Tate no Yuusha Jilid 5 LN Bab 6 (Indonesia)

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Chapter 6 - Cal Mira[edit]

Staff kapal memberitahu bahwa mereka ingin para pahlawan berkumpul dan memperkenalkan diri, jadi aku bersiap pergi ke tempat pertemuan.


Tapi ternyata ketiga pahlawan lain mabuk laut.


"Mabuk laut...?"


Aku gak pernah mabuk kendaraan, tapi nampaknya banyak orang disekitarku yang mabuk pada suatu kendaraan.


Apa mereka tau situasi macam apa yang menimpaku akibat mereka mengambil semua ruangan yang bagus?


"Naofumi, gimana bisa lu tahan sama guncangan ini?"


"Kagak tau—itu gak mengganggu gw."


Sejujurnya, aku gak merasa senang duduk ngumpul dan akrab dengan mereka. Itu akan jadi hukuman mereka karena mengambil semua ruangan privat.


"Kyahooooo!"


Filo berteriak gembira dan melompat dari dek ke air. Dia berenang melewati ombak seperti ikan.


"Ah...."


Aku melihat siluet besar dibawah permukaan air. Siluet itu mengejar Filo dari belakang.


"Filo! Lebih baik kau hati-hati!"


"Hmmm?"


Filo berbalik, dan saat dia berbalik, seekor monster besar yang seperti hiu sedang mengincar dia. Mulutnya terbuka lebar—gigi-giginya mengkilap.


"Rasakan ini!"


Dia berputar dan menendang dagu monster hiu itu. Monster tersebut terlempar keluar dari air dan berputar-putar di udara.


Lalu Filo melompat dan melakukan tendangan kilat. Hiu itu terlempar ke arah kapal dan jatuh di dek. Para staff dan penumpang berteriak.


Mahluk besar itu meronta di dek, jadi Filo naik ke dek dan menghabisinya.


"Kalau kau pikir kau bisa memakanku semudah itu, lebih baik kau berpikir lagi!"


Dia mengeluarkan cakarnya dan membelah perut mosnter itu, mengeluarkan isi perutnya.


"Berhentilah berbuat keributan."


"Aku mau muntah."


Itsuki berbisik. Dia pucat pasi. Kurasa bagi kebanyakan orang, perilaku Filo aneh. Tapi bagi Filo, semua ini sangat normal.


Ngomong-ngomong, ini adalah hiu kedua yang dia bunuh. Aku mencincang hiu pertama dan menyerapnya kedalam perisaiku.


Dan aku membuka sesuatu yang cukup menarik.


Blue Shark Shield persyaratan terpenuhi

Shark Bite Shield persyaratan terpenuhi

Blue Shark Shield
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: kemampuan berenang +1

Shark Bite Shield
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: kemampuan pertarungan air +1
Efek khusus: gigi hiushark tooth


Kemampuan berenang, huh? Aku bisa berenang cukup baik. Adapun untuk kemampuan bertarung di air, akankah itu mempengaruhi pergerakan kapal?


Kalau kami berada dalam situasi yang mengharuskan bertarung, itu mungkin berguna. Kalau aku punya waktu luang, kurasa aku akan mencobanya.


Aku sudah mendapatkan kemampuan-kemampuan dari hiu lain yang Filo bunuh, jadi aku membiarkan dia memakan hiu yang barusan.


"Apa lu betul-betul semual itu? Cuma karena naik kapal?"


"Yang aneh itu elu, Naofumi."


"Oh hei, Bocah Perisai. Apa yang terjadi?"


"Apa?"


L’Arc berjalan mendekat. Raphtalia mengikuti dibelakang dia.


"Apa yang terjadi? Gak ada, aku cuma ngobrol sama orang-orang ini."


"Para pecundang yang mabuk laut itu? Yang betul saja. Padahal kita baru beberapa jam di laut. Dan kita akan sampai besok pagi. Dasar kaum lemah."


Kayaknya L'Arc dan Therese nggak mabuk laut.


Aku duduk didekat haluan kapal dan menatap lautan. Gelombangnya semakin tinggi.


Raphtalia dan para staff berbisik bahwa mungkin akan terjadi badai.


"Hei, Bocah. Apa yang akan kalian lakukan saat kita sampai di pulau itu?"


"Kalau Cal Mira sedang ditengah event aktivasi, cuma ada satu hal yang layak dilakukan."


Sudah jelas, aku akan leveling disana.


Dan tentu saja aku juga akan menjelajah dan mencari item-item baru serta item drop monster yang bisa kudapatkan disepanjang perjalanan.


"Aku paham."


Dan juga... Aku mendengar ada pemandian air panas di pulau itu. Sepertinya pemandian itu dianggap penyembuhan bagi orang-orang yang terkena kutukan.


Kalau memang benar, aku pasti akan mampir dan berendam disana.


"Yah kalau kau mau leveling, mau berkelompok dengan kami?"


"Huh? Apa maumu?"


"Kita berbagai ruangan di kapal. Selain itu, aku dan Therese leveling berdua saja jadi agak kesepian. Kupikir kita semua bisa berkelompok."


Hm... Sejujurnya, aku gak betul-betul peduli.


Itu terdengar seperti L'Arc masih gak percaya aku adalah Pahlawan Perisai. Jadi dia ingin berkelompok dengan petualang yang dia pikir berpura-pura menjadi Pahlawan Perisai.


Itu alasan yang cukup untuk mempercayai niatnya.


Aku bertanya-tanya apa yang dia pikirkan? Aku menoleh pada Raphtalia.


"Menurutmu gimana?"


"Aku sih gak masalah. Apa kita kehilangan sesuatu kalau mereka ikut?"


Kalau dunia ini seperti sebuah MMO, aku penasaran apakah ada batas maksimal anggota party yang bisa kau buat.


Memang memungkinkan untuk mengatur pasukan cadangan untuk bantuan dengan menu formasi, tapi itu cuma terbatas untuk gelombang kehancuran.


Aku pernah memainkan game-game sebelumnya yang memungkinkan kau untuk membuat party sampai 20 anggota, tapi aku gak yakin peraturan itu ada disini.


Aku merenungkan masalah itu, lalu tiba-tiba aku teringat party Itsuki.


Jumlah mereka ada banyak. Aku menghitung ada 6 anggota, dan ditambah Itsuki jadi totalnya 7 orang.


Kalau dia bisa punya party beranggotakan 7 orang, maka aku, Raphtalia, Filo, L'Arc dan Therese berjumlah 5 orang. Harusnya gak masalah.


"Tentu, tapi usahakan jangan menghambat kami."


"Haha, aku juga mau mengatakan hal yang sama."


L'Arc mempertahankan ketenangannya dan tertawa pada hinaanku. Aku gak masalah dengan orang seperti dia, tapi dia menyebabkan keributan.


"Aku gak betul-betul paham dengan burung punyamu itu, tapi setelah kami memahami dia, aku yakin kita akan akur."


"Kurasa bisa."


Jadi aku setuju untuk berburu dan leveling bersama dua petualang yang sama sekali gak aku kenal.


Kalau aku bisa melakukan itu, kurasa aku sudah cukup banyak instrospeksi diri dan membaik sejak hari dimana aku dijebak dan difitnah oleh Sampah dan Lonte.


Aku mulai bertanya-tanya apa yang dilakukan para anggota party pahlawan lain, tapi aku segera mendapatkan jawabannya: mereka semua bersantai di ruangan kapten.


Malam tiba, dan kami berlayar melintasi badai—kapalnya berguncang keras ke segala arah. Tapi semuanya kembali tenang saat pagi, dan kami tiba sesuai yang dijadwalkan.


Ruangan kami cukup kecil hingga kami gak terlalu terlempar kesana kemari. Filo panik sepanjang waktu, dan Raphtalia mengalami mabuk laut yang parah.


Para petualang yang bukan ABK... Yah, kau bisa membayangkan seberapa parahnya mereka mabuk.

* * * * *

Cal Mira jauh lebih besar daripada yang kuduga. Mulai itu menjulang tinggi dari laut, sebuah pulau gunung berapi yang besar.


Aku gak tau apakah aku bisa mempercayai pengukuran pada peta yang diberikan padaku, tapi kalau aku bandingkan dengan sesuatu yang ada di dunia asalku, sepertinya Hawaii adalah yang paling mendekati.


Itu adalah sebuah kepulauan, yang mana Cal Mira adalah pulau yang paling besar, jadi terkadang orang-orang membicarakan area ini seolah cuma ada Cal Mira.


Seperti yang diharapkan dari sebuah kepulauan tropis, aku bisa melihat sejumlah pulau lain di lepas pantai.


Kepulauan ini terlindungi dari lautan dalam, sehingga gelombang-gelombangnya kecil dan tenang. Saat surut, mereka bilang kau bisa berjalan ke beberapa pulau-pulau lain. Kami menantikan itu.


Aku penasaran apakah aku bisa menunggangi Filo ke pulau lain.


"Baiklah, bocah, gimana menurutmu kalau kita berpisah dulu selama dua hari atau lebih?"


"Tentu. Terserah."


Kami gak melalui formalitas saat kami bertemu, tapi meski demikian kami pamitan berpisah dengan L'Arc.


"Yah, kita sampai di Cal Mira."


Aku menoleh dan melihat para pahlawan lain. Mereka terlihat jelas kalau mereka sangat senang kembali ke tanah yang tenang.


Setelah menghabiskan semalaman diguncang di ruangan mereka yang megah, para pahlawan lain nampaknya gak bisa tidur nyenyak. Mereka berjalan sempoyongan ke dermaga, terlihat pusing dan kacau.


Lonte pucat dan acak-acakan. Kayaknya dia diambang muntah.


"Bukankah kalian sedikit berlebihan? Itu cuma kapal yang sedikit bergoyang."


"Naofumi... Elu lah yang paling aneh disini."


"Gw pikir kita akan tenggelam!"


Memang sih, tadi malam kapalnya beberapa kali betul-betul lewat dibawah gelombang. Tapi percuma saja panik soal itu.


Yah, aku sendiri cukup muak terlempar-lempar di ruangan.


Ngomong-ngomong, sepertinya badai di wilayah sini sangat jarang sampai sebesar itu. Aku bertanya-tanya apakah cuaca aneh itu ada hubungannya dengan gelombang kehancuran. Kalau di dunia asalku, aku bisa bilang badai itu cukup besar hingga cukup untuk membalikkan kapal-kapal berukuran sedang.


"Gw sedikit kuatir kalau kita harus memulai kehidupan baru di sebuah pulau yang sepi. Gw senang ternyata enggak."


"Ngoceh apaan lu?"


"Gw gak becanda!"


"Mari kita tidur lebih awal malam ini. Kita akan mengabiskan banyak waktu disini."


Ratu telah merekomendasikan sebuah penginapan pada kami, tapi aku ingat bahwa sebelum kami dibebaskan, kami harus memperkenalkan diri kami pada para bangsawan yang mengelola pulau-pulau ini. Kami mungkin berada di tempat yang terpencil, tapi tempat ini menarik banyak petualang, jadi pasti ada segala macam orang disini.


"Selamat datang! Selamat datang! Para Pahlawan Legendaris dan rekan-rekannya!"


Aku menunggu para pahlawan lain pulih dari mabuk laut mereka di pelabuhan, lalu seseorang yang sepertinya seorang pemandu (berdasarkan pada bendera kecil yang mereka bawa) datang mendekat.


Dia mengenakan seragam militer Melromarc dan tampak cukup tua—bendera kecil itu sama sekali gak cocok dengan dia.


"Aku Earl Habenburg, dan pengelolaan kepulauan ini dipercayakan padaku."


Aku adalah satu-satunya pahlawan yang gak mabuk, jadi aku melangkah maju dan menyambut dia.


"Senang berjumpa denganmu."


"Oh, um.... Ya. Salam."


Para pahlawan lain mengangguk pada Earl Habenburg.


"Ijinkan aku menceritakan sedikit tentang kepulauan kami yang indah ini."


Oh ayolah—dia betul-betul seorang pemandu? Aku benci sama hal semacam ini.


"Kau tau kami kesini bukan sebagai turis..."


Kami datang untuk mendapatkan exp poin tambahan dan item drop yang tersedia saat event aktivasi. Dan sekarang kami harus duduk mendengarkan penjelasan tentang tradisi lisan penduduk pulau? Aku lagi gak mood bertindak sebagai turis.


"Ya, yah— tradisi lisan ini menceritakan tentang Cal Mira dulunya merupakan sebuah tempat khusus bagi keempat Pahlawan—selama ribuan tahun mereka berlatih disini."


Dia memulai tournya di pasar dan menggerakkan tangan serta menjelaskan tempat tersebut saat kami berjalan melewatinya.


Dipertengahan jalan saat di pasar, aku melihat sesuatu yang aneh. Itu adalah sebuah patung, sesuatu seperti sebuah totem pole[1], dan ukiran pada pilar tersebut terdiri dari pinguin, kelinci, tupai dan anjing saling bertumpuk satu sama lain. Semua hewan itu memakai topi Santa.


Pinguinnya memegang joran pancing, kelinci memegang cangkul, tupai memegang gergaji dan anjingnya memegang tali.


Apa maknanya itu?


"Kau punya mata yang tajam, Pahlawan Perisai. Ini adalah keempat perintis yang membawa kemakmuran pada pulau kami: Pekkul, Usauni, Risuka, dan Inult."[2]


Nama-nama itu semuanya terdengar seperti bahasa jepang. Aku penasaran apakah para pahlawan yang sebelumnya yang memberi mereka nama.


"Asal kalian tau, binatang ini diberi nama oleh kelompok pahlawan yang sebelumnya. Mereka memberi nama binatang-binatang ini dengan sebutan dalam bahasa mereka, dari negeri asal mereka."


Apapun motivasi mereka—itu adalah nama-nama yang buruk. Harusnya mereka membuat nama yang lebih baik lagi.


"Apa ada binatang seperti itu di pulau ini?"


"Tidak ada. Setelah perkembangan pulau, mereka berpindah ke negeri yang tak diketahui. Mereka tak pernah terlihat sejak saat itu."


Jadi kurasa mereka sudah mati disuatu tempat lain. Bahkan gak ada alasan yang tepat untuk meragukan bahwa mereka menjadi sosok bersejarah. Maksudku, pinguin dan kelinci seperti apa yang menjadi perintis awal?


"Oh wow... Mereka kelihatan lezat!"


Air liur menetes dari paruh Filo saat dia menatap patung hewan itu.


Kalau dipikir-pikir, Filo ini adalah seekor monster yang aku kenal betul suka menarik kereta sebagai hobi. Mungkinkah monster-monster perintis tidaklah seaneh itu?


Ada benda aneh yang lain di samping patung hewan itu. Itu seperti sebuah pilar batu.


"Apa itu?"


"Itu adalah sebuah prasasti peninggalan Empat Pahlawan Legendaris."


"Benarkah...."


Ada peluang yang besar bahwa para pahlawan lain, seperti kami berempat, merupakan orang jepang.


Mungkinkah mereka meninggalkan kata-kata dalam bahasa jepang?


Itu menyebutkan sesuatu seperti....


"Hei! Ini palsu!"


Para pahlawan lain mendekat untuk melihat apakah mereka bisa membacanya.


"Yah, itu aneh... Dikatakan mereka meninggalkan ini disini untuk memandu para pahlawan yang akan datang setelah mereka."


"Apa ini lelucon? Apa-apaan tulisan sihir dunia ini?"


Huruf magis... Itu betul-betul mulai menjengkelkan.


Itu bukanlah jenis huruf yang bisa kau pelajari membacanya begitu saja.


Aku gak yakin gimana menjelaskannya. Huruf itu mengubah apa yang terkandung berdasarkan pada orang yang membacanya.


Aku akan menjelaskan lebih jauh lagi. Raphtalia terampil dalam sihir cahaya dan bayangan, jadi dia bisa membaca buku-buku yang mengandung sihir itu karena mereka berbagi afinitas—tapi kalau aku mencoba membaca buku yang sama, maka buku itu gak akan menjelaskan apapun. Kalau aku terjemahkan apa yang tertulis dalam buku itu, itu hanyalah kalimat-kalimat yang gak jelas maksudnya. Tapi Raphtalia bisa membacanya, memahaminya, dan kemudian mengeluarkan mantra sihir berdasarkan apa yang dia baca.


Ada huruf sihir yang dibuat untuk dibaca semua orang juga, tapi kalau kau nggak mau menggunakan informasi yang tertulis disana, maka itu menjadi gak bisa dibaca. Itu seperti huruf-huruf itu bereaksi pada kemampuan magis bawaanmu. Tentu saja kau harus bisa membaca huruf yang mereka gunakan di dunia ini.


"Hei, bisakah kau membacanya?"


"Yah kalian bergantung pada bola kristal, jadi aku tau kalau kalian gak bisa membacanya. Disisi lain, aku harus belajar membaca sendiri karena semua kesulitan yang dilimpahkan Sampah padaku. Kalau aku gak belajar membaca, aku gak akan pernah bisa menggunakan sihir."


Kau bisa mempelajari sihir dengan dua cara: bisa lewat membacanya dari sebuah buku, atau kau bisa mempelajari sihir secara otomatis melalui bola kristal sihir. Kalau kau mempelajari dari bola kristal maka sihirnya mudah dipelajari tapi sulit untuk ditingkatkan. Mempelajari dari buku membutuhkan waktu yang lebih lama tapi mudah untuk disesuaikan seiring waktu.


"Apa yang tertulis?"


"Um...."


Aku memfokuskan sihirku dan mencoba membaca apa yang tertulis pada batu tersebut. Itu ditulis dalam bahasa sederhana.


"Aku adalah sumber dari segala macam. Pahlawan Perisai memerintahkanmu. Dia memahami prasasti ini. Dukung dia! Zweite Aura..."


Aku bisa memilih target untuk sihir itu. Kurasa aku akan memulainya pada Filo.


Aku mengarahkan tanganku kearah Filo dan sebuah medan sihir lembut serta transparan muncul di sekitar dia.


"Oh wow! Aku merasa seperti aku penuh dengan kekuatan!"


Filo mulai melompat naik turun ditempat. Dia dalam wujud manusia, tapi dia bisa melompat sangat tinggi.


Aku memeriksa statistiknya dan melihat bahwa sebagian besar statistiknya telah meningkat.


"Aura... Itu adalah sebuah sihir yang hanya bisa digunakan para pahlawan legendaris. Sihir itu meningkatkan statistik targetnya."


Salah satu anggota party Itsuki berbisik. Itu adalah Rishia.


"Menakjubkan! Ayo pelajari itu!"


Peluang mempelajari sihir kuno betul-betul membuat mereka gembira, seakan sesuai dengan sikap mereka. Mereka mencoba membaca tulisan itu.


Tapi....


"Anjrit... Gw gak bisa membacanya."


"Mungkin itu karena kalian gak pernah belajar gimana cara membaca huruf sihir?"


Tentunya, mereka mempelajari sihir mereka cukup mudah dengan bola kristal, tapi kalau mereka gak pernah belajar membaca, mereka gak akan bisa mempelajari aura.


"Naofumi."


Itsuki menoleh padaku dan berbicara.


"Apaan?"


"Dimana lu dapat perisai yang membuatmu bisa membaca huruf sihir?"


"Gw mempelajarinya sendiri! Senjata gak bisa melakukan segalanya buat elu!"


"Jangan gitu ah!"


"Ya! Ajari kami!"


Mereka sama sekali gak punya malu. Mereka memintaku mengajari mereka bahasa itu.


Mereka pasti berpikir bahwa senjata mereka telah membebaskan mereka dari melakukan upaya apapun.


"Sihir yang kupelajari dari prasasti ini bernama 'Aura', tapi itu gak berarti kalian akan mempelajari hal yang sama."


"Itu mungkin benar. Kami mungkin mempelajari sesuatu yang bahkan lebih baik lagi."


Sikap songong mereka semakin kelihatan. Aku gak tahan diremehkan kayak gitu.


Mereka bahkan gak bisa menang melawan high priest. Aku mendapati diriku semakin jengkel dan berusaha tenang.


"Ayo lanjutkan. Apa ada lagi yang ingin kau tunjukkan pada kami?"


"Baiklah kalau begitu, kita akan menuju ke penginapan—tapi aku akan memastikan untuk menunjukkan item-item serta tempat-tempat menarik pada kalian disepanjang perjalanan."


Earl memberi penjelasan-penjelasan singkat saat kami berjalan menuju penginapan.


Area-area Cal Mira yang dipenuhi alam liar sedang dalam kegemparan saat ini karena event aktivasi. Siklus kehidupan para monster telah dipercepat.


Para monster berkembang biak berlipat ganda, dan pulaunya sendiri berada dalam situasi gawat jika para petualang dan para pahlawan nggak datang membantu menekan ledakan populasi para monster. Tujuan kami adalah membantu mengalahkan para monster itu—dan untuk leveling sebanyak mungkin.


Earl menjelaskan bahwa akan sangat membantu pulau kalau kami sepenuhnya menghabisi monster yang kami temui.


Gak ada perlunya bagi kami untuk membedakan diri kami dengan para petualang yang leveling disini, tapi kalau kami kebetulan menemui pertempuran yang sedang berlangsung, mereka meminta kami menghindari konflik yang gak diperlukan dengan menyerobot masuk dan membunuh target petualang lain.


Itu terdengar sangat mirip dengan sopan santun tipikal dalam sebuah MMORPG.


Kalau kami mau berpindah ke pulau lain, ada perahu-perahu kecil yang bisa kamu gunakan—tapi perahu-perahu itu gak akan mengantar-jemput kami. Dalam skenario terburuk, Earl mengatakan, berenang bisa dilakukan.


Penginapan yang ratu pesan untuk kami adalah bangunan paling bagus di pulau. Di dunia asalku, itu setara dengan hotel kelas tinggi.


Aku penasaran apakah itu dulunya sebuah kastil atau semacamnya.


Yang jelas, itu adalah sebuah tempat besar yang penuh hiasan yang terasa sangat bersih. Dindingnya dibuat dari sesuatu yang seperti marmer dan dipoles sehingga memantulkan cahaya.


Ada sebuah air mancur yang terdapat patung Pekkul dan Risuka. Entah gimana, tempat ini membuatku merasa seperti aku berada di dunia asalku.


Apa aku pergi ke kepulauan selatan? Mungkinkah aku kembali ke Hawaii?


Kami dipandu melewati lorong ke ruangan kami, dan ada karpet tebal berbulu dipasang disepanjang lorong.


Pelayan hotel bersikeras mereka akan membawakan barang bawaan kami, jadi kami menyerahkan barang bawaan kami pada mereka, serta kereta Filo juga.


Membuka pintu ke kamar kami, kami melihat barang bawaan kami sudah sampai duluan, jadi kami memutuskan untuk keluar lagi dan mulai memburu monster.


Kami naik sebuah perahu kecil, menuju ke pulau lain secara sembarangan.


"Sudah lumayan lama sejak kita melawan monster hanya untuk naik level."


"Kurasa kamu benar."


Sejak Filo menetas, kami mengalihkan perhatian kami pada pekerjaan dagang. Selama waktu itu kami cuma melawan monster yang kebetulan ketemu dalam perjalanan, dan gak banyak orang yang meminta kami secara khusus untuk melawan mereka.


Lalu kami menyadari kami gak bisa mengikuti upacara peningkatan kelas, jadi kami memutuskan untuk pergi ke negeri lain—namun kemudian kerajaan memasang buronan atas kepalaku.


Setelah kami mengalahkan high priest, kami harus menempuh perjalanan panjang kembali ke istana, lalu kami menaiku kapal ke Cal Mira. Memang, Filo telah membunuh beberapa monster di perjalanan, tapi itu gak bisa dianggap sebagai leveling yang disengaja.


Kalau dipikir-pikir lagi, Raphtalia benar juga. Sudah cukup lama sejak saat itu.


Saat kami dalam pelarian, kami gak punya waktu melakukannya—dan bukannya menggunakan mereka sebagai material, kami memakan sebagian besar monster-monster itu.


"Kita akan leveling mulai sekarang sampai kita meninggalkan Cal Mira. Semoga beruntung."


"Ya!"


"Ya."


Kami turun dari perahu kecil itu dan masuk ke hutan.


Area itu dihuni oleh Bio Red Blob, Magenta Frog, Yellow Beetle, dan Cactus Worm.


Gak satupun dari monster-monster itu terdengar sangat kuat bagiku. Aku sedang memikirkan nama-nama itu lalu seekor Magenta Frog melompat kearah kami dari semak-semak terdekat.


"Hei!"


Aku mengangkat perisaiku untuk memblokirnya, dan perut kodok itu menghantam perisaiku.


Ada suara menghisap. Aku mengintipnya dan menemukan kodok itu menempel pada perisaiku.


"Haaa!"


Raphtalia mengayunkan pedangnya pada kodok itu.


Ya, dia bergerak sangat cepat.


EXP 95


Exp itu lebih banyak daripada yang kuduga dari seekor monster lemah seperti itu.


Raphtalia mengalahkannya dengan satu tebasan pedang. Raphtalia menatap pedangnya terkejut.


"Monster itu sangat lemah, tapi kita mendapatkan exp cukup banyak darinya."


"Apa itu karena event aktivasi?"


"Kurasa begitu. Yah, gak perlu menahan diri."


"Yang penting jangan mencuri buruan petualang lain."


"Aku akan berhati-hati! Hya!"


"Rasakan ini!"


Raphtalia menebas seekor monster menjadi dua. Monster lain dicincang oleh cakar Filo. Kalau aku ingin menyerap sesuatu pada perisai, mereka harus menyisakan beberapa bagian.


Aku menyadari bahwa aku sekarang sudah cukup kuat untuk menghadapi sejumlah monster secara bersamaan. Sebenarnya, mereka gak memberiku damage sama sekali, jadi pada akhirnya para monster mulai mengabaikan aku.


Itu wajar sih—mereka tidaklah bodoh. Monster seperti Balloon mungkin akan menyerangku terus tanpa peduli sama sekali. Tapi monster-monster ini lebih cerdas. Mereka menyadari bahwa mereka gak punya peluang untuk mencideraiku, jadi mereka mengarahkan perhatian mereka pada Raphtalia dan Filo.


Aku mencoba berdiri didepan party, menahan serangan-serangan, dan menemukan celah dalam pertahanan musuh. Namun mereka sangat banyak hingga aku gak bisa berbuat banyak. Untungnya Raphtalia dan Filo cukup cepat dan kuat untuk menghindari serangan para monster yang lolos dariku.


Tapi masih ada masalah. Kalau aku gak menghentikan serangan mereka, maka gak ada gunanya aku ada disini.


"Tuan Naofumi, aku merasa para monster agak terlalu lemah bagi kita. Haruskah kita pindah saja?"


"Hmmm..."


Pasti ada jalan keluar untuk masalah ini.


Mungkin aku bisa memakai perisai yang lebih lemah.


Mungkin mereka akan menyadari bahwa perisainya lebih lemah, jadi mereka akan lebih memfokuskan perhatian mereka padaku—berpikir mereka punya peluang— dan berhenti menyerang Raphtalia dan Filo. Selain itu, aku bisa mendapatkan beberapa perisai.


Ada batasan waktu sampai gelombang selanjutnya tiba. Aku ingin menggunakan waktu yang kami miliki seefisien mungkin.


Ya, untuk saat ini aku akan menggunakan cara itu.


Meski begitu, Raphtalia dan Filo mungkin cukup kuat untuk pergi ke pusat pulau ini tanpa banyak bantuan dariku. Mereka mengalahkan semua monster dengan satu serangan.


Kami bertarung seperti itu selama beberapa saat, lalu tiba-tiba aku menyadari bahwa aku gak menerima exp poin lagi.


"Kenapa?"


"Apa yang terjadi?"


"Aku gak menerima exp poin. Bagaimana denganmu, Raphtalia?"


"Aku masih mendapatkan exp seperti biasanya."


Aku memeriksa ulang poin mereka di menuku. Memang, mereka berdua masih mendapatkan exp—cuma aku yang gak dapat exp lagi.


Aku bertanya-tanya apa yang terjadi, lalu itu terjadi.


"Bangsat! Kau mencuri buruanku! Seseorang pasti akan membunuhmu nanti!"


"Apa?!"


Itsuki, si Armor, dan rekan-rekannya membunuh monster yang di lawan petualang lain.


Yang betul aja! Bukankah kami sudah diperingatkan untuk nggak mencuri buruan orang lain?


Aku mengarahkan tatapan jengkel pada mereka, tapi kemudian Itsuki terlihat kebingungan, menyadari bahwa dia nggak menerima exp, dan dia menatapku kebingungan.


"Oh, Naofumi. Gw gak tau lu ada disini. Mungkin itu menjelaskan kenapa gw gak dapat exp."


"Maksud lu senjata kita saling mengganggu satu sama lain?"


"Ya. Kalau gak ngerepotin, apa lu bisa pindah ke pulau lain?"


Geblek.... Kenapa juga aku yang harus pindah? Apa dia gak bisa pindah sendiri? Apa dia gak bisa mempertimbangkan perasaan orang lain?


Sungguh.... Segala sesuatu yang Itsuki lakukan membuatku jengkel.


"Ya! Ya! Pahlawan Perisai pergilah ke pulau lain!"


"Oh DIEM lu!"


Si Armor betul-betul menjengkelkan.


Dia itu kenapa? Apa yang kulakukan hingga membuat dia berpikir aku adalah musuhnya?


"Itsuki... Apa-apaan ini?"


"Apa maksud lu?"


"Apa lu denger apa yang dikatakan earl? Tentang gak mencuri buruan petualang lain?"


"Apa maksud lu? Itu buruan gw. Gw yang mulai pertarungan itu."


Matanya menerawang ke kejauhan. Berjarak cukup jauh ada petualang sedang melawan seekor monster. Itsuki menarik busurnya dan menembakkan tembakan mematikan.


"Um...."


"Apa-apaan ini? Kami yang melakukan serangan pertama."


Petualang itu serta aku jelas-jelas memiliki masalah yang sama, tapi Itsuki kayaknya gak mempedulikannya. Dia menjawab seolah itu adalah hal yang sudah jelas.


Mungkin secara teknisnya dia gak melanggar peraturan, tapi ada yang salah dengan perilaku semacam itu.


Kalau ini adalah sebuah MMORPG, itu disebut mencuri target, atau fishing.
(T/N : tanya aja gamer kenalan kalian, apaan itu "fishing" di dunia MMORPG)


Perilaku semacam itu bisa dilarang atau bisa juga diijinkan tergantung pada game itu sendiri, jadi aku gak yakin peraturan apa yang berlaku disini. Tapi itu jelas-jelas sangat menjengkelkan. Hal itu sudah pasti mengganggu para petualang lain. Dan kami sudah diperingatkan soal itu, terus kenapa dia berperilaku kayak gitu?


Itu mengingatkan aku. Itsuki mengatakan bahwa dunia ini mengingatkan dia pada sebuah game consumer yang pernah dia mainkan.


"Itsuki, elu sadar kalo kelakuan kayak gitu akan ngebuat elu dalam masalah kalo ini adalah sebuah game online."


"Apa? Oh jangan banyak bacot. Kami yang melakukan serangan pertama!"


"Cuma karena elu punya senjata jarak jauh, apa itu berarti cuma elu doang yang punya hak berburu dimari?"


Itsuki kebingunan pada pertanyaan itu, tapi dia perlahan mengangguk. Itu membuatku sakit kepala buat memahami dia, tapi aku mulai paham.


Dalam sebuah game consumer, gak ada perlunya mengkhawatirkan hal semacam ini.


Karakter-karakter lain bukan orang asli, sehingga mereka nggak betul-betul bersaing berburu monster. Mereka gak saling mencuri.


Jadi aku harus mencari cara yang tepat untuk membahas masalah ini.


"Tanya sama Ren dan Motoyasu tentang itu. Atau tanya sama earl pulau ini. Gw rasa lu bakal tau kalo semua orang menentang kelakuan gak tau diri macam itu."


"Apa maksud lu?"


"Pikir aja ndiri... Selamat tinggal!"


Aku memberi tanda pada Filo dengan mataku.


Itsuki sudah mengarahkan busurnya pada seekor monster yang keluar dari semak-semak.


"First Wind!"


Filo menembakkan sihir angin ganas untuk menyerang monster itu duluan. Sesaat setelahnya, anak panah milik Itsuki mengenai monster itu, dan monster itu tewas.


"Lu mencuri buruan kami! Kami yang memburu monster itu, dan lu mencurinya! Bisa bisanya kau melakukannya?!"


Aku mengarahkan jariku pada Itsuki sambil menuduhnya dan berteriak.


Saat aku melakukannya, si Armor terlihat sangat marah, dan dia melangkah maju.


"Dasar bodoh! Meskipun kau seorang pahlawan, kau berani bertindak seperti itu pada Master Itsuki?!"


Itsuki terlihat kebingungan sesaat, lalu marah. Aku menyadari dia sudah memahami situasinya.


"Tenanglah. Gw paham apa maksud lu barusan."


Dia tersenyum tenang, tapi matanya sama sekali gak tersenyum. Dia bisa menyembunyikan ketidak-senangannya dengan senyum palsu, tapi aku mengetahuinya.


Kami pergi. Aku gak tau apakah dia terus 'paham' setelah kami pergi. Kurasa lebih baik adu nasib di pulau lain.


"Haruskah kita makan siang sambil menunggu exp poinku kembali tersedia?"


Itsuki memberi isyarat pada partynya bahwa sekarang adalah waktunya beristirahat.


Aku sih masa bodo sama para anggota partynya atau makan siang mereka, sampai....


"Rishia! Waktunya makan siang!"


"Oh... Baik!"


Si Armor dan para anggota party yang lain berteriak pada Rishia agar menyiapkan makanan mereka.


Mereka pastinya menganggap diri mereka lebih tinggi, kan? Mereka pikir mereka itu siapa? Kenapa Rishia harus membuatkan makanan untuk mereka?


"Kenapa gak kalian siapin aja makanan kalian sendiri?"


Aku bergumam pelan, tapi si Armor dengar dan mendekat.


"Apaan itu?! Rishia adalah perekrutan baru disini! Tugas-tugas ini adalah tanggungjawabnya!"


"Apa?!"


Aku gak tau harus bilang apa. Rekrutan?
Apaan itu? Apa dia pikir dia sedang menjalankan perusahaan atau semacamnya?


Rishia hendak menyerahkan makanannya. Tapi sepertinya ada urutan penerimaan makanannya. Dia memperhatikan baik-baik masing-masing makanannya, memastikan namanya, lalu dengan lembut menyebutkan namanya.


Semakin daftarnya ke bawah, makanannya semakin terlihat kurang mengesankan.


Apa itu makanan buatan Itsuki sendiri? Rishia menyerahkan kotak makan siang pada dia.


Si Armor adalah yang selanjutnya. Makan siangnya adalah daging yang besar, ditambah dengan roti lapis dengan daging yang tebal.


Berikutnya para prajurit. Mereka mendapatkan roti lapis dan ikan panggang. Selanjutnya... Yah, itu terus berlanjut seperti itu sampai cuma Rishia saja yang tersisa. Lalu dia memasukkan tangannya kedalam tas dan mengeluarkan buah, lalu memakannya dalam diam.


Apaan itu? Kenapa mereka gak memakan makanan yang sama?


"Apaan ini? Kalian punya peringkat yang berbeda dalam party kalian?"


"Ngapain lu liat kami? Naofumi, lama-lama lu itu ngganggu, pergi aja ke pulau lain."


"Apa lu becanda? Itsuki, apa pala lu sehat?"


Ini mungkin membuatku jadi orang munafik kalau mengatakannya, tapi dia memperlakukan cewek ini, Rishia, seperti seorang budak!


Sebenarnya, Raphtalia dan aku memakan makanan yang sama. Itsuki jauh lebih buruk daripada itu. Dia memperlakukan cewek itu lebih buruk dari seorang budak!


"Master, aku laper!"


"Filo! Kau diam dulu!"


Dia dikuasai rasa lapar karena melihat Itsuki dan partynya makan. Sekarang yang ada di kepalanya cuma tentang makanan.


Si Armor menatap kami penuh kemenangan. Dia tersenyum dan membuka mulutnya lebar-lebar.


"Peringkat kami ditetapkan pada seberapa besar Master Itsuki mempercayai kami dan seberapa banyak kami berkontribusi pada kelompok. Memang apa yang salah dengan itu? Haruskah kita mengobrol panjang lebar? Aku bisa menceritakan tentang karakteristik yang paling mengesankan dari Master Itsuki."


"Gak makasih. Kurasa gw enek dengernya."


"Yang jelas kami akan memberitahumu. Saat aku pertama kali bertemu Master Itsuki, dia membuka mataku pada keadilan."


Si Armor terus berbicara, lalu para anggota party yang lainnya ikut bercerita. Mereka mengenang semua pencapaian Itsuki yang paling mengesankan.


Aku lebih suka gak dengar apa yang mereka katakan. Kebanyakan ceritanya tentang Itsuki yang bersembunyi, lalu menghabisi orang jahat secara sembunyi-sembunyi. Dari cara mereka berbicara tentang dia, mereka kayaknya betul-betul menganggap bahwa dia adalah pahlawan yang bertugas menyelamatkan dunia.


Itu kayak semacam sebuah kepercayaan. Mereka penganut Itsuki, praktisi Itsuki-isme.


Akhirnya Itsuki menatap kami semua, ekspresi yang sangat puas terpampang di wajahnya.


Sebenarnya—dia menggunakan mereka untuk menyombongkan dirinya sendiri.


Analisaku tetap sasaran. Itsuki selalu menggurus orang jahat secara sembunyi-sembunyi. Itu sebabnya Itsuki jadi penegak keadilan.


Aku sangat yakin ada yang namanya kelainan semacam itu.


Aku pernah nonton film jadul tentang itu. Ada seorang polisi di suatu negara yang berjuang demi keadilan. Dia terangsang melawan kejahatan. Mereka menyebutnya kelainan setelah itu. Itu adalah sebuah kelainan yang sering mempengaruhi polisi.


Aku gak bisa mengingat apa sebutannya, tapi mereka menggunakan nama jadi judul filmnya. Karakter itu mengatakan bahwa orang-orang yang bertindak kejahatan gak punya hak untuk hidup, dan akan menghukum semua tindak kejahatan, terlepas dari seberapa parahnya, dengan kematian. Jika seseorang mencoba menghidari hukuman, mereka akan dihukum atas tindakan itu dengan kematian.


Polisi dalam film itu gak sampai berlebihan, tapi konsepnya mengingatkan tentang gambaran yang tak terhapuskan dari psikopat.


Aku kepikiran karakter itu saat memikirkan tentang Itsuki.


Aku ingin menanyai dia apakah dia betul-betul yakin bahwa dia benar. Gimana kalau dia cuma menganggap semua ini keadilan?


The Records of the Four Holy Weapon mengatakan bahwa Pahlawan Busur memiliki jiwa keadilan yang kuat.


Tapi Itsuki salah paham apa itu keadilan. Menjadi "benar" dan melakukan hal yang benar merupakan sesuatu yang gak selalu sama.


Yang jelas, aku gak yakin Itsuki mau dengerin aku kalau aku mencoba menjelaskan semua itu pada dia.


Selain itu, sejak awal aku gak berharap banyak pada Itsuki—apalagi berharap dia akan mau dibujuk.


"Kami akan masuk ke pulau lebih dalam lagi. Sampai jumpa lagi, Naofumi."


"Ok, sampai jumpa. Cobalah gak menganggu para petualang yang lain."


Party Itsuki segera mengemas makan siang mereka dan pergi.


"Aku menyadari ini saat aku mencoba berbicara pada mereka di istana, tapi mereka betul-betul sekumpulan orang-orang yang gak bisa di atur kan?"


"Memang."


Aku lebih senang gak berurusan dengan Itsuki lagi.


Pindah-pindah pulau agak menjengkelkan, jadi kalau keempat pahlawan berada disini disaat yang sama, akan lebih baik menyetujui untuk leveling di tempat-tempat yang berbeda sebelum kami berangkat.


Yang pasti, kami gak bisa leveling di pulau ini lagi. Kami kembali ke pulau utama.


* * * * *


"Hei, hei... Bukankah itu Bocah Perisai? Sepertinya para monster terlalu susah untukmu, jadi kau kembali, aku benar kan?"


Kami turun dari kapal di pelabuhan pulau utama dan bertemu L'Arc dan Therese di dermaga.


"Monster-monsternya lemah. Gak ada masalah sama sekali. Kami punya alasan tersendiri kenapa kami kembali lebih cepat."


Alasan sebenarnya adalah bahwa para pahlawan gak bisa mendapatkan exp saat berburu di tempat yang sama karena senjata mereka saling mengganggu satu sama lain. Tapi menjelaskan hal itu pada dia akan merepotkan.


"Ada apa?"


"Waktunya makan siang. Dan juga pahlawan lain muncul, jadi kami harus pindah ke pulau lain."


Kami sudah membuang banyak waktu, sekitar dua jam. Kenapa kami harus duduk dan mendengarkan bualan party Itsuki tentang tindakan-tindakan master mereka?


Kami bisa saja pergi ke pulau lain sekarang, tapi saat kami sampai disana pastinya udah terlambat, dan kami harus balik kesini lagi.


Langkah pertama adalah mencari tau dimana para pahlawan lain leveling. Dengan begitu aku bisa memastikan untuk menghindari mereka.


"Beneran deh! Kau betul-betul menganggap dirimu sendiri pahlawan kan? Maksudmu tentang gangguan senjata mereka?"


"Ya, begitulah."


"Apa kau dan Therese mau pergi berburu sekarang?" Tanya Raphtalia.


"Ya. Kami barusaja mau pergi lihat monster macam apa yang akan kami hadapi. Gimana denganmu bocah?"


"Monster-monsternya gak terlalu kuat, tapi mereka memberi cukup banyak exp."


"Baguslah."


Kami mengobrol tentang para monster, lalu Therese mendekat dan berbicara padaku.


"Boleh aku memanggilmu Tuan Naofumi? Raphtalia sangat baik hingga memberitahu namamu."


"Huh? Ada apa?"


"Aku dengar kau cukup terampil dalam kerajinan?"


Ini jadi agak canggung.


L'Arc gak bisa diam sejak aku bertemu dia, tapi Therese cenderung diam. Aku gak yakin gimana berbicara dengan dia.


"Aku gak bisa bilang aku sangat terampil, tapi aku belajar dari seorang ahli dan berhasil memahami dasar-dasarnya."


"Kalau aku menyediakan material dan dananya, bisakah kau membuatkan aku sebuah item?"


"Mungkin... Itupun kalau aku punya waktu."


"Aku akan membayarnya."


"Tentu."


Bukannya aku menolak pekerjaan. Aku memastikan kalau aku dibayar dengan tepat.


"Jadi item seperti apa yang kau inginkan?"


"Aku suka gelang. Tipe dan desainnya kuserahkan padamu."


Permintaan seperti itu adalah yang terburuk. Kuharap dia gak banyak protes.


Aku memutuskan untuk menunggu material apa yang dia sediakan. Lalu aku akan membuat apapun yang aku bisa dengan material itu.


"Yah, aku gak bisa membuat sesuatu tanpa material."


"Baik. L'Arc!"


"Ada apa?"


Dia mendekat dan menunjuk sebuah kantong kecil yang ada di pinggang L'Arc. L'Arc membukanya dan menunjukkan sejumlah pecahan ore yang bermacam-macam yang ada didalamnya.


Kelihatannya sebagian besar merupakan batu permata kasar.


"Jadi apa yang kau mau?"


"Ambil saja bahan terbaik yang ada di kantong itu dan buatlah sebuah gelang dengan bahan tersebut."


"Oke."


L'Arc menyerahkan kantong itu padaku. Aku bisa menganggapnya sebagai sebuah quest sampingan.


"Baiklah. Kalau gelangnya sudah jadi, aku akan memberikannya padamu."


"Menakjubkan! Makasih, Bocah Perisai."


"Terserahlah."


Aku mulai paham apa yang dirasakan pak tua pemilik toko senjata itu. Dia pasti merasa begini saat aku mampir dan meminta dia membuatkan sesuatu untukku.


Yah, aku menerima pekerjaan itu, jadi aku bertekad untuk membuat sesuatu yang bagus.


"Baiklah, kami pergi dulu."


"Semoga beruntung, L'Arc. Dan kau juga, Therese."


"Sampai jumpa!"


Raphtalia dan Filo melambaikan tangan pada mereka. Mereka menaiki perahu kecil dan menjauh dari dermaga.


Jauh lebih mudah akrab dengan para petualang normal ini daripada dengan Itsuki. Itu terasa sedikit menjengkelkan.


* * * * *


Kami mencari shadow dan earl, yang mana keduanya berasal dari istana, dan meminta mereka memberitahu kami dimana para pahlawan lain leveling.


Para pahlawan lain, Ren dan Motoyasu, sudah merencanakan kemana mereka akan pergi dan memastikan supaya nggak berkumpul.


Jadi mereka pergi ke pulau-pulau yang berbeda.


Semua ini jadi menjengkelkan. Kenapa senjata-senjata legendaris harus saling mengganggu kayak gini? Sampai sekarang kami bertarung di tempat yang sama cuma saat gelombang kehancuran terjadi, jadi aku gak betul-betul terganggu oleh hal itu.


Aku merasa seperti aku kehilangan waktu yang berharga. Aku harus memikirkan sesuatu.


"Raphtalia."


"Ada apa?"


"Mau leveling malam hari? Dengan begitu kita bisa mengganti waktu yang hilang."


Dia mengusap dagunya dan mempertimbangkannya baik-baik.


"Ide bagus. Itu mungkin agak bahaya, tapi kita bisa memanfaatkan waktu untuk leveling."


"Apa kita akan bertarung malam-malam?"


"Ya"


Aku bisa saja berendam di air panas penghilang kutukan, tapi setelah sekian lama di laut, aku ingin berolahraga.


Kalau kami mau mengganti waktu yang hilang, leveling malam hari adalah pilihan terbaik kami.


Selain itu, siapa yang tau kapan gelombang berikutnya akan datang? Gak ada jaminan bahwa mereka hanya terjadi saat siang hari.


Dan juga, Filo seperti hewan liar, dan kami sudah sering bertarung malam-malam saat kami lari karena buronan.


Dengan begitu kami memutuskan untuk pergi ke sebuah pulau dimana gak ada pahlawan lain dan bertarung sepanjang malam.


"Whew...."


"Kayaknya udah cukup."


"Ya."


Kami mendarat di pulau dan terus melawan monster setelah matahari terbenam di lautan.


Lalu aku mengetahui bahwa para monster di kepulauan Cal Mira menjatuhkan segala macam item. Mereka menjatuhkan banyak herbal obat, dan juga magic water serta material yang kau butuhkan untuk membuat soul-healing water.


Saat malam tiba, dan gelap, para monster mulai bermunculan lebih banyak lagi.


Semakin banyak monster yang kami lawan, semakin banyak exp yang kami dapatkan. Jadi perkiraanku, kami mengumpulkan banyak poin.


Kami kelelahan dan membuat api unggun. Kami butuh istirahat.


Mata Filo terus jelalatan ke sekeliling kamp. Kayaknya dia masih belum mau tidur.


Ada banyak pulau-pulau yang berbeda di kepulauan Cal Mira. Beberapa diantaranya merupakan pegunungan terjal, ada hutan, dan juga ada rimba.


"Di malam hari monsternya sangat banyak."


"Aku tau."


Pulau tempat kami kemping ini lebih seperti sebuah gunung yang sangat besar.


Aku menengadah menatap puncaknya. Warnanya kemarahan mencolok dari langit, sebuah siluet yang dingin.


Aku penasaran apakah warna itu ada hubungannya dengan event aktivasi.


Kurasa kami mendapatkan lebih banyak exp kalau bertarung malam hari. Kami berhasil naik level.


Saat kami sampai di pulau, aku level 43, sedangkan Raphtalia level 40.


Sekarang aku level 48, Raphtalia dan Filo sudah level 50 dan 51.


Raphtalia hampir terlihat kebosanan. Para monster gak memberi banyak tantangan untuk dia.


Hal lain yang kusadari adalah bahwa para monster memiliki nama yang sama, tapi beberapa diantaranya lebih besar dari yang lain, dan beberapa memberi lebih banyak exp.


Kami bertemu dengan seekor Magenta Frog yang sebesar aku. Meskipun begitu besar, Filo mengalahkan monster itu dengan satu tendangan.


Mereka gak terlalu kuat. Tapi mereka memberi kami banyak exp poin, dan mereka muncul sangat sering. Ini bagus buat kami.


Kami bisa naik level cukup banyak hanya dalam sehari.


Statistik Raphtalia dan Filo naik dengan cepat. Aku befokus mencoba meningkatkan perisaiku—tapi kurasa aku udah melakukan apa yang aku bisa dengan material yang kumiliki saat ini.


Aku berhasil meningkatkan Chimera Viper Shield, tapi itu gak seperti aku gak menggunakan perisai lain. Aku juga gak mau bergantung pada Shield of Wrath yang berbahaya. Jadi aku ingin mencari sebuah perisai yang lebih lemah yang bisa aku kuatkan.


"Hm....."


"Tuan Naofumi, aku kuatir kamu mungkin terlalu memaksakan diri. Aku tau kamu gak bisa mengatakannya, tapi kamu pasti lelah. Kutukanmu masih belum sembuh. Kenapa kamu nggak istirahat saja dulu sebentar?"


Badanku memang terasa berat. Kurasa aku gak bisa bertarung lebih lama lagi saat ini.


Tetap saja, aku berharap aku bisa menguatkan sebuah perisai sampai ke titik dimana perisai itu menjadi sangat kuat hingga gak berpengaruh entah aku dikutuk atau enggak.


"Monster-monster disini gak bisa melukai aku sama sekali, jadi kurasa gak masalah untuk terus lanjut."


Aku menerima tawaran dia untuk bersantai. Aku meluruskan kakiku dan mulai berbaring, lalu aku mendengar suara kaki mendekat.


Siapa itu?


Aku hampir berdiri, lalu aku menyadari bahwa itu adalah L'Arc dan Therese.


"Semua orang panik karena kalian belum kembali, jadi kami memutuskan untuk mencari kalian!"


"Apa?"


"Menejer kapal di dermaga kuatir padamu bocah. Dia bilang kau pergi sudah lama sekali dan belum kembali."


"Aku yakin ada petualang yang tewas di pulau ini. Gak ada perlunya panik soal kami."


Dia pikir aku hanyalah seorang petualang normal yang berpura-pura menjadi Pahlawan Perisai. Bukankah sudah biasa bagi seorang petualang baru menafsirkan kemampuan mereka terlalu tinggi, pergi ke hutan belantara, dan ujung-ujungnya tewas?


Sejujurnya aku jarang bicara dengan petualang lain, jadi aku gak betul-betul tau apa yang mereka anggap normal.


"Mungkin itu betul. Tapi kami agak kuatir."


Hmm... jadi mereka kuatir pada kami dan menggunakan perahu untuk pergi ke sebuah pulau tengah malam?


Sebagian diriku berterimakasih untuk hal itu. Sebagian kecil diriku merasakan kasih sayang terhadap mereka.


Mereka berdua pasti orang-orang yang pesimis. Mereka gak kayak petualang, lebih seperti paladin atau semacamnya.


Meskipun para knight dan paladin dari Melromarc adalah sekumpulan orang bangsat.


"Kami mau mengganti waktu yang terbuang, jadi kami memutuskan untuk berburu malam hari."


"Pokoknya, kembalilah ke hotel bersama kami. Kau bikin semua orang kuatir."


"Baiklah."


Lagian aku harus menyembuhkan kutukanku juga. Mungkin perburuan malam untuk hari ini sudah cukup.


"Baiklah, ayo kembali."


"Ya. Maaf sudah membuat kalian kuatir."


"Kita mau kembali?!"


Filo memiringkan kepalanya.


"Ya."


"Okeeeeee! Ayo berangkat!"


Kami membereskan kemah kami dan kembali ke pulau utama.


Orang-orang yang kami temui di dermaga menjadi lebih terikat dalam kehidupan kami.


Catatan Penerjemah[edit]

  1. Totem Pole: ukiran monumental, sejenis seni dari Northwest Coast, terdiri dari tiang atau pilar yang diukir membentuk simbol atau gambaran. (Sumber: wikipedia )
  2. yah untuk tambahan catatan sampingan yang gak penting. Pinguin = Pengin , Kelinci = Usa , Tupai = Risu , Anjing = Inu


Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya