Sword Art Online Bahasa Indonesia:Jilid 3 Bab 2

From Baka-Tsuki
Revision as of 03:15, 12 July 2012 by SATRIA (talk | contribs) (Created page with "==Bab 2== <noinclude>__NOTOC__</noinclude> Bulan besar menggantung di langit tak berawan, hutan di bawahnya dinaungi warna hijau biru oleh cahaya bulan. Malam Alfheim sangat si...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Bab 2

Bulan besar menggantung di langit tak berawan, hutan di bawahnya dinaungi warna hijau biru oleh cahaya bulan.

Malam Alfheim sangat singkat, namun masih ada waktu sebelum subuh. Normalnya, hutan gelap semacam itu akan menjadi penyebab kecemasan, namun itu adalah kegelapan yang sama yang membuat mundur menjadi mustahil.

Lyfa, tersembunyi di bayangan pohon raksasa, mengangkat kepalanya untuk menatap langit berbintang. Untuk sesaat, nampaknya tak ada hawa kehadiran membahayakan di langit. Merendahkan suaranya sebisa mungkin, dia berbicara pada rekan tim di dekatnya, “Kalau sayapmu sudah pulih, kita akan segera lepas landas. Persiapkan dirimu.”

“Ah – tapi aku masih pusing.”

Partnernya menjawab dengan nada ogah ogahan.

“Kamu masih merasa mabuk? Tidakkah kamu merasa malu? Kamu harusnya sudah terbiasa dengan itu.”

“Biarpun kamu bicara begitu, hal seram tetap saja seram.......”

Lyfa mendesah dengan frustasi.

Bersandar di samping pohon adalah pemain remaja bernama Recon, juga teman Lyfa di dunia nyata. Mereka telah mulai bermain ALO – Alfheim Online – bersama. Dengan kata lain, dia dan Lyfa sudah memainkan Game ini hampir sekitar satu tahun. Namun, tak peduli berapapun waktu berlalu, Recon masih tak bisa mengalahkan perasaan vertigo saat terbang. Dalam ALO, kekuatan dalam pertempuran udara adalah satu satunya tindakan yang penting, namun setelah hanya satu atau dua pertarungan, dia akan merasa lelah. Hal ini membuatnya nampak sulit diandalkan.

Biarpun Recon seperti ini, Lyfa tak membenci bagian itu darinya. Lebih tepatnya, dia hanya tak bisa mengabaikan “adik laki laki”nya ini. Penampilannya sering menampakkan tubuh rapuh dengan rambut kuning-hijau bob, telinga panjang yang menggantung ke arah tanah, dan ekspresi yang membuat kalian berpikir kalau dia hampir menangis. Meski itu dibuat dengan sembarangan, penampilannya dalam Game sangat mirip dengan di dunia nyata. Saat Lyfa pertamakali melihatnya dalam Game, dia hanya bisa tergelak tawa.

Bagi Recon juga, Lyfa juga sangat mirip dengan penampilan aslinya. Sebagai Sylph, dia memiliki postur bagus, alis agak tebal, sepasang mata indah, dan tubuh bertulang sedikit besar untuk anggota rasnya.

Pada dasarnya dia menginginkan karakter yang nampak lebih «Anggun». Penampilannya saat ini bukan hanya untuk memenuhi keinginan itu, namun juga karena ia anggap sangat imut. Namun, dia bisa dianggap beruntung. Banyak orang tak seberuntung itu, dan demi memuaskan penampilan mereka, mereka harus membayar biaya tambahan untuk merekonstruksi karakter mereka. Dibandingkan orang orang ini, Lyfa jelas tak perlu memprotes apa apa.

Pembayaran tambahan sama sekali tak mempengaruhi penampilan karakter, namun Recon telah bermain dengan matanya sampai mereka mencocokkan rasa estetisnya; dia pikir keseimbangan mereka cukup payah.

Lyfa memegang peralatan Blest Armor dari punggung Recon dan menariknya. Melihat pada empat sayap transparan yang dikelilingi oleh fosforensi kehijauan, mengindikasikan kalau dia bisa terbang lagi.

“Tuh, kamu bisa terbang lagi. Ini waktunya terbang keluar dari hutan ini.”

“Eh – nanti kita bisa dikejar kejar lagi. mari istirahat sejenak. Istirahat—“

“Naif!! Hanya ada satu Salamander diluar sana yang tangguh. Kalau kita hati hati, maka kita tak akan kelihatan. Tak ada dari kita yang bisa menghindari pertarungan udara, jadi jangan takut dan terbanglah!”

“Ohh.....”

Recon menjawab dengan ogah ogahan, mengarahkan tangan kirinya ke udara. Joystick transparan – remote control yang digunakan untuk terbang – muncul di tangannya. Bagian akhir depannya terdapat bola kecil; ini adalah panduan terbang untuk controller ALO. Saat Recon menarik controller ke arah dirinya, empat sayap membentang dari punggungnya. Bersinar semakin cerah seiring mereka memanjang.

Setelah melihat ini, Lyfa mulai membentangkan sayapnya sendiri, mengepakkannya dua atau tiga kali. Dia tak memakai control stick. Ini adalah skill level tinggi bernama «Voluntary Flight», bukti bahwa pemain itu adalah prajurit kelas satu dalam ALO.

“Mari segera keluar dari sini!” Lyfa berbisik.

Usai sayapnya membentang sampai maksimum, ia menendang tanah, melaju ke arah bulan. Bidang pandangnya perlahan meluas sampai dia melihat seluruh Alfheim terbentang di hadapannya, menawarkan rasa kebebasan tiada batas.

“Ah.....”

Terbang ke arah yang tinggi, Lyfa berteriak kegirangan. Yang ia rasakan saat ini sangat tiada duanya. Dia mengeluarkan sorak sorai. Sejak zaman kuno, manusia sudah memiliki hasrat untuk terbang seperti burung. Hal ini akhirnya menjadi kenyataan di dunia fantasy.

Set batas waktu penerbangan oleh sistem adalah satu satunya hal yang mengganggu pengalaman ini. Untuk bisa terbang sepenuh hati akan memerlukan biaya tambahan.

Pada dasarnya, ini adalah harapan semua pemain yang bertarung dalam Alfheim; Untuk mencapai puncak «Yggdrasil» sebelum orang lain dan memasuki kota aerial legendaris. Disana, seseorang akan bertransformasi menjadi peri sungguhan, «ALF», meningkatkan batas waktu penerbangan, dan menjadi penguasa dari langit tanpa batas.

Lyfa tak punya keinginan untuk meraih item langka atau menaikkan statusnya. Alasan dia bertarung di dunia ini hanya karena satu hal.

Lyfa menuju ke arah bulan emas penuh yang belum tenggelam, memakai sayap seperti kacanya. Partikel cahaya terpecah pecah di belakangnya seperti komet yang menyeret ekor hijau sepanjang langit malam.

“Ly, Lyfa-chaaaaan – tunggu aku—“

--Suara lemah dari bawah memanggil Lyfa kembali ke realita. Dia berhenti dan melihat ke bawah; memegang controllernya, Recon mati matian berusaha mengejarnya. Kecepatan terbang maksimumnya sangat rendah dibandingkan saat memakai panduan sistem, dan kalau Lyfa serius, Recon tak akan bisa mengejarnya.

“Lekas naik! Berjuanglah!”

Lyfa membentangkan sayapnya dan melayang layang sambil menunggu Recon. Mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya, pada jarak jauh, di batas akhir lautan pepohonan, dia melihat Yggdrasil, yang menjulang di tengah kegelapan. Dari poin ini, bahkan wilayah teritori Sylph kurang lebih bisa ditentukan.

Saat Recon berhasil mencapai tinggi yang sama dengannya, Lyfa menyesuaikan kecepatannya sambil mereka terbang bersama.

Recon terbang di sisinya, menunjukkan ekspresi tidak nyaman dan berbicara, “Tinggi, entah kenapa terlalu tinggi, kan?”

“Kamu nggak menganggap terbang tinggi itu menyenangkan? Kalau sayapmu lelah, kita selalu bisa meluncur.”

“Waktu kedua dia mencoba terbang, kepribadiannya berubah......”

“Apa kamu bilang?”

“Bu-bukan. Bukan apa apa!”

Recon dengan cepat menutup mulutnya seiring mereka menuju ke area barat daya dari Alfheim, yakni, wilayah Sylph.


Pada awal hari ini, Lyfa telah membentuk party dengan empat rekan yang bisa diandalkan, dan berpikiran sama dan bepergian ke area dungeon di wilayah netral timur laut. Beruntungnya, mereka mampu berburu tanpa menemui tim tim lain, jadi panen mereka sangat melimpah, dan mereka mendapatkan uang dan item sangat banyak. Setelah bersiap kembali ke wilayah Sylph, mereka dikejar oleh kelompok delapan Salamander.

Ada pertarungan diantara ras berbeda dalam ALO, namun sangat tak biasa untuk menjumpai kawanan bandit yang menyerbu bersama dan merampok pemain lain. Penyerbuan hari ini terasa aneh, apalagi saat ini adalah siang akhir pekan di dunia nyata. Kami tak menduga akan diserang, khususnya dalam jumlah besar seperti itu.......kami sungguh ceroboh.

Sambil terbang, mereka sudah terlibat dua kali dalam pertarungan tim di udara «AIR RAID», dimana kedua pihak kehilangan tiga anggota mereka. Mereka akan memulai dengan jumlah orang lebih sedikit, dan sekarang hanya Lyfa dan Recon yang tersisa. Mengambil keuntungan pada fakta kalau kecepatan terbang Sylph jauh melebih Salamander, mereka berhasil lolos dari serbuan, dan berhasil menuju ke wilayah Sylph. Namun, karena pengalaman vertigo sepanjang dua pertarungan berturut turut, Recon menjadi sangat mabuk dan mereka belum mampu mencapai wilayah Sylph. Justru, mereka harus bersembunyi di hutan untuk memberi waktu agar Recon bisa pulih. Tepat saat Lyfa kehilangan semua rasa ketegangan, dan menoleh ke arah hutan di belakangnya—

Dari bagian bawah dari sisi tumbuhnya pepohonan hijau gelap, setitik cahaya oranye berkilau.

“Recon, mengelak!” Lyfa berteriak, dengan cepat mengayun ke kiri. Tak lama kemudian, dari tanah, tiga garis api menembak ke atas, melewati celah yang tersisa oleh dedaunan pohon.

Beruntungnya, mereka terbang jauh lebih tinggi, dan jejak panjang tembakan api berhenti tak jauh dari mereka, dan lenyap ke langit malam.

Tak ada waktu untuk menghargai betapa nyarisnya situasi mereka. Serangan sihir yang diluncurkan barusan dari dalam pepohonan akan menangkap perhatian para pengejar lain, dan lima bayangan merah dan hitam dengan cepat mendekat.

“Sial, keras kepala sekali!”

Lyfa menggerutu dan melihat ke arah barat daya. Dia masih belum menangkap sosok cahaya Tower of Wind, yang berdiri di tengah daratan Sylph.

“Kita tak mungkin lolos! Bersiaplah untuk bertarung!” Lyfa memanggil, sambil menarik pedang panjang melengkung dari pinggangnya.

“Uwah, jangan.”

Recon berteriak sambil mengeluarkan pisaunya dan memposisikan dirinya.

“Ada lima musuh. Tak mungkin kita bisa menang, tapi mana bisa aku menyerah semudah itu! kalau aku bisa mengeluarkan semua perhentian, aku setidaknya bisa membawa satu denganku.”

“Itu mungkin cara yang benar untuk melihatnya.”

“Kebetulan, aku juga ingin kamu melihat sisi baikku.”

Recon sedikit menggerakkan bahunya. Wajah Lyfa menegang, dan dia memasang postur menyelam. Mempererat tubuhnya, dia berputar sekali sebelum menembak ke bawah, sayapnya menekuk dalam sudut tajam. Bagi para Salamander, dalam formasi V, gerakan ini nampak tidak direncanakan.

Bahkan diantara para veteran pemain ALO, yang online sejak awal, Lyfa yang berpengalaman dan beperlengkapan baik baru menderita kekalahan karena dua alasan: kalah jumlah dan formasi Salamander belakangan ini yang merepotkan.

Mengorbankan mobilitas, mereka memakai armor dan tombak berat dan mengambil keuntungan dari berat ekstra untuk menampilkan serangan menikam yang kuat. Menghadapi serbuan begitu banyak tombak tak ubahnya menatap gelombang ganas. Keuntungan Sylph adalah bobot mereka yang ringan, dan pergerakan yang lincah, namun bagi mereka untuk bertarung dalam pertarungan bertubi tubi adalah hal yang sulit.

Namun Lyfa, yang sudah melawan musuh semacam ini dua kali hari ini, sedikit memahami kekurangan dari gaya mereka. Dengan keberanian yang muncul karena keputusasaan, Lyfa menyelam tanpa takut pada vanguard dari kelompok musuh. Dia menutup jarak dalam waktu singkat, namun semua perhatiannya terfokus pada ujung silet tajam dari tombak perak yang musuhnya gunakan untuk menyerangnya.

Terjangan Sylph menimbulkan lengkingan bernada tinggi bahkan gesekannya membuat pergerakan dari cengkeraman senjata Salamander mengendur. Momen keduanya bersilang, udara meletup dalam auman membahana.

Lyfa menggertakkan giginya, dan dengan sedikit pergerakan di kepalanya, mengelak dari ujung tombak. Dia mengabaikan panas hebat dimana tombak menggores pipinya, dan menyerbu maju, menyerang si helm merah darah dengan pedangnya.

“YAAA!”

Tikaman lurus ke depan.

“Aaaaah!”

Diserang secara mengejutkan, mata musuhnya terbuka lebar dengan kebingungan sebelum lenyap dibalik ledakan cahaya hijau kuning yang diciptakan sebagai special effect. Ganasnya serangan menyebabkan armor berat dari lawannya bergetar kuat.

Tak mampu menahan serangan, musuh dengan cepat terlempar ke arah tanah, dan usai hantaman, ia menerima luka tambahan karena bobot armornya, berdampak pada HPnya menurun sekitar 30%. Bukan serangan fatal, namun karena serangan kuat ke kepalanya, mustahil baginya untuk mengatur ulang formasi. Lyfa segera mengganti target, dengan hati berteriak dalam pengharapan.

--Disini!

Dengan taktik serbuan berat yang dipakai musuh, kelemahan mereka adalah formasi mereka yang rusak memerlukan waktu untuk diatur kembali. Ketika keempat Salamander yang tersisa tak yakin harus berbuat apa, Lyfa membentangkan sayapnya sejauh mungkin dan dengan paksa melaju pergi.

Ini membuat tubuhnya mengerang kesakitan karena gerakan dipaksakan dan gesekan berlebih. Lyfa menahan sakitnya. Demi berputar secepat mungkin, dia mengayunkan sayap kanannya dengan kuat sambil mengerem dengan sayap kirinya. Memakai tindakan absurd semacam itu membawa musuh berikutnya ke garis pandangannya.

Salamander targetnya, meski menyadari niatnya, tak mungkin bisa berharap untuk menandingi gerakan itu. Gilirannya selesai, pedang Lyfa menyerbu Salamander.

Musuh di sisi kiri menerima serangan dengan sempurna, dan semakin merusak formasi mereka.

--Kalau ini terus berlanjut, kami bisa melakukannya!

Dari kelima musuh, hanya si pemimpin, yang diluncurkan beberapa saat lalu, yang mampu memakai “Voluntary Flight”, sisanya hanya bisa memakai controller penerbangan biasa. Karena Lyfa menggunakan “Voluntary Flight”, kelincahan geraknya sangat melampaui Salamander sepanjang pertarungan jarak-dekat.

Pada poin ini ia mencoba mencari Recon, yang tengah bertarung dengan Salamander di sisi kanan. Meski penampilannya tak bisa diandalkan, dia juga pemain veteran. Dalam duel jarak dekat, keahliannya dalam memakai pisau tidaklah bisa diremehkan.

Lyfa, dengan pedang panjang di tangannya, membawa kembali perhatiannya pada musuh yang ia incar, dan terus melancarkan serangan bertubi tubi. Ini mungkin akan bekerja, pikirnya. Satu satunya elemen yang membuatnya cemas adalah serangan sihir sebelumnya. Sihir api artinya dari mereka berlima, setidaknya satu dari para Salamander adalah Mage.

Kemungkinan itu ada karena dari kelima makhluk berlapis logam ini semuanya memiliki kemampuan sihir, mungkin saja, mereka adalah pendekar pedang sihir. Biarpun level sihir mereka rendah, kekuatannya masih cukup ganas.

Demi mempertahankan efektifitas formasi, mage biasanya diatur di sisi kanan atau kiri, pikir Lyfa. Dengan kata lain, orang yang harus dia kalahkan saat ini adalah lawan rapuh yang sedang berduel dengan Recon. Pada jarak ini, dia tak mungkin bisa memiliki waktu yang tepat untuk merapal mantra. Jadi, asal kita bisa menghabisi kedua orang ini saja, sisanya bisa dengan mudah dikalahkan dalam 5 menit.

“Yaaaa!”

Lyfa sekali lagi menghunuskan serangan dua tangan yang dia sangat banggakan. Dengan indah melukai bahu lawannya, HP-nya yang sudah merah bahkan semakin menurun.

“Sial!”

Musuhnya meneriakkan kutukan biarpun tubuhnya terselimuti dalam api merah. Diikuti oleh suara terbakar, tubuhnya berubah menjadi abu sebelum menyebar ke empat mata angin, hanya menyisakan api merah kecil. Api ini disebut «Remain Light», setelah ia menghilang, mantra dan item kebangkitan bisa digunakan. Namun, setelah satu menit dalam kondisi ini, pemain akan secara otomatis kembali ke kampung halaman dari ras mereka dan dihidupkan kembali.

Lyfa mengguncang pikiran ini dan berfokus pada musuh selanjutnya. Tiga yang tersisa memiliki pergerakan sedikit tumpul. Mereka nampaknya kurang berpengalaman dalam memakai tombak, dan sangat lamban dalam pertarungan jarak dekat. Mengawasi mereka terus melancarkan serangan payah dan amat lamban, Lyfa, yang bisa melihat semua itu, merasa kalau usaha mereka sia sia.

Perhatiannya kembali ditarik ke sisi lain, Recon juga hampir menang. HP-nya sudah cukup berkurang, namun tak sampai memerlukan mantra pemulihan. Kalau terus begini, bahkan dengan ketidakseimbangan kekuatan lima vs dua, mereka masih bisa menang. Dengan ini di pikirannya, Lyfa sekali lagi mengangkat pedangnya.

Namun, pada momen berikutnya hembusan api nampak menyelimuti Recon.

“Oaaaaaaa!”

Recon berteriak dalam kepiluan sambil ia membeku di tengah udara.

“Bodoh, jangan berhenti, terus bergerak!”

Kalimat ini bahkan tak mencapai Recon sebelum dia ditembus oleh tombak Salamander yang sudah sekarat di dekatnya.

“Maaaaaaaaaaaaf!”

Dengan suara permintaan maaf terakhir, tubuh Recon terselimuti oleh pusaran angin hijau. Efek ini disebut «End Frame», dan hanya muncul saat kematian. Melebur, tubuh Recon lenyap, dan seperti Salamander yang tadi, hanya menyisakan Remain Light.

Bagi Lyfa, sangat tak menyenangkan untuk melihat Remain Light dari rekan rekannya yang jatuh, biarpun dia tahu kalau itu akan segera lenyap saat mereka dihidupkan lagi. Dia menggigit bibirnya, mengetahui kalau sentimen itu adalah kemewahan yang tak bisa ia harapkan. Demi menghindari hembusan api yang datang dari bawah, ia mati matian bergulung ke sisi.

.....Sial, si Mage ternyata adalah orang pada saat awal itu!

Kalau aku menyadari itu lebih cepat, aku akan segera mengejarnya dan menghabisinya. Namun menyesal juga tak ada gunanya. Situasi saat ini sangat tak menguntungkan baginya.

Namun, dia tak menyerah. Sampai akhir, bahkan oleh ketidak untungan ekstrim, ia akan terus mencari cara untuk membalik situasi. Inilah kepercayaan yang ia telah tanamkan selama bertahun tahun dan yang menjadi semakin kuat karena ia mengambil peran sebagai pendekar pedang.

Dengan serbuan api datang dari Salamander di tanah, dua lainnya di udara segera mengambil posisi dan memulai serangan tikaman berkecepatan tinggi.

“Sini!” Lyfa berteriak, mengangkat pedangnya tanda menantang.


* * *


“Uaaagh!”

Setelah merasa jatuh tanpa akhir, diiringi oleh teriakan menyedihkanku, aku mendapati diriku di suatu tempat tak bernama. Sebuah erangan kesakitan muncul saat aku mendarat di wajahku bukannya di kakiku. Mempertahankan posisi itu selama beberapa detik, wajahku terkubur dalam humus, aku perlahan mengangkat diriku.

Jatuh bebas saat ini sudah berakhir, hatiku menjadi agak rileks, dan aku berbaring di tanah sambil melihat lihat sekelilingku.

Saat ini malam hari. Aku mendapati diriku di hutan lebat entah dimana.

Hutan ini tersusun dari pepohonan raksasa yang mungkin sudah ratusan tahun, semua menjulang ke arah langit sejauh yang aku bisa lihat. Namun, dedaunannya terlalu padat sampai aku tak bisa melihat langit. Sebuah bulan purnama menggantung di langit hitam berbintang, memancarkan kemilau keemasan.

Disekitarku, dengungan serangga dan burung nokturnal bernyanyi. Dari jarak jauh, aku mendengar auman hewan buas. Aroma tumbuhan menggelitik hidungku. Embusan angin dengan lembut membelai kulitku. Teror menyerangku saat inderaku menyadari dunia di sekitarku. Dunia ini nampak lebih nyata dari dunia nyata – itulah perasaanku tentang dunia ilusi ini.

Aku terus merasa skeptis saat Egil berkata bahwa «ALO» sebanding dengan SAO dari segi ketepatan tinggi model dan strukturnya, namun nampaknya itu benar sekali. Disamping fakta kalau waktu pengembangan tak mencapai satu tahun, jumlah informasi lebih besar yang mengalir sepanjang sistem sarafku dan Game sama persis dengan di SAO.

“A....akhirnya, aku masih kembali juga......”

Aku menutup mataku. Dalam dua bulan sejak dibebaskan dari dunia itu, aku telah menyerah untuk kembali ke dunia «VR WORLD», namun aku berada disini sekali lagi. Ah.....aku sama sekali tak pernah belajar, kan? pemikiran ini melintas dalam benakku, dan aku hanya bisa tertawa.

Namun, dunia ini sedikit berbeda. Misalnya, meski HP mencapai nol, aku takkan mati di dunia nyata, dan aku bebas untuk bepergian kapanpun dan dari tempat manapun. Sambil aku memikirkan ini, ada sesuatu yang menarik perhatianku.

Ada apa dengan abnormalitas dalam gambaran dan relokasi misterius itu.......apa yang sebenarnya baru terjadi? Kenapa aku malah dibawa ke tempat ini? Aku seharusnya berada di kota start di Spriggan, setidaknya itulah menurut tutorial.

“Hei, nggak mungkin.......jangan jangan.......”

Wajahku mulai pucat pasi, aku dengan cepat mengangkat tangan kananku yang gemetar, dengan jari tengah dan telunjuk bersamaan. Tak ada yang terjadi. Keringat dingin menetes padaku dan aku lekas mencoba beberapa kali sebelum mengingat apa yang tutorial baru katakan, kalau menu da controller penerbangan sama sama dikendalikan dengan tangan kiri.

Aku mengulurkan tangan kiriku dan mengulangi tindakan itu. kali ini, saat aku mengibaskan jariku, efek suara dan letupan cahaya terjadi, kemudian jendela menu transparan terbuka. Desainnya hampir sama dengan SAO. Menu itu memiliki banyak tombol yang dibariskan sisi demi sisi sepanjang sudut kanan.

“Ini, ini dia.”

Di bagian bawah menu terdapat tombol «LOG OUT» yang berkilau. Aku mencoba memencetnya. Sebuah pesan peringatan muncul untuk mengkonfirmasi, disertai tombol «YES» dan «NO».

Aku menghembuskan desah kelegaan. Mengangkat tubuhku dengan satu lengan, aku duduk.

Melihat ke sekitarku lagi, aku sepertinya berada di tengah tengah hutan rimba. Disekelilingku adalah gerombolan pepohonan yang menjulang tanpa akhir ke semua arah, begitu jauh sampai aku bahkan tak bisa melihat cahaya bintas di atas sana. Aku tak tahu kenapa aku jatuh disini. Oke, mari lihat peta dunia dulu, pikirku. Aku melihat kembali ke jendela menu. Menunjuk dengan jariku, apa yang ditampilkan disana membuatku membeku.

“Whaaaaa......!?”

Aku tak bisa menahan diri untuk tak berteriak.

Di bagian atas jendela, nickname-ku juga ditampilkan: Kirito. Dan rasku: Spriggan. Dibawah semua itu adalah Hit Points dan Mana Points-ku, yang terbaca 400 dan 80, nilai dasar. Sejauh ini tak ada masalah.

Yang mengejutkanku adalah skill yang sudah dipelajari pada kolom berikutnya. Aku tak ingat memilih skill apa apa, jadi tentu saja yang kumiliki seharusnya adalah kolom kosong. Namun, ada setidaknya delapan skill yang berderet. Mungkin ini adalah skill dasar bagi Spriggan, namun bukankah ini terlalu banyak? Sulit mempercayai mataku, aku menyentuh skill bar dengan jariku untuk lebih banyak rincian.

Dalam jendela skill, aku melihat beberapa skill sisi demi sisi. Skill ini diantaranya : «1-H Swords», «Unarmed skills», dan «Parry», skill bertarung, serta «Memancing», skill pendukung, namun nilai kepandaiannya sangat abnormal. Sebagian besar mencapai 900, dan beberapa bahkan mencapai 1000 dan disertai Tag yang menegaskan «MASTERY». Biasanya di dalam MMORPG skill semacam ini memerlukan waktu panjang untuk penyelesaian, yang berarti memiliki semua skill maksimum sejak log pertama adalah hal yang mustahil.

Tak peduli bagaimana aku melihatnya, ini pasti BUG. Itu juga mungkin menjelaskan kenapa aku bisa terlempar ke tempat ini, mungkin sistemnya agak tidak stabil.

“Apa Game ini Ok? Apa ada GM support tersedia?”

Melihat ke arah skill itu lagi, aku terkena sedikit perasaan deja vu. Melihat nilai kecakapannya lagi, rasanya aku sudah pernah melihat itu semua sebelumnya. 1-H Swords: 1000, Unarmed Skill:991, Memancing:643.

Hal itu serasa memberiku kejutan listrik; aku akhirnya menyadari hubungannya. Aku mulai bernafas keras keras.

Aku sudah melihat ini sebelumnya. Ini adalah skill yang kulatih selama dua tahun dalam SAO. Sayangnya, «Dual Blades» tak ada disini – mungkin karena skill «Dual Blades» tidak ada dalam ALO. Skill «Black Swordsman Kirito» yang menyebabkan kehancuran di kota terapung Aincrad juga muncul di depan mataku lagi.

Aku benar benar bingung, hal mustahil tengah berlangsung; aku bahkan tak bisa membayangkan apa yang tengah terjadi. SAO dan ALO adalah dua Game yang sama sekali berbeda dan diproduksi oleh dua perusahaan yang sama sekali berbeda. Kalau data tersimpan bisa dipindahkan seperti itu.......jangan jangan – disini adalah......

“SAO?” gumamku, seraya aku jatuh di atas lututku.

Menggeleng kepalaku dengan kencang untuk menjernihkan pemikiran menggelikan itu, aku melihat kembali ke jendela skill.

Aku masih tak yakin apa yang tengah berlangsung, namun berharap bisa mengumpulkan lebih banyak informasi, aku menavigasi ulang ke menu utama. Kali ini aku membuka jendela item.

“Whaaaa......apa apaan ini!?”

Aku tak bisa memahami apa apa. Yang ditampilkan di depanku adalah sejumlah kata kata yang terdiri atas nomor dan karakter. Karakter enigmatis, jumlah, aksara, dan gambarnya semua dicampur bersama.

Tampaknya ada beberapa item yang kumiliki di Aincrad. Sudah tentu, entah karena alasan apa, data tersimpan untuk Kirito sepertinya telah berpindah ke dunia ini.

“Jadi.....tunggu sebentar!”

Aku mendadak memikirkan sebuah kemungkinan.

Kalau ini semua adalah item dari Aincrad,--maka «itu» seharusnya ada disini juga. aku menyentuh jendela item, dan menggeser menu dengan ujung jemariku.

“Tolong, tolong, tolong ada disini.”

Aku dengan cepat menggeser daftar, mengabaikan semua hal hal tak perlu. Jantungku mulai berdegup makin kencang dan perasaan seperti lonceng berbunyi mengalir sepanjang tubuhku.

“!”

Jariku tanpa sadar berhenti. Dibawah jariku terdapat barisan kata kata seperti semua benda yang kusimpan tengah memancarkan cahaya hijau. «MHCP001».

Hampir lupa bernafas, aku menyentuh nama itu dengan jari gemetar. Setelah memilih item, warna itu berbalik. Menggerakkan jariku aku menyentuh tombol berlabel “Use Item”.

Kemilau putih muncul di tengah jendela dan menyebar sepanjang sudut seolah ia merentang ke arahku. Seiring ia terus merentang, ia berubah menjadi kristal tak berwarna, yang berbentuk air mata.

Menggenggam batu berharga itu di tanganku, aku mengangkatnya, merasakan kehangatannya. Menyadari semua ini, aku merasa sedikit gemetar.

Tuhan, tolong, kumohon padamu......aku berdoa dari dalam hatiku, dengan lembut menepuk kristal dua kali dengan jariku. Cahaya putih murni meletup letup dari kristal di tanganku.

“Ah!?”

Suara tercengangku tanpa sadar meluncur keluar dari mulutku sambil aku berjongkok dan meletakkan kristal di tanah, kemudian mundur beberapa langkah. Kristal itu mengapung dari tanah beberapa meter sebelum berhenti. Cahaya yang muncul dari kristal perlahan semakin silau sampai bulan nampak pucat dan pepohonan di sekeliling terwarnai oleh hijau-keputihan.

Aku berkedip kedip, pemirsa dari adegan di hadapanku ini. Dari pusat cahaya yang berputar, sebuah bayangan muncul, mengambil bentuk dan warna keputihan. Kemilau rambut hitam panjang tergerai ke segala arah, disertai gaun putih salju dan tubuh yang panjang, nan langsing. Mata tertutup, tangan disilangkan di depan dadanya, sosok seorang gadis cantik muncul. Dia, seolah adalah perwujudan dari cahaya, dengan perlahan turun ke tanah.

Cahaya menyilaukan lenyap dengan cepat. Gadis itu, yang mengapung di udara, perlahan membuka matanya dengan alis mata berkibar. Matanya, sama gelap dengan langit malam, perlahan menatap ke arahku.

Aku tak bisa bergerak. Atau berbicara. Atau bahkan berkedip.

Si gadis kecil itu menatapku, dan bibir berwarna merah cherry-nya perlahan terbuka. Kata kata tak bisa mendeskripsikan kecantikan senyum ala malaikat itu. Aku mengumpulkan keberanianku dan berkata padanya, “Ini aku.....Yui. Apa kamu paham?”

Selesai bicara, aku melirik diriku. Situasi dan penampilanku di dunia ini sama sekali berbeda dari saat di dunia itu.

Namun, hal hal semacam itu tak perlu. Si gadis – Yui – bibirnya bergerak, dan dalam suara nostalgia yang hampir seperti lonceng perak, berkata “Kita bertemu lagi, Papa.”

Air mata berkumpul di matanya, Yui mengulurkan tangannya dan terbang ke dadaku.

“Papa....Papa!” Yui memanggilku lagi dan lagi, lengan tipisnya dengan erat memeluk leherku, wajahnya membelai wajahku. Memeluk tubuh kecilnya dengan perlahan, aku tak bisa menghentikan suara terisak yang lolos dari tenggorokanku.

[To be continued]