh orang-orang dari zaman kuno sebagai "Gerbang Menuju Dunia Bawah".

Untuk beberapa alasan, di dekat pintu masuk kuil yang telah lama ditinggalkan oleh manusia, terdapat seorang bayi tertidur di kain berlumuran darah. Ada juga seorang pria berlumuran darah yang bersandar pada pilar. Dia telah menghembuskan nafas terakhirnya, dan memegang pedang yang patah di tangannya.

Hutan itu dikuasai oleh binatang buas. Aroma bayi yang lezat dan bau darah dari mayat manusia memikat mereka. Biasanya, keduanya akan dimakan dalam waktu singkat. Namun, kuil itu tidak dihuni oleh binatang buas satu pun, dan bahkan kicau burung pun tidak bisa terdengar.

Itu sangat sunyi, seolah-olah segala sesuatu di sekitar kuil telah tertidur. Ketenangan adalah cara yang bagus untuk menggambarkan situasinya, tetapi cara lain untuk menggambarkannya adalah keheningan yang menakutkan.

Dalam suasana yang terasa seperti di dunia yang berbeda, tiga Bayangan yang melambai-lambai seperti api mendekati kuil. Ketiga Bayang-bayang itu berhenti ketika mereka menyadari kehadiran bayi dan lelaki itu.

"Aku bertanya-tanya siapa yang mengganggu ... Jadi itu manusia, ya. Tak disangka dia berhasil sampai ke kuil. Bayi itu masih hidup, tapi laki-laki itu sudah mati. Wadah jiwanya sudah kosong."

Ketiga Bayang-bayang itu memandang bayi dan mayat laki-laki itu, lalu berkomentar dengan tidak tertarik.

"Seorang bayi, ya ... Jiwa lemah seperti itu tidak cukup untuk memuaskan rasa laparku— tapi ini adalah makanan yang sudah siap saji."

Bayangan lain membuat sabit yang memiliki bentuk tidak stabil. Sabit itu terangkat tinggi, dan mengayunkannya ke arah jantung bayi itu tanpa ragu-ragu. Namun, Bayangan terakhir menempatkan lengannya di jalur sabit untuk menghentikan ayunan itu. Tepat sebelum sabit menyentuh lengan, sabit itu menghilang seolah-olah tidak pernah ada.

“... Kenapa kau menghentikanku? Apa kau ingin memakannya?"

"Tidak. Aku hanya ingin mengamatinya sedikit."

"Mengamati ... kebiasaan burukmu itu lagi?"

"Yang benar saja, apa gunanya melakukan ini ... Ah sudahlah, lakukan sesukamu."

Setelah percakapan singkat itu, dua dari Bayangan itu melebur ke tanah dan menghilang. Bayangan yang tersisa melayang pelan ke arah bayi itu, dan mengambilnya dengan tangan yang tampak berkelip hilang dan muncul. Pada saat ini, bayi itu membuka matanya. Mata gelap jernihnya mencerminkan citra Bayangan itu.

Bayi itu memandang si Bayangan dengan bingung sejenak, lalu tersenyum.

"Ya. Ada manfaatnya mengamati bayi ini."

Di leher bayi terdapat batu rubi. Bayangan itu mengalihkan pandangannya di antara batu rubi dan bayi yang tersenyum, lalu mendengus.  

Sudah sepuluh tahun sejak Bayangan itu mengambil bayi itu.

Gadis itu tinggal di kuil yang memiliki dinding gelap bersama dengan Bayangan bernama "Z[1]". Namun, mereka tidak makan, tidur, dan bermain bersama. Lebih khusus, Z tidak melakukan semua itu. Selain mengamati gadis itu, Z tidak menemaninya.

—— Dan sekarang adalah waktu pengamatan.

Di tempat latihan di luar kuil, gadis itu sedang bertarung dengan berbagai senjata melawan Z. Gadis itu menggunakan pedang pendek putih yang cemerlang, yang kontras dengan sabit besar Z yang tertutup kabut hitam.

Gadis itu melompat mundur setelah hantamannya ditangkis oleh sabit, menjauh dari Z. Dia terengah-engah dan menggunakan lengan bajunya untuk menyeka keringat dari alisnya.

Sudah 30 menit sejak Z memulai pengamatannya.

Setelah bertarung dalam waktu yang lama, gadis itu menyadari bahwa staminanya hampir habis. Z meletakkan sabitnya di bahunya, dan bertanya dengan tenang:

"Ada apa? Apa kau sudah lelah?"

Dia tidak bersikap sarkastik. Lagi pula, Z tidak pernah sarkastik. Ini hanya kesimpulan yang diambilnya setelah mengamati status gadis itu.

— Walaupun demikian...

Setelah menarik napas panjang, gadis itu melesat maju. Pemandangan di sekitarnya berubah menjadi garis tipis, dan Z berada dalam jangkauan pedangnya dalam sekejap. Gadis itu mengayunkan pedangnya ke arah perut Z. Sayangnya, pedang putih itu tidak menyentuh tubuh Z. Serangan habis-habisan gadis itu ditangkis dengan mudah oleh sabit, dan pedang itu dihujam ke tanah.

"Hmm. 『Fleet Footed Rush』mu sudah bagus, tetapi gerakanmu terlalu sederhana.”

Z bergumam, lalu menendang dengan kecepatan yang luar biasa. Gadis itu menyabut pedangnya dan menggunakannya sebagai perisai. Gadis itu tidak bisa memblokirnya sepenuhnya, dan terpental.

"Ughh!"

Otaknya mati rasa, dan gadis itu hampir kehilangan kesadaran. Tapi dia menggigit lidahnya untuk menghentikan dirinya agar tidak pingsan, dan mendarat setelah berputar beberapa kali di udara.

"Ha, ha, ha…"

Gadis itu perlahan-lahan menarik napas, dan menyeka darah dari sudut bibirnya. Dia kemudian menyadari bahwa tangannya kram.

"Tidak apa-apa. Aku ... masih baik-baik saja."

Gadis itu mencengkeram gagangnya erat-erat untuk menekan kram, dan mengayunkan pedang dalam ayunan besar. Ini adalah penghalang yang dibuat dengan pedang. Salah satu teknik pedang yang diajarkan kepadanya oleh Z, sikap bertahan ini tidak memiliki titik lemah.

"Apa kau siap?"

Sabit itu berputar di sekitar tangan Z seperti tongkat. Gadis itu tidak menjawab pertanyaan itu, dan mempererat genggamannya.

"Kau sepertinya siap."

Saat Z mengatakan itu, gadis itu merasakan dingin di punggungnya.

Dia segera melompat ke samping, dan menghindari serangan yang muncul entah dari mana dengan jarak sehelai rambut. Gadis itu bergerak ke belakang Z dan mengayunkan pedangnya ke atas—— tapi dia berhenti. Dia harus, karena sosok di depannya hanya ilusi. Z sudah bergerak ke belakang gadis itu, dan menodongkan pisau sabitnya di tenggorokan gadis itu.

Setetes keringat dingin mengalir di dahi gadis itu.

“Kau hampir bisa mengimbangiku. Itu saja untuk hari ini."

Setelah itu, Z melelebur ke tanah dan menghilang. Suasana yang mencekam di sekitar kuil lenyap bersama dengannya, dan dunia kembali ke ketenangan aslinya.

"Terima kasih banyak."

Gadis itu merilekskan tubuhnya, melihat ke tanah di mana Z menghilang, dan mengucapkan terima kasih.

——Jadwal harian gadis itu tetap.

Dia akan mempelajari situasi benua, bahasa, taktik militer, sihir, ilmu pedang, dan pertempuran jarak dekat. Sesekali, dia akan mengikuti Z ke hutan, dan belajar berburu dan memasak. Pendidikan dan pelatihan gadis itu disebut Z sebagai pengamatan.

Suatu hari setelah pengamatan dimulai secara resmi, gadis itu diberitahu bahwa dia adalah suatu bentuk kehidupan yang disebut manusia. Istilah resminya lebih rumit, bentuk kehidupan ketiga. Ketika gadis itu mengetahui hal itu, dia menjadi penasaran tentang Z yang benar-benar berbeda darinya, dan bertanya kepada Z tentang itu.

"Aku? Yah ... Untuk manusia di dunia ini, aku mirip dengan Dewa Kematian.”

Jawaban yang tak terduga membuat mata gadis itu bersinar. Itu karena salah satu dari banyak buku yang diberikan Z terdapat buku yang membahas Dewa Kematian. Menurut buku itu, Dewa Kematian adalah keberadaan yang menakutkan yang menuai jiwa manusia tanpa pandang bulu.

—— Memberikan kematian yang setara untuk semua.

Begitulah kesimpulan buku itu.

Gadis itu bertanya kepada Z apakah jiwanya akan dituai oleh Z.

"Itu salah. Kami hanya akan menuai jiwa manusia yang belum memiliki pemahaman tentang dirinya, atau manusia yang baru saja mati. Aku tidak akan menuai jiwamu, karena egomu sudah terbentuk.”

Begitulah jawaban Z.

Gadis itu berpikir itu benar. Dewa Kematian yang digambarkan dalam buku itu berwujud kerangka dengan jubah compang-camping, sedangkan Z berwujud bayangan yang melambai seperti api. Jika gadis itu harus memilih antara Z atau buku, gadis itu pasti akan percaya Z.

Gadis itu menyesal dalam hatinya bahwa tidak semua yang tertulis dalam buku adalah benar.

—— Pada hari lain.

Setelah menyelesaikan pelatihan berpedang, gadis itu mengajukan pertanyaan lain. Z telah mengajarkan ilmu pedang dan pertempuran jarak dekat padanya—— dengan kata lain, teknik membunuh. Apa ilmu-ilmu itu akan pernah digunakan? Z pernah mengatakan kepadanya bahwa manusia adalah makhluk yang suka berperang dan kejam yang akan membunuh sesama mereka sendiri karena alasan selain mengonsumsi makanan. Tapi dia adalah satu-satunya manusia di kuil ini. Tidak ada orang yang bisa dia bunuh, jadi dia merasa aneh bahwa dia harus menjalani latihan seperti itu.

Setelah keheningan singkat, Z menjawab singkat, "Kau akan mengerti ketika saatnya tiba." Z adalah bayangan dan tidak bisa menunjukkan ekspresi apa pun, jelas karena keberadaannya yang merupakan manifestasi dari bayangan. Jadi, gadis itu tidak bisa melihat bagaimana ekspresi Z ketika mengatakan itu.

Tetapi pada saat itu—— gadis itu yakin bahwa Z sedikit tersenyum.

Akhir-akhir ini, gadis itu mulai berbicara dengan Z dalam bahasa manusia. Dia tidak tahu kenapa, tetapi karena itu adalah instruksi Z, dia harus patuh. Hari-hari pengamatan berlalu dengan tenang, gadis itu dan Z melanjutkan kehidupan mereka yang aneh.

“Z. Kepalaku terasa pusing, dan punggungku terasa dingin. Ada yang aneh dengan tubuhku."

Setelah pelajaran berakhir, gadis itu memberi tahu Z bahwa dia merasa tidak enak badan.

“... Hmm, tubuhmu panas. Kau mungkin terkena flu."

Kata Z dengan tangan goyahnya menyentuh dahi gadis itu.

"Apa itu flu?"

"Hm ... Sebagai analogi, itu seperti serangga yang bermain-main di tubuhmu, menyebabkan tubuhmu tidak nyaman."

"Ehh? Apa itu karena aku makan semut kemarin?"

Gadis itu menyesal memakan semut sebagai camilan.

“Aku sudah bilang jangan makan semut. Dan serangga yang aku sebutkan hanya analogi."

Z kaget.

"Apa yang harus ku lakukan? Apa aku akan mati? Apa Z akan memakan jiwaku?"

"Kau tidak akan mati hanya dengan itu. Manusia tidak serapuh itu. Tapi mari kita hentikan latihan untuk saat ini, kau harus kembali ke kamarmu dan istirahat. Jika kau berbaring dengan tenang, tubuhmu akan pulih dalam waktu singkat. "

"Ya, aku mengerti."

Gadis itu terhuyung-huyung kembali ke kamarnya, dan langsung berbaring di tempat tidurnya. Setelah tidur sebentar, gadis itu merasakan kehadiran seseorang dan membuka matanya. Dia berbalik dan melihat sosok Z yang melambai-lambai berdiri di depannya. Gadis itu menggosok matanya dan memeriksa lagi. Ini adalah pertama kalinya Z datang ke kamarnya.

“Ada apa, Z? Kamu ingin memakan jiwaku? ”

“Aku menyeduh sup untukmu. Makanlah."

Gadis itu kemudian menyadari bahwa ada mangkuk di baki yang dipegang Z.

"Ehh~ tapi aku enggak lapar."

“Kau tidak nafsu makan karena flu. Minumlah bahkan jika kau tidak lapar. Kau akan menjadi lebih cepat sembuh."

Z duduk di tempat tidur, menopang gadis itu, dan menyendok sup ke mulut gadis itu.

“……”

"Ada apa? Buka mulutmu."

"Y-Ya."

Dia memiliki perasaan geli di hatinya, tetapi gadis itu masih membuka mulutnya dengan patuh. Z perlahan-lahan mengirim sup ke mulut gadis itu, dan kehangatan segera menyebar ke seluruh perut gadis itu.

"Bagaimana? Aku membuatnya hambar, sehingga akan lebih mudah untuk perutmu"

"Ya, rasanya enak ... Ehehe."

"Apa yang lucu?"

"Enggak ada. Ahh~. "

"Hmm, sepertinya semuanya baik-baik saja."

Z dengan cepat menyendok sup ke dalam mulut gadis itu. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, mangkuk itu telah kosong.

"Terima kasih untuk makanannya."

"Kau sudah menghabiskannya. Sekarang minumlah ini."

Z kemudian menaruh gelas kaca perak di tangan gadis itu. Di dalamnya ada cairan lengket berwarna hijau. Cairan itu mengingatkan gadis itu pada monster yang ditampilkan dalam buku bergambar.

"Apa ini? Ini lengket dan baunya aneh. Apa aku harus minum ini?"

"Ini obat. Kau akan sembuh lebih cepat jika meminumnya.”

"Benarkah?"

"Apa aku pernah berbohong padamu?"

"Yah, tidak."

Gadis itu mencubit hidungnya dan meminum obat itu sekaligus. Rasa pahit melekat di mulutnya, menghapus rasa sup yang lezat.

"Z ~, ini pahit banget ~."

“Itulah obat yang bagus. Yah, aku tidak tahu rasanya sih.”

Dengan itu, Z menggeser kursi ke tempat tidur, dan duduk. Kemudian mengeluarkan sebuah buku dan menelusurinya dengan cepat.

"Apa kamu akan tinggal di sini?"

“—Hmm? Ya, ini bagian dari pengamatan. Ketika kau bangun, kau akan merasa jauh lebih baik. Jika kau mengerti, maka tidurlah."

"Ya, aku mengerti ... Ehehe . Selamat malam, Z.”

"… Selamat malam."

Untuk beberapa alasan, gadis itu merasakan dia bermimpi indah. 

—— Waktu berlalu, dan sudah lima belas tahun sejak gadis itu bertemu Z.

Kehidupan gadis itu sama seperti biasanya.

Satu-satunya hal yang berubah adalah standar belajar dan pelatihannya. Dan dia diberi nama demi kenyamanan.

Namun, tubuh seorang gadis yang berusia lima belas tahun berubah secara drastis.

Di bawah pengawasan Z, gadis itu sekuat dan menakutkan seperti binatang buas. Tapi dia masih terlihat seperti gadis cantik. Anggota tubuhnya yang ramping dan dada yang besar adalah buktinya. Tubuhnya yang halus pasti akan memalingkan kepala semua orang di jalanan. Gadis itu memiliki kecantikan yang luar biasa.

Hari dimulai lebih awal untuk gadis itu.

Dia akan membuka matanya saat fajar dan melompat dari kasur kanopinya. Dia kemudian akan mulai melakukan peregangan sambil menguap. Suara tulangnya yang bergemeretak membuatnya merasa segar. Dia kemudian menyampirkan handuk yang tergantung di dinding ke lehernya, dan berjalan ke koridor yang remang-remang. Gadis itu menyukai ketenangan saat fajar, dan dia bangun pagi hanya untuk menikmatinya.

Ketika dia sampai di halaman, ada beberapa berkas cahaya bersinar melewati kanopi pohon lebat yang menerangi tempat itu. Gadis itu berjongkok , lalu mengambil air dari sumur. Ketika dia mencuci wajahnya dengan seember air, dia minum beberapa teguk. Air meresap ke perutnya, dan gadis itu tersenyum:

" Ahh, rasanya enak sekali."

Dia bergumam puas, dan pergi ke dapur dan ruang makan untuk membuat sarapan. Dapur itu berbentuk sederhana, dengan kompor batu bata dan meja kecil. Gadis itu menambahkan kayu bakar dengan tangan yang terlatih, kemudian berkonsentrasi pada jari telunjuk kanannya. Dia memvisualisasikan kekuatan sihir di tubuhnya bercampur dengan jumlah mana di udara.

Partikel-partikel biru dan putih berkumpul di jari telunjuknya, membuktikan bahwa kombinasi itu berhasil. Ketika partikel-partikel itu berkumpul pada satu titik, membentuk bola api seukuran kacang.

"Berhasil."

Gadis itu tersenyum, dan melemparkan bola api ke arah kayu bakar. Api biru menyala dengan kuat, dan gadis itu menggunakan tongkat untuk mengendalikan besarnya api. Pada awalnya, gadis itu tidak bisa mengendalikan kekuatannya dan menghancurkan kompor beberapa kali. Tetapi setiap kali dia kembali, dia akan menemukan tungku dalam keadaan semula, sama seperti baru.

Fenomena ini mengingatkan gadis itu pada peri yang diceritakan dalam buku 『Peri Komet yang Nakal』. Cerita itu tentang peri Komet pemalu yang memainkan semua jenis lelucon pada manusia, dan senang mengejutkan mereka.

Gadis itu memutuskan untuk menakuti peri itu, dan bersembunyi di sudut ruangan sepanjang malam untuk berjaga-jaga. Tapi Komet tidak muncul, dan pagi datang. Sudah hampir waktunya untuk pelajarannya, jadi gadis itu tidak punya pilihan selain meninggalkan dapur. Tetapi ketika dia kembali untuk memeriksa pada siang hari, tungku itu sudah diperbaiki.

Gadis itu dengan keras kepala memata-matai dapur selama beberapa hari, tetapi tidak berhasil. Beberapa waktu setelah kejadian itu, gadis itu secara kebetulan berpapasan dengan Z yang sedang menggunakan sihir untuk memperbaiki tungku, dan merasa sangat kecewa.

Kenangan pahit itu membuat gadis itu menggelengkan kepalanya, dan dia menyeka keringat di alisnya. Dia meletakkan panci sup sisa kemarin di atas kompor, dan menunggu sampai memanas. Beberapa saat kemudian, suara menggelegak datang dari panci, bersama dengan aroma lezat.

"Terima kasih untuk makanannya."

Dia makan sarapan sendirian, membereskan peralatan makan dengan cepat, dan menuju ke ruang kelas. Selain kamar tidur gadis itu, ada kamar-kamar lain di kuil, tetapi kamar-kamar itu semuanya tidak terurus. Ini wajar saja karena tidak ada yang mengelola tempat itu. Kondisi yang sama terjadi pada kelas itu.

Dia mendorong pintu hingga terbuka dengan lingkaran sihir yang sudah dikenalnya, dan pintu itu jatuh dari engsel dengan bunyi keras. Pintu itu akhirnya terlepas dari engselnya yang telah lapuk.

Gadis itu tidak peduli, melangkah melewati pintu dan memasuki ruangan—— di tengah ada satu set meja dan kursi, tempat dia duduk. Dia hanya perlu menunggu Z yang akan muncul secara tiba-tiba, dan memulai pelajaran. Gadis itu tidak berpikir akan ada masalah.

"Z terlambat hari ini ~."

Namun, tidak peduli berapa lama gadis itu menunggu, Z tidak muncul. Ini baru pertama kalinya. Merasa ada sesuatu yang salah, gadis itu mendekati podium yang selalu digunakan Z. Dia melihat pedang gelap yang tidak ada di sana sebelumnya, sesuatu seperti surat, dan sebuah batu rubi.

Dan seperti yang didugannya, itu benar-benar surat, ditujukan kepada gadis itu. Dia membacanya berkali-kali, lalu berlari keluar dari kuil dengan pedang hitam di tangannya.

"Z!"

Ketika dia menyadarinya, gadis itu memanggil nama Z dalam volume yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri. Namun, Z tidak merespons, hanya menyisakan gema yang memudar di udara. Meski begitu, gadis itu terus memanggilnya sampai suaranya menjadi serak. Tapi Z tidak muncul.

"Z ... Z ... Z ..."

Ketika gadis itu berulang kali memanggil Z, sesuatu yang hangat keluar dari mata gadis itu. pandangannya menjadi kabur, dan gadis itu menyentuh sesuatu yang mengalir di pipinya. Dia dengan cepat mengetahui bahwa ketika manusia merasa sedih, mereka akan menangis.

Namun, gadis itu tidak mengerti mengapa dadanya sakit, seolah-olah ada sesuatu yang meremasnya. Rasa sakitnya berbeda dari apa yang dia rasakan selama latihan. Itu tidak disebutkan dalam buku-buku.

Setelah berapa lama.

Gadis itu menyeka air matanya dengan lengan bajunya dan menyadari sesuatu. Kabut hitam keluar dari pedang di tangan kirinya.

"Ini…"

Bentuknya mungkin berbeda, tetapi ini adalah sesuatu seperti sabit yang digunakan oleh Z.

Gadis itu memegang pedang hitam dengan erat di tangannya, dan melihat ke bawah dengan tenang. Dia meninggalkan kuil hari itu juga, tidak pernah kembali.



Bab 1: Anak Muda yang Meninggalkan Sarang[edit]

[edit]

Kalender Lunar Tahun 995.

Perdamaian yang telah berlangsung hampir 40 tahun telah berakhir, dan benua Dubedirica dilanda api peperangan sekali lagi.

Bara perang dimulai oleh sebuah negara besar di utara.

Kaisar Kekaisaran Arsbelt, Ramza ke-13, tiba-tiba menyatakan bahwa ia akan menaklukkan seluruh benua Dubedirica, dan segera menyerbu negara tetangganya di timur, Kerajaan Farnesse, dan memulai perang.

Pada awalnya, hanya dua negara besar, Kekaisaran dan Kerajaan yang berperang. Tetapi nyala api perang dengan cepat menyebar ke negara-negara kecil di sekitar mereka, dan akhirnya menyeret seluruh benua juga.

Kalender Lunar Tahun 997.

Dengan perang menyebar ke semua negara di benua itu, kebuntuan antara Kekaisaran dan Kerajaan mencapai titik balik. Kekaisaran merebut benteng terbesar di teater perang pusat, Benteng Kiel yang tak tertembus.

Setelah itu, Kekaisaran menggunakan benteng itu sebagai pangkalan terdepan[2], dan memaksa negara-negara kecil di sekitar kerajaan dengan negosiasi atau invasi, mencaplok mereka dengan kecepatan yang mengkhawatirkan.

Konfederasi Sutherland, yang terletak di selatan benua, selalu menekankan netralitas mereka. Tetapi dengan perubahan situasi, mereka berkolusi dengan Kekaisaran secara rahasia. Dengan alasan panen yang sangat buruk di wilayah tenggara benua itu, mereka secara drastis mengurangi ekspor makanan mereka ke Kerajaan.

Itu memicu kelaparan skala besar di seluruh Kerajaan, dan mengakibatkan kerusuhan. Kerajaan sangat bergantung pada impor untuk pasokan makanan, dengan 70 persen makanan Kerajaan berasal dari Sutherland. Ini memperburuk keadaan bagi Kerajaan yang tidak bisa menghasilkan cukup makanan untuk menopang dirinya sendiri.

Pada saat yang sama, Kerajaan meningkatkan makanan yang dikumpulkan dari warga untuk memberi makan para prajurit di garis depan, yang memicu lebih banyak kerusuhan. Kerajaan menekan kerusuhan dengan pasukan, yang berakibat mengintensifkan kerusuhan, menghasilkan lingkaran setan. Dengan tekanan keresahan sipil dari dalam dan ancaman militer asing dari luar, kekuatan Kerajaan dengan cepat hancur.

Kalender Lunar Tahun 998.

Laporan pertempuran tentara Kerajaan dikirim ke ibukota satu demi satu. Kerajaan tidak bisa mengerahkan upaya untuk meluncurkan serangan balasan yang efektif, dan nyaris tidak bisa menahan garis depan. Pengepungan Kekaisaran atas Kerajaan perlahan-lahan semakin ketat, dan Raja Kerajaan Farnesse yang berkuasa, Alphonse Sem Garmund, membuat keputusan yang menyakitkan.

Dia mengirim garis pertahanan terakhir ibukota, elit militer Kerajaan, Pasukan Pertama untuk merebut kembali Benteng Kiel. 

Benteng Gallia terletak di selatan Kerajaan, dengan pegunungan Est memisahkannya dari ibu kota Fizz.

Itu adalah benteng utama di garis pertahanan Kerajaan Farnesse, dan benteng terdekat dengan ibukota. Di barat daya Benteng Gallia dan tenggara Benteng Kiel, terdapat kastil Kaspar yang telah direbut oleh Kekaisaran.

Desa-desa dan kota-kota di sekitar kastil Kaspar telah jatuh ke tangan Kekaisaran, dan tentara menjaga jalan-jalan utama setiap saat. Sembari mereka berencana untuk menyerang Benteng Gallia di masa depan, mereka harus waspada terhadap pergerakan Kerajaan.

Dan saat ini, Kapten Samuel yang bertanggung jawab atas sebuah pos pemeriksaan keamanan kunci di jalan Canaria menyadari seorang gadis berjalan menuju Kerajaan.

Usianya sekitar 15 atau 16 tahun.

Wajahnya sehalus pintu, dan dia mengenakan blus cokelat kemerahan, jadi dia mungkin datang dari salah satu desa. Rambut peraknya berayun dengan setiap langkah yang diambil oleh kakinya yang ramping.

(Oh, temuan yang bagus ...)

Saat Samuel mengagumi wajah gadis itu, benda yang tergantung di pinggang gadis itu menarik perhatiannya. Sarung pedang di pinggang gadis itu tampak terlalu mahal untuk seorang gadis desa. Sarung hitam itu diselimuti dengan pola intrinsik dengan emas dan perak.

Benda seperti ini hanya dapat ditemukan pada bangsawan kaya atau veteran yang kuat.

Hanya sarungnya saja bisa menghasilkan sejumlah koin emas yang banyak. Ngomong-ngomong, itu terlihat aneh pada gadis desa biasa.

(Mengingat indahnya ukiran pada sarungnya, pedang itu pasti luar biasa.)

Hanya membayangkan pedang di dalamnya sudah cukup untuk membuat Samuel mengangkat sudut bibirnya. Untuk sesaat, dia curiga bahwa gadis itu adalah seorang bandit, tetapi dengan cepat mengabaikan pemikiran itu.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa tentara Kekaisaran memiliki kendali atas wilayah sekitar sini. Bahkan jika mereka bukan tentara dari militer, bandit tidak akan berani menunjukkan wajah mereka di sini saat siang hari bolong.

Samuel menepuk pundak seorang prajurit muda di sebelahnya— Cliff, menunjuk ke gadis itu dan berkata:

“Berbanggalah, Cliff. Ini adalah misi pertamamu. Lakukan pemeriksaan keamanan pada gadis itu.”

"Baik pak!"

Cliff memberi hormat dengan cepat, lalu berteriak pada gadis itu dengan nada yang kuat:

"Gadis yang di sana, berhenti!"

“……”

Namun, gadis itu mengabaikan Cliff dan terus berjalan di sepanjang jalan. Mengingat jaraknya, dia pasti sudah mendengar Cliff, tetapi gadis itu acuh tak acuh.

"Hei, Cliff. Bersikap lebih lembut saat kau berbicara dengan seorang gadis. Bukankah ibumu mengajarimu itu?"

"Betul. Bagaimana jika kau menakuti dia dengan nada kasarmu?"

Melihat Cliff diabaikan, para prajurit di sekitar mulai menggodanya. Kesal oleh rekan-rekannya, Cliff berjalan di belakang gadis itu dan meraih pundaknya.

"Aku bilang berhenti, apa kau tidak mendengarku!?"

"Ehh? Kau memanggilku?"

Gadis itu menunjuk dirinya sendiri dengan mata terbuka lebar. Dia sepertinya tidak berbohong dan benar-benar terkejut. Tapi Cliff tidak berpikir begitu. Didorong oleh kemarahannya, dia melangkah mendekat dengan mengancam.

"Apa kau bercanda? Apa kau lihat gadis lain di sini?"

“Ehh~, kau enggak bisa bedain laki-laki dan perempuan? Aku setidaknya bisa melakukan itu."

Gadis itu kemudian menunjuk ke seorang prajurit wanita yang juga melakukan inspeksi penghalangan jalan. Prajurit itu memandang Cliff dan gadis itu dengan terkejut dan berkata: "Ehh? Apa kau menunjukku?”

Mengira dia sedang dipermainkan, Cliff memerah karena marah, dan mencengkeram gadis itu di kerahnya.

"Beraninya kau mengejek prajurit Kekaisaran! Apa kau ingin mati? Daerah ini berada di bawah kendali Kekaisaran, pasukan Kerajaan yang lemah tidak bisa membantumu!”

"Oh~ jadi kau adalah prajurit Kekaisaran. Manusia dalam zirah semua terlihat sama, jadi aku enggak tahu. Akan sangat bagus kalau ada buku untuk membedakan zirah.”

Gadis itu berkata dengan wajah serius ketika dia memeriksa armor Cliff. Dia tidak menunjukkan rasa takut, dan mata hitamnya yang tegas menunjukkan hal itu dengan jelas

"Hahaha. Baiklah, ini menarik. Gadis ini benar-benar punya nyali.”

Samuel mengangkat tangannya untuk menahan Cliff yang ingin menghunus pedangnya. Tapi Cliff terus memegang gagang pedangnya, terus mengeluarkan aura mengancam.

"Tolong jangan hentikan aku, Kapten! Dia jelas-jelas mengejek kita. Izinkan aku untuk mengeksekusi dia di tempat!"

"Hei, jangan pedulikan itu. Aku tidak pernah membunuh wanita sipil, dan aku juga tidak akan membiarkanmu melakukannya. Dan dia adalah gadis yang cantik pula. Ini adalah satu-satunya aturan ketat di unitku, dan aturan yang aku banggakan. Jadi ingatlah dengan baik.”

(Tapi aku telah memperkosa wanita yang tak terhitung jumlahnya.)

Samuel memikirkan penaklukan seksualnya dari desa ke desa, sementara gadis itu menguap bosan.

“Maaf sudah menghentikanmu, tapi sarung pedang di pinggangmu terlihat sangat berharga, jadi aku penasaran tentang tujuanmu mengunjungi ibukota Kerajaan. Tempat itu penuh dengan 'binatang kelaparan', dan sangat berbahaya. Apa kau ingin aku mengawalmu?"

Saat Samuel mengatakan itu, para prajurit tertawa sinis. Mereka mengabaikan tatapan dingin beberapa prajurit wanita yang menatap mereka. Salah satu dari mereka bahkan menirukan aksi mencakar seperti serigala dan melolong, mengakibatkan lebih banyak gelak tawa.

“Begitu ya. Aku enggak butuh pengawal, karena aku sedang dalam perjalanan ke Kerajaan untuk mendaftar sebagai tentara. Jadi jangan halangi jalanku, oke?”

Untuk sesaat, Samuel tidak mengerti apa yang dikatakan gadis itu. Cliff berdiri di sana dengan kaku, dan para prajurit di sekitar mereka tercengang. Samuel yakin ekspresinya tidak berbeda dengan mereka.

Gadis itu kemudian berkata: "Ah~, capek banget", lalu melanjutkan berjalan.

"Kurang ajar kau!!"

Ketika Cliff sadar, dia berteriak dan menebas gadis itu dengan pedangnya.

Pada saat yang sama, lengan kanannya yang masih memegang pedang melayang di udara.

Itu adalah Tahun 998 dari Kalender Lunar.

Langit yang tak berujung dan percikan darah menjadi latar bagi jalan Canaria . 

""Hah?""

Beberapa tentara berteriak kaget, dan mereka berbalik ke arah Cliff dengan leher yang sekaku gir berkarat. Cliff memandangi lengan kanannya dengan bingung, dan wajahnya mulai mengernyit.

"A-Aaaaaaah!!"

Darah mengalir keluar dari lengan kanannya, dan jeritan Cliff bergema di sepanjang jalan. Samuel menatap gadis itu, dan pedang hitam ada di tangan kanan gadis itu tanpa dia sadari. Pedang itu berlumuran darah.

Pelakunya sudah jelas.

"Sakit! Sakit banget!”

Cliff yang menangis tersedu-sedu mencengkeram sisa lengan kanannya dengan tangan kiri, dan melarikan diri dari gadis itu——

"Haii, yah~."

Gadis itu memutar pedang hitam itu sejajar tanah, lalu melemparkannya sambil bersenandung. Pedang itu menusuk zirah Cliff tanpa ampun, seperti panah yang terlepas dari busur, menusuk menembus dadanya. Kabut hitam tipis menyebar dari pedang itu.

“Hyaa! …Ah…"

Tubuh Cliff mengejang, lalu jatuh seperti boneka yang talinya terpotong. Suara ceria gadis itu bergema keras di sepanjang jalan Canaria yang sunyi.

"Sudah kubilang, jangan menghalangi jalanku. Manusia memang agresif. Mungkin aku enggak mengatakannya dengan jelas? Bahasa manusia memang rumit~.”

Gadis itu mengatakan sesuatu yang tak terduga, lalu melangkahi kepala Cliff untuk mencabut pedangnya. Dia perlahan-lahan mengibaskan darah pada pedang, dan menatap pada prajurit yang memegang tombak di sampingnya.

"Waaarrghh!!"

Tentara yang bertatapan dengan gadis itu menusukkan tombaknya sambil berteriak.

Para prajurit lainnya memegang senjata mereka dengan panik. Sebaliknya, gadis itu tidak terpengaruh, dan menangkis serangan dengan sedikit gerakan. Rok pendek cokelat kemerahannya berkibar di udara, seolah-olah dia menari dengan anggun.

Samuel mendecak dalam hati. Bahkan seorang prajurit veteran tidak bisa mengimbangi keahlian gadis itu. Anak buahnya tidak mampu melukai gadis itu. Samuel waspada maksimum, dia tidak tahu siapa gadis itu, tapi dia jelas bukan sekedar gadis desa biasa.

"Hmm~ Sekarang giliranku, kan?"

Gerakan para tentara menjadi lambat karena kelelahan, dan gadis itu memenggal kepala mereka, menghancurkan wajah mereka, menebas anggota badan mereka dan menusuk hati mereka. Jeritan, darah, dan potongan daging beterbangan di mana-mana. Ini adalah pembantaian yang hanya mungkin dilakukan oleh orang yang kuat. Dalam waktu singkat, mayat dan darah menutupi area sekeliling, dan bau darah memasuki rongga hidung Samuel.

Shinigami ni Sodaterareta Shoujo V1 1.jpg

Para prajurit yang tidak bergabung dengan pertarungan menjatuhkan senjata mereka dan mundur dari gadis yang menakutkan itu. Mata mereka terbuka lebar dan dipenuhi dengan kengerian, seolah-olah mereka sedang melihat Dewa Kematian.

Semangat juang mereka telah hancur. Gadis yang berlumuran darah memandangi para prajurit yang diliputi ketakutan—— dan menunjukkan senyum secerah matahari.

“H- Hiiii! Monster! Dia monster!!”

“J-Jangan main-main denganku! Aku tidak mau mati di sini!!”

"I-Ibu, selamatkan aku!!"

Para prajurit mulai melarikan diri sambil berteriak.

Beberapa dari mereka merangkak di tanah seperti cacing.

Yang lain berlari dengan gigi bergemeretak.

Dan beberapa orang tertawa terbahak-bahak dengan menyeramkan ketika mereka melarikan diri, berbagai ekspresi ditunjukkan saat mereka kabur.

Ini memalukan bagi pasukan kekaisaran yang terhormat. Tetapi Samuel tidak menyalahkan mereka. Wajar bagi mereka untuk bereaksi seperti ini setelah menyaksikan pemandangan yang mengerikan.

Gadis itu tidak mengejar pasukan yang melarikan diri, dan hanya menyaksikan mereka pergi. Dia mungkin bermaksud mengampuni siapa pun yang tidak mengarahkan senjata ke arahnya, pikir Samuel.

"Emm~ Pak Kapten, ya kan? Kau boleh lari juga. Kalau kau enggak menghalangiku, aku enggak akan membunuhmu."

Gadis itu tiba-tiba menoleh ke arah Samuel, memberinya pilihan untuk melarikan diri bersama yang lain. Bibirnya yang ternoda darah memiliki pesona yang aneh.

“... Aku tahu kau bukan gadis desa biasa. Kalau begitu, aku punya pertanyaan untukmu."

"Ya, silahkan."

“Di mana kau belajar ilmu pedang dan bertarung? Itu bukan sesuatu yang bisa dikuasai pada usia muda, dan oleh seorang wanita pula.”

"Ehh ~ bahkan kalau kau bertanya padaku, itu bukan salahku~ Dan aku diajari oleh Z."

"... Z?"

"Benar, Z. Apa kau tahu di mana Z?"

Gadis itu bertanya dengan senyum polos. Ekspresi kekanak-kanakannya membuatnya sulit membayangkan bahwa gadis ini baru saja membantai para prajurit itu tanpa sedikitpun belas kasihan— tetapi dia masih berlumuran darah.

"- Maaf, aku tidak tahu."

"Benarkah?"

"Ya. Jika dia terkenal, maka aku seharusnya sudah mendengar tentang dia."

"Hmm~ Oh, kau enggak kabur? Jangan khawatir, aku enggak akan mengejarmu."

Samuel tidak begitu patuh sehingga dia akan mengikuti instruksi gadis itu. Menanggapi gerakan mengusir gadis itu, dia menggelengkan kepalanya.

"Hah? Kau enggak mau lari? "

“Hahaha, kenapa aku harus lari? Aku sendiri cukup ahli.”

"Benarkah? —— Tapi aku enggak tahu tuh."

Setelah hening sejenak, gadis itu memberikan penilaian jujurnya. Samuel berkata dengan senyum sinis:

"Haha! Ini adalah pertama kalinya seseorang mengatakan hal itu dalam hidupku. Semakin lama aku tinggal di medan perang, semakin banyak kesempatanku untuk bertarung melawan monster, sangat menyenangkan.”

"Apa kau memanggilku monster? Namaku Olivia, lho.”

Olivia meletakkan tangannya di pinggangnya, dan memperkenalkan dirinya dengan bangga.

“Aku mengerti, aku akan mengingatnya. Ini pertama kalinya aku bertarung dengan seorang wanita bukan dari militer— Tidak, karena lawanku adalah monster, aku tidak melanggar peraturan, kan ...? Ya, benar."

Samuel bergumam pada dirinya sendiri saat dia perlahan menarik pedang besar dari punggungnya. Bilahnya sangat tipis, pedang bermata dua yang fleksibel dan juga tangguh. Pedang favoritnya yang tidak pernah patah, dan telah menemaninya melalui pertempuran neraka yang tak terhitung jumlahnya.

Dia menjilat ujung pedang, mengambil napas dalam-dalam, dan mengambil kuda-kuda dengan arah pedang horizontal ke tanah. Olivia menatap Samuel di depannya sambil tersenyum. Dia sedikit mencondongkan tubuhnya, menghela napas, lalu melesat menyerang Olivia. Ini adalah tusukan membunuh yang menggabungkan kecepatan yang tampaknya mustahil untuk tubuhnya yang besar, dengan berat tubuhnya yang berat.

"Violent Thrust", sebuah teknik yang ditakuti oleh banyak orang. Samuel menggunakan jurus ini untuk membunuh musuh yang tak terhitung jumlahnya. Kali ini akan sama, dan monster di depannya akan dibantai.

(Satu-satunya targetku—— adalah jantungnya!)

Ujung pedang mengiris udara, dan hendak menembus jantung Olivia.

"Ini milikku sekarang!!"

Percaya akan kemenangannya, Samuel meraung. Tetapi sesaat berikutnya, pemandangan di depannya tampak berbeda dari yang dia harapkan. Dia tidak melihat Olivia terjatuh dengan darah berdeguk dari mulutnya karena jantungnya tertusuk. Sebaliknya, dia melihat pemandangan aneh dari tubuhnya sendiri dari sudut yang sangat rendah.

Ketika kesadaran Samuel memudar, dia mendengar seseorang berkata dengan bingung, "Apa dia mencuri sesuatu?"

[edit]

Tentara Kekaisaran, Kamp Utama teater perang wilayah selatan Kerajaan Farnesse, kastil Kaspar

——Kapten Samuel terbunuh dalam tugas.

Laporan darurat yang dikirim oleh tentara yang menjaga jalan Canaria menyebabkan kegemparan di kastil Kaspar malam itu. Api unggun di gerbang utama terbakar lebih intens dari biasanya, dan semua patroli menunjukkan wajah tegang. Gerbang samping terbuka, dan mayat tentara yang tewas dibawa ke kastil.

"Benarkah Kapten Samuel tewas dalam pertempuran?"

Jenderal Osborne yang berusia lima puluhan bertanya dengan nada bingung. Dia memegang posisi otoritas tinggi dalam Kekaisaran Arsbelt, dan merupakan komandan kepala teater peperangan wilayah selatan. Dia adalah seorang jenderal yang terkenal karena mahir dalam penyerangan dan pertahanan.

Seorang bintara mengangkat kepalanya dan menjawab:

"Ya, Jenderal, para penjaga dari kota Canaria segera melakukan konfirmasi, dan menemukan mayat Kapten Samuel tanpa kepala. Ada lebih dari sepuluh mayat dalam kondisi serupa. Kami sedang mengumpulkan mayat-mayat prajurit yang tewas saat ini juga."

"Mayat tanpa kepala?... Mereka mungkin dibawa untuk mengumpulkan hadiah. Wajar saja, karena ketenaran Kapten Samuel telah menyebar di kalangan Tentara Kerajaan."

"Maafkan kekurangajaran saya, tapi ini bukan perbuatan Tentara Kerajaan."

Ketika dia mendengar itu, Osborne mengerutkan alisnya.

"Itu bukan Tentara Kerajaan? Lalu siapa yang membunuh Kapten Samuel? Jangan bilang itu bandit."

"Anu... Erm ..."

Bintara itu tiba-tiba tergagap. Melihatnya seperti ini, seorang pria dengan mata dingin dan rambutnya disisir rapi mendesak prajurit itu untuk melanjutkan laporannya dengan gerakan dari dagunya. Dia adalah Ahli Strategi, Kolonel Paris.

"M-Menurut para prajurit yang selamat, Kapten Samuel dibunuh oleh gadis mengerikan dengan pedang hitam dalam satu serangan."

"Seorang gadis mengerikan membunuhnya?"

Paris bertanya.

"Benar pak. Dan gadis mengerikan itu seharusnya dalam perjalanan ke ibukota untuk mendaftar menjadi Tentara Kerajaan."

Laporan tidak masuk akal dari bintara itu diabaikan oleh Paris sambil tertawa. Kisah-kisah yang dibuat oleh para penyair terdengar lebih masuk akal. Paris berasal dari divisi intelijen, dan dia tidak akan pernah mengakui laporan yang tidak masuk akal tentang gadis mengerikan dengan begitu mudah. Dia menilai bahwa informasi itu pasti telah menyimpang di suatu titik.

"Cukup dengan omong kosongmu—— Sudahlah, aku akan menanyai para prajurit yang terlibat langsung, bawa mereka."

Bintara itu gemetar ketika dia mendengar itu, dan menggelengkan kepalanya dengan lemah:

“Sayangnya, para prajurit yang selamat semuanya secara mental tidak sehat, dan tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Setelah melihat keadaan mereka, ada desas-desus di antara para prajurit bahwa seorang monster telah bersekutu dengan Kerajaan.”

"Oh~, rumornya sudah mencapai sedemikian rupa ... Jadi laporannya benar?"

Kata Osborne sambil menatap Paris.

"Jenderal, mengapa anda percaya omong kosong itu. Selain itu-"

"Paris, percuma untuk membicarakan ini lebih jauh lagi."

Osborne mengangkat tangan kirinya untuk menyela Paris. Paris ingin berbicara lebih banyak, tetapi itu seperti yang dikatakan Osborne, karena para prajurit telah kehilangan kendali atas emosi mereka, tidak mungkin untuk mengumpulkan informasi lebih lanjut. Melanjutkannya hanya akan membuang-buang waktu, dan mereka tidak boleh lagi menyia-nyiakan waktu.

"Baik, pak, maafkan saya karena kehilangan ketenangan."

"Tidak apa-apa— aku mengerti situasinya. Terima kasih atas kerja kerasmu, kau boleh pergi—”

"Maaf menyela, bisakah aku meminta waktu sebentar?"

Osborne hendak menyuruh bintara itu pergi ketika seorang pria melihat kesempatan untuk menyela. Dia mengenakan jubah yang terlihat seperti telah diwarnai oleh kegelapan malam, dan tudung menutupi kepalanya. Singkatnya, dia tampak sangat mencurigakan. Dia berusia tiga puluhan, namun terlihat seperti berusia enam puluhan. Wajahnya di bawah tudung sangat tipis, tetapi matanya terlihat cerah.

Dia adalah Kanselir Dalmes, yang berada di sini untuk tugas inspeksi atas nama Kaisar.

Paris mendengar bahwa Dalmes dulu bertugas di bagian Divisi Analisis yang merupakan jalan buntu karier. Namun, ia naik pangkat dengan kecepatan luar biasa dalam beberapa tahun terakhir. Di Kekaisaran Arsbelt yang makmur yang telah sangat maju, ia memegang jabatan kanselir, memiliki otoritas tertinggi kedua setelah Kaisar.

Orang–orang memandang bahwa Kaisar sangat mempercayai Dalmes, dan posisinya sebagai Kanselir tidak tergoyahkan. Bahkan rumor bahwa nasihat Dalmes lah alasan di balik deklarasi Kaisar menaklukkan seluruh benua. Dalmes jarang berbicara, dan karenanya dijuluki Kanselir yang pendiam.

"... Tuan Kanselir, apa ada yang mengganggumu?"

Osborne bertanya. Dalmes mengangkat bahu dengan senyum mencurigakan.

“Tidak, tidak, ini bukan masalah besar. Aku hanya ingin tahu tentang pedang hitam yang disebutkan ... Tentang pedang itu, bisakah kau menjelaskannya dengan lebih detail?”

Dalmes bertanya kepada sang bintara. Terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba, mata bintara itu mulai goyah.

"Tenang, jelaskan saja apa yang kau tahu."

Dalmes berkata dengan nada menenangkan. Di bawah cahaya lilin di ruangan itu, keringat dingin bintara itu terlihat jelas. Tidak mengherankan jika dia gugup, karena jarang sekali Kanselir Kekaisaran mengajukan pertanyaan langsung kepada seorang bintara. Namun, keterlambatan bintara itu dalam menjawab membuat kesabaran Paris habis.

"Berapa lama kau ingin membuat Tuan Kanselir menunggu? Cepat jawab!"

“- Tidak, tidak, Pak. Sa-saya tidak tahu! Saya hanya tahu bahwa pedang itu hitam!"

Bintara itu akhirnya menjawab, dan Dalmes tersenyum ketika mendengar itu.

"Begitu ya. Aku mengerti sekarang, kau boleh pergi."

"Baik pak! P-permisi!”

Bintara itu memberi hormat, dan meninggalkan ruangan dengan cepat. Dalmes menggunakan kesempatan ini untuk berdiri dari kursinya.

"Kalau begitu aku akan pergi. Tolong jangan ragu untuk menghubungi saya jika anda membutuhkan sesuatu."

"Sudah larut malam, terima kasih telah menghormati kami dengan kunjungan anda."

"Sama-sama."

Paris menunduk dan Dalmes melambaikan tangannya dengan lembut. Dia kemudian merapikan lipatan pada jubahnya, dan meninggalkan ruangan dengan tenang. Entah kenapa, Osborne memperhatikan Dalmes meninggalkan ruangan dengan wajah pucat.

"Jenderal, ada apa? Anda terlihat pucat."

“…………”

"Jenderal!"

Paris mengulurkan tangan dan mengguncang bahu Osborne, dan akhirnya menarik perhatiannya.

"Anda kembali normal. Apa yang terjadi?"

"T-Tidak, bukan apa-apa, jangan pedulikan aku."

Osborne menjawab dengan senyum yang dipaksakan.

"Begitu kah. Baiklah ... Oh tentang monster itu—— gadis itu, jika itu benar, mata-mata yang kukirimkan pasti akan melaporkan kepada kita tentang gadis itu."

"Erm, y -ya. Kita harus memperketat keamanan kastil untuk saat ini. ”

"Tentu saja. Saya harus mengurus masalah yang berkaitan dengan Kapten Samuel, permisi."

Ketika langkah Paris semakin jauh, Osborne meletakkan kepalanya di atas meja. Dia merasakan dingin yang muncul di tulang punggungnya, dan jantungnya berdetak kencang.

Dia mengeluarkan cerutu dengan tangan gemetar, dan menyalakannya setelah beberapa kali mencoba. Setelah menghembuskan napas dalam-dalam, Osborne mengingat kembali pemandangan yang dilihatnya sebelumnya.

——Pemandangan mengerikan itu.

(Paris sepertinya tidak menyadarinya... Apa itu? Bayangan Kanselir Dalmes menggeliat seperti makhluk hidup...)

[edit]

Olivia yang mengalahkan Prajurit Kekaisaran di jalan Canaria berjalan di jalan menuju ibu kota dengan langkah riang. Orang-orang yang melewatinya dari waktu ke waktu semuanya kaget. Wajar bagi mereka untuk bereaksi seperti ini, karena Olivia berlumuran darah. Biasanya, orang akan bertanya kepada gadis itu apa yang terjadi ketika mereka melihatnya seperti ini. Dan beberapa pejalan kaki memang berpikir untuk bertanya padanya.

Tetapi pada akhirnya, tidak ada yang berbicara dengan Olivia. Mereka mengalihkan pandangan mereka untuk menghindari masalah, dan diam-diam memberi jalan padanya. Alasannya sederhana. Mereka semua melihat pedang berlumuran darah di pinggang Olivia.

—— Ada alasan lain.

"Berapa lama sampai aku mencapai ibukota~."

Olivia tidak menyadari pandangan para pejalan kaki lain, dan memandang ujung tali di bahunya— yang merupakan tas rami besar. Bagian bawah tas itu sekarang berwarna merah gelap.

(Hmm ~. Ini enggak berat, tapi ini cukup merepotkan.)

Dia berpikir untuk membuang tas rami itu. Jika dia melemparkannya ke rerumputan, binatang buas dengan senang hati akan menghabisinya. Tanpa barang bawaan, Olivia akan dapat menggunakan 《Fleet Footed Rush》. Itu berefek berat untuk tubuhnya sehingga dia tidak bisa menggunakannya terlalu banyak, tetapi itu akan memungkinkan Olivia untuk mencapai ibukota lebih cepat.

Namun, Olivia langsung membatalkan niatnya dan menggelengkan kepalanya. "Aku enggak boleh." Dia ingat ajaran Z.

"Apakah kau ingat bahwa dulu sekali, aku bilang bahwa manusia adalah ras yang agresif dan kejam?"

"Ya, aku ingat."

"Bagus. Contohnya adalah kecenderungan manusia memburu kepala musuh mereka.”

"Kenapa? Apa kepala manusia rasanya enak?"

"Tidak. Kecuali mereka tidak punya pilihan lain, manusia tidak akan memakan sesama mereka sendiri.”

"Begitu ya. Lalu kenapa mereka melakukan itu?"

"Salah satu alasannya adalah untuk membuktikan 'keahlian bela diri' mereka."

"'Keahlian bela diri'...? Aku enggak mengerti."

"Yah ... Sederhananya, itu cara untuk memamerkan kekuatan mereka."

"... Manusia akan memburu kepala sesama mereka sendiri untuk alasan konyol seperti itu?"

"Benar. Bukankah mereka kejam?"

“Hmm~. Apa alasan yang lain?”

“Jika mereka memenggal kepala musuh, sekutu mereka akan senang. Tergantung situasinya, mungkin ada hadiah.”

“Hadiah? Apa hadiahnya makanan lezat? Atau mungkin buku?"

"Mengenai itu, aku tidak terlalu yakin..."

(Manusia suka menerima kepala musuh mereka. Z mengatakan itu padaku. Kalau begitu, diserang oleh Prajurit Kekaisaran adalah sebuah keberuntungan. Aku enggak suka kepala manusia, tapi orang-orang dari Kerajaan pasti akan senang kalau aku memberi mereka kepala-kepala ini. Mereka kemudian akan memperbolehkanku bergabung dengan tentara.)

Olivia yang ceria mengepalkan tinjunya dengan senyum, mulai menyeret tali di pundaknya sambil berjalan maju dengan tekad yang baru.

Setelah membelok dari jalan Canaria, dia mencapai dataran hijau di dataran tinggi. Tidak ada jejak manusia di sekitarnya, dan sebagai gantinya ada makhluk-makhluk kecil yang mengintipnya dari semak-semak. Mereka mungkin tertarik oleh bau darah. Mereka semua melarikan diri dengan sekali pandang oleh Olivia.

(Mereka kabur. Aku tidak lapar, atau berpikir untuk memakan mereka ...)

Olivia berpikir sambil melanjutkan dengan langkah ringan. Setelah melewati kebun bunga, dia berjalan menuruni lereng dan mencapai tepi sungai yang lebar. Setelah mengisi tempat minumnya, Olivia mengikuti sungai di hilir, dan melihat sebuah benteng besar. Benteng itu memiliki beberapa dinding, dan merupakan benteng yang kuat.

"Wow! Besar banget!"

Olivia berpikir benteng itu jauh lebih besar daripada Gerbang Menuju Dunia Bawah. Di bagian atas benteng terdapat bendera merah besar berkibar tertiup angin. Olivia melihat dengan seksama, dan melihat emas dan singa perak menopang sebuah piala perak dari kedua sisi.

"Piala perak, singa emas dan singa perak ..."

Olivia merasa lambang itu familier, dan memikirkannya.

"Hmm~ ... aku tahu! Itu adalah lambang Kerajaan! Jadi itu benteng Tentara Kerajaan, ya..."

Puas dengan ingatannya, Olivia menatap tas raminya. Dia bisa mencium bau busuk.

(Bagaimana nih. Apa kepala-kepala ini akan bertahan sampai aku tiba di ibukota?)

Olivia mengalihkan pandangannya ke arah benteng, lalu menyilangkan tangannya sambil berpikiran keras.

“—— Oke, aku sudah memutuskan! Sebelum aku pergi ke ibukota, aku akan memberikan ini kepada benteng itu sebagai suvenir. Mereka enggak bisa tahu kalau ini adalah kepala prajurit Kekaisaran jika mereka membusuk."

Olivia mengangguk pada dirinya sendiri, dan mulai berjalan menuju benteng dengan suasana hati yang baik. Matahari berada di puncaknya, dan dengan kecepatan ini, dia akan sampai di benteng sebelum senja.

[edit]

Tentara Kerajaan, Pangkalan perang teater perang wilayah selatan, Benteng Gallia

Setelah jatuhnya Benteng Kiel di teater perang pusat, sejumlah besar uang segera diinvestasikan ke dalam ekspansi Benteng Gallia. Benteng itu bisa ditempati seratus ribu tentara, dan merupakan benteng terbesar di Kerajaan.

Di dalam kantor komandan Benteng Gallia adalah Letnan Jenderal Paul, seorang pria berusia 60-an. Dia duduk di meja yang terbuat dari kayu hitam, dan adalah komandan Pasukan Ketujuh dan 40.000 tentaranya.

Paul bersandar di kursi kulitnya ketika dia mendengarkan laporan dari ajudannya.

“Laporan mendesak datang dari ibukota pagi ini. Paduka telah memutuskan untuk mengirim Pasukan Pertama yang menjaga ibukota untuk merebut Benteng Kiel."

"Haah. Jika Paduka membuat keputusan bijak ini satu tahun sebelumnya, hasil perang akan berubah secara berbeda. Sekarang setelah Kekaisaran benar-benar mengelilingi kita, tidak ada nilai strategis dalam melakukan langkah ini. Dan bahkan jika mereka mengirim elit militer Kerajaan, Pasukan Pertama, peluang keberhasilannya kecil..."

Paul menghela nafas, mengeluarkan cerutu dari saku dadanya dan menyalakannya. Sekarang rokok adalah barang mewah bahkan perwira tinggi kesulitan mendapatkannya. Paul mengambil yang lain dan meletakkannya di atas mejanya, tetapi ajudannya menolaknya dengan lambaian lembut.

Ajudannya, Letnan Kolonel Otto, seperti teman bagi Paul, telah bekerja dengannya selama 20 tahun. Dia berbakat, tetapi kepribadiannya terlalu kaku.

"Kehendak Paduka bukan sesuatu yang bisa dipahami oleh manusia sepertiku. Omong-omong, Paduka memiliki pesan untuk Jenderal."

"Pesan, ya ... Mari kita dengarkan."

"Baik pak. Letnan Jenderal Paul akan menjaga benteng dan mempertahankannya sampai akhir. Selesai."

"Fufu. Jangan terlihat begitu kesal. Jika Benteng Gallia jatuh, itu akan menjadi akhir dari Kerajaan. Paduka juga mengerti itu, dan harus menjelaskannya."

Paul menghibur Otto yang tampak kesal. Otto berdeham dan menjawab:

"Apa pun yang terjadi, tugas kita adalah mempertahankan benteng ini. Selain itu, Jenderal, apakah Anda mengenal seorang pria bernama Samuel di Tentara Kekaisaran?”

"Samuel? Hmm, kedengarannya familiar ... Benar, aku ingat sekarang. Dia adalah orang yang membunuh Mayor Jenderal Lance dari Pasukan Kelima.”

Hanya berusia 27 tahun, Mayor Jenderal Lance adalah bintang yang terkenal karena kepintaran dan kemampuan bertarungnya.

Namun, ia dikalahkan oleh Samuel dan tewas dalam Pertempuran Arschmitz yang intens . Tubuhnya disalibkan, dan dibiarkan membusuk di bawah Benteng Kiel selama tiga hari tiga malam.

Beberapa hari kemudian, Pasukan Kelima yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Belma dihancurkan dalam pertempuran.

“Seperti yang anda katakan. Samuel tewas dalam pertempuran baru-baru ini."

"Oh~! Eksploitasi oleh prajurit pemberani dari pasukan kita? Dari unit mana prajurit itu berasal?”

"Yah, sebenarnya ..."

Pada titik ini, mata Otto mulai goyah.

“Kau sendiri yang membahas topik ini, jadi kenapa kau ragu-ragu? Tidak apa-apa, katakan saja pikiranmu.”

"Maaf. Sebenarnya, Samuel tidak dibunuh oleh tentara kita, tetapi oleh seorang gadis yang bepergian."

“—— Kupikir aku salah dengar karena usiaku. Bisa kau mengatakannya lagi?”

Paul menggali telinganya, dan Otto yang tidak terganggu mengulangi ucapannya.

"Samuel dibunuh oleh seorang gadis yang sedang bepergian."

"Begitu ya. Jadi Otto juga bisa membuat lelucon. Tidak ada yang tahu kapan badai akan terjadi..."

Paul memandang ke luar jendela, dan awan gelap telah menutupi langit yang masih cerah beberapa saat sebelumnya. Tapi sepertinya dia tidak merujuk pada cuaca.

“Jenderal, sayangnya, itu bukan lelucon. Beberapa hari yang lalu, gadis itu membawa kepala lebih dari sepuluh Tentara Kekaisaran kepada kami, termasuk kepala Samuel.”

—— Beberapa hari sebelumnya.

Otto sedang bekerja di kantornya, ketika para penjaga di pintu memberikan laporan penting, mengatakan bahwa seorang gadis membawa sejumlah besar kepala Tentara Kekaisaran. Dia adalah seoran gadis yang berlumuran darah. Di dekat kakinya terdapat tas bernoda darah.

Otto memeriksa isinya, dan menemukan tas itu penuh dengan kepala yang memakai helm Kekaisaran. Dia bertanya kepada gadis itu apa yang terjadi, dan dia menjawab bahwa dia diserang oleh Tentara Kekaisaran ketika dia melewati jalan Canaria, jadi dia membunuh mereka. Itu sudah mengejutkan, tetapi kejutan yang lebih besar menunggu.

Setelah memeriksa kepala-kepala itu, Otto menemukan kepala milik Samuel.

"Apa itu benar-benar kepala Samuel?"

"Tidak diragukan lagi itu milik Samuel dari ‘Violent Thrust’."

"... Ini tidak bisa dipercaya."

Jika itu laki-laki dan bukan perempuan, dia masih bisa mempercayainya. Bagaimanapun, para pahlawan adalah pria yang menunjukkan kecakapan pertempuran yang luar biasa dari usia muda.

Paul menghirup cerutu dalam-dalam, dan perlahan-lahan menghembuskan napas.

"Aku tidak akan percaya kalau aku tidak melihatnya sendiri."

“Jadi, apa tujuan gadis itu untuk membawa kepala-kepala itu ke benteng? Dia menginginkan hadiahnya?”

Itu adalah tujuan yang masuk akal. Tidak ada yang membenci uang. Setelah Paul mengajukan pertanyaan itu, Otto menggelengkan kepalanya.

"Tidak. Dia ingin menggunakan prestasi ini untuk menjadi seorang tentara di ibukota. Dia menemukan benteng ini dalam perjalanan ke sana, jadi dia memutuskan untuk memberi kita kepala-kepala itu sebelum membusuk. "

“Haha, sungguh berani. Dan dia ingin bergabung dengan kita dalam keadaan seperti itu, ini tidak terduga ... Kau memanggilnya seorang gadis, berapa usianya?”

"Ketika aku bertanya padanya, dia bilang 15."

Jawaban yang tak terduga hampir membuat Paul menjatuhkan cerutunya. Itu adalah usia cucunya. Dari perspektif dunia, dia nyaris dewasa. Bagi Paul, dia hanyalah seorang anak kecil.

Paul memandang Otto dengan tidak percaya, tetapi Otto hanya menggelengkan kepalanya dengan tenang, dan bahwa jawabannya tetap sama, tidak peduli berapa kali dia ditanya.

"Hah ... Lalu, di mana gadis itu sekarang?"

“Dia seharusnya berada di aula makan. Ngomong-ngomong, mempertimbangkan kemampuannya memberikan kepala musuh ketika dia mendaftar, aku memberinya pangkat Pembantu Letnan Dua.”

Cerutu Paul benar-benar jatuh saat ini.

Paul mengabaikan cerutunya dan memelototi Otto, tetapi Otto tidak bergeming. Ini keterlaluan, jadi Paulus menegurnya secara langsung:

"Ajudan Otto. Tidak peduli seberapa kekurangannya sumber daya manusia kita, kau sudah keterlaluan.”

"Benarkah?"

Meski begitu, wajah Otto tetap tidak berubah. Inilah sebabnya mengapa orang-orang memanggilnya topeng besi.

"Ya. Membunuh Samuel adalah pencapaian besar, jika dia seorang prajurit, dia akan dianugerahi medali 'Singa Perak'. Tapi sayangnya, dia tidak terdaftar saat itu. Tetapi meminta seorang gadis yang tidak mencapai usia minimum ... Ini tidak wajar bagi seorang prajurit, tetapi juga sebagai orang normal."

"Maafkan saya Jenderal, tapi kita tidak bisa mempertimbangkan hal sepele seperti itu. Baik itu gadis atau wanita tua, jika dia bisa membunuh Tentara Kekaisaran, maka saya akan memanfaatkannya sepenuhnya. Saya benar-benar memahami keprihatinan Anda— Jika tidak ada yang lain, saya ada urusan yang harus diselesaikan, permisi.”

Otto memberi hormat dengan cakap, lalu meninggalkan kantor Komandan. Paul mengambil cerutu yang jatuh, dan memasukkannya kembali ke mulutnya dengan perlahan.

(Seperti yang dikatakan Otto, kita tidak bisa bersantai. Tapi mengirim seorang gadis ke medan perang hanya karena kecakapan bela dirinya, itu tidak pantas bagi orang dewasa ... Dasar tidak tahu malu.)

Paul menghela napas dalam-dalam, dan asap yang dihembuskannya menggantung di udara.

Shinigami ni Sodaterareta Shoujo V1 2.jpg

-- Tentara Kerajaan, Aula Makan Benteng Gallia

Di sudut aula di mana sejumlah besar tentara berkumpul, seorang pemuda terus menghela nafas.

Namanya adalah Ashton Senefelder. Ia belajar di salah satu sekolah terbaik di Kerajaan, dan memiliki hasil akademik yang luar biasa. Dia dibebaskan dari wajib militer karena masa depannya cerah. Sayangnya, dengan situasi Kerajaan memburuk, pengecualiannya dicabut, dan ia direkrut menjadi tentara di teater perang selatan.

"Haaah……"

Ashton putus asa. Dia belum pernah memegang senjata dengan benar sebelumnya, jadi baginya, Benteng Gallia adalah tiket langsung ke kuburnya. Kematiannya hampir pasti sekarang. Pemuda itu yakin bahwa dia akan mati di medan perang, terlepas dari pelatihan apa yang akan dia jalani.

Sebelum Ashton menyadarinya, seorang gadis duduk di sampingnya dan mulai makan roti. Wajahnya proporsional dan matanya memesona. Ini adalah pertama kalinya Ashton melihat seorang gadis yang menurutnya benar-benar cantik.

Setelah gadis itu menghabiskan rotinya, dia melihat nampannya dengan mata yang kecewa. Sebaliknya, roti di nampan Ashton masih belum tersentuh.

(Sepertinya dia belum kenyang. Haruskah aku memberikan rotiku ... Tidak, aku tidak punya motif tersembunyi——)

Ketika Ashton mencari-cari alasan untuk dirinya sendiri, dia bertatapan dengan gadis itu.

"——"

"Hmm?"

“H-Hei, apa kau mau rotiku? A-Aku tidak punya maksud tersembunyi, kupikir kau belum kenyang. Aku belum menyentuh rotiku, jadi jangan khawatir."

"Benarkah? Terima kasih banyak. Kamu manusia yang baik!”

(Uwah 一aku mengatakannya—— Hah? Manusia yang baik?)

Pilihan kata gadis itu terasa aneh baginya, tetapi Ashton masih menawarkan rotinya kepada gadis itu. Gadis itu tersenyum lebar ketika dia mengambil roti, dan memasukkannya ke mulutnya.

"Namuh, gnirefforuoy htiwdesaelpmaI."

"... Apa kau mengatakan kalau rotinya enak?"

Gadis itu mengangguk dengan ekspresi yang mengatakan Ashton benar. Ashton merasa bingung dengan reaksinya. Dibandingkan dengan roti di ibu kota, roti ini keras dan kering. Jauh dari kata enak. Bahkan jika kau membandingkannya dengan roti dari luar ibukota, kualitasnya benar-benar di bawah standar.

"Mungkin tidak sopan mengatakan ini kepada seseorang yang berpikir rasanya enak, tapi roti di sini tidak begitu enak, lho?"

"Hah!? B-Benarkah?”

Gadis itu terlihat sangat terkejut.

Ashton merasakan superioritas.

“Itu benar, roti di ibu kota rasanya jauh lebih enak. Teksturnya garing di luar, dan lunak di dalam, benar-benar enak. Tetapi dengan masalah pasokan makanan, tidak mudah untuk mendapatkan roti yang enak.”

"Hee ~ begitu ya. Ini pertama kalinya aku makan roti, dan aku pikir rasanya enak. Dalam buku-buku sering menyebutkan roti, jadi aku selalu pingin mencobanya.”

Gadis itu berkata ketika dia melihat setengah roti di tangannya. Ketika dia mendengar itu, Ashton menyemprotkan sup di mulutnya. Prajurit perempuan itu menatapnya tajam, seolah-olah dia sedang melihat sampah yang berjalan. Ashton meminta maaf, tetapi pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang baru saja dikatakan gadis itu.

Bagaimana mungkin seseorang tidak pernah makan roti? Tidak peduli seberapa jauh tempat tinggalnya, pasti akan ada roti yang dijual di sana.

—— Dia pasti bercanda.

Dengan pemikiran itu, Ashton menunggu gadis itu melanjutkan. Tetapi bertentangan dengan harapannya, gadis itu fokus memakan rotinya, dan tidak menunjukkan niat berbicara lagi. Gadis itu menghabiskan rotinya dalam waktu singkat.

(Yang benar saja... )

Ashton menatap gadis itu, seolah-olah dia mencoba melubangi tubuhnya dengan tatapannya. Dan dari situ, dia menyadari bahwa gadis itu mengatakan yang sebenarnya.

"... Jadi, ini pertama kalinya kau makan roti. Darimana asalmu?"

"Oh. Aku datang dari kuil yang disebut Gerbang Dunia Bawah, jauh di dalam hutan. Aku tinggal di sana selama ini, apa kau pernah mendengarnya sebelumnya?”

Gadis itu menatap tepat ke mata Ashton. Jantung Ashton mulai berdetak kencang, dan khawatir gadis itu akan mendengar detak jantungnya saat dia mulai menggali ingatannya. Terlepas dari penampilannya, Ashton sangat gemar membaca. Dia mengulangi istilah Gerbang Dunia Bawah di dalam hatinya, tetapi tidak dapat menemukan ingatan yang relevan.

"—— Maaf, aku tidak pernah mendengarnya."

"Begitu ya~ Yah, itu wajar, karena aku enggak benar-benar tahu apa pun tentang kuil itu, meskipun aku tinggal di sana."

Gadis itu tertawa terbahak-bahak, bangkit dari kursinya dan mengambil nampan kosongnya.

“Terima kasih untuk makanannya. Bisakah kamu memberitahuku namamu? ”

"Oh, a-aku Ashton."

Ashton menjawab dengan kaku ketika Olivia tiba-tiba menanyakan namanya.

"Jadi namamu Ashton. Aku Olivia, mari kita bertemu lagi jika ada kesempatan.”

Setelah itu, Olivia berbalik dan pergi dengan lambaian. Ashton memandangi rambut peraknya yang mencapai pinggangnya, dan berpikir bahwa Olivia tinggi. Pada saat ini, seseorang menarik kursi di sampingnya, dan menepuk pundaknya dengan keras. Ashton berbalik dan melihat seorang pria dengan rambut pirang berantakan. Dia adalah Maurice, yang tiba di benteng bersamaan dengan Ashton.

Ketika mereka mengobrol beberapa hari yang lalu, dia tampaknya berada dalam situasi yang sama dengan Ashton, setelah pengecualiannya dibatalkan dia dikirim ke "kuburan" ini. Dan seperti Ashton, dia buruk dalam berpedang. Keduanya sering dimarahi oleh atasan mereka selama pelatihan.

"Yo Ashton, apa kau tahu siapa gadis itu?"

Maurice bertanya dengan senyum licik ketika dia menunjuk gadis itu.

“Apa yang kau katakan tiba- tiba. Apa kau tahu dia, Maurice?"

Ashton bertanya balik, dan Maurice menunjukkan wajah yang mengatakan, "Kupikir kau enggak akan bertanya." Dia berkata pelan, berhati-hati agar tidak membiarkan orang lain mendengarnya:

"Ini rahasia, jadi sebarkan ini—— apa kau sudah dengar rumor tentang seseorang yang mendaftar dalam tentara dengan tas yang penuh dengan kepala tentara Kekaisaran?"

“Jadi itu yang ingin kau katakan. Bukannya itu hanya rumor?”

Apa maksudmu dengan rahasia, Ashton mencibir ketika mendengar itu. Lagi pula, jika seorang prajurit seperti Maurice mengetahuinya, maka itu bukan lagi rahasia, kan? Ashton membantah dalam hatinya.

“Bukan, bukan, itu bukan rumor, itu benar. Dan kembali ke topik utama— "

Maurice berhenti, dan tersenyum licik pada Ashton. Ashton merasa muak dengan sikapnya dan kehilangan kesabarannya.

"Kalau kau enggak ingin mengatakannya, maka aku akan pergi."

Ashton berdiri setelah mengatakan itu, dan Maurice menarik lengannya dengan panik untuk mendudukkannya.

"Oke, oke. Jangan marah. Gadis yang kau ajak bicara barusan adalah rekrutan baru legendaris—— Pembantu Letnan Dua Olivia.”

"Ehh!? Gadis itu ... Tidak, wanita itu adalah Pembantu Letnan Dua?"

Maurice tercengang oleh reaksi Ashton.

“Alasanmu terkejut aneh. Biasanya ... Sudahlah. Memang, itu pengecualian yang sangat langka bagi seseorang yang baru direkrut untuk diangkat sebagai Pembantu Letnan Dua.”

"Kau serius?"

“Apa gunanya berbohong padamu? Ngomong-ngomong, kalian berdua sepertinya mengobrol dengan akrab, katakan padaku apa kalian bicarakan.”

Maurice kemudian melingkarkan lengannya di bahu Ashton dengan akrab. Ashton mendorong lengannya ke samping, dan berpikir bahwa percakapan mereka biasanya tidak akan berlangsung selama itu. Tampaknya Maurice cukup tertarik dengan Pembantu Letnan Dua Olivia.

(Yah, itu normal untuk tertarik karena penampilannya.)

Ashton menghela nafas dan berkata dengan kesal:

"Aku enggak tahu apa yang kau harapkan, Maurice, tapi kami enggak membicarakan hal istimewa. Dia hanya mengatakan bahwa ini adalah pertama kalinya dia makan roti, dan dia dulu tinggal di kuil. Itu saja."

“Dia tinggal di kuil? Mungkinkah itu Gereja Santo Illuminas ... Apa dia seorang 'Penyihir'!?”

Ekspresi gembira Maurice berubah, dan dia mulai mendesak Ashton untuk menjawab dengan wajah terkejut.

Gereja St. Illuminas adalah agama populer yang memuja Dewi Citresia, dengan banyak pengikut yang taat di benua. Dikatakan bahwa para penyembah yang tinggal di kuil mereka disebut "Penyihir", dan sangat dihormati. Itu karena mereka bisa menggunakan "Sihir", sebuah teknik yang telah hilang sejak zaman kuno.

Menurut “Alkitab Putih” yang diterbitkan oleh Gereja St. Illuminas, Dewi Citresia menciptakan benua Dubedirica melalui Sihir yang kuat.

(Konyol. Itu hanya dongeng, tidak mungkin ada Sihir. Semua itu dibuat oleh Gereja untuk mengangkat martabat diri mereka sendiri. Aku terkejut Maurice mempercayai sesuatu yang begitu meragukan.)

Risih oleh tatapan tajam Maurice, Ashton melanjutkan:

“Enggak, kuil tempat dia tinggal namanya Gerbang Dunia Bawah. Ini pertama kalinya aku mendengarnya, jadi mungkin enggak ada hubungannya dengan Gereja.”

"Benarkah?"

"Yah, bahkan jika kau bertanya padaku ... aku enggak dapat menemukannya dalam ingatanku, jadi aku pikir itu enggak ada hubungannya."

“... Hmm, dia enggak berhubungan dengan Gereja, ya. Yah, kurasa itu saja. ”

Maurice melambaikan tangannya, lalu meninggalkan Aula Makan dengan langkah cepat. Dia tampak tidak tertarik dalam percakapan setelah mengetahui bahwa Olivia tidak memiliki hubungan dengan Gereja.

(Apa Maurice pengikut Gereja ...? Yah, terserahlah.)

Ashton menarik napas dalam-dalam, lalu memaksakan diri untuk menghabiskan supnya. 

Tentara Kerajaan, Lapangan Latihan Benteng Gallia

Bulan perak menyembunyikan diri seolah-olah mengenakan pakaian gelap, dan hujan deras mengguyur tanah, seolah-olah melampiaskan amarahnya. Pada hari hujan ini, seorang pria pergi ke sudut tembok kota dengan langkah ringan. Dia mengenakan pakaian gelap, menyatu dalam kegelapan. Bahkan wajahnya ditutupi dengan topeng hitam.

—— Dia adalah Letnan Dua Zenon dari divisi intelijen Tentara Kekaisaran, "Heat Haze[3]".

Dia dengan cekatan menghindari pandangan para prajurit, dan bersandar dekat pada pohon di samping Lapangan Latihan. Beberapa saat kemudian, seorang lelaki berjubah panjang muncul dari bawah naungan pohon.

"Letnan Dua Zenon. Lama tidak berjumpa."

Pria itu berkata sambil tersenyum.

Dia adalah mata-mata kekaisaran yang telah menyusup ke Benteng Gallia - Sersan Mayor Maurice.

“Cukup dengan salamnya. Laporkan."

"Siap pak, Tentara Kerajaan tidak melakukan gerakan penting. Mereka sepertinya puas mempertahankan benteng ini.”

"Kau tahu jumlah pasukan di benteng?"

"Ya, ada sekitar 40.000 pasukan yang ditempatkan di sini."

Zenon mengangguk puas.

"Kerja bagus. Ada lagi yang harus dilaporkan?"

"- Ada sesuatu yang menarik perhatian saya."

Nada Maurice berubah suram.

"Lanjutkan."

"Seorang gadis bergabung dengan tentara di sini setelah membawa kepala dari banyak Tentara Kekaisaran."

Zenon terkejut, dan tetap terdiam selama beberapa saat. Dia tidak pernah mengira gadis yang diisukan itu ada di Benteng Gallia, dan merasa ingin menendang dirinya sendiri karena pikirannya yang dangkal.

Sangat jelas jika dia memikirkannya. Karena gadis itu menuju ibu kota, rute terpendeknya akan membawanya langsung ke Benteng Gallia. Tidak mengherankan kalau dia berhenti di sini. Atau lebih tepatnya, dia seharusnya memikirkan ini dulu. Ini adalah kelalaian serius.

"... Apa rambut gadis itu perak?"

"Benar ... Jadi, anda tahu tentang dia?"

Tidak ada keraguan sekarang. Zenon menghela nafas dan mengangguk.

"Ya, dia yang membunuh Kapten Samuel. Kejadian itu menyebabkan keributan besar di kastil Kaspar.”

“Dia membunuh Violent Thrust’ itu!? Mustahil!”

Giliran Maurice yang terkejut. Zenon dengan cepat memeriksa sekeliling mereka.

"Hujannya deras, tapi ini masih wilayah musuh, pelankan suaramu. Awalnya, aku pikir aku salah dengar juga. Tapi sayangnya, ini benar."

"Maaf. Sekarang saya bisa mengerti mengapa dia diangkat ke pangkat Pembantu Letnan Dua. Tapi bagi gadis itu untuk membunuh Kapten Samuel ... Mungkinkah!?”

Maurice membuka matanya lebar-lebar, dan tampaknya berpikir keras. Zenon tidak bisa berlama-lama di wilayah musuh, dan mendesak Maurice untuk berbicara dengan decakan lidahnya:

"Ada apa? Kalau kau punya petunjuk, cepat katakan padaku!"

"Ah, siap pak. Saya mendengar bahwa gadis itu dulu tinggal di kuil, dan curiga bahwa dia mungkin seorang Penyihir.”

"Penyihir...!? Jika itu benar, maka semuanya akan jadi rumit.”

"Melawan Penyihir akan menjadi urusan yang merepotkan."

Mereka berdua terdiam pada saat ini. Sebuah suara sejelas lonceng kemudian menyela di tengah-tengah suara hujan.

"Ehh~ Aku bukan penyihir lho."

""-- Apa!?"

Suara tiba-tiba itu membuat Zenon dan Maurice melompat ke samping. Mereka menghunus pedang mereka dan berbalik dan menemukan seorang gadis basah kuyup oleh hujan.

"Siapa kau!?"

Teriak Maurice.

“Hei, hujannya sangat deras, jadi apa yang kalian lakukan di sini? Latihan malam? Kalian bisa masuk angin, lho?”

Gadis itu menjentikkan rambut peraknya yang basah, dan menunjukkan senyum menawan.

"Gadis berambut perak ..."

"Itu dia."

Kata Maurice singkat.

"Seperti yang kuduga."

Zenon dengan cepat mengambil sebuah belati dan melemparkannya ke wajah gadis itu. Belati itu dibuat khusus untuk dilempar, dan dicat hitam agar menyatu dengan kegelapan.

Mata orang normal tidak akan bisa melacak belati itu.

Belati itu menyatu ke dalam gelap, dan membuatnya sulit untuk memperkirakan jaraknya.

Tapi gadis itu mengelak dengan mudah dengan goyangan kepalanya. Zenon terus melempar belati ke dada, lengan, dan kakinya, tetapi tidak ada yang mengenai sasaran. Semua belati menghilang ke kegelapan, seolah-olah dia telah melemparkan belati-belati itu pada ilusi.

(Oh~, dia menghindari belatiku... Menarik. Orang yang membunuh Kapten Samuel memang hebat.)

Zenon menjilat bibirnya, dan mendekati gadis itu dengan cepat. Gadis itu tidak bergerak atau bahkan menghunus pedangnya, dan hanya menatapnya sambil tersenyum.

—— Ini adalah kebanggaan seseorang yang memiliki keyakinan mutlak pada kekuatannya.

Ketika dia memikirkan ini, Zenon tiba-tiba merasa dingin di punggungnya. Perasaan yang tidak pernah dirasakan sebelumnya menjalar di tubuhnya. Itu berbeda dari niat membunuh, dan sesuatu yang lebih mengerikan. Jika dia harus menggambarkannya dengan sebuah kata, itu akan adalah perasaan "mati".

(Gawat! Aku harus mundur dan melihat apa yang dilakukan lawanku.)

Zenon sangat percaya pada instingnya. Dia mengerti bahwa itu bisa menjadi perbedaan antara hidup dan mati. Dan kenyataannya adalah, insting Zenon telah membantunya selamat dari kematian beberapa kali. Namun, dia sangat dekat dengan gadis itu, dan mungkin lebih berbahaya untuk menghindar sekarang. Dan dari cara gadis itu menghindari belati, serangan baliknya mungkin fatal.

Pikiran Zenon mulai berputar dengan kecepatan tinggi.

—— Haruskah aku menyerang dengan tekad untuk mati.

—— Atau haruskah aku menghindar dengan risiko kematian.

Salah satu dari dua pilihan ini.

Zenon membuat keputusan dalam sekejap, dan meningkatkan kecepatan tusukannya. Ketika pedangnya memasuki jangkauan serangannya, Zenon dengan sengaja menjatuhkan senjata di tangan kanannya.

"Ehh!?"

Gadis itu berteriak, dan memandang dengan tidak percaya pada senjata yang dijatuhkan Zenon, tidak tahu tujuan gerakan ini.

(Aku menipunya!)

Melihat rencananya berhasil, Zenon secara mengejutkan mulai berterima kasih kepada Dewi Citresia di dalam hatinya. Jika ada cermin yang menunjukkan wajahnya, Zenon pasti akan melihat senyum jahatnya sendiri. Dia kemudian menarik mekanisme di pinggangnya, dan suara "klik" yang terdengar seperti musik di telinganya. Sebuah pisau tersembunyi muncul dari lengan kiri Zenon, dan dia menusukkannya ke tenggorokan gadis itu. Serangan dari titk buta gadis itu adalah rencana yang brilian, namun...

"B-Bagaimana ini ... mungkin ..."

Apa yang dia lihat selanjutnya membuat Zenon putus asa. Gadis itu membalikkan tubuhnya untuk menghindari serangan, dan menggunakan momentumnya untuk menarik pedangnya. Gerakannya menebas tulang dan otot, dan suara yang dibuatnya bergema di otak Zenon. Dia merasa seperti berada di dunia lain, dan penglihatan Zenon menjadi gelap——

“Hmmp~ itu ide yang menarik. Z mengajariku banyak hal. Sayangnya, kau terlalu lambat. Kau perlu melatih kecepatanmu."

Olivia menyarungkan pedangnya, dan berkata kepada Zenon yang terbelah dua di pinggang. Dan tentu saja, Zenon tidak bisa menjawab. Adegan menakutkan ini membuat Maurice menggigil. Itu bukan karena hawa dingin dari hujan, tetapi ketakutan murni pada gadis itu.

"—— Aku suka banget hari hujan."

Olivia menatap langit dan mengatakan sesuatu yang tiba-tiba. Maurice mundur dengan langkah gemetar, dan bertanya:

"A-Apa yang kau bicarakan?"

“Karena enggak peduli berapa banyak darah yang mengalir padaku, hujan akan menghanyutkannya. Bukankah itu bagus?”

Shinigami ni Sodaterareta Shoujo V1 3.jpg

Olivia menoleh pada Maurice dengan langkah-langkah seperti menari. Wajahnya yang berlumuran darah dan hujan menampilkan senyum cerah.

"—— Hiiee ."

Maurice berbalik dan berlari. Zenon yang merupakan salah satu yang paling terampil di antara divisi intelijen tewas oleh gadis itu dalam hitungan detik. Maurice telah bertahan melewati banyak pertempuran dan yakin akan kemampuannya. Namun terlepas dari semua itu, dia tidak berani menantang musuh ini.

(Aku sudah memastikan rute pelarian jika terjadi keadaan darurat. Hanya ada satu hal yang bisa aku lakukan. Bertahan hidup dan melaporkan intel apa pun yang aku miliki ke Kekaisaran. Aku tidak boleh mati oleh monster ini di sini.)

Namun, Maurice terjatuh setelah berlari beberapa langkah. Lumpur masuk ke tenggorokannya, dan dia batuk-batuk. Dia mencoba bangkit, tetapi kakinya tidak bergerak. Ketika dia menopang tubuhnya dan melihat kakinya - kakinya di bawah lutut sudah hilang, dan darah memancar keluar.

"GAAAAHHH!!"

"Maaf. Aku mengayunkan pedangku secara refleks saat kau mencoba lari. Nih aku kembaliin kakimu."

Olivia berlari kecil, dan menempatkan kaki Maurice di depannya.

"Sebenarnya, aku mendengar semua yang kalian katakan, jadi aku tahu kau adalah mata-mata. Apa yang harus aku katakan dalam situasi seperti ini...? ...Hmm ~ ... Aku ingat! 'Aku akan memenjarakanmu,' kan? Bukankah aku bertingkah seperti tentara sekarang?"

Olivia memberi hormat dan menunjukkan senyum polos. Sosoknya persis seperti iblis atau Dewa Kematian.

Untuk melepaskan diri dari rasa sakit dan ketakutan, Maurice melepaskan kesadarannya. 

Benteng Gallia jatuh ke dalam kekacauan. Alasannya adalah kepala bertopeng topeng yang dia pegang di tangan kirinya, dan pria tanpa kaki yang dia seret dengan tangan kanannya, saat dia berjalan dengan berani melewati benteng. Para penjaga segera memberi tahu Otto, dan Olivia dengan cepat dikirim ke ruang interogasi untuk diinterogasi.

Otto dan Olivia duduk berhadapan di ruang interogasi, dengan meja di antara mereka. Paul yang mengenakan piyama berdiri di belakang Otto sambil tersenyum.

“Maaf~ apa aku harus terus duduk di sini? Aku pingin kembali dan tidur."

"Kami masih melakukan cek, harap tunggu."

"Berapa lama lagi aku harus nunggu?"

Olivia menekan. Otto tidak menjawab, karena mereka sudah berulang kali melakukan percakapan seperti ini, dan dia sudah bosan.

Selama 25 tahun karir Otto di militer, ia telah melihat semua jenis tentara. Namun, dia belum pernah bertemu seorang prajurit seperti Olivia. Kurang dari seminggu setelah mendaftar, dia membunuh tentara musuh yang menyusup ke dalam benteng, dan menangkap mata-mata yang telah menancapkan akarnya di unit. Tidak pernah ada prajurit yang menghasilkan hasil seperti itu.

Tapi dia tidak bisa terus tercengang kaget. Otto mendengar langkah kaki dan melihat ke luar, dan menerima beberapa dokumen dari orang yang berjalan cepat ke ruang interogasi. Di dalamnya ada laporan investigasi pada mayat yang ditinggalkan di tempat latihan. Laporan itu mengkonfirmasi bahwa mayat itu milik seorang agen intelijen Imperial.

Bukti ini melegakan Otto. Untuk berjaga-jaga, dia menyembunyikan beberapa pasukan elit di ruang interogasi, yang terbukti tidak perlu. Laporan itu menyimpulkan bahwa kondisi Maurice stabil.

Ketika dia pulih, dia akan menjalani interogasi.

"Kami telah mengamankan barang bukti. Pembantu Letnan Dua Olivia benar, mereka adalah mata-mata."

"Ini akhirnya selesai~ Aku sudah bilang berkali-kali~"

Olivia menggerutu ketika dia meregangkan punggungnya, dan Otto berkata dengan cemberut:

"Perhatikan nada bicaramu. Peraturan militer harus diikuti dengan ketat, aku tidak bisa mempercayai kata-katamu begitu saja.”

"Ya pak! Saya mendengar dan mematuhi!"

Dia mungkin mengatakan itu, tetapi Olivia membusungkan pipinya dengan kesal. Dia mungkin memiliki keterampilan yang luar biasa, tetapi dia tampak seperti gadis berusia 15 tahun sekarang. Otto tersenyum canggung dengan perasaan yang rumit, dan sebuah pertanyaan muncul di benaknya.

"Ngomong-ngomong , Pembantu LetDa, bagaimana kau menemukan mata-mata itu?"

"Siap, pak, saya sedang berjalan-jalan di luar ketika saya bertemu seseorang yang bertingkah mencurigakan. Saya mengikutinya, dan menyadari bahwa dia sedang berbisik pada orang lain. Setelah mendengarkan pembicaraan mereka, saya menyadari mereka adalah mata-mata Kekaisaran.”

Gimana, aku hebat kan? Olivia membusungkan dadanya dan menjawab dengan puas. Otto memandangi sosok basah kuyup itu lagi dan berkata:

"Betapa anggunnya kau berjalan-jalan di tengah hujan lebat."

"Ya, pak, saya suka hari hujan!"

"... Ada jam malam di malam hari, benar?"

"Ya Pak, saya lupa pak!"

Olivia berkata dengan berani, yang membuat Otto memijat tempat di antara kedua alisnya. Tawa tertahan Paul datang dari belakang, dan Otto berdeham sebagai protes.

"Sudahlah, aku akan mengabaikan pelanggaran jam malammu, tapi jangan melanggar perintah lagi—— Lagipula, kamu melakukannya dengan baik kali ini. Sejujurnya, masalah mata-mata telah menggangguku."

"Ya pak! Terima kasih atas pujian Anda!"

Otto telah menduga mata-mata Kekaisaran telah menyusup ke Benteng Gallia. Tetapi dengan 40.000 tentara dan ribuan petugas sipil, hampir mustahil untuk menyaring mereka.

Otto sudah melakukan penyelidikan secara rahasia, tetapi gagal mendapatkan petunjuk. Prestasi Olivia jauh melebihi pelanggarannya terhadap perintah.

“Baiklah kalau begitu, Pembantu Letnan Dua Olivia. Kami akan memberimu bonus gaji dalam waktu singkat untuk pencapaianmu. Kau boleh pergi."

Otto berdiri dan menyuruh Olivia pergi, tetapi gadis itu tidak menunjukkan niat untuk berdiri. Malahan, dia bergumam dengan wajah tidak senang: "Bonus gaji ... ya."

"Ada apa? Tidak senang dengan bonus gajimu?"

"Ya Pak, jika memungkinkan, saya ingin roti lezat dari ibu kota."

Untuk sesaat, Otto mengira ia salah dengar, tetapi Olivia mengulangi perkataannya. Olivia mengatakan dengan tepat apa yang Otto dengar, jadi tidak ada kesalahan. Alih-alih uang, dia lebih suka roti, yang membuat Otto curiga jika gadis itu bodoh.

"... Kenapa kau ingin roti dari ibukota?"

“Karena Ashton bilang bahwa roti dari ibu kota rasanya enak, jadi saya ingin mencobanya. Renyah di luar dan lembut di dalam.”

"… Aku mengerti sekarang. Dan siapa Ashton itu?”

"Hah? Ashton ya Ashton, manusia.”

Olivia tampak terkejut, dan wajahnya berkata, "Kamu bahkan tidak tahu itu?" Otto menekan amarahnya, memelototi Olivia dan bertanya:

“Tentu saja aku tahu dia manusia. Aku bertanya siapa dia."

"Sudah kubilang~ dia itu manusia. Sepertinya aku enggak bisa menyampaikan maksudku dengan benar.”

“Dasar kurang ajar! Kalau kau berbicara dengan atasanmu dengan nada seperti itu, kau akan dihukum karena kurang ajar!"

Otto membanting tinjunya ke meja dengan marah. Dia kemudian sadar, berpikir dia tidak boleh kehilangan ketenangannya karena seorang gadis kecil. Ketika Otto memijat pelipisnya agar tenang, Olivia mencondongkan tubuh ke arahnya dan bertanya: "Apa kau baik-baik saja?"

Itu membuat Otto marah, dan dia hampir berteriak, “Kau pikir itu salah siapa?!” Tapi dia berhasil menelan kata-kata itu.

"Letnan Kolonel Otto, harap tenang. Bukankah kau selalu tenang? Ini sama sekali tidak sepertimu."

Paul menepuk pundak Otto dengan gembira, dan berdiri di depan Olivia. Olivia memandangi Paul dengan wajah bingung. Itu karena Paul hanya memberi tahu namanya saat pertemuan tidak resmi.

"Pembantu Letnan Dua Olivia. Roti dari ibu kota mungkin lezat, tetapi kue mereka rasanya lebih enak. Cucu perempuanku juga suka kue. Apa kau sudah pernah mencobanya sebelumnya?”

Olivia bereaksi secara dramatis, dan matanya bersinar seperti perhiasan. Dia memiliki senyum cemerlang yang unik untuk anak perempuan di masa muda mereka.

Kecantikannya memadamkan amarah Otto, dan memikatnya.

"Kue!! Kakek Paul, kau bilang kue, kan!? Aku belum pernah makan kue sebelumnya, tapi saya membacanya! Itu makanan penutup yang sangat manis, benar kan!?”

Olivia melompat dengan gembira dari kursinya, meraih bahu Paul dan mengguncangnya. Paul mengangguk sambil tersenyum.

"Haha , aku mengerti. Kalau begitu, kami akan memberikannya padamu bersama dengan pembayaran bonus dalam waktu dekat."

"Beneran!? Asiiik!!"

“Dasar kurang ajar! Jaga nada bicaramu dan sadari pangkatmu saat berbicara dengan Letnan Jenderal Paul!”

Shinigami ni Sodaterareta Shoujo V1 4.jpg

"Tidak apa - apa, aku memang berpakaian seperti ini. Tidak apa-apa santai sedikit. Dan untuk Pembantu Letnan Dua Olivia, aku terlihat seperti seorang kakek. Tidak ada masalah."

"Yang Mulia! Kita perlu memberi contoh kepada para prajurit—— ”

"Otto. Ini adalah pertemuan tidak resmi. Dan Pembantu Letnan Dua Olivia."

Paul memotong Otto dengan nada tenang, lalu berubah dari kepribadiannya sebagai kakek yang baik hati, dan mengambil sikap komandan Pasukan Ketujuh.

"Apa, apa?"

“Meskipun aku berpakaian seperti ini sekarang, aku masih komandan benteng ini. Aku harus memberi contoh untuk semua orang. Kau harus berhati-hati dengan nada bicaramu saat berbicara denganku selama pertemuan formal. Baiklah kalau begitu, kamu boleh kembali dan beristirahat. ”

"?… Ya pak! Saya mendengar dan mematuhi. Pembantu Letnan Dua Olivia, sekarang akan kembali dan beristirahat!"

Olivia memberi hormat dengan ekspresi yang rumit, dan bergumam, “Bahasa manusia rumit banget” ketika dia membuka pintu. Dia berteriak, “Kue! Kue!" ketika dia meninggalkan ruang interogasi, yang membuat Otto memegangi kepalanya.

"Fufu. Dia membunuh Samuel dan menangkap mata-mata ... Aku pikir dia wanita yang kekar, tetapi dia cukup cantik untuk membintangi sebuah drama. Dia memiliki kepribadian yang menarik juga."

"Yang Mulia, ini tidak lucu. Dia telah membuktikan kemampuannya dengan kejadian ini, tetapi kelakuannya tidak berbeda dengan seorang gadis dari desa. Saya perlu mendidiknya dengan benar."

"Yah, ini bukan tempat yang tepat untuk mempelajari etiket dan akal sehat, jadi jangan berlebihan."

Paul pergi dengan senyum kecil di wajahnya. Otto yang sendirian jatuh ke kursinya dan menghela nafas panjang. Mayat mata-mata Kekaisaran yang dia lihat sebelum interogasi melintas di benaknya. Ini adalah pertama kalinya Otto melihat mayat yang terbelah dua di pinggang. Kehebatan Olivia bisa terlihat jelas.

(Tampaknya menugaskan Olivia menjalankan rencana yang telah ku lupakan akan menjadi pilihan ...)

Otto berpikir sambil memandang api lilin yang berkedip-kedip.

[edit]

Kekaisaran Arsbelt muncul di panggung sejarah saat tahun 700 Kalender Lunar.

Ada banyak negara saat itu, dan mereka semua bersaing untuk menguasai benua. Kekaisaran didirikan pada masa kekacauan itu. Teori paling populer menyatakan bahwa kekaisaran didirikan oleh seorang bangsawan dari Kerajaan Farnesse, Richard Heinz. Dia memberontak karena korupsi Kerajaan, dan mengumpulkan banyak pengikut untuk membangun negerinya sendiri, dan pergi ke utara.

Namun, tidak ada bukti konklusif yang mendukung teori ini, dan banyak sarjana membantahnya. Tidak masuk akal bagi seorang bangsawan Kerajaan memiliki kekayaan untuk membelot dan mendirikan negara yang merdeka.

Namun, tidak ada keraguan bahwa panggung politik Kerajaan saat itu penuh dengan korupsi. Namun, Ketua Menteri Leonheart Várquez menggunakan keterampilan politiknya yang luar biasa untuk merevolusi peta politik Kerajaan selama era ini, sehingga periode waktunya cocok. Itulah alasan mengapa teori ini menjadi pemikiran umum di antara para sarjana.

Teori populer kedua Gereja St Illuminas, yang dikenal sebagai "Sekte Dewi Citresia" saat itu, memiliki hubungan erat dengan pendirian Kekaisaran. Alasannya adalah bahwa nama uskup agung mereka ada di antara daftar anggota pendiri.

Namun, Gereja St. Illuminas secara resmi membantah hal ini.

Tanah di wilayah utara di mana Kekaisaran didirikan adalah pegunungan, dan dataran jarang ditemui. Selain itu, tanahnya tidak subur, sehingga hasil panennya buruk. Binatang buas juga berkeliaran dengan bebas, jadi itu bukan tempat yang cocok untuk dihuni manusia.

Terlepas dari kondisi ini, Kekaisaran bangkit menjadi kekuatan yang setara dengan Kerajaan karena administrasi brilian dari Kaisar mereka. Dan sekarang, sayuran yang disebut "Labu Ars" yang bisa ditanam di tanah tandus populer di tanah itu.

Dan hasil panen ini sedang dikembangkan oleh para peneliti, atas perintah dari Kaisar. Selain itu, Kekaisaran memiliki banyak prestasi lainnya.

Dari perspektif lain, Kekaisaran menikmati 200 tahun kemakmuran karena negara-negara lain tidak mengganggunya. Kekaisaran dikelilingi oleh pegunungan, membuatnya mudah untuk bertahan dan sulit untuk diserang. Karena tanahnya tidak subur, para penguasa tidak tertarik sama sekali.

Dengan latar belakang seperti itu, Kekaisaran menikmati era perdamaian selama masa perang ini, dan dapat berkonsentrasi untuk membangun kekuatan nasionalnya. Para Kaisar sebelumnya yang membenci perang juga memainkan peran besar.

Era perang yang seolah-olah akan berlangsung selamanya, berakhir sekitar tahun 950 Kalender Lunar. Kerajaan menjadi lelah dengan perang yang panjang, dan menarik pasukan yang dikirim ke negara-negara lain. Setelah itu, sekelompok negara kecil di selatan benua membentuk aliansi, dan menyebut diri mereka Konfederasi Kota Sutherland. Masih ada gesekan kecil di antara negara-negara kecil, tetapi secara keseluruhan, benua memasuki masa damai.

Selama waktu itu, Kaisar sebelumnya, Ramza ke Dua Belas meninggal dunia karena sakit pada tahun 965 Kalender Lunar.

Dia baru berusia 40 tahun, dan pemerintahannya berlangsung tujuh tahun.

Dia adalah Kaisar yang memerintah paling pendek. Penerusnya adalah Pangeran Pertama, Diethalm, yang dimahkotai sebagai Ramza ke Tiga Belas. Pada usia 15 tahun, ia menunjukkan keterampilan politik yang luar biasa, dan membawa kemakmuran Kekaisaran ke tingkat yang lebih tinggi. Ketika ia mencapai usia pendahulunya, 40 tahun, ia dievaluasi sebagai yang paling terkemuka dari semua Kaisar, dan dipuja sebagai "Kaisar yang Baik Hati ", namanya terkenal di seluruh benua.

Dan Kaisar yang Baik Hati itu tiba-tiba menyatakan niatnya untuk menaklukkan benua. Bukan hanya warga Kekaisaran, orang-orang dari negara lain tercengang oleh pernyataan Ramza yang membenci perang seperti halnya pendahulunya. Tapi warga Kekaisaran tidak merasa gelisah. Mereka sangat percaya bahwa Kaisar yang Baik Hati mereka selalu benar. 

Ibukota Orsted dari Kekaisaran Arsbelt, Kastil Listerine, Aula Pertemuan

Sebagai negara terbesar di benua itu, Aula Pertemuan Kekaisaran Arsbelt dirancang dengan anggun untuk mengesankan para pejabat asing yang diundang. Dindingnya dihiasi dengan dekorasi intrinsik, dan lukisan-lukisan terkenal juga ditampilkan dengan jelas.

Lampu gantung emas menggantung di langit-langit, menerangi ruangan dengan cahaya terang. Karpet lembut merah menutupi lantai, dan memiliki efek meredam kebisingan yang sangat baik. Di dinding di ujung ruangan ada spanduk biru dengan pedang bersilangan dalam bentuk tanda '+'. Ini adalah lambang Kekaisaran.

Pemilik Kastil Listerine, Kaisar Ramza ke Tiga Belas duduk di singgasananya dan mendengarkan laporan perang oleh para pengikutnya. Berdiri di samping Ramza adalah Kanselir Dalmes . Laporan itu dibuat oleh seorang perwira muda Kekaisaran, Jenderal Felixus von Zega, seorang lelaki yang dinilai Ramza sangat berbakat sejak masa mudanya.

Dia adalah salah satu dari tiga Jenderal Kekaisaran, dan memimpin Ksatria Azure yang elit. Jujur dan tulus, dia adalah pria tampan yang memikat para wanita di istana. Dua faktor ini digabungkan dan membuatnya sangat popular di antara massa.

Felixus menggunakan peta besar di atas alas untuk memberikan penjelasan rinci tentang teater perang utara, tengah dan selatan. Ramza mengangguk setuju, tetapi tidak mengatakan sepatah kata pun.

“—— Itu menyimpulkan laporan saya tentang perang. Dengan berkah dari Yang Mulia, kami dapat memulai serangan kami ke Benteng Gallia. Bolehkah kami meminta izin Anda, Paduka?”

Felixus bertanya dengan ekspresi rumit. Ramza kemudian perlahan berbisik ke telinga Dalmes. Itu kurang ajar baginya untuk melakukannya, tetapi Felixus masih menggerutu dalam hatinya, "Begini lagi?" Baru-baru ini, Felixus tidak memiliki kesempatan untuk berkomunikasi langsung dengan Ramza, dengan Dalmes selalu berfungsi sebagai pembawa pesan. Setelah bertanya-tanya, sepertinya itu sama untuk semua orang.

Dalmes mengangguk dengan hormat, lalu menjawab Felixus:

"Atas nama Kaisar kita yang agung: 'Masih terlalu dini untuk itu, kita akan mengamati pergerakan dari Kerajaan.' Akhir dari dekrit.

"... Ya, paduka."

Felixus meletakkan tangannya di dadanya, mundur selangkah dan membungkuk dalam-dalam. Dia kemudian berbalik dan berjalan menuju pintu masuk Aula Pertemuan dengan elegan.

(Sudah kuduga, Kaisar telah bertindak aneh dalam beberapa tahun terakhir. Dia tidak banyak bicara di masa lalu, tapi juga tidak sependiam ini. Dari wajahnya, dia tampak sakit. Tapi mengapa Yang Mulia tidak memberi perintah untuk menyerang Benteng Gallia? Aku tidak paham kenapa.)

Rencana pertempuran yang dirancang oleh Jenderal Osborne tampak sempurana. Mereka memiliki banyak pasukan di selatan, dan moral mereka tinggi. Satu-satunya kejutan adalah laporan mengejutkan yang melaporkan salah satu tentara elit mereka dibantai oleh seorang gadis pengelana.

Dari skema besar, itu hanya detail sepele. Sekarang adalah waktu terbaik untuk menyerang Benteng Gallia, itulah sebabnya Osborne meminta izin dari Ramza. Tampaknya ini bukan keputusan yang akan diambil oleh Ramza yang cerdas. Pikiran itu memenuhi Felixus dengan kekhawatiran.

Felixus meninggalkan Aula Pertemuan sambil menghela nafas. Dalmes membungkuk ke arah Ramza dengan hormat, dan mengikuti Felixus. Ketika mereka berdua keluar dari Aula Pertemuan, para penjaga menutup pintu dengan gerakan yang terlatih. Hanya Kaisar Ramza dan beberapa penjaga yang tinggal di dalam. Saat matahari terbenam di barat, Aula pertemuan diwarnai warna merah. Ramza yang tanpa ekspresi hanya duduk di atas takhta tanpa bergerak sedikit pun.

[edit]

Kerajaan Farnesse, Kastil Letizia di dalam ibukota kerajaan Fizz, Ruang rapat perang.

Atas perintah Raja Alphonse, Pasukan Pertama mengadakan rapat perang untuk merebut kembali Benteng Kiel.

Menurut catatan benua Dubedirica, peserta utamanya adalah jenderal tua Cornelius, jenderal kuat Lambert, dan ajudan Neinhart.

"Apakah kita sudah mengkonfirmasi jumlah pasukan di dalam Benteng Kiel?"

"Ya Pak, menurut agen kami, jumlah garnisun mereka adalah... 80.000."

Ruangan itu menjadi sunyi. Letnan Jenderal Lambert adalah orang pertama yang berbicara. Dia adalah seorang perwira ganas yang telah selamat dari ratusan pertempuran di dalam Pasukan Pertama, dan merupakan orang yang memiliki kekuatan bela diri yang kuat. Bekas luka di seluruh tubuhnya berbicara tentang sejarah pertempurannya.

"80.000, ya ... Pasukan Pertama berjumlah 50.000. Kita kalah jumlah.”

Kolonel Neinhart meletakkan bidak-bidak itu di peta dan menambahkan lebih banyak berita buruk yang sama dengan hukuman mati:

“80.000 merujuk hanya pada Tentara Kekaisaran. Jika kita memasukkan negara-negara pengikut Kekaisaran terdekat, Swaran dan Stonia, pasukan mereka akan mencapai jumlah 140.000.”

"Haha. Tidak ada harapan untuk mengadu 50 ribu melawan 140 ribu. Saya tahu ini sulit, tetapi bisakah kita mengandalkan bantuan dari Pasukan Ketiga dan Keempat?"

"Saya sudah mencoba bertanyasebelumnya, tetapi kedua belah pihak menyatakan bahwa mereka tidak bias mengirim bantuan seorang pun."

Neinhart menjawab Lambert dengan tenang, saat dia dengan tenang menempatkan bidak putih di teater perang utara yang ditandai dengan warna merah, dan mengelilinginya dengan bidak hitam.

Ketika perang pertama kali pecah, Tentara Kekaisaran mengirim pasukan sebanyak 80.000 untuk menyerang bagian utara Kerajaan. Tujuan mereka adalah untuk merebut lumbung makanan terbatas yang dimiliki Kerajaan, dan memaksa mereka kekurangan makanan. Jelas dari langkah ini bahwa Kekaisaran mengharapkan perang ini berlangsung lama.

Sebagai tanggapan, Tentara Kerajaan mengerahkan Pasukan Ketiga yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Rex Smythe dan Pasukan Keempat yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Linz Balt, dan menyerang musuh dengan 60.000 pasukan. Letnan Jenderal Rex dan Linz telah berteman akrab sejak masa sekolah mereka, dan kerja sama mereka tanpa cacat, dan mereka mempermainkan Tentara Kekaisaran dengan mudah.

Setelah itu, mereka membangun kesuksesan mereka dengan Pertempuran Verkul, yang merupakan contoh dasar dari taktik yang sempurna.

Pasukan Ketiga berpura-pura kalah dan mundur, berhasil memancing Tentara Kekaisaran ke lembah sempit. Dengan formasi Tentara Kekaisaran berubah ke dalam barisan panjang, Pasukan Keempat yang bersembunyi menyerang. Pasukan Ketiga juga berbalik untuk menyerang pengejar mereka.

Tentara Kekaisaran segera jatuh ke dalam kebingungan, dan dipukul mundur. Pertempuran itu mengakibatkan Kekaisaran kehilangan 40.000 pasukan. Setelah itu, Pasukan Ketiga dan Keempat menggunakan momentum untuk merebut kembali wilayah Kerajaan, dan tampaknya siap untuk menyerbu Kekaisaran.

Sayangnya, setelah kalah dalam Pertempuran Arschmitz, situasinya terbalik. Pasukan Kelima yang terbantai berarti Pasukan Ketiga dan Keempat dalam bahaya diserang dari belakang. Beberapa perwira menyarankan bahwa mereka harus menyerang Kekaisaran, tetapi ditolak oleh Rex dan Linz. Garis depan mereka ditarik mundur secara drastis, dan mereka sepakat untuk saling membantu.

Penilaian mereka tidak salah, tetapi mereka tidak bisa bekerja sama secara strategis. Ini membuat Pasukan Ketiga dan Keempat bertarung sendiri, dan mereka harus bertahan melawan serangan tanpa henti dari musuh, ketika mereka mencoba mempertahankan garis pertahanan.

"Letnan Jenderal, jangan memaksakan jika anda tahu itu tidak mungkin. Saya terkesan bahwa mereka bias memperthankan teater perang utara dengan jumlah mereka yang sedikit, yang merupakan tindakan terpuji.”

Panglima Tertinggi Cornelius melirik peta, dan menghela nafas. Dia adalah komandan Pasukan Pertama, dan dikenal sebagai Jenderal Kemenangan di masa mudanya. Namun, ia telah melunak saat ia berusia 70-an.

Lambert mengangkat bahu, dan memandang ke arah Neinhart.

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan teater perang selatan?"

"Menurut laporan Letnan Jenderal Paul, Tentara Kekaisaran mengerahkan pasukan mereka di sekitar kastil Kaspar, sedang mempersiapkan serangan mereka ke Benteng Gallia."

"Kalau begitu, Pasukan Ketujuh tidak bisa mengirim bantuan."

“Apa boleh buat. Paul menerima perintah langsung dari Paduka untuk mempertahankan Benteng Gallia sampai mati. Dan jika dia mengerahkan pasukannya secara ceroboh dalam situasi seperti itu, itu hanya akan menarik lebih banyak pasukan musuh.”

Kata-kata Cornelius membuat semua perwira yang hadir mengernyit. Benteng Gallia adalah benteng yang penting, dan Ibukota Kerajaan akan terbuka lebar jika benteng itu jatuh. Tentara Kekaisaran kemudian bisa melintasi pegunungan Est dan berjalan langsung ke Ibukota Kerajaan, Fizz. Jika ini terjadi, maka Tentara Kerajaan tidak akan punya pilihan selain bertarung sampai mati melawan musuh.

Namun meski begitu, itu tidak bijaksana untuk hanya menunggu dan menonton Tentara Kekaisaran bertindak sesuka hati. Tentara Kerajaan tidak bisa membiarkan Pasukan Ketujuh yang hampir tidak menderita kehilangan dalam potensi tempur untuk menganggur. Mereka tidak bisa mengatakannya dengan lantang, tapi itulah yang dipikirkan para perwira.

"Kalau saja kita masih mengontrol kastil Kaspar..."

Salah satu perwira bergumam, dan mata semua orang tertuju pada satu titik peta.

Kastil Kaspar memiliki sejarah panjang yang merujuk ke era perang. Kastil ini pertama kali dibangun untuk mengintimidasi negara-negara di selatan, tetapi kepentingan strategisnya jatuh dengan dibangunnya Benteng Kiel, dan hampir diabaikan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, jatuhnya Benteng Kiel mengubah segalanya, dan pentingnya kastil Kaspar meningkat karena dapat berfungsi sebagai pangkalan terdepan untuk menyerang dan merebut kembali Benteng Kiel.

Sudah terlambat ketika Kerajaan merespons. Setelah Tentara Kekaisaran merebut Benteng Kiel, mereka mengirim sebuah unit untuk menyerang kastil Kaspar dua minggu kemudian. Sebelum bala bantuan bisa mencapai mereka, Letnan Satu Kutom dan 500 orang prajuritnya yang ditempatkan di benteng terbantai.

Dan sekarang, kastil Kasper telah berubah di tangan Tentara Kekaisaran menjadi pangkalan untuk menyerang Benteng Gallia.

"Yah, tidak ada gunanya menangisi nasi yang sudah jadi bubur. Alih-alih itu, apakah kita tahu seberapa besar kekuatan yang ada di kastil Kaspar?"

"Mohon tunggu sebentar."

Neinhart membuka dokumen yang ada di tangannya, dan menemukan laporan tentang 《Perkiraan pasukan di kastil Kaspar 》. Laporan ini tidak sepenuhnya dapat diandalkan, dan cenderung meremehkan angka-angka untuk menyajikan situasi yang lebih ideal. Namun, laporan kali ini merupakan pengecualian.

Sambil mengingat wajah orang yang dijuluki topeng besi itu, Neinhart menjawab:

"- Menurut perkiraan, mereka memiliki sekitar 50.000 pasukan."

"Hmm, 50.000, ya ..."

Setelah mengatakan itu, Lambert menyilangkan lengannya dan berpikir keras dengan mata terpejam. Dia sepertinya sedang memikirkan sebuah rencana.

Neinhart bukan satu-satunya yang berpikir begitu.

"Letnan Jenderal, apa yang kau rencanakan?"

Cornelius bertanya pada Lambert dengan tatapan bertanya. Dengan tatapan semua orang padanya, Lambert perlahan membuka matanya dan berkata:

“Yah, aku baru saja memikirkan ide ini. Kenapa kita tidak merebut kembali kastil Kaspar saja? Pasukan Pertama dapat menyisihkan 25.000 orang, dan menggabungkannya dengan 30.000 orang dari Pasukan Ketujuh untuk menghasilkan 55.000 pasukan. Maka kita akan memiliki peluang menang.”

Beberapa perwira memuji saran Lambert. Mereka mendukung Lambert karena dia akan menjadi komandan Pasukan Pertama di masa depan. Namun, Lambert tidak peduli dengan orang-orang yang menjilatnya.

(Kerajaan sedang goyah karena badai peperangan, dan orang-orang ini masih tega melakukan ini.)

Neinhart memandangi mereka dengan wajah kesal, tetapi mereka tidak keberatan sama sekali, dan berpura-pura membahas proposal Lambert. Alih-alih nasib Kerajaan, mereka lebih peduli tentang masa depan mereka sendiri.

Cornelius tidak terlalu memperhatikan hal itu, dan berkata:

"Kita sudah membahas ini, Pasukan Ketujuh tidak bisa menggerakkan pasukan mereka secara sembrono sekarang."

“Kita hanya harus memastikan langkah itu tidak gegabah. Jika kita merebut kembali kastil Kaspar, maka pengepungan Kekaisaran pada Benteng Gallia akan hancur. Kita kemudian dapat bekerja sama dengan Pasukan Ketujuh untuk memulihkan Benteng Kiel."

"Memang ... Itu benar ... Tapi Paduka..."

Cornelius bergumam sambil mengelus jenggotnya. Dia tidak membantah karena Lambert benar. Untuk membuat dorongan terakhir untuk meyakinkannya, Lambert melanjutkan:

“Dari laporan sebelumnya, pasukan kita sendiri tidak memiliki peluang untuk merebut Benteng Kiel. Panglima Tertinggi, Anda harus mengerti itu juga. Maafkan kekurang ajaran saya, tetapi Anda tidak ingin seluruh Pasukan Pertama mati sia-sia di bawah Benteng Kiel, benar?"

"Hmm ..."

Nasihat sarkastik Lambert membuat wajah Cornelius masam. Perwira lain menyaksikan interaksi mereka dengan napas tertahan.

"… Aku mengerti. Aku akan menangani masalah meyakinkan Paduka. Aku akan menyerahkan rencana pertempuran kepada Letnan Jenderal Paul dan kau. Diskusikan dengan benar sebelum mengambil keputusan.

"Siap pak! Terima kasih telah menerima usulan saya!"

Cornelius melambai kepada Lambert yang ingin berdiri dan memberi hormat. Para prwira lainnya saling memandang dan menghela nafas lega, senang bahwa mereka dapat menghindari pertempuran sembrono. Neinhart juga merasakan hal yang sama.

Neinhart dengan cepat berpikir, dan mengusulkan pada Cornelius:

"Panglima Tertinggi, bolehkah saya menangani komunikasi dengan Pasukan Ketujuh? Ada sesuatu yang saya khawatirkan."

"-- Baik. Kau akan menjadi kandidat terbaik untuk ini. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiranmu, tetapi jangan terlalu memaksakan diri.”

Dengan itu, Cornelius bangkit dari kursinya. Dengan sinyal itu, Lambert mengakhiri pertemuan, dan semua perwira meninggalkan Ruang Rapat Perang dengan wajah letih.

Neinhart merapikan dokumen-dokumen yang ada di tangannya, ketika dia melihat laporan dari Pasukan Ketujuh. Itu tidak relevan dengan pertemuan tadi, jadi Neinhart tidak membicarakannya. Laporan itu menyebutkan bahwa seorang tentara membunuh Samuel, musuh bebuyutannya yang membunuh sahabatnya Lance saat Pertempuran di Arschmitz.

—— Itu adalah laporan tentang Pembantu Letnan Dua Olivia.

(Dari laporan, dia hanya seorang gadis berusia 15 tahun ... Sulit untuk percaya ini, tapi Letnan Kolonel Otto bukanlah seseorang yang akan berbohong dalam laporan intelijen. Bagaimana pun, aku harus bertemu dengannya dan mengucapkan terima kasih.)

Neinhart memikirkan tentang gadis yang belum pernah dia temui, dan menutup pintu ruang rapat perang. 

Tentara Kerajaan, Benteng Gallia, kantor Letnan Kolonel Otto

Sementara rapat perang untuk merebut kembali Benteng Kiel sedang berlangsung di ibukota.

Otto memanggil Olivia ke kantornya untuk memberitahu tentang misi tertentu. Namun, Olivia tidak muncul pada waktu yang ditentukan. Lima menit berlalu, kemudian sepuluh menit, dan suara berderit berirama datang dari kantor. Para prajurit yang melewati kantor semua memiringkan kepala dengan bingung ketika mereka mendengar suara itu.

Setelah 30 menit, Olivia akhirnya melapor ke ruangan Otto. Dan dia memberi hormat dengan rapi tanpa rasa bersalah. Otto menekan ketidaksenangannya dan bertanya:

"Pembantu Letnan Dua Olivia, pertama-tama, mengapa kau terlambat 30 menit?"

"Siap pak, alasannya adalah karena jam!"

"… Jam? Apa hubungannya dengan keterlambatanmu?"

“Siap pak, saya tidak punya jam tangan yang indah seperti Ajudan Otto, dan tidak bisa mengetahui waktu secara akurat. Itu sebabnya saya terlambat!"

Olivia berkata sambil melihat Jam Saku di meja dengan iri. Otto menghela nafas dengan alasan tidak masuk akal ini, lalu meraih ke mejanya. Dia meraih Jam Saku perak dengan ukiran bunga dangkal di tutupnya. Dia membuka penutupnya, dan jarum detik yang berwarna merah berdetak dengan irama yang tetap. Otto menatap Jam Saku sebentar, lalu melemparkannya. Jam Saku itu melengkung di udara, dan Olivia menangkapnya dengan tergesa-gesa.

"... Huh?"

"Aku akan memberimu Jam Saku ini. Dan sekarang, kau tidak punya alasan untuk terlambat lagi.”

Otto kehilangan ketenangannya karena Olivia beberapa hari yang lalu. Setelah pengalaman itu, dia tahu akan lebih baik bagi kondisi mentalnya jika dia memberikan Olivia Jam Sakunya.

Otto memberikan Jam Saku kepada Olivia dengan pemikiran seperti itu, tetapi Olivia mengalihkan pandangannya antara Jam Saku dan Otto karena terkejut. Dia tampak sangat terkejut. Otto melambaikan tangannya sebagai jawaban atas tatapan Olivia.

"Apa aku menyimpan ini?"

"Ya. Dan kau harusnya mengatakan, 'Bolehkah saya menerima hadiah ini?' Aku sudah bilang berkali-kali untuk lebih hormat ketika kau berbicara dengan atasanmu."

"Siap pak, mohon maaf! Saya berterima kasih atas Jam Saku Ajudan Otto!”

Setelah dia mengatakan itu, Olivia mulai mengutak-atik Jam Saku dengan gembira. Dia membuka dan menutup tutup jam itu berulang kali. Cara dia bermain dengan mainan barunya yang seperti anak kecil mengingatkan Otto pada putrinya yang berusia 6 tahun di ibukota. Setelah mengenang beberapa saat, dia menyadari bahwa Olivia menatap wajahnya dengan penasaran. Sepertinya dia terlalu santai.

“S-Sudah hampir waktunya untuk membahas persoalan. Simpan Jam Sakumu. "

"Dimengerti, saya akan menyimpannya sekarang!"

Olivia dengan hati-hati menyimpan Jam Saku seperti harta karun. Otto berdeham dan menyilangkan tangan.

"Alasan aku memanggilmu, Pembantu Letnan Dua Olivia, adalah untuk menetapkan misi khusus untukmu. Seperti yang kau tahu, kau memiliki opsi untuk menolak misi khusus. Waktunya singkat, jadi aku harap kau bisa mengambil keputusan segera, Pembantu Letnan Dua."

Misi khusus adalah tugas rahasia dan sulit yang ditugaskan pada sekelompok kecil orang. Ada risiko kematian yang tinggi, jadi penerima misi memiliki hak untuk menolak misi.

Ngomong-ngomong, jika misinya berhasil dilaksanakan, dia pasti akan naik pangkat. Mempertimbangkan kepribadian Olivia, Otto berpikir Olivia tidak akan menolak ini. Dan seperti yang diharapkan, Olivia menjawab tanpa ragu-ragu:

“Dimengerti, saya tidak keberatan. Pembantu Letnan Dua Olivia akan menjalankan misi khusus ini! ”

"Jawaban yang bagus. Kalau begitu aku akan memberi tahumu isi misi ini. Pembantu Letnan Dua, aku ingin kau memimpin sebuah tim dan merebut kembali Benteng Lamburg."

Otto berdiri dari kursinya, dan menunjuk ke suatu titik di peta yang ada di dinding di belakangnya. Itu adalah benteng yang ditandai dengan X, dan berlabel 《terbengkalai》. Olivia melihat ke peta, dan sedikit memiringkan kepalanya.

“Bukannya kastil ini terbengkalai? —— Oh , tidak, menurut pendapat saya, kastil itu tampaknya terbengkalai.”

Menyadari dia berbicara dengan santai, dan dengan cepat mengubah cara bicaranya. Otto menghela nafas ketika dia memperhatikan wajahnya yang cekikikan, dan berkata:

“Benar, seperti yang kau bilang, benteng ini terbengkalai satu dekade yang lalu. Sekarang benteng itu menjadi tempat persembunyian bagi bandit. Dengan kata lain, aku ingin kau merebut kembali benteng itu dari para bandit."

"Mengapa anda mengambil kembali sesuatu yang dibuang?"

“Kalimatmu ... Sudahlah. Ini berbeda sekarang. Seperti yang kau tahu, Pembantu LetDa, pasukan kita berada pada posisi yang tidak menguntungkan untuk melawan Tentara Kekaisaran. Untuk menghentikan serangan lebih lanjut dari Kekaisaran, kita membutuhkan Benteng Lamburg sekarang."

Otto mengirim beberapa peleton untuk menaklukkan bandit di Benteng Lamburg, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan. Para korban mengatakan bahwa sebagian besar tentara dibunuh oleh pengguna tombak yang handal.

Dia berpikir untuk mengirim unit ekspedisi sebesar satu kompi, tetapi itu tidak terwujud. Operasi skala besar akan menarik terlalu banyak perhatian. Dengan kekaisaran telah menetapkan mata-mata di mana-mana, dia tidak bisa menggerakkan pasukannya dengan tergesa-gesa, karena dia tidak tahu apakah kekaisaran mengamati.

Jika misi itu ketahuan dan Kekaisaran mengetahui tentang keberadaan Benteng Lamburg, mereka akan mengirim unit untuk merebutnya. Dalam situasi terburuk, ini akan memperkuat serangan dari Kekaisaran. Setelah mempertimbangkan pilihannya, Otto menyerah untuk merebut kembali Benteng Lamburg.

Namun, situasinya telah berubah sekarang karena Olivia ada di sini. Untuk menghadapi pengguna tombak handal itu, mereka hanya perlu mengirim Olivia, yang mungkin adalah orang terkuat di Pasukan Ketujuh.

Setelah Otto memberikan penjelasan rinci, ia menanyai Olivia sebagai konfirmasi terakhir:

“- Seperti yang ku katakan, semua misi penaklukan sebelumnya gagal. Apa kau masih ingin menerima misi ini?"

"Ya ... aku hanya perlu membunuh semua bandit, kan?"

Olivia menjawab dengan nada berbahaya, dan wajah Otto menegang. Olivia benar, jadi Otto mengangguk:

"Ya, sederhananya seperti itu."

"Saya mengerti. Ngomong-ngomong, apakah Anda ingin saya memberi Anda kepala?"

"Kepala?"

"Ya. Kepala manusia."

Otto bingung karena Olivia tiba-tiba menyebut kepala. Dia menekan Olivia untuk penjelasan yang lebih jelas, dan Olivia berkata dengan ragu:

"Aku pikir manusia akan merasa senang menerima kepala musuh mereka yang terpenggal?"

Ketika dia mendengar itu, Otto akhirnya ingat bahwa olivia memberikan tas berisi kepala Prajurit Kekaisaran ketika dia pertama kali tiba di benteng. Otto merasakan hawa dingin di lehernya, dan berkata dengan menggelengkan kepalanya:

"—T-Tidak, kau tidak perlu membawa kembali kepala mereka."

"Dimengerti, maka saya akan merebut kembali Benteng Lamburg seperti yang diperintahkan!"

“Sangat bagus, saya menantikan kabar baikmu. Kau boleh pergi." Olivia berbalik dan meninggalkan kantor dengan sigap. Langkahnya dipenuhi dengan keyakinan, tanpa sedikit pun kegelisahan terhadap misi. Seolah ingin membuktikan hal itu, Otto bisa mendengar suara riang di luar kantornya yang mengatakan, "Oh, aku lupa nanya kapan aku akan menerima kueku."



Bab 2: Bidak Catur Terkuat[edit]

[edit]

Tiga hari setelah Olivia diberi misi khusus.

Peleton pasukan khusus di bawah komando Olivia berangkat ke Benteng Lamburg yang dihuni oleh bandit. Tujuan mereka adalah hutan di barat daya Benteng Gallia, dekat dengan titik tengah antara Benteng Gallia dan kastil Kaspar.

Dua puluh tentara muda menemani Olivia. Biasanya, satu peleton akan berisi 50 hingga 100 orang, jadi 20 jumlahnya terlalu sedikit. Dan 20 prajurit ini baru mendaftar 2 bulan lalu. Mereka semua kehabisan napas dan berjuang untuk mengikuti Olivia, dan di antara mereka ada Ashton yang menggunakan tombaknya sebagai tongkat.

Tingkat kelangsungan hidup dari rekrutan baru yang pergi ke pertempuran pertama mereka adalah 1:3. Namun, pertempuran pertama Ashton dan peletonnya tidak sesederhana itu. Alasannya adalah bahwa misi mereka telah dicoba sebelumnya beberapa kali, dan semuanya menghasilkan lebih dari 90% kematian. Terlepas dari semua itu, tidak ada seorang veteran pun yang ikut dalam misi ini. Olivia mungkin satu-satunya di peleton ini yang memiliki pengalaman pertempuran.

Ashton tenggelam dalam pikirannya ketika dia memandang Olivia di depannya.

(Enggak, enggak, itu enggak mungkin.)

Dia mendengar alasan Olivia diangkat sebagai Pembantu Letnan Dua dari Maurice, tapi Ashton masih tidak percaya sampai sekarang. Tidak mungkin lengan ramping itu memiliki kekuatan untuk menebas kepala manusia.

Sesuatu terlintas di pikiran Ashton pada saat ini. Setelah dipikir-pikir, dia menyadari sesuatu.

(Ngomong-ngomong, aku belum melihat Maurice akhir-akhir ini ...)

Senyum koplak Maurice muncul di benaknya. Ashton tidak begitu dekat dengannya, tetapi dia adalah seorang kawan yang menerima 'instruksi' khusus bersamanya. Dia akan berbohong jika dia bilang dia tidak peduli.

"Hei, apa kau melihat Maurice belakangan ini?"

Ashton bertanya kepada seorang pemuda berambut hitam, Guile, di sampingnya.

"Hah? Maurice ...? Iya juga, aku sudah lama belum melihat pria itu sekarang."

Guile yang memiliki wajah menakutkan mengangkat kepalanya dan menjawab dengan tidak sabar.

"Kau juga enggak tahu ya, Guile ... Apa ada yang melihatnya?"

Ashton berbalik, dan Guile mengikuti pandangannya. Di depan mereka ada sekelompok rekrutan yang berjalan terhuyung-huyung, mata mereka kosong.

“—— Lupakan itu, enggak mungkin mereka tahu. Mereka semua tiba di benteng setelah kita, dan belum pernah melihat Maurice sama sekali.”

Dengan itu, Guile memandang Ashton dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"A-ada apa?"

“Enggak, aku hanya terkejut bahwa kau masih sempat untuk memperhatikan orang lain. Aku iri."

Guile mengangkat bahu. Ketika dia mendengar itu, Ashton melambaikan tangannya:

“Enggak, enggak sama sekali! Cuma kepikiran aja, aku juga kelelahan."

“Yah, terserahlah. Nasib kita sudah ditentukan juga.”

Sekelompok rekrutan yang dipimpin oleh seorang gadis yang asalnya meragukan. Mereka tidak tahu apa yang direncanakan atasan, tetapi kata-kata Guile tepat sasaran. Tidak ada yang mengatakannya dengan keras, tetapi mereka semua merasa bahwa misi ini pasti gagal.

Mereka juga tahu bahwa mereka akan mati bersama dengan kegagalan misi itu——

"Hei, Ashton. Ashton!! ”

Ketika dia menyadarinya, Olivia sedang menatapnya dengan pipinya yang cemberut. Ashton terkejut betapa dekatnya dia, dan tersentak mundur. Olivia memiringkan kepalanya dengan bingung. Olivia melakukannya dengan natural, tetapi Ashton terpesona olehnya.

“K-Kau tidak perlu bersuara keras, aku bisa mendengarmu. Atau lebih tepatnya, tolong jaga suaramu. Kita tidak ingin menarik perhatian binatang buas."

Berbeda dengan dataran yang dihuni oleh manusia dengan kota-kota, ada banyak binatang buas yang bersembunyi di hutan. Jika manusia adalah penguasa dataran, maka binatang buas penguasa di hutan dan bukit. Bahkan seorang prajurit bersenjata lengkap hanyalah mangsa bagi binatang buas.

Ketika Ashton memberikan saran ini, Olivia mengabaikannya, berkata: "Kalau binatang buas datang, kita bisa membunuh dan memakannya." Dia bahkan tersenyum ketika mengatakan itu. Ashton sangat kesal sehingga dia lupa Olivia adalah atasannya, menjulurkan lidahnya dan membuat suara "bleeeehh" tiga kali. < :p >

“Uwah! kau pura-pura jadi burung!? Lucu banget, aku juga mau coba!”

"Aku enggak meniru burung!"

Ashton membantah dengan refleks, yang membuat Olivia tertawa terbahak-bahak. Para rekrutan baru yang mendengarnya juga tertawa terkekeh-kekeh.

“Terus, aku bisa makan kue dari ibukota. Ashton, apa kau tahu kue? Itu adalah makanan penutup yang manis banget.”

“... Kau mengganti topik terlalu cepat. Tentu saja aku tahu apa itu kue. Aku juga pernah makan. Walau pun terlihat seperti ini, aku tinggal di ibu kota lho.”

"Oh, jadi kau pernah makan kue sebelumnya. Ashton, kau luar biasa!”

(—— Apa gadis ini mngejekku?)

Ashton berpikir sejenak, tetapi menyadari itu tidak benar ketika dia melihat mata Olivia. Matanya berbinar karena kekaguman. Ashton menyadari bahwa dia hanya akan bertambah kesal jika dia melanjutkan percakapan, jadi dia mengabaikan pandangan Olivia dan berjalan melewati semak-semak. Namun, serangga yang terbang keluar dari semak-semak semakin membuatnya kesal.

Ada jalan setapak di dekat pintu masuk hutan, jadi masih mudah untuk berjalan. Tetapi semakin dalam mereka berkelana, semakin padat vegetasinya, menghalangi jalan mereka. Di atas mereka, kanopi tebal dedaunan menghalangi sinar matahari, jadi itu relatif dingin. Namun, mereka bisa mendengar suara kicauan burung yang menyeramkan sesekali, yang membuatnya merinding. Itu sama untuk rekrutan lainnya yang menatap ke sekeliling.

Ashton mengambil napas dalam-dalam dan mengusap keringat di alisnya. Hanya berjalan di medan seperti itu melelahkan.

Di sisi lain, Olivia berjalan santai di hutan, dan sesekali akan memetik bunga dan menghisap nektarnya.

Di hutan ini, ada banyak bunga beracun, dengan yang paling terkenal adalah 《Bunga Pemikat》. Sebagian besar racun hanya akan menyebabkan sedikit mati rasa, tetapi ada beberapa racun mematikan yang menyebabkan demam tinggi.

Olivia mungkin tahu bunga mana yang harus dipetik, karena dia tidak pernah menyentuh bunga yang beracun. Ashton memiliki pengetahuan tentang hal ini, tetapi orang normal tidak akan bisa membedakannya. Tampaknya Olivia memang hidup di hutan sebelumnya.

(Selain itu, bagaimana bisa Olivia berjalan dengan begitu mudah? Meskipun dia mengenakan baju zirah yang begitu berat.)

Ashton dan yang lainnya mengenakan zirah kulit yang terbuat dari kulit binatang. Itu adalah zirah ringan dengan tingkat pertahanan rendah. Namun, itu berat bagi para rekrutan.

Dibandingkan dengan mereka, Olivia mengenakan baju besi lengkap. Di atas zirah rantai, ada piringan besi yang menutupi bahu, lengan, tulang kering, dada dan tempat-tempat lainnya. Itu jauh lebih berat daripada zirah kulit, tetapi Olivia bahkan tidak berkeringat.

"Pembantu Letnan Dua Olivia, bisakah aku bertanya sesuatu?"

"Hmm? Ada apa?"

“Pembantu Letnan Dua Olivia, apa kau tidak lelah? Yah ... zirahmu jauh lebih berat dari kami.”

"Ehh? Aku enggak capek sama sekali. Dan zirahnya juga enggak berat.”

"Hah, begitu ya... Bukan apa-apa, maafkan aku."

"?"

Olivia memiringkan kepalanya dengan bingung, tetapi dengan cepat kehilangan minat dan melihat ke depan.

(Bahkan jika dia adalah perwira atasanku, itu terlalu memalukan untuk dikalahkan oleh seorang gadis. Yah, kita pasti akan dibunuh oleh bandit, jadi tidak ada gunanya mengkhawatirkan hal ini.)

Ashton terus memandangi sosok bahagia Olivia. 

Siang baru saja berlalu, dan matahari sedang menuju ke barat.

Peleton Khusus Olivia menemukan ruang terbuka untuk mendirikan kemah dan beristirahat. Ini bukan atas perintah Olivia, tetapi Ashton yang menasihatinya bahwa jika mereka menggunakan stamina Olivia yang tampaknya tak ada habisnya sebagai standar, para prajurit akan kelelahan sebelum mereka mencapai kastil.

Semua anggota peleton berterima kasih pada Ashton dengan air mata berlinang. Guile bahkan bertanya kepadanya secara berlebihan: "Apa kau seorang dewa?"

Ashton menertawakan semua itu sambil tersenyum, dan tidak menanggapi. Sejujurnya, motivasi utamanya adalah dia ingin beristirahat. Dan sekarang, dia tidak akan pernah mengatakan itu dengan lantang. Ashton menemukan tempat untuk duduk dengan perasaan bersalah di dalam hatinya, dan Olivia duduk di sampingnya seolah itu adalah hal yang biasa.

“Maaf, aku enggak capek sama sekali, jadi aku enggak menyadarinya. Ashton memang hebat."

Olivia kemudian bertepuk tangan dua kali untuknya.

"Haha, aku sudah tahu Pembantu Letnan Dua Olivia tidak lelah ketika aku bertanya padamu sebelumnya."

Ashton berkata dengan sedih. Olivia tiba-terbelalak karena terkejut dan berkata:

"M-Mungkinkah, kau bertanya padaku apa aku lelah ... untuk mengisyaratkan padaku, komandan peleton, kalau kita perlu istirahat? Dan kau ingin aku memerintahkan untuk istirahat? Tapi aku enggak tahu maksudmu. Jadi Ashton memintaku untuk beristirahat sebentar secara langsung. Apa aku benar?"

Kau benar-benar salah— Tentu saja Ashton tidak berani mengatakan itu. Dia mengalihkan tatapannya dari pandangan tulus Olivia, dan melihat para rekrutan yang sedang makan menatapnya. Dia mendecakkan lidahnya dalam hati. Jika dia mengatakan yang sebenarnya, para rekrutan akan menatapnya dengan tatapan merendahkan. Kalau begitu, hanya ada satu pilihan.

Ashton menelan ludah, dan mengangguk pelan:

“H- Haha, kau benar. Aku minta maaf karena lancang."

Ashton menjawab dengan berlebihan, dan Olivia mengangguk dengan gembira, mengatakan, "Aku akhirnya mengerti gimana perasaan manusia." Ashton tidak tahu apa yang Olivia bicarakan, tapi itu sangat membantu bahwa Olivia menafsirkannya seperti itu. Anggap saja seperti itu.

Ashton merasa lega, dan menangkap tatapan para rekrutan. Mereka semua tersenyum dan memberi hormat kepadanya.

"Oke. Ini sudah siang, mari kita makan siang."

Ashton yang punggungnya basah oleh keringat dingin mengeluarkan roti dan dendeng dari bungkusnya, dan sebotol mustar buatannya. Ketika Olivia memperhatikan dengan penuh rasa ingin tahu, Ashton menggunakan pisau untuk memotong roti menjadi dua, memasukkan dendeng, dan menambahkan mustard di atasnya. Dia kemudian melahapnya, rasa pedas dan asam terasa lezat.

“Hmm, boleh juga. Untung aku membawa mustar buatanku sendiri.”

Olivia memandang Ashton yang sedang berbicara sendiri dengan lapar. Dia tampak seperti hampir mengeluarkan air liur, tetapi dia tidak mengeluarkan ransumnya. Ashton yang bingung bertanya:

"Pembantu Letnan Dua Olivia, kau tidak makan?"

“Yah, aku udah makan ransumku. Jadi aku akan berburu beberapa burung."

Ketika dia mendengar itu, Ashton menjadi kaku. Menghabiskan ransum lima hari atau berburu burung untuk dimakan, ada terlalu banyak hal yang perlu dipertanyakan. Terlepas dari apa yang dia katakan, Olivia tidak bergerak untuk berburu burung, dan memandang tangan Ashton. Dia terus melakukannya setelah Ashton selesai makan.

(Haah ... Mau bagaimana lagi.)

Tercengang oleh kelakuan Olivia, Ashton mengulangi langkah-langkah untuk membuat sandwich lain, dan menawarkannya padanya.

"Ehh! Boleh kumakan?"

"Aku tidak akan memberikannya padamu kalau kau tidak boleh makan ini. Bagaimana kalau kau diserang oleh binatang buas ketika kau pergi berburu?"

"Binatang buas enggak masalah sama sekali ... Tapi terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Seperti yang kuduga, Ashton manusia yang baik!”

Olivia kemudian menggigit sandwich, lalu berteriak dengan wajah gembira: "Enak!"

(Aku ingin tahu berapa banyak lagi makanan yang bisa kita makan...)

Ashton berpikir ketika dia melihat wajah bahagia Olivia. Pada saat ini, sebuah jeritan datang dari belakangnya.

"A-Apa yang terjadi!?"

Ashton berbalik dan melihat binatang berkaki empat tertutup bulu kuning, dengan tanduk putih di dahinya— binatang buas bertanduk satu.

"—— !?"

Rambut Ashton berdiri tegak karena takut. Binatang buas bertanduk satu dikenal ganas, dan tanduknya memberinya kekuatan serangan yang luar biasa. Binatang Itu omnivora, dan bahkan akan memakan manusia.

Binatang bertanduk satu itu dengan cepat menyerang para rekrutan di sekitarnya. Merka berlarian ke segala arah.

“P-p-pembantu LetDa Olivia! Itu adalah binatang buas bertanduk satu! binatang buas bertanduk satu!"

“- Hmm? Oh benar! Mungkin dia ke sini untuk bermain dengan manusia."

Olivia yang masih makan dengan gembira berkata dengan tenang. Seorang rekrutan yang matanya merah karena ketakuan berteriak:

“Hah!? Apa kau melamun? Lihatlah situasinya! Binatang itu menyerang kita!”

Olivia yang diteriaki oleh rekrutan itu akhirnya memperhatikan keseriusan situasi, dan memelototi si Binatang buas bertanduk satu dengan mata menyipit. Untuk sesaat, Ashton berpikir Olivia bahkan lebih menakutkan daripada Binatang buas bertanduk satu.

“Oh, binatang itu, ya. Ini adalah buruan langka, tapi rasanya enggak enak banget~”

“Hah!? Rasanya tidak enak!? Ahhhh!? Bukan itu masalahnya!! Kita harus kabur dari sini!!”

Ashton meraih lengan Olivia, dan mencoba menariknya untuk melarikan diri. Tetapi lututnya yang gemetar tidak membiarkannya bergerak, dan dia berdiri di sana seolah-olah kakinya terpaku ke tanah.

(Hei, apa kau bercanda!?)

Dia terus berusaha menggerakkan kakinya, tetapi kakinya menentang perintahnya. Binatang buas bertanduk satu itu mungkin memperhatikan situasi Ashton, dan mengarahkan tanduknya ke arahnya. Binatang buas bertanduk satu yang meneteska liurnya melolong, kemudian berlarri ke arah Ashton.

(—Ini dia. Tak disangka alih-alih mati dalam pertempuran, aku akan dimakan oleh Binatang buas bertanduk satu. Ini adalah lelucon yang sangat buruk.)

Dengan pemikiran itu, Ashton mencengkeram tombaknya dengan tangan gemetar. Dia mengambil napas dalam-dalam, lalu mengarahkannya ke arah Binatang buas bertanduk satu.

Ashton tahu itu sia-sia. Manusia biasa tidak bisa menghadapi avatar dari kematian ini secara langsung. Ini hanya perjuangan terakhirnya.

Ketika Ashton diliputi rasa keputusasaan, sesuatu yang tak terduga terjadi. Mungkin dia menjadi gila karena rasa takutnya, tapi Olivia berjalan santai menuju Binatang buas bertanduk satu itu.

“—— !? Cepat lari! Olivia, binatang itu akan membunuh dan memakanmu juga!”

"Ahaha, Ashton, kamu benar-benar suka bercanda."

“Ini bukan waktunya untuk bercanda! Lari saja!"

"Tenang saja."

Dengan senyum tipis, Olivia menghunus pedangnya, dan menghilang. Lebih tepatnya, dia menyerbu Binatang buas bertanduk satu itu. Setidaknya oleh Ashton, Olivia terlihat tiba-tiba menghilang.

Ketika dia melihat Olivia tiba-tiba berlari ke arahnya, Binatang buas bertanduk satu itu menusukkan tanduknya. Olivia menangkis tanduk dengan pedangnya, lalu menusukkan pedang ke rahang Binatang buas bertanduk satu itu, tepat menembus kepalanya.

“GRRAAAAHHH…… !?”

Binatang buas bertanduk satu itu terjatuh sambil melolong. Itu semua terjadi dalam sekejap, dan mengejutkan semua orang. Mereka semua melihat pemandangan itu dengan wajah tercengang.

Olivia berbalik dan berlari kecil ke arah Ashton. Pedang hitam di tangan kanannya mengeluarkan kabut hitam. Ketika Ashton menyadarinya, dia sudah jatuh terduduk.

"Yah, bukannya aku sudah bilang kalau binatang buas bukan masalah?"

Olivia berdiri di depan Ashton dan berkata dengan acuh tak acuh.

“Hiee! B-benar. Pembantu Letnan Dua Olivia, kau benar sekali.”

Ashton berhenti berbicara setelah itu. 

Tiga hari setelah Peleton Khusus Olivia berangkat dari Benteng Gallia.

"Komandan Peleton Olivia, apa anda lapar? Silakan makan dendeng saya!"

Seorang rekrutan dengan gembira menawarkan dendengnya. Setelah dia memulainya, yang lain berkumpul di sekitar Olivia, berkata "Biarkan aku memberikan milikmu juga" "Aku juga", dan menawarkan roti dan makanan kering. Olivia berterima kasih kepada mereka saat dia makan makanan itu sambil tersenyum.

Ashton telah melihat ini berkali-kali selama beberapa hari terakhir.

Para rekrutan itu tampak seperti pemuja yang memberikan persembahan kepada Dewi Citresia. Dan ini karena Olivia membunuh binatang buas bertanduk satu secara instan. Ini menunjukkan kepada semua orang bahwa Olivia bukan hanya seorang gadis biasa, tetapi gadis sangat kuat.

Guile bahkan menyebut Olivia "Valkyrie Berambut Perak", dan menghormatinya. Semangatnya memengaruhi anggota yang lain, dan menghasilkan situasi ini. Moral para rekrutan sangat tinggi ketika mereka berjalan di belakang Olivia.

Selama waktu ini, Ashton memikirkan pedang Olivia. Dia tidak bisa melupakan pemandangan kabut hitam yang menutupi bilahnya. Tidak peduli seberapa asingnya dia dengan senjata, Ashton dapat mengatakan bahwa pedang Olivia tidak normal.

"Apa? Kau terlihat bengong. Apa kau lapar?"

Olivia kemudian mengambil roti dari tas punggungnya yang menggembung. Ashton menggelengkan kepalanya dengan wajah yang mengatakan, "Hargai persembahan dari pemujamu."

"Aku tidak lapar. Ngomong-ngomong, boleh aku bertanya?"

"Enggak masalah ... Tapi sebelum itu, Bahasa resmimu itu? Apa kau bisa berhenti menggunakannya sekarang? Rasanya rumit, aku enggak suka itu."

"Aku tidak bisa."

Ashton menolaknya tanpa berpikir dua kali.

"Muu - kenapa? Kamu berbicara denganku dengan normal di aula makan.”

Olivia tidak senang dengan jawaban Ashton, dan menggembungkan pipinya.

“Aku tidak tahu kalau kau adalah perwira atasan saat itu. Jadi, bahkan jika kau memintaku untuk mengubah cara bicaraku... "

"Hmm ~ tentara benar-benar merepotkan ... Benar! Kalau gitu, maka aku akan memerintahkan ini! Ashton dilarang menggunakan bahasa resmi saat berbicara denganku! Ah, ini juga berlaku untuk semua orang, jangan memaksakan dirimu untuk menggunakan bahasa resmi denganku.”

Olivia memikirkan sebuah ide dan bertepuk tangan. Para rekrutan bingung oleh perintah yang tiba-tiba, dan hanya Guile berlutut ketika dia mendengar itu, dan berkata: "Jika itu kehendak valkyrie."

Bahkan Olivia terkejut Guile bertindak sejauh itu.

Ashton bersyukur bahwa Olivia memberikan perintah itu. Belum terlalu lama sejak pertemuannya dengan Olivia di aula makan, jadi cara bicaranya sekarang terasa tidak wajar. Biasanya, dia tidak boleh berlaku kurang ajar kepada perwira atasan, tetapi itu tidak akan menjadi masalah dengan perintah ini. Ashton mencoba meyakinkan dirinya dengan itu.

“Aku akan melakukannya kalau begitu. Aku mau tanya, kabut hitam apa yang keluar dari pedangmu itu? Aku yakin aku enggak salah lihat.”

“Oh ~ kamu penasaran dengan pedang ini. Ini adalah--"

"Komandan Peleton Olivia, Guile yang rendah hati ini telah melihat benteng!"

Guile yang berjalan di depan berbalik dan melambaikan tangannya, memotong kata-kata Olivia.

"Sepertinya itu benteng tujuan kita."

Seorang prajurit memeriksa peta untuk mengonfirmasi. Di depan mereka terdapat benteng yang terbuat dari batu yang ditutupi tanaman merambat. Jarak mereka masih agak jauh, tetapi benteng itu terlihat  sudah rusak parah, dan jelas sudah lama ditinggalkan.

"Kita akhirnya sampai, ya. Oke, semuanya, ayo bergegas!”

Olivia mengangkat tinjunya tinggi-tinggi, dan berjalan dengan berani menuju benteng.

(Aku enggak mendapatkan jawabanku tentang pedangnya. Sudahlah.)

Para rekrutan bergegas mengikuti Olivia.

Ashton mempercepat langkahnya juga.

"Tunggu! Olivia! Ini terlalu gegabah! ”

"Komandaan Peleton Olivia, ini buruk! Tolong kembali!"

"Ahaha, tenang saja. Ayo kita pergi!"

Olivia mengabaikan Ashton dan Guile, dan menyerbu ke arah benteng. Tanpa pilihan lain, Ashton dan yang lainnya mengikuti sambil tetap waspada terhadap lingkungan sekitar.

"Benteng ini dalam kondisi yang buruk."

Melihat benteng dari dekat, kerusakannya bahkan lebih menonjol. Mereka bisa melihat dinding yang runtuh, dan dinding yang masih berdiri mungkin akan runtuh dengan sedikit dorongan. Apa ada gunanya merebut kembali benteng semacam ini? Ashton mulai ragu.

"Ngomong-ngomong, itu markasnya para bandit, jadi kenapa sangat sepi?"

Guile mengintip di pintu masuk. Ashton setuju dengan penilaiannya. Olivia tidak menjawab, dan mengambil tombak dari seorang prajurit, dan berkata: "Pinjam ya."

"Ehh!?"

Prajurit itu terkejut dengan tindakan Olivia yang tiba-tiba. Olivia tidak memedulikannya, menyiapkan tombak, dan melemparkannya jauh-jauh. Tombak itu melayang di udara dan mendarat di semak-semak.

Suara seperti katak yang tergencet terdengar. Ashton dan Guile saling memandang dan berkata:

"… Aku dengar sesuatu."

"Kurasa aku enggak salah dengar juga."

Mereka saling mengangguk, lalu merayap menuju sumber suara dengan para rekurtan lain. Mereka mnyibak semak-semak dan menemukan seorang pria di tanah, dengan darah dan otak berserakan di mana-mana. Sebuah tombak tertancap di pohon di dekatnya.

Sudah jelas bagaimana pria itu tewas.

"Oh, tepat sasaran."

Olivia yang datang tanpa mereka sadari bersorak ketika melihat mayat itu.

"O-Olivia, apa yang terjadi... !? ”

“Hmm ~ gimana aku jelasinnya ya. Dia telah mengikuti kita, dan mungkin seorang bandit? Atau tikus selokan?"

Olivia tertawa ketika para rekrutan memandang dengan wajah pucat. Setelah bertukar pandang dengan diam, mereka menyiagakan tombak mereka dan bersiap-siap untuk pertempuran. Ketika Ashton dan peletonnya memperhatikan sekeliling mereka dengan hati-hati, seorang lelaki dengan tombak di bahunya berjalan keluar dengan berani dari bayang-bayang benteng. Dia tinggi, berambut panjang, dan matanya setajam elang.

“Hmmp, aku terkesan kalian menyadari kehadiran orang itu. Siapa yang membunuhnya?"

Lelaki itu kemudian memeriksa kelompok itu dengan mata menilai. Ketika matanya tertuju pada Olivia, dia berhenti bergerak dan berkata:

“- Itu pasti kau. Penampakanmu benar-benar berbeda dari yang lain. Apa kau pemimpin peleton ini?"

"Ya, aku Olivia. Senang bertemu denganmu."

Olivia melambaikan tangannya dan menyambutnya dengan santai. Pria itu melambai dengan senyum masam.

“Oh, terima kasih atas perkenalannya, aku akan mengingatnya. Namaku Wulf - hanya untuk memastikan, kenapa kau ada di sini? "

Wulf menjentikkan jarinya, dan sekelompok bandit muncul di pintu masuk benteng. Mereka berjumlah sekitar 40. Mereka semua tersenyum dingin ketika mereka menyiagakan senjara mereka dengan santai. Jelas dari wajah mereka bahwa mereka tidak ragu membunuh orang. Para rekrutan lah yang giginya bergemertak karena ketakutan, sementara Olivia tidak bergerak sama sekali.

"Kami di sini untuk merebut kembali benteng. Apa boleh buat karena ini adalah misi kami, tapi aku masih merasa aneh untuk mengambil kembali sesuatu yang telah dibuang.”

"Haha , kau benar, Nona muda. Kalau begitu, bisakah aku memintamu untuk kembali? Ini merepotkan untuk mengubur mayat-mayat. ”

Wulf berkata sambil mengangkat bahu. Seorang bandit segera menggerutu, "Tapi kami yang harus bersih-bersih tuh." Sementara para bandit mengejek para tentara...

"Ehh ? Enggak mau mengubur mayat. Apa aku bisa minta tolong kalian?”

Olivia berkata sambil memandangi para rekrutan. Mereka mengangguk serentak dengan wajah pucat. Dan tentu saja Ashton dan Guile melakukan hal yang sama.

Senyum itu hilang dari wajah Wulf , dan dia bertanya dengan tatapan sengit:

"... Hanya untuk mengkonfirmasi lagi, apa maksudmu dengan 'mengubur mayat'?"

“Mengubur mayat ya mengubur mayat, ada apa? Kau enggak ngerti apa yang aku katakan?"

Kata-kata provokatif Olivia membuat marah para bandit, dan suasana menjadi tegang. Wulf menghentikan anak buahnya, dan mulai memutar tombaknya. Suara ujung tombak yang memotong udara bisa terdengar, dan rumput bergoyang ketika tombak berputar.

"Kamu benar-benar sombong, Nona kecil. Atau kau bodoh? Orang-orang yang mengatakan hal seperti itu kepadaku semuanya mati. ”

"Kalau begitu, aku akan menjadi yang pertama yang selamat."

Setelah Olivia mengatakan itu, Wulf menusuk dengan kuat. Bagi Ashton, tidak ada waktu untuk bereaksi. Namun, Olivia berbalik dan menghindar tepat sebelum ujung tombak mencapai jantungnya. Dia kemudian menjepit tombak di bawah ketiaknya, dan meluncur ke lengan Wulf .

"B-Bagaimana mungkin!?"

Wulf mencoba melepaskan Olivia dari tombaknya, tetapi tidak bisa menggerakkannya sedikit pun.

"Tombak memang bagus untuk pertarungan jarak menengah, tapi tidak ada gunanya ketika musuh menyelinap dari dekat. Pedang masih yang terbaik."

Olivia menghunus pedangnya dan mendorongnya ke tenggorokan Wulf. Wulf kehilangan keinginannya untuk bertarung, melepaskan tombaknya dan memohon:

“A-aku mengerti! Aku menyerah! Kami akan meninggalkan benteng ini!"

"Enggak bisa. Ajudan Otto enggak mau kepala, tapi perintahnya adalah untuk membunuh kalian semua.”

Olivia tidak ragu-ragu untuk menusuk pedang gelap itu melalui kepala Wulf. Darah mengalir keluar, mewarnai tanah menjadi merah gelap. Wajah Wulf memucat, dan tubuhnya berhenti bergerak setelah kejang singkat. Dia datang dengan cepat, dan mati dengan cepat.

Olivia kehilangan minat pada Wulf, dan melemparkan tubuhnya kesamping. Dia kemudian mengalihkan pandangannya pada bandit-bandit yang tersisa.

"Fiuh— oke, mari kita selesaikan sisanya dengan cepat!"

Sementara para bandit masih dikejutkan oleh pemandangan di depan mereka, pedang gelap itu berkilau dalam cahaya.

"Sial! Sial! Sial! Apa apaan! Bagaimana bisa jadi seperti ini!?”

Pria itu mengutuk sambil memukul-mukul tanah. Jeritan dan tangisan telah berhenti, dan dia hanya bisa mendengar napasnya yang terengah-engah.

——Pasukan dari Tentara Kekaisaran datang untuk merebut kembali benteng.

Ketika dia mendengar berita itu dari rekan-rekannya, pria itu menjadi bersemangat. Dia ingin mencoba jika pedang barunya tajam, dan mangsa mendatangi mereka. Dan musuh kali ini berbeda dari kelompok sebelumnya, mereka tampak mampu berteriak dengan indah.

"Sial! Aku harusnya…"

Pria itu teringat kembali pada sosok kepahlawanannya terakhir kali ketika dia membunuh prajurit yang lemah dari Kerajaan dengan mudah. Pemandangan dia dan rekan-rekannya mengejar para prajurit dengan mayat-mayat berserakan sebagai latar belakang terlintas di benaknya.

Seharusnya hari ini juga sama, tapi sekarang—

"- Yang benar saja, apa kita sudah selesai bermain kejar-kejaran sekarang?"

Gadis itu berjalan mendekat dan langkah kakinya menciptakan suara berdesir dalam darah. Pedang hitamnya yang berlumuran darah tertutup oleh kabut yang tidak menyeramkan.

“Hah, hah, t-tolong! Ampuni aku! Tidak, tidak, tolong lepaskan aku!!”

Pria itu memohon untuk hidupnya dengan sekuat tenaga. Dia terjatuh di lantai, setelah kehilangan kekuatannya untuk melarikan diri. Pedangnya patah, dan tidak bisa berfungsi sebagai senjata. Bau darah yang menyesakkan tidak dipedulikan oleh lelaki itu sekarang.

(Semua orang kecuali aku sudah ...)

Dia melihat sekelilingnya, dan melihat 40 rekannya semuanya telah mati. Atau lebih tepatnya, mereka telah beralih menjadi tumpukan mayat di lantai. Dan ini semua dilakukan oleh gadis berambut perak itu, yang merupakan avatar kematian. Itu tidak berlebihan untuk memanggilnya Dewa Kematian.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, lelaki itu berdoa kepada Dewi Citresia.

(Tolong! Aku tidak akan merampok lagi! Aku tidak akan membunuh lagi! Aku tidak akan memperkosa lagi! Jadi tolong, tolong selamatkan aku dari Dewa Kematian ini!!)

Suara seperti lonceng mencapai telinga pria itu, dan terdengar seperti musik Dewa Kematian.

"Hmm ~ Bukankah kesepian kalau hanya kau yang hidup?"

"Tidak sama sekali! Aku bersumpah akan hidup layak atas nama rekan rekanku!! ”

"Haah ~ bahkan jika kau bialng itu padaku, itu merepotkan. Ajudan Otto ingin aku membunuh kalian semua, dan manusia ini bahkan menangis karena kesepian.”

Gadis itu menancapkan pedangnya ke sebuah kepala, lalu melemparkannya dengan lembut. Kepala itu melengkung indah di udara, dan mendarat di depan pria itu dengan bunyi gedebuk.

" Hiee!"

Itu adalah kepala sahabatnya, Dennis.

Wajahnya membeku karena ketakutan dalam kematian, dan cairan merah mengalir dari matanya.

"Hiee - !?"

"Yah, seperti yang kau lihat, aku benar. Baiklah kalau begitu."

Gadis itu berdiri di depan pria itu dan mengangkat pedang hitamnya dengan senyum masih di wajahnya.

Dia mungkin berhalusinasi karena stres oleh rasa takut.

Untuk beberapa alasan, pria itu berpikir benda yang diayunkan gadis itu adalah sabit gelap— 

Setelah mengirim seorang utusan kembali untuk melaporkan keberhasilan misi, Peleton Khusus Olivia melanjutkan tugas berikutnya. Mereka harus mempertahankan benteng ini sebelum unit garnisun datang. Ini hanya sebatas formalitas, dan mereka tidak benar-benar perlu melakukan sesuatu secara khusus. Karena bandit telah diberantas, mereka tidak perlu khawatir akan diserang. Satu-satunya hal yang harus mereka lakukan adalah mengubur mayat-mayat untuk menghindari menarik binatang buas. Dan tentu saja, seperti yang dikatakan Olivia sebelumnya, dia tidak mengambil bagian dalam tugas itu.

Olivia yang bosan kemudian berburu atau memancing p;ara rekrutan sepanjang hari. Dia juga melatih mereka saat mereka menghabiskan waktu di benteng dengan santai .

Itu adalah hari-hari singkat yang penuh arti dan damai.

Suatu malam, para rekrutan berkumpul di sekitar api unggun di bawah malam berbintang dan berbicara tentang Olivia.

"Pokoknya, Komandan Peleton Olivia luar biasa kuat."

"Aku pikir juga begitu. Membunuh Binatang buas bertanduk satu memang luar luar biasa, tetapi membantai 40 bandit sendirian biasanya enggak mungkin.”

"Jika aku memberi tahu orang-orang di Benteng Gallia tentang ini, mereka enggak akan percaya padaku."

Semua rekrut mengangguk setuju.

"Dibandingkan dengannya, kita cuma..."

"Jangan! Kita semua sepakat untuk tidak membahasnya ... Kita memalukan.”

Saat itu, mereka semua merasa depresi. Ketika Olivia menebas bandit satu per satu, alih-alih membantunya, mereka hanya berdiri diam dan gemetar. Beberapa dari mereka bahkan terkencing-kencing karena takut.

Tetapi mereka tidak diejek karena itu. Mereka semua tahu itu hanya masalah apakah mereka bisa menahannya atau tidak. Itu memalukan bagi orang-orang ini, tetapi ini adalah konsensus semua rekrutan.

Api unggun berderak dalam kegelapan.

Salah satu rekrutan berkata dengan menyesal:

“Kita benar-benar memalukan. Tapi itu sebabnya kita meminta Komandan Peleton Olivia untuk melatih kita, sehingga kita bisa berguna dalam pertempuran berikutnya, ya kan?"

“I-Itu benar. Kita hanya perlu belajar dari kesalahan kita. ”

Seorang prajurit lain mengepalkan tinjunya dengan tekad. Tetapi beberapa prajurit lain berkata dengan gelisah:

"Tapi apakah pelatihan Komandan Olivia berguna?"

“Aku memikirkan hal yang sama. Aku pikir dia akan mengajari kita cara menggunakan pedang atau tombak, sebagai gantinya... ”

“Apa ada gunanya pelatihan itu? Aku enggak ngerti."

Semua rekrutan tampak bingung.

Pelatihan Olivia sederhana. Para prajurit berpasangan, salah satu akan menyerang, dan yang lainnya akan bertahan. Penyerang harus terus menyerang dengan pedang kayu, dan yang bertahan harus bertahan dengan perisai. Mereka akan bergantian setelah beberapa waktu, dan proses ini terus berulang.

Dibandingkan dengan pelatihan di Benteng Gallia, tidak ada pelatihan senjata, atau menyerang target tiruan. Ini mungkin terdengar praktis, tetapi itu tidak terlalu berbeda dari permainan ketika mereka masih anak-anak.

“Ngomong-ngomong, kita harus mengamati pergerakan lawan kita? Kita bisa menjadi kuat jika kita melakukan itu? Oh, maksudku bukan aku meragukannya, tapi ...? ”

Lihat, amati, periksa.

Garis terbentuk dari titik-titik, dan lingkaran digambar dengan garis.

Para rekrutan bingung dengan apa yang dikatakan Olivia. Mereka meminta penjelasan yang lebih sederhana, dan dia menyuruh mereka mengamati gerakan lawan mereka dengan hati-hati.

"Aku tidak bisa memastikan karena pelatihan baru saja dimulai, tapi aku tidak merasa akan menjadi lebih kuat hanya dengan itu."

"Tapi kita hanya bisa percaya padanya, kan? Karena Komandan Peleton Olivia — Valkyrie kita mengatakan demikian.”

Semua anggota baru memandangi Valkyrie yang dimaksud— Olivia, yang sedang makan ayam panggang dengan gembira. Di sampingnya ada Guile yang mencabut bulu-bulu dari seekor burung, dan Ashton yang sedang mengolesi sesuatu pada burung itu ketika dia memanggangnya.

"… Betul. Komandan Peleton Olivia menyelamatkan hidup kita. Dan tidak sopan mencurigainya, karena kita yang memintanya. ”

"Kau benar, jika itu adalah Komandan lain, kita pasti akan mati."

"Benar— Baiklah kalau begitu! Mari bersulang untuk Komandan Peleton kita, Valkyrie!”

""Bersulang!!"""

Para rekrutan mengangkat mug mereka dengan tawa.

[edit]

Tentara Kerajaan, Benteng Gallia, Kantor Komandan

Neinhart yang datang ke Benteng Gallia sebagai penghubung, melaporkan rencana pertempuran untuk Pasukan Pertama dan Ketujuh untuk berkoordinasi dan merebut kembali Kastil Kaspar kepada Paul. Otto mengerutkan kening ketika dia membaca laporan dengan teliti.

"- Begitu ya. Ini adalah sesuatu yang akan dilakukan Lambert. Setelah merebut kastil Kaspar, kita tidak perlu khawatir tentang belakang kita, dan mengerahkan pasukan kita untuk menyerang Benteng Kiel... Tapi. "

Paul menghela napas pada saat ini, dan menatap langit-langit. Asap dari cerutunya menutupi kantor dengan kabut tebal.

"... Apa ada sesuatu yang membuat anda khawatir?"

“Ya, cukup banyak… tapi terutama, aku tidak mengerti alasan untuk merebut kembali Benteng Kiel sekarang. Sepertinya aku sudah mulai menua.”

Jawaban samar Paul membuat Otto tersenyum canggung ketika dia menggaruk wajahnya. Melihat mereka seperti ini, Neinhart mengangkat sudut bibirnya.

(Aku mengerti. Tampaknya Letnan Jenderal Paul dan Letnan Kolonel Otto menentang rencana ini.)

Merebut kembali Benteng Kiel adalah perintah Alphonse. Paul mengatakannya secara tidak langsung, tetapi apa yang dia katakan dapat ditafsirkan sebagai lese majeste. Namun, Neinhart tidak bermaksud menunjukkan hal itu, karena ia memiliki pandangan yang sama. Cornelius dan Lambert tidak akan mengatakannya dengan keras, tetapi mereka juga berpikiran sama.

Bagaimanapun, deklarasi Alphonse terlalu gegabah.

Alphonse tidak bodoh, tapi dia naik tahta pada saat yang buruk. Ketika Kaisar yang Baik Hati menyatakan niatnya untuk menaklukkan benua, Alphonse baru memerintah selama dua tahun. Dia akan punya waktu untuk berkembang jika dalam masa damai, dan dia akan menjadi raja yang baik. Namun, ini adalah masa kacau, dan Kerajaan berjuang di ambang kehancuran. Alphonse tidak punya waktu untuk belajar, dan tidak memiliki kemampuan untuk mengeluarkan perintah agar sesuai dengan situasi yang berubah-ubah.

Setelah memikirkannya dalam-dalam, rencananya adalah mengirim Pasukan Pertama untuk merebut kembali Benteng Kiel. Kerajaan sedang terombang ambing seperti perahu dalam badai karena jatuhnya Benteng Kiel. Dia mungkin berpikir dia bisa membalikkan keadaan dalam satu tindakan dengan merebut Benteng Kiel.

Neinhart menganalisis pertimbangan Alphonse, dan menggunakannya sebagai dasar untuk meyakinkan Paul:

"- Saya mengerti keprihatinan Anda, Letnan Jenderal Paul, tetapi kata-kata Yang Mulia sudah final. Dan kita tidak bisa membalikkan situasi hanya dengan bertahan.”

"… Itu benar. Saya sudah bicara terlalu banyak. Kembali ke topik, jika kita menyerang kastil Kaspar, di mana menurut anda Tentara Kekaisaran akan mencegat kita?”

Ketika dia mendengar pertanyaan Paul, Neinhart menunjuk ke suatu titik di peta. Otto berpikiran sama, dan mengangguk setuju.

"Tentara Kekaisaran pasti akan dikerahkan di dataran Iris. Ini adalah tempat terbaik untuk megerahkan pasukan. Kita mungkin akan berjalan melalui sini juga."

Jika mereka menyerang kastil Kaspar, maka pergi melalui dataran Iris akan menjadi rute terpendek. Alternatif lain adalah berjalan melalui hutan yang luas, atau mendaki tebing dan lembah. Itu berarti mengambil jalan memutar, dan menggunakan rute yang tidak cocok untuk pasukan besar. Hanya ada satu opsi.

"Aku juga berpikir begitu. Tapi itu berarti kita harus mengalahkan musuh di dataran Iris, dan kemudian menyerang kastil Kaspar. Itu akan sangat sulit."

Paul berkata dengan getir. Neinhart mengangguk setuju. Dibandingkan dengan sekitar 50.000 tentara di kastil Kaspar, jumlah pasukan gabungan Pasukan Pertama dan Ketujuh adalah 55.000. Tentara Kerajaan memiliki keunggulan dalam hal jumlah. Sekilas, Tentara Kerajaan berada di atas angin.

Namun, situasinya akan berbalik jika Benteng Kiel mengirim bala bantuan. Kerajaan tidak punya pilihan lain selain mundur. Itulah yang dikhawatirkan Paul. Dan Neinhart tidak punya solusi untuk masalah ini. Otto mengerutkan alisnya dan tidak mengatakan apa-apa.

Ketika suasana bertambah suram di sekitar ketiga pria itu, seseorang mengetuk pintu Kantor Komandan. Dengan izin Otto, seorang tentara masuk.

"Laporan yang mendesak?"

"Ya Pak, maaf mengganggu. Seorang utusan dari Peleton Khusus Olivia baru saja tiba, dan melaporkan bahwa Benteng Lamburg telah berhasil direbut.”

"Oh ~! Itu berita bagus. ”

“Bandit-bandit telah dibasmi. Peleton sedang melanjutkan misi kedua, laporan selesai."

"Dimengerti. Aku akan memberi mereka arahan baru nanti. Biarkan utusan itu bersedia di pangkalan untuk saat ini."

"Siap pak!"

Tentara itu dengan cepat meninggalkan Kantor Komandan. Berita baik yang tiba-tiba menghilakan atmosfir yang suram. Dan alasan untuk suasana yang santai ini adalah Paul yang tersenyum.

“Fufu, Pembantu Letnan Dua Olivia telah menyelesaikan misinya dengan sangat baik. Aku harus menyiapkan kue ekstra besar untuknya ketika dia kembali, atau dia akan marah."

"Haah ... Anda mengatakan itu lagi. Dia akan jadi sombong, jadi tolong jangan lakukan itu."

Menanggapi saran Otto, Paul berkata, "Kau tidak perlu seserius itu." dan tertawa terbahak-bahak. Otto menggelengkan kepala dengan pasrah dan menghela nafas. Neinhart juga seorang ajudan, dan bersimpati dengan Otto, tetapi itu tidak penting sekarang. Dia mendengar nama yang tidak bisa dia abaikan, dan bertanya.

"Apa orang yang dimaksud itu Pembantu Letnan Dua Olivia?"

"Hmm ...? Ya, benar, Pembantu Letnan Dua Olivia yang disebutkan dalam laporan barusan.”

(Seperti yang ku duga. Jadi dia tidak ada di benteng ini sekarang ...)

Salah satu tujuan Neinhart mengunjungi Benteng Gallia adalah untuk bertemu dengan Pembantu Letnan Dua Olivia. Dia tahu bahwa dia sedang mencampur urusan pribadinya dengan dengan pekerjaan resminya, tetapi dia ingin mengucapkan terima kasih secara pribadi.

"Kenapa kau terlihat sangat bingung?"

“- Ah, maaf. Sebenarnya, orang yang dibunuh Samuel, Mayor Jenderal Lance, adalah teman baik saya. Saya ingin berterima kasih kepada Pembantu Letnan Dua Olivia karena telah membalaskan dendam.”

Setelah mendengar alasan Neinhart, ekspresi Paul melunak dan berubah sedikit canggung.

"Aku mengerti, kau adalah teman Mayor Jenderal Lance ... aku mengerti. Kematiannya adalah kehilangan besar bagi kita semua."

Paul menyentuh kepalanya yang botak dan bergumam. Itu singkat, tetapi lebih dari cukup menjukkan rasa berdukanya.

"Terima kasih banyak. Mayor Jenderal Lance pasti akan merasa terhormat dengan kata-kata Anda di akhirat, Letnan Jenderal."

"Haah. Entahlah... "

Paul memadamkan cerutunya di asbak. Suasana kembali berubah berat, dan Otto bertepuk tangan tiba-tiba.

"Ada apa? Apa kau memikirkan sebuah rencana?"

"Ya pak. Saya punya ide yang perlu dicoba. Jika berhasil, kita mungkin bisa merebut kembali kastil Kaspar sebelum bala bantuan musuh datang.”

"Oh ~ itu bagus ... tapi kau berpikir untuk mengeksploitasi Pembantu Letnan Dua Olivia lagi, benar?"

Paul berkata dengan wajah tercengang. Otto tersenyum tipis ketika mendengar itu.

"Yang Mulia, Pembantu Letnan Dua Olivia sekarang adalah bidak catur terkuat dari Pasukan Ketujuh, jadi tentu saja aku akan memanfaatkannya sepenuhnya. Terlebih lagi jika itu akan meningkatkan peluang keberhasilan.”

"Aku tahu, aku tahu. Kalau begitu katakan padaku apa rencanamu.”

Otto berdeham di samping Paul yang tersenyum kecut, dan menjelaskan rencananya dengan peta setelah hening sesaat.

Neinhart terkejut. Otto adalah seorang pragmatis absolut. Dia tidak akan merendahkan atau melebih-lebihkan teman maupun musuh. Dan Otto menyebut Pembantu Letnan Dua Olivia sebagai orang yang terkuat di Pasukan Ketujuh, yang semakin membuat Neinhart tertarik.

(Sulit dipercaya, tapi dia adalah gadis yang membunuh Samuel itu. Dia pasti sangat kekar.)

Setelah menyimpulkan itu dalam benaknya, Neinhart mendengarkan rencana Otto.

[edit]

Dua minggu setelah Peleton Khusus Olivia merebut kembali Benteng Lamburg.

Benteng Gallia sibuk dengan garnisun Pasukan Pertama selama masa ini, dengan transportasi sumber daya dan persiapan untuk menyerang kastil Kaspar. Di sisi lain, peleton Olivia bersenang-senang di Benteng Lamburg.

Tetapi ketika pasukan garnisun tiba di Benteng Lamburg, peleton itu secara harfiah diusir, dan kembali ke Benteng Gallia. Tidak lama setelah kembali ke benteng, Otto memanggil Olivia ke kantor komandan. Olivia memandang Jam Saku, mengkonfirmasi waktu, lalu mengetuk pintu kantor.

"Pembantu Letnan Dua Olivia, melaporkan tepat waktu."

Tepat setelah itu, Olivia bisa mendengar tawa tertahan dari balik pintu, dan suara yang familier berkata, "Masuk". Dia masuk, dan melihat tiga pria duduk di dalam kantor.

Olivia memandangi kelompok itu, termasuk Paul yang tersenyum lembut, dan Otto yang tampak galak. Dia tidak mengenali pria dengan rambut pirang bergelombang. Pria itu terus membuka dan menutup mulutnya ketika dia melihat Olivia, mungkin dia meniru ikan? Olivia berpikir jika dia mencoba melakukannya, maka dia sangat buruk dalam hal itu.

"Pembantu Letnan Dua Olivia. Melapor. Tepat. Waktu."

Otto memelototi Olivia yang mengeluarkan Jam Saku, dan berkata, "Aku tahu, simpan Jam Sakumu." Dia kemudian menambahkan, "Apa kau cari masalah?" Sepertinya tidak ada hadiah untuk melapor tepat waktu. Jam Saku itu penting, jadi Olivia menyimpannya dengan hati-hati. Paul mengetuk sofa di sebelahnya, memberi isyarat agar Olivia duduk, dan dia duduk di sebelah Paul.

"Pembantu Letnan Dua Olivia. Maaf telah memanggilmu tepat setelah kau kembali. Terima kasih atas kerja kerasmu."

"Ya pak, terima kasih atas perhatian Anda!"

"Aku dengar ada pengguna tombak yang ahli di antara para bandit, apa kau mengalami masalah?"

Pertanyaan Paul membuat Olivia memiringkan kepalanya dengan bingung. Dia benar-benar tidak ingat seseorang seperti itu di antara para bandit. Apa dia lupa? Tapi Olivia yakin akan ingatannya. Dia bisa mengingat isi setiap buku yang telah dia baca.

Ashton bahkan berkomentar bahwa ingatannya luar biasa. Meski begitu, dia tidak mengingat orang seperti itu, jadi lawannya bukan lawan yang sulit. Dia terbunuh dalam satu serangan, jadi akan aneh jika dia mengingatnya.

Dan tentu saja, dia tidak akan melupakan pengalamannya yang menyenangkan. Misalnya, ketika dia pergi berburu dan memancing dengan gembira bersama para rekrutan. Ketika Ashton hampir tenggelam, Olivia tertawa di tepi sungai. Ketika dia menyelamatkannya, Ashton mengeluh dengan sangat marah.

Guile adalah pemburu, jadi keahlian memanahnya sangat bagus. Terutama keahliannya dalam mencabut bulu burung. Ketika Olivia mengatakan itu padanya, Guile berlutut dan berkata, "Aku mengasah keterampilan ini demi Valkyrie." Olivia berpikir dia pasti berbohong, tetapi tidak mengatakannya dengan lantang. Untuk beberapa alasan, dia merasa akan buruk jika dia membantah Guile.

Dan makanan yang dia makan di dekat api unggun di bawah bintang-bintang dengan semua orang benar-benar lezat.

“- Aku tidak ingat pertempurannya. Mereka semua mati oleh pedangku dalam satu serangan.”

"Hahaha! Begitu ya, kau membunuh mereka dengan satu serangan. Kau dengar itu, Otto? Bagi Pembantu Letnan Dua Olivia, pengguna tombak yang ahli itu tidak berbeda dengan bandit biasa.”

Paul menepuk pahanya dan tertawa. Otto menghela nafas. Pria pirang itu menatap dengan mata terbelalak. Olivia sedikit khawatir matanya akan jatuh.

“Oh benar, aku terlalu asyik dan lupa alasan aku memanggilmu. Pembantu Letnan Dua Olivia, aku memintamu datang untuk memberimu ini.”

Paul kemudian meletakkan kotak putih di atas meja di pangkuan Olivia. Atas desakan Paul, Olivia membuka kotak itu, dan menemukan kue yang penuh warna dan mewah. Aroma manis memasuki hidungnya, dan Olivia berteriak:

“Uwah! Ini kue! Kue, kan!? Terima kasih Letnan Jenderal Paul!! ”

"Fufu. Aku senang kau menyukainya."

Paul tersenyum. Olivia dengan tidak sabar mengambil sepotong kue, tetapi tiba-tiba teringat bahwa buku-buku mengatakan bahwa kue itu begitu lezat sehingga akan melelehkan wajahmu. Otto sepertinya mengatakan sesuatu dengan kesal, tapi Olivia tidak peduli. Dia khawatir wajahnya akan meleleh karena kue, tetapi tidak bisa menahan godaan. Memutuskan untuk memakan kue itu, Olivia memasukkan kue itu ke dalam mulutnya.

(—— Manis. Dan lembut banget!)

Namun, rasanya begitu enak sehingga pipi Olivia menjadi rileks. Dia dengan cepat menyentuh wajahnya, dan merasa lega bahwa pipinya baik-baik saja. Dia bisa menikmati kue tanpa khawatir sekarang.

Sebelum Olivia dapat mengambil potongan kedua, seseorang meraih tangannya. Dia mendongak, dan melihat Ajto Otto yang memerah dengan bibir gemetar berdiri di depannya. Olivia merasa dia seperti "Setan Merah" yang digambarkan dalam buku.[4]

“Adjutant Otto, kau mau kue juga? Tapi Letnan Jenderal Paul memberikan ini padaku. Bahkan jika itu Adjutant Otto, aku tidak akan memberikannya padamu.”

"Siapa yang bilang bahwa aku mau kue itu? Dasar kurang ajar, apa kau tahu di mana kau berada sekarang? Beraninya kau makan kue di sini!?”

Olivia bingung. Ketika dia memasuki ruangan, dia memeriksa tanda di pintu yang bertuliskan《 Kantor Komandan》. Ini jelas Kantor Komandan.

"... Adjutant Otto, apa kepalamu terbebntur?"

"Apa yang kau bicarakan?"

“Yah, aku membaca dalam sebuah buku bahwa ingatan manusia akan kacau jika kepala mereka dipukul dengan keras. Ini jelas Kantor Komandan. Menurut pendapatku yang sederhana, Adjutant Otto, kau perlu mencari perawatan dari dokter dengan segera.”

"D-dasar kau ...!"

Otto gemetar, dan dia mengangkat tinjunya, meletakkannya, dan mengulanginya lagi. Dari pengalaman Olivia di ruang interogasi, Otto mungkin ingin meninju meja. Olivia semakin bingung dengan reaksi Otto. Itu hanya informasi dari buku, kenapa dia harus marah?

Z pernah mengatakan kepadanya bahwa manusia berbeda dari binatang, karena mereka mendambakan pengetahuan. Otto harusnya bahagia, bukannya marah. Jika Ashton bersamanya, dia pasti akan memberikan nasihat bagus kepada Olivia.

Ketika dia memikirkan hal itu, Olivia memandangi kue di pangkuannya.

(... Jadi Adjutant Otto ingin makan kue juga. Ini adalah hidangan penutup yang sangat lezat, jadi apa boleh buat. Mana mungkin ada orang yang enggak mau memakannya?)

Otto memperlakukannya dengan baik, dan bahkan memberi jam saku perak yang bagus untuk Olivia. Dia mungkin menerima lebih banyak barang di masa depan.

Olivia memutuskan, dan menawarkan sepotong kue untuk Otto.

"Aku cuma kasih satu lho, oke ...?"

Shinigami ni Sodaterareta Shoujo V1 5.jpg

"Aku bilang aku tidak mau kuemu!"

Dengan itu, Otto membanting tinjunya di atas meja. "Jadi, kau masih akan meninju mejanya, ya." Olivia berkata. Otto menggebrakkan tunjunnya beberapa kali lagi karena itu, dan Paul memperhatikan reaksinya dengan geli. Paul kemudian berkata kepada Olivia:

“Kami masih memiliki ada urusan penting untuk dibahas. Pembantu Letnan Dua Olivia, kau boleh kembali ke kamarmu dan meluangkan waktu untuk menikmati kuemu."

"Siap Pak, Pembantu Letnan dua Olivia sekarang akan kembali ke kamarnya untuk makan kue!"

Olivia memberi hormat paling sigap hari itu. Jika Otto ada di sampingnya, dia tidak akan bisa menikmati kuenya. Karena itu, kata-kata Paul adalah anugerah. Dia dengan cepat meninggalkan ruangan itu.

Dan tentu saja, dia juga membawa kuenya.

"Bagaimana aku mengatakannya, dia benar-benar gadis yang aneh."

Ketika langkah Olivia memudar ke kejauhan, Neinhart memberikan komentarnya. Gadis itu tidak seperti yang dia bayangkan.

"Kolonel Neinhart, tolong jangan pedulikan dia. Dia hanya tidak memiliki akal sehat dan didikan yang baik.”

Otto berkata dengan marah, dan mungkin masih marah karena tangannya yang memegang cangkir sedikit gemetar. Neinhart tidak bisa menahan senyum melihat pemandangan pria yang selalu tenang ini. Ketika Otto memperhatikan, dia memelototi Neinhart dengan tatapan tajam, yang membuat Neinhart tegang.

“Bagaimana menurutmu, Kolonel Neinhart. Dia anak yang imut, kan?”

Berbeda dengan Otto, Paul bertanya dengan senyum lembut. Neinhart tidak tahu harsu menjawab apa, dan menjawab dengan senyum hangat. Paul mungkin menganggap Olivia seperti cucu perempuan. Faktanya, Neinhart mendengar bahwa cucu perempuan Paul seumuran dengan Olivia.

Dan tentu saja, Neinhart tidak membantah bahwa Olivia terlihat imut. Jika dia berdandan dengan beberapa aksesoris, Neinhart tidak akan curiga jika seseorang mengatakan dia adalah putri dari keluarga bangsawan. Jika dia menghadiri pesta dansa, tatapan para lelaki pasti akan tertarik padanya. Dan tentu saja, para wanita akan iri padanya.

(Aku melakukan sesuatu yang benar-benar enggak sopan waktu aku membayangkan dia pasti sangat kekar.)

Neinhart tersenyum canggung di hatinya, lalu meraih teh di atas meja. Saat ini di Kerajaan, bahkan minuman biasa seperti teh sekarang menjadi barang mewah. Terimbas dari blokade ekonomi oleh Sutherland dengan alasan panen yang buruk, mereka harus mengandalkan penyelundupan ilegal.

Neinhart menyeruput teh dengan sedih, dan memperhatikan bahwa Otto telah melupakan amarahnya. Otto memijat tinjunya yang memerah, mengingat percakapan sebelumnya dan bertanya:

"Ngomong-ngomong, bukankah kau ingin berterima kasih kepada Pembantu Letnan Dua?"

"Ya, aku berencana untuk melakukannya, tetapi Pembantu Letnan Dua meninggalkan kesan yang luar biasa, jadi aku tidak bisa menemukan kesempatan untuk berbicara."

"Apa aku perlu memanggilnya lagi?"

"... Tidak perlu, kau tidak perlu memanggilnya lagi, mari kita simpan itu untuk lain waktu. Dan aku pikir pikirannya mungkin disibukkan dengan kue sekarang."

Setelah mengatakan itu, Neinhart menyadari bahwa dia salah bicara. Seperti yang diduga, Otto menggerutu, "Itu semua karena kau terlalu memanjakannya, Jenderal." saat dia memelototi Paul. Tetapi Paul tidak peduli sama sekali, dan bahkan bersandar ke sofa dan menikmati cerutunya.

"Adjutant Otto, jangan mengomel terus. Rencanamu hanya mungkin dijalankan karena Pembantu Letnan Dua Olivia merebut kembali Benteng Lamburg. Jika kau terus memarahinya, apa yang akan kau lakukan kalau dia kabur dan bergabung dengan Tentara Kekaisaran?”

"Ugh, y-yah ..."

Kata-kata Paul menyuduttkan Otto, dan mata Otto menjadi sangat gelap. Dia mungkin merasa bahwa situasinya cukup masuk akal.

Desersi adalah masalah yang melanda Tentara Kerajaan. Bukan hanya desersi, tetapi ada cukup banyak prajurit yang bergabung dengan Kekaisaran. Ada kasus konyol dimana seluruh peleton meninggalkan pos mereka dan bergabung dengan Tentara Kekaisaran.

Untuk memperingatkan terhadap pelanggaran di masa depan, semua desertir segera dieksekusi.

Mereka disalibkan, dibakar hidup-hidup, atau bahkan dieksekusi dengan guillotine.

Terlepas dari contoh-contoh itu, masih ada banyak prajurit yang melakukan desersi dengan risiko kematian.

Di sisi lain, mengeksekusi tentara yang desersi di depan umum hanya meningkatkan kekesalan warga terhadap Tentara Kerajaan, yang menjadi iron. Itu disesalkan, tetapi Tentara Kerajaan berada dalam situasi yang terjepit.

Neinhart teringat wajah bahagia Olivia saat dia memakan kuenya.

Menurut laporan yang berkaitan dengan Olivia, ia bergabung dengan Tentara Kerajaan secara sukarela. Dia bahkan membawa kepala banyak Tentara Kekaisaran sebagai hadiah. Dengan mengingat hal itu, Neinhart merasa tidak mungkin apa yang dikatakan Paul akan terjadi pada Olivia.

Namun meski begitu, tidak ada jaminan bahwa Olivia tidak akan mengkhianati mereka. Dari sikapnya yang sembrono, dia jelas tidak patriotik. Dan sepertinya dia tidak mendaftar dalam militer untuk menjadi terkenal.

Olivia memberi kesan bahwa jika Tentara Kekaisaran menyuapnya dengan segunung kue, dia akan segera berkhianat.

(Jadi, mengapa dia bergabung dengan Tentara Kerajaan?)

Pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benaknya membuat Neinhart memegangi dagunya sambil berpikir dalam-dalam.

Kerajaan seperti menara runtuh, dan itu tidak akan mengejutkan jika Menara itu akan runtuh setiap saat. Dengan kemampuan Olivia, dia akan diperlakukan lebih baik jika dia bergabung dengan Tentara Kekaisaran. Tidak sopan untuk mengatakan ini, mengingat posisi Neinhart, tetapi dia tidak mengerti mengapa dia bergabung dengan Kerajaan alih-alih Kekaisaran.

"Letnan Kolonel Otto, apa kau bertanya kepada Pembantu Letnan Dua Olivia mengapa ia bergabung dengan tentara?"

Neinhart bertanya kepada Otto yang menampilkan wajah pahit sepertinya. Biasanya, militer tidak akan bertanya kepada prajurit alasan mereka mendaftar. Milter hanya perlu tahu apakah prajurit itu bisa bertarung.

Namun, Olivia yang memiliki kecakapan bela diri yang luar biasa adalah pengecualian. Neinhart merasa Otto yang berhati-hati pasti akan menanyakan hal itu kepadanya.

"... Aku memang bertanya, tapi aku mendapat jawaban yang tidak masuk akal ... Pembantu Letnan Dua mengatakan ini adalah cara baginya untuk menemukan 'Z'."

Merasa senang Otto tidak mengkhianati harapannya, Neinhart melanjutkan dan bertanya:

"Jadi dia bergabung dengan militer untuk mencari seseorang?"

"Sepertinya begitu."

"Memang benar bahwa mencari seseorang akan lebih mudah dengan jaringan informasi militer ... Tapi Z, ya. Nama yang unik. Orang macam apa dia?"

"Ini kedengarannya tidak masuk akal, tapi Z yang disebut Pembantu Letnan Dua itu adalah 'Dewa Kematian'."

“- Hah? Dewa Kematian? Yang memegang sabit? ”

Neinhart membuat gerakan meniru sabit, dan Otto mengangguk dengan wajah pahit. Kerangka berjubah compang-camping yang memegang sabit benar-benar terkenal. Mungkin ada variasi antara deskripsi para penulis, tapi semuanya hampir sama.

"Ini konyol."

"... Hmm, itu benar ..."

Otto bergumam.

(Hmm? Sikapnya agak tidak jelas.)

Ketika dia melihat Otto mengelus dagunya, sebuah pertanyaan muncul pada Neinhart .

"Aku pikir itu tidak mungkin, tetapi Letnan Kolonel Otto, apakah kau pikir itu benar?"

"Mari kita lupakan tentang memercayainya atau tidak untuk saat ini ... biasanya, tidak ada yang akan mengarang kebohongan yang aneh seperti itu. Pada awalnya aku juga berpikir bahwa itu terlalu konyol."

Tidak dapat menarik kesimpulan sendiri, jarang melihat Otto terlihat bingung. Neinhart juga tidak tahu harus berkata apa, dan hanya mengangguk dengan samar. Paul tidak menyadari masalah ini, dan hanya tersenyum dengan rasa penasaran dan berkata, "Begitu ya, dia mencari Dewa Kematian."

(Ini tidak terduga. Apa Dewa Kematian-nya metafora? Dari apa yang kudengar, dia mencari seseorang— entah itu seseorang atau bukan, itulah alasan dia bergabung dengan Tentara Kerajaan. Namun...)

Neinhart hendak berpikir lebih jauh, tetapi dokumen di atas meja terlintas dalam pandangannya. Ada banyak masalah yang harus dia tangani, dan tidak punya waktu untuk memikirkan kata-kata Olivia.

Neinhart menarik napas dalam-dalam, dan meraih dokumen di atas meja.

[edit]

Tentara Kerajaan, Benteng Gallia, kantor Letnan Kolonel Otto

"Oh ~ jadi kau perwira yang direkomendasikan oleh Kolonel Neinhart..."

"Pembantu Letnan Dua Claudia Lung, melapor ke Pasukan Ketujuh untuk betugas! Saya di sini untuk bertemu dengan Anda seperti yang diminta!"

"Ya terima kasih. Silakan duduk di sofa di sana."

"Siap pak, permisi."

Claudia duduk di sofa seperti yang diperintahkan. Otto mengambil cangkir dari kabinet, dan meraih teko porselen putih.

"Letnan Kolonel Otto, anda tidak perlu repot-repot!"

Claudia berusaha bangkit, tetapi Otto menghentikannya.

"Tapi-"

"Tidak apa-apa."

Otto memotong Claudia, dan menuangkan teh dengan tangan yang terlatih. Melihat seberapa baik dia melakukannya, Claudia bertanya-tanya apakah Otto tidak punya sekretaris. Otto meletakkan cangkir di atas meja di hadapan Claudia, dan aroma daun teh memasuki hidungnya.

“Maaf, tetapi sumber daya kami terbatas, dan kami kehabisan gula. Harap maklum."

"Terima kasih. Permisi."

Claudia menyeruput tehnya dengan sopan, dan mengembalikan cangkir itu ke atas meja. Dia mengakkan punggungnya, menatap mata Otto dan bertanya:

“... Letnan Kolonel Otto. Jika anda tidak keberatan, boleh saya tahu alasan mengapa saya dipindahkan dari Pasukan Pertama ke Pasukan Ketujuh?"

"Hah? Bukankah Kolonel Neinhart menjelaskan hal itu kepadamu?"

Otto terkejut.

"Siap pak, dia tidak memberi tahu saya apa pun. Karena dia tampaknya sibuk, saya tidak punya pilihan selain bertanya langsung kepada Letnan Kolonel Otto."

Otto tersenyum masam ketika mendengar penjelasan Claudia. Dia mengungkapkan ketidaksenangannya terhadap Neinhart secara tidak langsung. Jika Otto tidak tahu Claudia adalah sepupu Neinhart, dia tidak akan mengetahui apa yang dimaksudkan Claudia.

"Aku mengerti, maka aku akan langsung ke intinya. Perintah perpindahanmu adalah untuk menduduki jabatan wakil Pembantu Letnan Dua Olivia— Tidak, dia Letnan Dua sekarang. Tugasmu adalah menjadi wakil dari Letnan Dua Olivia."

Dengan itu, Otto menyerahkan dokumen kepada Claudia.

"Saya ditugaskan untuk menjadi wakil ... Izinkan saya sebentar untuk membaca dokumen."

Claudia meneliti dokumen-dokumen di tangannya. Dokumen itu menyatakan pencapaian luar biasa dari subjek. Membunuh Samuel sang Violent Thrust, menangkap dan membunuh dua mata-mata yang menyusup ke Benteng Gallia, dan hampir seorang diri merebut kembali Benteng Lamburg.

"P-pak... apak ini semua benar? Bukankah mereka... "

“Yah, itu normal bagimu untuk berpikir seperti itu. Tapi itu semua benar. Tapi…"

Otto tiba-tiba menghela nafas.

"Apa ada masalah, Pak?"

"... Seperti yang bisa kau lihat, kecakapan bela diri subjek itu tanpa cacat."

"Tentu saja. Apa maksud Anda dia memiliki beberapa masalah yang tidak disebutkan dalam laporan?"

Ketika Claudia menanyakan hal itu, Otto mengangguk untuk menegaskannya:

"Seperti yang kau katakan, Pembantu Letnan Dua Claudia. Letnan Dua Olivia sangat tidak memiliki akal sehat dan etiket. Sejujurnya, ini masalah besar ”

"Hah, etiket ya ..."

Claudia tidak tahu harus berkata apa, dan hanya mengulangi kata-kata itu. Karena etiket sepertinya bukan masalah besar.

"kau mungkin berpikir bahwa masalahnya lucu ... Tidak, tidak apa-apa. Lupakan apa yang ku katakan."

"Siap pak, aku akan mengingatnya."

"Maaf. Seperti yang kau tahu, kami sedang bersiap untuk merebut kembali kastil Kaspar. Keberhasilan operasi ini semuanya bergantung pada Letnan Dua Olivia. Jadi, kita perlu perwira yang hebat untuk menjadi wakil Letnan Dua.”

"... Maafkan saya karena jujur, tetapi perwira lain dapat melakukan tugas ini juga, benar?"

Pasukan Ketujuh seharusnya tidak kekurangan perwira berbakat. Claudia bertanya dengan hal itu dalam benaknya, tetapi Otto segera menggelengkan kepalanya.

"Tidak banyak yang bisa mengendalikan Letnan Dua. Dia mungkin terlihat bermata cerah dan cantik, tapi dia bocah liar di dalam. Jadi akan lebih mudah bagi sesama perempuan untuk menanganinya. Ini akan sangat melelahkan, tetapi aku akan mengandalkanmu."

"Siap pak, saya akan melakukan yang terbaik untuk membantu Letnan Dua Olivia sebagai wakilnya!"

Jawaban Claudia membuat Otto menjadi kaku.

"Bagus. Aku sudah memberi tahu Letnan Dua Olivia bahwa kau akan mengunjunginya. Dia seharusnya berada di kamarnya. Kau bisa mengunjunginya nanti."

"Dimengerti, saya akan menuju ke sana untuk menyapanya segera."

"Begitu ya. Itu saja untuk saat ini, Kau boleh pergi."

"Siap pak, permisi."

Setelah meninggalkan kantor, Claudia menghela nafas. Dari sikap Otto, dia sepertinya mengambil alih tugas yang menyusahkan.

(Ini semua salahnya Neinhart-nii untuk mengatur semua ini tanpa memberitahuku.)

Claudia menggerutu pada Neinhart yang merekomendasikannya, dan menuju ke kamar Olivia.

Di luar kamar Olivia, Claudia memeriksa pakaiannya. Menilai bahwa itu baik-baik saja, dia mengetuk pintu, dan mendengar suara yang jelas dari dalam.

"Claudia?"

Claudia menjadi kaku ketika namanya dipanggil. Dia mengeraskan suaranya dan menjawab:

"Siap, Bu! Saya Pembantu Letnan Dua Claudia Lung, dan akan bertugas sebagai wakil Letnan Dua Olivia mulai hari ini dan seterusnya! Saya di sini untuk menyapa anda!"

"Ya, aku mendengarnya dari Ajun Otto ~ masuk."

"Ya Bu, permisi."

Ketika dia membuka pintu, Claudia tercengang melihat pemandangan di depannya. Gadis yang tengkurap di tempat tidurnya terlalu cantik, seolah-olah dia adalah boneka. Ketika Claudia terpesona oleh kecantikan Olivia, mata mereka bertemu. Berhati-hati agar tidak menginjak buku-buku yang tersebar di lantai, Claudia memberi hormat dengan tergesa-gesa.

"Aku Olivia, senang bertemu denganmu!"

Olivia menopang tubuhnya dan membalas hormat sambil tersenyum. Dia kemudian berbaring dan kembali membaca.

(... Ehh!? Itu saja!?)

Claudia mengira itu semacam ujian, tetapi Olivia tampak asyik dengan bukunya. Claudia lalu ingat apa yang dikatakan Ajudan Otto. Karena dia adalah wakilnya, Claudia harus lebih memahami situasi Olivia.

Dengan mengingat hal itu, Claudia mencoba mengobrol dengannya.

"E- Erm, Letnan Dua Olivia? Ada banyak buku di kamar anda.”

"Hmm ...? Aku membeli semua buku yang menurut Ashton menarik dari ibukota. Berkat itu, bonus gajiku  dari Letnan Jenderal Paul sudah habis sekarang. Buku mahal banget ternyata."

Olivia menjawab dengan matanya terpaku pada bukunya. Claudia terkejut dengan jawaban itu, tetapi percakapan itu tetap berjalan.

"Letnan Dua Olivia, jadi anda suka buku. Ngomong-ngomong, siapa Ashton yang anda sebutkan itu?”

“…… Claudia menanyakan hal yang sama dengan Ajudan Otto. Ashton ya Ashton. Manusia."

Olivia akhirnya mengalihkan pandangannya dari buku, dan memandang Claudia dengan bingung. Mata hitamnya tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia bercanda.

Shinigami ni Sodaterareta Shoujo V1 6.jpg

(Begitu ya ... Ini benar-benar merepotkan. Neinhart onii-san brengsek, aku akan ingat ini.)

Claudia mengeluh dalam hatinya, tetapi masih menunjukkan wajah rendah hati.

"Seperti yang Anda katakan, Letnan Dua Olivia. Saya minta maaf karena menanyakan sesuatu yang begitu jelas."

Claudia membungkuk meminta maaf, dan Olivia menggelengkan kepalanya:

"Ya ~ enggak apa-apa. Tapi aneh banget, kenapa semua orang suka mengajukan pertanyaan yang jelas...? Apa ini salahku karena aku enggak menyampaikan kata-kataku dengan benar dengan orang lain?”

"Tidak, itu tidak benar."

"Begitu ya ... baiklah kalau begitu. Kamu selesai dengan salammu, kan? Kamu boleh pergi sekarang."

Kemudian, Olivia mengembalikan pandangannya ke bukunya untuk ketiga kalinya. Hanya itu yang dia katakan. Claudia memberi hormat kepada Olivia yang tengkurap di tempat tidurnya:

"Kalau begitu saya akan pamit! Tolong jangan ragu untuk memanggil saya jika Anda membutuhkan sesuatu!"

"Ya, mengerti."

Claudia meninggalkan ruangan, lalu bersandar ke dinding untuk menghela nafas kedua kalinya hari ini, yang jauh lebih panjang daripada yang pertama. Dia kemudian mengambil langkah cepat dan langsung menuju ke kamar Neinhart.



Bab 3 - Pertempuran di Iris[edit]

[edit]

Pasukan Kekaisaran, kastil Kaspar, Markas Utama

Ada pergerakan dari Pasukan Ketujuh!

Jaringan pemantau yang terus memantau sekitar Benteng Gallia mengirim sebuah laporan mendesak pada markas utama, dan Jenderal Osborne memanggil semua perwira untuk mengadakan rapat perang.

"Kemana perginya musuh?"

"Tuan, Pasukan Ketujuh telah menyeberangi Sungai Ecstasy, dan bergerak menuju Canaria."

Utusan itu melaporkan pergerakan dari Pasukan Ketujuh. Suara bising dentuman logam bisa terdengar di luat, dan suasananya cukup tegang. Seluruh unit telah mengetahui bahwa Pasukan Ketujuh sedang bergerak, dan para prajurit bersiap untuk bertempur.

"Tuan, menilai dari pergerakan musuh, mereka pasti mengincar kastil Kaspar ini.... Sepertinya mereka mendahului kita."

"Sepertinya begitu. Mereka mungkin lelah meringkuk didalam markas mereka."

Semua perwira tertawa pada ucapan sarkas Osborne. Paris lah satu-satunya orang yang mengalihkan tatapannya dan mendesah. Dia tau kalau Osborne terdengar agak jengkel.

(Kenapa Kaisar menyetujui rencana untuk menyerang Benteng Gallia? Aku sudah melihat rencana Yang Mulia, dan itu sempurna. Jenderal Felixus juga sangat menekankan rencana itu. Inisiatifnya ada pada kami....)

Paris mendecak lidahnya dalam benaknya saat tawa melengking dari para perwira bergema. Lalu dia menanyai utusan itu dengan tenang:

"Berapa jumlah musuh?"

"Siap pak, mata-mata melaporkan jumlah mereka sekitar 50.000."

“““Hahaha… Ha?”””

Wajah dari para perwira yang tertawa langsung berubah.

"50.000.... itu tak terduga. Nampaknya mereka memiliki lebih banyak cadangan dari yang kita duga."

Tak seorangpun menanggapi perkataan Paris. Mereka juga tak menyangka pasukannya sebesar itu. Kebanyakan perwira mengernyitkan alis mereka atas berita itu.

Setelah mendapatkan bala bantuan, sekarang kastil Kaspar memiliki 55.000 pasukan.

Paris mengomentari perkembangan itu sebagai "tak terduga", tapi dia tak terlalu terkejut. Namun dia memang mengakui bahwa dia meremehkan jumlah musuh.

Sebelumnya dia memperkirakan Benteng Gallia memiliki 40.000 prajurit, atau paling banyak 45.000. Tapi mempertimbangkan pasukan penyerang dan unit garis depan yang ditempatkan pada benteng itu, dia perlu merevisi jumlah itu menjadi sekitar 60.000.

''(Mata-mata kami di Benteng Gallia belum melapor. Entah itu dia tertangkap atau terbunuh. Kurangnya pengintai membuat semuanya jadi sulit.)''

Paris berasal dari biro pengintai, dan menempatkan banyak hal penting pada pengintaian. Dia sangat paham bahwa satu bidak pengintai bisa saja senilai dengan 10.000 prajurit, dan bisa menentukan hasil dari pertempuran. Akan tetapi, banyak perwira meyakini hal yang sebaliknya. Banyak menganggap bahwa pengintai merupakan yang kedua, dan pertempuran selalu ditentukan oleh kekuatan tempur.

Dan Letjen George merupakan penganut teguh dari keyakinan ini.

Dia memiliki badan kekar dan merupakan kepala keluarga Bachstein yang terkenal yang membantu pembangunan Kekaisaran. Dengan kuasa yang sangat berpengaruh dari klan'nya yang terkenal, dia mendapatkan adapun yang dia inginkan.

Untuk menyaingi pencapaian miliknya di medan peperangan, George memimpin Korp Ksatria yang naik daun selama Pertempuran Swaran – Ksatria Baja.

Di tahap-tahap awal Panggung Perang Selatan, dia secara pribadi memimpin Korp Ksatria miliknya untuk menghancurkan Pasukan Keenam, dan kinerjanya yang luar biasa semakin menambah kepercayaan dirinya.

George melirik Paris, lalu berkata pada Osborne dengan senyum samar:

“Jenderal, musuh mungkin berjumlah banyak, tapi mereka hanyalah sekumpulan kaum lemah. Tak ada yang perlu kita takutkan, dan ini merupakan peluang bagus untuk menghancurkan mereka, dan menunjukkan pada mereka kekuatan Pasukan Kekaisaran."

George menghentak meja menampilkan kekuatannya. Para perwira sependapat dengan dia dan mendukung dis, termasuk orang-orang yang mengernyitkan alis mereka.

"Antusiasmu membangkitkan semangatku. Baiklah, mari kita tunjukkan kekuatan kita pada Pasukan Ketujuh–Paris, menurutmu dimana kita harus menghadapi mereka?"

Osborne bertanya. Paris mengalihkan tatapannya pada peta di meja.

"Disini.... Menurutku, dataran Iris merupakan tempat yang paling cocok."

"Alasannya?"

"Sederhana. Itu adalah tempat paling sesuai untuk mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Hutam Ark dan lembah Grox yang berada dikedua sisi dataran itu tidaklah cocok. Melewati dataran Iris merupakan rute tercepat menuju kastil Kaspar, jadi mereka tak mungkin menempuh rute lain."

"Hmm, jadi pertempuran ini akan jadi sebuah konfrontasi langsung, huh."

Osborne berkata sambil mengangguk.

"Itulah yang kita inginkan. Ksatria Baja milikku akan menghancurkan Pasukan Ketujuh secara menyeluruh!"

George tersenyum sinis. Semangat tempur dari para perwira berada di puncaknya. Paris merasakan adanya bahaya saat dia melihat reaksi mereka.

(Ini cukup bahaya. Pertempuran besar setelah jeda yang panjang ini membuat mereka cemas akan pencapaian perang. Ini bukan pertanda yang bagus.)

Saat ini, situasi di wilayah selatan kerajaan berada dalam keadaan buntu. Karena Pasukan Ketujuh terus mempertahankan Benteng Gallia, pasukan di medan perang selatan tak punya peluang untuk mendapatkan pencapaian perang. Disisi lain, rekan-rekan mereka telah memenangkan pertempuran di medan perang utara dan pusat, yang mana membuat mereka sangat iri.

Dan sekarang, laporan tentang Pasukan Ketujuh menyerang telah sampai. Wajar saja para prajurit bersemangat. Akan tetapi, jika mereka kalah dalam pertempuran karena mereka terlalu cemas, itu sama saja menepatkan kereta didepan kudanya. Sebagai seorang ahli strategi, dia harus mempertimbangkan skenario terburuk sepanjang waktu.

Dengan memikirkan hal itu, Paris memberi usulan pada Osborne:

"Jenderal. Untuk amannya, kita harus meminta bala bantuan dari Benteng Kiel. Dengan demikian kita bisa–"

"Omong kosong apa itu?"

Perkataan Paris dipotong sebelum dia menyelesaikannya, dan dia menatap kearah orang yang berbicara–Letjen George. George melotot pada Paris, tubuhnya gemetar penuh amarah.

"Aku akan menanyakannya lagi. Omong kosong apa yang barusan kau ucapkan? Aku paham kalau kita berada dalam situasi yang tak diuntungkan, tapi jumlah kita setara. Apa kau mau mempermalukan kita dengan meminta bala bantuan yang tak perlu?"

"Letjen George, maafkan aku, tapi kita bisa mengintimidasi musuh lebih mudah lagi jika kita memiliki jumlah yang sangat besar. Opiniku, ini adalah cara terbaik untuk meminimalisir kerugian kita."

Saat dia mendengar bantahan Paris, George menggebrak meja.

"Dasar bodoh! Dimana kehormatan kemenangan melalui jumlah? Dan kau menyebut dirimu sendiri seorang prajurit terhormat dari Pasukan Kekaisaran? Dasar tidak tau malu!!"

George menyatakan secara terang-terangan bahwa kehormatan lebih penting daripada nyawa para prajurit. Paris tau bahwa tak ada gunanya berkata lagi.

"....Kau benar, Letjen, maafkan aku karena membuat usulan yang tak penting."

Paris membungkuk. Dari suara dengusan mereka, itu mungkin orang-orang dari faksi George. Komplotan George merupakan para perwira dari bangsawan atas, dan sebagai seorang bangsawan dengan tingkat lebih rendah, Paris sudah terbiasa dengan perlakukan semacam itu, dan tak mempedulikannya.

"Letjen George. Ahli strategi Paris hanya menyuarakan pendapatnya. Tak ada perlunya semarah itu."

"Siap, ndan...."

George menerimanya dengan berat hati. Osborne dengan lembut menepuk bahu Paris, dan berkata dengan sangat sopan:

"Pendapatmu aku tampung, Paris. Kita akan menghadapi musuh pertama, dan melihat apa yang akan mereka lakukan. Kita bisa memutuskan apakah kita harus meminta bala bantuan setelah itu."

".....Dimengerti."

"Baiklah kalau begitu– Tuan-tuan, angkat gelas kalian."

Osborne berdiri sambil mengangkat gelasnya, dan para perwira lainnya mengikutinya.

"Semoga Kejayaan Kekaisaran Arsbelt Bersinar Cerah!!"

""Kesetiaan Abadi untuk Kaisar Agung Ramza!!"

–– Keesokan harinya.

50.000 pasukan berdiri siap tempur di medan, dan terompet yang menyatakan dimulainya pertempuran menggema di langit biru.

"Komandan, kami siap."

"Bagus. Beritahu pasukan bahwa kita akan menuju dataran Iris." 

II[edit]

Pasukan Kerajaan, Jalan Canaria

Unit campuran dibawah komando Paul dan Lambert sedang bergerak menuju Benteng Gallia.

Hampir tak ada perlawanan dari Pasukan Kekaisaran selama pergerakan mereka, saat mereka bergerak ke barat disepanjang jalan Canaria. Untuk menyembunyikan fakta bahwa Pasukan Pertama merupakan bagian dari operasi, mereka hanya mengibarkan bendera-bendera Pasukan Ketujuh. Niat mereka adalah untuk menipu musuh supaya berpikir bahwa Pasukan Pertama masih mempertahankan kota.

Paul dan Lambert berada dipusat formasi, dan mereka bertukar pikiran sambil menunggangi kuda. Para penjaga mereka yang memakai zirah perak berada disekitar mereka, dan sebuah kelompok infanteri berat elit mengelilingi kedua komandan itu. Para penjaga tetap waspada sepanjang waktu seraya mereka bergerak penuh kewaspadaan.

Sementara itu, Neinhart memimpin barisan depan, dan Otto mengkomando barisan belakang.

"–Semuanya berjalan mulus sejauh ini."

"Itu benar, unit-unit kekaisaran disekitar melarikan diri dengan segera."

Lambert menatap sekelilingnya, dan melihat sisa-sisa perkemahan dan lambang-lambang dengan pedang bersilangan. Tak diragukan lagi sebelumnya tempat ini merupakan perkemahan Pasukan Kekaisaran. Unit barisan depan melaporkan bahwa kota Canaria telah dibebaskan dari Kekaisaran.

"Tetapi, aku terkejut bahwa Paduka menyetujui rencana ini."

"Hmmm....? Yah, itu berkat Marsekal sangat menekankan ini...."

Lambert menyimpulkan begitu saja, tapi dalam proses meyakinkan Alphonse sangatlah merpotkan. Alphonse berencana untuk menolak nasehat Cornelius, dan bersikeras bahwa Pasukan Pertama harus bergegas menguasai Benteng Kiel. Tapi Cornelius tidak menyerah, dan menekankan agendanya berulang kali selama berhari-hari.

Alphonse sangat menjengkelkan, dia kemudian melarang Cornelius masuk istana. Pada akhirnya, Cornelius diancam agar mengundurkan diri, yang mana mendorong Alphonse untuk segera mengubah taktik dan menyetujui rencana tersebut.

Marsekal terhormat sudah berusia 70'an, tapi dia masih dikenal sebagai jenderal pembawa kemenangan, dan pengunduran dirinya akan menyebabkan suatu kegemparan. Suara dari luar dan dalam istana akan meragukan kemampuan Alphonse sebagai seorang Raja. Itu akan membuat semuanya semakin sulit bagi Kerajaan.

Lambert menyimpulkan bahwa Alphonse menyetujui rencana tersebut hanya karena itu.

"....Haaaa. aku tidak tau rinciannya, tapi itu pasti sangat sulit."

Paul membelai dagunya. Pandangannya masih tajam meski sudah usia lanjut. Lambert mendecak lidah dalam benaknya.

"Mungkin begitu. Tapi berkat hal itu, Pasukan Pertama tak perlu mati sia-sia di dinding Benteng Kiel."

Lambert mengangkat bahu.

"Oh~ jarang sekali melihatmu begitu sedih. Apa kau kuatir pada reputasimu?"

"Paul, itu adalah sebuah kebiasaan buruk untuk menanyakan sesuatu yang sudah jelas."

Lambert menjawab dengan ekspresi masa bodoh. Paul berkata seraya sudut bibirnya terangkat:

"Fufu, maaf. Bahkan bagi para elit Pasukan Pertama, menyerang Benteng Kiel seperti ini sama saja dengan bunuh diri."

"Itu benar. Aku ingin mati di medan perang, tapi tidak mati sia-sia."

Paul dan Lambert saling bertatapan sebentar, lalu tertawa.

"Jadi kita tak boleh kalah kali ini. Kita akan mengikuti Pasukan Ketujuh, jadi kau akan mendapatkan prestasinya, Paul.... tapi apa kau yakin? Kau tau, soal gadis itu?"

"Maksudmu Letda Olivia?"

"Ya ya, Letda Olivia. Kudengar dia baru berusia 15 tahun? Dan cucumu seumuran dia juga?"

Lambert berpikir tentang gadis yang dia lihat di pesta dansa satu dekade lalu, dan menghela nafas.

"Oh~ tak disangka ternyata kau ingat. Ya, dia seumuran Letda Olivia."

"Hmmp. Aku memang tua, tapi ingatanku masih tajam."

"Bukankah kau baru 50'an?"

"Itu sudah cukup untuk dipanggil pria tua. Abaikan soal itu. Seorang gadis yang seumuran cucunya Paul merupakan kunci rencana pertempuran? Aku akui dia sangat terampil.... Tapi bukankah itu terlalu gegabah?"

Lambert tau tentang kemampuan Olivia, dimulai dengan dia membunuh Samuel. Dan itu sangat sulit dipercayai karena semua itu terjadi hanya dalam waktu dua bulan. Terutama cerita tak masuk akal tentang membunuh seekor mahluk bertanduk dengan satu tikaman, yang mana Lambert hanya bisa tertawa saja mendengarnya.

"Aku paham kekhawatiranmu, tapi tak masalah menyerahkan ini pada Letda Olivia. Kami menugaskan seorang deputi luar biasa untuk mendampingi dia."

"Perwira Claudia, huh... kau betul-betul memadukan perwira unggulan dari Pasukan Pertama."

Lambert melirik Paul. Claudia lulusan Akademi Militer Kerajaan, dan berpengetahuan luas serta mahir dalam ilmu pedang. Dia mungkin masih belum matang karena dia masih muda, tapi faktanya tetaplah dia jauh lebih unggul daripada para perwira lain yang seumuran dengannya.

Lambert memiliki harapan yang tinggi pada Claudia, dan sangat tidak senang bahwa Claudia dipindahkan ke Pasukan Ketujuh.

"Aku tidak tau apa-apa. Adujanmu lah yang merekomendasikan dia, jadi jangan ngajak ribut deh."

Paul berkata sambil memasang ekspresi masa bodo.

"Ya, aku tau.... Haaaaa, Neinhart melakukan sesuatu yang tak perlu."

Lambert menatap pemuda yang berada agak jauh. Lalu, seorang prajurit berjalan menerobos formasi infanteri berat dan berhenti didepan kedua jenderal itu. Epolet* merah miliknya memiliki tujuh bintang perak, menandakan dia adalah seorang pembawa pesan dari Pasukan Ketujuh.

''(Epolet: ornamen pakaian yang dipasang pada pundak)''

Paul menarik tali kekang miliknya dan mengangkat tangan kirinya untuk menghentikan pergerakan pasukan.

"Letjen Paul, saya minta maaf karena mengganggu diskusi anda."

"Tak masalah. Ada tanda-tanda dari musuh?"

"Lapor, Pasukan Kekaisaran bergerak menuju dataran Iris. Mereka berjumlah sekitar 50.000."

"Jadi medan perangnya di dataran Iris. Yah, sepertinya memang tak ada pilihan lain sih."

Paul mengangguk, dan Lambert menyimpulkan dari berita tersebut:

:50.0000, huh. Jika kita mengurangi detasemen pasukan, kita setara. Jadi mereka meninggalkan 5.000 orang untuk menjaga benteng mereka?"

"Kurang lebih begitulah. Itu masih didalam perkiraan."

"Hmm, kalau begitu tak masalah–Ada pergerakan dari Benteng Kiel?"

Ini merupakan masalah yang krusial untuk rencana ini. Lambert bertanya agak tegang.

"Siap ndan, tak ada tanda-tanda pergerakan dari Benteng Kiel untuk saat ini."

Lambert lega mendengar laporan itu. Jika Benteng Kiel mengirim bala bantuan di waktu yang genting ini, maka operasinya akan segera dihentikan. Dia menatap Paul, yang juga tampak lega.

"Sepertinya kekhawatiran terbesar kita tidak terjadi."

"Itu benar, tak ada gunanya berperang jika mereka memanggil bala bantuan."

"Jika demikian, semuanya akan bergantung pada kinerja dari detasemen unit."

Lambert berkata seolah dia ingin memastikan hal ini, dan Paul tampak percaya diri saat dia mendengar itu.

"Letda Olivia pasti akan datang. Bagaimanapun juga, dia adalah sang 'Valkyrie Berambut Perak'."

".....Valkyrie Berambut Perak? Apa itu?"

Lambert kebingungan oleh istilah aneh ini.

"Kau tidak tau? Para Valkyrie adalah wanita cantik yang bertugas di medan perang dipenuhi dengan keanggunan dan kemuliaan. Itulah yang dikatakan para prajurit yang mendampingi Letda Olivia untuk merebut Benteng Lamburg. Tidakkah kau menganggap itu adalah penggunaan yang tepat untuk istilah itu?"

Lambert mulai meragukan matanya pada pemandangan ekspresi hangat dari Paul. Dia sudah mendengarnya dari Neinhart, tapi setelah melihatnya dengan mata kepalanya sendiri, dia menyadari bahwa Paul sudah melampaui itu. Ini bukanlah wajah tak seharusnya dimiliki seorang pria yang akan pergi ke medan perang.

Ini merupakan wajah dari seorang kakek penyayang memanjakan cucunya. Bahkan para prajurit disekitar mereka memasang wajah rumit.

(Paul, yang dulu disebut seorang iblis, sekarang sudah seperti ini, huh....)

Lambert menenangkan kudanya yang meringkik dan menghela nafas dalam-dalam.

Satu minggu sebelumnya pasukan gabungan yang dipimpin Paul dan Lambert berangkat menuju Benteng Gallia.

Untuk menghindari mata pengintai dari Pasukan Kekaisaran, para prajurit dikirim dengan tingkat pleton menuju Benteng Lamburg, sampai 5.000 prajurit dikerahkan. Lalu Olivia memimpin pasukan detasemennya sebesar 3.000 kavaleri menuju hutan Ark secara sembunyi-sembunyi.

Saat ini, Olivia menunggangi seekor kuda hitam dan bergerak didalam hutan dengan kecepatan santai. Disampignya adalah deputi Olivia yang baru ditunjuk, Claudia. Dia mengawasi sekelilingnya penuh kewaspadaan, dan terus waspada.

"Claudia, kau nggak perlu sewaspada itu sambil memasang wajah menakutkan. Nanti cantikmu ilang lho."

Olivia menepuk punggung Claudia sambil tertawa.

"Maafkan aku karena terang-terangan, tapi dipuji oleh Letda Olivia mengenai penampilanku rasanya seperti sindiran."

"Ehh? Tapi kenapa? Aku nggak nyindir lho?"

Olivia memiringkan kepalanya kebingungan. Claudia menghela nafas, itu lebih buruk karena Olivia nggak menyadari alasannya.

"Tataplah cermin dan lihatlah dirimu sendiri.... Kesampingkan itu, misi yang dipercayakan pada kita akan sangat mempengaruhi peperangan. Kita tak boleh ceroboh sebelum kita sampai di belakang Pasukan Kekaisaran."

Rencana pertempurannya dirancang untuk serangan kejutan ini. Kelompok Olivia tengah melintasi hutan Ark, dan menuju ke belakang Pasukan Kekaisaran yang dikerahkan pada dataran Iris. Mereka akan meluncurkan serangan pada markas pusat Pasukan Kekaisaran bersamaan dengan serangan unit utama, dan menghabisi musuh dalam sekali serang, sebuah rencana yang sangat nekat.

Misi Olivia adalah untuk membunuh komandan musuh secepatnya. Tugas Claudia adalah untuk membawa Olivia kedalam jangkauan serangan. Waktu pelaksanaan serangan krusial ini diserahkan sepenuhnya pada kebijaksanaan mereka.

"Ngomong-ngomong, Letda Olivia, kemampuan berkudamu menakjubkan. Kudengar kuda hitam itu cukup sulit diatur."

Kuda hitam itu memiliki badan yang lebih kekar daripada kuda-kuda yang lainnya, dan lebih cepat juga. Secara teori, kuda jenis ini sangat cocok sebagai kuda perang, tapi jarang terlihat dalam pertempuran. Itu karena temperamen galak dari kuda hitam, yang mana membuatnya sulit ditunggangi.

Dari apa yang diketahui Claudia, para penunggang yang bisa menunggangi kuda-kuda hitam sangatlah jarang. Meski begitu, kuda hitam ini betul-betul jinak pada Olivia.

Kuda itu akan meringkik dari waktu ke waktu layaknya seorang anak menginginkan perhatian. Itu merupakan perilaku yang tak terduga yang membuat Claudia berpikiran apakah warna hitam itu merupakan cat rambut.

Olivia membelai surai kuda hitam itu dengan lembut dan berkata:

"Eh~ begitukah. Kurasa kuda ini betul-betul jinak. Saat aku masih kecil, aku menunggangi punggung seekor binatang bertanduk satu, dan binatang itu gak bisa tenang."

"––Hah.....? Apa binatang bertanduk satu yang kau maksud itu <Binatang Berbahaya Tipe 2>?"

"Aku nggak tau apa itu seekor Binatang Berbahaya Tipe 2, tapi itu adalah seekor binatang bertanduk putih dikepalanya. Dan rasa dagingnya nggak enak."

Olivia menempatkan tangannya pada keningnya dengan jari telunjuknya di acungkan, dan meniru teriakan dari binatang bertanduk satu dengan suara "rawr". Dia terlihat sangat mengemaskan. Kesampingkan itu, Claudia tertegun oleh kata-kata Olivia yang tiba-tiba. Tak ada anak kecil di dunia ini yang menunggangi punggung binatang bertanduk satu. Bahkan orang dewasa pun tak ada. Mereka akan dimakan sebelum bisa menungganginya.

Shinigami ni Sodaterareta Shoujo V1 7.jpg

(Apa Letda Olivia mengerjaiku?)

Claudia menatap mata Olivia seraya berpikir demikian, tapi dia tak melihat 'warna' yang mengindikasikan bahwa Olivia berbohong. Saat Claudia terlihat terkejut, Olivia dengan lembut membelai leher kuda hitam itu, dan kemudian dengan lincah berdiri di punggung kuda itu.

"Hei, kudanya betul-betul jinak, kan?"

"A-A-Apa yang kau lakukan!?"

Caludia mengulurkan tangannya untuk menghentikan dia, tapi kuda hitam itu menjauh, seolah untuk menghentikan dia mengganggu tuannya. Olivia berputar di udara, dan menunggangi tanpa berpegangan. Para prajurit disekitar mereka bersorak takjub.

"Kemampuan fisikmu memang luar biasa, tapi tolong tahanlah dirimu dari melakukan ini. Kita sedang mengerjakan misi penting, dan tolong diingat bahwa lau adalah komandan dari 3.000 prajurit."

Claudia memperingatkan dengan dingin. Olivia menjawab: "Baik~ Ehehe, aku membuat Claudia marah." lalu dia menjulurkan lidahnya. Para prajurit disekitar mereka tersenyum dan berkata: "Kapten melakukannya lagi, huh." Pemandangan hangat itu menghilangkan ketidaksenangan Claudia. Nampaknya beberapa prajurit sudah kenal dengan Olivia.

"Apa kau sudah kenal Letda Olivia sebelumnya?"

"Siap ndan, kami mendampingi Danton Olivia untuk merebut Benteng Lamburg."

Seorang pemuda berambut hitam bernama Guile menjawab dengan bangga.

"Oh~ begitukah."

"Iya ndan. Tapi kami hanya bisa berdiri gemetaran saja, dan sama sekali tak bisa berbuat apa-apa.... Tapi berkat pelatihan Kapten, kami telah menjadi lebih kuat. Kami pasti akan berguna kali ini."

Guile berkata sambil mengangkat kepalanya, dan rekan-rekannya mengangguk penuh percaya diri.

(Sungguh naif. Gak semudah itu menjadi lebih kuat. Mereka nggak mengerti bahwa menjadi kuat membutuhkan upaya terus-menerus dalam jangka panjang.)

Ilmu pedang Claudia merupakan hasil dari pelatihan keras bertahun-tahun.

Berkat hal itu, dia memahami sulitnya jalan ilmu bela diri.

Akan tetapi, dia gak akan mengecilkan hati para prajurit yang telah membulatkan tekad mereka. Mengatakan hal yang gak penting tepat sebelum pertempuran akan menurunkan moral, dan gak ada untungnya.  

“Hmm~ Guile, kau belum terlalu kuat sih. Atau lebih tepatnya, kalian terlalu lemah, jadi hati-hati jangan sampe mati, oke?"

Tapi Olivia malah menyiramkan air dingin pada mereka tanpa berpikir dua kali.

Claudia cuma bisa menepuk jidat. Sekarang moralnya akan turun–

Namun, para prajurit cuma tersenyum canggung. Mereka gak terlihat depresi dan tampak sudah terbiasa dengan ini.

Olivia masih belum selesai bicara.

"Terutama Ashton, kau nggak akan berguna sama sekali. Kalau aku harus menggunakan sebuah analogi, maka yang pas adalah kau akan mati kalau kau menoleh sebentar saja."

"––!? A-Apa maksudmu!? Aku juga sudah berusaha sangat keras lho!!"

Ashton memprotes marah, dan Olivia tertawa kecil saat dia melihat reaksi Ashton. Claudia menatap Ashton. Jadi orang misterius yang Olivia sebutkan sepanjang waktu ini adalah seorang rekrutan baru.

"Mau gimana lagi, setiap orang punya kecocokan pada hal-hal yang berbeda. Kalau aku harus menyebutkannya, kurasa Ashton punya bakat sebagai ahli strategi. Saat kita main catur di benteng, kau lumayan handal."

"B-Begitukah? Aku cocok untuk menjadi ahli strategi?"

Ashton bertanya penuh kegembiraan, dan Olivia mengangguk: "Tapi kau kalah terus melawanku." Olivia lalu memegang perutnya dan tertawa keras. Para prajurit lainnya tersenyum melihat interaksi mereka, dan Ashton memasang ekspresi rumit di wajahnya.

"Apa kau membicarakan saat-saat di Benteng Lamburg?"

"Ya. Semua orang memintaku untuk melatih mereka disana. Tapi nggak lama setelah itu kami malah diusir, jadi hasilnya nggak banyak."

Meski Olivia bilang begitu, Claudia gak sependapat. Dia menyadari langkah kaki dari para prajurit ini tegas dan kokoh. Mereka juga terus memperhatikan sekeliling seraya mereka mengobrol.

Bagi Claudia ini adalah hal sepele, tapi sudah pasti bukanlah sebuah standar yang dia duga dari rekrutan baru.

(Kudengar para prajurit yang ikut serta dalam operasi perebutan Benteng Lamburg adalah para rekrutan baru yang gak berpengalaman. Apa mereka meningkat sebanyak itu dibawah pengawasan Letda...? Darimana sih Letda berasal?)

Saat Caludia merasa bingung, Olivia berkata dengan nada penuh harap: "Aku penasaran hadiah apa yang akan diberikan Letjen Paul padaku untuk penyelesaian misi ini?" 

III[edit]

Dataran Iris

Pasukan Kekaisaran bagian Selatan yang dipimpin Jenderal Osborne mencapai daratan Iris sebelum Pasukan Ketujuh sampai. Sesuai saran Paris, markasnya ditempatkan pada tempat yang tinggi yang bisa melihat ke seluruh medan pertempuran. Dipusat adalah 20.000 Ksatria Baja, dikomando oleh Letjen George. Disayap kiri adalah Mayjen Heit, dan disayap kanan adalah Mayjen Minits. Bendera bergambar pedang bersilangan milik mereka berkibar di langit, dan pasukan berjumlah 50.000 menunggu kedatangan Pasukan Ketujuh.

Disisi lain, pasukan gabungan dari Letjen Lambert dan Paul tiba sehari setelahnya. Menilai bahwa pasukan utamanya berada di tengah, Lambert memimpin 25.000 prajuritnya dari Pasukan Pertama dan ditempatkan di tengah. 20.000 prajurit lainnya di bagi menjadi dua sayap, dipimpin oleh Mayjen Elman dan Mayjen Hosmund. Markasnya yang dijaga 5.000 prajurit ditempatkan di belakang formasi pusat, dipimpin langsung oleh Paul.

Kedua pasukan dikerahkan dalam barisan formasi dasar, yang mana memanfaatkan luasnya dataran tersebut dan mengurangi ancaman serangan dari samping. Saat terompet dan genderang berbunyi, Ksatria Baja berencana memulai pertempuran dengan sebuah serbuan.

Dan dengan demikian dimulailah apa yang akan disebut 《Pertempuran Iris》 di masa mendatang.

"Komandan, kau terlalu dekat dengan bagian depan! Pelankan kecepatanmu!"

Letkol Cyrus ajudan George menasihati dia. Tapi George mengabaikan dia, dan malah memacu kudanya lebih cepat lagi.

Cyrus melesat ke samping George, dan George berteriak padanya.

"Bacot! Gimana bisa aku mundur didepan para kaum lemah Pasukan Kerajaan? Aku akan menghabisi siapapun yang berani menghentikan pergerakan Ksatria Baja milik kami!"

George memasang senyum sinis saat dia meluncur kearah para prajurit musuh. Letjen memimpin serangan secara pribadi membuat moral para kavaleri membumbung tinggi.

Beberapa jam setelah pertempuran dimulai.

Pertempuran di daratan Iris sangat sengit.

Ksatria Baja milik George merupakan unit kavaleri berat, dan hal yang gak biasa dari mereka adalah tombak mereka. Gak seperti tombak-tombak pada umumnya, tombak ini terspesialisasi untuk penetrasi, dan dengan gaya inersia dari serbuan kuda perang, mereka bisa dengan mudah menembus zirah. Ksatria Baja menampilkan kekuatan serangan dan pertahanan mereka yang luar biasa, mendominasi medan perang.

"Terlalu lemah! Sungguh penampilan yang gak sedap dipandang! Sama seperti Pasukan Keenam, sepertinya Pasukan Ketujuh hanyalah sekumpulan kaum lemah juga! Bahkan Kerajaan Swaran memiliki kekuatan tempur yang lebih besar daripada mereka."

George mencela dan melemparkan seorang prajurit musuh yang ada di tombaknya. Cyrus tiba-tiba berteriak:

"Komandan, musuh tiba-tiba mundur!"

Mengikuti arah yang ditunjuk Cyrus, dia bisa melihat para prajurit kerajaan mundur. Para prajurit lainnya juga bergerak mundur sangat terkoordinasi.

"Hmmp.... Ajudan Cyrus, bagaimana menurutmu soal pergerakan Pasukan Kerajaan? Sampaikan pendapatmu."

Tatapan dingin dari George membuat Cyrus meluruskan punggungnya. Jika dia tak memberi sebuah jawaban yang memuaskan George, bahkan ajudan itu akan menerimanya amarah dari sang Jenderal. Itulah yang diisyaratkan oleh tatapannya.

"Siap ndan, menurutku, musuh berusaha mundur untuk menjaga jarak diantara kita, dan kemudian berkumpul kembali!"

"Lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Ini merupakan peluang bagus. Kurasa kita harus memanfaatkan kesempatan ini dan menerobos barisan tengah mereka, dan menyerang markas mereka."

George senang mendapatkan jawaban yang dia inginkan. Seperti yang dikatakan Cyrus, musuh mungkin ingin mundur dan berkumpul kembali. Jika dia memanfaatkan peluang ini untuk menyerbu kearah markas milik musuh, maka dia akan mendapatkan semua pencapaian. Setelah itu, hanya masalah waktu saja sampai dia dipromosikan menjadi Jenderal.

George mengayunkan tombaknya untuk membersihkan darah yang menempel, dan mengambil keputusan:

"Cyrus! Kita akan menerobos barisan tengah musuh, dan menyerbu markas mereka!"

"Siap ndan!"

"Dengarkan aku, Ksatria Baja yang gagah perkasa! Ikuti aku dan serbu! Orang yang memenggal kepala komandan musuh akan diberi hadiah setimpal!"

“““Wooaahhh!!”””

Disemangati oleh George, Ksatria Baja mengeluarkan teriakan yang sangat keras. Pada sinyal Cyrus, seluruh unit melesat layaknya sebuah gelombang yang tak bisa dihentikan. Sebaliknya, meski Lambert dan Pasukan Pertama berusaha mempertahankan barisan, Ksatria Baja menerobos dengan mudah.

Barisan tengah porak-poranda, dan para ksatria itu mulai mengancam markas pusat barisan tengah.

Saat Ksatria Baja memporak-porandakan barisan tengah, Neinhart memperhatikan dengan tenang. Dia memerintahkan  unit-unit yang dikalahkan untuk mundur, dan terus menembakkan panah. Akan tetapi, anak panah tidak terlalu efektif. Karena kuda perangnya dijuga memakai zirah, mereka tak bisa membendung serbuan kavaleri itu dengan membunuh kuda-kuda perang mereka.

"Komandan, itu adalah Ksatria Baja yang tersohor."

"Aku bisa melihatnya dengan jelas. Unit ini merupakan personifikasi dari istilah "serbuan sembrono" . Mereka mungkin memang musuh, tapi kinerja mereka layak dipuji."

Lambert mengangguk penuh kekaguman. Memang benar bahwa moral dan daya gempur unit itu luar biasa. Bahkan Pasukan Pertama yang elit didorong mundur semudah itu, yang mana hal itu mengejutkan Reinhart. Gak heran Pasukan Keenam yang dipimpin Letjen Sera kalah.

"Mengagumi mereka tak akan mengubah situasi kita. Apa yang harus kita lakukan tentang ini? Mengerahkan pasukan cadangan kita?"

Neinhart menatap ke belakang mereka, dimana markas utama dimana bendera Pasukan Ketujuh berada. Lambert berkata sambil mendengus:

"Hmmp, kau punya kebiasaan buruk menanyakan sesuatu yang sudah jelas. Kau sudah merencanakan ini sejak awal, kau pikir aku gak menyadarinya?"

"Maafkan aku, aku akan melaksanakannya."

Dengan itu, Neinhart mengangkat tangan kirinya. Pada sinyal ini, sekelompok pemanah yang telah menunggu, menunjukkan diri. Panah mereka berlumuran minyak, dan setelah seorang prajurit menyalakannya, panah api siap ditembakkan.

Saat api tersebut berkobar, Neinhart mengayunkan tangannya ke bawah.

"Tembak!"

Dengan komandonya, panah-panah api itu ditembakkan ke area didepan Ksatria Baja. Tujuannya bukan untuk membakar pasukan kavaleri itu, tapi untuk membuat kuda-kuda perang mereka panik. Semua hewan di dunia ini takut api. Rencana Neinhart sangat efektif, dan kuda-kuda perang itu mulai meringkik, dan mulai menjadi liar.

"Tenang!!"

Para penunggang menenangkan kuda mereka, tapi ujung-ujungnya tetap jatuh. Infanteri berat memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang para penunggang yang jatuh dari tunggangan mereka.

Mereka berusaha bangun dan melawan musuh, tapi zirah berat mereka menjadi rantai yang membebani mereka. Pada akhirnya, mereka tak bisa melakukan perlawanan dan dibunuh oleh infanteri berat.

Neinhart bergumam saat dia melihat pemandangan ini.

"Kita bisa menghentikan serangan musuh untuk sekarang ini."

"Memang benar, tapi kita harus tetap siaga. Sekarang giliran kita untuk menyerang, tapi masih masih kokoh."

Dengan itu, kedua orang itu terus mengamati pertempuran tanpa berbicara sepatah kata pun.

Pertempuran di bagian tengah berada dalam keadaan buntu. Pertempuran di kedua sayap juga sama sengitnya, dan peperangan itu perlahan menjadi seimbang.

Akhirnya, mentari senja menyinari dataran Iris. Dengan tanda itu, kedua belah pihak menarik pasukan mereka.

Pertempuran di hari pertama berakhir.

Pasukan Kekaisaran kehilangan 2.000 prajurit, dan Pasukan Kerajaan kehilangan 3.000 prajurit.

Meski bagian sayapnya seimbang, ada perbedaan yang besar di bagian tengah.

Pasukan Kerajaan, Markas Utama

Otto dan beberapa stafnya dibanjiri laporan dari medan perang. Kebanyakan laporan menyatakan kegagahan Ksatria Baja, yang mana memuat Otto stres mengenai seberapa kuatnya Pasukan Kekaisaran.

"Semuanya, kita lembur malam ini."

Dengan itu, Paul perlahan berjalan ke kelompok itu. Para bawahannya memberi hormat.

"Komandan, bukankah anda beristirahat di tenda anda?"

Otto bertanya penuh kekhawatiran. Paul dengan santai melambaikan tangannya, dan duduk di kursi yang dipersiapkan untuknya.

"Santai saja. Otto, kau sudah tau kan kalau aku jarang tidur saat pertempuran. Darah dipompa ke otakku, dan itu tak berubah meski usiaku sudah tua–Jadi, berapa banyak korban yang jatuh?"

Paul menatap dengan tatapan tajam, menampilkan kilasan dari masa lalunya saat dia disebut iblis. Meski usianya lanjut, sifatnya tetap tak berubah. Otto merasa sedikit nostalgia, dan melaporkan informasi yang dia kumpulkan sejauh ini pada Paul.

"– Mereka menyudutkan Letjen Lambert, huh. Ksatria Baja memang sesuai dengan nama mereka."

"Itu benar. Pasukan Pertama menghentikan serangan musuh dengan cara membuat panik kuda-kuda mereka menggunakan panah api, akan tetapi...."

Otto berhenti berbicara, dan menengadah. Rembulan terang yang berada diatas dataran Iris ditutupi oleh awan gelap. Paul menengadah dan berkata:

"....Cuacanya berubah."

"Iya ndan. Jika hujan, keefektifan panah api akan menurun. Ini akan sangat mempengaruhi pertempuran Pasukan Pertama."

"Yah, ini Lambert yang sedang kita bicarakan, dia akan menemukan cara. Kapan unit detasemen itu sampai di posisi?"

"Menurut jadwal mereka, mereka seharusnya sudah berada di posisi sekarang...."

Menurut rencana, unit detasemen itu akan mengirim sinyal asap jika serangan kejutan mereka berhasil. Pada sinyal itu, seluruh pasukam akan melancarkan serangan besar-besaran. Saat Paul mendengar jawaban Otto, dia bergumam "Begitu kah." Lalu dia mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Asap abu-abu perlahan naik ke langit malam.

Masih ada beberapa jam sampai pagi menjelang.

Hari kedua pertempuran, langitnya mendung

Belajar dari kegagalan mereka kemarin, Pasukan Pertama milik Lambert mempersiapkan para pemanah api terlebih dahulu. Untuk bertahan dari serbuan Full Metak Knight, mereka menggunakan formasi bertahan. Disisi lain, Ksatria Baja yang telah mendapatkan pencapaian besar kemarin, tidak mempersiapkan pencegahan apapun terhadap panah api, dan serangan mereka lebih matang daripada kemarin.

Dan dengan demikian, pertempuran di bagian tengah tidak terlalu sengit dibandingkan kemarin, meski terkadang terjadi bentrokan disana-sini. Pertempurannya berlatih ke bagian sayap.

Yang bertugas pada sayap kiri Pasukan Kerajaan adalah Mayjen Elman Hark. Aslinya dia adalah seorang rakyat jelata, tapi menarik perhatian Paul, dan naik ke peringkat Mayjen. Seorang talenta langka yang menguasai pertempuran bertahan.

"Komandan, kavaleri musuh menyerbu kita!"

Ajudannya, Kapten Louis berteriak. Saat pertempuran sengit terjadi, 500 kavaleri kuat menyerbu kearah mereka secara terang-terangan.

"Tetap tenang. Musuh memakai formasi segitiga, sudah jelas bahwa mereka berniat membelah baris pertahanan kita. Sampaikan perintahku pada para pemanah di kedua sayap, dan suruh mereka menyerang dengan panah api."

Para pembawa pesan pergi membawa perintah Elman, dan menyampaikan pesan tersebut pada para komandan pemanah. Para pemanah menyiapkan panah mereka dengan pergerakan yang terlatih, dan menembak bersamaan. Anak panah melesat di udara dan menghujani kavaleri musuh.

Kuda-kuda perang meringkik dan mengangkat kaki depan mereka, menjatuhkan para penunggang mereka ke tanah. Tapi unit kavaleri itu tidak membatalkan serbuan mereka, seolah dikejar sesuatu dari belakang.

"Hieee! M-Musuh nggak berhenti! Mereka tetap menyerbu kearah kita!"

Seorang pemanah berkata, dan nampak sudah diambang menangis.

"Diam dan terus menembak!"

Pada perintah penuh amarah dari kapten, para pemanah menembakkan panah kedua dan ketiga. Masing-masing tembakan menghasilkan banyak mayat, dan saat korban kavaleri mencapai lebih dari 50%, para penunggang berbalik dan melarikan diri.

"Komandan, musuh telah ditaklukkan, kita harus mengejar mereka."

Louis memberi saran, dan Elman bergumam setelah mendengar itu:

"–Memang. Jika kita tidak mengejar sekarang, musuh akan curiga...."

Biasanya, Elman akan memberi perintah pengejaran sebelum Louis memberi saran. Tapi kali ini dia ragu-ragu.

"Hmm? Boleh aku bertanya apa maksudnya?"

"Nggak ada, itu masalahku. Kau tak perlu kuatir– Baiklah kalau begitu, kirim unit kavaleri untuk mengejar. 400 kavaleri sudah cukup. Jangan mengejar terlalu dalam, dan segera mundur setelah menunjukkan diri."

"Siap ndan! Aku akan mengaturnya!"

Louis segera menurunkan perintah pengejaran pada pembawa pesan. Elman memperhatikan pergerakan bawahannya dan teringat pada isi dari operasi ini. Kunci dari rencana ini berada pada Olivia, dan hanya sedikit orang yang tau rinciannya. Karena keberhasilan dari rencana ini bergantung pada serangan kejutan itu, sangat diperlukan untuk menghindari bocornya informasi ini pada musuh.

Strategi mereka bukan untuk sangat agresif sebelum serangan kejutannya berhasil dan semua komandan harus mengikuti rencana ini dengan ketat. Ini merupakan pertimbangan yang dibuat Paul untuk menghemat pasukan mereka untuk serangan pada kastil Kaspar.

Akan tetapi, akan mencurigakan jika mereka bertindak terlalu pasif. Jadi mereka harus bertempur dengan segala yang mereka bisa untuk menahan musuh, dan tidak menimbulkan kecurigaan dari musuh saat menyerang. Elman menghela nafas pada seberapa sulitnya hal ini, dan menggaruk kepalanya.

(Karena Letjen Paul mempercayai gadis itu, harusnya gak masalah... Tapi seorang gadis berusia 15 tahun akan menentukan nasib pertempuran ini. Aku bertanya-tanya apa yang akan musuh pikirkan saat mereka mengetahui hal ini.)

Elman berpikir tentang gadis berambut perak yang dia jumpai saat berjalan di koridor Benteng Gallia, dan memberi perintah lanjutan pada Louis.

Pasukan Kekaisaran, Markas Sayap Kanan

"Kau berani menunjukkan wajahmu didepanku, dasar gak tau malu!"

Seorang pria mengenakan aksesoris berkilauan yang tampak tak sesuai di medan perang memaki dengan suara serak. Dia adalah Mayjen Minits O'Stocks, seorang bangsawan besar yang dikenal tukang pamer. Dia pengecut dan gak berani pergi ke medan perang secara langsung. Dia akan menegur para bawahannya saat mereka membuat kesalahan, dan akan mengambil prestasi mereka saat mereka berhasil. Minits bukanlah seseorang yang bisa dipercayakan untuk mengkomando unit sayap, tapi karena dia adalah kerabat jauh dari Kaisar, dia diberi tugas sebagai komandan Sayap Kanan.

"Mayjen, itu harusnya sudah cukup. Dia juga frustasi karena kehilangan pasukannya."

Ajudannya, Mayor Reoness memohon untuk pria yang kepalanya diinjak oleh Minits. Serbuan untuk menerobos sayap kiri musuh berujung kehilangan 70% pasukan penyerang, dan pria ini entah bagaimana bisa selamat. Akan tetapi, sangat gak adil menekankan semua kesalahan pada dia.

Bagaimanapun juga, rencana Minits untuk menerobos musuh hanya dengan 500 kavaleri merupakan tindakan bodoh.

"Diam! diam! Jika aku gak bisa mendapatkan pencapaian perang pada pertempuran ini, ayahku akan memaki aku habis-habisan. Kirim lebih banyak kavaleri untuk menyerbu mereka!"

"M-Mayor Jenderal! Sebuah serbuan sembrono hanya akan berujung pada kegagalan yang sama! Anda harusnya memahaminya setelah melihat ini."

"Menjengkelkan! Serangan Letjen George dihentikan, jadi ini merupakan sebuah peluang bagus untuk mendapatkan pencapaian perang! Jika kau paham, maka kirim lebih banyak kavaleri. Kau dengar itu, ini adalah perintah!"

Minits berkata histeris seraya memegang kepalanya dan berulang kali bilang "Serang, serang!" Dia gak bisa diajak berunding, tapi karena Osborne meminta Reoness untuk mengawasi Minits, Reoness gak bisa meninggalkan dia begitu saja.

Reoness mendesah berat dalam hatinya, lalu memberi usulan pada Minits:

"Mayor Jenderal, bagaimana kalau begini. Kita bagi 3.000 kavaleri menjadi tiga unit, dan mengirim salah satu unit untuk menyerang sayap kiri musuh seperti sebelumnya."

Reoness membentangkan peta di meja, lalu mengeluarkan tiga bidak catur. Dia menempatkan salah satu bidaknya di tengah-tengah sayap kiri musuh.

".....Bukankah aku barusan memerintahkan begitu."

Minits berkata penuh amarah. Jadi dia masih sadar. Reoness tersenyum masam dalam hatinya, dan melanjutkan:

"Anda benar, tapi yang berbeda adalah kelanjutannya. Musuh akan lengah jika mereka melihat serangan yang sama. Bagaimanapun juga, mereka sudah mengalahkan kita satu kali."

Lalu dia menempatkan dua bidak lainnya pada kedua sisi musuh.

"Saat kewaspadaan mereka turun, kita akan mengirim dua unit lainnya untuk menyerbu."

"Jadi unit kavaleri pertama adalah umpan, dan menciptakan celah untuk dua unit lainnya? Jadi kita akan menyerang tiga posisi disaat yang bersamaan?"

"Ya, Mayor Jenderal. Tapi bukan itu saja, langkah selanjutnya adalah yang utama."

Reoness mengangkat sudut bibirnya dan menjelaskan perlahan-lahan supaya Minits paham.

"Komandan, kavaleri musuh menyerang."

Saat dia mendengar laporan Loius, Elman mendesah dalam hatinya dan berpikir:

"Lagi?" Lalu dia mengambil teleskop di pinggangnya.

"–Hmm? Mereka mengirim lebih banyak kali ini... Sekitar seribu kavaleri. Formasi segitiga lagi, jadi mereka masih berusaha menerobos barisan kita."

"Sepertinya begitu. Musuh benar-benar keras kepala."

Elman menegur Louis karena kata-katanya yang sembrono. Dalam sekejap mata, situasi medan perang bisa saja berubah, dan sembrono bisa berakibat fatal. Elman memberi perintah melalui para pembawa pesan, menyuruh para komandan pemanah untuk bersiap bertempur.

"Mereka datang!"

Kavaleri musuh masuk kedalam jangkauan serang, dan mengacungkan tombak mereka.

Nampaknya tak ada trik licik saat mereka mengulangi taktik yang sebelumnya. Elman merasa agak bingung saat dia memberi perintah pada para pemanah untuk menyerang saat mereka masuk kedalam jangkauan panah. Anak panah yang tak terhitung jumlahnya jatuh layaknya hujan, membunuh para kavaleri satu persatu.

"....Sepertinya kekhawatiranku gak terbukti."

"Hah? Apa kau mengatakan sesuatu?"

"Tidak."

Elman menyerahkan komando pada Louis, dan kembali ke tenda untuk beristirahat sejenak. Akan tetapi, Louis menerobos masuk kurang dari 10 menit kemudian.

"K-Komandan!"

"Ada apa?"

"Sebuah unit kavaleri baru telah muncul! Mereka menyerang untuk menerobos formasi kita!"

Saat dia mendengar laporan Louis, Elman bergegas keluar dengan panik, dan melihat pasukannya kacau karena serbuan musuh.

"Jadi itu bagian dari sebuah rencana. Aku termakan begitu mudahnya."

Elman menggertakkan giginya. Gelombang pertama mungkin sebuah umpan, dan musuh menurunkan kewspadaan Pasukan Kerajaan dengan berpura-pura mengulangi taktik yang sama. Ini menciptakan celah bagi dua unit lainnya untuk menyerang dari samping.

"Menurutku, kita harus mundur dan berkumpul kembali."

Louis memberi saran dengan wajah masam.

"....Tarik mundur unit pemanah, dan kirim unit perisai ke depan, dan suruh unit tombak menyerang kavaleri musuh dari celah unit perisai."

"Siap ndan!"

Elman memberi instruksi pada Louis saat dia mengamati pergerakan musuh dengan teleskop miliknya. Dia bisa melihat pergerakan musuh untuk menyerang.

(Aku paham, jadi seluruh serangan kavaleri hanyalah umpan. Pasukan utama mereka akan maju saat pasukan kami dalam keadaan kacau, dan menghancurkan formasi kami. Mereka betul-betul meremehkan aku.)

Elman tersenyum mengejek diri, dan Louis merasa gelisah saat dia melihat itu.

"Tak masalah, aku belum kehabisan akal. Serangkaian serangan ini hanyalah sebuah pengalihan. Pasukan utama musuh sudah siap menyerang."

"Apa kau bilang!?"

Louis mengambil teleskop miliknya dengan panik.

"Ughh, itu benar... Aku minta maaf. Kau menyerahkan komandonya padaku, tapi aku ceroboh."

"Begitu pula dengan aku. Tempo mereka sangat pas, sepertinya aku salah memprediksi. Tapi itu adalah akhir dari taktik miliknya. Jika demikian, giliran kita untuk menyerang balik."

"A-Apa maksudmu?"

Elman menampilkan senyum sinis dalam menanggapi pertanyaan Louis.

"Fuhaha, lihat! Lihatlah Pasukan Kerajaan yang kocar-kacir layaknya tikus got. Rencanaku berhasil!"

"Seperti yang diharapkan dari Mayjen Minits. kelicikan anda memang tiada bandingannya."

"Pasukan Kerajaan sudah kehabisan keberuntungan sekarang karena mereka telah menghadapi komandan kami, Minits yang agung."

Minits sangat gembira, dan para perwira pengiringnya memanfaatkan kesempatan ini untuk menyanjung Minits. Semua perwira menatap mereka dengan tatapan dingin.

"Baiklah, aku akan mengambil alih komando sekarang! Terus pertahankan serangan kita, hancurkan formasi musuh, dan serang markas pusat mereka. Kita akan memenggal kepala komandan mereka dalam sekali serang!"

"Mayor Jenderal!? Memisahkan musuh dan menghabisi mereka satu per satu merupakan taktik ortodoks. Itu mungkin bisa dilakukan bagi Ksatria Baja, tapi unit kita tak memiliki kekuatan penggebrak seperti mereka. Mohon dipertimbangkan ulang, Mayor Jenderal."

"Tidak! Ini adalah kesempatan bagus untuk memperoleh pencapaian perang!"

Minits berteriak seraya menggebrak meja.

"Mayor Jenderal! Mohon dipertimbangkan ulang–"

"Mayor Reoness, tolong tahan dirimu. Mayjen telah memberi perintah. Jika kau terus membantah beliau, kau akan dianggap melakukan penghianatan."

Pengiring Minits menghentikan Reoness, dan mengancam dia dengan tuduhan penghianatan.

Wajah dari para perwira menjadi merah karena emosi, tapi Reoness menghentikan mereka sebelum mereka bisa memprotes.

".....Sesuai titah anda."

"Bagus. Aku senang kau mengerti."

Minits mengangguk puas, dan memerintahkan penyerangan pada markas utama musuh.

Sudah satu jam sejak pasukan Minits melancarkan serangan kuat pada sayap kiri musuh. Saat sekutunya bertempur dengan gagah berani, Reoness yang mengkomando barisan depan merasa ada yang janggal.

(Ini aneh. Musuh seharusnya sudah jatuh kedalam perangkap kami. Memang gak ada peluang kami mendapatkan kepala komadan mereka, tapi kami seharusnya bisa menimbulkan pukulan berat pada sayap kiri mereka. Namun semuanya berjalan terlalu mulus. Akan masuk akal kalau Pasukan Kerajaan memang gak kompeten, tapi dari apa yang kulihat kemarin, musuh tidaklah selemah itu... Nampaknya aku harus memeriksa situasinya.)

Reoness menepis anak panah yang mengarah padanya seraya dia berkata pada bawahannya, Mars:

"Kuserahkan komando disini padamu sekarang. Ada sesuatu yang harus kupastikan."

"Siap ndan, serahkan padaku."

Mars membungkuk hormat, dan Reoness memutar kudanya.

"Baiklah! Seratus orang ikuti aku!"

“““Siap Ndan!”””

Reoness memacu kudanya ke tempat yang lebih tinggi.

"B-bagaimana bisa begini.....?"

Setelah mencapai tempat yang tinggi, Reoness terkejut pada pemandangan didepannya. Unit miliknya dikelilingi oleh pasukan musuh.

"Mayor.... Apa yang terjadi?"

Salah satu dari kavaleri miliknya bertanya. Itulah yang ingin Reoness ketahui, dan merenung.

Lalu dia mendapatkan sebuah jawaban.

(Apa musuh menyadari rencana kami, dan berpura-pura kebingungan!? Dan kami jatuh kedalam perangkap mereka. Pasti begitu, gak ada penjelasan lain dari situasi nggak masuk akal ini.... Fufu, bisa dibilang, aku sudah gagal.)

Dia kalah dalam pertempuran penuh trik, dan satu-satunya hal yang bisa dia lakukan sekarang adalah meminimalisir kerugian. Pengepungan musuh terhadap pasukan mereka semakin rapat disaat mereka berbicara.

"Cepat mundur ke markas. Akan terlambat jika kita menunggu lebih lama lagi."

"Siap ndan!"

Pasukan Kekaisaran, Markas Sayap Kanan

Setelah bergegas kembali ke markas, Reoness melihat Minits meminum anggur kuning dari gelas dan bersuka ria.

"Mayor Jenderal! Apa yang anda lakukan di medan perang!?"

"–Hmm? Oh, Reoness ternyata. Gak ada, aku hanya minum untuk merayakan kemenangan kita. Kau mau?"

"Sekarang bukan waktunya untuk ini! Musuh mengurung pasukan kita, harap mengeluarkan perintah untuk mundur!"

"Perintah mundur? Kenapa kau seperti orang mabuk padahal nggak minum? Bukankah musuh kalang kabut karena mereka jatuh kedalam perangkapku?"

"Itu tipu daya musuh! Mereka mempermainkan kita layaknya mainan!"

Kemudian, seorang prajurit bergegas masuk kedalam tenda. Dari sikap paniknya, Reoness bisa menebak bahwa situasinya sudah menjadi sangat buruk.

"Sungguh gak sedap dipandang. Penampilan yang sungguh memalukan untuk seorang prajurit kekaisaran."

"S-Saya minta maaf. T-Tapi...."

"Tak masalah, cepat laporkan."

"Siap ndan, p-pasukan kita telah dikepung oleh musuh!! Jika ini berlanjut, hanya masalah waktu saja sampai mereka menyerbu markas pusat!!"

"Kau juga, huh. Cukup sudah omong kosongnya, atau kepalamu akan–"

Minits gak menyelesaikan kata-katanya, karena sebuah anak panah melintas disamping pipinya.

Reoness bisa mendengar jaritan dan teriakan samar, dan menyadari bahwa sudah tak banyak waktu.

Minits tampak kebingungan awalnya, dan kebenaran perlahan muncul didepannya. Dia mulai gemetar dan celananya mulai basah. Para pengiringnya jatuh terduduk dan berteriak.

"Mayor Jenderal! Tenanglah!"

"R-Reoness! A-Apa yang terjadi!? Bukankah kita mengungguli musuh!? Kenapa panah musuh bisa sampai sini!?"

"Seperti yang kulaporkan sebelumnya, kita telah jatuh kedalam perangkap musuh. Maskas berada dalam bahaya, harap segera mundur."

"I-Ini semua salahmu sampai bisa seperti ini!!"

"Anda boleh marah setelah semuanya aman– kalian segera kawal Mayor Jenderal dari sini. Aku akan tetap disini dan mengulur waktu sebanyak mungkin."

Kedua pengiringnya mengangguk, dan memaksa Minits menaiki kuda, dan mundur dengan Minits berada diantara mereka berdua.

Setelah melihat mereka pergi, Reoness menaiki kuda perang miliknya dan menghunus pedangnya.

"Mayor, kami akan bertindak sebagai barisan belakang bersamamu."

"....Terimakasih."

Hanya ada 50 penunggang yang tersisa, yang bergabung dengan Reoness.

"Komandan, musuh telah termakan trik kita."

"Ya, nampaknya begitu."

Musuh telah terkepung, dan para pemanah mengkonsentrasikan tembakan pada mereka dari kejauhan. Mereka berulang kali menyerang musuh dengan unit tombak.

"Haruskah kita merapatkan pengepungan?"

Tanya Louis, dan Elman menggeleng.

"Jangan, itu kurang bijak. Beri mereka celah untuk kabur. Memotong rute kabur dari para prajurit akan membuat mereka bertarung layaknya tikus yang tersudut. Kerugian kita akan meningkat karena hal itu."

"Siap ndan!"

(Ini aneh. Strateginya sangat bagus diawalnya, tapi serangannya setelah itu gak fleksibel dan hanya mengandalkan kekuatan brutal. Itu terlalu amatir. Kupikir aku menghadapi lawan yang tangguh, tapi ternyata mengecewakan. Aku gak bisa memahami apa yang mereka pikirkan.)

Karena kinerja luar biasa dari unit Elman di sayap kiri, hari berakhir dengan kemenangan telak Pasukan Kerajaan.

Kerajaan kehilangan 2.000 prajurit.

Kekaisaran kehilangan 5.000 pasukan.

Olivia dan unit detasemennya masih belum menunjukkan diri.

Hari ketiga pertempuran, langitnya mendung

Kedua belah pihak tak bisa melancarkan serangan mematikan dan hari berakhir setelah beberapa pertempuran kecil. Serangan dari sayap kanan Pasukan Kekaisaran tidak terlalu besar, dan tetap bertahan. Rumor mengatakan bahwa Mayjen Minits bersembunyi didalam tendanya sepanjang hari dan gemetaran.

Dan dengan demikian, fajar hari keempat menyongsong.

Awan gelap yang terkumpul beberapa hari akhirnya meluap dan hujan turun.

"Haha, sepertinya langit berpihak pada Ksatria Baja."

George tertawa. Cyrus tersenyum lega dan mengumumkan:

"Siap ndan, kamu siap bergerak!"

Prajurit dan perwira dari Ksatria Baja berdiri dalam formasi yang rapi didepan George, semua orang sudah siap bertempur. Hujan lebat akan menghentikan keefektifan panah api. Dengan moral mereka yang membumbung tinggi, mereka pasti bisa meruntuhkan pertahanan musuh.

George menaiki kudanya dengan gagah, mengangkat tombak miliknya tinggi-tinggi dan berteriak:

"Dengarkan aku, para prajurit Ksatria Baja yang agung! Kita akan menyerang barusan tengah musuh, dan menghancurkan markas mereka. Kita akan menghabisi siapapun yang ada didepan kita–dan tak perlu menangkap mereka!"

“““Siap ndan!!”””

George memimipin Ksatria Baja dalam penyerang ganas pada barisan tengah formasi Pasukan Kerajaan.

“Komandan——”

Neinhart menatap langit dan ragu-ragu untuk berbicara.

"Aku tau. Musuh kita tak akan melewatkan kesempatan ini. Sampaikan perintahnya, kita akan menghadapi mereka dengan formasi sayap bangau."

Lambert sudah memiliki taktik untuk pertempuran saat hujan. Neinhart juga memiliki beberapa formasi dalam benaknya, tapi dia tidak mempertimbangkan formasi sayap bangau.

".....Apa kau secara sengaja melemahkan bagian tengah kita untuk memancing musuh masuk?"

"Itu benar. Mereka berniat menerobos barisan pertahanan kita secara paksa dan menyerang markas kita. Kau harusnya sudah menyadarinya kan?"

"Dari perilaku mereka di hari pertama, aku bisa menebak sampai sejauh itu. Tapi meski demikian, cara berpikir komandan mereka terlalu kaku."

Neinhart mengalihkan tatapannya dari Lambert, dan menatap kearah markas musuh.

"Ya, dengan kekuatan penggebrak dari Ksatria Baja, ini merupakan taktik yang bagus bagi mereka. Mereka seperti seekor binatang buas, jadi mereka pasti akan memakan umpan yang lezat semacam itu."

"Kau benar-benar percaya diri."

"Tentu saja. Jika aku berada dalam posisi mereka, aku juga akan memakan umpannya. Meski aku tau ini adalah sebuah jebakan."

Lambert tersenyum sinis. Neinhart mengangkat bahu setelah mendengar itu, dan segera mengirim pembawa pesan untuk menyampaikan perintah untuk mengubah formasi.

(Aku paham rencana miliknya, tapi bukankah Letjen tau bahwa dia menggambarkan dirinya sendiri sebagai binatang buas juga?)

Neinhart tersenyum masam dalam hatinya, dan menyarankan sebuah rencana pada Lambert.

Setelah mengatakan rencananya, Lambert berkata pahit:

"Neinhart..... meski tampangmu tampan, pemikiranmu betul-betul parah. Tapi aku senang kau ada dipihak kami."

"Aku merasa terhormat oleh sanjunganmu, Jenderal Bengis Lambert."

"Kau betul-betul berkulit tebal, seperti yang diharapkan dari ajudan Pasukan Pertama."

Sebagai tanggapan dari sindiran Lambert, Neinhart menepatkan tangannya pada dadanya dan membungkuk.

"Pujian komandan memberiku kebanggaan. Baiklah kalau begitu, aku undur diri untuk melihat persiapannya."

Neinhart memimpin beberapa prajurit menuju gudang persediaan, dan Lambert menghela nafas dibelakangnya.

– Saat ini, di tempat yang berbeda.

Dibelakang Pasukan Kekaisaran, Olivia dan Claudia tiarap di padang rumput ditempat yang tinggi, dan mengamati pertempuran menggunakan teleskop.

"Sudah kuduga, pertempurannya sudah dimulai beberapa hari lalu. Sungguh kesalahan yang besar, bagaimana caranya kita menutupi ini?"

Claudia yang merasa bersalah meretakkan teleskop ditangannya tanpa menyadarinya. Olivia menatap bingung dan berkata:

"Mau gimana lagi, jangan menyalahkan diri karena ini, Caludia."

Menurut jadwal, detasemen mereka harusnya sampai di dataran Iris sejak lama. Akan tetapi, mereka menghadapi sesuatu yang tak terduga di sungai Xymus setelah keluar dari hutan Ark. Karena hujan kemarin, sungainya banjir, dan menyebrangi sungai itu menjadi sebuah tugas yang berbahaya.

Karena jalan mereka terpotong, unit detasemen itu gak punya pilihan selain berkemah agak jauh daru sungai Xymus, dan menunggu selama tiga hari.

"Seperti yang kau bilang.... Tidak, sekarang bukan waktunya untuk ini. Dari apa yang bisa kulihat, situasinya nampak buruk untuk sekutu kita."

"Ya. Kavaleri Kekaisaran di bagian tengah sepertinya pihak yang mendominasi pertempuran. Mereka kuat dan terlatih."

Olivia memuji dengan tepukan tangan, Claudia menjadi jengkel karenanya.

"Kau pikir itu hal yang bagus untuk kagum pada hal itu? Kita harus segera bertindak, dan menyerang maskas utama musuh!"

Claudia berdiri dan bersiap menyerang, tapi Olivia menarik tangannya agar tiarap lagi. Kekuatannya yang besar menarik Claudia kuat-kuat ke tanah, wajahnya jatuh ke lumpur.

"Bleah! A-Apa yang kau lakukan!?"

"Ahaha, wajahmu penuh lumpur."

Olivia pura-pura bego.

"Ini kelakuanmu, Letda Olivia!"

"Yah, masih terlalu dini buat kita untuk bergerak. Kita amati aja dulu sebentar lagi."

"Bagaimana bisa ini terlalu dini? Sekutu kita sedang terdesak!"

Ini bukanlah waktunya menonton dengan santai. Claudia membersihkan hidungnya dan mengarahkan tatapan jengkel pada Olivia. Tapi Olivia menjawab tanpa adanya ketegangan pada suaranya:

"Claudia, cemas dalam pertempuran merupakan hal tabu. Hal itu akan menghambatmu. Kesampingkan itu, coba kau pakai teleskop ini untuk melihat pertempuran yang terjadi di bagian tengah lagi."

Claudia yang ditawari teleskop dengan enggan mengikuti perintahnya. Dia nggak bisa menerima semua yang dia dengar, tapi memang benar kalau serangan kejutannya akan gagal kalau dia bertindak penuh kecemasan.

".....Nggak ada yang berubah. Pasukan kita menggunakan formasi sayap bangau untuk bertahan terhadap serbuan kavaleri Kekaisaran."

"Itu benar. Dan tidakkah kau merasa itu aneh?"

"Aneh? Apa maksudmu?"

Ungkapan samar dari Olivia membuat Claudia jengkel, dan dia mendesak Olivia untuk menjelaskan.

"Yah~ seperti yang kau tau, kekuatan penggebrak dari kavaleri Kekaisaran itu kuat, kan? Jadi kenapa pasukan kita malah menggunakan formasi sayap bangau yang mana bagian tengah formasi itu relatif tipis? Sewajarnya, bukankah seharusnya mereka menempatkan lebih banyak prajurit di bagian tengah untuk menghentikan musuh menerobos barisan?"

".....Betul juga....."

Sebagai sebuah formasi yang bertujuan untuk mengepung dan menghancurkan musuh, kelemahan formasi sayap bangau adalah bagian tengahnya cukup lemah. Seperti yang dikatakan Olivia, musuh memiliki kekuatan penggebrak yang kuat. Jika musuh menerobos bagian tengah sebelum sayapnya mengepung mereka, semuanya akan berakhir.

"Hei, bukankah itu aneh? Meski begitu, sekutu kita masih menggunakan formasi sayap bangau, jadi mereka pasti punya rencana– Menilai dari situasinya, mereka mungkin memasang suatu perangkap."

"Perangkap.... Perangkap apa itu?"

Claudia bertanya, tapi Olivia hanya mengaruk pipinya dengan penampilan bingung.

"Hmm~ aku nggak tau perangkap macam apa itu. Tapi kalau perangkapnya berhasil, musuh pasti akan goyah. Mereka sepertinya pasukan elit di Kekaisaran, jadi kalau kita melancarkan serangan kejutan disaat yang tepat, itu akan mengguncang seluruh Pasukan Kekaisaran juga. Membunuh dua burung dengan satu batu."

"........"

Lalu, Olivia meluruskan punggungnya, berdiri, mengibaskan lumpur yang menempel. Claudia menatap Olivia dan bercermin pada pemikirannya sendiri yang dangkal.

(Aku terlalu terpaku pada apa yang kulihat, dan mengabaikan untuk mempertimbangkan hal yang besar. Rasa bangga karena diberi tugas penting ini telah menyempitkan pandanganku.)

Untuk menyadarkan dirinya sendiri, Claudia menampar pipinya sendiri, dan berkata pada Olivia:

"Letda Olivia. Untuk bersiap saat perangkapnya berhasil, mari kerahkan beberapa pengintai di tempat yang tinggi. Dengan demikian kita bisa melancarkan serangan kejutan sebelum musuh bisa pulih."

"Oke. Aku nggak tau kenapa kau menampar dirimu sendiri, tapi kuserahkan ini pada Claudia."

"Siap ndan, laksanakan!"

Sebagai tanggapan pada hormat Claudia, Olivia membalasnya dengan senyuman canggung. Dia memiringkan kepalanya sebentar sebelum kembali ke tempat unit kavaleri bersembunyi.

Dengan segala macam pemikiran dalam benak semua orang, pertempuran di dataran Iris mendekati klimaksnya.

Saat hujan turun, George menyerbu seraya memasang wajah seringai.

"Komandan, pelankan kecepatanmu! Pergerakan musuh aneh!"

Cyrus bergegas ke sampingnya. George menepis tombak didepannya, dan menghancurkan kepala prajurit tombak itu menggunakan tombak miliknya. Dia menghempaskan otak yang menempel pada tombak miliknya, menghentikan kudanya dan bertanya pada Cyrus sambil melotot:

"Pergerakan aneh? Jelaskan dengan ringkas."

"Serangan musuh terlalu lemah. Ini gak sebanding dengan hari pertama. Kurasa ini adalah sebuah jebakan."

George mendengus pada pendapat Cyrus.

"Hmmp. Terus kenapa?"

"Huh? Tapi jika itu jebakan...."

"Maka kita hanya perlu menghancurkan jebakan itu. Atau kau menganggap bahwa Ksatria Baja adalah pasukan lemah yang bisa dihentikan oleh jebakan konyol dari Pasukan Kerajaan?"

Saat dia berkata begitu, George mengarahkan tombak miliknya yang berlumuran darah pada leher Cyrus. Cyrus berkata dengan gugup:

"T-Tidak, aku tidak bermaksud begitu!"

"Kalau begitu gak ada masalah. Hentikan ocehanmu, dan fokuslah menyerang markas musuh. Jangan memberi saran kecuali aku memintanya."

Sebelum Cyrus bisa menanggapi, George memacu kudanya dan menyerbu kearah musuh. Dia gak punya waktu untuk omong kosong ini, kejayaan dan kehormatan sudah didepan mata.

Saat Ksatria Baja menyerbu ke bagian tengah, Neinhart menaruh kembali teleskopnya ke pinggangnya.

"Sama seperti yang diprediksi Letjen."

"Betul kan? Mereka tak bisa mengabaikan umpan yang ada didepan mereka. Itulah sifat menyedihkan dari binatang."

Lambert berkata dengan nada suram. Neinhart hanya bisa tertawa pada pemandangan itu.

"Hmm? Apa aku mengatakan sesuatu yang lucu?"

Lambert menatap dia kebingungan. Itu sangat lucu– Tentu saja Neinhart tak bisa mengatakannya, dan dia menggeleng.

"Tidak, bukan apa-apa. Karena kita sudah memancing musuh, mari kita mulai."

"Apa sekutu kita sudah menyebar?"

"Siap ndan, tak ada masalah."

"Baiklah kalau begitu– laksanakan operasinya."

Saat Lambert berkata demikian, Neinhart memberi isyarat pada seorang pemanah. Dia adalah pemanah terbaik di Pasukan Pertama. Setelah menarik busurnya sampai mentok, dia menembakkan panah api ke udara.

Panah api itu melesat indah di langit, dan menancap pada tanah didepan para Ksatria Baja. Lalu, tanahnya diselimuti api.

Shinigami ni Sodaterareta Shoujo V1 8.jpg

— Serangan api.

Neinhart telah menuangkan minyak ke seluruh tempat dimana musuh dipancing. Ksatria Baja yang tak mengetahuinya ditelan oleh api. Aroma tubuh terbakar hangus menyebar di udara, dan daratan itu berubah menjadi lautan api.

Disaat yang sama, Olivia dan Claudia sedang menikmati mustar buatan Ashton yang ditaruh diatas roti. Claudia mengangguk saat dia menatap takjub pada roti yang dibuat Ashton untuknya. Seperti biasa, Olivia mengayunkan kakinya saat dia menikmati makanannya. Tiba-tiba, para pengintai masuk kedalam tenda.

"Lapor! Datarannya telah berubah menjadi lautan api! Itu pasti jebakan dari sekutu kita!"

"Dimengerti. Sampaikan berita ini pada semua orang, dan suruh mereka bersiap."

"Siap ndan!"

Pengintai itu meninggalkan tenda, dan Claudia berkata terkejut:

"Sama seperti yang kau katakan, Letda Olivia. Tapi bagaimana caranya menggunakan serangan api saat hujan lebat begini...."

"Sebuah penerapan mengagumkan dari kecerdasan dan nyali. Aku penasaran siapa yang memikirkan rencana ini? Berkat hal ini, serangan sergapan kita akan lebih mudah sekarang. Pasukan utama musuh saat ini terjepit ditengah medan perang."

Olivia memasukkan sisa rotinya kedalam mulutnya, dan merenggangkan punggungnya. Lalu dia keluar dari tenda. Sekarang masih hujan lebat, jadi hujannya akan membasuh darah yang terciprat padanya.

Olivia tersenyum saat dia memikirkan hal itu, dan beberapa prajurit yang sedang menatap dia langsung mengalihkan tatapan mereka. Olivia nggak yakin apa yang membuat mereka ketakutan, dan saat dia memiringkan kepalanya, dia mendengar Claudia berteriak: "Tolong jangan tinggalkan aku!"

Pasukan Kekaisaran, Markas Utama

Paris menghela nafas, menaruh teleskop yang dia pegang dan melapor pada Osborne:

"Komandan, Ksatria Baja dihadang serangan api, dan dalam keadaan kacau balau."

"Apa kau bilang!? Serangan api ditengah hujan lebat begini!?"

"Mereka mungkin menuangkan banyak minyak, dan menutupinya dengan jerami. Letjen George telah termakan trik ini."

Laporan tak terduga dari Paris membuat Osborne mengerang. Dia sudah tau tentang masalah panah api yang dihadapi George. Itu sebabnya George menganggap hujan ini sebagai peluang bagus untuk menyerang, dan Osborne tidak menghentikan dia.

"Tapi tak mungkin George tidak menyadari jebakan musuh...."

"Tidak.... Kurasa Letjen George melakukan serangan meskipun doa tau bahwa ada jebakan."

"Apa!? Dia secara sengaja membiarkan dirinya terkena perangkap?"

George tidakkah bodoh sampai-sampai masuk kedalam perangkap secara sengaja. Melihat Osborne kebingungan, Paris menghela nafas dan berkata:

"Dia mungkin merasa jebakan Pasukan Kerajaan hanyalah jebakan sepele."

Kemungkinan besar begitu, pikir Osborne. George memiliki keyakinan yang teguh pada Ksatria Baja miliknya. Hal itu tidaklah aneh bagi seseorang seperti dia yang mengedepankan kekuatan tempur diatas segalanya.

".....Haruskah kita memerintahkan mereka untuk mundur?"

"Ya. Tapi dengan kacaunya situasinya, perintahnya mungkin tak bisa tersampaikan dengan baik–"

Lalu, seorang prajurit masuk dengan panik.

"Apa yang terjadi?"

"U-Unit musuh tekah muncul dibelakang kita! Mereka menyerang markas kita!"

–Sedikit memutar waktu ke belakang.

"Letda Olivia, sepertinya musuh telah mendeteksi kita."

Claudia berkata seraya menunggangi kudanya. Didepan dia adalah barisan belakang dari markas musuh yang dengan panik memasuki formasi bertahan.

"Sepertinya begitu. Tapi sudah terlambat."

Olivia menghunus pedangnya sambil tersenyum, dan memacu kuda miliknya.

Dia memenggal kepala seorang musuh, lalu membantai para Prajurit Kekaisaran dengan cepat. Asap hitam perlahan mengepul dari pedang hitam miliknya.

Para prajurit dari unit detasemen yang melihat Olivia untuk yang pertama kalinya langsung terkesiap pada kekuatannya yang besar dan pembantaian yang dia lakukan. Claudia juga terkesiap. Dia sudah membaca laporannya sebelumnya, tapi dampak dari menyaksikannya untuk pertama kalinya sangatlah berbeda. Kekuatan Olivia yang mengerikan membuat jantung Claudia berdetak liar.

Akan tetapi, gak ada gunanya terkejut saja. Claudia menghabisi musuh yang ada didepannya, dan bergegas ke samping Olivia.

"Letda Olivia! Harap jangan menyerbu secara tiba-tiba seorang diri!"

"Ahaha, maaf. Mereka penuh dengan celah, dan tubuhku bertindak sendiri sebelum aku menyadarinya~"

Olivia menjulurkan lidahnya, lalu, seorang penunggang mendekati mereka.

"Komandan Olivia, kelompok lain dari musuh mendekat!"

Diarah yang ditunjuk si penunggang, sebuah divisi yang terdiri dari 2.000 infanteri bergerak untuk menyerang sayap mereka. Claudia membuat keputusan cepat dan berkata:

"Letda Olivia, silahkan lanjutkan seranganmu pada markas musuh! Aku yang akan menahan mereka!"

"Apa nggak apa-apa?"

"Serahkan saja padaku. Kami akan menyusul ke markas musuh nanti– unit ketiga dan keempat, ikuti aku!!"

“““Siap ndan!!”””

Claudia berbalik dan memimpin 1.000 kavaleri kearah infanteri musuh. Olivia memperhatikan mereka pergi, lalu dengan tenang berkata pada para prajurit unit detasemen:

"Yah, jangan kalah sama Claudia, segera serbu markas musuh– oh, kita harus membunuh semua musuh yang ada disini terlebih dahulu."

Dengan penyemangat dari Olivia, moral unit detasemen melambung, dan serangan mereka semakin kuat. Saat pedang diayunkan, darah terciprat ke udara layaknya butiran salju. Pasukan Kekaisaran mulai ngelantur saat mereka menyaksikannya penuh rasa takut:

"Hei, apa itu cewek monster yang disebutkan oleh para prajurit yang menjadi gila? Dia memegang sebilah pedang hitam."

Saat dia berkata begitu, kegelisahan menyebar layaknya riak diantara para prajurit, dan rasa takut perlahan menguasai seluruh unit. Dihadapan teror yang menguasai pasukan, komandan barisan belakang, Mayor Brando, berteriak:

"Apa yang menakutkan dari gadis itu!? Bagaimana bisa prajurit Kekaisaran kehilangan nyali hanya karena seorang gadis!? Perhatikan aku, akan aku bantai dia!"

Brando memutar tombak miliknya diatas kepalanya seraya mendekati Olivia, lalu menikamkan tombaknya pada wajah Olivia. Olivia membalas serangan itu dengan mudah, dan hanya bagian bawah dari tubuh Brando beserta organ-organnya yang terhambur yang tetap diatas kuda.

“Hieee——!! Monster ahhhh!!”

Para prajurit Kekaisaran melarikan diri layaknya air yang keluar dari bendungan jebol. Unit detasemen nggak melewatkan kesempatan ini, dan mengejar musuh yang kabur. Olivia memperhatikannya sebentar, lalu mengarahkan tatapannya pada  markas dimana bendera bergambar pedang bersilangan berkibar.

Dia bergumam pelan:

"Manusia memang mahluk yang agresif dan kejam, Z."

Pasukan Kekaisaran, Markas Utama

Serangan datang entah dari mana.

Perkembangan tak terduga ini sedikit membingungkan Osborne. Akan tetapi, dia tidak menunjukkan rasa bingungnya, dan memberi instruksi Paris untuk mengumpulkan lebih banyak informasi.

Setelah menyimpulkan informasinya– musuh adalah seorang gadis yang mengerikan, dan dia membunuh komandan penjaga belakang.

"Komandan, mungkinkah itu...."

Paris menampilkan wajah pahit.

"Kau mungkin benar, itu pasti gadis yang membunuh Samuel. Sungguh mengejutkan."

"Aku minta maaf, kejadiannya tak akan sampai seperti ini jika aku lebih fokus dalam mengumpulkan informasi."

Paris berkata sambil menundukkan kepalanya, dan Osborne hanya melambaikan tangannya. Itu adalah salahnya Osborne karena tidak memprioritaskan penyelidikan soal gadis itu. Jauh didalam benaknya, dia menganggap kematian Samuel hanyalah masalah sepele, dan menganggap masalah gadis memgerikan ini adalah lelucon.

Itu sebabnya Osborne tidak menyalahkan Paris.

"Jangan panik. Orang-orang mungkin menyebut dia monster, tapi–"

Sebelum Osborne bisa menyelesaikan ucapannya, seorang prajurit masuk sambil berteriak. Paris mengernyitkan alisnya, dan berteriak seraya melotot:

"Apa lagi kali ini!!"

"M-Monster itu–!!"

Prajurit itu tak bisa menyelesaikan ucapannya. Sebuah pedang hitam menikam dadanya, dan dicabut perlahan-lahan seraya bola mata prajurit itu berputar keatas dan darah keluar dari mulutnya. Saat pedang itu sepenuhnya tercabut, prajurit itu jatuh ke tanah.

Dibelakang prajurit itu adalah seorang gadis berambut perak berlumuran darah.

"Siapa kau!?"

Paris berteriak. Dia tau kalau gadis itu adalah musuh, tapi dia tetap bertanya.

"Hmm? Namaku Olivia~. Ngomong-ngomong, komandan disini siapa? Oh, percuma saja sembunyi, aku sudah tau kalau komandannya ada disini."

Olivia memanggul pedangnya, dan mengamati tenda itu dengan santai. Lalu, empat penjaga mengelilingi Olivia seraya mengacungkan pedang mereka. Olivia berputar seolah dia menari sambil mengayunkan pedangnya. Keempat penjaga itu berhenti bergerak dengan posisi pedang mereka berada diatas kepala, seolah mereka membatu.

Semua itu terjadi dalam sekejap mata.

Bagian atas tubuh mereka terpotong secara horisontal, dan jatuh ke tanah, meninggalkan tubuh bagian bawah mereka tetap berdiri. Darah langsung menyembur, dan organ dalam mereka berhamburan. Aroma darah yang tajam memenuhi tempat itu. Osborne cuma bisa terkesiap pada pemandangan mengerikan ini.

Olivia menatap para penjaga yang mati, dan memiringkan kepalanya.

"Hmm~ mereka kelihatan tangguh, tapi ternyata enggak– Oh! Apa komandannya seorang kakek tua seperti Letjen Paul?"

Lalu Olivia berpaling pada Osborne sambil tersenyum samar.

"Komandan, pergilah sekarang. Memang sulit dipercayai, tapi gadis ini memang monster. Aku tak bisa mengulur banyak waktu untukmu."

Dengan itu, Paris menghunus dua pedang pendek di pinggangnya, menyerbu Olivia dan menikam kearah lehernya.

"....Paris.... Maaf, tapi aku tak bisa menuruti permintaanmu."

Osborne dengan lembut membelai kepala Paris yang menggelinding ke kakinya, dan memejamkan matanya. Lalu dia menghadap Olivia dan berkata penuh martabat:

"Aku komandan dari Southern War Theatre, Osborne von Gralvine!”

Markas Utama Pasukan Kerajaan

"Komandan, Pasukan Pertama telah menekan musuh dengan jebakan api."

"Aku terkejut saat mereka bergerak dalam formasi sayap bangau, tapi gak disangka mereka menggunakan trik kejam semacam itu...."

Jika Ksatria Baja ingin kabur dari lautan api itu, mereka harus menghadapi unit tombak elit dari Pasukan Kerajaan. Satu-satunya pilihan yang mereka miliki hanyalah terbakar hidup-hidup, atau tewas karena tombak. Bagian sayap dari formasi itu telah menyelesaikan pengepungan mereka, dan mempererat pengepungannya saat ini.

Paul dan Otto mengamati pertempuran di barisan tengah menggunakan teleskop mereka.

"Aku gelisah saat hujan turun, tapi kekhawatiranku tak terbukti."

"Bukankah sudah kubilang kalau Lambert akan menemukan jalan keluar–? Tapi menyerang dengan api bukanlah gayanya dia."

Paul mengernyitkan alisnya setelah menurunkan teleskopnya. Otto bisa menebak siapa yang membuat rencana serangan api itu, tapi tidak mengatakannya karena dia lebih kuatir pada unit detasemen. Dan dia yakin Paul sudah mengetahuinya.

"Tapi unit detasemen sangat lambat."

"....Mungkin mereka mendapatkan hambatan yang tak terduga."

Sudah empat hari sejak pertempuran dimulai.

Otto merasa bahwa itu kurang bijak untuk menunggu lebih lama lagi. Pasukan Kerajaan memang punya keuntungan saat ini, tapi jika Benteng Kiel mengirim bala bantuan, maka situasinya akan terbalik. Itulah batas dari keunggulan Pasukan Kerajaan. Jika unit detasemen tidak mendapatkan hasil apapun, maka ini akan menjadi peluang untuk meningkatkan keunggulan mereka. Dengan pemikiran itu dalam benaknya, Otto memberi usulan pada Paul:

"Komandan–"

Sebelum dia melanjutkan perkataannya, Paul menggeleng. Dia sudah tau apa yang ada dipikiran Otto.

"Kita sudah bekerja bersama selama dua dekade. Aku bisa menebak apa yang kau pikirkan, Otto."

"Jika demikian...."

"Ini adalah sebuah peluang bagus, tapi komandan musuh juga tidak bodoh, dan akan menarik mundur pasukannya karena situasinya sudah kacau. Dia juga akan meminta bala bantuan dari Benteng Kiel, dan kau tau apa yang akan terjadi selanjutnya."

Otto mengernyitkan alisnya karena tatapan tajam dari Paul, dan tidak berkata apa-apa. Paul tersenyum karena hal itu, dan menepuk pundak Otto.

"Mungkin sudah agak terlambat bagiku untuk mengatakan ini, tapi Letda Olivia akan baik-baik saja. Otto, kau sendiri yang menyarankan rencana ini, kan? Tugas atasanlah untuk mempercayai bawahan mereka mengerjakan misi mereka."

"....Siap ndan."

“Hah, hah, hah— Woi gadis cilik! Apa kau betul-betul manusia!?”  

“Ahaha, kau pasti bercanda. Tentu saja aku manusia.”

Osborne sudah menggunakan serangan mematikan miliknya beberapa kali, tapi pedang hitam itu menangkis dia dengan mudah. Setiap kali dia bersilangan pedang dengan lawannya, tangannya terasa mati rasa. Kesenjangan diantara kemampuan mereka sangat besar, dan dia tak bisa menghilangkan perasaan kematian yang menempel erat pada punggungnya.

"Sudah puas?"

"Hah, hah.... Kalau bilang tidak, apa kau mau menyarungkan pedangmu?"

Osborne hanya bercanda, tapi Olivia menekankan jari telunjuknya pada pelipisnya seraya berpikir secara mendalam. Osborne tersenyum pads sikap riang Olivia dalam pertarungan sampai mati ini.

"Hah~ kau betul juga. Aku nggak pernah memikirkan tentang apa yang harus kulakukan kalau seseorang bilang tidak. Pilihan kata-kataku sangat buruk. Bahasa manusia memang rumit."

Olivia mengubah perkataannya sambil tersenyum cerah: "Lupakan apa yang kukatakan, sudah waktunya mengakhiri ini." Dia mengibaskan pedangnya ke samping, dan bilah yang terselimuti kabut hitam itu terasa familiar bagi Osborne. Lalu Olivia memasang kuda-kuda pedang pertahanan.

"Aku datang!!"

"Ya, majulah, bro!"

Osborne menebas secara vertikal seraya menahan nafasnya, dan suara pedang berbenturan berdentum keras. Dia mengayunkan dengan kekuatan penuh, dan orang biasa gak akan bisa mengikuti gerakan pedangnya– Namun....

"Tuan Osborne, kau punya potensi, tapi sayangnya kau lambat."

Bilah pedang miliknya nggak menyentuh tubuh Olivia, dan tebasan itu terayun sia-sia di udara. Dengan suara tajam dari sebuah ayunan, pedang hitam diayunkan dengan indah dan mengarah pada leher Osborne. Dengan tubuhnya yang masih bergerak karena momentun serangannya sendiri, itu mustahil untuk menghindar.

Osborne tersenyum samar dan memejamkan matanya dengan damai.

Disaat-saat terakhir hidupnya, apa yang melintas dalam benaknya Osborne bukanlah keluarga tercintanya atau para bawahannya dalam militer, tapi pemikiran bahwa kabut pada pedang hitam itu tampak mirip dengan bayangan yang ada dibelakang Konselor Dalmes.

Olivia membersihkan darah dari pedang miliknya dan menyarungkannya. Lalu, Claudia dan beberapa prajurit masuk kedalam tenda seraya nafas mereka tersenggal-senggal.

"Letda Olivia! Apa kau baik-baik saja!"

"Ya, aku baik-baik saja. Gimana denganmu, Claudia?"

"Ini hanya goresan saja, aku baik-baik saja."

Kalau diperhatikan baik-baik, ada beberapa penyokan pada zirah Claudia, anggota badannya mengalami pendarahan, tapi tidak mengancam nyawa, Olivia menghela nafas, dan menepuk bahu Claudia dengan lembut.

"Orang akan mati saat terbunuh, jadi berhati-hatilah."

"Siap ndan, terimakasih atas perhatianmu–! Ngomong-ngomong, apa kau membunuh komandan musuh?"

"Hmm? Kepala yang disana itu milik komandannya. Dia bilang dia adalah Osborne von Gralvine."

Olivia menunjuk kepala berambut abu-abu yang tergeletak di tanah. Claudia mendekatinya dan menelan ludah.

"Kau benar-benar membunuh komandan mereka....."

"Ehh? Bukannya memang itu misi kita. Daripada itu, bukankah kau harus membuat sinyal asap?"

"K-Kau benar!"

Claudia berjongkok untuk bersiap, dan asap merah langsung mengepul.

"Pasukan kita sekarang akan melakukan serangan besar-besaran. Unit kita harus melakukan apa sekarang?"

"Yah... Untuk sepenuhnya menjatuhkan semangat tempur Pasukan Kekaisaran, kita harus menyebarkan berita bahwa komandan mereka sudah mati. Tancapkan kepala itu di tombak dan bawa berputar-putar."

"A-Apa kita harus sampai sejauh itu!?"

Claudia terkejut. Sebaliknya, Olivia sangat tenang.

"Menunjukkan aslinya akan lebih meyakinkan, kan? Aku nggak akan memaksakannya kalau kau nggak mau."

"T-Tidak, aku akan melaksanakan perintahmu, dan segera mengaturnya!"

Mengesampingkan Claudia yang memberi perintah pada para prajurit, Olivia merenggangkan punggungnya. Pertempuran telah mencapai titik balik. Berikutnya giliran serangan pada kastil Kaspar.

Saat ini–

"Haaaah, menjadi seorang prajurit memang melelahkan!"

Claudia tertawa pada nada ucapan Olivia yang berlebihan yang terdengar seperti seorang aktris.

Maskas Utama Pasukan Kerajaan

"Komandan! Lihat sebelah sana!"

Otto penuh kegembiraan menujuk ke kejauhan. Ada asap merah mengepul dari markas musuh.

"Haha, kau tak perlu berteriak. Sepertinya Letda Olivia menyelesaikan misinya."

Paul menampilkan senyum menyeramkan, dan memberi perintah:

"Hubungi Lambert, Elman dan Hosmund. Beritahu mereka tombak perak telah berhasil. Lakukan serangan besar-besaran, bunuh siapapun yang menentang kita."

"Siap ndan!"

Otto menyampaikan perintah itu pada para pembawa pesan. Paul naik ke kudanya dengan gerakan yang lihai.

"Kita akan menyerang juga."

Tanpa membuang-buang waktu, Paul memimpin 5.000 prajuritnya untuk menyerang.

–Satu jam setelah asap itu terlihat.

"Ugh, s-sialan. Sungguh trik yang licik."

"K-Komandan....."

Setelah bergegas ke tempat George, Cyrus melihat tempat itu dipenuhi dengan mayat-mayat yang hangus, dan George menatap pemandangan ini dengan mata yang menakutkan. Mayat kuda kesayangan George yang hangus terbaring di samping dia. Cyrus yang membawa berita buruk, ragu-ragu, namun dia menguatkan dirinya sendiri.

"Komandan, markas utama kita telah jatuh karena serangan kejutan oleh musuh. Mereka memutari sayap kanan kita, dan sayap kiri kita tak bisa bertahan lebih lama lagi.... Harap segera mundur ke kastil."

"....Ajudan Cyrus. Aku sedang tidak mood mendengar leluconmu sekarang."

George berkata dengan dingin seraya dia mengarahkan tombaknya yang hangus pada dagu Cyrus. Cyrus menahan rasa takut yang dia rasakan, mengetahui bahwa situasinya semakin memburuk seiring berjalannya waktu, dan tak ada waktu untuk disia-siakan. Selama kastil Kaspar masih berdiri, mereka bisa bangkit dari kekalahan ini. Tapi jika mereka kehilangan nyawa mereka karena keberanian yang sembroni, maka semuanya akan berakhir.

Saat dia berpikir tentang itu, Cyrus mengumpulkan kekuatannya dan berkata lagi:

"Komandan, ijinkan aku mengulanginya lagi. Kita telah kehilangan markas utama kita. Jika ini terus berlanjut, jalur mundur kita akan terputus. Harap keluarkan perintah untuk mundur."

".....Apa Tuan Osborne baik-baik saja?"

"..... Beberapa prajurit musuh mengatakan Tuan Osborne telah tewas dalam pertempuran. Kami tak bisa memastikannya, tapi serangan dari Pasukan Ketujuh menjadi semakin kuat."

"Aku paham.... Kupikir mereka hanyalah sekumpulan orang-orang gak jelas, jadi ini hasil dari meremehkan musuh, huh? Hasil yang berkebalikan dengan pertempuran kita melawan Pasukan Keenam."

George bergumam penuh penyesalan. Cyrus merasa ini tak seperti George yang biasanya, tapi dia nggak mengatakan apapun. Dalam diam dia hanya menunggu kata-kata George yang berikutnya.

"–Berapa banyak Ksatria Baja milik kita yang masih hidup?"

"Kemungkinan kita telah kehilangan 30% pasukan kita.... Dan setengah dari yang selamat tidak dalam kondisi bisa bertempur."

"Dimengerti. Prajurit yang terluka tetap tempatkan didalam formasi kita, dan kerahkan yang lainnya disekitar mereka. Setelah siap, kita akan mundur ke kastil Kaspar."

"Siap ndan!"

Cyrus menghela nafas lega saat dia melihat ada rasionalitas didalam mata George. Setelah persiapannya selesai, unit mereka mundur ke kastil Kaspar.

"Jangan buag-buang waktu! Kita harus mundur ke kastil Kaspar!"

Minits berteriak penuh amarah. Para pejabat pengiringnya berusaha menenangkan dia, sementara itu para perwira mengabaikan Minits, dan segera bersiap untuk mundur secara teratur. Mereka melakukan ini bukan karena perintah Minits, mereka hanya tak mau mati. Mustahil mereka bersedia mati bersama seorang perwira atasan yang mentalnya terbelakang. Mereka tidak mengatakannya secara terang-terangan, tapi sikap mereka menunjukkan hal ini dengan sangat jelas.

Para pejabat yang mengiringi Minits tak senang dengan sikap para prajurit, tapi tak berani menyampaikannya. Mereka takut menyulut kemarahan para perwira jika mereka mengatakannya. Mereka baru menyadari sekarang bahwa Reoness lah orang yang menyatukan semua unit.

Saat persiapan untuk mundur telah selesai, insiden terjadi.

Catatan sejarah menyatakan bahwa Mayjen Minits gugur saat bertugas karena terkena anak panah dari Pasukan Kerajaan. Tapi kebenarannya adalah–

"Ada apa? Dimana kuda Tuan Minits? Apa kau berencana membiarkan Mayjen berlari sendirian?"

Seorang pejabat bertanya dengan jengkel, dan Mars yang bertugas memimpin mundurnya pasukan menjawab dengan dingin:

"Aku bukan pengurus kuda Tuan Minits. Kalau kau memang menginginkan kuda, kenapa kau tidak mencari kuda sendiri, pak pejabat?"

"––!? Beraninya kau....! Apa yang barusan kau katakan bisa dianggap penghianatan. Aku tak akan melepaskanmu kali ini, jadi bawakan kuda Mayor Jenderal kesini sekarang!"

"Kau mau menuduhku berhianat? Silahkan– coba saja!"

Mars berjalan kearah pejabat itu dan memukul dia pada ulu hatinya. Pejabat itu langsung jatuh ke tanah dan mengerang seraya memegang perutnya. Pejabat lain mengayunkan tangannya untuk membalas, tapi dia sangat lambat. Mars berputar untuk menghidar, menjegal dia, dan menendang dia keras-keras sampai pejabat itu muntah.

Para pejabat pengiring Minits hanyalah para perwira sipil, dan bukanlah tandingan Mars yang merupakan seorang perwira militer. Mints akhirnya menyadari keributan itu dan berteriak:

"Dasar tolol! Apa yang kau lakukan pada para pejabatku!? Aku akan memenggal kepalamu!"

"Aku ragu kau bisa melakukannya, Tuan Minits?"

Sebagai tanggapan pada Minits yang menghunus pedangnya, para perwira didalam tenda mengarahkan busur merek pada dia.

"Apa!? Dasar rakyat jelata gak tau diri, beraninya kalian mengarahkan panahmu padaku, yang memiliki darah kekaisaran dalam pembuluh darahku!? Apa maksudnya ini!?"

Minits menyerang, sedangkan Mars sudah memperkirakannya.

"Gak ada yang perlu dijelaskan. Karena komando bodohmu, Mayor Reoness kami gugur. Dan beliau melakukan itu agar sampah sepertimu bisa melarikan diri."

"Terus kenapa!? Rencana miliknya hampir membunuhku! Tentu saja dia harus mati!"

"Kalau kau bahkan gak bisa memahami ini, maka mati saja sana."

Mars menembakkan panahnya tanpa ragu-ragu, dan mengenai Minits tepat diantara alisnya. Minits jatuh ke belakang dan mati ditempat.

"S-Sungguh mengerikan–!"

"Lakukan!"

Pada perintah Mars, para perwira menembak kedua pejabat itu. Mulut mereka terbuka layaknya ikan yang keluar dari air, dan mati penuh penderitaan.

".....Sungguh disayangkan, tapi Tuan Minits dan pengiringnya gugur dengan hormat karena anak panah dari Pasukan Kerajaan. Cepat kembali ke kastil Kaspar dan laporkan ini."

“““Siap ndan!!”””

Mars naik ke kudanya, dan mundur bersama para prajurit yang selamat.

George dan Ksatria Baja miliknya bertempur mati-matian untuk melarikan diri. Saat mereka menjauh dari dataran Iris, mereka kabur dari pengejar mereka lebih dari 20 kali. Ahli Sejarah dari benua Dubedirica mencatat upaya keras yang dihadapi oleh Ksatria Baja adalah salah satu yang terburuk di medan perang.

"–Setelah melintasi area berbatu ini, kita akan sampai di dataran tinggi.... Kita bisa istirahat disana sebentar."

"Sayangnya kau salah."

Seolah mengejek kata-kata George, kelompok baru dari musuh muncul didepan mereka.

"Sungguh sekumpulan orang keras kepala."

"K-Komandan, lihat itu!"

Cyrus menunjuk kedepan penuh kemarahan. Ada seorang gadis menunggangi seekor kuda hitam, dan disamping gadis itu, kepala Osborne menancap pada ujung sebuah tombak dan diangkat tinggi-tinggi.

"Aku paham, mereka adalah unit serangan kejutan yang menyerbu markas utama...."

George menggeretakkan giginya penuh amarah, dan dia sampai bisa merasakan rasa darah pada mulutnya karena dia menggeretakkan giginya sangat kiat.

"Haruskah kita melenyapkan mereka?"

Saat dia mendengar ucapan Cyrus, George tersenyum masam. Mereka memiliki prajurit kurang dari 2.000, dan semuanya kelelahan dan terluka. Tapi meski begitu, semangat tempur mereka tetap tinggi.

"Ajudan Cyrus, sejak kapan kau mulai berbicara seperti itu? Itu bukanlah sesuatu yang seharusnya dikatakan seorang ajudan."

"Aku mungkin sudah terpengaruh olehmu Komandan. Dan tak mungkin aku bisa diam saja melihat Tuan Osborne seperti ini."

Dengan itu, Cyrus menghunus pedang miliknya yang sudah bernodakan hitam. Para penunggang lainnya mengacungkan tombak mereka, siap menyerbu.

"Hmmp, bodoh– tapi yah, para bawahanku memang luar biasa."

George tersenyum, dan menyerbu Pasuka Kerajaan. Dengan sinyal itu, Cyrus dan 2.000 Ksatria Baja mengikuti dia. Formasi rapi dan kerjasama mereka membuatnya terlihat seperti pergerakan dari satu orang saja.

George memacu kudanya kearah gadis yang berada ditengah formasi. Biasanya, dia akan mencemooh Pasukan Kerajaan yang lemah karena mengirim seorang gadis ke medan perang, tapi nalurinya mengatakan bahwa gadis yang menunggangi kuda hitam itu berbahaya. George mempercayai nalurinya, dan menusukkan tombaknya pada kepala kuda hitam itu untuk merampas pergerakan gadis itu.

"Apa!?"

"Sangat menyedihkan bagi kuda kalau sampai mati."

Tombak miliknya dipukul jatuh ke tanah oleh pedang hitam. Pegangannya pada tombolnya merenggang karena kekuatan yang besar dari gadis itu.

Nalurinya benar. Gadis ini–

"Apa kau yang membunuh Tuan Osborne?"

"Tuan Osborne....? Ya, itu benar. Aku yang membunuh dia."

Gadis itu menatap kepala Osborne dan memjawab sambil tersenyum.

"Sudah kuduga.... Siapa namamu?"

"Aku? Aku Olivia."

"Olivia.... Aku akan mengingat namamu. Jadi– pergilah ke dunia lain dengan tenang!!"

George menghunus pedangnya dan menebas Olivia. Tebasan vertikal, ayunan horisontal, serangan tusukan. Olivia menghindari semua serangan itu dengan lincah. George mundur untuk mengatur nafasnya.

“Huff, huff, ini tak masuk akal. Dia menghindari pedangku dengan mudah...."

"Sudah puas–? Tidak, biar aku perbaiki kata-kata itu. Aku akan melakukan serangan penghabisan sekarang."

"Jangan harap!"

George menyerbu Olivia bersama kudanya, dan mengayunkan pedangnya secara diagonal ke kiri sekuat tenaga.

"–B-Bagaimana mungkin!?"

George menengadah ke langit. Olivia melompat dari kudanya untuk menghindari serangan itu. Hal terakhir yang George lihat adalah Olivia mengayunkan pedangnya kebawah secara vertikal dari udara.

Shinigami ni Sodaterareta Shoujo V1 9.jpg

"Komandan!? Sialan kau!!"

Cyrus berbalik dan menebas menggunakan pedangnya. Olivia mengambil pedang milik George dan melemparkannya pada Cyrus. Pedang itu melesat di udara dan menikam wajah Cyrus, menghempaskan dia ke tebing batu.

––Satu jam kemudian.

Ksatria Baja dihabisi.

Pada hari keempat pertempuran.

Hujannya berhenti, dan mentari menyinari daratan melalui celah-celah awan.



Bab 4: Pertemuan Yang Ditakdirkan[edit]

[edit]

Unit detasemen menyelesaikan misi mereka untuk membunuh komandan tempur musuh, dan dilanjutkan dengan membantai Ksatria Baja.

Olivia yang menerima perintah baru langsung menuju kr barat untuk menghabisi sisa-sisa tentara musuh. Mars yang membunuh Minits berada didalam pasukan musuh yang melarikan diri, tapi Olivia tak mungkin mengetahuinya.

Dan sekarang, unit detasemen itu telah melewati dataran Iris, dan sampai di dataran tinggi sebelum kastil Kaspar. Unit detasemen itu bertemu dengan unit persediaan milik Otto yang ada disana, dan memuat persediaan makanan, obat dan senjata mereka.

"Jadi kita akan menjadi barisan depan untuk menyerang kastil Kaspar. Suatu kehormatan."

Claudia jongkok di tanah dan berkata sambil menengadah ke langit. Orangtuanya akan bangga. Pemikiran itu memberi dia perasaan kepuasan yang sangat besar.

"Apa itu betul-betul sebuah kehormatan....? Aku sama sekali nggak merasakan apapun. Aku lebih suka buku dan makanan lezat daripada ketenaran."

Olivia berbaring di rumput dan berkata sambil mengernyitkan alis. Ashton yang menyiapkan makanan Olivia mengeluh:

"Ngomong-ngomong, kenapa aku merasa jadi kokinya Olivia ya?"

"Itu karena mustar khusus buatan Ashton sangat enak. Jadinya aku memintamu membuatkan roti lapis untukku~"

Olivia tersenyum. Ashton menghentikan tangannya saat dia melihatnya.

"Hmm– yah, menyiapkan dua porsi bukannya satu porsi tidak jauh beda, jadi tak masalah."

Ekspresi Ashton menjadi santai, dan dia mulai mengiris roti. Pemuda ini punya sifat baik, dan mudah dibaca. Dengan memikirkan itu dalam benaknya, Claudia mengangkat jari telunjuknya dan berkata:

"Hei, Ashton. Bisakah kau membuatkan satu lagi untukku?"

"Ehh...? Apa kau mau aku membuat seperti yang sebelumnya?"

"Itu benar, rasanya lezat. Mustar buatanmu sangat enak sampai-sampai aku sangat ingin belajar membuatnya darimu."

"Itu benar! Jadi Claudia juga berpikir begitu ya."

Olivia merasakan semangat kekeluargaan dan menjadi cerewet, dan Claudia tersenyum pada dia. Sebaliknya, Ashton tampak terkejut.

"Hmm? Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?"

"Tidak juga. Aku minta maaf, tapi Nona Claudia seorang ksatria, kan?"

"Aku memang punya gelar seorang ksatria, tapi apa ada hubungannya dengan pembicaraan kita?"

Gelar ksatria diberikan pada para bangsawan yang memiliki kemampuan bela diri yang hebat. Claudia bingung dan sedikit memiringkan kepalanya.

"Yah, kupikir para ksatria punya banyak kesempatan untuk makan makanan lezat...."

"Ya, itu benar kalau aku punya banyak kesempatan memakan makanan yang lezat daripada rakyat biasa. Tapi mustar buatan Ashton rasanya lebih enak, lho?"

"Ehehe~ Begitukah....? Tunggu sebentar, aku akan buat untukmu."

Wajah Ashton lebih santai setelah itu. Dia mengeluarkan sebuah botol mustar dari ranselnya sambik bersenandung. Pemuda ini memang sangat mudah dibaca.

Setelah menjejalkan roti yang dia terima kedalam mulutnya, Claudia berpikir tentang perintah dari Paul. Mereka ditugaskan menjadi barisan depan, tapi unit detasemen hanya berjumlah 2.000. Dibandingkan dengan kira-kira 5.000 prajurit yang ada di kastil Kaspar, akan butuh prajurit berjumlah tiga kali lipat untuk mengungguli pasukan yang mempertahankan kastil itu.

Akan tetapi, misi unit detasemen itu bukanlah untuk merebut kastil, tapi untuk melelahkan pasukan pertahanan dengan serangan terus-menerus. Jadi mereka harus mengikis pasukan bertahan musuh sebelum pasukan utana datang. Paul tak berekspektasi unit detasemen bisa menguasai kastil Kaspar.

"Ngomong-ngomong, bagaimana menurutmu soal penyerangan kastil Kaspar, Letda Olivia?"

“Emem? tac ta gnimaercs ydal?”

"Minumlah dulu. Baru bicara."

Ashton berkata ketus, dan Olivia mengangguk.

"––Phew. Aku nggak punya pemikiran apapun. Aku akan memikirkannya setelah aku melihat musuh. Gimana denganmu, Claudia?"

"Aku tak punya apapun untuk berkontribusi.... Kita punya kehormatan menjadi barisan depan, tapi misi kita adalah melemahkan pasukan musuh sebanyak mungkin sebelum pasukan utama tiba. Jadi aku ingin meminimalisir kerugian kita."

Claudia berkata sambil memperhatikan para prajurit yang sedang makan siang dengan damai. Ashton mengangguk setuju.

"Hmm~ itu terasa sangat pasif.... Oh betul juga! Aku punya ide, kenapa kita nggak merebut kastil Kaspar saja?"

Olivia tersenyum cerah saat dia mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Claudia merasa dia sedang bercanda, tapi seperti biasa, mata Olivia nggak menunjukkan tanda yang mengindikasikan bahwa Olivia sedang bergurau. Claudia menghela nafas, dan berkata dengan nada hati-hati:

"Bahkan bagi Letda Olivia, itu merupakan sebuah misi yang mustahil. Kita bahkan nggak punya senjata penyerbu."

Tanpa pendobrak, nggak mungkin menghancurkan gerbang kastil yang tertutup rapat. Meskipun mereka memilikinya, mereka nggak punya prajurit yang terlatih menggunakannya. Dan musuh nggak akan menonton saja, dan pasti akan melawan. Dengan itu dalam benaknya, peluang keberhasilan mereka paling tinggi 50%.

"Masa sih? Kurasa ada banyak cara yang bisa kita gunakan meski tanpa senjata penyerbu.... Ashton, apa kau punya taktik yang bisa kita gunakan untuk mengambil alih kastil Kaspar?"

"Ehh!? Kenapa kau tiba-tiba menanyaiku?"

Dia terkejut, tapi Ashton tetap menyilangkan tanganny dan berpikir secara mendalam. Claudia tersenyum masam, karena ini merupakan hal yang diluar kemampuan seorang prajurit biasa.

"Hmm~ kalau aku nggak salah ingat, kastil Kaspar didirikan diawal-awal era peperangan, kan?"

"Begitu kah? Aku cuma tau kastil itu punya sejarah yang panjang."

"Kalau aku benar, maka taktik ini mungkin berhasil–"

Claudia terkejut oleh apa yang diusulkan Ashton. Olivia yang mendengarkan Ashton dengan cermat, menampilkan senyum cerah dan berkata dengan bangga:

"Nah kan, bukannya sudah kubilang kalau Ashton cocok menjadi seorang ahli strategi."

Pasukan Kekaisaran, kastil Kaspar

Komandan pasukan pertahanan kastil Kaspar, Kolonel Bloom, menerima berita bahwa Pasukan Kerajaan bergerak kearah mereka.

"Apa itu benar?"

"Tidak diragukan lagi, kami telah memastikan dari para penjaga di beberapa pos penjagaan."

Bintara itu menjawab tanpa ragu-ragu, yang mana membuat Bloom mengucurkan keringat dingin. Implikasi dari berita buruk ini melintas dalam benaknya.

"Berapa jumlah musuh?"

"Sekitar 2.000."

"2.000–? Mereka mungkin barisan depan. Bagaimana dengan unit dibelakangnya?"

"P-Pasukan dibelakangnya?"

Wajah Bintara itu menjadi pucat.

"Kenapa kau terguncang begitu? Jawab aku."

"Aku minta maaf, ini terlalu mendadak, jadi penyelidikanku tidak begitu terperinci...."

Suara Bintara itu semakin pelan. Bloom emosi dan menggebrak meja sambil berteriak:

"Dasar bodoh! Kau pikir alasan itu bisa diterima?!? Cepat pergi cari tau!"

"S-Siap ndan! Aku akan segera mengerjakannya!"

Bloom menatap Bintara yang meninggalkan ruangan dengan panik, dan membunyikan lonceng yang ada di mejanya. Sebuah pintu terbuka, dan deputinya, Mayor Lanchester, muncul.

"Kolonel, kau memanggilku?"

"Ya. Beritahu pasukan bahwa Pasukan Kerajaan menyerang, dan segera bersiap untuk bertempur."

Lanchester mengernyit dan segera menjawab:

"Siap ndan... Apa pasukan utama kita di medan tempur wilayah selatan kalah hanya dalam satu minggu? Itu tak bisa dipercaya."

"Aku tidak tau. Tapi kurasa Tuan Osborne tak akan..."

Osborne memiliki Ksatria Baja yang elit dibawah komandonya. Apa yang Lanchester katakan masuk akal dan Bloom juga sangat ingin mengabaikan berita yang barusaja dia terima.

"Berapa jumlah mereka?"

"Untuk sekarang ini, setidaknya 2.000 prajurit yang terlihat."

Tatapan Lanchester menjadi tajam saat dia mendengar itu.

"2.000, huh... Aku akan segera membuat persiapan."

Lanchester mengentalkan sepatunya seraya memberi hormat, dan segera meninggalkan ruangan.

Beberapa saat kemudian, informasi yang diterima Bloom membuatnya bingung. Mata-mata tidak menemukan adanya tanda-tanda pasukan pendukung untuk 2.000 prajurit awal yang mereka lihat.

(Apa yang terjadi? Apa mereka berencana merebut kastil Kaspar hanya dengan 2.000 pasukan? Mungkinkah Pasukan Kerajaan sudah hancur, dan sisa-sisanya berupaya menyerang kastil–? Informasinya terlalu sedikit.)

–Dua jam setelah ini.

Pasukan garis depan kastil Kaspar bertempur melawan unit detasemen Olivia.

[edit]

Pertempuran antara garis depan kastil Kaspar dan unit detasemen dimulai.

Saat terompet dan genderang perang berbunyi, unit detasemen melakukan serangan dari jarak jauh menggunakan busur mereka. Namun–

"Hei, apa mereka bahkan nggak mengetahui jangkauan busur mereka? Mereka mungkin ketakutan, tapi apa mereka menembak kita dengan sungguh-sungguh dari jarak sejauh itu?"

"Itu benar, mungkinkah mereka sekumpulan rekrutan baru?"

"Hahaha, tapi mereka terampil meniup terompet dan membunyikan genderang mereka."

"Haaaaah, mau gimana lagi. Aku, seorang veteran terlatih, akan memberi kalian pelajaran yang bagus!"

"Apa yang bisa kau ajarkan pada mereka!"

Para prajurit tertawa keras. Wajah mereka sangat tegang sebelum pertempuran dimulai, tapi kegugupan mereka lenyap saat mereka menyaksikan serangan yang berantakan dari Pasukan Kerajaan. Komandan mereka, Letda Shisiru juga merasakan hal yang sama, tapi dia nggak tertawa seperti anak buahnya.

"Cukup. Mereka berada dalam jangkauan ballista kita, segera serang balik!"

Setelah Shisiru berteriak pada mereka, pasukan itu bergegas menuju ballista yang ada di atas dinding kastil.

Disisi lain, bagi unit detasemen yang diejek oleh musuh mereka.

"Semua unit, mundur!"

Unit itu bertahan terhadap ballista menggunakan perisai-perisai besar, dan mundur perlahan-lahan. Tak lama setelah itu, mereka maju lagi untuk menyerang dengan panah meskipun diluar jangkauan. Mereka melakukan ini berulang-ulang kali.

"Hei Ashton, apa ini betul-betul akan berhasil? Kita nggak kehilangan pasukan, tapi bukankah Pasukan Kekaisaran memperlakukan kita seperti orang bodoh?"

Claudia menanyai Ashton seraya dia mengamati situasinya menggunakan teleskop.

"Yah, memang benar mereka menertawakan kita, tapi orang yang tertawa terakhir, dialah yang tertawa paling keras. Jadi tak masalah mereka mengejek kita untuk sekarang ini."

Ashton mengabaikan ejekan musuh. Ashton yang sementara waktu diangkat sebagai ahli strategi oleh Olivia, mengkomando garis depan bersama Claudia.

"Kau mungkin benar, tapi bagi seorang ksatria, pertempuran ini betul-betul.... Aku terkesan kau bisa memikirkan rencana semacam itu!"

Taktik Ashton adalah sebagai berikut:

Selama awal-awal era peperangan, kastil-kastil yang dibangun sudah pasti memiliki rute melarikan diri rahasia. Pintu masuknya selalu terletak pada sebuah sumur kering dekat kastil. Itu artinya sumur kering itu juga merupakan jalan pintas untuk menyusup kedalam kastil Kaspar. Jadi mereka bisa membagi menjadi dua kelompok, satu kelompok mengganggu dari dalam, sedangkan kelompok yang satunya akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang gerbang dan melepaskan selot kuncinya. Setelah gerbang terbuka, kelompok utama dari unit detasemen akan menyerbu kedalam kastil.

Dan saat ini, unit detasemen hanyalah menarik perhatian musuh.

"Ini bukanlah rencana yang matang. Ujung-ujungnya, ini hanyalah upaya sembrono didasarkan pada kemampuan bela diri Olivia yang luar biasa."

Olivia sudah pergi. Setelah melambaikan tangan seolah berkata "Aku pergi dulu sebentar", dia memimpin seratus prajurit menuju sumur kering, dengan kecepatan layaknya orang jalan-jalan.

"Biarpun kau bilang begitu, rencana itu berasal dari pengetahuanmu tentang struktur kastil. Kekaisaran yang merebut kastil Kaspar tak akan membayangkan bahwa ada lorong rahasia semacam itu. Kami juga lupa soal itu."

"Begini-begini aku sudah membaca seluruh buku sejarah. Akan bagus kalau hal ini meningkatkan peluang keselamatan kita. Bagaimanapun juga, aku tak mau mati."

Ashton berkata canggung. Claudia agak menegang saat dia melihat wajah Ashton. Kematian merupakan hal yang tak bisa dihindari dalam perang. Orang yang bertempur disampingmu hari ini bisa saja besok mati. Ashton memahami hal itu, dan itu memberi dia motivasi untuk memikirkan cara terbaik untuk meminimalisir kerugian mereka. Dia melakukannya meskipun dia terbebani rasa takut menghantui dia.

"––Itu benar. Kita sudah sampai sejauh ini, jadi kita tak boleh mati semudah itu."

Claudia memberi isyarat untuk mundur.

Disaat unit detasemen menarik perhatian Pasukan Kekaisaran, kelompok Olivia dengan mudah menemukan lorongnya dan menyusup kedalam kastil Kaspar.

"Komandan Olivia, sejujurnya, aku tak pernah menyangka kita benar-benar menyusup semudah ini."

Seorang pria bermata satu dengan lengan berotot–wakil komandan untuk misi penyusupan ini, Gauss, berkomentar pada Olivia.

"Ya, itu berkat Ashton yang memprediksi tempatnya secara akurat."

Olivia mengangguk puas, dan menginjak seekor tikus yang berkeliaran disekitar. Para prajurit dibelakangnya mengernyit dan mengerang saat melihatnya.

Kelompok Olivia membawa obor dan berjalan disepanjang lorong gelap yang terbuat dari batu. Itu merupakan jalur melarikan diri, jadi lorong itu sempit dan udaranya pengap. Jalannya tertutup oleh jaring laba-laba yang tebal, yang mana artinya Pasukan Kekaisaran masih belum menemukan lorong rahasia ini.

"Jadi, harus bagaimana kita membagi pasukan kita? Untuk amannya, haruskah kita membagi rata?"

Gauss bertanya seraya dia menyingkirkan jaring laba-laba. Olivia langsung menggeleng.

"Aku sudah memutuskannya. Aku akan membuat gangguan sendirian, kalian harus menyerbu gerbangnya dan membuat kelompok Claudia bisa masuk."

"Anda sendiri!? Komandan, aku tau anda itu hebat, tapi bagaimana kalau membawa 10 orang bersama anda?"

Para prajurit disekitar mereka mengangguk setuju pada Gauss. Olivia tersenyum pada mereka, dan menepuk pelan punggung Gauss:

"Ahaha, jangan kuatir soal aku. Itu akan lebih mudah buatku untuk mengayunkan pedangku tanpa menahan diri. Ya memang aku nggak akan melukai kalian karena salah sasaran, tapi mendingan cari amannya saja."

Olivia membelai sarung pedang di pinggangnya sambil tersenyum. Gauss cuma bisa menanggapi dengan senyum canggung dan mengangguk. Setelah menyaksikan kemampuan Olivia di dataran Iris, Gauss sangat memahami seberapa tangguhnya Olivia.

– Satu jam setelah kelompok Olivia menyusup kedalam kastil Kaspar.

"Komandan, kita telah mencapai tujuan kita."

Gauss mengarahkan obor miliknya kedepan, disana ada pintu. Lorong remang-remang itu berakhir disini, yang mana artinya kelompok itu telah sampai di tujuan mereka.

"Gauss, kalian tunggulah disini selama 30 menit. Setelah itu laksanakan misi kalian."

"Dimengerti– Komandan, berhati-hatilah."

"Ya, makasih. Aku akan keluar sebentar."

Olivia melambaikan tangan dan membuka pintunya. Dengan hembusan udara hangat, sebuah jalan kecil muncul. Jalannya sempit, lebarnya cuma cukup untuk satu orang saja. Mengarahkan tatapannya kedepan, dia bisa melihat cahaya samar didepan. Setelah sampai di dinding ujung, dia mendorong dinding batunya kuat-kuat, dan dinding itu berputar, membawa Olivia keluar.

"Ini sama seperti sebuah ruang rahasia yang disebutkan di buku-buku, sungguh menarik!"

Olivia melihat sekelilingnya, dan dia tau kalau ini adalah sebuah ruang penyimpanan yang diabaikan, yang mana dipenuhi debu. Dia segera meninggalkan ruangan tersebut, dan bertemu seorang Prajurit Kekaisaran di koridor.

"Hei, dimana komandannya?"

Olivia bertanya dengan tenang. Prajurit itu tampak kebingungan:

"Hah? Apa yang kau bicarakan? Tuan Osborne berada di dataran Iris dan bertempur melawan Pasukan Kerajaan. Apa kepalamu baik-baik saja?"

"Kaulah yang nggak paham. Tuan Osborne sudah mati. Yang kutanyakan itu komandan pasukan di kastil ini."

"Tuan Osborne sudah mati? Beraninya kau– tunggu, kau dari unit mana?"

Mengubah nada bicaranya, prajurit itu mengarahkan tatapan tajam pada Olivia.

"Yah, aku dari unit detasemen."

"Detasemen.... Tunggu!"

Prajurit itu menatap epolet milik Olivia. Pada epolet itu terdapat lambang sebuah cawan dan dua singa.

"Apa!? Kau dari Kerajaan––"

"Ahaha, bukan, aku gak bisa membiarkanmu buat keributan sekarang."

Olivia memukul rahang si prajurit, dan menikam dadanya dengan pedang miliknya. Setelah melemparkan si prajurit yang mengejang ke samping, prajurit itu menabrak dinding dengan keras.

"–Jangan main-main disini... A-Apa yang kau lakukan!?"

Para prajurit yang muncul di tikungan semuanya terkejut. Olivia mendesah berat karena hal itu.

"Haaaaah~ aku ingin mulai membunuh dari para perwira berperingkat tertinggi, tapi mau gimana lagi."

Dengan itu, Olivia berjalan dengan santai menuju para prajurit musuh yang memblokir jalannya, seraya kabut hitam menyelimuti pedang hitam ditangannya.

Setengah jam setelah Olivia membuat keributan di kastil seorang diri.

Tim Gauss meninggalkan ruangan pernyimpanan tersebut untuk membuka gerbang. Mendengar jeritan-jeritan dari kejauhan, mereka bergerak dengan waspada.

"I-Ini...."

Dihadapan Gauss terdapat darah dan organ-organ dalam berhamburan di dinding, dan mayat-mayat di sepanjang lorong. Tak satupun dari mayat-mayat ini yang masih utuh, dan semuanya setidaknya ada satu anggota badan yang hilang. Beberapa bahkan terpotong secara vertikal. Kelompok Gauss merupakan para veteran elit, tapi mereka tetap terkesiap pada pemandangan sadis ini.

Gauss merasa lega karena hal ini. Dia benar-benar senang bahwa Olivia adalah sekutu mereka.

"Wakil komandan Gauss, jeritan-jeritan dikejauhan adalah...."

"Komandan pasti membuat keributan disana. Ayo manfaatkan kesempatan ini untuk bergerak menuju gerbang utama!"

“““Siap ndan!!”””

Kelompok itu mengangguk setuju, dan bergerak menuju gerbang utama.

Teriakan Bloom menggema di kantornya.

"Itu cuma satu prajurit, seberapa lama waktu yang kau butuhkan!"

"Itu bukan sekedar prajurit biasa! Kolonel Bloom, kau sudah dengar tentang dia, kan? Tentang monster yang memegang pedang hitam!?"

Mayor Paduin membantah dengan wajah pucat, dab Bloom menjadi tegang saat dia mendengar itu. Rumor tentang gadis monster memang sampai ke telinga Bloom, tapi dia menganggapnya lelucon. Seorang gadis bisa membunuh Samuel, itu adalah hal yang mustahil.

"Sungguh gak masuk akal. Aku gak peduli apakah dia seorang monster, ada banyak cara untuk membunuh dia. Suruh para pemanah menembak dari jauh."

Dengan membawa pertempuran ke ruang terbuka pada area yang dibatasi, menutup semua jalan untuk melarikan diri, dan menembakkan anak panah dalam jumlah besar pada dia. Saat Bloom mengatakan idenya, Paduin mendengus pada ide itu:

"Kau tak perlu memberitahuku, aku sudah mencobanya. Tapi sebelum kami bisa menembak, dia mendekat dan memenggal tiga sekutu. Seperti itulah mengerikannya dia!"

Paduin menggebrak meja penuh kemarahan, dan Bloom berkata sambil mendesah:

"Kau pikir aku akan percaya omong kosong itu? Apa itu sebuah karakter dari sebuah novel?"

"Terserah kau mau percaya atau tidak, Kolonel Bloom. Aku sudah memberimu laporan, dan akan cuci tangan mengenai masalah ini..."

Setelah berkata begitu, Paduin berjalan untuk meninggalkan ruangan dengan segera. Dan tentu saja, Bloom tak bisa mentoleransi ketidaksopanan bawahannya.

"Dasar bodoh, apa kau mau mengabaikan tugasmu? Mayor, kau paham konsekuensinya kan?"

"Haha, kau mau mengeksekusi aku karena membantah perintah? Terserah, lagian kematian sudah ada didepanku."

Paduin yang berwajah pucat menggerutu saat dia meninggalkan ruangan.

“…Lanchester. Kita akan menangani dia nanti, tapi bagaimana menurutmu tentang yang dia katakan?"

Lanchester yang mendengarkan dalam diam disamping Bloom berkata pelan:

"Memang sulit dipercaya, tapi sejujurnya, kita harus mengambil tindakan dengan asumsi bahwa laporan dia benar."

"Kau benar-benar berpikir begitu?"

Jawaban tak terduga itu membuat Bloom melotot pada Lanchester. Bloom berpikir Lanchester akan menertawakan laporan itu, tapi ternyata dia malah menganggapnya serius.

"Ya, gadis itu mungkin sesuatu seperti sebuah bencana berjalan, mustahil bagi mahluk fana menghadapinya. Contoh yang tepat adalah para Penyihir."

"Apa!? Kau bilang bahwa sat prajurit itu sama dengan seorang Penyihir....? Bagaimana mungkin... Jika itu benar, apa yang harus kita lakukan?"

"Yah.... Tunggu sebentar."

Lalu Lanchester berjalan ke ruangan sebelah, dan menaruh sebuah senjata yang mirip busur di meja.

"–Apa ini?"

"Ini adalah prototipe yang dikirim Departemen Penelitian Pasukan Kekaisaran pada kita. Sederhananya, ini adalah versi penyederhanaan dari sebuah ballista. Mereka mengatakan kecepatan dan kekuatannya jauh lebih baik daripada panah seorang pemanah."

Setelah mendengar penjelasan Lanchester, Bloom mengambil senjata itu. Senjata itu memang berbentuk mirip dengan ballista, tapi bukannya menarik tali busur, itu menggunakan mekanik logam. Senjata itu tidak seberat penampilannya, dan mudah dioperasikan.

"Kau bilang aku harus membunuh monster itu dengan ini?"

"Tepat. Pasukan Kerajaan berada diluar kastil, jika masalah ini berlanjut, unit kita akan hancur dari dalam."

"Memang benar kalau kita terdesak waktu– hmm?"

Bloom bisa mendengar langkah kaki panik dari luar kantornya. Langkah kaki itu berhenti tepat didepan pintu, dan seorang prajurit dengan nafas tersenggal-senggal masuk ke ruangan.

"Ketuk pintu sebelum kau masuk!"

Lanchester berteriak.

"S-Saya minta maaf! Tapi ini darurat!"

"Bicaralah."

"Siap ndan! Pasukan Kerajaan menerobos gerbang utama, dan masuk kedalam kastil!"

"Apa kau bilang!?"

Bloom berdiri dari kursinya, dan menatap Lanchester yang menjadi kaku karena terkejut.

"Apa yang terjadi!? Apa Pasukan Kerajaan menggunakan senjata serbu!?"

Benteng ini mungkin memang susah tua, tapi ini tetaplah sebuah kastil, gerbang utamanya tak akan roboh dengan mudah. Tapi apa yang dikatakan prajurit itu melampaui dugaan Bloom.

"Mereka tidak menggunakan senjata serbu! Sekelompok prajurit Kerajaan muncul entah darimana, dan melepas penguncinya tanpa kami sadari!"

Bloom terkejut. Dia lalu menyadari bahwa gadis monster itu hanyalah pengalih perhatian, dan tujuan asli musuh adalah untuk membuka gerbang utama ditengah-tengah kekacauan. Di saat yang sama, sebuah pertanyaan muncul dalam benaknya. Bagaimana caranya gadis monster dan para prajurit Kerajaan menyusup kedalam kastil?

Para agen dari Heat Haze bisa menyelinap melewati penjagaan, tapi jumlah mereka terbatas. Dari apa yang dia dengar, prajurit Kerajaan dalam jumlah cukup besar menyusup kedalam kastil. Jaringan keamanan di kastil Kaspar tidaklah serenggang itu sampai-sampai banyak orang yang bisa menyelinap.

Dengan terbebani masalah ini, Bloom mencengkeram kepalanya.

"Kolonel, kita masih belum kalah. Kita memiliki keunggulan yang besar dalam jumlah. Aku akan mengkomando dari depan juga."

“Lanchester……”

Lanchester yang tak pernah menunjukkan perasaannya pada wajahnya, terlihat muram dan pasrah. Fakta ini memberitahu Bloom seberapa buruknya situasinya.

Seorang monster mengerikan mengamuk didalam kastil, garbang utama jatuh tanpa perlawanan, dan moralnya hancur. Saat ini, jumlah bukanlah faktor yang menentukan.

Melihat gerbang utama terbuka, Claudia memberi perintah:

"Unit Pertama, Kedua dan Ketiga bergerak! Tekan fasilitas-fasilitas penting didalam kastil!"

"Siap! Ini waktunya bagi kapten bodyguard pribadi Olivia, Guile yang agung untuk bersinar! Kalian, jangan mencoreng nama Valkyrie kita!"

“““Siap dimengerti!!”””

Barisan depan Unit Pertama mengatakan sesuatu yang aneh.

“——Ashton, sejak kapan pria itu menjadi kapten bodyguard pribadi Letda Olivia?"

Claudia menatap Ashton dengan mata bertanya-tanya.

"M-Mana kutau? Mungkin itu pernyataan diri.... Aku tidak yakin, tapi aku minta maaf."

Ashton meminta maaf dengan wajah malu. Itu sudah melenceng bagi mereka untuk menyebut diri mereka sendiri bodyguard pribadi, tapi moralnya sangat tinggi karena hal itu, jadi Claudia berpura-pura dia tidak mendengar apapun.

–Satu jam kemudian.

Unit detasemen berhasil menekan fasilitas-fasilitas penting didalam kastil Kaspar. Saat unit itu menyerbu masuk, kastil sudah dalam keadaan kacau, dan para prajurit Kekaisaran menaruh senjata mereka dan menyerah tanpa perlawanan. Anehnya, mereka tampak lega setelah menjadi tahanan. Letda Shisiru begitu tersentuh sampai-sampai dia menangis.

"Sepertinya rencana Ashton berhasil."

Claudia berkata santai, karena beban berat sudah diangkat dari pundaknya. Saat Ashton mendengarnya, dia berkata sambil tersenyum masam:

"Menurutku tidak begitu. Dari bagiamana sikap Prajurit Kekaisaran, semuanya berkat apa yang dilakukan Olivia."

Mereka menerobos melewati gerbang utama, tapi Kekaisaran tetaplah memiliki keunggulan jumlah, dan normalnya, mereka tak akan menyerah semudah itu. Semuanya jadi seperti ini karena moral mereka sudah hancur berkeping-keping.

Ashton bisa menebak apa yang terjadi, tapi gak berani mengatakannya. Claudia sendiri gak menanyakannya, dan hanya melepas helmnya dan mengibaskan rambutnya.

"Yah, sudah hampir berakhir. Ini pasti kelakukan Letda Olivia."

Dengan itu, mereka berdua menatap kastil Kaspar.

"....Jadi kau monster yang dirumorkan itu?"

Bloom duduk dengan tenang di kursinya dan menanyai gadis yang memegang kepala Paduin ditangannya.

"Aku bukan monster, aku Olivia. Kau Tuan Bloom, komandan disini, kan? Manusia baik hati ini memberitahuku lokasimu."

Dengan itu, Olivia melemparkan kepala itu ke meja, kepala itu mendarat dan berputar. Sama seperti yang Paduin katakan, dia mati ditangan monster itu.

"Hmmp. Kau membuat kekacauan diseluruh kastil seorang diri, jadi kalau kau bukan monster, terus apa?"

Bloom segera menyesal mengatakan itu. Dia mengejek Paduin yang mengatakan kata-kata ini, dan Bloom sekarang mengulanginya.

"Yah, Tuan Bloom adalah musuh, jadi kau boleh menyebutku apapun kau mau. Kesampingkan itu, kau mau apa? Kastilnya udah jatuh ke tangan kelompok Claudia, semua markasmu sudah jadi milik kami. Kau gak punya peluanh untuk selamat, jadi nikmatilah sisa waktumu."

"Memang, ini adalah kekalahan total bagi kami. Tapi–"

Bloom mengeluarkan crossbow dari bawah mejanya, dan menekan pelatuknya kearah Olivia.

"–Hahaha, kau betul-betul monster."

Lalu, Bloom melihat Olivia memegang sebuah baut ditangan kirinya. Olivia menangkap proyektil itu dan melemparkan ke samping, lalu dia menatap crossbow milik Bloom dengan mata penasaran.

"Ehh~ benda ini jauh lebih kuat daripada sebuah busur. Itu membuatku terkejut. Hei, boleh aku minta benda itu?"

"Benda itu gak berguna buatku sekarang. Kau boleh mengambilnya kalau kau mau."

Bloom melemparkan crossbow itu pada Olivia, dan disaat yang sama, dia menghunus pedangnya dan melakukan serangan lompatan.

".....Ughh, sudah kuduga...."

"Makasih sudah memberikan benda ini padaku, aku akan merawatnya."

Olivia mencabut pedang miliknya dari dada Bloom seraya dia berterimakasih pada Bloom. Akan tetapi Bloom gak bisa mendengar bagian terakhir dari kalimatnya.

"Ehehe~ setelah mendapatkan Jam Saku, aku mendapatkan sesuatu yang bagus lagi. Aku harus segera menunjukkan ini pada Ashton dan Claudia."

Olivia memegang crossbow itu, dan meninggalkan ruangan tersebut.

III[edit]

Pertempuran di dataran Iris telah mendekati akhir. Mayjen Heit Bonner yang mengkomando sayap kiri dari Pasukan Kekaisaran melakukan perlawanan sengit meskipun komandan Osborne, George, Minits dan yang lainnya sudah mati. Dia mengumpulkan sisa-sisa pasukan kekaisaran untuk menyelamatkan prajurit sebanyak yang dia bisa.

Paul menyerahkan pembersihannya pada Lambert, dan memimpin pasukan utama untuk menyerang kastil Kaspar. Dalam perjalanan kesana, seorang pembawa pesan dari unit detasemen tiba membawa sebuah laporan yang mengejutkan.

"Bagaimana mungkin? Kau mengatakan bahwa kastil Kaspar sudah jatuh!?"

"Benar ndan, unit kami telah merebut kendali kastil Kaspar."

Otto terdengar gelisah, sedangkan si pembawa pesan tampak bangga. Paul meminta laporan rincinya, dan si pembawa pesan mengungkapkan fakta yang bahkan lebih mencengangkan. Selama pertempuran untuk merebut kastil Kaspar, mereka hanya menderita delapan korban. Kebanyakan prajurit Kekaisaran menyerah tanpa perlawanan.

Menyerang sebuah kastil dan hanya menderita korban satu digit saja merupakan hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Paul menunjuk Olivia untuk menjadi barisan depan karena dia berpikir Olivia bisa mengurangi jumlah musuh meskipun pasukannya lebih sedikit. Tapi dia tak pernah menyangka Olivia merebut kastil Kaspar hanya dalam satu hari.

Bahkan Paul yang dulunya disebut dewa iblis merasa merinding saat dia mendengar berita ini.

"–Aku paham. Beritahu Letda Olivia untuk terus waspada."

"Siap ndan!"

Pembawa pesan itu naik ke kudanya dengan semangat tinggi, dan melaju kearah kastil Kaspar. Saat dia memperhatikan si pembawa pesan pergi, Paul berkata pada Otto dengan gembira:

"Kinerja Letda Olivia memang menakjubkan. Apa yang harus kita lakukan, Otto? Kita tak bisa cuma memberi dia kue saja kali ini."

"Kau pasti bercanda.... selain itu...."

"Apa kau lebih tertarik pada Ashton yang menyusun rencana itu sebagai ahli strategi sementara? Otto, apa nama itu pernah muncul?"

"Ini pertama kalinya aku.... Tunggu sebentar."

Otto membelai dagunya seraya menengadah dan berkata:

"–Aku ingat sekarang. Aku mendengar Letda menyebutkan nama itu didalam ruang interogasi."

Itu bukanlah ingatan yang menyenangkan, jadi wajah Otto menjadi kaku. Istilah 'ruang interogasi' mengingatkan Paul pada insiden dengan mata-mata. Dia juga ada disana, dan setelah mengacak-acak ingatannya yang telah menurun, Paul akhirnya ingat apa yang terjadi.

"–Oh, aku ingat sekarang. Letda Olivia menyebutkan nama itu saat dia berkata dia ingin makan roti lezat dari ibukota."

"Itu mengingatkan aku pada kata-kata Letda yang tak menyenangkan. Aku betul-betul tak ingin mengingatnya."

Otto menampilkan ketidaksenangan, dan Paul tertawa keras.

Saat mereka sampai di kastil Kaspar, Otto sibuk dengan pekerjaan. Mereka menguasai kastil Kaspar, tapi mereka tak bisa santai sebelum mengetahui apa yang akan dilakukan Benteng Kiel. Para prajurit dikirim untuk menjaga titik-titik vital, dan jaringan pengintai dikerahkan. Mereka juga harus mendapatkan kendali dari kota-kota dan desa-desa disekitar kastil Kaspar, dan menangangi 4.000 tahanan. Ada banyak sekali masalah.

Terutama masalah tahanan, yang mana membuat Otto sakit kepala. Mereka tak pernah menangkap tahanan sebanyak itu sebelumnyam 4.000 tahanan akan mengkonsumsi banyak makanan setiap harinya. Ada banyak makanan yang disimpan di gudang kastil, tapi itu akan lebih baik untuk disajikan pada para prajurit mereka sendiri.

Tapi mereka tak bisa membunuh para tahanan, dan meskipun Otto ingin menjatuhkan hukuman pekerjaan pada mereka, disekitar kastil Kaspar tak ada tambang. Otto ingin mengeluh pada Olivia yang menciptakan masalah ini, tapi dia tau kalau itu tak masuk akal.

Dan begitulah, dua minggu berlalu tanpa insiden. Olivia, Claudia dan Ashton tiba didepan pintu kantor komandan.

"Hei Olivia, kenapa kau menatap Jam Saku milikmu sepanjang waktu ini?"

"Apa kau nggak tau, Ashton? Ajudan Otto sangat ketat soal ketepatan waktu. Dia akan menampilkan wajah yang seperti iblis kalau kau terlambat sedikit saja."

"Tidak, ini pertama kalinya aku mendengarnya. Dan tepat waktu bukannya sudah jadi ciri khas pasukan?"

"Letda Olivia, dan Ashton, tenanglah. Kita berada didepan kantor komandan."

Claudia memperingatkan, dan Ashton langsung diam. Lalu Olivia mengetuk pintu secara acuh tak acuh:

"Letda Olivia, AIPDA Claudia, Ashton.... Hei Ashton, apa pangkatmu?"

"Prada, aku Prada."

Ashton menjawab pelan, dan Olivia menjawab: "Benar, kau seorang Prada." Lalu dia mengetuk pintu lagi.

"Letda Olivia, Aipda Claudia dan Prada Ashton, melapor–"

"Cukup, aku sudah dengar. Masuk."

Suara jengkel dari Otto terdengar dari dalam, dan Olivia membuka pintunya seperti yang diinstruksikan. Didepan mereka adalah Paul yang sedang tersenyum yang duduk dengan nyaman dikursinya, dan Otto yang menggelengkan kepalanya. Kelompok Olivia memberi hormat, dan Paul membalas hormat itu dengan menyipitkan mata. Ashton yang berhadapan dengan komandan sedekat ini sangat tegang.

"Bagus. Kami memanggil kalian kesini hari ini untuk–"

"Ada kue yang anda persiapkan untukku sebagai hadiah?"

Otto yang ucapannya dipotong oleh Olivia, menatap dia dengan tajam. Ashton tau kalau tatapan itu tidak diarahkan pada dirinya, tapi Ashton jadi berkeringat dingin.

"Letda, apa hanya kue saja yang ada didalam kepalamu?"

"Itu tidak benar, aku juga suka buku."

Olivia masa bodoh dengan tatapan Otto, dan menjawab dengan riang. Ashton berpikir: "Tolong baca suasananya dong."

"Oh~ membaca buku dan memperluas pengetahuanmu adalah hal yang bagus, tapi aku memanggilmu bukan untuk mengetahui hobimu."

Claudia terus menundukkan kepalanya meminta maaf, tapi Paul hanya tertawa riang.

"Kau masih sama seperti biasanya, Letda Olivia. Sayangnya, kuenya harus menunggu sampai kita kembali ke Benteng Gallia. Kami memanggilmu kesini karena urusan lain."

"....Siap ndan, dimengerti."

Olivia menjatuhkan pundaknya, menunjukkan kesedihannya dengan sangat jelas. Paul menampilkan senyum kerepotan karena hal itu, dan kemudian dia mengarahkan tatapannya pada Ashton.

“Prada Ashton Senefelder.”  

“Y-Yiss!”

Ashton begitu gugup dipanggil secara tiba-tiba, sampai-sampai dia bahkan tak bisa berkata dengan benar. Paul melunakkan wajahnya karenanya, dan kemudian berkata:

"Santai, kau tak perlu setegang itu. Aku dengar dari Aipda Claudia bahwa kau berkontribusi besar untuk merebut kastil Kaspar."

"S-Siap ndan! Terimakasih banyak! Tapi itu bisa dilakukan karena Letda Olivia ada disana, jadi saya tidak benar-benar–"

Ashton mulai mengoceh. Pemandangan dari wajah paniknya membuat Paul tersenyum canggung. Lalu Paul mengangkat tangannya untuk menghentikan Ashton.

"Memang benar tanpa Letda Olivia, kita tak akan bisa merebut kastil Kaspar dengan mudah. Tapi kudengar Prada Ashton yang menyusun rencananya– Apa itu benar, Letda Olivia?"

"Ya. Berkat Ashton kami bisa merebut kastil Kaspar dengan mudah."

Olivia membusungkan dadanya dengan bangga.

"H-Hei! Olivia!"

"Ehh? Tapi memang itu yang sebenarnya. Oh ya, lebih baik kau pakai honorifik buat memanggilku saat ada Ajudan Otto. Kalau tidak, dia akan memarahimu."

"Tunggu, kau baru memberitahuku sekarang?"

"Kalian berdua, hentikan. Tuan Paul belum selesai!"

Teguran Otto membuat Ashton terbatuk ketakutan.

"Saya minta maaf, Tuan Paul!"

"Tidak apa-apa. Kesampingkan itu, kau ditugaskan oleh Letda Olivia untuk menjadi ahli strateginya, bagaimana? Maukah kau terus melayani Letda Olivia sebagai ahli strateginya?"

Ashton tercengang oleh usulan tak terduga dari Paul. Dia menerima tugas ahli strategi karena Olivia yang memaksa dia. Dia tak pernah menyangka dia akan dipromosikan secara resmi pada posisi ahli strategi.

(Lelucon.... Kayaknya bukan.)

Paul terlihat serius, yang mana membuat Ashton semakin sulit untuk menanggapi. Dia memberi saran itu hanya karena dia kebetulan membaca tentang sejarah peperangan. Ashton tak cukup percaya diri untuk menyusun sebuah rencana dalam suasana apapun.

Dengan pemikiran itu dalam benaknya, Ashton menatap Olivia yang ada disampingnya. Olivia menampilkan senyum mempesona padanya.

(Ahh, sialan! Senyum itu curang.)

Ashton merasa pipinya memanas, dan menatap Paul lagi.

"Saya tidak tau apakah saya bisa memenuhi harapan anda, tapi saya akan berusaha sebaik mungkin."

"Bagus– Baiklah kalau begitu, tak usah berlama-lama, aku ingin meminjam kecerdasanmu untuk suatu masalah."

"S-Siap ndan...! Boleh saya tau apa itu?"

Ashton berteriak dalam hatinya, "Ini terlalu cepat!" Tapi dia berusaha agar tidak sampai kelihatan, dan bertanya dengan sikap tenang. Akan tetapi, dia tidak bisa membodohi orang lain. Sangat jelas dari senyum masam Paul dan Otto bahwa Ashton sama sekali tidak kelihatan tenang.

"Tidak perlu setegang itu. Biar Letkol Otto yang menjelaskan masalahnya."

Otto berjalan kedepan kelompok Olivia, dan menjelaskan masalah tentang penampungan 4.000 tahanan dan menugaskan mereka pada pekerjaan kasar. Olivia menguap bosan dipertengahan, yang mana membuat Claudia menunduk dan meminta maaf sedalam-dalamnya.

"–Bagaimana, Prada Ashton? Jika kau punya solusi bagus, akan kudengarkan. Kau tak perlu kuatir."

Wajah Otto tampak mengisyaratkan bahwa Ashton tak akan bisa menanganinya dengan mudah. Ashton mengacak-acak otaknya, dan mendapatkan sebuah jawaban.

"Bagaimana dengan mengusulkan pertukaran tahanan dengan Pasukan Kekaisaran? Kita akan mendapatkan dua keuntungan dari hal itu."

"Oh.... Lanjutkan."

Otto menatap dia dengan mata tajam, yang mana membuat Ashton terkesiap. Dia tidak terbiasa dengan aura intimidasi dari prajurit.

"S-Siap ndan. Jika negosiasinya berhasil, kita bisa menyelesaikan masalah makanan yang kita hadapi, dan para prajurit yang kita dapatkan sebagai pertukarannya bisa meningkatkan pasukan kita."

"....Aku paham maksudmu. Aku setuju denganmu masalah persediaan makanan, tapi Kekaisaran juga akan meningkatkan pasukan mereka dengan ini, kan?"

Otto menekan dia. Dia paham masalah makanan, tapi tak bisa memahami kok bisa mendapatkan kembali prajurit mereka akan memberi mereka keuntungan dari Kekaisaran. Bagi Ashton, ini akan jadi kemenangan untuk mereka.

"Anda benar, tapi jika kita mempertimbangkan seluruh Pasukan Kekaisaran sebagai satu kesatuan utuh, pertukaran ini akan lebih menguntungkan kita. Bagaimanapun juga, kita memaksakan wajib militer pada seseorang seperti saya yang bahkan tak bisa menggunakan senjata dengan benar."

Paul dan Otto meringis saat Ashton mengatakannya.

"Mempertimbangkan faktor-faktor kemanusiaan, Pasukan Kekaisaran akan menerima tawaran kita. Jika mereka menolak, mereka akan kehilangan dukungan dari warga mereka."

Ashton menambahkan bahwa nama Kaisar Ramza yang baik hati terkenal diseluruh benua, jadi dia tak akan melakukan sesuatu yang akan merusak reputasinya.

"Aku paham... Prada Ashton, kau mungkin tidak tau, tapi pertukaran tahanan biasanya terbatas pada yang berpangkat tinggi, seperti kerabat keluarga Kerajaan. Tak ada contoh pertukaran tahanan yang melibatkan prajurit biasa. Tapi pendapatmu layak dipertimbangkan."

Otto membelai dagunya dan menatap Paul.

"Ya, kita akan mengadakan rapat darurat untuk membahas rencana ini. Ini merupakan masukan yang berharga. Aku akan mengandalkanmu lagi di masa mendatang, Prada Ashton."

"S-Siap ndan!"

Setelah mereka bertiga pergi, Paul mengeluarkan sebatang rokok dari kantong dadanya dan mulai merokok.

"–Yah, kurasa dia akan berguna."

"Aku setuju. Nampaknya ketajaman strateginya merebut kastil Kaspar bukanlah sebuah kebetulan belaka. Aku tak pernah berpikir tentang pertukaran tahanan dengan prajurit infanteri."

"Jika kinerja menakjubkan seperti itu hanyalah kebetulan belaka, maka posisi kita akan sangat genting. Selain itu, dia hanyalah seorang prajurit biasa."

"Memang– Kalau begitu aku akan mengerjakan rancangannya."

"Ya, silahkan."

Setelah melihat Otto keluar, Paul mengepulkan asap rokok yang ada didalam mulutnya.

[edit]

Ibukota Kekaisaran Orsted, Istana Listerine, Kantor Felixus

"Jenderal, boleh saya mengganggu anda sebentar?"

Letda Theresa menaruh cangkir teh di meja, dan terdengar agak ragu. Felixus menaruh penanya, dan mengangkat wajahnya.

"Dari ekspresimu, sepertinya ini bukan berita bagus."

"....Siap ndan."

Theresa memberi dia sebuah laporan. Felixus mengambilnya dan mulai membacanya. Itu adalah tentang jatuhnya kastil Kaspar, dan kematian Jenderal Osborne dan para komandan dibawah dia. Selain itu, 45.000 prajurit tewas.

Ini merupakan kekalahan paling parah sejak pertempuran Berkeley. Kematian Osborne, seorang bangsawan besar dari Kekaisaran, membuat kekalahan ini semakin pahit.

"––Letda Theresa. Aku harus menekan lebih keras lagi supaya Paduka menyetujui serangan pada Benteng Gallia. Meskipun beliau memarahi aku."

Wajah Theresa menjadi muram saat dia mendengar Felixus bilang begitu. Osborne kehilangan peluang besar untuk meningkatkan keuntungannya, dan kalah pada Pasukan Kerajaan yang diberi waktu untuk memulihkan diri. Bisa dibilang, Kekaisaran membantu Kerajaan memenangkan pertempuran ini.

Percuma saja menangisi susu yang tumpah, tapi jika Kaisar memberi ijin pada saat itu, maka mereka akan menang dengan mudah. Rencana Osborne sangat sempurna menurut Felixus.

Felixus meminum tehnya, menghela nafas, lalu berdiri. Dia memakai jubah berwarna biru berlambang pedang bersilangan, dan berkata pada Theresa:

"Aku akan melaporkan ini pada Menteri. Kita harus membuat rencana kedepannya."

"Saya minta maaf, tapi sebentar lagi ada rapat Tiga-Jenderal yang harus dihadiri."

Theresa segera mengatakannya.

"Rapat Tiga-Jenderal?"

"Iya ndan. Tuan Menteri Dalmes meminta anda untuk berkumpul di ruangan Konferensi Kedua dua jam lagi."

Saat dia mendengar istilah rapat Tiga-Jenderal, Felixus mengernyitkan alisnya. Tak ada gunanya mengadakan rapat Tiga-Jenderal jika dua Jenderal lainnya tidak ada. Theresa sudah menebak apa yang membuat Felixus gelisah, dan menambahkan:

"Tuan Graden dan Nona Rosenmarie kembali ke ibukota kemarin untuk melapor."

"Aku paham... Baiklah."

Felixus kembali duduk dan melanjutkan membaca laporannya.

–Dua jam kemudian.

Ketiga jenderal yang dipanggil oleh Dalmes berkumpul di Ruang Konferensi Kedua. Mereka duduk disekitar sebuah meja kayu hitam yang bisa menampung 30 orang.

"Baik, apakah benar Jenderal Osborne gugur dalam pertempuran?"

Saat rapatnya dimulai, Jenderal Rosenmarie menjauhkan semua laporannya di meja. Panglima Tertinggi Graden menatap dia dan menjawab:

"Osborne memang gugur. Para prajurit yang melarikan diri ke Benteng Kiel sudah memastikannya."

"Yang kutanyakan apa mereka salah lihat!"

Rosenmarie menolak menerima bahwa Osborne telah mati. Tak senang dengan nada Rosenmarie, Graden merengut.

"Jaga ucapanmu. Ada banyak prajurit yang melihat kepala Osborne ditancapkan di ujung tombak. Ini merupakan fakta yang tak terbantahkan."

Setelah Graden memperingatkan dia, pipi Rosenmarie merona. Dia begitu bersikeras karena dia adalah mantan bawahan Osborne.

Suasana didalam Ruangan Konferensi semakin tegang, dan Rosenmarie bergumam:

"....Aku ingin pergi ke Zona Perang Selatan."

"–Hah? Maaf, apa yang barusan kau ucapkan?"

Felixus mau tak mau jadi bertanya. Ronsenmarie berdiri dan berteriak penuh amarah:

"Kubilang aku ingin pergi ke Zona Perang Selatan! Aku gak peduli mau itu pasukan ketujuh atau apapun itu, aku akan menghancurkan mereka dengan Ksatria Merah milikku!"

"Kalau kau pergi ke wilayah selatan, lalu apa yang akan terjadi pada Zona Perang Utara? Mereka akan kalah tanpa komandan mereka."

Pertanyaan Felixus memang wajar. Bagaimanapun juga, mengabaikan zona perangmu dan pergi ke zona perang lain sangatlah tak masuk akal.

Tapi apa yang dikatakan Rosenmarie berikutnya diluar dugaan semua orang.

"Felixus, kau bisa menggantikan aku. Lagian kau cuma bermalas-malasan di ibukota, kan?"

Rosenmarie terdengar seperti dia menyatakan sebuah pengaturan yang disetujui. Giliran Felixus yang tercengang, dan Graden berteriak marah dalam menanggapinya.

"Dasar bodoh! Omong kosong apa ini!? Felixus diberi tugas penting menjaga ibukota, bagaimana bisa dia memindahkan basisnya semudah itu!?"

Setelah mendengar itu, Rosenmarie mencemooh dengan dingin:

"Hah! Menjaga ibukota? Kau pikir Pasukan Kerajaan bisa menyerang ibukota sekarang? Dengan adanya kita yang mengelilingi mereka? Kalau kau betul-betul berpikir mereka bisa melakukannya, maka kau sudah pikun, Panglima Graden."

"D-Dasar bocah! Lancang sekali!"

Felixus berusaha menenangkan mereka berdua dan meredakan suasananya, seraya dia tersenyum canggung dalam hatinya. Rosenmarie memang benar, Pasukan Kerajaan saat ini tak menimbulkan ancaman pada ibukota Kekaisaran. Meskipun Azure Knight pergi ke zona Utara, ibukota akan tetap aman.

Akan tetapi, menempatkan Azure Knight yang paling elit di ibukota akan membuat warga tenang, dan juga bertindak sebagai sebuah ancaman kuat bagi negara-negara lain. Tanpa dektrit Kaisar, Azure Knight tak akan pernah dikirim keluar.

"Kesampingkan apa yang dikatakan Rosenmarie untuk sekarang ini, jatuhnya kastil Kaspar berarti kita kehilangan kendali dari wilayah selatan Kekaisaran. Kurasa kita harus segera melakukan tindakan pencegahan."

"–Soal itu, boleh aku menyela sebentar?"

Dalmes yang diam saja sepanjang waktu ini tiba-tiba menyela, dan mereka bertiga mengarahkan tatapan mereka pada dia.

"Silahkan. Apa kau punya rencana yang bagus, Tuan Menteri?"

Graden berbicara mewakili para jenderal. Dalmes lalu mengusulkan sesuatu yang tak terduga:

"Ini bukan rencana yang bagus sih. Aku hanya berpikir akan baik-baik saja untuk menyerahkan bagian selatan Kekaisaran pada mereka."

"....Boleh aku tau alasanmu?"

Graden terlihat jelas kalau dia kebingungan. Baik atau buruknya, emosi Dalmes sangat stabil secara tak wajar, membuatnya sulit untuk memahami apa yang dia pikirkan. Felixus tak bisa memahami apa tujuan dia.

"Maksudku ya seperti apa yang kukatakan. Zona Perang Selatan sudah dalam keadaan buntu. Tak ada gunanya mempertahankannya segitu kerasnya. Selama Benteng Kiel tetap di tangan kita, Pasukan Kerajaan akan berpikir dua kali sebelum mereka menyerang Kekaisaran."

"Yah.... Itu memang benar."

Graden dengan enggan setuju dengan dia.

"Selain itu, sekitar 45.000 Prajurit Kekaisaran gugur dalam pertempuran ini. Ini sangat menyesakkan, kita harus berkabung atas pengorbanan mereka."

Meski Dalmes berkata begitu, sudut bibirnya terangkat. Dia tampak sangat mencurigakan.

"Apa Paduka tau bahwa kastil Kaspar telah jatuh?"

"Ya, aku sudah melaporkan hal itu pada Paduka. Ngomong-ngomong, Kaisar merasakan hal yang sama seperti aku, dan berpikir kita harus mengabaikan wilayah selatan Kekaisaran."

Saat Rosenmarie mendengar itu, dia jadi marah:

"G-Gimana bisa kita melakukan itu! Kalau seperti itu, gimana caranya aku bisa membalaskan dendam Jenderal Osborne!?"

"Rosenmarie! Sekarang bukan waktunya untuk mengkuatirkan masalah sepele semacam itu!"

"–Apa!? Coba katakan lagi! Kau pikir membalaskan dendam Jenderal Osborne adalah hal sepele!?"

Rosenmarie sangat marah, dan berteriak pada Graden, rambut merahnya yang seperti api bergelora. Kata-katanya Graden mungkin dingin, tapi Felixus setuju dengan dia. Prioritas saat ini adalah strategi mereka untuk kedepannya.

Suasana didalam Ruang Konferensi menjadi berbahaya lagi, dan kali ini Dalmes berkata pada Rosenmarie:

"Rosenmarie. Kesempatanmu untuk membalaskan dendam Osborne akan segera datang."

"A-Apa maksudmu?"

Rosenmarie sedikit terguncang, dan senyum samar muncul pada wajah Dalmes.

"Setelah menguasai kastil Kaspar, Pasukan Kerajaan tak akan terfokus pada Benteng Gallia. Mereka akan membangun garis pertahanan mereka yang baru berpusat pada kastil Kaspar."

"Apa itu ada hubungannya denganku yang ingin membalaskan dendam Jenderal Osborne?"

Perkataan Dalmes yang muter-muter membuat Rosenmarie memiringkan kepalanya kebingungan. Felixus mendesah ringan dalam hatinya saat dia mendengarkannya. Sepertinya Dalmes ingin memaksa Rosenmarie melakukan sesuatu.

"Ini hanyalah spekulasiku saja, tapi setelah mereka memperkuat pertahanan di bagian selatan Kekaisaran, mereka akan mulai mendukung zona perang tengah dan utara, kan? Bagaimanapun juga, Pasukan Kerajaan tak mungkin membiarkan pasukan mereka berdiam diri saja."

Rosenmarie menyilangkan tangannya dan berpikir secara mendalam, berusaha menguraikan niat Dalmes. Setelah itu, dia berkata seraya tersenyum samar:

"Menteri Dalmes, aku paham maksudmu. Aku hanya perlu memaksa mereka datang dan mendukung Zona Perang Utara, kan?"

"Seperti yang diharapakan dari Rosenmarie, seperti itulah tepatnya."

Tiga hari setelah rapatnya berakhir.

Dengan perintah Kaisar Ramza, Pasukan Kekaisaran sepenuhnya mundur dari wikayah selatan Kekaisaran.

V[edit]

Sebulan setelah unit detasemen menguasai kastil Kaspar.

Pasukan Kerajaan memperkuat pertanahan mereka dengan kastil Kaspar sebagai benteng mereka, dan bernegosiasi secara sembunyi-sembunyi dengan Kekaisaran untuk pertukaran tahanan. Seperti yang diprediksi Ashton, Kekaisaran menerima usulan pertukaran tahanan. Akan tetapi, saat mereka mengetahui bahwa upacara penandatanganannya diadakan di Benteng Kiel, beberapa perwira sangat menentangnya, dan bahkan masuk kedalam kantor komandan untuk protes.

"Komandan, kenapa kita harus pergi ke markas musuh? Kali ini kita yang menang, dan mengusulkan pertukaran tahanan. Jadi sudah sewajarnya upacara penandatanganannya di adakan di kastil Kaspar."

Paul mendengarkan para perwira itu. Penalaran mereka mungkin terdengar logis, tapi pada akhirnya, mereka hanya tak bisa mengabaikan harga diri mereka. Otto kebetulan sedang keluar untuk memeriksa pemulihan kota atas perintah Paul, jadi Paul juga tak bisa mengeluh.

"Aku tidak memintamu untuk mengunjungi Benteng Kiel kan?"

Paul berkata seraya menghela nafas. Para perwira menjadi semakin jengkel.

"Mohon jangan alihkan topik! Mereka hanya mengijinkan seratus prajurit sebagai pengawal, mereka sangat kurang ajar!"

Untuk upacara penandatanganan, Kekaisaran menekankan peraturan bahwa hanya 100 pengawal yang diijinkan. Hal itu betul-betul membuat mereka marah.

"Begitukah? Jika aku berada dalam posisi mereka, aku akan meminta hal yang sama. Membawa pengawal sangat banyak hanya akan menimbulkan kecurigaan yang tak diperlukan."

Mempertimbangkan masalah yang mungkin akan mereka temui dalam perjalanan kesana, 100 orang tampak seperti jumlah yang memadai. Jumlah ini cukup besar untuk menangani serangan bandit, tapi tak cukup untuk menciptakan sebuah gangguan pada wilayah musuh. Hal itu merupakan sebuah jalan tengah diantara keselamatan Kerajaan dan keamanan Kekaisaran. Sebuah pengaturan yang menakjubkan.

Setelah rinciannya dijelaskan, para perwira mulai goyah, tapi tetap protes.

"M-Meski begitu, kami tak bisa menerima upacara penandatanganannya diadakan di Benteng Kiel! Meminta kita menghadiri penandatanganan di sebuah benteng yang dulunya milik Kerajaan merupakan sebuah penghinaan!"

"Kalau begitu, coba kudengar rencana alternatif darimu. Jangan bilang kau datang kesini tanpa rencana cadangan, dan kesini hanya untuk ngomel seperti anak kecil?"

Paul menatap mereka dengan tatapan tajam, mendiamkan mereka. Paul secara sengaja menanyakan itu, mengetahui bahwa mereka tak punya rencana alternatif. Dia hanya tak mau menyia-nyiakan tenaganya pada mereka.

"T-Tapi.... Bagaimana jika sesuatu terjadi pada anda, Komandan!?"

"Aku bisa menjanjikan padamu bahwa tak akan ada bahaya."

Ucapan Paul membuat para perwira mengernyit.

"Bagaimana bisa anda seyakin itu? Nama Demon God dikenal di seluruh penjuru benua."

"Itu benar, mereka mungkin menganggap ini sebagai peluang emas untuk membunuh anda."

Karena menemukan celah, para perwira mulai berargumen lagi dengan dasar kemungkinan pembunuhan. Mereka memang benar, ini merupakan sebuah peluang emas untuk melakukan pembunuhan. Paul juga sangat paham soal pembunuhan tersebut, tapi kekhawatiran ini tak diperlukan.

"Kekaisaran masih memiliki keuntungan yang besar, jadi tak ada gunanya bagi mereka untuk menggunakan trik-trik semacam itu."

"T-Tapi....!"

"Pengawalku untuk ekspedisi ini adalah Letda Olivia. Apa ada pertanyaan lagi?"

Wajah mereka langsung pucat saat nama Olivia disebutkan. Setelah pertempuran di dataran Iris, semua orang di Pasukan Ketujuh menghormati Olivia.

"T-Tidak ndan. Karena Letda Olivia mendampingi anda, maka kami tak keberatan."

"I-Itu benar. Dengan adanya dia, tak akan ada masalah."

"Kami minta maaf karena mengganggu jadwal anda yang sibuk!"

Para perwira itu memberi hormat, lalu pergi dari kantor Komandan. Paul mendesah, dan meraih saku dadanya.

–Satu minggu setelah itu.

Kelompok Paul berangkat dari kastil Kaspar, dan bergerak ke utara menuju Benteng Kiel. Selalu berada dalam kondisi siap jika ada keadaan darurat, Paul berada ditengah kelompok tersebut. Olivia dan Claudia berada disamping dia sebagai pengawalnya. Yang mengelilingi mereka adalah tim detasemen yang menyusup kedalam kastil Kaspar bersama Olivia. Olivia ngobrol dengan Paul disepanjang perjalanan, dan isi percakapannya selalu membuat Claudia tegang.

Dia merasakan desakan untuk menahan Olivia, tapi Claudia ragu-ragu saat dia melihat senyum santai dari Paul. Ujung-ujungnya, dia berpura-pura nggak melihat apapun.

(Ini sih sama saja dengan penyiksaan. Aku lebih milih bertarung melawan musuh.)

Claudia mendesah dalam hatinya saat dia melihat mereka berdua ngobrol. Akhirnya, kelompok itu tiba dengan aman di Benteng Kiel tanpa bertemu bandit. Mereka sudah meninggalkan kastil Kaspar selama empat hari.

Benteng Kiel memiliki tiga lapis dinding kota, sebuah benteng yang dibuat dengan memanfaatkan secara penuh medan yang rumit dan berbahaya. Barisan bendera berlambang pedang bersilangan membuat kelompok itu merasa dikalahkan. Mereka menatap Benteng Kiel yang terkenal tak tertembus dengan perasaan rumit.

Hanya Olivia yang terlihat santai.

"Letjen Paul. Benteng Kiel tampak lebih megah daripada Benteng Gallia!"

"L-Letda Olivia!"

Claudia tak bisa berdiam diri lebih lama lagi.

"Tidak apa-apa– Letda Olivia, kau tau bahwa benteng ini dulunya bagian dari Pasukan Kerajaan, kan?"

"Ya, aku tau. Pasukan Kekaisaran merebutnya kan?"

Olivia berkata tanpa berpikir dua kali, dan Paul tersenyum canggung.

"Memang, pasukan kita tidak bisa memenuhi harapan."

"Tak apa-apa, Letjen Paul. Kita bisa merebutnya lagi. Itu sama seperti kastil Kaspar, kan?"

"Fufu. Saat Letda Olivia bilang begitu, itu terdengar begitu mudah. Aneh sekali."

Mereka berdua ngobrol saat gerbang kota berbentuk melengkung terbuka perlahan. Seorang wanita gagah mengenakan seragam militer berwarna hitam muncul disertai beberapa prajurit mengenakan zirah full body berwarna hijau. Para prajurit itu berdiri disamping wanita itu sebagai penjaganya.

Para penjaga benteng mungkin melihat mereka lebih awal, jadi resepsionis datang disaat yang tepat. Paul memerintahkan kelompoknya turun dari kuda, dan berdiri didepan wanita itu.

"Letjen Paul dari Pasukan Kerajaan, benar?"

"Ya kau benar."

"Nama demon god telah menyebar diseluruh Pasukan Kekaisaran. Suatu kehormatan bertemu dengan anda. Aku Letda Theresa, pemandu anda untuk hari ini. Anda pasti lelah setelah perjalanan panjang, ijinkan aku menunjukkan ruangan anda."

"Terimakasih atas sambutan hangatnya, mohon bantuannya."

Setelah saling memberi hormat, Theresa berbalik dan mulai berjalan. Paul dan yang lainnya dalam diam mengikuti dia Theresa tampaknya penasaran pada Olivia, dan berulang kali melirik dia.

Setelah berjalan sekitar 30 menit dan melewati tiga dinding kota, mereka sampai didepan gerbang utama yang familiar. Theresa berhenti, lalu berbalik dan berkata dengan nada meminta maaf:

"Aku minta maaf, karena masalah keamanan, hanya dua pengawal sama yang boleh mendampingi anda kedalam. Aku telah mempersiapkan ruangan untuk kalian semua, mereka bisa beristirahat disana."

"Tunggu, itu terlalu tiba-tiba!"

Claudia langsung memprotes pengaturan paksa ini. Bahkan bagi musuh, ada batas pada seberapa congkaknya mereka bertindak. Tapi Paul hanya menepuk bahu Claudia untuk menenangkan dia.

"Aipda Claudia, tak apa-apa. Letda Theresa, aku paham yang kau katakan. Baiklah kalau begitu, Letda Olivia dan Aipda Claudia yang akan mendampingi aku."

Saat dia mendengar apa yang dikatakan Pauk, Theresa menatap Olivia penuh keterkejutan. Disisi lain, Olivia masa bodo dan menatap sekeliling penuh ketertarikan.

"Letda Theresa, apa ada masalah?"

"T-Tidak ada pak. Aku minta maaf, lewat sini."

Theresa segera memerintahkan para  prajurit membuka gerbangnya. Setelah gerbang besar itu terbuka perlahan-lahan, mereka bertiga melanjutkan perjalanan.

––Keesokan harinya.

Di aula utama yang dipenuhi dengan para perwira Kekaisaran, upacara penandatanganan untuk pertukaran tahanan diadakan.

Setelah Felixus dan Paul menandatangi kontrak tersebut, mereka berjabat tangan. Saat para perwira berbisik "Jadi dia itu sang demon god", Felixus berkata:

"Sebuah kehormatan bertemu anda, tuan Paul. Aku minta maaf karena harus mengatakannga, tapi berhadapan dengan demon god yang terkenal membuatku merinding."

"Akulah yang merasa terhormat, Tuan Felixus, komandan yang terkenal dari Azure Knight. Sejujurnya, aku tak pernah menyangka kau masih semuda ini."

"Orang-orang sering bilang begitu padaku."

Paul dan Felixus sama-sama tersenyum. Upacara penandatanganan berlanjut tanpa halangan, dan sekilas terlihat berakhir dengan damai.

"–Apa mereka sudah pergi?"

Felixus menatap keluar jendela dan menanyai Theresa.

"Iya ndan, mereka barusaja pergi. Mereka titip salam pada anda–Komandan? Apa anda baik-baik saja? Anda terlihat jengkel."

Theresa menatap Felixus dengan kuatir saat dia berkata begitu. Felixus merasa bersalah bahwa dirinya telah membuat bawahannya kuetir, dan menggeleng.

"Aku baik-baik saja. Ngomong-ngomong, Letda Theresa, apa kau berbicara dengan kedua pengawal tuan Paul?"

"Tidak juga... Tapi salah satu dari mereka sangat muda. Aku terkejut saat aku mendengar dia adalah seorang Letda seperti aku."

"Jadi begitu...."

"Komandan?"

Saat upacara penandatanganan, dia bisa melihat gadia berambut perak dibelakang Paul yang sedang mengamati dirinya. Hawa kehadiran gadis itu bahkam jauh lebih kuat daripada Paul yang dikenal sebagai demon god. Hawa kehadiran itu begitu kuat sampai-sampai Felixus merinding.

(Aura darah dan kematian yang sungguh mengerikan. Dia merupakan gambaran dari "kematian". Gadis itu mungkin merupakan ancaman besar bagi Pasukan kekaisaran.)

Olivia dan Felixus.

Butuh waktu yang lama sampai mereka bertemu lagi.

Cerita Sampingan: rahasia Claudia

Sinar mentari pagi bersinar melewati pegunungan dan menyinari kastil Kaspar.

Olivia dan Claudia saling berhadapan seraya memegang pedang ditangan mereka masing-masing.

"Letda Olivia, ini mungkin hanya latihan, tapi ijinkan aku bersungguh-sungguh."

"Ya, silahkan. Gak usah kuatir, aku nggak akan melukaimu."

–Claudia dianggap remeh.

Dan tentu saja, Claudia nggak merasa begitu. Dia selalu mengabdikan dirinya sendiri pada jalan pedang, yang mana itu sebabnya dia paham perbedaan kekuatan yang sangat besar diantara mereka. Bahkan ketika dia menghadapi ayahnya, yang merupakan salah satu dari <Ten Swords of the Kingdom>, dia nggak pernah merasakan kesenjangan kemampuan sebesar itu. Dia sudah melihat seberapa mengerikannya ilmu pedang Olivia saat Pertempuran Iris. Meski begitu, Claudia merasa Olivia belum menunjukkan kekuatan sejatinya.

"Baiklah, aku mulai."

Claudia mulai bergerak.

Kaki kanannya maju kedepan seraya dia menusukkan pedangnya, tapi Olivia menghindarinya dengan miring ke samping. Dia menggunakan momentum tersebut untuk menebas secara horisontal, dan menepis. Dia sudah mengetahuinya, talu ilmu pedang Claudia hanyalah mainan anak kecil bagi Olivia. Olivia nggak bergerak dari tempatnya merupakan bukti dari kekuatannya.

Claudia melanjutkan serangannya, tapi semua serangannya ditepis dengan mudah oleh Olivia. Claudia kelelahan, tapi Olivia bahkan nggak meneteskan keringat sama sekali.

(Hah, hah, menyebut dia kuat saja nggak cukup. Bahkan ayahku gak akan bisa bertahan lama. Ini adalah pertama kalinya kami latih tanding, tapi tingkatan kami sangat jauh berbeda. Dia setara dengan pahlawan dalam legenda.)

Claudia menstabilkan nafasnya yang kacau, dan menjaga jarak antara dirinya dan Olivia.

"Baiklah kalau begitu, sekarang giliranku."

Olivia berkata sambil tersenyum, dan tiba-tiba muncul didepan Claudia.

Claudia nggak bisa segera bereaksi, dan nyaris tak sempat untuk berputar dan menghindari tusukan itu. Senyum Olivia berubah menjadi keterkejutan, dan Claudia memanfaatkan kesempatan ini untuk menendang bagian samping Olivia. Mereka sangat dekat yang mana mustahil bagi Olivia untuk menghindarinya.

Tapi Olivia menangkap kaki kanan Claudia, seolah dia tau Claudia akan menendang. Kekuatannya yang besar mencegah Claudia menarik kakinya. Sebaliknya, Claudia terkena tendangan pada perutnya, dan dia jatuh ke tanah. Tendangan itu begitu kuat hingga Claudia nggak merasa Olivia sedang menahan diri.

"Hmm~ Claudia, kau punya mata yang tajam. Itu bagus sekali."

Dengan itu, Olivia menatap mata Claudia penuh rasa ketertarikan. Claudia lupa akan rasa sakit di perutnya, dan menatap lurus Olivia. Setelah berantem dengan sabahatnya saat dia masih muda karena matanya, dia gak pernah membiarkan siapapun mengetahui rahasianya. Dia terkejut bahwa Olivia bisa mengetahuinya.

Akan tetapi, Olivia nggak menanyakan lebih jauh lagi, dan hanya berkata: "Mau lanjut?"

"Ya, mohon bantuannya."

Claudia berdiri lagi. Dia membuang rasa sakit dalam benaknya, dan berdiri dengan pedang ditangannya dalam kuda-kuda bertahan.

"Dimengerti. Aku datang."

Olivia tiba-tiba menghilang, berbeda dengan sebelumnya. Claudia segera melepaskan kekuatan matanya untuk melacak Olivia. Meski hanya sesaat, Claudia bisa melihat Olivia bergerak ke kanan, tapi Claudia berpura-pura gak menyadarinya.

Disaat pedang kayu milik lawannya diayunkan pada bahunya, Claudia melakukan tebasan balasan vertikal. Dia pikir dia bisa mendaratkan serangan dengan ini, namun....

(Dia hilang lagi!?)

Pedang miliknya terayun pada ruang kosong. Claudia memeriksa area lagi, tapi gak bisa menemukan Olivia. Matanya semakin tegang.

(Oh tidak! Mataku nggak bisa mengikutinya!)

Saat Claudia merasa cemas, sebuah bayangan muncul diatas kepala. Dia menengadah, dan melihat Olivia mengayunkan pedangnya ke bawah dengan matahari berada dibelakang dia–

"A-Aku kalah."

Olivia tidak mengayunkan pedangnya secara penuh, dan menghentikan pedangnya sebelum mengenai Claudia. Kalau ini adalah pertarungan asli, Claudia pasti mati.

"Claudia punya pergerakan yang bagus, kau pasti telah berlatih keras di masa lalu. Tapi kau harus menghindari penggunaan matamu yang berlebihan. Itu melelahkan, kan?"

Olivia agak kuatir. Kayaknya dia memahami kekuatan misterius ini yang mana Claudia sendiri nggak memahaminya.

"Y-Ya, kau benar. Kekuatan itu memberiku beban yang berat. Letda Olivia, apa kau tau kekuatan apa ini?"

"Yah, aku diajari banyak hal. <Fleet Footed Rush> punyaku yang barusan juga akan membuatku kelelahan kalau aku menggunakannya secara berlebihan."

Olivia tersenyum seraya dia menepuk kakinya. Claudia bertanya siapa gurunya Olivia, tapi Olivia hanya bilang dia akan mengatakannya ketika sudah tiba saatnya. Olivia gak punya niat mengatakannya sekarang.

"Ngomong-ngomong, pergerakan menghilang itu bernama Fleet Footed Rush?"

"Itu betul. Kurasa Claudia bisa menguasainya juga."

Claudia merasa gembira saat dia mendengar itu. Kalau dia bisa menguasai Fleet Footed Rush, kemampuannya sebagai seorang ksatria akan meningkat lebih jauh lagi. Pemikirannya selalu berkutat pada ilmu pedang miliknya.

"B-Benarkah? Kalau memang bisa, lain kali tolong ajari aku!"

"Ya, aku mengerti. Sarapan yuk, aku sudah kelaparan setengah hidup."

Olivia berkata sambil tersenyum seraya mengusap perutnya.

"Aku akan mentraktirmu sarapan spesial, Letda Olivia."

"Ehh? Apa gapapa? Kan kau jadi harus bayar, dan juga butuh uang cukup banyak lho?"

"Tidak apa-apa, anggap saja traktiran sebagai imbalan karena kau menemani aku latihan pagi."

"Aha! Itu bagus!"

Olivia mulai berjalan dengan gembira. Claudia menatap punggung Olivia selama beberapa saat, dan Olivia berbalik melambaikan tangan pada Claudia.

"Claudia, apa yang kau lakukan? Ayo ke aula mess~"

"Baik, Letda!"

Dengan itu. Claudia bergegas mendekat dengan semangat tinggi.



Epilog: Seusai Upacara Penghargaan...[edit]

Satu bulan setelah pertukaran tahanan.

Setelah menyerahkan tugas mempertahankan kastil Kaspar pada Mayjen Elman dan 8.000 prajurit, unit gabungan kembali ke Benteng Gallia. Benteng Kiel tak menunjukkan tanda-tanda pergerakan, jadi mereka membentuk garis pertahanan baru berpusat pada kastil Kaspar. Disaat yang sama, Lambert dan Neinhart segera kembali dari Benteng Gallia ke ibukota.

Mereka meninggalkan Benteng Gallia beberapa saat yang lalu, jadi ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dan Otto begitu sibuk sampai-sampai dia buta waktu. Ashton yang secara resmi memulai karirnya sebagai seorang ahli strategi membantu Otto. Dia harus menangani masalah-masalah militer sebagai asisten Otto.

Disisi lain, Olivia dan Claudia–

(Fufu. Aku penasaran wajah macam apa yang akan ditampilkan Letda saat dia mendengar berita ini.)

Claudia berusaha menenangkan wajahnya sebisa mungkin, berdeham, dan mengetuk pintu.

"Claudia, kan? Masuk."

Claudia belum menyebutkan namanya, tapi Olivia sudah tau kalau itu adalah dirinya. Claudia bertanya-tanya apakah cara dia mengetuk pintu memiliki ciri khas, dan membuka pintunya. Didalam ruangan itu, Olivia berbaring tengkurap ditempat tidurnya dan membaca buku seperti biasanya. Dia melirik Claudia dan memulai percakapan:

"Ada apa? Wajahmu kelihatan lucu."

Dia mungkin merilekskan wajahnya tanpa menyadarinya, dan Claudia segera menyangkal:

"I-Ini nggak lucu! Lupakan soal itu, ada berita bagus! Jangan terkejut saat kau mendengarnya."

"Yah, itu cuma firasat, tapi kurasa aku nggak akan terkejut."

Olivia berkata serius.

"Fufu, tunggu sampai kau mendengar ini. Para petinggi telah memutuskan untuk menghadiahimu dengan "Medali Singa Emas"! Apa kau terkejut!!"

“… Hmm~”

Olivia menanggapi tanpa ketertarikan, dan melanjutkan membaca bukunya. Tempat itu sangat sunyi, selain suara halaman buku miliknya yang dibalik.

(Ehh!? Cuma begitu saja!?)

Reaksi Olivia yang tak terduga membuat Claudia berdiri mematung. Itu sama seperti yang dikatakan Olivia. Sesuatu yang serupa juga pernah terjadi di masa lalu.

(Saat itu, kupikir aku diberi suatu paket yang merepotkan, akan tetapi....)

Claudia tersenyum masam, dan mendekati Olivia yang berbaring tengkurap di kasur:

"Letda! Apa kau betul-betul paham? Ini adalah Medali Singa Emas, Medali Singa Emas! Hanya ada tiga orang dalam sejarah yang menerima penghargaan ini. Ini merupakan sebuah kehormatan besar!"

Yang pertama adalah Menteri Kepala Leonheart Várquez, yang membersihkan korupsi di Kerajaan pada abad ke-7 Kalender Lunar, dan menyelamatkan negara yang runtuh dengan membangunnya kembali.

Yang kedua adalah Mayjen Tristan Wrenchings. Pada abad ke-8 Kalender Lunar, Tuan Dioter mengumpulkan pasukan dalam upaya merebut Kerajaan, dan kejadian itu dijuluki oleh para sejarawan sebagai <Kebangkitan Dioter>. Mayjen Tristan meredakan pemberontakan tersebut dengan 2.000 pasukan dalam waktu dua hari, membuat dirinya mendapatkan medali ini.

Yang ketiga Panglima Tertinggi Cornelius Wym Curling, yang mendapatkan banyak prestasi perang saat pertengahan era peperangan di abad ke-9, <Ever Victorious General> yang terkenal.

Masing-masing dari mereka merupakan pahlawan hebat. Selain itu, Olivia adalah wanita pertama yang mendapatkan kehormatan ini, dan dengan ini, seorang pahlawan baru akan bangkit di Kerajaan.

Tapi reaksi Olivia adalah–

"....Claudia, kamu betul-betul suka kehormatan, huh. Seperti yang kubilang, aku lebih suka buku dan makanan lezat."

Olivia menepuk buku miliknya saat dia bilang begitu. Claudia tercengang akan hal ini, dan menatap sampul buku tersebut. Itu adalah sebuah buku yang sangat dia sukai saat dia masih kecil, <Comet, peri yang suka bergurau>.

"Letda, apa kau suka Comet, si peri tukang nge-prank."

"Ya. Comet takut manusia, tapi masih bersikeras mengerjai mereka, itu sangat menarik. Claudia, apa kau pernah membaca kisah-kisahnya juga?"

Sebagai tanggapan pada tatapan penasaran Olivia, Claudia membusungkan dadanya dengan bangga, dan menjawab dengan nada yang menyiratkan jawabannya sudah sangat jelas:

"Aku tidak bermaksud untuk menyombongkan diri, tapi aku punya semua seri buku Comet.... Dan ini agak memalukan, tapi saat aku masih kecil, aku percaya bahwa Comet benar-benar ada, dan bahkan berusaha menangkap dia."

Claudia mengenang masa kecilnya, dan menggaruk wajahnya agak malu-malu. Olivia melompat dari ranjangnya, dan meraih pundak Claudia. Matanya berkilauan seperti seekor predator yang telah menemukan mangsanya.

Claudia terkesiap oleh keagresifannya dan bertanya terkejut:

"A-Ada apa!?"

"Aku juga! Aku melakukan hal yang sama! Aku berusaha menangkap Comet juga!"

Kata Olivia seraya bernafas berat. Olivia sangat gembira karena dia telah menemukan seorang rekan, dan Claudia lega setelah menyadari hal itu. Dia tak punya teman yang sama-sama tertarik pada hal ini, jadi Claudia menyarankan:

"Sungguh kebetulan. Jika kau begitu menyukainya, aku bisa memberikan semuanya padamu, seluruh seri yang ada dirumahku."

"Ehh!? Sungguh?"

Olivia tersenyum layaknya sekuntum bunga yang sedang mekar, dan pria manapun yang melihat ini kemungkinan akan langsung jatuh hati pada dia. Pewaris dari bangsawan besar kemungkinan akan memberi dia ratusan buku tanpa ragu-ragu.

Meskipun bahunya masih nyeri karena genggaman Olivia, Claudia jadi kepikiran hal-hal yang tak berguna semacam itu.

"Tentu saja tak apa-apa. Tapi jumlahnya ada 20 buku dalam seri itu. Yah.... Bisakah kau mengurusnya?"

Claudia bertanya seraya menatap tumpukan buku yang ada di ruangan. Olivia menepuk dadanya percaya diri dan berkata:

"Gak masalah. Aku akan menyuruh Ashton merapikannya untukku."

Dia gak punya niat merapikannya sendiri. Claudia jadi sedikit bersimpati pada Ashton yang telah diberi tugas sebagai tukang bersih-bersih.

"Aku akan mengirim surat ke rumah dan meminta mereka mengirimkan buku-bukunya kemari."

"Ya, makasih banyak! Claudia dan Ashton memang manusia yang baik!"

"Hah. Terimakasih atas pujianmu."

Dia bingung oleh pilihan kata Olivia yang aneh seperti biasanya, tapi Claudia tetap berterimakasih pada Olivia dengan tulus.

(Aku sudah memberitahu dia tentang Medali Singa Emas. Selanjutnya, aku harus memberitahu dia kalau dia butuh ini.)

Claudia melirik peti putih yang dia bawa dilengannya dan menanyai Olivia:

"Ngomong-ngomong, apa kau punya pakaian formal, Letda?"

"Pakaian formal? Enggak, aku nggak punya."

Olivia bertanya terkejut. Claudia tersenyum, senang bahwa dia membawa pakaian miliknya.

"Itu akan jadi masalah. Kau harus memakai pakaian formal untuk upacara penghargaannya."

"Nggak bisakah aku pakai seragamku saja?"

Olivia menunjuk seragam yang dia kenakan. Seragam miliknya tak masalah dikenakan pada kebanyakan situasi, tapi sebuah upacara penghargaan merupakan sebuah pengecualian.

"Sayangnya, tidak."

"Ehh~ Kalau begitu bolehkah aku nggak menghadiri upacara penghargaan itu?"

Claudia memegang tangan Olivia saat dia membalik halaman bukunya. Olivia membelalakkan matanya terkejut.

“C-Claudia!?”

"Bagaimana bisa bintang pertunjukkannya tidak hadir...!? Aku sudah menduga ini akan terjadi, jadi aku membawa pakaian formal milikku. Beruntungnya, ukuran kita hampir sama, jadi kau mungkin bisa memakai pakaian milikku."

"Ehh~ Jadi ngerepotin kamu, Claudia~ Nggak usah deh~"

Olivia mengalihkan tatapannya dan berkata monoton. Claudia memperkuat pegangannya pada tangan Olivia, sebelum Olivia bisa melepaskan diri.

"Kalau kau benar-benar merasa begitu, maka masukkan lebih banyak emosi pada nada suaramu. Baiklah, cobalah. Jangan sungkan-sungkan bilang padaku jika ada yang terasa tidak nyaman. Aku akan menjahitnya untukmu."

Lalu Claudia menyerahkan pakaian formal berwarna putih pada Olivia. Pada bahunya terdapat bordiran sebuah cawan dan dua singa, yang merupakan lambang Kerajaan. Pakaian itu disimpan didalam sebuah peti, jadi Claudia senang bahwa pakaian itu masih terlihat bagus.

"Ehh~ Claudia jadi betul-betul suka maksa belakangan ini."

Olivia mengeluh, tapi tetap melepas seragamnya meski enggan. Pakaian formal itu memiliki desain yang sama dengan dengan seragam militer, jadi mudah dipakai. Beberapa saat setelah itu, Olivia terlihat seperti seorang perwira militer wanita dari buku-buku cerita.

"Sudah kuduga, itu sangat cocok denganmu."

Claudia memuji dia, tapi Olivia memiringkan kepalanya dan tampak sedikit nggak puas.

"Bagaimana?"

Ukurannya tampak nggak masalah, dan Claudia merasa nggak perlu menjahit pakaian itu.

"Hmm~ dada agak sempit dan sesak. Dan pinggangnya longgar..."

Shinigami ni Sodaterareta Shoujo V1 10.jpg

“……”

“Claudia, apa kamu dengar?”

"Pakaian itu memang begitu desainnya. Jadi tahanlah."

"Ehh? Tapi kamu bilang kamu akan menjahitnya kalau nggak pas..."

"Nggak ada perlunya menjahitnya."

"Tapi kamu barusan–"

"Tidak."

"....A-Aku paham. Kurasa kamu benar, Claudia."

Olivia mengangguk, dan melepas pakaian formal itu sembari ditatap dingin oleh Claudia.

Benteng Gallia, Aula Utama

Aula utama yang biasanya tidak digunakan, kini ramai orang. Kilauan cahaya bersinar dari lampu gantung mewah yang menggantung dari langit-langit, dan bendera Kerajaan bergambar cawan dengan dua singa menghiasi dinding.

Ditengah aula utama ada Paul yang mengenakan pakaian formal dan jubah ungu. Para perwira militer dan perwira sipil berbaris rapi dalam dua barisan. Otto yang juga mengenakan pakaian formal berdiri disamping Paul. Diatas tatakan terdapat sebuah medali emas berkilauan berlambang singa.

"Baiklah, mari kita mulai upacara penghargaannya."

Dengan sinyal itu, terompet ditiup dan para penjaga membuka pintu besar. Olivia yang mengenakan pakaian formal berwarna putih muncul. Dengan para perwira menperhatikan dirinya, Olivia berjalan dengan anggun. Banyak perwira sipil yang hanya mendengar tentang Olivia tampak terkejut. Beberapa dari mereka bahkan sampai melepads kacamata mereka dan mulai mengelap kacamatanya.

(Mereka mungkin berpikir dia seorang wanita yang berotot.)

Pikir Otto, dan mendengar salah satu perwira sipil berbisik: "Siapa yang bilang kalau dia seseorang yang berotot?"

Olivia berdiri didepan Paul, dan berlutut satu kaki dengan tangannya di dadanya dalam satu gerakan yang halus. Otto terkejut oleh sikapnya yang gagah. Tak ada waktu untuk mengajari dia etika sebelumnya, jadi dia berpikir Olivia akan bertindak sedikit tak sopan.

Otto menatap Claudia yang berdiri di barisan kanan, dan Claudia menggeleng.

(Bukan Aipda Claudia yang mengajari dia–? Misteri pada gadis itu semakin dalam.)

Otto merasa bingung, dan mata Paul berkilauan layaknya anak laki-laki yang menemukan sebuah permata.

"Letda Olivia. Sebagai pengakuan atas kinerjamu yang luar biasa, dengan ini aku menganugerahimu dengan Medali Singa Emas."

"Siap pak, saya merasa sangat terhormat."

Otto menyematkan medali tersebut pada dada Olivia seraya Olivia berlutut didepannya. Olivia berdiri, mundur satu langkah sebelum menunduk. Lalu dia berbalik seraya jubah merahnya yang bergambar lambang Kerajaan berkibar, dan berjalan dengan anggun. Banyak perwira yang kagum, dan–

"M-Mohon maaf atas gangguan saya!"

Seorang prajurit menerjang masuk merusak suasananya. Semua perwira mengernyit, dan Otto membentak dia:

"Upacaranya masih belum selesai! Tak bisakah kau menunggu!?"

"S-Saya minta maaf, tapi–"

Paul berkata pada si prajurit yang panik:

"Tak masalah. Ada apa?"

"Baik, sebuah laporan mendesak datang dari ibukota! Pasukan Ketiga dan Keempat yang mempertahankan zona perang utara telah dihancurkan!"

Tahun 999 Kalender Lunar.

Awan  diatas Kerajaan semakin gelap.




Catatan dan Referensi Penerjemah[edit]