Tsukumodo Bahasa Indonesia:Jilid 1 Hadiah

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Gajiku biasanya dihitung per jam dan diberikan padaku setiap hari—tunai.

Itu karena Towako-san tidak ingin—dan tidak akan ingat—untuk membayar gajiku di setiap akhir bulan.

Pada hari dimana dia pergi untuk membeli barang-barang, Saki bertugas untuk membayarkan gajiku.

Karena aku tinggal sendiri disebuah apartemen, aku harus berhati-hati dalam mengatur pengeluaranku. Orang tuaku memang masih mengirimiku uang, tapi gajiku biasanya sudah cukup untuk keperluanku sehari-hari.

Aku bukan orang yang gila diskon, tapi setidaknya, aku berusaha untuk tidak menghambur-hamburkan uang. Aku bahkan bisa menabung sedikit demi sedikit.

Aku tidak tahu apakah wajar untuk anak laki-laki SMA bertingkah seperti seorang ibu rumah tangga seperti ini.

Tapi yang pasti, aku tidak seperti anak-anak lain yang bekerja paruh waktu lalu menghabiskan uang yang mereka dapat.

Hidup untuk waktu sesaat bukanlah hidup yang aku inginkan.

Selalu gunakan uangmu dengan bijak. Itulah moto hidupku.


"Ini, hadiah untukmu."

Aku tak bisa mempercayai pendengaranku ketika Tokiya mengatakannya secara tiba-tiba.

Aku, Saki Maino, berdiri tegap selama dua-puluh-dua detik dengan tas belanjaan di tanganku. Tokiya mengatakan sesuatu padaku selama selang waktu itu, tapi karena pikiranku sedang kosong, kata-katanya hanya masuk ke telinga kananku, lalu keluar dari telinga kiriku.

"Jadi...paham maksudku?"

"Eh? Ah, ya. Aku mengerti."

Kepalaku langsung mengangguk, meskipun aku tak tahu apa yang ia katakan barusan.

"Baik, jadi itu saja dariku, oke?" ia pergi setelah mengatakannya. Sepertinya dia terlihat malu-malu.

Ditinggal sendiri, aku tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan hadiah yang—dia bilang sendiri—dia berikan kepadaku, membuatku berdiri kebingungan.

Orang-orang—biasanya Tokiya—sering berkata bahwa aku tidak punya perasaan, tapi itu salah. Aku punya perasaan, hanya saja, aku kesulitan menampilkannya, dan hatiku juga sensitif, sama seperti orang lain.

Sampai-sampai mukaku sedikit memerah dan terasa lebih hangat ketika aku menerima hadiah yang tak kuduga-duga.

Aku perlu mengingat apa saja yang barusan terjadi.

Tokiya dan aku bekerja hingga waktu tutup toko seperti biasanya.

Towako-san pergi untuk mencari Relik lagi, dan tadi hampir tidak ada pembeli, jadi, seperti biasa, tidak ada yang bisa kami lakukan.

Kami memang tidak memiliki banyak pembeli.

Aku yakin kami perlu membuat toko ini lebih terang di dalam dan luarnya untuk lebih menarik pembeli. Aku juga yakin kami perlu menambah pernak-pernik Asia dan barang-barang mewah di toko kami, daripada tetap menjual Relik-Relik palsu ini.

Ketika aku menyarankannya pada Towako-san, ia bilang tidak perlu menambah koleksi barang atau mempercantik toko. Sepertinya, dia memang tidak berencana untuk mengembangkan tokonya, meskipun alisnya selalu mengkerut ketika membaca Laporan Penjualan.

Mungkin aku perlu meminjaminya buku "Menjadi Manajer Toko dengan Mudah!" yang telah selesai aku baca kemarin?

Ah tidak. Pikiranku malah pergi kemana-mana.

Pokoknya, kami bekerja sampai waktu tutup toko, dan kemudia Tokiya pulang.

Tapi dia kembali lagi, entah kenapa.

Awalnya, aku kira dia melupakan sesuatu, tapi tiba-tiba dia memberikan tas belanjaan kepadaku dan berkata bahwa itu adalah hadiah untukku.

Hadiah? Kenapa dia memberiku hadiah?

Aku pikir hari ini hari ulang tahunku, tapi bukan.

Hari Syukuran Pekerja[1]? Sepertinya tidak. Lagipula, tidak ada yang perlu is syukuri.

Hari Ibu? Aku bukan ibunya. Hari Ayah...apalagi.

Hari ini bukan hari peringatan apapun, hari ini juga bukan hari libur apapun.

Kemungkinan lain adalah, hadiah ini adalah permintaan maaf untuk sesuatu yang telah ia lakukan.

Kuputar otakku, berusaha mengingat-ingat, tapi tidak ada sesuatu apapun yang memerlukan permintaan maaf.

J-jangan-jangan, dia selingkuh?

Tidak, kami tidak memiliki hubungan seperti itu, jadi perselingkuhan bukan masalah penyebabnya.

...Sungguh memalukan, memiliki pemikiran seperti itu.

Dengan tas di tangan, aku masuk ke dalam rumah.

Towako-san sedang pergi, jadi aku sendirian hari ini.

Kuletakkan tas itu di meja ruang tengah.

Kunyalakan TV.

Suatu acara hiburan muncul di layar TV. Acara TV yang tidak begitu menarik gagal mengalihkan perhatianku, jadi mataku terpaksa bolak-balik antara menonton TV dan melirik tas di meja.

Pelan-pelan, tanganku menyentuh tas itu.

Tas itu membalas dengan suara gemerisik.

Tanganku segera kutarik dari tas itu.

Lalu aku kembali menatap layar TV dan mengganti saluran.

Sekarang pertandingan baseball muncul di layar TV, tapi aku tidak memahami peraturan permainan baseball. Acara TV yang tidak begitu menarik gagal mengalihkan perhatianku, jadi mataku terpaksa bolak-balik antara menonton TV dan melirik tas di meja.

Mataku melirik ke dalam isi tas itu.

Ada sesuatu yang berwarna pink di dalamnya.

Kepalaku segera kutarik dari atas tas itu.

Hei, apa yang kamu lakukan?

Tunggu, berani sekali Tokiya membuatku bingung secara tiba-tiba!

Tsukumodo V1 P255.jpg

Pikiranku mulai tenang dan kekesalanku berganti dengan kemarahan.

Apakah dia sekarang sedang tertawa melihat kebingunganku?

Ah ya! Pasti itu!

Dan bodohnya aku bertingkah seperti ini di depan matanya...

"Bodohnya diriku."

Kulihat seisi ruangan, mencari tanda-tanda keberadaan Tokiya.

...dan aku tak menemukan apapun.

Setelah itu, kucoba mencari di toko, tapi ketika lampunya padam, yang ada hanya kesunyian. Melihat keluar jendela, tapi aku tak menemukan siapapun di luar sana. Dapur dan kamar mandi juga tak luput dari pencarianku, tapi keduanya juga kosong.

Lalu, apa artinya semua ini?

Apakah ini memang benar-benar hadiah?

"........"

Sambil menghela napas, kuputuskan untuk membuka isi tas itu.

Di dalamnya ada sebuah gaun. Gaun yang berumbai-rumbai namun tak berlengan. Warnanya... bukan hitam (warna favoritku), tapi pink.

Setelah mengenalku sekian lama, dia masih tak mengerti apa yang aku suka. Lagipula, memilih warna itu sama saja dengan mengejek. Tidak, dia sedang berusaha mengejekku.

Tiba-tiba, aku ingat sesuatu dan segera mengambil majalah dari kamarku.

Aku telah membeli suatu majalah dengan harapan bisa memperbaiki pelayananku kepada pembeli. Majalah itu adalah majalah remaja pada umumnya, tapi bukan itu masalahnya. Lagipula, aku juga masih remaja. Tetapi Tokiya justru memberikan pandangan aneh kepadaku ketika aku membacanya.

Kubolak-balik majalah itu. Seharusnya disini ada suatu artikel mengenai hadiah. Memberikan hadiah kepada seseorang sangat mirip dengan menyarankan suatu barang kepada pembeli. Karena itulah aku membeli majalah ini.

Akhirnya kutemukan artikel berjudul "Apa yang harus aku lakukan dengan hadiah seperti itu?!"

"Kalau ada cowok yang memberimu hadiah berupa barang yang tidak kamu suka, jangan marah! Itu adalah tanda dia ingin berbagi apa yang dia sukai! Coba saja dulu!"

Kututup majalah itu.

Artikel itu memberikan suatu impresi yang mendalam bagiku.

Ya, gaun di meja itu memang tidak sesuai dengan apa yang aku suka.

Tapi apakah itu berarti dia menyukai hal-hal seperti ini?

Tokiya menyukai gaun seperti ini? Apa dia ingin aku memakainya?

Sebagai uji coba, aku ulangi, sebagai uji coba. Bukan, sebagai uji coba kecil-kecilan—percayalah. Kupegang gaun itu di depanku sembari berkaca.

Di cermin kulihat diriku, yang biasanya terbungkus pakaian berwarna serba hitam, kali ini dibalut warna pink.

Jujur saja, gaun ini tidak cocok denganku.

Gaun pink berumbai-rumbai tidak cocok dengan mukaku yang masam.

Namun, gaun itu tidak aku singkirkan begitu saja.

Gaun itu adalah pemberian dari Tokiya.

Hadiah untuk pertama kalinya.

Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Aku bahkan tak pernah bermimpi seperti ini.

Orang-orang—biasanya Tokiya—sering berkata bahwa aku tidak punya perasaan, tapi itu salah. Aku punya perasaan, hanya saja, aku kesulitan menampilkannya, dan hatiku juga sensitif, sama seperti orang lain.

Sampai-sampai aku gembira ketika aku menerima hadiah yang tak kuduga-duga.


Kejadian ini bermula dari dua hari yang lalu.

Tepat saat aku sampai di toko untuk giliranku bekerja, aku bertukar dengan Saki supaya ia dapat pergi berbelanja.

Towako-san sedang pergi untuk membeli barang-barang antik.

Sendirian dan bosan, aku pergi ke ruang tengah untuk menonton TV, karena toh tidak akan ada pembeli yang datang.

Tapi sesuatu menyita perhatianku.

Sebuah dompet. Dompet kulit berwarna coklat yang bisa kamu temukan di berbagai toko. Kupikir dompet itu milik Towako-san.

Terheran-heran bagaimana ia bisa melupakan dompetnya dalam perjalanan bisnis, aku mencoba melirik isi dompet itu. Ternyata dompet itu kosong; tidak ada uang, bahkab kartu kredit ataupun kertas-kertas nota lainnya pun tak nampak.

Sepertinya, dia baru saja membeli dompet baru dan meninggalkan dompet lamanya disini. Kebetulan sekali, kantung koin di dompet tuaku telah berlubang dan menjadi tak berguna lagi. Kuputuskan untuk meminjam dompet lama Towako-san sampai aku bisa membeli dompet baru. Kenapa tidak, toh dia sudah tidak memerlukannya.

Setelah memasukkan uangku dan beberapa hal lain seperti kartu rental video, dompet itu kuselipkan di kantongku.

Setelah toko tutup, aku menerima gajiku dari Saki. Di perjalanan pulang, aku mampir terlebih dulu untuk membeli makanan instan.

Uang kembaliannya akan cukup untuk makan siangku esok hari.


Di hari berikutnya.

Dompetku kosong.

Kartu-kartunya masih ada. Tapi uang kembalian yang seharusnya ada disana, hilang. Aku baru memperhatikannya saat aku ingin membayar kopi kalengan di perjalanan menuju sekolah. Rasa malu yang muncul dari kopi yang harus kukembalikan karena tak punya uang itu, sepertinya tak perlu aku jelaskan.

Kemungkinannya, aku menjatuhkan uangku sehari sebelumnya, entah dimana. Atau mungkin, aku lupa mengambil uang kembaliannya. Sayang sekali ini harus terjadi ketika aku baru saja mengganti dompetku yang rusak.

Tapi yang paling nenyedihkan adalah jumlah uang yang hilang. Uang yang ada di dompet ini, termasuk dengan uang kembalian kemarin, jumlahnya sekitar 800 yen[2].

Aku terpaksa melewati hari itu tanpa satu-satunya kemewahan tersendiri bagiku: kopi kalengan.

Tentu saja, tidak ada makan siang buatku.

Meskipun sudah makan 2 buah roti yang sudah berumur beberapa hari, tapi aku sudah lapar lagi.

Setelah aku tersiksa selama istirahat makan siang dan diejek teman-temanku, aku pergi ke toko.

Mencoba peruntungan dengan makanan-makanan sisa, kujelaskan pada Saki bahwa aku kehilangan uang, dan belum makan apa-apa, tapi sialnya, tepat hari itu tidak ada makanan yang tersisa.

Aku benar-benar sedang sial.

Akhirnya aku berusaha bertahan selama giliranku bekerja, meskipun harus menahan lapar, hingga akhirnya aku mendapatkan gaji hari itu. Di perjalanan pulang, aku mampir ke minimarket untuk membeli makanan instan dan roti untuk sarapan. Akhirnya aku bisa makan hari ini.

Uang kembaliannya aku terima dan kutaruh hati-hati di dompetku, sembari menghitung tiap yen-nya.

1262 yen. Tepat.


Hari berikutnya.

Dompetku kosong.

Kartu-kartunya masih ada di dalam. Tapi uang kembalian yang harusnya ada di situ telah lenyap.

Aneh. Masa' uangku jatuh dua hari berturut-turut?

Lagipula, kemarin sudah aku hitung dengan teliti. Seharusnya ada 1262 yen di dalam.

Mungkin beda ceritanya kalau dompetku yang hilang, tapi konyol sekali bila yang hilang adalah uang 1000-yen kertas dan beberapa koin saja. Benar-benar aneh.

Kalau dipikir-pikir lagi, apakah kemarin aku juga benar-benar kehilangan uangku?

Lalu, aku baru sadar bahwa roti yang sudah aku beli untuk sarapan ternyata juga hilang.

Jangan-jangan ada pencuri yang masuk?

Aku cek lagi seisi kamarku. Yang hilang memang hanya uang dan roti yang aku beli kemarin. Rasanya tidak mungkin pencuri akan datang hanya untuk mengambil uang recehan—dua hari berturut-turut—dan beberapa roti.

Tapi, kalau begitu apa...

Kulihat lagi dompet di meja, dimana aku melemparnya tadi.

Dompet itu masih tergeletak disana. Dompet coklat yang biasa saja. Ya, nampaknya biasa saja.

Hanya saja dompet itu milik Towako-san sebelumnya...

Kuambil handphoneku dan kutelepon Towako-san. Biasanya, dia sulit dihubungi ketika sedang dalam perjalanan bisnis, tapi untungnya kali ini ia menjawab teleponku.

"Mmmm... Tokiya? Ada apaaah?" suara Towako-san yang penuh kantuk terdengar dari ujung telepon.

"Maaf mengganggu, Towako-san, tapi tolong beritahu aku!"

"Beritahu apa?"

"Tentang dompet yang kau tinggalkan di toko!"

"Dompet...?"

"Iya, dompet berwarna coklat."

"Ah, iya. Ada apa dengan dompet itu?"

"Dompet itu ada di atas meja di ruang tengah."

"Eh? Aku taruh di situ? Aduh, pikiranku sedang di tempat lain waktu itu. Tolong simpan di tempat lain. Ah, jangan letakkan di toko! Dan jangan dipakai! Yah, toh kamu terlalu penakut untuk menyentuh barang-barangku."

"......"

"......Eh? Jangan-jangan... kamu memakainya?"

"......Iya."

"Bodoh! Bukannya aku sudah bilang jangan dipakai?"

"Kau baru saja bilang!"

Tapi dia benar, aku bodoh sekali telah memakainya. Aku tak bisa menyangkalnya.

Harusnya aku tahu dari saat aku menyadari dompet ini miliknya.

Tapi. Tapi!

Siapa yang mengira akan ada dompet Relik yang diletakkan sembarangan seperti itu?

Tapi menyesal tak ada gunanya.

"Jadi, apa kekuatan dompet ini?"

Kuputuskan untuk bertanya.

Kutanyakan mimpi buruk apa yang akan dibawa Relik ini.

"Kamu akan kehilangan uang yang kamu peroleh seharian jika kamu tidak membelanjakannya di hari yang sama."

Aku tak tahu siapa yang membuat "Relik" ini, tapi aku ingin menanyakan kepada pembuatnya:

Segoblok apa anda untuk membuat benda gila ini?!

Jadi berikut ini ringkasan dari apa yang dikatakan Towako-san tentang Relik ini:

Jika aku tak membelanjakan uangku di hari yang sama ketika aku memperolehnya, maka uangku akan hilang.

Apapun yang aku beli untukku sendiri dengan uang itu akan hilang juga.

Hal ini akan terus berlanjut selama tujuh hari.


Karena uangku akan hilang jika aku tak membelanjakannya di hari yang sama berarti aku akan selalu kehabisan uang di hari berikutnya, tepat setelah tengah malam.

Karena apapun yang aku beli dengan uangku juga akan hilang, itu berarti aku tidak dapat membeli roti untuk sarapan, karena tidak mungkin juga untuk menyimpan makanan untukku sendiri.

Karena pengaruh dompet ini berlangsung selama 7 hari, itu berarti aku harus hidup dengan kekuatan konyol ini selama seminggu penuh.

Kekuatan dompet ini sebenarnya mulai aktif ketika aku memasukkan uang ke dalamnya, dan tidak akan berhenti meskipun aku tidak lagi menggunakannya, membuangnya, atau membakarnya. Bahkan, Towako-san mengancam akan membuatku bekerja tanpa bayaran seumur hidupku jika aku melakukannya.

Tapi, untungnya, apapun yang aku beli sebelum menggunakan dompet itu tidak akan hilang, jadi pakaian dan barang-barangku lainnya tidak terpengaruh. Sekarang aku menyesal tidak membeli mi instan sebelum-sebelumnya, tapi semua sudah terlambat.

Tapi memang...

Relik-relik ini selalu memiliki kekuatan yang aneh.

Jika dilihat dari sisi lain, sebenarnya aku juga diberi kesempatan untuk berfoya-foya selama seminggu, makan makanan mahal, bermain-main semalaman, dan lain-lain, tapi karena uang ini masih milikku, itu berarti tak ada artinya juga.

Jika aku benar-benar menghabiskan gajiku selama seminggu ini, maka aku tak akan bisa membayar sewa kamarku, biaya listrik, pulsa handphone, dan lain-lainnya ketika akhir bulan tiba.

Aku mulai berpikir cara untuk mengatasi masalah ini.

Tapi bagaimanapun juga, sangat tidak mungkin untuk menyimpan uang ketika aku harus menghabiskan uang dan menghabiskan apapun yang aku beli untukku sendiri.

Percuma.

Tapi, sial, kekuatan Relik ini benar-benar konyol.

Terlepas dari sifat baik ataupun jahatnya, aku selalu menganggap semua Relik memiliki kekuatan yang hebat, tapi sepertinya ada beberapa yang kekuatannya sama sekali tidak bermanfaat.

Tiba-tiba, muncul e-mail dari Towako-san.

"Bagaimana kalau sekali-kali kamu belikan hadiah untuk Saki? Atau untukku!"

Kenapa aku harus memberikan hadiah padamu atau Saki? Harusnya aku yang diberi hadiah!

Hm? Hadiah...?

Ah. Kenapa tidak terpikirkan dari kemarin!


Sepulang kerja, aku segera pergi membeli hadiah.

Seharian ini otakku hanya memikirkan apa yang akan aku beli, tanpa memperhatikan pelajaran di kelas dan pekerjaan, akhirnya aku putuskan untuk membeli pakaian.

Setelah gajiku dibayar Saki dan membeli makan malam, uang sisanya aku belikan gaun warna pink di sebuah department store. Harganya hampir mirip dengan seluruh uangku yang tersisa, sampai-sampai aku nyaris tak mendapat uang kembalian.

Aku tahu dia suka warna hitam, tapi dalam keadaan seperti ini, tidak penting warna apa gaun yang aku beli.

Aku tak bisa berhenti tertawa ketika membayangkan Saki memakai gaun warna pink seperti ini. Dengan sifatnya yang seperti itu, tentu dia tidak akan membeli gaun dengan warna seperti ini. Jelas, aku sendiri belum pernah melihatnya mengenakan pakaian dengsn warna seperti ini. Yah, meskipun rasa penasaran akan mengalahkan ketakutanku kalau saja ada kesempatan untuk melihat Saki dalam pakaian seperti ini.

"Apakah gaun ini hadiah untuk seseorang?" tanya si penjual.

"Ah, ya, semacam itu."

Kutolak tawaran untuk membungkusnya dengan kertas kado, dan segera kembali ke Toko Barang Antik Tsukumodo dengan tas belanjaan yang berisi gaun itu.

Toko sudah tutup, jadi aku pergi memutar ke pintu belakang dan membunyikan bel. Setelah beberapa saat, kudengar suara Saki dari interkom.

"Ini aku. Bisakah kau bukakan pintu sebentar?" kataku, lalu menunggunya membukakan pintu.

Sembari menunggu, kuputar otakku untuk mencari kata-kata yang tepat.

Apa yang harus aku katakan ketika memberikan hadiah ini? Akan sangat aneh jika aku tiba-tiba saja memberikan gaun ini kepadanya. Dia pasti berpikiran yang macam-macam. Aku juga tak terbiasa memberikan hadiah pada gadis. Malah, ini yang pertama kalinya. Tidak, ini mungkin hadiah, tapi sebenarnya bukan. Ini hanya "semacam hadiah". Tapi ini tetap saja hadiah.

Semua ini benar-benar membuatku tegang.

Tiba-tiba, pintu terbuka dan Saki muncul di hadapanku.

"Ada apa? Ada barangmu yang tertinggal?"

"Ini, hadiah untukmu."

Saat dia muncul, langsung saja secara reflek, kuberikan hadiah itu kepadanya.

Aduh sial. Aku belum siap. Hadiah itu langsung aku berikan padanya. Apakah aku nampak aneh baginya? Sepertinya begitu...

Ia berdiri membatu disitu dengan tas yang menggantung di tangannya membuktikan kekhawatiranku.

Mukanya masih seperti biasa, tapi seperti terlihat lebih kaku daripada biasanya, bukti bahwa ia terkejut.

"J-jangan salah paham, ya? Ini memang hadiah, tapi ini bukan benar-benar hadiah. Sepertinya kamu tak paham maksudku ya? Baiklah, jadi dengar..."

Kujelaskan padanya sampai sedetil mungkin apa yang telah terjadi dan apa maksud dari hadiah ini.

Mungkin bisa dibilang aku terdengar seperti sedang beralasan untuk menyembunyikan rasa maluku, tapi yang pasti, ini hanya 'seperti' hadiah. Tidak ada maksud lain dariku.

Setelah 22 detik penuh penjelasan, kucoba untuk memastikan sekali lagi:

"Jadi...paham maksudku?"

"Eh? Ah, ya. Aku mengerti."

Bagus! Sepertinya dia sudah paham.

"Baik, jadi itu saja dariku, oke?" lalu aku pergi setelah itu.



Kelakuan aneh Tokiya tidak berhenti disana.

Aku menerima hadiah lagi di hari berikutnya. Sebuah topi lebar berwarna putih.

Dan hari berikutnya juga. Sebuah kacamata fashion berwarna merah.

Keduanya sama sekali tidak menarik buatku, tapi tetap saja, keduanya adalah hadiah.

Aku tak paham maksud semua ini.

Kubaca lagi majalah yang telah aku buka sebelumnya. "Cowok itu bodoh dan mengira bahwa cewek akan jatuh cinta pada mereka jika mereka memberi hadiah. Yang bener aja! Jelas kamu gak bisa menarik hati cewek dengan hadiah.

Tapi!

Cewek yang cerdik sebaiknya menyenangkan hati cowok yang bodoh ini. Siapa tahu, mungkin ini akan jadi awal kisah cintamu?"

Buru-buru kututup majalah itu.

Gak mungkin. Gak mungkin ini terjadi.

Seharusnya aku memikirkan kelakuan anehnya baik-baik. Pasti dia menginginkan sesuatu. Sepertinya semua hadiah ini menghabiskan gajinya setiap hari. Tapi kenapa dia melakukan semua itu?

Apa untungnya Tokiya memberikan hadiah-hadiah ini padaku?

Ketika aku berpikir bahwa aku perlu meminta penjelasan Tokiya, telepon berbunyi.

Towako-san menelepon. Tidak biasanya dia menelepon toko ketika sedang keluar melakukan pembelian barang-barang. Biasanya dia akan sulit dihubungi hingga ia kembali.

"Ada apa? Apakah ada masalah?" tanyaku.

"Mm, sedikit... Omong-omong, apakah ada hal aneh yang terjadi akhir-akhir ini?"

"Eh?"

Hadiah-hadiah Tokiya segera muncul di benakku. Tapi mengatakannya sekarang akan memperburuk keadaan.

"T-tidak ada apa-apa kok..."

Oh tidak. Suaraku terlalu tinggi.

Dapat kubayangkan Towako-san tersenyum di ujung sana.

"Hm? Hm? Ada apa nih?"

"Sudah kubilang, tidak ada apa-apa."

"Tapi ada sesuatu yang terjadi, kan? Iya kan? Ayolah, beritahu aku."

"Sudah kubilang berkali-kali. Tidak a..."

Kalimatku terhenti disitu.

Memang tidak seperti biasanya, dia menelepon ketika sedang pergi. Tapi lebih aneh lagi, dia bersikeras menanyakan sesuatu telah terjadi, seperti dia telah yakin bahwa sesuatu memang terjadi.

"Bilang apa kamu ke Tokiya?"

"He? Ah, tidak kok..."

Ini dia. Saatnya membalikkan keadaan. Towako-san tahu sesuatu. Tidak, sepertinya dia ada di balik semua ini.

"Bilang apa kamu ke dia?"

"Tidak, ehm..."

"Jadi tidak apa-apa jika terjadi sesuatu dengan 'Relik-relik'mu, kan? Ah, ada satu disini.."

"Aaah! Tunggu tunggu! Baiklah, kuberi tahu kamu sekarang!" Dia langsung menyerah dan mulai menjelaskan semuanya, "Jadi sebenarnya si bodoh itu menggunakan dompet Relik dan terkena suatu kutukan yang membuat gajinya hilang jika ia tak menghabiskannya dalan satu hari. Jadi, aku sarankan ia membelikanmu hadiah, toh uangnya juga akan hilang!"

Aku sudah mengira hadiah-hadiah itu bukan hadiah biasa, tapi ternyata, dasar bodoh...

Sepertinya dia telah menjelaskan hal yang sama padaku ketika memberikan hadiah yang pertama. Aku masih ingat tak mendengarkannya waktu itu karena saking bingungnya.

"Tapi, bukankah ia tipe orang yang setia dan perhatian? Maksudku, dia lebih memilih membelikan hadiah untukmu daripada menghabiskan uang untuk dirinya sendiri!"

Kata-kata Towako-san barusan bernada mengejek. Sepertinya ia telah kembali menguasai suasana.

Tapi, kupikir ia benar juga tentang Tokiya.

Biasanya, jika kamu dipaksa untuk menghabiskan uangmu, kamu akan makan makanan mahal yang biasanya tak bisa kau beli, atau untuk menghibur dirimu sendiri, seperti pergi menonton film misalnya. Singkatnya, kamu pasti akan memberikan sedikit kemewahan pada dirimu sendiri.

Tapi, meskipun begitu, Tokiya menghabiskan uangnya untukku.

Mungkin ada alasan lain, dan mungkin hadiah-hadiah itu tidak sesuai seleraku, tapi tetap saja itu hadiah yang benar-benar hadiah.

"Yah, jadi terima sajalah hadiahnya."

"...E-Ehm, apakah aku harus melakukan sesuatu untuknya juga? Rasanya tidak enak kalau selalu aku yang..."

"Oho? Apakah kamu sudah masuk cute-mode sekarang?"

Ada yang salah denganku, sampai-sampai minta saran darinya. Bodoh sekali.

"Tidak, lupakan saja. Yang tadi itu hanya ada di pikiranmu saja."

"Aih, dingin sekali... Tapi, kenapa tidak kau masak sesuatu yang enak untuknya? Mungkin dia akan senang dan membelikanmu hadiah yang lebih bagus? Dua pulau terlewati dengan sekali dayung tuh!"

"Sudah kubilang, lupakan saja."

"Wow, melihat sisi lain Saki-chan ternyata sangat menyenangkan! Aku benar-benar puas. Baiklah, sekarang kutinggalkan panggung untuk kalian anak-anak muda! Aku tidak akan kembali sampai tiga hari lagi. Atau mungkin aku akan pergi lebih lama jika kalian merasa terganggu, mungkin...?"

"Tolong segera pulang."

Tawa Towako-san terdengar sebelum ia menutup teleponnya.

Dengan menghela nafas, kututup telpon. Percakapan barusan rasanya melelahkan sekali. Seketika itu juga bel pintu berbunyi. Aku langsung tahu siapa yang ada di balik pintu. Pasti Tokiya.

Kubuka pintu tanpa menghiraukan interkom, dan seperti dugaanku, Tokiya berdiri di depan sana dengan hadiah di tas belanjaannya.

"Ini, hadiah hari ini."

Hadiah yang ia berikan padaku hari ini terbungkus kotak yang panjang dan kertas kado bermotif kotak-kotak.

"Baiklah, sampai ketemu."

"Tunggu," kataku tanpa berpikir panjang.

"Ada apa?"

"M-Mau minum teh dulu di dalam?"


"Mau teh manis saja? Atau ditambah susu?"

"Teh manis saja."

Kuletakkan cangkir di depan Tokiya, lalu kutuangkan teh dari pocinya.

"Hm? Bukankah biasanya kau memakai teh celup yang murah?"

"Oh, aku sedang ingin minum yang ini hari ini."

"Jadi kau biasanya menyajikan yang murah ketika aku ada disini dan menikmati yang mahal ketika sendirian?"

"Toh kamu juga tidak tahu bedanya, kan?"

Meski masih mengeluh, Tokiya menyeruput tehnya, lalu setelahnya berujar dengan penuh keyakinan:

"Tidak salah lagi. Earl Grey."

"Ini Assam!"

Sepertinya dia hanya menyebutkan jenis teh paling mahal yang dia tahu. Kemungkinan besar, pengetahuannya tentang teh hanya terbatas pada Darjeeling dan Earl Grey, dimana yang satu murah dan yang kedua mahal.

Tokiya terdiam dan mukanya tiba-tiba menjadi muram.

Tak ada suara yang terdengar selain suara dari bibir kami yang menyeruput teh.

Kulihat hadiah dari Tokiya yang masih tergeletak di meja.

"Bolehkah aku buka sekarang?"

"Hm? Kalau kamu hanya ingin membukanya, silahkan saja."

Hati-hati, kubuka bungkus hadiah itu. Di dalamnya sebuah jam tangan. Namun, jam tangan ini adalah jenis jam tangan yang memiliki karakter imut di sekelilingnya. Tapi, sekali lagi, jam ini tidak sesuai seleraku. Aku tahu: 'Jangan melihat buku dari judulnya saja', tapi tetap saja aku akan memilih yang sesuai degan seleraku.

Kenapa dia masih tidak tahu apa yang aku suka meskipun kami selalu bersama?

Arah pandanganku bergeser ke Tokiya.

"A-Apa?"

"Bukan apa-apa. Ehm, terima ka..." baru saja aku memulai kata-kataku, tapi tiba-tiba ia terbatuk-batuk, dan tehnya muncrat ke meja. Sepertinya barusan ia tersedak.

Gagal sudah. Sekarang justru jadi aneh rasanya.

Kuambil kain lap, lalu kubersihkan meja.

"...Saki, apakah kamu masih ingat apa yang aku bilang ketika memberikan hadiah itu?" tanyanya ketika aku sedang mengelap meja.

"Apa yang kamu bilang?"

"Ketika aku memberikan hadiah yang pertama kali waktu itu."

"Y-Ya iyalah! Aku masih ingat. Aku bahkan mendengarnya sekali lagi dari Towako-san.

"Eh? Dia meneleponmu?"

"Ya. Dia bertanya apakah sesuatu telah terjadi akhir-akhir ini."

"Lalu apa jawabanmu?"

"Kubilang ya, akhir-akhir ini kau memberikan aku hadiah. Jadi ternyata kau kena kutukan dompet Relik? Rasakan. Itu akibatnya bermain-main dengan Relik sembarangan."

"Sudahlah. Aku hanya ingin meminjamnya beberapa hari ini karena dompet lamaku berlubang, dan, dompet Relik itu kutemukan di saat yang tepat! Kamu tidak mengira sebuah dompet Relik akan tergeletak di sembarang tempat, kan?"

"Boleh aku lihat dompetnya?"

Tokiya mengeluarkan dompet berwarna coklat dari kantong celananya.

Benar saja, terlihat seperti dompet yang biasa saja. Tapi aku tak peduli dengan dompet itu. Yang ingin kulihat sebenarnya isinya. Kulihat bagian dalam dompet itu dan kutemukan isinya hanya 50 yen.

"Hanya 50 yen? Bagaimana dengan makan malammu?"

"Sudah di perutku."

"Lalu bagaimana sarapanmu besok?"

"Tidak ada."

"Tidak ada?"

"Tak ada gunanya, kan, membeli sesuatu jika pada akhirnya akan hilang? Maka dari itu, aku selalu makan sebanyak mungkin saat makan malam. Anggap saja menumpuk makan di awal."

"Mana mungkin cara seperti itu bisa berjalan?"

"Jangan bilang begitu! Yang paling penting adalah keyakinan. Oh, aku jadi ingat bagaimana dulu aku tidak punya uang dan harus memutar otak untuk berhemat sebisa mungkin."

Tokiya memandang ke luar jendela seperti sedang mengenang sesuatu. Aku membayangkan bagaimana ia bertahan sebelum bekerja disini, tapi bayanganku menjadi agak mengerikan, jadi kuhentikan saja.

Tapi ia benar, pikirku. Jika dia harus menghabiskan gajinya di hari yang sama, tentu ia tidak akan bisa membeli makanan untuk esok harinya karena makanan itu toh akan hilang juga.

"Apakah kamu mau aku pinjami uang?"

"Tidak, tidak perlu sampai begitu. Aku akan meminjam ketika situasinya benar-benar buruk, tapi jika aku hanya perlu melewatkan sarapan dan makan siang, aku masih bisa bertahan. Ini masih belum apa-apa ketimbang dulu ketika aku tidak punya apa-apa untuk dimakan dan harus bertahan hanya dengan air selama tiga hari. Untuk orang yang terbiasa dengan kemiskinan, meninggalkan satu atau dua kali makan dalam sehari itu bukan apa-apa. Jika cowok sedang tidak punya uang dan harus memotong pengeluarannya, maka biaya makannya adalah yang pertama kali dipotong!"

"Jangan bangga dengan hal-hal seperti itu!"

"Ah, memikirkan yang barusan membuatku lapar. Sepertinya aku akan pulang dan tidur lebih awal."

Tokiya berdiri, dan sebelum pergi, ia bertanya:

"Bisakah kau menuangkan sebagian teh itu ke dalam botol untukku?"


Aku terbangun dengan perut kosong.

Ternyata, pencernaan kita akan bergerak aktif ketika mereka tahu sedang tidak ada yang dicerna.

Memahami cara kerja pencernaanku yang masih baik membuatku sedikit menyesal.

Tapi hari ini adalah hari terakhir penderitaan ini. Hari ini adalah hari ketujuh: hari dimana aku akan dibebaskan dari kutukan dompet ini. Gajiku hari ini akan dapat memberikanku kekuatan untuk bertahan esok hari.

Lebih baik lagi, hari ini adalah hari Minggu, jadi tidak perlu berangkat sekolah. Aku tak perlu menghabiskan tenagaku. Dan yang jauh lebih baik lagi, aku tak perlu mengisi perutku dengan air keran sembari menonton teman-teman sekelasku menikmati makan siang mereka. Entah sudah berapa kali aku mengutuk sekolahku karena tidak menyediakan makan siang gratis.

Tapi hari ini aku akan memutarbalikkan nasibku.

Penderitaan ini akan berakhir hari ini.

Dengan harapan itu sudah ada di pikiranku, perut kosong selama sehari ini sudah bukan jadi masalah bagiku.

Tinggal menunggu sebentar di apartemenku yang luasnya tak lebih dari 7,5 meter persegi ini, dan waktuku kerja akan tiba.

Seseorang mengetuk pintu kamarku.

Tawaran berlanggan koran, mungkin? Jika tawaran ini datangnya sehari kemarin, mungkin aku akan terpaksa mau berlangganan. Tapi tidak lagi. Kamu terlambat. Aku tidak punya uang untuk berlangganan koran. Lembaran kertas tidak mengisi perutku. ...Haruskah aku mengatakannya?

"Sebentar! Siapa disana?"

Segera kubuka pintunya. Dan kulihat Saki telah berdiri di depanku.

"Saki?"

Awalnya kukira aku terlambat pergi bekerja, tapi jam alarmku menunjukkan angka 9 pagi. Jam itu juga tampaknya masih bekerja normal.

"Ini jam 9 pagi, bukan?" tanyaku.

Saki melihat jam tangannya dan menjawab, "Ya, benar."

Tentu bukan jam tangan yang aku belikan, tapi jam tangannya sendiri yang bertali kulit hitam. Tumben sekali. Tidak biasanya dia datang ke tempatku. Dan sepagi ini.

"Ada apa, ya?"

Tanpa berkata apapun, Saki memberikan sebuah kantong berwarna hitam.

"Apa ini?"

Kuterima kantong itu. Rasanya hangat di tanganku. Sesuatu yang hangat ada di dalamnya.

"Makanan untukmu," katanya dengan nada datar. "Kamu tidak punya makanan lain untuk dimakan, bukan?"

Dia ingat apa yang kukatakan tempo hari, dan dia repot-repot membawakanku makanan. Ada dua kotak di dalamnya—mungkin salah satunya untuk sarapan dan satunya lagi untuk makan siang.

"Tolong cuci kotaknya dan bawa sekalian ketika kamu berangkat kerja nanti," katanya dengan muka datar, lalu membalikkan badannya dan pergi.

Aku sama sekali tidak mengira dia akan membuatkan aku makanan.

Apakah perasaannya padaku telah berubah?

Dia, yang biasanya patuh pada perintah Towako-san untuk menarik biaya makan dari gajiku jika aku minta makan malam bersama mereka, dan akhirnya membuatku pulang dengan tangan kosong?

Apakah ini akibat dari hadiah-hadiahku juga?

...Rasanya memang tidak aneh, tapi timbul kecurigaan dariku.

Jangan-jangan, dia tidak mendengarkan penjelasanku kemarin?

Dia bilang dia mendengarkannya. Dan dia bilang dia juga mendengarnya dari Towako-san.

Tapi kalau itu benar, rasanya tingkah lakunya agak aneh.

...Tunggu. Dia bilang dia mendengarnya dari Towako-san?

Towako-san tidak tahu apapun tentang apa yang kukatakan pada Saki waktu itu. Seharusnya Saki hanya tahu tentang dompet Relik dan saran Towako-san untuk membelikan hadiah.

Apalagi, Saki sempat berkata:

"—Jadi ternyata kau kena kutukan dompet Relik?"

"Jadi" dan "ternyata", berarti ia sama sekali tidak tahu sampai ia mendengarnya dari Towako-san.

Kalau benar begitu, berarti dia sama sekali tidak mendengarkan penjelasanku.

Tidak mengherankan, melihat dia seperti orang linglung saat itu.

Seharusnya aku paksakan untuk bertanya padanya saat itu.

Mungkin sebaiknya aku jelaskan lagi padanya saat nanti bertemu?

Tapi toh, sudah terlambat.

Strategiku sudah terlanjur berjalan.

Tidak ada gunanya menjelaskan padanya sekarang.

Jika kuberitahukan padanya sekarang, mungkin itu justru akan membuatnya marah.

Terlepas dari sifatnya yang sulit mengungkapkan perasaannya, tetap saja, aku tak ingin membuatnya kesal.

Tapi aku sudah menjelaskan padanya.

Dan dia bilang dia sudah paham.

Seharusnya itu sudah cukup untuk mencegah hal yang tidak diinginkan.

Lagipula, kalaupun dia marah, sepertinya ini akan jadi kesempatan yang langka, untuk melihat muka marahnya.

Sesaat setelah kuanggap masalahnya selesai, perutku mulai berbunyi. Pas sekali.

Kuambil satu kotak dari tas itu dan langsung kubuka.

Ada tiga roti isi di dalamnya. Satunya roti isi ikan tuna segar, satu isi telur, dan satu isi daging ham dan kubis, dan ada irisan daging. Salad kentang juga ada di dalam.

Penasaran, kubuka kotak satunya lagi.

Tiga nasi kepal, beberapa daging goreng, kroket, daging asap dan asparagus. Lagi-lagi, ada salad juga di kotak ini.

Jujur saja, semua makanan ini adalah makanan favoritku. Ternyata dia masih mengingatnya.

Kututup lagi kotak yang kedua, dan setelah menggigit sepotong roti isi, kutuangkan isi termos yang ada di tas itu ke dalam gelasnya. Ternyata isinya kuah sup. Aromanya memenuhi seisi kamarku.

Seteguk dari sup kuah itu benar-benar menghangatkan tubuhku.

Aku tak menyangka botol termos dapat menjaga panas sampai sebaik ini.


Setelah sarapan dan makan siang yang sedikit lebih awal, kutinggalkan apartemenku meski jam kerjaku masih lama.

Kenapa? Karena aku ingin pergi ke suatu tempat terlebih dulu sebelum pergi ke toko tempatku bekerja. Aku ingin pergi ke department store, bukan untuk membelikan Saki hadiah, tentunya, tapi untuk membeli keperluanku sendiri.

Sepertinya, Saki beranggapan bahwa aku sama sekali tidak punya uang. Tapi tentu saja, aku tak sebodoh itu. Sejak dulu, aku telah menabung sedikit demi sedikit dari uang gajiku. Itulah untungnya punya tabungan di bawah bantal. Sekarang, uang simpananku harus kukeluarkan untuk membeli dompet baru.

Mau tak mau, aku butuh dompet baru ketika aku harus berpisah dengan dompet Relik ini. Tentu aku hanya tertarik dengan dompet biasa yang murah. Semoga saja harganya tak lebih dari 1000 yen.

Setelah menemukan satu lift, aku masuk ke dalamnya dan menekan tombol untuk lantai yang berisi aksesoris umum.

Sebenarnya ada juga lantai yang khusus berisi pakaian dan aksesori pria, namun disana hanya ada barang bermerek yang mahal dan juga tidak sesuai dengan seleraku.

Pintu lift terbuka dan nampak di depanku barisan etalase yang memajang alat tulis, buku, CD, dan perhiasan perak. Bermacam-macam barang tersedia disini.

Kulihat peta untuk mencari tempat dimana aku bisa menemukan dompet. Sepertinya ada satu di dekat tempat penjualan perhiasan perak.

Saat aku berjalan melewati etalase perhiasan perak, tak sengaja aku melihat Saki.

"Hai, Saki," kupanggil dia.

Anehnya, dia tersentak begitu kupanggil. Pandangannya dialihkan dari etalase kaca ke diriku.

"T-Tokiya?"

"Apa yang kamu lakukan disini?"

"Bukan apa-apa."

Kulihat ke dalam etalase yang tadi dia lihat. Di dalamnya terdapat berbagai aksesori dengan bentuk bintang, pedang, mawar, dan lain-lain. Harganya pun cukup masuk akal.

"Apakah kau ingin membeli salah satunya?"

"Tidak. Aku cuma mengecek rambutku yang berdiri barusan."

Jemarinya mengelus-elus rambut peraknya. Dulu aku percaya rambut sehalus itu tidak akan berdiri ketika dia bangun tidur, tapi sepertinya aku salah. Yah, tentu saja.

"Tapi apa yang kau lakukan disini, Tokiya?"

"Eeh, cuma membeli sesuatu. Oh iya, ini," kuberikan tas berisi kotak makan yang sudah kosong. "Enak sekali lho!"

"Ya iyalah. Aku kan sudah mengerahkan semua... ah, lupakan."

Tangannya segera merampas tas itu dan memasukkannya ke tas yang menggantung di bahunya. Satu tas belanjaan dari department store yang sama sekilas terlihat di dalamnya.

"Hm? Kau membeli sesuatu disini?"

"T-tidak. Baiklah, aku pergi dulu. Jangan sampai terlambat ya!"

Dengan kata-kata itu, dia pergi menuju ke lift.

"Rambut yang berdiri ya."

Mataku tertuju ke etalase kaca, dan melihat lebih jauh lagi. Ada papan tanda disana yang menunjukkan arah ke toilet.

"Ada yang bisa dibantu?"

Seorang pramuniaga menyapaku.

"Apakah gadis yang baru saja kesini membeli sesuatu?

"Gadis yang barusan? Tidak, dia hanya melihat-lihat."

"Apakah anda tahu apa yang sedang dia lihat?"

"Em, maaf, saya kurang tahu. Tapi, kalung berbentuk hati dengan batu berwarna pink ini sedang banyak yang mencari, sepertinya dia akan senang menerimanya!"

Jelas, kalung itu tidak sesuai seleranya. Kalau aku harus memilih sesuatu yang ia suka, di etalase kaca ini, mungkin.. adalah yang berbentuk bulan sabit dengan batu hitam di atasnya ini. Mungkin.

Pikirku sambil mengamati etalase kaca.

Ups, aku tidak bisa berdiam diri disini. Aku pergi kesini untuk membeli dompet.

Setelah mengatakan pada pramuniaga bahwa aku akan datang lain kali, aku segera menuju ke tempat penjualan dompet di sebelah.


Setelah jam kerja usai, kuminta Tokiya tetap tinggal untuk makan malam.

Dia berkata, "Baiklah, waktunya pas sekali."

Dia tidak perlu lagi menghabiskan uangnya setiap hari, jadi dia tidak perlu membeli makanan instan. Dan jika aku membuatkan makan malam untuknya, dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk apapun, jadi akan pas sekali untuknya.

Lagipula, aku juga belum siap secara mental, jadi pas juga untukku.

Kali ini aku membuat kubis gulung dan ayam goreng. Berbeda dengan makan siang yang aku buat untuknya tadi, kali ini aku membuat makanan yang asin dan manis. Aku juga memasak beberapa makanan sisa dari sarapan tadi pagi, yang juga ia habiskan.

"Aah, kenyang sekali. Rasanya sudah lama sekali sejak aku makan sesuatu selain makanan instan."

"Kamu tak pernah pergi ke restoran?"

"Tidak. Terlalu mahal. Kalau sedang ingin, aku akan makan gyuudon di pinggir jalan."

Kebiasaan makan Tokiya yang jelek bukan hal baru bagiku, tapi aku agak khawatir dengannya. Mungkin aku perlu meminta Towako-san untuk mengijinkannya makan disini?

Setelah selesai makan, Tokiya bersantai menonton TV dan minum teh yang kutuangkan barusan.

Sedangkan, aku menyiapkan diriku sendiri sambil mencuci piring.

Sambil mencuci piring—dan nyaris memecahkannya beberapa kali—aku mulai melakukan simulasi di dalam otakku. Kupikir akan lebih baik jika aku bersikap biasa saja, tidak terlalu khawatir padanya. Tapi sayangnya, bersikap biasa saja itu yang paling sulit.

Mana mungkin aku bisa melakukan hal itu dengan biasa saja.

"Tidak, ini hal yang mudah," kucoba meyakinkan diriku sendiri.

Tapi melakukan hal ini adalah pertama kalinya untukku, dan karena itu, penting.

Pemikiran mengenai 'yang pertama kalinya untukku' justru membuatku sedikit gugup.

Aku tahu pasti, dalam kondisi normal aku tak akan melakukan hal seperti ini.

Aku hanya perlu memberikannya tanpa menunjukkan ekspresi apapun, seperti biasa. Aku tahu itu. Tapi bisakah aku benar-benar melakukannya?

Setelah selesai mencuci piring, kutetapkan pendirianku dan pergi ke ruang tengah.

"Tokiya, dengar...!" kataku, berusaha meyakinkan diriku sendiri, tapi tak ada balasan.

"?"

Kukira... Tokiya sedang berbaring di sofa, menonton TV, tapi ternyata dia tertidur nyenyak disana. Sepertinya dia mulai tak sadar ketika sedang menonton TV.

Setengah lega dan setengah kecewa, aku hanya bisa menurunkan bahuku yang tegang sambil mendesah.

Kuambil selimut dari kamarku dan kubentangkan di atas tubuhnya. Saking nyenyaknya, Tokiya sampai tidak menyadari apa yang aku lakukan barusan. Seminggu ini pasti sangat melelahkan untuknya.

Jarum jam menunjukkan angka 10. Kurasa akan kubiarkan dia tidur sedikit lebih lama.

Sambil melirik ke mukanya dari ujung mataku, kunikmati secangkir teh hitam.


Aku terbangun ketika seseorang mengguncangkan bahuku.

Seperti lampu neon yang dinyalakan, kesadaranku sempat hilang sesaat, lalu kembali lagi.

Oh? Apa yang aku lakukan?

Itu yang pertama kali ada di pikiranku.

"Kamu tertidur barusan!"

Kuputar kepalaku 90 derajat ke arah suara yang kudengar, kulihat ada Tokiya disana.

"Aku juga tertidur?"

"Ya, aku juga baru saja bangun. Sepertinya kita tertidur cukup lama juga."

Kulihat jam. Sekarang sudah hampir tengah malam. Jadi aku tertidur hampir 2 jam. Sepertinya, bukan cuma Tokiya saja yang capek. Kelelahan mental, mungkin?

Baiklah, kurasa ini waktunya aku pulang," katanya sembari beranjak dari tempat duduknya.

Mm? Bukannya aku ingin melakukan sesuatu sebelum tertidur tadi?

"Ah. Hadiahnya," kataku.

"Mm...?"

"Ini."

"Kuberikan sebuah tas, yang sedari tadi kusembunyikan di bawah meja, ke Tokiya.

Karena aku masih setengah sadar, kuberikan hadiah itu padanya dengan cepat tanpa memperdulikan simulasi yang telah kubuat sebelumnya

Tapi mungkin, ini yang membuatnya lebih terasa natural, biasa saja.

“Hadiah? Untukku?”

“Ya. Tapi itu hanya sebuah dompet. Dompet hitam!”

Kuberitahukan apa isi tas itu. Entah kenapa aku tak ingin ia berharap terlalu banyak sebelum membuka kotaknya.

Memilih dompet ternyata sangat sulit.

Berulang kali aku mengambil dompet, untuk lalu kuletakkan lagi, sambil mengira-ngira mana yang cocok dengannya. Aku tak pernah mengira, bahwa memilih hadiah untuk seseorang ternyata sesulit ini.

Yang membuatku berpikir, apakah Tokiya juga mengalami hal yang sama denganku ketika memilih hadiah-hadiah untukku.

“Dompet?”

“Ya! Dompetmu yang lama sudah berlubang, bukan? Kupikir kau butuh dompet baru setelah kau berhenti menggunakan dompet Relik itu.”

“Wah, pas sekali waktunya, terima kasih! Baiklah, kalau begitu ini hadiah dariku.”

Keadaan kami kini berbalik ketika dia memberiku sebuah bungkusan.

Di dalamnya ada kotak kubus kecil dengan pembungkus kertas hitam dan pita perak. Sepertinya ini adalah sebuah hadiah.

“Ini untukku?”

“Kali ini hadiah yang benar-benar hadiah.”

“Apa maksudmu? Hadiah dariku barusan juga benar-benar hadiah!”

Kubuka ikatan pitanya dan dengan hati-hati kulepaskan kertas pembungkusnya. Di dalam kotak itu ada liontin berbentuk bulan sabit dengan batu hitam berbentuk seperti intan ditempelkan di atasnya.

“Ini...”

“Kupikir ini akan sangat cocok denganmu...”

Sebenarnya, memang tadi siang aku sedang melihat-lihat liontin ini.

Setelah aku selesai memilih dan membeli dompet untuk Tokiya, satu etalase di toko aksesori perak menarik perhatianku. Di dalamnya ada beragam jenis aksesori. Tapi hanya liontin ini yang menarik perhatianku.

Semua hadiah-hadiah yang ia berikan sebelumnya sama sekali tidak sesuai dengan seleraku, tapi yang ini benar-benar tepat sasaran.

Tiba-tiba, pendulum jam berdentang dua belas kali.

“Sudah tengah malam? Akhirnya selesai juga,” gumamnya.

Kutukan Tokiya sudah berakhir.

Ia keluarkan dompet Reliknya, lalu mengambil isinya, dan berkata dengan geram pada dompet itu, “Kau telah memberikan banyak masalah untukku!”

Setelah meletakkan dompet itu di rak, dia membuka hadiah dariku. Sebuah dompet lipat berwarna hitam.

Lalu dia masukkan uangnya di dompet barunya.

Dia langsung memakainya.

Entah kenapa aku merasa senang sekali melihatnya memakai hadiah yang kuberikan padanya.

Mungkin, memberikan hadiah memang lebih menyenangkan daripada menerimanya.

Mungkin itulah mengapa kami saling memberi hadiah.

Hal seperti ini mungkin hal yang sudah diketahui banyak orang, tapi buatku, ini adalah suatu hal yang benar-benar baru.

“Tunggu sebentar,” aku segera berlari ke kamarku dan menutup pintu.

Semua hadiah yang kuterima dari Tokiya kusimpan disitu. Gaun pink, topi putih, kacamata merah, dan jam tangan bergambar.

Semuanya tidak ada yang sesuai seleraku. Aku belum pernah memakai atau menggunakannya sama sekali.

Namun.

Aku baru sadar bahwa melihat penerima hadiah menggunakan atau memakai hadiah itu ternyata sangat menyenangkan untuk pemberi hadiahnya.

Kukenakan semuanya secepat aku bisa.

Dengan menarik napas dalam-dalam, kubuka pintu kamarku dan melangkah ke ruang tengah, menunjukkan diriku pada Tokiya.

Tokiya melihatku dengan muka terkejut.

Meskipun aku pernah memegang gaun pink itu di depanku, aku tak pernah memakainya. Dan karena aku tidak sempat bercermin, aku tidak tahu bagaimana gaun itu ketika kupakai.

Kurasakan mukaku memerah dengan cepat.

Aku yakin gaun itu sangat tidak sesuai denganku, tapi aku tak tahu bagaimana pendapatnya. “Bagaimana menurutmu?” tanyaku ragu-ragu.

Tsukumodo V1 P293.jpg

Dia menjawab,



“Kenapa kamu memakainya?!”



“......Eh?”

Aku tak paham.

Semua ini adalah hadiah darinya.

Gaun pink. Topi putih. Kacamata merah. Jam bergambar.

Semua ini adalah hadiah darinya.

“Jadi ternyata kamu memang tidak mendengarkan kata-kataku, ya?”

“Eh?”

“Aku akan mengulangi sekali lagi apa yang kukatakan waktu itu, jadi dengarkan.”

Setelah itu, dia kembali mengatakan apa yang dia jelaskan saat pikiranku kosong selama 22-detik waktu itu.


“J-jangan salah paham, ya? Ini memang hadiah, tapi ini bukan benar-benar hadiah. Sepertinya kamu tak paham maksudku ya? Baiklah, jadi dengar! Jujur saja, sebenarnya sekarang aku sedang berada dalam pengaruh Relik yang aneh. Sepertinya suatu kutukan. Kutukan aneh yang membuat uangku hilang jika aku tidak memakainya di hari yang sama ketika aku mendapatkannya. Dan parahnya lagi, semua barang yang aku beli untukku sendiri juga akan hilang. Singkatnya, aku tak akan punya apa-apa lagi. Karena itu, ini bukan hadiah. Ini hanya semacam pemberian, dan aku akan minta kamu mengembalikannya padaku nanti. Ini hadiah untukmu, tapi kamu harus mengembalikannya padaku lagi nanti. Jadi...paham maksudku?”

Itulah yang waktu itu aku katakan kepadanya, strategi yang kubuat waktu itu. Dengan kata lain, untuk dapat membelanjakan semua uangmu tapi tidak sampai kehilangan uang itu, kau hanya perlu memberikannya kepada seseorang sebagai hadiah dan mengembalikannya ke toko ketika kutukannya sudah berakhir.

Sebenarnya aku berniat untuk mengembalikan barang-barang itu ke tokonya, dengan alasan tidak sesuai dengan ukuran atau tidak sesuai dengan selera, untuk lalu mendapatkan uangku kembali. Untuk itu, aku hanya memilih toko-toko tertentu yang memperbolehkan pembeli mengembalikan barang yang dibeli dalam jangka waktu seminggu sejak barang tersebut dibeli. Karena mengembalikan semua barang yang kubeli ke toko yang sama akan nampak mencurigakan, aku harus mencari toko-toko yang berbeda di tiap harinya. Maka dari itu, barang-barang yang kuberikan pada Saki juga bermacam-macam.

Kondisi terburuknya, jika tidak bisa kukembalikan, aku masih dapat menjualnya sebagai barang bekas. Tentu akan ada ruginya, tapi itu masih lebih baik daripada kehilangan seluruhnya.

Ide yang brilian, hanya dengan memanfaatkan pemberian hadiah.


“Jadi itu yang sebenarnya kau lakukan...”

“Ya! Tapi aku sudah menjelaskannya padamu dan aku juga sudah menanyakan apakah kamu paham! Begi...?”

Kutinggalkan ruang tengah menuju kamarku tanpa mendengarkannya.

Setelah menyalakan lampu, kucoba untuk bercermin. Sepotong gaun, topi putih, kacamata merah, dan jam tangan bergambar—disana ada Saki yang mengenakan barang-barang yang tidak sesuai sama sekali dengannya.

Aku ingin tertawa. Tapi aku tak bisa.

Kuangkat topi putih itu dari kepalaku, kulepaskan jam tangan dari tanganku, kuambil kacamata merah dari depan mataku, kubiarkan gaun pink itu melorot dari tubuhku, dan aku kembali ke penampilanku seperti biasanya.

Lalu kumasukkan lagi barang-barang itu ke kotaknya masing-masing.

Mereka akan menemukan seseorang yang lebih cocok dengan mereka.

Kutinggalkan kamarku dan kukembalikan barang-barang itu ke Tokiya.

“Tolong jangan marah karena aku telah memakainya, ya?”

“Tidak, tentu saja tidak.”

Setelah itu, kuantar dia ke depan pintu. Tokiya tiba-tiba menepuk kantongnya dimana dia menyimpan dompet barunya.

“Ah, terima kasih untuk dompetnya!”

“Sama-sama.”

Dengan muka tak enak, dia berkata, “Kamu dapat menyimpannya kalau kamu mau?” dan mengembalikan kotak-kotak hadiah itu ke tanganku.

“———!”

Kudorong kotak-kotak berisi barang yang pernah menjadi hadiah itu kembali kepadanya dengan sekuat tenaga, lalu kubanting pintu di depan mukanya.

Kehilangan tenaga, badanku lalu ambruk di depan pintu.

Apa yang aku lakukan?

Apa yang sebenarnya aku harapkan?

Kalau saja nasib memperbolehkanku untuk berharap.

“...bodohnya aku, bodoh sekali.”

Orang-orang—biasanya Tokiya— sering berkata bahwa aku tidak punya perasaan, tapi itu salah. Meskipun aku kesulitan menampilkannya, tapi aku juga punya perasaan, dan hatiku juga sensitif seperti orang lain.

Sampai-sampai rasanya sakit sekali ketika semua harapanku ternyata salah.


Seperti yang sudah aku bilang.

Aku sudah menjelaskan strategiku padanya. Dan dia sudah menganggukkan kepala.

Aku bahkan menanyakannya sekali lagi kearena aku tidak ingin mengabaikan kemungkinan dia tidak mendengarkanku. Dan dia bilang dia sudah paham.

Ini bukan salahku. Yah, setidaknya bukan aku saja yang salah.

Tetapi aku tetap saja merasakan sakitnya penyesalan.

Sebenarnya ada tanda-tanda dia tidak paham apa yang kukatakan, tapi aku tidak menjelaskannya sekali lagi padanya.

Sebenarnya, kenapa aku tidak menjelaskan lagi padanya, ada sebagian unsur kesengajaan.

Aku tidak menyangka perasaannya akan naik turun seperti ini hanya karena diberi hadiah.

Tidak, aku memang mengira dia akan sedikit marah. Aku bahkan mengaku tertarik melihat mukanya ketika marah.

Perasaan memang bisa berubah-ubah.

Aku sendiri memang tidak bertanggung jawab.

Aku sendiri memang bodoh.

Tapi tetap saja—


—Aku tak mengira dia akan menangis.


Memang, dia tidak meneteskan air mata. Tapi aku belum pernah melihat matanya selembab itu.

Mungkin ia sedang menangis di kamarnya sekarang.

Sembari bersandar di dekat pintu, aku baru sadar bahwa dia punya perasaan seperti itu.

Aku selalu menganggap dia adalah seseorang yang down-to-earth – seseorang dengan perubahan emosi yang sangat minim.

Aku kira aku tidak salah tentang itu.

Tapi itu tidak sama dengan tidak berperasaan.

Dia memang punya perasaan. Hanya saja, dia biasanya tidak menampakkan perasaannya, dan sangat sulit membaca pikirannya, tapi dia juga merasakan kegembiraan, kekesalan, dan kesedihan.

Hari ini, aku melihat mukanya yang marah dan mukanya yang penuh kesedihan.

Mukanya ketika sedang marah memang tidak berbeda dengan yang sudah aku bayangkan.

Tapi kini aku sadar bahwa itu bukanlah mukanya yang ingin aku lihat.

Aku akan bisa menghindari masalah ini jika saja “Vision”-ku aktif...

Sebuah pikiran yang tak bertanggungjawab muncul di otakku dan menambah daftar kekesalanku pada diriku sendiri.

Tiba-tiba, pintu terbuka.

Saki melihatku.

“Kau melupakan sesuatu,” katanya dengan suara yang datar, lebih datar dari biasanya, dan memberikan sesuatu padaku.

Liontin berbentuk bulan sabit yang baru saja kuberikan.

“Hei, apa kamu tidak mendengarkan aku lagi?” tanyaku.

“Apa? Ada yang ingin kau katakan lagi?”

“Apa kamu sengaja melakukan ini? Atau kamu benar-benar tidak tahu?”

“Aku sengaja mengembalikannya padamu! Atau kau ingin aku mengembalikannya ke toko untukmu?”

“...Kamu memang tak mendengarkan apapun yang aku katakan, bukan?” kataku sambil mendesah. “Untuk apa aku membeli sesuatu untuk kukembalikan lagi hari ini? Kutukannya sudah berakhir!”

“?”

“Ayolah! Aku sudah bilang padamu bahwa yang ini hadiah yang sesungguhnya!”

“Yang...sesungguhnya...?”

Akhirnya dia bisa memahaminya.

—Bahwa, hari ini, tidak ada lagi alasan untuk membeli hadiah sementara.

“Sebenarnya, aku pergi ke department store untuk membeli dompet baru, tapi ketika kulihat kamu sedang melihat-lihat aksesoris, aku berubah pikiran.”

Saat itu, aku tak tahu dia sudah membelikan dompet untukku. Untung saja aku belum membeli dompet baru.

“...Sebenarnya aku juga tidak setuju dengan apa yang sudah aku lakukan! Tapi kamu adalah satu-satunya orang yang bisa kupercaya. Bahkan kamu membuatkan aku makanan. Itu kenapa aku berpikir untuk memberikan hadiah yang sesungguhnya untukmu, sebagai ucapan terima kasihku!”

Jujur saja, kupikir aku tidak pantas mengatakannya. Hadiah ini juga bukan murni ucapan terima kasih dariku. Entah kenapa, aku hanya ingin membelikan liontin itu untuknya. Aku juga berharap dapat melihat senyumnya.

Aku sudah melihat hadiah-hadiahku mengejutkannya. Aku tidak melihat sendiri bagaimana hadiah-hadiahku bisa menyenangkan dirinya, tapi aku sudah merasa begitu.

Itu kenapa aku masih mendengarkan kata hatiku. Kalau saja aku tidak merasa seperti itu, aku tidak akan menyesal sama sekali telah membelikan dia hadiah sementara.

“......”

Saki membalikkan badannya.

Tapi tangannya tetap dihadapkan padaku.

Tangan dimana dia masih memegang liontin yang kuberikan padanya.

“Pakaikan ini padaku.”

Kuambil liontin itu dan berdiri di belakangnya.

Setelah memegang ujung rantai kalungnya, kuturunkan liontin dari atas dan kuletakkan di sekitar lehernya. Lalu, kukencangkan jepitannya.

Ketika tanganku menyeka rambut peraknya yang masuk ke bawah rantai, kulihat pipinya bergerak sedikit.

Aah, aku salah.

Seharusnya aku membelikannya cincin.

Dengan begitu, aku bisa melihat mukanya ketika cincinnya kupasang di jarinya—


Catatan Penerjemah:[edit]

  1. [1] Hari Syukuran Pekerja (勤労感謝の日/ Labor Thanksgiving Day) adalah hari libur nasional di Jepang. Setiap tahun, hari ini dirayakan pada tanggan 23 November. Hukum yang menetapkan bahwa pada tanggal tersebut, diadakan perayaan untuk memperingati para pekerja dan produksi, serta untuk saling memberi ucapan terima kasih. Sumber: wikipedia.org
  2. [2] Pada saat buku ini ditulis, nilai tukar mata uang Jepang berkisar pada ¥80/US$ 1 atau Rp 115,00/ ¥1.
Mundur ke Ingatan dan Catatan Kembali ke Halaman Utama Maju ke Penutup