Tate no Yuusha Jilid 1 LN Bab 3 (Indonesia)

From Baka-Tsuki
Revision as of 13:01, 23 January 2018 by Narako (talk | contribs) (→‎Bab 3)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Chapter 3 - Diskusi Heroik[edit]

Ada tempat tidur penuh hiasan yang dipersiapkan untuk kami di kamar yang disediakan. Semua orang duduk disana, dengan cermat mangamati senjata mereka, dan membiarkan pandangan mereka tenggelam dalam memeriksa layar status mereka.

Aku menatap jendela, hanya untuk mendapati bahwa matahari telah terbenam sejak tadi, yang mana menunjukkan seberapa banyak waktu yang telah kami habiskan untuk membaca instruksi tersebut.

Ok, coba lihat. Senjata Legendaris sama sekali nggak butuh perawatan. Senjata itu memang kuat dan cukup kokoh. Material senjata itu terdiri dari reaksi pada level pahlawan yang memegangnya, dan setiap monster yang dibunuh tercatat pada sesuatu yang disebut buku senjata.

Buku senjata adalah sesuatu yang sepertinya menyimpan daftar dari semua bentuk perubahan Senjata Legendaris. Ada sebuah buku senjata untuk perisaiku yang bisa dilihat dari ikon senjata. Aku membukanya.

Fwip!

Batas layarnya dengan cepat meluas memenuhi bidang pandangku, dan layat tersebut dipenuhi dengan barisan ikon senjata. Kayaknya nggak satupun upgrade yang tersedia untuk saat ini. Huh, apa kau mempercayainya? Itu tampak seperti senjata tertentu bisa dipakai dan ditingkatkan, berkembang semakin kuat seiring waktu.

Aku paham. Itu sama seperti skill dan senjata naik level di game online. Dikatakan bahwa untuk mempelajari skill, kekuatan tersembunyi disenjata kami harus dibangkitkan. Itu tampak sama persis dengan sebuah game.

"Hei, ini sama seperti sebuah game, gimana menurut kalian?"

Kayaknya yang lainnya sedang membaca menu bantuan juga. Salah satu dari mereka menanggapi pertanyaanku.

"Seperti sebuah game? Kurasa ini mungkin sebenarnya adalah sebuah game. Aku tau game yang sama persis dengan ini," kata Motoyasu, memancarkan aura kesombongan.

“Huh?”

"Ya, itu adalah sebuah game online yang sangat terkenal. Pernahkah kalian mendengarnya?"

"Uh, tidak. Dan aku hanyalah seorang Otaku."

"Kau nggak pernah mendengarnya, Naofumi? Judulnya Emerald Online."

"Nggak pernah dengar. Apa itu?"

"Naofumi, pernahkah kau memainkan game online sebelumnya? Itu terkenal!"

"Nah, aku hanya memainkan game seperti Odin Online, atau Fantasy Moon Online. Game itu juga cukup terkenal."

"Aku belum pernah dengar game-game itu. Itu pasti nggak terlalu terkenal atau semacamnya."

“Huh?”

“Huh?”

"Aku nggak tau kalian mengacu pada hal apa. Ini nggak seperti sebuah game online. Ini lebih seperti sebuah game konsol."

"Motoyasu, Itsuki, kalian salah. Kalaupun ada, ini adalah sebuah VRMMO."

"Nggak mungkin. Bahkan jika kita berada didalam sebuah game online, pasti itu adalah suatu game yang kalian kendalikan dengan mouse atau dengan controller."

Ren tampak bingung dengan teori Motoyasu, dan dia masuk kedalam percakapan. "Mouse? Controller? Game antik macam apa yang kalian bicarakan? Jaman sekarang, bukankah semua game online adalah VRMMO?"

"VRMMO? Apa maksudmu adalah Virtual Reality MMO? Abaikan masalah sci-fi. Kalian tau teknologi masih belum siap untuk hal seperti itu."

"Huh?!" Ren berteriak keras karena terkejut.

Kalau dipikir-pikir lagi, dua adalah yang pertama diantara kami yang mengetahui gimana caranya menggunakan Status Magic. Seolah-olah dia tau apa yang dia lakukan. Dia mungkin telah mengetahui lebih banyaj daripada yang sudah dia sampaikan.

"Um, maaf. Kalian semua kayaknya berpikir ini seperti sebuah game yang kalian tau. Boleh aku menanyakan judul game-game itu?"

Itsuki mengangkat tangannya dan segera menjawab: Brave Star Online.

Emerald Online.

Aku yang selanjutnya. "Aku nggak tau. Maksudku, apa betul kita memang berada di dunia game?" Aku juga berpikir bahwa ini sedikit kayak game, tapi mungkinkah kami memang masuk kedalam sebuah game yang belum pernah kudengar sebelumnya?

"Aku paham. Adapun untuk pendapatku, ini mengingatkan aku pada sebuah game konsol bernama Dimension Wave."

Dan juga kami semua kayaknya memikirkan dunia ini sebagai game yang berbeda.

"Tunggu sebentar. Mari kita coba menyimpulkan apa yang kita tau secara pasti." Motoyasu menopang kepalanya dengan tangannya dan mencoba menenangkan kami. "Ren, VRMMO yang kau bicarakan tepat seperti yang kami maksudkan, kan?"

"Ya."

"Itsuki, Naofumi, kalian paham apa yang dia maksudkan, kan?"

"Kurasa itu terdengar seperti sebuah game dari science fiction, tapi ya aku paham."

"Kurasa aku pernah membaca sesuatu seperti itu di sebuah novel ringan."

"Baiklah. Itu juga yang bisa kupikirkan. Baiklah kalau begitu, Ren. Game yang kau sebutkan, Brave Star Online. Apa itu juga sebuah VRMMO?"

"Ah, betul. VRMMO yang kumainkan bernama Brave Star Online. Dunianya terasa sangat-sangat mirip dengan dunia ini."

Mempertimbangkan cara Ren mengatakannya, kayaknya VRMMO adalah teknologi yang biasa bagi dia. Itu kedengaran seperti komputer bisa membaca gelombang otak pengguna, dan memungkinkan penggunanya masik kedalan dunia komputer secara langsung.

"Ok baiklah. Yah, kalau itu memang benar, Ren, di dunia kai berasal, apa mereka memiliki game serupa dengan yang telah kami sebutkan? Seperti mungkin di masa lalu?"

Ren menggeleng. "Dan asal kalian tau, aku menganggap diriku sendiri cukup mendalami dalam sejarah game dari tempatku berasal. Aku nggak pernah dengar sesuatu seperti yang kalian bicarakan... Kalian menganggap judul game-game itu cukup terkenal, kan?"

Motoyasu dan aku mengangguk setuju.

Kalau kami tau sesuatu mengenai game-game online, yang mana kami semua pikir mengetahuinya, kayaknya mustahil kalau kami nggak tau apa-apa mengenai game-game yang sudah kami sebutkan.

Meskipun kami nggak betul-betul berpengalaman dalam game online seperti yang kami bilang...
Kami rasa kami telah menyebutkan game-game terkenal. Jadi apa salahnya?

"Kalau gitu, mari kita mulai dengan pertanyaan wajar. Kalian tau perdana menteri saat ini, kan?"

"Tentu."

"Ok, mari kita sebutkan secara bersamaan."

Gulp.

“Masato Yuda.”

“Gotaro Yawahara”

“Enichi Kodaka.”

“Shigeno Ichifuji.”

Kami semua terdiam.

Aku nggak pernah mendengar nama-nama yang lainnya. Bahkan tidak di dalam buku-buku sejarah.

Kami membandingkan pengetahuan kami dalam hal internet, situs-situs internet terkenal, dan game-game terkenal. Nggak satupun contoh-contoh kami yang sesuai. Pada akhirnya kami kayaknya nggak berbagi referensi sama sekali.

"Kayaknya kita semua berasal dari Jepang yang berbeda."

"Kayaknya begitu. Aku tentunya nggak bisa membayangkan kita berasal dari tempat yang sama."

"Kurasa itu artinya ada Jepang di semua dunia paralel kita?"

"Awalnya kupikir kita berasal dari periode waktu yang berbeda. Tapi nggak satupun pengalaman kita yang cocok, jadi nggak mungkin kita berasal dari Jepang yang sama."


Meski begitu, kami semua memiliki satu hal yang sama: Kami adalah Otaku. Pasti ada maknanya.

"Jika demikian, kayaknya kita semua dibawa kesini untuk alasan yang berbeda, dan dengan cara yang berbeda."

"Aku nggak benar-benar tertarik pada percakapan yang nggak ada gunanya. Apa kita betul-betul harus memahami semua ini dengan normal?"

Ren berbicara seolah dia adalah orang yang paling keren di kamar ini, dan dia ingin semua orang mengakuinya.

"Aku sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah ketika aku kena nasib buruk dan terjebak dalam sebuah kasus pembunuhan. Itu adalah topik di kota pada saat itu."

“Uh huh.”

"Aku bersama dengan seorang sahabat. Aku ingat menyelamatkan dia, dan aku ingat kriminalnya di ringkus...."

....Ren menggosok bagian samping badannya saat dia berbicara.

Aku ingin menertawainya. Pahlawan seperti apa yang dia pikirkan dengan semua pembicaraan tentang menyelamatkan sahabatnya? Aku berhasil menahan diriku.

Kurasa dia mengatakan bahwa dia menagkap penjahat tapi kemudian dia tertusuk dari samping saat dia berjuang.

Dia tampak seperti orang yang suka membualkan sesuatu yang nggak pernah terjadi. Aku seketika ingin menyimpulkan dia sebagai orang yang nggak bisa dipercaya... namun, dia adalah salah satu pahlawan yang dipanggil kesini. Setidaknya aku bisa mendengarkan dia.

"Setelah itu, sebelum aku menyadarinya, aku terbangun disini."

"Masuk akal. Kau cukup keren kan? Menyelamatkan sahabatmu?"

Dia menanggapi pujianku semakin acuh tak acuh. Bodo amat.

"Ok, aku yang selanjutnya kurasa." kata Motoyasu, menunjuk dirinya sendiri. "Aku punya.... Yah, gampangnya sih... aku punya beberapa cewek."

"Aku yakin begitu."

Sesuatu tentang dia nampak seperti seorang kakak yang bijaksana. Dia juga memberi kesan populer dengan para cewek.

"Dan yah..."

"Kau punya banyak cewek sekaligus, dan mereka menikammu atau semacamnya?" Kata Ren, tertawa pada dirinya sendiri.

Motoyasu membelalakkan matanya terkejut kemudian mengangguk.

"Ya begitulah... Wanita sangat mengerikan."

"Astaga!" Dengan cepat aku menyamarkan kemarahanku dan mendapati diriku sendiri menghibur dia.

Dia bisa saja mati.... tunggu, kurasa dia memang sudah mati. Apa begitu caranya mereka sampai? Tapi tunggu... Itsuki menempatkan tangannya pada jantungnya dan berbicara.

"Sekarang giliranku. Aku sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah persiapan. Aku menyeberang jalan, tapi sebuah tronton melaju dengan kecepatan penuh. Dan kemudian...."

Lagi, kami semua terdiam.

Jadi dia hampir bisa dipastikan ditabrak tronton itu... Sungguh menyedihkan... Tapi tunggu... Bukankah aku seperti orang asing dalam situasi ini?

"Uh... Apa kita betul-betul harus membicarakan tentang gimana kita sampai disini?"

"Yah, kita sudah mengatakannya."

"Kurasa. Yah... Maaf semuanya. Aku berada di perpustakaan, membolak-balik sebuah buku yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sebelum aku menyadarinya, aku sudah terbangun disini."

Lagi, keheningan.

Tatapan mereka padaku sedingin es.

Apa maksudnya itu. Apa aku datang kesini dengan kondisi yang menyedihkan untuk menjadi bagian dari kelompok mereka?

Mereka bertiga mulai berbisik diantara meraka sendiri jadi aku nggak bisa mendengar apa yang mereka katakan.

"Ya... tapi dia... dia punya sebuah Perisai."

"Sudah kuduga... Motoyasu, kau juga?"

"Ya...."

Aku mulai merasa seperti mereka mengolok-olokku. Sudah saatnya untuk mengubah topik.

"Baiklah, jadi apa nggak masalah untuk mengasumsikan bahwa kita semua sudah memahami cara kerja dunia ini?"

"Tentu."

"Pastinya."

"Kurasa aku sudah cukup memahaminya."

Yah, begitu ya.... tunggu bentar! Apa aku satu-satunya amatir disini?!

"Y...Yah... Mungkin kalian bisa mengajariku apa yang perlu diketahui untuk bertarung di dunia ini? Nggak ada game seperti ini di tempatku berasal."

Ren menyipitkan matanya dan menatapku. Lagi, sedingin es. Karena suatu alasan, Motoyasu dan Itsuki menatapku dengan lembut.

"Baiklah kalau begitu, kakakmu Motoyasu ini akan mengajari dasarnya sebisa mungkin."

Dia terdengar main-main, dengan senyum lebar di wajahnya. Segera dia menepuk pundakku, dan dia berbicara.

"Pertama-tama, aku hanya berbicara tentang game yang aku tau, Emerald Online... Tapi kau adalah seorang ‘Shielder.’ Pada dasarnya, tugasmu adalah menggunakan perisai untuk melindungi orang-orang."

“Uh huh.”

"Sejak awal, pertahananmu sangat tinggi, yang mana itu sangat bagus, tapi saat levelmu semakin tinggi, damage yang kau terima akan mulai nggak seimbang."

“Uh huh…”

"Nggak asa Shielder berlevel tinggi. Pada level yang lebih tinggi, itu adalah sebuah kelas yang nggak berguna."

"Tidaaaaaaaaaak!"

Bukan itu yang pengen kudengar. Ada apa dengan laporan kematian tersebut? Apa mereka ingin mengatakan bahwa aku berada dalam nasib yang tragis? Tidak terimakasih!

"Gimana dengan update'an? Apa nggak ada update?"

Seperti.... untuk keseimbangan kelasku?!

"Nggak ada, karena sistem gamenya, dan karena populasi player game tersebut, kelas tersebut dibuang lebih awal. Itu benar-benar nggak banyak berguna. Kurasa mereka bahkan berencana untuk menghapus kelas tersebut..."

"Dan kurasa aku nggak bisa mengganti kelas?!"

"Yah mengenai kelas tersebut... gimana ya mengatakannya? Mati."

"Dan aku nggak bisa ganti?"

"Yah, game nggak akan pernah membiarkanmu berganti ke kelas lain."

APA?! Apa aku betul-betul akan terjebak dengan kelas terburuk dalam game? Aku menatap perisai di tanganku dan berpikir. Apa masa depanku betul-betul begitu suram?

"Gimana menurut kalian?" Aku bertanya, menoleh pada Ren dan Itsuki, tapi mereka berpaling dariku.

"Maaf..."

"Aku juga..."

Tidak! Jadi aku betul-betul terjebak pada kelas selemah itu? Aku terdiam, melamun, saat aku melihat mereka bertiga di sudut mataku. Mereka sedang berbincang-bincang mengenai game tersebut.

"Gimana dengan geografisnya?"

"Namanya berbeda, tapi petanya kayaknya sama. Kalau petanya sama, ada kemungkinan yang tinggi bahwa pembagian efesiensi monsternya juga sama."

"Tempat berburu terbaik akan beebeda untuk masing-masing senjata. Mungkin lebih baik kita memastikan dengan pergi ke tempat-tempat berbeda."

"Betul. Kita harus fokus pada efesiensi."

Apa mereka tau cukup banyak mengenai gamenya sampai mengetahui gimana caranya berbuat curang? Aku mulai melihatnya seperti itu. Hei, ada sebuah pemikiran. Kalau kelasku begitu lemah, aku bisa bergantung pada mereka untuk mendukungku.

Ada banyak cara untuk melakukannya. Meskipun aku lemah, bertarung bersama party akan memberiku exp untuk naik level. Gimana dengan dunia lain, apakah bukan suatu peluang untuk bertarung bersama saudaramu untuk memperdalam ikatanmu? Harusnya gitu kan cara kerjanya?

Sekarang, kalau saja ada satu atau dua cewek didalam party. Maka semuanya akan sempurna. Kalau aku adalah seorang Shielder, aku nggak akan melakukan pertarungab. Aku hanya perlu melindungi teman setimku kan? Aku nggak benar-benar memiliki peluang untuk bertemu cewek manapun saat diduniaku, tapi mungkin akan berbeda disini.

"Hmm... Yah, nggak masalah. Maksudku, kita berada di dunia yang betul-betul baru! Meskipun aku bukanlah karakter terkuat, aku yakin akan ada sesuatu yang bisa dilakukan."

Mereka menatapku seolah mereka menatap sesuatu yang menyedihkan... atau setidaknya, aku berpikir seperti itulah cara mereka memandangku. Kalau aku membiarkan hal itu menggangguku, aku akan mati bahkan sebelum kami memulai. Selain itu, aku memiliki pertahanan, dan ini bukanlah sebuah gamem aku bisa menyingkirkan perisai khusus milikku dan mencari sebuah senjata.

"Baiklah, ayo kita lakukan!" Aku memaksakan diriku sendiri untuk menunjukkan inisiatif.

"Para Pahlawan, kami telah menyiapkan makanan untuk kalian."

Apa itu? Kayaknya kami akan mendapatkan makan malam yang lezat.

"Mantap."

Kami membuka pintunya, dan pelayan memandu kami ke ruang makan ksatria untuk makan malam.

Itu seperti sesuatu dari sebuah film fantasi. Ruang makan dari sebuah istana besar! Ada sebuah meja besar dibagian tengahnya, diatasnya berjajar hidangan yang terdiri dari segala macam makanan.

"Semuanya, silahkan makan apapun yang kalian suka."

"Apa? Kurasa kita makan bersama para ksatria istana?" Ren bergumam sendiri.

Gimana bisa seseorang mengeluh tentang makan malam seperti ini? Sialan, dia sangat kasar.

"Kalian salah paham. Makanan ini telah dipersiapkan untuk kalian. Para ksatria tidak diijinkan untuk masuk sampai kalian kenyang." kata pelayan tersebut.

Aku melihat sekeliling ruangan, yang ada disana adalah kerumunan yang kami asumsikan adalah peserta makan malam yang lain namun sebenarnya terdiri dari para koki. Kurasa ini artinya menyiratkan bahwa kami berempat adalah prioritas yang lebih tinggi daripada para ksatria istana.

"Makasih. Mari kita makan kalau begitu."

"Ya."

"Hajar."

Begitulah, kami mulai makan makan dengan makanan dari dunia baru ini. Kepekaan kulinernya bukankah yang sudah biasa kurasakan, tapi tentunya itu nggak menjijikkan. Nggak ada yang gak bisa kulahap. Meski demikan, sesuatu yang kayak omelet rasanya kayak jeruk, dan banyak hidangan yang menggabungkan rasa yang gak pernah disatukan di dunia tempatku berasal. Kami selesai makan, dan mendapati diri kami menjadi ngantuk saat berjalan kembali ke kamar kami.

"Apa mereka punya kamar mandi?"

"Yah, rasanya disini kayak Abad Pertengahan. Mereka mungkin punya bathtub."

"Kalau kau nggak memintanya, aku ragu mereka akan menyiapkannya."

"Kurasa aku bisa membiarkannya selama sehari."

"Ya, aku capek, dan petualangan dimulai besok. Lebih baik tidur yang nyenyak."

Semua orang mengangguk setuju pada saran Motoyasu, kami ke ranjang kami.

Kami berempat, termasuk aku, jelas-jelas gugup akan hari esok. Tetap saja, kami tertidur pulas dengan cepat.

Petualangan kami dimulai besok!

Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya