SukaSuka (Indonesia): Jilid 1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search


SukaSuka Chapter 1.png

Di waktu malam sebelum pertempuran terakhir.

Setidaknya gunakan saat-saat terakhir ini untuk bersama dengan orang yang ingin kalian temui terakhir kalinya.

Sekumpulan pejuang yang sedang berhimpun untuk mengalahkan Elq Harksten, seorang 'Pendatang' yang secara resmi dianggap sebagai musuh Gereja Cahaya Suci, dibubarkan atas alasan tersebut.

“… kenapa kembali ke sini?" tanya si gadis dengan raut muka yang penuh keheranan.

“Aku sudah bilang, bukan? Besok itu pertarungan terakhir. Kembali-tidaknya kami ke rumah dengan selamat, masih belum pasti, jadi mereka bilang pada kami supaya menghabiskan malam terakhir dengan orang yang penting bagi kami―”

“Ya itu yang anehnya!" seru si gadis, anaknya, nan dengan tajam memotong perkataan ayahnya. Dia mondar-mandir di dapur panti asuhan kecil, terlihat dia marah karena sesuatu. "Terserah mau pikirnya bagaimana, hanya, waktu mereka bilang 'orang penting', yang mereka maksud itu istri atau pacar mereka atau yang sejenisnya!”

“Yah, mungkin beberapa orang begitu..."

Ditambah Regal Brave yang sekarang, sekumpulan pejuang itu berjumlah tujuh orang. Dua di antaranya sudah menikah dan dua lagi tengah menjalin hubungan ― yah, salah satu dari kedua orang itu punya banyak kekasih sampai bingung pilih yang mana untuknya bermalam, jadi ia bisa dijadikan pengecualian.

“Intinya adalah, aku di sini sekarang, dan ke mana orang-orang itu memilih tujuan mereka bukan urusanku."

Harum yang nikmat menghembus, diteruskan suara gemuruh perut kosong. Untungnya, si gadis yang terlalu berkonsentrasi dengan mengaduk isi panci tidak mendengar.

“Jadi tidak ada perempuan yang bisa temani malam Ayah sekarang?"

Mungkin si anak perempuan itu memanggil ia ayah, tetapi pemuda tersebut bukanlah ayah biologisnya. Ia hanya kebetulan menjadi yatim tertua yang diurus di panti; si pengurus tempat ini, yang mana sudah menjadi figur ayah bagi mereka, hanya punya umur yang sedikit tua dari mereka hingga dipanggil begitu oleh yang lain, sampai-sampai melekat sebutan itu padanya.

“Tidak mungkin aku punya waktu luang seperti itu," balas si Ayah. "Dari sejak memenuhi syarat untuk menjadi Quasi Brave, setiap hari selalu menjadi latihan yang tiada henti, belajar, bertarung, dan bertarung lagi."

“Hmmmm?”

Dilihat dari jawaban dia[1] yang acuh-tak acuh, si gadis tentunya tidak percaya alasannya. Memang, wajar saja. Quasi Brave, yang kekuatannya hanya setingkat di bawah Regal Brave yang ditunjuk oleh Gereja, ksatria terhebat umat manusia, punya popularitas yang besar di masyarakat. Pergi saja ke kota dan bilang kamu adalah anggota Brave, kamu akan langsung menarik perhatian gadis-gadis yang punya suara nyaring, dan hadiri saja pesta yang disponsori kongres, akan langsung kamu dikenalkan dengan anak gadis keluarga kerajaan.

Tetapi, menarik perhatian gadis dengan sebutan Quasi Brave-mu dan membuat gadis itu menjadi gadis pilihanmu adalah hal yang membedakan prajurit muda ini denganmu. Tidak peduli gadis macam apa yang mendekatinya atau apapun trik yang mereka gunakan, si prajurit muda ini selalu menolak mereka. Tentunya, ia sadar kalau orang lain akan menanggapinya dengan "sangat disayangkan".

“Sebelumnya, sepertinya aku melihat ada beberapa perempuan anggun yang bekerja denganmu..."

“Aku tidak mengerti maksudmu, tapi rekan kerja itu ya rekan kerja saja, tau?"

“Jawaban kamu yang serius begitu dan bukannya tidak mengerti buatku ingin membunuhmu."

"Ya ampun, kau bisa jahat juga."

"Hm… seperti si orang itu saja…” timbal si gadis, tepat setelah sup rebusannya matang.

“Apa anak-anak sudah tidur?"

"Tentunya. Memangnya kamu pikir sekarang jam berapa?"

“Terus bagaimana dengan si empunya tidak berguna itu?" Tanya si Ayah, yang mana mengacu pada si kakek tua yang mengurusi panti. Tidak ada yang tau masa lalunya sebelum ia datang ke panti, tapi di suatu tempat dan dengan cara yang masih misterius, ia telah mendapat tenkik berpedang yang luar biasa. Bagi si pemuda, ia adalah manusia terkuat dan juga guru berpedang terbaik di dunia, namun tidak bisa dicontoh sifatnya oleh siapapun.

“Ia bilang ada urusan di kota dan pergi. Belakangan setiap kali ia kukira ada di rumah, ia langsung keluar lagi," jawab si gadis dengan desahan. "Aku harap ia mau di sini dulu sebentar."

“Jadi hanya kau yang mengurusi tempat ini?"

"Mm. Kenapa? Kamu langsung jadi khawatir pada kami?"

"Ah… yah…”

Si gadis tertawa pada si pemuda yang kehabisan kata-kata. "Bercanda. Polisi dari kota biasanya datang ke sini untuk berjaga, dan belakangan Ted jadi sering datang untuk membantu."

Si Ayah langsung bereaksi setelah disebutnya nama itu. "Aku senang polisi terus menjaga, tapi tolong usir Ted. Aku tidak ingin ia dekat-dekat denganmu."

“Aduh, kamu jadi serius begitu. Kamu sebegitu bencinya pada Ted?"

Bukan si pemuda itu membenci Ted, tapi sebagai 'Ayah', ia merasa ia punya hak dan kewajiban untuk marah dalam situasi seperti ini.

“Makanannya sudah siap, silahkan," ungkap si gadis kala dia melepas apron dan membawakan panci besar itu ke meja.

“Ah, akhirnya! Dari sebelum sampai ke sini aku sudah kelaparan."

“Aku hanya menghangatkan sisa makanan yang tadi saja karena sudah larut malam," kata si gadis dengan muka datar. Tetapi, si pemuda tau dia berusaha menyembunyikan rasa malunya; ia tahu kalau makanan yang ada di panti tidak akan sebanyak ini kalau hanya sisa makan malam.

Ia memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu, dan hanya menjawab dengan 'terima kasih' saja.

“Tidak perlu berterima kasih kalau hanya yang seperti ini," ucap si gadis dengan bangga. Dia duduk seberangan di meja sama sambil senyum-senyum sendiri, dagunya ditopang oleh kedua tangan, dan menatapi si pemuda yang makan.

Jujur saja, si Ayah berkata dalam hati. Meskipun aku punya kekasih, mungkin aku akan tetap memilih menghabiskan malam di panti. Lima tahun lalu kala aku masih hanya seorang bocah, aku mengangkat pedang untuk pertama kalinya demi melindungi tempat ini. Dalam kurun waktu lima tahun itu, aku berjuang mati-matian dari neraka yang disebut 'latihan' itu, meskipun aku tidak punya bakat, itu karena aku tahu bahwa suatu hari aku akan kembali ke sini.

Besok, kami akan bertarung dengan Pendatang, musuh setiap manusia yang hidup di sini. Waktu kau mengatakannya dengan seperti itu, terdengar seperti petualangan besar dengan akhir heroik. Namun pada akhirnya, kami akan selalu mengulangi hal sama yang selalu kami lakukan. Demi hal yang ingin kami lindungi. Demi tempat yang menjadi rumah kami. Kami mengangkat pedang kami, bertarung, dan bertahan hidup.

“Tapi tetap saja, setidaknya di saat-saat seperti ini, tidakkah kamu ingin buat semacam nazar dulu?" Komplain si gadis.

Si Ayah dengan agak bingung mendengarnya waktu ia melahap kentang berukuran kecil.

“Nazar? Seperti apa?"

“‘Setelah perang ini berakhir, aku akan menikah!' Yang seperti itu."

“Uhh… biasanya kata-kata begitu tidak akan menghasilkan akhir bahagia."

Si Ayah mengingat waktu ia masih hanya seorang bocah, ia memperhatikan Regal Brave yang menjadi idolanya. Seringkali ia membaca fiksi yang menceritakan kisah mereka, dan kalau ia tidak salah ingat, setiap kali seseorang mengatakan kalimat yang seiras dengan yang si gadis itu katakan tadi, si karakter ini akan langsung bertemu dengan ajalnya. Karena si pemuda masih belum mau mati, ia tidak ingin mengatakan sesuatu yang bisa membawanya pada akhir yang begitu.

“Iya iya. Anak-anak juga membaca buku yang kamu tinggalkan, dan aku ingat ceritanya setelah seringkali aku bantu mereka."

“Kalau kau sudah mengerti tapi kau masih menyarankan aku untuk melakukannya, kau ini orang jahat ya…” tutur si ayah waktu sesendok penuh sup dimasukannya ke mulut. Rasa yang enak, dibumbui oleh rasa pedas, membawa kembali kenangannya. Karena dibuat secara khusus agar sesuai dengan selera anak-anak yang kelaparan, sup ini tidak akan bisa ditemukan di restoran kelas atas kota.

“Iya, aku mengerti, tapi… perasaanku tidak enak." Si gadis dengan lembut mulai mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja. “Malam ini, kamu dan prajurit lain diperintahkan supaya jangan sampai ada penyesalan nanti. Bukankah itu artinya kamu harus siap mati? Aku jadi khawatir… aku tidak tau apa-apa soal perang, tapi aku merasa kalau siapapun yang belum siap untuk mati akan lebih tinggi kemungkinannya untuk selamat, karena mereka terus bicara pada diri mereka sendiri bahwa mereka harus kembali ke rumah apapun yang terjadi."

Si gadis berhenti untuk sesaat, terlihat ekspresi yang muram pada romannya. "Dalam buku yang pernah kamu baca itu, mereka yang punya karakter seperti itu terbunuh paling awal supaya ceritanya semakin dramatis dan menarik. Memang lebih sedih jika seorang karakter mati, sementara kamu ingin melihat mereka kembali selamat dan bertemu lagi dengan yang mereka cintai. Tapi dunia nyata tidak begitu."

Si ayah bisa melihat jari-jarinya si gadis mulai gemetar walau hanya sedikit. Dia gadis kuat, tidak pernah keluar darinya tanda rasa takut atau kegugupan. Tidak peduli seberapa sulitnya keadaan, dia tidak pernah sungguh-sungguh mengeluh.

“Jadi waktu kamu bertarung besok, jangan buat dirimu bernasib sial dengan punya pemikiran yang pesimis. Kamu harus punya keyakinan yang bisa kamu pegang teguh, alasan yang bisa membawamu kembali ke rumah. Kalau kamu tidak memberitaukan nazarmu padaku sekarang, aku ragu aku akan punya kekuatan untuk memberimu senyuman di esok pagi."

Si pemuda tau apa yang si gadis ingin katakan. Ia ingin melakukan sesuatu untuk menenangkannya, namun tetap saja, ia tidak bisa dengan tiba-tiba mengutarakan rencana pernikahan. Pertama, ia harus punya pasangan untuk dinikahi, dan hal penting seperti pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dipikirkan langsung. Di sisi lain, hal bodoh seperti 'aku akan memikirkan nama yang bagus waktu aku pergi, jadi siapkan bayinya waktu aku kembali' pasti akan berhasil tamparan keras di muka. Setelah berpikir dengan hati-hati, ia menjawab, "Kue bolu."

"Eh?"

“Kue yang kau buat itu sangat lezat. Tolong buat yang besar-besar di ulang tahunku nanti, bisa, 'kan?"

"Kamu berjuang untuk selamat di waktu perang dan kembali… hanya demi kue bolu?"

“Kenapa?"

“Ahh… aku berharap sesuatu yang lebih serius… tapi,” si gadis sedikit menggaruk wajahnya, lalu menjawab, "Baiklah, kurasa itu boleh saja. Sebagai gantinya, kamu harus memakan habis kuenya sampai kamu sakit perut." Dia berhasil tersenyum, meskipun masih ada tanda-tanda keraguan jauh di lubuk hati.

“Tenang saja. Serahkan padaku." Si pemuda yang masih mengunyah sup meyakinkan si gadis.

Malam pun berlalu dengan panjang, dengan setiap menitnya membawa pagi pertarungan terakhir lebih dekat lagi.

Dalam setahun setelah malam itu, umat manusia punah.

Biasanya, Quasi Brave muda takkan bisa memenuhi janjinya.





SukaSuka Chapter 2.png

Bagian 1: Si Kucing Hitam dan Si Gadis Pucat
[edit]

Seekor kucing hitam berlari. Bukan hanya sekedar berlari, namun laju larinya terlampau cepat. Kucing itu bergerak menuju jalanan sempit, melompati tembok tinggi, dan melompat dengan anggun ke atap kios-kios sisi jalan.

Tempat ini, dikenal sebagai Pasar Medlei, yang mana pada awalnya dibuat untuk menyelenggarakan perdagangan khusus yang dilaksanakan sebulan sekali. Seiring berjalannya waktu, karena terjadi banyak pembangunan tak terencana dan perbesaran bangunan, kini pasar itu telah berubah menjadi labirin yang sangat besar, bisa memberikan stres pada setiap pendatang baru yang melewat.

Melalui labirin yang akbar ini, si kucing hitam berlari dengan kecepatan penuh. Kenapa si kucing berlari? Karena kucing itu berusaha kabur. Kabur dari apa? Tentunya, dari si pengejarnya.

“Tunggu duluuuu!!" Teriak si pengejar, berusaha sekuat mungkin mengejar si kucing yang sebegitu cepatnya. Gadis muda itu tadi melewati gang sempit, lalu dengan cerobohnya memanjat tembok tinggi, dan mendarat dengan bising ke atap kios-kios pinggir jalan (sambil diteriaki pemiliknya). Meskipun perlawanan si kucing keras, dia tetap memfokuskan matanya ke depan, demi menangkap si kucing hitam.

Si gadis mengenakan pakaian yang biasa: sebuah topi kelabu, dipakainya dengan begitu rendah sampai hampir bisa menutupi matanya, dan sebuah jas dengan warna sama. Dilihat dari kombinasi tersebut, dia mungkin ingin tidak kelihatan begitu jelas, tapi teriakannya terhadap si kucing dan karena dia berlari mati-matian telah mematikan apapun pengaruh yang seharusnya diberikan pakaiannya.

“Aku… bilang… tunggu…” keliman jasnya bergerak naik-turun, si gadis meneruskan kejarannya, menghempas semua debu-debu dan mengobrak-abrik kaleng cat kosong ke tanah saat dia berlari. Terus dia berlari di jalan dengan kecepatan mengerikan, si gadis menarik banyak perhatian dari banyak orang: Orc yang menjual aneka macam barang, Reptrace [2]bersisik yang memiliki sebuah toko karpet, sekumpulan Lucantrobos mirip serigala yang lewat.

Lalu, tiba-tiba, si kucing hitam berhenti.

“Kena kamu!" Si gadis langsung bergerak lebih cepat, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Di waktu dia semakin dekat, hingga hampir bisa diraihnya, si kucing hitam berbalik, menampakkan benda perak yang bersinar dekat di mulutnya. Si gadis membuka kedua tangannya dan memeluk hal yang dia cari-cari setelah begitu banyak pertikaian panjang.

Akan tetapi, sebelum dia bisa bersenang hati, sensasi yang tidak biasa seperti melayang telah melingkupi seluruh tubuhnya. Kemudian, dia sadar: tidak ada apa-apa di bawah kakinya.

“Eh?”

Penglihatannya akan Pasar Medlei bercampur aduk dengan satuan warna yang memusingkan. Si gadis baru mengerti bahwa dia, akibat terbutakan oleh mangsanya yang telah begitu dekat, tidak sadar kalau jalan yang dia lalui berujung pada tepi atap salah satu apartemen.

“Ah…”

Langit biru yang agung, ditambahi sedikit awan putih, mengisi penglihatannya. Masih terus memeluk si kucing hitam, si gadis muda melayang jatuh di udara. Tepat di bawahnya, dia melihat Pusat Perbelanjaan Briki Barat ke-7, yang mana kios-kiosnya lebih terfokuskan pada barang-barang yang seperti panci besi yang keras dan pisau dapur yang sangat tajam. Mengacu pada ketinggian bangunan yang ada, kira-kira butuh 4 lantai lagi jaraknya sampai dia menyentuh tanah.

Si gadis mengumpulkan kekuatannya dan berhasil menghasilkan cahaya redup yang meliputi seluruh tubuhnya. Mereka yang memiliki kemampuan untuk melihat Sihir Cabang pasti melihat Venenum di dalam tubuhnya berusaha untuk terbakar. Namun apapun yang ingin dia lakukan dengan Venenum itu, kini sudah sangat terlambat.

Venenum adalah substansi yang seperti api. Percikan kecil saja tidak akan berakibat banyak, namun api besar yang membara bisa punya kekuatan yang luar biasa. Supaya apinya bisa sampai sekuat itu, butuh waktu dan tenaga yang banyak. Dengan kata lain, Venenum tidak begitu berguna jika digunakan secara tiba-tiba, seperti situasinya si gadis sekarang.

Kedua tubuh itu, satu manusia dan satunya lagi kucing, terus bergerak ke bawah. Cahaya lemah yang keluar dari si gadis dengan rapuhnya menari di udara sebelum lenyap. Dia bahkan tidak punya waktu untuk berteriak. Pavin blok, yang mana terasa jauh tadi, mulai mendekat dengan kecepatan tinggi. Dia secara refleks semakin mengencangkan pelukannya terhadap si kucing, yang membuat si kucing menjerit. Tanpa bisa melawan tarikan gravitasi, si gadis menutup mata dan bersiap menerima benturan.

Seorang gadis jatuh dari langit. Dilihat dari rupanya, mungkin masih muda, dan juga jatuh dengan sangat kencang. Kalau begitu, dia tak lama akan berbenturan dengan keras pada jalanan yang dipenuhi pavin blok, dan meninggalkan pemandangan mengerikan yang tidak selaras dengan suasana siang hari yang damai.

Itulah yang merasuki penglihatan Willem ketika ia dengan santai menengadahkan kepala. Sebelum otaknya bisa memproses gambaran itu secara penuh, kakinya telah bergerak, seakan-akan bergerak sendirinya. Ia berlari menuju ke bawah arah lintas si gadis dan merentangkan tangannya, bersiap untuk menangkap.

Tetapi, Willem kemudian sadar kalau ia telah melupakan momentum jatuhnya gadis tersebut. Tangan-tangannya yang tak berguna itu tidak kuat menahan benturan keras, sehingga Willem jatuh di belakang tubuh si gadis, mengeluarkan suara yang mirip dengan saat menghancurkan seekor kodok. "Aw…” rintihnya dengan hanya sedikit ruang udara yang bisa ia dapat.

“M-Maaf!!"

Si gadis, yang akhirnya telah menyadari keadaan, melompat dan mulai panik.

"Apa kamu terluka!? Kamu masih hidup!? Apa ada organ yang rusak!? A--"

Si gadis yang was-was telah lupa akan kucing hitam yang masih berada di tangannya, si kucing hitam itu pun memanfaatkan kesempatan tersebut untuk lari. Secara refleks si gadis langsung menjulurkan tangannya lagi, tapi yang bisa dia raih hanyalah angin; cuma butuh sesaat untuk si kucing menghilang ke dalam kerumunan yang mengelilingi mereka.

Sebuah teriakkan keluar dari mulut si gadis, separuhnya karena rasa frustasi akibat kehilangan hewan yang memulai semua kekacauan ini, dan separuhnya lagi karena terkejut akan penampilan dirinya sendiri. Entah di saat berlari-lari dengan gila-gilaan barusan atau waktu dia terjatuh, topi yang dia kenakan sampai hampir menutupi matanya telah lepas. Rambut biru nan bagaikan langit, yang sebelumnya tersembunyi, kini jatuh hingga melewati pundak.

Hei, lihat dia.

Dia mendengar bisikan dari sekitar; orang-orang dan penjaga toko Pusat Perbelanjaan Briki Barat ke-7, semua menghentikan transaksi mereka demi melihat wajah dan rambut si gadis.

Dalam pulau yang melayang ini, yang dikenal sebagai Regul Aire, hiduplah bermacam-macam ras, semua berhubungan jauh dengan para Pendatang. Tentunya, setiap jenis ras memiliki penampilan yang berbeda-beda. Ada yang bertanduk, ada yang bertaring hingga menjulur keluar dari mulut, ada yang bersisik di seluruh tubuh, dan ada juga yang punya wajah seperti gabungan dari bermacam-macam hewan-hewan liar.

Dengan adanya ciri khas itu, sangat sedikit ras yang tidak memiliki tanduk, taring, sisik, atau yang seperti hewan buas lain, tapi mereka masih ada. Mereka adalah ras yang tidak punya ciri khas, atau 'tanda' yang bisa membedakan identitas mereka, ini lebih dikenal sebagai 'tak bertanda'.

Kenapa dia di sini?

Brengsek, ini pasti membawa sial.

Secara umum, yang 'tak bertanda' dijauhi oleh ras lain. Berdasarkan legenda, ras yang dikenal sebagai manusia, atau Emnetwyte, mendatangkan malapetaka di tanah luas bawah dan membawa semua ras lain ke langit. Karena Emnetwyte dianggap hampir menyerupai ras yang tak bertanda, dan yang diterima oleh akal publik adalah bahwa mereka yang kelihatan mirip dengan mereka pasti akan bertingkah laku serupa pula, mereka yang tak bertanda dicap sebagai makhluk kejam dan hina. Meski penganiayaan akibat perbedaan ras sangat jarang terjadi, terekspos di publik bahwa dia tak bertanda langsung membuat si gadis merasa segan.

Ada hal lain lagi, di luar kendali si gadis, yang mana telah membuat situasi kini semakin buruk lagi baginya. Walikota sebelumnya adalah contoh sempurna politisi yang korup, yang menerima sogokan, mempekerjakan pembunuh bayaran untuk menumbangkan lawan politiknya, dan dengan legowo membawa setiap aspek yang ada di kota ke dalam kendalinya. Kelihatannya, Kongres Utama telah membuangnya dari pulau dan semua pun bahagia setelahnya… namun walikota tersebut rupanya adalah Imp. Imp, keturunan dari Ogre, biasa bersembunyi di kalangan Emnetwyte dan membobrokkan moral mereka. Itu karena mereka punya penampilan yang mirip seperti manusia dan ras lain yang tak bertanda. Sekarang setiap kali orang-orang di sini melihat seorang yang tak bertanda, mereka hanya bisa mengingat kemarahan dan kebencian mereka terhadap walikota mereka yang sebelumnya.

Meski tidak ada yang secara gamblang menyerang dia secara fisik atau verbal, si gadis merasakan tatapan warga sekitar menusuk seperti duri ke dalam wajahnya.

"B-Baiklah, aku akan pergi, jangan khawatir...”

Si gadis bangkit dan mencoba lari dari pandangan orang-orang, namun dia tidak bisa bergerak. Willem, yang masih bersandar di tanah, telah berpegangan pada pergelangan tangan si gadis.

“Kau melupakan sesuatu." Ia mengulurkan tangan satunya lagi dan menjatuhkan sebuah bros kecil ke dalam telapak si gadis.

“Ah...”

“Kucing hitam itu menjatuhkannya. Kau mengejar-ngejar ini, 'kan?"

Dengan perlahan si gadis mengangguk. "Te-Terima kasih." Masih berkarut akan situasi yang kini, dengan hati-hati dia menyembunyikan bros tersebut dengan kedua tangan dan menerimanya. "Kau baru di daerah ini?" Si gadis mengangguk lagi.

"Aku mengerti... kalau begitu apa boleh buat," kata Willem dengan helaan nafas. Ia langsung bangun, melepas jubahnya dan memakaikannya pada kepala si gadis, membuatnya tidak bisa menolak. Tudung yang menutupi Willem sudah tak ada lagi, penampilan Willem terpampang jelas pada setiap orang. Terulang lagi, alunan keributan kembali mendesir di kerumunan itu, namun sekarang ditujukan pada Willem.

"Eh..." Si gadis terkesiap.

Meski Williem tidak bisa melihat wajahnya sendiri, ia tau persis seperti apa wajahnya. Jadi ia mengerti kenapa kerumunan tadi dan si gadis hanya tergemap di depannya. Rambut hitam berantakan. Tidak bertanduk. Tidak bertaring. Tidak bersisik.

"Ayo."

Ia menarik tangan si gadis dan melalui jalan dengan langkah-langkah panjang. Si gadis, yang terkesiap, mengikutinya dengan lari kecil. Mereka buru-buru meninggalkan jalanan dan menemukan toko topi terdekat, di mana ia membelikan sesuatu untuk menutupi kepala si gadis.

“Itu mungin sudah cukup."

Mungkin ukurannya sedikit kebesaran, tapi topinya sangat cocok untuknya. Willem mengangguk puas dan mengambil jubahnya lagi.

“Umm… ini apa…?” Tanya dia dengan lugu setelah dia kembali sadar sepenuhnya.

“Supaya orang-orang tidak tau kalau kau tak bertanda."

Meski mereka yang tak bertanda, seperti Willem dan si gadis, biasanya dijauhi oleh masyarakat, sebenarnya mereka tidak dibenci. Asalkan kau tidak melakukan hal yang terlalu mencurigakan, orang-orang biasanya akan mengabaikanmu. Tapi ya, lebih baik tidak ketahuan.

“Aku tidak tahu dari Pulau mana kau asalnya, tapi tempat ini tidak cukup baik untuk yang tak bertanda. Sekarang cepat-cepat lakukan apa yang kau mau dan cabut dari sini. Pelabuhannya lewat jalan sana," ucap Willem sembari menunjukkan jalan. "Kalau kau merasa tidak aman, aku bisa mengantarkanmu ke sana."

"Ah... tidak... tidak perlu..." gumam si gadis.

Willem sulit membaca ekspresi si gadis. Karena perbedaan tinggi yang mudah diukur, ditambah topi yang kebesaran, yang mana buat dia pas untuk menyamar, entah kenapa menghambat kemampuan mereka untuk berkomunikasi.

“Apa kamu… tidak bertanda?"

“Ah iya… kau melihat wajahku tadi," tilik Willem, setelah memberi anggukan kecil di bawah tudung jubah.

“Lalu kamu kenapa di sini? Dari seluruh pulau di barat daya Regul Aire, pulau ini yang terkejam terhadap yang tak bertanda, 'kan?"

“Menurutku, kita bisa terbiasa hidup di mana pun. Memang hal yang tidak menyenangkan seringkali terjadi, tapi kalau kau terbiasa, tempat ini cukup nyaman sebenarnya," timbalnya. “Kalau kau sendiri bilang begitu, kenapa kau ke sini?"

“Yah… itu sih...”

Si gadis tidak ingin menjawab. Willem agaknya merasa bersalah karena telah bertanya.

Ia menghela nafas dan mulai berjalan, mengarahkan si gadis supaya mengikutinya. Dia tidak beranjak dari tempatnya.

“Kenapa? Kau mau ketinggalan?"

“U-Umm… terima kasih banyak… atas semuanya," jawab si gadis dengan suara gelisah, separuh wajahnya tertutupi topi besar itu. "Dan atas semua masalah yang aku buat… maaf. Juga… um… aku tidak pantas bilang ini… tapi… ah…”

Willem menggarukkan kepalanya.

“Kau ingin pergi ke suatu tempat, ya? Ingin ke mana?" Sontak ekspresi si gadis jadi ceria karena kata-kata itu ― mungkin. Ia hanya bisa melihat separuh wajahnya saja, jadi. Ia tidak tau.



Seperti yang si gadis lihat tadi, jalanan di sekitaran Pasar Medlei agak sulit untuk dilalui. Meskipun kau tau persis ke mana kau akan pergi, kau bisa saja berakhir tersesat setelah terjadi serangkaian kali memutar-mutar jalan.

Keduanya berada di atas Menara Garakuta, titik tertinggi yang ada di pulau, setelah terjadinya perjalanan yang panjang dan banyak lika-liku di labirin jalanan. Meski Williem pun orang lokal, mereka masih berakhir menanyakan jalan pada salah satu golem umum, penjaga otomatis yang ditempatkan di jalan oleh pemerintah. Persimpangan yang Willem ingat punya tiga jalan yang mengarahkan ke lima tempat berbeda. Secara tak sengaja mereka berpapasan dengan seekor Frogger yang dikejar oleh sapi yang mengamuk, lalu berakhir jatuh ke atap rumah ayam, dan kabur sambil terus meminta maaf pada Ballman marah pemilik ayam-ayam tersebut.

Singkat kata, mau pergi ke mana-mana di kota ini butuh perjuangan. Tapi di sisi baiknya, Willem melihat kalau si gadis jadi sedikit lebih luwes ketimbang waktu perjuangan mereka di jalan. Dia mau tertawa dan membuat komentar-komentar lucu setelah selesai setiap insiden berlalu atau waktu mereka berhasil kabur di saat-saat sempit. Willem tidak tau apakah itu memang sifatnya yang sebenarnya atau dia hanya terbawa arus keanehan akan kemalangan-kemalangan mereka sebelumnya, tapi apapun itu, ia lebih suka ini daripada sikap bungkamnya tadi.

Si gadis menyandarkan tangan pada pagar rapuh di ujung menara dan mengeluarkan desahan akan pemandangan. Jika dilihat dari ketinggian ini, kota sibuk di bawah kelihatan seperti lukisan indah yang detail. Jalanan yang penuh lika-liku membentang terus hingga melewati kanvas meluas sendirinya seakan hidup dan bukan karena dikerjakan oleh kuli bertahun-tahun lalu.

Dengan sedikit menaikkan pandangannya dapat memberi tilikkan dia sebuah pelabuhan. Karena terletak di paling ujung pulau, tempat itu seperti jalan masuk, sehingga memberikan fasilitas seperlunya untuk kapal mendarat dan lepas landas. Setelah pelabuhan yang dilapisi baja, terdapat langit biru yang menyebar ke segala penjuru yang bisa dipandang si gadis.

Langit ini, di mana terdapat setumpukkan besar batu nan bergerak di angin yang disebut 'Pulau Melayang', menjadi satu-satunya suaka tempat manusia bisa hidup. Tanah tempat kehidupan awalnya bermula kini berada jauh di bawah, sudah tak bisa dijangkau.

“Ada apa?" Tanya si gadis yang berbalik melihat Willem.

“Oh bukan, hanya sedang mengamati pemandangan." Ia menggelengkan kepala dan menjawab dengan senyum hangat biasa.

Dengan lembut si gadis tertawa, lalu, setelah memastikan tak ada siapapun, dia melepas topinya. Rambutnya, yang mana punya warna biru seperti langit yang mengelilingi mereka, terurai, seakan beriak dalam angin.

“Apa ini alasanmu datang kemari? Untuk pemandangannya?"

“Ya. Aku sudah banyak melihat pulau dari tempat lebih tinggi ataupun lebih jauh dari ini sebelumnya, tapi aku belum pernah sempat untuk melihat kota dari tengah-tengahnya sampai sekarang." Dia pasti tinggal di pulau yang paling ujung,, pikir Wiillem.

“Menurutku pasti bagus kalau aku mencobanya sekali." Si gadis berhenti sesaat, mengembalikan pandangannya menuju langit biru tak berujung, lalu meneruskan, "Hmm… mimpiku sudah terwujud, dan aku sudah dapat ingatan yang seru. Aku rasa aku tidak punya penyesalan lagi."

Dia mengatakan hal yang tidak menyenangkan...

“Aku sungguh-sungguh berterima kasih padamu," terus si gadis. "Aku bisa melihat banyak hal yang indah, semua berkatmu."

"Menurutku itu agak berlebihan." Willem menggaruk-garuk kepalanya. Baginya, kejadian hari ini rasanya seperti menemukan anak kucing aneh di sisi jalan dan membawanya berkeliling. Ia hanya kebetulan sedang senggang, jadi ia melakukan itu untuk mengisinya. Rasanya agak aneh diterima kasihi hanya karena itu. “Jadi… itu jemputanmu?"

“Eh?”

Willem mengangkat-angkat kepala untuk mengisyaratkan belakang si gadis. Dia berbalik dan mengeluarkan teriakkan kecil, wajahnya menampakkan rasa terkejut dan kebingunan. Di sana terdapat Reptrace tinggi-besar yang menyeramkan, yang baru sekarang disadari si gadis.

Dibandingkan ras lain, si ras bersisik, Reptrace, diketahui memiliki besar tubuh yang bermacam-macam. Meski biasanya hanya sebesar ras lainnya, terkadang ada satu yang besarnya hanya sampai seukuran anak kecil, dan ada juga yang begitu besar sampai rasanya aneh.

Reptrace yang ada di hadapan mereka tentunya adalah yang kedua disebutkan tadi. Hanya diam di sana dengan seragam tentara, ia membuat suasana tegang yang mengintimidasi.

“-- menurutku juga begitu. Aku merasa senang… rasanya hampir seperti mimpi. Tapi aku harus bangun sekarang," ungkap si gadis dengan nada yang menyesakkan. Dia berbalik dan, sebelum berlari ke samping Reptrace, mengatakan satu hal terakhir pada Willem: “Ada satu hal lagi yang ingin aku minta darimu… tolong lupakan aku."

Apa? Willem tertegun di sana, tanpa bisa mencari kata yang tepat untuk meresponnya. Ia tau kalau si gadis ada masalah yang tak biasa. Tapi dari informasi yang bisa ia dapat, masalah-masalah itu tidak secara langsung memberikan penderitaan. Karena itu, tidak perlu Willem ikut campur. Jika pemilik si anak kucing itu muncul, tidak perlu lagi kita menemaninya jalan-jalan lagi.

Si gadis berbalik lagi untuk yang terakhir kali dan merendahkan kepala sebagai gestur untuk berterima kasih, kemudian menghilang menuruni tangga bersama si Reptrace.

“Waktu mereka jalan bersebelahan… perbedaan tingginya jelas sekali," gumam Willem kala ia menatapi mereka pergi.

Terdengar jauh dari pelabuhan bunyi merdu dari menara lonceng yang menandakan datangnya waktu malam.

"Hm… sudah jam segini ya?"

Tak lama, ia akan bertemu dengan seseorang. Willem sekali lagi mengamati jalanan indah di bawah dan pada langit biru yang menyelimuti, lalu bergegas menuju kota ramai itu lagi.


Telah berlalu 562 tahun sejak punahnya Emnetwyte. Tidak ada sejarah yang bisa dipercaya mengenai tanah bawah sana yang tersisa. Buku sejarah punya rekaman yang bervariasi, semua menyatakan kalau itu asli, tapi tidak ada satupun yang yakin rekaman tersebut nyata sedikitpun; semua rekaman itu bisa saja hanya spekulasi liar dari sejarawan yang belum hidup di saat peristiwa-peristiwa tersebut terjadi. Tetapi, ada beberapa hal yang selalu ditemukan sama di banyak buku.

Pertama, Emnetwyte, atau manusia, hidup dengan penuh perjuangan. Bertahun-tahun mereka berkuasa, tumbuh dengan luar biasa cepat dan tersebar di seantero daratan. Tapi ternyata itu justru membawa kepunahan mereka, karena mereka saling berjauhan, mereka rentan untuk diserang ras lain. Mereka terus-terusan menghadapi ancaman demi ancaman dari Raksasa, nama sekumpulan makhluk liar yang berbahaya. Iblis dan Raja Iblis berupaya memancing manusia masuk ke jalan yang salah. Bentrokan dengan para Orc dan Elf sering terjadi sampai keluar tempat pertempuran. Ancaman pun datang jua: sekumpulan manusia dikutuk dan berubah menjadi Ogre, yang kemudian berubah menjadi fase tertuanya.

Dalam waktu yang sangat jarang sekali, manusia pun harus menghadapi serangan dari sang Pendatang, musuh terkuat.

Apalagi, Emnetwyte adalah ras terlemah. Mereka tidak punya sisik, taring, ataupun sayap, dan mereka tidak bisa menggunakan sihir kuat. Bahkan kemampuan mereka untuk berkembang biak dengan cepat, yang mana adalah salah satu kekuatan mereka, kalah jauh dibandingkan dengan para Orc. Walau begitu, manusia masih menguasai tanah bawah.

Berdasarkan sebuah teori, sebagian besar kekuatan militer mereka ada dari sebuah grup sukarelawan yang disebut Avonturir dan Sekutu, sebuah organisasi yang mengkoordinasikan dan membantu aktivitas para Petualang. Mereka meningkatkan efisiensi pertarungan grup mereka dengan membagi-bagi pasukan ke Kelas yang berbeda-beda dan menandai setiap macam Talenta supaya pelatihannya bisa diatur lebih baik lagi. Bahkan mereka berhasil menyegel kemampuan sihir, yang mana sangat langka sekali bisa dilakukan manusia, ke dalam sebuah azimat yang disebut Talisman untuk diproduksi ulang secara masal. Dengan perkembangan-perkembangan tersebut, para Petualang jadi memiliki kemampuan bertarung lebih hebat daripada manusia biasa.

Teori lain menyatakan keberadaan grup prajurit lain yang disebut Brave, yang mana sudah beda lagi dengan Avonturir. Para Brave ditujukan untuk membalikkan karma dan takdir yang merekat dengan jiwa mereka menjadi kekuatan yang tanpa batas nan menakjubkan. Namun yang jadi masalahnya adalah hanya sedikit saja orang yang 'terpilih' dan bisa menjadi Brave.

Ada pula teori lain menyatakan Emnetwyte menggunakan pedang khusus yang disebut Kaliyon. Senjata-senjata ini memiliki banyak Talisman di dalamnya, yang mana kekuatan-kekuatan tersebut membuat efek interferensi mutual yang kompleks, yang mana menghasilkan kemampuan penghancur yang tak tertandingi.

Tentunya, teori-teori tersebut kedengaran mengada-ngada, dan kamu akan sulit sendiri untuk menemukan seseorang yang bakal mempercayai apapun yang tertulis tadi. Tetapi, adalah kebenaran bahwa Emnetwyte yang tak berbakat punya suatu cara khusus untuk mengalahkan musuh-musuh kuat yang ditemuinya. Dengan logika yang sama, setidaknya ada sedikit kebenaran yang berada dalam teori-teori yang tersebar luas itu.

Pada 527 tahun yang lalu, di kastil kerajaan langit dari Kerajaan Suci, pusat daerah kekuasaan manusia, mereka muncul. Mengenai apa sebenarnya mereka saat itu, atau apa mereka pada saat ini, lagi-lagi buku-buku sejarah itu mencuatkan teori-teori yang bervariasi. Semisal, mereka adalah kutukan di antara manusia yang menjadi nyata. Atau itu adalah sebuah senjata rahasia nan masih dalam pengembangan untuk perusakan besar-besaran yang mengamuk. Atau entah kenapa, itu disebutnya isi dari gerbang neraka yang terbuka. Atau tiba-tiba terbangunnya sebuah mekanisme untuk memurnikan kembali dunia, yang tertidur jauh di dasar ngarai sejak terbentuknya dunia.

Setelah kemunculan mereka, banyak orang langsung mengungkapkan masing-masing pendapat, dengan sedikit gurauan, namun beberapa justru jadi tolak ukur yang membuat teori-teori bisa diterima kebenarannya. Bagi mereka, dunia hampir akan berakhir, dan tidak ada teori lagi yang bisa menolaknya. Meski jika teori 'sebuah tomat sebatang kara di ladang kentang tak tahan sepi dan mengalami evolusi super' dibuktikan benar adanya, tetap tidak akan berpengaruh pada sisa-sisa waktu hidup mereka.

Yang jadi pokoknya adalah bahwasanya mereka penyerang. Mereka pembunuh. Mereka melambangkan arti asasi dari irasionalitas dan ketidakadilan. Dengan mengambil bentuk tubuh sebagai tujuh belas macam hewan buas yang beragam, mereka mulai menelan dunia dengan kecepatan yang menakutkan. Para Emnetwyte tidak bisa melawan ancaman baru ini. Dalam kurun waktu beberapa hari, dua negara seutuhnya lenyap dari peta. Pada minggu selanjutnya, lima negara, empat pulau, dan dua samudera lenyap dari peradaban. Lalu di minggu setelahnya, peta sudah tak berarti lagi. Dikatakan bahwa tidak pernah ada setahun berlalu yang memisah waktu kedatangan mereka dan kepunahan manusia.

Para hewan buas tidak bersantai setelah menghancurkan Emnetwyte. Para Elf bertarung untuk mempertahankan hutan mereka yang luas, dan mati. Para Moleian bertarung untuk mempertahankan gunung sakral mereka, dan mati. Para Naga bertarung untuk mempertahankan harga diri mereka sebagai makhluk terkuat di daratan, dan mati.

Semua yang ada di tanah bumi lenyap, seakan-akan ini hanya lelucon yang kejam. Tak lama, setiap ras yang masih hidup pun tersadar: tak ada masa depan bagi mereka di sana. Jika mereka ingin hidup, mereka harus lari dari daratan. Menuju ke sebuah tempat di mana taring tajam dari makhluk buas takkan dapat meraih mereka. Menuju langit.











Bagian 2: Si Pria yang Tak Bertanda
[edit]

Apa aku ini? Willem seringkali menanyakannya pada diri sendiri, namun jawabannya mudah: seorang manusia di tempat manusia tidak seharusnya ada. Dengan ia ada saja sudah tidak masuk akal. Karena tak mungkin kembali ke rumah, ia berkelana, selamanya bagai anak hilang.

Di kala mentari terbenam, jalan utama kota menjadi hidup dan berwarna, diterangi oleh lampu kristal yang menggantung di tembok. Seberkas asap ungu muda berhembus, yang kemudian lenyap diterpa orang-orang yang lalu-lalang. Seekor Borgle mengeraskan suara untuk menarik pelanggan. Seekor feline Ayrantrobos wanita, mengeluarkan sebatang rokoknya. Sekumpulan Orc melalui jalanan dengan gelak tawa.

Gang sempit tempat Willem berada jauh lebih tenang. Mungkin hanya ada sebuah bangunan yang memisah kedua jalan tersebut, namun hampir tak terlihat ada hiruk-pikuk yang terjadi di dalam sana.

Ia membayar 32,000 Bradal, sehingga sisa utangnya kini tinggal sekitar 150,000-an. "Aku butuh waktu kurang-lebih setengah tahun lagi, Grick." Willem menghadapi kawan lamanya dan memasang senyum terbaik yang bisa ia kerahkan. "Akan kusiapkan uangnya saat itu."

Mereka duduk di sebuah restoran kecil. Willem mengenakan mantel tua yang banyak bercaknya, namun dengan tudung yang tak menutup kepala, menampakkan wajah tak bertandanya.

“….”

Si pria yang bernama Grick, Borgle berukuran biasa, menghitung uang yang Willem serahkan dengan ekspresi yang tidak senang. Di dalam amplop terdapat setumpuk mata uang receh Bradal, yang mana membuat proses penghitungannya jadi lebih lama.

Keheningan yang terasa canggung pun mengikuti.

“Ahh… oh! Benar juga… bagaimana keadaan Anaala dan yang lain?"

“Anaala? Buruk. Dia ditelan oleh 'Si Tiga' bulan lalu," jawab Grick dengan cepat dan tak acuh, tanpa matanya lepas dari uang-uang itu. "Omong-omong, Gulgura juga mati. Kau tahu bagaimana Pulau Melayang ke-74 jatuh kemarau lalu? Ya, ia terjebak saat itu… kini ia hanya debu kecil di daratan sana."

"Ah… maaf… seharusnya aku tidak menanyakannya.” Pundak Willem turun karena berita sedih tersebut.

Grick, kelihatannya tidak begitu peduli, hanya tertawa. "Santai saja. Kami semua pemburu. Dari saat kami menginjakkan kaki di tanah itu, kami siap untuk mati… atau untuk mengorbankan orang lain jika perlu. Terlebih, mereka berdua telah hidup cukup lama. Kebanyakan pemburu mati di hari pertama mereka melangkahkan kaki di bawah sana."

Ia selesai menghitung. "Yah, ini pas 32,000." Grick dengan rapi menyejajarkan semua uang kertas tersebut sebelum menaruhnya kembali di amplop. "Tapi Willem… kau serius akan ini?"

“Akan apa?”

“Butuh setengah tahun untukmu mendapat 30,000 ini… sisa utangmu 150,000, andai semua berjalan lancar pun kau masih membutuhkan dua setengah tahun lagi."

“Oh, itu. Maaf, sekarang ini aku tidak bisa membawa uangnya dengan cepat."

“Bukan aku ingin memaksamu atau apa, tapi…” Grick terhenti untuk memasukan amplopnya ke dalam tas kulit lusuh. “Seperti yang kau tau, pulau ini terisi oleh mayoritas yang membenci makhluk tak bertanda. Kau tidak mungkin bisa dapat pekerjaan yang pantas. Sekarang kau hanya hidup pas-pasan dengan kerjaan gaji rendah, 'kan?"

“Ah… yah…” Willem menghindari kontak mata.

Grick menatapnya serius. "Jadi uang ini hampir seluruh pendapatanmu dari enam bulan?"

“Dikurangi uang makan… kerjaanku belakangan tak menyediakan makanan."

“Bukan itu maksudku," desah Grick. Ia mulai mengetuk-ngetuk jari berotot khas Borglenya di meja, jelas kelihatan jengkel. "Apa kau melakukan sesuatu dalam hidupmu selain membayar hutang? Itu yang ingin kukatakan… sudah setengah tahun sejak kau tersadar. Apa kau belum menemukan sesuatu yang ingin kau lakukan? Sesuatu yang ingin kau nikmati?"

“Yah… kau tau, orang bilang mengarungi kehidupan saja sudah menyenangkan…”

“Jangan beralasan menyedihkan begitu demi membela hidup membosankanmu." Ucap Grick dengan tajam. "Aku hidup demi apa yang kusukai; Lautan harta karun yang berada di daratan bawah sana.

Material dan teknologi yang ada di sini berserakan dan boleh siapapun untuk ambil. Mencari dan membawanya kembali untuk dijual adalah hal yang kusuka. Pulang dengan tangan hampa… itu pun bisa menyenangkan dengan caranya sendiri. Tanpa sengaja memasuki sarang 'Si Enam'… saat-saat seperti itulah yang membuatku merasa sangat hidup.”

Untuk sesaat, Grick melamunkan petualangan lamanya. "Itulah yang kami para pemburu lakukan. Kau sendiri bagaimana, Willem? Kalau kau orang serius yang suka kerja keras, oke saja buatku… Tapi apa kau pernah memikirkan apa lagi yang akan kau lakukan setelah membayar hutangmu ini?"

“Kopinya agak asin ya?" Tindakkan mengelaknya terlihat sangat jelas. Grick melihatnya dengan heran, tapi masih belum bisa menjawab, Willem mengeluarkan tawa setengah hati. Lalu suasana pun hening seketika.

Pada umumnya, Borgle merupakan makhluk berkarakter simpel; mereka hanya mengikuti insting mereka. Tentunya berbeda-beda tiap individu, namun Grick merupakan Borgle yang memakai otaknya, hingga Willem meragukan identitasnya. Pun, ia orang yang baik, yang mana jadi aspek sifat Grick yang Willem sendiri masih sulit menanggapinya.

“Nah, Willem… aku mungkin punya pekerjaan buatmu. Kau coba saja." Grick memecah keheningan dengan pertanyaan. "Aku kenal orang yang sedang butuh tenaga… ini kerjaan gampang, tapi ini berarti kau harus bekerja dengan yang tak bertanda untuk waktu lama, jadi dia tidak begitu berharap ada yang mau. Toh, menurutku kau tidak ada masalah kalaupun bekerja dengan yang tak bertanda."

"Kenapa tidak kau saja yang melakukannya? Maksudku, kau saja bisa bekerja denganku."

"Aku pemburu. Jiwa ragaku ada di bawah sana, di tanah. Pekerjaan yang harus menjebakku di atas sini bisa buatku gila," ucap Grick dengan tawa kecil. "Mengenai yang harus kau kerjakan… Yah, intinya adalah, kau akan mengurusi senjata rahasia Tentara Bersayap."

“Tentara? Senjata rahasia?” Kedua kata itu tidak memiliki konotasi yang ramah.

Kata ‘tentara’, di Regul Aire sini, biasanya mengarah pada organisasi resmi yang dibuat untuk menghalau serangan dari ’17 Makhluk Buas’. Meskipun dengan dataran yang terletak di atas, Tentara Bersayap masihlah kesulitan menghadapi Makhluk Buas tersebut. Lagipula, merekalah musuh yang sudah menghancurkan segala kehidupan di tanah bawah sana. Agar memiliki kemampuan sekuat mungkin, para tentara telah melakukan segala cara yang mungkin dilakukan -- atau setidaknya begitulah yang digosipkan di jalanan.

“Kau tau sendiri. Aku tidak bisa bertarung lagi.”

“Aku tau, aku tau. Hanya karena aku bilang tentara, tidak berarti kau akan bertarung lagi. Masih ada pekerjaan dibalik meja, kau tau?”

“…misalnya?” Penjelasan yang diberikan Grick tidak memberikan imej yang bagus bagi Willem. “Apa orang yang tua sekalipun bisa mengerjakan ini?”

“Aku rasa tidak akan jadi masalah. Kalau masalah tulis-menulisnya yang kau kuatirkan, aku bisa mengurusnya.” Grick tertawa lagi. “Begini pokoknya. Aku dengar senjata rahasia itu diurus dengan baik oleh Perusahaan Perdagangan Orlandri. Seperti yang kau ketahui, hukum melarang orang biasa memiliki senjata dengan kekuatan tertentu. Tetapi bagi tentara, Orlandri adalah sponsor terbesar, mereka tidak mau merusak hubungan dengan mereka. Terlebih, meskipun Tentara Bersayap harus menyimpan senjata-senjata itu, mereka tidak akan bisa mengurus atau menjaganya dengan teknologi dan keuangan yang sekarang.”

“Jadi secara tertulis, semua senjatanya adalah milik tentara... tapi sebenarnya, perusahaan perdagangan itu yang memilikinya?”

“Tepat sekali. Para tentara mengirim seorang nadir ke sana, tapi ia tidak melakukan apapun. Bagi tentara, nadir[3] itu adalah pekerjaan yang tidak berguna. Tidak punya otoritas, dan hasil kerja pun tidak bisa dipublikasikan karena berurusan dengan senjata rahasia. Itu merupakan satu langkah mundur fatal bagi karir setiap tentara. Itu kenapa mereka mulai mencari orang yang bukan tentara.”

Grick menatap Willem dengan mata Borgle berwarna kuningnya. “Seperti yang kubilang, aku bisa memberimu gelar sebagai tentara. Karena nadir sebenarnya tidaklah melakukan apapun, kau tidak perlu punya bakat khusus. Kau hanya perlu kesabaran dan bisa tutup mulut. Juga, bayarannya sangat mantap. Hutangmu akan lunas dan kau pun masih akan punya sisa uang. Gunakan uang itu untuk hidup dengan caramu sendiri. Aku tau kau punya problema khusus, tapi kau jangan menghabiskan nyawa yang sudah diberikan padamu. Itulah apa yang aku dan yang lain ingi―“ Grick menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ah, maaf… sepertinya aku jadi terlalu lembek setelah melihat banyak temanku meninggal.” Pada wajah Borgle itu terubah ekspresinya dengan sebuah senyum masam.

Semakinlah sulit untuk menolak permintaan tersebut. “Baiklah, tolong jelaskan dengan lebih detail mengenai pekerjaan ini.”

“Kau mau mengambilnya?”

“Aku akan memutuskan setelah dengar lebih jelasnya. Jadi jangan katakan apapun yang bisa membuatku tidak mau menolaknya.”

“Oke. Pertama-tama…” Sebuah keceriaan terlihat di wajahnya, Grick melihat cangkirnya yang berisikan kopi. “Asin juga ya… kopi ini.” Keluarlah senyum sepenuh hati darinya.

Grick merupakan Borgle berakal nan jua bersimpati. Dengan kata lain, orang baik, terkadang Willem kesulitan menanggapinya.



Pulau yang berjumlah ratusan dan membentuk Regul Aire punya sistem penomoran. Di tengah-tengah terdapat Pulau Melayang ke-1, dan dari sana nomor-nomor pun tersebar dengan bentuk spiral. Semakin kamu menjauh dari tengah, semakin pula nomornya membesar.

Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu jadi perhatian. Pulau yang tengah, yakni nomor 1 hingga 40, berletak cukup dekat dengan pulau sebelahnya. Dalam beberapa kasus ekstrim, terdapat pula dua pulau yang terhubung oleh jembatan. Kedekatan antara dua pulau memberikan pertukaran budaya dan ekonomi, yang mana membawa kemakuran pada kota-kota di sana.

Di sisi lain, pulau yang berletak di ujung, yakni setelah nomor 70 keatas, memiliki jarak yang masing-masing jauh dan selalu berbentuk kecil. Alhasil, kota-kota pun jarang, penduduk sedikit, dan tentunya kurang makmur. Bahkan ada pula yang sangat tertutup sampai-sampai kapal udara relasi publik saja tidak mendatanginya.

Fasilitas yang akan jadi lapang kerja baru Willem berada di Pulau ke-68.

Cukup jauh hingga tidak akan dapat hubungan langsung degan kapal udara relasi publik, pulaunya harus lebih kreatif untuk bisa mendapat kewenangan itu. Membeli atau menyewa kapal udara pribadi secara keuangan mustahil dilakukan, jadi Willem memilih naik kapal angkutan umum hingga ke Pulau ke-53, pemberhentian terdekat menuju tempat yang akan ditujunya. Dari sana, ia menyewa tukang sebrang untuk membawanya menyebrang.

Perhitungannya tepat -- kecuali satu hal, yang mana Willem sadari saat ia sampai di Pulau ke-68. Matahari terbenam sepenuhnya.

Angin dingin yang kuat pun menerpa. “Haha…gagal total.” Berdiri sendiri di pelabuhan yang sepi, Willem tertawa sendiri. Keliman jas pada seragam tentara yang baru ia gunakan mengepak-ngepak di udara.

Tukang seberang itu pun langsung bergerak cepat kembali ke Pulau ke-53 setelah menurunkan Willem, jadi, tidak ada kata kembali lagi. Ia melihat sebuah papan tanda, dengan pencahayaan seadanya. Berdasarkan papan tanda itu, kota terdekat jaraknya 2000 malumel ke arah jam tiga, sementara gudang ke-4 Perusahaan Perdagangan Orlandri jaraknya 500 meter ke arah jam sembilan. Di samping tanda itu, terdapat dua pahatan kayu berbentuk panah yang saling berlawanan arah.

“Pasti ini,” gumam Willem pada dirinya sendiri, karena mengingat Orlandri. Panahnya menunjuk pada sebuah jalan sempit yang mengarah pada hutan rindang. Tentunya, tidak ada lampu jalan atau semacamnnya dari yang ia lihat. Meski berjalan menelusuri tempat tak bercahaya itu tidaklah mengenakan, Willem tidak bisa diam di sini dan menunggu sampai pagi. Awalnya ia ingin menuju ke kota dan mencari sebuah penginapan, tapi jalan ke sana masih terlampau panjang dan tentunya tidak lebih terang. Melihat langit berbintang sekali lagi, Willem mendesah dan melangkah ke dalam kegelapan.

Bintang itu terkadang mengintip dari celah di antara pohon, memberikan Willem cukup cahaya untuk tetap pada jalannya. Namun jika berjalan dengan begitu, membuat gerak jalannya melambat. ‘’Gelap.’’ Tentunya, Wilem tau itu bahkan dari saat sebelum melangkah menuju hutan. ‘’Aku tidak bisa melihat kakiku melangkah’’. Ini pun sudah ia perkirakan sebelumnya, tapi ia masih mengeluhkan hal itu.

Saat berjalan dengan payah, Willem tiba-tiba saja mengingat sebuah dongeng yang ia baca ketika kecil. Seorang bocah memasuki sebuah hutan di saat malam di musim panas, hingga ia tidak kembali lagi. Di hutan, sekumpulan peri menyekapnya dan membawanya pergi ke negerinya di dunia lain --- atau sesuatu yang semacam itu. Saat itu, Willem berpikir kalau mungkin hal yang sama pun akan menjemputnya, jadi ia berjanji tidak akan dekat-dekat dengan hutan di malam hari. Guru dan si "anaknya" seringkali mengejeknya karena ini. Sekarang karena ia bukan bocah penakut lagi, hal itu terasa seperti cerita lucu baginya, tapi…

“Tidak ada binatang berbahaya di sini…’kan?”

Antara diculik peri dan dimakan binatang buas, kemungkinan kedua merupakan masalah yang paling relevan saat ini. Hutan ini dan Pulau ke-68 itu sendiri dikatakan cukup besar dari standar Regul Aire. Tempat itu bisa dianggap sebagai tiruan dari alam yang pernah diketemukan di tanah, jadi ia tidak bisa menghilangkan kemungkinan akan diserang oleh serigala ataupun beruang yang bersembunyi dalam kegelapan.

‘’Apa aku sanggup menahan serangan beruang?’’ Tanya Willem pada dirinya sendiri. Bagi dirinya yang dulu, beberapa binatang buas bukanlah masalah. Namun sekarang, karena telah kehilangan kekuatan, ia tidak bisa yakin.

Ia merasakan sesuatu yang basah di bawah kakinya. Seakan ia sudah melenceng dari jalan saat ia melamun. Dari harum air yang tercium lemah, dan juga suara dari tekstur tanahnya, Wilem menganggap ia tersasar ke daerah yang basah.

Campuran air, lumpur, dan angin menghasilkan harum yang entah kenapa membuat rindu. ‘’Apa tempat ini benar-benar di langit?’’ Sambil membayangkan rumah, ia mengarungi gelapnya rawa itu dengan senyum masam. Dari sudut matanya, ia melihat secercah cahaya. Bola cahaya itu bergerak menggantung dengan tidak menentu ke kiri-kanan sambil perlahan membesar. Seseorang datang.

“Apa ada yang mendatangiku?”

Ketika si kapal tukang seberang tadi mendarat di pelabuhan, mungkin saja fasilitasnya sudah mengetahuinya. Kalau begitu, tidaklah mengejutkan kalau ada teknisi atau peneliti atau hal lainnya melihat itu dan datang menjemputnya.

‘’Wah, kalian tidak semestinya datang jauh-jauh hanya untuk menjemputku.’’ Willem mengatakan itu dalam kepalanya saat ia bergerak menuju cahaya.

“Kena kamu!!”

Cahaya itu melompat ke udara. Teriakkan pernyataan bertarung, yang walau sebenarnya sedikit terlalu imut untuk dikatakan teriakkan, bersuara pada udara lembab sana. Willem melihat sebuah pedang kayu menusuk keluar dari kegelapan, bergerak turun dari atas dengan kecepatan yang sangat tangkas.

‘’Kenapa?’’ Ia berpayah-payah mencari alasan kenapa ia tiba-tiba diserang. ‘’Ini buruk.’’ Menghindari serangannya saja akan mudah. Yang jadi masalah adalah si penyerangnya, yang mana sedang bergerak di udara, dia akan jadi penarik perhatian karena jika dipikir dengan mengikuti hukum fisika, dia akan jatuh ke tanah rawa yang ada di belakang Willem.

‘’Harus apa… harus apa…’’ Sebelum terpikir apa yang harus dilakukan, tubuhnya langsung bergerak dengan sendirinya. Willem melangkah maju, memosikikan dirinya di bawah daya serang pedang itu. Ia merentangkan tangannya dan menerima beban penuh dari tubuh si penyerang. ‘’Ah. Lebih berat dari yang kukira… sepertinya kakiku tidak akan kuat lagi.’’

Instingnya sebagai tentara benar saja, mengubah gerak tubuhnya menjadi mode untuk menyerang dan mencoba mengaktifkan Venenum dari dalam tubuhnya. Ini biasanya akan menguatkan ototnya dan mempertajam pikirannya, tapi Willem malah merasakan rasa sakit yang kuat pada sekujur tubuhnya. Kekuatan di tangannya lenyap, dan ia terjatuh ke belakang, mendaratkannya di daerah basah dengan suara yang keras.

Di saat setelah jatuh, hampir seluruh rasa panas dari Willem telah terbawa hilang oleh air yang membuatnya basah kuyup. Api kecil yang mungkin dibuat oleh Venenum menyala di tangan kanan si penyerang. Cahaya itu seakan membuat dunianya sendiri, seakan tidak ada hubungannya dengan kegelapan yang mengelilinginya.

Si penyerang terduduk di perut Willem dan melihatnya dengan wajah puas. Willem melihat rambut dan mata yang sama-sama ungu warnanya.


“Panival! Apa yang kamu lakukan?!”


Sebuah cahaya sihir lagi, menari-nari di antara pepohonan menghampiri. Tak lama, gadis lain muncul dari kegelapan. Willem mengingat rambut biru langitnya.

Si perempuan berambut ungu masih terdududuk dan mengangkat kepalanya, menyombongkan diri pada orang yang baru datang itu. “Si karakter misterius sudah ditaklukkan.”

“Kamu tidak seharusnya ada di sini, tanah di sini semua basah-basah jadi baha--- eh?” Si gadis yang tak asing itu melihat Willem dengan muka terkejut. “Si karakter misterius itu… kamu? Kenapa?”

“Yah… lama tidak bertemu…” Ia sedikit mengangkat tangannya dan melambaikan tangan sambil tersenyum pada si gadis.



Tentunya, Willem tidak kuat berbasah-basahan seperti tadi untuk selamanya. Setelah mandi dan mengganti pakaian, ia berdiri di depan sebuah cerrmin. Sesosok lelaki berambut hitam membalas tatapannya dengan ambisi yang nol besar. Senyum lemah yang ia kenakan terasa sangat alami, seakan otot wajahnya secara permanen dibentuk jadi seperti itu.

Untuk menutupi dirinya yang tak bertanda, Wiillem pernah memakai taring dan tanduk palsu. Akan tetapi, ia jadi kelihatan menyeramkan sampai membuatnya stres sendiri. Ia menyimpulkan tambahan khas di wajah begitu ditujukan untuk mengungkapkan keganasan seseorang saja, jadi tidak begitu pas dipakai pada orang yang tidak punya keganasan dalam diri mereka.

Sambil memeriksa apakah masih ada lumpur tersisa di tubuhnya atau apakah masih ada bekas luka, Willem mengaca pada dirinya, mengingat betapa lemahnya ia sekarang. Menggunakan sedikit Venenom saja sudah membuatnya repot. Padahal dulu, ia bisa siap bertarung meski dalam tidur.

‘’Kurasa sekarang tidak perlu lagi aku pikirkan hal yang sudah hilang.’’ Willem melangkah keluar, ke lobi dari fasilitas tentara[4] --- yang mana tidak kelihatan seperti fasilitas tentara sama sekali. Lantainya dibuat dari papan kayu tua yang rusak, dan banyak plester di temboknya. Beberapa kamar berjejer di lorong dengan jarak yang tidak jauh sama sekali. Tertempel pula pada tembok di sisi Willem tiga lembar kertas: satu menampilkan jadwal piket rumah, satu tanda peringatan toilet rusak di lantai dua, dan satu lagi tulisannya ‘Jangan berlari di lorong!’.

Terakhir, ia melihat beberapa anak perempuan mengintip dari belakang banyak benda, semua ingin melihat si lelaki asing yang baru itu.

“Lewat sini.”

Si gadis berambut biru mengantarnya. Setelah bisa melihatnya lagi dari dekat, Willem mengira-ngira umurnya mungkin sekitar lima belas, ini berdasar pada standar manusia. Dia punya tubuh dan ciri khas yang sama seperti manusia, tak bertanda. Yang membedakannya ialah rambut birunya, mengingatkan pada langit musim semi. Seorang Emnetwyte tidak mungkin bisa memiliki warna rambut begitu, betapapun ia berusaha mewarnainya.

Dibandingkan dengan saat mereka bertemu di Pusat Perbelanjaan Briki, si gadis kini terlihat lebih tenang dan dingin. Walau begitu, Willem tau kalau itu bukanlah sifatnya yang sebenarnya. Setiap kali dia bingung atau ragu, selalu terlihat jelas dari mata biru lautnya.

Orang bilang, terserah kau mau bertingkah bagaimana pada orang di tengah perjalanan, karena mereka tidak akan menemuimu lagi. Si gadis yang Willem lihat beberapa hari lalu pasti memiliki pemikiran begitu. Dia mengingatkannya pada rekan kerjanya dulu, seseorang yang sulit jujur pada dirinya sendiri. Saat ia memikirkan teman lamanya, sebuah senyuman terpasang di wajahnya.

“K-Kenapa?”

“Ah, bukan. Ayo terus.”

Biasanya perempuan itu akan gugup waktu melihat Willem, seperti dia ingin bilang sesuatu, terus dia hanya berbalik dan menjauhinya. Karena tidak mengerti sifat adem-ayemnya sekarang, Willem tetap mengikuti tanpa bercakap apa-apa. Si gadis berambut ungu yang kelihatan masih berumur sepuluh tahun, Parnival, mengintip mereka dengan rasa penasaran.

Setelahnya mereka sampai di sebuah ruangan yang kelihatan nyaman, dengan sebuah meja dan kursi, sebuah rak buku, kasur, dan beberapa tambahan lain berserakan.

“Ini seharusnya gudang, 'kan?" Sontak keluarlah pertanyaan yang dibingungkan Willem dari sejak ia masuk kemari.

“Reaksi yang biasa sekali."

Seorang perempuan duduk di ruang itu. Tak bertanda jua. Dari penampilannya, dia mungkin delapan belas tahun, seumuran Willem, atau mungkin sedikit lebih tua. Rambut yang tidak begitu merah jatuh hingga sampai pundaknya. Mata hijau rumput miliknya terkunci pada Willem, dan dia juga mengenakan blus dengan apron. Sikap lembut berbudinya memberikan kesan elegan padanya.

“Selamat datang di gudang senjata rahasia," ucap wanita itu. "Lama tidak bertemu, Willem. Kamu bertambah tinggi, ya?"

“…kenapa kau di sini, Naigrat?" Heran Willem.

Suara benturan yang lemah bergema dari luar, namun Willem berpura-pura tidak dengar.

"Kenapa? Tentu karena aku bekerja si di sini. Aku terkejut saat aku dengar kamu dari Grick. Aku tidak habis pikir kamu akan dikirim kemari. Oh, selamat atas kenaikan jabatannya, Willem Kumesh, Teknisi Senjata Terkutuk. Naik pangkat cepat juga, ya? Kamu saja langsung itu jabatannya di hari pertama masuk militer…”

“Jangan melecehkan aku… Aku tahu itu cuma jabatan yang tidak berarti. Ngomong-ngomong… Si 'orang yang butuh tenaga untuk kerjaan gampang' yang dikatakan Grick…"

“Ah, itu aku."

“Si brengsek itu." Willem mencatat dalam batinnya kalau ia akan menghajar Grick saat mereka bertemu lagi. Grick sendiri mungkin sudah bersiap, karena ia sadar sudah menyiapkan jebakan ini untuk Willem.

“Oh iya, hutan malam-malam begini sangat menyeramkan, 'kan? Kalau saja kamu menghubungi kami dulu sebelumnya, sudah kami jemput kamu dari pulau terdekat."

Naigrat mengarahkan Willem untuk duduk. Sebuah set untuk menikmati teh tertata di meja, mungkin sudah siap saat Willem mandi tadi.

“Aku tidak biasa berkendara selama itu…dari sini, Pulau ke-28 lebih jauh dari yang aku kira. Nanti lagi akan menghubungimu."

“Iya, lebih baik begitu…ngomong-ngomong, pakaian itu sangat cocok untukmu."

“Tapi ketat dan pengap…”

“Jangan ungkap hal yang menyedihkan, Willem…dibandingkan saat pertama kali kamu terbangun, kamu dua puluh persen lebih kelihatan enak."

“Jadi resikoku untuk mati meningkat dua puluh persen…"

“Aw, jahat sekali…kamu bisa percaya padaku. Pernah, 'kan, aku bilang begitu padamu? Meskipun aku Troll dan kamu adalah hidangan yang super duper langka, aku tidak mau memakanmu." Naigrat menepukkan kedua telapaknya, lalu memiringkan kepalanya dan meneruskan. "Maksudku, tidak baik menyia-nyiakan satu-satunya manusia yang ada di dunia hanya untuk memuaskan rasa lapar sesaat."

Harus diakui Willem bahwa mimik yang dia buat cukup imut, namun kata-katanya membuatnya merinding setengah mati.

“Tapi tentu saja, kalau kamu bilang aku boleh memakanmu, aku akan lakukan…"

"Tidak. Sama sekali tidak."

“Hmm? Kamu tidak mau berubah pikiran? Satu tangan saja, ya? Satu jari, ya?"

Willem mendesah. Semakin lama percakapan ini berlangsung, semakin terancam pula jiwanya.

Troll, adalah contoh monster yang paling paradigmatik, biasa muncul dalam kisah hantu yang diceritakan oleh pengelana di waktu zaman muda Willem. Seorang pria atau wanita berparas rupawan tinggal sebatang kara di sebuah rumah yang jauh dari perkotaan. Ketika pengelana yang mencari tempat istirahat datang, ia akan menerimanya masuk, menyambutnya dengan penuh semangat, mengurusinya, hingga saat tengah malam, ia akan memakannya.

Willem mengira cerita-cerita itu hanya mitos, tahayul yang dibuat supaya para pengelana tetap waspada di tempat asing, sampai tempo hari lalu. Waktu ia tahu bahwa Troll benar adanya sebagai salah satu tipe Ogre, Willem jadi tegang dan mulutnya sendiri menganga untuk lima menit penuh. Kemudian, si orang yang menceritakan hal itu pada Willem, yang ternyata adalah Naigrat, tertawa sambil berkata "Aku bingung harus bereaksi bagaimana waktu dianggap makhluk mitologi."

Lagi-lagi, Willem mendengar suara ketuk-ketuk dari luar ruangan. Ia merasakan ada sesosok yang ada di dekat mereka, tapi ia tetap memilih mengabaikannya.

“Kita bicarakan bisnisnya sekarang…aku diberitahu kalau aku tidak banyak melakukan apa-apa, tapi aku tidak tau rincinya seperti apa. Besok aku harus apa? Atau, aku harus apa sekarang?"

“Hmm…baiklah. Kamu mau, 'kan, tinggal di sini?"

"Tentunya. Aku dikirim ke sini untuk mengurusi 'senjata-senjata' itu, jadi aku harus tinggal di tempat yang sama dengan senjata ini."

“Dua orang sebelumnya datang di hari pertama lalu langsung pergi tanpa kelihatan lagi batang hidungnya, lho."

“Serius!?” Karena pikir Willem pekerjaaan yang didapatnya kini hanya kerjaan yang mudah.

“Jadi kalaupun kamu bilang 'aku ogah tinggal di sini!' dan memilih tinggal di tempat lain ya tidak masalah juga…"

"Kau bilang tidak masalah, tapi pas di saat aku berbalik pergi, kau akan langsung menusukku begitu, 'kan?"

“Kamu pikir aku ini orangnya bagaimana, sih…?"

Ogre pemakan manusia.

Willem menghela nafasnya. "Yah, tak acuh pada pekerjaan itu bertentangan dengan prinsipku, meskipun pekerjaannya tidak berarti. Aku datang kemari dengan niat untuk tinggal."

“Begitukah? Bagus!" Seru Naigrat kala dia menempatkan kedua tangannya di sisi mulut. "Kalau begitu, aku harus cepat-cepat bereskan kamarmu. Oh, pasti kamu lapar juga. Aku yakin masih ada sisa di ruang makan…besok aku akan merayakan kedatanganmu, jadi tunggu, ya!"

Mendesah lagi. Willem selalu kesulitan berurusan dengan Naigrat. Walau bukan karena dia ingin memakan Willem (sebenarnya keinginannya inilah yang paling besar pengaruhnya), sebagai lelaki, ia merasa kalau kelakuannya…terasa ada yang aneh.

“Hehe…mengurusi Willem…sudah hampir setahun, ya? Aku jadi tidak sabar."

Willem adalah lelaki, dan masih pemuda. Sebagai pemuda, emosinya masihlah labil. Dengan kata lain, dalam situasi yang seperti ini, diurusi oleh seorang perempuan (yang punya ras dengan tubuh mirip manusia), membuat hatinya sedikit canggung.

Tetapi, ia tau cara menanggapi kebaikan Naigrat, yang mungkin tidak ada perasaan cinta di dalamnya. Rasa pedulinya seperti seorang peternak yang mengurusi sapi-sapi atau ayam-ayam mereka. Dia baik pada Willem hanya memenuhi siklus biasanya, [urusi dengan sepenuh hati] ---> [makan].

Tolong tenang, instingku. Alasan, aktifkan. Orang di depan matamu adalah predator. Jantungmu berdetak lebih kencang karena hidupmu dalam bahaya. Jangan salah paham. Ujar Willem pada dirinya sendiri, terus-menerus sampai detak jantungnya kembali normal.

“Wajahmu kenapa pucat begitu?" Gadis itu masih tetap waspada terhadap perang batin si jejaka.

“Cuma ingin memastikan lagi…kau tidak akan memakanku, 'kan?"

“Tidak-tidak, aku hanya ingin mengurusimu saja. Kami para Troll secara alami suka memberikan pelayanan paling ramah pada tamu. Aku janji aku tidak akan memakanmu (untuk sementara ini)."

“Oke…bisa tolong ulang lagi bisikkanmu dengan jelas?"

“Hm? Aku tidak bilang apa-apa." Jawab Naigrat dengan acuh-tak acuh, lalu perlahan berdiri dan membuka pintu.

Warna-warna oranye, hijau, ungu, dan merah jambu terjatuh ke atas karpet seperti pelangi runtuh. Empat anak perempuan yang kelihatan masih sepuluh tahun dengan rambut yang beragam warnanya, saling bertumpukan.

“Hei! Jangan dorong!" Teriak satu perempuan yang ada di bawah temannya.

“M-M-Maaf! Maaf!" Ucap salah satu anak sambil terus menerus mengangguk-anggukan kepalanya.

“Ayy Naigrat, ada apa?" Kata perempuan bernama Panival dengan tenang.

"Hei! Maaf!" Kata perempuan terakhir, meminta maaf dengan biasa ditambah dengan seringaian yang enerjik.

Anak-anak perempuan itu mulai berkata dengan berbarengan. Naigrat yang tidak memperhatikan omongan mereka hanya menaruh kedua tangannya di balik punggung, dan mengatakan sebuah perintah. "Kembali ke kamar kalian."

Salah satu anak perempuan dengan gemetar mengangkat tangannya. "Um…sebelum itu, kami ingin memperkenalkan diri kami sama nadir barunya…"

Yang lain mengangguk setuju.

“Kalian dengar yang aku bilang tadi?" Dia memiringkan kepalanya sedikit dan menatap mereka dengan tegas. Lalu, dia tersenyum. "Atau, kalau kalian masih bandel…aku akan memakan kalian!" Ancamannya diucapkan dengan suara lembut dan halus, seperti seorang ibu yang meninabobokan bayinya.

Tanpa basa-basi lagi, mereka langsung kabur dari ruangan itu. Itu merupakan gerakkan yang cepat.

“Baiklah, ayo." Naigrat berbalik dan memanggil Willem.

“Ah…” masih agak keheranan, ia tidak mampu menjawabnya.

Selama mereka berdua menyantap makan malam, Naigrat yang tengah berceria tersenyum terus dan bersenandung dengan pelan sembari terus melihat Willem. Karenanya, Willem merasa sedikit gelisah selama mereka makan.


Ruang manager-nya hampir tidak ada apa-apa di dalamnya. Meski tidaklah kecil, ruangan itu berisikan sebuah kasur, toilet, dan sebuah lampu yang menempel di tembok. Tidak ada karpet yang menutupi lantai kayunya, dan tidak ada gorden yang menutupi jendela. Pemandangan di luar jendela hanyalah hitam pekat, seakan jendelanya telah dicat oleh tinta. Melihat keluar saja membuat Willem merasa ia akan tersedot ke sana, atau dihancurkan oleh kegelapan yang mencekam.

Ruangan yang nyaman, pikir Willem. Biasanya, ia tinggal di sebuah apartemen yang dibuat untuk para buruh ras Borgle. Sulit untuknya merasa nyaman dan tidur di kasur yang ada karena adanya perbedaan antara tubuhnya dengan tubuh Borgle, pun masalah kebersihan jadi perhatiannya. Setiap malam ia lebih memilih tidur di lantai dengan bermodalkan sebuah selimut. Dibandingkan kamar seperti itu, kamar lain kelihatan seperti surga baginya.

Willem melempar barang bawaannya ke lantai dan mencoba kasur itu. Bahan lembut dan harum perlahan memulihkan rasa lelah tubuh hingga membawanya ke dalam tidur yang lelap.

“―sebelum itu…”

Ia berhasil melepas rasa nyaman dari punggungnya sebelum sepenuhnya terlelap. Pertama, ia harus melepas seragam militernya. Lalu, ia mengambil beberapa kaos yang ia bawa ke dalam toilet. Tidak ada tempat yang pas untuk menyimpan barang-barangnya yang lain, walau sedikit, sehingga ia simpan saja semua dalam tas.

Hening sekali. Kesenyapan ini menenangkan Willem yang selalu hidup di tengah-tengah huru-hara di Pulau Ke-28. ― atau sebaliknya…

“Menurut kamu ia sudah tidur?"

"Entahlah…aku baru pertama kali lihat laki-laki."

“Pelanin suara kamu. Kita bisa ketahuan."

Bisikkan-bisikkan dibalik pintu memecah kesenyapan itu. Mungkin bocah-bocah yang diurusi Naigrat tadi belum mau menyerah…

Willem dengan nafas tertahan bergerak menuju pintu tanpa bersuara sedikitpun. Ia. Letakkan tanagannya pada knob pintu, berhitung sampai tiga dan membukanya dengan cepat. Para perempuan-perempuan cilik itu jatuh masuk ke ruangannya dan membentuk reruntuhan pelangi lagi.

SukaSuka Chapter 2 Part 2.png

“A-Apa?!"

"M-Maaf! Maaf!"

“Halo, Pak Nadir! Malam yang indah ya?"

Willem berjongkok supaya bisa menatap mata mereka dan menggerakkan telunjuk pada depan mulutnya. Mereka kesap-kesip karena kaget untuk sesaat, namun kemudian mereka mengikuti gerakkan Willem pada diri mereka sendiri untuk menebak apa yang ingin dikatakan Willem.

Kalian akan dimakan Naigrat. Baik Willem dan perempuan-perempuan itu seakan saling membisikkan sesuatu dengan hanya saling menatap. Di mana pun dan kapan pun, waktu kamu melihat ada anak-anak ingin melakukan sesuatu, kamu bisa menakut-nakuti mereka dengan keberadaan sosok setan.

Willem mengarahkan mereka untuk masuk ke dalam. Kursi-kursinya tidak cukup untuk mereka semua, tapi mereka pasti akan ketahuan jika diam saja di lorong. Baru saja mereka mereka masuk, mereka langsung mengerumuni Willem, menyudutkannya di tembok.

“Kamu datang dari mana!? Apa ras kamu!?"

"Ada hubungan apa dengan Naigrat? Perbincangan kalian kedengaran rumit banget!"

“Kamu punya pacar? Sukanya cewek yang kayak 'gimana?"

“Makanan kesukaannya apa? Atau yang enggak disuka apa?"

“Eh, dari semua pertanyaan kami, mau jawab yang mana dulu?"

Seperti banjir bandang, pertanyaan terus saja berdatangan sampai Willem mengangkat tangannya sebagai isyarat untuk berhenti.

“Akan kujawab pertanyaanmu dulu. Aku tidak punya pacar, tapi aku suka perempuan dengan umur sedikit lebih tua dariku yang baik dan bisa diandalkan. Makanan kesukaanku itu daging yang sangat pedas, dan aku tidak punya makanan yang tidak disuka ― tapi tempo hari lalu aku melihat kotak makan Reptrace, dan aku hampir muntah. Hubunganku dengan Naigrat itu seperti seorang peternak dan sapinya yang tersesat. Tadi pagi aku masih tinggal di Pulau ke-28. Dan rasku…aku punya darah campuran, jadi aku tidak tahu rasku apa." Willem memecah setiap meriam pertanyaan yang ada sambil menunjuk setiap orang yang menanyakannya.

Semua berdecak kagum. Merasa puas, Willem, tertawa bangga. Karena diurus oleh panti di masa kecil, menghibur anak kecil merupakan salah satu keahlian khususnya. Ngomong-ngomong, setiap kali si 'Putri', yang mana sama diurusi oleh pihak panti, melihat Willem seperti itu, dia akan menyebut Willem menyeramkan.

Ahh…anak-anak memang luar biasa. Anak-anak perempuan, tidak seperti wanita ― terutama si troll yang satu itu ― mereka tidak membuat Willem bingung dengan sikap mereka yang menimbulkan pemikiran yang tidak-tidak. Ia tidak perlu mencurigai motif dibalik kebaikan mereka. Ah…makhluk yang indah.

“Namaku Willem. Aku akan membantu-bantu di sini."

“Kamu bakal tinggal di sini?"

"Ya, soalnya itu kerjaanku."

Keluarlah lagi suara ketakjuban dari mereka. Berdasarkan bisikkan-bisikkan mereka, Willem menilai bahwa jarang sekali ada orang bertinggal di sini. Masuk akal, karena bepergian menuju ke Pulau-68 tidaklah mudah, Willem sudah merasakannya sendiri di hari ini. Sehingga wajah baru di sini menjadi hal menarik bagi mereka.

“Hei! Apa yang sedang kalian lakukan?" Sebuah suara yang terdengar seperti teguran terdengar dari lorong.

Mereka pun terpukul diam. Yang berdiri di luar bukanlah Naigrat seperti yang dikira Willem tadinya, namun si gadis dengan rambut biru langit.

“Ia sudah datang jauh-jauh dan pasti ia capek, jadi jangan ganggu ia. Kalian dengar kata Naigrat, 'kan?"

"Umm…ahh…" si perempuan berambut oranye hanya berkomat-kamit.

"Aku penasaran sekali," kata yang berambut ungu.

“Iya itu! Itu namanya hasrat yang enggak bisa tertahankan!" Seru si yang berambut merah jambu.

Memotong penjelasan mereka, si gadis berambut biru kembali mengomeli mereka. "Kalian dengar kata Naigrat, 'kan?"

“Siap bu!"

Mereka kembali mundur dengan sempurna. Willem mendengar ucapan selama tinggal yang menggema, yang semakin lama semakin lemah dan menghilang dari lorong.

"Hmh, mereka susah nurutnya." Kemudian dia melihat Willem. "Maaf ya…anak-anak di sini sukanya menganggu."

"Tidak masalah…aku terbiasa dekat anak-anak."

“Bagus kalau begitu, tapi jangan terlalu memanjakan mereka. Kalau kamu membiarkan mereka begitu saja, mereka bisa jadi liar."

"Haha, aku akan hati-hati." Willem tertawa, yang kemudian membuat si gadis menelan ludah seakan dia ketakutan.

Untuk sesaat terjadi kesunyian. Si gadis, yang Willem kira akan lanngsung bergegas pergi setelah membawa anak-anak keluar, tidak bergeming.

Dia seperti mengingat sesuatu. "Ah…maaf soal Parnival waktu di hutan barusan. Dia sedikit bersemangat…dia tidak bermaksud menyakitimu."

"Tak apa…aku tidak masalah. Karena sudah mandi, aku tidak akan masuk angin atau semacamnya."

“Oh…baiklah…um…" Dia terhenti lagi. "Kutori…"

“Hm?”

“Namaku. Bagaimana bilangnya ya… Jadi agak canggung juga karena sebelumnya aku bilang padamu untuk melupakan namaku…tentu kamu tidak perlu mengingatnya juga… Tapi karena kamu akan di sini…kurasa aku perlu memberitau padamu namaku."

“Ah….” Willem berpikir untuk sesaat. Oh, iya. Kita belum berkenalan.

“Aku Willem. Senang berkenalan denganmu, Kutori."

Dia diam sesaat untuk menghela nafas. "Juga…umm…" Karena tak bisa menemukan kata yang pas, dia hanya mengatakan, "Lupakan. Maaf sudah merepotkanmu…kamu isitirahat saja ya."

Saat Kutori berbalik untuk pergi, tiba-tiba saja Willem teringat akan sesuatu. Ia melupakannya saat berkenalan dengan Naigrat, tapi masih terngiang pertanyaan yang belum terjawab dari sejak ia datang kemari.

“Tunggu…aku ingin bertanya."

“Eh?”

Pintunya yang baru saja ditutup perlahan terbuka dengan derakan. "Aku kemari sebagai pengurus senjata Perusahaan Perdagangan." Si gadis mengangguk. "Dan ini gudang tempat senjata-senjata itu."

"Mhm." Dia mengangguk lagi.

“Tapi aku lihat-lihat, tempat ini tidak seperti gudang bagiku. Di mana senjata-senjata itu?" Ia melihat ke sekeliling ruangan itu. Ke luar jendela. Ke manapun ia melihat, hanya ada bangunan biasa. Tidak seperti gudang.

Atau mungkin, saat ia dengar kalau senjata-senjata itu digunakan untuk melawan ke-'17 Makhluk Buas', Willem menganggapnya sebagai senjata yang hanya bisa dibawa oleh golem raksasa atau semacamnya, namun sebenarnya tidak sebesar itu. Karena itu, mungkin senjatanya ditempatkan di satu ruangan tertentu di sini. Namun, masih ada satu pertanyaan yang belum terjawab.

“Dan…aku tidak tahu haruskah kutanya padamu atau tidak, tapi kalian ini apa? Kenapa kalian hidup dalam sebuah fasilitas militer?"

Untuk sesaat, Kutori menatap Willem dengan kosong. "Kamu datang kemari tanpa tahu apa-apa?" Dia menatap Willem dengan mantap. "Terus kamu main dengan anak-anak tanpa tahu situasi dan kondisi mereka? Kamu pasti orang yang bertindak tanpa berpikir dulu, ya?"

“Ah…” Willem tidak bisa membalas kata-katanya. Ia sadar kalau ia terkadang bertingkah irasional.

“Biarlah. Ini bukanlah suatu rahasia, jadi, akan kuceritakan padamu. Jawaban pada pertanyaanmu yang pertama adalah pertanyaanmu yang kedua. Dan sebaliknya, jawaban pertanyaanmu yang kedua adalah pertanyaanmu yang pertama.

“Eh?" Itu adalah teka-teki. "Apa maksudnya?"

“Kamu tidak perlu susah-susah memikirkannya. Sama seperti kedengarannya. Kami adalah senjata tersebut." ― Ah..

Butuh waktu agar otaknya memahami maksud perkataannya.

Kutori melambaikan tangannya. "Baiklah. Senang berkenalan denganmu, Pak Nadir." Dia melangkah keluar menuju pintu dan menutupnya.
























SukaSuka Chapter 3.png

Bagian 1: Si Nadir Dangkal
[edit]

Apa aku ini? Seringkali Willem menanyakannya pada diri sendiri.

Dulu sekali, ia tinggal dalam sebuah panti, di mana ia bertemu dengan gurunya. Guru itu mengurusi dan mengajari segala yang ia butuhkan untuk bertahan hidup. Guru itupun merupakan orang yang buruk. Sebagai pengurus dari panti tersebut, wajarnya ia bertindak seperti orang tua pengganti bagi anak-anak di sana. Akan tetapi, ia menolak mentah-mentah kewajiban tersebut, sehingga Willem yang sedikit lebih tua dari anak-anak lain mengambil peran sebagai 'Ayah' mereka.

Si guru selalu mabuk dan menceritakan pengalaman yang dibuat-buat semasa ia dalam Regal Brave. Meski ia kuat, ahli berpedang, dan luas pengetahuannya, anak-anak semuanya berpendapat sama, kalau ia lebih seperti anti-hero ketimbang sebaliknya.

Masih banyak keburukan gurunya yang bisa disebutkan Willem, tapi kalau dihitung-hitung, saking banyaknya, bisa saja tidak akan berakhir-akhir. Ia bersiul dengan kurang ajar pada gadis-gadis di kota, membuat anak perempuan membaca buku aneh, tidak mau mencukur kumis-jenggotnya padahal sudah disuruh oleh orang lain ― tidak pernah ada di rumah di waktu-waktu penting. Terus saja, banyak sekali. Sehingga Willem yang kala itu masih muda bersumpah tidak mau menjadi orang dewasa yang seperti itu.

Di antara banyak perkataan gurunya, kalimat ini selalu teringat oleh Willem: "Jaga wanita. Pria tidak bisa lari dari mereka. Juga jagalah anak-anak. Orang dewasa tidak bisa menang melawan mereka. Kalau lawan perempuan, siap-siap saja. Apapun yang kita lakukan, kita bukan saingan mereka." Waktu si guru mengatakannya, Willem tidak begitu menganggapnya serius. Ia tidak mau memikirkan hal merepotkan begitu. Tapi sialnya, dari sekian banyak hal yang diajari si guru, hal itulah yang justru menuntunnya hingga sekarang.

Berkatnya, terkadang Willem disangka seorang pedofil ― tapi ia tidak mau repot memikirkannya.



Tidak melakukan apa-apa bukan hanya lebih dari tepat dalam menggambarkan pekerjaan yang Willem bayangkan, tapi juga lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan. Coba saja, dalam tempo enam bulan, ia selalu dipaksa bekerja keras terus menerus, setelah satu kerjaan sulit dengan bayaran buruk selesai, datang lagi pekerjaan baru. Dari subuh hingga larut malam, atau bahkan sampai pagi lagi, ia bekerja sampai ia tidak bisa bekerja lagi. Untuk tidur saja, ia memilih untuk tidur di sela-sela waktu kerja, jam berapapun saat itu.

Jadi, bisa tidur nyenyak di atas kasur empuk dan bangun di hangatnya mentari itu merupakan suatu kenyamanan yang tiada tara bagi Willem. Namun ia sulit beradaptasi dengan situasi barunya, yang tidak mengharuskan banyak ini-itu, yang mengharuskannya tetap terjaga 24/7. Memanfaatkan kemerdekaan ini, ia kembali mengingat saat-saat ia lebih memilih tidak acuh pada hal lain selain memikirkan sesuatu yang tidak penting untuk dipikirkan.

Willem juga masih belum terbiasa dengan rumah barunya, rumah yang disebut gudang ini. Di dalamnya ada sekitar tiga puluh anak yang tinggal di dalamnya, semuanya perempuan, dengan umur antara 7 hingga 17 tahun. Juga, merka semua punya rambut yang terang warnanya. Pola warnanya hampir seperti dari lukisan abstrak, walau begitu, bagi Willem warna-warna itu tidak terasa dibuat-buat, mungkin karena memang warna pada rambut mereka bukan dari cat rambut.

Anak-anak di sini tidak pernah berurusan dengan orang dewasa, terutama laki-laki, jadi ada yang penasaran dengan Willem, dan ada juga yang menghindarinya. Menurutnya sekumpulan anak yang kemarin datang adalah pengecualiannya. Ya memang, bukan salah mereka juga. Mereka telah diurus dalam dunia kecil ini, yang mana hanya terisolasi dalam gudang. Wajar saja kalau pendatang baru bertampang aneh lagi besar sepertinya, tidak mendapat sambutan hangat.

Berjalan di lorong, ia selalu merasakan ada sejumlah presensi yang tersembunyi dalam bayangan. Tapi setiap kali ia berbalik, ia hanya bisa melihat anak-anak yang sedang lari menyelamatkan diri. Tak lama, Willem jadi merasa bersalah karena keluar dari kamarnya dan mondar-mandir menelusuri bangunan ini.

Ya tentunya, kalau ia hanya mengutu di dalam kamarnya terus, tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia tidak punya hobi, dan berlatih juga sudah tidak berguna lagi karena ia tidak perlu bertarung. Tidak masalah bagi Willem untuk sesekali duduk di dekat jendela sambil memandangi ke luar, tapi kalau sampai berbulan-bulan terus saja seperti itu, tidak akan baik baginya.

Ia memutuskan untuk merubah semua dengan mengunjungi kota-kota terdekat. Di sana berisikan sekitar seratus bangunan bata yang berjejer seperti terasering kecil yang mengelilingi desa, membentuk sebuah pemandangan indah, sangat berbeda dengan Pulau ke-28 yang suram.

Di saat ia sampai di jalanan, Willem langsung sadar tidak ada siapapun yang menganggapnya beda dan memberinya perlakuan khusus, padahal ia tidak mengenakan jubah untuk menutupi dirinya yang tak bertanda. Ia memutuskan untuk makan siang di restoran terdekat dan menanyakan si pemilik mengenai hal ini.

“Hmm…kurasa kami tidak begitu memikirkannya di sini." Jelas si manusia anjing dengan rambut coklat muda. "Membicarakan orang hanya karena tampang mereka mirip orang jahat berabad-abad lalu itu tidak ada gunanya... Kalau mau, bicarakan saja orang yang sedang berkelakuan buruk.

Dan yah, mungkin di tempat-tempat lain sangat banyak orang jahat di dalam masyarakatnya, sampai orang-orang di sana menyerah mengurusi mereka dan lebih memilih menyasar si yang tak bertanda. Akan lebih mudah begitu, karena mereka sudah didikriminasi dari sejak dulu. Tapi kita di sini tidak mau begitu, kita suka hidup dengan aman dan tentram. Tidak usah pikirkan hal itu di sini."

Jadi di sini seperti ini...

“Terus...mungkin kau tidak tahu karena bukan dari sini, di dekat sini, ada ribuan orang tak bertanda yang lebih menyeramkan daripada Emnetwyte di masa lalu. Siapapun yang melihat senyumannya akan lupa dengan kematian dan langsung bersyukur mereka masih hidup sekarang."

Hmm...

Sembari mendengar omongan sang koki dengan setengah hati dan menunggu makanannya, tiba-tiba saja Willem mendengar suara dari belakang.

“Hm? Oh, kamu…”

Wajah yang tak asing baginya menghampiri; wajah si gadis berambut biru langit.

“Hei, Kutori… dan…”

Dua gadis seumuran mengikutinya, yang mana jadi serangkai, tiga anak tertua yang tinggal di gudang.

"Ooh, si cowok ganteng yang lagi ramai dibicarakan!" Seorang gadis dengan rambut warna emas muda datang dengan berlari dan menempatkan wajahnya tepat di muka Willem. "Terus, kamu menyapa Kutori dengan nama depan? Hmm, sejak kapan kalian jadi dekat, nih?"

“Berisik."

“Siaaap." Balas dia terhadap respon dingin Kutori.

“Kami tidak punya hubungan apa-apa, kok… kebetulan saja aku bertemu dengannya lebih dulu dari yang lain, jadi aku sempat berkenalan dengannya lebih dulu… itu saja, kok."

“Hmm… terserah kamu, deh."

“Aku jujur, lho."

“Oke, oke. Jadi, Pak Teknisi Senjata Terkutuk, aku senang kalau kamu bisa mengingat nama kami juga… cewek berisik yang lagi bicara ini namanya Aiseia, dan itu--" Dia berbalik dan menunjuk pada perempuan ke tiga, yang sedang duduk di meja pojokkan dengan air muka yang kosong. "Si cewek yang lagi mikir sendiri di sana namanya Nephren. Senang kenalan denganmu."

“Baiklah, itu cara memperkenalkan orang yang kreatif… kau sudah tau namaku, 'kan?"

“Iya, dong! Terus, makanan kesukaanmu itu daging pedas, kamu juga tidak begitu pilih-pilih soal makanan, tapi kamu tidak suka makanan yang dihidangkan Reptrace untuk makan siang, dan kamu juga sukanya sama perempuan berhati emas yang lebih tua dari kamu… aku benar, 'kan?"

“Tunggu, Aiseia… Aku baru tahu, lho, informasi soal ini." Sepertinya Kutori tidak diberitaukan oleh anak-anak yang empat kemarin, dan dia mengarahkan matanya pada Aiseia dengan rasa curiga.

“Hehehe… barangsiapa menguasai informasi, maka ia menguasai pulau juga. Sedikit memata-matai saja bisa berguna banget, tahu… Coba cerita lagi, dong!”

Dengan penuh semangat saling tanggap-menanggapi perkataan, mereka berdua berpindah menuju ke tempat Nephren duduk.

“Tunggu, ada apa ini? Kau berteman dengan anak-anak dari gudang?" Si spesies berkepala anjing, Lucantrobos muda tadi, datang menyajikan pesanan makan siang Willem; kentang bakar, sayur-mayur, daging bakon, segenggam kecil roti, dan terakhir, semangkuk sup.

“Ya… aku baru pindah ke gudang untuk bekerja."

“Hmm? Tinggal… di gudang…” sontak saja warna coklat muda dari rambut si koki tadi memudar. "AHHH!!" Dengan kecepatan luar biasa, si pemuda tadi mundur merapat tembok sambil gemetar. "M-Maaf! Tolong jangan bunuh aku jangan makan aku aku masih punya keluarga untuk kunafkahi!"

Itu reaksi yang tak terkirakan, namun Willem mengerti kenapa terjadi kesalahpahaman di sini.

“Aku ini bukan troll…"

“Aku saja masih berhutang karena restoran ini jadi aku pasti rasanya tidak enak dan -- eh? Apa kau bilang?"

Si Lucantrobos menghentikan gerakkan memohon-mohonnya untuk sesaat dan tercilap-cilap.

“Aku bilang aku bukan troll… sulit memang untuk mencari perbedaan ras yang tak bertanda, tapi aku tidak akan memakanmu, jadi santai saja...”

“T-Tapi, aku yakin rasmu pasti sama dengan mereka karena kau tinggal seatap dengan si 'Perut Merah'."

“Tunggu… memangnya di kota ini pernah ada yang dimakan?" Melihat raut ketakutan si pemuda, Willem hanya bisa mengira kemungkinan yang begitu kelamnya. Kalau benar… buruk, pasti. Meski masing-masing pulau punya budaya yang variatif, mereka semua terikat oleh aturan yang sama. Dan berdasarkannya, setiap pembunuhan terhadap makhluk berakal merupakan kejahatan yang serius, bahan untuk troll kelaparan sekalipun.

"Itu… tidak pernah… tapi…” telinga anjing si pemuda jatuh. "Belakangan, ada organisasi Orc gelap di sini. Namanya 'Bulu Hitam'... organisasi ini--”

“Ah, cukup… aku sudah mengerti.”

Willem yakin organisaasi ini telah melakukan sesuatu pada perempuan-perempuan di sana, hingga Naigrat datang untuk memusnahkan mereka dan orang pun melihatnya tertawa seperti psikopat dengan berlumurkan darah. Tidak mengejutkan… sudah pasti dia akan melakukan hal yang seperti itu. Dan, yah… Naigrat pernah membantu Willem di masa lalu, dia adalah kenalan yang sekarang menjadi teman kerja, jadi ia rasa ia perlu coba membantunya.

“Naigrat tidak seenaknya memakan seseorang. Orang keliru menanggapinya… atau tepatnya takut karena saat itu sedang begitu, tapi dia hanyalah wanita biasa dengan watak baik. Dan begitulah, jika kau toleransikan ketidaksabarannya atau keinginannya untuk memakan orang… tidak ada yang perlu ditakutkan."

Biasanya, jika dia tersenyum dan bertanya "Boleh aku memakanmu?", 90% kemungkinan, itu adalah candaan... candaan yang menyeramkan. Tapi kau sendiri sadar kalau dia tidak berniat memakanmu, jadi tidak perlu takut. Willem memilih untuk tidak begitu menghiraukan yang 10%.

“Wah… kau hebat." Tidak tau kenapa, si koki menatap Willem dengan penuh rasa hormat di matanya.



Senjata terkuat. Berdasarkan sejarah, kapanpun dan di manapun, selalu saja wanita. Kalau kamu coba pikir, tentu wajar saja. Wanita adalah cara termudah dan terkuat untuk meningkatkan moral setiap tentara, itu merupakan fakta dari sejak zaman kuno.

Harga diri seorang lelaki tidak bisa dianggap remeh. Di medan perang, di tengah-tengah kekacauan dan pertarungan hidup-mati yang tiada henti, para tentara menyingkirkan semua bayang-bayang kemenangan, mimpi bisa berkuasa, hingga martabat mereka… namun hingga hembusan nafas terakhirnya, mereka tidak mau melakukan satu hal: mereka tidak mau terlihat jelek di hadapan wanita. Alasan sepele seperti itu saja bisa menanamkan semangat terbesar pada tentara yang sudah bobrok nan hanya mampu menunggu waktu kematiannya.

Setiap tentara hebat tau persis akan hal itu dan memastikan untuk tetap memasukkan beberapa wanita dalam garangnya medan perang. Unit penyuplai atau unit medis bisa memberikan efek tersebut, tapi mereka yang berposisi lebih dekat ke lini depan akan memberi efek yang lebih. Seorang ksatria wanita yang mengangkat pedangnya dengan cekatan di medan perang, misalnya. Contoh lain, wanita kaliber dari Regal Brave yang dipilih oleh Kaliyon. Atau juga seorang penyihir yang menyembunyikan sihir misterius dalam tubuh lembutnya.

Hanya dirumorkan saja kalau orang seperti itu ada di medan perang, para tentara dungu akan langsung semangat. Bahkan cerita seperti orang yang seperti itu dari masa lalu yang sangat sukar dipercaya bisa memberikan secercah harapan dalam situasi penuh keputusasaan.

Willem kenal seorang gadis yang pernah dipuja-puja sebagai pahlawan dan dianggap sebagai legenda di kalangan tentara-tentara. Tentunya, dia sangat kuat, tapi para lelaki menanggapi kekuatannya dengan hiperbol. Dia sendiri pasti hanya akan tertawa saat mendengar ceritanya yang tersebar di medan perang.

Kamu tidak perlu susah-susah memikirkannya. Sama seperti kedengarannya. Kami adalah senjata tersebut.

Kata-kata itu kembali tersiar di kepala Willem. Sepertinya anak-anak yang bermain di gudang sana dibedakan dari perempuan-perempuan lain. Tentu, seorang penyelamat yang dibuat untuk menaikkan moral para tentara haruslah dalam ras yang terkenal, bukan yang tak bertanda. Juga, dia harus memikat hati para pria yang penuh noda.

Ada yang salah dengan anak-anak itu, yang bukan hanya diasingkan dari massa, namun juga umur mereka yang masih belia. Keadaan mereka jelas sangat berbeda dari para petarung berkelamin perempuan yang Willem ketahui. Tapi apapun itu, ia tidak perlu memedulikan kenyataan di balik fakta bahwa mereka semua adalah senjata-senjata rahasia. Sebagai nadir dangkal, ia hanya perlu berdiam di gudang tanpa harus membuat masalah.

-- Begitulah yang Willem coba yakinkan pada dirinya. Setelah sekitar tiga hari berlalu, kesabarannya sudah sampai batas kendalinya. Perasaan ganda saat melihat anak-anak ketakutan dan sadar betul kalau ketakutannya berasal dari diri Willem sendiri memaksanya untuk bertindak.

“Hm? Ah, boleh… kurasa boleh saja...”

“Terima kasih banyak."

Willem meminta untuk membantu mengurusi makan malam hari itu dan mengisi sudut dapur sana. Telur, gula, susu, dan krim. Beberapa buah beri. Sebuah tulang ayam untuk diambil gelatinnya. Saat mengatur-ngatur setiap bahan-bahan penting di meja, Willem mengingat langkah-langkah akan resep kemahirannya dalam 'menjadi populer dengan anak-anak dan cara mudah memasak hidangan penutup'.

Saatnya bekerja. Ia mengenakan apron dan menghidupkan kompor kristal. Telinganya menerima bisikkan-bisikkan para mata-mata yang memenuhi kegelapan bayangan sana, yang mengintip masuk ke dapur.

"Apa yang ia lakukan?"

Masuk ke dapur di waktu tidak sedang bertugas memasak sangatlah dilarang, jadi kita hanya bisa mengintip saja dari kejauhan. Sambil memikul beban karena dilihat oleh banyak mata dari belakangnya, Willem terus bekerja.

Setelah tinggal berhari-hari, ia akhirnya berkesimpulan kalau setiap anak memiliki kegemarannya masing-masing. Tentunya, perbedaan jenis kelamin dan umur bisa memberikan preferensi yang berbeda, tapi ketidak selarasan ras sehingga fisik pun berbeda membuat semakin sukar semuanya.

Dulu, Willem pernah makan bersama seorang Borgle (ya… Grick). Pengalaman itu tertanam dalam diri Willem selamanya. Saat Willem mengatakan bahwa sesuatu itu enak, Grick malah mengeluhkannya karena rasanya busuk, dan waktu Grick mengatakan sesuatu itu enak, bagi Willem rasanya itu mendebarkan seperti mimpi buruk.

Mereka seharusnya berhenti sampai sana, tapi Grick memaksa kalau mereka harus menemukan sesuatu yang disukai oleh kedua belah pihak. Dan mulai dari sana, hari-hari mereka pun semakin mengerikan dan menyeramkan lagi, lebih menyeramkan dari mimpi buruk atau neraka manapun. Semua itu pun berakhir setelah mereka berdua dalam keadaan mengenaskan meneguk banyak air untuk mencuci mulut mereka, tangisan pun tak luput mengalir dari mata mereka, sambil dengan syahdu meneriakkan "enak! enak!".[5]

Tapi Willem menyadari kalau selera anak-anak lain tidak akan begitu berbeda, karena toh mereka bisa duduk bersandingan dan memakan makanan sama. Ia memanggil si perempuan yang mengurusi makanan hari ini untuk menyicipi makanannya. Dia menatap tajam sesendok penuh karamel seakan-akan dia baru saja melihat alien di jalan, hingga setelah keberaniannya memuncak, dia menutup kedua mata dan memasukkan ujung sendoknya ke dalam mulut. Setelah hening sesaat, si gadis perlahan membuka matanya dan menggumamkan "Enak!" Sorakan tak bersuara pun timbul dari para mata-mata.

Pada akhirnya masakannya berakhir dengan baik. Si anak-anak yang memesan 'hidangan penutup spesial' dari menu pun bereaksi sama. Mereka mengangkat sesendok penuh karamel tadi dengan tampang yang seperti mau menemui ajalnya. Setelah terdiam sesaat, kafeteria itu pun dipenuhi mata berminar-minar.

Willem yang sekarang mendapat giliran untuk bersembunyi dalam bayangan dan memata-matai yang lain, memasang pose kejayaan dari luar ruang makan. Dan begitulah, hanya butuh sedikit gula untuk Willem memikat perut anak-anak.

“... Kamu sedang apa?"

Ungkapan tak sehati keluar dari mulut Naigrat di belakang.

“Aku dapat resep ini langsung dari guruku. Aku benci mengakuinya, tapi ia sangat disukai oleh anak-anak… dan inilah buktinya. Dulu, aku berkali-kali jadi korban hidangan ini."

“Uh, bukan begitu. Meskipun kamu memutuskan untuk menambah kerjaanmu di sini, bayaranmu tetap segitu saja, lho."

“Bagiku tidak masalah." Willem menggarukkan wajahnya. "Aku merasa tidak enak saja mereka takut padaku. Kalau anak-anak ini senjata, maka sebagai pengurus mereka, aku tidak sepantasnya memberikan rasa stres s pada mereka. Jadi ini itu… bagaimana ya…”

Ia berusaha mencari kata-kata yang pas. Ia tidak yakin kalau kata-kata yang keluar dari mulutnya itu bisa dicerna. Tapi Willem merasa ia harus mengatakan sesuatu.

"Aku bukan mau memanjakan mereka. Ini hanya… kalau aku di sini mendapat respon negatif dari mereka, maka aku ingin mengembalikan respon tersebut ke nol lagi. Tidak mempengaruhi apapun juga termasuk pekerjaanku, 'kan?"

“Kalau begitu… ya sudah." Naigrat menyipitkan mata. "Tapi… anehnya kamu bilang begitu dengan cepat, seperti dibuat-buat, dan kamu kelihatan berusaha keras supaya kamu tidak kelihatan memalukan.... Tapi kalau kamu memang serius, ya aku tidak akan mengoceh lagi."

Kata-katanya tepat mengenai kenyataannya.

“Maaf, tolong jangan tanya lagi soal itu, aku mohon."

“Waktu aku pertama bertemu denganmu, aku kira kamu orangnya apatetis dan sinis begitu."

“Ah… yah…” Willem pun berpikiran begitu. Ia pernah memutuskan untuk hidup menjadi seseorang yang terisolasi dari orang-orang dan setiap kejadian di sekitarnya. Jadi ia sendiri terkejut akan tindakannya barusan. “Aku sedikit teledor… mulai sekarang aku akan lebih hati-hati."

“Selama anak-anak pun senang, tidak masalah bagiku… pun, itu bukan hal yang buruk. Terus juga...”

“Apa?"

“Sekarang kamu lebih enak harumnya daripada harum gula di sini."

"Mulai sekarang aku akan benar-benar berhati-hati…”

Willem mencatat pada pikirannya untuk selalu mandi setelah beres dari dapur.









Bagian 2: Gadis-Gadis Gudang
[edit]

Kutori Nota Seniolis adalah seorang peri. Tahun ini umurnya lima belas dan menjadikan dia sebagai perempuan tertua yang ada di gudang, plus menjadi tentara peri yang sudah matang. Saat dia sudah dipastikan mampu dengan 'Senjata Galian'[6] dia diberikan pedang Seniolis, yang namanya kini dia pikul.

Cahaya biru muda mengisi rambut dan matanya, namun dia tidak begitu menyukai warnanya, karena dua alasan. Pertama, seperti halnya rambut peri-peri lain, terlalu mencolok saat berjalan di khalayak umum. Kedua, dan yang jadi poin utama, jadi tidak cocok dengan pakaian berwarna cerah.

“... Mereka ini sedang apa, sih?"

Kutori yang duduk di samping jendela ruang baca melihat ke luar dan menggumamkannya. Lahan terbuka kecil dari hutan membentang di depan matanya. Para peri muda sedang bersama seorang pemuda berbadan tinggi yang dengan antusias mengejar-ngejar sebuah bola. Willem yang kini sudah membaur dengan kehidupan di gudang meski memiliki perbedaan umur, jenis kelamin, dan bahkan ras, baru disadari oleh Kutori sekarang.

Hidangan penutup kemarin telah berperan sebagai katalisnya. Ketika si anak tau kalau ia yang membuatnya sendiri, kecurigaan mereka padanya pun langsung roboh seketika. Lalu, tanpa Kutori sadari, mereka pun akrab dengannya, dan permainan bola yang kini dilihatnya adalah bukti itu.

“Dasar… ia ini apa-apaan, sih?"

Waktu mereka bertemu untuk pertama kali, Willem dianggap Kutori sebagai seorang yang misterius; Ia sangat baik padanya, yang hanya orang asing dan menjengkelkan juga diselubungi bayangan kelam.

Terlebih, ia tinggal di kota penuh monster, sementara ia sendiri tak bertanda.

Di kala mereka bertemu lagi, salah satu anak, Panival, telah menimpanya di hutan. Setelah dipikir-pikirnya lagi, Willem juga sudah ditimpa oleh Kutori setelah dia terjun. ​Semoga ia tidak suka yang begituan… dia memikirkan kemungkinan itu untuk sesaat, tapi kemudian merasa malu dan menghilangkan pikiran itu dari kepalanya.

Dan terakhir… ia selalu baik pada anak-anak. Mau anaknya berisik, mengganggu, merepotkan, memaksa masuk ke dalam kamarnya, ia tetap bicara dengan senang pada mereka tanpa sedikitpun ada keluhan atau kekesalan dari mukanya dan bahkan sikapnya pun masih sama pada Kutori yang datang tak lama setelah mereka.

Sikap yang sama? Kata-kata itu merasuki pikiran Kutori, menyangkut hingga menghentikan jentera pikirannya. Apakah Willem memandang semua sama? Apakah ia menganggap Kutori Nota Seniolis yang sudah lima belas tahun, matang, dewasa, dan penuh tanggung jawab, sama seperti anak-anak sepuluh tahun yang belum dewasa itu? Dia tidak mau menerimanya.

Terlebih, ia -- Willem Kumesh, si Teknisi Senjata Terkutuk Kelas Dua -- tidak begitu jauh umurnya dari Kutori. Walaupun aura misteriusnya bisa menipu, dia menebak-nebak kalau umur Willem masih kurang dari dua puluh. Dengan begitu, perbedaan angka usia di antara mereka mungkin hanya tiga-empat tahun, sehingga mereka pun terkadang masih melakukan kesalahan-kesalahan kecil karena labil. Dengan umur itu tidak sepatutnya ia menganggap dia sebagai anak-anak.

Atau mungkin itu semua karena perbedaan tinggi mereka. Namun, masalah masih tetap runyam. Kutori Nota Seniolis sekarang ini menyandang gelar sebagai peri tertinggi dari setiap peri yang ada di gudang. Dia memperkirakan kalau dari sudut pandang Willem yang lebih tinggi, dia masih kelihatan hampir sama tingginya dengan peri lain. Menyandingkan dia dengan Naigrat yang lebih tinggi tentunya tidak akan menyelesaikan apapun. Apalagi--

“Kamu lihat-lihat apa, hei?"

“Ah!” Karena tiba-tiba dapat pelukan dari belakang, sontak Kutori pun berteriak dengan suara tak biasa.

“Hei, jangan begitu!"

“Haha, maaf maaf. Kamu dari tadi diam saja, sih."

"Alasan yang aneh…”

Seusai menyingkirkan tangan yang mengalungi lehernya, dia berbalik melihat Aiseia berdiri dengan senyum biasa.

Aiseia Myse Valgalis juga merupakan peri. Di umur empat belas tahun, seperti Kutori, dia sudah dianggap sebagai tentara peri yang sudah matang dan juga sudah dipastikan sanggup dengan Senjata Galian. Seperti Kutori, nama belakangnya, Valgalis melambangkan pedangnya. Rambutnya seperti padi yang sudah matang dan bermata coklat kayu sipit. Pada wajahnya selalu tertampilkan ekspresi senyum hangat dan ramah.

“Ia cowok yang populer ya… baru datang tapi kayak sudah tinggal lama di sini. Tahu tidak? Permainan bola yang mereka lagi mainkan itu ia yang ajarkan… bisa langsung banyak orang yang memainkannya, dan bahkan anak-anak yang olahraganya payah pun bisa ikut."

"Hmm… begitu.”

“Kamu penasaran ya? Sama cowok itu?"

“Yah…”

Semua yang ada dalam gudang ini sangat wajar saja untuk penasaran pada Willem. Ke manapun ia pergi, ia selalu kelihatan mencolok.

“Topi barumu."

Perubahan topik pembicaraan saat melamun membuat Kutori terkejut hingga hampir jatuh dari kursi.

“Kamu betul-betul merawatnya, ya? Sampai-samapi kamu simpan di lemari dan tidak kamu pakai-pakai, kondisinya juga bersih dan masih bagus."

“B-Bukan begitu! Topi itu cocok saja untuk jadi alat penyamaran waktu aku tinggalkan pulau… aku tidak perlu memakainya di sini! Kamu juga kenapa, sih, membicarakannya sekarang?"

Dengan seringaian lebar Aiseia melihat Kutori. "Hmm?"

“Apa?!”

“Tidak, tidak. Cuma, reaksi kamu tadi berkata banyak, lho."

“Jangan aneh-aneh. Orang ya reaksinya begitu kalau kaget."

"Masa?"

Saat Aiseia terus menginterogasi dia, segulung kertas tiba-tiba menghantam kepalanya.

“Tolong tetap tenang di ruangan membaca."


Nephren Ruq Insania berdiri dengan wajah khasnya yang tanpa ekspresi. Tentunya, dia peri juga, tapi tidak seperti mereka berdua, umur Nephren hanya tiga belas tahun dan belum jadi tentara peri yang matang sampai musim panas tahun ini. Rambutnya kelabu dengan mata hitam arang. Posturnya lebih pendek jika dibandingkan dengan peri lain, sampai bisa-bisa dia tenggelam dalam kerumunan anak-anak. Wajah ekspresi khasnya selalu tertata rapi setiap waktu; Kutori belum pernah melihat dia senyum ataupun marah.

Setelah melihat ke sekeliling, Kutori melihat kalau ruangan membaca hanya diisi oleh tiga orang yang berdiri di dekat jendela.

“M-Maaf…”

Nephren duduk di kursi sebelah Kutori yang lagi meminta maaf. "Jadi, ia orangnya bagaimana?”

“Katanya suruh tenang…”

“Boleh saja selama suara kita pelan.”

“Jadi boleh, nih ya, kita bicara terus? … kamu tertarik juga sama ia, Ren?"

“Tidak begitu." Dia menatap ke luar jendela. “Aku hanya merasa ia orangnya misterius.”

Kutori jadi merasa sedikit lega karena tahu bukan hanya dia yang menganggap Willem begitu. Jika ia hanya sebatas orang baik dan riang, mereka tidak akan begitu penasaran. Ia sangat dekat dengan anak-anak, tapi juga ia seperti membatasi hubungannya. Ia kelihatan senang, tapi kelihatan kesepian jua. Ia berbaur dengan kehidupan dalam gudang, tapi terkadang melamun sendiri, seakan pikirannya ada di tempat nun jauh.

Jadi Kutori tertarik dengannya. Dia jadi penasaran dengannya.

“... Kutori, tinggal berapa hari lagi?"

Pada pertanyaan ambigu itu, dia tau betul apa yang dimaksud Aiseia. Dia menggunakan kalender di kamarnya untuk tetap ingat, jadi tentu dia bisa menjawabnya.

"Sepuluh hari."

“Hmm… kira-kira bakal cukup atau tidak ya…?”

“Kalian membicarakan apa?"

"Tentunya masalah tenggang waktu kita untuk memenuhi mimpi-mimpi cinta Kutori!" Kepala Kutori menghantam meja karena kaget.

"Kutori, tolong tenang di ruang membaca."

“M-Maaf -- bukan begitu! Kamu ini bicara apa, Aiseia!?"

“Ahaha, jangan malu begitu. Banyak, lho, peri yang hidupnya tidak sampai lewat pubertas, bisa merasakan cinta itu sungguh beruntung sekali, tahu."

“A-Aku tidak menganggapnya seperti itu."

“... Oke. Aku akan cari cerita pernikahan berbeda ras. Bisa saja ceritanya beguna."

“Ren!? Aku tidak butuh, kok!"

“Kutori, tolong tenang di ruang membaca."

"Kamu tahu yang bikin aku teriak-teriak!”

Sesaat dia pun mencoba tenang. Di luar, bolanya dilempar tinggi oleh seseorang, kembali turun, membentuk lengkungan luas di langit.

“... Serius, aku tidak butuh apa-apa, sudah cukup, ya. Aku sudah berhasil menyerah pada banyak hal… tidak mau aku menumbuhkan penyesalan lagi sekarang." Ucap Kutori dengan suara lembut yang sukar terdengar.

“Begitu ya." Aiseia mengerahkan satu tawaan sedih yang terakhir, lalu memandang ke luar tanpa bicara apa-apa lagi.

Nephren mengangguk pelan, lalu tanpa bersuara, kembali membaca buku di tangannya.

Seminggu kemudian.

Willem mulai merasakan perasaan yang tidak enak mengenai pekerjaannya. Saat ia berjalan di lorong untuk mencari alasan kenapa ada yang tidak beres, suara langkah kaki terdengar mendekat dari belakang.

“Willem!!”

Dua kaki menghantam punggungnya, momen kedua kaki tersebut diperkuat dengan lompatan yang sangat tepat momentumnya.

Meskipun besar tubuh mereka jika dibandingkan sangat berbeda jauh, serangan anggun tadi hampir memaksa Willem mencium tanah. Sebelum ia kembali berdiri lagi, tangan-tangan kecil dengan cekatan melingkari lehernya sebaga teknik untuk mengunci.

"Kena!"

“Ahh! Bukan, bukan! Bukan itu yang aku maksud!"

“Hasil akhirnya membenarkan maksudnya."

“Betul, asalkan ia tidak bisa kabur, maka bukan masalah."

"Ya masalah, dong! Kita, kan, yang mau minta tolong sama ia."

"Memaksa sebelum meminta adalah sebuah strategi dasar."

“Itu sih kalau mau membunuh!"

"Bunuh! Bunuh! Bunuh!"

“Kamu harusnya tidak mengulangi kata-kata yang itu!"

Pundaknya dipelintir dengan nyaman ditambah suara tulang-tulang yang bersinggungan, dan Willem langsung memahami situasi sekarang. Si bocah-bocah penuh semangat mengelilinginya.

"Halo, kalian butuh sesuatu?"

"Ya, ya. Kami ada urusan denganmu."

"Kami ingin membaca buku, ayo ikut!"

“S-S-Sudah kubilang jangan mengunci sendinya kalau mau minta tolong!" Willem sangat setuju dengan ungkapan si anak itu.

“Kalian ingin aku membacakan buku-buku berat? Maaf, tapi aku bukan pembaca dan penulis terbaik."

"Eh? Kamu teknisi, 'kan? Kamu pintar, 'kan?"

“Oh, aku super pintar. Aku bisa membaca literatur kuno dari 500 tahun yang lalu dengan mudah!"

Anak-anak pun tertawa pada kata-katanya yang dianggap guyonan dan menarik lengan baju Willem.

“Kami juga bisa membacanya. Kami cuma mau kita duduk sama-sama."

"Ya, soalnya ini cerita dari jaman dulu, jadi serem kalau cuma kami doang."

“Yah aku tidak takut atau apa, anak-anak ininya saja."

“H-Hey, jangan sok dewasa!"

Seperti biasa, anak-anak mengoceh sebebasnya sambil terus menyeret Willem ke suatu tempat.

"Cerita dari jaman dulu?"

"Cerita dari Emnetwyte!"

Tiba-tiba Willem merasa pening karena mendengar nama itu. Perasaan dejavu menghantuinya, dan pikirannya mulai tenggelam kembali ke masa lalu. Pemandangan di sekitarnya, yakni gudang di Pulau Ke-68, berubah menjadi panorama panti lama. Visinya ini membangkitkan ingatannya dulu, si anak tertua yang diurus di sana, sedang mengurusi anak-anak lain.

Willemmm!!

Ayah, kamu mengacau lagi?

Suara yang Willem tidak ingin ingat pun terdengar dalam kepala. Ia sadar bahwa ia melupakan sesuatu yang penting: alasan kenapa ia memutuskan untuk tinggal di Pulau menjijikkan itu, Pulau Ke-28. Sangat tidak nyaman di sana. Hidup sulit. Tidak ada yang mau menerima karena tak bertanda. Tak ada orang yang memberikannya tempat yang bisa ia sebut rumah.

Namun karena itulah ia tinggal di sana. Ia tidak perlu ada di mana-mana. Meskipun ingin kembali ke rumah, harapan itu tidak akan pernah terwujud. Setelah tinggal di tempat sampah pulau itu, ia tidak pernah lupa kenyataan itu. Ia hanya terus memikirkan kenyataan pahit setiap harinya.

Namun tempat ini kelihatan terlalu mirip. Ia selalu meyakinkan dirinya kalau ini bukanlah rumah. Ia tidak seharusnya memakai seragam tentara hitam yang tidak muat ini. Tanda di lencana pada pundaknya tidak berarti. Ia hanya akan tinggal di sini selama beberapa bulan. Jadi semua akan baik-baik saja. Ia tidak akan lupa atau mengkhianati tempat itu.

"Willem?"

Sebuah suara mengembalikannya ke masa kini.

"Ah, aku baik-baik saja. Hanya kurang tidur semalam. Jadi ini cerita Emnetwyte yang mana?"

“Pada zaman duluuuu sekali, mereka ada di sana! Di tanah bawah sana!"

Anak-anak mulai bersuara. Pada buku bergambar yang mereka baca sebelumnya, tertulis kalau makhluk menyeramkan yang dikenal dengan Emnetwyte mengisi tanah. Dan karena mereka, para Orc terpaksa tinggal di tanah gersang, hutan-hutan berharga milik Elf dibakar, para Reptrace dipaksa keluar dari air tempat tinggal mereka, kedamaian para Lucantrobos dirusak, harta para Naga dijarah habis. Dan ketika para Pendatang turun untuk memberi hukuman pada mereka, Emnetwyte langsung bertindak sendiri dan membunuh dewa-dewa. Hingga akhirnya, mereka memanggil keluar '17 Makhluk Buas' dari suatu tempat dan meledakkan diri, membawa setiap hal yang ada di tanah bersama mereka.

"Serem, ya?"

Waktu diceritakan begitu, ceritanya tentu menyeramkan. Itu membuatmu terheran-heran kenapa Emnetwyte bisa jadi monster bengis seperti itu.

"Yah ini hanya buku bergambar, jadi bisa saja salah, lho."

“Tapi katanya ini realita."

"Semua juga katanya begitu."

Anak-anak pun saling melihat satu sama lain.

“Tapi kalau begitu, apa cerita soal Brave juga bohongan?"

"Aku harap bukan," gumam si perempuan berambut ungu. Yang lain pun mengangguk setuju.

“Mungkin ada bagian yang benarnya… memang apa salahnya kalau Brave tidak ada?"

Untuk kedua kalinya, anak-anak itu saling memandang muka.

“Karena… kami juga anggota Brave?"

Willem tidak mengerti. Mereka takut pada Emnetwyte, namun mereka mau menjadi simbol ras itu. Memang, saat itu Brave merupakan semacam senjata juga. Mungkin karena itulah anak-anak ini, yang merupakan senjata jua, merasa dekat dengan para ksatria kuno itu.

“Ngomong-ngomong, um… Pak Willem." Salah satu anak dengan kalemnya berkata, "Itu tidak sakit?"

Setelah dengar pertanyaan itu, rasa sakit di pundaknya tiba-tiba saja kembali, mengingatkan padanya kalau ia belum lepas dari kuncian pada sendinya.













Bagian 3: Gudang Peri
[edit]

Kutori tidak pernah menyukai dia. Dia selalu menyebut dan menganggap Kutori sebagai adiknya. Tentunya, peri, yang mana tidak lahir dari rahim seorang ibu, tidak akan memiliki adik atau saudara sekalipun. Namun bagi dia, alasan hubungan adik-kakak itu dikarenakan mereka berasal dari hutan yang sama di pulau melayang yang sama pula, atau alasan lainnya adalah karena dia sudah ada lima tahun lebih dulu dari Kutori. Membawa-bawa bukti-bukti nyata ini hanya akan membuat Kutori makin tersinggung.

Dia juga berkemampuan hebat dalam mengendalikan Senjata Galian, yang mana merupakan hal lain yang Kutori tidak sukai. Kutori pernah melihat dia terbang untuk bertarung hingga menampakkan pedang agungnya, lalu kembali pulang dengan senyum lebar pada mukanya. Saat pulang, dia akan menerobos masuk ke ruang makan dan langsung menyantap kue mentega yang merupakan salah satu menu ketika itu dengan muka yang penuh kebahagiaan.

Pernah di satu waktu, Kutori, si muda nan lugu, menanyakan sesuatu padanya.

“Kenapa kamu selalu memakai bros itu? Padahal itu, kan, tidak cocok untukmu."

“Ahaha kamu terlalu jujur, Kutori. Kakakmu ini bisa menangis, tahu."

“Kamu bukan kakakku..."

“Ehh? Ya aku pun tidak bisa dianggap adikmu."

“Maksudku, kita ini bukan saudara."

Setelah mereka saling bercanda seperti biasa, dia akhirnya kehilangan senyumnya.

“Aku pernah punya kakak juga. Aku ambil bros ini darinya."

"Kamu ambil? Tidak dia kasih?"

“Ini, kan, benda berharga punya dia. Dia selalu memakai dan menjaganya dengan baik, jad kalau aku minta dia, dia tidak akan mau kasih." Kini Kutori menganggap dia malah lebih jahat dari sebelumnya, mencuri benda penting dari seseorang, tapi seperti biasa, dia hanya tertawa melihat tatapan Kutori yang seakan menyalahkan dia. "Aku mau menantang dia demi mendapat bros ini. Seperti tanding nilai dalam latihan, atau kontes makan, atau main kartu. Aku selalu kalah. Tapi, aku terus menantang dia karena seru rasanya."

Kutori bisa menerawang akhir cerita ini. Jika Kutori tidak mengenal kakak dari orang yang menganggap dirinya kakak Kutori, ini berarti dia sudah pergi dari saat Kutori sudah ada. Kutori terdiam, tidak ingin menanyakannya, tapi ekspresinya sudah menyatakannya.

Si 'kakak' menepuk punggung Kutori. “Yah, akhirnya, sih, aku mendapatkannya. Di satu hari, dia pergi menuju pertempuran tanpa brosnya. Dia taruh saja di meja kamarnya, dan sekarang jadi punyaku." Dia tertawa, meskipun Kutori tidak mengerti apa lucunya cerita itu. "Memang jelek, sih, jadinya kalau aku yang pakai… tapi aku merasa aku harus memakainya."

Sekali lagi, Kutori tidak pernah menyukainya. Tapi jika dilihat lagi, dia mungkin tidak begitu buruk. Jadi di hari dia tidak kembali pulang dari medan tempur, Kutori menuju kamarnya. Di balik kamar yang tak terkunci, terhimpun pakaian dalam, kartu-kartu untuk bermain, dan benda-benda lain yang teracak-acak. Di tengah-tengah kekacauan itu, hanya mejanya saja yang bersih rapi. Sebuah bros perak berada tepat di tengah-tengahnya.

Dari beberapa hari kemarin, Willem tidak bertemu dengan beberapa peri. Kutori, Aiseia, dan Nephren. Semua peri-peri yang sudah berumur tampaknya menghilang ke suatu tempat. Setelah sedikit memikirkannya, ia yakin kalau pasti ada suatu rutinitas khusus yang terjadi dan memilih untuk tidak begitu memikirkannya. Tanpa banyak cakap lagi, ia menerima keadaan ini.

Tanahnya masih basah karena hujan pagi tadi. Tim merah, yang mana telah berjuang keras di setengah pertandingan pertama, sekarang mulai bermain menyerang. Berkibar semangat mereka dan berkeputusan langsung men-smash bola langsung ke muka kapten tim putih di setengah laga sisa.

Angin kuat tiba-tiba berhembus ketika bola masih di udara, mengarahkannya menuju semak belukar. Si anak yang mengejar merupakan orang yang pantang menyerah dan yang tidak mempedulikan kakinya ketika melihat langit. Hanya ada satu kemungkinan dengan adanya semua hal itu. Karena bertekad kuat untuk menangkap targetnya, si anak berakhir jatuh dengan kepala lebih dulu ke dalamnya.

“Hei! Kau tidak apa-apa!?"

“Aduh awal... gagal."

Jatuhnya tadi cukup parah sampai ada luka serius pun tidak akan mengejutkan, jadi ketika si anak langsung tertawa ketika berdiri, Willem langsung mendesah lega. Sesaat kemudian, ia terdiam ketakutan. Luka sobek yang dalam tampak di paha kiri si gadis, dan lengan kanannya tertusuk oleh ranting tipis. Beruntungnya, ditilik dari jumlah darah yang keluar, tidak ada urat nadi yang putus, tapi itu bukan luka ringan yang biasa didapat seorang anak perempuan.

“Ini kelihatan parah. Kita harus mengobatinya sekarang."

"Ehh? Aku enggak apa-apaaa," jawab acuh-tak acuh si gadis. "Ya, ayo main lagi! Kita hampir bisa membalas mereka!"

Willem tidak bisa percaya dengan apa yang baru ia dengar. Mungkin lukanya tidak seserius kelihatannya. Tapi betapapun ia memeriksanya, ia hanya yakin kalau luka-luka itu harus segera disembuhkan, atau hidup anak ini dalam bahaya.

“... Tidak sakit?"

“Sakit. Tapi kami lagi semangat-semangatnya!" Dengan semangat sambil senyum dia berkata begitu, dan memberi isyarat pada Willem untuk kembali bermain.

Akhirnya ia mengerti. Seperti yang dia katakan, sakit memang, dan mungkin sangat sakit. Anak ini ― dan yang lain, yang tidak merasa aneh dengan sikapnya ― tidak acuh pada luka. Merinding. Ia merasa seakan sedang dikerumuni oleh makhluk misterius nan asing. Atau bukan, bukan hanya merasa, tapi memang kenyataannya, kenyataan yang baru ia mengerti sekarang.

"Permainannya berakhir."

Suara-suara keluhan keluar dari mulutnya, tapi Willem tidak peduli dan langsung menuju ke dalam gudang dengan si anak itu di tangannya.

"... Kenapa yang muram di sini bukannya si yang luka, tapi malah yang membawanya?" Dengan pakaian biasa yang ditutupi oleh gaun putih, Naigrat bertanya begitu pada Willem.

Anak itu berbaring di kasur yang ada dengan bekas lukanya ditutupi oleh perban sambil berkomat-kamit mengenai serunya permainan tadi.

Dengan postur sama, ia tanya Naigrat dengan harap mungkin bisa mengetahui sesuatu. “Aku baru menyadarinya sekarang… anak-anak ini tidak peduli dengan nyawanya sendiri, ya?"

“Hmm, mungkin. Mereka memang begitu."

"Aneh… sebenarnya mereka ini apa?"

Naigrat diam sesaat dan mendesah, kemudian menanya balik. "Kamu serius ingin tahu?"

Akhirnya Willem mengangkat kepoalanya.

“Kamu pengurus mereka, walau memang itu mungkin hanya sebatas gelar. Kalau kamu butuh informasi tentang mereka, maka aku pun tidak bisa menolak." Suaranya berubah lebih serius. "Jujur, aku tidak ingin memberitahukanmu. Setelah mendengar ini, sikapmu terhadap anak-anak akan berubah. Awalnya aku mengira kamu ini menyeramkan, tapi sekarang aku senang kamu bisa sangat akrab dengan mereka. Kalau memungkinkan, aku ingin semua tetap seperti ini meski hanya sebentar.”

“... tolong ceritakan."

“Ya sudah. Baiklah…” Pundak Naigrat jatuh. "Tubuh mereka tidak takut mati karena mereka memang tidak hidup. Bisa dikatakan, anak-anak ini tidak punya jiwa. Pikiran mereka sangat jauh berbeda, namun jika masih belia begitu, mereka hanya akan mengikuti insting mereka hingga bisa saja jadi acuh-tak acuh."

“Maaf... aku sama sekali tidak mengerti."

Tidak hidup? Maksudnya apa? Bagaimana bisa anak-anak yang sembrono, berisik, dan penuh semangat yang ia lihat setiap hari dikatakan tidak hidup...?

"Hmm... aku sendiri tidak bisa percaya waktu pertama kali dengar," Ungkap Naigrat dengan lembut.

Dia berjalan keluar ruangan dan memberi isyarat pada Willem untuk ikut.

"Sini. Ada yang ingin aku tunjukkan." Willem berdiri pelan-pelan dan mengikuti di belakangnya, masih kebingungan.

"Emnetwyte. Aku yakin kamu sangat mengenal spesies ini? 'kan?"

"... setahu seperti yang lain."

"Jangan merendah begitu." Kilihnya. "Spesies legendaris yang menguasai tanah bawah hingga lima ratus tahun lalu. Dan mereka tidak dianugerahi talenta apapun..."

Dikatakan bahwa Emnetwyte kalah ukurannya dengan spesies-spesies yang besar. Mereka tidak punya sihir seperti Elf. Kemampuan membangun mereka tidak bisa menyaingi cepatnya Moleian. Tingkat kelahiran mereka tidak bisa mengalahkan Orc. Dan tentunya, mereka juga tidak memilki kemampuan sekuat naga. Meski lemah tanpa talenta apapun, Emnetwyte menguasai tanah bawah untuk waktu yang sangat lama, mereka telah menghalau setiap serangan dari hampir setiap ras-ras lain.

“Ah… aku mengerti.”

“Dan satu hal lagi: rasa daging mereka jauh lebih enak daripada ras yang lain. Hal itu sudah diturunkan ke generasi-generasi penerus kami para Troll. "

Legenda yang ini harus secepatnya lenyap. Serius.

"Yang jadi alasan kekuatan mereka adalah senjata yang kini dinamai dengan Senjata Galian."

"... aku pernah dengar soal itu. Anaala pernah memberitahuku kalau sekalinya mendapat Senjata Galian yang berfungsi, maka tidak perlu lagi memikirkan biaya untuk perburuan selanjutnya."

“Mhm. Perusahaan Perdagangan itu mau membelinya dengan harga terendah 200,000 Bradal. Aku rasa harga tertinggi yang pernah ditawarkan sampai 8,000,000 Bradal.

Delapan juta. Itu cukup untuk membayar hutang Willem lima puluh kali dan masih tetap akan menyisakan banyak.

“Dan… semua Senjata Galian milik mereka …”

Naigrat berhenti berjalan sesampainya di depan pintu aneh nan nampak kokoh. Selembar baja tebal melapisi keseluruhannya, ditambah paku-paku tajam menembus ujung-ujungnya. Sistem kuncinya lebih rumit dari yang biasa, juga kenop pintunya terasa begitu padat dan berat. Dalam 'gudang' yang penuh dengan kehidupan ini, pintu yang tidak wajar ini seakan mengingatkan bahwa ini adalah fasilitas militer.

"... ada di dalam sini."

Naigrat membuka kunci ruangan itu dengan perlahan-lahan dan mendorong pintunya. Suara berat seperti suara perut lapar menggema di lorong. Kelapukan di dalam ditambah debu yang ada menimbulkan bau tak sedap yang langsung menusuk indera penciuman Willem.

Ini hampir seperti reruntuhan. Seperti tempat di mana raja di masa lalu dikuburkan bersama harta bendanya, dan pencuri yang teledor akan sengaja mengambilnya sehingga berakhir terkutuk. Willem belum pernah melihathya secara langsung, tapi ia ingat pernah mendengar cerita yang seperti itu. Yah, entah masih adakah reruntuhan yang seperti itu di bawah sana, ia tidak tahu.

Ruangan ini tidak ada pencahayaannya. Ia yakin kalau ada sesuatu yang tersembunyi dalam kegelapan sana, namun ia tidak tahu.

"Sangat ketat, ya, keamanannya?"

"Yah, banyak benda berbahaya di sini." Mereka masih terdiam berdiri di sana, menunggu hingga mata mereka beradaptasi dengan kegelapan yang ada.

"Senjata dari masa lalu yang cara pembuatannya, perbaikannya dan penggunaannya lenyap selamanya. Senjata yang dibuat oleh ras terlemah untuk mengalahkan Naga yang perkasa dan para Pendatang. Senjata yang melambangkan tekad untuk bertahan hidup dan kekuatan untuk bertarung. Senjata yang meski hanya dibawa oleh satu individu, bisa mengubah hasil akhir perang secara keseluruhan."

Isi ruangan redup itu kini mulai menampakkan wujudnya.

"Haha..." Willem tertawa dengan gugup.

Tersandar pada sebuah tembok sejajar pedang. Meski ia belum melihatnya secara jelas, pedang-pedang ini tentunya lebih besar dari pedang panjang yang biasanya dipakai untuk hal macam upacara, atau yang biasa digunakan untuk kepentingan sendiri. Panjangnya berbeda-beda, namun bisa sampai setinggi orang dewasa, atau sedikit saja lebih pendek darinya. Panjang hulu pedang yang proporsional ini mengindikasikan bahawa pedang ini digunakan dengan kedua tangan.

Yang membuatnya jauh berbeda dengan pedang biasanya adalah struktur bilahnya. Willem perhatikan dengan seksama dari dekat, ia bisa lihat ada retakkan yang khas pada tubuhnya. Jika dilihat lebih rinci lagi, bisa dilihat bilah di sisi lainnya memiliki warna beda, yang mana mengindikasikan bahwa itu bukanlah retakkan, tapi corak.

Sebuah pedang dibuat dengan sebongkah logam yang ditempa. Tapi pedang-pedang ini berasal dari potongan-potongan baja yang besarnya seukuran tinju orang dewasa yang disatukan seperti puzzle dan dibentuk jadi pedang.

Kaliyon…”

“Jadi, dulu itu disebut begitu, ya?”

Sontak Willem merasakan sakit di dada ketika Willem lebih memerhatikan ruangan ini. Kenal ia dengan beberapa pedang itu. Kaliyon Seri Parcival yang diproduksi massal. Pedang-pedang itu telah berhasil melindunginya ketika ia masih seorang Quasi Brave awam tanpa punya senjata yang pas dengannya. Senjata seri itu tidak memiliki keistimewaannya sendiri, tapi pedang itu dibuat dengan bahan dasar yang kualitas dan fleksibilitasnya luar biasa — meski dalam medan perang, Willem bisa melakukan perbaikan darurat. Ia belum pernah bisa dapat kesempatan untuk menggunakan generasi penerus pedang itu, Seri Dindrane, tapi Seri Dindrane sangat diapresiasi oleh anggota Quasi Brave lain karena memiliki stabilitas yang lebih baik.

Locus Solus. Itu Senjata favorit seorang Quasi Brave, yang namanya tidak bisa ia ingat, yang bertarung bersama Willem di kala ia melawan para Naga di selatan. Pedang ini memiliki keistimewaan untuk menstimulasikan otot, tapi otot penggunannya akan selalu jadi luar biasa sakit usai penggunaan — Willem pernah dengar rekannya yang mengeluhkan hal itu.

Lalu di sampingnya ada Mulusmaurea. Seorang rekan dari Quasi Brave pernah membawanya ke dalam pertarungan ketika mereka dipanggil untuk menjadi bala bantuan di kota Listiru. Ia belum pernah melihat Keistimewaan senjata itu saat pertarungan, tapi ia dengar kabar bahwa senjata itu bisa mencegah kematian untuk sesaat.

"Heh..."

Rasanya seperti reuni kelas yang begitu aneh. Ia langsung duduk di tempat ia berdiri, tanpa peduli bajunya akan kotor. Tanpa peduli sakit di kepala yang ia rasakan, Willem berkonsentrasi dan menyalakan Venenum dengan perlahan untuk melihat sihir cabang. Seperti yang ia kira, pedang-pedang itu dalam kondisi buruk. Garis mantra yang ada telah terpisah, putus, dan teracak dengan sedemikian rupa.

Mereka masih tetap bertarung meskipun pedangnya sudah buruk begini?

"Aku ingin tanya."

"Semua Kaliyon dibuat oleh dan untuk Emnetwyte, dan merupakan suatu keajaiban yang dibuat seorang makhluk. Hanya Brave terpilih dengan ras sama saja yang bisa menggunakannya. Sekarang senjata-senjata ini hanya sekedar jadi barang antik saja. Lalu kenapa masih harus mengumpulkan semua ini? Bagaimana caramu bertarung menggunakannya?"

"Kamu sendiri sudah tahu jawabannya, 'kan?"

Karena... kami juga anggota Brave?

Mengabaikan suara anak kecil itu yang sontak muncul dalam benaknya, Willem kembali bertanya. "Tolong jelaskan."

"Jika para Emnetwyte tidak di ada lagi di sini, kami hanya perlu penggantinya. Anak-anak itu adalah Leprechaun. Ras ini adalah satu-satunya yang bisa menggantikan Emnetwyte secara utuh. Itu jawabannya."

"Jadi begitu..."

Jauh dari dalam hati, sebenarnya Willem sudah mengetahuinya. Ia kembali berdiri, menyeka debu dan kotoran dari celananya, lalu mengarahkan matanya pada Kaliyon yang berjejeran.

"Anak-anak itu kini jadi partner kalian, ya?"

Dengan mimik wajah yang menampakkan rasa sepi, sedih dan bangga, Willem mengatakan kata-kata itu.

Aku ini apa? Pikir Willem. Beberapa penjelasan pun menghampirinya. Adalah seseorang yang pernah berkeinginan untuk menjadi Regular Brave. Adalah seseorang yang pernah memakai Kaliyon ketika menjadi Quasi Brave. Dan terakhir, adalah seseorang yang sudah tidak jadi seperti itu dan kini hanya hidup dalam cangkang kosong.

Untuk menjadi Regular Brave, dibutuhkan latar belakang yang memadai. Seperti, kamu harus keturunan dewa. Atau kamu merupakan keturunan Brave. Atau kamu harus merupakan anak ajaib yang lahir di malam yang telah diramalkan. Atau kampung halamanmu pernah dihancurkan oleh Naga. Atau ayahmu mewarisi teknik berpedang yang rahasia. Atau di dalam tubuhmu tersegel sebuah kekuatan iblis yang maha kuat.

Setiap anggota Brave yang sesungguhnya merupakan seseorang yang memiliki latar belakang kehidupan yang seperti itu. Hanya orang-orang yang diyakini oleh semua orang dapat mengendalikan kekuatan yang dahsyat itulah yang bisa menjadi Regular Brave.

Karena itu, Willem tidak bisa menjadi Regular Brave. Betapapun ambisinya, ia tetaplah tidak memenuhi syarat. Kedua orang tuanya hidup sederhana dengan berjualan kapas. Ia tumbuh di sebuah panti tua, yang mana ia hidup tidak senang maupun sedih. Dan mengikuti hukum alam, latar belakang kehidupan yang seperti itu hanya menjadikannya seseorang dengan kekuatan yang biasa. Ia hanya bisa pasrah. Mungkin akan lebih baik jika setidaknya ia lahir bersebelahan dengan sekolah khusus berpedang atau semacamnya, namun sayang, dunia tidak memenuhi kebutuhan Willem.

"Kamu tidak punya bakat." Pernah sekali, gurunya berkata begitu. "Sistem Brave ini mesti elit secara mendasar. Pahlawan legendaris... orang-orang yang mengalir dalam tubuhnya darah dewa... sistem itu ditujukan agar kekuatan orang-orang seperti itu dapat dikeluarkan. Mereka sudah beda lagi dari kita yang hanya prajurit kecil yang berjuang demi kemenangan berskala kecil. Mereka menopang dunia ini di atas punggungnya."

Si guru menggelengkan kepalanya. "Manusia biasa tidak akan bisa melakukannya. Meskipun kau memaksa, akhirnya pun kau akan hancur... karena itu, tidak bisa bertarung lagi pun bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan. Dan Willem, sayangnya, kau hanyalah manusia biasa."

Kemudian keheningan pun mengisi saat itu. Si guru menghela nafas panjang dan mengakhiri nasihatnya. "Jangan murung... aku tidak sedang menghancurkan mimpimu. Aku hanya mengatakan kebenaran― realita yang perlu kamu hadapi. Hanya itu."

Waktu ia dengar kata-katanya itu, Willem langsung menolaknya. Dengan cerobohnya ia hanya terus menolak untuk menyerah. Dulu mungkin seperti kekanak-kanakan. Namun saat itu, ia benar-benar serius. Ia memilih untuk menolak kata-kata gurunya hingga akhir yang pahit.

Willem ingat seseorang di Regular Brave generasi ke-20 yang dipilih oleh Gereja. bukan hanya ia mewarisi darah seorang Regular Brave perdana, namun ia juga lahir sebagai pangeran dari sebuah kerajaan. Ketika ia hanya berumur sembilan tahun, tentara dari Elf Geliga menyerang kerajaan itu, mengakar habis setiap yang ia sangat ingin lindungi hingga habis; kedua orang tuanya, temannya, juga kampung halamannya. Ketika kastilnya terbakar, ia berhasil lari ke hutan yang cukup jauh, di mana ia mempelajari teknik pedang lama yang telah hilang dari seorang jenderal tua.

Pertama kali Willem dengar cerita orang itu, Willem hanya bisa bertekuk lutut dan mendesah. Karena ternyata menjadi Regular Brave pun perlu rasa sakit. Ketika orang baru itu menerima senjata yang digemari oleh Regular Brave ke-18, Seniolis, salah satu dari lima pedang suci terbaik di dunia, ia sudah tidak bisa merasa iri atau benci lagi. Ia sudah angkat tangan. Semua itu ia rasa sudah beda lagi dari dunianya. Terus memikirkan hal itu hanya akan membuat dirinya semakin menderita.

Waktu pun berlalu, dan Willem pun tersadar. Orang itu punya alasan sehingga bisa bertarung. Ia punya alasan untuk bertarung. Ia punya alasan yang membuatnya harus bertarung. Itu kenapa semua orang, termasuk Willem tidak menyadarinya. Tidak ada seorang pun yang memikirkan kemungkinan itu.

Ia. Seorang Regular Brave ke-20. Lahir dengan kekuatan yang bisa mengalahkan iblis, memikul rasa sakit dari kehilangan orang tua dan kampung halamannya, juga memiliki teknik rahasia dari masa lampau, menggunakan pedang yang berkilau, yang dapat mengalahkan para Pendatang. Ia.

Tidak pernah ia berkeinginan untuk bertarung. Ia jauh ke dalam jurang balas dendam karena ia tidak punya pilihan lain. Ia menantang para Naga dan dewa-dewa karena ia harus bisa diharapkan oleh orang lain. Ia bukanlah apa-apa melainkan sebuah boneka yang dikendalikan oleh kekuatannya sendiri dan oleh orang-orang yang mau memanfaatkannya.

Saat Willem sadari itu, ia mulai membencinya. Ia tidak bisa memaafkannya. Dan sebenarnya, masih ada rasa itu di hati Willem hingga sekarang.

Ketika mentari sedang ditelan oleh horizon, gerimis terjadi.

"Harusnya aku bawa payung..." gumamnya pelan, namun begitu, ia tidak merasa perlu berteduh atau ingin cepat kembali ke kamarnya.

Pulau ke-68, bagian distrik pelabuhan. Pesisir pulau itu diisikan semua fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk pendaratan juga lepas landas kapal terbang. Ia berdiri di tempat terbuka yang dekat ke ujung pelabuhan, dirinya pun tak bisa luput dari rintikan hujan. Beberapa awan yang seperti sobekan kapas melayang di bawahnya. Dan jika lebih jauh lagi di bawah sana terdapat hamparan tanah luas yang menyebar ke segala penjuru. Tidak terlihat hijau-birunya hutan dan laut, maupun kuningnya padang pasir. Sejauh mata memandang hanyalah bentangan pasir abu aneh yang seperti lumpur.

Ia datang ke pelabuhan sini hanya demi melihat pemandangan itu. Ia ingin memastikan hal yang telah lenyap darinya, yang takkan mungkin bisa kembali. Tak lama pun, tanah sepi itu kini kian meleleh ke dalam gelapnya malam.

Ada beberapa hal yang bisa ia terima. Misalnya, penggunaan Venenum. Venenum adalah sesuatu yang seperti api kecil. Pertama harus dipercikkan terlebih dahulu dalam tubuh, besarkan apinya, lalu keluarkan kekuatan itu tubuh.

Tapi panas ini akan membebani tubuh penggunanya. Jika api yang dibuat melebihi batas kemampuan, maka jiwamu sendiri yang akan menahannya. Mekanisme ini menjadikan esensi batas jumlah Venenum yang bisa dikuasai oleh ras tertentu.

Jadi jika ada suatu bentuk kehidupan mengerikan yang raganya tidak hidup, maka jumlah Venenum yang bisa dihasilkannya jauh lebih besar dari yang ras lain dapat miliki. Kekuatan itu, yang kemungkinan besar takkan mampu terkendali, akan menjadi liar dan menyebabkan ledakkan yang maha dahsyat yang akan menghempas si pengguna juga musuhnya, hanya menyisakan sebuah lubang dengan Kaliyon jadi pusatnya. Senjata terkuat. Mungkin tidak akan begitu efisien karena hanya sekali pakai, tapi bisa memiliki itu saja sebagai tenaga tambahan bisa sangat membantu.

Satu hal lagi yang bisa ia terima: mereka sangatlah kuat. Mereka ras yang lahir untuk berperang. Umur mereka hanya dipakai untuk menang. Membawa takdir yang sedemikian rupa sudah membuat anak-anak itu jadi layak. Layak untuk menjadi penerus Regular Brave. Mereka bisa menjadi hal yang sangat diusahakan Willem yang tetapi tak kunjung ia dapat. Kalau begitu, ia semestinya senang atas mereka. Ia harus merasa bersyukur. Wah, mantap! Aku serahkan semuanya pada kalian! Semoga beruntung!

"... Aku ingin mati..."

Tentunya, ia sadar. Pikirannya yang kacaulah yang telah membuat pemikiran begitu untuk menghibur dirinya. Berdiri di sini dengan hanya sendirian telah membuat pikirannya menggila. Mungkin akan lebih baik kalau ia mengatakannya langsung pada anak-anak itu. Tapi, apalah dayanya? Orang luar yang tidak ada urusannya tidak berhak ikut campur dengan para Brave.

“― Hm?”

Di atas kepalanya, cahaya mentari bersinar menyilaukan, juga membelah lautan awan-awan nan tebal. Sebuah kapal terbang pun datang. Ia tidak bisa melihat dengan jelas siluetnya karena cahaya itu, tapi ia tahu betul kalau itu bukanlah kapal terbang patroli biasa atau pun kapal feri. Bentuknya agak kecil, namun itu nampak seperti kapal transportasi tentara.

Suara berat logam-logam yang saling bersinggungan terdengar jelas dalam lembabnya udara di pelabuhan sana ketika kapal menepi. Bunyi nyaring keluar dari shock absorber kapalnya. Tiga jangkar menahan bagian belakang, tengah, dan depan kapal ke dermaga. Kedua rotor dimatikan. Sihir reaktor pembakar perlahan mati, sehingga suara bising yang menggelegar pun semakin tersamar.

Pintu utama kapal itu terbuka, dan keluar dua insan dari sana.

"Kalian..."

Willem langsung mengenal kedua Leprechaun itu: Kutori dan Aiseia. Mereka memakai seragam tentara wanita informal, seragam yang belum pernah lihat dari mereka. Ada yang aneh. Aiseia dengan roman yang kusut berjalan bersama Kutori yang pincang, yang dibantu jalannya oleh pundak Aiseia.

"Hei, hei, Willem, Pak Teknisi Senjata Terkutuk. Malam." Sapanya dengan sikap ramah. "Kebetulan sekali ketemu di tempat begini, ya? Lagi jalan-jalan?"

Mungkin Aiseia berkata begitu sebagai gurauan, atau tebakan yang jawabannya sengaja tidak tepat, agar tidak membicarakan kondisi mereka sekarang. Namun memang begitu adanya. Yah, tidak begitu jadi masalah.

Willem tidak langsung membiarkan mereka menghindari permasalahannya.

"Kalian kenapa?"

"Hmm... sama sepertimu. Hanya jalan-jalan keluar dari pulau... bisa tolong terima jawaban itu?"

"Tentu tidak. Ini sepertinya..." Ia terhenti. Ia tidak tau apa boleh ia menanyakannya lebih jauh lagi, tau ia mesti melakukannya. "Kalian baru saja bertarung, 'kan? Dengan '17 Makhluk Buas'."

"Ahaha, kenapa kamu bisa tau?"

Kutori tidak mengatakan apapun sedari mereka turun dari kapal terbang. Demi melihat seberapa parah lukanya, Willem berjalan mendekatinya.

"Ah ― dia baik-baik saja. Kamu tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Tapi kalaupun mau bantu, mungkin kamu bisa tolong urusi itu."

Dengan matanya, Aiseia menunjukkan raksasa yang berdiri di belakang mereka. Sisik berwarna putih susu melapisi sekujur tubuh si raksasa, yang mana juga ditutupi oleh seragam militer. Merunduk untuk melewati pintunya, raksasa itu mulai meninggalkan kapal. Dekat puncak si raksasa terdapat sepasang mata yang terbuka dan mengunci pada Willem ― Raksasa itu adalah Reptrace yang pernah ditemui Willem."

"Seragam itu... kau Willem?" Suaranya sangat menyeramkan seperti ular yang mendesis. Karena struktur tenggorokan mereka yang berbeda, para Reptrace selalu memiliki pengucapan kata yang agak aneh, meskipun hanya mengatakan sesuatu yang lumrah bagi lidah para penduduk.

"Ya... Dan kau?"

"Bawa ini," perintah si Reptrace, langsung mengabaikan pertanyaan Willem, dan menyerahkan, atau tepatnya melemparkan dua buah benda yang panjang lagi tipis.

Secara insting, Willem langsung menggapainya. Tapi bungkusan yang tidak lebih besar dari tubuh besar si Reptrace itu hampir melampaui besar tubuh Willem. Seperti yang telah dijelaskan tadi, meski si Reptrace dapat membawa atau melemparnya tanpa perlu pakai tenaga, bagi otot manusia biasa, itu terlalu berat. Ia gagal menangkapnya dan benda itu pun jatuh dan mengeluarkan bunyi gemerincing logam.

"Ini..."

Benda yang diselimuti oleh kain putih ini adalah dua pedang yang ukurannya sangat besar.

"Ini pedang mereka. Bawakan lagi ini ke gudang." Si Reptrace mengucap perintahnya dan mulai bergerak kembali ke dalam kapal terbang.

"H-Hei!"

"Kau tidak berhak berkomentar apapun. Seseorang yang bukan pejuang tidak pantas masuk ke tempat berdirinya seorang pejuang." Kemudian, pintu pun ditutup, menyembunyikan punggung si Reptrace yang bagai batu besar.

"Ah, jangan khawatirkan ia. Pak Kadal memang begitu," jelas Aiseia dengan riang. "Terus, makasih banget kalau kamu bisa bawa pedangnya. Lihat sendiri, kan, aku sudah bawa Kutori."

"Dia terluka?"

"Tidak, dia cuma sedikit berlebihan, jadi dia sedikit lemas. Setelah ke klinik pasti dia langsung sembuh."

"Baiklah."

Willem mengangkat salah satu pedang yang tergeletak. Meskipun ada kain tebal yang meliputinya, ia rasakan tekstur yang terasa tak asing. Dan meski pencahayaan pun kurang, ia bisa mengenal bentuk yang khas darinya.

"Seniolis..."

"Ohh, kamu kenal pedangnya."

Tentu saja ia tahu. Tidak ada seorangpun anggota Quasi Brave saat itu yang tidak tahu namanya. Ayunkan ke kanan dan bunuh naga. Ayunkan ke kiri dan taklukkan dewa. Salah satu Kaliyon yang pertama kali ditempa. Si Pembunuh Naga Cokelat. Si Pembunuh Dewa. Si Pedang Rahasia Bersarung Putih. Senjata ini punya beberapa sebutan karena saking bersejarahnya, juga banyak pencapaiannya yang berhasil dibukukan. Kaliyon diantara Kaliyon-Kaliyon lain. Partner para Regular Brave generasi ke 18 dan 20, simbol kepahlawanan.

"Ini punyamu?"

"Bukan, itu punya Kutori. Punyaku yang satu lagi."

“Valgalis.”

“Mhmm. Kamu kelihatannya kok tahu banyak. Habis baca daftar alat-alat kami, ya?"

"Tidak..." ia menggelengkan kepalanya. "Kebetulan saja aku tahu pedang-pedang ini."

"Ah, aku kurang ngerti, tapi, oke." kata Aiseia dengan kepala yang dimiringkan.

"Aku akan bawa ini juga."

"Eh? Sebentar..."

Willem mengangkat Kutori yang lemas dan menggendongnya. Di belakang mereka, sebuah suara logam yang nyaring menandakan keberangkatan kapal terbang dari dermaga.

"... kamu lebih kuat dari yang aku kira," kata Aiseia, yang sudah tidak membawa apa-apa lagi.

"Yah, memang sudah tugasku untuk membantu kalian."

"Ohh, lagi sok keren, ya?"

Willem mengambil langkah pertama untuk kembali, diikuti Aiseia setengah langkah dibelakang.

"Jadi, soal kami. Kamu sudah tahu sampai mana?"

"... belum banyak. Aku tahu kalian ini peri, dan kalian bertarung untuk melindungi pulau ini dengan Kaliyon... atau Senjata Galian. Hanya itu."

"Hmm... gitu." Aiseia menatap langit. "Jijik, kan? Hidup seperti di-recycle. Memakai pusaka Emnetwyte yang sudah punah. Menurutku ini setting yang kelewat jijik."

"Bukan setting... kau bukan seorang karakter dari sebuah cerita." Tapi dia memang benar. Setting sempurna yang dia katakan tadi sangat cocok dengan yang dibutuhkan oleh Brave. Semakin menyedihkan, semakin tragis, maka semakin baik. Nasib dan takdir mereka selalu dalam setting itu, yang mana akan menetapkan kekuatan pada mereka untuk terus dapat menggunakan artifak pusaka Emnetwyte itu. Entah mereka menginginkannya atau tidak.

"Dulu sekali... aku kenal seseorang yang mirip seperti kalian."

"Ooh, ini cerita jaman dulu?"

"Tidak begitu panjang untuk disebut cerita. Aku sangat berhutang pada dia, dan aku belum pernah bisa membalas kebaikan-kebaikannya. Jadi ketika aku dengar cerita tentang kalian, aku jadi merasa aku harus melakukan sesuatu untuk membantu kalian. Begitulah."

"Wah... pendek banget."

"Sudah kubilang..."

Aiseia menendang sebuah batu yang tergeletak di jalan dengan tampang bosan di mukanya.

"Hmm... bukannya ini bagian kamu jadi terbuka sama aku dan jadi saling cinta-cintaan? Lagian kita lagi berdua."

"Kau lupa kalau masih ada orang di punggungku?"

"Kamu tahu sendiri, kan, yang bangun itu Kutori? Bagus, dong, jadi ada cinta segitiga berbumbu cemburu."

"Kau ini habis baca apa?"

"Segitiga yang Rusak."

Willem pernah mendengar judul itu. Setting tempat itu berada di pulau melayang, di mana karakternya terus menerus selingkuh dan perzinaan, dengan berkata bahwa mereka sedang mencari cinta sejati.

Yah, karena mereka hampir menghabiskan waktu hidup mereka di sebuah hutan yang sama dengan hanya perempuan-perempuan lain (dan Naigrat), mereka masih perlu belajar mengenai kehidupan bermasyarakat. Dan rupanya, mereka mendapat informasi itu dengan hal yang seperti ini, yang mana bisa dibilang, kurang akurat.

"Aku paling suka bukunya yang ke-3. Menurut aku itu luar biasa."

"Tolong ingatkan aku untuk menyitanya setelah kita sampai nanti. Anak-anak tidak boleh membaca buku seperti itu."

"Ini penindasan! Siapa yang kau sebut anak-anak, hah?? Dan, kok kamu bisa tahu semuanya dari judulnya doang!?"

Banyak bentuk hiburan dan kesenangan mengalir ramai di Pulau ke-28 yang terbelakang. Bisa menyicip pekerjaan demi pekerjaan telah membuat Willem mendengar gosip-gosip mengenai hal yang sedang tenar baru-baru ini. Kembali ke pembicaraan, Willem memutuskan untuk mengabaikan pertanyaan-pertanyaan Aiseia.

"Kecilkan suaramu... orang ini bisa bangun."

Punggungnya sedikit bergetar, ditambah dengan desahan pelan.












Bagian 4: Si Pemberani dan Penerusnya
[edit]

Aku ini apa? Pikir Willem pada dirinya sendiri. Karena sudah bukan Brave lagi, ia tidak punya alasan untuk melindungi dunia baru ini, pun, ia tidak punya kekuatan untuk melakukannya. Sekarang, satu-satunya alasan ia masih tetap hidup adalah karena ia jadi manager palsu yang mengurusi senjata, jabatan yang tidak punya pekerjaan selain hanya untuk hadir saja. Ia bisa menghilang kapanpun. Tidak ada yang akan peduli atau merasa tersakiti. Ia telah menjadi hantu.

--- Sepuluh menit kemudian, di klinik.

"Kenapa kamu di sini?"

Itulah kata pertama yang keluar dari mulut Kutori setelah dia kembali sadar.

"Memangnya salah menemani orang sakit?"

"Aku tidak sakit," dia membantah dengan mimik yang kurang mengenakkan, tapi Willem bisa melihat kalau dia sedikit memerah pipinya.

"Kau tahu? Brave yang kalian tiru ini punya semacam penyakit spesial, yang mana jika terjangkit ketika dalam misi, harus ditangani secepatnya. Dan yang paling perlu ditangani adalah Keracunan Venenum Akut, dan itu adalah yang kau dapati sekarang."

"Kadang-kadang candaanmu tidak lucu, tahu." Kutori memalingkan mata, masih dengan sikap yang masam.

Tentunya ini bukan hanya sebatas candaan, tapi jika dia tidak akan mempercayainya, ya sudahlah.

"Ayo, menghadap ke sini. Aku tidak bisa mengganti handuk basahnya kalau begitu."

"Aku tidak butuh."

"Bukan pasien yang berhak memutuskan. Ayo sini."

"Aku tidak apa-apa. Hanya begini doang. Istirahat sedikit juga nanti sembuh."

"Jangan bodoh." Dengan hati-hati ia sentuh keningnya. "Selalu, kau harus menangani Racun Venenum dengan benar, jika tidak, hal ini akan jadi hal yang lumrah bagimu. Dan jika dibiarkan begitu saja, akhirnya pun kau akan sampai pada batasnya."

"Sok ahli saja kamu ini."

"Aku ini memang ahli. Lagipula menjadi Teknisi Pedang Terkutuk adalah pekerjaanku."

“Hmph.”

Kembali, mata Kutori berpaling darinya, seakan berkata, orang ini apa-apaan, sih? Pada dasarnya, Teknisi Senjata Terkutuk membangun dan menjaga setiap mesin perang yang digerakkan oleh sihir, seperti yang dimaksudkan namanya. Teknisi Kelas Dua berhak dan berkewajiban yang setara dengan opsir militer kelas atas. Dan tentunya, diperlukan banyak pengetahuan, latihan, dan pengalaman untuk mencapai posisi tersebut. Dan jelas tentunya, Willem tidak memiliki semua itu. Gelar yang didapatkannya hanya untuk ditunjukkan, tanpa punya kekuatan atas gelarnya --- hal ini pun adalah hal umum bagi para peri.

"Aku ini pengurusmu. Aku yakin aku berhak menghawatirkan dirimu.“

“Bukan… terserah kamu mau pengurusku atau bukan, aku tidak perlu dikhawatirkan."

Kutori masih tidak mau menatap muka Willem, sehingga ia tidak tahu ekspresi dia. Walau mungkin, jika dilihat dari telinganya yang masih merah menyala, demamnya mungkin masih belum turun.

"Yang kamu bilang 'batas' begitu juga aku tidak peduli. Lagipula sudah tidak banyak lagi waktu yang tersisa."

"Waktu? Waktu apa?"

"Hei, aku ingin tanya," balas Kutori, mengabaikan pertanyaannya.

"Apa?"

"Kalau... ini hanya pertanyaan hipotetis, ya. Kalau aku akan mati lima hari nanti, apa kamu mau bersikap lebih baik padaku?" Hening.

"...hah?" Willem gagal mengerti apa yang dimaksudkannya.

"Ini hanya kalau saja, jadi jawab saja. Kamu mau dengar permintaan terakhirku?"

"Tunggu, kenapa harus lima hari? Aku harus tahu dulu apa yang sebenarnya terjadi, karena jika tidak, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu."

"Lima hari lagi, di Pulau Melayang ke-15. Seekor Teimerre akan menyerang." Kembali hening.

"Ketujuh belas Makhluk Buas tidak bisa terbang. Itu satu-satunya alasan kenapa Regul Aire bisa tetap melayang. Tapi Teimerre, Makhluk Buas yang ke-6, bisa melakukan penyerangan walaupun berada di tanah bawah. Makhluk ini punya dua kelebihan: membelah diri dan berkembang dengan cepat. Induknya bisa tetap di tanah dan membelah dirinya menjadi puluhan ribu bahkan, lalu mengirim mereka dengan angin. Kalau satu saja bagian darinya sampai si Pulau Melayang, maka bagian itu akan tumbuh cepat, bereproduksi, dan pulau seutuhnya akan hancur dalam waktu sekitar enam jam."

Hening.

"Tentunya, Regul Aire punya cara untuk melawannya. Sesuatu yang besarnya seperti Makhluk Buas itu akan tertangkap sistem alarm kami sebelum sampai ke pulau. Semakin kuat bagiannya ini, semakin cepat pula kami akan mendeteksinya. Ini bisa memberi kami cukup waktu untuk mempersiapkan pertahanan. Dan begitulah cara Regul Aire menghindari serangan Teimerre selama beratus-ratus tahun "

Hening.

"Sekitar setengah tahun lalu, sebagian dari tubuhnya yang agak besar terdeteksi. Jika diukur dari kekuatannya, semua pasukan bersenjata yang ada di daerah pendaratan tidak akan mampu melawannya. Tetapi para peri dengan Senjata Galian, malahan..."

"... dapat mengalahkannya dengan nyawa sebagai gantinya... betul?"

"Tepat. Seniolis dan aku seharusnya bisa menghentikannya dengan meledakkan diri. Aku rasa kita masih beruntung."

Kutori, yang sembunyi di balik selimut, mengangkat bahunya. Hanya butuh satu saja yang perlu ditumbalkan. Jika mereka sampai kurang sedikit saja kekuatannya, bisa saja peri kedua akan ditumbalkan jua -- yang mungkin adalah Aiseia atau Nephren.

"Ingat, ini semua cuma hipotesis." Perlahan, dia pun mulai mengarahkan mukanya pada Willem, senyum ceria pun tampak dari wajahnya. Tapi matanya tidak menampakkan rasa senang. "Yah, kalau itu terjadi, apa kamu mau mendengarkan permintaan terakhirku?"

"... tergantung permintaannya."

"Yah... misalnya... ah.." Kutori mencari-cari kata untuknya. "...kalau aku minta untuk dicium. Bagaimana?"

Dia juga, ya

Setelah melalui sejumlah buku-buku tidak berharga yang suka dibaca anak-anak peri di sini, mereka sudah melewati bagian di mana Willem harusnya berlaga malu atau bingung atau semacamnya, tapi Willem menolak untuk memerankannya.

Dengan suara yang hampir terdengar seperti rintihan, ia menjawab, "Kau punya sisa hidup lima hari lagi, dan itu yang kau minta?"

"A-Apa tidak boleh?"

Willem membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengahnya. Lalu, dengan sedikit kekuatan ditambah ke jari tengahnya, ia menyentil kening Kutori.

"Aw!"

"Anak-anak tidak seharusnya membicarakan hal-hal dewasa begitu. Ini gara-gara yang kau baca hanya novel romansa."

"T-Tidak, kok, aku baca buku lain juga!"

Sepertinya dia tidak membantah kalau dia sudah membaca novel romansa. Karena demamnya, atau mungkin karena dia memang sedang bingung, kata-kata yang keluar dari mulutnya kian tidak masuk akal. Juga, dia sepertinya sedang tidak sadar diri.

"P-Pokoknya, aku ingin ada kenangan... apa salah?" Dia merangkul bros perak di dekat dadanya. "Jika kamu akan mati.. setidaknya kamu akan merasa tidak ingin lenyap, 'kan? Kamu ingin diingat oleh seseorang. Ingin tetap ada hubungan dengan seseorang." Perlahan, tangisan pun berkumpul di matanya. "Apa salahnya..."

"Bukan itu yang aku maksud. Yang salah itu kau yang terlalu gegabah." Dengan lembut Willem menyentuhkan tangannya pada kening Kutori. Masih panas. "Maksudku kau tidak seharusnya begitu ingin melakukannya sampai-sampai mau melakukannya dengan siapa saja hanya demi bisa melakukannya. Terlalu terburu-buru seperti itu tidak akan menghasilkan akhir yang baik."

“Tidak masalah, kok! Aku tidak perlu mengkhawatirkannya--”

“Lalu, jika kau ingin menangis, keluarkan saja semuanya selagi ada seseorang di sampingmu. Menangisi sendiri hanya dilakukan oleh mereka yang sudah ahli, yang bisa berhenti di saat mereka ingin. Aku tidak merekomendasikannya pada pemula."

"Berisik. Kalau kamu tidak mau menciumiku, sudah diam saja. Aku tidak menangis juga."

"Dari suaranya juga sudah jelas, tahu."

"Aku tidak menangis," dia kembali menolaknya.

-- Dulu, aku ini apa? Pikir Willem pada dirinya sendiri. Ia memutuskan untuk kembali menetapkan ini: cangkang dari seorang pahlawan yang telah kehilangan segala yang ingin ia lindungi. Dan tentunya, cangkang tidak memiliki keinginan, cangkang hanya bisa mati.

"... aduh." Ia menggaruk-garuk kepala. "Coba kau tengkurap."

"Tidak kedengaran." Kutori menutup kedua telinganya dengan jari sambil memalingkan wajah.

"Ayo, cepat."

"Tidak dengar."

"Oke, kalau kau tidak mau dengar..."

Willem menggenggam pundak Kutori dan dengan paksaan, ia membalikannya agar saling berhadapan. Lalu, ia bergerak mendekat, dengan lirih membenamkan bibirnya pada kening Kutori.

"Eh?"

Sekujur tubuh Kutori melemas, seakan otaknya menghentikan segala aktivitas sebagai respon terhadap rasa kejut tadi. Dia tidak bisa memproses segala hal yang terjadi barusan pada keningnya. Yang dia sadari hanya ada sesuatu yang mengejutkan hingga tubuhnya berhenti bergerak. Sensasi yang seharusnya terasakan pada keningnya justru sulit untuk mencapai otak.

"Sekarang mau dengar? Tengkurap."

"Eh. Tunggu. Tadi apa?"

"Cepat "

Mulai dongkol, Willem kembali menggenggam pundak Kutori dan membalikkan wajahnya agar menghadap kasur.

"Ahh!!?"

"Aku akan menyembuhkan demammu. Supaya aman, tutup mulutmu."

"M-mulut? Eh? Apa?"

Ia menempatkan tangan di punggungnya dengan perlahan dan memeriksa kondisi otot-otot dan aliran darah dengan jari-jarinya. Satu hal yang jadi ciri khas dari keracunan Venenum adalah menurunnya fungsional jaringan tubuh yang menghasilkan Venenum. Sistem imunitas tubuh terkadang menganggap ini semacam penyakit dan menimbulkan demam. Pemeriksaan secara hati-hati dapat menemukan letak-letak yang jadi masalah di mana Venenum mungkin ada dan bebas.

"Di sini... dan di sini..."

"Agh!"

Dengan keras ia tekan dengan ujung jarinya.

Setelah menghabiskan waktu panjang di Quasi Brave, tidak sulit untuk menemukan penyakit ini baik dari dirinya ataupun dari rekannya. Ketika terjadi dalam pertarungan, dibutuhkan cara yang paling sangkus dan mangkil untuk meredam gejala penyakitnya sebanyak mungkin. Apalagi ketika dalam ekspedisi panjang, penting untuk mencegah kehabisan tenaga setelah bertarung, jadi pernah satu waktu Willem memanggil tentara medis dan mempelajari teknik ini.

"Aw! Sakit!"

"Itu karena sisa Venenumnya membuat seluruh ototmu kaku. Kalau aku bisa membenarkannya lagi, kau akan enakan."

"Walaupun kamu bilang begitu pun, rasanya masih --- ah! Geli -- ah!"

"Coba tahan."

"Kan sudah aku bilang, susah --- ah!"

Caranya hanyalah menekan sepuluh titik tertentu, yang mana secara berurutan dan simetris dengan tulang belakang. Pemulihan aliran darah yang masih baik akan membantu membersihkan Venenum yang beku. Sebagai perbandingan saja, penanganan ini memberikan sensasi yang mirip dengan memijat otot-otot yang kaku. Sebenarnya, selain hanya ditambah stimulasi terhadap titik-titik akupuntur tadi, kedua proses itu sulit untuk dibedakan.

“Ahhh…”

Cari titik dengan kondisi Venenum tersebut, lalu berikan tekanan. Cari titik lain, lalu lakukan lagi, dan cari lagi. Setelah sepuluh menit, Willem akhirnya berhenti. Telah cukup penanganannya, dan sekarang tubuhnya akan secara alami membersihkan Venenum yang tersisa setelah otot-otot dan aliran darahnya telah kembali pulih.

"Baiklah, sudah selesai." Ia menyelimuti punggung Kutori, yang kelihatan lelah dan kewalahan seusai dihujani oleh stimulasi. "Istirahat saja dulu. Setelah tidur semalam, kau akan baikan."

Tanpa sepenuhnya sadar, dia menggunakan jawaban yang tidak begitu jelas. "Ihhyah..."

Jika ditinggal sendiri, paling Kutori akan langsung tidur cepat atau lambat. Willem memutuskan untuk keluar dari klinik setelah yakin dia akan baik-baik saja.

Aku ini apa? pikirnya pada diri sendiri. Namun ia muak memikirkannya dan langsung berhenti. Saat itu ia punya hal lain untuk dipikirkan.

Kertas. Kertas. Kertas.

Itulah hal pertama yang ia lihat sesaat setelah masuk ruangan. Hal selanjutnya yang ia lihat, lalu selanjutnya, dan selanjutnya, adalah kertas-kertas juga. Karena bingung, ia mundur selangkah untuk memeriksa plat tembaga yang ada di samping pintu. Tulisan yang terukir padanya adalah 'Ruang Referensi'.

Kembali ia melangkah ke dalam, yang mana terasa lebih sempit akibat kertas-kertas yang berserakan. Terlebih, kertas-kertas yang bertumpukan begini nampak berisikan topik-topik yang variatif. Surat permintaan untuk membetulkan toilet di gudang peri sini, petunjuk cara berkomunikasi dengan ras lain ketika bertarung melawan ketujuh belas makhluk buas, surat permintaan untuk wortel dan kentang dalam jumlah besar, laporan dari misi patroli malam, dan potongan-potongan gambar dari majalah perempuan yang saling bertumpukkan.

Bunyi tik, tik, tik dari jam di tembok lagi juga terdengar begitu keras dalam kacaunya ruangan.

"Wah..."

Dengan hati-hati ia masuk, berjalan di permukaan yang naik-turun nan menutupi lantai, dan menuju meja. Willem duduk dan mengamati ruangan ini lagi setelah ia singkirkan kertas-kertas yang mengisi tempat duduk.

"Wah..."

Ia menyilangkan tangan dan berpikir untuk membereskan ruangan ini. Setelah dipertimbangkan, ia memutuskan, betapapun ia memikirkannya, ia takkan pernah mendapatkan keputusan. Setelah menyingkirkan pilihan itu untuk sekarang, Willem mengambil secarik kertas yang ada di bawah tumpukan di dekatnya. Dan itu adalah laporan inspeksi senjata untuk lebih dari sedekade lalu. Jadi ruangan ini berisi sejarah tidak berguna dari sepuluh tahun silam. Ia jadi merasa seperti arkeologis.

Yah, duduk diam begitu hanya akan buang-buang waktu. Setelah sampai di salah satu tumpukkan, ia memutuskan untuk mengelompokkan kertas-kertas kacau itu, yang kemudian ia sadari ada seseorang berdiri di sebelah pintu. Seorang perempuan rambut abu-abu yang menatap dengan tatapan mendalam dan sulit dimengerti pada ruangan itu.

Willem menunggu untuk sesaat, dan tersadar kalau dia pasti kemari untuk mengambil dokumen atau semacamnya, tapi belum mau beranjak. Dia terus hinggap dan menatap ke dalam ruangan dengan tatapan yang tak mudah dibaca.

"Butuh sesuatu, Nephren?"

"Tidak, kok," jawabnya langsung tanpa nada suara berarti, dan kemudian berbalik lalu pergi.

"Dia ini kenapa..."

Seusai mengangkat bahu, Willem kembali bekerja. Ia penasaran akan sesuatu. Dan sesuatu ini kemungkinan berada suatu tempat dalam lautan kertas ini.

Jam dinding berbunyi dua belas kali dengan sempurna, menandakan bahwa ini awal hari baru. Ia baru saja selesai mengatur-atur tumpukkan kertas yang ada di meja. Begadang semalam suntuk mungkin takkan terelakkan, dan entah apakah terus-terusan bekerja sampai pagi akan berhasil dan berguna atau tidak.

"Aku capek..."

Mendengar gerutuan dari perutnya membuat Willem sadar kalau ia lupa soal makan. Sedari tadi ia bekerja tanpa ada asupan nutrisi untuk selama setengah hari, ia terakhir makan pada siang hari.

"Sial..."

Kalau saja ia menyadarinya lebih awal, mungkin ia bisa memesan makanan ringan dahulu di kafeteria. Yah, menyesalinya sekarang tidak akan membantunya mengisi perut. Untuk sekarang, ia menyandarkan jidatnya pada meja dan memejamkan mata. Ia bisa tolerir perutnya yang kelaparan, tapi kalau masalah lelah hanya akan menurunkan kemampuan konsentrasinya. Sedikit istirahat mungkin akan bisa memberinya tenaga lagi untuk bekerja.

Tiba-tiba saja, sebelum kehilangan kesadaran, harumnya kopi singgah di hidungnya. Telinganya menangkap suara deringan sebuah cangkir yang ditaruh ke atas meja. Minuman? Oh, ya, pintunya aku biarkan terbuka.

"Ah, terima kasih---"

Baru saja ia akan berterima kasih pada Naigrat ketika tepat saat itu, kepala berambut abu memasuki ruang pandangnya. Sepasang mata berwarna hitam arang menatap dengan kosong pada sesuatu yang tidak jelas.

"-- Nephren?"

"Panggil saja aku Ren."

Oke. terima kasih, Ren."

Kembali melihat ke meja, ia menemukan sebuah piring yang terdapat sebuah roti lapis biasa di atasnya, yang juga ditempatkan berdampingan dengan secangkir kopi. "Kamu tidak perlu berterima kasih," katanya seraya mengamati ruangan. "Aku hanya penasaran, jadi aku kemarin Apa yang kamu lakukan?"

"Hmm... aku rasa hanya lihat-lihat saja."

"Di dalam sini?"

"Ya. Harta Karun tersembunyinya jauh di pelosok labirin bawah tanah, kan? Untuk mencari sesuatu yang berharga, diperlukan kerja keras."

"Hmm..."

Willem meneguk kopinya. "Manis." Ia bisa merasakan gula yang telah larut dengan jumlah banyak pada lidahnya.

"Aku pikir akan baik untukmu selagi capek. Atau kamu tidak suka manis?"

"Tidak, justru ini kesukaanku."

Lalu Nephren dibuatnya terkejut setelah ia menghabisi langsung kopinya dan melahap roti lapis yang hanya berisikan daging merpati panggang, dengan sedikit selada lisut pada roti kering pula. Mungkin terlalu banyak moster, tapi tambahan rasa ini membantu memulihkan tubuh lelahnya.

"Ahh..." Ia keluarkan helaan nafas penuh kepuasan saat ia rasakan sedikit tambahan nutrisi mulai bekerja.

"Jadi?" Nephren memandangnya dengan ekspresi kosong dan bertanya, "Apa yang kamu cari malam-malam begini?"

"Yah... percuma saja kusembunyikan. Aku sedang mencari riwayat bertarung kalian."

"Hm?" belum mengerti maksudnya, dia sedikit memiringkan kepalanya "Untuk apa?"

"Aku ini orang luar, teknisi jadi-jadian, dan aku bukan dari generasi ini. Ada terlalu banyak hal yang tidak aku mengerti. Menanyakan pada Naigrat selalu bisa jadi pilihan, tapi dia bukan tentara, informasi darinya berasal dari sudut pandang yang berbeda. Dan jalan terbaiknya adalah dengan aku mencari tahu dengan mataku sendiri data-data dari tentara."

"Hmm..."

"Jangan terlalu dipikirkan. Aku hanya ingin tahu beberapa hal."

"Oke." Angguk Nephren. "Apa ada yang perlu aku bantu?"

"Kau mau membantu? Kalau begitu, aku butuh dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan frekuensi kemunculan Teimerre dan riwayat pertarungan-pertarungan dari sepuluh tahun lalu dengan waktu, jumlah uang yang perlu dikeluarkan, dan korban, semua dirincikan. Juga, kalau memungkinkan, aku ingin riwayat-riwayat dari perbaikan dari Kali -- Senjata Galian. Misalnya, dokumen-dokumen yang berisikan percobaan mereka, lalu apa yang mereka targetkan, dan hasil akhir."

"Hm. Rinci sekali."

"Aku yang akan memeriksanya secara rinci. Kalau kau bisa mendapat apapun yang relevan, aku akan sangat tertolong."

"Siap."

Seusai perutnya telah diurusi, saatnya kembali bekerja. Willem menggulung lengan bajunya, dan sesaat kemudian, Nephren pun mengikuti. Keduanya mulai mengarungi lautan kertas yang mengisi penuh ruangan. Akan tetapi, seiring malam berjalan, mereka mulai tenggelam.

Pagi pun tiba. Bangun di waktu biasanya, Kutori Nota Seniolis bangkit dengan lesu dari kasur dan mengamati sekitar, dia sadar dia tidak seperti sedang di kamarnya. Setelah teringat kembali kalau dia berada di klinik, dia berusaha keras mengingat apa yang terjadi semalam, karena heran kenapa bisa bangun di sini.

Ketika dia telah mengingat sepenuhnya kejadian malam tadi bersama Willem, sontak saja mukanya memanas. Demam kemarin telah melemahkannya. Dia kehilangan kemampuan untuk berpikir dengan benar, kemarin. Tidak mungkin dia akan melakukan ataupun mengatakan hal seperti itu jika dia dalam keadaan normal. Alasan ini-itu muncul dalam kepala, namun tak ada satupun yang dapat membatalkan kejadian kemarin.

Kalau aku akan mati 5 hari nanti, apa kamu mau bersikap lebih baik padaku?

"Ahhh kenapa aku mengatakan itu!?"

Kutori sontak membenamkan diri kembali ke kasur yang baru saja dia tiduri dan memukul-mukul dengan liar, tanpa hirau akan bunyi kertak-kertak keras akibatnya.

...kalau aku minta untuk dicium. Bagaimana?

"Aaaaahhhh!!"

Dia memeluk bantal dengan sekuat tenaga kemudian memukul-mukul dan melemparkannya ke tembok. Kenapa dia mengatakan hal-hal itu? Dia sendiri tidak tahu. Memang , dia tidak membenci Willem, malah dia cukup mengaguminya, dan kalau boleh dia katakan, dia lebih ke menyukai Willem, tapi menyukai orang secara pribadi dan menyukai orang karena itu sudah beda hal dan jangan sampai tertukar dan tapi yang jadi kenyataannya ialah sosoknya seringkali muncul dalam benak Kutori selama demam dan -- ahhh! Dia tidak kuat memikirkannya lagi.

Akan tetapi, hampir sebagian ingatannya mengenai hal kemarin jadi agak samar. Dia merasa ada sesuatu yang terjadi setelahnya... ia bilang ia akan menghilangkan demamnya atau semacamnya --

"Kutoriii, sudah enakaan!?"

"Ah!" Suara entah dari mana tiba tiba saja muncul, jadinya dia secara tanpa sengaja panik hingga bersembunyi di balik selimut. "Oh, sekarang aku baikan."

"Ah, umm... aku dengar kamu kecapekan waktu kamu pulang kemarin, tapi apa sekarang kamu sudah sehat lagi? Sudah bisa makan lagi, begitu?" Dilihat dari gestur dan suara, Kutori menganggap kalau kedua orang ini hanya ingin menengok.

"Collon dan... Lakish?"

Dengan hati-hati dia mengintip dari kasur dan memastikan tamu-tamunya. Dan dengan hanya melihat rambut mereka yang pink dan jingga sudah cukup untuk menyadari kalau itu mereka.

"Hm? Wajahmu merah," tunjuk Collon si rambut pink.

"A-Ah, masa, sih? Yakin bukannya gara-gara cahayanya?" Kutori menghindari kontak mata.

"Tapi kelihatannya tubuhmu baik-baik saja. Setiap kalian kembali dari Medan pertempuran, pasti kondisi tubuhnya memburuk, jadi aku senang kamu baikkan sekarang," ujar Lakish si rambut oranye.

Barulah setelah dijelaskannya, Kutori menyadari tubuhnya terasa aneh karena jadi lebih ringan. Semalam, dia pingsan karena terlalu banyak menggunakan Venenum dalam pertarungan sebelumnya. Setiap kali terjadi hal itu padanya, paginya pastilah terasa berat karena lelah akan menjangkiti dirinya. Dia mencoba untuk melompat naik-turun setelah keluar dari kasur dan merasa memang dia tidak merasa kelelahan sama sekali. Malahan, dia merasa luar biasa seakan baru saja disembuhkan oleh sihir.

"Benar juga, aku merasa lebih ringan."

"Tinggal sedikit semangat dan keberanian saja lagi!"

Mungkin masalahnya tidak begitu besar, pikir Kutori pada dirinya sendiri.

"Kamu baru sadar sekarang?"

"Ah, yah..." Dia pikirkan apa yang terasa aneh baginya kali ini. Apa mungkin karena -- kepala dia mulai panas kembali sehingga dia tidak jadi mengingatnya -- pesan aneh itu? "... oh, apa kalian tau ia di mana?"

"Ia?" Lakish terlihat bingung untuk sesaat, namun mulai mengerti kemudian. "Kalau yang kamu maksud itu Willem, terakhir kali aku lihat ia ada di ruang referensi."

"Ruang referensi... tempat kita menumpukkan kertas-kertas?"

Apa yang bisa ia lakukan di sana? Hanya tumpukkan kertas kacau adanya, bukan tempat yang cocok untuk melakukan riset. Sejauh yang Kutori tahu, para peri hanya ke sana untuk sembunyi dari kewajiban piket, karena siapa juga yang mau memeriksa tempat itu.

"Ia bersama Nephren."

"... eh?"

"Collon!"

Lakish langsung menyentaknya karena menambahkan informasi yang tidak penting, tapi Collon nampak tidak peduli. "Mereka tidur berbarengan di sofa." Dia malah lanjut dan memperkeruh suasana.

"... ah,"

"Um... Kutori?"

"Aku ingat lagi ada urusan, aku mau keluar dulu. Terima kasih mau menengokku. Seperti yang kalian lihat, aku sudah sehat, kok, jangan khawatir."

"Ah, oke. Tapi..." Lakish dengan perlahan melihat Kutori. "Jangan keras-keras... ya?"

"Apa-apaan, sih?"

Kutori tertawa dan meninggalkan klinik.


Thumb


Untungnya mereka sudah merapikan sofa semalam. Willem bangun dengan posisi Nephren masih tidur di atas lututnya.

"Yah... kurasa kami mendapatkan cukup informasi," gumamnya dengan pelan agar tidak membangunkan asistennya.

Masih dipegang dalam tangannya segepok kertas-kertas. Meski belum cukup untuk mencapai target yang diinginkan dan ada beberapa hal tak terduga yang ikut tercampur ke dalamnya, Willem bisa mendapat sedikit dari hal yang ingin ia ketahui.

Ia arungi satu demi satu kertas yang menjelaskan mengenai usul dari peri. Berdasarkan yang ia baca, kata peri itu sendiri bisa dimaksudkan pada beberapa spesies-spesies berbeda: roh api yang kerap menipu wisatawan yang tersesat di hutan, anak-anak bersayap yang dikitari oleh aura cahaya yang terus bersinar, orang-orang cebol yang hanya tumbuh sampai selutut orang dewasa. Kesemuanya nampak sulit dimengerti dan berbahaya yang takkan sampai menyakiti.

Semuanya juga menggunakan suatu macam sihir dan lebih memilih untuk tinggal di hutan. Terakhir, kebanyakan, mereka ada ketertarikan khusus terhadap manusia, mereka lebih suka untuk menjahilinya.

Penjelasan ini sepertinya memang cocok dengan peri-peri yang ditemui Willem. Tetapi, ia belum bisa tenang. Ia masih penasaran mengenai alasan kenapa ras peri, yang mana sulit dibedakan dari perempuan-perempuan Emnetwyte kecuali karena rambut warna-warninya, disebut dengan Leprechaun. Tapi saat ini, ia singkirkan dulu hal ini, karena masih ada hal lain yang harus ia ketahui.

Banyak hal yang bisa terjadi dalam lima ratus tahun... Pikir Willem sambil lanjut membaca.

Salah satu kertas menjelaskan teori dasar penujuman[7]. Dimulai dengan menganggap keberadaan arwah dan banyak hal gaib lainnya. Misalnya saja, awal mulanya, arwah berwarna putih suci sampai kehidupan pun mewarnainya. Alhasil, arwah butuh lebih lama untuk sampai dewasa ketimbang tubuh. Meskipun seorang anak kecil punya tubuh yang sangat sempurna, arwahnya akan sangat berbeda secara struktur ketimbang dengan yang dimiliki orang dewasa.

Jadi, jika seseorang kehilangan tubuhnya sebelum arwahnya diwarnai oleh dunia, bisa dibilang ia akan mati sebelum ia terlahir sepenuhnya. Arwah-arwah yang menghadapi kontradiksi ini semacam menolak aturan dunia, yang mana mereka seharusnya menuju alam baka (kalau tempat seperti itu memang ada), malahan mereka hanya menggentayangi mereka yang masih hidup , tanpa punya tujuan.

Keberadaan itu disebutnya peri. Roh hilang yang telah mati di usia belia hingga mereka tidak ingat kematian mereka. Karena ini, sikap mereka bisa seperti bayi atau anak kecil. Hanya dituntun oleh rasa penasaran, tidak tau yang hak dan batil, terkadang lugu dan kadang pula kejam, mereka meneruskan kenakalan mereka.

"Tapi mereka tidak akan pernah punya tempat di dunia ini..."

Willem melihat si anak kecil yang tertidur di atas lututnya, kemudian kembali melihat dokumen itu. Akhiran dari artikel ini membuatnya muak. Mudahnya, sisanya ini menjelaskan cara konkrit untuk melahirkan peri lagi untuk menggunakannya. Sekalinya membahas pengorbanan atau semacamnya, ia langsung berhenti membaca. ia tidak begitu tertarik mempelajari penujuman.

Dokumen lain menceritakan pertikaian yang terjadi lima tahun lalu. Seorang peri yang tidak diketahui Willem telah membawa Kaliyon yang disebut Insania ke dalam pertempuran. Dia telah bertarung dengan tiga tubuh 'Makhluk Buas ke-6' hingga Venenum miliknya hampir menggil, namun mampu bertahan dan kembali ke rumah. Langsung Willem membalik halaman selanjutnya, yang mana isinya mengenai hal yang sama juga. Sesekali ia temui tulisannya 'pembukaan gerbang menuju tanah peri', yang kemungkinan besar mengarah pada ledakan akibat penggunaan Venenum yang berlebihan pada diri sendiri.

Terus terang, peri-peri termasuk sub tipenya, Leprechaun, tidak hidup. Mereka dianggap sebagai hantu. Karenanya, mereka tidak bisa dianggap sebagai prajurit meskipun bertarung bersama tentara. Meskipun sesosok peri tumbang dalam pertarungan, dia tidak akan dihitung sebagai korban jiwa.

"Jadi itu kenapa mereka dianggap sebagai senjata, bukan prajurit..." gumam Willem dan mengelus-elus rambut abu di atas lututnya. Ia dengar erangan kecil dan mengira ia telah membangunkan Nephren, namun kemudian suara dia mendengkur kembali ada.

Aku ini apa? Pikir Willem pada dirinya sendiri. Memang, apapun jawaban yang bisa ia temukan adalah kebohongan. Namun begitu, ia merasa harus memilih. Sekarang ini, siapa ia? Sebuah cangkang tanpa tempat kembali di umur yang kini? Sebuah anakronisme dari Quasi Brave yang telah kehilangan segalanya dan mimpinya? Seorang teknisi palsu yang menghabiskan hari-harinya hanya untuk mendapat uang? Atau mungkin...

Secercah cahaya memasuki jendela. Awan hujan masih menutupi langit, namun mentari pagi menembus retakan kecil untuk bisa tampil. Willem menyipitkan mata karena sontaknya cahaya datang. Menatap cahaya yang bersinar itu, untuk sesaat ia merasa melihat sesosok yang ia kenal.

"...aku ingin cepat-cepat bayar utang ini dan ke sana juga..." Ia tertawa kecil.

"Berisik... berhenti mengeluh, cepat lakukan saja sebisamu," nampaknya si sosok di balik cahaya itu menjawab.

Ah, sial. Si brengsek itu. Ia tidak tau apa yang sudah aku lalui dalam enam bulan ini.

"... Willem?" panggil suara dari atas lututnya.

"Ah, kau sudah bangun? Terima kasih atas bantuannya, aku temukan banyak hal."

"Hm, aku tidak melakukan apapun yang perlu kamu terimakasihkan." Dia kini melihat lurus padanya dari lutut. "Kamu kelihatan suram kalau aku tinggalkan sendiri, jadi aku bantu sedikit."

"Tapi tetap saja, terima kasih," kata Willem sambil ia elus lagi rambut abunya. Nephren kelihatan sedikit jengkel, tapi tidak menghentikan Willem.

"Baiklah, kita harus bangun. Kelihatannya kita kedatangan tamu."

Setelah ia katakan itu, ia dengar teriakkan kaget datang dari pintu yang setengah terbuka. Pintunya terbuka dengan bunyi keriat-keriut, menampakkan Kutori yang kelihatan mengantuk dan marah.

"... um, pagi."

"Pagi. Bagaimana keadaanmu?"

"Eh? Oh, um... sudah sangat baikkan."

"Syukurlah... aku ingat kalau aku belum pernah melakukannya pada anak-anak sebelumnya. Sedikit khawatir karena aku melakukannya dengan berlebihan, tapi..." Kutori terlihat jadi kaget ketika membahas pijatan tadi malam. "Juga... kau datang di waktu yang tepat. Aku harus memeriksa sesuatu. Ren, bangun. Sudah pagi." Ia angkat kepala Nephren dan menaruhnya di sofa, lalu berdiri.

"Kutori, ayo kita olahraga pagi."

"....eh?"



Di kala mereka bicara, langit yang tak menentu ini memutuskan untuk jadi cerah.

"Eh?"

Kutori berdiri di tengah-tengah lapang yang biasa digunakan anak-anak untuk main bola. Di dekatnya dia lihat Willem melakukan pemanasan dengan pakaian yang kelihatan fleksibel. Dan di samping dia, ada Nephren yang memegang sebuah buntelan kain panjang, yang pastinya adalah Senjata Galian. Dia lihat pada Nephren dan benda itu, lalu mengambilnya. Dia sangat kenal sentuhan itu. Melepas kain yang meliputinya akan mengekspos pedang peraknya. Senjata Galian dengan efisiensi aura sihir tertinggi dari semua Regular Aire, Seniolis. Kenapa dia membawanya sekarang?

"Kutori. Apa kau suka anak-anak yang ada di sini?"

"Eh?"

"Alasanmu siap untuk mati... apakah demi melindungi masa depan mereka?"

"Itu... itu tidak penting."

Willem sangat benar, tapi sekarang ini dia merasa tidak ingin secara jujur mengakuinya. Perasaan campur aduk yang dia lalui hingga sekarang ini tidaklah semudah itu hingga bisa hanya diucapkan oleh kata-kata. Juga, dia tidak ingin mengingat kalau dia menggunakan anak-anak itu sebagai alasan atas kematiannya.

"Ah... baiklah."

Willem melepas buntelan kain yang ia pegang, memperlihatkan sebuah model Senjata Galian yang besar.

Beberapa senjata sejenis sudah pernah digali, namun biasanya dianggap lebih lemah daripada pedang seunik milik Kutori.

"Aku ingin tahu apa rumornya benar. Ayo serang aku!"

"E-Eh?!"

Untuk sesaat Kutori meragukan apa yang baru saja dia dengar. Disenjatakan dengan Senjata Galian, dia bisa disebut sebagai salah satu pasukan terkuat di seantero Regul Aire. Dengan kata lain, sangatlah kuat.

Bahkan Reptrace yang disenjatakan dengan senjata berbubuk mesiu tidak bisa menyainginya.

"Apa kamu mengerti? Hanya karena kamu membawa Senjata Galian juga, tidak berarti kamu bisa sebanding denganku. Hanya kami yang punya kekuatan untuk mengaktifkan senjata-senjata itu."

"Hmm, kau yakin? Ayo kita coba. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi."

"Aku tidak sedang bercanda. Kamu mau jadi daging cincang?"

"Jadi tidak seru kalau begitu... tapi mungkin Naigrat akan suka itu. Pokoknya, jangan khawatir. Cepat tunjukkan apa yang kau bisa."

"... baiklah, kalau begitu."

Setelah dia pikirkan kembali, Kutori sadar kalau ini bukanlah pertama kalinya Willem mengatakan hal tidak masuk akal. Juga, dia harus menanyakan mengenai tidurnya Willem dan Nephren tadi. Menakutinya dengan kegagahan dalam bertarung sebelum menanyakan hal itu bukanlah ide buruk.

Merasakan si penggunanya memasuki kuda-kuda bertarung, Seniolis mengeluarkan suara teriakkan pelan. Retakkan kecil yang menyelimuti pedang itu kini melebar hingga jadi celah, yang memancarkan cahaya remang, perwujudan dari Venenum.

Susunan dan inti dari Senjata Galian tidak begitu dimengerti oleh tentara. Akan tetapi, mereka tahu kalau dari pedang itu akan tumbuh kekuatan di dalamnya yang proporsional dengan jumlah Venenum yang diberikan oleh si pengguna; jika sesosok Leprechaun mengerahkan semua Venenumnya, Teimerre sekali pun tidak akan mampu menahannya. Dan itu saja hal yang perlu mereka ketahui.

"Kamu yang minta... jadi jangan menyesal nanti."

Peningkatan kemampuan konsentrasinya langsung mengubah pandangannya. Warna-warna hilang di sekitarannya, seakan dia bergerak di dalam air. Pandangannya harus mencakup hingga jarak sekitar dua puluh langkah, tapi, dalam kondisinya sekarang, hanya dua langkah saja akan cukup. Kekuatan langkah-langkahnya bisa saja membuat lubang kecil di tanah, tapi sekarang dia tidak ada waktu untuk memikirkan itu.

Willem masih terlihat belum siap. Serangannya pasti akan jadi serangan yang mengejutkan. Dia mengunci pandangannya pada Senjata Galian yang dipegang Willem dengan tidak erat di tangan kanan. Jika dia bisa mengenyahkan senjatanya itu, langsung akan selesai tanpa perlu ada yang terluka.

Jarak di antara mereka mendekat dengan cepat. Tangan kanan Willem mulai masuk ke dalam jarak serang dari Seniolis. Tidak ada yang bisa mengikuti kecepatan gerak Leprechaun, termasuk Willem tentunya. Ia tidak mungkin bisa menghindari ataupun menangkis serangannya.

-- Kutori disayat.

... eh? Sebilah pedang menyayat dari kiri dan terus secara diagonal hingga sejajar pundak kanannya, juga menghancurkan tulang rusuknya saat menerpa. Ujung peraknya menyibakkan paru-parunya dan terakhir, tenggelam dalam jantungnya. Inderanya yang diperkuat semakin bisa menerima rasa sakitnya. Darah merah menyala memancar keluar, melukiskan ketidaksesuaian yang jelas terhadap birunya langit di latar. Dia bisa merasakan kematian mendekat.

Kenapa... tidak mungkin... bagaimana... Pemikiran-pemikiran singkat muncul dalam pikiran dengan tidak menentu, dan hanya hilang di kemudian. Dia telah siap untuk mati, namun tidak mengira akan di sini. Kekosongan yang mendekat menakutkannya. Matanya hanya melihat birunya langit, terus berputar selama-lamanya.

Punggungnya menghantam tanah, menyebabkan paru-parunya menjerit seperti kucing yang dihancurkan.

"... eh?"

Dengan kedua tangan dan kaki yang terbuka lebar-lebar, dia terbaring di tanah, menatapi langit. Dia masih melamun begitu untuk beberapa saat, menunggu kematiannya saja. Namun ternyata, dia menyadari hal aneh. Dengan hati-hati dia gerakkan tangannya, dia tepuk rusuknya, tempat di mana pedang tadi pertama menusuk. Tidak ada bekas luka. Tidak ada juga darah yang memancar. Tidak ada rasa sakit. Tidak ada bekas luka oleh kekerasan yang baru saja terjadi padanya.

"Apa... yang terjadi?"

Dia bangun dan duduk perlahan. Seniolis, yang dia jatuhkan barusan saat terhempas, terguling di tanah dekatnya.

"Kalian salah mengerti masalah fundamental Kaliyon."

Kutori panik dan melihat arah datang suara Willem. Si pemuda berambut hitam ini berdiri di sana dengan santainya tanpa kelihatan berhati-hati

"Ini tidak merubah kekuatannya mengikuti jumlah Venenum yang dikeluarkan si pengguna. Apa bisa kau bayangkan kalau pedang-pedang ini, ditempa untuk membantu Emnetwyte yang super lemah yang tidak punya Venenum untuk membantu mengalahkan para Elf dan Naga yang kuat, hanya menambah sedikit kekuatan saja pada si lemah ini?"

Willem mulai membicarakan suatu hal. Kutori mulai merasa jengkel, tapi tidak mengerti kenapa. Sesuatu dalam kepalanya seperti mengajarkan padanya kalau dia tidak bisa mendengar perkataannya Willem lagi.

Dia fokus. Lagi, penglihatannya kembali berubah. Bergerak secara sontak, Kutori mengambil kembali Seniolis dari tanah dan tetap merendahkan tubuhnya, bersiap untuk serangan Willem. Dia tidak melihat serangan yang barusan diterimanya, namun dia tahu betul kalau itu pastinya adalah teknik untuk menangkis yang menggunakan momentum dirinya sendiri sendiri terhadap dirinya sendiri. Kutori yang dibutakan oleh kelebihannya yang bisa mengaktifkan Senjata Galian dan kemampuan untuk mempercepat inderanya, tidak pernah mengira hal seperti itu sebelumnya. Willem menyerangnya tepat di titik buta akibat keteledorannya. Kematian semu yang dia lihat pun bukan hanya sebatas khayalan, namun masa depan konkrit yang akan ditemui Kutori jika Willem tidak menahan diri. Dia hanya bisa menerima bahwa ia memiliki kemampuan berpedang, entah kenapa.

Tetapi, Kutori menolak untuk mengetahui hal lainnya. Dia tidak bisa menolak cara para peri yang sudah dipegang dalam waktu lama untuk menggunakan Senjata Galian dalam pertarungan. Sekarang ini, tubuhnya bergerak dengan lebih mudah dari biasanya. Dia merasa terhina karena mungkin pijatan Willem ini yang sudah membuat tubuhnya ringan, tapi dia tetap merasa berterimakasih. Terbakar oleh Venenum, dia bergerak secepatnya sejauh dua langkah yang biasanya butuh sepuluh langkah jaraknya. Langsung berhenti di saat masih di luar jangkauan serang senjata Willem, Kutori sengaja menunggu sekian detik untuk melancarkan timing-nya, dan kemudian melompat ke udara. Pedang perak di tangan kanannya mengarah pada pundak, tapi serangan sesungguhnya adalah tendangan kaki kiri yang mengarah pada rusuknya Jika kena, tendangan yang diperkuat Venenum ini sudah bisa membuat Willem tidak sadarkan diri. Tapi dia harus melakukannya sampai sejauh itu, karena jika tidak, ia tidak akan mengerti.

Mengerti apa?

Keraguan pun muncul dalam benaknya, namun langsung dia singkirkan. Kali ini, dia bisa melihat pergerakan Willem. Dengan manuver tenang, ia mengangkat pedangnya dan menangkis serangan dari Seniolis. Ini menyebabkan Kutori terpental untuk sepersekian detik, memberikan kesempatan bagi Willem untuk menggerakkan tangan kirinya pada sisi perut Kutori.

Dinamik dalam situasi ini berubah jadi buruk. Tubuh Kutori terputar dan terbalik ketika terhempas di udara.

A-Apa!?

Sekali lagi, langit musim gugur yang tak berawan mengisi pandangannya. Tetapi, setidaknya dia tidak sekarat. Dengan tangan kirinya dia menggapai tanah dan memaksa menghentikan pentalan ini dengan jari-jarinya. Kelima kuku jarinya yang masuk ke dalam tanah serasa mau hancur, tapi Kutori bisa mempertahankan keseimbangannya.

"Wah... pengembalian yang baik."

Suara Willem yang terpanah hanya membuatnya semakin geram. Dia jadi yang terpanah sekarang.

"... kenapa bisa?" Tanya Kutori, suaranya gemetar karena frustasi.

"Hm? Kenapa?" Timbal Willem dengan datar.

Sepertinya ia tahu dia memiliki pertanyaan untuknya. Kutori, yang sudah tidak punya motivasi lagi untuk melakukan serangan kejutan lain, hanya jalan pincang dan mengayunkan Seniolis. Dengan tenang Willem menggunakan pedangnya untuk menangkis. Dia bisa melihat adanya cahaya keluar dari retakan pada Percival.

“Mau sekuat apapun aku paksa sihir penglihatannya, aku tidak bisa melihat ada Venenum yang keluar dari tubuhmu. Tapi pedang itu sudah aktif. Kenapa ada aturan yang terlanggar begini?"

"Aku baru saja mau menjelaskan waktu kau mau membunuhku... Kaliyon didesain untuk menggunakan kekuatan dari setiap orang yang disentuh pedang itu, bukan penggunanya. Semakin kuat musuhnya, semakin kuat juga pedang tersebut. Itu kenapa ini bisa digunakan untuk membunuh para Naga dan Dewa. Kali ini, Percivalku bisa dengan mudahnya meniru semua Venenum yang kau berikan pada Seniolis. Baiklah..."

Kutori merasakan sesuatu yang membuatnya gentar. Sebuah serangan datang. Langsung karena insting, tubuhnya bergerak mundur sekuat tenaga sembari meningkatkan setiap indera dan menyurutkan warna-warna dalam pandangannya. Setelah menghindar secepat kilat, dia hilang keseimbangan dan berakhir jatuh di tanah.

Dia tidak tahu apakah tadi gerakkan yang betul atau tidak untuk dilakukan, sementara Willem belum beranjak dari tempatnya sedikitpun. Ia masih dalam postur yang sama, hanya memegang pedangnya dengan begitu, hanya ekspresi terkesan saja yang kini jadi pembeda.

"Tubuh dan pikiranmu kelihatannya bergerak dengan baik. Venenummu pasti bekerja dengan baik. Juga, kau punya persepsi yang baik. Mungkin kau bisa meningkatkan strategimu, tapi tidak begitu penting jika tipe pertarungan yang kau geluti hanya itu. Juga, kau masih punya pilihan untuk mengamuk, kan? Yah. Wajar saja kau masih bisa bertarung dengan caramu itu hingga sekarang.

Willem menjatuhkan pedang di tangan kanannya. Kutori yang masih waspada terhadap trik lainnya, berdiri dengan kening yang mengerut, tapi Willem masih terus bicara.

"Aku senang. Kau kuat, dan kau masih bisa tumbuh lagi. Jadi...sebaiknya... kau harus pulang.". Pada akhirnya, suara Willem hampir seperti hanya bisikkan.

Goyah tubuhnya sebelum akhirnya jatuh ke tanah dengan menghadap langit, menyebabkan debu-debu bersebaran. Kutori masih tidak lengah. Dengan hati-hati dia melihat pedangnya yang telah tergeletak di tanah, kedua kakinya mengarah pada dia, kedua tangannya terbuka lebar seakan ingin memeluk langit, matanya yang tak bernyawa menatap ke atas... tak bernyawa?

Setelah Kutori menyadari ada hal yang aneh, Nephren mendekat untuk memeriksa denyut jantung dan nadinya.

"Ah." Dia kelihatan tidak begitu terkejut.

"A-Ada apa?" Tanya Kutori, yang masih waspada. Dia sedari tadi kerap dikejutkan oleh Willem, hingga kini masih belum mampu melemas. Atau begitulah kurang lebih hal yang dia katakan sambil terus menggenggam Seniolis.

"Ia sekarat," ucap Nephren dengan desahan.

"...eh?"















Bagian 5: Si Perempuan Mekanis yang Tangguh
[edit]

Reptrace besar dengan wajah macam batu muncul melalui kristal komunikasi.

“Ramalannya masih berlangsung. Serangannya akan mengarah pada daerah yang sebelumnya ditandai. Kita harus cepat-cepat; lepaskan para elang dan asah anak panah."

Dia bertutur dengan karakteristik Reptrace yang aneh sikapnya dan sulit dimengerti pelafalannya. Orang yang tidak terbiasa akan sulit menangkap maksud dari pesannya, yang mana, jika diterjemahkan ke dalam bahasa biasa, jadinya begini:

"Masih belum ada perubahan dari yang kita prediksikan. Serangannya akan dilancarkan pada waktu dan tempat yang sudah kita antisipasi. Kita harus segera mempersiapkan medan tempur dan senjata kita."

"... ah, oke. Atau, yah, aku sudah tahu,". jawab Naigrat, yang lagi berusaha menahan amarahnya yang menggebu-gebu dalam kepala. Jika pergerakan musuh sesuai dengan yang direncanakan, ini berarti rencana Naigrat pun akan selaras. Bisakah mengatakannya tidak usah pakai 'anak panah' juga? Mulutnya serasa bergerak sendirinya dan meneriakkan ocehan tadi jika dia lengah.

Jadi Naigrat mengunci emosinya di dalam, dan, di salah satu sudut otaknya, dia buat dirinya yang baru. Diri yang selalu bisa memilih pilihan tanpa ragu dan bertindak tanpa diperdaya oleh emosi lemah. Diri mekanis yang dia bisa paksa untuk melakukan semua pembicaraan.

"Tiga hari dari sekarang, jam delapan, aku akan mengirim tiga dari lima pengguna Senjata Galian ke distrik pelabuhan, dengan persenjataan lengkap."

Kalian ini tentara, kan? Kerjaan kalian meresikokan diri di garis depan dan siap buat mati, kan? Terus kenapa belum ada satupun dari kalian yang mati!? Kenapa hanya perempuan-perempuan sini saja yang jadi korban!?

"Salah satu dari ketiga itu, Kutori Nota Seniolis si prajurit peri, akan membuka gerbang menuju tanah peri dalam misi."

Aku ragu kalian ini bekerja keras! Aku tidak bisa menerimanya! Berjuang lebih keras! berpikir yang benar! Cari cara lain untuk bertarung! Selamatkan anak-anak kami!

"Dua lainnya, Aiseia Muse Valgalis dan Nephren Ruq, Insania prajurit peri, akan siap jadi pengganti. Jika pertarungannya belum berakhir saat Seniolis membuka gerbang, mereka akan disenjatai sebagai tindakan preventif di sana."

"Mereka masih belum mengerti rasanya cinta. Mereka tidak akan tahu artinya kebahagiaan yang nyata. Tapi kenapa... mereka harus pergi dengan cepat?

"'Mata panah' yang disebut tadi akan disuplai pada Tentara Bersayap oleh Gudang ke-4 Perusahaan Perdagangan Orlandri."

... kenapa kami tidak bisa menggantikan mereka?

Tapi Naigrat sudah tahu jawaban dari pertanyaannya. Peri yang sudah dewasa mampu menggunakan kekuatan yang sangat besar. Jadi tentu, veteran dalam tentara paham betul keunggulan penggunaan mereka sebagai pengorbanan dalam pertarungan. Sama sekali tidak bimbang oleh perasaan seperti yang terjadi pada Naigrat, mereka mungkin lebih mengerti bahwa itu terpaksa harus dilakukan.

Akan tetapi pengorbanan dari senjata ini berarti para peri harus siap untuk menderita kekalahan permanen demi mendapat kesempatan untuk menang. Walau begitu, tetap tidak akan ada pengganti para peri. Apapun selain itu hanya akan seperti memasukkan segelas air ke dalam neraka yang membara, yang mengancam seantero pulau. Meski Naigrat mungkin ditakuti oleh masyarakat sekitar karena seorang troll, namun pada akhirnya dia hanya itu: sebatas troll saja. Dia tidak bisa melindungi satu pun hal yang dia ingin lindungi atau mendapat hal yang dia ingin dapatkan. Naigrat sadar.

Dia sangat menyadarinya.

Dengan bunyi kertak, pengiriman melalui kristal komunikasi terputus. Kemudian, emosi yang bertumpuk dalam dirinya juga menggertak.

"Agghhhh!!!" Naigrat berderu dengan menderitanya. "Kenapa!? Kenapa kenapa kenapa!?!?" Menghadap pada langit-langitnya, dia keluarkan semua kekecewaannya.

Diri mekanis yang telah dia buat di sudut otaknya? Sudah dia buang benda menjijikkan itu ke dalam tong sampah dan merobek-robeknya sampai kecil.

"Kenapa... kenapa..."

Ledakkan emosi ini pun mulai mereda, dan deruannya berubah menjadi seduan halus. Air mata melimpah di matanya sebelum menetes ke lututnya, menodai roknya.

Naigrat pernah memilih untuk jadi wanita yang kuat. Seseorang yang bisa diandalkan oleh anak-anak. Seseorang yang bisa menjadi sesuatu yang seperti sosok ibu bagi anak-anak itu yang tidak pernah miliki ibu .

Atau setidaknya, bisa menjadi seseorang yang bisa bertingkah begitu.

Hari itu, dia bersumpah pada dirinya sendiri. Apapun yang terjadi, dia tidak boleh menangis. Hanya anak-anak itu yang benar-benar butuh menangis, seseorang yang benar merasakan takut. Jadi Naigrat harus bisa ada di sana untuk menghentikan tangisan mereka. Betapapun dia merasa kecewa atau betapapun perasaan yang dia tahan, dia harus bisa mendukung anak-anak itu dengan senyuman.

Bodoh sekali... bagaimana bisa aku seperti itu? Bagaimana bisa aku menghentikan tangisan mereka kalau aku sendiri tidak bisa menghentikan tangisanku?

Kegagalan dari seorang wanita tangguh yang menangis seperti bayi. Tidak ada yang menenangkannya. Tidak ada yang mau menghentikan tangisan dia. Jadi dia menangis, dan menangis, dan menangis, tanpa terlihat akhir dari tangisan ini.

"Permisi masuk! Darurat!"

"Naigrat, kamu di sini?"

"B-B-Bahaya!"

Hal itu terjadi secara tiba-tiba. Pintunya terbuka dengan sangat kuat hingga bisa saja hancur, kemudian tiga peri kecil melompat masuk. Beruntung, dia masih menghadap kristal komunikasi sehingga hanya punggungnya saja yang bisa nampak dari pintu. Jika dia bisa menahan tangisnya sedikit, anak-anak itu tidak akan melihatnya dalam keadaan yang menyedihkan ini.

"H-Hei, ketuk dulu sebelum masuk." Dia memarahi mereka dengan pelan dengan masih tidak menghadap mereka, dia mencoba menyembunyikan suara gemetarnya.

"Tidak ada waktu! Ini darurat!"

"Cepat! Kita harus buru-buru!"

"Kalau tidak sekarang, mereka akan mati!"

Mati? Oh... mungkin mereka membicarakan itu, ya? Jika mereka membicarakan Kutori, tentunya Naigrat sudah tahu. Tapi seharusnya tiga hari lagi. Kutori, sebagai peri tertua, di luar dia selalu bertingkah laku seperti orang dewasa, tapi di dalam dia hanyalah anak kecil. Anak kecil manja yang menolak untuk bertingkah seperti begitu, dan juga...

"Sepertinya Willem akan mati!" Hening.

... eh? Mati? Willem? Satu demi satu kata sampai pada otaknya, yang mana telah dilumpuhkan oleh tangisan-tangisan tadi. Dia hanya duduk dan memproses setiap informasi tadi untuk beberapa saat, hingga...

"Apa yang terjadi!?" dia teriak dan mengambil kotak obat, kemudian berlari ke luar ruangan.






















SukaSuka Chapter 4.png

Bagian 1: Hari di Masa Lalu
[edit]

Pertarungan yang sangat-sangat panjang kini menemui akhirnya. Matahari sudah tenggelam dan terbit tiga kali. Di medan pertempuran, di tempat pernah berdirinya sebuah gunung dengan kokoh, air laut mengalir padanya karena kini telah berubah jadi teluk raksasa. Api neraka melahap pepohonan, yang tak jelas kapan akan padam, menyisakan jejak kematian dan abu hitam.

Lempengan logam yang tak terkira jumlahnya berserakkan. Jika dilihat seksama, orang dengan pengetahuan lebih akan tahu bahwa itu adalah bekas Talisman. Lempengan yang jumlahnya paling banyak adalah Talisman 'refleksi panah', yang khusus dibuat di atelir pusat di Kerajaan Suci. Serpihan tembaga yang mengapung pada ombak berasal dari Talisman 'resistanci penyakit' yang berasal dari Garmond Barat. Tetesan besi cair menyala merah yang dari atas pohon berasal dari Talisman 'pelindung takdir', yang mana telah dijaga ketat rahasianya oleh fraksi penyihir Selenslode hingga beberapa hari lalu. Sekumpulan sihir-sihir terkuat yang ada untuk manusia, yang dibawa dari seluruh dunia, hanya tergeletak di atas tanah, karena sudah digunakan sampai melewati batasnya.

"Ya ampun, ini jauh lebih lama dari yang aku kira." Tidak ada sedikitpun kekuatan tersisa di tubuh si pemuda untuk mengangkat satu jari. Menjatuhkan pedang rusaknya, ia duduk di dekat batu raksasa. "Tidak ada yang bilang aku harus sampai sejauh ini untuk menang."

"Aku yang harusnya berkata begitu, bocah." Suara tidak senang yang keluar dari mulut tetua ini sedikit menggetarkan udara di sekitarnya, seakan menggema dari dasar ngarai yang dalam. "Tapi... mengerahkan segala kekuatan dari kehidupan kecilmu demi sampai sejauh ini... aku akan tetap mengingatmu hanya karena itu saja."

"Itu tidak membuatku senang. Tidak senang diingat olehmu bisa memperpanjang waktu hidupku... tapi, bagaimana bisa kau masih bicara? Kau sudah mati sekarang, kan?"

"Memang. Setelah tubuhku hancur seluruhnya, aku seharusnya sekarang sudah terbenam dalam heningnya kematian. Saling bertukar pikiran denganmu hanyalah gema dariku."

"Ah, begitu. Sekarang aku merasa senang."

Tujuh sihir terlarang, sebelas pedang Percival yang ditempa hingga sampai ke tingkat penghancuran diri, dan bahkan, teknik pedang rahasia yang ia sendiri tidak pantas untuk lakukan. Jika ia masih belum bisa mengalahkannya setelah mengerahkan semua itu, sudah ia kehabisan pilihan.

"... Sedikit terlambat untukku katakan, tapi tadi itu luar biasa. Menahan kekuatan sebesar itu hanya seorang diri, meskipun kau hanya seorang manusia lemah... itu menakutkan. Jika kau menggunakan kekuatan itu untuk melawan manusia, kau seharusnya bisa menyerang dua atau tiga negara dalam satu malam. Tapi... pada akhirnya, kekuatan itu sendiri jadi taruhannya, ya?"

Sebuah substansi mengintai bagaikan kabut menyelimuti si pemuda. Gumplan ini perlahan memekat dan melengket pada tubuhnya, seakan ingin mengikatnya

"Menggunakan sihir terlarang dengan jumlah besar begitu... reaksinya pun pasti akan mengutuk dan menyiksa si pengguna. Merapalkan satu saja sudah bisa menghancurkan tubuh dan jiwanya pun menghilang. Dikalikan dengan tujuh... aku tidak bisa bayangkan rasa sakit mengerikannya."

"Jika pada akhirnya pun aku akan mati, tidak masalah jika aku menggunakan satu ataupun tujuh... lagipula, tidak mungkin aku bisa bertarung lagi, jadi rasa sakit dan penderitaan tidak akan masalah."

"... aku rasa itu tidak layak disebut pembelaan."

"Sudah lama aku diberitahu hal itu, tapi jika monster yang mengatakannya terasa berbeda."

Keluar tawa yang memekik

"Sepertinya jika kau belum siap untuk itu, kau tidak akan menantang dewa, ya? Baik, ini saatnya kita untuk berpisah. Aku akan tidur untuk ratusan tahun."

"Sudah, cepat pergi. Setidaknya tutuplah mulutmu waktu kau mati."

"Baik, baik. Aku hargai permintaanmu sebagai hadiah dari kemenanganmu..." Suara itu pun lenyap, meleleh ke dalam angin bersamaan dengan perasaan teror yang sebelumnya mengisi suasana yang meliputinya.

"... hei, kau sudah mati?" tanya si pemuda, namun tak ada jawaban yang keluar.

Bunyi kertak kering keluar dari kakinya. Ia kerahkan sisa kekuatannya hanya untuk menggerakkan lehernya dan melihat ke bawah, si pemuda melihat sendi-sendinya berubah menjadi batu. Suaranya semakin menjadi-jadi saat warna abu itu memanjat tubuhnya. Lutut. Paha. Punggung. Terus dan terus naik. Tujuh kutukan pembawa maut saling bertumpuk, bercampur dan saling mengikut dengan rumitnya untuk menghasilkan fenomena yang terjadi di depan matanya.

Sekujur tubuhnya hingga ke dada sudah berubah jadi batu, si pemuda tertawa.

"Yah, rencananya aku ingin kembali ke rumah... tapi sepertinya tidak berjalan sesuai rencana."

Ia menatap langit dan mengungkapkan kata-kata terakhirnya, dalam harapan yang hanya sedikit, akan sampai pada orang-orang penting ini, yang pastinya ada di tempat nun jauh, sedang melihat pada langit biru yang sama.

"Maaf, Leila. Hanya ada guru saat kau sampai di rumah. Maaf, Suwon. Kau yang jadi harus menangani keegoisan Leila. Emi... Aku rasa aku tidak punya janji apapun padamu. Aku yakin kau bisa mandiri, tapi tolong hidup bahagia demi diriku."

Dan juga... juga....

Saat ia bicara, tubuhnya terus menjadi batu dengan cepat sekali. Terlalu banyak nama yang ingin ia sebut dalam sisa waktu yang singkat ini. Si pemuda membayangkan banyak wajah dalam pikirannya dan mengeliminasinya hingga tersisa satu.

"Almaria... Aku minta maaf." Nama terakhir yang ia pilih adalah si 'Anak Perempuan', yang menunggu di panti asuhan dalam negeri yang jauh. "Sepertinya aku tidak bisa memakan kue mentega itu."

Suara denting kecil menandakan akhirnya. Yang tersisa hanyalah batu besar dalam bentuk seorang pemuda.













Bagian 2: Si Orang yang Tak Seharusnya Hidup
[edit]

“Apa yang terjadi?" Itulah kata-kata Naigrat seusai dia mengobati. "Kenapa kamu bisa jadi begini?"

"Hahaha, yah, sepertinya tubuhku sudah jadi lemah. Sudah lama aku tidak memegang pedang, jadi tubuhku tidak kuat."

"Jangan bercanda. Ini tubuhmu sendiri, kamu seharusnya mengerti betul apa yang terjadi."

Wajah Naigrat serius, dan entah kenapa matanya sedikit merah. Juga, Willem merasa suara dia sedikit seperti mengigil. Tampaknya ia tidak bisa menertawakannya jika begini.

"Kalau boleh aku bilang, kamu ini sudah kacau. Hampir semua tulangnya ada retakan kecil yang tidak sembuh sendiri. Banyak tendon[8] kamu yang tidak bisa pulih setelah lemas. Hampir setengah organ-organ kamu tidak berfungsi dengan baik. Aku yakin aliran darahmu juga juga kacau, meskipun aku tidak mahir dalam memahaminya."

Willem sudah mengira hal-hal ini. Meski ia tidak tahu banyak mengenai hal-hal medis, ia sadar kalau kondisi tubuhnya buruk.

"Dengan luka sebanyak ini di dagingnya, aku yakin gigiku saja sudah cukup untuk memotongnya tanpa perlu pakai pisau..."

Ia berharap tidak dengar itu darinya dengan mimik sedih pada roman Naigrat.

"Terus luka-luka ini bukan dari yang kemarin atau hari ini. Kebanyakan luka-luka lama yang jadi semakin parah. Jadi kamu hidup terus selama ini sambil menyembunyikan semua itu?"

"Yah, aku tidak merahasiakannya."

"Kalau kamu bertingkah seolah baik-baik saja dan tidak buka mulut, ya itu sama saja. Bagaimana bisa kamu berjalan dan bergerak dengan biasa dalam kondisi begini..." Naigrat mendesah. "Luka-luka ini... ini akibat menjadi batu, kan?"

"Lebih tepatnya, ini karena cedera dari pertarungan sebelumnya. Lagipula, ini ajaib juga karena aku masih bisa hidup, jadi aku tidak pantas mengeluh."

"Itu bukan alasan untuk kamu menganggap enteng hidup kamu."

"Mungkin..." Willem tadinya akan mengangkat bahu sebelum merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya, jadi ia hanya memasang senyum tipis.

"Jangan memaksakan diri," kata Naigrat saat dia memegang tangannya. jantung Willem sontak berdetak sedikit lebih kencang. "Rasa kamu nanti malah hilang." Ia sudah mengira hal semacam itu darinya.

"Tidak masalah kan kalau aku beritahu anak-anak?"

"Ya, seperti yang aku katakan, aku memang tidak merahasiakannya. Kalau menurutmu memang perlu, ceritakan saja."

“Baiklah, aku pergi sekarang. Kamu tinggal dulu dan istirahat sebentar. Aku yakin kamu sudah tahu, tapi kamu tidak boleh melakukan apa-apa yang bisa memberatkan tubuhmu. Aku bahkan heran kenapa kamu masih bisa hidup."

"Oke. Lagipula aku tidak ingin jadi makan malammu."

"Jangan bercanda. Aku sedang serius."

"Ah... oke."

Naigrat tampak sangat marah, padahal baru saja dia berkata tentang rasanya belum lama tadi. Willem merasa ini agak irasional, namun memilih untuk tidak menggodanya lagi. Ia tahu kalau ini adalah yang terbaik bagi mereka, apalagi ia tahu kalau membalas rasa pedulinya Naigrat dengan candaan bukanlah hal yang sopan.

Dia memilih ruang makan sebagai tempat yang paling pas untuk melakukan pertemuan. Dengan mata dari sekitar dua puluh gadis peri terfokus padanya, Naigrat mendesah.

"Melihatku dengan begitu tidak akan membuat apa yang akan aku katakan jadi menarik..."

"Kami yang akan menilai. Sekarang, kami ingin dengar kebenarannya, terserah menarik atau tidak," kata Aiseia, yang lain pun mengikuti dengan anggukan.

Sadar tidak akan bisa menolak, Naigrat memilih menghela nafas dan mulai menjawab.

"Waktu itu masih musim semi tahun kemarin, sebelum aku dikirim kemari. Aku diutus untuk membantu grup pemburu dari Perusahaan Perdagangan Orlandri.

"Pemburu!"

Berbinar mata beberapa peri karena kekaguman. Bagi mereka pemburu adalah pahlawan yang berani membahayakan diri demi mengejar harta dan cinta, mereka cukup populer di kalangan anak-anak Regul Aire. Yah, biasanya anak laki-laki, tapi...

"Grup pemburu ini biasanya tidak begitu beruntung. Mereka berkali-kali turun ke tanah bawah, tapi tidak pernah sampai mendapat keuntungan besar. Hari itu pun sama. Kami baru saja akan kembali dengan tangan kosong, sampai salah satu anggota salah melangkah dan jatuh ke dalam tanah. Di sana, ia temukan danau bawah tanah beku yang besar. Dan yang tenggelam di dasar danau itu adalah patung batu dari lelaki muda yang tidak bertanda."

"Sama seperti Peti Es!" Salah satu anak meneriakkan judul salah satu kisah dongeng.

"Tapi yang di dalam bukan ratu, melainkan patung. Salah satu rekanku yang bisa melihat sihir memastikan kalau itu bukan patung biasa, tapi manusia sungguhan yang berubah jadi batu karena kutukan. Jadi, tentu, kami tidak bisa meninggalkannya begitu saja.

Butuh waktu dan usaha, tapi akhirnya kami berhasil menghancurkan es yang mengelilingi patung itu dan membawanya ke pulau. Setelah sekitar sebulan di rumah sakit, batu ini mulai lepas dari tubuh laki-laki ini dan ia pun bangun.

Awalnya agak susah. Ia langsung ketakutan ketika melihat Borgle atau Orc, dan ia sama sekali tidak mengerti bahasa kita. Akhirnya kami berhasil bicara, setelah memakai jasa penerjemah khusus dari Perusaan Perdagangan.

Dan pada saat itulah kami tahu. Ia Emnetwyte yang sesungguhnya. Prajurit terakhir yang mengubah setiap ras lain di tanah bawah menjadi musuhnya. Kami tidak tahu kenapa, tapi yang pasti ia sudah tidur di dasar danau beku itu untuk ratusan tahun..."

“Ia sudah di bawah sana untuk waktu lama, tapi tidak pernah dimakan oleh Makhluk Buas?"

"Mungkin karena ia jadi batu. Aku rasa itu yang membuatnya beruntung saat itu."

Kemudian, mereka menemukan cara untuk mengatasi masalah bahasa dengan mudahnya. Di samping es yang membungkusnya, ada banyak Talisman yang memberikan penggunanya kemampuan untuk mengerti setiap bahasa. Dengan itu, si pemuda menceritakan semua dan mulai mengerti kenyataan yang ia hadapi sekarang. Naigrat tidak akan pernah bisa melupakan wajah putus asa atau ratapan derita pemuda itu.

Emnetwyte terakhir. Naigrat dan rekannya memutuskan untuk merahasiakan identitasnya seperti yang ia minta. Dia tidak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya. Ia jadi hidup di Pulau ke-28, meskipun di sana sangat tidak ramah terhadap yang tak bertanda, ia terus bekerja non-stop untuk membayar setiap utang-utangnya. Dia hanya dengar semua itu dari seorang pemburu.

Setelah itu... ia datang kemari. Dalam kurun waktu enam bulan sejak kedatangannya, ia telah tumbuh lebih tinggi, mulai lebih sering tertawa, dan menunjukkan kebaikan-kebaikan pada anak-anak. Namun perasaan gelap dan muram masih ada dalam matanya, yang belum berubah dari saat itu.

"Hanya itu yang aku tahu."

Naigrat telah mencoba mengatakan sebisanya dengan tetap membiarkan mereka berpendapat sendiri. anak-anak itu saling menatap satu sama lain dan berbisik-bisikkan.

"Aku tidak bisa cerita apa-apa lagi. Tapi aku minta satu hal. Mungkin sulit, tapi aku tidak mau ada yang takut padanya atau menganggapnya asing. Itu saja."

Setelah selesai, Naigrat meninggalkan kafeteria. Saat dia jalan di lorong, dia mengira-ngira, apakah dia melakukan kesalahan atau tidak. Emnetwyte adalah ras yang dibenci. Meskipun Willem mungkin tidak ada hubungannya secara langsung, mereka tetaplah jadi yang melepas ke-17 Makhluk Buas, membawa kehancuran pada dunia.

Dia tidak merasa anak-anak akan bersikap sama juga seperti masyarakat lainnya, tapi mungkin reaksi mereka pun akan tetap sama. Itu karena, mereka ada untuk dijadikan senjata yang bisa dipakai kembali hanya untuk melawan Makhluk Buas. Emnetwyte bisa dikatakan yang menjadi biang yang menciptakan takdir ini. Walau begitu, jika mungkin, dia berharap anak-anak tidak akan menolak Willem.

Ia tidak pantas di dunia ini. Jadi dia tidak ingin ia hancur di sini; di tempat yang mungkin jadi satu-satunya wadah untuk ia tersenyum. Willem sendiri tidak begitu peduli, karena ia ingin mencari tahu kenyataan para peri dan bahkan memberi mereka petunjuk mengenai masa lalunya. Tetapi, dia masih belum menyerah pada keinginannya. Mungkin ini egois, tapi dia ingin agar anak-anak tetap di sisi Willem, sama seperti enam bulan ini.

Tiba-tiba saja dia berhenti berjalan. Perasaan tidak enak menjalar ke belakang lehernya. Tidak. Jangan sekarang. Jangan begini, pikirnya. Namun di saat yang sama, dia bisa melihat kalau itu terjadi. Mereka akan melakukan itu. Cepat-cepat dia berbalik dan berlari ke klinik. Baru saja dia akan berbelok...

"Willem! Kami dengar semua tentangmu!"

"Emnetwyte mirip dengan kita, ya!"

"Sangat menarik. Tolong ceritakan lagi mengenai generasiku."

"Um... Aku tidak tahu harus bilang apa, tapi... cepat sembuh, ya!"

Peri-peri memenuhi klinik, mengganggu Willem yang lemah terbaring di kasur dengan luka serius hingga hampir mati, dengan suara mereka yang keras dan penuh enerji.

"..."

Naigrat terpaku di depan pintu dan terkejut untuk sekitar sepuluh detik, kemudian ditambah lagi lima detik karena hal bodoh yang dia pikirkan beberapa menit lalu. Dia harusnya sudah mengira hal ini, tapi kenapa dia perlu khawatir sekali? Dia menenangkan diri selama tujuh detik dengan menghela nafas panjang.

"Kalian..."

Anak-anak berhenti berkicau setelah dengar suara Naigrat dan perlahan menggerakkan leher mereka untuk menghadap pintu.

"Ia pasti sangat lelah sekarang dan butuh istirahat, jadi tolong kecilkan suaranya. Kalian tahu kan..." Naigrat dengan perlahan mengeluarkan senyum lebar. "Apa jadinya anak nakal yang tidak mau dengar?"

Dalam sepuluh detik, anak-anak langsung bertebaran keluar dan lari di lorong.

"Ohh, bisa berhasil, ya" kata Aiseia yang mendekat dari belakang.

"Kalau kamu akan keras-keras juga, aku akan kejar kamu juga, lho."

"Hahaha, tidak akan, kok," jawab Aiseia dengan tawa, kemudian ekspresinya berubah ambigu. Entah ini wajah canda atau serius, Naigrat tidak tahu. "Tapi, aku ingin konfirmasi sedikit sama si Tuan yang Hampir Mati ini. Boleh?"

"... ingin tanya apa?"

Sebelum Naigrat berkata-kata, Willem sendiri sudah menjawabnya. Sudah begini, dia tidak bisa ikut campur. Aiseia bergerak masuk dengan senyumnya yang biasa dan mengambil kursi untuk duduk di samping kasur.

"Pertama, hanya memastikan. Kamu ini Emnetwyte, kan?"

“Mhm, aku rasa mereka disebut begitu baru kali ini. Waktu aku masih di bawah sana, kami tidak punya nama khusus untuk kami sendiri. 'Orang' saja sudah mengarah pada kami, dan ras lain sama saja monster bagi kami."

"Kurang ajar banget, ya?"

"Yah, memang... jadi, apa yang ingin kau tanya?"

Senyum Aiseia berubah jadi serius, kemudian dengan suara pelan, dia bertanya, "Kenapa seorang Emnetwyte begitu peduli pada kami? Aku senang sama yang kamu lakukan, Pak Teknisi Senjata Terkutuk. Tapi setelah kami tahu siapa kamu, aku tidak mengerti kenapa kamu berjuang begitu. Seperti kamu bertarung dengan Kutori dengan tubuh yang sudah bobrok begitu. Kamu tahu kamu membahayakan nyawa, kan? Sampai sejauh itu tanpa ada alasannya... itu terlalu aneh, kan?"

"Baik pada perempuan itu wajar."

"... itu saja?" Wajah Aisesia sedikit lebih cerah dari sebelumnya dan sekarang menggaruk pipi.

"Yah, aku rasa pakar-pakar biologis juga berkata lelaki baik pada wanita itu sudah jadi standar."

Ras Leprechaun tidak memiliki laki-laki, setidaknya sampai saat ini belum pernah ada. Karena mereka berkembang biak secara alami, muncul, dan bukan bereproduksi dengan lawan jenis, tidak adanya laki-laki tidak mempengaruhi kelangsungan hidup ras mereka. Tapi, karena mereka tidak pernah merasakan adanya perbedaan gender, Aiseia mungkin tidak mengerti apa yang Willem maksudkan.

"Hmm, oh. Kau suka kucing?

“Ahh… suka, seperti yang lain."

"Apa kau jadi seperti mau melindunginya waktu lihat itu?"

"Aku rasa... sama seperti yang lain."

"Ya intinya sama saja seperti itu."

"Aku belum paham..."

Willem berpikir untuk sesaat.

"Aku dengar ini sudah sejak lama. Semua yang tampak imut tidak tiba-tiba ada. Semua itu didapat karena insting atau kebutuhan mereka untuk dilindungi dan dicintai. Itu kenapa anak-anak selalu imut, entah mereka manusia atau hewan. Mereka sangat ingin diurus... atau semacam itu."

"... jadi maksudnya kami ini begitu juga?"

"Kalau wujud asli kalian ini hanya 'ruh', maka ruh ini bentuknya bisa berubah-ubah sesukanya, kan? Tapi ruh ini malah mengambil bentuk seperti anak-anak perempuan. Mengerti, kan?"

"Jadi ras kami ini kayak bayi-bayi yang inginnya dimanja terus... kalau kamu memang sukanya sama anak kecil, aku rasa itu wajar."

"Tidak, lah!"

Keduanya tertawa lepas.

Melihat mereka, Naigrat mulai merasa sedikit berlebihan karena khawatir tadi. Pada akhirnya, baik Willem maupun para peri tidak memikirkan semua ini dengan terlalu berlebihan seperti yang dia bayangkan. Mereka semua hanya mengikuti pertimbangan atau insting mereka sendiri. Atau, dengan kata lain, mereka ini sekumpulan orang bodoh. Dan tentunya, mereka bodoh karena mereka tidak bisa tumbuh bijak dengan mudahnya. Mereka bodoh karena mereka bisa terus tertawa dengan bebas.

Ahh... aku sayang kalian semua. Setiap kali Naigrat mengatakannya dengan keras, orang-orang biasanya langsung kelihatan takut, jadi dia hanya bisa meneriakkan hal itu dalam hatinya.










Bagian 3: Si Peri Hilang dan Si Kadal Terbang
[edit]

…​ Apa yang sedang aku lakukan?

Kutori Nota Seniolis berlari. Dia buru-buru keluar dari gudang, melewati hutan rindang, terus hingga ke pelabuhan, dan ketika sudah tidak ada daratan lagi, dia bentangkan sayap untuk terbang di langit.

Dia sendiri bingung. Tapi dia merasa memang perlu. Karena hanya ini satu-satunya pilihan baginya. Setelah saling bercekcok mulut dengan Willem, dia mengerti kenapa ia ingin melakukannya. Kesalahpahamannya kini membuat dia tak tahan.

Jika membandingkan daya serang persenjataan militer dengan kekuatan Teimerre nanti, kesempatan untuk mereka menang tampak tipis. Karena itu, pihak militer ingin meningkatkannya dengan tumbal. Begitulah situasinya sekarang. Tapi sekarang ada solusi yang lebih baik: tingkatkan daya serang dasar secara permanen.

Dari awal, mereka tahu kalau peri-peri tidak mengerahkan segala potensi yang terpendam dalam Senjata Galian sebagaimana Emnetwyte menggunakannya. Senjata ini pasti telah menurun kualitasnya sedikit, karena memang itu adalah senjata kuno. Apalagi tidak ada panduan dalam penggunaannya, mereka harus mencari tahu sendiri caranya melalui pengalaman. Tentunya, mereka memalsukan pengaktifan senjata ini dengan menggunakan ras peri sebagai korbannya.

Jadi, tentu saja jika seseorang yang tahu cara penggunaannya muncul tiba-tiba, maka situasi pun akan berubah secara menyeluruh. Mereka bisa kembali memikirkannya. Berputar haluan.

Hilangkan pengorbanan.

Namun itu sama saja dengan mengaku kalau cara mereka bertarung selama ini adalah salah. Yang berarti setiap dari mereka gugur dalam kesia-siaan. Ini akan merendahkan, bahkan sampai menganggap segala keputusan dan tekad mereka dalam perjuangan dan siksaan melawan takdir kejamnya sebagai kekonyolan belaka.

"Tidak akan!"

Enam bulan lalu, di hari di mana serangan Teimerre besar telah diprediksi. Saat itu, ketika diumumkan bahwa tidak ada lagi strategi yang efektif selain memaksa Kutori Nota Seniolis mengamuk.

"Saat itu aku sangat takut..."

Dan iya, dia tidak mau mati. Setelah sadar bahwa waktunya terbatas, tak terhitung hal-hal yang ingin dia coba, tujuan yang ingin dia tuntaskan, dan mimpi-mimpi yang ingin dia wujudkan muncul dalam benaknya. Dia menangis dan menangis, lalu mencoba bertingkah kuat.

"Akhirnya aku bisa terima..."

Sekitar dua Minggu lalu, dia bertekad untuk tidak menangis lagi. Akan tetapi, kini, dia merasakan ada sesuatu yang mengisi matanya. Sialan! Tidak... aku tidak bisa.

Semakin dia berusaha melawan, semakin dia berusaha untuk kuat, semakin cepat juga emosinya menumpuk hingga tak terbendung lagi.

Dia memejamkan mata dan berhenti mengepakkan sayap, membuatnya terjun bebas. Siulan angin seakan berteriak pada telinganya. Tepat di bawahnya adalah lautan awan putih.

Sempurna, pikirnya. Kalau dia menembus awan-awan itu, sekujur tubuhnya akan basah dan bekas tangisannya pun akan tersembunyi. Jadi dia melepas dirinya pada gravitasi.

Awan-awan mendekapnya. Pada dasarnya, awan itu seperti kabut tebal di tempat tinggi. Meski terlihat seperti kapas, awan tidak memiliki tekstur, jadi terbang menembusnya pun tidak akan membuat percikkan seperti air. Awan ini hanya sekedar putihnya udara yang kosong dan menyelimuti tubuhnya.

"Ah."

Aduh, pikirnya. Kutori sadar kalau dia lupa hal yang penting. Sekarang musim gugur. Yang berarti sebentar lagi musim dingin. Yang berarti, jika kebasahan, akan merasa sangat-sangat kedinginan.

"Uhh..."

Bagi semacam burung dan peri, terbang di udara butuh banyak kekuatan fisik. Dan sayang sekali untuk Kutori, rasa dingin yang menusuk kerap menguras tenaga itu. Lebih parahnya, tidak ada bebatuan yang bisa menjadi tempat berlabuh sementara.

Pergi ke pulau terdekat? Kembali ke tempat tadi?

Sepertinya sudah tidak ada lagi yang memungkinkan, dia belum ingin pulang dalam waktu dekat. Maka, kembali ke tempat sebelumnya itu satu-satunya pilihan, tapi, dia enggan juga untuk melakukannya.

Aku harus apa...

Dengan kepala yang dahulu menusuk awan, dia berpikir keras. Hanya satu pilihan yang masuk dalam kepalanya, namun dia memutuskan untuk tidak memilihnya, dia terus memaksa dirinya untuk berpikir.

"...hm?"

Di sudut pandangnya, sebuah bayangan hitam tiba-tiba datang.

--- Lima menit kemudian.

Lantai dua dari kapal patroli Tentara Bersayap, 'Baroque Pot'. Adalah ruangan strategi kecil. Sangat kecil. Tentu, sebagai ruang strategi, pasti butuh luas area yang cukup untuk menampung banyak orang. Dan di dalamnya sekarang, hanya ada dua orang yang sudah termasuk Kutori. Lantas kenapa terasa begitu sempit?

Jawabannya simpel: si orang satunya kebetulan seorang Reptrace raksasa yang tingginya dua kali lipat Kutori. Lebarnya mungkin dua kali lipatnya dia, dan beratnya juga mungkin sampai delapan kalinya. Kutori melihat wajah si Reptrace kala dia mengeringkan muka dengan handuk yang dipinjamnya.

"Saya melihat Anda terbang mendekat, jadi... maaf tiba-tiba merepotkan Anda, Opsir Limeskin."

“Jangan segan begitu. Waktu untuk istirahat akan selalu ada untuk prajurit terhormat," si Reptrace berkata begitu seraya menaruh secangkir teh herbal di atas meja. Bagi Kutori agak lucu melihat Reptrace besar begitu membawa cangkir yang imut.

"Terima kasih."

Kutori menyesap dan sadar kalau minumannya terlampau panas setelah lidahnya terasa terbakar.

Dan sangat-sangat pahit.

"Tapi, aku heran kenapa kau mau terbang di awan musim ini. Apalagi sebelum pertarungan penting."

"Ah..." Dia kehilangan kata-kata, terus bicara pada dirinya sendiri, terus berpikir, hingga kemudian bisa memberikan jawaban. "Mengenai pertarungan itu... apa sudah terlambat untuk saya menyatakan takut mati?"

"Hm?"

Si Reptrace menaikkan satu alis mata -- atau begitulah menurutnya. Tentu, Reptrace tidak punya alis mata, jadi itu hanya perasaan, tapi...

"Willem... si Teknisi Senjata Terkutuk..."

"Hm?"

Kutori sadar. Dia sadar kalau si Teknisi Senjata Terkutuk, Willem Kumesh, yang hidup di gudang peri hanyalah tentara dalam kertas, hanya orang yang bertitel palsu. Namun jika dipikirkan dengan sudut pandang lain, ini berarti ia harus terlihat seperti tentara sewajarnya dengan mengikuti dokumen dari militer. Dan berdasarkan dokumen-dokumen itu, atasan langsungnya adalah si Reptrace raksasa yang sedang berdiri di depan matanya ini, Opsir Limeskin.

"Ada cara bertarung yang berbeda dari yang telah kami lakukan sebagai peri. Saya melihat sedikit demonstrasinya, dan saya bisa mengerti dengan jelas hal itu, meskipun agak sukar. Cara bertarung ini jauh lebih tinggi kesempatan untuk memangnya dan lebih efisien dari yang sebelumnya."

"Hmm?"

Kutori melihat pada cangkir tehnya. "Dan saya tidak mau menerimanya. Saya tidak percaya kalau... 'kakak' saya salah... atau sebenarnya tidak perlu mati. Jadi saya tidak mau dengar kata-katanya. Saya sadar tidak punya waktu lagi, jadi saya ingin membuktikannya di medan tempur. Saya ingin membuktikan kalau 'kakak' saya dan semua yang lain sudah benar. Saya merasa harus melindungi cara mereka bertarung. Tapi..."

"Kau takut?"

Dia enggan untuk mengangguk. Mungkin sudah budaya dari Reptrace atau bagaimana, Limeskin selalu menerima perbincangan untuk menjadi tentara dengan sangat serius. Dia tidak tahu segala detail dan semacamnya, tapi sepertinya dia sudah masuk kriteria untuk menjadi seorang tentara, menurut standar si Reptrace. Kalau Kutori mengangguk di sini, ia pasti akan kehilangan hormatnya pada dia. Ia akan menganggap dia sebagai seseorang yang telah kehilangan keberanian dan membuang haknya untuk mencanangkan titel tentara. Namun pada akhirnya, dia tidak bisa berbohong.

"...ya."

"... Oke." Si Reptrace tiba-tiba saja mengeluarkan suara yang seperti keramik yang di gesekkan dari tenggorokannya, yang mana terdengar jelas dalam ruangan mini ini. "Oke. Sepertinya aku harus meminta maaf pada laki-laki itu. Medan pertarungan kami mungkin berbeda, tapi sudah jelas ia adalah petarung sejati."

Ia tertawa, yang mana Kutori sendiri butuh waktu untuk menjawabnya. "K-kenapa? Yang bertarung di sini kita, kan?"

"Mungkin yang bertarung dengan Makhluk Buas ini kita. Tapi hal yang ia tantang di sini adalah angin yang mengalir pada dirimu."

"... angin?"

"Itu hal yang kau sebut 'tekad', atau bisa dikatakan 'kepasrahanmu'."

Merasakan darah mengalir naik ke kepalanya, Kutori meneguk habis teh herbal itu. Tubuhnya jadi sangat panas sampai serasa terbakar dari dalam. Apa saja yang kamu rebus bersamaan untuk mendapat minuman ini? Kenapa sesosok Reptrace yang tidak bisa mengontrol temperatur tubuhnya membuat hal seperti ini? Sejumlah pertanyaan tak bermakna mengisi kepalanya, tapi dia langsung mengenyahkannya untuk sekarang. Ini waktu yang tidak tepat untuk mengkhawatirkan hal remeh begtu.

"... Jadi begitu." Hatinya sekarang terasa lebih ringan. Atau mungkin ini karena ada lubang pada dirinya, tapi keduanya pun tak jauh berbeda. "Saya tidak pantas untuk jadi tentara... Anda sendiri juga sadar, kan, Opsir? Tapi Anda sangat pandai dalam memuji... hingga saya menganggapnya serius."

"Kau ini bicara apa? Tidak ada orang yang punya harga diri yang bisa berbohong, selayaknya matahari, ia tidak akan tenggelam di Utara."

"Tapi saya akan berhenti sekarang... seperti yang Anda katakan..."

"Pasrah dan tekad pada dasarnya salah hal yang sama. Keduanya berupa titik kata untuk mengorbankan sesuatu yang penting demi mencapai tujuan.

"Bukan tekad... entahlah... mungkin yang lebih penting dari itu?"

"Penting tidaknya semua bergantung pada standar yang kau tetapkan. Kalau kau bertekad untuk menyimpan jauh-jauh hal berharga itu, sudah sewajarnya hal itu berharga luar-dalam. Tentu, pasrah pada taktis yang sama juga bernilai sama."

"Saya tidak mengerti."

"Bingung karena kata-kata indah begitu, tidak pas sekali untuk seorang tentara, kalau boleh kubilang," ucapnya dengan tawa kecil aneh.

"Jadi... sekarang, saya harus bagaimana?"

"Lakukan yang kau mau."

"...Saya bertanya karena tidak tahu. Apa kira-kira tindakan yang benar untuk dilakukan?"

"Tidak ada hal yang benar di medan perang. Itu kenapa seorang pejuang harus bisa menguasai angin ini dengan hatinya. Itu demi mendapatkan petunjuk di jalan yang seharusnya tak ada petunjuk."

"...Opsir."

Ini sudah semakin buruk. Dia semakin sulit untuk memahami kata-katanya lagi. Sampai sesaat yang lalu, dia mungkin tidak memproses percakapannya dengan utuh, tapi dia bisa menerimanya. Sekarang sepertinya si Reptrace semakin terbawa dengan cara bicara yang penuh teka-teki. Kutori merasa ia mungkin akan mengatakan sesuatu yang bijak dan mendalam, tapi tidak bisa membuatnya terbantu karena dia tidak bisa mengerti.

"Kau bilang ingin melindungi kebenaran cara bertarung kakakmu?"

"...ya."

"Kalau begitu, sebelum bertarung kau harus menemukan apa arti kebenaran. Kita tidak tahu mengenai cara bertarung pasukan peri. Di antara sejarah yang telah tertumpuk bertahun-tahun lamanya, atau dari perasaan-perasaan yang sembunyi dalam bayangan. Hanya kau yang memiliki kapasitas untuk menemukan kebenaran itu."

"... tidak bertanggung jawab, bukan?" Dia mencoba untuk memasukkan rasa tidak senang dalam suaranya, tapi...

"Angin ini tidak membawa tanggung jawab." Ia menangkis pernyataannya tadi dengan mimik tanpa peduli (mungkin).

Kutori mendesah. Dia merasa ingin menyerah pada banyak hal sekarang ini.

"Anda mungkin akan marah... tapi saya ingin mengakui sesuatu."

"Apa?"

"Sebenarnya, saya tidak pernah mau menjadi pejuang."

Si Reptrace kembali pada tawanya. "Aku tahu. Makannya kau akan bisa jadi pejuang yang hebat."

... sepertinya mereka tidak satu pikiran. Karena tersinggung, dia meneguk lagi satu cangkir teh herbal pahit.












Bagian 4: Langit Berbintang di Balik Langit Berbintang
[edit]

“Sepertinya dia dalam kapal pengintai dari Tentara Bersayap di dekat Pulau Ke-66."

"...kok dia bisa ada di sana?"

"Aku tidak tahu, tapi dia berkata akan kembali ke rumah. Dia akan naik kapal dulu untuk sementara, sisanya dia akan terbang sendiri."

Dengan sebuah ketukan, Naigrat memutus hubungan dari kristal komunikasi.

"Cara kabur dari rumah yang menarik, ya? Sepertinya dia tidak tahu betapa khawatirnya kita..."

"Iya. Anak-anak yang punya sayap punya banyak cara untuk berekspresi, ya? Aku cemburu. Caraku menghilangkan stress cuma makan saja yang banyak." Perasaan putus asa terukir pada wajahnya ketika dia mendesah. "Mereka sangat menyukaimu. Bukan hanya dia, tapi anak-anak lain juga. Sebagai pengurus mereka, aku akui aku ini sedikit iri."

"Hmm... aku tidak tahu soal itu."

"Kamu belum sadar?" Naigrat menutup mulut dengan kedua tangan karena terkejut. "Kamu ini bodoh, ya? Atau kamu itu tipe yang sembunyi-sembunyi?"

"Maksudnya apa..."

"Hm, kalau boleh dikatakan, itu adalah klasifikasi bagi 'lelaki yang pura-pura tidak tertarik dengan hubungan romantis, tapi diam-diam ingin didekati oleh perempuan'."

... itu sama sekali tidak membuatku mengerti.

"Kalau kamu ini yang tipe orang bodoh, itu berarti kamu benar-benar tidak sadar kalau kamu ini disukai, dan mungkin tidak akan pernah menyadarinya sendiri. Si perempuan akan frustasi seiring dengan usahanya yang terus ada untuk mendekatimu, yang merupakan hal sia-sia. Itu adalah salah satu tipe kesalahan, yakni kesalahan dalam memahami perasaan cinta perempuan, malah menganggapnya perasaan lain

Sedangkan si tipe sembunyi-sembunyi sebenarnya sadar kalau ia disukai, tapi pura-pura tidak tahu. Efeknya sama seperti tipe yang bodoh, tapi mungkin akan timbul rasa bersalah karena terus-terusan berbohong, atau mungkin si perempuan nantinya akan sadar juga kalau kamu cuma pura-pura.. masih bisa untuk ada perkembangan lagi kedepannya. Jadi intinya, kamu tipe yang mana?"

"...ada banyak hal dari penjelasanmu yang sedikit berlebihan sampai-sampai aku tidak tahu harus mulai dari mana." Willem mendesah panjang. "Kalau kau ingin membicarakan masalah fiksi dan percintaan, sebaiknya jangan. Maksudku, aku pun setuju bahwa aku sepertinya disukai oleh beberapa dari mereka."

"Hmm?" Naigrat membuka matanya lebar-lebar. "Itu sedikit mengejutkan. Aku kira kamu tipe karakter yang tidak akan sadar dengan masalah ini."

"Karakter apanya... aku bukan lagi pura-pura atau akting." Willem menggarukkan kepala. "Aku ingin kita serius bicaranya. Cinta ini sesuatu yang tiba-tiba muncul ketika sudah tiba masanya, entah kau sudah atau belum punya pasangan. Kebanyakannya bisa dengan cepat menemukan orang untuk mengisi perasaan itu. Orang terdekat yang merupakan lawan jenis, salah satu idola kita yang jauh, atau orang yang telah kita impi-impikan untuk bertemu. Beberapanya bahkan terus mengejar mimpi sia-sia itu dengan perasaan mereka sampai akhir.

... dan perempuan-perempuan di sini tidak pernah bisa dapat kesempatan untuk melakukan hal-hal itu. Kemudian, aku pun datang. Target mereka pun yang awalnya nol bertambah menjadi satu. Jadi, dengan pemikiran aneh mereka, mereka meyakinkan diri mereka kalau mereka sedang jatuh cinta. Kira-kira seperti itu --- kenapa matamu begitu?"

Ia sadar kalau Naigrat sekarang sedang menatapnya dengan sangat serius.

"Mata ketidakpercayaan akan lelaki tenyata jauh lebih buruk dari yang aku kira."

"Apa... aku yakin aku tidak mengatakan hal yang aneh. Pokoknya, aku merasa sebagian dari mereka menginginkan figur ayah. Tentunya aku senang mereka menyukaiku, tapi hanya sebatas itu saja."

"Jawaban membosankan, ya?"

"Membosankan berarti damai. Tidak ada yang lebih baik daripada itu, kan?"

"Mungkin... memang benar, sih, tapi..." Naigrat menunjuk tepat pada dada Willem. "Sebagai seorang gadis, biar aku katakan ini. Meski aku menghormati tanggapanmu yang dengan filosofis ini, pada akhirnya kamu masih tetap mengabaikan perasaan mereka. Meskipun mereka anak-anak, mereka ini masihlah perempuan yang punya perasaan. Aku tidak suka laki-laki yang tidak bisa mengerti."

Willem berpikir apa Naigrat masih bisa digolongkan sebagai 'gadis' di umurnya sekarang, tapi memilih untuk tidak sampai membahasnya. Setidaknya ia sudah mengerti itu.

"Dan meskipun membosankan, bagi beberapa dari mereka mungkin itu adalah terakhir kali untuk mereka memiliki perasaan seperti itu lagi. Jadi aku ingin kamu untuk menghadapi mereka dengan baik. Aku tidak sedang bercanda di sini; ini permintaan langsung dari lubuk hatiku."

"Tidak bisa." Jawabannya langsung saja. "Kalau percintaan atau apapun itu sangat penting, maka akan lebih pantas untuk tidak memaksanya hingga terburu-buru dalam tempat sempit ini. Regul Aire itu luas. Ada ribuan lelaki tulen di luar sana. Adalah tugas seorang ayah untuk membuat anak perempuanmu dipinang oleh salah satu dari lelaki di luar sana."

Willem butuh waktu untuk memikirkan apa yang baru saja ia katakan. Tentu, ia tidak pernah begitu memerhatikan sekitar dengan kedua matanya, jadi ketika ia berpikir tentang lelaki, yang ada dalam pikirannya adalah orang-orang yang punya kulit hijau atau muka babi atau sisik pada tubuhnya. tapi tunggu... apa mungkin diskriminasi penampilan dan ras sekarang ini sudah tidak ada lagi? Karena kalau kamu hanya melihat sifatnya saja, mungkin di luar sana masih ada laki-laki yang masih lumayan... ia membayangkan sebuah skenario. Bagaimana jika suatu hari Kutori datang ke rumah dan mengenakan sesosok Borgle dan berkata, 'kami sedang dalam hubungan yang serius'? Apa ia masih bisa tetap memberikan senyum?

“Ah!? Kamu kenapa?”

“Oh, maaf. Baru saja terpikirkan, ternyata Grick memang bukan orang yang buruk, kalau kita lihat ia dari sudut pandang itu..."

"Itu tidak ada hubungannya dengan pembicaraan kita!"

Willem memandang ke luar jendela. Tidak ada sebutir pun awan mengalir di udara. Ini malam yang damai.

"Aku ingin keluar. Kalau kau masih mau bicara, kita lakukan saja nanti."

"Tunggu, kamu mau ke mana?"

"Lihat-lihat bintang atau semacamnya. Aku pinjam kuncinya.". Ia melambaikan tangan dengan pelan, kemudian keluar dari ruangan.

"Eh? Hei! Tunggu. Kuncinya!"

Ia pura-pura tidak dengar teriakkan Naigrat di belakang.

Willem berdiri di puncak bukit di dekat ujung Pulau Ke-68 sambil membawa Seniolis yang ia bawa dari gudang. Angin lembut berlalu, udaranya terasa bersih dan menyegarkan, dan bintang-bintangnya berkilap dari kejauhan. Ini adalah malam yang sempurna.

Ia menanggalkan kain yang menutup Seniolis, membeberkannya pada angin. Lalu Willem menyalakan Venenum dengan jumlah sedikit. Sebuah bekas luka menggerogoti dahinya, namun untuk sekarang ia bisa menahannya.

"Mulai perbaikan," gumamnya dan menyentuh sebagian dari serpihan logam bersinar yang ada di tubuh pedangnya. Dengan bunyi kecil, sebagian itu terpisah dari pedang dan melayang di udara hingga berhenti lima langkah dari Willem. Setelah sudah pada posisinya, bagian itu memancarkan suara dering dari saron[9] yang dipukul.

Ia menyentuh bagian logam yang lain. Yang itu pun melayang di udara sebelum berhenti di jarak yang tak jauh. Suara yang dihasilkannya sedikit berbeda dengan yang sebelumnya. Ia terus ulangi proses itu dengan yang lain. Dan yang lain lagi.

Pedang Seniolis legendaris ini berisikan empat puluh satu pecahan logam yang disatukan dengan garis mantra. Dengan memanipulasi garis mantranya, Willem bisa menguraikan pedangnya menjadi serpihan-serpihan. Tak lama, hanya sebuah kristal, yang sebelumnya ada di dalam pedang, yang masih berada di tangannya. Empat puluh satu serpihan tadi mengelilinginya dengan melayang sembari memancarkan cahaya lemah seakan membuat langit berbintang miliknya sendiri.

"Baiklah..."

Pertama, ia lihat keadaan senjatanya secara umum. Beberapa daya tahannya, seperti terhadap racun atau kutukkan, sepertinya bekerja dalam tingkatan lebih tinggi dari biasanya, sementara yang lain seperti terhadap kelumpuhan, sangat sulit bekerjanya. Ini pasti karena lamanya penggunaan tanpa pernah diperbaiki sama sekali. Kebiasaan si pengguna dan tipe pertarungan yang telah pedang ini lalui mungkin jadi yang paling mempengaruhinya selama ini.

Lalu, ia memeriksa beberapa parameter lain. Kalau boleh dikatakan, ini sudah kacau balau. Karena sudah digunakan untuk waktu lama dengan memaksakan sihir masuk ke dalamnya, masalah muncul di mana-mana. Penghalang Venenum besar telah terbentuk di akar sirkuit utama yang mana ada di sekujur pedangnya, ditambah tonjolan-tonjolan yang ukurannya nya berbeda-beda di sekitarnya. Tiga garis mantra telah hancur sepenuhnya, dan hampir semuanya sudah sangat parah kondisinya, ini semua bekerja dengan kondisi efisiensi yang di bawah tiga puluh persen dari biasanya.

"Bagaimana bisa kalian tetap bertarung dengan ini..." gumamnya sambil tertawa.

Willem sedikit menyentuh kristalnya dengan ujung jari, memberikan sedikit Venenum. Itu menyalakan garis mantra yang sebelumnya tak terlihat, yang kemudian garis mantra ini tersedot oleh salah satu serpihan logam. Terdengar kembali deringan logam di udara. Ia mengirimkan lagi Venenum, yang mana menyebabkan garis mantra yang berbeda bersinar dan serpihan logam lain pun berdering.

Ia ulangi prosesnya. Lagi dan lagi. Cahaya dan suara menari-nari di udara sekitar Willem. Satu demi satu, garis mantra yang terbengkalai pun bangun, dan serpihan logam yang mati pun kembali mendapatkan tenaga.

--- ia merasakan seseorang ada di belakangnya.

"Selamat datang, Nona yang Melarikan Diri." kata Willem tanpa membalikkan badannya pada si pendatang.

"... kamu sedang apa?" si orang yang ada di belakang bertanya dengan curiga, tanpa dulu membalas sapaannya.

"Seperti kelihatannya. Sedikit mengurusi partnermu."

"Tunggu dulu. Kamu tidak meminta izin pada penggunanya dulu?"

"Aku ini manajer di sini, kan? Aku hanya butuh izin dari diriku sendiri." Ia terkikih.

"Tawa itu tidak cocok buat kamu."

"Hmm, iya, kah?"

"Aku lebih suka tawaan kamu yang lembut."

"Hmm..."

Belum lama tadi, ia mengatakan pada Naigrat kalau ia sadar pada perasaan perempuan. Ia telah mencoba untuk tetap tenang dengan mengatakan ia akan dengan logis menolak perasaan-perasaan itu. Akan tetapi, barusan, jantungnya sempat berdegup kencang.

"Baiklah, silahkan lanjutkan konsernya."

"Konser?"

"Suara-suara indah itu. Tapi kurang begitu harmoni, sih."

“Aku tidak sedang konser simfoni atau apapun."

"Kalau begitu konser jalanan saja. Aku tidak akan memberi uang, sih..."

"...kau ini pengunjung aneh, ya?"

Willem mengembalikan fokusnya pada kristal yang tergeletak di telapak tangannya. Kutori duduk di samping Willem, saling bersandaran. Sekali lagi, bunyi deringan logam itu mengisi langit malam di sekitar bukit.

"Cahaya ini... dari mana?"

"Kaliyon dibuat dari banyak Talisman yang disatukan dengan garis mantra dalam bentuk pedang. Kau tahu Talisman itu apa?"

"Aku pernah dengar sebelumnya."

Sekarang ini, semua metode yang berhubungan dalam pembuatan maupun perbaikan pedang itu sudah hilang, wajarnya, hilang pula detail-detail kecil dan teknik rahasianya. Yang dia ketahui adalah bahwa sihir-sihir kuat itu atau Keistimewaan bisa dituliskan ke dalam kertas, keramik, atau potongan logam. Mereka yang bisa menguasai serpihan itu mendapatkan fungsi dari sihir yang terkandung padanya... atau semacamnya.

Biasanya, benda seperti itu masih dibawa dari tanah bawah oleh pemburu. Sepertinya, benda itu tidak begitu langka untuk dipindahtangankan di kalangan orang kaya kelas atas.

"Cahaya melayang yang di depan matamu ini... adalah Talisman untuk melindungi lidahmu agar tidak terasa terbakar ketika kau meminum sesuatu yang panas."

"...eh?"

"Yang di sebelahnya bisa memberitahumu jalan menuju Utara sekalipun kau sedang ada di tempat antah-berantah. Yang di atasnya bisa menghalau mimpi buruk saat kau tidur ketika demam. Juga, kami punya yang bisa membuatmu menirukan suara kucing dengan sempurna, yang bisa melindungi kuku jarimu agar tidak tergores, yang bisa membuatmu dapat sisi gambar dengan rasio enam banding sepuluh saat pelemparan koin..."

"Tunggu dulu. Ini Seniolis, kan? Seniolis senjata legenda? Bukan seratus jimat-jimat kecil, kan?"

"Coba bayangkan sebuah makanan. Beberapanya, kalau kita makan secara terpisah, rasanya akan enak dan aman saja. Tapi kalau kau makan semuanya sekaligus, atau dikombinasikan sedemikian rupa, makanan ini bisa menghancurkan perutmu. Ini pun sama.

Kalau kau satukan Talisman-Talisman berbeda dengan garis mantra, maka hasilnya akan berbeda karena ada mekanisme kompleks yang bereaksi. Aku bukan spesialis jadi aku tidak begitu tahu detailnya, tapi insinyur yang ada di atelir pusat berkata seperti itu.

Bicara mengenai Seniolis sendiri, itu merupakan salah satu Kaliyon tertua. Aku dengar senjata ini ada karena kecelakaan yang ajaib di medan perang. Itu kenapa sangat banyak Talisman-Talisman aneh dan tidak jelas."

"Hmm..." Kutori memiringkan lehernya dengan bingung, melihat ke semua Talisman yang melayang. "Aku tidak tahu soal itu. Karena ini senjata legendaris suci dan seterusnya, aku kira ini diturunkan oleh dewa atau semacamnya."

"Yah, sayangnya bukan begitu."

Ketika itu, para Emnetwyte, tentunya, berusaha mati-matian untuk bertahan hidup. Untuk memenuhi tujuan itu, mereka mengerahkan semuanya. Bertarung bukanlah bisnis yang menarik. Akan tetapi, mereka masih tetap mengejar keindahan dan kesempurnaan. Jadi mereka menamai simbol kekuatan yang mereka tunggu-tunggu dengan sebutan Kaliyon, atau pedang suci.

“Aku mengerti.” Kutori terdiam untuk sesaat. Bunyi dering dan cahaya masih menari mengelilingi mereka. "Tadi, aku bicara dengan Pak Opsir Kelas Satu." Perlahan, dia mulai berbicara lagi. "Ia bilang kalau aku tidak mau, aku tidak perlu membuka gerbang menuju tanah peri. Demi menumbuhkan kekuatan dan memantapkan hatiku, ia berani bertaruh mengenai jatuhnya Pulau Melayang Ke-15."

"... Begitu, ya?"

"Apa aku bisa jadi kuat?"

"Kalaupun kau tak mau, aku pastikan kau akan bisa. Lagipula, aku manajermu."

"Aku yakin kamu akan bilang begitu." Willem bisa merasakan punggung Kutori bergerak ketika dia tertawa. "Yah, aku rasa aku akan terus terang saja. Aku tidak ingin jadi kuat."

"Tunggu, tunggu. Bukankah ini saat di mana kau sadar betapa banyak cinta dan dukungan yang kau dapat dari orang-orang sampai kau mengeluarkan perasaanmu yang sesungguhnya sambil menangis?"

"Aku ini sedang jujur. Bisa tolong mengerti?"

Willem berpura-pura tidak mendengar kata-kata ini. Jadi ia sudah menjadi tipe lelaki yang sembunyi-sembunyi seperti yang dikatakan Naigrat tadi, ya? Perasaan bersalahnya sedikit lebih parah dari yang telah ia kira.

"Baiklah, bagaimana kalau begini. Kalau kau bertarung ke sana dan kembali pulang, aku akan mengabulkan satu keinginanmu. Apapun, terserah."

"Eh?" Untuk sesaat, Kutori terkejut. "A-Aku bukannya ingin kamu melakukan sesuatu untukku. Lagian, meskipun kamu bilang 'apapun', palingan kamu tidak akan melakukan apapun yang besar. Misalnya kalau aku bilang 'nikahi aku!' atau semacamnya..."

"Tepat."

"... aku juga tahu. Tapi aku penasaran. Kenapa?"

"Yah, itu hanya bukan hal yang bisa aku lakukan. Seperti kau meminta 'hidupkan kembali orang yang mati' atau basmi semua Makhluk Buas,' itu jelas tidak bisa."

"Menikahiku sama mustahilnya seperti itu?"

"Tentunya."

Anak seumuran itu merasakan ketertarikan pada sesosok yang lebih tua darinya yang bisa diandalkan itu wajar saja. Mungkin itu adalah salah atau bentuk rasa cinta, tapi itu juga merupakan nafsu sementara yang muncul karena tidak adanya pilihan lain. Jadi, mundur dahulu selagi menunggu demamnya turun adalah kewajiban yang perlu dilakukan sebagai orang dewasa.

“Setidaknya tunggu sampai kau tumbuh sedikit lagi."

"Ya, kalau aku punya waktu juga aku bakala---!"

"Kau punya," kata Willem, memotong perkataan Kutori. "Yang akan kau lakukan ini adalah bertarung dan mendapatkan waktu itu, kan?"

"... tapi aku tidak tahu nantinya akan bagaimana."

"Kalau begitu cari alasan yang lebih pas untukmu kembali pulang. Kau tahu? Prajurit yang sudah punya calon pasangan hidup menunggu di rumah atau semacamnya akan memiliki kesempatan untuk bertahan hidup yang tinggi. Mereka memiliki tekad yang kuat untuk hidup betapapun pertarungan yang mereka hadapi."

"Ya, tapi pilihan untuk punya calon pasangan hidup yang menunggu di rumah ini barusan sudah dihancurkan..." sela Kutori dengan mata dingin pada Willem.

"Ah --- yah, kau tahu. Kau tidak bisa mati-matian mengejar masa depan yang tidak realistis. Coba mimpinya yang lebih mudah dilakukan."

"Bukannya salah kalau begitu? Kalau kekuatan ini asalnya dari perasaan, terus kenapa kamu malah membatasinya dengan realita sekarang?"

"... kau pintar ngomong, ya?"

Yang bisa ia lakukan hanya tertawa. Untuk mendapat alasan untuk kembali ke rumah --- tentunya, ini bukan kata-katanya Willem langsung. Ia hanya meminjamnya dari orang lain. Terlebih, ia merasa jadi sedikit munafik, karena setelah seseorang mengatakan hal itu padanya, ia berakhir mengamuk dan tidak bisa memenuhi janjinya untuk pulang. Meski Kutori tidak mengetahui hal itu, sepertinya dia sudah memahami kedangkalan sarannya ini.

"Kalau aku memang sepintar itu, aku ingin kamu berhenti menganggapku sebagai anak kecil."

"Sayangnya aku tidak bisa."

"Kenapa, sih, kamu keras sekali pada aku soal itu?" Ucap Kutori dengan helaan nafas seperti orang dewasa. "...manisan."

"Eh?"

"Kamu tahu, hidangan penutup yang waktu itu kamu buat di kafeteria. Apa kamu masih punya resep lain?"

"Aku rasa ada, beberapa."

"Kalau begitu, bagaimana dengan kue mentega?"

---Ah.

"Itu, kamu pilih itu?"

"Eh?"

"Jangan hiraukan." Itu bukan tidak terkira. Ia sudah merasa pembicaraan ini akan mengarah ke sana. "Aku tahu cara membuatnya. Sebenarnya ini diajarkan oleh guruku. Tapi, ada orang yang sangat lebih baik dariku dalam membuatnya saat itu, jadi aku belum pernah membuatnya sendiri."

"Yah, asalkan tahu saja juga sudah cukup. Salah satu seniorku selalu kelihatan senang ketika makan kue mentega setelah pulang bertarung. Tapi setelah aku sudah bisa menggunakan pedang, sudah tidak ada lagi kue mentega di menu makan malam, jadi aku tidak pernah bisa jadi seperti dia. Makannya, aku minta padamu."

Willem mengambil nafas dalam, dan mengeluarkannya dengan perlahan. "Baiklah," jawabnya, kemudian melanjutkan pekerjaannya."

Setelah beberapa saat, ia selesai melakukan perbaikan, mengembalikan tingkatan resistasi yang ada ke semula, kecuali resistansi terhadap sihir yang masih tetap tinggi. Sisa garis mantra yang berasal dari potongan berbagai fungsi yang sudah tak dipakai kini digunakan lagi untuk memperkuat fondasinya.

Dengan ujung jari, Willem dorong kristalnya. Serpihan logam yang mengelilingi mereka di udara, satu demi satu berkumpul pada kristal itu. Saat setiap fragmennya kembali pada tempatnya semula, keluar suara deringan pelan. Simfoninya berlalu untuk waktu sesaat, lalu seusainya, pedang besar pun kembali ke tangan Willem.

"Oke, oke. Akan kubiarkan kamu makan yang banyak sampai kamu sakit perut. Siap? Kau harus tetap hidup dan kembali pulang."

Ia memberikan. kembali Seniolis pada pemilik palsunya.

"Serahkan saja padaku," kata si gadis dengan senyuman.













Bagian 5: Meski Jika Pertarungan Itu Berakhir
[edit]

Di bagian terluar seragam tentara mereka, ada zirah ringan yang melapisi. Dan pada punggung mereka, dibawa pedang yang ukurannya sangat besar sampai kelihatan aneh. Ketiga perempuan ini telah selesai dalam persiapan mereka untuk bertarung.

"Oke, aku siap. Dah!" Aiseia melambaikan tangan dengan penuh enerji dengan senyumnya yang khas.

"... hm." Nephren mengangguk pelan.

Kutori sendiri menolak untuk berbalik atau meninggalkan kata perpisahan pada yang di belakang. Bros perak yang ada pada bagian dekat dada seragam tentaranya memancarkan cahaya lembut, seakan ingin mengatakan sesuatu.

Dan dengan begitu, tiga peri terbang ke langit, sosok mereka lambat-laun meleleh ke dalam mentari terbenam..

“... apa kau bodoh?!" Itulah kata pertama yang keluar dari mulut Grick setelah dengar ceritanya. "Kenapa kau makan bersamaku di sini?"

"Kenapa apanya? Aku sudah katakan padamu. Untuk melaporkan situasi sekarang sekaligus berterima kasih."

“Kau bisa lakukan itu kapanpun! Sekarang disebut sekarang karena kalau bukan sekarang ya kapan lagi, kau mengerti!?"

"... hmm, aku ragu kau sendiri mengerti apa yang barusan kau ucapkan."

"Siapa yang membicarakan aku!? Ini tentang dirimu! Tentang dirimu!"

Yah, itu memang benar, tapi...

Bingung terhadap kegusaran si temannya, Willem menyeruput kopi asinnya.

"Omong-omong, kepalaku sudah penuh hanya dengan tahu kalau dibalik damainya Regul Aire, terdapat banyak drama dan pengorbanan tersembunyi. Yah, aku rasa menumpahkan darah di tempat tak terlihat adalah tugas seorang tentara. Kalau kau pikirkan, ini wajar, tapi memikirkannya saja dengan mendengarnya langsung darimu terasa sangat beda. Bagaimana ya... rasa bersalah dari tidak tahu hal ini bisa membuatku rusak... atau mungkin ini perasaanku yang ingin memeluk anak-anak itu sekarang... kenapa wajahmu seram begitu?"

"Bukan apa-apa." ujar Willem saat ia habiskan kopinya dengan mimik yang pasti akan membuat anak-anak menangis.

Grick mendesah. "Aku rasa ini pekerjaan yang lebih mudah dan ringan, jadi aku berikan padamu, tapi... Yah, pada akhirnya pun berhasil, tapi benar juga, kalau aku tidak berpikir dulu dan malah memberikan pekerjaan ini pada orang suram rasanya menyeramkan juga." Ia berhenti sebentar untuk meminum kopi. "Sekarang...kenapa kau di sini?"

"Jadi, pertarungan di Pulau Ke-15 akan dimulai besok, dan akan berlangsung selama beberapa hari, dan setiap kontak mengenai hasil pertarungannya bisa dilakukan tidak lama setelahnya,. Intinya, tidak ada apa-apa yang bisa aku lakukan sekarang."

"Bukan, bukan begitu! Biasanya di saat-saat seperti ini kita akan sangat khawatir sampai-sampai makan atau tidur atau semacamnya saja susah! Lalu kenapa kau malah hidup biasa seperti tidak ada apa-apa yang terjadi!?"

"Khawatir-tidaknya aku tidak akan berpengaruh pada kesempatan menang mereka. Sampai kemarin, aku mengajari mereka semua yang aku bisa dan mengatur pedang mereka semampuku. Tapi, kemungkinan mereka untuk kembali hanya sedikit di atas lima persen. Percuma saja khawatir sekarang."

“Oh, ayolah! Kau tidak bisa begitu saja meragukan kemenangan seseorang!"

"Aku bukan tipe orang yang memalingkan mata dari kenyataan."

"Tapi jangan memalingkan mata dari harapan dan mimpi juga! Kau harus percaya!"

"Setiap orang berusaha karena hidup itu tidak seperti itu... Pokoknya, yakin pada sesuatu justru membuatnya semakin sulit untuk kembali pada kenyataan ketika ada sesuatu yang tidak terkira terjadi. Kalau aku ingin mempercayai mereka, itu berarti aku harus terima apapun hasil akhir yang mereka bawa.*

"Dingin sekali, woi! Aku tidak merasakan ada kehangatan hatimu di kata-katamu!"

"Yah, aku memang bukan dari ras yang cocok untuk jadi pemburu harta."

Grick tertawa kekeke, yang mana Willem potong dengan berdiri.

"Tunggu, kau mau ke mana?"

  • Yah, aku perlu belanja makanan."

"Willem... kau memang benar-benar kembali ke kehidupan biasamu, ya?"

"Tentu. Ada orang yang bertarung demi melindungi gaya hidupku ini."

Grick membisu.

Tepat setelah Willem mengatakan 'dah' dan pergi, "... ah, benar juga." Ia terhenti, mengingat kalau ia ingin menanyakan sesuatu. "Apa kau tahu toko di sini yang menjual mentega murah dan tepung?"

Dan dengan begitu, ia kembali ke gudang ke-4 Perusahaan Perdagangan Orlandri.

"Willem!"

"Kamu dari mana? Kami cari kamu ke mana-mana!"

"Um, lama tidak ketemu, jadi, mau main sama kami?"

"Belakangan kamu belum ngobrol sama kami, gara-gara pingsanlah, dan itulah, jadi kami mau setidaknya hari ini saja main sama kami."

Tangan-tangan kecil menarik lengan bajunya ke segala penjuru, tapi... "Maaf, hari ini aku ada perlu."

'"Ehhh? Suara enggan mereka bersatu dalam teriakkan.

"Aku akan main dengan kalian setelahnya."

Ia langsung menuju ke dapur, tanpa memerhatikan suara sedih yang ditujukan pada punggung Willem.. Dalam benaknya, ia membalik halaman 'Hidangan Penutup yang Populer di Kalangan Anak-Anak' dan mencari kue mentega. Ia hanya sedikit ingat detail-detailnya, karena resepnya belum pernah memberikannya hasil di panti (buatannya selalu dibanding-bandingkan dengan si 'Anak Perempuan'), tapi ia meyakinkan dirinya kalau ini akan berhasil. Masih ada banyak waktu untuk latihan, dan juga, sesendok cinta atau sesuatu yang sejenis pasti memiliki pengaruh besar pada rasanya. Mungkin.

Ayaaaaah.

Tiba-tiba, ia merasa ada seseorang yang memanggilnya dari suatu tempat. "...Almaria?"

Ia berbalik, ia melihat ke langit, tapi tentunya, ia tidak menemukan siapa-siapa. Yang ia dapati hanya awan yang berbentuk seperti sutra tipis, menyebar tanpa batas menembus merah dan merah padam langit.

Apalagi, si pemilik suara itu sudah tidak ada lagi di dunia ni. Dia telah lama hilang, tanpa bisa mengucapkan selamat datang pada si orang yang telah dia tunggu untuk waktu lama , pada si orang yang terus dia masakkan kue mentega padanya supaya janji mereka bisa terpenuhi.

"Maaf, Almaria."

Ia merasa telah melakukan sesuatu yang buruk. Bukan hanya pada dia, tapi juga pada rekan yang bertarung juga dengannya. Pada petinggi yang telah membayangkan kemenangan atas mereka. Kenapa ia tidak mati bersama mereka? Atau setidaknya, kenapa ia tidak akhiri hidupnya sesaat setelah ia bangun dalam dunia ini? Apakah hidup seperti yang aku lakukan sekarang tidak akan merusak janji-janji yang kubuat di masa lalu?

Ia mengerti, tapi...

"Aku minta maaf. Aku sangat minta maaf." Menghadapi surga, ia menunduk memohon ampun.

Ia tidak memiliki tempat di dunia ini. Tapi jika ada seseorang memberinya peran dia pada Willem, maka, demi bisa mengatakan 'selamat datang', ia harus tetap ada di sini. Willem memutuskannya dalam pikiran ketika ia keluarkan apron miliknya.














SukaSuka Chapter 5.png

Tatkala kelamnya malam menghampiri, sesosok 'Makhluk buas' yang melolong berdiri di pusat kelabu nan membentang. Suaranya tak menyebabakan udara bergetar maupun membuat suara. Dan tentunya, dalam jangkauan teriakkannya, tak ada satupun makhluk hidup.


Jadi, tak ada apapun di sana yang ada untuk mendengar maupun mengerti suara dari sang Shiantor, 'Makhluk Buas Pertama'. Namun begitu, sang 'Makhluk Buas' melanjutkan lolongannya, tanpa lelah, tanpa putus asa, atau bahkan sudah tidak mengerti kedua hal tadi, untuk selama-lamanya, mengeluarkan suara tak berarti yang tak sampai pada telinga siapapun.


Jika dilihat dari Regul Aire, pemandangan kelabu sana mungkin nampak sama, namun jika kamu turun ke tanah bawah, kamu akan terkejut karena permukaan yang tidak rata dan naik-turun di sana. Yang dulunya adalah bukit, kini lereng dengan gundukan pasir. Dulu pernah ada gunung yang memuncak pada puncak kelabu itu. Dan pada tempat di mana bangunan dari batu pernah berdiri, kamu akan menemukan reruntuhan, di sana masih ada bekas arsitektur lama. Karena ini, para pemburu bisa mencari sisa-sisa dari peradaban yang dulu dari reruntuhannya.


Sekarang, kita bicarakan tanah yang ada di bawah kaki sang 'Makhluk Buas' yang melolong. Sekitar lima abad lalu, ada kota kecil di sini. Di sana tidak begitu makmur dan tidak memiliki industri yang mencolok, namun yang dimilikinya adalah sejarah panjang. Dari bebatuan yang jadi ubin dan pepohonan yang tertanam bersamanya dan tempat pemberhentian wagon patroli, semuanya sampai ke apartemen-apartemen murahnya, setiap yang ada di kota ini seakan berdiri dengan bangganya dan memiliki semacam sifat yang seakan berkata 'Aku telah di sini untuk ratusan tahun, lho'.


Panti yang ada di pinggiran kota pun termasuk. Awalnya merupakan sebuah TK tua, bangunan yang dialihfungsikan ini berdiri dengan kukuh dan bisa mengingatkanmu masa lalunya yang sangat panjang. Dengan kata lain, bangunan ini sudah rusak. Setiap kali hujan turun ataupun angin bertiup, penghuninya akan sibuk dengan papan kayu dan palu yang sudah disiapkan.


Kota ini populasinya sekitar tiga ribu. Dan di panti, sekitar dua puluh. Itu 536 tahun yang lalu. Kini, pemandangan itu hanya ada dalam ingatan dari seseorang.


Dan sekarang, sang 'Makhluk Buas' terus melolong, mengeluarkan teriakkan demi teriakkan yang tak tertuju ke manapun maupun sampai ke manapun.


Biar kuberitahu sebuah rahasia.


Dikatakan bahwa pimpinan Elven bisa berkomunikasi hanya dengan pikiran mereka, tanpa perlu membuat getaran di udara. Apa yang sang 'Makhluk Buas' ini lakukan kurang lebih sama seperti itu: sebuah telepati yang hanya bisa dimengerti oleh spesies yang struktur mentalnya sama.


Dan ketujuh belas 'Makhluk Buas' ini spesiesnya berbeda-beda satu sama lain. Kata-kata sang Shiantor hanya bisa dimengerti oleh Shiantor lain.


Dan sang Shiantor ini adalah satu-satunya dalam spesiesnya. Keberadaannya yang sudah sangat dekat dengan kesempurnaan, hanya ada dalam sebuah tubuh. Meski dicari di seantero jagat pun tidak akan bisa ditemukan yang sepertinya.


Jadi, suara sang 'Makhluk Buas' ini pun takkan sampai ke manapun atau siapapun. Ia akan terus melagukan simfoni tanpa suara, seakan telah ia lakukan dari sejak ia pertama datang dalam dunia ini, dan seakan terus melakukannya untuk selamanya.


Ayaaah.


Teriakkan sang 'Makhluk Buas' yang sendiri, tanpa menyentuh siapapun, tanpa didengar siapapun, hanya meleleh ke dalam maha gurun kelabu ini dan menghilang.




















Catatan Penerjemah[edit]

</references>

  1. Tolong ingat untuk kedepannya dalam seri ini, saya pakai kata dia untuk kata ganti orang ketiga perempuan, dan ia untuk laki-laki.
  2. Manusia kadal
  3. Saya melihat ke latarnya enggak begitu modern, walau di masa depan, jadi memilih kata nadir di antara supervisor dan inspektur. Kalau sekiranya kurang suka, silahkan protes ke saya
  4. Military Facility. CMIIW.
  5. Kalau kalian kurang paham dengan kalimatnya yang begini, intinya adalah: hanya air yang dirasa enak bagi keduanya. Jadi begitu reaksinya mereka. Suram...
  6. Dug Weapon. Di animenya disebut Dug Weapon secara langsung, sih. Tapi Senjata Galian pun ga buruk. Gimana?
  7. Perihal ramal-meramal (Necromancy).
  8. Urat keras yang menghubungkan otot dengan tulang.
  9. Metallophone, alias alat musik yang terbuat dari logam yang dipukul. Karena metalofon ga ada di KBBI, jadi yang mudah aja seperti saron. (walau saron lebih khas lagi sih, dengan Indonesia.)