Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume5

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Ilustrasi Novel[edit]

Bab 1: Penginapan "Charming Fairies"[edit]

Bagian 1[edit]

"Baiklah, besok adalah awal liburan musim panas." kata Louise, sambil menunduk memandangi familiarnya.

"Memang Iya."

Saito menempel pada tanah, mendongak pada tuannya.

"Bagaimana kalau kita semingguan bersenang-senang?"

Mereka ada di Plaza Austri. Seperti biasa, Saito tengah diinjak Louise, dan dia, sekali lagi harus menjelaskan alasan mengapa dia tengah diinjak oleh Louise.

"Yah, Siesta bilang dia bakal berkelana ke desa Tarbes, Bukankah tak apa-apa jika aku singgah sebentar lalu kembali ke daerahmu? Terkadang tak buruk bila kau hanya dengan keluargamu tanpa siapa-siapa, kan?"

Tapi, dari wajah Louise, sepertinya bujukan itu ditolak lagi. Gerbang depan yang dipenuhi murid-murid yang hendak pulang dapat terlihat dari plaza. Para murid, yang telah menunggu berhari-hari untuk pulang, akan naik kereta. Mereka akan pulang ke kota asal mereka, yang lalu disemangati orang tua mereka untuk kembali ke ibukota Tristania. Akademi Sihir Tristania akan masuk liburan musim panas nan panjang mulai besok, sekitar dua setengah bulan.

"K-kau tahu, Nona Vallière. Kupikir Saito-san juga perlu istirahat."

Kata seorang Siesta yang salah tingkah pada Louise yang tengah menyakiti Saito. Sebagai persiapan pulang, Siesta tak mengenakan seragam pelayannya yan biasa, tapi pakaian biasa, terdiri dari kaos hijau gelap dan rok coklat. Louise melemparkan tatapan padanya. Tapi...Ini bukan Siesta yang dulu. Dengan jiwa bersaing seorang gadis dalam cinta, dia balik menatap Louise.

"Se-sebuah istirahat juga penting, kan? K-Kau selalu mempekerjakannya sesukamu..., itu buruk sekali."

"Orang ini baik-baik saja. Itu karena dia familiarku."

Siesta tampaknya mencium sesuatu dalam sikap itu.

"Familiar ya? hmm, apa hanya itu alasannya...?" gumam Siesta. Matanya berseri-seri, bagaikan tengah menyiapkan perangkap untuk menangkap seekor kelinci. Gadis yang jatuh cinta sensitif pada lawan.

"Wh? Apa artinya itu?"

"T-tak ada?" gumam Siesta pura-pura tak tahu.

"Katakan!"

"Hanya saja akhir-akhir ini, caramu memandangi Saito sedikit mencurigakan. Itu yang kupikirkan." ucapSiesta, menyelesaikannya dengan melihat ke samping. Louise menatapnya dengan panas.

Bahkan seorang pelayan mempermainkanku. Ini salah Saito. Meski dia seorang jelata, dia lakukan semua hal-hal aneh. Bahkan jelata-jelata di akademi mulai mejadi kepedean. Louise telah mendengar isu-isu semacam ini sebelumnya, tapi ini toh kenyatannya. Kuasa kerajaan. Kuasa bangsawan. Hmph, itu semua tiada artinya, yang penting kuasaku!

Louise berguncang sambil berdebar-debar. Siesta, yang menyipitkan matanya karena cahaya matahri yang gahar mendesah "fuuh", memaparkan dadanya, dan mengusap keringatnya menggunakan saputangan.

"Benar-benar deh...musim panas ini sangat panas."

Bagaikan sebuah bunga yang mekar di alam liar, banyak rasa yang tertuang keluar darinya. Luar biasa saat dilepaskan, jurang dari kedua bukit terlukis kedalam matanya. Louise jadi "Ha-!" dan memandangi wajah Saito. Dari bawah kakinya, si familiar dengan sekuat tenaga mencoba melihat celah dari baju Siesta yang terbuka. Louise hampir saja meledak tapi dia menahannya.

Memangnya aku bakal kalah! Ya benar, aku seorang ningrat. Jika aku diam saja, kebangsawanan akan tumpah dari celah bajuku.

Louise menirunya, Dia bergumam : Fuuh, panas ya." dan mengendurkan kancing kemejanya, Lalu dia mengusap keringatnya dengan sebuah sapu tangan, Tapi...Yang ada disana bukanlah sebuah jurang, tapi tapi sebuah hamparan menyegarkan yang terbentang kemanapun. Saito tampaknya lebih memilih dataran dengan puncak dan lembah dan tak memindahkan pandangannya. Melihat hasil pertarungan, Siesta melepaskan sebuah tawa renyah, membuat Louise meledak.

"A-Apa! Kau tertawa sekarang!"

"Apa? Tak mungkin aku bakal tertawa. Tak mungkin, kan? Bagiku untuk memandangi seorang ningrat dan tertawa..." kata Siesta, menenangkan Louise dengan sebuah wajah yang berseri. Lalu duia membuang muka dan berucap. "...Dengan tubuh anak-anak begitu, seorang ningrat?...Heeh."

"Kaha," tumpah dari mulut Louise sbagai hembusan, "Apa yang baru saja kau katakan?! Hei!"

"..Siapa tahu,...tak ada. Bagaimanapun, ini panas. Panas, panas. Aah, panas ya?"

Louise berguncang sekujur tubuhnya. Saito berbisik, "Hei, tuanku."

"Apa?"

"Apa

tak apa-apa bagiku untuk pergi ke Tarbes?"

"Kauha," Louise mendesah terpuruk, dan mulai menghantam Saito dengan sekuat tenaga, berfikir - Berapa kali seih kau akan bertanya?

Siesta berkata, "Tenanglah! Nona Vallière! Mohon tenanglah!" dan mencengkram punggungnya. Saat kerusuhan yang biasa bakal dimulai...*flak**flak* begitu seekor burung hantu muncul.

"Nn?"

Si burung hantu berhenti di bahu Louise dan memukul kepala Louise dengan sayapnya.

"Apa-apaan sih burung hantu ini?"

Burung hantu itu menggigit sebuah surat. Louise mengambilnya. Mengenali cap yang ada padanya, Louise kembali berwajah serius.

"Apa burung hantu ini?"

Siesta memandanginya. Saat Louise jadi serius, Saito berkata, "Apa itu?"

Memeriksa isinya, Louise memindai sepotong kertas tunggal itu, Lalu Louise berkata, "Pulang ke rumah dibatalkan."

"Apa maksudmu dibatalkan? Siesta bahkan mengundangku...Aku benar-benar kecewa, tahu." kata Saito, melihat Louise kembali ke kamarnya dan memeriksa bawaannya yang telah dibungkusnya untuk kembali pulang.

Louise menunjukkan surat yang baru saja dibawa si burung hantu pada Saito. "Tidak, aku ga bisa baca huruf sini."

Louise duduk tegak di kasurnya dan mulai bicara. "Setelah perkara sebelumnya...kau tahu Putri-sama terpuruk, kan?"

Saito mengangguk. Itu kejadian yang tragis. Cintanya yang telah tewas...dibangkitkan musuhnya dan mencoba menculiknya. Sudah pasti dia bakal terpuruk.

"Aku bersedih untuknya...tapi sepertinya dia tak bisa terus tenggelam dalam palung kesedihan untuk selamanya."

"Apa maksudmu?"

Louise menjelaskan apa yang tertulis dalam surat itu.

Albion menyerah untuk menyerbu secara layak hingga angkatan udara mereka terbangun kembali, jadi mereka mencoba bertempur dengan cara lain - Adalah apa yang diperkirakan kabinet, dengan Mazarin sebagai penariknya. Mereka tak bisa secara pengecut menyerang Tristain dari dalam dengan menyalakan pemberontakan dan kerusuhan yang merajalela. Karena Henrietta dan orang-orangnya takut akan konspirasi semacam ini, dia tengah menguatkan pemeliharaan ketertiban umum...

"Tak apa-apa kan untuk menguatkan ketertiban umum, tapi apa yang ingin dia mau kau lakukan?"

"Sebuah misi pengumpulan data melibatkan penyembunyiin diriku. Apa ada aksi tak patut tengah terjadi? Isu macam apa yang tengah disebarkan diantara jelata?"

"Uwah, seorang mata-mata!"

"Mata-mata?"

"Di duniaku, pekerjaan mengumpulkan informasi semacam itu disebut begitu."

"Huunn...apapunlah, pada dasarnya, ia memata-matai, kan..."

Untuk beberapa alasan, Louise tampak tak puas.

"Ada apa?"

"Yaa...bukankah ini datar?"

"Tidak, buaknkah info itu penting? Kakekku bilang Jepang dulu kalah perang gara-gara mereka terus mengabaikan info."

"Apa?"

"Bukan apa-apa. Ini tak terlalu penting..."

Dalam surat Henrietta, ada petunjuk untuk berdiam di sebuah penginapan di Tristania, menyembunyikan identitas mereka dan mengerjakan sesuatu seperti menjual bunga, dan mengumpulkan segala jenis info yang dipertukarkan diantara jelata. Sebuah catatan untuk membayar kembali biaya untuk misi ini terlampir.

"Oh, begitu."

"Itulah mengapa aku menyusun kembali bawaanku. Aku tak bisa membawa begitu banyak pakaian."

Louise menunjuk bawaannya yang telah meringan sekitar sekantong penuh.

"Jadi aku harus bekerja meski kini liburan musim panas..." gumam Saito sedih.

"Berhentilah mengeluh. Ayo, kita pergi sekarang!"


Setelah ini semua kejadian. keduanya pergi menuju Tristania. Untuk menyembunyikan status sosial mereka. mereka tak bisa menggunakan kereta. Kuda-kuda di akademi adalah milik akademi, jadi mereka tak bisa menggunakannya. Pada akhirnya, mereka berjalan. Louise dan Saito berjalan di jalan dibawah matahari yang membara, menuju Tristania. Perlu dua hari untuk sampai.

Melihat matahari dengan sikap mencela, Saito berbisik, "Sial...meski seharusnya aku di rumah Siesta meminum air dingin sekarang..."

"Jangan mengeluh! Ayolah! Jalan!" teriak Louise, yang mendpaati familiarnya membawa seluruh bawaan, marah

Setelah tiba di kota, keduanya pertama-tama mengunjungi kantor usrusan keuangan untuk menukarkan catatan dengan koin-koin emas. enam ratus dalam koin emas baru. empat ratus écus. Saito teringat uang dari Henrietta dalam kantong yang terikat pada ikat pinggangnya. Ada sisa 400 koin emas baru. Jadi sekitar 207 écus. Saito pertama-tama menemui seorang penjahit dan membelikan pakaian tawar untuk Louise. Louise tak menyukainya, tapi memakai mantel dengan sebuah pentagram bakal membuka jatidirinya sebagai seorang ningrat. Adalah mustahil bercampur dengan jelata dan mengumpulkan info. Tiada artinya berjalan kesini.

Tapi Louise, yang dipaksa memakai pakaian tawar, tampak tak puas.

"Ada apa?"

"Ini tak cukup."

"Apanya?"

"Uang kita untuk misi ini. Dengan hanya 400 écus, kita bakal bangkrut setelah membeli seekor kuda."


"Kita tak perlu kuda. Tertulis disana bagimu untuk menyembunyikan status sosialmu, kan? Dengan kata lain, kau seharusnya berlaku sebagai seorang jelata. Ayo jalan. Kau punya kaki."

""Aku akan bersikap sebagaimana seorang jelata, tapi aku tak bisa mendapatkan pelayanan memuaskan tanpa seekor kuda."

"Seekor kuda murah tak apa, kan? Kompromilah disini."

"Kuda-kuda jenis itu tak guna saat kita benar-benar membutuhkan mereka! Kita juga perlu pelana. Dan juga...kita takkan bisa tinggal di penginapan aneh. Dengan uang sejumlah ini, ia akan habis setelah tinggal selama hanya 2,5 bulan!"

Penginapan macam apa yang bisa menghabiskan 600 koin emas?

"Sebuah penginapan murah tak apa, kan?"

"Tak mungkin! Aku tak bisa tidur baik dalam sebuah kamar murahan!"

Tepat seperti apa yang diharapkan dari seorang putri ningrat. Meski dia punya sebuah misi untuk bercampur dengan jelata dan mengumpulkan info, dia berencana tinggal di penginapan kelas atas.Saito membayangkan, Apa yang tengah dia pikirkan?

"Aku juga punya beberapa. Aku akan membagi beberapa denganmu."

"...Itu tetap tak cukup. Layanan memakan uang."

"Lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Bukankah ada caa untuk mendapatkan lebih banyak uang?"

Dan seperti itu, selama berdiskusi soal mendapatkan lebih banyak uang dan menemukan sebuah tempat murah, mereka masuks ebuah bar dimana Saito menemukan tempat berjudi didirikan di sebuah sudut bar. Disana, lelaki mabuk dan wanita mencurigakan tengah mengambil chip-chip dan mendapati chip-chip mereka diambil. Tanpa mempedulilam Louise yang mengernyitkan alis matanya oada mereka, Saito memandangi perjudian itu.

"Apa yang kau pandangi?"

"Ya...Aku hanya berfikir soal mendapatkan uang dengn ini. Bagaimana?"

"Bukankah itu berjudi? Yang kaya gitu!"

"Sekarang, lihat aku. Aku sering melakukannya sebelumnya dalam permainan."

Saito menukar 30 koin emas baru, 20 écus dengan chip-chip, lalu menuju meja dengan cakram berputar. Permukaan cakram itu dibagi jadi 37 bagian, tiap-tiapnya punya angka tersendiri dan berwarna merah atau hitam. ebuah bola besi berputar dalam cakram itu. Dan di dekat cakram itu, ada lelaki dan wanita dengan warna mati yang berganti menatapnya penuh harap. Itu sebuah rolet.

Saito mengamati tempat tebakan. Pertama, aku uji keberuntunganku dulu. Meniru tebakan pemenang, Saito menempatkan sebuah chip seharga sekitar 10 écus pada merah. Bola memasuki sebuah kantung merah.

"Lihat kan? Aku mendapatkannya! Aku luar biasa!"

Saito entah kenapa pelit, jadi dia menempatkan secara hati-hati dan menghasilkan chip-chip seharga 30 écus.

"Lihat kan? Uang yang kita punya untuk menyelesaikan misi meningkat! Yahm ini bedanya dengan seseorang yang hanya bisa mengeluh!" kata Saito sambil membusungkan dada. mata Louise berkilat.

"Minta sebagian!"

"Jangan. Mustahil bagimu."

"Apa katamu? Jika familiarnya menang, maka tuannya bakal menang 10x lipat jka dia mencoba."

Louise langsung menaruh apa yang Saito menangkan pada hitam. Tapi...dia meleset. Apa yang telah didapat Saito menguap dalam sesaat.

"Apa yang kau lakukan?! Padahal aku akhirnya bisa dapat!"

"Di-diam."

"Yah...Meski kau selalu bersikap bangga, kau tak bisa menghasilkan uang dengan baik. Belajarlah dari Siesta sedikit. Belajarlah memasak sesuatu. Lalu pergi bekerja sebagai koki di restoran manapun. Itulah kerja."

Sesuatu terpicu dalam diri Louise pada kalimat "Belajarlah dari Siesta".


"L-l-lihat saja aku. Siapa sih yang bakal kalah?"

"Louise?"

Saito gemetar mengamatinya.

_____________________________________


30 menit kemudian,..


Louise tengah menjatuhkan bahunya dan memandang benci pada papan. Chip-chip yang dia taruh sesaat sebelumnya menghilang dalam sunyi ke tangan bandar.



Bahu gadis blonde cantik jatuh selama beberapa saat, tapi lalu mengagkat kepalanya dengan bangga, dia mencoba menaruh semua chipnya pada satu titik. Saito, yang selama ini mengamati dari belakangnya, mencengkram bahu Louise.

"Louise..."

"Apa?" sahut Louise dengan nada kesal yang jelas.

Saito dengan datar berkata. "Ayo sudahi saja."

"Aku akan menang nanti. Aku pasti menang."

"Pikirkan, berapa kali kau mengatakan itu?!"

Jeritan Saito bergaung, Para tamu yang tengah menaruh chip berbalik dan tersenyum pahit. Ini adegan yang terjadi setiap hari.

"Kau bahkan belum menang sekalipun."

Saito mengacungkan jarinya di depan hidung Louise. Ini pertama kalinya Saito melihat seseorang yang begitu buruk dalam dalam berjudi. Louise sudah kehilangan 400 écus...kebanyakan uang yang diperlukan untuk misi. Jika mereka menukar chip-chip Louise yang tersisa menjadi uang, mereka takkan dapat lebih dari 30 écus. Jika mereka kehilangan ini, mereka akan bangkrut.

"Tak apa-apa. Berikutnya, Aku akan mengeluarkan metode pasti menang."

"Ceritakan padaku soal itu."

"Hingga kini, aku bertaruh pada merah atau hitam, kan?"

"Ya. Untuk meleset 15x bertaruh pada merah atau hitam...Kau lebih baik mati."

"Di-diam. Dengarkan? Jika begitu, jika aku menang, aku hanya dapat 2 kalinya, tapi..."

"Tapi apa?"

Saito berguncang. Louise berbicara seakan dirasuki sesuatu.

"Jika aku menang dengan angka, aku akan dapat 35xnya taruhanku. Aku bisa mendapatkan lagi apa yang kita kehilangan dan lebih lagi. Aku seharusnya melakukan ini sejak tadi!"

"Itu metode pasti menangmu?"

Louise mengangguk jelas sekali. Saito dengan diam mencengkram lengan Louise dan menariknya.

"Apa yang kau lakukan?"

"Peluang kau menang 1 berbanding 37!"

"Terus kenapa?! Aku sudah kalah 15x. Tak peduli apa yang kau pikirkan soal itu, aku akan menang nanti. Akan aneh jika aku tidak. Jika aku akan menang, Aku juga mengejar kemenangan besar!"

Mata coklat kemerahan Louise berkerlip-kerlip. Ini mengaingatkannya pada mata pamannya yang gagal di saham dan melarikan diri malam-malam. Dia punya mata seperti itu saat terakhir kali Saito melihatnya. Di hari itu, saham yang kata dia bakal naik tinggi malah turun drastis.

"Tenanglah. Ayo tukar chipmu dengan uang dan gunakan itu untuk mencari sebuah tempat untuk menginap, OK?"

"Tidak, jika kau pergi saat sedang kalah, Nama La Vallière akan menangis."

"Memangnya yang kaya gitu bakal nangis!"

Saat dia meneriakkan itu, dia ditendang tepat pada daerah antara kaki dan bergulingan di lantai.

"Hoaaaaaaaaaaa....Apa kau punya dendam pada daerahku yang menyedihkan?"

Setelah menyingkirkan familiarnya yang mengganggu, Louise kembali menuju cakram rolet. Sang pelempar hendak melempar bola ke roda. Dia masih bisa bertaruh. Louise menaruh seluruh chipnya yang tersisa pada angka yang ada di kepalanya sejak sesaat lalu. Lalu dia menatap pada roda dan bola dengan mata yang tak bisa lebih serius dari itu.

Bersuara klip-klop, bola akdir memasuki sebuah kantong. Wajah Louise bersinar penuh harapan untuk sesaat, tapi ia berubah jadi putus asa seketika. Kantong itu berada tepat di sebelah angka taruhan Louise. Sambil mengusap daerah bawahnya, Saito bangkit dan menarik Louise. "Ayo pergi."

"Apa kau bilang?"

"Heh?"

"itu kantong tetanggku. Berikutnya, ia akan mengunjungi rumahku."

"Kita tak punya uang lagi untuk bertaruh, kan?!"

"Uang do kantongmu akan membantu."

"Tolol! Ini uangku!"

Saito Saito melindungi kantongnya. Dia tak bisa mendapati ini dipertaruhkan. Jika ya, bahkan dia bakal bangkrut.

"kau tahu? Barang familiar adalah barang tuannya. Itu sudah jelas."

"Jangan bercanda."

Tapi dibandingkan Siesta. itu tak mencapai telinga Louise, yang fikirannya terbakar demam judinya. Dia mencoba menendang daerah bawah Saito dengan kecepatan kilat. TapiSaito berbeda dari biasanya. Dia dengan cepat menutup kedua kakinya dan menangkisnya. Lalu dia mencengkram kaki Louise yang terangkat.

"Ga mungkin aku membiarkanmu menendangku lagi!"

Louise bergumam dengansuara dfingin. "Vasra."

Alat sihir penahan menyelimuti badan Saito dan mengeluarkan arus listrik. Kejang-kejang luar biasa, Saito berguliangan kembali di lantai.

"...Oh begitu, aku tak mewaspadai itu." kata Saito lemah sambil mengutuk kepenasarannya. Aah, jika aku tak tertarik tempat judi ini, yang seperti ini takkan...

Louise merogoh kantong Saito, mengambil seluruh koin emas yang tersisa, dan dengan cepat menukar mereka dengan chip-chip. Saito agak lega. Bahkan bila itu seseorang seperti Louise yang punya bakat nol untuk berjudi, dia takkan kehilangan seluruh chip itu sebelum tubuhnya sembuh dari mati rasa ini. Setelah mati rasa ini pergi, dia akan menutup mulut Louise dan meninggalkan tempat ini tanpa membiarkan Louise berkata apapun. Itu keputusan Saito.

"Bertaruh pada satu tempat sepertnya tak jalan. Aku akan kembali ke dasar."

"Itu benar...Merah dan hitam, Hanay sejumlah kecil pada merah atau hitam. Setidaknya lakukan itu..."

"Untuk menunjukkan hormatku pada familiarku yang setia, aku akan bertaruh pada warna rambut dan mata itu."

"Hitam?"

"Itu benar." Sambil mengangguk, Louise menaruh koinnya pada hitam. Semuanya...chip-chip seharga 270 écus, seluruhnya. Saito hampir bocor. "H! E! N! T! I! K! A! N!"

Louise tersenyum cerah pada Saito. "Bodoh. Bahkan jika bayarannya ganda, uang adalah uang. Jika aku menang, kita akan mendapat kembali apa yang telah terambil dan lebih. Apalagi, hanya sekali. Kita hanya perlu menang sekali."

"K! U! M! O! H! O! N!"

"Aku seharusnya lakukan ini dari tadi."

Sang pelempar memutar roletnya. Bola kecil mulai berputar, membawa takdir sang tuan dan familiarnya bersamanya.

Membuat sebuah suara kering, si bola berputar di atas roda. Putaran dengan perlahan menurun kecepatannya, dan seakan membagi takdir. mengarah pada kantong kanan. Louise telah bertaruh jumlah yang besar pada hitam, jadi tamu lain bertaruh pada merah. Satu-satunya yang bertaruh pada hitam hanyalah Louise. Ia masuk merah, meninggalkannya, lalu masuk hitam, meninggalkannya...Louise berkata seakan sedang terkena demam.

"Aku seorang legenda. Aku takkan pernah kalah, ya!, di tempat seperti ini."

Lalu bola masuk sebuah kantung...dan berhenti. Louise menutup matanya tanpa pikir lagi. Di sekelilingnya, desahan sedih terdengar menggema.

"...Eh?"

Semuanya, selain Louise, bertaruh merah. Desahan datang dari mereka. Dengan kata lain, yang beratruh merah kalah. Yang berarti...

"Aku benar-benar seorang pengguna "Zero"!" meneriakkan itu, Louise membuka matanya. Tepat setelahnya, mulutnya menganga lebar. Bolanya...tak masuk hitam atau merah, tapi kantung hijau satu-satunya. Di tengah-tengah kantung tersebut..., bagaikan memberikan berkah pada Louise, angka "0" berkilauan disana. _____________________________

Saito dan Louise tengah duduk lemas di sudut plaza pusat kota sewaktu matahari terbenam. Lonceng gereja Saint Rémy berdentang enam kali saat petang. Mereka kecapean dan lapar tapi tak punya tempat untuk dituju.

Louise memakai baju terusan coklat tawar yang tadi dibelikan Saito. Di kakinya ada sepatu kayu kasar. Mantel dan tongkatnya disimpan didalam tas yang dibawa Saito. dari bajunya saja, dia terlihat seperti gadis desa lainnya, tapi berkat wajah kelas atas dan rambut blonde pinknya, dia memberikan semacam perasaan tak cocok, semacam rasa pada gadis yang tak terbiasa berakting pada sebuah adegan.

Saito memakai pakaiannya yang biasa, tapi dia tak bisa berkeliaran di kota dengan pedang terhunus, jadi dia bungkus Derflinger dengan kain dan membawanya di punggung. Louise bergumam pelan, menunjukkan bahwa dia baru saja menyadari seberapa besar dosa yang telah dilakukannya. "A-apa yang harus kita lakukan?"

Saito menatap Louise. "Aku takkan pernah membiarkanmu membawa uang lagi."

"Uuu..." Louise mendengung sedih sambil memeluk lututnya.

"Yah, apa ya yang harus kita lakukan. Uang. Jika kita tak bisa menemukan sebiah penginapa untuk tinggal, kita takkan bisa makan. Bagaimana dengan misi? Oh wahai wanita senat dari paduka, mohon ajari familiar nan rendah ini. Kumohon?' kata Saito penuh sindiram. Bahkan uangnya dipakai. Dia akan membuat Louise membayar kembali suatu hari nanti, tapi kini, masalahnya adalah penginapan dan makanan.

"Aku memikirkan soal itu sekarang." kata Louise dengan wajah kesal.

"Mari dengan penuh kerendahan menundukkan kepala kita pada Putri-sama dan meminta uang lebih."

"Itu mustahil. Putri-sama memberikanku misi rahasia ini menurut dirinya sendiri. Kabinet mungkin tak membiarkan anggaran dipakai. Dia kemungkinan tak bisa menggunakan lebih dari apa yang bebas dimilikinya. Mungkin, itu sudah yang terbaik yang dia bisa."

"Kau membuang uang itu dalam 30 menit. Apa sih yang kau pikirkan?"

"Itu karena aku tak bisa mendapatkan pelayanan memuaskan hanya dengan 400!"

"Itu karena kau selalu ingin kemewahan!"

"Mereka diperlukan!"

"Lalu. bagaimana dengan ini? Hubungi rumahmu. Ya, hei, Duke-sama."

"Tak mungkin. Ini misi rahasia. Aku juga tak bisa bilang-bilang keluargaku."

Sambil memeluk lututnya, Louise menaruh dagunya padanya. Dia benar-benar seorang nona muda yang abai terhadap aliran dunia...Dia bahkan tak bisa berbelanja dengan baik. Bahkan Saito, yang datang dari dunia lain, bisa menangani lebih baik. Takkan ada yang selesai bila dia yang melakukannya. Tapi Saito tak bisa memikirkan sebuah ide bagus. Dia menerawangi air mancur plaza sambil termenung, tapi...

"Nn?"

Dia menadari orang-orang yang lewat memandang kagum pada Louise. Bahkan jika dia tak menginginkannya, pesona dan keningratan Louise menarik perhatian. Terutama jika dia tengah memeluk lututnya, terlihat sebagai seorang gadis desa. Orang-orang melirik Louise dengan mata yang berkata " Dia mungkin melarikan diri dari sebuah rumah bordir." Saito bangkit secepat kilat.

Louise terkejut. "Adaapa?"

Mengabaikan kata-kata Louise, Saito menghadap orang-orang di jalan dan mulai mengumumkan. :Eeh, Hadirin dan hadirat!"

Orang-orang yang berlalu berhenti, mengira-ngira apa yang tengah berlangsung.

"Eeh- Gadis ini adalah seekor gadis-serigala yang kabur dari sirkus."

"Apa?"

Apaan sih yang dikatakan orang ini?

"Dibesarkan serigala, dia melolong dan menyalak! Ini benar-benar mengganggu! Tapi yang paling mengagumkan adalah bahwa dia bisa menggaruk lehernya dengan kakinya! Kini bersiaplah! Dia akan menggaruk leher dengan kakinya sekarang!"

Saito berbisik pelan pada Louise. "Yah, garuk lehermu dengan kakimu. Ayolah."

Saito mengejeknya dengan dagunya. Louise menginjak wajah itu dengan telapak kakinya. Saito berguling-guling di tanah.

"Apaan sih yang kau pikirkan?! K-k-kau ingin aku berlaku sebagai bintang?!"

Saito juga bangkit, menarik lengan Louise, dan berteriak. :kita tak punya pilihan selain tampil, kan?! Apa ada cara lain untuk menghasilkan uang?! Aah?!"

Mengayunkan rambutnya dengan ganas, Louise mulai bertengkar dengan Saito. "Dia benar-benar seekor gadis serigala."

Anehnya, hadirin terpuaskan. Tapi setelah menyadari segra bahwa ini hanya pertengkaran. hadirin dengan cepat menjadi bosan dan pergi. Mereka tak mendapatkan apapun. Tenaganya menguap dan Saito terbaring di tanah. Louise juga cape dan dengan cepat kehabisa tenaga fisiknya, jadi dia duduk di punggung Saito.

"Aku lapar..."

"Aku juga..."

Kepada keduanya yang tengah duduk seperti ini, seseorang melemparkan sebuah koin tembaga. Saito loangsung loncat dan mengambilnya. Louise bangkit dengan sebuah suara beramarah. "Siapa?! Keluar sekarang!"

Setelah mengatakan itu, seorang pria aneh keluar dari kerumunan.

"Oh tidak, kukira kalian pengemis..."

Anehnya, dia ngomong dengan cara wanita.

"Haah? Jelaskan dirimu? Kau tahu, aku, sangat mengagumkan, berasal dari keluarga Duke..."

Saat dia mencoba mengatakan itu, Saito bangkit dan menutup mulut Louise.

"Keluarga Duke?"

"Bukan apa-apa! Ya! Otaknya memang sedikit begitulah. Ya."

Tersinggung, Louise meronta-ronta, tapi Saito mengabaikannya dan terus menutup mulutnya. Jika mereka membuka diri, bukan misi rahasia lagi namanya.

Pria tersebut memandang Saito dan Louise penuh ketertarikan. Dia mengenakan pakaian yang mencolok. Pakaian Guiche juga mencolok, tapi arahnya beda. Rambut hitam yang dilapisi minyak, sebuah kemeja satin-tanah ungu yang berkilau dengan bagian dada membuka dengan rambut dada tak tersukur menyembul. Di bawah hidungnya ada dagu yang terbelah sempurna dan kumis bergaya, Sebuah bau parfum yang kuat menyentuh hidung Saito.

"Lalu mengapa kalian tidur di tanah?"

"Yah, kami tak punya tempat tidur dan makan..."

"Tapi kami bukan pengemis." kata Louise terbuka. Pria tersebut memandang dalam wajah Louise.

"Oh begitu, Klo begitu, datanglah ke tempatku, Namaku Scarron. Aku menjalankan sebuah penginapan. Aku akan menyiapkan sebuah kamar," kata pria tersebut sambil tersenyum. Cara dia bicara dan berpakaian menjijikkan, tapi dia sepertinya orang baik.

Wajah Saito bersinar. "Benarkah?!"

"Aku akan melakukan apapun."

"Aku mengurus sebuah toko di antai pertama. Gadis ini akan membantu. Itu kesepakatannya. OK?"

Louise tampak enggan, tapi dia dengan patuh mengangguk saat Saito menatapnya.

"Très bien."

Scarron mengumpulkan tangannya dan menempatkan mereka pada pada pipinya, menyempitkan bibirnya, tersenyum. Dia bertingkah seperti seorang gay. Sebenarnya, dia bukan apapun selain seorang gay. Menjijikkan. Ada gay di dunia lain juga...Dan ada "Très bien." itu...Saito anehnya jadi terpuruk.

"Putus sudah. Ikut aku."

Pria tersebut mulai berjalan. Mengayunkan pinggangnya secara berirama. Saito dnegan enggan meraih tangan Louise dan mengikuti.

"Sepertinya aku tak mau. Dia aneh."

Saito memandangi Louise dengan amarah membara di matanya. "Kau pikir kau dalam posisi untuk memilih?"

Bagian 2[edit]

"Kalimat Baik" Para peri!" kata Scarron begitu dia menggerakkan pinggnya sambil mengamati sekeliling toko.

"Ya! Pak Scarron!" Sambut para gadis yang terbunglus pakaian yang mencolok.

Salaaaaaaaaaahh!" Teriak Scarron dengan menggerakkan pinggangnya secara berlebihan kesana kemari saat mendengar sambutan para gadis.

"Bukan pak, tapi panggil saya sebagai Mi Mademoiselle, ya?"

"Ya! Mi Mademoiselle!"

"Très bien."

Scarron berguncang senang sambilo mengger-gerakkan pinggangny. Melihat proa setengah baya yang mengajaknya kesini, Saito merasa sakit. Tapi para gadis di toko sudah terbiasa dengan kebiasaan ini, dan tak menunjukkan perubahan pada wajah mereka.

"Baiklah, kita akan mulai dengan pengumuman menyedihkan dari Mi Mademoiselle. Akhir-akhir ini, pendapatan penginapan "Peri-Peri Memesona" menurun. Sebuah toko bernama sebuah "kafe" yang menyediakan "teh" yang baru saja diimpor dari timur kini mencuri pelanggan-pelanggan kita...Sniff..."

"Jangan menangis! Mi Mademoiselle!"

"Kalian benar. Jika kita kalah dari "teh" ini, kalimat "Peri-peri Memesona" bakal menangis."

"Ya! Mi Mademoiselle!"

Scarron meloncat ke atas meja dan berpose semarak. "Sumpah Peri-Peri Memesona! Un~~"

"Melayani dengan snyum ceria!"

"Sumpah Peri-Peri Memesona! Deux~~"

"Dalaman toko yang bersih nan berkilat!"

""Sumpah Peri-Peri Memesona! Trois~~"

"Menerima banyak tips!"

"Très bien."

Scarron tersenyum puas. Lalu dia membengkokkan pingganya dan berpose. Isi lambung naik ke tenggorokannya, tapi Saito sekuat tenaga menelannya kembali.

"Baiklah, aku punya pengumuman bagus untuk kalian, para peri. Kita dapat teman baru hari ini."

Para gadis bersorak.

"Maka, biarkan aku memperkenalkannya! Louise-chan! Kesini!"

Dikelilingi oleh sorakan, Louise muncul, merah sempurna di wajah dari malu dan marah.

Saito menelan napas. Perias toko telah memermak rambut blonde-pink Louise dan membuat rambut di kiri-kanan menjadi jalinan kecil. Dia juga memakai camisole pendek nan menggoda, menempel padanya bagaikan sebuah korset dan membuat garis badannya lebih jelas. Ia terbuka di punggung, menguapkan pesona yang jelas. Penampilan yang sangat seperti peri tercinta.

"Louise-chan hendak dijual pada sirkus, tapi tepat di detik terakhirkabur dengan saudaranya, Dia gadis yang sangat manis tapi patut dikasihani."

Desahan simpati datang dari para gadis. Itu sebuah dusta yang dibuat Saito di sepanjang jalan ke toko. Sekuat tenaga, dia memutuskan untuk menjadi kakak Louise. Mereka tak terlihat bersaudara tak peduli bagaimana orang melihat, tapi Scarron tak peduli di situ. Sepertinya itu tak terlalu bermasalah.

"Baiklah, Louise-chan. Salami peri-peri yang bakal jadi teman kerjamu." Louise berguncang. Sepertinya dia marah. Dalam. Kuat. Seorang bangsawan berharga diri tinggi seperti Louise tengah disuruh menundukkan kepalanya pada jelata dalam baju itu. Saito takut dia bakal jadi gila dan melepaskan "Ledakan" berulang.

tapi...Rasa tanggung jawab yang menyuruhnya menyelesaikan tugas menahan amarah Louise. Pikirkanlah, isu-isu biasanya berkumpul di bar-bar. Ini sempurna unuk mengumpulkan info. Tambahan lagi, mereka bangkrut. Sambil mengatakan ini sebuah misi pada dirinya, Louise membungkuk dengan senyum yang dipaksakan.

"A-a-a-aku Louise. Se-se-senang bertemu kalian."

"Ok, bersorak!" teriak Scarron. Sebuah sorakan hebat menggema ke seluruh Toko. Scarron melihat Jam di dinding. Akhirnya kini waktunya toko buka. Dia menjentikkan jari. Meresponnya, boneka-boneka yang terbuat dari sihir di sudut toko mulai memainkan musik nan ramai. Ini irama untuk berbaris. Scarron berucap dengan nada bergairah. "Sekarang! waktunya buka!"

Pintu sayap terbuka dengan sebuah "bam" begitu pelanggan yang menunggu mengerumuni toko. Penginapan "Peri-peri memesona" yang ditinggali Loise dan Saito terlihat sebagai bar, namun sebenarnya adalah toko terkenal dimana gadis-gadis manis dengan pakaian menggoda membawakan pelanggan minuman mereka. Scarron menyadari kecantikan dan pesona Louise dan membawanya kesini untuk bekerja sebagai pelayan.

Dengan sebuah apron dimana ada tanda toko padanya, Saito diberikan tugas mencuci piring. Selama dia tinggal di penginapan, dia harus melakukan beberapa pekerjaan. Toko tengah penuh, jadi pegunungan peralatan makan dikirimkan padanya. Sepertinya tak peduli dimanapun seseorang berada, bahkan di dunia lain, mencuci piring adalah tugas untuk pendatang baru. Saito tak ingin mencuci piring dari toko gay itu, tapi dia menahannya.

Ini demi tugas Louise. Dia tak bisa apa-apa, egois, keras hati, dan seorang gadis kecil arogan yang tak pernah mendengarkan apa yang dikatakannya, tapi ini tak bisa diapa-apakan karena dia tertangkap olehnya. Meski selalu mengeluh, sepertinya kali ini dia berusaha keras untuk berhasil dalam mengumpulkan info. Dan juga, wajah sedih Henrietta yang dilihatnya di tepian Danau Ragdorian...

Dia ingin melakukan sesuatu untuk putri yang menyedihkan itu. Jika dia bisa membantu orang yag dia suka dengan melakukan apa yang dia bisa, dia tak segan-segan menunda pencarian jalan kembali ke dunianya. Melalui setumpuk masalah, kesederhanaannya membuatnya berpikir begitu.

Saito bergelut dengan piring-piring. Tapi semua punya hal yang disebut "batas". Setelah beberapa sat, dia tak bisa lagi menggerakkan tangannya yanmg kecapean. Tapi meski dia kelelahan, jumlah piring yang harus dicucinya takkan menghilang dan mulai menumpuk.

Seorang gadis berpenampilan mencolok muncul didekat Saito, yang tengah menatap hampa gunungan piring dan kecapaian mati rasa didepan tempat cuci piring, Gadis manis ini punya rambut hitam panjang lurus. Alis tebalnya menguapkan aura hidup. Sepertinya dia dekat dengan Saito dalam hal umur. Saito cepat-cepat tersentak saat matanya penuh oleh belahan dadanya yang muncul dari baju terusan hijaunya yang membuka di bagian dada.

"Hei! Kita tak punya piring tersisa!" teriaknya, berkacak pinggang.

"A-aku minta maaf! Langsung!"

Terbiasa diperintah gadis-gadis manis, Saito langsung loncat dan secara refleks mulai mencucui piring-piring. Melihat gerakan tangan amatirannya, gadis berambut hitam membengkokkan kepalanya.

"Biarkan aku lihat itu." Mengatakan itu, dia mengambil kain yang digunakan untuk mencuci piring dari tangan Saito dan mulai menggosok dengan cara berpengalaman. Dengan gerakan halus yang tak menyampah, piring-piring perlahan tercuci. Saito menyadari bahwa ada rahasia dam mencuci piring.

"Butuh waktu kan untuk mencuci satu sisi dalam satu waktu? Kau bisa menaruh kain diantara dua sisi dan menggosok keras-keras."

"Luar biasa," kata Saito. Melihat dia benar-benar kagum, gadis itu tersenyum.

"Aku Jessica. Kau saudara gadis baru itu, kan? Nama?"

"Saito. Hiraga Saito.

"Itu nama yang aneh."

"Biar saja."

Saito mulai memcuci piring-piring bersa,a Jessica. Setelah melihat sekelilingnya, dia berbisik pada Saito dengan suara pelan. "Hei, hal itu tentang kau bersaudara dengan Louise adalah dusta, kan?"

"Tidak. 100% kakak lelaki asli dan adik perempuan." kata Saito kaku.

"Warna rambut, warna mata , dan bentuk wajah kalian berdua jauh berbeda. Takkan ada yang akan mempercayaimu."

Saito tak bisa berkata apa-apa.

"Meski itu bukan masalah. Gadis-gadis disini baik-baik saja dengan alasan apapun. Tiada orang disini yang akan mengorek masa lalu seseorang. Tenang saja."

"O-oh begitu..."

Jessica menatap kedalam mata Saito. Untuk sesaat, dia kaget.

"Tapi bisakah kau diam-diam menceritakannya saja padaku? Apa sih hubungan diantara kalian berdua? Apa kalian kabur dari suatu tempat?"

Sepertinya terkadang Jessica cenderung sepenasaran Saito. Dia melihat Saito dengan bergairah. tapi tak mungki Saito bisa mengatakan yang sebenarnya. Saito melirik pakaian Jessica yang mencolok. Dia mungkin salah satu dari pelayan "peri". Korekan tak perlu mengganggu, jadi Saito mengibaskan tangannya untuk membuatnya pergi.

"Apa tak apa-apa bagimu untuk malas-malasan disini? Kau punya kerjaanmu sendiri untuk dibereskan. Pergi dan bawalah beberapa anggur atau bandrek. Manajer Scarron akan marah padamu."

"Tak apa-apa bagiku."

"Mengapa?"

"Karena aku putri Scarron."

Saito menjatuhkan sebuah piring. Membuat suara pecah, Piring itu pecah berkeping-keping.

"Ah! Apa yang kau pecahkan?! Kau akan membayar dari gajimu!"

"Putri?"

"Itu benar."

Untuk putri semanis ini terlahir dari manajer toko gay itu...Saito membayangkan gen macam apa yang direkayasa mereka.

"Ayolah! Jangan hanya ngomong dan mulai gerakkan tanganmu! Toko akan semakin sibuk dari sekarang!"

Saito punya beberapa kesulitan, tapi Louise menderita lebih buruk.

"...I-ini pesanan kalian."

Sekuat tenaga berusaha tersenyum...dia meninggalkan sebotol anggur dan sebuah gelas keramik di meja. Di hadapannya, seorang lelaki tengah memandangi Louise sambil tersenyum vulgar. "Gadis kecil, tuangkan aku sedikit."

Aku menuangkan alkohol untuk seorang jelata, seorang jelata, seorang jelata? Seorang bangsawan sepertiku? Seorang bangsawan sepertiku? Seorang bangsawan sepertiku?

Pikiran-pikiran terhina semacam itu berkeliaran dalam kepalanya.

"Anh? Ada apa? Bukankah aku menyuruhmu untuk cepat-cepat dan menuangkan aku sedikit?"

Louise menghembus dan mencoba menenangkan dirinya.

Ini sebuah misi. Ini sebuah misi. Pengumpulan info sambil menyamar sebagai jelata, Pengumpulan info...

Menggumamkan itu bagai sebuah mantra, dia entah bagaimana dapat tersenyum. "Ba-baiklah, aku akan menuangkan beberapa untukmu."

"Huun..."

Louise mengambil botol dan mulai perlahan menuangkan anggur kedalam gelas lelaki tersebut. Tapi...Karena dia gemetaran dari amarah, dai meleset dan menumpahkan anggur pada baju lelaki tersebut.

"Uwah! Kau menumpahkannya!"

"A-aku minta ma...af."

"Memangnya sebuah permintaan maaf bakal membantu!"

Lalu lelaki itu mulai menatap Louise. "Kau...tak punya dada, tapi kau sangat cantik."

Rasa darah meninggalkan wajah Louise.

"Aku mulai menyukaimu. Mungkin jika kau menyuapku dari mulut ke mulut, aku akan memaafkanmu! Gahaha!"

Lousie mengambil botol, meminum anggur kedalam mulutnya, dan memuntahkannya kembali pada wajah lelaki itu.

"Apa yang kau lakukan, bocah?!"

"Bam!"

Dengan satu kaki di meja, Louise menatap ke bawah pada lelaki yang duduk. Untuk sesaat, lelaki itu meringis pada aura yang dilepaskan gadis kecil ini.

"R-r-r-rendaham. K-Ka-ka-kau pikira aku siapa?"

"A-apa?"

"U-u-untuk infomu, d-d-d...duk..."

Tepat saat dia hendak mengatakan "keluarga duke". Louise diterbangkan dari belakang.

"Aku~~minta~~ maaf~~!"

Itu Scarron. Duduk di samping lelaki itu, dia mulai mengusap kemejanya dengan kain piring di tangannya.

"A-ada apa dengamu, gay sialan...Aku tak memerlukanmu..."

"Ini tak bisa! Ia basah kuyup dengan anggur! Hei, Louise-chan! Bawa beberapa anggur baru! Selama dia membawanya, mi mademoiselle akan menemanimu!"

Scarron bersender mendekari lelaki tersebut. Lelaki itu tampak hendak menangis, tapi Scarron menahannya dengan kekuatan manusia super sehingga dia tak bisa bergerak.

"Y-ya!" kata Louise, akhirnya terhubung kembali dengan kenyataan, dan lari masuk dapur.

"Eh-baiklah, terima kasih untuk kerja kerasnya!"

Saat toko tutup, langit mulai memutih, Saito dan Louise berdiri tak tegaj. Mereka sangat kecapaean, mereka merasa bahwa mereka akan mati. Mereka sangat cape melakukan sebuah pekerjaan yang merea tak terbiasa dengannya.

"Kalian semua bekerja sebaik-baiknya, spertinya begitu. Kita hijau bulan ini."

Scarron mulai menyerahkan gaji pada gadis-gadis yang bekerja di toko dan para koki dalam dapur, yang semuanya mengeluarkan teriakan kegembiraan. Sepertinya hari ini hari gajian.

"Ini, Louise-chan, Saito-kun."

Berpikir, "Kita dapat juga?", wajah Saito dan Louise menyala sesaat, tapi...yang ada hanyalah selembar kertas tipis.

"Apa ini?" tanya Saito.

Senyum menghilang dari wajah Scarron. "Sebuah tagihan. Saito-kun, berapa piring yang kau pecahkan? Louise-chan, berapa pelanggan yang kau buat marah?"

Louise dan saito saling bertatapan dan mendesah, "tak apa-apa. Semua membuat kesalahan di awal. Terus coba sebaik kalian mulai dari sekarang dan bayar tagihannya."


Dan...desahan tak berhenti sampai di situ. Kamar yang diberikan pada Louise dan Saito dicapai dengan mengikuti sebuah koridor yang diisi pintu kamar tamu...dan menggunakan sebuah tangga untuk mendaki dan mencapai loteng.

Tak peduli bagaimana kau melihatnya, ini bukanlah kamar yang dibuat untuk tempat orang tinggal. Berdebu dan remang-remang, sepertinya ia digunakan sebagai gudang. Rak dan kursi rusak, peti-peti yang menyimpan botol anggur, dan tong-tong...segala macam barang menumpuk. Sebuah tempat tidur kayu kasar telah ditempatkan disana. Saat Louise duduk, kakinya menyelusup sehingga dia jatuh ke samping kanan.

"Apa ini?!"

"Sebuah tempat tidur, kan?"

Sambil membersihkan sebuah sarang laba-laba, Saito membuka jendela kecil itu. Saat melakukannya, para kalong yang sepertinya hidup di loteng keluar sambil menjerit dan menggantung pada sebuah lampu."

"Apa itu?!"

"Mungkin teman sekamar kita." kata Saito dengan nada tenang

"Kau ingin bangsawan sepertiku tidur disini?! teriak Louise marah.

Saito dengan diam mengambil selimut di atas kasur dan membersihkan debunya. Dia lalu berbaring dan menyelimuti dirinya. "Ayolah, tidur saja. Scarron sudah mengatakannya. Ku bangun di siang hari dan menyiapkan toko, Kau akan membersihkan toko,"

"Mengapa kau baik-baik saja dengan ini?!"

"Ini tak begitu berbeda dengan cara seseorang biasa memperlakukanku." mengatakan itu, Saito, mungkin karena dia lelah, dengan cepat terlelap.

Louise mengerang "uu~" dan "mu~", tapi dia menyerah setelah beberapa saat dan meringkuk masuk bersama Saito. Menggeliat di sekitarnya, dia menaruh kepalanya di lengan Saito.

Ini jelas-jelas tempat yang mengerikan...tapi ada satu hal yang menyenagkannya...Pelayan itu tak disini.

Ya ampun, aku tak tahu, apa sih bagusnya familiar ini! Pelayan yang menyukai Saito itu tak ada disni. Ini sebenarnya luar biasa. Aku-tak benar-benar, suka-, ini, tapi...gumam Louise dalam rasa agak senang, mendekatkan pipinya pada Saito dan menutup matanya.

Dengan pipi memerah, dai berbisik," Aku akan mendapatimu memperlakukanku dengan lembut pada liburan musim panas ini."

Dan juga...mengambil isu-siu di kota dan memberikan laporan mendalam pada Putri-sama. Berfikir bahwa semua akan segera semakin sibuk, Louise terlelap.


Tapi...kebahagiaan kecil Louise diremukkan sempurna. Sebabnya adalah malam hari berikutnya, Penginapan "Peri-Peri memesona" ramai juga pada hari itu. Louise dengan sibuk membawa makanan atau minuman keluar seperti hari sebelumnya. Lelaki-lelaki yang mabuk punya dua jenis reaksi saat melihat Louise.

Pertama adalah orang yang memandangi Louise, yang kecil dalam berbagai bagian tubuhnya, dan berkata"Toko ini menggunakan anak-anak?" denagn marah, Pada pelanggan-pelanggan ini, Lousie melayani mereka dengan banyak anggur, dia juga mendapati mereka meminum botolnya.

Di sisi lain, ada pelanggan-pelanggan yang punya ketertarikan khusus.

Hanya penampilan luar Louise yang begitu manis, jadi sebaliknya, ia adalah hal terindah bagi orang dengan jalan pikiran ini. Orang-orang ini meremehkan Louise karena dia terlihat patuh saat diam dan mengulurkan tangan mereka pada pantat atau paha kecinya. Pada orang-orang ini, Louise memutuskan untuk memberikan mereka telapaknya. Dia memberikan itu pada kedua pipi, dan sewaktu-waktu, bahkan di hidungnya.

Tak bisa bersikap santun sama sekali, dengan begitu saja, Louise akhirnya tak menerima tips sedikitpun dan disuruh "Diam disini dan amati apa yang dilakukan gadis lainnya" oleh Scarron dan dipaksa berdiri di sudut. Ya, gadis lainnya sangat ahli. Mereka tersenyum cerah dan tak marah tak peduli apa yang dikatakan maupun dilakukan orang. Mereka dengan halus bercakap dan memuji para lelaki...

Dan saat para lelaki mencoba menyentuh mereka, mereka dengan lembut mencengkram tangan itu dan mencegahnya menyentuh. Denagn begitu, para lelaki mencoba memenangkan perhaian si gadis dan menumphakan tips. Tak mungkin aku melakukan itu, Louise masam. Keluarga dimana aku lahir di dunia ini keluarga Vallière, yang merupakan ningrat dan penyihir. Terlebih lagi, mereka adalah keluarga duke!

Jika aku kembali pada tanahku, aku adalah seorang putri! adalah apa yang dipikirkan Louise. Bahkan jka kau mengatakan padaku dunia akan berakhir besok, aku tak bisa berlaku sopan pada mereka. Apalagi, dalam pakaian memalukan ini...Pakaian?

Louise menyadarinya pada saat itu. Dia dalam pakaian camisole yang sama dengan kemarin. Meski dia pikir dalam dirinya tak manis, tapi dia merupakan sesuatu di luar. Dia mencari-cari da menemukan sebuah cermin dalam toko. Dia membuat berbagai macam pose di hadapan cermin. Dia mencoba memegang jempol dalam mulutnya dan menggelisah.

Yep, pakaian ini memalukan, tapi aku manis, Seorang ningrat meski aku membusuk. Tiada gadis disini yang bisa menyamai keningratan aku pancarkan. Benar. Pasti. Mungkin.

Mungkin Saito tersihir oleh penampilanku, pikirnya, dan menjadi senang. Apa, bodoh? Kau telat untuk menyadari pesonaku. Pasti dia bakal "aah, Louise manis, luar biasa, gadis semanis itu pernah disampingku...Aku tak menyadarinya...Tapi aku malah terpikat denagns eorang pelayan...Membuatnya memakai pakaian pelaut dan berputar-putar...aku menyesalinya...anjing tolol ini menyesalinya.

Hmph. Apa kau seorang idiot? Pasti perlu waktu lama bagimu untuk menyadari pesona tuanmu. Tapi kau hanya seorang familiar, jadi jangan memandangi tuanmu dengan cara kasar itu. Pergi dan semir sepatuku atau apalah! Apa? kau tak bisa, Kau tak bisa menyentuh tuanmu. Untuk seorang anjing, mana yang kau sentuh? Tapi jika kau berjanji melayaniku seumur hidupmu, akan kubiarkan kau melakukannya sedikit.

Tapi sebagai byayarannya, berlututlah di tanah. Berlututlah di tanah dan minta ampunlah pada seluruh waktu dimana kau mengabaikanku. Mengerti? Berfantasi sebegitu jauh, Louise menutup mulutnya dan emnahan tawanya. lalu melihat ke samping...dia mencuri lirikan pada dapur, berpikir bahwa Saito tersihir olehnya sekarang.

Disana! Anjing tolol itu mencuci piring dengan mata bodoh itu!...Eh!

Memang, Saito dengan penuh mengamati tempat dimana Louise berada sambil dengan pikiran-kosong mencuci piring-piring. Tapi...Dia tak sedang memandangi Louise. Louise mengikuti pandangannya. Apa yang ada disana adalah seorang gadis dengan rambut hitam panjang yang tengah mengumbar tawa dengan seorang pelanggan. Itu Jessica.

Rambut blonde pink Louise mulai menggelombang. Lagi-lagi, kau dan itu. Rambut hitam itu.

Mengamati Jessica lebih jauh, dia mengikuti pandangan Saito dalam mili-unit. Jessica tengah mengenakan terusan yang membuka pada buah dada besarnya. Sudut pandang Saito mengejar kedalam belahan yang menyembul dari baju terusannya.

Dadanya. Apa kau benar-benar suka barang mirip apel sampai sebegitunya? Mengapa anjing-anjing suka dada semacam itu? Huh?!

"Hou~" Saito melepaskan desahan sedih. Dengan wajah tersihir, dia menggambarkan lingkaran dengan kedua tangannya seakan mengukur keliling dada Jessica. Sesuatu berderik dalam pikiran Louise, jadi untuk sekarang, dia memutuskan untuk melempar gelas didekatnya dengan sekuat tenaga. Langsung kena di sekitar keningnya, Saito jatuh didepan tempat cuci piring.

"Apa yang kau lakukan?!"

Lelaki yang gelasnya dilempar bangkit dan mencoba mencengkram bahu Louise. Louise mengangkat tubuhnya dangan mencegkram meja dan melayangkan telapak kedua sepatunya pada wajah pria tersebut. Ini pelayanan khusus, isi berganda. Melihat kebelakang pada Scarron yang ber"Louise-chan" dan buru-buru kesana, Louise dengsn erat menggenggam kepalannya sambil berguncang ke seluruh tubuh.

"Familiar itu...Lihat saja. Aku akan memberikanmu pelayanan yang seharusnya!"


Saat Saito bangun...apa yang ada disana adalah dada besar Jessica. Berpikir "Apa ini!", mulutnya terbuka menganga.

"Wah, kau akhirnya sadar?"

Melihat sekeliling, dia menyadari dia berbaring pada sebuah kasur. "Dimana ini?"

"Kamarku."

Duduk pada kursi dengan cara seakan memeluk punggung kursi, Jessica tersenyum.

"mengapa?"

"Kau pingsan saat sebuah gelas terbang ke kepalamu."

"Oh begitu...Apaan gelas itu...?"

Tapi sepertinya Jessica tak punya rasa tertarik pada gelas itu.

"Hei, hei, aku tahu sekarang."

"Apa?"

"Louise. Dia seorang ningrat, kan?"

Saito mulai batuk-batuk keras.

"Kau tak usah berpura-pura. Papa telah mempercayakanku urusan gadis-gadis toko. Kemampuanku membedakan gadis-gadis cukup bagus. Ya ampun, Louise itu bahkan tak tahu bagaimana cara membawa piring. Tak hanya itu, harga dirinya tinggi sekali. Dam kelakuan itu...ningrat sekali."

Saito memegangi kepalanya. Dia bahkan membuat Louise memakai baju terusan nan tawar...Ia jelas sekali, ya kan? Apaan tuyh "sembunyikan status sosialmu"? Tiada samaran sama sekali. "Hah! Dia seorang ningrat? Tak mungkin! Dia sangat kasar, keras, dan tak punya keanggunan sama sekali..."

"Tak apa-apa. Aku takkan bilang siapapun. Kau punya alasan tertentu, kan?"

Melihat Saito tetap diam, Jessica tersenyum. Orang semacam ini cenderung menjadi sasaran kepenasaran...Dia ingin menanyai Saito, jadi dia sengaja jauh-jauh membawanya kesini.

"Lebih baik jika kau tak menempatkan hidungmu di ini." kata Saito dengan nada rendah. Dia ingin menakuti Jessica dan membuatnya tak menanyainya lebih jauh, Tapi ini tak bekerja untuk Jessica.

"Eh-! Apa itu? Sesuatu buruk terlibat? Bukankah itu menarik?"

Menyenderkan tubuhnya lebih jauh, dia membawa wajah...dadanya mendekat. Mengapa belahannya sangat menekan, alasannya adalah karena pakaiannya lebih berani dibandingkand engan Siesta karena dia seorang gadis kota, dan wajah Saito mulai memerah, disaat itulah Jessica menyunggingkan senyum penuh makna.

"Hei."

"Ada apa?"

"Kau belum pernah kencan dengan seorang gadis sebelumnya, kan?"

"A-apa? Itu, kau tak bisa meremehkanku atau..."

Kena. Dia sangat tajam dalam berbagai hal...Lalu keringat dingin mulai mengucur.

"Aku mengerti. Aku seorang gadis kota yang agak tajam, tentu saja. Sangat mudah untuk menebak apa yang ada dalam kepala orang-orang desa."

Dikatakan sebagai orang desa, Saito sedikit menderik. kau tahu, di Tokyo, tak peduli tentang Tristania ini, bukanlah struktur murahan. Kau akan menangis bila kau melihat Menara Tokyo. Memeikirkan itu, dia membalas, "Siapa yang orang desa? Aku tak ingin dikatakan begitu oleh seorang putri gay."

"Itu jahat. Meski dia seperti itu, dia seorang ayah yang lembut. Saat ibuku meninggal, dia berkata, 'Baiklah, papa juga akan bekerja di tempat mama...' "

"Très bien itu?"

Jessica mengangguk. "yah, kita bisa mengenyampingkan soal papa. Hei, apa yang kau rencanakan bersama gadis ningrat itu? Kau bukan seorang bangsawan, kan? Pengiringnya?"

"Aku bukan pengiringnya."

Karena Saito berkata dengan sikap agak kesal, Jessica tertawa sepuasnya dan mencengkram tangan Saito.

"A-apa?"

"Apa kau ingin aku mengajarimu soal wanita?"

"Apa?"

Langsung mematung, Saito menatap Jessica tanpa berkedip. Gadis bar ini yang tahu agak baik soal bagaimana menggunakan pesonanya tak melewatkan perubahan tiba-tiba Saito.

"Tapi, sebagai balasannya, ceritakan padaku yang sebenarnya, OK? Tentang apa yang kalian berdua rencanakan..."

Jessica mengambil tangan Saito yang dicengkramnya dan membawanya pada belahannya. Saito lumpuh. Bersama seorang gadis dari bar. Bukankah ini juga cara yang bagus untuk mengumpulkan info? Segala macam pelanggan mengunjungi bar. Isu-isu juga terkumpul disini. Orang-orang yang merencanakan sesuatu mungkin menurunkan kewaspadaan pada gadis-gadis dan menceritakan rahasia mereka.

Membuat Jessica sebagai teman disini mungkin akan menjadi nilai tambah untuk kegiatan ini dari sekarang. Berpikir begitu, tepat saat dia rasa kulit yang hangat mencapai jarinya...Pintu kamar Jessica diterbangkan. Saito bangkit. Louise, gemetaran sambil mengenakan camisole putih murninya, berdiri disana. "Apa yang kau lakuakn?"

Saito melihat tangannya dan menariknya kembali sembari panik. "Pe-pengumpulan info."

"Info siapa dan dimana yang kau kumpulkan?"

Selama Saito panik, Louise berjalan cepat-cepat kedalam kamar dan menendang bagian bawah Saito dari depan. Saito bergulingan. Dicengkram pada mata kaki, saat dia hendak diseret pergi...

Jessica memanggil dan menghentikan Louise. "Tunggu sebentra, Louise."

"Apa?"

"Apa yang terjadi dengan melayani pelanggan? Bukankah kau tengah bekerja?"

Dipanggil dengan sikap biasa oleh seorang gadis kota biasa, Louise mulai berguncang, tapi itu tak bisa dicegah sekarang.

'Tutup mulutmu! Setelah aku mendisiplinkan Fa-fa...kakak tolol ini, Aku akans egra kembali!"

Saito telah menjadi saudara Louise disini.

"Apa kau punya begitu banyak waktu luang? Meski kau bahkan tak bisa mendapatkan satu tip dengan baik..."

"I-itu tak ada hubungannya."

"Itu sangat berhubungan. Ini karena aku dibebani urusan soal para gadis. Gadis sepertimu adalah pengganggu. kau membuat marah pelanggan setia, tak menerima perintah, melempar gelas kemana-mana, dan mengajak tengkar."

Louise mulai terlihat tak senang.

"Yah, aku rasa itu tak bisa diubah, Bocah sepertimu tak bisa bekerja sebagai peri bar." kata Jessica bosan.

"Aku bukan seorang bocah. Aku 16."

"Eh? Kau seumuran denganku?"

Jessica memandang Lousie dengan terkejut yang tak dibuat-buat. Lalu dia melihat dada Louise lalu miliknya sendiri. Lalu dia menutup mulutnya setelah membuat sebuah suara tawa cepat.

"Semoga beruntung kalau begitu. Meski aku tak mengharapkan apa-apa. tapi jika kau mengacaukan lebih jauh, kau dipecat, mengerti/"

Louise menderik pada sikap Jessica. "A-apa...Wanita bodoh dengan dada besar mereka...memanggil orang bocah, atau seorang anak, atau seorang lemah..."

Saito, masih di lantai, menyela. "Tidak, tiada yang berkata lemah..."

Louise menginjak-injak rata wajah itu. Saito mengerang dan terdiam.

"Aku akan mengumpulkan tips yang cukup untuk membanguns ebuah benteng."

"Eh~, benarkah? Aku benar-benar bahagia!"

"Karena jika aku melakukan sebaik yang kubisa, aku luar biasa. Para pria itu bakal berbalik padaku."

"Kau mengatakannya, huh?"

"Aku mengatakannya. Siapa yang bakal kalah pada orang sepertimu?" kata Lousie sambil menatap benci dada Jessica. Si anjing tolol melihat padanya. Si anjing tolol menggosokkan tangannya disana!

"Pas sekali waktunya. Ada lomba tip minggu nanti."

"Lomba tip?"

"Ya benar. Ini lomba dimana para gadis toko bersaing untuk melihat seberapa banyak tip yang bisa mereka dapat. Ada juga sebuah hadiah yang disiapkan bagi pemenang."

"Bukankah itu terdengar menarik?"

"Berusahalah sebaikmu. Jika kau mengalahkanku dalam lomba tip itu, aku takkan pernah memanggilmu bocah lagi."

Bagian 3[edit]

"Para peri! Akhirnya, minggu yang dinanti-nanti tiba!"

"Ya, Mi mademoiselle!"

"Mari kita mulai lomba tip dengan penuh antusias!"

Sorakan dan sambutan menggema seisi toko.

"Sekarang, sebagaimana yang diketahui semua...Pendirian penginapa "Peri-Peri Memesona" ini terjadi 400 tahun lalu, selama masa Yang Mulia, Henry III, dikenal sebagai Raja Atraksi Tristain. Yang Mulia Henry III, dikenal sebagai lelaki tampan tiada tanding, disebut-sebut sebagai jelmaan seorang peri."

Scarron mulai berbicara dalam sikap menyelami cerita. "Suatu hari, raja itu mengunjungi kota secara diam-diam. Dan, anehnya, dia menginjakkan kakinya di bar yang belum dibuka ini. Pada saat itu, nama toko ini adalah 'Kasur Belut', yang tak punya sedikitpun daya tarik atau apapun. Disana, sang raja, Luar biasa! Jatuh cinta dengan seorang gadis pelayan yang ditemuainya disana!"

Lalu Scarron menggelengkan kepalanya sedih. "tapi seorang raja tak seharusnya jatuh cinta dengan seorang gadis dari bar...Pada akhirnya, sang raja menyerah dari cinta ini. Lalu...sang raja menyiapkan sebuah bustier dan mengirimnya pada si gadis sebagai pengingat cinta mereka. Leluhurku sangat terkesan dnegan cinta itu dan mengubah nama toko, mendasarkannya pada bustier tersebut. Oh, cerita nan indah..."

"Cerita yang sangat indah! Mi Mademoiselle!"

"Inilah bustier 'Peri-Peri Memesona'!"

Dengan tegas, Scarron melepaskan garmen luar dan celananya, Kali ini, Saito, yang menonton dari jauh, ber'Ouue' dan muntah. Ini karena Scarron memakan bustier hitam pendek nan seksi yang memuat tubuh Scarron secara sempurna.

"Bustier 'Peri-Peri Memesona' yang dikirimlan raja pada gadis yang dicintainya 400 tahun lalu adalah pusaka keluargaku! Bustier ini memiliki sihir yang membuatnya dapat merubah ukuran sesuai ukuran pemakainya dan juga sihir "Daya tarik" terpasanga padanya."

"Ini luar biasa! Mi Mademoiselle!"

"Nnnn~! Très bien!" Scarron berpose dengan suara bergairah.

Saat itu...Anehnya, perasaan "ini tak terlalu buruk" bangkit dalam diri Saito. Keinginan baik terhadap Scarron...perasaan seperti itu. Meski penampilannya menjijikkan, bukankah ini baik dalam caranya sendiri? mulai dirasa Saito...Saito lalu menyadarinya. Ini adalah identitas dari sihir "Daya tarik"! Tapi penampilan Scarron terlalu minus, jadi efeknya hanya bisa sampai "Ini pas...begitulah".

Oh begitu. Karena pemakainya Scarron, aku hanya berpikir sampai segitu. Jika seorang gadis biasa memakainya...Aku mungkin melihatnya sebagai si cantik tiada tanding. Sihir benar-benar menakutkan, angguk Saito.

Sambil tetap berpose, Scarron melanjutkan pidatonya. "Peri yang memenangkan lomba tip yang dimulai minggu ini akan diberikan hak memakai bustier 'Peri-Peri Memesona' selama sehari! Ya ampun! Aku membayangkan berapa besar sih tip yang bakal didapat pada hari dia memakainya! Aku jadi bersemangat hanya dengan memikirkannya! Dan karena itulah semuanya harus berusaha sebaik-baiknya!"

"Ya! Mi Mademoiselle!"

"Bagus sekali! Baiklah, semuanya! Pegang gelas kalian!"

Para gadis mengangkat gelas mereka seketika.

"Untuk kesuksesan lomba tip dan bisnis, kesejahteraan dan..."

Disitu, Scarron memotong kalimatnya dan berdiri tegak dnegan wajah serius setelah membersihkan tenggorokannya. Setelahnya, tidak dalam bahasa femininnya yang biasa, tapi dengan suara pria berusia setengah baya, dia berkata, "Sebuah doa pada Kesehatan Yang Mulia Ratu. Bersorak."

Dan mengangkat gelas anggurnya.


Sekarang, lomba tip dimulai seperti ini, tapi...

Karena dia berpikir dengan keadaan seperti ini, dia takkan mendapatkan tip berapapun, Louise memutuskan untuk berhenti berbicara. Louise menyadari dia bakal membuat pelanggan marah kapapnpun dia buka mulut. Itulah mengpa dia memutuskan diam sebisa mungkin. Dengan begitu, dia menuangkan anggur untuk seorang pelanggan tertentu saat dia berbicara pada Louise. Sukses. Ini kesempatan untuk mendapatkan tip.

"Hei, kau, sebentar. Tunjukkan tanganmu."

Louise mengulurkan tangannya. "Aku mengerjakan ramalan, jadi aku akan meramalmu."

Pelanggan itu memandangi telapak tangan Louise dan berkata begini. "Berdasarkan ramalanku, kau...dilahirkan sebagai penumbuk tepung. Apa aku benar?"

Berani-beraninya kau membandingkan penumbuk tepung dengan seorang ningrat sepertiku, keterlaluan.

Pria itu meramal lebih lanjut. "Oh! Kau seperti itu kan? Punya seseorang yang kau suka?"

Dia memikirkan wajah familiarnya. Dia tak bisa memaafkan dirinya sendiri karena berfikir begitu. Aku tak punya satupun. Louise menggelengkan kepalanya.

"Tidak? kau punya, kan?! Maka aku akan meramal kecocokanmu dnegannya...Wah! Aku terkejut!"

Pria itu dengan sedih menggelengkan kepalanya. "Terburuk."

Aku tahu itu bahkan bila kau tak memberitahuku. Aku tahu itu terlalu baik. Lagipula, pertama-tama, aku juga tak suka dia...Tersinggung, Louise memberikan terima kasihnya atas ramalan itu dengan kakinya, Bagi Louise, orang berupa lawan jenis yang terdekat adalah Saito. Kebiasaannya memperlakukan Saito tak sengaja keluar. Kebiasaan itu menakutkan.

"A-ada apa denganmu?! Kau bocah!"

Aku bukan seorang bocah. aku 16. Dia ingin merespon, tapid engantegas tetap diam. Aku memutuskan untuk dia beberapa saat yang lalu, kan?

"Katakan sesuatu, kau bau kencur!"

Aku hanya lambat tumbuh. Kejam sekali perkataanmu...Berpikir untuk mengatakan baik-baik soal umurnya pada pelanggan, Louise menendang wajah pelanggan itu 16 kali. Tamunya langsung rata. Yah, selalu saja begini, jadi Louise tak mendapat tip berapapun hari itu.

Louise ngeri karena sebagai hasil mencoba diam, jumlah telapak kakinya terbang meningkat sebagai ganti bahasa kasarnya. Sepertinya perasaan yang tak bisa diungkapkan keras-keras malah dikatakan telapak kakinya. Pagi berikutnya, Louise berdiskusi dengan Saito tentang apa yang harusdilakukan. Saito mengusulkan, untuk mencegah telapak kakinya kemana-mana, Louise seharusnya melepas celana dalamnya dan bekerja, dan dia dihantam.


Hari kedua.

Louise sangat hati-hati agar tak membiarkan kakinya terbang.

Untuk membuatnya tersenyum tak peduli apa kata orang, dia menempatkan kawat di mulutnya dan membuat wajahnya tersenyum. Pelayan Louise yang siap sempurna tak pernah berhenti tersenyum. Tapi...Dia tak pernah menerima tip. Dia menahan dan menjaga ujung kakinya terbang, dan dia menahan senyumnya. Tapi kemudian...

Wow, masalahnya datang dari tangannya. Seorang pelanggan tertarik pada Louise yang melayani. Sepertinya dia menyukai wajahnya. "Oh, kau, agak manis, ya? Tuang untukku."

Pria itu puas dnegan wajah Louise, tapi kemudian dia menyadari suatu kesalahan nan pasti. Dada Louise. Apa ini. Datar smpurna. Tanpa sadar, kata-kata godaan keluar.

"Ada apa denganmu? Jangan katakan kau seorang lelaki? Yah, toh wajahmu mendinganlah...Dengarkan, biarkan aku mengajarimu sebuah muslihat. Setidaknya sumpal beberapa kain dan semacamnya disitu. Jika kau melakukannya, kau akan jadi yang pertma disini! Gahaha! Sekarang tuang beberapa untukku."

Dengan kata-kata pria itu, otot wajah Louise mulai berdenyut-denyut, tapi senyumnya tetap muncul berkata kawatnya. Disini, seharusnya semuanya berjalan baik berkat kawat itu... Tapi tidak begitu yang kejadian....Louise telah menuangkan anggur pada kepala pria itu.

"Apaan sih kau?!"

Pria itu bangkit. Louise, merasakan bahayapada tubuhnya, menghantamkan botol anggur pada kepalanya. Pria itu runtuh ke lantai sehingga Louise tak harus menuang untuknya lagi, tapi dia tak mendapatkan tip berapapun. Seperti ini, Louise terkejut bahwa tiapkali seseorang menghina ukuran dadanya, tanganya bergerak sendiri dan membuat kepala pelanggan meminum anggur.

Pagi berikutnya, Louise berdiskusi dengan Saito. Saito mengusulkan, bahwa untuk menjaga dirinya dari membuat kepala pelanggan meminum anggur, dia seharusnya menaruh botol angur diantara dadanya dan menuang. Botol anggur takkan secara fisik mencapai kepala pelanggan jika tangannya berada pada dadanya. Apalagi, pose ini sangat menyenangkan bagi pelanggan.

Tapi Louise, berfikir bahwa dia mengatakan seseuatu yang buruk soal ukuran dadanya, dan memukul Saito.


Hari ketiga.

Louise berhati-hati untuk menjaga tangannya dari bergerak. Setelah dia menaruh anggur di atas meja, dia menaruh tangannya dibelakang dan tersenyum cerah. Bahkan saat dia disuruh untuk menuangkan sesuatu, yang dilakukannya hanyalah tersenyum.

"Tuangkan aku sebagian."

Dia tersenyum cerah.

"Aku bilang tuangkan aku sebagian!"

Dia tersenyum cerah.

"Ada apa denganmu?!"

Tak mungkin baginya mendapatkan tip satupun. Saat dia berdiskusi dengan Saito, dia bilang untuk memegangnya di mulut saat Louise menuangkannya. mulut Louise kecil. Sebuah botol anggur tak muat disitu. kalau dilihat lebih dekat, Saito terlihat dia mengantuk. Hanya karena kau mengantuk tak berarti kau bisa berkata serampangan. Dan Louise menghantam Saito.


Hari keempat.

Lomba sudah setengah jalan. Jumlah tip sampai saat ini adalah nol. Sebagaimana diduga, Louise mulai putus asa. Louise melayani sambil berhati-hati pada telapak kakinya, posisi dia menuangkan anggur, dan kata-katanya,

"Kau tampak tak ahli, tapi anehnya sikapmu anggun, kau bisa mendapatkan ini."

Mungkin karena usahanya, Louise mendapatkan sebuah koin emas dari seseorang yang tampaknya adalah pelanggan bangsawan pertama yang dilayaninya.

"Be-benarkah? Bisakah aku memiliki ini?"

"Aah, Ambil saja."

"Waai!"

Melompat tinggi saking bahagianya, dia membalikkan sebuah piring dan menumpahkan makanan ke baju pelanggan.

"A-aku minta maaf..." Louise minta maaf, tapi pelanggan ningrat itu tak bisa memaafkannya.

"Kau...Baju ini adalah pertama dari sutra yang gajimu takkan pernah bisa membayarnya, Apa yang akan kau lakukan tentangnya?"

"Aku benar-benar minta maaf...Auu..."

"Baiklah, apa yang bakal kau lakukan untuk ini?"

"A-aku akan membayar untuk itu..."

"Hmph, klo gitu, mari kita lakukan ini. Kau harus mebayar ini dengan sesuatu yang bisa kau lakukan."

"Apa yang harus kulakukan?"

"Tak seberapa, hanya datang ke kamarku pada tengah malam."

"Terus...?"

"Kau akan mengerti apa yang akan terjadi setelahnya, kan? Kau bukan seorang bocah, kan? Seorang bocah."

"A-apa maksudnya?"

"Maksudku kau harus membayar agak banyak dengan tubuhmu. Itulah maksudku. Muhoho!"

Darah naik ke kepala Louise. E. e-e, meski kau seorang ningrat, apaan ini! Putri ketiga dari keluarga duke menjadi marah. Jangan menempatkan para ningrat dekat keasusilaan. Sebagai wakil Yang Mulia, aku harus memutus dan menghukum noda hitam keningratan ini.

"Kau memalukan! Karena orang-orang sepertimu ada! Ototritas Kerajaan! Ototritas! dan juga otoritasku!"

"A-apa yang kau lakukan? Uwah! Hentikan! Hentikan, kataku!"

Kakinya, ucapannya, dan anggur, semuanya terbang seketika.

"Kukembalikan ini padamu!"

Dia melemparkan tip yang didapatnya pada wajah si pelanggan. Louise dipanggil Scarron dan disuruh untuk mencuci piring seharian besok sebagai hukuman. Louise sangat kesal dan memutuskan untuk memukul Saito.


Hari kelima...Saat Louise tengah mencuci piring bersama Saito, Jessica mendatangi mereka.

"Bagaimana kabarmu? Ojou-sama, aku telah mengumpulkan 120 écus sejauh ini."

"Bukankah itu luar biasa?" jawab Louise pundung.

"Kau takkan mendapatkan tip apapun sambilo mencuci piring."

"Kutahu itu." kata Louise sambil mencucui piring sekenanya.

"Sheesh. Kau bahkan tak bisa mencucui sebuah piring dengan benar?"

"...Aku mencuci piring dengan benar, kau tahu."

"Lihat, ini masih ada minyak tersisa. Kau tak bisa menyebut ini tercuci."

Jessica mengambil piring dari Louise dan mencucuinya dalam gerakan tangan nan cepat. Louise menontonnya, merasa tersinggung.

"Hei."Jessica menatap Louise.

"Apa?"

"Seseorang mengajarimu. Apaan sikap itu?"

"...Uu..."

Saito menonton keduanya bertukar pandang dengan wajah terkejut.

"Saat seseoran mengajarimu seseuatu, kau mengucap 'terima kasih' kan? Ini dasar, dasar."

"Te-terima kasih."

"Ya ampun, adalah karena kau berwajah seperti itu kau tak mendapat tip apapun. Esok hari terakhir, ya kan? Berbenahlah, Ojou-sama."Meninggalkan ucapan itu, Jessica menghilang, kembali ke bar. Louise menggantung kepalanya merasa terhina.


Begitu hari menuju pagi...Louise, setelah mencuci piring sepanjang malam, melihat tangannya sendiri dan mendesah. Jari-jari Louise yang tak pernah mencuci apapun sebelumnya menjadi merah terang karena kerja dapur yang dia tak terbiasa dan sakit berkat air dingin dan sabun.

Mengapa aku harus melakukan sesuatu seperti ini? pikirnya. Meski dia sendiri adalah seorang ningrat, dia harus mencuci piring...Mendapati dirinya melayani semua jelata itu...Tambahan lagi, seorang gadis bar berbicara kurang ajar padaku...

"Tak lagi." gumam Louise. Apa itu mengumpulkan info atau apapun, ini bukanlah tugasku, Aku seorang legenda, Aku pengguna Void, kau tahu. Namun mengapa aku harus menjadi pelayan di sebuah bar? Bukankah, misalnya, sebuah misi yang lebih bergengsi tengah menunggu aku?

Berpikir seperti itu, air mata mulai berjatuhan karena sedih. Membuka sebuah papan lantai, Saito menyembulkan kepalanya dari tangga sehingga Louise merangkak meuju kasur. Dia tak ingin Saito melihatnya menangis.

"Ini ada makanan." Saito memanggil Louise, menaruh sebuah piring berisi rebusan di meja.Tapi Louise hanya menjawab lelah dari dalam kasur. "aku tak memerlukannya."

"Tak mungkin kau tak memerlukannya. kau takkan bertahan bila kau tak makan."

"Ia tak enak."

'Meski kau berkata ini tak enak, tiada lagi yang bisa dimakan jadi tak bisa diapa-apakan."

Meski begitu, Louise menyelimuti dirinyadan tak keluar dari kasur. Saito menghampiri tempat tidur dan menarik lepas selimutnya. Louise tengah meringkuk dalam futon denga piyamanya.

"Makanlah. Badanmu akan roboh."

"Tanganku sakit. Aku tak bisa memegang sendok."

Louise mengeluh seperti anak kecil. Melihat ini tiada gunanya, Saito menyendok rebusan dan membawanya ke mulut Louise.

"Kalau begitu, sini, aku akan menyuapmu. Makanlah. ya?"

Louise akhirnya menelannya, Airmata bercucuran dari matanya. "Aku tak menginginkan ini lagi. Aku aka kembali ke akademi."

"Bagaimana dengan tugasnya?"

"Tak peduli, Ini bukan tugasku."

Saito menarik balik sendok dan menatap Louise. "Kau tahu."

"Apa?"

"Apa kau mempunyai motivasi meski sedikit?"\

"Aku punya."

"Putri-sama mempercayakanmu pekerjaan ini karena dia percaya padamu, kan? Bercampur dengan para jelata dan mengumpulkan info. Karena jika dia memakai seseorang dari senat kerajaan, dia akan ditolak...Dia tak bisa bergantung pada siapapun jadi dia bergantung padamu, kan?"

"Itu benar."

"Dan lihat dirimu sekarang. Kehilangan seluruh uang kita di arena judi karena kau tersinggung, dan kau seret harga diri ningratmu kesini dan tak dapat tip satupun. Kau juga membuat pelanggan marah. tak dekat sama sekali dengan pengumpulan info."

"Tutup mulutlah kau. Tapi apa hubungannya tugas itu dnegan melayani dan mencucui piring bodoh itu? Aku ingin tugas yang lebih besar. Tiada lagi dari ini. Mengapa seorang ningrat sepertiku..."

Saito mencengkram bahu Louise dan membuat Louise menghadapnya.

"Apa?!"

"Tebak apa, Ojou-sama? Semuanya kerja. Mereka berusaha sebaik mereka di pekerjaan ini yang kau bilang bodoh dan makan makanan ini. Hanya kalian para ningrat yang bermain kesana-kemari dan membuat orang-orang menyuap kalian." kata Saito dengan nada serius. Louise, karena takutnya, menunduk tanpa pikir panjang.

"Aku tak bisa mengatakan banyak omomgkosong karena aku dibesarkan mirip denganmu, tapi setelah datang kesini, aku menderita dalam banyak cara dan mengerti. Bahwa adalah agak bermasalah hanya untuk hidup."

Entah mengapa tak bisa membalas, Louise tetap diam. Sato melanjutkan kata-katanya. "Aku tak terlalu mengerti, tapi mungkin orang-orang begitu yang sibuk dengan harga diri bodoh mereka tak bisa melakukan pekerjaan besar? Yah, aku berpikir begitu sih. Ya...jika kau menyuruhku berhenti, aku berhenti. Aku tak peduli juga sih. Karena ini memang bukan pekerjaanku."

Louise menutup mulutnya, terdiam.

"Kau tak lagi menginginkannya?" tanya Saito sambil mengulurkan sendok, Louise melompat dari kasur, mengambil sendok dari Saito, dan mulai menghabiskan rebusan. Saito mengembangkan tangannya, memutar kepalanya, dan mengambil sesuatu. Ia sebuah kotak keramik kecil.

"...Apa itu?"

"Krim yang bekerja pada kulit yang tergerus air, Jessica memberikannya padaku."

Saito kemudian menyuruh Louise untuk menjulurkan tangannya. Louise melakukannya dengan patuh. Louise melihat muka Saito rasa bersalah selama dia mengoleskan krimnya, tapi...sesaat kemudian dia bergumam dengan nada kecil. "Hei..."

"Apa?"

"Aku akan melayani, Aku akan mencuci piring. Apa itu OK?"

"Ya, itu OK." kata Saito dengan nada lega.

"Tapi apa kau tak apa-apa?"

"Soal apa?"

"Apa ini OK?"

Pipi Louise memerah dan berkata dengan nada tak senang. "Melayani sih OK. Aku bahkan akan mengatakan kata-kata anggun. Tapi..."

"Tapi apa?"

"A-apa tak apa-apa jika para pelanggan menyentuh-nyentuh tuanmu?"

Saito langsung terdiam tak mampu berkata apa-apa.

"Hei. Bagaimana dnegan itu? Jangan berkata hal-hal yang memeningkan diri sendiri dan jawablah dengan baik jika ia baik atau borok."

Saito mulai memakan rebusan dengan diam.

"Aku bilang hei. Yang mana? katakan." Tanya Louise sambil menarik telinga Saito.

Melihat terengah-engah pada rebusan, Saito bergumam "...Ji-jika kau memperbolehkan sentuhan semacam itu, aku akan menampar mereka."

"Siapa yang bakal kau tampar?"

"...Kau."

Louise menatap tajam kedalam mata Saito. "Mengapa? Si tuan ini bakal ditampar familiarnya, coba jelaskan alasannya."

Hening menyapa...Sambil membuang muka ke samping, Saito berucap tak jelas "Meski A-aku akan memaafkan pegangan tangan."

"Apaan itu?"

Louise menerbangkan Saito. "Apaan tuh 'Aku akan memaafkan berpegangan'?! Aku menyaimu alasan menampurku! Tolol!"

"Ka-karena..."

"Lagipula, apa maksudmu 'memaafkan? Berakting begitu bangga. Soal aku berpegangan tangan atau lainnya tak diputuskan olehmu. Itu semua oleh aku, aku! Hmph!"

Louise menyisir rambut pink blondenya dan memasang sikap tegas. Dia melipat lengannya. "Baiklah. Bukankah itu Bustier 'Peri-peri memesona'? Aku akan memakainya dan membuat seluruh peanggan terpesona. yah, demi tip. Aku akan memaafkan. Tak hanya tanganku..."

Saito bangkit loncat dan berteriak pada Louise. "Jangan bercanda!"

Louise membuang muka dan mernagkak kembali ke kasur. Beberapa saat setelahnya, Saito berhasil menguasai diri dan menggelengkan kepalanya. "Yah, bustier 'Peri-Peri Memesona' itu mustahil. itu hadiah pemenang. Kini, kau mungkin yang terakhir dalam lomba tip."

Louise tak menjawab.

Menjadi khawatir, Saito bertanya "...Apa kau benar-benar akan memaafkan mereka? Mengenyampingkan kemenangan lomba tip, apa kau benar-benar sudah teguh? Bukankah itu sedikit keterlaluan? Ayolah."

Louise tak membalas.

"Hei, apa kau benar-benar akan melakukannya?"

Dengan suara yang hampir menangis, Saito terus menanyai Louise. Tapi, Louise berteriak "Diamlah! Aku hendak tidur!"...dan Saito dengan berat hati merangkak kedalam kasur.

Bagian 4[edit]

Hari terakhir lomba tips telah datang. Pada sorenya, Scarron mengumumkan hasil sejauh ini. "Kini aku akan mengumumkan tiga teratas terkini! Pertama adalah tempat ketiga! Marlene-chan! 84 écus, 52 sous, dan 6 deniers!"

Sambutan bergema. Gadis blonde bernama Marlene membungkuk dengan anggunnya.

"Kedua! Jeanne-chan! 96 écus, 65 sous, dan 3 deniers!"

Sambutan bergema lagi. Gadis berambut chestnut bernama Jeanne tersenyum dan mengangguk.

"Kemudian...Yang pertama!"

Scarron pelan-pelan meninjau seluruh gadis dan mengangguk berulang-ulang. "Tanpa tanding, putriku! Jessica! 160 écus, 70 sous, and 8 deniers!"

"Waaaahhhh!" Begitu sorakan kegembiraan membahana. Jessica, yang memakai pakaian yang menggoda dengan celah besar yang disiapkan untuk hari ini, membungkuk.

"Sekarang! Entah kau menangis atau tertawa, hari ini adalah hari terakhir! Tapi hari ini adalah hari daeg dari minggu teuz! Karena ini akhir bulan, banyak pelanggan bakal datang! Jika kau berusaha keras, kau mungkin dapat banyak tip. Tempat teratas masih berada dalam jangkauan!"

"Ya! Mi mademoiselle!:

Saito mencolek Louise yang berwajah serius. Louise menampakkan wajah semacam itu bia dia berkeinginginan keras untuk sesuatu. "Berapa yang kau punya?"

Tanpa menjawab, Louise membuka kepalannya yang erat. Disana...ada beberapa koin tembaga yang berkilauan. Saito mengelus dada. Dengan itu, kemenangan mustahil bahkan jika Louise berusaha sekeras-kerasnya. Kata-kata Louise "Jika aku mendapatkan Bustier 'Peri-Peri Memesona;, aku akan membuat pelanggan terpesona dan memaafkan apapun" masih mengganggunya hingga kini.

Apaan tuh "Memaafkan semuanya"?!" Apa maksudmu?! Meski, a...aku belum melakukan apapun! Meski bukan berarti aku punya hak untuk itu. Tapi tak begitu juga sih. Ah, apalah aku ini, hanya seorang familiar belaka.

'Aku ingin dia berusaha sebaik-baiknya, tapi tidak hingga tingkat itu' adalah jenis emosi yang berlarian di pikiran Saito.

Scarron berteriak dengan sebuah suara keras. "Maka, ayo lakukan ini dengan penuh semangat!"

Sorakan membahana dengan seluruh macam perasaan bergema mengisi toko. ___________

Kemudian sekarang....Louise sedikit berbeda hari ini. Dia melepas kawat yang menahan senyumnya dan menampakkan sebuah senyum alami. Dia akan tersenyum cerah lalu menyentuhkan jari dengan gelisah sambil malu-malu. Dengan begitu, pelanggan akan bertanya, "Apa ada sesuatu yang salah?"

Louise akan memainkan jempolnya dan terus gelisah. Dan lalu, seakan mengatakan sesuatu yang sulit diucapkan, Dia akan berusaha dan mengucapkan "Ya..., Pelanggan, karena kau sangat luar biasa...".

Tapi si pelanggan sendiri tampak sudah terbiasa dengan tingkat pujian segitu. Tanpa bergerak, dia mengacungkan gelas anggurnya. Disini, Louise akan melepaskan gerakan pamungkasnya. Memegang ujung hem camisolenya, dia membungkuk dengan anggun. Persis seperti yang diharapkan dari keluarga duke. Bungkukan ini, yang dilakukan sekaan berada de depan raja, berisi ruh seorang ningrat. Tiada gadis lain yang bisa meniru sikap ini.

Dengan itu, si pelanggan akan menjadi tertarik pada latar Louise. Oh begitu. Bila aku melihat lebih jelas, ciri-cirinya agak mirip dengan seorang ningrat. "Kau lahir dari kelas atas, kan?"

Meski begitu, Louise tak berhenti menunjukkan malu-malunya. Lalu dengan penuh kesedihan dan penuh kenangan, dia menerawang keluar. Pria itu menjadi semakin terpikat pada kelakuan Louise yang anggun. Sambil membungkukkan dirinya kedepan, dia menyuarakan harapannya. "Apa kau melayani rumah ningrat tertentu? Mereka mengajarimu etika luhur disana, kan?

Louise terus terenyum cerah. Angan-angan si pelanggan membumbung tinggi seiring dengan kesenangannya.

"Jika seorang gadis manis dan pendiam sepertimu melayani mereka, mungkin akhirnya tak disitu saja. Tak hanya etika, tapi juga begini dan begitu...juga dipaksakan masuk padamu, kan?"

Louise memberikan bungkukan anggun. Senjata Louise hanyalah senyum dan bungkukannya itu.

"Kuh! Cerita yang menyedihkan! Seorang gadis manis sepertimu...Tapi bagaimana seorang pelayan sepertimu datang untuk bekerja di toko ini...Oh begitu! Aku tahu! Kau tak tahan dengan tuanmu yang memaksa membuatmu mengerjakan begini dan begitu, lalu kau kabur dari kediamannya, kan? tapi utang yang ditinggalkan ortumu tetap ada. Untuk melunasinya, kau bekerja sekuat tenaga. Seperti itu, kan?!"

Louise tersenyum sambil memandangi pelanggan. Dipandangi oleh mata Louise yang coklat merah bagaikan permata, si pelanggan, seakan tersihir mantra, ingin melonggarkan tali dompetnya.

"Kasihan anak ini. Hmm, gunakan ini untuk melunasi hutangmu. Ngomong-ngomong, yah, hal-hal semacam ini dan itu...itu apa ya? Tolong ceritakan padaku, OK?"

Si pelanggan, yang tengah terbang dalam khayalannya sendiri karena sikap Louise, akan memberikan Louise koin emas dan perak. Tepat saat dia mendapatkannya, dia berlari secepat-cepatnya ke dapur, berjongkok, dan melepaskan napas terburu-buru. Memaksakan dirinya bersikap anggun dan bertingkah yang menarik simpati orang bagai leprosy, jadi Louise memutuskan memukul Saito, yang tengah mencuci piring, untuk sekarang. Dengan begitu, dia merasa sedikit tersegarkan. Lalu dia buru-buru kembali ke meja.

Setelahnya, ini waktunya ber"tugas". Itu mengumpulkan info yang dipercayakan padanya oleh Putri-sama. Dia tak ingin kalah di lomba tip, tapi tugas ini lebih penting. Duduk disamping si pelanggan, dia bertanya, "Ya ampun, mereka mengatakan ini sebuah perang. Kau akan lelah oleh ini..."

"Ya, begitulah. Mereka mengangkatnya sebagai "wanita suci", tapi bagaimana dengan pemerintahan!"

"Apa maksudnya itu?"

"Aku mengatakan putri yang abai itu tak bisa memerintah negara ini!"

Dia menghina Henrietta, tapi Louise dengan sekuat tenaga menahannya. Dia harus mendengar semua jenis cerita darinya.

"Seperti Pertempuran Tarbes...sepertinya kita menag karena beruntung! Aku tak terlalu yakin tentang yang selanjutnya!"

"Begitukah...?"

Dengan seperti itu, Louise perlahan mengumpulkan isu-siu di kota. para pemabuk suka berdiskusi soal keadaan dunia. Saat Louise mengangkar hal untuk menarik mereka, mereka akan mulai mengritisi pemerintahan seakan mereka menunggu Louise bertanya. Para pemabuk akan ngobrol soal pemerintahan seakan mereka menteri kabinet.

"Lagipula, akan lebih baik bagi negeri ini bila Albion yang memerintah kita, kan?"

Jika opini yang begitu kelewatan keluar,

"Aku mengatakan kita seharusnya cepat-cepat dan menyerang Albion!" sebuah opini nan berani bakal menyembul.

Seseorang berkata, "Ada isu bahwa tentara akan diperkuat! Pajak-pajak akan ditingkatkan lagi! mereka pasti bercanda!"

lalu. "Bisakah tentara yangs ekarang melindungi negara ini? Kuberharap mereka cepat-cepat dan mengatur armada!" sebuah opini yang sangat bertolak belakang terangkat.

Bagaimanapun juga...disambung-sambungkan, keterkenalan henrietta dari mengalahkan Albion di pertempuran tarbes mulai menurun.

'Perang tetap belum beres...Sepertinya depresi akan berlanjut. Henrietta masih muda. Bisakah dia membimbing negara ini dengan baik dari sekarang?' adalah ketegangan yang dirasakan semuanya. Mungkin ini cerita nan menyakitkan bagi Henrietta, tapi aku harus melaporkan yang sebenarnya padanya...pikir Louise. Seperti itu, Louise mulai mengumpulkan tip dan info tapi...Pengumpulan tip Jessica begitu tak tertandingi.

Bagaimanapun juga, Jessica ahli dalam membuat para pelanggan berpikir "Dia telah jatuh cinta padaku." Louise mulai mengamati bagaimana Jessica melakukannya, jika kau tak tahu musuhmu, kau tak bisa memenangkan pertarungannya. Jessica pertama-tama bersikap dingin pada pelanggan sasarannya.

Dia menaruh makanan didepan pelanggan sambil terlihat marah. si pelanggan terkejut dengan sikap itu. "hei, apaan ini, Jessica? Apa hatimu sedang tak enak?"

Jessica menatap tajam pelanggan dengan mata dingin. "Tadi kau bicara kepada siapa?"

Entah kau menyebutnya keahlian atau yang lainnya, keiriannya sangat dewa. Bagaimanapun juga, kelihatannya dia benar-benar iri. Pada saat itu, si pelanggan salah mengerti bahwa dia tengah jatuh cinta padanya dan kini sangat iri.

"A-apa...tersenyumlah."

"Bukan apa-apa...Kau suka gadis itu, kan?"

"Bodoh! Yang paling kucintai adalah Kau! Ayolah..." Katanya dan mencoba menyerahkan sebuah tip. tapi Jessica menampik uang itu.

"Bukan uang! Yang kuinginkan adalah kata-kata manis! Apa yang kau katakan sebelumnya...Apa itu dusta belaka? Aku benar-benar serius! Apa?! Aku tak peduli lagi!"

"Tak mungkin itu dusta belaka."

"Ayo cerialah...Kaulah satu-satunya untukku. OK?"

"Kau mengatakan itu pada semua orang. Hanya karena kau sedikit terkenal diantara gadis-gadis..."

Tak peduli bagaimana kau melihatnya, pria itu tak mempunyai wajah yang terkenal. Biasanya, dia takkan percaya pujian semacam itu. Tapi kata-kata sihir tengah keluar dari mulut Jessica. Dengan cara bagaikan dia melakukannya tak sengaja. Pria itu tertipu sempurna.

"Aku tak terkenal! Beneran!"

"Kau benar, Satu-satunya yang akan berpikir untuk mencium bibirmu adalah aku."

"Itu benar...Sangat!"

"Hau... Tapi aku kelelahan."

"Ada apa?"

"Kau tahu, sekarang kami tengah mengadakan lomba bodoh ini yang disebut lomba tip. Aku tak terlalu pedulid engan tip tapi...Aku akan dihardik bila hanya mendapatkan jumlah kecil."

"Jika itu berupa tip, aku akan memberikanmu beberapa."

"Tak apa-apa! Kau memberikanku kata-kata lembut, jadi tak apa-apa! Sebagai gantinya, Aku akan marah bila kau mengatakan hal yang sama pada gadis lainnya, mengerti?"

Lalu dia memandanginya, Dengan begini, pria tersebut kalah telak.

"Hah...Tapi adalah benar-benar melelahkan untuk memberikan pujian demi tip...Karena mengungkapkan perasaanmu secara jujur pada orang yang kau cintai dan pujian berbeda..."

"Aku mengerti. Aku akan memberikanmu ini, jadi jangan pergi menyedot pada orang lain, ya?"

"Aku berkata ini tak apa-apa! Aku tak memerlukannya!"

"Ini perasaanku. Perasaanku."

Pria itu membuat Jessica yang menolak, mengambil tip. "Terima kasih" bisik Jessica malu-malu dan mengenggam tangan pria tersebut. Pria tersebut lalu mencoba membuat janji kencan dengan Jessica. "Kalau begitu, hari ini, saat toko tutup..."

"Ah! Ini tak bagus! Makanan akan hangus..."

Setelah dia mendapatkan apa yang diinginkannya, tiada lagi perlunya dia. Jessica bangkit.

"Ah, hey..."

"Ayo ngobrol lagi nanti! Jangan jelalatan melihat pada gadis lainnya!"

Menghadapkan punggungnya pada pria itu, Jessica menjulurkan lidahnya, Semuanya hanya pura-pura. Setelah Jessica pergo, si pelanggan menghadap teman-temannya dan ber"Iyah, jadi iri seperti itu..."

Louise terkagum-kagum. Teknik yang benar-benar mengerikan dari seorang gadis kota yang membuat Kirche terlihat seperti anak kecil. Kemampuan membujuknya, yang membuat orang-orang membayangkan tak peduli seberapa banyak cara dia menunjukkan keiriannya, membuatnya mapu mengumpulkan tip seakan menyapunya dengan sebuah sapu.

Jessica bukan seorang cantik yang begitu menonjol. Tapi...dia berada di tapal batas yang membuat pria berpikir 'Klo segini sih, mungkin bahkan kupun bisa ." Jenis-jenis gadis seperti ini cenderung lebih terkenal di dunia debandingkan dengan orang-orang yang cantik tiada tanding. Louise, yang tengah mengamati, bertemu mata dengan Jessica. Jessica menyeringai dan menunjukkan Louise dia yang menyimpan tip diantara belahannya.

Mungkin, bahkan jika dia tak berjudi, Saito tetap akan menjadi tak beruang, pikir Louise. Jika gadis kota itu tahu dia punya uang, tiada yang tahu apa yang bakal dilakukannya. Dan familiar bodoh itu...akan digulung dan dijemur dalam sesaat.

Dia memikirkan wajah Siesta, Dia memikirkan wajah Jessica. Dia memikirkan wajah Saito yang melihat pada belahan keduanya. Kayak aku bakal kalah. Louise dengan erat mengepalkan tangannya...membusungkan dada ratanya, dan dengan rusuh bangkit pada kedua kakinya.


Selagi para gadis berlomba untuk jumlah tip seperti itu...

Pintu bulu terbuka, dan sekelompok pelanggan baru muncul. Di depan ada pria setengah baya yang mengenakan sebuah mantel yang berarti dia seorang ningrat. Sepertinya dia menggemuk, dan rambut yang menipis tertempel pada dahi mulusnya. Yang bersamanya sepertinya ningrat dari kelas lebih rendah. Mereka memiliki tongkat sihir mirip rapier tergantung pada pinggang mereka, dan ada beberapa ningrat yang mengenakan seragam militer bersama mereka.

Saat para ningrat masuk, semua yang berada dalam toko hening. Scarron buru-buru ke tamu yang baru sambil menggosok kedua tangannya bersamaan. "Jika ini bukan Chulenne-sama, Selamat datang di penginapan 'Peri-peri memesona'."

Si bangsawan bernama Chulenne membengkokkan kumis mirip lelenya dan membengkokkannya ke belakang. "Hmm, ehem, Toko sepertinya tengah makmur ya, huh, manajer toko?"

"Tidak, tidak. Tak sama sekali. Ini hanya kebetlan saja hari ini. Biasanya, yang terjadi hanyalah suara tekukur. Aku tengah akan segera berdiskusi dengan putriku soal mengunjungi kuil besok untuk mendapatkan permisi untuk menyelamatkan leherku. ya."

"Apa, hari ini bukanlah hari kerja. kau tak harus membuat alasan begitu."

Meminta maaf, Scarron melanjutkan. "itu hanya perkataanku, Chulenne-sama, tapi sebagaimana yang kau lihat, hari ini, toko sudah penuh terisi..."

"Aku tak melihatnya begitu lho."

Saat Chulenne berlebihan seperti itu, para ningrat pengikutnya mengeluarkan tongkat mereka. Para pelanggan, ketakutan oleh ongkat sihir berkilau para bangsawan, bangun dari mabuk mereka, bangkitm dan menghilang dari pintu masuk dengan kecepatan penuh. Toko kosong seketika.

"Sepertinya perkataan soal tekukur benar juga adanya."

Dengan perut yang bergerak-gerak, kelompok Chulenne menduduki meja di tengah. saat Saito menyadarinya, Jessica disampingnya, melihat Chulenne dengan putus asa.

"Siapa orang itu?"

"Chulenne, pengumpul pajak disekitar sini. hanya dengan begini, dia datang ke toko-toko di bawah wewenangnya dan berkerumun di sekitar kami. Seorang yang buruk! Dia takkan membayar satu koin tembaga pun."

"Seperti itukah...?"

"Berlagak seperti itu hanya karena dia seorang ningrat. Jika kau membuatnya tak senang, dia akan membebani pajak berlebihan padamu dan membangkrutkan tokomu, jadi semuanya mendengarkan apa yang dikatakannya."

Sepertinya disetiap dunia, ada orang-orang yang menyalahgunakan kekuatan mereka dan memeras rakyat. Tiada yang datang melayaninya, jadi Chulenne jadi kesal. Setelahnya, dia mulai mengeluh. "Oh! Toko ini tampaknya untung agak besar! Bukankah ini anggur sebuah sake yang difermentasi begitu baik dari Gronyu? pakaian yang dikenakan gadis itu dijahit Gallia! Sepertinya aku harus melihat lagi tingkat pajak tahn ini."

Bangsawan yang mengelilinginya ber"itu benar" atau mengangguk setuju pada Chulenne.

"Apakah tiada gadis yang akan menungakan alkohol pada Pengumpul pajak Yang Mulia Ratu?! Toko ini setidaknya menjual itu, kan?!" teriak Chulenne. Tapi, tiada gadis toko yang menghampirinya.

"Siapa yang akan menuang untukmu, saat kau takkan pernah menyerahkan tip apapun tak peduli sebanyak berapapun kau menyentuh mereka?"

Saat Jessica menggumamkan itu mengejeknya....Sebuah bayangan kecil yang mengenakan camisole putih menghampirinya sambil membawa nampan dengan anggur. Itu Louise. Dia punya banyak kesalahan...salah satunya adalah "tak bisa membaca keadaan". Kepalanya penuh dengan "bekerja keras sebagai pelayan" sehingga dia tak terpikir untuk mengerti suasana diantara para pelanggan dan toko.

"Apa? Siapa kau?"

Chulenne memandang Louise curiga. Tersenyum, Louise meninggalkan anggur di hadapan Chulenne.

"Si-si bodoh itu..." Saito bergumam terkejut sambil memandangnya khawatir.

"Pak...anda melamun."

Bertingkah seakan mengikuti sebuah panduan, Louise, yang tak bisa membaca keadaan, memujinya, Tapi, sepertinya Chulenne tak menemukan Louise sesuai seleranya.

"Apa ini?! Toko ini menggunakan anak-anak?!"

Tanpa bergerak, Louise memegang camisolenya dan membungkuk. Hanya itulah yang bisa dilakukannya.

"Sekarang, Enyahlah, enyahlah. Aku tak perlu anak-anak. Pergilah kau."

Saito melihat dahi Louise mengernyit. Sepertinya dia marah. Saito berdoa. Louise, jangan meledak! Orang itu terlalu berbahaya!

"Oh, dilihat lebih dekat, kau bukanlah seorang anak-anak...hanya seorang gadis dnegan dada kecil."

Wajah Louise memucat. Kakinya mulai bergetar perlahan. Wajah Chulenne mulai terwarnai nafsu. dan lalu...menjulurkan tangannya pada dada kecil Louise.

"Sekarang, bagaimana kalau Chulenne-sama ini memeriksa dan melihat seberapa besar mereka."

Tepat saat itu...Sebuah telapak kaki meledak pada wajah Chulenne. masih di kursi, Chulenne berguling-guling ke belakang.

"Me-mengapa kau!"

Ningrat-ninrat sekeliling menghunus tongkat mereka seketika. Di hadapannya...ada bayangan seorang pemuda yang bahunya berguncang karena amarah.

"Saito."

Louise memandangi punggung Saito, yang bangkit melindunginya. Selama memandangi punggung itu...sesuatu yang hangat mengisi dadanya yang sedang berguncang karena amarah. Sebagaimana diduga, Saito tak bisa menahannya lagi. Louise mencoba sekuat tenaga, kan? Tuanku tak punya dada, tapi dia manis, kan? Louise yang itu mencoba keras memujmu, dan apa yang kau lakukan? Hanya mengeluh!

Yah, mengeluh itu tak apa-apa. Aku juga terkadang berkata-kata. Ini Louise, jadi itu tak bisa dicegah. Tapi...Tapi...Ada satu hal yang tak bisa kumaafkan.

"Hei, orang tua, sudah sajalah."

"Si-sialan kau...ke wajah seorang ningrat, kau..."

"Mau ningrat, pangeran, atau dewa...aku pasti takkan membiarkan mereka melakukannya. Ini hanya khusus untukku. Siapa peduli soal ningrat?! Yang bisa menyentuh Louise hanyalah aku!" teriak Saito.

Tanpa bisa dicegah, pipi Louise bersemu merah. Meski kau hanya seorang familiar, hal-hal congkak apa yang kau katakan?! Kau juga tak punya hak untuk itu! dia coba katakan, tapi...dengan alasan tertentu, kata-kata itu tak keluar. Otaknya mengosong, seakan direbus. Bahkan dengan keadaan seperti itu di sekelilingnya, Louise akhirnya melamun.

"Tahan orang-orang itu! Aku akan menggantung mereka!"

Bawahan Chulenne mengepung Saito.

Saito dengan perlahan mengamati sekelilingnya. "Siapa yang bakal menangkap siapa? Sungguh sial kalian, aku..."

"Sial kenapa?"

"Untung atau sial, aku menerima hal ini yang disebut kekuatan legendaris..."

Mengucapkan itu, dia menggerakkan tangannya ke punggungnya. Dan...menyadari Derflinger, yang seharusnya ada disana, tak disana.

"Eh?"

Merasa bermasalah, Saito menggaruk kepalanya.

"Itu benar...Aku meninggalkan si legenda di loteng...Toh, ia hanya akan jadi pengganggu selama mencuci piring."

"tahan dia dan gadis papan cuci itu!"

Para bangsawan itu menghunus tongkat mereka.

"Ku-Kup!"

Tapi tiada kup. Para ningrat yang marah melantunkan mantra mereka. Sebuah tali kecil nampak seperti topan, dan tepat saat ia mencoba mengitari Saito...Sebuah cahaya putih murni berkilat menembus toko dan menerbangkan para bangsawan bersenjata jauh hingga ake pintu masuk. setelah cahaya itu perlahan menghilang...Louise muncul, dengan mengangkat dirinya hingga titik tertinggi di atas meja. Serangan tadi merupakan mantra "Void" Louise, 'Ledakan'.

Sekujur tubuhnya berguncang karena marah, tongkat pusaka kesukaannya tengah berkilau di tangannya. Louise mengikatnya pada pahanya dan menyembunyikannya, untuk berjaga-jaga bila sesuatu terjadi. Bingung, para ningrat menjadi panik. Louise berucap dengan nada kecil. "...Papan cuci tak perlu disebut, kan?"

Suasana hati senangnya yang jarang didapat diterbangkan dengan pernyataan tunggal itu. Dia teringat banyak dari masa lalu gelapnya dnegan kata tunggal "papan cuci" itu. Dia memikirkan belahan Jessica & Siesta dalam pikirannya. Ini keterlaluan. Untuk kau mengatakan sesuatu seperti itu saat seseorang pada akhirnya pergi melayanimu.

"Hii! Hiiiiiiii!"

Intensitas sang legenda...intensitas "Void" membuat bulu kuduk para bangsawan disana berdiri.

"Mengapa kau harus begitu jauh sampai mengatakan hal itu? Bukankah itu keterlaluan bagimu untuk memanggilku sebuah papan cuci saat aku datang untuk menuangkan kau beberapa alkohol? Kau sebaiknya bersiap-siap!"

Para bangsawan bergludak-gluduk untuk kabur. Tanpa bergerak, Louise mengayunkan tongkatnya. Permukaan didepan pintu masuk dihancurkan, menciptakan sebuah lubang besar. Seluruh ningrat terperangkap kedalamnya dnegan begitu mulusnya. Para ningrat itu bertumpuk satu sama lain dan menengadah ke atas. Louise perlahan muncul, dan dan para bangsawan mulai berguncang lebih keras.

"Si-siapa kau? Siapa kau? Dari kelompok sihir mana?!" Chulenne, sambil gemetaran, menanyai Louise. Dia tak pernah melihat maupun mendengar soal cahaya yang menerbangkan orang. Tanpa menjawab, Louise mengeluarkan surat izin yang didapatnya dari Henrietta dan menyodorkannya pada wajah Chulenne.

"...Su-su-surat izin Paduka?"

"Aku adalah wanita senat Paduka Ratu, dan dan putri ketiga dari keluarga terpandang yang memiliki sejarah luar biasa. Aku tak punya nama untuk diberikan pada pegawai rendahan sepertimu."

"A-Aku minta ampun!"

Chulenne membengkokkan tubuh gemuknya dan memaksa membungkuk dalam lubang. Para ningrat yang terdorong olehnya mengerang. Louise bangkit.

"Lepaskan aku! Setidaknya nyawaku!" Sambil mengatakan itu, Chulenne grusak-grusuk merogohi pakaiannya dan melemparkan seisi dompetnya pada Louise. Dia memohon pada ningrat di sekelilingnya, dan membuat mereka melakukan hal yang sama dan menyerahkan dompet mereka pada Louise.

"Dengan ini! Lupakan semua yang terjadi! Aku mohon!"

Tanpa melihat sedikitpun pada dompet-dompet yang terkumpul, Louise menyatakan. "Lupakan semua yang kalian dengar dan lihat hari ini. Kalau tidak, tak peduli berapa banyak nyawa yang kalian punya, ia takkan cukup."

"Ya! Aku bersumpah! Aku bersumpah pada Yang Mulia dan Sang Pendiri bahwa aku takkan menyingkap apa yang terjadi hari ini pada siapapun!" dengan meneriakkan itu, dia keluar dari lubang dengan berguling-guling, lalu Chulenne dan orang-orangnya menghilang di kegelapan malam. Louise dengan tegak kembali kedalam toko. Tepukan pemekak telinga menyerbu Louise.

"Itu luar biasa! Louise-chan!"

"Tak tahan dengan wajah Chulenne tadi!"

":Aku merasa tersegarkan! Itu tadi hebat!"

Scarron, Jessica, dan para gadis toko langsung mengelilingi Louise. Disitu, Louise kembali tersadar, pikiran "Kini aku melakukannya...", dan kepalanya tergantung malu. Dia lepas kendali saat dia dipanggil sebuah papan cuci. Saito hendak tertangkap, jadi dia melantunkan mantranya tanpa pikir panjang.

Saito menghampirinya dan berbisik padanya. "...Bodoh! Kau seharusnya tak memakai sihir, kan?!"

"Uu...Tapi..."

"Sheesh...Hah, baguslah...Kini kita harus mulai lagi dari nol..."

Scarron menepuk pundak Louise dan Saito. "Tak apa."

"Heh?"

"Aku tahu Louise-chan adalah seorang ningrat sebelum ini."

Saito menatap tajam Jessica. Panik, Jessica mengibaskan tangannya di depan wajahnya, memberitahu Saito "Aku tak mengatakan apapun."

"Ba-bagaimana?" Tanya Louise sambil terpana.

"Karena, ya.., itu..."

Para gadis toko mengambil alih dari Scarron. "Itu sangat jelas dari kelakuan dan sikapmu!"

Uu, jadi itu...pikir Louise, merasa lemas hati.

"kau pikir kami sudah berapa lama menjalankan bar ini? Mataku untuk membedakan orang adalah kelas atas. Tapi kau punya alasan tertentu, kan? tenanglah, tiada seorang pun gadis disini yang akan menyingkap rahasia masa lalu temen sekerja."

Seluruh gadis mengangguk sekaligus.

Jadi begitu. Pikir Saito. Bukan hanya Jessica yang tajam disini.

"Seluruh gadis disini pada nrimo. Itulah mengapa kau bisa tenang...Terus dapetin tip dari sekarang, OK?"

Louise mengangguk. Saito merasa lega. Menepuk kedua tangannya bersama, Scarron berkata dengan nada ceria. "Kini! Seluruh pelanggan telah pulang , jadi aku akan mengumumkan hasil lomba tip."

Suara sorakan membahana.

"Yah, perhitungan tak perlu, kan?" kata Scarron setelah melihat gundukan dompet yang ditinggalkan Chulenne dan orang-orangnya di tanah. Melihat dompet-dompet itu, Louise menyadari maksud Scarron, Di dalamnya...uang segunung ada disana.

"Eh? Ini..."

"Tip, kan?" kata Scarron sambil mengedipkan sebelah mata. Lalu dia mencengkram tangan Louise dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Pemenang! Louise-chan!"

Tepuk tangan bergemuruh seisi Toko. __________________

Sore hari berikutnya...Louise tak keluar dari kasurnya.

"hei, ayo pergi bertugas."

"Aku beristirahat hari ini."

"Heh?"

Saito memandang hampa padanya. lalu dia berpikir kembali. Yah, sudah agak lama dia tak menggunakan sihir, jadi dia mungkin kelelahan. Sepertinya tak apa-apa bila dia beristirahat hari ini."

"Baiklah. Bilang padaku bila kau merasa tak enak."

Hadiah pemenang, Bustier "Peri-Peri Memesona", digantung di dinding. Meski itu merupakan hadiah...dia hanya bisa mengenakannya hari ini. Yah, bagaimanapun juga, ini sebuah pusaka. ______________

Menuruni tangga, Scarron naik mendatanginya.

"Oh? Apa yang terjadi dengan Louise-chan?"

"Sepertinya dia berencana untuk beristirahat seharian ini."

"Oh..tak mungkin, sia-sia saja atuh..."

"Mengapa begitu?"

"Karena, dia hanya bisa mengenakannya hari ini. Aku akan memintanya mengembalikannya besok."

"Sepertinya begitu."

"Jika kau mengenakan itu, kau bisa mendapatkan tip sebanyak yang kau mau...benar-benar sia-sia, sungguh." menggumamkan itu, Scarron menghilang kedalam toko, yang mulai menjadi riuh. __________

Saito pergi ke cuci-piringnya, tak bisa mengerti apa yang tegah terjadi. Setelah bekerja keras dan menyelesaikan tugasnya, Saito kembali ke loteng. Menengadah dari koridor...cahay tampak menembus papan-papan lantai kamar. Sepertinya Lousie masih bangun. Ada apa dengannya...Meski dia bilang dia tengah kelelahan dan akan beristirahat, dia tak tidur sama sekali. Dia seharusnya mengenakan bustier itu dan menghasilkan beberapa uang kalau begini.

Mendorong papan lantai loteng ke atas, Saito menyembulkan kepalanya. Dan langsung terpana. Kamar telah disapu bersih, dan sepertinya sebuah lap debu digunakan karena tiada debu sedikitpun betebaran. Sampah yang menggunung telah terkumpul di satu titik, dan akamr telah ditata sehingga sepertinya seseorang bisa hidup layak disitu.

"Apa...yang terjadi?"

"Aku yang melakukannya, Menjijikkan untuk hidup terus-menerus di tempat kotor."

Menghadapi suara Louise, Saito semakin terpana. Makanan dan anggur telah ditata di atas meja...dan sebuah lilin meneranginya. Dan cahaya itu...juga menyinari pemilik Saito yang berpakaian sangat indah. Saito menelan ludah. Kelelahan dari pekerjaan harian mulai terbang jauh.

Louise tengah duduk di kursi di sebelah meja. Menyilangkan kaki, ramutnya telah ia rias dengans ebuah barette seperti dulu. &...penampilan anggunnya juga memasukkan Bustier "Peri-Peri Memesona". Bustier hitam itu membuat kecantikan Louise lebih gemerlap. Hanya bisa menganga, Saito terus menatapnya.

"Seberapa lama kau hendak memasang ekspresi bodoh itu? Ayo, mari makan." kata Lousie dengan nada tak biasa. Sebuah hidangan telah dibariskan di meja."

"Apa ini?!"

"Aku membuatnya."

Saito menatap Louise, yang tampak malu. "benarkah?"

"Aku mendapat Jessica mengajariku."

Memandangi Louise, yang bersemu merah dan mengatakan itu, Degup jantung Saito makin kencang. Garis pusat bagian atas Louise menjadis ebuah mesh, membuat kulit putihnya nampak. Bustier hitam memuatnya sempurna, membuat garis-garis tubuhnya makin menonjol. Pannier yang agak pendek terputar ke belakang pada pinggangnya pada tingkat yang bisa dimaafkan. Ini terlihat lebih erotik daripada Louise dalam keadaan telanjang.

Saito tanpa sadar membuang pandangannya. Dia merasa dia bakal jadi gila bila terus menatap. Entah dia bakal jadi gila karena dia sudah jatuh cinta padanya, ataukah karena sihir "Susuk" yang dimantrakan pada bustier, itu tak diketahui Saito, tapi...ada satu hal yang pasti.

Ia memesona.

Tapi, tanpa bisa mengatakan itu, Saito bicara dengan nada marah. "...Bukankah kau akan mengenakan itu dan melayani pelanggan sepuas hatimu?"

"Jika aku memperbolehkan mereka menyentuh, kau akan menamparku, kan?" balas Louise dengan sikap mencibir.

"Ya sudah, ayo makan."

Saito mengangguk, dan mulai melahap makanan buatan Louise. Tapi...darah telah membanjiri kepalanya dan mencegahnya dari merasakan rasa. Ini mungkin buruk. Tapi, bagaimanapun, ini tak apa-apa. Louise membuatnya. Itu sebuah kemajuan.

"Bagaimana rasanya?" tanya Louise.

"Bu-bukankah ini lezat?" jawab Saito dalam sikap untuk menghindari poin utama.

"Aku membersihkan kamar. bagaimana?"

"Whew, Ini sesuatu..."

"Tapi, bagaimana tentang, aku?"

Bersender pada sikunya, Louise bersender dan menatap Saito. Cahaya pagi merekah merajai pagi. Sinarnya menyelimuti loteng, meneranginya. Dia telah menutup mulutnya dengan lugas hingga kini, tapi Saito akhirnya memikirkan beberapa kata. "Très bien."

"...Setidaknya puji aku dengan kata yang berbeda."

Louise mendesah. Benarkah sihir susuk dimantrakan pada ini? Apa? Meski aku berpikir untuk mendapatinya memperlakukanku dengan lembut. Kelakuannya masih sama seperti dulu. Seakan dia marah, seakan dia terganggu, tingkah semacam itu.

Membosankan. Kupikir dia akan akan menjunjungku tinggi-tinggi bagaikan seorang tolol jika aku mengenakan ini. Lalu aku akan memperlakukannya sedingin mungkin. Terlalu telat sekarang untuk menyadari seberapa memesonanya tuanmu ini! Apa, tolol? Jangan menyentuhku. Tapi, ya...saat kau bilang "Yang bisa menyentuh Louise hanya aku!", aku sedikit bahagia karena alasan tertentu, jadi aku akan memperbolehkannya sedikit, tapi hanya sedikit. hanya sedikit, mengerti?

Meski dia membayangkan itu, meki dia sudah menghabiskan seharian untuk bersiap-siap, Saito hanya melihat ke arah lain...Betapa membosankan pikir Louise kesal...Pada akhirnya, Louise tak pernah menyadarinya...Saito sudah menggila cintanya padanya sedari dulu...jadi sihir "susuk" itu sudah tak berarti.

Bab 2: Pertempuran Dengan Api dan Pertemanan Dengan Angin[edit]

Bagian 1[edit]

Yap, ini adalah Akademi Sihir Tristain. Liburan musim panas baru saja dimulai dan di dalam asrama, dua ningrat tengah menghabiskan waktu.

Mereka adalah Kirche si "Ardent" dan Tabitha si "Badai salju". Kirche tengah malas-malasan berbaring di kasur Tabitha dengan pose yang sangat tak sopan. Dia melepas seluruh kancing bajunya dan tengah mengipasi dada montoknya dengan tangan. Kirche memang menyukai panas tapi tak tahan hangat.

Dia tak bisa mengendalikan panas yang mendidih di ruang yang dipanggang matahari.

"Hei Tabitha, bisakah kau menghembuskan angin untukku?"

Tabitha mengayunkan tongkat panjangnya tanpa menoleh dari buku.

"Berikan yang dingin. Yang bisa dinginnya menembus tulang, tepat seperti nama keduamu."

Sebagaimana diharapkan, ada es dalam anginnya. Angin bersalju itu langsung mendinginkan badan Kirche.

"Ahh-, rasanya enak."

Sambil minum dalam angin dingin Tabitha, Kirche membuka kemejanya. dia menyilangkan kakinya dalam sikap yang takkan pernah dilihat lusinan teman lelakinya yang menyembahnya bagaikan seorang dewi.

Dia menerawang ke arah Tabitha yang dari tadi membaca buku. Tabitha tak berkeringat setetes pun, seolah-olah menyatu sempurna dengan bukunya. "Mungkin nama keduanya 'Badai Salju' mendinginkan badan dan juga pikirannya," gumam Kirche.

"Hei "Badai salju"? Kau benar-benar suka membaca buku ya? Seperti protestan saja. Apa itu buku Protestan terkenal yang berjudul "Doktrin Praktis"?

"Doktrin praktis" merupakan kitab yang dibaca oleh sekte protestan, yang merupakan kitab tafsir dari "Buku Doa Sang Pendiri", yang merekam amal dan ajaran Sang Pendiri, Brimir.

Meski setiap versi "Buku Doa Sang Pendiri" mengklaim sebagai sebagai versi yang asli, isi mereka agak berbeda. Terlebih lagi, ada teori bahwa "Buku Doa Sang Pendiri" ditulis ratusan tahun setelah kejatuhan Brimir Sang Pendiri. "Buku Doa Sang Pendiri" yang telah diwariskan turun temurun oleh keluarga kerajaan Tristain bahkan tak ada tulisannya. Karenanya, banyak teologiawan menafsirkannya dengan cara yang begitu kabur sehingga meningkatkan kekuatan politik gereja Halkegenia dan mereka sendiri. Badan praktisi utama dari "Doktrin Praktis" dimulai di pusat agama negara Romania dan dibangun para jelata yang ingin mereformasi gereja-gereja korup yang mengeksploitasi masyarakat. Kejadian ini segera menginternasional.

Ia menyebar dari para jelata da petani-petani, mereka melucuti kekuasaan dan tanah dari para pendeta, tapi tiada yang tahu
jika perbuatan dan penafsiran mereka benar. Yang tahu jawabannya mungkin hanya Brimir Sang Pendiri sendiri.

Tabitha menutup bukunya dan menunjukkan judulnya pada Kirche. Itu bukan buku agama, hanya sebuah buku penelitian seihir kuno.

"Hanya membaca." kata Tabitha.

"Aku tahu. Bagaimanapun juga, kau tak mungkin seorang protestan. Ahh, hari ini benar-benar panas. SANGAT PANAS. Itulah mengapa aku mengundangmu untuk pergi ke Germania denganku. Disana jauh lebih sejuk.

Tabitha membuka kembali bukunya dan melanjutkan membaca. Kirche, yang tahu situasi keluarga Tabitha, memutuskan mengundangnya ke Keluarga Zerbst, tapi Tabitha menolak pergi. Tanpa pilihan lain, Kirche memutuskan untuk menemani Tabitha di Akademi. dia tak bisa meninggalkan Tabitha sendiri.

"Mungkin cuma kita yang tinggal di sauna ini."

Kirche berpikir untuk mandi di lapangan. Karena seluruh guru dan murid pergi dan pulang ke rumah, harusnya tiada bahaya para pengintip. tapi lalu...

Sebuah jeritan terdengar dari lantai bawah. Kirche dan Tabitha bertukar pandang secara kilat. Kirche segera mengenakan kemejanya dan meloncat keluar dari kamar dengan tongkat di tangan. Tabitha segera mengikuti di belakangnya.

Dalam sebuah kamar di lantai bawah, sebuah pasangan lain tengah bertengkar.

"Apa yang kau pikirkan?!"

"Um, aku...aku pikir kini panas, dan aku hanya coba membantu!"

Pertengkaran terjadi antara Guicje dan Montmorency. Mengapa pasangan ini tak meninggalkan asrama untuk liburan musim panas?

"Oh, begitu. jadi itu maksudmu! 'Ayo buat ramuan sama-sama' pantatmu! Aku seharusnya tak mendengarkan ocehanmu soal mampu membuat Ramuan terlarang apapun yang kaumau. Apa sih maumu?"

"Itu tujuanku! Aku tak berdusta!"

"Kau berpikiran yang tidak-tidak karena tidak ada orang, kan? Maaf saja, tapi aku takkan memberimu sejaripun hingga aku kawin!"

Guiche menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Jangan mendekat."

"Aku bersumpah, aku pegang kata-kataku."

Guiche menaruh tangannya di dada. "Aku bersumpah demi Tuhan dan sang Pendiri bahwa aku, Guiche de Gramont tak melepas kancing Montmorency yang tengah tidur karena maksud kotor, melainkan karena benar-benar berpikir dia terlihat demam. Kau berkeringat begitu banyak sehingga aku khawatir kau akan dididihkan hingga mati."

"Benarkah?" tanya Montmorency yang memandangnya ragu.

"Demi Tuhan." jawab Guiche khidmat.

"...kau ga kan melakukan yang aneh-aneh?"

"Tidak, takkan pernah terpikir untuk itu."

Setelah berfikir sesaat, Montmorency mengangkat roknya dan menunjukkan celana dalamnya sekilas. Karena Guiche menerjangnya seketika, dia berteriak sekeras-kerasnya. "Oh Tuhan! Pendusta! Dia seorang pendusta!"

"Putih! Putih! Ia benar-benar putih!"

"Jangan! Hentikan! Mohon Hentikan!"

Setelah geje beberapa saat, pintu terbuka dengan sebuah dak. Kirche dan Tabitha masuk dan mata mereka beradu dengan mata Montmorency, yang baru saja didorong ke kasur oleh Guiche.

"...oh, kalian baru saja akan melakukannya," desah Kirche.

Guiche, yang tiba-tiba jadi serius, bangkit, berdiri dan berkata dengan cara yang begitu tegas, "Oh, aku hanya... membereskan kerutan kemeja Montmorency."

"Dengan mendorongnya ke kasur? Kirche mengejek.

"Membereskan kerutan," ulang Guiche sekali lagi,

Montmorency berkata dengan nada dingin, "Sudahlah. Hanya itu yang ada di kepalamu."

Guiche tersipu.

Kirche buka mulut dan berkata dengan sikap lelah. "Kalian berdua benar-benar pasangan murahan. Kalian tak harus melakukannya di asrama yang menyesakkan ini."

"Kami tak melakukan apapun!...dan akulah yang seharusnya bertanya apa yang kalian lakukan. Kini liburan musim panas."

"Ia tak seharga masalahnya bagi kami. Meski kini liburan, cape lho untuk nyebrang perbatasan hanya untuk itu, Jadi apa sih yang kalian lakukan sebenarnya?"

"Kami tengah, um..."

Montmorency memainkan jemarinya, karena dia tak bisa bilang dia tengah membuat Ramuan Terlarang.

"Pe-Penelitian sihir."

"Hmm, kau memang tengah melakukan semacam penelitian."

"Guiche yang ingin melakukannya! Otaknya mungkin tergoreng dalam panas ini!"

Dengan itu, Guiche yang dikritisi membengkokkan kepalanya.

"Sepertinya."

Kirche membalas,"apa maksudmu dengan 'sepertinya'?"

"Ayo kita keluar. Tak mengherankan bila otak kita tergoreng disini."

"hah? Kemana?"

"Ke kota sajalah. Kini liburan panjang, jadi mari bersenang-senang."

"Benar itu, aku juga ingin meminum yang dingin-dingin..." kata Guiche setuju.

Montmorency, yang bahkan tak mau berfikir tentang apa yang bakal terjadi bila dia ditinggalkan sendirian dengan Guiche juga setuju.

"Dinginkan kepalamu benar-benar saat minum yah?"

"Pasti, demi Tuhan."

"Jadi, bagaimana dengan si kecil?"

Montmorency menunjuk pada Tabitha. Kirche menjawab.

"Dia ikut."

"Kau bisa tahu hanya dengan memandangnya?"

"Aku bisa."

Kata Kirche seakan-akan itu sudah jelas.

Tabitha lalu menutup bukunya, berjalan menuju jendela, lalu bersiul. Suara kepakan lalu terdengar. dalam sekejap, Tabitha meloncat keluar jendela, diikuti Kirche.

Saat Montmorency mengitip keluar jendela, dia melihat naga angin Tabitha yang melayang disana. Kirche tengah menunggangi punggungnya dan tengah melambaikan tangannya.

"Buruan atau kami tinggal!"

Guiche dan Montmorency meloncat. Guiche yang duluan, mencoba menangkap Montmorency.

lalu Montmorency mulai menjerit-jerit soal 'jangan menyentuhku' dan 'jangan menatapku' untuk menggoda Guiche.

"Tapi...aku hanya mencoba menangkapmu."

"Kau pikir apa yang kau sentuh, hah?"

"Kupikir kalian pacaran," ucap Kirche terkejut.

Kelompok ini akhirnya tiba di kota benteng Tristain dan pergi ke sebuah jalan yang bercabang dari Jalan Raya Bulton. Kini matahari hampir terbenam. Di jalan-jalan yang mulai gelap, lampu-lampu sihir mulai mewarnai sekitarnya. Pemandangan sihir nan menyilaukan itu menciptakan suasana gembira yang menyelimuti jalan yang masih terasa kehangatan musim panasnya.

Jika Jalan raya Bulton adalah wajah depan Tristain, maka jalan Chicton adalah perutnya. Bar-bar merah dan perjudian-perjudian berbaris sepanjang jalan. Montmorency bermuka masam, tapi Kirche terus berjalan, tak mempedulikan semua itu. Sambil berjalan, mereka berrembuk soal bar mana yang akan didatangi. "Apa kau tahu soal bar-bar disekitar sini?" tanya Kirche pada Guiche.

Guiche menjawab sambil tersenyum,

"Soal itu...Aku tahu satu yang bagus yang selalu ingin kudatangi."

"Bukan yang aneh, kan?" tanya Montmorency begitu dia mendengar nada mencurigakan pada Guiche. Guiche menggelengkan kepalanya.

"Ia sama sekali tak aneh!"

"Lalu, bar macam apa dia?"

Guiche terdiam.

"Lihat kan? itu pasti bar yang aneh! katakan saja sejujurnya!"

Montmorency mulai mencekik Guiche.

"Ti-,tidak! hanya gadis-gadis dengan pakaian manis membawakan anggur untukmu...Ukh!"

"Jika itu tak aneh lalu apa yang aneh?"

"Kedengarannya menarik."

Sepertinya itu telah memetik kepenasaran Kirche. Dia menyarankan pada Guiche,

"Ayo kesana, bar yang biasa akan terlalu membosankan."

"APA?" Montmorency protes.

"Mengapa wanita Tristain tak punya kepercayaan pada diri mereka sendiri? Membuatku sakit."

Karena Kirche mengatakannya dengan cara yang begitu menghantui, Montmorency tiba-tiba bangkit dan berkata,

"Ini hanya karena anggur akan terasa hambar bila kita membiarkan wanita rendahan menuangkannya."

Tapi karena Guiche, yang telah didukung Kirche mulai berjingkrak-jingkrak menjauh, Montmorency tak meniliki pilihan selain ikut.

"Hei! Tunggu! Jangan tinggalkan aku disini!"


"Selamat datang!"

Begitu mereka memasuki bar, seorang lelaki tinggi yang memakai baju leather menyambut mereka.

"Oh, apa kalian baru? Lebih banyak lagi wanita ningrat! Betapa indahnya ini! Betapa très bien! para gadis dalam bar akan iri! Aku sang pemilik, Scarron. Mohon nikmati hari kalian!" katanya sambil membungkukkan badannya. Meski dia tampak aneh, dia memuji mereka sehingga kini suasana hati Montmorency membaik. dia menyisir rambutnya dengan tangan dan berkata dengan jelas, "Bimbing kami ke meja terbersih".

"Tiap meja dalam bar ini digosok untuk bersinar bagaikan istana Paduka."

Scarron membimbing mereka ke salah satu meja. Bar itu tampak ramai.

Tepat seperti rumor yang dihembuskan, gadis-gadis dengan pakaian yang menggoda membawakan anggur dan makanan.

Guiche, yang sudah melihat-lihat dengan penuh semangat, akhirnya dijewer oleh Montmorency.

Setelah mereka duduk di meja, seorang gadis berambut blonde pink datang untuk mengambil pesanan, tapi untuk alasan tertentu, buru-buru menutupi wajahnya dengan sebuah nampan. Sekujur tubuhnya gemetar perlahan.

"Mengapa kau menyembunyikan wajahmu?" kata Guiche kecewa. Tanpa menjawab, dia menanyakan pesanan lewat geraknya. Hanya dengan melihat tinggi dan warna rambut si gadis, Kirche cepat menyadari sesuatu dan, untuk pertama kalinya pada musim panas ini, sebuah senyuman sangat besar tersungging di wajahnya.

"Jadi, apa anggur rekomendasimu?"

Gadis itu menunjuk sebuah anggur yang telah disajikan pada meja lainnya, sebuah anggur Gernew yang cukup tua.

lalu Kirche berkata dengan nada terkejut, "Ah, Familiar-san apel dengan seorang gadis!"

Gadis itu muncul dari balik nampan dan menatap sekeliling ruangan dengan mata tajamnya.

Semua di grup kecuali Kirche berteriak.

"Louise!"

Louise menyadaris seringai lebar di wajah Kirche dan menyadari bahwa dia telah ditipu, dan sekali lagi menyembunyikan wajahnya dengan nampan.

"Sudah terlambat La Vallière."

"Aku bukan Louise."

kata Louise dengan suara bergetar. Kirche menarik lengan Louise dan membaringkannya di atas meja. Kirche mencengkram lengan kanan, Guiche yang kanan, Tabitha mencengkram kaki kanan dan Montmorency memegang yang kiri. Louise yang tak bisa bergerak menghadap ke samping dan berkata dengan nada bergetar,

"Aku bukan Louise! Lepaskan aku."

"Beneran deh, apa sih yang kau lakukan disini?"

Louise takkan menjawabnya. Tlek! Kirche menjentikkan jarinya dan Tabitha melantunkan mantra. Dengan kekuatan angin, Tabitha melilitkan udara disekitar Louise dan mengendalikannya. Louise diloncatkan ke atas meja dan berpose seiza.

"A-, Apa yang kau lakukan?!"

Kirche menjentikkan jarinya sekali lagi. Tanpa suara, Tabitha mengayunkan tongkatnya. Massa udara yang mengendalikan Louise menjadi jari-jari yang tak terlihat, dan mulai menggelitiki badan Louise.

"Ahahaha! hentikan! Ini geli! Hentikan!"

"Jadi, Atas dasar apa kau kerja disini?"

"Aku takkan bilang! Ahahaha!"

Jari-jari udara itu terus menggeletiki Louise tapi dia takkan mengaku. Perlahan-lahan badannya melayu.

"Anak mulut gembok. Kau menyembunyikan banyak hal akhir-akhir ini."

"Jika kau mengerti...tinggalkan saja aku sendiri..."

"Akan dilakukan."

Kirche mengambil menu dengan acuh.

"Cepatlah, segera pesan sesuatu."

"Ini," kata Kirche menunjuk menu.

"Aku tak mengerti, yang mana?"

"Ya...pertama-tama, semua yang tertulis di menu ini."

"Huh?"

Louise menatap Kirche, hampa.

"Bawakan saja semuanya."

"Kau benar-benar kaya...betapa irinya aku."

Kirche lalu mengatakan pada Louise,

"Oh, tentu saja ini traktiranmu. Aku akan sangat senang menerimanya, La Vallière-san.”

"Apa? Jangan bermulut manis! Mengapa aku harus menraktirmu?!"

"Ataukah aku harus bilang pada seisi sekolah bahwa kau kerja disini."

Louise menjatuhkan rahangnya.

"Jika kau bilang itu...Aku...aku akan membunuhmu."

"Ya ampun, aku tak ingin mati. Jadi bisakah kau cepat-cepat membawa semuanya?"

Louise menjatuhkan bahunya dengan sedih dan menghilang ke dapur sambil memukul-mukul barang di jalan.

Guiche berkata sambil menggelengkan kepalanya, "Kau benar-benar wanita jahat."


Kirche menjawab dengan senang.

"Jangan salah paham, aku hanya tak menyukainya. pada dasarnya kami musuh..."

Kirche memotong bicaranya dan memperbaiki jubah Tabitha yang berantakan.

"Beneran deh, Kau seharusnya memperbaiki kebiasaan mengacak rambut dan jubahmu saat kau melantunkan mantra. Wanita adalah tentang penampilan dan kepintaran adalah yang kedua."

Kirche menyisir rambut tabitha bagaikan seorang kakak memperhatikan adiknya atau ibu mengkhawatirkan putrinya.

Guiche memandangi Tabitha. Mengapa wanita Germania ini memercayai Tabitha dan hanya Tabitha? pikir Guiche. Meski kini musim panas, keduanya tak pulang dan tinggal bersama di sekolah. Apalagi, mereka tampak berhubungan dengan telepati. Mungkin ini karena tabitha jarang bicara, tapi mereka dapat mengerti satu sama lain hanya dengan bertukar pandang dan sedekat saudara.

Tapi...Guiche mengorek-ngorek ingatannya. Mereka tak sedekat ini ketika pertama kali masuk. Aku tak yakin karena aku terlalu sibuk bermain-main dengan gadis-gadis tapi bukankah mereka memulai sebuah pertarungan?

Tepat ketika Guiche ingin menanyakannya, sekelompok pelanggan baru masuk bar. Mereka ningrat yang tampan. Mereka mengenakan topi dengan nrim lebar yang dihiasi bulu nan elegan dan tongkat sihir berbentuk pedang yang menonjol dari jubah. Tampaknya mereka adalah petugas dari Tentara Kerajaan.

Mereka kemungkinan telah berlatih sepanjang hari; Mereka datang tak peduli sekelilingnya dan mulai melihat-lihat meja yang kosong.

Para petugas mulai ngobrol tentang gadis-gadis dalam bar. Gadis yang berbeda-beda menuangkan anggur tapi tiada yang tampak memuaskan para petugas. Seorang petugas menyadari kehadiran Kirche dan mengedipkan mata padanya.

"Bukankah itu seorang gadis ningrat? Wanita yang bisa bersama kita harus membawa sebuah tongkat sihir bersamanya!"

"Itu benar! Ini adalah istirahat yang diberikan Paduka yang jarang terjadi, pada kita petugas tentara kerajaan. Kita tak bisa mendapati seorang jelatan yang menuangkan anggur kita."

Sambil mengatakan itu, mereka dengan ributnya merundingkan siapa yang akan pergi dan menjemput para gadis. Sepertinya Kirche terbiasa dengan hal-hal semacam ini dan terus minum dengan tenang, tapi Guiche merasa tak nyaman. Dia berusaha menempatkan dirinya dalam posisi dimana dia seharus melindungi para gadis, tapi tak bisa tegas di hadapan para ningrat yang merupakan petugas tentara kerajaan. Dia kemungkinan dihajar.

Akhirnya keputusan soal siapa yang pergi berbicara keluar. Salah satu ningrat berdiri. Dia seorang pria ganteng yang baru lewat 20 tahun.

Dengan penuh percaya diri, dia memainkan kumisnya dan membungkuk secara elegan pada Kirche.

"Kami adalah para petugas dari resimen navaaru. Kami terpanah keagungan kecantikanmu dan ingin sekali mengundangmu pada meja makan kami."

Kirche menjawab tanpa memandanginya.

"Maaf, tapi aku tengah menikmati waktu bersama teman-temanku."

Teman-teman si petugas mulai berhuu-huu. Jika dia ditolak sekarang, itu akan melukai harga dirinya. Dia mencoba membujuk Kirche dengan kata-kata penuh antusiasme.

"Aku memohon padamu untuk menarik itu. Mohon berkahi kami saat kebahagiaan yang tak memiliki apa-apa selain peperangan tak termaafkan yang menunggu."

Tetap saja Kirche mengayunkan tangannya, menolak.

Si ningrat kecewa, dan kembali kepada teman-temannya.

"Kau tak terkenal diantara wanita," ujar seorang petugas. Tapi pemuda itu menggelengkan kepalanya.

"Apa kau dengar aksennya? Dia pasti wanita Germania. agak mencurigakan sebagai seorang ningrat, jika kau tanya aku!"

"Tapi kudengar wanita Germania benar-benar gatelan. Jarang-jarang ada wanita dengan sikap yang tegas begitu."

"Mungkin seorang protestan hingga kaki!"

Mungkin ini sebagian karena alkohol, tapi para petugas mulai mengejek Kirche. Guiche dan Montmorency saling memandang dan menanyai Kirche apakah dia ingin meninggalkan bar.

"Tapi kita disini duluan," ucap Kirche sambil berdiri. Rambut panjangnya tampak menyala bagaikan inferno nan liar. Pelanggan dan pelayan lainnya serta yang lain yang menonton seluruh kejadian menjadi hening.

"Ah, jadi kau sudah berubah pikiran dan memutuskan menemani kami?"

"Ya tapi tidak dengan gelas...tapi dengan ini."

Kirche menghunus tongkat sihirnya dngnan mulus.

Para pria terjatuh dari kursi saking berlebihannya tawa mereka.

"Jangan pernah mencoba, gadisku. Kami adalah para ningrat dan takkan menghunus tongkat sihir kami pada wanita."

"Apa kalian takut pada wanita Germania?"

""Tak mungkin!""

Para pria terus tertawa keras-keras.

"Maka aku akan membuat kalian menghunus tongkat kalian."

Kirche mengayunkan tongkatnya. Bola api sejumlah para petugas muncul dari ujung tongkatnya dan langsung membakar bulu hiasan pada topi petugas. Bar bergolak. Kirche bangkit dan membungkuk pada hadirin.

Para pria yang menjadi bahan tertawaan langsung bangkit berdiri.

"Nona, lelucon ini sudah keterlaluan."

"Benarkah? tapi aku selalu sungguh-sungguh. Dan, bukankah kalian yang mengundangku?"

"Kami mengundangmu untuk minum, bukan untuk bertarung."

"Maka bisakah aku bertarung dengan kalian para pria yang mengejekku hanya karena aku tak menerima tawaran minum kalian?"

Udara bar membeku.

Salah seorang petugas berbicara dengan tegas,

"Gadis asing, apa kau tahu Kebijakan Tak Bertarung? Di bawah perintah paduka, kami dilarang bertarung. Tapi kau seorang asing. Selama kita sepakat, kami bisa melakukan apa saja padamu. Apa kau berbicara dnegan mengetahui ini?"

"Ningrat di Tristain kepanjangan lidahnya. Jika ini Germania, duel sudah berakhir sekarang."

Mereka tak bisa mundur setelah dipermainkan seperti ini. para petugas saling memandang dan salh satu dari mereka meremas brim topinya dan berkata, "Pilih lawanmu, kau berhak untuk itu."

Tapi Kirche tak mengubah air mukanya. Tapi ada kemarahan yang bergelagak di dalam. semakin Kirche marah, semakin tenang dan santun dia.

"Sebagaimana yang kau katakan, wanita Germania sangat gatal, jadi aku akan melawan kalian semua." Tepukan terdengar dari bar untuk kata-kata berani Kirche. Wajah para petugas marah padam karena marah oleh hinaan tersebut.

"Kami adalah ningrat tapi juga tentara di saat bersamaan. Saat dihina, saat ditantang, kami takkan menahan diri meski lawan adalah wanita. majulah."

Para ningrat menunjuk keluar dengan dahu mereka. Guiche gemetaran di bawah tekanan ini. Montmorency terus minum anggur, seakan itu bukan urusannya. Louise berkata soal bagaimana si wanita bodoh itu masuk kedalah masalah tak perlu lagi dan bersembunyi di dapur. Saito tak beruntung karena menjadi korban kemarahan Louise pada Kirche dan pingsan karena nyeri yang ditimpakan Lousie padanya; jadi dia tak bisa menengahi.

jadi, yang bangkit adalah tabitha.

"kau tak usah khawatir. duduklah, ini akan berakhir seketika."

Tapi Tabitha menggelengkan kepalanya.

"Aku berhutang padamu."

"Kau merujuk pada kejadian di danau Ragdorian? Tak apa-apa. Aku melakukannya karen akeinginanku sendiri."

"Bukan itu."

"Eh?"

Lalu Tabitha dnegan jelas mengucapkan,

"Berhutang satu padamu."

"Itu sudah lama sekali." Kirche tersenyum.

Dia berpikir untuk sesaat tapi akhirnya memutuskan menyerahkannya pada temannya.

"Apa yang terjadi? Ketakutan? Kami akan memaafkanmu jika kau meminta maaf sekarang."

"Meski Kau masih harus menuangkan minum untuk kami."

'kau beruntung bila ini berakhir hanya dengan kau menuangkan minum."

Para petugas tertawa. Kirche menunjuk pada Tabitha.

"maafkan aku, tapi dia bahkan lebih ahli dariku. dia bahkan punya gelar Chevalier."

para petugas memasang wajah ragu.

Tabitha baru saja berjalan menuju arah masuk bar dnegan tenang.

Apa ada diantara kalian yang memiliki gelar Chevalier?"

Para petugas membengkokkan kepala mereka karena tak percaya.

"maka dia seharusnya lebih dari sekedar lawan."

Begitu Kirche selesai berbicara, dia duduk di kursi seakan tugasnya sudah selesai. Para petugas, yang tak bisa mundur, mengikuti tabitha keluar bar.

"Apa dia akan baik-baik saja?"

Tanya Guiche. kirche terus saja meminum anggurnya dnegan elegan.

"Gadis itu tak pernah lupa pada janji tua semacam ini."

gumam Kirche bahagia.


Di luar, Tabitha tengah menghadapi para petugas pada jarak 10 langkah. Disekitar mereka, penghuni kediaman berkumpul tapi dengan menjaga jarak mereka. Sebenarnya, meski Kebijakan Tiada Pertarungan berlaku, ia tak menghentikan seluruh pertarungan antar-ningrat. Pertarungan semacam ini terjadi setiap hari.

Namun...lawan dari kelompok dari tiga petugas tentara kerajaan adalah seorang gadis muda yang masih kecil. Kombinasi ini menarik perhatian para penonton.

"Teman-teman, lawan kami adalah seorang anak. Setelah ini orang-orang akan mengata-ngatai kita penggojlok. Kehormatan kita akan hancur tak peduli kita menang atau kalah. Apa yang seharusnya kita lakukan?"

Yang termuda diantara mereka menjawab pertanyaan lelaki yang mengundang Kirche dnegan "Mengapa tak biarkan dia duluan?"

Pria yang sedari tadi diam kini berkata dnegan nada senang,

"Hah, mendidik anak-anak adalah tanggung jawab yang dewasa!"

Chevalier? dia pasti bercanda. Tak mungkin gadis kecil begini diberikan gelar itu.

Meski dia seorang anak, dia tetap seorang ningrat. Kami tak bisa memaafkan dusta semacam ini. Apalagi mengejek seorang petugas tentara kerajaan, itu tak masuk akal.

Tabitha hanya berdiri tenang disana dengan tongkat di tangan kanan. Tiada yang bisa dibaca dari ekspresinya. Sepertinya kerumunan maupun ketiga petugas tak bisa mengoyak emosinya.

"Gadis kecil, hunus tongkatmu lebih dulu."

kata ningrat yang tertua.

Para penonton menahan napas dan menonton mereka penuh perhatian.

Tabitha hanya mengayunkan tongkatnya sedikit, seperti waktu dia membuat angin untuk mendinginkan Kirche. Pertarungan berakhir seketika.


Begitu para pelanggan melihat Tabitha kembali masuk bar, mereka memberikannya selamat nan meriah yang bercampur kekaguman dan keheranan. Ada keributan besar di luar. hanya karena satu pukulan dari "Palu Udara" raksasa, sebuah palu dari udara termampatkan, Tabitah menerbangkan para petugas ke sisi lain dari jalan dan meng-KO mereka. Seorang pelanggan dengan malu-malu mengintip keluar jendela dan melihat seorang petugas sudah sadar dan menyeret dua yang lain pergi.

"Kau mengagumkan meski kau kecil!"

Meski bar dipenuhi applaus, Tabitha hanya membalikkan sebuah lembar di bukunya, tak memedulikan itu semua.

Kirche menuangkan anggur kedalam cangkir Tabitha dnegan wajah smug.

"Mari bersulang."

Guiche menanyai Kirche karena dia kebingungan.

"Um, Kirche?"

"Apa?"


"Mengapa kalian berdua snagat dekat? Kalian berdua seperti saudara."

"kami hanya berteman."

Tapi mereka berlawanan satu sama lain. Apalagi...Guiche menata kembali apa yang diingatnya tadi. Keduanya telah melakukan pertarungan seperti ini diluar begitu mereka masuk sekolah.

"apakah kalian selalu sedekat ini? Apa yang terjadi di antara kalian? Ceritakan padaku."

Ini juga menimbulkan rasa penasaran Montmorency dan dia mendekat.

"Apa yang terjadi? Ceritakanlah."

Kirche menatap tabitha, tapi Tabitha diam saja. Namun Kirche mengangguk.

"Dia berkata aku bisa berbicara soal itu jadi aku akan melakukannya. Ceritanya ga seheboh itu juga kok." Kirche mengambil segelas penuh anggur.

Dia menenggaknya habis, dan mulai menceritakan dengan mata mengantuk.

Bagian 2[edit]

Kirche memasuki Akademi sihir begitu musim semi, pada bulan keempat, minggu kedua bulan Feoh, di tengah-tengah minggu Heimdallr.

Upacara masuk diadakan di Aula Alvíss . Disana, setiap tahun, 90-an siswa baru akan dibagi menjadi tiga kelas. Anak-anak dari keluarga aristokrat, yang dikumpulkan dari sluruh daerah, telah menunggu Kepsek osman dengan wajah tegang.

Osman, yang memimpin para guru, muncul di lantai kedua dan memandangu para siswa di lantai bawah.

"Para siswa, kalian dari Tristain...Argh!"

Osman, melebarkan lengan dan kakinya, telah meloncat dari terali lantai 2, bersiap untuk mendarat di sebuah meja di lantai 1. Di udara, dia mengayunkan tongkatnya untuk menggunakan "Melayang" untuk mendarat dengan aman, tapi gagal. Dia telah menua; waktu untuk melantunkan mantra memanjang dan dia langsung jatuh ke meja. Aula dipenuhi keributan begitu para guru meloncat turun untuk membantunya berdiri. Osman telah melakukan sesuatu dengan buruk dan seseorang harus menyembuhkannya dengan sihir air. Dia melanjutkan, tanpa sedikitpun tanda malu,

"Semuanya, Jadilah Aristokrat yang akan mendukung Helkeginia di masa depan!"

Kata-kata yang berani. Semuanya mulai bertepuk tangan, karena kasihan pada Osman yang berusaha keras menjaga harga dirinya.

Di kerumunan..Ada seorang gadis cantik yang menonjol bahkan diantara para ningrat. Itu Kirche, yang bergelar "Ardent". Mengeluarkan uapan besar begitu melihat Kepsek nan ceroboh, dia berfikir apakah dia membuat kesalahan dengan melamar kesini.

Namun, bagi Kirche, yang telah meninggalkan Akademi Sihir Vindobona di ibukota Germania...Tiada pilihan lain, selain pergi ke sebrang untuk belajar. Orang tuanya di Zerbst berencana menikahkan Kirche, yang bermalas-malasan disekitar rumah setelah meninggalkan sekolah, pada seorang Marquis tua. Kirche, yang tak memiliki keinginan untuk menikah saat itu, meninggalkan negaranya ke Tristain untuk mencari perlindungan.

Dia melakukannya tak sadar.

Sejak muda, begitu dia menyukai sesuatu, dia akan melakukan segalanya untuk mendapatkannya. Jika seorang protes, dia akan membungkamnya dengan keahliannya, "Api". Alasannya di-DO, "insiden" yang terjadi di Germania, adalah hasil dari aspek kepribadiannya ini..

Kepribadian yang kau tumbuh dengannya adalah hal yang sulit diubah. Bahkan di Tristain, cara arogannya tetap mekar.

Kembali ke sini, di sebelah kirche, duduk seorang gadis berambut biru nan mungil. Dibandingkan dengan Kirche sang dewi kecantikan, pemilik tubuh iblis, tubuh gadis ini bahkan belum mencapai puber. Dia memang hanya seorang anak kecil. mata jade deibelakang kacamata masih membawa tanda-tanda anak-anak. Meski dia pergi ke Upacara Masuk , matanya tetap terbuka lebar, tenggalam dalam membaca buku.

Tanpa alasan, Kirche mulai sebal dengan sikapnya. bagi Kirche, anak baik yang senang belajar adalah sasaran yang bagus untuk digojlok. dia berkata dengan nada rendah, "Apa yang kau baca?" dan merebut buku itu. Gadis itu hanya melihatnya dengan mata yang mati.

Kata-kata dalam buku terlalu berat untuk Kirche, dia tak mengerti apapun.

"Apa-apaan ini..."Pengaruh Kekuatan Angin pada Atmosfer dan Akibatnya'? Apaan nih kata-katanya. Apa kau bisa menggunakan sihir tingkat tinggi ini?"

Gadis itu tak menjawab, hanya mengulurkan tangannya.

"Hei, jika kau minta bantuan seseorang, kau seharusnya memberikan namamu, apa orang tuamu tak pernah mengajarimu?"

Sejujurnya, ini bukan meminta bantuan, ini hanya mencoba mengambil kembali apa yang telah direbut...Gadis itu termenung sesaat, dan mengatakan namanya.."tabitha".

"apaan itu? apa semua orang di Tristain memakai nama yang aneh-aneh?"

Kirche hampir berguling-guling di lantai dalam tawa. Guru yang bertugas membagi kelas menatapnya tajam, tapi Kirche mengabaikannya dan terus tertawa.

Tabitha menatap kirche dengan mata dingin. Rantai yang membawa takdir orang tuanya...untuknya telah dihina oleh seseorang. Saat itu, Kirche sama sekali tak melihat perubahan mata tabitha.

Seorang gadis dengan rambut blonde-stroberi, yang tak bisa lagi menahan diri, langsung bangkit.

"Gadis di sebelah sana! Sesuatu yang penting tengah diumumkan sekarang! mengapa kau tak menutup mulutmu!"

Dia kemungkinan telah menolerir arogansi Kirche sejak tadi.

"Siapa kau? aku Louise Françoise Le Blanc de la Vallière. Sungguh mengejutkan ada orang sepertimu yang masuk sini!"

"la Vallière?"

Kirche memandangi wajah Louise dengan senang.

"Mohon bantuannya. Aku Kirche von Zerbst, tetanggamu. Sebuah keistimewaan untuk bertemu denganmu disini!"

Mendengar ini, Sekujur Tubuh Louise mulai gemetaran.

"A-A-Apa yang kau katakan?"

"Oh, mohon bantuannya."

Kirche tetawa penuh daya tarik. Seorang guru yang melihat mereka gemetaran karena amrah berteriak pada ketiganya,

"Semuanya DIAM!"

'OK." sambil mengatakan itu, Kirche kembali ke kursinya. Tabitha merebut bukunya dari tangan Kirche dan menatapnya tajam dari sudut matanya, bibirnya ditekan erat.

setiap tahun dibagi dalam tiga kelas, yang merupakan nama 3 santo legendaris, Suen, Iyer and Seger. Kirche dan tabitha di Suen, Louise di Iyer, sementara Guiche dan Montmorency di Seger.

Setelah meninggalkan kejutan besar di upacara masuk, Kirche diabaikan oleh gadis-gadis lain di kelasnya. Daya tarik liar gadis Germania, dengan dada aduhainya, membuat hormon di udara tak bisa disumbat. dalam sekejap, semua lelaki di kelas telah doimilikinya. ini membuat gadis-gadis Tristain, yang sangat terkenal karena sifat irinya, terbakar dengki.

Kepribadiannya adalah salah satu alasan mengapa dia tak disukai. Bahkan di Germania, Tanah Api itu sendiri, Kirche didiamkan karena arogansinya. Kepribadiannya hanya memperparah perasaan orang-orang Tristain, yang menyembah kehati-hatian sebagai keagungan, dengan cara yang salah. Dalam jangka waktu yang begitu pendek, dia sudah menggoda tiga pemuda.

Ada dua alasan. Pertama, ketiga dari mereka adalah yang lebih tampan di kelas. Kedua, dan yang lebih penting...Dia begitu bosan.Pertama, pandangan menggoda dilemparkan ketika di aula. Kedua, membusungkan dadanya ketika berpura-pura tersandung. Ketiga, menyilangkan kakinya di hadapan mereka.hanya dengan itu, ketiganya sudah meminta Kirche untuk bersama mereka.

Kirche menerima permintaan mereka meski dia menerima panggilan secara bersamaan. Dia pergi bersama ketiganya tanpa menyembunyikan apapun, sehingga ketiganya segera terlibat dalam pertarungan.Di akhir dari pertarungan tersebut, lelaki ketiga muncul sebagai pemenang. Tepat ketika dia akan menghadiahi dirinya sendiri dengan akhirnya mendapatkan Kirche hanya untuk dirinya, Kirche menemukan yang keempat.

Gadis-gadis yang tertarik dengan pemuda-pemuda ini membentuk sebuah aliansi untuk berunding dengan Kirche. Kirche, yang barus saja menemukan yang ke-5 dan ke-6, dan sekali lagi men-tiga, meng-huh-kan saja usaha gadis-gadis malang tersebut."tak tahukah kapan kau harus berhenti? Berapa banyak lelaki yang kau inginkan sebelum kau bahagia?""Siapa tahu, aku tak tahu."Kata Kirche sambil duduk di kursi dan memoles kukunya."jangan berpura-pura!"" Aku tak melakukan apapun. Mereka menemukanku atas usaha mereka sendiri, berkata 'Kirche, ingin datang ke kamarku untuk minum," atau 'aku telah menuliskan sebuah puisi, ingin mendengarnya,' yah seperti itulah."kata Kirche, meniru para pemuda."Selalu seperti itu, aku cukup kesal juga, jadi aku harus menerimanya, dalam bahasa kalian 'Oui'. Apa aku mengejanya dengan benar?"Sikapnya membuat dengki para gadis langsung meroket ke tingkat yang baru."Dengar. Ini Tristain, diaman kami menghargai adat dan tradisi, tak seperti negara barbarmu. bahkan dalam cinta ada cara-cara yang patut, Seorang gadis desa nan abai yang bahkan tak tahu itu seharusnya pulang saja!""Jika kau benar-benar perhatian tentang cintamu, mengapa tak menguncinya di kamarmu?""Apa katamu?""Aku hanya bingung. Jika kau punya waktu untuk mengiri, mengapa tak membujuknya untuk tinggal? Jika kau menyukainya kau seharusnya memujinya sedikit. Yang kalian semua tahu hanyalah bagaimana memasang wajah marah, kalian bahkan tak tahu bagaimana mengatakan hal-hal yang membuat pria bahagia, kan?""Itu tugas pria!""Kalau aku sih tak begitu, jika aku menginginkan seseorang, aku akan memujinya sebanyak mungkin, kalau tidak, aku akan menjadi sangat sedih.""Jangan memeprlakukan kami seperti orang tolol!""bagaimanapun, kalian semua bisa tenang. Meski aku mengikuti filosofi "Lakukan apapun untuk mendapatkan apa yang kumau," Aku takkan pernah mengambil apa yang paling penting bagi seseorang."Pembohong! Bukankah kau mencoba menggenggam para pacar kami dengan tangan kotormu?"Kirche memutar pandangannya perlahan pada gadis-gadis yang mengelilinginya."Bagi kalian, itu bukan hal paling penting, kan?""Apa katamu?""Jika ia merupakan hal yang begitu penting, kalian takkan membentuk sebuah tim untuk berunding denganku. kalian akan menggulingkan kepalaku dari bahu dari dulu, atau apakah aku salah?"para gadis yang iri tak bisa berkata apa-apa."...Er...""Aku belum ingin mati. Makanya aku takkan mengambil apa yang paling berharga dari seseorang."Para gadis telah dipukul oleh sikap Kirche dan mulai saling memandang satu sama lain.Dengan itu, pacar Kirche terus bertambah, tapi dia tak bisa membuat satu jalinan pertemanan. Namun Tabitha juga tak lebih baik.Tabitha jarang berbicara pada siapapun. Entah itu waktu istirahat atau makan siang, kelas dimulai atau berakhir, bahkan dalam asrama atau tempat-tempat ramai. Dia tak mengatakan apapun pada siapapun. Pendiam, dengan wajah pencemas dunia pada mukanya...hanya membaca. Tak peduli siapapun yang mencoba bicara kepadanya, Tabitha mengabaikan mereka. Tak hanya mengabaikan, dia bahkan tampak mengabaikan keberadaan mereka.karena ini, Tabitha menjadibahan ejekan. Untuk alasan tertentu, dia menolak memberitahu nama belakangnya, jadi muncul isu-isu bahwa dia seorang penjahat.Saat dimana dia benar-benar membakar kedengkian seluruh kelas adalah pada saat kelas pertama mereka.Tabitha, yang dikira sebagai kutu buku biasa, ternyata adalah seorang Penyihir "Angin" jagoan. Ini baru diketahui saat pelajaran sihir "Angin" pertama.pak Quito adalah penanggung jawab kelas 'Angin". kata-kata pertama dari mulutnya adalah,"Siswa-siswa tahun ini begitu menyedihkan."Ketaksenangan langsung terpancar dari wajah para siswa, yang berkumpul di Lapangan Pusat."Melihat rekaman sekolah kalian, hampir semuanya adalah penyihir "Titik", hanya sedikit yang "garis". bahkan tiada yang "segitiga". Ada apa ini?"Titik dan segitiga mengacu pada jumlah elemen yang bisa dipakai. 'Titik' berarti satu elemen, 'garis' berarti dia bisa memadukan dua. Meskipun ia merupakan elemen yang sama, selama ia bisa dipakai, sebuah mantra kuat dapat tercipta."Aku mutlak tak punya harapan untuk kalian semua, tapi ini perkerjaanku, jadi kuteruskan."Setelah Pak Quito selesai berbicara dengan nada rendah, kelas dimulai. Kemampuan dasar "Angin" adalah "terbang" dan "melayang".namun...Tabitha mulai menunjukkan kemampuannya mulai saat itu.dia adalah yang pertama terbang begitu tinggi menggunakan mantra "terbang". Meski untuk menghindari perhatian, dia sengaja tak menggunakan seluruh kekuatannya. Pak Quito rada bingung."Untuk seorang penyihir 'titik', itu cukup bagus."karena tak mengetahui kemampuan Tabitha yang sebenarnya, tak salah bila dia mengatakan itu.Untuk alasan-alasan tertentu, satu-satunya yang tahu kekuatan tabitha yang sebenarnya adalah Kepsek Osman. Terlebih lagi Pak Quito belum melihat rekaman siswa-siswa pertukaran."Tak peduli bagaimanapun juga, kalian semua kalah dari gadis termuda di kelas. tidakkah kalian malu?"karena perkataan Pak Quito itu, seluruh kelas mulai marah.Saat istirahat setelah makan siang, seorang lelaki meminta Tabitha untuk berlatih dengannya.latihan seperti ini pada dasarnya sama dengan bertarung. Karena ini Latihan, tiada kemungkinan untuk kehilangan nyawa, setidaknya tidak pada masa ini. Di masa lalu, tersiar kabar bahwa memberikan lawanmu coup de grace adalah cara ningrat, tapi masa para pahlawan ini sudah menghilang menjadi sejarah. Metode modern adalah dengan menggunakan mantra-mantra dengan ancaman nyawa yang kecilm dan sekali seseorang terluka, pemenangnya sudah diputuskan. Meski ada kejadian dimana ada jari yang patah, ini lebih aman daripada mempertaruhkan nyawa, mencuri tongkat lawan merupakan cara paling elegan untuk menang.Pemuda yang menantang tabitha bernama de Lorraine. terlahir di keluarga yang terkenal dengan sihir "Anginnya". dia merupakan salah satu dari penyihir 'garis' elit angkatan mereka.Dia menyimpan dendam karena dikalahkan di "terbang" oleh seseorang tak dikenal seperti tabitha. Dia suka menyombongkan diri bahwa tiada yang bisa bertanding dengannya dalam sihir "angin", dan ingin mendapatkan kesempatan untuk membalas tabitha.Sambil berjalan menuju tabitha yang tengah membaca di Lapangan pusat, dia mendeklarasikan perang,"Nona, aku menginginkan instruksimu dalam sihir 'Angin'."

Ketika tabitha tak menjawab apapun, de Lorraine mulai marah.

"melanjutkan membaca saat seseorang menantangmu, apa itu tidak keterlaluan?"

Tabitha tetap tak menjawab. Perkataan de Lorraine melewaqti telinganya, tak terdengar, seakan ia hanya suara hembusan angin.

"Jadi, untuk ini, kau tak punya keberanian. Itu tak terlalu sulit dimengerti. apalagi, ini mempertaruhkan nyawa! sangat berbeda dengan terbang dan meloncat-loncat di dalam kelas!"Tabitha terus membalikkan halaman bukunya. Ejekan De Lorraine tak berefek apapun pada gadis bermata jade ini."Heh!"De Lorraine mendengus, dan tersenyum mengejek."Jadi, sepertinya isu bahwa kau seorang bajingan benar. Aku takut kau bahkan tak tahu siapa ibumu. Untuk mendengki seseorang yang begitu hina sepertimu akan merusak reputasi keluargaku!"Begitu dia habis berkata begitu dan hendak pergi, tabitha akhirnya bangkit berdiri. Jika Kirche melihatnya sekarang, mungkin dia akan merasakannya. Didalam mata jade yang tak bernyawa itu, sebuah angin beres berhembus.'Apa kau akhirnya serius?"tabitha menyimpan bukunya di bangku, dan berputar, berjalan menuju daerah terbuka.tabitha dan De Lorrain berdiri saling menghadap dalam jarak sekitar 10 meter."Meski aku tak mau memberikan namaku untuk seorang bajingan sepertimu, ini adalah prakterk umum. Aku, Verrieres de Lorraine, akan menjadi lawanmu."Tabitha tak memberikan namanya."Adalah sangat menyedihkan untuk tidak memiliki nama untuk disebutkan, bahkan pada saat seperti ini! Aku takkan menunjukkan ampun! En guarde!" Teriak De Lorraine, dan ulai melantunkan mantra, "Gebrakan Angin ". Dia hendak menerbangkan Tabitha dalam sekali pukul. Tabitha dan menyiapkan kuda-kuda, dan hanya bersiap dalam hening untuk menahan angin yang tampak akan menerbangkannya.Apa yang tengah terjadi? Dia sama sekali tak hendak mengambil kuda-kuda persiapan. 'Gebrakan Angin" De Lorraine adalah mantra yang kuat, sebuah mantra untuk membalasnya akan memakan waktu untuk dilantunkan.Apakah ini karena dia tak pernah latih-tanding seperti ini sebelumnya, atau karena dia begitu ketakutan oleh mantra De Lorraine...apapun alasannya, waktu telah habis.Tepat ketika De Lorraine merasa kemenangan sudah di tangan...tabitha mengangkat tongkatnya, dan bagaikan membersihkan sarang laba-laba dari hadapannya, mengayunkankannya secara acak. Sebuah kata diucapkan, dan dengan itu saja, tabitha sudah mengendalikan seluruh arus udara di sana.Penyesuaian aliran udara ini mengubah arah mantra de Lorraine, mengembalikannya pada pemantranya,De Lorraine diterbangkan ke tembok oleh anginnya sendiri. Tanpa memberikannya waktu, Tabitha langsung memantra lagi, Uap air di udara membeku jadi es, berubah jadi panah es, yang menuju de Lorraine,"Ah!"Dengan suara "Duk" yang jelas, panah es tersebut menancapkan de Lorraine ke tembok pada jubah dan bajunya. Dia membeku ketakutan oleh kekuatan yang baru kali ini dia lihat selama hidupnya. "Angin", apa mungkin bisa sekuat ini? Sebuah panah es raksasa terbang menuju de lorraine yang tertancap dari depan."Aku akan mati! selamatkan aku!"Dia berteriak secara refleks. panah itu, setebal tangannyam berhenti di depan matanya, Ia lalu mulai mencair, menjadi genangan.Pada saat yang sama, panah-panah yang menahan tubuhnya di tembok pun mulai mencair.De Lorraineyang baru terlepas gemetaran tak terkendali. Di kakinya, sebuah genangan mulai terbentuk, bukan dari panah esyang mencair, tapi dari cairan lain. Dari antara kedua kakinya, cairan mengalir, membentuk genangan air sesuhu suhu tubuh. Dia bertekuk lutut.Sambil melemparkan tongkatnya dan memohon, "Mohon ampuni aku," dia merangkak pergi.Kaki kecil Tabitha tiba-tiba mengisi pandangannya, membuatnya begitu ketakutan sehingga dia mundur. Tabitha berdiri disana memandangnya dari atas, ekspresinya tetap sama."Ampuni aku! biarkan aku hidup! L-latih tanding hanyalah sebuah permainan! Pertarungan dimana kau mempertaruhkan nyawa hanyalah sejarah lama1"kata De Lorraine, bertolak belakang dengan apa yang dikatakannya tadi. tabitha memunculkan sebuah tongkat."Biarkan aku pergi! jika kau biarkan aku hidup, aku akan melakukan apapun yang kau katakan!"Tabitha menunjuk tongkat di tangannya, dan hanya berkata,"Kau lupa ini."itu tongkat yang dilemparkan de Lorraine.Itu adalah alasan mengapa Kirche dan Tabitha dibenci isi kelas yang lain...Kirche khususnya oleh gadis-gadis yang dicuri pacarnya, dan Tabitha oleh de Lorraine, yang telah dikalahkan begitu telak.De Lorraine mengajukan suatu rencana pada para gadis.Ketika mendengarnya, para gadis bertepuk tangan dan setuju. Mereka akan menjaga identitas mereka dari ketahuan dan akan mengurus dua gadis yang paling dibenci dalam kelas mereka.

Bagian 3[edit]

Pesta dansa penyambutan bagi siswa baru diadakan pada akhir minggu kedua, minggu Heimdallr, bulan Ur. Karena tajuk utama pesta ini adalah siswa baru, kakak-kakak kelas menghiasi aula dan menghibur para siswa baru sebagai tuan rumah.Meja-meja terisi hidangan yang khusus dipersiapkan untuk menyambut perut siwa-siswa baru. Kakak-kakak kelas yang berpakaian istimewa tengah mendiskusikan adik-adik kelas mana saja yang akan diundang berdansa.Tak perlu dikatakan lagi bahwa orang yang paling menarik perhatian adalah si siswa asing dari Germania, Kirche.Pada dasarnya, para siswa baru masih tak terbiasa dengan kegiatan sosial, jadi gerakan dansa, atau rasa keindahan mereka masih rendah, shingga mereka belum pantas jadi rekan dansa para kakak kelas. Namun, siswa Germania ini, yang sangat "hidup" dalam sektor sosial pada seluruh aspek adalah kasus lain. Dia memiliki daya tarik seks yang kuat, kecantikannya menyerupai sepetik bunga yang mengeluarkan bau nektar nan manis. Topik obrolan siswa-siswa senior terfokus pada siapa yang bakal mengundang siswi baru ini untuk berdansa.Dan, saat Kirche -yang mengenakan gaun hitam nan seksi yang menonjolkan dada mekarnya, rambutnya ditata menjadi gaya yang terkenal di jalalanan, dan mengenakan kalung Rubi yang menyimbolkan sedikit panas-muncul, seluruh lelaki di sana berdesah emosional. Desahan menyebar bagai riak, dan dalam sesaat, Kirche telah menangkap mata seluruh orang di sana.Begitu melihat penampilan Kirche, wanita-wanita lainnya disana membuang pandangan mereka, dan mulai mencari-cari kesalahan pada pakaian dan gaya rambutnya. Ini karena keadaan dimana seorang wanita sing menarik seluruh perhatian membuat mereka tak senang.Para lelaki senior mengelilingi Kirche, semuanya mencoba mengundangnya berdansa. Kirche menunjukkan wajah bangga, dan menyipitkan matanya seperti seorang ratu yang sombong.Begitu Kirche mengambil gelas anggur, akan ada seseorang yang menuangkkan anggur untuknya. kapapnpun dia menggigit sepotong keju, akan ada seseorang yang membawanya sebuah piring dengan daging. Jika dai bercanda, semuanya akan tertawa sepenuh hati. Tiap gerakan Kirche menarik mata semua orang disana.Musik telah dimulai. Kirche memilih seorang bangsawan sebagai rekan dansanya. Dia siswa tahun kedua nan tinggi dan tampan. Si tampan ini menunjukkan sebuah senyuman seperti patung nan sempurna, dan mencium punggung tangan Kirche yang diulurkan padanya. Siapapun bisa berkata dengan mudah bahwa keduanya adalah sorotan hari ini.Ada sekelompok orang di kursi mereka di tempat yang agak jauh, menonton ini dengan mata sedingin es.Mereka adalah orang-orang yang hendak membalas dendam pada Kirche dan Tabitha. Salah satu dari mereka, yang menyembunyikan cinta untuk siswa tahun kedua yang tampan itu, menggigit sapu tangannya dan menggeleng-gelengkan kepalanya karena marah."Ah~~Apa itu! Berani-beraninya dia mendekati Pellison-sama..."Ucap Thonet Charante pelan, pemimpin kelompok pendendam ini, sambil menyibakkan rambut abu-abunya."Lihat saja. Kami akan mempermalukanmu tepat dihadapan semuanya..."Setelahnya, dia mengirimkan sebuah sinyal pada De Lorraine. Dia sedang bersembunyi di belakang tirai pada sudut aula, menunggu-nunggu saat ini tiba.Dia mengikuti skenario yang dia latih sebelumnya, dan mulai melantunkan sebuah mantra sambil menunjuk tongkatnya pada Kirche.Kirche tengah berpegangan pada seorang siswa tahun kedua dan berjalan kedalam aula, saat tiba-tiba, sebuah topan kecil menyelimuti tubuhnya."Apa ini?"Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, topan itu mulai berputar dan berpilin, membuat gaunnya terlilit."Huh? Oh?"Pisau angin nan kcil dan tak terhitung banyaknya memotong rok dan pakaian dalam Kirche, merobek mereka jadi serpihan."Waaaaahhhhhhhhhhhhhhh!"Yang menjerit bukan Kirche, tapi seorang gadis yang berdiri di dekatnya. Selain dari sepatu di kakinya, Kirche bagaijkan seorang yang baru lahir, mematung berdiri di pusat aula, telanjang.Siswa tahun kedua yang seharusnya bersama Kirche mendapat mimisan, dan ambruk setelah kehilangan sekolam darah, Seluruh lelaki disana, termasuk para guru, semuanya menatap lurus pada Kirche, bagaikan menelannya bulat-bulat. Sedangkan par wanita yang tak senang dengan Kirche, meski mereka mengeluarkan sesuatu mirip desahan kasihan para kejadian tiba-tiba ini, mereka tetawa dalam hati, merasakan perasaan tak senang mereka teralirkan.Namun...Kirche tak panik karena kecelakaan tak beruntung ini, dan malah, membawakan sikap ratunya disitu.Dia tak menutupi tubuh berwarna perunggunya, yang memberikan daya tarik liar, sama sekali. Dia berjalan ke arah dinding, terlihat sangat alami, dan duduk di sofa disana.dan dibawah tatapan siswa-siswa, dia menyilangkan kaki, bergumam seperti "sekarang lebih sejuk". Pada saat ini, sang tersangka, De Lorraine bersikap biasa dan berjalan kesana."Bencana yang luar boiasa." katanya sambil memberikan jubahnya pada Kirche."Siapa sih...yang melakukan ini..."kata De Lorraine, membuang pandangannya dari tubuh Kirche yang sangat dibanggakan. Dia tak bisa menolong wajahnya yang memerah."Pada dasarnya aku bisa agak-agak menebak siapa."Kirche menatap sekelompok gadis di sudut jauh. Mereka melihat ke arah sni, menyeringai sambil saling berbisik.De Lorraine menempatkan mulutnya di sisi telinga Kirche."Erm...aku melihats eseorang yangs epertinya pelaku di bayang-bayang tirai..."Kirche menggunakan mata penuh curiga untuk menatap De Lorraine."Oh...Benarkah?""Ya. Jika aku mengatakan padamu siapa itu, apa kau akan kencan denganku?"De Lorraine mengulangi naskah yang disiapkan sebelumnya. Kebanyakan karena Thonet Charente berargumen sangat kuat bahwa, dengan menanyakan ini, Kirche sepertinya lebih bakal percaya pada apa yang akan dikataknnya.Kirche mempelajari De Lorraine perlahan-lahan. Dia memiliki wajah yang terlihat rada kaku...Dia termasuk jenis yang. meski pede dengan pelajaran dan sihir mereka, mutlak tak tahu soal hubungan pria-wanita. Sepertinya dia mungkin secara rahasia jatuh cinta padanya?Kirche memberikan senyuman nan menawan. Merendahkannya, dia berpikir sendiri: Apa ini? jadi orang ini hanya pengagum rahasia diriku yang lain. Untuk orang-orang yang sangat-sangat narsistik, mata mereka yang seharusnya melihat kebenaran cenderung mudah dibatakan dengan mudah juga."Pasti, jadi ceritakan padaku."De Lorraine menceritakannya kepada Kiche dengan pelan."...pelakunya gadis yang kecil. Dia tengah memandangmu dan mengayunkan tongkatnya, jadi kupikir pasti dia.""Jadi, siapa dia?""Aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas."De Lorraine tampak malu begitu dia menambahkan."Yeah, setelahnya, perhatianku tertuju padamu, dengan gaunmu yanhg menjadi sepihan kain. Adalah setelah itu kupikir ia mungkin pelaku semua ini. Tapi saat aku menoleh lagi, dia tak lagi disana.""Oh...Apakah ada sesuatu padamu yang bisa bertindak sebagai bukti?"De Lorraine mengambil sehelai rambut dari kantongnya. Sehelai rambut biru."Warna ramhbut ini sangat tak biasa.""Yang memiliki rambut dnegan warna itu seharusnya tak banyak."De Lorraine mengangguk."Terima kasih, kupikir aku tahu siapa dia."Kirche mengatakannya begitu pelan, memandang sekitarnya dan...matanya berhenti pada seorang gadis kecil yang memakai kacamata. Anak itu, namanya Tabitha kan?De Lorraine, yang kini berdiri disebelahku, bukankah dia pernah bertarung dengannya? Karena Kirche tak tertarik dengan hals emacam ini, dia hanya mendengarkan sedikit dari apa yang terjadi."Bukankah kau pernah bertarung dengannya?""Ya." angguk De Lorraine. "Meski memalukan, aku kalah sangat telak.""Begitu yang kedengar. Alasan pertarungannya?""Karena dia sangat tak hormat padaku, aku berkata: 'Aku berandai-andai bagaimana ibumu.' Seperti yang kau tahu, gadis itu punya nama yang aneh kan? Diapasti menyembynyikan kelahiran yang memalukan. Tepat saat aku mengatakannya, dia tiba-tiba bertindak, itulah mengapa aku kalah darinya."De Lorraine berdusta.Kirche memiringkan kepalanya dan berpikir soal itu.Kirche mengoloknya sedikit saat upacara masuk , apa mungkin itu alasannya? lagipula, dia tampaknya mengolok nama Tabitha sebelumnya.Dia menyipitkan matanya dan menatap Tabitha, wajahnya menunjukkan sebuah senyum dingin.Melihat ini, De Lorraine berfikir bahwa rencananya tampak berjalan mulus, dia tak bisa menolong dirinya yang menyeringai dalam hati.Kirche tampaknya teryakinkan...Tabitha menyimpan dendam padanya karena mengolok namanya, dan ingin membalas dendam.Alasan Thonet Charente menyuguhkan ide ini pada De Lorraine adalah akrena dia ingat bahwa sebelumnya pernah ada gesekan antara Kirche dan tabitha selama upacara masuk, jadi dia menggunakannya untuk rencana ini.Pagi setelahnya...Kirche berjalan masuk kelas dan duduk di sebelah Tabitha. Tabitha sendiri membaca bukunya tanpa bergerak. Kirche mengambil inisiatif dan merebut bukunya.Tabitha memandang pada Kirche, mata biru itu yang tetap tak memperbolehkan orang lain mendeteksi emosi apapun di dalamnya bersinar dengan cahaya yang nyata."Kau...cara balas dendam yang kau dapat benar-benar cerdas."Tabitha tak menjawab."Apakah sebegitu tak termaafkannya untuk mempermainka namamu?"Tabitha memiringkan kepalanya, memandangi Kirche, dia tampak tak mengerti bahwa Kirche menceritakan kejadian itu.Kirche melemparkan serpihan-serpihan gaunnya pada Tabitha."Ini sangat mahal."Tabitha menggunakan jarinya untuk menggosok kain tersebut, dan memandanginya sebentar."Aku ingin kau menderita penghinaan yang sama, apa kau menerimanya?"Tabitha menggelengkan kepalanya, bagaikan mengatakan "Aku tak mengerti apa yang kau katakan.""Berhentilah berpura-pura, kau ahli sihir "angin" kan? Aku aslinya benci angin, tapi kini aku semakin membencinya. Seseorang sepertimu, yang mengyelinap ke sudut gelap untuk melepaskan sebuah topan...Itu sangat mengganggu!""Itu bukan aku."Dengan keadaan yang sudah begini, Tabitha akhirnya buka mulut."Sekarang sudah sampai segininya, dan kau masih ingin bersikap tak bersalah?"Rambut Kirche menari bagai api. Dia menunjukkan senyum tak terpaksa dan mengatakan dengan nada tenang."Ingat ini, seharusnya tak perlu waktu lama bagiku untuk membuatmu mengingatnya."Dengan itu, Kirche bangkit dan berjalan kembali ke kursinya.Thonet Charante dan De Lorraine menyelinap dan bersembunyi di salah satu sudut kelas untuk menguping pembicaraan mereka; setelahnya, mereka bertukar pandang, dan diam-diam tersenyum.Mereka memicu bagian kedua rencana mereka dengan sangat cepat.Setelah sekolah hari itu, Tabitha kembali ke rumahnya, hanya untuk menemukannya dalam keadaan mengerikan. Kamarnya terisi bau dan buku terbakar, yang selama ini merupakan satu-satunya teman Tabitha, dan lemari buku untuk menyimpan mereka terbakar seluruhnya menjadi abu. Tabitha mengambil sisa-sisa dari salah satu buku yang terbakar. Halaman di dalamnya terbakar menjadi abu, dan terbang ke bawah, jatuh ke lantai.Tabitha menggigit bibir keras-keras. Dia menggunakan mata tak bernyawanya untuk melihat sekeliling, dan menemukan sehelai rambut yang jatuh ke kasurnya. Dia mengambilnya dan dengan lampu kerosen dalam kamarnya, dia melihat rambut merah panjang yang bersinar dengan nafsu.Deidalam mata biru Tabitha, sebuah angin dingin nan keras mulai berhembus.Pada larut malam, ada sebuah ketukan di pintu Kirche.Kirche sangat marah soal menyajikan tubuhnya secara gratis di pesta untuk dikagumi seluruh siswa dan guru di sekolah, dia menanyai orang diluar: Siapa?""Ini aku."Itu suara Tabitha. Sisi bibir Kirche terangkat dengan sikap tegas, menampakkan senyum kejam yang takkan pernah ditunjukkan kepada orang lain. Dia membuka pintu kamarnya.Tabitha yang memegang tongkat besar di tangannya berdiri di luar."Kau akhirnya ingin menyelesaikan segalanya sekali ini dan untuk selamanya?"tanya Kirche, sambil melihat gadis ini yang tingginya hanya sedada dia dari atas. Tabitha tak menjawab, dan hanya menggunakan mata dinginnya untuk menatap Kirche.Matanya memberikan jawaban yang jelas pada pertanyaan Kirche."Tempat?"Kirche bertanya sekali lagi."Dimanapun bisa.""Waktu?""Sekarang.""Bagus."Kirche mengambil tongkatnya, dan berjalan pergi sebelum Tabitha.di pusat Lapangan Vestri yang jarang ada orang bahkan di siang hari, Kirche dan Tabitha membalikkan badan untuk saling berhadapan. Sepertinya hanya bulan yang menjadi hadirin mereka.Namun...Ada penonton lainnya yang bersembunyi di belakang semak-semak ataupun dalam bayang-bayang menara. Mereka adalah De Lorraine, dan gadis-gadis yang mencari balas dendam, dengan Thonet Charante sebagai pemimpin mereka. Dan Thonet Charante adalah pelaku yang menyelinap ke kamar Tabitha dan membakar lemari bukunya.Mereka berpuas diri atas kesuksesan rencana mereka. Mereka ingin melihat hasil akhir, jadi mereka menyelinap kesini, sembunyi-sembunyi, di belakang Tabitha dan Kirche.Kegelapan diam-diam menyelimuti udara dingin nan lembab di malam musim semi.Tabitha mengangkat tongkat ke hadapannya."Pertama-tama, aku ingin meminta maaf. Terkait soal menghina namamu...aku tak punya niat buruk. Sebagaimana yang kau lihat, ini hanya kepribadianku~aku cenderung secara tak sengaja membuat marah orang lain."

Tabitha menempatkan tongkat besarnya menghadap tanah, dan bersiap melantunkan mantra kapapnpun jua."Tapi, aku tak pernah mengira kau akan membuatku merasakan penghinaan seperti itu, jadi aku takkan main-main denganmu."namun, Kirche menyadari bahwa Tabitha masih sangat kecil. Meski dia benar-benar marah, tapi untuk bertarung dengan gadis sekecil dia...Apa ini benar? Kecamuk kecil ini muncul sayup-sayup di hatinya."Jangan ambil aku sebagai penggoda biasa dan meremehkan kemampuanku. Aku adalah Zon Verbst dari Germania, kau sudah mendengarnya, kan?"Tabitha mengangguk."Maka kau seharusnya tahu isu-siu soal keluargaku di medan perang. Keluargaku ramai dan bebas bagai api, tapi tidak hanya itu. Kami akan dengan gembira dan bebas membakar apapun menjadi abu. Dan tidak hanya musuh kami...bahkan pihak kami sendiri yang tak mematuhi kami."Tabitha memandangi Kirche tanpa gerak, wajahnya tampak berkata: "Terus kenapa?""Hal yang paling kubanggakan adalah api Zerbst yang mengalir dalam tubuhku. Jadi selama ada sesuatu yang menghalangi jalanku, tak peduli apapun itu, aku akan membakarnya jadi abu. Bahkan bila itu adalah raja kami...Atau seorang anak, mereka semua sama."Tabitha mulai melantunkan mantra. Sepertinya ancaman Kirche tak berefek apapun pada Tabitha."Aku sudah memperingatkanmu."Kirche mengayunkan tongkatnya. Karena beratnya latihan militer yang diterimanya, saat dia serius, kecepatan lantunnya lebih cepat dari siapapun.dari ujung tongkatnya, muncul bola api, bukan yang biasa dari ukuran maupun kekuatannya, dan terbang menuju Tabitha. Tabitha merubah mantranya seketika, membuat sebuah tembok es tepat dihadapannya.Sebuah tembok es tebal menahan bola api Kirche...dan meleleh jadi air. Tapi tembok es ini tak mampu sepenuhnya menahan bola api Kirche, menyebabkan rambut Tabitha terbakar oleh pecahan api.Tabitha melompat ke belakang dan berubah dari bertahan menjadi menyerang. Dia membuat uap air di udara berkondensasi jadi es, dan mengirimkan panah es pada Kirche dari seluruh arah. Dia juga serius, dibandingkan dengan saat dia memaku De Lorraine ke tembok, kini jumlah panah esnya tiga kali lebih banyak...semua langsung menuju Kirche.Kirche mengayunkan tongkatnya. Api berputar menyelimuti tubuhnya, menyalut panah es nan tajam, dan melelehkan mereka sepenuhnya. Tapi salah satu panah es yang belum meleleh sepenuhnya menggesek pipinya.Setetes darah segar menetes dari pipi Kirche.Namun...Baik Kirche maupun Tabitha berhenti setelah itu...Serangan dari kedua belah pihak diakhiri disana.Keduanya menurunkan tongkat mereka, dan saling menatap.Kirche menggunakan lidahnya untuk menjilat darah yang mengalir dari pipinya.Tabitha juga menggunakan tangannya untuk memeriksa rambutnya yang terbakar.De Lorraine yang tengah bersembunyi di semak-semak menanyai Thonet Charante yang berada di sampingnya, yang tengah menahan napasnya untuk menyaksikan pertarungan."...Apa yang teengah berlangsung? Apa ini sudah selesa?""...Bagaimana kutahu. Ampun dah, teruskanlah pertarungannya. Belum ada hasilnya, kan?"Mengapa Tabitha dan Kirche berhenti bertarung setelah saling melepaskan satu serangan? De Lorraine dan Thonet Charante tak bisa mengerti alasannya sama sekali."Pusing deh...sepertinya ini memang salah pengertian." kata Kirche, merajuk.Perkataan lepas ini membuat De Lorraine dkk makin bingung. Kini bukan waktunya membuat ceramah yang begitu kepas, kan? Mereka seharusnya bertarung, mempertaruhkan nyawa mereka, kan?Tabitha tampaknya memiliki pendapat yang sama dengan Kirche, dan mengangguk.Setelahnya, dia berjalan mendekati Kirche, dan menyerahkan buku yang terbakar pada Kirche. Kirche melihatnya dengan seksama, menggelengkan kepala, dan berkata."Aku tak melakukan ini."Tabitha mengangkat kepalanya dan memandangi Kirche. Kirche tersenyum tipis, dan menepuk bahunya."walah, kalau ada sesuatu yang kuinginkan, aku akan merampoknya, tapi aturanku adalah 'tidak merebut apa yang paling berharga dari seseorang'."Tabitha membuka mulutnya untuk berkata."Mengapa?""Karena, jika aku merebutnya, akan menyebabkan keadaan dimana aku harus membahayakan nyawaku, bukankah hal semacam itu sangat mengganggu?"Kirche tertawa gembira.Tabitha, dipimpin Kirche, menampakkan senyuman kecil.Kirche tampaknya menyadari senyum itu, dan berkata pada Tabitha."Kau lebih manis bila tersenyum seperti ini."Setelahnya, Kirche mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Beberapa bola api kecil ditembakkan ke langit seperti kembang api, menerangi sekelilingnya seakan kini pagi.De Lorraine dkk yang bersembunyi dalam gelap langsung terlihat dalam cahaya."Hi! Hiiiiii!""Kalian...Apa yang kalian lakukan disini?""T-tidak, hanya jalan-jalan!""Jalan-jalan? Itu untuk nanti saja. Yap, untuk penghinaan yang kuderita berkat kau...Aku ingin 'membayar'mu."Para gadis dan De Lorraine hendak lari, tapi kaki mereka diikat erat oleh tali angin tabitha.Kirche mendekati De Lorraine yang terjatuh.

"M-M-Mengapa!"

"Apa kau mencoba bertanya mengapa kami menyadarinya?"De Lorraine mengangguk-angguk berkali-kali seakan dia memiliki kram."Dengarkan baik-baik, apa kau pernah dengar ungkapan 'Yang kuat akan mengenali yang kuat?' Saat kau menjadi 'Kelas segitiga' seperti kami, kau akan bisa mengerti tingkat sihir yang diarahkan padamu. topan yang merobek gaunku di pesta, bila dibandingkan dengan panah es yang digunakan anak ini sekarang, meski mereka sama-sama sihir "angin", kekuatan sihirnya jauh berbeda!"

“Hi! Hi! Hiiiii!"

Mendengar istilah "Penyihir Segitiga", Semua yang terjatuh ke lantai begitu ketakutan sehingga mulai gemetaran.

"Aku dan tabitha menyadari kami berdua penyihir segitiga; itulah mengapa kami menurunkan tongkat kami. Jika terbakar oleh apiku, bagaimana mungkin masih ada buku yang mempertahankan bentuk aslinya? Ingat baik-baik, "apiku" akan membakar semuanya 'jadi abu'."De lorraine berusaha bangkit untuk kabur. Tabitha hendak melantunkan sebuah mantra, tapi Kirche menghentikannya."Biarkan aku saja."Tabitha menggelengkan kepalanya."Apaan buku-buku itu! Aku akan menjadi temanmu menggantikan bukumu! Tapi penghinaan diriku...Aku tak bisa mendapatkan gantinya. Jadi, aku akan membalas dendam untukmu juga, tonton sajalah!"Sesuatu yang hangat termanifestasi dalam hati Tabitha. Sejak dia meninggalkan namanya, ini adalah kali pertama seseorang mengatakan sesuatu seperti "menjadi temanmu".Kalimat ini...tampaknya telah membuat badai yang mengamuk dalam hatinya perlahan-lahan meleleh...Tabitha merasakan itu."Aku berutang satu padamu."Tabitha mengatakannya sambil mengangguk.Suaranya begitu lembut...Dia terdengar sedikit malu-malu, dan tampaknya ada sedikit kebahagiaan dalam nadanya. Memiliki seseorang dimana dia bisa berhutang budi, ini membut Tabitha sangat senang tanpa tahu mengapa."Baiklah, kau kini berhutang padaku. Kau sebaiknya membayarnya di masa depan!"Kirche menggunakan suara nan tenang dan sikap khidmat untuk memulai pelantunan mantra. Sebuah bola api terbang kepada De Lorraine dkk, yang tak tahu harus lari kemana.Ratu api mengirimkan lebih banyak bola api secara berurutan, tindakannya tampak seakan dia tengah menari, nadanya seakan dia tengah bernyanyi dengan riang...Semakin Kirche marah, semakin dingin ucapannya, dan semakin tenang sikapnya.

Bagian 4[edit]

Setelah mendengarkan cerita masa lalu mereka, Montmorency tampak sulit menerimanya dan berkata,"Jadi perkara dengan De Lorraine dan rambut serta pakaian Thonet Charante yang terbakar, juga digantung sungsang di menara, dilakukan olehmu!""Benar sekali", Kirche mengangguk gembira, mengakuinya.Pagi setelahnya, saat De Lorraine dan Thonet Charante diselamatkan dari menara, mere bersikeras bahwa mereka memanjat untuk menggantung sungsang secara sukarela. Tapi kebenaran dibalik perkara itu? tiada yang tahu. Sepertinya mereka diancam oleh Kirche.Guiche mengangguk keras setuju"Dengan begitu, ketika sekarang Tabitha berkata "berutang satu padamu" sebagai alasannya, dan bertarung menggantikanmu...adalah karena kau membalas dendam untuk Tabitha juga?Kirche mengangguk."Ya."Louise, yang awalnya menyajikan makanan dan anggur, dan Saito, yang sedang mencuci piring-piring di dapur, telah bergabung dengan kelompok di meja, dan mendengar sekenanya.Louise, yang mengenakan vest yang bertali bahu dekat dan rok, menggunakan nada acuh untuk bilang."Tapi, waktu itu kau hanya hendak menghukum De Lorraine dkk sendiri, jadi kau mencuri kesempatan Tabitha membalas dendam karena keinginanmu kan? Jadi ada apa hingga dia berutang satu padamu?""kau bisa bilang begitu juga.""Kau benar-benar keterlaluan."Guiche mengekspresikan pandangannya denagn nada tak tertolong."Aku, benar-benar...""Benar-benar apa...?""Benar-benar berkeinginan kuat...mungkin itu kejadiannya?"Kirche menggelengkan kepalanya dan menggerutu, kesal. Semuanya mendesah dalam-dalam. Jadi orang ini tak pernah menyadarinya!"kau tak perlu menggantikan tempat wanita ini untuk pertarungan itu, kan? Berdasarkan apa yang dikatakannya sendiri....Sebagaimana yang tadi dikatakan Louise, kau tak berutang apapun padany." kata Montmorency pada Tabitha, yang tengah membaca sebuah buku.Tidak----Tabitha menggelengkan kepalanya menolak komentar Montmorency. Dia tak merasa dia berutang pada Kirche karena Kirche membantunya membalas dendam saat itu."Aku akan menjadi temanmu." kalimat inilah alasan mengapa Tabitha merasa dia berutang pada Kirche.Dengan kata lain, itu adalah bukti persahabatan mereka. Jadi...bila Kirche dihina orang lain, dia akan menggantikan bertarung untuknya, dan dia melihat ini sebagai bukti persahabatan mereka.Apa yang diutangkan, harus dikembalikan.Tapi Tabitha tak mencoba menjelaskannya lebih lanjut, dan hanya sedikit mengangguk."Huaaaaa~" Kirche menguap. "Meminum anggur dan ngobrol lama-lama membuatlku mengantuk.""Begitukah, bagus sekali, langsung balik saja." jawab Louise dengan nada dingin."Adalah sangat bermasalah kalau kembali~ Aku ingin tinggal disini.""Bagaimana dengan uangnya?""Terima kasih untuk traktirannya.""Apa katamu! Kau pikir berapa sih harga hidangan ini!""Aku akan mengatakannya pada semua orang di akademi..."Louise terdiam dan menundukkan kepalanya.Setelahnya, Kirche menarik Tabitha dan bangkit, naik ke daerah kamar tamu di lantai dua dan meninggalkan Montmorency, Guiche dan saito yang masih duduk disitu."Wa-wanita ituuuu! Sa-satu hari nanti, aku pasti akan membunuhnya..." Louise begitu merah sehingga sekujur tubunya terus bergetar.Guiche menarik-narik bagian bawah pakaian Montmorency."Apa yang kau lakukan?""A-ayo tinggal disini untuk hari ini?""...Ok, tapi mesti ada dua kasur!""Kau akan membayar tagihan kalian sendiri, kan!? Louise menatap tajam mereka berdua."Err, kami tak punya uang...Jangan begitu perhitungan, karena kau telah membayar untuk mereka berdua, bagaiaman kalau kau juga membayari kami.""Apaan yang kau katakan!"Begitu Louise meneriaki mereka berdua, Saito ingat bahwa dia telah memberikan uangnya pada mereka dulu, dan dia belum mendengar kelanjutannya. pertama-tama, mereka bilang mereka perlu uang untuk membuat penawar ramuan cinta, jadi dia memberikan sekitar 500 écu emas dulu. Dia belum mendapatkan uangnya kembali hingga kini."Hei Guiche.""Ada apa?""Aku memberikan kalian sedikit uang, kan? Cepatlah kembalikan."Guiche dan Montmorency memasang wajah aneh dan saling memandang.Saito mulai berkeringat dingin di punggung."Hei...Jangan bilang padaku kalian sudah menghabiskannya?""Tidak...Tidak, kami tidak begitu...hanya saja...""Apa?""Erm, begini nih....Karena keperluan untuk membuat obat..." Montmorency tersenyum seakan mencoba melembutkan hati saito."jadi kalian menghabiskannya, kan?""Aku akan mengembalikan uangnya padamu dalam waktu dekat!""Seberapa lama itu! Dasar Ningrat miskin!""Siapa yang kau bilang miskin!"Lalu, tepat ketika mereka akan bertengkar...Para ningrat yang tadi diurus Tabitha datang ke toko sekali lagi. Mereka menyadari Guiche dan Montmorency, dan mendekat."Apa yang kalian inginkan?" Guichedan Montmorency sangat terkejut, dan jlai gemetaran setelahnya.Ningrat berusia pertengahan diantara mereka berbicara."Kemana para wanita yang tadi pergi?""Mereka, mereka naik tangga untuk beristirahat." jawab Montmorency sambil gemetaran.Para petugas militer saling memandang."Mereka kabur?""Sepertinya begitu.""Apa- pakag aku boleh tahu apa masalahnya?" selidik Guiche.Pihak yang lain memberikan senyum gembira dan menjawab."Tidak, tidak begitu banyak. Kami hanya berpikir bahwa kai akan berterima kasih pada mereka, terkait apayang terjadi tadi. Tapi, jika hanya ada sebagian dari kami, kami mungkin tak bisa berterimakasih secara patut pada mereka...Jadi, mohon lihatlah, dengan begini, kami membawa seluruh skuad kesini."Louise dkk terkejut, dan buru-buru melihat keluar toko.Karena ada beberapa ratus prajurit yang berbaris diluar, pemandangan itu membuat mereka begitu ketakutan sehingga mereka hampir jatuh dari kursi."Semuanya perhatianAltuxBerbaris pada Kanan kalian!!"Setelah petugas militer yang berdiri di sebelah skuad meneriakkan perintah secara keras, seluruh prajurit langsung menyesuaikan kelompoknya, senjata di tengan mereka mengeluarkan suara yang terdengar jelas."Aku akan membawa mereka kebawah sekarang!" Guiche bangkit, dan hendak kabur ke lantai dua."Tidak, tidak, tidak, jika kalian juga kabur, kami akan sangat terganggu. tak masalah, tak apa-apa bagi kawan mereka untuk menerima terima kasih kami juga. Karena, entah itu membalas dendam untuk seorang teman, atau menerima pembalasan untuk seorang teman...Itu adalah sebagian dari keistimewaan dari menjadi teman, dan juga sebuah tugas. Saito dkk buru-buru mencoba kabur, tapi mereka dnegan mudah ditangkap petugas-petugas militer. Keempatnya diseret keluar toko bersama-sama."kalian seharusnya merupakan penyihir jagoan juga! Karena kalian teman kedua wanita itu! Jadi kami mohon, jangan malu-malu, kalian mesti menunjukkan kekuatan kalian pada kami!""Tolong! kami bukan teman mereka!"Jeritan keempatnya bergema di langit malam.2 jam kemudian.Pada akhirnya, Kirche yang belum cukup minum, turun ke toko...dan dia menemukan Louise, Montmorency, Guiche dan saito berbaring di meja, setegah mati.Mereka dihajar orang-orang militer tadi, dan setengah mati. Louise sudah terlalu banyak menggunakan sihir "Ledakan" dalam beberapa hari ini, dan itu memakan seluruh kekuatan hatinya. Saito, sebagaimana biasa, meninggalkan Derflinger di kamar kecil di kolong atap, dan tiada gunanya. Guiche, ditundukkan dalam dua detik saja. Karena Montmorency benci pertarungan, dia mendeklarasikan netralitas, tapi pihak lain tak menerimanya.Kirche, yang tidak tahu apa-apa soal apa yang terjadi, menggaruk kepalanya, kebingungan."Kalian semua...Apa yang terjadi?"Pihak yang terbaring di meja menggunakan suara penuh benci untuk menjawab serentak."Kau berutang satu pada kami!"

Bab 3: Hari libur Tristania[edit]

Bagian 1[edit]

Lonceng Kuil Saint Rémy berdentang menandakan jam 11 tiba.

Saito tengah berlari menuju plaza pusat di jalan De Chicton.

Alasa dia lari adalah...,itu karena dia terlambat untuk sebuah kencan. Dia menyikut menyibak melalui massa untuk berjalan, dan hampir saja tak sampai tepat waktu di plaza pusat, dimana disana dia melihat orang yang menungguinya tengah merajuk.

"H-hei."

Melihat Saito, Louise, yang tengah duduk di pancuran, menggembungkan pipinya.

"Ada apa denganmu?! Kau telat!"

"Tidak...aku dicegat scarron saat hendak berangkat."

"Abaikan saja dia."

"Tak bisa, dia majikanku saat ini..."

Sambil menekan, Louise menarik Saito. aah, seharusnya aku menyelamatkan diri dan tak datang ke kencan ini bila dia marah-marah seperti ini.

Louise berdandan untuk kesempatan ini. dia malu-malu, karena meski dia terlihat cantik, pakaiannya tetap tak pantas bagi seorang ningrat...Dia berpakaian dalam trend terkini, yang terkenal diantara gadis-gadis kota __beret hitam dan baju hitam dengan garis leher yang tegas. Kalung yang diberikan Saito tergantung di lehernya. Dia nemar-benar terlihat seperti gadis kota dalam pakaian ini. Sebagaimana kita duga dari gadis dalam masa puber, sulit bagi Louise untuk mendapatkan baju yang cocok di kota.


Aaah, dia benar-benar memikat bila diam. Dengan lengan terlipat dan dagu terangkat, sang gadis memandangi jalan penuh fokus. Rambur pink blondenya berkilau lemah dibawah cahaya sang surya. Mata hazel besarnya merupakan tanda nyata bahwa dia dari dunia lain. Aah, Tuan tercintanya terlihat sangat manis sekarang, tengah menggerak-gerakkan kakinya tanda tak sabar.

"Hai, ayo pergi! Biar sampai sebelum acara dimulai." kata Louise yang tetap terdengar sedikit malu-malu.

Saito mengangguk dan terus berjalan namun Louise tetap berdiri di tempatnya.

"Ada apa sih?"

"Muu! Dampingi aku dengan benar dong!"

"Mendampingi?"

"Benar. Hei!"

Louise langsung menarik lengan Saito.

"Kuh?" Dia terlihat kaget dengan terangkainya lengan.

Berpegangan Tangan! Hal ini membuat Saito bertingkah aneh. Walau Louise biasa menggunakan tangannya sebagai bantalan tidur akhir-akhir ini, dia tetap tak terbiasa berjalan sambil berpegangan tangan di tengah-tengah kota. Saito merasa tegang. Lalu Louise menginjak kakinya.

"A-Apa?!"

"Kau harus memimpin jalan selama Hari Void kita. Mengapa kau tak mengatakan sesuatupun? Uuuuh!" Louise mengamuk.

"Ka-karena ini hari Void kita, bagaimana kalau kita ke te-teater?"

Louise menggelengkan kepala sambil mendesah lalu menarik lengan saito dan menyeretnya.

"Muu! Pendamping payah! Lewat sini!"

Dan begitulah yang terjadi, berjalan dengan cara dimana tak jelas siapa memimpin siapa, pasangan ini menyusuri jalan-jalan Tristain, di bawah terik sinar matahari musim panas.


Lalu, mengapa mereka ingin menonton pertunjukan?

Hari ini adalah Hari Rag dan penginapan Tutup. Louise mengatakan dia ingin pergi menonton pertunjukan pagi-pagi sekali saat tengah sarapan (meski sebenarnya ini makan malam, karena mereka tidur telat malam kemarin) dengan Saito di loteng.

"Pertunjukan?"

"Ya benar." gumam Louise yang entah kenapa mali.

"Kau suka hal-hal semacam pertunjukan?"

"Aku tak suka, tapi aku ingin melihat salah satu."

"Menontonnya?."

"Louise mengangguk. Bila dipikir baik-baik, Louise tumbuh di lingkungan yang berbeda. Louise dididik keras di rumah sehinggadia mungkin tak pernah ke teater kota.

Saito tiba-tiba merasa kasihan pada Louise saat memikirkan ini.

"Baiklah, tapi mengapa sekarang?"

"Jessica bilang hari ini ada pertunjukan yang sangat terkenal dipentaskan."

Louise tetap seorang gadis, yang tertarik hal-hal yang tengah ngetrend, sama seperti yang lain

Dan.

Louise bersikeras hal itu harus dilakukan dengan kencan untuk alasan tertentu.

"Rasanya tak benar hanya pergi kesana. Rasa itu penting! Karenanya ayo ketemuan!"

"Ketemuan?"

"Mau kan? Ketemuannya di air mancur di plaza pusat."

"Repot."

"Tentu tidak. makanya, ayo ke Teater Tanaijiiru Royal."

“Fuu~n.”

Jadilah mereka ketemuan.

Teater Royal Tanaijiiru benar-benar megah, sebuah teater agung dari pahatan nan indah. Kolom-kolom yang berbaris membuatnya bagaikan kuil.

Para lelaki dan wanita yang berpakaian indah berkumpul di sana.

Saito juga mengikuti mereka.

Setelah membeli tiket yang ternyata murah (mengejutkan!!!) dari loket, saito menuju kursi penonton. Sebuah tirai tebal diturunkan di panggung, membuat keadaan sekitar merinding...Saito memang bergairah oleh suasana yang misterius ini.

Kursi-kursi ditandai angka-angka yang juga tertulis pada tiket, menunjukkan dimana orang seharusnya duduk, namun karena saking bersemangatnya, Saito duduk di kursi yang berbeda tanpa menyadarinya.

saat dia dan Louise menunggu pertunjukan dimulai, seorang ningrat tampan berusia pertengahan dengan rambut perak nan indah menepuk pundaknya.

“Hai kawan.”

“Y-ya?”

“Ini kursi yang kupesan sejak lama. Bukankah kursimu beda?”

Dengan itu, nomor kursi dicocokkan. Memang sebagaimana yang dikatakan orang tadi. Dengan agak enggan, Saito, sambil dibujuk Louise, berdiri.

“Muu! Kau memalukan!” keluh Louise sambil menggelengkan kepala. Sambil mencari kursinya, saito menanyai Louise.

“Eh, pertunjukannya apa ya tadi?”

“ ...hari libur Tristania.”

“Gimana alurnya?”

“Putri sebuah negri dan pangeran negeri lain datang ke Tristania secara diam-diam. Psangan ini saling bertemu sambil menyembunyikan identitas mereka, namun begitu mereka jatuh cinta...mereka menyingkap identitas masing-masing dan berpisah. Sebuah kisah sedih.”

Cerita semacam itu sangat terkenal bagi gadis-gadis remaja. Dan memang teater disesaki gadis-gadis remaja.

Setelah dia bersusah payah menemukan kursinya, tirai terangkat. Pertunjukan dimulai. Musik dimainkan dan...terdengar indah dalam teater.

“Luar biasa.”

Louise menonton panggung dengan perhatian penuh.

Saito, yang menonton pertunjukan Helkeginia untuk pertamakalinya, awalnya memperhatikan penuh perhatian juga, Namun...dia segera bosan.

Skenarionya tak buruk – pikirnya. Tapi para pemainnya tak ahli. Meski Saito tak terlalu tertarik pada pertunjukan, dia pernah menonton berbagai movie di bumi dan beberapa pertunjukan sekolah.

Dibandingkan dengan itu...orang-orang ini pemain kelas teri. Terkadang suara mereka fals dan adegan menyanyi dilakukan dengan tak bernada. Apa ini benar-benar opera raya?

Namun Louise tetap tersentuh secara mendalam olehnya, sampai tertawa ‘ha!’ dan mendesah lemah. waa, seharusnya aku menikmati pertunjukan seperti mereka, pikir Saito.

Namun...pertunjukan tak menunjukkan kemajuan. Dia menerawangi, memperhatikan para penonton sekelilingnya dan menguap. Tampaknya ada beberapa wajah terkenal disana. Akan tetapi, hanya gadis-gadis remaja menonton para pemain dengan penuh fokus. Sepertinya ada hal-hal yang tak berubah meski dunianya berbeda.

Saito mulai mengantuk saat pertunjukan

Karena tak mampu lagi menahannya, dia mulai mendengkur perlahan.

  Louise melemparkan pandangan marah pada Saito yang tertidur,

A-Apa?! Dia ini...meski ini pertunjukan istimewa! Sia-sia Aku mengundangnya!

Ini adalah sebuah kencan bagi Louise. Seharusnya ini kencan pertama yang akan terus terkenang. Makanya dia begitu ribut soal-hal-hal kecil seperti cara bertemu dsb, tapi si familiar ini tak menyadarinya.

Terlebih lagi, dia tak membimbingku!

Dia tak tahu diaman teaternya!

Aku yang harusmembeli tiket!

Lebih jauh lagi, dia salah kursi, itu sangat memalukan!

Lalu...dia tertidur!

Meski dia memilih Saito sebagai teman kencan pertamanya yang telah begitu lama dinanti, familiar ini malas-malasan saat menjadi teman kencan tuannya!

Dan Saito memilih untuk acuh tak acuh! Tak Ter-Am-Pu-Ni! Louise menahan perasaan yang ingin ditumpahkannya dan menatap tajam Saito, yang telah memulai perjalanannya ke alam mimpi.

tapi..pertunjukannya sangat lama...dan Louise juga makin lelah seiring waktu. Lalu kantuk menguasanya dan dia perlahan menutup matanya.

Memang tak mungkin menahannya...dan dia menyenderkan kepalanya pada bahu saito...dia mulai menonton pertunjukan lain di alam mimpi...Louise mulai mendayung sebuah perahu.


Ada pengunjung lain yang juga tak menonton. Dia adalah bangsawan umur pertengahan yang kursinya diambil Saito secara salah tadi. Dia duduk di sebelahs eorang pedagang dan tengah mengadakan pembicaraan rahasia dengannya.

Isi pembicaran ini...adalah hal-hal yang mereka dengar dari Jenderal-jenderal Tristain. Rahasia militer Tristain yang sangat tertutup adalah objek gosip ini.

“Pembangunan armada?” tanya sang pedagang.

“Paling tidak makan waktu setengah tahun.” jawab sang bangsawan.

Ada lebih banyak bisikan selama pembicaraan...sebagai imbalan informasi rahasia terkait kerajaan. si pedagang memberikan sebuah kantong kecil pada si bangsawan.

Si pedagang berbisik, “Tapi...mengapa kita bertemu di teater?”

“Apa? Untuk mengadakan pembicaraan rahasia di keramaian. Sudah biasa bila kita membisikkan sebuah cerita disini. Karenanya- sebuah teater. Jika kau melakukannya di sebuah ruangan sempit, orang-orang akan curiga kau merencanakan suatu makar.”

“Haha. Saya yakin Yang Mulia akan sangat tertarik pada informasi Tuah. Dia bahkan mungkin memberimu sebuah medali jika kau datang ke atas awan.”

“Orang Albion ini berhati dingin.”

“Apa? Seluruh daratan ini akan dipanggil dengan nama itu, cepat atau lambat. Terima kasih untuk kerjasamanya.”

Setelah mengatakan ini, si pedagang mencoba berdiri. Sang Bangsawan menghentikannya.

“Apa lagi?”

“Mengapa kau tak berlaku lebih tenang? Tunggu hingga menit terakhir pertunjukan.”

Lantai batu Istana Kerajaan Tristain menggemakan suara derap sepatu begitu seorang ksatria wanita muda berjalan. Rambutnya blonde pendek dan matanya biru cerah. Sebuah baju rantai pelindung dengan bagian lapisan logam melingkari tubuhnya, sebagai tambahan dari jubah dengan mantel lili bersenjata yang dilukis pada jubah tersebut.

Namun tiada tongkat di pinggangnya...yang ada malah sebuah pedang yang panjang dan tipis. datang dan pergi, para penjaga yang merupakan bangsawan dan penyihir terhenti dan menatapnya heran, karena tak biasa melihat pedang di Istana Kerajaan.

Para penyihir yang melihat pedang di pinggangnya dan mal rantai yang dia pakai mulai berbisik sesama mereka.

“Hah! Wanita jelata!”

“Dia pasti mendapatkan izin luar biasa untuk berjalan di Istana dengan pakaian seperti itu, oh...zaman sudah berubah!”

“Apalagi wanita ini Protestan! Memberikan gelar Chevalier pada serangga yang sangat berbahaya...aku malu sekali pada paduka muda kita!”

Meski tatapan dan suara-suara tak enak menggema, wanita muda itu terus berjalan lurus, tanpa memandang mereka sedikitpun. Di akhir lorong...dia menuju kantor Henrietta. Dia diberhentikan oleh seorang anggota penyihir penjaga di pintu yang menyandang sabit kerajaan di dadanya, yang tak memperbolehkannya mengunjungi Paduka.

“Paduka tengah berada dalam sebuah konferensi saat ini. Datang lagi nanti.”

Penyihir penjaga mengatakannya dengan dingin, sama sekali tak berusaha menyembunyikan ketaksukaannya pada ksatria wanita tersebut.

“Mohon bilang padanya bahwa Agnes datang. Aku diizinkan mengunjungi Paduka setiap saat.”

Sang Penjaga menatapnya tajam lalu membuka pintu dan menghilang kedalam ruangan. Setelah itu, dia datang kembali dan mengizinkan Agnes masuk ruangan.

Begitu Agnes memasuki ruangan, Henrietta tengah berdiskusi dengan Richmon dari Pengadilan Tinggi. Apa itu Pengadilan Tinggi? Pengadilan tinggi merupakan Badan yang mengatur administrasi keadilan kerajaan. Kapanpun kelas yang diistimewakan tak setuju...Keputusan menyela masuk. Mereka memeriksa sastra, opera atau pertunjukan dalam teater, atau membimbing pasar rakyat jelata dan seringkali menangani konflik didalam administrasi pemerintahan monarki provinsi.

Henrietta yang menyadari kehadiran Agnes, tersenyum sampai ke ujung bibir, dan mengatakan pada Richmon agar diskusi ditunda.

“Tapi Paduka...Menaikkan pajak lagi akan membuat ketidakpuasan diantara rakyat jelata membesar. Ini akan menciptakan kekacauan, Negara lain mungkin akan memanfaatkan situasi ini untuk menekan kita.”

“Ini darurat. Meski rakyat kita kekurangan...” “Pembangunan 50 kapal perang! 20.000 tentara bayaran! Mempersenjatai 15.000 tentara ningrat! Ransum untuk petugas, orang dan kekuatan sekutu! darimana kau bisa dapat uang sebegitu banyak? Membangun sebuah tentara penyerbu dst...Mohon dilupakan saja.”

“Kini, Prioritas nasional Tristain adalah Penggulingan Albion.”

“Tapi Paduka, meski mantan raja-mantan raja dari Halkeginia bersatu dan menyerang Albion berulang kali...mereka selalu dikalahkan. Pergi berperang menyebrangi langit memiliki lebih banyak kesulitan daripada yang terbayangkan.” ucap Richmon, dengan bahasa tubuh yang mengisyaratkan “tak mungkin”.

“Aku tahu. namun, aku juga tahu bahwa Menteri keuangan melaporkan bahwa “Pengadaan biaya perang ini tak mustahil.”. Apa kau tak puas kau takkan bisa menikmati kemewahanmu yang sekarang? Aku ingin tahu, seberapa banyak sih yang kau tabung sejak kau mulai bekerja?” kata Henrietta secara sarkastik, sambil memandang pakaian indah yang dikenakan Richmon.

“Aku sendiri melarang ksatria penjaga kerajaan untuk mengenakan rantai perak yang menghiasi cane sebagai contoh bagi yang lain. Kita sekarang bersatu Richmon. Tiada lagi ningrat, jelata atau anggota keluarga kerajaan.”

Henrietta menatap tegas pada Richmon. Richmon menundukkan kepalanya.

“Kau dapat aku dengan ini. Aku tahu Paduka. Namun, Dewan Pengadilan Tinggi terdiri dari banyak orang dan tak mungkin mereka serempak setuju dengan perang ini. Aku ingin kau menyadarinya sebagai sebuah kenyataan.”

“Kita akan mencapai kesepakatan, dengan usaha dari kardinal dan saya sendiri. Saya percaya kita dapat membujuk dewan.”

Richmon memandangi Henrietta yang mengucapkan ini dengan mata nan tajam.

“..Ada yang salah?”

“Tidak..Aku hanya mengagumi.”

“Mengagumi?”

“Itu benar. Richmon ini telah melayani Philip si hebat selama 10 tahun, 30 tahun lalu. Saat kau lahir, aku tahu lebih banyak mengenai Yang Mulaia dibandingkan Yang Mulia sendiri.”

“Oh, itu.”

“Meski mungkin  kau tak ingat, Raja dan Ratu benar-benar senang dengan kelahiranmu! Meski menakutkan untuk mengangkat tubuh kecilmu dengan lenganku, aku merasa terhormat untuk mengayunkan dan memandikan Paduka sekali-dua kali.”

“Ibuku mengatakan kau mekukannya dengan baik.” kata Henrietta sambil tersenyum.

“Kau terlalu baik. Baru saja aku berkata kasar soal tak memikirkan ibu Pertiwi.”

“Kau seorang Pahlawan sejati, aku tahu itu dengan sangat baik.”

“Ya sudah, aku takkan mengatakan apa-apa lagi. Meski dahulu Yang Mulia adalah seorang cengeng, kini dia telah menjadi wanita sempurna. Tiada yang perlu aku sesali.”

“Aku masih seorang yang cengeng. Mohon pinjamkan kekuatanmu untuk Ibu Pertiwi, Richmon.”

Richmon membungkuk, meminta izin untuk meninggalkan ruangan. Henrietta mengangguk.

Agnes yang berdiri di sebelah pintu, menonton Richmon yang pergi.

Akhirnya Agnes menghadap Henrietta, yang duduk di kursi, dan berlutut sambil menundukkan kepala.

“Selamat datang, Agnes Chevalier de Milan.”

Sambil melihat ke langit-langit, Henrietta bertanya “Apa kau sudah menyelesaikan penyelidikan?”

“Ya.”

Agnes mengeluarkan surat dari dadanya dan menyerahkannya pada Henrietta. Sang Ratu mengambilnya dan membaca isinya. Ini adalah...Ini adalah...Henrietta memerintahkan Ksatria wanita ini untuk menyelidiki kejadian malam tak terduga itu. Malam dimana seorang penculik dari Albion...Wales yang dihidupkan kembali, menyusup masuk Istana Kerjaan, sesuai rencana tertulis seseorang.

“Jadi sang penunjuk jalan tak dibimbing sendiri...begitu kan?”

“Benar sekali, dia dibantu orang dalam, jalinan ditarik ke atas, dan dia bisa masuk kedalam Istana kerajaan tanpa disadari bagai dia seorang diri.”

“Untuk bersembunyi, begitu kelompok yang mencoba membujukku datang.” kata Henrietta dengan mata yang berkaca-kaca.

“Ya. Hanya dalam 5 menit, Yang Mulia.”

“Begitu ketahuan, dia bersikeras ini kebetulan semata. Namun, dia tak bisa menjelaskan sumber uang yang diterimanya...”

Orang yang namanya tertulis disana, adalah salah satu yang dia tunjuk sendiri, dan dikiranya akan setia, namun disuap sejumlah...

“70.000 écu...Emas sejumlah ini lebih tinggi daei seluruh pensiunnya.”

“Begitulah sebagaimana yang kau katakan.”

Sambil berlutut, Agnes menyetujui perkataan ratu.

“Meski kita bisa menangkap mata-mata yang bekerja demi uang itu...Jumlah yang menyebrang ke sisi Albion kini meningkat.”

“Karyawan itu...”

“Aku tak bisa menghubunginya kemarin. Mungkin, dia merasa dia sudah ketahuan.”

“Henrietta mendesah.”

“Ular di dada.”

“Para bangsawan Reconquista mencapai dan mendengar jauh melebihi batas negara.”

“Kekuatan uang. Seorang lelaki dengan mimpinya berubah jadi lelaki dengan nafsu pada emas. Untuk uang...dia berusaha menjualku dan negara.”

Agnes terdiam. Henrietta menaruh tangannya pada bahu Agnes dengan perlahan.

“Kau melakukannya dengan baik. Terima kasih.”

Agnes melihat sabit di jubahnya. Sabit...lili, perlambang keluarga Kerajaan.

“Aku mendedikasikan diriku pada Yang Mulia. Yang Mulia telah memberi saya nama keluarga dan Posisi.”

“Aku tak bisa percaya pada opemakai sihir lagi. Kecuali beberapa teman lama...” ucap Henrietta dengan nada sedih.

“Di Tarbes, bangsawan mirip dengan tentara. Karenanya, inilah yang membuatmu seorang ningrat sejati.”

“Kau terlalu baik.”

“Henrietta menggelengkan kepalanya perlahan.

“Agnes, Kau...bersusah payah di dewan kerajaan.”

“Aku lahir sebagaimana aku dilahirkan. Dan ejekan-ejekan itu tak berpengaruh.”

“Meski kau bukan seorang ningrat sejak lahir, kau seorang ningrat dengan jiwamu. betapa bodohnya mereka.”

Agnes menggumamkan sebuah pertanyaan, “Dan bagaimana tindakanmu terhadap kasus orang itu?”

“Tak cukup bukti. Sulit untuk membuktikan sebuah kejahatan.”

“Lalu...”Agnes melanjutkannya dengan suara rendah.

“Aku hanyalah seorang Ratu yang baru diangkat...Aku akan menyerahkan semuanyapada ‘Korps Musketeer’.”

Setelah pengkhianatan komandan Wardes, Perang Tarbes, dan pemusnahan Korps Griffon yang baru-baru saja terjadi, Garda Sihir yang seharusnya melindungi Kerajaan runtuh. Korps Griffon kini dibawah komando Korps Manticore, karenanya hanya satu unit yang masih bertugas.

Untuk mengatasi kekurangan penjaga, Henrietta mendirikan ‘Korps Musketeer’ yang dipimpin Agnes. Sebagaimana namanya, ia menggunakan kekuatan musket dan pedang, bukan sihir. Karena kekurangan penyihir, anggotanya adalah para jelata...demi keselamatan pribadi Henrietta, yang merupakan wanita, Garda ini seluruhnya terdiri dari Wanita.

Karena ada kesulitan komunikasi bila seorang komandan buka aristokrat, Agnes dihadiahi sebuah Gelar bangsawan karena pengecualian. Dia menjadi sorang Chevalier dan sebuah nama keluarga buatan diberikan.

Pengecualian Henrietta membuat kekuatan militer nasional menngkat karena jumlah para jelata yang bergabung. Meski golongan ningrat terhenak oleh ide ini, Henrietta menekannya. Meski kelihatannya seperti bagaimana mereka bersekutu dengan Germania, sebenarnya ini berbeda. Henrietta, berkat penculikan yang menghancurkan kepercayaannya begitu dalam...tak bisa mempercayai penyihir lagi.

“kami adalah sebagaimana yang dikatakan Dewan Kerajaan – terlahir tanpa kebaikan. Memang mustahil untuk menjadi seorang ningrat.”

Henrietta menggelengkan kepalanya. :Siapa yang bilang kau bukan seorang ningrat? kau adalah komandan Korps Ksatria garda Imperial yang aku bentuk sendiri. Komandan garda Imperial berbeda dengan yang lainnya, karena posisimu hanya bisa ditandingi seorang marshal lapangan.”

Agnes membungkuk dalam-dalam,

“Banggalah, Berjalan tegaklah. “Aku seorang aristokrat’ Bilang itu pada dirimu sendiri di depan cermin. Jika kau melakukannya, kau pada akihirnya akan memperoleh kebaikan itu.”

“Sebagaimana kata anda.”

“Kau terus saja ikuti rencana awal kita dan awasi aksi orang itu. Jika kita benar, si penjahat pasti akan membuka dirinya sendiri besok.”

“Kita takkan membiarkan mereka pergi bebas?”

“tentu. Aku takkan memaafkan siapapaun yang terkait kejadian malam itu...Negara...orang..Siapapaun.”

Lalu Agnes membungkuk dalam-dalam dan meninggalkan ruangan.

Dia sangat berterimakasih pada Henrietta. Bukan karena posisi atau nama keluarga...Bukan itu, tapi karena dia diberikan kesempatan untuk membalas dendam.

Bagian 2[edit]

Saito tengah terbaring di lantai. Sedang menindih diatasnya Louise yang berdiri bernapas terengah-engah. Kita bewrada di dapur penginapan ‘Charming Fairies’. Penginapan baru saja dibuka, tapi didalam sudah ramai. Louise, dengan lengan tersilang, memandang ke bawah pada Saito.

“Kakak, Ceritakan padaku.”

Louise tetap memanggilnya kakak. Di sini, Saito berpura-pura menjadi kakak Louise. Tiada yang mempercayainya, toh semua orang di penginapan sudah tahu Louise seorang ningrat, namun Louise terus memanggilnya Kakak. Benar-benar kepala batu.

“Apa, adikku?” tanya Saito dalam nada tertahan dan sesak karena hajaran keras Louise.

“Apa yang kau lakukan sebelum ku memanggilny?”

“Mencuci piring.”

“Jangan berdusta. Kau melihat yang lain.”

“Sedikit”

“itu tidak sedikit namanya.”

Louise menunjuk ke dalam penginapan

“Kau memandangi paha gadis itu, dada gadis itu, dan pantat gadis itu...”

Lalu, dengan marah, Louise menunjuk Jessica.

“Kau tengah memandangi lembah dada Jessica juga.”

“Sedikit.”

“Kakak, Hei...”

Louise menginjak wajah Saito dengan kakinya.

“Ya?”

“Bukankah akibatnya buruk bagimu bila kau tak memperhatikanku? Bukankah Tuanmu mengumpulkan info dari pemabuk-pemabuk? Jika tuanmu yang manis ini dalam keadaan bahaya, kau harus melindunginya, kan?”

“Maafkan aku.”

“Maaf saja tidak cukup, kau hanya memperhatikanku dua kali. Aku menghitungnya lho. Kau melihat gadis ini dan itu empat kali. Kau melihat belahan Jessica 12 kali. Kau membuang pandangan dari tuanmu, mengacuhkannya, Aku tak bisa menoleransinya!”

“Hei, aku tak memandangi mereka!”

Punten. Aku melihat Louise setiap hari. Wajah tidurnya pun aku tonton. Itu adalah cinta. Aah, tuan memang manis. Namun, aku ingin kau memperbolehkanku memandangi gadis lainnya. Ini sudah sifat lelaki. Kau tak bisa melawannya meski membuang pandangan. Tiada gunanya menjadi marah...Saito salah memahami amarah Louise.

Tapi, dia takkan mengatakannya keras-keras. Kini, Saito sudah mempelajari cara menjinakkan Louise.

“Bagaimana kalau saat kau melihat yang lain, aku diserang orang aneh? Apa kau paham? Apa kau begitu inginnya membahayakan aku?”

“Tidak...Bukankah semuanya akan baik-baik saja? Ugh!”

“Mengapa?”

“Sebenarnya tuan tidak begitu menarik. Tubuh kecil, popularitasnya kecil juga.” kata Saito, mengeluarkana isi pikirannya. Louise mengembangkan tangannya, mendesahkan “Fuuh’, dan memulai pemanasan untuk olahraga fisik berikutnya.

“Benarkah? Begitu ya? Anjing ini hanya bisa diajarkan secara fisik. Nnshotto.”

Louise kembali memulai olahraga fisiknya.

Selama Louise sedang pemanasan, Saito diam-diam menyelinap keluar pintu belakang. Dia sudah cukup dengan hukuman yang tadi. 10 menit. Dia perlu melarikan diri dan beristirahat. Saito mencengkram Derflinger yang terbungkus kain. Karena insiden-inseden sebelumnya, kini dia selalu membawa Derflinger. Dia memutuskan membawanya, meski enggan, karena agak menyusahkan dia. Begitu dia membuka pintu belakang dan melangkah ke jala, dia melihat seorang wanita berkerudung berlari dalam langkah kecil-kecil menuju arahnya.

Don! Wanita ini bertabrakan dengan Saito, yang baru saja membuka pintu, dan jatuh ke tanah. Ini membuat Saito terkejut.

“M-Maaf..Apa kau tak apa-apa?”

Wanita ini menyembunyikan wajah dengan kerudungnya dan berkata dengan nada panik, “...itu, apakah penginapan “Charming Fairies” di sekitar sini?”

‘Eh? Itu disini...”

Saat mengucapkan itu, saito menyadari suara wanita itu sepertinya ia kenal. Wanita itupun menyadari hal yang sama. Diam-diam, dia menyingkap ujung kerudungnya dan mencuri pandang pada wajah Saito.

“Putri!”

“Shh!” katanya, menutup mulut Saito. Henrietta yang terbungkus dalam kerudung abu-abbu, menyembunyikan dirinya di belakang Saito agar tak terlihat dari Jalan Utama.

“Cari disana!”

“Mungkin dia menuju Jalan Bourdonne!”

Dari Jalan utama, terdengar suara-suara kasar para prajurit. Henrietta memasang kerudungnya lagi.

“...Apakah ada tempat dimana ku bisa bersembunyi?”

Henrietta tampak begitu kecil.

“Disini ada loteng tempat kami tinggal...”

“Mohon tunjukkan jalan ke sana.”


“Saito diam-diam membawa Henrietta ke loteng. Henrietta duduk di kasur dan menghembuskan napas kuat-kuat.

“...Aman untuk saat ini.”

“Ini tak aman. Apa yang tadi itu?”

“Aku baru saja menyelinap keluar selama semenit...dan kekacauan semacam itu terjadi.”

“Huh? Bukankah anda diculik kemarin-kemarin? Pantas saja terjadi keributan!”

Henrietta terdiam,

“Putri, bukankah kau sekarang memimpin? Dan masih saja bertindak semau hati>”

“Bukan begitu. Ini karena ada urusan penting...Dan kudengar dari lkaporan bahwa Louise ada disini...Aku sendang bisa bertemu langsung denganmu.”

“OK, OK, kalau begitu akan kupanggil Louise.”

Louise yang menyadari setelahnya bahwa Saito menghilang pasti akan meledak, tapi mungkin ini bisa melembutkannya. Sikap Louise mudah dikira-kira seperti biasa.

“Jangan.”

Henrietta menghentikan Saito.

“M-mengapa?”

“Aku tak ingin berbicara dengan Louise.”

“Apa?”

“Aku tak ingin mengecewakan anak itu.”

saito lalu duduk di kursi dan menatap Henrietta.

“Lalu, untuk apa lagi? Menyelinap keluar benteng tanpa izin bukanlah hal yang baik untuk dilakukan.”

Lalu Saito sadar akan sesuatu.

“Tapi, jika kau tak kesini untuk bertemu Louise, lalu untuk apa?”

“Aku datang untuk meminjam kekuatanmu.”

“S-Saya?”

“Jika kau setuju, aku ingin kau menjagaku hingga esok.”

“”M-mengapa saya? Bukankah anda Sang Ratu? Anda punya banyak tentara dan penyihir untuk menjaga anda...”

“Untuk hari ini dan esok, aku ingin bercampur dengan rakyat jelata. Dan tentu saja aku tak ingin siapapun dari Istana tahu. jadi...”

“Apa?”

“Aku hanya mempercayaimu.”

“Itu...tak punyakah anda orang lain?”

“Ya. Aku tahu kau orang baik, dan aku sendiri, kesepian di Istana. Banyak yang tak menyukaiku sebagai seorang ratu muda...”

Dan setelah keenganan sesaat, menambahkan,

“...dan sebagai seorang pengkhianat.”

Saito teringat Wardes . Meminta Louise, yang merupakan teman terbaiknya, untuk menempuh perjalanan incognito – mungkin ada sesuatu yang bahkan tak bisa dibicarakan dengan Louise.

“Saya mengerti. Karena ini permintaan Putri, saya akan melakukannya, tapi...”

Saito lalu menatap wajah Henrietta.

“Ini berbahaya, kan?”

Henrietta menundukkan pandangannya.

“ya.”

“Benarkah? Kalau begitu, Tuan putri jangan bilang tentang urusan menempuh bahaya inipada Louise. Berjanjilah pada Saya.”

“Baiklah.”

Henrietta mengangguk.

“Ok, semua sudah jelas, tapi...”

“Kalau begitu, ayo pergi. Kita tak bisa disini terus.”

“Kemana?”

“Kita takkan meninggalkan kota. Harap tenang. Kini, aku ingin ganti pakaian...”

Henrietta memandangi pakaian di bawah jubahnya. Pakaian putih, bersih dan elehan yang tersembunyi dibalik jubah adalah terlalu mencolok. Bahkan seorang ningrat pun takkan mengeluh akan hal ini.

“Ini adalah pakaian Louise tapi...Dia membelinya untuk membuatnya tampak seperti rakyat jelata.”

“Mohon pinjamkan padaku.”

Saito menarik kotak dibawah kasur dan mengeluarkan pakaian Louise. Henrietta lalu membalikkan badan, membelakangi Saito, tak khawatir Saito melihatnya! Saito mulai panik begitu dia menanggalkan pakaiannya. Secara tak sengaja, Saito menangkap sekilas dada Henrietta dari belakang. Meski tak sebesar Kirche, tetap saja ia lebih besar dari milik Siesta. Toh, dia seorang ratu, jadi dadanya pastilah yang pantas untuk seorang ratu. Tapi dia lalu sadar.

Apa Henrietta bisa mengenakan kemeja Louise?

Yang terjadi tepat seperti perkiraannya.

“Kemejanya...rada-rada sesak.”

Tak ‘rada-rada’ lagi. Kemeja itu dibeli untuk ukuran Louise, dan tak bisa memuat dada Henrietta. Semakin dia bergerak, semakin banyak kancing yang terlepas.

“Mhm, Sangat...”

kata Saito sambil memegangi hidungnya,

“Mhh, bagus?”

Bagus! Tiada lagi yang bisa diharapkan kita dari seorang ratu. Henrietta seharusnya tak khawatir soal itu. “Aku harap ini tak terlalu menonjol diantara orang-orang.” gumam Henrietta saat dia melepas 2 kancing teratas.

Itu hanya semakin menonjolkan lembah dadanya – Seakan tiada kemeja sejak awal. Meski agak malu, berjalan disebelah lelaki adalah keuntungan. Ini juga membuat mereka tak menyadari ia seorang ratu dan membuatnya nampak lebih sebagai seorang wanita.

“Ayo pergi.” ujar Henrietta pada saito.

“Kita belum bisa pergi.”

“Eh? benarkah/”

“Setidaknya kau harus mengubah gaya rambutmu.”

“Kalau begitu, ubahlah.”

Toh, Henrietta memang mirip dengan Louise, ratu yang tak berpengalaman, pikir Saito sambil merapihkan rambut Henrietta. bahkan mengubah pakaian tak bisa menutupinya...

Dia mengangkat rambut Henrietta membentuk poni, sebagaimana dia sesekali lakukan untuk Louise.

Ini sangat mengubah suasana. Saito lalu mengenakan riasan ringan pada Henrietta dengan kosmetik Louise. Bukankah kita perlu riasan di penginapan? Karena Louise berkata begitu, saito membelinya...Tapi karena Louise tak pernah menggunakannya, sisanya sangat banyak.

“Fufu, dengan begini, kau terlihat seperti wanita kota.”

Dengan riasan ringan dan kemeja yang terbuka bagian depannya...Dia terlihat seperti seorang wanita kota yang ceria.

Karena dia datang duluan ke loteng, sepertinya mereka takkan memberitahu apapun pada Louise. Saito merasa tak enak untuk sesaat. Dia rasa dia nanti harus berbicara dengan Louise. Ini diluar kuasanya, karena ini adalah keinginan Ratu.

Saito dan Henrietta diam-diam menyelinap melalui pintu belakang ke gang.

Keadaan waspada soal hilangnya Ratu sepertinya meningkat...Jalan keluar ke Chicton dijaga ketat lagi.

“Mereka menempatkan sebuah cordon”

Saito melaporkan keadaan yang tampak bagaikan drama polisi di dunianya. Entah bagaimana dia mengerti, Henrietta mengangguk.

“bagaimana sekarang? Apakah tak apa-apa bila tak menyembunyikan wajahmu?”

“Menyembunyikannya akan lebih mencurigakan. Letakkan tanganmu diatas bahuku.”

Saito memegangi bahu Henrietta sebagaimana diperintahkan. mereka menghampiri tempat dimana penjaga-penjaga berdiri. Ketegangan meningkat dan denyut mereka semakin cepat. Henrietta berbisik dengan nada keras.”

“Berpura-puralah bersender padaku. Seperti seorang pacar.”

Eh? Tak memberinya waktu berpikir. Henrietta menggenggam tangan Saito yang tengah memegangi bahunya, dan membimbingnya ke celah kemejanya yang terbuka. Saito panik begitu merasakan bukit Henrietta yang halus dan lembut diantara jemarinya.

“Jangan berontak.”

Henriettamendekatkan mulutnya ke telinga saito dan bergumam pelan, dengan sebuah senyum palsu di bibir,

Saito melewati penjaga sambil merasa tegang dua kali lipat.

Meski sang penjaga tak sengaja melihat pasangan tersebut...dia hanya pernah melihat wajah Ratu dari kejauhan. Lagipula, bahkan dalam mimpi terliarnya sekalipun, dia tak bisa membayangkan sang Ratu berjalan bersama seorang jelata, menyilahkan tangannya untuk menyentuh kulitnya dengan cara yang sedemikian rupa.

Dia langsung membuang pandangannya dan memanggil wanita lainnya untuk berhenti.

Henrietta tertawa sambil berjalan keluar ke Jalan Utama,

“Putri?”

“Tidak...Aku minta maaf. Karena tadi itu saat yang menggelikan. Namun, menyenangkan juga.”

“...Eh?”

“Aku mengenakan pakaian kasar, mengubah gaya rambutku...hanya mengenakan riasan ringan dan tiada yang dapat mengenalku.”

Itu pasti...Henrietta tampak menyatu dengan pemandangan malam ini. Saito merasa dia wanita yang berbeda.

“namun, kita terlihat oleh seseorang yang sedikit mengenal wajahmu, Putri.”

“Shh!”

Eh? Eeeh?”

“Jangan memanggilku putri di hadapan umum. Panggil aku ‘Ann; saja.”

“Ann, begitulah.”

“Ya.”

Lalu, Henrietta memiringkan kepalanya dalam keraguan.

“Ceritakan padaku namamu.”

Merasa sedih Tak dikenal sang Putri, saito menjawab.

“Saito.”

“saito, nama yang aneh.”

Pada saat itu, Henrietta bergumam sambil bersender pada saito layaknya seorang wanita kota.

“Y-yeah, Ann. Memang aneh.”

“Lebih keras.”

“Dimengerti, Ann.”

Henrietta melingkarkan lengannya pada saito sambil tersenyum.


Karena malam datang perlahan, pasangan ini pergi ke sebuah hotel untuk sementara. Hotel tersebut rumah tinggal yang murah nan tawar. Mereka diantar ke kamar kumuh di lantai 2 yang membuat loteng di “Charming Fairies” terlihat bagaikan surga. Kasurnya lembab, tak jelas sudah berapa hari ia ditinggal untuk dikeringkan, dan sebuah jamur kecil tumbuh di sudut kamar. Lampu tetap hitam meski arangnya telah digosok.

“yah, untuk uang yang segitu, kamarnya ternyata begini.”

Tapi Henrietta yang duduk di kasur berkata.

“Tidak, kamar ini luar biasa.”

“Begitukah...”

“Ya. disini, setidaknya kau tak harus khawatir...soal ular berbisa yang tidur di dadamu.”

“Dan juga tiada kumbang aneh.”

“Benar sekali.”

Henrietta tersenyum.

Saito duduk di kursi yang ada di kamar. Si Kursi seoleh protes, membuat suara derikan nan aneh. Karena sesuatu, dia ingin menjaga jarak antara dia dan rekan terhormatnya sejauh mungkin. Karena sulit untuk terus berbicara, Saito bertanya.

“Apakah ini benar-benar kamar yang bagus?”

“Ya. Ini menggairahkan. karena ada rasa biasa dan tak penting dari rakyat biasa...”

Dia menunjukan itu dengan sikap nan manis. Sikap Henrietta seperti itu menciptakan sedikit perasaan “dekat”.

Karena kamar gelap gulita, mereka memutuskan untuk menyalakan lampu berarang itu. dia tak dapat menemukan korek api sebatangpun, meski dia telah mencarinya kemana-mana.

“Tiada korek disini..aku akan turun dan membawanya kesini.”

Henrietta menggelengkan kepala dan mengeluarkan sebuah tongkat sihir kristal dari tasnya. Dia mengayunkannya dan ‘Posh!”, sumhbu lampu pun menyala. Henrietta duduk sambil menerawangi lampu dan meletakkan tangannya di dagu.

Saito yang entah kenapa merasa terpesona membuang pandangannya.

Melihat Henrietta yang tenang seperti itu...meski dia masih memiliki rasa dekat disekitarnya, dia tetaplah seorang Putri. Tidak, kini dia seorang Ratu...meski masih sangat muda. Kata Putri lebih pas baginya. Kelembutan dan ketegaran yang tak tertandingi. Meski rasanya mirip dengan Louise...tapi Louise dapat kekanak-kanakan ketika tak senang, sedangkan Henrietta tetap tenang dan teratur. Dia memiliki aura dewasa yang matang disekitarnya. Bahkan, hanya dari celah kemejanya saja orang sudah dapat mencium pesona kewanitaaannya. Pesona tak tergambarkan dari campuran harga diri ningrat dan bahaya.

“Bagaimana sekarang?”

Dia menanyai Saito dengan nada nan murni. Putri seperti ini memang sangat cantik, pikir Saito sambil menggumamkan sesuatu.

“Apakah Louise bak-baik saja?”

Tanya Henrietta pada Saito dari sisi lain lampu. Secara misterius, hadirnyaHenrietta membuat tempat kumuh ini bagaikan kamar tidur Istana Kerajaan, Henrietta memiliki kekuatan untuk mengubah suasana sekitar. Bahkan, waktu malam terasa bagaikan siang terang nan benderang.

“Yeah. Toh, dia, itu, dia berkata dia akan menyelesaikan tugasnya demi Putri...”

Sedangkan Louise, dia selalu menghardik Saito karena gagal mengumpulkan info.

“Dia baik-baik saja dalam hal itu.”

“Eh?”

“Anak itu telah mengirimkanku laporan yang presisi melalui kurir burung hantu setiap hari.”

“Begitukah?”

Jika kau memikirkannya, dia mungkin menulisnya saat Saito tidur. Betapa seriusnya dia.

“Ya...dia memberitahuku secara persis perihal setiap isu...Setiap isu. Tanpa keluhan sedikitpun. Dia bercampur dengan rakyat jelata secara meyakinkan, tak khawatir kapan ini akan berakhir. Karena anak itu ningrat...aku khawatir apa kesehatannya baik-baik saja.”

“Dia baik-baik saja. Dia mengerjakan segalanya dengan bersemangat.”

Saito mengangguk

“Saya juga senang.”

“Tapi, apakah informasi yang dikumpulkan Louise benar-benar berguna?”

“Ya. ia berguna.”

Henrietta tersenyum.

“Akus endiri ingin mendengarkan keinginan rakyat yang sebenarnya, opini nyata tentang politik yang kulakukan. Jika mereka memberitahuku secara langsung, mereka mengubah beberapa hal. Mereka takkan nyaman memberitahuku...sebagaimana bila mereka dengan yang lain. Aku ingin tahu yang sebenarnya. Bahkan hal-hal yang tak kusuka.

Sebuah senyum sedih muncul di wajah Henrietta.

“Putri.”

“Tidak...Hanya saja, aku terkadang sulit menerima kenyataan. Meski aku disebut sebagai “Wanita Suci”, ada banyak sebutan kasar yang kudengar. AKu dipandang sebelah mata sebagai anak bawang yang mencoba menyerang Albion, menyalahgunakan wewenangnya untuk membentuk tentara penyerbu, dan aku dicurigai sebagai boneka Germania...benar sekali, tak sperti ratu sama sekali...”

“Benarkah?”

“Bukankah duniamu juga sama?”

“Eh?”

Saito terpana.

“Maafkan kelancanganku. Aku menanyai Osman sang Direktur Akademi Sihir. Aku terkejut saat mengetahui kau datang dari dunia yang berbeda. Aku sulit membayangkan bahwa dunia seperti itu ada. Jadi di duniamu, saat perang...apakah pemerintahan dikata-katai?”

Saito ingat. Koran dibanjiriberita-berita tentang korupsi para politisi saat perang...

“Tiada banyak perbedaan.”

“Jadi disanapun sama saja.”

gumam Henrietta, lega.

“Perang..apa kalian mengalaminya?”

“Negara kami tengah berada dalam salah satu.”

“Tidak...maksudku, selain menyerbu benua yang melayang itu?”

“Mengapa kau berkata begitu?”

“baru saja tadi kau berkata soal tentara penyerbu. Apa penyerbuan yang mirip juga berlangsung disini?”

“Begitulah. dalam kasus itu, perangnya tak berujung...Ada hal-hal yang tabu dibicarakan. Ini bukan hal yang dapat dibicarakan denganmu. Mohon lupakan.”

Tetap saja,Henrietta yang menyadari Saito terdiam, menengadah.

“Apa kau membenci perang?”

“Sepertinya aku tak menyukainya.”

“Tapi kau menyelamatkan kerajaan saat Perang Tarbes.”

“Aku melakukannya untuk menjaga seseorang yang penting bagiku.”

“Lalu, malam itu...”

Henrietta membuang muka dan menggumamkannya dengan enggan. Lalu saito teringat malam jahanam itu.

Malam dimana Wales yang dikira sudah mati, hidup kembali dan mencoba menculik Henrietta. Dia ingat saat dimana dia melihat mayatnya, tapi dia tak dapat mengingat semuanya.

“Aku meminta maaf.”

kata henrietta dnegan suara kecil.

dan lalu...

Hujan mulai turun. Sebuah pelangi kecil menyembul di jendela. Mereka dapat mendengar orang-orang di jalan berteriak “Yah! Hujan!”, “ Di siang bolong lagi!”

Henrietta mulai gemetaran.

“Putri?”

Henrietta bergumam dalam suara rendah. Suara yang sepertinya menghilang.

“...Bisakah kau melakukan sesuatu untukku?”

“A-apa?”

“Pegang erat bahuku.”

Tongkat sihir terlepas dari tangan Henrietta yang gemetara dan jatuh ke lanta, membuat suara kering.

“Ada apa?”

“Aku takut hujan.”

Setelah mendengar kata-kata itu...Saito teringat bahwa hujan pun tutun pada malam itu. Henrietta dan Wales yang bangkit kembali menggunakan hujan itu untuk menciptakan...topan raksasa yang mencoba menelam Saito dkk.

Saito diam-diam duduk dekat Henrietta dan memegangi bahunya. Henrietta tetap gemetaran.

“Putri...”

“karena aku...semuanya tewas...Aku membunuh mereka. Aku tak mengerti. Aku tak mengerti ini. Bisakah aku dimaafkan?”

Saito berpikir sesaat lalu berkata,

“Tiada yang bisa memaafkan itu. Itu sudah pasti...”

“Ya, benar. Aku tak pantas dimaafkan atas apa yang kulakukan padamu atau yang lain...Saat kudengar rintik-rintik hujan, aku hanya bisa memikirkan hal-hal semacam ini.”

Henrietta memejamkan mata dan mendekatkan pipinya pada dada Saito. Jemarinya menggenggam Saito erat-erat. Dengan dilatari suara rintik hujan, tubuhnya smakin bergemetaran. Dia bukan seorang ratu dan bukan pula seorang putri...Kini, dia hanyalah seorang gadis yang lemah dan kesepian. Seorang gadis yang jatuh cinta pada seorang pangeran dari negeri seberang. Mungkin orang ini lebih lemah dari siapapun. Dia tak bisa melakukan sesuatu tanpa seseorang di sisinya. Namun dia dipaksa mengenakan mahkota, dia dipaksa menggenggam tongkat komando yang memimpin perang.

Pikiran-pikiran tak bahagia berseliweran di kepala Saito.

Bagian 3[edit]

Louise tengah menonton hujan yang jatuh sambil menggerutu. Kemana Saito pergi di tengah-tengah hujan begini? Louise baru saja sudah selesai pemanasan, tapi saat dia berbalik menghadap Familiarnya untuk sedikit “pengajaran”...Saito menghilang.

Meski dia keluar masuk penginapan untuk mencarinya, dia tak ada dimana-mana. Awalnya dia pikir Saito kembali ke loteng dan bersembunyi disana, tapi ternyata disana kosong. Namun...Baju biasa miliknya yang dibeli untuk menyamar juga menghilang.

Merasa tak enak, Louise meninggalkan loteng. Saat dia kembali ke penginapan, Scarron dan yang lainnya terlihat khawatir.

“Ini tak bagus, hujan turun...Pelanggan akan berhenti datang karenanya.”

“Tapi diluar cukup rusuh. Apa terjadi sesuatu?”

Sebagaimana yang dikatakan, memang terdengar rintik hujan bercampur teriakan penjaga istana di luar sana. Louise membuka pintu dan melangkah keluar. Dia menghampiri seorang tentara berpedang dan memanggilnya.

“Hei, ada apa ini?”

Si prajurit memandang sekilas pada camisole Louise dan berkata dengan nada ketus.

“ Eei! Tutup mulutmu! ini bukan urusan wanita Bar! Kembali saja ke asalmu!”

“Tunggu.”

Louise memanggil dan menghentikan dia, lalu mengeluarkan kertas izin Henrietta dari belahan dadanya.

“Meski aku terlihat begini, aku adalah wanita anggota dewan Paduka.”

sambil melotot, si prajurit melihat pada Louise, lalu pada Surat izinnya, kemudian kembali pada Louise, dan berdiri tegak.

“M-maafkan kelancangan hamba!”

“Ceritakan saja.”

Lalu prajurit menjelaskan pada Lousie dengan nada kecil.

“...Kami selesai memeriksa Champ de Mars, tapi ketika kami kembali ke istana kerajaan, Paduka telah menghilang.”

“Apa ini kerjaan Reconquista lagi?”

“Tujuan si penjahat tak diketahui, tapi dia sangat ahli...tiba-tiba sebuah kabut keluar dari kendaraannya...”

“Apa kalian yang berjaga saat itu?”

“Yang berjaga adalah Korps yang abru terbentuk.”

“Oh, begitu. Terima kasih. Apa kau punya seekor kuda?”

Si Prajurit menggelengkan kepala.

“Tak berguna!”

Louise mulai berlari menuju istana kerajaan sambil menerobos hujan. Pada saat seperti ini, kemana sih si Saito? Dia mendecakkan lidahnya karena marah. Benar-benar deh, tepat di saat kau paling membutuhkannya, dia tak ada disana!


Agnes menarik kuda yang tadi dia naiki ke pemberhentian di depan sebuah Rumah yang besar. Itu adalah kediaman Richmon...disini, saat siang, dia berdiskusi dengan Henrietta.

Ini adalah sudut dari kompleks perumahan dimana para bangsawan sering tinggal. Agnes memandangi Rumah besar dan luas bertingkat dua dan mengerutkan bibirnya. Dia tahu dengan sangat baik secara menyakitkan bahwa Richmon tinggal 20 tahun disini dan menggunakan segala cara yang mungkin untuk membangun mansion mewah ini.

Dia mengetuk pagar, memberitahukan kehadirannya dengan keras. saat jendela pagar terbuka, seorang pesuruh menyembulkan kepalanya keluar.

“siapa disana?”

“Mohon katakan pada Richmon bahwa Agnes, Ksatria Paduka telah tiba.”

“Pada Jam segini?”

kata si pesuruh dengan nada curiga.

Memang, kini tengah malam.

“ada Pesan yang mendesak. Aku harus menyampaikannya dengan cara apapun.”

Setelah Memasukkan kepalanya, si pesuruh menghilang ke dalam. Sesaat kemudian, dia kembali dan membuka gembok pagar.

Agnes memberikan kudanya pada si pesuruh dan bergerak menuju Rumah.

Sesaat kemudian, saat dia melewati ruang keluarga, akhirnya dia melihat Richmon yang memakai pakaian malamnya duduk dekat perapian.

“Pesan mendesak, huh? Ini harus benar-benar mendesak karena telah membangunkanku begitu tiba-tiba.”

gumam Richmon yang tak mencoba menyembunyikan kekesalannya pada Agnes.

“Paduka telah menghilang.”

Pikun! – alis mata Richmon terangkat.

“Diculik?”

“Sedang diselidiki?”

Richmon tampak tak percaya.

“Ini benar-benar kejadian besar. Tapi, apa ini sama dengan kasus penculikan yang kemarin? Apa Albion terlibat lagi?”

“Sedang diselidiki.”

“Itu bukan cara penjaga berbicara! Sedang diselidiki! Sedang diselidiki! tapi kau tak bisa lakukan apapun. Kau selalu membawa masalah pada akademi hukum. Unit apa yang sedang bertugas?”

“Kami, para Ksatria.”

Richmon menatap Agnes dengan wajah tak senang.

“Ini hanya membuktikan ketidakmampuanmu sebagai unit yang baru dibentuk.”

Ucap Richmon dengan nada penuh sarkasme.

“Untuk membersihkan nama kami, kami tengah melakukan yang terbaik yang kami bisa pada penyelidikan.”

“Itulah mengapa kukatakan bahwa pedang dan pistol hanya mainan anak-anak dibandingkan tongkat sihir! Satu unit jelata tak dapat menggantikan satu penyihir!”

Agnes menonton Richmon dalam diam.

“Izinkan penggunaan militer...Saya ingin mendapatkan izin untuk memblokir jalan-jalan dan pelabuhan.”

Richmon menyabetkan canenya, dia mencengkram pena yang terbang ke arahnya, menulis sesuatu di perkamen dan menyerahkannya pada Agnes.

“lakukan yang terbaik untuk menemukan Paduka. Jika kau tak mampu menemukannya, seluruh anggota unit Ksatria akan digantung di tribun perang. Fikirkan itu.”

Agnes berbalik untuk pergi tapi berhenti di depan pintu.

‘Apa? Ada yang lain?”

“Yang terhormat...”

Dengan nada rendah, penuh amarah, dan tertahan, Agnes mulai menyemburkan kata-kata.

“Apa?”

“ Ini ada desas-desus soal kejadian dimana kau terlibat 20 tahun lalu.”

Sambil Meniti benang ingatannya, Richmon mengejapkan matanya. 20 tahun lalu...sebuah pemberontakan yang mengguncang negara dan dia teringat akan pemadamannya.

“Aah, jadi?”

“Yang terhormat terlibat dalam ‘Pembantaian D'Angleterre’.”

“Pembantaian? Jangan katakan itu dengan nama yang begitu nuruk. Bukankah para jelata di provinsi-provinsi yang jauh berencana menumbangkan negara? Itu merupakan tugas mulia pemadaman. Lagipula, sebagian besar hanyalah legenda.”

Agnes pergi.

Richmon menatap pintu yang tertutup selama beberapa saat....Bila ada kesempatan untuk diberikan pena dan perkamen lagi, dia mungkin merubah keputusannya, karena dia merasa ada kekuatan liar yang kini baru saja dilepas.


Agnes, yang meninggalkan kediaman Richmon, mengambil kuda dari si pesuruh. Dia mengeluarkan sebuah jubah hitam dari kantong sadelnya dan mengenakannya merangkap garmen rantainya, dan memakai tudungnya diatas kepala. Dia lalu mengeluarkan dua pistol dan mengisi ulang mereka, sambil berhati-hati agar bubuk mesiu tak basah oleh hujan. Dia lalu memeriksa pemicu api, palu hentak dan menutup tong pelurunya. Ini adalah pistol jenis flint yang baru.

Dia lalu menyarungkan pedangnya dan menghentakkankudanya, menandakan persiapan perangnya telah selesai. Tapi kemudian...seseorang berlari dari gerimis hujan. Gadis yang kelihatannya datang dari jalan Chicton ini, setelah menyadari Agnes yang menghentakkan kudanya, berlari menuju Ksatria wanita ini. Karena dia berlari menerobos hujan, sepertinya keadaannya mengkhawatirkan. Camisole putihnya kotor terkena lumpur dan dia bertelanjang kaki karena dia melepas sepatunya yang tak nyaman diapakai berlari.

“Tunggu! Tunggu! Mohon berhenti!”

Karena Penasaran, Agnes berbalik.

“Pinjamkan kudamu! Cepatlah!”

“Aku menolak.”

Sambil berkata begitu, Agnes mencoba memutar kudanya menjauh tapi gadis itu menghalangi jalannya.

“Minggirlah.”

katanya tapi gadis itu tak mau mendengar. Dia mengeluarkan semacam perkamen dan menunjukkannya ke hadapan Agnes.

“Aku adalah wanita Dewan Paduka! Aku punya kewenangan menggunakan kekuatan Polisi! Kudamu diambil atas nama Paduka! Turunlah darinya sekarang juga!”

“Wanita Dewan Paduka?”

Agnes tampak ragu-ragu. Gadis ini terlihats eperti wanita bar. Namun, meski dia kotor karena berlari dalam hujan, sisi ningratnya masih dapat dikenali. Agnes ragu untuk sesaat.

Louise yang akhirnya habis kesabaran karena Agnes tak tutun dari kudanya mengeluarkan tongkat sihirnya. Dnegan meniru gerak Louise, Agnes pun mengeluarkan pistolnya seketika.

Dua orang itu mengarahkan tongkat dan pistol mereka.

Louise berkata dengan nada rendah yang bergetar.

“...Meski aku masih belum terlalu biasa dengan sihirku. Namun, ini tetap lebih kuat. Menyerahlah.”

Agnes menjawab dengan jari di palu perkusi pistol.

“...dari jarak iji, sebuah pistol akan lebih akurat.”

Keheningan mengambil alih.

“Perkenalkan dirimu, jika kau puya tongkat, maka kau pasti seorang ningrat.”

kata Agnes.

“Wanita Dewan, langsung dibawah Paduka, de La Vallière.”

La Vallière? Itu nama yang sangat ia kenal. Saat bercakap dengan Henrietta, dia mendengar nama itu berulang kali.

“lau, kau...”

Agnes menarik pistolnya. Gadis yang gemetaran dengan tongkat sihirnya yang siap...diisukan sebagai teman terbaik Paduka. Gadis dengan rambut pink yang tak diikat...

“Kau mengenalku?”

Louise, dengan sebuah ekspresi kosong di wajahnya, juga menurunkan tongkatnya.

“Aku sering mendengarmu. Aku merasa terhot\rmat akhirnya bertemu denganmu. Kau bisa berbagi kuda denganku. Izinkanku menjelaskan keadaannya padamu. Jika kau tertembak, Pasti Paduka akan mendendam.”

Agnes megulurkan tangannya pada Louise. Agnes dengan mudah menarik Louise dengan kekuatan yang sulit dibayangkan dimiliki oleh seorang wanita yang rapuh.”

“Siapa kau?”

Louise menghentakkan punggung Agnes.

“Ksatria Paduka. Komandan Agnes.”

Ini membuat Louise, yang telah mendengar soal “Ksatria” dari prajurit tadi, meledak,

“Apaan yang kau kerjakan selama ini?! Apa kau tidur sambil melupaskan tugasmu?! Paduka diculik secara memalukan!”

“Seperti yang kubilang, izinkanku menjelaskan situasinya, lagipula, Paduka aman.”

“Apaa?!”

Agnes menepuk kuda dan ia mulai berlari. diiringi derasnya hujan yang turun, keduanya menghilang dalam kegelapan malam.


Di sebuah kasur rumah penginapan yang murah, Henrietta tengah duduk dengan mata terpejam dengan lengan Saito mengelilinginya, dia tengah bergemetaran. Saito tak dapat menemukan kata untuk dikeluarkan...sehingga dia hanya bisa duduk dan memegangi bahu Henrietta.

Saat hujan akhirnya berubah jadi gerimis, Henrietta menjadi sedikit tenang dan memaksakan diri untuk tersenyum.

“maafkan aku.”

“Bukan...”

“Aku membawamu ke tempat yang tak berguna ini, namun aku masih saja ditolong olehmu di akhir.

“lagi?”

“Memang begitu. Pada malam itu, a..aku tak dapat berfikir jernih, aku dimanipulasi dan berusaha pergi dengan Wales...kau menghentikanku...”

“Ya.”

“saat itu, kau berkata. ‘Jika kau pergi, aku akan menebasmu. Aku tak bisa mengizinkanmu berbohong pada dirimu sendiri, sekalipun kau sedang gila cinta’, katamu.”

“A...aku berkata begitu...?”

Saito menunduk karena malu.

“Namun tetap saja diriku yang bodoh tak terbangun. Aku mencoba membunuhmu. Namun, kau menghentikan topan bodoh yang kulepaskan sendiri.”

Henrietta memejamkan matanya.

“Ngomong-ngomong, aku...merasa lega saat itu.”

“Lega?”

“Ya, benar. Meski aku menyadari bahwa ini bukan Wales yang kucinta. Kenyataannya berbeda. Aku...dalam lubuk hatku yang terdalam, menginginkan seseorang mengatakan itu dan menghentikan aku yang bodoh ini.”

setelah mengambil napas yang, seakan menyakitkan, dalam, Henrietta melanjutkan bicaranya. dengan nada tertahan.

“Karenanya,Familiar-san, kumohon padamu. Jika aku melakukan kebodohan lagi...Jika aku dirasuki lagi.. bisakah kau menghentikan ku dengan pedangmu?

“mengapa?”

“Pada saat itu, aku benar-benar sudah siap membunuh, tak dapat menahan diri lagi. Meski aku diminta Louise, anak yang lembut itu, aku tak bisa berhenti. Karenanya...”

Saito berkata dengan nada terkaget-kaget.

“Aku tak bisa melakukannya! Beneran deh...kau tak bisa lemah begitu. Engkau seorang ratu. Semua orang mematuhi titahmu. Jangan bicara seperti ini, Putri. Kau takkan hidup setelah ini jika kau tak berani. Apa semua itu kebohongan?”

Henrietta menunduk.

Lalu...

duk, duk, duk!

seseorang menggedor pintu.

“Buka! Buka! Ini polisi kerajaan! kami tengah mencari pelarian yang bersembunyi dalam penginapan ini! Buka sekarang juga1”

saito dan Henrietta saling memandang.

“Sepertinya mereka tak mencariku.”

“...Biarkan mereka pergi. Tetaplah diam.”

Henrietta mengangguk setuju...

Sementara itu, gagang pintu mulai berputar...namun...ia tak mungkin terbuka karena dikunci. Clank-clank! Gagang pintu bergetar keras.

“Buka sekarang juga! Ini keadaan darurat! Atau aku akan merusaknya!”

Bam! Suara pedang menghantam gagang pintu terdengar, menandakan usaha membukanya.

“Ini tak bagus.”

Henrietta, dengan wajah penuh keyakinan, membuka kancing kemejanya.

“Putri?”

Suara keheranannya dipotong oleh tertangkapnya bibirnya oleh bibir Henrietta. Ciuman itu tiba-tiba dan pekat.

Sambil mengunci lengannya pada leher Saito, Henrietta mendorongnya ke kasur. Henrietta yang terlihat tak terganggu memejamkan matanya dan dengan desah yang dalam, dia mendorong lidahnya kedalam mulut Saito. Ini dapat mengambil kesadaran seseorang saking pekatnya ciuman itu.

Bersamaan dengan dorongan Henrietta pada Saito ke kasur, si prajurit, yang mencoba merusak gagang kunci, menendang pintu yang lalu terbuka.

Apa yang sepasang prajurit itu lihat...adalah seorang wanota muda yang berbaring diatas seorang lelaki, mencium bibirnya begitu pekat. Wanita itu tak memperhatikan para prajurit dan terus semakin meliar. Desah nafsu keluar dari celah bibir keduanya.

Prajurit-prajurit menonton kejadian untuk sesaat...lalu saling bergumam diantara mereka.

“...M-mereka tampaknya hanya berlindung dari hujan, dan sngata menikmatinya.”

“Sial, ayo selesaikan ini, periksa yang lainnya.”

Thud! Pintu ditutup dan mereka menghilang ke bawah tangga. Karena gagang pintu rusak, pintu kembali terbuka, sedikit berderik.

Henrietta beroisah dari bibir saito...tapi, meski para prajurit sudah di luar hotel, dia terus memandangi Saito dengan mata berkaca-kaca.

Saito benar-benar terheran dengan kelakuan Henrietta saat ini. Saat waktunya datang, dia dapat mengorbankan tubuhnya sendiri, seperti malam ini, hanya untuk menjaga rahasia. Dia benar-benar kuat.

Dengan pipi yang memerah, Henrietta terus melihat Saito dalam diam.

“...Putri.”

Kata Henrietta dengan nada tertahan.

“Aku sudah bilang padamu untuk memanggilku Ann.”

“Tetapi...”

Tanpa menunggunya menyelesaikannya. Henrietta menekan bibirnya pada Saito lagi. Kali ini, ciumannya lembut dan...emosional. Dalam terang lampu yang temaram...dia dapat melihat bahu putih Henrietta yang dia pegangi tadi.

Melihat Saito yang sanagt keheranan, bibir Henrietta mulai mengelus sisi wajah saito.

“Apa kau punya...pacar?”

Dengan nada panas, Henrietta membisikkan itu ke telinganya. Dia merasa dirinya meleleh karena suara itu. lalu, wajah Louise menyembul dalam alam pikiran Saito. Louise bukanlah cintanya. tetapi...

“Aku tak punya, namun...”

Henrietta mulai memain-mainkan daun telinga Saito.

“Maka, perlakukan aku sebagai cintamu.”

“A-apa?!”

“Tak apa-apa, hanya untuk malam ini. Aku tak memintamu untuk menjadi pacarku. Tapi, kumohon, peluk aku...dan ciumlah aku.”

Saat itu – waktu terhenti – dan menit-menit pun berlalu.

Uap mengisi kamar berkat hujan. Bau campuran futon dan badan berseliweran di udara.

Saito memandangi mata Henrietta. bahkan dalam kamar kotor ini sekalipun.,,Wajah Henrietta yang cantik tetap memesona. Tidak, mungkin ia memesona karena kamar kotor ini.

Dia hampir tak dapat tidak tertelan oleh pesona ini. Tapi...dia tak bisa lebih jauh lagi melangkah dari mencium Henrietta...Louise takkan pernah memaafkan Saito. Louise tak hanya takkan pernah memaafkannya, dia jga bakal sedih karena Louise begitu menghormati Henrietta.

Dia tak dapat melakukan hal itu.

Dia tak bisa berpura-pura menjadi pacar dan berciuman dengan orang semacam ini...Orang yang dipandang begitu tinggi oleh orang yang penting baginya. Henrietta hanya kesepian. Pasti ada cara lain untuk menenangkan dia.

Karenanya, Saito dengan perlahan menepuk rambut coklat muda Henrietta.

“Aku tak bisa menjadi seorang pangeran.”

“Aku tidak meminta itu.”

“Apa kau Ingat? Aku bukanlah dari dunia ini, aku dari dunia yang berbeda. Aku tak bisa...menggantikan seseorang.”

Henrietta memejamkan mata dan mendekatkan pipinya ke dada Saito.

Setelahnya...saat hawa panas alhirnya menghilang...Henrietta dengan malu-malu, bergumam.

“...kau pasti berpkir aku seorang wanita yang tak tahu malu. Meski aku disebut seorang ratu...aku tetaplah wanita. Dan aku masih kehilangan kehangatan seseorang saat malam hari.”

Untuk sesaat...Henrietta tak mengucapkan sepatah katapun dan hanya berbaring disana, menekan pipinya pada dada Saito. Di dalam rumah inap murah itu, mungkin yang termurah sekota, Wanita paling terhormat negeri ini gemetaran seperti seorang anak kecil dalam dekapannya. Saito tersenyum pahit dalam situasi yang entah kenapa bisa terbolak-balik ini.

dan...merasa tak enak.

“Putri.”

“Apa?”

“Mohon jelaskan pelan-pelan pada saya. Apa-apaan yang tengah kita lakukan disini? Rahasia...semuanya berusaha keras menemukanmu. Dan...kau begitu keras berusaha untuk bersembunyi. Ini bukan hanya salah-satu dari hal-hal yang main-main itu, kan?”

“...Oh, baiklah. Rasanya aku perlu menceritakan keseluruhannya.”

Suara Henrietta memancarkan ketegasannya kembali.

“Ini adalah perburuan seekor rubah.”

“Perburuan rubah?”

“Ya, kau tahu hewan pinter itu, kan? Si Rubah, bahkan dengan anjing di belakangnya, bahkan dengan pemukul, tak mudah menangkap ekornya. Karenanya,..aku menyiapkan sebuah jebakan.”

“Jebakan?”

“Ya, dan aku umpannya. Datanglah besok...rubah itu akan meninggalkan lubang persembunyiannya.”

Saito menatapnya.

“Dan siapa rubah ini?”

“Mata-mata Albion.”


Agnes dan Louise tengah mengendaria kuda menuruni gang yang mengarah ke mansion Richmon. Meski hujan berangsur-angsur menjelma jadi gerimis, hawa dingin masih terasa. Agnes menyerahkan mantelnya pada Louise untuk dipakai.

“A-Apa latar belakangnya?”

“Perburuan Tikus.”

“Perburuan Tikus?”

“Yah, mereka tak hanya merusak lmbung kerajaan...mereka juga mencoba mengkhianati sang tuan di tengah-tengah perburuan.”

Louise menatapnya, tak mengerti.

“Jelaskan dalam rincian penuh.”

“Tiada waktu untuk menjelaskan lebih lanjut, sekarang. Nha!Kita sampai.”

Gerbang kediaman Richmon terbuka dan seorang pesuruh muda muncul di depan kuda Agnes. Ia seorang pemuda berumur 12-13 tahun dengan pipi nan merah. Dia terus-menerus memerhatikan sekeliling dengan obor di tangan, sebelum akhirnya mulai menjalankan kudanya. Si pesuruh mulai mempercepat diri sambil memegangi obor. Agnes tersenyum tipis dan mulai mengejar kuda tersebut, dengan dibimbing cahaya obor.

“...Apa yang sedang terjadi?”

“ Sekarang semuanya dimulai.”

jawab Agnes, pendek.

Di keheningan malam, si pesuruh terus berkuda dengan kecepatan penuh. Sepertinya dia disuruh sebelumnya untuk cepat-cepat oleh tuannya. Anak tersebut memerhatikan sekelilingnya sambil berusaha keras agar tak terjatuh dengan berpegangan pada punggung kuda.

Agnes mengikuti sambil menjaga jarak.

Kuda si pesuruh telah keluar dari daerah kompleks para petinggi dan berjenti di sebuah perkampungan yang mencurigakan. Di kegelapan malam ini, dapat terdengar suara dari kelompok pencari Ratu yang pesta minum-minum dan bersenang-senang.

Merasa tak aman melewati Jalan Chicton, si kuda menghilang ke gang yang tersembunyi.

Saat dia menghilang dari mulut gang, Agnes turun dari kuda dan melihat keadaan gang.

Setelah meninggalkan kuda di kandang, Agnes menuju hotel setelah meyakinkan diri bahwa hotel inilah yang dimasuki si pesuruh. setelah melompat turun dari kuda, Louise bertanya sambil berlari setelahnya.

“Apa, Apa yang sedang berlangsung?”

Agnes tak lagi menjawab.

Dia memasuki hotel dan memaksakan jalan melewati massa bar di depan dengan sikutnya hingga dia melihat si pesuruh naik ke lantai 2. Dia mengikutinya.

Dari tangga yang dipakai, Agnes memastikan pintu mana yang dimasuki si pesuruh.

Dua orang sedang menunggu pengunjung selama beberapa saat disana.

Agnes berbisik pada Louise.

“Lepaskan mantelmu. Mulailah bersender padaku sebagaimana seorang wanita bar.”

Meski tak mengerti, Louise melakukan apa kata Agnes dan melepas mantelnya. Dia lalu berpura-pura jadi kopyor yang bermesraan dengan sang ksatria. Dia pernah melihat kejadian-kejadian ini selama kerja di bar dan mencetaknya dalam ingatan.

“Bagus.”

kata Agnes pada Louise tanpa memindahkan tatapannya dari lantai 2. Meski suaranya masih kewanita-wanitaan, dia meninggalkan kesan sebagai ksatria terhormat saat diam, mungkin karena rambut pendeknya. Pipi Louise mulai memerah tak terkendali.

Si Pesuruh sudah melangkah keluar dari kamar.

Lalu Agnes menarik Louise mendekat padanya. ah, dan mencuri sebuah ciuman.

Meski Louise mencoba berontak karena marah, Agnes menekannya dengan tenaganya yang kuat, sehingga dia tak bisa bergerak...

Si pesuruh menatap Louise dan Agnes yang berciuman untuk sesaat, lalu segera membuang pandangannya.

seorang ksatria berciuma dengan seorang wanita bar, sebuah pemandangan yang biasa.

Si pesuruh lalu keluar melalui gerbang keluar, menaiki kuda tepat seperti ketika dia datang dan menghilang ke kota di kegelapan malam.

Agnes akhirnya membebaskan Louise.

“A-apa yang kau lakukan?!”

teriak Louise dengan pipi memerah. Jika yang melakukannya seorang lelaki, dia pasti sudah menghunus tongkatnya dan meledakkan tempat ini dari tadi.

“Teang saja, aku tak punya hobi semacam itu. Ini tugas.”

“Begitu pula aku!”

lalu Louise teringat pada si pesuruh yang pergi.

“Kau takkan menguntitnya?”

“Tak apa-apa. Anak itu tak tahu apapun. Perannya hanya sebagai pembawa surat.”

Agnes, berusaha agar langkahnya tak bersuara, diam-diam mendekati pintu kamar tamu yang tadi dimasuki pesuruh. Louise bertanya dengan berbisik.

“...Kau bukan seorang penyihir, kan? kau tak bisa mendobrak pintu ini.”

“ini masih bisa didobrak dengan tenaga otot.”

“...Ini pasti terkunci . Tiada yang bisa kau lakukan. dengan segala kletak-kletok itu dia mungkin melarikan diri.”

Louise menghunus tongkat yang terpasang di pahanya, menghirup napas dalam-dalam, dan menggumamkan mantra “Void” sambil mengarahkan tongkat ke pintu. ‘Ledakan’...pintunya meledak dan diterbangkan kedalam kamar, Tanpa menunggu lagi, Agnes menghunus pedang dan meloncat masuk.

Ada Seorang pedagang disana, dia berdiri dekat kasur dengan wajah terkejut. Dia memegang sebuah tongkat di salah-sati tangannya. Dia seorang penyihir.

Lelaki ini sepertinya seorang ahli sihir, karena dia langsung mengarahkan tongkatnya pada Agnes yang meloncat masuk, dan segera menggumamkan mantra. Segelembung massa udara menerbangkan Agnes menjauh. Saat dia mengucapkan mantra lain dan melemparkan Agnes ke dinding...Louise masuk.

Ledakan Louise mengenainya. Ledakan kena langsung di depan, menyebabkan dia tersungkur di lantai sambil memegangi wajahnya.

Agnes bangkit dan memukul tongkat sihir dari genggaman orang tersebut dengan pedangnya. Louise mengambil tongkat yang tergeletak di lantai.

Agnes mengarahkan ujung pedangnya ke leher lelaki tersebut. Ia berumur pertengahan. Meski kelihatannya dia seorang pedagang, cahaya matanya berbeda. Kemungkinan dia seorang aristokrat.

“Jangan bergerak!”

Masih mengarahkan pedangnya, Agnes mengeluarkan boprgol dari pinggangnya dan memborgol pergelangan lelaki tersebut. Dia lalu menyumpal mulut lelaki tersebut dengan segulung sobekan kain.

Apa yang terjadi malam-malam pada jams egini? – pengunjung hotel mulai berkerumun dan melihat kedalam kamar.

“Jangan ribut! Ini hanya penahanan seorang pencuri licin!”

Orang-orang hotel yang ketakutan menarik diri.

Selembar surat yang diberikan si pesuruh pada lelaki itu pasti ada didalam, entah dimana, pikir Agnes. Dengan senyum di bibir, dia mengobrak-abrik lemari meja si lelaki. Dia menemukan banyak surat dan lembaran dan mulai membaca mereka dengan perlahan, satu persatu.

“Siapa orang ini?”

“Tikus Albion. Dia berpura-pura menjadi pedagang dan berkeliaran di Tristania, mengumpulkan info untuk Albion.”

“Berarti, orang ini...adalah mata-mata musuh. Ini hebat bukan?! Kita berhasil menangkapnya!”

“Ini belum selesai.”

“mengapa?”

“Tikus induknya masih ada.”

Agnes lalu menemukan selembar kertas, yang dia tatap dalam hening. Isinya berupa sketsa kasar bangunan. Ada catatan di beberapa sudut.

“jadi begitu toh...Kalian para terkutuk pasti berencana bertemu di teater, kan? Surat ini datang beberapa waktu lalu, isinya tentang bertemu di tempat yang sama, besok. Dari sketsa kasar ini, tempat ini pastilah sebuah teater, ya? Pasti itu.”

Lelaki itu tak menjawab. Dia terdiam dan diam-diam membuang pandangan.

“Jawablah...harga diri ningrat.”

Dengan senyum dingin di bibir, Agnes memaku kaki lelaki tersebut ke lantai dengan pedangnya. Dengan sumpal di mulutnya, lelaki tersebut merintih kesakitan.

Agnes mengeluarkan pistol dari ikat pinggangnya dan mengarahkannya ke wajah lelaki tersebut.

“Aku akan menghitung sampai 2. Pilih. Harga diri atau nyawa.”

Alis lelaki tersbut mulai berkeringat. Gachink...Suara terangkatnya palu perkusi oleh Agnes bergema dalam kamar.

Bagian 4[edit]

Subuh tengah mencerah, pagi pun tiba. Di Plaza pusat, lonceng kuil Confucius Santo Rémy didentangkan. Sekarang tepat jam 11.

Sebuah kereta tunggal berheti di depan Teater Tanaijiiru kerajaan. Richmon melangkah keluar darinya. Dia menatap sekeliling teater dengan rasa bangga, Pesuruh yang duduk di kotak pengendara, hendak turun dan mengikutinya.

“Tak apa-apa. Tunggu saja di kereta.”

Ricmon menggelengkan kepalanya dan memasuki teater, Penjual tiket membungkuk begitu dia menyadari kehadirannya. Richmon terus maju, tidak membeli tiket dulu. Karena inspeksi pertunjukan merupakan salah satu tugasnya sebagai direktur sensor, tempat ini bagaikan villa pribadinya.

Pengunjung teater yang hanya berupa wanita muda telah mulai berdatangan sejak enam menit yang lalu. Pada awalnya, pertunjukan ini sangat terkenal, tapi karena akting yang buruk, kritik pedas pun diterima. Sepertinya ia sudah kehilangan pangsa pasar sebagai imbalannya. Richmon duduk di kursi pribadinya dan diam menunggu tirai diangkat.


Agnes dan Louise telah tiba didepan teater beberapa saat yang lalu. Louise tak dapat mengerti mengapa mereka harus selalu mengendap-endap di gang dekat teater saat ini. Agnes baru mengizinkan mereka meninggalkan persembunyian setelah suatu kereta tertentu muncul. Louise capek dan merasa habis. Dia tak tidur tadi malam. Lagipula, Agnes tak menjelaskan apa-apa. Dia mengatakan ini perburuan tikus, itu OK, tapi kapanpun dia bertanya siapa tikus itu...Agnes terdiam dan berhenti berbicara.

Didepan mata Louise, yang dengan sabar menunggu di depan teater, lewat beberapa orang yang sangat dikenalnya.

Mereka adalah Henrietta yang ditemani Saito, yang memiliki kantung di bawah matanya disebabkan kurang tidur. Meski Henrietta mengenakan sehelai jubah dan pakaian jelata yang dibeli Louise dulu, dan mengikat rambutnya dengan cara wanita kota...Louise yakin dia tak salah.

Agnes mengenali kedua orang lebih dulu karena dia telah mengirimkan laporan dengan kurir burung hantu dan terus membuka mata untuk menyambut kedatangan mereka.

“...Putri, Saito.!”

Apa yang dimulai sebagai gumaman kecil berubah jadi teriakan keras begitu dia berlati menuju pasangan tersebut.

“Louise...”

Henrietta memeluk tubuh kecil Louise erat-erat.

Aku sangat khawatir! Kemana anda menghilang?”

“Aku meminjam Familiar-san yang lembut ini...dan bersembunyi dalam kota. Maafkan karena aku tak biloang padamu. Aku tak ingin menyeretmu dalam hal ini. Jadi ketika saya diberitahu Agnes pagi ini bahwa kalian bertindak bersama-sama, saya terkejut. Namun, kau adalah teman terbaikku, jadi sepertinya kita memeang ditakdirkan untuk bertemu entah cepat atau lambat.”

Lalu, Agnes yang yang berdiri dalam diam di dekat mereka kemudian berlutut.

“Semuanya sudah siap. Tinggal menunggu perintah.”

“Terima kasih. Kau benar-benar melakukannya dengan baik.”

Dan penonton terakhir yang tiba di depan teater....

adalah Korps Manticore, Garda Penyihir.

Semua yang menonton terkejut begitu komandan mereka, yang memiliki simbol binatang khayalan berkepala naga dan bertubuh ular pada baju besinya, menghampiri mereka dengan marah-marah.

“Hei! Agnes-dono, Apa-apaan ini?! Aku kesini dengan terbang seusai menerima suratmu, tapi Paduka tak disini!”

Lalu, komandan Manticore menyadari kehadiran Henrietta dan berlari menuju dia dengan panik.

“Yang Mulia! Kami sangat khawatir! Engkau ada dimana? Kami semalaman mencari anda!”

Dengan air mata yang hendak tertumpah, sang komandan meninggikan suaranya.

Ada apa dengan unit garda sihir ini? Penonton mulai mengerumuni mereka sambil bertanya-tanya. Karena keributan ini, Henrietta menutup wajahnya dengan kerudung jubahnya.

“Aku minta maaf karena menyebabkan ketegangan ini. Nanti, Aku akan menjelaskannya. Untuk sekarang, ikuti saja perintahku, komandan.”

“Apa perintah anda?”

“dengan korps yang kau bawahi, mohon kepung Teater Tanaijiiru kerajaan. Jangan biarkan bahkan seekor semut pun keluar.”

sang KOmandan langsung membungkuk meski memasang wajah curiga.

“Sebagaimana keinginanmu.”

“Kalau begitu, aku akan masuk.”

“Saya ikut.”

teriak Louise, Namun, Henrietta menggelengkan kepala.

“Tidak, kau mesti menunggu disini. Ini adalah sesuatu yang harus kuselesaikan sendiri.”

“Tapi-.“

“Ini perintah.”

Louise langsung membungkuk, meski dengan sikap tak sempurna, begitu mendengar kata-kata putus tersebut.

Hensrietta menghilang kedalam teater, sendirian. Agnes yang memiliki hal rahasia lainnya untuk dilakukan, segera menaiki kudanya dan pergi entah kemana.

Jadi...kini hanya dua orang, Saito dan Louise, yang tinggal.

Louise menarik lengan baju Saito, yang tengah menonton kepergian Henrietta dengan pipi memerah.

“Hei.”

“Apa?”

“Apa, apa yang terjadi?”

“AKu diceritakan bahwa ini merupakan perburuan rubah.”

“yang kudengar ini perburuan tikus.”

“Toh, sma-sama aja.”

Setelah itu, mereka berdua saling menatap dengan pandangan kosong.

“Entah apa, itu adalah tugas...”

“Yap.”

“Spertinya kita hanya pemeran pembantu disini.”

Saito mengangguk.

Louise tiba-tiba menyadari ada bau tertentu dan mendekatkan hidungnya pada tubuh Saito.

“A-apa-.”

Dengan wajah garang, Louise mulai membaui bau tubuh Saito dengan hidungnya. *sniff snif*

“H-Hei, apa-apaan-“

“Bau ini...ini bau parfum putri!”

“Eh?”

Saito terkejut.

“Kau..kau tak melakukan yang aneh-aneh pada Putri, kan?”

Louise memandangi Saito dengan mata mengancam. Saito langsung pucat. Tentu saja dia tak bisa bilang soal ciuman itu. Dia tak bisa mengkhianati Henrietta. Demi kehormatan Putri, dia tak boleh menceritakan hal ini. Lagipula, meski dia cerita, Louise juga takkan percaya.

“Bo-bodoh! Aku tak melakukan apa-apa!”

“Benarkah?”

Louie terus memandangi Saito.

“Ini pasti kena ketika bersama-sama kesini, tadi.”

Louise mencengkram telinga saito dan menariknya medekat. Lalu dia mengubur hidungnya di permukaan leher Saito.

“Snif, snif, snif, snif. Lalu mengapa baunya ada di tempat seperti ini? Mengapa ada parfum di permukaan lehermu hanya dari menemani? Parfum macam apa itu?!”

“Tidak, itu....itu pasti dari bolak-balik di kasur saat tidur. Wajah kami mungkin mendekat. Tak ada hal lain.”

Tak apa-apa. Aku akan mendengar semuanya dari tubuhmu!”

Louise, masih memegangi telinga saito, menyeretnya ke gang sebelah.

Jeritan Saito bergema ke jalan yang kosong.

Tirai diangkat dan....pertunjukan dimulai.

Karena pertunjukannya hanya untuk wanita, penontonnya hanyalah wanita muda. Dengan dikelilingi sorakan yang riuh rendah, para aktor yang berpakaian sangat mewah mulai mementaskan cerita cinta nan sedih di atas panggung.

Itu pementasan yang pernah ditonton Louise sebelumnya...’Liburan Tristania.’

Richmon mengernyitkan alisnya. Bukan karena tawa atau gaya para aktor, bukan pula karena sorakan tak sopan maupun melingking para wanita muda, tapi karena tamu yang diharapkan tak muncul pada waktu yang dijanjikan.

Di dalam kepalanya, beragam pertanyaan mulai berseliweran.

Apa menghilangnya ratu merupakan plot Albion yang tak diberitahukan padaku? Jika ya, apa lasannya? Jika tidak, apa mungkin ada kekuatan ketiga dalam Tristania yang tak dia tahu? Kedua-duanya memusingkan – gumam Richmon pada dirinya sendiri.

lalu...seorang penonton duduk disebelahnya. Apa dia tamu ayng diharapkan? Dia mencuri pandang sekilas. Bukan dia. Ini seorang wanita muda dengan kerudung menutupi kepala.

Richmon berbisik.

“Punten. Kursi ini sudah dipesan. Mohon duduk di tempat lain.”

Namun, wanita itu tak berusaha bangkit.

Wanita muda ini...Dengan wajah marah, Richmon memutar untuk menghadapnya.

“Mademoiselle, Apa kau tak mendengarku?”

“Richmon-dono, Penonton seharusnya menonton pertunjukan.”

Mata Richmon terbelabak saat dia mengenali wajah wanita berkerudung itu. Ia orang yang dia yakin telah menghilang...Henrietta.

Henrietta yang memandang lurus ke panggung, menanyai Richmon.

“Ini adalah pertunjukan untuk wanita. Apa kau menontonnya dengan senang?”

Richmon menenangkan diri, menyusun lagi sikapnya dan menyenderkan dirinya ke belakang.

“AKu memperhatikan pertunjukan semacam ini hanya karena tugas. Lagipula, Yang Mulia, ada isu bahwa kau telah menyembunyikan dirinya...Apa itu untuk keselamatanmu?”

“Tentu. Aku berhati-hati dengan orang-orangku. Ini adalah tempat yang bagus untuk bertemu dengan selirku, kan?”

Richmon tertawa. namun, Henrietta tidak. Dia menyipitkan mata bagaikan seorang pemburu.

“Jika seseorang bisa mendapatkan semuanya, adalah sia-sia untuk menunggu. AKu berdiri mengantri tiket. Kau pergi menonton pertunjukan tanpa membeli tiket, ini adalah pelanggaran aturan. Aku ingan Istana Kerajaan mengadili mengikuti aturan yang ada.”

“Ho! Sejak kapan penjualan tiker menjadi kewenangan Keluarga Kerajaan?”

Henrietta mendesah, memutuskan benang ketegangan.

“Ayolah, marti hentikan omong kosong in sekarang. Kurir rahasia Albion, yang kau hubungi hari ini, ditahan kemarin malam. Dia menceritakan semuanya. Kini dia ada di penjara Chernobog.”

Henrietta menyudutkan Richmon.

Namun, seakan tahu bahwa hal ini akan terjadi, Richmon tak kehilangan ketenangannya. Dia tersenyum lebar dengan sikap tak takut.

“Hoho! Hubunganku tersembunyi dengan baik, kau tak bisa mengalahkan strategiku!”

“itu benar, Hakim istana kerajaan.”

“Aku takkan menari di telapak tangan Yang Mulia!”

“Aku benar-benar tak ingin semua...Menjadi seperti ini.”

Richmon tak pernah menunjukkan niat jahat dalam senyumnya. Dia tak pernah menunjukkan sikap buruk, ingat Henrietta dengan hati tak enak.

“Ketika aku menghilang, kau memutuskan untuk berhubungan dengan kurir rahasia. ‘Sang ratu ditangkap tangan lain, selain yang kita.’ Bagimu, ini hanyalah sebuah adegan. Kau tenang dan tak panik. Seekor rubah yang berkepala dingin, yang tak menunjukkan ekornya...”

“Yah, sejak kapan kau mulai curiga?”

“AKu tak yakin. Selain kau, ada banyak tersangka lain. Namun, orang yang memberitahukan aku menghilang malam itu, pasti adalah penjahatnya. Dan orang itu adalah KAU.”

Henrietta meneruskan dengan nada sedih nan lelah.

“Aku tak ingin mempercayainya. Kau merupakan...Hakim Istana Kerajaan, orang yang seharusnya mempertahankan kekuasaan dan kebaikan Kerajaan, malah membantu rencana pengkhianatan semacam ini. Selama masa kecilku, kaulah yang selalu menyayangiku...dan kini menjualku pada musuh.”

“Yang Mulia, bagiku, kau tetaplah seorang gadis yang tak tahu apapun. Diperintah oleh Albion masih lebih daripada gadis pengabai di tahta.”

“Apa cintamu padaku adalah kebohongan? Kau terlihat sepeti orang yang sangat lembut. Apa itu juga kebohongan?”

“Kecintaan pada putri raja tak diturunkan pada seorang tuan tanah. Kau tak bisa mengerti itu. Karena kau begitu naif, aku melakukan hal ini.”

Henrietta memejamkan matanya. Siapa yang harus kupercaya? Mengapa begitu sulit untuk dikhianati orang yang kau percaya? Tidak...aku tak dikhianati. Lelaki ini mencurangiku demi karirnya. Aku tak bisa mengerti hal semacam ini, sehingga, sebagaimana yang dikatakan Richmon, aku masih kanak-kanak.

Tapi, aku tak bisa terus menjadi anak kecil.

Aku harus mendapatkan...mata yang melihat kenyataan.

Yang melihat kebenaran bagaimanapun suasana hati.

Henrietta berkata dengan nada tegas.

“Atas nama Sang Ratu, kau dicabut dari kedudukan hakim Istana Kerajaan. Menyerahlah dengan tenang.”

Richmon sama sekali tak bergerak. Malah, dia menunjuk pada panggung dan berkata dengan nada seakan Henrietta hanyalah seorang tolol.

“jangan berkata hal-hal tak pantas semacam itu. Biarkan pertunjukan berjalan terus. Ini baru saja dimulai. Pergi sebelum pertunjukan selesai adalah ketidak sopanan pada para aktor.”

Henrietta menggelengkan kepalanya.

“Saat ini, di luar, para garda sihir sudah mengepung bangunan. Kini tunjukkanlah keberanian seorang ningrat dan serahkan Canemu.”

“Benar-benar...seorang anak bau kencur...Siapa yang kau pikir bakal kau tahan?”

“Apa katamu?”

“AKu hanya berkata kau masih kecepatan 100 tahun untuk menjebakku, itu saja.”

“Pon” Richmon bertepuk tangan.

Lalu, para aktor yang hingga saat ini memainkan adegan...sekitar 6 lelaki dan wanita, menghunus tongkat yang disembunyikan di celana atau jaket mereka, dan mengarahkannya pda Henrietta.

Para wanita muda mulai ribut.

“Diam! Tonton pertunjukannya dengan tenang!”

Nada marah Richmon...yang menyingkap sifat aslinya, menggema di dalam teater.

“Siapapun yang membuat suara akan dibunuh. Ini bukanlah pertunjukan.”

Tiba-tiba, seisi gedung diliputi keheningan.

“Kau benar-benar tak beruntung untuk datang kesini, Yang Mulia.”

Henrietta...bergumam pelan.

“Para aktor...ternyata adalah rekanmu.”

“Ya. Ini bukanlah suatu bualan. Mereka adalah penyihir kelas satu.”

“Dan aktor buruk sebagaimana yang kita lihat.”

Richmon mencengkram tangan Henrietta. Henrietta menggigil karena sentuhan kasarnya.

“Skenarioku melihat jauh kedepan. Paduka, Aku akan mengambilmu sebagai tawanan. Lalu, aku akan menyiapkan sebuah kapal ke Albion. Dirimu akan menjadi hadiah emigrasiku ke Albion. Tamat.”

“Memang. Skenario pertunukan ini adalah milikmu. Panggungnya adalah Tristain dan aktornya adalah Albion...”

“Dan kau akan jadi Putrinya. Jadi, ambillah bagian dalam komedi ini.”

“Sayangnya, hanya Tragedi yang cocok dengans eleraku. Aku tak dapat mengambil bagian dalam pertunjukan monyet semacam ini.”

“Sedihnya, dalam hidup ini, tiada yang bertindak melawan skenarioku.”

Henrietta menggelengkan kepalanya. Matanya memancarkan rasa Pede.

“Tidak, skenario pertunjukan hari ini adalah milikku.”

Manajemenmu buruk. Sedihnya, sebagai ketua, aku tak dapat membiarkanmu menghancurkan pertunjukan.”

Henrietta, dengan tetap pede...menunjukkan tongkatnya pada para penyihir, yang menyamar sebagai aktor.

“Yang buruk adalah para aktor. Mereka aktor sampah. Tiada yang takkan menyadarinya.”

“Jangan mengatakan hal-hal yang berlebihan. Cepat atau lambat mereka akan menjadi aktor yang dipuja-puja di Albion.”

“Kini, tinggalkan panggung.”

Para wanita yang ribut dan ketakutak hingga saat ini...

setelah kata-kata Henrietta, mengubah penampakan mereka 180 derajat dan mengeluarkan pistol mereka secara bersamaan.

Para penyihir bawahan Richmon yang tengah mengarahkan tongkat mereka pada Henrietta, terkejut oleh pemandangan ini, yang memperlambat reaksi mereka.

Doon! Suara dari 10 tembakan pistol meleleh jadi satu suara keras.

Karena dalam teater, suaranya meningkat beberapa kali, dan terasa bagaikan raungan petir.

Saat asap hitam dan tebal menghilang...Para penyihir Albion yang menyamar sebagai aktor diterjang peluru, semuanya mati di panggung sebelum sempat melantunkan satu mantra pun.

Seluruh penonton teater...merupakan anggora Musketeer. secara alami, bahkan Richmon yang penuh kewaspadaan tak dapat melihat ini.

Seluruh Musketeer adaalh jelata muda...terlebih lagi...wanita.

Henrietta menginfokan pada penonton tetangganya dengan nada es,

“Mohon berdiri, Richmon. Pertunjukan sudah selesai.”


Richmon berdiri dengan berat.

Dia tetawa keras dan menghunus daggernya secara bersamaan.

Sambil terus tertawa keras bagai orang gila dan tak menghiraukan pedang yang diarahkan padanya, Richmon naik ke atas panggung perlahan-lahan. Para Musketeer mengepungnya. Mereka bersiap menusuknya bila dia membuat bahkan satu gerakan yang mencurigakan.

“Ketahui kapan saatnya menyerah! Richmon!”

“Aku sanagt senang dengan sukses ini! Ini tak mungkin skenario luar biasa yang ditulis Yang Mulia! Sungguh terlalu untuk skenario pertunjukanku...”

Richmon memandangi musketeer yang mengepungnya dengan sikap acuh tak acuh.

“Yang Mulia...Ini nasihat terakhir dari seseorang yang telah melayani Yang Mulia sejak hari kelahiranmu.”

“Bicaralah.”

“Yang Mulia, Meski semuanya dimulai sejak dulu sekali,...”

Saat Richmon berdiri di sudut panggung...dan *Don* dia menghentakkan lantai dengn kakinya. lalu, tepat seperti lubang jebakan, lantai terbuka.

“Ia berakhir pendek disini.”

Richmon langsung jatuh kedalamnya. Meski para musketeer berlari menujunya dengan waspada...lantainya terkunci dan tak terbuka meski mereka mendorong maupun menariknya. Sepertinya ini dikendalikan sihir.

“Yang Mulia...”

Sluruh anggota menatap Henrietta dengan tegang. Merasa terhina, setelah menggigit kuku jemarinya, Henrietta menengadah dan berteriak,

“Cari dia di Gerbang depan! Semuanya, Bewrgerak!”


Lubang itu terhubung ke jalan bawah tanah. Richmon membuat lubang tikus ini untuk hari berhujan.

Untuk berhenti dari terus-terusan jatuh, Richmon menggunakan “melayang’ dan, dengan menggunakan manta cahaya pada tongkatnya, mulai menyusuri jalan bawah tanah sembari menerangi tanah sekitar di bawah kakinya. Terowongan ini menuju kediaman Richmon. Dia perlu kembali kesana. Da hendak kabur ke Albion setelah mengumpulkan uangnya.

“tapi...Yang memimpin ini adalah Putri...”

Di hari dia kabur, dia akan mengajukan satu regimen tentara pada Cromwell, lalu dia akan kembali lagi ke Tristain, menangkap Henrietta, dan setelah membayar berkali-kali untuk penghinaan hari ini, dia akan memperkosa dan membunuhnya.

Saat sedang berjalan dan membayangkan hal-hal itu...dia melihat sebuah bayangan dalam cahaya.

Sesaat berlalu.

Wajah yang timbul dari kegelapan...adalah wajah Agnes, sang Musketeer.

“Oh, engkau Richmon-dono. Mengambil jalur pulang alternatif?”

kata Agnes sambil tersenyjm. Suaranya bergema di terowongan gelap, sempit dan suram tersebut.

“Kau...”

Richmon menjawab sambil tersenyum lega. Memang, mereka mungkin telah menemukan terowongan rahasia ini dan mungkin telah menyingkap rencana teaternya...tapi ini bukan seorang penyihir, hanya seorang pemedang yang menyerangnya, ini seharusnya tak sulit. Dia, seperti kebanyakan penyihir, memandang remeh para pemedang.

“Menyingkirlah. Tiada waktu bermain denganmu. Terlalu menggangguku untuk membunuhmu di tempat seperti ini.”

Setelah kata-kata Richmon, Agnes mengeluarkan pistolnya.

“Skakmat. Akus udah mengucapkan mantra. Aku hanya perlu melepaskannya padamu. Peluru tak bisa menembus pelindung 20 lapisku. Kesetiaanmu pada Henrietta tak termasuk memberikan nyawamu. Karena kau seorang jelata.”

Richmon meneruskan dengan nada bosan.

“bayaran serangga tak pantas untuk mantra ningrat. Pergi.”

Agnes memeras keluar kata-kata.

“Aku akan membunuhny, bukan karena kesetiaan pada ratu, tapi untuk dendam pribadiku.”

“Dendam pribadi?”

“D'Angleterre.”

Richmon tersenyum. kalau dipikir-pikir, dia hari itu, sebelum meninggalkan kediamanku...si ini menanyaiku soal ini. jad itu alasannya. Richmon yang akhirnya mengerti alasannya, tertawa.

“Begitu toh! Jadi kau orang yang selamat!”

“kau bertanggung jawab atas kejahatan itu...kota asalku dihancurkan, bahkan tanpa tahu kenapa.”

Ucap Agnes sambil menggigit bibir. Sealiran darah menuruni bibirnya.

“Pembelot Romalia. “Perburuan Protestan.’ Kau mengklaim ‘Protestanism’ sebagai pemberontakan dan menghancurkan kotaku. Berapa sih yangkau dapat dari agen agama Romalia sebagai balsannya, Richmon?”

“Kau menanyakan jumlah uangnya? Kau ingin tahu? Aku ingin mengatakannya, tapi aku tak ingat jumlah sogokannya.”

“Apakah hanya pada uang kau percaya? wahai orang tak beruntung.”

“Caramu percaya Tuhan, begitulah kupercaya uangku, apa ada perbedaan? Caramu meratapi keluarga yang pergi, begitulah pengharapanku pada uang, apa ada perbedaan? Ceritakanlah padaku. Aku ingin tahu.”

“Aku akan membunuhmu. Pergunakanlah tabunganmu di neraka.”

“Meski adalah sia-sia untuk menggunakan sebuah mantra ningrat pada orang sepertimu...ini adalah takdir.”

Richmon bergumam dan melepas mantranya,

Sebuah bola api besar muncul di ujung tongkat sihir dan melesat menuju Agnes. Dia mengira Agnes bakal menembakkan pistol yang digenggam tangannya..tapi, dia malah membuangnya.

“Apa?”

Dia melingkupi dirinya dengan mantel dan menerima bola api tersebut. Meski mantel terbakar sesaat...kantong air di bawahnya menguap untuk menyerap daya bola api. Namun, dayanya tak menghilang seluruhnya. Ia memukul tubuh Agnes, dan menghantam baju rantainya,

“Uwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”

Namun, Agnes bertahan, ia tak jatuh, Sebuah kekuatan hati yang luar biasa. Sambil menahan sakit karena seluruh tibuhnya terbakar, dia berlari menjuju Richmon sambil menghunus pedangnya.

Richmon buru-buru menembakkan mantra lainnya untuk menyerang balik. Bilah angin itu mengenai Agnes. Ia merobek baju rantai dan layar baju besi, yang mencegahnya menderita luka mematikan. Sambil menerima tebasan yang tak terhitung jumlahnya, Agnes terus melaju.

Saat dimana Richmon mencoba melantunkan mantra lainnya, Agnes menabrak dadanya.

“Uooo...”

Bukan mantra yang keluar dari mulu Richmon...melainkan darah nan merah. Agnes menekan pegangan, memasukkan pedang lebih dalam ke dada Richmon.

“Pe-penyihir kalah oleh jelata...seorang ningrat sepertiku...kalah dari pemedang sepertimu...”

“,,,katakan padaku, apakahpedang dan pistol masih mainan bagimu?”

Masih dengan tubuh yang terbakar dan tertebas, Agnes memutar pedangnya perlahan-lahan dan menarik keluar isi dada Richmon.

“Mereka bukanlah mainan. Mereka adalah senjata. Tak seperti kalian, para ningrat, kami setidaknya mengasah taring kami. Matilah karena taring itu, Richmon.”

  • Gop* Richmon memuntahkan darah dalam jumlah sangat besar.
Dan perlahan-lahan jatuh ke tanah,

Keheningan kembali menyeruak.

Agnes mengambil lentera yang dijatuhkannya tadi, dan dengan bersender pada tembk, dia perlahan berjalan tertatih-tatih. Tebasan diatas bagian yang terbakar begitu nyeri sehingga Agnes bisa jatuh setiap saat.

Namun, Agnes terus berjalan.

“...tak bisa mati disini. Aku masih...masih...harus membunuh.”

perlahan, langkah demi langkah, dengan pedang sebgai penopangnya dan masih berdarah-darah, Agnes menuju jalan keluar.

Jalan keluar terdekat dari terowongan rahasia di bawah tanah Tristania ini adalah...saluran air di Jalan Chicton. Begitu Agnes merangkak keluar dari sana dnegan menyeret badannya keluar, Penduduk kota langsung menjerit. Setelah menengadah memandangi matahari yang cemerlang...merasa beruntung karena bertahan hidup, Agnes pingsan.


3 hari kemudian...

Di dapur, Saito tengah mencuci piring sebagaimana biasa. *Don* Louise menubruk punggungnya. Karena hampir menjatuhkan piring, saito mengeluh,

“Lebih berhati-hatilah! jangan buat aku memecahkan piring!”

Grr, Louise menatapnya tajam. Merasa lega, Saito memutar kepalanya. Sejak hari itu...Louise tak pernah bicara padanya.

Louise mencelanya, sejak saito akhirnya menceritakan segala yang terjadi selama bersembunyi bersa Henrietta di penginapan murah itu. Kecuali satu hal...ciumannya.

Dia hanya cemberut sekarang, tapi dia akan jdi serius kalau dia menyingkap soal ciuman itu. Lagipula, Keinginan Louise untuk memonopoli sangat kua. Dia mengamuk kapanpun Saito si familiar terpikat oleh gadis lain. Ciuman dengan Henrietta yang begitu dipujanya bakal lebih buruk lagi.

Louise akan membunuhnya kalau dia tahu.

Karenanya, tak peduli bagaimanapun jua, Saito harus berusaha agar dia tak tahu.

“...J-Jangan marah begitu.”

“Aku tak marah.”

“Lalu mengapa kau tak bicara? Aku dan putri saling berpelukan karena tak ada pilihan lain. Kami tak ingin ditemukan...”

“...Kau tak melakukan hal lain?”

“T-tentu saja tidak!”

Saito mulai bersiul-siul saat mencuci piring-piring.

Meski dari sisi orang lain ini terlihat seperti pertengkaran antar pacar...mereka berdua berpikir sebaliknya. Saito melihat keirian Louise sebagai keinginan memonopoli familiarnya. Dan Louise sebagai Louise takkan mengakui perasaannya secara jujur. Jadi dengan begitu, hubungan keduanya masih berjalan di garis yang paralel. Apa ini akan terus begitu? Untuk saat ini, hubungan mereka masih berupa garis paralel.

Lalu, di tempat dimana hubungan dua orang ini rumit sebagaimana biasanya, pintu terbuka dan dua tamu menunjukkan diri. Mereka mengenakan Tudung.

“Hai. Ada yang bisa dibantu?”

Saat saat Louise melangkah pergi untuk mengambil pesanan, Salah satu tamu dengan tenang mengangkat tudung dan menunjukkan wajahnya pada Louise.

“Agnes!”

Agnes berbisik pada Louise.

“Mohon siapkan kamar di lantai dua.”

“Jika ini kau, maka ..yang lain...”

“..Adalah aku.”

Suara Henrietta.

Louise mengangguk dan menyiapkan kamar tamu di lantai dua.


“Sekarang...Louise. Pertama-tama, izinkan aku menghatur terima kasihku padamu...”

kata Henrietta sambil memandangi semuanya yang duduk di sekitar meja.

Louise, Saito, Agnes...

Meski Agnes luka parah, dengan bantuan mantra “Penyembuhan“ Henrietta, yang merupakan pengguna air, dia hampir sembuh seperti sedia kala. Namun, dia masih belum bisa mengenakan pelindung. Oleh karena itu, hari ini dia mengenbakan Kaos dalam yang dilapis dan celana tawar dengan sepatu laras.

“Info yang kau kumpulkan benar-benar berguna.”

“A-apa itu semua berguna bagimu?”

Bukan hanya isu politik yang ada di gosip-gosip kota. Ada juga opini dan kritik warga. Meski dia tak bisa memikirkan soal itu semua, ternyata itu semua berguna bagi Henrietta...

“Dengan begini aku dapat melihat tanpa berpura-pura bagaiaman aku dipandang orang lain. Aku ingin mendengar kenyataan yang sesungguhnya. Meski mereka sakit bagi telinga...”

Dari situ, ada banyak kritik mengenai Henrietta. Meski Louise tak setuju, dia melaporkan segalanya apa adanya. Itulah mengapa Henrietta senang.

“AKu masih bau kencur, karenanya aku harus menerima kritik ini, karena ia penting untuk perkembangan masa depan.”

Louise membungkuk.

“AKu juga perlu minta maaf. Aku minta maaf karena meminjam familiar sanmu tanpa izin dan tak menjelaskan situasinya.”

“memang, jahat sekali kau mengabaikanku.”

kata Louise datar.

“Aku tak ingin kau terlibat terlalu dalam. Aku harus melakukan pekerjaan kotor menyebarkan jebakannya...untuk si pengkhianat...”

“Hakin Istana Kerajaan adalah si Pengkhianat...”

Meski Henrietta mencoba merahasiakannya...Rahasia itu sudah bocor kemana-mana. Berita Richmon yang jadi mata-mata Albion sudah jadi isu terkenal di kota.

Louise memundurkan kepalanya.

“Namun, aku bukan anak-anak lagi. Aku bisa menyimpan rahasia Putri-sama. Dari mulai saat ini, mohon selalu beritahu aku.”

Henrietta menganggu,

“Baiklah. Mari kita lakukan itu. Lagipula, orang-orang yang bisa kupercaya dari dasar lubuk hatiku...hanyalah orang-orang di ruangan ini.”

“familiar juga?”

Louise berfikir. Mata Henrietta dan Saito bertemu untuk sesaat. Setelah itu, warna merah nan semu nampak di pipi keduanya, dan bersama-sama mereka menundukkan pandangan.

“Y-ya...Sudah pasti begitu. Ah! Itu Benar! Kita masih belum berkenalan secara resmi!”

Henrietta mencoba mengubah topik, dan mengulurkan tangannya pada Agnes.

“Ini adalah Komandan Musketeerku yang terpercaya, Agnes Chevalier de Milan. Meski dia seorang wanita, dia menggunakan pedang dan pistol seahli lelaki. Dia juga menghukum tegas si pengkhianat yang mencoba kabur. dia berdiri tanpa takut melawan seorang penyihir hanya dengan sebilah pedang...seorang pahlawan.”

“AKu bukanlah pahlawan.”

Agnes menepis pernyataan itu dan mengembalikan wajah cerianya lagi. Lalu dia berkata dengan nada halus.

“Yang Mulia, kita tak perlu perkenalan. Aku sudah mengadakan hubungan semalam dengan Nona Vallière.”

Pipi Louise memerah, mengingat ciuman itu.

“Itu bukan seperti yang kalian kira!”

“Itu adalah malam tak terlupakan, ya, kan, Nona Vallière?”

kata Agnes sambil tertawa. Ini membuat pipi Louise makin memerah.

“Malan yang tak terlupakan?” tanya Henrietta.

“Bukan apa-apa, untuk menipu mata musuh, kami berpura-pura menjadi kekasih. Kami berciuman! Itu sangat lucu! Ahahahaha!”

Agnes tertawa senang.

Pipi Louise makin memerah saja. Dia mengira Saito akan mulai mempermainkannya soal dia dicium oleh wanita. Tetapi, dia tak tertawa.

Entah mengapa, dengan aneh dia membuang pandangannya.

Louise menatap lurus henrietta. Dia juga tengah mempermainkan jemarinya tak terkendali.

Apalagi, ketika mata mereka bertemu tadi, mereka menundukkan wajah mereka. Sbuah ragu nan aneh...menyelinap ke hati Louise.

“Y-yah, ada beberapa hal lain yang harus dilakukan, kita harus bersiap pergi, Agnes.”

Henrietta bangkit.

“Eh? Kupikir kita bakal minum-minum semalaman?”

“Aku mengkhawatirkan lukamu..baiklah, Louise, aku minta kau untuk lanjut saja.”

Henrietta buru-buru keluar kamar. Agnes, yang tampak kehilangan pegangan, mengikutinya.

saito juga bangkit dan mencoba keluar.

“Tidak perlu terburu-buru.”

Louise menahannya. Merasakan firasat buruk. wajah Saito memucat.

“Tidah, ini, mencuci piring...”

kata Saito sambil menatap lurus kedepan. suaranya bergetar,

Louise tersenyjm, namun.

“Mm, duudklah, tak apa-apa. Tinggallah disini hingga pagi.”

Dia menunjuk ke kasur. Saito duduk pelan-pelan. Apa yang tengah terjadi, apa dia tahu? Ciuman Putri..Tidak, pasti tisdak...Dia tak bisa begitu tenang, kan?”

I-itu benar. Jika dia tahu, Louise takkan bersikap begini. Dia akan menginjak wajah Saito berulang kali sambil berkata.

“Kau mencium Putri, kan?”

namun dia tersenyjm. Mungkin dia benar-benar, tanpa modus tersembunyi, menunjukkan penghargaan pada kesialan Saito.

“A-ada apa? Kau begitu lembut secara aneh.”

“Tidak, Terima kasih untuk kerja kerasmu akhir-akhir ini. Aku hanya ingin mewujudkan rasa terima kasihku. Itu saja.”

Louise memberikan saito sebuah cangkir dan menungakan anggur.

“T-terima kasih.”

“Dengar, aku...hanya kecewa Putri tak membutuhkanku. Lalu 2-3 hari aku dalam suasana hati yang tak enak...soal ini dan itu. Tapi kini aku bersemangat lagi! Semuanya baik-baik saja!”

Melihat itu, saito merasa lega.

Aaah, dia khawatir yang berlebihan...aku senang...Sepertinya dia benar-benar telah memancarkan lagi humor segarnya.

.”Apa sulit untuk menjaga Sang Putri?”

Louise menggenggam tangan Saito.

“Hingga tingkat tertentu.”

Mengapa Louise begitu lembut? Ah, apa peduliku, aku tak pernah merasa begitu baik selama ini.

“Sebagaimana yang diharapkan dari Familiarku! Aku sangat bangga!”

Saito mulai membusungkan dada

“I-itu...gampang saja. Kami melakukannya bersama-sama...”

“Tetap saja itu hebat. Caramu hingga tiada yang bisa menemukanmu, kau pastinya menipu para pengejar, kan?”

“I-itu benar.”

“Minum-minumlah yang banyak. Aku yang bertugas menjadi Majikan penyayang hari ini. Aku akan jadi pelayannya.”

Setelah mengatakan itu, dia mengisi ulang gelas dengan Anggur. Dipuji Louise begitu, kepercayaan diri Saito perlahan tumbuh.

“Saito sangat hebat! Saat dia ditemui tiba-tiba, di dengan cepat, dengan kehendaknya sendiri, berpura-pura jadi sepasang kekasih dan menipu mereka, kan? Kau seharusnya jadi aktor saja! Kau bisa jadi Pemain Utama Teater Kerajaan TanaiJiiru!”

“Itu benar! Kemenangan mudah!”

Louise melanjutkan dengan cara yang sama.

“Saito sangat luar biasa! Apa dia mencium Sang Putri?”

“Itu benar1”

Tepat saat itu, susana membeku.

Saito menyadari bahwa dia ditipu mentah-mentah. Jika kau ingin menarik keluar sesuatu dari rekanmu, pertama-tama, kau perlu membuatnya merasa tenang. Teknik yang Louise dapat di bar! Dia memakainya!

Loui8se memakainya tiap hari, jadi keahliannya berkembang.

“L-Louise, ini...K-kau...itu...”

Ketegangan dalam kamar meningkat.

Louise lalu bangkit dan mengunci pintu.

Membalikkan badan, Louise berkata dengan nada cerah yang sama.

“Hei, anjing.”

Anjing.

Dalam satu tarikan napas, rasa mabuk dari anggur menguap.

Saito mulai gemetaran.

Mengapa aura gelap itu memancar dari bahu Louise?

Apa-apaan aura gelap ini?

“Anjing, ada yang salah? Jawab aku!”

“W-woof!”

Malam ini, “Anjing’ terdengar sangat berbeda. Ini berbeda. Bayangan neraka menusuk tiap tubuh Saito yang lumpuh. Rasa putus asa nan asam memenuhi mulutnya.

“Punten. Sihir atau kaki, mau yang mana?”

“Dua-duanya tampak Ngeriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii.”

“Maaf, tapi memang harus mengerikan. Sekarang, putuskanlah, ayo buruan.”

Dan jadinya.....ini akan jadi malam nan panjang....

Sangat panjang. dan sebuah hari istirahat nan panjang juga.

Bila. aku bisa bertahan malam ini.

Dan aku harus mewaspadai semua gadis yang menyajikan alkohol mulai saat ini, pikir Saito.


Sebelumnya ke Volume 4 Kembali ke Halaman utama Selanjutnya ke Volume 6