Shinigami ni Sodaterareta Shoujo wa Shikkoku no Ken wo Mune ni Idaku (Indonesia) Jilid 1 Bab 4

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 4: Pertemuan Yang Ditakdirkan[edit]

[edit]

Unit detasemen menyelesaikan misi mereka untuk membunuh komandan tempur musuh, dan dilanjutkan dengan membantai Ksatria Baja.

Olivia yang menerima perintah baru langsung menuju kr barat untuk menghabisi sisa-sisa tentara musuh. Mars yang membunuh Minits berada didalam pasukan musuh yang melarikan diri, tapi Olivia tak mungkin mengetahuinya.

Dan sekarang, unit detasemen itu telah melewati dataran Iris, dan sampai di dataran tinggi sebelum kastil Kaspar. Unit detasemen itu bertemu dengan unit persediaan milik Otto yang ada disana, dan memuat persediaan makanan, obat dan senjata mereka.

"Jadi kita akan menjadi barisan depan untuk menyerang kastil Kaspar. Suatu kehormatan."

Claudia jongkok di tanah dan berkata sambil menengadah ke langit. Orangtuanya akan bangga. Pemikiran itu memberi dia perasaan kepuasan yang sangat besar.

"Apa itu betul-betul sebuah kehormatan....? Aku sama sekali nggak merasakan apapun. Aku lebih suka buku dan makanan lezat daripada ketenaran."

Olivia berbaring di rumput dan berkata sambil mengernyitkan alis. Ashton yang menyiapkan makanan Olivia mengeluh:

"Ngomong-ngomong, kenapa aku merasa jadi kokinya Olivia ya?"

"Itu karena mustar khusus buatan Ashton sangat enak. Jadinya aku memintamu membuatkan roti lapis untukku~"

Olivia tersenyum. Ashton menghentikan tangannya saat dia melihatnya.

"Hmm– yah, menyiapkan dua porsi bukannya satu porsi tidak jauh beda, jadi tak masalah."

Ekspresi Ashton menjadi santai, dan dia mulai mengiris roti. Pemuda ini punya sifat baik, dan mudah dibaca. Dengan memikirkan itu dalam benaknya, Claudia mengangkat jari telunjuknya dan berkata:

"Hei, Ashton. Bisakah kau membuatkan satu lagi untukku?"

"Ehh...? Apa kau mau aku membuat seperti yang sebelumnya?"

"Itu benar, rasanya lezat. Mustar buatanmu sangat enak sampai-sampai aku sangat ingin belajar membuatnya darimu."

"Itu benar! Jadi Claudia juga berpikir begitu ya."

Olivia merasakan semangat kekeluargaan dan menjadi cerewet, dan Claudia tersenyum pada dia. Sebaliknya, Ashton tampak terkejut.

"Hmm? Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?"

"Tidak juga. Aku minta maaf, tapi Nona Claudia seorang ksatria, kan?"

"Aku memang punya gelar seorang ksatria, tapi apa ada hubungannya dengan pembicaraan kita?"

Gelar ksatria diberikan pada para bangsawan yang memiliki kemampuan bela diri yang hebat. Claudia bingung dan sedikit memiringkan kepalanya.

"Yah, kupikir para ksatria punya banyak kesempatan untuk makan makanan lezat...."

"Ya, itu benar kalau aku punya banyak kesempatan memakan makanan yang lezat daripada rakyat biasa. Tapi mustar buatan Ashton rasanya lebih enak, lho?"

"Ehehe~ Begitukah....? Tunggu sebentar, aku akan buat untukmu."

Wajah Ashton lebih santai setelah itu. Dia mengeluarkan sebuah botol mustar dari ranselnya sambik bersenandung. Pemuda ini memang sangat mudah dibaca.

Setelah menjejalkan roti yang dia terima kedalam mulutnya, Claudia berpikir tentang perintah dari Paul. Mereka ditugaskan menjadi barisan depan, tapi unit detasemen hanya berjumlah 2.000. Dibandingkan dengan kira-kira 5.000 prajurit yang ada di kastil Kaspar, akan butuh prajurit berjumlah tiga kali lipat untuk mengungguli pasukan yang mempertahankan kastil itu.

Akan tetapi, misi unit detasemen itu bukanlah untuk merebut kastil, tapi untuk melelahkan pasukan pertahanan dengan serangan terus-menerus. Jadi mereka harus mengikis pasukan bertahan musuh sebelum pasukan utana datang. Paul tak berekspektasi unit detasemen bisa menguasai kastil Kaspar.

"Ngomong-ngomong, bagaimana menurutmu soal penyerangan kastil Kaspar, Letda Olivia?"

“Emem? tac ta gnimaercs ydal?”

"Minumlah dulu. Baru bicara."

Ashton berkata ketus, dan Olivia mengangguk.

"––Phew. Aku nggak punya pemikiran apapun. Aku akan memikirkannya setelah aku melihat musuh. Gimana denganmu, Claudia?"

"Aku tak punya apapun untuk berkontribusi.... Kita punya kehormatan menjadi barisan depan, tapi misi kita adalah melemahkan pasukan musuh sebanyak mungkin sebelum pasukan utama tiba. Jadi aku ingin meminimalisir kerugian kita."

Claudia berkata sambil memperhatikan para prajurit yang sedang makan siang dengan damai. Ashton mengangguk setuju.

"Hmm~ itu terasa sangat pasif.... Oh betul juga! Aku punya ide, kenapa kita nggak merebut kastil Kaspar saja?"

Olivia tersenyum cerah saat dia mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Claudia merasa dia sedang bercanda, tapi seperti biasa, mata Olivia nggak menunjukkan tanda yang mengindikasikan bahwa Olivia sedang bergurau. Claudia menghela nafas, dan berkata dengan nada hati-hati:

"Bahkan bagi Letda Olivia, itu merupakan sebuah misi yang mustahil. Kita bahkan nggak punya senjata penyerbu."

Tanpa pendobrak, nggak mungkin menghancurkan gerbang kastil yang tertutup rapat. Meskipun mereka memilikinya, mereka nggak punya prajurit yang terlatih menggunakannya. Dan musuh nggak akan menonton saja, dan pasti akan melawan. Dengan itu dalam benaknya, peluang keberhasilan mereka paling tinggi 50%.

"Masa sih? Kurasa ada banyak cara yang bisa kita gunakan meski tanpa senjata penyerbu.... Ashton, apa kau punya taktik yang bisa kita gunakan untuk mengambil alih kastil Kaspar?"

"Ehh!? Kenapa kau tiba-tiba menanyaiku?"

Dia terkejut, tapi Ashton tetap menyilangkan tanganny dan berpikir secara mendalam. Claudia tersenyum masam, karena ini merupakan hal yang diluar kemampuan seorang prajurit biasa.

"Hmm~ kalau aku nggak salah ingat, kastil Kaspar didirikan diawal-awal era peperangan, kan?"

"Begitu kah? Aku cuma tau kastil itu punya sejarah yang panjang."

"Kalau aku benar, maka taktik ini mungkin berhasil–"

Claudia terkejut oleh apa yang diusulkan Ashton. Olivia yang mendengarkan Ashton dengan cermat, menampilkan senyum cerah dan berkata dengan bangga:

"Nah kan, bukannya sudah kubilang kalau Ashton cocok menjadi seorang ahli strategi."

Pasukan Kekaisaran, kastil Kaspar

Komandan pasukan pertahanan kastil Kaspar, Kolonel Bloom, menerima berita bahwa Pasukan Kerajaan bergerak kearah mereka.

"Apa itu benar?"

"Tidak diragukan lagi, kami telah memastikan dari para penjaga di beberapa pos penjagaan."

Bintara itu menjawab tanpa ragu-ragu, yang mana membuat Bloom mengucurkan keringat dingin. Implikasi dari berita buruk ini melintas dalam benaknya.

"Berapa jumlah musuh?"

"Sekitar 2.000."

"2.000–? Mereka mungkin barisan depan. Bagaimana dengan unit dibelakangnya?"

"P-Pasukan dibelakangnya?"

Wajah Bintara itu menjadi pucat.

"Kenapa kau terguncang begitu? Jawab aku."

"Aku minta maaf, ini terlalu mendadak, jadi penyelidikanku tidak begitu terperinci...."

Suara Bintara itu semakin pelan. Bloom emosi dan menggebrak meja sambil berteriak:

"Dasar bodoh! Kau pikir alasan itu bisa diterima?!? Cepat pergi cari tau!"

"S-Siap ndan! Aku akan segera mengerjakannya!"

Bloom menatap Bintara yang meninggalkan ruangan dengan panik, dan membunyikan lonceng yang ada di mejanya. Sebuah pintu terbuka, dan deputinya, Mayor Lanchester, muncul.

"Kolonel, kau memanggilku?"

"Ya. Beritahu pasukan bahwa Pasukan Kerajaan menyerang, dan segera bersiap untuk bertempur."

Lanchester mengernyit dan segera menjawab:

"Siap ndan... Apa pasukan utama kita di medan tempur wilayah selatan kalah hanya dalam satu minggu? Itu tak bisa dipercaya."

"Aku tidak tau. Tapi kurasa Tuan Osborne tak akan..."

Osborne memiliki Ksatria Baja yang elit dibawah komandonya. Apa yang Lanchester katakan masuk akal dan Bloom juga sangat ingin mengabaikan berita yang barusaja dia terima.

"Berapa jumlah mereka?"

"Untuk sekarang ini, setidaknya 2.000 prajurit yang terlihat."

Tatapan Lanchester menjadi tajam saat dia mendengar itu.

"2.000, huh... Aku akan segera membuat persiapan."

Lanchester mengentalkan sepatunya seraya memberi hormat, dan segera meninggalkan ruangan.

Beberapa saat kemudian, informasi yang diterima Bloom membuatnya bingung. Mata-mata tidak menemukan adanya tanda-tanda pasukan pendukung untuk 2.000 prajurit awal yang mereka lihat.

(Apa yang terjadi? Apa mereka berencana merebut kastil Kaspar hanya dengan 2.000 pasukan? Mungkinkah Pasukan Kerajaan sudah hancur, dan sisa-sisanya berupaya menyerang kastil–? Informasinya terlalu sedikit.)

–Dua jam setelah ini.

Pasukan garis depan kastil Kaspar bertempur melawan unit detasemen Olivia.

[edit]

Pertempuran antara garis depan kastil Kaspar dan unit detasemen dimulai.

Saat terompet dan genderang perang berbunyi, unit detasemen melakukan serangan dari jarak jauh menggunakan busur mereka. Namun–

"Hei, apa mereka bahkan nggak mengetahui jangkauan busur mereka? Mereka mungkin ketakutan, tapi apa mereka menembak kita dengan sungguh-sungguh dari jarak sejauh itu?"

"Itu benar, mungkinkah mereka sekumpulan rekrutan baru?"

"Hahaha, tapi mereka terampil meniup terompet dan membunyikan genderang mereka."

"Haaaaah, mau gimana lagi. Aku, seorang veteran terlatih, akan memberi kalian pelajaran yang bagus!"

"Apa yang bisa kau ajarkan pada mereka!"

Para prajurit tertawa keras. Wajah mereka sangat tegang sebelum pertempuran dimulai, tapi kegugupan mereka lenyap saat mereka menyaksikan serangan yang berantakan dari Pasukan Kerajaan. Komandan mereka, Letda Shisiru juga merasakan hal yang sama, tapi dia nggak tertawa seperti anak buahnya.

"Cukup. Mereka berada dalam jangkauan ballista kita, segera serang balik!"

Setelah Shisiru berteriak pada mereka, pasukan itu bergegas menuju ballista yang ada di atas dinding kastil.

Disisi lain, bagi unit detasemen yang diejek oleh musuh mereka.

"Semua unit, mundur!"

Unit itu bertahan terhadap ballista menggunakan perisai-perisai besar, dan mundur perlahan-lahan. Tak lama setelah itu, mereka maju lagi untuk menyerang dengan panah meskipun diluar jangkauan. Mereka melakukan ini berulang-ulang kali.

"Hei Ashton, apa ini betul-betul akan berhasil? Kita nggak kehilangan pasukan, tapi bukankah Pasukan Kekaisaran memperlakukan kita seperti orang bodoh?"

Claudia menanyai Ashton seraya dia mengamati situasinya menggunakan teleskop.

"Yah, memang benar mereka menertawakan kita, tapi orang yang tertawa terakhir, dialah yang tertawa paling keras. Jadi tak masalah mereka mengejek kita untuk sekarang ini."

Ashton mengabaikan ejekan musuh. Ashton yang sementara waktu diangkat sebagai ahli strategi oleh Olivia, mengkomando garis depan bersama Claudia.

"Kau mungkin benar, tapi bagi seorang ksatria, pertempuran ini betul-betul.... Aku terkesan kau bisa memikirkan rencana semacam itu!"

Taktik Ashton adalah sebagai berikut:

Selama awal-awal era peperangan, kastil-kastil yang dibangun sudah pasti memiliki rute melarikan diri rahasia. Pintu masuknya selalu terletak pada sebuah sumur kering dekat kastil. Itu artinya sumur kering itu juga merupakan jalan pintas untuk menyusup kedalam kastil Kaspar. Jadi mereka bisa membagi menjadi dua kelompok, satu kelompok mengganggu dari dalam, sedangkan kelompok yang satunya akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang gerbang dan melepaskan selot kuncinya. Setelah gerbang terbuka, kelompok utama dari unit detasemen akan menyerbu kedalam kastil.

Dan saat ini, unit detasemen hanyalah menarik perhatian musuh.

"Ini bukanlah rencana yang matang. Ujung-ujungnya, ini hanyalah upaya sembrono didasarkan pada kemampuan bela diri Olivia yang luar biasa."

Olivia sudah pergi. Setelah melambaikan tangan seolah berkata "Aku pergi dulu sebentar", dia memimpin seratus prajurit menuju sumur kering, dengan kecepatan layaknya orang jalan-jalan.

"Biarpun kau bilang begitu, rencana itu berasal dari pengetahuanmu tentang struktur kastil. Kekaisaran yang merebut kastil Kaspar tak akan membayangkan bahwa ada lorong rahasia semacam itu. Kami juga lupa soal itu."

"Begini-begini aku sudah membaca seluruh buku sejarah. Akan bagus kalau hal ini meningkatkan peluang keselamatan kita. Bagaimanapun juga, aku tak mau mati."

Ashton berkata canggung. Claudia agak menegang saat dia melihat wajah Ashton. Kematian merupakan hal yang tak bisa dihindari dalam perang. Orang yang bertempur disampingmu hari ini bisa saja besok mati. Ashton memahami hal itu, dan itu memberi dia motivasi untuk memikirkan cara terbaik untuk meminimalisir kerugian mereka. Dia melakukannya meskipun dia terbebani rasa takut menghantui dia.

"––Itu benar. Kita sudah sampai sejauh ini, jadi kita tak boleh mati semudah itu."

Claudia memberi isyarat untuk mundur.

Disaat unit detasemen menarik perhatian Pasukan Kekaisaran, kelompok Olivia dengan mudah menemukan lorongnya dan menyusup kedalam kastil Kaspar.

"Komandan Olivia, sejujurnya, aku tak pernah menyangka kita benar-benar menyusup semudah ini."

Seorang pria bermata satu dengan lengan berotot–wakil komandan untuk misi penyusupan ini, Gauss, berkomentar pada Olivia.

"Ya, itu berkat Ashton yang memprediksi tempatnya secara akurat."

Olivia mengangguk puas, dan menginjak seekor tikus yang berkeliaran disekitar. Para prajurit dibelakangnya mengernyit dan mengerang saat melihatnya.

Kelompok Olivia membawa obor dan berjalan disepanjang lorong gelap yang terbuat dari batu. Itu merupakan jalur melarikan diri, jadi lorong itu sempit dan udaranya pengap. Jalannya tertutup oleh jaring laba-laba yang tebal, yang mana artinya Pasukan Kekaisaran masih belum menemukan lorong rahasia ini.

"Jadi, harus bagaimana kita membagi pasukan kita? Untuk amannya, haruskah kita membagi rata?"

Gauss bertanya seraya dia menyingkirkan jaring laba-laba. Olivia langsung menggeleng.

"Aku sudah memutuskannya. Aku akan membuat gangguan sendirian, kalian harus menyerbu gerbangnya dan membuat kelompok Claudia bisa masuk."

"Anda sendiri!? Komandan, aku tau anda itu hebat, tapi bagaimana kalau membawa 10 orang bersama anda?"

Para prajurit disekitar mereka mengangguk setuju pada Gauss. Olivia tersenyum pada mereka, dan menepuk pelan punggung Gauss:

"Ahaha, jangan kuatir soal aku. Itu akan lebih mudah buatku untuk mengayunkan pedangku tanpa menahan diri. Ya memang aku nggak akan melukai kalian karena salah sasaran, tapi mendingan cari amannya saja."

Olivia membelai sarung pedang di pinggangnya sambil tersenyum. Gauss cuma bisa menanggapi dengan senyum canggung dan mengangguk. Setelah menyaksikan kemampuan Olivia di dataran Iris, Gauss sangat memahami seberapa tangguhnya Olivia.

– Satu jam setelah kelompok Olivia menyusup kedalam kastil Kaspar.

"Komandan, kita telah mencapai tujuan kita."

Gauss mengarahkan obor miliknya kedepan, disana ada pintu. Lorong remang-remang itu berakhir disini, yang mana artinya kelompok itu telah sampai di tujuan mereka.

"Gauss, kalian tunggulah disini selama 30 menit. Setelah itu laksanakan misi kalian."

"Dimengerti– Komandan, berhati-hatilah."

"Ya, makasih. Aku akan keluar sebentar."

Olivia melambaikan tangan dan membuka pintunya. Dengan hembusan udara hangat, sebuah jalan kecil muncul. Jalannya sempit, lebarnya cuma cukup untuk satu orang saja. Mengarahkan tatapannya kedepan, dia bisa melihat cahaya samar didepan. Setelah sampai di dinding ujung, dia mendorong dinding batunya kuat-kuat, dan dinding itu berputar, membawa Olivia keluar.

"Ini sama seperti sebuah ruang rahasia yang disebutkan di buku-buku, sungguh menarik!"

Olivia melihat sekelilingnya, dan dia tau kalau ini adalah sebuah ruang penyimpanan yang diabaikan, yang mana dipenuhi debu. Dia segera meninggalkan ruangan tersebut, dan bertemu seorang Prajurit Kekaisaran di koridor.

"Hei, dimana komandannya?"

Olivia bertanya dengan tenang. Prajurit itu tampak kebingungan:

"Hah? Apa yang kau bicarakan? Tuan Osborne berada di dataran Iris dan bertempur melawan Pasukan Kerajaan. Apa kepalamu baik-baik saja?"

"Kaulah yang nggak paham. Tuan Osborne sudah mati. Yang kutanyakan itu komandan pasukan di kastil ini."

"Tuan Osborne sudah mati? Beraninya kau– tunggu, kau dari unit mana?"

Mengubah nada bicaranya, prajurit itu mengarahkan tatapan tajam pada Olivia.

"Yah, aku dari unit detasemen."

"Detasemen.... Tunggu!"

Prajurit itu menatap epolet milik Olivia. Pada epolet itu terdapat lambang sebuah cawan dan dua singa.

"Apa!? Kau dari Kerajaan––"

"Ahaha, bukan, aku gak bisa membiarkanmu buat keributan sekarang."

Olivia memukul rahang si prajurit, dan menikam dadanya dengan pedang miliknya. Setelah melemparkan si prajurit yang mengejang ke samping, prajurit itu menabrak dinding dengan keras.

"–Jangan main-main disini... A-Apa yang kau lakukan!?"

Para prajurit yang muncul di tikungan semuanya terkejut. Olivia mendesah berat karena hal itu.

"Haaaaah~ aku ingin mulai membunuh dari para perwira berperingkat tertinggi, tapi mau gimana lagi."

Dengan itu, Olivia berjalan dengan santai menuju para prajurit musuh yang memblokir jalannya, seraya kabut hitam menyelimuti pedang hitam ditangannya.

Setengah jam setelah Olivia membuat keributan di kastil seorang diri.

Tim Gauss meninggalkan ruangan pernyimpanan tersebut untuk membuka gerbang. Mendengar jeritan-jeritan dari kejauhan, mereka bergerak dengan waspada.

"I-Ini...."

Dihadapan Gauss terdapat darah dan organ-organ dalam berhamburan di dinding, dan mayat-mayat di sepanjang lorong. Tak satupun dari mayat-mayat ini yang masih utuh, dan semuanya setidaknya ada satu anggota badan yang hilang. Beberapa bahkan terpotong secara vertikal. Kelompok Gauss merupakan para veteran elit, tapi mereka tetap terkesiap pada pemandangan sadis ini.

Gauss merasa lega karena hal ini. Dia benar-benar senang bahwa Olivia adalah sekutu mereka.

"Wakil komandan Gauss, jeritan-jeritan dikejauhan adalah...."

"Komandan pasti membuat keributan disana. Ayo manfaatkan kesempatan ini untuk bergerak menuju gerbang utama!"

“““Siap ndan!!”””

Kelompok itu mengangguk setuju, dan bergerak menuju gerbang utama.

Teriakan Bloom menggema di kantornya.

"Itu cuma satu prajurit, seberapa lama waktu yang kau butuhkan!"

"Itu bukan sekedar prajurit biasa! Kolonel Bloom, kau sudah dengar tentang dia, kan? Tentang monster yang memegang pedang hitam!?"

Mayor Paduin membantah dengan wajah pucat, dab Bloom menjadi tegang saat dia mendengar itu. Rumor tentang gadis monster memang sampai ke telinga Bloom, tapi dia menganggapnya lelucon. Seorang gadis bisa membunuh Samuel, itu adalah hal yang mustahil.

"Sungguh gak masuk akal. Aku gak peduli apakah dia seorang monster, ada banyak cara untuk membunuh dia. Suruh para pemanah menembak dari jauh."

Dengan membawa pertempuran ke ruang terbuka pada area yang dibatasi, menutup semua jalan untuk melarikan diri, dan menembakkan anak panah dalam jumlah besar pada dia. Saat Bloom mengatakan idenya, Paduin mendengus pada ide itu:

"Kau tak perlu memberitahuku, aku sudah mencobanya. Tapi sebelum kami bisa menembak, dia mendekat dan memenggal tiga sekutu. Seperti itulah mengerikannya dia!"

Paduin menggebrak meja penuh kemarahan, dan Bloom berkata sambil mendesah:

"Kau pikir aku akan percaya omong kosong itu? Apa itu sebuah karakter dari sebuah novel?"

"Terserah kau mau percaya atau tidak, Kolonel Bloom. Aku sudah memberimu laporan, dan akan cuci tangan mengenai masalah ini..."

Setelah berkata begitu, Paduin berjalan untuk meninggalkan ruangan dengan segera. Dan tentu saja, Bloom tak bisa mentoleransi ketidaksopanan bawahannya.

"Dasar bodoh, apa kau mau mengabaikan tugasmu? Mayor, kau paham konsekuensinya kan?"

"Haha, kau mau mengeksekusi aku karena membantah perintah? Terserah, lagian kematian sudah ada didepanku."

Paduin yang berwajah pucat menggerutu saat dia meninggalkan ruangan.

“…Lanchester. Kita akan menangani dia nanti, tapi bagaimana menurutmu tentang yang dia katakan?"

Lanchester yang mendengarkan dalam diam disamping Bloom berkata pelan:

"Memang sulit dipercaya, tapi sejujurnya, kita harus mengambil tindakan dengan asumsi bahwa laporan dia benar."

"Kau benar-benar berpikir begitu?"

Jawaban tak terduga itu membuat Bloom melotot pada Lanchester. Bloom berpikir Lanchester akan menertawakan laporan itu, tapi ternyata dia malah menganggapnya serius.

"Ya, gadis itu mungkin sesuatu seperti sebuah bencana berjalan, mustahil bagi mahluk fana menghadapinya. Contoh yang tepat adalah para Penyihir."

"Apa!? Kau bilang bahwa sat prajurit itu sama dengan seorang Penyihir....? Bagaimana mungkin... Jika itu benar, apa yang harus kita lakukan?"

"Yah.... Tunggu sebentar."

Lalu Lanchester berjalan ke ruangan sebelah, dan menaruh sebuah senjata yang mirip busur di meja.

"–Apa ini?"

"Ini adalah prototipe yang dikirim Departemen Penelitian Pasukan Kekaisaran pada kita. Sederhananya, ini adalah versi penyederhanaan dari sebuah ballista. Mereka mengatakan kecepatan dan kekuatannya jauh lebih baik daripada panah seorang pemanah."

Setelah mendengar penjelasan Lanchester, Bloom mengambil senjata itu. Senjata itu memang berbentuk mirip dengan ballista, tapi bukannya menarik tali busur, itu menggunakan mekanik logam. Senjata itu tidak seberat penampilannya, dan mudah dioperasikan.

"Kau bilang aku harus membunuh monster itu dengan ini?"

"Tepat. Pasukan Kerajaan berada diluar kastil, jika masalah ini berlanjut, unit kita akan hancur dari dalam."

"Memang benar kalau kita terdesak waktu– hmm?"

Bloom bisa mendengar langkah kaki panik dari luar kantornya. Langkah kaki itu berhenti tepat didepan pintu, dan seorang prajurit dengan nafas tersenggal-senggal masuk ke ruangan.

"Ketuk pintu sebelum kau masuk!"

Lanchester berteriak.

"S-Saya minta maaf! Tapi ini darurat!"

"Bicaralah."

"Siap ndan! Pasukan Kerajaan menerobos gerbang utama, dan masuk kedalam kastil!"

"Apa kau bilang!?"

Bloom berdiri dari kursinya, dan menatap Lanchester yang menjadi kaku karena terkejut.

"Apa yang terjadi!? Apa Pasukan Kerajaan menggunakan senjata serbu!?"

Benteng ini mungkin memang susah tua, tapi ini tetaplah sebuah kastil, gerbang utamanya tak akan roboh dengan mudah. Tapi apa yang dikatakan prajurit itu melampaui dugaan Bloom.

"Mereka tidak menggunakan senjata serbu! Sekelompok prajurit Kerajaan muncul entah darimana, dan melepas penguncinya tanpa kami sadari!"

Bloom terkejut. Dia lalu menyadari bahwa gadis monster itu hanyalah pengalih perhatian, dan tujuan asli musuh adalah untuk membuka gerbang utama ditengah-tengah kekacauan. Di saat yang sama, sebuah pertanyaan muncul dalam benaknya. Bagaimana caranya gadis monster dan para prajurit Kerajaan menyusup kedalam kastil?

Para agen dari Heat Haze bisa menyelinap melewati penjagaan, tapi jumlah mereka terbatas. Dari apa yang dia dengar, prajurit Kerajaan dalam jumlah cukup besar menyusup kedalam kastil. Jaringan keamanan di kastil Kaspar tidaklah serenggang itu sampai-sampai banyak orang yang bisa menyelinap.

Dengan terbebani masalah ini, Bloom mencengkeram kepalanya.

"Kolonel, kita masih belum kalah. Kita memiliki keunggulan yang besar dalam jumlah. Aku akan mengkomando dari depan juga."

“Lanchester……”

Lanchester yang tak pernah menunjukkan perasaannya pada wajahnya, terlihat muram dan pasrah. Fakta ini memberitahu Bloom seberapa buruknya situasinya.

Seorang monster mengerikan mengamuk didalam kastil, garbang utama jatuh tanpa perlawanan, dan moralnya hancur. Saat ini, jumlah bukanlah faktor yang menentukan.

Melihat gerbang utama terbuka, Claudia memberi perintah:

"Unit Pertama, Kedua dan Ketiga bergerak! Tekan fasilitas-fasilitas penting didalam kastil!"

"Siap! Ini waktunya bagi kapten bodyguard pribadi Olivia, Guile yang agung untuk bersinar! Kalian, jangan mencoreng nama Valkyrie kita!"

“““Siap dimengerti!!”””

Barisan depan Unit Pertama mengatakan sesuatu yang aneh.

“——Ashton, sejak kapan pria itu menjadi kapten bodyguard pribadi Letda Olivia?"

Claudia menatap Ashton dengan mata bertanya-tanya.

"M-Mana kutau? Mungkin itu pernyataan diri.... Aku tidak yakin, tapi aku minta maaf."

Ashton meminta maaf dengan wajah malu. Itu sudah melenceng bagi mereka untuk menyebut diri mereka sendiri bodyguard pribadi, tapi moralnya sangat tinggi karena hal itu, jadi Claudia berpura-pura dia tidak mendengar apapun.

–Satu jam kemudian.

Unit detasemen berhasil menekan fasilitas-fasilitas penting didalam kastil Kaspar. Saat unit itu menyerbu masuk, kastil sudah dalam keadaan kacau, dan para prajurit Kekaisaran menaruh senjata mereka dan menyerah tanpa perlawanan. Anehnya, mereka tampak lega setelah menjadi tahanan. Letda Shisiru begitu tersentuh sampai-sampai dia menangis.

"Sepertinya rencana Ashton berhasil."

Claudia berkata santai, karena beban berat sudah diangkat dari pundaknya. Saat Ashton mendengarnya, dia berkata sambil tersenyum masam:

"Menurutku tidak begitu. Dari bagiamana sikap Prajurit Kekaisaran, semuanya berkat apa yang dilakukan Olivia."

Mereka menerobos melewati gerbang utama, tapi Kekaisaran tetaplah memiliki keunggulan jumlah, dan normalnya, mereka tak akan menyerah semudah itu. Semuanya jadi seperti ini karena moral mereka sudah hancur berkeping-keping.

Ashton bisa menebak apa yang terjadi, tapi gak berani mengatakannya. Claudia sendiri gak menanyakannya, dan hanya melepas helmnya dan mengibaskan rambutnya.

"Yah, sudah hampir berakhir. Ini pasti kelakukan Letda Olivia."

Dengan itu, mereka berdua menatap kastil Kaspar.

"....Jadi kau monster yang dirumorkan itu?"

Bloom duduk dengan tenang di kursinya dan menanyai gadis yang memegang kepala Paduin ditangannya.

"Aku bukan monster, aku Olivia. Kau Tuan Bloom, komandan disini, kan? Manusia baik hati ini memberitahuku lokasimu."

Dengan itu, Olivia melemparkan kepala itu ke meja, kepala itu mendarat dan berputar. Sama seperti yang Paduin katakan, dia mati ditangan monster itu.

"Hmmp. Kau membuat kekacauan diseluruh kastil seorang diri, jadi kalau kau bukan monster, terus apa?"

Bloom segera menyesal mengatakan itu. Dia mengejek Paduin yang mengatakan kata-kata ini, dan Bloom sekarang mengulanginya.

"Yah, Tuan Bloom adalah musuh, jadi kau boleh menyebutku apapun kau mau. Kesampingkan itu, kau mau apa? Kastilnya udah jatuh ke tangan kelompok Claudia, semua markasmu sudah jadi milik kami. Kau gak punya peluanh untuk selamat, jadi nikmatilah sisa waktumu."

"Memang, ini adalah kekalahan total bagi kami. Tapi–"

Bloom mengeluarkan crossbow dari bawah mejanya, dan menekan pelatuknya kearah Olivia.

"–Hahaha, kau betul-betul monster."

Lalu, Bloom melihat Olivia memegang sebuah baut ditangan kirinya. Olivia menangkap proyektil itu dan melemparkan ke samping, lalu dia menatap crossbow milik Bloom dengan mata penasaran.

"Ehh~ benda ini jauh lebih kuat daripada sebuah busur. Itu membuatku terkejut. Hei, boleh aku minta benda itu?"

"Benda itu gak berguna buatku sekarang. Kau boleh mengambilnya kalau kau mau."

Bloom melemparkan crossbow itu pada Olivia, dan disaat yang sama, dia menghunus pedangnya dan melakukan serangan lompatan.

".....Ughh, sudah kuduga...."

"Makasih sudah memberikan benda ini padaku, aku akan merawatnya."

Olivia mencabut pedang miliknya dari dada Bloom seraya dia berterimakasih pada Bloom. Akan tetapi Bloom gak bisa mendengar bagian terakhir dari kalimatnya.

"Ehehe~ setelah mendapatkan Jam Saku, aku mendapatkan sesuatu yang bagus lagi. Aku harus segera menunjukkan ini pada Ashton dan Claudia."

Olivia memegang crossbow itu, dan meninggalkan ruangan tersebut.

III[edit]

Pertempuran di dataran Iris telah mendekati akhir. Mayjen Heit Bonner yang mengkomando sayap kiri dari Pasukan Kekaisaran melakukan perlawanan sengit meskipun komandan Osborne, George, Minits dan yang lainnya sudah mati. Dia mengumpulkan sisa-sisa pasukan kekaisaran untuk menyelamatkan prajurit sebanyak yang dia bisa.

Paul menyerahkan pembersihannya pada Lambert, dan memimpin pasukan utama untuk menyerang kastil Kaspar. Dalam perjalanan kesana, seorang pembawa pesan dari unit detasemen tiba membawa sebuah laporan yang mengejutkan.

"Bagaimana mungkin? Kau mengatakan bahwa kastil Kaspar sudah jatuh!?"

"Benar ndan, unit kami telah merebut kendali kastil Kaspar."

Otto terdengar gelisah, sedangkan si pembawa pesan tampak bangga. Paul meminta laporan rincinya, dan si pembawa pesan mengungkapkan fakta yang bahkan lebih mencengangkan. Selama pertempuran untuk merebut kastil Kaspar, mereka hanya menderita delapan korban. Kebanyakan prajurit Kekaisaran menyerah tanpa perlawanan.

Menyerang sebuah kastil dan hanya menderita korban satu digit saja merupakan hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Paul menunjuk Olivia untuk menjadi barisan depan karena dia berpikir Olivia bisa mengurangi jumlah musuh meskipun pasukannya lebih sedikit. Tapi dia tak pernah menyangka Olivia merebut kastil Kaspar hanya dalam satu hari.

Bahkan Paul yang dulunya disebut dewa iblis merasa merinding saat dia mendengar berita ini.

"–Aku paham. Beritahu Letda Olivia untuk terus waspada."

"Siap ndan!"

Pembawa pesan itu naik ke kudanya dengan semangat tinggi, dan melaju kearah kastil Kaspar. Saat dia memperhatikan si pembawa pesan pergi, Paul berkata pada Otto dengan gembira:

"Kinerja Letda Olivia memang menakjubkan. Apa yang harus kita lakukan, Otto? Kita tak bisa cuma memberi dia kue saja kali ini."

"Kau pasti bercanda.... selain itu...."

"Apa kau lebih tertarik pada Ashton yang menyusun rencana itu sebagai ahli strategi sementara? Otto, apa nama itu pernah muncul?"

"Ini pertama kalinya aku.... Tunggu sebentar."

Otto membelai dagunya seraya menengadah dan berkata:

"–Aku ingat sekarang. Aku mendengar Letda menyebutkan nama itu didalam ruang interogasi."

Itu bukanlah ingatan yang menyenangkan, jadi wajah Otto menjadi kaku. Istilah 'ruang interogasi' mengingatkan Paul pada insiden dengan mata-mata. Dia juga ada disana, dan setelah mengacak-acak ingatannya yang telah menurun, Paul akhirnya ingat apa yang terjadi.

"–Oh, aku ingat sekarang. Letda Olivia menyebutkan nama itu saat dia berkata dia ingin makan roti lezat dari ibukota."

"Itu mengingatkan aku pada kata-kata Letda yang tak menyenangkan. Aku betul-betul tak ingin mengingatnya."

Otto menampilkan ketidaksenangan, dan Paul tertawa keras.

Saat mereka sampai di kastil Kaspar, Otto sibuk dengan pekerjaan. Mereka menguasai kastil Kaspar, tapi mereka tak bisa santai sebelum mengetahui apa yang akan dilakukan Benteng Kiel. Para prajurit dikirim untuk menjaga titik-titik vital, dan jaringan pengintai dikerahkan. Mereka juga harus mendapatkan kendali dari kota-kota dan desa-desa disekitar kastil Kaspar, dan menangangi 4.000 tahanan. Ada banyak sekali masalah.

Terutama masalah tahanan, yang mana membuat Otto sakit kepala. Mereka tak pernah menangkap tahanan sebanyak itu sebelumnyam 4.000 tahanan akan mengkonsumsi banyak makanan setiap harinya. Ada banyak makanan yang disimpan di gudang kastil, tapi itu akan lebih baik untuk disajikan pada para prajurit mereka sendiri.

Tapi mereka tak bisa membunuh para tahanan, dan meskipun Otto ingin menjatuhkan hukuman pekerjaan pada mereka, disekitar kastil Kaspar tak ada tambang. Otto ingin mengeluh pada Olivia yang menciptakan masalah ini, tapi dia tau kalau itu tak masuk akal.

Dan begitulah, dua minggu berlalu tanpa insiden. Olivia, Claudia dan Ashton tiba didepan pintu kantor komandan.

"Hei Olivia, kenapa kau menatap Jam Saku milikmu sepanjang waktu ini?"

"Apa kau nggak tau, Ashton? Ajudan Otto sangat ketat soal ketepatan waktu. Dia akan menampilkan wajah yang seperti iblis kalau kau terlambat sedikit saja."

"Tidak, ini pertama kalinya aku mendengarnya. Dan tepat waktu bukannya sudah jadi ciri khas pasukan?"

"Letda Olivia, dan Ashton, tenanglah. Kita berada didepan kantor komandan."

Claudia memperingatkan, dan Ashton langsung diam. Lalu Olivia mengetuk pintu secara acuh tak acuh:

"Letda Olivia, AIPDA Claudia, Ashton.... Hei Ashton, apa pangkatmu?"

"Prada, aku Prada."

Ashton menjawab pelan, dan Olivia menjawab: "Benar, kau seorang Prada." Lalu dia mengetuk pintu lagi.

"Letda Olivia, Aipda Claudia dan Prada Ashton, melapor–"

"Cukup, aku sudah dengar. Masuk."

Suara jengkel dari Otto terdengar dari dalam, dan Olivia membuka pintunya seperti yang diinstruksikan. Didepan mereka adalah Paul yang sedang tersenyum yang duduk dengan nyaman dikursinya, dan Otto yang menggelengkan kepalanya. Kelompok Olivia memberi hormat, dan Paul membalas hormat itu dengan menyipitkan mata. Ashton yang berhadapan dengan komandan sedekat ini sangat tegang.

"Bagus. Kami memanggil kalian kesini hari ini untuk–"

"Ada kue yang anda persiapkan untukku sebagai hadiah?"

Otto yang ucapannya dipotong oleh Olivia, menatap dia dengan tajam. Ashton tau kalau tatapan itu tidak diarahkan pada dirinya, tapi Ashton jadi berkeringat dingin.

"Letda, apa hanya kue saja yang ada didalam kepalamu?"

"Itu tidak benar, aku juga suka buku."

Olivia masa bodoh dengan tatapan Otto, dan menjawab dengan riang. Ashton berpikir: "Tolong baca suasananya dong."

"Oh~ membaca buku dan memperluas pengetahuanmu adalah hal yang bagus, tapi aku memanggilmu bukan untuk mengetahui hobimu."

Claudia terus menundukkan kepalanya meminta maaf, tapi Paul hanya tertawa riang.

"Kau masih sama seperti biasanya, Letda Olivia. Sayangnya, kuenya harus menunggu sampai kita kembali ke Benteng Gallia. Kami memanggilmu kesini karena urusan lain."

"....Siap ndan, dimengerti."

Olivia menjatuhkan pundaknya, menunjukkan kesedihannya dengan sangat jelas. Paul menampilkan senyum kerepotan karena hal itu, dan kemudian dia mengarahkan tatapannya pada Ashton.

“Prada Ashton Senefelder.”  

“Y-Yiss!”

Ashton begitu gugup dipanggil secara tiba-tiba, sampai-sampai dia bahkan tak bisa berkata dengan benar. Paul melunakkan wajahnya karenanya, dan kemudian berkata:

"Santai, kau tak perlu setegang itu. Aku dengar dari Aipda Claudia bahwa kau berkontribusi besar untuk merebut kastil Kaspar."

"S-Siap ndan! Terimakasih banyak! Tapi itu bisa dilakukan karena Letda Olivia ada disana, jadi saya tidak benar-benar–"

Ashton mulai mengoceh. Pemandangan dari wajah paniknya membuat Paul tersenyum canggung. Lalu Paul mengangkat tangannya untuk menghentikan Ashton.

"Memang benar tanpa Letda Olivia, kita tak akan bisa merebut kastil Kaspar dengan mudah. Tapi kudengar Prada Ashton yang menyusun rencananya– Apa itu benar, Letda Olivia?"

"Ya. Berkat Ashton kami bisa merebut kastil Kaspar dengan mudah."

Olivia membusungkan dadanya dengan bangga.

"H-Hei! Olivia!"

"Ehh? Tapi memang itu yang sebenarnya. Oh ya, lebih baik kau pakai honorifik buat memanggilku saat ada Ajudan Otto. Kalau tidak, dia akan memarahimu."

"Tunggu, kau baru memberitahuku sekarang?"

"Kalian berdua, hentikan. Tuan Paul belum selesai!"

Teguran Otto membuat Ashton terbatuk ketakutan.

"Saya minta maaf, Tuan Paul!"

"Tidak apa-apa. Kesampingkan itu, kau ditugaskan oleh Letda Olivia untuk menjadi ahli strateginya, bagaimana? Maukah kau terus melayani Letda Olivia sebagai ahli strateginya?"

Ashton tercengang oleh usulan tak terduga dari Paul. Dia menerima tugas ahli strategi karena Olivia yang memaksa dia. Dia tak pernah menyangka dia akan dipromosikan secara resmi pada posisi ahli strategi.

(Lelucon.... Kayaknya bukan.)

Paul terlihat serius, yang mana membuat Ashton semakin sulit untuk menanggapi. Dia memberi saran itu hanya karena dia kebetulan membaca tentang sejarah peperangan. Ashton tak cukup percaya diri untuk menyusun sebuah rencana dalam suasana apapun.

Dengan pemikiran itu dalam benaknya, Ashton menatap Olivia yang ada disampingnya. Olivia menampilkan senyum mempesona padanya.

(Ahh, sialan! Senyum itu curang.)

Ashton merasa pipinya memanas, dan menatap Paul lagi.

"Saya tidak tau apakah saya bisa memenuhi harapan anda, tapi saya akan berusaha sebaik mungkin."

"Bagus– Baiklah kalau begitu, tak usah berlama-lama, aku ingin meminjam kecerdasanmu untuk suatu masalah."

"S-Siap ndan...! Boleh saya tau apa itu?"

Ashton berteriak dalam hatinya, "Ini terlalu cepat!" Tapi dia berusaha agar tidak sampai kelihatan, dan bertanya dengan sikap tenang. Akan tetapi, dia tidak bisa membodohi orang lain. Sangat jelas dari senyum masam Paul dan Otto bahwa Ashton sama sekali tidak kelihatan tenang.

"Tidak perlu setegang itu. Biar Letkol Otto yang menjelaskan masalahnya."

Otto berjalan kedepan kelompok Olivia, dan menjelaskan masalah tentang penampungan 4.000 tahanan dan menugaskan mereka pada pekerjaan kasar. Olivia menguap bosan dipertengahan, yang mana membuat Claudia menunduk dan meminta maaf sedalam-dalamnya.

"–Bagaimana, Prada Ashton? Jika kau punya solusi bagus, akan kudengarkan. Kau tak perlu kuatir."

Wajah Otto tampak mengisyaratkan bahwa Ashton tak akan bisa menanganinya dengan mudah. Ashton mengacak-acak otaknya, dan mendapatkan sebuah jawaban.

"Bagaimana dengan mengusulkan pertukaran tahanan dengan Pasukan Kekaisaran? Kita akan mendapatkan dua keuntungan dari hal itu."

"Oh.... Lanjutkan."

Otto menatap dia dengan mata tajam, yang mana membuat Ashton terkesiap. Dia tidak terbiasa dengan aura intimidasi dari prajurit.

"S-Siap ndan. Jika negosiasinya berhasil, kita bisa menyelesaikan masalah makanan yang kita hadapi, dan para prajurit yang kita dapatkan sebagai pertukarannya bisa meningkatkan pasukan kita."

"....Aku paham maksudmu. Aku setuju denganmu masalah persediaan makanan, tapi Kekaisaran juga akan meningkatkan pasukan mereka dengan ini, kan?"

Otto menekan dia. Dia paham masalah makanan, tapi tak bisa memahami kok bisa mendapatkan kembali prajurit mereka akan memberi mereka keuntungan dari Kekaisaran. Bagi Ashton, ini akan jadi kemenangan untuk mereka.

"Anda benar, tapi jika kita mempertimbangkan seluruh Pasukan Kekaisaran sebagai satu kesatuan utuh, pertukaran ini akan lebih menguntungkan kita. Bagaimanapun juga, kita memaksakan wajib militer pada seseorang seperti saya yang bahkan tak bisa menggunakan senjata dengan benar."

Paul dan Otto meringis saat Ashton mengatakannya.

"Mempertimbangkan faktor-faktor kemanusiaan, Pasukan Kekaisaran akan menerima tawaran kita. Jika mereka menolak, mereka akan kehilangan dukungan dari warga mereka."

Ashton menambahkan bahwa nama Kaisar Ramza yang baik hati terkenal diseluruh benua, jadi dia tak akan melakukan sesuatu yang akan merusak reputasinya.

"Aku paham... Prada Ashton, kau mungkin tidak tau, tapi pertukaran tahanan biasanya terbatas pada yang berpangkat tinggi, seperti kerabat keluarga Kerajaan. Tak ada contoh pertukaran tahanan yang melibatkan prajurit biasa. Tapi pendapatmu layak dipertimbangkan."

Otto membelai dagunya dan menatap Paul.

"Ya, kita akan mengadakan rapat darurat untuk membahas rencana ini. Ini merupakan masukan yang berharga. Aku akan mengandalkanmu lagi di masa mendatang, Prada Ashton."

"S-Siap ndan!"

Setelah mereka bertiga pergi, Paul mengeluarkan sebatang rokok dari kantong dadanya dan mulai merokok.

"–Yah, kurasa dia akan berguna."

"Aku setuju. Nampaknya ketajaman strateginya merebut kastil Kaspar bukanlah sebuah kebetulan belaka. Aku tak pernah berpikir tentang pertukaran tahanan dengan prajurit infanteri."

"Jika kinerja menakjubkan seperti itu hanyalah kebetulan belaka, maka posisi kita akan sangat genting. Selain itu, dia hanyalah seorang prajurit biasa."

"Memang– Kalau begitu aku akan mengerjakan rancangannya."

"Ya, silahkan."

Setelah melihat Otto keluar, Paul mengepulkan asap rokok yang ada didalam mulutnya.

[edit]

Ibukota Kekaisaran Orsted, Istana Listerine, Kantor Felixus

"Jenderal, boleh saya mengganggu anda sebentar?"

Letda Theresa menaruh cangkir teh di meja, dan terdengar agak ragu. Felixus menaruh penanya, dan mengangkat wajahnya.

"Dari ekspresimu, sepertinya ini bukan berita bagus."

"....Siap ndan."

Theresa memberi dia sebuah laporan. Felixus mengambilnya dan mulai membacanya. Itu adalah tentang jatuhnya kastil Kaspar, dan kematian Jenderal Osborne dan para komandan dibawah dia. Selain itu, 45.000 prajurit tewas.

Ini merupakan kekalahan paling parah sejak pertempuran Berkeley. Kematian Osborne, seorang bangsawan besar dari Kekaisaran, membuat kekalahan ini semakin pahit.

"––Letda Theresa. Aku harus menekan lebih keras lagi supaya Paduka menyetujui serangan pada Benteng Gallia. Meskipun beliau memarahi aku."

Wajah Theresa menjadi muram saat dia mendengar Felixus bilang begitu. Osborne kehilangan peluang besar untuk meningkatkan keuntungannya, dan kalah pada Pasukan Kerajaan yang diberi waktu untuk memulihkan diri. Bisa dibilang, Kekaisaran membantu Kerajaan memenangkan pertempuran ini.

Percuma saja menangisi susu yang tumpah, tapi jika Kaisar memberi ijin pada saat itu, maka mereka akan menang dengan mudah. Rencana Osborne sangat sempurna menurut Felixus.

Felixus meminum tehnya, menghela nafas, lalu berdiri. Dia memakai jubah berwarna biru berlambang pedang bersilangan, dan berkata pada Theresa:

"Aku akan melaporkan ini pada Menteri. Kita harus membuat rencana kedepannya."

"Saya minta maaf, tapi sebentar lagi ada rapat Tiga-Jenderal yang harus dihadiri."

Theresa segera mengatakannya.

"Rapat Tiga-Jenderal?"

"Iya ndan. Tuan Menteri Dalmes meminta anda untuk berkumpul di ruangan Konferensi Kedua dua jam lagi."

Saat dia mendengar istilah rapat Tiga-Jenderal, Felixus mengernyitkan alisnya. Tak ada gunanya mengadakan rapat Tiga-Jenderal jika dua Jenderal lainnya tidak ada. Theresa sudah menebak apa yang membuat Felixus gelisah, dan menambahkan:

"Tuan Graden dan Nona Rosenmarie kembali ke ibukota kemarin untuk melapor."

"Aku paham... Baiklah."

Felixus kembali duduk dan melanjutkan membaca laporannya.

–Dua jam kemudian.

Ketiga jenderal yang dipanggil oleh Dalmes berkumpul di Ruang Konferensi Kedua. Mereka duduk disekitar sebuah meja kayu hitam yang bisa menampung 30 orang.

"Baik, apakah benar Jenderal Osborne gugur dalam pertempuran?"

Saat rapatnya dimulai, Jenderal Rosenmarie menjauhkan semua laporannya di meja. Panglima Tertinggi Graden menatap dia dan menjawab:

"Osborne memang gugur. Para prajurit yang melarikan diri ke Benteng Kiel sudah memastikannya."

"Yang kutanyakan apa mereka salah lihat!"

Rosenmarie menolak menerima bahwa Osborne telah mati. Tak senang dengan nada Rosenmarie, Graden merengut.

"Jaga ucapanmu. Ada banyak prajurit yang melihat kepala Osborne ditancapkan di ujung tombak. Ini merupakan fakta yang tak terbantahkan."

Setelah Graden memperingatkan dia, pipi Rosenmarie merona. Dia begitu bersikeras karena dia adalah mantan bawahan Osborne.

Suasana didalam Ruangan Konferensi semakin tegang, dan Rosenmarie bergumam:

"....Aku ingin pergi ke Zona Perang Selatan."

"–Hah? Maaf, apa yang barusan kau ucapkan?"

Felixus mau tak mau jadi bertanya. Ronsenmarie berdiri dan berteriak penuh amarah:

"Kubilang aku ingin pergi ke Zona Perang Selatan! Aku gak peduli mau itu pasukan ketujuh atau apapun itu, aku akan menghancurkan mereka dengan Ksatria Merah milikku!"

"Kalau kau pergi ke wilayah selatan, lalu apa yang akan terjadi pada Zona Perang Utara? Mereka akan kalah tanpa komandan mereka."

Pertanyaan Felixus memang wajar. Bagaimanapun juga, mengabaikan zona perangmu dan pergi ke zona perang lain sangatlah tak masuk akal.

Tapi apa yang dikatakan Rosenmarie berikutnya diluar dugaan semua orang.

"Felixus, kau bisa menggantikan aku. Lagian kau cuma bermalas-malasan di ibukota, kan?"

Rosenmarie terdengar seperti dia menyatakan sebuah pengaturan yang disetujui. Giliran Felixus yang tercengang, dan Graden berteriak marah dalam menanggapinya.

"Dasar bodoh! Omong kosong apa ini!? Felixus diberi tugas penting menjaga ibukota, bagaimana bisa dia memindahkan basisnya semudah itu!?"

Setelah mendengar itu, Rosenmarie mencemooh dengan dingin:

"Hah! Menjaga ibukota? Kau pikir Pasukan Kerajaan bisa menyerang ibukota sekarang? Dengan adanya kita yang mengelilingi mereka? Kalau kau betul-betul berpikir mereka bisa melakukannya, maka kau sudah pikun, Panglima Graden."

"D-Dasar bocah! Lancang sekali!"

Felixus berusaha menenangkan mereka berdua dan meredakan suasananya, seraya dia tersenyum canggung dalam hatinya. Rosenmarie memang benar, Pasukan Kerajaan saat ini tak menimbulkan ancaman pada ibukota Kekaisaran. Meskipun Azure Knight pergi ke zona Utara, ibukota akan tetap aman.

Akan tetapi, menempatkan Azure Knight yang paling elit di ibukota akan membuat warga tenang, dan juga bertindak sebagai sebuah ancaman kuat bagi negara-negara lain. Tanpa dektrit Kaisar, Azure Knight tak akan pernah dikirim keluar.

"Kesampingkan apa yang dikatakan Rosenmarie untuk sekarang ini, jatuhnya kastil Kaspar berarti kita kehilangan kendali dari wilayah selatan Kekaisaran. Kurasa kita harus segera melakukan tindakan pencegahan."

"–Soal itu, boleh aku menyela sebentar?"

Dalmes yang diam saja sepanjang waktu ini tiba-tiba menyela, dan mereka bertiga mengarahkan tatapan mereka pada dia.

"Silahkan. Apa kau punya rencana yang bagus, Tuan Menteri?"

Graden berbicara mewakili para jenderal. Dalmes lalu mengusulkan sesuatu yang tak terduga:

"Ini bukan rencana yang bagus sih. Aku hanya berpikir akan baik-baik saja untuk menyerahkan bagian selatan Kekaisaran pada mereka."

"....Boleh aku tau alasanmu?"

Graden terlihat jelas kalau dia kebingungan. Baik atau buruknya, emosi Dalmes sangat stabil secara tak wajar, membuatnya sulit untuk memahami apa yang dia pikirkan. Felixus tak bisa memahami apa tujuan dia.

"Maksudku ya seperti apa yang kukatakan. Zona Perang Selatan sudah dalam keadaan buntu. Tak ada gunanya mempertahankannya segitu kerasnya. Selama Benteng Kiel tetap di tangan kita, Pasukan Kerajaan akan berpikir dua kali sebelum mereka menyerang Kekaisaran."

"Yah.... Itu memang benar."

Graden dengan enggan setuju dengan dia.

"Selain itu, sekitar 45.000 Prajurit Kekaisaran gugur dalam pertempuran ini. Ini sangat menyesakkan, kita harus berkabung atas pengorbanan mereka."

Meski Dalmes berkata begitu, sudut bibirnya terangkat. Dia tampak sangat mencurigakan.

"Apa Paduka tau bahwa kastil Kaspar telah jatuh?"

"Ya, aku sudah melaporkan hal itu pada Paduka. Ngomong-ngomong, Kaisar merasakan hal yang sama seperti aku, dan berpikir kita harus mengabaikan wilayah selatan Kekaisaran."

Saat Rosenmarie mendengar itu, dia jadi marah:

"G-Gimana bisa kita melakukan itu! Kalau seperti itu, gimana caranya aku bisa membalaskan dendam Jenderal Osborne!?"

"Rosenmarie! Sekarang bukan waktunya untuk mengkuatirkan masalah sepele semacam itu!"

"–Apa!? Coba katakan lagi! Kau pikir membalaskan dendam Jenderal Osborne adalah hal sepele!?"

Rosenmarie sangat marah, dan berteriak pada Graden, rambut merahnya yang seperti api bergelora. Kata-katanya Graden mungkin dingin, tapi Felixus setuju dengan dia. Prioritas saat ini adalah strategi mereka untuk kedepannya.

Suasana didalam Ruang Konferensi menjadi berbahaya lagi, dan kali ini Dalmes berkata pada Rosenmarie:

"Rosenmarie. Kesempatanmu untuk membalaskan dendam Osborne akan segera datang."

"A-Apa maksudmu?"

Rosenmarie sedikit terguncang, dan senyum samar muncul pada wajah Dalmes.

"Setelah menguasai kastil Kaspar, Pasukan Kerajaan tak akan terfokus pada Benteng Gallia. Mereka akan membangun garis pertahanan mereka yang baru berpusat pada kastil Kaspar."

"Apa itu ada hubungannya denganku yang ingin membalaskan dendam Jenderal Osborne?"

Perkataan Dalmes yang muter-muter membuat Rosenmarie memiringkan kepalanya kebingungan. Felixus mendesah ringan dalam hatinya saat dia mendengarkannya. Sepertinya Dalmes ingin memaksa Rosenmarie melakukan sesuatu.

"Ini hanyalah spekulasiku saja, tapi setelah mereka memperkuat pertahanan di bagian selatan Kekaisaran, mereka akan mulai mendukung zona perang tengah dan utara, kan? Bagaimanapun juga, Pasukan Kerajaan tak mungkin membiarkan pasukan mereka berdiam diri saja."

Rosenmarie menyilangkan tangannya dan berpikir secara mendalam, berusaha menguraikan niat Dalmes. Setelah itu, dia berkata seraya tersenyum samar:

"Menteri Dalmes, aku paham maksudmu. Aku hanya perlu memaksa mereka datang dan mendukung Zona Perang Utara, kan?"

"Seperti yang diharapakan dari Rosenmarie, seperti itulah tepatnya."

Tiga hari setelah rapatnya berakhir.

Dengan perintah Kaisar Ramza, Pasukan Kekaisaran sepenuhnya mundur dari wikayah selatan Kekaisaran.

V[edit]

Sebulan setelah unit detasemen menguasai kastil Kaspar.

Pasukan Kerajaan memperkuat pertanahan mereka dengan kastil Kaspar sebagai benteng mereka, dan bernegosiasi secara sembunyi-sembunyi dengan Kekaisaran untuk pertukaran tahanan. Seperti yang diprediksi Ashton, Kekaisaran menerima usulan pertukaran tahanan. Akan tetapi, saat mereka mengetahui bahwa upacara penandatanganannya diadakan di Benteng Kiel, beberapa perwira sangat menentangnya, dan bahkan masuk kedalam kantor komandan untuk protes.

"Komandan, kenapa kita harus pergi ke markas musuh? Kali ini kita yang menang, dan mengusulkan pertukaran tahanan. Jadi sudah sewajarnya upacara penandatanganannya di adakan di kastil Kaspar."

Paul mendengarkan para perwira itu. Penalaran mereka mungkin terdengar logis, tapi pada akhirnya, mereka hanya tak bisa mengabaikan harga diri mereka. Otto kebetulan sedang keluar untuk memeriksa pemulihan kota atas perintah Paul, jadi Paul juga tak bisa mengeluh.

"Aku tidak memintamu untuk mengunjungi Benteng Kiel kan?"

Paul berkata seraya menghela nafas. Para perwira menjadi semakin jengkel.

"Mohon jangan alihkan topik! Mereka hanya mengijinkan seratus prajurit sebagai pengawal, mereka sangat kurang ajar!"

Untuk upacara penandatanganan, Kekaisaran menekankan peraturan bahwa hanya 100 pengawal yang diijinkan. Hal itu betul-betul membuat mereka marah.

"Begitukah? Jika aku berada dalam posisi mereka, aku akan meminta hal yang sama. Membawa pengawal sangat banyak hanya akan menimbulkan kecurigaan yang tak diperlukan."

Mempertimbangkan masalah yang mungkin akan mereka temui dalam perjalanan kesana, 100 orang tampak seperti jumlah yang memadai. Jumlah ini cukup besar untuk menangani serangan bandit, tapi tak cukup untuk menciptakan sebuah gangguan pada wilayah musuh. Hal itu merupakan sebuah jalan tengah diantara keselamatan Kerajaan dan keamanan Kekaisaran. Sebuah pengaturan yang menakjubkan.

Setelah rinciannya dijelaskan, para perwira mulai goyah, tapi tetap protes.

"M-Meski begitu, kami tak bisa menerima upacara penandatanganannya diadakan di Benteng Kiel! Meminta kita menghadiri penandatanganan di sebuah benteng yang dulunya milik Kerajaan merupakan sebuah penghinaan!"

"Kalau begitu, coba kudengar rencana alternatif darimu. Jangan bilang kau datang kesini tanpa rencana cadangan, dan kesini hanya untuk ngomel seperti anak kecil?"

Paul menatap mereka dengan tatapan tajam, mendiamkan mereka. Paul secara sengaja menanyakan itu, mengetahui bahwa mereka tak punya rencana alternatif. Dia hanya tak mau menyia-nyiakan tenaganya pada mereka.

"T-Tapi.... Bagaimana jika sesuatu terjadi pada anda, Komandan!?"

"Aku bisa menjanjikan padamu bahwa tak akan ada bahaya."

Ucapan Paul membuat para perwira mengernyit.

"Bagaimana bisa anda seyakin itu? Nama Demon God dikenal di seluruh penjuru benua."

"Itu benar, mereka mungkin menganggap ini sebagai peluang emas untuk membunuh anda."

Karena menemukan celah, para perwira mulai berargumen lagi dengan dasar kemungkinan pembunuhan. Mereka memang benar, ini merupakan sebuah peluang emas untuk melakukan pembunuhan. Paul juga sangat paham soal pembunuhan tersebut, tapi kekhawatiran ini tak diperlukan.

"Kekaisaran masih memiliki keuntungan yang besar, jadi tak ada gunanya bagi mereka untuk menggunakan trik-trik semacam itu."

"T-Tapi....!"

"Pengawalku untuk ekspedisi ini adalah Letda Olivia. Apa ada pertanyaan lagi?"

Wajah mereka langsung pucat saat nama Olivia disebutkan. Setelah pertempuran di dataran Iris, semua orang di Pasukan Ketujuh menghormati Olivia.

"T-Tidak ndan. Karena Letda Olivia mendampingi anda, maka kami tak keberatan."

"I-Itu benar. Dengan adanya dia, tak akan ada masalah."

"Kami minta maaf karena mengganggu jadwal anda yang sibuk!"

Para perwira itu memberi hormat, lalu pergi dari kantor Komandan. Paul mendesah, dan meraih saku dadanya.

–Satu minggu setelah itu.

Kelompok Paul berangkat dari kastil Kaspar, dan bergerak ke utara menuju Benteng Kiel. Selalu berada dalam kondisi siap jika ada keadaan darurat, Paul berada ditengah kelompok tersebut. Olivia dan Claudia berada disamping dia sebagai pengawalnya. Yang mengelilingi mereka adalah tim detasemen yang menyusup kedalam kastil Kaspar bersama Olivia. Olivia ngobrol dengan Paul disepanjang perjalanan, dan isi percakapannya selalu membuat Claudia tegang.

Dia merasakan desakan untuk menahan Olivia, tapi Claudia ragu-ragu saat dia melihat senyum santai dari Paul. Ujung-ujungnya, dia berpura-pura nggak melihat apapun.

(Ini sih sama saja dengan penyiksaan. Aku lebih milih bertarung melawan musuh.)

Claudia mendesah dalam hatinya saat dia melihat mereka berdua ngobrol. Akhirnya, kelompok itu tiba dengan aman di Benteng Kiel tanpa bertemu bandit. Mereka sudah meninggalkan kastil Kaspar selama empat hari.

Benteng Kiel memiliki tiga lapis dinding kota, sebuah benteng yang dibuat dengan memanfaatkan secara penuh medan yang rumit dan berbahaya. Barisan bendera berlambang pedang bersilangan membuat kelompok itu merasa dikalahkan. Mereka menatap Benteng Kiel yang terkenal tak tertembus dengan perasaan rumit.

Hanya Olivia yang terlihat santai.

"Letjen Paul. Benteng Kiel tampak lebih megah daripada Benteng Gallia!"

"L-Letda Olivia!"

Claudia tak bisa berdiam diri lebih lama lagi.

"Tidak apa-apa– Letda Olivia, kau tau bahwa benteng ini dulunya bagian dari Pasukan Kerajaan, kan?"

"Ya, aku tau. Pasukan Kekaisaran merebutnya kan?"

Olivia berkata tanpa berpikir dua kali, dan Paul tersenyum canggung.

"Memang, pasukan kita tidak bisa memenuhi harapan."

"Tak apa-apa, Letjen Paul. Kita bisa merebutnya lagi. Itu sama seperti kastil Kaspar, kan?"

"Fufu. Saat Letda Olivia bilang begitu, itu terdengar begitu mudah. Aneh sekali."

Mereka berdua ngobrol saat gerbang kota berbentuk melengkung terbuka perlahan. Seorang wanita gagah mengenakan seragam militer berwarna hitam muncul disertai beberapa prajurit mengenakan zirah full body berwarna hijau. Para prajurit itu berdiri disamping wanita itu sebagai penjaganya.

Para penjaga benteng mungkin melihat mereka lebih awal, jadi resepsionis datang disaat yang tepat. Paul memerintahkan kelompoknya turun dari kuda, dan berdiri didepan wanita itu.

"Letjen Paul dari Pasukan Kerajaan, benar?"

"Ya kau benar."

"Nama demon god telah menyebar diseluruh Pasukan Kekaisaran. Suatu kehormatan bertemu dengan anda. Aku Letda Theresa, pemandu anda untuk hari ini. Anda pasti lelah setelah perjalanan panjang, ijinkan aku menunjukkan ruangan anda."

"Terimakasih atas sambutan hangatnya, mohon bantuannya."

Setelah saling memberi hormat, Theresa berbalik dan mulai berjalan. Paul dan yang lainnya dalam diam mengikuti dia Theresa tampaknya penasaran pada Olivia, dan berulang kali melirik dia.

Setelah berjalan sekitar 30 menit dan melewati tiga dinding kota, mereka sampai didepan gerbang utama yang familiar. Theresa berhenti, lalu berbalik dan berkata dengan nada meminta maaf:

"Aku minta maaf, karena masalah keamanan, hanya dua pengawal sama yang boleh mendampingi anda kedalam. Aku telah mempersiapkan ruangan untuk kalian semua, mereka bisa beristirahat disana."

"Tunggu, itu terlalu tiba-tiba!"

Claudia langsung memprotes pengaturan paksa ini. Bahkan bagi musuh, ada batas pada seberapa congkaknya mereka bertindak. Tapi Paul hanya menepuk bahu Claudia untuk menenangkan dia.

"Aipda Claudia, tak apa-apa. Letda Theresa, aku paham yang kau katakan. Baiklah kalau begitu, Letda Olivia dan Aipda Claudia yang akan mendampingi aku."

Saat dia mendengar apa yang dikatakan Pauk, Theresa menatap Olivia penuh keterkejutan. Disisi lain, Olivia masa bodo dan menatap sekeliling penuh ketertarikan.

"Letda Theresa, apa ada masalah?"

"T-Tidak ada pak. Aku minta maaf, lewat sini."

Theresa segera memerintahkan para  prajurit membuka gerbangnya. Setelah gerbang besar itu terbuka perlahan-lahan, mereka bertiga melanjutkan perjalanan.

––Keesokan harinya.

Di aula utama yang dipenuhi dengan para perwira Kekaisaran, upacara penandatanganan untuk pertukaran tahanan diadakan.

Setelah Felixus dan Paul menandatangi kontrak tersebut, mereka berjabat tangan. Saat para perwira berbisik "Jadi dia itu sang demon god", Felixus berkata:

"Sebuah kehormatan bertemu anda, tuan Paul. Aku minta maaf karena harus mengatakannga, tapi berhadapan dengan demon god yang terkenal membuatku merinding."

"Akulah yang merasa terhormat, Tuan Felixus, komandan yang terkenal dari Azure Knight. Sejujurnya, aku tak pernah menyangka kau masih semuda ini."

"Orang-orang sering bilang begitu padaku."

Paul dan Felixus sama-sama tersenyum. Upacara penandatanganan berlanjut tanpa halangan, dan sekilas terlihat berakhir dengan damai.

"–Apa mereka sudah pergi?"

Felixus menatap keluar jendela dan menanyai Theresa.

"Iya ndan, mereka barusaja pergi. Mereka titip salam pada anda–Komandan? Apa anda baik-baik saja? Anda terlihat jengkel."

Theresa menatap Felixus dengan kuatir saat dia berkata begitu. Felixus merasa bersalah bahwa dirinya telah membuat bawahannya kuetir, dan menggeleng.

"Aku baik-baik saja. Ngomong-ngomong, Letda Theresa, apa kau berbicara dengan kedua pengawal tuan Paul?"

"Tidak juga... Tapi salah satu dari mereka sangat muda. Aku terkejut saat aku mendengar dia adalah seorang Letda seperti aku."

"Jadi begitu...."

"Komandan?"

Saat upacara penandatanganan, dia bisa melihat gadia berambut perak dibelakang Paul yang sedang mengamati dirinya. Hawa kehadiran gadis itu bahkam jauh lebih kuat daripada Paul yang dikenal sebagai demon god. Hawa kehadiran itu begitu kuat sampai-sampai Felixus merinding.

(Aura darah dan kematian yang sungguh mengerikan. Dia merupakan gambaran dari "kematian". Gadis itu mungkin merupakan ancaman besar bagi Pasukan kekaisaran.)

Olivia dan Felixus.

Butuh waktu yang lama sampai mereka bertemu lagi.

Cerita Sampingan: rahasia Claudia

Sinar mentari pagi bersinar melewati pegunungan dan menyinari kastil Kaspar.

Olivia dan Claudia saling berhadapan seraya memegang pedang ditangan mereka masing-masing.

"Letda Olivia, ini mungkin hanya latihan, tapi ijinkan aku bersungguh-sungguh."

"Ya, silahkan. Gak usah kuatir, aku nggak akan melukaimu."

–Claudia dianggap remeh.

Dan tentu saja, Claudia nggak merasa begitu. Dia selalu mengabdikan dirinya sendiri pada jalan pedang, yang mana itu sebabnya dia paham perbedaan kekuatan yang sangat besar diantara mereka. Bahkan ketika dia menghadapi ayahnya, yang merupakan salah satu dari <Ten Swords of the Kingdom>, dia nggak pernah merasakan kesenjangan kemampuan sebesar itu. Dia sudah melihat seberapa mengerikannya ilmu pedang Olivia saat Pertempuran Iris. Meski begitu, Claudia merasa Olivia belum menunjukkan kekuatan sejatinya.

"Baiklah, aku mulai."

Claudia mulai bergerak.

Kaki kanannya maju kedepan seraya dia menusukkan pedangnya, tapi Olivia menghindarinya dengan miring ke samping. Dia menggunakan momentum tersebut untuk menebas secara horisontal, dan menepis. Dia sudah mengetahuinya, talu ilmu pedang Claudia hanyalah mainan anak kecil bagi Olivia. Olivia nggak bergerak dari tempatnya merupakan bukti dari kekuatannya.

Claudia melanjutkan serangannya, tapi semua serangannya ditepis dengan mudah oleh Olivia. Claudia kelelahan, tapi Olivia bahkan nggak meneteskan keringat sama sekali.

(Hah, hah, menyebut dia kuat saja nggak cukup. Bahkan ayahku gak akan bisa bertahan lama. Ini adalah pertama kalinya kami latih tanding, tapi tingkatan kami sangat jauh berbeda. Dia setara dengan pahlawan dalam legenda.)

Claudia menstabilkan nafasnya yang kacau, dan menjaga jarak antara dirinya dan Olivia.

"Baiklah kalau begitu, sekarang giliranku."

Olivia berkata sambil tersenyum, dan tiba-tiba muncul didepan Claudia.

Claudia nggak bisa segera bereaksi, dan nyaris tak sempat untuk berputar dan menghindari tusukan itu. Senyum Olivia berubah menjadi keterkejutan, dan Claudia memanfaatkan kesempatan ini untuk menendang bagian samping Olivia. Mereka sangat dekat yang mana mustahil bagi Olivia untuk menghindarinya.

Tapi Olivia menangkap kaki kanan Claudia, seolah dia tau Claudia akan menendang. Kekuatannya yang besar mencegah Claudia menarik kakinya. Sebaliknya, Claudia terkena tendangan pada perutnya, dan dia jatuh ke tanah. Tendangan itu begitu kuat hingga Claudia nggak merasa Olivia sedang menahan diri.

"Hmm~ Claudia, kau punya mata yang tajam. Itu bagus sekali."

Dengan itu, Olivia menatap mata Claudia penuh rasa ketertarikan. Claudia lupa akan rasa sakit di perutnya, dan menatap lurus Olivia. Setelah berantem dengan sabahatnya saat dia masih muda karena matanya, dia gak pernah membiarkan siapapun mengetahui rahasianya. Dia terkejut bahwa Olivia bisa mengetahuinya.

Akan tetapi, Olivia nggak menanyakan lebih jauh lagi, dan hanya berkata: "Mau lanjut?"

"Ya, mohon bantuannya."

Claudia berdiri lagi. Dia membuang rasa sakit dalam benaknya, dan berdiri dengan pedang ditangannya dalam kuda-kuda bertahan.

"Dimengerti. Aku datang."

Olivia tiba-tiba menghilang, berbeda dengan sebelumnya. Claudia segera melepaskan kekuatan matanya untuk melacak Olivia. Meski hanya sesaat, Claudia bisa melihat Olivia bergerak ke kanan, tapi Claudia berpura-pura gak menyadarinya.

Disaat pedang kayu milik lawannya diayunkan pada bahunya, Claudia melakukan tebasan balasan vertikal. Dia pikir dia bisa mendaratkan serangan dengan ini, namun....

(Dia hilang lagi!?)

Pedang miliknya terayun pada ruang kosong. Claudia memeriksa area lagi, tapi gak bisa menemukan Olivia. Matanya semakin tegang.

(Oh tidak! Mataku nggak bisa mengikutinya!)

Saat Claudia merasa cemas, sebuah bayangan muncul diatas kepala. Dia menengadah, dan melihat Olivia mengayunkan pedangnya ke bawah dengan matahari berada dibelakang dia–

"A-Aku kalah."

Olivia tidak mengayunkan pedangnya secara penuh, dan menghentikan pedangnya sebelum mengenai Claudia. Kalau ini adalah pertarungan asli, Claudia pasti mati.

"Claudia punya pergerakan yang bagus, kau pasti telah berlatih keras di masa lalu. Tapi kau harus menghindari penggunaan matamu yang berlebihan. Itu melelahkan, kan?"

Olivia agak kuatir. Kayaknya dia memahami kekuatan misterius ini yang mana Claudia sendiri nggak memahaminya.

"Y-Ya, kau benar. Kekuatan itu memberiku beban yang berat. Letda Olivia, apa kau tau kekuatan apa ini?"

"Yah, aku diajari banyak hal. <Fleet Footed Rush> punyaku yang barusan juga akan membuatku kelelahan kalau aku menggunakannya secara berlebihan."

Olivia tersenyum seraya dia menepuk kakinya. Claudia bertanya siapa gurunya Olivia, tapi Olivia hanya bilang dia akan mengatakannya ketika sudah tiba saatnya. Olivia gak punya niat mengatakannya sekarang.

"Ngomong-ngomong, pergerakan menghilang itu bernama Fleet Footed Rush?"

"Itu betul. Kurasa Claudia bisa menguasainya juga."

Claudia merasa gembira saat dia mendengar itu. Kalau dia bisa menguasai Fleet Footed Rush, kemampuannya sebagai seorang ksatria akan meningkat lebih jauh lagi. Pemikirannya selalu berkutat pada ilmu pedang miliknya.

"B-Benarkah? Kalau memang bisa, lain kali tolong ajari aku!"

"Ya, aku mengerti. Sarapan yuk, aku sudah kelaparan setengah hidup."

Olivia berkata sambil tersenyum seraya mengusap perutnya.

"Aku akan mentraktirmu sarapan spesial, Letda Olivia."

"Ehh? Apa gapapa? Kan kau jadi harus bayar, dan juga butuh uang cukup banyak lho?"

"Tidak apa-apa, anggap saja traktiran sebagai imbalan karena kau menemani aku latihan pagi."

"Aha! Itu bagus!"

Olivia mulai berjalan dengan gembira. Claudia menatap punggung Olivia selama beberapa saat, dan Olivia berbalik melambaikan tangan pada Claudia.

"Claudia, apa yang kau lakukan? Ayo ke aula mess~"

"Baik, Letda!"

Dengan itu. Claudia bergegas mendekat dengan semangat tinggi.