Shinigami ni Sodaterareta Shoujo wa Shikkoku no Ken wo Mune ni Idaku (Indonesia) Jilid 2 Bab 4

From Baka-Tsuki
Revision as of 00:50, 27 September 2020 by Setia (talk | contribs) (Created page with "== Bab 4: Pahlawan dan Ksatria == '''Ⅰ''' '''Kerajaan Farnesse, Kota Benteng Emreed, Pusat Komando''' Hosmund sampai di Emreed sebelum Resimen Kavaleri Otonom sampai, dan...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Bab 4: Pahlawan dan Ksatria

Kerajaan Farnesse, Kota Benteng Emreed, Pusat Komando

Hosmund sampai di Emreed sebelum Resimen Kavaleri Otonom sampai, dan mengadakan rapat perang. Agendanya adalah soal apa yang harus dilakukan pada Pasukan Kekaisaran yang mereka lihat di dataran Almheim, bagian utara Emreed.

“Komandan, aku mengusulkan bahwa kita bertahan di benteng dan menunggu dukungan dari Resimen Kavaleri Otonom.”

“Aku sependapat dengan Mayor.”

“Aku setuju.”

Ajudan Hosmund– Mayor Selim ingin tetap waspada, dan para perwira lain setuju dengannya.

“…Apa kalian semua ingin kota Emreed diporak-porandakan musuh?”

Hosmund menanyai orang-orang didepannya dengan nada kasar. Salim memprotes mewakili semuanya.

“Komandan, kau salah. Emreed merupakan sebuah benteng yang kokoh, aku yakin pertempuran tidak akan menimbulkan kerusakan yang besar pada kota.”

Emreed disebut sebuah kota benteng karena kota itu dikelilingi oleh dinding kokoh. Ada parit diluar di sepanjang dinding, dan jika jembatan gantungnya diangkat, akan sulit bagi musuh untuk mencapai dinding.

Selim memang benar, jika mereka fokus pada pertahanan, pertempuran akan berjalan dengan keuntungan dipihak mereka. Gak ada jaminan musuh akan mundur hanya dengan bertahan sih.

“Selim, kau terlalu optimis. Memang masih belum tentu, tapi musuh bisa saja punya senjata serbu.”

“Tapi mungkin musuh tidak punya senjata serbu.”

Sebagai tanggapan pada pertanyaan oleh seorang perwira naif, Hosmund memperingatkan:

“Mungkin memang begitu, tapi kita harus selalu bersiap untuk kemungkinan terburuk di medan perang. Bertempur di kota hanya bisa digunakan sebagai upaya terakhir.”

Tempat ini berbeda dengan benteng, jika gerbangnya dihancurkan, Pasukan Kekaisaran bisa menyerbu kedalam kota. Pria akan dibunuh dan wanita akan diperkosa, dengan jeritan dan teriakan diseluruh penjuru kota saat tenpat ini berubah menjadi neraka. Akan terlambat menyesalinya saat itu terjadi.

“Tapi Komandan, kau pasti sudah mendengar laporannya, dan memahami apa artinya karena mereka memakai zirah merah.”

Zirah merah– yang mana artinya musuh mereka dari Ksatria Crimson. Semua orang tau bahwa Pasukan Ketiga dan Keempat dimusnahkan oleh Ksatria Crimson. Mereka mungkin gak seterkenal Ksatria Azure, tapi Ksatria Crimson tetaplah tersohor di benua Dubedirica.

Selim dan para perwira lainnya ini tetap waspada karena rasa takut mereka terhadap Ksatria Crimson. Bahkan Hosmund sendiri merasa bahwa Ksatria Crimson gak bisa diremehkan.

–Da  itulah tepatnya kenapa prestasi perangnya akan sangat besar jika mereka bisa mengalahkan Ksatria Crimson.

(Gak ada pertempuran yang tanpa resiko. Semakin berbahaya musuhnya, semakin besar hadiahnya.)

Saat dia berpikir soal itu, lambang pangkat dua bintang berkilauan melintas di mata Hosmund.

“Aku paham kekhawatiranmu, tapi mengandalkan pertahanan kota merupakan upaya terakhir kita. Kita akan bergerak duluan dan menyerang. Menurut laporan, musuh berjumlah 3.000, jumlah itu setara dengan kita.”

“Komandan! Ini berbahaya karena jumlah kita sebanding! Tolong dipertimbangkan ulang!”

Selim memprotes penuh emosional. Semua perwira juga memprotes.

“Selim, dan kalian semua, dengar. Aku sudah membuat keputusan, ini adalah perintah.”

Selim gak punya pilihan selain tetap diam dan mengangguk dengan enggan. Yang lainnya juga sama. Mereka ingin berbicara lagi, tapi perintah sudah diberikan, dan mereka akan jadi terpidana pengadilan militer jika mereka masih keberatan. Seperti itulah cara kerja militer.

“Bagaimana dengan pergerakan musuh?”

“Mata-mata melaporkan bahwa musuh berkemah di dataran Almheim dan tidak menunjukkan tanda-tanda bergerak. Alasannya masih tidak pasti.”

“Aku paham, itu aneh…. baiklah kalau begitu, kita akan bersiap menyerang dan mengamati musuh. Suruh para mata-mata untuk mengirim pesan. Itu saja, bubar.”

Dengan itu, Hosmund meninggalkan Selim dan yang lainnya uang memberi hormat dengan wajah pahit, dan meninggalkan Pusat Komando.

Pasukan Kekaisaran, Dataran Almheim

“—Letnan Kolonel, mereka tidak bereaksi.”

Perwira Eksekutif Kapten Lamia melapor dengan agak kecewa. Volmar perlahan berdiri dari drum bir yang dia gunakan untuk duduk. Badannya begitu kekar sampai-sampai kapak perang besar di punggungnya tampak seperti sebuah kapak kecil saja. Zirahnya gak bisa menyembunyikan ototnya yang kekar, dan rambut serta jenggotnya yang acak-acakan tampak seperti hutan belantara. Volmar memancarkan aura ganas.

“Sungguh membosankan. Apa mereka serius soal merebut kembali wilayah utara? Woi, kalian, berteriaklah digerbang mereka, beritahu mereka untuk membawa monster yang dirumorkan! Lima koin emas buat siapapun yang bisa melakukannya!”

Wajah dari beberapa prajurit berubah saat mereka mendengar soal lima koin emas. Itu jumlah uang yang cukup bagi mereka untuk bermain sebanyak yang mereka mau selama dua tahun.

“Haah, bagaimana bisa kita menarik monster itu kesini? Dia tidak memakai kalung. Tolong jangan menggoda para prajurit yang mudah terpengaruh dengan leluconmu.”

Lamia mengangkat bahu, yang mana membuat para prajurit disekitar mereka tertawa.

Cewek yang membuat ribuan prajurit gemetar ketakutan, Volmar ingin melawan dia dengan kapak perang miliknya sesegera mungkin.

Alasannya sederhana. Dia ingin tau lagu macam apa yang akan dinyanyikan monster itu.

“Kesampingkan lelucon, apa laporan kalau Pasukan Ketujuh sudah memasuki kota benteng memang benar?”

Lamia menaruh teleskop miliknya kembali ke kantong di pinggangnya, dan mengangguk pasti.

“Itu benar, ada banyak laporan tentang sebuah unit dengan bendera Pasukan Ketujuh memasuki kota. Itu juga sesuai dengan laporan yang dikirim oleh Heat Haze.”

“Bagus. Kalau aku gak bisa membalas jasa, aku akan mengecewakan Nona Rosenmarie yang mengirimku kesini.”

“Kurasa gak akan ada masalah. Dengan kekuatan Letkol yang luar biasa, monster yang dirumorkan itu pasti akan binasa. Itu sebabnya kau disebut ‘Pembantai’.”

Sindiran Lamia membuat Volmar menghela nafas berat.

“Sudah cukup. Beneran deh, siapa sih yang memberiku julukan itu? Karena julukan itu, orang-orang menganggap aku seorang pembunuh yang haus darah.”

Menurut Lamia, lawan Volmar selalu berakhir dengan nasib mayatnya gak dikenali, itulah alasan dibalik julukannya. Volmar gak bermaksud melakukan itu, itu hanyalah hasil dari kekuatan yang sangat besar. Dia gak tahan dengan julukan Pembantai.

“Hah!? Mulai lagi. Itu faktanya, apa kepalamu baik-baik saja?”

Lamia berkedip-kedip dan menatap dia penuh keraguan. Volmar memandang yang lainnya, tapi mereka semua memalingkan tatapan mereka. Kesalahpahamannya kayaknya sudah sangat dalam.

“Biar aku luruskan hal ini, ini sebuah kesalahan. Aku hanya suka lagu yang dinyanyikan lawanku saat aku menyerang mereka dengan kapak perangku. Aku gak betul-betul peduli soal membunuh mereka.”

“Haaaaah…. Letkol, itu artinya kau tidak ada bedanya dari seorang pembunuh yang tak pandang bulu yang menikmati pembunuhan.”

Lamia menghela nafas, dan Volmar mendesah berat setelah dia mendengar itu. Volmar meratap bahwa dia gak bisa menemukan orang yang bisa mengapresiasi seni.

“Hei Lamia, kau harus lebih menghargai seni. Maka kau bisa seperti aku, dan jadi lebih kaya didalam diri.”

Volmar menempatkan tangannya di dadanya dan berkata dengan serius.

“Saat kau mengatakan kata-kata indah dengan tubuh besarmu yang seperti beruang, itu terasa sangat aneh. Kesampingkan itu, apa yang harus kita lakukan? Karena musuh tidak bergerak, bagaimana kalau kita rebut kota mereka dengan senjata serbu kita? Ini akan jadi peluang yang bagus untuk menguji kemampuan dari prototipenya.”

Volmar mengikuti arah tatapan Lamia, dan melihat sebuah roda gigi. Itu adalah prototipe ketapel kecil dari Divisi Pengembangan Teknologi dari Pasukan Kekaisaran. Prototipe itu dua kali lebih kuat dari versi sebelumnya, dan bisa menghancurkan benteng kayu dalam satu serangan.

“Ini akan jadi upaya terakhir kita. Instruksi Kolonel Gaier adalah untuk menguasai kota itu dalam kondisi sebagus mungkin, karena kota itu akan menjadi markas kita untuk menginvasi Zona Perang Tengah.”

“Lalu apa yang harus kita perbuat? Duduk diam disini dan menunggu?”

Volmar mengusap dagunya seraya berpikir. Lamia benar, mereka gak bisa hanya menunggu disini. Sudah hampir waktunya untuk bertindak.

“Yah… Kita kirim saja undangan pada mereka.”

Saat dia mendengar itu, ekspresi Lamia menjadi cerah.

“Ide bagus. Setelah mereka menerima undangan dari Letkol, mereka tidak akan diam menunggu lebih lama lagi.”

“Kalau begitu kuserahkan padamu.”

Lamia mengangguk tegas dan menerimanya.

“Aku akan membuat rancangannya untuk menebang beberapa pohon dan menyiapkan bahannya.”

Lamia bersenandung saat dia memanggil beberapa prajurit untuk mengikuti mereka, dan menjauh dari Volmar.

–Keesokan paginya.

Saat mentari pagi perlahan terbit diatas Gunung Gransoles dan menerangi daratan, tiga sosok yang disalib menjadi jelas.

Satu kelihangan hidung dan matanya.

Yang satunya kehilangan anggota tubuhnya.

Dan yang terakhir sepenuhnya dikuliti.

Dan dibawah kaki mereka adalah seragam dari Pasukan Kerajaan.

Sehari setelah mereka berurusan dengan Heat Haze.

Kelompok Olivia meninggalkan Kota Gurun Keffin. Mereka sudah mendapatkan informasi dari Alvin, jadi gak ada perlunya lagi mereka tetap di kota itu. Kapten Penjaga sangat kecewa, tapi suasana hatinya menjadi lebih baik saat dia mendengar bahwa peluang Pasukan Kekaisaran menyerang sangatlah rendah. Dia mengantar Resimen itu dengan gembira, kepribadiannya sangat mudah dibaca.

–Dua hari berlalu.

Resimen Kavaleri Otonom sudah nggak jauh dari Emreed. Ini karena kecepatan pergerakan mereka meningkat drastis karena mereka gak perlu memata-matai musuh. Olivia menikmati menunggangi kudanya, dan bahkan tidur sambil menunggang.

“Mayor, tolong jangan tidur dipungung kuda. Itu bahaya.”

Claudia mengingatkan dia karena kuatir. Olivia merenggangkan punggungnya, menguap, dan kemudian menengadah menatap langit.

“Itu karena cuacanya sangat enak. Kalau saja aku bisa berbaring di dataran, aku bisa tidur dengan nyaman. Yah, haruskah kita istirahat?”

“Kau bilang begitu dua jam yang lalu, dan kita beristirahat seperti yang kau inginkan. Kita akan segera sampai di Emreed, tahanlah sedikit lagi.”

Claudia berkata jengkel. Ashton yang menunggang disamping mereka cuma tersenyum canggung. Kayaknya rencana Olivia untuk beristirahat di dataran telah gagal.

“Claudia kau jahat sekali! Hei, Ashton, apa ada sesuatu yang enak di Emreed? Ada, kan?”

“Kenapa kau menanyai aku. Hmm~ karena itu sebuah kota benteng, harusnya ada makanan lezat.”

“Mayor, aku nggak mengatakan sesuatu yang jahat. Selain itu–”

“Diam.”

Olivia menempatkan jari telunjuknya pada bibirnya, dan menatap ke depan. Dia bisa merasakan seseorang mendekat.

“Ada apa?”

Claudia bertanya tegang. Ashton mengeluarkan teleskop dan memeriksa area didepan.

“–Seorang penunggang bergerak mendekat pada kita!”

“Berhenti!”

Claudia segera memberi perintah. Semua mata tertuju ke depan, dan seorang pria memakai zirah muncul disertai suara ringkikkan kuda.

“Itu…. seorang prajurit dari Pasukan Kerajaan.”

“Itu benar.”

“Dia kelihatan kebingungan. Apa yang terjadi?”

Saat pria itu melihat kelompok Olivia, dia kelihatan lega– dan segera mendekat dengan wajah tegang.

“Ini darurat, ijinkan saya melapor diatas kuda. Saya asumsikan anda Komandan Resimen Olivia dari Resimen Kavaleri Otonom, benar?”

“Ya, itu benar. Dan kau?”

“Saya Pratu Ritz dari unit Mayjen Hosmund. Unit kami bertempur dengan Ksatria Crimson di dataran Almheim, dan pertempurannya berlangsung sangat buruk. Tolong…. bantu kami….”

Butuh segenap tenaga yang dia miliki untuk berkata sebanyak ini. Tubuh Ritz agak bergoyang, dan dia jatuh dari kudanya. Ashton segera turun dari kuda dan membantu Ritz bangun.

“….Dia baik-baik saja, dia hanya pingsan.”

Claudia menghela lega saat dia mendengarnya, tapi langsung menegangkan wajahnya.

“Barisan depan kita sudah berhadapan dengan musuh. Lawan mereka adalah Ksatria Crimson yang sangat tangguh.”

“Mereka akan dalam bahaya jika kita nggak bergegas membantu.”

Claudia mengangguk tegas.

“Mayor benar, kita gak bisa mengabaikan sekutu kita yang berada dalam bahaya.”

“Kalau begitu ayo bergegas.”

“Tahan dulu.”

Sebelum Claudia bisa memberi perintah, Ashton berkata dengan suara panik dari belakang. Claudia berbalik, dan melihat Ashton lebih serius dari biasanya.

“A-Ada apa?”

Wajahnya yang kelihatan berbeda dari biasanya membuat Olivia agak gugup.

“Sama seperti yang dikatakan Lettu Claudia, Ksatria Crimson sangat tangguh, dan itu akan jadi beban yang sangat berat bagi para rekrutan baru. Kita butuh strategi supaya semua orang bisa selamat.”

Saat dia melihat wajah serius Ashton, Olivia mulai berpikir. Dari apa yang dikatakan Ashton dan Claudia, Ksatria Crimson bukanlah lawan yang remeh. Dia menatap para rekrutan baru, dan melihat mereka gemetaran seraya wajah mereka pucat.

Ashton benar, jika mereka nggak mempersiapkan rencana, para rekrutan baru akan tewas.

“Ashton, ada ide?”

“Maaf…. akulah yang memulai membahasnya, tapi aku sama sekali gak punya ide.”

Ashton menundukkan kepalanya karena malu. Olivia menatap Claudia, dia menggeleng dalam diam. Mereka berdua gak punya saran yang bagus.

(Ini sukit. Gak akan ada masalah kalau aku sendiri sih… Hmm? Sendiri? Betul juga, sendirian!)

Olivia menjentikkan jarinya. Ashton dan Claudia saling memandang satu sama lain, dan bertanya secara bersamaan.

“Apa kau punya rencana?”

“Mayor, beritahu kami.”

Mereka berdua mendekat, hal itu mengejutkan Olivia.

“E-Erm, aku berpikir bahwa kita harus mengatur tiga orang bekerja sama menjadi satu tim untuk menghadapi satu Ksatria Crimson. Satu orang menyerang, satu bertahan, dan yang satunya akan mengambil peran pendukung. Para rekrutan baru harusnya bisa melakukannya, dan meminimalisir kerugian kita.”

“Aku paham… masing-masing prajurit akan berfokus pada tugasnya masing-masing. Para rekrutan baru bisa berguna kalau begitu.”

Ashton terkesan dan mengangguk, sedangkan Claudia tampak ragu-ragu.

“Hmm? Claudia, apa ada yang salah? Kupikir itu ide yang bagus.”

“Enggak, gak ada yang salah… Tapi meski mereka adalah Ksatria Crimson, mengeroyok mereka agaknya…. Sebahai seorang ksatria yang menjunjung kehormatan, yang kutakutkan….”

“Ini perang, dan para rekrutan bukan ksatria?”

“Tentu saja aku tau itu…. Ahhh!”

Mata Claudia menjadi merah, dan dia mengaruk kepalanya saat dia menggumamkan sesuatu. Olivia menjauh dari Claudia secara reflek. Claudia agak menakutkan sekarang ini, jadi Olivia memutuskan untuk mengamati dalam diam.

–Beberapa saat setelah itu.

“Ayo kita lakukan dengan rencana itu.”

Kayaknya butuh segala yang dia miliki untuk mengatakan hal itu. Pergolakan dalam diri Claudia nampaknya sudah selesai. Terkadang dia sangat menarik.

Hosmund menyesali tindakan gegabahnya. Memang benar dia gak mau warga terjebak dalam api peperangan, tapi dia juga dibutakan oleh ambisinya. Inilah hasil dari keserakahannya atas prestasi perang.

(Fufu. Apa ini hukuman untuk ketamakanku….)

Di depannya adalah seorang pria kekar mengayunkan kapak perang besar. Para prajurit pemberani yang menantangnya dibantai oleh senjata itu, darah berceceran dan otot berhamburan dimana-mana. Hosmund sampai mulai bertanya-tanya apakah manusia benar-benar serapuh itu. Selim benar, mereka seharusnya menunggu Resimen Kavaleri Otonom.

Tapi Selim sudah tiada. Dia telah menapaki jalan menuju akhirat demi melindungi Hosmund.

(Tapi… aku gak bisa membiarkan tindakan keji seperti itu begitu saja!)

Saat dia melihat kondisi mengerikan dari para pengintainya, mata Hosmund memerah. Ketika dia menyadarinya, dia telah mengabaikan peringatan Selim untuk menahan diri, dan menyerbu ke dataran Almheim.

–Tanpa menyadari bahwa ini adalah jebakan musuh.

Hosmund menyerang terlalu dalam, dan dikepung oleh para Ksatria Crimson. Dia segera memerintahkan anak buahnya untuk menggunakan formasi bertahan, tetapi instruksinya nggak bisa segera sampai karena kekacauan.

Akibatnya, pasukan terkepung gak berdaya, dan jalur mundur mereka terputus.

“Hei, hei, apakah kalian betul-betul Pasukan Ketujuh yang menghancurkan pasukan Kekaisaran di Selatan? Kalian terlalu lemah. Dan aku nggak melihat adanya cewek monster.”

Pria itu meletakkan kapak perangnya di bahunya, dan berkata dengan wajah gak ada minat. Saat Hosmund mendengar istilah ‘cewek monster’, dia menyadari kalau musuh mengincar Olivia.

“Sayangnya, gadis itu ditugaskan pada unit lain. Mayjen ini akan berduel denganmu menggantikan gadis itu.”

“Cih! Padahal Lamia begitu yakin, tapi informasi itu palsu. Tidak, musuh adalah Pasukan Ketujuh, jadi mereka nggak salah…”

Tapi pria itu cuma bergumam sendiri, dan bahkan tidak menganggap Hosmund layak ditanggapi.

“Woi, lawanmu ini Mayor Jenderal, apa gak cukup buatmu?”

“—Hmm? Haaah, aku sangat nggak puas, tapi kau boleh juga. Lagian aku harus memberi hadiah balasan pada Nona Rosenmarie.”

“Hadiah balasan?”

Saat dia mendengar pertanyaan Hosmund, pria kekar itu tertawa dingin, lalu menempatkan dua jari di lehernya.

“Karena kau adalah Mayor Jenderal, maka nyanyikan lagu yang bagus untukku.”

Ekspresinya berubah saat dia mengayunkan kapak perangnya layaknya taring binatang buas. Hosmund bertahan dengan pedangnya, tapi posturnya berantakan karena kekuatan lawannya yang luar biasa.

Hosmund mengubah posturnya dan mencoba menepis serangan itu. Namun, pria itu menyesuaikan serangannya. Dia bukan hanya seseorang yang mengandalkan kekuatan saja.

Pada akhirnya, pedang Hosmund melengkung, dan kapak perang itu perlahan menusuk bahunya.

“Gwahhh—!”

“Betul! Bernyanyilah! Aku akan menikmatinya sebagai rasa hormatku untuk pangkatmu! Biarkan aku mendengar nada yang indah!”

Pria itu tersenyum sinis saat dia menancapkan kapak perangnya semakin dalamm Hosmund mengalami pendarahan cukup parah dari bahu, dan pandangannya menjadi kabur. Dia merasa tubuhnya ditekan ke tanah, dan dia jatuh berlutut.

(Inilah akhirnya….)

Saat Hosmund yakin kalau dia akan mati, tiba-tiba ada sebuah serangan ganas, menghempaskan pria itu. Perubahan yang tiba-tiba ini membuat Hosmund terkejut, dan dia lupa akan rasa sakitnya. Dia gak bisa berkata apa-apa saat suara yang seperti lonceng terdengar dari belakang.

“Sungguh pas sekali.”

Suara familiar itu membuat Hosmund perlahan berbalik, dan melihat seorang cewek tersenyum polos– Itu Olivia.

“M-Mayor Olivia……!?”

“Pasang formasi kotak. Jangan biarkan musuh mendekat.”

“““Siap ndan!!”””

Moral prajurit sangat tinggi setelah menerima perintah Olivia. Olivia mengangguk pada mereka, dan menatap Hosmund.

“Nyaris saja. Ah, salah, aku senang anda baik-baik saja!”

Olivia merasa menggunakan kesopanan sangat merepotkan saat dia memberi hormat pada Hosmund yang tercengang. Hosmund tersenyum canggung, lalu berkata seraya tangannya ditempatkan pada bahunya yang terluka.

“Ini medan perang, dan sekarang bukan waktunya untuk memberi hormat dengan santai begitu.”

“Begitukah? –Bukan, apa itu tidak apa-apa? Ajudan Otto selalu memberitahuku bahwa aku harus memberi hormat saat aku bertemu seorang perwira berpangkat.”

Dalam hatinya, Olivia kebingungan saat dia menepis sebuah anak panah nyasar. Dia gak bisa membayangkan Otto salah dalam hal sopan santun, karena Otto adalah perwujudan dari kedisiplinan militer.

“Itu…. bergantung pada waktu dan tempatnya. Setidaknya, memberi hormat tidak diperlukan saat perang. Kudengar kau seseorang yang aneh, tapi tak pernah kusangka kalau kau seaneh ini… Ugh…”

Hosmund berkata dengan wajah pahit. Otto dan Hosmund, siapa yang benar? Olivia betul-betul kebingungan soal ini, dan memutuskan untuk menanyai Otto saat dia bertemu dengannya.

“Mayjen Hosmund, mundurlah sekarang. Claudia dan yang lainnya sudah mengamankan jalur mundur, serahkan saja tempat ini padaku.”

Olivia memanggil dua prajurit terdekat, dan menyuruh mereka membantu Hosmund. Kalau Hosmund mati disini, maka upaya Olivia dan yang lainnya yang bergegas kesini akan sia-sia.

“Maaf….”

Setelah meminta maaf, Hosmund pergi dengan dibantu kedua prajurit itu. Saat Olivia memperhatikan dia pergi, suara keras terdengar dibelakangnya.

“–Yah, udah selesai ngobrolnya?”

Dia berbalik, dan melihat pria kekar yang terlempar karena tendangannya, berdiri disana sambil tersenyum jahat. Pria itu menikamkan kapak perangnya ke tanah dan menggeretakkan lehernya.

“Ya, kami udah selesai. Maaf soal tendangan tadi.”

Olivia meminta maaf sambil tersenyum, dan pria itu melambaikan tangannya.

“Gak usah kuatir soal itu. Seranganmu layaknya sebuah karya seni, susah lama sekali sejak seseorang menjatuhkan aku. Memang disayangkan bahwa Mayor Jenderal itu nggak menyelesaikan nyanyiannya, tapi gak masalah. Akhirnya aku bertemu denganmu.”

“Ehh….? Tapi aku nggak ingat pernah bertemu denganmu?”

Olivia memiringkan kepalanya, dia gak pernah bertemu seorang pria yang sebesar beruang sebelumnya. Dia tampak seperti anak kecil dibandingkan dengan sosok besar pria itu.

Pria besar itu tertawa riang.

“Kau mungkin gak tau aku, tapi aku tau kau. Cewek cantik yang membuat beberapa ribu prajurit trauma sangatlah terkenal di Pasukan Kekaisaran. Apa kau gak punya kesadaran diri. Dasar monster sialan.”

Pria besar itu berkata gembira, dan Olivia mengernyit. Kayaknya julukan monster telah menyebar sebelum dia mengetahuinya. Olivia merasa jengkel, dan pemikiran karena dia dipanggil monster kemanapun dia pergi membuat dia sangat jengkel.

Z sudah menerima nama Olivia yang indah, dia nggak mau nama itu sia-sia saja.

“Haaaaah… Aku bukanlah monster, namaku Olivia.”

“Oh, maafkan aku. Kau mungkin seorang monster, tapi kau tetap memiliki nama. Betewe, namaku Volmar. Volmar Ganglet. Senang bertemu denganmu.”

Volmar menepatkan tangan kirinya pada dadanya dan membungkuk hormat. Sikap anggun ini yang gak sesuai dengan penampilannya membuat Olivia tekejut. Dia harus memberi tanggapan yang sesuai.

“Salam jumpa, Tuan Volmar Ganglet. Ijinkan aku memperkenalkan diriku lagi, namaku Olivia Valedstorm. Senang berjumpa denganmu, meski hanya sebentar.”

Olivia memberi sapaan wanita yang tepat yang dia pelajari dari sebuah buku. Dia sedikit mengangkat keliman roknya dan membungkuk.

“Fuhaha! Sudah lama sejak terakhir aku segembira ini. Nyanyianmu akan menjadi permata sejati, Olivia!”

Sesaat setelahnya, kapak perang itu berhantaman dengan pedang hitam, memercikkan percikan api ke segala arah. Mata Volmar penuh dengan kehidupan dan dia menikmatinya saat dia mengayunkan kapak perangnya.

Olivia gak bisa memahami kegembiraan Volmar saat dia menepis serangan itu. Pria itu gak akan bisa makan makanan lezat lagi kalau dia mati.

“lumayan! Olivia memang yang terbaik! Gak banyak orang yang bisa bertahan terhadap kekuatanku! Nah sekarang, rasakan ini!!”

Volmar menarik mundur kaki kanannya, lalu memutar pinggangnya untuk mengayunkan kapaknya. Kekuatan dibalik ayunan itu menjalar pada Olivia, dan dia terhempas.

“Uwah!”

Olivia segera menarik kakinya diudara, melakukan gerakan jungkir balik untuk mengurangi dampaknya. Tapi saat dia mendarat–

“Huh?”

Dia menyadari tangannya yang memegang pedang masih bergetar. Kekuatan dari serangan itu nggak sepenuhnya hilang. Sudah lama sekali sejak Olivia merasa begitu, dan ini mengingatkan dia pada saat-saat dia bersama Z.

“Woi woi, itu bukan kekuatan penuhku, tapi sudah cukup untuk menghancurkan tulang. Olivia, kau sangat hebat.”

Mereka memang musuh, tapi Volmar nggak menahan diri pada pujiannya terhadap Olivia.

“Hee… Menilai dari kekuatanmu, kau adalah manusia yang memiliki ‘Odic Force’ tinggi. Kau orang kedua yang kutemui.

“Odic Force? Apaan itu?”

Berkebalikan dengan penampilan Volmar yang kebingungan, Olivia tersenyum masam.

– Yang pertama adalah teman di pihak Olivia.

– Yang kedua muncul didepan Olivia sebagai musuh.

Ini pasti takdir. Z akan senang soal ini.

“Abaikan saja. Ini mungkin terakhir kalinya kita bisa ngobrol, jadi ijinkan aku berterimakasih duluan. Aku sangat senang, Tuan Volmar. Aku bisa menyajikan makanan lezat untuk Z sekarang.”

“Menyajikan makanan lezat untuk Z? Apa yang kau bicarakan?”

Volmar menjadi semakin bingung.

Tapi Olivia gak menjawab, dan perlahan menurunkan pusat gravitasinya.

Resimen Kavaleri Otonom yang datang sebagai bala bantuan sedang bertemu sengit melawan Ksatria Crimson.

Mereka sudah menembus pengepungan dari Ksatria Crimson dan menyelamatkan Resimen Kavaleri dibawah komando Hosmund yang sudah kacau balau. Mereka sekarang mengawal para prajurit yang terluka menjauh dari medan perang.

Claudia bertempur dibarisan paling depan, dan berlumuran darah musuhnya.

(Apa Mayor berhasil menyelamatkan Mayjen Hosmund?)

Olivia memimpin 300 kavaleri untuk menyelamatkan Hosmund. Mengingat kemampuan bela dirinya yang luar biasa, dia harusnya baik-baik saja. Tapi lawan mereka adalah Ksatria Crimson, jadi dia gak boleh lengah.

“Lettu Claudia! Musuh berusaha mengepung kita!”

Prajurit bermata satu Gauss, menarik keluar Claudia dari merenungnya. Claudia menatap arah yang di tunjuk, dan melihat sebuah unit kavaleri menembus pertahanan sekutu Claudia dan menyerang ke pusat formasi.

(Dalam hal potensi tempur individu, musuh unggul….)

Kalau dia membiarkan mereka begitu saja, Pasukan Kerajaan akan terjepit dalam serangan penjepit. Mengikutsertakan pasukan Hosmund, mereka unggul dalam jumlah, tapi musuh tetaplah dalam posisi diuntungkan dalam pertempuran ini. Seperti yang diduga dari Ksatria Crimson.

“Gauss! Pimpin unit kavaleri kedua dan hentikan mereka!”

“Siap ndan, serahkan padaku! Baiklah anak-anak, ikuti aku!”

“““Siap!!”””

Dengan perintah Gauss, 500 kavaleri melesat penuh semangat. Claudia mulai bergerak maju kearah pasukan utama musuh, tapi terpaksa masuk kedalam kekacauan setelah dihadapkan dengan perlawanan.

Kepala dan helm seorang pria dihancurkan, matanya keluar. Kepala seorang wanita berubah menjadi bentuk gak jelas setelah berantakan dengan seekor kuda. Segala bentuk mayat dihasilkan di medan perang, seorang perwira laki-laki menunggangi kuda berwarna coklat menanyai Claudia:

“Hei kau, apa komandan dari bala bantuanmu seorang cewek muda?”

“Kalau aku bilang iya, kenapa emangnya?”

Claudia bersilangan pedang dengan pria itu seraya mereka berbicara.

“Dari reaksimu, aku pasti benar. Haaah, Letkol akan senang.”

Mereka berdua sama-sama menarik tali kekang kuda mereka dan bersilangan pedang. Claudia menilai bahwa mereka setara, dan menendang mata kuda milik musuhnya. Hampir disaat yang bersamaan, pria itu juga melakukan hal yang sama. Kedua kuda perang itu meringkik kesakitan, dan menjatuhkan kedua penunggang itu ke tanah.

“Cih!”

Claudia segera berdiri dan memasang kuda-kuda, lalu melompat dan menghindari serangan pria itu. Disaat yang sama, dia menendang wajah pria itu.

Pria itu yang kalah unggul tampak masam.

“….Fufufu, bagus sekali.”

Dia menyeka darah dari hidungnya seraya tersenyum sinis.

(Hmm…? Dia mau ngapain?)

Melihat Olivia merendahkan kuda-kudanya, Volmar waspada dan memposisikan kapak perangnya secara defensif. Cewek itu cukup kuat sampai-sampai bisa menahan serangannya, dan selincah seorang akrobatik. Gak diragukan kalau cewek ini adalah petarung tingkat tinggi. Gak heran Rosenmarie memerintahkan dirinya untuk menghadapi dia. Kalau cewek ini bisa bicara omong kosong, tuh cewek mungkin punya rencana lain. Volmar gak boleh ceroboh.

–Akan tetapi, cewek itu nggak cukup kuat untuk bisa membuat Pasukan Kekaisaran ketakutan, dan disebut monster.

(Prajurit biasa gak akan bisa menghadapi dia, tapi aku berbeda.)

Rumor seperti ini biasanya dilebih-lebihkan. Volmar percaya diri bisa menahan serangan apapun dari Olivia. Akan tetapi, dia segera menyadari seberapa naifnya dirinya. Olivia tiba-tiba muncul didepan dia disertai suara keras.

“—!?”

Berkat pengalamannya yang banyak di medan perang, Volmar nyaris gak bisa bereaksi tepat waktu. Naluri bertahan hidupnya mendorong dirinya memblokir pedang hitam yang mengarah pada lehernya. Kalau dia terlambat sedikit saja, kepalanya pasti sudah hilang sekarang.

Dan begitulah, pertarungan antara Volmar dan Olivia dimulai.

“Woooahhh!!”

Volmar menggertakkan giginya begitu keras sampai-sampai hampir mematahkan giginya saat dia mengayunkan kapak perangnya. Ini bukanlah gerakan sombongnya yang biasanya, tapi sebuah serangan dengan kekuatan penuh. Siapapun yang terkena serangan ini akan tumbang. Tapi sosok ramping Olivia memblokir serangan itu tanpa bergerak satu inci pun. Dia bahkan tersenyum dingin.

Keringat dingin mengalir di pipi Volmar.

(Apa aku…. melawan sesuatu yang gak bisa kutangani?)

Kecemasan, frustasi– dan rasa takut menguasai Volmar.

Emosi-emosi yang sudah lama gak dia rasakan sekarang meluap-luap, dan perlahan menguasai hati Volmar. Sejauh dia bisa ingat, Volmar selalu berdiri diatas yang lainnya karena tubuh kekar dan kekuatannya yang besar. Sebelum dia bertemu Rosenmarie, dia gak pernah kalah sebelumnya.

Itulah sebabnya emosi-emosi negatif ini begitu sulit bergejolak. Untuk mengendalikan rasa takut, kau harus terbiasa dengan itu dari waktu ke waktu, tapi Volmar gak pernah merasa takut sebelumnya. Dia gak berpengalaman dalam aspek ini.

Volmar mengamati Olivia.

Dia cukup tinggi untuk seorang wanita, tapi cuma sampai pinggang Volmar. Tapi dimata Volmar, Olivia seperti seorang raksasa yang setinggi langit.

“Giliranku.”

“—!”

Pedang Olivia layaknya sabit milik seorang Dewa Kematian dan Volmar mengayunkan kapak miliknya sekuat tenaga. Akan tetapi, semua serangannya ditepis oleh Olivia dengan mudah. Olivia lalu menebaskan pedangnya kuat-kuat pada kapak perang itu. Sekarang giliran Volmar yang terlempar ke udara.

(Dia menghempaskan aku ke udara!? Bagaimana bisa!?)

Pemandangan fantastis itu membuat Volmar tenggelam dalam rasa bingung yang dalam. Tapi nalurinya memberitahu dirinya bahwa dia akan tamat kalau dia jatuh ke tanah dalam keadaan seperti ini, jadi dia bersiap mengatur jatuhnya. Ini merupakan hasil dari latihannya, akan tetapi–

“Yang pertama, tangan kananmu.”

“Gwaahhh!!”

Tangan kanan Volmar dipotong oleh Olivia yang muncul didepannya secara tiba-tiba, dan dia berteriak kesakitan. Dia terlalu syok sampai-sampai gak bisa memikirkan soal posisi jatuhnya, dan menghantam tanah begitu saja.

“Guah!”

Semua udara dalam paru-parunya keluar sekaligus. Dia tetap sadar karena rasa sakit karena kehilangan tangan kanannya. Setelah berjuang mengatur nafas sesaat, Volmar berdiri dengan kapak perangnya sebagai penopang.

Untuk pertama kalinya, tubuhnya terasa seberat timbal.

(Sialan! Kemana perginya dia!)

Dia mati-matian mencari Olivia, dan suara yang membuat merinding terdengar dari belakang.

“Selanjutnya tangan kirimu.”

“Gaaaahhh!!”

Volmar berbalik saat tangan kirinya yang memegang kapak perangnya terlempar ke udara. Saat darah yang mengucur darinya menodai tanah, Olivia berkata “Kaki kiri” dan “kaki kanan”, seolah dia sedang merapal mantra.

Rasa sakit yang parah membuat otak Volmar gak bisa bekerja, dan dia gak bisa berpikir dengan benar. Dia berhenti peduli soal tubuhnya.

Saat Volmar menyadarinya, dia sedang menatap langit yang luas.

–Sungguh murni dan indah.

Itulah satu-satunya hal yang ada dalam pikiran Volmar.

“–Gimana rasanya? Aku melihat para prajurit Kerajaan dibantai olehmu saat aku kesini, jadi aku ingin kau mencoba hal yang sama. Apa sesuai dengan yang kau sukai?”

Olivia yang muncul dalam bidang pandangnya membungkuk dan bertanya, menutupi langit. Rambutnya yang seperti benang perak tergerai ke bahunya, menyentuh hidung Volmar.

“Ahh… Ughh… Ahh…”

“Kau sudah gak bisa dengar aku? Ternyata memang tetap untuk berterimakasih padamu sebelumnya. –Baiklah kalo gitu, jadilah makanan yang mewah untuk Z.”

Dia seharusnya jangan menyulut kemarahan cewek itu.

Dia seharusnya jangan menghadapi cewek itu.

–Cewek itu adalah seorang monster sejati!

Olivia perlahan mengangkat pedang hitamnya yang terselimuti kabut.

Volmar memperhatikan dengan mata setengah terbuka, dan meratapi kenaifannya.

“Komandan Resimen Olivia telah membunuh komandan musuh!”

“““Waaarrrggghhh!!”””

Pasukan dari Resimen Kavaleri Otonom bersorak. Ksatria Crimson gak bisa mempercayai mata mereka kalau Volmar telah dikalahkan.

Olivia menghela nafas lembut dan menatap langit. Gagak dalam jumlah yang gak terhitung berputar-putar dilangit.

“Aku penasaran apakah Z menerima hadiah dariku….”

Lamia menebas secara vertikal– tapi berganti menjadi tebasan horizontal dipertengahan. Cewek itu terkejut, dan segera melompat mundur untuk menghindar. Lamia bangga akan kemampuan pedangnya yang merupakan perpaduan antara serangan palsu dan serangan asli, tapi itu hanya menyebabkan goresan kecil pada zirah lawannya.

Kemampuan fisik cewek itu yang luar biasa membuat Lamia terkejut.

“Kau betul-betul hebat. Hei, kenapa kau ngggak beralih pihak dan bergabung dengan Pasukan Kekaisaran? Akan sangat disayangkan kalau seseorang dengan kemampuan luar biasa sepertimu mati. Aku akan memberimu rekomendasi, jadi gimana?”

Cewek itu mengernyitkan alisnya dalam menanggapi tawaran Lamia.

“Kayaknya kau meremehkan aku. Harusnya ada batas untuk omongkosongmu, apa kau betul-betul berpikir aku akan menerima tawaran itu?”

“Woi woi! Aku melakukan ini atas dasar niat baikku. Gak peduli gimana kau melihatnya, Kerajaan Farnesse sudah gak punya masa depan yang cerah. Atau kau mau mati?”

Lamia merentangkan tangannya secara berlebihan. Sebaliknya, cewek itu mengangkat bahu dan mencemooh tawaran dia.

“Aku seorang ksatria terhormat dari Kerajaan Farnesse, berpindah pihak hanya karena situasinya gak menguntungkan merupakan sebuah aib.”

“….Kau gak punya niat melayani Kekaisaran apapun yang terjadi?”

“Diamlah. Kita berdua sama-sama ksatria, tapi kau cuma seekor lalat gak guna.”

Dengan itu, cewek itu mengayunkan pedangnya secara horisontal, bertekad membunuh pria yang telah menodai martabat seorang ksatria.

“….Hee, punya nyali juga kau– kalau begitu kau gak berguna bagiku, matilah!”

Lamia merunduk ke tanah dan menyerang cewek itu dengan tebasan ganas. Tapi cewek itu bisa membaca seluruh serangannya. Cewek itu gak cuma berbakat secara fisik, dia juga memiliki pandangan dinamis yang luar biasa. Serangan habis-habisan dari Lamia cuma berhasil memotong beberapa helai rambutnya.

Lamia merasa mata cewek itu sedikit berkilauan, dan bertanya-tanya apakah dia bisa melihatnya. Gimanapun juga, dia gak bisa mengakhiri pertarungan seperti ini. Lamia perlahan menjadi bingung.

“Cih!”

Lamia melompat, dan menebas secara vertikal lagi– sebelum mengubahnya menjadi serangan horizontal sekali lagi.

“Aku sudah melihat gerakan ini! Kau pikir serangan itu akan berhasil!?”

Cewek itu merunduk hampir menyentuh tanah, dan menyerang kaki lawannya. Titik lemah Lamia diserang, dan dia gak bisa bereaksi tepat waktu. Dia menerima serangan itu dan jatuh. Cewek itu nggak melewatkan kesempatan ini, dan mengarahkan pedangnya pada tenggorokan Lamia.

Shinigami ni Sodaterareta Shoujo V2 12.png

“–Pertarungan selesai.”

Cewek itu berkata dingin. Satu gerakan salah dari Lamia, maka pedang itu akan merenggut nyawanya. Dia menghela nafas berat.

“Haaaah, aku kalah, huh… Lakukan. Tapi kau akan segera bergabung denganku di neraka.”

“….Masih saja ngoceh, huh? Kau betul-betul sebuah aib bagi ksatria.”

Lamia berkata kesal pada Claudia yang mengejek:

“Tidak, aku nggak ngoceh. Kau pasti akan mati ditangan Letkol yang akan menghabisi monster yang dirumorkan itu!!”

Lamia nggak mengejek dia ataupun mengharapkan kematian cepat. Dia ingin membuat cewek itu ragu dan memanfaatkan peluang untuk kembali bangkit.

Tapi berkebalikkan dengan ekspektasi Lamia, pedang yang ada di tenggorokannya sama sekali nggak goyahm cewek itu menghela nafas pelan, dan menatap dia dengan mata dingin.

“…. Kau sudah salah soal dua hal.”

“Huh? Apa yang salah?”

Cewek itu gak peduli dengan ekspresi Lamia, dan melanjutkan:

“Yang pertama, Letkol yang kau bicarakan itu sudah menunggumu di neraka. Kau melanjutkan keksatriaanmu di dunia itu.”

Cewek itu berkata begitu yakin, seolah ria melihat saat-saat kematian Volmar. Lamia merasa bingung, dan cewek itu melanjutkan.

“Yang kedua, Mayor bukanlah monster. Mayor adalah– Olivia adalah seorang pahlawan!!”

Dengan teriakan itu, cewek itu menikamkan pedang miliknya pada tenggorokan Lamia dalam-dalam.

Duel Olivia berakhir dengan kematian Volmar Ganglet.

Dan sekarang, Pasukan Kerajaan sedang mengejar Ksatria Crimson yang mundur. Resimen Kavaleri Otonom dan para prajurit yang marah dibawah komando Hosmund sama-sama melakukan pengejaran.

Disisi lain, orang yang memimpin mundurnya pasukan adalah Kapten Gordo Kreis. Dia berusia 55 tahun, tapi masih memiliki martabatnya. Kira-kira 60% pasukannya telah terbunuh, tapi dia masih berusaha keras untuk menyelamatkan prajurit sebanyak yang dia bisa.

“Semuanya, bertahanlah sedikit lagi!”

“““Siap ndan!!”””

Gordo mengkomando anak buahnya yang menanggapi dengan semangat. Komandan Volmar dan wakilnya Lamia, keduanya gugur dalam perang, tapi moral prajurit masih tinggi. Hal ini karena kesetiaan mereka terhadap Rosenmarie, dan harga diri mereka sebagai anggota dari Ksatria Crimson.

Sangat dipertanyakan apakah mundurnya mereka akan berjalan lancar. Sejujurnya, Gordo merasa bahwa peluangnya sangat tipis.

–Alasannya sudah jelas.

“Kapten Gordo! Barisan pertahanan Letda Burghardt telah dihancurkan!”

Bawahannya, Henrik, yang menunggang kuda dibelakangnya berteriak. Gordo menoleh, dan melihat seorang cewek berambut perak menunggangi seekor kuda hitam.

“Monster itu! Cepat sekali dia menyusul!”

Monster berwujud seorang cewek ini sepertinya telah memotong Volmar si ‘Pembantai’ sampai hanya menyisakan badannya saja. Ini merupakan balasan untuk surat undangan Volmar pada Pasukan Ketujuh. Dan sekarang, Gordo akhirnya paham kenapa dia sampai ditakuti oleh beberapa ribu prajurit.

Gordo segera memberi perintah:

“Biarkan yang terluka kabur duluan! Sisanya, bentuk formasi persegi! Unit tombak didepan, hentikan serbuan musuh! Unit panah dibelakang, lakukan tembakan tiga gelombang! Jangan biarkan satupun lolos!”

“““Siap ndan!!”””

“Mayor, musuh menggunakan formasi persegi. Nampaknya mereka bertekad bertarung sampai mati.”

Saat dia mendengar apa yang dikatakan Claudia, Olivia mengangguk.

“Ksatria Crimson, huh…. Sungguh disiplin. Kalau kita lanjut menyerbu, kerugian kita akan semakin banyak. Aku akan bergerak duluan dan memporak-porandakan formasi mereka. Claudia, lakukan serangan saat kau melihat peluang, oke?”

“Siap ndan, serahkan padaku!”

Claudia segera menerimanya. Ashton meniup terompet untuk menginformasikan pada seluruh unit.

“Ubah formasi menjadi bulan sabit! –Olivia, aku tau seberapa kuatnya kau, tapi jangan memaksakan diri.”

“Ya, aku tau. Makasih buat perhatianmu, kalau begitu aku pergi duluan.”

Olivia tersenyum dan melambaikan tangan pada Ashton yang kuatir, lalu bergerak menjauh dari barisan depan.

“Kuda, aku mengandalkanmu.”

Olivia membelai punggung kudanya dengan lembut. Kuda hitam itu memahami niat tuannya, dan mulai menambah kecepatan. Dulu Z pernah memberitahu Olivia kalau kuda adalah mahluk cerdas, dan kudw hitam ini memahami dia. Olivia memutuskan untuk memberi kuda itu nama yang bagus setelah pertempuran ini berakhir.

“–Unit tombak, maju!”

Dengan perintah dari seseorang, sebagian prajurit musuh membentuk formasi tombak yang rapi. Formasi tombak itu serapat tembok besi, menunjukkan tekad mereka untuk menghentikan serbuan musuh mereka. Olivia dengan lincah mengeluarkan crossbow dari punggungnya dan mengincar pria yang memberi perintah– dan menekan pemicunya.

Terdengar suara tumpuk dari pegas logam. Disaat yang sama, anak panahnya menancap pada kening pria itu dengan presisi yang luar biasa. Olivia terus mengisi dan menembak dengan pergerakan yang mulus, dan setiap kali tembakan dilepaskan, seorang prajurit tombak akan tumbang layaknya boneka yang benangnya putus.

(Hmm, mainan ini betul-betul bagus. Ini lebih kuat daripada panah, dan bisa menembak dengan cepat kalau dilatih dengan baik. Memang pilihan yang tepat mengambil ini dari Tuan Bloom.)

Olivia kembali menaruh crossbow itu pada punggungnya, dan menghunus pedang hitamnya. Dia memacu kuda hitamnya ke depan dan menyerbu musuh.

“Jangan takut pada monster itu! Kepung dan tikam dia!”

Kapten mereka berteriak keras. Olivia memotong tombak yang mengarah padanya, lalu menebas kepala pria itu. Darah berhamburan pada zirah musuh, membuat warna menjadi merah gelap.

Prajurit yang mengayunkan pedangnya kearah titik butanya, kepalanya terbelah menjadi dua beserta helmnya. Otaknya berhamburan layaknya puding. Olivia menyerbu seraya tetap berada diatas kudanya, membuat Ksatria Crimson merasa takut dan memaksa mereka mundur dengan setiap ayunan pedangnya.

–Dan begitulah, formasi mereka mulai hancur.

“Lettu Claudia, sudut dari formasi persegi mereka telah hancur!”

Ashton berteriak.

Claudia menarik nafas panjang.

“Sekaranglah kesempatan kita! Hancurkan formasi musuh dalam sekali serang!”

““Siap ndan!!””

Dengan perintah Claudia, Resimen Kavaleri Otonom dan Resimen Kavaleri Hosmund memulai serbuan mereka. Bahkan Ksatria Crimson yang elit terguncang karena serangan terkoordinasi tersebut.

Satu per satu, nyawa dari prajurit berzirah merah lenyap di medan perang–

“K-Kapten! Kita tidak bisa menahannya lebih lama lagi!”

Seorang prajurit berteriak putus asa. Formasi persegi itu telah porak poranda, dan pengepungan musuh perlahan semakin menyempit. Mustahil mempertahankan formasi mereka lagi.

Menatap kedepan, monster berpenampilan seorang cewek itu tak terbendung. Dihadapan pedang hitamnya, sekelompok prajurit akan jatuh kedalam keputusasaan. Itu seperti menonton pertunjukan dibawah standar.

Pedang hitam terselimuti kabut hitam dan meneteskan darah itu gak terlihat berasal dari dunia ini.

“Kapten Gordo, jika ini berlanjut….”

Henrik hampir mengerang.

“Berapa banyak korban yang sudah dievakuasi?”

“Sekitar…. Setengah.”

“Aku paham… Lanjutkan mengawal evakuasi mereka. Dan saat kau menemukan kesempatan, larilah bersama mereka.”

“Hah? Bagaimana denganmu, Kapten Gordo?”

Gordo mengabaikan Henrik yang kebingungan, dan memacu kudanya kearah monster itu. Saat fia menunggangi kuda, dia mengeluarkan sebuah kalung Dewi Citresia dan berdoa.

(Dewi Citresia Yang Agung, jagalah pria tua yang bodoh ini.)

Bahkan Volmar sang Pembantai sampai dipermainkan oleh cewek itu, dia gak punya peluang menang. Tapi orang tua seperti dirinya sekalipun bisa mengulur waktu agar anak buahnya bisa kabur. Meski beberapa detik saja akan sangat berharga–

“Cukup sampai disana, dasar monster! Aku, Gordo Kreis dari Ksatria Crimson akan menjadi lawanmu!”

“Lagi…. Aku bukan monster, aku Olivia.”

Olivia menyiapkan pedangnya dengan wajah jengkel dan menyerbu. Gordo menusukkan trisula miliknya kearah jantung Olivia saat Olivia masuk dalam jangkauan. Bahkan seekor monster akan mati jika jantungnya tertikam.

“Jiancok!”

Akan tetapi, serangan pertamanya gagal total. Gordo membuang trisula miliknya dan menghunus pedangnya. Disaat yang bersamaan, dia memutar kudanya untuk menghadap Olivia.

“Udah puas?”

“…Apa maksudmu?”

Gordo gak memahami apa maksud Olivia, dan bertanya secara reflek. Olivia memiringkan kepalanya dan kemudian membelalakkan matanya karena baru sadar.

“Ahaha, maaf. Aku mengacaukan kalimatku lagi – baiklah kalau begitu, aku akan membunuhmu sekarang.”

“….Aku paham.”

Cewek itu adalah monster, jadi dia gak familiar dengan bahasa manusia. Dengan itu dalam benaknya, Gordo mempererat genggamannya pada pedangnya. Setelah menarik nafas panjang, dia memacu kudanya dan menyerbu Olivia lagi.

“Matilah!!”

Tebasan horinzontal yang paling sempurna dalam hidup Gordo diblokir oleh Olivia dengan mudah. Pedangnya berputar disekitar pedang hitam itu selama beberapa saat sebelum terlempar ke udara.

Gordo yang secara reflek memandang pedangnya yang terlempar tiba-tiba melihat sesuatu yang gelap.

“–Apa ini!? Sebuah sabit!?”

Penampakan yang tiba-tiba dari sabit hitam itu membuat Gordo syok. Kalau diperhatikan lebih cermat lagi, Olivia gak lagi memegang pedang hitam. Tapi sama seperti pedang hitam itu, senjata itu memancarkan kabut hitam yang menakutkan.

(Ini sama seperti sabit yang dipegang oleh Dewa Kematian didalam dongeng…. Dewa Kematian….? Fufu… Fufufu… Aku paham, jadi begitu!)

Pemikiran yang tiba-tiba itu membuat Gordo tertawa.

(Ternyata memang mustahil bisa menang. Letkol Volmar tewas sia-sia. Lagipula, bisa apa manusia melawan dewa?)

–Hal yang sama juga berlaku untuk seorang dewa yang memiliki akhiran “Kematian”.

(TL note: di sumber eng’nya disana disebutkan “prefix” yang artinya “awalan”, nah karena susunan bahasa indo berbeda dengan inggris, jadi aku ganti jadi “akhiran”. Betewe kalau bingung dengan apa yang aku bahas ini, begini sederhananya, biar otak kalian yang jongkok bisa paham. “Dewa Kematian” dalam bahasa inggris “Death God”, kata “Kematian/Death” nya ada didepan untuk bahasa inggrisnya.)

“Akhirnya aku paham sekarang. Kau bukanlah monster.”

“Itu betul. Aku bukan monster, aku Olivia Valedstorm. Akhirnya aku menemukan seseorang yang akalnya sehat di Kekaisaran.”

Olivia mengangguk senang. Sebaliknya, Gordo menggeleng.

“Bukan itu maksudku…. Kau itu seorang Dewa Kematian.”

“Ehh? –Yang Dewa Kematian itu Z, bukan aku.”

Olivia membelalakkan matanya dan mengayunkan sabit tersebut. Rasa sakit yang gak bisa digambarkan menjalar diseluruh tubuh Gordo– dan pandangannya berubah menjadi putih.

“….Apa Tuan Gordo tau soal Z? Harusnya aku menangkap dia bukannya membunuhnya.”

Disamping kaki Olivia yang sedang memegang kepalanya penuh penyesalan, adalah mayat Gordo yang terpenggal.

Disamping mayatnya, ada sebuah liontin berkilauan.

Waktu istirahat: Guile Marion

Kota Benteng Emreed, Tempat Latihan

Sore hari, suara ayunan bisa terdengar dari tempat latihan.

“Sudah kuduga, kau disini…. berlatih pedang lagi?”

“Suara itu, Ashton kan… Gak ada siapa-siapa disini, jadi aku nggak perlu pakai tata krama.”

Guile nggak menatap Ashton, dan terus fokus pada tebasan vertikalnya.

“Gak masalah. Tapi kenapa kau latihan sampai sesore ini hari ini?”

Ashton memperhatikan Guile berkonsentrasi pada latihannya dengan wajah setengah terkesan dan setengah putus asa. Ashton biasanya akan berlatih di jam segini.

“Bukankah sudah jelas? Supaya bisa mengimbangi komandan Olivia, kemampuan setengah matang gak akan bisa berguna. Aku baru menyadari hal itu setelah pertempuran melawan Ksatria Crimson.

Guile berlatih ilmu pedang selama setahun, dan semakin dia berlatih, semakin dia menyadari seberapa gak masuk akalnya kemampuan Olivia.

(Saat itu aku betul-betul mengatakan sesuatu yang bodoh.)

Guile teringat bagaimana dia membual bahwa dia telah semakin kuat saat perjalanan menuju Dataran Iris, dan bagaimana Claudia menatap dia dengan mata mengasihani. Dan sekarang, dia paham apa alasannya. Kenangan itu begitu memalukan sampai-sampai dia ingin sembunyi didalam lubang.

“Meski begitu, kau sudah lebih kuat sekarang, Guile. Kau bahkan membunuh seorang danton Ksatria Crimson sendirian dalam pertempuran itu.”

“….Hei Ashton, menurutmu apa perbedaan kemampuan antara aku dan komandan Olivia?”

“Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu padaku?”

“Sudahlah, jawab saja.”

“Biarpun kau menanyaiku perbedaannya…. aku nggak tau.”

Ashton mengangkat bahu menyerah.

“Kalau begitu biar kuberitahu kau. Perbedaan antara aku dan komandan Olivia adalah sejauh seekor semut dengan seekor Binatang Bertanduk Satu. Kami gak satu alam.”

“Jadi sebesar itu… Memang sih, dari bagaimana Olivia terlihat saat pertempuran, itu mungkin memang benar. Tapi bagiku, kalian semua sangat kuat. Itu membuatku iri.”

Ashton menatap Guile gak senang, dan Guile jadi tertawa.

“Oh, kau mau jadi lebih kuat juga, Ashton?”

“Tentu saja, aku juga seorang pria. Tentu saja aku ingin menjadi lebih kuat.”

Ashton perlahan menghunus pedang di pinggangnya, dan mulai mengayunkannya.

Dia masih gak bisa mengendalikan keseimbangan pedangnya dengan baik, dan tubuhnya bahkan ikut goyah karena beratnya pedang itu. Guile memperhatikan seluruh prosesnya, dan Ashton memalingkan kepalanya pada Guile layaknya sebuah pintu karatan yang dibuka secara paksa.

“Apa aku sudah tambah kuat?”

“….Yah, Ashton, menjadi kuat gak terbatas pada mengayunkan pedang saja.”

“K-Kau gak perlu menghiburku.”

Ashton terdengar agak gak senang.

“Aku nggak menghiburmu– apa kau gak tau apa yang membuatmu kuat?”

“Apa yang membuatku kuat? Seperti yang bisa kau lihat, aku gak berguna dalam hal tombak dan pedang?”

Ashton tertawa mengejek diri. Guile menunjuk kening Ashton:

“Kau betul-betul bodoh disaat seperti ini. Apa yang membuatmu kuat itu ini, tepat disini. Kau memiliki sesuatu yang gak akan bisa kumiliki gak peduli seberapa banyak aku menginginkannya. Dibanding dengan itu, kemampuanku sangatlah sepele.”

Kalau Guile tewas saat bertempur suatu hari nantu, itu gak akan berdampak besar pada Resimen Kavaleri Otonom. Paling-paling, para prajurit dari Pleton Satu yang akan merasa sedih. Tapi kalau mereka kehilangan Ashton yang merupakan otak dari Resimen Kavaleri Otonom, itu merupakan kehilangan yang sangat besar. Ashton pernah bilang bahwa dibandingkan dengan jumlah musuh yang kau bunuh, menjaga anak buahmu tetap hidup merupakan hal yang lebih penting. Itu merupakan sebuah tugas yang berat. Anak buahnya memang tidak banyak, tapi Guile paham seberapa sulitnya mengatur orang.

Ashton mengusap-usap keningnya yang menjadi merah karena tekanan Guile, dan bergumam dengan enggan:

“Tapi kalau sesuatu terjadi, aku nggak akan bisa melindungi diriku sendiri. Bukankah itu memalukan bagi seorang pria….?”

“Itu tidaklah memalukan. Kalau hal itu memang terjadi, aku masih bisa melindungimu, Ashton. Aku nggak mau komandan Olivia sedih.”

“Olivia akan sedih….?”

Ashton terkejut, dan Guile menyodok keningnya lagi.

“Apa kau cuma pura-pura bego? Apa kau pikir komandan gak akan sedih kalau kau mati?”

“Tidak, aku nggak pernah melihat dia sedih sebelumnya. Olivia selalu tersenyum tanpa peduli…..”

Guile menghela nafas panjang saat dia mendengar itu.

“Haaaaaah… Kau sangat cerdas, jadi kenapa kau begitu bodoh disaat-saat seperti ini. Yah, kurasa itulah gayamu.”

“Maaf aja kalau aku bodoh.”

“Lupain aja, kau akan mengerti ketika tiba waktunya.”

Guile menyarungkan pedangnya dan mengarahkan tatapan penuh keraguan pada Ashton.

“Setidaknya aku sedikit lebih kuat dalam hal itu dibandingkan Ashton.”

Ashton mau mengatakan sesuatu, tapi Guile menghentikan dia.

“Komandan Olivia!”

“Jadi kau disini, Guile– Hmm? Ashton kau disini juga.”

Olivia berteriak saat dia melihat kearah mereka melalui pintu yang setengah terbuka. Guile berlari mendekat.

“Dikau tak perlu repot-repot datang kesini, kirim saja pesan, dan Guile ini akan bergegas menghadap.”

Guile berlutut satu kaki dan menempatkan tangannya pada dadanya. Olivia tersenyum kaku karena hal itu. Itu adalah senyum indah yang ditampilkan pada Guile dari waktu ke waktu.

“B-Begitu kah? Aku mau tanya sama kau apakah ada Burung Penghisap Darah disekitar sini. Sudah lama sekali, dan aku rasanya pengen makan burung itu.”

“Burung Penghisap Darah, huh? –tunggu sebentar.”

Guile segera mengeluarkan “buku catatan Valkyrie” miliknya, dan mulai mencari-cari didalamnya. Ini adalah sebuah buku penting yang dia gunakan untuk mencatat makanan kesukaan Olivia, dan sangat berharga. Dan tentu saja, buku ini juga memiliki informasi terbaru yang dia dapatkan dari para pemburu di Emreed.

“Coba kulihat…. ada laporan kemunculan Burung Penghisap Darah di bukit Ebona disebelah barat.”

Sambil dia berkata begitu, Guile membuka halaman baru, dan menulis《Suka daging Burung Penghisap Darah》.

“Bukit Ebona di barat, huh. Makasih banyak– sampai jumpa, Ashton.”

Olivia melambai dan memutuskan untuk pergi. Guile dengan panik berusaha menghentikan dia:

“Apa dikau mau berburu Burung Penghisap Darah seorang diri, My Lady?”

“Ya, lebih baik menempa besi ketika masih panas. Dan juga bisa melihat dengan baik saat malam.”

Olivia berbalik seraya tersenyum cerah.

“Haruskah aku pergi bersamamu? Meski aku kelihatan begini, aku familiar dengan bukit, dan akan berguna.”

“Betul juga, Guile kan dulunya seorang pemburu. Gak heran kau begitu handak soal mencari mangsa, dan kau juga ahli mencabut bulu….”

Olivia menempatkan jari telunjuknya pada pipinya dan berpikir sejenak, dan kemudian setuju.

“Kenapa kita nggak pergi bersama saja?”

“Suatu kehormatan untukku!”

Olivia mengangguk, dan dia mulai berjalan. Guile yang bersemangat tinggi mau mengikutinya, tapi Ashton menarik dia.

“Apaan? Kau mau ikut juga, Ashton?”

Ashton membelalakkan matanya dan berbisik pada Guile:

“Mana mungkin aku mau ikut! Itu seekor Burung Penghisap Darah, Burung Penghisap Darah! Seekor binatang berbahaya tipe 2. Kalau kau seorang pemburu, maka kau seharusnya sudah tau itu.”

Ashton gak perlu memberitahu Guile soal itu. Para pemburu menyebut Binatang Bertanduk Satu sebagai penguasa daratan, sedangkan Burung Penghisap Darah adalah penguasa langit. Burung Penghisap Darah memiliki bulu hitam yang berkilauan, dan mata kemerahan.

Rentang sayapnya tiga kali pria dewasa. Burung Penghisap Darah akan berputar di udara sebelum menukik dan menusuk mangsanya menggunakan paruhnya. Dan seperti yang disiratkan namanya, burung itu akan meminum semua darah dari mangsanya.

Larilah kalau kau melihat mayat baru yang darahnya kering. Itulah peraturan diantara para pemburu.

“Tentu saja aku tau itu.”

“Terus kau masih mau pergi? Kau bilang aku ini bego, tapi bukankah kau sama saja?”

Ashton gak bisa berkata apa-apa.

“Gak peduli seberapa kuatnya komandan, aku nggak bisa membiarkan dia pergi sendiri, kan?”

“Kalau begitu, kasi tau dia supaya jangan pergi.”

“Kau pikir dia akan mendengarkan aku?”

“….Tidak. Aku juga gak akan bisa menghentikan dia.”

Setelah keheningan sesaat, Ashton menghela nafas panjang.

“Betul kan? Satu-satunya orang yang bisa menghentikan komandan adalah Lettu Claudia. Dan komandan sedang dalam suasana hati yang bagus, jadi aku nggak mau merusak suasana hatinya.”

Guile berkata begitu seraya menatap Olivia yang bersenandung gembira.

“Gak usah kuatir, kalau sesuatu terjadi, aku akan melindungi komandan dengan nyawaku.”

Guile menepuk bahu Ashton untuk menenangkan dia. Tapi Ashton menepis tangannya dengan wajah kuatir.

“Tidak, kaulah orang yang aku kuatirkan.”

“Jadi kau kuatir padaku!?”

“Guile, kalau kau kesini, aku akan meninggalkanmu.”

Guile menatap kearah suara itu, dan melihat Olivia yang sudah agak jauh berdiri disana dengan pipi cemberut.

“Oh tidak! Aku harus pergi.”

“Tunggu–”

Guile mengabaikan Ashton, dan berlari kearah Olivia.

–Esok paginya.

Meja di aula makan penuh dengan daging.

Para prajurit dari Resimen Kavaleri Otonom sangat gembira dengan kejutan menyenangkan ini. Tapi Guile yang gak bisa membaca suasana memberitahu semua orang dengan keras kalau itu adalah daging Burung Penghisap Darah, dan gak seorangpun yang berani makan.