Tsukumodo Bahasa Indonesia:Jilid 1 Ingatan dan Catatan

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Kata 'ingatan' berarti 'pengalaman masa lalu yang tersimpan di pikiran'. Sedangkan, pengertiannya menurut sains adalah 'informasi dari luar tubuh manusia yang tersimpan di tubuh manusia dengan menyalin data dari sinapsis yang ada di sistem saraf manusia'.

Tapi, memahami apa arti kata 'ingatan' tidak membuat ingatanku makin bagus.

Kalau kupikir-pikir lagi akibat dari ingatan yang jelek, yah, hasil ujian akhir-akhir ini membuatku agak kesal.

Tidak seperti Ujian Nasional yang menguji pengetahuanmu, UTS dan UAS menguji apakah kamu memperhatikan pelajaran di kelas atau tidak.

Nilai bagus bukan prioritas utamaku. Selama aku tak perlu ikut ujian remedial, tidak masalah buatku. Jadi, menghafal isi buku diktat sudah cukup buatku.

Masalahnya, justru itu yang sangat susah untuk dilakukan.

Apa tidak ada cara yang lebih mudah untuk menghafal sesuatu?

Oh, katanya, kamu bisa menghafal apapun kalau kamu menuliskannya di kertas dan memakannya. Aku pernah mencobanya sekali untuk suatu ujian.

...Bukannya sukses di ujian, perutku malah kesakitan karenanya.

Kenapa aku tiba-tiba membahas masalah ini?

Yah, karena salah satu guruku, yang telah selesai menilai hasil ujian kami, berkata padaku ketika aku akan pulang.

"Materi ujian remedial sama dengan ujian sebelumnya. Tolong persiapkan dirimu dengan baik."

Oke, jadi makan malam hari ini adalah sebundel catatan.

Tapi...catatan yang mana?

...apakah fotokopian juga termasuk?



Ibuku meninggal di rumah sakit setelah jatuh dari tangga di rumah.

Meninggal karena kecelakaan. Dengan tiga kata itulah penyebab kematiannya dipastikan.

Tapi aku telah melihat kejadian yang sebenarnya.

Aku melihatnya. Melalui celah di pintu kamar tempatku dikurung, aku melihatnya. Dengan pipiku yang merah dan tanpa mengenakan pakaian, aku melihatnya.

Aku melihat ia mendorong Ibuku jatuh dari tangga.

Aku berusaha membuat kesaksian, tapi tak ada yang mau mempercayaiku.

Apa yang sebenarnya terjadi akan segera hilang dan terlupakan.

Tak lama lagi aku juga akan melupakannya.

Aku punya ingatan yang buruk, jadi aku akan melupakannya.

Tapi aku tak mau melupakannya.

Aku tak boleh melupakannya.

Jadi aku menuliskan apa yang terjadi hari itu.

Ke dalam buku catatan yang ibuku berikan dengan nasihat untuk menuliskan ke dalam buku itu, apapun yang tak ingin kulupakan.

Buku itu bukan hanya kenang-kenangan terakhir darinya.

Buku catatan itu bukan buku catatan biasa-berbeda dengan yang biasanya kupakai-, dimana aku tak pernah melupakan apapun yang kutulis di dalamnya.

Karena itu, kucatat kejadian hari itu.

Supaya aku tak melupakannya, kucatat kejadian hari itu.

Kucatat kebenaran di balik kematian ibuku.

...Ada yang membuka pintu. Duh. Mungkin itu dia. Dia akan menghancurkan buku ini jika dia melihatnya. Aku akan melupakannya jika ia menghancurkan buku ini.

Aku tak mau melupakannya.

Aku tak boleh melupakannya.

Pintu kamarku pelan-pelan terbuka.

Tangannya muncul dari balik pintu.

Dia sudah datang.

Kututup buku catatan, lalu mencari tempat untuk menyembunyikannya. Namun aku tak bisa menemukan tempat yang aman.

Pintu terbuka semakin lebar.

Pandangan mataku berpindah-pindah dari buku catatan yang berisi kebenaran dari kematian ibuku dan pintu yang terbuka pelan-pelan.

Tidak ada waktu lagi.

Kusobek halaman yang baru saja kutulisi, lalu kujejalkan sobekan itu ke mulutku dan kutelan.

Kusembunyikan kebenaran dibalik kematian ibuku di perutku.

Sekarang aku tak akan lupa.

Aku akan mengingatnya seumur hidupku......


.........

Sesaat setelah terbangun, kepalaku dipenuhi rasa kebingungan sampai aku tak tahu dimana aku sekarang.

Sepertinya kesadaranku sedang berputar-putar diantara mimpi dan kenyataan.

Setelah mengamati pola langit-langit kayu di atas kepalaku, barulah aku tersadar.

Butuh beberapa menit untukku menyadari bahwa aku tinggal disini.

Potongan-potongan memori yang masuk ke kepalaku sebelum aku terbangun masih menempel di kepalaku sampai sekarang.

Aku bermimpi, tadi.

Tapi selama beberapa menit, aku sempat tak ingat apa yang sebenarnya kuimpikan.

Membuatku kesal, ketika aku melupakan mimpi yang barusan kualami.

Mimpi tentang apa tadi?

Apa yang kuingat pasti akan kulupakan,

Jika aku tak mencatatnya, aku tak bisa mengingat lagi apa yang sudah kulupakan.

Lagi-lagi. Seperti biasa.

Aku tak bisa mengingatnya lagi.

Meskipun aku tak bisa melupakan apa yang sebenarnya ingin kulupakan

Ketidakmampuanku menghadapi masalahku sendiri, membuatku semakin frustasi.

Kudekap kepalaku dengan bantal dan kutarik lagi selimutku, berusaha menenggelamkan diriku dalam kegelapan.

Ketika mataku sudah tak sanggup melihat apa-apa lagi, suatu keajaiban datang, rasanya seperti melihat kembang api menyala di langit.

—Aku mengingatnya. Aku mengingat lagi mimpiku.

Tadi aku memimpikan masa laluku.

Dan pada saat yang sama, aku kembali teringat.

Aku kembali teringat kenapa aku tak bisa melupakannya.



Karena sedang masuk masa ujian, tidak ada kelas setelah istirahat siang.

Aku, sebagai murid SMA biasa, tentunya harus pergi ke sekolah. Karena aku pergi ke sekolah, tentunya aku juga harus belajar di kelas. Karena aku belajar di kelas, tentunya aku juga harus ikut ujian ketika waktunya tiba. Dan, karena aku ikut ujian, tentunya aku juga harus ikut ujian remidial. Ya. "Tentunya." Aku tak setuju dengan pendapat lain yang berbeda denganku.

Kembali ke cerita, jadi aku pergi ke toko sedikit lebih awal meskipun shift kerjaku adalah sore hari, seperti biasa. Aku berencana untuk belajar untuk ujian remidial keesokan harinya. Aku rajin, kan?

Tapi, di luar dugaanku, ada seorang pengunjung di toko.

Sangat jarang ada orang lain di toko ini selain aku, rekan kerjaku, Saki, atau Towako-san, si pemilik toko. Orang-orang mungkin tak percaya bahwa memang tak ada pengunjung yang datang kesini. Mereka mungkin akan bilang, "Apa-apaan?", tapi aku sudah lelah dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Dari penampilannya, sepertinya pengunjung yang tak terduga ini masih berumur sekitar 20-an awal. Tapi, ia menampakkan aura seorang wanita yang lebih tua. Entah kenapa, ia juga terlihat lemah, atau ketakutan. Wajahnya yang nampak sedih sedih mungkin, yang membuatku berpikir seperti itu.

Di seberang wanita itu, duduk di depan meja yang sedang dijual—versi palsu dari meja Relik yang mampu menahan benda apapun yang diletakkan di atasnya meskipun meja itu diputarbalikkan seperti yang suka dilakukan kakek-kakek di jaman Showa—adalah Towako-san.

Sejak kapan kita membuka jasa konseling?

Di saat yang bersamaan, Saki datang dari ruang tengah sembari membawa baki berisi teh hitam. Mata kami bertemu.

"Jarang-jarang kita kedatangan pengunjung,"

"Dia kenalan dari kenalannya Towako-san."

Belum sempat aku minta teh dari Saki, Towako-san tiba-tiba memanggilku, membuatku kehilangan kesempatan untuk menikmati secangkir teh hangat, "Kamu datang di waktu yang tepat, Tokiya. Ayo, sini duduk!"

Aku tak tahu apa yang dia maksud dengan "waktu yang tepat", tapi aku menurut saja dan duduk di sebelahnya. Wanita di seberang menyapaku dengan anggukan kepalanya, tapi terlihat sedikit bingung.

"Anak ini bekerja paruh waktu disini. Dan ini Etsuko Uwajima," kata Towako-san memperkenalkan kami berdua. "Dia datang kemari karena dia punya suatu masalah. Coba kamu temani aku mendengarkan ceritanya."

Dia suka membicarakan Relik yang sedang ia cari sampai berjam-jam, tapi sepertinya dia sudah bosan mendengarkan masalah orang lain dan ingin membuatku menggantikannya.

Tsukumodo V1 P170.jpg

Meskipun aku tak berpengalaman menangani masalah wanita dewasa, tapi aku tak berani menolak permintaannya.

"Baiklah, mohon maaf sebelumnya, tapi bisakah anda menceritakan semuanya dari awal lagi?"

Etsuko-san mengangguk tanpa merasa keberatan, dan mulai bercerita dengan tenang.

"Sebenarnya, ada sesuatu yang tidak bisa aku lupakan."

"Aha..."

"Aku punya ingatan yang buruk dan sering melupakan berbagai hal. Itu karena kerusakan otak yang aku dapat ketika aku kecelakaan sewaktu masih kecil."

Tak tahu harus bilang apa, aku hanya mengangguk pelan. Dia masih melanjutkan ceritanya.

"Aku sama sekali tak ingat apapun yang terjadi sebelum kecelakaan itu. Aku juga tak ingat apa saja yang terjadi sesaat setelahnya. Rasanya aku tak ingat apapun seputar kecelakaan itu. Sepertinya, sebagian dari otakku yang menangani ingatan relah rusak karena kecelakaan itu. Tapi yang lebih parah, sekarang aku menjadi sangat pelupa," katanya sambil memberi beberapa contoh. "Aku sangat mudah lupa muka orang atau tempat yang sering kukunjungi. Terkadang, aku lupa mengambil uang di bank, atau lupa membawa belanjaanku meskipun aku sudah mengambil uang kembaliannya. Aku juga pernah, suatu hari, sedang mencari sesuatu, lalu lupa apa yang sebenarnya kucari. Sudah sejak kecil aku seperti itu, makanya aku jadi sering dimarahi. Di SD, misalnya, aku membuat rekor melupakan sesuatu selama seminggu penuh. ...Atau dua minggu? Eh, tiga minggu?"

Dia berbicara dengan santai, atau mungkin, "terlalu santai". Sebagai catatan, dia menghabiskan 5 menit untuk penjelasan barusan. Kupikir itu bisa memberikan gambaran betapa lambannya-maaf, maksudku betapa santainya gaya bicaranya.

Kulirik Towako-san yang ada di sebelahku, tapi sepertinya dia hanya membiarkan penjelasan Etsuko-san seperti angin lalu saja. Pasti dia tak tahan dengan keadaan seperti ini.

Tiba-tiba, wanita di depanku mengeluarkan laptop dari tasnya dan mengetikkan sesuatu.

Apa yang ia cari di situ? Sesuatu yang penting?

"Ah, waktu SMA. Aku baru ingat sekarang."

Sepertinya itu yang sedang ia pastikan. Apakah dia menyimpan semua kisah hidupnya di laptop itu?

Jujur saja, aku tak peduli. Lagipula, bukannya dia tadi ingin menceritakan hal yang lain?

"Ah, tapi tak semua hal aku lupakan. Aku masih ingat hitung-hitungan perkalian. Aku juga masih ingat bagaimana cara membeli tiket kereta."

Penderita Amnesia biasanya hanya melupakan sebagian pengalaman hidupnya, sebagian ingatannya, tapi tidak pengetahuan dasarnya. Selain itu, kemampuan pasiennya untuk mengingat tidak berkurang, jadi hal-hal baru dapat diingat dengan mudah.

Rasanya mungkin ingatanmu seperti dipotong begitu saja.

Mungkin itu yang ia rasakan selama ini.

"Jadi, ketika ibuku, yang khawatir kepadaku, mengatakan padaku bahwa aku bisa mengingat apapun bila aku menulisnya di buku catatan dan memakannya. Ketika aku mencobanya, ternyata aku benar-benar bisa mengingat apapun. Sejak saat itu aku terus memakan catatan untuk melawan sifat pelupaku. Aku dapat mengingat banyak hal dalam waktu yang lama karenanya. Hebat sekali, kan?"

Apa peduliku.

"Lalu?"

"Ya?"

"..."

"..."

"...Em, ada lagi yang ingin anda ceritakan?" tanyaku.

Etsuko-san memegang pipinya seperti sedang melamun.

"Halo?" tanyaku sekali lagi, sampai ia memandang ke arahku.

"Maaf, apa yang tadi aku ceritakan?"

Bolehkah aku pulang sekarang?


"...dan anda berhenti bercerita disitu."

Akhirnya aku terpaksa mengulang semua yang ia ceritakan.

"Ah, begitu," katanya sembari menepukkan tangannya dan tersenyum.

"Em, jadi apa yang membawa anda kemari?"

"Baik, jadi begini. Seperti yang sudah kuceritakan tadi, sampai sekarang aku masih memakan catatan untuk mengingat beberapa hal, dan hal-hal itu akan aku lupakan setelah beberapa lama, tapi ada satu hal yang tidak bisa aku lupakan. Aku ingin sekali melupakannya, tapi aku tak bisa..."

"Aha..."

"Ini buku catatan yang kuceritakan tadi."

Etsuko-san menunjuk ke sebuah buku catatan di atas meja.

Lembut saat disentuh dan terlihat mahal, buku itu disampul dengan kertas Jepang. Namun, buku yang berukuran A4 biasa ini berisi lembaran-lembaran kertas kosong yang tak bergaris. Kalau ditanya apakah rasanya enak atau tidak, tentu aku akan menjawab tidak. Meskipun rasa bukanlah masalah disini.

Tak tahu harus berkata apa, kulirik Towako-san di sampingku. Ia mengangguk. Barulah aku sadar kalau buku catatan itu adalah sebuah Relik.

"Seorang kenalanku pernah menunjukkan buku itu padaku. Sepertinya tidak diragukan lagi keasliannya."

"Apa kekuatan yang dimiliki Relik itu?"

"Kamu tidak akan bisa melupakan apapun yang kamu tulis di buku itu. Apapun yang tertulis disana tetap ada di ingatanmu selamanya, kata demi kata."

Jadi, singkatnya, sepertinya dia menulis sesuatu di buku itu dan tidak bisa melupakannya.

"Setelah kita menuliskan sesuatu disitu, apakah benar-benar tidak mungkin untuk melupakannya?"

"Tidak, kau hanya perlu menghapusnya untuk menghilangkan efek Relik itu. Kamu bisa memakai penghapus atau cukup mencoretnya saja.

"Lah, kalau begitu mudah saja untuk melupakannya."

Jika dia tidak bisa melupakan hal itu, maka kita hanya perlu menghapus teks yang tertulis di buku itu.

"Ya, hanya saja...," Towako-san mendesah dan menunjukkan buku catatan yang terbuka itu padaku.

Aku bisa melihat bekas sobekan kertas di dalam buku itu.

"Dia memakan catatan yang isinya hal yang ingin ia lupakan."

"Tepat sekali," wanita itu mengangguk setuju.



Suatu buku catatan yang membuatmu mengingat apapun yang kamu tulis di dalamnya.

Suatu buku catatan yang membuatmu melupakan sesuatu jika kamu menghapusnya dari buku catatan itu.

Lalu apa yang akan terjadi jika seseorang memakan satu lembar dari buku catatan itu?

"Entah, tak ada yang pernah mencobanya," jawab Towako-san singkat. "Tapi, ya ampun, ini pertama kalinya aku mendengar seseorang memakan Relik! Kau tak akan pernah tahu apa yang terjadi, dan itu yang membuatnya menarik!"

"Tapi memakan catatan bukan hal baru, sih."

Memakan catatan untuk mengingat apapun yang kamu tulis disitu hanyalah suatu cerita takhayul yang dibuat-buat seseorang yang terpaksa melakukannya karena ujian yang memaksanya. Tapi ternyata ada juga orang yang bergantung pada hal seperti ini (‘‘Mungkin aku salah satunya...’‘)

Dia juga salah satu dari orang-orang seperti ini.

Dan dalam hal ini, dia memakan catatan dari satu buku Relik.

"Seharusnya, buku itu tak lebih dari suatu Relik sederhana... kamu mengingat apa yang kamu tulis, dan jika kamu tak perlu mengingatnya lagi, kamu hanya perlu menghapusnya," kata Towako-san.

"Kalau menghapus tulisan bisa membuatnya lupa, mungkin dia akan melupakannya ketika catatan itu tercerna?"

"Kecuali dia baru memakannya hari ini, seharusnya kertas itu sudah tercerna sejak dulu."

"Kalau begitu mungkin ada di koto—ADUH!"

"Kita sedang makan."

Saki memukulku dengan baki. Dengan alasan yang masuk akal.

Kami sedang menikmati makan siang yang sedikit terlambat. Dengan cod roe spaghetti buatan Saki.

Hanya aku, Saki, dan Towako-san yang duduk mengelilingi meja makan. Kami telah mencatat nomor telepon Etsuko-san dan mempersilakannya pulang.

Buku catatan itu sendiri masih ada disini, karena kami akan menyelidikinya.

Etsuko Uwajima-san. Dua puluh satu tahun.

Dia mendapatkan buku itu dari ibunya ketika dia masih kecil, dan dia diberitahu untuk menuliskan apapun yang tidak ingin dia lupakan di dalamnya. Kami tak tahu bagaimana ibunya dapat memperoleh buku itu, dan kami juga tak tahu apakah dia tahu mengenai Relik, tapi, setidaknya, dia tahu apa kekuatan buku itu.

Ibunya telah meninggal sepuluh tahun lalu. Dari cerita yang kami dengar, ia terpeleset dari tangga dan jatuh hingga meninggal. Orang tua Etsuko-san telah bercerai, jadi saat itu, ayahnya tidak ada disana. Aku tak bisa memintanya menjelaskan kondisi keluarganya lebih lanjut, tapi sepertinya masalahnya cukup kompleks. Sekarang ia tinggal sendiri. Rumahnya berjarak tiga stasiun dari sini. Itu saja yang kami tahu tentangnya.

"Jadi dia ingat hal-hal seperti ini, ya."

Meskipun ingatannya tidak begitu bagus, dia dapat menceritakan hal-hal itu pada kami dengan cukup mudah. Ya, walaupun dia juga masih memerlukan laptopnya untuk mengingat beberapa hal.

"Ingat bahwa ada dua faktor yang harus dibedakan disini. Kalau tidak, kau akan kebingungan," kata Towako-san.

"Oke. Jadi, faktor-faktor apa yang kamu maksud?"

"Pertama, dia kehilangan ingatan karena suatu kecelakaan, yang membuat ingatannya menjadi ambigu dan tak jelas."

"Yang satunya lagi?" tanyaku.

"Aslinya, dia sendiri memang orang yang pelupa."

"Yah, sepertinya dia memang agak dungu."

Kulirik Saki. Bukankah dia sendiri juga kelihatan agak dungu?

"Apa?" Dia melihatku tanpa ekspresi ketika aku meliriknya.

"Gak, gak papa."

Mataku kembali ke Towako-san.

"Aku bukan ahli di bidang ini, jadi hanya mengira-ngira dengan apa yang aku tahu," katanya, "otak manusia memiliki memori jangka pendek dan memori jangka panjang. Memori jangka panjang terdiri dari ingatan episodik, yang digunakan untuk ingatan, dan memori semantik, yang digunakan untuk pengetahuan dasar manusia. Kamu sudah mengerti kan sejauh ini?"

"Ya."

Entah.

"Kecelakaan itu sepertinya merusak memori jangka panjangnya. Kupikir memang ia tak bisa mengingat apapun dari masa lalunya, tapi di laptopnya ada data-data yang bisa mengisi ingatannya yang hilang. Itulah kenapa dia masih bisa mengingat ibunya."

Jadi hard disk laptopnya itu menjadi pelengkap untuk otaknya?

"Dan kenapa dia bisa lupa mengambil uangnya di bank atau melupakan hal-hal lainnya ketika masih SD, yah, memang dia lalai dan pelupa. Hal-hal seperti itu dapat terjadi ke siapa saja. Siapapun bisa kehilangan memori jangka pendeknya dalam beberapa menit saja. Namun umumnya, orang akan mencoba mengingatnya berulang-ulang atau melihat catatan, sehingga ingatan itu dapat tersimpan di memori jangka panjang. Orang-orang seperti Etsuko-san biasanya lupa melakukannya, atau mungkin pikirannya sedang terbagi-bagi."

Apakah itu berarti aku tak ingat apapun saat ujian karena ingatanku tak pernah mencapai memori jangka panjang? Biasanya aku tak belajar sih di apartemen.

"Dari penjelasannya, dia mencampuradukkan kerusakan otaknya dengan sifat pelupanya, jadi ceritanya agak rancu. Tapi sepertinya dia juga tak menyadarinya, sih," Towako-san mendesah, "Buku catatan Relik itu membuatnya mengingat berbagai hal tanpa menghiraukan sifat aslinya yang pelupa."

"Jadi, apa yang akan kita lakukan?"

"Yah, kurasa aku akan menyelesaikan masalahnya. Rasanya tidak sopan untuk meninggalkannya setelah kuterima permintaan darinya. Lagipula, ada bayarannya. Bayaran!"

Rasionya 1:3 ya... Separah itulah hasil penjualan kami.

"Tapi apakah ada yang perlu kita lakukan? Maksudku, dia sendiri yang waktu itu menulisnya karena dia sendiri yang tidak ingin melupakannya, kan?"

"Tapi sekarang dia ingin melupakannya. Meskipun aku tak tahu apa itu."

Ya. Pada akhirnya, kami tak bisa menanyakan apa yang sebenarnya ingin dia lupakan.

Dia meminta kami untuk tidak menanyakannya karena hal tersebut bersifat pribadi. Kami toh tidak keberatan karena menurut kami masih mungkin mencari cara untuk melupakan sesuatu tanpa mengetahui apa yang harus dilupakan.

Meski begitu, aku masih tertarik untuk mengetahui apa hal yang membuatnya terganggu sampai ingin melupakannya.

"Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya, jadi tidak ada yang bisa kita selidiki. Sebaiknya kita menunggu dan melihat lagi keadaannya."

"Aku setuju... Omong-omong, kau mengenalnya dari seorang kenalan, bukan?"

"Hm? Iya."

"Seperti apa kenalanmu itu?"

"'Seperti apa'? Maksudmu?"

"Entah, aku cuma mengira-ngira apakah orang itu mirip denganmu atau tidak."

"Apa maksud perkataanmu barusan?"

Yah, seseorang yang bukan hanya tergila-gila pada Relik, tapi juga pada barang-barang aneh lainnya, dan juga suka mencobakannya pada orang lain. Dengan kata lain, orang aneh yang tak mampu bersosialisasi.

"Ah, tidak, jangan beritahu aku. Kalau kau beritahu aku, seorang anak buahku yang penting bisa-bisa mati."

Dia lebih memilih untuk berkaca pada sikapnya daripada menahan diri dan tidak bertanya. Hah, aku tak akan sebodoh itu mau meyerahkan diriku sendiri untuk dihajar.

"Jadi, seperti apa orang itu?"

"Oh, hanya seorang teman lama. Seorang pengganggu yang suka memberikan Relik pada orang lain begitu saja," gumam Towako-san dengan mata melamun.


Karena masalah sudah selesai untuk sementara waktu, kuputuskan untuk kembali belajar.

Aku harus mengikuti ujian remidial keesokan harinya; itu saja sudah cukup untuk memaksaku belajar.

Kalau aku punya sepersepuluh saja semangat belajarku sekarang ketika aku belajar di kelas, kurasa aku tak perlu menyiksa diriku seperti sekarang ini.

Yah, meskipun itu saja sudah tidak mungkin sih.

"Bukannya ujianmu selesai hari ini?" tanya Saki yang mengamatiku belajar.

"I-Ini PR kok."

"Kau mengikuti ujian remidial, kan?" pertanyaan Towako-san barusan tepat sasaran.

Yaaa, alasanku barusan memang sulit dipercaya sih, toh biasanya aku tak pernah mengerjakan PR.

"Hebat sekali niatmu sampai mau ikut ujian remidial," timpal Saki dengan nada datar.

Aku akan tertawa kalau kata-kata Saki barusan adalah sarkasme. Tapi, sepertinya dia sendiri tak tahu apa maksudnya ujian remidial. Ini dia satu lagi orang aneh yang tidak bisa bersosialisasi.

"Padahal aku sudah membantumu belajar lho kemarin...," kata Towako-san sembari mendesah.

Seperti itu yang kau bilang bantuan?

Memang, melakukan tanya jawab seperti acara kuis adalah salah satu cara untuk belajar, tapi kurasa waktu itu dia melakukannya hanya sekedar untuk menghabiskan waktu.

"Oke, waktunya mengulang pelajaran. Jelaskan apa itu efek Doppler!"

"Eee..anu.. Itu semacam peristiwa ayunan nada ketika ada ambulan atau kereta lewat."

"Bukan contoh, sebutkan definisinya."

"Eee..pokoknya sesuatu tentang...sumber gelombang..."

"Rumusnya?"

"Ituuu...ada beberapa..."

Soal-soal itu adalah soal yang sama yang tidak bisa kujawab tempo hari. Soal itu juga ada di ujian, tapi kupikir aku tak menjawabnya dengan benar. Karena waktu itu aku tak bisa menjawabnya ketika belajar di toko, aku sudah menyerah ketika menemui soal yang sama di ujian.

Towako-san mendesah panjang.

"Kalau nilaimu jeblok, aku tak akan memperbolehkanmu bekerja disini lagi."

"Nilaiku tidak setinggi itu sampai bisa jeblok."

"Jangan membangga-banggakan hal seperti itu, bodoh," balasnya sambil menyobek satu halaman dari buku catatan Relik. "Nih. Buku ini punya orang lain, jadi aku tak bisa memberikanmu seluruhnya, tapi satu lembar kurasa tak apa-apa."

Dia memberikan selembar kertas sobekan itu padaku.

"B-boleh, nih?"

"Aku tak mau nilaimu jeblok karena bekerja di tokoku. Catat saja hal-hal yang sama sekali tak bisa kauingat."

Tiba-tiba, dan untuk pertama kalinya, dia kelihatan seperti seorang malaikat.

Belajar tak pernah terasa seefektif ini.

Bagaimana tidak, semuanya mengalir ke kepalaku ketika kutuliskan di kertas itu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, belajar menjadi hal yang menyenangkan. Sekarang aku paham maksud pandangan orang bahwa belajar itu menyenangkan jika kita paham apa yang kita pelajari.

Kucatat sebanyak mungkin materi yang akan diujikan, dengan tulisan yang sekecil mungkin. Aku tak bisa mencatat semuanya di kertas itu, bolak-balik, tapi kurasa sudah cukup untuk menghindarkanku dari gagal total.

Ternyata, Towako-san juga memasak Tonkatsu[1] untuk makan malam. Makanan seperti ini biasanya disiapkan sebelum ujian dan sejenisnya, karena "katsu" berarti "menang", jadi harapannya aku bisa "memenangkan" ujian. Dia benar-benar mirip ibu yang memiliki anak yang akan ikut ujian masuk universitas.

Biasanya Saki yang memasak, jadi aku tak mengira Towako-san bisa memasak. Dia tak bisa mencuci ataupun membersihkan rumah, tapi memasak adalah hal yang berbeda, katanya.

"Mm, enak banget lho!"

"Hehe, sekarang kau tak bisa meremehkan aku." kata Towako-san menyeringai. "Baik, kita ulang lagi sambil makan! Pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan efek Doppler?"

"Fenomena yang terjadi karena gerak relatif dari gelombang dan sumber gelombang, atau gelombang dan pengamat. Rumus untuk menghitung frekuensi jika sumber gelombang mendekati pengamat adalah..."

Mulutku menyeringai seperti Towako-san, "Hehe," dan menjawab pertanyaan itu dengan mudah seperti menghafalkan tabel perkalian. Jawabannya seperti mengalir saja, bahkan aku sendiri hampir tak mempercayai mulutku sendiri.

Aku bisa menjawab hampir semua pertanyaan Towako-san, kecuali pertanyaan yang jawabannya tak kutulis di Relik tadi.

Aku sudah hafal! Aku benar-benar sudah siap sekarang!

Ini adalah pertama kalinya aku tak sabar menunggu ujian.



13:00 : Aku pergi ke Toko Antik Tsukumodo (PALSU) dengan buku catatan yang diberikan ibu.

Aku berbicara dengan Towako Setsutsu, si pemilik toko, dan dua karyawannya, Saki Maino dan Tokiya Kurusu.

Yang kubicarakan: diriku. Namaku, alamatku, nomor teleponku, dan umurku. Kecelakaan waktu itu. Ingatanku yang buruk. Buku catatan itu.

Apa yang kupelajari: buku catatan itu. Sekarang aku yakin buku itu membuatku mengingat semua yang telah kutulis disitu, seperti yang ibu bilang, dan benda itu dikenal sebagai "Relik". Untuk melupakannya lagi, aku hanya perlu menghapusnya atau mencoretnya. Tapi aku tak tahu apa yang terjadi dengan kertas yang sudah kumakan.

Mereka sedang mencari cara supaya aku bisa melupakan hal yang tidak ingin kuingat itu.

Aku telah meninggalkan buku catatan itu pada mereka. (←penting!)

Di perjalanan pulang aku mampir untuk membeli barang-barang keperluanku.

Yang aku beli: daging ayam, kentang, dan bawang untuk makan malam. Selain itu: tisu, dan sekotak sikat gigi.

Untuk makan malam aku memasak ayam tumis dengan salad kentang, sup bawang, dan roti Prancis.


... Setelah menulis diariku sampai situ, kuhela nafas panjang.

Mungkin kusebut itu diari, tapi sebenarnya yang aku lakukan barusan adalah 'merekam ingatan hari ini'. Setelah menulis semua yang terjadi hari ini sebelum ingatanku hilang, kusalin tulisan itu ke laptopku.

Aku melakukannya supaya aku bisa mengingatnya dengan mudah jika diperlukan di lain waktu.

Sedangkan untuk tulisanku di buku catatan, aku juga akan memakannya untuk membuat ingatanku bertahan lebih lama. Biasanya aku memakannya di waktu makan siang, makan malam, dan sebelum aku tidur. Memakan catatan untuk mengingat sesuatu mungkin hanya suatu takhayul, tapi itu sudah menjadi kebiasaanku sehari-hari, karena aku telah melakukannya sejak kecil, atas perintah ibuku.

Buku catatan yang kupakai adalah buku catatan biasa yang ada di mana-mana, bukan buku catatan Relik yang beliau berikan padaku. Karena ingatanku kusimpan di laptopku juga, aku tidak perlu menggunakan buku Relik itu kecuali untuk sesuatu yang sama sekali tidak boleh kulupakan.

Kuambil segelas air, lalu kusobek diari hari ini dari buku catatan. Lembaran itu kuremas-remas, supaya lebih mudah dimakan. Dulu, aku sering sakit perut, atau muntah-muntah karena makan kertas, tapi sekarang aku sudah terbiasa.

Kertas itu kucelupkan di air, dan langsung kumasukkan ke mulutku. Rasanya sama sekali tidak enak, tapi mulutku tetap mengunyahnya, supaya lebih mudah dicerna.

Biasanya aku mencampurkannya pada makananku, tapi akhir-akhir ini aku tak bisa melakukannya.

Bel pintu berbunyi.

Aku berhenti mengunyah dan segera menelan kertas itu.

Air yang masih ada segera kuhabiskan untuk menghilangkan rasa kertas yang tersisa, lalu aku langsung pergi ke pintu depan.

Ternyata yang menekan bel adalah Hideki-san yang baru saja pulang kerja.

"Hei."

"Hai. Ayo masuk."

Hideki-san masuk dan aku menyambutnya dengan senyuman.

Dia adalah tunanganku yang akan segera menikah denganku. Kami telah saling kenal sejak kecil, dan setelah tak bertemu sekian lama, kami bertemu lagi dan mulai pacaran.

"Aah, aku lapar. Apakah makan malam sudah siap?"

"Ya, aku sudah selesai memasak. Sebentar, kuhangatkan dulu."

Dia tinggal di rumah sebelah, dan selalu datang untuk makan malam sepulang kerja. Karena itulah, aku tak bisa mencampurkan kertas diariku di makanan lagi, tapi aku tak keberatan.

"Apa makan malam hari ini?"

"Ayam tumis dengan salad kentang, sup bawang, dan roti Prancis."

Untunglah, aku masih mengingatnya.

"Bolehkah aku mengganti rotinya dengan nasi?"

"Masih ada sisa nasi dari kemarin, akan kuhangatkan dulu."

Aku harus menuliskannya di catatan dan memakannya sebelum tidur.

Dengan kepala penuh pikiran tentang apa yang terjadi malam ini, kukeluarkan panci untuk memanaskan daging ayam.


Setelah makan malam, kami bersantai dan menonton TV.

Ketika aku kembali dari dapur untuk membuat teh, Hideki-san berkata, "Di perjalanan pulang barusan aku mendengar tetangga berbicara mengenai seseorang yang mencurigakan yang mondar-mandir di sekitar sini."

"Benarkah?"

"Ya. Jangan lupa mengunci pintu ketika kamu pergi, ya?"

Tentu. Ini adalah masalah yang serius untukku, karena aku sering lupa mengunci pintu.

"Seperti apa orang yang mencurigakan itu?" tanyaku, karena jika aku mengetahui ciri-cirinya akan lebih mudah bagiku untuk mengenalinya.

"Emm..."

"Tunggu sebentar."

Aku segera menyiapkan pulpen dan buku catatan, supaya aku tak lupa.

Karena Hideki-san tahu tentang kecelakaan yang kualami dan pengaruhnya terhadap ingatanku, dia mau bersabar menungguku.

"Katanya orang itu berumur sekitar lima-enam puluhan. Dia berjalan di daerah sekitar rumah ini mengenakan jumper dan menutup wajahnya dengan topi."

"Lima-enam puluhan...?"

Sebuah hal yang menakutkan muncul di benakku.

Namun segera kusingkirkan jauh-jauh pikiran itu. Dia tidak seharusnya tahu dimana aku tinggal. Seharusnya bukanlah dia yang berjalan-jalan di sekitar sini sampai mengundang kecurigaan. Kukatakan pada diriku sendiri untuk tidak berpikiran seperti itu lagi.

"Apakah kau mengingat sesuatu? Atau kau pernah melihatnya?"

"Ah, tidak. Kupikir cukup banyak orang yang berpenampilan seperti itu."

"Yah, sepertinya begitu." Dia tak menganggap orang mencurigakan ini sebagai ancaman. Tak lama setelahnya, ia langsung mengganti topik pembicaraan. "Omong-omong, aku ingin menanyakan sesuatu tentang resepsi pernikahan kita."

"Ah, ya?"

"Apakah kamu masih ingat tanggalnya?"

"T-Tentu!"

Ada satu tanggal yang muncul di ingatanku, tapi aku tidak terlalu yakin untuk mengucapkannya. Kalau aku salah, tentu dia akan marah. Meskipun ingatanku buruk, seharusnya aku tidak melupakan tanggal yang penting.

Aku tahu... Aku benar-benar tahu... tapi...

"Bercanda! Tentu kamu tak akan melupakan hari itu, kan?" ia tertawa tanpa merasa curiga sama sekali.

Tiba-tiba aku sedikit merasa bersalah.

"Oh ya, jadi seorang temanku ingin membuat slideshow untuk resepsi pernikahan kita. Itu lho, dimana kamu menampilkan foto-foto lama. Untuk itu aku butuh beberapa fotomu juga. Dimana kamu menyimpannya?"

"Ada di kotak kardus di ruang sebelah... sepertinya. Akan kucari dulu."

"Ah, tak perlu buru-buru. Kita cari bersama-sama lain kali saja."

"Baiklah."

"Lalu tentang tamu yang ingin kamu undang..."

Jantungku seketika berdetak lebih kencang.

"Apakah kamu yakin hanya ingin mengundang kakek dan nenek saja dari keluargamu?"

"Ya. Aku memang tak begitu mengenal saudara-saudara yang lain, sih. Maaf ya. Aku tahu, kamu telah mengundang banyak orang..."

"Tak masalah buatku, tapi apa kamu yakin tak mau mengundang ayahmu?"

"... ya. Maaf."

"Ah, tidak masalah. Maaf, aku terus menanyakannya padamu. Baiklah! Masih banyak yang perlu kita persiapkan!" Hideki-san tertawa.

Hatiku makin gelisah. Aku makin takut aku akan merusak senyumannya.



Hari berikutnya.

Ada dua murid lain di kelas, berusaha menjejalkan isi buku dan catatan ke kepala mereka sebelum ujian remidial dimulai.

Berusahalah, kawan. Berjuanglah sekuat tenaga kalian, karena kalian tak punya pilihan lain, tidak sepertiku!

Aku melihat mereka berdua dari belakang seperti seorang kolonel yang pernah berkata "Aha, ada manusia-manusia rendahan disini rupanya!" sembari melihat sekelompok orang.

"Apakah semua sudah datang?" tanya guruku ketika ia menutup pintu kelas dari dalam. "Cukup pede rupanya, dirimu?" komentarnya ketika melihatku tak melakukan persiapan terakhir sebelum ujian dimulai. "Sepertinya kau sudah mempersiapkan semuanya."

"Ya, bisa dibilang begitu."

"Kalau saja kau melakukan hal yang sama untuk ujian-ujian biasa."

"Ayolah, tak perlu membahas itu lagi!"

"Hahaha, bagus, kalau begitu tunjukkan kemampuan terbaikmu," kata guruku, nampak yakin dengan kata-kataku tadi.

Dia membagikan kertas ujian kepada kami bertiga. Aku sama sekali tak merasa takut dengan apa yang menanti di balik kertas ujian yabg dibagikan dengan sisi belakang di atasnya.

He, he, he! Tak masalah, Pak Guru. Santai saja dan biarkan aku menunjukkan kemampuanku!

"Waktu kalian enam puluh menit. Kalau sudah selesai, tinggalkan saja lembar ujian kalian di meja kalian. Materi ujian ini sama dengan sebelumnya. Soalnya sudah kubuat sedikit lebih mudah. Tenangkan diri kalian, dan lakukan yang terbaik."

Soalnya kau buat lebih mudah? Oh, Pak Guru, kenapa repot-repot?

Yah, karena bukan cuma aku yang ikut ujian remidial, kurasa tak ada pilihan lain.

Ijinkan aku mewakili mereka berdua untuk mengucapkan terima kasih.

Sebaiknya kubalas kebaikan anda dengan nilai yang tinggi.

"Oke, silahkan mulai!"

Segera setelah dipersilahkan mulai, kertas soal di hadapanku segera kubalikkan.

Ada banyak pertanyaan yang muncul di depan mataku.

Bersiap-siap, kukencangkan pegangan tanganku pada pulpen dan—

".........eh?"

—tiba-tiba menjadi kaku.


"Bagaimana ujiannya?" tanya Towako-san begitu aku menerjang melewati pintu toko.

Kuabaikan pertanyaannya dan segera mencari bahan-bahan ujian yang kupelajari malam sebelumnya.

"Selamat datang. Bagaimana u..."

"Tidak ada disitu! Tidak ada dimanapun! Hei, dimana kertas catatan yang kuletakkan disini?!"

"Catatan?"

"Ya! Semalam ada kertas yang berisi soal-soal ujian disini, kan?"

"Bukannya kertas itu kaubawa ke sekolah?"

Tidak, karena toh tak ada gunanya juga kalai kubawa ke sekolah.

"Tidak ada disitu?" tanyanya.

"Aku bertanya padamu karena tak ada disitu!"

Aku mulai membongkar tempat sampah. Tapi, aku tak menemukan kertas catatan dengan tulisan-tulisan kecil tentang materi ujian.

"Sepertinya berakhir sesuai harapan, heh," Towako-san tertawa, sembari melihat pencarianku yang tak berhasil.

Dengan perasaan yang mulai menjadi tak enak, kutanyakan padanya. "Apa maksudmu? Sesuai harapan?"

"'Sesuai harapan', maksudku ya hasilnya sesuai dengan apa yang kuharapkan.

"Bukan itu jawaban yang kuinginkan... Towako-san, kau tahu dimana catatan itu, bukan?"

Towako-san menunjuk ke arahku dengan senyum lebar.

"Kalau aku yang membawanya, pasti aku tak akan mencarinya sekarang! Aku tidak membawanya!"

"Aku tahu kau tidak membawanya. Lebih tepatnya, kau tak bisa membawanya. Ah tidak, mungkin lebih tepat kukatakan kalau kau tadinya membawanya."

"Sudahlah, beritahu aku sekarang juga!"

"Sudah kubilang, ada disana!"

Dia menunjuk ke arahku sekali lagi. Tepatnya, ke bagian tengah badanku-perutku.

"Atau mungkin sekarang sudah ada disana?" dia membetulkan arah telunjuknya, sekarang menunjuk ke toilet.

"M-Mana mungkin...?"

"Mungkin saja. Kucampurkan catatan itu ke Tonkatsu semalam. Kau suka, kan? Daging berperasa Relik itu," katanya dengan muka jahil. "Jadi sekarang kita tahu bahwa mencerna catatan itu efeknya sama saja dengan menghapus tulisannya. Kita sudah maju selangkah!"

Jadi itu sebabnya kenapa dia mau menyiapkan makan malam untukku.

Dia memanfaatkanku untuk menjadi kelinci percobaannya...

"Anak yang baik tidak menyalahgunakan Relik untuk ujian ya."

Towako-san tertawa mengejek dan menjentikkan dahiku.

Mukaku memucat.

Pucat seperti mayat.


...Dan, mau tak mau, aku harus ikut ujian remidial kedua.


Dengan ujian remidial kedua yang akan diadakan seminggu lagi aku segera bergerak untuk mencari jawaban akan kasus ini.

Pak Guru sepertinya berpikir sehari saja tidak cukup; beliau memberiku seminggu penuh waktu untuk belajar. Aku masih mengingat jelas bagaimana senyum dan kemarahannya menjadi satu—terdengar aneh, tapi begitulah kelihatannya-ketika dia mendatangiku dengan lembar jawabanku yang kosong di tangannya. Senyuman itu akan menghantuiku selama beberapa hari. Aku tak akan bisa melupakannya—meskipun aku tak menggunakan buku catatan ajaib itu.

Setelah itu aku dan Towako-san membuat kesepakatan: dia berjanji akan memberikan satu lembar kertas dari buku catatan itu padaku jika aku menyelesaikan kasus ini.

Kali ini aku tak akan mengulang kesalahan yang sama.

Tidak, jangan kau suruh aku untuk belajar! Aku tak perlu repot-repot bergantung pada Relik kalau aku bisa lulus tanpa main curang.

Omong-omong.

Mengenai alasan mengapa Etsuko-san tidak bisa melupakan suatu hal tertentu:

Dari pengalamanku barusan, aku bisa melupakan tulisan di catatan itu ketika aku memakan kertasnya. Setelah dipikir-pikir lagi, tidak mengherankan, karena tulisannya pasti akan terhapus oleh asam lambung.

Dia datang baru sehari yang lalu. Sepertinya tidak mungkin kalau ingatan itu belum tercerna saat itu, karena dia seharusnya sudah memakannya setidaknya sehari sebelum kemarin.

Jadi kenapa dia masih tak mampu melupakannya?

Ada satu jawaban yang bisa kupikirkan.

Dia belum memakan catatan itu.

Dia bilang dia telah memakannya, tapi kata-katanya tidak berarti banyak, karena ingatannya yang buruk dan sifatnya yang pelupa. Mungkin, ingatan tentang kertas itu tertukar dengan ingatan tentang kertas lain yang sudah ia makan, atau dia lupa dimana dia menaruhnya dan lupa memakannya.

Kalau aku bisa menemukan catatan itu dan menghapus tulisannya, dia akan bisa melupakannya.

Maka dari itu, kuputuskan untuk mencari catatan itu di rumahnya.


Menggunakan alamat yang diberikan Etsuko-san pada kami, Saki dan aku berangkat ke rumahnya.

Aku membawa serta Saki karena kupikir ada beberapa tempat yang tidak boleh digeledah laki-laki, apalagi Etsuko-san tinggal sendiri.

Kami melewati satu SD yang sudah tutup, lalu masuk ke perumahan yang tak jauh dari situ. Tak membutuhkan waktu lama untuk menemukan rumah yang dicari-cari. Etsuko-san sedang menyapu di depan pintu masuk rumahnya.

Ketika aku menyapanya, ia menundukkan kepala dan membalas, "Maaf, apakah kita saling kenal?"

"...Nama saya Tokiya Kurusu."

Etsuko-san mengeluarkan buku catatan dari kantong celemeknya dan menepukkan tangannya setelah ia mencari sesuatu. Sekilas kulihat, nampaknya buku catatan itu berisi agendanya hari ini.

"Selamat datang! Aku telah menunggu kalian."

Tapi kau lupa!

Sebelum aku bisa mengatakannya, seorang pria keluar dari rumah sebelah. Umurnya sepertinya di akhir dua puluhan, dan dia melambaikan tangannya pada Etsuko-san ketika ia melihatnya. Nampaknya masih bisa mengingat wajah tetangganya, ia membalasnya dengan sapaan dan senyuman.

Pria itu melihat ke arah Etsuko-san, lalu ke arah kami. Tampaknya kami seperti gabungan orang-orang yang tak cocok.

"Siapa mereka?"

Mencari-cari jawaban pertanyaan dari pria itj, Etsuko-san menggumam, "Emm..."

Dia tak tahu bagaimana harus menjawabnya.

"Kami dari Toko Barang Antik Tsukumodo. Kami datang untuk membeli barang-barang seperti barang antik atau furnitur tua."

Di saat yang tepat, Saki memulai obrolan bisnisnya. Pola seperti ini sering kami gunakan ketika kami harus memperkenalkan diri kami. Bagaimanapun juga, kami tak bisa menjelaskan ke semua orang apa itu Relik.

"Kalau anda tertarik, silahkan hubungi kami."

"Tidak, aku tak punya barang yang akan menarik perhatian kalian."

Meskipun dia tak tampak curiga pada kami, dia segera angkat kaki dan tak mau berurusan dengan kami. Setelah melihatnya melewati suatu belokan, Etsuko-san mempersilakan kami masuk.

"Maaf kalau berantakan."

Dia tidak bercanda. Beberapa kotak kardus dengan berbagai ukuran ditumpuk-tumpuk di lorong. Meski begitu, ia sepertinya bukan tipe orang yang malas membersihkan rumahnya.

"Aku belum sempat merapikan barang-barang ini sejak aku pindah kesini."

Sekarang aku paham kenapa ada tumpukan kardus di lorong dan di ruang tengah. Selain itu, kemungkinan dia meninggalkan sobekan catatan itu di suatu tempat dan melupakannya juga semakin tinggi. Atau mungkin dia menghilangkan sobekan catatan itu ketika dia sedang merapikan sebagian barang-barangnya setelah ia pindah.

"Baiklah, langsung kita mulai saja, ya?"



Karena kami tak bisa begitu saja bilang kepadanya kalau "Anda belum memakan catatan itu, tapi anda meninggalkannya di suatu tempat," maka kami katakan kepadanya kalau ia mungkin punya Relik lain yang membuat ia mengingat sesuatu.

Meskipun ia memiliki satu Relik, dia baru tahu tentang Relik setelah ia mendengarnya dari kami, jadi dia mudah saja percaya.

Etsuko-san tinggal sendirian di sebuah rumah bertingkat dua. Dilihat dari noda di dinding dan palang-palang kayu yang sudah tidak mulus, sepertinya bangunan rumah ini sudah lama. Jujur saja,aku tak tahu kenapa dia lebih memilih pindah ke rumah seperti ini daripada apartemen.

Setelah kami dibawa ke ruang tengah, aku dan Saki memutuskan untuk menanyakan beberapa pertanyaan untuk memulai.

"Anda masih mengingatnya, kan?"

"Ya."

Aku sedikit berharap kalau ia telah melupakannya sekarang, tapi harapan itu langsung hilang dalam sekejap.

"Baiklah, kalau begitu bisa anda ceritakan apa saja yang baru terjadi akhir-akhir ini? Khususnya, apakah anda melakukan hal-hal yang berbeda selama seminggu kemarin?"

"Berbeda?"

Etsuko-san membuka laptopnya dan melihat hal-hal yang terjadi selama seminggu ini.

"Anda juga lupa dengan hal-hal yang terjadi seminggu yang lalu?" tanyaku.

"Tidak semuanya, tapi hanya sebagian."

"Omong-omong, apa yang selalu anda tulis di laptop itu?"

"Diari yang kutulis setiap hari."

Atas permintaanku, dia mengijinkan aku untuk melihat diarinya. Ada folder-folder untuk setiap tahun dan bulan, dan di dalamnya ada sekumpulan berkas teks untuk setiap hari.

"Awalnya, aku memakai buku diari, tapi lama kelamaan jumlahnya semakin banyak dan makin sulit untuk membawanya. Jadi, sekarang aku memakai laptop."

Dilihat dari ukuran berkasnya, sepertinya catatan hariannya lumayan panjang.

"Baik, jadi tepat seminggu yang lalu, aku bangun jam tujuh pagi. Lalu aku sarapan. Pagi itu aku makan roti bakar, telur ceplok dan salad. Aku juga minum teh..."

"...Anda tidak perlu menceritakan hal-hal seperti itu."

Seberapa rinci sebenarnya dia menulis catatan hariannya itu? Lagipula, informasi seperti itu tak ada gunanya untuk kami.

"Emm, apakah anda berpergian selama seminggu ini?"

Etsuko-san kembali berkutat dengan laptopnya.

"Hanya ketika aku membeli barang-barang keperluanku, dan juga ke toko kalian."

"...Apakah anda juga membawa buku catatan Relik itu ketika anda berbelanja?"

"Tidak. Biasanya aku tak pernah membawanya ketika aku pergi. Hanya laptopku dan mungkin buku notes saja."

Kalau begitu tak mungkin ia menjatuhkannya di suatu tempat.

"...Omong-omong, kapan anda pindah kemari?"

"Baru-baru ini, kok. Sepertinya awal bulan...," katanya sambil melihat laptopnya lagi. Ya, awal bulan ini."

Sekitar dua minggu lalu... Sepertinya aku harus menanyakan keputusannya untuk pindah, juga...

Saat itu, Saki bertanya pada Etsuko-san.

"Sebenarnya kapan anda memakan catatan itu?"

Oh ya, benar. Aku belum sempat menanyakan pertanyaan itu. Aku lupa karena aku sudah sangat yakin dia belum memakannya. Kalau kita tahu kapan ia memakannya, kita akan tahu sampai kapan ia memegang catatan itu, dan dapat menyelidiki apa saja yang ia lakukan setelahmnya.

Aku benar-benar lupa—tidak seharusnya aku mengasumsikan Etsuko-san seburuk itu.

"Emm, tunggu sebentar."

Dia mulai mencarinya di laptopnya. Dia membuka beberapa folder, jadi pencariannya sedikit memakan waktu. Sepertinya ia lupa dimana catatannya mengenai hal itu.

"Tapi yang pasti, anda memakannya setelah pindah kesini, bukan?"

Jika dia telah memakan—atau menyobek, lebih tepatnya—catatan itu sebelum pindh kesini, maka rumah sebelumnya perlu diselidiki juga. Jika catatannya sudah dibuang di tempat sampah dan masih utuh, maka kita sudah tak bisa melakukan apa-apa lagi.

"Tidak, sebelumnya."

"Di rumah anda sebelumnya?"

Kukira ini akan membuat segalanya menjadi lebih sulit. Tapi, di luar dugaan, Etsuko-san menggelengkan kepalanya.

"Tidak. Aku memakannya disini!"

"Ha? Tapi bukannya anda barusan bilang kalau anda memakannya sebelum pindah kesini?"

"Ya."

...Aku tak paham.

"Em, tapi kapan sebenarnya itu terjadi? Anda tidak perlu mencarinya. Kira-kira saja. Eeemm, seminggu...atau sebulan lalu?"

"Tidak," dia menggelengkan kepalanya lagi.

"Sepuluh tahun lalu."


Menurut penjelasannya, dia telah tinggal di rumah ini sampai sepuluh tahun lalu, dan telah pindah ke tempat lain, kemudian kembali ke rumah ini baru-baru ini.

Tapi dia telah memakan catatan itu sepuluh tahun lalu. Dengan kata lain, ketika dia masih tinggal di sini sepuluh tahun yang lalu, dan dengan dua kali pindah rumah hingga sekarang. Jelas, kami tak tahu dimana sobekan catatan itu.

Kami mencari di berbagai tempat di dalam rumah itu untuk memastikannya, tapi tentunya pencarian kami tak membuahkan hasil.

"Bagaimana kalau kita bakar saja rumah ini beserta catatan itu di dalamnya?"

"Apa kau sudah gila?"

Aku buru-buru menjawab, "Hanya bercanda!" ketika Saki membentakku. Meskipun sebenarnya aku setengah serius tentang usul barusan.

Kami masuk ke kamar Etsuko-san untuk mencari catatan itu.

Kamar itu adalah kamar yang nampak biasa saja dengan meja, rak buku, lemari pakaian, serta korden yang terpasang rapi menutupi jendela. Ada beberapa tempelan Post-it di pintu lemari pakaian yang menandakan apa yang ada di dalamnya. Sepertinya dia telah membuat caranya sendiri untuk mengakali kekurangan dirinya. Yang membuatku bingung adalah adanya kotak kardus di kamar ini.

Kuminta Saki untuk mencari-cari catatan itu di rak buku dan di meja, sementara aku bergerak menuju kotak kardus. Aku telah mendapat izin dari Etsuko-san.

Kulepas selotip yang menahan penutup salah satu kardus dan mengambil suatu album foto dari dalamnya.

Karena si pemilik tidak keberatan kami melihatnya, kubuka-buka album foto itu.

"Manis."

"Kita tidak kemari untuk melihat-lihat," kataku pada Saki yang mengintip album itu dari balik bahuku, tapi kami tetap saja melihat-lihat isinya.

Tsukumodo V1 P205.jpg

Awalnya dimulai dengan foto-foto bayi, lalu disusul dengan foto-foto yang menampilkan pertumbuhan bertahap dari seorang gadis kecil. Ketika ia masuk SD, dia sudah nampak seperti dia yang sekarang. Dan pada waktu itu, kedua orang tuanya masih di sisinya.

Lalu ada juga fotonya dimana dia sedang berada di rumah sakit. Dia berdiri dengan perban yang melilit di kepalanya dan seikat bunga di tangannya. Dia dikelilingi oleh seorang dokter dan beberapa perawat. Foto itu sepertinya diambil saat ia keluar dari rumah sakit, dan foto itu menjadi foto satu-satunya yang diambil waktu itu.

Beberapa halaman setelahnya, ayahnya menghilang dari foto-fotonya.

Beberapa tahun setelah kecelakaan itu terjadi, hanya Ibunya yang ada di sisinya.

Selang waktu antara perceraian kedua orang tuanya dan kematian ibunya tak lama; setelah beberapa foto, pria dan wanita yang sudah cukup berumur menggantikan Ibunya di foto-foto selanjutnya.

Sepertinya mereka berdua adalah kakek dan nenek Etsuko-san yang kemudian merawatnya. Mereka muncul di foto-foto kelulusannya dari SD, SMP, hingga SMA. Mereka nampak seperti pasangan yang baik hati.

Kubuka kembali halaman yang berisi foto terakhir Etsuko-san dan orang tuanya.

Foto itu diambil sekitar sepuluh tahun lalu, saat ia masih SD.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu saat menyadari bahwa ia mulai memakai buku catatan itu sepuluh tahun lalu..

Kecelakaan yang menyebabkan Ibunya meninggal, sepuluh tahun lalu.

Ingatan yang dia tulis di Relik, sepuluh tahun lalu.

Dua fakta itu tak mungkin tidak berhubungan satu sama lain.

Hal yang ingin ia lupakan pasti berhubungan dengan kematian Ibunya.

Aku tak tahu pasti apa yang ia tulis di buku Relik itu.

Tapi aku yakin itu bukan hal yang menyenangkan.

Sepertinya ada sesuatu.

Aku tak tahu apa itu—tidak, aku tahu. Tapi kubuang jauh-jauh pemikiranku itu, karena sepertinya itu hal yang gila dan tentunya bukan sesuatu yang bisa dikatakan sembarangan.

Kusingkirkan kotak album dan kutarik kotak lain ke arahku. Kotak itu diberi tanda "Diari (1)" di sisinya.

"Apa kau ingin membaca diarinya juga?"

"Hanya akan kubolak-balik saja. Kuusahakan tidak membaca apapun."

Sebenarnya aku sudah mendapat izin dari Etsuko-san, tapi aku tidak berniat mengganggu privasinya. Meski begitu, aku sudah siap-siap untuk menemukan bagian yang berisi petunjuk mengenai semua ini.

Kuambil buku-buku diari dari dalam kotak itu. Buku-buku itu bersampul kulit dan semuanya nampak mahal. Terlalu mewah dan dewasa untuk dipakai anak SD.

Masing-masing buku memiliki penanda tahun di sampulnya.

Diari-diari itu dimulai lima belas tahun lalu, ketika ia masih duduk di kelas satu SD.

"Menurutku dia mulai menulisnya setelah mengalami kecelakaan itu," komentar Saki.

Pantas saja buku-buku diari itu mahal dan bersampul kulit!

Baginya, ingatan yang terekam di buku-buku diari itu adalah harta yang tak tergantikan.

Atau setidaknya itu yang dipikirkan orang tuanya ketika membelikan buku-buku ini untuknya.

Kubuka salah satu buku diari itu dan mendapati tulisan tangan yang berantakan dan tidak sesuai dengan buku diari yang indah itu. Ukuran setiap hurufnya berbeda-beda, ada banyak ejaan yang salah di mana-mana, dan susunan kalimatnya juga diabaikan sama sekali. Jelas, tak bisa dibaca.

Namun, aku yakin Etsuko-san telah membaca tulisan ini berkali-kali ketika ia ingin mengingat kejadian-kejadian di masa lalunya.

Lembaran-lembaran kertasnya sudah cukup lapuk dan menguning, dan ada beberapa bagian yang kelihatan pernah basah dan telah mengering, meskipun aku tak tahu apakah itu disebabkan keringat atau air mata.

Setelah beberapa waktu berlalu, tulisannya menjadi makin baik. Tapi, yang membuatku takjub adalah bagaimana ia menceritakan hidupnya secara detail.

Tidak hanya kejadian yang terjadi pada hari itu, tapi juga jam berapa ia bangun, apa yang ia makan, kereta apa yang ia naiki, apa yang dia lakukan dan pikirkan seharian itu, dan sebagainya. Karena itulah, jumlah buku diari yang terkumpul luar biasa banyaknya.

Mungkin ini adalah semacam rehabilitasi untuknya. Cukup sulit mengira-ngira berapa banyak waktu yang ia habiskan setiap hari untuk menulis diari-diari ini.

Kuambil buku diari lainnya.

Yang ini ditulis sepuluh tahun lalu. Saat dia sudah mulai memakai Relik.

Dengan sedikit rasa bersalah, kubuka buku diari itu.

Diantara hal-hal lain yang ia tulis disitu, kulihat ada catatan harian di hari kematian ibunya.

Seperti catatan di hari-hari sebelumnya, catatannya dimulai dengan jam berapa ia bangun tidur dan apa yang dia makan untuk sarapan, dan rincian apa saja yang terjadi di sekolah.

Tapi, dia juga sempat menyebutkan bahwa ibunya memarahinya karena ia lupa menulis diarinya sekali. Ternyata, dia main-main ke rumah temannya, dan tidak langsung pulang ke rumah.

Cukup ironis, ternyata ibunya jatuh dari tangga pada hari itu juga. Terlebih, beliau jatuh ketika Etsuko-san sedang menulis diarinya hari itu. Catatan hari itu berhenti disitu.

Kubalikkan halaman itu. Di catatan berikutnya dia menulis tentang kematian ibunya di rumah sakit dan pemakaman yang akan diadakan.

Bahkan setelah kematian ibunya, ia masih tetap menulis diarinya tanpa ketinggalan satu hari pun.

Namun, aku masih tak dapat membayangkan apa yang sebenarnya ia sembunyikan.

Yah, kalaupun memang ada, kurasa dia tak akan begitu saja memperlihatkannya kepadaku.

Catatan hari itu yang tidak selesai... bagaimana akhirnya?

... Atau jangan-jangan lanjutannya ada di buku catatan Relik itu?"

"Bagaimana kalau kalian istirahat dulu?" Etsuko-san tiba-tiba sudah ada di belakangku, membuatku terkejut.

Meskipun aku sudah diberi izin untuk melihat-lihat diarinya, tetap saja aku merasa sedikit aneh ketika aku menutup buku diarinya.

"A-Anda punya koleksi buku diari yang luar biasa jumlahnya!'

"Ya. Jumlahnya menjadi sangat banyak karena aku selalu menulisnya setiap hari," jawabnya tanpa merasa janggal. "Jadi, bagaimana?"

"Eh? ...Ah, istirahatnya? Baiklah."

Kami menerima tawarannya dan mengembalikan buku-buku diari itu ke kotak kardusnya.

Saat itu, aku merasa tak enak.

Apakah tidak apa-apa bagi kami untuk membantunya menghapus ingatan itu?

Kami tidak tahu apa hal yang ingin ia lupakan.

Tapi yang pasti hal itu bukanlah hal yang menyenangkan.

Betapapun ia ingin melupakannya, bagaimana jika hal itu sejatinya adalah hal yang harus selalu diingat?

"Ehm, bolehkah aku menanyakan sesuatu?"

"Ya?"

"...Kenapa anda ingin melupakan hal itu?"

Setelah hening sesaat, dia menjawab dengan muka yang sedih,

"Karena aku ingin memulai hidup yang baru."


Kami sedang beristirahat di ruang tengah sambil minum secangkir kopi.

Karena kami telah mencari selama beberapa jam, leherku rasanya sudah kaku. Tapi, keraguanku tak berarti apa-apa. Kami tak menemukan petunjuk apapun.

Kemungkinan kami untuk menemukan sobekan kertas berumur sepuluh tahun makin tipis.

Tapi tetap saja, kenapa Etsuko-san baru ingin melupakan hal itu sekarang?

Mengapa suatu hal yang telah ia ingat selama sepuluh tahun menjadi tidak ingin diingat lagi?

"Bolehkah saya menanyakan sesuatu?" kata Saki, yang selama ini berdiam diri.

"Ya, silakan."

"Apa hubungan antara anda dengan laki-laki yang tadi kita temui di depan?"

Di luar dugaanku, dia menanyakan sesuatu yang tak ada hubungannya.

Aku sudah bersiap-siap untuk berbicara, ketika tiba-tiba muka Etsuko-san memerah dan ia menunduk malu.

"Sebenarnya, aku akan menikah dengannya bulan depan."

Saki sepertinya telah menebak hubungan antara keduanya terlebih dahulu. Cukup tajam juga intuisinya.

"Selamat," kata Saki dengan nada datar, dan dibalas Etsuko-san dengan ucapan terima kasih. "Bagaimana kalian berdua saling kenal?"

"Dia adalah temanku waktu kecil, atau mungkin, lebih tepat disebut anak rumah sebelah? Kami tak berhubungan lagi sejak aku pindah, tapi ternyata dia pelanggan di toko tempatku bekerja, lho..."

Aku mendengarkan perkataanya, berusaha untuk tidak menanyakan apakah ia memang mampu untuk bekerja.

"Tapi awalnya, aku tak mengenalinya, dan karena aku masih menggunakan marga ayahku ketika aku masih tinggal disini, dia juga tak mengenaliku. Keadaan itu terus berlanjut hingga aku menemui orang tuanya untuk memperkenalkan diriku. Saat itu aku benar-benar terkejut."

"Sudah takdir kalian untuk bertemu."

"Ya, begitulah."

Etsuko-san tersenyum, tapi sekilas nampak keraguan di mukanya.

"Apakah ada masalah?" tanyaku tanpa berpikir lebih lanjut, kukira ia hanya sedikit ragu dengan rencana pernikahannya.

Namun, sekarang ia terlihat lebih tegang.

Aku menyesali kebodohanku sendiri.

Bukannya aku sedang memikirkannya beberapa saat lalu?!

Mengenai alasan mengapa suatu hal yang masih ia ingat selama sepuluh tahun sudah tak lagi diinginkan sekarang!

Jika ia harus melupakannya sekarang, maka hanya ada satu alasan.

Hal yang ingin ia lupakan adalah penghalang untuk pernikahannya—untuk kebahagiaannya.

Karenanya, ia ingin melupakannya sebelum pernikahannya.

Tiba-tiba, telepon rumah itu berbunyi, memecah keheningan aneh di ruang itu.

Etsuko-san berdiri setelah minta izin, dan segera pergi mengangkat telepon. Dia menerima teleponnya setelah menyiapkan pulpen dan buku notes di sebelah teleponnya. Sepertinya ia telah terbiasa mencatat pembicaraannya di telepon.

"Ya, ini Uwaji... ayah..."

Perhatianku langsung tertuju pada Etsuko-san, yang barusan berbicara, namun menahan nafas setelahnya.

Jika aku tak salah ingat, ia tak lagi berhubungan dengan ayahnya yang sudah bercerai dengan ibunya. Aku tak mau kelihatan tidak sopan, tapi tetap saja aku berusaha menguping percakapan mereka.

"...Bagaimana kau bisa tahu? Kakek? Oh begitu..."

Sepertinya, dia sama sekali tak memberitahu ayahnya bahwa ia telah pindah kemari. Kakeknyalah yang memberitahukannya pada ayahnya setelah pernikahannya resmi akan dilaksanakan.

Mereka masih berbicara untuk beberapa saat.

Reuni antara ayah dan anak ini sama sekali tak terasa menyentuh. Etsuko-san tidak ingin menemuinya lagi. Dia berusaha menolak kontak apapun dengan ayahnya.

"...Apakah kau ingat apa yang kukatakan saat pemakaman Ibu? Tolong lupakan hal itu. Aku juga akan melupakannya. Dan tolong tinggalkan saja aku," dia mengatakannya, dan tanpa menunggu balasan ayahnya, menutup telepon dan mendesah panjang.

Mukanya penuh ketegangan. Tapi mengingat kehadiran kami, dia buru-buru mengeluarkan senyumannya lagi.

"Apakah anda masih sering berhubungan dengan ayah anda?"

"Tidak. Ini yang pertama kalinya sejak pemakaman ibu. ...Meskipun keadaanku seperti ini, tapi aku masih bisa mengenalinya dari suaranya. Kita sepertinya memang bisa mengingat hal-hal seperti itu selamanya, ya?"

Etsuko-san nampak terkejut bahwa ia sendiri masih dapat mengenali ayahnya dari suaranya di telepon.

Sudah sepuluh tahun berlalu. Kupikir ini adalah karena ikatan antara ayah dan anaknya, dan sama sekali tak berhubungan dengan ingatan dan sebagainya.

"Ayah anda, seperti apa orangnya?"

"Dia tidak jahat. Dia hanya sering bertengkar dengan ibuku mengenai caranya membesarkanku. Dia tidak setuju aku menulis buku diari seperti ini. Dia ingin membesarkanku seperti anak kebanyakan. Ibuku sering berkata bahwa dia terlalu memperdulikan apa pendapat tetangga. Kupikir juga begitu."

Tentu, menulis buku diari hingga sedetail itu tentu cukup tidak normal jika dilihat dari sudut pandang orang awam. Tapi karena ini disebabkan karena kecelakaan yang pernah ia alami, sepertinya tak ada jalan lain juga. Tapi sepertinya ayahnya tak dapat berpikiran seperti itu.

"Apakah anda memiliki dendam terhadapnya?"

"Tidak. Ini hal yang berbeda. Aku sama sekali tak membencinya, dan aku tak memiliki dendam kepadanya. Aku hanya tak ingin berhubungan dengan seseorang yang bahkan tak pernah ibuku hubungi lagi... karena itu membuatku merasa seperti aku mengkhianati ibuku. Dan aku tak ingin mengkhianatinya lagi."

Apakah menjaga hubungan dengan ayahnya yang sudah tak berhubungan dengan ibunya lagi sama dengan mengkhianati ibunya? Atau ada alasan yang lain?

Namun apapun yang terjadi, dilihat dari caranya berbicara, dia tidak membenci ayahnya atau apapun itu, tapi ia menjauh semata-mata karena ibunya.


Tapi tetap saja, aku terkejut ia masih dapat mengingat hal-hal seperti itu cukup baik.

"Oh, apakah aku merusak suasana...? Ah, baiklah. Tunggu sebentar."

Etsuko-san memaksakan ekspresi gembira di wajahnya dan pergi ke ruangan yang lain. Dia kembali dengan membawa gaun pernikahan berwarna putih salju.

Aku tak begitu paham tentang gaun pernikahan, tapi desain gaun ini sepertinya sudah agak lama.

"Ayahku memilihkan gaun ini untuk ibuku. Hideki-san menawariku untuk membelikan atau menyewa gaun yang lain, tapi aku tetap mau memakai gaun ini. Aku ingin setidaknya menunjukkan penghormatanku pada ibuku."

Etsuko-san memegang gaun itu di depannya.

Dia akan nampak sangat cantik ketika memakainya.

"Maino-san, kesini sebentar."

Dipanggil oleh Etsuko-san, Saki berjalan ke arahnya.

Etsuko-san memutar tubuh Saki dan memegang gaun itu di depannya.

"Bagus tidak, Kurusu-san?" dengan senyum menggoda, dia menanyakan pendapatku.

Jangan menggodaku untuk mencairkan suasana... Kalau sudah begini, mau tak mau aku harus bilang kalau aku menyukainya, kan? Atau tidak?

"Pakaian yang bagus membuat gadis manapun tampak cantik."

"Aku tahu kamu akan mengatakannya."

"Apa? Jadi kamu mau kupuji?"

"Tidak, sama sekali tidak."

"Kalau begitu jangan marah!"

"Aku tidak marah!"

"Itu bukan marah?!"

"Terserah."

Kudengar Etsuko-san berbisik kepadanya, "Dia hanya malu," ketika Saki membalikkan mukanya dariku.

Tolong jangan katakan hal-hal seperti itu ketika aku masih bisa mendengarnya.

Pameran Fashion Saki masih berlanjut beberapa saat kemudian hingga Etsuko-san puas, lalu dia kembali ke ruang lainnya untuk menyimpan gaun itu.

Saki melihat ke arahku dengan pandangan penuh selidik. Tidak, dia tidak sedang meminta pendapatku tentang yang barusan.

"Aku tahu!"

Etsuko-san bersikap sedikit aneh sejak telepon dari ayahnya tadi. Kejadian barusan terlihat sangat jelas dipaksakan. Mungkin ini karena simpatiku padanya saja, tapi aku berharap pernikahan akan memberikannya kebahagiaan, karena kekhawatirannya akan orang tuanya dan kecelakaannya serta pengaruhnya telah cukup menyiksanya.

Aku ingin membuatnya melupakan hal itu, entah apapun itu. Saki sepertinya juga setuju denganku,

Tiba-tiba, aku melihat sesuatu bergerak di luar jendela. Kubuka tirai dan kulihat ke balik jendela. Seseorang sedang mengintip rumah ini dari balik tembok. Dia buru-buru menghindar, tapi sudah terlambat.

"Siapa kau!"

"Tokiya?"

Aku bergegas keluar tanpa menjawabnya.

Mataku segera tertuju ke arah laki-laki itu kabur. Dia baru saja berbelok di ujung jalan sana. Aku segera menyusulnya.

Ketika aku sudah sampai di ujung jalan, aku dapat melihatnya dari belakang.

Dia tidak begitu jauh. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, aku sedang ada di kondisi terbaikku. Begitu aku mempercepat lariku dia kembali berbelok.

Karena kami sekarang berada di area perumahan, jalannya bercabang-cabang, tapi hampir tidak ada orang di jalan.

Dia masih berusaha melarikan diri. Tapi aku lebih cepat. Jarak antara kami berdua makin menipis. Aku berusaha meraih tangannya. Sedikit lagi. Laki-laki itu melihat ke belakang-seketika itu juga ia melambat. Tanganku sudah bisa meraihnya.

Aku melompat ke arahnya.

Sesaat setelahnya, kami berdua sudah berguling di jalanan.

Tapi, tanganku tetap tidak melepaskannya.

"Ketangkap kau!"

Kutarik laki-laki itu dan kuhadapkan mukanya ke arahku.

"Kau...?"

Aku mengenali wajahnya.



Ketika aku kembali ke kamarku untuk menyimpan gaun pengantinku, kotak kardus berisi buku-buku diari dan album yang terbuka menyita perhatianku.

Benda-benda itu adalah benda yang lebih berarti bagiku daripada gaun ini.

Buku-buku diari yang diberikan ibu padaku.

Foto-fotoku bersama ibuku.

Karena khawatir padaku dan pada ingatanku yang buruk, dia membelikan sejumlah buku diari untukku. Dia juga mengambil banyak foto-fotoku untuk dipasang di album. Tidak hanya selama liburan, tapi juga ketika ada acara di sekolah dan bahkan pada hari biasa.

Karena itulah, aku dapat menyimpan banyak sekali kenangan.

Jika tidak karena ibuku, atau jika aku tak melakukan seperti yang beliau katakan, aku akan seperti kertas kosong sekarang.

Tapi aku akan mengkhianatinya.

Aku akan mengkhianati ibuku yang telah mengharapkan kebahagiaanku lebih dari siapapun.

"Maafkan aku... Ibu..."

Kupeluk buku diari itu. Aku tak sanggup menahan air mataku.

"Maafkan aku... Ibu, tapi aku akan membuang ingatan itu jauh-jauh dan mendapatkan kebahagiaanku sendiri."

Bahkan sampai sekarangpun aku masih ragu-ragu untuk menghapus ingatan itu.

Tapi kata-kata ibuku telah membuatku yakin akan keputusanku.

"Aku tak membutuhkan apa-apa lagi asalkan kau bisa mendapatkan kebahagiaan!"

Kalimat itu adalah kata-kata yang beliau tinggalkan padaku sehari sebelum beliau meninggal.

Beliau mungkin belum memperkirakan kematiannya saat itu, tapi kata-kata itu telah menjadi semacam wasiatnya untukku.

Dan keinginannya akan terus hidup di dalam hatiku.

Karena itu, aku akan mengkhianatinya.

Aku dapat menjaga keinginan terakhirnya, meskipun itu berarti aku harus mengkhianatinya.

"Engkau telah mengharapkan kebahagiaanku lebih dari siapapun, jadi engkau akan memahaminya, kan?"

Karena itu, aku—

"Aku akan meraih kebahagiaanku. Jadi kumohon, maafkan aku."

Tiba-tiba, bel pintu berbunyi.

Kuletakkan buku diari dan pergi ke pintu depan setelah mengelap air mataku.

Kurusu-san dan Maino-san tidak ada di ruang tengah.

Meskipun aku masih tak tahu kemana mereka pergi, aku tetap melangkah ke pintu depan, lalu melihat siapa yang membunyikan bel melalui lubang intip. Nafasku berhenti sesaat.

"Ayah..."



"Hideki-san...?"

"Pertama-tama, bisakah kau menyingkir dulu dari badanku?" katanya, tersenyum masam. Sepertinya ia tak akan melarikan diri lagi.

Kuputuskan untuk mendengarkan kata-katanya dan menggeser badanku dari badannya..

Hideki-san berdiri, lalu membersihkan kotoran di pakaiannya. Aku melakukan hal yang sama.

"Wah wah, padahal aku adalah pelari maraton ketika aku masih muda, tapi sepertinya aku sudah jarang berolahraga lagi sekarang."

"Anda mengintip ke rumah Etsuko-san barusan, kan?" aku menanyakannya untuk memastikan lagi, tapi ia langsung mengakuinya. "Kenapa anda melakukannya?"

"Aku khawatir! Kalian tahu sendiri, kan, seperti apa Etsuko-san. Setelah mendengar cerita mengenai membeli barang antik, aku curiga kaljan akan menipunya. Karena aku tak mampu menyingkirkan rasa khawatirku, aku kembali untuk melihat keadaannya. Tapi mengawasi kalian secara langsung seakan-akan mengatakan pada kalian 'aku tak percaya dengan kalian', karena itu aku mengintip dari luar."

Paham dengan apa yang dimaksud, aku mengangguk.

Dari sisinya, cukup wajar untuk khawatir kepada Etsuko-san. Lagipula, dia mengenalnya cukup baik.

"Bolehkah aku bertanya?"

"Silahkan?"

"Untuk apa kalian datang? Aku tak pernah tahu ia punya barang-barang antik."

"Karena nampaknya ada sedikit kesalahpahaman, izinkan saya menjelaskan bahwa toko kami menangani barang-barang antik yang sedikit berbeda dengan barang antik yang anda tahu. Maaf saya tak bisa menjelaskan lebih jauh, tapi anggap saja barang-barang yang kami tangani adalah barang-barang antik yang spesial."

Relik biasanya tidak dikenal oleh orang-orang awam. Jika kukatakan bahwa kami menangani alat-alat dengan kekuatan khusus, dia akan lebih curiga pada kami.

Mungkin lain kali kami berdua sebaiknya memperkenalkan diri sebagai karyawan dari toko barang bekas yang datang untuk barang-barang keperluan rumah tangga dan peralatan elektronik.

"Dengan kata lain, di rumah Etsuko-san ada benda yang cukup berharga untuk toko kami. Benda itu adalah peninggalan dari ibunya, dan..."

"Tokiya," panggil Saki saat dia berlari ke arahku dengan nafas terengah-engah.

Ternyata dia mengikutiku kesini.

"Untunglah. Aku hampir saja tersesat."

"Lalu kenapa kau tidak menunggu saja disana?"

"Aku tak tahu apa yang terjadi ketika tiba-tiba kau berlari keluar! ...Hideki-san? Jadi Hideki-san-lah orang yang mencurigakan itu?"

"Orang yang mencurigakan? Jangan berlebihan. Hideki-san hanya mengintip apa yang tadi kita lakukan."

"Benarkah? Di jalan kesini aku mendengar orang-orang berbicara mengenai orang mencurigakan yang lagi-lagi muncul, jadi aku yakin orang itu adalah dia."

"Aah, tentang itu. Akhir-akhir ini memang ada laporan orang mencurigakan yang berkeliaran di sekitar sini. Aku sendiri belum melihatnya, tapi menurut para tetangga, orang itu akhir-akhir ini sering mengintip ke rumah Etsuko-san. Tapi itu bukan aku! Katanya orang itu berumur sekitar 50-an."

Orang mencurigakan yang mengintip rumah Etsuko-san yang berumur 50-an?

Dia tak menyebutkan apapun tentang orang seperti itu. Kami tak punya satu namapun yang bisa dicurigai.

Tidak, tunggu. Laki-laki yang berumur lima puluhan? Aku belum pernah menemuinya, tapi ada satu orang yang kucurigai.

Kalau mempertimbangkan umur Etsuko-san, seharusnya dia berumur sekitar itu.

"Dia baru muncul akhir-akhir ini?"

"Ya."

Baru-baru saja kakek Etsuko-san menghubunginya. Karena rumah ini adalah rumah yang dulu ia tinggal, tak heran jika ia tahu alamatnya.

Kalau dipikir-pikir, barusan juga ada telepon darinya ke rumah Etsuko-san. Bagaimana kalau itu sebenarnya untuk mengecek apakah dia ada di rumah atau tidak...?

"Orang itu mungkin adalah ayah Etsuko-san."

"Tidak, ayahnya sudah bercerai dengan ibunya dan sudah pergi. Mereka belum pernah saling bertemu sepuluh tahun ini.""

"Eh? Kenapa anda..."

Aku baru saja ingin menanyakan bagaimana ia bisa tahu, tapi tentu saja dia tahu. Hideki-san adalah temannya sejak kecil dan kemungkinan besar dia juga mengenal ayahnya.

Aku baru sadar satu hal lain.

Yang tahu tentang kejadian sepuluh tahun yang lalu tidak hanya Etsuko-san dan ayahnya. Hideki-san mungkin juga tahu.

Tapi karena aku hanya memperkenalkan diri sebagai karyawan toko barang antik, aku tidak bisa menanyakan hal itu kepadanya.

Lagipula, sudah tidak ada waktu lagi.

"Saki, kita kembali lagi! Hideki-san, anda juga!"

Tanpa menjelaskan lebih lanjut dan tanpa menunggu jawaban dari keduanya, aku berlari kembali menuju rumah Etsuko-san.



Mungkin ini hanya ide gilaku.

Mungkin ini aneh.

Tapi ini adalah sesuatu yang sudah kupikirkan selama ini. Sejak aku menyadari adanya hubungan antara ingatannya tentang kejadian sepuluh tahun lalu yang ingin ia lupakan serta kematian ibunya.

Kalau saja kematian ibunya benar-benar karena kecelakaan, maka tidak akan ada rahasia yang perlu disembunyikan.

Kalau saja kematian ibunya benar-benar karena kecelakaan, maka tidak akan ada rahasia yang perlu dilupakan.

Ini hanyalah hipotesis belaka.

Tapi jika pertemuan kembali antara Etsuko-san dan Hideki-san telah memicu sesuatu—

Kalau saja mereka berdua menyimpan rahasia dan pernikahan keduanya adalah hal yang tidak diinginkan ayahnya, maka masuk akal apabila ayahnya baru mulai beraksi sekarang.

Tapi apa yang akan ia lakukan setelah sekian lama? Itulah pertanyaannya.

Aku membuka pintu dan langsung menyerbu kedalam.

"Etsuko-san!" teriakku, tapi tak ada balasan.

Aku berlari mengikuti lorong dan masuk ke ruang tengah.

Etsuko-san tidak ada dimanapun. Tapi di kamarnya, aku menemukan seorang laki-laki.

Seorang laki-laki, yang umurnya sekitar lima puluhan dan sebagian rambutnya telah berwarna putih, menoleh ke arahku, nampak terkejut. Di tangannya, ada sebuah album dan buku diari.

"S-siapa kamu?"

"Anda ayah Etsuko-san, bukan?"

"Y-Ya..?"

"Dimana dia sekarang?"

Meskipun suaraku makin keras, namun ia tetap tidak muncul.

"Apa yang kau lakukan padanya?!"

"Tenang," kata Saki, yang baru saja datang, ketika dia menahanku untuk tidak menyerang orang tua itu. "Sepatunya tidak ada di depan. Kemana dia pergi?"

"Aah, dia barusan mendapat panggilan di telepon dan lalu pergi. Dia memintaku untuk menjaga rumah."

"Menjaga rumah?"

Kurasakan darahku yang mendidih barusan mendingin setelah mendengar jawaban yang mengejutkan.

"Rumah ini rumahnya juga, jadi kenapa dia tidak boleh ada disini?" kata Saki.

"I-Iya sih..."

Tapi, setelah mendengarnya, wajah ayah Etsuko-san menegang dan ia berkata dengan senyuman pahit,

"Ini bukan rumahku lagi! Aku sudah meninggalkan tempat ini. Bahkan aku tak pantas menyebut diriku sendiri sebagai ayahnya. Seperti yang kau bilang, aku seharusnya tidak ada disini," katanya seraya berdiri. "Kalian berdua, apakah kalian temannya?"

"Ah, ya. Semacam itulah," aku mengangguk ragu karena aku taktahu bagaimana menjawabnya.

"Kalau begitu, bolehkah aku menitipkan rumah ini pada kalian? Kurasa aku akan pergi."

"Eh? Bukannya anda ingin menunggu ia pulang?"

"Sebenarnya aku datang kemari untuk memberikan uang yang telah kusiapkan untuk pernikahannya, tapi ia tak mau menerimanya. Aku akan memberikannya pada mertuaku kalau begitu... Tolong sampaikan salamku padanya. Dan juga katakan pada dua bahwa aku tak akan mengganggunya lagi."

"T-tolong tunggu sebentar! Saki, tolong panggilkan Etsuko-san."

Aku tak yakin aku bisa merelakannya pergi begitu saja, jadi aku minta Saki untuk memanggil Etsuko-san, tapi ayahnya berkata,

"Dia sedang menemui Hideki-kun sekarang, jadi tolong jangan ganggu mereka."

"Hah?"

Apa yang dia bilang barusan? —Hideki-san?

"Yang tadi itu adalah panggilan darinya. Atau kalian tidak mengenal Hideki-kun? Dia adalah calon suaminya!"

"Kami tahu itu. Tapi barusan Hideki-san masih bersama kami."

Ternyata, dia tidak kembali kesini bersama kami.

"Kapan Etsuko-san menerima panggilan itu?"

"Baru saja. Beberapa saat sebelum kau sampai kesini. Sepertinya urusan penting."

Apa maksudnya ini... seperti sengaja untuk membuat kami tak bertemu dengannya...

Perasaan cemas mulai melanda diriku.

Apakah aku salah mengambil langkah?

Suatu ide melintas di benakku. Suatu ide yang sudah kupikirkan tadi

Yang tahu tentang kejadian sepuluh tahun yang lalu tidak hanya Etsuko-san dan ayahnya. Hideki-san mungkin juga tahu.

Kenapa aku melewatkan kemungkinan yang hanya selangkah dari situ?

Kemungkinan bahwa Hideki-san, si teman kecil, terlibat dalam masalah ini.

"Saya minta maaf sebelumnya, tapi mohon beri tahu kami apa yang terjadi sepuluh tahun lalu."

Muka sang ayah nampak pucat.

"Ya. Ibu dari Etsuko-san meninggal. Apa yang terjadi saat itu?" tambahku.

"...Istriku terpeleset dan jatuh dari tangga. Sayangnya, dia..."

"Itu saja? Dimana Etsuko-san pada waktu itu?"

"Waktu itu dia dikunci di kamarnya di lantai dua karena dia nakal."

"Itu saja? Apakah dia tidak mengatakan apa-apa lagi?"

"......"

"Tolong ceritakan pada kami! Ini penting!"

Setelah diam sesaat, akhirnya ia menggumam, "...Baiklah."



"Dia berkata bahwa Hideki-kun yang mendorong ibunya hingga jatuh."



Aku tak bisa berkata apa-apa.

"Aku hanya bertemu dengan Etsuko sekali saat pemakaman. Dialah yang memberitahuku. Tapi waktu itu, Hideki-kun masih SD, jadi sepertinya dia tak mungkin melakukannya. Kupikir dia membuat-buat cerita ini karena dia tak mau menyalahkan dirinya sendiri, karena dia percaya hal ini tak akan terjadi jika dia tidak nakal."

Akhirnya aku sadar apa hal sepuluh tahun lalu yang ingin ia lupakan.

Etsuko-san melihat sendiri bagaimana Hideki-san membunuh ibunya sepuluh tahun lalu. Tapi ayahnya tidak mempercayainya. Tidak ada seorangpun yang mempercayainya.

Karena dia tidak bisa mempercayai ingatannya sendiri, dia menulis hal itu di buku catatan Relik dan memakannya untuk membuatnya tidak melupakan hal itu. Aku tak tahu kenapa ia memakannya. Entah untuk membuat dirinya tak akan lupa, atau untuk menyembunyikannya.

Tapi, dia bertemu dengan Hideki-san lagi.

Dia bertemu dengannya lagi tanpa mengetahui siapa dia sebenarnya—dan dia jatuh cinta dengannya.

Karena itu, dia ingin melupakan kenyataan mengenai kematian ibunya. Dia ingin melupakan fakta bahwa laki-laki yang ia cintai adalah orang yang membunuh ibunya sendiri.

"Beritahu saya satu hal lagi," tanyaku. "Apakah otaknya benar-benar mengalami kerusakan dan menyebabkan ingatannya menjadi terganggu?"

Sang ayah membelalakkan matanya.

Itu sudah cukup bagiku.

"Ingatannya bekerja dengan normal, kan?"

Ketika berbicara dengan Etsuko-san, aku mulai merasa ragu-ragu. Ketika kami menanyakannya mengenai masa lalunya, dia selalu membuka laptopnya untuk memastikan. Tapi tidak ada yang berbeda dengan yang ia katakan sebelumnya.

Meskipun dia memang pelupa, tapi ingatan jangka panjangnya baik-baik saja. Semua yang ia lupakan masih dalam batas yang wajar.

Aku juga tak ingat berapa banyak rekorku melupakan berbagai hal saat SD. Aku tak ingat apa yang kumakan seminggu yang lalu. Tapi ia menganggap melupakan hal-hal seperti itu aneh.

Dia tak yakin dengan ingatannya sendiri... tidak, dia terobsesi seperti itu.

"...Seperti yang kau bilang. Ingatannya berfungsi normal! Dia hanya mengalami sedikit hilang ingatan, tapi kemampuan otaknya untul mengingat tak berubah. Ya, dia memang pelupa dan sulit mengingat wajah orang, tapi tak ada bedanya dengan kebanyakan orang. Dokter juga sudah menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan otaknya."

"Lalu kenapa dia berpikir bahwa ingatannya sendiri buruk?"

"Istrikulah yang menjadi penyebabnya. Ketika Etsuko melupakan sesuatu, dia akan meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu disebabkan karena kecelakaannya dan memaksa Etsuko mengingat berbagai hal yang tidak penting. Dia membelikan buku diari untuknya dan membuatnya menulis diari setiap hari. Etsuko harus menulis apa yang ia pikirkan dan apa yang ia lakukan sedetail mungkin, bahkan sampai hal-hal yang tidak penting seperti apa yang ia makan. Jika dia tidak menulis diari, istriku akan memukulinya dan menguncinya di kamarnya sampai ia selesai menulisnya. Telanjang, lagi. Aku sering bertengkar dengan istriku karena itu. Inilah yang menjadi penyebab perceraian kami. Ketika aku memarahinya dan mengatakan padanya bahwa ia sudah kelewatan, dia menganggap aku tak memikirkan Etsuko. Tapi aku paham kenapa ia menjadi seperti itu."

"Apa alasan istri anda menjadi seperti itu?"

"Kecelakaan yang dialami Etsuko. Tapi bukan karena kecelakaan itu sendiri... setelah mengalami kecelakaan itu, Etsuko tak sadarkan diri sampai seminggu. Ketika akhirnya ia tersadar dan melihat ibunya, kata-kata pertamanya adalah:

—'Anda siapa?'

Kemungkinan ingatannya hanya sedikit kacau waktu itu. Dia sudah bisa mengenali ibunya lagi beberapa saat kemudian. Tapi itu tak menghilangkan kekagetan istriku. Karena Etsuko kehilangan ingatan dari masa lalunya, ia beranggapan bahwa ingatan Etsuko memang terganggu. Karena itu, dia memaksanya mengingat lebih dari yang diperlukan. Karena itu, Etsuko mulai percaya bahwa ingatannya memang buruk. Meskipun sudah berkali-kali kukatakan padanya bahwa ingatannya normal, dia tak percaya padaku."

Etsuko-san berkata pada kami bahwa ia tak bisa melupakan apa yang terjadi sepuluh tahun lalu. Tidak heran. Siapa yang akan melupakan kematian ibunya hanya setelah sepuluh tahun? Itu adalah hal yang tidak akan bisa dilupakan seumur hidup. Itu adalah hal yang akan selalu teringat.

Informasi mengenai ingatannya yang buruk telah menipuku.

Ternyata dia memang normal.

"Maaf, tapi apakah dia bilang kemana dia pergi?"

"Mm, dia pergi terburu-buru, sih. Tapi kupikir tadi dia menulis di memo...?"

Aku segera menuju pesawat telepon.

Di sebelah telepon ada memo dan pulpen. Memonya cukup tebal. Sepertinya dia sudah terbiasa mencatat, karena dia tak yakin dengan ingatannya sendiri. Ternyata kertas memo dimana dia menulis tempat pertemuannya dengan Hideki-san sudah disobek.

Tapi bekasnya masih ada. Bekas tulisan tempat pertemuannya masih tertulis disitu.

Kuambil pulpen dan kertas memo yang sebelumnya ada dibawah kertas yang digunakan untuk mencatat tempat pertemuan. Sambil berhati-hati untuk tidak menekan terlalu dalam, kublok memo itu sampai berwarna hitam. Garis-garis tipis berwarna putih mulai nampak di permukaan kertas yang telah dihitamkan. Tekanan dari tulisannya di kertas memo sebelumnya telah menimbulkan bekas di kertas yang ada di bawahnya.

"......"

Tapi bekas-bekas yang telah terbentuk selama sekian lama bertumpuk-tumpuk dan membuatnya sulit dibaca.

Karena beberapa huruf saling bertumpuk, yang terlihat hanya pola yang tidak bisa dibaca sama sekali, atau bisa dibaca sebagai apa saja.

Kupicingkan mata dan kulihat lagi kertas memo itu. Tapi, makin kucoba, makin sulit membacanya.

"Tokiya..."

Suara Saki yang lemah menghantam punggungku.



Barulah saat itu suara yang menyakitkan itu berdengung di otakku—



Etsuko-san dan Hideki-san berhadapan satu sama lain.

Aku tak tahu dimana ini.

Etsuko-san berdiri dengan punggungnya menghadap pagar, dan Hideki-san berdiri di depannya.

Aku melihat adegan ini dari jauh. Lebih tepatnya, seperti melihat dari gedung yang lebih tinggi ke atap gedung yang lebih rendah.

Tangan Etsuko-san gemetaran.

Aku tak bisa melihat mukanya. Aku hanya bisa melihat punggungnya. Kemungkinan dia sedang memohon-mohon kepadanya, tapi aku tak bisa mendengar apa yang ia katakan.

Hideki-san pelan-pelan mendekatinya.

Etsuko-san mundur selangkah ke belakang, tapi harus berhenti karena punggungnya membentur pagar.

Dibalik pagar itu tak ada apa-apa lagi.

Penglihatanku bergeser ke bawah..

Di bawah pagar ada dinding dengan jendela-jendela. Ada banyak jendela yang tersusun rapi dengan jarak tertentu. Suatu apartemen? Bukan. Ada jam bundar di dinding.

Penglihatanku bergeser kembali ke atas.

Di saat yang sama, Etsuko-san didorong dan terlempar dari pagar.



"———!"

"Tokiya!"

Suara Saki membawaku kembali.

Masa depan yang ditunjukkan mata kanan buatan milikku—sebuah Relik bernama Vision—adalah kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.

"Ada apa?"

"Kalau kita tidak melakukan sesuatu, Etsuko-san akan..."

Aku barusan akan mengatakan dibunuh, tapi kutahan. Aku tak bisa mengatakannya di depan ayahnya. Tapi rupanya Saki sudah bisa menebaknya.

"Dimana dia?" tanyanya.

"Di sekolah."

Atap berpagar, jendela yang tersusun rapi, jam di dinding.

Satu-satunya bangunan yang memiliki elemen-elemen itu hanya sekolah.

"Mereka ada di sekolah."

Kulihat lagi memo itu. Huruf-huruf yang tak terbaca. Diantaranya aku bisa mengenali sesuatu.

—"Sekolah yang ditutup".

"Tempatnya di sekolah yang sudah ditutup itu."

Tempat yang ditunjukkan Vision padaku tak lain adalah atap sekolah.

Etsuko-san akan didorong jatuh oleh Hideki-san dari atas atap itu.

Kulihat jam. Sekarang masih 18:45. Jam yang kubaca di dinding sekolah adalah beberapa menit sebelum jam 19:00.

Kita masih belum terlambat. Tapi kita tak punya banyak waktu. Kita harus segera pergi.

"Cepat, Saki!"

Aku bergegas keluar dari rumah itu dan lari ke sekolah yang sudah ditutup.



Aku melompati gerbang pintu sekolah yang digembok dan segera memasuki kawasan sekolah.

Sepertinya Saki tertinggal di belakang. Tapi aku tak bisa menunggunya.

Sekolah ini terdiri dari dua gedung dengan lapangan di antaranya. Kedua gedung ini masing-masing diberi nama "Gedung A" dan "Gedung B". Nyaris semua kaca jendela telah pecah dan lapangan di antara kedua gedung sudah tertutup debu tebal, menandakan sudah betapa lama sekolah ini ditinggalkan. Pintu-pintu juga sudah hancur, dirusak orang yang tak bertanggung jawab. Masuk ke dalam gedung jadi lebih mudah karenanya.

Menurut Vision, mereka ada di atas atap.

Tapi, atap gedung yang mana?

Kubandingkan kedua gedung itu.

Tapi, kedua gedung itu nampak mirip, sehingga sulit sekali menentukan yang mana yang ditunjukkan Vision padaku.

Kedua gedung itu hanya terhubung di lantai satunya, jadi jika aku salah memilih gedung, aku harus turun ke lantai satu, lalu naik ke gedung berikutnya.

Gedung yang ditunjukkan Vision memiliki pagar di atapnya, jendela, serta jam.

Tapi semuanya ada di kedua gedung itu.

Gedung yang mana?

Kubandingkan kedua gedung itu seperti di permainan "Temukan Lima Perbedaannya".

Tapi aku masih tak tahu yang mana.

Aku berputar kembali ke gerbang sekolah. Tidak ada tanda-tanda Saki akan datang.

"Kemana si lamban itu?!"

Jika ia ada disini, kami bisa mencari ke dua gedung ini secara bersamaan...!

Sekilas terlihat jarum jam hampir menunjukkan jam 19:00.

Waktunya sudah hampir habis. Tak ada waktu lagi untuk menunggu Saki.

Yang mana yang harus kupilih?

Aku harus memilih menggunakan instingku.

Saat aku berpikir seperti itu, aku memperhatikan sesuatu.

Ada satu perbedaan antara keduanya.

Tinggi kedua gedung itu.

Keduanya memiliki masing-masing tiga lantai, tapi entah karena kesalahan perhitungan atau karena tinggi tanahnya, Gedung A sedikit lebih tinggi.

Tanpa berpikir lebih panjang, aku segera memilih gedung yang lebih pendek—Gedung B—dan memasukinya.

Tidak ada jaminan bahwa Gedung B adalah yang benar.

Satu-satunya alasanku adalah, di dalam penglihatanku, aku melihat kebawah, dari gedung yang lebih tinggi ke gedung yang lebih rendah. Tapi, fungsi Vision hanyalah menunjukkan kematian seseorang. Perspektif dari mana aku melihatnya tidak penting disini. Dengan kata lain, aku sendiri tak yakin apakah aku benar-benar melihat kebawah dari Gedung A ke Gedung B..

Namun, untuk saat ini hanya itu saja yang bisa kupercaya.

Aku bergegas menuju atap secepat yang kubisa dan kubuka pintu yang menuju ke atap.

Tebakanku benar.

Tapi keberuntunganku benar-benar sudah habis.

Tidak, aku tak bisa menyalahkan keberuntunganku untuk ini.

Bagaimanapun juga, aku harus menyalahkan kelambananku mengambil keputusan.

Saat aku sudah sampai di atap, Etsuko-san sudah tak ada di sana.

Yang kulihat hanya punggung Hideki-san dan sesuatu yang lenyap di balik pagar.

Hideki-san berbalik.

Matanya memerah dan nafasnya terburu-buru. Berbeda dengan bibirnya yang gemetaran, matanya membelalak sangat lebar hingga ia seperti tak bisa berkedip lagi.

Dia hanya perlu beberapa detik untuk menguasai dirinya sendiri setelah menyadari kehadiranku.

Cukup dengan itu saja, dia bisa menguasai dirinya sendiri.

Meskipun dia baru saja mendorong jatuh gadis yang akan menjadi istrinya, dia bisa kembali menguasai dirinya sendiri dalam beberapa detik saja.

"Kenapa kau ada disini?"

"Untuk menghentikan usahamu membunuhnya...!"

Mata Hideki-san makin melebar. Apa dia pikir aku tak melihatnya?

"I-Itu..."

"Jangan bilang yang tadi itu kecelakaan," kataku.

Dia kembali menelan kata-kata yang akan ia keluarkan.

"Katakan padaku, kenapa?"

"...untuk melindungi diriku sendiri."


Akhirnya dia sadar kalau ia tak bisa berbohong lagi, dan mengaku bahwa ia telah mendorong Etsuko-san hingga jatuh. Tapi aku tak paham dengan alasannya.

"Untuk melindungi dirimu sendiri?"

"Ya. Dia sudah menceritakannya padamu, kan?"

"...Tentang apa yang terjadi sepuluh tahun lalu?"

Hideki-san mengangguk tanpa bersuara.

"Jadi anda benar-benar membunuh ibunya?"

Dahinya berkerut, mungkin karena aku telah membuka luka lamanya.

"Itu adalah kecelakaan. Hanya karena Etsuko bermain denganku sebelum pulang, dia dipukuli dan dikunci di kamarnya oleh nenek tua itu. Aku tak tahu kenapa dia sampai begitu marahnya. Etsuko menangis. Ia menangis minta dikeluarkan. Karena itu, aku mencoba menolongnya. Ketika aku ingin mengeluarkannya, aku berkelahi dengan ibunya, dan akhirnya ia kehilangan keseimbangan dan... Aku saat itu masih kecil dan hanya ingin menolong Etsuko... Mengenai ibunya, itu tidak disengaja..."

Untuk ibu Etsuko-san, menulis diari lebih penting daripada bermain. Beliau ingin anak perempuannya menulis diari meskipun itu berarti ia harus menguncinya di kamar. Tapi Hideki-san tidak mengetahui hal ini. Ia hanya ingin menolong kawannya yang menangis.

Tapi itu tidak penting sekarang. Penyesalan itu sudah tidak berarti apa-apa.

Karena penyesalan itu tidak bisa menjelaskan semuanya.

"Tapi itu tak berarti kau harus membunuhnya juga!"

"Meskipun dia mendekatiku untuk balas dendam?"

Mukanya yang berkerut nampak seperti orang gila. Ia lalu tertawa. Tapi tawa yang terdengar pahit.

"Ceritanya konyol sekali! Karena dia mengganti nama marganya, aku berpacaran dengannya tanpa menyadari bahwa ia adalah Etsuko. Aku tak menyadarinya sampai aku memperkenalkannya pada orang tuaku sebagai tunanganku.

Hatiku hancur ketika ia berkata bahwa ia dulu pernah tinggal di sini, sambil menunjuk ke rumah di sebelah rumah kami... Setelah itu, ia memaksa untuk pindah ke rumah lamanya. Saat itulah aku sadar bahwa ia telah mendekatiku, membuatnya nampak seperti kebetulan!"

"Dia tidak menunjukkan niat seperti itu."

"Tapi dia menunjukkannya ketika ia berdua saja denganku. Setiap hari. Sepertinya bahkan ia tak perlu menyembunyikannya lagi, karena aku melihatnya sendiri. Dia menulis diari yang mendetail, katanya untuk mengingatkannya apa saja yang terjadi di sehari itu, padahal itu pasti hanyalah suatu provokasi yang ditujukan padaku. Untuk menunjukkan padaku secara tak langsung bahwa ia masih tidak melupakan apa yang telah aku lakukan! Tapi setiap kali aku menanyakan tentang masa lalu, dia selalu berpura-pura mengabaikan pertanyaanku. Sengaja. Untuk membodohi aku!

Tsukumodo V1 P239.jpg

...lama-lama aku dibuat gila karenanya! Aku tak bisa lagi tidur sekamar dengannya. Aku tak bisa tidur karena aku takut sekali ia akan melakukan sesuatu padaku. Aku semakin yakin akan itu setelah ia kembali berhubungan dengan ayahnya setelah sepuluh tahun. Aku mencoba meyakin diriku sendiri bahwa ia melakukannya untuk pernikahan kami. Tapi ia terus menerus menolaknya. Meskipun aku menanyakannya berkali-kali. Aku yakin mereka merencanakan sesuatu. Setiap kali aku mendengar gosip adanya laki-laki mencurigakan yang mengintip rumahnya, kupikir yang diintip sebenarnya adalah rumahku. Aku takut laki-laki itu akan masuk ke rumahku, dan aku sama sekali tak bisa menutup mataku barang sedetik. Aku sudah tak tahan lagi."

"Karena itu, anda memanggilnya kemari dan ingin membuat semuanya jelas?"

"Ya."

"Dia menyangkalnya, bukan?"

"Oh, tentu saja. Tapi..."

"Tentu saja dia menyangkalnya. Karena dia tak pernah punya niat buruk seperti itu."

"Kau tak tahu apa-apa!"

"Tapi saya tahu. Lagipula, dia sendiri yang meminta kami untuk menghapuskan ingatan mengenai apa yang terjadi sepuluh tahun lalu."

"?"

Hideki-san nampak kebingungan, ia tak dapat memahami apa yang kukatakan barusan.

"Dia mencoba melupakannya. Karena dia tulus mencintaimu, dia mencoba melupakan apa yang terjadi sepuluh tahun lalu. Tapi ia tak bisa melupakannya, jadi ia meminta bantuan kami."

"......"

"Sepertinya anda berpikir bahwa ia diam-diam kembali berhubungan dengan ayahnya, tapi yang sebenarnya terjadi adalah kakeknya yang berhubungan dengan ayahnya. Dia tak memberitahukannya pada anda karena dia tidak benar-benar tahu. Hari ini adalah pertama kalinya Etsuko-san berbicara dengan ayahnya."

"Bohong..."

"Saya baru tahu dari ayahnya bahwa anda yang membunuh ibunya sepuluh tahun lalu. Etsuko-san tidak mengatakan apapun tentang itu. Tidak, bahkan dia mencoba lari dari kenyataan dengan menghapus ingatannya tentang apa yang sebenarnya terjadi sepuluh tahun lalu."

"Bohong...," Hideki-san menggumam. Terperanjat.

"Katakan padaku... kau bohong, kan..."

Aku tak tahu apakah ia mencari seseorang untuk menanyakannya atau ia ingin memastikan bahwa orang yang seharusnya menjawab pertanyaannya masih hidup, tapi ia bersandar pada pagar sambil melihat ke bawah.

Detik itu, pagar yang sudah tua itu mulai melengkung.

Terlihat seperti dalam gerakan slow-motion, namun tak mampu kuhentikan, pagar itu patah dan Hideki-san lenyap dari atap.




Nyaris seminggu telah berlalu sejak hari itu.

Aku sedang belajar di toko untuk ujian remidial kedua yang akan diadakan esok harinya.

Kuputuskan untuk tidak menggunakan buku catatan Relik itu. Pada akhirnya, buku catatan itu masih kami pegang, tapi ketika memikirkan perasaan ibu Etsuko-san ketika memberikannya pada anak semata wayangnya, aku tak bisa menggunakannya secara sembarangan.

Lupa, adalah suatu berkah yang diberikan pada manusia.

Tapi, bagaimana kita bisa melupakan sesuatu?

Aku percaya itu karena kita berhenti memikirkan tentangnya.

Sepahit apapun suatu kenangan, ia perlahan-lahan akan hilang dengan berlalunya waktu. Karena kita berhenti memikirkan "sesuatu" dalam kehidupan sehari-hari kita yang seakan-akan tak pernah berhenti, maka kenangan itu akan memudar.

Sampai kita melupakannya suatu hari kemudian.

Tapi di sisi lain, selama kita tetap memikirkan tentang hal itu, kita tidak akan bisa melupakannya. Ingatan tentangnya bahkan tak akan memudar.

Kematian ibu yang disayanginya. Kesalahan besar pria yang dicintainya. Tak mungkin ia akan berhenti memikirkannya begitu saja.

Dia pasti akan mengingatnya lagi setiap kali ia membuka buku diarinya—buku diari yang diberikan ibunya.

Apapun yang terjadi, ingatannya juga pasti telah sedikit memudar.

Sepuluh tahun pasti telah membuat kenangan pahitnya sedikit memudar.

Tapi dia bertemu dengan Hideki-san lagi.

Sejak dia menyadari siapa laki-laki itu sebenarnya, dia mulai memikirkannya lagi. Dia mengingat hari itu lagi dan lagi.

Dia ingin melupakan ingatan itu karena ia mencintainya. Tapi semakin ia ingin melupakannya, semakin jelas ia mengingatnya.

Keinginannya untuk melupakan, telah sebaliknya, menguatkan ingatannya dan mengubahnya menjadi ingatan yang jelas dan lekat di kepalanya. Sungguh sebuah ironi.

"Tapi kenapa Etsuko-san pindah ke rumah di sebelah rumah Hideki-san?" tanyaku.

"Mungkin ia ingin bersama-sama dengan ibunya. Di dalam rumah yang penuh kenangan itu, meski hanya sesaat sebelum pernikahannya. Kupikir itu adalah cara Etsuko-san untuk menebus kesalahannya," jawab Saki sembari meletakkan secangkir teh hitam di depanku.

Wangi dari teh hitam itu menggelitik indera penciumanku. Omong-omong, Towako-san sedang meringis, melihat hasil penjualan kami.

Pemandangan yang sama seperti biasanya. Akankah aku melupakan pemandangan ini suatu hari nanti?

Tiba-tiba pintu terbuka dan bel yang menempel padanya berbunyi, menandakan kedatangan pengunjung.

Saki pergi menyambut sang pengunjung.

Pengunjung itu adalah Etsuko-san.

Ajaib memang, dia hanya mengalami luka ringan setelah membentur kerai dan lalu jatuh tepat di atas matras yang ditinggalkan di atas tanah. Sedangkan Hideki-san, sayangnya ia tak begitu beruntung dan tidak mendarat di atas matras. Lebih buruk lagi, ia jatuh tepat di atas pagar yang menancap di tanah dan—

"Terima kasih atas bantuan kalian. Dan aku mohon maaf kalau ucapan terima kasihnya terlambat."

Dia telah diperiksa polisi terkait insiden di sekolah hari itu.

Karena kami juga terlibat, kami menerima pemberitahuan dari Polisi bahwa kasus ini akhirnya ditutup sebagai kecelakaan.

Pihak Kepolisian tidak tahu bahwa Hideki-san mencoba membunuhnya. Sama seperti mereka tidak tahu bahwa Hideki-san juga telah membunuh ibunya.

"Apakah kau datang untuk mengambil ini?" tanya Towako-san sambil mengacungkan buku catatannya ke udara.

Etsuko-san menggelengkan kepala. "Kau boleh menyimpannya."

"Kau yakin? Bukankah kita sudah setuju bahwa aku hanya akan mengambil beberapa lembar saja?"

"Tak apa-apa. Aku sudah punya cukup banyak barang peninggalan ibuku, lagipula aku tak membutuhkannya lagi."

"Oh?" aku baru menyadari kalau ia tak lagi membawa laptopnya.

Dia melihatku dan mengangguk.

"Aku sudah tidak membawanya lagi. Akhirnya aku bisa mempercayai ayahku sendiri. Otakku tidak mengalamu kerusakan dan ingatanku tidak buruk."

Mungkin inilah kepercayaan diri yang ia butuhkan selama ini.

Bukan setumpuk buku diari, dan tentunya bukan sebuah buku catatan yang membuatnya mengingat segalanya.

"Benar-benar membingungkan. Selama ini aku percaya ingatanku benar-benar kabur, tapi sekarang semuanya serba jelas bagiku."

Setetes air mata mengalir di pipinya.

Dia terlihat sangat, sangat sedih.

"Etsuko-san?"

"Jelas, semuanya jelas sekali. Entah itu kematian ibuku atau usaha Hideki-san untuk membunuhku, aku mengingatnya jelas sekali.

—saking jelasnya sampai aku tak tahan lagi. Jadi..."

Etsuko-san melanjutkan kata-katanya.

"Apakah ada buku catatan yang membuatku melupakan apapun yang kutulis di dalamnya?"


Catatan Penerjemah:[edit]

  1. Masakan yang berupa potongan daging babi yang digoreng. Sering disiapkan menjelang ujian-ujian penting dan sebagainya—karena "katsu" juga berarti "menang"
Balik ke Patung Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Hadiah