Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume2 Bab9

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Pertarungan Terakhir

Keesokan paginya...

Didalam pelabuhan Newcastlr didalam gua, Saito berbaris untuk menaiki Sang Elang, dikelilingi orang yang terburu-buru dan tak bisa pergi dengan Marie Galante.

"Karena cinta, terkadang perlu untuk melepasnya..." Derflinger bergumam kecil. Dia tergantung dengan sebuah benang pada punggung Saito. Tak tertahan lagi, selama hari-hari seperti ini, tiada yang bisa diajak bicara.

"Berhentilah mengatakannya..."

"Mengapa?"

"Aku merasa sakit saat kau mengatakannya."

"Maksudmu, karena cinta, terkadang perlu untuk melepasnya,...itu?"

"Mengapa kau tak jua berhenti mengatakannya?"

"Aku mengerti, aku takkan mengatakannya lagi, jika itu yang diminta rekan, namun, kita harus berdiskusi soal masa depan kita. Apa kau sudah memutuskan mau kemana, karena kita punya banyak waktu senggang sekarang?" tanya Derflinger, seolah dia tak tahu.

"Mungkin ke Arukattsu."

"Dan disana kita akan mencari cara untuk kembali ke dunia lama rekan?"

"Mengapa kau ikut mencari? Aku satu-satunya alien disini, kan? kata Saito.

Sebuah Jalan untuk kembali pulang? Louise berkata dia akan membantu mencarinya, tapi dia seharusnya tak bergantung padanya. Meski meninggalkan kota Louise adalah sesuatu yang sulit.

"Kau jadi tentara bayaran saja."

"Bayaran?"

"Ya, dengan sebuah pedang di bahumu, mencari sebuah pertempuran di satu hari, lalu berkeliaran ke negara dan medan lain esoknya. Pemasukan kurang, tapi setidaknya pelampiasan puas, kan?"

Saito bergumam."Dan seorang kawan yang buruk."

"Apa? tanpa aku sebagai rekanmu, seorang biasa sepertimu akan ditinggalkan seketika."

"Bahkan meski kekuatan terhebatmu adalah mengarat."

"Kasar sekali. Tapi aku memaafkanmu, karena kau rekanku. Ngomong-ngomong, rekan, aku teringat sesuatu kemarin-kemarin..."

"Apa?"

"Rekan, kau dipanggil Gandálfr?"

"Ah, itu sih karena itu nama si familiar legendaris. Saat aku pertama kali mendengarnya, aku terkejut senang. aku-"

"Tunggu, tunggu, rekanku. Aku rasa aku ingat nama itu..."

"Benarkah?"

"Tidak, ia ingatan yang sudah teramat lapuk...Dulu, dulu sekali, aku dapt ia di sudut kepalaku..."

Derflinger terus menggumamkan "Hm", "aha", dan "aah" berulang kali.

"Mungkin kau kebingungan karena itu sudah lama sekali. Lagipula, dimana letak kepala sebuah pedang?"

Derflinger memikirkannya sebentar."Pegangannya mungkin?" katanya, membuat Saito tertawa.

Akhirnya giliran Saito untuk naik kapal. Saat dia menaiki tangga, dia melihat bahwa kapal pengungsi sebagaimana tebakan banyak orang - banyak orang berdesakan saling berdekatan sehingga tak mungkin mencari tempat duduk di dek. Saito memandangi gua limestone dari ujung kapal. Pada saat itu, Louise tengah dalam proses pernikahannya. Saito menutup matanya erat saat memikirkan itu. Orang-orang tetap menaiki kapal, satu per satu, ia benar-benar kepenuhan dan segerombolan orang mendorong Saito disekitaran dek. Sikut seseorang menyikut lengannya yang terluka, membuatnya menjerit.

Sementara itu, di sebuah gereja, dimana potret Brimir sang Pendiri digantungkan, Putra Mahkota tengah menunggu kemunculan pasangan pengantin. Tiada orang disekitar, karena semuanya sibuk bersiap untuk peperangan yang akan dimulai. Wales juga berencana, setelah upacara selesai, untuk juga bersiap berperang. Wales memakai seragam formal putra mahkota. Dia memakai mantel ungu cerah, simbol keluarga kerajaan, dan sebuah topi dengan sayap tujuh warna, simbol keluarga kerajaan Albion.

Pintu terbuka, Louise dan Wardes tiba. Louise berdiri dengan wajah bengong sehingga Wales harus memanggilnnya untuk datang dan berdiri di hadapannya. Louise kebingungan. Semuanya terjadi tiba-tiba. Wardes masuk paksa kamarnya pagi ini dan membawanya kesini, bahkan tak membangunkannya benar-benar. Dia kebingungan, karena perasaan tenggalam tengah memenuhi pikirannya. Dia datang kesini tanpa berfikir, masih setengah tertidur. Karena pangeran yakin untuk mati dan kelakuan Saito kemari, dia masih merasa merasa tenggelam.

Wardes, setelah bilang pada Louise "sekarang saatnya pernikahan", memakaikan sebuah tutup pengantin yang dipinjam dari keluarga kerajaan Albion pada kepala Louise. Tutup itu dibuat dengan indah, dan bunga-bunganya, yang segar selamanya berkat sihir, membuatnya indah yang tak terlukiskan. Lalu, Wardes melepas mantel hitam Louise dan menggantinya dengan yang putih, juga dipinjam dari keluarga kerajaan Albion. Hanya pengantin wanita yang boleh memakainya, karena ia mantel seorang perawan.

Namun, bahkan saat didandani oleh tangan Wardes, Louise masih mematung. namun, Wales mengartikan sikap Louise sebagai tanda kesetujuannya. Wardes dan Louise berdiri di hadapan Wales, yang berdiri dibawah gambar Brimir Sang Pendiri, dengan berpakaian resmi. Wardes, yang memakai bajunya yang biasa dan mantel penyihirnya, menundukkan kepalanya.

"Baiklah, mari mulai upacaranya."

Suara pangeran mencapai telinga Louise. NAmun, ia bagai suara lemah lonceng nan jauh. Pikiran Louise masih tersesat dalam kabut pikirannya sendiri.

"Pengantin pria, Viscount Jean-Jacques Francis de Wardes. Apa kau mengambil gadis ini sebagai istrimu, dan bersumpah untuk menghormati dan mencintainya atas nama Brimir sang pendiri?"

Wardes mengangguk tegas dan menggenggam tongkatnya dengan tangan kirinya, memegangnya ke depan dadanya.

"Aku bersumpah."

Wales memandangi Louise dan tersenyum untuk memberanikannya.

"Pengantin wanita, putri ketiga Duke de La Vallière, Louise Françoise le Blanc de La Vallière…”Wales membaca sumpah itu dengan suara bening.

Tepat saat itu, Louise menyadari dia di tengah-tengah upacara perkawinan. Rekan terpercayanya-Wardes, yang dulu ia idamkan. Pernikahan yang diatur bapak mereka. Saat ini, masa depan kekanakan, tak pikir panjang dan jauhnya mulai menjadi nyata.

Bukan berarti aku membenci Wardes. Mungkin aku malah menyukainya. Tapi, jika memang begitu, mengapa aku merasa sakit begini? Mengapa aku merasa sedih? Apa ini karena aku melihat kerajaan menjadi puing-puing? Atau apa karena aku menghadap seorang pangeran yang meninggalkan cinta dan harapannya, hanya untuk mati? Bukan, bukan itu. Meski memang hal-hal itu menyakitkan, takkan ada kabut kesedihan yang begitu tebal di pikiranku hanya karena itu. Kabut yang tebal, sedih dan sulit ditahan.

Louise tiba-tiba mengingat raut muka Saito saat dia mengatakan "pernikahan" padanya.

Mengapa aku mengatakan itu padanya? Itu karena aku ingin dihentikan.

Oleh siapa? Karena kuingin Saito menahanku.

Mengapa? Muka Louise mulai memerah memikirkan alasannya. Seperti ketika berpikir tentang mengapa pada malam kemarin, dia, yang meski dalam kesedihan yang mendalam, begitu mudahnya melompat ke dada Saito, yang kebetulan ditemuinya di koridor. Tapi apa perasaan itu jujur? Aku tak tahu. Tapi bukankah ia berharga untuk dicari tahu jawabnya?

Bagaimanapun juga, tak peduli seberapa senang atau sedihnya dia, dia tak pernah melompat ke dada seorang lelaki sebelumnya.

Sementara itu...Di atas dek kapal perang Elang. Saito, yang tengah bersender dengan rasa tenggelam pada ujung bagian atas, mulai kehilangan fokus pada segala yang disekitarnya.

"Mmm?"

"Ada apa, rekan?"

Pandangan Saito makin gelap. Tepat bagai semilir panas di tengah musimnya, pandangan mata kirinya mulai berayun dan samar.

"Mataku bertingkah aneh."

"Itu karena ka kelelahan." kata Derflinger, pura-pura tak tahu alasan sebenarnya.

"Pengantin?"

Wales memandang ke arahnya. Lousie tetap nampak panik. Dia berwajah seseorang yang samasekali tak tahu apa yang dilakukannya disana. Louise kebingungan. Apa yang harus dilakukannya? Apa yang harus dilakukannya di saat seperti ini? Tiada yang mengajarkannya itu. Hanya familiar Louise, yang meninggalkan daratan saat itu, yang mungkin tahuu jawabnya.

"Apa kau tegang? Tak apa-apa. Ini pertama kalinya, jadi wajar kalau tegang." Wales tersenyum saat mengatakan itu.

"Sayang sekali, kita tetap harus memegang etika, melakukan ini hanya berarti bila kita mengikuti etika. Maka, perkenankan aku mengulang. Apa kau menerima lelaki ini sebagai suamimu, dan bersumpah untuk menghormati dan mencintainya atas nama Brimir sang Pendiri..."

Louise sadar. Dia seharusnya tak enggan dengan jawabannya, menunggu seseorang untuk bilang apa yang harus dilakukannya. Dia harus membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Louise meneguhkan diri dan bernapas dalam-dalam. Dan, sebelum Wales menyelesaikan kalimatnya, Louise menggelengkan kepalanya.

"Pengantin wanita?"

"Louise?"

Kedua orang itu memandangi wajah Louise dengan curiga. Dia menatap Wardes dengan kesedihan di wajahnya dan sekali lagi menggelengkan kepalanya.

"Dengan penuh kesungguhan Louise. Apa kau baik-baik saja?"

"Tidak, bukan itu. Aku minta maaf..."

"Jika hari ini tak baik, mungkin di lain waktu..."

"Bukan itu, bukan itu. Aku minta maaf Wardes. Aku tak bisa menikahimu."

Wales terlihat ragu pada titik balik yang tiba-tiba ini.

"Pengantin wanita, ini bukan pernikahan yang kau inginkan?"

"Ya, begitulah. Aku ingin minta maaf pada kalian berdua untuk kelancanganku, ini keputusan yang menyakitkan untuk dibuat, tapi aku tak ingin menikah."

Wajah Wardes dengan cepat disebari merah penuh marah. Wales menghadapnya dan berkata dengan suara malu, ragu, dan menyesal.

"Viscount, aku minta maaf dengan sangat, tapi pengantin wanita tak menginginkan upacara ini berlanjut."

Namun, Wardes tak memperhatikan Wales, dan meraih tangan Louise. "...Kau hanya tegang. Louise sayangku. Kau pasti tidak benar-benar menolak tawaranku."

"Aku minta maaf Wardes. Aku merindukanmu, Mungkin...mungkin aku pernah mencintaimu, Namun, kini semuanya berbeda."

Lalu, Wardes mencengkram bahu Louise. Sinar matanya berubah. kelembutan yang biasa terpancar menghilang dri wajahnya, diganti dingin yang menusuk seekor reptil.

Wardes berteriak dengan nada bergetar. "Dunia, Louise! Aku akan menguasai dunia! Kau diperlukan untuk itu!"

Ketakutan oleh Wardes yang berubah tiba-tiba, Lousie terus menggelengkan kepalanya. "...Aku, Aku tak diperlukan untuk itu."

Wardes menggunakan kedua tangannya, menarik Louise mendekat. "Kau diperlukan olehku! Kemampuanmu! Kekuatanmu!"

Wardes ini semakin menakuti Louise. Tak pernah bahkan dalam mimpi terliarnya sekalipun dia membayangkan Wardes yang lembut bermuka masam atau berteriak seperti ini. Louise mencoba melepaskan diri.

"Louise, apa kaumlupa apa yang pernah kukatakan padamu! Kau tak kalah bahkan dibandingkan dengan Brimir sang Pendiri, kau akan tumbuh menjadi penyihir yang luar biasa suatu hari! Kau hanay belum mengetahuinya! Bakat itu!"

"Wardes, kau..." Suara Louise bergetar karena takut. Ini bukan Wardes yang Louise tahu. Apa yang mengubahnya jadi seperti ini?

Di atas Elang si kapal perang. Saito menggosok matanya lagi.

"Ada apa, rekan?"

"Mata kiriku bertingkah benar-benar aneh."

"Itu karena kau kelelahan."

Namun, pandangan mata kiri Saito semakin samar.

"Uwaaa! Akubisa melihat sesuatu!" teriak Saito. Itu benar-benar penglihatan seseorang.

Mata kiri dan kanan Saito terasa seperti dua bagian yang terpisaj.

"Aku bisa lihat..."

"Apa yang bisa kau lihat, rekan?"

"Mungkin, ini penglihatan Louise." kata Saito.

Sekarang dia ingat apa kata Louise beberapa waktu lalu."Familair adalah mata dan telinga tuannya, itu kemampuan mereka."

Namun, Louise bilang dia tak bisa melihat apapun melalui mataku...Pasti harus ada kasus dimana aturannya terbalik. Tapi mengapa aku tiba-tiba bisa melihat penglihatan Louise ?

Saito melihat tangan kirinya. TAnda yang terpahat disana bersinar terang, meski dia tak memegang senjata apapun. Tentu, tebakannya pasti benar. Inilah kemampuannya. Pasti, inilah kemampuan lainnya dari Gandálfr snag Familiar Legendaris.

Mari lihat, kutebak itu yang tengah dilihat Louise dengan mata kirinya? Saat memikirkannya, keingintahuan alami saito membimbingnya.

Wales, yang tak tahan lagi dengan sikap mengancam Wardes terhadap Louise, menyela. "Viscount..., cukup. Bersikaplah sebagai pria sejat..."

Namun, Wardes menyingkirkan tangan Wales. "Tutup mulutmu!"

Wales berdiri kaku, terkejut dengan perkataan Wardes. Wales menggenggam tangan Louise dengan miliknya dan Louise merasa itu ular yang membelitnya.

"Louise! Kau diperlukan olehku!"

"Aku tak punya bakat sebagai penyihir."

"Aku sudah bilang padamu berulangkali! Kau hanya tak menyadari kekuatanmu, Louise."

Louise mencoba melepaskan tangan Wardes, tapi kuatnya cengkraman yang dilakukannya pada Louise mencegahnya. mengernyit kesakitan, Louise berbicara. "Aku lebih baik mati daripada menikahimu. Aku mengerti sekarang, kau tak pernah mencintaiku. Kau hanya mencintai kekuatan sihirku yang kau pikir kumiliki. Adalah kejam, untuk menikahi seseorang hanay karena alasan begitu. Itu penghinaan!"

Louise berontak. Wales memegang bahu Wardes, mencoba menariknya pergi, tapi wardes malah mendorong Wales, yang jatuh ke tanah. Wajah Wales berubah merah, dan, setelah berdiri lagi, mengeluarkan tongkatnya.

"Kau, kekasaran macam apa ini! Ini penghinaan! Viscount, buang tanganmu dari la Vallière sekarang juga! Atau bilah sihirku akan merobek-robekmu!"

Hanya dengan itu tangan Wardes akhirnya melepaskan Louise, Sebuah senyum lembut tersungging di bibirnya. Namun, senyum itu dipaksa dan jelas sekali palsu. "Bahkan, meski aku memintamu dnegan cara begini kau takkan melakukannya? Louise. Louiseku."

Louise angkat suara, sambil gemetaran karena marah. "Tiodak, tiada keraguan lagi bahwa kau bukanlah yang akan kunikahi sepanjang hidupku."

Wardes menerawangi langit."Dan aku sudah berusaha keras, untuk menangkap perasaanmu selama perjalanan ini..."

Wardes merentangkan tangannya lebar-lebar, semntara kepalanya menghadap langit."Yah, sepertinya memang tak bisa. Sepertinya aku harus menyerah mengejar tujuan ini."

"tujuan?"

Louise nampak ragu. Apa yang dipikirkannya?

Ujung bibir Wardes naik, membentuk senyuman yang membuat sakit. "Itu benar. Ada tiga tujuan yang kukejar selama perjalanan ini. Sedihnya, aku hanya dapat dua."

"Dapat? Dua? Apa yang kau bicarakan?" tanya Louise, sambil merasakan bulu kuduknya berdiri. Pikirannya bekerja dengan kekuatan penuh, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

Wardes menunjukkan tangan kanannya dengan memegang tiga jari, dan membengkokkan jari telunjuknya. "Pertama adalah kau, Louise. Aku harus mendapatkanmu. Namun, tampaknya aku takkan bisa menyelesaikannya."

"Tentu saja!"

Wardes tersenyum, membengkokkan jari tengahnya"Tujuan kedua, Louise, ada dalam kantongmu - surat Henrietta."

Louise tersetrum.

"Wardes, kau...:

"dan, ketiga..."

Setelah mendengar Wardes berkatan "Surat henrietta." Wales mengerti semuanya dan mengeluarkan tongkatnya dan mulai membaca mantra. Namun, Wardes telah mnyiapkan dua mantra siap pakai sebelumnya. Wardes mengarahkan tongkat anginnya yang mulai berkilauan dan dengan ujungnya menembus dada Wales.

"Si-Sialan kau…'Reconquista'…”

Darah tiba-tiba muncrat dari mulut wales dan Louise menjerit. Wards bergumam, sambil mendorong tongkatnya yang berkilauan lebih dalam ke dada Wales. "Yang ketiga, adalah hidup terkutukmu, Wales."

Dengan itu. Wales jatuh ke tanah.

"Seorang ningrat! Kau seorang Ningrat Albion juga? Wardes!" teriak Louise sambil gemetaran. Wardes seorang pengkhianat.

"Itu benar. Aku memang anggota faksi ningrat Albion, ‘Reconquista’” jawab Wardes dengan suara dingin tak berperasaan.

"Mengapa! Mengapa, kau, seorang bangsawan Tristain, melakukan ini?"

"Kami adalah rasul pertama dari masa depan Halkeginia - sebuah persatuan ningrat yang tak berbatasnegara. Kami tak berbatas."

Wardes mengangkat tongkatnya lagi. "Halkeginia akan disatukan kembali oleh tangan kami, kami akan membangkitkan lagi 'Tanah Suci' Brimir Sang Pendiri."

"Dulu...kau dulu tak seperti ini. Apa yang mengubahmu begitu jauh? Wardes..."

"Tahun, kecelakaan dan takdir. Meski itu mengubahku dari apa yang kau tahu, ia tak mengubah diriku yang kau bicarakan. Dan kau terlalu banyak bicara."

Louise mencoba menunduk saat Wardes menggerakkan tongkatnya, namun mantranya setap mengenainya dengan mudah, melemparkannya ke lantai.

"Tolong..."

Wajah Louise memucat. Dia mencoba bangkit, tapi kakinya berhenti menurutinya. Wardes meluruskan kepalanya. "Untuk ini! Untuk ini kau menolak tawaranku untuk menguasai dunia bersama!"

Dia mulai membacakan mantra angin lainnya. "Angin Pemecah". dan Louise diterbangkan bagai sehelai kertas.

"Tidak...Tolong..."

"Bahkan burung terkecil pun tak bisa mendengarmu, sepertinya aku akan membuat kepalamu bersujud dalam kekalahan, ya, Louise?"

Dia dilemparkan lagi ke tembok dan ditinggalkan berbaring di lantai, mengerang kesakitan. Airmata mulai menetes dari wajahnya.

Dia masih meminta tolong familiarnya yang tak ada disana. "Mohon...Tolong aku."

Louise mengulang kaliamt itu bagai membaca sebuah mantra. Menikmatmati kesenangan ini, Wardes perlahan mulai membaca mantra. "Awan Kilat"

"Ini patut disesali...Bahwa nyawamu akan diambil oleh tangan ini..."

Bahkan jika lengan Saito ditembus mantra kilat ini, tiada kesempatan bertahan bila dia kena langsung. Dari keterkejutannya, napasnya naik turun dan seluruh tubuhnya kesakitam. Louise, yang ketakutan bagai anak kecil, menjerit. "Saito! Tolong!"

Di titik itu, Wardes menyelesaikan mantranya dan merendahkan tongkatnya, menyasar Louise dan...

Tembok gereja runtuh dengan suara menggelegar, dan sebuah hembusan angin nan kuat berhembus kedalam dari luar.

"Sialan kau..." gumam Wardes.

Setelah menghancurkan tembok, Saito melompat masuk dengan Derflinger di tangannya dan menghentikan tongkat Wardes.

"Kau..." Saito mengayunkan pedang ke samping. Wardes menghindarinya dengan meloncat ke belakang.

Kebetulan, Saito melihat Louise dengan sudut matanya. Setelah menjeritkan kata terakhirnya, Louise pingsan dan tak bergerak setelah itu. Dengan kemarahan yang meluap di matanya, Saito menatap keras pada Wardes. Nafsu membunuh mendidih dalam tubuhnya. Saito mengerang sambil menggigit keras bibirnya.

"Tak terampuni!"

"Mengapa kau disini,Gandálfr?" tanya Wardes dengan senyum kejam di bibirnya.

Tak menjawab, Saito dengan marah Namun, pedangnya hanya menghantam latai. Wardes terbang tinggi ke udara, sukses menghindari serangan.

"Ya benar, kau pasti merasakan tuanmu tengah dalam bahaya."

Wardes menyilangkan tangannya sambil melayang disamping potret Brimi Sang Pendiri. Terlihat Percaya diri dan penuh keyakinan.

"Kau mengkhianati Louise!" teriak Louise, sambil menusukkan pedangnya kedepan. . Namun, Wardes terbang lagi, menghindarinya, dan mendarat dengan anggun di lantai. Dia bergerak bagai bulu.

"Untuk menyelesaikan sebuah tujuan, kau tak bisa memilih akibatnya."

"Louise memercayaimu! Kau tunangannya...dia merindukanmu saat dia masih kecil..."

"Kepercayaan yang sangat egois."

Wardes menghindari pedang sambil melayang. Lalu dia mengayunkan tongkat dan menembakkan mantra lainnya. Meski saito mencoba menahannya dengan pedang, mantra "Angin Pemecah" menerbangkannya. Saito mengerang kesakitan begitu menghantm dinding. Lengan kirinya yang terluka nyeri dan karenanya, dia tak bisa bergerak sebebas biasanya,

"Itu saja? Gandálfr. Gerakanmu terlalu lambat. Setidaknya coba dan buat ini menarik."

Sebuah senyum jahat tersungging di bibir Wardes. Pada sat itu, Derflinger berteriak. "Aku ingat!"

"Apa yang kau bicarakan. di saat seperti ini!?"

"Benar...Gandálfr!"

"Apa!"

"Tidak, dari masa laluku, tangan yang memegangku. Gandálfr. tapi aku lupa. itu sudah 600 tahun yang lalu, masa lalu."

"Jangan bicara omong kosong!"

Wardes melepas"Angin Pemecah" lagi. Saito mencoba menghindarinya tapi tertangkap dan diterbangkan lagi.

"Ini terasa seperti dulu. Aku bisa menangis. Benar, tidak, itu yang aku cari-cari. Rekanku - Gandálfr itu1"

"Potong disitu!"

"Aku senang! Sekarang tiada yang bisa mengacuhkanku! Aku akan menunjukkan betapa kerennya aku!" teriak Derflinger begitu bilahnya mulai bersinar.

Saito terkejut sesaat dan mengamati Derflinger penuh kekaguman.

"Derf?Ya?"

Wardes mulai membacakan"Angin Pemecah" lagi. Angin mengamuk keluar menyasar Saito yang menaruh Derflinger yang bersinar di hadapannya.

"Tiada gunanya! Sebuah pedang takkan menghentikannya!" Teriak Wardes.

Namun, Angin itu, tak menerbangkan Saito, dan malah diisap kedalam bilah Derflinger.

dan...

Cahaya yang dipancarkan Derflinger semakin terang.

"Derf? Kau..."

"Ini bentuk asliku! Rekan! Tidak, aku melupakannya! BAdanku yang lelah mengubah dirinya sendiri! Tapi, ini cerita yang agak menarik, rekanku!"

"Buat pendek!"

"Tak sabaran. Aku lupa. Tapi, jangan lup, rekan. Aku mengisap seluruh sihir disekelilingku! Itu aku, tamhan kiri Gandálfr – Derflinger-sama!”


Wardes mengamati dengan ketertarikan pada Pedang yang dipegang saito.

"Memang...kau bukan pedanmg biasa. Aku seharusnya sadar itu saat kau melemahkan "Awan Kilat"ku.

Tetap saja, Wardes tak kehilangan kepercayaan dirinya. Dia tersenyum tipis saat mengatur tongkatnya.

"Sekarang, ayo jadi serius, ya? Waktunya tiba untuk mengajarkanmu mengapa sihir ini dikatakan yang terkuat."

Meski Saito menerjangnya, Wardes menghindarinya bagai seorang akrobat dan mengumamkan sebuah mantra. "Angin Lembah Sekeliling..."

Saat mantra selesai, tubuh wardes tiba-tiba mengganda. Satu...dua...tiga...empat...ganda Wardes, bersa,a tubuh sebenarnya, mengelilingi Saito.

"Kopian!"

"Ini bukan hanya'penggandaan'. Ia Juga "Angin Dimanapun", pembagian tak rata...Angin tak rata dibgai. Tempat dimana ia bertiup tidak hanay maslaah penampilan, ia juga memiliki tenga yang diperhitungkan."

Salah satu dari kopian Wardes tiba-tiba meraih sebuah topeng putih dari jubah dan memakainya. Tubuh Saito bergetart. Bulu kuduknya berdiri karena marah dan takut. Si Topeng adalah Wardes! Orang yang berdiri di sebekah Fouquet...Yang menghantam Saito dengan sebuah kilat tiada lain dan tiada bukan adalah Wardes!

"Hai Topeng...Kau..Pastilah kau juga yang membantu Fouquet kabur. Mantra yang licik dan multiguna. Kau bisa muncul dimana-mana."

"Memang. Terlebih lagi, tiap mereka punya kekuatan yang asli, Sudah kubilang, kan? 'Angin' tak dibagi rata"

Salah satu Wardes menerjang Saito, sementara yang lainnya menggumamkan mantra, membuat tongkat bersinar. "Jarum Udara", mantra yang menembus jantung Wales sebelumnya.

"Tongkat itu dikelilingi pusaran sihir, jadi pedang tak bisa menyedotnya!"

Tongkat itu bergetar dengan pusaran yang mengitarinya membentuk sebuah bilah, yang ujungnya diarahkan pada tubuh Saito selama serangan. Derflinger menahannya, tapi tenaga hantaman masih mengenai tangan Saito yang terluka dan dia jatuh ke bawah.

Wardes tertawa."Tak duruk baik seorang jelata. Bagaimanapun jga kau Gandálfr yang legendaris. Namun, disinilah akhirnya. Kau bukan lawan mantra "Angin Lembah Dimanapun". Perlahan, Wardes mengepung saito yang jatuh.

"Hai Pedang legendaris! Yang digunakan Gandálfr! Derf!"

"itu aku. Ada apa?"

"Jika kau sangat legendaris, lakukan sesuatu atau kita bakal dibunuh."

"Ya, aku bersinar dan mngisap sihir, kan?"

"Tidak, bukan itu, Ada lagi? Seperti beberapa serangan khusus? Seperti menerbangkan musuh dengan sekali pukul..."

"Apa? Aku hanya sebuah pedang."

Salah satu Wardes terbang dan mencoba memukul Saito dengan tongkatnya. Saito loncat ke atas, menjaga tubuhnya dengan pedang dan menahan serangan.

"Tak guna! Legenda macam apa ini!"

"Tapi tidak sebegininya!"

Para Wardes terus menyerang dengan keras, tapi karena punggung Saito disokong tembok, hanya tiga yang bisa menyerang secara bersamaan. Entah bagaimana, tapi dia bisa menahan seluruh serangan mereka.

"Kalau begini terus aku bakal kalah! Dan dibunuh!"

"Syukurlah, Simpatiku yang terdalamuntukmu!"

Sementara itu...15 kaki dari tempat Saito bertarung, Louise terbangun. Saat Louise melihat Saito bertareung begitu keras, wajahnya sesaat hampa karena terkejut, tapi lalu dia menggenggam tongkatnya.

"Larilah selagi kau bisa! Tolol!" teriak Saito, tapi Louise tak berhenti. Mantra diucapkan dan tongkat diarahkan. Dia membacakan mantra "Bola Api". Mantra yang diarahkan pada Wardes meledak saat mengenai lantai dibawah dia. Boom! Dengan suara menggelegar itu, Wardes menghilang dan Louise menganati dengan kagum.

"Eh? Menghilang? karena sihirku?"

Wardes yang tersisa mencoba menerjang Louise.

"Lari!" teriak Saito, tapi Louise terus mulai membacakan mantra yang sama. Namun, dia diterbangkan tongkat Wardes kali ini. Saito terkejut menonton itu. Dia mulai bergetar dengan amarah. saat tubuh Louise menghantam tembok di depan matanya, RAungan bagai-hewan buas keluar dari mulutnya.

"Berani-beraninya kau melakukan itu pada Louise...!"

Setelah tubuh Louise diterbangkan sekali lagi, kopian Wardes yang tersisa fokus pada Saito dan mencoba terus menekannya. namun, gerakan saito perlahan makin cepat. Napas seluruh wardes mulai tak beraturan dan kasar. Tetap saja wajah mereka tak berubah. Selama menahan Pedang, wardes bertanya. "mengapa kau kembali kesini untuk mati? Mempertaruhkan nyawamu bagi Louise yang membencimu? tak bisa mengerti cara pikir seorang jelata!"

Saito berteriak sambil mengayunkan pedang. "Lalu kenapa kau si sialan mencoba membunuh Louise!? Kau tunangannya!"

"Hahaha, kau masih mencintai Louise? Cinta tiada harapan seorang pelayan untuk tuannya! itu benar-benar lucu! Louise yang arogan itu takkan pernah berpaling padamu! Kehendak kecil disalahartikan sebagai cinta! Tolol!"

"Terus kenapa kalau aku jatuh cinta!" teriak saito sambil menggigit bibirnya.

"Namun..."

"Namun, apa?"

"Ini tak enak!"

'Apa?"

Wajah kebingungan muncul di muka wardes.

"Aah! saat melihat wajah itu, jantungku berdetak lebih kencang! Alasan ini cukup bagiku! Makanya, aku akan membela Louise!" jerit Saito

Tanda mulai bersinar. Menyamakan dirinya, Derflinger juga bersinar lebih terang. "bagusa! Itu bagus, rekan! Baiklah! Itu kuncinya! Aku ingat! Aku tahu sumber kekuatan Gandálfr! Bagus rekan!"

Akhirnya pedang saito menumbangkan Wardes lainnya.

"Wha?" Wardes mengernyit, sakit yang tak tertahan.

"Sumber kekuatan Gandálfr adalah perasaan! Kemarahan! Kesedihan! Cinta! Senang! Apapun bisa! dan sekarang kau tampak sangat terguncang, Gandálfrku!"

Saito memutar pedangnya. Karena kecepatannya yang mencengangkan, wardes tak bisa merespon pedang tepat waktu dan menghilang."

"Si-sialan kau..."

hanya tiga yang tersisa sekarang.

"Jangan lupa! kau melawanku! kau tak bisa melewati kemampuanku!"

Saito meloncat tinggi ke udara, sembari memegang pedangnya. Wardes juga terbang.

"Udara adalah elemenku...Jangan lupa! Gandálfr!"

Tiap tongkat Wardes diarahkan pada saito, tapi dia memutar Derflinger bagai roda kincir. Derflinger berteriak. "Itu caranya bertarung, Gandálfr! Mainkan aku dalam ritme hatimu!"

Sesudahnya, ketiga Wardes dirobek dalam sekejap. Saito mendarat. Dengan "Pembagian tak Merata" kalah, Tubuh nyata Wardes yang tersisa jatuh di lantai.<-Nama Mantra berubah...yang mana yang dipakai? Ini lebih masuk akal ~Dan->

Lengan kirinya yang terpotong, mendarat beberapa detik setelahnya. Saito juga mendarat di tanah, tapi dia roboh dan harus menyokong dirinya dengan lututnya. Kelelahannya telah mencapai batas kritis. Wardes bangkit dengan terkejut dan menatap Saito.

"Sial..."Halilintar" ini memang mengalahkanku..."

Saito mencoba bangkit dan menerjangnya, tapi tubuhnya berhenti menurutinya.

"Ku..."

"Aah, rekan. jangan bertindak bodoh sekarang - Gandálfr tak bisa bergerak setelah menghabiskan energinya. Itu karena familiar ini diciptakan untuk menjaga tuannya selama tuannya membacakan mantranya." Jelas Derflinger.

Wardes menggenggam tongkatnya dengan tangan kanannya yang tersisa dan melayang ke atas.

"Sayang sekali, sepertinya aku hanya menyelesaikan satu tujuanku. Bagaimanapun jugam kau milikku 'Gandálfr' - sebuah tentara raksasa bakal menyerbu masuk. Hey! Apa kau bisa dengar derap kuda dan kepakan naga!?"

Memang terdengar suara meriam dan suara ledakan sihir api di luar, juga suara raungan para ningrat dan tentara yang bercampur di medan perang.

"Kau dan tuanmu yang tolol akan menjadi abu! Gandálfr!"

Setelah melempar kata perpisahan terakhir ini, Wardes menghilang melalui lubang di tembok. Saito, yang menggunakan Derflinger sebagai penyangga, dngan ringkih menuju Louise.

"Louise!"

Usaha Saito menggoyangkan Louise untuk membangunkannya sia-sia. Saito menempelkan telinganya ke dada Louise dalam panik.

Thump, thump, thump…

Mendengar detak jantung yang lemah, dia mendesah lega. Louise kecapaian. Mantelnya rebok, dan lutut serta pipinya robek. dan pasti ada robekan dibawah pakaian juga. Tangan Louise memegangi dadanya. Kancing kantong dadanya terlepas, dan dapat terlihat surat Henrietta muncul dari dalam. Sepertinya, meski pingsan, Louise tetap menjaga suratnya.

Benar-benar, aku sangat bahagia kau masih hidup. Aku datang tepat waktu. pikir Saito.

"Tapi rekan...apa yang kita lakukan sekarang? Sang Elang sudah meninggalkan pelabuhan..."

Itu benar. Untuk menyelamatkan Louise, Saito melompat turun dari dek Elang yang hendak berangkat.

“Eh?”

“Eh? benar-benar.apa kau dengar sahutan diluar? Apa yang menurutmu bakal dipikirkan pengikut Wales melihat tubuhnya terbaring di lantai? Kuyakin Mereka bakal pikir kita pengkhianat."

Memang, ledakan dan kumandnag perang semakin mendekat ke tembok. Hanya masalah waktu mereka masuk menyerbu kesini. Saito dengan tenang membaringkan Louise ke kursi. Lalu berdiri dihadapannya, berjaga.

"Apa yang kau lakukan?"

"Menjaga Louise."

Saat Saito berkata begini, Derflinger gemetaran sambil menggeliat. "Ha. Apapun selain itu. Aku mengerti. Rekan Gandalfr, adalah sangat terhormat bagiku untuk mengenalmu dan gadis ningrat ini, tuanmu, rekanku."

"Hentikan omong kosong."

"Hm?"

"Louise dan aku, kita akan bertahan hidup."

"Apa kau mendengar pidato raja? Ada 50.000 musuh."

"Tak masalah."

Saito, dengan sisa-sisa kekuatannya, mencengkram pedang. Meski 50.000 ataupun 100.000 yang datang, dia merasa bahwa dia bisa menang. Hari inidia bisa mengalahkan penyihir apapun, meski dia sangat kelelalahan. Gemetaran Derflinger semakin keras dan keras. "Itu Benar! Itu cara yang kusuka. Siapa pedulu dengan 50.000. Biarkan mereka datang.!"

Dan Saito, sambil memegang Derflinger, menatap arah masuk gereja. Mereka menunggu, karena cepat atau lambat, musuh akan datang.

Tapi lalu...

Tanah didekat tempat Louise dibaringkan meninggi.

"Apa?"

Saito melihat tanah itu."Apa itu musuh? Gali dari bawah?"

Dia menurunkan pedang ke arah lubang, dimana seekor hewan coklat lalu menampakkan kepalanya.

“Aaaaaaaan?”

Dan lalu hewan coklat itu mulai meraba-raba tubuh Louise yang terbaring didekatnya.

"Kau...kau tikus tanah besar Verdandi! Familiar Guiche!" teriak Saito, dan sebentar kemudian, dari lubang tempat keluar Verdandi tadi, wajah Guiche muncul.

"Hei! Verdandi! Kau bisa menggali lubang dimana saja! Anak baik! Gu..."

Guiche menolehkan wajahnya yang dikotori tanah dari Saito dan menyadari Louise terbaring dekat sana, lalu berkata seolah-olah tak tahu. "Ha! Kau! Kau disini!"

"A-Apa yang kau lakukan dini!?"teriak Saito.

"Bukan itu. Setelah menang dari Fouquet si Tanah Ambruk, dan setelah istirahat sebentar, kami memutuskan untuk mengikutimu. Ini adalah tugas kami karena kehormatan Putri Henrietta bergantung padanya, kan?"

"Tapi tempat ini di udara! Bagaimana kau kesini?!"

Lalu, dekat Guiche, wajah Kirche muncul."Sylphid Tabitha."

"Kirche!"

"Kami sukses mencapai Albion, tapi karena ia negeri yang asing, kami tak tahu kemana kami harus pergi. Tapi, lalu, Verdandi tiba-tiba mulai menggali lubang, jadi kami mengikutinya."

Sementara tikus tanah raksasa yang dibicarakan tengah menyentuhkan hidungnya pada "Rubi Air" yang bersinar di jari Louise. Guiche mengangguk."Memang. Dia mengikuti bau Rubi, dan mulai menggali terowongan kesini. Verdandiku yang manis, karena cintanya pada perhiasanlah dia bisa mengikuti dari La Rochelle dan menggali lubang untuk kesini."

Saito melongo dalam keterkejutan. Tentu saja, dia tak pernah berencana untuk diselamatkan seekor tikus tanah.

"Apa kau baik-baik saja? Aku hampir menangkap Fouquet lagi, tapi dia lolos dalam kesempitan. Wanita itu, meski seorang penyihir, bisa juga dia melarikan diri. Ngomong-ngomong, sayang, apa yang kau lakukan disini?" tanya Kirche sambil mengusap tanah dari wajahnya dengan sebuah saputangan.

Saito tertawa lepas. “Ha, ha, haha…”

"Sayangku, apa ada sesuatu yang salah?"

"Kita bicarakan itu nanti! Musuh akan segera menyerbu! Ayo pergi dari sini!"

"Melarikan diri, dan misinya? Bagaimana dengan Viscount Wardes?"

"Kami punya suratnya! Wardes pengkhianat! Kembali sekarang!"

"Apa? Aku memang tak mengerti sih, tapi sepertinya semuanya sudah berakhir." kata Kirche lepas.

Dengan Louise di lengannya, Saito perlahan masuk lubang. Tapi dia lalu teringat sesuatu, sebentar meninggalkan Louise pada Guiche dan segera kembali ke Wales di gereja. Namun, Wales sudah tak bernyawa. Saito menutupkan mata Wales dan dengan hening membacakan doa.

"Hei! Apa yang kau lakukan disana! Cepat kembali!" panggil Guiche, menyuruh Saito kembali.

Saito mengamati tubuh Wales. Dia mencari sesuatu sebagai pengingat untuk diberikan bagi Henrietta. Dia menyadari keberadaan rubi besar di jarinya. Rubi yang merupakan milik keluarga kerajaan Albion. Saito melepasnya dan menyimpannya di kantongnya.

"Pangeran nan berani...Kau takkan dilupakan." gumam Saito.

"Aku bersumpah padamu bahwa aku juga akan menjaga apa yang aku percayai." kata Saito sambil membungkuk, lalu berlari kembali ke lubang. Tepat saat dia masuk lubang, tentara ningrat dan penyihir-penyihir menerobos pintu dan meloncat ke gereja.

Terowongan yang digali Verdandi menuju bagian bawah benua Albion, jadi tepat saat Saito keluar dari lubang, tiada yang lain kecuali awan di bawahnya, namun tetap saja Sylphid sukses menangkap keempat orang dan seekor tikus yang jatuh. Tikus tanah yang ditangkap naga angin dengan mulutnya mengeluarkan jeritan protes.

"Cobalah tahan, Verdandiku yang imut. Tahan sampai kita mendarat di Tristain lagi."

Dengan kepakan angin nan kuat, sang naga angin menerobos awan di sekelilingnya dan merubah arahnya ke Akademi sihir. Saito, dengan Louise di lengannya, menerawangi benua Albion. Berawan dan kosong, dengan biru yang sekeliling, benua Albion lalu menghilang. Meski hanya singgah sementara disana, Saito punya berbagai hal untuk diingat, begitu negara putih itu surut dari pandangan.

Saito menatap Louise terbaring di lengannya. Pipi putihnya kotor dengan darah dan tanah, namun, meski keadaannya begitu, tetap fitur keningratannya nampak. Ada dua garis dari matanya hingga pipinya bekas air matanya. Saito mengusap wajah Louise dengan lengan bajunya. Dia tak tahan melihat wajah tuannya yang cantik kotor. Louise masih pingsan dari guncangan tadi. Memandangi wajah Louise, entah kenapa, menyakitkan bagi Saito. "Oh Louise,Louise sayangku..."

Deg, Deg, jantungnya berdetak kencang. Sekarang, Saito hanya menatap wajah Lousie yang bersender dengan lembut di dadanya.

Sementara itu. Louise yang pikirannya kosong tengah berkeliaran di mimpinya.

Mimpi berada di tempat la Vallière, tanah asalnya.

Sebuah Kolam di halaman yang terlupakan...

Ada perahu kecil yang mengambang...Disini, Louise tengah berbaring saat menghadapi kesulitan. Louise selalu menyembunyikan dirinya dan tidur disana. Dunianya dimana tiada yang mengganggu. Tempat rahasianya...

Hati Louise tengah sakit.

Tapi Wardes tak lagi datang kesini. Viscount Wardes yang lembut, cinta ningrat kekanakannya, tunangannya dari pernikahan yang diatur oleh persetujuan ayah mereka...

Louise kecil terisak lembut, tiada wardes yang akan menjemputnya dri tempat rahasianya lagi. Dia pengkhianat kotor yang membunuh Panmgeran yang berani, tangan lembut itu milik seorang pembunuh...

Louise menangis dalam perahu kecilnya.

Tapi kemudian, seseorang datang.

"Apa itu kau, Viscount?" tanya Louise dalam mimpinya. Tapi dia menggelengkan kepalanya sekali, Tidak, viscount tak lagi datang kesini. lalu, siapa?

Itu Saito. Pedang itu bergelayut di punggungnya, saat dia tanpa khawatir kebasahan melangkah masuk kolam dan menghampiri perahu Louise.

Jantung Lousie berdetak kencang.

Saito mengangkat Louise keluar perahu dan memegangnya dalam pelukannya.

"Apa kau tengah menangis?" tanya Saito. Louise mengangguk kekanakan dalam miompinya.

"Berhentilah menangis. Lousie. Louiseku."

Louise mencoba marah. Familiar ini, berani-beraninya dia memanggilku"Louise ku". Tapi saat dia buka mulut untuk memarahinya, bibirnya terkunci lagi oleh sebuah ciuman. Meski pertamanya dia berontak marah, kekuatannya segera menguap.

Louise terbangun, di punggung naga angin, dalam pelukan Saito. Dia lalu sadar dia dipegang oleh lengan Saito. Mereka duduk dekat ekor naga angin, dan Saito duduk disana sambil memeluknya. Dia menatap wajahnya dari sisi dan sepertinya dia tak menyadari Louise telah sadar.

Kirche, Tabitha, Guiche – mereka bertiga duduk di bagiian depan punggung naga angin. Angin berhembus menerpa pipi mereka.

"Aah, ini bukanlah mimpi."

Lalu...

"Aku bertahan hidup."

Pikiran Louise diisi berbagai pikiran yang menggetarkanhati.

Aku hampir dibunuh Wardes sang pengkhianat, tapi lalu Saito menerjang masuk. Lalu aku pingsan. Lalu aku bangun lagi dan membacakan beberapa mantra. Meski setelah itu, aku kehilangan kesadaran...mungkin Saito menang lagi.

Tapi, hanya kami yang selamat, mungkin tentara kerajaan dikalahkan.

Wales juga tewas.

Kebahagiaan bertahan hidup bercampur kesediaan hampir membuat Louise menangis, Namun, karena tak ingin menangis di hadapan Saito, dia mengejapkan matanya.

Dia juga malu mengucapkan terima kasih. Meski dia tak mengerti kenapa, dia merasa nyaman dengan Kirche, Tabitha, Guiche – dengan mereka semua. Tapi berterima kasih pada Saito di depan lain terasa memalukan. Karenanya, Louise memutuskan untuk berpura-pura tidur.

Tapi, Louise tetap secara rahasia memandangnya dari sudur matanya yang setengah tertutup.

Saito menatap matanya. Menatapnya langsung.

Mata itu membuat Saito mengingat mimpi terakhirnya.

Naga angin meningkatkan kecepatannya.

Angin kuat menerpa pipinya.

Tapi angin itu terasa enak.

Angin itu dan tatapan membakar Saito, aah, Louise tak bisa menyembunyikan perasaannya.

Pikirannya tengah kacau...

Wardes sang pengkhianat.

Kematian Putra Mahkota...

Kemenangan persatuan ningrat ‘Reconquista’...

Laporan ke Putri...

Dengan banyaknya alasan, dan selama Louise merasa sedih untuk mereka semua, sekarang ini seluruh pikiran Louise diterbangkan angin.

Setelah lolos dari kemtian yang mendekat, dia ingin mensyukuri perasaan kehidupan untuk sesaat.

Seperti itu, Mensyukuri perasaan hidup tanpa batas, selama berpura-pura tidur...

Wajah Saito mendekat.

Jantungnya berhenti berdetak sedetik.

Bibir Saito melewati Louise.

Louise dengan alami mengangkat tangannya untuk mendorongnya menjauh...tapi lalu mengembalikannya ke dadanya seperti semula/

Angin kuat menerpa pipi Louise, dengan Sylphid yang terbang melewati langit.

Sesuatu yang hangat mengisi hatinya, hati yang tengah terluka oleh kejadian sedih disembuhkan/

Beberapa waktu lalu, dia berontak keras terhadap perasaan dalam mimpinya/

Tapi setidaknya untuk sekarang...

Angin menyenangkan yang berhembus dari dunia lain...

Sambil menyenderkan pipinya pada dada Saito, dia terlelap dalam kesunyian.



Mundur ke Bab 8 Kembali ke Halaman Utama Maju ke Bab 1