Skeleton Knight Going Out to the Parallel Universe (Indonesia): Jilid 1 Bab 2

From Baka-Tsuki
Revision as of 11:39, 28 March 2017 by Akishima (talk | contribs)
Jump to navigation Jump to search

「Sebuah Serangan Kejutan Tidaklah Pengecut」 - Bagian 1


Kami terus menuruni sebuah jalanan sepi dengan kecepatan tinggi. Suara hentakan dari sepatu kuda menggema, seiringan dengan para penjaga di punggung kuda yang mengawal kereta kuda berjalan berdampingan. Kereta kuda tersebut berguncang dari waktu ke waktu saat rodanya mengenai batu-batuan di jalan.


Diam-diam kuawasi bagian belakang kereta kuda tersebut, menatap ke dalam jendela yang menghadap ke belakang. Sungai yang berada di samping kanan jalan, dengan permukaan air yang disinari oleh matahari terbenam, mewarnai lingkup sekitar dengan gemerlap petang. Sebuah bukit yang sedikit condong di samping kiri, dan sekawanan hewan dapat terlihat bergerak sejalan. Di depan sana, semak-semak kecil mulai membatasi jalanan, dan mulai menampakkan bayangannya di kejauhan.


Hanya suara dari roda kereta kuda dan tapak kuda yang bergema, dengan tak ada kejanggalan apapun. Akan tetapi, para pengawal terlihat jatuh ke dalam keheningan yang berat. Itu karena situasi tak terduga yang dihadapi kelompok ini beberapa saat yang lalu.


Lauren Ojou-sama, sebagai perwakilan dari kediaman Rubierute, hendak menghadiri pesta yang diadakan oleh kediaman Diento. Saat kami berada dalam perjalanan pulang, sebuah kelompok bandit menyergap kami tiba-tiba. Dengan munculnya lebih dari dua puluh perampok, sembilan dari pengawal memecah formasi untuk menahan mereka selama mungkin untuk menghindari kejaran.


Hanya lima prajurit dan seorang kesatria tersisa bersama dengan kereta kuda tersebut. Serta tak ada tanda-tanda pengawal yang tadi menyusul dari belakang.


Di dalam kereta kuda, menatap pemandangan yang lewat melalui jendela, ekspresi takut terpancar di wajah Lauren Ojou-sama. Rambut panjang berwarna merah kecokelatannya bergoyang dengan bebas, dan terlihat telah kehilangan kilauannya karena ketegangan dan ketakutan. Dia memiliki wajah yang kecil dan mata yang lebar, dengan matanya yang berwarna cokelat muda memancarkan semacam perasaan cemas.


Gadis berumur enam belas tahun itu juga mengenakan sebuah gaun mewah biru muda, dengan pancaran sinar matahari terbenam yang masuk melalui jendela kereta kuda, memberikan sedikit warna merah tua.


Di dalam kereta kuda, satu-satunya orang selain dirinya adalah aku, pelayannya. Walau biasanya ini adalah tempat untuk pembicaraan santai, kini tak satu pun dari kami yang bicara.


Setelah beberapa saat, kecepatan kereta kuda ini menurun, lalu terdengar suara ringkikan kuda. Jendela kusir kudanya terbuka, dan dia mengucapkan maaf.


“Maaf, Ojou-sama. Kudanya sudah tak bisa lagi meneruskan, jadi mulai sekarang anda harus berjalan kaki.”


Dari saat para bandit itu menyergap hingga sekarang, kuda-kuda tersebut telah terus-menerus menarik keretanya. Kelihatannya mereka telah mencapai batasnya. Seperti yang sudah diduga, ini adalah tugas yang berat walau untuk empat kuda. Tapi, di samping itu, kuda sang kesatrialah yang paling menderita.


Ketika aku menengok di balik jendela, aku melihat lelaki paruh baya sedang mengikat kudanya di sebelah kereta kuda. Dia adalah salah satu kesatria yang bekerja di bawah kediaman Rubierute, Maudlin-sama. Pengawal yang lainnya berkumpul di dekatnya.


Maudlin-sama telah selesai mengusap keringat di leher kudanya dengan handuk. Rambutnya pendek dan rapi, dan dia menumbuhkan kumis yang terurus dengan baik. Walaupun tubuhnya tertutup oleh light body armor, namun tingginya dapat mencerminkan otot kuat di baliknya.


“Maudlin-sama, apakah para bandit itu menyerah?”


Dari jendela kereta kuda, aku bertanya sembari menatapnya.


“Aku ragu karena jumlah orang yang kukirim untuk mengurus para bandit itu terlalu sedikit, tapi karena tak ada yang mengejar, mungkin kini sudah aman. Mohon, sampaikan hal tersebut, kepada Ojou-sama.”


Sebagai jawaban, Maudlin-sama memberikan sebuah seringai meyakinkan.


“Apakah benar begitu? Akhirnya aku bisa beristirahat dengan tenang setelah mendengarnya.”


Aku menatap ke jalan di depan kereta kuda.


Semak-semak yang tadi berjejeran sejalur dengan jalan kini mulai tercerai-berai searah jalan. Daerah perbukitan yang terlihat dari jalan kini telah berada dalam jarak. Saat aku menatap semua itu, aku tak bisa apa-apa namun hanya merasakan sebuah aura mencekam dari belakangku. Perasaan yang menusuk ini sampai membuat alisku terangkat.


Setelah melihat ke arahku, Maudlin-sama juga dengan waspada melihat ke sekeliling. Sejenak kami menyadari sesuatu, suara anginnya berubah sembari banyak anak panah yang melesat ke arah kami.


“Goha—“


Dengan suara yang lantang saat mereka menembus daging, dua anak panah mengenai kusir kuda. Saat itu juga, roda kereta kuda ini membentur sebuah batu di jalan, membuatnya terguncang dan terlempar. Mayat kusir kuda tersebut lalu menyangkut rodanya, menghalanginya untuk bergerak.


Setelah itu, anak panah yang tak terhitung jumlahnya melesat dari semak-semak, mengenai dua pengawal.


“Sial! Serangan kejutan lainnya?! Bagaimana hal ini bisa terjadi!!”


Tiba-tiba muncul dari punggung bukit di sebelah jalan, dengan suara rengekan kuda, enam bandit menyerang karavan. Anak panah yang tertancap di tubuh para pengawal membuat bandit berkuda tersebut muncul secara tak terduga. Dua pengawal tertancap lagi oleh anak panah, dan yang lain telah tumbang oleh para bandit dengan cepatnya. Sejenak Maudlin-sama memukul mundur bandit yang mendekat dengan pedangnya, dua orang muncul dari dalam semak untuk mengambil kuda yang tak bertuan.


“Rita-dono! Kereta kudanya!!”


Mendengar suara dari Maudlin-sama, aku pun akhirnya tersadar. Aku pun melompat keluar dari dalam kereta dan menendang tubuh kusir yang menghalangi rodanya. Dengan roda belakang yang tak lagi terhalangi, kereta kudanya sudah bisa bergerak lagi.


Aku mencoba untuk menaiki kursi kusir yang ternoda oleh darah, namun malah seragam pelayanku ditarik dari belakang, membuatku terjatuh ke tanah. Punggungku membentur tanah dengan keras, dan semua udara di dalam paru-paruku tersedak keluar. Dari sudut mataku, kulihat salah satu pengawal tumbang.


Bandit yang menarikku kini telah berada di hadapanku. Dia memasang senyuman vulgar di wajahnya.


“GUAAAA!!!”


Saat itu juga, terdengar sebuah suara maskulin yang kesakitan. Saat kulihat ke arah suara tersebut berasal, kejadian yang tak terduga terjadi di depan mataku.


Salah satu pengawal di belakang Maudlin-sama menancapkan pedangnya di antara salah satu celah dari armor Maudlin-sama. Wajah Maudlin-sama berbalik dengan cepat.


“Casuda!? Jadi ini adalah siasatmu!!”


Setelah ditusuk dari belakang, Maudlin-sama mencoba membalikkan badannya untuk menebas mantan pengawal Casuda. Akan tetapi, musuhnya yang menaiki kuda, dengan senyum menyeramkan, mengambil kesempatan ini untuk menjatuhkannya.


Dengan cepat, seorang bandit dengan tubuh yang sedikit lebih baik dari lainnya turun dari kudanya dan menusuk leher Maudlin-sama dengan pedangnya. Darah memancar keluar, dan tanah di sekitar Maudlin-sama terwarnai merah.


“Hei, keluarkan Ojou-sama itu dari dalam keretanya dengan lembut.”


Bandit bertubuh agak kekar itu memberikan perintah ke lainnya sembari menunjukkan gigi kuningnya. Dia memiliki tubuh yang bidang yang dilengkapi dengan rambut panjang yang diikat di belakangnya, dengan sebuah janggut acak-acakan yang menutupi rahangnya dan membuat lehernya tak terlihat. Dia menggenggam sebilah pedang bermata satu dengan satu tangannya yang berbekas luka lama. Lelaki ini sepertinya adalah pemimpin para bandit ini.


Menuruti perintahnya, bandit yang lain turun dari kudanya dan berjalan ke kereta. Pintu kereta dibuka, dan Lauren Ojou-sama pun ditarik keluar.


“Tidaak! Lepaskan aku!!”


Meskipun Ojou-sama melawan dengan putus asa, menggoyangkan badannya, tangannya telah terikat oleh para lelaki itu. Aku pun di bawa dengan gaya yang sama dan di tarik.


“Hey! Hati-hati ketika melepaskan baju mereka! Kita bisa menjualnya dengan harga yang tinggi!” Pemimpin bandit itu berteriak kepada dua orang yang menahan Ojou-sama.

“Bos, karena aku yang membunuh orang itu, bolehkah aku mencicipinya..?” salah satu bandit yang tengah melepaskan baju Ojou-sama bertanya ke pimpinannya.

“Goblok!! Akulah yang pertama memasukkannya!! Kalian bisa bergiliran setelah aku selesai!!”

“T-tunggu sebentar! Akulah orang yang memberitahu kalian, jadi akulah yang pertama!!”


Casuda si mantan pengawal menentang keras bos bandit itu. Bos itu menatapnya balik dengan mata menyeramkan, dan lalu dengan santai mengayunkan pedangnya ke leher Casuda.


“Gayhu!?”


Sebuah jeritan lemah terdengar dari si pengkhianat saat sebilah pedang menembus hingga ke belakang kepalanya. Casuda tumbang layaknya sebuah boneka yang talinya terputus, sedang bandit yang lain hanya menonton dengan senyum kecut di wajah mereka.


“Sejak dari awal aku takkan berbagi!”


Sembari bos itu mengatakan hal tersebut, dia menendang kepala mayat tersebut. Dengan suara keras, tengkoraknya hancur saat lehernya terbalik mengarah ke arah matahari.


“Hii!”


Ojou-sama berteriak kecil melihat hal ini. Sebuah noda kuning tersebar di celana dalamnya, dan air seni mengalir di bawahnya.


“Auhh, gadis ini kencing di celana!”


Mendengar rengekan bandit yang menahan Ojou-sama, para lelaki di sekeliling mulai menertawainya.


“Kita tak bisa menjual daleman yang kotor, buang saja.”


Mendengar perkataan si bos, daleman yang kotor itu dilepas dengan cepat. Bagian intim Ojou-sama yang basah terpampang jelas di hadapan para lelaki.


“Tidaaak!!! Lepaskan!!”


Putus asa mencoba untuk menghindari tatapan para lelaki, dia mengayunkan kakinya mencoba untuk melepaskan diri. Akan tetapi, si bos menyuruh salah satu bandit untuk memegangi kakinya, sembari dia melepaskan celana dalamnya dan mengumbar bagian kotornya.


“Hentikan! Apa kalian tahu apa yang akan terjadi jika kalian melakukan hal semacam itu!!” aku menyerukan kemarahanku ke para lelaki itu.

“Daripada mengkhawatirkan orang lain, sebaiknya kau pikirkan dirimu sendiri dulu!”


Sembari salah satu orang yang memegangku mengatakannya, dia merobek seragam pelayanku tanpa peduli. Braku juga dirobeknya, dan satu payudaraku terpampang jelas. Aku menutupinya dengan cepat, namun aku lalu dijatuhkan ke tanah dengan kasar.


“Aku akan membuatmu merasa nikmat bersama dengan Ojou-sama di sana, hahaha!”


Saat lelaki itu tertawa, sebuah gelombang udara yang anyir menyentuh wajahku. Lalu dia mulai membuka celananya. Kedua tanganku ditahan oleh salah satu lelaki, sedang kakiku ditahan oleh yang lain. Saat benda itu berada di atasku, bosnya mulai bersiap untuk memasukkan bendanya ke dalam daerah intim Ojou-sama dalam sekali jalan.


Saat itu juga – sebuah bayangan besar muncul di belakang para bandit.


Hal ini terjadi dengan sangat cepat. Seorang kesatria perkasa berdiri di belakang bos bandit yang tengah di atas Ojou-sama.


Dengan sebuah armor yang bersinar dengan sebuah perak menawan dengan corak biru dan putih dan berhiaskan dengan detail terbaik, dia muncul layaknya seorang kesatria suci dari sebuah cerita dongeng. Mantel hitam pekat yang terhembus di belakangnya terlihat seperti terbuat oleh langit berbintang. Penutup helmnya menutupi mukanya, dan, alhasil, ekspresi dan emosinya benar-benar tak terlihat.


Pedang yang terangkat di tangan kanannya terlihat memanjang tak terkira, dan berisikan dengan sebuah hawa menakjubkan saat pedang itu berkilau dengan cahaya ungu misterius.


Pedang kesatria itu melesat ke arah bos dan bandit yang menahan kaki Ojou-sama. Pedang itu melesat layaknya ia bisa memotong angin, dan menghasilkan sebuah jejak cahaya pada ayunannya. Kesatria itu mengambil langkah besar, dan dengan sebuah ayunan membalik, pedang itu mengeluarkan gelombang cahaya lainnya. Lengkungan pedang tersebut terlihat menutupi langit saat segaris cahaya bergelimang di antara dua orang yang menahan perut Ojou-sama.


–Semua hal tersebut terjadi dalam hitungan detik.


Setelah semua itu, tubuh bagian atas bos itu pun jatuh. Para bandit yang menahan kaki kini tak lagi memiliki apapun di atas lehernya, kepala mereka menggelinding di tanah menghadap ke arah terbitnya matahari. Para bandit yang menahan perut, kepalanya terbelah menjadi dua, darah yang mengucur sangat deras menutupi semak-semak di sekitar, mewarnai pemandangan yang telah berwarna oleh matahari terbenam semakin merah.


Tubuh bagian atas bos itu terjatuh di dekat Ojou-sama, dan dengan setengah terkejut dia menendangnya. Tubuh bagian bawah yang tersisa mengeluarkan sebuah carian putih awan dari sebuah benda tertentu yang masih terangsang dalam genangan darah.

“Apa kalian baik-baik saja?”

Untuk lelaki yang mengeluarkan benda menjijikkannya sembari memegangi perutku dan lelaki yang menahanku, otak mereka akhirnya sadar akan sesuatu yang tak masuk akal yang terjadi.


“Uwaaaah!!! M-monsteeer!!!”


Dua lelaki tersebut terbirit-birit melarikan diri, namun lelaki yang telah melepaskan celananya tersandung, dan jatuh di dekatku. Sebelum aku menyadarinya, ujung pedang kesatria itu telah tertancap, dan lelaki itu mati di tempat seperti seekor katak yang diinjak.


Kesatria perak itu mencabut pedangnya dari mayat lelaki itu, dan berbalik ke arah lelaki yang tengah melarikan diri. Perlahan, dengan satu langkah, dia mengayunkan pedangnya, melesatkan sebuah gelombang cahaya sekali lagi. Dalam semua arti, dia seperti baru saja memotong udara di depannya, sedang lelaki yang tengah melarikan diri telah menjauh. Akan tetapi, tubuh bagian atas dan bawah lelaki tersebut terpisah, terjatuh ke tanah.


Hingga semua bandit tersebut menjadi tumpukan mayat, kesatria tersebut tak berkata apapun; aku hanya terduduk di sini dan berkedip tiga kali. Dengan sebuah ayunan ringan, kesatria perak tersebut menyarungkan pedangnya. Lalu dia menatap ke arah kami, dan sebuah suara yang agak redam dapat terdengar dari dalam helmnya yang benar-benar menutupi ekspresi wajahnya.




Mundur ke Bab 1 Kembali ke Halaman Utama Teruskan ke Bab 3