Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume3

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search



Garis Keturunan Sang Zero[edit]

Istana Kerajaan Tristain berada di ujung Jalan Bourdonne. Di depan gerbang Istana Kerajaan, anggota Garda Penyihir berpatroli diatas kendaraan sihir mereka. Rumornya bahwa perang tengah berkobar telah tersebar keseluruh kota dua-tiga hari lalu. Dikabarkan bahwa faksi aristokrat yang telah menaklukkan Albion, “Reconquista”, hendak menyerbu Tristain.

Karenanya, hati para tentara yang menjaga sekeliling tumbuh lebih tegang. Di langit diatas Istana Kerajaan, Hewan sihir dan mirip-kapal dilarang terbang, dan orang-orang yang melalui gerbang diperiksa dengan ketat. Bahkan penjahit, pekerja toko makanan, dan pedagang dihentikan dan diperiksa seksama di gerbang, untuk mencegah penyihir yang menyamar dengan ilusi, atau orang yang dikendalikan sihir pemikat menerobos masuk.

Karena keadaan itulah, Saat seekor naga angin muncul di langit diatas Istana Kerajaan, garisun Garda Penyihir menjadi terjaga. Garda Penyihir terdiri dari tiga korps, dan masing-masing menjaga Istana Kerajaan secara bergiliran. Saat satu bertugas, yang lainnya beristirahat atau berlatih. Hari ini, adalah Korps Manticore yang bertugas. Sambil mengendarai manticore mereka, para ningrat bangkit dan menuju naga angin yang muncul di atas Istana Kerajaan. Ada lima orang di punggung naga, dan seekor tikus tanah raksasa yang dipegang diantara mulut naga.

Garda penyihir memperingatkan mereka bahwa ini adalah zona larangan terbang, namun si naga angin mengacuhkannya, dan mendarat di Lapangan istana. Di punggungnya ada gadis cantik berambut blonde-pink, seorang wanta dengan rambut merah terbakar, lelaki blonde, seorang gadis kecil mungil berkacamata, dan seorang lelaki dengan rambut hitam. Lelaki terakhir membwa pedang panjang di bahunya.

Para Garda manticore dengan sigap mengepung si naga angin dan serentak menghunus tongkat sihir berbentuk rapier mereka, dengan sikap yang siap memantra. Seorang komandan berotot, berkumis tebal, memberi peringatan pada penyusup yang mencurigakan:

"Jatuhkan tongkat kalian!"

Ekspresi para penyusup langsung menunjukkan perlawanan, tapi gadis berambut biru pendek diantara mereka menggelengkan kepalanya.

"Istana kerajaan."

Kelompok itu dengan enggan mengangguk, dan sebagaimana diminta, menjatuhkan tongkat mereka ke tanah.

"Langit diatas Istana Kerajaan adalah zona larangan terbang. Apa kalian tak tahu?"

Seorang gadis dengan rambut blonde pink melompat ringan dari naga, dan memperkenalkan diri dengan suara tegas: "Aku adalah putri ketiga Duke de la Vallière, Louise Françoise, bukan seseorang yang mencurigakan. Aku meminta pertemuan dengan Paduka, Sang Putri."

Sang Komandan memainkan kumisnya sambil mengamati si gadis dengan seksama. Dia mengetahui Duke de la Vallière. Yah, mereka memang ningrat yang terkenal. Sag Komandan menurunkan tongkatnya. "Kau putri ketiga Duke de la Vallière?"

"Benar." Louise bangkit dan menatap lurus ke mata sang Komandan.

"Oh, begitu. kulihat kau memiliki mata ibumu. Kalau begitu, Apa maksudmu kesini?"

"Aku takut aku takut aku tak bisa bilang padamu. Ini rahasia."

"Maka aku harus menolak permintaanmu. Untuk mengabulkan sebuah pertemuan tanpa mengetahui maksudmu, Itu sesuatu yang keluar dari seseorang yang kehilangan akalnya!" jawab Sang Komandan khawatir.

"Rahasia itupun bukan sesuatu yang bisa dikatakan!" teriak Saito sambil melompat turun dari naga angin.

Sang Komandan mengamati Saito saat dia menyela. Dia memiliki wajah kekanakan. Pakaian yang ta pernah dilihat sebelumnya. Hidung yang rendah. Kulit kuning. Pedang besar di punggungnya. Meski tak jelas darimana dia berasa;, ada satu hal yang jelas-dia bukanlah seorang ningrat.

"Jelata yang kasar. Itu bukanlah cara benar seorang pelayan berbicara pada seorang ningrat. Diamlah."

Saito menyipitkan matanya, dan menoleh pada Louise. Ini keterlaluan baginya. Benar, dia bahkan bukan seorang pelayan, tapi seorang familiar, tapi adalah nada merendahkan komandan yang membuatnya marah. Sambil mencengkram pegangan Derf melewati bahunya, Saito menoleh pada Louise dan bertanya. "Hei, Louise. Apa aku bisa membereskan orang ini?"

"Cepat melunjak. Hanya karena kau mengalahkan wardes tak berarti kau bisa jadi begitu arogan."

"Mendengar percakapan mereka, mata komandan terbelabak. Wardes? wardes, sebagaimana dalam Viscount Wardes, komandan korps Griffin? Dikalahkan? Apa artinya ini?

Mengesampingkan soal itu, sang Komandan mengangkat tongkat sihirnya lagi.

"Siapa kalian sebenarnya? Siapaun kalian, aku tak bisa memperbolehkan kalian mengunjungi Paaduka."Sang Komandan bicara dengan nada keras. Situasnya dengan cepat kehilangan kendali. Louise menatap Saito.

"A-Apa?"

"Ini semua karena kau dan omong kosongmu sehingga mereka pikir kita mencurigakan!"

"Ini semua karena orang berjanggut itu dan sikap tercelanya!"

"Diamlah. Kau seharusnya tetap mengunci mulutmu!"

Saat menonton adegan dihadapannya, sang Komandan cepat mengerti situasinya. Para garda penyihir yang mengepung mereka dengan cepat mengangkat tongkat mereka. "Tahan mereka!"

Dibawah perintah sang Komandan, para penjaga/penyihir baru saja hendak memulai mantra saat tiba-tiba...

Seseorang dengan mantel ungu muncul dari pagar istana. Melihat Louise dikepung Garda Penyihir, dengan terburu-buru dia kesana.

"Louise!"

Melihat kemunculan Henrietta yang berlari, wajah Louise bersinar bagai mawar."Putri!"

Dibawah pandangan Garda Penyihir, keduanya saling memeluk.

"Aah, kau kembali dengan sejahtera. Aku senang. Louise, Louise Françoise…”

"Putri."

Mata Louise mulai berair dengan airmata. "Suratnya...ia aman."

Louise meraih kedalam kantong dadanya dan dengan lembut menarik keluar suratnya. Henrietta mengangguk dan memegang erat tangan Louise.

"Kau benar-benar teman terbaikku."

"Perkataanmu terlalu lembut, Putri."

Namun, saat menyadari ketiadaan Wales di kelompok itu, wajah Henrietta menjadi gelap. "Seperti yang kupikirkan...Pangeran Wales mengorbankan dirinya untuk kerajaannya."

Louise menutup matanya dan dengan cepat mengangguk.

"...Tapi bagaimna dengan Viscount Wardes? Aku tak melihatnya, apa dia menempuh jalur lain? Atau dia...mungkin...jatuh ke tangan musuh? Tapi untuk Viscount, seharusnya..."

Wajah Louise mengeras. Dengan sangat sulit, Saito menjelaskannya pada Henrietta."Wardes seorang pengkhianat, Putri."

"Pengkhianat?"

Sebuah bayang gelap menyelinap ke wajah Henrietta/ Lalu, menyadari tatapan menusuk dari Garda Penyihir disekeliling mereka, Henrietta dengan cepat menjelaskan."Mereka tamuku, pak komandan."

"Oh, begitu."

Saat mendengar ini, sang komandan menarik tongkatnya, dengan enggan, dan memerintahkan pasukannya melakukan hal yang sama. Henrietta menoleh pada Louise lagi. "Apa yang sebenarnya terjadi di perjalananmu?...Sebelum itu, ayo ke ruanganku sebelum melanjutkan. Sisanya, silahkan beristirahat di kamar lainnya."

Dengan meninggalkan Kirche, Tabitha dan Guiche di ruang tunggu, Henrietta membawa Saito dan Louise ke ruangannya sendiri. Henrietta duduk di kursi kecil nan indah, dengan sikunya di meja. Louise lalu menjelaskan keseluruhan yang terjadi pada Henrietta.

Bagaimana Kirche dan yang lainnya bergabung di tengah-tengah.

Bagaimana mereka dapat kapal ke Albion, dan serangan oleh pembajak.

Lalu pemimpin pembajak ternyata adalah Putra Mahkota Wales.

Bagaimna meski pelarian ditawarkan kepada Pangeran wales, dia menolak.

Dan bagaimana...karena pernikahan dengan Wardes, mereka melewatkan kapal.

Bahwa di tengah-tengah pernikahan, Wardes menunjukkan jati dirinya...membunuh Pangeran Wales dan merebut surat dari tangan Louise...

Yang lalu direbut kembali.

Ambisi ‘Reconquista’...untuk menyatukan seluruh Halkegenia, yang tujuan akhirnya membebaskan Tanah Suci dari para elf.

Namun...meski sekarang aliansi Tristain dan Germania aman, Henrietta masih meratap.

"Viscount itu seorang pengkhianat...bagaimana mungkin? Seorang pengkhianat diantara Garda Penyihir..."

Sambil menatap surat yang ditulisnya sendiri untuk Wales, airmata terkumpul dan mengaliri pipinya.

"Putri..."

Louise dengan diam memegang tangan Henrietta.

"Adalah aku yang merenggut nyawa Pangeran Wales. Bagaimanapun kau memandangnya, adalah aku yang memilih sang pengkhianat untuk menjadi utusan..."

Saito menggelengkan kepalana."Sang Pangeran sudah memutuskan untuk tinggal di kerajaannya. Itu bukan kesalahan paduka."

"Louise, apa dia, paling tidak, membaca suratku?"

Louise mengangguk."Ya, Putri. Pangeran Wales membaca surat paduka."

"Berarti, Pangeran Wales tak mencintaiku." Henrietta dengan sedih menggelengkan kepalanya.

"Lalu...itu setelah kalian membujuk sang Pangeran untuk kabur?" Louise(di inggrisnya Henrietta, tapi aneh kenapa dia yang mengangguk jadi altux ganti) mengangguk sambil menerawangi surat dalam kesedihan.

Louise teringat perkataan Wales. Dia terus dengan teguh mengatakan padanya bahwa "Henrietta tak bilang padaku untuk kabur". Semuanya seperti yang dikira Louise - sebuah kebohongan.

"Ahh, dengan kematianmu, tiada lagi harapan. Bagaimana denganku, cintaku yang hilang?" gumam Henrietta pelan sambil menerawang.

"Apa kehormatan lebih penting daripada aku?"

Tapi Saito berkesimpulan berbeda. Wales tinggal bukan karena dia mencoba melindungi kehormatannya. Namun, Wales tinggal supaya tak memberi Henrietta masalah apapun...dan untuk menunjukkan para pengkhianat bahwa Keluarga Kerajaan Halkegenia bukan mereka yang bisa dipermainkan.

"Ini tak seperti yang kau pikirkan, Putri. Adalah karena dia tak ingin memberi Tristain masalahlah, dia tinggal di negerinya. Itu, yang kulihat."

Henrietta menatap Saito hampa."Agar tidak memberiku masalah?"

"Pelariannya, sebagaimana yang dikatakan Putri, hanya akan memberi alasan sempurna bagi pengkhianat untuk menyerbu."

"Bahkan jika Wales tak kabur ke sini, mereka akan tetap menyerbu kesini bila ada kesempatan. Tapi, tanpa alasan untuk menyerbu, damai tetap terjaga. Dnegan bayaran nyawanya, dia mencegah bergejolaknya perang."

"...Meski keadannya begitu, dia masih tetap tak ingin memberi masalah apapun. Pasti..."

Henrietta, sambil mendesah panjang, menerawang keluar jendela.

Saito perlahan mengulang kata-kata yang diingatnya."Untuk bertarung dengan keberanian, Untuk mati tanpa rasa takut. Itu...yang dia minta untuk kukatakan."

Henrietta menjawab dengan senyum yang tak ceria. Saat seorang putri, yang secantik mawar nan indah, menjadi begini, bahkan udarapun menjadi berat. Hati Saito nyeri melihat ini.

Henrietta, sambil mengistirahatkan sikunya di meja di samping patung marbel yang terukir indah, bertanya penuh kesedihan."Untuk bertarung dengan keberanian, untuk mati tanpa rasa takut. Itu hakmu sebagai lelaki, Tapi bagaimana dengan mereka yang tinggal, apa yang harus mereka lakukan?"

Saito terdiam. Dia tak bisa mengatakan apa-apa lagi.Sambil merendahkan pandangannya, dia dengan aneh mengetukkan sepatunya ke kursi.

"Putri...Jika saja aku berusaha lebih keras untuk meyakinkan Pangeran Wales..."

Henrietta bangkit dan menggenggam tangan dari Louise yang bergumam."Tidak apa-apa Louise. Kau menyelesaikan misimu dengan baik, mengambil kembali surat ini. Kau seharusnya tak khawatir tentang apa-apa. Karena aku tak bilang padamu untuk memintanya kabur."

Henrietta tertawa dengan senyum.

"Dengan penyingkiran rintangan yang mungkin merusak perkawinan, negeri kita dapat dengan aman melangkah pada aliansi dengan Germania. Dengan situasi begini, Albion takkan dengan mudah menyerbu kita. Krisis telah berlalu, Louise Françoise.” Henrietta mengatakannya seceria mungkin.

Louise meraih Rubi Air yang dulu diberikan Henrietta padanya dari sakunya.

"Putri, ini, aku mengembalikannya padamu."

Henrietta menggelengkan kepalanya."Mohon untuk menjaganya. Setidaknya itu yang bisa kulakukan sebagai rasa terima kasihku."

"Aku tak bisa menerima harta seperti ini."

"Untuk kesetiaan seperti ini, Sebuah penghargaan yang pantas harus dipersembahkan. Tak apa-apa, pakailah."

Louise mengangguk dan memakainya di jari. Melihat ini, Saito teringat cincin yang diambilnya dari tangan Pangeran Wales. Dia meraihnya dari saku belakang celananya, dan menempatkannya di genggaman Henrietta.

"Putri, ini, adalah memoribilia dari Pangeran Wales."

Henrietta terkejut saat menerima cincin.

"Bukankah ini rubi angin? Apa kau mendapatkannya dari Pangeran Wales?"

"Ya, di saat-saat terakhirnya, dia memeberikan cincin itu padaku; dia ingin aku menyerahkannya kepada Paduka."

Sebenarnya, Wales sudah mati saat dia menarikanya dari jari Wales...Tapi itu yang harus dikatakan Saito. Diharapakan itu membantu nyeri yang dirasakan Henrietta di hatinya, sesedikit apapun itu. Henrietta memakai Rubi Angin di jarinya, Karena cincin itu aslinya untuk Wales, ia kebesaran untuk dipakai jari Henrietta...tapi saat Henrietta menggumamkan mantra "pengecil". cincin itu menyempit dan menyempit, hingga akhirnya pas dengan jari. Henrietta mengusap Rubi Angin dengan penuh cinta. Sambil menoleh pada Saito, dia memberikan senyum bercampur malu.

"Terima kasih, wahai familiar yang lembut."

Sebuah senyum sedih yang dipenuhi kelegaan, namun juga sebuah senyum penuh rasa terima kasih pada Saito. Senyum itu memancarkan suatu keagungan, sehingga Saito mematung karenanya, dan hanya bisa bergumam tak jelas.

"Dia, Dia mati dengan gagah berani. Bukankah begitu?"

Saito mengangguk. "Ya, memang begitu."

Henrietta, sambil menatap Rubi Angin yang berkilauan, mendeklarasikan dengan lembut. "Maka, aku...aku juga akan hidup dengan gagah berani."

---

Pada penerbangan dari Istana kerajaan ke Akademi Sihir, Louise diam saja. Tak peduli sekeras apapun usaha Kirche menanyakan Louise dan Saito mengenai isi surat yang ditulis Wales, keduanya tetap menyegel mulut mereka.

"Oi, ayolah, masa kalian tak bilang apa-apa? setidaknya misi kemarin itu apa sebenarnya. dan emngatakan Viscount seorang pengkhianat, semuanya serba misterius."

Kirche memandangi Saito dengan tatapan menyala."Namun, sayang menyerangnya?"

Saito, yang sekilas melirik wajah Louise, mengangguk: "ya...tapi dia kabur..."

"Tapi, itu luar biasa! Hei, apa sebenarnya misi ini?"

Saito menundukkan kepalanya. Louise bahkan lebih diam lagi, dan tak pernah bicara. Kirche mengernyitkan alis dan menoleh pada Guiche.

"Hei, Guiche!"

"Apa?"

Dengan sebuah mawar buatan dalam mulutnya, Guiche, yang tengah melamun, menoleh.

"Apa kau tahu apa isi surat yang Putri Henrietta suruh untuk dambil kembali?"

Guiche menutup matanya dan berkata: "Aku juga tak tahu. Hanya Louise yang tahu."

"Louise si Zero! Mengapa kau tak ceritakan padaku?! Hei, Tabitha! Menurutmu bagaimana? Yah, kupikir aku terpasung untuk seorang tolol!"

Kirche menggoyang Tabitha, yang tengah membaca buku. Karena dia digoyang, kepalanya pun mengikuti dan ikut bergoyang. Karena guncangan yang ditimbulkan Kirche, si naga angin kehilangan keseimbangan dan melambat tiba-tiba. Guiche, yang duduk di punggungnya, kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

“Gyaaaaaa!” teriaknya begitu dia jatuh, tapi karena itu Guiche, tiada yang memerhatikan. Di tengah-tengah, dikeluarkannya tongkatnya, dan digunakannya mantra "Melayang" dan melayang turun perlahan, menghindari kematian yang mendekat. Louise juga kehilangan keseimbangannya, tapi Saito dengan lembut meraihnya dan memegang pinggang Louise dengan tangannya untuk menjaga badannya. Melihat tangan di pinggangnya, wajah Louise memerah. Pagi ini, saat melarikan diri dari Albion, Saito menciumku. Waktu itu, aku berpura-pura terlelap.

Tapi mengapa? Mengapa aku berpura-pura terlelap?

Ini mungkin cinta...Namun, aku tak ingin mengakui pikiran ini, karena Saito familiarku; terlebih lagi dia bukan seorang ningrat. Mencintai seseorang yang bukan ningrat sulit dibayangkannya." Ningrat dan jelata adalah jenis orang yang berbeda."...Begitu Louise menumbuhkan fikiran itu, ketidaknyamanannya menjadi kebingungan. Tapi, entah rasa ini benar atau tidak, itu yang harus dicari nanti.

Jadi, setelah semuanya, saat merasakan tangan bergerak mengitari pinggangnya, Louise berteriak dengan marah: "Ta-tak tahu malu, aku akan marah!"

"Kau kelihatannya hendak jatuh, seperti Guiche" jawab saito, wajahnya juga memerah.

"Tak apa-apa, bahkan bila Guiche jatuh-toh hanya Guiche ini." kata Louise, tetap masih bingung dari yang sebelumnya.

"i-itu, meski dia jatuh, dia takkan kenapa-kenapa. Tapi akan bermasalah bila kau yang jatuh, karena kau tak bisa menggunakan sihir."

"Kau hanya seorang familiar, dan kau berani menghina Tuanmu?"

Louise mengambil napas cepat dan cengan cepat membuang muka. Namun, dia tak tampak marah.

"Kau sudah keterlaluan. Hum."

Meski Louise bergumam dan memprotes, dia tak mencoba melepaskan tangan Saito. Sebaliknya, dia malah menyandarkan badannya lebih dekat, bergesekan dengannya. Namun, wajahnya tetap menoleh ke arah lain. Saito mencuri pandang cepat pada wajah Louise. Pipi putihnya smar-samar terwarnai dengan pink dan dia agak menggigit bibir bagian bawahnya. Meski Henrietta cantik...Louise tetap masih sangat "lucu", pikirnya. Tangan di pinggang menekan lebih mendekat. Dan dirasakannya bagaimana pinggang dan paha Louise menekan lebih jauh padanya.

Adalah saat ini terjadi, Kirche masuk dan bergumam lembut"Sejak kapan kalian berdua jadi seperti ini?"

Louise, yang tiba-tiba menyadari bagaimana semua terlihat, wajahnya memerah pekat dan mengirim Saito yang melamun terbang dengan sebuah tinju.

"Tidak ada apa-apa! Tolol!"

Teriakan Saito menggema saat dia jatuh, tapi sebelum dia menghantam tanah, Tabitha, yang tengah membaca sebuah buku, dengan tenang mengayunkan tongkatnya, dan menyihir saito dengan mantra "Melayang". Saito mendarat perlahan di padang rumput, dan melihat Guiche yang jatuh sebelumnya, bejalan di jalan pada padang rumput dengan wajah susah. Lalu Guiche berhenti dan menyambut Saito dengan sikap sombongnya yang biasa. "Kau jatuh juga, kan?"

Saito menjawab dengan wajah lelah. "Aku didorong."

"Me-mereka tak kembali, ya kan?"


Saito memandangi ke arah langit, Di langit nan biru, sang naga angin dengan cepat menghilang di horizon.

"...Sepertinya begitu."

"Yah, ayo jalan kalau begitu.Hah, bakal setengah hari nih kalau jalan."

Dengan wajah depresi, Guiche mulai berjalan. Saito merasa tak yakin, tapi dia merasa dia lebih kagum pada Guiche.

"Ngomong-ngomong, kau..Itu, ya...Ada sesuatu yang ingin kutanyakan. Mohon bilang padaku." Guiche berkata pada Saito sambil memainkan mawar buatannya.

"Huh?"

"Apa paduka...ya...mengatakan sesuatu tentangku? Apa benar, dia akan memberi penghargaan padaku setelah misi ini, dengan surat berisi kemcam rahasia yang dijanjikan?"

Untuk sesaat, Saito merasa kasihan pada Guiche. Henrietta bahkan tak menyebut huruf "G: dari nama Guiche dalam percakapan mereka.

"Ayo berangkat."

Saito, berpura-pura tak mendengar apa-apa, mulai mempercepat langkahnya. Guiche mengejarnya, mencoba mencari kejelasa.

"Erm, apa isu itu benar?"

"Ayolah, berjalan. Ia baik untuk kesehatan."

"A-apa, ka-kau, Pa-Paduka, Aku..."

Dibawah kehangatan matahari, keduanya terus berjalan menuju Akademi sihir.


Benteng Newcastle, yang dulu terkenal sebagai pertahanan yang hebat, sekarang reruntuhan yang tragis. Meski ia menahan keruntuhannya, ia menjadi tempat tragedi yang mengerikan. Tembok Benteng, yang terus-terusan diserang mantra dan tembakan meriam, menjadi tumpkan bebatuan, dan mayat yang terbakar hingga tak bisa dikenali tersebar dimana-mana. Meski serangannya tak lama, para pemberontak - tidak, karena Albion telah kehilangan rajanya, pemberontak, 'Reconquista', menjadi pemerintahan baru di Albion - menderita kehilangan yang sukar dibayangkan. 300 tentara kerajaan untuk 2000 pemberontak yang terbunuh. dan 4000 terluka. Melihat kerugiannya, sukar dimengerti apa ini sebuah kemenangan.

Karena Benteng terletak di paling ujung dari benua yang melayang tersebut, ia dapat diserang hanya dari satu arah. Sebelum kekuatan 'Reconquista' berhasil menyingkirkan para penjaga, mereka terus-terusan ditembak dengan sihir dan tembakan meriam, sehingga menderita kerusakan yang parah. Namun, pada akhirnya mereka menang dengan jumlah. Begitu di belakang tembok benteng, pertahanannya rapuh. Tentara penyihir raja ditinggalkan untuk berjaga menghadapi tentara. Tapi jumlah penyihir tak sebanding dengan tentara 'Reconquista'; mereka perlahan dibunuh dan jatuh, satu demi satu.

Meki kerugian yang ditimpakan mush luar biasa...harganya adalah kehancuran tentara raja. Pembantaian yang sebenarnya. Karena kerajaan berperang hingga tentara terakhir. Dalam kata-kata, pertempuran terakhir yang menentukan pada perang sipil di Albion, penyerbuan Benteng Newcastle, melawan lawan yang 100x lebih besar, dalam pertempuran dengan kerusakan yang seharga 10x tentara itu...menjadi legenda.

---

Dua hari setelah perang sipil berakhir, di bawah matahari yang menyengat, diantara mayat dan rereuntuhan, seorang aristokrat nan jangkung memeriksa bekas medan perang. Topinya terdorong ke samping dan dia berpakaian dengan cara yang tak biasa di Albion, seragam Garda Penyihir Kerajaan Tristain.

Itu Wardes.

Seorang penyihir perempuan dengan tudung di atas matanya berdiri di sampingnya,

Itu Fouquet si Tanah Ambruk. Dia kabur ke Albion dengan kapal dari La Rochelle. Malam sebelumnya, di ibukota Albion, dia bergabung dengan Wardes di bar Londinium dan kini datang ke medan perang Newcastle. Di sekitar mereka, Tentara-tentara 'Reconquista' dengan rajinnya berburu harta. Sebuah teriakan keras datang dari pemburu yang terdekat, karena sekelompok orang menemukan kepingan emas. Seorang tentsra bayaran dengan pike di bahunya tengah mebalikkan para mayat, lalu mendorong mereka hingga tertumpuk dekat sampah sebagai hiasan taman. Saat dia menemukan sebuah tongkat sihir, dia berteriak gembira.

Fouquet, yang tak setuju dengan pemandangan di depannya, mengecakkan lidahnya tak senang. Wardes tertawa dingin melihat ekspresi Fouquet.

"Apa yang salah, Fouquet si Tanah Ambruk, bukankah mereka kawanmu yang juga berburu perhiasan? Untuk merampok harta dari para ningrat, apa itu bukan kerjaanmu?"

"Jangan bandingkan aku dengan mereka. Aku tak tertarik pada perhiasan pada tubuh para mayat."

"Seorang pencuri dengan etika pencuri." tawa Wardes.

"Aku tak tertarik dengan itu. Aku hanya mencuri harta yang berharga, karena aku senang melihat wajah susah para ningrat itu. Tapi orang-orang ini..."

Fouquet memandangi mayat seorang penyihir penjaga kerajaan di sudut matanya.

"OK, OK, jangan marah."

"Aku kira ningrat kerajaan Albion adalah musuhmu. bukankah kau, dibawah nama keluarga kerajaan, mempermalukan keluargamu sendiri?"

Mendengar perkataan Wardes yang berlebihan, Fouquet, kembali tenang, dan berkata dingin sambil mengangguk. 'Yah, tahulah. Selalu ada kecelakaan."

Dan Wardes lalu berbalik, bagian bawah dari lengan kirinya terpotong. lengan baju seragamnya diterbangkan bebas oleh angin.

"Sepertinya terjadi pertempuran yang dahsyat padamu."

Wardes menjawab dengan nada yang tak berubah: "Sebuah lengan untuk nyawa Wales, kupikir, ini harga yang murah."

"Dia pasti sesuatu, Gandalfr itu, untuk bisa memotong lengan seorang penyihir kelas persegi sepertimu dengan mudahnya."

"karena dia seorang jelata, aku bertindak sembrono."

"Jangan begitu, Dia bahkan menghancurkan golemku. Namun, tiada isi benteng ini yang bisa bertahan."

Saat Fouquet mengatakn itu, Wardes tersenyum dingin."Dia Gandalfr. Korps yang menyerang benteng tak melaporkan bertempur dengan orang seperti itu, Mungkin, selama pertarungan kami, dia sudah menghabiskan seluruh tenaganya dan dikenali sebagai jelata. Mungkin, bahkan tentara yang membunuh Gandalfr tak menyadari dialah familiar legendaris itu."

Fouquet yang tak teryakinkan, mengendus. gambaran Saito, anak lelaki yang terlihat aneh, melayang di pikirannya, Benarkah dia mati semudah itu?

"Dan dimana surat itu?"

"Di sekitaran sini."

Wardes menunjuk tanah dengan tongkatnya. Tempat itulah, dua hari lalu, yang jadi gereja. Tempat dimana Wardes dan Louise mencoba menyelenggarakan perkawinan, tempat dimana Wales kehilangan nyawanya. Namun, kini ia hanya tumpukan bebatuan.

"Hmm, la Vallière lass itu...mantan tunanganmu, suratnya ada di sakunya?"

"Benar."

"Kau membiarkannya mati? Kau tak mencintainya?"

"Dicintai, tak cinta. Aku sudah lupa rasa itu." jawab Wardes dengan tenang.

Dikeluarkannya tongkatnya dan dibacanya mantra. Sebuah tornado kecil dan mulai mengacak tumpukan bebatuan. Perlahan, lantai gereja dapat terlihat. Diantara potret Brimir sang Pendiri dan sebuah kursi, adalah mayat Wales, Tampak mengejutkan bahwa ia tak rusak.

"Lihat, bukankah itu Pangeran wales tersayang?" kata Fouquet dengan suara terkejut. Fouquet, yang dulunya seorang ningrat Albion, ingat wajah wales. Wardes bvahkan tak menoleh sedikitpun pada lelaki yang dibunuhnya sendiri, dan malah mencari mayat Louise dan Saito dengan sungguh-sungguh.

Namun...Mayat mereka tak ada dimana-mana.

"Apa kau benar-benar yakin mereka mati disini?"

Sambil bergumam, Wardes mulai mencari disekeliling dengan seksama.

"Hmm...Lihat, bukankah itu Visit Brimir Sang Pendiri dari George de la Tur?"

Fouquet memungut lukisan itu dari lantai.

"Kupikir itu tiruan. Mm, bila dipikir, gereja benteng ini pasti dibangun untuk menyembahnya..Hmm?"

Fouquet, yang memungut lukisan dari lantai, menemukan lubang yang menganga lebar di bawahnya, dan memanggil Wardes. "Hei, Wardes. Apa lubang ini?"

Wardes, dengan alis terangkat, membungkuk dan memandangi lubang yang ditemukan Fouquet. Dia menyadari bahwa lubang ini pasti digali tikus tanah raksasa, familiar Guiche. Di pipinya, Wardes dapat merasakan hembusan dingin yang datang dari lubang itu.

"Mungkinkah dari lubang inilah keduanya, putri bungsu Vallière dan Gandálfr kabur?" tebak Fouquet, dan itu kenyataannya. Wajah Wardes mulai menampakkan kemurkaan.

"Apa kita harus mengejar mereka?"

"Tiada gunanya, Jika ada angin didalam, berarti ia digali dengan baik." jawab Wardes marah. Melihatnya seperti ini, Fouquet menyeringai.

"Sepertinya kau bisa juga berwajah begitu. Dan disini kupikir kau lelaki tanpa perasaan bagaikan seekor gargoylre..mengapa, oh mengapa perasaan itu muncul di wajahmu?" ejeknya.

Mendengar ini, wardes bangkit. Dari kejauhan, seseorang muncul saat mereka bercakap. Dia berkata dengan suara ceria dan renyah." Viscount! Wardes! Apa kau sudah menemukan suratnya? Itu..apa ya...ah, surat cinta yang diberikan Henrietta pada Wales, penyelamat yang bakal mencegah penyatuan Germania dan Tristain. Kau sudah menemukannya?"

Sambil menggelengkan kepalanya, Wardes menjawab lelaki yang baru saja muncul. Lelaki itu di pertengahan kepala tiga. Dia memakai topi bundar dan mantel hijau, Dari pandangan pertama, tyampak bahwa dia seorang clergy. Namun dia juga agak mirip tentara dengan hidung aquiline dan mata biru pintarnya. Dari ujung topinya, mucul rambut blonde yang menggulung.

"Paduka, sepertinya surat itu melalui lubang ini. Ini kesalahanku. Aku sangat menyesal atas kesalahanku ini. Mohon, hukum aku dengan apa yang kau pikir perlu." Wardes berlutut, dan menundukkan kepalanya.

Lelaki yang dipanggil 'Paduka' ini, dengan senyum bersahabat di wajahnya, menghampiri Wardes dan menepuk pundaknya.

"Apa yang kau katakan? Viscount! Kau melakukan tugas yang luar biasa! Kau dengan satu tangan, mengalahkan jendral musuh nan berani! Ah, bukankah itu, pangeran Wales kita yang tersayang? Berbanggalah! Kau mengalahkannya! sebelumnya dia meremehkanku ...tapi melihatnya seperti ini, aku merasakah semacam kasih yang aneh untuknya. Aaj, itu benar, Begitu mati, semuanya berteman."

Pipi Wardes bergeser sedikit begitu menyadari sarkasme di akhir pembicaraan. Dia dengan cepat tenang kembali, dan sekali lagi mengulangi permintaan maafnya pada atasannya. "Namun, misi untuk mendapatkan surat Henrietta yang sangat diinginkan Paduka berakhir dengan kegagalan. Alu minta maaf karena tak dapat memenuhi harapan paduka."

"Jangan merendahkan diri. Dibandingkan pembubaran aliansi, membunuh Wales jauh lebih penting. Sebuah mimpi adalah sesuatu yang harus didapatkan secara perlahan, langkah demi langkah."

Lalu, lelaki dengan mantel hijau itu berpaling pada Fouquet.

"Viscount, mohon kenalkan wanita cantik ini. Sebagai pendeta, tak biasa bagiku berbicara dengan wanita."

Fouquet menatap lelaki itu. didepan matanya, Wardes membungkuk dalam pada lelaki itu. Namun, dia tak menyukainya. dia beraura aneh disekitarnya. Perasaan jijik terpancar dari celah-celah mantelnya. Wardes bangkit lagi dan memperkenalkan Fouquet pada lelaki itu.

"Paduka, ini Fouquet si Tanah Ambruk, yang sebelumnya seluruh ningrat Tristain takuti."

"Oh! kudengar isu-isu! Aku merasa terhormat untuk bertemu denganmu, Nona Gotha Selatan."

Mendengar dia mengucapkan nama ningrat yang sudah ditanggalkannya, Fouquet tersenyum. "Apa Wardes bilang soal nama ini padamu?"

"Itu benar. Dia tahu segalanya tentang ningrat Albion. Geneologi, Selubung lengan, Barang...Aadalah sulit bagi seorang pendeta yang menua untuk mengngat segalanya. Oh, mari, jangan menunda perkenalanku."

Sambil membuka matanya lebar-lebar, dan menempatkan tangan d dadanya..."Jendral pertama 'Reconquista', Oliver Cromwell siap melayani. Kau tahu, sebenarnya aku hanya pendeta biasa. Namun, karena suara dari perkumpuran baron, aku ditunjuk sebagai Jendral pertama, dan harus memberikan yang terbaik. Meski aku pendeta yang melayani Brimir Sang Pendiri, adalah tak apa-apa untuk'membimbing; kita melalui waktu-waktu tergelap, ya kan? jika perlu, menggunakan kepercayaan dan kekuatan untuk yang lebih baik."

"Paduka, kau bukan Jendral pertama bebas lagi,Di Albion ini, kau sekarang adalah..."

"Raja, Viscount."

Cromwell tertawa. Namun, matanya tak berubah. "Benar, aku ingin sekali mencegah aliansi Tristain dan Germania, namun, ada hal yang lebih penting. Apa kau mengerti, viscount>"

"Pemikiran Paduka sangat dalam, sehingga seorang biasa sepertiku tak bisa mengukurnya.:

cromwell membuka matanya lebar-lebar. Lalu, dia mengangkat kedua tangannya dan mulai berbicara dengan sikap yang berlebihan. "Kesatuan! Kesatuan yang membaja! Halkegenia adalah kita, Sebuah persatuan dari ningrat terpilih, yang akan merebut kembali Tanah Suci dari para Elf jahat itu! Ini adalah misi yang diberikan Brimir Sang Pendiri pada kita! "Kesatuan" adalah tugas kita nomor satu. Karenanya, viscount, aku mempercayaimu. Tiada penyalahan atas kegagalan yang remeh."

Wardes membungkuk dalam.

"Untuk misi yang berat ini, Brimir Sang Pendiri memberkati dengan kekuatan."

Alis Fouquet terangkat, Kekuatan? Kekuatan macam apa yang mereka bicarakan?

"Paduka, Apa Kekuatan yang telah diberikan Brimir Sang Pendiri kepada Paduka? Jika tak memberatkan, Aku ingin tahu."

Cromwell melanjutkan dengan nada halus, tertangkap dalam retorikanya sendiri. "Apa kau tahu empat elemen yang hebat dari sihir, Nona Gotha selatan?"

Fouquet mengangguk. Bahkan anak-anak pun tahu ini. Api, Angin, Air, dan yang keempat - tanah.

"Sebagai tambahan bagi keempat elemen yang hebat itu, ada elemen sihir lainnya. Elemen yang digunkan Brimir Sang Pendiri, elemen dari zero. Bahkan, ia adalah elemen yang mula-mula."

"Elemen dari zero...Void?"

Fouquet memucat. Elemen yang hilang. Sihir dari kehampaan, yang, sebagaimana yang diceritakan Legenda hitam, menghilang. Apa lelaki ini tahu sesuatu tentang elemen zero?

"Itu adalah kekuatan yang diberikan Brimir Sang Pendiri padaku. Untuk alsan ini, Perkumpulan Baron menyetujui untuk menjadikanku sebagai penguasa Halkegenia."

Cromwell menunjuk mayat Wales. "Wardes, aku selalu ingin menjadikan Wales sang Putra Mahkota sebagai teman dan kawanku. namun, dia malah menjadi musuh terbesaku dalam kehidupan, tapi kini dalam kematian, ia akan menjadi kawan yang hebat. Apa kau lihat ada sesuatu yang salah dengan itu?"

Wardes menggelengkan kepalanya.

"Seharusnya dia tak pernah melawan keputusan Paduka."

Cromwell tertawa sambil tersenyum. "Baiklah, Nona Gotha Selatan. Aku akan menunjukkan sebuah elemen 'Void' padamu."

Fouquet menonton gerakan Cromwell dengan napas tertahan. Cromwell meraih tongkat yang terpasang di pinggangnya. Sebuah nyanyian rendah dan hening keluar dari mulut Cromwell. kata-kata itu tak pernah didengar Fouquet sebelumnya. Saat nyanyian itu selesai, Cromwell dengan perlahan menurunkan tongkat dan menunjuk pada mayat Wales. Lalu...Tiba-tiba. Wales, yang badannya sudah dingin, membuka matanya. Sebuah rasa dingin menyergap punggung Fouquet. Wales perlahan duduk. wajah yang tadinya kurang darah kini hidup kembali sebagaimana dahulu. Seperti bunga gugur yang menyerap air, tubuh Wales hidup kembali.

"Selamat pagi, Putra Mahkota." gumam Cromwell.

Wales yang hidup kembali membalas senyuman Cromwell. 'Sudah lama sekali, Pendeta."

"Lancang kau, aku kini seorang kaisar, Putra Mahkota yang tercinta."

"Begitukah? Aku minta maaf untuk itu, Paduka."

Wales berlutut dan bersikap bagai Vassal.

"Kupikir aku akan membuatmu pengawal pribadiku, Wales."

"Dengan senang hati."

"Kini, Ayo berteman."

Cromwell mulai melangkah, Wales, yang tak tampak dia baru saja mati, berjalan di belakangnya, lalu, Cromwell, sekan teringan sesuatu, berhenti dan berbalik sembari mengatakan: "Wardes, jangan khawatir. Bahkan bila aliansi terbentuk, Ia takkan jadi apa-apa. Bagaimanapun, Tristain tak tertolong. Tiada perubahan dalam rencana."

Wardes membungkuk.

"Ada dua cara diplomasi - Tongkat dan roti. Mari berikan roti hangat pada Tristain dan Germania untuk sementara ini."

"Sebagaimana yang kau inginkan."

"Tristain adalah daerah yang perlu dikuasai. Keluarga kerajaan itu memiliki Buku Doa sang Pendiri. Aku perlu memilikinya untuk merebut kembali Tanah Suci."

Setelah mengatakan ini dan mengangguk menyetujui, Cromwell pergi.

---

Hanya setelah Cromwell dan Wales tak terlihat lagi, Fouquet dapat membuka mulutnya. "Itu,,,void...? untuk membangkitkan yang mati. Itu tak mungkin."

Wardes bergumam. "Elemen void mempermainkan hidup...Itu yang dikatakan Paduka, sepertinya dia benar. Meski aku juga tak mempercayainya, setelah menyaksikan ini - bagaimana aku bisa tidak?."

Fouquet menanyai Wardes dengan suara bergetar. "Tadi kau bersikap sebagaimana ini juga, mungkinkah kau juga terkena sihir void?"

Wardes tertawa.

"Aku? Aku beda. Ini hasil dari kehidupan menyedihkan yang kudapat sejak lahir."

Setelah itu, Wardes menatap langit. "Namun..begitu banyak nyawa yang diberikan untuk Tanah Suci Sang Pendiri...bagaimana jika mereka dibangkitkan lagi oleh elemen 'Void'?"

Ketakutan, Fouquet memeluk dadanya, Dia merasakan sebuah denyut lemah. Dia tiba-tiba merasa perlu memeriksa bahwa dia masih hidup.

"Jangan begitu, Itu hanya bayanganku saja. Kau bahkan boleh menyebutnya khayalan."

Fouquet mendesah lega. Lalu dia menatap wardes. "Itu mengejutkan, itu saja."

Sambil menepuk bagian yang dahulu terpsang lengan kirinya, dia berkata lembut. "namun, aku sendiri ingin tahu. Apa ini hanya khayalan? Atau kenyataan? jawabannya pasti terletak di Tanah Suci...itu yang kurasakan."


Tiga hari setelah Saito dkk kembali ke Akademi Sihir, perkawinan antara Henrietta sang Putri Tristainia dan Albrecht III sang Raja Germainia diumumkan secara resmi. Upacara akan diadakan bulan berikutnya, sebelum keputusan tentang aliansi militer. Keputusan soal aliansi akan dilaksanakan di Vindobon, ibukota Germania, dimana bunyi persetujuan akan ditandatangani sang Perdana Menteri, Cardinal Mazarin dari tristain. Sehari setelah aliansi, sebauh pemerintahan baru Albion didirikan. Dalam sekejap, ketegangan mencuat diantara kedua negara, tapi Kaisar pertama Kerajaan Albion, Cromwell mengirimkan utusan khusus ke Germania dan Tristain sekaligus, untuk menandatangani pakta non-agresi.

Hasilnya, kedua negara menyelenggarakan sebuah konferensi. Bahkan dengan gabungan kekuatan udara kedua negara, mereka tak bisa melawan angkatan udara Albion. Meski pakta non-agresi lebih terasa sebagai pisau di leher, kedua negara tak punya banyak pilihan, dan tawaran ini adalah yang terbaik yang bisa diharapkan. Namun...damai yang ada di Halkegenia hanya berada di permukaan. Para politikus tak bisa tidur siang-malam. Tak hanya ningrat, rakyat jelata juga menunggu hari esok dengan tegang. Akademi Sihir Tristain bukanlah suatu pengecualian.


Pagi hari setelah kembali dari Albion, sikap Louise mulai berubah. Simpelnya, dia mulai jadi lebih baik. Setelah bangun, Saito menyiapkan baskom air untuk Louise seperti biasanya. Dia akan menuangkan air ke dalam baskom, lalu mencuci wajah Louise. Hal itu merepotkan, tetapi jika Saito lupa menyiapkan baskom air, konsekuensi berat akan mengikuti.

Sekali, ketika Saito lupa untuk menyiapkan baskom air, ia tidak diperbolehkan untuk makan. Keesokan paginya, karena menjadi sangat marah, ia menangkap katak dari kolam di belakang Akademi Sihir dan meletakkannya di dalam baskom. Louise, yang membenci katak, menangis melihat amfibi yang berenang. Dia menangis ketika katak tersebut tiba-tiba muncul di depannya. Saito meminta maaf yang sebesar-besarnya, tetapi Louise tidak memaafkannya karena membuatnya menangis.

Waktu itu, tidak puas dengan hanya membuat Saito kelaparan, Louise mencoba cambuknya, mengakibatkan Saito melarikan diri dari kamar dan tidur di luar.

Mereka akan berkelahi seperti itu hanya karena baskom air, tapi setelah pergi ke Albion sesuatu berubah. Perasaan hangat terhadap Saito mulai tumbuh dalam Louise dan begitu juga sebaliknya. Namun, mereka tidak menyadari perasaan yang lain.

Di pagi hari, Saito menyiapkan baskom air merasa sedikit canggung. Louise duduk di tempat tidurnya dengan wajah mengantuk.

Dengan baskom diletakkan di lantai, Saito meraup air dengan kedua tangan tapi Louise tak bergerak. Rambut pirang kemerah-merahannya menjuntai di wajahnya. Terlihat lelah, dia mengusap matanya. Dengan ekspresi kosong, dia berkata, "Biarkan saja di sana, Aku akan melakukannya sendiri."

Saito terkejut. Dia tidak berpikir kata-kata "Aku akan melakukannya sendiri" bisa datang dari mulut Louise.

"Louise?"

Saito melambaikan tangan di depan wajahnya. Louise cemberut, memalingkan wajahnya. Dia tersipu-sipu. Seolah-olah ia sedang marah, Louise berkata, "Aku akan melakukannya sendiri. Tinggalkan aku sendirian. "

Louise mencelupkan tangannya ke dalam baskom, meraup air, menggelengkan kepala dan membasuh wajahnya. Air menyiprat ke mana-mana.

"Jadi, kau adalah tipe orang yang suka menggerakkan wajah ketika sedang menbasuhnya ya?"

Louise sedikit terkejut dengan komentar Saito. Wajahnya memerah dan ia menjadi marah. "A-Ada masalah dengan itu?"

"Tidak, sama sekali tidak ada..."

Saito kemudian mengambil pakaian Louise dari lemari dan meletakkannya tertelungkup di tempat tidurnya, sementara Louise memakai celana dalamnya. Saito, memegang seragam Louise, berbalik ketika dia pikir dia sudah selesai. Langkah berikutnya adalah untuk memakaikan pakaian Louise.

Ketika Saito berbalik, Louise, hanya mengenakan celana dalam, mulai panik dan cepat-cepat menutupi tubuhnya dengan seprai.

"Tinggalkan saja pakaiannya di sana," kata Louise, setengah wajahnya tertutup oleh seprai. Apa yang terjadi?Pikir Saito. Dia biasanya mengatakan sesuatu seperti 'Cepat pakaikan seragamku...' dengan wajah mengantuk. Terlebih lagi, ia bersembunyi di balik selimut. Biasanya, dia tidak akan peduli jika terlihat. Mengapa dia malu?

"Tinggalkan di sana? Um, kau yakin?"

Louise memunculkan kepalanya di atas seprai, "kubilang tinggalkan saja di situ kan!?"

Louise kemudian membenamkan setengah wajahnya ke dalam seprai lagi dan memelototi Saito.

Nah ini aneh, pikir Saito saat ia meletakkan pakaian di samping Louise seperti yang diperintahkan.

"Hadap ke sana."

"Eh?"

"Kubilang menghadap ke sana."

Seolah-olah dia adalah tipe orang yang tidak ingin terlihat saat berganti pakaian. Ini adalah reaksi yang sangat normal untuk gadis remaja, bagaimanapun Louise tidak seperti ini di masa lalu.

Saito membelakangi Louise dan berpikir, apa sih yang terjadi?

Yah, banyak hal yang terjadi di Albion. Tunangannya mengkhianati dirinya dan Henrietta, teman masa kecilnya, kehilangan kekasihnya. Itu pengalaman mengerikan untuk Louise. Mungkin peristiwa-peristiwa telah merubahnya.

Apakah Louise benar-benar berubah?

Dengan wajah tanpa ekspresi, Saito teringat rasa bibir Louise. Dia telah mencium Louise yang setengah tertidur dengan lembut di bibir ketika di naga. Mencium seseorang yang sedang tidur adalah tindakan pengecut dan sesuatu yang seharusnya tidak dia dilakukan, tetapi ia tidak bisa mengendalikan dirinya. Dia sangat sayang padanya.

Mungkinkah..., Saito pikir. Louise tahu tentang ciuman itu? Dia tidak berubah karena dia merasa aku itu berbahaya dan berpikir aku akan melakukan sesuatu padanya, kan?

Saito menghentikan pikirannya sampai di situ dan menggelengkan kepalanya. Jika Louise sudah bangun pada waktu itu, ia tidak akan tetap diam. Bangun. Jadi marah. Menyiksa. Perasaan harmoni apapun akan meledak menjadi debu. Saat-saat seperti ketika aku merayap ke tempat tidurnya mengerikan bukan? Seekor anjing. Itulah aku, seekor anjing. Seekor anjing yang dirantai dan berkata 'guk'.

Ah. Aku mengerti sekarang. Saito akhirnya menyadari. Dia merasa gelisah karena aku merayap ke tempat tidurnya saat ia sedang tidur, dua malam sebelum kami berangkat ke Albion. Ini bukan tentang ciuman sama sekali. Ah, itu sebabnya dia tidak ingin aku membantunya berpakaian lagi.

Saito merasa agak sedih. Bahkan, ia sangat menyesal. Kalau saja dia tidak melakukan hal semacam itu. Dia tidak ingin aku melakukan sesuatu padanya. Yah itu sesuatu yang wajar, tetapi itu berarti dia tidak suka padaku. Itu juga wajar kurasa ...

Sesuatu yang wajar... namun menyedihkan.

Sebuah sinar harapan? Bukan. Tak satupun. Louise tidak menyukaiku. Aku hanya seorang familiar. Sudah begitu, aku hanya menjadi familiar yang berbahaya selama ini. Familiar buruk yang berubah menjadi serigala di malam hari. Sebuah dinding telah dibangun diantara kami.

Awan gelap mulai berkumpul. Harapan dalam hati Saito berbisik dengan putus asa, "Tetapi dalam perjalanan pulang di naga, ia meringkuk denganku kan? "keputusasaan dalam hati Saito menjawab dingin," Itu hanya imajinasiku. Dia melemparku ketika Kirche membicarakannya, bukan? "

... Ah, itu benar. tidak salah lagi. Louise tidak memikirkan apapun tentangku.

Menyadari perasaannya sendiri untuk Louise, Saito diliputi kesedihan. Saito memiliki kepribadian dimana ketika sedang gembira, ia akan terbawa perasaannya, tapi ketika tertekan, ia akan sangat depresi.

"Sedang berbisik-bisik apa kau?"

Saito tidak menyadari bahwa ia berbisik-bisik. Ketika ia berbalik, Louise, sudah selesai berganti pakaian, memandang ke wajahnya dengan ragu.

Setelah berpikir hanya dalam waktu dua puluh detik, ia telah mencapai kesimpulan. Merasa kecewa, Saito menjawab dengan suara yang terdengar seperti orang sakit, "Maaf. Aku tidak akan berbicara kepada diriku sendiri lagi. "

"Ya, itu agak memuakkan."

Louise, terlihat ragu pada Saito, berjalan keluar. "Ayo, kita pergi untuk sarapan."

"Ya," Saito mengikutinya, dengan perasaan tertekan.


Bahkan di Alviss Dining Hall, sesuatu yang mengherankan terjadi.

Saito duduk di lantai seperti biasa, tapi piring supnya tidak ada. Saito menjadi tidak sabar. Apakah saya melakukan sesuatu yang membuat Louise cukup marah sampai aku tidak diberi makan? Tidak, sepertinya tidak begitu.

Tadi malam, setelah lima dari mereka kembali ke akademi, mereka melapor kepada Osman. Osman, yang sudah mendengar dari Henrietta, mengucapkan terima kasih dan memuji mereka atas usaha mereka.

Kemudian mereka kembali ke kamar masing-masing ... dan tidur dengan cepat. Saito tidak melakukan sesuatu yang bisa membuat Louise marah. Dengan raut wajah yang merana, Saito menatap Louise, yang duduk di kursi.

Louise memerah dan sambil berpaling ia berkata, "Mulai sekarang, makan di meja."

"Eh?" Saito menatap kosong pada Louise. Itu sangat tidak terduga dari Louise.

"Ayo, duduk dengan cepat."

Ternganga, ia duduk di samping Louise. Malicorne, yang selalu duduk di sana dan sedang flu, protes, "Hei Louise, itu kursiku. Apa maksudmu dengan membiarkan familiarmu duduk disitu? "

Louise memelototi Malicorne. "Kalau kau tidak punya tempat duduk, pergi saja sana cari kursi."

"Jangan bermain-main denganku! Membiarkan familiar yang hanya rakyat biasa duduk sementara aku harus pergi mendapatkan kursi? Itu tidak benar! Hei familiar, pergi sana, itu kursiku. Ini adalah meja makan para bangsawan! "

Malicorne yang gemuk berusaha tampak menakutkan, tapi dia gemetar sedikit. Ini adalah familiar legendaris yang seharusnya mengalahkan Guiche dan menangkap fouquet. Apa lagi, sepertinya mereka telah mendapatkan beberapa prestasi yang luar biasa ketika mereka pergi dari akademi selama dua hari. Malicorne berlumuran keringat dingin ketika dia mengusir Saito.

Saito, merasa sangat ngedown karena dinding antara dia dan Louise semakin besar, bereaksi terhadap suara yang mengganggunya. Dia berdiri dan mencengkeram kerah Malicorne.

Dia tidak menggunakan banyak kekuatan, tetapi berbisik dengan suara mengancam, "Hei gendut, apa yang kau katakan?"

Ketakutan, Malicorne berhenti berpura-pura dan menggelengkan kepalanya berulang kali, "A-Ah, tidak apa-apa, aku tidak bersungguh-sungguh!"

"Aku tidak bermaksud seperti itu, Sir."

"Y-ya, aku tidak bersungguh-sungguh Sir!"

"Kalau begitu pergi sana cari kursi. Mari kita makan bersama dengan bahagia. "

Malicorne bergegas pergi untuk mendapatkan kursi. Dengan ekspresi terlihat tidak peduli, Louise menunggu waktu doa sebelum makan. Apa sebenarnya yang terjadi. Ada apa dengan perubahan hati ini? Mengapa ia menjadi begitu baik? Tentunya ada alasan. Tidak, pikirnya. Perjalanan ke Albion itu merubah Louise.

Itu pasti ... setelah melihat orang luka-luka dan tewas, perasaan hangat ini sudah mulai tumbuh dalam dirinya. Ini mengingatkan Saito akan cerita tentang Jenderal Tokugawa Tsunayoshi dari zaman Edo dan perintahnya untuk menyayangi hewan. Sang Shogun merasa kasihan terhadap seekor anjing liar, dan menghukum mereka yang menindas anjing tersebut.

Jadi pasti begitu.

Perintah untuk mengasihi hewan telah ditetapkan di Tristain.

Pemubuat Peraturan: Louise Françoise le Blanc de la Vallière.

Objek: familiar dan juga anjing, diriku dengan kata lain.

Saito menghentikan imajinasinya dan memandang Louise dengan hangat.

Kau sudah menjadi lebih baik kan Louise, lebih mirip seorang gadis. Kau mempesona seperti ini. Menjadi begitu baik kepada seseorang seperti aku ... Kau tumbuh dewasa seperti anak perempuan.

Aku akan menjagamu dengan hati-hati - Aku tidak akan pernah melakukan aneh padamu lagi. Sampai aku kembali ke bumi, aku akan melindungimu. Meskipun kau tidak suka padaku, aku merasa senang bahwa kau begitu baik padaku.

Sinar dari Louise bercampur dengan kesedihan dan putus asa, Saito tersenyum hangat. Louise menyadari Saito sedang mengamatinya dengan saksama dan sehingga Louise memerah, "Me-Mengapa kau menatapku seperti itu?"

Menyadari kalau dirinya melihat Louise dengan cara yang menjijikan, Saito mengalihkan mata dan mengepalkan tangannya di lututnya. Dengarkan dengan seksama, Saito. Bangsawan bukan untuk anjing seperti kamu. Dibandingkan dengan Louise, yang begitu indah dan murni, Tidak mungkin tikus tanah sepertimu bisa melihat anak perempuan semanis dia dengan layak.

Pikiran tersebut terus terulang di dalam benaknya. Dengan cepat Saito tenggelam dalam kesedihannya bagaikan rawa tanpa dasar. Dengan sopan Saito berbisik, "Maaf kalau menjijikkan."

Louise dengan cepat menoleh ke arah lain.

Ugh, dia pasti berpikir aku aneh. Tuannya berpikir kalau tikus tanah ini aneh.

Saito menatap makanan di piring dengan wajah kusam. Itu adalah makanan yang mewah, tapi warnanya tampak memudar di hadapan matanya.

Setelah berdoa seperti biasanya sarapan dimulai. Saito dengan tenang menyantap makanannya. Rasanya lezat, tapi dia begitu sedih hingga dia tidak bisa merasakannya.



Ketika Louise memasuki kelas, dia langsung dikelilingi oleh teman sekelasnya. Ada rumor bahwa dia telah melalui perjalanan berbahaya dan telah mendapatkan prestasi besar selama dia tidak ada.

Sebenarnya beberapa siswa sudah memperhatikan ketika pemimpin dari Pasukan Pertahanan Sihir telah pergi. Itu bukanlah kejadian yang biasa terjadi. Mereka semua ingin tahu apa yang terjadi. Mereka mungkin sudah bertanya pada saat sarapan kalau tidak ada guru.

Kirche dan Tabitha sudah duduk. Mereka juga dikelilingi oleh sekelompok siswa.

"Hei ketika kamu dan Louise tidak hadir di kelas, kamu pergi ke mana?" Tanya Montmorency, sambil mencengkeram lengannya.

Hanya melirik, Kirche kembali berdandan dan Tabitha dengan tenang membaca bukunya. Tabitha tidak berbicara banyak. Sedangkan untuk Kirche, kalau biasanya dalam suasana hati, ia tidak akan berkeliling memberitahu teman-teman sekelas tentang perjalanan rahasia mereka.

Tidak peduli berapa banyak teman sekelas mereka mendorong dan menarik, mereka tidak bisa mendapatkan apa-apa dari dua orang itu sehingga mereka mengubah target ke Guiche dan Louise yang baru saja muncul.

Guiche, yang suka dikelilingi dan ribut sendiri, bisa dihasut seperti yang diharapkan. "Kalian ingin bertanya padaku kan? Kalian ingin tahu rahasia yang aku tahu? Ahaha, kelinci kecil yang bermasalah! "

Louise menerobos kerumunan orang dan memukul kepala Guiche. "Apa yang kau pikir kau lakukan?! Kau bisa dibenci oleh Tuan Putri jika kau mengatakan sesuatu, Guiche. "

Dengan satu kata yang berhubungan dengan Henrietta, Guiche langsung terdiam. Teman-teman sekelas mereka menjadi lebih curiga melihat hal ini. Mereka mengepung Louise dan mulai mengganggu dirinya.

"Louise! Louise! Apa yang sebenarnya terjadi? "

"Tidak ada apa-apa. Osman hanya mengirimku ke istana untuk suatu keperluan, itu saja. Betulkan Guiche, Kirche, Tabitha? "

Kirche tersenyum misterius, sambil meniup kukunya yang sedang dipoles. Guiche mengangguk. Tabitha membaca buku. Karena tidak ada seorang pun bersedia untuk bicara, teman-teman sekelas kembali ke tempat duduk mereka. Seperti sekelompok pecundang yang menjengkelkan, mereka mulai berbicara tentang Louise dengan marah.

"Heh, mungkin itu bukan sesuatu yang penting."

"Ya, lagipula yang sedang kita bicarakan disini kan Louise si Zero. Aku tidak bisa membayangkan, prestasi apa yang bisa dia dapatkan. Padahal menggunakan sihir saja tidak bisa. "

"Penangkapan Fouquet pasti hanya suatu kebetulan saja. Familiarnya kebetulan saja bisa mengeluarkan kekuatan dari Staff of Destruction." Kata Montmorency yang jengkel, sambil melambaikan rambutnya yang keriting.

Louise menggigit bibirnya, mengenakan ekspresi kesal di wajahnya sambil tetap diam. Saito terkejut. Beraninya wanita berambut keriting ini menghina Louise-ku? Begini, bukan "Louise-ku" kurasa. Tikus tanah sepertiku tidak akan pernah bisa mendapatkan Louise. Ya walupun begitu, kalau ini tentang wanita, Saito akan melakukan apa yang harus dia lakukan.

Saat Montmorency pergi dan tampak puas, Saito dengan santai meletakkan kakinya keluar. Montmorency yang tidak memperhatikan tersandung kaki Saito.

"Aaah!"

Montmorency, dengan hidungnya yang merah karena jatuh dengan wajah duluan, berteriak dengan marah ke Saito, "Apa yang kamu lakukan? Aku seorang bangsawan, beraninya orang biasa seperti kamu menyandungku! "

Louise berbicara dari samping, "Itu kan kau saja yang tidak memperhatikan."

"Apa, jadi sekarang kau berpihak pada orang biasa, Louise si Zero?!"

"Saito mungkin hanya orang biasa, tapi dia adalah familiarku, Montmorency si Air Bah. Hina dia, itu berarti kau menghinaku, itu hal yang sama. Ada yang ingin kau katakan? "

Montmorency pergi, bergumam dengan marah pada dirinya sendiri. Bagi Saito, Louise, yang baru saja membelanya, terlihat menyilaukan di matanya dan dia mendapati dirinya menatap Louise dengan hangat. Louise merasakan tatapannya dan memalingkan wajahnya ke samping, tersipu-sipu, "A-Apa yang kamu lihat?"

Saito, lagi-lagi menyadari tatapannya menjijikkan, meminta maaf kepada Louise. Tikus tanah sederhana ini lagi-lagi telah melakukannya.

"M-Maaf."

Louise menyadari bahwa Saito bersikap aneh sejak tadi pagi. Dia lebih pendiam daripada biasanya. Apa lagi yang kau inginkan, aku sudah begitu baik kepadamu.

Louise hendak mengatakan sesuatu kepada Saito tentang itu, tapi Mr Colbert telah memasuki ruang kelas, jadi dia kembali duduk. Kelas dimulai.

"Baiklah, semuanya," Mr Colbert menepuk kepalanya yang agak botak. Sampai kemarin, takut tentang bagaimana Fouquet The Crumbling Dirt bisa kabur dari penjara, dia curiga ada seorang pengkhianat di dalam kastil. Dia juga berpikir bahwa itu adalah urusan serius untuk Tristain.

Namun pagi ini, Osman memanggilnya, mengatakan padanya bahwa hal itu "baik-baik saja" dan ia kembali tenang seperti biasa. Selain itu, hal-hal seperti politik tidak begitu menarik buatnya.

Apa yang dia minati adalah pengetahuan, sejarah dan penelitian. Itu sebabnya ia menyukai pelajaran. Dia bisa dengan bebas menyatakan hasil penelitiannya. Lalu, dengan senang hati, ia menunjukkan sesuatu yang aneh yang dia letakkan di meja ke kelas.

"Mr Colbert, apa itu? "Seorang murid bertanya.

Itu adalah benda yang terlihat aneh. Benda tersebut adalah sebuah tabung metal panjang dengan sebuah pipa metal memanjang keluar darinya. Pompa dihubungkan ke pipa dan sebuah engkol yang menempel pada kepala silinder. Engkol terhubung ke roda di sisi silinder. Akhirnya, roda-roda bergerigi menempel pada roda dan kotaknya.

Melihat peralatan-peralatan tersebut, para siswa itu semua bertanya-tanya pelajaran macam apa yang akan dibahas. Dengan berdehem, ia memulai pelajarannya, "Pertama, siapa yang bisa memberitahukanku karasteristik dari sihir api"

Seluruh kelas menoleh ke Kirche. Kalau kau membicarakan tentang sihir elemen api di Halkeginia, sudah pasti bangsawan German ahlinya. Di antara mereka, Zerbsts adalah keluarga yang terkenal. Dan juga, nama panggilannya, Ardent, menunjukkan, bahwa dia hebat dalam sihir api.

Walaupun kelas sudah dimulai, Kirche masih terus menggosok kukunya. Tanpa mengalihkan pandangannya dari kikir kuku, ia menjawab dengan malas, "Gairah dan kehancuran."

"Itu benar!" Kata Mr Colbert, dia sendiri adalah seorang penyihir api Triangle yang dijuluki 'Flame Serpent'.

"Namun, selain gairah, hanya mampu menghancurkan agak sepi kurasa. Hal ini tergantung pada penggunaan, semua orang. Tergantung pada bagaimana Anda menggunakannya, sebenarnya Anda dapat melakukan hal-hal yang menyenangkan. Bukan hanya untuk menghancuran, Miss Zerbst. Pertempuran bukanlah satu-satunya waktu Anda bisa melihat api. "

"Tidak ada gunanya berusaha untuk menjelaskan tentang sihir api ke bangsawan Tristain" kata Kirche, penuh keyakinan. Mr Colbert tidak gelisah oleh ketidaksepakatan, tapi malah tersenyum.

"Tapi, benda aneh apa itu?" Kirche tanya dengan pandangan kosong, sambil menunjuk peralatan di atas meja.

"Hehe. Jadi, Anda akhirnya bertanya. Ini adalah sesuatu yang kutemukan. Kerjanya menggunakan minyak dan sihir api." Murid-murid ternganga, menatap mekanismenya dengan saksama. Mekanismenya tampak agak akrab bagi Saito, seolah-olah ia pernah melihatnya di suatu tempat sebelumnya. Menjadi salah satu orang yang penasaran, ia juga tetap diam dan mengawasi dengan penuh perhatian.

Mr Colbert melanjutkan, "Pertama-tama kita menguapkan minyak dengan pompa." Dia menginjak pompa tersebut berulang-ulang dengan kakinya. "Lalu , uap minyak akan masuk ke dalam tabung silinder ini. "

Dengan ekspresi wajah yang terlihat berhati-hati, Colbert memasukkan tonkatnya ke dalam lubang kecil yang dia buka. Dia membacakan sebuah mantra. Suara nyala api tiba-tiba terdengar, dan ketika api menyulut uap minyak, suaranya berubah menjadi ledakan.

"Lihat dengan seksama semuanya! Di dalam tabung metalik, kekuatan dari ledakan menyebabkan piston bergerak naik-turun! "

Engkol yang melekat pada bagian atas silinder mulai bergerak bersama dengan roda. Roda yang berputar membuka pintu di kotak. Gerigi mulai bergerak dan boneka ular keluar dari dalam.

"Kekuatannya ditransfer ke engkol yang memutar roda! Lihat! Ular kemudian keluar untuk menyambut kita! Benar-benar menarik! "

Para siswa melihatnya tanpa antusias. Satu-satunya yang tertarik tampaknya Saito.

"Lalu? Apa yang begitu istimewa tentang itu? "

Mr Colbert merasa sedih pada kenyataan bahwa penemuan yang sangat dia banggakan telah sama sekali diabaikan. Berdehem, dia mulai menjelaskan, "Dalam contoh ini hanya ular muncul, tetapi misalnya mekanisme ini ditempatkan pada sebuah kereta. Maka, kereta tersebut bisa bergerak bahkan tanpa kuda! Hal itu juga bisa digunakan di sisi kapal juga, dengan memutar roda air. Maka tidak akan dibutuhkan layar!"

"Anda bisa saja menggunakan sihir dalam kasus-kasus tersebut. Tidak perlu untuk menggunakan mekanisme yang aneh."Setelah satu siswa mengatakan itu, para siswa lain mulai mengangguk setuju.

"Semua orang, dengarkan baik-baik! Jika mekanisme ini diterapkan dan diteliti lebih lanjut, kasus-kasus tersebut bisa berjalan bahkan tanpa sihir! Saya menggunakan sihir api saya untuk menyalakannya, tetapi katakanlah geretan digunakan dan cara untuk menyalakannya mudah sekali ditemukan ... "Colbert jelas semakin bersemangat, berbicara terus dan terus, sementara para siswa bertanya-tanya apanya yang istimewa. Satu-satunya yang sepertinya memahami kehebatan penemuannya tampaknya hanya Saito.

"Mr Colbert, itu hebat! Itu mesin! "Saito mengatakannya sambil berdiri tiba-tiba. Seluruh kelas menoleh padanya.

"Mesin?" Mr Colbert memandang Saito dengan pandangan kosong.

"Ya, sebuah mesin. Ini digunakan di duniaku untuk melakukan hal-hal yang seperti anda katakan. "

"Aku tahu kau orang yang cerdas. Kau familiarnya Nona Vallière, kan? "

Fakta bahwa dia adalah familiar legendaris Gandálfr yang memiliki rune di punggung tangannya tiba-tiba teringat kembali oleh Mr Colbert. Ia sudah lupa sejak Osman mengatakan akan menyerahkan masalah itu kepadanya ... namun karena antusiasmenya ia mulai tertarik pada Saito.

"Kamu lahir dimana?" Ia bertanya penuh semangat

Louise menarik parka Saito sedikit dan memelototinya sedikit "Jangan mengatakan hal yang tidak perlu, kita akan terlihat mencurigakan."

Karena setuju, Saito kembali duduk.

"Hmm? Kamu lahir dimana? "Colbert mendekati Saito dengan ekspresi cerah. Louise menjawab untuknya.

"Mr Colbert, dia eh ... dari Rub 'Al Khalil di timur."

Mr Colbert tercengang. "Apa?! Melewati tanah menakutkan elf? Tunggu, dia kan disummon... jadi dia tidak harus melalui tanah-tanah tersebut ... jadi begitu. Saya dengar bahwa tanah yang dikuasai para elf di timur memiliki teknologi yang maju. Jadi kamu lahir di sana ... jadi begitu, "ia mengangguk dalam pemahaman.

Saito berpaling kepada Louise, "Apa?"

"Ikuti saja," kata Louise, menginjak kakinya.

"A, Ah ya. Aku dari um ... Rub '. "

Mr Colbert mengangguk lagi dan kembali ke mekanisme. Berdiri di podium sekali lagi ia memandang sekeliling kelas.

"Baiklah kalau begitu, siapa yang ingin mencoba mengoperasikan mekanismenya? Ini sangat sederhana! Buka saja lubang di silinder, letakkan tongkatnya dan ucapkan mantra pembakar berulang-ulang. Penempatan waktunya agak sedikit rumit tetapi sekali Anda terbiasa, maka akan mudah seperti ini, "Mr Colbert menginjak pompa dengan kakinya dan mengoperasikan mekanismenya sekali lagi. Suara ledakan menggema di seluruh kelas sementara engkol dan roda gigi bergerak, diikuti oleh ular yang menunjukkan wajahnya.

"Dan si ular gembira menyambut kita!"

Tidak seorang pun mengangkat tangan mereka. Mr Colbert mencoba membuat para siswa tertarik dengan mekanismenya, dengan mengatakan "ular gembira", tapi tidak efektif. Dengan kecewa, Colbert hanya bisa melemaskan bahunya.

Montmorency, tiba-tiba menunjuk Louise, "Louise, kamu coba!"

Wajah Mr Colbert berseri-seri, "Miss Vallière! Apa anda tertarik dengan mekanismenya?"

"Menangkap Fouquet The Crumbling Dirt dan menyembunyikan entah apa yang sudah kau lakukan, pasti kau tidak akan mengalami kesulitan dengan sesuatu seperti ini kan? "Louise menyadari Montmorency berusaha untuk mempermalukan dia dengan membuat dia gagal.

Montmorency tampaknya tidak suka Louise mendapatkan semua perhatian, seperti mendapat prestasi besar dan menjadi bintang di acara dansa. Rasa cemburunya dalam dan fakta bahwa dia adalah tukang pamer terungat kembali oleh Louise.

Montmorency terus memprovokasi Louise, "Hei, lakukan? Louise. Louise Zero."

Sesuatu dalam Louise retak. Dia hanya tidak bisa diam ketika Montmorency memanggilnya Zero. Louise diam-diam berdiri dan mendekati podium.

Melihat Louise dalam keadaan ini, Saito memelototi Montmorency, "Hei Monmon."

"Demi Tuhan namaku Montmorency!"

"Jangan memprovokasi Louise! Ini akan berakhir dalam ledakan! "Kata Saito, tanpa berpikir.

Louise mengalihkan matanya ke komentar Saito. Para siswa barisan depan bersembunyi di balik kursi mereka.

Mendengar komentar tersebut, Mr Colbert teringat akan kemampuan Louise dan asal-usul dari nama panggilannya. Dia mencoba mati-matian mengubah pikiran Louise, dengan kebingungan dia mulai membujuknya, "Ah, Miss Vallière. Eh, Anda dapat melakukannya lain kali, oke? "

"Saya telah dihina oleh Montmorency The Flood," kata Louise dengan suara dingin. Kelopak matanya yang berwarna cokelat kemerahan dipenuhi dengan kemarahan.

"Saya akan menghukum Miss Montmorency. Jadi, eh, bisa tolong simpan tongkat Anda? Saya tidak meragukan kemampuan Anda, tetapi sihir tidak selalu berhasil. Maksudku, 'naga dapat juga mati karena api', kan."

Louise memandang Colbert dengan tajam, "Tolong biarkan aku melakukannya. Saya tidak selalu gagal. Kadang-kadang, saya berhasil. "

"Ada saat-saat ketika aku, kadang-kadang, berhasil," kata Louise, seolah-olah kata-kata itu dimaksudkan untuk dirinya sendiri, dengan suara gemetar. Saito tahu bahwa tidak ada yang bisa menghentikan Louise sekarang. Ketika Louise sangat marah, suaranya akan mulai bergetar.

Mr Colbert menatap langit-langit dan mendesah.

Louise meniru gerakan Mr Colbert dan menginjak pompanya. Uap Minyak masuk ke dalam silinder. Dia menarik napas dan memasukkan tongkatnya ke dalam silinder.

"Miss Vallière, Uhh ..." bisik Mr Colbert seolah-olah ia sedang berdoa.

Dengan suara sejernih bell, ia mulai membaca mantra.

Seluruh kelas membeku.

Seperti yang diperkirakan, mekanismenya meledak. Louise dan Mr Colbert terlempar ke papan tulis sementara seluruh kelas menjerit. Ledakan menyebarkan minyak yang terbakar di seluruh ruangan. Para siswa berlarian dengan kacau, menghindari api.

Di antara kursi dan meja yang terbakar, Louise berdiri perlahan-lahan. Itu adalah pemandangan yang kejam. Pakaiannya hangus dan kulitnya yang putih tertutup jelaga. Sama sekali mengabaikan kekacauan di dalam kelas, ia menarik lengan Mr Colbert dan berbisik, "Mr Colbert. Mesinnya mudah rusak ya."

Mr Colbert tidak menjawab, merasa akan pingsan. Para siswa menjawab untuknya, "Kau yang merusaknya! Dasar Zero! Louise Zero! "

"Sudahlah, yang penting apinya! Seseorang padamkan apinya! "

Montmorency berdiri dan mengucapkan mantra. Itu adalah mantra air 'Water Shield'. Penghalang air memadamkan api dan para siswa bertepuk tangan untuk Montmorency. Montmorency, seakan-akan dia telah menang, berkata kepada Louise, "Kupikir itu adalah hal yang mudah karena kau kan penyihir yang hebat dan lagipula itu hanya api kecil."

Dengan marah, Louise menggigit bibirnya.


Malam itu ... Hari sudah malam pada saat kelas dibersihkan. Merapikan kursi-kursi dan meja dan menyeka lantai adalah tugas yang berat. Setelah kelelahan, Louise dan Saito kembali ke kamar mereka. Saito tidur di tumpukan jerami. Louise duduk di tempat tidurnya. Sudah hampir waktunya tidur. Karena kebiasaan, Saito berjalan ke lemari untuk mengambil pakaian Louise. Namun Louise, tiba-tiba berdiri.

"A-Apa yang kau lakukan?"

Louise memerah dan tidak menjawab. Tangannya memegang seprai dan menggantungnya di tiang-tiang ranjangnya. Sehingga seprai tersebut menjadi tirai dan menutup tempat tidurnya. Sambil melirik Saito, dia ke lemari, mengambil pakaiannya dan kembali ke tempat tidur. Saito bisa mendengar suara Louise yang sedang berganti pakaian di balik tirai. Karena depresi, Saito kembali ke tumpukan jeraminya.

Dia tidak ingin terlihat oleh orang sepertiku. Bahkan jika aku melihatmu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang aneh. Aku bahkan tidak akan melihat lagi. Aku bukan serigala seperti yang kau pikir ... Aku seekor tikus tanah. Yah, kau dicium oleh tikus tanah, tapi itu ketika aku terbawa perasaan, aku telah membuat kesalahan. Aku tidak akan pernah melakukannya lagi Louise. Aku akan menjagamu dengan benar. Tikus tanah sederhana ini akan menjaga Anda di tumpukan jerami.

Saito tanpa henti menyiksa dirinya dengan pikiran-pikiran tersebut. Tirai diturunkan. Mengenakan daster, Louise bermandikan cahaya bulan, rambutnya mengalir lembut. Cahaya rembulan yang cemerlang menonjolkan keindahannya yang bagaikan seorang dewi. Setelah menyisir rambutnya dengan tangan ia berbaring dan mematikan lampu di meja samping tempat tidurnya dengan lambaian tongkat sihirnya. Itu adalah lampu ajaib yang akan mati oleh sinyal dari tuannya. Itu tidak benar-benar istimewa, tapi rasanya seperti sesuatu yang mahal. Dengan cahaya bulan memenuhi kamar, suasana terasa seperti mimpi.

Tepat pada saat Saito akan tertidur, Louise duduk tegak dan berseru, "Hei, Saito."

"Ya?"

"Selalu tidur di lantai sepertinya agak ekstrim ... Kau bisa, er, tidur di tempat tidur jika kau mau."

Spontan Saito menjadi kaku, "A-Apa?"

"Jangan salah paham! Aku akan memukulmu jika kau melakukan sesuatu yang aneh."

Saito kewalahan. Ah, Louise kau benar-benar sangat baik. Sepertinya kau telah berubah sepenuhnya. Pengalaman yang keras benar-benar mengubahmu ... Kau bahkan baik terhadap tikus tanah yang menjijikkan sepertiku.Dengan setiap langkah mendekati tempat tidur, detak nadinya seakan menjadi dua kali leih cepat. Louise menghadap jendela, terbungkus dalam selimut di tepi tempat tidur.

"Apakah ... tidak apa? Bahkan untukku? Seekor tikus tanah?"

"Ya, tidak apa, jangan membuatku mengatakan hal yang sama. Apa maksudmu dengan tikus tanah?"

Saito menyelinap ke tempat tidur dan menutupi tubuhnya dengan selimut, "Maaf."

Dia harus minta maaf karena terbawa suasana dan menciumnya. Dia merasa dia harus. Saito berbisik, "Maaf ... untuk menciummu seperti itu. "

Louise tidak menjawab.

Saito mengira dia sedang tidur, tapi tidak terdengar seperti itu. Saito melanjutkan, "aku ... memutuskan sebelum itu bahwa aku akan melindungimu sebagaimana aku sudah berjanji pada Pangeran Wales. "

"Tidak hanya dari musuh, tapi juga dari keinginanku sendiri. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku telah melakukan pekerjaan yang baik dalam melindungimu sejauh ini, jadi, maafkan aku. "kata Saito, mengatakan apa yang ada di pikirannya.

Louise menjawab dengan suara kecil, "Tidak apa-apa, kau tidak perlu khawatir."

Saito menggenggam selimut dan berbisik, "Aku tidak akan melakukannya lagi."

"Tentu saja," Louise mulai bicara, seolah-olah bertekad untuk memberitahu Saito sesuatu, "tapi, aku juga harus minta maaf. Maaf, karena telah mensummonmu. "

"Tidak apa. bukan sesuatu yang bagus si , tapi tidak apa-apa."

"Aku akan menemukan cara untukmu pulang. Aku tidak tahu bagaimana, tapi aku akan menemukannya. Aku tidak pernah mendengar dunia lain sebelumnya."

"Terima kasih," Saito merasa lega.

Menggeliat sedikit, Louise bertanya pada Saito, "Duniamu ... di sana tidak ada penyihir ya?"

"Tidak."

"Hanya ada satu bulan?"

"Hanya satu."

"Itu aneh."

"Tidak, tidak, dunia ini yang aneh, penyihir, dan semacamnya."

"Apa pekerjaanmu di dunia itu?"

"Aku adalah seorang siswa SMA."

"Siswa SMA?"

"Yah itu tidak jauh berbeda dari menjadi murid di sini kurasa. Belajar adalah kewajiban."

"Apa yang dilakukan orang bila mereka dewasa?"

Louise mulai memborbardir Saito dengan berbagai pertanyaan. Sementara bertanya-tanya mengapa, Saito menjawab, "Hmm, karyawan perusahaan mungkin, itu yang paling umum. "

"Apa itu karyawan perusahaan?"

Ia menjadi sedikit kesal, tapi menjawab, "Kau bekerja dan kau mendapatkan uang."

"Aku tidak benar-benar mengerti ... tapi apa kalau sudah sudah dewasa kau ingin menjadi karyawan perusahaan?"

Saito tetap diam. Dia tidak pernah berpikir tentang apa yang ingin ia lakukan di masa depan. Dia menghabiskan hari-harinya melakukan apa yang dia suka. Masa depannya tidaklah cerah ataupun suram. Memikirkan hal seperti ini tidak akan ada habisnya, dia hanya datang ke sekolah sebagai rutinitas. Saito agak bingong dalan menjawabnya, "Aku tidak tahu. Aku belum benar-benar berpikir tentang hal itu."

"Wardes bilang kau adalah seorang familiar legendaris. Huruf-huruf rune di punggung tanganmu adalah lambing Gandálfr rupanya."

"Aku tidak mengerti tetapi sepertinya Gandálfr dimaksudkan untuk menggunakan pedang Derflinger."

"Apa benar begitu..."

"Yah pasti begitu, aku tidak bisa menggunakan pedang seperti itu biasanya."

"Lalu, Kenapa aku tidak bisa menggunakan sihir? Kau seorang familiar legendaris, tapi aku Louise Zero. Ugh. "

"Aku tidak tahu."

Louise tetap diam untuk sementara waktu. Lalu dia berbicara dengan nada serius, "Kau tahu, aku ingin menjadi penyihir hebat. Maksudku bukan penyihir yang sangat kuat. Aku hanya ingin bisa mengeluarkan mantra dengan benar. Aku tidak ingin semua mantra yang kubaca gagal dan bahkan tidak tahu elemen sihir apa yang kukuasai. "

Saito ingat kelas mereka sebelumnya. Seperti biasa, Louise telah gagal.

"Sejak aku masih kecil, Aku diberitahu kalau aku tidak ada harapan. Ayah dan ibu tidak mengharapkan sesuatu dariku. Aku selalu diperlakukan seperti idiot, selalu disebut Zero ... aku benar-benar tidak punya keterampilan. Tidak ada elemen sihir yang kukuasai. Aku bahkan kikuk dalam membaca mantra. Aku mengerti hal itu. Guru-guruku, ibu dan saudara-saudaraku memberitahuku. Ketika kau membaca sebuah mantera dari elemen sihir yang kita kuasai, sesuatu di dalam tubuhmu merespon dan bersirkulasi di dalam tubuhmu. Ketika sirkulasi tersebut berada di klimaksnya, itu berarti bahwa mantra selesai. Aku belum pernah merasakan itu sebelumnya. "

Suara Louise menjadi lebih kecil, "Tapi, aku ingin setidaknya mampu melakukan hal-hal seperti orang lain. Kalau tidak, aku merasa aku tidak akan senang dengan diriku sendiri. "

Louise menjadi diam sekali lagi. Saito tidak tahu harus berkata apa untuk menghiburnya. Beberapa waktu berlalu sebelum Saito mulai berbicara.

"Bahkan jika kau tidak dapat menggunakan sihir ... Kau normal. Bukan hanya normal ... kau manis. Dan kau juga sangat baik akhir-akhir ini. Kau punya kelebihan sendiri. Bahkan jika kau tidak bisa menggunakan sihir, kau adalah orang yang hebat..."

Menyelesaikan jawabannya yang kacau, Saito menengok ke Louise. Dia sudah tertidur. Wajah polosnya membuatnya menarik nafas. Sepertinya dia tertidur ketika Saito memikirkan jawabannya. Warna pirang merah muda rambutnya bercampur dengan sinar rembulan, bersinar dengan terangnya. Nafas teratur terdengar dari bibir merah mudanya yang kecil.

Melihat bibirnya, membuatnya ingin sekali lagi menciumnya dan, tanpa dia sadari, dia sudah mendekatkan wajahnya. Tapi, dia berhenti. Hanya seorang pengecut yang berani mencium wanita yang bahkan bukan pasangannya ketika dia sedang tidur. Aku bukanlah pasanganmu... tapi aku akan melindungimu. Jadi kau tidak perlu khawatir Louise.

Sambil tersenyum dengan hangat ke Louise, Saito menutup matanya. Bersama dengan suara nafas Louise sebagai lagu tidurnya, Saito tertidur.

Louise membuka matanya ketika Saito sudah tertidur. Dia mengerutkan dahinya dan berbisik, "Aku bahkan sudah berpura-pura tidur". Louise memeluk bantalnya, dan menggigit bibirnya. Ini benar-benar berbeda pikirnya. Ketika dia melakukan sesuatu ke Louise, dia melakukannya dengan ceroboh seperti orang idiot akan tetapi ketika dia patuh, dia benar-benar patuh.

Aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti sama sekali apa yang dia pikirkan. Louise meletakkan tangannya di dadanya. Ketika Saito berada di sebelahnya , dia merasakan dadanya berdetak dengan sangat kuat. Jadi perasaan ini memang benar?

Dia ingin membalas Saito, yang sangat baik dan telah banyak menyelamatkannya. Tetapi bukan hanya itu. Ini pertama kalinya dia memiliki perasaan seperti ini kepada lawan jenisnya dan dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia sampai tidak memperbolehkan Saito membantunya berganti baju karena hal ini. Ketika dia menyadari tentang perasaan ini, dia bahkan menjadi malu hanya karena dia berpikir bahwa Saito sedang melihatnya. Dia tidak ingin Saito melihat wajahnya ketika nanti dia baru bangun.

Kapan aku mulai ada perasaan seperti ini ke Saito? Mungkin sejak saat itu, pikir Louise. Ketika dia hampir dibunuh oleh golemnya Fouquet, dia dipeluk oleh Saito. Hatinya berdebar. Meskipun dia hampir mati, hatinya derdetak dengan kencang. Ada juga ketika Wardes hampir membunuhnya. Saito menyela dan menolongnya. Tapi saat ketika jantungnya berdetak paling cepat adalah ketika mereka menunggangi naga dan Saito menciumnya. Setelah kejadian itu dia tidak bisa melihat wajah Saito.

Apa kira-kira yang dipikirkan Saito tentang ku? Perempuan yang tidak menyenangkan? Seseorang yang egois dan tuan yang jahat? atau mungkin dia menyukai ku? Yah, dia menciumku, jadi dia pasti menyukaiku. Atau mungkinkah dia sama seperti Guiche yang menyukai wanita-wanita? Yang mana ya. Aku ingin tahu. Bagaimanapun juga, kenapa dia tidak melakukan apapun ketika aku tidur tepat di sampingnya, pikir Louise.

"Tentu saja, jika dia melakukan sesuatu sekarang aku akan menendangnya."

"Tapi... tapi..." Louise menepuk bantal Saito. Dia tidak terbangun. Louise melihat sekitar dengan gelisah. Selain bulan, tidak ada yang melihatnya. Dia bergerak mendekati wajah Saito. Detak jantungnya semakin cepat. Dia menempelkan bibirnya ke bibir Saito dengan lembut, hanya sekitar dua detik. Ini adalah jenis ciuman yang bahkan pelakunya tidak yakin apa dia sudah melakukannya.

Saito membalik badannya.

Louise menjadi sedikit panik dan menjauh dari wajahnya, masuk kedalam selimutnya dan memeluk bantalnya.

Apa yang kulakukan? Apalagi ke familiarku. Bodohnya aku.

Dia melihat wajah Saito. Dia terlihat keren juga: datang dari dunia lain, terkadang patuh tapi terkadang juga mudah terbawa perasaannya tanpa alasan yang jelas. Familiar legendaris... Apa aku benar-benar menyukainya? Apakah ini yang disebut dengan suka?

Sementara dia mengulang-ulang pemikirannya, dia menelusuri bibirnya dengan jarinya. Panasnya bagaikan setrika menempel di bibirnya. Bagaimana caranya aku menemukan jawaban untuk pertanyaan ini?

"Aku tidak ingin ditinggal tanpa mengetahui jawabannya..." bisik Louise sambil menutup matanya.



Bab 3 - Buku Doa Sang Founder

Sir Osmond tengah menatap buku yang dikirim istana dan memainkan janggutnya sambil melamun. Tutupnya, yang dilapisi bulu yang menua, sudah begitu lapuk sehingga tampaknya bakal robek oleh satu sentuhan, Warna halaman buku tampak menguning-coklat. Hmm...sambil bergumam, Sir Osmond membalikkan sebuah halaman. Tiada yang tertera disana. Ada sekitar 300 halaman yang mengisi buku dan semuanya kosong.

"Ini telah diturunkan melalui keluarga kerajaan Tristain, 'Buku Doa sang Pendiri'..."

6000 tahun lalu, Brimir sang Pendiri mempersembahkan sebuah doa kepada Tuhan dan menuliskan mantrnya, menggunakan aksara sihir sebagai hurufnya.

"Ini bukan yang palsu, kan?"

Sir Osmond menatap buku tersebut dengan curiga. Pemalsuan...ini sering terjadi denga hal-hal "legendaris"/ Sebenarnya, hanya ada satu 'Buku Doa sang Pendiri' di dunia ini. Ningrat kaya, pendeta kuil, seluruh keluarga kerajaan dari tiap negeri- Mereka semua mengaku memiliki 'Buku Doa sang Pendiri' yang asli. Entah asli atau palsu, mereka semua dikumpulkan di perpustakaan secara setara bagaikan yang asli.

"Tapi jika ini yang palsu, ini sangat buruk. Seluruh hurufnya hilang."

Sir Osmond telah melihat sebuah 'Buku Doa sang Pendiri' berulangkali sebelumnya, di tempat yang berbeda-beda. Tandanya selalu ada dan disusun satu dengan yang lain secara berurut. Namun, dia tak pernah menemukan sebuah buku dengan huruf seperti ini. Apa ini yang asli? Tepat saat itu, dia mendengar suara ketokan seseorang, aku seharusnya menggaji seorang sekretaris pikir Sir Osmond saat dia mempersilahkan tamunya masuk ruangan.

"Ia tak dikunci. Ayo, masuklah."

Pintu terbuka dan seorang gadis langsing melangkah masuk. Dia berambut pink-blonde dan bermata coklat kemerahan. ia Louise.

"Kudengar anda memanggilku, jadi..." kata Louise

Sir Osmond bangkit dan melebarkan lengannya, menyambut pengunjung mungilnya. Dan berempati dnegan nyeri Louise di hari sebelumnya.

"Oh, Nona Vallière. Apa kau sudah beristirahat setelah perjalanan yang melelahkan? Usaha kerasmu mengamankan keamanan aliansi dan mencegah krisis di Tristain." kata Sir Osmond dnegan suara lembut.

"Dan, bulan depan di Germania, akhirnya akan diadakan upacara pernikahan antara Putri dan Kaisar Germania. Ini semua berkat engkau, Banggalah pada dirimu."

Setelah mendengar ini, Louise menjadih sedih untuk sesaat. Teman masa kecilnya, Henrietta, sebagai alat politik, akan menikahi Kaaisar Germania tapa cinta. Meski tiada jalan lain untuk beraliansi, saat Louise mengingat senyum sedih di bibir Henrietta, dadanya terasa sesak. Louise dengan hening menunduk. Sir Osmond diam sesaat dan mengamati Louise, kemudian teringat 'Buku Doa sang Pendiri' di tangannya, kemudian menyerahkannya pada Louise.

"Apa ini?"

Louise mengamati buku dengan pandangan curiga.

"'Buku Doa sang Pendiri'"

" 'Buku Doa sang Pendiri'? ini?"

Ia diberikan pada keluarga kerajaan. Sebuah buku legendaris. Tapi mengapa Sir Osmond memilikinya?

"Dlam tradisi keluarga kerajaan Tristain, selama sebuah pernikahan keluarga kerajaan, seorang aristokrat dipilih untuk berperan sebagai bridesmaid. Bridesmaid yang terpilih secara tradisional 'Buku Doa sang Pendiri', menurut aturan kerajaan."

“Uh huh.”

Louise, yang tak tahu soal etika istana selengkap itu, menjawab dnegan kepala kosong.

"Dan Putri telah memilih Nona Vallière untuk menjadi bridesmaid itu."

"Putri?"

"Benar. Perawan kuil seharusnya membuat doa tertulis selama membawa 'Buku Doa sang Pendiri' ini.

"A...ah! Aku harus berpikir soal doa?"

"Tepat sekali. Tentu saja, ada beberapa hal dalam etika istana yang harus kau latih...Tradisi dapat agak mengekang. Namun, Nona Vallière, sang putri berharap padamu. Ini adlaah kehormatan yang agung. Jadi ikuti saja aturan istana dan norma yang berlaku, karena hal seperti ini hanya terjadi sekali seumur hidup."

Henrietta, teman masa kecilku, memilihku sebagai bridesmaidnya. Louise dengan tegas memandang lurus.

"Aku mengerti. Aku akan patuh dengan hormat."

Louise menerima 'Buku Doa sang Pendiri' dari tangan Sir Osmond. Sie Osmond tersenyum, dan memandangi Louise.

"Kau berkeinginan keras untuk menyelesaikannya. Bagus sekali. Putri pasti senang."


Sorenya, Saito menyiapkan sebuah pemandian. Memang, Akademi Sihir Tristain memiliki pemandian umum. Ia merupakan pemandian umum bergaya Roma, diisi dengan marbel. Ia memiliki kolam renang raksasa, yang diisi air panas bercampur parfum yang katanya akan memberikan perasaan surgawi, dan tentu saja, Saito tak bisa memasukinya. Hanya para ningrat yang diperbolehkan menggunakannya. Pemandian umum Akademi untuk jelata, bila dibandingkan dengan pemandian umum untuk ningrat, agak kumuh. Pemandian umum gabuangan untuk jelata terlihat bagai ketel. Berada di atas bebatuan, dibawahnya api membakar, dan bau kuat dari keringat dan badan-badan yang berdesakan, hanya akanmembuatmu lebih berkeringat.

Satu hari di kamar mandi itu sudah sangat cukup bagi Saito. Saito, yang dibesarkan di Jepang, Menyiapkan pemandian dengan sebuah Ketel berisi air panas sampai penuh. Sauna terasa tak memuaskan. Merasa tergelitik, Saito menanyai Marteau, sang Koki kepala dan menerima satu ketel besar dan tua. Dia membuat bak mandi dari itu. Bak mandinya dipanaskan dari bawah dengan tutup kayu melayang yang ditekan ke bawah air oleh yang mandi. Kayu bakar, yang dibakar di bawah ketel, memanaskan air. Pemandian Saito terletak di ujung Lapangan Vestri. Ia nyaman. karena orang-orang tak sering kesini. Hari akan berakhir ketika kedua bulan muncul, menyinari samar-samar. Tepat saat airnya cukup panas. Saito dengan cepat mencopot pakaiannya dan menenggelamkan kakinya kedalam ketel raksasa tersebut.

"Aah, enak nih, air panas."

Dia memakai handuk di kepalanya dan mulai membunyikan sebuah melod. Derflinger, yang menyender di dinding ketel, memanggil Saito: "Apa itu enak?"

"Ya."

"Ngomong-ngomong, rekan, mengapa kau tak mengambil kesempatan dari nona muda waktu itu?"

Saito melemparkan pandangan tajam nan sinis pada Derflinger.

"Jangan lihat aku seperti itu. Terasa tak enak, rekan."

"Hei, pedang legendaris."

"Memang sih aku si pedang legendaris, ada apa?"

"Selama 6000 tahun ini, apa kau menemukan orang yang penting bagimu untuk dilindungi?"

"Aku tak melindungi. Pemegangku yang melindungi seseorang."

"Kasihan kau..." kata Saito dari dasar hatinya dengan suara simpatik.

"Kasihan kau bilang? Sebaliknya, ini agak nyaman."

"Begitukah? Ngomong-ngomong, apa saja yang ingat soal ‘Gandálfr’ ini? Seberapa hebat dia dan apa saja sih yang dilakukannya?"

Saito, yang menunjukkan keingintahuannya yang memancar, menanyai Derflinger.

"Lupa."

“Huh.”

"itu sudah lama sekali. Lagipula, rekan, seseorang datang."

Sebuah bayangan muncul dalam siraman cahaya rembulan.

"Siapa?"

Panggilan Saito mengagetkan si bayangan. Ia menjatuhkan barang yang dibawanya denga ribut. Dibawah sinar rembulan, dpat terdengar suara pot yang pecah.

"Waaah, pecah nih...Aku akan dimarahi lagi...haa...."

Dari suara itu, Saito dapat mengenali siapa yang menunjukkan diri dari kegelapan.

“Siesta?!”

Diterangi cahaya rembulan, sebentuk pelayan rumah yang bekerja di Aula Makan Alviss - Siesta - muncul. Dia baru saja menyelesaikan kerjaannnya dan, meski dia masih memakai pakaian pelayannya yang biasa, kachusha yang menghiasi kepalanya tak tampak. Rambut hitam sepanjang bahunya yang bebas berkilauan. Siesta membungkuk untuk mengambil apa yang dijatuhkannya tadi.

"A-apa yang kau lakukan disini?"

Panggilan Saito membuat Siesta menoleh.

“Uhmmm...hari ini aku bisa mendapatkan makanan yang benar-benar lezat dan kuingin Saito mencobanya! Aku tadinya ingin memberikannya padamu di dapur, tapi kau tak datang hari ini! Waah!" kata Siesta yang panik. Memang, ada nampan yang tergeletak di samping Siesta, sebuah pot teh dan beberapa cangkir. Sepertinya Siesta menjatuhkan satu cangkir, karena kaget oleh panggilan yang tiba-tiba.

"Sebuah traktiran?" tanya Saito, yang masih berada di bak. Tiba-tiba Siesta menyadari ketelanjangan Saito dan, untuk sesaat, menundukkan pandangannya karena malu.

"Itu benar. Beberapa barang yang tak biasa dari ‘Rub' al Khali’ sang kota timur. Teh."

"Teh?"

Barang-barang beginian sangat jarang. Siesta menuangkan secukupnya dari pot teh kedalam cangkir yang tak pecah dan memberikannya pda Saito.

"Makasih."

Saito mengangkatnya mendekati bibir. Aroma manis teh menggelitik nostrilnya. Dan saai itu menyentuh mulutnya, rasanya bagai teh hijau Jepang. Saito tiba-tiba dilanda rasa nostalgia. Aah, Jepang. Ibu negeriku. Dalam bak mandi ketel raksasanya, Saito terus menghapus sudut matanya.

"A-ada apa! apa kau baik-baik saja?"

Siesta membungkuk dekat ujung ketel.

"Ti-tidak, aku hanya terkenang untuk sesaat. Aku baik-baik saja. Pasti."

Setelah berkata begitu, Saito mendekatkan cangkir kembali ke mulutnya. Meski teh dan mandi membuat kombinasi yang aneh, mereka membasahi Saito yang kehausan.

"Apa kaumerindukannya? Pastilah, Saito-san datang dari timur."

Siesta tersenyum malu sekilas.

"A-aku mungkin merasa begitu. Tapi, apa kau tahu aku sering disini?"

Perkataan Saito membuat wajah Siesta memerah.

"I-itu, Itu...Aku hanya disini karena melihatmu pergi ke arah ini dengan air panas dan..."

"Kau mengintip?"

Suara Saito yang mengatakan itu hampa. Siesta dengan enggan menggelengkan kepalanya.

"Ti-tidak, aku tak bermaksud begitu!"

Tak tahu harus berbuat apa, Siesta terantuk ujung ketel dengan dengan suara byur yang keras, tercebur kedalam ketel.

“Kyaaaaaaa!” teriak Siesta, tapi suaranya teredam air panas dalam ketel besi.

"Apa kau baik-baik saja?"

"A-Aku baik-baik saja...Wah, tapi aku basah sekarang..."

Siesta menyembulkan kepala basahnya keluar air panas. Baju pelayan gadis yang patut dikasihani ini basah. Dan saat dia menyadari keadaan telanjang Saito, merah mewarnai seluruh mukanya. Saito panik.

"Ma-maaf! Meski baknya diatas api unggun, masih mungkin untuk terjatuh kedalamnya!"

"Ti-tidak, aku minta maaf!"

Meski dia meminta maaf, Siesta tak berusaha keluar dari bak mandi, Saito lalu memutuskan untuk bersikap biasa juga. Dia berpura-pura bersikap sopan bahwa bukan suatu masalah besar Siesta tak keluar. Saat-saat seperti ini, dia mencoba tenang dan bersikap dingin. Apa ini diterima> Saito pikir begitu. Yang berarti Saito juga seorang tolol,

“Ufufu”

Siesta tertawa, masih dengan baju pelayannya yang basah didalam ketel raksasa. Meski situasinya tak lucu, dia tetap tertawa.

"Apa yang salah?"

Mungkin ukurannya merupakan bahan tertawaan? Meski gelap dan tiada yang dapat melihat dibawah permukaan air, Saito tiba-tiba merasa tak nyaman.

"Tak apa-apa, tapi, ini terasa enak. Inikah caramu mandi di negeri saito?"

Merasa lega, saito menjawab. "Itu benar. Meski, tak biasa untuk masuk sambil mengenakan pakaian."

"Ara? Begitukah? Tapi, dipikir-pikir memang begitu sih. Baiklah, aku akan menanggalkan mereka."

"Ya?"

Saito bertanya pada Siesta sambil terbelabak. "Apa yang batu saja kau katakan?"

Siesta, yang biasanya enggan dan pemalu, untuk alasan tertentu menjadi berani. Dengan agak mnggigit bibirnya, dia menatap Saito dengan sikap pasti. "Kubilang, aku akan menanggalkan mereka."

"Tapi Siesta? aku seorang lelaki..." kata Saito sambil terbengong.

Itu benar. Kutahu Saito bukanlah orang yang akan menyakitiku."

Saito mengangguk, meski dia belum mendengar satu kata pun.

"Jangan, oh, aduh, jangan begini..."

"Tapi aku juga ingin menggunakan pemandian ini dengan benar. Ia nyaman.:

Dan, eh? Saito menatap begitu Siesta bangkit dari air panas dan julai menanggalkan pakaian basahnya. Saito memalingkan wajahnya dalam panik.

"He-hentikan! Siesta! Tunggu sebentar! Kubilang!"

Namun, 'Hentikan' Saito terdengar lemah, mengkhianati kehendak sebenarnya.

"Ta-tapi aku kebasahan...Sang Kepala pasti marah kalau aku kembali ke kamar seperti ini. Kupikir aku harus mengeringkannya di api dulu."

Meski terlihat patuh, Siesta dapat menjadi berani di saat-saat dia sudah memutuskan. Kancing blus dan rok dilepas dalam sekejap. Rasanya enak saat menanggalkan pakaian yang basah.Siesta menanggalkan seragam pelayan dan pakaian dalamnya dan membiarkan mereka kering diatas kayu bakar, dekat api. Setelah itu, dia memasuki air panas lagi. Saito, dari sudut matanya, menonton kaki Siesta yang masuk. Dia tak pernah melihat kaki telanjang Siesta, yang selalu tersembunyi dibelakang rok. Mereka putih dan sehat. Aah, jika saja dia menoleh ke arah itu, dia bakal menyembah seluruh badan Siesta.

"Uwaa! Rasanya enak! Berbagai pemandian seperti ini, memasuki air panas benar-benar enak! Rasanya bagai pemandian seorang ningrat. Aku sangat iri, tapi aku bisa memenuhinya, ya kan? Saito, kau benar-benar cerdas."

"Ga-ga juga." jawab Saito, tetap membuang wajahnya. Rasanya air panas semakin panas. Disebelahnya adalah gadis yang telanjang. Dalam situasi begini, Saito merasa pening dan nyaris pingsan.

Siesta verkata dengan senyum malu di bibir. "Ayolah, jangan malu. Aku juga tidak. Tak apa-apa menoleh kesinio. Lihatlah, dadaku tersembunyi dibawah lenganku...lagipula, kini gelap sehingga kau tak bisa melihat menembus air juga sih, jadi tenanglah."

Saito, yang merasa setengah pusing, setengah senang, menoleh. Siesta duduk tepat di hadapan Saito, tercelup dalam air panas. Karena gelap, kau tak bisa melihat jelas tubuh di bawah permukaan air. Dia terlihat lega. Namun, Saito mengambil sebuah napas dalam/ Dalam kegelapan, rambut hitam basah Siesta berkemilauan, memukau siapapun yang memandangnya. Dilihat secara dekat, siapapun bisa melihat Siesta sebenarnya gadis yang sangat manis. Dia tak menyadarinya hingga sekarang, tapi dia berbeda dari Louise maupun Henrietta, dia bagai aura dari bunga manis yang berkembang liar di ladang. Mata gelap besarnya, sikap bersahabatnya dan hidung kecilnya menarik dan cantik.

"Hei, Saito, negerimu seperti apa?"

"Negeriku?"

"Ya, mohon ceritakan padaku tentangnya."

Siesta dengan lugas membungkuk ke depan untuk mendengarkan. Ah, bila terlalu membungkuk ke depan, semua bisa melihat, ah, aah...Saito mundur dalam panik.

"Ya...Hanya ada satu bulan, tiada penyihir, itulah mengapa mereka menggunakan tombol untuk mematikan lampi, dan terbang di langit dengan kapal..."

Karena Saito ngomong melantur, Siesta menekan pipinya,

"Hentikan. Satu bulan, tiada penyihir, apa kau mempermainkanku? Jangan memandangku rendah hanya karena aku seorang gadis desa."

"A-aku tak mempermainkanku!"

Saito pikir, bahkan meski dia menceritakan yang sebenarnya, itu hanya akan memusingkannya. Memang, saat ini, yang tahu Saito dari dunia lain hanyalah Louise, Sir Osmond dan Henrietta.

"Baiklah, katakan yang sebenarnya."

Siesta menatap lurus mata Saito. Rambut hitam dan mata gelap Siesta membuat Saito samar-samar teringat gadis jepang. Tentu saja, wajahnya berbeda dengans eorang jepang. Namun, rasa rindu yang kecil tetap menembus Saito, membuat hatinya sakit.

"Be-benar...Kami punya kebiasaan makan yang berbeda."

Saito mulai bercerita tentang Jepang yang jauh. Siesta dengan mata berkerlip mendengarkan cerita penuh perhatian. Meski mungkin terasa bagai cerita hambar, Siesta dengan penuh menangkap tiap kata. Dan sebelum mereka tersadar, Saito dan Siesta tak sadar waktu telah jauh berlalu, begitu cerita dari kota asal dibentangkan. Setelah beberapa waktu, Siesta bangkit sambil menutupi dadanya. Saito dengan enggan membuang pandangannya. Namun, Untuk sesaat, dia tetap melihat dada Siesta melalui sebuah celah diantara lengannya, dan merasa hidungnya mimisan. Tanpa sepatah kata, sebuah aliran tebal mengucur deras. Sambil memegang hidungnya, Saito menoleh ke sisi lainnya, sedangkan Siesta tengah mengenakan pakaiannya yang mengering dan menganggukkan kepalanya, berterima kasih pada Saito.

"Terima kasih. Ini sangat menyenangkan. Pemandian ini luar biasa, dan cerita Saito-san juga mengagumkan." kata Siesta dengan senangnya. Setelah itu, Siesta menundukkan pandangannya dengan wajah memerah, dan dengan malu memainkan jemarinya.

"Yah, erm? Obrolan dan pemandiannya menyenangkan, tapi kau yang paling mengagumkan..."

“Siesta?”

"Bisakah kau..."

"A-Apa?!"

Tapi Siesta melarikan diri dengan langkah-langkah kecil. Hal beginian terjadi dengan gadis dari dunia asing, ini terasa bagai sebuah lelucon bagi Saito, jadi dia terbengong-bengong, dan tersuruk dalam ketel besi raksasanya.


Setelah mandi, dia kembali ke kamar Louise dan menemukan Louise melakukan sesuatu di atas kasur. Begitu dia melihat Saito, dia menyembunyikan buku itu dengan paniknya. Buku yang tua dan besar. Mengapa? Meski, dia tak begitu mengklhawatirkannya, toh, itu Louise. Dia mungkin tak mengerti bahkan jika diceritakan soal itu. Lagipula, kepala Saito tengah dipenuhi potret tubuh Siesta. Apa yang dilihatnya diantara celah lengan, tercetak kuat dalam pikiran Saito. Saito menghampiri keranjang cucian, sambil mencabuti pikiran duniawinya. Dia memutuskan untuk langsung mulai mencuci. Dia berencana menggunakan air panas sisa dari pemandian, jadi jemarinya takkan kedinginan. Namun, keranjang itu kosong.

"Louise, dimana cucian?"

Saat Saito bertanya, Louise menggelengkan kepalanya.

"Sudah dicuci."

"Kau mencuci..."

Dan kemudian Saito memandangi Louise. "Huh!" Dia terkejut. Louise tengah mengenakan jaket nilonnya yang dilepas dan ditinggalkannya di dalam kamar sebelum pergi mandi.Saat saito pergi ke pemandian umum, dia selalu menanggalkan jaket nilonnya dan pergi hanya dengan kaosnya, karena badannya terasa terlalu panas setelah melangkah keluar pemandian. Louise kemungkinan mengenakannya tepat diatas pakaian dalamnya. karena lengan bajunya terlalu panjang dan bagian perut terlalu lebar, ia terlihat bagai baju yang aneh.

"Kau, mengapa kau mengenakan pakaian terbaikku?1"

Mendengar Saito, Louise mengubur mulutnya di belakang jaket nilon Saito. Louise, yang pipinya memerah karena alasan tertentu, berkata. "karena...setelah mencuci, aku tak punya apapun untuk dikenakan."

"Omong kosong! Ia penuh!"

Saito menunjuk lemari. Ada banyak pakaian Louise. Karena Louise seorang ningrat, dia punya banyak pakaian mahal untuk dipilih.

"Tapi, aku tetap ingin mencoba sesuatu yang beda." kata Louise yang tengah duduk tegak di kasur dengan suara memohon.

"Tak bisakah kau mengenakan pakaian santai?"

Saito mengambil sepotong baju santai dengan tangannya,

"Aku tak ingin mengenakan sesuatu seperti itu!"

"Tapi ini adalah satu-satunya pakaianku. Kembalikan."

Namun, Louise tak mencoba menanggalkannya. Malah, dia menggulung lipatannya diantara jemarinya.

"Yah, ini ringan dan pas. Ini terbuat dari apa?"

Memang, Saito harus setuju itu memang pas dengannya. Akhirnya, dengan enggan, dia memutuskan menyerah. Didalam kamar tak dingin, bahkan bila hanya mengenakan kaos.

"Nilon."

"Nailon?"

"Itu serat dari duniaku. Ia terbuat dari minyak."

"Ningak?"

"Plankton yang terkumpul di dasar laut disimpan selama bertahun-tahun, dan kemudian jadi minyak."

"Burangkatong?"

Louise menatapnya hampa, dia terlihat bagai anak yang mengucap-ulang kata-kata Saito. Ekspresinya tak terbaca karena setengah wajahnya tersembunyi di belakang jaket Saito. Untuk sesaat, Saito pikir Louise ini terlihat lucu yang tak menahan. Lebih jauh lagi, Louise bahkan mencuci untuknya. Mustahil. Entah kenapa, Saito menjadi taku. Hingga kini, tindakan seperti itu tak terbayangkan bakal dilakukan Louise. Pipinya merah, sehingga Saito yang perhatian memutuskan memeriksa apa dia tak sakit atau demam. Louise kaget saat saito menghampirinya. Dia gemetar, dan...membuang muka. Mencoba tak memikirkan bagaimana dia sangat membencinya, Saito mencengkram bahu Louise dan menempelkan dahinya di dahi Louise. Badan Louise mengaku tapi dia tak mencoba melawan dan dengan hening menutup matanya.

Tepat seperti yang kupikir, kondisi badannya pasti sangat buruk, pikir Saito.

Sepertinya kau demam."

Saat Saito menarik kembali dahinya, Louise, entah kenapa, mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"Ada apa?" tanyanya, begitu Louise membuang muka dan setelah grasak-grusuk yang hening, masuk kedalam selimut.

"hey," tepuk Saito.

"Tidur." jawab Louise dan hening lagi.

Wow, demamnya pasti sudah mendingan, pikir Saito sambil merangkak menaiki tumpukan jeraminya. Semuanya hening sesaat kemudian sebuah bantal terbang ke arahnya.

"Apa-apaan...?" tanya Saito.

"Bawa kembali bantal yang baru saja kulempar. Bukankah kubilang padamu untuk tidur di kasur mulai sekarang? Tolol."

Suara Louise yang pundung terdengar. Dia tetap tak bisa mengerti hati Louise, apa ia lembut atau pedas seperti biasa. Apa itu berpengaruh?, pikir Saito sambil naik kasur Louise. Meski Louise bergerak-gerak tiada henti dalam kasurnya, lama-lama dia berhenti. Sekarang dia bisa memikirkan bagaimana hari-hari berlalu. Namun, kini kepalanya diisi Siesta. kata perpisahan Siesta terus bergema di kepalanya. Siesta dengan jelas bilang "Yang paling mengagumkan adalah kau..."

Apa itu "menembak"? tidak, Apa dia mempermainanku? tak mungkin. Apa aku terkenal? Ga juga sih. Satu-satunya yang tertarik adalah Kirche, tapi itu pasti karena aku biasa. Aah, tapi, Siesta itu lucu. Meski Louise juga lucu, Siesta juga punya rasa yang beda... naif, sederhana, tapi jujur. Tak seperti Kirche, dia tampak mengagumkan saat menanggalkan pakaiannya. Ghaah. I-Itu benar. Bagus. A-a-a-a-a-pa. Sial. Kalah. Aku terbenam. Untuk sesuatu yang tak begitu disadarinya hingga saat ini, dampaknya luar biasa. Tersihir oleh sang gadis, Saito mulai berpikir bagaimana caranya kembali ke bumi. Dia pasti akan menemukannya, bahkan jika dia belum memiliki petunjuk paling kecil sekalipun.

Kemudian, dengan agak pusing, dia mulai berpikir soal Louise, Dia mencintai Louise. Tapi, karena Louise seorang ningrat, dia takkan pernah berpikir begitu soal aku. Lagipula, aku memutuskan untuk melindunginya. Dengan cara ini, aku takkan begitu jauh dari posisi seorang cinta. Tetap saja, untuk menjadi cinta, seseorang perlu menangkap si gadis...Tidak, bahkan Siesta sekalipun mungkin saja hanya bermain-main. Aah, sepertinya begitu keadaannya. Tak kuat menahan kantuk, Saito mulai jatuh ke rasa senang dunia mimpi sambil memikirkan berbagai hal.


Di luar jendela kamar Louise, Sykphid tabitha tengah melayang, Diatasnya, tampak sosok Kirche dan Tabitha yang tengah duduk. tabitha tengah membaca sebuah buku sambil diterangi cahaya rembulan. Kirche tengah mengintip kedalam kamar Louise dari lubang jendela.

Kirche mendengus. "Setelah semua itu, sepertinya ini tak baik."

Dia ingat wajah kemerahan Louise saat memeluk Saito diatas punggung naga saat kembali dari Albion. Louise tampak bukan dia yang biasa.

"Bener nih, dia tak menghiraukan aku? Tiap kali aku menghampirinya, aku ditolak, itu membuatku khawatir, diluar kehendakku."

Hingga kini, tiada lelaki yang menolak bersama dengannya, Itu kebanggan Kirche. Sebenarnya, Kirche merasa terlupakan, bagaikan dia hanyalah sesuatu yang tak berharga. Kirche tersinggung. Baru saja tadi, dia bahkan mandi bersama putri seorang jelata. Dia diacuhkan dan diduakan. Harga diri Kirche digoyahkan. Dia dikalahkan Louise, dia dikalahkan gadis jelata, ini membuat namanya, "Ardent" menangis. Dia harus menceraikan Saito dari Louise, dengan cara apapun. Merebut cinta La Valliere adalah tradisi lama Zerbst.

"Ya, meski memplot bukan keahlianku, aku masih bisa merencanakan beberapa, Benar kan, Tabitha?"

Tabitha menutup bukunya, dan menunjuk pada Kirche. 'Cemburu."

Wajah Kirche memerah. Dan lalu menggelengkan kepalanya terhadap kata-kata Tabitha.

"Ja-jangan bilang begitu! Aku tak cemburu! Aku tak bisa merasakan cemburu! Permainan! Ini hanyalah sebuah permainan cinta!"

Semua itu tak mampu meyakinkan Tabitha. Dia mengulangi kata itu.

"Cemburu."


Cinta Segitiga


Louise duduk di halaman timur Akademi Sihir, biasa dikenal sebagai Austri, dan dengan panik merajut. Cuaca musim semi mulai berubah saat musim panas mendekat, tapi Louise masih bisa terlihat dengan pakaian musim seminya. Bahkan saat musim panas, lumayan kering bukannya lembab.

Sepuluh hari berlalu semenjak mereka kembali dari Albion. Hari itu hari libur. Bahkan tanpa memakan pencuci mulut, Louise datang ke halaman setelah makan untuk merajut. Terkadang, ia mengistirahatkan tangannya dan menatap halaman-halaman putih buku Doa Sang Founder sambil berpikir maklumat yang pas untuk resepsi Putri.

Di sekelilingnya, para murid sedang bersenang-senang. Ada kelompok yang bermain dengan bola. Memakai sihir, mereka melempar bolanya ke keranjang tanpa menggunakan kedua tangan mereka dan berusaha mencetak angka paling banyak. Menatap sekelompok orang tersebut, Louise mendesah berat dan melihat apa yang dia mulai rajut.

Melihat pemandangan dari samping, lebih seperti lukisan. Duduk di sana dengan tenang, Louise terlihat seperti gadis cantik. Hobi Louise itu merajut. Waktu dia masih kecil, ibunya bilang bahwa kalau dia tak punya bakat sihir, dia seharusnya paling tidak ahli akan sesuatu, dan jadinya ibunya mengajarkannya bagaimana untuk merajut.

Tapi kelihatannya surga tak memberi Louise bakat apapun dalam hal merajut. Rencananya Louise merajut sweater. Tapi, mau bagaimanapun cara dia melihatnya dengan baik, terlihat seperti syal rusak. Sebenarnya lebih seperti sebuah benda yang dengan rumit dikusutkan dengan wol. Louise melihat getir pada benda itu dan mengeluarkan desahan lain.

Wajah maid yang bekerja di dapur melapisi lagi di pikirannya. Louise tahu bahwa dia sedang membuat makanan untuk Saito. Saito pikir Louise tak tahu, tapi dia tak benar-benar lupa.

Cewek itu bisa masak enak. Kirche punya wajah cantik. Aku punya apa? Menyembunyikan pemikiran ini, dia memutuskan untuk mencoba hobinya, merajut, tapi kelihatannya bukan pilihan yang baik.

Tepat saat dia mulai sedikit murung dari menatap benda yang ia rajut, seseorang menepuk pundaknya. Itu adalah Kirche. Panik, Louise buru-buru menyembunyikan apa yang ia rajut dengan Buku Doa Sang Founder.

"Lagi ngapain Louise?"

Kirche memberi senyuman biasanya yang tampaknya dia merendahkannya, dan duduk di sebelah Louise.

"G-ga bisa liat? Lagi baca."

"Tapi, buku itu kosong, kan?"

"Buku ini harta nasional yang disebut Buku Doa Sang Founder, tau?", kata Louise.

"Kenapa kau punya harta nasional?"

Louise menjelaskan ke Kirche bahwa di resepsi pernikahan Henrietta, dia mau membacakan maklumat dan dia mau memakai Buku Doa Sang Founder, dan seterusnya.

"Oh gitu. Kutebak resepsi pernikahan Putri ada hubungannya sama perjalanan ke Albion?"

Louise menimbang-nimbang apakah menjawab Kirche dengan jujur atau tidak, tapi karena Kirche sudah bertindak sebagai umpan sehingga mereka bisa terus jalan, ia mengangguk.

"Kita mempertaruhkan nyawa kita sehingga pernikahan Putri bisa berjalan lancar? Bukan tugas bergensi banget... Jadi, pada dasarnya itu ada hubungannya dengan aliansi antara Tristain dan Germania yang diumumkan kemarin-kemarin?"

Kirche lumayan tajam.

"Jangan bilang siapa-siapa," kata Louise dengan ekspresi sedikit kecil hati.

"Tentu aja engga. Aku kan bukan Guiche lho. Kedua negara asli kita udah jadi sekutu. Kita seharusnya berusaha rukun-rukun dari sekarang. Ya kan, La Vallière?"

Kirche menempatkan kedua tangannya pada pundak Louise dan tersenyum, hampir dengan sengaja.

"Dengar ga? Pemerintahan baru Albion ngajuin pakta non-agresi. Bersulang pada kedamaian yang kita bawa."

Louise menanggapi setengah hati. Demi perdamaian ini, Henrietta harus menikah dengan pangeran yang bahkan tak ia cintai. Kau bisa bilang bahwa dia tak punya pilihan, tapi itu bukan sesuatu yang digembirakan.

"Ngomong-ngomong, lagi ngerajut apa?"

Louise merona merah.

"A-aku ga ngerajut apa-apa kok."

"Iya kok. Ada di sini, kan?"

Kirche merebutnya dari bawah Buku Doa Sang Founder.

"Hei, balikin!"

Louise berusaha merebut kembali, tapi dengan mudah Kirche menahannya.

"Apa ini?" tanya Kirche, terheran-heran saat melihat benda itu.

"I-itu sweater."

"Sweater? Kelihatannya lebih kayak bintang laut. Dan spesies baru pula."

"Sweater? Kelihatannya lebih kayak bintang laut."

"Kayak aku bakalan ngerajut begituan aja!"

Louise akhirnya merampas kembali rajutannya, dan menunduk, malu.

"Kenapa kamu ngerajut sweater?"

"Bukan urusan kamu."

"Ya udah. Lagian aku tahu kok."

Kirche menempatkan kedua tangannya pada pundak Louise lagi dan mendekatkan wajahnya.

"Kamu ngerajut itu buat familiar kamu, bukan?"

"Eng-Engga! Aku ga bakalan pernah ngelakuin begituan!" jerit Louise, dengan muka merah terang.

"Kamu ini gampang banget dimengerti lho. Kamu suka dia, kan? Kenapa?", tanya Kirche sambil melihat mata Louise.

"A-Aku ga suka dia. Kamu yang suka dia. Si idiot itu ga punya kualitas bagus apapun."

"Tahu ga Louise, pas kamu bohong, cuping telinga kamu bergetar. Kamu tahu itu?"

Louise cepat-cepat memegang cuping telinganya. Sadar kalau itu bohong, dia mengembalikan kedua tangannya ke lututnya dengan sikap gugup.

"Gi-Gimanapun juga, aku ga bakalan ngasih dia ke kamu. Dia kan familiarku."

Kirche tertawa dan berkata, "Baguslah kau pengen dia buat dirimu sendiri. Tapi aku bukan orang yang kamu kuatirin, kayaknya."

"Maksudnya apa?"

"Mm... mungkin maid dapur itu?"

Mata Louise bergeser.

"He, jadi aku benar toh?"

"Eng-engga juga..."

"Kalau kamu pergi ke kamarmu sekarang, kamu mungkin ngeliat sesuatu yang menarik"

Louise berdiri cepat.

"Kupikir kamu ga suka dia?" kata Kirche dengan nada mempermainkan.

"Aku cuman lupa sesuatu!" teriak Louise sambil lari berlalu.



Saito sedang bersih-bersih kamar. Dia harus menyapu lantai dengan sapu, dan mengelap meja dengan lap. Karena Louise akhir-akhir ini mencuci pakaiannya sendiri dan juga hal lainnya yang berhubungan dengan penampilannya, kerja Saito berkurang jadi membersihkan.

Bersih-bersih beres cepat sekali. Kamar Louise tak punya banyak barang awalnya juga, bangku kecil dengan laci di sebelah lemari, sebuah meja dengan vas kecil berisi tanaman kecil, dua kursi di meja, tempat tidur dan lemari bukunya. Karena Louise orang yang suka belajar, lemari bukunya dibariskan dengan buku-buku tebal.

Dia mengambil satu buku. Ada huruf yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Yah tentu ajalah, pikir Saito saat dia menempatkannya kembali. Tapi, kenapa dia dapat berkomunikasi dengan Louise kalau begitu? Bahasa mereka berbeda, namun mereka dapat mengerti satu sama lain.

"Ada apa rekan?" tanya Derflinger yang bersandar pada dinding kamar.

"Derf! Kok aku bisa ngerti apa yang kamu omongin sih?" tanya Saito saat dia berlari ke Derflinger.

"Yah, kalau kamu ga ngerti, kita bakalan sedikit repot."

"Aku datang dari dunia berbeda. Dan walau gitu aku masih bisa ngerti bahasa kamu. Aku ga ngerti kenapa!"

Saito ingat orang yang diselamatkan oleh Si Osman Tua sekitar tiga puluh tahun lalu. Dia itu orang dari dunianya. Sepertinya dia dan Osman telah bicara satu sama lain.

"Lagian gimana caranya kamu datang ke Halkeginia, rekan?"

"Aku juga ga yakin... ada gerbang aneh yang ngeluarin sinar..."

"Kalau gitu aku pikir jawabannya ada hubungannya sama gerbang itu." kata Derflinger, seolah-olah bukan hal yang penting.

"Itu tuh gerbang apa kalau gitu?"

"Tauk."

Saito sedikit terkejut.

"Kamu itu pedang legendaris dan tapinya kamu ga tahu apa-apa. Kamu seharusnya tahu sedikit abisnya kamu kan legendaris. Kayak, gimana caranya mulangin aku ke rumah..." kata Saito getir.

"Aku ini pelupa dan ga beneran tertarik juga. Ga bisa ngandelin legenda terlalu banyak."

Seseorang mengetuk pintu. Siapakan itu? Bila Louise, dia takkan mengetuk. Barangkali Guiche atau Kirche? "Ga kekunci." kata Saito.

Pintu terbuka dan Siesta menjulurkan kepalanya masuk.

"S-Siesta."

"Anu..."

Dia dalam seragam maid biasanya tapi terlihat sedikit berbeda. Rambut hitam sehalus sutra yang rapinya berjuntai pada keningnya dan bintik-bintik wajahnya memancarkan semacam pesona. Dia sedang memegang nampan perak besar, penuh dengan makanan.

"Anu, kamu ga datang ke dapur akhir-akhir ini..."

Saito mengangguk. Karena Louise membiarkannya makan apapun yang ia inginkan, dia jarang mengunjungi dapur.

"Jadi saya kuatir kamu mungkin lapar..." kata Siesta gugup.

Melihat gerak-gerik imutnya, hati Saito mulai berdebar-debar.

"M-Makasih. Tapi, Louise udah ngijinin aku makan di meja sekarang, jadi aku belum sebegitu laparnya."

"Iya ya? Saya melayani meja para guru akhir-akhir ini jadi saya ga sadar. Kalau saya cuman ngeganggu jadi..."

Siesta menggantungkan kepalanya sedikit.

"Eng-engga, sama sekali ga gitu kok! Aku senang banget kamu bawain makanan buatku! Sebenarnya aku laper banget sekarang!" kata Saito, walaupun dia kenyang makan di aula makan Alviss hanya beberapa saat yang lalu.

"Beneran?"

Paras Siesta jadi cerah.

"Kalau begitu, makanlah sepenuh hatimu."

Meja kecil terjejal penuh dengan makanan. Siesta duduk di sebelah Saito, tersenyum. Saito mulai membenci dirinya sendiri karena makan begitu banyak sebelumnya tapi dia tak begitu saja bisa membiarkan niat baik Siesta jadi sia-sia. Bertekad, dia mulai memakan makanannya.

"Enak?" tanya Siesta.

"Ho oh, enak banget."

Dia tak bohong, tapi akan lebih baik bila ia lapar.

"Hehe, makan sepuasnya kalau begitu."

Siesta menatap Saito yang sedang makan dalam gaya lapar.

"Oh maaf, kesopanan makanku..."

"B-bukan, bukan itu! Malah sebaliknya. Saya senang kamu suka banget makanannya! Makanan dan kokinya pasti senang banget!"

Tersipu, dia menyeka kedua matanya dengan tangannya. Siesta manis seperti itu. Saito tak dapat merasakan rasa makanannya lagi.

"Saya bikin yang itu," kata Siesta dengan suara malu-malu.

"Masa?"


"Iya. Sulit bikin itu di dapur, tapi karena kamu makan, saya senang udah bikin."

Saito merasakan jantungnya menegang. Siesta mikirin aku. Aku dari semua orang. Ia tenggelam dalam pikirannya. Hawa antara mereka amat tegang. Tiba-tiba Siesta berkata dengan nada bingung, "S-Saito!"

"Y-ya?"

"Anu..."

Siesta berhenti sebentar, seakan-akan berusaha memilih kata-kata yang tepat.

"Ngobrol itu, yang sebelumnya, asik banget! Terutama soal itu! Mm, apa ya namanya? Oh, pesawat terbang!"

Saito mengangguk. Saito telah berbicara pada Siesta soal dunianya dan Jepang di pemandian. Siesta, datang dari desa, tak tahu banyak soal dunianya dan dapat menangkap apa yang Saito katakan seolah-olah semua itu sesuatu dari negara lain.

"Ah, pesawat terbang."

"Ya! Bisa terbang ga pake sihir pastinya hebat banget! Jadi bahkan orang biasa kayak kita, bisa terbang bebas di langit kayak burung?"

"Bukannya ada kapal udara?"

"Cuman ngambang aja."

"Desaku sebenarnya tempat yang nyenengin banget. Namanya Tarbes. Kira-kira tiga hari dari sini dengan kuda, ke arah La Rochelle."

Saito bersungguh-sungguh mendengarkan sambil makan makanannya.

"Desa yang terpencil banget dan ga ada yang beneran spesial disana tapi... ada padang yang luas dan cantik banget. Waktu musim semi, bunga musim semi mekar dan waktu musim panas, bunga musim panasnya mekar. Kayak lautan bunga, sepanjang mata memandang, melebihi garis cakrawala. Seharusnya sih cantik banget sekarang..." kata Siesta, mata tertutup seakan-akan dia sedang tenggelam dalam kenangan.

"Saya pengen lihat lautan bunganya sekali aja di pesawat terbang."

"Kedengarannya asik..."

"Oh, kenapa ga kepikiran ya sebelumnya!" sahut Siesta yang tiba-tiba menggenggam tangan Saito.

Terkejut, Saito hampir jatuh ke belakang.

"A-apa?"

"Mau main ke desaku Saito?"

"Huh?"

"Putri mau nikah kan? Ada liburan spesial buat kita. Udah lama banget sejak saya mudik ke desa... Kalau bisa, datang yuk. Saya pengen ngeliatin kamu padang bunga cantik itu. Desaku juga punya cara bagus buat masak rebusan. Namanya 'Yosenabe'. Terbuat dari sayuran yang orang ga biasa gunakan. Saya beneran pengen kamu nyicipin itu!"

"Ke-Kenapa kamu pengen aku datang?"

"...Kau ngeliatin saya kalau ada kemungkinan," kata Siesta, dengan gugup menunduk.

"Kemungkinan?"

"Iya. Kemungkinan bahwa bahkan orang biasa bisa menang lawan bangsawan. Kami hidup ketakutan pada bangsawan. Tahu kalau ada orang yang engga hidup kayak gitu bikin saya senang, seakan-akan kebahagiaan mereka adalah kebahagiaanku. Semua orang di dapur yakin akan hal itu juga."

"Saya pengen nunjukin orang kayak gitu di kampung halamanku..." kata Siesta.

"O-oh gitu..."

Saito merasa malu. Aku ga hebat atau apapun. Kadang-kadang aku ini familiar legendaris, tapi itu aja. Itu bukan sesuatu yang bisa dipuji-puji.

"Tentu aja, bukan itu aja. Saya juga pengen nunjukin Saito desanya... Tapi, kalau saya bawa cowo tiba-tiba, keluargaku bakalan kaget. Gimana dong..."

Tiba-tiba Siesta merona hebat dan berbisik, "Saya bisa tinggal bilang kamu itu suamiku."

"A-apa?"

"Kalau saya bilang karena kita mau nikah, mereka bakalan senang. Ibuku, ayah, kakak, dan adik bakalan semuanya senang."

"Siesta?"

Waktu Siesta melirik Saito, yang menatapnya tercengang, dia menggelengkan kepalanya.

"Sori! Itu bakalan ngerepotin! Saya ga yakin kamu bakalan datang juga! Haha!"

Malu, Saito menanggapi, "S-Siesta, kamu benar-benar berani ya kadang-kadang. Kayak pas kita mandi."

Siesta tersipu sekali lagi.

"Saya ga lagi berani atau apapun."

"Eh?"

"Pas saya ninggalin rumah, ibuku bilang jangan nunjukin tubuhku ke siapapun kecuali lelaki yang kupilih."

Dan dengan itu, Siesta mengulurkan dan menggenggam tangan Saito. Jantung Saito berdegup kencang sekali.

"Saya bakalan nunjukin ke kamu kalau kamu tinggal minta."

"K-kamu bercanda...kan?" kata Saito, rahang mengendur.

"Bukan bercanda kok. Bahkan sekarang..."

"S-S-Sekarang apa?"

Siesta melihat langsung pada wajah Saito.

"Saya ga menarik?"

"Bukan, bukan itu sama sekali."

Dia menarik. Terlalu menarik.

"Benar?"

Siesta terus melihat Saito. Stop, pikir Saito, merasa seolah-olah dia sedang ditarik ke dalam mata hitam tersebut.

"Terus, kenapa kamu ga ngapa-ngapain pas kita mandi bareng?"

Siesta menyembunyikan matanya sedih.

Ah, jangan keliatan kayak gitu, aku jadi ngerasa kayak aku ngelakuin sesuatu yang sangat buruk aja.

"...Oh gitu, saya ga menarik ya. Kamu juga punya cewe manis sama kamu juga... La Vallière itu bangsawan pula. Toh saya cuman gadis desa." kata Siesta sedih, mendesah.

"Bukan, bukan kayak gitu kok!"

"Saito."

"Kamu menarik banget. Aku bisa jamin itu. Kau kelihatan memukau ga pake baju."

Biasanya kata-kata tersebut akan membuatnya dihajar, tapi Siesta senang.

Dia menimbang-nimbang apa membawa pencuci mulut atau tidak. Sementara Saito terus mengoceh, dia menutup matanya dan berdiri. Dengan nafas dalam, dia membiarkan celemeknya jatuh ke tanah.

"Siesta!" kata Saito, kaget.

Siesta melihatnya tenang. Dia itu tipe orang yang akan melakukan sesuatu dengan baik sekalinya ia telah memutuskan untuk melakukannya. Dia mulai membuka kancing blusnya satu demi satu.

"Siesta! Kayaknya ini bukan hal baik deh!" pekik Saito, menggelengkan kepalanya.

"Jangan kuatir."

Blusnya setengah terlepas. Belahan dada berukuran bagusnya menangkap pandangan Saito. Saito melompat ke Siesta, tapi tiba-tiba mendapati dirinya menggelengkan kepalanya, berteriak, "Tu-Tunggu! Tunggu bentar! Aku harus mikirin sesuatu kayak gini!"

"Kya!"

Siesta, yang Saito genggam di pundak, kehilangan keseimbangan dan jatuh ke atas kasur Louise di belakang mereka, seakan-akan Saito telah mendorongnya jatuh.

"Maaf..."

Tepat di bawah Saito, Siesta berbaring dengan blusnya hampir terlepas. Siesta menempatkan kedua tangannya pada dadanya dan menutup matanya.

Dengan timing super tepat, Louise membuka pintu.

Dalam sepuluh detik, banyak hal terjadi.

Satu: Louise melihat bahwa Siesta didorong ke kasur oleh Saito. Dua: Louise melihat bahwa blus Siesta hampir terlepas. Tiga: Saito dan Siesta berdiri bingung. Enam: Siesta mengancingkan blusnya. Tujuh: Siesta lari keluar kamar, menjauhi Louise. Delapan: Saito menyahut, "Tunggu Siesta!" Sembilan: Louise sadar kembali akan dirinya. Sepuluh: Tepat saat Saito mau menjelaskan apa yang terjadi, dia merasakan sakit yang amat sangat saat Louise menendang tinggi dia.

Dan dengan itu, Saito terkapar di lantai sepuluh detik setelah Louise membuka pintu.

Louise melangkahi kepala Saito. Suara dan tubuhnya bergetar.

"Kamu ini sebenarnya ngapain?"

"Bukan kayak kelihatannya, Louise."

"Ngapain kamu di kasurku?"

"Ceritanya panjang, Siesta ngebawain makanan dan..."

"Familiar melakukan sesuatu kayak gitu di kasur masternya. Aku ga bisa maafin kamu."

"Bukan kayak keliatannya. Aku ga ngerencanain sesuatu kayak-"

"Ga bisa ditolerir lagi."

Airmata mulai jatuh dari mata Louise. Saito berdiri dan menggenggam pundak Louise.

"Dengerin aku, ini salah paham!"

"Udah cukup."

"Louise melotot pada Saito."

"Apa?"

Saito tak bisa mengerti kenapa Louise begitu marah. Dia bahkan tak menyukainya. Pastinya bukan sesuatu untuk ditangisi.

"Keluar."

"Anu, barusan itu, aku ga bermaksud itu terjadi..."

"Keluar! Kamu dipecat!"

Saito juga mulai merasa marah. Pertama kamu manggil aku, terus kamu mecat aku? Aku musti gimana?

"Aku dipecat?"

"Ya, kamu dipecat! Pergi sana mati di selokan entah dimana!"

Itu kata-kata kasar, tak peduli apapun yang telah ia lakukan. Semua itu, hanya karena dia dan Siesta berada di kasurnya. Kami bahkan ga berbuat apa-apa. Dan tadinya kupikir dia mulai lebih baik.

"Ok, baiklah."

"Aku ga mau ngeliat muka kamu lagi!"

Saito menyambar Derflinger dan meninggalkan kamar tanpa berkata-kata lagi.

Sendirian di kamar, Louise berbaring di kasurnya. Dia memakaikan selimut menutupi kepalanya.

Jahatnya, pikir Louise.

Bukan cuman hari ini. Pas aku lagi ada pelajaran, dia bawa masuk cewe itu dan begituan dan aku ga tau. Aku ga bakalan maafin dia.

Louise menggigit bibirnya. Jadi perasaan dia padanya semuanya bohong. Airmata menuruni pipinya.

"Benci kamu... terus kamu nyium aku lagi."

Dia membisikkan kata-katanya berulang-ulang, seakan-akan kata-kata tersebut ditujukan untuk dirinya sendiri.

"...terus kamu nyium aku lagi."



Ketika sedang mencari Verdandi, Guiche menemukan sebuah tenda di pojokan halaman Vestri. Entah kenapa ketel besar ditempatkan di sebelahnya. Guiche penasaran buat apa ketel dan tendanya.

Sebuah tenda sederhana terbuat dari tongkat dan kain lap tua. Ada sisa-sisa makanan, tulang, dan kulit buah, tersebar di sekelilingnya. Tampaknya seseorang tinggal di sini. Familiar terkasihnya keluar dari tenda sementada dia sedang melihat tenda dengan kepala miring berpikir.

"Verdandi, jadi kau di sini toh!"

Guiche berlutut dan mengelus-ngelus pipi si tikus mondok. Si tikus mondok dengan senang mengedutkan hidungnya.

"Verdandi, kamu ngapain di sini?"

Seseorang merangkak keluar tenda dan memanggil si tikus mondok.

"Sini, tikus mondok. Kau dan aku, kita teman, kan?"

Dia Saito. Kusut masai dan dengan botol anggur di tangan, dia jelas mabuk.

"Ngapain kamu?" tanya Guiche, terkejut.

Saito menyesap dari botol dan terus memanggil si tikus mondok, mengabaikan Guiche.

"Woi, sini. Kamu itu satu-satunya teman yang aku bisa percaya."

Si tikus mondok besar, seakan-akan kesulitan, melihat pada Guiche dan Saito.

"Verdandi, jangan ke sana. Lagian kenapa juga Verdandi temen kamu?"

Ketika Guiche menanyakan itu, Saito menjawab dengan suara mati, tergeletak di tanah.

"Abisnya aku tikus mondok. Tikus mondok yang ga guna, yang malang, yang sengsara."

"Aku ga tau ada apaan, tapi jangan berpikir Verdandi itu sama dengan kamu."

"Guiche mengintip ke dalam tenda. Derflinger dan entah kenapa, salamander Kirche ada di dalam."

"Kyuru kyuru."

"Kamu mau ngapain?" kata masing-masing dari mereka.

Ada setumpuk sedotan di tanah, dan cangkir terbalik. Hanya itu saja yang ada di tenda.

Guiche berpaling pada Saito.

"Jadi, kamu diusir keluar kamar Louise?"

Tergeletak di tanah, Saito mengangguk.

"Dan jadinya kamu bikin tenda ini?"

Saito mengangguk lagi.

"Kesepian, kamu ngumpulin familiar orang dan mabuk-mabukkan?"

Saito dengan semangat mengangguk. Guiche menutup matanya dan mengangguk sendiri.

"Hmm. Jadi kamu ini ga guna sama sekali."

"Aku harus ngapain lagi? Aku ga punya tempat buat pergi. Aku bahkan ga punya petunjuk gimana cara pulang. Aku cuman bisa minum."

Saito meneguk anggurnya. Seseorang bergegas datang menuju mereka. Dia Siesta.

"Oh, maaf saya telat. Ini makan siang kamu."

Tampaknya maid dapur ini mengurus Saito.

"Kamu udah semabuk ini? Saya kan dah bilang sebotol sehari!" Siesta menggenggam tangannya sambil memarahinya.

"Sori..."

Dengan sedih Saito menggantungkan kepalanya.

"Kalian! Saya udah bilang awasin segimana banyak dia minum!"

"Kyuru kyuru."

"Maafkan," sahut si salamander dan Derflinger dengan nada menyesal.

Siesta buru-buru membersihkan berantakan di sekitar tenda dan membuat Saito berdiri.

"Saya datang lagi malamnya! Jangan minum terlalu banyak!"

Kemudian Siesta buru-buru pergi dengan cara yang sama saat dia datang.

Melihatnya pergi, Guiche bilang dengan mawar palsu di mulutnya, "Yah, Louise bakalan marah bila kau mendua."

"Aku ga mendua! Aku bahkan ga berhubungan sama siapa-siapa, Louise engga Siesta juga engga!"

Dia telah mencium Louise saat dia tidur, tapi dia tak bilang. Dia lebih suka melupakannya.

"Yah, terserahlah, tapi kamu rencana tinggal di sini?"

"Ada masalah?"

"Kamu ngerusak pemandangan indah sekolah."

"Cerewet."

"Kamu bakalan diusir keluar kalau guru-guru ngeliat kamu, lho?"

Saito menegak anggurnya tanpa berkata-kata lagi, kembali ke tenda sambil memeluk tikus mondok Guiche. Si tikus mondok terlihat putus asa pada Guiche.

"Woi, balikin Verdandiku!"



Sementara itu, Louise bolos pelajaran dan diam di kasur, tak henti-hentinya khawatir. Tiga hari berlalu semenjak ia mengusir Saito keluar. Dia sedang berpikir soal familiar yang dia usir keluar.

Dia bahkan nyium aku, dia bahkan nyium aku, dia bahkan nyium aku, pikirnya tak henti-hentinya. Terlukanya harga dirimu itu memang hal yang amat buruk. Dengan sedih dia melirik jerami yang Saito dulu gunakan. Dia ingin membuangnya keluar, tapi dia tak sanggup melakukannya.

Tiba-tiba ketukan terdengar dari pintu. Pikiran pertama yang ia punya adalah Saito akhirnya kembali. Kesedihannya berbalik jadi kegembiraan, dan dalam kegembiraan itu dia merasakan amarah. Kenapa aku senang dia balik? Seharusnya aku ga ngijinin dia kembali karena balik begitu telat.

Pintu terbuka. Louise melompat dan menjerit marah.

"Idiot! Kemana aja kamu...eh?"

Kirchelah yang masuk. Menyisir-nyisir rambut menyalanya, dia tersenyum pada Louise.

"Cuman aku, sori."

"Ngapain kamu di sini?"

Louise kembali ke kasurnya. Kirche berjalan cepat ke kasur dan duduk. Dia langsung menyingkirkan selimut, memperlihatkan Louise meringkuk, merajuk, dalam dasternya.

"Kamu itu udah absen tiga hari sekarang, jadi aku datang buat ngeliat kamu."

Kirche mendesah berat. Punya nurani yang baik memang betul-betul punya kerepotan tersendiri. Tak kepikiran olehnya Louise akan mengusirnya keluar kamar. Dia pikir akan bagus untuk duaan ini berantem dan masing-masing terpisah sedikit, tapi tak terpikir Louise akan sejauh ini.

"Jadi, kamu mau ngapain, sekarang kamu udah ngusir familiar kamu keluar kamar?"

"Bukan urusan kamu."

Kirche melihat dingin pada Louise. Pada pipi merahnya, ada bekas airmata. Dia mungkin menangis sudah agak lama sekarang.

"Aku tau kamu itu dengan tololnya arogan dan angkuh tapi aku pikir kamu ga dingin hati begini. Mereka cuman makan bareng."

"Bukan cuman itu doang, dari segala hal mereka di kasur..." gumam Louise.

"Mereka pelukan?"

Louise mengangguk. Kirche lumayan kaget. Begituan pada gadis yang datang membawakan makanan... Saito lumayan juga.

"Yah, ngeliat cowo yang kamu suka dengan cewe di kasurmu sendiri pastinya lumayan ngagetin sih."

"Aku ga suka dia! Itu cuman mereka itu di kasurku..."

"Alasan doang. Kamu ngusir dia keluar karena kamu suka dia, dan kamu marah sama dia."

Kata-kata Kirche mengenai sasaran, namun Louise tak setuju dan Louise mencibir. "Aku ga bisa bilang aku ga menduganya. Abisnya kamu ga ngasih dia apa-apa sih. Wajar lah dia ngegoda cewe lain."

Louise tetap bungkam.

"La Vallière, kamu ini cewe aneh, tau ga sih. Kamu itu marah dan nangisin cowo yang ga bakalan kamu cium. Kamu ga bisa menang kayak gitu..." kata Kirche dengan nada bosan sambil berdiri.

"Bakalan kuurus si Saito. Tadinya aku nanti-nanti ngambil Saito dari kamu... tapi kamu mukul dia, dan nendang dia, dan ngusir dia, aku sebenarnya ngerasa agak kasihan sama dia. Dia itu bukan mainan tauk."

Louise menggigit bibirnya.

"Familiar itu rekan mage. Kamu gagal sebagai mage karena kamu ga memperlakukannya dengan pantas. Yah... lagian kamu kan zero."

Dan dengan begitu, Kirche pergi. Louise tak membalas. Dia merangkak balik ke kasurnya, penuh pilu dan penyesalan, dan menangis seperti yang ia biasa lakukan sewaktu masih kecil.



Di saat Kirche datang ke tenda Saito, sudah larut malam. Suara mabuk Saito dapat terdengar dalam tenda bersahaja. "Kyuru kyuru"nya Flame dapat terdengar pula dalam tenda. Pastinya dia datang ke sini untuk bermain ketika ia pergi ke jalan-jalan.

Kirche membuka penutup tenda. Pemandangan di dalam menjijikan. Guiche mendekamkan wajahnya dalam tikus mondoknya, menangis. Saito memeluk Flame, sambil menggerutu dengan botol anggur di tangan satunya.

"Emang kayak kamu bilang! Kamu idiot!" teriak Saito. Kelihatannya dia amat begitu mabuk sampai-sampai dia tak bisa berbicara dengan jelas.

"Bahkan aku ga ngapa-ngapain dengan si Katie itu. Dia megang tanganku, dan aku cuman nyium ringan Mortmerncy! Walau gitu, ak-!"

Guiche meledak menangis. Dia itu tipe orang yang menangis waktu mabuk. Kirche mendesah. Kenapa cowo itu sebegitu idiotnya? Derflinger menyadari ada Kirche dan memberitahu Saito.

"Tuan-tuan, ada tamu."

"Tamu?"

Saito melihat puyeng pada Kirche.

"Kirche?"

"Kayaknya asik, bisa gabung?" kata Kirche, dengan senyum di wajahnya.

Saito, yang tak bisa lebih mabuk lagi, marah oleh pemandangan seorang wanita. Dia menghadapi Kirche.

"Susu gede itu, kalau kamu ngeliatin itu ke aku, kamu bisa gabung."

Guiche mulai tepuk tangan.

"Aku sepenuhnya setuju! Atas nama bangsawan Tristain! Aku benar-benar setuju!"

Bukannya menjawab, Kirche mengeluarkan tongkat sihirnya dan mulai merapalkan mantra.

"Mabuknya ngurang sekarang?"

Saito dan Guiche, yang duduk tegak sekarang, mengangguk.

Segala di sekitar mereka gosong. Bahkan mereka pun gosong. Sihir apia Kirche membuat rambut Saito dan kemeja bagus Guiche compang-camping. Mereka pernah dengar air itu trik bagus untuk digunakan, tapi mereka tak kepikiran kalau api pun bisa juga.

"Yah kalau gitu, siap-siap buat pergi."

"Siap-siap buat pergi?"

Guiche dan Saito saling memandang satu sama lain.

"Ya. Hei Saito." Kirche memanggilnya dengan namanya alih-alih sayang.

"Apa?"

"Kamu rencana hidup di tenda sampe akhir hayat?"

"Engga sih, tapi... aku diusir, dan aku belum nemu jalan pulang juga..."

Jalan pulang? Kirche dan Guiche saling memandang satu sama lain. Saito tiba-tiba menggelengkan kepalanya.

"Bukan, maksudku, itu, Rub' di timur!"

"Ah, kamu lahir disana, ya?"

Kirche mengangguk mengerti. Saito mendesah lega.

Sementara Kirche mengelus-ngelus pipi Saito, dia berkata, "Bukannya kamu pengen jadi bangsawan?"

"Bangsawan?"

Guiche sedikit kaget.

"Tapi Kirche, dia orang biasa. Dia ga bisa jadi bangsawan karena dia bukan mage."

"Di Tristain tapinya. Dengan hukum, orang biasa dilarang ketat beli tanah atau jadi bangsawan."

"Tepat."

"Tapi, di Germania berbeda. Kalau kamu punya uang, kalaupun kamu orang biasa, kamu bisa beli tanah dan jadi bangsawan, atau beli hak untuk posisi jadi pemungut pajak atau komandan."

"Dan makanya mereka bilang Germania itu ga beradab." kata Guiche seolah-olah dia merasa mual.

"Ga beradab? Orang yang masalahin tradisi istiadat kayak 'kalau kamu bukan mage kamu ga bisa jadi bangsawan', bikin negara mereka lemah, ga punya hak buat bicara. Makanya Tristain harus beraliansi sama Germania biar bisa ngelawan Albion."

Saito, yang diam-diam mendengarkan, akhirnya membuka mulutnya.

"Um, jadi Kirche. Apa yang kamu bilang itu aku seharusnya jadi bangsawan dengan duit, di negara kamu?"

"Tepat kayak gitu."

"Aku ga punya duit. Aku miskin."

"Kalau gitu cari lah."

Kirche menepuk ringan wajah Saito dengan sebundel perkamen.

"Apa itu?"

Guiche dan Saito melihat bundelan itu. Kelihatannya semacam peta-peta.

"Itu peta-peta harta karun."

"Harta karun?!" kata Guiche dan Saito, terkejut.

"Ya, kita bakal pergi berburu harta karun dan ngejual harta karun yang kita temuin. Saito... kamu bisa ngapain aja sesuka kamu sehabis itu."

Saito menelan ludah. Kirche merangkul Saito, dengan dadanya menekan dia. Saito bergetar seolah-olah dia sesak nafas.

"Pas kamu udah jadi bangsawan... kamu bisa melamarku, ok? Aku suka cowo kayak kamu. Aku ga peduli kalau kamu itu orang biasa atau bangsawan. Orang yang bisa ngatasin kesulitan mereka dan ngedapatin sesuatu di luar imajinasi orang-orang... aku suka orang kayak gitu." kata Kirche, yang tersenyum menggoda.

Guiche, yang melihat peta, berbisik ragu, "Mau gimana aku ngeliatnya, peta ini kelihatannya sedikit mencurigakan..."

"Aku dapat itu dari banyak tempat kayak toko sihir, kedai-kedai, toko kelontong..."

"Pastinya ada sesuatu yang ga jujur. Aku tahu sedikit orang yang cuman ngejual peta biasa, bilangnya peta harta karun. Bahkan ada bangsawan yang jadi bangkrut gara-gara hoax-hoax ini."

"Dengan sikap kayak gitu ga bakalan bisa!" kata Kirche, dengan kedua tinjunya terkepal erat.

"Kebanyakan mungkin carikan kertas doang, tapi mungkin ada yang beneran tersembunyi di dalamnya."

Gah... Guiche mengerang sambil menampar jidatnya.

"Saito, yuk pergi. Yuk pergi cari harta karun dan tinggalin Louise... terus kamu bakalan ngelamar aku, ok?"

Ninggalin Louise... kedengarannya kok tidak bagus. Bangsawan... mereka selalu begitu sombong, dan mereka bahkan lupa dengan orang yang pernah menyelamatkan mereka sebelumnya. Saito telah memutuskan.

"Baiklah, aku ikut. Kita pergi!"

Kirche memeluk Saito erat-erat. Tiba-tiba seseorang menyerbu masuk.

"Engga engga engga engga engga, kamu ga bisa begitu!"

"Siesta?"

Di depan mereka ada Siesta memakai pakaian maidnya.

"Kamu jangan nikah, Saito!"

Siesta menarik Saito.

"Bukannya kamu pengen pria yang kamu cintai itu bahagia?"

Siesta kaget oleh kata-kata Kirche dan melihat Saito. Dia tiba-tiba menggelengkan kepalanya.

"Cuman karena kamu bangsawan bukan berarti kamu bahagia. Kamu bisa tinggal di desaku, dan beli ladang anggur dengan uang itu!"

"Ladang anggur?"

"Di desaku, ada banyak ladang anggur yang bagus! Kita bisa bikin anggur enak sama-sama! Nama mereknya bisa Saito Siesta!"

Kirche dan Siesta sama-sama menarik Saito. Ini pertama kali dalam hidupnya dia diperebutkan gadis-gadis. Dia merona hebat. Ini mungkin takkan pernah terjadi lagi.

"Kayak kamu bakalan nemu harta karun aja." kata Guiche dengan nada bosan.

"Guiche. Kalau kita nemu harta karun kamu bisa kasih itu ke Putri sebagai hadiah dan barangkali dia bakalan ngeliat kamu dari sisi lain."

Guiche berdiri.

"Tuan-tuan dan nona-nona, kita pergi."

"Bawa saya juga plis!" panggil Siesta. Kalau dia tidak ikut, tak diragukan lagi Kirche akan menggoda Saito.

"Engga, ga bisa. Orang biasa itu cuman beban aja."

"Jangan anggap saya kayak idiot! Walaupun saya kelihatan begini, saya..."

Siesta gemetar. Kedua tangannya terkepal erat bebarengan.

"Ya? Terusin."

"Saya bisa masak!"

"Kayak kita ga tau aja," kata semuanya.

"Tapi, tapi, makanan itu penting, kan? Selama kita nyari harta karun, kita bakalan kemping, kan? Kita ga bisa ngandelin makanan yang kita bawa. Saya bisa bikin makanan yang baik untuk semua."

Yah dia benar juga sih di hal itu. Guiche dan Kirche keduanya bangsawan dan tak tahan makan makanan tak enak.

"Tapi kamu punya kerjaan, kan? Apa kamu bakalan cuti aja?"

"Kokinya selalu ngebiarin saya pergi kalau saya bilang saya berbuat sesuatu buat Saito."

Koki utamanya betulan suka Saito; dia barangkali akan melakukan apa yang Siesta telah katakan.

"Okelah, lakukan apa maumu. Tapi biar kukatakan sebelumnya, reruntuhan, hutan dan gua-gua yang kita tuju itu tempat-tempat berbahaya. Ada banyak monster di sana."

"Bakalan ga papa, Saito akan melindungiku!"

Dan dengan itu, Siesta menggaet lengan Saito, mengarahkannya berfantasi akan dada telanjang Siesta yang menekannya.

Kirche mengangguk dan berputar ke semuanya.

"Setelah persiapan selesai kita pergi!"


Bab 5 - Keluarga Kerajaan dan Senjata Rahasia

Markas kekuatan udara Albion terletak di pinggir ibukuotanya, Londinium, di daerah Rosyth. Sebelum Perang Revolusi ( sebutan Reconquista untuk perang sipil yang baru saja berakhir), tempat itu dulu disebut sebagai Markas kekuatan udara kerajaan. dan karenanya, ada berbagai macam bangunan. banyak bangunan dengan pipa asap raksasa yang dulu digunakan untuk industri besi. Disamping itu ada tumpukan-tumpukan kayu yang digunakan untuk pembuatan dan perbaikan kapal.

Bangunan besar berbata merah merupakan pusat kontrol. Ada tiga bendera berwarna Reconquista yang dapat terlihat tengah berkibar dengan gagahnya. Tapi yang paling menonjol adalah kapal perang besar yang tampak mencakar langit. Lexington, kapal utama dari kloter itu, tengah menurunkan jangkar dan ditutupi kain, yang mirip tenda raksasa, untuk melindunginya dari hujan. Kapal perang itu panjangnya 200 m, dan ditempatkan di atas landasan kayu raksasa sehingga ia bisa dimodifikasi dengans egera. Raja Albion. Oliver Cromwell, tenah mengamati pembangunannya bersama beberapa pengiring.

"Kapal yang besar dan terlihat dapat diandalkan. dengan kapal seperti ini, bukankah rasanya kita bisa menguasai dunia, Ketua kloter"

(info saja- kloter=kelompok terbang)

"Kau berbicara terlalu tinggi mengenaiku."

Ketua kloter yang ditunjuk memimpin kloter Lexington, Sir Henry Bowood, menjawab setengah-setengah. Dia berada di kubu Reconquista dan merupakan komandan kekuatan udara selama perang revolusi. Dihargai karena menghancurkan dua kapal musuh, dia dipromosilan sebagai kapten di Lexington. Dia lalu akan dinaikkan menjadi kapten begitu pembenahan selsai. Itu merupakan salah satu aturan di Angkatan udara Albion.

'Lihat meriam-meriam raksasa itu!" Cromwell menunjuk pada meriam-meriam di sisi kapal.

"Senjata baru ini bagai simbol kepercayaan yang kuberikan padamu. Ini dibuat dengan mengumpulkan alkemis-alkemis Albion. Mereka memiliki badan yang lebih panjang. yang menurut perhitungan..."

Wanita berambut panjang disamping Cromwell menyahut, "Mereka memiliki jarak tembak kira-kira 1,5 kali meriam yang digunakan kapal perang Tristain dan Germania."

"Terima kasih, Nona Sheffield."

Bowood memandangi Sheffield. Dia memancarkan semacam aura dingin. Dia dalam pertengahan duapuluhnya dan mengenakan jubah hitam tipis yang rapih. Dia tak pernah melihat penampilan yang begitu aneh. Dia bahkan tak mengenakan sebuah mantel...apa benar dia penyihir? Cromwell mengangguk puas dan menepuk punggung Bowood.

"Dia dari Rub' al khali. Dia merancang meriam-meriam ini dengan teknologi yang dipelajarinya dari para elf. Kemampuannya dalam teknologi...tak mengikuti seni sihir kita. Dia memiliki teknologi yang baru bagi kita. Kalian seharusnya berkenalan."

Bowood mengangguk dengan sikap bosan. Dia sebenarnya seorang pendukung kerajaan, tapi dia percaya teguh bahwa tentara tak seharusnya terlibat politik, Dengan kata lain, dia murni seorang militeristik. Komandan kloter, yang pangkatnya lebih tinggi, bergabung dengan tentara pemberontak, sehingga dia tak punya pilihan dan bergabung dengan perang revolusi sebagai seorang kapten dari angkatan udara Reconquista. Baginya, yang berusaha sebaik-baiknya untuk memnjunjung tinggi tradisi Albion - Oblige Bangsawan, sebuah tugas ningrat, Albion tetaplah sebuah kerajaan. Cromwell hanya seseorang fasik yang mendapat kekuatan dan tahta.

"Kemungkinan tiada angkatan udara di Halkegenia yang bisa mengimbangi kekuatan angkatan udara 'Royal Sovereign' sekarang," Bowood sengaja memanggil angkatan udara dengan nama tuanya, Menyadari sinismenya, Cromwell tersenyum.

"Pak Bowood, 'Royal Sovereign' tak lagi ada di Albion."

"Benar. namun, jika kau menghadiri upacara pernikahan dengan meriam-meriam baru ini, kutakut ia kemungkinan dipandang sebagai penunjukan yang vulgar dari kekuatan."

Cromwell, raja suci pertama dan presiden dari konsili ningrat, dan para menteri kabinet dari Republik Albion nan suci (nama baru Albion) akan menghadiri upacara pernikahan putri Tristain dan pangeran Germania. Mereka akan pergi dengan kloter Lexington. Membawa model terbaru senjata untuk sebuah kunjungan yang dimaksudkan baik akan dilihat sebagai bagian dari diplomasi senjata.

Cromwell menjawab santai, "Ah ya, aku belum menjelaskan skema untuk "kunjungan bermaksud baik" ini padamu ya?"

"Skema?"

Konspirasi baru? Bowood merasakan pusing merayapinya. Cromwell dengan pelan berbisik ke telingan Bowood.

"Apa?! Aku tak pernah mendengar perbuatan memalukan seperti itu sepanjang hidupku!"

"Semuanya bagian dari gerakan militer," kata Cromwell yang acuh tak acuh.

"Bukankah kita baru saja menandatangani perjanjian tak menyerang dengan Tristain! dalam sejarah panjang Albion, kita tak pernah merusak perjanjian satu pun!" teriak Bowood yang mengamuk.

"Pak Bowood. Aku takkan mengampunimu untuk kritisme politik yang lebih jauh lagi. Ini adalah sesuatu yang telah diputuskan dan disetujui konsili. Apa kau berencana melawan konsili? Sejak kapan kau jadi politisi?"

Dengan itu, Bowood bungkam. Baginya, tentara hanyalah pedang dan tameng yang tak melawan. Mereka adalah anjing penjaga nan setia dari negara, dan bangga dengan itu. Jika itu keputusan dari yang berpangkat lebih tinggi, mereka hanya bisa ikut perintah.

"Kau akan menyebarkan nama negeri kita ke seantero Halkegenia. Negeri kita akan dikenal karena dengan pengecut merusak perjanjian." kata Bowood tak senang.

"Menyebarkan nama negeri? Seluruh Halkegenia akan mengibarkan bendera Reconquista kita. Saat kita mrebut kembali Tanah Suci dari para elf, tiada yang akan mempedulikan hal-hal remeh seperti itu."

Bowood mendekat pada Cromwell. "Merusak sebuah perjanjian adalah suatu yang remeh? Apa kau berencana mengkhianati bahkan negerimu sendiri?!"

Seseorang didekat mereka meraih tongkatnya dan menahan Bowood, Bowood mengenali wajah yang tersembunyi dibalik tudung.

"pa-paduka?" bisik Bowood yang terkejut.

Wajah itu milik Pangeran Wales, yang tewas dalam perang.

"kapten, aku membayangkan, apa kau bisa mengatakan kata-kata tersebut pada mantan atasanmu?"

Bowood jatuh berlutut. Wales mengembangkan tangannya dan mencium Bowood. Dia memucat. Tangan-tangan itu sedingin es. Cromwell pergi bersama pengiringnya. Wales juga ikut. Yang tersisa hanyalah Bowood, yang berdiri kaku, sangat terkejut. Wales, yang tewas, hidup dan bergerak. Bowood merupakan seorang penyihir segitiga dalam seni air. bahkan dia, seorang ahi sihir air, yang menguasai komposisi dari makhluk hidup, tak pernah mendengar sebuah mantra yang dapat memberikan hidup pada yang telah mati.

Mungki itu sebuah golem? Tidak, tubuh itu bernyawa. Sebagai pengguna cabang air, dia tahu betul bagaimana aliran air dalam makhluk hidup, dan itu termasuk Wales. Itu pasti bentuk sihir tak diketahui. dan Cromwell bisa mengendalikannya. Dia teringat sebuah rumor meyakinkan yang didengarny6a, dan mulai gemetar. Bahwa Raja Suci Cromwell dapat mengendalikan "Void"...apa itu hanya sihir Void?...Cabang sihir "Zero" yang legendaris.

Dengan suara yang bergetar, Bowood berbisik,"...Apa sih yang tengah direncanakannya untuk dilakukan pada Halkegenia?"


Cromwell berbincang dengan ningrat yang berjalan disebelahnya. "Viscount, bergabunglah dengan kloter Lexington sebagai komandan para dragoon."

Dibawah sebuah topi berbulu, mata Wardes berkilat. "Apa kau menyuruhku untuk mengawasinya?"

Dia menggelengkan kepalanya, menolak sangkaan Wardes'.

"Dia tak bakal mengkhianati kita. Dia terlalu kaku dan lurus, yang karena itulah bisa dipercaya. Aku hanya meminjamkannya kekuatanmu, karena kau pernah memimpin skuad garda sihir. Apa kau pernah mengendarai seekor naga sebelumnya?"

"Belum. tapi tiada hewan di Halkegenia yang tak bisa kukuasai."

Cromwell menyeringai setuju. Dia tiba-tiba menoleh pada Wardes. "Viscount, mengapa kau mematuhiku?"

"Apa kau meragukan kesetiaanku?"

"Tentu tidak. kau menghasilkan hasil yang abik tapi tak pernah meminta."

"Wardes tertawa renyah, Dia menyentuh lengan buatan yang baru saja disambungkan padanya. "Aku hanya ingin melihat apa yang Paduka akan tunjukkan padaku."

"Tanah Suci?"

Wardes mengangguk. 'Kupercaya apa yang kucari berada disana."

"kau'percaya'? Kau memang sama sekali tiada keinginan ya?" Kata Cromwell.

Cromwell dulunya seorang pendeta, tapi tiada secuil keyakinan pun didalam hatinya. Wardes menjatuhkan pandangannya pada sebuah loket perak tua. Didalamnya tergambar potret seorang wanita cantik. hatinya, yang selalu nampak dingin terhadap orang sekitarnya, mulai menghangat. Setelah memandangi potret kecil itu, dia berbisik, "Tidak, Paduka. Aku orang yang paling berkeinginan di dunia ini."


Sementara itu, dalam kamar Henrietta, di istana kerajaan Tristain, para pelayan tengah sibuk menjahit gaun pengantin yang akan dipakai Henrietta. Marianne, sang ratu, juga hadir disana. Dia menonton putrinya yang tengah dipakaikan gaun putih bersih dengan senyum. Namun, ekspresi Henrietta bagaikan es. Saat pelayan-pelayan yang menjahit menanyakan tentang lengan baju dan posisi dari pinggang, dia hanya mengangguk. Melihat kondisi putrinya seperti itu, Marianne, menyuruh para pelayan keluar.

"Putriku yang tersayang, kau tampak tak terlalu baik."

"Bunda."

Henrietta mengubur wajahnya dalam lutut ibunya.

"Aku mengerti kau tak menginginkan pernikahan ini."

"Tidak, sama sekali bukan itu. Aku seseorang yang bahagia. Aku dapat menikah. Bukankah suatu saat kau pernah mengatakan bahwa seorang wanita akan bahagia bila dia menikah?"

Berlawanan dengan perkataannya, wajah cantik Henrietta menjadi pilu dan dia mulai menangis dalam kepedihan. Marianne menepuk lembut kepala putrinya.

"Kau punya seseorang yang kau cintai?"

"Aku pernah mempunyainya. Sepertinya aku dihanyutkan dalam sungai yang sangat deras. Semuanya telah berlalu bagiku. Cinta, kata-kata sayang...tiada yang tersisa saat ini."

Marianne menggelengkan kepalanya. "cinta bagaikan demam. Jika kau menenangkan diri, kau akan melupakannya."

"Bagaimana aku bisa melupakan..."

"Kau seorang putri. Kau harus melupakan apa yang harus dilupakan. Rakyat akan goyah bila melihatmu seperti ini." ucap Marianne dengan nada tegas.

"Untuk apa aku menikah?" tanya Henrietta sedih.

"Untuk masa depan."

"Untuk masa depan...negara dan rakyat?"

Marianne menggelengkan kepalanya. "Ini juga untuk masa depanmu. Cromwell si Reconquista, penguasa Albion, adalah orang yang ambisius. Menurut apa yang kudengar, dia memiliki kendali atas 'Void'."

"Bukankah itu cabang sihir yang legendaris?"

"Ya. Jika itu benar, maka akibatnya sangat mengerikan, Henriett. memiliki kekuatan yang berlebihan merusak orang. Meski kita memiliki perjanjian untuk tidak saling menyerang, lelaki seperti dia takkan mengamati Halkegenia dari langit dengan damai. Lebih baik bagimu untuk berada dalam negara yang kuat, seperti Germannia."

Henrietta memeluk ibundanya. "...Maafkan saya, bunda, karena telahbegitu egois."

"Tak apa-apa. Cinta adalah segalanya saat seusiamu. Ini tak seperti aku tak mengerti."

Mereka saling memelukd dengan erat.


Bab 6 - Memburu Harta Karun

Tabitha besembunyi dekat pohon dengan napas tertahan. Didepannya ada kuil yang telah menjadi reruntuhan. Pilar-pilar yang dulu memancarkan keagungan telah ambruk dan pagarnya telah habis dimakan karat. kaca-kaca yang dihiasi indah telah menjadi berkeping-keping, dan alang-alang memenuhi taman. Ia merupakan kuil desa perintis yang telah ditinggalkan di masa lalu. Ia benar-benar snyi; tiada manusia di dekatnya. Namun, dengan sinar matahari, ada semacam suasana suci di tempat itu. Tempat ini mungkin akan menjadi kesukaan para musafir untuk santap siang dan sebagainya.

Sebuah ledakan keras tiba-tiba memecahkan suasana tenang. Kirche telah siap di pohon dekat gerbang pos api. Tabitha, dalam bayang-bayang pohon, menggenggam tongkatnya. Alasan mengapa desa perintis ditinggalkan datang menyerbu keluar, Itu Orc. Tingginya 2 m dan beratnya 5x rata-rata manusia. Tubuh gemuk jeleknya ditutupi kulit yang dikupas dari binatang. Dengan hidung besar di wajah, mereka terlihat bagai babi. Bahkan, kau bisa mengatakan mereka babi berkaki dua. Ada sekitar 10-an Orc. Orc menyukai anak manusia, dan karena diserang segerombolan makhluk dengan selera mengerikan, penduduk desa meninggalkan desa. Penduduk sudah menceritakan ini pada pemimpin daerah itu, tapi pemimpin itu tak suka mengirim tentaranya kedalam hutan, jadi permintaan mereka ditolak. Desa ini hanya sekian dari banyak desa di Halkegenia yang mengalami kejadian serupa.

Para Orc berbicara satu sama lain dengan suara mirip babi, sambil menunjuk api yang membara di sekitar gerbang penjaga. Mereka lalu berteriak marah kepada setiap dari mereka. “Fugii! Pigii! Agii! Nguiiii!”

Melihat mereka mengayunkan pemukul di tangan, dapat dimengerti para orc tengah marah. Ada api, yang berarti ada manusia di sekitar. Mereka adalah musuh, dan api itu adalah umpannya. Melihat ini, Tabitha menimbang mana mantra yang bakal digunakannya. Ada lebih banyak musuh dari yang dia duga. Dia tak bisa terus-terusan menembakkan mantra. Jika mereka tak menjalankan semuanya dengan mulus, mereka bisa dengan mudah kehilangan kelebihan dari serangan kejut mereka. Sesaat kemudian, udara disekitar para orc bersinar dan 7 patung perunggu muncul darinya. Mereka golem Guiche. Tabitha mengernyitkan alisnya. Itu bukanlah apa yang telah mereka putuskan. Guiche pasti jadi tak sabar.

7 valkyrie Guiche menyerbu pemimpin orc. Mereka menusukkan tombak pendek mereka padanya. Ujung tombok menembus kedalam perut orc yang mengakibatkannya terjatuh KO di tanah. Namun, lukanya dangkal. Kulit tebal dan lemaknya kemungkinan menjadi tamengnya, melindungi organ dalamnya dari kerusakan. Ia dengan cepat bangkit. dan mengayunkan pemukulnya, tak dihiraukannya luka kecilnya. orc lainnya menyerbu dengan pemukul mereka, mengayukannya pada para patung perunggu. Pemukul yang diayunkan para orc seukuran manusia. Satu pukulan pada golem yang anggun tersebut, dan mereka akan dikirimkan terbang dan hancur di tanah.

Tabitha mulai membaca mantra sambil mengayunkan tongkatnya. Air, angin, angin. Satu air dan dua angin. Kedua elemen bergabung dan mantranya sempurna. Uap di udara membeku dan menjadi pasak-pasak. Mereka menghujam orc yang terluka dari segala arah. Ia merupakan salah satu serangan terkuat Tabitha, "Pasak Angin'. Orc yang terluka segera jatuh ketanah. Kirche, yang menonton dari atas pohon yang agak berjarak dari titik persembunyian Tabitha, mengayunkan tongkatnya. Api, api. Dua api. Sebuah bola api, lebih besar dari mantra bola api biasa, menyerang para orc. Ia merupakan mantra 'Bola nyala'. Dengan gerakan nan lincah yang sepertinya mustahil untuk ukuran mereka, mereka mencoba menghindari bola-bola api. Namun, bagaikan terikat pada benang, bola api tersebut mencari. Ia masuk mulut orc yang melenguh, dan kepalanya meledak terbakar. Namun, itu adalah akhir dari mantra yang mangkus. Mereka tak bisa terus menggunakan mantra yang kuat.

Para orc ketakutan, namun mereka menyadari mereka diserang sejumlah kecil penyihir. Setelah menyadari ini, mereka teringat pertempuran panjang yang dulu mereka alami dengan manusia. Jika mereka kalah, mereka akan kalah dalam sekejap. Namun, hingga kini, hanya dua dari mereka yang tebunuh. Yang berarti, serangan para manusia telah gagal. Kemarahan mengalahkan ketakutan mereka. Hidung tajam mereka bergerak-geral, mencoba mencari para manusia. Seekor manusia yang berbau lezat dapat tercium dari luaran taman kuil. Para orc langsung berlari. Tiba-tiba, seseorang dengan pedang di punggungnya muncul. disebelahnya ada salamnder api. Tanpa keraguan, para orc terus maju. Salamander akan menjadi lawan yang berat, tapi hanya dengan dua, itu takkan jadi masalah. Ksatria manusia bahkan tak perlu diperhatikan. Pernah ada yang berkata, bahwa satu orc dapat mengimbangi 5 ksatria manusia. Dan itu untuk ksatria yang ahli. Seorang anak bau kencur seperti ini akan segera hilang dengan satu ayunan pemukul.

Saito berbisik pada salamander disebelahnya. "Aku akan menyerang mereka dari kanan. Hentikan para monster sehingga tak bisa mendekati Kirche."

Api menyembul dari ujung mulut kadal ganas tersebut, dan ia mengangguk dengan"kyuru kyuru". Para babi besar membentuk kelompok untuk menyerang. Mereka mencoba mengancam mereka. Tangan Saito gemetar. Maaf untuk begitu bagus dalam berpakaian. Apaan sih itu. Menakutkan. Para orc memakai sebuah kalung. Setelah dilihat lebih dekat, dapat terlihat ia kalung dari tali jerami dan trengkorak manusia. Aturan duniaku benar-benar tak berlaku di dunia ini. Bau mengerikan si buas ini dapat tercium. Dengan tangan kiri yang gemetar, digenggamnya Derflinger. Tanda di punggung tanannya bersinar. Kemarahan dan energi yang meluap dalam dirinya membuat badannya panas. Dia mulai menggerakkan jari telunjuknya dalam irama sambil menggenggam pedang, membuatnya tetap tenang. Dia memperhitungkan saatnya meloncat.

Tap, tap, tap...irama dari denyutnya. Saito membuka mata, dan memandangi orc-orc yang menyerbunya. Seekor orc mengayunkan pemukul padanya. Ia kena...seharusnya begitu, Tapi pemukul itu hanya mengenai tanah. Ia mencoba mengangkat kepala untuk melihat sekitarnya, tapi pandangannya tergeser dan jatuh. Lehernya tak mau bergerak. Tangannya gelagapan mencari-cari kepalanya hanya untuk mendapati ia tiada. Saitosudah meloncat lebih cepat dari ayunan orc, dan telah memutuskan kepalanya. Bagaimana itu! Orc yang kena berguling di tanah. Saito menyerbu orc yang dekat. Dalam sekejap, dia menumbangkan orc yang tertegtun itu, dengan kekuatan pedangnya, dia menghabisinya. Di kiri, kadal gamas tengah bertarung dengan seekor orc, menyebarkan api kemana-mana. Nyalanya mengalahkan orc dan mengirimkan hembusan inferno ke kepalanya.

Kehilangan tiga rekan, mereka mengepung saito dengan penuh perhitungan. Dengan pedang yang siap, Saito menatap para orc dengan tatapan dingin. Tatapan yang bagaikan naga. insting mereka berkata dia berbahaya, Ia berkata mereka tak bisa menang. para orc saling memandangi satu sama lain. Tapi, ia manusia. Mereka tak mungkin kalah. Pasti ada kesalahan tadi. Mengabaikan insting, pengalaman dan akal sehat mereka, mereka berteriak dan menyerbu dalam serangan habis-habisan. Dan...ya, mereka kehilangan nyawa mereka. Dengan bantuan sihir, Saito dan Flame menghabisi mereka dalam dua menit.

Naga Tabitha mendarat di tanah. Jika naga angin terluka, itu berarti mereka harus berjalan pulang, jadi mereka memutuskan untuk tak mengikutsertakannya dalam pertempuran. Kirche yang datang dari atas pohon menggoyang-goyangkan Guiche.

"Ow! Apa yang kau lakukan?"

"Salahmu sehingga kita berantakan begini!"

Rencananya adalah mengumpan mereka kedalam lubang yang digali Verdandi dan menyalakan minyak yang telah dipersiapkan dalam lubang, Semua orc akan terbakar hingga mati.

"Memangnya mereka akan jatuh ke lubang seperti itu. Yang pertama bergerak yang menang. Aku hanya mempraktekkan itu." keluh Guiche.

"Tikus tanahmu menggalinya kan? Yakin dululah!"

"Cukup-cukup, semuanya baik-baik saja kan, jadi tak apa-apa." kata Saito.

Siesta, yang bersembunyi dan gemetaran, menyeruak keluar menuju Saito dan memeluknya, dibanjiri emosi yang meluap. "Itu luart biasa! Membunuh para orc yang kejam itu dalam sekejap! Kau luar biasa, Saito!"

Siesta lalu dengan takut-takut melirik mayat para orc.

"Dengan ini disekitar, kurasa kau tak bisa tenang memetiki jamur di hutan."

Saito mengelap darah dan lemak di Derflinger dengan daun. Tangannya masih gemetar. Belum terbiasa bertempur kukira, pikirnya. Meski mereka monster, mereka makhluk hidup. Hal-hal seperti pertempuran begitu mudah di mulut tapi mereka sebenarnya makhluk hidup yang berbunuhan satu sama lain. Bahkan jika kau menang, rasa tak enak menghinggapi. Meski aku memiliki kekuatan familiar Gandálfr, tubuhku tetaplah berupa daging dan tulang. Jika aku terpleset dan menerima hantaman dari salah satu pemukul itu...mungkin aku yang terbaring disana sekarang. Menyadari tangan Saito gemetar. Siesta menggenggam mereka erat. Apa kau baik-baik saja? Matanya tampak bertanya, Saito memaksa tersenyum dan mengangguk.

"Kau luar biasa...tapi kurasa hal-hal berbahaya buruk jua adanya..." bisik Siesta.

Sementara, meski tadi ada pertempuran, Kirche bersikap seakan tiada yang terjadi. Sambil melihat peta, dia berucap. "Um, didalam kuil ada altar...dan dibawahnya ada kotak tersembunyi."

"Dan didalam kotak itu..."

Guiche menelan ludah.

"Terletak emas, perak, dan harta legendaris ‘Brisingamen’ yang disembunyikan pendeta saat dia meninggalkan kuil ini."

Kirche menyisir rambutnya seolah dia telah memenangkan sesuatu.

"Umm, ia seperti sebuah kalung dari emas. Ia terbuat dari 'emas menyala'! Wow, bahkan namanya membuatku bersemangat. Saat kau mengenakannya, kau akan dilindungi dari segala bencana dan..."


Malam itu...mereka mengelilingi api unggun di taman kuil. Semuanya berwajah kecewa. Guiche berkata pahit, " Jadi, yang katanya harta adalah itu?"

Guiche menunjuk perhiasan yang luntur warnanya dan beberapa keping tembaga kotor. Dibawah altar, ada kotak. Namun, ia dipenuhi sampah yang bahkan tak mereka mau bawa pulang.

"Ini terbuat dari brass. Kalung dan cincin telinga murahan ini bukan ‘Brisingamen’ yang itu kan?"

Kirche tak menjawab. Dia hanya memandangi kukunya dengan mata penuh kebosanan. Tabitha membaca buku seperti biasa. Saito berbaring, menerawangi bulan.

"Hei Kirche. itu sudah yang ke-7! Kita mengikuti peta-peta itu dengan usaha keras dan semua yang kita dapatkan hanya beberapa koin tembaga! hartanya bahkan tak mendekati apa yang catatan peta bilang! Seluruh peta itu bohong!"

"Tutup mulutmu. Seperti kukatakan sebelumnya, ke-mungkin-an ada peta asli didalam bundel itu."

"Itu terlalu kejam! Monster dan hewan buas kan berkeliaran di reruntuhan dan gua! Hanya mendapatkan ini sebagai imbalan untuk mengalahkan mereka jauh dari cukup!"

Guiche memegang mawar buatannya di mulut dan menyiapkan tempat tidur.

"Yah. Jika kau bisa dapat harta hanya dengan membunuh monster-monster, tiada yang bakal miskin."

Suasana suram menyelimuti mereka. Tapi suara ceria Siesta menghilangkannya. "Semuanya, makan malam siap!"

Siesta mulai membagi sop untuk semuanya dari pot di api unggun. Baunya enak.

"Ini enak! Wow, benar-benar enak. Daging macam apa yang kau gunakan?" kata Guiche sambil memenuhi mulutnya.

Yang lain mencicipinya dan mulai berkata bagaimana enaknya ia. Siesta tersenyum dan berkata, "Daging orc."

Guiche langsung memuntahkan sopnya. Semuanya menatap dengan rahang mengaku pada Siesta.

"i-itu hanya bercanda! Aku membuatnya dari seekor kelinci liar. Aku menangkapnya dengan sebuah perangkap."

Siesta lalu menjelaskan bagaimana dia menyiapkan perangkap-perangkap untuk menangkap kelinci dan burung, serta mengumpulkan herba dan sayur untuk sopnya, selama yang lain berburu harta karun.

"Jangan menakutiku seperti itu. Tapi kau benar-benar terampil, mampu membuat sesuatu yang begitu enak dalam hutan." ucap Kirche dengan nada lega.

"Itu karena kehidupan di desa." kata Siesta malu.

"Apa nama sup ini? Herba-herba yang kau gunakan agak beda dengan biasanya, kutak pernah melihat beberapa sayur itu," kata Kirche sambil mengaduk salah satu sayur dengan garpunya.

"Ia sop yang dibuat di desaku, namanya Yosenabe." jelas Siesta sambil mengaduk isi pot.

"Ayah mengajarkanku bagaimana bikinnya. Dari tumbuhan liar yang bisa dimakan, akar tanaman...Ayahku mempelajarnya dari kakekku. Ia adalah kekhususan desaku."

Berkat makanan lezat itu, mereka merasa lebih tenang. 10 hari telah berlalu sejak mereka meninggalkan sekolah. Saat Saito memandangi langit, dia membayangkan apa yang tengah dilakukan Louise.

"Apa ia enak, Saito?"

Disebelahnya, Siesta tersenyum hangat. Sambil memenuhi mulutnya dengan sop, dia tersenyum balik. Senyum Siesta, rasa sop, keduanya mengingatkan dia pada sesuatu. Dia tak tahu sudah berapa lama dia pergi tapi Saito teringat dunianya. Setelah makan malam, Kirche membuka peta itu lagi.

"Menyerah sajalah dan kembali ke sekolah." usul Guiche, tapi Kirche tak goyah.

"Sekali lagi. Hanya sekali lagi."

Bagaikan terobsesi, mata Kirche menyusuri peta itu. Mengerai satu peta, dia menempatkannya di tanah.

"Ok, yang ini! Jika ini juga bohong, kita kembali ke sekolah!"

"Apa hartanya?"

Dengan lengan disilangkan, Kirche menjawab,"Baju Naga."

Siesta, yang tengah menyantap sop setelah semuanya selesai, tersedak makanannya sendiri.

"Be-benarkah?"

"Ada apa dengan itu? Apa kau tahu sesuatu tentangnya? Ia dekat desa bernama Tarbes. Dimana Tarbes ya..."

Siesta menyahut cepat, "Ia sejalan dengan La Rochelle. Ada ladang luas...ia daerah asalku."


Pagi berikutnya, saat mereka mengendarai si naga angin. Siesta menjelaskan pada semuanya. Tiada banyak yang bisa diceritakan. Ada sebuah kuil didekat desa dan didalam kuil ada sesuatu yang disebut Baju Naga.

"Mengapa ia disebut 'Baju Naga'?"

"Kau bisa terbang bila kau mengenakannya." kata Siesta lemah.

"Terbang? jadi ia barang jenis angin?"

"Ia sebenarnya tak sebegitu pentingnya..." kata Siesta, merasa terganggu.

"Mengapa?"

"Ia sebuah kebohongan. Ia salah satu 'harta' yang bisa kau temukan dimanapun. Semuanya hanyalah nama. Namun, penduduk setempat senang...mereka menghiasi kuil, dan menyembahnya..."

"Benarkah?"

Siesta lalu melanjutkan dan berkata dengan tegang."Sebenarnya...pemiliknya adalah kakekku. Suatu hari, kakekku muncul di desa. Dia bilang bahwa dia datang dari timur dengan Baju Naga."

“Wow…”

"Tapi tiada yang mempercayainya. Semuanya mengatakan bahwa kakekku aneh."

"Mengapa?"

"Seseorang bilang padanya untuk terbang dengan itu, tapi dia bilang pada mereka dia tak bisa. Dia membuat banyak alasan, tapi tiada yang memiliki alasan untuk mempercayainya. Setelah itu, dia berkata 'tak bisa menerbangkannya lagi' dan berdiam di desa. Dia bekerja sangat keras, dan memberikan uangnya pada para ningrat, meminta mereka menempatkan mantra keabadian pada 'Baju Naga'. Dia memperlakukannya dnegan penuh perhatian."

"Orang yang aneh. Pasti sulit ya bagi keluargamu?"

"Tidak, terpisah dari Baju Naga, dia ramah dan pekerja keras. Semua menyukainya."

"Ia sesuatu yang terkenal di desa kan? Seperti Yosenabe itu...maka kita tak bisa mengambilnya."

"Tapi...oa lebih seperti barang keluarga kami...Jika Saito mau, aku bisa meminta ayahku untuk menunjukkannya padamu," kata Siesta dengan nada salah tingkah.

Tepat saat Saito berpikir kebohongan tiada gunanya, Kirche menyahut,"Bahkan jika ia bohong, ada cara-cara untuk menjual kebohongan. Ada banyak orang dengan selera beda di dunia ini."

"Kau wanita yang mengerikan." kata Guiche terkejut.

Si naga angin mengepakkan sayapnya, mengarah menuju Tarbes.


Sementara di sekolah, Louise masih melewatkan pelajaran. Dia tak mau bertemu siapapun dengan hatinya yang seperti ini. Dia hanya meninggalkan kamarnya untuk makan di aula makan dan saat dia pergi mandi. Dia tahu Saito berdiam di tenda di lapangan Vestri, jadi dia kesana beberapa hari yang lalu untuk melihat bagaimana keadaan Saito, tapi tiada orang disana. Saat dia menanyakan Monmorency, yang kebetulan lewat, dia baru tahu Saito, Guiche, Kirche, dan Tabitha telah melewatkan pelajaran untuk berburu harta. Para guru tengah marah dan akan membuat mereka membersihkan seluruh auditorium saat mereka kembali. Dia merasa lebih sedih saat memikirkan bagaimana asyiknya itu. Dia merasa bagaikan hanya dia yang ditinggalkan. Louise menangis di kasurnya lagi. Bilamana dia melihat jerami yang ksong, airmata akan tumpah. Sebuah ketukan di pintu, Pintu terbuka dengan sebuah 'dang!' begitu Louise menjawab ia tak dikunci. Kepala sekolah, Osman tua ada di pintu, yang mengejutkan Louise. Louise cepat-cepat mengenakan gaunnya dan bangkit dari kasur.

"Bagaimana perasanmu?"

Merasa lesu, Louise menjawab,"Kuminta maaf telah membuatmu khawatir. Ini bukan apa-apa. Benar. Aku hanya merasa tak enak badan..."

Osman meraih sebuah kursi dan duduk.

"Kau beristirahat untuk waktu yang cukup lama. Aku khawatir, tapi sepertinya kau baik-baik saja."

Louise mengangguk, dan duduk di sebuah kursi. Dengan wajah lelah, dia menerawang keluar jendela.

"Sepertinya kau belum dari penampilanmu."

"Maaf."

"Masih ada dua minggu. Pikirkanlah pelan-pelan. Ingat. Ia pernikahan teman pentingmu. Pastikan kau memilih kata-katamu dengan hati-hati."

Louise mengangguk. Dia malu bahwa dia melupakan tentang prosa karena berada dalam alam pikirannya sendiri."Aku jahat ya. Dia mengangapku sebagai teman, dan bahkan memberikan peran sebagai perawan."

Osman bangkit."Ngomong-ngomong, dimana familiarmu?"

Dia membuang pandangannya dan terdiam. Osman tersenyum.

"Apa kalian berdua bertengkar?"

"Saat kalian muda, kalian bertengkar soal remeh. Ini karena muda-mudi tak tahu bagaimana mengalah. Terkadang, ada retakan yang akan berkembang menjadi sesuatu yang tak dapat diperbaiki. Kau harus hati-hati."

Sambil tertawa, Osman meninggalkan ruangan. Setelah pintu tertutup, Louise berbisik,"Ia bukan sesuatu yang kecil..."

Louise menuju mejanya, Dia mengabaikan yang lain dan membuka Buku Doa Sang Pendiri. Dan, seolah tengah membersihkan piirannya, dia menutup matanya. Dia berkonsentrasi, mencoba memikirkan sebuah prosa, Aku harus berpikir prosa yang hebat untuk Henrietta. Louise tetap menutup mata. Eh? ada sebuah sinar terang. Tiba-tiba, dia bisa melihat huruf-huruf di halaman-halaman itu. Mata Louise mengaku. Namun, selanjutnya, mereka meluntur dari halaman buku bagai kabut. Apa itu? pikirnya, sambil melihat-lihat halamannya. Aku tak bisa melihatnya lagi. Kemungkinan mataku hanya kelelahan, pikirnya.

"Semuanya salah Saito" bisiknya.


Pakaian Naga



Mata Saito jadi bulat pada pemandangan "Pakaian Naga". Mereka ada di kuil dibangun dekat Tarbes, kampung halaman Siesta. Di sanalah dimana "Pakaian Naga" terletak. Sebenarnya akan lebih tepat dikatakan bahwa kuil tersebut dibangun untuk menutupi Pakaian Naga. Bentuk yang kakek Siesta telah bikin di dalam kuil membuat Saito nostalgia. Kuil dibangun di pinggiran padang. Pintunya dibuat oleh kayu gelondongan yang digabungkan bersama, dan dindingnya dibuat dari papan dan campuran semen bukannya batu. Di atas area lantai kayu bercat hijau tua tergeletak Pakaian Naga. Barangkali karena mantra permanen... tapi tak ada tanda-tanda karatan. Bagaikan baru saja dibikin.

Kirche dan Guiche melihat Pakaian Naga, tak bersemangat. Seakan-akan terhantam oleh rasa penasaran, Tabitha melihatnya dengan minat. Terkagum-kagum, Saito menatap Pakaian Naga.

"Saito, kamu ga papa? Kayak saya ngeliatin kamu sesuatu yang bikin kamu ngerasa ga enak..." kata Siesta dengan suara kuatir.

Saito tak menjawab. Dia terus menatap Pakaian Naga seolah-olah dia amat terharu.

"Tentu aja barang ini ga bisa terbang," kata Kirche.

Guiche mengangguk.

"Ini semacam kano, kan? Dan lihat sayapnya, mereka bahkan ga bisa gerak. Kayak burung mainan atau semacamnya. Belum lagi sayapnya naga kecil bahkan seukuran sayap ini. Naga dan wyvern itu bisa terbang habisnya mereka bisa ngepakin sayap mereka. Berakhir deh buat 'Pakaian Naga'."

Guiche menunjuk Pakaian Naga dan mengangguk, yakin bahwa dia benar.

"Saito... Kamu beneran ga apa-apa?"

Saito menggenggam pundak Siesta saat dia mengintip-ngintip wajahnya. Saito bicara tergesa-gesa.

"Siesta."

"Y-ya?"

"Apa kakekmu ninggalin yang lainnya?"

"Mm... sesuatu yang patut diperhatikan ya kuburannya dan beberapa barangnya."

"Perlihatkan padaku."

Kuburan kakek Siesta terletak di pemakaman desa. Batu nisannya dibuat dari batu putih besar. Diantaranya ada batu-batu nisan terbuat dari batu hitam, membikin kontras yang jelas dengan yang lainnya.

Kata-kata terpahat pada batu nisan tersebut.

"Kakek saya membuat batu nisan ini sebelum dia mati. Ditulis dengan bahasa dari negara lain, jadi tak seorangpun bisa ngebacanya. Penasaran saya apa tulisannya..." kata Siesta.

Saito membacanya keras-keras.

"Letnan Dua Angkatan Laut Sasaki Takeo, istirahat di dunia lain."

"Apa?"

Mata Siesta melebar pada Saito, yang membacanya dengan fasih.

Saito melihat Siesta dengan tergesa-gesa, membuatnya tersipu.

"Stop... Kalau kamu ngeliat saya kayak gitu..."

Rambut hitam, pupil hitam... Rasa nostalgia ini... Jadi itu toh alasannya, pikir Saito, menyadari kenapa dia merasa nostalgia.

"Siesta, kamu dibilangin kalau rambut dan mata kamu sama dengan kakekmu, kan?" kata Saito banyak mengejutkan Siesta.

"I-iya! Kok kamu bisa tahu?"



Kembali ke kuil, Saito menyentuh "Pakaian Naga". Ketika dia melakukannya, rune pada punggung tangan kirinya mulai bersinar. Oh gitu, jadi ini mesti dianggap "senjata" juga, pikir Saito saat dia melihat senjata otomatis mencuat dari sayapnya. Saat rune bersinar, konstruksi dan kemudi "Pakaian Naga" jadi jelas bagi Saito. Dia dapat menerbangkan ini sendirian, pikirnya.

Saito menemukan tangki bensin dan membukanya. Seperti yang sudah diduganya, kosong. Tak peduli sebagaimana baiknya disimpan, tetap takkan terbang tanpa bensin. Penasaran aku gimana caranya dia kelayapan ke Halkeginia dengan pesawat ini... Saito ingin melacak jejaknya, tak peduli itu mengarah ke jawaban apa.

Siesta kembali dari rumah orang tuanya.

"Semuanya benar-benar terkejut karena saya dua minggu lebih awal dari yang saya bilang."

Dengan semangat Siesta menyerahkan barang di kedua tangannya kepada Saito. Itu adalah kacamata terbang tua, barangkali yang kakeknya pakai waktu jadi letnan dua angkatan laut. Dia itu seperti pemilik tongkat sihir kehancuran yang Saito gunakan untuk mengalahkan golem Fouquet, seseorang dari dunia lain. Orang asing, seperti Saito.

"Kakek cuman ninggalin ini. Dia ga nulis jurnal atau semacam itu. Tapi ayah bilang dia ninggalin wasiat."

"Wasiat?"

"Ya. 'Bila seseorang yang bisa membaca ukiran nisan telah muncul, berikan Pakaian Naga padanya'."

"Maksudnya itu jadi punyaku sekarang?"

"Ya. Ayah bilang ga papa ngasih itu ke kamu. Repot juga sih diurusin lagian... Besar dan ada beberapa orang yang nyembah-nyembah... tapi itu cuman ngumpulin debu di desa ini."

"Yah, aku ga akan ragu-ragu kalau gitu," kata Saito.

"Ayah juga ingin aku bilang sesuatu ke kamu."

"Dia bilang apa?"

"Dia bilang dia ingin kamu ngembaliin Pakaian Naga ke raja. Raja... Saya penasaran raja yang mana ya maksudnya. Kita bahkan ga tahu dari negara mana kakekku berasal..."

"Dia dari negaraku," kata Saito.

"Beneran? Jadi itu ya alasannya kamu bisa baca tulisan di batu nisan. Wow! Saya agak terharu. Kakek saya dari negara yang sama dengan Saito. Kayaknya takdir deh." kata Siesta linglung.

"Kalau gitu kakek memang beneran datang ke Tarbes pakai Pakaian Naga ini."

"Sebutannya bukan Pakaian Naga."

"Apa sebutannya di negara Saito?"

Melihat "Pakaian Naga", Saito ingat mainan rakitan yang ia rakit waktu masih kecil. Kenapa orang menyebutnya "Pakaian Naga"? Mungkin lebih gampang dimengerti dengan cara begitu. Sama halnya dengan "tongkat sihir kehancuran".

Dia melihat lambang negara yang tergambar pada kedua sayapnya dan pada bagian badannya. Titik merah. Sepertinya ada warna putih mengelilinginya tapi tertutupi oleh cat warna hijau tua yang digunakan pada sisanya. Tulisan tanda zodiak naga tertulis pada penutup mesin berwarna hitamnya. Mungkin itu nama regunya.

Saito merasa nostalgia sekali hanya dengan melihat benda tua dari dunianya sendiri.

Saito menjawab, "Namanya Zero tempur. Ini pesawat tempur yang digunakan dulu di negaraku."

"Zero tempur? Pesawat tempur?"

"Dengan kata lain, pesawat terbang."

"Ini pesawat? Yang kamu bilang sebelumnya?"

Saito mengangguk.


Hari itu, mereka semua menginap di rumah Siesta. Karena bangsawan menginap, bahkan kepala desa pun datang untuk menyambut mereka. Siesta memperkenalkan Saito pada keluarganya, ayahnya, ibu, dan saudara-saudaranya. Siesta putri tertua dari delapan bersaudara. Orang tuannya melihat Saito dengan pandangan keras pertamanya, tapi segera pecah ketika Siesta memberitahu mereka bahwa dia menjaganya di akademi. Tidak pulang setelah beberapa waktu, Siesta terlihat lumayan senang dikelilingi keluarga. Saito iri padanya. Waktu ia pikir-pikir, Louise, Kirche, Tabitha, dan Guiche semuanya punya keluarga. Dia juga punya, tapi dia tak bisa bertemu mereka seperti ini. Kalaupun dia ingin menemui mereka, dia tak tahu darimana harus memulai.

Malamnya, Saito menatap padang luas. Matahari sedang terbenam di belakang gunung jauh dari padang. Padang yang amat luas. Seperti yang Siesta telah katakan, bunga-bunga bermekaran dimana-mana. Jadi ini toh padang cantik yang Siesta ingin perlihatkan padaku.

Pilot yang terdampar di dunia ini dengan Zero tempur barangkali berusaha mencari jalan pulang dengan beterbangan di angkasa... Tapi bahan bakarnya habis dan dia mendarat di padang ini. Padangnya datar dan lebar, jadi mendarat disini mungkin mudah. Dia tak bisa terbang saat dia diminta karena dia kehabisan bensin.

Siesta datang ke Saito, yang masih menatap padang, tenggelam dalam kenangan dunianya. Dia mengenakan rok coklat, sepatu kayu, dan kemeja kancing hijau tua, bukannya pakaian maid biasanya. Seperti padang di depannya, penampilannya seperti bau sinar matahari.

"Kamu tuh disini ya! Makan malam sudah siap. Bapak bersikeras kita makan bareng." kata Siesta malu-malu.

"Saya memang minta kamu ngunjungin, tapi saya ga nyangka benar-benar kejadian."

Siesta merentangkan kedua lengannya ke padang luas di depan mereka. Matahari terbenam memandikan padang dengan cahaya indah.

"Padang ini indah bukan? Inilah apa yang saya ingin perlihatkan ke kamu, Saito."

"Ya, memang."

Siesta lalu mengerlingkan matanya ke bawah dan memutar-mutar jarinya.

Siesta lalu mengerlingkan matanya ke bawah dan memutar-mutar jarinya.

"Bapakku bilang bahwa pertemuan dengan orang yang datang dari negara yang sama dengan kakek pastinya itu takdir. Dia meminta kalau kamu bisa menetap di desa. Dan lalu berkata kalau bisa maka saya... bisa berhenti kerja di akademi dan kembali ke sini dengan kamu."

Saito tak menjawab. Dia hanya menatap langit. Dia berpikir baik sekali Siesta padanya. Kalau dia dia berkata hal-hal baik lebih banyak lagi padanya, hatinya barangkali akan meleleh. Dia merasa kesepian ketika dia melihat Siesta duduk dan mengobrol senang dengan keluarganya. Setelah melihat Zero fighter, homesicknya tumbuh makin kuat.

Siesta melihat Saito yang masih menatap langit dan tersenyum.

"Tapi ga papa. Saya tahu ga akan bisa. Kamu tuh kayak burung. Kamu terikat untuk terbang suatu hari nanti."

Saito lalu memutuskan untuk memberitahu Siesta kebenarannya.

"Kakekmu bilang dia datang dari timur, kan?"

"Mm...iya," kata Siesta, sedikit khawatir.

"Kakekmu, seperti aku, bukan lahir di dunia ini."

"Kamu lahir di Rub' al Khali di timur itu, kan?"

"Bukan. Ini lebih, lebih jauh lagi dari itu." kata Saito dengan nada serius. "Dunia lain. Aku bukan dari dunia ini."

"Kamu mainin aku, ya? Kalau kamu ga suka saya, bilang aja terus terang." kata Siesta, mencibir.

"Engga, sama sekali engga begitu. Aku ga mainin kamu."

"Apa ada orang yang nunggu kamu di sana?"

"Engga. Tapi keluargaku menunggu. Suatu hari aku harus ninggalin dunia ini sendirian."

Saito berpaling pada Siesta, dan berkata lemah, "Makanya aku ga bisa ngelakuin sesuatu yang kamu bilang."

Saito serius sekali. Siesta tahu dia sedang tidak bercanda.

"Aku bisa ngelindungin orang-orang dengan kekuatanku selama aku di sini. Tapi itu saja. Aku ga punya hak tinggal dengan siapapun. Aku engga punya."

"Tapi kakekku tinggal, kan?"

"Kakekmu ga punya kekuatan Gandálfr seperti aku. Sampai sekarang, udah banyak musuh, tapi aku ngalahin mereka dengan kekuatan ini. Aku merasa seolah-olah kekuatan ini memanduku."

"Kalau gitu... Saya bisa nunggu kamu? Saya ga bisa apa-apa, tapi saya bisa nunggu. Kalau kamu berusaha keras nyari jalan pulang dan kamu masih ga nemu, maka..."

Lalu Siesta jadi bungkam. Kalau itu beneran terjadi, aku bakal ngapain? pikir Saito. Debar jantungnya berpacu hanya dengan melihat Siesta. Dia manis, dan memukau tanpa memakai baju. Dia baik dan bahkan bisa masak. Dia gadis hebat. Semua alasan lagi kenapa dia tak bisa berjanji padanya.

Mendapatkan dirinya kembali, Siesta tersenyum.

"Burung hantu pos baru mengirimkan ini. Kayaknya guru-guru pada marah. Bu Zerbst dan Pak Gramont pucat. Mereka menyebutkan saya juga. Mereka bilang saya bisa liburan sekarang ini. Pernikahan Putri juga mau datang lagian. Jadi sampai liburan habis, saya akan di sini."

Saito mengangguk.

"Anu... jadi kamu bisa nerbangin Pakaian Naga?"

Dengan bensin, kali, pikir Saito.

"Aku ga yakin. Aku harus ngomongin ini ke seseorang dulu. Kalau aku memang bisa nerbangin itu, aku pengen pergi ke negeri-negeri di timur. Kakekmu terbang dari sana, kan? Pastinya ada semacam petunjuk di sana." kata Saito mengamati matahari terbenam.

"Beneran? Kalau kamu bisa bikin itu terbang, bakalan mengagumkan. Pakaian Naga disebut Zero tempur, kan? Kalau kamu bikin itu terbang, maka tolong ijinin saya naik itu sekali aja."

Saito mengangguk.

"Aku bisa biarin kamu naik itu sebanyak yang kamu mau. Lagian itu kan punya keluargamu awalnya juga."




Esok paginya, menggunakan beberapa koneksi ayah Guiche, Saito berhasil mendapatkan pelayanan beberapa penunggang dan naga mereka. Mereka membawa Zero tempur dengan jaring besar ke akademi.

Awalnya Guiche bertanya-tanya kenapa mereka membawa "Pakaian Naga" tiada guna ini, tapi karena Saito memaksa, dia mengalah. Biaya membuat jaring besar dan memanggil penunggang itu edan tingginya. Saito kesulitan karena jelas dia tak bisa membiayai ongkos transportasi. Namun, segera setelah Zero tempur tiba di halaman akademi, seseorang seketika itu juga muncul dan membayar ongkosnya. Dia adalah Pak Colbert.


Labotarium Pak Colbert

Pak Colbert berumur 42 tahun. Dia telah mengabdi di akademi selama 20 tahun. Dia penyihir yang dijuluki "Ular Api". Hobinya...atau lebih tepatnya, hidupnya, berpusat pada riset dan penemuan. Dia segera ke lapangan begitu melihat benda yang dibawa para naga dari lab risetnya. Keingintahuannya telah dipantik.

"Kalian, apa itu? Bisakah kalian menjelaskannya padaku?"

Wajah Colbert bersinar begitu dia memandangi Saito, yang tengah menyaksikan Zero Fighter diturunkan.

"Ah, sebenarnya saya ingin membicarakannya denganmu."

"Aku?"

Cobert terkejut. Siapa sebenarnya jelata muda ini? Yang dia tahu hanyalah bahwa dia familiar legendaris, Gandálfr, yang dipanggil oleh Nona Vallière. Lahir di Rub 'al Khali, dia satu-satunya orang yang menyebut penemuan Colber "Luar biasa".

"Ini disebut pesawat terbang, Di duniaku, mereka terlihat terbang dimana-mana,"

"Ini terbang!? Wow! Luar biasa!"

Colbert mulai mengamati bagian-bagian dari zero fighter dengan ketertarikan yang dalam.

"Apa ini sayapnya! Sepertinya ia tak bisa mengepak seperti sayap biasa! bagaimana dengan kincir ini?"

"Itu disebut baling-baling. Saat ia berputar ia membuat pesawat maju ke depan."

Dengan mata lebar karena kekaguman, Colbert mendekati Saito. "Oh, begitu! Saat ia berputar, ia mengeluarkan tenaga angin! Pembuatannya bagus sekali kan! Bisakah kau menerbangkannya untukku? Lihat, tangaku gemetaran saking penasarannya!"

Tak tahu harus gimana, Saito menggaruk kepalanya."Em,..untuk memutar baling-baling, aku butuh bensin."

"Bensin? Apa itu?"

"Itu yang ingin aku bicarakan denganmu. Kau tahu kelas dimana kau menunjukkan penemuanmu pada kami?"

"Ular senang?"

"Ya! Kau harus membakar mintyak untuk membuatnya bergerak kan?"

"Jadi kau butuh minyak? Itu masalah yang mudah diselesaikan!"

"Tidak, menurutku itu tak bisa. Ia harus bensin."

"Bensin? Hm...memang ada beberapa jenis minyak sih."

Saito tiba-tiba menyadari para naga menyeringai lebar pada mereka. Guiche berbisik di telinga saito. 'Maaf jika kau sibuk, tapi jika kau tak membayar biaya transportasi..."

"Kalian ningrat juga kan> Berhentilah terus mengumbar soal duit."

"Hei, tentara itu miskin tahu."

Saito tersenyum pada Colbert. "Pak Colbert, bisakah kau membayar biaya transportasi untuk saat ini?"


Lab Colbert terletak di daerah sempit antara menara pusat dan menara api. Ia lebih seperti gudang perahu tua.

"Mulanya, aku bereksperimen di kamarku sendiri, tapi bau dan suara datang secara alami dengan penelitian. Aku dikeluhi orang-orang sekitarku tak lama kemudian."

Rak kayu disesaki botol-botol obat, tabung uji, wadah berisi nostrum, dan yang seperti itu. Disebelahnya adalah dinding rak buku, disesaki buku-buku. Ada bola langit yang dibuat dari parkemen yang ditempel ke bola, dan berbagai peta lainnya. Ada kadal, ular dan burung yang tak pernah dilihatnya sebelumnya didalam kandang. Bau harum yang tak berasal dari debu maupun tanah mengisi seisi ruangan. Saito menjepit hidungnya.

"Kau akan segera terbiasa dengan baunya. Namun seorang wanita takkan, yang merupakan alasan mengapa aku sendiri."

Colbert duduk sambil menggumamkan jawaban pertanyaan yang tak ditanyakan padanya. Dia mencium bensin yang didapat dari dasar tangki bahan bakar zero fighter. Karena mantra keabadian dikenakan pada Zaro Fighter, bensin itu tak mengalami perubahan kimiawi apapun.

"Hmm...ini bau yang tak pernah kucium sebelumnya. Memberikan bau seperti ini bahkan tanpa pemanasan...Ini pasti mudah terbakar. Jika ini digunkan sebagai peledak, kekuatannya patut diwaspadai."

Dia meraih selembar perkamen didekatnya dan mulai mencorat-coret beberapa catatan.

"Jika aku memperbanyak minyak ini, pesawat itu bakal terbang?"

"Mungkin...Jika ia belum rusak."

"Menarik! mengadakan senyawa adalah hal sukar tapi kukan mencobanya!"

Bergumam pada dirinya sendiri, dia mengeluarkan seluruh macam zat dan menyalakan lampu alkoholnya.

"Kau dipanggil Saito kan?"

Saito mengangguk.

"Kau berkata di kota asalmu, ini bisa terlihat terbang dimana-mana? Teknologi dari tanah yang dkuasai para elf di timur sepertinya melebihi teknologi apapun di Halkegenia."

Entah mengapa Saito merasa jahat telah berbohong pada Colbert, yang telah lebih dari sekedar ingin membantunya mengandakan bensin dan juga telah membayar biaya transportasi.

"Pak Colbert, sebenarnya, aku...tidak dari dunia ini. Pesawat ini, dan juga 'Tongkat Kehancuran' yang menghancurkan golem Fouquet serta aku, dari dunia lain."

Tangan Colbert tiba-tiba berhenti. "Apa katamu?"

"Aku datang dari dunia lain."

Colbert terpaku menerawangi Saito lalu melanjutkan dengan menganggukkan kepalanya, bagai terkagum.

"Oh, begitu." bisiknya.

"Apa kau tak terkejutkan?"

"Ya..tentu saja aku terkejut. Tapi kau memang menujuk ke arah sana. Caramu bicara dan kelakuanmu memiliki rasa yang beda. Hm, ini menjadi semakin dan semakin menarik."

"Kau seorang yang aneh ya, Pak Colbert?"

"Aku disebut aneh oleh banyak orang. Aku bahkan belum menemukan seseorang yang akan menikahiku. Tapi aku memiliki suatu keyakinan."

"Suatu keyakinan?"

"Ya. Ningrat Halkegenia memperlakukan sihir semata-mata sebagai alat...seperti sebuah sapu, mereka hanya melihatnya sebagai alat yang berguna. Aku tak pikir sihir adalah sesuatu seperti itu. Sihir dapat digunakan untuk yang lebih dari itu. Daripada hanya ikut penggunaan biasa dari cabang yang berbeda dari sihir, jkita seharusnya mencoba untuk mencari cara-cara berbeda untuk menggunakannya."

Sambil mengangguk, Colbert melanjutkan. 'Setelah melihatmu, keyakinanku tumbuh semakin kuat. Siapa pernah terpikir ada dunia lain! Ini menunjukkan aturan di Halkegenia tidak mutlak! Menarik! Topik yang sangat menarik! Aku ingin melihat dunia ini. Kemungkinan ada banyak hal baru menunggu untuk disingkap! IA mungkin menambah sebuah halaman baru pada penelitianku! Jika kau punya pertanyaan, apapun itu, datang saja dan bicaralah denganku. Colbert Sang Ular Api akan selalu membantumu."


Di lapangan Austri, Saito tengah duduk di kokpit Zero fighter dan memeriksa bagiannya. Saat dia menggenggam tongkat kendali, atau bahkan saat dia hanya menyentuh sebuah tombol, tanda di tangan kirinya bersinar. Info akan mengalir ke otaknya, dan menceritakan kondisi bagian itu. Saat dia menggerakkan tongkat kendali, aileron sayap dan pengangkat di ekor bergerak dengan sebuah 'clank'. rudder ekor bergerak saat dia menginjak batang rudder dan sebuah penunjuk berbentuk silang muncul di panel gelas saat dia menekan tombol alat penglihatan di lembar alat. Mesin di kedua sisi badan pesawat masih hidup. Tanda Gandalfr yang bersinar menceritakan sedikit soal itu pada pemakainya. Sebuah senyum mengembang di bibir Saito.

"Rekan apa ini bisa terbang?"

"Ya."

"Sesuatu seperti ini terbang...duniamu sesuatu yang aneh."

Banyak siswa menonton Saito yang berada di dalam Zero fighter, tapi dengan cepat mereka kehilangan minat dan pergi. Hanya ada beberapa ningrat yang akan tertarik dengan ini, seperti Colbert, pikir saito. Tiba-tiba seorang gadis muncul, dengan bangganya dia menyisir rambut blonde pinknya dengan tangannya. Louise menatap Saito dan benda di mana dia bearada di dalamnya. Bagai menunjukkan dia marah, dia menunjuknya dan berkata, "Appan itu?"

Saito mengangkat kepalanya dari kokpit dan menjawab singkat, "Pesawat". Karena mereka masih belum berbaikan, dia mengatakan itu sambil membuang muka.

"Kalau begitu, turunlah dari pesawat itu." perintah Louise, memonyongkan bibir bawahnya sambil berkacak pinggang, Dia mengacuhkannya dan melanjutkan memeriksa bagian-bagian zero fighter. Louise memegangi ujung dari sayap dan mulai membuat Zero fighter bergoyang.

"Aku bilang turun kan?"

"Baiklah:. bisik Saito sabil turun dan menuju Louise.

"kemana kau pergi?"

"Berburu harta karun."

"Apa yang kau pikirkan, pergi tanpa bilang apa-apa pada tuanmu?"

Louise menyilangkan lengannya dan menatap Saito. Saito menyadari mata Louise membengkak.

"Bukankah kau memecatku?"

Louise menjatuhkan pandangannya dan bicara dengan nada bagaikan hendak menangis."Sepertinya kau berhak menjelaskan dirimu. Jika kau punya sesuatu untuk dikatakan, katakan sekarang."

"Apa yang harus dijelaskan? Aku tak melakukan apapun. Ini tentang Siesta kan? Siesta hendak jatuh jadi aku mencoba menangkapnya. Aku lalu terjatuh juga, membuatnya terlihat seperti aku telah mendorongnya ke tempat tidur."

Alasan sebenarnya adalah karena Siesta tiba-tiba mulai melepaskan pakaiannya, tapi demi kebaikan Siesta, dia tak bilang soal itu.

"JAdi, memang tidak ada yang terjadi?"

"Tidak ada. Mengapa kau begitu marah? Itu kali pertama dia datang ke kamar. Memang bisa hal seperti itu terjadi. Mengapa sih kau marah? Apa yang aku dan Siesta lakukan bukan urusanmu kan?" kata Saito.

Louise hanya berpikir aku adalah familiarnya. Satu-satunya alasan dia memperlakukanku lebih baik adalah karena kesadaran barunya soal kasih sayang pada binatang.

"Ia bukan urusanku, tapi dalam beberapa hal, ia adalah urusanku."

"Dalam hal apa?"

Louise menatap Saito dan mendengus. Louise menarik lengan baju Saito. Dia membisikkan hal-hal seperti "Hei, minta maaflah" dan "Mengapa kau dingin begini, kau membuatku khawatir:, tapi Saito tak memandangi Louise lagi. Dia tengah menerawangi Zero fighter. Louise telah tiba pada ujung keseimpulannya. Dia malu bahwa dia telah menutup diri di kamarnya dan ngambek. Dia mengeluarkan teknik mematikan yang telah dia simpan. Ia merupakan teknik rahasia seorang gadis, yang akan menyapu pergi seluruh kecurigaan, kemarahan, kontradiksi, dan bahkan fakta bahwa Louise mengeluarkan Saito. Dia meledak dalam tangis.

Berember-ember airmata mengalir dari matanya. "Kemana saja kau pergi selama ini! Tolol! Aku benci kau!"

Sambil terisak, dia mengusap airmata yang mengalir dengan punggung tangannnya.

"H-Hei, jangan menangis."

Panik, Saito menempatkan tangannya di bahu Louise. Louise menangis lebih keras. "Aku benci kau! Aku benci kau!"

Kirche menghampiri mereka, dengan membawa sebuah bulu ayam dan lap debu di tangannya. Karena mereka membolos pelajaran, hukuman mereka adalah mengelap bersih jendela-jendela akademi. Karena Saito bukan ningrat ataupun siswa di akademi, dia tak harus melakukan apa-apa. Guiche memandangi Saito, yang tengah menenangkan Louise, dan menyeringai, 'Kau tak bisa membuat tuanmu menangis begitu saja seperti itu."

Kirche berkata acuh tak acuh, "Sudah berbaikan? Itu tak seru..."

Tabitha hanya menunjuk keduanya dan berkata, "Setelah hujan datanglah cerah."


Malam itu...

Louise berbaring di kasurnya, erat memeluk bantalnya. Setelah Saito menanggalkan jaketnya, Louise menyelip masuk, seakan ia dikasih. Dia berusaha keras pura-pura membaca sebuah buku. Saito melihat sekeliling ruangan yang ditinggalkannya selama kira-kira seminggu. Peralatan meja tersebar dimana-mana.

"Jadi kau bolos dari pelajaran?"

Montmorency mengatakan soal itu saat mereka berpapasan di koridor. Montmorency bilang ke Louise bahwa dia telah bolos terlalu lama, tapi Louise mengabaikannya dan berjalan pergi. Louise menatap Saito, merasa agak tertekan. "Jadi kenapa?"

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Saito, yang tampaknya khawatir

Dia hendak mengatakan "Kau pukir ini salah siapa sehingga aku membolos pelajaran?" tapi harga dirinyalah yang menang. Sambil mengenakan selimut di atas kepala, dia menyusup masuk dibawahnya. Saito menggaruk kepalanya dan memandangi tumpukan jerami. Jadi dia tak membuangnya keluar, pikirnya, sambil memandang hangat pada Louise.

Tiga hari berlalu.

Colbert terbangun oleh kotekan ayam. Sepertinya dia terlelap tanpa menyadarinya. Dia telah membolos pelajaran dan menutup diri di lab selama tiga hari ini. Di hadapannya ada labu di atas lampu alkohol. Sebuah tabung gelas menjulur keluar darinya, yang membiarkan katalis yang terpanaskan mendingin dan menggumpal dalam beker di kiri. Ini adalah langkah terakhir. Colbert mencium bensin yang diterimanya dari saito dan mulai dengan seksama membaca mantra alkemi pada zat di beker sambil berkonsentrasi pada bau bensin. Sebuah gumpalan asap menyembul dari beker dan warna zat didalamnya berubah menjadi coklat kekuningan. Dia menciumya. Bau menyengat dari bensin menusuk hidungnya. Colbert membuka pinta dengan sebuah'duk' dan buru-buru keluar.

"Saito! Saito! Aku berhasil! Aku Berhasil! Aku berhasil menyelesaikannya!"

Kehabisan napas, Colbert menghampiri Saito, yang tengah memeriksa Zero fighter. Didalam botol anggur yang dijulurkannya, ada cairan coklat kekuningan, Saito membka tutup tanki bahan bakar, yang berada di depan perisai angin. Ada kuncinya, sehingga dia meminta Colbert menyihirkan sebuah mantra pembuka pada itu. Dia menuangkan dua botol bensin kedalamnya.

"Aku menganaisis komposisi minyak yang kau berikan padaku." kata Colbert dengan bangga.

"Ia sepertinya terbuat dari mikroba di fosil, sehingga aku mencari yang mirip. Aku memutuskan menggunakan fosil pepohonan...dengan kata lain, batubara. Aku merendamnya dalam sebuah katalis khusus dan mengekstrak komposisi yang mirip. Setelah menghabiskan berhari-hari untuk itu, aku membacakan mantra alkemi padanya. Dan itu merubahnya jadi..."

"Bensin kan?"

Colbert mengangguk dan membujuk Saito "Cepatlah, putar kincir itu untukku, Aku begitu bersemangat hingga aku tak sempat tidur."

Setelah mengisi tanki gas, Saito kembali ke kokpit. Info bagaimana menyalakan mesin dan menerbangkan Zero fighter mengalir ke otaknya. Untuk menyalakan mesin, baling-baling harus diputar dulu. Saito menyembulkan kepalanya dari perisai angin. "Pak Colbert, bisakah kau memutar baling-baling dengan sihir?"

"Kukira ia diputar dengan tenaga dari pembakaran minyak?"

"Untuk menyalakan mesin, tuas didalam mesti diputar secara manual dulu. Aku tak punya alat untuk memutar baling-baling, jadi , kalau bisa, mohon gunakan sihir."

Colbert mengangguk. Saito mulai mempersiapkan pesawat. Pertama, dia mnset sumber bahan bakar ke tanki yang baru saja dituangkannya bensin. Kemudian dia menst tuas rasio campuran dan kecepatan baling-baling pada keadaan optimal. Tangan Saito bergerak sendiri. Kekuatan Gandálfrnya melaksanakan semua operasi itu. Dia membuka flap tudung dan menutup tutup radiator pendingin minyak. Baling-baling bergemuruh begitu Colbert menggunakan sihirnya.

Dengan mata terbuka lebar, Saito menekan tombol penyala dengan tangan kanan pada waktu yang tepat. Tangan kirinya memegang tongkat kemudi, dibengkokkannya masju sedikit. Sebuah suara "darekdek" terdengat dan mesin mulai menyala setelah percikan dari colokan penyala. Saat mereka bergemeruh, baling-baling mulai berputar. Badan pesawat bergetar. Rem tak diinjak sehingga pesawar mulai majud engans endirinya. Colbert menonton dengan wajah tergerak. Setelah mengecek meteran-meteran mesin bergerak, Saito mematikan tombol penyala. Sambil melompat keluar dari kokpit, dia memeluk Colbert. "Pak Colbert, mesinnya nyala!"

"Ya, kita berhasil! Tapi mengapa ia tak terbang?"

"Bensinnya tak cukup. Untuk terbang, kita perlu paling tidak dima barrel."

"Itu banyak sekali! Tapi karena aku sudah melakukan begitu banyak, aku akan menyelesaikannya!"

Setelah Colbert kembali ke labnya, Saito melanjutkan penyesuaiannya. Dia tak punya alat apapun, sehingga dia hanya membersihkan bagian-bagian. Louise memanggil Saito yang tampak terikat dengan ini. "Hei, kini waktunya makan malam. Apa saja yang telah kau lakukan? Kini sudah gelap."

"Aku menyalakan mesinnya!" Teriak Saito senang.

Tapi Louise menjawab tak acuh. "Benar-benar deh. Bagus untukmu. Apa yang akan terjadi setelah kau mesin berjalan?"

"Ia terbang! Ia akan terbang!"

"Apa yang akan kau lakukan saat ia terbang?" tanya Louise dengan nada sendirian.

Saito menceritai Louise soal ide yang ada di pikirannya dalam dua-tiga hari ini. "Aku akan mencoba terbang ke timur."

"Timur? Aku tak percaya. Apa kau berkata kau hendak ke Rub' al Khali? Benar-benar, aku tak percaya!"

"Mengapa? Pemilik pesawat ini terbang dari sana. Aku mungkin bisa menemukan beberapa petunjuk untuk kembali ke duniaku sendiri." kata Saito, gemetar.

Louise tampaknya tak berminat sedikitpun. Dia menyahut dengan nada sendirian

"Kau familiarku. Kau tak bisa begitu saja melakukan apa yang kau mau. Dan, pernikahan putri diadakan lima hari lagi. Aku harus membaca sebuah prosa saat itu. Tapi aku belum terpikir sesuatu yang bagus untuk dikatakan."

Tertarik oleh Zero fighter, Saito mengangguk seakan dia mendengarkan. Begitu dia tahu ia bisa terbang, dia menjadi terikat olehnya. Louise menarik telinganya. Dia bosan. Saito belum pernah memperhatikanku sejak dia kembali dan malah hanya memandangi pesawat ini. "Dengarkan aku!"

"Aku mendengarkan!"

"Kau tidak. Kau melamun. Tiada familiar yang mendengarkan tuannya sambil membuang muka!"

Louise menyeret Saito kembali ke kamarnya.


Louise membuka Buku Do'a Sang Pendiri di hadapan Saito. "Aku akan membacakan apa yang kupikir sudah siap untuk diprosakan."

Dengan sebuah dehem lucu, Louise mulai membaca prosanya. "Di hari nan indah inmi, Saya, Louise Françoise Le Blanc de la Vallière, berdoa untuk kehadiran nan suci dari Sang Pendiri, akan membacakan prosa yang diberkahi..."

Kemudian, Louise berhenti,

"Lanjut?"

"Dari sini dan seterusnya, aku harus memberikan terima kasih pada keempat cabang sihir, Ia harus puitis dan berirama..."

"Jadikan sajalah berirama."

Louise memanyunkan bibirnya seakan dia ngambek, 'Aku tak bisa memikirkan apapun. Menuliskannya secara puitis adalah nyeri di leheku. Aku bukan seorang pujangga atau semacamnya."

"Tak apa, bacakan saja apa yang telah kau tulis disana."

Dengan wajah tertekan, dia membacakan baris "puitisnya. "Um, api adlaah panas, kau harus berhati-hati."

"'Kebutuhan' tak puitis, Kau mungkin seharusnya mengingat itu."

"Diamlah. Saat angin berhembus, mereka yang menjual barrel beruntung."

"Mengapa kau menggunakan kata itu disini?"

Louise, yang tampaknya tak memiliki bakat puitis sedikitpun, melemparkan dirinya ke kasur seakan ngambek dan berbisik, "Aku akan tidur."

Sebagaimana biasa, dia berganti pakaian sambil menyembunyikan tubuhnya di bawah selimut. Setelah mematikan lampu, dia memanggil Saito, yang suah menyelami tumpukan jeraminya. "Aku bilang tidur di kasurku, kan?"

Jantung Saito mulai berdegup kencang. 'Benarkah? Tak apa-apa?"

Louise tak membalas. Saito menyusup ke kasur karena pikir dia akan marah bila dia tak melakukan apa yang diperintahkan padanya. Louise masih bangun. Dia membuka mulutnya, seakan dia ingin biacara pada Saito. "Jadi, kau benar-benar akan ke tanah timur?"

"Ya." jawab Saito.

"Ia berbahaya, tahu. Para elf membenci manusia..."

"Tapi manusia hidup di daerah yang lebih jauh lagi dari tanah para elf kan? Seperti tempat yang disebut Rub' al itu."

"Sifat manusia itu berbeda jauh. Ia akan berbahaya."

Sepertinya Louise khawatir soal mempersilahkan Saito pergi.

"Kau masih akan pergi?"

Saito memikirkannya sebentar lalu mengangguk "Yah, aku mungkin bisa menemukan petunjuk untuk kembali pulang."

Louise bergerak-gerak dibawah selimut. Saat Saito membayangkan apa yang tengah dilakukannya, dia mengistirahatkan kepalanya di dada Saito. "Wha-"

"Aku hanya menggunakannya sebagai pengganti bantalku!" kata Louise dengan nada ngambek dan marah.

"Apa kau masih akan pergi bahkan bila aku bilang tidak?"

Saito diam saja.

"Kuberpikir sama..."bisik Louise.

"Ini bukan duniamu kan?...tentu kau hendak kembali."

Rambut Louise memiliki keharuman yang memikat. Suara napasnya juga dekat. Keduanya hening. Saito memikirkan banyak hal. Saito tak berbicara, dan Louise tak tahu apalagi yang harus dikatakan, jadi dia hanya memeluk erat dada Saito.

"Aku tak ingin kau pergi. Saat kau disampingku, aku bisa tidur tanpa khawatir apapun. Kau membuatku marah..." kata Louise dengan suara pelan sambil memeluk saito.

Sepertinya mata yang membengkak itu karena dia tak tidur pikir Saito. Sesaat kemudian, napas Louise yang teratur, seperti anak-anak, dapat terdengar dekat dada Saito. Dia tidur lelap. Louise tampak begitu manja sehingga membuat hati Saito berdegup. Sepertinya dia tak enak kalau aku tak ada. Yah, aku ini kan familiar. Sambil mendengarkan napas Louise, Saito tengah berpikir keras dan dalam. Dia memikirkan orang-orang yang dia temui di dunia ini. Dia telah bertemu begitu banyak orang dalam beberapa bulan di Halkegenia. Ada orang jahat, tapi juga orang baik.

Ada Marteau dari dapur yang memberikannya makan.

Osman, yang bilang padanya bahwa dia akanmemberikannya bantuan bila dia perlu pertolongan.

Colbert, yang dengan senanghati mengadakan bensin untuknya.

Si arogan dan terkadang menyakitkan, tapi bersahabat dengan kualitasnya sendiri. Guiche.

Bukan seorang manusia tapi sebuah pedang, rekan yang diandalkannya, Deflinger.

Henrietta, sang putri nan cantik.

Pemberani...dan mati karenanya, Pangeran Wales.

Tabitha, si pendiam tapi orang yang telah menyelamatkannya beberapa kali.

Kirche si penggoda, yang bilang dia suka Saito, meski mungkin itu lelucon.

Sista, pelayan yang lucu dan baik...yang mungkin memiliki rasa padanya.

Dan terakhir, tuannya di sebelahnya, yang membuat hatinya berdegup. Arogan dan sombong, tapi yang terkadang menunjukkan kelembutan yang melelhkan hatinya. Louise. Gadis dengan rambut blonde pink dan mata besar yang coklat kemerahan.

Saat waktuku pulang datang, apa aku bisa meninggalkan orang-orang ini dengan sebuah senyum di wajahku?

Apa aku bisa meninggalkan Louise dengan sebuah senyum?

Aku tak tahu.

Tapi...Saito berpikir

Orang-orang yang telah begitu baik padaku, aku ingin lakukan yang terbaik yang kubisa untuk mereka.

Setidaknya selama aku di dunia ini, aku ingin melakukan sesuatu untuk mereka.

Dia belum pernah merasa seperti ini sebelumnya.

Untuk sekarang, Saito memeluk kepala Louise dengan lembut.

Louise mendesah dalam tidurnya.


Deklarasi Perang



Raja Germania, Albrecht Ketiga, telah mengatur upacara pernikahan Putri Henrietta supaya diadakan di ibukota Germania, Vindobona. Tanggal upacara: hari pertama bulan Nyuui.

Saat ini, kapal utama Mercator dari armada Tristain mau menyambut para tamu dari pemerintahan Albion Baru dengan memimpin mereka ke La Rochelle, dimana mereka akan berlabuh di langit di atasnya.

Panglima Tertinggi armada, Count La Ramée, duduk di geladak berpakaian formal. Di sebelahnya, Kapten Fevisu mengelus-ngelus kumisnya. Sudah lewat jauh dari waktu yang dijanjikan.

"Mereka telat sekali ya, Kapten."

Kata La Ramée dengan suara jengkel.

"Anjing-anjing Albion itu, yang membunuh raja mereka dengan tangan mereka sendiri barangkali sekarang ini masih sibuk bertingkah seperti anjing."

Kelasi di geladak atas tiba-tiba memberitahunya ada armada mendekat dengan suara lantang.

"Armada! Dari kiri!"

Dengan kapal besar memimpin di depan, yang dapat dengan mudah dikelirukan sebagai awan, armada Albion mulai turun.

"Jadi itu toh standar armada 'Daulat Kerajaan'nya Albion..." kata si kapten, mengamati kagum kapal besar itu.

Itu adalah kapal yang akan ada duta besar di dalamnya.

"Sesuatu yang tak seorangpun akan mau temui dalam medan perang, pastinya itu."

Armada Albion turun sampai mereka sama tingkatan dengan armada Tristain. Kapal Albion mulai mengirimkan pesan-pesan dari tiang kapal.

"Kami berterima kasih atas penyambutan armada kalian. Ini kapten Lexington dari negara Albion."

"Kami punya laksamana di atas kapal! Menggunakan kapten untuk berhubungan... kita diperlakukan seperti orang dungu" kata kapten tersinggung, sambil melihat barisan kapal-kapal lemah Tristain.

"Mereka barangkali berpikir kalau dunia ada dalam genggaman mereka sekarang karena mereka punya kapal itu. Jawab mereka dengan 'Kami berikan pada kalian sambutan kami yang paling hangat. Ini Panglima Tertinggi armada Tristain.'"

Kata-kata La Ramée disampaikan ke kelasi yang berdiri di tiang kapal. Bendera isyarat untuk pesan telah diangkat.

Armada Albion menembak meriam mereka untuk pemberian hormat. Tak ada peluru dalam meriam, mereka hanya membiarkan mesiunya meledak.

Walau armada Lexington hanya melakukan penghormatan meriam, udara disekitarnya bergetar. La Ramée mundur sedikit. Walaupun ia tahu bahwa amunisi betulan takkan mungkin bisa mencapai jarak yang memisahkan mereka, kekuatan meriam-meriam armada Lexington dapat membuat mundur laksamana yang berpengalaman.

"Tembak meriam kita sebagai balasan."

"Berapa peluru kita tembak? Untuk bangsawan tinggi, sebelas dibutuhkan."

Jumlah peluru yang ditembakkan tergantung pangkat dan status sosial orang tersebut.

"Tujuh bisa," perintah La Ramée mengamati dengan seringai di wajahnya seperti anak keras kepala.

"Siapkan meriamnya! Tujuh tembakan, satu persatu! Tembak ketika sudah siap!"



Di geladak belakang Lexington, Kapal utama armada, Bowood sedang melihat armada Tristain. Di sebelahnya adalah Sir Johnston, Panglima Tertinggi, bertanggung jawab untuk seluruh satuan invasi. Sebagai anggota majelis bangsawan, Cromwell amat percaya padanya. Namun, dia tak punya pengalaman. Dia itu politikus mau bagaimanapun juga.

"Kapten..." kata Johnston ke Bowood dalam suara khawatir.

"Sir?"

"Tak apa-apa terlalu dekat dengan mereka? Kita dilengkapi dengan meriam jarak jauh, kan? Beri jarak antara kita. Yang Mulia mempercayakan saya dengan tentara yang penting."

"Boneka Cromwell, ya..." bisik Bowood dingin pada dirinya sendiri.

"Ya kita memang punya meriam model baru, tapi bila kita tembak mereka dari jarak maksimum, pelurunya takkan kena."

"Tapi saya memikul tugas Yang Mulia yaitu menurunkan tentara-tentara itu dengan selamat di Tristain. Kita tak bisa punya tentara takut. Semangat tempur mereka akan jatuh."

Aku pikir bukan tentara yang takut... pikir Bowood.

Mengabaikan Johnston, dia mengeluarkan perintah baru. Tiada hukum yang mengatur angkasa, memang.

"Siapkan meriam kiri."

"Siap pak! Siapkan meriam kiri!"

Kelasi di geladak mulai mengisi meriam dengan mesiu dan peluru.

Deru bergemuruh dapat terdengar dari armada Tristain, yang diarahkan ke langit. Tristain sedang mengembalikan penghormatan meriam.

Rencana pertempuran telah dimulai.

Di saat itu, Bowood telah berubah menjadi prajurit. Detail-detail politik, perasaan manusianya, kepengecutan dan permainan curang operasi ini semuanya telah terlupakan. Sebagai kapten armada Lexington dari Repulik Albion Suci, dia terus-menerus mengeluarkan perintah.

Kru kapal tua Hobart, yang mengekor di belakang armada, telah menyelesaikan persiapan mereka, dan mulai evakuasi dengan perahu yang mereka buat melayang dengan mantra "Terbang".

Kejadian mengejutkan terbentang di depan kedua mata La Ramée. Kapal yang mengekor di belakang... yang tertua dan salah satu kapal terkecil telah mulai membara dalam api.

"Apa? Api? Apa itu kecelakaan?" bisik Fevisu.

Di jenak berikutnya, hal mengejutkan lain telah terjadi. Kapal yang tertelan api meledak di udara.

Kapal Albion telah dimusnahkan dan jatuh menghantam tanah.

"A-Apa ini? Apa api kena gudang amunisi?"

Mercator gempar.

"Tenang! Tenang!" teriak Fevisu pada para kelasi.

Bendera isyarat terlihat dari Lexington. Seorang kelasi mulai membaca sinyal dengan teropong.

"Dari kapten armada Lexington. Jelaskan maksud di balik tenggelamnya Hobart."

"Tenggelam? Ngomong apa dia? Meledak sendiri kok!"

La Ramée panik.

"Kirim jawaban. 'Api dari kapalku adalah tanggapan untuk penghormatanmu. Tembakannya tak berisi peluru betulan.'"

Jawaban segera terkirim oleh Lexington.

"Kapalmu menyerang pakai amunisi betulan. Kami akan mengembalikan niat berperangmu."

"Omong kosong!"

Seruan La Ramée tenggelam oleh bombardir dari Lexington.

Benturan. Tiang kapal Mercator patah dan beberapa lubang telah terbikin di geladak.

"Gimana bisa meriam mereka sampai di jarak sebegini jauhnya?!" kata si tercengang Fevisu pada geladak goyah.

"Kirim pesan! 'Gencatan senjata, kami tak punya niat berperang.'"

Lexington menjawab dengan berondongan peluru meriam.

Benturan. Kapal bergoncang dan api telah mulai muncul disana-sini.

Seperti pekikan, pesan Mercator berulang terus dan terus.

"Kami ulangi! Gencatan senjata! Kami tak punya niat berperang!"

Api Lexington menunjukan tiada tanda berhenti.

Benturan. Tubuh La Ramée dikirim terbang keluar dari pandangan Fevisu.

Goncangan benturan telah melempar Fevisu ke lantai. Tiba-tiba ia menyadari bahwa penyerangan ini semua telah direncanakan. Mereka tidak pernah punya maksud apapun untuk "kunjungan bermaksud baik" sama sekali. Mereka semua telah diperdaya oleh Albion.

Kapal mulai berkobar dan para kelasi yang terluka mengerang kesakitan. Menggelengkan kepalanya sambil berdiri, Fevisu membentak, "Panglima Tertinggi sudah gugur! Kapten kapal utama sekarang mengambil alih armada! Laporan kerusakan! Maju dengan kecepatan penuh! Siapkan meriam kanan!"


"Jadi mereka akhirnya sadar." kata Wardes, yang berdiri di samping Bowood, saat dengan santainya dia mengamati armada Tristain. Wardes juga yakin Panglima Tertinggi, Johnston, tak pantas akan titelnya dan takkan bisa berbuat apa-apa. Wardes secara efektif, adalah perwira komandan.

"Tampaknya begitu, Viscount. Namun, tampaknya kita akan menang sebentar lagi."

Armada Albion, yang mempunyai keunggulan dalam mobilitas, telah bertindak untuk menekan serangan penuh armada Tristain.

Armada Albion tetap menjaga jarak, dan terus menembak meriam mereka. Armada mereka dua kali lebih banyak dari Tristain dan sebagai tambahan mereka punya Lexington besar itu, yang memiliki meriam model baru. Tiada kontes dalam kekuatan menembak.

Seakan-akan mereka menyiksa armada Tristain, armada Albion terus menembak. Mercator, yang sudah terbakar, mulai condong. Seketika itu juga, Mercator meledak dengan gemuruh yang memekakkan. Tak ada kapal armada Tristain yang tak rusak. Armada tersebut dilempar ke dalam kekacauan dengan kalahnya kapal utama.

Kehancuran mereka hanya masalah waktu sekarang. Kapal-kapal dapat terlihat sudah mengibarkan bendera putih mereka.

Di Lexington, seruan "Hidup Albion! Hidup Raja Suci Cromwell!" dapat terdengar. Bowood mengernyitkan kedua alisnya. Di masa tentara Kerajaan Udara, tak ada yang bilang sesuatu seperti "Hidup begini dan begitu" waktu pertempuran. Bahkan si panglima tertinggi, Johnston telah bergabung.

"Kapten, halaman baru sejarah telah dimulai." kata Wardes.

Seakan-akan berduka akan musuhnya, yang tak punya kesempatan menjerit akan rasa sakit, Bowood berbisik, "Tidak, hanya perang yang telah dimulai."



Segera setelah berita tentang seluruh armada Tristain di La Rochelle telah disapu bersih waktu tiba, pernyataan perang dideklarasikan oleh Albion. Albion menyalahkan Tristain karena melanggar pakta non-agresi dengan menyerang armada mereka tanpa alasan, dan menyatakan "Sebagai tindakan pertahanan diri, Republik Suci Albion akan menyatakan perang pada Kerajaan Tristain."

Istana, yang disibukkan oleh keberangkatan Henrietta untuk Germania, dilempar ke keadaan yang membingungkan dari pembalikan kejadian ini.

Para Jendral, mentri kabinet dan petugas pemerintah lainnya langsung mengadakan rapat. Tapi rapat tersebut sedikit lebih dari kekacauan yang tak tertib. Pendapat-pendapat bahwa mereka seharusnya menyelidiki Albion tentang keadaan kejadian-kejadian tersebut, atau bahwa mereka seharusnya mengirimkan kurir meminta bantuan dilempar.

Duduk di kursi rapat kehormatan adalah Henrietta yang syok. Dia mengenakan gaun pengantin cantik yang baru saja selesai. Tadinya ia berencana untuk menuju ke Germania dengan kereta kuda setelah gaunnya selesai.

Dia seperti bunga mekar di ruang rapat. Tapi bahkan tak seorangpun yang menyadari.

"Albion menyatakan bahwa armada kitalah yang menyerang mereka pertama! Namun armada kita berkata bahwa mereka hanya melakukan penghormatan meriam."

"Kecelakaan dapat mengakibatkan kesalahpahaman."

"Mari kita adakan rapat di Albion untuk menyelesaikan ini! Barangkali masih ada kesempatan untuk meluruskan kesalahpahaman ini!"

Sementara bangsawan-bangsawan berkuasa menyatakan pendapat-pendapat mereka, Kardinal Marazini mengangguk.

"Benar. Kirim iring-iringan khusus ke Albion. Kita akan mendekati ini secara waspada, sebelum berubah menjadi perang total hanya karena kesalahpahaman semata."

Pada saat itu, laporan mendesak datang.

Kurir membawa surat dari burung hantu pos, terburu-buru masuk ke dalam ruang rapat.

"Laporan mendesak! Setelah mendarat, armada Albion sudah mulai merebut wilayah!"

"Dimana mereka mendarat?"

"Pinggiran La Rochelle! Sepertinya padang Tarbes!"



Di taman rumah orang tuanya, Siesta memeluk saudara-saudara kecilnya, mengamati langit dengan wajah cemas. Ledakan terdengar tak lama sebelumnya dari arah La Rochelle. Terkejut, ia keluar ke taman dan melihat pemandangan mengerikan di angkasa. Sejumlah banyak kapal terbakar dan tenggelam, menubruk permukaan gunung dan jatuh ke tengah-tengah hutan.

Desa ada dalam keadaan bingung. Sejenak kemudian, kapal besar turun dari langit. Kapalnya, begitu besar sampai-sampai dapat dikelirukan sebagai awan, menjatuhkan jangkarnya di padang desa.

Sejumlah banyak naga terbang keluar darinya.

"Kak, ada apa ini?" tanya adik-adiknya.

"Ayo masuk ke rumah," desak Siesta, menyembunyikan ketakutannya.

Di dalam rumah, orang tuanya melihat keluar jendela dengan ekspresi kesulitan.

"Bukannya itu armada Albion?" kata ayahnya, melihat kapal membuang sauhnya di padang.

"Jangan-jangan... perang?"

Ayahnya menggelengkan kepalanya.

"Tak mungkin itu. Kita punya pakta non-agresi dengan Albion. Lord menyatakan itu baru-baru ini."

"Kalau gitu kenapa langit penuh dengan kapal tenggelam?"

Naga-naga yang terbang di atas kapal menuju ke arah desa. Ayahnya menggenggam istrinya dan menghindari jendela. Dengan seruan keras, naga-naga tersebut turun ke desa dan membakar rumah-rumah.

Ibunya menjerit. Rumah menyala dan kaca jendela tersebar kemana-mana. Desa dipenuhi kobaran api, gemuruh naga, dan jeritan orang-orang. Membawa ibu tak sadarkan dirinya, ayah berpaling pada Siesta, yang gemetaran.

"Siesta! Bawa saudara-saudaramu dan lari ke hutan!"



Menunggang naga angin besar, senyum tersungging pada wajah Wardes saat ia menginjak-injak negara asalnya. Para penunggang di bawah perintahnya menaiki naga api. Naga angin tak dapat menandingi naga api dalam hal kekuatan, tapi melebihi naga api dalam kecepatan. Dia memilih naga angin hanya karena dia sedang memimpin. Untuk membuka jalan untuk kekuatan utama, Wardes tanpa ampun membakar desa. Di belakang, para tentara berjatuhan satu demi satu dengan tali dari Lexington. Padang tersebut memang tempat yang amat strategis untuk tentara penginvasi.

Dari arah padang, lusinan tentara Lord yang bertetangga sedang maju menyerang. Tentara Tristan akan membuat ancaman yang berarti bagi tentara-tentara yang sedang keluar di padang. Wardes mengisyaratkan anak buahnya untuk menghancurkan kekuatan kecil lawan. Berondongan sihir api keluar dari para naga tapi tetap, tentara Tristan dengan ganasnya maju ke depan. Kekuatan nekat tersebut sama sekali hancur oleh api naga.



Lewat tengah hari. Laporan kejadian tersebut menyerbu masuk ruang konferensi.

"Lord Tarbes gugur dalam pertempuran!"

"Pengintai yang dikirim untuk mengintai pada penunggang belum kembali!"

"Kita masih belum menerima tanggapan dari Albion akan penyelidikan kita!"

Diskusi tak berarti kembali terulang dalam ruang konferensi.

"Kita mesti minta bantuan dari Germania!"

"Memperburuk masalah seperti itu akan..."

"Gimana kalau menyerang mereka dengan seluruh kekuatan penunggang kita?"

"Kumpulkan kapal-kapal yang tersisa! Semuanya! Tak perduli sebagaimana tua atau kecilnya!"

"Mari kita kirim iring-iringan khusus! Menyerang mereka hanya memberi mereka alasan untuk terlibat dalam perang total!"

Rapat tak dapat mencapai kesepakatan. Mazarini kesulitan dalam mencari kesimpulan juga. Dia masih berharap ada jalan untuk mengatasi masalah ini dengan cara diplomasi.

Diantara debat yang memanas, Henrietta melihat ruby angin yang ia pakai pada jari cincinnya. Itu adalah kenang-kenangan dari Wales. Dia diingatkan oleh wajah pria yang ia percayakan dirinya padanya.

Bukankah aku bersumpah akan cincin ini waktu itu?

Bila Wales sayangku mati dengan berani maka... akupun seharusnya hidup dengan berani.

"Tarbes berkobar dalam api!"

Dia terkejut pada suaranya sendiri tapi cepat-cepat mendapatkan ketenangan dirinya. Dengan nafas dalam, ia berdiri. Semuanya melihatnya. Henrietta berbicara dengan suara bergetar.

"Bukankah kalian semua malu pada diri kalian sendiri?"

"Putri?"

"Wilayah kita sedang direbut oleh musuh. Ada sesuatu yang perlu kita lakukan sebelum cekcok soal aliansi dan iring-iringan khusus, bukan?"

"Tapi... putri... Ini hanya tekanan yang disebabkan oleh kesalahpahaman."

"Kesalahpahaman? Bisa-bisanya kamu masih bilang begitu? Menenggelamkan kapal waktu penghormatan meriam itu sedikit ekstrim, bukan?"

"Kita telah menandatangani pakta non-agresi. Itu kecelakaan."

"Dan pakta tersebut dirusak semudah kertas. Mereka tak berniat mematuhi pakta tersebut. Itu hanya kebohongan demi memperpanjang waktu. Tindakan Albion dengan jelas menunjukan bahwa mereka memang punya niat untuk berperang."

"Tapi..."

Henrietta menggebrak meja dan mulai membentak.

"Darah rakyat kita sedang ditumpahkan sementara kita melakukan ini! Bukankah tugas para bangsawanlah untuk melindungi mereka? Untuk alasan apa kita memikul nama-nama kerajaan dan bangsawan? Bukankah mereka membiarkan kita menguasai mereka jadinya kita bisa melindungi mereka di saat-saat seperti ini?"

Semua orang terkelu. Henrietta lanjut dengan suara dingin.

"Kalian semua takut, bukan? Lagipula Albion memang negara besar. Bila kita menyerang balik, kesempatan kita menang itu kecil. Apa itu karena kalian pikir kalian akan bertanggung jawab sebagai salah satu pemimpin serangan balik setelah pentempuran kalah? Kalian semua berencana untuk sembunyi disini untuk memperpanjang hidup kalian?"

"Putri," sela Mazarini.

"Namun," Henrietta melanjutkan.

"Aku akan maju ke depan. Kalian bisa melanjutkan rapat kalian di sini."

Henrietta menyerbu keluar dari ruang konferensi. Mazarini dan sejumlah bangsawan berusaha untuk menahannya kembali.

"Putri! Anda seharusnya istirahat sebelum pernikahan anda!"

"Ugh! Susah bener lari pakai ini!"

Henrietta merobek gaun pengantinnya sehingga gaunnya di atas lututnya dan melempar kain sobekannya ke wajah Mazarini.

"Mungkin kamu yang bisa nikah."

"Kereta kudaku dan pengawalku! Sini!" bentaknya waktu dia mencapai halaman.

Kereta kudanya dibawakan, ditarik oleh hewan suci, unicorn.

Regu pertahanan sihir yang tersisa di halaman langsung berkumpul pada panggilan Henrietta.

Dia membuka ikatan salah satu unicorn dan menungganginya.

"Aku akan memimpin pasukan! Resimen, berkumpul!"

Sadar akan situasi, setiap tentara menghormat secara serempak.

Henrietta memukul perut unicorn.

Dengan anggunnya unicorn itu menaikkan kukunya tinggi di bawah sinar mentari dan pergi.

"Ikuti putri!" teriak para tentara sambil mengikuti Henrietta, menaiki hewannya.

"Ikuti! Tunda membawa malu pada nama keluarga!"

Para bangsawan di halaman lari keluar. Kata-kata tersebar ke seluruh resimen yang tersebar di kota.

Mengamati ini dengan linglung, Mazarini melihat angkasa.

"Saya tahu kita akan berperang dengan Albion suatu hari, walaupun dengan usahaku, tapi... negara kita belum siap."

Dia tak khawatir akan hidupnya sendiri. Ia mengkhawatirkan negaranya dengan jalannya sendiri, dan demi rakyat, dia telah membuat keputusannya. Kalaupun itu berarti sedikit pengorbanan, ia tak mau terlibat dalam pertempuran kalah.

Tapi, seperti yang putri bilang. Usahanya dan ketaatannya akan diplomasi telah menguap. Untuk apa terus bergantung padanya? Masih ada hal yang harus diurus pertama.

Salah satu bangsawan kelas atas berbisik pada telinga Mazarini.

"Kardinal, soal iring-iringan khusus..."

Mazarini menampar wajah si bangsawan dengan topinya. Dia menggelungkan sobekan gaun pengantin, yang Henrietta telah lemparkan padanya, di kepalanya.

"Kalian semua! Ke kuda kalian! Bila kita biarkan putri pergi sendirian, kita selamanya akan dipermalukan!"



Bab 10 - Sang Void


Berita deklarasi perang telah mencapai Akademi Sihir Tristain hari berikutnya. Kontak telah ditunda karena rusuh di istana. Louise, bersama saito, tengah menunggu di gerbang Akademi Sihir untuk sebuah kereta dari istana. Namun, hanya seorang utusan yang kehabisa napas yang tiba di akademi di pagi berkabut itu. Utusan itu menanyakan mereka dimana ruangan Osman, dan berlari cepat meninggalkan mereka setelah menerima jawabannya. Kejadian yang tak biasa ini menyebabkan Louise dan Saito saling memandang. Merasa sesuatu telah terjadi di istana, keduanya berlari mengejar sang utusan. Osman tengah sibuk dengan persiapan untuk upacara pernikahan. Dia akan meninggalkan akademi selama seminggu sehingga dia tengah menyusun berbagai dokumen dan mengepak barang-barangnya,

Sebuah ketokan keras datang pada pintunya.

"Siapa?"

Utusan dari istana menyerbu masuk kedalam ruangan sebelum Osman selesai berbicara.

"Melapor dari istana! Albion telah mengumumkan perang pada Tristain! Pernikahan putri telah ditunda hingga pemberitahuan lanjutan! Tentara kini menuju La Rochelle! Untuk alasan keamanan, sebuah perintah dikeluarkan, menyatakan bahwa seluruh murid dan pengurus berlindung di benteng!"

Wajah Osman memucat. "Sebuah deklarasi perang? Akan ada pertempuran?"

'Ya! Kekuatan musuh telah berkamp di ladang-ladang Tarbes dan menatap kekuatan kita didekat La Rochelle."

"Tentara Albion pasti sangat kuat,"

Sang utusan membalas dengan nada sedih."Kekuatan musuh berjumlah lusinan dan dipimpin sebuah kapal perang besar bernama Lexington. Jumlah keseluruhan prajurit diperkirakan 3.000. Angkatan udara utama kita telah dihancurkan, dan menghitung jumlah seluruh prajurit kita, kita hanya punya sekitar 2.000. Kita tak siap perang, jadi hanya segitu yang bisa berangkat. Namun, yang terburuk adalah mereka punya dominasi udara nan sempurna. Prajurit kita pasti diserpihkan oleh meriam-meriam mereka."

"Bagaimana situasi terkini?"

"Para dragoon musuh membuat kebakaran di desa Tarbes...Kami meminta bantuan dari Germania, tapi mereka bilang mereka bisa datang paling cepat paling 3 minggu..."

Osman mendesah dan berkata."...Mereka berencana meninggalkan kita. Selama itu, kota-kota Tristain akan jatuh cepat ke tangan musuh."


Dengan telinga mereka ditekankan pada pintu ruangan kepsek, Louise dan Saito saling memandang, Wajah Louise memucat saat perang dsebutkan, dan Saito memucat saat Tarbes disebutkan. Bukankah itu desa Siesta? Saito beranjak dan berlari. Louise panik dan mengikutinya, Saito emncapai Halaman depan dan mulai mendaki masuk Zero fighter. Louise memeluk pinggangnya dari belakang. "Kemana kau hendak pergi?!"

"Ke Tarbes!"

"Mengapa?!"

"Bukankah sudah jelas?! Aku akan menyelamatkan Siesta!"

Louise mencengkram lengannya dan mencoba membuatnya terlepas, tapi dia dengan erat berpgang.

"Tak bisa! Ini Perang! Bahkan jika kau pergi, ia takkan membuat perbedaan!"

"Aku punya Zero fighter ini. Musuh menyerang dengan kapal perang itu kan? Ini juga bisa terbang, Aku akan memikirkan jalannya."

"Apa yang bisa kau lakukan dengan mainan seperti ini?!"

"Ini bukan mainan."

Saito mencengkram sayap Zero fighter dengan tangan kirinya. Tandanya bersinar. "Ini adalah sebuah senjata dari duniaku. Ini alat untuk membunuh orang. Ini bukan sebuah mainan."

Louise menggelengkan kepalanya. "Apapunlah, tak peduli ini senjata dari duniamu atau bukan, tak mungkin kau bisa menang melawan kapal-kapal perang yang begitu besar itu? Kau tak bisa membuat perbedaan! Tinggalkan ini pada para prajurit!" kata Louise yang menatap mata ke mata pada Saito.

Orang ini...familiar cerobaoh ini tak tahu apapun tentang perang, pikir Saito. Ini berbeda dari perjalanan mereka ke Albion. Medan pertempuran adalah sebuah tempat yang berisi kematia dan kehancuran, jika seorang amatiran pergi, ia hanya akan menghasilkan kematiannya.

"Dia bilang angkatan udara Tristain telah disapu bersih kan?"

Saito pelan-pelan menepuk Louise di kepala dan berbicara dengan nada rendah. "Ia mungkin tak berarti apa-apa. Aku tak bisa membayangkan kapal-kapal perang itu. Tapi..."

"Tapi apa?"

Aku tak sepenuhnya mengerti, tapi aku telah menerima kekuatan familiar legendaris ini. Jika aku hanya orang biasa dan normal, aku takkan berpikir pergi untuk menyelamatkan mereka. Tapi ini berbeda. Aku punya kekuatan Gandálfr. Aku mungkin bisa menyelamatkan mereka. Aku mungkin bisa menyelamatkan Siesta...dan penduduk desa itu."

"Kemungkinannya hampir 0."

"Kutahu itu. Tapi, ia tak 0. Jadi, aku akan melakukannya."

Terkejut, Louise membalas. "Apa kau tolol? Kau ingin kembali ke duniamu sendiri kan? Bagaimana mati disini akan membantu?!"

"Siesta memperlakukanku dengan baik. Kau juga Louise."

Wajah Louise memerah.

"Aku bukan dari dunia ini. Aku tak perlu peduli apa yang terjadi di dunia ini, tapi aku ingin setidaknya busa melindungi orang-orang yang telah memperlakukanku dengan baik."

Louise menyadaro tangan Saito gemetaran. Mengangkat kepala, dia berkata, "Bukankah kau taku? Tolol. Berhentilah bertingkah keren jika kau takut!"

Aku takut. Aku bahkan enggan melakukan ini. Tapi pangeran itu bilang, pentingnya melindungi sesuatu, akan membuatmu melupakan takut akan kematian. Kupikir dia benar, Waktu itu, saat 50.000 prajurit Albion datang menyerbu kita...Aku tak takur. Aku sibuk berpikir melindungimu, jadi aku tak takut. Aku tak berbohong."

"Apa kau bilang? kau hanya seorang jelata. kau bukan pangeran yang berani atau apapun."

"Kutahu itu. Ini toada hubungannya dengan apakah aku seorang pangeran atau jelata. Negara dimana kau dilahirkan,zaman...bahkan di tiap dunia, itu tiada hubungannya. jika kau seorang lelaki, maka kau pasti berpikiran sama."

Wajah Louise mulai kacau sebab dia berusaha menahan airmatanya. "Jika kau mati. apa yang akan kulakukan...? Tidak///Aku, jika kau mati..."

"Aku takkan mati. Aku akan kembali. Jika aku mati, aku takkan bisa melindungimu kan?'

"Aku juga pergi."

"Tidak, kau tinggal disni."

"Tidak. Aku juga pergi.'

"Kau tak bisa."

Begitu keberaniannya yang denagn susah payah ditemukan hendak kabur darinya, Saito melepaskan dirinya dar Louise dan mendaki ke kokpit dari sayap. Tiba-tiba dia sadar dia. Dia belum isi ulang bahan bakar pesawatnya. Saito meninggalkan Louise disana dan buru-buru ke lab Colbert. Dengan kepalannya tekepal erat, dia menggeram. Mengapa dia begitu keras kepala! Meski kubilang ini bakal berbahaya...Louise menggigit bibirnya dan menahan airmatanya. Tiada yang akn dihasilkan dari menangis. Louise memandangi Zero fighter. "Apa kesempatan yang dimiliki oleh barang ini melawan tentara Albion!?"


Saito membangunkan Colbert yang tidur.

"Huh? Apa?"

"Pak Colbert! Apa kau sudah membuat gasolinnya?"

"Huh? Ya. Aku membuatnya sejumlah yang kau perlukan. Ia disana."

"Maka bantulah aku embawanya! Cepatlah!"

Colbert membawa gasolinnya untuk saito. Colbert, yang masih setengah tertidur, tak tahu apa-apa tentang perang. Saito tak ambil pusing menjelaskan.

"Kau akan menerbangkannya begitu pagi? Setidaknya biarkan aku menyegarkan diri."

"Kita tak punya waktu untuk itu."

Louise tak terlihat dimana. Dia lega. Jika Louise memohon padanya untukt ak pergi sekali lagi, kehendaknya bakal luntur. Tiada alasan bagi dia untuk tak takut. Pangeran memang mengatakan bahwa pentingnya melindungi sesuatu akan membuat takut akan mati pergi, tapi...tidak. ia tetap menakutkan. Meski begitu, saito duduk di kokpit dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk memulai mesin. Colbert lalu menggunakan sihirnya seperti sebelumnya dan mesin mulai jalan. Mesin mulai dengan suara keras dan baling-baling mulai berputar.

Dia mengecek gauge. Tanda di tangan kirinya bilang padanya semuanya normal. Dia memeriksa senapan mesin dihadapannya. Pelurunya terisi. Senapan mesin di sayap juga terisi. Melepas remnya, Zero fighter itu mulai bergeral. Dia melihat hadapannya dan menuju arah untuk titik lepas landas terbaik. "Austri" bukanlah halaman kecil tapi tanda Gándalfrnya bilang ini agak terlalu pendek untuks ebuah landasan. Di saat itu, Derflinger, yang bersender di kokpit, bilang"Rekan, bilang pada sang ningrat untuk menggunakan angin untuk mendorongmu dari belakang."

"Angin?'

"Ya, jadi barang ini bisa lepas landas meski dengan jarak yang kependekan."

"Bagaimana kau tahu itu? Kau tak tahu apapun soal pesawat terbang."

"Ini "senjata" kan? Aku selalu bersamamu. Aku tahu soal ini dalam hal umum. Apa kau lupa? Aku legendaris."

Saito menyembulkan kepalanya dari penghalang angin dan berteriak memanggil Colbert, Suaranya tak mencapainya. Dia mencoba beberapa tanda, memberitahukan Colbert untuk meniupkan angin dari belakang. Colbert cepat mengerti. Dia mengerti tanda Saito dan mengangguk. Begitu pembacaan mantra selesai, sebuah hembusan angin nan kuat datang dari belakang. Dia mengenakan kacamata yang Siesta percayakan padanya dan mengendurkan tekanan pada rem.

Dia membuka flap cowl dan menyeimbangkan tuas pitch baling-baling. Dia lalu melepas ren dan menekan tuas throttle ke bawah. Bagai per, Zero fighter maju dipercepat dengan gaya hebat. Dia menekan tongkat kontrol perlahan kedepan. Ekor telah meninggalkan tanah, Zero fighter tengah melayang. Ia mencapai dinding akademi. Saito menelan ludah.

"Rekan! Sekarang!"

Tepat ketika mereka hendak menabrak dinding, dia menarik tongkat kendali. Zero fighter melayang ke atas seketika. Menggesek dinding sedikit, Zero fighter terbang ke udara, Dia menarik masuk roda pendaratan. Cahaya indikator, bawah kiri dari gauge berubah dari hijau ke merah. Zero fighter terus meninggi. Saito melihat pada tanda dengan wajah lega.

"Wow! IA terbang! Ini menarik sekali!: kata Derflinger yang bergairah.

"Tentu saja. Ia dibuat untuk terbang."

Dibawah matahari nan terang, Zero fighter membelah angin, dan meninggi ke langit dari dunia lain.


Api yang berkobar di Tarbes telah mereda tapi daerah itu telah berubah jadi medan pertempuran nan kejam. Batalion telah disusun di medan dan menunggu saat mereka akan bertemu dengan tentara Tristain di kota pelabuhan La Rochelle. Diatas mereka ada Naga-naga Lexington yang melindungi mereka. Dragoon-dragoon Tristain menyerang secara sporadis, tapi mereka semua dipaksa untuk mundur.

Sebelum pertempuran, Komando Albion memutuskan bahwa mereka akan menggunakan meriam-meriam dari kapal perang untuk mengurus tentara Tristain. Dan karenanya, angkatan udara menyiapkan meriam-meriamnya. Satu dragoon dipengintaian diatas tarbes menyadari ada dragoon musuh mendekat dari atas, sekitar 2500 meter jauhnya, Si dragoon membuat naganya berteriak, memperingatkan yang lain bahwa seorang msuuh mendekat. _______________________________________________

Saito melihat keluar dari perisai angin dan melihat Tarbes dibawah. Tiada bekas dari desa sederhana nan indah yang dilihatnya sebelumnya. Rumah-rumah dikotori dengan asap hitam yang membumbung dari mereka. Dia mengertakkan gigi. Dia mengingat bagaimana kemarin-kemarin dia dan Siesta melihat-lihat di ladang. Perkataan Siesta terngiang dalam kepalanya. "Bukankah ladang ini indah? Ini yang ingin kutunjukkan padamu Saito."

Sebuah unit dragoon menyemburkan api pada hutan di luaran desa. Hutan itu langsung berkobar. Saito menggigit bibir. Dia bisa meraskan darah di mulutnya.

"Kubunuh kau." katanya dengan nada rendah.

Saito menekan tongkat kendali ke bawah kiri sambil menekan throttle dengan pasti. Zero fighter mulai menyusur ke bawah menuju Tarbes.


"Apa sih yang bisa dilakukan satu dragoon?" gumam dragoon yang meninggi begitu mereka bersiap menyerang.

Namun, ia punya bentuk yang tak biasa. Ia punya dua sayap horizontal yang terentang keluar, seakan ia kaku dan tak berkepak. Ia juga membuat raungan bagai halilintar mereka tak pernah dengar sebelumnya. Apa naga semacam ini ada di Halkegenia?

Namun...tak peduli naga macam apa itu. oa akan dihabisi dengan sekali semburan dari naga api Albion, seperti yang lain. Saat sayapnya terbakar, ia mungkin jatuh, Menggunakan strategi ini, mereka sudah membunuh dua dragoon Tristain.

"Ini yang ketiga." kata dragoon yang menunggu musuh yang turun, dengan ujung mulut yang membengkok tersenyum.

Dia terkejut, Ia cepat. Lebih cepat dari naga apapun. Panik, si dragoon membuat naganya menyemburkan api. Saat itu, sayap dari musuh yang turun berkilat. Sesuatu nan putih dan bersinar degan jumlah tak terhitung terbang menuju dia. Lubang-lubang besar muncul di badan dan sayap naga. Sebuah peluru masuk mulut naga, Seekor naga api punya kantong-kantong minyak untuk pembakaran yang kuat di lehernya, Keping meriam otomatis kena satu dari kantong itu. Si naga api meledak.

Melewati naga yang meledak di udara, Saito terus turun dalam Zero fighternya. Jangkauan senapan mesin si fighter 10x semburan naga api. Membarkan amarahnya mengendalikannya. dia menembakkan 20 mm keping meriam auto dan senapan mesin 7,7 mm pada kedua sayap naga. Empat naga lain terbang diatas langit diatas desa. Mereka telah melihat naga yang meledak dari serangan musuh. Serangannya bukan berupa semburan. Yang berarti itu kemungkinan serangan berdasar sihir. apapun serangan itu, satu dragoon sendiri takkan bisa berbuat apa-apa. Tiga dragoon naik untuk menyerang.

"Tiga lagi datang dari bawah kiri," kata Derflinger dengan nadanya yang biasa.

Tiga naga tersebar dibawahnya dan naik.

"Jangan kena semburan mereka. kau akan terbakar jadi abu seketikan."

Saito mengangguk. Dia melakukan putaran 180 derajat diatas para dragoon. Menggambarkan jalan mirip spiral di leher botol, dia berakhir di belakang para dragoon. Para dragoon tak bisa mengikuti. Kecepatan naga api sekitar 150 km/jam, Zero fighter mendekati 400 km/jam. Ini seperti menyerang sesuatu yang tak bergerak.Begitu dragoon yang panik berbalik, mereka sudah terkunci. Saito mengarahkan penunjuk pada panel gelas di alat pennglihatan dan menekan tombol tuas throttle penembak.

Dengan sebuah suara desingan yang diikuti getaran pesawat, meriam auto pada kedua sayap membuka tembakan. sayap naga api hancur, dan mereka jatuh berputar. Ini langsung diikuti penekanan kaki Saito pada tuas kaki kanan dan melayangkan si Zero fighter, menyasar naga berikutnya. Saito menembak lagi. Kena tembakan sebegitu banyak dari meriam auto pada perutnya, naga api berteriak kesakitan dan jatuh menuju tanah. Saat yang ketiga tiba-tiba menyelam untuk kabur, senapan mesin 7,7 mm mengisi tubuhnya dengan lubang, naga api itu mati dan jatuh lurus ke bawah.

Saito dengan cepat menaikkan pesawat, mengendalikan pesawat secara alami. Dia menukar kecepatannya ke tinggi. Melawan naga-naga, Zero fighter yang memiliki mesin resipokrasu, punya kelebihan di kecepatan itu. Begitu Zero fighter turun, kecepatan akan meningkat. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengendalikan daerah di atas musuh, Dengan tanda bersinar di tangan kirinya, dia memanuverkan Zero fighter bagai seorang veteran. Derflinger, yang menjadi mata untuknya, bilang soal target berikutnya. Tepat ketika dia hendak mengarahkan pesawat kesana, Dia mendengar sebuah suara di belakangnya. "I-I-I-I-itu luar biasa! Para naga Albion ini katanya tak tertandingi, tapi mereka jatuh bagai lalat!"

Kaget, Saito berbalik. Kepala Louise menyembul dari celah diantara kursi dan sisa pesawat. Aslinya, dibelakang kursi ada radio besar nan bodong, tapi karena ini dunia dimana tiada orang yang bakal mengontaknya melalui radio, dia melepasnya saat dia menyesuaikan pesawat. Setelah melepasnya, hanya kabel-kabel yang tersambung ke rudder yang tersisa. Louise telah menyusup masuk sana,

"Kau disini selama ini!? Turun!"

"Tak mungkin aku turun sekarang!"

Tangan Louise memegang Buku Doa snag Pendiri. Sepertinya dia tak kemana-mana seperti yang saito pikirkan dan malah menyusup masuk pesawat.

"Ini bahaya! Tolol!"

Lousie dengan erat mencekik lehernya. "Jangan lupa!"

"KAU...ADALAH...FAMILIARKU...JADI...JANGAN....PERGI...MELAKUKAN...SEMAUMU! AKU....TAKKAN...MEMAAFKANMU...MENGERTI!?"

Karena mesin menenggelamkan suaranya, dia berteriak di kuping Saito.

"Aku tuanmu! Jika seorang tuan tak memimpin jalan, maka si familiar takkan mendengarkan! dan aku akan membenci itu!"

Saito menjatuhkan bahunya, mendesah berat. Sepertinya perkataan seperti "Ini bahaya, jangan datang" tak punya efek sama sekali pada Lousie.

"Bagaimana kalau kau mati?!"

"Ya berusahalah lebih keras! Bahkan jika kau atau aku mati. Aku masih akan mencari jalan untuk membunuhmu!" teriaknya pada Saito dengan mata membelabak.

Saito merasakan pening dari hal-hal tak waras yang keluar dari mulut Louise,

"Rekan, maaf menyela, tapi..."

"Apa?"

"10 dari kanan baru saja tiba."

Semburan lima naga api terbang pada mereka. Dia langsung menekan dengan cepat tongkat kendali ke kiri saat itu. Pesawat berputar dan menghindari semburan naga. Louise terjatuh dalam pesawat dengan tangis kecil.

"Kendalikan ia lebih elegan!"

Saito berteriak, "Jangan beromong kosong!", dan membuat pesawat turun. Para dragoon tak bisa mengikuti gerakannya. Mengambil keuntungan dari gerakannya, dia buat pesawat naik, dan saat puncak dia berbalik lagi. Menyasar para dragoon yang mengejar dia sebelumnya, dia menembakkan meriam auto dam senapan otomatis pada mereka. Louise, yang terjatuh dalam pesawat, tengah hendak menangis ketakutan. "Mungkin seharusnya aku tak ikut>" Takutnya menanyinya. Dia menggigit bibirnya dan menggengga, Buku Doa sang Pendiri erat-erat. Bukankah aku menyusup naik karena aku tak bisa biarkan Saito mati? Hei, jangan berpura-pura kau berjuang sendirian, aku juga berjuang!

Meski begitu, dia tak bisa berbuat apa-apa. Selalu saja seperti ini, tapi kali ini dia merasakan segurat sesal. Tapi, meski begitu, kalah dari ketakutanmu takkan menyelesaikan apa-apa. Dia mencari-cari di kantongnya untuk Rubi Air yang diberikan Henrietta padanya, dan mengenakannya. Dia menggenggam jari itu erat.

"Putri, tolong lindungi kami..." bisiknya.

Dia menepuk Buku doa Sang Pendiri di tangan kanannya dengan lembut. Pda akhirnya, dia belum menyelesaikan eprosa. Dia mengutuk dirinya yang kekurangan bakat bersyair. Dia berharap memikirkan prosa pada kereta ke Germania. Itu benar, Aku akan ke upacara pernikahan. Aku tengah menunggu kereta datang diluar gerbang akademi. Aku lalu belajar perang telah berkobar. Takdir adalah hal yang sinis. Doa membuka Buku Doa sang Pendiri sambil bergumam pada dirinya sendiri. Doa berencana berdoa pada Sang Pendiri untuk keselamatan mereka. Dia membuka buku dan membalik acak sebuah halaman. Rubi air dan Buku Doa sang Pendiri tiba-tiba bersinar, mengejutkan Louise. ________________________________________

"Mereka...disapu bersih? Hanya dalam 20 menit, mereka disapu bersih?"

Sir Johnston, Komandan tertinggi tentara penyerbu, yang berada di dek kapal pemimpin, Lexington, melihat-lihat persiapan serangan pembombardiran dengan meriam-meriam. kapal, memucat mendengar laporan.

"Berama unit mush disana? seratusan? Tristain punya dragoon segitu banyak tersisa?"

"Pak, M-menurut laporan, hanya satu."

"Sebuah unit tunggal?"

Johnston berdiri mematung tak bergerak, Dia membanting topinya ke tanah. "Omong kosong! 20 naga dikalahakan satu unit musuh? Pasti dusta!"

Ketakutan melihat tingkahkomandan tertinggi, sang utusan mundur selangkah. "Berdasarkan laporan, dragoon musuh punya kecepatan dan kellncahan tinggi, dan juga serangan berdasar sihir yang kuat dan jangkauannya jauh. Unit kita dibunuh satu demi satu..."

Johnston mencengkram si utusan. "bagaimana dengan Wardes?! Wardes, yang diberikan komando para dragoon, bagaimana dengannya?! Apa yang terjadi dengan orang Tristain sombong itu?! Apa dia juga terbunuh?!"

"Naga angin viscount tak masuk daftar. Tapi...sepertinya dia tak terlihat dimana-mana..."

"Jadi dia mengkhianati kira! Atau sebaliknya dia terlalu pengecut! Yang manapun itu, kita tak bisa mempercayainya..."

Sambil diam-diam menjulurkan tangannya, Bowood berkata,"Bereaksi seperi itu di hadapn seluruh prajurit akan menurunkan gairah mereka, ketua komandan."

Marah, Johnston melampiaskannya pada Bowood.

"Apa kau bilang?! Salahmu para dragoon disapu bersih! Kekurangan kompetensimu meminta para dragoon kita yang berharga hancur! Aku akan melaporkan ini pada Yang Mulia. Aku akan melaporkannya!" teriak Johnston begitu dia menjulurkan lengannya untuk mencengkram Bowood.

Bowood menghunus tongkatnya dan memukul perut Johnston. Putih matanya terlihat dan Johnston pingsan ke tanah. Bowood memerintahkan para prajurit untuk membawanya pergi. Seharusnya kubaut tidur dari tadi. pikir Bowood. Keributan selain ledakan dan meriam hanya mengesalkan para tentara. Sebuah keputusan tungga; bisa jadi perbedaan diantara kemenangan dan kekalahan, terutama selama pertempuran. Bowood menghadap utusan yang tengah menatapnya khawatir. Dia berkata dengan nada tenang dan dingin. "Meski kekuatan dragoon telah disapu bersih, Lexington tak kena. Juga, Wardes kemungkinan menjalankan sebuah rencana. Jangan khawatir, terus berusahalah dalam apa yang tengah kau lakukan."

"Sebuah unit tunggal menghancurkan 20 unit? Seorang pahlawankah..." bisik Bowood.

Tapi hanya seorang pahlawan. Berarti, hanya satu orang, Tak peduli sekuat papun satu orang, akan ada hal yang bisa dia ubah dan yang tak bisa dia ubah..

"Dan kapal ini yang terakhir," bisik Bowood.

Dia mengeluarkan perintah. "Majukan seluruh kloter. Siapkan meriam-meriam kiri."

Setelah sesaat, nun jauh disana, di ujung lain dari padang Tarbes, Susunan perang dari tentara Tristain, bertempat di la Rochelle, yang merupakan benteng alami karena guung-gunung yang mengelilinginya, dapat terlihat.

"Seluruh kloter maju pelan-pelan. Kapal ke kanan."

Kloter berputar sehingga tentara Tristain bakal menghadapi sisi kiri mereka.

"Tembakkan meriam-meriam kiri. Terus menembak hingga perintah lebih lanjut."

"Bagian bawah dan atas, siapkan meriam kanan. Gunakan peluru anggur." _______________________________________

500 m didepan tentara Tristain yang menyemut di La Rochelle, tentara musuh dapat terlihat. Ia berbendera panji Reconquista berwarna tiga, dan mendekat perlahan. Tak pernah melihay musuh nyata sebelumnya, Henrietta, yang menaiki seekor unicorn, gemetaran. Dia menutup matanya untuk berdoa meminta agar para tentara disekelilingnya takakn melihatnya gemetaran ketakutan. Tapi...ketakutannya tak berhenti dengan begitu mudah. Henrietta menengadah pada kloter raksasa musuh dan memucat. Itu kloter Albion. Sisi kloter berkilat. Itu tembakan musuh. Kepingan meriam yang dipercepat gravitasi beterbangan menuju tentara Tristain.

Kena. Ratusan kepingan meriam menghujam tentara di La Rochelle. Bebatuan, kuda-kuda, dan orang-orang terlempar bersama, diterbangkan ke udara. Tentara mencoba menghindar dari kekuatan yang melampaui mereka. Tempat itu tenggelam oleh suara raungan kilat.

"Tenanglah! Tenanglah Semuanya !" teriak Henrietta, didorong oleh takutnya.

Mazarini berbisik ke telinga Henrietta. "Kau mesti tenang dulu. Jika sang Jendral kebingungan, maka akan kacau dalam sekejap mata."

Mazarini cepat-cepat berbisik pada jendral didekatnya. MEski Tristain negeri kecil, ia berisi sejarah. Sejarahnya melibatkan banyak ningrat-ningrat yang terhormat. Dari seluruh negeri di Halkegenia, tentara Tristain punya persentase tertinggi dalam soal penyihir di barisannya. Dengan perintah Mazarini. para ningrat menciptakan dinding udara di celah antara gunung-gunung. Kepingan akan mengenainya dan pecah. tapi beberapa kepingan menerobosnya. Teriakan dapat terdenagr dengan bebatuan dan darah yang muncrat.

Begitu musuh menghentikan bombardir mereka, mereka hampir pasti melakukan serangan besar-besaran. Tiada jalan lain selain menghadapi mereka." bisik Mazarini.

"Apa ada kesempatan menang?"

Mazarini menyadari bahwa para prajurit mulai gemetaran pada bombardir musuh. Mereka telah maju dengan keriuhan yang besar tapi...ada batas pada keberanian orang. Dia tak ingin mengatakan kenyatannnya pada putri yang membuatnya mengingat sesuatu yang telah dia lupakan.

"Kita seimbang."

Kena.Tanah dibawah mereka bergetar bagai gempa. Mazarini dengan perih mengeri keadaan. 3.000 tentara kuat yang disusun oleh jumlah musuh, sedangkan tentara mereka, yang retak akibat bombardir, hanya berjumlah 2.000. Mereka tak punya kesempatan. ____________________________________

Louise melihat huruf-huruf yang muncul dalam cahaya. Ia...tertulis dalam huruf kuno. Karena Louise serius di kelas, dia bisa membaca bahasa kuno. Louise mengejar huruf-huruf dalam cahaya. Maju. Karenanya, aku akan merekam kebenaran yang kuketahui. Seluruh materi di dunia tersusun dari zat halus. Keempat cabang bertemu dengan zat-zat halus ini dan mempengaruhi mereka, yang merubah mereka kedalam mantra. Inilah bagaimana "Api", "Air", "Angin" dan "Bumi" terjadi.

Louise sangat penasaran. Dengan perasaan tak sabar, dia membalik halaman.

Para dewa memberkahiku sebuah kekuatan yang lebih kuat. Zat-zat halus, dimana keempat cabang mempengaruhi, tersusun oleh zat yang lebih halus lagi. Kekuatan yang diturunkan padaku oleh para dewa, tak berasal dari keempatnya. Cabang yang kubawa bercampur dengan zat-zat yang lebih halus dan mempengaruhinya, merubah mereka menjadi mantra-mantra. Sebuah Zero yang tak berasal dari keempatnya. Zero yang disebut ini adalah "Void". Kunamakan Zero yang para dewa turunkan padaku sebagai "Void".

"Cabang Void...Bukankah itu sebuah legenda? Bukankah itu cabang legendaris itu?!"

Berbisik pada dirinya sendiri, Louise membalik halaman. Denyutnya semakin cepat. Saito, yang telah menyapu bersih kloter dragoon, melihat langit sekeliling. Diatas padang, dia menemukan sebuah kapal perang besar diantara celah awan-awan, nun jauh disana. Dibawah kapal itu, adalah kota pelabuhan La Rochelle.

"Rekan, itu kepalanya. Tak peduli seberapa banyak kecoa yang kau jatuhkan, jika kau tak menjatuhkan yang itu,,,tiada yang berubah..."

"Kutahu itu."

"Ia mustahil."

Saito tetap diam dan membuka throttle Zero fighter. Ia berkecepatan penuh, Zero fighter naik menuju kapal perang besar itu.

"Ini mustahil, rekan. tak peduli seberapa banyak kau coba, ini mustahil."

Derflinger, yang telah memeriksa perbedaan kekuatan, bilang itu pada Saito dalam nadanya yang biasa. Tapi, Saito tak merespon. 'Aku mengerti...tapi rekanmu seorang tolol."

Saito mendekatkan Zero fighter. Sisi kanan kapal bersinar. Menyasar Zero fighter, sesuatu terbang menuju mereka. Mereka peluru timbal yang tak terhitung jumlahnya. Mereka merobek pesawat hingga berlubang sembari menggetarkannya. Memecahkan pemecah anginnya, sebuah selongsong menggores pipi Saito. Sealir darah mengalir menuruni wajahnya.

"Jangan mendekatinya! Mereka menggunakan tembakan anggur!" teriak Derflinger.

Saito menyelamkan Zero fighter, menghindari putaran kedua tembakan.

'Sial, mereka mengisikan peluru-peluru kecil dalam meriam-meraim raksasa itu!"

Saito menggigit bibirnya. Dia tak bisa mendekati kapal, apalagi menenggelamkannya. Dibelakang kursi, Louise telah kehilangan jiwanya dalam membaca buku Doa Sang pendiri. Suara yang bergemuruh tak mencapai telinganya. Dia hanya bisa mendengar denyutnya sendiri yang bertambah keras dan semakin keras.

Yang bisa membaca ini, akan mewarisi tindakan, pikiran dan tujuanku. Mereka akan menjadi penanggung kekuatan ini. Jadilah bijaksana, wahai pemakai kekuatan ini. Untuk kawan-kawanku dan aku, yang mati tanpa terpenuhi maksud kami, kau harus berusaha mengambil kembali "Tanah Suci" yang dicuri para kafir. "Void" sangat kuat. Tapi, pembacannya sangat panjang dan memakan banyak energi. Perhatikanlah, pembaca. Dari waktu ke waktu, hidupmu akan mengecil tergantung kekuatannya. karenanya, aku memilih pembaca buku ini. Bahkan jika ada yang tak pantas mengenakan cincin, mereka tak bisa membuka buku ini. Hanya pembaca terpilih yang memakai cincin dari "Cabang yang empat" yang bisa membuka buku ini.

Brimir Ru Rumiru Yuru Viri Vee Varutori (ブリミル・ル・ルミル・ユル・ヴィリ・ヴェー・ヴァルトリ)

Berikut, adalah rekamanku atas mantra "Void" yang kugunakan. Langkah pertama di saat paling awal. "ledakan".

Sebuah mantra dalam bahasa kuno terpampang setelahnya. Mematung. Louise berbisik, "Brimir sang Pendiri, bukankah kau lupa sesuatu? Jika aku tak mengenakan cincin ini, aku takkan bisa membaca Buku Doa sang Pendiri kan? Hal tentang pembaca terpilih...dan bagian "perhatikanlah" tiada artinya kalau begitu."

Kemudian dia menyadarinya. Pembaca terpilih...itu berarti...akulah si pembaca terpilih?...Aku tak benar-benar mengerti tapi...Aku bisa mebaca kata-katanya. Jika aku bisa membacanya, aku mungkin bisa melakukan mantra yang tertulis disini. Louise ingat tiap kali dia dia membaca mantra, sebuah ledakan bakal ada. Itu...dengan kata lain, "Void" yang tertulis disini?....Saat dia memikirkannya, tiada yang bisa bilang padanya alasan dia membuat segalanya meledak. Orang tuanya, kakak-kakak perempuannya, guru-gurunya...teman-temannya juga...mereka hanya menertawainya sebagai sebuah "kegagalan". Mereka tak berfikir apa-apa soal ledakannya.

Mungkin aku memang sang pembaca terpilih. Aku tak bisa benar-benar mempercayainya, tapi mungkinaku adalah sang pembaca terpilih. Ini mungkin bisa dicoba. Dan juga...Tiada lagi yang akan kehilangan sekarang. Dia tenang dan dingin. Huruf yang dia baru saja baca ada di ujung lidahnya seakan mereka telah seringn bersalaman. Bagai nyanyian yang didengarnya di masa kecil, nada mantra entah kenapa rasanya mirip.

Aku akan mencobanya.

Louise bangkit. Dari belakang kursi, dia mulai menuju kedepan melalui celah.

"Apa yang kau lakukan?! Diam sajalah! Argh! Aku tak bisa lihat depanku! hei!"

bagai seekor ular, dia menyusup melalui celah denagn tubuh mungilnya. Dia telah berhasil ke depan kursi, dimana Saito tengah duduk. Dia mendudukkan pantat kecilnya di antara kaki Saito yang melebar.

"...Aku tak bisa mempercayainya tapi...Aku tak bisa benar-benar mengatakannya tapi...Aku mungkin telah dipilih. Meski, Ini kemungkinan hanya sebuah keslahan." gumam Louise.

"Hah?"

"Dengarkan saja aku. Terbang dekat kapal perang, Ini mungkin basbang...tapi mencobanya lebih baik daripada tak berbuat apa-apa. Lagipula, tiada jalan lain untuk menenggelamkan kapal perang itu...Jalan satu-satunya adalah aku yang melakukan itu. Aku mengerti. Aku akan mencobanya."

Saito mematng oleh Louise yang sibuk sendiri. "Apa kau baik-baik saja? Kau akhirnya jadi gila karena ketakutan?"

Louise berteriak pada Saito. 'Aku bilang padamu untuk mendekatinya kan?! Aku tuanmu! Para familiar mematuhi perintah tuan mereka tanpa membantah!"

Tiada gunanya melawan Louise saat dia menggunakan sikap mengancam begitu. Saito dengan enggan mendekati kapal perang raksasa itu. Tembakan anggur terbang menuju mereka. Pergi ke sisi kiri kemungkinan hasilnya sama. Kapal itu juga punya meriam-meriam di bawahnya. Lexington bagaikan landak dengan meriam.

"Apa yang kau lakukan?!"

"Mustahil! Aku tak bisa mendekatnya sama sekali!:

Bagaikan tiba-tiba terpikir sesuatu, Derflinger buka mulut. "Rekan, lurus ke atas kapal."

"Eh?"

"Ada titik mati disana. Dimana meriam-meriam tak bisa mencapainya."

Saito naik hingga di atas Lexington sebagaimana dia dibilangin. Louise naik ke bahu Saito. Dia membuka kanopi. Sehembus angin kuat bertiup melewati wajahnya.

"Hei! Apa yang kau lakukan?! Tutup itu!"

"Hingga aku memberimu tanda, tetap berputar disekitar sini."

Louise mengambil napas dalam-dalam dan menutup matanya. Kemudian, seakan terpantik, dia membuka matanya dan mulai mebaca huruf-huruf dalam Buku Doa sang Pendiri. Dia membaca mantra diantara raungan mesin. Saito berputar-putar diatas Lexington dalam Zero fighter sebagaimana dibilang padanya. Saat itulah...

"Rekan, belakangmu!"

Cepat-cepat menoleh kebelakang, sebuah dragoon dapat terlihat terbang menuju mereka bagai sebuah topan. Itu Wardes!!! _________________________________

Menaiki seekor naga angin, Wardes menyeringai, Dia tersembunyi awan-awan diatas Lexington, menunggu kesempatan menyerang, Jadi ini dragoon misterius yang meremukkan seluruh naga api. Wardes tak punya banyak kesempatan menang bila dia berhadapan muka ke muka. Yang adalah mengapa dia harus menyasar titik lemah. Rencananya bergantung pada si kapal perang. Sasaran musuh pastilah kapal perang ini, Dan jika ia seorang musuh yang ahli, dia pasti bisa menemukan titik matinya. Karenanya, bersembunyi di dekatnya dan menunggu adalah pilihan terbaik. Perkiraan Wardes tepat.

Sasarannya mulai menukik. Oh begitu...dia menghindari naga-naga api seperti itu. Tapi kecepatan naga anginku lebih tinggi dari para naga api itu. Wardes dengan pasti memendekkan jarak yang memisahkan mereka. Dengan rasa ketertarikan yang tinggi, dia memandangi Zero fighter. Ia bukan seekor naga. Itu...bukan sesuatu yang terbuat dari logika Halkegenia..."Tanah Suci"kah?...Dia melihat wajah yang dikenalnya, dengan rambut pink blondenya, didalam kokpit. Seringai pada wajah Wardes semakin lebar.

Jadi kau masih hidup...Berarti yang mengendalikan naga palsu adalah...Lengan kiri yang pernah dia kehilangan berdegup...Semburan naga anginnya tak berguna. tapi dia punya mantranya yang kuat. Menggenggam kekang dengan tangan kiri buatannya, Wardes membaca sebuah mantra. "Tombak Udara;. Udara memadat untuk membentuk sebuah tombak untuk merobek mereka. ____________________________________

Saito tak bisa melepaskan naga yang mengikuti mereka. Dengan Louise menaiki bahunya, Saito mulai merasa frustasi. Tapi...jika aku mati disini, aku takkan bisa melindungi Louise atau Siesta. Tanda pada tangan kiri Saito bersinar terang. Dia mengeset throttle ke minimum dan membuka seluruh flap. Bagaikan ada yang mencengkram Zero fighter, kecepatannya turun drastis. Dia menekan tongkat kendali ke bawah kiri. Di saat yang sama, dia menginjak pedal kaki. Bumi dan langit disana berputar-putar mengelilingi mereka.

Zero fighter telah menghulang dari pandangan wades, yang baru saja selesai membaca mantranya. Tanpa lelah, dia melihat sekitar. Mereka tiada dimana-mana untuk dilihat. Tapi, merasakan denting rasa membunuh dari belakang, wardes berbalik. Si Zero fighter dengan mulus membentuk spiral menukik bagaikan membentuk jalan dalam sebuah botol. Ia dengan cepat berada di belakang naga angin Wardes. Diikuti cahaya terang, peluru senapan mesin menembus si naga angin, yang sisiknya lebih tpis daripada naga api. Wardes terkena di bahu dan punggung, wajahnya tak karuan kesakitan. Si Naga angin mengerang. Bagaikan melayang turun perlahan, naga yang dinaiki Wardes menabrak tanah.

Saito menaikkan Zero fighter sekali lagi. bahkan saat dia melakukan manuver-manuver tadi, Louise mencengkram bahu Saito erat. Tentu saja, Louise kan sangat ahli dalam menunggangi kuda. Louise melanjutkan bacaannya dengan nada rendah, Apa-apaan sih yang dilakukannya, pikir Saito.

"Eoruu Suunu Firu Yarunsakusa"

Sebuah irama mulai berdenyut melalui Louise. Dia merasa seolah-olah dia tahu irama itu entah darimana. Tiap kata demi kata dibacakan, irama itu menguat. IA mengasah indranya, dan tiada suara apapun disekitar yang mencapai telinganya. Ia bagaikan sesuatu dalam tubuhnya terlahir, dan tengah mencari sebuah ujuan...Louise teringat apa yang pernah sekali dikatakan padanya dulu. Saat kau membacakan mantra cabangmu sendiri, sebuah perasaan mirip dengan apa yang dirasakannya dapat terasa. Apa ini benar apa yang kurasa? Aku, yang selalu dihina sebagai seorang zero. Aku, yang dikatakan tak punya bakat apapun dalam sihir oleh para guru, orang tua, kakak perempuan dan murid. Apa inikah aku yang sebenarnya?

"Osu Suunu Uryu Ru Rado"

Dia bisa merasakan sebuah gelombang lahir didalam dirinya, pelan-pelan membesar.

"Beoozusu Yuru Suvyueru Kano Oshera"

Gelombang didalam dirinya, yang mencari sebuah tujuan, mengamuk. Louise memberi Saito tanda dengan kakinya. Saito mengangguk dan menekan tongkat kendali kebawah. Zero fighter mulai menukik pada Lexington dibawah mereka. Membuka matanya, dia memaskan pembacaannya,

“Void”

Cabang legendaris dari sihir...Seberapa kuatkan ia?...Tiada yang tahu...Tentu saja. tiada alasan bagiku untuk tahu...Ini seharusnya melebihi legendaris.

"Jera Isa Unjyuu Hagaru Beookun Iru…"

Setelah pembacaan yang begitu panjang, mantranya sempurna. Tepat saat itu, Louise mengerti kekuatan mantra itu. Ia akan menelan semua. Seluruh orang dalam sudut pandangnya, akan tertelan sihirnya. Ada dua pilihan. Bunuh, atau tidak. Apa yang diinginkannya untuk hancur? Dengan angin menerpa wajahnya, dia melihat ke bawah. Sebuah kapal perang besar muncul di hadapannya. Lexington. Mengikuti denyutnya, dia menyasar satu titik dan mengayunkan tongkatnya ke bawah. ____________________________________

Sebuah pemandangan yang sukar dipercaya terbentang di hadapan mata mata Henrietta. Kapal pernag yang membombardir mereka...sebuah bola cahaya muncul di langit. Ia bagaik versi kecil matahari, dan ia membesar. Dan...ia menelannya. Ia menelan kapal perang di langit. Cahaya itu terus mengembang hingga hanya itu yang bisa dilihatnya. Ada keheningan sempurna. Henrietta langsung menutup matanya. Bola cahaya sangat pekat sehingga siapapun bakal mengira mata mereka akan terbakar dari melihatnya. Dan kemudian...setelah cahaya memudar. Seluruh kloter terbakar. Kloter yang dipimpin Lexington mendapati seluruh dek dan layar mereka berkobar. Bagaikan sebuah dusta, kepala kloter yang telah menyerang tentara Tristain, terbenam ke tanah.

Getaran di bumi dapat dirasakan. Kloter telah karam. Henrietta mematung. Kesunyian sempurna menyelimuti semuanya. Seluruhnya menatap pemandangan yang sukar dipercaya itu. Yang pertama sadar adalah kardinal Mazarini. Dia tengah melihat sayap keperakan, berkilauan dibawah maytahari di langit. Itu Zero fighter Saito. Mazarini berteriak,"Semuanya! Lihat! Kloter musuh telah dihancurkan Phoenix nan legendaris!"

"Phoenix? Sang burung abadi?"

Sebuah ribut-ribut menyebar diantara para prajurit. "Lihat burung yang terbang di langit! Itu burung legendaris yang dikatakan akan datang pada saat-saat yang diperlukan Tristain! Itu Phoenix! Sang Pendiri telah memberkahi kita!"

Teriakan bergairah dapat terdengar dimana-mana. "Hidup Tristain! Hidup Sang Phoenix!"

Henrietta menanyai Mazarini diam-diam. "kardinal, Phoenix itu...apa itu nyata? Aku tak pernah mendengar apapun soal Phoenix yang legendaris..."

Mazarini tersenyum licik. "Ia dusta besar. Tapi indra penghakiman orang hilang saat ini. Mereka tak bisa mempercayai pemandangan yang mereka lihat. Akupun begitu, Tapi, kebenarannya adalah ada burung tak dikenal mengitari sekitar kloter musuh yang telah karam. Tiada pilihan lain selain menggunakannya."

"Hah..."

"Apa? Tiada yang peduli bila apa yang kukatakan benar atau dusta. Apa yang mereka pedulikan adalah apa mereka hidup atau mati. Dengan kata lain, menang atau kalah."

Mazarini menatap dalam mata sang putri. "Kau harus menggunakan segala yang bisa kau gunakan. Ia salah satu dasar politik dan perang. Ingatlah itu baik-baik, Putri. karena mulai hari ini dan seterusnya, kau penguasa Tristain."

Henrietta mengangguk. Ia sebagaimana yang dikatakan Kardinal. Berfikirnya...nanti saja.

"Semangat musuh akan rendah dan tanpa keraguan mereka pasti mencoba kabur. Kloter yang mendukung mereka telah hilang. Tiada kesempatan yang lebih baik untuk menyerang."

"Ya."

"Putri. Akankah kita maju menuju kemenangan?" tanya Mazarini.

Henrietta mengangguk kuat sekali lagi. Dia lalu mengangkat tongkat kristal berkilatnya. 'Seluruh prajurit, maju! Prajurit kerajaan, ikuti aku!" ___________________________________________________

Kelelahan, Louise memeluk Saito.

"Hei Louise."

"Hm?: jawab Louise, kosong.

Sebuah perasaan lelah menderanya. Tapi ia perasaan lelah yang enak. ia kelelahan yang datang bersama kepuasan menyelesaikan sesuatu.

'Apa aku bisa menanyaimu sesuatu?"

"yah."

"Apaan tadi barusan?"

"Ia sebuah legenda."

"Legenda?"

"Aku akan menjelaskannya nanti. Aku lelah."

Saito mengangguk dan tersenyum. Dia menepuk Louise dengan lembut di kepala. Di bawah mereka, Para prajurit Tristain baru saja menyerbu tentara Albion. Gairah tentara Tristain terlihat jelas, bahkan bagi seorang awam. Ia begitu bergairah sehingga bisa melampaui musuh yang melebihi mereka.

"Yah, nanti saja juga tak apa."

Melihat desa yang terbakar dan menghitam, Saito cemas apa Siesta baik-baik saja. ______________________________________

Sore itu... Bersama saudaranya, Siesta dengan malu-malu keluar dari hutan. Berita kekalahan tentara Albion telah mencapai penduduk desa yang berlindung dalam hutan. Tentara Albion diremukkan oleh gebrakan Tristain, dan banyak yang telah menyerah. Yah, tiada prajurit Albion yang jalan-jalan disekitar desa pada tengah hari. raungan kemarahan, adu alat perang dan ledakan-ledakan telah berhenti. Asap hitam membumbung dari ladang, tapi pertempuran telah usai.

Sebuah suara gemuruh dapat terdengar dari langit. Setelah menengadah, sebuah objek yang biasa terlihat tengah terbang di angkasa. Itu "Baju Naga", wajah Siesta jadi cerah. Saat Zero fighter itu mendarat di ladang, Saito membuka kanopi. Seseorang dari hutan, yang berada di selatan desa, datang berlari ke arahnya. Itu Siesta. Saito melompat turun dari Zero fighter dan berlari mendekatnya.

Louise menonton saito yang berlari pergi dan mendesah."Baiklah, sepertinya bagus bahwa gadis itu masih hidup, tapi tak bisakah dia menghabiskan lebih banyak waktu mengayomiku? Mantra yang barusan tadi..."Ledakan" dari cabang sihir Void. Sepertinya itu tak terjadi. Mungkin ia tak terasa nyata karena itu sihir Void. Apa aku benar-benar "Pengguna sihir Void"? Apa ada suatu kesalahan disini? Tapi itu menjelaskan bagaimana aku bisa memberi Saito kekuatan Gandálfr, sang familiar legendaris. Ada banyak sekali legenda, ya kan?" bisiknya.

"Bagaimanapun juga, kemungkinan semuanya bakal sibuk dari sekarang. Aku benar-benar merasa seakan ini tak terjadi...dan aku tak bisa percaya bahwa aku yang dimaksud dalam legenda..."desah Louise. Jika ini hanya mimpi, aku pakan sangat lega. Tapi aku telah memutuskan untuk tak terlalu memikirkannya. Aku seharusnya belajar dari familiar tololku. Meski dia familiar legendaris itu, dia sama sekali tak terlihat seperti itu. Tapi mungkin itu yang terbaik. Bagaimanapun juga, hal "legendaris" ini terlalu buatku.

"Hei, penyihir legendaris."

"Apa, pedang legendaris?"

Derflinger telah memanggil Louise dengan nada menggoda. "Tak apa-apa keras kepala...tapi jika kau tak mengejarnya, dia akan diambil gadis desa itu."

Pipi Louise memerah. "Aku tak peduli."

"Benarkah?" bisik Derflinger.

Sambil berteriak tan da frustasi, Louise meloncat keluar dari kokpit dan mengejar Saito. Derflinger menonton sosok Louise yang berlari dan berkata dengan keras. "dan dia bahkan mengerti bahwa dialah yang dimaksud dalam legenda...Mungkin kisah cintanya lebih penting baginya. Manusia masa kini tak tertolong lagi."

Sambil berlari, Sebuah aliran pikiran-pikiran memasuki alam pikirannya, Saat dia melihat Saito, detaknya terganggu. Pikirannya bakal kosong. Ini aneh. Si tolol itu. Dia bahkan menciumku. Apa gadis itu sebegitu hebatnya? Dia mungkin manis. Dia juga jago memasak. Aku tahu lelaki suka gadis seperti itu, Tapi, aku...aku,...

Buku Doa sang Pendiri, Cabang sihir Void...mereka meninggalkan pikiran Louise tanpa bekas untuk saat itu.

Jika aku tak mengejar familiarku itu, dia akan menghilang entah kemana...Jika aku tak membuka mataku lebar-lebar dan berlari, aku akan ditinggalkan....Tapi, jika akan menjadi seperti itu..Aku akan terus mengejarnya...Aku akan mengejarnya kemanapun dia pergi...dan saat dia berbalik, aku akan menerjangnya dengna keras.



Return to Main Page