Difference between revisions of "Sword Art Online Bahasa Indonesia:Jilid 2 Bab 2"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Line 1,261: Line 1,261:
 
[[Image:Sword Art Online Vol 02 - 152.jpg |thumb]]
 
[[Image:Sword Art Online Vol 02 - 152.jpg |thumb]]
   
Efek kilat merah meledak, pencelupan lokakarya di warnanya.
+
Efek kilat merah meledak, pencelupan workshop di warnanya.
   
Pedang di tangan Kirito yang berganti-ganti, menyerang depannya dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti oleh pandangan. "Kyubabababa!", Suara-suara yang diberikan tekanan pada udara, dan meskipun tidak benar-benar ditargetkan untuk apa-apa, obyek dalam ruangan bergetar.
+
Pedang di tangan Kirito berganti-ganti, menyerang depannya dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti oleh pandangan. "Kyubabababa!", Suara-suara yang diberikan tekanan pada udara, dan meskipun tidak benar-benar ditargetkan untuk apa-apa, obyek dalam ruangan bergetar.
   
Sudah jelas itu teknik pedang diatur oleh sistem. Tapi aku tidak pernah mendengar hal seperti keterampilan yang menggunakan dua pedang.
+
Sudah jelas itu teknik pedang diatur oleh sistem. Tapi aku tidak pernah mendengar hal seperti skill yang menggunakan dua pedang.
   
 
Di depanku, berdiri masih saat aku menarik napas, diam-diam Kirito mengangkat tubuhnya, setelah selesai teknik serangan berturut-turut yang mungkin mencapai sepuluh hits chained.
 
Di depanku, berdiri masih saat aku menarik napas, diam-diam Kirito mengangkat tubuhnya, setelah selesai teknik serangan berturut-turut yang mungkin mencapai sepuluh hits chained.

Revision as of 10:16, 20 July 2012

Sword Art Online Volume 2 Chapter 2 Kehangatan Hati (Lantai ke-48 Aincrad, Juni 2024)

Kincir air yang besar itu berputar dengan mantap, memenuhi seluruh toko dengan suara menenangkan.

Walaupun ini hanya rumah kecil untuk digunakan kelas support diantara perumahan khusus pemain, harganya naik seperti pasang karena kincir air itu. Saat aku pertama menemukan rumah ini di distrik utama Lindus di lantai 48, pikiranku tiba-tiba berkata ‘ini dia!’, tepat sebelum harganya mengejutkanku.

Sejak saat itu, aku mulai bekerja keras membanting tulang, meminjam uang dari berbagai tempat, dan berhasil mengumpulkan tiga juta Coll[1] hanya dalam dua bulan. Kalau ini adalah dunia nyata, tubuhku akan dipenuhi otot dari semua pengalamanku memukulkan palu, dan tangan kananku akan penuh dengan kapalan tebal.

Tapi semua itu terbayar sudah, aku memperoleh sertifikatnya hanya selangkah lebih dulu dari pesaingku dan membuka «Toko Senjata Spesial Lizbet» di rumah berkincir air ini. Ini terjadi tiga bulan lalu saat musim semi yang sejuk.

Bagian 1

Setelah meminum kopi pagiku dengan cepat --- untungnya ini Aincrad --- sambil mendengarkan berputarnya kincir air seperti mendengarkan BGM[2], aku memakai seragam blacksmith[3]ku dan melirik pantulanku di cermin besar yang tergantung di dinding.

Meskipun aku menyebutnya seragam blacksmith, sebenarnya pakaianku ini sekedar mirip pun tidak, tapi pakaianku ini sebenarnya lebih mirip seragam pelayan wanita: sebuah atasan merah tua dengan lengan baju yang menggembung dan sebuah rok layang dengan warna yang sama, ditambah sebuah celemek putih bersih diatasnya dan sebuah pita merah di dadaku.

Bukan aku yang memilih pakaian ini; seorang pelanggan setia sekaligus temanku lah yang memilihnya. Menurutnya, ‘wajahmu baby face jadi pakaian kaku ga cocok buatmu.'

Nah itulah yang dia bilang, dan aku tuh seperti 'urus urusanmu sendiri!' Tapi penjualan naik dua kali lipat sejak aku mulai memakai seragam ini, jadi aku ga punya pilihan selain terus memakainya.

Nasehatnya tidak berhenti di pakaianku, tapi bahkan sampai juga ke rambutku; sekarang rambutku sudah dirombak menjadi sangat pink dan halus. Tapi berdasarkan respon pelanggan, sepertinya penampilan ini cocok denganku.

Aku, Lizbet si blacksmith, berumur lima belas saat aku pertama kali masuk ke SAO. Dulu di dunia nyata kudengar aku terlihat lebih muda dari usiaku, tapi di dunia ini aku bahkan terlihat lebih muda lagi. Ketika rambut merah mudaku, mata besarku yang biru, dan bibirku yang mungil dikombinasikan dengan celemek bergaya kuno, pantulanku di cermin terlihat hampir seperti boneka.

Karena di dunia lain aku hanya anak SMP yang tidak peduli dengan mode, jurangnya pun makin melebar. Entah bagaimana aku telah terbiasa dengan penampilanku, namun karena kepribadianku tidak berubah sama mudahnya, aku sudah beberapa kali menakuti pelangganku dengan tingkahku dari waktu ke waktu.

Aku memeriksa apa ada yang terlupa kusiapkan sebelum aku ke bagian depan toko dan membalik tanda ‘TUTUP’. Aku memandang beberapa pemain yang telah menunggu bukanya tokoku, lalu memperlihatkan senyum terbaikku dan menyapa mereka.

"Selamat pagi! Silakan!"

Sebenarnya, belum terlalu lama sejak aku bisa melakukan ini secara alami.

Mengelola sebuah toko sudah menjadi mimpiku sejak lama, tapi melakukannya di dalam game ternyata sangat berbeda dengan di dunia nyata. Aku mengalami sendiri bagaimana susahnya penyambutan dan pelayanan ketika aku pertama mulai sebagai pedagang jalanan dengan sebuah penginapan sebagai markasku.

Karena menahan senyum terlalu sulit bagiku, aku memutuskan untuk menang melalui kualitas, dan sepertinya menaikkan level skill[4] weaponsmith[5]ku adalah jawabannya, terbukti dengan banyaknya pelanggan setiaku yang terus menggunakan senjataku bahkan setelah aku membuka toko ini. Setelah selesai menyapa mereka, aku meninggalkan resepsionis ke pegawai NPC[6] ku lalu menyembunyikan diri di ruang kerja yang tersambung ke toko milikku. Ada sekitar sepuluh item[7] yang harus kubuat hari ini.

Segera setelah aku menarik tuas di dinding, kekuatan mekanik dari kincir air mulai digunakan oleh puputan untuk meniupkan udara ke kompor arang, pemoles pun mulai berputar. Aku mengeluarkan sebongkah logam mahal dari inventarisku dan memasukkannya ke kompor arang yang baru mulai memanas. Setelah cukup panas, aku memindahkannya ke landasan tempa menggunakan sepasang penjepit. Aku berlutut dengan satu kaki dan menggenggam paluku, lalu memanggil menu pop-up dan memilih benda yang ingin kubuat. Sekarang yang harus kulakukan hanyalah memukul bongkahan logam itu sebanyak jumlah yang diperlukan dan benda itu pun tertempa. Tidak ada teknik yang diperlukan untuk ini dan kualitas senjata yang dihasilkan pun acak; tapi kupikir hasil akhirnya bergantung dengan sekuat apa konsentrasiku, jadi aku menegangkan semua otot-ototku dan mengangkat palunya pelan-pelan. Kemudian, persis saat aku akan menghantam logam itu---

"Hei, Liz!"

"Ahh!"

Pintu ruang kerjaku terbuka dengan keras dan aku pun meleset; alih-alih membentur logam, aku malah mengenai alas tempaku dengan dentang yang menyedihkan dan percikan-percikan bunga api.

Begitu aku mengangkat kepalaku, pengacau itu sedang menggaruk kepalanya dan tersenyum dengan lidahnya terjulur keluar.

"Maaf~ Lain kali aku akan hati-hati."

"Kira-kira udah berapa kali ya aku dengar kata-kata itu--- ...Yah, seenggaknya ini terjadi sebelum aku mulai."

Aku berdiri sambil menghela nafas panjang dan mengembalikan bongkahan logam itu ke dalam kompor arang sebelum menempatkan kedua tanganku di pinggang dan berbalik. Kemudian aku memandang gadis yang sedikit lebih tinggi dariku.

"...Hei, Asuna."

Sahabatku dan seorang pelanggan setia, si pengguna rapier[8] Asuna, berjalan melintasi ruangan ke arahku lalu duduk di atas sebuah kursi kayu. Lalu dia menekan rambut coklat kemerah-merahannya yang panjang yang melewati bahunya dengan tangannya. Semua pergerakannya seperti bersinar, seakan dia adalah seorang bintang film, dan membuatku terpana meskipun aku sudah lama mengenalnya.

Aku pun duduk di kursi di depan alas tempaku itu dan menyandarkan paluku ke dinding.

"...Jadi, hari ini ada apa? Kamu dateng lebih pagi dari biasanya."

"Ah, aku ingin kamu merawat ini."

Asuna mengeluarkan rapiernya, dengan bilahnya masih disarungkan, kemudian melemparnya. Aku menangkapnya dengan satu tangan lalu menariknya keluar. Rapier itu sedikit tumpul karena sudah lama digunakan, namun tidak cukup tumpul untuk menyebabkan masalah memotong pada bilahnya.

"Kondisinya masih lumayan bagus kan? Terlalu awal untuk dirawat."

"Iya kamu benar. Tapi aku ingin ini jadi benar-benar berkilau."

"Hmmm?"

Aku menatap Asuna dengan teliti. Pakaian ksatrianya yang putih bercorak palang merah dan rok mininya tetap sama seperti biasanya, namun sepatunya bersinar seperti baru dan dia bahkan memakai sepasang anting perak.

"Kamu lagi aneh~ Aku baru kepikiran sekarang, hari kan ini hari kerja. Gimana tentang kuota clearing[9] guild[10] kamu? Bukannya kamu bilang kalian lagi kesusahan di lantai enam puluh tiga?"

Mendengar ucapanku, Asuna tersenyum malu:

"Ya--- aku dapet cuti hari ini. Karena nanti aku punya janji dengan seseorang..."

"Ohh~!"

Aku bergeser mendekat ke Asuna sambil tetap duduk di kursiku.

"Kasih tahu aku dong. Kamu mau ketemu siapa?"

"Ra-rahasia!"

Asuna memerah dan menghindari tatapanku. Aku menyilangkan lenganku, menggangguk, lalu berkata:

"Ah~ Kupikir aneh kamu menjadi lebih cerah belakangan ini. Jadi akhirnya kamu dapet pacar."

"Eng-enggak kayak gitu!!"

Pipi Asuna memerah makin tua. Dia terbatuk lalu menanyakanku sebuah pertanyaan sambil sedikit melirik-lirik:

"...Apa aku, bener-bener seberbeda itu sekarang...?"

"Tentu saja~ Waktu aku pertama ketemu kamu, kamu selalu berkonsentrasi menyelesaikan dungeon! Waktu itu kupikir kamu sedikit terlalu kaku, tapi kemudian, mulai musim semi ini, kamu mulai berubah sedikit; seperti beristirahat dari menyelesaikan game waktu hari kerja --- dulu kamu ga akan pernah melakukan itu."

"Be-bener ...mungkin aku memang telah terpengaruh...

"Jadi, siapa dia? Aku kenal ga?"

"Ku... kurasa enggak... kayaknya."

"Lain kali bawa dia kesini."

"Ga kayak gitu! Ini masih, yah... satu arah..."

"Hmm...?"

Kali ini aku benar-benar terkejut. Asuna adalah sub-leader[11] dari guild terkuat, KoB, dan salah satu dari lima cewek tercantik di Aincrad. Laki-laki yang menginginkan perhatian Asuna ada sebanyak bintang di langit, tapi aku bahkan tidak pernah membayangkan kalau kebalikannya itu ada.

"Begini lho, dia orang yang bener-bener aneh."

Ucap Asuna dengan kedua matanya merenung ke dalam kejauhan. Senyum lembut terlihat di bibirnya. Kalau ini adalah komik percintaan, maka sekarang di latarnya akan ada kelopak-kelopak bunga.

"Menurutku dia ga bisa ditebak, atau dia cuma melakukan semuanya dalam temponya sendiri... tapi walaupun begitu, dia bener-bener kuat."

"Oh, lebih kuat dari kamu?"

"Iya, beneran; kalau kita duel, aku bertahan semenit saja ga akan bisa."

"Ohh~ Aku bisa menghitung orang yang mampu melakukan itu dengan jari."

Segera setelah aku mulai memeriksa daftar clearer di kepalaku, Asuna mulai mengibaskan tangannya.

"Ah, jangan bayangkan dia~!"

"Yah, aku menantikan untuk segera melihatnya. Dan kalau begitu ceritanya, aku akan mengandalkanmu untuk promosi juga!"

"Kamu ga pernah melewatkan kesempatan ya. Akan kukenalkan dia ---ah, oh! Cepet dirawat!"

"Iya, iya. Akan kuselesaikan sekarang juga jadi tunggu sebentar."

Aku berdiri dengan rapier Asuna di tanganku dan berjalan ke pemoles yang berputar di pojok ruangan.

Aku mengeluarkan pedang tipis itu dari sarungnya. Senjata ini dikategorikan sebagai «Rapier» dengan nama unik «Lament Light». Termasuk salah satu pedang terbaik yang pernah kubuat. Walau aku menggunakan bahan mentah terbaik, palu terbaik, alas tempa terbaik, dan segalanya yang terbaik sekalipun, kualitas senjata yang dihasilkan masih berbeda-beda dikarenakan faktor acak. Karena itulah, aku hanya bisa membuat pedang berkualitas seperti ini setiap sekitar tiga bulan.

Pelan-pelan aku menempelkan pedang itu ke pemoles dengan kedua tanganku. Teknik yang terlibat dalam memoles senjata juga tidak ada, tapi aku tidak berniat untuk mengabaikannya.

Aku meluncurkan pedang itu dari pangkal hingga ujungnya. Bunga-bunga api berlompatan keluar dengan terang, suara metalik terdengar, dan di saat yang bersamaan kilau gemerlapan kembali ke pedang tersebut. Begitu proses pemolesan selesai, rapier itu kembali ke ke penampilan keperak-perakannya, bersinar dengan cahaya matahari pagi.

Aku menyarungkan bilahnya lagi dan melemparkannya ke Asuna. Lalu aku menangkap koin perak 100 coll yang dilemparkannya pada saat yang bersamaan dengan ujung-ujung jariku.

"Makasih!"

"Aku juga akan memintamu memperbaiki armorku nanti... tapi aku kehabisan waktu sekarang jadi daaah!"

Asuna berdiri dan menggantung rapier itu di sisi pinggangnya.

"Aku penasaran dia seperti apa sih~ Mungkin aku harus ikut pergi."

"Ehh, ja-jangan!"

"Hahaha, aku bercanda. Tapi lain kali bawa dia ya."

"Se-segera."

Asuna melambaikan tangannya dan keluar dari ruang kerjaku seakan dia melarikan diri. Aku menghela nafas panjang dan roboh lagi ke kursiku.

"...Pasti enak."

Aku tersenyum dengan sedikit pahit mendengar ucapan yang terlontar dari mulutku.

Satu setengah tahun sudah lewat sejak aku datang ke dunia ini. Karena kepribadianku, aku tidak bersenang-senang dan malah menuangkan segalanya untuk mengembangkan tokoku hingga seperti sekarang ini. Tetapi sekarang aku telah memiliki sebuah toko dan hampir menyempurnakan skill smithku, aku juga mulai merindukan pertemanan lagi, kemungkinan besar karena aku tidak punya tujuan yang jelas lagi.

Karena tidak ada banyak perempuan di Aincrad, lumayan banyak lelaki yang mencoba mendekatiku, tapi karena beberapa alasan aku tidak pernah merasa ingin menanggapinya. Jadi ketika topik ini dibicarakan aku merasa cukup iri pada Asuna.

"Kapan ya aku bakal ngerasain «Pertemuan Bersejarah» juga~"

Aku bergumam, lalu menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menghilangkan pikiran-pikiran aneh ini dan berdiri. Aku mengambil bongkahan logam yang sekarang sudah merah panas, mengeluarkannya dari kompor arang dan meletakkannya kembali ke alas tempa. Sepertinya dialah yang akan menjadi rekanku untuk sementara waktu ini. Dengan pikiran-pikiran ini bergelayutan di kepalaku, kuangkat paluku dan menghantamkannya. Hiiyaa.

Bunyi berirama logam yang menggaung di ruang kerjaku biasanya membuat pikiranku jernih, tapi hari ini ganjalan-ganjalan di hatiku itu tidak mau pergi.

Siang keesokan harinya dia mengunjungi toko milikku.


Aku menyelesaikan semua pesanan senjata kemarin dan sekarang aku terlelap di kursi batu di depan toko.

Aku bermimpi. Mimpi tentang saat aku masih SD. Dulu aku anak yang rajin dan pendiam, tapi aku punya kebiasaan tertidur saat pelajaran siang pertama. Guru-guru sering mencecarku karena tertidur.

Saat itu aku mengagumi guru lelaki muda ini yang baru saja lulus dari universitas. Aku masih merasa malu ketika ditegur, namun untuk beberapa alasan aku sangat menyukai caranya dia membangunkanku. Dia akan menggoyang-goyangkan bahuku dengan pelan dan bicara dengan suara yang pelan dan halus---

"Erm, maaf tapi..."

"I-iya, maafkan aku!"

"Wha?!"

Aku berteriak dan melompat seperti pegas. Didepanku berdiri seorang pemain laki-laki dengan ekpresi terkejut terpasang di wajahnya.

"Huh...?"

Aku melihat sekelilingku. Yang terlihat bukanlah ruang kelas yang berisi barisan-barisan meja. Pepohonan yang tertanam di sepanjang jalan, jalur air yang mengiringi jalanan batu yang luas, halaman yang tertutup rerumputan; rumah keduaku, Lindus.

Tampaknya aku tadi melamun untuk pertama kalinya setelah beberapa lama. Aku batuk untuk menyembunyikan rasa maluku dan menyambut orang yang kelihatannya adalah pelanggan.

"Se-selamat datang. Kamu mencari senjata?"

"Erm, iya."

Pemuda itu mengangguk.

Dia tidak terlihat seperti seseorang yang berlevel sangat tinggi. Dia tampak hanya sedikit lebih tua dariku; rambut hitam dengan baju, celana, dan sepatu yang simpel. Satu-satunya persenjataan yang dia miliki hanyalah pedang satu tangan di punggungnya. Senjata-senjata di tokoku memerlukan stats yang tinggi dan aku khawatir apa levelnya dia cukup tinggi, tapi aku tidak memperlihatkan kekhawatiranku dan memandunya ke dalam toko.

"Bagian pedang satu tangan di sebelah sana."

Melihatku menunjuk ke arah bagian senjata-senjata dasar, dia tersenyum sedikit canggung dan berkata.

"Ah, begini, aku ingin memesan yang buatan sendiri..."

Aku makin tambah khawatir. Bahkan senjata pesanan yang termurah pun, yang butuh bahan-bahan khusus untuk menempanya, berharga lebih dari seratus ribu coll. Kalau dia mulai panik mendengar harganya, aku juga jadi malu, jadi kucoba menghindari situasi itu.

"Harga logam sekarang lagi agak tinggi, jadi kupikir harganya akan sedikit mahal..."

Begitu kuberitahu, pemuda berpakaian serba hitam itu mengucapkan hal yang sama sekali tak bisa dipercaya dengan ekpresi cuek.

"Ga usah khawatir terhadap harganya. Tolong tempa saja pedang terbaik yang kamu bisa sekarang."

"..."

Aku terbelalak menatap wajahnya selama beberapa saat kemudian entah bagaimana aku berhasil membuka mulutku.

"...Yaa, walau kamu bilang begitu... aku harus punya gambaran tentang kualitasnya..."

Intonasiku sedikit lebih kasar dari biasanya, tapi nampaknya dia tidak peduli dengan itu dan hanya mengangguk.

"Bener juga. Kalo gitu..."

Dia mengambil pedang di punggungnya, masih disarungkan, dan memberikannya padaku.

"Gimana kalau pedang dengan kualitas sama atau lebih bagus dari yang ini?"

Tidak terlihat seperti senjata yang hebat. Gagangnya dililit oleh bahan kulit berwarna hitam; warna yang sama dengan pangkalnya. Tapi saat aku mengambilnya dengan tangan kananku---

Berat!!

Aku hampir menjatuhkannya. Persyaratan stat kekuatannya luar biasa tinggi. Sebagai seorang blacksmith dan pengguna gada, aku cukup percaya diri dengan kekuatanku. Tapi aku ga akan pernah bisa mengayunkan pedang ini.

Dengan ragu-ragu aku menariknya dari sarungnya dan pedang yang hampir hitam sempurna itu berkilat. Aku tahu pedang ini adalah pedang berkualitas tinggi hanya dengan melihatnya sekilas. Kuklik pedang itu dengan jariku untuk memanggil layar popup: kategori «Pedang-Panjang/Satu Tangan», nama uniknya «Elucidator». Tidak ada nama pembuatnya, berarti pedang ini bukanlah buatan seorang blacksmith.

Kalian bisa memisahkan semua senjata di Aincrad menjadi dua kelompok.

Satu adalah «Buatan pemain», artinya senjata yang dibuat oleh kami, para blacksmith. Yang satunya lagi adalah senjata yang diperoleh dari berpetualang sebagai «Benda yang dijatuhkan monster». Tak perlu dikatakan lagi, para blacksmith tidak begitu suka senjata-senjata yang dijatuhkan itu. Aku bahkan tidak bisa memulai untuk menghitung semua nama seperti ‘Tidak bernama’ atau ‘Tidak bermerek’ yang diberikan pada senjata-senjata tersebut.

Tetapi pedang ini tampak seperti benda yang sangat langka diantara benda yang dijatuhkan monster. Jika kalian membandingkan kualitas rata-rata senjata buatan pemain dan senjata yang dijatuhkan monster, yang lebih baik adalah yang pertama. Tapi sekali-sekali, «Pedang Setan» seperti ini muncul — begitulah yang kudengar.

Bagaimanapun, harga diriku sekarang menjadi taruhannya. Sebagai seorang blacksmith, ga mungkin aku akan kalah dengan senjata jatuhan. Aku mengembalikan pedang yang berat itu dan mengambil sebuah pedang panjang yang tergantung di dinding belakang toko. Aku menempa pedang ini sebulan lalu dan inilah pedang terbaik yang bisa kutempa sekarang. Pedang yang kutarik dari sarungnya itu dibubuhi warna kemerah-merahan, seakan-akan diliputi oleh api.

"Ini pedang terbaik di tokoku sekarang. Kemungkinan besar ga akan kalah dengan pedangmu."

Dia mengambil pedang itu tanpa bicara, mengayunkannya dengan satu tangan, kemudian memiringkan kepalanya.

"Sedikit enteng ya."

"...Aku menggunakan logam tipe kecepatan untuk membuatnya..."

"Hmm..."

Ekpresi curiga terlihat di wajahnya dan dia mengayunkan pedang itu beberapa kali lagi sebelum memalingkan tatapannya ke arahku dan bertanya.

"Boleh aku mengetesnya sedikit?"

"Tes apanya...?"

"Ketahanan."

Pemuda itu menarik pedangnya, yang ia pegang di tangan kirinya dari tadi, lalu meletakkannya di atas konter. Kemudian dia berdiri di sampingnya dan perlahan-lahan mengangkat pedang yang kemerah-merahan dengan lengan kanannya.

Menyadari apa yang ingin dia lakukan, aku mencoba menghentikannya.

"Tu-tunggu! Kalau kamu lakukan itu pedangnya akan rusak!"

"Kalau pedang ini rusak semudah itu maka ini tidak berguna. Kalau itu terjadi akan kuurus nanti."

"Itu..."

Itu benar-benar gila, adalah yang ingin kukatakan, tapi kuhentikan diriku. Dia memegang pedangnya di atas kepalanya dan matanya bersinar tajam. Segera, pedang itu mulai bersinar dengan cahaya biru.

"Hyah!"

Dengan sebuah pekikan, dia mengayunkan pedang itu dengan kecepatan luar biasa. Kedua pedang tersebut saling beradu satu sama lain sebelum aku sempat berkedip, dan dentumannya bergema keras di dalam toko. Karena kilatan yang dihasilkannya terlalu terang, aku memicingkan mataku untuk melihatnya, lalu mundur selangkah ke belakang...

Bilahnya terbelah dua dengan rapi dan telah benar-benar hancur.

---Pedang karya terbaikku.

"AHHHHHH!!"

Aku berteriak dan buru-buru menggapai tangan kanannya. Kuambil setengah bagian yang tersisa dan memeriksanya dengan hati-hati dari semua sudut.

...Reparasi... sudah tidak mungkin.

Begitu sampai pada kesimpulan itu bahuku terkulai lemas, setengah yang sisanya lagi berhamburan menjadi pecahan poligon. Setelah beberapa detik yang hening lewat, aku mengangkat kepalaku pelan-pelan.

"Wha...wha..."

Aku menggenggam kerahnya selagi bibirku gemetaran.

"Kamu mau ngapain sekarang---!! Ini rusak---!!"

"Ma-maaf! Aku ga pernah mengira kalau pedang yang kuayun akan patah..."

...Snap.

"Dengan kata lain, kamu ingin mengatakan kalau pedangku lebih lemah dari yang kamu kira!?"

"Errr---ummm--- yaa, iya."

"Ah!! Sekarang kamu langsung jujur gitu aja!?"

Aku lepaskan kerahnya, kuletakkan kedua tanganku di pinggul dan menegakkan dadaku.

"Ku--- kuberitahu kamu! Kalau aku punya bahan yang tepat aku bisa membuat senjata-senjata yang bisa mematahkan pedangmu sebanyak apapun yang aku mau!"

"—Oh?"

Dia tersenyum mendengar ucapan yang kukatakan dalam kondisi marah itu.

"Kalau begitu aku ingin memintamu untuk membuatnya; sesuatu yang bisa mematahkan pedang ini begitu saja."

Dia mengambil pedang di konter dan menyarungkannya. Darah akhirnya menyerbu naik ke kepalaku dan---

"Jadi gitu ya!? Oke! Kalo gitu kamu bantuin juga! Mulai dengan membantuku mendapatkan bahan-bahannya!"

Aku tahu kalau aku baru saja membuat kesalahan, tapi nasi sudah menjadi bubur. Ga mungkin aku mundur sekarang. Tapi dia tidak bergeming sama sekali dan mencermatiku dengan kasar.

"...Begini, aku tidak keberatan, tapi bukannya lebih baik kalau aku pergi sendiri? Akan jadi masalah kalau kamu menyulitkanku."

"Argh--!!"

Ternyata orang yang sehebat ini dalam memanas-manasi orang benar-benar ada. Aku mengibas-ngibaskan tanganku dengan liar dan protes seperti anak kecil.

"Ja-jangan meremehkanku! Begini begini, aku seorang pengguna gada!"

"Whew~"

Pemuda itu bersiul. Sekarang dia cuma asyik sendiri.

"Kalau begitu, aku akan menantikannya. ---Omong-omong, akan kubayar pedang yang kupatahkan."

"Ga usah melakukan itu! Inget aja kalau aku membuat pedang yang lebih bagus dari pedangmu, akan kubuat kamu membayar segunung!"

"Oke, sebanyak apapun yang kamu mau. ---Aku Kirito. Kuharap kita berteman baik sampai pedangnya selesai."

Aku menyilangkan tanganku dan membuang pandangan.

"Kuharap kita berteman baik, Kirito."

"Uwa, kamu langsung memanggil namaku seperti itu? Yah, aku oke oke saja sih. Kuharap kita berteman baik, Lizbet."

"Kaaah--!!"

---kesan pertama terburuk yang pernah ada untuk membentuk sebuah kelompok.

Bagian 2

Rumor tentang «Logam Itu» mulai beredar diantara para blacksmith sekitar sepuluh hari yang lalu. Tentu saja, tujuan utama SAO adalah mencapai lantai teratas dan mengalahkan gamenya. Tapi selain itu, terdapat juga berbagai jenis quest[12] lainnya: misi dari para NPC, misi pengawalan, mencari harta karun, dan lain-lain. Tetapi karena hadiahnya biasanya termasuk perlengkapan yang diinginkan, kebanyakan quest tersebut memiliki waktu jeda setelah diselesaikan sebelum tersedia lagi. Bahkan ada juga quest yang hanya bisa diselesaikan sekali saja, alhasil quest itu pun benar-benar menarik perhatian para pemain.

Salah satu dari misi-misi semacam itu ditemukan di dusun kecil di sudut lantai 55. Seorang NPC kepala desa berjanggut putih berkata--- Ada naga putih yang hidup di pegunungan bagian barat, yang menyantap kristal setiap hari sebagai makanannya dan menimbunnya dalam jumlah besar di dalam perutnya hingga menciptakan suatu logam yang langka dan sangat berharga. Jelas ini adalah misi yang hadiahnya berupa bahan material yang menakjubkan, jadi sejumlah besar orang langsung membentuk kelompok penyerangan yang bisa mengalahkan naga tersebut dengan mudahnya. ---Namun mereka tidak mendapatkan apa-apa. Naga itu hanya menjatuhkan sedikit Coll dan beberapa equipment berkualitas rendah, yang bahkan tidak bisa menutupi biaya ramuan penyembuh dan kristal yang digunakan.

Setelah itu, semua orang menduga kalau logam itu hanya berpeluang untuk dijatuhkan, oleh karena itu banyak kelompok berbicara pada tetua tadi dan mengalahkan naga tersebut, tapi masih belum ada orang yang menemukan logam itu. Dalam seminggu, tak terhitung banyaknya jumlah naga putih yang terbunuh, tetapi tidak ada kelompok yang berhasil menemukan logam itu. Seseorang akhirnya mengusulkan bahwa ada kondisi khusus yang harus dipenuhi, jadi sekarang semua orang berusaha keras untuk mencari tahu apa kondisi yang dimaksud.

Setelah mendengarkan penjelasanku, pemuda yang bernama Kirito, yang menghirup teh yang tidak ingin kubuat, yang duduk di kursi ruang kerjaku dengan kakinya disilangkan, menjawab 'ah...' dan mengangguk pelan.

"Aku juga pernah denger tentang ini. Sepertinya memang ada kemungkinan memperoleh material langka. Tapi sejauh ini belum ada orang yang mendapatkannya kan? Apa kita bisa mendapatkan sesuatu kalau kita pergi sekarang?"

"Diantara teori-teori yang beredar, salah satunya mengklaim kalau 'harus ada blacksmith di dalam kelompok', karena tidak banyak blacksmith yang melatih skill bertarung mereka dengan baik."

"Jadi itu sebabnya; kedengarannya bener juga sih--- kalau benar begitu, kita harus segera berangkat."

"......"

Aku menatap wajah Kirito dengan marah.

"Aku heran kamu bisa hidup sampai hari ini dengan akal sehat yang kurang kayak gitu. Ini bukan berburu goblin! Kita harus membentuk kelompok yang bagus dan..."

"Tapi kalau kita melakukan itu, maka nantinya jika material itu jatuh pun, ada kemungkinan kita ga akan mendapatkannya kan? Naga putih itu ada di lantai berapa?"

"...Lantai 55."

"Heh--- Kalau gitu aku sendirian pun bisa; kamu bahkan ga perlu bantuin."

"...Kamu ini kuat banget, apa cuma bodoh banget? Biarlah, aku ga peduli, pemandangan kamu menangis sambil teleport melarikan diri juga kedengaran lumayan menarik."

Kirito hanya tergelak, menghabiskan tehnya tanpa membalas, dan menaruh cangkirnya kembali di atas meja.

"Aku siap berangkat kapan aja; gimana dengan kamu, Lizbet?"

"Ah--- sudahlah, karena kamu ga akan menambahkan sebutan kehormatan juga, panggil aja aku Liz... gunung naga putih itu ga terlalu besar, jadi kita harusnya bisa kembali hari ini juga. Aku bersiap-siap dulu sebentar ya."

Setelah membuka layar pengaturan-ku, pertama aku memasangkan armor sederhana di atas rok-ku, lalu memastikan kalau gada milikku berada di dalam inventaris dan aku memiliki cukup ramuan dan kristal.

Aku menutup layar itu dan berkata oke, kemudian Kirito kembali berdiri. Untungnya, tidak ada pelanggan yang terlihat selama kita menuju pintu toko dari ruang kerjaku. Aku lekas membalik tanda di pintu.

Aku mengangkat kepalaku dan melihat keluar; cahaya matahari yang masuk masih terang, jadi masih ada waktu lumayan banyak sebelum hari menjadi gelap. Apakah kita akan mendapatkan logam itu atau tidak--- yang terakhir sepertinya lebih mungkin bagaimanapun aku memikirkannya--- Aku tidak ingin pulang terlalu malam.

Walaupun begitu.

---Bagaimana aku berakhir di situasi aneh ini...

Setelah meninggalkan toko, aku berjalan menuju gerbang plasa sambil merenung.

Aku pastinya punya kesan buruk terhadap lelaki berpakaian serba hitam yang berjalan dengan santainya di sampingku--- seperti yang seharusnya. Bukan saja apapun yang dikatakannya membuatku marah, dia juga seorang megalomaniak yang sombong, dan yang paling penting, dia menghancurkan mahakaryaku.

Tapi tetap saja, aku berjalan beriringan dengan orang yang baru saja kukenal. Kita bahkan membentuk sebuah kelompok dan bersiap untuk memburu monster di lantai lain; ini benar-benar seperti--- seperti ken...

Sampai disini, aku langsung memutus pemikiran itu dengan paksa. Aku belum pernah mengalami hal seperti ini sampai sekarang. Walau aku lumayan dekat dengan beberapa pemain laki-laki, aku selalu membuat alasan untuk menghindar pergi bersama mereka hanya berdua saja. Aku ingin memastikan kalau orang pertama yang berpasangan denganku adalah orang yang benar-benar kusukai, setidaknya begitulah rencanaku.

Tapi ketika aku sadar, aku sudah bersama orang aneh ini... kenapa bisa sampai kayak gini sih!

Sama sekali tidak menyadari kegalauanku, Kirito melihat seorang penjual makanan di dekat gerbang plasa dan buru-buru mendatanginya. Sewaktu ia berbalik, di mulutnya sudah ada sebuah hot dog raksasa.

"Kaamu vau nuga?"

...Pergolakan batinku seketika dipenuhi dengan rasa tak berdaya dan aku merasa seperti orang idiot karena menjadi satu-satunya yang galau. Jadi aku berteriak membalas:

"Iya!"

Rasa renyah hot dog itu--- lebih tepatnya, makanan misterius yang terlihat seperti hot dog--- masih tersisa di mulutku ketika ketika sampai di dusun yang dirumorkan itu di lantai 55.

Kita juga tidak bermasalah dengan monster-monster di sini.

Mempertimbangkan bahwa garis depannya adalah lantai 63 sekarang, monster-monster disini lumayan kuat. Tapi levelku sekitar 65, dan si sombong Kirito itu harusnya sekuat itu juga, jadi kita melalui pertempuran-pertempuran nyaris sama sekali tidak terluka.

Satu-satunya kesalahan adalah tema lantai ini melibatkan padang es dan salju---

"Achoo!"

Aku bersin dengan keras segera setelah kita memasuki desa kecil itu dan rileks. Dikarenakan semua lantai lainnya sedang berada ada di awal musim panas, aku menjadi lengah. Bukan saja tanah disini dilapisi salju, namun setiap bangunan masih memiliki stalagtit es raksasa bergantung di atapnya.

Dinginnya musim salju yang menusuk tulang ini menyebabkan seluruh badanku menggigil hebat. Kirito, yang berdiri di sampingku, memasang ekspresi menjengkelkan dan berkata:

"...Kamu ga bawa baju lagi?"

"...Enggak."

Kemudian, Kirito yang tampaknya berpakaian tipis itu mengoperasikan layarnya. Terwujudlah sebuah mantel bulu hitam, yang dipakaikannya pada kepalaku.

"...Kamu sendiri gapapa?"

"Ini semua cuma masalah tekad."

Setiap kalimat yang diucapkan orang ini membuatku kesal. Tetapi mantel bulu itu terlihat cukup hangat, jadi aku tidak mampu menolaknya dan memakainya dengan cepat. Aku menghela nafas lega begitu dinginnya terpaan angin itu menghilang seketika.

"Umm... menurut kamu rumahnya tetua itu yang mana?"

Mendengar ucapan Kirito, aku mengamati desa kecil ini, dan menemukan sebuah rumah yang besarnya tidak biasa di seberang plasa utama.

"Rumahnya yang itu kan?"

"Iya."

Kita berdua mengangguk dan mulai berjalan.

---Beberapa menit kemudian.

Sesuai prediksi, kita menemukan NPC tetua berjanggut putih dan sukses mengawali pembicaraan. Ceritanya penuh dengan detil-detil tidak berguna yang dimulai dari masa kanak-kanaknya yang panjang dan membosankan, masuk ke tahun-tahun remajanya, melewati hari-hari kesusahannya saat dewasa, dan kemudian tiba-tiba menyebutkan seekor naga putih di pegunungan di barat. Ketika dia akhirnya selesai, cahaya oranye matahari terbenam sudah telanjur meliputi seluruh desa.

Kita meninggalkan rumah tetua desa itu merasa benar-benar kehabisan tenaga. Salju yang menutupi rumah-rumah ternodai oranye oleh matahari terbenam. Benar-benar pemandangan yang indah tiada tara, namun---

"...Aku ga pernah mengira kalau menerima quest aja menghabiskan waktu sebanyak itu..."

"Tidak bisa dipercaya... yah, sekarang gimana? Apa kita nunggu sampai besok aja?"

Aku memalingkan kepalaku dan memandang Kirito.

"Hmmm--- tapi kudengar naga putih itu nokturnal. Apa gunungnya yang itu?"

Memandang arah yang ditunjuk oleh Kirito, aku melihat sebuah puncak putih yang mencakar langit. Walau aku mengatakan seperti itu, batasan struktural Aincrad berarti tingginya tidak mungkin melebihi 100 meter, jadi mendakinya seharusnya tidak sulit.

"Oke, ayo kita pergi. Aku juga ingin cepat-cepat melihat muka nangismu."

"Asal jangan terpukau dengan skill pedangku yang hebat aja."

Kita berdua membuang muka dari satu sama lain dengan sebuah 'hmph'. Tapi entah mengapa, bagaimana ya, meskipun aku berdebat dengan Kirito, hatiku mulai terasa sedikit goyah---

Aku menggelengkan kepalaku dengan paksa demi menghilangkan pikiran-pikiran bodoh ini dan kemudian mulai merintis jalanku melewati salju.

Meskipun kecuraman gunung naga putih itu terlihat berbahaya dari jauh, ternyata sebenarnya sangat mudah didaki.

Sewaktu kupikirkan lagi, banyak tim dadakan yang berhasil melakukan ini tanpa masalah, jadi ga mungkin pendakian ini susah.

Walaupun sudah petang, yang mempengaruhi kekuatan monster yang muncul, monster terkuat yang mungkin muncul sekarang hanyalah tengkorak es bernama «Tulang Beku». Apalagi, monster bertipe tulang bukanlah tandingan bagi gada milikku. Aku dengan mudah terus meremukkan mereka dengan suara rekah yang jelas.

Setelah berjalan melalui jalanan berlapis salju selama beberapa lusin menit dan berbelok menuju tebing es yang curam, kita sudah mencapai puncaknya.

Bagian bawah lantai selanjutnya sangatlah dekat. Tiang-tiang raksasa dari pilar-pilar kristal yang rekah menonjol dari lapisan salju yang tebal. Cahaya ungu dari matahari terbenam terbiaskan oleh tiang-tiang ini dan terhambur menjadi spektrum warna-warni pelangi, melukis pemandangan yang hanya bisa digambarkan dalam mimpi-mimpi.

"Waah...!"

Begitu aku bersorak tanpa ditahan dan akan berlari ke sana, Kirito menggenggam kerahku untuk menghentikanku.

"Oi... Kamu ngapain!"

"Hei, siap-siap memakai kristal dulu."

Menghadapi ekspresinya yang sangat serius, aku hanya bisa mengangguk tanpa perlawanan. Aku mewujudkan kristalnya lalu menaruhnya ke dalam kantong celemekku.

"Dan juga, dari sekarang akan mulai berbahaya, jadi sebaiknya aku melanjutkan sendiri saja. Begitu naga putihnya muncul, sembunyi aja dibalik pilar kristal sebelah sana dan jangan sekali-kali keluar."

"...Kenapa? Levelku juga lumayan tinggi! Aku juga mau membantu!"

"Enggak!"

Bola mata Kirito yang hitam menatap langsung kedua mataku. Begitu pandangan kita bertemu, aku mengerti bahwa orang ini benar-benar khawatir terhadap keselamatanku dari lubuk hatinya, jadi aku menghela desahan panjang dan mengalah. Aku tidak berkata apapun dan hanya mengangguk kecil.

Sebuah senyuman menjalar di wajah Kirito selagi dia membelai kepalaku dan berkata "ya sudahlah, ayo pergi." Aku hanya terus mengangguk.

Rasanya seperti atmosfernya tiba-tiba berubah sama sekali.

Setelah berpergian sejauh ini dengan Kirito, apa mungkin perasaanku berubah? Atau aku terbawa suasana--- yang manapun, aku sama sekali tidak merasa kalau ini adalah pertemuan yang mengancam nyawa.

Lebih dari setengah pengalamanku adalah menempa senjata, jadi aku belum pernah memasuki medan tempur yang kejam.

Tapi aku merasa orang ini berbeda. Dia punya tatapan yang hanya dimiliki oleh orang yang bertarung setiap hari di tempat paling berbahaya yang mungkin.

Aku terus berjalan dengan emosi campur aduk sebelum sebentar kemudian kita tiba di bagian tengah puncak.

Dengan cepat kita melihat kesana-kemari, tapi tidak menemukan tanda apapun dari naga putih. Namun, kita melihat sebuah wilayah yang tersegel oleh pilar-pilar kristal---

"Wow..."

Di situ terdapat sebuah mulut gua raksasa yang berdiameter setidaknya sepuluh meter. Cahaya yang terpantul di dinding menjangkau jauh ke dalam lubang, sementara kegelapan yang tak tertembus menutupi wilayah yang lebih dalam lagi.

"Dalem banget..."

Kirito menendang sebuah bongkahan kecil kristal ke dalam lubang itu. Kristal yang jatuh itu berkilau sesaat sebelum sama sekali menghilang tanpa suara.

"Jangan jatuh."

"Ga bakalan!"

Tidak lama setelah aku menjawab, sebuah lengkingan liar yang tajam menembus keluar dari gua itu dan menjalar ke seluruh gunung melalui udara yang ternoda biru oleh matahari terbenam.

"Sembunyi di balik situ!"

Kirito menunjuk ke arah sebuah pilar raksasa terdekat dan berbicara dengan nada memerintah. Aku buru-buru mengikuti instruksinya sambil melambai berlebihan pada bayangan Kirito dan berteriak:

"Hei... serangan naga putih itu adalah sayatan menggunakan kedua cakar, tiupan yang membekukan, dan serangan badai salju... h- hati-hati!"

Setelah dengan cepat menambahkan kalimat terakhir itu, aku melihat Kirito, yang menjaga punggungnya tetap ke arahku, sok keren memberi tanda oke dengan tangan kirinya. Ruang kosong di depannya mulai bergetar, dan sebuah sosok besar meledak keluar dari lubang tersebut.

Berbagai macam poligon-poligon besar berbentuk aneh muncul dalam aliran yang berkelanjutan. Selagi terus bermunculan--- mereka saling bersambungan satu dengan yang lain dan identitas sosok besar itu pun makin jelas. Jeritan yang menggentarkan orang menggaung tak terkendali sekali lagi. Tak terhitung banyaknya beling yang terhambur keluar ke semua arah sebelum menghilang ke dalam sinar cahaya.

Seekor naga putih yang ditutupi semacam sisik dari beling es muncul. Pelan-pelan dia mengepakkan sayapnya yang besar selagi melayang-layang di langit. Situasinya menakutkan--- atau mungkin lebih pantas digambarkan sebagai sangat sangat indah. Dia membelalak dengan matanya yang besar, terwarnai merah delima, memberikan tatapan merendahkan pada kita berdua.

Kirito dengan tenang menggapaikan tangannya menuju punggungnya dan menghunuskan pedang satu-tangannya yang hitam legam dengan nada sempurna. Kemudian, seakan suara itu mengirimkan sebuah sinyal, sang naga putih membuka rahang raksasanya--- dan dengan suara keras, menyemprotkan gas putih yang bergelombang.

"Itu tiupannya! Lari dari situ!"

Meskipun aku berteriak, Kirito tidak bergeming. Dia berdiri tegak sempurna dan melambung ke atas dengan pedang di tangan kanannya.

Ga mungkin senjata setipis itu bisa menangkis sebuah serangan tiupan---

Segera setelah aku memikirkannya, pedang Kirito mulai berputar seperti kincir angin yang berpusat di tangannya. Berdasarkan efeknya yang berwarna hijau muda, pastilah itu sebuah skill pedang. Dalam hanya sedetik, pedang tersebut mencapai kecepatan yang tak terlihat oleh mata manusia dan tampak seperti perisai cahaya.

Tiupan es itu mengalir langsung ke arah perisai cahaya selagi memancarkan cahaya putih yang memusingkan, memaksaku untuk mengalihkan kedua mataku. Tapi, saat menghantam pedang-perisainya Kirito, udara dingin itu terhambur seperti teruapkan.

Aku lekas fokus pada badan Kirito untuk memastikan HP nya.

Mungkin memang mustahil untuk benar-benar menangkis tiupan itu, karena bar nyawanya pelan-pelan terkuras. Tapi yang mengejutkan adalah, luka yang diterimanya sudah pulih hanya dalam beberapa detik. Ini pasti skill bertarung «Battle Healing» yang levelnya sangat tinggi--- tapi untuk menaikkan skill ini, orang tersebut harus menerima luka pertarungan yang sangat banyak. Mempertibangkan lantai yang sekarang, mustahil melakukan itu tanpa membahayakan dirinya.

Kirito--- siapa dia...?

Baru sekarang aku mulai benar-benar penasaran mengenai identitas swordsman hitam ini. Kekuatannya yang tak masuk akal membuatnya terlihat seperti pemain kunci strategis. Tapi namanya tidak termasuk ke dalam daftar pemain guild terkuat yang didominasi KOB.

Saat ini, Kirito, yang telah memprediksi dengan akurat akhir dari serangan es yang gencar ini, mulai bergerak. Dia menerobos kabut bersalju dan meloncat menuju sang naga yang tengah mengambang di udara.

Normalnya, ketika menghadapi musuh yang terbang, seseorang harusnya menyerang pertama kali dengan tombak atau sejenis senjata lempar; hanya setelah senjata jarak jauh tersebut memukul jatuh musuh ke darat dahulu baru para pemakai senjata jarak dekat ikut bertarung. Tapi secara mengejutkan, Kirito terbang ke atas sampai dia hampir menyentuh kepala naga putih itu, dimana dia mulai mengawali kombinasi teknik pedang berturut-turut di udara.

Dengan dentingan tajam, serangan gencar Kirito menghantam torso naga putih pada kecepatan lebih cepat dari yang bisa diikuti mata manusia. Meski naga putih itu membalas dengan kedua cakarnya, perbedaan kemampuan mereka berdua terlalu jauh.

Saat Kirito sudah pelan-pelan mendarat ke tanah, bar HP naga putih itu sudah berkurang lebih dari sepertiganya.

---Ini pembantaian satu arah. Menonton pertarungan luar biasa ini membuat badanku tak henti-hentinya bergidik.

Tiba-tiba naga putih itu menyasar Kirito yang mendarat dan meletuskan tiupan esnya, tapi kali ini dia berlari untuk menghindari serangan itu dan kemudian kembali meloncat ke udara. Dengan suara yang berat dan dalam, sebuah serangan yang kuat menghantam sasarannya, dan darah naga putih itu pun berkurang signifikan.

Bar HP nya langsung berubah dari kuning ke merah, pertarungan itu harusnya berakhir hanya dengan satu atau dua serangan lagi. Aku memutuskan kali ini aku akan memuji kemampuan Kirito dengan jujur dan mengambil langkah maju dari balik pilar kristal.

Saat itu juga, seakan dia punya mata di belakang kepalanya, Kirito tiba-tiba berteriak:

"Idiot! Jangan keluar dulu!"

"Apa? Jelas-jelas sudah mau selesai kan? Cepet selesaikan aja deh..."

Begitu aku menjawab dengan suara keras---

Naga itu, terbang lebih tinggi lagi dari yang tadi, membentangkan penuh sayapnya. Begitu sayapnya terkepak ke depan, salju yang tepat di bawah naga itu meletup beterbangan.

"......?"

Aku berdiri membeku terkejut oleh adegan di hadapanku. Kirito menancapkan pedangnya ke tanah beberapa meter di depanku dan menggerakkan mulutnya seperti ingin memberitahuku sesuatu, namun sosoknya segera terhalangi oleh salju. Sesaat kemudian sebuah tekanan yang hebat, seperti sebuah dinding angin, menghantam dan dengan mudah meniupku ke udara.

Sial... serangan badai salju!

Saat aku terguling di udara, aku akhirnya ingat apa yang aku sendiri ucapkan mengenai serangan naga putih. Untungnya, skill ini daya serangnya tidak besar, jadi aku hampir tidak mendapat luka apapun. Aku membuka lebar kedua lenganku dan mengambil postur mendarat.

Tapi begitu saljunya menghilang--- tidak ada pijakan di tanah di hadapanku.

Itu lubang raksasa yang ada di puncak gunung. Aku telah tertiup ke udara tepat di atas lubang raksasa ini.

Pikiranku langsung berhenti; seluruh tubuhku benar-benar membeku.

"Kau pasti bercanda..."

Dengan pikiranku yang sama sekali lumpuh, aku hanya bisa menggumamkan kata-kata itu, seraya tangan kananku menggapai udara sia-sia---

---Sebuah tangan yang hanya ditutupi sarung tangan kulit berwarna hitam tiba-tiba menyambar jemariku.

Mataku yang tak fokus tiba-tiba terbelalak.

...!

Kirito, yang tadi menghadapi naga putih itu di tempat yang jauh, berpacu ke sini dengan kecepatan menakutkan dan melompat ke udara tanpa ragu-ragu. Dia menarik tangan kanannya untuk menggenggam tangan kananku lalu menarikku dalam dekapannya. Setelah itu dia melonggarkan lengan kanannya untuk melingkarkannya pada punggungku dan memelukku dengan erat.

"Pegangan yang kuat!"

Mendengar suara Kirito bergaung di samping telingaku, aku lupa diriku sendiri dan memeluk erat badannya dengan kedua lenganku. Kita mulai jatuh sekejap kemudian.

Di tengah mulut gua itu, kita berdua jatuh lurus ke bawah sambil berpelukan satu sama lain. Angin menderu-deru di telinga dan mantel kita berkibar liar.

Kalau lubang ini terus memanjang ke bawah sampai ke permukaan lantai, maka jatuh dari ketinggian ini artinya kematian yang pasti. Pikiran ini tiba-tiba melintas di benakku, tapi aku hanya tidak merasa ini benar-benar terjadi sekarang. Yang bisa kulakukan hanyalah terbengong menatap lingkaran cahaya putih yang menghilang.

Tiba-tiba, lengan kanan Kirito yang memakai pedang mulai bergerak. Dia mengangkat pedang itu dengan paksa dan mengayunnya ke depan. Sebuah kilatan cahaya meletup, ditemani oleh gema keras 'clang' dari logam yang saling berbenturan.

Gaya tolaknya mengubah lintasan jatuh kita, mendorong kita menuju dinding gua. Dinding beku yang biru pelan-pelan mendekat, dan aku tak bisa berbuat apapun selain menggigit gigiku. Kita akan tabrakan---!

Tepat sebelum kita akan membentur dinding, Kirito mengangkat pedang di tangan kanannya sekali lagi dan menusukkannya ke dinding dengan kekuatan penuh. Percikan api meledak keluar seakan senjata itu membentur batu asah. Serangan tiba-tiba itu mengurangi kecepatan jatuh kita, namun tidak mampu untuk benar-benar menghentikan kita jatuh.

Suara lengkingan dari logam yang memotong berlanjut selagi pedang Kirito terus memotong dinding esnya. Aku memutar leherku untuk melihat ke bawah dan sadar bahwa kita sudah bisa melihat dasar gua yang tertutup salju. Aku mengamatinya makin dekat dan dekat, sampai hanya ada sekitar beberapa detik lagi yang tersisa sebelum kita tabrakan. Aku setidaknya ingin menahan diri dari berteriak, jadi aku menggigit bibirku dan memeluk erat Kirito.

Kirito melepaskan pedangnya, menggunakan kedua lengannya untuk memelukku dengan erat, dan memutar badannya supaya dia yang berada di bawah. Lalu---

Sebuah benturan. Suaranya amat keras.

Kepingan-kepingan salju yang terlempar ke udara oleh gaya yang dihasilkan oleh jatuhnya kita mulai mendarat dengan pelan di pipiku sebelum meleleh.

Sensasi dinginnya menarik kembali pikiran-pikiranku yang terpencar. Aku membuka mataku, dan pandanganku bertemu dengan bola mata hitam Kirito yang berbaring sangat dekat sekali dariku.

Kirito masih memelukku dengan erat; dia mengangkat sudut mulutnya dan tersenyum lemah.

"...Masih hidup?"

Aku balas mengangguk dan menjawab:

"Iya, masih hidup."

Selama beberapa lusin detik--- atau mungkin beberapa menit, kita hanya berbaring diam dalam posisi itu. Panas dari tubuh Kirito membuatku bisa tenang dan mengosongkan pikiran.

Setelah beberapa saat, Kirito melepaskan lenganku dan kembali berdiri pelan-pelan. Pertama dia mengambil pedangnya yang jatuh dekat situ dan mengembalikannya ke inventarisnya, setelah itu menarik keluar sebuah botol yang sepertinya adalah ramuan penyembuh kelas atas dari kantong di pinggangnya, dia juga mengambil sebotol lagi untukku.

"Udah, minum aja."

"...Oke."

Aku mengangguk dan duduk untuk menerima ramuan itu sambil memeriksa bar HP ku sendiri. Aku masih punya sekitar sepertiga, tapi Kirito, yang langsung membentur tanah, sudah sampai di zona merah.

Aku menarik sumbatnya dan meneguk cairan manis itu dalam satu tarikan nafas, lalu berpaling pada Kirito. Masih dalam posisi rileks, aku mulai menggerakkan bibir yang kesulitan mengatakan hal baik.

"Ummm... ma-makasih udah menyelamatkanku..."

Kirito memperlihatkan dengan lemah seringainya yang biasa dan menjawab:

"Masih terlalu cepat berterima kasih kepadaku."

Dia melirik langit sesaat.

"...Syukurlah naga putih itu tidak mengejar kita, tapi gimana caranya kita keluar dari sini..."

"Eh... kita ga bisa teleport aja?"

Aku menggapai saku celemekku dan mengambil sebuah kristal biru berkilauan untuk menunjukkan pada Kirito. Tapi---

"Sepertinya itu ga bisa, perangkap ini dibuat khusus untuk pemain, aku ragu kita bisa keluar segampang itu."

"Kenapa bisa begini..."

Kirito mengisyaratkan padaku dengan matanya untuk mencobanya, jadi aku menggenggam kristal itu dengan erat dan memberi perintah:

"Teleport! Lindus!"

---Teriakanku menggema kosong pada dinding yang beku sebelum akhirnya menghilang. Kristal itu hanya terus berkedip dengan bisu.

Kirito meremas pelan bahuku tanpa membuat suara apapun.

"Kalau kupikir kita bisa memakai kristal, pastinya tadi sudah kupakai waktu kita jatuh. Tapi karena tempat ini rasanya adalah zona anti kristal..."

"..."

Kepalaku jatuh dalam keputusasaan; Kirito meletakkan tangannya di kepalaku dengan sebuah 'pat' dan mengusutkan rambutku.

"Udah udah, jangan nangis. Kalau kita ga bisa memakai kristal, pasti ada jalan lain untuk keluar dari sini."

"...Mungkin enggak, mungkin ini adalah lubang tak bisa keluar yang menjamin kematian... atau harus kubilang, kita sudah mati!"

"Hmmm, kamu bener juga."

Menonton Kirito mengangguk setuju sekali lagi membuatku kehilangan semua energi di badanku.

"Si... sikap kamu gimana! Kamu bisa sedikit lebih positif lagi ga sih?"

Setelah aku tiba-tiba berteriak, Kirito tersenyum dan berkata:

"Ekspresi marah itu jauh lebih seperti kamu, pertahankan terus ya!"

"Wha......"

Pipiku bersemi merah dan tubuhku membeku di tempat. Kirito lalu mengangkat tangannya dari kepalaku dan kembali berdiri.

"Yah, ayo kita coba beberapa hal. Ada ide?"

"..."

Aku tersenyum pahit pada Kirito, yang jelas-jelas tidak terpengaruh oleh situasi kita sekarang dan mempertahankan sikapnya yang biasa. Merasa sedikit lebih gembira, aku menampar pipiku dengan kedua tangan lalu berdiri.

Aku mengamati sekelilingku; bagian bawah gua ini adalah permukaan es yang datar dengan sedikit salju. Diameternya harusnya sekitar 10 meter persis seperti mulut gua. Dinding es di dekat puncaknya terus memantulkan cahaya matahari terbenam, namun tempat ini sebentar lagi akan benar-benar ditelan kegelapan.

Aku mengamati sekitarku, tetapi tidak ada jalan keluar yang kelihatan baik di dinding maupun di lantai. Aku menaruh kedua tanganku di pinggang, memeras otakku, dan memberi tahu Kirito ide pertama yang terpikir olehku.

"Mm... bisa kita minta tolong seseorang?"

Kirito menyangkalnya seketika:

"Uh–-- kayaknya tempat ini dianggap sebuah dungeon."

Pemain yang didaftarkan sebagai ‘teman’, seperti Asuna dalam kasusku, bisa berkomunikasi melalui sejenis pesan disebut ‘pesan pribadi’. Tetapi, fungsi tersebut tidak bisa digunakan di dalam dungeon, ‘sistem jejak’ juga tidak bisa digunakan untuk menemukan mereka.

Aku membuka layar pesan dalam harapan buta, tapi seperti kata Kirito, memang tidak bisa.

"jadi... gimana kalau kita berteriak pada pemain lain yang datang memburu naga itu?"

"Kurasa kita sekitar 80 meter jauhnya dari atas, jadi kuduga suara kita ga akan mencapai sejauh itu."

"Kurasa iya... Tunggu! Sekarang kamu yang ngasih ide!"

Ketika aku mengecam Kirito, kesal karena dia terus menerus menyangkal ide-ideku, dia menjawab dengan sesuatu yang tak masuk akal:

"Lari di dinding."

"......Kamu idiot ya?"

"Yaaa, ayo kita cari tahu."

Selagi aku menatapnya dengan ekspresi tercengang, Kirito berjalan ke salah satu sisi gua dan mulai berlari menuju dinding di sisi yang berlawanan dengan kecepatan yang tak wajar. Salju beterbangan dari lantai dan badai angin menerpa mukaku.

Persis sebelum dia menabrak dinding, Kirito menundukkan badannya dan melompat ke atas dengan gaya ledakan. Dia menginjak dinding di ketinggian yang tak bisa dipercaya dan kemudian mulai berlari secara diagonal di dinding tersebut.

"Ya tuhan..."

Selagi aku menonton dengan kagum, Kirito sudah jauh di atasku dan berlari ke atas dalam pola spiral di dinding seperti salah satu ninja dari film kelas tiga. Siluetnya semakin kecil dan kecil---

Lalu, ketika dia sepertiga perjalanan ke atas, tiba-tiba dia terpeleset.

"Ahhhhhhhh!!!"

Kirito menggelepar selagi dia jatuh menuju kepalaku.

"Kyaaaaa!!!"

Begitu aku mengelak mundur sambil berteriak, muncul lubang berbentuk manusia tepat di tempat aku berdiri tadi. Semenit kemudian, setelah Kirito menghabiskan ramuan kesehatannya yang kedua, aku duduk di sampingnya dan mengeluh.

"Aku tahu kamu itu idiot, tapi aku ga pernah kebayang kalau kamu sebodoh ini..."

"Aku bisa berhasil kalau ancang-ancangnya lebih panjang lagi."

"Ga mungkin."

Aku langsung membalas dengan pelan.

Kirito mengabaikan ucapanku dan kembali memasukkan botol ramuan yang kosong ke kantongnya. Setelah merenggangkan lengannya, dia berkata:

"Yah, udah terlalu gelap, jadi kita berkemah di sini aja.

Untungnya, kupikir ga akan ada monster yang akan muncul di lubang ini."

Matahari sudah terbenam, dan dasar lubang ini sudah menjadi lumayan gelap.

"Sepertinya iya..."

"Kalau begitu..."

Kirito membuka sebuah layar dan mewujudkan beberapa barang. Sebuah lentera, panci, beberapa kantong kecil yang aku tidak tahu gunanya apa, dan dua gelas pun muncul.

"...Kamu selalu bawa-bawa ini?"

"Aku cenderung lumayan sering berkemah di luar."

Ujarnya dengan ekspresi begitu serius hingga aku tidak berpikir kalau dia bercanda.

Dia mengklik lenteranya; lentera itu menyala dengan suara fwoosh dan menerangi sekitarnya dengan cahaya oranye yang lembut. Kirito menaruh pancinya di atas lentera itu, kemudian memasukkan beberapa bongkah salju sebelum menuangkan isi kantong kecil tadi. Dia menutup panci itu dengan tutupnya dan meng-dobel klik-nya; sebuah layar timer memasak pun muncul.

Aku segera mencium aroma herbal. Sekarang aku baru sadar, aku belum makan apa-apa selain hotdog tadi pagi. Perutku tiba-tiba menuntut makanan dengan keras seakan baru saja ingat kalau dia kelaparan.

Timer masaknya menghilang dengan suara 'pin pon,' kemudian Kirito membagi isi panci itu ke dalam dua gelas.

"Jangan terlalu berharap, keahlian memasakkku nol."

"Makasih..."

Kehangatannya berpindah ke tanganku melalui gelas yang diserahkan Kirito padaku. Isinya adalah sop sederhana dari daging kering dan bumbu-bumbu dari tumbuhan, namun level bahan-bahannya sepertinya tinggi dan rasanya lebih dari enak. Panasnya juga menyebar ke seluruh tubuhku yang dingin.

"Perasaan ini misterius banget... Aku ga merasa kalau ini nyata."

Aku bergumam sambil meminum sopnya.

"Maksudku situasi ini, berkemah di wilayah yang belum terjamah dan makan bersama orang tak dikenal..."

"Ah, iya juga... itu karena kamu pengrajin. Aku melakukan PuG[13] dengan pemain-pemain lain dan lumayan sering berkemah dengan mereka."

"Hmm, beneran? ...ceritain dong padaku, tentang dungeon-dungeon dan semuanya."

"Huh? Mm...oke. Walau menurutku sih ga menarik... oh tunggu, sebelum aku mulai......"

Kirito mengumpulkan gelas-gelas yang kosong serta panci, lalu mengembalikannya ke dalam inventarisnya. Dia membuka panelnya lagi dan mewujudkan dua benda yang terlihat seperti bongkahan pakaian yang tergulung.

Setelah dia membukanya, terungkap bahwa itu adalah kantong tidur. Penampilannya ekivalen dengan yang di dunia nyata, hanya saja lebih besar.

"Ini barang-barang kelas atas. Memelihara panas dengan sempurna, ditambah efek sembunyi dari monster agresif."

Dia melemparkan satu kepadaku sambil tersenyum. Sewaktu aku menghamparkannya di atas salju, ukurannya nampak bisa memuat tiga orang sepantaranku. Tercengang oleh ukurannya, aku berkata pada Kirito:

"Kamu hebat juga membawa barang-barang ini kemana-mana, dua lagi......"

"Yaa aku harus memanfaatkan inventarisku untuk sesuatu kan."

Kirito lekas menanggalkan perlengkapannya dan berbaring di kantong tidur sebelah kiri. Aku juga menanggalkan mantel dan gadaku, lalu berguling masuk ke dalam kantong tidur. Memang barang kelas atas; di dalamnya sangat hangat, dan jauh lebih lembut dari kelihatannya. Kita terpisah sejauh satu meter dengan lentera diantaranya. Tapi aku masih merasa sedikit... malu, jadi aku berbicara lagi untuk menghilangkan kesunyian:

"Mm... iya, lanjut dengan ceritanya..."

"Oh, tentu..."

Kirito pelan-pelan mulai bercerita setelah dia meletakkan kepalanya di atas tangannya. Dia bercerita waktu dia dijebak oleh MPK--– para kriminal yang dengan sengaja mengumpulkan massa untuk menyergap pemain-pemain lain di dalam dungeon, dan bertarung melawan gerombolan bos dengan damage kecil tapi darahnya ga kira-kira untuk dua hari penuh dengan bergiliran tidur dengan pemain-pemain lain. Ada juga waktu dia melempar dadu dengan seratus pemain lain untuk sebuah item langka. Semua ceritanya menggetarkan, menyenangkan, dan sedikit menggelikan. Cerita-ceritanya juga membuat satu hal menjadi jelas--– dia adalah seorang Clearer, mereka yang mempertaruhkan nyawa di garis depan. Tapi juga berarti orang ini dibebankan dengan nasib ribuan pemain. Dia bukan jenis orang yang harus membahayakan nyawanya hanya untuk menyelamatkanku.

Aku berpaling pada Kirito dan memandang wajahnya. Matanya yang hitam memantulkan cahaya dari lentera.

"Hei... Kirito, boleh aku tanya sesuatu...?"

"---Kenapa tiba-tiba serius?"

"Kenapa kamu menolongku waktu itu...? Ga ada jaminan kamu bakal berhasil. Yah, lebih mungkin kalau kamu cuma akan mati bersamaku, jadi... kenapa......?"

Ekspresi Kirito mengeras untuk sesaat, tetapi dia segera mengendur ke wajahnya yang biasa dan merespon dengan suara tenang:

"...Aku lebih memilih mati bersama mereka daripada menyaksikan orang lain mati tanpa melakukan apa-apa. Apalagi kalau orang itu adalah cewek seperti kamu, Liz."

"...Kamu memang bener-bener idiot. Kamu mungkin cuma satu-satunya orang yang bakal ngomong kayak gitu."

Walau aku membalas dengan ketus, mataku tidak mampu menahan air matanya. Sebagian hatiku sakit, dan aku mencoba sekeras mungkin untuk mengendalikan dan menyembunyikannya. Aku belum pernah mendengar kata-kata sekeras kepala, setulus, dan sehangat itu semenjak aku datang ke dunia ini. Tidak, aku bahkan belum pernah mendengar kata-kata seperti itu sebelumnya di dunia nyata.

Perasaan tersiksa dari kesendirian dan keinginan untuk lebih berinteraksi dengan orang lain yang telah terkubur dalam di sudut hatiku tiba-tiba berkobar dan menelanku seperti badai. Aku ingin kehangatan Kirito cukup dekat untuk hatiku merasakannya---

Tanpa menyadarinya, kata-kata itu tercurah keluar dari mulutku:

"Maukah kamu... menggenggam tanganku?"

Sword Art Online Vol 02 - 131.jpg

Aku berbalik ke arah Kirito, menarik lengan kananku keluar dari kantong tidur, dan menggapaikannya ke sebelah kiriku.

Mata Kirito sedikit terbelalak, tapi dia menjawab ‘iya’ dengan suara pelan lalu mengulurkan tangan kirinya. Begitu jemari kita bersentuhan, kita berdua menyentakkan tangan masing-masing untuk menjauh sesaat, tapi kemudian mengulurkannya lagi untuk saling berpegangan tangan.

Aku menggenggam erat tangan Kirito, yang jauh lebih hangat dari sop yang baru saja kumakan. Meski punggung tanganku masih terletak di atas es, aku tidak merasa kedinginan. Aku merasakan kehangatan manusia. Aku merasa aku akhirnya memahami kerinduan apa yang mengendap di sudut hatiku semenjak aku datang ke dunia ini.

Karena aku takut menjadi sadar dengan fakta bahwa dunia ini adalah sebuah ilusi--- bahwa tubuh asliku berada di suatu tempat yang jauh, tidak terjangkau seberapapun kerasnya aku mencoba, aku terus membuat tujuan untuk diriku dan memfokuskan segalanya pada pekerjaanku. Aku meyakinkan diriku kalau menaikkan level skill blacksmithku dan mengembangkan tokoku adalah kenyataanku.

Tetapi sebagian diriku selalu menyadari kalau semua ini palsu, tidak lebih dari sekedar data. Yang kudambakan adalah kehangatan manusia asli.

Tentu saja, badan Kirito juga adalah data. Kehangatan yang kurasakan sekarang hanyalah sinyal-sinyal elektronik untuk direspon otakku. Namun aku akhirnya menyadari bahwa itu tidak masalah. Aku bisa merasakan hatinya--– baik di dunia nyata maupun di dunia buatan ini, inilah satu-satunya kebenaran yang ada.

Begitu aku menggenggam erat tangan Kirito, aku tersenyum dan menutup mataku. Walaupun jantungku berdetak sangat cepat, sayangnya aku cepat tertidur dan kesadaranku terseret ke kegelapan yang nyaman.

Bagian 3

Aroma menyegarkan manis bertahap melayang melewati hidung saya, saya perlahan-lahan membuka mata dan melihat menyelimuti seluruh dunia dengan cahaya putih. Cahaya fajar, yang sudah tercermin beberapa kali menuruni dinding es, menyebabkan salju di bagian bawah gua untuk glitter. Aku bergeser mata dan melihat sebuah teko duduk di atas lentera, dengan uap goyang di atasnya. Sepertinya di situlah bau itu berasal. Di depan lentera duduk seseorang dalam pakaian hitam yang wajahnya aku hanya bisa melihat dari samping. Tapi begitu saya melihat angka itu, api kecil tampaknya memicu dalam hatiku.

Kirito menoleh, mengungkapkan senyum kecil, dan berkata:

"Pagi."

"...... Pagi."

Jawabku. Saat aku bersiap untuk bangun, saku melihat bahwa tangan kanan saya, yang seharusnya sudah menggantung di luar ketika saya pergi tidur, rapi ditempatkan kembali ke dalam kantong tidur. Aku membawa kehangatan yang berada di telapak itu ke bibirku, lalu tiba-tiba melompat.

Kirito membawa cangkir yang masih menguap untukku, yang baru saja merangkak keluar ke salju. Setelah berterima kasih, aku menerima cangkir dan duduk di sampingnya. Di dalamnya adalah jenis teh bunga dengan aroma seperti mint yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Saat aku perlahan meminum teh sekaligus pada satu waktu, yang membuatnya perlah masuk ke dalam tubuhku. Hatikupun menjadi hangat.

Aku geser tubuhku, bersandar dengan benar terhadap Kirito. Saat aku menoleh, mata kita bertemu sesaat sebelum cepat memisahkan. Untuk beberapa saat, hanya suara dari dua orang meminum teh yang bisa didengar.

"Hei ......"

Akhirnya, aku bergumam dengan suara kecil sambil mataku tetap tertuju pada cangkirku.

"Hmmm?"

"Jika kita benar-benar nggak bisa keluar dari sini, kemudian ...... apa yang harus kita lakukan?"

"Menghabiskan setiap hari untuk tidur."

"Itu jawabannya yg teralu cepat. Pikirkan ini sekali lagi!"

Aku tersenyum saat aku didorong lengan Kirito dengan sikuku.

"Meskipun, kita tidak akan menjadi buruk...... ......"

Setelah mengatakan ini, aku mulai menyandarkan kepalaku di pundak Kirito-

"Ah ......!?"

Kirito tiba-tiba berteriak dan bersandar ke depan. Aku, kehilangan sandaranku, akhirnya jatuh ke tanah dengan celepuk.

"Ya ampun, untuk apa itu!?"

Aku mengeluh marah sembari aku meluruskan bajuku kembali, tapi Kirito berdiri bahkan tanpa melihat ke belakang. Setelah itu, dia berlari ke tengah lubang yang melingkar.

Sementara ragu, saya juga berdiri dan mengikutinya.

"Hanya apa?"

"Oh, hanya sedikit ......"

Kirito berlutut ke tanah dan mulai menyingkirkan salju, menumpuknya di tanah, dengan kedua tangan. Dia segera menggali lubang sedalam sementara suara gesekan bergema. Dan kemudian-

"Ah!?"

Sebuah sinar cahaya keperakan tiba-tiba berkelebat ke mataku. Sesuatu terkubur jauh di dalam salju itu memantulkan cahaya matahari terbit.

Kirito menggali benda itu keluar, menyambar dengan kedua tangan, dan kemudian berdiri kembali. Tidak dapat menahan rasa ingin tahuku, aku mengintip benda itu dari jarak sangat dekat. Itu adalah, warnanya transparan putih keperakan, sebuah objek persegi panjang. Hanya sedikit lebih besar dari kedua tangan Kirito. Itu adalah sebuah benda dengan bentuk yang kukenal, dengan ukuran yang kukenal-bahan metalik. Tapi aku belum melihat salah satu warna ini. Aku menyentuh ringan material itu dengan jari tangan kananku. Sebuah jendela otomatis muncul. Benda itu bernama "Crystalite Ingot".

"Ini-bukankah ini ..."

Saat aku melihat ke arah wajah Kirito, dia juga mengangguk dengan ekspresi bingung.

"Ya ... Ini adalah logam yang sudah kita cari-cari ... Aku ingin tahu mengapa benda itu di sini ..."

"Tapi, mengapa itu dikubur di sini?"

"Hmm ......"

Kirito terus menatap ingot yang digenggam di tangan kanannya saat ia memikirkan hal itu, sebelum membiarkan keluar pendek, "Ah ..."

"... Naga putih memakan kristal ...... yang disempurnakan dalam perut untuk menjadi ...... Hehe, jadi itu bagaimana kelanjutannya!"

Dia tampaknya telah menemukan jawabannya dan mulai menunjukkan tersenyum, lalu melemparkan ingot logam ke arahku. aku buru-buru menangkapnya dengan kedua tangan dan memegangnya dekat dada saya.

"Hei, ada apa dengan itu! Jangan hanya berhenti setelah mencari keluar sendiri!"

"Gua ini bukan jebakan. Ini sarang naga.."

"Eh - Eeh"

"Dengan kata lain, ingot itu ekskresinya naga. Kotoran nya.."

"Ko ..."

Sementara pipiku yang berkedut, saya mampir sekilas saya di ingot ke dada saya.

"Geeee"

Tanpa berpikir, aku melemparkannya kembali di Kirito.

"Woah"

Yang ditangkis kembali oleh Kirito dengan ujung jari. Setelah seperti anak-anak saling melemparkannya berulang kali, akhirnya selesai dengan Kirito dengan cepat membuka item inventory untuk menyimpan ingot.

"Yah, pokoknya, kita telah menyelesaikan tujuan kita. Sekarang, yang tersisa adalah ......"

"Kalau saja kita bisa keluar dari sini ..."

Kami berdua mendesah saat kami bertukar pandang.

"Untuk saat ini, tidak ada pilihan selain mencoba segala yang kita bisa."

"Kurasa begitu. Aah,. Kalau saja aku memiliki sayap seperti naga ..."

Itu terjadi saat aku mengatakan itu. Menyadari sesuatu, aku membiarkan mulutku ternganga, tanpa kata-kata.

"... Ada apa, Liz?"

Menghadap ke Kirito, yang menatap saya, dengan kepalanya miring ke samping.

"Hei Kau bilang. Tempat ini adalah sarang naga, kan?"

"Ah. Selama masih ada kotoran, itu ..."

"Itu tidak penting! Naga aktif di malam hari, sekarang pagi, benda itu tidak perlu kembali ke sarangnya ...!"

"..."

Untuk beberapa saat, sekilas pandanganku bertemu dengan Kirito, yang menjadi diam, kemudian kami berdua melihat ke langit di pintu masuk lubang. Tepat pada saat itu ... Jauh ke atas, tinggi di udara, dalam cahaya melingkar-potong putih, bayangan hitam kabur lahir. Itu bayangan tumbuh pernah lebih besar seperti yang kita menatapnya. Butuh waktu hanya sekejap sebelum aku bisa segera melihat sepasang sayap, ekor panjang dan empat kaki dipersenjatai dengan cakar.

"Itu ... itu ..."

Kami mundur bersama-sama. Namun, tentu saja, tak ada tempat untuk melarikan diri ke.

"Ada di sini ---"

Kami berdua berteriak saat menggambar senjata masing-masing.

Naga putih, yang menukik ke dalam lubang, melihat kehadiran kami dan membuat raungan bernada tinggi, berhenti tepat sebelum memukul tanah. Mata merah dengan pupil vertikal dipenuhi dengan rasa waspada yang jelas terhadap para penyusup di sarangnya. Namun, tak ada tempat untuk bersembunyi di bagian bawah lubang sempit. Ku siapkan fuliku sementara menekan keteganganku.

Demikian pula, Kirito menyiapkan pedangnya dengan satu tangan dan pindah ke depanku, dengan cepat mengatakan.

"Dengar, tetap di belakangku. Minum ramuan segera setelah kehilangan sedikit HP.."

"Y-Ya ..."

Aku hanya mengangguk patuh saat ini. Naga membuka mulutnya luas dan meraung sekali lagi. Sayapnya dibuat embusan angin, yang membuat salju berputar ke udara.

"Bitan!" "Bitan!" Ekor panjang naga yang mencengangkan tanah, setiap pukulan membuat lubang yang dalam di permukaan bersalju.

Mengacungkan pedang di tangan kanannya tanpa jeda, seperti untuk mendapatkan inisiatif, tiba-tiba Kirito menghenrikan gerakannya tepat sebelum dia maju.

"... Ah ... Mungkin ..."

Dia mengeluarkan dengan suara rendah.

"Ad-ada apa?"

"Tidak .."

Tanpa menjawab pertanyaanku, Kirito menaruh pedangnya di sarungnya, dan tiba-tiba berbalik dan memeluk saya dengan tegas lengan kirinya.

"Ehh?"

Tanpa memahami apa pun, aku panik dan aku diangkat ke bahu Kirito.

"H-Hei, apa kau-wahh!"

Terdengar "Zuban!" dengan keras, dan bersama-sama dengan itu, pemandangan sekitarnya 'menjadi buram. Kirito berlari ke arah dinding dengan keras. Sebelum menabrak, dia melakukan lompatan besar, dan sama seperti upaya kemarin untuk melarikan diri, ia mulai berjalan pada permukaan dinding melengkung. Namun, seolah-olah tidak ada niat untuk naik, orbit tetap diam. Kepala naga dengan sungguh-sungguh berbalik dan terus menargetkan kita, tetapi Kirito terus berjalan dengan kecepatan melebihi naga untuk mengikuti.

Beberapa detik kemudian, ketika Kirito akhirnya mendarat di dasar lubang, mata saya benar-benar berputar. Akhirnya membuka mata saya setelah berkedip mereka berkali-kali, di belakang saya adalah bagian belakang naga. Sudah kehilangan pandangan dari kami dan gelisah mengayunkan kepala kekiri dan kekanan.

Seperti yang aku pikirkan bahwa Kirito berencana untuk menyerang dari belakang, ia dengan mengejutkan tapi tenang mendekati sisi naga-Dengan tangan kanannya terulur, ia tegas meraih ujung ekor naga bergoyang.

Pada saat itu, naga meraung bernada tinggi. Sebuah raungan yang mengejutkan-atau mungkin itu hanya imajinasi saya. Semakin tidak bisa memahami niat Kirito, aku baru saja akan menjerit juga.

Tiba-tiba, naga putih membuka kedua sayapnya dan mulai terbang naik tajam dengan kecepatan luar biasa.

"Oof!"

Udara menghantam wajahku. Tanpa waktu untuk berpikir tentang itu, tubuh kita terbang di udara dengan kekuatan seperti ditembak dari busur. Sementara kita memegangi ekor naga, yang bergoyang kiri dan kanan ingin keluar lubang. Dasar melingkar dari lubang menjadi jauh dengan sangat cepat.

"Liz! Pegangan!"

Menanggapi suara Kirito, aku menempel ke kepalanya di trans. Sinar matahari yang bersinar di pegunungan es di sekitarnya tumbuh terus terang dengan nada suara angin memotong berubah secara halus-Pada saat aku pikir dunia meledak di sebuah cahaya putih, kami terbang keluar lubang.

Pada saat aku membuka mataku yang kusipitkan, pemandangan luas-mata dari lantai 55 yang luas di bawah saya.

Langsung di bawahku adalah sebuah gunung berbentuk kerucut indah bersalju. Sedikit lebih jauh, sebuah desa kecil. Di luar lapangan salju yang luas dan hutan tebal, atap runcing dari setiap rumah di distrik utama disatukan. Adegan di mana semua dari mereka berkilauan, dikejutkan oleh sinar matahari bersinar, bahkan membuat saya lupa tentang teror, dan saya tidak sengaja bersorak.

"Waa ..."

"Ya-!"

Kirito terlalu keras berteriak, dan membiarkan tangan kanannya lepas dari ekor naga. Dia membawaku seperti anak dan mempercayakan dirinya untuk inersia, menari di udara.

Penerbangan itu hanya untuk beberapa detik, namun rasanya seperti sepuluh kali lipat. Aku percaya aku baru saja tersenyum. Lampu besar dan angin yang menyapu hatiku. Emosiku sedang dilelehkan.

"Kirito-kau tahu, aku!"

Aku berteriak dengan segenap hati saya.

"Apa?"

"Aku, aku menyukaimu!"

"Kesini lagi!? Aku tidak mendengarnya!"

"Bukan apa-apa!"

Menempel ke kepalanya dengan erat, aku meledak dalam tawa. Akhirnya, saat ini, yang terasa hampir seperti keajaiban, berakhir, dan kami mengakhirinya di atas tanah. BErsiap untuk ronde terakhir, Kirito melebarkan kakinya dan mengambil posisi mendarat.

Salju pergi, "Bafun!", saat salju itu terbang ke udara. Sebuah peluncuran yang panjang. Mendorong jalan kami melalui kristal putih seperti bajak salju saat kami melambat, kami akhirnya berhenti di dekat puncak gunung.

"... Fuu."

Kirito menarik napas dari udara dan menurunkan aku ke tanah. Dengan enggan, aku menoleh dan membuka lenganku darinya.

Kami berdua melihat ke arah lubang besar bersama-sama; naga yang sepertinya telah kehilangan pandangan dari kita perlahan-lahan terbang melingkar di langit.

Kirito meletakkan tangannya di atas pedang di punggungnya, menarik sedikit, tetapi segera memasukkannya kembali ke sarungnya dengan suara cling. Dengan senyum ringan pada wajahnya, ia menghadap naga itu dan berkata pelan.

"... Kau pasti telah terganggu oleh semua memburumu sampai sekarang. Setelah metode mendapatkan item tersebut menyebar, orang-orang yang datang untuk membunuh kau akan pergi juga.. Jadi mulai sekarang, hiduplah dengan bebas."

-Menghadapi monster, yang hanya bergerak sesuai dengan algoritma sistem dikonfigurasi, dan melakukan hal seperti itu, itu adalah sesuatu saya akan dianggap sebagai bodoh sampai kemarin. Tapi untuk beberapa alasan, entah bagaimana aku merasa bahwa aku bisa sepenuhnya menyambut kata-kata Kirito ke dalam hatiku sekarang. Menjangkau dengan tangan kananku, aku dengan lembut menggenggam tangan kiri Kirito.

Kami berdua diam-diam mengawasi adegan saat naga putih membalikkan kepalanya, sebelum mengeluarkan sebuah raungan yang jelas dan turun ke dalam sarangnya. Sunyi pun tiba.

Tak lama, Kirito melirik kesini, dan bilang.

"Kalau begitu, ayo kita kembali?"

"Kurasa begitu."

"Mau pergi dengan membawa kristal?"

"... Tidak, ayo kita kembali."

Aku menjawab sambil tersenyum dan melangkah maju memegang tangan Kirito. Aku kemudian menyadari sesuatu dan memandang wajah Kirito.

"Ah ... lentera dan kasur gulung dan semacamnya, kita tinggalkan mereka di sana, ya kan."

"Sekarang kau ingatkan lagi tentang itu ... Yah, tidak apa-apa. Masih ada yang bisa menggunakannya.."

Kami saling bertukar pandang dan tertawa, kali ini pasti, kami mulai perlahan-lahan berjalan di jalan gunung, mengikuti perjalanan pulang. Aku melihat dengan singkat sekeliling di dekatku, langitnya bersih, tanpa satu pun awan di langit.

"Aku kembali!"

Aku dengan penuh semangat membuka pintu rumahku tersayang.

"Selamat datang kembali."

Meskipun NPC toko perempuan cenderung berdiri di counter hanya memberikan jawaban sopan untuk ucapanku, aku melambaikan tanganku dan berpaling, melihat-lihat tokoku. Aku hanya pergi selama satu hari saja, tapi anehnya, sepertinya sudah kembali segar.

Kirito, yang telah membeli take-out dari kios yang sama seperti kemarin, masuk ke toko di belakangku, dengan hot dog di mulutnya.

"Ini hampir tengah hari pula, jadi kau seharusnya makan saja di warung itu."

Saat aku mengeluarkan keluhanku, Kirito meringis sambil melambaikan tangan kiri, membuka window.

"Sebelum itu, ayo kita segera membuatnya, pedangnya."

Dengan sigap mengutak-atik inventory, ia munculkan ingot perak. Hati-hati menangkapnya-dengan mengabaikan asal item-saat aku mengangguk.

"Benar, mari kita lakukan. Ayo datang ke bengkel.."

Membuka pintu di belakang meja, dengan suara berdebar dari kincir air menjadi terdengar keras. Menurunkan tuas di dinding, katupnya mulai bergerak, membawa udara masuk. Tungkunya mulai menyala merah hidup.

Aku dengan pelan menaruh ingot ke tungku, dan berbalik menghadap Kirito.

"Pedang lurus satu tangan cukup, kan?"

"Yap. Aku mengandalkanmu ya"

Kirito mengangguk saat ia duduk di bangku lingkaran dimaksudkan untuk pengunjung.

"Mengerti. -Sebuah kata peringatan, hasil akhirnya memiliki aspek random, jadi jangan berharap terlalu banyak dari itu, baiklah."

"Kita bisa mendapatkannya lagi jika gagal. Kali ini dengan tali.."

"... Ya, yang panjang."

Mengingat itu, aku tanpa sadar tersenyum. Kembali pandanganku ke tungku, aku melihat kalau ingot tampaknya telah cukup dibakar. Mengambilnya keluar dengan tang, aku tempatkan ke landasan.

Aku mengambil palu pemukul favoritku dari dinding, melakukan setup pada menu, dan melirik lagi ke arah wajah Kirito. Melihat dia mengangguk diam, aku tersenyum, dan dengan kuat mengangkat palu ke atas kepalaku.

Aku ditempa semangat di saat aku memukul logam berkilau merah, bersama dengan suara "Kan!" terdengar jelas, terang percikan berserakan.

Dalam bagian tentang menempa dalam Bantuan Referensi, tentang proses membuat, "Menurut jenis senjata yang dibuat, dan tingkat logam yang digunakan, ingot perlu dipukul dalam jumlah tertentu." itu yang digunakan untuk menjelaskannya.

Dengan kata lain, selama memukul logam dengan palu, ada kemungkinan skill pemain tidak akan mempengaruhi apa-apa, ini harus bagaimana itu harus dibaca, tapi ada segala macam rumor dan teori tentang SAO, bahwa ketepatan irama memukul dan semangat juang para pandai besi ini mampu memanipulasi hasilnya, seperti itulah pendapat tegas tertanam sekitar.

Aku menganggap diriku sebagai orang yang rasional, tapi aku hanya menaruh iman dalam teori ini melalui pengalam dalam waktu panjang. Oleh karena itu, aku akan kehilangan pikiran kelebihan ketika memproduksi senjata, berkonsentrasi pada kesadaranku ke tangan kanan melempar palu, menyerang tanpa berhenti dengan pikiranku kosong-itulah yang aku percaya.

Namun.

Sementara memukul ingot, menghasilkan suara berdenting menyegarkan, berbagai pemikiran berputar dalam pikiranku sekarang, tidak dapat pergi.

Jika pedang itu dibuat dengan sukses, dan permintaan selesai-Kirito akan kembali ke meng-clear di garis depan, dan tidak ada banyak kesempatan untuk bertemu. Bahkan jika dia datang untuk perawatan pedang, tentu saja hanya sekali setiap sepuluh hari paling cepat.

Sesuatu seperti itu-aku tidak ingin sesuatu seperti itu. Aku merasa ada suara berteriak dalam diriku.

Sementara mendambakan kehangatan lain,-tidak,itu sebabnya, itulah alasan mengapa aku ragu-ragu memperpendek jarak dengan pemain laki-laki tertentu sampai sekarang. Aku takut musim dingin kesepian dalam diriku saya sepenuhnya berubah jadi cinta. Itu bukan cinta sejati, hanya khayalan yang diciptakan oleh sebuah dunia ilusi; itulah yang kupikir.

Tapi tadi malam, sambil merasakan kehangatan dari tangan Kirito, aku menyadari, bahwa perasaan ragu-ragu adalah duri ilusi yang mengikatku. Aku adalah diriku sendiri-Sang pandai besi, Lisbeth, dan pada saat yang sama, Shinozaki Rika. Kirito juga sama. Bukan karakter dari permainan, tetapi manusia hidup yang sebenarnya. Oleh karena itu, cintaku kepadanya; perasaan ini nyata.

Jika aku berhasil memukul sebuah pedang yang memuaskan, aku akan mengakui perasaanku kepadanya. Bahwa aku ingin dia berada di sisiku, bahwa aku ingin dia datang kembali ke rumah ini dari labirin, setiap hari, itulah yang akan kukatakan.

Pada saat ingot ditempa, sinarnya kian bertambah terang, perasaan dalam diri saya juga, tampaknya telah menguat juga. Aku merasa perasaanku mengalir keluar dari tangan kanan saya, streaming ke dalam senjata lahir dari palu.

-Jadi, saat itu pun akhirnya tiba.

Aku tidak tahu berapa kali itu terjadi sejauh ini-mungkin di suatu tempat antara 200-250 kali-segera setelah bunyi palu, ingot melepaskan sinar putih terasa menyilaukan.

Obyek persegi panjang berubah sedikit demi sedikit bentuknya seperti bersinar. Ini mulai tumbuh palely dari depan dan belakang, dan depan, tonjolan yang menyerupai pegangan dan membengkak ke arah luar.

"Ohh ..."

Membiarkan keluar gumaman heran dengan nada rendah, Kirito bangkit dari kursi, dan mendekat. Saat kami mengawasi berdampingan, pembentukan objek selesai dalam beberapa detik, akhirnya mengungkapkan bentuknya seperti sebuah pedang panjang.

Indah, benar-benar pedang yang indah. Sebagai Longsword satu tangan, ini memang agak cantik. Pedang itu pucat, dan meskipun tidak sampai sebatas Rapier, bentuknya ramping. Seolah-olah itu mewarisi sifat ingot, bisa dilihat sangat transparan. Pedang itu bewarna putih menyilaukan. Cengkeramannya adalah perak, dengan sedikit nada biru.

«Sebuah Dunia Dimana Pedang melambangkan pemain»; seolah-olah untuk mendukung bahwa frase yang dijanjikan, berbagai senjata diBUAT di SAO adalah sangat banyak. Kalau satu dinamai nama-nama khas senjata termasuk dalam setiap kategori dari awal, dikatakan bahwa kemungkinan akan ada ribuan baris.

Tidak seperti RPG normal, keragaman nama-nama yang membedakan menyebar lebih lanjut sebagai peringkat senjata meningkat. Senjata dengan peringkat yang lebih rendah, misalnya, dalam satu tangan longswords, «Pedang Perunggu», «Pedang Baja», karena pedang dengan nama kusam seperti itu, tak terhitung banyaknya dari mereka ada di dunia ini, tetapi sebagai senjata dari peringkat tertinggi seperti yang ada di sini sekarang, mengambil sesuatu seperti «Lambent Light» milik Asuna misalnya, ada kemungkinan hanya satu di dunia, secara harfiah benda satu-dari-semua.

Tentu saja, pedangnya dengan tingkat yang sama dalam kemampuan, tidak peduli apakah mereka buatan pemian atau didropped dari monster, mungkin memang ada. Tapi masing-masing memiliki nama yang berbeda, memiliki penampilan yang berbeda. Dan dengan itu, senjata tingkat tinggi memiliki pesona tertentu kepada mereka, menjadi sesuatu seperti berpartner dengan yang kau bagi semangatmu.

Seperti namanya senjata dan penampilan yang ditentukan oleh sistem, bahkan kita, para pembuat tidak benar-benar memahaminya. Aku mengangkat pedang berkilauan di atas landasan-atau setidaknya, aku mencoba, aku terkejut dengan beratnya, tidak cocok untuk penampilan yang elegan luarnya. Ini memiliki persyaratan kekuatan fisik yang tidak kalah dengan pedang hitam Kirito, «Elucidator». Tegang terasa punggungku, aku menaruhnya di dadaku dengan mengeluh.

Menjangkau dengan jari di tangan kananku mememgang pangkal pisau pedang, aku hanya memberikannya satu klik. Aku melihat ke dalam jendela popup yang naik ke permukaannya.

"Yah, namanya tampaknya «Dark Repulser». Ini adalah pertama kalinya aku mendengar itu, jadi aku tidak percaya itu disebutkan dalam daftar informasi toko pada saat ini-, Ini, cobalah.."

"Aah."

Kirito mengangguk dan, menjangkau dengan tangan kanannya, ia mencengkeram gagang pedang. Dia mengangkatnya seperti tampaknya tidak terpengaruh oleh beratnya. Melambaikan tangan kirinya untuk menarik keluar menu utama, ia mengutaki-atik angka peralatan, menargetkan pedang putih. Dengan ini, Kirito akan meng-equip pedang itu dalam sistem, memungkinkan untuk potensi numerik untuk dikonfirmasi.

Tapi Kirito segera menutup menu, dan setelah melakukan mundur beberapa langkah, ia beralih ke tangan kirinya, mengayunkan beberapa kali dengan suara desah.

"-Bagaimana?"

Aku bertanya tanpa basa-basi. Kirito menatap pedang itu sejenak dalam diam, tapi-segera, dia tersenyum dengan tersenyum lebar.

"Sudah pasti berat .... Ini adalah pedang yang bagus."

"Benarkah? ... Baiklah!"

Aku berpose dengan tangan kananku tanpa berpikir lagi. Dengan tangan yang terulur, aku bersentuhan denga kepalan tangan kanan Kirito.

Sudah lama sejak aku merasa seperti ini.

Dulu-saat aku berjualan dari sebuah kios jalanan di jalan-jalan utama lantai sepuluh, aku merasa seperti ini ketika lenganku sembarangan dipuji oleh pelanggan. Aku senang aku menjadi pandai besi, itulah yang jujur ​​aku rasa, dari lubuk hatiku untuk saat itu. Ketika aku melanjutkan untuk menguasai keterampilanku dan melanjutkan untuk melakukan bisnis hanya dengan pemain level tinggi, aku sudah lupa tentang perasaan ini sebelum aku menyadarinya.

"... Ini adalah masalah hatiku, huh... semua itu ..."

Menjelang perkataanku akan bocor, Kirito memiringkan kepala dengan tampilan penasaran.

"Ti-Tidak, tidak apa-apa.-Taruh itu di samping, mari kita minum di suatu tempat, aku lapar.."

Aku meninggikan suaraku untuk menyembunyikan rasa maluku, aku mendorong bahu Kirito dari belakang. Aku berpikir untuk keluar dari bengkel dengan postur itu, tapi sebuah pertanyaan tiba-tiba datang kepadaku.

"... Hei."

"Hm?"

Kirito melihat kembali ke belakang. Yang tergantung di punggungnya; pedang satu tangan hitam.

"Ngomong-ngomong, pada awalnya, kau bilang,sebuah pedang sama dengan yang ini, kan?. Pedang putih itu tentu pedang yang bagus. Tapi aku tak berpikir ada banyak perbedaan dengan yang di-drop monster. Mengapa kau memerlukan dua pedang yang menyerupai satu sama lain?"

"Aah ..."

Kirito menoleh, menatapku dengan ekspresi yang menunjukkan bahwa ia ragu-ragu atas sesuatu.

"Yah, aku tidak bisa menjelaskan semuanya. Jika kau tidak akan bertanya lebih dari itu, aku bisa memberitahumu."

"Ada apa dengan itu, bertindak seolah keren."

"Menjauhlah sedikit."

Setelah aku mundur mendekati dinding bengkel, dengan pedang putih masih menjuntai, Kirito menarik pedang hitam, dari punggungnya dengan suara bernada tinggi, dengan tangan kanannya.

"...?"

Aku tidak bisa memahami niatnya. Setelah memanipulasi angka peralatan sebelumnya, dengan sistem saat ini, status lengkap nya harus hanya pedang di tangan kiri; memegang senjata lain dengan tangan kanan tidak boleh ada gunanya sama sekali. Sebaliknya, dengan sesuatu yang dianggap status yang dilengkapi teratur seperti itu, tidak akan mungkin untuk mengaktifkan keterampilan pedang. Melirik ke arah wajah bingung saya untuk instan belaka, Kirito dengan tenang mengambil sikap dengan pedang kiri dan kanan. Pedang tepat di depan, pedang kiri belakang. Menjatuhkan pinggulnya sedikit, dan dengan itu, pada saat berikutnya.

Sword Art Online Vol 02 - 152.jpg

Efek kilat merah meledak, pencelupan workshop di warnanya.

Pedang di tangan Kirito berganti-ganti, menyerang depannya dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti oleh pandangan. "Kyubabababa!", Suara-suara yang diberikan tekanan pada udara, dan meskipun tidak benar-benar ditargetkan untuk apa-apa, obyek dalam ruangan bergetar.

Sudah jelas itu teknik pedang diatur oleh sistem. Tapi aku tidak pernah mendengar hal seperti skill yang menggunakan dua pedang.

Di depanku, berdiri masih saat aku menarik napas, diam-diam Kirito mengangkat tubuhnya, setelah selesai teknik serangan berturut-turut yang mungkin mencapai sepuluh hits chained.

Membereskan kedua pedang-kembali hanya pedang di tangan kanannya ke belakang, dia melihat wajahku dan berbicara.

"Dan yah, itulah kemampuannya. Aku memerlukan sarung untuk pedang ini. Dapatkah aku memilih satu?."

"Ah ... Y-Ya."

Hanya berapa kali aku sudah tercengang oleh Kirito. Meskipun aku seharusnya sudah terbiasa sekarang, untuk saat ini, aku memutuskan untuk menahan pertanyaanku, mencapai tanganku ke arah dinding, menampilkan menu rumah.

Bergulir melalui layar penyimpanan, sambil memandangi ringkasan untuk stok sarung pedangku yang dikumpulkan dari para pengrajin yang akrab denganku. Memilih satu yang agak mirip dengan yang dilengkapi di punggung Kirito, terbuat dari kulit hitam, aku pilih itu. Setelah aku pasang logo kecil dari tokoku, aku menyerahkannya kepada Kirito. Kirito, setelah disimpan pedang putih ke dalam sarungnya dengan suara singkat, membuka jendela dan menyimpannya. Aku pikir dia akan memakai keduanya di punggungnya, tapi rupanya tidak seperti itu.

"... Jadi itu rahasia? yang sebelumnya."

"Nn, iya. Jangan bilang siapa-siapa tentang hal itu."

"Aku mengerti."

Keterampilan informasi adalah garis hidup seseorang terbesar, jadi jika dia memberitahuku untuk tidak bertanya, aku tidak akan memaksanya. Bahwa selain itu, aku senang bahwa ia memperbolehkanku untuk mengintip rahasianya, dan mengangguk dengan senyum kecil.

"... Kalau begitu."

Kirito menaruh tangannya di pinggul dan ekspresinya berubah.

"Ini akan menjadi akhir permintaanku, aku akan bayar untuk pedangnya.. Berapa?"

"Aah, itu ..."

Aku menggigit bibirku untuk sesaat-aku melisankan jawaban yang selalu bergolak dalam diriku.

"Aku tidak perlu, pembayaran apapun."

"Eeh ...?"

"Sebagai imbalan untuk itu, aku ingin Kirito untuk memakai aku sebagi smith eksklusifmu."

Mata Kirito menunjukkan tanda-tanda sedikit terkejut.

"... Hanya apa, yang kau maksud dengan itu ...?"

"Setiap kali kau menyelesaikan clearing, datang ke sini, dan biarkan aku melakukan perawatan pada peralatanmu ...-Setiap hari, mulai sekarang, tanpa gagal."

Detak jantungku meningkat tanpa batas. Apakah ini perasaan dari tubuh virtualku, atau mungkin hati yang sebenarnya juga berdenyut-denyut dengan cara yang sama juga-aku bertanya-tanya tentang itu di sudut pikiranku. Pipiku terbakar. Setiap bagian dari wajahku sudah benar-benar telah berubah merah sekarang.

Bahkan Kirito, yang selalu mempertahankan wajah poker nya, tampaknya telah menyadari makna di balik kata-kataku, dan menutup wajahnya yang merah turun dari rasa malu. Aku selalu berpikir dia lebih tua, tetapi setelah melihat dia dalam keadaan begitu, tampak seperti dia dari generasi yang sama, atau mungkin bahkan lebih muda dariku.

Saya mengumpulkan keberanian saya dan melangkah maju, mengambil suatu pegangan di lengannya.

"Kirito ... aku. .." Aku meneriakkan kata-kata itu begitu keras saat kami keluar dari sarang naga, tapi ketika berbicara tentang sekarang, lidahku menolak untuk bergerak. Aku terus menatap pupil hitam Kirito , bersedia bahwa kata tunggal itu untuk keluar dengan satu cara atau lainnya. Lalu..

Pintu workshop yang dengan tegas terbuka. Aku melepaskan tangan Kirito dengan refleks, dan melompat.

"Liz, aku sangat khawatir!"

Orang, yang bergegas masuk tepat setelah saat itu, memelukku dengan kekuatan yang sama seperti body slam sambil berteriak dengan suara keras. Rambut cokelat panjang berwarna lembutiyu menari-nari di udara.

"Ah, Asuna ..."

Asuna terus berbicara tanpa jeda, menatap dekat pada wajahku, terkunci dalam ekspresi tercengang, sepanjang waktu.

"Pesannya tidak bisa sampai padamu, posisi petamu juga bahkan tidak bisa dilacak, belum lagi pelanggan tetapmu tidak tahu apa-apa, jadi kemana kamu pergi tadi malam, aku bahkan sampai ke Black Iron Castle untuk memeriksa, lho! "

"Ma-maaf. Aku terjebak dalam labirin sebentar ..."

"Ruang bawah tanah? Liz, kamu pergi sendirian!?"

"Tidak, dengan orang itu ..."

Aku menunjuk ke arah diagonal di belakang Asuna dengan pandanganku. Asuna berputar, dan setelah menyadari bahwa pendekar berbaju hitam berdiri di sana, tampak bosan, dia membeku dengan mata dan mulut dibiarkan terbuka kosong. Setelah itu, dengan suara satu oktaf lebih tinggi

"Ki-Kirito-kun?"

"Eeh!?"

Kali ini, giliranku untuk kagum. Aku memandang Kirito, yang berdiri tegak, sama seperti Asuna.

Dia terbatuk kecil, dan berbicara saat ia mengangkat tangan kanannya.

"Yah, Asuna, sudah cukup lama ... atau tidak, aku kira beberapa hari.."

"Y-Ya .... Itu mengejutkanku. Aku mengerti, jadi kau juga datang kesini segera. Jika kau bilang ke aku, aku bisa ikut."

Asuna menyembunyikan telapak tangannya di belakangnya, dan tertawa malu-malu, menekan lantai berulang kali dengan tumit sepatu botnya. Aku melihat kedua pipinya sedikit diwarnai dengan warna merah muda ceri mekar.

Aku paham seluruh situasi ini.

Bukan kebetulan yang membawa Kirito ke toko ini. Menjaga janji denganku, Asuna merekomendasikan tempat ini ... kepada orang yang selalu ada di dalam hatinya.

-Hanya apa yang harus aku lakukan ... Hanya apa yang harus aku lakukan.

Semua yang berputar-putar berputar-putar dalam pikiranku, adalah kata-kata itu. Aku merasa seperti panas dari seluruh tubuhku perlahan-lahan mengalir keluar dari ujung kakiku. Aku tidak bisa merasakan kekuatan apapun. Aku tidak bisa bernapas. Emosi tampil ke muka, tanpa cara untuk membebaskan mereka ...

Berbalik untuk menghadapi aku yang kaku, Asuna santai berbicara.

"Orang ini,apa dia mengatakan hal yang tak sopan pada Liz? Dia mungkin meminta untuk satu hal konyol atau lainnya bukan?"

Dan dengan itu, dia sedikit memiringkan kepala ke samping.

"Eh ... Tapi, itu berarti, bahwa kamu bersama dengan Kirito-kun tadi malam?"

"Y. .. Yah ..."

Aku maju selangkah dalam sekejap, menggenggam tangan kanan Asuna, dan membuka pintu dari bengkel. Aku melihat ke arah Kirito untuk sebentar, dan cepat berbicara saat aku mencoba untuk tidak melihat wajahnya.

"Silakan tunggu untuk sementara waktu. Kami akan segera kembali, jadi ...".

Aku menarik tangan Asuna dalam cara begitu, keluar melalui konter. Menutup pintu, kami keluar toko melalui celah antara jendela.

"Tunggu, tunggu, Liz, ada apa?"

Meskipun mendengar suara Asuna yang mempertanyakan, aku diam-diam menuju ke jalan utama, terus berjalan dengan cepat. Aku tidak bisa tahan berada di depan Kirito lebih lama lagi. Jika aku tidak melarikan diri, sepertinya aku akan berjalan ke dalam kesadaran bahwa aku telah kehilangan arah saya.

Seakan ia menyadari keadaanku yang abnormal, Asuna diam-diam mengikuti tanpa berkata-kata lagi. Aku dengan lembut melepaskan tangan gadis itu.

Kami memasuki jalan samping menghadap ke timur, berjalan untuk sementara waktu, dan menemukan sebuah kafe pinggir jalan kecil yang tampak seperti disembunyikan oleh tembok batu yang tinggi. Tidak ada satu pelanggan. Aku memilih meja di tepi, dan duduk di kursi putih. Asuna mengintip ke wajahku saat ia duduk di sisi yang berlawanan, tidak memberi kesan setiap pikirannya.

"... Ada apa, Liz ...?" Aku berusaha untuk mengumpulkan sedikit saja semangat saya bisa, menempatkan senyum besar di wajah saya. Senyum yang sama seperti biasa, satu dari kali kita riang bertukar gosip.

"... yah, orang itu, bukankah orang itu ..."

Menyilangkan tangan saya, saya membungkuk untuk melihat ke wajah Asuna itu.

"E-Eeh?"

"yang Asuna yang suka!?"

"Ah ..."

Asuna menghamparkan matanya ke bawah, bahunya mulai menyempit. Dia mengangguk dengan pipi memerah.

"... Ya."

Berdenyut, seperti saya mengabaikan nyeri tajam yang menusukkan dirinya ke dada saya, saya menunjukkan tersenyum lebar lagi.

"Yah, dia pasti adalah orang yang aneh; benar-benar aneh."

"... Apakah Kirito-kun melakukan sesuatu ...?"

Aku mengumpulkan semua kekuatanku dan menjawab dengan anggukan, ke Asuna yang terlihat khawatir.

"Dia hanya pergi dan mematahkan pedang terbaik di toko saya tiba-tiba."

"Wah ... ma-maaf ..."

"Ini bukan sesuatu Asuna harus meminta maaf."

Melihat Asuna yang melintasi tangannya seolah-olah dia telah melakukan perbuatan dirinya sendiri, sesuatu yang jauh di dalam dada saya berdenyut lebih lanjut.

Hanya sedikit lagi ... Hanya saja sedikit lagi, terus, Lisbeth.

Berbisik pada diriku sendiri dalam hatiku, aku entah bagaimana berhasil mempertahankan senyumku.

"Yah, pokoknya, untuk menciptakan jenis pedang yang diminta oleh orang itu, ternyata logam langka diperlukan, jadi kami pergi ke lantai atas untuk mendapatkannya. Dan selama itu, kami terjebak di beberapa perangkap kecil., kamu lihat, kami mengalami kesulitan melarikan diri dari itu, itu sebabnya aku tidak kembali ".

"Jadi itu saja ... Anda bisa saja memanggil saya, ah, pesan tidak dapat dikirim baik, ya ..."

"Seharusnya aku mengundang Asuna juga, maaf tentang itu."

"Tidak, Guild telah membereskan semua kegiatan kemarin, jadi .... Jadi, apa kamu sudah membuat pedangnya?"

"Ah, iya. Geez. Aku tidak ingin melakukan pekerjaan merepotkan semacam ini lagi."

"Kamu harusnya tagihkan kepadanya dengan harga tinggi untuk itu."

Kami mulai tertawa pada saat yang sama. Aku pertahankan senyum kecil di wajahku, menyebutkan satu komentar terakhir.

"Yah, dia aneh, tapi jelas bukan orang jahat. Aku akan mendukung kamu, jadi lakukan yang terbaik, Asuna.."

Itulah batas. Akhir kata saya gemetar.

"Y-Ya, terima kasih ..."

Sebagai Asuna mengangguk, ia memiringkan kepala ke samping dan melihat ke wajahku. Sebelum dia bisa melihat apa yang tersembunyi di bawah kelopak mataku, aku dengan tajam berdiri, dan bilang.

"Ah, oh tidak! Saya, aku punya janji untuk membeli stok, aku akan turun sebentar!."

"Eh, di toko ... Bagaimana dengan Kirito-kun?"

"Pergi temani dia, Asuna. Aku mengandalkan dirimu!"

Aku memalingkan wajahku, dan mulai berlari. Aku memandang Asuna, di belakang punggungku, dan buru-buru melambaikan tanganku padanya. Tidak ada cara aku bisa kembali.

Setelah aku berlari menuju plaza gerbang, sampai ke tempat di mana aku tidak bisa melihat kafe itu dimana, aku mengambil belokan pertama, menuju ke arah selatan. Aku terus ke tepi kota, mengarah ke area tanpa pemain, dengan pikiran tunggal berjalan tanpa jeda.

Ketika pandanganku terdistorsi, aku menyeka mataku dengan tangan kananku. Menyeka mereka berulang-ulang saat aku berlari.

Ketika kuperhatikan, aku telah mencapai semua jalan sebelum tembok benteng yang mengelilingi kota. Sebelum dinding melengkung lembut peregangan keluar, pohon besar ditanam di ruang biasa satu sama lain. Aku memasuki tempat teduh di bawah salah satu dari mereka, berdiri diam dengan tangan saya pada dahannya.

"Uguu ... Uu ..."

Suaraku bocor keluar dari tenggorokan saya, tanpa usaha sedikit pun untuk meredam itu. Air mataku sangat terpaksa kembali mengalir keluar satu demi satu, menghilang saat mereka mengalir ke pipiku.

Ini adalah kedua kalinya saya aku setelah datang ke dunia ini. Dari waktu aku panik dan menangis pada hari saya pertama kali masuk, aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku tidak akan menangis. Aku berpikir bahwa aku tidak perlu air mata ini, dengan paksa mengalir karena sistem ekspresi emosi. Tapi aku belum pernah merasakan air mata lebih panas, lebih menyakitkan daripada yang mengalir di pipiku sekarang, bahkan mereka yang mengalir di dunia nyata.

Ketika aku berbicara dengan Asuna, ada satu hal yang tidak pernah berhasil keluar. "Aku menyukai orang itu juga," kata-kata ini hampir keluar berkali-kali. Namun, tidak ada cara aku bisa mengatakannya.

Di bengkel, aku melihat dengan instan Kirito dan Asuna bergiliran berbicara satu sama lain, aku mengerti bahwa tidak ada tempat bagiku di samping Kirito. Itu karena- di gunung bersalju itu, aku telah menempatkan Kirito dalam bahaya. Tidak ada yang bisa berdiri di samping orang itu, selain dari orang yang memiliki hati yang kokoh yang sama. Itu benar ... Seperti misalnya, seseorang seperti Asuna ...

Keduanya dihubungkan oleh sebuah kekuatan menarik yang kuat, sangat mirip dengan pasangan antara pedang cermat dibuat dan selubung. Itulah yang aku rasa kuat. Dan di balik semua itu, Asuna telah terus-menerus berpikir tentang Kirito selama berbulan-bulan dan tak terhitung jumlahnya, dan dengan kerja keras masuk ke dalam untuk mempersempit kesenjangan antara mereka sedikit demi sedikit, hari demi hari, tidak mungkin aku bisa melakukan sesuatu seperti mendorong diri sendiri ke dalam hubungan itu tiba-tiba.

Itu benar ... Aku tahu Kirito tidak lebih dari satu hari penuh. Terjadi petualangan yang aku tidak biasa juga dengan orang asing, hatiku pasti terkejut dengan itu. Itu tidak benar. Ini bukan perasaanku yang sebenarnya. Jika aku jatuh cinta, aku tidak akan terburu-buru; perlahan berpikir tentang hal itu - aku seharusnya selalu, selalu memikirkannya seperti itu.

Tapi tetap saja, mengapa air mata ini masih mengalir keluar.

Suaranya, tindakannya, semua ekspresi Kirito yang ia tunjukkan pada dua puluh empat jam itu melayang sebelum kelopak mataku tertutup satu demi satu. Sensasi dia menyikat rambutku, dengan memegang lenganku, tangannya menggenggam tambang. Kehangatannya, panas dari yang jantung berdebar-Seperti kenangan mendidih melewatiku, rasa sakit yang tajam bergema jauh di dalam dadaku.

Lupakan. Ini semua mimpi. Cuci semua itu dengan air mata.

Sambil memegang erat pada batang pohon di pinggir jalan, aku menangis. Mencari ke bawah sambil menahan suaraku, aku terus menangis. Air mata ini akan mengering cepat atau lambat di dunia nyata, tetapi tampaknya bahwa cairan mendidih meluap dari mataku tidak ada niat untuk pernah berhenti mengalir.

Dan-dari belakang saya, suara yang datang.

"Lisbeth."

Seluruh tubuhku bergetar ketika namaku mulai dipanggil. Yang lembut itu, suara yang lembut itu, masih tersisa dengan gema nada asli anak laki-lakinya nya.

Pasti mimpi. Tidak mungkin ia bisa berada di sini. Berpikir bahwa, Aku membalikkan wajah ke atas, tanpa mau repot-repot untuk menghapus air mataku.

Kirito berdiri di sana. Kedua mata itu diantara ubun-ubun hitam itu, menunjukkan sakit dari kesedihan unik untuk dia, menatapku. Secara singkat aku melirik kembali pada kedua mata itu, dan segera bergumam dengan getaran dalam suara saya.

"... Itu tidak baik, datang ke sini sekarang juga. Aku akan kembali ke Lisbeth biasa yang energik hanya dalam sedikit lagi.."

"..."

Kirito diam-diam maju selangkah, ia mencoba menjangkau dengan tangan kanannya. Aku menggelengkan kepala ringan, menghentikannya.

"... Bagaimana kamu menemukan tempat ini?"

Setelah mendengar itu, Kirito merenungkan, dan menunjuk ke arah tengah kota.

"Dari sana ..."

Pada titik jari itu, jauh dari sini, puncak menara gereja, dibangun plaza gerbang berlawanan, menjorok di atas riak bangunan.

"Aku memandangi seluruh kota, dan menemukan kau."

"Dia, dia."

Air mataku diam-diam terus mengalir seperti sebelumnya, tapi setelah mendengarkan jawaban Kirito itu, senyum melayang ke mulutku.

"Kau tetap konyol seperti biasa, ya."

Bahkan itu bagian dari dirinya ... Aku suka itu. Untuk sebagian harapan.

Aku merasakan lagi gelombang menangis mengalir dalam diriku. Aku mencoba menahannya.

"Maaf, aku ... baik, kau lihat. Cepat dan kembalilah ke Asuna.."

Pada saat aku berhasil mengatakan dan hendak berbalik, Kirito melanjutkan kata-katanya.

"A-aku ingin memberikan terima kasih kepada Liz."

"Eh ...?"

Bingung oleh ucapan tak terduga, aku menatap wajahnya.

"... Aku, di masa lalu, ada suatu masa ketika anggota guldku dimusnahkan ... Dengan itu, aku memutuskan tidak pernah lagi, untuk dekat dengan orang lain."

Kirito memberikan cemberut sekilas, mengunyah bibirnya.

"Itu sebabnya, biasanya, aku menghindari membentuk party dengan siapa pun sama sekali. Namun, kemarin, saat Liz mengundangku untuk melakukan pencarian itu, itu berjalan baik untuk beberapa alasan dan aku terus berpikir itu aneh sepanjang hari.. mengapa Aku berjalan bersama orang ini ... "

Aku lupa rasa sakit di dadaku sesaat, melihat Kirito.

Itu berarti-Itu berarti, aku ...

"Sampai sekarang, tidak peduli yang bertanya, aku menolak semua. Ketika mereka yang aku kenal ... Tidak, bahkan bagi mereka yang namanya aku bahkan tidak tahu, hanya dengan menonton pertempuran lain, aku hanya membeku dalam ketakutan.. Aku tak bisa apa-apa kecuali melarikan diri. Itu alasan yang cukup banyak mengapa aku selalu terpencil sendiri di garis depan, di mana orang jarang datang Ketika kita jatuh dalam lubang itu, aku bahkan berpikir bahwa akan lebih baik untuk mati bersama-sama daripada menjadi orang yang tertinggal, dan itu tidak bohong ".

Dia menunjukkan senyum samar. Rasanya seperti jumlah tak terbatas kecaman pada diri sendiri diletakkan jauh di dalam itu, membuatku tak bisa bernafas.

"Tapi kau hidup. Itu tak terduga,. Tetapi kenyataan bahwa aku bisa hidup dengan Liz membuat aku sangat senang. Dan, malam itu ... Ketika kau memberiku tanganmu, semuanya seperti tertata kosong. Tangan Liz hangat. .. Orang ini masih hidup, itulah yang aku pikirkan. Aku, dan semua orang juga, kita pasti tdak hanya ada demi menyambut kematian suatu hari nanti;.. Aku percaya kita hidup demi hidup Jadi ... Terima kasih, Liz. "

"..."

Kali ini, senyum benar bangkit dari dalam hatiku. Didorong oleh emosi yang kuat misterius, aku membuka mulutku.

"Aku juga sama ... aku juga sama; Aku selalu mencari yang untuk itu. Untuk sesuatu yang benar istimewa, di dunia ini. Bagiku, itu kehangatan dari tanganmu..."

Tiba-tiba, duri es yang menusuk jauh di dalam hatiku dengan lembut meleleh, yang mirip dengan bagaimana rasanya. Air mataku juga berhenti beberapa waktu lalu. Untuk waktu singkat, kami saling menatap dalam keheningan. Itu sensasi yang muncul saat kita terbang bersama masuk sekali lagi, menyapu hatiku dengan instan, dan menghilang.

Aku diberkahi. Itulah yang aku percaya.

Kata-kata dari Kirito saat itu menelan potongan patah cintaku yang telah retak terpisah, dan aku merasa mereka tenggelam ke bawah di dalam diriku.

Dengan cepat aku berkedip mata satu kali, mengibas tetes kecil, dan membuka mulut untuk berbicara sambil tersenyum.

"Kata-kata itu sebelumnya, pastikan juga agar Asuna mendengarnya. Gadis itu menderita juga. Dia ingin kehangatan Kirito ini,. Selama ini.."

"Liz ..."

"Aku baik-baik saja."

Aku mengangguk pelan, memegang dadaku dengan tanganku.

"Demam ini akan tetap bertahan sedikit lebih lama. Jadi ... Tolong,. Kirito, akhiri dunia ini. Aku akan pastikan untuk bekerja keras sampai saat itu. Tapi, ketika kita kembali ke dunia nyata ..."

Aku tersenyum dengan senyum nakal.

"Kita akan pergi langsung ke putaran dua dengan itu."

"..."

Kirito tersenyum juga, memberikan anggukan dalam. Selanjutnya, ia mengayunkan tangan kirinya, membuka jendela menu. Sama sepertiku bertanya-tanya apa yang dia lakukan, «Elucidator» dilepas dari punggungnya, disimpan dalam persediaan. Setelah itu, ia mengutak-atik angka peralatannya, mewujudkan pedang baru di tempatnya. «Dark Repulser», pedang putih yang penuh dengan emosiku.

"Dari hari ini dan seterusnya, pedang ini akan menjadi partnerku. Tagihannya... akan diselesaikan di dunia lain.."

"Oh, sekarang kau sudah mengatakannya. Itu akan memakan banyak biaya."

Seperti kita berbagi tawa, kami bertemu tinju kanak kita satu sama lain.

"Yah, mari kita kembali ke toko. Asuna pasti lelah menunggu ... Dan aku mulai lapar juga"

Aku katakan itu, dan mulai berjalan setelah bangun di depan Kirito. Untuk terakhir kali, aku dengan tegas mengusap mata, hamburan yang terakhir dari air mata masih di sudut-sudut mataku, dan mereka menghilang ke dalam manik-manik cahaya.

Catatan Penerjemah

  1. Coll = mata uang di SAO.
  2. Background Music = Musik Latar.
  3. Blacksmith = Penempa senjata.
  4. Skill = Jurus atau kemampuan yang dimiliki karakter game.
  5. Weaponsmith = Kemampuan menempa senjata.
  6. NPC(Non-Player Character) = Karakter game yang tidak bisa dimainkan
  7. Item = benda dalam game.
  8. Rapier = Sejenis pedang.
  9. Clearing = Menyelesaikan game
  10. Guild = Sejenis organisasi untuk pemain, banyak ada di game online
  11. Sub-Leader = Wakil Ketua.
  12. Quest = Sejenis misi dalam game. Biasanya tidak wajib dilakukan
  13. PuG = singkatan dari pickup groups, kumpulan orang-orang yang membentuk grup untuk menyelesaikan sebuah quest dalam MMORPG


Back to Chapter 1 Return to Halaman Utama Forward to Chapter 3