Sword Art Online Bahasa Indonesia:Jilid 1 Bab 12

From Baka-Tsuki
Revision as of 13:34, 13 October 2012 by SoulTranslator (talk | contribs) (minor wording)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Bab 12[edit]

"…to! Kirito!

Asuna memanggil, dengan suara yang hampir seperti jeritan, memaksaku untuk bangun. Saat aku duduk, rasa sakit menusuk kepalaku dan membuat wajahku mengernyit.

"Owww…"

Aku melihat sekeliling dan menyadari kalau kami masih di ruang bos. Pecahan berwarna biru muda masih berterbangan di sekitarku. Sepertinya aku kehilangan kesadaran selama beberapa detik.

Asuna berlutut di lantai, dengan wajahnya berada tepat di depan mataku. Alisnya mengerut, dan dia menggigit bibirnya. Itu terlihat seperti kalau dia akan menangis.

"Kau idiot…! Kenapa…!? "

Dia berteriak, dan kemudian dia memelukku. Ini mengejutkanku hingga membuatku melupakan rasa sakitku sejenak. Aku hanya bisa berkedip karena terkejut.

"…Jangan memeluk aku terlalu keras. Kau akan membuat HPku menghilang. "

Aku berkata dengan nada bercanda, tapi Asuna menanggapinya dengan ekspresi yang benar-benar marah. Dia meminumkan sebuah botol kecil ke dalam mulutku. Cairan yang mengalir merupakan potion berkualitas tinggi yang rasanya seperti campuran dari jus lemon dan teh hijau. Itu akan menyembuhkan HPku sepenuhnya dalam waktu lima menit, tapi kelelahanku akan bertahan agak lama.

Asuna memeriksa untuk memastikan kalau aku telah meminum semuanya. Kemudian, ketika wajahnya mulai mengerut, dia menyandarkan kepalanya ke bahuku untuk menyembunyikannya.

Aku mengangkat kepalaku ke arah suara langkah kaki yang terdengar dan melihat Klein mendekat. Dia terlihat agak merasa bersalah karena mengganggu kami, tetapi dia tetap mulai berbicara .

"Kami sudah selesai menyembuhkan semua sisa anggota The Army, tapi Cobert dan dua anak buahnya telah meninggal…"

"…Ya. Ini pertama kalinya seseorang meninggal dalam pertarungan melawan boss sejak lantai 67…"

"Itu bahkan tidak bisa disebut sebagai pertarungan. Cobert idiot itu… Kau tidak bisa melakukan apapun jika kau mati ... "

Klein meludah. Lalu ia menarik napas panjang, menggelengkan kepalanya, dan bertanya padaku untuk mengubah mood.

"Tapi kembali ke topik, apa-apaan barusan itu!?"

"...Apakah aku harus menjelaskan hal itu kepadamu?"

"Tentu saja! Aku belum pernah melihat hal seperti itu sebelumnya! "

Tiba-tiba aku menyadari bahwa selain Asuna, semua orang yang berada di dalam ruangan menatapku, menunggu jawaban dariku.

"... Ini adalah sebuah skill ekstra: <Dual Blades>"

Ekspresi takjub terlihat dari anggota grup Klein dan sisa dari The Army yang selamat.

Semua weapon skill harus dipelajari dengan urutan tertentu tergantung jenisnya. Contohnya misalnya pedang, kau harus melatih skill one-handed straight sword sedikit sebelum <Rapier> dan <Two-Handed Sword> muncul di daftar skill.

Tentu saja, Klein tertarik, dan ia mendesakku untuk memberitahu sisanya.

"Jadi apa syarat yang harus dipenuhi adalah?"

"Aku pasti sudah menyebarkannya jika aku tahu itu."

Saat Aku menggeleng, Klein menghela napas dan bergumam.

"Kau benar…"

Weapon skill yang tidak memiliki syarat yang jelas untuk muncul disebut skill ekstra. Mereka bahkan kadang-kadang disebut syarat acak. Contohnya <Katana> Klein. Tapi <Katana> tidak terlalu jarang dan sering muncul selama kau terus melatih skill Curved Sword (Pedang Lengkung).

Sebagian besar sepuluh lebih skill ekstra yang telah ditemukan sampai sekarang, termasuk <Katana>, paling sedikit ada sepuluh orang yang menggunakan mereka. Kecuali <Dual Blades>ku dan satu skill ekstra yang lain.

Sepertinya kedua skill itu dibatasi hanya untuk satu orang, jadi mereka bisa disebut sebagai <Unique Skill>. Aku telah menyembunyikan keberadaan Unique Skill ku sampai sekarang. Tapi mulai hari ini, berita bahwa aku adalah pengguna Unique Skill yang kedua akan menyebar ke seluruh dunia. Tidak mungkin aku bisa menyembunyikannya setelah menggunakannya di depan begitu banyak orang.

"Aku kecewa Kirito. Kau bahkan tidak bisa mengatakan padaku bahwa kau mempunyai skill yang mengagumkan. "

"Aku sudah akan memberitahumu jika aku tahu kondisi untuk membuat itu muncul. Tapi aku benar-benar tidak tahu pikir bagaimana hal itu terjadi. "

Aku menjawab keluhan Klein dengan mengangkat bahu.Tidak ada sedikit pun kebohongan pada apa yang aku katakan. Sekitar setahun yang lalu, aku membuka jendela kemampuanku suatu hari dan menemukan nama <Dual Blades> muncul di sana. Aku benar-benar tidak punya petunjuk tentang kondisi apa untuk membuatnya muncul.

Sejak itu, aku hanya melatihnya saat tidak ada orang di sekitar. Bahkan setelah aku hampir menguasainya, aku jarang menggunakannya terhadap monster kecuali keadaan darurat. Selain menggunakannya untuk melindungi diri dalam bahaya, aku hanya tidak suka jenis skill ini karena terlalu menarik perhatian.

Aku bahkan berpikir bahwa akan lebih baik jika pengguna lain Twin Blades muncul ---

Aku menggaruk daerah sekitar telingaku dan bergumam.

"... Jika itu menjadi diketahui bahwa aku punya seperti skill langka, tidak hanya orang akan menggangguku untuk informasi ... mungkin menarik jenis masalah lain juga ..."

Klein mengangguk.

"Gamer Online mudah cemburu. Aku tidak akan karena aku seorang pria pengertian, tapi pasti ada banyak orang iri. Belum lagi ... "

Klein tiba-tiba berhenti bicara dan memandang Asuna, yang masih erat memelukku, dan tersenyum penuh arti.

"... Yah, anggaplah penderitaan sebagai cara lain untuk melatih dirimu, Kirito muda."

"Jadi, untukmu itu hanya masalah orang lain ...?"

Klein membungkuk dan menepukku di bahu, lalu berbalik dan berjalan ke arah sisa dari <The Army> yang selamat.

"Hei, kalian, bisakah kalian kembali ke markas kalian sendirian?"

Salah satu dari mereka mengangguk pada pertanyaan Klein. Dia adalah seorang anak yang terlihat seperti ia masih berada di usia remaja.

"OK. Beritahu atasan kalian apa yang terjadi di sini hari ini dan bahwa mereka tidak seharusnya melakukan sesuatu hal bodoh lagi. "

"Ya. ... ... Dan, err ... ... terima kasih."

"Terima kasih pada dia yang di sana."

Klein menunjukku dengan jempolnya. Para pemain dari The Army berdiri dengan gemetar, berbalik arah Asuna dan aku, yang masih di lantai, dan membungkuk dalam-dalam sebelum berjalan keluar ruangan. Begitu mereka sampai lorong, mereka menggunakan kristal mereka untuk teleport keluar satu demi satu.Setelah lampu biru pudar, Klein meletakkan tangannya di pinggul dan mulai berbicara.

"Yah, mari kita lihat ... Kami akan melanjutkan ke lantai 75 dan membuka pintu gerbang sana. Bagaimana denganmu? Kau bintang hari ini, apa kau ingin melakukannya? "

"Tidak, aku akan menyerahkannya kepadamu. Aku benar-benar capek. "

"Jika itu alasannya... berhati-hatilah dalam perjalananmu pulang. "

Klein mengangguk dan kemudian memberi isyarat kepada teman satu timnya. Keenamnya berjalan ke pintu besar di sudut ruangan. Dibalik itu seharusnya ada tangga ke lantai berikutnya. Pengguna Katana berhenti di depan pintu dan berbalik.

"Hei ... Kirito. Kau tahu ketika kau melompat masuk untuk menyelamatkan para anggota The Army ... "

"... Kenapa dengan itu?"

"Aku ... yah, benar-benar senang. Itu saja yang aku ingin katakan. Sampai ketemu lain waktu. "

Aku tidak mengerti apa yang ia katakan. Ketika aku memiringkan kepalaku, Klein memberiku acungan jempol, lalu membuka pintu dan menghilang melalui itu dengan grupnya.

Hanya Asuna dan aku yang tersisa di ruang besar bos . Api biru yang telah bergejolak dari lantai telah menghilang beberapa waktu lalu, dan suasana seram yang pernah memenuhi ruangan itu menghilang tanpa jejak. Cahaya lembut yang memenuhi jalan sekarang membanjiri ruangan ini juga. Tidak satu tanda pertempuran yang tersisa.

Aku mengatakan sesuatu kepada Asuna, yang masih menempatkan kepalanya di bahuku.

"Hei ... Asuna ...."

"... ... Aku begitu takut .... Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan ... ... jika kau mati. "

Suaranya gemetar lebih lemah dari yang pernah kudengar sebelumnya.

"... Apa yang kau bicarakan? Kau kan yang pertama kali menyerang masuk. "

Aku mengatakan hal ini saat aku meletakkan tanganku di bahu Asuna dengan lembut. Sebuah flag pelanggaran akan muncul jika aku memegangnya terlalu terang-terangan, tapi ini benar-benar bukanlah situasi dimana aku perlu khawatir tentang itu.Saat aku dengan lembut menariknya ke arahku, telingaku hampir saja ketinggalan suaranya yang kecil.

"Aku akan mengambil istirahat sejenak dari guild."

"Is, istirahat ... kenapa?"

"... Aku berkata bahwa aku akan menjadi satu tim denganmu untuk sementara waktu ... Apakah kau sudah lupa?"

Sesaat setelah aku mendengar hal itu...

Disuatu tempat di dalam hatiku, muncul suatu perasaan yang hanya bisa digambarkan sebagai kerinduan yang kuat. Bahkan itu mengagetkan ku.

Aku—solo player Kirito—adalah orang yang mengabaikan semua player demi menjaga diriku agar tetap hidup di dunia ini. Aku adalah pecundang yang telah berpaling dari teman satu-satunya dan melarikan diri 2 tahun lalu, pada hari saat semua ini dimulai.

Orang seperti diriku, yang bahkan tak punya hak untuk mengharapkan seorang rekan—apalagi sesuatu yang lebih dari itu.

Aku sudah menyadari hal ini dengan cara yang menyakitkan dan tak terlupakan. Aku telah bersumpah untuk tidak berharap lagi, tidak pernah merindukan perhatian orang lain.

Tapi-

Tangan kiri ku, yang sudah kaku, tidak ingin pergi dari bahu Asuna. Aku hanya tak bisa lepas dari kehangatan tubuh virtualnya

Aku mengubur konflik yang bertentangan ini dengan emosi yang tak bisa dijelaskan, dan kemudian menjawab dengan jawaban singkat.

“…baiklah.”

Setelah mendengar jawabanku, kepala Asuna mengangguk sedikit dibahuku.


Keesokan harinya.

Aku sudah bersembunyi di lantai dua di toko milik Agil sejak pagi ini. Aku duduk di bangku yang terbuat dari batu sambil dengan kaki menyilang dan meminum teh yang rasanya aneh, yang tidak bisa kupikir mungkin itu adalah produk gagal. Aku juga sedang dalam mood yang tidak baik.

Seluruh Algade — tidak, mungkin seluruh orang di Aincrad sedang sibuk membicarakan kejadian kemarin.

Penyelesaian sebuah lantai, yang berarti pembukaan sebuah kota baru, sudah cukup untuk memulai banyak sekali gosip. Tapi kali ini, berbagai rumor lain juga tercampur kedalamnya, seperti «Iblis yang membantai sepasukan anggota The Army» dan «Pengguna Pedang Ganda yang membunuh sang iblis sendirian dengan 50 serangan»… Seharusnya ada batas dimana orang bisa melebih-lebihkan sesuatu.

Entah bagaimana mereka telah menemukan dimana aku tinggal. Hasilnya, para pemain pedang dan penjual informasi berkumpul di rumahku sejak pagi. Akhirnya aku harus menggunakan kristal teleport untuk kabur.

“Aku akan pindah… Ke lantai yang sangat sepi, ke sebuah desa dimana mereka tidak akan pernah bisa menemukanku….”

Ketika aku menggumamkan keluhanku tanpa henti, Agil berjalan mendekatiku dengan sebuah senyuman.

“Hey, jangan seperti itu. Bukankah bagus menjadi terkenal untuk sekali dalam hidupmu. Kenapa kau tidak menyelenggarakan seminar saja? Aku akan mengurus tiket dan tempatnya…”

“Ga mungkin!”

Aku berteriak dan melempar gelas yang ada di tangan kananku, mengincar area yang berada 50cm di sebelah kanan kepala Agil. Tapi tanpa sadar aku melakukan gerakan yang mengaktifkan skill Melempar Senjata dan melemparkan gelas itu ke dinding dengan kecepatan tinggi. Gelasnya meninggalkan jejak cahaya sebelum mengenai dinding dengan suara yang kencang. Untungnya, ruangannya adalah benda yang tidak bisa dihancurkan, jadi tidak ada apapun yang terjadi selain munculnya tulisan «Immortal Object». Jika aku mengenai sebuah hiasan, benda itu pasti akan hancur.

“Ah, apa kau mau membunuhku!?”

Aku mengankat tangan kananku sebagai tanda minta maaf dan kembali bersandar di kursi setelah mendengar teriakan berlebihan yang dikeluarkan sang pemilik toko.

Agil sedang memeriksa harta yang kudapat dari pertarungan kemarin. Setiap beberapa lama dia mengeluarkan suara yang aneh, yang kemungkinan besar ada barang yang cukup berharga didalamnya.

Aku berencana untuk membagi rata uang yang kudapat dari menjual barang-barang itu pada Asuna, tapi ini sudah lewat batas waktu janji pertemuan dan dia masih belum datang. Aku sudah mengirimkannya sebuah pesan, jadi dia pasti tahu dimana aku sekarang…

Kami berpisah di jalan utama dari gerbang teleport lantai 74 kemarin. Dia berkata kalau dia akan mengajukan cuti dan pergi ke markas KoB di Grandum di lantai 55. Aku bertanya padanya jika aku harus ikut dengannya, mengingat masalah dengan Cradil dan yang lainnya. Tapi dia mengatakan kalau dia baik-baik saja dengan sebuah senyuman diwajahnya, jadi aku melupakan niatku.

Sudah 2 jam sejak waktu perjanjian. Jika dia telat seperti ini, apa itu berarti sesuatu telah terjadi? Tidakkah seharusnya aku pergi dengannya? Aku meminum teh yang ada di gelas dengan sekali teguk untuk menenangkan rasa khawatir ku.

Sesaat setelah aku meminum habis teh di poci teh yang ada di hadapanku, dan Agil menyelesaikan pemeriksaan item-item ku, aku mendengar suara langkah kaki berlari menaiki tangga. Kemudian, pintunya dengan cepat terbuka.

“Hey, Asuna…”

Aku hampir saja mengatakan "Kau terlambat" tapi aku menghentikannya. Asuna mengenakan seragamnya seperti biasa, tapi wajahnya pucat dan matanya menunjukkan rasa khawatir. Dia menaruh kedua tangannya di depan dadanya, menggigit bibirmnya dua atau tiga kali, dan kemudian berkata:

“Apa yang harus kita lakukan…Kirito…”

Dia memaksakan untuk mengeluarkan suara yang hampir terdengar seperti tangisan.

“Sesuatu…yang buruk telah terjadi…”


Setelah meminum sedikit teh yang baru dimasak, wajah Asuna sedikit kembali cerah dan dia mulai menjelaskan dengan sedikit ragu. Agil turun kembali ke lantai pertama setelah menyadari suasananya.

“Kemarin…setelah aku kembali ke markas di Grandum, aku melaporkan semua yang terjadi pada ketua guild. Kemudian aku mengatakan kalau aku ingin mengambil cuti dari guild dan kembali kerumah… Kupikir, aku akan mendapat izin selama pertemuan pagi rutinitas guild…”

Asuna, yang duduk di depanku, menurunkan matanya dan menggenggam dengan erat gelas teh nya sebelum melanjutkan pembicaraan.

“Ketua…berkata kalau aku bisa mengambil istirahat sejenak dari guild. Tapi ada satu syarat… Dia bilang kalau…dia ingin bertarung…dengan Kirito…”

“Apa…?”

Aku tidak dapat mengerti apa yang dia maksudkan selama beberapa saat. Bertarung…apa itu maksudnya sebuah duel? Apa hubungannya duel dengan Asuna mengambil cuti?

Ketika aku menanyakannya…

“Aku juga tidak tahu….”

Asuna menggelengkan kepalanya sambil melihat ke arah lantai.

“Aku sudah mencoba mengatakan padanya kalau tidak ada artinya melakukan hal itu…tapi dia tidak mau mendengarkan perkataanku…”

“Tapi…ini menyulitkan. Kalau orang itu tiba-tiba menyampaikan persyaratan seperti ini…”

Aku bergumam saat wajah dari ketua guild itu terbayang di pikiranku.

“Aku tahu. Ketua biasanya membiarkan kami saat kami merencanakan strategi untuk menyelesaikan sebuah lantai, apalagi kegiatan guild sehari-hari. Tapi aku tidak tahu kenapa kali ini dia…”

Meski ketua KoB punya kharisma yang luar biasa, yang menarik kekaguman bukan hanya dari seluruh anggota guildnya tapi juga hampir semua orang-orang yang berada di garis depan, dia tidak pernah memberikan instruksi ataupun perintah. Aku bertarung disampingnya beberapa kali dalam pertarungan melawan boss dan aku juga mengagumi kemampuannnya untuk mempertahankan barisan tanpa berkata apapun.

Pria seperti itu mengajukan keberatan dengan memberikan syarat untuk melakukan duel denganku, sebenarnya apa maksudnya ini?

Meski aku benar-benar kebingungan, aku berbicara untuk menenangkan Asuna

“…yah, ayo ke Grandum dulu. Aku akan mencoba berbicara langsung dengannya.”

“Ya… Maaf. Aku selalu membuatmu repot…”

“Aku senang melakukan apapun, karena kau adalah…”

Asuna melihat kearahku dengan berharap ketika aku berhenti ditengah kalimatku.

“…partnerku yang penting.”

Asuna mencibir dengan rasa tidak puas, tapi kemudian dia menunjukkan senyuman yang hangat.



Pria Terkuat, Legenda Hidup, Sang Paladin, dan lain-lain, ketua dari Knights of the Blood punya begitu banyak gelar hingga tidak bisa dihitung dengan tangan lagi.

Namanya adalah Heathcliff. Sebelum «Dual Blades» milikku diketahui secara luas, dia dikenal sebagai satu-satunya pengguna unique skill diantara enam ribu player di Aincrad.

Kemampuan ekstra miliknya menggunakan kombinasi dari sebuah pedang dan perisai, yang keduanya berbentuk salib, dan membiarkannya mengubah antara menyerang dan bertahan dengan bebas. Itu dinamakan «Holy Sword». Aku telah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri selama beberapa kali, dan menyadari kalau aspek yang paling menonjol dari skill itu adalah kekuatan bertahannya yang sangat hebat. Rumor mengatakan kalau tidak ada seorangpun yang pernah melihat HP nya masuk ke zona kuning. Selama pertarungan melawan boss di lantai 50 yang menyebabkan kematian banyak player, dia mampu menahan barisan sendirian selama lebih dari sepuluh menit. Hal itu masih menjadi topik pembicaraan yang populer hingga sekarang.

Tidak ada senjata yang bisa menembus perisai berbentuk salib milik Heathcliff.

Ini adalah salah satu pendapat yang diakui oleh sebagian besar orang di Aincrad.

Ketika aku sampai di lantai 55 dengan Asuna, aku merasakan rasa tegang yang tidak bisa dijelaskan. Tentu saja, Aku tidak ada keinginan untuk beradu pedang dengan Heathcliff. hanya ingin memintanya untuk mengabulkan permintaan Asuna untuk cuti sementara dari guild; hanya itu tujuanku.

Grandum, merupakan tempat tinggal di lantai 55, yang dijuluki «Kota Besi». Ini karena Grandum, tidak seperti kota-kota lainnya yang terbuat dari batu, hampir seluruhnya terdiri dari menara raksasa yang terbuat dari besi hitam yang mengkilap. karena kotanya memiliki banyak sekali blacksmith, populasi playernya lumayan tinggi. Tetapi, karena tidak ada pohon atau penghijauan di sekeliling jalan, itu memunculkan perasaan kalau kota ini dingin sekali saat angin musim dingin berhembus.

Kami datang melalui gerbang plaza dan melangkah sepanjang jalan yang terbuat dari lempengan besi yang ditempelkan dengan paku. Langkah kaki Asuna terlihat berat; mungkin itu karena dia takut dengan apa yang akan terjadi nanti.

Kami berjalan diantara menara-menara besi selama sekitar sepuluh menit hingga sebuah menara yang lebih besar berdiri dihadapan kami. Tombak besi menonjol keluar diatas gerbang yang sangat besar, dimana bendera putih dengan salib merah berkibar diantara angin yang dingin. Itu adalah markas dari guild Knights of the Blood.

Asuna berhenti didepanku. Dia melihat keatas menara selama beberapa saat dan berkata:

“Sebelumnya, markas kami adalah sebuah rumah kecil di desa yang berada dipinggir lantai 39 . Semua orang selalu protes kalau itu terlalu kecil dan ramai. Aku tidak menentang perluasan guild…tapi kota ini terlalu dingin, dan aku tidak menyukainya…”

“Ayo cepat selesaikan hal ini; lalu kita bisa mencari sesuatu yang hangat untuk dimakan.”

“Kau selalu berbicara tentang makanan.”

Asuna tersenyum dan menggerakkan tangan kirinya untuk menggenggam jari-jari tangan kananku dengan lembut. Dia sama sekali tidak melihat kearahku, yang kebingungan karena kelakuannya, dan berdiri seperti itu selama beberapa detik.

“Baiklah, pengisian selesai!”

Lalu dia melepaskan tanganku dan mulai berjalan menuju menara itu dengan langkah yang panjang. Aku buru-buru mengikutinya dari belakang.

Setelah menaiki tangga, kami mencapai dua buah gerbang yang terbuka lebar, meski ada seorang penjaga dengan armor berat dan sebuah tombak yang lumayan panjang di kedua sisi. Asuna berjalan mendekati mereka, hak dari sepatunya berbunyi setiap kali menyentuh lantai. Saat dia mendekati mereka, kedua penjaga itu memberi hormat dengan mengangkat tombak mereka dari atas tanah.

“Terima kasih atas kerja keras kalian.”

Dengan jawabannya yang tegas dan langkahnya yang percaya diri, sulit untuk mempercayai kalau dia adalah orang yang sama dengan gadis yang depresi yang berada di rumah Agil satu jam yang lalu. mengikuti Asuna dari belakang, aku melewati kedua penjaga itu dan masuk kedalam menara dengannya.

Seperti bangunan lainnya di Grandum, menara ini juga dibuat dari besi hitam. Lantai pertamanya terdiri dari lobby yang luas, tapi tidak ada seorangpun didalamnya sekarang.

Berpikir kalau bangunannya lebih dingin dibandingkan dengan jalan diluar, kami melangkah melewati lantai mosaik, yang dibuat dengan cermat dari berbagai jenis logam, dan mencapai sebuah tangga spiral.

Kami menaiki tangga itu; langkah kaki kami bergema sepanjang lorong. Tangganya menjulang tinggi sekali, orang dengan status vitality yang rendah pasti akan menyerah ditengah jalan. Setelah melewati begitu banyak pintu, aku mulai khawatir tentang berapa jauh lagi kami harus pergi. Lalu Asuna tiba-tiba berhenti didepan sebuah pintu besi yang dingin.

“Ini…?”

“Ya…”

Asuna mengangguk dengan ekspresi ragu diwajahnya. Tapi sepertinya dia segera mencapai keputusan. Dia mengangkat tangan kanannya, mengetuk pintunya dengan keras, dan membukanya tanpa menunggu jawaban. Aku mengedipkan mataku saat cahaya terang keluar dari ruangan tersebut.

Didalam adalah ruangan besar yang meliputi luas satu lantai dari menara ini. Dinding di keempat sisinya terbuat dari kaca transparan. Cahaya yang tersaring olehnya mewarnai ruangan dengan warna abu-abu monoton.

Sebuah meja setengah lingkaran berdiri ditengah ruangan; lima pria duduk di kursi dibelakangnya. Aku tidak pernah melihat keempat orang di samping, tapi aku mengenal dengan baik orang yang berada ditengah. Dia adalah sang Paladin Heathcliff.

Dia tidak terlihat begitu mengesankan. Umurnya kira-kira sekitar 25 tahun. Wajahnya tajam seperti seorang sarjana, dan sehelai rambutnya yang berwarna abu-abu mencuat keluar di keningnya. Jubah yang berwarna merah cerah menghiasi tubuhnya yang tinggi dan langsing itu membuatnya lebih terlihat seperti seorang penyihir yang tidak ada di dunia ini dibandingkan dengan seorang pemain pedang.

Tapi yang paling mencolok dari wajahnya adalah matanya. Matanya yang berwarna kuning misterius itu memancarkan aura kuat yang mampu menekan orang-orang. Ini bukan pertama kalinya aku bertemu dengannya; tapi sejujurnya, aku masih merasa terintimidasi.

Asuna berjalan mendekati meja, suara langkah dari sepatunya bergema, dan dia memberikan hormat ringan.

“Aku datang untuk mengatakan salam perpisahan untuk sementara.”

Heathcliff menunjukkan sebuah senyuman pahit dan berkata:

“Tidak perlu terburu-buru. Pertama-tama biarkan aku berbicara dengannya dulu.”

Dia melihat kearahku saat mengatakan hal itu. Aku menarik tudung kepalaku dan berdiri disamping Asuna.

“Apa ini pertama kalinya aku bertemu denganmu diluar pertarungan melawan boss, Kirito?”

“Tidak…kita pernah berbicara selama beberapa waktu saat pertemuan menyusun strategi di lantai 67.”

Aku menjawabnya dengan nada formal tanpa menyadarinya.

Heathcliff mengangguk sedikit dan menepukkan kedua tangannya diatas meja bersamaan.

“Itu adalah pertarungan yang sulit. Kami hampir mendapat beberapa kerugian di dalam guild. Bahkan meski mereka menyebut kami sebagai guild terhebat, Kami selalu kekurangan orang. Meski begitu sekarang kau mencoba untuk mengambil salah satu player terhebat kami yang berharga.”

“Jika dia begitu berharga, bagaimana kalau lebih memikirkan lagi dalam menyeleksi bodyguardnya?”

Pria yang duduk di paling kanan berdiri mendengar jawahbanku yang tajam, ekspresinya berubah. Tapi Heathcliff menghentikannya hanya dengan mengayunkan tangan saja.

“Aku sudah menyuruh Cradil untuk kembali kerumahnya dan merenungkan kesalahannya. Aku harus meminta maaf karena masalah karena telah merepotkanmu. Tapi, Kami tidak bisa diam dan membiarkanmu mengambil wakil ketua kami begitu saja. Kirito-”

Dia tiba-tiba menatapku; matanya yang tajam menunjukkan kehendak yang tak tergoyahkan dibaliknya.

“Jika kau ingin membawanya—menangkan dia dengan pedangmu, dengan «Dual Blades». Jika kau bertarung denganku dan menang, maka Asuna boleh pergi denganmu. Tapi jika kau kalah, maka kau harus bergabung dengan Knights of the Blood.”

“…”

Aku akhirnya merasa kalau aku bisa mengerti sedikit tentang pria misterius ini.

Dia adalah orang yang terobsesi dengan duel pedang. Terlebih lagi, Dia punya kepercayaan diri yang tak tergoyahkan dengan kemampuannya sendiri. Dia adalah orang yang tidak bisa membuang harga dirinya sebagai seorang gamer meski terjebak dalam game kematian ini. Dengan kata lain, dia sama sepertiku.

Setelah mendengar kata-kata Heathcliff, Asuna, yang diam sejak tadi, membuka mulutnya dan berbicara seperti dia tidak bisa menahannya lagi.

“Ketua, aku tidak bilang kalau aku ingin berhenti dari guild. Aku hanya ingin keluar sementara, untuk istirahat dan memikirkan tentang beberapa hal…”

Aku menaruh tanganku di pundak Asuna, yang kata-katanya telah menjadi semakin kesal, dan mengambil satu langkah kedepan. Aku menghadapi tatapan Heathcliff secara langsung, dan mulutku bergerak dengan sendirinya.

“Baiklah, jika kau ingin berbicara melalui pedang, maka aku tidak keberatan. Kita akan menentukan hal ini dengan sebuah duel.”


“Auu--!!! Bodohbodohbodoh!!!”

Kami kembali ke Algade, dilantai kedua toko Agil. Setelah mengusir si pemilik toko yang penasaran kembali ke lantai satu, aku mencoba menenangkan Asuna.

“Aku sudah berusaha keras untuk meyakinkannya, meski begitu kau mengatakan hal seperti itu!!!”

Asuna duduk diatas tempat untuk mengistirahatkan tangan dari kursi batu yang kududuki, dan menggunakan tangannya yang dikepalkan untuk menggiling kepalaku.

“Maaf! Maafkan aku! Aku mengikuti arus begitu saja dan…”

Dia akhirnya tenang setelah aku menggenggam tangannya dengan lembut; tapi sekarang dia cemberut. Aku harus menahan diriku dari tertawa melihat perbedaan besar antara kelakuannya di markas dan kelakuannya sekarang.

“Tenang saja. Kami telah memutuskan untuk menggunakan aturan serangan pertama, jadi tidak ada bahaya yang diikutkan. Selain itu, bukan berarti aku pasti akan kalah kan…”

“Uu~~~~…”

Asuna membuat sebuah suara marah dan menyilangkan kakinya yang panjang dan langsing diatas tempat mengistirahatkan tangan.

“…Ketika aku melihat «Dual Blades» milikmu, kupikir kalau skill mu berada di level yang sangat berbeda. Tapi itu sama seperti «Holy Sword» milik ketua… Bisa dibilang kalau kekuatannya cukup untuk menghancurkan keseimbangan game. Sejujurnya, aku tidak tahu siapa yang akan menang… Tapi apa yang akan kau lakukan? Jika kau kalah, tidak masalah jika aku tidak bisa mengambil cuti, tapi kau harus bergabung dengan KoB, Kirito.”

“Yah kau bisa bilang kalau aku masih bisa mencapai tujuanku, tergantung bagaimana kau memikirkannya.”

“Eh? Kenapa?”

Aku harus memaksa membuka mulutku untuk menjawabnya.

“Err, yah, selama…selama Asuna berada denganku, aku tidak masalah bergabung dengan guild.”

In the past, I would never have said something like this, even if it was to save my own life. Asuna’s eyes went wide with surprise, and her face turned as red as a ripe apple. Then, for some reason, she fell quiet, got up from the armrest, and walked over to the window.

Dari balik pundak Asuna, aku bisa mendengar suara Algade yang berada dibawah matahari terbenam yang terdengar setiap hari.

Apa yang baru saja kukatakan adala kenyataan, tapi aku masih merasa ragu untuk bergabung dengan sebuah guild. Ketika aku mengingat satu-satunya nama dari guild yang pernah kuikuti, yang sekarang sudah tidak ada lagi, sebuah rasa sakit yang menusuk terasa di hatiku.

‘Yah, aku tidak ada keinginan untuk kalah…’

Aku berpikir seperti itu, lalu bangun dari kursi dan berjalan mendekati Asuna.

Segera sesudah itu, Asuna mengistirahatkan kepalanya dengan lembut di pundak kananku.