Suzumiya Haruhi ~ Indonesian Version:Jilid4

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Ilustrasi berwarna berikut ini dimasukan ke jilid 4. Kepemilikan oleh Itou Noizi (いとうのいぢ).


Prolog


Waktu itu waktu pagi yang dingin. Begitu dingin serasa seluruh dunia bakalan meretak dengan beberapa retakan yang indah bila ditusuk-tusuk dengan tongkat es. Atau lebih bagus lagi, aku akan memimpin orang-orang untuk meretakan dunia dingin sial ini.

Meskipun demikian, memang sudah seharusnya dingin; Sekarang kan musim dingin. Sampai Festival Budaya kira-kira sebulan lalu, udaranya sangat amat panas. Lalu, masuk ke bulan Desember, cuaca mendingin dengan cepat seakan-akan Alam akhirnya ingat musim apa sekarang, dan sekarang aku benar-benar mengalaminya dengan tubuhku ini bahwa Jepang tak ada Musim Gugur tahun ini. Jangan kasih tahu aku kalau ada seseorang yang bingung antara harapan bisnis lancar sama mantra... Bahwa massa udara Siberia seharusnya ganti arah juga. Ga perlu lah datang tiap tahun kayak gitu.

Apa periode rotasi bumi udah rusak ya? Sambil berjalan khawatir dengan kesehatan Alam, aku mendengar "Yo, Kyon!"

Cowok tidak keruan berlari mengejarku untuk menepuk pundakku, dengan suara yang seringan hidrogen. Terlalu repot berhenti jalan, jadinya aku hanya menolehkan kepalaku kepadanya.

"Yo, Taniguchi," Balasku, kubalikan wajahku kedepan lagi, dan memandang puncak bukit yang lumayan tinggi. Kita pulang-pergi di landaian ini tiap hari, jadi kenapa sih mereka ga ngeringanin pelajaran olahraga kita? Semua guru olahraga, termasuk guru kita Okabe, seharusnya lebih perhatian sama murid-muridnya yang harus jalan kaki tiap hari biar bisa pulang-pergi ke sekolah. Guru-guru itu datang dengan mobil, kalo gue boleh bilang.

"Ngapain juga ngomong kayak kakek tukang gerutu? Maju dengan langkah lebar dan cepat, ini kan olahraga bagus, makanya itu bikin loe hangat. Liat gue, gue bahkan ga pake sweater. Musim panas itu mengerikan, tapi musim ini cocok banget buat gue!"

Boleh-boleh aja sih semangat gembira gitu, cuman darimana tuh? Bagi dong ke gue.

Bibir easy going Taniguchi melengkung menjadi senyuman.

"Ujian akhir semester udah beres! Karena itu, kita ga perlu belajar lagi tahun ini. Lagian, ada acara mantap yang nunggu kita!"

Ujian akhir semester dialami bersama-sama oleh semua murid di sekolah ini, dan berakhir bersama-sama. Hal yang tidak bersama-sama itu mungkin nomor yang tercoret di kertas jawaban yang dikembalikan ke murid.

Aku ingat ibuku yang tiba-tiba mulai mempertimbangkan soal mendaftarkanku les sekolah, dan jatuh murung. Pas kita masuk kelas dua tahun depan, kelas kita bakalan dibagi berdasarkan kuliah pilihan kita. Seni liberal ato ilmiah? Negeri ato swasta? Nah, gue milih yang mana nih?.

"Sapa peduli?" Taniguchi tertawa riang. "Banyak hal penting lainnya, tau ga. Tau ga hari ini hari apa?"

"17 Desember," balasku. "Emang napa?"

"Jawabanmu bego banget! Loe ga inget ya hari spesial minggu depan yang bakalan bikin hati berdebar-debar?"

"Oh itu." Aku tahu jawaban tepatnya sekarang. "Upacara akhir semester. Libur musim dingin emang pantas ditunggu."

Namun, Taniguchi menembakkan pandangan padaku seperti hewan kecil yang menemukan api liar. "Bukan! Tanggalnya satu minggu lagi! Pikir! Loe bakalan cepet ketemu jawabannya!"

"Hmmm...."

Aku berdengus dan mengeluarkan awan nafas putih.

24 Desember.

Aku tahu kok. Aku sudah meramalkan ada seseorang yang sedang merebus rencana jahat atau rencana kotor untuk minggu depan. Kalaupun semua orang tak menyadarinya, aku selalu tidak akan tidak menyadarinya. Orang yang dengan mudah menemukan peristiwa-peristiwa tersebut sebelum aku duduk di situ di belakangku. Dia sudah meratapi hilangnya kesempatan Halloween bulan kemarin, dan tidak diragukan lagi dia akan tiba-tiba melakukan sesuatu sekarang.

Yah, sejujurnya, aku sudah tahu apa yang akan dia lakukan nantinya.

Kemarin di ruang klub, Suzumiya Haruhi sudah benar-benar mempersoalkan hal dibawah ini...


"Apa kalian punya rencana di malam Natal ntar?"

Haruhi, yang langsung melempar tasnya setelah menutup pintu, memandang rendah kami dengan mata berkelap-kelip seperti tiga bintang Sabuk Orion.

Nadanya seperti bernuansa, "Kalian ga bakalan mungkin punya rencana. Udah jelas, kan?" Dia akan melepaskan badai salju seandainya ada seseorang mengaku sudah punya rencana sebelumnya.

Saat itu, Koizumi dan aku bermain TRPG. Asahina-san, memakai kostum maid yang hampir jadi pakaian normalnya, mengatupkan tangannya di depan kompor listrik. Nagato membaca buku hardcover fiksi ilmiah terbaru, tak bergerak sedikitpun kecuali jari dan matanya saja.

Haruhi meletakkan tas tangan besar yang dia bawa dengan tas sekolah ke lantai, dan berjalan ke arahku. Membusungkan dadanya, dia memandang rendah padaku.

"Kyon, Aku tau kamu ga punya rencana, ya kan? Ga usah nanya sebenarnya, tapi aku ga enak aja kalo ga konfirmasi."

Senyum seperti kucing yang paling terkenal di dunia tergambarkan di sepanjang wajahnya. Aku memberi Koizumi, yang memakai senyum mencurigakan, dadu yang tadinya mau kulempar, dan berbalik menghadapi Haruhi.

"Gimana kalo gue bener-bener ada rencana? Jawab itu dulu."

"Berarti kamu emang ga punya!"

Mengangguk atas kehendaknya sendiri, Haruhi melepaskan pandangannya padaku. Hei, tunggu bentar! Gue kan belum ngejawab pertanyaan loe! ...Yah, kayak ini pertama kalinya gue ga punya rencana aja.

"Koizumi, apa kamu nanti mau kencan sama pacarmu?"

"Akan menyenangkan sekali kalau memang seperti itu!"

Mengocok dadu di telapak tangannya, Koizumi memberikan desahan dramatis. Gue ngebaca elo tuh kayak buku; Loe lagi berakting. Dasar penipu ulung.

"Apakah itu seharusnya dianggap keberuntungan atau tidak, jadwal saya sebelum dan sesudah Natal kosong dan melompong. Saya sudah mondar-mandir sendiri, cemas tentang bagaimana saya akan menghabiskan waktu."

Wajah tersenyum tampan itu baru saja mengeja BOHONG. Biarpun begitu, Haruhi meneguk ceritanya tanpa ragu.

"Jangan kuatir. Itu tuh berkah terhebat."

Lalu Haruhi menghampiri maid perawan suci.

"Mikuru-chan, kalo kamu gimana? Apa ada orang yang ngundang kamu 'untuk ngeliat saat-saat hujan menjadi salju di tengah malam?' Ngomong-ngomong, kalo kamu kedapetan ada orang yang ngasi tau omong kosong busuk kayak gini dengan muka serius, hajar aja dia."

Menatap Haruhi dengan mata besar, terbuka lebar, Asahina-san terlihat mundur selangkah oleh pertanyaan tak disangka-sangka ini.

"Yah, sepertinya begitu. Untuk sekarang sih emang ga ada.... Eh, tengah malam...? Oh... omong-omong, akan kusediakan teh untukmu..."

"Tolong sepanas gunung berapi ya! Aku pernah sekali nyobain sampel 'teh jamu', dan itu bener-bener mantap, "

Haruhi menetapkan pesanannya.

"Oh, iya! Ga bakalan lama kok."

Asahina-san lalu meletakkan teko diatas kompor gas portabel dengan wajah ceria. Emangnya bikin teh itu bener-bener mengasyikan ya?

Mengangguk puas, Haruhi berbalik pada Nagato pada akhirnya.

"Yuki--"

"Tak ada."

Nagato memberikan jawaban pendek tanpa menggerakkan kepalanya dari halaman buku.

"Nah gitu dong."

Mengakhiri percakapan riang gembira yang terus-terang, Haruhi menghadapku lagi dengan senyum congkak. Aku melihat pada wajah pucat Nagato, perhatian penuhnya ke buku seakan-akan percakapan tiada hubungannya dengan dirinya, dan aku berpikir sendiri mungkin dia sekalian menghemat nafasnya dengan jawaban yang tepat jenaka itu. Paling engga abisin waktu bentar kek buat pura-pura nginget jadwalmu!

Haruhi mengangkat tangannya.

"Mosi pesta Natal Brigade SOS dengan ini telah diputuskan dengan bulat. Kalo ada alternatif ato keberatan, tolong kasih setelah pesta. Kalo aku perlu baca, aku bakal baca."

Dengan kata lain, situasi yang dikenal baik seperti ini lagi: kata-katanya tidak akan ditarik kembali setelah dikatakan, apapun yang terjadi. Yang tadi itu memang hanya formalitas saja, tapi dibandingkan dengan setengah tahun lalu, Haruhi bertanya tentang rencana anak-anak bisa dikatakan kemajuan. Yah, bakal lebih bagus kalau dia bertanya tentang pendapat mereka daripada rencana mereka.

Dengan wajah penuh kepuasan bahwa semuanya sesuai rencana, Haruhi memasukan tangannya ke tas tangannya di lantai.

"Ngomong-ngomong, ga ada orang yang ga bersiap buat event kayak Natal, kan? Jadi aku bawa beberapa barang. Jalan yang bener buat ngabisin event dimulai dengan alat pembikin mood!"

Keluar dari tas ada spray salju, renda warna emas dan perak, biskuit, miniatur pohon, boneka rusa, kapas putih, lampu-lampu Natal, hiasan bunga melingkar, spanduk merah-hijau, permadani pegunungan Alpen, orang-orangan salju mungil, pegangan lilin tebal, kaos kaki Natal yang besar sekali yang bisa untuk mengangkat anak TK, CD lagu-lagu Natal...

Dengan wajah tersenyum seperti kakak tetangga yang memberi anak-anak permen, dengan rapi Haruhi meletakan macam-macam barang yang terkait dengan Natal itu di meja satu persatu.

"Aku bakalan nyuntik rasa pesta-ria ke ruangan hampa ini. Langkah pengenalan buat menikmati Natal secara proaktif dan positif dimulai dengan penampilan. Bukannya kalian ngelakuin ini pas masih kecil?"

Ga peduli gue ngelakuin itu ato engga, kamar adek gue pastinya bakal dihias buat Natal beberapa hari nanti. Ibu mungkin bakalan maksa gue buat bantu-bantu ngehias lagi tahun ini. Omong-omong, adek gue, yang mau berumur sebelas dan masuk kelas lima tahun ini, entah gimana kayaknya masih percaya aja sama Santa Claus. Dia ga sadar sama kerjaan rahasia orang tua gue, yang kebetulan udah gue sadari lama banget dari awal hidup gue.

"Belajar kek sama hati bersih adikmu! Orang itu harus udah mulai bermimpi. Kalau engga, sesuatu yang bisa didapat bakal diluar jangkauan. Ga ada orang yang menang lotre tanpa beli tiketnya, kau tau. Kamu mungkin pengen seseorang ngasi tiket lotre yang bakalan menang sejuta yen, tapi yang kayak gitu ga bakalan terjadi!"

Haruhi, memekik senang dengan keahliannya yang tiada banding, mengeluarkan topi segitiga pesta dan memakainya di kepalanya,

"Waktu di Roma, lakukan apa yang orang Roma lakukan. Pas di desa, ikutin aturan desa. Natal juga punya aturan yang harus diikutin. Makanya ga banyak orang ngerayain ulang tahun dengan mood jelek. Hei, bahkan Pak Yesus bakalan senang ngeliat kita bersenang-senang!"

Sudah banyak teori tentang kelahiran Yesus, karena bahkan tahun kelahirannya pun terselubung misteri. Namun sekali lagi, aku belum cukup bodoh untuk menghaturkan semua teori-teorinya sambil tak menyadari suasana. Terlebih lagi, kalau mendengar ada beberapa perkiraan tanggal kelahiran Yesus, Haruhi pastinya akan langsung menyembur, "Ya udah, bikin aja semuanya jadi hari Natal!" dan kami pada akhirnya akan menyiapkan banyak pohon beberapa kali setiap tahunnya. Yang ada cuman cekcok belaka kalau kita menolak tahun pertama A.D; Tidak bisa diapa-apakan lagi. Apakah itu kalender Roma atau kalender Babylonia kuno, yang penting cocok dengan keperluan manusia. Bagi benda langit yang diam-diam mengitari luasnya alam semesta masalah ini tidak perlu diperhatikan, dan mereka akan terus melakukan apa yang mereka lakukan sampai akhir hidupnya. Oh, jadi alam semesta emang ngerock abis!

Jiwa mudaku secara naluriah tergelitik oleh rahasia-rahasia Alam Semesta Hebat, tapi Haruhi tidak peduli dengan impianku. Seperti panda dengan semangat meningkatkan dekorasi ruangan, Haruhi kesana-kemari memasang dekorasi Natal kecil di setiap sudut ruangan, memakaikan topi segitiga bahkan pada Nagato yang sedang membaca, dan menorehkan kata "Selamat Natal!" pada kaca jendela menggunakan spray saljunya.

Terserah, cuman bakal keliatan kebalik kalau dilihat dari luar.

Saat Haruhi berkonsentrasi dengan aktivitasnya, Asahina-san berjalan tertatih-tatih ke arah kami seperti boneka pemecah-kacang, membawa nampan berisi cangkir teh.

"Suzumiya-saaaan, tehnya udah siap."

Penampilan Asahina-san, dengan senyum gaya-maidnya, masih tetap menawan hari ini, mengirimkan kesegaran baru ke dalam hatiku tak perduli berapa kali pun aku melihatnya. Bahkan setelah kejadian tragis setiap kali Haruhi berkata sesuatu, Asahina-san sepertinya nyaman dengan pesta Natal kali ini. Dibandingkan dengan menyebarkan pamflet memakai pakaian bunny girl atau muncul di film memakai kostum pelecehan seksual, akan lebih menyenangkan untuk menikmati pesta yang dimana semua anggota Brigade bisa saling berangkulan satu sama lain.

Tapi, apa memang hanya itu?

"Makasi, Mikuru-chan."

Haruhi mengambil cangkir dengan semangat tinggi, dan berdiri meneguk teh jamunya. Asahina-san melihat dengan senyum tulusnya.

Haruhi meminum habis cairan panas dalam beberapa detik, dan senyum di wajahnya tumbuh dua kali lebih lebar dari sebelumnya.

Pertanda buruk. Senyum itu adalah senyum ketika dia sedang berpikir tentang sesuatu yang rendah-dan-jelek. Setelah lama bersamanya, bahkan orang sepertiku pun menyadarinya.

Masalahnya yaitu...

"Rasanya luar biasa, Mikuru-chan. Emang sih ga bisa dikatakan hadiah tanda terimakasih, tapi aku ingin ngasih hadiahmu sedikit lebih cepat."

"Oh, yang benar?"

Maid molek itu mengedip-kedipkan kelopak matanya.

"Benar. Benar banget, sampe-sampe ga ada kebenaran lagi diatasnya. Sama benarnya dengan bulan mengitari bumi, dan bumi mengitari matahari. Kamu mungkin ga percaya sama Galileo, tapi percaya padaku!"

"Uh, I-I-Iya."

Haruhi meraih tangannya ke tasnya sekali lagi.

Merasakan sesuatu dan menolehkan kepalaku, aku berpandangan mata dengan Koizumi, yang mengangkat bahu dan menunjukan senyuman paksa. Aku ingin menyentilnya karena bersikap tidak jelas, tapi entah bagaimana aku mengerti. Dia tidak bergabung dengan gerombolan Haruhi selama lebih dari setengah tahun tanpa hasil apapun, dan akan aneh kalau dia tidak bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ya, pikirku.

Masalahnya yaitu ga ada orang atau obat di dunia ini yang bisa nyembuhin tingkah ga masuk akal Haruhi. Gue akan menghadiahkan kehormatan tertinggi buat siapapun yang menciptakan itu, langsung dari gue.

"Ta-tadaaa!"

Dengan efek suara kekanakan, Haruhi mengeluarkan barang Natal terakhir dari dasar tas. Dan barang itu adalah...

"Itu... itu kan...."

Asahina-san refleks mundur, dan Haruhi menyatakan dengan ekspresi seorang penyihir yang menua memberikan tongkat sihir tercintanya kepada muridnya.

"Santa, bener banget! Santa! Pas banget kan kayak sarung tangan! Ga perlu diomongin lagi; kamu ga bisa nyorotin waktu sekarang ini tanpa baju musim-khusus! Nih ambil! Kubantu kau ganti."

Mendekat perlahan-lahan ke Asahina-san yang mundur perlahan-lahan, Haruhi membuka tangannya -- kostum Santa Claus, tak diragukan lagi.


Lalu, Koizumi dan aku dilempar keluar ruangan klub, dan hanya bisa membayangkan adegan Haruhi membimbing pergantian baju Asahina-san dengan sia-sia.

"Eh" "Ah" "Ughh" Teriakan-teriakan sedih yang samar-samar membombardirku dengan khayalan-khayalan tak diinginkan, dan membuatku mengkhayal kalau aku entah bagaimana bisa melihat menembus pintu. Oke, udah waktunya buat gue untuk jadi gila juga.

Setelah beberapa lama membenamkan diri ke dongeng khayalan, Koizumi memulai percakapan, mungkin untuk menghabiskan waktu. "Saya kasihan dengan Asahina-san..."

Orang ini yang punya tampang kelewat tampan dan tingkah laku kelewat ramah menyandarkan diri ke tembok melipat tangannya.

"Namun menentramkan hatiku ketika melihat Suzumiya-san bersenang-senang. Lebih menyakitkan hatiku ketika Suzumiya-san terlihat jengkel."

"Karena ruangan aneh bakal muncul kapanpun dia dongkol?"

Melempar poninya dengan satu telunjuk, dia menjawab,

"Iya, karena itu juga. Tidak ada yang lebih menakutkan saya dan rekan-rekan saya dari Dimensi Tertutup dan Avatar. Mungkin memang terlihat mudah mengatasinya, tapi sebetulnya itu kerja keras. Saya berterimakasih pada bintang keberuntunganku bahwa sejak musim semi ini, frekuensi kemunculannya berangsur-angsur berkurang."

"Berarti masih terjadi sekarang dan nantinya?"

"Jarang. Sekarang-sekarang ini hanya terjadi ketika tengah malam ke subuh, ketika Suzumiya-san tertidur. Kemungkinan besar ketika dia sedang bermimpi buruk, dia menciptakan Dimensi Tertutup di bawah sadarnya."

"Dia emang biang kerok, waktu lagi tidur atau bangun!"

"Apa maksud anda?!"

Tadi itu benar-benar sentilan tajam dari Koizumi, dan sejujurnya, aku sedikit terkejut. Koizumi menghilangkan senyum, dan memberiku pandangan tajam.

"Saya menebak anda tidak tahu seperti apa Suzumiya-san sebelum dia masuk SMA. Dari tiga tahun lalu ketika kami memulai pengamatan sampai dia masuk SMA, tidak bisa dibayangkan kalau dia bisa tertawa gembira setiap hari. Semuanya dimulai ketika dia bertemu anda–-tidak, lebih tepatnya, ketika kalian berdua kembali dari Dimensi Tertutup. Jiwa Suzumiya-san telah stabil banyak sekali, tidak bisa dibandingkan ketika dia waktu di SMP."

Tanpa berkata apa-apa, kubalikan tatapanku ke Koizumi, seakan-akan aku akan kalah kalau mataku berkelana kemana-mana.

"Suzumiya-san jelas sekali sedang berubah. Ke arah yang lebih baik, kalau saya boleh menambahi. Keinginan kami adalah mempertahankan situasi tetap stabil, dan saya pikir anda pun begitu. Bagi dia sekarang, Brigade SOS adalah kumpulan yang tak bisa dibuang. Disini dia bisa bertemu denganmu, dia bisa bertemu dengan Asahina-san, Nagato-san itu esensial, dan maafkan keangkuhanku, tapi saya pikir saya pun begitu. Kita semua hampir menyatu satu hati satu daging."

Itu kan cuman di pikiran loe doank.

"Memang benar. Akan tetapi, tidak terdengar buruk, bukan? Apakah anda mau melihat Haruhi melepas Avatarnya setiap jamnya? Maafkan saya, tapi yang seperti itu tentunya bukan hobi yang baik."

Itu bukan hobi gue, dan gue ga bakalan bikin itu jadi hobi, biar jelas aja!

Koizumi membalikkan expresinya, kembali ke senyum ambigu yang biasanya.

"Saya lega mendengarnya. Berbicara tentang perubahan; perubahan itu tidak terbatas pada Suzumiya-san saja; Kita semua sedang berubah. Termasuk anda, Asahina-san, dan saya. Mungkin Nagato-san juga. Selain Suzumiya-san, semua orang sedikit banyak berubah cara berpikirnya."

Aku mundur. Bukan karena omongannya tepat sasaran. Aku tidak memasukannya ke hati, jadi aku tidak kena sasaran secara kiasan. Apa yang menakjubkan yaitu orang ini juga menyadari perubahan Nagato, sedikit demi sedikit. Pertandingan curang baseball, Tanabata yang melebar tiga tahun, penumpasan kamadouma, drama pembunuhan di pulau terpencil, libur musim panas yang terus berulang... Ketika kita kesana-kemari melakukan ini itu, isyarat-gerak terbatas dan gelagat Nagato ada perubahan yang sangat kecil, tapi jelas. Jauh dari pertemuan pertama kami di Klub Sastra, yang mana permulaan dari segalanya. Itu bukanlah ilusi. Aku mengamati dengan mata seperti teleskop buatan tangan. Sekarang baru kepikiran, gadis itu sepertinya sedikit aneh, bahkan waktu di pulau terpencil. Bahkan waktu di kolam renang umum. Bahkan waktu di Festival Tari Obon. Dia menunjukan tindak-tanduk yang lebih aneh lagi ketika dipaksa berperan sebagai penyihir di film, dan pertandingan game komputer melawan Kelompok Riset Komputer...

Tapi bukannya bagus tuh? Perubahan Haruhi itu bagus, tapi gue pikir yang Nagato yang lebih penting!

"Demi perdamaian dunia," Kata Koizumi dengan senyumnya, "mengadakan pesta Natal itu harga murah yang harus dibayar. Apalagi, kalau ternyata mengasyikan, saya tidak punya alasan untuk komplain!"

Tepat ketika aku merasa tersinggung entah bagaimana sampai-sampai aku tak bisa menemukan kalimat untuk membantah, pintu tiba-tiba terbuka.

"Nah gitu dong!"

Pintu terbuka kedalam, dan tentulah aku, yang menaruh beban badanku ke pintu, jatuh kikuk dengan punggungku dengan suara gedebuk keras.

"Hiehh!?"

Suara itu bukan punyaku ataupun Haruhi, tapi punya Asahina-san, dan suaranya berasal dari atas. Dengan kata lain, telentang menghadap langit-langit, aku tidak melihat langit-langitnya tapi sesuatu yang lain.

"Hey, Kyon! Jangan ngintip!" Itu suara Haruhi.

"Hwa, ahh..." Dan itu suara Asahina-san, yang benar-benar lengah saat dia berteriak dan melompat ke belakang. Gue bersumpah sama segudang dewata, gue cuman ngeliat kakinya!

"Ngapain kamu tiduran disitu? Bangun cepetan!"

Dijambret kerahku oleh haruhi, aku akhirnya berdiri.

"Dasar Kyon tukang ngintip! Nyoba ngintip kolornya Mikuru-chan ya? Kamu tuh ketinggalan dua-juta-lima-ribu-enam-ratus tahun! Tadi itu disengaja, ya? YA?"

Itu kan salah loe, buka pintu ga pake aba-aba. Tadi itu kecelakaan. Kecelakaan, Asahina-san! -- kata-kata tadi keluar dari bibirku, tapi lalu mataku tertarik ke tempat lain. Siapa yang tanya apa tadi?

"Wawa..."

Tak ada apapun dimataku kecuali Asahina-san, berdiri dengan torehan pink di pipinya.

Baju merah dengan garis putih. Topi merah dengan bola halus diujungnya... berpakaian itu saja, Asahina-san menarik rok mininya dengan kedua tanganya, dan melihat sungguh-sungguh padaku dengan mata berkaca-kaca yang penasaran penuh akan rasa malu.

Pastinya itu Santa, sempurna dari semua sisi, tiada cela tiada kesalahan. Yang seperti itulah identitas sebenarnya Asahina-san saat ini -- Cucu perempuan si pikun Santa yang diam-diam mewariskan bisnis keluarga padanya.

Dikatakan seperti itu, 80% orang akan percaya. Adikku pastinya termasuk yang 80%. Tidak diragukan lagi.

"Benar-benar fantastis." Si Koizumi menyuarakan pendapatnya. "Maafkan saya, tapi saya hanya bisa memberikan ekspresi usang. Iya, baju itu cocok sekali denganmu. Tentunya."

"Sudah kuduga!"

Haruhi memeluk pundak Asahina-san, dan menggosokkan pipinya ke muka bingung Asahina-san.

"Bukankah dia super imut dan menawan? Mikuru-chan, lebih pede dong! Mulai sekarang sampai Pesta Natal, kamu akan jadi Santa Clausnya Brigade SOS! Kamu punya kualifikasinya!"

Asahina-san megap-megap menyedihkan. Meskipun begitu, kali ini si Haruhi emang benar. Ga seorangpun bakal nyangkal, pikirku. Waktu aku berbalik ke Nagato, tak mengejutkan, si gadis mungil, berambut pendek, dan pendiam hanya meneruskan membaca apa yang dia baca.

Dia masih memakai topi segitiganya.



Setelah itu, Haruhi membariskan kami, dan berdiri di depan.

"Ngerti? Di waktu sekarang ini, ga baik ngikutin Santa apapun yang ada di jalan sambil ngelamun. Mereka itu palsu. Yang asli hanya ada di tempat spesial di bumi ini. Mikuru-chan, kamu harus lebih hati-hati lagi! Jangan segampang itu nerima barang apapun dari Santa yang ga kamu kenal. Jangan ngangguk sama apapun omongan mereka."

Bukan nasehat yang bagus, setelah loe maksa Asahina-san jadi Santa palsu.

Jangan bilang kalau gadis ini, walau usianya sudah segitu, dan seperti adikku, masih percaya saja sama bapak-bapak tua yang sedang berbisnis di sukarelawan internasional. Yah, ini cewek yang sama dengan yang menggantungkan pesan pada Orihime dan Hikoboshi, jadi tidak mustahil juga. Hanya saja, tetap saja aku ragu. Maksudku, hei, Santo Asahina udah muncul di ruangan ini! Itu dia, si palsu yang melebihi yang aseli. Apa lagi yang kau inginkan? Kalau seseorang ingin lebih, komplain akan datang dari tiga negara Scandinavia.

Aku sedang merenung tentang dimana asal muasal si pak tua lamban yang hanya kerja setahun sekali itu.

"Hei, Kyon. Ide ngadain pesta Natal besar-besaran bagus juga. Tahun ini idenya datang telat, jadi cuman bisa ngerayain ultah Yesus. Tapi tahun depan kita harus ngerayain pesta ultah buat Budha dan Muhammad saw. Bakalan ga adil kalau ga gitu."

Kenapa ga sekalian aja ngerayain ultahnya penemu Manichaeism dan Zoroastrianism? Ngeliat orang-orang ga beriman merayakan, tokoh-tokoh itu, yang seharusnya ada di atas awan sekarang, ga bisa ngapa-ngapain kecuali tertawa terpaksa. Yah, lagipula Haruhi tidak melakukan semua ini karena ingin merayakan; Dia hanya ingin punya alasan buat bikin ribut, jadinya kukira itu seimbang. Akan tetapi, kalau seseorang akan menerima hukuman dari tuhan, tolong salahkan Haruhi seorang. Peranku jadi antek dia sebenarnya kecil sekali, lho.

Di situasi kayak gitu, ke Dewa mana ya sebaiknya gue minta ampun? Aku merenungkan ini saat Haruhi duduk di kursi komandan Brigade dan memberiku lirikan nista.

"Apa yang enak ya? Hotpot? Sukiyaki? Kepiting ga boleh. Aku ga tahan. Ngambil keluar daging dari cangkangnya itu bikin aku gila. Kenapa sih kepiting itu ga bikin cangkangnya bisa dimakan? Kok bisa mereka ga ngelakuin apa gitu, pas waktu berevolusi, boleh kan aku nanya?"

Makanya itu mereka mengevolusikan cangkang! Mereka ga bakalan bisa melalui seleksi alam di dasar laut hanya demi perutmu itu!

Koizumi mengangkat tangannya dan berbicara.

"Kalau begitu kita harus memesan tempat sebelumnya. Liburan sudah dekat, dan semua tempat akan sudah dipesan kalau kita tidak buru-buru."

Yah, aku cenderung tidak mau pergi ke tempat yang dia anjurkan. Mungkin si pemilik toko yang gila bakalan muncul di tengah-tengah makan malem dan mentasin komedi pembunuhan lain diluar dugaan imajinasi liar semua orang.

"Oh, tidak perlu khawatir tentang itu."

Seakan dia punya kesan sama denganku, Haruhi menggelengkan kepalanya dengan senyum di wajahnya. Tapi ini yang dia katakan selanjutnya:

"Aku ngadain pestanya disini. Alat-alatnya udah ada. Yang belum ada cuman makanan. Apa ya... Lebih bagus kalo bawa rice cooker. Omong-omong, ga boleh ada miras, karena aku udah bersumpah dalam hati, untuk seumur hidupku, aku tidak akan minum miras."

Gue malah lebih pengen loe bersumpah soal hal laen... Tapi topik lain muncul di pikiranku yang tidak bisa tak dihiraukan tanpa pertimbangan. "Ngadainnya disini?" Kulihat ke sekeliling ruangan.

Ruangan itu sudah ada panci dan kompor portabel, bahkan sudah ada kulkas disini. Haruhi memasukan semuanya waktu permulaan dibentuknya Brigade SOS, tapi masa sih semua itu hanya untuk hari ini! Sampai sekarang, kompor portabel berguna untuk membantu Asahina-san menyiapkan teh. Tapi di sekolah, di blok tua yang begitu lusuh, dari awalnya apa itu benar-benar ide yang bagus? Tidak bijak mengabaikan ini. Nyalain api terbuka dilarang di gedung ini!

"Bakalan baik-baik aja."

Tak bergeming, Haruhi berseri-seri seperti seorang genius kuliner yang entah bagaimana punya keahlian mantap bahkan tanpa punya ijin memasak.

"Kalo kayak gitu, lebih asik kalo sembunyi-sembunyi. Kalo OSIS atau salah satu guru ngegerebek, akan kutunjukan persiapan spektakular hotpotku. Rencananya gini: tunggu sampe saat itu, dan mereka bakalan kewalahan banget sama makanan yang lezat yang sambil berurai air mata mereka bakalan ngasih ijin spesial buat pesta kita! Mulus! Sempurna!"

Walau sinis pada semua hal yang merepotkan, Haruhi bisa melakukan apapun dengan baik kalau dia harus melakukannya. Jadi aku menebak keahlian memasaknya pasti benar-benar sesuai dengan kata-katanya. Tapi hotpot? Kapan itu tuh diputusin? Obrolan yang asalnya dari kepiting itu diputuskan tidak boleh, terus dia pura-pura ngumpulin pendapat dan tiba-tiba dia langsung ngambil kesimpulan -- yah kayak bukan yang pertama kali aja. Maafkan, dan lupakan...



Dan jadinya, itulah apa yang terjadi kemarin. Sewaktu aku mengatakannya kepada Taniguchi versi pendeknya, kami tiba di sekolah.

"Pesta Natal..."

Ketika kami melewati gerbang sekolah, Taniguchi masih saja kesulitan menyembunyikan tertawanya.

"Yang kayak gitu emang bener-bener jadi aksi trademarknya Suzumiya. Pesta hotpot di ruangan klub. Yah, pastiin aja guru-guru ga pada tau! Bakalan jadi masalah lagi kalo mereka tau."

"loe datang, dong?"

Dari apa yang kami diskusikan sebelumnya, aku mencoba mengundangnya. Kalau itu Taniguchi, Haruhipun tidak akan keberatan. Dia, Kunikida dan Tsuruya-san sudah jadi Trio Pengisi kapanpun kami susah nyari orang.

Namun, Taniguchi menggelengkan kepalanya.

"Sori banget, Kyon. Hari itu, gue ga punya waktu luang buat makan hotpot dudul. Bwuahahahah"

Apa maksudnya tertawa menjijikan itu?

"Denger ya: kumpul-kumpul sama orang aneh dan nyolok-nyolok hotpot di Pesta Natal cuman buat anak ga gaul aja. Gue menyesalinya, tapi kayaknya gue harus ngucapin selamat tinggal sama orang-orang itu."

Jangan-jangan--?

"Yah, sama dengan yang loe pikirin mungkin. Gue udah norehin tanda hati merah di tanggal 24 di kalender! Gue minta maaf. Maafku TULUS. Maaf yang tulus setulus-tulusnya!"

Kok bisa gini? Kok bisa si bego Taniguchi bisa dapat pacar, sedangkan gue main-main sama si Haruhi dan yang lainnya di Brigade SOS?

"Sapa dia?"

Tanyaku, berusaha keras untuk tidak terdengar sinis.

"Anak kelas satu dari Kouyouen. Bisa diterima, kan?"

Akademi Kouyouen. Sekolah khusus wanita di samping stasiun di bawah bukit. Terletak tepat di ujung jalan permulaan tanjakan penyiksaan kami, jadi adalah pagi yang normal melihat Parade Daimyo yang mana cewek-ceweknya mengenakan jaket hitam seragam sekolah. Sekolah itu terkenal dengan para wanita berkelasnya, tapi yang lebih bikin iri itu mereka tidak perlu menanjaki landaian pembunuh ini. Engga, gue ga iri kok sama Taniguchi.

"Emang apa masalahnya? Loe kan udah punya Haruhi! Hotpot... Dan yang bikin dia kan? Hotpot sebagai masakan yang dibuat sendiri kedengarannya sedikit bodoh dan murahan menurut gue, tapi gue yakin bakal bikin loe kenyang. Gue iri, Kyon!"

Si bangsat. Dia ngobrolin Malam Natal cuman buat muasin rasa pamernya doang?

"Hmm, kayaknya udah waktunya memutuskan rencana awal dimana dan gimana buat ngabisin waktu. Duuh repotnya!"

Aku sudah kehabisan semangat, makanya itu aku tak berkata apa-apa.



Setelah sekolah, tidak ada hal spesial terjadi. Koizumi dan aku mondar-mandir dalam ruangan klub untuk memasangkan dekorasi-dekorasi baru yang Haruhi bawa. Haruhi memberi perintah dan menunjuk-nunjuk dengan jarinya. Asahina-san, berpakaian Santa, adalah maskot-plus-pelayan-teh. Dan hari ini, Nagato membaca buku hardcover... sambil, sekali lagi, memasang topi segitiga di kepalanya.

Lalu hari berakhir. Isi hotpot masih belum diputuskan. Keputusan yang ada sekarang hanyalah aku akan jadi tukang angkut barang dan akan dikirim untuk belanja. Ntar hotpot isinya apa aja? Gue lebih suka ga ngadain potluck, dengan berbau rencana jahat.

Memang terlalu lama untuk prolog. Walau begitu, yang diatas tadi itu hanya prolog, tidak ada yang lain. Gerakan sebenarnya dimulai dari sekarang, mulai hari besoknya. Mungkin mulai malam ini, tapi bukan itu masalahnya.

Besok tanggal 18 Desember, ketika angin gunung bahkan dibekukan. Hari itu, aku dilempar ke jurang ketakutan.

Biarkan aku informasikan dari awal: kejadian ini bukan bahan tertawaan.



Bab 1


Pagi harinya, aku dibangunkan oleh jurus pembunuh melucuti-selimut adikku, bersama dengan kucing tiga-warna yang meringkukkan diri di dalam selimut di sebelahku. Inilah adikku, seorang assassin pagi-hari yang membawakan perintah Ibu dengan patuhnya.

"Ibu bilang kamu sebaiknya sarapan."

Tersenyum, adikku mengangkat kucing marah dari kasur dengan kedua tangan, dan menggosokkan hidungnya ke belakang telinga si kucing.

"Shami juga! Waktunya makan!"

Shamisen, yang sudah menjadi piaraan rumah kami setelah Festival Budaya, menguap dengan wajah kosong dan menjilat cakar depannya. Kucing jantan tiga-warna yang asalnya banyak bicara sudah benar-benar hilang suaranya, dan menetapkan status dirinya di rumah hanya sebagai piaran kami saja. Dia menjadi kucing biasa yang bisa ditemukan dimana saja -- seolah-olah aku berhalusinasi bahwa kucing ini pernah berbicara bahasa manusia, baru kepikiran sekarang. Kucing itu hebat dan tidak rewel: jarang mengeong, hampir tidak pernah, seakan-akan dia sudah lupa bahasa kucing bersamaan dengan bahasa manusia. Entah bagaimana dia menjadikan kamarku tempat tidurnya, dan lalu diam saja pada kunjungan berkala adikku, yang sedang keranjingan merawat Shamisen.

"Shamiii, Shamiiii. Waktunya makan!"

Bernyanyi dengan lirik yang tidak pas dengan lagunya, adikku keluar kamar sambil memeluk si kucing. Merinding karena udara dingin pagi, aku memelototi wajah jam sebentar. Akhirnya aku susah payah berdiri, membuang rasa sayang pada kasur hangatku.

Setelah itu, aku ganti pakaian, cuci muka, dan turun ke ruang makan, menelan sarapan dalam 5 menit, dan keluar rumah lebih dulu dari adikku. Hari ini cuacanya dingin lagi, kemajuan yang baik.

Sampai saat ini, segalanya sudah berjalan seperti biasa.


Aku sedang menanjaki landaian yang biasanya ketika belakang-kepala yang kukenal terlihat olehku. Sosok sejauh sepuluh meter atau lebih di depanku itu adalah Taniguchi, tak diragukan lagi. Biasanya, orang ini meloncat dan melompat riang gembira di jalan tanjakan, tapi hari ini dia jelas berjalan pelan. Setelah beberapa saat, aku menyusulnya.

"Hey, Taniguchi!"

Bakalan lebih baik buat berinisiatif nepuk pundaknya sekali-kali, aku berpikir seperti itu, dan memang melakukannya.

"....Hmm, Kyon?"

Suaranya dalem banget. Tentu saja; Taniguchi menggunakan masker putih.

"Kenapa? Kena flu?"

"Eh....?" Taniguchi terlihat lelah. "Flu-lah, kayak yang loe liat. Jujur aja, gue pengen ga masuk, cuman bokap cerewet soal itu."

Dia sehat banget kemaren, terus tiba-tiba kena flu, ternyata.

"Yang bener aja? Gue kemaren juga ga enak badan! *Uhuk* *Uhuk*"

Oke, jangan bikin gue bingung, hanya karena gue ga biasa lihat Taniguchi batuk dan kelihatan lemah. Tapi apa dia mau sakit ya kemarin? Gue cuman bisa liat si ceroboh kayak biasanya.

"Hmm... masa? Gue ga pura-pura keliatan sehat kok."

Taniguchi memiringkan kepalanya, dan aku memberikan senyum curiga.

"Loe lagi seneng pamer-pamer soal kencan Malam Natal itu, kan? Yah, cepetan sehat, sebelum kencannya! Jarang banget kesempatan itu datang lho!"

Namun, Taniguchi semakin memiringkan kepalanya.

"Kencan? Apa-apaan? Bego. Gue ga punya rencana soal Malam Natal!"

Kata tanya "Apa?" seharusnya muncul dariku. Terus kenapa lagi tuh pacarmu yang dari SMA Wanita Kouyouen? Apa loe baru diputusin malem kemaren?

"Hey, Kyon, apaan sih yang loe omongin? Gue ga tau apa-apa soal ini!"

Taniguchi marah menutup mulutnya, dan berbalik untuk berjalan lagi. Setiap gejala dingin sepertinya sudah mulai muncul efeknya, dan lemahnya itu tidak menunjukan kepura-puraan. Apalagi, menduga dari kondisinya, rencana kencannya pastinya apes, dan dia tentu saja kecapaian. Dengan pengakuan sombong sebelumnya, tentu saja merobek hancur hatinya waktu bertemu aku langsung. Oh gitu, gitu ya.

"Jangan cemberut gitu!"

Aku mendorong punggung Taniguchi.

"Gimana kalo gabung ke Pesta Hotpot? Loe masih bisa gabung kok sekarang!"

"Hotpot apaan? Pesta apaan yang loe omongin? Gue ga ingat pernah denger yang begituan...."

Oh, masa? Shocknya hebat banget hingga apapun yang gue omongin bakal bikin dia torek untuk beberapa waktu, tebakku. Biarkan gue yang menggenggam tangan loe kalo gitu. Semuanya bakal beres dengan aliran waktu yang tak berakhir. Gue ga bakalan nyebut masalah itu lagi, gue janji.

Taniguchi melanjutkan menyereti dirinya, dan akupun melanjutkan pendakian pelan-pelanku bersama dia.

Masih tidak mungkin aku menyadari yang sebenarnya waktu itu.


Aku lengah: flu sudah menyebar jadi wabah ke seluruh Kelas 1-5 tanpa kusadari. Aku datang ke ruang kelas sebelum bel berbunyi, tapi masih ada beberapa kursi kosong, dan seperlima muridnya sudah kena demam mode pakai masker putih. Penjelasan yang ada adalah mereka semua memesan dua kali masa inkubasi dan masa serangan flu.

Aku lebih terkejut lagi menemukan kursi dibelakangku kosong dari pelajaran pertama.

"Ga bisa dipercaya..."

Apa Haruhi absen sakit? Apa flunya begitu parah dan merajalela tahun ini? Ga bisa dipercaya ada patogen hidup yang berani nyerang tubuhnya, belum lagi hal yang ga bisa dipercaya banget kalau Haruhi bisa dijatuhin sama kuman atau virus. Penjelasan yang paling masuk akal yaitu Haruhi sedang nyiapin rencana jahat baru yang baru aja dia rencanain. Mungkin bakalan ada yang lain selain hotpot?

Suasana kelasnya suram, dan itu bukan karena tak adanya AC. Tiba-tiba banyak sekali yang absen. Bahkan terlihat seperti total populasi Kelas 1-5 entah bagaimana berkurang.

Dan memang benar kalau aku tidak merasakan keberadaan meluap-luapnya Haruhi dari belakang. Tapi disaat bersamaan, aku juga merasa kalau suasananya berubah tak terpahami.

Lalu dimulailah pelajaran yang kuikuti malas-malasan, setelah itu, diikuti dengan mulus oleh istirahat makan siang.

Waktu aku sedang mengambil kotak makan siang beku di tasku, Kunikida mendekat dengan makan siang di satu tangan dan duduk di belakangku.

"Sepertinya kamu lagi istirahat. Ga papa kan saya duduk disini?"

Kata Kunikida selagi membuka serbet bungkusan Tupperware. Setelah menjadi teman sekelas di SMA, jadi setengah kebiasaan untuk makan siang dengan orang ini. Aku mencari teman makan siangku yang lain, Taniguchi, tapi dia tidak ada di ruang kelas; mungkin dia pergi ke kantin sekolah.

Kuputar miring bangkuku.

"Entah gimana flu udah jadi populer banget. Untung aja gue ga keserang, walau gitu."

"Hmm?"

Kunikida meletakan perlahan Tupperwarenya di atas serbet terbentang dan memperhatikan isinya, lalu dia menunjukan tampang heran kepadaku. Menggerakkan sumpitnya seperti capit kepiting, Kunikida berkata.

"Gejala flu tersebar udah keliatan seminggu lalu! Ga keliatan seperti influenza, tapi lebih bagus kalau influenza. Abisnya udah ada obat tertentu sekarang-sekarang ini."

"Seminggu lalu?"

Aku berhenti memotong-motong telur dadar-campur-bayamku, dan bertanya lagi.

Kayaknya ga mungkin deh ada orang lain yang nyebarin virus minggu kemarin. Ga ada yang absen, dan ga ada yang batuk-batuk pas pelajaran sejauh yang gue ingat. Anak-anak Kelas 1-5 keliatan sehat, ato bisa jadi Penyakit Setan yang udah beroperasi rahasia di luar pandangan gue?

"Apa? Sedikit banyak ada kok yang absen. Apa kamu ga sadar?"

Gue kagak. Apa bener begitu?

"Ya iyalah. Ternyata makin parah mulai minggu ini. Tolong jangan karantina semua anak kelas satu tapinya. Libur musim dingin bakalan kepotong kalo gitu, saya yakin."

Kunikida memasukan lebih banyak lagi nasi furikake ke mulutnya.

"Taniguchi juga ga enak badan beberapa hari ini. Prinsip bapaknya itu nyembuhin penyakit dengan semangat, dan dia ga bisa absen kecuali panas tubuhnya lebih dari 40 derajat. Kuharap dia melakukan sesuatu sebelum flunya makin parah."

Aku menghentikan gerak sumpitku.

"Kunikida. Sori, tapi gue pikir Taniguchi udah mau mati mulai hari ini."

"Oh engga, ga mungkin. Dia udah kayak gitu sejak awal minggu ini, ya kan? Dia istirahat pas pelajaran olahraga kemarin."

Aku jadi semakin bingung.

Tunggu, Kunikida. Apa sih yang loe omongin? Sejauh yang gue ingat, di pelajaran olahraga kemarin, Taniguchi semangat banget main bola, kayak makan steroid aja. Gue ga mungkin salah, gue kan ngelawan dia, dan banyak banget ngeslide-tackle dia. Gue sih ga dongkol gara-gara dia dapat pacar, tapi kalau gue tau apa yang bakal terjadi hari ini gue mungkin bakalan mikir dua kali sebelum ngetackle dia.

"Yang bener? Iya gitu? Aneh banget!"

Kunikida memiringkan kepalanya seakan-akan dia mengambil wortel dari panganan Kinpiragobou.

"Apa saya salah liat ya?"

Dia mengatakan itu dengan nada easy-going.

"Hmm, yah ntar kita liat aja pas Taniguchi balik."

Apa sih yang terjadi hari ini? Taniguchi dan Kunikida ngomong kayak mereka diselumuti kabut tebal, dan bahkan Haruhi absen! Jangan-jangan ini itu pertanda buruk buat kejadian-kejadian yang nyusahin seluruh umat manusia kecuali Haruhi. Indra keenamku yang hampa mulai menyuarakan sirenenya, dan rasa aneh mulai merayap di belakang leherku.


Aku memang benar.

Naluriku memang tidak boleh diremehkan. Tidak diragukan lagi yang tadi itu pertanda. Apa yang naluriku tidak katakan yaitu siapa yang akan kesulitan. Seluruh umat manusia kecuali Haruhi... yah, ga juga sih. Mengagetkan seperti kelihatannya, hanya seorang yang sadar dan terganggu oleh kejadian ini. Kecuali si malang ini, seluruh umat manusia tidak merasa terganggu. Itu karena tidak mungkin mereka akan merasakan permulaan dari insiden ini. Takkan mungkin seseorang bisa merasakan sesuatu diluar persepsi orang itu sendiri. Bagi mereka, dunia tidak berubah sama sekali.

Jadi siapa dong yang keganggu?

Jawabannya sudah jelas.

Gue!

Aku diam terkelu oleh kebingungan, dan akhirnya ditinggalkan oleh dunia.

Ya, akhirnya aku tahu.

Istirahat makan siang tanggal 18 Desember.

Pertandanya muncul berbentuk fisik, dan pertanda itu membuka pintu ruangan kelas.


Wow! Beberapa cewek duduk di depan ruangan dekat pintu bersorak senang. Sorakan itu ternyata karena mengenali teman kelas yang baru masuk. Dari celah di antara orang-orang berpakaian sailor, aku melihat sekilas orang itu yang berada di tengah perhatian.

Dengan tas tergantung di satu tangan, orang itu memberikan senyum ke teman-temannya yang mendekat.

"Iya, saya baik-baik saja sekarang. Saya merasa lebih baik setelah dapat suntikan dari rumah sakit tadi pagi. Tidak ada kerjaan dirumah, saya sadar lebih baik pergi ke sekolah aja, walau cuman untuk pelajaran sore."

Senyum lembut menjawab pertanyaan bahwa flunya sudah sembuh. Mengakhiri percakapan pendek yang ceria, dengan rambut setengah-panjang bergoncang, orang itu perlahan... berjalan -- ke arah -- kami.

"Uppss, waktunya pergi!"

Kunikida menggigit sumpitnya dan berdiri. Untukku, seolah-olah kemampuan bersuara pita suaraku telah dirampas semuanya, atau bahkan seolah-olah aku lupa untuk menyedot oksigen dengan bernafas. Aku hanya menatap orang itu. Aliran waktu seperti tak terbatas, tapi ternyata, dia hanya berjalan beberapa langkah. Ketika langkah kaki berhenti, orang itu berdiri di sampingku.

"Ada apa?"

Sambil melihat kepadaku, dia berkata ungkapan basi dengan nada bingung.

"Kamu kelihatannya kayak baru lihat hantu aja! Atau ada sesuatu di mukaku?"

Lalu dia beralih ke Kunikida, yang sedang membereskan Tupperwarenya.

"Oh, biarin saya gantungin tas aja. Tolong lanjutin makan siangnya. Saya sudah makan sebelum datang. Pas makan siang, kamu boleh pinjam tempat dudukku."

Seperti yang sudah dikatakannya, dia menggantung tasnya di gantungan pinggir meja, dan berbalik anggun ke lingkaran teman-temannya yang sudah menunggu.

"Tunggu."

Sepertinya suaraku jadi melengking.

"Kenapa kau disini?"

Orang itu berbalik, dan menusukku dengan pandangan dingin.

"Apa maksudmu? Apa aneh kalau saya disini? Atau maksudmu bakalan lebih baik kalau saya sakit lebih lama? Apa maksudmu dengan itu?"

"Bukan itu. Aku tak perduli kamu sakit flu atau tidak. Bukan itu..."

"Kyon."

Kunikida menoel pundakku dengan khawatir.

"Kamu aneh banget hari ini! Kyon lagi ngomong aneh-aneh hari ini."

"Kunikida, apa loe ga mikir apa-apa pas loe liat orang ini?"

Tak bisa menahan diri lagi, aku berdiri dan menunjuk dengan jariku orang itu, yang sedang melihat padaku seakan-akan sedang menyaksikan teka-teki.

"Loe juga tau kan siapa dia, ya kan? Orang ini seharusnya ga disini!"

"...Kyon, ga sopan lupa wajah teman sekelas hanya karena ga masuk bentar! Apa maksudmu kalau seharusnya saya ga disini? Dari dulu kita selalu di dalam satu kelas, ya kan?"

Ga mungkin gue bisa lupa! Percobaan pembunuhan ini! Kalaupun gue lupa wajah orang yang mau bunuh gue, setengah tahun terlalu pendek.

"Oh gitu."

Orang itu menebarkan senyum di wajahnya, seperti dia baru kepikiran soal rencana super jahil.

"Kamu sempat tidur habis makan siang ya? Kau yakin ga mimpi buruk? Pasti begitu. Ayolah! Bangun!"

"Bener kan?" Dengan senyum lebar pada wajah cantiknya, orang itu beralih pada Kunikida meminta persetujuan. Dia mengambil penampilan gadis yang kesannya sudah tergores di otakku dan tidak bisa dilepas.

Kilas balik ingatan lalu. Ruangan kelas bermandikan matahari terbenam -- bayangan memanjang di lantai -- dinding tanpa jendela -- ruang terdistorsi -- pemegangan pisau -- seuntai senyum -- pasir-kristal yang hancur tercerai-berai...

Dibinasakan setelah kalah bertarung dengan Nagato, dia tadinya ketua kelas yang asli, yang kelihatannya, sudah pindah sekolah ke Canada.

Yang berdiri disini adalah Asakura Ryouko.


"Bakalan lebih segar kalau cuci muka. Kamu punya saputangan? Saya bisa pinjami punyaku."

Asakura memasukan tangannya ke saku roknya, dan aku menghentikannya dengan tanganku. Siapa yang tahu kalau dia mengeluarkan lebih dari saputangan?

"Tidak terimakasih. Mendingan, bilang padaku apa yang terjadi. Semuanya. Terutama, bilang padaku kenapa kau nyimpan tasmu di kursi Haruhi? Ini kan bukan kursimu, ini kursi Haruhi."

"Haruhi?"

Asakura menjalin alisnya, dan bertanya pada Kunikida.

"Haruhi itu siapa? Apa ada orang yang punya panggilan itu?"

Kunikida menjawab pertanyaan yang mengakhiri semua harapan.

"Ga tahu. Haruhi-san... Gimana cara nulisnya?"

"Haruhi ya Haruhi!"

Mulutku komat-kamit dengan sensasi linglung.

"Apa kalian semua lupa dengan Suzumiya Haruhi? Kok bisa sih kalian lupa orang kayak gitu?"

"Suzumiya Haruhi... Yah, Kyon."

Dengan suara menenangkan, Kunikida memberitahu.

"Ga ada orang kayak gitu di kelas kita! Omong-omong, sejak penempatan tempat duduk terakhir, kursi ini jadi punya Asakura-san. Apa kamu bingung sama kelas lain? Hmm, saya ga pernah dengar Suzumiya sebelumnya. Seharusnya sih bukan anak kelas satu..."

"Saya juga tidak tau."

Dengan suara kucing jinak, Asakura berbicara seolah-olah mendesakku untuk mendapatkan perawatan.

"Kunikida-kun, bisa periksa kolong mejaku? Disudut seharusnya ada buku nama kelas."

Kurebut buku notes yang Kunikida keluarkan. Pertama aku membuka halaman Kelas 1-5, dan melarikan jariku ke daftar nama perempuan.

Saeki, Sanaka, Suzuki, Seno...

Tak ada satu namapun antara Suzuki dan Seno. Nama Suzumiya Haruhi menghilang dari buku nama kelas. Sapa yang loe cari? Cewe itu dari pertamanya aja emang ga ada! Teriak halaman itu keras-keras, dan aku menutup buku nama dan mataku.

"...Kunikida, gue mau minta tolong."

"Ya?"

"Cubit pipi gue. Gue pengen bangun."

"Yang benar?"

Dia mengeluarkan seluruh tenaganya. Sakit. Tapi aku tidak bangun. Kubuka mataku, aku masih bisa melihat Asakura berdiri di sana, melengkungkan bibirnya menjadi busur.

Apa sih yang terjadi?

Tiba-tiba aku sadar kalau kami sudah jadi pusat perhatian di kelas. Mata-mata itu melihat terfokus kepadaku, seolah-olah mereka melihat anjing tua yang menderita penyakit canine distemper. Sial! Kenapa? Gue kan ga salah ngomong!

"Sial!"

Aku bertanya dua pertanyaan kepada orang-orang disekitarku berulang-ulang.

Dimana Suzumiya Haruhi?

Bukannya Asakura Ryouko pindah sekolah?

"Ga tau."

"Engga, dia ga pindah kok."

Jawaban yang kudapat tak berbau bagus sama sekali. Seperti ditandai, jawaban mereka mempengaruhiku sampai ke batas pusing dan mual. Aku masih bisa berdiri hanya dengan meletakkan tanganku di meja terdekat. Beberapa bagian warasku sepertinya mulai runtuh.

Asakura meletakkan tangannya di pergelangan tanganku, dan memandang tajam khawatir kepadaku. Aroma manis rambutnya bagai narkotik bagiku.

"Sepertinya kamu harus pergi ke UKS. Kejadian kayak gini biasanya terjadi pas kamu ga enak badan. Pasti itu masalahnya! Apa kamu mulai kena flu?"

Enak aja!

Ingin aku berteriak keras. Gue bukan yang aneh! Situasinya yang aneh!

"Lepasin tanganmu!"

Kudorong tangan Asakura, dan lari keluar ruang kelas. Perasaan tidak enak di kulitku merembes masuk ke dalam otakku. Muncul flu tiba-tiba, percakapan yang terasa jauh dengan Taniguchi, hilangnya nama Haruhi dari buku nama, kemunculan Asakura... Apa? Haruhi hilang? Ga ada seorangpun yang ingat dia? Ga bisa itu! Bukannya dunia ini memutari dia? Bukannya gadis itu SI Karakter Blacklist di Skala Alam Semesta?

Hampir-hampir tersandung, kupompa kakiku kuat-kuat, dan melangkah maju di koridor hampir merangkak.

Hal pertama yang muncul di pikiranku adalah wajah Nagato. Dia pasti bisa menjelaskan situasinya kepadaku. Lagipula, dia Nagato Yuki, pendiam tapi sang mahakuasa android alien. Setiap saat dia bisa membereskan semuanya. Bukan berlebihan kalau aku bisa bertahan berkat Nagato.

Gue punya Nagato!

Dan dia akan menyelamatkan orang sepertiku dari keadaan buntu ini!

Kelas Nagato sudah terlihat. Tanpa harus berlari, aku sampai beberapa detik kemudian. Tidak bisa berpikir apapun, aku membuka pintu dan mencari gadis mungil berambut pendek.

Ga disini.

Tapi terlalu cepat untuk menyerah. Tiap makan siang dia mungkin biasanya ada di ruang klub sedang baca buku. Walaupun dia tidak di ruangan kelas, tidak bijak menyimpulkan kalau Nagato hilang juga.

Orang yang kupikirkan selanjutnya yaitu Koizumi. Ruang klub sastra, terletak di sayap lama, jauh dari sini. Bangunan itu bahkan lebih jauh dari ruang kelas dua Asahina-san. Akan lebih cepat untuk pergi pergi ke Kelas 1-9 satu lantai dibawah. Koizumi Itsuki, jangan kemana-mana! Tak ada keadaan apapun yang membuat aku sangat ingin melihat wajah penuh senyumnya.

Aku lari berderap-derap di sepanjang koridor, turun melompati tiga anak tangga sekaligus, dan langsung menuju Kelas 1-9 di sudut gedung sekolah, sambil berdoa bahwa cowok supranatural itu ada disana.

Lewat Kelas 1-7, lewat Kelas 1-8, dan Kelas 1-9 seharusnya ada disi...

"Apa? Kok bisa?"

Aku berhenti, akhirnya mulai sadar, dan mengecek sekali lagi plat yang tergantung di dinding. Di sebelah kiri Kelas 1-8 ada Kelas 1-7. Di sebelah kanan Kelas 1-8 ada...

Jalan menuju tangga darurat saja.

Tidak ada yang lain. Tidak ada bekas pada apapun.

"Di semua kejadian ini siapa yang bisa nyangka kalo....?"

Bukan saja ga ada Koizumi.

Seluruh anak kelas 1-9 hilang.


Aku benar-benar tidak bisa apa-apa sekarang.

Siapa yang bisa menyangka kalau ruang kelas yang kemarin ada jadi tidak ada hari ini? Bukan cuma satu orang yang hilang, satu kelas terhapus, dan gedungnya pun mengecil. Pekerjaan buru-buru sebagaimanapun, tidak akan mungkin menyelesaikannya dalam satu malam. Kemana perginya anak-anak Kelas 1-9?

Syok hebat sudah melonggarkan persepsi waktuku. Hanya Tuhan yang tahu berapa lama aku membeku ditempat, sebelum aku mendapatkan kesadaranku kembali dengan jotosan ringan di punggungku. Di awan-awan aku mendengar suara guru biologi, yang terlihat seperti marshmallow memeluk beberapa buku teks.

"Ngapain kamu disini? Pelajaran sudah dimulai! Kembali ke kelasmu!"

Pastinya aku melewatkan suara lonceng tanda istirahat berakhir. Koridor sekolah sudah kosong dari orang, dan yang bergema hanya suara guru yang meninggi dari ruang Kelas 1-7.

Aku mulai jalan sempoyongan. Waktunya memastikan tanda-tanda sudah habis. Kejadian-kejadian ini sudah direncanakan. Orang-orang yang seharusnya tidak ada malah muncul, dan orang-orang yang seharusnya ada malah hilang. ngeganti Haruhi, Koizumi dan semua murid Kelas 1-9 hanya dengan Asakura itu benar-benar berat sebelah!

"Apa-apaan ini?"

Kalau aku tidak mulai gila, dunia yang sudah gila.

Siapa sih yang ngelakuin ini?

Apa elo, Haruhi?



Berkat semua itu, aku benar-benar tidak mendengarkan pelajaran sore. Semua bunyi dan suara masuk dan keluar dari pikiranku, dan semua informasi gagal untuk ditanamkan ke sel-sel otakku. Sebelum aku sadar, pelajaran pun sudah selesai, dan sekolah sudah usai.

Aku ketakutan, tidak terlalu pada Asakura yang mencorat-coret dengan pensil mekaniknya di belakangku, tapi lebih pada Haruhi dan Koizumi tidak ada di sekolah. Bahkan minta konfirmasi ke orang lain membuatku jengkel sendiri melebihi batas. "Ga tau tuh." Setiap kali aku mendengar kalimat ini, aku semakin tenggelam ke rawa tak berdasar. Aku bahkan tidak punya tenaga untuk melepaskan pantatku dari kursi.

Taniguchi langsung pulang dengan Kunikida, yang merasa sedikit cemas padaku. Asakura keluar ruang kelas sambil tertawa ceria dengan beberapa gadis. Dia melihatku sebelum keluar, pandangan yang menunjukan perhatian pada teman kelas yang depresi, dan kepalaku puyeng karenanya. Mencurigakan. Semuanya.

Hampir diusir pergi oleh orang yang lagi piket, aku akhirnya berjalan keluar ke koridor, dengan tas di tangan.

Lagian, disini bukan tempat gue abis pelajaran.

Dengan hati berat aku menuruni tangga dan sampai ke lantai satu. Di sana, titik terang muncul di depan mataku, dan aku lari cepat ke sana.

"Asahina-san!"

Apa ada pemandangan yang lebih indah dari itu? Berjalan ke arahku dari sisi lain adalah dewiku, obat pelepas stress mataku. Apa yang menambah kegembiraan yaitu ada sosok Tsuruya-san disebelah gadis cantik glamor berwajah baby-face itu. Gembira berlebihan menghancurkan kemampuan merasakanku.

-- Aku mungkin seharusnya lebih sedikit hati-hati.

Aku lari ke dua senior dengan kecepatan mengagumkan, dan mencengkram keras pundak Asahina-san, yang mana dia melebarkan matanya padaku.

"He-eh!"

Rasa kaget tergambar di wajahnya, tapi mulutku tetap saja berbicara.

"Haruhi hilang! Kelas si Koizumi jadi Ruang Kelas Amblas! Aku belum nemu Nagato, tapi Asakura ada, dan sekolah jadi tempat aneh! Kau masih Asahina-sanku, kan?"

Bruk! Itu adalah suara tas dan peralatan kaligrafi Asahina-san jatuh ke lantai.

"Eh? Ah, he... Eh. Yah... Tapi..."

"Jadi kau masi Asahina-san yang dari masa depan?"

"...Masa depan? Apa maksudmu? Dan, tolong... lepaskan saya."

Dasar perutku bergejolak. Asahina-san melihatku seperti impala yang dijinakkan yang sudah melihat jaguar liar. Matanya penuh berisi rasa takut, dan itulah apa yang paling kutakutkan.

Saat aku terpaku, aku merasakan tanganku diputar keatas. Suara krak mengejutkan keluar dari tulang sendiku. Aw!

"Tunggu bentar, anak mudha!"

Tsuruya-san memegang erat-erat tanganku dengan teknik dari seni beladiri kuno.

"Jangan seenak'e nyamperi orang! Liat tuh, Mikuru-ku gemetaran dhari kepala sampe kaki!"

Suaranya tertawa, tapi kilasan matanya setajam pedang. Aku melihat Asahina-san. Dia mundur dengan mata berkaca-kaca.

Suaranya tertawa, tapi kilasan matanya setajam pedang. Aku melihat Asahina-san. Dia mundur dengan mata berkaca-kaca.

"Kamu anak kelas satu dhari Fans Club Mikuru? Adha tatacara buat segalanya, anak mudha. Terburu-buru ndak bikin aku terkesan."

Dingin psikis yang banyak kurasakan hari ini merambat turun di tulang punggungku.

"Tsuruya-san..." Masih terkunci dalam posisi udegarami, kukeluarkan suaraku.

Tsuruya-san melihat tepat ke wajahku, seolah-olah aku ini benar-benar orang asing.

Tsuruya-san, kau juga...?

"Hei, kok bisa kamu tau namaku? Omong-omong, kamu sopo? Kenalan Mikuru to?"

Aku melihat hal terakhir yang ingin kulihat. Ketakutan di belakang Tsuruya-san, Asahina-san melihatku baik-baik, dan menggeleng-gelengkan kepalanya cepat sekali.

"S...Sa...Sama sekali ga tau dia. E..Eh. Mungkin dia kira saya orang lain..."

Merasa seperti mendapatkan raport gagal total tahun ini, tepat ketika tahun pertamaku sebentar lagi habis, mataku jadi kabur. Aku akan diam saja kalau orang lain berkata buruk kepadaku, tapi kata-kata Asahina-san adalah syok terbesar bagiku, setelah sepupuku, yang kutaksir dulu waktu masih kecil, lari dengan laki-laki lain.

Tentunya aku tak salah lihat kalau kupanggil Asahina-san Asahina-san, kecuali Asahina-san ini Asahina-san dari waktu yang lain... Oh, gue ngerti! Ada satu cara buat ngebuktiin Asahina-san ini benar-benar Asahina-san yang gue tahu, ya ngga?

"Asahina-san."

Aku menunjuk dengan tangan bebasku ke dadaku. Aku cuman bisa bilang aku sudah gila. Mulutku bergerak sendiri dengan kalimat seperti ini,

"Seharusnya ada tanda lahir berbentuk bintang di sekitar sini di dadamu. Apa kau punya itu? Kalau ga keberatan, biarkan aku ngecek--"

Aku dipukul dengan pukulan sekuat tenaga.

Dengan tinju Asahina-san.

Asahina-san, tercengang dengan kalimat yang kusemburkan, langsung memerah. Air mata menggenangi matanya, dan dengan perlahan-lahan, gerakan seperti pemula dia melancarkan pukulan langsung ke mukaku. "...Hik" suara isak tangis keluar dari tenggorokannya sewaktu dia pergi berlari.

"Hei, Mikuru! Ah, yo weis lah. Dan kau, anak mudha, cek selalu bau busuk otaku-mu itu! Mikuru-chan itu lumayan pemalu, lho! Kalau kamu berani ngapa-ngapain lagi ke dhia, kamu akan merasakan amukan rambut-berdhiriku!"

Memberi cengkraman kuat tak bersahabat yang terakhir pada pergelanganku, Tsuruya-san mengambil tas dan perlengkapan kaligrafi di lantai, menahannya di dadanya, dan lari mengejar Asahina-san.

"Hei, tunggu bentar-- Mikuru--"

"..."

Mengamati mereka, terbius, angin dingin musim dingin tertiup di dalam kepalaku.

Tadi itu berakhir sudah, ga diragukan lagi.

Apa bisa gue bertahan hidup besok? Kalo berita soal gue bikin Asahina-san nangis nyebar di sekolah, bakalan lebih dari sedikit orang yang bakal menyerangku. Kalo keadaannya terbalik, gue pun bakalan ngelakuin hal yang sama. Mungkin gue harus nyiapin surat wasiat.



Berangsur-angsur aku kehilangan akal. Aku menelepon Haruhi, hanya untuk mendengar "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif." Aku tidak punya nomor telepon rumahnya, dan namanya sudah terhapus bersih dari buku nama. Aku menimbang untuk kerumahnya, tapi kalau dipikir lagi aku belum pernah kesana. Tidak adil rasanya karena Haruhi sudah kerumahku, tapi sudah terlambat untuk memikirkan itu sekarang.

Mengesampingkan hilangnya Kelas 1-9, aku pergi ke kantor staff untuk bertanya apakah Koizumi atau Haruhi sedang libur sakit entah kemana. Hasilnya datar negatif. Tidak ada murid di kelas manapun dengan nama Suzumiya Haruhi. Tidak ada murid pindahan di sekolah ini atau mau pindah ke sekolah ini dengan nama Koizumi Itsuki. Atau kurang lebih begitu yang kudengar.

Aku sudah bertemu dengan kebuntuan.

Kemana ini arahnya? Apa ini game Dimana Haruhi yang diatur sama Haruhi? Apa ini itu game yang goalnya nemuin kemana perginya si Hilang Haruhi? Tapi buat apa game ini?

Pikirku sambil berjalan. Berkat satu tinju Asahina-san, kepalaku mendingin sedikit. Ga ada gunanya ngebakar jenggot sendiri. Di situasi kayak gini, gue harus tenang. Tenang.

"Plis, tolong dong." Bisikku.

Cuman ada satu tempat tujuan sekarang. Tempat itu adalah fondasi terakhir, garis pertahanan yang benar-benar terakhir. Kalau ini juga hancur, maka semuanya bakalan berakhir. Game over.

Ruang klub sastra, terletak di blok ruang klub yang biasanya disebut Blok Tua.

Kalau Nagato ga ada disitu juga, apa yang harus gue lakukan?

Dengan sengaja kulambatkan langkahku, setapak demi setapak menuju ruang klub menghabiskan waktu yang ada. Setelah beberapa menit, berdiri di depan pintu kayu yang tua dan usang, kuletakkan tanganku di dada, mengkonfirmasi detak jantungku. Pengoperasiannya jauh dari normal, tapi lebih baik dari saat istirahat makan siang. Mungkin indera perasaku jadi kebas gara-gara banyak terkena rentetan anomali. Aku terdesak ke sudut. Tidak ada jalan lain di depanku selain menerobos kabut kegelapan, dengan skenario terburuk di pikiranku.

Aku mangkir mengetok pintu, dan membuka pintu lebar-lebar.

"...!"

Lalu aku melihat.

Sosok mungil duduk di kursi darurat, dengan buku terbuka di sudut meja panjang di depannya.

Dia adalah Nagato Yuki, menatapku langsung melalui kacamatanya, dengan wajah heran tergambar, mulut terbuka tiba-tiba.



"Kau disini..."

Kugumamkan desahan setengah pasrah, setengah lega, dan menutup pintu di belakangku. Nagato tidak mengatakan apapun seperti biasa, tapi aku tidak bisa berlega diri dan bergembira. Nagato yang kukenal tidak mengenakan kacamata, semenjak insiden dengan Asakura. Namun, Nagato yang ini mempunyai kacamata yang persis sama dengan yang dia punya dulu. Aku berpikir tentang itu yang kedua kalinya, tapi Nagato memang lebih keren tanpa kacamatanya. Memang aku lebih suka saja.

Terlebih lagi, ekspresinya tidak pas sama sekali. Kenapa dengan wajahnya tuh, kayak anggota Klub Sastra yang sedang lengah diterjang siswa cowok aja, seseorang yang sama sekali ga dia kenal? Apa maksud kagetnya itu? Bukannya itu tuh ciri-ciri Nagato yang jauh banget dari emosi kayak gituan?

"Nagato..."

Dengan kejadian dengan Asahina-san masih segar di ingatanku, aku bisa menahan diri untuk mau-menerkam badan bagian atasku, dan berjalan ke meja.

"Apa?"

Balas Nagato tanpa bergerak sesentipun.

"Bilang padaku. Apa kau tau aku?"

Dia merapatkan bibirnya, dan menekan bagian tengah kacamatanya. Lalu datang sunyi yang lama.

Aku sedang berpikir untuk menyerah, dan mencarikan untukku biara untuk menjauhkan diri dari dunia fana ini, saat jawaban datang.

"Saya tau kamu."

Nagato meletakan pandang di sekitar dadaku. Harapanku membuncah. Nagato ini mungkin Nagato yang aku tahu.

"Bahkan, aku juga tau sedikit soal kamu. Bisa dengerin aku bentar?"

"..."

"Kamu bukan manusia, tapi android organik yang dibuat alien. Kamu ngebawa kekuatan hebat kayak sihir beberapa kali, kayak waktu alat pukul mode-homerun itu, invasi ke Ruang Kamadouma..."

Segera setelah aku mulai bicara, rasa sesal mulai merambat di benakku. Nagato tampaknya membuat muka aneh. Mata dan mulutnya terbuka, dan tatapannya berkelana di sekitar pundakku. Aura di sekitarnya terasa seperti dia takut untuk memandang langsung ke mataku.

"...Itulah kamu yang kukenal selama ini. Apa itu benar?"

"Maafkan saya."

Jawaban Nagato membuatku ragu apa telingaku bekerja benar atau tidak. Kenapa pake acara minta maaf? Kenapa Nagato ngomong begini?

"Saya ga tau. Saya tau kamu itu anak Kelas 1-5. Saya ngeliat kamu dari waktu ke waktu. Tapi, saya ga tau lagi yang lain kecuali itu. Buat saya, sekarang ini pertama kalinya saya ngomong sama kamu."

Fondasi terakhir ternyata berupa rumah yang dibangun dari pasir yang goyah, longgar, hancur dan lebur.

"...Jadi kau bukan alien? Nama Suzumiya Haruhi ga bikin kau sadar?"

Nagato memiringkan kepalanya bingung, meresapi kata-kata "alien" di bibirnya.

"Engga," balasnya.

"Tunggu bentar!"

Kecuali Nagato, siapa lagi yang bisa kuandalkan? Aku seperti bayi mungil yang ditinggalkan orangtuanya. Kesempatanku untuk tetap waras hanya dengan membuat dia berbuat sesuatu. Bila keadaan terus begini, aku bisa gila.

"Ga mungkin!"

Oh tidak, aku kehilangan kesabaranku lagi. Pikiranku kebingungan, dengan hujan meteor yang tiga warna utamanya berterbangan gila, aku memutari meja, dan mendekati sisi Nagato.

Jari pucat itu menutup buku. Buku hard-cover tebal. Aku tidak sempat menangkap judulnya. Nagato berdiri dari kursinya, dan mundur satu langkah seakan-akan mundur dariku. Dua matanya, seperti batu Go yang baru digosok, berputar-putar ragu.

Aku meletakkan tanganku ke pundak Nagato. Aku kehilangan ketenangan diri untuk melihat kebelakang kegagalan yang sudah kulakukan dengan Asahina-san. Aku fokus total untuk tidak melepas Nagato. Kalau tak kucengkram dia seperti itu, semua temanku akan kabur melalui sela-sela jariku, takutku. Aku tak ingin kehilangan siapapun lagi.

Dengan tanganku merasakan kehangatan tubuhnya melalui seragam sekolahnya, aku berbicara pada sisi wajahnya yang terbingkai oleh rambut pendeknya, sewaktu dia memalingkan wajahnya dariku.

"Kumohon ingatlah! Dunia berubah pas kemarin berubah jadi hari ini. Haruhi udah diganti sama Asakura! Siapa yang ngeganti pemain? Entitas Gabungan Benak Data? Asakura dihidupin kembali, jadi kamu pasti tau sesuatu! Kamu dan Asakura dari cetakan yang sama, kan? Rencana kotor apa pula ini, hah? Kalaupun kamu pake kata-kata susah, kamu seharusnya bisa ngejelasin--"

Seperti yang biasa kau lakukan, aku mau melanjutkan, tapi aku merasakan cairan timah menyebar di perutku.

Reaksi apa ini...kok sama dengan manusia biasa?

Mata Nagato tertutup rapat, dan sipu merah mulai menyebar di pipi keramik pucat itu. Rintihan, seperti desahan kecil, keluar dari bibir terbuka sedikitnya, dan akhirnya aku sadar gemetar pundak pekanya di tanganku, seperti anak anjing diterpa udara dingin. Suara bergetar terdengar olehku.

"Jangan..."

Aku sadar. Untuk beberapa saat sekarang ini, punggung Nagato tertempel di dinding. Dengan kata lain, aku mendorong paksa Nagato tanpa sadar. Apa yang udah gue lakukan? Gue kayak perampok, ya ga? Kalau seseorang nyaksiin ini, pastinya tanganku bakalan diborgol, dan dihakimi massa. Kalau dilihat secara objektif, aku ini tiada lain tiada bukan hanya seorang bangsat yang menyerang gadis lembut nan rapuh ketika hanya berdua di ruang klub sastra.

"Maafkan aku."

Menaikan tanganku, aku merasa tenaga habis keluar dariku.

"Aku ga bermaksud nyerang kamu. Aku hanya pengen konfirmasi aja..."

Lututku terasa lemah. Aku menarik kursi lipat kearahku, dan merobohkan diri kedalamnya seperti moluska setelah didaratkan. Nagato tak bergerak sedikitpun, masih menyandar di dinding. Bisa dikatakan beruntung dia tidak kabur keluar dari ruangan.

Kusapu mataku ke sekeliling ruangan sekali lagi, dan menyadari dengan satu kali pandangan bahwa ruangan ini bukan pangkalan rahasia Brigade SOS. Di ruangan ini berjejer rak-rak buku dan kursi-kursi lipat, dan sebuah PC diatas meja darurat panjang. PC itu bukan model mutakhir yang Haruhi rampas dari Kelompok Riset Komputer dengan pemerasan, tapi model yang tiga generasi lebih tua. Kalau dibandingkan, perbedaan kekuatan memprosesnya seperti phaeton dua-kuda dan sebuah maglev.

Meja Komandan, yang tadinya ada prisma dengan kata "Komandan" tertulis disana, tak ditemukan dimanapun, seperti yang sudah ditebak. Kulkas dan rak gantungan baju kostum juga absen. Tidak ada papan permainan yang dibawa Koizumi. Tidak ada maid. Tidak ada cucu Santa. Tidak ada apa-apa.

"Sial!"

Kutahan kepalaku dengan tanganku. Game over! Kalo ini itu serangan psikologis seseorang, selamat atas gema kesuksesannya! Gue bakal ngasih dia kehormatan terbaik. Jadi siapa dibelakang percobaan ini? Haruhi? Entitas Gabungan Benak Data? Musuh ga kedeteksi di dunia ini? ...

Itu berlangsung selama sekitar lima menit. Berusaha keras mencerahkan suasana hatiku, malu-malu kuangkat kepalaku.

Nagato, masih menempel di tembok, menatapku dengan mata-ebony-nya. Kacamatanya sedikit miring. Satu-satunya rasa syukurku pada surga yaitu mata Nagato tidak menunjukan rasa takut atau ngeri, tapi berkilau seperti mata seorang adik perempuan yang bertemu kembali dengan kakaknya yang seharusnya mati di jalanan ramai kota secara kebetulan. Paling tidak sepertinya dia tidak akan melaporkan kejadian ini. Di tengah-tengah kepanikan seperti itu, hal ini adalah satu-satunya sumber kelegaan kecil.

Kenapa kamu ga duduk? Aku memulai bicara, tapi menyadari kalau aku sudah menduduki kursi Nagato. Perlu gue kasih kursinya, atau gue ambilin kursi lain buat dia? Oh, dia mungkin ga mau duduk dekat denganku.

"Sori."

Dengan sekali lagi permintaan maaf, aku berdiri. Mengambil satu kursi yang bersandar dan masih terlipat, aku pindah ke tengah ruangan. Menilai jarak yang cukup dari Nagato, kubuka lipatan dan menduduki kursinya, dan lanjut menahan kepalaku dengan tanganku.

Ini tadinya hanya sebuah klub sastra kecil. Satu hari di bulan Mei, Haruhi menyeretku kesini seperti robot industri yang mengamuk, dan kami bertemu dengan Nagato untuk pertama kalinya. Ruangan yang kulihat pertama kali persis seperti ini. Waktu itu, ruangan ini hanya berisi meja, kursi, rak buku dan Nagato. Semenjak saat itu, macam-macam barang tambahan mulai bermunculan, semua karena Haruhi sudah mengumumkan, "Mulai sekarang ruang ini adalah ruang klub kita!" Barang tambahan itu diantaranya pemanas portabel, ketel, teko tanah liat, kulkas, kompu...

"Bentar."

Aku melepas tanganku dari kepalaku.

Tunggu bentar. Apa aja yang ada disini tadi?

Rak gantung, pemanas air, teko teh, cangkir teh, radio kaset tua...

"Bukan itu."

Cari barang-barang yang tadinya ga ada sebelum jadi markas Brigade SOS, yang ada setelah itu, dan yang ada sekarang di ruangan ini!

"PC!"

Modelnya tentu saja beda. Hanya kabel power yang menjalari lantai, jadi kemungkinan besar tidak terkoneksi internet. Namun, hanya barang ini yang menarik perhatianku. Cuma ini jawaban buat permainan "Cari yang Beda".

Nagato masih berdiri. Matanya terus menatapku lama sekali, seakan-akan aku pantas diwaspadai. Tapi ketika aku menolehkan mukaku padanya, pandangannya langsung jatuh menatap lantai. Semakin diperhatikan, aku benar-benar melihat warna merah merona di pipinya. Woi... Nagato. Ini bukan kamu! Kamu ga pernah ngebiarin matamu ngeluyur kemana-mana dan mukamu jadi merah kebingungan!

Mungkin tidak ada gunanya, tapi aku pura-pura tidak gelisah sewaktu berdiri, supaya tidak membuatnya waspada.

"Nagato,"

Aku menunjuk belakang komputer.

"Aku bisa main komputer bentar?"

Ekspresi Nagato pertama terkejut, lalu berubah bingung sedikit demi sedikit, sewaktu matanya menatap cepat kepadaku dan komputer beberapa kali. Dia menarik nafas dalam-dalam.

"Tunggu sebentar."

Dengan kikuk dia membawa kursinya kedepan komputer, menekan tombol utamanya dan duduk.

Untuk masuk ke OS-nya, perlu waktu yang sama dengan waktu mendinginkan sekaleng kopi panas, yang baru dibeli, ke suhu yang kucing bisa minum. Setelah suara seperti tupai menggigiti akar pohon akhirnya berhenti, dengan tangkas Nagato menggerakkan mouse, yang kukira untuk memindahkan atau menghapus file. Mungkin ada sesuatu yang tidak ingin orang lain lihat. Aku mengerti perasaannya. Aku juga tidak ingin orang lain melihat folder MIKURU.

"Silahkan."

Nagato berkata dengan suara kecil tanpa melihat padaku, meninggalkan kursinya dan berdiri berjaga menyandar tembok.

"Sori ngerepotin."

Setelah duduk di kursi, cepat-cepat kupandang tajam monitor, dan mengerahkan semua teknik yang kukuasai untuk mencari folder MIKURU dan file situs Brigade SOS. Rasa putus asa mulai menekan pundakku.

"...Ga ada."

Walaupun setelah semua yang sudah kulakukan, aku tidak bisa menemukan hubungannya. Bukti eksistensi Haruhi tidak bisa ditemukan dimanapun.

Aku ingin tahu data apa yang Nagato sembunyikan sebelumnya, tapi aku bisa merasakan pandangan mengawasi dari belakang. Suasananya seperti dia yakin untuk langsung mencabut steker segera ketika data yang tak-boleh-dilihat mau ditemukan.

Aku berdiri dari kursiku.

Komputer itu mungkin tidak ada petunjuk apapun. Apa yang ingin kulihat hanya galeri foto Asahina-san atau situs Brigade SOS. Aku berharap melihat pesan petunjuk dari Nagato, seperti waktu Haruhi dan aku dikurung di Dimensi Tertutup. Harapanku langsung gugur tiada ampun.

"Maaf dah bikin ribut."

Aku minta maaf dengan suara lelah, dan berbalik menuju pintu. Gue mau pulang. Terus langsung tidur.

Lalu sesuatu yang mengejutkan terjadi.

"Tunggu."

Nagato mengeluarkan secarik kertas kusut dari celah di lemari buku, dan ragu-ragu berdiri di depanku. Dengan melihat ikatan dasiku, dia berkata.

"Kalau mau..."

Dia mengulurkan tangannya.

"Ambil ini."

Kertas yang diberikan padaku adalah formulir registrasi kosong untuk jadi anggota klub.



Yah.

Paling tidak aku harus bersyukur aku sudah mengalami semua kejadian aneh-aneh sampai sekarang. Kalau tidak, aku bakalan, tak diragukan lagi, lari kesana-kemari mencari penasihat.

Melihat situasinya, antara aku yang jadi gila melebihi orang gila, atau dunia ini sudah keluar jalur, tapi sekarang aku hampir bisa mencoret kemungkinan yang pertama. Aku selalu yang waras, dan aku menyatakan diriku sebagai komentator tsukkomi berkepala dingin untuk semua yang ada di bawah Matahari. Hei, gue bahkan bisa ngasi komentar ke dunia ga jelas ini, kayak gini: Nandeyanen?/Apa-apaan?

"..."

Aku terdiam, gaya Nagato. Entah bagaimana, jadi sedikit lebih dingin. Ada batasnya untuk semua keberanian palsuku.

Nagato sudah jadi gadis berkacamata pecinta-buku. Asahina-san jadi senior asing. Koizumi tak pernah pindah sekolah ke SMA North, mungkin masih belajar entah dimana.

Apa-apaan semua ini?

Apa itu maksudnya gue harus mulai dari awal lagi? Kalo gitu, bukannya salah musim? Kalo emang direset, seharusnya balik ke awal banget... yaitu balik ke hari pertama sekolah, ya kan? Gue ga tahu siapa yang neken tombol reset, tapi cuman ngerubah setting lingkungan sementara waktu tetap mengalir itu yang ada cuman bingung doang, tau ga! Lihat aja gue, benar-benar bingung tujuh keliling. Tadinya gue kira peran begituan itu udah dipesan cuman buat Asahina-san!

Terus dimana cewek itu sekarang? Dimana orang bedul itu, kabur dengan hidup nyamannya, pas gue ada di sini, di tempat dingin?

Dimana Haruhi?

Dimana elo?

Tunjukin muka loe, sekarang! Ini cuman jail ato apaan?

"...Sial. Kenapa juga gue harus cari elo?"

Atau, loe emang ga ada, Haruhi?

Berhenti becandanya, napa!? Gue ga tau kenapa gue mikir kayak gini, tapi ceritanya ga bakal bisa terus jalan kalau loe ga ada! Benar-benar ga beralasan buat ngasi emosi pilu ke gue! Maksud loe apa?

Sambil membayangkan budak profesional membawa batu-sangat-besar melintasi landaian untuk membangun mausoleum, aku melihat langit sedikit mendung yang dingin dari koridor penghubung.

Formulir registrasi klub bergemeresik di sakuku.



Ketika aku kembali ke tempat tidurku, Shamisen dan adikku lah yang menyambutku. Adikku, dengan tawa polosnya, membawa tongkat dengan bola bulu kumal diujungnya. Shamisen, berbaring di tempat tidur, sudah beberapa kali dipukul di kepalanya dengan tongkat itu. Shamisen memicingkan matanya seperti merasa terganggu, dan terkadang dia mengangkat cakarnya melawan serangan adikku.

"Oh, met datang~"

Adikku melihat mukaku dengan senyuman.

"Makan malam bentar lagi siap. Maem malem-da-nya, Shami~"

Shamisen juga mengangkat kepalanya, tapi kemudian menguap lebar, dan malas-malasan membalas serangan bulu rumput lanjutan.

Ah, masih ada satu harapan lagi.

"Hey."

Aku merampas tongkat bulu rumputnya, dan memukul lembut kening adikku.

Ketika aku kembali ke tempat tidurku, Shamisen dan adiku lah yang menyambutku.

"Kamu ingat Haruhi? Kalau Asahina-san? Nagato? Koizumi? Bukannya kita main baseball bareng, dan muncul di film, kan?"

"Apa~, Kyon-kun? Ga tau deh~"

Lalu mengangkat Shamisen dengan tanganku.

"Kapan kucing ini ada dirumah? Siapa yang bawa dia kesini?"

Mata bulat adikku semakin membulat.

"Humm... Bulan kemarin. Kau yang bawa, Kyon-kun, ya kan? Ingat? Kau dapet dia dari teman yang pindah ke luar negeri. Ya kan, Shami~?"

Merebut kucing tiga-warna dari tanganku, adikku menggosokkan pipinya kepadanya dengan mesranya. Shamisen, yang menyipitkan matanya, melihat padaku dari jauh dengan ekspresi aku-dah-nyerah.

"Siniin kucingnya."

Aku merebut si kucing kembali. Kumis Shamisen bergetar, kelihatannya terganggu dengan perlakuan seperti barang dagangan. Sori, ntar gue kasi hadiah makanan kering.

"Aku pengen ngomong sama dia. Cuman berdua aja. Jadi, keluar sana. Sekarang!"

"Hei, saya juga pengen ngomong sama dia. Ga adil ah, Kyon-kun! Eh... Kamu ngomong sama Shami? Eh? Yang benar?"

Tanpa menjawab lebih jauh, aku mengangkat adikku di pinggangnya, dan menjatuhkannya di luar kamar. "Jangan buka pintunya! Apapun alasannya!" Aku menutup pintu setelah memberi peringatan keras.

"Mah~, otak Kyon-kun dah jadi mie!"

Aku bisa mendengar adikku menuruni tangga, mengucapkan sesuatu yang mungkin memang benar.

"Jadi, Shamisen."

Aku duduk bersila, dan mulai berbicara dengan kucing tiga-warnaku yang berharga yang sedang duduk di lantai.

"Oke, tadinya gue bilang ke elo untuk ga ngomong apapun yang terjadi. Tapi sekarang ga masalah. Malah, bakalan bikin gue nyaman sekarang kalau loe ngomong. Jadi, Shamisen. Ngomong sana. Apa aja boleh. Filosofi, ilmu alam, lo yang pilih. Bahkan yang susah-susah. Tolong ngomong!"

Shamisen melihat padaku dengan wajah bosan. Seakan-akan bosan dengan omong kosongnya, Shamisen mulai menjilat bulunya.

"...Loe ngerti ga sih yang gue bilang? Apa maksudnya loe ga bisa ngomong, tapi bisa ngedengerin dan ngerti apa yang gue bilang? Gimana kalo loe ngangkat cakar kanan berarti Benar, dan cakar kiri berarti Salah?"

Dengan telapak terbuka, aku menoelkan tanganku ke hidungnya. Shamisen mencium ujung jari sebentar, tapi seperti yang sudah diduga, dia kembali menjilat bulunya, tanpa bicara sesuatu ataupun menunjukan tanda mengerti.

Normal, kayaknya.

Kucing ini berbicara hanya ketika kami merekam film, dan itupun hanya sebentar. Ketika kami selesai merekam film, kucing ini kembali jadi kucing biasa. Kucing biasa yang bisa ditemukan dimanapun, dan hanya bisa berhubungan dengan kata-kata seperti makan, tidur, dan main.

Gue tau satu hal. Di dunia ini, ga ada kucing yang bisa ngomong.

"Bukannya itu normal?"

Kecapaian, aku jatuh terlentang, dan merentangkan tangan dan kakiku. Kucing ga bisa ngomong. Jadi kejadian anehnya pas Shamisen bisa ngomong, bukan sekarang. Atau benar waktu itu?

Aku hanya ingin jadi kucing. Lalu aku bisa berhenti mikir tentang apapun, dan hidup dengan insting dasar.

Aku tetap di posisi tersebut, sampai adikku kembali memberitahu bahwa makan malam sudah siap.



Bab 2



Hari 18 Desember akhirnya berakhir seakan-akan nyangkut di dalam botol lem, dan esok harinya tiba.

19 Desember.

Dari hari ini seterusnya kami hanya sekolah setengah hari. Seharusnya sekolah setengah harinya dari awal-awal, tapi beberapa waktu lalu sekolah kami dikalahkan sekolah saingan dalam hal hasil jumlah nilai ujian percobaan nasional. Kepala sekolah memuntahkan api dan menanamkan perubahan paksa dengan tema memajukan prestasi pendidikan. Sejarah ga berubah, ternyata.

Tidak ada apapun kecuali perubahan disekitarku, di SMA North dan sekitar Brigade SOS. Seperti terjebak dalam rencana sewenang-wenang seseorang, aku pergi ke sekolah, hanya untuk menemukan lebih banyak yang absen dari Kelas 1-5. Taniguchi tidak ditemukan dimanapun, mungkin panasnya akhirnya sampai 40 derajat Celcius.

Dan hari ini Asakura masih duduk di belakangku yang seharusnya Haruhi.

"Selamat Pagi. Sudah bangun hari ini? Baguslah, kalau memang begitu."

"Yah, liat aja ntar."

Aku meletakkan tasku di meja dengan wajah kosong. Asakura menopang dagunya dengan tangannya.

"Tapi kalo cuma matamu yang kebuka bukan berarti kamu bangun. Menangkap situasi dengan matamu bakalan jadi langkah pertama untuk mengerti. Apa kabar? Udah bisa nangkap situasinya?"

"Asakura."

Aku condong kedepan dan menembakkan pandangan kagum pada air muka Asakura Ryouko yang dipahat dengan baik.

"Bilang sekali lagi: kamu benar-benar ga ingat atau kamu cuman pura-pura bego? Bukannya tadinya kamu pengen bunuh aku?"

Wajah Asakura tiba-tiba jadi suram, dengan mata yang sama ketika seseorang melihat pasien.

"...Kayaknya kamu belum bangun. Saranku: Pergi ke dokter gih! Pergi sana sebelum telat!"

Lalu dia terus menutup mulutnya, mengabaikan aku dan lalu dia bercakap-cakap dengan gadis tetangga.

Aku berbaik ke depan, melipat tanganku, dan menatap lurus pada udara tipis.



Coba disimpulkan kayak gini.

Misal di suatu tempat ada orang yang sangat sangat tidak beruntung. Orang ini luar biasa tidak beruntung, apakah dilihat secara subjektif ataupun objektif. Orang ini adalah penjelmaan alami dari ketidakberuntungan, dan bahkan Pangeran Siddharta yang tua yang sudah mendalami arti terdalam dari pencerahan akan memalingkan matanya dari orang tersebut. Suatu hari, dia hanyut dalam tidur sambil disiksa oleh ketidakberuntungannya, dan ketika esok hari waktu dia bangun tidur, dunia sudah terbalik. Dunia itu sudah menjadi tempat luar biasa tak terbilang kata-kata, tak terdeskripsikan bahkan dengan kata "Utopia". Di dunia ini, ketidakberuntungannya benar-benar hilang, dan tubuh dan jiwanya penuh keberuntungan dari ujung kepala ke kaki di semua aspek. Tidak ada ketidakberuntungan akan jatuh ke pundaknya, dan dia pastinya sudah dipindahkan oleh seseorang dari neraka ke surga dalam semalam.

Tentu saja, kehendak orang tersebut tidak berperan. Dia dipindahkan oleh seseorang yang dia tidak tahu, dan identitas asli seseorang tersebut benar-benar tidak diketahui. Tidak diketahui kenapa seseorang tersebut melakukan ini ke orang itu. Mungkin hanya surga yang tahu.

Jadi, di kasus ini, apa seharusnya orang itu senang? Dengan merubah dunia, ketidakberuntungan orang itu sudah habis hilang. Namun, dunia ini sedikit berbeda dengan dunia aslinya, dan misteri terbesarnya tetap pada apa alasan dari perubahan ini.

Dalam kasus ini, dengan menggunakan kriteria evaluasi yang ada, kepada siapa orang itu memberikan rasa terima kasihnya?

Dari yang dikatakan diatas, orang itu bukan aku. Kadarnya terlalu berbeda.

Yah... Analoginya memang buruk untuk kasusku, kukira. Aku tidak mencapai dasar ketidakberuntungan sampai kemarin, dan sekarang aku juga bukan orang yang paling beruntung.

Bagaimanapun, mengesampingkan luas masalahnya, analoginya cukup dekat, walau tidak terlalu tepat mengilustrasikan maksudnya. Urat sarafku sudah hampir berderak oleh kejadian-kejadian aneh di sekitar Haruhi setiap waktu, dan sekarang cerita tersebut rupanya tidak ada sangkut-pautnya denganku.

Walaupun begitu --

Disini, tidak ada Haruhi, tidak ada Koizumi, Nagato dan Asahina-san adalah manusia normal, dan keberadaan Brigade SOS sudah sama sekali dihapus. Tidak ada alien, tidak ada penjelajah waktu, tidak ada ESP. Di atas semua itu, kucing tidak bisa bicara. Ini dunia normal, hanya dunia normal.

Nah gimana tuh?

Dunia mana yang lebih cocok sama gue? Dunia mana yang bakalan bikin gue senang? Dunia dulu, sampai sekarang? Atau dunia sekarang?

Apa gue senang sekarang?



Sehabis sekolah, kakiku di-auto-pilot-kan ke Ruang Klub Sastra karena kebiasaan. Ini reflek khas -- tubuh bergerak tanpa membuat otak berpikir ketika tindakan tersebut dilakukan tiap hari. Sama dengan urutan waktu mandi. Urutan itu tidak ditentukan sebelumnya tentang bagaimana urutan menggosok badan waktu mandi, tapi dari waktu ke waktu seterusnya urutan tersebut disatukan seperti dengan mesin setiap waktu.

Setiap hari ketika habis pelajaran, aku langsung pergi ke Brigade SOS, minum teh yang disiapkan oleh Asahina-san, dan main game dengan Koizumi sambil mendengar omongan gila Haruhi. Mungkin kebiasaan jelek, tapi sangat sulit untuk kutendang, kalaupun aku sudah disuruh, justru karena itu adalah kebiasan jelek.

Oleh karena itu, hari ini suasananya sedikit berbeda.

"Apa yang bakal gue lakuin dengan ini?"

Aku menatap formulir registrasi kosong sambil berjalan. Nagato memberiku ini kemarin, mungkin secara tak langsung mendorongku untuk masuk Klub Sastra. Tapi aku tidak mengerti; Ngapain dia ngundang gue masuk? Karena Klub Sastra ga punya member lain dan bakalan dibubarin? Tapi berani juga dia ngerekrut gue, yang secara harfiah muncul entah darimana dan nyerang dia. Mungkin di dunia salah ini, hanya Nagato yang tidak pernah merubah pemikiran ganjilnya.

"Argh!"

Waktu berjalan ke blok ruang klub, aku berpas-pasan dengan pasangan Asahina-Tsuruya. Asahina-san benar-benar melompat mundur takut melihatku dan melekat pada Tsuruya-san, sembunyi di belakangnya. Sakit oleh reaksi senior menawan karena melihatku, aku cepat-cepat memberi bungkukan ringan dan kabur. Oh kumohon, biarkan hari-hari biasa kembali, jadi gue bisa nikmatin Honeydew sekali lagi!

Aku mengetuk kali ini dan mendengar jawaban samar-samar. Hanya ketika itu aku baru membuka pintu.

Nagato melarikan matanya ke epidermis wajahku dan mengembalikannya ke buku di tangannya. Gerakan menekan kacamatanya ternyata adalah salamnya.

"Apa ga masalah aku kembali?"

Kepala kecilnya mengangguk tegas. Namun, matanya lebih tertarik dengan buku yang terbuka di depannya, dan dia bahkan tidak mengangkat kepalanya.

Aku meletakkan tasku di sana dan langsung melihat sekeliling untuk mencari hal selanjutnya yang harus kulakukan. Akan tetapi, di ruang yang tidak ada apa-apanya ini, tak banyak barang kecil buat kumainkan. Jadi tiada pilihan mataku berlabuh pada lemari buku.

Semua rak penuh rapat dengan buku disemua ukuran. Lebih banyak buku hardcover daripada buku softcover atau novel, yang mungkin indikasi sukanya Nagato pada bacaan berat.

Sunyi.

Aku seharusnya sudah terbiasa dengan diamnya Nagato, tapi hari ini di ruangan ini sunyinya sungguh menyakitkan. Aku bakalan di pinggir kursiku kalau aku tidak mengatakan apapun.

"Buku ini semuanya punyamu?"

Langsung ada respon.

"Beberapa sudah ada waktu saya datang."

Nagato memperlihatkan kepadaku sampul buku yang dia pegang.

"Ini pinjaman. Dari perpustakaan umum."

Di buku itu ada stiker barcode yang menyatakan kalau itu kepunyaan perpustakaan umum. Cahaya berpendar terpantul dari sampul berlaminatingnya, dan kacamata Nagato bersinar sedetik.

Percakapan selesai. Nagato kembali pada tantangan membaca-bisu buku tebalnya, dan aku kehilangan tempatku berada.

"Apa kamu menulis karangan?"

Setelah itu ada diam 3/4 ketukan.

"Saya cuma baca."

Matanya terbang satu pecahan detik ke komputer sebelum bersembunyi di belakang lensa, tapi itu tidak terlepas dari mataku. Oh gitu. Pantas saja Nagato melakukan sesuatu sebelum membiarkan aku memakai komputernya. Aku membuat rasa ingin tak tertahankan untuk membaca cerita yang Nagato tulis. Apa yang bakal dia tulis ya? Mungkin sci-fi. Ga bakalan cerita cinta, kan?

"..."

Dari awal memang sulit mengobrol dengan Nagato. Sekarang pun, Nagato yang ini pun tiada bedanya.

Kumulai kembali operasi-bisuku dengan lemari buku.

Entah bagaimana mataku berhenti di salah satu punggung buku.

Judul yang kukenal. Waktu Brigade SOS sedang tumbuh, Nagato meminjamkanku buku pertama dari seri sci-fi panjang dari luar negeri, sebuah buku dengan jumlah kata-kata yang mengerikan. Sekarang aku ingat, Nagato masih cewek kacamata waktu itu, dan dia maksa meminjamkan buku ini kepadaku tanpa menerima alasan apapun. "Ambil ini," dia melempar kata-kata itu lalu pergi cepat-cepat. Aku menghabiskan dua minggu untuk membaca semuanya. Bagiku seperti sudah bertahun-tahun lalu ketika itu terjadi. Terlalu banyak yang sudah terjadi semenjak saat itu.

Rasa nostalgia aneh mulai tumbuh, dan aku mengambil buku itu dari lemari buku. Aku tidak berdiri dan membaca di toko buku, jadi aku tidak benar-benar berusaha membaca. Sembarangan kubolak-balik halamannya dan akan memasukan bukunya ke posisi semula ketika secarik kertas kecil jatuh disamping kakiku.

"Hmmm?"

Aku mengambilnya. Sebuah pembatas buku dengan gambar bunga. Seperti pembatas buku yang toko buku pun akan memberi tanpa bertanya -- pembatas buku?

Seakan-akan dunia mulai berputar di sekelilingku. Ah... waktu itu...Gue buka bukunya di kasur...Nemu pembatas buku yang sama... Terus gue cabut pake sepeda...Aku bisa menceritakan susunan kata-kata itu dari belakang kepalaku.

Jam tujuh malam ini, menunggumu di taman di luar setasiun.

Menahan nafas, kuputar tangan gemetarku -- dan aku melihat.




"Kondisi Program Jalan: Kumpulkan kuncinya. Batas Waktu: Dua Hari Kemudian."




Kalimat itu, seperti pesan dari waktu itu, ditulis dengan tulisan rapi seperti huruf komputer di pembatas buku yang jatuh dari buku hardcover.

Langsung, aku berputar dan buru-buru ke depan meja Nagato dengan tiga langkah. Menatap erat ke pupil hitam melebarnya, aku bertanya, "Apa kamu yang nulis ini?"

Memandang sebentar pada bagian belakang pembatas buku yang kupegang, Nagato menelengkan kepalanya. Dengan ekspresi bingung dia menjawab, "Tulisannya sama denganku. Tapi... Saya ga tau. Saya ga ingat pernah nulis itu."

"... Oh gitu. Seperti yang udah kuduga. Yah, ga papa. Aku malah susah kalau kamu tahu. Ada yang lagi ganggu pikiranku, lho. Ah sudahlah, ga usah perduliin ocehanku..."

Oceh alasan keluar dari mulutku, aku merasa pikiranku terbang ke tempat lain.

Nagato.

Jadi ini toh pesan darimu. Cuman susunan kata yang membosankan dan menjemukan, tapi gue senang. Bisa ga gue anggap ini kayak hadiah dari Nagato yang gue kenal lama? Ini petunjuk biar bisa ngancurin situasi sekarang, kan? Kalau engga kamu ga bakalan nulis komen pengingat ini?

Program. Kondisi. Kunci. Batas Waktu. Dua Hari Kemudian.

...Dua Hari Kemudian?

Hari ini tanggal 19. Gue seharusnya ngitung dua hari dari sekarang? Atau seharusnya ngitung dari kemarin, pas seluruh dunia mulai sinting? Yang lebih buruk jadi paling buruk, batas waktunya besok tanggal 20.

Kejutan satu-kali sudah mulai mendingin seperti magma yang menyembur lambat dari kerak bumi. Gue ga ngerti apa-apa, tapi kayaknya gue harus ngumpulin kunci biar bisa ngejalanin semacem program. Tapi kunci apa? Dimana dijatuhinnya? Ada berapa banyak tuh? Abis ngumpulin semuanya, kemana gue harus bawa buat dituker sama item?

Tanda tanya banyak melayang-layang di atas kepalaku, dan akhirnya bersatu menjadi satu tanda tanya besar.

Kalo gue ngejalanin program ini, apa dunia bakal balik jadi normal?


Tergesa-gesa kukeluarkan buku dari rak mulai dari sisi terjauh, dan mengecek kalau ada pembatas buku terselip diantaranya. Menahan pandangan heran Nagato aku tetap menggali, tapi tiada hasil. Tidak ada yang lain.

"Cuman ini doang, ya?"

Yah, kalau orang jadi terlalu rakus berlebihan dan mengambil semua item yang bisa dia temukan, beratnya bakal bikin dia mati, kembali ke petak pertama. Mondar-mandir tak jelas tanpa tujuan tertentu itu hanya menghabiskan waktu dan HP. Pertama-tama; ambil kuncinya. Puncak masih jauh, tapi paling tidak aku sudah menemukan papan penunjuk.

Setelah minta ijin, kubuka kotak makanku dan duduk diagonal dengan Nagato. Mengunyah makan siangku, aku juga membuka pikiranku. Nagato sepertinya menggerakkan matanya dari waktu ke waktu kepadaku, tapi aku hanya menggerakkan sumpit seperti mesin, dan konsentrasi dengan masalah mendesak yang ada di tangan -- untuk terus tekun memberikan nutrisi ke sel-sel otakku.

Selang beberapa waktu, kotak makanku kosong. Aku mau minta dibuatkan teh ketika aku sadar Asahina-san tidak bersama kami. Aku frustasi, tapi tetap berpikir. Sekarang waktu penentuannya. Gue ga bisa ngebiarin petunjuk yang sulit didapat jadi ga berguna. Kunci. Kunci. Kunci. Kunci...

Selama sekitar dua jam, aku terbenam dalam brainstorming yang panas-membara.

Perlahan dipenuhi dengan rasa jijik akan kebodohanku sendiri, aku dibanjiri dengan rasa kesal.

"Gue sama sekali ga ngerti!" Aku mengumpat ke diriku sendiri dari bawah nafasku.

Kuncinya dari awal juga ambigu. Ga mungkin artinya kunci beneran buat ngunci dan buka kuncian, jadi tebakan gue kunci itu kayak kata kunci atau personel kunci. Tapi lingkupnya tetap kegedean. Itu barang ato kata-kata? Bisa bergerak ato engga? Tentu saja aku ingin menanyakan petunjuk yang lebih jauh seperti ini. Kucoba membayangkan apa yang Nagato pikirkan waktu menulis di pembatas buku itu, tapi aku hanya bisa membayangkan dia baca buku-buku susah, atau memberi keputusan hebat tapi lama sekali keluarnya -- hanya Nagato yang selama ini kukenal.

Dengan minat tiba-tiba aku memutar kepalaku ke arah diagonal, disana ada Nagato yang tak bergerak, seperti sedang tidur sebentar. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi dia tetap di satu halaman tanpa ada kemajuan. Namun, sebagai bukti-tandingan bahwa dia tidak sedang tidur siang, pipinya mulai merah merona ketika dia menyadari pandangan linglungku. Nagato anggota Klub Sastra ini memang sangat pemalu dari sananya, atau tidak terbiasa sama perhatian orang lain.

Dari luar dia kelihatan persis, tapi dia tetap berkelakuan tidak seperti biasa yang menstimulasi perhatianku. Dengan sengaja, kupelototi dia dengan maksud observasi.

"..."

Walau fokus matanya pada halaman buku, jelas sekali dia tidak membaca satu kata pun. Nagato menghembuskan nafas tak bersuara dengan mulut sedikit terbuka, dan ritme lembut dadanya pelan-pelan mulai terlihat. Rona di sekeliling pipinya semakin memerah di setiap menit. Kalo boleh jujur, Nagato ini lumayan -- tidak, sangat cute. Walau hanya sesaat, sebuah ide muncul berkilas di kepalaku: Ga jelek juga kayaknya kalo gabung sama Klub Sastra dan nikmatin dunia baru tanpa Haruhi.

Tapi tidak. Gue belum akan ngelempar handuk. Kukeluarkan pembatas buku dari kantungku dan meremas tanpa menghancurkannya. Nyelipin pembatas buku di dunia ini berarti Nagato yang make topi kerucut masih punya urusan sama gue. Gue juga punya urusan yang belum beres! Gue belum nyobain masakan buatan Haruhi. Gue belum ngebakar image Santa Asahina-san di retinaku. Game gue sama Koizumi berhenti pas gue lagi menang karena dia sibuk ngedekor ruangan. Gue akhirnya bakal menang kalau diterusin, jadi gue bakalan kehilangan hak seratus yenku kalau sebaliknya.



Matahari terbenam bersinar menembus jendela, dan sudah waktunya untuk bersembunyi dibelakang blok kampus sebagai bola oranye besar.

Aku capek membenarkan cara dudukku, dan tiada hal yang menguntungkan keluar dari otakku walau kuperas bagaimanapun juga. Aku berdiri dan mengambil tasku.

"Hari ini disudahin aja yuk."

"Oke."

Nagato menutup buku hardcovernya yang mungkin dia baca atau tidak, menjejalnya ke dalam tasnya dan berdiri. Apa dia emang nunggu gue ngomong gitu?

Kuambil tasku. Dia tak bergerak sedikitpun, seolah-olah tidak akan bergerak selamanya sampai aku duluan keluar.

"Hei, Nagato?"

"Apa?"

"Kamu tinggal sendiri, kan?"

"...Iya."

Dia mungkin mikir, darimana dia tahu itu?

Tadinya aku ingin tanya apa dia tinggal dengan keluarganya, tapi langsung berhenti ketika kulihat bulumatanya menurun lembut. Ingatan akan kamarnya yang hampir kosong dengan perabot kembali padaku. Kunjungan pertamaku tujuh bulan lalu, dan obrolan kosmis-telepatis di skala yang tak terbatas itu di cara pandang apapun yang ada hanya menakutkan. Kunjungan kedua waktu Tanabata tiga tahun lalu, dan aku bersama Asahina-san. Kunjungan kedua terjadi sebelum yang pertama di gariswaktu, yang mana merupakan prestasi bagiku.

"Gimana kalau miara kucing? Kucing asik loh! Mungkin mereka keliatan lesu terus-terusan, tapi kadang-kadang aku mikir apa mereka bisa ngerti apa yang kuomongin. Aku ga bakal kaget kalau ada kucing bisa ngomong. Lagi ga becanda nih."

"Hewan piaraan dilarang."

Setelah menjawab, dia jadi diam beberapa waktu, mengedip-kedipkan matanya sedih. Seperti suara angin dari burung layang-layang yang membumbung tinggi, dia menarik nafas, dan berbicara dengan suara rapuh.

"Mau datang?"

Nagato melihat kuku jariku.

"Kemana?"

Kuku jariku menjawab balik.

"Rumahku."

Diam istirahat setengah-not.

"...Emang boleh?"

Apa-apaan ini? Apa dia malu, takut-takut, atau agresif? Kurva psikologis Nagato yang ini benar-benar terputus! Atau, apa mental cewek SMA rata-rata sekarang ini tak beraturan seperti periode kurva ringannya Mira A?

"Boleh."

Nagato melangkah ke keluar, keluar dari pandanganku. Dia mematikan lampu ruangan, membuka pintu dan menghilang ke koridor.

Tentu saja, aku mengikuti. Kamar Nagato. Kamar 708 di apartemen mewah. Akan kuintip ruang tamunya. Aku mungkin dapat petunjuk baru disitu.

Kalau aku menemukan aku yang lain tidur disitu, bakal kubangunkan dia dengan tinjuku.



Di perjalanan pulang dari sekolah, Nagato dan aku tidak berbicara sama sekali.

Nagato hanya berjalan lurus menuruni landaian dalam diam, melangkah seolah-olah ada angin dingin yang kuat menerpanya. Rambutnya berkibar, diterbangkan hembusan angin tiba-tiba. Melihat belakang kepalanya, aku hanya melanjutkan untuk menggerakkan kakiku tanpa basa-basi. Tak banyak topik yang kurasa baik untuk dibicarakan, dan aku merasa sebaiknya aku tidak bertanya kenapa aku diajak.

Setelah berjalan sedikit lama, Nagato akhirnya menghentikan langkahnya di depan apartemen mewah. Berapa kali gue datang kesini ya? Gue datang ke kamar Nagato dua kali, kamar Asakura sekali, dan atap sekali. Menekan password ke panel masuk, Nagato membuka pintu dan melangkah masuk ke lobby tanpa melihat ke belakang.

Dia bahkan membisu di lift. Di kamar kedelapan di lantai ketujuh dia memasukan kunci ke pintu dan membukanya, tapi saat itu pun dia hanya mengundangku masuk dengan gerak isyarat.

Aku masuk tanpa bicara. Penataan ruangannya tidak begitu berbeda dengan kesan ingatanku. Hanya sebuah ruangan yang tidak ada apa-apanya. Tidak ada perabot rumah kecuali kotatsu. Seperti biasa, bahkan tak ada gorden.

Dan lalu ada kamar tamu. Seharusnya kamar yang terpisahkan oleh pintu geser.

"Boleh liat kamar ini?"

Tanyaku pada Nagato, yang keluar dari dapur dengan perangkat teh Jepang. Nagato berkedip pelan.

"Boleh aja."

"Maaf mengganggu."

Pintu geser meluncur terbuka, seperti ada penahan menempel disana.

"..."

Yang ada hanya tikar tatami di dalam.

Yah, sudah seharusnya diduga. Ga mungkin gue bolak-balik ke masa lalu berkali-kali.

Kugeser pintunya ke posisi semula, dan menunjukan tangan terbukaku ke Nagato yang memperhatikan aku. Gerak isyarat itu mungkin tak berarti apa-apa untuknya. Namun, tanpa berkata, Nagato meletakan dua cangkir teh ke meja kotatsu, duduk tegak dengan kaki terlipat, dan mulai menuangkan teh.

Aku duduk dihadapannya dengan menyilangkan kaki, posisi duduk yang sama ketika aku mengunjunginya untuk pertama kali. Aku minum tanpa arti beberapa cangkir teh yang disiapkan oleh Nagato, dan lalu mendengarkan monolog tentang alam semesta. Waktu itu musimnya hijau segar dan panas luar biasa, benar-benar dimensi berbeda dari dingin yang sekarang. Bahkan hatiku lebih dingin sekarang.

Minum teh berhadap-hadapan di keheningan, mata Nagato turun di balik kacamatanya.

Untuk beberapa alasan Nagato ragu-ragu. Mulutnya terbuka, lalu kemudian tertutup. Dia melihat kepadaku seperti sudah mengumpulkan seluruh keberanian, tapi kemudian menunduk lagi. Dia mengulangi ini beberapa kali. Akhirnya, dia menyingkirkan cangkir tehnya dan memaksa suaranya keluar dengan usaha besar.

"Aku pernah ketemu dengan kamu."

Seperti menambahi,

"Di luar sekolah."

Dimana?

"Kamu ga ingat?"

Hah?

"Perpustakaan."

Setelah mendengar kata ini, roda gigi di belakang otakku mulai berdecit melakukan sesuatu. Ingatan dengan Nagato telah muncul. Saat Pencarian hal-hal Misterius perdana pertama kali itu.

"Mei tahun ini,"

Nagato menurunkan matanya,

"Kau membantuku bikin kartu perpus."

Jiwaku disetrum oleh petir, dan gagal berfungsi.

...Iya lah. Kalo engga kamu bakalan tetap nongkrong di depan lemari buku! Panggilan Haruhi udah kayak telepon iseng, dan ga ada jalan lain kembali ke tempat kumpul dengan cepat...

"Kau..."

Akan tetapi, sewaktu Nagato melanjutkan penjelasan, aku sadar deskripsinya tentang situasinya berbeda dengan ingatanku. Inilah penjelasan Nagato dengan menggunakan suara berbisik rendah:

Kira-kira pertengahan Mei Nagato pergi ke pusda untuk pertama kalinya, tapi dia ga tau gimana caranya bikin kartu perpus. Sudah cukup sih kalo dia nanya ke pustakawannya, tapi pustakawannya sedikit dan semuanya sibuk. Apalagi, sebagai introvert yang ga biasa ngobrol, Nagato tidak bisa ngumpulin keberanian buat nanya, jadi dia mulai mondar-mandir di loket dengan sia-sia. Mungkin ga tahan liat dia begitu, cowo SMA yang kebetulan lewat sukarela melakukan semua prosedur menggantikan dia.

"Dia itu kamu."

Nagato menolehkan kepalanya kepalaku, dan mata kami bertemu setengah detik, sebelum akhirnya dia menurunkan kembali ke kotatsu.

"..."

Titik-titik-titik itu dibagi antara Nagato dan aku. Sunyi kembali memenuhi ruang tamu yang kosong, tapi aku tidak bisa berkata-kata. Itu karena aku tidak bisa menjawab pertanyaan apakah aku ingat. Ingatanku dan dia sedikit berbeda. Memang benar aku membuatkan kartu perpus untuknya, tapi aku bukan kebetulan lewat; Malahan, aku yang membawa dia ke perpus dari awalnya. Melepaskan tugas patroli Pencarian hal-hal Misterius yang terancam gagal, kami memilih pergi ke perpustakaan untuk berkeliaran menghabiskan waktu. Kalaupun kemampuanku mengingat lebih kecil daripada bayi anemon laut, aku tidak mungkin bisa lupa kesan bisu Nagato pakai seragam.

"..."

Tidak pasti bagaimana menghadapi kesunyianku, Nagato mengedutkan bibirnya dengan bumbu derita, dan membuat lingkaran di bibir cangkir teh dengan jari rampingnya. Memperhatikan gemetar jarinya yang hampir tak terlihat, aku malah jadi lebih mundur untuk memulai topik, dan keheningan menebal.

Lebih gampang hanya menjawab bahwa aku memang ingat. Tidak akan jadi bohong murni. Ada beberapa celah dari kebenarannya. Di kasus ini, celah-celah ini jadi masalah terbesar di tangan.

Kok bisa perbedaannya besar begitu?

Alien yang kukenal pergi entah kemana, hanya meninggalkan pembatas buku.



Ding-dong!

Bel intercom memecah keheningan abadi. Aku hampir melompat dari posisi dudukku mendengar suara tiba-tiba itu. Tubuh Nagato kaget dengan kejutan, dan menoleh ke pintu masuk.

Belnya berdering lagi. Tamu baru telah tiba. Tapi, siapa sih yang mau bertamu ke kamar Nagato? Aku tidak bisa membayangkan satu orangpun kecuali pak pos atau tukang kredit.

"..."

Seperti roh yang baru tercabut dari badannya, Nagato berdiri dan meluncur di dinding tanpa mengeluarkan suara langkah. Dia menekan beberapa tombol di panel intercom dan mendengar suara seseorang. Lalu dia menoleh kepadaku dengan sedikit ekspresi galau.

Nagato berbicara pelan melalui speaker, mungkin mengucapkan penolakan seperti "Tapi..." dan "Yah..."

"Tunggu."

Sepertinya Nagato dikalahkan. Dia melayang ke arah pintu masuk dan membuka kunci.

"Lihat sapa disini?"

Gadis itu menyerobot masuk dengan pundaknya menyender di pintu.

"Kok kamu disini? Berita baru nih -- Nagato-san bawa masuk cowo."

Gadis dengan seragam SMA North membawa panci dengan kedua tangan, dan dengan ahli melepas sepatunya dengan menekan jempol kaki di ambangan pintu.

"Jangan-jangan kamu maksa masuk!"

Bilang dulu, kenapa juga kamu kesini? Pemandangan yang mengejutkan ngeliat mukamu diluar ruang kelas!

"Saya itu kayak sukarelawan. Benar-benar kejutan liat kamu disini!" Wajah cantik itu mulai tersenyum.

Dia adalah ketua kelas yang duduk di belakangku.

Dengan kata lain, Asakura Ryouko lah yang mengebel tadi.



"Saya mungkin bikin kebanyakan. Panas dan berat banget!"

Tersenyum, Asakura menaruh panci besar di atas kotatsu. Kalau seseorang mampir ke mini market di musim ini dia akan disambut dengan harum ini juga. Oden lah yang ada di panci. Apa ini dibikin Asakura?

"Ya iyalah. Saya bagi-bagi yang seperti ini, yang ga makan waktu lama kalo bikin banyak, dengan Nagato-san dari waktu ke waktu. Kalo kamu ngebiarin dia sendirian, dia bakalan kurang gizi."

Nagato pergi ke dapur untuk menyiapkan piring dan sumpit. Beberapa dentingan alat makan bisa terdengar.

"Jadi? Bisa saya tanya sekarang kenapa kamu disini? Itu menarik bagiku."

Aku kehabisan kata-kata. Aku disini karena Nagato mengundangku, tapi aku tidak tahu kenapa aku diundang. Karena cerita waktu di perpus? Tak masalah membicarakan itu di ruang klub. Bagiku, aku patuh datang karena kupikir ada petunjuk disini tentang apa "kunci" itu, tapi aku tak bisa katakan itu keras-keras. Bakalan buruk sekali buat dia khawatir kalau-kalau aku punya masalah mental.

Aku asal-asalan berbohong.

"Yah... Boleh aja. Aku pulang dengan rute yang sama dengan Nagato... Yup, aku khawatir apa aku harus masuk anggota Klub Sastra sekarang. Jadi aku jalan sama dia, nanya pendapatnya. Kami sampe di apartemen, tapi diskusinya belum beres, jadi dia ngundang aku masuk. Aku ga maksa masuk kok."

"Kamu, di Klub Sastra? Sori, tapi kayaknya ga cocok deh. Apa kamu bahkan baca buku? Atau kamu mau nulis buku?"

"Kesulitanku itu apakah aku baca atau nulis dari sekarang ke seterusnya. Itu aja."

Tutup panci sudah dibuka, dan aroma penggoda-selera-makan memenuhi ruangan dari kotatsu. Telur rebus yang mengambang dan tenggelam dalam saus berubah warna jadi bagus sekali.

Asakura-san, yang duduk tegak dengan kaki terlipat ke sudut kiri, melempar lirikan curiga kepadaku. Mungkin hanya aku, tapi lirikan itu tajam sekali, kalau lirikan itu punya massa, pelipisku bakalan punya banyak lubang kecil. Asakura dulu berubah jadi pembunuh berantai di tengah-tengah, tapi Asakura ini, orang bisa menemukan kepercayaan diri yang mengakar-dalam dibalik perawakan bermartabatnya. Tidak diragukan lagi oden ini akan lebih enak dari oden lain di muka bumi ini. Aura tersebut menekanku. Di saat ini, aku kehilangan kepercayaan diri di beberapa aspek. Aku hanya mondar-mandir kebelakang dan kedepan, tidak ada yang lain.

Tidak tahan lagi, aku mengambil tasku dan berdiri.

"Oh, jadi kamu ga makan bareng?"

Mempertemukan nada ejekan Asakura dengan membisu, kuputuskan untuk mundur dari ruang tamu dengan langkah sembunyi-sembunyi.

"Oh."

Aku hampir bertabrakan dengan Nagato yang keluar dari dapur. Di tangan Nagato ada tumpukan piring kecil, dengan sumpit dan tabung mustard diatasnya.

"Aku mau pulang. Sori dah ganggu. Sampe jumpa."

Aku mau jalan, ketika aku merasakan tarikan selembut bulu di lenganku.

"..."

Nagato menarik lengan bajuku dengan jarinya. Tarikannya begitu lembut, seperti seberapa banyak kekuatan seseorang untuk mengangkat bayi hamster yang baru lahir.

Nagato menarik lengan bajuku dengan jarinya. Tarikannya begitu lembut, seperti seberapa banyak kekuatan seseorang untuk mengangkat bayi hamster yang baru lahir.

Ekspresinya murung. Nagato hanya melihat kebawah sewaktu menyentuh lengan bajuku hanya dengan jarinya. Apa dia tak ingin aku pergi? Apa dia merasa tercekik karena sendirian dengan Asakura? Apapun itu aku tak ada masalah, apalagi saat aku melihat ekspresi pahit pasrah Nagato.

"...Cuman becanda! Aku makan kok! Oh ya ampun, gue kelaparan! Kalau aku engga ngisi perutku sekarang aku ga bakal bisa bertahan pas pulang nanti!"

Jarinya akhirnya terlepas. Aku rindu pemandangan itu entah gimana. Biasanya tidak mungkin aku bisa melihat Nagato mengekspresikan pikirannya dengan jelas. Momen ini punya harga di kelangkaannya.

Melihatku terbang balik ke ruang tamu, Asakura menyipitkan matanya, seakan-akan dia mengerti semuanya.



Aku berkonsentrasi sepenuhnya memasukan oden ke mulutku. Indera perasaku berteriak dari kenikmatan lezat ini, tapi dasar hatiku gagal mengenali apa yang sedang kumakan. Fokus Nagato hanya pada setiap kunyahan kecilnya, dan dia menghabiskan hampir tiga menit untuk mengunyah dan menelan konbunya. Diantara kami bertiga, hanya Asakura yang ngobrol ceria dan aku mengembalikan jawaban setengah-setengah kepadanya dari awal sampai akhir.

Seperti mendirikan bivak diluar Gerbang Neraka, makan malam berlangsung lebih dari sejam, dan pundakku jadi kaku.

"Nagato-san, tolong pindahin sisanya ke wadah lain dan taruh ke kulkas. Saya akan ambil pancinya besok, jadi tolong disimpen ya sampe nanti."

Aku mengikutinya. Berasa seperti dilepas dari semua ikatan. Memberi anggukan ambigu, Nagato menjatuhkan pandangannya sewaktu dia mengantar kami pulang di pintu.

Kukonfirmasikan Asakura sudah pergi dulu sebelum aku berbisik pada Nagato.

"Sampe jumpa. Bisa ga aku ke ruang klub lagi besok? Aku ga punya tempat nongkrong abis sekolah."

Nagato menatapku, dan...

...Memberi *senyuman* yang kecil tapi pasti.



Aku benar-benar terpesona.



Waktu lift turun, Asakura ketawa cekikikan.

"Hei, kamu suka Nagato-san?"

Yah, bukannya gue benci dia. Milih antar Suka atau Benci, gue milih yang pertama, tapi gue ga punya alasan buat benci dia dari awal. Dia itu penyelamat gue. Yup. Asakura, Nagato Yuki lah yang nyelamatin gue dari pisau laknatmu itu, jadi gimana bisa gue benci dia?

...Aku tidak bisa mengatakan kata-kata diatas. Asakura ini bukan Asakura itu, dan sama juga dengan Nagato. Di dunia ini kayaknya hanya aku yang punya perspektif berbeda, dan semua orang jadi normal. Tidak ada Brigade SOS sama sekali.

Bagaimana caranya teman sekelas cantikku ini menafsirkan bisuku ke pertanyaannya? Dia hanya tertawa melalui hidungnya.

"Ga mungkin ah, Oh gitu. Saya udah ngeliat terlalu banyak, kayaknya. Tipe favorit kamu bakal lebih ke sisi aneh, dan Nagato-san ga cocok dengan profil aneh."

"Darimana kamu tau tipe favoritku?"

"Aku hanya denger itu dari Kunikida-san. Kalian berdua satu kelas di SMP, kan?"

Si bangsat, ikut campur urusan sampah kek begituan aja. Itu cuman salah paham si Kunikida. Tolong abaikan.

"Tapi kamu! Kalau kamu pengen kencan sama Nagato-san, kamu sebaiknya serius. Kalo engga, ga bakalan kumaafkan! Nagato mungkin terlihat sebaliknya, tapi sebenarnya dia rapuh didalam."

Kenapa juga Asakura perhatian banget sama Nagato? Di dunia asliku, Asakura itu backup Nagato -- itu aku mengerti. Yah, akhirnya sih dia mengamuk terus dihapus tapinya.

"Persahabatan yang berkembang karena tinggal satu blok apartemen. Entah gimana saya ga bisa ngebiarin dia sendirian. Ngeliat dari jauh, saya ngerasa dia dalam bahaya. Dan entah darimana didalam diriku muncul rasa ingin ngelindungin dia, ngerti?"

Aku mungkin ngerti maksudnya, atau juga ga ngerti.

Percakapan selesai disitu, dan Asakura keluar dari lift di lantai lima. Kamar 505, aku ingat.

"Sampe besok."

Wajah tersenyum Asakura terlihat diantara pintu yang menutup.

Aku keluar dari blok apartemen, dan suasana gelap diluar sesejuk makanan beku segar. Angin utara merebut sesuatu yang lain dari badanku bersama dengan kehangatan badanku.

Aku berpikir untuk menyapa penjaga apartemen, tapi akhirnya tidak jadi. Jendela kaca pos penjaga ditutup rapat, dan didalam gelap. Dia mungkin tidur.

Aku juga ingin kembali ke kasur sesegera mungkin. Bahkan mimpi pun tidak masalah. Gadis itu bisa saja dengan gampangnya masuk ke mimpi orang lain secara tak sadar.

"Loe cuman jadi masalah pas ada ato engga, jadi keluar aja napa pas lagi masa kritis gini! Bisa ga sih loe denger permintaan gue barang sekali...?"

Aku berbisik ke langit berbintang, dan tiba-tiba sadar terkejut dengan apa yang sedang kupikirkan. Ingin kupukul diriku kuat-kuat di kepala karena berpikir ide mengerikan.

"Apa-apaan..."

Bisikan dari mulutku berubah jadi nafas putih dan menguap jadi udara tipis.



Aku ingin bertemu dengan Haruhi.



Bab 3



20 Desember.

Pagi hari ketiga sejak dunia telah berubah saat aku bangun dari tidur tanpa mimpiku. Seperti biasa, aku bangun dari kasur, merasakan perutku seperti dipenuhi beberapa lusin peluru .300mm. Shamisen, yang tidur dalam selimut, tiba-tiba berguling ke tanah dan telentang. Kuinjak lembut perutnya dan mendesah.

Menjulurkan kepalanya melalui pintu, adikku terlihat cemas ketika dia melihatku sudah bangun.

"Jadi, Shami ngomong?"

Dia terus menanyakan hal ini semenjak malam kemarin lusa. Jawabanku selalu sama.

"Eng~ga."

Sewaktu aku mengenang sentuhan halus bulu kucing di jari kakiku, adikku mulai bersenandung lagu kecilnya sambil membawa Shamisen keluar kamar. Asik jadi kucing, yang mereka kerjain cuman makan, tidur, dan menjilat bulu. Ingin banget gue tuker tempat sama dia cuman sehari. Sapa tau, jadi kucing, gue mungkin bisa langsung nemu apa yang gue cari.

Bener banget, gue belum nemu kuncinya. Ataupun gue tau apa maksudnya kunci ini. Apalagi program sistem aktivasi. Kalo gue ga ngelakuin sesuatu hari ini, dunia bakal terus kayak ini, dan mungkin jadi lebih menakutkan. Soal batas waktu -- ide siapa sih pake acara batas waktu segala? Bukannya bikin repot Nagato buat ngasi tawaran batas waktu?

Aku pergi ke sekolah tanpa ada kemajuan apapun. Langit suram terlihat seperti akan bersalju sewaktu membayangi kepala semua orang. Kayaknya kita bakal dapet white Christmas tahun ini; turun saljunya bisa banyak. Tidak ada ramalan cuaca tentang salju, tapi menilai tingkat beku musim dingin tahun ini, mungkin akan besar. Haruhi mungkin akan lebih heboh dari anak anjing waktu dia menyiapkan acara jalan-jalan musim dingin... Tapinya, kalau Haruhi masih ada.

Tidak ada yang menarik perhatianku sewaktu aku menanjaki landaian seperti biasa ke SMA North dan akhirnya sampai ke ruang kelas 1-5. Kepenatanku bermanifestasi secara jasmani sewaktu aku berjalan pelan, jadi aku hanya bisa duduk di bangkuku tepat pada waktu bel pertama sekolah. Seperti kemarin, banyak yang absen sakit di kelas, tapi apa yang mengagumkan yaitu Taniguchi hanya butuh istirahat satu hari. Walau dia masih pakai maskernya, paling tidak dia datang. Baru sekarang ini aku sadar kalau cowo ini suka pergi ke sekolah.

Omong-omong, hari ini Asakura, yang duduk di belakangku, memberiku senyum agak intrik.

"Pagi."

Asakura menyapaku sama seperti dia menyapa semua orang. Aku hanya mengangguk.

Sewaktu bel kedua tanda mulai pelajaran, Okabe-sensei masuk dengan semangat dan memulai jam absensi dengan sungguh-sungguh.



Aku sudah lupa lagi sekarang hari apa di minggu ini. Jadwal hari ini sepertinya beda dari yang kuingat, walau aku ragu. Aku pun ragu apa aku belajar pelajaran yang sama minggu lalu di hari yang sama. Kalau pun jadwal kemarin dan hari ini ditukar, aku khawatir tak akan sadar. Apa hanya aku yang jadi aneh? Gadis yang dikenal dengan nama Suzumiya Haruhi tidak pernah ada, Asakura adalah teman sekelas yang paling populer, Asahina-san itu senior tak-kesampaian, sementara Nagato adalah satu-satunya anggota Klub Sastra.

Jadi mana sih yang benar? Apa Brigade SOS dan semuanya yang sudah gue tempuh itu cuman imajinasi gue belaka?

Sial, pikiran gue makin lama makin negatif aja.

Waktu pelajaran olahraga di jam pertama, aku adalah seorang penjaga gawang tukang ngelamun yang tidak punya keinginan untuk mempertahankan gawangnya; Jam berikutnya adalah matematika, semuanya lewat dari kuping kiri keluar kuping kanan; tanpa kusadari, sudah tiba waktu istirahat.

Sewaktu aku merosot di bangku untuk mendinginkan kepalaku...

"Oy, Kyon,"

Itu Taniguchi. Dia menggantung maskernya di bawah dagunya dan memberi cengiran tololnya.

"Ntar di pelajaran kimia, hari ini gurunya bakal milih baris gue buat jawab pertanyaan, tolong gue dong."

Nolong elo? Gila loe ya?! Loe sadar kan kita udah sama-sama tau kekuatan dan kelemahan masing-masing luar dalem, ya kan? Gimana gue bisa tau hal yang loe ga tau?

"Hei, Kunikida,"

Aku memanggil partnerku yang lain, yang baru balik dari toilet,

"Kasi tau si Taniguchi semua yang loe tau soal sodium hidroksida. Terutama apakah mereka berhubungan baik dengan asam hidroklorida."

"Simpel kok, mereka jadi netral setelah di campur."

Kata Kunikida sewaktu dia mengibas-ngibas buku teks Taniguchi,

"Ah, jadi pertanyaan yang ini. Pertama-tama hitung dalam mole dan kamu bisa ngubah hasilnya ke kilogram. Coba bentar..."

Melihat seseorang berpengetahuan luas menjelaskan dengan begitu santainya, seseorang merasa sangat tak berdaya.

Taniguchi menganggukkan kepalanya tanpa henti, tapi saat Kunikida berpikir lebih jauh, dia tidak bermaksud untuk menghitungnya sendiri sekarang. Dia mengambil pensil mekanik dari bangkuku dan mencorat-coret beberapa angka dan simbol di tempat kosong di buku teks Kunikida.

Setelah semuanya beres, Taniguchi memberiku senyum aneh,

"Kyon, Kunikida ngasi tau semuanya waktu main bola di pelajaran olahraga, loe kayaknya ngerencanain sesuatu dari kemaren lusa."

Bukannya loe juga ada di sekolah kemaren lusa?

"Gue bobo siang di klinik waktu makan siang, dan gue ngantuk waktu sorenya. Gue cuman denger itu pagi ini. Gue denger loe ngamuk-ngamuk, beneran loe bilang kalo Asakura itu seharusnya ga ada?"

"Dikit banyak lah."

Aku mengangkat tanganku dan membuat signal yang terbaca, "Loe bisa pergi sekarang!" Si Taniguchi malah menyeringai dan melanjutkan,

"Pengen banget gue ada di sana juga. Jarang banget ngeliat elo rame teriak-teriak."

Kunikida seperti ingat sesuatu dari waktu itu dan berkata,

"Kyon lebih baik hari ini. Waktu itu keliatannya dia bakal ngebully Asakura-san. Apa dia ngelakuin sesuatu yang bikin kamu marah?"

Kalau pun aku berkata alasannya aku akan diperlakukan seperti orang gila. Jadi cukup wajar bagiku untuk tetap diam.

"Oh iya, kamu kemaren ngomong kalo seseorang sudah diganti dengan Asakura. Udah nemu orang itu? Namanya Haruhi, kan? Emang dia siapa sih?"

Bisa tolong berhenti ngingetin gue soal kayak beginian? Sekarang ini gue bakalan ga sengaja merinding setiap kali nama itu disebutin, bahkan kalo diucapin terus-terusan sama beo.

"Haruhi?"

Nah liat kan? Bahkan Taniguchi aja miringin kepalanya. Bukan itu doang, dia bahkan ngomong,


"Haruhi yang itu, jangan-jangan Suzumiya Haruhi, ya?"


Bener, Suzumiya Haruhi yang itu...

Tulang di leherku bersuara krek-krek. Pelan-pelan kutolehkan kepalaku keatas untuk melihat pandangan bodoh yang diberi teman sekelasku,

"Taniguchi, tadi loe ngomong apa?"

"Gue bilang Suzumiya, Cewek Liar dari SMP East. Gue satu kelas sama dia selama tiga tahun. Penasaran gimana kabar dia......Dan gimana caranya loe tau sapa dia? Loe bilang dia diganti dengan Asakura, maksudnya apaan tuh?"

Mataku langsung jadi putih......

"ELO! DASAR PLONTOS IDIOT LOE!"

Aku berteriak dan melompat bersamaan. Mungkin terintimidasi dengan ledakan tiba-tibaku, Taniguchi maupun Kunikida reflek mundur sedikit.

"Sapa yang loe panggil 'plontos'!? Kalo gue 'plontos', loe 'gundul'! Lagian, keluarga gue udah berambut perak bergenerasi-generasi, elo yang seharusnya khawatir soal rambut loe!"

Bukan masalah loe! Kucengkram kerah Taniguchi dan menarik dia ke depan wajahku sampai kedua hidung kami hampir bersentuhan.

"Loe bilang loe tau Haruhi!?"

"Gimana engga? Gue ga bisa ngelupain dia bahkan setelah lima puluh tahun. Kalo ada orang dari SMP East yang ga tau dia, mereka harus ngelakuin check-up buat ngeliat apa mereka menderita amnesia."

"Dimana?"

Seperti merapalkan mantra, kutembakkan pertanyaan demi pertanyaan,

"Dimana cewek itu? Dimana Haruhi sekarang? Bilang dimana!"

"Loe kenapa sih? Loe itu gendang taiko ya? Apa loe ngeliat Suzumiya entah dimana dan jatuh cinta pada pandangan pertama? Nyerah aja deh! Gue bilang gini buat kebaikan loe sendiri. Walaupun mukanya itu impian para cowo, sikapnya itu cukup buat ngancurin impian sampe terlupakan. Contohnya, dia......"

Bikin gambar geometri misterius di lapangan lari sekolah dengan kapur putih, kan? Gue dah tau itu. Gue ga tertarik sama riwayat kriminal dia, gue cuman mau tau dimana si Haruhi sekarang!

"Dia di Sekolah Kouyouen,"

Taniguchi menjawab seperti mendongengkan susunan atom hidrogen,

"Kalo gue ga salah, dia daftar di SMA di bawah bukit, yang pas depan stasiun. Dia emang dah pintar, jadi dah seharusnya dia belajar di SMA unggulan."

SMA unggulan?

"Emang Kouyouen sebagus itu? Gue kira dia cuman sekolah khusus cewe buat yang kaya dan terkenal."

Taniguchi melihatku mata kasihan dan berkata,

"Kyon, gue ga tau apa yang mereka omongin ke elo waktu SMP, tapi sekolah itu dari dulu sekolah campuran. Belom lagi itu tuh sekolah nomor wahid di tingkat penerimaan masuk universitas di perfektur ini. Ada sekolah kayak gitu di distrik kita bikin gue dongkol aja!"

Sewaktu aku mendengarkan omelan Taniguchi, pelan-pelan kulonggarkan tanganku.

Kenapa gue ga sadar sebelumnya? Gue seharusnya ngelakuin seppuku karna ini.

Hanya karena Haruhi tidak ada di SMA North, aku berasumsi kalau dia tidak ada di dunia. Seperti yang anda lihat, imajinasiku lebih buruk dari kamadouma raksasa itu. Waktu aku kembali ke tempat saudara di pedesaan musim panas nanti, aku seharusnya pergi dan ngobrol dengan salah satu saudara kamadouma itu yang duduk di balkon, mungkin kami akan berhubungan baik.

"Woi! Sadar napa sih!" Taniguchi merapikan kerahnya dan berkata, "Kunikida, loe bener. Dia gila, dan kondisinya kayaknya tambah buruk."

Ngomong semau loe dah, gue lagi ga pengen berdebat sama loe sekarang, karena sekarang ada seseorang yang bener-bener bikin gue kesel lebih dari Taniguchi si penusuk-dari-belakang dan Kunikida si tukang-ngangguk.

Rentetan kejadian malang ini benar-benar tidak bisa dipercaya. Kalau seseorang dari SMP East duduk di dekat situ hari itu, atau kalau Taniguchi ada di ruang kelas waktu itu, maka aku akan mendengar nama Haruhi sejelas-jelasnya lebih awal. Salah sapa sih ini? Keluar cepetan jadi gue bisa hajar tuh bangsat! Perhitungan ini bisa dilakukan lain kali, sih. Semua yang perlu jawaban sudah ditanyakan, dan yang tersisa hanyalah melakukan sesuatu.

"Kamu mau kemana, Kyon? Toilet?"

Aku berbalik selagi lari ke pintu ruang kelas dan berkata,

"Gue pulang lebih awal,"

Lebih awal lebih baik,

"Tasmu gimana?"

Bakalan cuma jadi pengganggu aja,

"Kunikida, kalo Okabe nanya, bilangin gue sakit pes dengan berak darah, atau flu, atau apalah itu yang sakit kayak di neraka. Oh dan Taniguchi!"

Aku memberi rasa terimakasih tulus ke teman sekelas yang rahangnya terbuka lebar, yang melihatku keluar,

"Thanks!"

"Huh? Ap......?"

Terakhir aku melihat Taniguchi memutar jarinya ke kepala membentuk lingkaran, lalu aku melompat keluar ruang kelas, dan dalam semenit aku sudah ada di pintu gerbang sekolah.



Sangat sulit untuk menuruni landaian dengan kecepatan tinggi. Karena aku terlalu gembira, aku lari dengan segenap kekuatanku, setelah sekitar tiga menit, kaki dan paru-paruku pun sudah mulai komplen bahwa aku terlalu memaksa mereka bekerja, apalagi jantungku. Kalau dipikir-pikir, bakal masih keburu kalau aku menunggu sampai jam ketiga selesai. Di waktu sekarang tahun ini, Kouyouen mungkin hanya setengah hari juga. Tidak akan ada masalah selama aku tiba di sana sebelum bel sekolah terakhir berbunyi. Kalau pun aku jalan dari SMA North, tetap saja akan menghabiskan waktu kurang dari setengah jam.

Sewaktu aku menyadari betapa buruknya skill manajemen waktuku, aku sudah tiba di sekolah swasta dekat stasiun itu, garis finish rute tanjakan harian wajib ke sekolah. Sangat sepi dalam sekolah itu, apa mereka masih ada pelajaran? Kulihat jamku, pelajarannya kurang lebih sama dengan sekolah kami, mungkin mereka lagi di jam ketiga sekarang. Dengan kata lain, sebelum gerbang sekolah dibuka, aku punya satu jam penuh waktu bebas. Dengan tangan kosong di cuaca dingin ini, yang bisa kulakukan hanyalah menunggu.

"Mungkin gue paksa masuk aja......"

Kalau Haruhi, dia akan melakukan itu, dan dia akan menanganinya dengan cantik. Sayangnya aku tidak punya kepercayaan diri seperti itu, setelah berjalan pelan menuju gerbang, dengan kalut aku berbalik sekali lagi. Berdiri diluar gerbang sekolah yang tertutup ada penjaga berwajah galak. Seperti yang sudah diduga dari sekolah swasta kaya.

Sebenarnya, bisa saja aku menyusup ke sekolah itu dengan memanjat pagar, masalahnya yaitu puncak pagarnya menjulang tinggi sekali dari tanah, dan ada kawat duri di punjaknya untuk dilewati, sepertinya pilihan yang lebih baik menunggu sampai gerbang sekolah terbuka. Kalau aku maksa masuk, semua akan berakhir bila aku sampai ketangkap. Aku sudah sejauh ini, aku tidak ingin permainan dengan gampangnya berakhir. Lagipula, tidak seperti Haruhi, aku masih bisa mengontrol diriku sendiri ketika dibutuhkan.




Dan jadi, aku menunggu selama hampir dua jam.

Bel sekolah yang berbunyi untuk terakhir kali terdengar seperti ingatan masa lalu, dan gerbang yang terbuka melimpah dengan murid-murid yang keluar seperti banjir yang dilepaskan.

Taniguchi benar, sekolah ini memang sekolah campuran. Seragam cewek sama dengan yang biasa, seragam jas hitam khas gadis sekolah. Berjalan diantara mereka ada beberapa cowok yang mau pulang ke rumah masing-masing, dan mereka berpakaian seragam tradisional gakuran. Kebalikannya dari SMA North, yang cewek pakai seragam sailor dan yang cowok pakai jas. Untuk rasio gender, sepertinya lebih banyak cewek......

"Kok bisa...... Ah lupakan."

Ada sedikit wajah yang kukenal diantara murid laki-laki, mereka itu murid dari Kelas 1-9. Dan aku tadinya berpikir kalau mereka hilang, ternyata mereka dari dulu ada di SMA ini. Aku tidak tahu itu kebetulan atau apa, tapi aku belum melihat siapapun dari SMPku. Mereka yang pernah kulihat tidak tertarik padaku, dan berjalan cepat melewatiku setelah melempar cepat pandangan curiga kepadaku. Sekarang, mereka mungkin punya ingatan yang sepenuhnya baru, kemungkinan besar ingatan sekolah yang lebih bahagia, karena paling tidak mereka tidak perlu memanjat bukit untuk ke sekolah setiap hari.

Aku terus menunggu, dan kesempatanku dapat jackpot 50/50. Kalau cewek itu bergabung dengan aktivitas klub, atau sibuk merencanakan sesuatu dan harus tinggal di sekolah, maka pada dasarnya aku sudah jadi orang-orangan sawah disini. Tolong dong, cepatlah dan langsung pulang aja, dan terus muncul ke depan gue.

Jangan-jangan ada Brigade SOS di Sekolah Kouyouen ini, dengan anggota selain gue ngelakuin semua jenis aktivitas......

Sewaktu aku memikirkan ini, isi perutku mulai bergejolak seperti marah. Bukannya itu bikin Asahina-san, Nagato, Koizumi, dan gue sampah yang bisa buang? Kalo emang gitu, gue lebih jelek dari peran pembantu, dan bakal jadi orang luar beneran. Bukan itu keinginan gue! Gue akan berdoa ke semua orang! Yesus lah, Muhammad saw, Buddha, Mani, Zoroaster, ato bahkan Lovecraft! Kalo salah satu dari mereka bisa menenangkan kegelisahanku, gue bakal percaya sama semua ramalan ato legenda yang mereka ceramahin. Bahkan kalo dilakukan sama penceramah sekte hari kiamat, dengan senang hati gue ikutin. Sekarang aku akhirnya mengerti bagaimana rasanya jadi seseorang yang berpegang teguh pada batang sedotan apapun dan tetap tenggelam tak berdaya di rawa lumpur.

Setelah terkonsumsi oleh kegelisahan dan depresi selama sepuluh menit,

"......Phiuh,"

Aku mendesah dalam-dalam, bahkan aku tidak tahu apa arti dibalik desahan ini. Kenapa aku membuat desahan lega yang besar?


Karena dia telah muncul.


Terkubur diantara lautan seragam jas dan gakuran ada sebuah wajah yang tak akan pernah kulupakan sampai saat aku mati.

Sama seperti ketika dia memperkenalkan dirinya waktu hari pertama sekolah dan menggumpalkan udara di dalam ruang kelas, dia punya rambut panjang sampai ke pinggang. Aku terpaku beberapa waktu, dan lalu aku mulai menghitung jariku untuk mengetahui hari apa minggu ini. Hari ini bukan harinya untuk menurunkan rambutnya, sepertinya Haruhi ini tidak tertarik untuk main-main dengan rambutnya.

Walaupun tidak senang aku menghalangi jalan, murid-murid Sekolah Kouyouen berjalan melewati sisi kiri dan kananku. Aku tak tahu apa yang mereka pikirkan tentang cowok yang berdiri seperti idiot di depan gerbang sekolah mereka, tapi mereka bisa berpikir sesuka mereka, dan aku juga tidak perlu khawatir tentang apa yang mereka pikirkan.

Aku tetap berdiri dan menatap gadis berseragam jas yang pelan-pelan mendekat.

Suzumiya Haruhi.

Aku akhirnya menemukanmu.



Aku tetap berdiri dan menatap gadis berseragam jas yang pelan-pelan mendekat.

Tak sadar aku tersenyum, karena bukan Haruhi saja yang kutemukan.

Berjalan di samping Haruhi dan ngobrol dengannya adalah cowok berseragam gakuran. Membawa senyum yang kutak pernah tahan melihatnya tiada lain tiada bukan adalah Koizumi Itsuki. Nah itu baru kejutan tambahan.

Jadi kedua orang ini sekarang jadi dekat sekali sampai-sampai mereka pulang bareng habis sekolah. Namun Haruhi tidak terlihat senang, ekspresinya sama seperti ketika pertama kali aku melihatnya waktu sekolah baru dimulai. Sekali-kali dia memberi jawaban singkat, dan lalu menoleh balik ke tarmac dengan sungut di wajahnya.

Dia gadis waktu itu. Sebelum dia bahkan berpikir untuk mendirikan Brigade SOS, kemanapun dia pergi di sekolah, dia membawa ekspresi suhu beladiri yang putus asa mencari lawan yang pantas supaya bisa menunjukan kehebatannya. Ekspresi itu memberi rasa nostalgia bagiku. Dia adalah Haruhi yang bosan dengan hidup harian yang biasa, dan kerja keras untuk menemukan kehebohan, namun tidak pernah sadar dia bisa memanifestasi apapun yang dia inginkan.

Gimanapun juga, selalu ada waktu buat mengenang masa lalu, tapi bukan sekarang. Kedua orang itu sepertinya tidak menyadariku sewaktu pelan-pelan mendekatiku.

Payah seperti kedengarannya, aku tak bisa menghentikan jantungku yang berdetak cepat. Kalau aku pergi ke dokter sekarang, ritme dua-ketukan dari dalam akan begitu keras sehingga si dokter harus melepas stetoskopnya. Cuacanya dingin beku tetapi aku berkeringat. Aku hanya berharap kaki gemetaranku hanya bagian dari imajinasiku saja, aku yakin aku tidak sepengecut itu.

......Mereka disini. Haruhi dan Koizumi sekarang tiba di depanku.

"Hei!"

Butuh banyak sekali usaha hanya untuk mengeluarkan suaraku.

Haruhi mengangkat kepalanya dan bertukar pandang denganku.

Kaki berstocking-penuh hitamnya lalu berhenti berjalan.

"Ada apa?"

Tatapannya sedingin freezer. Dia mengamati seluruh tubuhku dengan tatapan itu sebelum memalingkan matanya.

"Apa maumu denganku? Ga, aku seharusnya tanya, siapa kamu? Aku bukan macam orang yang ngebiarin siapapun ngomong 'Hei!' ke aku. Kalo pengen godain aku, pergi ke tempat lain, aku ga tertarik sama yang begituan."

Karena aku sudah menyiapkan mental, yang seperti itu tidak terlalu mengejutkan. Sudah terduga, Haruhi ini tidak mengenalku.

Koizumi berhenti juga dan melihatku dengan pandangan dingin. Dari expresinya, aku tidak yakin dia melihatku, apalagi tahu siapa aku.

Aku berputar dan berbicara pada Koizumi itu.

"Apa sekarang pertama kali kita bertemu?"

Koizumi mengangkat bahunya ringan dan berkata,

"Sepertinya begitu. Bolehkah saya bertanya siapa anda?"

"Apa kau murid pindahan di sekolah ini?"

"Saya pindah musim semi ini...... Bagaimana anda tahu saya murid pindahan?"

"Apa kau tahu sesuatu soal perkumpulan yang mereka namai sendiri sebagai 'Organisasi'?"

"'Organisasi'? Apa maksud anda?"

Senyum tanpa-cercanya adalah senyuman khas yang kukenal. Tapi pandangan dimatanya menghianati rasa waspada. Seperti Asahina-san, cowok ini tidak mengenalku.

"Haruhi,"

Wajah Haruhi berkedut dan memelototiku dengan mata hitam besarnya.

"Siapa yang ngasih kamu ijin buat manggil aku dengan nama depanku? Emang siapa kamu? Aku ga ingat minta ditemani orang cabul ato stalker. Pergi sana, kamu ngalangin."

"Suzumiya,"

"Kamu juga ga boleh manggil aku dengan nama belakangku. Ngomong-ngomong gimana caranya kamu tau namaku? Kamu dari SMP East ya? Kamu pasti dari SMA North, aku bisa tau dari seragam itu. Emang apa sih yang murid SMA North lakukan disini?"

Haruhi mendengus dan lalu berbalik.

"Jangan peduliin dia, Koizumi-kun. Anggap aja dia ga pernah ada. Ga perlu buang waktu buat orang ga sopan ini, lagian dia itu cuman idiot. Ayo pergi!"

Kok Haruhi pulang sama Koizumi abis sekolah? Jangan-jangan Koizumi ngambil alih peran gue di dunia ini? Walau pikiran itu melintas di benakku dalam sekejap, aku tidak berpikir larut tentang itu waktu itu.

"Tunggu!"

Aku menangkap pundak Haruhi sewaktu dia berputar menghindariku.

"Lepasin aku!"

Haruhi memutar lengannya dan mengayun-lepas tanganku. Wajahnya sekarang penuh amarah, tapi level galak segitu belum cukup untuk membuatku melepasnya sekarang, kalau tidak berjam-jam berdiri disini akan jadi tak berarti.

"Kamu ni bener-bener bikin jengkel!"

Haruhi membungkuk dan dengan elegant memberi tendangan rendah.

Rasa sakit keluar dari pergelangan kakiku, sakit sekali sampai-sampai aku mau mati lemas, walau tidak cukup untuk membuatku merangkak kesana-kemari di tanah. Setelah menemukan keseimbangan, aku berkata putus asa,

"Bilang padaku satu hal aja,"

Kukeluarkan ons terakhir dari keberanianku. Kalau yang ini tidak bisa juga, maka aku kehabisan ide. Ini harapan terakhirku -- lalu aku melempar pertanyaan ini,

"Kau ingat festival Tanabata tiga tahun lalu?"

Sewaktu dia mau pergi, Haruhi berhenti sekali lagi. Melihat rambut panjang hitamnya, aku melanjutkan,

"Di hari itu, kamu nyelinap ke sekolahmu dan menggambar sesuatu di lapangan sekolah dengan kapur putih."

"Terus kenapa?"

Haruhi berbalik dengan paras geram di wajahnya,

"Semua orang juga udah tau itu! Ngapain juga kamu ngomongin itu?"

Kupilih kata-kataku dengan hati-hati, mencoba untuk menyelesaikannya secepat yang kubisa.

"Kamu ga sendirian waktu nyelinap ke sekolah malam itu. Kamu dengan orang lain yang membawa Asahina...... Cewe kecil. Dengan dialah kamu menggambar polanya dengan kapur putih. Pola itu adalah pesan untuk Hikoboshi dan Orihime, yang kira-kira artinya 'Aku ada disini......'"

Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku.

Haruhi menggenggam kerahku dengan tangan kanannya dan menarikku. Ditarik dengan tenaga menakutkan, aku tak sengaja jatuh ke depan, dan mengantukkan keningku ke kepala Haruhi, yang mana sekeras batu.

"Auu!"

Aku melihatnya tanda protes, dan matanya juga melihat balik dengan kegarangannya. Tatapan tajam-menusuknya sekarang menembak langsung ke penglihatanku. Pandangan nostalgia, wajah gusar Haruhi juga sama nostalgianya.

Gadis itu melihatku dengan wajah bingung, nadinya hampir-hampir meledak sewaktu dia bertanya,

"Gimana caranya kamu tahu!? Siapa yang kasi tau!? Engga, aku ga pernah kasih tau orang lain. Waktu itu......"

Haruhi tiba-tiba berhenti, ekspresinya lalu berubah drastis sewaktu dia melihat seragamku,

"SMA North...... Mungkinkah......!? Siapa namamu?"

Aku kesulitan bernafas sewaktu dasiku digenggam erat olehnya. Dasar cewek liar. Tidak, sekarang bukan waktunya tenggelam dalam memori kekuatan hebat Haruhi. Nama gue? Apa gue kasi dia nama asli gue, yang dia ga pernah denger, atau gue kasi tau nickname bodoh yang semua orang udah terbiasa memanggilku dengan itu?

Apapun itu, tidak akan ada efeknya ke gadis di depanku ini. Aku merasa dia tidak pernah dengar kedua nama itu. Kalau begitu, hanya ada satu nama yang bisa kugunakan,

"John Smith,"

Walau aku coba mengatakan itu dengan tenang, susah ketika aku sedang diangkat keatas di leher. Loe liat ga sih kalo gue susah bernafas...... Ketika waktu aku berpikir itu, tekanan kuat di depan dadaku hilang seluruhnya.

"......John Smith?"

Haruhi melepas kerahku dan terpaku sewaktu tangannya diam di udara. Jarang aku melihatnya seperti itu. Suzumiya Haruhi terlihat seolah-olah rohnya diambil oleh malaikat maut, dan mulutnya terbuka lebar.

"Jadi itu kamu...... Kamu John Smith yang itu? Anak SMA aneh...... yang bantuin aku...... di SMP East......"

Haruhi tiba-tiba terpeleset. Rambut hitam panjangnya menutupi matanya, dan ketika dia mau jatuh, Koizumi menangkapnya tepat pada waktunya.

Mata rantai sudah tersambung.



Apa maksudnya 'bantuin aku'!? Di prakteknya sih loe nyuruh gue ngelakuin semuanya...... Tapi aku tidak akan membuang waktu berdebat dengannya. Cukup, gue akhirnya dapat petunjuk! Di dunia yang dirubah ini, ada satu orang, dan hanya orang itu, yang berbagi memori yang sama denganku.

Jadi emang elo toh.

Orang itu tiada lain tiada bukan adalah Suzumiya Haruhi.

Kalau Haruhi ini sudah melihatku tiga tahun lalu waktu Tanabata, maka dunia tiga tahun setelahnya ini bisa ditelusuri sampai ke titik waktu itu. Tidak semuanya "menghilang tanpa bekas". Waktu aku kembali ke tiga tahun lalu dengan Asahina-san, dan kembali ke masa kini dengan pertolongan kekuatan Nagato, bagian sejarah itu memang terjadi. Aku tidak tahu apa yang salah di prosesnya, tapi paling tidak tiga tahun lalu, dunia ini dunia yang sama dengan yang kutahu.

Apa sih yang salah? Kenapa cuman gue yang punya ingatan asli?

Kayaknya gue pikirin ini nanti sajalah.

Aku melihat Haruhi, yang rahangnya melebar seakan-akan dia sudah melihat salah satu keajaiban dunia, dan kuberkata padanya,

"Gue bakal jelasin semuanya. Loe punya waktu? Abisnya ceritanya panjang sih..."



Sewaktu kami bertiga berjalan beriringan, Haruhi berbicara,

"Aku ketemu John Smith dua kali. Ga lama setelah itu, pas aku lagi dijalan mau pulang, aku dengar seseorang berteriak di belakangku, apa yang dia teriakin ya...... Ah, ya! Sesuatu kayak, 'Tolong titip si John Smith yang bakalan mengguncang dunia!' Itu maksudnya apa sih ngomong-ngomong?"

Gue ga pernah ngomong begituan. Setelah memastikan Haruhi tidak kelihatan dari lapangan lari, aku pergi dan membangunkan Asahina-san dan buru-buru ke apartemen Nagato. Apa bisa ada John Smith lain? Tapi apaan sih yang diomongin sama John Smith itu?

Terdengar kayak dia nyoba ngasih beberapa petunjuk buat Haruhi.

"Apa John itu John yang sama dengan yang loe liat di SMP East?"

"Dia terlalu jauh, terus gelap lagi waktu itu. Aku ga begitu ingat wajah mereka. Tapi suaranya memang kayak kamu, dan dia emang pake seragam SMA North."

Masalahnya makin lama makin rumit. Tepat ketika aku berpikir kalau semua mata rantai sudah terhubung, detailnya tidak pas.

Kami mencari kafe terdekat dan masuk ke dalam. Tadinya aku pengin ke kafe yang biasanya Brigade SOS gunakan untuk rapat, karena sekarang memang reuni Brigade SOS. Tapi terlalu jauh dari tempat kita sekarang.

"Elo yang lain yang gue tau belajar di SMA North, dan di hari pertama sekolah, dia ngomong......"

Bahkan sebelum pesanan kami datang, aku langsung memulai ceritaku. Sebelum cafe au lait mendingin dibatas kau bisa tegak semuanya disatu tegukan, aku sudah menceritakan versi ringkas dari semua yang telah terjadi selama ini, tanpa ragu-ragu. Hal-hal seperti alien, penjelajah waktu, dan esper berkumpul bersama di Brigade SOS dan ruang klub kami ruang kepunyaan Klub Sastra.

Terutama aku menceritakan secara detail kepadanya soal petualangan menjelajah waktu saat Tanabata, yang kukira bagian paling penting.

Aku memberi Haruhi gambaran umum bagaimana dia berpotensial sebagai tuhan, distorsi temporal, dan kemungkinan berevolusi, yang mana tidak ada dari teori-teori tersebut yang terkonfirmasi. Aku hanya menceritakan kepadanya bahwa dia punya kekuatan hebat tersembunyi di dalam, dan bagaimana kekuatan tak-dikenali ini bisa merubah dunia.

Hanya dengan ini bisa membuat gadis itu tertarik. Terus-menerus dia berpikir keras, dan akhirnya berkata,

"Kamu kok bisa baca tulisan alien yang aku bikin? Emang bener simbol-simbol itu artinya 'Aku ada disini, datang carilah aku'."

"Seseorang nerjemahin itu ke gue,"

"Maksudmu alien itu?"

"Lebih tepatnya, Antarmuka Manusia Buatan Hidup yang dibuat oleh para alien untuk berinteraksi dengan manusia; Gue ingat gitu dia nganggapnya."

Kuceritakan semuanya tentang Nagato Yuki. Dilihat sekilas dia terlihat seperti hadiah ekstra dari Klub Sastra untuk Brigade SOS, tapi sebenarnya dia itu hanya pura-pura saja jadi kutu-buku pendiam yang kurang berekspresi. Lalu aku cerita soal Asahina-san. Maskot seri-cosplay, juga petugas humas dan nona-teh eksklusif untuk Brigade SOS yang ternyata penjelajah waktu dari masa depan. Dengan dialah aku menjelajah ke masa lalu ke Tanabata tiga tahun lalu, dan berkat Nagato lah kami bisa kembali.

"Berarti John itu kamu, kan? Ya udah aku percaya, toh ga ada hal jelek bakal muncul dari itu. Jadi kamu terlibat dengan perjalanan waktu terus......"

Haruhi melihatku dengan mata untuk memeriksa penjelajah waktu dan menganggukkan kepalanya.

Apa loe ga terlalu percaya? Gue ga pernah tau loe bisa gampang banget percaya sama orang lain. Waktu itu pas cuman kita berdua muter-muter kota nyari hal misterius, loe nganggap cerita gue kayak sampah pas gue ceritain ke elo di kafe itu.

"Aku yang lain itu idiot, tapi aku percaya sama kamu,"

Haruhi condong ke depan dan menambahkan,

"Abisnya percaya lebih asik sih!"

Aku mengenal senyum sangat cemerlang ini yang mana seperti ratusan bunga bermekaran. Ini adalah senyum yang Haruhi punya waktu aku melihat dia tersenyum pertama kali. Senyum itu adalah senyum jutaan watt yang dia punya ketika dia tiba-tiba berpikir untuk membentuk Brigade SOS saat pelajaran bahasa inggris.

"Sejak saat itu, aku pergi dan menyelidiki semua orang dari SMA North. Aku bahkan nyusup ke sana kadang-kadang, tapi aku ga pernah liat ada orang yang mirip John. Waktu itu aku marah pada diriku sendiri karena ga nginget jelas wajahnya. Tapi jelas sekarang, karena kamu bahkan belum masuk ke SMA High tiga tahun lalu......"

Ada dua versi gue waktu itu, yang satu gue yang hidup jadi anak SMP santai, yang lain gue yang dibekuin waktunya dengan Asahina-san di dalam kamar tamu Nagato.

Mungkin gue angkat aja masalah si anak ajaib ini,

"Di dunia itu Koizumi itu esper. Loe banyak banget bantu gue, tapi loe juga ngasih gue banyak masalah,"

"Kalau memang benar, maka itu hebat sekali,"

Meminum tehnya dengan elegan, kata Koizumi dengan muka setengah-curiga.

Aku beralih ke Haruhi sekali lagi,

"Kenapa loe ga masuk SMA North?"

"Ga ada alasan khusus, beneran. Aku tertarik sama SMA North karena kejadian waktu Tanabata itu. Tapi pas gue masuk SMA, John pasti udah lulus, belum lagi aku ga bisa nemu dia sebelumnya. Lagian, Kouyouen punya angka masuk universitas lebih tinggi, dan wali kelasku waktu SMP dulu ganggu aku terus buat daftar kesana, jadi aku cuman nurut biar bikin dia tutup mulut. Sebenarnya sih ga ada masalah SMA mana aku masuk, beneran."

Kuputuskan untuk bertanya pada Koizumi juga.

"Kalo loe gimana? Kenapa pindah kesini?"

"Anda tanya saya kenapa, yah, jawaban saya kira-kira sama dengan jawaban Suzumiya-san. Saya hanya pergi kemana kemampuan akademis saya membimbingku. Lagipula, nah bukannya saya bilang akademis SMA North itu buruk si setiap sisi, tapi Kouyouen lebih baik dalam hal fasilitas sekolah."

Benar juga, SMA North bahkan ga punya AC.

Haruhi mendesah dan berkata,

"Brigade SOS, ya? ......Sepertinya menarik,"

Semua berkat elo.

"Bila semua yang anda katakan itu benar,"

Yang memotong adalah Koizumi, dia sekarang merendahkan senyum seringainya dan berkata dengan paras terpikat,

"Menilai dari cerita anda, ada dua kemungkinan,"

Nah itu baru kedengaran kayak Koizumi.

"Yang pertama adalah anda sudah masuk dunia paralel, yang mana anda datang dari dunia anda ke dunia ini; yang kedua adalah seluruh dunia sudah dirubah kecuali anda sendiri."

Gue juga mikir kayak gitu.

"Akan tetapi, apapun dari keduanya, tetap ada satu pertanyaan untuk dijawab. Kalau yang pertama, maka kemana dirimu di dunia ini pergi? Kalau yang terakhir, sangat memusingkan bahwa kenapa hanya anda yang tidak berubah. Kecuali kalau anda ternyata mempunyai kekuatan luar biasa, maka itu sudah banyak menjelaskan."

Gue ga punya, dan yang ini gue bisa jamin.

Koizumi membuat sikap khas-bikin-gemasnya dengan mengangkat bahunya dengan anggun dan melanjutkan,

"Kalau anda masuk ke dunia paralel, maka anda harus mencari cara untuk kembali ke dunia dimana anda berasal. Kalau dunia yang dirubah, maka anda harus mencari cara untuk memulihkan dunia ke bentuk aslinya. Apapun kemungkinannya, untuk memecahkan masalah ini, anda harus mencari pelaku dibalik semua ini, karena memang ada kemungkinan si pelaku tahu bagaimana mengembalikan semuanya ke semula."

Emang siapa lagi selain Haruhi?

"Siapa yang tahu? Mungkin penyerbu dari dunia lain menggunakan Bumi sebagai alat main game. Bahkan mungkin juga ada beberapa dalang kejahatan yang akan muncul di masa yang akan datang."

Aku bisa langsung tahu kalau dia mengarang semua itu sewaktu dia bercerita, karena jelas sekali dari nada suaranya kalau Koizumi hanya ngomong kosong. Namun Haruhi tidak menyadarinya sama sekali, dan matanya bahkan kelap-kelip saat dia berkata,

"Aku pengen banget ketemu sama Nagato-san dan Asahina-san ini. Oh iya, aku juga pengen lihat ruang klubnya. Kalo emang bener aku yang ngerubah dunia, mungkin kita bisa ingat sesuatu kalo kita ketemuan. Kamu setuju kan, John?"

Yup, itu benar. Gue ga punya alasan buat keberatan. Kalo cewek ini di belakang semuanya -- atau paling engga itu yang gue kira -- maka mungkin akan memicu sesuatu di dalamnya, dan bahkan Nagato dan Asahina-san bisa aja nginget gue. Waktu alien dan penjelajah waktu balik ke semula, sisanya bisa gampang dipecahkan. Tunggu bentar, apa barusan dia manggil gue John?

"Kamu bilang namamu Kyon, kan? John lebih enak kedengarannya, abisnya lebih kedengaran kayak nama orang, belum lagi itu kan nama umum Barat. Emang siapa sih yang ngasi panggilan Kyon? Kayaknya orang itu ga hormat banget sama kamu."

Bibi gue yang ngasi panggilan itu, sementara adik gue yang bertanggungjawab nyebarin itu jauh dan luas. Meskipun begitu, aku merasa nyaman Suzumiya ini mengeluh soal itu. Entah kenapa, karena tak terlalu lama semenjak aku terakhir mendengar panggilan itu.

"Kalo gitu, yuk pergi."

Aku mungkin akan mencoba bertanya,

"Sekarang? Kemana?"

Haruhi sudah berdiri dan teriak dengan sombongnya kepadaku,

"Ke SMA North lah, tentu aja!"

Dalam satu kedipan mata, Haruhi, yang tidak tahan menunggu pintu otomatis untuk terbuka, sudah lari keluar dari kafe.

Yang begitu Haruhi banget dia ngelakuin itu, aku lega sekali melihatnya.

Haruhi, loe ini hebat banget. Waktu loe mikir sesuatu, loe selalu langsung beraksi kurang dari dua detik. Yang seperti itu benar-benar elo. Setiap kali elo ngegebrak pintu ruang klub dengan sikap riang gembira, kami tahu loe punya ide hebat buat diumumkan. Nagato kayaknya hanya orang yang bakal tetap tenang......

"Oh sial!"

Aku melihat jamku. Sudah jauh lewat jam sekolah. Aku benar-benar lupa soal janji yang kubuat waktu aku berada di apartemen Nagato kemarin. Aku berkata aku akan datang ke ruang klub besoknya, dan sekarang aku telat. Bayangan mengambang di kepalaku ada Nagato yang terlihat depresi sewaktu dia mati-matian menunggu seseorang untuk mengetuk pintu. Tolong tunggu bentar lagi. Gue bentar lagi jalan.

Koizumi mengambil bon yang Haruhi tinggalkan dan berkata,

"Jadi saya hanya bayar untuk Suzumiya-san saja?"

Kalo loe bayar buat gue juga, gue bakalan cerita lebih banyak.

"Kalau begitu, telingaku sudah siap,"

Aku hanya menceritakan kembali apa yang si anak esper ini pernah ceritakan padaku. Cerita tentang asas antropis, atau bagaimana Haruhi itu tuhan, dan juga bagaimana dia berusaha keras mementaskan misteri pembunuhan di pulau terpencil supaya Haruhi tetap terhibur.

Melihat Koizumi berpikir keras, aku bertanya padanya,

"Haruhi itu pelakunya atau sama sekali orang laen? Yang mana menurut loe bener?"

"Kalau Suzumiya-san yang anda katakan memang menyimpan kekuatan mahakuasa, maka memang ada kemungkinan kalau itu perbuatannya,"

Yah, gue sih ga bisa mikir orang laen. Tapi, kalo emang gitu, berarti Haruhi bikin Koizumi di sisinya sementara nyingkirin Nagato, Asahina-san dan gue. Gue ga pengen kedengaran kayak lagi ngeluh, tapi gue ga percaya Haruhi lebih terobsesi ke Koizumi daripada kami semua. Apa ini bagian dari kekuatan tak-sadar Haruhi juga?

"Bukankah itu berarti saya seharusnya merasa terhormat menjadi yang terpilih oleh Suzumiya-san?"

Koizumi tertawa cekikikan dan melanjutkan,

"Lagipula, saya...... Ya, saya naksir Suzumiya-san,"

"......Loe serius!?"

Becanda loe ya!?

"Saya pikir dia orang yang menawan,"

Nah dimana ya gue pernah dengar itu? Koizumi terus berbicara dengan nada serius,

"Namun, Suzumiya-san hanya tertarik dengan atribut luarku saja. Dia berkata bahwa hanya karena saya murid pindahan lah dia mau susah-susah bicara dengan saya. Dan karena saya hanya murid pindahan biasa, dia sepertinya sudah bosan dengan itu akhir-akhir ini. Di Brigade SOS yang anda sebutkan, atribut khusus macam apa yang anda miliki? Kalau tidak ada, maka itu berarti Suzumiya-san sangat sayang denganmu, itu kalau Suzumiya-san itu sama dengan Suzumiya-san yang kukenal,"

Kapanpun itu, kurasa gue ga pernah nulis di CV gue skill apa aja yang bakal bikin gue langsung dikirim ke RSJ, selain skill yang ga ada gunanya banget yang bikin gue ga sadar ketarik ke kejadian-kejadian misterius.

Haruhi menyempilkan kepalanya melalui pintu dan berteriak kepada kami dengan senyum ceria di wajahnya,

"Ngapain kalian berdua masih disana? Cepetan woi!"

Sementara Koizumi menunggu di kasir demi pelayan menghitung kembaliannya, kuambil langkah pertama dari kafe penuh-kehangatan kembali keluar yang dingin dimana satu nafas bisa terlihat.

Sebuah taksi menunggu diluar pintu masuk kafe. Tampaknya Haruhi yang memanggil. Sepertinya dia ingin sampai ke SMA North sesegera mungkin. Omong-omong, taksi ini bukan taksi hitam misterius yang Koizumi dan aku kadang-kadang naiki, tapi sebuah taksi kuning biasa.

"Ke SMA North, kecepatan penuh!"

Haruhi memerintah si supir saat dia melompat ke dalam taksi. Aku mengikuti dengan Koizumi dan duduk di jok belakang. Supir paruh-baya itu tidak mengerenyit disuruh-suruh oleh gadis kecil, tapi hanya tersenyum kepaksa dan menginjak pedal gas.

"Gue sih ga keberatan kalo loe nerobos masuk SMA North," Kataku ke sisi muka Haruhi, "Tapi seragam loe terlalu mencolok. Anak dari sekolah lain butuh alasan buat masuk, atau jadi repot ntar kalau guru tau."

Haruhi memakai seragam jas hitamnya, sementara Koizumi memakai seragam gakuran. Tak banyak murid berkeliaran di sore hari karena sekolah setengah hari, tapi kalau mereka masuk ke wilayah seragam sailor dan ada anak berseragam jas biru laut seperti itu, mereka akan menyatakan secara terbuka bahwa mereka dari sekolah lain.

"Yah, itu......"

Haruhi berpikir tiga detik, lalu berkata,

"John, hari ini kamu ada pelajaran olahraga? Engga, ga masalah sih kalo emang ga ada. Seragam olahraga kamu ditaro di ruang kelas, kan?"

Yah, gue main bola pas pelajaran olahraga di jam pertama.

"Kalo gitu, kamu bawa seragam olahraga dan baju lari?"

Iya, tapi kenapa tanya segala?

Haruhi tersenyum penuh teka-teki,

"Aku bakalan bilang ke kalian rencanaku buat misi ini. John, Koizumi-kun, pinjem telinga kalian."

Emang masalah kalo supir taksinya denger semuanya? Namun kami tetap patuh condong kedepan dan mendengarkan sewaktu Haruhi membisikkan uraian singkat misinya.

"Emang kedengeran kayak apa yang bakal loe lakuin,"

Jawabku, dan melirik Koizumi, yang memberi paras rumit sewaktu dia meringis.



Aku yang pertama keluar taksi di dekat SMA North dan kembali ke ruang kelasku untuk menyiapkan penyusupan Haruhi ke SMA North.

Omong-omong, biaya taksi juga dibayar sama Koizumi. Si Koizumi ini cuman jadi dompet berjalan Haruhi aja. Gue ga tahu apa yang orang malang itu lakuin ke si Haruhi sehingga pantas dapetinnya. Apa karena perasaannya ke Haruhi itu romantis? Gue pengen banget nanya ke dia emang dia itu naksir apanya sih dari Haruhi. Tapi gue ingat Taniguchi pernah sekali ngomong kalo walau eksentrik, si Haruhi lumayan populer sama cowok-cowok di SMP. Ga ngejutin; kalau dia ga bikin Brigade SOS di sekolah ini, maka dia bakalan sibuk ngelak setiap pria yang ngejar-ngejar dia tak pandang bulu. Apa itu maksudnya Brigade SOS itu sebenarnya tempat berlindung Haruhi? Dengan jadi bos dari klub misterius, cowok waras bakalan otomatis ngehindarin dia kayak seorang batter ngelak dari pitch kuat. Daripada distrike-out tiga kali dan kena bola di kepala, kebanyakan orang lebih suka ngehindarin semua bola dan santai pas jalan ke base pertama.

Itu yang kupikir sewaktu menuju lantai paling atas.

Tidak terlalu banyak orang di komplek sekolah, tapi tidak terlalu kosong juga. Murid-murid yang memutuskan tinggal untuk aktivitas klub mereka karena mereka tak punya kerjaan lain di rumah tersebar di sana-sini. Untungnya, ruang kelas 1-5 kosong. Sebenarnya aku takut ketangkap sama Okabe-sensei. Kalau aku dia, aku kepengin tahu kenapa orang yang pulang duluan mau kembali sembunyi-sembunyi ke ruang kelas.

Ada seseorang yang membantu merapikan bangkuku, kutebak itu mungkin Asakura. Aku bertanya-tanya kemana buku dan alat tulisku, ternyata mereka semua disingkirkan. Hanya tasku yang tergantung di sisi bangkuku, sementara sepatu kulit yang kucari tergantung di sisi lainnya.

"Dia emang udah mikirin semuanya."

Aku mendesah pada kecermatan Haruhi sewaktu kukeluarkan kantung berisi seragam olahragaku. Di dalam tas olahraga ada kaos olahraga berlengan pendek, satu celana pendek, jaket training dan satu celana panjang, semuanya dipakai saat pelajaran olahraga di jam pertama. Rencana infiltrasi yang Haruhi pikirkan di taksi jelas sekali "menyamar jadi murid SMA North". "Koizumi-kun pake baju olahraga kamu, dan aku pake jaket dan celana panjangnya. Terus kita hanya lari nembus gerbang depan, semua orang bakalan cuma mikir kita ini dari Klub Atletik dan baru selesai jogging. Rencana ini sempurna."

Dengan kata lain, seperti serangga, kita harus belajar bagaimana berkamuflase. Paling engga lebih baik lah daripada nyegat cowok atau cewek yang mau pulang dari SMA North dan maksa mereka buka baju.

"Yah, itu bukan ide buruk juga sih,"

Kata Haruhi acuh-tak-acuh sewaktu dia berdiri di sudut yang cukup jauh dari gerbang sekolah waktu menungguku.

"Lebih kecil kemungkinannya kan kalau kita pake baju kayak kamu. Kenapa kamu ga bilang ide lebih bagus ini dari tadi?"

Itu kan namanya ngerampok! Kok bisa-bisanya loe berharap gue ngelakuin itu?

Haruhi melepas simpul di kantungku dan tanpa belas kasihan membuatnya terbalik, mengosongkan isinya. Empat potong baju sekarang tergeletak di jalanan beton sebagai hasilnya.

"Apakah anda sudah mencucinya?"

Seminggu lalu kayaknya.

"Permisi, Suzumiya-san,"

Koizumi melihat seragam olahraga berlumutku, seperti tikus gurun yang putus asa menatap harimau Mongolia yang disudutkan ke pojokan buntu, dan bekata,

"Jadi dimanakah kita ganti pakaian? Apa ada tempat tersembunyi di sekitar sini?"

"Kita bisa ganti disini,"

Balas Haruhi dengan tangkas, dan langsung mengambil celana panjangnya.

"Ga terlalu banyak orang disini, dan ga terlalu dingin kalau kamu ganti cepat-cepat. Jangan kuatir, aku akan balik badan. John, kamu balik badan juga, kita lindungi dia,"

Dia melirikku sekilas. Apa maksudnya tuh?

"Aku ga keberatan ditontonin,"

Dia tersenyum nakal, lalu langsung memakai celana panjangnya di dalam roknya.

"Aku ga pernah tau kamu punya kaki panjang."

Dia berlutut untuk melipat celana kepanjangan itu, setelah mengepas panjangnya, dia lalu berdiri dan melepas roknya.

Roknya hanya meluncur dari pinggangnya. Dia lalu melepas jaket hitamnya. Sewaktu dia mulai membuka kancing blusnya, cepat-cepat kupalingkan badan ke samping.

"Ga masalah kok. Lagian aku pake kaos dalem."

Blusnya jatuh diatas jaket dan roknya. Pelan-pelan kupalingkan pandanganku kembali. Mengenakan kaos oblong berlengan pendek dan celana panjang olahraga, Haruhi berdiri bangga sementara rambut panjangnya berkibar oleh angin. Saat kupandang dia seperti itu, tiba-tiba aku punya keinginan untuk melihat pemandangan khas itu sekali lagi.

"Hei, apa loe mau ngiket rambutmu jadi kuncir kuda?"

Haruhi melihat balik kepadaku,

"Buat apa?"

Ya ga papa sih, cuman gue suka aja.

Haruhi mendengus santai,

"Ngiket kuncir kuda mungkin kliatan gampang, tapi ngiket kuncir kuda yang baik dan benar lebih gampang diomongin daripada dilakuin!"

Meskipun begitu, dari jaketnya di tanah, Haruhi mengambil karet gelang dan dengan elegan mengikat rambut hitam panjangnya di belakang kepalanya.

Meskipun begitu, dari jaketnya di tanah, Haruhi mengambil karet gelang dan dengan elegan mengikat rambut hitam panjangnya di belakang kepalanya.

"Ga jelek juga. Sekarang aku kayak orang dari Klub Atletik. Jadi menurutmu ini OK?"

Bagus banget menurut gue. Menurut gue, pesonanya naik paling engga 36%.

"Brengsek."

Sewaktu aku berpikir bagaimana seharusnya bereaksi, aku sadar kalau dia hanya pura-pura marah. Seharusnya aku lebih tahu.

Walau memakan waktu lebih lama, Koizumi pun selesai ganti baju. Kasihan juga Koizumi memakai kaos lengan-pendek dan celana pendek di cuaca membeku ini. Belum lagi dia harus pakai baju orang lain, jadi mesti merasa extra ganjil. Menggigil sampai tegak bulu romanya, Koizumi bertanya,

"Suzumiya-san, anda tidak akan memakai jaketnya, kan? Bolehkah saya meminjamnya?"

Haruhi juga memakai baju lengan-pendek, namun dia menampilkan senyum yang cukup untuk menolak dingin dan berkata,

"Ga boleh. Aku perlu jaket itu buat nutupin tasku. Aku udah jauh-jauh kesini nyamar kayak gini, aku ga bakalan bikin satu tas ngerusak semuanya."

Memang, tas sekolah untuk Sekolah Kouyouen dan SMA North sedikit berbeda di desain eksteriornya. Haruhi menghamparkan jaket training seperti taplak meja dan membungkus tas dia dan Koizumi, dan lalu menyuruhku membawanya. Dia lalu menjejali semua bajunya dan Koizumi ke kantungku, dan memintaku membawanya juga.

"Nah sekarang,"

Haruhi bertolak pinggang dan berkata,

"Sekarang kita keliatan kayak abis balik dari latihan maraton. Lumayan, kan?"

Elo yang lumayan, tentu aja, tapi gimana dengan gue? Dimana loe bisa nemu anggota Klub Atletik bawa banyak barang sambil latihan maraton pake baju seragam biasa disaat bersamaan?

"Yah, kau pikir aja dirimu itu manajer Klub Atletik! Dan sekarang! Tu, wa, fight! Tu, wa, fight!"

Sewaktu cewek kuncir kuda lari, aku bertukar pandang dengan Koizumi. Lalu, kami mengangkat bahu kami bersamaan sewaktu kami mengikutinya.

Koizumi ini dan aku tahu betul kalau amat sulit untuk menyetop Haruhi berlari, dalam keadaan apapun. Jadi selain berlari mengikutinya, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan.

Emang selalu kayak gini, kan?

Aku tidak tahu itu bagus atau tidak, tapi tidak seperti Kouyouen, gerbang SMA North selalu terbuka. Penjaga tidak ditemukan dimanapun. Semuanya sesuai rencana; lari maraton palsu Haruhi sambil berteriak slogan-slogan berakhir cepat saat kami sampai dengan selamat di tujuan kami, aula depan. Aku tak pernah tahu bakalan repot hanya dengan membawa Haruhi dan Koizumi masuk ke sekolahku; mereka tadinya masih masuk dan keluar dari tempat ini secara rutin tiga hari lalu.

"Bangunan tua kayak gini! Kenapa dindingnya prefab? Apa sekolah negeri itu miskin banget? Aku benar ga daftar ke sini."

Aku mendengar pernyataan sangat benarnya selagi memalingkan pandanganku dari barisan loker sepatu. Aku sudah ganti sepatu jadi sepatu indoor. Tepat ketika aku berpikir apakah ada sandal untuk tamu, Haruhi dengan santainya sudah membuka loker terdekat dengannya dan sedang mengangkat beberapa sepatu entah punya murid siapa.

Haruhi banget kayak gitu. Dengan sendirinya aku membuat senyuman aneh.

"Ngapain senyum-senyum? Kamu keliatan bego. Aku ga berbuat sesuatu yang lucu."

Setelah dia berkata seperti itu, cepat-cepat kuhilangkan senyumku. Dia benar: apapun hukum yang Haruhi akan langgar, sekarang bukan waktunya untuk tersenyum.

Aku berpikir mungkin ukuran kaki Taniguchi kira-kira sama dengan Koizumi, jadi aku pergi dan mengambil sepatu Taniguchi dan memberinya kepadanya.

"Maaf sudah merepotkan."

Dengan nada yang tidak terdengar menyesal, Koizumi dengan sopan berterimakasih kepadaku dan memakai sepatunya. Kumasukan sneaker yang dia pakai ke loker Taniguchi.

Lalu aku mengambil tas mereka, yang terbungkus dengan jaket, dan membawanya lagi di bawah lenganku.

"Gue tunjukin jalannya, ikut gue."

"Tunggu!"

Sewaktu aku mau jalan, Haruhi menyetopku. Tanpa sadar dia memain-mainkan kuncir kudanya dengan jarinya dan berkata,

"Si alien itu Nagato-san, dia ada di Klub Sastra, kan?"

Lebih tepatnya, Nagato yang sekarang itu gadis SMA biasa yang tadinya alien. Apapun itu, gue tebak dia masih nunggu gue datang sekarang.

"Nagato-san itu paling ga bakalan kemana-mana. Kita jemput si penjelajah waktu Asahina-san itu aja. Dimana dia sekarang?"

Mungkin dah pulang...... Tiba-tiba sebuah pikiran datang ke benakku. Naluriku bukan hanya untuk pamer, aku bahkan tidak perlu menelusuri ingatanku. Aku bisa bilang dengan penuh percaya diri bahwa Asahina-san ini yang tidak mengenalku waktu itu bawa peralatan kaligrafi. Sebelum dia diseret ke Brigade SOS, dia anggota Klub Kaligrafi. Berarti dia masih di sekolah sekarang.

"Oke kalo gitu, lewat sini."

Sori, Nagato. Tunggu bentar lagi ya. Kami harus pergi ke Klub Kaligrafi sebelum datang ke tempatmu. Diam-diam berdoa Klub Kaligrafi kumpul hari ini, tanpa sadar kutingkatkan kecepatanku.



Yang membuka pintu masuk ruang klub adalah Haruhi. Cewek itu memang benar-benar tak punya konsep etiket mengetok pintu. Aku lagi tidak punya mood menceramahi detail kecil ke dia, sementara Koizumi berdiri dengan tak nyaman di koridor.

Ada tiga cewek di ruang Klub Kaligrafi; sepertinya mereka berlatih menulis kaligrafi untuk salam tahun baru.

"Siapa yang namanya Asahina-san?"

"......Bisa saya bantu?"

Yang terkecil dari tiga gadis melebarkan matanya dan berkata dengan suara malu-malu yang keluar dari bibir merah cerinya.

"Apa yang......"

Asahina-san sedang duduk dengan elegan di kursi, mengangkat kuasnya di udara.

Aku condong melalui pundak Haruhi dan memeriksa ruangan. Tsuruya-san ga ada disini. Kuhembuskan desah lega. Aku ingat kalau dia bukan anggota Klub Kaligrafi.

Haruhi berbisik di telingaku,

"Itu dia, kan? Dia benar-benar anak SMA kelas dua? Kok keliatannya dia kayak murid SMP."

"Tadinya gue juga pikir dia itu murid SMP. Tapi loe benar, dia Asahina-san."

Setelah mendengar itu, Haruhi melangkah lebar dan mulai ngebullshit ke malaikat kecil ini, yang sudah kaku-tegang sambil memegang kuasnya,

"Aku Suzumiya dari Seksi Informasi OSIS. Asahina-san, alasan kedatanganku kemari karena ada sesuatu yang ingin aku tanyakan. Punya waktu sebentar?"

Seharusnya loe bikin bohong yang lebih bagus lagi, apalagi pas loe dandan dengan kaos lengan-pendek dan celana training!

Asahina-san mengedipkan matanya tanpa henti dan berkata gugup,

"Seksi Informasi...... OSIS? Apa itu...... Tapi saya ga tau apa-apa,"

"Ga masalah, pokoknya ikut aku!"

Haruhi merebut kuasnya dan melemparnya ke sisi kertas, lalu menggenggam lengan Asahina-san dan memaksanya untuk berdiri. Anggota klub lainnya terlalu terpaku dan ketakutan untuk mengatakan sesuatu apapun. Kalau Tsuruya-san ada di sini, mungkin aku bisa melihat kejadian yang menarik, perkelahian dari-dunia-lain antara dia dan Haruhi. Haruhi melingkarkan lengannya di pinggang Asahina-san dan sungguh-sungguh menculiknya tanpa ada penjelasan apapun.

"Susumu...... Gede banget. Hmm, kamu makhluk langka. Aku suka itu!"

Kata Haruhi riang sewaktu dia meraba-raba payudara senior dari sekolah lain.

"Kyaa! Wah! A... Ap... Eh!?"

Menyadari aku berdiri di pintu, mata Asahina-san bertambah lebar. Dia mungkin berpikir, itu kan orang cabul waktu itu! Asahina-san terlihat takut juga pada Koizumi, yang berdiri satu kaki supaya tetap hangat saat dia mulai membeku selagi berdiri di koridor. Koizumi melihat Asahina-san seperti melihat orang asing dan berkata,

"Saya bukan orang jahat, benaran."

Berhenti napa coba-coba berlagak ga terlibat. Apalagi pas kamu berpakaian kayak gitu, Koizumi. Ga bakalan bisa.

Seperti ibu yang mencoba menghentikan anaknya melarikan diri setelah diberitahu kalau dia harus pergi ke dokter gigi, Haruhi membawa Asahina-san yang meronta dan berkata,

"Hei, John, tinggal Nagato-san nih. Cepetan bawa aku ke dia."

Ga perlu dikasih tau.

Lagipula, aku harus buru-buru kesana sebelum murid atau guru bermata-tajam yang tahu aku bolos pelajaran menemukanku.

Lokasinya terletak di lantai tiga di komplek yang dikenal sebagai Gubuk Tua, markas Brigade SOS, yang secara resmi dikenal sebagai ruang Klub Sastra.



Kali ini aku mengetuk pintu sebelum membukanya.

"Hei, Nagato."

Si gadis berkacamata mengangkat pandangannya dari buku perpus bersampul tebal di meja,

"Ah......"

Melihat itu aku, Nagato menghembuskan desah lega,

"Eh?"

Waktu dia melihat Haruhi mengikuti aku masuk, matanya membesar,

"......Eh?"

Melihat Asahina-san sedang dibawa masuk oleh Haruhi, dia membuka rahangnya,

"......"

Sewaktu dia melihat Koizumi terakhir masuk, dia termangu.

"Halo,"

Haruhi tersenyum cerah. Setelah memastikan semua orang berkumpul di ruangan, dia pergi mengunci pintu. Ceklek! Mendengar suara ini, Nagato dan Asahina-san mengeluarkan reaksi yang sama -- badan mereka kaku ketakutan.

"A... Apa yang kamu lakukan?"

Persis seperti waktu itu, Asahina-san hampir menangis.

"Di... Dimana tempat ini? Kenapa kamu bawa saya ke sini? Dan, ke... kenapa kamu ngunci pintu? Apa yang mau kamu lakukan ke saya?"

Responnya benar-benar mirip, bahkan aku tersentuh ingin meneteskan air mata oleh rasa nostalgia ini.

"Diem!"

Seperti waktu itu, Haruhi membuat situasi dipaksa terkendali, lalu dia memeriksa seluruh ruangan.

"Jadi cewek mata-empat itu Nagato-san? Halo! Aku Suzumiya Haruhi! Yang pake seragam olahraga itu Koizumi-kun; terus cewek mungil dengan susu luar biasa gede ini Asahina-san. Kalo cowok ini, kamu seharusnya dah tau, kan? Dia John Smith!"

"John Smith...?"

Nagato terlihat tercengang sewaktu dia menekan lingkaran kacamatanya dan melihatku tak percaya. Aku mengangkat bahuku dan menerima nama bodoh ini. Toh Kyon dan John keduanya terdengar bodoh.

"Jadi... ini toh Brigade SOS, ya? Ga ada macem-macem disini, tapi ruangannya ga jelek juga. Bakal asik bawa barang ke sini."

Seperti kucing penasaran ketika baru dibawa ke tempat tinggal baru, Haruhi keliling-keliling di sekitar ruangan, melihat keluar jendela, mengamati buku-buku di lemari buku terlihat tertarik, dan lalu dia berkata padaku,

"Terus, apa yang kita lakukan selanjutnya ya?"

Jangan bilang ke gue kalo elo ga mikir itu sebelum mutusin datang kemari? Duh ampun, cara mikir Haruhi banget yang kayak gitu.

"Aku lagi bikin ruangan ini jadi markas kita, tapi susah kesininya. Bakalan ngabisin waktu kalo datang kesini tiap abis sekolah. Aku ga punya koneksi sama siapapun dari SMA North. Oh iya, kenapa kita ga janjian ketemuan di kafe di depan stasiun aja?"

Setelah mengatakan ini, tidak ada selain aku dan cewek yang ngomong itu tahu apa yang sedang terjadi.

Nagato terlihat seperti boneka dengan paras khawatir; Asahina-san bertingkah aneh sewaktu dia gemetaran; sementara Koizumi memulai aksi pantomimnya.

Gue harus ngomong sesuatu, namun, sebelum aku bisa berbicara...


Ding!


Tiba-tiba, komputer yang tak disentuh siapapun mengeluarkan bunyi elektronik. Nagato reflek menolehkan kepalanya.

"Hah?"

Asahina-san harus mengangkat pinggulnya supaya bisa melihat apa yang terjadi. Seluruh pengetahuanku tentang bagaimana mesin ini bekerja sudah tesedot habis oleh komputer aneh ini.

Layar tabung sinar katoda kuno mengeluarkan suara statis, dan sedikit-demi-sedikit bersinar -- aku hanya tahu itu dari pantulan kacamata Nagato.

Seharusnya suara hardisk berputar juga keluar, namun tidak ada suara yang terdengar. Aku pernah melihat kejadian ini sebelumnya... Tidak, aku ingat waktu itu aku harus menghidupkan komputernya dulu... Gambar OS tidak muncul, malahan layar monitor menampilkan tampilan aneh yang sangat kukenal...

"Coba gue liat,"

Badanku bergerak dengan sendirinya. Aku mendorong Haruhi kesamping dan lari ke depan layar.

Tanpa suara, tertampil di layar abu-abu tua adalah beberapa baris kata.


  YUKI.N > Kalau kau sedang membaca ini, saya mungkin bukan diriku lagi.


...Ya, itu benar, Nagato...


"Kenapa nih? Ga ada yang ngetik apapun, ngeri bener!"

"Mungkin sudah diprogram untuk menyala di waktu tertentu? Tapi komputer ini memang terlihat tua. Tentunya berat sekali untuk komputer setua ini."

Aku tidak mendengar apapun dari perkataan Haruhi dan Koizumi di belakangku. Aku bahkan tidak berani berkedip, ngeri kehilangan satu kata atau kalimat. Aku bisa mendengar jantungku bedetak di telingaku sewaktu aku menatap layar monitor.


  YUKI.N > Ketika pesan ini muncul, berarti kau, saya, Suzumiya Haruhi,
Asahina Mikuru dan Koizumi Itsuki sudah berkumpul disini.


Seolah-olah kata-katanya bergerak sesuai dengan kecepatan bacaku. Tanpa ada deskripsi tambahan, si kursor lalu mengetikkan kata-kata berikut:


  YUKI.N > Inilah kuncinya. Kau telah mendapatkan jawabannya.


Gue ga bener-bener nemu jawabannya. Kejadiannya lebih ke gue kesandung kesitu terus diseret paksa sama Haruhi diikutin sama Koizumi. Haruhi ini lumayan bisa diandelin... ngomong-ngomong, Nagato, dah lama ga ketemu.

Kutonton kata-kata di layar sambil merasa nostalgia. Walau kalimatnya bisu, di dalam hatiku aku bisa mendengar Nagato membacakan setiap kata secara monoton. Kursor lanjut bergerak:


  YUKI.N > Ini adalah Program Keluar Darurat. Untuk mengaktifkan, tekan tombol "Enter", bila tidak,
tekan tombol apapun. Sekali diaktifkan, kamu akan diberikan kesempatan untuk memperbaiki rangkaian ruang-waktu.
Akan tetapi, baik sukses maupun kembali dengan selamat tidak bisa terjamin.


Program......Keluar Darurat. Itu dia! Programnya ada di komputer ini!


  YUKI.N > Program ini hanya bisa dieksekusi sekali. Sekali dieksekusi, program akan ternonaktifkan.
Bila kau memilih untuk tidak mengaktifkannya, program juga akan ternonaktifkan. Kamu siap?


Ini adalah kalimat terakhirnya. Kursor diakhir kata berkedip tak henti-hentinya.

Apa seharusnya gue tekan "Enter"? Atau haruskah gue tekan tombol lain?

Ketika aku sadar akan sekelilingku, aku sadar Haruhi mengintip di balik pundakku.

"Apa maksudnya ini? Semacam organisasi rahasia? John, brenti bego-begoan dan jelasin napa!"

Aku sepenuhnya mengabaikan Haruhi, Koizumi dan Asahina-san. Saat ini, mataku tidak tertuju baik pada Haruhi dengan kuncir kudanya, Koizumi dengan seragam olahragaku, maupun Asahina-san yang selalu-imut ini. Aku menaruh perhatian penuhku pada komputer ini dan satu-satunya orang lain di ruangan ini. Aku berkata pada gadis berkacamata yang menatap layar terlihat tercengang:

"Nagato, kamu ingat sesuatu soal ini?"

"...Engga,"

"Kamu yakin?"

"Kenapa kamu nanya?"

Kenapa dia cepat banget nolak setiap keterlibatan? Itu tu kamu yang ngetik kata-kata ini...... Aku ingin mengatakan itu, tapi kalau aku melakukannya, Nagato ini mungkin akan histeris.

Kuputuskan untuk mengamati bagian terakhir pesannya sekali lagi.

Ini adalah pesan yang Nagato tinggalkan untukku, Nagato yang selalu kukenal lah yang menulisnya. Kalau boleh jujur, aku tidak terlalu mengerti apa maksudnya Program Keluar Darurat ini, dan pernyataan tentang sukses tidak benar-benar terjamin membuatku tak nyaman.

Namun, aku sudah sejauh ini, tidak ada gunanya rewel soal ini. Tadinya aku menaruh rasa percaya penuh pada Nagato yang itu, dan aku hanya bisa percaya padanya sekarang. Dia jarang bikin kesalahan. Selain mempercayai Nagato, si Antarmuka Manusia Buatan Hidup yang dibuat oleh alien yang mana telah menyelamatkan nyawaku beberapa kali, siapa lagi yang bisa kupercaya? Kalau aku pun ragu tentang apa yang dia katakan, maka aku sangat perlu untuk meragu apa yang benakku pikirkan.

"Hei, John. Ada apa? Kamu keliatan aneh."

Suara Haruhi terdengar seperti dari kejauhan.

"Tolong tinggalin gue bentaran. Gue lagi berusaha mikir nih."

Sekarang ini, aku memang butuh memikirkannya lagi. Haruhi dan Koizumi yang belajar di sekolah lain, Asahina-san yang bukan penjelajah waktu, dan Nagato yang sepertinya tidak tahu apapun. Setelah berpikir tentang hal tersebut, aku sadar bukan ini yang harus kukhawatirkan sekarang.

Kata-kata diketik oleh Nagato di layar adalah pemikiran pribadinya. Keaslian pesan tidak bisa diragukan lagi.

Kurentangkan lenganku dan mengambil nafas dalam-dalam.

Sudah cukup...

Satu-satunya yang kuyakini yaitu aku ingin keluar dari dunia ini. Aku ingin melihat Brigade SOS sekali lagi, yang sangat kukenal sampai-sampai menjadi bagian dari hidup keseharianku, dan juga semua orang di dunia itu. Haruhi, Asahina-san, Koizumi dan Nagato disini bukan yang kukenal. Tidak ada 'Organisasi' atau Entitas Gabungan Data disini, dan Asahina-san versi dewasa tidak akan pernah berkunjung ke dunia ini, karena semuanya kacau balau.

Tidak memakan waktu lama untuk membulatkan tekadku.

Kukeluarkan secarik kertas kusut dari jaketku...

"Maaf, Nagato, ini aku kembaliin."

Jari pucat Nagato pelan-pelan terbentang untuk menerima formulir kosong pendaftaran klub. Setelah kulepas, formulir itu berkibar, padahal hampir tidak ada angin disini. Setelah kehilangan genggaman sekali, dia akhirnya menggenggamnya di kali kedua.

"Ini..."

Bahkan suara Nagato bergetar, matanya tersembunyi oleh bulumatanya.

"Tapi," Cepat-cepat kujelaskan, "Kalo boleh jujur, dari pertama aku sudah jadi anggota ruangan ini. Aku ga perlu lagi gabung jadi anggota Klub Sastra, kalo alasannya sih..."

Haruhi, Koizumi dan Asahina-san semuanya melihatku dan berpikir, apaan sih yang dia omongin? Ekspresi Nagato tertutup oleh rambutnya, jadi aku tidak bisa melihat dengan jelas. Ga masalah. Jangan kuatir, Nagato. Apapun yang terjadi entar, aku pasti akan kembali ke ruangan ini.

"Alasannya, itu karena aku anggota Brigade SOS."

Kamu siap?

Ya iya lah.

Kurentangkan jariku dan menekan tombol "Enter".


Sesaat kemudian......


"Whoa!?"

Waktu aku berdiri, aku terserang pusing hebat. Tanpa sengaja kugenggam erat bangku sewaktu pandanganku berputar. Aku bisa merasakan kupingku berdengung sewaktu aku mendengar suara orang bicara dari jauh. Semuanya menjadi hitam. Aku kehilangan rasa keseimbangan, aku merasa melayang kesana-kemari, seperti daun pohon yang telah jatuh keras, berputar terus-menerus tiada henti. Suara-suara yang memanggilku mulai menghilang, apa sih yang mereka bilang? Apa itu John atau Kyon? Aku tidak tahu pasti, sepertinya tidak terdengar dari Haruhi. Gelap banget, apa gue jatuh? Kemana gue jatuh? Seseorang harusnya bilang ke gue.

Pikiranku kacau balau. Apa mata gue bener-bener kebuka? Gue ga bisa liat apa-apa, atau juga ngedenger apa-apa. Aku hanya bisa merasakan diriku melayang. Tubuh gue ada dimana sih? Haruhi gimana? Semuanya jadi terpilin. Koizumi, Asahina-san dimana gue? Gue ini mau kemana sih? Apa sih diujung Program Keluar Darurat?

Nagato......

"Whoa!?"

Aku berteriak sekali lagi, pergelangan kakiku hampir retak waktu aku hampir-hampir menyokong diriku sendiri. Hanya pada waktu itu aku sadar aku masih berdiri.

"Apa apaan...?"

Gelap dimana-mana, walau tidak terlalu gelap dimana kau tidak bisa melihat jarimu sendiri. Aku bersyukur masih bisa melihat.

"Gue dimana..."

Melihat cahaya redup berkilauan dari jendela, kukonfirmasi dimana posisiku. Sepertinya ini ruangan, dan sepertinya aku bersangga pada meja. Di atas meja ada komputer lama...

"Ruang Klub Sastra!"



Ini adalah ruangan Klub Sastra dari yang sebelumnya.

Namun Nagato tidak disini. Haruhi, Asahina-san dan Koizumi juga menghilang. Hanya ada aku. Matahari sepertinya sudah terbenam, walaupun beberapa waktu lalu sinarnya masih berkilauan menembus jendela. Jadi gelap lumayan terlalu cepat. Aku melihat menembus jendela dan ke langit malam yang jarang-jarang, melihat beberapa bintang berkedip. Waktu emang berlalu cepat.

Ruangannya sama seperti sebelumnya. Ada lemari buku, meja panjang, dan komputer tua. Aku langsung mengerti hanya dengan melihat barang-barang itu. Aku tidak kembali ke dunia asalku, karena tidak ada barang dari Brigade SOS. Bangku Komandan tidak disini, juga lemari pakaian cosplay Asahina-san. Masih sebuah ruang Klub Sastra yang kosong ...tapi...

Keringat di keningku menetes di mataku. Segera kuseka dengan lengan baju jaketku.

Ada yang ga beres.

Apa sih perasaan ga enak ini? Gue dah tau ada dimana. Ini memang ruangan Klub Sastra. Loe itu gendang taiko ya? Tiba-tiba aku ingat lelucon kata yang Taniguchi buat sebelumnya, tapi bukan itu masalahnya. Ya, masalahnya bukan dimana tempat ini.

"Ini..."

Tiba-tiba, aku tahu kenapa aku merasa ga enak! Disaat bersamaan, suhu tubuhku terasa seperti naik tajam, tapi itu kurang akurat. Yang benar itu suhu sekitar sudah tinggi, karena itulah suhu tubuhku naik juga, jadi memang bukan ilusi.

Aku tak tahan lagi, dan melepas jaketku. Seluruh pori-pori di tubuhku terbuka disaat bersamaan dan berkeringat. Lalu aku melepas sweaterku dan menggulung lengan bajuku, tetapi panas yang terakumulasi di dalam ruangan nyaris tak berpencar.

"Terlalu panas!"

Aku mulai mengerutu.

"Rasanya kayak..."

Panas malam musim panas.

Kalau begitu, hanya ada satu pertanyaan yang harusnya kutanyakan sekarang,


Sekarang lagi musim apa?



Bab 4



Aku yakin semua orang yang sudah mengalaminya bakal tahu bagaimana ngerinya berjalan sendirian di sekolah waktu gelap.

Kugantungkan jaketku di pundakku dan berjalan pelan keluar dari ruang klub. Seperti ninja, kucoba untuk tak bersuara waktu menuruni tangga. Setiap kali aku sampai di sudut, aku selalu melihat sekelilingku sebelum jalan lebih jauh. Benar-benar capek! Aku tidak tahu tanggal berapa sekarang di SMA North ini, tapi bakalan repot kalau kelihatan sama guru tugas-jaga. Aku takkan bisa menjelaskan semuanya ini -- bahkan sebetulnya, malahan aku pengin seseorang menjelaskan semuanya kepadaku!

Aku jalan berkeringat di bawah udara lembab dan akhirnya mencapai aula depan.

"Nah, ada apa di sini..."

Setelah berkata itu, kubuka loker sepatuku. Di dalam ada sepatu indoor punya orang lain -- aku yakin sekali sepatu ini bukan punyaku. Cepat-cepat kueliminasi kemungkinan seseorang membuka loker yang salah dan salah mengambil sepatuku. Sekarang ini di tengah-tengah musim panas, berarti aku sekali lagi lompat ke dimensi berbeda -- hebat juga aku punya imajinasi seperti itu. Pemilik loker sepatu ini bukan aku, tapi seseorang dari dunia atau dimensi ini. Aku tidak terlalu terkejut seperti yang kuharapkan, entah karena aku sudah terbiasa, atau karena aku sudah mati rasa dengan kejadian-kejadian luar biasa.

"Mau gimana lagi."

Jelas tidak akan terlihat bagus mengenakan sepatu indoor di luar, tapi aku tak punya pilihan lain. Prioritasku adalah meninggalkan komplek sekolah. Sudah diduga, pintu masuk terkunci rapat saat malam. Jadi aku berjalan ke jendela terdekat, membuka kuncinya dan hati-hati membukanya. Pelan-pelan kuhirup semerbak angin sepoi-sepoi malam dan melompat keluar jendela dan ke jalan berbatu, dimana Haruhi membangunkanku waktu kami berada di Dimensi Tertutup.

Aku berhenti sekitar sepuluh detik. Setelah memastikan tidak ada yang melihatku, aku lanjut berjalan.

Sama juga panasnya di luar komplek sekolah. Panas khas musim panas Jepang yang lembab. Aku baru datang dari musim dingin membeku, jadi semua kelenjar keringatku membuka gila-gilaan. Kuseka keringat dari wajahku dengan kemeja lengan panjangku dan bergerak menuju gerbang.

Jadi gampang setelah di luar. Aku harus berterimakasih pada ketiadaan penjaga -- yang kulakukan hanya memanjat pagar dan beres. Setelah memanjat, aku memungut jaketku yang tadi sudah kulempar keluar sebelumnya, dan melihat langit berbintang sambil merenungkan apa yang selanjutnya kulakukan.

Sekarang ini, gue perlu tau tanggal dan jam berapa sekarang. Lagipula, ada perbedaan waktu besar antara masa lalu dan masa depan.

Mungkin turun bukit dulu. Ntar seharusnya lewat toko kelontong. Kalau aku mendekati penduduk setempat dan bertanya, "Tahun dan bulan apa ya hari ini?" Mungkin aku akan diperlakukan sebagai anak SMA gila dan ditangkap oleh pihak berwajib. Sebaiknya pergi ke suatu tempat dimana aku bisa mengetahui tanggal tanpa bertanya pada seseorang.

"Duh, masih aja kepanasan..."

Aku sudah kepanasan sewaktu pakai seragam musim dinginku, tapi sekarang bahkan celanaku pun lengket ke kakiku oleh keringat. Pada saat itu, aku benar-benar membenci penemu serat sintetik ini. Belum lagi seragam musim dinginnya ga bener-bener bikin anget di musim dingin; cuman didesain biar keliatan bagus.

Fakta bahwa aku mengomel tentang hal diatas berarti otakku sudah mulai bekerja dengan baik kembali. Daripada membeku di musim dingin menunggu musim semi datang, lebih baik aku mengeluh soal panasnya musim panas sambil mengipaskan kipas. Lagipula, terlalu banyak kenangan tentang musim panas pertama SMA, walau sangat melelahkan jasmani dan rohani, namun setelah aku melewatinya, tak terlalu buruk juga. Paling tidak aku melihat Asahina-san memakai pakaian renang. Kukira kami belum melakukan aktifitas bergaya Brigade SOS di musim dingin sejauh ini.

Pikiranku dipenuhi dengan rasa hotpot yang kurindukan sewaktu aku menuruni landaian. Setelah limabelas menit, akhirnya aku melihat titik terang. Itu adalah toko kelontong yang kadang-kadang aku kesana jadi aku bisa makan sambil pulang ke rumah. Paling tidak aku tahu satu hal, sekarang adalah waktu sebelum toko itu tutup.

Aku tak bisa menunggu pintu otomatis terbuka, dan melihat ke sekeliling setelah aku masuk. Perlu beberapa saat untuk membiasakan kesegaran AC. Saat ini, aku melihat sepenuh hati pada jam analog yang tergantung di dinding.

Setengah sembilan.

Karena matahari sudah tenggelam, sudah seharusnya jam setengah sembilan waktu malam.

Tanggal berapa? Tahun apa? Banyak jenis koran di rak. Apapun jadi. Dengan acak kuambil harian olahraga di depan dan membaca cepat isinya. Ga masalah apa isinya; bahkan kalau pun itu imajinasi liar racikan tabloid kelas tiga, mereka pastinya ga bakalan malsuin tanggal di halaman depan juga, ya ngga?

Pandanganku terhenti di suatu titik, dan aku melihatnya.

Barisan nomor, yang beberapa orang akan menganggapnya hoki, memasuki penglihatanku.

Tahun berapa? Seakan-akan aku mencoba menelan koran itu, dengan hati-hati kukonfirmasi tahun tercetak di atas. Penjaga toko melirik sekilas kepadaku terlihat terganggu, tapi aku tidak perduli sedikitpun sekarang.

Kutatap nomor empat digit lagi dan lagi. Bila kukurangi dari tahun aku datang -- dimana masih mengalami Desember dingin -- ke tahun di harian olahraga ini... bahkan anak kecil pun akan tahu jawaban dari pertanyaan matematika sesederhana ini.

"Jadi gitu ya, Nagato..."

Kuangkat kepalaku dari koran dan mendesah dalam-dalam sewaktu aku melihat langit-langit.

Festival Tanabata romantis yang menyenangkan.


Hari ini tanggal 7 Juli tiga tahun lalu.


Tanabata, tiga tahun lalu... Emangnya ada apaan sih hari ini?

Tanabata "tahun ini" seperti rapsodi; setelah menulis permintaan kami dan menggantungnya di tongkat bambu, aku menerima ajakan Asahina-san dan menjelajah ke masa lalu ke ini hari. Setelah itu, aku bertemu dengan Asahina-san versi dewasa, yang mendorongku untuk pergi ke SMP East malam itu juga. Dan kemudian, aku bertemu dengan Haruhi kelas-satu-SMP yang mau memanjat pagar dan diseret olehnya untuk membantunya menulis pesan ke angkasa luar di lapangan lari sekolah dengan kapur putih.

Sesudah itu, aku membawa Asahina-san (kecil), yang kehilangan alat penjelajah-waktunya bernama TPDD, ke apartemen mewah Nagato, dan disana kami berdua tidur selama tiga tahun, memungkinkan kami kembali ke tempat kami berasal...

"Berarti..."

Ini lebih gampang dari soal matimatika dasar. Yang perlu gue lakuin cuman ngikutin apa yang udah gue lakuin waktu itu. Itu aja, gue dah dapat intinya, langkah esensial yang diperlukan biar bisa ngembaliin dunia sinting ini jadi biasanya.

Emang harus gitu, kan?

Kakiku bergetar hebat, bukan karena takut tapi lebih ke sensasi menegangkan karena menyadari bahwa sesuatu yang sangat penting perlu dibereskan.

Tiga tahun lalu. Tanabata. SMP East. Tanda misterius. John Smith.

Sewaktu potongan-potongan yang tak berhubungan mulai tersusun, akhirnya aku sampai ke kesimpulan. Kesimpulan yang simpel namun jelas, kukatakan kalimat yang sama sekali lagi,

"Berarti..."

"Mereka" ada "disini".

Asahina-san (besar) yang penuh pesona nan menggiurkan dan Nagato Yuki di mode tunggu.

Dua orang yang bisa menolongku ada disini di periode waktu ini.



Kulempar korannya dan berlari keluar toko kelontong, berpikir sambil berlari.

Aku ingat saat pertama kali ketika aku pergi ke tiga tahun lalu, yang mana itu sekarang, Asahina-san membangunkan aku di bangku taman dekat Stasiun Kouyouen dan memberitahuku, "Sekitar jam sembilan malam". Kalau aku lari setengah jam, aku bisa sampai ke sana tepat waktu. Masalahnya hanyalah apakah si pelaku juga merubah periode waktu ini. Kalau memang ada perubahan, maka aku tidak akan menemukan diriku yang lain disana. Apapun itu, aku harus bertemu dengan Asahina-san (besar) atau Nagato di apartemen mewahnya, atau aku bisa bertemu mereka berdua. Berarti ada dua tempat aku harus pergi, pertanyaannya kemana dulu.

Nagato akan ada di apartemennya sepanjang waktu, jadi aku bisa bertemu dengannya kapan saja, tapi aku hanya bisa menemukan Asahina-san (besar) di waktu dan tempat yang spesifik.

Berdandan seperti guru, Asahina-san dewasa ini adalah orang yang memberiku petunjuk soal Putri Salju dan langsung pergi, berasal dari masa depan yang lebih jauh lagi dari Asahina-san yang kukenal. Gambaran dia mencubit-cubit wajah-lebih-mudanya dan tersenyum riang masih segar di ingatanku.

Asahina-san mesti tahu siapa aku, harusnya tak ada diragukan lagi.



Walau tamannya tidak terlalu jauh dari stasiun, hampir tidak ada orang disana. Mungkin karena sudah malam sekarang; waktu ideal buat semua tipe peran yang mencurigakan untuk muncul. Apa ini tanah keramat buat orang aneh pikirku... aku berpikir hal yang sama ketika pertama kali kemari waktu kunjungan Tanabata terakhir.

Lagi tak ingin masuk terang-terangan, jadi aku harus jalan sepanjang dinding bata taman di kegelapan. Walau disebut dinding, itu hanya setinggi pinggangku, sementara diatasnya ada kawat besar berduri, dan dikelilingi oleh macam-macam semak. Sangat mudah bersembunyi tanpa terlihat oleh siapapun di waktu siang, apalagi malam, walau aku perlu hati-hati kalau-kalau ada pejalan kaki di luar sana memberiku pandangan aneh dari belakang punggungku.

Kuingat-ingat posisi bangku dimana aku terbangun waktu itu dan pelan-pelan bergerak menyusuri dinding untuk mencari tempat bersembunyi yang ideal.

Hampir jam sembilan malam.

Kukira yang kulakukan ini bisa disebut voyeurism. Setelah menyembulkan leherku diantara semak-semak, aku akhirnya melihat apa yang ingin kulihat.

"...Itu dia."

Aku merasa menonton diriku membintangi film. Juga merasa seperti melihat diriku dari cara pandang orang-ketiga di dunia mimpi.

"Tapi gimana bisa gue jelasin ini..."

Bangkunya terlihat di bawah sinar lampu, seolah-olah sedang dihujani cahaya terang. Walau sedikit jauh, aku tak bisa salah, kedua orang di bangku mengenakan seragam SMA North. Sama seperti yang kuingat.

Masa lalu diriku dan Asahina-san sedang duduk disana.

"Aku" yang lain sedang berbaring horizontal, mengistirahatkan kepalanya di pangkuan Asahina-san sambil tidur. Aku bohong kalau aku bilang aku tak memimpikan apapun yang pantas bikin ngiler. Kalau seseorang tak bermimpi indah menggunakan bantal paling berharga di dunia, maka tidaklah mungkin dia bisa tidur dengan damai.

Digunakan sebagai bantal, Asahina-san sekali-kali melihatku yang sedang tidur di pangkuannya, atau berhembus lembut di telingaku, atau memainkannya. Sial, gue jadi iri... Eh tunggu, bentar, kenapa gue bisa cemburu sama diri gue sendiri, ya?

Sejenak, aku ingin sekali mendorong "aku" yang lain dan menggantikan tempatnya, tapi pada akhirnya aku memutuskan untuk menekan hasrat itu. "Aku" di waktu ini tidak melihat dirinya yang lain pada waktu itu. Kalau aku buru-buru keluar, masalahnya bakal jadi makin rumit... kan? Rangkaian ruang-waktu sudah kacau; hal terakhir yang kuinginkan yaitu lebih mengacaukannya lagi.

Menahan hasrat impulsif tak rasionalku, aku melanjutkan peranku sebagai Tom si Pengintip. Makin kupikirkan, makin bangga aku pada diriku karena bisa mengendalikan ketenangan diri di saat ganjil seperti ini.

Di bawah pikiran seperti itu aku melanjutkan observasi. Asahina-san menggerakkan bibir merah cerinya dan mengatakan sesuatu; tidur di pangkuannya, "Aku" bergerak sedikit dan lalu pelan-pelan bangun. Aku tidak bisa mendengar apapun dari tempatku bersembunyi, tapi aku ingat jelas yang Asahina-san katakan, "Oh, sudah bangun?"

Setelah ngobrol sebentar dengan Asahina-san, dia lalu merasa letih dan mengistirahatkan kepalanya di pundak"ku"...

Semak di belakang bangku bergerak-gerak, dan orang itu muncul.

Mengenakan blus lengan-panjang dan rok mini biru, tidak mungkin kulupakan pakaian guru itu.

Tepat sebelum bulan Mei berakhir, dia menulis surat memintaku menemuinya, dan memberikanku petunjuk tentang Putri Salju. Dia bahkan memberitahuku soal tanda lahir berbentuk bintangnya juga. Dan lalu di hari ini, saat Tanabata, dia menidurkan Asahina-san (kecil), kemudian memanduku kemana Haruhi berada sebelum menghilang...

Asahina-san versi dewasa.

Tinggi dan badannya sudah tumbuh beberapa tahun, datang dari masa depan yang lebih jauh dari Asahina-san sang penjelajah waktu, tiada lain tiada bukan adalah Asahina-san (besar).

Seperti waktu itu.

Memang benar, aku ada disana saat Tanabata tiga tahun lalu, namun yang terjadi persis sama dengan yang kuingat.

Setelah berbicara dengan"ku" sebentar, Asahina-san (besar) berlutut untuk mencubit wajah Asahina-san (kecil) dan mengelus-elus tubuhnya, lalu dia berdiri untuk mengatakan sesuatu kepada"ku" lagi.

Adalah misinya untuk membawamu ke sini, namun dari sini kedepannya, misiku lah untuk memandumu.

Mm... Apa yang...

Mungkin itu yang sedang dikatakan.

Setelah menjelaskan semuanya ke "aku" yang berahang terbuka, Asahina-san (besar) lalu berjalan dan menghilang dari sinar lampu jalan. Baru sekarang kusadari kalau dia menuju ke pintu keluar yang berlawanan arah dengan yang menuju ke SMP East.

"Aku" masih terkagum-kagum, menatap Asahina-san (kecil) yang tertidur dan berpikir tentang sesuatu. Aku ingin mengingat apa yang "ku"pikirkan saat itu, tapi kubuang usaha menjalani Jalur Ingatan beberapa detik kemudian, karena aku tidak ingin kehilangan jejak Asahina-san (besar).

Aku berlari keluar semak-semak dimana aku bersembunyi dan berjalan cepat di sepanjang pinggiran taman. Tak perlu lagi menyembunyikan keberadaanku, karena waktu aku adalah "aku", "aku" tak melihatku. Waktu itu, perhatian"ku" tidak terpaku padaku yang datang dari periode waktu yang lain, tidak pula "ku"sadari kalau ada aku yang lain di periode waktu ini. Masuk diakal, karena "aku" di masa lalu takkan pernah menyadari akan sebagaimana kacaunya rangkaian ruang-waktu di periode waktuku. Tak ada waktu untuk lebih memperhatikan"ku", yang terlalu sibuk mengendong Asahina-san di punggungnya untuk dikhawatirkan tentang hal-hal lain. Kuputuskan untuk pergi.

Setelah melewati tikungan aku melihatnya sekitar seratus meter jauhnya. Dia berjalan membelakangiku. Suara ketukan sepatu hak tingginya terdengar berirama. Dia sepertinya tidak buru-buru -- cocok sekali denganku yang buru-buru ingin menemuinya. Kalau aku kehilangan dia sekarang, maka aku benar-benar tidak tahu kenapa susah-susah datang ke sini.

Berjalan lebih cepat, kuperpendek jarakku dengannya. Dibawah penerangan redup malam, tungkai panjang dan rambutnya yang mengalir terlihat berkelip redup dalam cahaya. Walau aku hanya bisa melihat punggungnya, aku yakin itu dia.

Tak lama kemudian kususul dia dan memanggilnya,

"Asahina-san!"

Dia berhenti. Suara lembut sepatu hak-tingginya mengetuk tanah berhenti. Rambut lembut berwarna coklat di punggungnya bergoncang. Seolah-olah berada dalam gerak lambat, sedikit demi sedikit dia berputar.

Apa ya yang bakal dia bilang.

Lho? Bukannya kita tadi berpisah barusan?

Apa kamu mengikuti saya sampai ke sini? Ga boleh itu.

Hei, saya yang lain mana?

Pada akhirnya, bukan kalimat-kalimat diatas.

"Selamat malam, Kyon-kun."

Dengan wajah cantik yang persis seperti yang kuingat, dia menyapaku dengan senyum berseri-seri.

Dengan wajah cantik yang persis seperti yang kuingat, dia menyapaku dengan senyum berseri-seri.

"Dah lama ga ketemu. Bagi'mu', tentunya."

Asahina-san dewasa berkedip sebelah mata setelah mengatakan itu. Itu memang senyuman yang terakhir kulihat lima bulan lalu.

Dengan ekspresi lega anak-anak, Asahina-san (besar) berkata,

"Untunglah, kita bertemu lagi disini. Sebenarnya saya sedikit khawatir kalo-kalo saya berbuat kesalahan,"

"Saya masih agak ceroboh," Kata Asahina-san dan lalu dengan imutnya menjulurkan lidahnya. Tadi itu adalah gerakan mempesona yang cukup melembutkan tulang di dalam tubuh seseorang. Tapi kalau aku luluh jadi setumpuk tanah sekarang, maka aku akan kehilangan segalanya.

Asahina-san ini tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya.

Berusaha keras mengontrol lidahku, yang sepertinya punya pikiran sendiri, aku berkata,

"Asahina-san, jadi kau tau kalo aku bakal datang ke sini.... Kau tahu aku bakalan balik ke waktu ini, dan di tempat ini, kan?"

"Iyah," Asahina-san menganggukkan kepalanya, "Karena ini peristiwa yang ditentukan sebelumnya,"

"Di hari Tanabata itu, Asahina-san kecil ngebawa aku ke Tanabata tiga tahun lalu... yaitu hari ini. Kamu pasti yang ngatur biar dia ngebawaku kesini, kan?"

"Iya, itu prasyarat. Kalau engga, kamu ga akan disini sekarang,"

Kalau aku tidak pergi ke SMP East dan menggambar grafiti tersebut, aku tidak akan memberitahu Haruhi kelas-satu-SMP sekarang kalau namaku adalah "John Smith". Tentu saja, berarti Haruhi si anak kelas satu Sekolah Kouyouen tidak akan pernah mendengar nama tersebut. Dengan kata lain, aku takkan menemukan hubungannya. Karena selain nama itu, takkan ada hubungan sesuatu apapun antara aku dan Haruhi itu yang bersamaku beberapa jam lalu. Hasilnya, kami berlima tidak akan berkumpul di ruang klub, dan Program Keluar takkan diaktifkan.

Pada saat ini, sebuah pertanyaan muncul di benakku. John Smith yang lain itu...... Masa sih!?

"Itu kamu, Kyon-kun. Kamu yang sekarang,"

Asahina-san (besar) memberiku senyuman yang secantik mawar putih.

"Sedikit capek ngobrol sambil berdiri, cari tempat buat duduk yuk. Kita masih punya waktu,"

Kekuatan senyuman dan kata-katanya cukup untuk menghalau kegelisahan dan kebingungan dalam diriku.

Kalau Asahina-san (besar) ada disini, berarti masa depan masih ada. Bukan masa depan kacau setelah 18 Desember, tapi masa depan dimana aku dan Haruhi dan Asahina-san yang kukenal berasal.

Pasti ada jalan.

Kuraih rasa percaya diri yang membuatku merasa lega. Seperti meningkatkan rasa percaya diri itu, dia melanjutkan,

"Mulai sekarang, mandu kamu adalah misiku. Tapi abis itu, kamu sendirian. Saya hanya akan ngikutin kamu aja kalo gitu,"

Dia lalu memberiku kedipan mata yang cukup membuat lemas lututku.



Kami kembali ke taman dan duduk di bangku dimana Asahina-san (kecil) dan "aku" duduk beberapa waktu lalu. Sebelum duduk, Asahina-san (besar) terlihat seolah-olah dia menyentuh peninggalan nenek moyang kuno saat dia mengelus lembut bangku taman itu. Pelan-pelan aku duduk terlihat serius juga. Bangkunya masih hangat, kehangatan dari tubuhku dan Asahina-san yang lima bulan lalu menjelajah waktu ke tiga tahun lalu.

Aku cepat-cepat bertanya,

"Apa sesuatu terjadi sama aliran waktu? Aku tau kalo di periode waktu asalku terhubung dengan Tanabata ini. Kalo ga gitu, aku ga bakalan datang kesini. Terus, Asahina-san...... Bukannya itu berarti ga ada hubungan antara masa depan kamu dan masa depanku yang kerubah?"

"Saya ga bisa bilang detailnya,"

Udah kuduga, mesti salah satu dari informasi rahasia itu, kan?

"Bukan,"

Asahina-san (besar) menggelengkan kepalanya,

"Saya ga bisa ngejelasin dengan cara yang kamu ngerti. Teori STC kami terdiri atas konsep spesifik. Terlalu sulit buat diomongin biar kamu ngerti. Masih ingat pas saya ngasih tau kamu identitas diriku yang sebenarnya?

Tentu aja, duduk di pinggir sungai dengan bunga sakura berguguran, kudengarkan Asahina-san, yang tadinya selalu kuanggap hanya sebagai senior manis, buka-bukaan soal kebenaran yang mengejutkan tentang dirinya itu penjelajah waktu.

"Waktu itu, bukannya saya bilang sesuatu yang sulit kau mengerti? Itu maksudnya. Kalau saya jelasin, hanya bikin kamu makin bingung,"

Asahina-san (besar) dengan lembut mengetok sisi kepalanya sambil berkedip dengan waktu bersamaan. Apapun hal kecil yang dia lakukan itu benar-benar seksi.

"Konsep ini ga bisa dijelasin dengan omongan, hanya bisa dijelasin dengan cara lain. Kamu ngerti?"

Engga. Seperti mencoba mengajarkan kalkulus pada anak TK, Asahina-san terus menjelaskan kepadaku, yang mulai terlihat pusing,

"Um, tapi, ntar juga kamu bakal ngerti. Iya. Itu aja yang bisa kujelasin sekarang,"

Ntar juga kamu bakal ngerti. Dimana ya gue pernah dengar ini sebelumnya? Ah iya, Nagato. Nagato juga pernah bilang itu sebelumnya..... Engga, bentar.

Kilasan inspirasi terpicu oleh sinapsis di otakku saat aku memberi reaksi berikut,

"Sebelum liburan musim panas...... Yang Nagato omongin pas kejadian kamadouma raksasa...... Soal komputer di masa depan ga kayak sekarang, apa itu..."

"Wow, hebat banget. Kamu masih ingat itu? Bener, barang yang bisa disamakan dengan komputer atau internet di periode waktu ini, um...... Tidak berbentuk materi di periode waktuku, tapi eksis tak berbentuk di dalam otak kami. TPDD juga sama,"

Barang yang tidak seharusnya hilang tapi malah hilang.

"Itu alat menjelajah waktu?"

"Time Plane Destruction Device,"

Bukannya itu informasi rahasia!?

"Yah, tadinya sih emang rahasia bagiku dulu. Tapi untukku sekarang, aturannya dilonggarkan banyak banget. Bukti kalo saya ada disini berarti saya udah kerja keras,"

Dengan bangga Asahina-san membusungkan dadanya, kancing blusnya hampir-hampir terlepas. Proporsi tubuh yang tak masuk akal muncul di depan mataku, biasanya aku terpaku pada pemandangan indah seperti itu, tapi sayangnya, lagi tidak mood memuaskan nafsu mataku dengan pemandangan seperti itu. Aku lanjut bertanya,

"Apa sih penyebabnya? Aku tahu masa depan asalku udah berubah, tapi kapan berubahnya?"

"Buat detailnya mendingan tanya Nagato-san di periode waktu ini aja. Saya hanya bisa bilang satu hal: perubahan di bidang waktu asalmu mulai berubah tiga tahun dari 'sekarang', pada pagi hari tanggal 18 Desember,"

Buatku sih, berarti dua hari lalu. Jadi bidang waktunya toh yang berubah? Kalau gitu...... Sekali lagi kuingat-ingat dua kemungkinan yang Koizumi bilang. Ternyata teori dunia berubah yang benar.

"Benar. Dalam semalam, file STC...... maksudku, seluruh dunia berubah. Hanya ingatanmu yang tetap utuh. Sebuah gempa-waktu yang bisa dideteksi bahkan jauh di masa depan,"

Bukannya aku tak tertarik sama apa STC atau gempa-waktu itu, hanya saja aku tak punya waktu buat menggali hal-hal yang tak ada hubungannya, karena aku punya pertanyaan yang lebih mendesak untuk ditanyakan,

"Asahina-san, apa karena kamu pengen ngeberesin perubahan gede ini di masa depan yang bahkan akupun ikut keseret yang makanya kamu nunggu disini?"

"Saya ga bisa ngeberesin ini sendirian," Wajahnya mulai suram, "Saya butuh bantuan Nagato-san. Tentu aja, butuh bantuan Kyon-kun juga,"

"Siapa sih pelakunya? Aku cuman bisa mikir ini gara-gara si Haruhi aja,"

"Bukan,"

Asahina-san menarik kembali senyumannya dan berkata serius,

"Bukan Suzumiya-san. Pelakunya orang lain,"

"Apa itu orang baru yang blom diketahui? Kayak slider dari dunia lain yang belum ketemu denganku ato sesuatu kayak......"

"Bukan,"

Menginterupsiku, Asahina-san tiba-tiba terlihat cemas sewaktu dia berkata,

"Seseorang yang sangat kau kenal,"



Setelah melihat jamnya, Asahina-san (besar) bilang kalau masih ada waktu dan mulai mengenang masa-masanya dengan Brigade SOS. Bagiku, kenangan tersebut terjadi tahun ini, namun baginya terjadi beberapa tahun lalu. Diseret oleh Haruhi ke ruang klub, dipaksa memakai pakaian Bunny Girl, membuat permohonan di Tanabata, mendapati misteri pembunuhan di pulau terpencil, mengenakan yukata di festival O-bon, kumpul-kumpul anggota Brigade SOS buat mengerjakan PR musim panas, kejadian-kejadian di lokasi saat merekam film... Saat kenanganku perlahan mulai berkobar, suara Asahina-san (besar) mulai melambat dan melambat.

Aku kepengin sekali tahu bagaimana masa depanku nanti, dan menunggu mulutnya mangkir. Tapi Asahina-san sangat berhati-hati soal itu, dan menetapkan topik pembicaraannya terbatas hanya ke obrolan ngalor-ngidul.

"Mungkin emang berat, tapi kenangan-kenangan itu indah banget."

Setelah memaklumatkan kesimpulannya, Asahina-san tetap diam dan menatapku dalam diam.

Tadinya aku berpikir tentang apa yang harus kukomentari saat sesuatu yang lembut nan hangat mendarat di pundakku. Sesuatu itu adalah kepala Asahina-san. Apa maksud di belakang tindakannya ini? Berat tubuhnya bersandar kepadaku itu berharga emas - wangi-wangian dan rasa berat menstimulasi syarafku dan memicu pikiran-pikiran liar di dalam otakku, aku benar-benar tidak bisa berpikir lurus. Apa sih yang ingin dia sampein dengan aroma baju blusnya? Apa dia nyoba ngerasain sesuatu dari gue? Menutup matanya dan menyandarkan mukanya pada pundakku, Asahina-san tidak berkata apapun, tapi aku bisa merasakan bibir merah-cerinya bergerak. Dia kayaknya berbisik soal sesuatu, apa itu ya?

Jangan-jangan...... Aku mulai melayang-layang dalam dunia fantasi lagi. Apa Asahina-san ini ketiduran juga, cuman biar Asahina-san lain bisa muncul dan ngomong sesuatu yang bikin bingung lagi ke gue? Dan jadinya gue terus disini selamanya ketemu sama Asahina-san-Asahina-san dari berbagai periode waktu...... Sial, pikiran gue mulai kecampur-campur kayak cucian di mesin cuci, muter-muter di lingkaran yang sama. Apaan juga yang gue pikirin!? Ada yang mau repot-repot ngasi tau gue!?

Asahina-san (besar) bersandar padaku kira-kira semenit selanjutnya.

"Hee hee."

Seolah-olah bisa membaca pikiranku, dia tersenyum dan berkata,

"Hampir waktunya. Pergi yuk."

Dia berdiri seakan-akan tiada yang terjadi, walau sayang juga sih, tiada pilihan bagiku kecuali kembali sadar. Dia bener, waktunya pergi. Um...... Pergi kemana kita ya?

Tujuan kedua.

Waktu menunjukan jam 10 malam di jam Asahina-san, waktu pada saat "aku" sudah menyelesaikan peranku sebagai jongos Haruhi si anak kelas satu SMP dan selesai menggambar grafiti di lapangan lari SMP East. Waktu ketika "aku" menggenggam tangan Asahina-san yang terisak saat kami memasuki apartemen Nagato. Waktu ketika waktu membeku bagi"ku".

Waktunya mengunjungi Nagato lagi.

"Sebelum itu,"

Asahina-san memberikan senyum yang mendebarkan dan bergemerlapan dan berkata,

"Bukannya ada hal lain yang perlu kamu lakuin dulu?"



Setelah berjalan dekat dari taman, aku tiba di area pemukiman.

Mengikuti arahan Asahina-san, aku berbelok ke sebuah gang.

Di depan sepanjang jalanan gelap ada sosok mungil berlari seperti angin. Dengan sepasang lengan dan kaki kecil yang menyembul dari kaos T-shirt lengan-pendek dan celana pendek, dia bergerak menjauh dan semakin menjauh mengibarkan rambutnya.

"Hei!"

Si sosok mungil berbaju T-shirt dan celana pendek itu pelan-pelan memutar kepalanya. Setelah memastikan dia melihatku, kutangkupkan mulutku dengan tanganku dan berteriak tak setengah-setengah,

"Tolong titip si John Smith yang bakalan mengguncang dunia!"

Sesudah melihat sekilas kepadaku, si anak kelas satu SMP berbalik terlihat jengkel karena suatu alasan dan berlari kedepan.

Dia mungkin berpikir dia toh bakalan ketemu aku kalau dia pergi ke SMA North, jadi dia berbalik tanpa ragu. Melihat pada rambut hitam setengah-panjang itu, dengan pelan kutambahkan,

"Tolong diinget ya, Haruhi. Loe harus inget nama John Smith......"

Aku berdoa dalam hati kepada si Haruhi anak 12 tahun, yang mungkin akan terus jadi nakal di SMP East di waktu yang akan datang.

Tolong jangan lupa ya kalo gue dulu ada disini.



Aku tahu jalan ke apartemen kelas atas seperti tahu punggung tanganku sendiri, jadi bisa saja aku jalan ke sana dengan mata tertutup. Jalan di depan Asahina-san (besar), kuangkat kepalaku untuk melihat bangunan yang baru saja kukunjungi kira-kira duapuluh jam lalu. Walau kami masih di luar, Asahina-san (besar) sudah menyembunyikan sosok eloknya dan berdiri di belakangku.

"......Kyon-kun, saya punya permintaan."

Melihat bagaimana dia memohon padaku, tak ada alasan bagiku untuk menolaknya. Apapun periode waktu Asahina-san berasal, aku belum cukup aneh untuk menolak permintaannya.

"Maaf ya, tapi bahkan sekarang pun saya masih ga nyaman dekat-dekat Nagato-san......"

Aku jadi ingat, Asahina-san (kecil) selalu seperti itu waktu dia di ruang klub, sama juga ketika terakhir kali dia datang kemari. Selain Haruhi, satu-satunya orang yang menjaga ketenangan dirinya dengan kehadiran si alien atau penjelajah waktu hanyalah Koizumi.

"Ga papa, aku ngerti kok,"

Kataku lemah-lembut selagi menekan nomor 708 di panel sebelah pintu masuk, lalu kupencet tombol bel.

Setelah beberapa detik kemudian, interkom mengeluarkan suara ketukan, indikasi bahwa seseorang sedang mendengar di ujungnya.

Sunyi disambut dengan sunyi dan kembali ke telingaku.

"Nagato, aku nih."

Sunyi.

"Sori, aku juga ga tau gimana ngejelasinnya. Pokoknya, aku kembali dari masa depan. Asahina-san ada denganku juga, yang versi dewasa tapi. Oh, Varian Temporal Berbeda buatmu."

Sunyi.

"Aku butuh bantuanmu. Lagipula, yang ngirim aku ke periode waktu ini kan kamu."

Sunyi.

"Seharusnya Asahina-san dan aku ada di apartemenmu, kan? Tidur di kamar tamu yang waktunya dibekuin......"

Biip. Kunci pintunya terbuka.

"Masuk."

Suara Nagato yang keluar dari interkom terasa menyejukkan. Tenang seperti biasa, tanpa ada tanda seru atau depresi, walau dia memang kedengarannya terkejut, tapi mungkin itu cuma perasaanku saja. Tidak ada yang Nagato tidak bisa lakukan. Bahkan disituasi inipun dia pastinya bisa cari jalan keluar, kalau tidak habislah aku.

Seolah-olah berjalan ke dalam benteng dengan sepatu hak tingginya, Asahina-san menarik ikat pinggangku dengan jarinya, terlihat gugup sekali. Setelah membuka pintunya, liftnya mulai membawa kami lurus ke atas setelah kami di dalamnya.

Akhirnya, kami berada di depan pintu Kamar 708 yang kukenal.

Ada bel pintu, tapi belum bekerja, jadi pelan-pelan kuketuk pintunya. Aku tidak dapat merasakan seseorang berdiri di belakang pintu, namun pintu metalik itu tetap saja terbuka.

"......"

Wajah berkacamata melihatku melalui celah, dia lalu memindahkan pandangannya ke Asahina-san (besar) sebelum memindahkannya lagi kepadaku.

"......"

Tiada ekspresi dan membisu pada saat bersamaan, dia kosong sekali dari emosi yang jadinya aku ingin ada seseorang yang memohon kepadanya untuk mengatakan sesuatu. Dia memang Nagato, Nagato Yuki yang kukenal pertama kali. Nagato asli waktu mulai sekolah di musim semi lalu, juga yang "aku" mintai tolong dari "tiga tahun lalu".

"Boleh kami masuk?"

Setelah bisu berpikir, Nagato menganggukkan kepalanya sekitar satu sentimeter, lalu berbalik ke dalam apartemennya. Kuanggap aja tadi itu "iya". Aku berkata pada wanita cantik yang berdiri tepat di belakangku terlihat gugup,

"Masuk yuk, Asahina-san,"

"Er...... Benar juga, bakalan baik-baik aja,"

Terdengar seperti dia berkata itu untuk dirinya sendiri.

Omong-omong, sudah berapa kali ya aku bertamu ke tempat ini? Kalau menurut jam biologisku, berarti ini yang keempat kali, tapi kalau menurut urutan, ini yang kedua kali. Aku sudah bingung banget sama urutan waktu yang aku pun terkesan kalau jam biologisku tak rusak. Lompat dari musim dingin ke musim panas dan kembali ke tiga tahun lalu dua kali, bakalan normal kalo ada sesuatu yang salah pada diriku, tapi sekarang ini aku baik-baik saja. Belum lagi pikiranku terjernih yang pernah ada semenjak aku dilahirkan. Mungkin aku sudah terbiasa sama pengalaman ganjil yang kualami. Kalau itu orang lain, pikirannya mungkin sudah korsleting.

Waktu kulihat sekali lagi, apartemen tak bernyawa Nagato sama tak menariknya dari yang kuingat. Tidak ada yang berbeda dari "tiga tahun lalu" saat kami pergi kesini bulan Mei lalu.

Yang menentramkan hati yaitu Nagato ini Nagato yang kukenal. Dia masih tak berekspresi dan tak beremosi, dia tak akan panik kalau sesuatu terjadi, alien yang selalu bisa diandalkan.

Kulepas sepatuku dan berjalan menembus koridor sempit sebelum masuk ke ruang tamu. Nagato menunggu disana. Dia berdiri sendirian disana, menatap diam padaku dan Asahina-san. Kalau pun dia terkejut dengan kedatangan kami, tak bisa kutebak dari wajahnya. Mungkin dia sudah terbiasa didatangi aku dari masa depan, walau aku juga tidak ingin balik ke hari ini terus menerus.

"Kayaknya kita ga usah ngenalin diri lagi,"

Nagato tidak duduk, jadi Asahina-san dan aku tetap berdiri,

"Ini Asahina-san versi dewasa, kayaknya kamu udah ketemu sama dia sebelumnya," Tepat ketika aku mengatakan itu, aku ingat kalau itu tiga tahun kemudian, "Sori, kamu akan saling bertemu. Apapun itu, yang disini juga Asahina-san, jadi ga usah terlalu dipikirin lah ya."

Nagato melihat Asahina-san (besar) dengan mata seorang pengawas ujian nasional pelajaran matematika. Dia lalu melihat ke sekeliling ruang tamu sebelum akhirnya menetapkan pandangannya pada sosok seksi di belakangku sekali lagi dan berkata,

"Dimengerti."

Dia mengangguk ringan, rambutnya bahkan hampir tak bergerak.

Sewaktu aku mengikuti pandangan Nagato, aku melihat tempat itu -- ruang spesial disebelah ruang tamu, dipisahkan dengan pintu kertas.

"Itu bisa dibuka?"

Nagato menggelengkan kepalanya ke arah ruangan yang kutunjuk dan berkata,

"Tidak bisa. Seluruh komposisi struktur ruangan itu sudah dibekukan waktunya."

Aku merasa sayang dan lega setelah mendengar itu.

Nafas hangat terasa di leherku, itu adalah desahan lega Asahina-san. Dia tadinya berpikir sama denganku, kelihatannya. Kalau dia melihat dirinya tidur enak denganku di futon/kamar yang sama, apa ya yang Asahina-san (besar) pikirkan? Aku pengin tanya, tapi sekarang ini lebih penting untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi.

"Nagato, sori ya tiba-tiba ngunjungin kamu terus-terusan. Jadi, bisa ga kamu dengar cerita kami?"

Sampai berapa banyak ya si "aku" di ruang sebelah cerita ke dia? Cerita Brigade SOS sampe Tanabata, kan ya? Jadi kuterusin saja dari situ dan cerita padanya apa yang terjadi di tengah tahun kedua, dari musim semi kemurungan, dimana aku harus tahan sama kebosanan Haruhi, ke keluh kesah yang kubuat tak putus-putusnya saat bikin filmnya. Tentu aja, kamu ada disana, Nagato. Kamu selalu ada buat nyelametin. Abis itu, dunia tiba-tiba berubah pas aku bangun tidur kemarin lusa. Yang aku pengen tau kenapa semua orang hilang ingatan soal apa yang terjadi, yang itulah alasan aku datang kemari dengan bantuan Program Keluar Darurat yang Nagato siapin.

Bakal kelamaan kalau aku cerita detailnya juga, jadi sekali lagi aku cerita versi kompresan yang kuceritakan ke Haruhi. Kulompati detail-detail kecil dan hanya menyebutkan konteks penting ceritanya saja. Untuk gadis ini, itu sudah lebih dari cukup.

"......Dan itulah yang terjadi. Jadi disinilah aku sekali lagi, berkat kamu."

Karena bukti lebih penting daripada testimoni biasa, kukeluarkan pembatas buku kusut dari kantung jaketku. Seperti memberikan jimat-mantra ke hantu, kuberikan pembatas bukunya ke Nagato.

"......"

Nagato mengambil pembatas buku itu dengan ujung jarinya. Dia melewatkan pola bunga-bunga di pembatas buku itu dan mengamati tulisan yang tercetak dibelakangnya seperti arkeologis yang baru saja menggali keluar TV LCD dari lapisan tanah zaman Cretaceous. Sepertinya dia akan mempelajari tulisan itu selamanya, jadi aku menginterupsi pengamatannya.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?"

"Saya, saya pengen memulihkan anomali temporal ini,"

Suara Asahina-san (besar) terdengar gugup sekali seolah-olah dia mau mengatakan cinta pada lelaki pujaannya. Kapanpun dia bersama Nagato, Asahina-san tetap gelisah seperti biasanya setelah bertahun-tahun. Itulah yang kupikir, ngomong-ngomong.

"Nagato-san...... Bisa tolong bantu kami? Cuma kamu yang bisa memulihkan bidang waktu yang dirubah ini ke seperti semula. Kumohon......"

Asahina-san (besar) menutupkan kedua telapak tangannya dan menutup matanya seperti menyembah dewa. Oh Dewi Nagato yang Maha Kuasa, aku juga berdoa padamu demi mendapat pengampunan darimu. Mohon biarkan kami kembali ke ruang klub dimana aku bisa melihat Asahina-san dan menikmati teh yang dia rebus, main game board dengan Koizumi, liat kamu duduk kayak patung dan membaca, sementara Haruhi bakalan selalu nerobos masuk ke ruangan. Itu aja yang kupinta.

"......"

Nagato menaikan tatapannya dari pembatas buku, dan melihat lurus ke langit. Aku bisa mengerti kenapa Asahina-san akan begitu gugup, karena tidak ada kemungkinan menang kalau dia dari golongan yang berbeda dari Nagato. Maksudku siapa sih di dunia ini yang berani tengkar sama Nagato? Cuman Haruhi mungkin?

Akustik sempurna apartemen kelas-atas ini berarti tiada gaung yang dihasilkan. Sunyi sekali seakan-akan waktu berhenti. Nagato dan aku bertukar pandang, dan kulihat dia mengangguk beberapa milimeter.

"Biarkan saya konfirmasi."

Kata Nagato. Waktu aku mau tanya apa akan yang dia konfirmasi, dia menutup matanya.

"......"

Tak lama kemudian dia membuka matanya kembali dan melihatku dengan mata hitam obsidiannya,

"Sinkronisasi gagal."

Katanya cepat, dan lalu menatap padaku. Ekspresinya berubah sedikit, dan kali ini bukan aku yang mengkhayal. Ekspresi yang dia miliki antara musim semi dan musim panas, bahkan Koizumi pun menyadari perubahan ini. Semenjak bertemu kami, expresi Nagato sedikit demi sedikit berubah, walau itu bukan si Nagato waktu musim dingin.

Bibir merah pucatnya bergerak lagi,

"Saya gagal mendapatkan akses ke varian temporalku di periode waktu itu, karena dia telah memasang palang pelindung yang memblok usahaku mengakses."

Walau aku tak mengerti apa maksudnya itu, aku merasa tak nyaman. Berarti kamu ga bisa apa-apa?

Nagato tak mengacuhkan ketakutanku dan melanjutkan,

"Namun, saya punya gambaran seluruh situasinya. Dimungkinkan untuk melakukan pemulihan."

Dengan lembut Nagato mengusap kata-kata di pembatas buku. Setelah itu, dia mulai menjelaskan dengan suara yang mulai terhimpun kata-katanya seperti bola salju,

"Si perubah temporal telah memakai penuh kekuatan Suzumiya Haruhi untuk membuat data dan mengubah sebagian dari data dunia."

Suara kalem yang kukenal terdengar selantun kotak musik yang kudengar saat aku masih bayi dan telah menentramkan hatiku.

"Akan tetapi, Suzumiya Haruhi yang telah diubah tidak punya kekuatan untuk membuat data. Di dimensi itu, Entitas Gabungan Benak Data juga tidak eksis."

Gue ga gitu ngerti, tapi kedengarannya serius banget. Ternyata selain diriku, semuanya, termasuk Haruhi, sudah diberi paket ingatan yang baru; sekolah cewek jadi campuran, sebagian murid SMA North dipindah ke sekolah itu, sementara ingatan mereka diam-diam dirubah; agen dari 'Organisasi', Nagato si Alien, dan Asahina-san si penjelajah waktu sekarang hidup di kehidupan yang sama sekali berbeda; belum lagi Asakura sudah kembali sementara semua orang di SMA North benar-benar tidak ingat sama Haruhi. Sekarang kelihatannya bos Nagato pun dihapus.

Kacau banget.

"Dengan menggunakan kekuatan dari Suzumiya Haruhi, si perubah temporal dapat mengubah data tentang ingatan dalam rentang 365 hari ke belakang."

Dengan kata lain, ingatan semuanya dari Desember sebelumnya -- dari masa aku datang, tentunya -- ke 17 Desember tahun ini sudah dirubah seluruhnya. Namun ingatan soal Tanabata tiga tahun lalu -- yakni sekarang -- tak ada yang si pelaku bisa lakukan. Berkat Haruhi bisa ingat apa yang terjadi waktu Tanabata lah aku bisa datang kesini. Siapa sih si bego yang ngelakuin hal sama gobloknya dengan Haruhi?

Pandangan Nagato kembali terkunci padaku,

"Untuk memulihkan dunia ke bentuk semula, seseorang harus pergi dari sini ke 18 Desember tiga tahun yang akan datang, dan mengaktivasi Program Pemulihan tepat setelah si pengubah temporal mengeksekusi pengubahannya."

Jadi, kita ntar lompat ke tiga tahun yang akan datang, betul? Seseorang yang bakal ngelakuin pemulihan itu kamu, betul?

"Aku tidak bisa."

Kenapa engga?

Saat Nagato menunjuk kamar tamu, aku langsung mengerti.

"Aku tidak bisa meninggalkan mereka sendirian."

Menurut penjelasan Nagato, untuk supaya waktu tetap membeku di tempat dimana aku yang lain dan Asahina-san tertidur, dia tidak bisa melakukan perjalanan waktu. Dia lalu berkata dengan suara yang seolah-olah melaporkan waktu,

"Aktifkan Mode Darurat."

"Apa maksudnya tuh?" Aku mulai sedikit gelisah.

"Harmonisasi."

Aku masih ga ngerti.

Pelan-pelan Nagato melepas kacamatanya dan membungkusnya dengan tangannya. Seperti digantung dengan benang tak kasatmata, kacamata dalam telapak tangannya mulai mengambang. Kalau aku melihat orang normal yang melakukan ini, aku curiga ada benang tak terlihat terikat pada jari-jari orang tersebut. Tentu saja, Nagato tidak akan melakukan sesuatu yang begitu normal.

Distorsi.

Kedua bingkai dan kaca mulai membelit dan membentuk jadi benda pusaran aneh, seketika sepasang kacamata itu berubah menjadi benda lain. Aku pernah melihat benda itu, bentukan yang akan menusukkan rasa takut ke hati siapapun.

Ragu-ragu kukomentari,

"Terlihat kayak suntikan gede."

"Benar."

Cairan tak berwarna mengisi suntikan itu. Emang siapa sih yang mau ditusuk sama barang itu?

"Ini adalah Program Pemulihan yang digunakan dengan cara menyuntikkannya ke badan si perubah temporal."

Melihat pada jarum tajam keluar dari pangkal suntikan, reflek kupalingkan mukaku.

"Um...... bukannya ada cara yang lebih gampang. Sori aku ngomong gini, tapi aku pemula buat soal beginian. Bakal jadi bencana kalo kutusukan ke tempat yang salah."

Mata hitam Nagato, yang berkelip seperti monitor LCD, melihat pada suntikan yang dia pegang, lalu berkata,

"Begitukah?"

Dia melebarkan tangannya lagi, suntikan itu sekali lagi membentuk jadi pusaran sebelum berubah menjadi bentuk lain. Melihat bentuk baru benda ini, Kunafaskan desahan lega.

"Benda lain yang bakal bikin heboh."

Kali ini pistol, walau ada cerat kecilnya sementara materialnya terbuat dari stainless steel.

Nagato menempatkan pistol metalik mengkilap, yang terlihat seperti pistol mainan baru, ke telapak tangannya dan memberikannya padaku.

"Kemungkinan menembus pakaian sangat tinggi, tapi bila dimungkinkan, lebih baik langsung menembak kulit target."

"Pelurunya gimana? Apa ini pake peluru beneran?"

Dari penampilan luar sih, kayak pistol alumunium atau plastik.

"Ini pistol jarum-pendek, programnya disalurkan melalui ujung jarum."

Aku lebih tenang secara kejiwaan dengan benda ini daripada suntikan besar. Kuterima pistolnya dan terpukau akan ringannya benda itu.

"Oh iya,"

Akhirnya aku menanyakan pertanyaan yang tadinya tak berani kutanyakan.

"Siapa pelakunya? Siapa sih yang ngubah dunia? Kalo bukan Haruhi, terus siapa lagi? Bisa kasih tau aku?"

Kudengar Asahina-san (besar) berdesah pelan.

Nagato pelan-pelan membuka mulutnya, dan tanpa ekspresi apapun dengan tenang dia menyebutkan nama si pelaku kepadaku.



Bab 5



"..."

Ku tak tahu harus berkata apa. Sekarang Nagato berpaling ke Asahina-san (versi dewasa),

"Biarkan saya memberimu koordinat ruang-waktu targetnya."

"Oh, tentu."

Asahina-san (besar) menjulurkan tangannya seperti anjing setia yang ingin berjabat tangan dengan tuannya.

"Silahkan..."

Nagato menepuk lembut jarinya ke punggung tangan Asahina-san (besar), lalu menarik tangannya kembali... Gitu aja? Walau Asahina-san (besar) terlihat puas.

"Saya ngerti sekarang, Nagato-san. Yang perlu kami lakukan hanyalah pergi dan memperbaiki 'dia', kan? Ga bakal terlalu sulit, karena 'dia' ga akan punya kekuatan saat itu..."

Si penjelajah waktu terlihat yakin saat dia mengepalkan tangannya, si alien lalu berkata,

"tunggu sebentar."

Tidak mengenakan kacamata, Nagato berkata,

"Dalam keadaan seperti ini, kalian pun akan hanyut ke dalam perubahan rangkaian ruang-waktu. Langkah preventif perlu dilakukan."

Lalu dia menjulurkan tangannya.

"Tanganmu."

Buat apa? Apa dia pengen jabat tangan? Dengan patuh kujulurkan tangan kananku. Jari tangan sedingin es Nagato menggenggam pergelangan tanganku, membuat jantungku berdetak cepat sebentar.

"..."

Tiba-tiba Nagato menggerakkan muka kelamnya ke tanganku.

"Whoa!"

Aku reflek berteriak. Reaksi yang tak terhindarkan, kukira. Berlutut, Nagato bukan hanya menyentuh lembut pergelangan tanganku dengan bibirnya, dia bahkan memperlihatkan giginya. Seperti waktu membuat film, ketika dia terus menyerang Asahina-san dan menggigitnya.

Tidak sakit, sebenarnya. Terasa seperti gigitan lembut tak berbahaya yang Shamisen lakukan setiap kali aku mengelus-elusnya. Walau gigi taring yang masuk ke kulitku terasa sedikit tertusuk, seperti ditusuk sesuatu tapi sama sekali tak sakit. Mungkin karena air liur Nagato mengandung semacam anestesi untuk mengebaskan rasa sakit. Lebih seperti digigit nyamuk.

Berlutut, Nagato bukan hanya menyentuh lembut pergelangan tanganku dengan bibirnya, dia bahkan memperlihatkan giginya.

Setelah menggigit tanganku selama lima sampai sepuluh detik, pelan-pelan Nagato mengangkat kepalanya.

"Permukaan tubuhmu sudah diselimuti oleh pelindung memanipulasi-data tak kasatmata dan perisai proteksi,"

Kata Nagato tanpa malu-malu sedikit pun. Di lain pihak, menangkupkan mulutnya dengan kedua tangannya, Asahina-san (besar) terlihat lebih ke kagum. Aku merasa sedikit kebal dan melihat pergelangan tanganku. Disana ada dua lubang kecil seperti gigitan vampir. Sewaktu aku melihatnya, dua lubang kecil itu mulai sembuh dan menghilang tanpa bekas. Seperti Asahina-san waktu membuat film, tubuhku juga disuntik dengan nano-mesin Nagato.

"Kau juga."

Dibawah permintaan Nagato, Asahina-san yang ketakutan menjulurkan tangannya.

"...Sudah lama sekali ya sejak kamu menyuntik saya. Pastinya kamu kerepotan banget ya, waktu itu..."

"Ini pertama kalinya saya memberimu suntikan."

"Oh, iya, ya. Saya lupa..."

Menutup matanya rapat-rapat, si penjelajah waktu menjulurkan pergelangan tangannya dan menerima ciuman baptis alien itu. Waktu suntikan nano-mesinnya lebih sebentar dariku. Setelah selesai, dia mulai berdeham.

"Sip, pergi yuk. Kyon-kun, yang beneran mulai dari sekarang."

Iya gitu? Pemanasan kali ini terasa lama kali! Sekali lagi, aku hanya berusaha sebaik-baiknya untuk menarasikan cerita ini ke semua orang, walaupun aku tak ingin melakukannya.

"Makasih."

Aku berusaha tetap tenang sewaktu berterimakasih pada nona rumah apartemen ini. Si pendiam Nagato tetap tak merespon. Aku tidak bisa menemukan bentuk kesadaran dari ekspresinya. Namun untuk beberapa alasan, aku merasa Nagato, yang berdiri tegak, merasa sangat kesepian. Apa itu karena dia kesepian saat aku berspekulasi?

"Nagato, ntar kita ketemuan lagi ya. Sebelum Haruhi dan aku datang, pastiin kamu nunggu kami di ruang Klub Sastra."

Seperti boneka yang disusupi kehidupan, makhluk organik buatan alien menganggukkan kepalanya seperti mesin.

"Akan kutunggu."

Kalimat seperti itu cukup untuk membakar api misterius dalam hatiku. Walau hanya seterang puntung rokok yang seseorang lupa untuk mematikannya. Sewaktu aku mencari-cari apa percikan itu, Asahina-san (besar) lalu berkata,

"Cuma buat nyegah kamu jadi ga nyaman."

Dia menggenggam pundakku erat-erat.

"Bisa kau tutup matamu?"

Kuikuti seperti yang telah diinstruksikannya. Asahina-san (besar) sepertinya berdiri tepat di depanku, menggenggam tanganku.

"Kyon-kun."

Suara lembut ini terdengar terlalu menyenangkan. Apa dia pengen nyium gue?

"Siap siap."

Silahkan, Kamu bisa nyium aku sebanyak yang kamu mau, makin bergairah makin bagus. Tepat ketika aku memikirkan ini...

Pusing dramatis itu telah dimulai. Tindakan tepat kututup mataku. Kalaupun kubuka, paling gelap gulita seperti waktu listrik mati. Sekarang aku merasa duduk di roller coaster dengan sabuk pengaman terbuka; tidak pasti apakah darah di tubuhku sudah keluar dari tubuhku atau menjalar ke otakku. Rasa melayang tak-berberat berlanjut. Walaupun sudah kututup mataku, aku masih merasa pusing. Bukti aku tidak kehilangan kesadaran semua berkat rasa hangat dari tangan Asahina-san.

Sudah berapa menit ya? Ato jangan-jangan udah berjam-jam? Aku kehilangan rasa sadar akan waktu dan ruang. Gue ga tahan lebih lama lagi. Asahina-san, kayaknya aku pengen muntah...

Sewaktu aku tanpa malu mencari sesuatu untuk kumuntahi...

"Mmm... Kita sudah sampai."

Sensasi yang lama hilang yaitu kakiku berdiri di tanah keras sudah kembali. Rasa dingin tanah menembus kaus kakiku dan kedalam tubuhku. Rasa gravitasiku pun kembali. Seperti ilusi, rasa ingin muntah pun tiba-tiba menghilang.

"Sekarang kamu boleh buka mata. Syukurlah, ini tempat yang Nagato-san kasih tau... Dan waktunya juga."

Kuangkat kepalaku dan melihat kelipan langit malam penuh kumpulan rasi bintang musim dingin. Karena udaranya lebih bersih, bintang-bintang lebih terlihat jelas daripada waktu musim panas. Kuputar badanku dan langsung mengenali atap komplek SMA North nampak diatas perumahan.

Kulihat sekitarku, mencoba mengkonfirmasi dimana aku sekarang. Walau gelap, aku tak bisa salah. Tadinya aku berdiri disini beberapa jam lalu. Aku masih bisa ingat Haruhi dengan kuncir kudanya dan juga Koizumi yang mengenakan seragam olahragaku.

Ini tempat Haruhi dan Koizumi ganti baju. Mestinya sih kebetulan, kayaknya!

Terus sekarang, jam berapa?

Melihat jamnya, Asahina-san (besar) memberitahuku,

"Sekarang jam empat empat-delapan pagi tanggal 18 Desember. Lima menit lagi, dunia akan berubah."

Pas gue mencet tombol "Enter" tanggal 20 dan lompat tiga tahun kebelakang, tanggal 18 berarti dua hari lalu. Di hari itu, gue pergi ke sekolah kayak biasanya, ga nyadar sama apa yang bakalan terjadi, dan bikin hiruk-pikuk abisnya ngeliat SMA North yang seluruhnya berubah. Haruhi tiba-tiba aja ngilang, sementara Asakura muncul lagi; dan Asahina-san ga kenal sama gue, sementara Nagato bener-bener jadi orang lain.

Semuanya dimulai disini, sekarang gue ada di periode waktu dimana konversinya mulai berdampak. Dengan kata lain, gue juga bisa nyegah itu terjadi, dan makanya gue berdiri disini sekarang.

Tepat ketika aku mulai semangat oleh keadaan tegang yang mau datang......

"Oh ya ampun! Kita lupa bawa sepatu!"

Asahina-san berseru renyah.

Karena kami lompat dari dalam ruangan, sudah pasti kami tidak mengenakan sepatu apapun. Seperti yang sudah diduga dari Asahina-san, bahkan lintasan waktu pun tidak akan menghilangkan kecerobohannya.

"Nagato-san bakal ngejagain sepatunya ga ya?"

Kegelisahannya sedikit melegakan kegugupanku. Aku yakin bakal dijagain sama dia. Lagian, dia bisa ngejaga tanzaku sampe tiga tahun. Jadi dia ga bakalan segampang itu ngilangin sepatu. Kapanpun kamu bisa ke apartemennya dan ngecek rak sepatunya......

Tepat ketika aku berpikir tenang soal ini, sensasi seperti setruman listrik menjalar di tubuhku tiba-tiba.

Itu karena aku tidak pakai sepatu, apa lagi melompat dari musim panas ke musim dingin membeku, jadi dinginnya semakin menusuk. Aku langsung berpikir untuk memakai kembali jaket yang kubawa di lenganku; ketika itu pula aku sadar Asahina-san bergemeletuk kedinginan dan membungkus tubuhnya dengan lengannya. Yah, cuma pake blus lengan-panjang dan rok-mini ketat di temperatur rendah kayak gini, tentu aja bakalan normal kalo dia kedinginan banget.

"Nih, pake,"

Kutaruh jaketku di pundak menggigilnya. Bahkan aku sendiri pun senang akan tindakan ksatriaku.

"Oh, makasi. Sori ya ngerepotin."

Ga perlu minta maaf, bukan masalah kok. Kalo kamu ga nunggu aku tiga tahun lalu, aku ga bakalan bisa kembali ke sini. Cuma begini doang dah cukup, kalaupun itu berarti aku harus ngelepas semua bajuku buat kamu.

Asahina-san (besar) memberiku senyuman, sebuah kombinasi sempurna antara keseksian dan keimutan, dan akan melemaskan kaki lebih dari setengah penonton yang melihatnya, lalu berkata serius,

"Hampir waktunya."

Mungkin bagus juga kami lupa pakai sepatu, karena kami tidak bersuara waktu berjalan. Walaupun begitu, Asahina-san (besar) dan aku masih tidak berani bernafas keras-keras ketika kami berjalan di gang kecil menuju gerbang masuk SMA North. Kami berhenti di belokan dan seperti pemburu mengikuti buruannya, kami hanya menyembulkan kepala kami dan melihat pada jalan gelap di depan.

Tidak banyak lampu jalan di daerah ini, tapi ada satu tepat di luar gerbang. Hanya area di bawah lampu yang tersinari. Walau cahayanya redup, siapapun masih bisa melihat siapa saja yang berdiri di bawah lampu itu.

"Dia datang......"

Tangan hangat mendarat di pundakku. Aku bisa merasakan ketegangan Asahina-san (besar) namun nafas manis bertiup di telingaku. Biasanya sih, aku bakal terpesona, tapi sekarang bukan waktunya.

Si perubah ruang-waktu timbul dari bayangan dan ke cahaya di bawah lampu.

Seragam SMA North. Dia adalah orang yang Nagato sebutkan. "Orang itu" adalah si pelaku yang merubah dunia kami, memisahkan anggota Brigade SOS dan merubah semua orang jadi manusia normal. Hanya ingatanku yang tak berubah, sementara ingatan dan sejarah semua orang dan segala hal lainnya benar-benar berubah.

Sekarang, "orang itu" mulai melakukan aksinya.



Jangan terburu-buru dulu, aku harus menunggu sampai semuanya berubah. Itulah saran yang Nagato berikan padaku. Aku musti menunggu sampai orang itu sudah merubah dunia seluruhnya sebelum kusuntikkan Program Pemulihan. Kalau tidak, sejarah saat aku mengaktivasi Program Keluar takkan pernah terjadi. Aku tidak begitu mengerti apa maksud Nagato, tapi sepertinya Nagato dan Asahina-san (besar) lumayan tegas soal itu. Mereka pastinya sangat mengenal dengan aliran waktu, orang sepertiku takkan mengerti. Karena aku takkan bisa mengerti, mungkin sebaiknya aku mengikuti saran profesional saja. Nagato itu tidak akan pernah berbohong, dia selalu berdiri di samping kami dengan tatapan serius di wajahnya......

Kugenggam erat pistol jarum-pendek yang Nagato berikan padaku dan menunggu dengan diam.

Berjalan dengan langkah biasa, "orang itu" tiba di depan gerbang SMA North. Dia mengangkat kepalanya untuk melihat komplek sekolah yang diselimuti kegelapan dan berhenti.

Rok seragam sekolahnya berkibar ditiup angin.

Dia sepertinya tidak menyadari ada kita. Berkat nano-mesin yang Nagato suntikan kepada kami, membuat tabir tak kasatmata dan perisai proteksi di permukaan tubuh kami.

"Orang itu" tiba-tiba mengangkat satu lengannya dan membuat gerakan seolah-olah mengambil sesuatu di udara. Tidak terlihat natural, dia sepertinya dikontrol sesuatu, tapi aku tahu bukan itu masalahnya.

"Hebat..." Seru Asahina-san, "Itu gempa-waktu yang luar biasa. Dia benar-benar punya kekuatan itu... Sulit dipercaya,"

Bahkan dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak melihat ada sesuatu berubah. Langit malam masih gelap. Namun Asahina-san (besar) sepertinya menyaksikan orang itu menggunakan suatu cara untuk membuat perubahan besar sejarah dunia ini. Dia toh dari masa depan, jadi tak aneh kalau dia bisa lihat itu.

Asahina-san (besar) bersandar erat padaku. Seharusnya, kami juga bakal terseret dengan perubahan dunia "orang itu", tapi kami terlindungi karena Nagato menggigit kami. Nagato dan Asahina-san (besar) memang sangat membantu, sepertinya rangkaian aksi yang kulakukan sudah benar. Apa yang akan dilakukan selanjutnya adalah tindakan yang akan menyelesaikan masalah ini, aku tidak boleh bikin kacau di rintangan terakhir.

Kutahan nafasku ketika melihat orang itu menurunkan lengannya dan tiba-tiba memutarkan kepalanya ke arah kami. Pertama kupikir dia menemukan kami mengintipnya, tapi ternyata dia hanya melihat sekitar.

"Tenang aja, dia ga nemu kita kok. Sekarang ini dia sudah 'dilahirkan kembali'. Gempa-waktu... Pengubahan dunia sudah selesai. Kyon-kun, giliran kita bergerak sekarang."

Kata Asahina-san (besar) dengan kaku dan nada serius dan memberiku tanda.

Aku timbul dari kegelapan dan bergerak ke arah gerbang sekolah. Tidak perlu buru-buru, toh dia takkan kabur. Sudah kuduga, ketika "orang itu" menyadari aku berdiri di bawah lampu jalan, dia masih berdiri di depan gerbang sekolah. Perubahan yang ada hanyalah ekspresi wajahnya. Saat aku melihat wajah herannya, tiba-tiba aku merasa sedih.

"Yo, pa kabar,"

Aku memanggilnya. Seolah-olah menemui teman yang sudah lama tak kulihat, kudekati dia.

"Ini aku, kita ketemu lagi,"

Aku bisa menebak sedikit dari nada suara Asahina-san (besar). Dari orang-orang yang kukenal, selain Haruhi, hanya satu orang yang bisa membuatnya tidak nyaman. Coba pikir. Setelah tanggal 18, profil rahasia pribadi anggota Brigade SOS tiba-tiba menghilang. Namun semua kepribadian mereka tetap sama, semua kecuali satu, yang tindakannya, ekspresinya, dan perangainya berubah seluruhnya.

Dibawah langit malam, mengenakan seragam SMA North, sosok mungil berdiri disana tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dia sepertinya tidak mengerti kenapa dia disini, seperti seseorang yang sakit tidur-berjalan yang tiba-tiba bangun dan mulai melihat sekitar...

"Nagato,"

Kataku,

"Semua ini perbuatanmu, ya?"


dia adalah Nagato Yuki setelah tanggal 18, Nagato Yuki ini hanyalah anggota terakhir Klub Sastra, dia bukan alien ataupun entitas misterius apalah itu, hanya seorang kutubuku yang sangat pemalu.

Nagato sekarang terlihat lebih keheranan, tidak mengerti apa yang sedang terjadi,

"...Ngapain...ngapain...kamu disini?"

"Baru aja aku pengen tanya itu ke kamu, kamu sendiri kenapa disini?"

"...Jalan-jalan,"

Kata Nagato gelisah sambil melebarkan matanya. Kacamata pada wajah gadis yang kulihat memantulkan cahaya lampu jalan. Aku melihat padanya dan berpikir,

Bukan, bukan kayak gitu kan, Nagato.

Gadis ini hanya merasa jenuh. Menghabiskan setiap harinya mengamati Haruhi, menyelamatkan nyawaku, dan mungkin melakukan pekerjaan lain tanpa kami ketahui - dia pasti sudah lelah dengan semua itu.

Beberapa waktu lalu di apartemen Nagato, dibawah ini adalah apa yang Nagato tiga tahun lalu katakan kepada kami:

"data error terakumulasi dalam memori databaseku, bug yang tercipta dari kejadian itu akan memicu reaksi anomali. kejadian ini tak bisa dihindari. Pada tanggal 18 Desember tiga tahun dari sekarang, aku akan merombak ulang dunia."

Dengan tenang dia melanjutkan,

"Tidak ada langkah 'pencegahan' yang bisa dilakukan, karena aku juga tidak tahu bagaimana error itu bisa terjadi."

Tapi gue tau

Alasan dibalik tindakan abnormal yang tak bisa nagato mengerti, dan data error yang dia akumulasikan itu.

Itu adalah hal paling dasar dari yang terdasar. Bahkan untuk AI yang dijalankan oleh program super cagih atau robot dari masa depan atau semacamnya sekalipun, setelah aktif beberapa lama, anomali akan terbentuk. Kamu ga bakalan bisa ngerti, tapi aku ngerti. Dan mungkin Haruhi juga ngerti.

Kulanjutkan mengamati ekspresi kesusahan Nagato dengan diam. Namun gadis dari Klub Sastra itu justru terlihat makin tak nyaman. Melihat bagaimana putus asanya dia, aku tak bisa apa-apa kecuali berteriak dalam hati, Nagato! Itu yang kita sebut emosi!

itu karena kamu tidak di disain untuk punya emosi sejak awal, karenanya reaksi yang di hasilkan pun lebih besar. Mungkin kamu ngerasa pengen nangis, atau teriak, atau ngamuk, atau cuman ngebentak, AKU GAK PEDULI LAGI! kan?

Tidak, kalaupun dia tidak berpikir demikian, apa yang dia lakukan bisa dipahami. Tindakannya bisa dimaafkan, karena toh aku juga punya sebagian tanggung jawab. Aku jadi terlalu bergantung padanya, terbiasa membiarkan Nagato mengurus semuanya. Aku selalu berpikir selama ada Nagato, aku tak perlu melakukan apapun. Aku bego banget ya, lebih idiot daripada Haruhi. Jadi aku tak punya hak untuk menyalahkannya.

Itulah kenapa Nagato - gadis ini, tiba-tiba ingin merubah dunia.

bug kau bilang?, error?

berisik, bukan semua itu.

Inilah yang Nagato inginkan - dunia normal kayak gini.


Sekarang aku mengerti pertanyaan yang menghantuiku beberapa hari ini.


Kenapa cuman aku yang tidak berubah?


Jawabannya mudah, itu karena gadis ini ingin membuatku memilih.

Dunia yang dirubah lebih bagus? atau yang original yang lebih bagus? Dengan skenario terbaik yang di buat nagato, keputusan terakhir tergantung padaku.

"Sial,"

apa yang sebenarnya aku pikirkan?

Kalau gue cuma pengen Brigade SOS, ya udah ga usah balik. Tinggal mulai dari awal di dunia yang baru. Haruhi dan Koizumi mungkin belajar di SMA lain, tapi itu ga bakalan jadi halangan berat. Kami anggap aja hobi diluar sekolah. Klub misterius ini bisa kumpul-kumpul seperti biasa di kafe . Disana, Haruhi bakalan ngasih ide konyol, sementara Koizumi bakalan menyeringai terus-terusan; Asahina-san bakalan kelihatan stress, dan gue bakalan berpaling dengan muka cemberut... Sebuah gambaran kejadian itu tiba-tiba mengambang di benakku. Nagato itu mungkin bakal keliatan kesusahan juga, tentu aja dia bakalan tetap diam sambil baca bukunya. Tapi tetap aja...

Bukan Brigade SOS yang kukenal. Nagato bukan alien, Asahina-san bukan penjelajah waktu dari masa depan, dan Koizumi hanya manusia normal, sementara Haruhi tidak memiliki kekuatan luar biasa. Hanya klub yang biasa, normal, dan menyenangkan.

Ga pa pa tuh kayak gitu? Bukannya lebih bagus tuh?

Gimana ya gue mikir pertama dulu? Apaan sih yang biasa gue bilang ke Haruhi si biang kerok melebihi batas akal sehat?

Repot banget.

Udah cukup!

Loe itu idiot ya!?

Bete gue ama loe!

"......"

Hatiku mulai sakit.

Aku sebenarnya hanyalah anak SMA biasa yang dipaksa terlibat situasi merepotkan, terus mengeluh ke Haruhi namun tetap hidup untuk menceritakan dongengnya. Itulah peran yang kumainkan selama ini.

Jadi sekarang,"Aku"! Ya, Kyon! Gue ngomong ke elo! Gue mesti nanya pertanyaan penting ke diri gue sendiri, jadi dengar baek-baek dan jawab gue. Ga usah nahan diri buat ngejawab. Cuman "ya" atau "tidak" aja. Sekarang dengerin gue,siap? ini pertanyaannya:


Bukannya kehidupan sekolah yang aneh dan luarbiasa kayak gitu tuh asik?


Jawab gue, Kyon! Pikir baek-baek. Jadi?

Di dunia dimana gue di seret kemana-mana ma Haruhi; diserang alien; ngedengerin penjelasan aneh dari penjelajah waktu, dan berusaha memahami penjelasan yang lebih aneh dari seorang esper; keperangkap di Dimensi Tertutup dimana raksasa ngamuk-ngamuk; tinggal sama kucing yang bisa ngomong; ngelompati waktu tanpa tahu maksudnya; belum lagi ngikutin aturan keras gak boleh ngasih tau haruhi semua ini, ngebiarin komandan Brigade SOS dengan gembira ngelanjutin pengejaran kejadian-kejadian misterius, sementara dia bener-bener gak tau kalo dia itu sendiri adalah kejadian misterius.

Bukannya itu asik?

Ato loe pikir itu tuh nyusahin banget, dan pengen ngomong ke dia kalo loe tuh dah muak banget liat mukanya dia? Abisnya loe selalu mikir kalo dia itu idiot dan mutusin untuk ga peduli sama dia. Jadi? Bener ga? Dengan kata laen? Beneran itu yang loe pikirin?


Dunia itu hampir ga menarik sama sekali.


Yang bener? Dari yang loe omongin, Haruhi itu keliatan nyusahin banget. sampai-sampai omong kosong Apapun yang haruhi utarakan, gak pernah gagal bikin loe stress. Tentu aja normal kalo loe ga ngerasa dunia itu asik.

Dan jangan bilang kalo itu ga bener! Loe sendiri tau.

Tapi kenapa?


Loe mencet tombol "Enter"?


Itu lho, pas ngejalanin Program Keluar Darurat yang Nagato tinggalin.


Ready?

Dan kau jawab "Yes" untuk pertanyaan itu.

Bener kan?

Bahkan yang mulia nagato sendiri udah turun tangan buat ngasih Loe dunia yang stabil,tapi lagi-lagi Loe tolak pemberian-nya. Sebenernya loe pengen balik ke dunia gila dimana alien, penjelajah waktu, dan esper keliaran bebas di sekolah. Kenapa? Bukannya elo yang terus ngeluh soal segimana menyedihkannya elo?

Kalo emang gitu, kenapa loe ga ngabaiin Program Keluar? Dengan milih tinggal di dunia yang sangat normal ini, loe bakal kenal sama Haruhi, Asahina-san, Koizumi, dan Nagato sebagai anak SMA biasa, dan hidup bahagia seperti biasa dibawah kepemimpinan Haruhi. Karena si Haruhi ga punya kekuatan, loe bisa hidup tenang tanpa harus khawatir masuk ke dunia parallel, atau nyaris mati di bunuh alien,.

Di dunia itu, Haruhi cuman jadi gadis normal yang suka nyuruh-nyuruh orang; Asahina-san ga akan jadi penjelajah waktu dari masa depan, dia cuman bakalan jadi karakter yang imut banget; Koizumi cuman anak SMA biasa tanpa backingan dari semacam 'Organisasi' misterius; dan Nagato cuman seorang cewek pendiam dan pemalu yang suka baca buku, dia ga bakal punya kekuatan hebat buat ngawasin ato ngelindungin seseorang,dia juga bakal jadi cewek biasa yang ganti baju tiap pulang sekolah,kapan terakhir kali loe liat Nagato make baju bebas,jujur ma gue?!. Oh iya, walaupun biasanya dia bakalan tetap ga berekspresi, dia bakalan tetap benar-benar ketawa ngedengerin lelucon garing, terus langsung memerah begitu sadar dia di liatin. Siapa tahu, pelan-pelan dia bakalan jadi orang yang terbuka bila gue ngabisin banyak waktu sama dia.

tapi Loe justru membuang dunia yang sangat damai itu?

Kenapa juga tuh?

Gue tanya sekali lagi. Jawab gw dengan jujur.

Ngerasa ga sih kalo Haruhi si biang-kerok dan kejadian aneh yang dia cciptain itu mengasikan? Cepetan jawab!

"Tentu aja asik,"

Jawabku,

"Ga perlu jadi Profesor Matematika segala buat nyadarin itu asik. JANGAN TANYA SOAL SEPELE KEK GITU LAGI!!."

Kalau ada orang yang benar-benar ngomong kalau itu tuh ga asik, maka tuh orang idiot. Akalnya tigapuluhribu sekian kali lebih kecil dari Haruhi.

Maksud gue, ada alien, penjelajah waktu, dan esper gitu loh!

Satu aja pasti dah bikin heboh, tapi ini langsung ada tiga karakter menarik! Termasuk Haruhi, dan siapa tahu apa yang bisa haruhi lakuin di masa depan. Kalo gini terus, gue ga bakalan bisa bosen. Kalo ada yang protes, gue bakalan langsung hajar sampe mampus tuh orang.

"Jadi gitu ya,"

Kataku pada diriku sendiri. Kamu bisa bilang kalau aku akhirnya sudah diterangi.

"Aku masih suka sama dunia asli. Dunia ini ga cocok denganku. Sori, Nagato. Aku ga suka kamu yang sekarang, aku lebih suka Nagato yang sebelumnya. Lagian, aku lebih seneng kamu ga pake kacamata,"

Nagato melihatku dengan wajah yang sangat keheranan,

"Ngomong apa sih kamu..."

Nagato Yuki yang kukenal takkan pernah bicara seperti itu.

Gadis ini tidak akan tahu apa-apa soal tiga hari ini, waktu aku menemukan ada sesuatu yang salah sampai saat ini. Memang bisa diduga, karena Nagato ini baru dilahirkan kembali, dan jadinya belum bertemu denganku. Dia tidak punya ingatan tentang aku yang menerobos masuk ke dalam Klub Sastra.

Ingatan satu-satunya yang Nagato ini punya hanyalah ingatan buatan waktu di perpustakaan. Selain itu, ingatan kami bersama terjadi setelah dia merubah dunia barusan.

Beberapa bulan lalu, aku terperangkap dalam Dimensi Tertutup hanya dengan Haruhi. Menurut Koizumi, itu adalah dunia baru yang dibuat oleh Haruhi.

Nagato mungkin menggunakan kekuatan itu. Entah bagaimana dia bisa mencolong atau mencuri kekuatan misterius dari Haruhi dan menggunakannya untuk membuat dunia ini.

Memang kekuatan yang menyenangkan. Bagi siapapun itu yang punya pikiran untuk mulai dari awal lagi, atau ingin sesuatu kembali ke tempat yang mereka inginkan.

Akan tetapi, manusia normal takkan bisa mengabulkan permintaan seperti itu. Dan memang lebih baik kalau mereka menghilangkan pemikiran itu. Aku sendiri tidak mau memulai dari awal, makanya aku kembali dari Dimensi Tertutup bersama Haruhi.

Insiden ini diakibatkan oleh pemindahan kekuatan 'mengubah realita' milik Haruhi ke Nagato. Haruhi tidak menyadarinya samasekali, sedangkan Nagato kehilangan kendali dan terus maju merubah dunia.

"Nagato,"

Aku berjalan ke arah sosok mungil kaku yang berdiri disana. Nagato tetap tak bergerak dan balik menatapku.

"Kembalikan dunia ini menjadi normal,termasuk kamu juga,kalau kamu butuh bantuan aku pasti nolongin,kamu gak perlu gunain kekuatan kek gitu buat maksa dunia berubah"

Mata dibalik kacamatanya menyingkap rasa takut.

"Kyon-kun..."

Asahina-san menarik-narik lengan bajuku dan berkata,

"Ga ada gunanya ngejelasin ke Nagato-san ini. Karena bahkan dia pun udah berubah. Nagato-san ini cuman gadis biasa yang ga punya kekuatan apapun..."

Tiba-tiba aku menyadari sesuatu.

Haruhi berambut panjang yang memanggilku John. Tanpa kekuatan seperti dewa atau iblis, dia hanya seorang gadis anak sekolah yang menerobos masuk SMA North tanpa ragu. Matanya berbinar sewaktu dia menunjukan ketertarikan tinggi pada ceritaku tentang Brigade SOS, sambil berseru, "Kayaknya asik tuh!"

Menyeringai lebar setiap saat, Koizumi yang itu bilang kalau dia naksir Haruhi. Mengenakan seragam olahragaku, si straight A murid pindahan akan menunjukan ekspresi ruwet.

Mengundangku masuk Klub sastra, Nagato berkacamata ini akan mengenang ingatan buatannya bersamaku. Senyum di wajahnya saat itu seperti matahari terbit di cakrawala, tak bisa kutahan bahwa aku ingin sekali melihat senyum itu sekali lagi.

Aku sadar aku takkan bisa bertemu dengan orang-orang ini lagi. Kalau boleh jujur, aku agak rindu mereka. Tapi masalahnya eksistensi mereka itu buatan. Mereka bukan Haruhi, Koizumi, Nagato, dan Asahina-san yang kukenal. Sangat disayangkan aku tak punya kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal, tapi aku sudah memutuskan. Aku ingin kembali ke Haruhi, Koizumi, Nagato dan Asahina-san yang kukenal.

"Maafkan aku."

Kukeluarkan pistolnya dan membidik. Nagato langsung terpaku di tempat, melihat reaksinya, aku sangat merasa seperti seorang kriminal. Tapi gue udah sejauh ini, ga ada gunanya ragu-ragu.

"Semuanya bakalan balik kesemula secepatnya. Kita bakalan pergi ke banyak tempat lagi, nikmatin hotpot natal, terus pergi ke mansion di gunung salju. Kamu boleh kok jadi Detektif Agung kali ini. Detektif Agung yang bisa mecahin kasus pas kasusnya udah kejadian, ya ga? Bakalan......"

"Kyon-kun! Awas... KYAA!!"

Tepat ketika Asahina-san berteriak, seseorang menghantamku dari belakang. Buk! Rasa ngeri membuatku gemetar, bahkan bayangan dibawah lampu pun bergetar. Di bayangan itu ada siluet orang lain. Apa yang? Siapa?

"Aku ga bisa ngebiarin kamu nyakitin Nagato-san!"

Kuputar kepalaku keatas pundakku dan melihat muka pucat seorang gadis.

Asakura Ryouko.

"Apa yang..."

Aku tak bisa bicara apapun, tiba-tiba aku merasa sesuatu yang dingin membeku tertikam kedalam perutku. Itu adalah benda tipis yang ditusukkan dalam-dalam ke dalam tubuhku. Begitu dingin. Rasa tak sadar melebihi rasa sakit. Ada apaan sih? Kok bisa begini? Kenapa Asakura disini?

"Hee hee,"

Bagiku, seringainya terlihat seperti topeng tak berekspresi yang tiba-tiba tersenyum. Asakura lalu mundur menjauhiku, sambil mencabut pisau belati bersimbah darah yang digunakannya untuk menikamku.

Kehilangan keseimbangan, aku jatuh ketanah seperti gasing. Berdiri didepanku sepanjang waktu, kaki Nagato melemas sewaktu dia merosot jatuh ke tanah dan berkata ketakutan,

"Asakura...-san?"

Seolah-olah menyapa seseorang, Asakura-san mengayunkan pisau Swiss Army yang basah karena darahku dan berkata,

"Hai, Nagato-san. Jangan kawatir, selama saya disini, akan kuhabisi orang yang pengen ngancam kamu. Itulah alasan kenapa saya diciptakan."

Asakura tersenyum dan melanjutkan,

"Ini yang kamu inginkan, kan?"

Itu bohong. Nagato ga bakalan pernah bikin permintaan macem begituan. Dia bukan tipe orang yang bakalan ngebunuh burung cuman karena burung itu ga berkicau sebagaimana yang diinginkan. Pokoknya engga. Pas Nagato mulai bertindak abnormal, Asakura ini yang diciptakan-ulang juga bertindak abnormal, sederhananya jadi bayangan Nagato......

Bayangan Asakura pelan-pelan mendarat di tubuhku. Tak lama lagi siluetnya menghalangi bulan dari sudut pandangku.

"Ijinkan saya yang mengantar kepergianmu. Selama kamu mati, semuanya akan baik-baik saja. Dari awal emang salah kamu Nagato jadi menderita. Sakit ga? Pastinya iya. Lebih baik nikmatin selama masih kerasa, abisnya mungkin itu rasa terakhir yang akan kamu rasakan,"

Pisau lebar itu pelan-pelan terangkat, ujung pisaunya terarah ke jantungku. Aku berdarah tiada henti. Apa ini akhirnya? ...Aku berusaha keras berpikir waktu pikiranku mulai kabur. Aku mulai kehilangan kesadaran. Jadi, Asakura-gila, ini toh misimu? Jadi backup Nagato Yuki...

Pisaunya mulai bergerak kebawah...

Dalam satu kedipan mata, sebuah tangan terentang dari satu sisi.

"...!!!"

Seseorang telah menangkap bagian tajam belati, dengan tangan kosong .

"Siapa yang...?"

Tangan kosong...!? Dimana ya gue pernah liat ini?

Penglihatanku makin lama makin kabur, jadi aku tidak bisa tau siapa dia. Cahaya ga terang, bisa minta tolong terangin lampunya? Dia berdiri di depan terang lampu jalan, jadi aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Yang kutahu hanyalah dia gadis berambut pendek...pake seragam SMA North...ga pake kacamata...itu aja yang bisa gue liat... Koizumi! ...Mana sih itu orang yang ngurus pencahayaan pas kita lagi butuh!?

"Hah...!?"

Yang bersahut lemah itu adalah Nagato, yang duduk di tanah. Kacamatanya memantulkan silau lampu jalan, jadi aku tak bisa melihat ekspresinya dengan jelas. Itu takut? Atau keheranan ya?

"Kok bisa? Tapi kamu kan...!? Kok bisa..."

Pekik Asakura. Dia sepertinya bicara dengan gadis yang menangkap ujung belati dengan tangan kosongnya, tapi si gadis tetap diam dan tak berbicara apapun.

Asahina-san terdengar seolah-olah dia ada tepat di sebelahku,

"Maafkan aku... Kyon-kun, seharusnya saya udah tau, tapi tetap aja..."

"Kyon-kun! Kyon-kun...... Jangan! Kamu ga boleh!"

Kayaknya kok ada dua Asahina-san. Satu Asahina-san dewasa, yang satu lagi Asahina-san remaja yang kutahu. Keduanya bersimbah air mata di wajahnya, dan mengoyang-goyangkan tubuhku. Hei, kalian berdua, sakit tau...

...Heh? Ngapain Asahina-san (kecil) disini ya? Gue sih masih ngerti soal Asahina-san dewasa yang nahan gue di tangannya dan menangis, karena dia datang kesini ke periode waktu ini sama-sama gue; tapi Asahina-san kecil ini datang dari mana? Ah, gue ngerti sekarang. Mesti ilusi nih, ingatan-ingatan seseorang semasa hidupnya ketika menghadapi kematian...

Nah itu lebih menakutkan daripada rasa sakit dan melihat darah keluar tak henti-hentinya dari tubuhmu.

Sial, gue mau mati.

Saat aku berkubang dalam penyesalan karena belum menulis surat wasiat, aku merasa ada seseorang muncul diatasku. Orang itu mengangkatku dan mengambil pistol-jarum yang dibuat Nagato yang sudah jatuh ketanah.

Suara yang kukenal, namun aku tak bisa ingat punya siapa, berbicara,

"Sori banget ya. Gue punya alasan ga langsung nyelamatin elo, tapi jangan benci ya sama gue. Lagian, waktu itu gue juga sakit tau. Ngomong-ngomong, kami bakal beresin sisanya. Jadi tidur aja sekarang ya."

Apa sih yang dia omongin? Terus sama siapa dia ngomong? Ngelakuin apa? Dan siapa yang ngurus apa? Bayangan serangan fatal Asakura, Nagato berkacamata menyokong dirinya sendiri dengan lengannya sambil berlutut di tanah, dua Asahina-san, dan Haruhi dengan seragam sekolah yang berbeda sekarang semuanya bercampur jadi satu...


Pelan-pelan kutaksadarkan diri.



Bab 6



Srut, srut

Suara srut-srut tersapu lewat telingaku.

Ketika aku perlahan membuka mataku, pikiranku mulai linglung.

Kali itu mimpi. Dari yang gue ingat, kayaknya mimpi yang menarik banget. Biasanya pas loe bangun, loe bakalan nganggap mimpi barusan itu menarik selama lima menit. Tapi pas mulai gosok gigi, detailnya mulai kabur, dan pas sarapan udah siap, loe udah lupa mimpi apa itu. Pas loe sadar, apa yang ada di pikiran loe cuman kesan kayak "Mimpi itu benar-benar menarik". Gue udah pernah ngalamin pengalaman ini beberapa kali.

Ada juga mimpi yang ga terlalu menarik, tapi detailnya jelas banget, dan tetap nempel di benak gue selama beberapa waktu. Mungkin itu pengalaman kayak mimpi, kayak pas waktu gue kekurung di Dimensi Tertutup sama Haruhi, pengalaman yang benar-benar terjadi, tapi lubuk hati pengen nganggep kejadian itu ga pernah terjadi.

Itulah apa yang kupikirkan saat aku membuka mataku.

Langit-langitnya berwarna putih; aku segera sadar kalau ruangan ini bukanlah kamarku. Cahaya oranye matahari mewarnai dinding yang berwarna putih menciptakan kesan keemasan, Aku bertanya-tanya waktu itu pagi atau sore.

"Oh ya ampun."

Untuk pikiran yang baru mulai bersih, suara ini terdengar sama menyenangkan-nya dengan suara bel gereja bagi orang-orang religius yang beriman.

"Akhirnya anda bangun. Sepertinya anda tidur lumayan nyaman."

Aku memutar kepalaku untuk mencari siapa pemilik suara itu. Disana duduk seorang laki-laki di kursi di sebelah tempat tidurku, mengunakan pisau dapur untuk mengupas apel yang dipegangnya. Srut Srut- Kulit apel dikupas dengan begitu rapi dan tergantung lurus kebawah.

"Biasanya saya akan berkata selamat pagi, tapi matahari mau terbenam sekarang."

Koizumi Itsuki memperlihatkan senyum ramahnya.

Koizumi menaruh apel yang terkupas di nampan lalu menaruhnya di meja di sisi tempat tidur. Dia lalu mengambil apel lain dari kantong kertas dan tersenyum selagi dia berkata padaku,

"Syukurlah anda akhirnya sadar. Saya tadinya benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Ah... anda nampak bingung. Anda masih ingat dengan saya?"

"Tadinya aku juga mau tanya itu. Kamu tau siapa aku?"

"Pertanyaan yang aneh. Tentu saja saya tahu."

Mudah sekali untuk tahu Koizumi yang mana ini hanya dengan melihat seragamnya.

Dia mengenakan jas biru laut dan bukan gakuran hitam.

Itu adalah seragam SMA North.

Salah satu lenganku ditaruh diluar selimut. Diatasnya tergantung sebuah kantung berisi semacam cairan. Aku melihat benda itu dan bertanya,

"Hari apa sekarang?"

Koizumi memperlihatkan ekspresi heran.

"Itukah pertanyaan pertama yang anda tanyakan setelah sadar? Sepertinya anda sadar betul dengan apa yang terjadi. Untuk jawabannya, sekarang jam lima sore lebih tanggal 21 Desember."

"Tanggal dua satu ya..."

"Ya, hari ini hari ketiga semenjak anda koma."

Hari ketiga? Koma?

"Ini dimana ?"

"Rumah sakit swasta."

Aku melihat sekitar. Ini adalah bangsal satu dengan tempat tidur yang bagus, dan Gue tidur di tempat tidurnya. Buat gue bisa check-in ke bangsal satu, berarti gue tuh sebenernya orang kaya, tapi gue ga pernah nyadar.

"Teman pamanku kebetulan pengawas rumah sakit ini, jadi anda dapat perlakuan khusus ketika anda check-in kesini."

Ternyata keluarga gue emang ga gitu kaya.

"Dan itu adalah sebuah kebohongan ?"

"Yah, sebenarnya saya meminta 'organisasi' untuk membantu, anda bisa tinggal murah meriah di sini selama setahun tanpa dipertanyakan siapapun. walau begitu, saya lega ternyata hanya butuh tiga hari hingga anda sadar, kenyataan-nya saya di marahi habis-habisan oleh atasan saya karena membiarkan kejadian ini terjadi saat anda dalam pengawasan saya, bahkan saya harus menyerahkan permohonan maaf tertulis atas kejadian ini"

Tiga hari sebelum tanggal 21 adalah tanggal 18. apa yang gue lakuin waktu itu? ...Ah, gue ingat. Gue hampir mampus gara-gara kehabisan banyak darah, terus mereka ngirim gue ke rumah sakit... Engga bentar, kayaknya ada yang salah.

Dengan gelisah kulihat gaun rumah sakit yang kukenakan, lalu menempatkan tanganku di perut kananku.

Aku tidak merasakan apapun. Biasanya luka akan terasa nyeri, tapi kali ini gatal saja tidak . Mana mungkin bisa sembuh dari luka seperti itu dalam waktu tiga hari, kecuali seseorang yang sudah sangat ku kenal ikut campur dalam masalah ini.

"kenapa aku di rawat di rumah sakit? koma kau bilang ?"

"Jadi anda lupa. Yah, saya pun sudah menduga sejauh itu, karena anda mendapat benturan yang lumayan keras dikepala."

Aku menyentuh kepalaku. Yang bisa kurasakan hanya rambutku, tidak ada perban atau semacamnya . "Yang lebih mengejutkan adalah anda tidak menderita luka luar maupun pendarahan dalam, otak anda pun masih berfungsi secara normal. Bahkan dokter yang merawatpun kebingungan. mereka tidak dapat menemukan kejanggalan apapun di tubuh anda."

"Tapi...," Koizumi melanjutkan,

"Kami menyaksikan bagaimana anda jatuh dari tangga. Saat itu sungguh mengerikan. Kalau boleh jujur, wajah kami berubah pucat saat menyaksikan kejadian itu. Suara anda jatuh ke tanah begitu keras sehingga saya takkan terkejut kalau anda benar-benar tak sadarkan diri. Apa anda ingin tahu apa yang terjadi?"

"Ya, aku harus tahu."

Katanya, waktu gue jalan di tangga pas mau ke ruang klub, mungkin kepeleset atau apa, tapi gue tiba-tiba jatuh dan mendarat ke tanah dengan kepala duluan. Gedebuk! Terus gue dah ga gerak.

Cara Koizumi menggambarkan terdengar seperti benar-benar terjadi.

"Suasananya benar-benar kacau setelah itu. Kami segera memanggil ambulan dan membawa anda yang tak sadarkan diri ke rumah sakit. Wajah Suzumiya-san pucat pasi, dan itu adalah pertama kalinya saya melihat dia seperti itu. Oh, yang memanggil ambulan adalah Nagato-san. Ketenangannya lah yang menyelamatkan anda."

"Gimana reaksi Asahina-san?"

Koizumi mengangkat bahunya dan berkata,

"Dia bereaksi seperti yang anda bayangkan. Dia menghampirimu dan menangis sambil terus memanggil-manggil namamu."

"Jadi jam berapa di tanggal 18 pas kejadian itu terjadi? Tangga yang mana?"

Kutembakkan pertanyaanku berturut-turut, karena tanggal 18 adalah hari dimana dunia berubah drastis dan aku jadi panik.

"Anda bahkan lupa itu juga? Kejadiannya tepat setelah tengah hari, tepat ketika Brigade SOS sudah selesai rapat. Terjadi ketika kami berlima mau keluar untuk belanja."

Belanja?

"Anda tidak ingat itu juga? Anda tidak sedang amnesia-kan?"

"Ga masalah, tolong lanjutin."

Senyum di bibir Koizumi berubah ramah.

"Agenda rapatnya, hmm, yaitu apa yang akan dilakukan waktu Hari Natal. Suzumiya-san bilang kalau ada pesta untuk anak-anak dekat rumahnya, dan Brigade SOS harus membuat pertunjukan disana. Sekalian juga supaya kostum Santa Asahina-san bisa berguna. Dia akan berpakaian sebagai gadis Santa dan memberi hadiah kepada anak-anak. Acara menyenangkan ini direncanakan semuanya oleh Suzumiya-san."

Mulai deh; cewek itu bisa jadi sembrono banget!

"Akan tetapi, tidak akan realistis kalau hanya dengan gadis Santa. Jadi Suzumiya-san memutuskan untuk membuat salah satu anggota berkostum rusa dan menggendong Asahina-san ke pentas. Pada akhirnya kami harus mengundi... Menurutmu siapa yang beruntung? Anda ingat sekarang?"

Gue benar-benar ga ingat apapun. Kalo seseorang bisa ingat sesuatu yang ga terjadi di ingatannya, maka dia itu tukang bohong hebat. Dia perlu diperiksa di rumah sakit lain. Walau ga ada gunanya sih bilang begitu ke Koizumi.

"Yah sudahlah, asal tahu saja andalah yang beruntung. Karena kami harus membuat kostum rusa untuk anda, kami harus pergi ke luar untuk membeli bahan-bahan, dan ketika kami menuruni tangga adalah saat anda terjatuh."

"Kedengerannya bodoh banget."

Mendengar aku mengatakan itu, Koizumi menaikkan alisnya.

"Karena anda berjalan dibelakang, tidak ada yang benar-benar melihat bagaimana anda jatuh. Kami hanya melihat anda jatuh dari samping seperti ini," Koizumi mendemonstrasikannya dengan sengaja gulingkan apel dengan tangan kanannya sebelum akhirnya dia tangkap dengan tangan kirinya di ujung meja,

"Intinya anda berguling terus-menerus."

Koizumi melanjutkan mengupas kulit apel.

"Kami langsung berlari ke arah anda, yang saat itu sudah tak bergerak. Suzumiya-san berkata bahwa dia merasa ada seseorang diatas tangga. Dia melihat rok seseorang di sudut sana, tapi langsung menghilang. Saya juga merasa aneh, jadi saya menginvestigasi beberapa hal. Waktu itu, tidak ada orang lain di gedung tersebut kecuali kita. Bahkan Nagato-san pun menggelengkan kepalanya. Gadis itu menghilang seperti kabut saja. Kami selama ini menunggu anda bangun untuk menanyakan siapa yang mendorong anda waktu itu..."

Gue ga inget. Pada saat itu, gue yakin itu jawaban paling tepat. Cuma kecelakaan biasa. Gue ceroboh, yang bisa gue bilang cuman gue lagi apes. Kayaknya gitu aja lah.

"Jadi, cuma kamu di sini?"

Dimana Haruhi? Tadinya aku ingin menanyakan itu, tapi pada akhirnya tidak jadi. Namun Koizumi terus cekikikan dan berkata,

"Tadi anda melihat-lihat sekitar. Apa anda mencari seseorang? Jangan khawatir, kami bergantian menjaga anda.untuk memastikan ada seseorang di samping anda Sebelum anda membuka mata. Sepertinya sebentar lagi Asahina-san akan datang."

Aku merasa tak nyaman dengan pandangan Koizumi; dia terlihat seolah-olah dia sedang bertemu dengan seorang teman yang benar-benar percaya dengan lelucon April Mopnya, dia nampak kehilangan kata-kata. Apa itu sindiran?

"Oh tak ada apa-apa kok. Saya hanya iri dengan anda. Anda bisa bilang kalau tadi itu tatapan cemburu."

Kenapa juga loe bisa bilang gitu ke pasien yang kepalanya kebentur?

"Sementara anggota inti harus bergantian menjagamu, Komandan melihatnya sebagai bagian dari tanggung jawabnya untuk menjaga keselamatan anggotanya..."

Dengan elegan Koizumi mengupas seluruh kulit apel, lalu memahatnya ke bentuk kelinci sebelum menaruhnya ke nampan di meja sisi tempat tidur.

"Suzumiya-san selalu berada disini, semenjak tiga hari lalu dia tidak sekalipun meninggalkan tempat ini."

Aku berputar ke arah sisi lain tempat tidur dimana Koizumi tunjuk.

"..."

Dan disanalah ia.

Terbungkus erat di dalam 'sleeping bag' adalah Haruhi.

"Kami semua mengkhawatirkan anda, kami berdua dia dan saya."

Dia terdengar sedih sekali; kayak opera sabun aja.

"Anda seharusnya melihat bagaimana stressnya Suzumiya-san... Tidak, kita bahas itu lain kali. Ngomong-ngomong, bukannya ada sesuatu yang harus anda lakukan sekarang?"

"Yup," Kataku.

Ingin sekali kugambar mukanya. Mungkin lain kali, aku masih punya banyak waktu.

Aku duduk tegak dan merentangkan lenganku untuk menyentuh wajah yang kelihatannya lagi marah.

Rambutnya belum terlalu panjang untuk diikat kuncir kuda. Langsung aku merasa kangen dengan rambut panjangnya.dia nampak kesal padaku, haruhi mulai bergerak.


Haruhi sudah bangun.


"...Umm...hmm?"

Haruhi mengerang sewaktu dia berusaha keras membuka matanya, dan saat sadar siapa yang mencubit-cubit wajahnya...

"AH!?"

Dia langsung coba untuk melompat, tapi gagal tak karuan karena dia lupa kalau dia membungkus diri sendiri di dalam sleeping bag, lalu dia berguling dan merayap seperti cacing tanah. Pada akhirnya dia bisa membebaskan diri, terus menunjukan jari kepadaku dan mulai menyumpah,

"Sial kamu Kyon! Kenapa ga kasi tau aku dulu sih sebelum bangunin aku!? Aku kan belum siap mental!"

Nah itu namanya minta yang ga mungkin. Namun melihatmu teriak-teriak dan menyumpah lebih efektif dari obat manapun untukku.

"Haruhi."

"Apa?"

"Ada lendir di mulutmu."

Wajah Haruhi berkerut sebentar, cepat-cepat dia mengusap mulutnya, dan lalu menatapku dengan bersungut-sungut,

"Kamu... Kamu yakin ga gambar sesuatu di wajahku?"

Tadinya pengen sih.

"Huh. Yah, bukannya kamu pengen bilang sesuatu?"

Aku memberi jawaban yang dia duga,

"Maaf sudah membuatmu khawatir."

"Yah, aku seneng kamu nnngerti. Lagian, khawatir soal keselamatan anggota brigade adalah salah satu tanggung jawab komandan!"

Makian Haruhi terdengar seperti nyanyian surga. Pada saat itu, ketukan pelan pintu terdengar dari pintu. Koizumi reflek berdiri dan membukakan pintu.

Sewaktu penghunjung ketiga berdiri di luar pintu melihatku,

"Ah, ahh, aaahhhh..."

Dia terus membuat suara-suara kalut. Berdiri disana dengan vas di tangannya, tiada lain tiada bukan adalah gadis SMA North kelas dua dengan rambut panjangnya, wajah baby-face imut, dan sosok ramping namun dewasa.

"... Asahina-san, pa kabar,"

Entahlah apa aku harus bilang lama tak bertemu, paling tidak bagiku aku tak bisa bilang.

"Hik......"

Airmata mulai mengalir dari mata Asahina-san,

"syukurlah... Syukurlah..."

Pengin sekali kupeluk erat dia seperti waktu terakhir kali, siapa tahu, Asahina-san mungkin berpikiran sama denganku. Walau dia sepertinya lupa menaruh vasnya, dan hanya berdiri disana menangis.

"Bukannya kamu terlalu sedikit berlebihan? Dia cuman kebentur kepalanya dan pingsan. Aku tahu dari dulu kalo Kyon ga bakalan tidur terus kayak tadi selamanya."

Rasa syukur bisa terdengar dari dalam suara Haruhi, dan dia melanjutkan bahkan tanpa melihat kepadaku,

Koizumi mulai cekikikan, airmata besar Asahina-san jatuh mengalir tiada henti ke lantai, sementara Haruhi memalingkan wajahnya. Pada pandangan pertama dia terlihat seolah-olah sedang marah.

"Udah kubilang sebelumnya, Brigade SOS kerja 365 hari setahun tanpa istirahat. Ga ada seorang pun yang boleh ngambil libur. Aku ga bakalan nerima alasan dungu macem kepala kejedot dan jadiin koma sebagai cuti sakit, pokoknya engga. Kamu ngerti Kyon? Harga yang harus dibayar karena bolos tiga hari itu sangat tinggi. Kamu bakal didenda! Bukan cuman denda biasa aja, tapi di atas itu ada denda telat juga!"

Koizumi mulai cekikikan, airmata besar Asahina-san jatuh mengalir tiada henti ke lantai, sementara Haruhi memalingkan wajahnya. Pada pandangan pertama dia terlihat seolah-olah sedang marah.

Aku melihat mereka dan lalu menganggukan kepalaku serta mengangkat bahuku,

"Oke lah kalo gitu, termasuk denda telat, jadi berapa yang harus ku bayar?"

Haruhi menatapku, senyum di wajahnya terpancar begitu terang sehingga sulit dipercaya dia marah barusan. Dia memang gadis yang sangat simpel.

Akhirnya diputuskan kalau aku harus bayar tagihan buat semuanya di kafe selama tiga hari berturut-turut. Sewaktu aku mempertimbangkan untuk menghancurkan celenganku yang sekarang...

"Satu lagi..."

Ada lagi?

"Yup, masih belum cukup kompensasi buat trauma yang kamu buat. Ah ya, Kyon, pas pesta Natal, kamu bisa dandan jadi rusa dan main pertunjukan spektakuler buat kita. Kamu harus maen sampe bikin kita semua ketawa! Kalo membosankan, ku tendang kamu ke dimensi lain! Kamu juga harus ngelakuin itu juga pas pesta anak-anak ntar. Denger ga!?"

Dengan pandangan sesilau cahaya dari prisma, Haruhi sekali lagi menyuruh-nyuruh aku.



Walau aku sudah sepenuhnya bangun, tidak berarti aku bisa langsung keluar. Setelah dokter datang untuk melihatku, aku dikirim untuk diperiksa dengan berbagai macam mesin, rumit dan menjengkelkan sekali seolah-olah mereka ingin merubahku menjadi sebuah cyborg. Setelah menghabiskan sepenuh hari untuk pemeriksaan tubuh, aku harus menginap semalam di bangsal lagi. Bagiku sih, malam ini adalah benar-benar malam pertamaku di rumah sakit, dan karena aku tidak pernah masuk rumah sakit, sepertinya tak apa-apa merasakan bagaimana rasanya.

Haruhi, Koizumi, dan Asahina-san mau pergi ketika ibu dan adikku datang menengok. Haruhi terdengar sopan santun sekali saat dia berbicara dengannya, aku tak pernah tahu dia bisa sesopan ini, jadi lumayan mengagetkan juga.

Waktu aku menghabiskan waktu mengobrol dengan ibu dan adikku, pikiranku penuh dengan banyak hal.

Kalau semuanya kayak waktu itu terus, apa yang bakalan terjadi ya? Nagato, Koizumi, dan Asahina-san bakalan jadi manusia biasa tanpa latar belakang supranatural apapun itu. Nagato bakalan jadi cewek pendiam dan pemalu dari Klub Sastra, Asahina-san bakalan jadi senior tak kesampaian, sementara Koizumi bakalan jadi murid pindahan biasa yang belajar di sekolah lain.

Dan Haruhi mungkin cuman jadi anak SMA eksentrik.

Mungkin di panggung kayak gitu, cerita menarik bisa ditulis juga. Ga perlu lagi mempelajari hakiki dunia ini, atau ga ada juga kekhawatiran soal perubahan karenanya. Cuman cerita biasa yang ga ada hubungannya ke dunia gagal ini.

Mungkin gue ga bakalan berperan di cerita itu. Yang gue lakuin cuman ngidupin kehidupan SMA gue dengan damai sentosa dan lulus tanpa ada kejadian apapun.

Dunia mana sih yang bikin gue senang?

Kayaknya gue tahu jawabannya sekarang.

Cuman di "dunia sekarang" gue bisa bahagia. Kalau engga kenapa juga gue harus ngambil resiko kehilangan nyawa cuman buat balik ke dunia ini?

Kalau kamu gimana? Dunia mana yang kamu pilih? Aku yakin jawabannya jelas sekali. Atau hanya aku yang berpikir seperti itu?



Setelah keluargaku pulang dan penerangan bangsal dimatikan, aku hanya bisa menatap langit-langit. Karena tidak ada yang bisa kulakukan, kuputuskan untuk menutup mataku.

Selama tiga hari terakhir, di dunia ini tapinya, katanya gue tidur terus selama ini.

Kalau gitu...

Kalau dunia jadi kayak gitu, berarti itu juga udah dirubah.

Dunia ini udah dirubah dua kali. Dunia yang dikacauin sama Nagato dirubah sekali lagi ke dunia asli kayak sekarang ini. Jadi siapa yang bikin perubahan kedua?

Ga mungkin Haruhi. Selama tiga hari itu, Haruhi ga punya kekuatan kayak gitu, dan Haruhi dari dunia ini bahkan ga tau kalau dunia sebenarnya udah berubah.

Terus, siapa dong?

Nyelamatin nyawa gue dengan nangkap belati Asakura dengan tangan kosong, cuman ada satu orang yang punya kemampuan kayak gitu...

Dia adalah Nagato.

Lagian, sebelum gue kehilangan kesadaran, gue ngeliat dua Asahina-san. Yang kedua bukan Asahina-san dewasa, tapi kaka kelas gue Asahina-san. Dia tiada lain tiada bukan adalah senior imut dari masa depan yang gue kenal banget.

Ada seorang lagi, suara misterius yang ngomong sama gue pas mau akhir. Kayaknya gue pernah ngedenger suara itu sebelumnya.

Kucoba mengingat-ingat siapa dia, tapi cepat aku sadar bahwa sebenarnya aku tidak perlu mencoba.

Itu suaraku sendiri.

"Oh gitu, jadi gitu ya,"

Kalau gitu...

Gue harus balik ke periode waktu itu lagi. Waktunya harus dini hari tanggal 18 Desember, dan gue harus pergi sama Asahina-san dan Nagato yang ada di periode waktu ini.

Hanya dengan gitu dunia bakalan balik ke keadaan sekarang.

Asahina-san bertugas ngebawa gue dan Nagato balik ke periode waktu itu, sementara misi Nagato adalah untuk ngendaliin diri masa lalunya, yang jadi kacau selama tiga hari. Walau gue ga tau dia bakalan make kekuatan Haruhi atau kekuatan integrated data sentient entity."

Gue juga punya peran di sandiwara ini.

Omong-omong itulah yang kupikirkan. Kalau aku tidak mendengar suaraku waktu itu, aku takkan disini sekarang. Untuk menjaga eksistensiku sekarang, aku harus kembali ke masa lalu dan mengucapkan hal yang sama ke diri masa laluku,

"Sori banget ya. Gue punya alasan ga langsung nyelamatin elo, tapi jangan benci ya sama gue. Lagian, waktu itu gue juga sakit tau. Ngomong-ngomong, kami bakal beresin sisanya. Jadi tidur aja sekarang ya."

Berulang-ulang kuhapalkan kalimat-kalimat ini di kepalaku. Itu yang kuucapkan kalau tidak salah. Sementara aku tidak bisa menjamin itu benar kata-per-kata, artinya seharusnya sama.

Sebagai ganti aku yang ditusuk pisau, orang yang menggunakan pistol-jarum akan jadi peran yang ditakdirkan untukku.

Sementara alasan kenapa aku tidak bisa menyelamatkan diri masa laluku yang ditikam Asakura, aku juga mengerti itu. Dari nada suara diri masa depanku, aku tidak terdengar seperti berlari terburu-buru. Aku mesti bersembunyi di dekat sana sebelum kejadiannya. Asahina-san dan Nagato juga muncul tepat pada waktunya. Tidak boleh terlalu cepat, tidak pula boleh terlalu lambat. Aku harus menunggu sampai aku ditikam Asakura. Kenapa begitu? Karena bagi diri masa laluku, itu adalah sesuatu yang sudah terjadi. Mengutip Asahina-san,

"Ini adalah peristiwa yang ditentukan sebelumnya,"



Sekarang sudah larut malam, tapi aku tak ingin tidur.

Aku sedang menunggu. Menunggu apa, tanyamu? Tentu saja aku menunggu satu-satunya orang yang kukenal yang belum menjengukku. Bakal jadi lelucon kalau dia tidak datang.

Aku berbaring di tempat tidur dan menatap langit-langit sepanjang waktu. Hanya pada saat larut malam, ketika jam menjenguk lama berakhir, kesabaranku membuahkan hasil.

Pintu bangsal perlahan-lahan terbuka, cahaya dari koridor menampakkan bayangan sosok mungil di lantai.

Berdiri disana adalah sosok seseorang yang terakhir mengunjungiku, Nagato Yuki.

Seperti biasa, Nagato berkata tanpa emosi,

"Aku bertanggung jawab atas segala yang terjadi."

Entah kenapa, aku merasa kangen saat mendengar suara kalem ini.

"Hukumanku akan segera di berikan."

Kuangkat kepalaku dan bertanya,

"di berikan oelh siapa?"

"integrated data sentient entity."

Kata Nagato dengan tenang, seolah-olah itu terjadi pada orang lain.

Tentu saja, Nagato sudah tahu dari dulu kalau dia akan membuat kekacauan pada pagi hari tanggal 18 Desember. Karena aku pergi bertamu ke Nagato tiga tahun lalu dengan Asahina-san dewasa. Dari dulu dia sudah tahu, dan dia berusaha keras untuk mencegah itu terjadi. Namun tiada daya menahan ombak. Kadang-kadang kalau pun kau tahu apa yang akan terjadi, kau tidak bisa menghindarinya.

Tiba-tiba aku berpikir perilaku dan perangai Nagato setelah musim panas, yang sedikit berbeda dari biasanya,

"Tapi," Kuinterupsi dia, "Kalau kau tahu bakalan mengacau tiga tahun lalu, bukannya kamu bisa bilang ke aku kapanpun, kan? Abis festival sekolah, atau sebelum turnamen baseball. Kalau emang gitu keadaannya, aku bisa ngelakuin sesuatu lebih awal sebelum waktu spesifik tanggal 18 Desember itu. Terus semua yang harus dilakuin cuman manggil semuanya dan balik ke tiga tahun lalu lagi,"

Ekspresi Nagato sedingin es, hampir tidak ada senyuman,

"Kalau aku memberitahumu lebih dulu, diriku yang kacau akan tetap menghapus semua ingatanmu tentang insiden tersebut dan merubah dunia. Lagipula, tak ada jaminan kalau kejadian yang belum terjadi akan terjadi. Hal terbaik yang bisa kulakukan hanyalah menjagamu tetap dalam kondisi prima saat tanggal 18 Desember telah tiba."

"Bukannya kamu ninggalin Program keluar buatku? Itu kan udah lebih dari cukup!"

Sewaktu aku berterimakasih padanya, aku mulai marah. Tapi bukan marah ke Nagato, bukan pula marah ke diriku sendiri.

Suara hampa bergaung ke dinding-dinding bangsal,

"Aku tak bisa menjamin kalau aku takkan mengacau lagi di masa depan. Selama aku terus eksis, internal errorku akan terus berakumulasi. Ini adalah kemungkinan yang sangat berbahaya."

"OMONG KOSONG! Kirim pesan ini ke-mereka."

Mendengar aku menyumpah, Nagato mengangkat kepalanya sekitar dua sentimeter. Dia bahkan berkedip.

Kuraih dan kugenggam kepalan tangan putih kecil miliknya. Nagato tidak melawan.

"Bilang ini ke bosmu, jadi denger baik-baik. Kalo dia sedikitpun mikir buat bikin kamu menghilang, maka aku bakalan biarin semuanya lepas control. Aku akan ngambil kamu kembali, apapun akibatnya. Aku mungkin ga punya kekuatan, tapi aku yakin bisa memprovokasi Haruhi,"

Karen aku pun masih punya kartu truf di balik lenganku. Yang perlu kulakukan hanyalah bilang ke dia, "Namaku adalah John Smith".

Memang benar. Walau kekuatanku bahkan gak cukup buat bengkokin sendok, tapi si idiot Haruhi itu cukup kuat buat bengkokin semesta. Tepat ketika Nagato menghilang, aku bakalan bongkar semuanya ke cewek itu sampai dia percaya. Terus kami akan melakukan perjalanan menyelamatkan Nagato. Kalaupun bos Nagato menyembunyikannya atau menghancurkannya, Haruhi akan punya sesuatu untuk membalikkan keadaan, paling tidak akan kubuat dia berpikir seperti itu. Siapa tau, Koizumi dan Asahina-san bahkan mau memberi bantuan. Pada saat itu, siapa sih yang peduli sama Entitas Data dari sudut tak diketahui di alam semesta!? Emang apa bedanya makhluk itu ada atau tidak!?

Nagato adalah teman kami. Dan bila seseorang dari Brigade SOS menghilang, Haruhi takkan tinggal diam. Dan itupun bukan hanya Nagato, kalau Koizumi, atau Asahina-san, atau aku tiba-tiba pergi, bahkan dengan kemauan kami sendiri, gadis itu tak akan ngelepas kami gitu saja. Dia akan melakukan apa saja untuk membawa kami kembali. Itulah Suzumiya Haruhi, si pemaksa, suka menonjolkan diri sendiri, tak perhatian, dan Ratu biang-kerok dari Brigade SOS buatmu.

Kutatap geram Nagato.

"Kalau bos kamu coba-coba ngelakuin sesuatu hal yang mencurigakan, maka aku bakalan gabung sama Haruhi dan ngerubah dunia. Kami bakalan bikin dunia dimana kamu eksis tapi si 'ntegrated data sentient entity' engga. Aku yakin mereka bakalan lebih kecewa kalo itu terjadi. Target observasi? Observasi MATAMU!"

Amarahku makin hebat selama aku berbicara.

Aku tak tahu apa-apa soal Entitas Gabungan Data itu, tapi mestinya dia itu pintar. Dia mungkin orang yang bisa menghitung pi sampe desimal yang ke ratusan juta dalam waktu dua detik dan melakukan sihir-sihir hebat macam begituan.

Kalau itu memang benar, maka aku harus bilang sesuatu ke dia.

Gue yakin gampang banget buat kalian semua buat ngasi Nagato kepribadian kayak manusia. Sebelum jadi psikopat, Asakura lumayan populer di kelas, belum lagi begitu terbuka dan ramah. Dia bahkan ngajak beberapa temen sekelas buat belanja bareng pas liburan. Kalo loe bisa bikin orang kayak gitu, kenapa sih loe bikin Nagato jadi anak sekolah pendiam gak punya ekspresi yang duduk dan baca buku sendirian di ruang Klub Sastra? Loe pikir kalo kepribadiannya ga kayak gitu terus itu ga kliatan kayak Klub Sastra, atau supaya gak keliatan mencolok ke Haruhi? Omong-omong siapa sih yang bikin keputusan kayak gitu?

Di titik ini aku menyadari kalau aku mencengkram tangan Nagato kuat-kuat. Namun si angeloid pecinta buku ini tidak sedikitpun marah padaku.

Nagato hanya melihat lurus kepadaku, lalu pelan-pelan menganggukkan kepalanya,

"Akan kusampaikan pesanmu."

Suara kalem itu lalu dengan lirih menambahkan,

"Terimakasih."



Epilog



Aku mulai merenung tentang apa yang harus kulakukan selanjutnya.

Upacara akhir semester sudah beres, dan aku mengambil rapot semesterku dari Okabe-sensei, jadinya kehidupan SMAku tahun ini mau berakhir.

Hari ini tanggal 24 Desember.

Kelas 1-9 dan murid-muridnya yang hilang sudah dimunculkan kembali, termasuk Koizumi, yang tak terlalu banyak muncul di cerita ini. Asakura sudah hilang dari Kelas 1-5 dari setengah tahun lalu; Taniguchi melanjutkan pusing kepalanya soal sedang jatuh cinta; bangku dibelakangku sekali lagi diisi sama Haruhi; dan tak ada wabah flu di kelas. Ketika aku melihat Nagato di aula, dia tidak pakai kacamata. Sehabis upacara akhir semester, aku tak sengaja ketemu sama pasangan kakak-beradik Asahina-san dan Tsuruya-san, yang melambai dan menyapaku bersamaan. Aku juga sudah konfirmasi sesuatu saat jalan ke sekolah pagi ini - Sekolah Kouyouen sekarang sudah dipulihkan jadi sekolah swasta bergengsi khusus wanita buat anak orang kaya dan terkenal.

Dunia sudah dipulihkan ke bentuk semula.

Namun, pilihan untuk menjaga dunia ini masih ada di tanganku. Aku masih harus kembali bareng Nagato dan Asahina-san - kembali ke dini hari tanggal 18 Desember. Kalau tidak, dunia takkan pernah dipulihin. Hanya dengan kembali saja pemulihan bisa dimungkinkan. Masalahnya gue masih belum mutusin kapan sebaiknya gue balik. Gue belum ngejelasin semuanya ini ke Asahina-san. Dia mungkin udah ngedengerin itu dari diri dewasanya. Gue emang ngeliat dia beberapa hari ini, cuman gue ga ngomong apa-apa sama dia.

"Sial!"

Setelah mengerang tak berarti, aku keluar dari koridor menuju komplek ruang klub.

Seperti mobil balap, aku harus ikuti kaidah kencana yang mengharuskan kembali lagi ke garis start. Tak penting apa aku ketinggalan dua atau tiga putaran, lagipula bukan aku yang memutuskan. Jalan dan pemandangan putaran pertama dan terakhir itu sama, tapi mereka membawa arti yang berbeda. Yang perlu kulakukan adalah hati-hati biar tidak tereliminasi, dan dengan selamat sampai garis finish jadinya bendera kotak-kotak hitam-putih bisa dilambaikan.

......Lupakan sajalah, tak ada gunanya juga bilang begitu.

Tak ada gunanya membenarkan tindakanku karena aku sendiri yang bikin keputusan buat kembali kesini. Beda sama amukan tak berdasar Haruhi, keputusan ini adalah keinginanku sendiri, jadinya aku sudah milih buat diputar kesana-sini tak berarti.

Kalau gitu, seseorang perlu bawa tanggung jawab itu dan ngawasin sampai akhir.

Seseorang itu bukan Nagato, bukan Haruhi pula, tapi diri gue sendiri.

"Rasain gue......"

Aku mulai tergelincir mengasihani diri sendiri dan membuat pose keren. Ga masalah kalau ada orang yang ngeliat, karena ga ada orang yang pengen liat juga. Sewaktu aku berpikir seperti itu, aku bertukar pandang dengan seorang gadis SMA tak kukenal yang sedang lewat. Dengan cepat dia memalingkan pandangannya dan lari tergesa-gesa. Aku berucap pelan ke punggungnya sebuah salam yang mungkin dia tidak dengar,

"Merry Christmas."

Kalau ini episode terakhir opera sabun, kristal salju putih berkilau akan mulai berjatuhan, dan si protagonis akan menangkap salah satunya di telapak tangannya dan berseru, "Ah!" Atau sesuatu seperti itu. Kayaknya ga bakalan ada harapan buat White Christmas tahun ini. Cuaca hari ini emang mengejutkan, sebetulnya hari ini cerah.

Sebagai hasilnya, gue jadi pemain utama. Penonton udah hilang ke sudut terjauh galaksi sekarang, dan jadi peninggalan kuno masa lalu.

"Jadi, sekarang ngapain ya?"

Baru sekarang ini aku sadar. Aku benar-benar tak tahu pengen ngapain. Ga diragukan lagi, gue emang pantas disini. Aku sadar itu sudah lama. Dari hari pas Haruhi menyeretku ke ruang Klub Sastra dan aku mendengarkan deklarasinya soal penguasaan tempat itu, aku sudah jadi bagian gerombolan ini.

Seperti anggota lain Brigade SOS, aku akan tetap berdiri dengan aktif menjaga dunia ini. Tak ada orang yang memaksaku, aku mengacungkan tangan dengan kemauanku sendiri.

Kalau gitu, cuman ada satu hal yang perlu gue lakuin.

Lebih gampang berdiri setelah jatuh ke suatu benda daripada jatuh rata ke tanah, walau dua-duanya jatuh. Maksudku begini, aku harus kembali dan mengangkat diriku yang lain yang sedang jatuh. Dilihat dari hasilnya sih, bisa dibilang ini buat kebaikan diriku sendiri.

Kunaiki tangga sambil fokus ke aktivitas hari ini yang akan dilakukan. Haruhi dan Asahina-san bertanggungjawab membeli bahan makanan. Aku diampuni dari siksaan jadi gerobak belanja manusia, berkat dirawat inap. Kayaknya ini bukan karena Haruhi lagi jadi pengampun, sebaliknya, dia mungkin ngerahasiain menu makanannya sampe saat terakhir, dimana dia bakalan ngejutin semua orang - itulah yang kupikirkan omong-omong. Mungkin dia bahkan memakai pengalamannya dari pulau terpencil buat mengadakan "Hotpot dalam Pesta Natal Kelam" yang murah meriah.

Gue penasaran apa bahan makanannya. Karena Haruhi kokinya, dia mungkin lebih suka sama sesuatu yang menstimulasi dan menggairahkan. Sapa tau, dia akhirnya bikin hotpot eksperimental, ga pernah terlihat sebelumnya dalam sejarah kuliner manusia. Tetap aja, apapun yang dimasak di hotpot, mestinya sih bisa dimakan abis dimasak. Bahkan Haruhi pun ga bakalan begitu bodoh buat masukin sesuatu yang ga bisa dicerna ke dalam panci. Walau beda masalahnya sih kalo dia punya perut monster. Haruhi mungkin eksentrik, tapi gue yakin perutnya masih terbuat dari bahan yang sama dengan manusia normal, ya ga? Hal yang di luar standar manusia mungkin cuman otaknya itu.

Tapi, sebelum ikutan pesta hotpot, gue masih harus pake kostum rusa dan bikin pertunjukan yang menghibur. Kamu takkan bisa membayangkan bagaimana rasanya harus memikirkan pertunjukan apa yang harus dimasukkan.

"Yare yare,"

Desahan depresi yang baru saja kusegel bulan lalu, sekali lagi keluar dari mulutku. Nah jangan pilih-pilih dong! Emang kedengerannya sama, tapi apa yang gue bilang mungkin punya arti beda kalo loe nafsirinnya beda.

Kuberi alasan untukku sendiri karena menggunakan kembali ungkapan ini, sambil mencatat peristiwa yang sudah ditentukan sebelumnya yang harus dilakukan ke dalam jurnal di kepalaku.

Peristiwa yang sudah ditentukan sebelumnya adalah sesuatu yang harus kulakukan kalau aku ingin terus tinggal di dunia ini.


Gue harus cari waktu deket-deket di masa depan buat balik dan mulihin dunia.


Sewaktu aku mendekati ruang klub, aku bisa mencium bau makanan masuk ke hidungku. Itu aja cukup untuk membuatku kenyang. Darimana ya rasa kepuasan ini berasal? Gue seharusnya kembali buat ngeberesin kekacauan bentar lagi, tapi gue udah ngerasa puas bahkan sebelum beraksi. Nah bukannya gue terlalu gampang dipuasin!?


Ah yah, ga terlalu jelek juga. Sebelum itu,


Masih ada waktu. Orang yang bakal mimpin operasi adalah gue di masa depan, walau itu bukan gue dari masa depan yang jauh-jauh amat, juga bukan gue yang bentar lagi.

Kugenggam pegangan pintu ruang Klub Sastra dan menanyakan sebuah pertanyaan kepada dunia,

Hei, bisa ga loe nunggu bentar lagi? Sebelum gue balik dan mulihin elo, bisa ga nunggu bentar lagi aja?


Paling engga......


Sampe gue nyicipin hotpot Haruhi. Seharusnya ga terlalu telat setelah itu, kan?



Catatan Penulis



Di tempat saya berpendapat, saya akan menulis tentang salah satu kenanganku, jadi mohon tahan ya denganku.



Dulu saya punya teman sekelas waktu kelas enam SD, yang bisa dibilang jenius. Dia adalah pemimpin di kelas, dengan pikiran cerdas, latar belakang keluarga yang bagus, dan ia juga ahli dalam membuat suasana yang menyenangkan untuk semua orang. Alasan teman sekelas yang sangat popular ini, dengan cahaya suci silau mempesona diatas kepalanya, berteman denganku karena kami punya minat yang sama. Kami berdua suka memancing dan membaca novel suspense luar negeri.

Kapanpun kelas butuh dibagi kelompok, saya akan selalu bersamanya, dengan dia jadi ketua tim, tentu saja. Sekali waktu, ketika sekolah mengadakan festival, setiap kelas butuh perwakilan untuk memberi pertunjukan buat seluruh kelas. Tim kami bingung apa yang harus dipertunjukan, waktu pikiran kami buntu, dia berkata, "Bikin sandiwara aja." Dan dia pun mulai menulis naskahnya. Saya tidak pernah lupa bagaimana saya tertawa dan bahkan berguling-guling di lantai ketika membaca naskah itu, saya tak pernah tahu sesuatu yang begitu lucu bisa ada!

Pertunjukan kami tetapkan untuk memakai naskah komedinya. Setelah melihat sandiwara kami, seluruh kelas enam tertawa, bahkan para guru pun tertawa. Tim kami akhirnya menang medali emas, bahkan kami diberi pahatan tameng kayu sebagai hadiah. Saya masih bisa ingat jelas karakter apa yang saya mainkan.

Beberapa waktu setelahnya, kami berdua masuk SMP yang sama. Tapi dia lalu daftar ke SMA yang jauh, dan ikut masuk ke universitas yang bahkan lebih jauh lagi.

Saya terus berpikir, bisakah saya membuat orang tertawa tak terkendali seperti yang dia lakukan? Saya juga berpikir apa naskah dia sudah merubah hidupku......

Pemikiran itu berakar di benakku dan berurat dalam di dalam ingatanku.



......Sepertinya masih ada ruang lebih banyak lagi. Mungkin menulis kenangan kedua.



Waktu SMA, saya salah satu anggota tak tetap Klub Sastra. Karena saya juga anggota klub lain yang kuprioritaskan, saya hanya bisa pergi ke Klub Sastra sekali seminggu. Toh Klub Sastra hanya kumpul hari senin saja, karena anggotanya hanya saya dan gadis senior satu tahun dariku. Pada saat saya mengetuk pintu untuk yang pertama kalinya, saya melihatnya dengan kacamatanya, terlihat sangat berpengetahuan luas. Yang mana anggota satu-satunya, dan juga ketua Klub Sastra. Saya sudah benar-benar lupa apa yang seniorku katakan padaku waktu itu, mungkin dia tak pernah mengatakan satu kata pun.

Setelah bergabung sebentar, kami mulai mengerjakan majalah yang diterbitkan oleh klub. Saya benar-benar sedang tak ingin mengingat apa yang kutulis, yang pasti itu bukan novel. Saya juga diserahi tugas untuk ilustrasi sampul, yang aku pun tak tertarik untuk mengingatnya. Tidaklah mungkin mengisi semua halaman didalam majalah hanya dengan kami berdua, jadi sempai memanggil beberapa temannya untuk mengisi beberapa artikel. Walau mereka semua orang yang tak kukenal, salah satu nama mereka meninggalkan kesan yang dalam sekali padaku, yang masih kuingat jelas sampai hari ini.

Sewaktu sempai naik kelas tiga, dia memutuskan untuk berhenti dari klub supaya bisa berkonsentrasi belajar. Di saat yang sama, lima anggota baru masuk. Saya tidak begitu tahu kenapa bisa begitu banyak yang masuk. Saya begitu bersenang-senang di klub lain yang tak lama kemudian saya berhenti pergi ke Klub Sastra.

Kali selanjutnya saya melihat sempai ketika hari kelulusannya. Saya tidak bisa mengingat apa yang kami bicarakan. Kami mungkin hanya ngobrol ngalor ngidul, dan lalu dia mulai kabur dari ingatanku. Hal terakhir yang kulihat adalah punggungnya sewaktu dia berjalan menjauh.

Untuk nama sempai, saya tidak bisa mengingatnya. Dia mungkin tidak mengingat namaku juga. Tapi, saya yakin dia masih ingat kalau ada orang sepertiku eksis di klubnya waktu itu.

Karena saya pun ingat ada orang seperti dia eksis di klub waktu itu.



......Setelah membuang-buang seluruh seksi Catatan Penulis dengan dua cerita yang sepertinya fiksi dan kenangan yang tak begitu pantas, saya merasa sebagaimana rendah saya sudah jatuh. Dilihat satu sisi, menggali beberapa ingatan lama yang lucu itu tak ada gunanya, banyak hal yang memberiku sakit kepala yang sampai-sampai kukira saya bakal pingsan......walau saya sadar pada akhirnya masalah bisa teratasi, tapi itu tindakan yang tak berguna, seperti bola sepak yang jatuh ke aliran sungai, entah sampai mana sungai akan membawanya. Mungkin juga sebaiknya mengerahkan energiku ke tempat lain.

Terakhir, saya ingin berterimakasih kepada penerbit, semua orang yang terlibat dalam pembuatan buku ini, dan kepada seluruh pembaca rasa terimakasih yang sangat tulus. Semoga kita bertemu lagi.



Tanigawa Nagaru


Kembali ke Halaman Utama