Skeleton Knight Going Out to the Parallel Universe (Indonesia): Jilid 1 Bab 12

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
The printable version is no longer supported and may have rendering errors. Please update your browser bookmarks and please use the default browser print function instead.

「Bentuk Kota」 – Bagian 2


Kuambil barang bawaanku yang kutinggal di pintu depan gua dan menaruh senjata serta koin-koin emas ke dalamnya.


Tiba-tiba, sebuah kandang besi di pojok gua menarik perhatianku. Makhluk itu terus bersembunyi di balik bayang cahaya lampu, jadi aku tak menyadarinya hingga sekarang. Saat aku melihat ke dalam kandang, kulihat seekor binatang yang terluka menatap balik padaku.


Kuambil sebuah lampu mendekat jadi aku bisa melihat jelas binatang di dalam kandang tersebut. di sana ada seekor rubah di dalamnya. Tidak, bukan rubah, itu adalah seekor binatang mirip rubah.


Dari kepala hingga ekor, panjangnya sekitar 60 cm, dan ekornya terlihat seperti bunga dandelion dan panjangnya hampir setengah panjang tubuhnya. Kepala rubah tersebut memiliki kuping kerucut yang besar yang menghadap ke atas, menandakan bahwa ia tengah waspada dan mendengarkan. Juga terdapat sesuatu seperti lapisan di kakinya, hal ini menunjukkan bahwa ia seekor tupai terbang.


Di bawah cahaya lampu, aku bisa melihat bulu hijau mudanya yang menutupi punggungnya sedang perutnya tertutup oleh bulu berwarna putih.


Tanpa mengalihkan pandangannya, makhluk di dalam kandang tersebut mengeluarkan sebuah erangan pelan dan menegakkan ekor lebatnya yang besar. Terlihat beberapa luka dangkal di kaki depannya, dan bulu di sekitar kaki belakangnya berwarna merah.


Untuk menggunakan sihir penyembuhan pada lukanya, kubuka pintu kandangnya. Akan tetapi, rubah hijau muda itu terlalu waspada, hingga ia tak berniat untuk meninggalkan kandang tersebut. Percuma saja kalau dibiarkan, kuulurkan tanganku untuk meraih rubah di dalam kandang.


“Gyau!”


Rubah tersebut mengeluarkan decitan kecil sebelum menggigit jariku. Aku tak merasakan sakit karena armorku, tapi aku sedikit merintih saat rubah hijau itu tak mau melepaskan jariku.


“Asal kau tahu, aku tak segalak itu......”


Sembari mengatakan kalimat dari gadis dari lembah angin, aku mulai menarik tanganku, sembari terus menggigit, rubah hijau itu keluar dari kandangnya. Aku tak terlihat memiliki semacam hawa untuk menenangkan binatang......


“【Heal】“


Saat sihir penyembuhannya diaktifkan, cahaya mulai bersinar dari jariku yang sedang digigit dan meresap ke dalam luka rubah itu. Skill biasa dari seorang Priest. Rubah hijau itu terkejut dengan kejadian ini, dan ekor lebatnya memekar saat ia meloncat. Mata besarnya berkedip beberapa kali.


“Kyun?”


Ia menengokkan kepalanya ke samping dengan penasaran sebelum melihat ke kaki belakangnya yang tadi terluka, dan menjilati tempat di mana seharusnya luka itu berada. Seperti layaknya seekor kucing, ia lalu mulai menjilati telapak kakinya. Dengan selesainya pembersihannya, rubah itu duduk di tempat dan mulai mengayunkan ekor lebatnya ke depan dan belakang.


Ia tak menunjukkan tanda-tanda akan melarikan diri.


Aku ingat aku punya sesuatu di dalam tasku. Saat kukeluarkan manisan beri yang kubeli pagi tadi, rubah hijau itu mengendusnya sebentar sebelum ia berhenti. Sembari tertawa dengan situasi ini, kutaruh beri itu di tanganku dan mengulurkannya.


Awalnya, ia masih waspada, namun perlahan ia mulai mendekati beri di tanganku. Dengan sebuah lesatan, rubah itu mengambil berinya, lalu kembali dan mulai mengunyahnya di kejauhan. Setelah ia selesai memakan beri itu, ia mulai mengitari kakiku untuk meminta lagi. Setelah beberapa kali berkeliling, ia mulai memakan berinya tanpa kuulurkan tanganku.


Kewaspadaannya yang tadi ia tunjukkan nampaknya mulai hilang, namun aku penasaran apakah tak masalah kalau hewan liar diperlakukan seperti ini.


Setelah semua berinya ia makan, aku mulai mengelus kepala rubah hijau tersebut, dengan sebuah senyum masam. Makhluk kecil ini sepertinya sedikit geli dilihat dari ia mengeluarkan erangan pelan.


Karena di sini tak ada benda berharga lagi yang tersisa, aku berdiri dan bersiap untuk pergi. Namun saat aku meninggalkan gua, rubah kecil itu berlari mengejarku secepat kakinya berlari. Saat aku berhenti berjalan dan berbalik, rubah itu duduk dan mengibaskan ekor lebatnya.


“Apa kau mau ikut denganku?”


Aku tak mengharapkan sebuah jawaban, namun rubah hijau itu menjawab dengan sebuah “Kyun”. Hal ini menunjukkan bahwa ia bisa mengerti perkataanku.


Aku tak tahu nama makhluk mirip rubah tersebut, namun aku tak bisa memanggilnya hanya dengan rubah hijau saja. Kuputar otakku mencoba untuk memikirkan sebuah nama yang pas untuknya.


‒‒‒ Rubah Hijau......

Ponta mulai melayang seperti ia berada dalam sebuah elevator tak terlihat

“Oage atau Tempuro, mungkin bagus?”


Saat kusarankan nama itu, ekor lebatnya terlihat ia jatuhkan. Sepertinya kau juga tak menyukai nama tersebut......


‒‒‒ Rubah Hijau......


“Kalau begitu, Ponta.”

“Kyun!”


Ekornya kini mulai berdiri lagi dan kini berayun-ayun.


“Kalau begitu, Ponta, siap untuk berpetualang?”


Ponta mengeluarkan raungan dan mulai meloncat di tempat, saat aku bertanya padanya. Tiba-tiba, angin mulai mengelilingi Ponta, dan setelah meregangkan bulunya, Ponta mulai melayang seperti ia berada dalam sebuah elevator tak terlihat.


“Ooooh!?”


Aku menjerit terkejut, dan mataku terpaku pada Ponta. Ia mungkin tengah menggunakan sihir angin. Lagi pula, mustahil sebuah tekanan angin naik seperti itu bisa ada di dalam sebuah gua. Ponta melayang di angin hingga cukup tinggi untuk naik ke atas helmku. Karena Ponta menghadap berkebalikan denganku, ekor lebatnya kini malah menutupi pandanganku. Saat aku mencoba menggeser ekornya, Ponta menggesernya lagi jadi ekornya kembali menutupi pandanganku.


Aku tak bisa menyangkal bahwa ia adalah seekor makhluk fantasi, ia menggunakan sihir untuk terbang kemari...... Di duniaku yang sebelumnya, binatang arboreal, seperti tupai terbang, hanya bisa meluncur disebabkan oleh perawakannya.


Aku mencoba untuk menenangkan kegembiraanku, lalu kupanggul barang bawaanku di punggungku dan pergi meninggalkan gua.


Mayat para perampok itu berceceran di dekan pintu masuk. Karena akan menjadi masalah kalau hal ini menarik perhatian sesuatu yang aneh, kugunakan 【Flame】 untuk membakar mereka semua. Awalnya, Ponta terkejut dengan api yang keluar, namun setelah beberapa saat, ia kembali mengibas-ngibaskan ekornya di atas helmku.


Lalu aku meninggalkan markas perampok itu setelah aku yakin tak ada yang tersisa kecuali abu.


Karena aku mengumpulkan banyak harta rampasan, bahkan kalau aku tak pergi bekerja untuk beberapa saat aku akan baik-baik saja.


Diam-diam aku bergerak dan berjalan, hingga aku tiba di tepi hutan.


Daun dari pepohonan tak menghalanginya, jadi aku bisa melihat bahwa langit sudah mulai berwarna merah. Sepertinya sudah banyak waktu terlewat semenjak aku pergi memasuki hutan. Aku bisa melihat tembok kota Diento dari kejauhan, dan ladangnya telah tak berpenghuni.


Setelah berjalan menyusuri tepian Sungai Rydell beberapa saat, aku melewati seseorang yang berdiri membelakangiku.


Ia mengenakan sebuah jubah cokelat abu-abu, dan helai rambut emas kehijauan terselip di balik tudungnya dan tertiup oleh angin. Perawakannya mirip manusia, namun penampilannya berbeda dengan manusia lain yang biasa kulihat. Kuping kerucut yang panjang, dapat terlihat jelas dari sudut ini, sebuah ciri-ciri dari ras yang biasa terdapat dalam cerita dan game.


“Ini pertama kalinya aku melihat seorang Elf.”


Sedikit tertarik, kugunakan 【Dimensional step】 untuk muncul di belakang elf itu, dan pada akhirnya aku berbicara dengannya tanpa maksud yang pasti.


Elf itu menjauh dariku saat aku melakukan hal tersebut, menghunuskan sebilah pedang ramping saat itu juga, dan menatap balik ke arahku dengan sebilah pedang di tangan dan sebuah tatapan marah di wajahnya.


Rambut emas kehijauannya tak sebanding dengan mata hijau tajam yang tengah menilaiku. Tubuhnya ramping, namun dibalut dengan light armor yang kokoh. Pedang yang waspada terhunus ke arahku juga telah siap di tangannya. Tingkah laku dan hawanya wangsit berbeda dengan para rampok tadi. Dengan sekali lihat aku bisa mengerti bahwa seorang pejuang tangguh tengah berdiri di depanku.


“Siapa kau?”


Elf itu segera waspada dan bersiap dalam kuda-kuda bertarung. Suaranya sedikit lirih, namun jelas bahwa orang itu mencoba untuk mengincar sebuah celah. Akan tetapi, mata pria tersebut sepertinya terpaku pada satu titik. Pandangannya terpaku pada Ponta, yang tengah berada di atas kepalaku......?


Aku punya beberapa pertanyaan untuk pria itu, namun aku harus menjawab terlebih dahulu.


“Arc. Seorang pengelana. Aku memanggilmu tanpa sebab hanya karena ini adalah pertama kalinya aku melihat seorang elf.”


Masih terlihat keraguan di matanya, namun pedang yang ia acungkan ke arahku sedikit menurun.


“......Seorang manusia? Seekor Vento vulpix tertarik pada seorang manusia......”

“? Vento?”

“......Itu adalah nama umum rubah berbulu lebat tersebut. Itu adalah hewan ruh yang duduk di kepalamu...... Mereka biasanya hidup dalam kawanan, bagaimana kau bisa memeliharanya?”

“Wow, ia seekor peri? Ponta?”


Di atas kepalaku, Ponta mengeluarkan erangan pelan, namun tetap menempel di sana. Elf itu melihat situasi tak jelas itu dengan bingung.


“Ia bukan peri, ia adalah hewan ruh. Ingatlah bahwa mereka adalah seekor binatang yang memiliki kekuatan dari ruh elemen. Apakah kau tak tahu hal semacam itu? Apa di dalam armor menakjubkan itu isinya kosong?”


Aku dipanggil seorang bodoh oleh pria tersebut, tapi aku tak menyangkalnya. Karena keadaanku, tak mungkin aku bisa mengerti ekosistem di sini.


Namun di dalam armor ini tidak kosong. Di dalamnya penuh dengan tulang belulang‒‒‒.


“Maaf. Ini adalah pertama kalinya aku melihat hewan ruh. Aku menemukannya setelah ia tertangkap dan terluka oleh para perampok, dan membebaskannya. Lalu ia menjadi menempel padaku secara emosional setelah aku menyembuhkannya dan sedikit memberinya makan......”

“Omong kosong, bahkan kewaspadaan seekor hewan ruh biasa sangat tinggi dan mereka bahkan tak mau menerima para elf. Apa kau bilang bahwa kejanggalan dapat terjadi di mana-mana? ......”


Pria itu berkata demikian sembari menyarungkan pedangnya, dan menutupinya serta menutupi kuping elf nya dengan jubahnya. Sebuah kejanggalan, aku merasa dia merendahkanku saat ia berkata demikian, namun bukan itu masalahnya, kan?


“Jadi, apa yang kau lakukan di tempat seperti ini? Aku tak melihat elf manapun di kota, ~Apa kau bermaksud datang ke sana?”


Elf berjubah itu menghela napas dalam.


“Apa kau benar-benar manusia? Manusia adalah makhluk yang membenci dan takut pada sesuatu yang berbeda atau lebih baik dari mereka. Kami para elf hidup lama dan umumnya memiliki kemampuan sihir yang tinggi. bahkan walau kami menanda tangani perjanjian aman dengan Kerajaan Rhoden, aku akan tetap menjadi target buruan kalau masyarakat menyadari keberadaanku. Orang-orang hutan sepertinya dijual dalam harga emas yang tinggi.”


Mata di bawah tudung itu diselimuti oleh kemarahan dan kebencian.


Resminya, mungkin hal yang ilegal untuk memburu para elf di negeri ini. Akan tetapi, sepertinya larangan tersebut tak dijalankan dengan benar. Kau hanya butuh menatap matanya kalau kau ingin membayangkan penampakan horor yang telah ia lihat.


Bahkan walau kalian menyebutnya perburuan, bukan berarti itu adalah pembunuhan. Para elf mungkin tidak harus menyetujui perjanjian babar tersebut, yang melarang tindakan perburuan tersebut oleh hukum feodal, kalau tak ada orang yang mau membayar dengan harga mahal untuk memiliki mereka. Di sini sepertinya ada sebuah rumor bahwa darah elf bisa menyembuhkan segala jenis penyakit, atau mereka mungkin akan diperjualkan sebagai budak...... Lalu alasan pria ini berada di dekat kota adalah‒‒‒


“Pembebasan para budak elf dari kota‒‒”


Saat aku menggerutu demikian, elf itu memasang tampang waspada dan berbahaya di matanya.


“Hmm, aku tak mengatakan apapun pada manusia. Aku bertemu dengan sebuah kelompok elf di sini......”


Sembari melemaskan pundak dan menghela napas, situasi menegangkan ini akhirnya berakhir.


“Apa kau bahkan bisa mempercayai perkataan seorang manusia‒‒‒”

“Kyun Kyun!”


Suara elf yang melantang dan usahanya untuk mencoba menarik pedangnya, membuat Ponta mengeluarkan sebuah raungan kencang.


Saat elf itu melihatnya, dia berhenti dan menyingkirkan tangannya dari pedangnya.


“Sial. Beberapa orang bilang seseorang yang berhubungan dengan seekor hewan ruh, hati mereka saling terhubung. Jangan lupakan perkataan yang kukatakan tadi.”


Berkata demikian, pria itu berjalan menuju hutan dengan kecepatan tinggi, dan aku langsung kehilangan jejaknya.


Pada akhirnya, aku bahkan tak mendengar nama elf itu‒‒‒.


Kupikir ini adalah kesempatanku untuk berinteraksi dengan spesies lain di dunia paralel ini, namun pandangan negatif dari para manusia membuatnya agak sulit.


Yah, kuharap kita bisa berjumpa lagi suatu saat. Karena para elf terpenjara di kota ini, aku akan mengumpulkan informasi untuknya saat kita berjumpa lagi.


Berpikir demikian, aku kembali berjalan ke arah kota.


Tembok kota disinari cahaya matahari terbenam seperti hari kemarin. Akan tetapi tak seperti kemarin, tembok itu layaknya sebuah layar yang menutupi keserakahan para manusia.



Mundur ke Bab 11 Kembali ke Halaman Utama Teruskan ke Bab 13